Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 PEMELIHARAAN LARVA KEPITING BAKAU Scylla serrata Forskal SKALA MASSAL DENGAN PAKAN ROTIFER DAN NAUPLI ARTEMIA YANG DIKAYAKAN DENGAN VITAMIN C, ASCORBYL PALMITAT Gunarto Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros
[email protected]
Abstrak Vitamin C, askorbil palmitat (ascorbyl palmitate) larut dalam lemak sehingga mudah tersimpan dalam tubuh organisme. Vitamin C dapat berfungsi sebagai stimulan untuk sistem pertahanan tubuh non spesifik, sehingga mampu meningkatkan kekebalan tubuh non spesifik. Produksi benih kepiting bakau (krablet) di panti benih masih rendah disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan larva untuk berkembang menjadi megalopa dan krablet. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian rotifer dan naupli artemia yang dikayakan dengan vitamin C (askorbil palmitat) yang dijadikan pakan larva kepiting bakau Scylla serrata terutama efeknya pada sintasan dan kecepatan perkembangan larva menjadi megalopa dan krablet. Larva S. serrata yang baru menetas dan sehat dipelihara di dua bak fiberglas bulat volume empat ton yang diisi air payau steril salinitas 30 ppt sebanyak tiga ton dan diberi aerasi. Air di dalam bak fiber tersebut dibuat sirkulasi. Larva ditebar dengan kepadatan 200 ind./L, dan diberi pakan rotifer dan naupli artemia. Perlakuan yang diuji adalah A1: Larva diberi pakan rotifer dan naupli artemia yang tidak dikayakan dengan vitamin C, A2: Larva diberi pakan rotifer dan naupli artemia yang dikayakan dengan vitamin C. Monitoring dilakukan pada populasi larva dan kecepatan perkembangan larva hingga larva mencapai stadia krablet. Beberapa parameter kualitas air yang dimonitor adalah suhu air, pH, nitrit dan amoniak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hari ke 18 larva di perlakuan A2 rata-rata sebanyak 37,5+10 ind./L dan sekitar 20% telah menjadi megalopa. Sedangkan pada perlakuan A1 larva masih pada stadia zoea-5 dan populasi larva sebanyak 47,5+7 ind./L. Pada hari pemeliharaan ke 28 di perlakuan A2 semua megalopa telah menjadi krablet dengan berat rata-rata 0,067+0,055 g/ind. Sedangkan pada perlakuan A1 masih terlihat ada megalopa dan krablet yang sudah ada ukurannya lebih kecil dengan berat rata-rata 0,033+0,039 g/ind. Kata kunci: Askorbil palmitat, pengayaan, pemeliharaan larva, skala massal, vitamin C Pengantar Di Indonesia kepiting bakau genus Scylla sp. mempunyai nilai ekonomis yang tinggi di pasaran domestik maupun eksport sehingga keberadaannya di alam banyak ditangkap secara tidak terkendali. Kerusakan habitat kepiting bakau yaitu hutan mangrove banyak dikonversi menjadi pertambakan, perumahan atau industri, ikut andil menyebabkan populasi kepiting bakau di beberapa daerah penghasil kepiting bakau pada saat ini telah menurun secara drastis seperti yang terjadi di perairan muara sungai Cenranae, Kabupaten Bone dan perairan Malili, Kabupaten Palopo, Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian pembenihan kepiting bakau di Indonesia telah dilaksanakan sejak 20 tahun yang lalu (Yunus et al., 1997; Setiyadi et al., 1997), namun sampai saat ini teknologi pembenihan kepiting bakau belum berhasil secara mantap, sehingga belum diadopsi oleh kalangan pengusaha yang bergerak di bidang perikanan. Produksi benih dari hatcheri kepiting bakau masih rendah dan berfluktuatif. Beberapa kendala yang sering dihadapi pada waktu pemeliharaan larva yaitu adanya serangan penyakit (Zafran, 1996; Des Roza, 1999; Zafran et al, 2004; Rantetondok, 2010). Bakteri Vibrio sp. mencapai kepadatan 104 cfu/mL dalam air media pemeliharaan larva menyebabkan larva mati massal berwarna putih. Kemudian serangan parasit seperti Epystilis sp menyebabkan larva semakin kurus dan akhirnya mati. Virus White Spot Syndrome Virus (WSSV) juga telah dilaporkan menyerang larva kepiting bakau. Adanya kualitas pakan yang rendah untuk larva menyebabkan larva mati massal pada saat menjelang atau setelah metamorfosis menjadi megalopa.
