SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan PEMBIUSAN LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus ) DENGAN METODE PENURUNAN SUHU BERTAHAP UNTUK TRANSPORTASI SISTEM KERING1 2
2
2
Ruddy Suwandi , Afiat Wijaya , Tati Nurhayati dan Roni Nugraha
2
ABSTRACT Transportation of life freshwater crayfish usually still using water-carrying media that is less secure, high-risk and less efficient. The general objective of this research was to study the anesthetic technique with decreasing temperature gradually in freshwater crayfish (Cherax quadricarinatus) dry system. Research conducted in two stages, i.e. preliminary research and primary research. Preliminary research was conducted determine the optimum ratio between water volume and the mass of ice to achieve optimum anesthetic temperature. The main researches included the process of anesthesia, testing storage period and recovery process after storage. Water quality analysis showed that the temperature of media was 26 °C ± 1, with pH 7.35; alkalinity 154.2 ppm; NH3-N 0.09 ppm, 0.05 ppm of NO2 and CO2 1.845 ppm. The optimum ratio of water and ice for anesthetization of freshwater crayfish was 2 liters of water and 3 kg of ice and reached the temperature of 11 °C in 30.35 minutes. The crayfish has 100% survival rate when store at 10, 15, 20, 25, and 45 hours in sawdust media. Research showed the lobster was able to adapt in 1427 °C sawdust medium during storage up to 45 hours. Statistical analysis showed that treatment with gradual anesthetization storage for 10, 15, 20, 25, and 45 hours at 95% confidence interval interaction both give no significant effect. Keywords: Cherax quadricarinatus, freshwater crayfish, dry systems transportation, anesthesia stages. PENDAHULUAN Lobster merupakan salah satu komoditas ekspor penting Indonesia dengan negara tujuan Jepang, Hongkong, USA dan beberapa negara Eropa lainnya. Salah satu jenis komoditas lobster yang prospektif sebagai komoditas perikanan Indonesia adalah lobster air tawar red claw (Cherax quadricarinatus) (Hartono dan Wiyanto 2006). Di pasar ekspor, lobster air tawar dihargai tidak pernah kurang dari Rp. 150.000 per kg untuk size 10-12 ekor. Permintaan pasar domestik dan ekspor terus meningkat, sementara produksi terbatas. Kebutuhan lobster air tawar untuk memenuhi pasar Jakarta saja mencapai 2-3 ton per bulan, sedangkan untuk nasional diperkirakan jumlah kebutuhan lobster air tawar antara 6-8 ton per bulan dengan restoran sebagai penyerap utamanya (Cucun 2006 diacu dalam Afni 2008). Oleh karena itu, lobster air tawar Cherax quadricarinatus memiliki peluang yang sangat besar untuk ditransportasikan dalam keadaan hidup sehingga dapat mempertinggi nilai jualnya. Lobster red claw merupakan jenis lobster air tawar yang memiliki keunikan, yaitu warna tubuhnya biru laut. Padahal, warna biru itu sendiri biasanya hanya dijumpai pada ikan hias air laut. Dengan demikian lobster air tawar ini tidak hanya dijadikan sebagai udang konsumsi, tetapi dapat dimanfaatkan sebagai udang hias (Hartono dan Wiyanto 2006). Keunggulan lobster air tawar dibanding lobster air laut adalah lobster air tawar lebih mudah dibudidayakan dibanding lobster air laut. Pembudidayaan lobster air tawar telah dilakukan dihabitat aslinya, Queensland, Australia dan Perairan Amerika Serikat. Di Indonesia budi daya lobster air tawar baru mulai dirintis pada tahun 1991 dan masih terbatas dilakukan oleh beberapa peternak karena adanya kendala keterbatasan jumlah induk di pasaran dalam negeri. Seiring dengan berkembangnya teknologi budidaya maka sejak awal tahun 2003 budi daya lobster air tawar semakin berkembang. Hal ini terlihat dari munculnya sejumlah peternak yang bisa melakukan pembudidayaan lobster air tawar di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bali dan Yogyakarta (Hartono dan Wiyanto 2006). Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) pada dasarnya dapat hidup di berbagai habitat. Hanya saja untuk meningkatkan produktivitasnya dalam berkembang biak, red claw cenderung 0 cocok pada suhu 20-24 C. Kondisi tersebut sangat sesuai dengan iklim di Indonesia sehingga sangat mendukung serta menguntungkan jika dibudidayakan. Usaha pembudidayaan lobster air tawar terbagi dua, yaitu usaha pembenihan dan usaha pembesaran (Hartono dan Wiyanto 2006). Transportasi Lobster air tawar hidup biasanya masih menggunakan media pengangkut air yang kurang aman, beresiko tinggi dan kurang efisien. Transportasi dengan sistem kering (media 1
Dipresentasikan pada Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2010 di Sekolah Tinggi Perikanan, 2–3 Desember 2010 2 Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor 381
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan bukan air) dapat menjadi pilihan tepat, apabila kondisi optimalnya diketahui dan merupakan cara yang efisien dan aman meskipun beresiko tinggi. Transportasi sistem kering memiliki beberapa keunggulan dibanding transpostasi sistem basah, yaitu : a) transportasi sistem kering tidak memerlukan wadah transportasi yang besar; b) dapat mengurangi stress karena pengaruh cahaya, getaran dan kebisingan; c) tidak terjadi kehilangan berat (Ditjen Perikanan 1993 diacu dalam Nitibaskara et al. 2006). Pada transportasi sistem kering, secara umum dilakukan pembiusan (imotilisasi) sebelum ditransportasikan. Pembiusan (imotilisasi) berprinsip pada hibernasi, yaitu usaha menekan metabolisme suatu organisme hingga kondisi minimum untuk mempertahankan hidupnya lebih lama (Suryaningrum et al. 2005). Imotilisasi dilakukan untuk menurunkan aktivitas metabolisme dan respirasi krustasea, sehingga selama transportasi tidak banyak bergerak dan tidak banyak memerlukan oksigen untuk respirasinya. Beberapa cara imotilasi antara lain, yaitu menggunakan suhu rendah, menggunakan bahan metabolit alami maupun buatan. Bahan metabolit alami yang dapat digunakan untuk imotilisasi adalah ekstrak biji karet (Wibowo et al. 1994), sedangkan bahan metabolit buatan yang biasa digunakan adalah MS222 dan CO2. Imotilisasi menggunakan suhu dingin merupakan cara yang paling efektif, ekonomis, dan aman karena tidak meninggalkan residu bahan kimia. Transportasi sistem kering, pada prinsipnya menggunakan suhu rendah untuk mengkondisikan udang/lobster dalam keadaan metabolisme dan respirasi rendah sehingga daya tahan dalam kondisi transportasi lebih tinggi. Imotilisasi menggunakan suhu rendah terbagi menjadi dua, yaitu dengan metode penurunan suhu secara bertahap dan secara langsung. Sistem transportasi kering ini telah diaplikasikan terhadap komoditas lobster air laut dan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Suparno et al. (1994), dan Setiabudi et al. (1994) pada lobster air laut hijau pasir, diketahui bahwa penurunan suhu secara bertahap merupakan metode pembiusan yang lebih baik dibanding dengan penurunan suhu secara langsung. Penelitian ini mengkaji tentang aplikasi sistem transportasi kering terhadap lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) untuk budidaya pembesaran dan mengkaji aspek media suhu pembiusan, yaitu perbandingan volume media air pembius dengan es dan pengaruh proses pembiusan secara bertahap terhadap kelangsungan hidup lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) dalam kemasan media serbuk gergaji dingin. METODOLOGI Bahan utama yang digunakan adalah lobster air tawar red claw (Cherax quadricarinatus) dengan bobot 20 g dan panjang tubuh 14-15 cm berasal dari akuarium pemeliharaan Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB. Bahan pembantu yang digunakan adalah air, es batu, serbuk gergaji berukuran 0,1-0,3 cm yang berasal dari campuran jenis kayu jeungjing (Albizia falcata) dan mindi (Melia azedarach) diperoleh dari pengrajin kayu di Dramaga-Bogor. 