SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan KARAKTERISASI PETIS IKAN DARI LIMBAH CAIR HASIL PEREBUSAN IKAN TONGKOL (EUTHYNNUS AFFINIS)1 2
2
2
Djoko Poernomo , Komariah Tampubolon , Siti Mirza Danitasari dan Roni Nugraha
2
ABSTRAK Industri pemindangan ikan Tongkol Palabuhan Ratu menghasilkan limbah cair dalam jumlah yang besar. Limbah cair tersebut masih mengandung zat gizi seperti protein dan mineral. Air rebusan ikan Tongkol dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku petis. Petis adalah produk sampingan hasil perebusan (ikan, kupang, dan udang) yang dikentalkan seperti saus tetapi lebih padat. Petis yang dihasilkan memiliki bau amis dan rasa asin kuat. Dalam penelitian ini mempelajari karakteristik petis ikan Tongkol dengan penambahan asam organik dan gula dengan konsentrasi berbeda serta bumbu-bumbu untuk menghilangkan bau amis dan menetralisir rasa asin. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan asam jeruk limau 2% dan campuran gula merah 100% dengan gula putih 100% menghasilkan petis ikan Tongkol dengan citarasa pindang Tongkol yang khas, segar, rasa asin dan manis cukup, adanya bau tambahan, berwarna coklat kehitaman dengan tekstur yang homogen dan agak lembut. Petis ikan Tongkol terbaik mempunyai kadar air 12,5%; kadar abu 7,69%; kadar protein 6,70%; kadar lemak 0,2%; kadar karbohidrat 72,9%; derajat keasaman (pH) 5,32; aktivitas air (aw) 0,62; viskositas 150000 cp; 1 mikrobiologi 1,2 x 10 CFU/ml; logam berat Hg dan Pb tidak terdeteksi sedangkan Fe sebesar 39,52 ppm; kadar garam 9,44%; serta kadar histamin 11,88 ppm. Kata kunci: air rebusan ikan Tongkol, petis ikan, asam jeruk limau, gula 1. PENDAHULUAN Ikan pindang merupakan salah satu olahan tradisional yang sangat populer. Daerah pengolahan pindang di Jawa Barat banyak terdapat di Palabuhan Ratu dengan jumlah produksi pindang Tongkol tahun 2008 mencapai 897,4 ton. Industri pemindangan ini menghasilkan limbah cair dalam jumlah besar yang masih mengandung sejumlah zat gizi dan komponen cita rasa yang terlarut selama perebusan ikan, seperti protein dan mineral. Limbah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku petis. Petis adalah produk sampingan pemindangan yang dipanasi hingga cairan kuah menjadi kental seperti saus yang lebih padat. Petis ikan yang diperoleh dari air rebusan ikan Tongkol berbau amis dan rasa asin kuat sehingga perlu ditambahkan gula, asam organik dan bumbubumbu. Penelitian ini bertujuan mempelajari karakteristik petis ikan yang dihasilkan dengan penentuan jenis dan konsentrasi dari asam organik, gula serta bumbu-bumbu yang ditambahkan. 2. METODOLOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-September 2009 bertempat di Laboratorium Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Sensori Hasil Perairan, Laboratorium Seafast Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia Pangan Departemen Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI Jakarta, Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan. 2.