Semnaskan_UGM / Rekayasa Budidaya (RB-14) - 281
RB-14
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Penelitian tentang peningkatan kualitas pakan untuk larva kepiting bakau juga telah banyak dilakukan, yaitu rotifer maupun naupli artemia yang dikayakan dengan HUFA (Suprayudi, 2003; Suprayudi et al, 2004; Truong et al, 2007) ataupun Nannochloropsis sp. (Gunarto et al., 2013). Begitu juga upaya untuk memacu terjadinya sinkronisasi metamorfosis dari stadia Zoea-5 menjadi megalopa. Perlu diketahui bahwa rendahnya produksi krablet juga sangat dipengaruhi oleh produksi megalopa yang muncul tidak secara sinkron. Oleh karena megalopa muncul tidak secara sinkron, maka biasanya terjadi kanibalisme yang tinggi pada zoea-5 karena banyak ditangkap dan dimakan oleh megalopa yang muncul lebih dulu. Penjarangan pada tingkat zoea-5 biasanya kurang efektif, karena banyak zoea-5 menjadi stres dan akhirnya mati. Oleh karena itu upaya untuk produksi megalopa secara sinkron perlu dilakukan, agar proses penjarangan megalopa cepat dilakukan, sehingga dapat cepat mengurangi terjadinya kanibalisme antar megalopa. Disamping mengurangi kanibalisme pada stadia megalopa, dalam upaya untuk meningkatkan produksi benih kepiting bakau juga perlu dilakukan upaya peningkatan imunitas larva kepiting bakau dengan cara pakan larva (rotifer dan naupli artemia) dikayakan terlebih dahulu dengan vitamin C, ascorbyl palmitat sebelum diberikan ke larva. Terdapat dua macam vitamin C yaitu yang larut dalam air adalah asam ascorbit (ascorbic acid), vitamin C jenis tersebut tidak tersimpan dalam tubuh dan mudah dikeluarkan lewat urine. Vitamin C yang larut dalam lemak, sehingga mudah tersimpan dalam tubuh organisme disebut askorbil palmitat (ascorbyl palmitate). Vitamin C dapat berfungsi sebagai stimulan untuk sistem pertahanan tubuh non spesifik, sehingga mampu meningkatkan kekebalan tubuh non spesifik (Scombes, 1994). Rotifer juga mengandung vitamin C, tetapi jumlahnya masih rendah. Kandungan vitamin C pada rotifer yang dikultur dengan baker yeast sebanyak 150 mg/g berat kering. Sedangkan yang dikultur dengan Chlorella sp sebanyak 230 mg/g berat kering. Apabila larva kekurangan vitamin C akan mengalami deformitis (Madhu dan Madhu, 2008). Penelitian penggunaan vitamin C sebagai imunostimulan telah dilakukan pada pengendalian penyakit koi herpes virus (KHV) (Taukhid dan Lusiastuti, 2010), penggunaan vitamin C untuk pengkayaan naupli artemia yang diberikan pada larva ikan Acipenser persicus (Yousefian dan Najafpour, 2011), diberikan pada larva ikan Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss) (Hydari dan Akbary, 2011) dan diberikan pada larva ikan Yellowfin Seabream (Adloo et al., 2012). Semuanya sepakat bahwa penambahan jumlah vitamin C yang tepat mampu meningkatkan sintasan larva yang dipelihara. Dengan demikian maka penambahan vitamin C juga akan diujikan untuk pengayaan rotifer maupun naupli artemia, sebelum diberikan ke larva