Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 PERFORMA PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN AGAR BIBIT RUMPUT LAUT Gracilaria sp. DARI SUMBER BERBEDA YANG DIPELIHARA DENGAN SISTEM TEBAR DI HAPA Sri Redjeki Hesti Mulyaningrum, Rohama Daud, dan Emma Suryati Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau e-mail :
[email protected]
Abstrak Bibit rumput laut dapat diperoleh dari bibit lokal, hasil seleksi maupun dari hasil kultur jaringan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan, kandungan agar dan performa bibit rumput laut Gracilaria sp. dari hasil kultur jaringan, seleksi klon dan bibit lokal. Penelitian dilaksanakan di tambak percobaan desa Taipa kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan dengan metode tebar di hapa. Sebanyak 9 unit hapa berukuran 1 x 1 x 1 m dipasang pada patok bambu dengan jarak dari dasar tambak setinggi 10 cm. Sebagai perlakuan adalah sumber bibit rumput laut yang berbeda yakni : hasil kultur jaringan, hasil seleksi klon dan bibit lokal takalar. Bibit rumput laut dari sumber yang berbeda ditebar dengan kepadatan 500 gram/hapa dan dipelihara selama 60 hari, setiap 15 hari dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan, kandungan agar dan kualitas air. Desain penelitian adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan pengulangan sebanyak 3 kali untuk masing-masing perlakuan. Peubah yang diamati adalah laju pertumbuhan harian, kandungan agar dan performa bibit. Data pertumbuhan dan kandungan agar yang diperoleh dianalisa menggunakan analisis ragam (ANOVA), sedangkan performa bibit dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sumber bibit yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit (P>0,05), namun berpengaruh nyata terhadap kandungan agar (P<0,05). Bibit hasil seleksi klon memiliki LPH rata-rata sebesar 4,64%/hari, kultur jaringan 4,53%/hari dan bibit lokal takalar sebesar 3,93%/hari. Kandungan agar rata-rata bibit rumput laut hasil kultur jaringan sebesar 12,38%, bibit lokal takalar 9,62% dan hasil seleksi klon sebesar 8,70%. Bibit rumput laut hasil kultur jaringan memiliki talus dengan percabangan yang lebih banyak bila dibandingkan dengan bibit dari sumber lain. Kata kunci : Kandungan agar, pertumbuhan, Gracilaria sp., sumber bibit Pengantar Gracilaria sp. merupakan salah satu jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena merupakan rumput laut penghasil agar yang pemanfaatannya sangat luas dalam industri. Gracilaria sp juga termasuk ke dalam 10 spesies teratas yang dibudidayakan di dunia (Luning & Pang, 2003). Rumput laut jenis ini juga banyak dibudidayakan di Indonesia dan menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat pesisir. Perkembangan pasar global Gracilaria sp. memperlihatkan tren yang semakin meningkat, hal ini disebabkan karena ketergantungan sektor industri terhadap bahan baku seperti industri makanan, kosmetika dan farmasi (Rojas & Robledo, 2002; Bixler & Porse, 2011), kondisi ini menjadi peluang yang sangat baik mengingat Indonesia sebagai salah negara penghasil rumput laut terbesar di dunia. Pada budidaya rumput laut, salah satu permasalah yang banyak dihadapi oleh petani adalah masalah ketersediaan bibit yang berkualitas. Ketersediaan bibit unggul yang kontinyu mutlak diperlukan dalam kegiatan budidaya. Salah satu strategi pengembangan budidaya rumput laut Gracilaria sp. di Indonesia adalah penyediaan bibit yang cukup dan berkualitas melalui pengembangan kebun bibit (Nurdjana, 2006), hal ini perlu dilakukan karena masalah bibit menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan dalam kegiatan budidaya. Untuk menyediakan bibit yang berkualitas, Balai Penelitian dan Pengembangan Budiddaya Air Payau Maros