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah hasil perebusan ikan Tongkol (Euthynnus affinis) yang berasal dari Palabuhan Ratu-Sukabumi sebagai bahan baku pembuatan petis ikan dan bahan-bahan lainnya terdiri dari gula putih, gula merah, bawang putih, cabai rawit, lada, serta jeruk limau. Adapun bahan untuk analisis kimia fisika terdiri dari akuades, akuatrides, methanol, resin penukar ion, HCl 1 N, HCl 0,1 N, NaOH, OPT, H3PO43 5,7 N, larutan potasium kromat 5%, larutan perak nitrat 0,1 M, K2SO4, NaCl, H2SO4, NaOH 40%, pelarut heksana, H3BO3, dan metil merah. Peralatan yang digunakan adalah gelas ukur, timbangan, panci, kompor, pengaduk kayu, baskom, dan peralatan yang dipakai untuk pengujian mutu produk adalah labu ekstruksi, Erlenmeyer, soxhlet, kapas, selongsongan, oven, cawan porselin, desikator, Bunsen, 1
Dipresentasikan pada Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2010 di Sekolah Tinggi Perikanan, 2–3 Desember 2010 2 Departemen Teknologi Hasil PerairanFakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
293
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan tanur listrik, labu destilasi, kertas saring, aw-meter (Shibaura wa-360), viscometer (Brookfield LV), homogenizer, waterbath, labu ukur, glass wool, kolom, pH meter, dan spectrofluorometry. 2.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental. Metode eksperimental merupakan salah satu metode yang paling tepat untuk menyelidiki hubungan sebab akibat variabel yang digunakan. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu penelitian pra-pendahuluan, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penentuan petis ikan Tongkol terpilih dilakukan dengan penilaian sensori. Penelitian pra-pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik limbah cair hasil perebusan ikan Tongkol yang akan digunakan dengan pengujian secara subyektif yaitu dengan uji sensori berupa pengamatan warna, penampakan, aroma, tekstur dan rasa, dan pengujian secara obyektif berupa analisis kimia yang meliputi analisis proksimat (kadar protein kasar, lemak, karbohidrat, abu, air), pH, kadar histamin, cemaran logam (Pb, Hg, Fe), kadar garam, dan analisis mikrobiologi yaitu uji angka lempeng total. Pada penelitian pendahuluan, proses pembuatan petis ikan diawali dengan penyaringan cairan hasil perebusan ikan Tongkol agar bersih dari kotoran yang mungkin masih ada. Selanjutnya cairan dipanaskan dengan penambahan gula merah dan gula pasir sedikit demi sedikit dalam perbandingan 1:1:1 dan diaduk hingga rata. Setelah adonan rata dilakukan penambahan bumbu berupa bawang putih goreng, cabai rawit, dan lada yang diperoleh dengan cara dihaluskan. Kemudian ditambahkan perasan asam jeruk limau yang telah disaring. Larutan tersebut diaduk hingga bumbu merata dan membentuk pasta pada suhu 0 (40-60) C selama ± 15 menit. Sebelum dilakukan pengangkatan dan pendinginan, petis ikan disaring untuk memisahkan kotoran-kotoran yang dihasilkan dari penambahan bumbu-bumbu (Poernomo et al 2004). Adapun jenis dan konsentrasi bahan tambahan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Formulasi bahan tambahan pembuatan petis ikan Tongkol dengan perlakuan asam jeruk limau Bahan
Jumlah A11
A12
B11
B12
C11
Air rebusan ikan Tongkol
100 ml
100 ml
100 ml
100 ml
100 ml
Gula merah
100 g
100 g
100 g
100 g
100 g
Gula putih
100 g
100 g
100 g
100 g
100 g
5g
5g
5g
5g
5g
Cabai rawit
2,5 g
2,5 g
2,5 g
2,5 g
2,5 g
Lada
0,5 g
0,5 g
0,5 g
0,5 g
0,5 g
Asam jeruk limau
0 ml
2 ml
4 ml
6 ml
8 ml
Bawang putih goreng
