Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
DIPUBLIKASIKAN OLEH: Program Studi Agroekoteknologi & Program Studi Teknologi Industri Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo
Penerbit dan Panitia tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran, kesalahan, dan keakuratan isi, serta akibat yang diakibatkan oleh penggunaan sebagian atau seluruh materi makalah dalam prosiding ini. Pengutipan, pengambilan, penggunaan, atau penerbitan kembali sebagian atau seluruh materi makalah dalam prosiding ini hanya dapat dilakukan atas ijin penulis yang bersangkutan. Penerbit dan Panitia Seminar Nasional Potensi Hayati tidak bertanggung jawab secara hukum atas akibat yang mungkin dihasilkan.
i
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” PANITIA
Penanggung Jawab : Dr. Agr. Eko Setiawan, SP., MP. Dr. Mohammad Fuad FM, STP., M.Si. Ketua
: Askur Rahman, STP., MP.
Wakil Ketua
: Diana Nurus Sholehah, S.Farm. Apt.
Seketaris
: Ratri Diah Mukti, A.Md.
Sie Acara
: Banun Diyah Probowati, STP., M.Si. Darimiyya Hidayati, STP., MP.
Sei Keseketariatan : Catur Wasonowati, SP., M.Si. Yusi Purwaningsih, SP. Millatul Ulya, STP., MT. Khoirul Hidayat, ST., MT. Sie Konsumsi
: Sri Hastuti, S.Pt., MP. Rosasi Dwi Alianti, A.Md.
Sie Perlengkapan
: Edy Suryono, SP. Supriyanto, STP.,MP.
Sie Pubdekdok
: Mustika Tripatmasari, SP., M.Si. Nurul Hidayat, A.Md.
ii
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah , puji syukur kami haturkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya atas berkat , rahmat dan hidayahnya Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” ini dapat terselenggara dengan baik dan lancar . Seminar Nasional ini betujuan Memaparkan hasil-hasil penelitian dan gagasan ilmiah mengenai pemanfaatan keanegaragaman hayati dalam rangka mendukung pengembangan agroindustri serta menjadi bahan kajian dan pengembangan bagi pihak terkait (akademisi, peneliti dan pelaku usaha) dalam rangka optimalisasi potensi hayati dalam rangka mendukung pengembangan agroindustri. .Hasil–hasil karya ilmiah yang dinilai layak tersebut kemudian disajikan dalam serangkaian sesi presentasi yang diadakan selama seminar berlangsung, serta selanjutnya akan didokumentasikan dan diterbitkan dalam prosiding Seminar Nasional. Saya selaku ketua panitia mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada seluruh anggota tim pengarah, reviewer, dan pemakalah Seminar Nasional ini. Selain itu, saya juga menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya atas antusiasi serta kerja keras yang telah ditunjukkan oleh seluruh anggota panitia , serta berbagai anggota yang telah lerlibat secara langsung maupun tidak langsung demi kesuksesannya seminar ini. Kami sangat berharap adanya kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan dalam Seminar Nasional ini. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bangkalan, 18 Juni 2014 Panitia Seminar Nasional Ketua
Askur Rakhman, STP., MP NIP. 19831014 200912 1 004
iii
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” SAMBUTAN DEKAN
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Selamat Pagi dan Salam Sejahtera buat kita semua Yang terhormat Bapak Prof. Dr. Ir. M. Arifin, MS selaku Rektor Universitas Trunojoyo Madura Ibu Prof. Dr. Mangestuti Agil, MS., Apt Tamu Undangan dari Dinas – Dinas Terkait di Wilayah Madura Para Pemakalah dan hadirin yang berbahagia Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rakhmat dan hidayahnya sehingga kita dapat menghadiri acara Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”. Bapak/Ibu Hadirin yang saya hormati Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tahun 2013 pertumbuhan penduduk Indonesia naik 1,49 persen per tahun. Hal tersebut memerlukan perhatian yang cukup besar dari seluruh sektor dan lapisan masyarakat. Pertumbuhan jumlah penduduk tersebut akan muncul masalah-masalah baru seperti meningkatnya kebutuhan pangan dan kesehatan. Oleh sebab itu perlu ada langkah konkrit dalam mengatasi permasalahan tersebut, salah satunya dengan optimlisasi potensi keragaman hayati yang dimiliki mulai dari hulu sampai hilir (agoindustri). Potensi hayati Negara Indonesia sangat besar, menempati urutan kedua terbesar ke dua di Dunia setelah Brasil yaitu 15.3% dari keanekaragaman hayati dunia. Namun potensi tersebut masih sebatas 5% yang digunakan. Dari Sekitar 38.000 spesies tumbuhan obat di Indonesia, contoh yang intensif telah diidentifikasi sebanyak 1.845 sifat obat dan 283 spesies telah dieksplorasi senyawa bahan aktif. Kami sangat berterimakasih kepada para pemakalah yang telah dengan antusias mensukseskan ide dan gagasan kami dalam mengoptimalkan potensi hayati. Peserta seminar nasional ini berasal dari berbagai instansi mulai akademisi, peneliti, praktisi dan lain-lain. Bapak/Ibu Hadirin yang berbahgia Kami berharap semoga Seminar Nasional ini berjalan dengan sukses dan lancar hingga selesainya acara ini. Melalui kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih atas dukungan dan partisipasi Bapak/Ibu semua, terutama : 1. Bapak Rektor Universitas Trunojoyo Madura, Prof. Dr. Ir. M. Arifin, MS yang telah memfasilitasi acara ini.
iv
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” 2. Ibu Prof. Dr. Mangestuti Agil, MS., Apt yang telah berkenan menjadi pemateri seminar nasional ini. 3. Tamu Undangan, Penyaji Makalah yang telah turut serta dalam mensukseskan acara ini. Demikian sambutan dari kami, kami mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan di hati Bapak/Ibu semuanya. Selamat mengikuti Seminar Nasional dan Call For Paper. Semoga apa yang kita lakukan hari ini bermanfaat bagi kemajuan Bangsa dan Negara Amin. Yang terhomat Bapak Rektor Universitas Trunojoyo Madura, Prof. Dr. Ir. M. Arifin, MS, kami mohon untuk memberikan sambutan sekaligus membuka seminar nasional ini. Billahi Taufik Wal Hidayah, Waridho Wal Inayah Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Dekan
Dr. Ir. H. Slamet Subari, M.Si NIP. 19631212 200112 1 001
v
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL KERJASAMA PRODI AGROEKOTEKNOLOGI DAN PRODI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA Tanggal 18 Juni 2018 Di Auditorium Universitas Trunojoyo Madura No Waktu 1 08.00-08.30 2
08.30-10.00
3 4
10.00-10.15 10.15-12.00
5 6
12.00 -13.00 13.00-15.00
7
15.00-selesai
Susunan Acara Registrasi Peserta Pembukaan Sambutan Ketua Panitia Sambutan Rektor UTM sekaligus membuka acara Seminar Nasional Penutup/Doa Coffee break Seminar Nasional
ISHOMA Seminar Pendamping Penutupan
Keterangan Auditorium UTM (Kantor Pusat Lama) MC Askur Rakhman, STP., MP Prof.Dr.Ir.H. Ariffin, MS
Drs. H. Taufikurrakhman, M.Kes Auditorium UTM Pemakalah Utama : 1. Prof.Dr. Mangestuti Agil, MS.Apt. (Departemen Farmakognosi, Fakultas Farmasi, UNAIR) 2. Fransiska Devi Junardy, M.App.Sc (Martha Tilaar Innovation Center) Auditorium UTM Ruangan Seminar Pendamping Masing-masing ruangan seminar pendamping
vi
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” DAFTAR ISI Cover Kata Pengantar Sambutan Dekan Susunan Acara Daftar Isi
i iii iv vi vii
Pengaruh Pemberian Urine Kelinci Terhadap Tanaman Sayuran Untuk Mendukung RPL (Rumah Pangan Lestari) Titiek Purbiati, Ericha Nurvia Alami
1
Penurunan Rasio Kolesterol Total Kolesterol Hdl Pada Tikus Wistar Jantan Hiperkolesterolemia Yang Diberi Ekstrak Tauge (Vigna Radiata (L))_Adzam Purwandono_Universitas Jember Azham Purwandhono, Rosita Dewi
6
Pewarisan gen SoSUT1 pada Tebu Produk Rekayasa Genetik (PRG) Generasi T1 Parawita Dewanti1), Purnama Okviandari2), Anna Sofyana1) dan Bambang Sugiharto2)
14
Efektivitas Tiga Bioinsektisida Mengendalikan Hama Penting Pada Pertanaman Tumpangsari Kubis Bawang Daun Di Ngadisari Tengger Happy P. Hariyani, Didik Sulistyanto, Wagiyana, W.S.Wahyuni
20
Pengaruh Pemberian Kolkisin Terhadap Produksi Umbi Dan Umur Berbunga Tanaman Sedap Malam Di Dataran Medium Yekti Sri Rahayu, Istiyono K.Prasetyo
26
Strategi Perbanyakan Singkong (Manihot Esculentum) Melalui Kultur Meristem Secara In Vitro Didik Pudji Restanto ,1,4), Slameto 1) , Dwi Setyati 2) , Ida Anggraini, 1) Budi Kriswanto 1) dan Tri Handoyo 1,4)
32
Surve On Plant Pest And Disease Problems On Organic Farming In Field Farmer On Tanah Karo Nort Sumatera Wagiyana
41
Potensi Crotalaria mucronata Desv. sebagai Pupuk Hijau Sumarni T., N. Aini dan N.D. Marsha
46
Potensi Pengembanhan Anggur Jestro Ag45 (Fitis Vinifera,Sp) Di Dataran Rendah Emi Budiyati dan Anis Andrini
vii
52
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Perbaikan Keragaan Tanaman Dan Buah Jeruk Keprok Siompu Di Buton Sulawesi Tenggara Dengan Aplikasi Zeolit Dan Mimba Emi Budiyati, Oka Ardiana Banaty dan Sutopo
59
Eksplorasi dan Produksi CMA (Cendawan Mikoriza Arbuskular) Indigenous Madura Menggunakan Alternatif Metode Pot Kultur Terbuka Murah dan Efektif Dwi Rahmawati Y1, Ach Jasuli1, Ngisomudin1, Vika YP1, Gita Pawana2
57
Pengendalian Hayati Penyakit Hawar Bakteri Pada Tanaman Kedelai Dengan Menggunakan Bakteriofag Sela Reza Resita., Norita Fatatik Azizi., Febrian E S Iriyanto., Wahyu C
72
Uji efektivitas spora cendawan beuaveria bassiana Suharto
78
Keragaan Pertumbuhan Kentang Hitam Asal Stek dan Umbi Eko Setiawan, Achmad Baidowi, Suhartono
87
Distribusi Dan Tingkat Serangan Nematoda Puru Akar (Meloidogyne Incognita) Andri Kurniawan, Soekarto. M. Hoesain
95
Identifikasi Organisme Epifit Eucheuma Cottonii Hasil Kultur Jaringan Apri Arisandi1*, Akhmad Farid2, Yusi Purwaningsih3
100
Kajian Rakitan Teknologi Usaha Tani Dengan Pengendalian Hama Penyakit Terpadu Dalam Rangka Peningkatan Produksi Tomat Di Kediri Evy Latifah(1), Kuntoro Boga(1)and Joko Maryono(2)
106
Penentuan Periode Kritis Kemunculan Gulma Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Dan Hasil Kacang Panjang Local Kultivar Ungu (Vigna Sinesis) Rima Melati, hayun Abdullah
115
Uji Kisaran Inang Bakteriofag SK Pada Beberapa Isolate Pathogen Hawar Bakteri Pada Tanaman Kedelai di Jember Galih Susianto, Hardian Susilo Addy, Paniman Ashna Mihardjo Efektifitas Ekstrak Biji Kelor (Moringa Oleifera) Sebagai Sifat Antimikrobia Anshori Syarif, Fakhry Muhammad, Hidayati Darimiyya
viii
121
127
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Karakteristik Buah Naga Putih (Hylocereus Undatus) Dan Buah Naga Merah (Hylocereus Polyrhizus) Nurhayati1,2), Gama Kusuma1), Nurma Handayani1), Ahib Assadam1)
131
Rekayasa Tekstur dan Kajian Stabilitas Sosis Frankfurters Rendah Lemak Dari Ikan Tongkol (Thunnus tonggol) Menggunakan Lemak Analog Dari Ekstrak Porang Dan Pengemulsi Bayu Norianda
135
Pengaruh Fortifikasi Ekstrak Daun Dan Biji Kelor (Moringa Oleifera) Terhadap Sifat Sensoris Tahu Kusumawardani S, Hidayati D, Mu’tamar MFF
149
Uji Aktivitas Antimikrobia Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera) Segar terhadap Bakteri Escherichia coli, Salmonella sp dan Staphylococcus aureus Saputra. E. A., Hidayati. D., Supriyanto
154
Produksi Substrat Fermentasi Bioetanol dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Melalui Hidrolisis Asam Rinda Gusvita1, Wagiman2, Jumeri2
158
Potensi Minyak Biji Tembakau Sebagai Sumber Minyak Nabati Kaya Asam Lemak Omega-6 Rahmad Fajar Sidik, MSi
170
"Inotek Pintar” Inovasi Teknologi Pengolahan Air Laut Menjadi Air Suling Siap Minum, Kristal Garam, Serta Mineral Bittern Berbasis Membran Filtrasi Dan Energi Surya Ibadur Rohman Strategi dan Kebijakan Pengembangan Industri Jamu Madura Abdul Aziz jakfar
ix
177
190
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
PENGARUH PEMBERIAN URINE KELINCI TERHADAP TANAMAN SAYURAN UNTUK MENDUKUNG RPL (RUMAH PANGAN LESTARI). 1) 2)
Titiek Purbiati¹, Ericha Nurvia Alami² Peneliti BPTP Jawa Timur, Jl. Raya Karangploso Km 4 Malang, Peneliti BPTP Jawa Timur, Jl. Raya karangploso Km 4 Malang. Email :
[email protected] ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh interval pemberian urine kelinci sebagai pupuk terhadap tanaman sayur dalam pot polibag untuk mendukung Kawasan Rumah Pangan Lestari. Penelitian dilakukan pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2013 di dusun Dadapan kota Batu Jawa Timur. Percobaan disusun secara factorial dengan rancangan acak kelompok. Sebagai factor pertama interval pemberian yaitu 1,2 dan 3 minggu sekali. Faktor kedua adalah jenis tanaman sayur : tomat, cabe dan terung yang ditanam dalam pot polibag. Parameter yang diamati adalah produksi (jumlah dan berat buah). Hasil menunjukan bahwa interaksi kedua factor memberikan pengaruh terhadap berat buah. Sedangkan jumlah buah kedua factor dan interaksinya tidak ada beda. Tanaman terung yang diberi pupuk urine kelinci dengan interval 1,2 dan 3 minggu sekali dapat menghasilkan berat buah yang lebih berat dan tidak ada beda dengan tanaman tomat tetapi berbeda dengan tanaman cabe. Pemberian pupuk urine kelinci interval 1,2 dan 3 minggu sekali dan jenis tanaman tomat, cabe dan terung tidak ada beda terhadap jumlah buahnya. Kata kunci: Tanaman sayur dalam pot, urine kelinci, interval, produksi
PENDAHULUAN Rumah pangan lestari merupakan unit rumah tangga yang menerapkan prinsip pemanfaatan lahan pekarangan. Upaya itu dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga bagi rumah tangga di pedesaan ataupun di perkotaan. Jika luas lahan pekarangan itu sempit maka dapat menanam tanaman secara vertikultur yang ditanam dalam pot-pot polibag (Anonim, 2012 ,Mardiharini, 2011). Pada daerah kawasan Rumah Pangan Lestari, umumnya berbagai komoditas tanaman semusim yaitu sayuran dan buah semusim dapat ditanam dalam pot-pot polibag. Budidaya tanaman dalam pot polibag umumnya menggunakan media tanam yang memerlukan kaya hara karena volume media tumbuh yang terbatas untuk keperluan pertumbuhan tanaman (Purbiati et al, 2012 , Purbiati & Nurvia Alami, 2013). Beberapa komposisi media tumbuh tanah dan kompos, cocopeat dan kompos maupun yang diberi penambahan trichokompos dapat menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman tomat dan buah strawberry yang lebih baik (Purbiati & Nurvia Alami, 2013). Untuk mengoptimalkan hasil tanaman pertanian perlu dipacu dengan penambahan hara dalam media tumbuh. Tanaman yang ditanam dalam pot polibag mempunyai ruang lingkup yang terbatas untuk perkembangan akarnya sehingga pupuk sangat diperlukan. Walaupun terdapat beberapa media tumbuh alternative untuk tanaman pot dapat memberikan pertumbuhan tanaman yang lebih baik karena mengandung unsure N,P,K maupun Ca ,Mg tetapi dengan penambahan pupuk organic cair dapat menghasilkan produksi optimal (Anonim, 2011, Paralim, 2014, Swastika & Yuliani, 2013).
1
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Pupuk cair yang terbukti efektif untuk meningkatkan kesuburan tanah atau media tumbuh adalah limbah urine kelinci. Limbah urine kelinci tersebut diolah menjadi pupuk organic cair yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan kualitas tanaman yang ramah lingkungan juga akan mengurangi penggunaan pupuk kimia (Anonim, 2013 (a), 2013 (b), 2012). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh interval penggunaan pupuk organik cair urine kelinci terhadap hasil tanaman sayur dalam pot polibag untuk mendukung kawasan Rumah Pangan Lestari. METODOLOGI Penelitian dilaksanakan di dusun Dadapan kota Batu sebagai kawasan RPL (Rumah pangan Lestari) mulai bulan September sampai Desember tahun 2013. Percobaan secara factorial dengan Rancangan Acak Kelompok dan diulang 3 kali. Sebagai factor pertama adalah interval pemberian pupuk urine kelinci 1 minggu, 2 minggu dan 3 minggu sekali. Faktor kedua adalah jenis tanaman yaitu tomat, cabe dan terung yang ditanam dalam pot polibag. Setiap unit perlakuan/ulangan menggunakan 3 pot polibag. Sebagai media tumbuh dalam pot polibag adalah campuran tanah, kompos dan trichokompos perbandingan 1:1 + 15 g trichokompos. Dosis pupuk urine kelinci yang diberikan adalah 80 ml/1 liter air dan setiap pot diberikan 250 ml larutan. Parameter yang diamati adalah produksi (berat dan jumlah buah). Selama percobaan berlangsung tanaman tidak dilakukan penyemprotan pestisida dan tidak menggunakan pupuk kimia. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman dan penyiangan disekitar pot polibag. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi (Berat buah dan jumlah buah) Berat buah Analisis statistik, interaksi kedua faktor perlakuan interval pemberian pupuk urine kelinci dan jenis tanaman terhadap produksi berat buah ada perbedaan yang nyata dan disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Pengaruh interval pemberian pupuk urine kelinci dan jenis tanaman sayur terhadap berat buah. Perlakuan Berat buah per pot (g) Interval pemberian Jenis tanaman urine kelinci Tomat Cabe Terung (minggu) 1 (satu) 148,08 abc 13,50 c 258 a A B C 2 (dua) 115,58 bc 14,27 c 248,50 ab A B C 3 (tiga) 141,84 abc 12,46 c 180,67 ab A B C Angka-angka dalam satu baris yang sama dan didampingi huruf kecil yang sama dan dalam satu kolom yang sama yang didampingi huruf besar yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata menurut uji BNT 5%. Tanaman terung yang diberi pemupukan urine kelinci dengan interval 1 minggu sekali menghasilkan berat buah yang lebih tinggi dan ada beda dengan tanaman cabe
2
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
tetapi tidak ada beda dengan tanaman tomat. Keadaan tersebut juga terjadi jika diberi pemupukan urine kelinci dengan interval 2 minggu sekali dan 3 minggu sekali. Secara umum bahwa tanaman terung yang diberi penambahan pupuk organic cair berupa larutan urine kelinci dengan pemberian interval 1 sampai 3 minggu menghasilkan berat buah yang lebih berat dibandingkan dengan tanaman tomat dan cabe. Hal ini karena dari sifat genetis dari tanaman terung yang memiliki berat buah yang besar , kandungan bahan organic pada media tumbuh serta tambahan hara dari pupuk urine kelinci dalam media tumbuh. Kandungan kompos sebagai media tumbuh dan pupuk urine kelinci pada tabel 2. Tabel 2. Kandungan hara kompos sebagai media tumbuh dan pupk cair urine kelinci. Unsur hara Persentase kandungan Kompos (%) Bahan organik 25,16 P2O5 1,43 K2O 0,091 C organic 14,54 N total 0,64 C/N 23 Kadar air 24 Pupuk cair urine kelinci (%) N total 0,7 P2O5 1,1 K2O 0,5 Kadar air 55,3
Menurut Gardner et. al. (1985), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal antara lain merupakan media tumbuh tanaman yang didukung dengan kandungan 16 unsur yang diperlukan tanaman, pH, tekstur, struktur dan bahan organic. Media tumbuh kompos yang digunakan banyak mengandung bahan organic dan unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman dan pupuk cair tambahan yaitu urine kelinci (Tabel 2). Urine kelinci yang telah difermentasi merupakan bahan baku pupuk organic cair sangat baik untuk menyuburkan tanaman sayuran. Pupuk tersebut memiliki keuntungan karena hemat penggunaannya, mudah diserap oleh akar tanaman dan efeknya lebih cepat (Anonim, 2012, 2013, 2014).
Jumlah buah Hasil analisis secara statistic menunjukkan bahwa kedua factor interval pemberian pupuk urine kelinci dan jenis tanaman sayur serta interaksi kedua factor tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jumlah buahnya dan disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Pengaruh interval pemberian pupuk urine kelinci dan jenis tanaman sayur terhadap jumlah buah Perlakuan Produksi jumlah buah/pot polibag
3
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Interval pemberian pupuk urine kelinci 1 minggu 5,92 a 2 minggu 12,08 a 3 minggu 13,81 a Jenis tanaman sayur Tomat 15,15 a Cabe 11,31 a Terung 5,36 a Angka-angka dalam satu kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata menurut uji BNT 5%. Jumlah buah dalam satu pot dengan interval pemberian pupuk urine kelinci 1 minggu, 2 minggu dan 3 minggu sekali menghasilkan jumlah yang sama sedangkan pada tanaman tomat, cabe dan terung juga menghasilkan jumlah buah yang sama. Hal tersebut karena ketiga tanaman sayur ditanam dalam media yang memiliki komposisi yang sama yaitu tanah, kompos dan trichokompos sebagai penambah hara. Sedangkan penambahan pupuk urine kelinci dengan interval waktu yang tidak terlalu lama sehingga selang 2 minggu kebutuhan hara tanaman masih dapat tercukupi untuk menghasilkan jumlah buah tanaman sayur tersebut. Tanaman tomat yang ditumbuhkan pada media tanah kompos menghasilkan produksi per pot sekitar 12 buah (Purbiati & Nurvia Alami, 2014), dengan penambahan trichokompos dan pemberian pupuk urine kelinci tiap potnya dapat menghasilkan 15 buah. Penambahan trichokompos akan memberikan beberapa manfaat pada media tumbuh antara lain : memperbaiki struktur tanah, mencegah serangan penyakit tanaman yang ditularkan melalui tanah dan sebagai penambah unsure hara (Suheiti, 2009; Aberar et al, 2011; Anonym, 2012). Pupuk urine kelinci juga dapat menyuburkan tanah (Anonym, 2013) KESIMPULAN Interaksi interval pemberian pupuk urine kelinci dan jenis tanaman sayur tomat, cabe dan terung berpengaruh terhadap produksi berat buah. Dengan pemberian pupuk cair urine kelinci interval 1 sampai 3 minggu sekali dosis 80 ml/1 liter air yang diberikan 250 ml larutan menghasilkan berat buah tanaman terung tiap potnya paling berat dibandingkan tanaman tomat dan cabe. Jumlah buah pada tanaman tomat, cabe dan terung dengan pemberian pupuk cair urine kelinci interval 1 sampai 3 minggu sekali adalah sama banyak.
DAFTAR PUSTAKA Anonym. 2012. Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Makalah dipresentasikan di Workshop Pangan Lestari di Solo. Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementan. 11 p. Anonym,
2011. Anak Negeri Berusaha mewujudkan Http://putrabangsa.blogspot.com (diunduh tanggal 12 Maret 2014).
Anonym,
2012. Pemanfaatan Trichoderma, sp dengan pembuatan kompos (trichokompos). Http://epetani.deptan.go.id (diunduh tanggal 12 Maret 2014)
Anonym,
2013. Mengolah kotoran dan urine kelinci menjadi Http://asevha.blogspot.com (diunduh tanggal 11 April 2014)
4
mimpi.
pupuk
cair.
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Anonym,
2012. Pembuatan pupuk cair dari urine Http://yogya.litbang.deptan.go.id (diunduh tanggal 11 April 2014)
kelinci.
Anonym, 2014. Cara pembuatan pupuk organic dari urine kelinci. Http://cangkultani.blogspot.com (diunduh tanggal 11 April 2014) Aberar M., Athaillah Mursyid dan Gt. M Sugian Noor. 2011. Respon tanaman tomat terhadap dosis pupuk trichokompos dan interval waktu pemberian ekstrak nimba di lahan sulfat masam. Agroscientiae 18 (3): 155-163. Gardner P.G.,R.B Pearee and T.L. Mitchell. 1985. Physiology of crop plants. The Iowa State University Press. U.S.A 428 p. Mardiharini, M. 2011.Model Kawasan Rumah Pangan Lestari dan Pengembangannya ke seluruh Provinsi Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 33 (6): 3-5 p. Purbiati. T., Martinus Sugyharto dan Wigati Istuti.2012. Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) kota Batu.Lap. akhir tahun 2012. BPTP Jawa Timur. 17 p. Purbiati T., dan Ericha Nurvia Alami. 2013.Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) kota Batu. Lap. Akhir tahun 2013. BPTP Jawa Timur. 16 p. Purbiati T dan Ericha Nurvia Alami. 2014. Pengaruh media tumbuh terhadap produksi sayur, buah semusim ramah lingkungan mendukung RPL (Rumah Pangan Lestari). Lap. Hasil pengakajian PBTP Jatim. 7 p (Belum dipublikasi) Paralim R., 2013. Media tanam organik. http://rahmatparalim.indonetwork.co.id (diunduh tanggal 12 Maret 2014). Swastika S., dan N.Yuliani. 2013. Media Tanam Raphis excelsa . Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau. 2 p. Suheiti K., 2009. Pemanfaatan trichokompos pada tanaman sayuran. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. 2 p.
5
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
PENURUNAN RASIO KOLESTEROL TOTAL : KOLESTEROL HDL PADA TIKUS WISTAR JANTAN HIPERKOLESTEROLEMIA YANG DIBERI EKSTRAK TAUGE (Vigna radiata (L)) Azham Purwandhono, Rosita Dewi Fakultas Kedokteran Universitas Jember Jalan Kalimantan No.37 Kampus Tegal Boto Jember Email :
[email protected] ABSTRAK Hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko utama aterosklerosis yang mendasari timbulnya penyakit jantung koroner. Prevalensi aterosklerosis dan penyakit jantung koroner di dunia semakin meningkat. Rasio kolesterol total : kolesterol HDL digunakan untuk memprediksi dan mengevaluasi penatalaksanaan penyakit jantung koroner. Menurunkan rasio ini jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan hanya menurunkan kadar kolesterol LDL. Saat ini banyak dikembangkan penelitian terhadap potensi berbagai tanaman obat sebagai alternatif penatalaksanaan penyakit kardiovaskular. Tauge (Vigna radiata (L)) mengandung antioksidan cukup tinggi diantaranya vitamin E (α Tokoferol), vitamin C, fenol, flavonoid, fitosterol, dan beberapa mineral yang berperan dalam menurunkan kadar kolesterol darah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tauge terhadap penurunan rasio kolesterol total : kolesterol HDL pada tikus wistar jantan hiperkolesterolemia. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus wistar putih yang dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu K(-) dengan diet normal, K(+) dengan diet normal dan kuning telur 2 ml, dan 3 kelompok perlakuan dengan pemberian kuning telur 2 ml dan ekstrak tauge berbagai dosis (50 mg/hari, 100 mg/hari, dan 200 mg/hari). Data yang didapatkan diuji dengan uji statistik One Way Anova. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan rasio kolesterol total : kolesterol HDL pada kelompok perlakuan secara bermakna (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak tauge dosis rendah dapat menurunkan rasio kolesterol total : kolesterol HDL. Kata kunci: Vigna radiata, rasio kolesterol total : kolesterol HDL, penyakit jantung koroner ABSTRACT Hypercholesterolemia is the main risk factor of atheroslerosis which causes coronary heart disease. The prevalence rate of atherosclerosis and coronary heart disease is getting higher. The ratio of total cholesterol : HDL cholesterol is used to predict and evaluate coronary heart disease treatment. Decreasing this ratio is more beneficial than merely decreasing LDL cholesterol. Nowadays there are many research developed about medicinal herbs potency as an alternative treatment of cardiovascular disease. Bean sprout (Vigna radiata (L)) consists of high antioxidant such as vitamin E (α Tokoferol), vitamin C, fenol, flavonoid, fitosterol, dan minerals which gives benefit in decreasing blood cholesterol level. The aim of this research was to know the effect of bean sprout extract in decreasing the ratio of total cholesterol : HDL cholesterol in rats which had been given high cholesterol diet. It used 25 rats which devided into 5 different groups. They were negative control group administered by normal diet, positive control group administered by normal diet and 2 ml egg yolk, and 3 intervention groups administered by 2 ml egg yolk and bean sprout extract with several dosages (50 mg/day, 100 mg/day, and 200 mg/day). The obtained data was tested by One Way Anova-test. The result of the research showed the ratio difference of total cholesterol : HDL cholesterol among the intervention groups significantly (p<0,05). It could be concluded that bean sprout extract at a low dosage could decrease the ratio of total cholesterol: HDL cholesterol.
6
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Keyword: Vigna radiata, the ratio of total cholesterol : HDL cholesterol, coronary heart disease.
PENDAHULUAN Hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko utama aterosklerosis yang mendasari timbulnya penyakit jantung koroner. Makanan cepat saji yang digemari oleh masyarakat mengandung lemak jenuh (LDL) tinggi sehingga sangat berperan dalam meningkatkan angka kejadian aterosklerosis. Prevalensi aterosklerosis dan penyakit jantung koroner di dunia semakin meningkat. Pada tahun 2004 terdapat 7,2 juta kematian akibat penyakit jantung koroner. Diperkirakan angka ini akan terus meningkat menjadi 23,4 juta kematian atau meningkat 37% pada tahun 2030 (WHO, 2009). Selain itu, faktor kemajuan teknologi menjadikan manusia lebih mudah melakukan sesuatu tanpa harus beraktivitas fisik berat yang mengakibatkan peningkatan berat badan hingga obesitas dengan konsekuensi selanjutnya, yaitu terjadinya penyakit jantung koroner di kemudian hari (Yusuf et al, 2004). Hiperkolesterolemia dapat secara langsung mengganggu fungsi sel endotel pembuluh darah arteri (Kumar et al, 2010). LDL kolesterol yang berada di sirkulasi dalam jangka waktu lama akan teroksidasi menjadi LDL teroksidasi. LDL teroksidasi akan memicu pembentukan senyawa radikal bebas sehingga terjadi disfungsi endotel yang merupakan lesi awal aterosklerosis. Lesi berupa plak aterosklerosis akan terus tumbuh progresif dan menyebabkan penebalan pembuluh darah arteri (Lilly, 2011). Rasio kolesterol total : kolesterol HDL digunakan untuk memprediksi terjadinya penyakit jantung koroner. Selain itu, rasio tersebut juga bermanfaat dalam mengevaluasi penatalaksanaan penyakit jantung koroner. Menurunkan rasio ini, yaitu dengan menurunkan kadar kolesterol total dan meningkatkan kadar kolesterol HDL jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan hanya menurunkan kadar kolesterol LDL (Fulks et al, 2009; Real et al, 2001; Sharaf and Ali, 2004l). Penatalaksanaan penyakit jantung koroner bertujuan menekan morbiditas dan mortalitas. Terdapat berbagai macam farmakoterapi baik menggunakan obat-obat kimia yang telah teruji maupun menggunakan obat tradisional yang berasal dari tanaman. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbanyak kedua di dunia. Ditemukan 30.00040.000 jenis tanaman dan sekitar 9.000 spesies yang berkhasiat sebagai tanaman obat (Setiawan dan Ernawati, 2012). Dukungan masyarakat terhadap penggunaan tanaman obat cukup besar karena bahannya mudah didapat, murah, dan tidak memiliki efek samping. Kacang hijau merupakan hasil pertanian yang umum dijumpai di Indonesia. Tauge (Vigna radiata (L)) merupakan bentuk kecambah dari tanaman ini. Tauge memiliki kandungan antioksidan yang cukup tinggi di antaranya vitamin E (α tokoferol), vitamin C, fenol, flavonoid, fitosterol, dan beberapa mineral (selenium, mangan, tembaga, zinc, dan besi) (Astawan, 2005). Antioksidan berperan melindungi tubuh terhadap radikal bebas dan inflamasi (Rohmatussolihat, 2009). Melalui efek antioksidan tersebut, tauge diduga mampu menurunkan kadar kolesterol darah. Adanya kandungan antioksidan dapat digunakan sebagai alternatif penatalaksanaan penyakit kardiovaskular. Dengan mengetahui khasiat disertai bukti empirik, masyarakat akan memperoleh keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam mengkonsumsi tanaman obat. Berdasar pada latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui apakah pemberian ekstrak tauge (Vigna radiate (L)) dapat menurunkan rasio kolesterol total : kolesterol HDL pada tikus wistar jantan hiperkolesterolemia. METODE PENELITIAN
7
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan randomisasi, replikasi, menggunakan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, dan rancangan post test only control group design. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. Pembuatan ekstrak tauge dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Fakultas Farmasi Universitas Jember. Sampel penelitian ini adalah tikus wistar putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa dengan kondisi sehat fisik, umur 2-3 bulan, dan berat badan +200 gram. Tikus yang digunakan sebanyak 25 ekor dan dibagi menjadi 5 kelompok. Pada hari pertama penelitian tikus pada kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan diinjeksi inisial adrenalin 0,006 mg/200g BB secara intravena, selanjutnya selama 6 minggu tikus pada kelompok kontrol negatif (K(-)) diberi diet normal, tikus pada kelompok kontrol positif (K(+)) diberi diet normal dan kuning telur 2 ml, tikus pada kelompok perlakuan pertama (P1) diberi diet normal, kuning telur 2 ml, dan ekstrak tauge 50 mg/hari, tikus pada kelompok perlakuan kedua (P2) diberi diet normal, kuning telur 2 ml, dan ekstrak tauge 100 mg/hari, dan tikus pada kelompok perlakuan ketiga (P3) diberi diet normal, kuning telur 2 ml, dan ekstrak tauge 200 mg/hari. Pada hari terakhir penelitian tikus dibius dengan menggunakan eter kemudian dilakukan pengambilan darah 3 ml melalui punksi kardia, selanjutnya dilakukan pengukuran kadar kolesterol total dan kolesterol HDL dengan menggunakan teknik spektofotometri dan dinyatakan dengan satuan mg/dl. Data yang terkumpul diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rasio kolesterol total : kolesterol HDL antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dilakukan uji parametrik One Way Anova (α=0,05). Untuk mengetahui perbedaan antar kelompok, dilakukan uji post hoc Tukey. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 5 kelompok penelitian yang terdiri atas 2 kelompok kontrol (positif dan negatif) dan 3 kelompok perlakuan yang diberi ekstrak tauge berbagai dosis. Hasil pengukuran kadar kolesterol total dan kolesterol HDL disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Kadar Kolesterol Total, Kolesterol HDL, dan Ratio Kolesterol Total:HDL Kadar Kolesterol Ratio Kelompok Kadar HDL Total Kolesterol Total: HDL K(-) 61,20±8,04ab 22,40±4,34ab 2,79 ± 0,47bc ab c K(+) 61,60±6,23 30,80±1,30 2,00 ± 0,17a P1 60,80±4,55 ab 27,80±3,56bc 2,22 ± 0,35ab a a P2 52,40±6,58 19,80±2,17 2,65 ± 0,23bc b ab P3 69,00±10,98 22,75±2,75 3,03 ± 0,34c Keterangan : notasi yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p<0,05) Pada kelompok kontrol positif dan negatif didapatkan kadar kolesterol total yang tidak jauh berbeda, yaitu 61,20+8,04 mg/dl dan 61,60+6,23 mg/dl. Pada kelompok perlakuan kadar kolesterol total terendah didapatkan pada kelompok P2 (diet normal, kuning telur 2 ml, dan ekstrak tauge 100 mg/hari), yaitu 52,40+6,58 mg/dl. Nilai kadar kolesterol total pada kelompok P1 60,80+4,55 mg/dl dan kelompok P3 69,00+10,98 mg/dl. Pada uji statistik didapatkan perbedaan kadar kolesterol total secara bermakna antara kelompok P2 dan kelompok P3 (diet normal, kuning telur 2 ml, dan ekstrak tauge 200mg/hari) (p<0,05).
8
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Kadar kolesterol HDL tertinggi didapatkan pada kelompok kontrol positif, yaitu 30,80+1,30 mg/dl sedangkan kadar kolesterol HDL terendah didapatkan pada kelompok P2, yaitu 19,80+2,17 mg/dl. Uji statistik menunjukkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok tersebut (p<0,05). Kadar kolesterol HDL pada kelompok kontrol negatif dan kelompok P3 tidak jauh berbeda, yaitu 22,40+4,34 mg/dl dan 22,75+2,75 mg/dl. Di antara kelompok perlakuan, kadar kolesterol HDL terendah didapatkan pada kelompok P2. Uji statistik menunjukkan perbedaan kadar kolesterol HDL bermakna antara kelompok P1 (diet normal, kuning telur 2 ml, ekstrak tauge 50 mg/hari) dan kelompok P2 (p<0,05). Di antara kelompok perlakuan ratio kolesterol total : kolesterol HDL terendah ditemukan pada kelompok P1, yaitu 2,22±0,35. Rasio kolesterol total : kolesterol HDL mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan dosis ekstrak tauge, yaitu sebesar 2,65±0,23 dan 3,03±0,34 (Gambar 1). Pada uji statistik didapatkan perbedaan rasio kolesterol total : kolesterol HDL secara bermakna antara kelompok P1 dan kelompok P3 serta kelompok P1 dan kelompok kontrol negatif (p<0,05).
Gambar 1. Grafik Ratio Kolesterol:HDL pada kelompok perlakuan Pada penelitian ini hewan coba diinjeksi inisial adrenalin intravena kemudian disonde kuning telur selama 6 minggu agar didapatkan tikus hiperkolesterolemia. Sampel penelitian ini telah memenuhi kriteria hiperkolesterolemia, yaitu kadar kolesterol total >54 mg/dl (Kusumawati, 2004). Pemberian adrenalin bertujuan meningkatkan lipolisis dengan cara menstimulasi aktivitas enzim adenilsiklase yang mengkonversi ATP menjadi cAMP. Senyawa cAMP akan mengkonversi enzim triasilgliserol lipase inaktif yang sensitif menjadi bentuk aktif enzim lipase. Pada lipolisis terjadi pelepasan asam lemak bebas dari jaringan adipose dan peningkatan kadar asam lemak bebas plasma. Hormon-hormon yang dapat memicu terjadinya lipolisis adalah norepinephrine, epinephrine, glukagon, hormon adrenokortikotropik (ACTH), hormon perangsang melanosit-α dan -β (MSH), hormon perangsang kelenjar tiroid (TSH), hormon pertumbuhan (GH), dan vasopressin (Murray et al, 2003). Kuning telur memiliki komposisi gizi yang terdiri atas air, protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitamin. Lemak merupakan proporsi terbesar pada kuning telur. Lemak dalam telur terdiri atas senyawa trigliserida, fosfolipid, sterol, dan serebrosida.
9
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Kebanyakan asam lemaknya terdiri atas asam palmitat, oleat, dan linoleat. (Komala, 2008). Kolesterol adalah produk metabolisme hewan dan terdapat pada makanan yang berasal dari hewan seperti kuning telur, otak, hati, dan daging. LDL merupakan perantara ambilan kolesterol bebas dan ester kolesterol ke dalam banyak jaringan. Ester kolesterol merupakan bentuk penyimpanan kolesterol di hampir semua jaringan. Kolesterol berperan dalam pembentukan aterosklerosis pada pembuluh darah arteri sehingga menyebabkan penyakit serebrovaskular, vaskuler perifer, dan jantung koroner. Terjadinya penyakit jantung koroner berkaitan dengan rasio kolesterol total : kolesterol HDL plasma yang tinggi (Murray et al, 2003). Hiperkolesterolemia kronis menyebabkan terjadinya peningkatan produksi radikal bebas. Radikal bebas berperan dalam mengoksidasi LDL. LDL teroksidasi bersifat sitotoksik dan dapat menimbulkan jejas endotel. LDL teroksidasi bersama dengan growth factor memacu proliferasi sel otot polos dan sintesis matriks ekstraseluler pada aterosklerosis (Lilly, 2011; Ross, 1999). Secara teori, pemberian diet tinggi lemak dapat mengakibatkan penurunan kolesterol HDL namun pada penelitian ini terjadi peningkatan kadar kolesterol HDL pada kelompok kontrol positif (30,80+1,30 mg/dl) dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (22,40+4,34 mg/dl). Hal ini diduga bahwa hewan coba masih mengalami keadaan kompensasi ataupun adaptasi. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pemberian diet lemak dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL karena adanya mekanisme adaptasi berupa peningkatan fluks kolesterol HDL yang dibutuhkan saat beban metabolik yang tinggi pada pemberian diet tinggi lemak. Pemberian diet tinggi lemak meningkatkan ApoA1 pada post transkripsi melalui peningkatan kemampuan translasi mRNA Apo-A1 dan penurunan degradasi Apo-A1 sehingga terjadi penurunan laju katabolisme fraksi kolesterol HDL dan selanjutnya terjadi peningkatan ukuran HDL (Hayek et al, 1993). Tauge merupakan bentuk perkecambahan dari kacang hijau. Kandungan fitosterol (isoflavon) dalam kacang hijau adalah 70,74 mg/100 gram bahan (Iswandari, 2008). Fitosterol dapat menghambat absorbsi kolesterol, baik yang berasal dari diet maupun kolesterol yang diproduksi oleh hati (Hapsari et al, 2009). Mekanisme penurunan kolesterol lainnya adalah melalui peningkatan katabolisme sel lemak dengan mengaktifkan enzim sitokrom P-450 yang mampu mengikat kolesterol menuju asam empedu sehingga dapat meningkatkan ekskresi asam empedu dan menurunkan kadar kolesterol darah (Dewi, 2013; Middleton et al, 2000). Kandungan lainnya adalah saponin yang berfungsi sebagai surfaktan yang dapat mengikat asam empedu dan kolesterol (Ratnawati dan Widowati, 2011). Tauge memiliki kandungan antioksidan yang cukup tinggi di antaranya vitamin E (α-tokoferol), vitamin C, fenol, flavonoid, fitosterol, dan beberapa mineral (selenium, mangan, tembaga, zinc dan besi) (Astawan, 2005). Flavonoid bekerja sebagai antioksidan dengan cara memblok pembentukan, menginaktivasi (scavenger), dan menghentikan kerusakan akibat radikal bebas (Kumar, 2010). Antioksidan berperan melindungi tubuh terhadap radikal bebas dan inflamasi sehingga mencegah kerusakan membran sel, kerusakan organel sel, dan pembentukan LDL teroksidasi (Boik, 1996; Rohmatussolihat, 2009). Penurunan pembentukan LDL teroksidasi dapat menghambat progresivitas aterosklerosis. Pada kelompok yang diberi ekstrak tauge 50 mg/hari dan 200 mg/hari didapatkan kadar kolesterol total sebesar 60,80±4,55 dan 69,00±10,98 mg/dl sedangkan pada kelompok perlakuan yang diberi ekstrak tauge 100 mg/hari terjadi penurunan kadar kolesterol total, yaitu 52,40±6,58 mg/dl. Kadar kolesterol HDL pada kelompok perlakuan yang diberi ekstrak tauge 50 mg/hari dan 200 mg/hari, yaitu 27,80±3,56 mg/dl dan
10
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
22,75±2,75 mg/dl sedangkan pada kelompok yang diberikan ekstrak tauge 100 mg/hari terjadi penurunan kadar kolesterol HDL, yaitu 19,80±2,17 mg/dl. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa suatu bahan ekstrak dapat memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai antioksidan dan prooksidan yang berkaitan dengan besarnya dosis bahan tersebut (Schwartz, 1996). Penelitian lain menyatakan bahwa tanaman herbal mengandung berbagai macam zat aktif sehingga dapat memberikan lebih dari satu efek farmakologi yang saling mendukung dan dapat pula saling berlawanan (Trianggadewi, 2010). Rasio kolesterol total : kolesterol HDL digunakan untuk memprediksi dan mengevaluasi tata laksana penyakit jantung koroner. Penurunan rasio ini memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan menurunkan kadar kolesterol LDL saja ataupun meningkatkan kadar kolesterol HDL saja (Sharaf dan Ali, 2004; Real et al, 2001). Pada penelitian ini didapatkan penurunan rasio rasio kolesterol total : HDL pada kelompok yang diberi ekstrak tauge 50 mg/hari. Peningkatan dosis pemberian ekstrak tauge meningkatkan rasio ini. Peningkatan rasio akan berdampak terhadap peningkatan kejadian penyakit jantung koroner. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pasien yang memiliki rasio kolesterol total : kolesterol HDL >5.5 dan merokok >20 batang/hari memiliki risiko tiga kali lipat mengalami infark miokard (Keil et al, 1998). Penelitian lain menyatakan bahwa penurunan rasio kolesterol total : kolesterol HDL dapat memperbaiki kualitas pembuluh darah. Penurunan rasio kolesterol total : kolesterol HDL memiliki korelasi dengan penurunan kadar nitrit pada pasien dengan penyakit arterial perifer (Bleda et al, 2012). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak tauge (Vigna radiata) pada dosis rendah, yaitu 50 mg/hari dapat menurunkan rasio kolesterol total : kolesterol HDL. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui program BOPTN/Penelitian Dosen Pemula berdasarkan SPK No. 1503/UN25.3.1/LT.6/2013.
DAFTAR PUSTAKA Amr, Rezq A, Abeer, El-Khamisy E. 2011. Hypolipidemic and Hypocholesterolemic Effect of Pine Nuts in Rats Fed High Fat, Cholesterol-Diet. World Appl Sci J., 15 (12): 1667-1677. Bleda, S, Joaqu´ın de Haro, Varela C, Esparza L, Rodriguez J, Acin F. 2012. Improving Total-Cholesterol/HDL-Cholesterol Ratio Results in an Endothelial Dysfunction Recovery in Peripheral Artery Disease Patients. Cholesterol Volume 2012: 1-6. Boik J. 1996. Cancer and Natural Medicine. USA: Oregon Medical Press. 150-156. Dewi NCP. 2013. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kacang Hijau (Phaseolus radiatus) terhadap Kadar Kolesterol LDL Serum Tikus Hiperkolesterolemia. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
11
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Fulks M, Stout RL, Dolan VF. 2009. Association of Cholesterol, LDL, HDL, Cholesterol/HDL and Triglyceride with All-Cause Mortality in Life Insurance Applicants. J Insur Med 41: 244-253. Ratnawati H, Widowati W. 2011. Anticholesterol Activity of Velvet Bean (Mucuna pruriens L.) towards Hypercholesterolemic Rats. Sains Malaysiana 40(4)(2011): 317–321. Hapsari AI, Poernomo B, Dhamayanti Y. 2009. Perbandingan efek pemberian sari kedelai kuning dan hitam terhadap rasio kolesterol LDL/HDL darah tikus putih (Rattus norvegicus) dengan diet tinggi lemak. Artikel Ilmiah. Surabaya: FKH Universitas Airlangga. Hayek T, Ito Y, Azrolan N, Verdery RB, Aaltosetala K, Walsh A, Breslow JL. 1993. Dietary fat increases high density lipoprotein (HDL) level both by increasing transport rates and decreasing the fractional catabolic rates of HDL cholesterol ester and apolipoprotein (Apo) A-1. Presentation of a new animal model and mechanistic studies in human Apo-A1 transgenic and control mice. J Clin Invest, Apr 91(4): 1665-1671. Iswandari R. 2008. Studi Kandungan Isoflavon pada Kacang Hijau, Tempe Kacang Hijau, dan Bubur Kacang Hijau. Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Komala I. 2008. Kandungan Gizi Produk Peternakan. http://www.ppiupm.net/index.php?option=comcontent&view=article&id=49:kan dungangiziprodukpeternakan&catid=3:sect2kat1&Itemid=17 Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. 2010. Robbins and Cotran: Pathologic Basis of Disease 8th edition. Philadelphia: Saunders, pp. 496-506. Kusumawati D. 2004. Bersahabat dengan hewan coba. Gajah Mada University Press. Jogjakarta, hal 5-8, 25-45, 71-77, 82-112. Lilly LS. 2011. Pathophysiology of Heart Disease Fifth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer, pp 114, 119. Lamanepa MEL. 2005. Perbandingan Profil Lipid dan Perkembangan Lesi Aterosklerosis pada Tikus Wistar yang diberi Diet Perasan Pare dengan Diet Perasan Pare dan Statin. Tesis tidak dipublikasikan. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, hal 44, 48-51, 115. Middleton E, Kandaswami C, Theoharides TC. 2000. The Effects of Plant Flavonoids on Mammalian Cells: Implications for Inflammation, Heart Disease, and Cancer. Pharmacol Rev 52: 673–751. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Harper’s Illustrated Biochemistry, Twenty-Sixth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, 215, 219-229.