kepiting bakau sebagai pakan. Dengan adanya perlakuan tersebut diharapkan larva kepiting menjadi lebih sehat, tumbuh cepat, dan dapat meminimalisir larva zoea-5 sering tidak sinkron/serentak bermetamorfose menjadi megalopa. Sampai saat ini penelitian pembenihan kepiting bakau di BPPBAP Maros hanya dilakukan dalam skala kecil menggunakan bak-bak ukuran 200 L, sehingga produksi kepiting muda (krablet) juga dalam jumlah ratusan ekor. Untuk mengetahui apakah memungkinkan krablet kepiting bakau bisa diproduksi secara massal, maka pada penelitian ini pemeliharaan larva digunakan wadah bak fiberglas bulat dengan volume air sebanyak 4 ton dan diisi air sebanyak 3 ton. Tujuan penelitian adalah untuk membandingkan produksi massal krablet kepiting bakau dari larva yang pakannya (rotifer dan naupli artemia) dikayakan dengan HUFA dan vitamin C (ascorbyl palmitat). Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di hatcheri kepiting bakau di Instalasi Tambak Penelitian Marana. Bak fiberglas bulat volume 4 ton diisi air sumur bor salinitas 30 ppt sebanyak tiga ton dan air di dalam bak dibuat sirkulasi dengan bantuan beberapa pipa pralon ukuran empat inci yang dibelah dua dan panjang 80 cm. Pada bagian bawah pipa dimasukkan ke bantalan cor semen sehingga pipa mampu berdiri di dalam bak dan pada bagian bawah persis diatas bantalan cor semen ditambahkan aerasi, sehingga air disekitar pipa akan terdorong dan terjadi sirkulasi air. Dengan adanya sirkulasi air, maka larva yang sehat yang ditebar tidak mengendap di dasar bak. Air yang dimasukkan ke dalam bak fiber tersebut sebelumnya disaring dengan saringan membran (membrane filter). Larva kepiting bakau dari satu induk yang sama yang baru menetas (zoea-1) dipelihara di dalam dua bak fiberglas tersebut dengan padat tebar larva 100 ekor/L. Dua perlakuan diuji yaitu: Perlakuan A1, 282 - Semnaskan_UGM / Gunarto
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 dimana larva diberi pakan rotifera (20 ind./mL) dan naupli artemia (1-2 ind./mL) yang dikayakan dengan HUFA (DHA/EPA = 2,5). Rotifer sebelum diberikan sebagai pakan larva, terlebih dahulu dikayakan dengan HUFA (5 mg/L) selama tiga jam. Selanjutnya dipanen dan diberikan ke larva dari stadia zoea1 hingga stadia zoea-3. Selanjutnya Naupli artemia juga dikayakan dengan HUFA (300 mg/L) selama lima jam, kemudian dipanen dan diberikan ke larva stadia zoea-3 hingga stadia megalopa (Gambar 1). Pada perlakuan A2, larva diberi pakan rotifer (20 ind./mL), namun sebelum diberikan sebagai pakan larva, terlebih dahulu rotifer dikayakan dengan vitamin C, ascorbyl palmitat (Natron Easy C dengan kandungan ascorbyl palmitat 500 mg/L) selama tiga jam. Selanjutnya dipanen dan diberikan ke larva dari stadia zoea-1 hingga stadia zoea-3. Naupli artemia (1-2 ind./mL) juga dikayakan dengan vitamin C, ascorbyl palmitat (500 mg/L) selama lima jam, selanjutnya dipanen dan diberikan ke larva stadia zoea-3 hingga stadia megalopa (Gambar 1).
