Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 KARAKTERISTIK TANAH SALIN DI TAMBAK KECAMATAN MAPPAKASUNGGU, KABUPATEN TAKALAR Kamariah*, Ruzkiah Asaf dan Mudian Paena Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros * e-mail:
[email protected]
Abstrak Tanah salin tergolong tanah bermasalah karena kebanyakan tanaman tidak dapat tumbuh sama sekali. Oleh karena itu, tanah ini berpeluang untuk dijadikan lahan budidaya, di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, digunakan sebagai tambak budidaya untuk produksi komoditas perikanan pantai seperti udang windu, bandeng dan rumput laut pada musim hujan dan sebagai tambak garam untuk produksi garam pada musim kemarau. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik tanah salin di tambak Kabupaten Takalar dalam upaya perbaikan untuk budidaya tambak yang berdaya guna dan berhasil guna. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada 20 titik. Dengan menggunakan Global Position System (GPS). Peubah kualitas tanah sebagian diukur langsung di lapangan dan sebagian lagi dianalisis di laboratorium. Hasil analisis menunjukkan bahwa, peubah kualitas tanah yang di ukur di lapangan yaitu pHF dan pHFOX diperoleh selisih pHF-pHFOX yang nilainya lebih besar dari 4. Tanah tambak di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan adalah jenis tanah salin dengan klasifikasi tanah bergaram banyak dengan nilai DHL dari tiga kedalaman lebih besar dari 15 mS/cm, dari hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tanah bersifat sangat masam sampai masam dengan nilai pHf rata-rata pada kedalaman 0-20 cm sebesar 7,24, kedalaman 20-40 cm sebesar 7,06 dan kedalaman 40-60 cm sebesar 7,08. Perbedaan nilai DHL dari setiap kedalaman disebabkan karena nilai pHFpHFOX cenderung meningkat. Penanganan setiap kelompok tanah dilakukan sesuai dengan karakter tanah yang telah diketahui karakteristiknya. Kata kunci: karakteristik, kecamatan Mappakasunggu, tambak, tanah salin Pengantar Tanah salin adalah tanah yang mempunyai kadar garam netral larut dalam air, kurang dari 15% KTK tanah ditempati oleh NK dan biasanya memiliki nilai pH kurang atau lebih. Tanah ini tergolong tanah bermasalah karena kebanyakan tanaman tidak dapat tumbuh sama sekali. Oleh karena itu, tanah ini berpeluang untuk dijadikan lahan budidaya, dan sering ditemukan pada daerah yang memiliki sumber air laut atau payau, seperti pada daerah di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Tambak yang dibangun di Kabupaten Takalar digunakan sebagai tambak budidaya untuk produksi komoditas perikanan pantai seperti udang windu, bandeng dan rumput laut pada musim hujan dan sebagai tambak garam untuk produksi garam pada musim kemarau. Kristal atau bunga garam umum dijumpai pada permukaan tanah salin-sodik, namun hanya pada musim kemarau (Buringh, 1979). Selain secara kimia yaitu kandungan garam yang tinggi pada tanah salin, secara fisik juga akan memunculkan masalah untuk budidaya tambak. Sebagai akibat dari konsentrasi natrium (Na) yang tinggi pada kompleks jerapan tanah, dapat menyebabkan rusaknya struktur tanah (Buringh, 1979). Akibat lebih lanjut agregat tanah yang merupakan daya kohesi internal tanah akan menjadi lemah sehingga tanah mudah hancur. Hal ini terlihat jelas pada tambak yang ada di Kabupaten Takalar yang pematangnya dipasangi bilah-bilah bambu untuk menahan pematang tambak. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik tanah salin di tambak Kecamatan Mappakasunggu Kabupaten Takalar dalam upaya perbaikan untuk budidaya tambak yang berdaya guna dan berhasil guna. Bahan dan Metode Pengambilan sampel tanah tambak dilakukan di Dusun Taipa, Desa Soreang, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan Februari tahun 2007. Semnaskan_UGM / Poster Rekayasa Budidaya (pRB-16) - 553
pRB-16
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Pengambilan sampel tanah dilakukan pada 20 titik. Penentuan titik dilakukan secara acak dimana titik yang diambil adalah bagian dasar tambak, bagian pematang tambak dan tanah asli yang belum terolah oleh pembudidaya. Titik –titik yang diambil adalah titik yang merupakan represantasi dari tambaktambak disekitarnya. Untuk pengambilan titik stasiun digunakan Global Position System (GPS). Sampel tanah diambil dengan menggunakan bor tanah pada kedalaman 0-20 cm, 20-40 cm dan 40-60 cm dari permukaan. Peubah kualitas tanah yang diukur langsung di lapangan adalah: pHF (pH yang diukur langsung di lapangan dalam kondisi tanah lembab dan segar dengan menggunakan pH-meter) (Ahern et al., 2004), pHFOX (pH yang di ukur di lapangan setelah tanah diberi hidrogen peroksida 30% yang juga diukur dengan pH-meter) (Ahern et al., 2004), potensial redoks dengan redox-meter. DHL (Daya Hantar Listrik) dengan menggunakan conductivity-meter dan warna tanah dengan menggunakan Munsell Soil Color Chart. Untuk peubah kualitas tanah lainnya, maka contoh tanah dimasukkan dalam cool box yang diberi es sesuai petunjuk Ahern et al. (2004). Sisa tumbuhan segar, kerikil, cangkang dan kotoran lainnya dibuang dan bongkahan besar dikecilkan dengan jari tangan. Selanjutnya di bawa ke laboratorium Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) di Kabupaten Maros. Sampel tanah diovenkan pada suhu 80-85oC selama 48 jam (Ahern et all., 2004) dan sampel tanah lainnya di keringkan dengan udara bebas (Sulaeman et al., 2005). Setelah kering, contoh tanah dihaluskan dengan cara ditumbuk pada lumpang porselin dan diayak dengan ayakan ukuran lubang 40 mesh kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik klip yang telah diberi label. Peubah kualitas tanah yang dianalisis di laboratorium meliputi pHKCl, pHOX, SKCl, SP, SPOS, TPA, TAA, TSA, karbon organik, pirit, Fe, Al, PO4, Ca, Mg, Na, dan KTK berdasarkan petunjuk Menon (1973), Ahern dan Rayment (1998), Ahern et al. (1998a, 1998b), Melville (1993) dan Sulaeman et al. (2005). Hasil dan Pembahasan Hasil analisis masing-masing tanah tambak untuk kedalaman 0-20 cm, 20-40 cm dan 40-60 cm, disajikan pada pada Tabel 1., Tabel 2. dan Tabel 3. Tabel 1. Hasil analisis tanah tambak pada kedalaman 0-20 cm. Parameter pHF Redox potential (mV) pHFOX pHF-pHFOX DHL (mS) pHKCl pHOX SKCl (%) SP (%) SPOS (%) TPA (mol H+/ton) TAA (mol H+/ton) TSA (mol H+/ton) OM (%) Pyrite (%) Fe (ppm) Al (ppm) PO4 (ppm) Ca (me/100gr) Mg (me/100gr) Na (me/100gr) CEC/KTK (me/100gr)
Rata-rata 7,24 -168 2,60 4,65 38,89 7,57 3,11 0,29 1,54 1,25 66,45 0,00 66,45 5,60 0,30 4,18 489,65 1,87 11,09 14,38 21,24 18,29