12
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Real JT, Chaves FJ, Martinez-Uso I, Garcia-Garcia AB, Ascaso JF, Carmena R. 2001. Importance of HDL cholesterol ratio as a risk factor coronary heart disease in molecularly defined heterozygous familial hypercholesterolemia. European Heart Journal 22, 465-471. Rohmatussolihat. 2009. Antioksidan, Penyelamat Sel-Sel Tubuh Manusia. BioTrends, Vol 4, No.1. Ross R. 1999. Atherosclerosis-an inflammatory disease. NEJM January 14 Volume 340 Number 2: 115-26. Schwartz HL. 1996. The Dual Roles of Nutrients as Antioxidant and Prooxidants: Their Effect on Tumor Cell Growth. Journal of Nutrition, 22:1221-1227. Setiawan B, Erawati. 2012. Efek Proteksi dari Curcumin terhadap Sel Endotelium pada Stres. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. Sharaf KH, Ali JS. 2004. Hypolemic effect of Kuub (Gundelia tournefotii A.) oil and clofibrate on lipid profile of atherosclerotic rats. Veterinarski Arhiv 74(5), 359368. Trianggadewi DP. 2010. Pengaruh Pemberian Ekstrak Labu Siam (Sechium edule (Jacq.) Sw.) terhadap Kadar Kolesterol LDL Tikus Putih (Rattus Norvegicus) yang Diinduksi dengan Pakan Hiperkolesterolemia. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. World Health Organization. 2009. Cardiovascular Diseases. http://who.int/medicacentre/factsheets/fs317/en/index.html, [6 Maret 2013]. Yusuf S, Hawken S, Ounpuu S. 2004. Effect of potentially modifiable risk factors associated with myocardial infarction in 52 countries. Lancet 364(9438): 937952.
13
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
PEWARISAN GEN SOSUT1 PADA TEBU PRODUK REKAYASA GENETIK (PRG) GENERASI T1 Parawita Dewanti1,3), Purnama Okviandari2,3), Anna Sofyana1,3), Fadrian Ramadhan1,3) dan Bambang Sugiharto2,3) 1) 2) Fakultas Pertanian, Fakultas MIPA dan CDAST (Center for Development Advance of Sciences Technology) Universitas Jember E-mail :
[email protected] ABSTRAK Tanaman Tebu PRG generasi T1 merupakan tanaman Produk Rekayasa Genetik yang diperoleh dengan cara transformasi gen SoSUT1 ke tanaman tebu var. Bulu Lawang (BL) melalui Agrobacterium tumefaciens. Menurut beberapa referensi menyatakan bahwa tidak semua tanaman PRG generasi T1 dapat mewarisi gen dari tanaman induknya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian tentang pewarisan gen SoSUT1 pada tebu PRG generasi T1. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan tebu PRG yang membawa gen SoSUT1 seperti pada induknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 tanaman tebu PRG generasi T1 yang sudah dikonfirmasi dan dinyatakan telah mewarisi gen SoSUT1 seperti induknya. Kata Kunci: Tebu (Saccharum officinarum), gen SoSUT1, Produk Rekayasa genetik (PRG), Pewarisan gen ABSTRACT Genetically Modified Product (GMP) Sugarcane T1 generation crop obtained by genetic transformation of SoSUT1 gene to sugarcane var. Bulu Lawang (BL) via Agrobacterium tumefaciens. According to some references that not all GMP plants T1 generation can inherit the genes from the mother plant. Therefore, it is necessary to test the inheritance of SoSUT1 genes in GMP sugarcane T1 generation. This study aims obtained GMP sugarcane carrying SoSUT1 gene as the parent. The results showed that there were 6 GMP sugarcane T1 generation has been confirmed and found to have inherited the gene SoSUT1 as its parent. Keywords: Sugarcane (Saccharum officinarum), gene SoSUT1, Genetically Modified Product (GMP), gene inheritance
PENDAHULUAN Tanaman tebu Produk Rekayasa Genetik (PRG) merupakan tanaman tebu yang diperoleh melalui transformasi gen SoSUT1. Tanaman ini memiliki daya transport dan akumulasi sukrosa di batang meningkat (Sugiharto, 2013). Menurut beberapa referensi, gen yang diinsersikan pada tanaman produk rekayasa genetik (PRG) generasi T 1 tidak semuanya diwariskan (Choffnes, et al., 2001; Hart et al., 1992; Peng et al., 1995; Robbins et al., 1998; Zhang et al., 1996). Oleh karena itu, perlu dilakukan skrining secara invitro dan dikonfirmasi keberadaan gen yang diinsersikan untuk mendapatkan tanaman tebu produk rekayasa genetik (PRG) yang mewarisi gen dari tetuannya. Tebu merupakan tanaman berbiji yang mampu melakukan penyerbukan sendiri, namun untuk mendapatkan biji membutuhkan waktu lebih dari 1 tahun. Tizaoui, K and Kchouk, ME (2012) menyatakan bahwa tanaman tebu akan mewarisi gen dari tetuannya
14
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
jika dilakukan selfing (penyerbukan sendiri) hingga generasi ke-3 (T3). Oleh karena itu, untuk mendapatkan tebu PRG generasi T1 dalam jumlah banyak secara singkat perlu dilakukan mikropropagasi. Tanaman hasil mikropropagasi diskrining pada media yang mengandung antibiotik higromisin, karena pada tanaman tebu PRG mengandung konstuk gen penanda hptII. Gen hptII merupakan sistem marker ketahanan antibiotik hygromycin yang digunakan sebagai penanda dalam konfirmasi keberadaan gen yang telah diinsersikan pada tanaman PRG. Adanya gen hptII menandakan bahwa tanaman PRG generasi T1 telah mewarisi gen SoSUT1 dari tetuannya. Tujuan penelitian adalah mendapatkan tanaman tebu PRG generasi T1 yang mewarisi gen SoSUT1 dari tetuanya (T0). METODE PENELITIAN Bahan Tanam Bahan tanam berupa tunas aksilar dan tunas lateral tebu PRG SoSUT1 generasi T1 yaitu event B1.1, C1.1, C 2.1 (Sugiharto, 2011) dan tebu varieta BL berasal dari PTPN XI kebun Jatiroto. Media Kultur Media untuk mikropropagasi terdiri dari media tanam A: MS0 + BA 2mgL-1, kinetin 0,5mgL-1, glutamin 100mgL-1, dan vitamin 2 kali jumlah vitamin MS, pH 6,2. Media tanam B: MS0 + GA3 0,1mg.L-1, BA 1,5mg.L-1 dan glutamin 100mg.L-1. Media skrining (M1) : MS0 + higromisin 20mgL-1 + phytagel 2,5mgL-1 dan M2: MS0 + higromisin 25mgL-1 + phytagel 2,5 mg/L-1. Sterilisasi media menggunakan autoclave pada temperatur 1210C, tekanan 15-17,5 psi dengan waktu 20 menit. Sterilisasi eksplan dan mikropropagasi Tunas pucuk diambil dengan cara melewatkannya pada api buncen 3 kali, kemudian membuka pelepah daun satu per satu hingga didapatkan tunas pucuk dengan panjang kira-kira 20 mm untuk digunakan sebagai ekplan tunas aksilar. Pengambilan tunas samping dilakukan dengan cara membuka pelepah daun, memotong daerah sekitar tunas, kemudian disemprot alkohol 70%. Pengambilan mata tunas samping dilakukan dengan cara mengambil lapisan yang menutupi mata tunas menggunakan skalpel. Tunas samping disterilisasi menggunakan larutan klorok dengan pengenceran 1 : 3 (klorok : aquadest steril) selama 5 menit. Setelah itu, direndam pada aquadest steril selama 5 menit sebanyak 2 kali dan ditiriskan Eksplan untuk mikropropagasi adalah tunas aksilar dan tunas lateral. Tunas aksilar dikulturkan pada media A dan tunas lateral dikulturkan pada media B. Tunas yang mempunyai tinggi kira-kira 5 cm siap di skrining. Skrining tunas tebu Skrining dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval 3 minggu. Skrining pertama dilakukan pada media M1 dan skrining kedua dan ketiga dilakukan pada media M2. Isolasi DNA Daun 0,1 g digerus dengan menambahkan N2 cair. Serbuk yang didapatkan dipindah ke microtube (1,5 ml) dan ditambahkan 600 µl Nucle lysis, kemudian divortex dan diinkubasi pada suhu 650C selama 15 menit. Setelah itu, ditambahkan 3 µl RNAse Solution, dihomogenkan dengan cara membolak-balikkan microtube (swirling) 2-5 kali. Setelah homogen, diinkubasi pada suhu 370C selama 15 menit, didinginkan pada suhu ruang selama 5 menit. Selanjutnya, ditambahkan 200 µl Protein Precipitation Solution, divortex, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang telah didapat dipindah pada microtube 1,5 ml dan ditambahkan 600 µl isopropanol, kemudian di swirling. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 13.000
15
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
rpm selama 1 menit. Pellet yang didapatkan ditambah 600 µl ethanol 70%, disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 1 menit. Pellet yang dihasilkan diambil dan dikeringkan selama 3 menit, ditambahkan 100 µl DNA Rehydration Solution dan diinkubasi pada suhu 650C selama 1 jam. Selanjutnya DNA disimpan pada suhu 200C. Konfirmasi keberadaan gen SoSUT1 Analisis DNA dilakukan dengan menggunakan Promega Master Mix. Primer yang digunakan, untuk mengetahui keberadaan gen hptII digunakan primer forward (5’CCGCAAGGAATCGGTCAATA-3) dan reverse (5’CCCAAGCTGCATCATCGAAA-3) dari hptII (hygromycin phosphotransferase). Elektroforesis menggunakan marker 1 Kb Ladder (iNtRON BIOTECHNOLOGY). Hasil elektroforesis dilihat di gel operating system dan didokumentasikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Teknik Mikropropagasi bertujuan untuk mendapatkan planlet secara cepat dan banyak. Hasil mikropropagasi pada tebu PRG generasi T1 dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Hasil mikropropagasi tebu PRG SoSUT1 dan wildtype Event Jumlah tunas Jumlah Tunas Baru yang dihasilkan Tunas Pucuk Tunas Samping Tunas Pucuk Tunas Samping wildtype 1 3 23 0 B1.1 1 4 0 53 B4.4 1 2 0 0 C1.1 1 4 11 10 C2.1 1 3 53 204 Tabel 1. menunjukkan bahwa dari 4 event yang dikulturkan, hanya 3 event tebu PRG yaitu B1.1 ; C1.1 ; C2.1 yang berhasil tumbuh. Event C2.1 mempunyai jumlah tunas baru paling banyak yaitu 204 tunas, kemudian diikuti oleh event B1.1 sebanyak 53 tunas dan event C1.1 sebanyak 21 tunas. Pada varietas BL diperoleh 23 tunas. Adanya perbedaan jumlah tunas yang dihasilkan pada masing-masing event menunjukkan bahwa eksplan yang digunakan memiliki tingkat juvenilitas dan meristematik sel yang berbeda satu dengan yang lainnya (Azwin et al., 2006). Tunas yang diperoleh pada saat mikropropagasi akan di skrining pada media M1 dan M2. Skrining dilakukan dengan menambahkan antibiotik higromisin, karena dalam konstruk gen terdapat gen hptII. Gen hptII merupakan gen yang mempunyai ketahanan terhadap higromisin. Planlet yang mengandung gen hptII akan tumbuh pada media yang mengandung higromisin yaitu media M1 dan M2. Planlet tebu PRG yang mampu tumbuh pada media M1 dan M2 diduga mewarisi gen SoSUT1 dari tetuanya. Sedangkan planlet yang tidak mengandung gen hptII apabila di tanam pada media M1 dan M2 akan mati, seperti pada tebu var BL. Hasil skrining 1 menunjukkan bahwa planlet masih mampu tumbuh dengan baik, terlihat segar dan perakarannya lebat. Pada hasil skrining 2, planlet tampak kurang segar, batang planlet remah, warna daun hijau pucat dan perakarannya sedikit. Pada skrining 3, planlet tampak lebih segar dan akarnya juga lebih lebat dibandingkan pada skrining 2. Planlet tebu var.BL pada skrining 1 belum mengalami kematian, hanya menunjukkan gejala pencoklatan pada batang. Planlet masih mampu bertahan hidup pada media antibiotik. Pada skrining 2, planlet mulai menunjukkan gejala kematian. Batang
16
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
mencoklat, daun mengalami klorosis, bahkan ada juga yang mati. Pada skrining 3 mengalami kematian semua. Hasil skrining tebu PRG SoSUT1 dan wildtype menggunakan antibiotik hygromycin dapat dilihat pada Tabel 2 : Tabel 2. Hasil skrining antibiotik hygromycin 3 event tebu PRG SoSUT1generasi T1 dan wildtype Rata-Rata Σ Skrining % Tan. Skrining % Tan. Skrining % Tan. Event Tan. Awal 1 Hidup 2 Hidup 3 Hidup Wildtype 5 5 100 4 80 0 0 B1.1 20 13 65 7 54 3 42.9 C1.1 20 12 60 11 92 4 36.4 C2.1 30 23 77 13 57 3 23.1 Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian planlet PRG yang ditumbuhkan secara in vitro tidak semua mengandung gen hptII sehingga planlet mengalami kematian saat berada pada media yang mengandung antibiotik (M1 dan M2). Akhir skrining hanya diperoleh 3 tunas event B1.1, 4 tunas event C 1.1 dan 3 tunas event C2.1. Adanya peningkatan konsentrasi antibiotik pada media dimaksudkan untuk menghindari terjadinya chimera dan escape. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wiyono (2012) dan Dwinianti (2013), antibiotik dengan konsentrasi rendah (10 mgL-1) pada media MS kurang efektif dalam menyeleksi planlet non transforman dan mulai dikatakan efektif pada konsentrasi 20 mgL-1. Oleh karena itu, dalam penelitian ini konsentrasi antibiotik pada awal skrining adalah 20 mgL-1 dan meningkat menjadi 25 mgL-1 pada skrining 2 dan 3. Konsentrasi antibiotik pada media tidak ditingkatkan lagi karena dikhawatirkan planlet tebu yang mati bukan karena tidak mengandung gen hptII, tetapi akibat terlalu tingginya konsentrasi antibiotik hygromycin. Tingginya konsentrasi antibiotik hygromycin dapat menghambat pertumbuhan planlet dengan menghambat proses sintesis protein yaitu pada proses translokasi tRNA dan mRNA, berikatan dengan faktor elongasi sehingga menyebabkan jaringan planlet mengalami gejala browning dan mati (Gritz and Davies, 1983). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Hazmi (2009), persentase kematian tunas tebu in vitro pada media MS0 dengan penambahan antibiotik hygromycin 30, 40 dan 50 mgL-1 mencapai 100% pada hari ke-28 setelah tanam sehingga pada penelitian ini digunakan konsentrasi hygromycin sampai 25 mgL-1. Planlet PRG mampu bertahan hidup dalam media antibiotik dengan konsentrasi yang meningkat pada setiap siklusnya disebabkan planlet tersebut mampu mendegradasi antibiotik hygromycin sehingga tidak toksik baginya. Planlet hasil skrining 3 tampak segar kembali bila dibandingkan dengan kondisi saat lolos dari skrining 2 menunjukkan sel planlet yang lolos skrining 2 merupakan sel transforman yang sudah homogen sehingga ketika ditumbuhkan di media skrining selanjutnya tampak lebih segar karena pertumbuhannya tidak terganggu antibiotik. Kondisi ini berbeda dengan planlet yang berasal dari event wildtype yang mati semua pada akhir skrining 3. Matinya semua planlet pada skrining 3 menunjukkan bahwa planlet wildtype tidak terinsersi gen hptII sehingga pada saat ditumbuhkan pada media yang mengandung antibiotik hygromycin, planlet mengalami kematian. Terjadinya variasi penurunan jumlah planlet yang ditumbuhkan pada media skrining 2 dan 3 diduga plantlet pada media seleksi 1 terhindar (escape), artinya ada bagian planlet yang tidak langsung menyentuh permukaan media dan tetap tumbuh,
17
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
sehingga seolah-olah planlet tersebut tahan tumbuh di media seleksi 1, akan tetapi pada saat ditumbuhkan di media seleksi 2 planlet tidak mampu bertahan hidup. Faktor lain yang menyebabkan variasi penurunan jumlah planlet pada media skrining 2 dan 3 diduga gen yang diwariskan ke generasi berikutnya belum stabil karena transgen tidak terintegrasi dengan stabil di dalam kromosom planlet inang (Christou et. al., 1992). Planlet yang lolos skrining hygromycin pada tahap sebelumnya merupakan sampel analisis DNA menggunakan termocycle. Hasil analisis DNA menggunakan termocycle tampak pada gambar di bawah ini :
Gambar 1. Hasil elektroforesis 1% gel agarose DNA 6 tanaman Tebu PRG SoSUT1 dengan pasangan primer hptII-1F/1R dan template sampel DNA genom planlet tebu. M: Marker, K+: DNA plasmid pAct, K_ : planlet kontrol (wildtype). Gambar 1. menunjukkan bahwa planlet tebu PRG SoSUT1 yang terdiri dari event B1.1 ; B3.1 ; C1.1 ; C1.2 ; C2.1 dan C2.3 yang dianalisis menunjukkan bahwa planlet tersebut positif PRG dengan terdeteksinya pita DNA dengan ukuran 470 bp pada gel agarose yang merupakan gen hptII. KESIMPULAN 1. Telah dikonfirmasi 6 tanaman tebu PRG SoSUT1 yang lolos skrining antibiotik hygromycin, yaitu event B1.1 ; C1.1 ; C2.1 masing-masing 2 tanaman. 2. Enam tanaman Tebu PRG SoSUT1 T1 yang dikonfirmasi keberadaan gennya merupakan planlet yang mewarisi gen SoSUT1 dari induknya, terbukti dengan munculnya pita DNA hptII pada ukuran 470 bp. DAFTAR PUSTAKA Azwin, Iskandar z. Siregar, dan Supriyanto. 2006. Penggunaan Bap dan Tdz Untuk Perbanyakan Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.). Media Konservasi 11(3) : 98 – 104. Choffnes D.S., Philip R., Vodkin L.O. 2001. A Transgenic Locus In Soybean Exhibits A High Level of Recombination In vitro cell. Dev. Biol. Plant 37(6) : 756-762. Christou, P., P. Vain, A. Kohli, M. Leech, J. Oard and S. Linscombe. 1992. Introduction Of Multiple Genes Into Elite Rice Varieties : Evaluation Of Transgene Stability, Gene Expression, and Field Performance Of Herbicide-Resistant Transgenic Plant. Annal Of Botany 77 : 223-235. Dwinianti, Edia F. 2013. “Transformasi gen sosut1 pada tanaman tebu (saccharum officinarum l var. Bl) menggunakan Agrobacterium tumefaciens strain gv 3101
18
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
dan Eksplan pangkal tunas tebu in vitro.” Tidak Diterbitkan. Skripsi. Fakultas MIPA UNEJ. Jember. Gritz, L. and Davies J. 1983. Plasmid-encoded Hygromycin B Resistance: The Sequence of Hygromycin B Phosphotransferase Gene and Its Expression in Escherichia coli and Saccharomyces cerevisiae. Gene. 25 (2-3): 179-188. Hart C.M., Fischer B., Neuhaus J.M., Meins F.J. (1992). Regulated Inactivation of Homologous Gene Expression In Transgenic Nicotiana sylvestris Plants Containing A Defense Related Tobacco Chitinase Gene. Mol. Gen. Genet. 235: 179-188. Hasmi, M. 2009. “Pengembangan Metode Transformasi Melalui Agrobacterium tumefaciens Pada Eksplan Pangkal Tunas Tebu In Vitro.” Tidak Diterbitkan. Disertasi. Universitas Brawijaya. Malang. Peng J.,Wen F., Lister R.L., Hodges T.K. 1995. Inheritance of gusA and neo Genes In Transgenic Rice. Plant Mol. Biol. 27: 91-104. Robbins M.P., Bavage A.D., Strudwicke C.,Morris P. 1998. Genetic Manipulation Of Condensed Tannins In Higher Plants II. Analysis of Birdsfoot Trefoil Plants Harboring Antisense Dihydroflavonol Reductase Constructs. Plant Physiol. 116: 1133-1144. Tizaoui, K and Kchouk, ME., 2012. Genetic approaches for studying transgene inheritance and genetic recombination in three successive generations of transformed tobacco. Genetics and Molecular Biology 35(3) : 640-649. Wiyono, A. G. 2012. “Transformasi Gen SoSUT1 Menggunakan Agrobacterium tumefaciens dan Eksplan Tunas Lateral pada Tanaman Tebu (Saccharum spp. Hybrid).” Tidak Diterbitkan. Skripsi. FAPERTA UNEJ. Jember. Wu, G., H. Cui, G. Ye, Y. Xia, R. Sardana, X. Cheng, Y. Li, I. Altosaar, and Q. Shu. 2002. Inheritanceand Expression Of The CryIAb Gene In BT (Bacillus Thuringiensis) Transgenic rice. Theor. Appl. Genet. 104 : 727-734. Zhang S.,Warkentin D., Sun B., Zhong H., Sticklen M. (1996). Variation In The Inheritance of Expression Among Subclones For Unselected (uidA) and Selected (bar) Transgenes In Maize (Zea mays L.). Theor. Appl. Genet. 92: 752-761
19
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
EFEKTIVITAS TIGA BIOINSEKTISIDA MENGENDALIKAN HAMA PENTING PADA PERTANAMAN TUMPANGSARI KUBIS-BAWANG DAUN DI NGADISARI, TENGGER Heppy P. Hariyani, Didik Sulistyanto, Wagiyana, W.S.Wahyuni Fakultas Pertanian Universitas Jember Jl. Kalimatan 37 Jember ABSTRAK Tiga bioinsektisida, Bacillus thuringiensis, Heterorabditis sp., dan Beauveria bassiana, diuji efektivitasnya melawan hama Plutella xylostela, Spodoptera sp. dan Aphis sp., yang banyak menyerang tanaman tumpangsari kubis dan bawang daun yang umum dilakukan masyarakat pegunungan Tengger. P. xylostella banyak menyerang kubis dan Spodoptera sp., banyak menyerang bawang daun. B.thuringiensis adalah bioinsektisida yang banyak digunakan untuk mengendalikan hama-hama golongan Lepidoptera, dan ternyata juga mempunyai efektivitas yang lebih tinggi untuk mengendalikan P. xylostella sebesar 45% pada tanaman kubis daripada Heterorhabditis sp. dan B. bassiana. Akan tetapi, Heterorhabditis sp,. lebih efektif menurunkan Spodoptera sp. dan Aphis sp. masing-masing 76% dan 36% pada tanaman kubis pada bulan September-Desember. Populasi aphids secara alami menurun pada bulan Oktober-Desember sehingga kematiannya mungkin bukan satu-satunya disebabkan aplikasi bioinsektisida. Pada bawang daun, B. thuringiensis dan B.basiana dapat menurunkan populasi Spodoptera sp. dan Aphis sp. masing-masing sebesar 75% dan 33%. Jadi efektivitas B. thuringiensis sebagai bioinsektisida masih dianggap menempati urutan pertama diikuti dengan B. bassiana untuk mengendalikan hama penting pada tanaman kubis dan bawang daun. Sayangnya, ketiga bioinsektisida ini kurang dapat meningkatkan berat krop kubis dan bawang daun. Kata Kunci : Biopestisida, Hama penting, Tumpangsari kubis-bawang daun, Ngadisari.
PENDAHULUAN Kubis dan bawang daun termasuk tanaman hortikultura penting yang dibudidayakan di Indonesia. Begitu pula dengan luas areal panen kubis dan bawang daun setiap tahun terus meningkat, karena prospek pemasaran komoditas ini menunjukkan kecenderungan yang semakin baik (Laude, 2010). Dalam budidayanya kedua komoditas ini tidak terlepas dari serangan Plutella xylostella, Aphis sp., dan Spodoptera sp. Menurut Rauf et al (1993), rata-rata petani kubis mengeluarkan biaya sekitar 10-40% dari biaya produksi untuk pembelian pestisida dengan jumlah penyemprotan 10-13 kali musim tanam. Perilaku ini didasari dengan anggapan petani, bahwa insektisida kimia mampu mengendalikan hama dengan cepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) efektivitas B. thuringiensis, Heterorhabditis sp., dan B. bassiana, mengendalikan hama penting pada pertanaman kubis dan bawang daun, di Desa Ngadisari, Tengger, (2) pengaruh bioinsektisida terhadap produksi tanaman kubis dan bawang daun dan dibandingkan dengan hasil produksi menggunakan pengendalian kimiawi.
METODE PENELITIAN
20
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Penelitian ini dilaksanakan di lahan di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura,Tengger, pada bulan September sampai dengan Desember 2013. Biopestisida yang digunakan adalah Bacillus thuringiensis merek Thuricide dan Bactospine, NEP Heterorhabditis sp., dan Beauveria bassiana. Penelitian dilaksanakan dengan Rancangan Acak Kelompok, terdiri atas 5 perlakuan dengan 7 kelompok ulangan. Perlakuan biopestisida yaitu; P1= Bacillus thuringiensis A (merk dagang thuricide) 1gr/1 liter air, P2 = NEP Heterorhabditis sp. 10.000.000 IJ/ 15 liter, P3 = Bacillus thuringiensis B (merk dagang Bactospine) 1 gr/1 liter air, P4 = Beauveria bassiana 2gr (725 spora 109/15 liter) / 15 liter air, P0 = Kontrol. Metode pengamatan secara mutlak dengan menghitung populasi hama per satuan plot perlakuan. Sampel diambil secara diagonal dengan 10 tanaman contoh pada tiap plot perlakuan. Pengamatan populasi hama dilakukan satu hari sebelum aplikasi (H-1) dan tiga hari setelah aplikasi (H+3). Aplikasi dilakukan setiap 10 hari sekali. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1 menunjukkan B. thuringiensis mampu menekan populasi P. xylostella pada tanaman kubis. Bulan September-Desember adalah musim hujan, sehingga curah hujan dapat mempengaruhi populasi P. xylostella. Kematian larva akibat curah hujan lebih banyak terjadi pada larva muda (instar ke-1 dan ke-2) daripada larva instar ke-3 dan larva instar ke-4. Populasi P. xylostella meningkat di musim kemarau atau apabila cuaca kering selama beberapa minggu, terutama iterjadi setelah kubis berumur enam sampai delapan minggu. Hal ini sesuai dengan penemuan Sudarwohadi (1975).
Gambar 1. Hubungan umur tanaman kubis (HST) dengan populasi P. xylostella pada perlakuan APH sebelum dan sesudah aplikasi (*)
Dari Gambar 1 ditemukan bahwa B.thuringiensis mempunyai efektivitas tertinggi mengendalikan P. xylostella. Makin bertambah umur tanaman, populasi P. xylostella makin rendah. Suharto et al, (2003), juga menemukan bahwa P. xylostella asal Probolinggo rentan terhadap bakteri B. thuringiensis. Petani daerah Bromo khususnya Desa Ngadisari belum pernah memakai insektisida B. thuringiensis untuk pengendalian
21
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
OPT, sehingga di daerah tersebut tidak ada indikasi bahwa hama tersebut mengalami resistensi terhadap B. thuringiensis. Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (Duncan 5%). Perlakuan Heterorhabditis sp., paling efektif dalam menurunkan populasi Spodoptera sp., pada tanaman kubis menurunkan populasi sebesar 76% dengan rata-rata populasi sebesar 23 ekor/ 10 tanaman pada umur tanaman 71 HST.. Diketahui bahwa larva Spodoptera sp., memilliki kebiasaan masuk kedalam tanah (Armyworm) sehingga NEP Heterorhabditis sp., yang memiliki perilaku aktif mencari dan menyerangnya, seperti penemuan Kaya and Gaugler (1993); Ilhami 2011). Hal inilah yang menyebabkan Heterorhabditis sp., lebih efektif mengendalikan populasi hama Spodoptera sp., dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (Duncan 5%). Perlakuan B. bassiana pada tanaman bawang daun paling efektif dan menurunkan populasi Spodoptera sp., sebesar 73% pada umur 61 HST dengan rata-rata populasi Spodoptera sp. 4 ekor/ 10 tanaman. Menurut Budi (2013), B.bassiana dengan kerapatan spora 109 spora/ml dapat menyebabkan kematian Spodoptera sp hingga 51,37 %. Makin tinggi kerapatan spora makin banyak jumlah konidia yang menempel pada tubuh larva Spodoptera sp dan masuk kedalam tubuh Spodoptera sp., ketika bersinggungan dengan kutikula serangga.
22
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 2. Hubungan umur tanaman kubis (HST) dengan populasi Aphis sp., pada perlakuan APH sebelum dan sesudah aplikasi (*) Menurut Riatno dan Santoso (1991), B. bassiana memenetrasi ke dalam tubuh nimfa dan imago Aphis sp., melalui kulit antara ruas-ruas tubuh. Setelah berhasil masuk ke dalam tubuh serangga akan mengeluarkan toksin beauverisin yang membuat kerusakan jaringan tubuh serangga, 2 hari kemudian serangga akan mati dan miselia cendawan akan tumbuh ke seluruh bagian tubuh serangga. Populasi Aphis sp., umur 41 HST hingga 61 HST pada tanaman bawang daun mulai mengalami peningkatan, sejalan dengan pertumbuhan bawang daun yang makin besar. Serangan Aphis sp., diketahui banyak terjadi pada musim kemarau, yaitu pada saat udara kering dan suhu tinggi (Setiadi, 1993). Curah hujan dapat mencuci dan menurunkan populasi Aphis sp., pada 41 hingga 61 HST saat hujan menjelang datang (Gambar 2). Perlakuan B. thuringiensis merek Thuricide menghasilkan berat basah krop kubis terbesar 10,03 kg/ 5krop, sedangkan kontrol mencapai 4,93 kg/ 5 krop kubis. Secara keseluruhan berat basah krop kubis pada semua perlakuan biopestisida masih lebih rendah jika dibandingkan dengan berat basah krop kubis milik petani yang memakai perlakuan kimiawi yang mencapai 20,95 kg/ 5 krop kubis (Gambar 3). Hal ini disebakan karena lahan percobaan kekurangan air. Sehingga pada masa pertumbuhan vegetatif akan menghambat pertumbuhan daun.. Frekuensi penyemprotan 7 hari sekali yang dilakukan petani dengan pemakaian insektisida kimiawi dapat membunuh serangga pengganggu lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan biopestisida di lahan penelitian. Salikin (2003), menerangkan bahwa prinsip pengendalian menggunakan biopestisida ini membutuhkan waktu cukup lama untuk beradaptasi dengan lingkungan.
23
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 3. Rata-rata berat basah krop kubis/ 5 krop kubis Berat basah tanaman bawang daun tertinggi 5,55 kg/ 5 tanaman bawang daun pada perlakuan B. thuringiensis dan perlakuan Heterorhabditis sp., memiliki berat basah terendah mencapai 4,8 kg/ 5 tanaman bawang daun. Berat basah tanaman bawang daun dari petani dapat mencapai 5,6 kg/ 5 tanaman bawang daun.
Gambar 4. Rata-rata berat basah tanaman bawang daun/ 5 tanaman daun. Pada dasarnya hama Spodoptera sp., dan Aphis sp., lebih banyak menyerang tanaman kubis dibandingkan tanaman bawang daun. Pada plot perlakuan kontrol tanaman bawang daun lebih subur dan memiliki berat basah lebih besar. Penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman kubis yang subur dan lebat akan berbanding terbalik dengan tanaman bawang daunnya. Ini dikarenakan kompetisi dalam penyerapan unsur hara, air dan ruang tumbuh antar tanaman. (Patty, 2012). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo: 1. Aplikasi B. thuringiensis efektif menurunkan populasi hama P. xylostella sampai dengan 45% sedangkan aplikasi Heterorhabditis sp., efektif menurunkan populasi hama Spodoptera sp., pada tanaman kubis sampai dengan 76%.
24
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
2. Aplikasi B. bassiana efektif menurunkan populasi Aphis sp., dan Spodoptera sp., pada tanaman bawang daun sampai dengan 33% dan 75%.. 3. Perlakuan biopestisida memberikan produksi kubis dan bawang daun pada lahan penelitian dengan hasil yang lebih rendah dari perlakuan petani. DAFTAR PUSTAKA Budi, A.S., Afandhi, A., dan Puspitarini, R.D. 2013. Patogenisitas Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana Balsamo (Deuteromycetes: Moniliales) Pada Larva Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). Jurnal HPT. Volume 1(1). Kaya, H.K. and R. Gaugler. 1993. Entomopathogenic Nematodes. Annu Rev. Entomol. 38: 181-206. Patty, J.A. 2012. Peran Tanaman Aromatik dalam Menekan Perkembangan Hama Spodoptera litura pada Tanaman Kubis. J. Agrologis. Vol.1(2) Rauf,A., T.R. Omoy, Widodo dan Dadan. 1993. Survei Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Petani Kubis dan Kentang di Kabupaten Bandung. Lap. Studi Pendukung PHTSDT. Suharto., Sulistyanto. D., Entin. 2003. Resistensi Plutella xylostella L. dari Jawa Timur Terhadap Insektisida Bacillus thuringiensis. Disajikan pada Kongres VI Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Simposium Entomologi, Cipayung Bogor Maret 6-7, 2003. 12 p.
25
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
PENGARUH PEMBERIAN KOLKISIN TERHADAP PRODUKSI UMBI DAN UMUR BERBUNGA TANAMAN SEDAP MALAM (Polianthes tuberose L.) DI DATARAN MEDIUM THE EFFECT OF COLCHICINE APLICATION ON BULBS PRODUCTION AND DAYS REQUIRED FOR FLOWERING OF TUBEROSE (Polianthes tuberosa L.) IN PLAIN MEDIUM 1)
Yekti Sri Rahayu1 dan Istiyono K.Prasetyo1 Fakultas Pertanian Univ. Wisnuwardhana Malang Email:
[email protected] ABSTRAK
Pengembangan bunga sedap malam di dataran medium belum banyak dilakukan karena kondisi agroeklogis dapat mempengaruhi lama umur berbunga, sementara potensi daya adaptasi tanaman sedap malam sangat luas hingga ke dataran tinggi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui umur berbunga dan potensi produksi umbi tanaman sedap malam di dataran medium dengan aplikasi bahan kolkisin. Penelitian dilakukan di kelurahan Cemorokandang Malang, menggunakan Rancangan Acak Kelompok, terdiri dari dua faktor yaitu lama perendaman (W) dan tingkat konsentrasi. Pengamatan dilakukan terhadap umur berbunga dan produksi umbi tanaman sedap malam. Data hasil penelitian dianalisis sidik ragam, dilanjutkan Uji Jarak Duncan pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kolkisin pada tingkat konsentrasi 300 ppm dengan lama perendaman 6 jam menghasilkan rerata umur berbunga yang lebih cepat yaitu 106 hari setelah tanam (hst), sementara pada konsentrasi kolkisin 0 ppm dengan lama perendaman 9 jam menghasilkan rerata umur berbunga yang lebih lama yaitu 214 hst. Pengamatan terhadap produksi umbi/anakan tanaman sedap malam menunjukkan pada tingkat konsentrasi 100 ppm dengan lama perendaman 9 jam dan pada konsentrasi 300 ppm dengan lama perendaman 9 dan 6 jam menghasilkan rerata produksi umbi atau anakan yang lebih banyak. Kata kunci: tanaman sedap malam, kolkisin, umur berbunga, jumlah umbi, dataran medium ABSTRACT Development of tuberose flowers in plain medium has not been done, while the potential adaptability tuberose plant is a very wide up to the plateau. The research was conducted to determine the days requiered for flowering and the potential production of tuberose bulbs in plain medium with application of colchicine. The research was conducted in the village Cemorokandang, Malang City and arranged using a randomized block design, with factors of immersion time and colchicines concentration. The data were analyzed variance, followed by Duncan Range Test at the 5% level. The results showed that application of colchicine at a level of 300 ppm with 6 hours immersion time resulted in days requiered for flowering faster that is 106 days after planting (dap), while the concentration of colchicine 0 ppm with 9 hours of immersion time resulted in the average days for a longer flowering i.e 214 dap. Observation of the bulb production of tuberose show at a concentration level of 100 ppm with an immersion time of 9 hours and at a concentration of 300 ppm with an immersion time of 9 and 6 hours resulted in bulb production of tuberose more than other treatments.
26
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Keyword: tuberose, colchicine, days to flowering, number of bulb, plain medium
PENDAHULUAN Tanaman sedap malam (Polianthes tuberose L.) adalah satu dari tanaman hias berbunga beraroma wangi yang sangat popular, termasuk keluarga Amarylidaceae (Reid, 1996). Bunga sedap malam secara komersial dibudidayakan karena memiliki potensi ekonomi sebagai bunga potong untuk seni karangan bunga atau buket, memiliki daya pajang yang cukup lama dan mengandung minyak esensial untuk industri (Singh, 1995). Bunga sedap malam selain digunakan untuk upacara ritual, acara-acara adat kebudayaan, juga dapat digunakan sebagai bunga potong maupun sebagai elemen dalam taman (Wardiyono, 2009). Berkaitan dengan besarnya permintaan terhadap tanaman sedap malam, maka upaya pengembangan pembudidayaan tanaman ini menjadi hal yang penting untuk dikembangkan baik di dataran rendah hingga dataran tinggi. Di jawa Timur, penanaman tanaman sedap malam secara luas dikembangkan di daerah Bangil Pasuruan dan sekitarnya. Sementara itu, penanaman tanaman sedap malam khususnya varietas Roro anteng di dataran medium belum banyak dilakukan. Padahal jika menilik pada daya adaptasinya, menurut Plantus (2008) tanaman sedap malam termasuk salah satu jenis flora introduksi dari Amerika yang memliki kemampuan adaptasi dengan baik di daerah beriklim panas (tropis), dan di Indonesia cocok dikembangkan di dataran menengah sampai tinggi. Pemroduksi tanaman sedap malam selama ini umumnya khawatir, bahwa kondisi agroekologis di dataran yang lebih tinggi dapat memepengaruhi umur panen tanaman sedap malam yang lebih lama jika dibandingkan di dataran rendah. Kekhawatiran masyarakat akan kemampuan tumbuh tanaman sedap malam di dataran yang lebih tinggi selain di daerah pengembangannya selama ini di dataran rendah tidak cukup beralasan karena masih jarangnya penelitian yang dilakukan untuk hal tersebut. Kolkisin adalah bahan mutagen yang secara umum dikenal memiliki kemampuan untuk memodifikasi sel pertumbuhan karena berpengaruh pada nukleus yang sedang membelah. Kolkisin banyak digunakan dalam teknik poliploidi untuk membudidayakan spesies baru yang menghasilkan sifat-sifat positif. Hasil penelitian Permadi et al. (1991) menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara lama perendaman dan konsentrasi kolkisin pada poliploidisasi bawang merah ”Sumenep” yang dapat menentukan efektifitas induksi poliploidi. Hasil yang diperoleh diantaranya bentuk bawang merah yang lebih pendek, jumlah daun sedikiti, daun lebih tebal. Sementara hasil penelitian Rahayu dan Kirnoprasetyo (2013) menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi kolkisin dan lama perendaman tidak berpengaruh nyata pada panjang tanaman sedap malam, namun berpengaruh nyata pada organ vegetatif lainnya seperti penambahan jumlah daun dan luas daun pada tingkat konsenetrasi kolkisin 300 ppm dengan lama perendaman 6 jam dan pada tingkat konsentrasi 100 ppm dengan lama perendaman 9 jam. Peningkatan konsentrasi kolkisin hingga 500 ppm dan lama perendaman hingga 12 jam justru menurunkan rata-rata jumlah daun dan luas daun tanaman sedap malam. Pengaruh bahan kolkisin terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman sedap malam diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap organ pertumbuhan tanaman sedap malam lainnya. Untuk itu penelitian ini dilakukan selain untuk mengetahui kemampuan tumbuh tanaman sedap malam di dataran medium, juga untuk mengetahui pengaruh dari aplikasi pemberian kolkisin terhadap organ vegetatif yaitu jumlah umbi yang dihasilkan serta umur berbunga tanaman sedap malam yang ditanam di dataran medium. Harapan dari penelitian ini adalah upaya perbaikan pertumbuhan secara mutasi genetik melalui penggunaan kolkisin dan interaksi tanaman dengan kondisi agroekologi
27
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
di dataran medium memberikan respon yang baik bagi pertumbuhannya. Penggunaan kolkisin diberikan mengingat kemampuan kolkisin sebagai bahan mutagen pada tanaman, selama ini telah banyak dibuktikan dapat memberikan pengaruh nyata pada beberapa tanaman. Pemberian bahan mutagen seperti kolkisin adalah untuk mutasi yang menyebabkan terjadinya poliploid dimana organisme memiliki tiga atau lebih kromosom dalam sel-selnya, dimana sifat umum tanaman hasil poliploidisasi secara umum adalah menjadi lebih kekar, bagian tanaman lebih besar (akar, batang,daun,bunga,dan buah), sehingga nantinya sifat-sifat yang kurang baik akan menjadi lebih baik tanpa mengubah potensi hasilnya (Hieter &Griffiths,1999 dalam Sulistianingsih, 2004). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di lahan dataran medium yang berlokasi di kelurahan Cemorokandang, kecamatan Kedungkandang Kota Malang dengan ketinggian tempat sekitar 610 m dpl. Bahan-bahan yang digunakan antara lain umbi sedap malam varietas Roro Anteng, kolkisin dengan bahan aktif 95% yang telah mengalami pengenceran, aquades, alkohol 95%, kertas saring, pupuk kandang, dan pupuk Urea dan Ponska. Sementara alatalat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ember, aluminium foil, cangkul, sabit, kored, cethok, gembor, penggaris, meteran, jangka sorong, cutter, pisau, gelas ukur, labu ukur, pipet ukur, botol sampel, kamera digital. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok, yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah lama perendaman (W) : 3 jam (W1); 6 jam (W2); 9 jam (W3); dan 12 jam (W4) sementara faktor kedua adalah tingkat konsentrasi kolkhisin: 0 ppm (P0); 100 ppm (P1); 300 ppm (P2); dan 500 ppm (P3). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga dalam penelitian ini terdapat 48 unit percobaan. Tanaman contoh yang diamati sebanyak 4 tanaman tiap perlakuan. Bahan tanam yang digunakan adalah umbi sedap malam varietas Roro Anteng yang memiliki diameter seragam sekitar 2-3 cm. Umbi yang telah diseleksi selanjutnya direndam dalam larutan kolkisin dengan konsentrasi dan lama perendaman sesuai dengan perlakuan. Selanjutnya umbi ditanam pada bedengan dengan ukuran 1,5 m X 0.90 m. Jarak antar bedengan sekitar 30 cm dan jarak antar ulangan sekitar 50 cm. Penambahan pupuk kandang yang telah matang diberikan sebagai pupuk dasar dengan dosis 10 ton/ha. Pemeliharaan tanaman sedap malam meliputi penyiraman, penyiangan terhadap gulma, pemupukan susulan, dan pengendalian terhadap hama dan penyakit dilakukan hingga tanaman berbunga dan siap dipanen. Untuk selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap jumlah umbi yang dihasilkan dan umur berbunga tanaman sedap malam. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan Analisis Varian (ANOVA). Jika terdapat pengaruh nyata dari faktor yang diberikan dilanjutkan pengujian dengan Uji Jarak Duncan (DMRT) taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara tingkat konsentrasi dan lama perendaman kolkisin yang beragam terhadap umur berbunga dan jumlah umbi yang dihasilkan tanaman sedap malam. Tabel 1 menunjukkan bahwa lama perendaman memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah umbi atau anakan tanaman sedap malam pada tingkat konsentrasi 100 dan 300 ppm. Pada tingkat konsentrasi 100 ppm, lama perendaman 9 jam menghasilkan rerata jumlah umbi atau anakan yang lebih tinggi dibanding lama perendaman 3, 6 dan 12 jam. Sementara itu pada tingkat konsentrasi kolkisin 300 ppm, lama perendaman 9 jam
28
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
menghasilkan rerata jumlah umbi atau anakan yang lebih tinggi dibanding lama perendaman 3 dan 12 jam, namun tidak berbeda nyata dengan jumlah umbi atau anakan pada lama perendaman 6 jam. Tabel 1. Rerata jumlah umbi tanaman sedap malam akibat interaksi antara tingkat konsentrasi dan lama perendaman kolkhisin. Rerata Jumlah Umbi Tingkat Lama perendaman (jam) konsentrasi 3 6 9 12 (ppm) 0 2.58 abc 1.5 a 1.5 a 1.75 abc 100 1.77 abc 1.83 abc 3.48 cd 2.08 abc 300 1.67 ab 2.92 bcd 3.5 d 1.92 abc 500 2.12 abc 1.42 a 2.58 abcd 2.67 abcd P Ns W * PxW ** Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji Jarak Duncan 5% ; P : tingkat konsentrasi kolkisin, W : lama perendaman Tabel 2. Rerata umur berbunga tanaman sedap malam akibat interaksi antara tingkat konsentrasi dan lama perendaman kolkhisin. Rerata Umur Panen (HST) Tingkat Lama perendaman (jam) konsentrasi 3 6 9 12 (ppm) 0 170.33 abcd 157.00 abcd 214.33 d 147.00 abc 100 130.00 ab 152.67 abcd 168.33 abcd 168.33 abcd 300 194 bcd 106.00 a 146.00 abc 202 cd 500 154.33 abcd 156.00 abcd 158.00 abcd 156.33 abcd P Ns W * PxW ** Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji Jarak Duncan 5% ; P : tingkat konsentrasi kolkisin, W : lama perendaman Tabel 2 menunjukkan bahwa lama perendaman memberikan pengaruh nyata terhadap umur berbunga tanaman sedap malam pada tingkat konsentrasi 0 ppm dan 300 ppm. Pada tingkat konsentrasi 0 ppm, lama perendaman 9 jam menghasilkan rerata umur berbunga yang lebih lama yaitu 214 hari setelah tanam (hst) dibanding lama perendaman 12 jam yang rerata umur panennya 147 hst. Sementara pada tingkat konsentrasi kolkisin 300 ppm, lama perendaman 6 jam menghasilkan rerata umur berbunga yang lebih cepat yaitu umur 106 hst dibanding lama perendaman 3 dan 12 jam, namun tidak berbeda nyata dengan umur berbunga pada lama perendaman 9 jam yang dapat dipanen pada umur 146 hst. Pembahasan Suryo (1995) menerangkan bahwa karakteristik morfologi merupakan salah satu indikator untuk melihat keberhasilan poliploidisasi. Perubahan karakteristik morfologi tanaman dapat disebabkan karena adanya perubahan pada gen atau kromosom yang
29
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
mengalami mutasi. Pada sel-sel somatis, mutasi terjadi pada saat pembelahan mitosis. Bila perubahan terjadi pada suatu bagian tanaman, maka bagian tersebut akan memberikan respon kenampakan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi penggunaan kolkisin pada beberapa tingkat konsentrasi dan lama perendaman yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah umbi atau anakan dan umur berbunga tanaman sedap malam. Hasil jumlah umbi dari anakan yang dihasilkan menunjukkan bahwa pada konsentrasi 300 ppm lama perendaman 9 jam dan 6 jam serta pada konsentrasi 100 ppm dengan lama perendaman 9 jam menghasilkan rerata jumlah umbi yang lebih banyak, secara berurutan yaitu 3.5, 2.99 dan 3.48 umbi anakan. Hal ini diduga berkaitan dengan tunas pada umbi sedap malam yang tersebar disepanjang umbi, sehingga aplikasi konsentrasi dan lama perendaman memberikan pengaruh pada pertumbuhan tunas yang menghasilkan umbi anakan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Zuhrah (2009) dimana interaksi antara konsentrasi kolkisin dan lama perendaman berpengaruh terhadap jumlah umbi anakan tanaman sedap malam. Hasil penelitian Zuhrah (2009) menunjukkan bahwa konsentrasi 200 ppm dengan lama perendaman 9 jam menghasilkan rata-rata umbi anakan yang lebih banyak yaitu 4.69 umbi, dibanding perlakuan tanpa kolkisin, meski tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi kolkisin 100 ppm dan 300 ppm dengan lama perendaman 3,6, dan 9 jam. Avery et al. (1947) menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada tanaman akibat pemberian kolkisin bisa bervariasi. Sebagian tanaman mengalami mutasi pada hampir seluruh bagian tanaman mulai titik tumbuh hingga organ generatif, namun sebagian lainnya hanya mengalami mutasi pada beberapa organ saja. Sehingga kolkisin yang diberikan kepada setiap individu tanaman tidak mempengaruhi semua sel tanaman, tetapi hanya sebagian sel-sel saja. Adanya pengaruh yang berbeda pada sel-sel tanaman karena kolkisin hanya efektif pada sel yang sedang aktif membelah. Mutasi pada tanaman dapat diartikan sebagai suatu proses dimana gen mengalami perubahan struktur. Tanaman hasil mutasi menurut Anthony et al (2000) dapat menguntungkan secara komersiel karena tanaman dapat mengalami peningkatan jumlah kromosom yang menyebabkan pertambahan ukuran sel, ukuran bunga, ukuran buah, stomata dan bagian-bagian lainnya. Hasil penelitian pada umur berbunga menunjukkan bahwa interaksi antara tingkat konsentrasi pemberian kolkisin dengan lama perendaman memberikan pengaruh nyata. Perlakuan kontrol tanpa pemberian kolkisin (0 ppm) dengan lama perendaman 3, 6 dan 9 jam secara umum memperlambat umur berbunga tanaman sedap malam, dimana secara berturut-turut menghasilkan rerata umur berbunga selama 170, 157 dan 214 hari setelah tanam. Sementara dengan pemberian kolkisin pada tingkat konsentrasi 100 ppm dengan lama perendaman 3 jam dan tingkat konsentrasi 300 ppm dengan lama perendaman 6 jam menghasilkan rerata umur bebrunga yang lebih cepat yaitu berturut-turut 130 dan 106 hari setelah tanam. Namun peningkatan lama perendaman hingga 12 jam pada tingkat konsentrasi kolkisin 300 ppm dan pemberian kolkisin pada tingkat 500 ppm dengan lama perendaman 3, 6, 9 dan 12 jam secara umum justru menyebabkan rata-rata umur berbunga tanaman sedap malam menjadi lebih lama. Secara berturut-turut yaitu bunga dapat dipanen pada umur 202 hst, 154 hst, 156, hst, 158 dan 156.33 hst. Menurut Tambong (1998) pembelahan sel-sel termutasi lebih lambat karena adanya penambahan jumlah kromosom yang berdampak pada berkurangnya tekanan osmotik dalam sel sehingga memperpanjang umur vegetatif tanaman. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penilitan Zuhrah (2009) bahwasannya interaksi antara konsentrasi dan lama perendaman dalam kokisin berpengaruh terhadap umur panen bunga tanaman sedap malam, dimana perlakuan konsentrasi kolkisin 300 ppm dengan lama perendaman 6 jam
30
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
menghasilkan umur panen bunga yang lebih cepat yaitu 170 hst dibanding perlakuan lainnya. Sementara rata-rata umur berbunga tanaman sedap malam tanpa aplikasi kolkisin menghasilkan rata-rata umur berbunga yang lebih lama yaitu berkisar antara 188 hst. KESIMPULAN DAN SARAN Interaksi antara perlakuan tingkat konsnetrasi dan lama perendaman kolkisin berpengaruh nyata terhadap jumlah umbi dan umur berbunga tanaman sedap malam. Dimana pemberian kolkisin pada tingkat konsentrasi 300 ppm dengan lama perendaman 9 jam menghasilkan rata-rata jumlah umbi yang lebih banyak, sementara pada tingkat kosentrasi 300 ppm dengan lama perendaman 6 jam menghasilkan rerata umur berbunga yang lebih cepat yaitu sekitar 106 hari setelah tanam. Sementara tingkat konsentrasi kolkisin 300 ppm dengan lama perendaman 12 jam justru memperlambat umur berbunga tanaman sedap malam di dataran medium hingga 202 hst dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian kolkisin pada berbagai lama perendaman dan pemberian kolkisin pada tingkat konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 500 ppm pada lama perendaman 3, 6 , 9 dan 12 jam. DAFTAR PUSTAKA Avery Jr., George S. And E.B. Johnson. 1947. Hormones and horticulture. Mc Graw-Hill Book Co. Inc. New York and London. Permadi A.H., R. Cahyani, dan S. Syarif. 1991. Cara pembelahan umbi, lama perendaman dan konsentrasi kolkhisin pada poliploidisasi bawang merah ”Sumenep”. Zuriat.Vol.2:17-26 Planthus. 2008. Budidaya dan http://balithi.litbang.deptan.go.id
perbanyakan
umbi
sedap
malam.