Gambar 1. Teknis pengayaan rotifer dan naupli artemia dengan HUFA (A1) dan dengan vitamin C, ascorbyl palmitat (A2). Pergantian air pada saat pemeliharaan larva dilakukan setelah lima hari pemeliharaan sebanyak 5-10% dari volume total dengan cara disifon. Selanjutnya jumlah air yang diganti semakin banyak (50%) setelah larva mencapai zoea-5. Populasi larva hingga mencapai megalopa dimonitor setiap hari sekali dengan cara mengambil air beberapa kali dengan volume yang sama. Jumlah larva yang ikut dalam air tersebut dihitung dan dirata-ratakan selanjutnya dikonversi ke volume air dimana larva berada. Setelah larva mencapai megalopa maka dimonitor populasi megalopa setiap hari sampai zoea-5 semua bermetamorfosis menjadi megalopa. Semnaskan_UGM / Rekayasa Budidaya (RB-14) - 283
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran beberapa peubah kualitas air media penelitian yang meliputi: Amoniak, nitrit, BOT, salinitas, pH, dan DO. Monitoring populasi Vibrio sp. dilakukan dengan cara mengambil sampel air sebanyak 50 mL, selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium Patologi BPPBAP Maros untuk dianalisis populasi Vibrio sp. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan pada sintasan larva menjadi megalopa, megalopa menjadi kepiting muda, maka data jumlah megalopa juga kepiting muda yang diperoleh dari setiap perlakuan dibandingkan dan dianalisis secara diskriptif. Hasil dan Pembahasan Penurunan populasi larva hingga stadia zoea-5 ditunjukkan pada Gambar 2. Pada hari pertama larva ditebar dengan padat tebar sekitar 100 ind./L, setelah hari kedua dimana larva masih stadia zoea1, populasi larva telah menurun di kedua perlakuan yaitu menjadi 80 ind./L pada perlakuan A1 dan A2. Selanjutnya pada perlakuan A2 dimana larva diberi pakan rotifer yang dikayakan dengan HUFA dijumpai populasi larva sebanyak 80 ind./L bertahan hingga hari ke 9 (sebagian larva telah masuk stadia zoea-3). Pada hari ke 10 populasi larva telah turun lagi hingga sekitar 70 ind./L dan populasi tersebut terus bertahan hingga hari ke 13. Pada hari ke 15 populasi larva telah turun hingga menjadi 47 ind./L dan terus bertahan hingga hari ke 17 dimana larva sudah siap untuk bermetamorfosis menjadi megalopa.
Gambar 2. Penurunan populasi larva S. serrata yang diberi pakan rotifer yang dikayakan dengan HUFA (A1) dan vitamin C (A2). Pada perlakuan A2 yang larvanya diberi pakan rotifer yang dikayakan dengan vitamin C, populasi larva di hari ke empat telah menurun menjadi sekitar 60 ind./L dan populasi tersebut bertahan hingga hari ke 12. Pada hari ke 13 larva telah menurun hingga menjadi 40 ind./L dan populasi tersebut bertahan hingga hari ke 17 dimana larva siap bermetamorfosis menjadi megalopa. Beberapa hal yang menyebabkan populasi larva menurun adalah sebagai berikut yaitu: pada hari kedua pemeliharaan kemungkinan akibat stres pada waktu penebaran yaitu larva dipindahkan dari bak penetasan ke bak pemeliharaan larva, meskipun pemindahan dilakukan secara hati-hati, tetapi sebagian larva menjadi stres akhirnya lemah dan kemudian mati. Sedangkan pada hari-hari selanjutnya penurunan populasi larva pada penelitian ini berkaitan dengan peristiwa gagal molting pada larva misalnya pada perlakuan A1, di hari ke sembilan dimana