SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan UPAYA MEMPERTAHANKAN KESEGARAN IKAN SELAR BENTONG (Selar boops) DENGAN PENAMBAHAN KHITOSAN PASCA-PENANGKAPAN DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH1 2
3
3
3
4
Nurjanah , Kustiariyah , Asadatun Abdullah , M Zaenal Mustopa dan Sandra Olivia Tilaar
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menelaah cara penanganan ikan selar bentong (Selar boops) di atas kapal dan saat pembongkaran, menentukan tingkatan mutu ikan yang diberikan perlakuan kitosan dan es. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Titik pengamatan dilakukan pada B1 baru ditangkap, B2 penyimpanan 1 hari, B3 penyimpanan 3 hari saat pembongkaran, dan B4 penyimpanan 2 minggu dalam freezer. Perlakuan es saja A1, es ditambah larutan khitosan 0,25% A2, dan larutan khitosan 0,25% tanpa es A3. Berdasarkan hasil uji organoleptik, ikan masih segar pada tahap B3 untuk perlakuan A1 dan A2 dengan nilai 7,00 dan 6,89, sedang untuk perlakuan A3 ikan sudah mengalami kemunduran mutu dengan nilai 2,57. Hasil uji TPC, pH dan TVB, A1 dan A2 tidak melebihi batas maksimum SNI. nilai rata-rata TVB perlakuan A1 dan A2, tidak melebihi batas maksimum sebesar 30 mg N/100g maka ikan masih dalam keadaan segar. Perlakuan A3, nilai rata-rata TVB-nya sebesar 120,07 mg N/100g, dan melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan maka ikan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi; nilai rata-rata pH pada perlakuan A1 dan A2 sebesar 6,78 dan 6,31 mendekati netral hal ini diduga peristiwa glikolisis baru saja berlangsung dan kemungkinan asam laktat yang terbentuk masih sedikit dan ikan masih dalam keadaan rigor mortis. Pada perlakuan A3 nilai ratarata pH-nya sebesar 7,15. Panjang total rata-rata 23,08 cm, panjang cagak 21,58 cm dan panjang baku 20,55 cm, serta berat rata-rata136 g. Rendemen tertinggi terdapat pada daging dan kulit yaitu 51%. Kata kunci: kitosan, rigor mortis, Selar boops Pendahuluan Ikan pelagis merupakan bahan pangan potensial untuk dikembangkan lebih lanjut karena kandungan gizinya yang besar dan harganya yang relatif murah, sehingga diharapkan dengan mengkonsumsi ikan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani dan omega 3 yang dapat menyehatkan, namun pada kenyataannya ikan yang diharapkan untuk memenuhi kebutuhan protein dan omega 3 tidak semudah apa yang diharapkan karena mutu ikan yang didaratkan tidak layak. Ikan yang didaratkan dalam keadaan post rigor (busuk). Celakanya para nelayan dan penjual berusaha mengatasi masalah ini dengan cara pemberian formalin yang jelasjelas bertentangan dengan cara penanganan yang yang baik. Formalin atau formaldehida adalah bentuk aldehid yang paling sederhana (H CO). Formalin 2
mudah larut dalam air sampai kadar 55% sangat reaktif dalam suasana alkalis serta bersifat sebagai zat pereduksi yang kuat, mudah menguap pada suhu ruang karena titik didihnya yang o
rendah, yaitu 20 C. Formalin biasa digunakan sebagai bahan antiseptik untuk membunuh bakteri dan kapang, terutama untuk mensterilkan peralatan kedokteran desinfektan untuk pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian, sebagai pembasmi lalat dan serangga lainnya dan mengawetkan spesimen biologi termasuk mayat dan kulit. Formalin merupakan pengawet yang biasa dipakai untuk keperluan non pangan, akan tetapi sekarang penggunaannya sampai pada produk pangan. Formalin memang terbukti mampu memperpanjang umur simpan suatu produk. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa formalin tergolong karsinogen, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan timbulnya kanker (Olson, 1999 diacu dalam Syirwan, 2005). Padahal sudah menjadi kesepakatan umum di kalangan para ahli pangan bahwa semua bahan yang terbukti bersifat karsinogenik tidak boleh dipergunakan dalam makanan maupun minuman. Berdasarkan Permenkes No.1168/Menkes/Per/X/1999 tentang bahan tambahan makanan, formalin dilarang pemakaiannya dalam makanan. Akan tetapi formalin sering disalahgunakan sebagai pengawet pada makanan walaupun sudah dilarang digunakan sebagai bahan tambahan makanan (Kusumobroto et al. 2002 diacu dalam Syirwan, 2005). 1
Dipresentasikan pada Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2010 di Sekolah Tinggi Perikanan, Desember 2010 2 Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB 3 Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Samawa Sumbawa Besar, NTB 4 Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas Sam Ratulangi
2–3
348