telah melakukan upaya penyediaan bibit melalui kultur jaringan dan seleksi klon. Propagasi rumput laut melalui kultur jaringan banyak diadopsi dari tumbuhan tingkat tinggi (Rorrer & Cheney, 2004; Reddy et al., 2008; Baweja et al., 2009; Yokoya & Valentin, 2011), propagasi klon bibit yang berkualitas dilakukan secara in vitro dan dibesarkan di tambak. Metode ini memiliki keuntungan pada kontinyuitas dan kualitas bibit rumput laut. Dengan perbanyakan klon di laboratorium diharapkan akan diperoleh rumput laut hasil kultur jaringan yang memiliki karakter sama dengan induknya. Indukan rumput laut yang digunakan pada kultur jaringan Semnaskan_UGM / Rekayasa Budidaya (RB-19) - 299
RB-19
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 diperoleh dari hasil seleksi klon, dimana pada seleksi klon dilakukan seleksi terhadap rumput laut yang memiliki pertumbuhan paling baik (Pong_Masak et al., 2011). Dengan kedua metode tersebut dapat dihasilkan bibit unggul rumput laut Gracilaria sp. Produksi bibit rumput laut Gracilaria sp. melalui kultur jaringan maupun seleksi klon telah dilakukan dan telah dilakukan perbanyakan di tambak, untuk mengetahui performa bibit tersebut perlu dilakukan evaluasi terhadap performa bibit. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan, kandungan agar dan performa bibit rumput laut Gracilaria sp. dari hasil kultur jaringan, seleksi klon dan bibit lokal Takalar. Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan di desa Taipa pada bulan April – Juni 2013 dengan metode tebar. Sebanyak 9 unit hapa berukuran 1 x 1 m dipasang pada patok bambu dengan jarak dari dasar tambak setinggi 15 cm. Sebagai perlakuan adalah sumber bibit yang berbeda yakni bibit hasil kultur jaringan, hasil seleksi klon dan lokal Takalar. Bibit rumput laut dari sumber yang berbeda ditebar dengan kepadatan 500 gram/hapa. Selanjutnya dilakukan pemeliharaan bibit selama 60 hari dan setiap 15 hari dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan, kandungan agar dan kualitas air. Laju pertumbuhan harian (LPH) dihitung dengan menggunakan rumus Dawes et al. (1993) sebagai berikut :
Keterangan : Wf : berat rumput laut basah (g) pada t hari Wo : berat rumput laut basah (g) pada awal pemeliharaan, T : masa pemeliharaan Penentuan randemen agar dilakukan dengan ekstraksi agar. Rumput laut kering sebanyak 10 gram direndam dalam larutan kaporit 0,25% selama 3 x 24 jam. Kemudian dibilas dan dibersihkan dengan air tawar dan direndam dalam air tawar selama 3 jam, selanjutnya direndam dalan larutan H2SO4 0,1% selama 15 menit. Rumput laut kemudian dicuci dan direndam dalam air tawar selama 15 menit dan dimasak dalam akuades sebanyak 500 mL. Agar yang diperoleh disaring dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Penentuan randeman agar dihitung dengan rumus berikut :
Desain penelitian adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan pengulangan sebanyak 3 kali untuk masing-masing perlakuan. Peubah yang diamati adalah laju pertumbuhan harian dan kandungan agar. Data pertumbuhan dan kandungan agar yang diperoleh dianalisa menggunakan ANOVA, sedangkan performa bibit dianalisa secara deskriptif. Hasil dan Pembahasan Laju pertumbuhan harian Bibit rumput laut dari sumber yang berbeda memiliki LPH yang tidak berbeda nyata (P>0,05), dimana bibit hasil seleksi klon memiliki LPH rata-rata sebesar 4,64%/hari, hasil kultur jaringan sebesar 4,53%/ hari dan bibit lokal takalar sebesar 3,93%/hari (Gambar 1). Secara umum, LPH masing-masing bibit rumput laut berada pada kondisi yang baik, menurut Mubarak et. al. (1990) laju pertumbuhan dianggap mengguntungkan apabila di atas 3% /hari. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga sumber bibit memiliki LPH yang bagus.