554 - Semnaskan_UGM / Kamariah, dkk
SD 0,25 140 1,86 1,90 17,45 0,25 1,45 0,09 0,64 0,64 51,74 0,00 51,74 3,50 0,23 3,57 211,52 1,51 3,95 5,59 10,46 4,82
Maksimum 7,60 92 6,16 6,88 72,60 7,86 6,79 0,46 2,66 2,48 194,00 0,00 194,00 12,16 0,87 11,14 936,50 7,63 19,34 23,55 47,02 26,39
Minimum 6,73 -428 0,46 0,86 4,60 6,97 1,66 0,12 0,38 0,26 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,15 70,50 0,59 5,65 3,64 3,97 10,86
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Tabel 2. Hasil analisis tanah tambak pada kedalaman 20-40 cm. Parameter Rata-rata SD pHF 7,06 0,24 Redox potential (mV) -163 123 pHFOX 1,64 1,41 pHF-pHFOX 5,42 1,41 DHL (mS) 52,78 22,13 pHKCl 6,99 0,97 pHOX 2,29 0,70 SKCl (%) 0,38 0,16 SP (%) 1,62 0,68 SPOS (%) 1,24 0,62 TPA (mol H+/ton) 105,20 65,38 TAA (mol H+/ton) 0,00 0,00 TSA (mol H+/ton) 105,20 65,38 OM (%) 8,60 8,13 Pyrite (%) 0,47 0,29 Fe (ppm) 6,17 3,52 Al (ppm) 590,03 220,78 PO4 (ppm) 1,42 0,90 Ca (me/100gr) 9,69 3,13 Mg (me/100gr) 14,01 3,91 Na (me/100gr) 21,99 8,07 CEC/KTK (me/100gr) 18,76 4,35
Maksimum 7,48 64 5,85 6,81 107,00 7,88 3,71 0,80 3,44 2,76 259,50 0,00 259,50 40,13 1,16 10,98 872,00 4,17 15,47 22,09 41,29 27,07
Minimum 6,53 -338 0,28 1,42 20,72 4,16 1,35 0,21 0,72 0,38 10,00 0,00 10,00 1,60 0,04 0,35 13,00 0,27 5,53 7,03 7,24 12,49
Tabel 3. Hasil analisis tanah tambak pada kedalaman 40-60 cm. Parameter Rata-rata SD pHF 7,08 0,28 Redox potential (mV) -173 95 pHFOX 1,26 1,05 pHF-pHFOX 5,82 1,12 DHL (mS) 52,34 18,69 pHKCl 7,08 0,93 pHOX 2,19 0,75 SKCl (%) 0,47 0,28 SP (%) 1,99 0,87 SPOS (%) 1,52 0,86 TPA (mol H+/ton) 127,05 91,73 TAA (mol H+/ton) 0,00 0,00 TSA (mol H+/ton) 127,05 91,73 OM (%) 7,12 4,26 Pyrite (%) 0,57 0,41 Fe (ppm) 6,97 3,87 Al (ppm) 616,00 153,44 PO4 (ppm) 1,45 1,12 Ca (me/100gr) 11,53 5,03 Mg (me/100gr) 14,34 7,08 Na (me/100gr) 23,90 12,73 CEC/KTK (me/100gr) 17,50 5,23
Maksimum 7,55 -19 5,12 6,82 101,90 7,95 3,88 1,29 3,58 3,38 378,00 0,00 378,00 16,28 1,69 11,27 806,00 4,06 22,42 28,20 54,02 26,91
Minimum 6,47 -332 0,26 1,70 16,46 4,84 1,21 0,20 0,81 0,12 10,00 0,00 10,00 0,19 0,04 0,21 244,00 0,07 5,29 6,65 7,52 11,34
Semnaskan_UGM / Poster Rekayasa Budidaya (pRB-16) - 555
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Dari Tabel 1,2 dan 3 terlihat bahwa dari peubah kualitas tanah yang diukur di lapangan yaitu pHF dan pHFOX , pHf adalah pH tanah yang diukur di lapangan dalam kondisi tanah jenuh dengan air, sedangkan pHFOX adalah pH tanah yang diukur di lapangan setelah dioksidasi sempurna dengan H2O2 (hidrogen peroksida) 30% (Ahern dan Rayment, 1998). pHF tanah relatif sama pada kedalaman tanah yang berbeda, sedangkan pHFOX lebih tinggi pada kedalaman 0-20 cm daripada kedalaman 2040 cm dan kedalaman 40-60 cm. Sebagai akibat pHF yang relatif sama dan pHFOX yang lebih tinggi pada kedalaman 0-20 cm, mengakibatkan pHF-pHFOX lebih rendah pada kedalaman 0-20 cm yang bearti potensi kemasaman pada kedalaman 0-20 cm lebih rendah daripada kedalaman 20-40 cm dan kedalaman 40-60 cm. Rendahnya potensi kemasaman pada kedalaman 0-20 cm sebagai akibat proses remediasi yang berjalan secara alami untuk waktu yang cukup lama. Potensi kemasaman yang rendah pada kedalaman 