Hasil penelitian pendahuluan dilanjutkan dengan penelitian utama, yaitu mencari jenis konsentrasi terbaik dari penambahan gula yang digunakan dari gula merah 200%, gula putih 200%, dan campuran gula merah 100% dengan gula putih 100%. Perlakuan konsentrasi jenis gula yang akan digunakan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perlakuan jenis dan jumlah konsentrasi gula yang digunakan dalam pembuatan petis ikan Tongkol Komposisi Air rebusan Gula merah Gula putih
ikan Tongkol
PSG
EGP
MDS
100 ml
100 ml
100 ml
-
200 g
100 g
200 g
-
100 g
294
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan Bawang putih goreng
5g
5g
5g
Lada
0,5 g
0,5 g
0,5 g
Cabai rawit
2,5 g
2,5 g
2,5 g
Asam jeruk limau
2 ml
2 ml
2 ml
Petis ikan terbaik yang diperoleh dianalisis secara subyektif dan obyektif. Analisis secara subyektif yaitu uji sensori dengan parameter penampakan, aroma, tekstur, dan rasa menggunakan metode Kruskal-Wallis kemudian dilanjutkan dengan perhitungan menggunakan metode Multiple Comparison (Gaten 2000). Sedangkan analisis secara obyektif yaitu analisis kimia yang meliputi uji proksimat (kadar karbohidrat, kadar lemak, kadar protein, kadar air, kadar abu), derajat keasaman (pH), aktivitas air (aw), viskositas, cemaran logam, kadar histamin, dan kadar garam, dengan analisis mikrobiologi yaitu uji angka lempeng total (Total Plate Count). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Penelitian Pra-Pendahuluan Karakteristik air rebusan ikan Tongkol yang diamati secara visual yaitu berupa cairan kental bercampur padatan, warna coklat pekat, bau amis ikan Tongkol dan rasa sangat asin. Adapun komposisi kimia air rebusan ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dan petis ikan Tongkol dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis fisika-kimia air rebusan ikan Tongkol (Euthynnus affinis) dan petis ikan Tongkol terbaik Parameter Air rebusan ikan Tongkol Petis ikan Tongkol Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar Protein (%) Kadar lemak (%) Kadar Karbohidrat (%) Derajat keasaman (pH) Aktivitas air (aw) Mikrobiologi (CFU/ml) Cemaran logam : - Hg (ppb) - Pb (ppb) - Fe (ppm) Kadar garam (%) Kadar Histamin (ppm) Viskositas (cp)
64,96 17,40 14,30 0,95 2,19 5,25 2 1,3 x 10
12,5 7,69 6,70 0,2 72,9 5,32 0,62 1 1,2 x 10
Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi 24,62 19,37 43,91 -
Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi 39,52 9,44 11,88 150.000
3.2 Penelitian Pendahuluan Berdasarkan hasil uji sensori pada penelitian sensori didapatkan bahwa penambahan asam jeruk limau 2% dipilih untuk mengurangi bau amis ikan dengan mempertahankan aroma khas pindang Tongkol. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4, nilai rata-rata rangking tertinggi dengan nilai 88,22.
295
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan Tabel 4. Nilai rata-rata rangking Uji Kruskal-Wallis pada penelitian pendahuluan Perlakuan A11 A12 B11 B12 Parameter a penampakan 71,83 85,53 65,63 81,87 a bau 79,55 80,12 74,78 76,88 a rasa 69,38 88,22 84,77 67,62 a tekstur 74,22 83,92 79,27 65,63
C11 72,63 66,17 67,52 74,47