300 - Semnaskan_UGM / Sri Redjeki Hesti Mulyaningrum, dkk
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014
Gambar 1. Laju pertumbuhan harian bibit rumput laut Gracilaria sp. dengan sumber bibit yang berbeda. Laju pertumbuhan harian rumput laut selama pemeliharaan terlihat pada Gambar 2. Pada awal pemeliharaan bibit rumput laut dari ketiga sumber cenderung mengalami penigkatan LPH, namun masuk hari ke 45 pemeliharaan bibit rumput laut hasil kultur jaringan dan seleksi klon mengalami penurunan LPH, sedangkan bibit lokal masih mengalami peningkatan. Secara umum pola pertumbuhan bibit hasil kultur jaringan dan seleksi klon tidak berbeda.
Gambar 2. Laju pertumbuhan harian bibit rumput laut Gracilaria sp. dengan sumber bibit yang berbeda selama 60 hari pemeliharaan. Kandungan Agar Kandungan agar rata-rata bibit rumput laut hasil kultur jaringan sebesar 12,38%, bibit lokal takalar 9,62% dan hasil seleksi klon sebesar 8,70% (Gambar 3). Hasil uji ragam ANOVA memperlihatkan bahwa sumber bibit yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kandungan agar (P<0,05). Uji lanjut dengan LSD memperlihatkan bahwa kandungan agar rumput laut hasil kultur jaringan berbeda nyata dengan rumput laut hasil seleksi klon dan lokal takalar (P<0,05), sedangkan rumput laut hasil seleksi klon dan lokal takalar memiliki kandungan agar yang tidak berbeda nyata (P>0,05).
Semnaskan_UGM / Rekayasa Budidaya (RB-19) - 301
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014
Gambar 3. Kandungan agar rumput laut G. verrucosa dengan sumber bibit yang berbeda. Kandungan agar ketiga sumber bibit rumput laut lebih rendah dari hasil penelitian Villlanueva et al. (2010) yang memperoleh kandungan agar pada rumput laut Gracilaria pada kisaran 15–33%. Kondisi perairan memiliki perananan yang penting pada pembentukan agar, sesuai dengan pendapat MorinhoSoriano and Bourret (2003) kandungan agar memiliki hubungan yang positif dengan kondisi perairan terutama suhu dan salinitas perairan. Performa bibit Dari hasil pengamatan terhadap morfologi rumput laut terlihat bahwa rumput laut hasil kultur jaringan memiliki talus yang kuat, percabangan yang banyak dan panjang dibandingkan bibit hasil seleksi klon dan bibit lokal (Gambar 4).
Gambar 4. Performa bibit rumput laut Gracilaria sp dari sumber yang berbeda : kultur jaringan (A); seleksi klon (B) dan lokal Takalar (C). Salah satu kelebihan penyediaan bibit rumput laut melalui kultur jaringan adalah tersedianya bibit secara kontinyu, dan dapat dihasilkan produk memiliki karakter sama dengan induknya. Metode kultur jaringan yang digunakan juga menentukan performa dari bibit yang dihasilkan. Bibit yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil kultur jaringan dengan metode kultur talus, dimana metode ini merupakan metode perbanyakan klon untuk memperoleh bibit yang memiliki karakter sama dengan induknya sehingga dari hasil pengamatan LPH tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara bibit hasil kultur jaringan, seleksi klon dan lokal Takalar. Namun demikian dari hasil analisa agar dan pengamatan morfologi terdapat perbedaan antara bibit hasil kultur jaringan, seleksi klon dan lokal Takalar. Hal ini terjadi karena pada kultur jaringan terjadi proses peremajaan bibit di laboratorium, dimana talus yang digunakan pada kultur di laboratorium adalah talus muda yang bersifat meristematik, sehingga bibit rumput laut hasil kultur jaringan terlihat memiliki percabangan talus yang lebih banyak bila dibandingkan bibit hasil seleksi klon dan bibit lokal Takalar. Umur bibit juga mempengaruhi kandungan agar rumput laut sesuai dengan pendapat Yunizal (2002), yang menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi kandungan agar rumput laut antara lain musim, umur tanaman, lingkungan dan tahap-tahap produksi selama pemeliharaan. Umur bibit rumput laut hasil kultur jaringan relatif lebih muda bila dibandingkan dengan sumber lain sehingga memiliki kandungan agar yang lebih tinggi. 302 - Semnaskan_UGM / Sri Redjeki Hesti Mulyaningrum, dkk