3 Peralatan yang digunakan antara lain, akuarium berukuran 150x50x30 cm untuk 3 pemeliharaan dan akuarium berukuran 50x30x20 cm untuk pembiusan lobster, pipa paralon, aerator, ember plastik, kantong plastik, penggaris, timbangan, lakban, kotak styrofoam ukuran 3 30x30x40 cm , termometer, dan peralatan untuk pengukuran kualitas air (pH-meter, DO-meter, spektrofotometer), dan pengukur waktu. Penelitian dilakukan melalui dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Sebelum memulai penelitian dilakukan tahap persiapan penelitian. Persiapan penelitian antara lain, persiapan media air, media serbuk gergaji, dan persiapan lobster uji. Pada persiapan media air dilakukan pengukuran kualitas air yang meliputi, pengukuran pH dan suhu, oksigen terlarut (DO), total amoniak nitrogen (TAN), CO2, nitrit, dan alkalinitas. Pada Penelitian pendahuluan dilakukan pengujian perbandingan antara volume air (liter) dan jumlah es (kg) yang optimum untuk mencapai suhu pembiusan. Prosedur kerja penelitian pendahuluan yang dilakukan yaitu, tiga buah akuarium masing-masing berisi dua liter air disiapkan, kemudian masing-masing akuarium tersebut diberi es yang dibungkus plastik sebanyak 2 kg, 2,5 kg, dan 3 kg kemudian dilihat perbandingan antara es dan air yang optimum untuk mencapai suhu pembiusan. Hasil penelitian pendahuluan kemudian digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya. Lobster yang ditransportasikan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : lobster sehat, bugar, tidak cacat fisik, antena lengkap, tidak sedang fase ganti kulit (moulting) dan tidak sedang bertelur. Teknik pembiusan dengan penurunan suhu secara bertahap dilakukan dengan memasukkan lobster dan es bersamaan ke dalam media air hingga lobster pingsan pada suhu pembiusan. Adapun jumlah lobster yang akan dipingsankan dalam setiap perlakuan sebanyak 30 ekor. Lobster yang dibius dengan penurunan suhu secara bertahap diharapkan pingsan, ditandai
382
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan oleh keadaan lobster kehilangan keseimbangan, lobster diam, limbung, kaki renang bergerak lemah, ketika lobster diangkat diam, dan sebagian kaki jalannya bergerak perlahan, respon lemah. Penyimpanan dan penyusunan lobster dilakukan pada kotak stirofoam kosong, dimana bagian dasarnya diberi hancuran es (0,75 kg) yang dibungkus kantong plastik, kemudian ditutup dengan kertas koran untuk mencegah rembesan air dari es. Di atasnya ditaburi serbuk gergaji dingin (suhu 0 14-15 C) dengan ketebalan 5-10 cm, sehingga kontak langsung antara es dengan lobster dapat dihindari. Kemudian lobster yang telah dipingsankan disusun sejajar di atas media dan di atasnya ditaburi serbuk gergaji dingin setebal 1-1,5 cm. Demikian seterusnya, lobster dan media serbuk gergaji disusun dua lapis berselang seling sampai kemasan penuh. Lapisan paling atas diisi serbuk gergaji 10-15 cm. Kemudian kemasan ditutup rapat dan direkatkan dengan menggunakan lakban. Selama penyimpanan dilakukan pengamatan dan pengukuran beberapa parameter yang berpengaruh terhadap tingkat mortalitas lobster, yaitu lama penyimpanan, suhu media pengemas, dan perhitungan persentase jumlah lobster hidup setelah penyimpanan. Lama penyimpanan lobster terdiri dari lima interval waktu, yaitu 10, 15, 20, 25 dan 45 jam. Pada setiap perlakuan penyimpanan terdiri dari dua kali ulangan. Pengukuran suhu media serbuk gergaji dilakukan sebelum lobster dikemas dalam kemasan styrofoam dan sesudah lobster disimpan dalam kemasan media serbuk gergaji dingin. Lobster yang ditransportasikan dengan sistem kering, setelah kemasan dibuka, lobster segera dicuci dengan air bersih yang bersuhu sejuk dan diberi aerasi tinggi. Lobster yang hidup akan