Keterangan : A11 = tanpa asam jeruk limau (0%) A12 = asam jeruk limau konsentrasi 2% B11 = asam jeruk limau konsentrasi 4% B12 = asam jeruk limau konsentrasi 6% C11 = asam jeruk limau konsentrasi 8% Bau amis pada petis ikan Tongkol karena kandungan Trimethilamine oxide (TMAO) di dalam daging ikan laut. Pada fase post rigor TMAO akan berubah menjadi Trimethylamine (TMA) yang dikatakan sebagai sumber amis ikan (Tokunaga 1964 dalam Kolodziejska et al 1994). Penggunaan asam jeruk limau yang mengandung asam sitrat dan asam askorbat digunakan untuk mereduksi bau amis pada olahan ikan. Jeruk limau memiliki kandungan asam askorbat yang dapat bereaksi dengan Trimethylamine (TMA) dan membentuk trimethyl amonium. Perubahan Trimethylamine (TMA) menjadi trimethyl amonium menyebabkan kandungan TMA pada ikan berkurang sehingga bau amis pada petis dapat direduksi (Taylor 1998 dalam Poernomo et al 2004). 3.3 Penelitian Utama Berdasarkan hasil penilaian sensori pada penelitian utama didapatkan bahwa penambahan gula merah 100% dengan gula putih 100% adalah yang paling sesuai untuk mengimbangi rasa asin air rebusan ikan Tongkol. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5, nilai rata-rata rangking teringgi dengan nilai 55,20. Tabel 5. Nilai rata-rata rangking uji Kruskal-Wallis pada penelitian utama Perlakuan EGP PSG MDS Parameter Penampakan 41,52 39,78 55,20 Bau 42,63 41,60 52,27 Rasa 47,65 35,75 53,10 Tekstur 42,40 44,27 49,38 Keterangan : EGP : Penambahan gula putih 200% PSG : Penambahan gula merah 200% MDS : Penambahan gula putih 100% dan gula merah 100% Perlakuan penambahan gula merah dan gula putih pada petis ikan dilakukan karena masingmasing bahan memiliki komposisi dan karakteristik yang berbeda. Bermacam-macam jenis gula yang ada mempunyai partikel maupun kemurnian yang beragam. Kristal gula yang mempunyai tingkat kemurnian tinggi terdapat dalam ukuran kristal normal, sedangkan ukuran menengah atau gula halus seperti gula putih biasanya mengandung bahan seperti pati. Sedangkan bentuk gula yang tidak murni antara lain gula merah yang mempunyai warna gelap dan kadar zat bukan sukrosa tinggi (Buckle et al 2007). Penampakan petis berwarna coklat kehitaman dipengaruhi oleh karakteristik gula yang ditambahkan, yakni bahan makanan yang mengandung karbohidrat (gula) dan protein (air rebusan ikan Tongkol) akan mengalami pencoklatan non-enzimatis apabila bahan tersebut dipanaskan yang disebut dengan reaksi Maillard (Chellan dan Nagaraj 1999). Senyawa yang terbentuk akibat reaksi Maillard berupa pyruvaldehide yang menghasilkan pigmen warna coklat. Perubahan warna yang terjadi merupakan sensori mutu warna yang diinginkan yang dapat mempengaruhi selera konsumen (Chen et al 2005). Reaksi yang terjadi selama pengolahan petis ikan Tongkol berupa reaksi Maillard antara karbohidrat dan protein yang dipanaskan dapat menghasilkan rasa enak. Pembentukan rasa enak adalah hasil degradasi dari asam amino alfa diubah menjadi aldehid dengan atom karbon yang berkurang satu. Rasa manis pada gula akan bertambah apabila
296
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan konsentrasi gula yang digunakan semakin tinggi, tetapi sampai pada konsentrasi tertentu rasa enak yang timbul akan berkurang. Akibat yang ditimbulkan mungkin meningkatkan intensitas rasa atau penurunan intensitas rasa. Rasa manis ditimbulkan oleh senyawa organik alifatik yang mengandung gugus OH seperti alkohol, beberapa asam amino, aldehida dan gliserol. Sumber rasa manis terutama berasal dari gula atau sukrosa (Buckle et al 2007). 