0-20 cm juga diduga sebagai akibat pemberian kapur oleh pembudidaya tambak pada setiap persiapan tambak. Dari Tabel 1, 2, dan 3 terlihat bahwa jenis tanah yang ditemukan, merupakan jenis tanah bertekstur lempung liat berpasir sampai liat. Karakteristik Tanah Salin mempunyai pH tanah = 8,5 atau lebih rendah. Tanah-tanah salin dapat memiliki pH tanah = 10, tetapi beberapa tanah ini dapat bereaksi netral, sedang yang lain bereaksi masam. Untuk membedakan tanah-tanah salin dari jenis tanah yang lain, laboratorium salinitas mengusulkan, garam terlarut dari kadar Na+ tertukarkan sebagai kriteria. Parameter-parameter tersebut dinyatakan dalam bentuk (1) daya hantar listrik (DHL) bagi kadar garam dan (2) persentase natrium dapat ditukar (PNT) bagi kadar Na+ tertukarkan. Salinitas tanah ditetapkan dengan mengukur DHL dalam mmho/ cm pada ekstrak jenuh tanah. Yang tersebut terakhir ini diperoleh dari penghisapan dan penyaringan pasta jenuh-air. BD dari tanah mempengaruhi terhadap porositas tanah, yaitu apabila berat jenis (BD) rendah porositasnya tinggi, dan apabila BD tinggi porositasnya rendah (Hasibuan, 2008). Berdasarkan nilai PNT dan DHL dikenal tiga kelompok tanah yaitu : (1) tanah salin, (2) tanah salin-alkali, dan (3) tanah bukan salin alkali (sodik). Tanah salin dicirikan oleh DHL > 4 mmho/cm pada 25 oC, dan PNT < pnt =” 15%.”> 4 mmho/cm pada 25oC, dan PNT > 15%. Jenis tanah ini mempunyai garam bebas dan Na+ yang dipertukarkan. Selama garam ada dalam jumlah berlebih, tanah-tanah tersebut akan terflokulasi dan pH nya biasanya ≤8,5, jika tanah ini memiliki kadar kadar garam bebas menurun dan reaksi tanah dapat menjadi sangat alkalin (pH> 8,5) akibat berhidrolisis Na+ yang dapat dipertukarkan. Dari data tersebut diatas dapat terlihat bahwa nilai PNT > 15% yang berarti tanah tambak di Kabupaten Takalar adalah tergolong dalam kelompok tanah salin. Tanah bukan salin-alkali dicirikan oleh DHL 15%. Kebanyakan dari Na+ nya ada dalam bentuk dipertukarkan dan hanya sejumlah kecil dari garam bebasnya terdapat dalam larutan tanah. Nilai pH tanah berkisar dari 8,5 hingga 10,0. Sebagai akibat adanya saluran atau irigasi, kondisi akan sangat alkalin dapat terbentuk pada tanah dan pH tanah dapat setinggi 10 merupakan hal yang umum (Sipayung, 2008). Aswidinnoor et al. (2008) menyatakan bahwa tanah salin adalah tanah pasang surut yang mendapat pengaruh atau intrusi air asin lebih dari tiga bulan dalam setahun dengan kandungan Na dalam larutan tanah > 8 %. Menurut Bernstein dalam Suwarno (1985) tanah salin adalah tanah yang mengandung garam-garam yang dapat larut lebih dari 0.1 % atau berdaya hantar listrik lebih dari 4 mmhos/cm atau sekitar 2560 ppm. Menurut Notohadiprawiro (1998) daya tanah menghantarkan listrik (electric conductivity) dapat digunakan untuk menaksir kadar garam terlarut tanah. Nilai electric conductivity dinyatakan dengan satuan mS/cm. Poerwowidodo (2002) mengklasifikasikan tanah berkadar garam kedalam lima kelas yaitu kelas bebas garam (0-2 mS/cm), agak bergaram (2-4 mS/ cm), bergaram cukup (4-8 mS/cm), bergaram agak banyak (8-15 mS/cm) dan bergaram banyak (>15 mS/cm). Dari hasil analisis laboratorium menunjukkan nilai DHL yang melebihi 15 ms/cm, menunjukkan bahwa