Reid, M. 1996. Postharvest handling recommendation for cut tuberose. Perishable Handling Newsletter Issue No. 88:21-22. Singh, K.P., 1995. Improved production technologies for tuberose (Polianthes tuberose L.) a review of research done in India. Indian Institute of Horticulture research. Agriculture Review.16(3). Sulistianingsih R., Suyanto Z.A., dan N. Anggia, E. 2004. Peningkatan kualitas anggrek Dendrobium hibrida dengan pemberian kolkisin. Ilmu Pertanian. 11(1):13-21. Suryo. 1995. Sitogenetika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.pp.217-226. Tambong, J.T., V.T. Sapra dan S. Gartun. 1998. In vitro induction of tetraploid in colchicine-treated watermelon palntlets. Euphytica (104):191-197. Wardiyono. 2009. Polianthes tuberose Linn. http://www.kehati.or.id/florakita/browser.php?docsid=854 Zuhrah, A. 2009. Respon morfologi tanaman sedap malam (Polianthes tuberosa L. Cv. Roro Anteng) terhadap pemberian beberapa konsentrasi colchicine. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Universitas Brawijaya. Malang.
31
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
STRATEGI PERBANYAKAN SINGKONG (Manihot esculentum) MELALUI KULTUR MERISTEM SECARA IN VITRO Didik Pudji Restanto ,1,3), Slameto 1) , Dwi Setyati 2) , Ida Anggraini, 1) Budi Kriswanto 1) dan Tri Handoyo 1,3) 1) Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Jember, 2) Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Jember dan 3)CDAST (Center for Development Advance of Sciences and Technology) Universitas Jember Email :
[email protected] ABSTRAK Indonesia mempunyai potensi dalam pengembangan singkong dunia karena terletak di daerah tropis. Produktivitas masih rendah dibandingkan Negara Afrika. Produksi bisa ditingkatkan dengan perluasan lahan (bekas tambang dan lahan tidak produktif) sehingga produksi singkong nasional akan meningkat. Melalui Gerakan nasional singkong sejahtera bersama (Gernas-SSB) tahun 2016 Indonesia dengan mencanangkan gerakan menanam singkong 1 juta hektar akan bisa mensejahterakan 576 ribu petani di 33 provinsi. Penyediaan bibit singkong berupa stek yang bermutu baik secara nasional akan mengalami kesulitan dengan keterbatasan stek yang dihasilkan. Perlu dikatahui bahwa bibit singkong melaui stek yang digunakan akan menghasilkan tanaman yang tidak seragam karena stek berasal dari bagian tanaman yang beda. Bioteknologi tanaman memegang peranan penting dalam usaha perbaikan pertumbuhan dan produksi tanaman. Perbanyakan bibit singkong dalam jumlah besar melalui kultur meristem yang bebas penyakit CBSD sangat diperlukan. Pendekatan bioteknologi melalui perpaduan pemanasan (thermotherapy) pada eksplan dan kultur meristem dapat digunakan untuk mendapatkan tanaman singkong bebas penyakit, seragam dan bermutu baik. Hasil penelitain bahwa Regenerasi tanaman dengan pemberian GA3 0,1 ppm tidak bermultiplikasi tetapi muncul sistem perakaran yang banyak sekitar 8,25, sedangkan dengan penambahan BAP tunggal 0,5 ppm bisa bermultiplikasi dan tidak muncul sistem perakaran. Jumlah tunas tertinggi adalah perlakuan dengan Penambahan BAP 0,5 ppm dan GA3 0,1 ppm merupakan titik optimum pertumbuhan jumlah tunas sekitar 5 dari eksplan satu meristem tanaman singkong. Kata kunci : Manihot esculentum, CBSD, GA3, BAP dan meristem ABSTRACT Indonesia has potential in the development of world cassava because it was located in the tropical area. The productivity was still low compared with African countries. Production can be increased with the expansion of land (unproductive land) so that the national cassava production will increase. Through national movement cassava (Gernas-SSB) in 2016, Indonesia launched a movement to plant 1 million hectares of cassava will be prospering 576 thousand farmers in 33 provinces. The seedling supply with good quality cassava cuttings will difficult because the limitations of cassava cuttings produced. The cassava seedlings through the cuttings will produce plants that are not uniform because the cuttings came from different parts of the plant. Plant biotechnology plays an important role of growth and yield improvement. Propagation of cassava seedling from meristem culture that is free of CBSD disease is indispensable. Biotechnological approaches through a combination of heating (thermotherapy) in explants and meristem culture can be used to obtain of cassava free disease, uniform and good quality. The results of the research, that plant regeneration of 0.1 ppm GA3 did not multiply but it appears of root system around 8.25, while the addition of a single BAP 0.5 ppm can be multiplied and does not appear the root system. The highest number of shoots was treated withBAP interaction between 0.5 ppm and GA3 0.1 ppm is an optimum point about 5 shoots from one meristem.
32
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Keyword : Manihot esculentum, CBSD, GA3, BAP dan meristem
PENDAHULUAN Indonesia menjadi urutan ke 4 produksi singkong dunia setelah Afrika, Brasil dan India. Meskipun Indonesia menduduki ringking ke 4 dunia tetapi berdasarkan data FAO bulan November 2012, Indonesia menjadi negara terbesar import singkong sebesar 2,6 juta ton. Produksi singkong nasional ternyata tidak mencukupi untuk kebutuhan nasional karena akhir akhir ini sudah mulai singkong digunakan sebagai bahan baku bioethanol. Melalui Gerakan nasional singkong sejahtera bersama (Gernas-SSB) tahun 2016 Indonesia meramalkan uang beredar dari pasar singkong dalam negeri mencapai Rp57,6 triliun yang bisa mensejahterakan 576 ribu petani di 33 provinsi. Pencapaian target itu harus diimbangi dengan perluasan lahan dan produktifitas tanaman singkong perlu ditingkatkan. Penyediaan bibit singkong berupa stek yang bermutu baik secara nasional akan mengalami kesulitan dengan keterbatasan stek yang dihasilkan. Perlu dikatahui bahwa bibit singkong melaui stek yang digunakan akan menghasilkan tanaman yang tidak seragam karena stek berasal dari bagian tanaman yang beda. Peningkatan luas lahan singkong harus diimbangi dengan penyediaan bibit yang memadai. Selama ini penyediaan bibit singkong masih secara tradisional dengan menggunakan stek, hasil yang didapatkan berupa tanaman yang tidak seragam. Kultur jaringan merupakan salah satu alternatif dalam upaya untuk penyediaan bibit secara masal, seragam dan bermutu baik. Penggunaan teknik kultur jaringan sangat memungkinkan untuk perbanyakan masal bibit singkong bebas penyakit, seragam dan bermutu baik. Perpaduan antara perlakuan termotherapy dan kultur meristem akan menjawab semua masalah yang terjadi, sehingga tidak pernah kekurangan penyediaan bibit singkong melalui kultur jaringan (Quak, 1972). Perbanyakan bibit singkong melalui pembentukan somatik embriogenesis sangat memungkinkan yaitu dengan eksplan daun (Raemakers, 2005), biji dan kotiledon (Stamp, 1986). METODOLOGI PENELITIAN Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri atas : Batang tanaman singkong, Jaringan meristem hasil in Vitro, Media MS (Murashige and skoog), Zat Pengatur Tumbuh (BAP dan GA3), Aquades, Alkohol 70%, Betadin, spirtus, sodium hypoclorite (NaClO) 4%. 10 nM Borate pH 8,0 yang telah didinginkan, Ethanol absolut (dingin 4oC) dan Nitrogen cair. Penelitian ini dirancang mengunakan Rancangan acak lengkap (RAL) yang tersusun secara faktorial yaitu BAP 0 ppm, BAP 0,5 ppm, BAP 1 ppm yang dikombinasikan dengan GA3 0 ppm GA3 0,1 ppm GA3 0,2 ppm. Uji duncan pada taraf 5% digunakan untuk menganalisis data.
Percobaan untuk mendapatkan meristem sebagai bahan tanam (Eksplan). Induksi tunas Penanaman awal merupakan penanaman bahan tanam berupa stek pada media. Media yang digunakan adalah pasir, kompos, tanah dengan perbandingan 1:1:1 Bahan tanam dipotong sepanjang 7 cm atau memiliki 2 nodus. Penanaman dilakukan selama 8 hari di green house. Penanaman tersebut bertujuan untuk menginduksi tunas.
33
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Inkubasi Inkubasi merupakan proses dimana bahan tanam yang sudah muncul tunas dimasukkan dalam oven dan diberi perlakuan pada suhu 40o selama 4 hari yang bertujuan untuk mengeliminasi virus. Penanaman di Green house Penumbuhan dilakukan di green house menggunakan polybag. Media yang digunakan berupa kompos, pasir, tanah dengan perbandingan 1:1:1. Penanaman dilakukan selama 5 sampai 6 minggu. Sterilisasi Eksplan dan Penanaman pada Media Eksplan batang muda diambil dari lapang, dibersihkan dari daunnya kemudian di semprot dengan alkohol 70%. Mencucinya menggunkan tween di air mengalir sampai bersih. Eksplan dibawa ke LAF (Laminar Airr Flow). Memotong Eksplan pernodus didalam larutan iodin. Merendam eksplan dengan alkohol 70% selama 5 menit. Merendam eksplan ke sodium hypoclorite (NaClO) dengan kandungan senyawa 4% selama 10 menit. Merendam dengan air steril selama 2 menit diulang sebanyak 2 kali. Memotong bagian ujung eksplan menjadi lebih pendek didalam larutan iodin. Meniriskan diatas tissue steril. Menanam eksplan dengan cara didirikan didalam botol kultur yang berisi media. Setiap media diisi dengan 4 eksplan yang sama. Botol media ditutup kembali dan dibalut menggunakan plastik wrap. Botol yang telah beriisi eksplan dipindahkan keruang penyimpanan dan disusun pada rak kultur. Penanaman sel meristem secara in vitro Eksplan yang sudah tumbuh tunas dilakukan pengambilan jaringan meristemnya. Jaringan meristem ujung tunas diambil pada kondisi yang steril di dalam LAF (Laminar Air Flow). Pemotongan tanaman dilakukan dengan cara mengambil satu atau dua daun primordial didalam petridish yang berisi larutan iodin. Kemudian eksplan ditanam pada media masing-masing perlakuan. Setiap media diisi dengan 1 meristem yang sama. Botol media ditutup kembali dan dibalut menggunakan plastik wrap. Botol yang telah beriisi eksplan dipindahkan keruang penyimpanan dan disusun pada rak kultur. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh meristem tanaman singkong secara In vitro. Batang tanaman singkong di potong sepanjang 7 cm atau memiliki 3 nodus terlihat pada Gambar 1A. Mencuci pada air mengalir potongan bat ang tersebut kemudian menanam pada media campuran dari pasir, kompos, dan tanaher dengan perbandingan 1:1:1. Penanaman dilakukan didalam bak yang berisi media. Melakukan pemeliharaan selama 8 hari agar batang tanaman dapat tumbuh tunas secara merata (Gambar 1B).
34
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
A
B
Gambar 1 (A) Batang tanaman singkong yang sudah dipotong dan dicuci; (B) Hasil induksi tunas tanaman singkong 8 HST. Tahap selanjutnya yaitu proses inkubasi. Inkubasi dilakukan pada temperatur 40 C terlihat pada Gambar 2. Proses inkubasi bertujuan untuk mengeliminasi virus yang terdapat pada bahan tanam. Pada suhu tinggi akan terjadi ketidak cocokan replikasi DNA virus hal ini menyebabkan replikasi virus terhambat sehingga tidak akan mampu bergerak ke daerah meristem. Oleh karena itu, eliminasi virus lebih efisiensi pada perlakuan suhu tinggi (Allam, 2000). o
A B Gambar 2. Proses inkubasi (A) Bahan tanam yang baru dimasukkan ke dalam oven (40oC); (B) Tanaman berumur 4 HST Setelah tanaman diperlakukan dengan temperature tinggi kemudian ditanam pada rumah kaca selama seminggu (Gambar 3). Batang tanaman singkong rata-rata memiliki 4 nodus atau setinggi 15 cm.
Gambar 3. Hasil tanaman singkong yang sudah seminggu dilakukan pemindahan Pertumbuhan tanaman yang cepat membuat jumlah daun dan akar lebih banyak sehingga terjadi persaingan cahaya dan unsur hara. Apabila tanaman dibiarkan tumbuh pada media tersebut maka pertumbuhan tanaman akan lambat atau mengalami
35
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
kemunduran. Sehingga perlu dilakukan pemindahan tanaman ke dalam polybag. Pemindahan dilakukan dengan cara merendam tanaman dengan air untuk mempertahankan akar agar tidak patah pada Gambar 4 (A). Kemudian ditanam pada polybag yang sudah berisi media. Media yang digunakan berupa pasir, tanah dan kompos. Tanaman ditanam pada polybag yang berisi satu tanaman satu polybag terlihat pada Gambar 4 (B).
A B Gambar 4. (A) Tanaman yang akan dipindahkan ke dalam polybag; (B) Tanaman yang baru dipindahkan (1 HST). Penanaman dilakukan selama 6 minggu. Selama proses penanaman dilakukan perawatan. Perawatan yang dilakukan berupa penyiraman dan pembersihan media tanam dari gulma. Bahan tanam yang digunakan sebagai eksplan adalah batang dari tanaman singkong yang sudah dilakukan treatment. Batang tanaman singkong mempunyai dua nodus yaitu nodus apikal (pucuk) dan nodus aksilar pada Gambar 5.
Gambar 5. Tamanan singkong yang sudah berumur 6 minggu (a) Nodus Apikal; (b) Nodus Aksilar 1; (c) Nodus Aksilar 2. Pada awalnya semua nodus dari batang tanaman digunakan sebagai eksplan. Pada eksplan nodus apikal (Gambar 5a) terbukti lebih lama untuk muncul tunas dalam kultur (in vitro). Eksplan nodus apikal mampu menginduksi tunas pada 7 HST. Lamanya pembentukan tunas pada nodus apikal kemungkinan disebabkan sel-sel meristem yang menyusun nodus apikal masil relatif terlalu muda, sehingga respon yang diberikan masih belum optimal. Hal tersebut ditegaskan oleh George dkk (2010) bahwa dalam kultur in vitro, sel-sel meristem yang terlalu muda masih membutuhkan waktu inisiasi untuk membuat sel-sel tersebut kompeten terhadap sinyal pertumbuhan yang diberikan dari luar. Sedangkan eksplan yang menggunakan nodus aksilar 1 pembentukan tunas relatif cepat, yaitu pada 5 HST. Hal tersebut juga dikemukakan Fauzi (2010) menyebutkan bahwa nodus yang paling responsif adalah nodus ke 2-4 dari pucuk (aksilar). Apabila eksplan yang digunakan merupakan nodus aksilar 2 maka akan muncul senyawa fenolik terlihat
36
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
pada Gambar 6. Jaringan jaringan yang sudah menua juga akan mempersulit pemotongan eksplan pada proses sterilisasi.
fenol Gambar 6 Munculnya senyawa Fenolik pada eksplan yang menggunakan jaringan dewasa pada akhir 2 MST. Hasil pembentukan tunas pada eksplan aksilar 2 pada akhir 3 MST dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Hasil pembentukan tunas yang menggunakan eksplan Aksilar pada 3MST yang kemudian diambil jaringan meristemnya. Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa tunas yang terbentuk sudah layak untuk diambil jaringan meristemnya. Jaringan meristem diambil kemudian dipotong pada larutan iodin kemudian ditanam pada masing-masing perlakuan. Dimana pada setiap perlakuan diisi satu jaringan meristem. Setelah beberapa hari kultur eksplan menunjukkan respon perkembangan pada akhir 4 MST. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Cheema & Hussain (2004) bahwa perbedaan respon pada ekplan disebabkan karena beberapa hal, antara lain yaitu ukuran eksplan, umur eksplan, jumlah hormon endogen yang dimiliki eksplan dan posisi eksplan pada tanaman induk. Jumlah Tunas Yang Muncul Berdasarkan pengujian lanjut dengan Uji Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sangat nyata pada jumlah tunas yang tumbuh terhadap pengaruh interaksi zat pengatur tumbuh BAP dan GA3. Rata-rata jumlah tunas yang muncul pada masingmasing perlakuan disajikan pada Gambar 8.
37
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 8 Diagram perbandingan jumlah tunas per eksplan dalam media induksi pada masing-masing perlakuan selama 10 MST. Pada Gambar 8, dapat diketahui bahwa perlakuan yang paling banyak menghasilkan tunas adalah A2B2. Perlakuan tersebut memiliki rata-rata jumlah tunas sebesar 5. Rata-rata jumlah tunas per eksplan masih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Sudarmonowati (2002) dengan jumlah rata-rata tunas per eksplan mencapai 3,19 tunas pada ubi kayu genotipe Mentega 2 yang menggunakan eksplan batang. Perbedaan tersebut kemungkinan karena kosentrasi BAP yang digunakan lebih tinggi, yaitu 2 ppm. Adanya pemberian zat pengatur tumbuh tunggal juga memicu tunas yang terbentuk lebih sedikit. Pemberian GA3 tunggal juga memicu terjadinya pembentukan tunas tunggal dan terbentuk system perakaran (Gambar 9). GA3 (ppm) 0 0,1 0,2
0 BAP (pp m)
0,5
38
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
1
Gambar 9. Diagram perbandingan pertumbuhan jumlah tunas pereksplan dalam media induksi pada akhir 10 MST Pada Gambar 9 terlihat bahwa pada perlakuan MS0 (GA3 0 ppm dan BAP 0 ppm) menunjukkan hasil perkembangan yang sangat lambat. Tunas mulai terbentuk pada akhir 3 MST. Jumlah tunas yang terbentuk tunggal dan tidak membentuk sistem perakaran. Pada perlakuan GA3 0,1 ppm dan BAP 0 ppm tunas yang terbentuk tunggal. Jumlah akar yang terbentuk banyak. Pada perlakuan yang didalamnya terkandung GA3 0 ppm dan BAP 0,5 ppm sudah terjadi multiplikasi tunas. Tunas yang terbentuk memiliki rata-rata 2. Pada perlakuan tersebut tidak muncul sistem perakaran. Jumlah tunas yang rata-ratanya tertinggi adalah perlakuan A2B2. Penambahan BAP 0,5 ppm dan GA3 0,1 ppm merupakan titik optimum pertumbuhan jumlah tunas pada meristem tanaman singkong. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Ranghu (2011) yang menyatakan bahwa multiplikasi tunas terbaik diperoleh dengan pemberian BAP 0,5 ppm dan GA3 0,1 ppm. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fauzi (2010) yang menyatakan bahwa eksplan yang muncul jumlah ratarata tunas terbanyak adalah dengan penambahan BAP 3 ppm yang menggunakan eksplan tunas samping dari kultur in vitro ubi kayu dari varietas Adira 2. Pada perlakuan selanjutnya yang mengandung zat pengatur tumbuh BAP menunjukkan munculnya beberapa tunas. Chaerudin dkk. (1996) menambahkan BAP merupakan suatu zat pengatur tumbuh sintetik yang tidak mudah dirombak oleh sistem enzim dari tanaman sehingga dapat memicu induksi dan multiplikasi tunas. Hal tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee-Espinosa dkk.(2003) yang menggunakan BAP 0,2 ppm dalam media MS padat dapat menginduksi tunas-tunas adventif dan menigkatkan kemampuan regenerasi yang tinggi melalui organogenesis secara langsung dari eksplan tunas aksilar pada tanaman Anthurium adreanum kultivar Midoridan Kalapana. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa dengan pemberian BAP akan membentuk system pertunasan yang lebih banyak, tetapi dengan pemberian GA3 ada kecenderungan membentuk system perakaran. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada DP3M - DIKTI yang telah mendanai penelitian ini melalui BOPTN Universitas Jember pada skim Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi.
39
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
DAFTAR PUSTAKA Allam, E.K. 2000. Eradication of Banana bunchy top virus and Banana mosaic virus from diseased banana plants. Annals ofAgriculture Science 45:33-48. Chaerudin T.S., T. Supriatun & Bavadal. 1996. Multiplikasi Tunas Tanaman Mentha arvensis Melalui Kultur Jaringan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Fakultas MIPA Universitas Padjajaran. Chemaa, K.L. & M. Husssain. 2004. Micropropagation of surgance thtough apical bud and axillary bud. International journal of agriculture & biology. 06(2). 257259. Fauzi, A. R. 2010. Induksi mutiplikasi tunas ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) Varietas adira 2 secara in vitro. Skripsi Sarjana. Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor: xiii+66 hal. Goerge, E.F., M.A. Hall & G.D. Klerk. 2008. Plant Propagation by Tissue Culture. Springer. Wageningen: ix + 501 hlm. Lee-Espinosa H.E., J.G. Cruz-Castillo & B. Garcia-Rosas. Multiple shoot proliferation and aclimation of “Midori” and “Kalapana” Anthurium (Anthurium andreanum L.) cultured in vitro. Revista fitotecnia mexicana. 2003; 26(4): 301-307. Lopez, C.E., Zuluaga, A.P., Cooke, R., Delseny, M., Tohme, J. and Verdier, V. 2003. Isolation of reistance gene candidate (RGCs) and characterization of an RGC cluster in cassava. Mol. Gen. Genomics. 26 Raghu, D., Senthil, N., Raveendran, M., Karthikayan, et al., 2011. Eradication of cassava mosaic disease from high yielding indian cassava clone through apical meristem tip-culture for small farmers. Sudarmonowati, E., R. Hartati, T. Taryana. 2002. Produksi, Regenerasi dan Evaluasi Hasil Ubi Kayu (Manihot esculenta) Indonesia Asal Kultur Jaringan di Lapang. Pusat Penelitian Bioteknologi. LIPI: Cibinong. Wasswa, P., T. Alicai and S.B. Mukasa, 2010. Optimisation of in vitro techniques for Cassava brown streak virus elimination from infected cassava clones. African Crop Science Journal, Vol. 18, No. 3, 2010, pp. 235 – 241
40
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
SURVE PERMASALAHAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADA SISTEM PERTANIAN ORGANIK DI LAHAN PETANI DAN TAMAN SIMALEM RESORT TANAH KARO SUMATERA UTARA Wagiyana Lecturer Faculty of Agriculture, University of Jember Jl. Kalimantan 23 Jember Email :
[email protected] ABSTRACT Survei on plant pest and disesae problem was done on 19 th until 21th May, 2014 at Tanah Karo Nort Sumatera District would supported by GIZ and Taman Simalem resort (TSr), survei was done at TSr on horticultura planting, and field farmer. The observation and supervision in the field shows that in farmers fields on organic farming on Tanah Karo Nort Sumatera there are 8 types of pests and diseases of horticultura crops according sequence and level of difficulty in overcoming the problems posed are as follows: 1) root swollen disease by the fungus Plasmodiophora brassicae mace, 2) snails / snail (Mollusca), 3) Caterpillars Land (Agrotis spp), 4) Ladybug leaf sucking family of Pentatomidae, 5) leaf caterpillar Spodoptera litura, 6) The disease stems fall Phityum spp, 7) Wilt / black shank Rot Lists, and 8) leaf spots by fungus of Alternaria solani. Problems in Golf Course attack: cutworm Agrotis spp and Snout Beetles Land (Family Curculionidae ) that damage the root system on grass, still a vertebrate animal attack problems that often interfere namely Boar (Srova javanica) . Control by utilizing Biological Control Agents (BCA) on pests and diseases of horticultural crops has been done already BCA 6 and 2 Biofertilizer but still need to be developed with the other BCA that has efficacy against certain pests and diseases. Fore can be developed BCA with fermentation liquid formula like: Coryne bacterium, Serratia spp Red Bacteria, Pseudomonas florescens, and other Glyocadium Spp followed by Quality Control clear. Applications BCA necessary knowledge and skills to farmers need to be nurtured, and developed Center Development Biological Agent ( CDBA ) assisted farmers level. Some comodities cultivated in TSr not found pest problem meaning as: Tea, Coffee, and Biwa . However be required surveillance, and routine monitoring of the possibility of disruption appeared pests. Some plant diseases indicated there were wafting through the growing media and fertilizers as a soil borne, as the plants are cultivated in greenhouses. Results of inoculation of entomopathogenic nematodes in soil worm Agrotis spp were found in farmers' fields and meadow lands Golf indicate mortality of 62.5 to 100 % after 42 and 72 hours of inoculation. Key words: survei, pest and disesae, plant, horticulture.
PENDAHULUAN Taman Simalem Resort (TSR) telah berkomitmen untuk pengembangan pertanian organik dengan cara ini kita akan mendapatkan makanan sehat dan aman bagi konsumen dalam hal ini manusia, untuk menjaga kesehatan mereka. Makanan sehat merupakan impian bagi setiap manusia untuk dapat memenuhi kesehatan menjaga gaya hidup sehat, makanan sehat ini diharapkan akan bebas dari residu bahan kimia pertanian dari sarana produksi yang digunakan termasuk bahan pengandali hama dan penyakit tanaman. Budidaya organik mengalami banyak gangguan hama dan penyakit pada budidaya
41
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
tanaman umumnya dilakukan di tingkat petani, hanya sekitar 30% hasil pertanian yang bisa laku dijual di supermarket. Kebijakan pengendalian hama tanaman sebagaimana diatur dalam undang-undang Sistem Budidaya Pertanian 1992 yang menekankan pada Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan pengendalian hayati dengan memanfaatkan potensi sumberdaya hayati alami yang berupa musuh alami hama, yang lebih lanjut dibiakkan secara massal/diproduksi menjadi Agens Pengendali Hayati (APH), Taman Simalem Resort (TSr) telah menerapkan kebijakan tersebut melalui pengembangan usaha pertanian organik di lahan dan mitra petani. Pengembangan sistem pertanian organik tidak dapat dipisahkan dari pengadaan dukungan input pertanian organik, sebagian sarana produksi secara teknis dapat dibuat oleh petani sendiri seperti: pupuk organik, beberapa zat pengatur pertumbuhan tanaman, pestisida organik tidak bisa sepenuhnya dilakukan oleh petani terutama insektisida organik, masih jauh dari harapan untuk mendukung pertanian organik. Namun di TSr telah mampu memanfaatkan sumberdaya hayati lokal dengan membuat 6 jenis APH (Agens Pengendali Hayati) dan pupuk organik 2 macam, kerjakeras dari TSr itu perlu kita beri apresiasi untuk merintis usaha pertanian organik. Pestisida nabati yang dapat mendukung pengembangan pertanian organik dapat dibuat oleh petani dengan bantuan teknis dari Departemen Pertanian atau Perguruan Tinggi melalui layanan masyarakat, standardisasi produk dan Quality Control masih perlu ditingkatkan dan dikembangkan lebih lanjut di TSr dan petani binaannya. Produksi pestisida organik dengan memanfaatkan sumberdaya hayati lokal dapat dikembangkan secara teknis tingkat petani melalui Kelompok Tani (Gapoktan) dengan petani binaan yang dikembangkan olehTSr melalui kegiatan CSR dengan usaha yang saling menguntungkan. Pusat Pengembangan Agens Hayati (PPAH) dapat dibangun tingkat kelompok tani dengan memanfaatkan sumberdaya hayati lokal melalui kegiatan membuat pupuk organik, pestisida organik, dan sarana produksi organik lainnya di bawah bimbingan dan pengawasan teknis TSr GIZ, Perguruan tinggi dan instansi terkait untuk mendukung penyediaan makanan sehat bagi konsumen. Kedepan diperlukan untuk pengembangan biofertilizer dan biopestisida sebagai sarana produksi untuk mendukung dan mengembangkan pertanian organik sebagai mana yang telah dikembangkan di TSr dengan petani binaanya. Tujuan Surve 1.Mengidentifikasi masalah jenis hama dan penyakit di Taman Simalem Resort dan ditingkat petani binaan TSr, menggambarkan gejala kerusakan yang disebabkan oleh gangguan hama dan penyakit 2. Mencari solusi untuk mengatasi hama dan penyakit, dan merekomendasikan Teknik pengendalian biologis dengan memanfaatkan sumberdaya hayati lokal sebagaimana yang telah dan akan digunakan. 3. Memberikan bimbingan teknis pengendalian biologis hama serangga dengan nematoda entomopatogen pada tanaman hortikultura dan di lapangan golf, dan pengembangbiakannya in vivo. 4. Memberikan bimbingan teknis bagaimana membuat alternatif pestisida nabati dan APH dengan memanfaatkan potensi sumberdaya hayai lokal yang dapat dikembangkan di TSr. 5. Mengevaluasi pembuatan APH dan pupuk organik di TSr. Manfaat 1. Memberikan alternatif penggunaan sumberdaya hayati lokal dalam bentuk agen pengendali biologis dalam program pengembangan pertanian organik.
42
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
2. Mengembangkan fasilitas produksi organik di TSr, lebih lanjut untuk membuat/memproduksi biofertilizer dan biopestisida. 3. Memberikan pengetahuan tentang perkembangan pengendalian biologis lainnya kepad Teknisi laboratorium dan staf Agronomis TSr, dan mendorong pengembangan standarisasi produk yang dikembangkan di TSr seperti: agen biologis, pupuk organik, pengurai bakteri, dan lain-lain di TSr. Hasil Surve Tanaman sayuran organik yang dibudidayakan di Taman Simalem Resort (TSr) diketemukan keragaman hayati yang banyak menimbulkan masalah sebagai hama dan penyakit tanaman yang menimbulkan kerusakan tanaman secara signifikan, ditemukan 8 jenis hama dan penyakit tanaman sebagai hama penting yaitu: 1. Penyakit akar gada Plasmodiophora brassicae (jamur), menyerang pembibitan dan penanaman, akar dan pangkal batang gejala bengkak (gall made), menjadikan pertumbuhan terhambat, tidak menghasilkan. Banyak terjadi di lahan petani pada pembibitan tradisional, terjadi pada tanah yang selalu lembab, usahakan tidak memindahkan bibit sudah terinfeksi mendarat. 2. Busuk pangkal batang yang disebakan oleh Xanthomonas spp, gejala busuk pada pangkal batang, batang mudah patah, banyak terjadi serangan pada tanaman baru (transplanting), cucaca basah, dan lembab. 3. Tanaman Patchoy terserang jamur Alternaria solani, pada daun terdapat bintikbintik pada daun coklat kehitaman, saat kering bisa menjadi berongga, bersifat airborne mudah menular melalui udara, menyerang daun bangsa brassicae 4. Cutworm carterpillar Agrotis ipsilon, memotong batang di bagian pangkal, di lahan yang baru dibuka kadang ulat sudah ada, serangan ulat di malam hari siang hari bersembunyi di sela-sela tanah. 4. Kumbang anjing tanah (Phyllotre vitata: Chysomelidae), daun sawi putih (patchoy) berlobang-lobang , menjadikan daun patchoy tidak laku jual. 5. Kepik penghisap daun oleh Keluarga Pyrrhocoridae, (masih diidentifikasi) menyerang mesofil daun dengan mengisap daun sehingga daun bercak keputihan, membuat harga jual sayuran jatuh. 6. Ulat daun Spodoptera exigua daun dimakan berlobang, menyerang pada malam hari, fase awal (instar 1) berkerumun. 7. Keong/ Molusca menyerang dengan cara memakan daun sayuran fase tanaman tua sampai pembibitan diserang, memakan daun sehingga daun berlubang, hilangnya daun, menyerang pada malam hari siang hari bersembunyi di selasela tanah atau kopi dan tanaman lainnya. 8. Pada tanaman kopi, teh, dan biwa belum diketemukan hama dan penyakit yang berarti, tetapi diperlukan pengelolaan tanaman yang baik, dan dijaga kebersihan lingkungan dipertahankan untuk mengurangi serangan hama.
Pemecahan Masalah Gangguan pada lapangan golf ada dua jenis pengganggu jenis cutworm ulat tanah Agrothis ipsilon (Lepidoptera: Noctuidae) dan Kumbang moncong Curculionidae kedua menyerang sistem akar rumputpadang golf yang membuat rumput layu, kering dan kemudian mati menyebabkan pertumbuhan rumput tidak merata. Masalah di dalam rumah kaca (bunga pembibitan dan hortikultura yang bernilai tinggi) banyak hama dan penyakit yang timbul akibat terbawa dari media tumbuh tanaman, pupuk organik yang tidak
43
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
mengalami proses pengomposan secara sempurna. Di Nursery (rumah kaca) bunga di malam hari lampu selalu dinyalakan hal ini dapat mengundang datangnya Imago A.ipsilon S. exigua atau terbang masuk melalui celah-celah bangunan. Selain itu, kondisi iklim mikro di dalam rumah kaca cocok untuk Thrips, Kutu daun, dan hama lain. Produk akhir pengolahan pupuk organik: Tidak diayak dan disterilkan, menggumpal, keras, menggumpal, komposisi bahan baku pupuk organik perlu ditinjau kembali dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tanah. Kualitas bakteri dekomposer, dan kandungan nutrisi pupuk organik itu sendiri perlu ditinjau kembali. Masalah di Showroom penjualan produk organik TSr ada beberapa komoditas yang diserang oleh hama dan penyakit yang terlihat dapat mengurangi daya tarik dan nilai penjualan produk seperti: wortel dan ubi jalar. Dengan gejala bopeng-bopeng di permukaan kulit, yang disebabkan oleh hama di dalam tanah yang tidak penting. Intensitas kerusakan kecil atau rendah pada komoditas pertanian organik dapat mengurangi nilai jual dan daya tarik pembeli, tetapi dengan kesadaran konsumen produk makanan sehat ini bisa dihilangkan. Lapangan golf ada dua jenis pengganggu yang jenis tanah cutworm ulat Agrothis ipsilon (Lepidoptera: Noctuidae) dan kumbang moncong Curculionidae keduanya menyerang sistem akar rumput yang membuat rumput layu, kering dan kemudian mati menyebabkan pertumbuhan rumput tidak merata. KESIMPULAN Pengamatan dan monitoring di lapangan pada tanaman hortikultura di lahan petani dan Taman Simalem Resort (TSr) ditemukan 8 OPT sesuai urutan tingkat kesulitan dalam mengatasi masalah adalah sebagai berikut: Penyakit Akar gada oleh jamur Plasmodiophora brassicae menjadika puru pada sistem perkaran ,Snail / keong (moluska), ulat pemotong cutworm (Agrotis spp), Kepik pengisap daun Pentatomidae, ulat pemakan daun Spodoptera litura, Penyakit patah pangkal batang Phityum spp, bercak-bercak kecoklatan Alternaria solani, dan busuk daun. Masalah yang ditemukan di lapangan golf: cutworm Agrotis spp dan Kumbang Tanah Moncong (Family Curculionidae) yang merusak sistem akar rumput padang golf. Upaya pengendalian dengan memanfaatkan agen pengendali hayati (APH) di laboratorium perlu dikembangkan (sudah memiliki 6 dan 2 Biofertilizer) agen kontrol biologis lainnya dan ada kontrol kualitas yang jelas. Hasil inokulasi nematoda entomopatogen pada cutworm carterpillar Agrotis spp yang dikoleksi dari lahan petani dan padang rumput Golf mortalitas menunjukkan 62,5-100% setelah 42 dan 72 jam inokulasi. Langkah-langkah lebih lanjut untuk mengidentifikasi OPT yang belum diketahui namanya yang ditemukan pada serangga dan menganalisis penyebab penyakit pada tanaman dan tanah dilakukan di Bagian Klinik Tanaman Fakultas Pertanian, Universitas Jember. SOLUSI Lahan yang telah terserang penyakit akar gada/ bengkak (P. brassicae) secara endemik untuk sementara ditanami dengan tanaman lain selain brassicae selama 2 atau 3 periode musim tanam, selama musim kemarau dengan caratanah dibalik dengan cara dibajak untuk mematikan spora jamur terkena sinar matahari’, usahakan untuk menanam benih terdengar dari tempat lain yang tidak terserang penyakit. Aplikasi sumberdaya hayati lokal yang berupa APH dapat diteruskan untuk pencegahan dilakukan sebelum penyemaian, sebelum tanam, dan setelah tanam secara terjadwal, untuk mengatasi hama dan penyakit seperti layu, busuk pangkal batang, dan bercak daun. APH yang diproduksi
44
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
sebagai insektisida di TSr sejauh ini hanya berfungsi sebagai penghamabat makan, dan pengusir serangga tidak dapat secara langsung membunuh serangga hama kecuali dalam Metrrrhizium spp dan B. bassiana, untuk itu perlu untuk dikembangkan potensi sumberdaya hayati lokal yang berupa APH lain yang dapat langsung membunuh serangga hama seperti Bakteri merah (Serratia spp) nematoda entomopatogen (Steinernema spp, Heterorhabditis spp) dan jenis lainnya. Pestisida nabati baru dapat diproduksi dengan bahan baku yang tersedai di tingkat pertani atau di TSr sevabagaimana materi yang telah diberikan kepada teknisi laboratorium dan staf divisi Agronomis PHT di TSr. Aplikasi APH harus didasarkan pada pengamatan pertumbuhan fenologi dan perkembangan populasi hama dan penyakit tanaman, petugas divisi PHT serta pengamat harus tahu dalam beberapa bulan ketika banyak hama dan penyakit yang berasal dari suatu tanaman atau tanah, untuk pencegahan dini apalikasi dilakukan APH seperti di atas. Pengamatan dapat dilakukan secara langsung oleh pengamat dengan sampling sistematik, atau pemantauan dengan perangkap sinar lampu, atau feromoid untuk jenis hama tertentu. Sebagai panduan dalam pengelolaan hama dan penyakit tanaman direkomendasikanPHT (Pengendalian Hama Terpada) sebagimana dalam petunjuk PHT sayuran (!998). Pengendalian hama Agrothis spp dan S. litura secara manual dengan mengumpulkan larva paling efektif untuk dilakukan, tetapi memiliki kendala memerlukan banyak tenaga kerja dan biaya, hal itu dapat dilakukan di lapangan golf atau tanaman di rumah kaca. BAHAN RUJUKAN Anonim, 1998. Petunjuk Studi Lapangan PHT Sayuran (Bawang merah, cabai, Kacang Panjang, kentang, dan Tomat). Program Nasional PHT, Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman, Deptan, Jakarta. Undang Undang No.12 Tahun 1992. Sistem Budidaya Pertanian. Depkumham, Jakarta.