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan Supaya para nelayan dan penjual ikan segar tidak menggunakan formalin perlu dilakukan penyuluhan tentang bahaya penggunaan formalin pada makanan serta cara penanganan ikan segar yang baik, yaitu penanganan menggunakan es (rantai dingin). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai penanganan dan upaya mempertahankan mutu ikan yang baik di atas kapal sampai distribusi ketangan konsumen. Penelitian ini dilaksanakan karena buruknya mutu ikan yang dijual di pasar yang disebabkan penerapan rantai dingin (cold chain) yang kurang baik selama proses penanganan di atas kapal sampai pembongkaran. Ikan yang diteliti adalah ikan selar bentong (Selar boops) karena ikan ini dominan didaratkan di PPN Pekalongan. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan tingkatan mutu ikan Selar boops selama penanganan mulai dari atas kapal, saat pembongkaran, sampai penyimpanan dengan perlakuan es dan kitosan. Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret–Mei 2006 di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan (PPNP) dan Laboratorium Pengujian dan Pengawasan Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Kotamadya Pekalongan, Jawa Tengah serta Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan dan Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium Kimia Pangan, PAU-IPB. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain inkubator, autoclave, pH-meter, homogenizer, timbangan analitik, pisau, pinset, pipet, tabung reaksi, cawan petri, erlenmeyer, cawan porselin, cawan conway, mortar, gelas piala, styrofoam/coolbox, baskom, talenan, plastik ukuran ½ kg, penggaris, stopwatch dan pemanas listrik. Bahan utama yang digunakan adalah ikan Selar Bentong (Selar boops) ukuran tangkap, sedangkan bahan lainnya adalah es batu, alkohol, HCl, TCA 7%, asam borat, K 2CO3, asam asetat 1% dan kitosan komersil. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan karena buruknya mutu ikan yang dijual di pasar yang disebabkan penerapan rantai dingin (cold chain) yang kurang baik selama proses penanganan di atas kapal sampai pembongkaran. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan dengan cara observasi dan wawancara secara langsung untuk mengetahui keadaan PPN Pekalongan dan menentukan titik pengamatan dari penanganan pasca-panen selama di atas kapal serta selama proses penyimpanan. Penelitian Utama Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan diperoleh mata rantai penanganan yang merupakan titik pengamatan yang dapat mengakibatkan penurunan mutu hasil tangkapan yaitu (B1) titik awal perlakuan/ikan baru ditangkap, (B2) ikan yang telah diberi perlakuan penyimpanan selama 1 hari, dan (B3) ikan yang telah diberi perlakuan penyimpanan selama 3 hari atau pada saat pembongkaran, (B4) ikan mengalami proses penyimpanan 2 minggu dalam freezer. Ikan yang diteliti adalah ikan selar bentong (Selar boops) karena ikan ini sering didaratkan di PPN Pekalongan. Selain menggunakan es untuk penanganannya, dalam penelitian ini menggunakan larutan kitosan 0,25% sehingga terdapat beberapa perlakuan antara lain dengan pengesan saja (A1), es ditambah larutan kitosan 0,25% (A2), dan larutan kitosan 0,25% tanpa menggunakan es (A3). Pada A2 dan A3 ikan dimasukkan dalam styrofoam yang telah berisi larutan kitosan 0,25% kemudian disimpan dalam palka, diusahakan semua ikan terendam oleh larutan kitosan. Ikan yang digunakan dalam perlakuan ini adalah 30 ekor sedangkan es yang ditambahkan adalah ½ nya, sehingga perbandingannya adalah 2: 1 dan larutan khitosan 0,25%.
349
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan Pengukuran panjang dan berat ikan Ikan diambil sebanyak 30 ekor, kemudian diukur panjangnya mulai dari panjang baku, panjang cagak dan panjang total. Penentuan berat dilakukan dengan cara menimbang ikan sebanyak 30 ekor. Penimbangan rendemen ikan Bagian-bagian ikan yang terdiri atas kulit dan daging, jeroan, gonad, kepala, sirip serta tulang ditimbang. Jumlah pada bagian-bagian tersebut dibagi dengan jumlah total berat ikan yang diamati, lalu dikalikan 100% maka akan diketahui persentase pada bagian-bagian tersebut. Organoleptik (BBPMHP, 1993) Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk mengukur daya penerimaannya terhadap ikan sampel. Pada pengujian organoleptik ikan segar (SNI 01-2345-1991), sasaran alat indera ini adalah konsistensi, penampakan mata, insang, keadaan isi perut serta daging ikan. Metode yang digunakan dalam pengujian organoleptik adalah scoring test yaitu menggunakan skala angka. Skala angka terdiri atas angka 1-9 dengan spesifikasi untuk tiap angka yang dapat memberikan pengertian tertentu bagi panelis. Uji TPC (Total Plate count) (Fardiaz, 1987) Prosedur analisis TPC adalah sebagai berikut: media agar dibuat dengan mencampurkan 23,5 g Plate Count Agar ke dalam 1 liter akuades dalam gelas piala. Larutan yang terbentuk dipanaskan sambil diaduk hingga mendidih sehingga semua agar terlarut. Sterilisasi dilakukan terhadap larutan agar beserta peralatan lainnya yang akan digunakan, seperti pipet, cawan petri, dan larutan pengencer dalam autoclave selama 1 jam. Larutan agar disimpan dalam penangas air o