banyak larva gagal molting dari zoea-2 ke zoea-3. Pada hari ke 14 banyak larva gagal molting dari stadia zoea-3 ke zoea-4. Pada perlakuan A2, kematian pada hari ke 4 kemungkinan larva zoea-1 gagal molting untuk menjadi stadia zoea-2, kemudian berlanjut hingga pada hari ke 6 larva banyak gagal molting. Larva banyak mengalami kematian pada hari ke 13 dikarenakan larva gagal molting dari stadia zoea-3 ke stadia zoea-4. Faktor penyebab gagal molting telah dilaporkan diantaranya kualitas pakan yang kurang sesuai yaitu bisa dari segi nutrisinya misalnya kandungan EPA dan DHA nya rendah (Watanabe et al., 1983; Suprayudi, 2003; Suprayudi et al., 2004; Truong et al., 2007). Pada penelitian ini meskipun sudah
284 - Semnaskan_UGM / Gunarto
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 dikayakan dengan HUFA yang mempunyai kandungan DHA dan EPA dengan rasio 2,5. Namun tetap saja masih terjadi kematian larva akibat gagal molting. Menurut Suprayudi et al. (2002), kandungan n-3 HUFA yaitu 0,33% EPA dan 0,13% DHA pada rotifer adalah yang terbaik untuk perkembangan larva kepiting bakau S. serrata. Dengan demikian rasio DHA/EPA = 0,394. Peningkatan kualitas rotifer juga bisa dilakukan dengan pengayaan rotifer menggunakan Nannochloropsis sp. dan terjadi peningkatan rasio DHA/EPA dari 0,063 meningkat menjadi 0,147 (Gunarto et al, 2013) dan menghasilkan jumlah krablet yang lebih banyak. Dari data terdahulu rasio DHA/EPA pada rotifer yang dikayakan dengan HUFA adalah 0,108 (Gunarto et al., 2014). Selain karena gagal molting, kematian lebih massal lagi pada larva kepiting bakau sering terjadi akibat serangan Vibrio sp. Apabila populasi Vibrio sp. di air media pemeliharaan mencapai 104 cfu/mL dan menyebabkan larva dalam dua tiga hari akan memutih semua tubuhnya dan akhirnya mati. Serangan protozoa seperti Zoothamnium sp. atau Epystilis sp. semakin lama menyebabkan larva semakin kurus dan akhirnya mati. Untuk mengurangi tingkat kematian yang tinggi pada larva akibat serangan protozoa, maka air pemeliharaan larva dapat di treatment dengan formalin 40% sebanyak 1 ppm/hari, selama satu minggu berturut-turut sambil diamati perkembangan larva apakah larva akan bertambah besar atau tambah mengecil akibat populasi protozoa semakin melimpah di tubuh larva.
(a) (b) Gambar 3. Perkembangan populasi megalopa berdasarkan hari (a) dan perkembangan populasi zoea5 menjadi megalopa (b) dari perlakuan larva (z1-z5) yang diberi pakan rotifer dan naupli artemia yang dikayakan dengan HUFA (A1) dan dengan vitamin C (ascorbyl palmitat) (A2). Perkembangan larva nampak lebih serentak pada perlakuan A2 karena pada hari ke dua dari mulai munculnya megalopa sudah sekitar 20% larva telah menjadi megalopa, sedangkan pada A1 baru sekitar 5% dari populasi larva menjadi megalopa. Pada hari ke lima sudah 100% larva menjadi megalopa di perlakuan A2, sedangkan di perlakuan A1 baru sekitar 70% larva telah bermetamorfosis menjadi megalopa. Pada hari ke tujuh semua zoea telah berkembang menjadi megalopa diperlakuan A1 (Gambar 3a). Sedangkan proporsi zoea-5 menjadi megalopa ditunjukkan pada Gambar 3b. Kecepatan dan keserentakan zoea-5 berkembang menjadi megalopa juga dipengaruhi oleh kesehatan larva tersebut. Pada penelitian ini di perlakuan A2 dijumpai