45
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
POTENSI CROTALARIA MUCRONATA DESV. SEBAGAI PUPUK HIJAU THE POTENCY OF CROTALARIA MUCRONATA DESV. AS GREEN MANURE Sumarni T., N. Aini, N.D. Marsha Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145 Jawa Timur, Indonesia ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mempelajari potensi tanaman C. mucronata Desv. sebagai pupuk hijau telah dilakukan dengan menggunakan percobaan pot dan percobaan lapangan di Desa Pangarangan, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, jenis tanah Latosol, pH: 6,8, ketinggian tempat 187,4 m dpl pada bulan Oktober – Desember 2013. Penelitian terdiri dari dua percobaan, yaitu: 1. Uji perkecambahan benih, 2. Uji kualitas tanah. Percobaan ke-1: Pengujian perkecambahan benih dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), Percobaan ke-2: Pengaruh waktu dan lama pembenaman tanaman C. mucronata Desv. pada tanah, menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non-faktorial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa benih tanaman C.mucronataDesv. membutuhkan perlakuan skarifikasi untuk meningkatkan permeabilitas kulit benihnya. Perlakuan skarifikasi secara mekanis dengan kertas amplas mampu meningkatkan daya tumbuh benih tanaman C.mucronataDesv. sebesar 321,37% dibanding tanpa perlakuan skarifikasi. Tanaman C. mucronata Desv. berpotensi sebagai pupuk hijau karena dapat memperbaiki sifat kimia tanah. Pembenaman 10 ton ha -1 hijauan C. mucronata Desv. mampu meningkatkan pH tanah sebesar 2,94%; C-organik sebesar 258%; N total sebesar 163%; P tersedia sebesar 1138%; K dapat ditukar sebesar 649% dan KTK tanah sebesar 301% dibanding tanah tanpa perlakuanC. mucronata. Kata kunci : Crotalaria mucronata Desv., Potensi, Pupuk hijau
PENDAHULUAN Penggunaan pupuk anorganik terus meningkat seiring dengan semakin intensifnya kegiatan usaha tani. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan petani pada pemakaian pupuk anorganik salah satunya dengan memanfaatkan pupuk organik. Pupuk organik dapat mengembalikan bahan organik tanah yang hilang serta memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Upaya penggunaan pupuk organik seringkali terkendala dengan terbatasnya ketersediaan sumber bahan organik. Padahal, Indonesia sebagai salah satu negara tropis memiliki kelimpahan“green manure” (pupuk hijau), namun belum disosialisasikan kepada petani (Agustina, 2011). Kontribusi pupuk hijau sebagai sumber bahan organik telah banyak diteliti dan telah menjadi salah satu alat perbaikan (remedial tools) untuk me-rehabilitasi lahan terdegradasi. Namun sumber daya pupuk hijau berkualitas sulit ditemukan, khususnya pada daerah dengan lahan yang terdegradasi. C. mucronata Desv. adalah salah satu tumbuhan dalam genus Crotalaria yang memiliki potensi sebagai pupuk hijau. C. mucronata Desv. umumnya tumbuh liar sebagai gulma pada lahan pertanian, maupun sebagai tumbuhan ruderal. Benih C. mucronata Desv. memiliki kulit biji yang keras, sehingga membutuhkan perlakuan untuk memacu daya perkecambahannya. Upaya peningkatan daya tumbuh benih perlu dilakukan agar bahan baku sumber daya pupuk hijau ini dapat cepat tersedia dan dimanfaatkan. C. mucronata Desv. mampu tumbuh pada lahan marginal dan relatif toleran terhadap kekeringan (Anonymous, 2010). Upaya pemanfaatan bahan organik
46
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
melalui pembenaman biomassa C. mucronata Desv. diharapkan akan menjadi sumber energi bagi perkembangan mikroorganisme di dalam tanah. Peningkatan aktivitas mikroorganisme di dalam tanah bermanfaat meningkatkan kesuburan tanah. METODE PENELITIAN Penelitian terdiri atas dua percobaan, (1) Uji perkecambahan benih dilaksanakan di Laboratorium sumberdaya lingkungan FPUB, dilakukan pada substrat kertas merang dengan metode Uji Di atas Kertas (UDK). Media perkecambahan berupa 3 lembar kertas merang yang diletakkan pada alas petridish. Kertas merang tersebut sebelumnya dibasahi air hingga jenuh. Masing-masing cawan petri pada setiap perlakuan dikecambahkan 25 benih. (2) Pengaruh waktu pembenaman dan lama pembenaman C. mucronata Desv. pada tanah dilaksanakan di Desa Pangarangan, Kabupaten Sumenep, jenis tanah Latosol, pH: 6,8, ketinggian tempat 187,4 m dpl pada bulan Oktober 2013 hingga Desember 2013. (1). Uji Perkecambahan Benih Pengujian perkecambahan benih dilakukan dengan metode rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 15 perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali, meliputi : (V0) tanpa perlakuan skarifikasi; (V1) skarifikasi secara mekanis dengan kertas amplas; (V2) skarifikasi + perendaman dalam air selama 1 × 24 jam; (V3) perendaman dalam air selama 3 × 24 jam; (V4) perendaman dalam air selama 5 × 24 jam; (V5) perendaman dalam air dengan suhu awal 50° C selama 1 × 24 jam; (V6) perendaman dalam air dengan suhu awal 80° C selama 1 × 24 jam; (V7) skarifikasi + perendaman dalam air dengan suhu awal 50° C selama 1 jam; (V8) skarifikasi + perendaman dalam air dengan suhu awal 80° C selama 1 jam; (V9) perendaman dalam larutan KNO3 1% selama 1 × 24 jam; (V10) perendaman dalam larutan KNO3 0,5% selama 2 × 24 jam; (V11) perendaman dalam larutan KNO3 0,2% selama 2 × 24 jam; (V12) perendaman dalam larutan H2SO4 1% selama 30 menit; (V13) perendaman dalam larutan H2SO4 1% selama 30 menit + perendaman dalam air selama 1 × 24 jam dan (V14) perendaman dalam larutan H2SO4 1% selama 1 × 24 jam. Peubah yang diamati adalah prosentase perkecambahan benih. (2). Pengaruh Waktu Pembenaman dan Lama Pembenaman C. mucronata Desv. pada Tanah Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non-faktorial, dengan rincian perlakuan sebagai berikut : (P1) tanaman umur 3 mst + dibenamkan selama 2 minggu; (P2) tanaman umur 3 mst + dibenamkan selama 3 minggu; (P3) tanaman umur 4 mst + dibenamkan selama 2 minggu; (P4) tanaman umur 4 mst + dibenamkan selama 3 minggu; (P5) tanaman umur 5 mst + dibenamkan selama 2 minggu; (P6) tanaman umur 5 mst + dibenamkan selama 3 minggu dan (P7) tanaman umur 6 mst + dibenamkan selama 3 minggu. Peubah yang dianalisis adalah sifat kimia tanah yang meliputi pH, C-organik, N total, P tersedia, K dapat ditukar dan Kapasitas tukar kation (KTK). Data pengamatan yang diperoleh pada masing-masing percobaan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (uji F) pada taraf 5%, dilanjutkan dengan uji perbandingan antar perlakuan dengan menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN (1) Uji Perkecambahan Benih
47
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Perlakuan pematahan dormansi benih berpengaruh nyata pada perkecambahan benih pada umur 7 hast dan 14 hst (Tabel 1). C. mucronata Desv. memiliki karakteristik kulit benih yang keras. Menurut De Souza dan Filho (2001), semakin kecil ukuran benih maka semakin rapat susunan sel-sel palisade yang bersifat impermeabel. Juhanda et al,. (2013) menyatakan bahwa skarifikasi menyebabkan luas permukaan benih yang kontak dengan air menjadi semakin besar sehingga proses imbibisi dapat terjadi. Perlakuan skarifikasi secara mekanis dengan kertas amplas (V1), skarifikasi + perendaman dalam air selama 1×24 jam (V2), skarifikasi + perendaman dalam air dengan suhu awal 50° C selama 1 jam (V7) dan skarifikasi + perendaman dalam air dengan suhu awal 80° C selama 1 jam (V8) menghasilkan nilai rata-rata daya tumbuh benih yang paling tinggi dibanding perlakuan lainnya. Tabel 1. Rata-rata Daya Tumbuh Benih (%) C. mucronata Desv. Akibat Perlakuan Pematahan Dormasi Daya Tumbuh Benih (%) pada Umur (hst) 7 14 V0 6,67 a 18,67 ab V1 72,00 d 78,67 e V2 77,34 d 80,00 e V3 12,00 a 24,00 ab V4 9,34 a 41,33 cd V5 10,67 a 29,33 bc V6 48,00 c 53,33 d V7 77,33 d 81,33 e V8 84,00 d 86,67 e V9 13,30 a 17,33 ab V10 8,00 a 13,33 a V11 9,33 a 16,00 a V12 12,00 a 17,33 ab V13 29,33 b 41,33 cd V14 12,00 a 24,00 ab BNT 5% 11,56 13,10 Keterangan : Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada uji BNT 5% (p= 0,05); hst = hari setelah tanam. Pematahan dormansi dengan perendaman air panas dan bahan kimia tanpa didahului proses skarifikasi belum mampu membuat permukaan kulit benih menjadi permeabel. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Nugroho (2007), bahwa perendaman benih merbau [I. bijuga (Colebr.) O. Kuntze] dalam larutan sodium hipoklorit NaClO 5,25% atau dengan cara pembakaran tidak dapat menggantikan perlakuan benih dengan cara skarifikasi. Perendaman menggunakan HCl dan H2SO4 tidak meningkatkan prosentase perkecambahan, hal ini mungkin karena konsentrasi yang digunakan telalu kecil. Perlakuan
48
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
(2) Pengaruh Waktu Pembenaman dan Lama Pembenaman C. mucronata Desv. pada Tanah Perlakuan pembenaman C. mucronata Desv. menunjukkan peningkatan pada peubah pH tanah, C-organik, N total, P tersedia, bahan organik dan KTK tanah. Nilai pH tanah dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah. Tabel 2 menunjukkan bahwa seluruh perlakuan pembenaman C. mucronata Desv. dapat meningkatkan pH tanah, namun masih dalam kisaran pH normal. Pembenaman C. mucronata Desv. nyata meningkatan C-organik tanah (Tabel 2). Perlakuan pembenaman C. mucronata Desv. umur 3 mst selama 2 minggu (P1), tanaman umur 4 mst + dibenamkan selama 2 minggu (P3), tanaman umur 5 mst + dibenamkan selama 2 minggu (P5); tanaman umur 5 mst + dibenamkan selama 3 minggu (P6) dan tanaman umur 6 mst + dibenamkan selama 3 minggu (P7) menghasilkan persentase kandungan C-organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan) . Rata-rata persentase kandungan C-organik tersebut meningkat dari kriteria sangat rendah (kontrol 0,36%) menjadi rendah (1-2%). Terjadinya proses dekomposisi pupuk hijau (C. mucronata Desv.) akan menghasilkan asam-asam organik sehingga dapat meningkatkan kandungan senyawa organik dalam tanah yang dicirikan dengan meningkatnya kandungan C-organik tanah. Melalui proses mineralisasi, senyawa-senyawa kompleks penyusun jaringan tanaman akan diubah menjadi unsur-unsur yang tersedia bagi tanaman. Pembenaman biomassa C. mucronata Desv. meningkatkan kandungan N total tanah. Peningkatan persentase kandungan N total tanah pada perlakuan P1, P2, P3, P4 dan P5 meningkat dibandingkan kontrol (Tabel 2), meskipun masih termasuk dalam kriteria sangat rendah (<0,1%). Masing-masing peningkatan kandungan N total tanah pada perlakuan tersebut yaitu P 1 (0,087 %), P2 (0,067%), P3(0,093%), P4 (0,083%) dan P5 (0,097%), P6 (0,103% dan P7 (0,130%). Persentase ketersediaan unsur P pada tanah awal yaitu 3,15 mg kg-1, termasuk dalam kriteria sangat rendah. Setelah pemberian perlakuan, ketersediaan P tanah mengalami peningkatan yaitu masing masing P2 (59,32 mg kg-1), P3 (64,77 mg kg-1), P4 (57,17 mg kg1 ), P5 (64,72 mg kg-1) (Tabel 2). Tabel 2. Rata-rata pH Tanah, C organik, N total, P tersedia, K dapat ditukar dan KTK Akibat Perlakuan Waktu Pembenaman dan Lama Pembenaman C. mucronata Desv. pada Tanah K Dapat Kapasitas Ditukar (me Tukar Kation 100 g-1) (me 100 g-1) P0 6,8 a 0,36 a 0,033 a 3,15 a 0,057 a 1,05 a P1 7,0 ab 1,29 d 0,087 bc 39,69 b 0,427 bc 4,23 d P2 7,5 d 0,69 b 0,067 b 59,32 c 0,523 bc 2,09 ab P3 7,3 cd 1,05 cd 0,093 bc 64,77 c 0,640 c 3,17 bcd P4 7,4 d 0,93 bc 0,083 bc 57,17 c 0,483 bc 2,46 abc P5 7,5 d 1,08 cd 0,097 c 64,72 c 0,507 bc 3,52 bcd P6 7,2 bc 1,13 cd 0,103 cd 83,39 d 0,307 ab 3,51 bcd P7 7,5 d 1,30 d 0,130 d 91,25 d 0,370 b 3,87 cd BNT 5% 0,21 0,29 0,0295 10,644 0,268 1,61 Keterangan : Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada uji BNT 5% (p= 0,05)
Perlakuan
pH
C Organik (%)
N Total (%)
49
P Tersedia (mg kg-1)
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Perlakuan pembenaman tanaman umur 5 mst selama 3 minggu (P6) dan pembenaman tanaman umur 6 mst selama 3 minggu (P7) menghasilkan rata-rata kandungan P tersedia yang paling tinggi yaitu masing-masing 83,39 mg kg-1 dan 91,25 mg kg-1. Rata-rata kandungan P tersedia tanah pada semua perlakuan meningkat dibandingkan dengan kontrol, yaitu dari kriteria sangat rendah (<5 mg kg-1) menjadi sangat tinggi (>20 mg kg1 ). Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Yuwono (2009) bahwa perombakan bahan organik menyumbang 20 - 80% dari total P dalam tanah. Selain itu, unsur P cenderung tidak mudah tercuci sehingga unsur P tersedia relatif tinggi pada tanah. Kandungan K dapat ditukar meningkat dari kriteria sangat rendah menjadi rendah. Nilai rata-rata parameter K dapat ditukar pada tanah awal yaitu 0,057 me 100 g-1, termasuk dalam kriteria sangat rendah. Pembenaman hijauan tanaman C. mucronata Desv. dengan umur tanaman yang semakin tua, menyebabkan pe-ningkatan nilai rata-rata K dapat ditukar (Tabel 2). Nilai tertinggi ditunjukkan pada perlakuan pembenaman tanaman umur 4 mst selama 2 minggu (P3) yaitu sebesar 0,640 me 100 g-1 (kriteria sedang). Namun, pada umur pembenaman selanjutnya, nilai K dapat ditukar menurun, yaitu pada perlakuan pembenaman tanaman umur 5 mst selama 3 minggu (P6) dan pembenaman tanaman umur 6 mst selama 3 minggu (P7) masing-masing 0,307 me 100 g-1 dan 0,370 me 100 g-1, yang termasuk pada kriteria rendah. Setelah terjadi proses dekomposisi, ion-ion K secara perlahan akan dilepaskan ke dalam larutan tanah. Kadar K dalam larutan tanah sebagian akan diserap tanaman/mikrobia dan sebagian akan terikat secara lemah pada muatan pertukaran koloidal tanah (K dapat ditukar). K dapat ditukar ini kemudian dapat lepas ke larutan tanah atau terikat lebih kuat pada permukaan dalam koloidal tanah. Ion-ion K memiliki satu valensi sehingga unsur ini tidak dijerap secara kuat oleh muatan permukaan koloid (Hanafiah, 2005). Pembenaman C. mucronata Desv. umur 3 mst selama 2 minggu (P1), P3, P5, P6 dan P7. menghasilkan nilai KTK lebih tinggi dibandingkan dengan tanpaperlakuan (Tabel 13). Nilai KTK tergantung pada jumlah muatan negatif dari koloid tanah. Semakin tinggi nilai KTK tanah, semakin subur tanah tersebut. Demikian pula kemampuannya dalam menjerap unsur hara juga semakin tinggi (Novizan, 2002). KESIMPULAN C. mucronata berpotensi sebagai pupuk hijau karena pembenaman 10 ton ha-1 hijauan C. mucronata Desv. mampu meningkatkan nilai C-organik sebesar 258%; N total sebesar 163%; P tersedia sebesar 1138%; K dapat ditukar sebesar 649% dan KTK tanah sebesar 301% dibanding tanpa perlakuan, namun benihnya membutuhkan perlakuan skarifikasi untuk meningkatkan permeabilitas kulit bijinya. Perlakuan skarifikasi secara mekanis dengan kertas amplas meningkatkan daya tumbuh benih C. mucrona-ta Desv. sebesar 321,37% dibanding tanpa perlakuan skarifikasi.
50
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
DAFTAR PUSTAKA Agustina, L. 2011. Teknologi Hijau dalam Pertanian Organik Menuju Pertanian Berlanjut. UB Press. Malang. 242 p. Anonymous. 2010. The Total Vascular Flora of Singapore Online (C. mucronata Desv.). http://floraofsingapore.wordpress.com/ De Souza, FHD dan Marcos F.J. 2001. The Seed Coat as A Modulator of Seed Environment Relationship in Fabaceae. J Revta Brasil. 24(4) : 365-375. Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Rajawali Pers. Jakarta. 360 p. Juhanda, Yayuk N dan Ermawati. 2013. Pengaruh Skarifikasi pada Pola Imbibisi dan Perkecambahan Benih Saga Manis (Abruss precatorius L.). J Agrotek Tropika. 1(1) : 45 – 49 Lestari, D.W., J. Moenandir dan T. Sumarni. 2011. Pengaruh Aplikasi Pupuk Hijau Orokorok (C. juncea L.) dan Jumlah Bibit/lubang Tanam pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.) var. Cibogo. J. Ilmu Pertanian. 17 (2) : 221 – 227 Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agro Media Pustaka. Jakarta. 114 p. Nugroho, J. D,. 2007. Biologi dan Perkecambahan Biji Merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze]. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Schimdt, L. 2000. Guide to Handling of Tropical dan Subtropical Forest Seed. Danida Forest Seed Centre. Denmark. 511 p. Sipayung, H.N. 2010. Pengaruh Skarifikasi Bagian-bagian Benih dan Konsentrasi Kalium Nitrat (KNO3) terhadap Perkecambahan Benih Palem Botol (Mascarena lagenicaulis). Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan. 76 p. Yuwono, N.W. 2009. Membangun kesuburan tanah di lahan marginal. J Ilmu Tanah dan Lingkungan. (9) : 137-141
51
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
POTENSI PENGEMBANGAN ANGGUR JESTRO AG45 (FITIS VINIFERA,SP) DI DATARAN RENDAH Emi Budiyati dan Anis Andrini (Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika) JL. Raya Tlekung no.1 Tlekung Junrejo Batu Email :
[email protected] ABSTRAK Anggur Jestro Ag45 mempunyai kwalitas yang tinggi bisa sebagai pembanding dengan anggur impor, baik dirasanya yang manis segar dan krispy. Kegiatan penelitian ini untuk memperoleh informasi keunggulan karakteristik dan potensi Jestro Ag45 sebagai pengembangan untuk memenuhi kebutuhan buah anggur domestik dan menekan buah anggur impor. Pengujian dan observasi langsung dilakukan mulai bulan Januari 2012 sampai dengan Nopember 2013, di Kebun Percobaan Banjarsari, Desa Bayeman Kota Probolinggo Propinsi Jawa Timur. Metode yang digunakan adalah metode observasi yaitu dengan mengamati langsung pada tanaman anggur Jestro Ag45 di lapang. Pengamatan keragaan tanaman secara visual (morfologis) dilakukan secara langsung berdasarkan Descriptor for Grapevine (IPGRI, 1997), dan pedoman penyusunan deskripsi varietas yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian No. 700/Kpts/OT.320 /D/12/ 2011, sedangkan karakterisasi sifat kimiawi buah dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Universitas Brawijaya, Malang Jatim. Hasil menunjukkan bahwa Jestro Ag45 layak sebagai varietas unggul karena mempunyai kwalitas yang tidak kalah dengan anggur impor yaitu : bentuk buah bulat, kulit buah berwarna ungu kehitaman, rasa buah manis segar dan krispy dengan kadar asam yang rendah (0.77) kadar gula 19-20% (brix), kadar air 60% dan vitamin C 35.05 mg/100gram. Kata kunci : anggur, varietas, Jestro Ag45, pengembangan ABSTRACT Grapevine Jestro Ag45 has can have a high quality that can be the competitor of imported grapevines. It has sweet fresh taste and Crispy texture. The purpose of this research activities was to gain information of superiority characteristics and potential of Jestro Ag45 as development to meet the needs of domestic grapes and supress the imported grapes. Tes and direct observation were conducted from January 2012 to November 2013, at the Experimental Field of Banjarsari, Bayeman Village Probolinggo, East Java. The method used was the method of observation is to observe the Ag45 Jestro vines in the field. Visual observation of the performance of plants (morphological) carried out directly based descriptor for Grapevine (IPGRI, 1997), and guidelines for the variety description issued by the Minister of Agriculture No. 700 / Kpts / OT.320 / D / 12/2011, while the characterization of the chemical properties of the fruit was done in Post Harvest Laboratory, University of Brawijaya, Malang, East Java. The results indicated that Jestro Ag45 feasible as superior varieties because it has a quality that is not inferior to imported grape was fruts, namely: round shape, purple-black fruit peel, sweet taste and crispy with low acid content (0.77) sugar content of 19-20% (brix), 60% water content and Vitamin C of 35.05 mg / 100gram. Keywords: grapevine, varieties, Jestro Ag45, development
PENDAHULUAN Anggur mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi mengingat besarnya volume impor anggur segar di Indonesia yang menduduki urutan ke 3 impor buah setelah jeruk dan apel (Direktorat Tanaman Buah, 2012). Anggur Jestro Ag 60 telah
52
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
dikembangkan oleh PTPN XII mulai tahun 2010 dan produksi terjual pada supermarket Total Surabaya sebanyak 12 ton, dengan harga Rp 22.500/kg (Yusmarten, 2012 ( komunikasi pribadi) Kualitas buah anggur di Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan anggur impor hanya saja perlu pembenahan dalam aplikasi teknologi budidaya anggur. KP Banjarsari sebagai satu-satunya kebun koleksi anggur di Indonesia mempunyai 7 varietas unggul (Probolinggo Biru-81, Bali, Kediri Kuning, Probolinggo Super Prabu Bestari, Jestro Ag86 dan Jestro Ag60) dan 11 varietas harapan (Bs 45, Bs 5, 9, Bs 61, Bs 29, Bs 63, Bs 80, Bs 78, Bs 53, Bs 19 dan Bs 39) (Purnomo, 1988; Loraine, komunikasi pribadi, 2005, Budiyati E, 2010). Anggur Jestro Ag45 merupakan tanaman introduksi dari zaman pemerintah Hindia-Belanda pada abad 17. Pada tahun 1682, di Batavia telah ada tanaman anggur yang berbuah. Bahkan pada tahun 1800 tanaman anggur telah dikenal di pulau Pisang yang letaknya di sebelah barat kota Padang, Sumatera Barat. Selanjutnya pada tahun 1828 dilaporkan tentang budidaya anggur di Besuki dan Banyuwangi serta percobaanpercobaan untuk membuat minuman anggur. Pada tahun 1899 di Probolinggo juga dilaporkan adanya pertanaman anggur terluas sebanyak 100 tanaman milik H. Moch Ali, disamping tanaman–tanaman anggur biru dan putih yang banyak dijumpai di pekaranganpekarangan. Tanaman-tanaman anggur inilah yang kemudian terkenal sebagai anggur Probolinggo Biru dan Probolinggo Putih (Winarno dkk, 1991). Anggur Jestro Ag45 termasuk klon yang cocok untuk dikembangkan di Indonesia dalam upaya pemenuhan kebutuhan anggur dalam negeri dan sekaligus menekan masuknya anggur impor. Hal tersebut didasari kualitas Jestro Ag45 yang dinilai mampu bersaing dengan anggur impor karena memiliki penciri khusus yaitu : memiliki penciri utama, yaitu Bentuk buah bulat, warna ungu kehitaman, dan crispy, tekstur batang kasar dan keunggulan yang khusus yaitu : kandungan juici tinggi (60%) rasa manis segar dan crispy dan hal ini sesuai dengan selera konsumen domestik. METODOLOGI Pengujian dan observasi langsung dilakukan mulai bulan Desember 2011 sampai dengan Nopember 2013 di Kebun Percobaan Banjarsari, Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika, Desa Bayeman Kota Probolinggo Propinsi Jawa Timur. Bahan tanaman yang digunakan adalah Pohon Induk Tunggal (PIT) Tanaman Anggur Jestro Ag45 berumur 5 tahun , jangka sorong, meteran, timbangan digital, hand refragtometer, hand counter, kertas label, kranjang buah, camera buku pengamatan dan bahan kimia lain untuk analisakimia buah (Vitamin C, total asam, total gula). Metode yang digunakan adalah metode observasi yaitu dengan mengamati langsung di lapang pada tanaman PIT. Selain pengujian dan observasi langsung digunakan pula data-data hasil penelitian Balitjestro. Untuk varietas pembanding digunakan varietas yang sudah dilepas yaitu varietas Bali dan Prabubestari. Pengamatan keragaan tanaman secara visual (morfologis) dilakukan secara langsung berdasarkan Descriptor for Grapevine (IPGRI, 1997), dan pedoman penyusunan deskripsi varietas yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian No. 700/Kpts/OT.320/D/12/2011, sedangkan karakterisasi sifat kimiawi buah dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Universitas Brawijaya, Malang Jatim. Peubah Yang Diamati
53
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
-
-
Bentuk batang diamati dengan cara mengiris batang secara melintang sehingga dapat dilihat bentuk penampang batangnya, bulat, persegi, pipih, lonjong dst Warna batang dengan mengamati secara langsung warna batang saat itu dengan voting bersama 5 orang, dan suara terbanyak yang kita ikuti Warna buah dengan menyamakan bagan gambar buah Warna daun dengan melihat langsung dengan colourr cat Karakter kuantitatif meliputi tinggi tanaman, produksi (jumlah dan berat buah), ukuran buah, kadar vitamin dan seterusnya. Tinggi tanman : dengan mengukur dari batang diatas permukaan tanah sampai dengan pucuk. Jumlah buah : menghitung total buah dalam 1 tanaman Berat buah : menghitung berat perbuah maupun total buah pertanaman Ukuran buah : dengan memilah milah buah menjadi great A, B, C Kadar gula : mengukur dengan hand refraktometer HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian dan observasi dengan mengamati langsung pada tanaman PIT calon Jestro Ag45 pada umur 5 tahun yang sedang berbuah dan vigor di area Kebun Percobaan Banjarsari pada luasan + 1000 m2, yang mempunyai jenis tanah : Alluvial dengan ketinggian 1 mdpl, curah hujan rata2 1200 mm/thn, hari hujan rata2 : 90hr/thn, suhu udara rata2: 28oC, suhu minimum: 21oC degan kelembaban nisbi rata2: 76% dan PH 6 -7. Tabel 1. Hasil Pengamatan Karakter Kualitatif Jestro Ag45, Bali, Prabubestari. No .
Morfologi Tanaman
1 2. 3.
Perdu bekayu Merambat Kasar
Perdu berkayu Merambat Halus
Perdu berkayu Merambat Halus
Bulat
Bulat
Bulat
4 5 6
Tipe tanaman Tipe tumbuh Permukaan batang Bentuk Penampang batang Warna Batang Bentuk daun Warna daun
Abu-abu tua Pentaagonal Hijau
Abu-abu tua Pentaagonal Hijau
Abu-abu tua Pentaagonal Hijau
7
Bentuk Bunga
Tandan majemuk
Tandan majemuk
Tandan majemuk
8 -
Warna bunga Kelopak bunga Mahkota bunga Benang Sari
Hijau kekuningan Hijau kekuningan Kuning
Hijau kekuningan Hijau
Hijau kekuningan Hijau kekuningan Kuning
3
Jestro Ag45
Bali
54
Prabubestari
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
-
Kepala Putik
Hijau kekuningan
kekuningan Kuning Hijau kekuningan
Hijau kekuningan
9
Bentuk buah
Bulat
Bulat
10 11
Warna kulit buah Warna daging buah Rasa daging buah Tingkat kerontokan buah masak Bentuk biji Warna biji Ketahanan terhadap penyakit powdery mildew (Uncinula necator)) Ketahanan terhadap Downy mildew (plasmopora viticola)
Ungu kehitaman Bening
Ungu kehitaman Bening pucat
Bulat agak lonjong Merah gelap Bening pucat
Manis segar rendah
manis rendah
manis rendah
Bulat telor Coklat muda
Bulat telor Coklat muda
gada Coklat kehitaman
Rentan
Rentan
Rentan
Rentan
Rentan
Rentan
12 13
14 15 16
17
Tabel 2. Hasil Pengamatan Karakter Kuantitatif Jestro Ag45, Bali dan Prabubestari. No . 1 2 3 4 5 4 5 67 8 9 10
Morfologi Tanaman
Jestro AG45
Bali
Prabubestari
Diameter batang Jumlah cabang Panjang daun Lebar daun Umur mulai berbunga Panjang buah
10-15cm 110-130 10-13 cm 13-19 cm 14 hari setelah pangkas 1.5-2.0 cm
7- 11 cm 113 11- 12.5cm 13 – 18cm 18 hari setelah pangkas + 20.89 mm
6.2 – 11 cm 126 8.5-13.4 cm 11.4 -20.3 cm 30 hari setelah pangkas + 21.36 mm
Lebar buah Jumlah biji per bauh Kandungan air Kadar gula Kandungan vitamin C Kadar asam
1.5-2.0 cm 3-4
2-3
1-3
80%
47.77%
60% 19-20 35.05 mg/100gram 0.77%
21.64
23.23 1.9%
55
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
11 12 13
14 15
Jumlah tandan buah per tanaman Berat buah per tanaman Persentase bagian buah yang dapat dikonsumsi Daya simpan buah pada suhu 17 - 22° Hasil buah per hektar
83 – 160
90-130
32 – 58 kg
30-45 kg
30-50 kg
92 – 95 %
95%
90%
1 – 2 minggu
1-2 minggu
1-2 minggu
10-15 ton
10-15 ton
15-20 ton
16 Keragaan tanaman anggur calon varietas Jestro Ag 45 dicirikan dengan batang yang tegak berbentuk lingkaran, berwarna abu abu tua, permukaan kasar dan batang tumbuh sampai para-para merambat memenuhi para-para. Pupus daun dan daun muda tampak setelah 2 minggu dari pemangkasan dengan bentuk ujung pupus terbuka penuh dan mempunyai antosianin yang kuat. Setelah 2 minggu dari pemangkasan, daun muda telah menjadi daun masak yang pada umumnya berukuran besar dan bentuk daun pentagonal. Bunga anggur merupakan bunga majemuk berbentuk tandan dimana disetiap batang tubuhnya terdapat antara 1,1 - 2 tandan bunga. Tandan buah berukuran medium sampai panjang, terdiri dari kumpulan buah yang berbentuk bulat dengan ukuran panjang buah medium dan kulit buah yang sudah masak berwarna ungu kehitaman. Anggur Jestro Ag45 (Carolina Black Rose) mempunyai keunggulan pada dompolan buah yang sangat rapat dengan warna buah ungu kehitaman dan berbentuk bulat agak lonjong yang disertai cita rasa manis segar dan crispy Keunggulan lainya terletak pada jumlah tandan yang banyak, daya hasil tinggi, tingkat kerontokan buah masak rendah sehingga dapat bertahan dalam pengemasan, sedang kelemahan dari varietas ini adalah ukuran buah yang medium, sehingga berkesan kurang menarik.
56
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
JESTR0 45
BALI
JESTRO 45
PRABUBESTARI
BALI PRABUBESTARI
Gambar 9. Perbandingan keragaan buah dan batang Calon Varietas Jestro Ag45 dan varitas Bali dan Prabubestari Preferensi Konsumen Berdasarkan preferensi konsumen yang telah dilakukan pada Gabungan Unit Darma wanita UPT Deptan se-Jawa Timur di BIB Singosari dan peserta pelatihan pustakawan di Balitjestro, sebanyak 65% dari 30 orang responden menyukai calon varietas anggur Jestro Ag45 karena rasanya yang manis segar dan crispy. Pendapat yang sama juga diberikan ibu direktur perbenihan hortikultura (Ir. Sriwijayanti Yusuf, M.Agr.Sc) dalam acara expose plasmanutfah mangga di KP Cukur Gondang tanggal 10 Nopember 2012, beliau menyukai buah anggur calon varietas Jestro Ag45, karena manis segar dan crispy, serta ukuran yang medium sebagai pembanding anggur impor di supermaket yang cenderung besar. Beliau juga memesan benihnya calaon varietas ini (Jestro Ag45 Agrihorti ) dan varietas Probolinggo Super. Dan buah ini dapat membedakan dengan jelas calon varietas anggur Jestro Ag45 dengan varietas Bali. KESIMPULAN Hasil menunjukkan bahwa Jestro Ag45 layak sebagai varietas unggul karena mempunyai kwalitas yang tidak kalah dengan anggur impor yaitu : bentuk buah bulat, kulit buah berwarna ungu kehitaman, rasa buah manis segar dan krispy dengan kadar asam yang rendah (0.77) kadar gula 19-20% (brix), kadar air 60% dan vitamin C 35.05 mg/100gram.
UCAPAN TERIMA KASIH
57
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Kepada Bapak Basuki Joko Sudarmanto, observasi berlangsung.
yang telah membantu selama kegiatan
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Vademekum Anggur. Direktorat Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian. Anonim. 2005. Mengenal Berbagai Varietas Anggur. Direktorat Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen Pertanian. Budiyati E, Andrini A, 2008, 2009, 2010. Anggur. Balitjestro (tidak dipublikasikan)
Laporan akhir kegiatan Plasmanutfah
Deptan. 2006. www.deptan.go.id Dinas Pertanian Kota Probolinggo. 2006. Formulir Isian Pengembangan Agribisnis Anggur Data Tahun 2003/2004. Dirjen Hortikultura, 2011. Pedoman penyusunan Diskripsi Varietas Hortikultura IPGRI. 1997. Descriptor for Grapevine. Roma. Italy. Rukmana.1999. Anggur : Budidaya dan Penanganan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. Setiadi. 2004. Bertanam Anggur. Penebar Swadaya. Jakarta. Winarno, M, Yudowati, U.H, Kusumo, S, Primawati N, dan Sulihanti, S, 1991. Budidaya Anggur. Balai penelitian Hortikultura Solok. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
58
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
PERBAIKAN KERAGAAN TANAMAN DAN BUAH JERUK KEPROK SIOMPU DI BUTON SULAWESI TENGGARA DENGAN APLIKASI ZEOLIT DAN MIMBA Emi Budiyati, Arry Supriyanto, Oka Ardiana Banaty dan Sutopo Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika,Tlekung JL. Raya Tlekung no.1 Tlekung Junrejo Batu Email :
[email protected]
ABSTRAK Jeruk siompu memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh jeruk asal daerah lainnya. Jeruk keprok ini lebih manis dibandingkan dengan hampir semua jenis jeruk unggulan di Tanah Air. Karena karakteristiknya jeruk siompu memang sebagai buah segar, kurang berair sehingga lebih cocok sebagai jeruk meja. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 – Desember 2012 di desa Wasuemba kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan keragaan dan keunggulan mutu buah jeruk Keprok Siompu di lahan suboptimal di Buton Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan faktor pertama adalah dosis Zeolit (Z) yang terdiri dari 3 aras yaitu (Z0, Z1, Z2) dan faktor kedua adalah aplikasi pestisida kimia (K) dan Mimba (M) sehingga ada 7 perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali dengan unit percobaan 3 tanaman. Tanaman yang digunakan adalah tanaman produktif yang sudah berproduksi di lapang sejumlah 105 tanaman. Hasil menunjukkan bahwa secara agronomis perlakuan Z0 (tanpa pemberian mimba) dan K (pemakaian pestisida kimia anjuran) menunjukkan keragaan pertumbuhan tanaman baik tinggi tanaman, diameter batang atas, diameter batang bawah dan luas kanopi yang tertinggi dibanding dengan perlakuan yang lain sedang pemberian zeolit (Z1) dosis 2 ton/ha dengan penyemprotan ekstrak biji mimba menunjukkan keragaan buah yang relatif lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Kata kunci : Jeruk, Keprok, Siompu,Z eolit dan Mimba ABSTRACT Siompu Mandarin has some superiorities that are not owned by mandarin originated from other areas. This mandarin is sweeter than almost all types of citrus in the country. Because of its characteristic that Siompu mandarin is as fresh fruit, it has less water content so it is more suitable as a table fruit. Research activities was conducted in February 2012 - December 2012 in the village of Wasuemba, Wabula, asubdistrict Buton, Southeast Sulawesi. The purpose of this study was to obtain the performance and quality advantages of siompu mandarin suboptimal land fruits in the land in Buton regency. Experimental design was using a randomized block design mandarin (RBD) factorial with the first factor was the dose of Zeolite (Z) which consists of three levels, namely (Z0, Z1, Z2 ) and the second factor is the application of chemical pesticides (K) and neem (M) so that there were 7 treatments. Each treatment was repeated 5 times with 3 plant of experimental unit. Plants used were productive crops that are already planted in the field as many as some 105 plants. The results showed that agronomically treatment Z0 (without neem apication) and K (chemical pesticides aplication) showet the best performance of plant growth in term of plant height, scion roostock diameter and canopy area. Meanwhile, zeolite (Z1 ) dose of 2 tons / ha combined with spraying neem seed extract showed fruit the performance that was relatively better than other treatments.
59
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Keywords: citrus , mandarin , siompu, zeolit and neem
PENDAHULUAN Jeruk siompu memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh jeruk asal daerah lainnya. Jeruk keprok ini lebih manis dibandingkan dengan hampir semua jenis jeruk unggulan di Tanah Air. Sesuai karakteristiknya, jeruk siompu memang nikmat dimakan sebagai buah segar atau sebagai pencuci mulut setelah makan. Karena karakter jeruk siompu ini kurang berair. Karena itu, jeruk siompu lebih cocok sebagai jeruk meja dan kurang memadai jika diperas airnya menjadi minuman segar (juice). Jeruk siompu merupakan tanaman tradisional penduduk Pulau Siompu di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Pulau kecil dengan luas sekitar 56 km persegi itu terletak di barat daya Pulau Buton, berpenduduk sekitar 18.000 jiwa. Hampir seluruh daratan Pulau Siompu merupakan susunan batu kapur yang keras dan tajam. Lahan pengembangan jeruk keprok Siompu di Kabupaten Buton merupakan lahan suboptimal yaitu lahan kering dengan lapisan tanah yang tipis (Litosol) diatas batuan karang. Selain Litosol, jenis tanah di Kabupaten Buton adalah Mediteran, dan Podsolik Merah Kuning (Bapeda Buton Utara, 2009). Tanah mediteran termasuk tanah yang tidak subur yang terbentuk dari pelapukan batuan kapur. Tanah ini biasanya didominasi oleh mineral liat kaolinit yang tidak banyak memberikan sumbangan terhadap kesuburan tanah serta sebagian besar tanah ini mempunyai kapasitas memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi (Arief dan Irman, 1997). Salah satu cara untuk mengatasi masalah kesuburan tanah di lahan kering adalah pemberian pembenah tanah zeolit alam merupakan senyawa alumino silikat terhidrasi, dengan unsur utama yang terdiri dari kation alkali dan alkali tanah. Bahan ini berstruktur tiga dimensi, memiliki kapasitas pertukaran kation (KPK) tinggi sehingga mampu mengurangi kehilangan pupuk N dan K, dapat menyerap dan menyimpan air yang dapat digunakan oleh tanaman, meningkatkan pH tanah masam, mengurangi kadar Al-dd, meningkatkan efisiensi N, P, K, Ca, Mg Sitompul (1997). Penyakit burik kusam yang disebabkan serangan beberapa hama dan penyakit dapat mengakibatkan penampilan buah burik, kusam dan terkesan kotor dan kurang menarik. Mimba yang memiliki nama internasional Neem (Azadirachta indica, A. Juss) bijinya mengandung senyawa alami meliputi senyawa-senyawa terpenoid (protolimonoids, limonoids, pentatriterpenoids, hexatriterpenoids) dan non terpenoid (hydrocarbons, asam lemak, steroids, phenol, flavonoids, dan lain-lain) yang memiliki kemempuan mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Dibandingkan pestisida kimia, penggunaan pestisida hayati selain efektif mengurangi serangan hama dan penyakit juga buah aman dikonsumsi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan rekomendasi teknologi perbaikan mutu lahan suboptimal dan perbaikan mutu buah jeruk keprok Siompu di Buton. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-September 2012 di daerah pengembangan jeruk keprok Siompu di Desa Wasuemba, Kecamatan Wabula Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Bahan tanaman yang digunakan adalah tanaman yang telah menghasilkan buah. Teknologi yang diterapkan dalam penelitian ini adalah aplikasi pembenah tanah zeolit + pengendalian ekstrak biji mimba. Mimba diekstrak menggunakan alkohol dengan perbandingan 10 kg mimba/15 liter alkohol 70%.
60
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Rancangan Rancangan percobaan menggunakan metode rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan faktor pertama adalah dosis Zeolit (Z) yang terdiri dari 3 aras yaitu (Z0, Z1, Z2) dan faktor kedua adalah aplikasi pestisida kimia (K) dan Mimba (M) sehingga ada 7 perlakuan dengan kontrol. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali dengan unit percobaan 3 tanaman. Tanaman yang digunakan adalah tanaman produktif yang sudah berproduksi di lapang sejumlah 105 tanaman. Tanaman dipilih berdasarkan keseragaman kondisi tanaman sebagai satu ulangan. Untuk perlakuan Z1 dosis zeolit yang digunakan adalah 2 ton/ha atau 2,5 kg/pohon. Perlakuan Z2 dosis zeolit yang digunakan adalah 4 ton/ha atau 5 kg/pohon. Dosis ekstrak mimba untuk aplikasi adalah 5 ml/liter sedangkan dosis aplikasi pestisida kimia adalah 2 gr/liter untuk fungisida dan insektisida 1 ml/liter. Aplikasi zeolit pertama telah dilakukan bersama pemberian pupuk kandang sesuai dosis zeolit dengan perbandingan 1:1. Aplikasi pestisida hayati/ekstrak mimba dan pestisida kimia dilakukan setiap 2 minggu sekali sampai panen. Selain aplikasi zeolit juga diberikan pupuk an organik berdasarkan umur dan keragaan tanamannya dengan dosis 400 gr SP-36 dan 400 gr urea/pohon untuk tanaman yang besar, 300 gr SP-36 dan 300 gr urea/pohon untuk tanaman yang sedang, 200 gr SP-36 dan 200 gr urea/pohon untuk tanaman yang kecil. Kemudian dilakukan penyiraman setelah pemberian zeolit dan pemupukan selesai sampai kapasitas lapang. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan agronomis tanaman jeruk keprok Siompu juga dilakukan untuk mengetahui keragaan tanaman dan kemampuan produktifitasnya. Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada dan gambar 1. Pengamatan vegetatif tanaman meliputi: tinggi tanaman, diameter batang atas, panjang tajuk utara-selatan dan barat-timur.
Gambar 1. Grafik keragaan tanaman jeruk keprok Siompu Aplikasi Zeolit dan Pestisida Hayati Ekstrak Mimba Kondisi kebun jeruk tempat penelitian di desa Wasuemba, kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, pohon jeruk keprok Siompu tumbuh di bukit berbatuan karang dengan solum tanah yang sangat tipis. Pada bulan April 2012 kondisi tanaman jeruk Siompu di kebun yang terpilih sebagai lokasi penelitian sedang berbuah dengan diameter 4-5 cm (Tabel 1). Tahapan selanjutnya dalam kegiatan ini adalah penerapan teknologi budidaya jeruk sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan. Lahan pengembangan jeruk keprok Siompu di Kabupaten Buton merupakan lahan suboptimal yaitu lahan kering dengan lapisan tanah yang tipis (Litosol) diatas batuan
61
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
karang. Selain Litosol, jenis tanah di Kabupaten Buton adalah Mediteran, dan Podsolik Merah Kuning. Tanah Mediteran termasuk tanah yang tidak subur yang terbentuk dari pelapukan batuan kapur. Lahan kering Podzolik Merah Kuning biasanya didominasi oleh bahan induk yang miskin unsur hara (Partohardjono et al, 1994) dan pH masam sehingga tergolong lahan suboptimal yang tingkat produktivitasnya rendah. Tanah ini biasanya didominasi oleh mineral liat kaolinit yang tidak banyak memberikan sumbangan terhadap kesuburan tanah serta sebagian besar tanah ini mempunyai kapasitas memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi (Arief dan Irman, 1997). Usahatani jeruk di lahan kering diatas biasanya memiliki masalah serius dalam memenuhi kebutuhan air dan unsur hara bagi tanaman karena jenis tanah ini biasanya memiliki laju infiltrasi yang cepat sampai sedang (Siradz, Kertonegoro dan Handayani, 2007) dan kesuburannya rendah. Budidaya jeruk di lahan ini tidak mampu berproduksi secara optimal jika pengelolaannya dilakukan secara konvensional. Oleh karena itu teknologi yang diterapkan dalam penelitian ini adalah aplikasi pembenah tanah zeolit alam + pengendalian OPT menggunakan ekstrak biji mimba. Tanah di daerah ini berjenis tanah Litosol biasanya mempunyai kapasitas memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi, sehingga salah satu cara untuk mengatasi permasalahan kesuburan tanah di lahan kering adalah dengan pemberian pembenah tanah zeolit alam. Tabel 1. Diameter buah jeruk keprok Siompu sebelum perlakuan No. Kode Diameter Buah (cm) 1 Z0+K 4.89 2 Z0+M 5.11 3 Z1+K 5.10 4 Z0+M 5.08 5 Z1+K 5.17 6 Z2+M 4.96 7 Kontrol 4.96 Rerata 5.04 Tabel 2.
Keragaan buah jeruk siompu perlakuan zeolit (Z) dan penyemprotan pestisida alami ekstrak biji mimba (M) dan pestisida kimia pada saat buah masak fisiologis
62
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
N
No.
1 2 3 4 5 6 7
Perlakuan
Kontrol Z0 + K Z0 + M Z1 + K Z1 + M Z2 + K Z2 + M
Tinggi (cm) 19.54 19.98 21.46 20.64 21.74 21.37 19.14
Bulat (cm) 19.92 20.45 21.63 21.21 22.44 21.96 19.48
Peubah Pengamatan Buah Berat Tebal Jumlah Buah (gr) Kulit (cm) Juring 138.34 0.30 11.00 138.02 0.30 11.00 156.23 0.30 10.50 151.76 0.32 10.20 156.07 0.30 10.67 158.20 0.31 9.80 133.03 0.30 11.20
Jumlah biji 8.50 11.20 10.75 14.80 14.33 13.80 13.80
Pemberian zeolit 4 ton/ha dapat meningkatkan ukuran dan berat buah jeruk keprok Siompu rata-rata hingga 158,20 gr/buah (Tabel 2). Hal ini dikarenakan zeolit mampu memberikan kontribusi terhadap ketersediaan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman dan pembesaran buah. Pupuk yang diberikan menjadi tidak mudah hilang karena penguapan ataupun pencucian, unsure hara tersebut dapat dipegang oleh zeolit dalam kompleks jerapan sehingga dapat tersedia ketika dibutuhkan oleh tanaman. Hasil analisa kualitas buah jeruk keprok siompu pada saat masak fisiologis setelah pemberian zeolit dan mimba menunjukkan adanya peningkatan total gula yang ditunjukkan dengan derajat briks terutama pada pemberian zeolit 2 ton/ha (perlakuan Z1) yaitu hingga 9,330. Selain itu, penyemprotan pestisida hayati ekstrak biji mimba memberikan efek pada penampilan kulit buah jeruk tersebut. Buah jeruk yang diperlakukan dengan ekstrak biji mimba terlihat lebih mulus dan mengkilat sehingga terlihat lebih menarik dan meningkatkan kualitasnya (Lampiran 1). Serangan OPT Pada Tanaman jeruk Keprok Siompu Dari hasil pengamatan awal buah jeruk Siompu terhadap serangan OPT dalam setiap perlakuan ditemukan bekas serangan trips antara 1-5 %, Planococcus atau kutu putih antara 2-8 ekor, kutu sisik antara 1-15 ekor, Podisus maculiventris yang menyebabkan buah kuning 4-13 %, kudis (kulit buah menebal) antara 3-7 % (Tabel 3).
Tabel 3. Pengamatan buah jeruk Siompu terhadap serangan OPT sebelum Perlakuan Perlakuan Thrips Planococus Kutu sisik Podisus Kudis Z.0 + M 5.0 2.0 5.3 5.5 3.0 Z.1 + M 3.0 4.9 15.3 7.0 7.0 Z.2 + M 0.0 2.0 4.9 4.0 3.5 Z.0 + K 1.0 3.5 1.5 13.0 7.0 Z.1 + K 3.0 2.3 2.8 7.0 3.5 Z.2 + K 1.0 8.2 1.3 11.5 5.5 Kontrol 0.8 2.9 3.4 10.5 6.5 1.97 3.69 4.93 8.36 5.14 Rerata Evaluasi hasil pengamatan saat menjelang buah dipanen terlihat bahwa penggunaan pestisida hayati mimba efektif dalam menurunkan serangan hama kumbang tentara (podisus sp.) dibandingkan dengan penggunaan pestisida kimia. Sedangkan serangan kutu sisik dan kudis penurunanannya masih terlihat lebih banyak dengan
63
Rerata ⁰Brix 8.00 8.40 8.50 7.40 9.33 7.60 8.20
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
penggunaan pestisida kimia, hal ini dimungkinkan karena tingkat serangan sudah berada pada stadia lanjut. Namun demikian, penggunaan pestisida hayati masih terlihat efektifitasnya dalam mengatasi serangan hama kutu sisik dan kudis dibandingkan dengan tanpa penyemprotan pestisida sama sekali/kontrol (Gambar2). Dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman, ekstrak biji mimba merupakan pilihan yang tepat untuk menggantikan pestisida kimia. Mimba yang memiliki nama internasional Neem (Azadirachta indica, A. Juss) bijinya mengandung senyawa alami meliputi senyawasenyawa terpenoid (protolimonoids, limonoids, pentatriterpenoids, hexatriterpenoids) dan non terpenoid (hydrocarbons, asam lemak, steroids, phenol, flavonoids, dan lainlain) yang memiliki kemampuan mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Walapun memiliki selektivitas tinggi, ekstrak mimba dapat mempengaruhi sekitar 400 sampai 500 spesies serangga Blattodea, Caelifera, Coleoptera, Dermaptera,Diptera, Ensifera, Hetroptera, Homoptera, Hymenoptera, Isoptera, Lepidoptera, Phasmida, Phthiraptera, Siphonoptera, Thysanoptera, pada spesies spesies ostracod dan beberapa tungau. Ekstrak mimba juga berfungsi sebagai nematisida untuk mengendalikan spesies endoparasitic dari Meloidogyne dan Globodera, spesies ektoparasit dari Hoplolaimus dan Tylenchorhynchus dan spesies semiendoparasitic dari Rotylenchus dan Pratylenchus (Musabyimana dan Saxena, 1999). Ekstrak mimba efektif mengendalikan patogen jamur (fungisida). Siput air sebagai vektor penyakit seperti Melinia scabra (schistosomiasis) dan phytophagous atau siput-tanah di rumah kaca dan hortikultura jiga bisa dikendalikan dengan mimba (West dan Mordue, 1992). Produk mimba juga bisa mengendalikan tungau dari genus Tetranychus, bakteri dan virus tanaman dan hewan (Mansour et al, 1987; Hunter dan Ullman, 1992; Schmutterer, 1995). Gambar 2. Efektifita s pengguna an pestisida hayati ekstrak biji mimba (M) dan pestisida Kimia (K)
KESIMPULAN Pemberian zeolit (Z1) dosis 2 ton/ha dengan penyemprotan ekstrak biji mimba menunjukkan keragaan buah yang relatif lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan besar buah, berat buah dan derajat briks yang tinggi. Penggunaan pestisida alami dari ekstrak biji mimba efektif menurunkan persentase serangan organisme pengganggu terutama pada kutu dompolan (Planococcus citri ) dan kumbang tentara (Podisus sp). Selain itu perlakuan dengan penyemprotan ekstrak biji
64
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
mimba sebagai pestisida hayati menambah mutu penampilan kulit buah jeruk menjadi lebih mengkilat.
DAFTAR PUSTAKA Arief, A. Dan Irman. 1997. Ameliorasi Lahan Kering Masam untuk Tanaman Pangan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan. Balitbangtan Deptan. Hal. 1665-1675. Bapeda Buton Utara. 2009. Kondisi Wilayah Kabupaten Buton Utara. Buton Dalam Angka. http://bappedabutonutara.com). Hunter, W.B. and Ullman, D.E. (1992), Effect of the neem products, RD-Repellin, on settling behaviour and transmission of zucchini yellow mosaic virus by the pea aphid, Acyrthosiphon pisum (Harris) (Homoptera: Aphididae), Annals of Applied Biology, 120, 9-15. Mansour, F., Ascher, K.R.S. and Omari, N. (1987), Effect of neem (Azadirachta indica) seed kernel extracts from different solvents on the predacious mite Phytoseiulus persimilis and the phytophagous mite Tetranychus cinnabarinus.Phytoparasitica, 15, 125-130. Musabyimana, T. and Saxena, R.C. (1999), efficacy of neem seed derivatives against nematodes affecting banana, Phytoparasitica, 27, 43-49. Partohardjono, S., I.G. Ismail., Subandi., M.O. Adnyana dan D.A. Darmawan. 1994. Peranan Sistem Usahatani Terpadu dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan di Berbagai Agroekosistem. Prosiding Simposium Panelitian Tanaman Pangan III. Puslitbangtan Deptan. Hal 143-182. Schmutterer, H. (1995), The Neem Tree and Other Meliaceous Plants, Source of Unique Natural Products for Integrated Pest Management, Medicine, Industry and Other Purposes, VCH Verlagsgesellschaft, Weinheim. West, A.J. and Mordue (Luntz), A.J. (1992), The influence of azadirachtin on the feeding behaviour of cereal aphids and slugs, Entomologia Experimentalis et Applicata, 62, 75-79. Siradz, S.A., B.D. Kertonegoro dan S. Handayani. 2007. Peranan Uji in Situ Laju InfiltrasiDalam Pengelolaan DAS Grindulu-Pacitan. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 7 No.2 (2007) p: 122-126. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta, 55281 Sitompul, R. M. 1997. Pemanfaatan Zeolit Sebagai Campuran Pupuk Anorganik dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Tebu. Pros. Konf. Energi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. BPP. Teknologi.
Lampiran 1. Keragaan agronomis tanaman jeruk Keprok Siompu
65
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Lampiran 2. Jeruk keprok Siompu pada saat dipanen masih masak fisiologis dengan perlakuan pembenah tanah zeolit (Z) dan penyemprotan pestisida alami biji mimba (M) dan pestisida kimia (K)
Kontrol
Z0+M
66
Z1+M
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
EKSPLORASI DAN PRODUKSI CMA (CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULAR) INDIGENOUS MADURA MENGGUNAKAN ALTERNATIF METODE POT KULTUR TERBUKA MURAH DAN EFEKTIF Dwi Rahmawati Y1, Ach Jasuli1, Ngisomudin1, Vika YP1, Gita Pawana2 1 Mahasiswa Program Studi Agroekoteknologi, 2 Dosen Program Studi Agroekoteknologi E-mail:
[email protected] ABSTRAK Produksi inokulan agen hayati CMA pada rhizosfer tanah salin selama ini dengan metode kultur pot terbuka menggunakan pecahan batu (pasir) zeolit yang ditambahkan asam humik dan pupuk majemuk sebagai media produksi untuk perbanyakan yang cenderung sangat mahal untuk diterapkan. Mengingat keberadaan pasir zeolit dan asam humik yang sulit diperoleh, sehingga perlu dicari media pengganti yang lebih murah. Tujuan penelitian adalah untuk mengkoleksi dan mengeksplorasi CMA indigenous Madura dan mengkaji pengaruh komposisi media perbanyakan CMA yang dapat optimal menghasilkan inokulan CMA pada kultur pot terbuka. Digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan faktor perlakuan tunggal media tanam. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Agroekoteknologi dan Laboratorium Tanah Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura. Hasil yang diperoleh: 1) Media terbaik untuk kultur pot terbuka pada perbanyakan spora CMA adalah perlakuan kelima, yaitu campuran antara tanah dan pupuk kandang sapi dengan perbandingan 2 : 5. 2) Kekayaan spora CMA tertinggi terdapat pada lokasi Kabupaten Sumenep dengan nilai salinitas terendah diantara 4 lokasi. 3) Kesamaan genus mencapai maksimum pada 4 lokasi pengamatan, genus tersebar merata dengan baik. Kata kunci: Cendawan mikoriza arbuskular, madura, pot kultur terbuka ABSTRACT The production of inokulan agent in biological AMF rhizosfer saline soil recently, by a method of pots open culture using glass a stone ( the sand ) of the zeolite added humic acids and fertilizer production compound as a medium for propagation that tends to very expensive to be applied. Considering the existence of sand of the zeolite and humic acids obtained, that is hard so we needed a substitute who sought media is cheaper. Research purposes is to mengkoleksi and explore AMF indigenous madura and review influence the composition of the media multiplication AMF that can be optimal produce inokulan AMF on pots open culture. Used draft random complete by a factor of media treatment single growing season. Research carried out in a laboratory agroekoteknologi and laboratory land route agroekoteknologi the faculty of agricultural Trunojoyo University Madura. Of the results obtained : 1) The media best for the pots open culture at the multiplication spores AMF fifth, is treatment that is a mixture of between land and amounts of cow manure with comparisons 2:5. 2) Wealth spores AMF highest there are on the site of the county of Sumenep salinitas lowest with a value of between 4 locations. 3) The similarity of the genus reach a maximum on 4 location observation, genus of widely distributed unevenly with good. Keywords: Arbuscular Mycorrhizal Fungi, Madura, pots open culture.