bersuhu 45 C. Pembuatan larutan pengencer dilakukan dengan cara mencampurkan 1g bakto pepton ke dalam 1 liter akuades. Pengadukan dilakukan sampai bakto pepton terlarut dalam akuades. Larutan pengencer tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 9 ml tiap tabung reaksi untuk pengenceran. Larutan pengencer disterilisasi bersama peralatan lainnya dalam autoclave. Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan 25 gram bahan (ikan) yang dihomogenkan menggunakan blender, bersama larutan pengencer sebanyak 225 ml sampai larutan menjadi homogen. Pengenceran dilakukan dengan cara mengambil satu ml larutan contoh yang sudah homogen dengan pipet steril, lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml -1
larutan pengencer steril sehingga terbentuk pengenceran 10 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen. Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian. Masing-masing tabung pengenceran dipipet sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar ditambahkan ke dalam setiap cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai merata (metode tuang). Cawan petri (agar sudah beku) o
diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 35 C. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik dan pengamatan dilakukan secara duplo untuk meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni mikroba dalam cawan dihitung dengan pemilihan cawan petri yang mempunyai koloni antara 30 – 300 koloni. Analisis proksimat ( AOAC, 1984) Analisis proksimat digunakan untuk menentukan kadar air, protein, lemak, dan kadar abu total. TVB (AOAC, 1984) Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (ammonia; mono-, tri-metilamin; dan lain-lain) yang terdapat dalam ekstrak daging ikan yang bersifat basa pada suhu kamar selama semalam. Senyawa-senyawa tersebut diikat oleh asam borat kemudian dititrasi dengan HCl. Sebanyak 25 g sampel ikan yang sudah digiling dan 75 ml larutan TCA 7% (w/v) dicampur dan dihomogenkan dengan blender selama 1 menit. Larutan tadi disaring dengan kertas saring sehingga diperoleh filtrat yang jernih. Larutan asam borat sebanyak 1 ml dituangkan ke dalam inner chamber cawan conway. Filtrat dimasukkan ke dalam outer chamber sebanyak 1 ml dari arah yang berlawanan sehingga kedua macam larutan belum tercampur. Tutup cawan yang diletakkan di atas cawan dengan posisi hampir tertutup, kemudian 1 ml K CO jenuh dituangkan ke dalam outer chamber. Setelah itu cawan langsung ditutup dengan 2
3
350
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan rapat yang sebelumnya bibir cawan maupun tutup cawan diolesi dengan vaselin. Pada cawan blanko, filtrat sampel diganti dengan larutan TCA 5% dan dikerjakan seperti prosedur di atas. Untuk setiap sampel dan blanko dikerjakan secara duplo. Cawan conway disusun pada rak inkubator secara hati-hati, kemudian digoyang perlahan-lahan selama 1 menit. Selanjutnya o
diinkubasikan selama 2 jam pada suhu 35 C atau disimpan pada suhu kamar selama semalam. Larutan asam borat dan inner chamber dititrasi dengan larutan N/70 HCl menggunakan magnetic stirer sehingga larutan asam borat berubah menjadi merah muda. Pengukuran pH (AOAC, 1984) Penetapan pH dapat dilakukan setelah pH-meter dikalibrasi terlebih dahulu. Setelah sampel disiapkan, suhunya diukur kemudian pengatur suhu pH-meter ditetapkan pada suhu terebut. Stabilisasi pH-meter dilakukan selama 15–30 menit. Setelah itu elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Kemudian elektroda dicelupkan ke dalam larutan sampel dan pengukuran pH dapat dimulai. Elektroda dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang stabil, kemudian pH sampel dapat dicatat. Pengolahan Data Pengolahan data yang diperoleh menggunakan software Microsoft Excel untuk mencari nilai rata-rata standar deviasi serta membuat grafik. Analisis data yang diperoleh dilakukan secara deskriptif. Uji Korelasi Data yang didapat dianalisis dengan persamaan regresi dan korelasi kemudian dibuat grafik hubungan antara nilai rata-rata organoleptik dengan nilai TPC. Hasil dan Pembahasan Hasil Organoleptik Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai rata-rata organoileptik B1, B2, dan B3, pada perlakuan A1, sebesar 8,65; 7,38; dan 7,00, pada perlakuan A2 sebesar 8,65; 7,39; 6,89, pada perlakuan A3 sebesar 8,65; 2,96; 2,57, hasil lengkapnya disajikan pada Tabel 1 Tabel 1 Nilai rata-rata mutu organoleptik ikan selar bentong pada setiap mata rantai penanganan Tahapan proses penanganan/Titik Perlakuan penanganan A1 A2 A3 B1 8,56 + 0,14 8,56 + 0,14 8,56 + 0,14 B2 7,38 + 0,35 7,39 + 0,28 2,96 + 1,09 B3 7,00 + 0,23 6,89 + 0,83 2,57 + 0,81 Penanganan ikan segar berperan sangat penting, tujuan utama dari penanganan adalah mengusahakan agar kesegaran ikan setelah ditangkap dapat dipertahankan selama mungkin (Irawan, 1997). Penanganan di atas kapal dimulai dari ikan yang baru saja ditangkap kemudian dimasukkan dalam palka kapal. Kondisi ikan tertangkap saling bertumpukan dan menggelepar terperangkap dalam jaring. Ikan yang tertangkap ada yang sudah mati dan penuh luka tetapi banyak juga ikan yang masih hidup dan utuh. Jika ikan tersebut tidak dilakukan penanganan dengan baik serta memperhatikan prinsip penanganan yaitu dingin, cepat dan bersih, maka proses kemunduran mutu akan berlangsung dengan cepat. Pada prinsipnya es yang ditambahkan harus o