tanah tambak di Kecamatan Mappakasunggu Kabupaten Takalar termasuk dalam klasifikasi tanah berkadar garam banyak. Daya hantar listrik pada setiap kedalaman cenderung meningkat dengan peningkatan kedalaman. Naiknya nilai DHL karena adanya mobilisasi Fe2+ dan Mn2+, pembentukan NH4+, HCO3-, dan RCOO- penggantian kation-kation dalam koloid oleh Fe2+, Mn2+, dan NH4+ Turunnya nilai DHL karena pengendapan Fe3+ sebagai Fe3(OH)8 dan FeS, pengendapan Mn sebagai MnCO3, kehilangan CO2, dan konversi RCOO- menjadi CH4. Pada tanah tergenang yang normal, nilai DHL tertinggi antara 2-4 dS/m, tetapi pada tanah pasir yang kaya bahan organik dan tanah sulfat masam dapat mencapai >4 dS/m. Peningkatan nilai DHL karena dari hasil pengukuran dan analisis kandungan pHF-pHFOX tanah tambak di Kecamatan Mappakasunggu Kabupaten Takalar cenderung meningkat dari 556 - Semnaskan_UGM / Kamariah, dkk
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 setiap kedalaman. Kation yang digantikan oleh Fe2+, Mn2+, dan NH4 dalam keadaan reduksi dapat hilang bersama air perkolasi. Pada keadaan kering oksidasi Fe2+ dan NH4 dapat mengasamkan tanah (Hardjowigeno dan Rayes, 2005). Menurut Aswidinnoor et al. (2008) pada umumnya salah satu penyebab salinitas di Indonesia ialah pasang surut air laut yang menimpa daerah pantai dan adanya instrusi (perembesan) air laut terutama di dataran rendah dan di daerah pesisir. Santoso (1993) menyatakan bahwa pada wilayah kering, lahan yang berdrainase buruk dan evaporasi yang lebih tinggi dari pada jumlah hujan akan menyebabkan garam-garam yang dapat larut dan Na yang dapat ditukar terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi apabila letak air tanah berada pada tingkat yang tinggi atau dekat permukaan tanah. Menurut Darmawijaya (1990) evaporasi selama musim kering membawa garam ke permukaan tanah dan terakumulasi pada wilayah tersebut sebagai garam biasa atau berupa kerak. Senyawa garam yang dominan pada tanah salin di daerah pantai adalah Natrium Klorida (NaCl). Untuk setiap kelompok tanah yaitu salin, salin-alkali, dan sodik memiliki penanganan yang berbeda untuk setiap karakter tanah. Secara umum penanganan untuk mengurangi garam dilakukan dengan menambahkan amandemen, garam pencucian dengan air bersih, dan teknik Irigasi. Kesimpulan dan Saran Karakteristik tanah salin di tambak Kecamatan Mappakasunggu Kabupaten Takalar adalah tanah salin dengan klasifikasi tanah berkadar garam banyak yang ditunjukkan dengan nilai DHL melebihi 15 ms/cm. Perbedaan nilai DHL dari setiap kedalaman disebabkan karena nilai pHF-pHFOX cenderung meningkat. Penanganan untuk setiap jenis tanah salin dilakukan dengan melihat jenis tanah salin yang dikandung dari setiap tambak yang ditemukan. Daftar Pustaka Ahern, C.R. & B. Blunden. 1998. Designing a soil sampling and analysis program. In: Ahern, C.R., Blunden, B. and Stone, Y. (eds.), Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW. p. 2.1-2.6. Ahern, C.R. & McElnea, A.E. 2004. Calculated sulfur parameters. In: Acid Sulfate Soils Laboratory Methods Guidelines. Queensland Department of Natural Resources, Mines and Energy, Indooroopilly, Queensland, Australia. pp. B11-1-B11-2. Ahern, C.R., A. McElnea & D.E. Baker. 