PENDAHULUAN
67
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
a.
Latar Belakang Asosiasi cendawan mikoriza pada lahan kering pasca tambang telah berpengaruh positif, terbukti dengan adanya peningkatan ketersediaan hara bagi tanaman (Delvian, 2004). Pada penelitian yang lain CMA juga berpengaruh positif pada proses pembibitan, pemberian CMA dengan dosis 100 g/bibit pada bibit kayu manis mampu memberikan pertumbuhan yang terbaik (Delvian, 2005). Madura merupakan daerah yang sebagaian besar luasannya beriklim kering serta berkadar garam cukup tinggi (salinitasnya tinggi). Dengan kondisi demikian Madura mempunyai perbedaan karakter tanah dengan lokasi lain di Indonesia. Namun demikian secara alami (tanpa campur tangan manusia) banyak dijumpai tanaman yang tumbuh dan berkembang cukup subur, sehingga perlu dilakukan eksplorasi potensi sumber daya hayati khususnya CMA yang terdapat pada rhizosfer tanah salin ataupun pada rhizosfer cemara udang yang terdapat dipantai lombang sebagai tanaman endemik Madura. Produksi inokulan CMA selama ini diadopsi dari Brundrkett et al. (1996) yaitu dengan kultur pot terbuka dengan menggunakan pecahan batu (pasir) zeolit yang ditambahkan asam humik dan pupuk majemuk (dengan kandungan hara rendah) sebagai media produksi untuk perbanyakan. Media tersebut menjadi sangat mahal untuk diterapkan mengingat keberadaan pasir zeolit dan asam humik yang sulit diperoleh, sehingga perlu dicari media pengganti yang lebih murah. Pasir zeolit diganti dengan arang sekam, asam humik digantikan dengan moss atau pupuk kandang, dan pupuk majemuk dengan kandungan hara rendah digantikan dengan tanah steril sebagai penyedia hara. b. Tujuan 1. Untuk mengkoleksi dan mengeksplorasi CMA indigenous Madura 2. Mengkaji pengaruh komposisi media untuk perbanyakan spora CMA pada kultur pot terbuka. c. Kegunaan 1. CMA indigenous Madura dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas dengan metode perbanyakan yang mudah dan murah. 2. Dapat diperolehnya informasi (landasan teori) dalam memproduksi inokulan CMA. METODE PENELITIAN 1. 2.
3.
Pengambilan sampel tanah yang gunakan sebagai inokulan Perbanyakan spora dengan cara kultur pot terbuka dengan komposisi media tanam dan dengan menggunakan tanaman jagung sebagai inang. Media komposisi sebagai berikut : 1. perlakuan I : zeolit 2.perlakuan II : arang sekam, tanah steril dan moss 3. perlakuan III : zeolit, tanah steril dan moss 4.perlakuan IV : zeolit, arang sekam dan moss 5.perlakuan V : pupuk kandang dan tanah Setelah 2 bulan dilakukan ekstraksi spora CMA dan Identifikasi berdasarkan gambar spora dari INVAM www.invam.caf.wvu.edu
68
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
4.
Analisis data 1. Menganilisi kekayaan dan kesamaan genus CMA 2. Menganalisis perbedaan komposisi media tanam terhadap jumlah spora dengan menggunakan ANOVA dilanjutkan dengan uji Duncan HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kekayaan dan Kesamaan Genus Kekayaan dan Kesamaan Genus disajikan dalam tabel 3 dan 4:
Lokasi
Glomus 104 87 119 150
Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep
Tabel 3. Kekayaan Genus CMA Genus Gigaspora Acaulospora Jumlah 124 260 488 92 165 344 115 146 380 148 296 594
Tabel 4. Kesamaan Genus CMA Nilai Kesamaan Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep
Genus Glomus Gigaspora Acaulospora
21,31% 25,40% 53,27%
25,29% 26,74% 47,96%
31,31% 30,26% 38,42%
25,25% 24,91% 49,83%
Berdasarkan Tabel 3 dan 4 dapat di kemukakan bahwa CMA yang ada pada kabupaten pamekasan lebih beragam dibandingkan dengan kabupaten yang lain. sedangkan pada kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Sumenep Genus Acaulospora lebih mendominasi di bandingkan dengan Genus yang lain. Hal ini disebabkan oleh pH tanah pada kabupaten Pamekasan yang lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten lain (disajikan dalam Tabel 5). Adapun kondisi salinitas tanah tanpak tidak berpengaruh terhadap keragamaan Genus, hal ini ditunjukkan pada kabupaten bangkalan walaupun memiliki salinitas yang tinggi namu memiliki keragaman CMA yang rendah dibandingkan kabupaten Pameksan. Tabel 5. Salinitas dan pH Asal Sampel Salinitas (mg/L)
pH
Bangkalan
1388,4
7,9
Sampang
118,02
7,9
Pamekasan
150,06
7,4
Sumenep
111,30
7,6
69
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
2. Perbanyakan Spora CMA Berdasarkan hasil anova ada perbedaan diantara pelakuan I sampai V. (disajikan dalam tabel 6.) Tabel 6. Hasil Analisis varian SK Perlakuan Galat Total
DB 4 15 19
JK 37571,3 6919,25 44490,55
KT 9392,825 461,283333
F Hitung Note 20,362 **
F Tabel 5% 1% 3,055 4,89
Berdasarkan hasil uji Duncan diperoleh bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap data yang dihasilkan (disajikan pada tabel 7). Tabel. 7. Rata-rata jumlah spora Perlakuan Rata-rata jumlah spora I 17,5 a II 67 b III 113,25 bc IV 119,75 c V 136,75 d Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda pada uji Duncan α = 5%. Berdasarkan tabel diatas perlakuan V memberikan rata-rata jumlah spora relatif tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini dikarenakan pada perlakuan tersebut komposisi media tanam adalah pupuk kandang sapi dan tanah. Campuran tanah dengan pupuk kanang sapi sangatlah berpengaruh efektif terhadap pertumbuhan tanaman, begitu juga pada perkembangbiakan spora CMA. Miller dan Donahue (1990) menyatakan bahwa rata-rata bahan kering jenis pupuk kandang ini mengandung 3% N; 0.8% P (1.8% P2O5); 2% K (2.4% K2O); 25% karbon organik dan bermacam-macam sejumlah unsur-unsur lain yang penting untuk pertumbuhan tanaman. Pada saat penanaman atau kultur pot berlangsung, maka tanaman yang menggunakan media pupuk kandang dan tanah sangatlah tumbuh subur, miselia CMA yang ada disana juga semakin banyak dan pesat. Setelah tanaman dikeringkan, maka tanaman kekurangan unsur hara secara tiba-tiba, hara yang terkandung pada pupuk kandang tersebut tidak dapat diserap oleh tanaman tanpa ada bantuan air. Tanaman mati secara perlahan-lahan. Pada proses ini, miselia yang ada pada rhizosfir tumbuh secara perlahan dan membentuk spora CMA untuk membantu akar tanaman menyerap hara dalam kondisi tanaman yang kritis. 3. Indeks Kekayaan dan kesamaan genus spora CMA
Lokasi Bangkalan Sampang Pamekasan
Glomus 104 87 119
Tabel 8. Kekayaan genus spora CMA Genus Gigaspora Acaulospora Jumlah 124 260 488 92 165 344 115 146 380
70
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Sumenep
150
148
296
594
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kekayaan Genus CMA tertinggi terdapat di Kabupaten Sumenep dan kesamaan Genus tertinggi terdapat di Kabupaten Pamekasan. 2. Komposisi media tanam pupuk kandang dan tanah merupakan media tanam terbaik untuk perbanyakn spora CMA dengan tanaman inang jagung. Saran Komposisi media tanam tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:5 dapat digunakan untuk perbanyakan spora CMA. DAFTAR PUSTAKA Brundrett M, N Bougher, B Dell, T Grove, N Malajczuk. 1996. Working with Mycorrhiza in Forestry and Agriculture. CSIRO. Wembley. Clark RB. 1997. Arbuscular mycorrhizal adaptation, spore germination, root colonization, and hoast plant growth and mineral acquistion at low PH. Plant and soil 192 : 15-22 Delvian. 2004. Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Dalam Reklamasi Lahan Delvian. 2005. Pengaruh Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Naungan terhadap Pertumbuhan Bibit Kayu Manis. USU halaman 33 Fadillah N. 2008. Pertumbuhan dan Produksi Alfalfa (Medicago sativa L.) dengan Penambahan Fosfat Alam dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) pada Tanah Latosol. Bogor : Institut Teknologi Bogor. Kritis Pasca Tambang. Jurusan kehutanan fakultas pertanian universitas sumatera utara. Mansur I, Wilarso E, Kartika, Rainiyati. 2001. Status of research on arbuscular mycorrhizal fungi in Indonesia. Graduate School of Bogor Agricultural University Bogor Indonesia (unpublished). Miller, R.W. and R.L. Donahue. 1990. Soils an Introduction to Soil and Plant Growth. Prentice Hall, Inc., Eaglewood Cliffs. Nurbaity A, Setiawan A, Oviyanti M. 2011. Efektifitas Arang sekam sebagai bahan pembawaa pupuk hayati mikoriza arbuskular pada produksi sorgum. Jurusan Ilmu Tanah Pertanian Universitas Padjajaran Nusantara A D. 2007. Baku Mutu inokulum cendawan Mikoriza Arbuskular. Bengkulu: Laboraturium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Pidjath C. 2006. Kualitas Bibit Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth Hasil Sinergi Bioorganik dengan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Ultisol. Bogor : Institut Teknologi Bogor. Halaman 23 Sari L M. 2008. Keberadaan Mikoriza pada Areal Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
71
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT HAWAR BAKTERI PADA TANAMAN KEDELAI DENGAN MENGGUNAKAN BAKTERIOFAG Sela Reza Resita., Norita Fatatik Azizi., Febrian E S Iriyanto., Wahyu C Yuliasari., Mariatul Kiptiyah dan Hardian Susilo Addy Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Jalan Kalimantan 37 Kampus Tegalboto 68121 Jember E-mail :
[email protected] ABSTRAK Pengendalian hayati penyakit hawar bakteri oleh Pseudomonas syringae pada kedelai berbasis bakteriofag merupakan salah satu cara yang sedang dikembangkan pada saat ini. Tiga isolat bakteri MG4-1, KR1-1, SK3-1 diuji dengan tiga partikel bakteriofag SK3-1, SK3-2, KR1 pada plaque assay, ternyata plaque yang konsisten dihasilkan adalah SK3-1. Setelah itu SK 3-1 dengan kerapatan 10 multiplicity of infection (MOI) diuji dengan OD660 selama 36 jam, populasi bakteri isolat SK3-1 paling rendah ketika diukur setiap 12jam sekali daripada kerapatan 0.1 MOI dan 1 MOI. Uji pendahuluan in vitro menunjukkan SK 3-1 mempunyai peluang sebagai agen pengendali yang baik penyakit hawar bakteri. Kata Kunci: Pseudomonas syringae, bakteriofag ΦSK 31, agen hayati PENDAHULUAN Produksi kedelai di Indonesia menurun dengan rata-rata 1,65 % pertahun. Pada tahun 2010, produksi kedelai mengalami penurunan sebesar 67.481 ton (BPS, 2011). Hal ini salah satunya disebakan oleh serangan hama maupun penyebab penyakit. Menurut Destarianto (2013), bahwa salah satu penyakit yang umum menyerang tanaman kedelai adalah penyakit hawar bakteri yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas syringae. Penyakit hawar bakteri pada kedelai disebabkan oleh Pseudomonas syringae pv. glycinea merupakan salah satu penyakit yang banyak dijumpai pada tanaman kedelai (Semangun, 2008). Menurut Farhatullah et al. (2011) penyakit tersebut merupakan penyakit yang dapat menurunkan hasil sampai 36 persen, sehingga patogen tersebut perlu dikendalikan. Pengendalian penyakit bakteri ini umumnya ialah dengan pestisida kimia (Daft dan Leben, 1972). Namun menurut Farhatullah et al., (2011) upaya tersebut tidak efektif karena bakteri P. syringae merupakan bakteri yang mudah beradaptasi terhadap lingkungannya serta memberikan dampak berbahaya bagi lingkungan sekitarnya (Sarnaik et al., 2006). Oleh sebab itu perlu dilakukan pengendalian secara hayati yang aman bagi tanaman dan lingkungan. Bakteriofag merupakan virus yang mampu menginfeksi bakteri dan memiliki sifat spesifik inang (Hagens dan Loesner, 2007). Pemanfaatan bakteriofag sebagai pengendali hayati patogen tumbuhan masih belum banyak dilaporkan mengingat pemanfaatan bakteriofag masih terfokus dalam ranah pada patogen hewan dan dalam bidang kesehatan (Sulakvelidze et al., 2001; Abendon et al., 2011). Berdasarkan kespesifikan sifat bakteriofag tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah
72
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
bakteriofag dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati yang mampu menekan perkembangan bakteri P. syringae pada kedelai. METODE PENELITIAN Perbanyakan Isolat P. syringae dan Isolat Bakteriofag.. Perbanyakan bakteri P. syringae dilakukan dengan metode streak plate pada Media NA yang kemudian diamati dibawah sinar UV untuk memastikan keberadaan bakteri P. syringae karena mempunyai karakteristik berpendar di bawah sinar UV dengan panjang gelombang 365 nm. Bakteriofag diperbanyak pada media Nutrient Agar (NA), dengan metode plaque assay (Askora et al. 2009) dengan cara mencampurkan 100 μl bakteriofag SK3-1 dan 300 μl suspensi P. syringae (kerapatan 108 CFU/ml) dan diinkubasikan selama 1 jam. Suspensi tersebut dicampurkan dengan Top Agar yang masih hangat lalu dituang pada permukaan media NA dalam cawan Petri. Pengamatan dilakukan dengan melihat terbentuknya plaque (zona bening) pada media tersebut. Uji penekanan pertumbuhan bakteri P. syringae pada media cair secara in vitro. Uji ini dilakukan untuk mengetahui rasio yang tepat antara bakteriofag dalam menekan pertumbuhan bakteri patogen. Uji ini dilakukan pada media NB dengan cara mencampurkan suspensi bakteriofag dengan suspensi bakteri P. syringae pada nilai Multiplicity of Infection tertentu (MOI) lalu diinkubasikan pada suhu 28C dan diamati pada interfal waktu pengamatan setiap 12 jam sekali selama 48 jam. Pengamatan dilakukan menggunakan spektofotometer (CORONA SH-1000) dengan panjang gelombang 660 nm. Uji ini dilakukan dengan 5 perlakuan, yaitu 1). Blanko (Media NB); 2). Bakteri (P. syringae); 3). Bakteri dan bakteriofag (MOI 0,1); 4). Bakteri dan bakteriofag (MOI 1); 5). Bakteri dan bakteriofag (MOI 10). Aplikasi P. syringae dan bakteriofag pada daun kedelai. Aplikasi P. syringae dan bakteriofag dilakukan pada daun kedelai berumur 4 minggu. Aplikasi dilakukan sebanyak 3 perlakuan, yaitu: 1). Perlakuan kontrol, tidak diaplikasi bakteri dan bakteriofag; 2). Perlakuan bakteri patogen tanpa bakteriofag; 3). Perlakuan bakteriofag dan bakteri. Suspensi bakteriofag (kerapatan 107 PFU/mL) diratakan ke permukaan daun kedelai yang sebelumnya dilukai dengan cara ditusuk dengan jarum steril (pin pricked method) dan dikering-anginkan. Selanjutnya daun dicelupkan dalanm suspensi bakteri pada kerapatan 108 CFU/ml. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 9 kali yang diamati hingga satu minggu masa inkubasi. Pengamatan dilakukan secara kualitatif dengan melihat penampakan perkembangan gejala hawar bakteri pada daun kedelai. HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan infeksi bakteriofag SK3-1. Infeksi bakteriofag SK3-1 pada bakteri P. syringae ditandai dengan terbentuknya plaque di antara hamparan koloni bakteri dan ditunjukkan dengan munculnya zona bening berbentuk bulat yang menyebar secara acak pada media uji (Gambar 1).
73
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 1. Kenampakan Plaque () pada media uji. Hasil pengujian infeksi ini juga menunjukkan adanya korelasi antara jumlah bakteriofag dan terbentuknya plaque pada media uji. Semakin rendah konsentrasi bakteriofag makan semakin sedikit plaque yang terbentuk (Gambar 2). Begitupula, keberadaan bakterifag hingga 7,4 partikel masih mampu menginfeksi bakteri P. syringae (kerapatan 108 CFU/mL) yang diuji (Tabel 1). Tabel 1. Kemampuan bakteriofag SK3-1 dalam menginfeksi bakteri P. syringae No Konsentrasi Bakteriofag Plaque yang (partikel) terbentuk 5 1. Positif 7,4 10 2. Positif 7,4 104 3 3. Positif 7,4 10 2 4. Positif 7,4 10 5. Positif 7,4 101 6. 0 Negatif
Gambar 2. Plaque Assay partikel bakteriofage pada konsentrasi 7.4 105 partikel (A), 7.4 104 partikel (B), 7.4 103 partikel (C), 7.4 102 partikel (D), 7.4 101 partikel (E), dan 0 partikel (F),
74
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Penekanan Bakteriofag terhadap pertumbuhan bakteri P. syringae pada media cair. Berdasarkan hasil pengujian, diketahui bahwa bakteriofag dengan kemampuan infeksi pada MOI 10 merupakan rasio terbaik bakteriofag dalam menekan petumbuhan bakteri P. syringae. Hasil juga menunjukkan bahwa semakin rendah rasio bakteriofag terhadap bakteri P. syringae maka semakin rendah kemampuan bakteriofag SK3-1 dalam menekan petumbuhan bakteri P. syringae (Gambar 3). MOI atau Multiplicity of Infection merupakan rasio atau perbandingan antara partikel bakteriofag dengan bakteri inangnya dalam satu suspensi larutan (Kumari et al., 2009). Semakin tinggi nilai MOI, maka semakin tinggi rasio bakteriofag dalam suspensi bakteri dan bakteriofag. Menurut Pires et al. (2011) bahwa umumnya pengujian penekanan bakteri dilakukan pada MOI 1 yang berarti rasio partikel bakteriofag dan bakteri target adalah 1 atau dengan kata lain 1 partikel bakteriofag untuk 1 sel bakteri target seperti yang dilakukan pada bakteri P. aeruginosa.
Gambar 3. Perkembangan P. syringae dalam media cair yang diinokulasikan dengan bakteriofag Aplikasi P. syringae dan bakteriofag pada daun kedelai (Uji Virulensi bakteriofag). Perlakuan kontrol, dan perlakuan P. syringae dan bakteriofag tidak memperlihatkan gejala hawar bakteri hingga hari ke-3 setelah inokulasi. Namun gejala pada perlakuan P. syringae dan bakteriofag SK3-1 mulai nampak pada hari ke-7 setelah inokulasi. Meskipun demikian, secara visual, keparahan gejala hawar yang ditunjukkan pada perlakuan P. syringae (tanpa bakteriofag) jauh lebih parah dibandingkan dengan yang diaplikasikan dengan bakteriofag. Gejala gejala hawar bakteri yang ditunjukkan dengan perubahan warna daun yang menguning dan terdapat bercak nekrosis pada daun (Gambar 4). Kemampuan bakteriofag sebagai agensia pengendali hayati bakteri patogen tumbuhan telah banyak ditunjukkan oleh beberapa peneliti misalnya pada bakteri layu bakteri pada tomat dengan bakteriofag RSM3 (Addy et al., 2012); bakteri penyebab layu pada tembakau dengan RSB1 (Fujiwara et al., 2011), bakteri layu tomat akibat Clavibacter michiganensis dengan bakteriofag CMP1 dan CN77 (Echandi and Sun, 1973). Kemampuan tersebut tergantung pada jenis bakteriofag, strain bakteri dan habitat bakteri (Yamada, 2013).
75
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 4. Daun kedelai yang diperlakukan dengan P. syringae (PSG), P. syringae dan Bakteriofag SK3-1 (SK3-1+PSG), dan air steril (KONTROL).
KESIMPULAN Bakteriofag SK3-1 memiliki potensi untuk menekan pertumbuhan dan infeksi bakteri P. syringae terutama pada MOI 10. DAFTAR PUSTAKA Addy HS, Askora A, Kawasaki T, Fujie M, and Yamada T. 2012. Utilization of filamentous phage ϕRSM3 to control bacterial wilt caused by Ralstonia solanacearum. Plant Disease 96(8):1204–1208. Askora, A., Kawasaki T., Usami S., Fujie M., and Yamada T. 2009. Host recognition and integration of filamentous phage φRSM in the phytopathogen Ralstonia solanacearum. Virology. 384(5):69-76. BPS. 2011. Produksi Kedelai di Indonesia. http://www.bps.go.id. Diakses pada tanggal 09 oktober 2013. Daft CG, Leben C. 1972. Bacterial blight of soybeans: epidemiology of blight outbreaks. Phytopathol. 62(7):1167-1170. Destarianto A. 2013. Hama dan Penyakit Tanaman Pangan. http://hamadanpenyakittanamanpangan.com. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013 Echandi E and Sun M. 1973. Isolation and characterization of a bacteriophage for the identification of Corynebacterium michiganense. Phytopathology 63:1398–1401. Farhatullah, Stayton MM., Groose RW., and Khan MJ. 2011. Genetic analysis of racespecificity of Pseudomonas syringae pv. glycinea. Pak. J. Bot. 43(1):713.
76
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Fujiwara A, Fujisawa M, Hamasaki R, Kawasaki T, Fujie M, and Yamada T. 2011. Biocontrol of Ralstonia solanacearum by treatment with lytic bacteriophages. Applied and Environmental Microbiology. 77(12): 4155–4162. Hagens S., Loessner MJ. 2007. Application of bacteriophages for detection and control of foodborne pathogens. Appl. Microbiol. Biotechnol. 76(3):513- 522. Kumari S, Harjai K, and Chhibber S. 2009 Bacteriophage treatment of burn wound infection caused by Pseudomonas aeruginosa PAO in BALB/c Mice. American Journal of Biomedical Sciences 1(4):385-394. Pires D, Sillankorva S, Faustino A, and Azeredo J. 2011. Use of newly isolated phages for control of Pseudomonas aeruginosa PAO1 and ATCC 10145 biofilms. Res. in Microbiol. 162(8):798–806. Sarnaik SS., Kanekar PP., Raut VM., Taware SP, Chavan KS, Bhadbhade BJ. 2006. Effect of application of different pesticides to soybean on the soil microflora. J. Envir. Biol. 27(2):423-426. Semangun, H. 2008. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah University Press. Yogyakarta.
Mada
Yamada T. 2013. Filamentous phages of Ralstonia solanacearum: double-edged swords for pathogenic bacteria. Front Microbiol. 4:325. doi: 10.3389/fmicb.2013.00325
77
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
UJI EFEKTIVITAS SPORA CENDAWAN Beuaveria bassiana TERHADAP HAMA PADA TANAMAN CABAI Suharto Staf Fakultas Pertanian Universitas Jember Email :
[email protected] ABSTRACT Pest control is an important component in big chili. The important chilli pests s including Thrips parvispinus, Bemisia tabaci and Myzus persicae. To reduce the negative impact of excessive use of insecticide trials conducted research on the effectiveness of the fungus Beauveria bassiana bih chili pests. Spore mass in laboratory culture results were tested in the field on chilli plants, from August to November 2010. Research in the field using a randomized block design was repeated 3 times. In connection with the low pest population , Controlling the fungus and insecticide made on plants 79 to 100 days after planting with an interval of one week. Treatment as follows: F1 = Control (without control), F2 = synthetic insecticides scheduled once a week, F3 = Control with insecticides and Beauveria. bassiana alternately every week, F4 = Control with the fungus B. bassiana + adhesive scheduled once a week, F5 = Control with the fungus B. bassiana + cassava flour scheduled once a week and F6 = + adhesive synthetic insecticides scheduled once a week. Observations included the number of pest populations and crop damage before and after application of insecticides and or fungus B. bassiana. The results showed that at the time of the study population was very low pepper plant pest caused by high rainfall. Pest population decline T. parvispinus ., M. persicae, and tend to be higher on the fungus B. bassiana treatment (F3, F4 and F5) compared to a single insecticide application (F2 and F6). The low impact pest populations big chilir plant damage is also very low Key words : Thrips parvispinus, Bemisia tabaci, Myzus persicae, Beauveria. bassiana LATAR BELAKANG Cabe merah merupakan salah satu jenis sayuran yang cukup penting di Indonesia. Selain mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi, cabai juga sangat potensial secara ekonomis. Cabai dimanfaatkan sebagai bumbu masak, bahan baku berbagai industri, minuman dan obat-obatan. Produksi rataan nasional hanya mencapai 5,5 ton/ha, masih sangat jauh dari potensi produksi yang mencapai 20 ton/ha. Oleh karena itu usaha untuk meningkatkan produksi dan kualitas berpeluang cukup besar, namun ada berbagai hambatan yang menyebabkan peningkatan produksi sulit dicapai antara lain masalah hama dan penyakit (Anonim, 2004). Hama yang sering menimbulkan kerugian pada usaha tani cabai adalah Thrips. parvispinus,Myzus peesicae dan Bemicia tabaci. Ketiga hama tersebut sebagai vektor penyakit virus mosaik dan virus keriting. Serangan langsung menyebabkan bawah daun terdapat titik-titik putih keperakan bekas tusukan, kemudian berubah menjadi kecokelatan. Daun yang cairannya diisap menjadi keriput dan melengkung ke atas. Serangan berat akibat hama tersebut dan penyakit virus mosaik dan keriting akan menyebabkan tanaman gagal panen atau puso. Saat ini pengendalian hama masih sangat
78
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
tergantung penggunaan insektisida sintetik yang cenderung berlebihan sehingga menimbulkan dampak negatif antara lain terjadinya resistensi hama terhadap insektisida, resurjensi hama, munculnya hama sekunder dan terbunuhnya hewan bukan sasaran yang dapat mengganggu agroekosistem dan pada akhirnya permasalahan hama menjadi lebih rumit dan sulit (Duriat,1995). Oleh karena itu perlu adanya alternatif pengendalian hama yang lebih aman dan ramah terhadap lingkungan, salah satunya adalah cendawan B. bassiana. Di Indonesia B. bassiana telah banyak digunakan untuk pengendalian hama tanaman perkebunan antara lain hama bubuk buah kopi (Yunianto & Sulistyowati, 1994), serangga hama kedelai (Riptortus linearis dan Spodoptera litura), walang sangit pada padi (Leptocoriza acuta) (Prayogo, 2006), Plutella xylostella pada sayur-sayuran (Hardiyanti, 2006). Penggunaan B. bassiana untuk mengendalikan hama tanaman sayuran khususnya tanaman cabai belum banyak dilaporkan. Pada penelitian ini akan dikaji prospek penggunaan isolat B. bassiana untuk pengendalian hama pada tanaman cabai dalam upaya mengurangi penggunaan insektisida sintetik yang saat ini sangat berlebihan. Tujuan penelitian adalah untuk mengeathui efektivitas beberapa formulasi cendawan B. bassiana terhadap hama thrips dan kutu-kutuan di lapang. METODE PENELITIAN Uji lapang dilakukan pada tanaman cabe. Penelitian di lapang menggunakan rancangan acak kelompok diulang sebanyak 3 kali. Sehubungan dengan rendahnya populasi hama, pengendalian dengan cendawan dan insektisida dilakukan pada tanaman berumur 79 sampai dengan 100 hari dengan interval satu minggu. Perlakuan sebagai berikut : F1 = Kontrol (tanpa pengendalian) F2 = Insektisida sintetik terjadwal seminggu sekali F3 = Pengendalian dengan insektisida dan cendawam B. bassiana secara bergantian tiap minggu F4 = Pengendalian dengan cendawan B. bassiana + perekat terjadwal seminggu sekali F5 = Pengendalian dengan cendawan B. bassiana + tepung ubi kayu terjadwal seminggu sekali F6 = Insektisida sintetik +perekat terjadwal seminggu sekali Pelaksanaan penelitian Sebelum disemaikan, benih direndam dalam air, biji yang terapung dibuang dan benih yang tenggelam direndam dalam air hangat atau 50 0C selama 30 menit. Media persemaian berupa campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. setelah bibit berumur 4 minggu siap ditanam di lahan. Pengolahan tanah terdiri dari pembajakan dan pencangkulan tanah sebanyak tiga kali, pemerataan tanah dan pembuangan sisa-sisa gulma. Pembuatan bedengan dengan ukuran 2,5 x 2,5 m untuk masing-masing petak. Tinggi bedengan 40 cm dan jarak tanam 50x50 cm. Pemasangan mulsa plastik hitam perak (MHPH) dilakukan pada siang hari agar mulsa dapat memuai maksimal, caranya dengan merentangkan mulsa plastik pada bedengan kemudian dipaku dengan bilah bambu pada bagian pinggirnya dan ujung mulsa. Penanaman, pemupukan dan pengairan sesuai dengan yang direkomendasikan. Pengamatan d meliputi :
79
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Populasi hama Thrips dank utu-kutuan sebelum dan sesudah aplikaksi dan Intensitas kerusakan tanaman. Data dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (uji F) yang sesuai dengan rancangan yang telah ditentukan, kemudian diuji beda nyata pada (P =0.05) HASIL DAN PEMBAHASAN Hama Trips dan kutu-kutuan, parvispinus sangat dipengaruhi faktor ikim, terutama curah hujan. Semakin tinggi curah hujan populasi hama Thrips semakin menurun. Hama ini menjadi penting terutama pada musim kemarau. Pada waktu penelitian berlangsung kondisi curah hujan sangat tinggi atau terjadi anomali iklim. Pada bulan September 2010 yang seharusnya musim kemarau namun kondisi curah hujan tetap tinggi atau dapat dikatakan tidak ada musim kemarau. Ukuran hama Thrips dan kutu=kutuan yang kecil mudah tercuci oleh curah hujan. Dampak terjadinya anomali cuaca popuasi hama Thrips dan kutu-kutuan pada saat penelitian berlangsung sangat rendah. Hama lain yang ditemukan di lapang yaitu hama Thrips parvispinus, Myzus persicae dan Bemisia tabaci. Hama T. parvispinus ditemukan mulai tanaman berumur lima minggu setelah tanam (mst). Populasi hama pada semua perlakuan sangat rendah, Pada empat perlakuan yaitu control (F1), pestisida (F2), B, bassiana + tepung ubikayu (F5) dan pestisida + perekat (F6) populasi per sembilan tanaman hanya dua atau kurang. Populasi tertinggi dijumpai pada minggu ke 10 setelah tanam yaitu perlakuan B.bassiana+ perekat (F3) diikuti perlakuan insektisida +B. Bassiana (Gambar 1). Perlakuan insektisida dan B. bassiana dilakukan setelah minggu ke 11. Oleh karena itu tingginya populasi pada kedua perlakuan tersebut bersifat random bukan karena perlakuan Populasi hama Myzus persicae selama musim tanam cabe cenderung lebih tinggi dibandingkan hama T. Parvispunus artinya hama ini lebih tahan terhadap curah hujan yang tinggi. M. persicae ditemukan sejak tanaman berumur 4 minggu setelah tanam, pada awalnya rendah dan selanjutnya agak meningkat dan pada minggu berikutnya relatif stabil di kisaran 7 sampai dengan 34 M. persicae per sembilan tanaman. Pada perlakuan B. Bassiana + perekat populasinya meningkat mulai delapan mst dan mencapai puncaknya pada 11 mst. Seperti halnya T. Parvispinus, tingginya populasi M. persicae pada minggu tersebut bukan karena perlakuan. Perlakuan dilakukan pada 79 hari setelah tanam populasi pada semua perlakuan cenderung menurun sampai akhir pengamatan (Gambar 2). Dinamika populasi hama Bemicia tabaci terlihat pada Gambar 3. Pada empat mst populasi hama ini rendah yaitu kurang dari dua ekor per sembilan tanaman, selanjutnya mengalami peningkatan dan mencapai puncuk pada minggu ke-5 pada perlakuan kontrol yaitu 16 ekor per sembilan tanaman. Pada semua perlakuan pengamatan minggu ke-5 sampai dengan minggu ke-8 populasi B. tabaci cenderung fluktuatif selanjutnya mulai minggu ke-9 sampai akhir pengamatan pupulasi cenderung konstan berkisar antara 0,67 sampai dengan 5,33 ekor per sembilan tanaman. Seperti halnya hama T. Parvispinus dan M. Persicae dinamika populasi ini lebih banyak dipengaruhi kondisi iklim utamanya curah hujan yang tinggi.
Penurunan populalsi Thrips parvispinus, Myzus persicae dan Bemisia tabaci setelah aplikasi cendawan B. bassiana dan atau insektisida
80
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Aplikasi cendawan B. bassiana atau insektisida dilakukan mulai tanaman berumur 78 hari sampai 100 hari setelah tanam dengan interval satu minggu sekali. Aplikasi tidak dilakukan sejak awal karena populasi hama sangat rendah dan jauh di ambang kendali sehingga aplikasi yang dilakukan tidak dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap penurunan populasi. Rendahnya populasi hama lebih banyak dipengaruhi oleh faktor iklim atau curah hujan yang tinggi
Gambar 1. Dinamika populasi T. Parvispunus pada berbagai perlakuan
Gambar 2. Dinamika populasi M. persicae pada berbagai perlakuan
81
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 3. Dinamika populasi Bemisia tabaci pada berbagai perlakuan Persentase penurunan populasi T. Parvispinus setelah aplikasi cendawan B. bassiana atau insektisida terlihat pada Tabel 1. Secara umum penurunan hama T, parvispinus sangat rendah. Pada aplikasi pertama penurunan populasi tertinggi (29,11 persen) dijumpai pada perlakuan F3 yaitu perlakuan insektisida dan cendawan B. bassiana secara bergantian tiap minggu diikuti F4 (insektisida ditambah perekat). Pada perlakuan insektisida justru terjadi peningkatan populasi. Aplikasi pada tanaman umur 86 hari setelah tanam menunjukkan penurunan populasi tertinggi pada perlakuan insektisida dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Pada aplikasinya berikutnya penurunan populasi T. parvispinus tetap rendah tertinggi pada perlakuan cendawan B. bassiana ditambah tepung ubi kayu. Dari rerata penurunan populasi ditemukan bahwa perlakuan dengan cendawan B. bassiana (F3, F4 dan F5) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan dengan insektisida maupun kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi cendawan cenderung lebih baik dibandingkan penggunaan insektisida sintetik. Tabel 1. Persentase penurunan populasi hama Thrips p arvispinus setelah aplikasi cendawan B. bassiana dan atau insektisida Perlakuan Aplikasi pada umur …. setelah tanam Rerata 79
86
93
100
F1
15,93 a
-24,40 b
0a
0a
2,12
F2
-16.67 a
29,11 a
7,51 a
0a
4,99
F3
29,11 a
15.03 ab
12,88 a
0a
14,20
F4
20,73 a
10,20 ab
14,09 a
-12,89 a
10,71
F5
7,51 a
14,09 ab
14,09 a
28,17 a
15,97
F6
7,51 a
0 ab
0a
0a
1,88
Angka pada kolom yang sama diikuti hurup yang sama menunujukkan berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5 persen. Persentase penurunan populasi M. persicae terlihat pada Tabel 2. Seperti halnya pada Thrips penurunan populasi hama M. persicae akibat perlakuan insektisida dan atau cendawan B. bassiana sangat rendah. Penurunan populasi tertinggi hanya 33,27 persen yaitu perlakuan cendawan B. bassiana + perekat pada aplikasi 93 hari setelah tanam. Pada aplikasi pertama tanaman cabai berumur 79 hari perlakuan dengan B. bassiana
82
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
(F3, F4 dan F5) lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kontrol. Aplikasi pada tanaman cabai berumur 86 hari menunjukkan bahwa B. bassiana + tepung ubikayu penurunan populasi tertinggi. Perlakuan insektisida + perekat pada tanaman cabai berumur 93 hari tidak mengalami penurunan bahkan populasi hama meningkat dua kali lipat sebelum perlakuan. Pada aplikasi terakhir penurunan tertinggi justru pada perlakuan kontrol. Penurunan pada kontrol disebabkan faktor lingkungan terutama curah hujan. Rerata penurunan populasi pada perlakuan dengan cendawan B. bassiana (F3, F4 dan F5) cenderung lebih tinggi dibandingkan perlakuan insektisida. Pada awal aplikasi, perlakuan cendawan B. bassiana + tepung ubikayu mampu menurunkan populasi hama B. tabaci lebih dari 50 persen dan berbeda nyata dengan kontrol. Pada aplikasi berikutnya yaitu pada tanaman berumur 86 dan 93 hari penurunan populasi tertinggi ditemukan pada kontrol. Aplikasi insektisida pada tanaman berumur 93 hari justru terjadi peningkatan populasi hampir 50 persen dan analisis statistik menunjukkan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada aplikasi terakhir perlakuan cendawan B. bassiana + perekat dan terendah pada perlakuan dengan insektisida. Rerata penurunan populasi tertinggi pada perlakuan cendawan B. bassiana + tepung ubikayu (34,78 %) diikuti perlakuan cendawan + perekat (24,28 %) dan perlakuan insektisida dan B. bassiana bergantian tiap minggu (22,57 %)(Tabel 3). Tabel 2. Persentase penurunan populasi hama Myzus persicae setelah aplikasi cendawan B. bassiana dan atau insektisida Aplikasi pada umur …. setelah tanam
Perlakuan
Rerata
79
86
93
100
F1
-29,17 b
3,85 a
27,29 a
42,56 0 a
11,13
F2
-4,26 ab
17,20 a
17,43 a
21,31 a
21,62
F3
17,67 a
24,83 a
25,16 a
29,46 a
24,28
F4
11,71 a
31,32 a
33,27 a
24,92 a
25,28
F5
12,27 a
16,20 a
28,97 a
29,31 a
22,94
F6
2,09 ab
2,09 a
-110,91 b
-19,24 b
-31,49
Angka pada kolom yang sama diikuti hurup yang sama menunujukkan berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5 persen. Tabel 3. Persentase penurunan populasi hama Bemisia tabaci setelah aplikasi cendawan B. bassiana dan atau insektisida Perlakuan
Aplikasi pada umur …. hari setelah tanam
Rerata
79
86
93
100
F1
-42,52 b
44,37 a
37,40 a
33,45 a
19,92
F2
-3,67 ab
14,09 a
-48,81 b
19,54 a
-4,71
F3
25,89 ab
19,02 a
18,43 a
26,54 a
22,57
F4
37,45 ab
11,51 a
7,51 a
40,65 a
24,28
F5
52,98 a
27,44 a
25,60 a
33,11 a
34,78
F6
21,60 ab
21,60 a
0a
28,17 a
17,84
83
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Angka pada kolom yang sama diikuti hurup yang sama menunujukkan berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5 persen Persentase kerusakan tanaman akibat Thrips parvispinus, Myzus persicae dan Bemisia tabaci Kerusakan tanaman berhubungan dengan populasi hama, namun seringkali penurunan populasi hama tidak selalu diiring penurunaan persentase kerusakan tanaman. Aplikasi insektisida pada tanaman akan langsung nenurunkan populasi hama, tetapi tidak berdampak langsung terhadap penurunan tingkat kerusakan tanaman. Persentase kerusakan tanaman yang diakibatkan hama Thrips selama penelitian sangat rendah. Hal ini berhubungan dengan rendahnya populasi hama selama penelitian. Persentase kerusakan tertinggi terjadi pada enam mst yaitu pada perlakuan F3 sebesar 7,89 persen. Secara keseluruhan kerusakan tanaman masih jauh di bawah ambang ekonomi yaitu 15 persen. Aplikasi insektisida dan atau cendawan B. bassiana tidak banyak pengaruhnya terhadap persentase kerusakan tanaman karena hanya dilakukan empat kali aplikasi setelah tanaman berumur 11 minggu. Oleh karena itu kerusakan tanaman lebih bersifat random. Analisis statistik menunjukkan bahwa hanya dua kali pengamatan ada beda nyata antar perlakuan dari 10 minggu pengamatan yaitu pada minggu ke sembilan dan minggu ke 13. Beda nyata antar perlakuan pada minggu ke sembilan tidak diakibatkan oleh perlakuan karena semua petak belum dilakukan aplikasi insektisida maupun cendawan B. bassiana. Pada minggu ke 13 kerusakan tertinggi pada perlakuan cendawan B. bassiana + perekat dan berbeda nyata dengan perlakuan insektisida + perekat (Tabel 4). Tingginya kerusakan tanaman pada perlakuan tersebut akibat dampak dari serangan hama sebelumnya. Penurunan populasi hama tidak langsung diikuti oleh penurunan tingkat kerusakan. Rerata kerusakan tanaman diketahui bahwa perlakuan dengan cendawan B. bassiana cenderung lebih tinggi dibandingkan perlakauan lain. Hasil ini berbangding terbalik dengan penurunan populasi hama yang diketahui bawa perlakuan cendawan B. bassiana lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain. Hal dapat dijelaskan bahwa kerusakan tanaman diamati selama 10 minggu, sedangkan aplikasi insektisida dan atau B, bassiana hanya dilakukan empat minggu terakhir. Tabel 4. Persentase kerusakan tanaman cabai akibat hama Thrips parvispinus PerlaPersentase kerusakan daun . . . . . . minggu setelah tanam kuan 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 F1
1,22a
1,22a
0,00a
4,89a
3,67ab
1,22a
1,22a
3,67a
2,44ab
0.00a
F2
2,44a
0,00a
0,00a
3,67a
0,00 b
2,44a
1,22a
3,67a
3,67ab
2,44a
F3
0,00a
7,89a
0,00a
2,44a
6,11a
2,44a
3,67a
2,44ab
1,22a
F4
0,00a
1,22a
1,22a
3,67a
6,11a
6,11a
3,67a
7.33a
3,67a
F5
1,22a
2,44a
1,22a
3,67a
2,44 ab 2,44 ab 4,96 a
4,89a
2,44a
2,44a
2,44ab
3,67a
F6
1,22a
1,22a
2,44a
2,44a
1,22 ab
2,44a
0,00a
0,00a
0,00b
0,00a
84
Rerat a 1,9 6 1,9 6 2,8 4 3,5 4 2,9 4 1,1 0
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Angka pada kolom yang sama diikuti hurup yang sama menunujukkan berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5 persen Perentase kerusakan tanaman cabai akibat serangan hama M. persicae lebih tinggi dibandingkan intensitas kerusakan T. parvispinus yang berkisar antara 1,22 sampai dengan 29,56 persen (Tabel 7). Kerusakan sampai tanaman berumur 10 minggu tidak disebabkan pengaruh aplikasi insektisida dan atau cendawan B. bassiana. Intensitas kerusakan pada minggu ke 12 sampai akhir pengamatan atau setelah aplikasi insektisida dan atau B. bassiana pada perlakuan F3 (insektisida dan B. Bassiana bergantian tiap minggu) dan F4 (B. bassiana+perekat) masih tinggi akibat serangan hama sebelumnya. Penurunan populasi hama tidak langsung diikuti penurunan tingkat kerusakan tanaman, atau kerusakan tanaman tidak langsung pulih setelah populasi hama berkurang. Hal ini berdampak pada rerata persentase kerusakan pada F4 dan F3 lebih tinggi dari perlakuan yang lain. Intensitas kerusakan tanaman akibat hama B. tabaci melampauhi ambang ekomomi hanya terjadi pada pengamatan pertama yaitu pada kontrol sebesar 15,89 persen (Tabel 6). Selanjutnya intensitas kerusakan tanaman cabai berfluktuatif berkisar antara 2,44 sampai dengan12,22 persen. Intensitas kerusakan tanaman tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan efektivitas pengendalian yang dilakukan. Pengamatan tingkat kerusakan tanaman dilakukan selama 10 minggu dan pengendalian hanya dilakukan pada empat minggu terakhir. Rerata tingkat kerusakan tertinggi pada kontrol daan terendah pada perlakuan cendawan B. bassiana +tepung ubikayu.