larva lebih cepat berkembang dibanding dengan di perlakuan A1. Hal ini akibat pengaruh pengayaan dengan vitamin C pada pakan larva di perlakuan A2. Di penelitian lainnya Gunarto et al., (2014) mendapatkan pengayaan dengan vitamin C pada pakan larva (rotifer dan naupli artemia) menyebabkan larva lebih tahan terhadap serangan parasit dari jenis Epistylis sp., dibanding dengan larva pada kontrol dimana pakannya tidak dikayakan dengan vitamin C, larvanya banyak terserang parasit, sehingga larva lambat berkembang menjadi megalopa dan kepiting muda. Selanjutnya pada hari ketujuh setelah adanya megalopa di kedua perlakuan, dijumpai megalopa telah mulai menjadi kepiting muda (krablet), hanya saja di perlakuan A1 persentasinya lebih rendah (3%) dibanding dengan di perlakuan A2 (10%). Dengan demikian kemunculan krablet di perlakuan A2 sedikit lebih sinkron dibanding dengan di perlakuan A1. Hal ini karena larva dan megalopa lebih cepat Semnaskan_UGM / Rekayasa Budidaya (RB-14) - 285
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 berkembang di perlakuan A2, dibanding dengan di perlakuan A1. Periode megalopa di perlakuan A1 sekitar 7-15 hari. Sedangkan di perlakuan A2 sekitar 7-12 hari. Perkembangan megalopa menjadi krablet di perlakuan A2 lebih cepat dibanding dengan perkembangan megalopa di perlakuan A1. Hal ini karena pengaruh pengayaan dengan vitamin C pada rotifer dan naupli artemia yang dijadikan pakan pada larva dan megalopa di perlakuan A2. Dengan demikian menunjukkan bahwa penambahan vitamin C mampu mempercepat perkembangan larva menjadi megalopa dan periode menjadi krablet juga ditempuh dalam waktu yang lebih singkat dibanding dengan perlakuan yang tanpa penambahan vitamin C pada rotifer atau naupli artemia yang dijadikan pakan larva dan megalopa kepiting bakau. Kecepatan perkembangan megalopa menjadi krablet juga dipengaruhi oleh suhu air (Gunarto dan Parenrengi, 2012). Produksi krablet D7 pada perlakuan A1 sebanyak 1213 ekor, sedangkan perlakuan A2 sebanyak 1120 ekor. Dengan demikian dalam satu induk dari kultur massal menggunakan bak fiber volume air 4 ton dan diisi air sebanyak 3 ton hanya diperoleh sebanyak 2333 ekor krablet D7. Krablet pada perlakuan A2, lebih sehat dan ukurannya lebih besar yaitu 0,067+0,055 g/ekor dibanding dengan perlakuan A1 yaitu dengan ukuran 0,033+0,039 g/ekor, dimana pada periode larvanya hanya diberi pakan rotifer dan naupli artemia yang sama sekali tidak dikayakan dengan vitamin C ataupun HUFA. Tabel 1. Periode larva, megalopa dan produksi krablet pada pemeliharaan larva dengan pakan rotifer dan naupli artemia yang diperkaya dengan vitamin C (ascorbyl palmitat) Perlakuan
Periode larva Z1-Z5 (hari)
Periode Megalopa (hari)
Produksi Krablet (ind./bak)
Ukuran krablet (g/ind krablet D7)
A1
18-25
7-15
1213
0,033+0,039
A2
18-21
7-12
1120
0,067+0,055