berenang, mula-mula lobster akan limbung tetapi kondisinya akan normal kembali setelah berada dalam air selama 30 menit. Lobster yang telah bugar kemudian baru dipindahkan ke dalam bak penampung. Tingkat kelulusan hidup lobster dihitung berdasarkan persentase lobster yang hidup setelah penyimpanan. Persamaan yang digunakan untuk perhitungan tingkat kelulusan hidup lobster adalah : M = Ut x 100% Uo Keterangan : M = Tingkat kelulusan hidup lobster (%) Uo= Jumlah lobster hidup yang dikemas Ut = Jumlah lobster yang hidup setelah penyimpanan. HASIL DAN PEMBAHASAN 0 Berdasarkan hasil analisis kualitas air, diperoleh kisaran sebagai berikut : suhu (26 ± 1) C; pH 7,35; alkalinitas 154,2 ppm; NH3-N 0,09 ppm; NO2 0,05 ppm, CO2 1,845 ppm dan DO 5,37 ppm. Menurut Rouse (1977), Cherax jenis red claw akan mengalami pertumbuhan terbaik pada 0 suhu air 24–29 C. Berdasarkan kriteria tersebut dapat dinyatakan, bahwa suhu media pemeliharaan lobster air tawar sebesar 25 0C masih dalam rentang layak dan optimum bagi proses metabolisme lobster air tawar. Selama percobaan suhu diusahakan stabil dengan fluktuasinya relatif kecil, sehingga stres akibat fluktuasi suhu harian yang besar dapat dihindari. Hasil pengukuran pH air media pemeliharaan selama percobaan menunjukkan bahwa semuanya bersifat alkalis, dengan nilai 7,5. Menurut Meade et al. (2002), pH 7,5±0,2 sangat sesuai untuk pemeliharaan dan perkembangan juvenile red claw. Berdasarkan kriteria tersebut, pH air selama percobaan masih berada pada rentang layak yang optimum bagi media pemeliharaan lobster air tawar. Selama penelitian, kandungan oksigen terlarut media pemeliharaan berkisar antara 5,37 ppm. Kisaran ini masih sesuai dengan media pemeliharaan lobster air tawar, sebagaimana dikemukakan oleh Rouse (1977), bahwa Cherax masih dapat mentolerir kadar oksigen hingga 10 ppm. Dengan demikian dapat dikatakan kandungan oksigen terlarut selama penelitian masih dalam kisaran yang mampu mendukung pertumbuhan optimal lobster air tawar. Bila kadarnya terlalu tinggi, CO2 bebas tersebut dapat mempengaruhi pH air serta berdaya racun. Akumulasi CO2 bebas ≥ 5 ppm dapat meracuni telur dan larva udang bila kadar O2 terlarut ≤ 3,5 ppm (Tsai 1989 diacu dalam Anggoro 1992). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kandungan CO2 relatif rendah, yaitu sebesar 1,845 ppm. Kandungan oksigen terlarut < 4 ppm selama penelitian, dapat dinyatakan bahwa kandungan CO2 bebas tersebut belum membahayakan kehidupan lobster air tawar. Kehadiran amonia (NH3) dan nitrit (NO2) di dalam air dapat mengganggu aktivitas dan 383
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan
waktu (menit)
perkembangan lobster air tawar karena jika konsentrasinya tinggi dapat bersifat toksik. Konsentrasi amonia dan nitrit yang dinyatakan aman bagi telur dan larva udang adalah ≤ 0,01 ppm (Tsai 1989 diacu dalam Anggoro 1992). Hasil pengukuran amonia (NH3) dan nitrit (NO2) selama penelitian masing-masing berkisar antara 0,09 ppm dan 0,05 ppm. Fakta ini memberi petunjuk bahwa konsentrasi tersebut masih dalam kategori layak untuk pemeliharaan lobster air tawar. Sebelum melakukan transportasi lobster hidup, lobster diimotilisasi dengan menggunakan suhu dingin. Tujuan imotilisasi adalah menekan metabolisme suatu organisme hingga kondisi minimum untuk mempertahankan hidupnya lebih lama (Suryaningrum et al. 2005). Penggunaan suhu dingin dalam imotilisasi memiliki keuntungan, yaitu harga murah dan aman karena tidak adanya residu kimia yang dapat membahayakan konsumen (Junianto 2003). Pada penelitian yang dilakukan dengan perbandingan es dan volume air yang digunakan, lobster air tawar mengalami 0 suhu shock atau suhu pembiusan pada suhu 11 C. Hal ini dikarenakan jumlah es dan volume air yang digunakan berbeda sehingga mempengaruhi kecepatan penurunan suhu dan adanya perbedaan jumlah kepadatan pada saat pembiusan. Perbandingan volume air 2 liter dengan jumlah es 2 kg, Perbandingan 2 liter air dengan 2,5 kg es , dan perbandingan 2 liter air dengan 3 kg es disajikan secara berurutan pada Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