3.4 Karakteristik Fisika-Kimia Petis Ikan Tongkol dan Air Rebusan Ikan Tongkol Karakteristik sifat fisika-kimia petis ikan Tongkol yang dihasilkan dari pemanfaatan air rebusan ikan Tongkol dengan penambahan gula merah 100% dengan gula putih 100% (perlakuan penambahan gula terbaik), bawang putih goreng 5%, cabai rawit 2,5%, merica 0,5% dan penambahan asam jeruk limau 2% (perlakuan konsentrasi asam jeruk limau terbaik) sebagai berikut: 3.4.1 Kadar air (AOAC 2007) Air rebusan ikan Tongkol memiliki kadar air sebesar 64,96% dan petis ikan sebesar 12,5%. Penurunan kadar air yang terjadi diakibatkan adanya proses penguapan air (pemekatan) pada air rebusan ikan Tongkol. Penguapan adalah metode paling umum untuk memekatkan bahan pangan cair (air rebusan ikan Tongkol) karena air dapat lepas secara optimal dan menguap selama pemasakan. Kadar air petis ikan Tongkol sebesar 12,5% merupakan kadar air optimum terjadinya reaksi Maillard selama proses pengolahan petis ikan Tongkol. Menurut Schnickels et al (1976), reaksi Maillard yang terjadi antara gula pereduksi dan asam amino essensial khususnya lisin pada bahan pangan semi basah memiliki laju reaksi yang lebih besar dibandingkan pada bahan pangan yang dikeringkan. 3.4.2 Kadar abu (AOAC 2007) Kadar abu yang terkandung dalam air rebusan ikan Tongkol sebesar 17,4% dan petis ikan Tongkol terbaik sebesar 7,695%. Proses pemanasan dengan air (perebusan) dapat meningkatkan kadar abu pada ikan yang direbus dibandingkan jumlah kadar abu pada ikan segar secara signifikan (Gokoglu et al 2004). Tingginya kandungan NaCl (garam) pada air rebusan ikan Tongkol juga menyebabkan kadar abu yang terukur dalam jumlah besar. Komponen Na diketahui merupakan salah satu unsur mineral penting. 3.4.3 Kadar lemak (AOAC 2007) Kadar lemak air rebusan ikan Tongkol sebesar 0,95% dan kemudian diolah menjadi petis ikan kadar lemaknya menurun menjadi 0,2%. Trenggono et al (1989) melaporkan bahwa lemak mulai o meleleh pada suhu 53 C dan selanjutnya akan mengalami kerusakan apabila suhu telah mencapai o o 200 C. Proses pemasakan ikan Tongkol menjadi produk pindang dengan suhu mencapai 120 C selama ±4-6 jam diduga dapat merusak kadar lemak yang terkandung dalam air rebusan ikan Tongkol. 3.4.4 Kadar protein (AOAC 2007) Kadar protein petis ikan Tongkol memiliki nilai yang rendah yaitu 6,70%. Jumlah kadar protein yang terdapat pada petis ikan Tongkol ini di bawah standar SNI mutu petis yang mencantumkan bahwa kadar protein minimal 10%. Hal ini dikarenakan petis ikan Tongkol yang diperoleh adalah cairan pindang yang dipanaskan kembali, dimana kadar protein dipengaruhi oleh lama pemasakan. Menurut Schnickels et al (1976), selama proses pengolahan bahan pangan termasuk petis dapat mengalami kerusakan protein karena adanya reaksi antara protein dengan gula pereduksi yang disebut reaksi Maillard. Reaksi Maillard yang terjadi pada suatu bahan pangan dapat menyebabkan penurunan nilai gizi. Hal ini dapat terjadi karena asam amino bebas esensial dan residu asam amino, khususnya lisin, berpartisipasi dalam reaksi Maillard tersebut. 3.4.5 Kadar karbohidrat Kadar karbohidrat pada bahan baku petis ikan (air rebusan ikan Tongkol) sebesar 2,19% dan petis ikan Tongkol terbaik sebesar 72,9%. Tingginya kadar karbohidrat pada petis ikan Tongkol disebabkan penggunaan bahan tambahan gula merah dan gula putih dalam jumlah yang besar. Menurut Buckle et al (2007), gula adalah suatu istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, dan dalam industri pangan yang dimaksud dengan gula adalah sukrosa, yaitu gula yang diperoleh dari bit atau tebu. Berdasarkan sifat hidrolisisnya, 297