Hasil monitoring kualitas air pada waktu pemeliharaan larva hingga menjadi krablet ditunjukkan pada Tabel 2, dimana salinitas di kedua perlakuan pada kisaran 29-31 ppt selama pemeliharaan, suhu air antara 28-30oC, pH air pada kisaran 8,0-8,2. Konsentrasi nitrit pada perlakuan A1 dan A2 masih cukup rendah yaitu 0,0324 mg/L (A1) dan 0,0247 mg/L(A2). Konsentrasi amoniak di perlakuan A1 sebanyak 0,918 mg/L, sedangkan perlakuan A2 g lebih tinggi yaitu 1,607 mg/L. Bahan organik total di perlakuan A1 sebanyak 49,42 mg/L dan di perlakuan A2 pada konsentrasi 45,67 mg/L. Populasi bakteri Vibrio sp pada akhir pemeliharaan di kedua bak perlakuan pemeliharaan larva sudah diambang batas maksimum yaitu mencapai 103 cfu/mL (Tabel 2). Peningkatan tersebut diakibatkan oleh meningkatkan konsentrasi BOT di kedua perlakuan. Peningkatan BOT berasal dari limbah organik yaitu larva, rotifer dan artemia yang mati juga dari sisa metabilisme dan pakan organik (pakan flek) yang diberikan pada waktu larva telah mencapai stadia megalopa dan krablet. Tabel 2. Beberapa parameter kualitas air pada pemeliharaan larva skala massal dengan bak fiberglas volume 4 ton Parameter
Perlakuan A1
Perlakuan A2
Suhu air (t C)
28-30
28-30
pH air
8,0-8,2
8,1-8,3
Salinitas (ppt)
29-31
29-31
Nitrit (mg/L)
0,0324
0,0247
Amoniak (mg/L)
0,918
1,607
BOT (mg/L)
49,42
45,67
3,7x103
3,5x103
o
Total Vibrio sp (Cfu/mL) Kesimpulan
Produksi krablet lebih banyak di perlakuan A1 yaitu sebanyak 1213 ind./bak krablet D7. Sedangkan di perlakuan A2 produksi krablet D7 sebanyak 1120 ind./bak, meskipun demikian krablet di perlakuan A2 286 - Semnaskan_UGM / Gunarto
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 (diperkaya vitamin C pada pakan larvanya) cenderung lebih berat ukurannya yaitu rata-rata 0,067+0,055 g/ind. dibanding dengan produksi krablet di perlakuan A1 dengan rata-rata berat 0,033+0,039 g/ind. Daftar Pustaka Adloo, M.N., A. Matinfar & I. Sourinezhad. 2012. Effects of feeding enriched Artemia franciscana with HUFA, vitamin C and E on growth performance, survival and stess resistance of Yellowfin Seabream larvae. J. Aquacult Res Dev 3 (8): 1-5. Des Roza, 1999. Pengendalian Vibrio harveyi pada larva kepiting bakau Scylla serrata Forskal melalui desinfeksi induk selama pengeraman telur. JPPI 5(2): 28 – 33. Gunarto & A. Parenrengi. 2012. The application of probiotic on mud crab, Scylla olivacea Zoea-5 larvae reared in laboratory. Proceeding International Conference of Aquaculrure Indonesia (ICAI) 2012. Badan Penerbit Masyarakat Akuakultur Indonesia. Pp: 80-85. Gunarto. 2012. Pengaruh penggunaan shelter rumput laut, Gracilaria sp pada pentokolan benih kepiting bakau, Scylla olivacea di laboratorium. Prosiding Seminar nasional Perikanan Indonesia 1314 Nopember 2012. Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta. Hlm: 76-82. Gunarto, Nurbaya & M, Zakaria. 2013. Pemeliharaan zoea-5 dan megalopa kepiting bakau, Scylla olivacea dengan wadah berbeda. Prosiding Konferensi Akuakultur Indonesia 2013, di The Sunan hotel, Solo 3-4 September, 2013. Masyarakat Akuakultur Indonesia. Hlm: 28-36. Gunarto & A. Panrerengi. 2013. Monitoring kualitas air dan pakan (rotifer, Brachionus sp dan Artemia sp) pada pemeliharaan larva kepiting bakau (Scylla olivacea) dengan sistem air hijau. Prosiding Seminar nasionalTahunan X Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2013, Jilid I, Budidaya Perikanan. Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Hal: 1-9. Gunarto, Herlinah Jompa & B.R. Tampangalo. 2013. Perbaikan pemeliharaan larva kepiting bakau, Scylla olivacea dengan penambahan mikro algae, Nannochloropsis sp. Laporan Ilmiah Penelitian TA 2013. 