dapat menurunkan suhu ikan sampai 0 C, kemudian mempertahankan suhu tersebut selama penyimpanan (Hadiwiyoto, 1993). Perbandingan es dan ikan yang baik untuk memperpanjang kesegaran ikan adalah 1:1 (Moeljanto, 1992). Untuk menghindari kerusakan, tinggi tumpukan ikan dan es sebaiknya tidak boleh melebihi 50 cm untuk menghindari kerusakan hasil tangkapan (FAO, 1992b). Cara penumpukan ikan ini penting karena berperan dalam memelihara mutu ikan yang berkaitan dengan kerusakan fisik dan pemerataan penggunaan es (Murniyati dan Sunarman, 2000). Parameter atau kriteria untuk menentukan kesegaran ikan dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan metode organoleptik. Organoleptik adalah cara penilaian hanya mempergunakan indera manusia (sensorik). Penentuan secara organoleptik adalah dengan melihat penampakan luar, kelenturan daging ikan, keadaan mata, warna insang, lendir permukaan badan dan bau ikan. Penetapan kemunduran mutu ikan secara organoleptik dapat dilakukan menggunakan score sheet yang telah dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional dengan SNI351
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan 01-2345-1991. Persentase penurunan mutu organoleptik ikan selar bentong yang diteliti pada setiap titik disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase penurunan mutu organoleptik ikan selar bentong pada setiap mata rantai penanganan Tahapan Perlakuan proses penanganan A1 A2 A3 B1 – B2 14,68 % 14,57 % 65,78 % B2 – B3 5,15 % 6,77 % 13,18 % Jumlah % 19,83 % 21,34 % 78,96 % penurunan mutu Susut pasca panen perikanan (postharvest fishery losses) mencakup pengertian kehilangan/kerugian nutrisi dan atau ekonomis yang terjadi pada ikan sejak tahap paling awal, yaitu saat ikan baru diangkat dari perairan. Penanganan tahap awal merupakan penentu bagi mutu dan daya simpan ikan. Susut hasil (product loss) perikanan Indonesia, yang berlangsung baik di lokasi-lokasi penangkapan maupun di tempat pendaratan tidak dapat diabaikan karena diperkirakan cukup besar kontribusinya terhadap kegagalan manajemen perikanan (Morissey, 1998). Khusus tentang susut hasil yang diakibatkan oleh penanganan yang kurang baik, informasi dari tempat-tempat pendaratan ikan oleh kapal purse seine berdurasi melaut sedang sekitar 4-7 hari dan sekitar 25 hari menyatakan bahwa susut hasil mencapai kisaran 29% (Purnomo et al, 2002). Tabel 2 menunjukkan bahwa penanganan yang menggunakan es baik pada perlakuan pengesan (A1) dan es ditambah larutan kitosan 0,25% (A2), nilai penurunan mutunya kurang dari 29% maka penggunaan es sangat baik dalam mempertahankan mutu dibandingkan dengan tanpa es pada perlakuan larutan kitosan 0,25% tanpa diberi es (A3). Tahapan awal penanganan memang menjadi penentu bagi mutu dan daya simpan, ini terbukti bahwa pada tahapan awal penanganan persentase susutnya sangat besar dari berbagai perlakuan tetapi tingkat susut yang paling besar terjadi pada perlakuan penanganan yang tidak menggunakan es atau hanya menggunakan larutan kitosan 0,25%, yaitu sebesar 65,78%. Kemunduran mutu yang paling tinggi terdapat pada perlakuan menggunakan A3 dengan kisaran 13,18% sampai 78,96%. Hasil TPC Ikan mengandung bakteri cukup banyak yang berkonsentrasi pada permukaan kulit, insang dan saluran pencernaan. Untuk pengujian kesegaran ikan secara mikrobiologis dilakukan dengan metode TPC, yaitu menghitung jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada medium agar dan diinkubasi selama 24-48 jam. Metode hitung cawan didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang hidup akan berkembang menjadi satu koloni. Jadi jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah organisme yang dapat hidup dan terkandung dalam sampel (Hadiwiyoto, 1993). Nilai rata-rata TPC ikan selar bentong (Selar boops) pada beberapa tahapan proses serta dengan perlakuan yang berbeda disajikan pada Tabel 3. 5
Tabel 3 menunjukkan bahwa TPC ikan selar bentong pada perlakuan pengesan (A1) 3,0x10 koloni/g. Ini berarti ikan yang diberi es mempunyai jumlah bakteri yang lebih rendah dari standar 5
maksimum yaitu 5x10 koloni/g yang ditetapkan oleh SNI. Perlakuan es ditambah larutan kitosan 5
0,25% (A2) 2,3x10 koloni/g serta tidak melebihi standar SNI. Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa ada penurunan jumlah bakteri pada perlakuan A2B3. Ini membuktikan bahwa salah satu fungsi khitosan adalah menghambat pertumbuhan mikroba karena khitosan dapat berikatan dengan protein membran sel, diantaranya dengan glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membran, khitosan berikatan pula dengan membran fosfolipid terutama fosfatidil kolin sehingga meningkatkan permeabilitas inner membran yang terjadi pada mudahnya cairan sel keluar kondisi ini dikenal dengan lisis. (Simpson, 1997). Adanya penghambatan tersebut dapat juga disebabkan oleh adanya peningkatan keelektronegatifan permukaan sel seiring dengan peningkatan umur sel, yaitu sampai pertumbuhan lambat, namun keelektronegatifan akan menurun setelah bakteri mencapai fase stasioner (Tsai dan Su, 1999).