1998a. Peroxide oxidation combined acidity and sulfate. In: Ahern, C.R., Blunden, B. and Stone, Y. (eds.), acid sulfate soils laboratory methods guidelines. Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW. p. 4.1-4.17. _______. 1998b. Total oxidisable sulfur. In: Ahern, C.R., Blunden, B. and Stone, Y. (eds.), Acid sulfate soils laboratory methods guidelines. Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW. p. 5.1-5.7. Ahern, C.R. & Rayment, G.E. 1998. Codes for acid sulfate soils analytical methods. In: Ahern, C.R., Blunden, B. and Stone, Y. (eds.), acid sulfate soils laboratory methods guidelines. Acid Sulfate Soil Management Advisory Committee, Wollongbar, NSW. p. 3.1-3.5. Aswidinnoor, H., M. Sabran, Masganti, Susilawati. 2008. Perakitan varietas unggul padi tipe baru dan padi tipe baru-ratun spesifik lahan pasang surut kalimantan untuk mendukung teknologi budidaya dua kali panen setahun. Laporan Hasil Penelitian KKP3T. Institut Pertanian Bogor. Bouyoucos, C.J. 1962. Hydrometer method improved for making particle size analysis of soils. Agronomy Journal 54 : 464-465.
Semnaskan_UGM / Poster Rekayasa Budidaya (pRB-16) - 557
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014 Boyd, C.E., C.W. Wood & Thunjai, T. 2002. Aquaculture pond bottom soil quality management. Pond Dynamics/Aquaculture Collaborative Research Support Program Oregon State University, Corvallis, Oregon. 41 pp. Buringh, P. 1979. Introduction to the study of soils in tropical and subtropical regions. Centre for Agricultural Publishing and Documentation. Wageningen. 124 h. Darmawijaya, Mohamad Isa. 1990. Klasifikasi tanah : dasar teori bagi penelitian tanah dan pelaksana pertanian di Indonesia. Gadjah Mada Universitu Press : Yogyakarta. FAO (Food and Agriculture Organization). 1985. Guidelines: land evaluation for irrigated agriculture. In: FAO Soil Bulletin 55. Soil Resources Management and Conservation Service and Water Development Division, FAO, Rome. 231 pp. Hossain, M.s. & Das, N.G. 2010. GIS-based multi-criteria evaluation to land suitability modelling for giant prawn (Macrobrachium rosenbergii) farming in Companigonj Upazila of Noakhali, Bangladesh. Computers and Electronics in Agriculture 70 (1) : 172-186. Melville, M.D. 1993. Soil laboratory manual. School of Geography, The University of New South Wales, Sydney. 74 pp. Menon, R.G. 1973. Soil and water analysis: a laboratory manual for the analysis of soil and water. Proyek Survey O.K.T. Sumatera Selatan, Palembang. 190 pp. Notohadiprawiro. T. 1998. Tanah dan lingkungan. Direktorat Jendral Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Santoso, B. 1993. Tanah salin tanah sodik dan cara mereklamasinya. Yayasan Fakultas Pertanian Jurusan Ilmu Tanah Universitas Brawijaya, Malang. Sipayung, R. 2008. Stres garam dan mekanisme toleransi tanaman. USU Press, Medan. Sulaeman, Suparto & Eviati. 2005. Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air, dan pupuk. Diedit oleh: Prasetyo, B.H., D. Santoso dan L.R. Widowati. Balai Penelitian Tanah, Bogor. 136 hlm. Suwarno, 1985. Inheritance and physiology of salinity tolerance characteristic in rice plant. Dissertation of Graduate School, IPB, Bogor. 87 h
558 - Semnaskan_UGM / Kamariah, dkk