Perla kuan F1
Tabel 5. Persentase kerusakan tanaman cabai akibat hama Myzus persicae Persentase kerusakan daun . . . . . . minggu setelah tanam 5 7,33a
F2
F3
F4
F5 F6
9,7 8a 8,56a
6.11a
2,44 a 1,22 a
6
7
8
9
10
11
12
16,1 1a 18,8 9a
18,8 9a 18,3 3a
12,2 14,67a 2a b 9,78a 18,33a b
17.1 1a 13,4 4a
18,3 3a 17,1 1a
18,3 3a 17,1 1a
15,5 6a
15,8 9a
14,6 29,56a 7a
25,6 7a
25,7 8a
25,7 8a
20,6 7a
19,5 6a
20,7 28,33a 8a
20,7 7a
25,7 8a
25,7 8a
13,4 4a
17,1 1a 7,33 a
13,4 28,11a 4a 9,78 12,22 a b
24,5 6a 33,0 0a
12,0 0a 18,3 3a
12,0 0a 18,3 3a
13
14
17,11a b 15,89 ab
12,0 0b 20,7 7a 18,44a b 11,00 b
12,2 2a 12,2 2a
15,0 3 15,0 9
13.4 4a
17,1 6
15,8 9a
20,4 4
14,6 7a
15,2 3 12,7 1
7,3 8,5 3a 5a Angka pada kolom yang sama diikuti hurup yang sama menunujukkan berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5 persen
85
Rera ta
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Perla kuan
Tabel 6. Persentase kerusakan tanaman cabai akibat hama Bemisia tabaci Persentase kerusakan daun . . . . . . minggu setelah tanam
Rera ta
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
F1
15,89a
12,22a
8,56a
2,44a
3,67a
3,67a
11,00a
11,00a
7,33a
8,43
F2
4,89b
4,89a
4,89a
4,89a
2,44a
3,67a
9,78a
9,78a
6,11a
5,87
F3
6,22ab
6,11a
8,56 a 7,33 a 9,78a
9,33a
3,67a
2,44a
3,67a
9,33a
6,11ab
7,33a
6,40
F4
8,56ab
11,00a
6,11a
2,44a
2,44a
1,22a
7,33a
6,11ab
8,56a
6,23
F5
4,89b
6.11a
8,56 a 4,89a
8,56a
2,44a
1,22a
4,89a
8,56a
4,78b
8,56a
5,49
F6
6,22ab
6,11a
8,56a
9,78a
6,11a
4,89a
2,44a
6,11a
7,33ab
4,89a
6,23
Angka pada kolom yang sama diikuti hurup yang sama menunujukkan berbeda tidak nyata pada uji DMRT taraf 5 persen KESIMPULAN Pada waktu penelitian populasi hama T. parvispinus sangat rendah yang disebabkan curah hujan yang tinggi. Penurunan populasi hama T. parvispinus, M. persicae, dan B. tabaci cenderung lebih tinggi pada perlakuan cendawan B. bassiana (F3,F4 dan F5) dibandingkan aplidkasi insektisida secara tunggal (F2 dan F6). Rendahnya populasi T. parvispinus berdampak kerusakan tanaman cabai juga sangat rendah. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2004. Pengendalian hama terpadu pada tanaman cabai. DitJen Bina Produksi Hortikultura Direktorat Perlindungan Hortikultura. Jakarta. Duriat, A.S. 1995. Pengendalian hama penyakit terpadu pada agribisnis cabai. PT Penebar Swadaya. Jakarta. Hardiyani, D.W. 2006. Kajian penyebaran miselium jamur Beauveria bassiana dan kerusaakan epitel saluran pencernakan makanan larva Plutella xylostella (Lepidoptera:Plutellidae. Skripsi Sekolah Ilmu dan Teknologi ITB (abstrak) Paryogo, Y. 2006. Upaya mempertahankan keefektifan cendawan entomopatogen untuk mengendalikan tanaman pangan.Jurnal Litbang Pertanian 25(2):47-54 Yunianto, Y.D. dan E. Sulistyowati. 1994. Virulence of several B. bassiana Ball. Vuill. Isolates on coffea berry borer (Hypotenemuss hampei Ferr.) under various relative himidities. Pelita perkebunan 10:81-86
86
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
KERAGAAN PERTUMBUHAN KENTANG HITAM ASAL STEK DAN UMBI (Growth Performance of Black Potato from Tuber and Cuttings) Eko Setiawan1, Achmad Baidowi2, Suhartono1 1. Staf Pengajar Prodi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan 2. Mahasiswa Prodi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan E-mail:
[email protected] ABSTRAK Tanaman kentang hitam (Coleus tuberosus) merupakan salah satu tanaman lokal yang kaya akan manfaat dan berkhasiat sebagai obat penyakit seperti maag dan diabetes. Umbi kentang hitam sangat potensial sebagai sumber karbohidrat alternatif guna mendukung diversifikasi pangan masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pertumbuhan tanaman kentang hitam asal bahan tanam stek dan umbi. Penelitian ini dilakukan di desa Parseh Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan yang berada pada ketinggian tempat ± 5 m dpl, suhu ± 29 °C, pada bulan Januari sampai Juni 2014. Bahan tanam kentang hitam asal stek dan umbi ditanam pada media tanah dicampur pupuk kandang sapi atau kompos. Hasil penelitian menunjukkan panjang tanaman, jumlah daun, kandungan klorofil, bobot basah tanaman dan bobot kering tanaman pada bahan tanam asal stek menunjukkan keragaan yang lebih lebih baik dibandingkan bahan tanam umbi. Kata kunci: bahan tanam, kentang hitam, pertumbuhan, stek, umbi. ABSTRACT Black potato (Coleus tuberosus) is a local plant that is rich in benefits and medicinal properties such as ulcer disease and diabetes. Black potato tubers potential as an alternative source of carbohydrates to support the diversification of society. The purpose of this study was to determine the growth response of black potato planting material from cuttings and tubers. This research was conducted in the village of the Parseh, Socah, Bangkalan District, at an altitude of ± 5 m above sea level, the temperature of ± 29 °C, in the month of January to June 2014. Black potato of planting materials from cuttings and tuber planted in soil mixed media cow manure or compost. The results showed the length of plant, number of leaves, chlorophyll content, plant fresh weight, and plant dry weight of the plant material from cuttings showed more variability better than tuber planting materials. Keywords: planting material, black potato, growth, cuttings, tubers
PENDAHULUAN
Tanaman kentang hitam jarang dibudidayakan secara luas dan hanya ditanam dalam skala pekarangan. Umbi kentang hitam sangat potensial sebagai sumber karbohidrat alternatif guna mendukung diversifikasi pangan masyarakat (Suwandi & Ashandi, 1986). Saat ini tanaman kentang hitam merupakan tanaman penghasil umbi yang sangat langka. Upaya penyelamatan tanaman kentang hitam perlu dilakukan dengan cara melestarikan dan melakukan budidaya secara berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pertumbuhan
87
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
tanaman kentang hitam (Coleus tuberosus) dengan penggunaan bahan tanam dan komposisi media tanam yang berbeda. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Desa Parseh, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan yang berada pada ketinggian tempat ± 5 m dpl, suhu ± 29 °C, RH ± 70%. Penelitian dimulai pada bulan Januari 2014 sampai Juni 2014. Bibit kentang hitam asal umbi dan stek ditanam pada polybag. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah percobaan faktorial yang disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah asal bahan tanam yang berbeda, yaitu bibit asal umbi dan stek batang kentang hitam. Faktor kedua adalah komposisi media tanam, yaitu campuran tanah dengan pupuk kandang sapi dan campuran tanah dengan kompos. Parameter pengamatan dalam penelitian ini yaitu secara destruktif meliputi : Panjang tanaman (cm), jumlah daun (helai), pengukuran kandungan klorofil (unit), bobot basah biomasa di atas tanah (g), bobot kering biomasa di atas tanah (g), bobot basah biomasa di bawah tanah (g), dan bobot kering biomasa di bawah tanah (g). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA. Apabila terdapat interaksi atau pengaruh perlakuan maka dilanjutkan menggunakan Uji Jarak Duncan (UJD) 5 %. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Panjang tanaman Penggunaan bahan tanam dan komposisi media tanam berpengaruh terhadap panjang tanaman kentang hitam pada setiap perlakuan. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada perlakuan penggunaan bahan stek+kompos berpengaruh nyata terhadap panjang tanaman kentang hitam pada saat umur 2, 4, dan 6 minggu setelah tanam (MST), sedangkan pada perlakuan bahan tanam stek+pupuk kandang sapi panjang tanaman tertinggi pada umur 8 dan 10 MST. Sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan bahan tanam umbi + kompos pada saat umur 2, 4, 6, dan 10 MST. Penggunaan bahan tanam stek dan pupuk kompos menghasilkan panjang tanaman yang mempunyai nilai tertinggi setiap minggunya dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini disebabkan stek merupakan bagian tanaman yang diambil dari tanaman induk yang sudah memiliki bentuk yang sempurna dan tidak perlu banyak melakukan pembelahan sel sehingga dalam proses pertumbuhannya bahan tanam stek mampu tumbuh dengan cepat dibanding dengan bahan tanam umbi. Kandungan bahan organik yang terkandung dalam kompos sangat penting untuk memperbaiki kondisi biologi maupun fisik dari tanah (Musnawar, 2003). Kompos mempunyai dua peranan penting yaitu kemampuan untuk memperbaiki struktur tanah dan kemampuan untuk melakukan tukar kation pada tanah sehingga nutrisi yang terkandung dalam kompos mampu menghasilkan pengaruh yang baik dalam mendukung pertumbuhan tanaman (Lingga & Marsono, 2004).
88
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 1. Rata-rata panjang tanaman akibat penggunaan bahan tanam dan komposisi media tanam yang berbeda Jumlah helai daun Penggunaan bahan tanam dan komposisi media berpengaruh terhadap jumlah daun tanaman kentang hitam pada setiap perlakuan. Gambar 2 menunjukkan bahwa perlakuan bahan tanam stek+kompos berpengaruh nyata terhadap jumlah helai daun tanaman kentang hitam pada umur 2, 6, dan 8 MST, sedangkan perlakuan stek+pupuk sapi terbanyak saat umur 4 dan 10 MST. Sedangkan jumlah helai daun terendah terdapat pada perlakuan umbi+pupuk kandang sapi pada umur 2 MST, perlakuan umbi+kompos pada umur 4 dan 6 MST, perlakuan stek+pupuk kandang sapi pada umur 10 MST. Bahan tanam umbi menunjukkan nilai yang selalu rendah pada umur 2, 4, dan 6 MST namun pada umur 10 MST nilainya menjadi. Hal ini disebabkan karena asal bahan tanam umbi merupakan bahan tanam yang masih membutuhkan banyak nutrisi yang cukup untuk melakukan pembelahan selnya sehingga dimungkinkan nutrisi yang diserap diarahkan untuk proses pertumbuhan dan pembelahan sel dan mengakibatkan pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan asal stek.
89
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 2. Rata-rata jumlah helai daun akibat penggunaan bahan tanam dan komposisi media tanam yang berbeda. Kandungan klorofil Kandungan klorofil daun kentang hitam menunjukkan perubahan setiap minggu pada setiap perlakuan. Gambar 3 menunjukkan bahwa kandungan klorofil daun pada setiap minggu selalu mengalami perubahan pada setiap perlakuan. Hal tersebut diatas diduga karena energi yang diserap tanaman berbeda setiap harinya dan naik turunnya kandungan klorofil pada daun kentang hitam tersebut diduga tidak berhubungan dengan perlakuan. Bobot basah biomasa di atas tanah Bobot basah bimasa di atas tanah menunjukkan bahwa penggunaan bahan tanam dan komposisi media berpengaruh terhadap bobot basah tanaman diatas tanah pada setiap perlakuan. Gambar 4 menunjukkan bahwa perlakuan bahan tanam stek+kompos berpengaruh nyata terhadap bobot basah biomasa di atas tanah pada pengamatan 2, 6, dan 8 MST, sedangkan pada perlakuan stek+pupuk sapi pada pengamatan 4, dan 10 MST. Jumlah daun terendah terdapat pada perlakuan bahan tanam umbi+pupuk kandang sapi pada umur 2 MST, perlakuan umbi+kompos pada pengamatan 4, 6, 8, dan 10 MST. Dari grafik diperoleh informasi bahwa pupuk kompos dan pupuk kandang sapi mampu memberikan hasil terbaik dalam beberapa minggu pengamatan. Kandungan hara pupuk kandang sapi sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena kandungan unsur haran yang lengkap seperti: N, P, K dan juga P (William & Joseph, 1993).
90
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 3. Rata-rata kandungan klorofil daun akibat penggunaan bahan tanam dan komposisi media tanam yang berbeda
Gambar 4. Rata-rata bobot basah biomasa di atas tanah akibat penggunaan bahan tanam dan komposisi media tanam yang berbeda. Bobot basah biomasa di bawah tanah Dari Gambar 5 diperoleh informasi bahwa perlakuan yang diberikan mampu meningkatkan hasil bobot basah tanaman dibawah permukaan tanah yang dibuktikan dengan bobot basah biomasa tanaman di bawah tanah mengalami peningkatan berat pada setiap perlakuan. Perlakuan yang memiliki nilai atau bobot yang paling tinggi yaitu perlakuan umbi+kompos pada saat umur 2, 6 dan 8 MST, sedangkan pada perlakuan stek+pupuk kandang sapi nilai tertinggi pada saat umur 4 MST, sementara pada perlakuan umbi+pupuk sapi nilai tertinggi pada saat umur 10 MST. Bobot biomasa di bawah tanah terendah pada perlakuan bahan tanam asal umbi+pupuk kandang sapi pada umur 2 MST, perlakuan umbi+pupuk kandang sapi pada umur 4 dan 6 MST, pada perlakuan stek + pupuk kandang sapi pada umur 8 MST, pada perlakuan stek+kompos saat umur 10 MST. Terlihat pada grafik bahwa dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang hitam tidak terganggu. Tingginya bobot basah biomasa di bawah permukaan tanah diduga diakibatkan oleh bahan tanam dan kandungan unsur hara yang terdapat pada setiap perlakuan.
91
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 5. Rata-rata bobot basah biomasa di bawah tanah akibat penggunaan bahan tanam dan komposisi media tanam yang berbeda Bobot kering biomasa di atas tanah Gambar 6 menunjukkan terjadi perubahan bobot kering tanaman tiap periode pengamatan pada setiap perlakuan. Perlakuan yang mempunyai nilai tertinggi yaitu stek+kompos pada saat umur 2, 6, 8, 10 MST, perlakuan stek+pupuk kandang sapi pada umur 4 MST. Sedangkan perlakuan terendah terdapat pada perlakuan umbi+pupuk kandang sapi pada umur 2 MST, perlakuan umbi+kompos pada umur 4, 6, 8 dan 10 MST. Tingginya bobot kering yang didapat, diduga akibat pengaruh dari penggunaan bahan tanam yang digunakan dan komposisi media yang berbeda. Seperti halnya pada pembahasan sebelumnya bahwa bibit yang bersal dari umbi dan stek mempunyai proses hidup yang agak sedikit berbeda namun keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Stek mempunyai kelebihan diantaranya sama seperti induknya, pertumbuhan lebih cepat dibanding dengan bibit dari umbi, menghasilkan keturunan baru yang dapat diproduksi secara besar namun perakaran dari bibit stek rapuh dan kurang kuat (Ikbal, 2011). Sedangkan kelebihan dari bibit yang menggunakan umbi yaitu perakaran kuat, tempat penyimpanan cadangan makanan banyak namun sifat yang dihasilkan belum tentu sama dengan induknya. Bobot Kering biomasa di bawah tanah Gambar 7 menunjukkan bahwa perlakuan dengan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan stek+pupuk kandang sapi saat umur 2 dan 4 MST, perlakuan stek+kompos saat umur 2 dan 6 MST, perlakuan umbi+kompos saat umur 8 MST, dan pada perlakuan umbi+pupuk kandang sapi saat umur 10 MST. Sedangkan pada nilai terendah terdapat pada perlakuan umbi+pupuk kandang sapi saat umur 2 MST, perlakuan umbi+kompos saat umur 4 dan 6 MST, perlakuan stek+pupuk kandang sapi saat umur 8 MST, perlakuan stek+kompos saat umur 10 MST. Bobot kering dibawah permukaan tanah dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan, terlihat bahwa dalam setiap periode pengamatan bobot keringnya bertambah dan bobot kering tertinggi terdapat pada semua perlakuan namun dalam periode waktu pengamatan yang berbeda.
92
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 6. Rata-rata bobot kering diatas tanah akibat penggunaan bahan tanam dan komposisi media tanam yang berbeda
Gambar 7. Rata-rata bobot kering biomasa di bawah tanah akibat penggunaan bahan tanam dan komposisi media tanam yang berbeda KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis bahan tanam dan jenis media tanam terhadap pertumbuhan bahwa perlakuan asal bahan tanam dan media tanam. Perlakuan bahan tanam dari stek memberikan bobot basah diatas permukaan tanah dan bobot basah dibawah permukaan terbaik pada 2, 4, dan 6 MST, jumlah daun terbanyak pada 2 dan 6 MST, dan panjang tanaman paling tinggi pada semua waktu pengamatan.
93
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
DAFTAR PUSTAKA Ikbal, M. 2011. Pengaruh Pemberian ZPT (Antonik, Growmore, Rootone F) Terhadap Beberapa Stek Batang. Laporan Prktikum Pembiakan Hormon Atonik. Prodi Study Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Lingga, Marsono. 1999. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. Musnawar. 2003. Pembuatan dan Aplikasi Pupuk Organik Padat. Penebar Swadaya. Jakarta. Suwandi, Ashandi. 1986. Pengaruh Penggunaan Pupuk Urea dan ZA Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kentang Di Dataran Medium. Jurnal Hortikultura 8 (1). William, C.N., and K.T. Joseph. 1993. Climatic. Soil and Crop Production in the Humid Tropics. Oxford University Press, Kualalumpur.69p
94
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
DISTRIBUSI DAN TINGKAT SERANGAN Meloidogyne incognita DAN ASOSIASINYA DENGAN Pasteuria penetrans PADA BEBERAPA TANAMAN INANG DI KABUPATEN JEMBER Andri Kurniawan, Soekarto, dan M. Hoesain Fakultas Pertanian Universtias Jember Jl. Kalimanatan No. 37 Jember ABSTRAK Peneyebaran Meloidogyne incognita secara luas di Kabupaten Jember disebabkan oleh distribusi penanaman tanaman pangan. M. incognita berasosiasi dengan Pasteuria penetrans pada jenis Solanaceae dan beberapa jenis tanaman lainnya. Setiap Kecamatan diambil 2-3 sampel desa dan setiap desa diambil 2-3 tanaman jenis Solanaceae dan beberapa jenis tanaman lainnya. Jumlah puru pada tanaman-tanaman tersebut yaitu 32 (skala lapang) dan 66 (uji biologi) termasuk dalam skala 4. Tingkat serangan terjadi pada skala 4 termasuk kategori serangan berat. Meloidogyne spp. berasosiasi dengan P. penetrans dan ditunjukkan dengan kutikula nemantoda berwarna transparan. Sidik pantat jenis nematoda M. incognita paling banyak ditemukan pada jenis Solanaceae dan beberapa jenis tanaman lainnya. Kata kunci: Sebaran, tingkat serangan, P. penetrans, hubungan asosiasi, M. incognita
PENDAHULUAN Nematoda puru akar M. incognita merupakan jenis nematoda yang paling terkenal karena populasi maupun intensitas serangannya paling besar (Budi et al., 2009). Menurut Soekarto (1992) M. incognita sudah tersebar di daerah Kabupaten Jember dimana sebaran ini sudah mencapai wilayah Kelurahan Sumbersari, Tegal Gede, dan Antirogo. Peneyebaran M. incognita disebabkan oleh distribusi tanaman pangan dan benihnya, sedangakan untuk skala lokal bisa disebabkan oleh pergerakan air, tanah dan peralatan pertanian. Djiwanti (2009) mengemukakan bahwa pengendalian nematoda M. incognita salah satunya dapat dilakukan dengan memanfaatkan bakteri Pasteuria penetrans. Bakteri P. penetrans berasosiasi dengan nematoda M. incognita didalam akar tanaman. Upaya dalam pengendalian M. incognita setidaknya kita perlu mengetahui daerah sebaranan dan tingkat serangan nematoda, serta asosiasinya nematoda dengan P. penetrans terlebih dahulu. Berdasarkan hal tersebut penelitian mengenai distribusi dan tingkat serangan nematoda M. incognita dan asosiasinya dengan bakteri P. penetrans pada beberapa tanaman inang di Kabupaten Jember perlu dilakukan. METODOLOGI Penelitian dilakukan di Laboratorium Nematologi dan Pengendalian Hayati Universitas Jember. Bahan yang digunakan adalah tanaman inang jenis Solanaceae dan beberapa jenis tanaman lainnya. Penelitian menggunakan metode survey disengaja dengan setiap Kecamatan diambil 2-3 sampel desa dan setiap desa diambil 2-3 tanaman jenis Solanaceae dan beberapa jenis tanaman lainnya serta mengambil sampel tanah perakaran (3-4 kg) untuk uji biologi. Parameter pengamatan yang dilakuakan yaitu:
95
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
perhitungan puru, tingkat serangan Meloidogyne spp., asosiasi bakteri P. penetrans dengan Meloidogyne spp. dan menentukan jenis Meloidogyne spp. berdasarkan perineal pattern. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Jumlah puru, jumlah Melodogyne spp. dan jumlah asosiasi bakteri P. penetrans dengan Melodogyne spp. yang didapat dilapang Kabuapten Jember Bagian Tengah Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans Sumbersari Sumbersari Padi 0 0 0 Tembakau 17 28 5 Terong 12 13 3 Wirolegi Tembakau 3 3 1 Tomat 3 4 1 Cabai 4 6 4 Tabel 2. Jumlah puru, jumlah Melodogyne spp. dan jumlah asosiasi bakteri P. penetrans dengan Melodogyne spp. yang didapat dilapang Kabuapten Jember Bagian Barat Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans Bangsalsari Tisnu Jagung 0 0 0 Gambar Tembakau 32 82 9 Gambirono Kedelai 0 0 0 Padi 0 0 0 Jagung 0 0 0 Tabel 3. Jumlah puru, jumlah Melodogyne spp. dan jumlah asosiasi bakteri P. penetrans dengan Melodogyne spp. yang didapat dilapang Kabuapten Jember Bagian Selatan Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans Wuluhan Tanjung Padi 0 0 0 Rejo Tembakau 13 32 8 Kubis 1 1 0 Dukuh Jagung 0 0 0 Dempok Padi 0 0 0
96
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Tabel 4. Jumlah puru, jumlah Melodogyne spp. dan jumlah asosiasi bakteri P. penetrans dengan Melodogyne spp. yang didapat dilapang Kabuapten Jember Bagian Timur Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans Silo Sempolan Jagung 0 0 0 Tembakau 4 7 0 Tomat 4 11 4 Garahan Tembakau 0 0 0 Terong 24 56 12 Cabai 7 13 7
Tabel 5. Jumlah puru, jumlah Melodogyne spp. dan jumlah asosiasi bakteri P. penetrans dengan Melodogyne spp. yang didapat dilapang Kabuapten Jember Bagian Utara Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans Kalisat Sumber Tembakau 2 23 4 Ketempa Terong 16 47 14 Cabai 4 14 3 Sumber Tembakau 5 7 3 Kalong Padi 0 0 0 Cabai 2 3 0 Berdasarkan Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan Meloidogyne spp. hampir tersebar di seluruh wilayah di Kecamatan Kabupaten Jember. Meloidogyne spp. merupakan jenis nematoda parasit tumbuhan yang mikrokopis dan mempunyai pola sebaran dilapang yang tidak teratur (irregular) hal ini tergntung oleh kondisi sekitar terutma faktor lingkuangan (Bouman et al.,2001). Parameter mengenai jumlah puru akar, skala tertinggi terdapat pada daerah Kecamatan Bangsalsari Kelurahan Tisnu Gambar dengan tanaman budidaya tembakau. Jumlah puru di perakaran tanaman ini sebanayak 32 dan masuk pada skala 4, kategori serangan skala berat. Parameter mengenai asosiasi bakteri P. penetrans dengan Melodogyne spp. menunjukkan asosiasi terbanyak terdapat di Kecamatan Kalisat Desa Sumber Ketempa dengan jumlah 14 Meloidogyne spp.. Tabel 6. Pengamatan tanaman tomat sebagai tanaman indikator yang ditumbuhkan dalam sampel tanah uji biologi daerah Jember bagian tengah Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans Sumbersari Sumbersari Padi 22 37 11 Tembakau 34 27 9 Terong 41 36 10 Wirolegi Tembakau 57 60 6 Tomat 33 29 4 Cabai 66 46 20 Tabel 7. Pengamatan tanaman tomat sebagai tanaman indikator yang ditumbuhkan dalam sampel tanah uji biologi daerah Jember bagian Barat Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah
97
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Bangsalsari
Desa Tisnu Gambar Gambirono
Tanaman Jagung Tembakau Kedelai Padi Jagung
Puru 25 51 23 8 42
NPA 26 41 17 15 25
P.penetrans 7 12 12 3 6
Tabel 8. Pengamatan tanaman tomat sebagai tanaman indikator yang ditumbuhkan dalam sampel tanah uji biologi daerah Jember bagian Selatan Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans Wuluhan Tanjung Padi 16 18 2 Rejo Tembakau 14 31 6 Kubis 20 37 3 Dukuh Jagung 38 29 2 Dempok Padi 22 24 9 Tabel 9. Pengamatan tanaman tomat sebagai tanaman indikator yang ditumbuhkan dalam sampel tanah uji biologi daerah Jember bagian Timur Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans Silo Sempolan Jagung 19 26 22 Tembakau 41 51 17 Tomat 33 42 5 Garahan Tembakau 25 48 3 Terong 21 36 4 Cabai 10 30 1 Tabel 10. Pengamatan tanaman tomat sebagai tanaman indikator yang ditumbuhkan dalam sampel tanah uji biologi daerah Jember bagian Utara Kecamatan Kelurahan/ Jenis Jumlah Jumlah Jumlah Desa Tanaman Puru NPA P.penetrans Kalisat Sumber Tembakau 2 23 4 Ketempa Terong 11 19 11 Cabai 4 14 3 Sumber Tembakau 11 28 12 Kalong Padi 31 31 3 Cabai 42 53 3 Hasil pengamatan Tabel 6, Tabel 7, Tabel 8, Tabel 8, Tabel 9 dan Tabel 10 mengenai uji biologi, jumlah total puru akar pada perakaran tanaman cabai di Kecamatan Sumbersari Kelurahan Wirolegi menunjukkan skala tertinggi dengan jumlah 66 puru akar. Hasil perhitungan puru akar dapat dikategorikan dalam skala 4 yaitu kategori serangan skala berat. Asosiasi terbanyak terdapat di Kecamatan Silo Kelurahan Sempolan tanah perakaran jagung, dengan jumlah 22 Melodogyne spp. Tabel 11. Jenis Meloidogyne spp. berdasarkan hasil sidik pantat (perineal pattern) Kecamatan Jenis Meloidogyne spp. M. incognita M. javanica M. arenaria M. hapla Sumbersari 8 2 0 0 Bangsal Sari 10 0 0 0
98
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Wuluhan 6 4 0 0 Silo 7 3 0 0 Kalisat 10 0 0 0 Jumlah Total 41 9 0 0 Hasil sidik pantat (perineal pattern) Tabel 11 menunjukkan jumlah M. incognita populasinya paling banyak dengan jumlah (82%) 41 Meloidogyne. Taher et al. (2012) mengemukakan jenis nematoda M. incognita mempunyai pola sebaran terluas dan populasi terbanyak. Populasi terbanyak kedua yaitu M. javanica dengan jumlah (18%) 9 Meloidogyne. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa: 1. Meloidogyne spp. tersebar merata di wilayah Kecamatan Kabupaten Jember. 2. Uji lapang maupun uji biologi menunjukkan Tingkat serangan Meloidogyne spp. skala tertinggi dengan skor 4 dan termsuk kedalam kategori serangan berat. 3. P. penetrans berasosiasi dengan Meloidogyne spp. didalam akar tanaman. 4. M. incognita merupakan populasi terbanyak berdasarkan hasil sidik pantat (perineal Pattern). DAFTAR PUSTAKA Budi, S., Sudjindro., dan R.D. Purwati. 2009. Variasi Ketahanan Genotipe Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) terhadap Nematoda Puru Akar (Meloidogyne incognita). Jurnal Littri. 15 (2) 60-65. Bouwman, L., and Arts, W. 2001. Effects of soil compaction on the relationship between nematodes, grass production and soil physical properties. Appl Soil Ecol. 14:213222. Djiwanti, S. R. 2009. Nematoda Parasit dan Teknologi Pengendaliannya dalam Budidaya Nilam ( Pogostemon cablin) di Indonesia. Perkembangan Teknologi TRO. 21(02) Hlm. 40-42. Soekarto. 1992. Kajian Beberapa Spesies Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.) dalam Tanah pada beberapa Macam Tanaman Inang. Laporan Penelitian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Universitas Jember. Taher, M., Supramana., dan Suastika, G. 2012. Identifikasi Meloidogyne Penyebab Penyakit Umbi Bercabang pada Wortel di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 8(1) 16-21.
99
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
IDENTIFIKASI ORGANISME EPIFIT Eucheuma cottonii HASIL KULTUR JARINGAN Apri Arisandi1*, Akhmad Farid2, Yusi Purwaningsih3 1*2 Program Studi IKL FP Universitas Trunojoyo 3 Program Studi Agroekoteknologi Universitas Trunojoyo Madura JL. Raya Telang PO.BOX 2 Kamal-Bangkalan 69162 E-mail:
[email protected] ABSTRAK Perubahan cuaca yang tidak menentu dapat menyebabkan peningkatan infeksi epifit, sehingga dapat mengakibatkan rendahnya pertumbuhan Eucheuma cottonii. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi infeksi epifit E. cottonii. Penelitian dilakukan dengan metode kultur jaringan. Hasil penelitian menunjukkan, epifit yang menginfeksi tallus E. cottonii adalah Saprolegnia sp dan Phythophthora sp. Kata kunci: epifit, E. cottonii ABSTRACT Unpredictable weather changes during the change of seasons can lead to the increase of epiphytic infection, which in could cause the low growth of Eucheuma cottonii. This research aimed to identification of epiphytes infection of E. cottonii. The research was conducted using tisue culture method. The results showed, epiphytic infected of E. cottonii thallus are Saprolegnia sp and Phythophthora sp. Keywords: ephypite, E. cottonii
PENDAHULUAN Permasalahan utama dalam peningkatan produksi budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah ketersediaan bibit yang baik. Salah satu yang menjadi penyebab penurunan produksi adalah bibit rentan terhadap infeksi penyakit. Kontaminasi epifit dan infeksi penyakit menyebabkan kualitas bibit menjadi tidak layak budidaya. Oleh karena itu ketahanan rumput laut terhadap epifit merupakan indikator keberhasilan usaha budidaya rumput laut. Teknologi budidaya rumput laut yang sederhana dan murah yang saat ini banyak digunakan pembudidaya belum didukung oleh ketersediaan bibit yang bebas penyakit dan epifit (Specific Pathogen and Epiphyte Free/SPEF). Kultur jaringan merupakan salah satu teknik untuk menghasilkan bibit yang berkualitas. Penelitian yang telah dilakukan oleh Parenrengi et al. (2007); Hurtado dan Biter (2007); Hurtado et al. (2009) dan Yunque et al. (2010); telah diketahui bahwa rumput laut dapat dikultur jaringan, namun dalam penelitian tersebut tidak dikaji secara spesifik mengenai kontaminasi yang terjadi dan identifikasi terhadap spesies kontaminan. Teknik kultur jaringan merupakan teknik pembiakan rumput laut secara vegetatif dimana bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, yaitu salah satunya mempunyai kesehatan dan kualitas bibit lebih terjamin sebab di kembangkan pada kondisi yang aseptik (Widianti 2003). Teknik kultur yang baik menyebabkan peluang kecil pada eksplan untuk dihinggapi penyakit dan epifit. Meskipun demikian ada tidaknya kontaminasi perlu dianalisis untuk dapat diketahui penyebabnya serta spesies yang mengkontaminasi sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pencegahan kontaminasi saat kultur jaringan dan saat budidaya dilaut.
100
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Salah satu masalah yang terjadi dalam kultur jaringan adalah adanya kontaminasi. Kondisi in vitro yang disukai eksplan yaitu mengandung sukrosa dan hara dalam konsentrasi tinggi, kelembaban tinggi dan suhu yang sesuai juga disukai mikroorganisme yang seringkali tumbuh dan berkembang sangat cepat mengalahkan eksplan. Sumber organisme kontaminan bisa berasal dari lingkungan yang tidak steril, atau sudah ada di dalam sel saat eksplan Eucheuma cottonii yang akan dikultur. Untuk itu perlu dilakukan usaha-usaha pengendalian. Langkah awal usaha ini adalah identifikasi jenis-jenis mikroorganisme sumber kontaminasi dan mengetahui gejala serangan pada eksplan Eucheuma cottonii. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan selama 15 hari pada bulan Juni sampai Juli 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Agroekoteknologi dan Laboratorium Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo. Bahan Rumput laut yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut Eucheuma cottonii hasil budidaya kelompok tani di Desa Aengdake, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep. Media untuk kultur jaringan memakai media conway dan air laut yang disterilkan. Media conway adalah media kultur jaringan yang berupa cairan, biasa digunakan untuk mengkultur sel tanaman air. Air laut biasa digunakan untuk memelihara sumber eksplan setelah diambil dari lapang dan ditempatkan di akuarium dalam laboratorium (Subagiyo, 2003). Sterilisasi alat Menggunakan alkohol 70%, autoclave, laminar flow dan bahan untuk sterilisasi eksplan adalah betadine 0,5%, dan air laut steril. Penelitian dimulai dengan pembuatan media conway dan air laut buatan, serta menempatkannya di dalam botol-botol kaca. Eksplan diambil sepanjang 10 cm dari bagian ujung thallus Eucheuma cottonii (Suryati et al., 2007). Peralatan disterilkan menggunakan etanol, dan eksplan juga disterilisasi melalui tiga tahapan. Eksplan di potong menjadi 0,5 cm selanjutnya ditanam pada masing-masing botol sebanyak 100 botol. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow, media diberi perlakuan salinitas dan pH yang sesuai dengan tempat asalnya yaitu 30 ppt dan 7,4. Botol kaca yang telah ditanami eksplan diletakkan pada rak di tempat yang steril. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 15 hari untuk melihat ada atau tidaknya kontaminasi epifit pada thallus. Eksplan dan media yang terkontaminasi diambil dan diamati untuk mengetahui spesies epifit apa yang mengkontaminasi. Pengamatan terhadap morfologi epifit menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x (Hurtado et al., 2009). Data hasil pengamatan morfologi epifit dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan organisme epifit yang mengkontaminasi Eucheuma cottonii di botolbotol yang disimpan dalam ruang kultur dilakukan dengan melihat perbedaan morfologi eksplan. Thallus yang terkontaminasi epifit dari laut ditandai dengan adanya alga filamen yang menempel pada bagian epidermis thallus Eucheuma cottonii. Hal tersebut sesuai dengan yang dilakukan dalam penelitian Largo et al. (1995), spesies yang teridentifikasi adalah Saprolegnia sp (Gambar 1) dan Phythophora sp (Gambar 2) yang merupakan alga kompetitor yang bersifat epifit.
101
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
(a) (b) Gambar 1. Saprolegnia sp yang mengkontaminasi thallus a) Thallus yang terkontaminasi Saprolegnia sp b) Morfologi saprolegnia sp yang mengkontaminasi jaringan sel thallus Eucheuma cottonii Rumput laut yang terkontaminasi ditandai dengan memutihnya warna thallus, dari warna hijau cerah menjadi hijau kusam; permukaan thallus berlendir seperti tertutup oleh tepung berwarna putih; epidermis thallus terkelupas sehingga jaringan dalam / medula terlihat serta terdapat hifa-hifa putih di permukaan media kultur jaringan. Berdasarkan pengamatan secara morfologis menggunakan mikroskop, mengindikasikan bahwa organisme tersebut merupakan jamur yang termasuk dalam spesies Saprolegnia sp. Saprolegnia sp memiliki ciri-ciri dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 0-35°C, dengan kisaran pertumbuhan optimal 15-30°C. Merupakan golongan jamur oomycota yang disebut juga dengan jamur air, yang dapat hidup dalam kondisi lingkungan berair atau memiliki kelembaban tinggi. Saprolegnia sp umumnya mengkontaminasi bagian organ yang terluka, selanjutnya menyebar pada jaringan sehat lainnya (Gambar 2).
Gambar 2. Saprolegnia sp (Wilfred et al., 1965) Menurut Wilfred et al. (1965) jamur famili Saprolegniaceae dapat hidup dengan baik di air tawar dan air laut. Zoospore kelompok jamur Saprolegnia sp mencari substrat yang subur, selanjtnya menetap dan mulai memproduksi hypha. Mycelia tumbuh menutupi jaringan yang luka atau tempat yang terkontaminasi, selanjtnya menyebar ke jaringan normal di sekitar lokasi kontaminasi awal. Enzim pelisis yang dikeluarkan
102
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
jamur tersebut dapat merusak jaringan sel di sekitarnya, mematikan sel dan perkembangan mycelia semakin progresif, sangat padat dan menjulur ke air sehingga terlihat seperti kapas. Keberadaan Saprolegnia sp pada permukaan organ hewan atau tumbuhan umumnya ditandai dengan kemunculan "benda" seperti kapas, berwarna putih dan menjulur. Menurut Semangun (2001) ukuran epifit yang sangat kecil menyebabkan organisme kontaminan jauh lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. Terjadinya kontaminasi dapat disebabkan antara lain jika pada satu waktu di satu tempat terdapat 1) tumbuhan yang rentan, 2) patogen yang virulen, 3) lingkungan yang sesuai. Lingkungan tempat kultur jaringan Eucheuma cottonii berisi media yang kaya nutrisi dan unsur hara, sehingga menjadi tempat yang baik bagi organisme kontaminan untuk tumbuh dan berkembang. Organisme kontaminan berikutnya yang ditemukan saat kultur jaringan Eucheuma cottonii adalah Phythophora sp. Thallus Eucheuma cottonii yang terkontaminasi Phythophora sp berubah menjadi berwarna hijau pucat dan terdapat bintik-bintik hitam. Pengamatan pada morfologi jaringan sel Eucheuma cottonii menunjukkan, terdapat bagian-bagian yang berwarna gelap dan berbentuk bulat (Gambar 3). Phytophthora sp merupakan spesies dari genus Oomycetes yang memiliki dinding sel yang terbuat dari selulosa. Morfologi sporangium Phytophthora sp berbentuk jorong hingga agak membulat seperti buah pir. Spora mempunyai bulu cambuk (flagela), sehingga bisa bergerak di dalam air, dan mempunyai kemampuan membentuk klamidospora bulat (Mulyanto 2002).
(a)
(b)
Gambar 3. Thallus yang terkontaminasi Phytophthora sp., a) Morfologi thallus yang terkontaminasi b) Morfologi jaringan sel Eucheuma cottonii Perubahan morfologi sel dapat diketahui dengan membandingkan sel jaringan thallus yang sehat dengan sel jaringan pada thallus yang terkontaminasi. Sel yang terkontaminasi berukuran lebih kecil dan terlihat adanya pengkerutan dibanding dengan sel pada jaringan thallus yang sehat yang tampak berukuran lebih besar dan terlihat dinding sel lebih kokoh dalam menopang bentuk sel. Menurut Juwono dan Julianto (2003) serta Lakitan 2011 dalam Arisandi (2011), dinding sel tanaman mempunyai fungsi utama sebagai pelindung dari rangka sel sehingga ketika dinding sel rusak oleh penyakit maka dapat mengakibatkan perubahan bentuk dan ukuran sel. Rusaknya dinding sel dapat
103
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
mengganggu penyerapan nutrien ke dalam sel sehingga dapat mengganggu metabolisme dan menghambat pembelahan sel. Kerusakan yang semakin parah menyebabkan dinding sel pecah, sehingga cairan keluar dan mengakibatkan bentuk sel menjadi tidak beraturan dan mengecil (plasmolisis) selanjutnya mulai mengalami kematian (Musa dan Wei 2008 dalam Arisandi 2011). Morfologi Phytophthora sp yang mengkontaminasi jaringan sel Eucheuma cottonii (Mulyanto 2002), terlihat menyebar di seluruh jaringan sel seperti yang tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4. Morfologi Phytophthora sp (Mulyanto 2002). Minggu pertama rumput laut kultur yang terkontaminasi sejumlah 8 botol, pada 6 botol terdapat ciri-ciri yang memutihnya thallus, berlendir yang diselimuti oleh kotoran seperti tepung putih, serta kulit luar atau epidermisnya terkelupas. Ciri-ciri adanya bintik-bintik hitam dan garis garis kecokelatan pada dinding thallus terdapat pada 2 botol lainnya. Kontaminasi pada minggu pertama terjadi pada hari ke 3, 4 dan 5 dengan jumlah terbanyak terjadi pada hari ke 4. Hal ini diduga karena pada hari 1 dan 2 organisme kontaminan belum begitu berkembang sehingga tidak terlihat secara kasat mata pada morfologi thallus Eucheuma cottonii. Hari ke 3 tanda-tanda terkontaminasi mulai terlihat dan puncaknya pada hari ke 4 jumlah thallus yang terkontam lebih banyak. Hari ke 5 jumlah kontaminasi mulai menurun, begitu pula pada minggu ke 2 ketidaksamaan jumlah yang terkontaminasi setiap hari diduga disebabkan oleh perbedaan waktu pertumbuhan dan umur organisme kontaminan. Tanda-tanda terkontaminasi terlihat pada waktu yang tidak dapat diprediksi. Menurut Semangun (2001) bahwa antara infeksi dan tampaknya gejala terkadang terdapat jarak waktu yang lama, tetapi biasanya gejala penyakit akan tampak setelah terjadinya infeksi. Dalam penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa kelulushidupannya sebesar 62,5%. Tidak semua eksplan yang mati disebabkan karena kontaminasi, tetapi dapat terjadi karena browning dan kemampuan adaptasi rumput laut yang lemah, sehingga menyebabkan tidak bertambahnya pertumbuhan dan akhirnya menyebabkan kematian. KESIMPULAN
104
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Terdapat 2 spesies epifit kontaminan pada kultur jaringan Eucheuma cottonii yaitu Saprolegnia sp dan Phythophthora sp. DAFTAR PUSTAKA Arisandi. A. 2011. Kajian Pertumbuhan dan kualitas karaginan Kappaphycus alvarezii ditinjau dari sitologi sel hasil kultur jaringan dan budidaya laut. Disertasi. Universitas Brawijaya. Malang. 250 hal. Hurtado A.Q., and Biter A.B., 2007. Plantlet Regeneration of Kappaphycus alvarezii var. adik-adik by tissue culture. Journal of Applied Phycology,19:783–786 Hurtado, A.Q., Yunque, D.A., Tibubos, K., and Critchley, A.T., 2009. Use of Acadian Marine Plant Extract Powder from Ascophyllum nodosum in Tissue Culture of Kappaphycus alvarezii.Journal of Applied Phycology, 21:633–639 Juwono dan Juniarto, A.Z. 2003. Biologi Sel. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Semarang. 98 hal. Largo, B.D., K. Fukami and T. Nishijima. 1995. Occasional pathogenic bacteria promoting ice-ice disease in the carrageenan-producing red algae Kappaphycus alvarezii and Eucheuma denticulatum (Solieriaceae, Gigartinales, Rhodophyta). Journal of Applied Phycology 7: 545 – 554 Parenrengi, A., Suryati, E., dan Syah, R. 2007. Penyediaan Benih dalam Menunjang Kebun Bibit dan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii. Makalah Simposium Nasional Riset Kelautan dan Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.12 hal. Semangun, H. 2011. Ilmu penyakit tumbuhan. Gadjah Mada University press: Yogyakarta. Subagiyo. 2003. Perbanyakan Benih Rumput Laut dengan Teknik Kultur Jaringan. Program Community College. Industri Kelautan dan Perikanan. Undip. Semarang. 8 hal. Suryati, E., Redjeki, S., Tenriulo, A., dan Rosmiati. 2007. Perbaikan Kualitas Genetik Benih Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Melalui Fusi Protoplas. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. 12 hal. Widianti .2003.Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secaraVegetatif-Modern. Yogyakarta: Kanisius. Wilfred 1965 dalam http://srirahmaningsih.blogspot.com/2011/08/jamur-saprolegnia-sppenyebab-penyakit.html diakses tanggal 23 agustus 2013. Yunque, D.A.T., Tibubos, K.R., Hurtado, A.Q., and Critchley, A.T. 2010. Optimization of culture conditions for tissue culture production of young plantlets of carrageenophyte Kappaphycus. Journal of Applied Phyciology. 19 (9): 23–46
105
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
KAJIAN TEKNOLOGI USAHA TANI DENGAN PENGENDALIAN HAMA PENYAKIT TERPADU DALAM RANGKA PENINGKATAN PRODUKSI TOMAT DI KEDIRI Evy Latifah(1), Kuntoro Boga(1) and Joko Mariyono(2) (1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jl. RayaKarangploso KM-4 Malang (2) AVRDC - The World Vegetable Centre Project Office Malang Email :
[email protected] ABSTRAK Tomat merupakan komoditas hortikultura yang penting, tetapi produksinya masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain struktur tanah yang keras, miskin unsur hara mikro dan hormon, pemupukan tidak berimbang, serangan hama dan penyakit, pengaruh cuaca dan iklim, dan teknis budidaya yang kurang tepat. Dengan demikian perlu dikaji paket pengendalian hama dan penyakit terpadu dalam rangka meningkatkan produksi tomat di Kediri. Kajian dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai dengan Februari 2014 dengan dua paket perlakuan menerapkan prinsip PHT yaitu A=paket pemanfaatan PGPR dan bakteri merah, B= paket pemanfaatan mikroorganisme local (MOL) dan C=perlakuan petani. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman pada perlakuan A lebih tinggi dari pada perlakuan B dan C, dimana perlakuan A, B dan C tidak berbeda secara nyata. Sedangkan prosentase serangan beberapa hama dan penyakit pada kedua penerapan system PHT relatif lebih rendah dari pada kebiasaan petani. Untuk produksi tomat perlakuan PHT paket A lebih tinggi (2,0 kg/tanaman) dari pada paket C (1,93 kg/tanaman), untuk pemanfaatan MOL memperoleh produksi yang paling rendah yaitu 1,85 kg/tanaman. Analisa usaha tani kebiasaan petani dan pemanfaatan PGPR dan bakteri merah menghasilkan produksi tomat lebih tinggi, tetapi keuntungan tertinggi dihasilkan pada pemanfaatan MOL. Kata kunci : Usaha tani, pengendalian hama penyakit, produksi tomat
LATAR BELAKANG Tomat merupakan komoditas hortikultura yang penting, tetapi produksi masih rendah, baik kuantitas dan kualitas. Hal ini disebabkan antara lain structure tanah yang keras, miskin unsur hara mikro, pemupukan tidak berimbang, serangan hama dan penyakit, pengaruh cuaca dan iklim, dan teknis budidaya petani. Upaya peningkatan produksi tomat ke depan masih dan akan terus bertumpu pada penggunaan input luar, diantaranya perbaikan kesuburan tanah dengan penggunaan pupuk hayati, pestisida nabati untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan yang mengandung bahan kimia. Pupuk hayati dan pestisida nabati yang digunakan juga untuk mengurangi pengeluaran untuk membeli pestisida dan pupuk anorganik sekaligus mengatasi dampak negatif yang ditimbulkannya. Pengendalian organisme pengganggu tanaman secara terpadu (PHT) memiliki arti penting dalam mendukung adanya pertanian berkelanjutan. Hal ini dikarenakan konsep dalam PHT selaras dengan konsep dalam pertanian berkelanjutan. Disamping itu, PHT dan pertanian berkelanjutan merupakan suatu kebijakan pemerintah yang diatur Undang-Undang. Menurut Smith (1978) bahwa PHT adalah pendekatan ekologi yang
106
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
bersifat multidisiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan beraneka ragam teknik pengendalian secara compatible dalam satu kesatuan koordinasi pengelolaan. Kenmore (1989) menyatakan melalui penerapan PHT diharapkan kerusakan yang ditimbulkan hama tidak merugikan secara ekonomi, sekaligus menghindari kerugian bagi manusia, binatang, tanaman dan lingkungan. Pengendalian hama dengan PHT disebut pengendalian secara multilateral karena menggunakan semua metode yang dikenal. PHT tidak bergantung pada satu cara saja, melainkan semua teknik pengendalian dikombinasikan secara terpadu dalam satu kesatuan pengelolaan. Sehingga tidak fokus pada penanaman varietas tahan saja atau hanya menghindari penggunaan pestisida yang berlebihan tetapi semua teknik dikombinasikan secara terpadu. PHT juga harus dapat dipertanggungjawabkan secara ekologi dan penerapannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan bagi mahluk baik sekarang maupun yang akan datang. Menurut Teguh (2013) teknik pengendalian hama dan penyakit tanaman diantaranya: (1) teknik agronomi misalnya dengan pengolahan tanah, irigasi, pemberoan, pergiliran tanaman, pengaturan jarak tanam, tanam serempak, dan pemupukan berimbang; (2) teknik varietas tahan misalnya dengan ketahanan genetik dan ketahanan ekologi; (3) teknik fisik dan mekanik misalnya dengan menggunakan lampu perangkap, menggunakan metilat lem, gelombang suara, pemasangan perangkap; (4) teknik pengendalian hayati misalnya menggunakan musuh alami dengan bahan bahan ramah lingkungan baik yang berasal dari makhluk hidup maupun dari tanaman; dan (5) teknik pengendalian kimiawi yaitu dengan menggunakan pestisida kimia yang tetap digunakan jika semua teknik sebelumnya tidak mampu dan merugikan. Menurut Adam dan Nguyen (2002) bahwa pengendalian secara biologi dilakukan dengan pelestarian dan pemanfaatan agens pengendalian hayati (agen biokontrol) diantaranya dengan memanfaatkan musuh alami seperti predator (laba-laba), parasitoid (Trichogramma sp), cendawan entomopatogen (Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae), bakteri entomopatogen (Bacillus thuringiensis) dan nematoda entomopatogen (family Steinernematidae dan Heterorhabditidae). Menurut Lisa (2012) terdapat beberapa kendala implementasi PHT di lapang yaitu: Rendahnya pola pikir petani tentang arti penting PHT, keterbatasan sumber dana sehingga penelitian dilakukan sepotong-sepotong dan tidak berkesinambungan dan belum ada koordinasi dan kerangka dasar yang menyatukan kegiatan-kegiatan penelitian guna penerapan dan pengembangan PHT, baik antarlembaga penelitian maupun antar peneliti. PHT adalah suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan (Ilham, 2014). Pengendalian OPT hortikultura yang diarahkan pada pengendalian yang memperhatikan aspek teknis, ekologis, sosial dan ekonomi. Pengendalian OPT yang ramah lingkungan tersebut diantaranya dengan menggunakan aplikasi agens hayati dan pestisida nabati (bahan alam/ berbahan dasar metabolit sekunder dari tanaman). Agens hayati yang telah banyak digunakan untuk mengendalikan OPT diantaranya: Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR), Trichoderma sp, Trichokompos, bakteri Serratia (Hendry, 2012). PGPR sangat diperlukan tanaman karena memiliki banyak manfaat diantaranya dapat memproduksi antibiotik untuk melindungi tanaman dengan cara menghambat penyakit perakaran, dapat menjadi pesaing untuk memperoleh makanan bagi pathogen penyebab penyakit, merangsang pembentukan hormon atau ZPT, menghambat produksi etylen, meningkatkan penyerapan dan pemanfaatan unsur N, Fe, S,P,Mn (Anonymous, 2013). Salah satu Agens hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengendali OPT yang bersifat ramah lingkungan adalah bakteri Serratia atau bakteri merah merupakan bakteri gram negative yang memiliki flagella pertrik sehingga
107
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
bersifat motil (Priyatno, 2011). Mekanisme kerja dari bakteri merah seperti pathogen serangga lainnya, yaitu mematikan oral dimana bakteri tersebut masuk atau tertelan ke dalam tubuh serangga hama dan masuk dalam pencernaan sehingga dapat merusak system pencernaan makanan serangga tersebut. (Lilik et al., 2008). Disamping itu terdapat mikroorganisme lokal (MOL) yang bahan-bahan untuk pembuatannya tersedia di sekitar kita, bias berasal dari sampah dapur, bonggol pisang, air kelapa, air sisa cucian beras, nasi busuk, buah-buahan busuk, urine sapi, bonggol pisang dan batang pisang (Anonymous, 2012) Pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan paket pengendalian hama penyakit terpadu yang lebih tepat dalam rangka meningkatkan produksi tomat di Kediri. METODE PENELITIAN Pengkajian dilakukan di desa Kebonrejo kecamatan Kepung, desa Kamping Baru kecamatan Kepung, dan didesa Padangan kecamatan Kayen Kidul pada bulan November 2013 sampai dengan Februari 2014 yang berada pada ketinggian tempat 400 m diatas permukaan laut. Varietas tomat yang digunakan adalah Timoty. Kegiatan ini dilaksanakan pada lahan petani, masing-masing petani luasannya ± 500 meter persegi. Petani yang dilibatkan sebanyak 3 orang dan juga berfungsi sebagai ulangan. Adapun susunan perlakuan disajikan pada Table 1. Terdapat 3 paket perlakuan, diantaranya : dua paket perlakuan menerapkan prinsip PHT, A=paket pemanfaatan PGPR dan bakteri merah, B= paket pemanfaatan mikroorganisme local (MOL) dan satu paket sebagai kontrol, C= kebiasaan petani (non PHT). Tabel 1. Susunan perlakuan pada kajian paket pengendalian hama penyakit terpadu dalam rangka meningkatkan produksi tomat Uraian Paket A Paket B Paket C Varietas tomat Timoty Timoty Timoty Jarak tanam (cm) 50 x 60 50 x 60 50 x 60 Umur bibit (hari) 25 25 25 Pemupukan Pupuk anorganik NPK Mutiara 7 hst 2 kg/100 ltr, ZA 14 hst dan 21 hst 3 kg/100 ltr Pupuk organi Bokashi 250 kg 250 kg 250 kg MOL Mol dari bonggol pisang Agensia hayati PGPR Pengendalianhama penyakit
Bakteri merah Pestisida nabati
Pestisida nabati
Confidor 2 cc/l Agrimec 1 cc/l
Pestisida nabati untuk mengendalikan hama diberikan pestisida nabati yang terbuat dari jagung, tembakau, sereh, daun mindi, gadung, tapak liman dengan ukuran masing-masing 1 kg dihaluskan menjadi satu kemudian direndam semalam. Setiap tangki 10 liter air ditambahkan 0,5 sdt sunligt. Untuk mengendalikan fungisida terbuat dari bawang putih,jahe,kunir dan tapak liman masing-masing juga 1 kg.