352
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan Tabel 3 Nilai rata-rata TPC ikan selar bentong pada beberapa tahapan proses Perlakuan A1 A2 A3 Tahap Rata-rata Rata-rata Rata-rata penanganan Rata-rata Rata-rata Rata-rata TPC TPC TPC log TPC log TPC log TPC (koloni/g) (koloni/g) (koloni/g) 4 4 4 B1 4,0414 4,0414 4,0414 1,1 x 10 1,1 x 10 1,1 x 10 B2 B3 B4
4
2,2 x 10 4
3,6 x 10 5
3,0 x 10
4
4,3424
5,3 x 10 3
4,5563
8,0 x 10 5
5,4771
2,3 x 10
4,7243 3,9031 5,3617
5
5,9 x 10 5
2,0 x 10 5
9,4 x 10
5,7709 5,3010 5,9731
Penurunan jumlah mikroba karena disebabkan oleh lapisan tipis atau edibel coating yang melapisi seluruh permukaan ikan dan menghambat masuknya O dan air melalui permukaan tubuh 2
ikan sehingga mikroba sulit untuk berkembang (Allan dan Hadwiger, 1979 diacu dalam El Ghaouth et al., 1991). Namun pada A2B4 jumlah mikroba bertambah, ini disebabkan proses thawing yang tidak baik dan alat-alat yang digunakan untuk thawing kurang bersih sehingga banyak kontaminasinya serta keelektronegatifan permukaan sel yang disebabkan oleh khitosan menurun maka bakteri akan mengalami peningkatan kembali. Sementara itu peningkatan aktivitas antibakteri pada pH asam disebabkan karena grup amin pada posisi C2 (glukosamin akan diprotonasi) kondisi ini akan menghasilkan interaksi yang disukai dengan residu negatif pada +
permukaan sel. Adanya ion Na menurunkan aktivitas antibakteri. Hal ini disebabkan karena terjadinya komplek antara ion dengan khitosan terhadap permukaan sel. Khitosan mengikat secara 2+
kuat berbagai logam kation seperti Cu , yang melibatkan kelompok –OH dan –NH pada residu 2
glukosamin sebagai ligan (Tsai dan Su, 1999). Pada perlakuan ini, ikan masih dalam keadaan segar sampai agak segar/sedang karena jumlah mikrobanya tidak melebih batas maksimum yang tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi berdasarkan SNI-01-2729-1992. Pada perlakuan larutan kitosan 0,25% tanpa diberi es (A3) yang terlihat pada Tabel 3, jumlah 5
mikroba yang tumbuh sangat banyak. Nilai rata-rata TPC sebesar 9,4x10 koloni/g serta melebihi 5
batas maksimum 5x10 koloni/g maka pada perlakuan tersebut ikan dalam keadaan tidak segar atau tidak layak untuk dikonsumsi. Nilai rata-rata pada A3B3 mengalami penurunan, bahwa larutan kitosan bekerja secara aktif memerlukan waktu yang lama. Peningkatan jumlah bakteri pada ikan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu lingkungan, kontaminasi dari peralatan saat proses penanganan. Suhu rendah dapat menekan mikroorganisme, tetapi masih berpengaruh terhadap proses pembusukan. Tidak semua mikroorganisme pada kondisi tersebut terbunuh/terhambat (Ilyas, 1993). Dengan adanya perbedaan jumlah mikroba pada tiap perlakuan tersebut, antara penanganan dengan menggunakan es dan tidak, hasilnya sangat jelas bahwa yang menggunakan es pertumbuhan mikrobanya dapat dihambat. Berdasarkan perhitungan korelasi dan regresi antara nilai organoleptik dengan log TPC diperoleh persamaan sebagai berikut: y = -3,2700x + 21,705 untuk perlakuan A1 mempunyai hubungan sangat erat; y = -0,178x + 8,395 untuk perlakuan A2 hubungannya tidak erat, dan y = 3,6086x + 22,906 untuk perlakuan A3 hubungannya sangat erat. Hasil TVB Parameter lain yang membantu dalam menentukan kesegaran ikan secara kimia adalah pengukur kandungan TVB pada daging ikan. Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa yang terbentuk akibat penguraian asam-asam amino yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto, 1993). Nilai rata-rata TVB pada perlakuan pengesan (A1) sebesar 15,46 mg N/100g dan pada perlakuan es ditambah larutan kitosan 0,25% (A2) sebesar 12,85 mg N/100g. Berdasarkan kedua perlakuan tersebut maka ikan masih dalam keadaan segar karena nilai ratarata TVB-nya kurang dari batas maksimum sebesar 30 mg N/100g. Perlakuan larutan kitosan 0,25% tanpa diberi es (A3), nilai rata-rata TVB sebesar 120,07 mg N/100g. TVB yang melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan maka ikan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Nilai TVB tersebut diukur setelah mengalami proses penyimpanan. Kesegaran ikan berdasarkan nilai TVB dibagi dalam 4 tingkat (Faber, 1965), yaitu 1) ikan sangat segar mempunyai nilai TVB lebih kecil dari 10 mg N/100g sampel; 353