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Kualitas Air Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, talus (bibit) dan umur. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain lingkungan, bobot bibit, jarak tanam dan teknik penanaman (Kamlasi, 2008). Kondisi perairan selama penelitian berlangsung seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter kualitas air selama penelitian Parameter Suhu (ºC Kecerahan (cm) Salinitas (ppt) Nitrat (ppm) Nitrit (ppm) Fosfat (ppm)
Kisaran 27,00 – 32,00 28,00 – 40,00 5,00 – 27,00 0,01 – 0,81 0,01 – 0,07 0,08 – 1,64
Secara umum kondisi lingkungan perairan selama penelitian berlangsung masih pada kondisi yang baik untuk pertumbuhan rumput laut. Menurut Afrianto dan Liviawati (1995), rumput laut dapat tumbuh dengan baik pada perairan dengan kisaran suhu 20-33°C. Parameter kecerahan selama penelitian juga masih pada batas normal sesuai dengan pendapat Boyd, (1989) yang menyatakan bahwa kisaran kecerahan yang baik untuk pertumbuhan rumput laut Gracilaria sp. adalah pada kisaran 10–40 cm. Kisaran salinitas air tambak selama penelitian cukup lebar yakni 5,00–27,00 ppt, namun demikian rumput laut masih dapat tumbuh pada kisaran salinitas tersebut. Menurut Choi et al. (2006) G. verrucosa dapat tumbuh baik pada kisaran salinitas yang lebar yakni 5–35 ppt dan tumbuh optimum pada kisaran salinitas 15–25 ppt. Kadar nitrat yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,010,81 ppm. Unsur-unsur nutrien yang sangat penting bagi pertumbuhan alga adalah nitrat dan fosfat. Nitrat dianggap sebagai nutrien pembatas untuk pertumbuhan alga apabila jumlah kandungannya lebih sedikit dibanding dengan kandungan fosfat dalam perairan. Nitrat merupakan sumber nitrogen yang terbaik untuk pertumbuhan beberapa jenis alga laut. Kekurangan nitrat ditandai dengan pemudaran warna pada talus alga merah dari warna hijau menjadi agak keputih-putihan. Hasil pengukuran nitrat selama pemelihaaan rumput laut berkisar 0,01 – 0,81 ppm. Batas toleransi nitrat terendah untuk pertumbuhan alga adalah 0,1 mg/L, sedangkan batas tertingginya adalah 3 mg/L (Moore, 1991). Selain nitrat, fosfat juga merupakan faktor nutrien utama bagi kebutuhan alga. Fosfat merupakan senyawa yang terlarut dalam air atau perairan yang memiliki fungsi terhadap biota air misalnya pembentukan protein dan proses fotosintesis. Menurut Sadarang dan Thana (1995), perairan dikatakan subur bila kadar fosfatnya berkisar 0,06-10 mg/L. Amoniak merupakan senyawa produk utama nitrogen dalam perairan yang berasal dari organisme akuatik. Amoniak bersifat toksik sehingga dalam kosentrasi tinggi dapat meracuni organisme. Data amoniak yang diperoleh pada penelitian ini yaitu berkisar antara 0,04-0,16. Kisaran tersebut termaksud dalam katagori yang tinggi. Menurut Andarias (1992) bahwa kadar amoniak yang baik untuk kelangsungan hidup rumput laut adalah berkisar 0,01-0,03 ppm. Kesimpulan Bibit rumput laut dari sumber berbeda memiliki pertumbuhan yang tidak berbeda nyata (P>0,05), namun memiliki kandungan agar yang berbeda nyata (P<0,05). Rumput laut hasil kultur jaringan memiliki talus yang lebih kuat dengan percabangan yang lebih banyak. Daftar Pustaka Afrianto, E. & E. Liviawati. 1993, Budidaya rumput laut dan cara pengolahannya. Bhratara. Jakarta. Baweja, P., D. Sahoo, P.G. Jimenez, R.R. Robaina. 2009. Seaweed tissue culture as applied to biotechnology; problems, achievements and prospects. Phycological Research 57: 45-58. Bixler, H.J & H. Porse. 2011. A decade of change in the seaweed hydrocolloids industry. J. Appl Phycol. 23: 321-335.