108
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Data yang dikumpulkan untuk mengetahui tingkat efektifitas pengendali hama penyakit terpadu adalah pertumbuhan tanaman, prosentase hama dan penyakit yang menyerang, produksi tanaman dan analisa usaha tani. Analisa data dilakukan dengan uji berganda Duncan dan untuk mengetahui keuntungan petani dilakukan dengan analisis finansial atau analisis usaha tani dengan menghitung R/C usahatani (Sudana et al., 1999) HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tanaman Pemberian Plant Growth Promoting Rhizobakteri (PGPR) dan bonggol pisang menunjukan kecenderungan rata-rata pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada kebiasaan petani. Meskipun setelah dianalisis secara statistik data pertumbuhan tinggi tanaman pada ketiga perlakuan tidak berbeda nyata berdasarkan analisis uji berganda Duncan. Hal ini disebabkan PGPR juga dapat merangsang pembentukan hormon atau zat pengatur tumbuh seperti Auksin, Gibberellin dan Sitokinin sehingga tanaman terlihat subur, begitu pula dengan bonggol pisang juga mengandung zat pengatur tumbuh Giberellin dan Sitokinin (Maspary, 2012). Hasil penelitian Kamila et al, (2013) menunjukkan bahwa PGPR P Fluorescens. dapat meningkatkan tinggi tanaman dan bobot buah cabai rata-rata sampai dengan 2,17 gram setiap tanaman. Ditunjukkan pula pada penelitian Yachana dan Subramanian (2013) bahwa perkecambahan, kelangsungan hidup, tinggi tanaman dan berat kering secara significan meningkat dengan perlakuan PGPR dalam kondisi non garam dan saline. Perlakuan MOL bonggol pisang menunjukkan pertumbuhan cukup tinggi dibanding perlakuan kebiasaan petani, hal ini disebabkan bahwa MOL bonggol pisang juga mengandung 7 mikroorganisme yang sangat berguna bagi tanaman yaitu: Azospirilium, Azotobacter, Bacillus, Aeromonas, Aspergillus, mikroba pelarut phospat dan mikroba selulotik, disamping itu juga dapat digunakan sebagai decomposer atau mempercepat proses pengomposan (Maspary,2012). Tabel 2. Pertumbuhan tanaman tomat umur 14-84 hst Perlakuan 14 21 hst 28 hst 35 hst 42 hst 49 hst 56 hst 63 hst 70 hst hst PHT ( PGPR 29 117.67 133.67 139.33 dan Bakteri 38.33 a 51 a 63.33 a 81 a 97.33a a a a a merah) PHT bonggol 28 132.67 35 a 51 a 62.33 a 80.67a 96 a 116a 138a pisang a a Non PHT 27. 115.67 137.33 67 34 a 50.33a 62 a 79a 95.33a 132a a a a
109
77 hst
8
144.67 a
1 a
144a
1
143.67 a
1 a
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 1. Pertambahan tanaman tinggi tanaman tomat pada umur 14-84 hst Serangan Hama dan Penyakit Pengendalian hama dan penyakit tomat menjadi faktor utama kunci keberhasilan budidaya tanaman tomat. Dengan demikian tanaman tomat yang mendapatkan aplikasi PGPR dan bakteri merah selama pertumbuhan cenderung lebih sedikit serangan hama dan penyakitnya, begitu pula dengan aplikasi bonggol pisang dan pestisida nabati untuk pengendalian hama penyakit cenderung lebih efektif dibandingkan kebiasaan petani dengan menyemprotkan pestisida kimia. Dengan demikian teknik pengendalian hama penyakit terpadu yang telah dilakukan lebih meminimalkan serangan hama dan penyakit sehingga lebih terkendali. Pengamatan dimulai pada umur 14 hst tanaman menunjukkan bahwa serangan kutu kebul rata-rata 2% per tanaman pada tanaman yang mendapat perlakuan PGPR dan bonggol pisang, untuk perlakuan kebiasaan petani lebih tinggi prosentasi serangan kutu kebul sebanyak 3% per tanaman. Kemudian pada umur 21 hst berkembang penyakitnya, terdapat bercak daun rata-rata 2% per tanaman dengan rata-rata populusi kutu kebulnya tetap 3% per tanaman. Dengan keberadaan kutu kebul pada umur vegetatif tanaman dapat berpotensi sebagai vektor (perantara) penular virus penyebab penyakit. Hama kutu kebul yang menyerang tanaman tomat adalah spesies Bemisia tabaci. Hama terlihat berwarna putih, memilikia sayap serta bagian tubuh berselimut lilin. Serangan Bemisia tabaci mengakibatkan kerusakan pada sel-sel atau jaringan daun tomat karena cairannya terhisap habis oleh hama.
110
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Tabel 3. Hama dan Penyakit yang menyerang tanaman tomat (per tanaman) NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Umur Tanaman 14 hst 21 hst 28 hst 35 hst 42 hst 49 hst 56 hst 63 hst 70 hst 77 hst
A Kutu kebul 2% Bercak daun 2 % Bercak daun 5% Bercak daun 5% Bercak daun 15% Bercak daun 20% Bercak daun 50% Bercak daun 55%
Hama B Kutu kebul 2% Kutu kebul 2% Bercak daun 3% Bercak daun 10% Bercak daun 12% Bercak daun 25% Bercak daun 30% Bercak daun 55% Bercak daun 60%
Non PHT Kutu kebul 3% Kutu kebul 3% Bercak daun 2 % Bercak daun 5% Bercak daun 20% Bercak daun 25% Bercak daun 50% Bercak daun 70% Bercak daun 70% Bercak daun 70%
Pada kedua perlakuan PHT pada umur 35 hst mulai terserang bercak daun rata-rata sebanyak 2 dan 3% pada setiap setiap tanaman penyebabnya adalah : cendawan Septoria Lycopersici Speg. yang merusak daun dan menyerang tanaman tomat yang masih muda ataupun tua. Gejala: terlihat bercak bulat kecil berair pada kedua permukaan daun dibagian bawah. Bercak tersebut berwarna coklat muda, kemudian menjadi kelabu dengan tepi kehitaman. Garis tengah bercak ± 2 mm. Serangan yang hebat menyebabkan daun tomat menggulung, mengering dan rontok. Dan dengan bertambahnya umur tanaman tomat, bercak daun yang menyerang semakin banyak terutama pada perlakuan kebiasaan petani mulai umur 42 hst, 49 hst, 56 hst, 63 hst sudah terserang rata-rata sebanyak 20 % pada setiap tanaman berkembang lagi menjadi 25% pada setiap tanaman kemudian 50%pada umur 56 hst, dan berkembang lagi bercak daunnya menjadi 70% sampai dengan 84 hst. Perlakuan pemberian PGPR dan bakteri merah relative lebih sedikit prosentase serangan kutu kebul dan bercak daun. Hal ini sesuai hasil penelitian Priyatno et al., (2011) yang membuktikan bahwa bakteri merah yang diisolasi dari wereng batang coklat (WBC) memiliki kisaran inang yang luas tidak terbatas pada serangga hama, tetapi juga bakteri pathogen tanaman, sehingga pemanfaatannya selain untuk mengendalikan serangga hama juga bakteri pathogen tanaman. Hasil penelitian Hersanti et al. (2009) menunjukkan bahwa kemampuan antagonistik isolate-isolat bakteri hasil isolasi dari mikroorganisme local (MOL) bonggol pisang P.grisea memperoleh 14 isolat bakteri yang tidak berpotensi meningkatkan pertumbuhan benih padi tetapi mampu menekan perkembangan penyakit bercak daun coklat pada tanaman padi di rumak kaca. Produksi Tanaman Tabel 4. Hasil produksi tanaman tomat ( kg/plot) Perlakuan I II III A 23.5 24 24.5 B 22.8 23.5 23.18 C 22.4 22.2 22.0
Rata-rata 24.00 a 22.20 c 23.16 b
Pemberian PGPR mampu menghasilkan produksi yang paling tinggi dikarenakan PGPR mampu meningkatkan penyerapan dan pemanfaatan unsur N oleh tanaman, dapat meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap unsur Fe, S, P, dan Mn, merangsang
111
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
pembentukan hormone atau ZPT, mampu menjadi pesaing pathogen penyebab penyakit dalam mendapatkan makanan di sekitar perakaran serta dapat memproduksi antibiotic dengan cara menghambat pertumbuhan penyakit perakaran (Maspary, 2011) Ditambahkan pula oleh Saharan dan Nehra (2011) yang menyatakan bahwa penambahan PGPR dapat menyebabkan kondisi lingkungan dalam tanah stabil dan berkelanjutan serta dapat meningkatkan produksi dan kesehatan tanaman. Analisis Usahatani Analisis usaha tani teknologi pengendalian hama penyakit terpadu dengan pemberian PGPR dan bakteri merah menghasilkan keuntungan yang paling tinggi, kemudian pemberian MOL bonggol pisang dan perlakuan kebiasaan petani menghasilkan keuntungan yang paling rendah. Meskipun perlakuan pemberian MOL menghasilkan produksi yang paling rendah dibanding kedua perlakuan yang lain tetapi mampu menghasilkan R/C yang paling tinggi, karena untuk aplikasi MOL tidak memerlukan pembelian pestisida kimia yang mahal, cukup memanfaatkan bahan-bahan yang ada disekitar serta membuat sendiri bahan –bahan tersebut, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih murah. Tabel 4. Analisa Usaha Tani Tanaman Tomat IPM (PGPR dan bakteri IPM (Bonggol merah) pisang) Non IPM Jumlah Jumlah Jumlah Uraian Kegiatan Luas (RP, -) Luas (RP, -) Luas (RP, -) Sewa Tanah 150 m2 160.000 150 m2 160.000 150 m2 160.000 Pengolahan Tanah * Bajak, garu 1 kali 100.000 100.000 100.000 * Membuat bedengan 100.000 100.000 100.000 Pupuk organik / Petroganik 175 kg 87.500 175 kg 87.500 175 kg 87.500 Mulsa Plastik 66.000 66.000 66.000 Beli bibit perbatang Rp. 200 (Timoty) 300 btg 60.000 300 btg 60.000 300 btg 60.000 Tanam satu orang 30.000 30.000 30.000 Pupuk Phonska MOL 20.000 6 kali 112.000 Bambu lanjaran dan tenaga 20.000 20.000 20.000 Pestisida 0 0 Demolish,Alika,Pe rekat 125.000 Nabati 70.000 20.000 0 Tenaga nyemprot dan kocor 100.000 100.000 50.000 Tenaga penyiangan 25.000 25.000 25.000 Pengairan 15.000 15.000 15.000 Agensia hayati 70.000 0 0
112
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Total Biaya Produksi
Harga Keuntungan R/C Ratio
600kg
903.500 1.500.000
Rp.2500/k g
555 kg
803.500 1.387.500
Rp.2500/k g Rp.596.50 0 1.66
580kg Rp.2500/ kg
Rp.584.00 0 1.72
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tinggi tanaman tomat tidak berbeda nyata dari 3 perlakuan yaitu pemberian PGPR dan bakteri merah, pemberian MOL bonggol pisang dan perlakuan petani. Untuk hasil produksi yang paling tinggi dihasilkan pada tanaman yang memperoleh PGPR dan bakteri merah, setingkat dibawahnya produksi tanaman yang memperoleh perlakuan MOL bonggol pisang dan yang terendah perlakuan petani. 2. Prosentase serangan hama penyakit pada ke dua penerapan system PHT lebih rendah dari pada perlakuan PHT. Dimana pemberian PGPR dan bakteri merah relative paling sedikit serangan kutu kebul dan bercak daun. 3. Analisa usaha tani pemanfaatan PGPR dan bakteri merah serta kebiasaan petani menghasilkan produksi tomat lebih tinggi, tetapi R/C ratio tertinggi dihasilkan pada perlakuan pemanfaatan mikroorganisme lokal (MOL). DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2013. Cara Pembuatan PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria). Diakses http://luki2blog.wordpress.com/2013/12/27/cara-pembuatan-pgpr-plantgrowth-promoting-rhizobacteria/ pada 10/6/2014. BS Saharan, V Nehra. 2011. Plant Growth Promoting Rhizobacteria: A Critical Review. Department of Microbiology, Kurukshetra University, Kurukshetra, Haryana 136 119, India. Life Sciences and Medicine Research, Volume 2011: LSMR-21. Hendry Puguh Susetyo. 2012. Potensi Bakteri Merah (Serratia sp) Sebagai Entomopatogen pada Komoditas Hortikultura. Diakses pada http://hendrypuguhsusetyo.wordpress.com/2012/07/03/potensi-bakteri-merahserratia-sp-sebagai-entomopatogen-pada-komoditas-hortikultura/ pada 10/6/2014. Hersanti, Noor Istifadah dan Luciana Djaya. 2009. Potensi Bakteri asal mikroorganisme Lokal (MOL) Dalam Menekan Penyakit dan Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Padi. Diakses http://www.lppm.unpad.ac.id/archives/3742 pada 12/6/2014. Ilham
Syarifudin. 2014. Teknik Pengendalian Hama Terpadu. Diakses http://worldmeco.worldpress.com/2014/01/31/teknik-pengendalian -hama-terpadu/
Kamila Qurota Ayun, Tutung Hadiastono dan Mintarto Martosudiro. 2013. Pengaruh Penggunaan PGPR Terhadap Intensitas TMV, Pertumbuhan dan Produksi Pada Tanaman Cabai Rawit (Capsicum Frustescens L.). Jurnal Hama Penyakit Tanaman Vol 1. No1
113
950.500 1.450.000
Rp.449.50 0 1,53
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Kenmore, P.E.1987. IPM Means the Best Mix. Rice IPM Newsletter.VII (7).IRRI. Manila. Philippines. Lilik Retnowati dan Baskoro Sugeng Wibowo.2008. Perbanyakan dan Pemanfaatan Bakteri Merah. BBPOPT Jatisari. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Maspary 2011. PGPR Mengendalikan Layu dan Menyuburkan Tanaman. http://www.gerbangpertanian.com/2011/06/pgpr-mengendalikan-layu-danmenyuburkan.html. Diakses pada 8/6/2014 Maspary. 2012. Kehebatan MOL Bonggol Pisang. http://www.gerbangpertanian.com/2012/05/apa-kehebatan-mol-bonggolpisang.html pada 9/6/2014
Diakses
Smith,R.F.1978. Distory and Complexity of Integrated Pest Management. In Pest Control Strategis. S.H. Smith and D.Pimentel (Ed). Acad. Press.New York. Sudana W, Nyak Ilham,D.K, Sadra S.,R.N.Suhaeti. 1999. Metodologi Penelitian dan Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Tegus Nasa. 2013. Konsep Pengelolaan Hama Terpadu. Stockistnasa.com/pengelolaan – hama-terpadu/ diakses 15/5/2014. Tri P. Priyatno1, Yohana A. Dahliani, Yadi Suryadi, I Made Samudra, Dwi N. Susilowati, Iman Rusmana,Baskoro S. Wibowo, dan Cahyadi Irwan. 2011. Identifikasi Entomopatogen Bakteri Merah pada Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stål.). Jurnal AgroBiogen 7(2):85-95. Yachana dan Subramanian. 2013. Paddy Plants Inoculated With PGPR Show Better Growth Physiology and Nutrient Content Under Saline Conditions. Chilea Journal of Agricultural Research. Vol 73. No 3.
114
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
PENENTUAN PERIODE KRITIS KEMUNCULAN GULMA YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN DAN HASIL KACANG PANJANG LOKAL KULTIVAR UNGU (Vigna sinensis) 1,2
Rima Melati1 dan Hayun Abdullah2 Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Khairun Jl. Kampus II Unkhair Gambesi Ternate Selatan Email :
[email protected] [email protected]
ABSTRAK Gulma merupakan faktor pembatas dari pertumbuhan tanaman budidaya.Kerugian terhadap tanaman budidaya bervariasi, tergantung dari jenis tanaman yang dibudidayakan, iklim, jenis gulma itu sendiri dan bahkan praktek pertanian.Selama siklus hidup tanaman budidaya keberadaan gulma tidak selamanya merugikan, tetapi hanya pada waktu-waktu tertentu.Demikian halnya pada tanaman kacang panjang lokal kultivar ungu.Penelitian ini bertujuan untuk menentukan periode kritis kemunculan gulma pada pertanaman kacang panjang lokal kultivar ungu dan mengetahui seberapa besar tingkat persaingan antara individu yang berinteraksi dalam areal pertanaman kacang panjang tersebut. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari empat perlakuan yakni tanpa gulma, disiang 10, 20 dan 30 hari setelah gulma tumbuh yang diulang sebanyak empat kali. Parameter yang diamati pada tanaman antara lain tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah bunga, jumlah polong dan berat polong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata pada parameter tinggi dan jumlah daun tanaman kacang panjang kultivar ungu bebas. Sedangkan parameter jumlah bunga, jumlah polong dan berat polong dengan kondisi bergulma selama 30 hari memberikan hasil yang lebih rendah dan yang terbaik pada perlakuan bebas gulma. Kata kunci : kacang panjang ungu, gulma, periode kritis ABSTRACT Weed is the limiting factor of crops growth. Loss caused on crops is varied depends on types of crop planted, climate, types of weed itself and agricultural practice. During the crop life cycle, the existence of weeds at certain time brings no harm for the crop; as with on purple cultivar of local string bean. The research aims to determine critical period of weeds emergence on purple cultivar of local string bean crop and to find out about the extent of competition level between interacted individuals at string bean culture. The research is using Randomized Complete Block Design consists of four treatments, without weeds, weeded at 10, 20 and 30 days after the weeds grow with four times replication. Parameters observed on plant are plant heights, number of leaves, number of flowers, number of pods and pods weights. Research result shows that the treatments have no significant influence on parameter of heights and the number of leaves of free purple cultivar of string bean. Whereas, parameters of number of flowers, number of pods and pods weight with weeded condition for 30 days give lower yield and the best yield is resulted by free weed treatment. Keywords: purple string bean, weeds, critical period
PENDAHULUAN
115
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gulma dapat merugikan tanaman budidaya dan kerugiannya bervariasi, tergantung dari jenis tanaman yang dibudidayakan, iklim, jenis gulma itu sendiri dan bahkan praktek pertanian.Pengukuran kerugian gulma sudah banyak dieksploitasi dari penelitian sebelumnya.Oleh karena itu petani perlu mendapat gambaran tentang pengendalian gulma yang tepat. Pengendalian kimiawi, kultur teknis dan cara mekanis yang selama ini digunakan hanya bersifat sementara. Pengendalian yang dilakukan dengan tujuan agar gulma tersebut cepat mati. HaI ini tidak akan efektif dan efisian apabila dilakukan pada waktu yang tidak tepat. Oleh karena itu, upaya mengembangkan teknik pengendalian yang spesifik terhadap komoditi tertentu harus dikombinasi dengan teknik pengendalian serta periode pengendalian yang tepat. Pengendalian hanya dilakukan pada kondisi keberadaan gulma mencapai periode kritis. Kemunculan gulma pada periode kritis akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan menurunkan hasil. Oleh karena itu penentuan periode kritis gulma untuk komoditi tertentu harus diketahui sehingga akan lebih menguntungkan petani.Menurut Setyowati, N et al. (2007) mengatakan bahwa pengendalian gulma pada tanaman cabai hanya dilakukan pada periode kritis, dan kemunculan gulma pada akhir periode kritis tidak menurunkan hasil namun menyulitkan proses panen dan menurunkan kualitas panen. Periode kritis kemunculan gulma berlaku pada usaha budidaya kacang panjang kultivar ungu lokal.Selama ini pengendalian gulma hanya bertujuan membasmi dari lahan karena pertimbangan kompetisi sumber daya.Masalah yang belum terpikirkan selama ini adalah menentukkan periode kritis kemunculan gulma sehingga usaha pengendalian tepat waktunya, tepat sasaran dan tepat mutu belum tercapai.Oleh karena ini penentuan periode kritis pada kacang panjang lokal kultivar ungu perlu dikaji secara mendalam. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Labarotorium Lapang Fakultas Pertanian yang terletak di Kelurahan Fitu Kecamatan Kota Ternate Selatan dengan ketinggian 7 m dpl. Waktu penelitian berlangsung bulan Mei sampai September 2012. Perlakuan dalam penelitian adalah bebas gulma, bergulma 10 hari, bergulma 20 hari dan bergulma 30 hari. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari empat perlakuan yang diulang sebanyak empat kali.Parameter pengamatan pertumbuhan dan produksi kacang panjang lokal kultivar ungu adalah tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah bunga, jumlah polong dan berat polong.Pengujian dilanjutkan menggunakan Analisis Variansi (ANOVA) pada taraf 5%.Sedangkan untuk menentukkan perlakuan yang berpotensi dari masing-masing perlakuan menggunakan uji pembanding yaitu uji Beda Nyata Terkecil (BNT).Selain parameter yang dilakukan pada kacang panjang lokal tersebut, pengamatan yang lain adalah menginvertarisir jenis gulma yang dipandu dengan deskriptor. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian disajikan berdasarkan parameter yang dijadikan sebagai indikator dalam menganalisa pertumbuhan dan produksi kacang panjang ungu lokal. Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun Hasil analisis ragam menunjukkan tidak berpengaruh nyata pada semua perlakuan terhadap parameter tinggi tanaman dan jumlah daun, baik pada umur pengamatan 10, 20 dan 30 hari setelah tanam. Pertambahan tinggi tanaman dan jumlah
116
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
daun baik terhadap perlakuan tanpa gulma maupun perlakuan bergulma umumnya sama. Hal ini diasumsikan bahwa selama masa pertumbuhan vegetatif, keberadaan gulma belum memberikan tekanan terhadap pertumbuhan tanaman kacang panjang lokal ungu.Hal ini disebabkan pertumbuhan awal kacang panjang ungu lebih cepat dibanding dengan gulma dan pertumbuhan gulma masih berada pada fase perkecambah benih. Disamping itu, tingkat densitas gulma (kepadatan) masih relatif rendah. Jumlah Bunga Berdasarkan hasil analisis ragam pada fase pertumbuhan generatif pada berbagai perlakuan bebas gulma maupun bergulma dapat memberikan pengaruh nyata terhadap parameter jumlah bunga. Pengaruh perlakuan bebas gulma dan bergulma disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.Jumlah BungaKacang Panjang Kultivar Ungu Akibat Pengaruh Bebas Gulma dan Bergulma Pengamatan kePerlakuan 1 2 3 Bebas Gulma 8,50c 11,75b 16,75b Bergulma 10 hari 7,25b 10,25b 16,00ab bc b Bergulma 20 hari 8,00 10,75 14,20ab a a Bergulma 30 hari 5,75 8,50 12,75a BNT= 0,05 1,59 1,79 2,67 Keterangan: Angka didampingi huruf yang sama pada satu kolom berarti tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%. Pengamatan pertama, kedua dan ketiga antara perlakuan tanpa gulma tidak berbeda nyata dengan perlakuan bergulma 10 dan 20 hari setelah tanam (hst), tetapi berbeda nyata dengan perlakuan bergulma 30 hst. Sedangkan umur tanaman 30 hst antara perlakuan bergulma 10, 20 pada pengamatan pertama dan kedua, sedangkan pada kondisi tanaman bergulma 30 hst menunjukkan tidak berbeda nyata untuk pengamatan ketiga. Kondisi tersebut terjadi karena pada fase pembungaan kompetisi terjadi antara gulma dengan kacang panjang yang bebas gulma.Kompetisi yang terjadi tersebut dapat dijadikan sebagai indikator penentuan periode kritis dari kemunculan gulma. Jumlah Polong Jumlah polong kacang panjang ungu saat pengamatan 75 – 100hst, baik perlakuan bebas gulma maupun bergulma tidak memperlihatkan hasil yang nyata. Sedangkan pada umur tanaman 105 dan 110 hst perlakuan bebas gulma lebih baik dibanding perlakuan bergulma 20 dan 30 hst mulai menunjukan perbedaan yang signifikan antara perlakuan. Rincian hasil analisis disajikan pada Tabel 2. Tabel 2.Jumlah Polong Kacang Panjang Kultivar Ungu Akibat Pengaruh Bebas Gulma dan Bergulma Umur Panen (hst) Perlakuan 75 80 85 90 95 100 105 110 Bebas Gulma Bergulma 10 hari Bergulma 20 hari Bergulma 30 hari BNT = 0,05
21,75 20,75 19,50 18,75 tn
22,00 20,00 20,75 19,00 tn
25,50 24,75 23,75 23,00 tn
117
25,50 24,75 23,75 23,00 tn
30,50 30,50 29,50 29,25 tn
29,75 35,25c 26,75c 30,50 34,50bc 24,50bc 29,25 32,25ab 22,25ab 29,50 31,00a 21,00a tn 2,37 2,41
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Keterangan: Angka didampingi huruf yang sama pada satu kolom berarti tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%, hst (hari setelah tanam), tn (tidak nyata). Lamanya fase pembungaan dan pembentukkan polong kacang panjang ungu mempengaruhi jumlah polong. Keberadaan gulma juga mempengaruhi jumlah polong pada umur 105 – 110 hst. Jumlah polong akan bertambah apabila tanaman dibebaskan dari gulma pada fase pembentukkan polong hingga panen. Hal ini diasumsikan bahwa gulma sudah bersaing dengan kacang panjang ungu pada fase vegetatif akan berpengaruh negatifpula pada fase pembungaan dan pembentukan polong. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Setyowati, N et al. (2007) yang mengatakan bahwa penyiangan gulma yang dilakukan pada umur 4 dan 6 minggu setelah tanaman pada pertanaman kedelai tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap parametre jumlah polong. . Berat Polong Hasil analisis menunjukkan bahwa berat polong pada umur tanaman 75hstterhadap perlakuan bebas gulma tidak berbeda dengan perlakuan bergulma 10, namun berbeda nyata dengan pada perlakuan bergulma selama 20 dan 30 hst. Ketika umur panen 110 hari setelah tanam (HST) secara keseluruhan perlakuan bebas gulma memberikan hasil yang terbaik dibanding dengan perlakuan bergulma, walaupun perlakuan bebas gulma juga tidak berbeda nyata dengan perlakuan bergulma lainnya. Sedangkan produksi yang terendah ditunjukkan pada perlakuan bergulma selama 30.Hasil berat polong disajikan pada Tabel 3. Tabel 3.Berat PolongKacang Panjang Kultivar Ungu Akibat Pengaruh Bebas Gulma dan Bergulma pada Berbagai Umur Panen (g) Umur Tanaman (hst) Perlakuan 75 80 85 90 95 100 105 110 b c c c c 205,65 205,34 226,7 276,70 271,15 379,6 312,49 251,45b Bebas Gulma Bergulma 10 193,55ab 182,45 207,78 250,28bc 256,05ab 333,93abc 290,06b 236,43b hari Bergulma 20 183,13a 191,6 205,26 205,26ab 254,96ab 296,08ab 278,52ab 209,55ab hari Bergulma 30 175,49a 173,88 195,93 195,93a 249,42a 271,59a 264,18a 208,53a hari 19,22 tn tn 53,2 13,68 71,03 20,44 26,91 BNT = 0,05 Keterangan: Angka didampingi huruf yang sama pada satu kolom berarti tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5%, hst (hari setelah tanam), tn (tidak nyata). Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa tanaman kacang panjang ungu yang bebas gulma mempengaruhi berat polong yang lebih tinggi dibandingkan dengan bergulma. Semakin lama gulma bersama tanaman pokok, berat polong akan semakin berkurang. Hal ini dapat diasumsikan bahwa gulma juga memanfaatkan hara, air sehingga bersaing dengan kacang panjang ungu dalam menggunakan sumber daya (hara, air) tersebut. Jenis – Jenis Gulma Gulma yang tumbuh dan berasosiasi dengan tanaman kacang panjang lokal kultivar ungu adalah Boerhavia arectha, Cleome rutidosperma, Amaranthus viridis,
118
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Ageratum conyzoides, Tridax procumbens, Borreria leavis, Imperata cylindrical dan Stacytharpita indica. Berdasarkan observasi lapang bahwa gulma Boerhavia arectha mendominasi areal budidaya tanaman kacang panjang ungu. Jenis gulma lain adalah Cleome rutidosperm dan Amaranthus viridis. Jenis gulma yang sedikit populasinya adalah Ageratum conyzoides, Tridax procumbens, Borreria leavis, Imperata cylindrical dan Stacytharpita indica. Keberadaan gulma-gulma di areal penanaman kacang panjang ungu dipengerahi oleh siklus hidup gulma tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan dapat diasumsikan bahwa gulma tersebut berkembang biak dengan biji, mempunyai simpanan biji gulma dalam tanah relatif tinggi, dan cepat mengalami pertumbuhan dibanding dengan jenis gulma yang lain. Menurut Sastroutomo (1990) biji gulma dari jenis-jenis gulma semusim memegang peranan penting dalam kaitannya dengan keberhasilan dalam usaha pengendalian gulma. Simpanan biji dalam tanah yang mampu berkecambah dan tahan terhadap pengendalian akan menentukan kerugian yang timbul pada tanaman pangan setiap musim. KESIMPULAN Penentuan waktu pengendalian gulma pada perlakuan bergulma 10, 20 dan 30 hari setelah tanam (HST) tidak mempengaruhi pertumbuhan vegetatif yaitu tinggi tanaman dan jumlah daun tanaman kacang panjang ungu. Sedangkan pengendalian 20-30 HST dapat menurunkan jumlah bunga, jumlah polong dan berat polong. Dapat direkomendasikan bahwa agar pertumbuhan tanaman kacang panjang ungu dapat memberikan hasil yang maksimal, maka pengendalian gulma dilakukan sedini mungkin yaitu pada awal pertumbuhan vegetatif atau minggu ke 3 – 4 areal pertanaman diharapakan bebas dari pertumbuhan gulma. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terimakasih kepada Universitas Khairun Ternate terutama pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana penelitian untuk pengembangan peneliti baru. DAFTAR PUSTAKA Hanafiah K. A., 2008. Rancangan Percobaan. Teori dan Aplikasi Edisi Ketiga. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Haryatun.2008. Tekhnik Identifikasi Jenis Gulma Dominan dan Status Ketersediaan Hara Nitroden, Fosfor dan Kalium Beberapa Jenis Gulma di Rawa Lebak. Buletin Tekhnik Pertanian. 13 (1). Nurjannah, U. 2003. Pengaruh Dosis Herbisida Glifosat dan 2,4 - D terhadap Pergeseran Gulma dan Tanaman Kedelai Tanpa Olah Tanah. Ilmu – Ilmu Pertaian Indonesia . 5 (1) : 27 – 33. Sastroutomo, S.S, 1990. Ekologi Gulma. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Setyowati, N, Nurjannah, U dan Sipayung, L.S. 2007. Pergeseeran Gulma pada Tanaman Cabe Besar Akibat Perbedaan Waktu Pengendalian Gulma. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 1 (1) : 21-27.
119
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Setyowati, N, Nurjannah, U dan Afrizal. 2005. Pergeseran Gulma dan Hasil Kedelai pada Pengolahan Tanah dan Tehnik Pengendalian Gulma yang Berbeda. Akta Agrosia. 8 (5) : 62 – 69. Suryadi, Luthfy, Yeni K., dan Gunawan., 2003. Karakterisasi dan Deskripsi Plasma Nutfah Kacang Panjang. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. Buletin Plasma Nutfah. Vol. 9 No 1. Th 2003. Tjitrosoedirdjo,S, Utomo, I.H dan Wiroatmodjo, J. 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. PT. Gramedia bekerjasama dengan BIOTROP.Bogor-Jakarta. Utami, S, N Asmaliyah dan Azwar, F. 2007. Inventarisasi Gulma di bawah Tegakan Pulai Darat (Alstonia angustiloba Miq.) dan Hubungannya dengan Pengendalian Gulma di Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan. Prosiding Ekspose HasilHasil Penelitian. Palembang.
120
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
UJI KISARAN INANG BAKTERIOFAG ΦSK PADA BEBERAPA ISOLAT PATOGEN HAWAR BAKTERI PADA TANAMAN KEDELAI DI JEMBER Galih Susianto*, Hardian Susilo Addy, Paniman Ashna Mihardjo Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jember Jalan Kalimantan 37 Kampus Tegalboto 68121 Jember Email:
[email protected] ABSTRAK Hawar bakteri merupakan penyakit pada tanaman kedelai yang disebabkan oleh Pseudomonas syringae pv. glycinea dan serangan yang berat berdampak pada penurunan produksi kedelai. Sepuluh isolat hawar bakteri telah ditemukan pada tanaman edamame di beberapa lokasi di Jember. Tiga bakteriofag ϕSK1, ϕSK2 dan ϕSK3 asal air selokan di sekitar pertanaman Edamame mempunyai keragaman genetik yang sedikit berbeda ketika diuji dengan Polymerase Chain Reaction-Random Amplified Polymorphic DNA dan ditandai dengan adanya sedikit kedekatan genetik apabila dianalisis dengan program phenogram similarity. Ketiga partikel bakteriofag tersebut mempunyai kisaran inang 7 isolat dari 10 isolat bakteri hawar daun yang diuji dan ditandai dengan munculnya plaque pada koloni bakteri. Kata kunci : kedelai Edamame, penyakit hawar bakteri, kisaran inang bakteriofag
PENDAHULUAN Serangan penyakit hawar bakteri (Pseudomonas syringae pv. glycinea) dapat menurunkan produktivitas kedelai di Indonesia hingga 65,88% (Tantera, 1992). Deteksi penyakit yang disebabkan oleh bakteri dapat dilakukan menggunakan bakteriofag yang merupakan virus yang menginfeksi dan memperbanyak diri pada sel bakteri inang yang spesifik yaitu hanya menyerang inang bakteri dalam satu spesies atau genus (Beaudoin, 2012). Misalnya, Fan et al., (2012) menemukan 10 bakteriofag dari 18 bakteriofag yang diisolasi dari limbah rumah sakit yang mempunyai kisaran inang 30 strain bakteri E. coli. Addy et al, 2012) juga berhasil menemukan bakteriofag ϕRSM3 yang menginfeksi Ralstonia solanacearum pada tomat dan pada beberapa strain penyebab penyakit layu pada pisang (Munardini et al., 1996). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kisaran inang bakteriofag ϕSK pada beberapa isolat patogen hawar bakteri pada tanaman kedelai di Jember. METODE PENELITIAN Perbanyakan Bakteri dan Bakteriofag. Perbanyakan bakteri P. syringae pv. glycinea (koleksi Lab. Virologi Tumbuhan Unej) dilakukan untuk memperoleh biakan bakteri yang akan digunakan sebagai uji perbanyakan bakteriofag.. Perbanyakan bakteriofag dilakukan dengan plaque assay (Askora et al., 2009), dengan cara mencampurkan 10µl suspensi bakteriofag ke dalam 300µl suspensi bakteri, diinkubasi selama 30 menit dan dituang pada media nutrient agar (NA) dan dituangi media top agar. Plaque (zona bening) yang tumbuh pada koloni bakteri menunjukkan bahwa koloni bakteri terinfeksi bakteriofag..
121
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Uji Kisaran Inang Bakteriofag. Kisaran inang bakteriofag dilakukan spot test (Fan et al., 2012), untuk mengetahui kemampuan bakteriofag ϕSK 3-1 menginfeksi beberapa isolat P. syringae pv. glycinea. Suspensi bakteriofag sebanyak 3µl dispotkan pada media top agar yang telah di inokulasi bakteri. Plaque (zona bening) yang terjadi pada koloni masing-masing isolat bakteri diamati sebagai pertanda bahwa isolat bakteri tersebut merupakan inang dari bakteriofag yang diuji. RAPD (Random Aplified Polymorphic DNA). RAPD bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik dari isolat bakteriofag ϕSK. Tahapan-tahapan pelaksanaan PCR yaitu hasil template DNA bakteriofag 1 μl dicampur 10 μl larutan reaksi PCR master mix Soln (Intron), primer 2 μl dan 7 μl double distilled water (ddH2O) dituang pada PCR tube. Pre-Denaturasi Denaturasi detik, Annealing pada s Extension menit, dan Final-Extension dielektroforesis pada gel agarose 1,5% dengan buffer 1X TBE. Setelah DNA dimasukkan kedalam sumur sampel, arus listrik dialirkan 25V selama 15 menit dan 75V sampai sampel mencapai batas gel akhir. Gel kemudian direndam dalam Etidium Bromide selama 20 menit dan divisualisasi dengan sinar ultraviolet. Setelah terlihat amplifikasi DNA dengan munculnya keragaman pita (band) pada gel agarose 1,5%, dilakukan perhitungan untuk mengetahui matriks dengan metode Jaccard (Niwattanakul et al., 2013). HASIL DAN PEMBAHASAN Perbanyakan Bakteri dan Bakteriofag. Isolat P. syringae pv. glycinea SK3-1 yang telah dimurnikan diuji dengan isolat bakteriofag ϕSK3-1 dengan cara plaque assay. Ada 3 partikel bakteriofag yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Tabel 1; Gambar 1). Tabel 1. Karakteristik plaque bakteriofag pada P. syringae pv. glycinea SK3-1 No Isolat Bakteriofag Jenis plaque 1 ϕSK1 Keruh 2 ϕSK2 Bening 3 ϕSK3 Keruh
122
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
5 mm
5 mm
5 mm
Gambar 1. Perbanyakan bakteriofag ϕSK1 (A), ϕSK2 (B) dan ϕSK3 (C) dengan isolat bakteri P. syringae pv. glycinea isolat SK3-1 dengan cara plaque assay Kisaran Inang Bakteriofag ϕSK. Ketiga partikel bakteriofag ϕSK yang diperoleh, diuji kisaran inangnya pada 10 isolat P. syringae pv. glycinea. Ada tujuh isolat bakteri yang menunjukkan reaksi positif, bahkan ditemukan satu isolat bakteri yang menunjukkan hasil tidak stabil (tidak konsisten) (Tabel 2). Tabel 2. Pengujian kisaran inang bakteriofag terhadap beberapa isolat P. syringae pv. glycinea Hasil* Nama No Asal Isolat Isolat ϕSK2 ϕSK3 ϕSK1 a) 1 H3 Koleksi + + + 2 SK2 Sukorambi + + + 3 SK2-1 Sukorambi + + + 4 SK2-2 Sukorambi + + + 5 SK3-1 Sukorambi + + + 6 SK3-2 Sukorambi + + + 7 SK4-2 Sukorambi 8 KR1-1 Keramat ± ± ± 9 BT4-1 Botosari 10 MG4-1 Manggisan * (+) menunjukkan hasil positif, (-) menunjukkan hasil negatif dan, (±) tidak konsisten. Hasil didapatkan dengan cara spot test a) Koleksi Hardian Susilo Addy, Ph.D Hasil ini diperkuat dengan pernyataan Askora et al., (2009) bahwa kemungkinan besar bakteriofag memiliki kisaran inang yang berbeda dari masing-masing isolat bakteri. Yamada et al., (2007) juga menemukan bahwa satu jenis bakteriofag ϕRSS memiliki kisaran inang yang berbeda antar beberapa strain R. solanacearum.
123
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 2. Grafik perkembangan zona plaque bakteriofag ϕSK Perkembangan zona plaque menunjukkan hasil yang berbeda, tetapi bakteriofag ϕSK1 dan ϕSK3 mempunyai perkembangan zona plaque yang hampir sama sedangkan ϕSK2 berbeda ditandai dengan perkembangan zona plaque yang berbeda dengan isolat bakteriofag yang lain (Gambar 2). Keragaman Genetik Bakteriofag ϕSK. Elektroforesis pada gel agarose 1,5% hasil amplifikasi DNA bakteriofag menggunakan primer 5 RAPD menunjukkan ada keragaman pita (band) DNA (Gambar 3). Hal ini dijelaskan juga oleh Anggereini (2008) bahwa dengan metode RAPD menghasilkan keragaman pita DNA yang teramplifikasi tergantung pada daerah pelekatan primer tertentu yang komplemen yang dicampur pada genom individu tersebut dan panjangnya urutan DNAnya untuk melihat kekerabatan suatu organisme.
Gambar 3. Elektroforesis hasil PCR-RAPD bakteriofag ϕSK menggunakan primer 5 pada gel agarose 1,5% (25V selama 15 menit, dilanjutkan 75V sampai batas gel akhir). Lane 1= M (Marker: λ/Sty1), Lane 2= A (Primer 5) dan 1 (ϕSK1), Lane 3= A (Primer 5) dan 2 (ϕSK2), Lane 4= A (Primer 5) dan 3 (ϕSK3), Lane 5= M (Marker: λ/Sty1). Phenogram Similarity bakteriofag ϕSK
124
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
menggunakan analisis kluster DendroUPGMA. Aplikasi dibuat oleh Garcia and Puigbo (2009). Hasil ini membuktikan bahwa dari ketiga isolat bakteriofag ϕSK adalah berbeda genetiknya meskipun bakteriofag ϕSK2 dan ϕSK3 memiliki sedikit kedekatan. Bakteriofag ϕSK1 berbeda jika dilihat dari pita DNA yang teramplifikasi dan dihitung dengan metode Jaccard serta ditampilkan pada phenogram similarity (Gambar 3). KESIMPULAN 1.
2. 3.
Bakteriofag ϕSK1, ϕSK2, ϕSK3 memiliki kisaran inang yang sama yaitu 7 isolat dari 10 isolat bakteri P. syringae pv. glycinea asal Jember, satu isolat menunjukkan hasil tidak stabil (tidak konsisten) yaitu pada isolat KR1-1. Bakteriofag ϕSK1, ϕSK2, ϕSK3 mampu menginfeksi sebagian besar isolat bakteri SK (Sukorambi) yang merupakan isolat yang berasal dari satu lokasi di Jember. dengan RAPD, Bakteriofag ϕSK2 memiliki kedekatan genetik dengan ϕSK3 sedangkan ϕSK1 berbeda keragaman genetiknya dengan ϕSK2 dan ϕSK3. DAFTAR PUSTAKA
Addy HS, Askora A, Kawasaki T, Fujie M and Yamada T. 2012. Utilization of filamentous phage ϕRSM3 to control bacterial wilt caused by Ralstonia solanacearum. Plant Dis 96(8):1204-1209. Anggereini E. 2008. Random amplified polymorphic DNA (RAPD), suatu metode analisis DNA dalam menjelaskan berbagai fenomena biologi. Biospecies 2(1) :7376. Askora A, Kawasaki T, Usami S, Fujie M and Yamada T. 2009. Host recognition and integration of filamentous phage ϕRSM in the phytopathogen, Ralstonia solanacearum. Virology 384:69-76. Beaudoin RN, De Cesaro DR, Durkee DL, and Barbaro SE.2012. Isolation of a Bacteriophage From Sewage Sludge and Characterizationof ITS Bacterial Host Cell. Department of Biology, Rivier College. Fan H, Mi Z, Fan J, Zhang L, Hua Y, Wang L, Cui X, Zhang W, Zhang Bo, Huang Y, Li J, Wang X, Li C, Zhang Z, An X, Yin X, Chen J and Tong Y. 2012. A fast method for large-scale isolation of phages from hospital sewage using clinical drugresistant Escherichia coli. African Journal of Biotechnology 1(22):6143-6148. Garcia S and Puigbo P. 2009. DendroUPGMA: A dendrogram construction utility. Biochemistry and Biotechnology Department. Universitat Rovira i Virgili (URV). Tarragona. Spain. http://genomes.urv.cat/UPGMA/index.php?entrada=Example2. Diakses pada tanggal 03 Juni 2014. Munardini II, Pusposendjojo N, Subandiyah S and Sumardiyono C. 1996. Identifikasi strain bakteri penyebab penyakit layu pada pisang dengan bakteriofag. BPPS-UGM 9 (1B)
125
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Niwattanakul S, Singthongchai J, Naenudorn E and Wanapu S. 2013. Using of jaccard coefficient for keywords similarity. Proceedings of the International MultiConference of Engineers and Computer Scientists (1) IMECS 2013. Tantera DM. 1992. Petunjuk Bergambar untuk Identifikasi Hama dan Penyakit Kedelai di Indonesia. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta. Yamada T, Kawasaki T, Nagata S, Fujiwara A, Usami S, Makoto F. 2007. Isolation and characterization of bacteriophages that infect the phytopathogen Ralstonia solanacearum. Microbiology 153:2630–2639.