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan 2) ikan segar mempunyai nilai TVB antara 10-20 mg N/100g sampel; 3) ikan masih dapat dikonsumsi pada batas kesegaran TVB 20-30 mg N/100g sampel; 4) ikan tidak dapat dikonsumsi atau sudah busuk TVB lebih besar dari 30 mg N/100g sampel. Dengan demikian, pada perlakuan pengesan (A1) dan es ditambah larutan kitosan 0,25% (A2) keadaan ikan masih dalam keadaan segar karena nilai TVB berada di antara 10-20 mg N/100g sampel, sedangkan pada perlakuan larutan kitosan 0,25% tanpa diberi es (A3) nilai TVB-nya sangat tinggi, sehingga ikan tersebut dalam keadaan busuk dan berada pada tingkat ke empat. Total Volatil Base (TVB) terbentuk akibat terdegradasi atau terurainya protein oleh aktivitas mikroba yang menghasilkan sejumlah basa-basa yang mudah menguap seperti amoniak, trimetilamin, histamine, hidrogen sulfida (H S) yang berbau busuk (Zaitsev et al., 1969). 2
Peningkatan kandungan TVB, diduga akibat degradasi protein dan derivatnya, yang menghasilkan sejumlah basa yang mudah menguap seperti amoniak, histamin dan H S (Soedjono et al., 1984 2
diacu dalam Hermansyah, 1999). Enzim-enzim alami pada ikan, seperti enzim proteolitik dan lipolitik dalam proses penurunan mutu ikan. Beberapa enzim alami pada ikan yang mengurai protein adalah amino peptidase, tripsin dan urease (Winarno, 1995 dikutip oleh Aliandri, 2004). Kenaikan TVB akibat enzim proteolitik dengan menguraikan protein secara autolisis menjadi asam karboksilat, asam sulfida, NH dan sebagainya (Muljanah et al., 1986 dikutip oleh Aliandri, 2004). 3
Meningkatnya TVB disebabkan oleh terbentuknya amoniak dan senyawa trimetilamin dan basa volatil lainnya yang mengandung nitrogen, secara keseluruhan dinyatakan sebagai TVB. Penanganan ikan yang baik harus memperhatikan suhu ikan, karena kenaikan suhu berkorelasi positif dengan pertumbuhan bakteri dan peningkatan kadar TVB pada ikan yang merupakan faktor koreksi terhadap kesegarannya. Semakin tinggi suhu yang digunakan dalam penanganan, kecenderungan pertumbuhan bakteri dan peningkatan nilai TVB akan semakin cepat begitupula sebaliknya (Anonim, 1989). Berdasarkan hasil pengukuran pH dapat diketahui bahwa pH dengan perlakuan pengesan (A1) sebesar 6,78 menunjukkan bahwa daging ikan masih mendekati pH netral, pada perlakuan es ditambah larutan khitosan 0,25% (A2) sebesar 6,31 ini juga sama dengan pH mendekati netral. Hal ini diduga peristiwa glikolisis baru saja berlangsung dan kemungkinan asam laktat yang terbentuk masih sedikit dan ikan masih dalam keadaan rigor mortis. Pada perlakuan larutan khitosan 0,25% tanpa diberi es (A3) nilai pH-nya sebesar 7,15, pH lebih tinggi (basa) tersebut, karena disebabkan timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti ammonia, trimetilamin dan senyawa volatil lainnya. Hasil pH Berdasarkan hasil pengukuran pH dapat diketahui bahwa pH dengan perlakuan pengesan (A1) sebesar 6,78 menunjukkan bahwa daging ikan masih mendekati pH netral, pada perlakuan es ditambah larutan khitosan 0,25% (A2) sebesar 6,31 ini juga sama dengan pH mendekati netral. Hal ini diduga peristiwa glikolisis baru saja berlangsung dan kemungkinan asam laktat yang terbentuk masih sedikit dan ikan masih dalam keadaan rigor mortis. Pada perlakuan larutan kitosan 0,25% tanpa diberi es (A3) nilai pH-nya sebesar 7,15, pH lebih tinggi (basa) disebabkan timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti ammonia, trimetilamin dan senyawa volatil lainnya. Rigor mortis pada ikan terjadi beriringan dengan penurunan pH jaringan otot yang disebabkan oleh adanya asam laktat (Amlacher, 1961). Ikan yang baru saja mati umumnya memiliki pH netral dan kemudian mencapai pH minimum pada saat rigor mortis sekitar 5,8 sampai 6,2 (Rahayu et al. 1992). Fase rigor maksimum akan dicapai dengan kisaran pH 6,2 sampai 6,6. Setelah kematian ikan, peredaran darah terhenti dan menghasilkan suatu rangkaian reaksi yang kompleks dari perubahan-perubahan jaringan otot. Peredaran darah yang terhenti menyebabkan suplai oksigen juga terhenti. Akibatnya terjadi peristiwa glikolisis yang menghasilkan asam piruvat dan asam laktat. Asam piruvat digunakan dalam siklus asam sitrat yang bertujuan mengubah asam piruvat menjadi CO , H O dan sejumlah energi. Pada waktu otot digunakan jumlah asam piruvat yang 2