17 hlm. Gunarto, Herlinah Jompa & Nurbaya, 2014. Pemeliharaan larva kepiting bakau Scylla olivacea dengan penambahan vitamin C, ascorbyl palmitat pada dosis berbeda. Laporan Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros Heydari, M. & P. Akbary. 2011. Enrichment or Artemia nauplii with essential fatty acid and vitamin C: Effect on Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss) larvae performance. 2 nd International Conference on Agriculture and Animal Science, IPCBEE vol 22: 45-50. Madhu, K. & madhu, R. 2008. Recent advances in breeding and larviculture of marine finfish and shellfish. Course Manual. Central Marine Fisheries Research Institute. (Indian Council of Agricultural Research) P.B.No.1603, Marine Drive North Extension, Ernakulam North,P.O. Cochin, KERALA – INDIA. 11 hlm. Rantetondok, A. 2010. Peningkatan kekebalan larva kepiting bakau, Scylla serrata melalui pencegahan serangan parasit dengan pemberian glukosa pada media pemeliharaan. Jurnal Aquacultura Indonesiana Setyadi, I., Azwar, Z. I., Yunus dan Kaspriyo. 1997. Penggunaan jenis pakan alami dan buatan dalam pemeliharaan larva kepiting bakau Scylla serrata. JPPI, III (4): 73 – 77. Suprayudi, M. A., Takeuchi, T., K. Hamazaki dan J. Hirokawa. 2002. Effect of N-3HUFA content in rotifers on the development and survival of mud crab, Scylla serrata, larvae. Suisanzoshoku 50(2): 205-212. Semnaskan_UGM / Rekayasa Budidaya (RB-14) - 287
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Suprayudi, M. A. 2003. Pengaruh dari macam dan dosis bahan pengkaya terhadap kualitas nutrisi rotifera Brachionus rotundiformis khususnya n3-HUFA. Jurnal Akuakultur Indonesia 2 (1): 21-25. Suprayudi, M.A., Takeuchi, T., dan K. Hamasaki. 2004. Effects of artemia enriched with eicosapentaenoic and docosahexaenoic acid on survival and occurence of molting failure in megalop larvae of the mud crab Scylla serrata. Fisheries Science 70 (4): 650-658. Taukhid & A.M. Lusiastuti. 2010. Efektivitas penambahan vitamin C (Ascorbic Acid) pada pakan komersial untuk pengendalian penyakit koi herpesvirus (KHV) pada ikan mas, Cyprinus carpio. J. Ris. Akuakultur 5 (3): 425-436. Truong, T., N., Mathieu, W., Tran, C. B., Hoang, P. T., Nguyen, V. D., & P. Sorgeloos. Improved techniques for rearing mud crab Scylla paramamosain (estampador 1949) larvae. Aquaculture Research 38: 1539-1553. Watanabe, T., Kitajima, C. & Fujita, S. 1983. Nutritional values of life food organisms used in Japan for the mass propagation of fish: a review. Aquaculture 34: 115-143. Yunus, I. Setiadi, Kaspriyo & Des Roza, 1997. Pengaruh pH air terhadap sintasan larva kepiting bakau Scylla serrata. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia III (4): 57 – 61. Yousefian, M. 7 S. H. Najafpour. 2011. Enrichment of Artemia using Highly Unsaturated fatty Acid and Vitamin C in larvae culture of Acipencer persicus. World Applied Sciences Journal 12 (8): 1266-1268. Zafran, 1996. Efektifitas fungisida dalam menghindarkan infeksi jamur Lagenidium sp pada larva kepiting bakau Scylla serrata. JPPI 2(1): 15-23. Zafran, Des Roza, Johnny, F., Mahardika, K. & I. Rusdi. 2004. Aplikasi bakterin dalam pemeliharaan larva kepiting bakau Scylla paramamosain skala massal. JPPI 10 (2): 71 – 75.
288 - Semnaskan_UGM / Gunarto