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan sukrosa yang jika dihidrolisis kemudian menghasilkan glukosa dan fruktosa termasuk dalam kelompok monosakarida. Monosakarida dikenal sebagai bentuk paling sederhana dari karbohidrat dan umumnya memiliki rasa manis, maka senyawa ini disebut juga sebagai “gula sederhana”. 3.4.6 Derajat Keasaman (pH) (Apriyantono et al 1989) Nilai rata-rata pH pada air rebusan ikan Tongkol sebesar 5,25 dan pada petis ikan Tongkol sebesar 5,32. Petis termasuk pangan berasam rendah yaitu pangan dengan nilai pH 4,6 atau lebih. Penambahan asam jeruk limau dapat menurunkan pH petis ikan Tongkol, (Mancini et al 2007) semakin besar konsentrasi asam jeruk limau yang ditambahkan dengan kandungan asam sitratnya maka semakin rendah pH. Akan tetapi dengan banyaknya jumlah gula yang ditambahkan dimana gula bersifat basa dapat meningkatkan kembali pH petis ikan Tongkol. Sehingga perubahan nilai pH yang terjadi dalam jumlah yang kecil, dan produk termasuk dalam golongan pangan berasam rendah. 3.4.7 Kadar garam (Apriyantono et al 1989) Kandungan garam pada air rebusan ikan Tongkol sebesar 19,37%, lebih besar dibandingkan kadar garam pada petis ikan Tongkol sebesar 9,44%. Air rebusan ikan Tongkol memiliki kadar garam yang tinggi dipengaruhi oleh penggunaan garam sebagai upaya pengawetan pindang Tongkol. Konsentrasi garam yang digunakan selama pemindangan yaitu 13,75% dimana dalam satu badeng berisi 35-40 kg ikan dengan penambahan garam 5,5 kg per badeng. Selama proses pembuatan petis ikan, air rebusan ikan Tongkol digunakan dalam jumlah yang sedikit kemudian ditambahkan gula merah dan gula putih dengan perbandingan air rebusan ikan Tongkol dan gula sebesar 1:2, tingginya kadar gula yang digunakan menyebabkan menurunnya kadar garam pada petis ikan Tongkol. 3.4.8 Aktivitas air (aw) Nilai aktivitas air (aw) petis ikan terbaik yaitu 0,62 dan nilai aw petis ikan komersial sebesar 0,75. Hal ini disebabkan penggunaan bahan tambahan berupa gula dengan konsentrasi besar pada pembuatan petis ikan Tongkol terbaik. Gula merupakan bahan yang efektif untuk pengawetan pangan karena sifatnya yang dapat menarik air dari bahan pangan yang diolah dan memberikan rasa manis yang diinginkan pada produk (Buckle et al 2007). Petis ikan Tongkol terbaik memiliki nilai aw sebesar 0,62. Rendahnya nilai aktivitas air (aw) pada bahan pangan dapat menghambat pertumbuhan mikroba sehingga dapat memperpanjang masa simpannya (FAO 2001). 3.4.9 Viskositas Viskositas petis ikan Tongkol terbaik dan berdasarkan SNI berturut-turut sebesar 150.000 cp dan 5.400 cp. Petis ikan Tongkol terbaik menggunakan bahan tambahan gula dalam jumlah besar sehingga kekentalan produk meningkat. Menurut Asano dan Sotoyama (1999), kemampuan gula mengikat air bebas, dan lamanya pemasakan serta suhu yang digunakan selama proses pengolahan bahan pangan mempengaruhi viskositas dan tekstur produk yang dihasilkan dan hubungan ini berbanding lurus. 