Semnaskan_UGM / Rekayasa Budidaya (RB-19) - 303
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Boyd, C.E. 1990. Water quality in pond for aquaculture. Alabama Agriculture Experiment Station. Auburn University. Birmingham Publishing Co, Alabama. USA. Choi, H.G., Y.S. Kim, J.H. Kim, S.J. Lee, E.J. Park, J. Ryu & K.W. Nam. 2006. Effects of temperature and salinity on the growth of Gracilaria verrucosa and G. chorda, with the potential for mariculture in Korea. Journal of Applied Phycology 18: 269–277. Luning, K. & S. Pang. 2003. Mass cultivation of seaweed : current aspects and approaches. Journal of Applied Phycology 15 : 115-119. Marinho-Soriano, E. & E. Bourret. 2003. Effect of season on yield and quality of agar from Gracilaria species (Gracilariaceae, Rhodophyta). Bioresource Technology 90: 329-333. Mubarak, H., S. Ilyas, S. Ismail, S. T. Hartati, E. Pratiwi, jangkaru & R. Arifuddin. 1990. Petunjuk teknis budidaya rumput laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan perikanan.Jakarta, 93 pp. Moore, J.W. 1991. Inorganic contaminants of surface water research and monitoring priorities. Springer-Verlag. New York. 334 p. Nurdjana, M.L. 2006. Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia. Disampaikan pada Diseminasi Teknologi dan Temu Bisnis Pengembangan Budidaya Rumput Laut, 12 September 2006 di Makassar. 35 pp. Pong-Masak, P.R., A. Parenrengi, M. Tjaronge & Rusman. 2011. Protokol seleksi varietas bibit unggul rumput laut. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 27 hal. Reddy, C.R.K., B. Jha, Y. Fujita & M. Ohno. 2008. Seaweed micropropagation technique and their potentials : an overview. J. appl Phycol. 20 : 609-617. Rojas, J.O. & D. Robledo. 2002. Studies on the tropical agarophyte Gracilaria cornea J. Agardh (Rhodophyta, Gracilariales) from Yucatan, Mexico. II. Biomass Assessment and Reproductive Phenology. Botanica Marina (45) : 459-464. Rorrer, G.L. & Cheney, D.P. 2004. Bioprocess engineering of cell and tissue cultures for marine seaweed. Aquacultural Engineering 32 : 11-41. Sadarang, A. & D. Thana. 1995. Studi kualitas fisika-kimia dan biologi estuari sungai teko yang mendapat limbah pabrik gula arasoe bone untuk pengembangan budidaya pantai. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Studi Lingkungan Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Villanueva, R.D., A.M.M. Sousa, M.P. Goncalves, M. Nilsson & L. Hilliou. 2010. Production and properties of agar from the invasive marine alga, Gracilaria vermiculophylla (Gracilariales, Rhodophyta). J. Appl. Phycol 22: 211-220. Yokoya, N.S. & Valentin, Y.Y. 2011. Micropropagation as a tool for sustainable utilization and conservation of populations of Rhodophyta. Brazilian Journal of Pharmacognosy 21(2) : 334-339. Yunizal. 2002. Teknologi ekstraksi agar-agar dari rumput laut merah (Rhodophyceae). Jakarta: Pusat Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan.
304 - Semnaskan_UGM / Sri Redjeki Hesti Mulyaningrum, dkk
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Tanya Jawab 1. Penanya : Bambang Triyatmo Pertanyaan : Apakah sudah memenuhi standar kelayakan untuk LPHnya? Jawaban : Untuk LPH dari ketiga rumput laut dari sumber berbeda sudah baik, standar LPH yang baik > 3% hari. 2. Penanya : Ida Adha Anrosana P. Pertanyaan : Dari mana sal bibit kultur jaringan dan seleksi klon? Apa yang dimaksud performa bibit? Jawaban : Asal bibit kultur jaringan dari takalar dan seleksi klon dari palopo yang sudah diseleksi. Performa bibit yang dimaksud dalam makalah ini berkaitan dengan keragaan (penampakan) bibit rumput laut supaya ketika didistribusikan lebih tahan.
Semnaskan_UGM / Rekayasa Budidaya (RB-19) - 305