2
dihasilkan melebihi jumlah asam piruvat yang digunakan dalam siklus asam sitrat. Dalam keadaan demikian sejumlah asam piruvat diubah menjadi asam laktat dengan proses reduksi. Jumlah asam laktat yang tinggi menyebabkan pH ikan menurun (Poedjiadi, 1994). Penurunan pH disebabkan karena terbentuknya asam laktat sebagai reaksi pemecahan glikogen oleh enzimenzim yang terdapat pada daging ikan (Ilyas, 1983). Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap (Junianto, 2003). Keadaan asam (pH rendah) merupakan
354
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan keadaan yang dapat mengakibatkan efek bakterisidal. Pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi sebelum masa rigor mortis berakhir (Paranginangin et al. 1986). Hasil Proksimat Nilai rata-rata dari analisis proksimat kadar air, abu, lemak, dan protein pada perlakuan A1 sebesar 77,27%; 0,81%; 1,03%; 17.43%. Pada perlakuan A2 sebesar 76,28%; 0,75%; 1,17%; 17,68%. Pada perlakuan A3 sebesar 82,43%; 0,46%; 1,79%; 2,41%. Jika kadar air tinggi, maka kadar protein akan kecil, sedangkan jika kadar air rendah maka kadar protein akan tinggi. Penurunan dan peningkatan kadar air dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu temperatur udara sekeliling dan kelembaban lingkungan. Menurut Wheaton dan Lawson (1989) diacu dalam Zakaria (1996), bahwa selama penyimpanan, kadar air bahan pangan bervariasi sesuai jenis pangan, suhu, kelembaban dan komposisi atmosfer penyimpanan. Peningkatan kadar air selama penyimpanan pada suhu kamar disebabkan oleh kelembaban udara di sekitarnya tinggi, sehingga akan terjadi penyerapan uap air dari udara sekitarnya, sehingga kadar air menjadi tinggi demikian juga sebaliknya (Winarno et al. 1980). Kadar air yang paling tinggi terdapat pada perlakuan larutan kitosan 0,25% tanpa diberi es (A3) sebesar 82,43%. Tingginya kadar air maka ikan tersebut akan cepat mengalami penurunan mutunya. Keawetan bahan pangan erat kaitannya dengan kadar air yang dikandungnya. Kadar air dapat menjadi salah satu faktor penyebab kerusakan bahan pangan, karena air yang terkandung dalam bahan pangan merupakan media yang baik untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba perusak pangan. Rendahnya kadar air dalam bahan pangan diharapkan dapat memperpanjang masa simpannya (Wahyuni, 1999). Air merupakan sumber komponen penting dalam bahan makanan yang dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa makanan. Kadar air dalam bahan makanan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan makanan (Winarno, 1991). Pada umumnya, kadar protein di dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan itu sendiri. Tingginya kadar protein menunjukkan bahan pangan bermutu tinggi. Ikan memiliki kadar protein tinggi sebesar 15-20%, berkadar protein rendah kurang dari 15% (Junianto, 2003). Kadar protein yang tertinggi terdapat pada perlakuan es ditambah larutan khitosan 0,25% (A2) sebesar 17,68%. Kadar abu dan kadar lemak pada ketiga perlakuan tidak terjadi perubahan yang dratis hanya pada kisaran 0-2, selain mengandung air dan bahan organik, ikan sebagai bahan makanan juga mengandung zat anorganik atau mineral. Dalam penentuan kadar abu, bahan organik dalam makanan akan terbakar, sedangkan bahan anorganik tidak. Sisa pembakaran tersebut yang biasa disebut abu, terdiri atas bahan mineral seperti fosfor, kalsium, khlor, magnesium, belerang, sulfida (Winarno, 1991). Komposisi gizi setiap ikan berbeda-beda, tergantung spesies, umur, habitat, jenis kelamin, musim dan waktu penangkapan. Komponen abu dalam daging ikan mengandung bermacam-macam mineral seperti fosfor, kalsium, natrium, magnesium, sulfur dan khlor (Zaitsev et al., 1969). Kadar abu yang paling tinggi terdapat pada perlakuan pengesan (A1) sebesar 0,81%. Lemak merupakan komposisi daging ikan yang paling penting, karena berperan terhadap rasa dan sebagai sumber energi ikan. Ikan memiliki kadar lemak rendah apabila kandungan lemaknya kurang dari 5% (Junianto, 2003). Adanya perbedaan komposisi kimia ikan dipengaruhi salah satunya oleh jenis ikan dan habitatnya. Sehingga kadar lemak yang paling tinggi terdapat pada perlakuan larutan kitosan 0,25% tanpa diberi es (A3) sebesar 1,79%. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemberian larutan kitosan pada kadar 0,25% tanpa pemberian es tidak dapat mempertahankan kesegaran mutu ikan selar bentong. Pemberian es saja dan ditambah kitosan dapat mempertahankan mutu ikan selar sampai 3 hari saat pembongkaran yang didukung oleh uji organoleptik, TVB, TPC dan pH. DAFTAR PUSTAKA Aliandri GS. 2004. Karakteristik Perubahan Mutu Ikan Selama Penanganan oleh Nelayan Tradisional dengan Jaring Rampus (Studi Kasus di Kaliadem, Muara Angke, DKI Jakarta). [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Amlacher E. 1961. Rigor mortis in fish. Dalam Fish as Food vol 1. G Borgstrom (ed). New York: Academic Press. Anonim.1989. Petunjuk Praktek Pananganan dan Transportasi Ikan Segar. Jakarta: Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian. th
AOAC. 1984. Official Methods of Analysis. 14 Edition. Washington DC. 355
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan BBPMHP. 1993. Standar Nasional Indonesia. Ditjenkan. Jakarta. El Ghaouth A, Grenier JA, Benhamoun N, Asselin A, Belenger. 1991. Effect of chitosan on cucumber plant suppression of Phytium aphan denider matum and induction of defence reaction. Phytopathology 84:3 [FAO] Food and Agriculture Organization.. 1992. Ice in Fisheries. By Graham J, Johnston WA & Nicholson FJ. Rome : FAO Fisheries Technical Paper No. 331. 75 pp.0-65 Faber L. 1965. Freshness test. Dalam Fish as Food Vol IV. G Borgstorm, [ed]. New York: Academic Press. Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: LSI-IPB. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid 1. Teknik Pendinginan Ikan. Jakarta: CV Paripurna. Hermansyah. 1999. Pengaruh Konsentrasi Garam, Karbohidrat, dan Lama Fermentasi Terhadap Mutu Bekasam Kering dari Ikan Mas (Cyprinus carpio L).[tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid I. Teknik Pendinginana Ikan. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Irawan A. 1997. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Solo: Penerbit Aneka. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Morrissey T. 1988. Postharverst fishery losses : a definition of terms. In Morrissey, T (ed) Postherves Fishery Losses, Proceedings of an International Workshop Held April 12-16 1987 at the University of Rhode Island, Kingston. RI. ICMRC, Kingston, RI. Murniyati AS, Sunarmana. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Peranginangin R, Hanafiah TAR, Putro S, Mulyanto R. 1986. Storage life of freshwater fish at room temperature and cruhsed ice. L Pen. Paska Panen Perikanan no 51. Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI-Press Purnomo AH, Subaryono, Suryanti, Heruwat ES. 2002. Analisis sosio-ekonomi terhadap praktek penanganan mutu ikan pelagis kecil di TPI Blanakan dan Pekalongan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta: Badan Riset Kalautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Vol 8 No. 7:1-8. Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantari, Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Petanian Bogor. Simpson BK. 1997. Utilization of Chitosan for Preservasion of Raw Shrimp. Dalam Food Bioteknologi II. 25-44 [SNI] Standar Nasional Indonesia 01-2345-1991. Uji Organoleptik Ikan Segar. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia 01-2729-1992. Ikan Segar. Jakarta: Dewan Standar Nasional. Statistik Perikanan PPN Pekalongan. 2005. Pekalongan, Jawa Tengah. Statistik Perikanan PPN Pekalongan. Januari-Februari 2006. Pekalongan, Jawa Tengah. Syirwan R. 2005. Keamanan Pangan pada Ayam Potong yang Ditinjau dari Kandungan Formalin di beberapa Pasar Tradisional Kota Bogor. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tsai GJ, Su WH. 1999. Antibacterial activity of shrimp chitosan against Escherichia coli. J Food Protect. 62: 239-243 Wahyuni S. 1999. Pengaruh Pengolahan Tradisional Terhadap Mutu dan Nilai Gizi Ikan Teri (Stolepherus sp) Asap.[tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia. Winarno FG. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow: Mir Publisher. Zakaria IJ. 1996. Mempelajari Mutu Ikan Bilih (Mystacoleucus padangense Blkr) Asap Tradisional serta Pengaruh Lama Pengasapan Terhadap Perbaikan Mutu. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
356