3.4.10 Kadar histamin (AOAC 2007) Biogenik amin, termasuk histamin terbentuk akibat proses dekarboksilasi asam amino histidin bebas oleh bakteri penghasil enzim dekarboksilase histidin (Rawles et al 1996). Ikan Scombroid seperti ikan Tongkol banyak mengandung histidin bebas pada daging ikan, yang bila tidak ditangani dan diolah dengan baik akan menyebabkan keracunan histamin (Taylor 1986). Proses pengolahan pindang Tongkol dengan penggaraman dan perebusan dapat mengandung histamin, dimana produk olahan hasil perikanan yang diberi penggaraman diketahui mempunyai kandungan histamin yang dihasilkan oleh bakteri halotoleran (Hernandez-Herrero et al 1999). Kandungan histamin pada air rebusan ikan Tongkol dan petis ikan Tongkol masing-masing sebesar 43,91 ppm dan 11,8 ppm. Berdasarkan SNI 01-4104-1996, jumlah batas histamin yang diperbolehkan dalam ikan untuk konsumsi di Indonesia yaitu <15 ppm (15 mg/ 100g). Menurut FDA, keracunan histamin pada ikan jika dikonsumsi 50 mg/100g daging ikan (Mah et al 2002). Oleh karena itu petis ikan Tongkol yang dihasilkan dari air rebusan ikan Tongkol pada penelitian ini masih aman untuk dikonsumsi.
298
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan 3.4.10 Cemaran Logam (Pb, Hg, Fe) Logam berat pada air rebusan ikan Tongkol dan petis ikan Tongkol tidak mengandung adanya merkuri (Hg) dan timbal (Pb) tetapi mengandung besi (Fe). Kandungan Fe pada air rebusan ikan Tongkol sebesar 24,62 ppm dan petis ikan Tongkol terbaik sebesar 39,52 ppm. Kadar Fe pada air rebusan Tongkol diduga disebabkan penggunaan badeng yang terbuat dari besi pada proses pemindangan. Lamanya proses pemasakan tersebut bersamaan dengan suhu yang tinggi menyebabkan besi pada badeng terakumulasi dalam air rebusan ikan Tongkol. Pengolahan petis ikan dengan penambahan asam jeruk limau yang mengandung asam organik berupa asam sitrat bersifat dapat mengikat logam. Menurut Mancini et al (2007) asam sitrat dapat mengikat logam dan membentuk ikatan kompleks ketika berinteraksi dengan logam. 3.4.11 Jumlah Mikroba (Angka Lempeng Total) 2 Nilai angka lempeng total air rebusan ikan Tongkol sebesar 1,3x10 CFU/ml dan petis ikan 1 Tongkol terbaik sebesar 1,2x10 CFU/ml. Karakteristik air rebusan ikan Tongkol yang memiliki kadar garam sebesar 19,37% telah mengeliminir jenis bakteri yang hanya dapat bertahan hidup. Menurut Rodriguez-Jerez (1994), bakteri halofilik dan halotoleran sering ditemukan pada makanan berkadar garam tinggi atau di dalam larutan garam. Proses pemanasan yang diberikan disertai dengan penambahan gula juga dapat mengikat air dari dalam tubuh mikroba, sehingga mikroba tidak dapat hidup (Buckle et al 2007). Selain itu dengan adanya penambahan asam sitrat dan pH yang berkisar antara 5-6 dapat menginaktivasi beberapa jenis bakteri patogen (Buchanan dan Golden 1994). KESIMPULAN Pemanfaatan air rebusan ikan Tongkol sebagai bahan baku petis ikan memiliki karakteristik rasa asin yang sangat kuat dan amis tetapi masih memiliki nilai gizi protein yang cukup. Penambahan asam jeruk limau 2% dipilih sebagai penghilang bau amis ikan pada petis ikan Tongkol. Perlakuan komposisi gula terbaik yang digunakan yaitu gula merah 100% dengan gula putih 100% menghasilkan petis ikan Tongkol dengan citarasa pindang Tongkol yang khas, segar, rasa asin dan manis cukup, adanya bau tambahan, berwarna coklat kehitaman dengan tekstur yang homogen dan agak lembut. DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Agricultural Chemist. 