41,24 43,99 32,78 23,43 19,31 10,56 0,97
2,34
3,24
6,53 4,24
12,48 8,19
5,08
25
24
23
22
21
20
19
18
17
16
15
14
13
12
suhu
waktu(menit)
Gambar 1. Perbandingan volume air 2 liter dengan jumlah es 2 kg 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
92,50
28,57 16,66 0,30 1,48
25
24
3,42
12,18
5,04 6,27 7,03 7,54 9,17
20,08 13,27
10,31
23
22
21
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
suhu
Gambar 2. Perbandingan volume air 2 liter dengan jumlah es 2,5 kg 35 30,34
waktu (menit)
30 25 21,25
20
17,07
15
11,06 5,41
5
13,55
8,54
10 2,09 2,46 0,06 1,06
3,48
9,51 7,53
4,33
0 25
24
23
22 21
20 19
18
17
16
15
14
13
12
11
suhu
Gambar 3. Perbandingan volume air 2 liter dengan jumlah es 3 kg Berdasarkan hasil penelitian perbandingan volume air dan jumlah es untuk membuat suhu 0 media 11 C, didapatkan bahwa pada perbandingan 2:2 es hanya mampu menurunkan suhu 0 0 hingga 13 C. Pada perbandingan 2:2,5 suhu media mencapai suhu pembiusan yaitu suhu 11 C dengan waktu 93 menit. Sedangkan pada perbandingan 2:3 suhu media mencapai suhu 0 pembiusan (11 C) dengan waktu 30,35 menit. Jumlah es 2,5 kg dan 3 kg mampu menurunkan 0 suhu media hingga mencapai suhu pembiusan (11 C) dengan waktu yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut maka jumlah es 2,5 kg dan 3 kg mampu untuk menurunkan suhu media hingga mencapai suhu pembiusan lobster air tawar. Dengan demikian pada penelitian ini jumlah es yang
384
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan digunakan adalah 3 kg es. Hal ini dikarenakan untuk mengefektifkan waktu dan menjaga kondisi dari lobster air tawar. Hasil analisis statistika menggunakan RAL satu faktor dengan dua kali ulangan, diketahui bahwa pada selang kepercayaan 95 % perlakuan suhu pembiusan secara bertahap dan lama penyimpanan 10, 15, 20, 25, dan 45 jam serta interaksi keduanya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) terhadap kelulusan hidup lobster air tawar. Kelulusan hidup lobster air tawar terhadap lama penyimpanan disajikan pada Gambar 4.
K elulusanhiduplobster(% )
100
100
100
100 100 96,66 100 100
100
100 100
90 80 70 60
Ulangan 1
50
Ulangan 2
40
N = 30
30 20 10 10
15
20
25
45
Lama waktu penyimpanan (jam)
Gambar 4. Persentase kelulusan hidup lobster setelah penyimpanan Gambar 4 menunjukkan persentase kelulusan hidup lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) setelah perlakuan pembiusan dengan metode penurunan suhu secara bertahap dengan lama penyimpanan 10, 15, 20, 25, dan 45 jam. Tampak bahwa hasil kelulusan hidup lobster air tawar setelah penyimpanan dalam media serbuk gergaji dingin pada kemasan dengan lama penyimpanan 10, 15 , 25, dan 45 jam rata-rata persentase tingkat kelulusan lobster adalah 100 %. Sedangkan pada lama penyimpanan 20 jam pada ulangan ke satu persentase tingkat kelulusan hidup lobster sebesar 96,66 % dan pada ulangan ke dua sebesar 100 %. Pada lama penyimpanan 20 jam ulangan pertama, persentase tingkat kelulusan hidup lobster tidak mencapai 100 % yaitu sebesar 96,66 % hal ini diduga karena faktor dari kondisi lobster sebelum pembiusan karena setelah dilakukan ulangan kedua dengan kondisi lingkungan yang diupayakan sama, persentase tingkat kelulusan lobster mencapai 100 %. Pada perlakuan teknik pembiusan dengan penurunan suhu secara bertahap pada lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) didapatkan hasil secara statistika tidak berbeda nyata antara interaksi pembiusan secara bertahap dan lama penyimpanan 10, 15, 20, 25, 45 jam. Hal ini diduga karena lobster air tawar mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan penyimpanan selama 45 jam penyimpanan. Interaksi antara teknik pembiusan penurunan suhu secara bertahap dengan lama penyimpanan 45 jam menghasilkan persentase kelulusan hidup lobster air tawar sebesar 100 %, hal ini tidak berbeda nyata dengan lama penyimpanan 10, 15, 20 , dan 25 jam yaitu angka persentase kelulusan hidup lobsternya sebesar 100 %. Berdasarkan hal tersebut maka teknik pembiusan dengan penurunan suhu secara bertahap dengan lama penyimpanan 45 jam merupakan interaksi terbaik. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa lobster air tawar memiliki kemampuan bertahan hidup dengan persentase kelulusan hidup 100 % pada suhu media serbuk gergaji yang 0 0 meningkat hingga 27 C dari suhu awal 14 C selama penyimpanan 45 jam. Berdasarkan kondisi kebugaran lobster tersebut, maka diperkirakan lobster air tawar mampu beradaptasi pada suhu 27 0 C dan lama penyimpanan lebih dari 45 jam. Pada dasarnya hal yang perlu diperhatikan pada transportasi hidup lobster air tawar dalam sistem kering yaitu kondisi awal lobster (sehat, tidak sedang moulting (ganti kulit), bugar, responsive) dan penanganan selama proses transportasi. KESIMPULAN Penelitian yang dilakukan memperoleh hasil bahwa perbandingan volume media air dengan jumlah es yang optimum untuk pembiusan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) adalah 2 liter air : 3 kg es. Pembiusan dengan penurunan suhu secara bertahap digunakan untuk transportasi 0 sistem kering lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) dengan suhu 11 C pada waktu 30,32 menit. Persentase kelulusan hidup lobster air tawar sebesar 100 % ditunjukkan pada lama penyimpanan 10 hingga 45 jam maka lama penyimpanan 45 jam merupakan lama penyimpanan terbaik, hal ini karena antara lama penyimpanan 10, 15, 20, 25 dan 45 jam memiliki hasil tidak
385
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan berbeda nyata satu sama lain. Lobster air tawar mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan media kemasan dalam lama penyimpanan 45 jam dan suhu media serbuk gergaji 14 0C- 27 0C. DAFTAR PUSTAKA Anggoro, S. 1992. Efek osmotik berbagai tingkat salinitas media terhadap daya tetas telur dan vitalitas larva udang windu (Penaeus monodon) Fabricus [Disertasi]. Pascasarjana IPB. Hartono R, dan Wiyanto RH. 2006. Lobster Air Tawar Pembenihan dan Pembesaran. Jakarta: Penebar Swadaya. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar swadaya. Kammala A. 2008. Analisis kelayakan pengusahaan lobster air tawar. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Manajmen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Meade ME, Doeller JE, Kraus DW, Watts SA. 2002. Effects of temperature and salinity on weight gain, oxygen consumption rate, and growth efficiency in Juvenile Red-Claw Crayfish (Cherax quadricarinatus). Journal of The World Aquaculture Society (33):1-11. Nitibaskara R, Wibowo S, Uju. 2006. Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup untuk Konsumsi. Bogor: Departemen Teknologi hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Rouse, DB. 1977. Production of Austalian Red claw Crayfish. Auburn University. USA: Alabama Suparno, Wibowo S, Suryaningrum TD, Suherman M. 1994. Studi penggunaan metoda penurunan suhu bertahap dalam transportasi sistem kering untuk lobster hijau pasir (Panulirus humarus). Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan (79) :37-55. Suryaningrum TD, Utomo BSD, Wibowo S. 2005. Teknologi Penanganan dan Transportasi Krustasea Hidup. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Slipi. Wibowo S, Setiabudi E, Suryaningrum D, Sudrajat Y. 1994. Pengaruh penurunan suhu bertahap terhadap aktivitas lobster hijau pasir (Panulirus humarus). Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan (79):24-36.
386