2007. Official Methods of Analysis of AOAC International. Revisi ke-2, Edisi ke-18. Editor: Horwitz W dan Latimer GW,Jr. USA: AOAC International. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, dan Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Penelaah: Deddy Muchtadi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB. Asano Y dan Sotoyama K. 1999. Viscosity change in oil/water food emulsions prepared using a membran emulsification system. J Food Chem 66: 327-331. Buchanan RL dan Golden MH. 1994. Interaction of citric acid concentration and pH on the kinetics of Lysteria monocytogenes inactivation. J Food Protection 57: 567-570. Buckle KA, RA Edwards, GH Fleet, dan M Wooton. 2007. Ilmu Pangan. Penerjemah: Purnomo dan Adiono. Jakarta: Universitas Indonesia. Chellan P dan Nagaraj RH. 1999. Protein crosslinking by the maillard reaction: Dicarbonyl-derived imidazolium crosslinks in aging and diabetes. J Biochemistry and Biophysics 368: 94-104. Chen SL, Jin SY, dan Chen CS. 2005. Relative reactivities of glucose and galactose in browning and pyruvaldehyde formation in sugar/glycine model systems. J Food Chem 92: 597–605 [FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. Handling and Preservation of Fruits and Vegetables by Combine Methods of Rural Areas. FAO Agriculture Service Bulletin 149: 1554-1010-1365. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. Gaten T. 2000. Multiple comparison test. Departement of Biology, University of Leicester.
[email protected]. [28 Jan 2010] Gokoglu N, Yelirkaya P, dan Cengiz E. 2004. Effects of cooking methods on the proximate composition and mineral contents of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). J Food Chem 84: 19–22. 299
SEMINAR NASIONAL PERIKANAN INDONESIA 2010 02-03 Desember 2010, Sekolah Tinggi Perikanan Hernandez-Herrero MM, Roig-Sagues AX, Rodriguez-Jerez JJ, dan Mora-Ventura MT. 1999. Halotolerant and halophilic histamine-forming bacteria isolated during the ripening of salted anchovies. J Food Protection 62: 509–514. Kolodziejska I, Niecikowska C, Sikorski ZE. 1994. Dimethylamine and formaldehyde in cooked squid (Illex argentinus) muscle extract and mantle. J Food Chem 50: 281-283. Mah JH, Han HK, Oh YJ, Kim MG, dan Hwang HJ. 2002. Biogenic amines in Jeotkals, Korean salted and fermented fish products. J Food Chem 79: 239-243. Mancini RA, Hunt MC, Seyfert M, Kroph DH, Hachmeister KA, Herald TJ, dan Johnsons DE. 2007. Effect of ascorbic and citric acid on beef lumbar vertebrae marrow colour. J Meat Sci 76: 568-573. Poernomo D, Suseno SH, dan Wijatmoko A. 2004. Pemanfaatan asam cuka, jeruk nipis (Citrus aurantifolia) dan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) untuk mengurangi bau amis petis ikan Layang (Decapterus spp.). Buletin Teknologi Hasil Perikanan Vol.VII 2:11-17. Rawles DD, Flick, GI, dan Martin EE. 1996. Biogenic amines in fish and shellfish. Advances Food and Nutrition Research 39: 329–364 Schnickels RA, Warmbier HC, dan Labuza TP. 1976. Effect of protein substitution on nonenzymatic browning in an intermediate moisture food system. J Agric Food Chem 24: 901-903. Taylor SL. 1986. Histamine food poisoning: toxicology and clinical aspects. Critical Reviews in Toxicology 17: 91–128. Trenggono, Setiaji B, Suhardi, Soedarmanto, Marsono Y, Murdiati A, Utami IS dan Soeparmo. 1990. Biokimia Pangan. Yogyakarta : PAU Pangan dan Gizi.
300