126
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
EFEKTIVITAS EKSTRAK BIJI KELOR (Moringa oleifera) SEBAGAI SIFAT ANTIMIKROBIA Anshori Syarif 1, Fakhry Muhammad 2, Hidayati Darimiyya3 1. Mahasiswa, Teknologi Industri Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan 2. Staf pengajar, Teknologi Industri Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan 3. Staf pengajar, Teknologi Industri Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan Email:
[email protected] ABSTRAK Penggunaan antimikrobia pada bahan pangan semakin banyak, akan tetapi antimikrobia sangat berbahaya seperti pengawet formalin. Oleh sebab itu diperlukan antimikrobia alami yang tidak berbahaya seperti ekstrak biji kelor yang mempunyai senyawa bioaktif berfungsi sebagai antimikrobia. Penelitian ini terdiri dari 2 faktor yaitu konsentrasi pelarut (3 level: Aquades, etanol 70%, etanol 96%), kondisi bahan (2 level: biji kelor kering, biji kelor segar). Tujuan penelitian yaitu mengetahui pengaruh pengeringan biji kelor dan konsentrasi etanol yang optimum untuk mengekstraksi biji kelor sebagai sifat antimikrobia. Metode penelitian yaitu membuat ekstrak biji kelor metode shaker menggunakan pelarut aquades dan etanol kemudian menguji efektivitas ekstrak biji kelor. Bakteri uji yang digunakan yaitu Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella typhi. Parameter pengujian mengukur daya penghambatan ekstrak biji kelor terhadap bakteri uji .Pengujian. ekstrak biji kelor kering mampu menghambat bakteri Escherichia coli, dan Salmonella typhi masingmasing sebesar 11,3 mm dan 9,3 mm, sedangkan biji kelor segar mampu menghambat bakteri uji Staphylococcus aureus dengan zona penghambatan 15,7 mm. Ekstraksi biji kelor menggunakan pelarut etanol 70 % ektraksi biji kelor kering memberikan aktivitas antimikrobia yang efektif menghambat semua bakteri uji Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Salmonella typhi dengan daya penghambatan masing-masing sebesar 11.3 mm 12 mm, dan 9,3 mm dibandingkan dengan pelarut etanol 96 % dan aquades. Kata Kunci: biji kelor, antimikrobia, ekstrak biji kelor PENDAHULUAN
Antimikrobia sebagai zat aktif antibakteri semakin banyak ditemukan pada bahan pangan, beberapa bahan pangan menggunakan antimikrobia sebagai pengawet dan ketahanan pangan dari ancaman mikrobia yang dapat merusak bahan pangan. Akan tetapi penggunaan antimikrobia yang telah digunakan untuk bahan pangan sangat berbahaya seperti pengawet formalin. Oleh sebab itu diperlukan antimikrobia alami yang tidak berbahaya terhadap kehidupan manusia. Senyawa alami perlu dimanfaatkan untuk mengurangi antimikrobia berbahaya yang mengancam kehidupan manusia. Pemanfaatan bahan alami dari bahan tanaman dan rempah seperti lengkues, jahe dapat berfungsi sebagai antimikrobia. Biji kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman asli india sekitar Himalaya, Pakistan, dan Bangladesh yang kemudian menyebar ke benua Afrika dan Eropa Barat, tanaman ini tumbuh pada daerah tropis dan subtropis (Fahey 2005). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kelor (Moringa oleifera) terdapat senyawa antimikrobia terdiri dari alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin yang merupakan senyawa bioaktif berfungsi sebagai antimikrobia (Bukar et al. 2010) Pemanfaatan biji kelor sudah banyak dilakukan salah satunya adalah sebagai sifat antimikrobia. Menurut Naiwu et al (2012) biji kelor mempunyai sifat antimikrobia yang mampu menghambat bakteri Salmonella, Shigella spp, Enterobacter aerogenes dengan masing penghambatan sebesar 15 mm, 12 mm, dan 11 mm. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ekstraksi kelor dapat menghambat aktivitas antimikrobia dan aktivitas antijamur dengan beberapa perlakuan pelarut ekstraksi. Oloduro et al. (2012) menyebutkan bahwa menggunakan ekstraksi aquades didapatkan aktivitas antimikrobia dengan diameter zona inhibisi lebih besar dari pada ekstraksi dengan menggunakan ekstraksi etanol dan
127
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
ekstraksi metanol. Sedangkan aktivitas anti jamur ekstraksi etanol menunjukkan diameter zona inhibisi lebih besar dari pada ekstraksi aquades dan ekstraksi metanol. Hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan Vinoth et al. (2012) menyebutkan bahwa aktivitas antimikrobia ekstraksi dengan menggunakan aquades, etanol, dan kloroform menunjukkan aktivitas antimikrobia denagan diameter zona inhibisi menggunakan ekstraksi etanol lebih tinggi dari pada menggunakan ekstraksi aquades dan kloroform. Ekstraksi biji kelor terdapat perbedaan daya penghambatan sebagai sifat antimikrobia dengan menggunakan beberapa pelarut. Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui pengaruh kondisi biji kelor dan beberapa pelarut etanol yang optimum dalam mengektraksi biji kelor. METODE Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah oven, shaker, petridish, bunsen, mortal, autoclave, triangle, kertassaring, kertas kayu,pinset, pipet volume, timbangan analitik, gelas ukur, Erlenmeyer, pinset, laminair flow. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah biji kelor (Moringa oleifera), etanol 70%, etanol 96 %, aquades, nutrien broth, agar. Bakteri uji yang digunakan sebagai pengujian daya hambat yaitu Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella typhi yang didapatkan dari laboratorium pengolahan ilmu gizi fakultas kesehatan masyarakat Universitas Airlangga Surabaya. Preparasi Ekstrak Biji kelor Biji kelor (Moringa oleifera) dihaluskan menggunakan mortal kemudian ditimbang. Hasil timbangan dilarutkan pada pelarut aquades dan etanol selanjutnya dishaker dengan kecepatan 120 rpm selama 3 hari kemudian disaring menggunakan kertas saring. Hasil ekstraksi disimpan pada refrigator suhu 4º C (Kumar et al. 2012). Desain Penelitian Perlakuan dalam penelitian ini yaitu menggunakan biji kelor kering (A) dan biji kelor segar (B) dan konsentrasi pelarut aquades (1), etanol 70 % (2), etanol 96 % (3) yang paling efektif untuk menghambat antimikrobia diantaranya adalah Escherichia coli,Staphylococcus aureus, dan Salmonella typhi. Desain penelitain diperoleh enam kombinasi perlakuan masing-masing 3 kali ulangan tiap perlakuannya. Pengujian Daya Antimikrobia Petridish yang telah berisi 20 ml media agar padat ditetesi 0,5 ml suspensi bakteri uji lalu diratakan menggunakan triangle sampai merata pada semua permukaan pertidish. Kertas saring direndam pada ekstraksi biji kelor menggunakan pelarut aquades dan etanol lalu dibiarkan selama15 menit lalu diletakkan pada media yang terdapat suspensi bakteri uji kemudian diinkubasi selama 48 jam. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat warna terang disekeliling kertas saring. Semakin jauh maka semakin kuat daya antimikrobia. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Daya Penghambatan Ekstrak Biji Kelor Daya penghambatan ekstrak biji kelor segar dan ekstraksi biji kelor kering dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 berikut : Tabel 4.1 Aktivitas antimikrobia ekstrak biji kelor segar Jenis Bakteri Escherichia coli Staphylococcus aureus
Pelarut Aquades Etanol 70 % Etanol 96 % Aquades Etanol 70 %
Zona Inhibisi (Mm) 14,7
128
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Etanol 96 % Aquades Salmonella typhi Etanol 70 % Etanol 96 % Keterangan : (-) Tidak terdapat zona inhibisi
15,7 7,7 8,7
Tabel 4.2 Aktivitas antimikrobia ekstrak biji kelor kering Jenis Bakteri Escherichia coli
Staphylococcus aureus
Salmonella typhi
Pelarut Aquades Etanol 70 % Etanol 96 % Aquades Etanol 70 % Etanol 96 % Aquades Etanol 70 % Etanol 96 %
Zona Inhibisi (Mm) 6,7 11,3 9 7,7 12 9,6 7,3 9,3 8,6
Jenis Bahan Ekstrak Biji Kelor Sebagai Sifat Antimikrobia Jenis bahan memberikan perbedaan terhadap daya hambat antimikrobia. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kadar senyawa alami yang terdapat pada jenis bahan dan jenis pelarut yang digunakan. Penelitian ini menggunakan jenis bahan biji kelor dengan dua perbedaan berdasarkan tingkat kekeringan yaitu biji kelor segar dan biji kelor kering. Sedangkan pelarut yang digunakan terdiri dari dua pelarut yang berbeda yaitu pelarut aquades dan pelarut etanol dengan dua konsentrasi berbeda yaitu etanol 70 % dan etanol 96 %. Penelitian yang dilakukan terhadap dua jenis bahan ekstrak biji kelor segar dan ekstraks biji kelor kering terdapat perbedaan aktivitas antimikrobia. Ekstrak biji kelor kering memberikan daya hambat lebih baik dari pada ekstrak biji segar. Ekstrak biji kelor kering mampu menghambat bakteri Escherichia coli, dan Salmonella typhi lebih tinggi dari pada ekstraksi biji kelor segar dengan daya penghambatan masing-masing sebesar 11,3 mm dan 9,3 mm. Sedangkan ekstrak biji kelor segar mampu menghambat bakteri uji Staphylococcus aureus lebih tinggi dari pada ekstrak biji kelor kering dengan zona penghambatan 15,7 mm. Naiwu et al (2012) bahwa ekstrak biji kelor kering dapat menghambat bakteri Salmonella, Shigella spp, Enterobacter aerogenes dengan masing penghambatan sebesar 15 mm, 12 mm, dan 11 mm. Hal tersebut berbeda pada ekstrak biji kelor segaryang mampu memberikan penghambatan lebih kecil pada bakteri Salmonella, Shigella spp, Enterobacter aerogenes dengan zona penghambatan sama yaitu 6 mm (Bukar et al. 2010) Jenis bahan terhadap aktivitas antimikrobia berbeda dari jenis bakteri dalam penghambatannya. Ekstrak biji segar mampu menghambat tertinggi pada bakteri gram positif (Staphylococcus aureus) dengan daya penghambatan tertinggi sebesar 15,7 mm, sedangkan ekstrak biji kelor kering mampu menghambat tertinggi pada bakteri gram negatif (Escherichia coli) sebesar 11,3 mm. Jenis Pelarut Ekstraksi biji kelor menggunakan pelarut etanol 96 % biji kelor segar memberikan aktivitas antimikrobia lebih tinggi dari pada pelarut aquades dan etanol 70 % yang dapat memberikan dayapenghambatnya pada bakteri Staphylococcus aureus dengan zona inhibisi sebesar 15,6 mm, hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bukar et al. (2012) didapatkan bahwa ekstraksi biji kelor segar dengan menggunakan pelarut etanol mampu menghambat tertinggi pada bakteri Staphylococcus aureus sebasar 11 mm. Ekstraksi biji kelor menggunakan pelarut etanol 70 % ektraksi biji kelor kering memberikan aktivitas antimikrobia yang efektif pada bakteri uji Escherichia coli dan Salmonella typhi dengan daya penghambatan masing-masing sebesar 11.3 mm dan 9,3 mm dibandingkan dengan pelarut etanol 96 % dan aquades, hal ini disebabkan oleh polaritas dari pelarut yang digunakan pada pelarut etanol 70 %
129
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
memiliki kepolaran yang lebih tinggi dari pada etanol 96 % dengan ditunjukkan oleh tingginya senyawa flavonoid menggunakan pelarut etanol 80 % (Sultana et al. 2009). Ektraksi biji kelor menggunakan pelarut aquades lebih rendah dari pada ektraksi dengan menggunakan pelarut etanol 70% dan 96%. Perbedaan pelarut mempengaruhi terhadap fungsi ekstrakyang didapatkan. Menurut Koruthu et al. (2011) bahwa senyawa fitokimia lebih rendah dan senyawa flavonoid yang larut air kurang signifikan sebagai antimikrobia akan tetapi lebih berfungsi sebagai antioksidan. KESIMPULAN Kondisi bahan (pengaruh pengeringan) terhadap sifat antimikrobia ekstrak biji kelor adalah ekstrak biji kelor kering yang mampu menghambat semua bakteri uji Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella typhi. Konsentrasi etanol optimum sebagai pelarut ektstrak biji kelor adalah konsentrasi etanol 70 % yang mampu menghambat bakteri uji Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella typhi masing-masing sebesar 11,3 mm, 12 mm, dan 9,3 mm. DAFTARPUSTAKA Bukar A, Uba A, Oyeyi TI. 2010. Antimikrobial Profile of Moringa oleifera lam.Extracts Against SomeFood – Borne Microorganisms. Bayero Journal of Pure and Applied Sciences Vol 3(1): 43-48 Koruthu DP, Manivarnan NK, Gopinath A, Abraham R. 2011. Antibacterial evaluation,reducing power assay and phytochemical screening of moringa oleifera leaf extracts: effect of solvent polarity. Journal pharmaceutical sciences and research. Vol 2(11): 2991-2995 Kumar V, Pandey N, Mohan N, Singh PR. 2012. Antibacterial & antioxidant activity of different extract of moringa oleifera leave an-in vitro study. International journal of pharmaceutical sciences review and research. Vol 12 (1): 89-94 Naiwu NE, Ibrahim WI, Raufa IA. 2012. Antiseptic and coagulation properties of crude extracts of moringa oleifera from north of Nigeria. Journal of applied hytotechnology in environmetal sanitation. Vol 1(2): 51-59 Oluduro A, 2012. Evaluation of antimikrobial properties and nutritional potentials of moringa oleifera lam. in south-western Nigeria. Malaysian journal of microbiology. Vol. 8(2): 59-67 Sultana B, Farooq A, Muhammad A. 2009. Effect of Extraction Solvent or Technique on The Antioxidant Activity of Selected Medicinal Plant Extracts. Journal molecules.Vol 14: 21672180 Vinoth B, Manivasagaperumal, Balamurugan. (2012). Phytochemical analysis and antibacterial activity of moringa oleifera lam. International journal of research in biological sciences.Vol. 2(3): 98-102
130
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
KARAKTERISTIK BUAH NAGA PUTIH (Hylocereus undatus) DAN BUAH NAGA MERAH (Hylocereus polyrhizus) Nurhayati1,2), Gama Kusuma1), Nurma Handayani1), Ahib Assadam1) Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember 2) Center for Development of Advanced Science and Technology Universitas Jember Jln. Kalimantan 37, Kampus Tegal Boto, Jember 68121 E-mail:
[email protected] 1)
ABSTRACT White and red-flesh dragon fruit (pitayas) were cultived in Indonesia. The study analyzed physical and chemical characteristic of white and red-flesh dragon fruit encompass fruit dimension, weight and colour, sweetness, water content, indigestible insoluble fraction (IIF) content, and sugar content. Fruit dimension, weight, colour, sweetness and sugar content were refer to Wichienchot et al. research. Physical characteristic indicates significantly different between white dragon fruit with red dragon fruit. But not significantly different to the peel and seeds of red flesh dragon fruit and a white dragon fruit. Water content, IIF content and oligosaccharide content no significant among the white dragon fruit with red dragon fruit, but different levels of fruit dimension, fruit weight and fructose-glucose content. The other research reported that dragon fruit oligosaccharides showed prebiotic propertiesor in vitro. So for further research will study about prebiotic properties of white and red-flesh dragon fruit jam in vivo. Keywords: dragon fruit, pitaya, Hylocereus undatus, Hylocereus polyrhizus, fraction
indigestable insoluble
PENDAHULUAN Buah naga adalah buah dari beberapa jenis kaktus dari marga Hylocereus dan Selenicereus. Buah ini berasal dari Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan namun sekarang juga dibudidayakan di negara-negara Asia seperti Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Buah ini juga dapat ditemui di Okinawa, Israel, Australia utara dan Tiongkok selatan. Bunga buah naga hanya mekar pada malam hari. Buah naga juga dikenal dengan nama pitaya oleh masyarakat Thailand. Terdapat empat varietas buah naga yang umum dikenal masyarakat yaitu: Hylocereus undatus, memiliki kulit buah berwarna merah dengan daging buah putih; Hylocereus polyrhizus, memiliki kulit buah berwarna merah muda dengan daging buah merah; Selenicereus megalanthus dengan kulit buah kuning dan daging buah putih; Hylocereus costaricensis buah naga daging super merah. Buah naga telah dilaporkan sebagai sumber beta-karoten, likopen dan vitamin E, dengan konsentrasi rata-rata , masing-masing 1,4; 3,4; dan 0,26 µg/100g bagian yang dapat dimakan (Charoensiri et al, 2009). Biji buah naga mengandung 50% asam lemak esensial, yaitu, 48% asam linoleat (C18:2) dan 1,5% asam linolenat (C18: 3) (Ariffin et al, 2008). Buah naga memiliki potensi untuk digunakan sebagai sumber bahan fungsional untuk memberikan nutrisi yang dapat mencegah penyakit yang berhubungan dengan gizi dan meningkatkan kesehatan fisik konsumen. Tulisan ini menyajikan karakteristik buah naga jenis putih dan jenis merah yang meliputi dimensi dan berat buah, kadar air, kadar fraksi tidak tercerna (indigestible insoluble fraction/IIF), tingkat kemanisan dan komposisi gula (fruktosa, glukosa dan oligosakarida). METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah buah naga jenis putih (Hylocereus undatus) dan buah naga jenis merah (Hylocereus polyrhizus). Bahan lainnya yang digunakan yaitu aquades, larutan buffer fosfat, enzim pankreatin, enzim amiloglukosidase, etanol 80% dan aseton. Alat yang digunakan di
131
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
antaranya adalah inkubator (Heraeus instrument D-63450 Hanau tipe B 6200), oven (Memmert), autoklaf, vortex, neraca analitik, inkubator, mikropipet, tabung reaksi, beaker glass, cawan petri dan peralatan gelas lainnya. Metode Penelitian Penelitian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Karakteristik fisik dan kimia yang dianalisis meliputi: dimensi, berat dan warna buah (Wichienchot et al., 2010), kadar air dengan metode termogravimetri (AOAC, 2005) dan fraksi tidak tercerna (IIF) dengan metode yang dilakukan oleh Englyst et al. (1992) yang dikombinasi dengan metode AOAC (1999). Kadar gula didasarkan pada hasil penelitian Wichienchot et al. (2010) yang dianalisis dengan menggunakan HPLC Zorbax Carbohydrate column (4.6 × 150 mm, 5 μm resin). Analisis Fraksi Tidak Tercerna (Indigestible Insoluble Fraction/IIF) Analisis kadar IIF dilakukan secara enzimatis dengan menggunakan metode yang digunakan Englyst et al. (1992) yang dikombinasi dengan metode gravimetri (AOAC,1999). Sebanyak 2 g daging buah naga yang sudah dihancurkan ditambah 40 ml buffer asetat kemudian didihkan dalam penangas air selama 30 menit. Sampel didinginkan dan ditambah 10 ml larutan enzim yang mengandung enzim pankreatin dan amiloglukosidase. Selanjutnya sampel diinkubasi dengan suhu 370C selama 120 menit dan disaring. Penentuan kadar IIF diperoleh dari residu penyaringan, kemudian sampel dicuci dengan 5 x 10 ml aquades, 5 x 10 ml etanol 97% dan 5 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu 500C sampai berat konstan (sekitar 12 jam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D2). Kadar IIF dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar IIF (%) = {[D2-d1]/w} x 100% Keterangan : W = berat sampel (g) D1 = berat kertas saring (g) D2 = berat setelah dianalisis dan dikeringkan (g) HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Karakteristik fisik buah naga putih dan buah naga merah didasarkan pada hasil penelitian Wichienchot et al. (2011) yang meliputi dimensi buah (panjang dan diameter), berat buah (berat daging dan kulit buah), dan warna buah (kulit, daging dan biji buah). Karakteristik fisik disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Fisik Buah Naga Putih dan Buah Naga Merah (Wichienchot et al., 2010) Karakteristik Fisik Buah Naga Putih Buah Naga Merah Dimensi Buah (cm) Panjang 134 ± 5,0a 127 ± 5,5b a Diameter 94 ± 9,0 66 ± 4,0b Berat Buah (g) Berat daging 305 ± 75,0a 215 ± 35,0b Berat kulit 100 ± 30,0a 75 ± 25,0b Warna Buah Daging putih merah Biji daging kecil hitam kecil hitam Kulit merah merah Dimensi panjang dan lebar buah naga putih berbeda nyata dengan buah naga merah. Buah naga putih memiliki panjang dan diameter yang lebih besar daripada buah naga merah. Selisih
132
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
panjang dan diameter secara berturut-turut antara buah naga putih dengan buah naga merah adalah 7 cm dan 28 cm (Wichienchot et al., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum buah naga putih memiliki dimensi dengan ukuran yang lebih besar daripada buah naga merah. Berat daging dan berat kulit buah naga putih memiliki berat yang lebih besar (berbeda nyata) daripada buah naga merah. Selisih berat daging dan berat kulit buah naga putih sekitar 90 g dan 25g (Wichienchot et al., 2010). Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa buah naga putih dapat dengan mudah dibedakan secara visual dari bagian luar (tanpa melihat warna dagingnya) karena memiliki ukuran dimensi dan berat yang lebih besar daripada buah naga merah. Warna bagian buah naga putih memiliki kemiripan untuk warna kulit dan biji daging. AKan tetapi berbeda untuk warna daging buahnya. Warna kulit buah naga putih dan buah naga merah adalah merah dan warna biji dagingnya adalah hitam berukuran kecil. Warna daging buah naga putih berwarna putih, sedangkan warna daging buah naga merah berwarna merah. Karakteristik Kimia Karakteristik kimia buah naga putih dan buah naga merah meliputi tingkat kemanisan (brix), kadar air, kadar bagian tidak tercerna dan tidak larut air (IIF), dan kadar gula (glukosa, fruktosa dan oligosakarida). Tabel 2 menyajikan karakteristik buah naga merah dan putih berdasarkan hasil penelitian dan rujukan pustaka Wichienchot et al. (2010). Tabel 2. Karakteristik Kimia Buah Naga Putih dan Buah Naga Merah Karakteristik Kimia Buah Naga Putih Buah Naga Merah * a Tingkat kemanisan (Brix) 12,5 ± 0,55 14,8 ± 0,75b Kadar air 85,0 ± 0,22a 85,5 ± 0,29a Kadar IIF % bk 11,3 ± 4,19a 11,6 ± 4,77a Kadar glukosa (g/kg)* 353,0 ± 0,74a 401,0 ± 4,0b * a Kadar fruktosa (g/kg) 238,0 ± 0,84 158,0 ± 0,32b Kadar oligosakarida (g/kg)* 86,2 ± 0,93a 89,6 ± 0,76a * Wichienchot et al. (2009) Beberapa karakteristik kimia buah naga putih yang menunjukkan berbeda nyata dengan buah naga merah di antaranya yaitu tingkat kemanisan, kadar glukosa dan kadar fruktosa. Beberapa karakteristik kimia buah naga putih dan buah naga merah yang menunjukkan berbeda tidak nyata adalah kadar air, kadar IIF dan kadar oligosakarida. Hal ini mengingat bahwa kadar oligosakarida juga merupakan bagian dari IIF. Akan tetapi Khalili et al. (2014) melaporkan bahwa komposisi oligosakarida yang meliputi rafinosa, stakiosa dan fruktooligosakarida menunjukkan berbeda nyata antara buah naga putih dengan buah naga merah. Kadar rafinosa, stakiosa dan fruktooligosakarida buah naga putih lebih kecil yaitu berturut-turut 204,23 μg.100g; 249,43 μg/100g dan 14,92 μg/100g daripada buah naga merah 324,57 μg/g; 283,58 μg/100g dan 29,22 μg/100g. Buah naga merah lebih manis daripada buah naga putih. Hal ini didukung oleh data kadar glukosa buah naga merah lebih tinggi (401 g/kg) daripada buah naga putih (353 g/kg). Akan tetapi jika dilihat dari kandungan fruktosa buah naga merah lebih kecil yaitu sebesar 158 g/kg daripada buah naga putih sebesar 238 g/kg (Wichienchot et al., 2010). Hal ini mengingat faktor kemanisan relatif glukosa sebesar 28 yang menunjukkan nilai lebih tinggi dari factor kemanisan relatif fruktosa sebesar 23 (Anonim, 2011). Oleh karena itu yang banyak memberikan pengaruh manis adalah kandungan glukosa daripada kandungan fruktosa. KESIMPULAN Karakteristik fisik buah naga putih dan buah naga merah berbeda berdasarkan dimensi buah (panjang dan diameter), berat buah (daging dan kulit) dan warna daging buah. Karakteristik kimia buah naga
133
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
putih dan buah naga merah berbeda untuk tingkat kemanisan dan kadar glukosa dan fruktosa. Akan tetapi memiliki kesamaan untuk kadar air, kadar IIF dan kadar oligosakarida. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada DP2M yang telah membiayai penelitian melalui PKM Penelitian Tahun 2014. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2011. Relative Sweetness Values for Various Sweeteners. Updated 3-16-11 © 2011 Copyright LaVic, Inc., 503 E. Nifong Blvd. #210, Columbia, MO 65201-3717 USA AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International 16th edition. AOAC International Suite 500 Maryland. USA. AOAC. 2005. Official of Analysis of The Association of Official Analytical Chemistry. Arlington: AOAC Inc. Ariffin, A. A., Bakar, J., Tan, C. P., Rahman, R. A., Karim, R., & Loi, C. C.. 2008. Essential fatty acids of pitaya (dragon fruit) seed oil. Food Chemistry, 114(2), 561–564. Charoensiri, R., Kongkachuicha, R., Suknicom, S., & Sungpuag, P. 2009. Betacarotene, lycopene, and alpha-tocopherol contents of selected Thai fruits. Food Chemistry. 113, 202–207. Englyst, H.N., Kingman, S.M., and Cummings, J.H.1992. Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. European Journal Clinical Nutrition. (46 Suppl.2): 533550. Gaurav, Sharma. 2003. Digital Color Imaging Handbook. CRC Press. ISBN 084930900X. Khalili, R.M.A, A.B.C Abdullah, A.A. Manaf. 2014. Isolation and characterization of oligosaccharides composition in organically grown red pitaya, white pitaya and papaya. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences Wichienchot, Jatupornpipat, dan Rastall. 2010. Oligosaccharides of pitaya (dragon fruit) flesh and their prebiotic properties. Food Chemistry 120 (2010) 850–857.
134
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
REKAYASA TEKSTUR DAN KAJIAN STABILITAS SOSIS FRANKFURTERS RENDAH LEMAK DARI IKAN TONGKOL (THUNNUS TONGGOL) MENGGUNAKAN LEMAK ANALOG DARI EKSTRAK PORANG DAN PENGEMULSI DARI EKSTRAK RUMPUT LAUT Bayu Noriandita1, Novia Nava1, Achmad Atdairobi1, Rifki Arifudin1 & Sri Hastuti2 Mahasiswa Program Studi Teknologi Industri Pertanian, 2Dosen Program Studi Teknologi Industri Pertanian 085649724927, Jalan Raya Telang Gang III No.10F, Kamal, Bangkalan 69162 E-mail:
[email protected].
1
ABSTRAK Sosis frankfurters sangat disukai karena tekstur yang lembut akibat kadar lemak yang tinggi. Pengurangan kadar lemak dapat menurunkan kelembutan sosis. Penelitian ini bertujuan untuk membuat sosis frankfuters dari daging ikan tongkol (Thannus tonggol) dengan agen pembentuk tekstur berupa ekstrak porang (konjak) dan rumput laut sebagai optimasi tekstur sosis (firmness, stickiness) dikaji menggunakan metode permukaan tanggap (Response Surface Methodology) dengan faktor konsentrasi konjak (0, 5 dan 10 %), konsentrasi rumput laut (0, 1 dan 3,3 %) dan konsentrasi garam NaCl (1, 2 dan 3 %). Analisis sensoris hedonistik dilakukan menggunakan 20 orang panelis tidak terlatih, dan hasil sosis yang paling disukai diuji kandungan nutrisinya (kadar protein, lemak, keasaman total, kadar air). Sifat tekstur sosis tidak dipengaruhi secara nyata oleh faktor yang dikaji. Berdasarkan uji sensoris sosis yang terbaik dihasilkan dengan formulasi ekstrak porang 10 %, ekstrak rumput laut 3,3% dan garam 2%, yang mengandung kadar lemak 0,663 % dan kadar protein 10,751%. Sosis frankfuter dari ikan tongkol ini perlu ditingkatkan dalam hal sensorisnya karena memiliki nilai yang sangat rendah yaitu 4,7 dari skala 9. Kata kunci: rekayasa tekstur, sosis frankfruters, ikan tongkol. ABSTRACT One of the reasons that makes frankfurter sausage highly preferred is its soft texture due to high fat content. Reduction of fat content can reduce tenderness of sausage. This study aims to make frankfurters sausage of tuna (Thannus tonggol) with konjac flour as texturing agent and seaweed flour as emulsifier. Experiment design was constructed according to response surface methodology with three factors, consisting of konjac flour concentration (0, 5, and 10. % ), seaweed flour concentration ( 0, 1 and 3,3 % ) and NaCl concentration (1, 2, and 3 % ). Textural characteristics (firmness, stickiness) were examined using texture profile analysis on a texture analyzer. Hedonistic sensory analysis was performed using 20 untrained panelists. The most preferred sausage was analyzed for fat, protein, and moisture content. Results showed that texture of sausage were not significantly affected by the factors studied. The most preferred sausage contained 10 % konjac flour, 3.3 % seaweed flour, and 2 % salt, and had very low fat (0,663 %), but similar level of protein (10,751 %) content to normal pork frankfurters. Sausage frankfuter of tuna needs to be improved in terms of sensory because it has a very low value at 4.7 on the scale of 9. Keywords : engineering texture , frankfruters sausage , tuna.
PENDAHULUAN Produksi ikan tongkol perairan Indonesia mencapai 4069,75 ton/tahun, yang kebanyakan dikonsumsi sebagai ikan segar. Kehilangan paska panen ikan tongkol karena minimnya sarana pendinginan sebesar 39 %. Sedangkan kandungan nutrisi ikan tongkol sangat tinggi terutama dalam hal protein rendah lemak (21,6-26,3 %), asam lemak esensial seperti asam lemak omega-3 (5,0533,323 %) yang baik bagi pertumbuhan otak dan peningkatan kesehatan. Kandungan terpenting yang
135
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
terdapat pada ikan laut adalah Omega-3 yang merupakan asam lemak tak jenuh dan mampu menurunkan kadar kolesterol, sehingga jelaslah bahwa dengan mengkonsumsi cukup ikan laut mampu menurunkan resiko terserang penyakit-penyakit degeneratif seperti serangan jantung koroner dan stroke yang diakibatkan oleh tingginya kadar kolesterol pada darah. Sosis frankfurters adalah jenis sosis yang sangat digemari dan dikenal secara internasional, memiliki kadar garam relatif rendah, dan tekstur yang lembut karena kadar lemak yang tinggi. Untuk menjadikan sosis frankfurters lebih mendukung kesehatan diperlukan kreatifitas untuk menurunkan kadar lemaknya, tanpa mengurangi kualitas teksturnya. Salah satu yang mungkin dilakukan adalah mengganti daging sapi atau ayam dengan daging ikan tongkol. Akan tetapi, diperlukan usaha membentuk tekstur sosis yang baik. Upaya pembentukan tekstur yang baik dapat dilakukan dengan penambahan tepung konjak dan seaweed. Frankfurters adalah sejenis sosis yang mengandung lemak dan garam dalam jumlah yang tinggi, frankfurters biasanya dibuat dengan menggunakan campuran daging babi dan sapi, kadar lemak frankfurters berkisar antara 20-30 % dan kadar garam 2 % atau lebih. Sosis jenis frankfurters dianggap sebagai makanan yang beresiko menyebabkan hipertensi, kegemukan, diabetes dan kanker perut. Jumlah lemak didalam diet tidak boleh lebih dari jumah yang setara dengan 20-30 % masukan kalori (Nasional Academy, 2011). Kadar garam 2,5 % pada frankfurters menghasilkan tingkat penerimaan konsumen yang tertinggi, apabila kadar garam dikurangi sampai dibawah 1,5% penerimaan konsumen turun dengan sangat nyata. Penerimaan yang tinggi terhadap frankfurters dengan kadar lemak rendah 10-15 masih dapat dipertahankan, jika kadar garam berkisar antar 2,5-5 % (Tobin et al., 2012). Tepung porang (konjak) sebagai lemak analog pengganti lemak dari daging sapi atau ayam (Jimenez-Colmenero et al., 2013). Pengganti lemak ditambahkan ke produk olahan daging sebagai alternatif lemak hewan. Kualitas dari produk bergantung pada jenis pengganti lemak yang ditambahkan. Karena sifat fisikokimia, reologi dan mikrostruktur dari gel konjak sehingga gel konjak dapat digunakan sebagai pengganti lemak pada olahan produk daging rendah lemak yang dipengaruhi oleh penyimpanan dingin dan pembekuan atau pencairan (Jimenez-Colmenero et al., 2013). Penambahan gel konjak sebanyak 10 % memiliki sifat yang mirip dengan kontrol produk sosis rendah lemak, sedangkan penambahan gel konjak sebanyak 20 % dapat mengurangi tekstur alot pada produk sosis rendah lemak. Penggunaan gel konjak sebagai lemak tiruan dapat mengurangi total energi kalori dengan mengganti sebagian daging dalam formulasi sosis (Osburn dan Keeton, 2004). Konjak glukomanan adalah sejenis polisakarida netral dengan biokompatibilitas yang sangat baik dan biasa digunakan dalam bidang biodegradable. Studi terbaru aplikasi konjak glukomanan adalah pada bidang farmasi, bio-teknis, kimia halus dan lain-lain (Zhang et al., 2005). Sedangkan tepung seaweed mampu mengikat air dan lemak sehingga dapat meningkatkan kestabilan emulsi (Cofrades, 2008). Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk memformulasi sosis frakfurters rendah lemak menggunakan daging ikan tongkol dan kombinasi lemak analog dari ekstrak porang dan pengemulsi dari ekstrak rumput laut, untuk mencapai tekstur sosis kualitas sensoris yang baik. Penambahan rumput laut pada sosis frankfurters dapat atau tidak dapat meningkatkan profil asam amino bergantung pada jenis rumput laut yang digunakan. Kapasitas antioksidan naik karena adanya senyawa-senyawa polyfenol terlarut dalam air (Lopez-lopez et al., 2009). Tekstur yang empuk dalam sosis sangat penting dan tekstur yang empuk ini disebkan karena kandungan lemak yg tinggi yg menyebabkan sosis menjadi makanan yg tidak baik bagi kesehatan. Rumput laut dapat digunakan untuk membentuk tektur sosis sehingga mengurangi penggunaan lemak dalam sosis (Lopez-lopez et al, 2009). Kandungan mineral pada rumput laut sangat tinggi berkisar antara 20-39 % dan terdiri dari mineral makro (Na, K, Ca, Mg) serta mineral mikro (Fe, Zn, Mn, Cu) (Ruperez, 2002 dan Gomez-Ordonez et al., 2012). Tujuan pelitian ini adalah membuat sosis rendah lemak dari ikan tongkol dengan menggunakan pembentuk tekstur ekstrak porang dan pengemulsi ekstrak rumput laut. Metode Penelitian Faktor penelitian adalah kadar konjak (0, 5 dan 10 %), kadar seaweed (0, 1 dan 3,3 %) dan konsentrasi garam (1, 2 dan 3 %). Rancangan penelitian disusun menurut susunan dalam RSM, sebagaimana dalam Tabel 1.
136
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu uji tekstur dengan metode texture profile analysis (TPA) menggunakan Texture Analyzer TAXT Plus Stable Micro System (Surrey, UK). Dengan diameter silinder 2,5 cm, tinggi 2,0 cm dan kecepatan 0,8 mm/s (Jimenez-Colmenero et al. 2010). Uji organoptik dilakukan dengan 20 orang panelis tidak terlatih dengan parameter pengujian aroma, rasa, warna, tekstur dimulut dan kesukaan secara keseluruhan. Analisis kadar protein, lemak, keasaman dan kadar air, dilakukan menurut metode yang umum digunakan. Tabel 1. Kombinasi perlakuan konsentrasi tepung konjak (X1), konsentrasi tepung seaweed (X2) dan konsentrasi garam (X3) Dengan kode Tanpa kode Konsentrasi Run Konsentrasi Konsentrasi X1 X2 X3 Rumput Konjak Garam Laut 1 -1 -1 0 0% 0% 2 2 -1 1 0 0% 3,3 % 2 3 1 -1 0 10 % 0% 2 4 1 1 0 10 % 3,3 % 2 5 -1 0 -1 0% 1% 1 6 -1 0 1 0% 1% 3 7 1 0 -1 10 % 1% 1 8 1 0 1 10 % 1% 3 9 0 -1 1 5% 0% 3 10 0 -1 1 5% 0% 3 11 0 1 -1 5% 3,3 % 1 12 0 1 1 5% 3,3 % 3 13 0 0 0 5% 1% 2 14 0 0 0 5% 1% 2 15 0 0 0 5% 1% 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis variansi data pengujian sensoris menunjukkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi aroma dan rasa adalah interaksi antara rumput laut dengan rumput laut dan konjak dengan rumput laut. Sedangkan untuk tekstur faktor yang mepengaruhi adalah konsentrasi penambahan tepung porang dan garam yang memiliki nilai positif yang berarti semakin banyak penambahan porang dan garam tekstur semakin di sukai oleh panelis, selain itu faktor lain yang dapat mempengaruhi tekstur adalah interaksi antara tepung porang dengan rumput laut dan interaksi antara rumput laut dengan garam. Sedangkan pada uji tekstur faktor yang dikaji pun sama tidak memiliki pengaruh nyata bagi firmness dan stickiness sosis frankfuters dari ikan tongkol (Tabel 3). Parameter tekstur yang muncul pada penelitian ini adalah stickiness dan firmness sedangkan pada penelitian Jimenez-Colmenero et al. (2010) dan Jimenez-Colmenero et al. (2013) parameter yang muncul adalah hardness, springiness, cohesiveness dan chewiness. Nilai hardness tidak muncul karena tekstur dari sosis tongkol memang sangat lunak sehingga cohesivenessnya pun tidak muncul, yang menunnjukkan tidak adanya kepaduan antara bahan-bahan penyusunnya. Hal ini diakibatkan karena perbedaan bahan baku, yaitu daging babi dan daging ikan tongkol yang tentunya sifat fisik dan kimianya pun akan berbeda termasuk teksturnya. Menurut Jimenez-Colmenero (2013) konjak glukomanan dan rumput laut pada sosis daging babi akan membentuk tekstur yang baik atau akan menyatu dengan sempurna. Sedangkan pada penelitian ini, konjak dengan rumput laut tidak bisa menyatu dengan sempurna karena tidak bisa menyatu dengan daging ikan tongkol yang merupakan bahan baku utama. Menurut penelitian Jimenez-Colmenero (2010) ada pengaruh nyata pada interaksi antara penambahan konjak dan rumput laut, sedangkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa interaksi yang berpengaruh nyata adalah antara rumput laut dan garam pada parameter stikiness.
137
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Tabel 2. Koefisien regresi penilaian sensoris sosis frankfuters ikan tongkol Sumber
Koefisien Regresi Rasa Tekstur
Warna
Aroma
Konstanta Konjak Rumput laut Garam Konjak*konjak Rumput laut*rumput laut Garam*garam Konjak*rumput laut
3,800 0,112 0,153 0,121 0,028 -0,103
3,500 0,012 0,028 -0,003 0,016 0,233***
3,600 0,062 -0,021 -0,003 0,091 0,258*
3,500 0,212* 0,146 0,228* 0,146 0,028
Kesukaan Keseluruhan 3,700 -0,000 -0,014 0,064 0,110 0,089
0,071 -0,175
-0,166 -0,200*
-0,196 -0,275*
-0,060 -0,150**
Konjak*garam Rumput laut*garam
-0,050 -0,242
0,158** 0,250*** 0,075 0.017
-0,075 -0,067
-0,150 -0,407*
-0,050 -0,178*
Sumber
Koefisien Regresi Stickiness Firmness -14,833 249,917 -5,593 -125,850 3,580 -81,116 -4,517 -50,084 9,622 292,269 -0,851 -22,324 -8,538 -28,474 0,687 42,738 -4,750 39,438 14,410* -0,770
Konstanta Konjak Rumput Laut Garam Konjak*konjak Rumput laut*Rumput laut Garam*Garam Konjak*Rumput laut Konjak*Garam Rumput laut*Garam
Tabel 3. Koefisien regresi sifat tekstural sosis frankfurters ikan tongkol Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa faktor konsentrasi konjak, seaweed dan garam tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap firmness dan stickiness. Konsentrasi konjak yang semakin sedikit menyebabkan nilai stickiness yang semakin menurun. Sedangkan konsentrasi garam yang berkisar antar 1,5-2,5 % juga menyebakan nilai stickiness yang lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi yang berkisar antara 2,5-3 %. Garam berfungsi sebagai penyerapan air sehingga dengan penyerapan air yang lebih banyak maka kandungan air akan lebih sedikit dan mengakibatkan sosis fraknfuter yang mempunyai nilai kelengketan lebih rendah.Tepung konjak berfungsi sebagai pengganti lemak sehingga dapat memperbaiki tekstur dari sosis. Jadi dengan penambahan tepung yang lebih banyak dapat menghasilkan sosis yang mempunyai nilai firmness yang lebih rendah. Untuk hasil terbaik dari uji sensoris dan uji tekstur, diambil tiga perlakuan terbaik yang selanjutnya diuji kandungan kimianya (Tabel 4). Tabel 4. Hasil Uji Kimia Kode Sampel Kadar Air (%) Protein (%) Lemak (%) pH K5.RL1.G2 28,8158 16,698 4,0783 6,93 K10.RL1.G3 29,5921 16,047 4,2274 7 K10.RL3.G2 21,6593 10,751 0,663 6,87 K: Konjak; RL: Rumput laut; G: Garam dan angka menunjukkan presentase
138
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Berdasarkan penelitian yangdikalukan oleh Lopez-Lopez et al. (2009) dan Jimenez-Colmenero et al. (2010) yang menggunakan daging babi dan olive oil dengan pengemulsi konjak dan tepung rumput laut, hasil uji kimia menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan hasil penelitian ini. Kadar air pada penelitian tersebut (Lopez-Lopez et al., 2009, Jimenez-Colmenero et al. 2010) antara 65,55 sampai 70,20 gram/100 gram bahan. Sedangkan Tabel 4 menunjukkan bahwa sosis ikan tongkol memiliki kadar air yang cukup rendah yaitu 29,5921 untuk hasil tertinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa sosis ikan tongkol akan lebih awet (tahan lama) daya simpannya. Kadar protein sosis frankfurters tongkol (16,698 %) sama dengan kadar protein sosis daging babi kontrol (16,37 gram/100 gram bahan dan 16,28 %) pada penelitian Lopez-Lopez et al. (2009) dan Jimenez-Colmenero et al. (2010). Hasil pengujian kadar lemak pada penelitian ini sangat rendah, dengan hasil 0,663% atau hampir tidak memiliki kandungan lemak. Ini berbeda dengan sosis frankfuters pada umumya yang sangat ditekankan pada kandungan lemak karena akan mempengaruhi tekstur dari sosis. Sedangkan untuk pengukuran pH, hasil menunnjukkan angka yang cukup tinggi dan sama pada semua penelitian yaitu antara 6 sampai 7. Jika dibandingkan dengan sosis frankfuters daging pada umumnya, sosis tongkol memang mempunyai banyak perbendaan di antaranya tekstur di mulut yang masih kasar, tidak sehalus sosis daging. Selain itu, warna yang kurang menarik pada beberapa perlakuan. Akan tetapi sifat kimia dari sosis ikan tongkol ini pun berbeda terutama pada kandungan lemaknya yang jauh lebih rendah dari pada sosis pada umumnya yang hasil terbaiknya hanya 0,66 %, yang berarti hampir tidak memiliki kandungan lemak. Berdasarkan analisis kimia, perlakuan 10K.3RL.2G (konsentrasi tepung konjak 10 %, rumput laut 3 % dan garam 2 %) mempunyai nilai kadar air, protein, lemak dan pH terendah. Jadi dengan konsentrasi tepung konjak yang lebih banyak, rumput laut dan garam yang lebih sedikit, dapat mengurangi kandungan lemak pada sosis. Namun hal itu tidak meningkatkan kandungan protein pada sosis. Protein pada sosis akan meningkat jika konsentrasi tepung konjak, rumput laut dan garam lebih rendah. Selisih kandungan protein sosis frankfuter dari ikan tongkol dan sosis daging SNI yaitu 3,689 %. Jadi sosis frankfuter mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dibanding sosis daging yaitu sebesar 13 % (Afriana dan Pangesthi, 2013). Sedangkan kandungan lemak (maksimal) sosis menurut SNI adalah 25 %. Jadi sosis frankfuters mempunyai kandungan lemak yang relatif rendah atau sedikit mengandung lemak. Hal ini dapat disebabkan karena ikan tongkol mempunyai kandungan lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan sosis yang terbuat dari daging sapi. Kandungan lemak terendah adalah pada perlakuan 10.3.2 (konsentrasi tepung porang 10 %, seaweed 3,3, % dan garam 2 %), karena pada perlakuan ini konsentrasi tepung porang yang digunakan lebih banyak. Dimana tepung porang ini berfungsi sebagai pengganti lemak pada sosis ikan tongkol. Lemak analog atau pengganti lemak dengan tepung porang dapat mengurangi total energi kalori sehingga sosis yang dihasilkan baik untuk diet sehat. Sedangkan rumput laut berperan sebagai pengikat air dan lemak sehingga mampu meningkatkan kestabilan emulsi. Selain sebagai pengemulsi rumput laut juga mampu membentuk tekstur sosis sehingga penggunaan lemak pun bisa dihindari karena tekstur lembut pada sosis merupakan pengaruh dari kadar lemak yang dikandung, rumput laut juga dapat memberikan pengaruh kimia dengan zat yang dikandungnya seperti antioksidan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sosis frankfuters yang dibuat dengan lemak analog ektrak porang dan pengemulsi dari ekstrak rumput laut ternyata memilki kandungan lemak yang jauh lebih rendah dari sosis yang terbuat dari daging sapi atau daging ayam pada umumnya. Tekstur yang dihasilkan pun disukai oleh panelis untuk beberapa perlakuan. Saran Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengkaji daya tahan atau umur simpan dari sosis frankfuters ikan tongkol serta untuk memperbaiki sensoris dari sosis terutama rasa sosis.
139
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
DAFTAR PUSTAKA Tobin B. D., O'Sullivan M G., Hamill R M., Kerry J P. 2012. Effect of Varying Salt and Fat Levels on the Sensory and Physiochemical Quality of Frankfurters. Meat Sci. 92:659–666. Cofrades S., Lopez-Lopez I., Solas M T., Bravo L., Jimenez-Colmenero F. 2008. Influence of Different Types and Proportions of Added Edible Seaweeds on Characteristics of Low-Salt Gel/Emulsion Meat Systems. Meat Sci. 79: 767–776 Gomez-Ordonez E., Jimenez-Escrig A., Rupérez P. 2010. Dietary Fibre and Physicochemical Properties of Several Edible Seaweeds from the Northwestern Spanish Coast. Food Res Int. 43:2289–2294 Jimenez-Colmenero F., Cofrades S., Herrero A M., Solas M T., Ruiz-Capillas C. 2013. Konjac Gel for Use as Potential Fat Analogue for Healthier Meat Product Development: Effect of Chilled and Frozen Storage. Food Hydrocolloid. 30:351-357 Jimenez-Escrig A B., Sanchez-Muniz F J. 2013. Dietary Fibre from Edible Seaweeds: Chemical Structure, Physicochemical Properties and Effects on Cholesterol Metabolism. Nurt Res. 20: 585-598. Lopez-Lopez I., Cofrades S., Ruiz-Capillas C., Jimenez-Colmenero F. 2009. Design and Nutritional Properties of Potential Functional Frankfurters Based on Lipid Formulation, Added Seaweed and Low Salt Content. Meat Sci. 83:255–262 Lopez-Lopez, S., Bastida, C., Ruiz-Capillas, L., Bravo, M T, Larrea, F., Sánchez-Muniz, S., Cofrades, F., Jiménez-Colmenero. 2009. Composition and Antioxidant Capacity of Low-Salt Meat Emulsion Model Systems Containing Edible Seaweeds. Meat Sci. 83:492–498 Osburn W N., Keeton J T. 2004. Evaluation of Low-Fat sausage Containing Desinewed Lamb and Konjac Gel. Meat Sci. 68:221–233 Ruperez P. 2002. Mineral Content of Edible Marine Seaweeds. Food Chem. 79:23–26 Zhang Y., Xie B., Gan X. 2005. Advance in the Applications of Konjac Glucomannan and its Derivatives. Carbohyd Polym. 60:27–31
140
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK DAUN DAN BIJI KELOR (MORINGA OLEIFERA) SERTA LAMA PENYIMPANAN TERHADAP SENSORIS TAHU Puspitasari C1, Hidayati D2, Rahman A3 1. Mahasiswa, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan 2. Staf Pengajar, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan 3. Staf Pengajar, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan PO Box 2 Kamal, Jawa Timur 69162 Email :
[email protected] ABSTRAK Tahu merupakan salah satu makanan yang mudah busuk karena kandungan gizinya yang cukup tinggi menjadikan tahu sebagai media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme. Banyak produsen tahu yang menambahkan pengawet non pangan seperti formalin untuk meningkatkan umur simpannya. Banyaknya kasus penyalahgunaan formalin perlu diminimalisir dengan pengawet pangan alami. Biji dan daun Moringa oleifera (kelor) dapat digunakan sebagai alternatif pengawet pangan alami karena mengandung senyawa-senyawa yang bertindak sebagai antimirobia. Penelitian ini menggunakan desain Rancangan Acak Lengkap 3 faktor yaitu sumber ekstrak (daun dan biji kelor), konsentrasi (10% dan 20%) dengan pembanding tahu 0% ekstrak sebagai kontrol dan lama penyimpanan (hari ke 0,1,2, dan 3). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor terhadap mutu tahu secara sensoris dengan mendeskripsikan masing-masing parameter (penampakan, aroma, dan tekstur) pada tiap sampel. Analisis data menggunakan uji variansi (ANOVA) dengan taraf signifikansi 5% untuk beda nyata dan dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey untuk mengetahui beda nyata pada setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber ekstrak dan lama penyimpanan berpengaruh (p≤0,05) terhadap sensoris tahu, namun konsentrasi yang ditambahkan tidak memberi pengaruh. Penambahan ekstrak daun dapat mempertahankan mutu tahu secara sensoris selama 2 hari sama dengan tahu kontrol, sedangkan ekstrak biji kelor dapat mempertahankan hingga 3 hari penyimpanan. Kata Kunci: Moringa oleifera, Tahu, Sensoris, Mutu, dan Umur simpan
PENDAHULUAN Tahu merupakan salah satu makanan tradisional yang populer di semua kalangan masyarakat dan memiliki kandungan gizi cukup tinggi. Menurut Herlinda dan Atmasjuri dalam Setyadi (2008), kandungan protein dan kadar lemak pada tahu lokal mencapai 8,3% dan 5,4%, selain itu tahu juga mengandung air kurang lebih 82,4%. Kandungan protein, lemak, dan air yang cukup tinggi menyebabkan tahu menjadi media yang cocok pertumbuhan mikroorganisme sehingga cepat rusak dan busuk. Akibatnya banyak produsen yang menggunakan pengawet untuk meningkatkan umur simpan tahu. Saat ini banyak ditemui penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai bahan tambahan pangan. Salah satu jenisnya adalah pengawet yang berfungsi untuk meningkatkan umur simpan produk, tetapi banyak beredar penggunaan pengawet berbahaya seperti formalin. Pengawet pangan alami saat ini sangat dibutuhkan guna meminimalisir maraknya kasus penggunaan pengawet non pangan yang berbahaya. Sumber pengawet alami dapat ditemukan dari tanaman yang memiliki sifat antimikrobia. Antimikrobia adalah suatu senyawa yang dapat menghambat aktivitas atau pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kelor merupakan tanaman yang cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan atau aktivitas mikroorganisme patogen karena memiliki senyawa saponin, flavonoid, tannin, alkanoid dan fenol (Oluduro 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al. (2012) menunjukkan bahwa daun kelor yang diekstrak dengan air efektif terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Bacillus subtilis dengan zona penghambat mulai 12-18 mm. Penelitian Bukar et al. (2010) menyatakan bahwa ekstrak daun dan biji kelor dengan
141
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
pelarut etanol dan kloroform memiliki aktivitas antimikrobia, akan tetapi sifat antimikrobia yang paling efektif adalah pada bijinya. Kajian tentang sifat antimikrobia pada kelor menunjukkan bahwa tanaman ini berpotensi sebagai pengawet alami. Penelitian ini mengkaji mutu tahu selama penyimpanan dengan mengamati dan mendeskripsikan pengaruh penambahan ekstrak daun dan biji kelor terhadap sensoris tahu untuk mengetahui umur simpannya. METODE Preparasi Ekstrak Daun Dan Biji Kelor Daun dan biji kelor segar dicuci hingga bersih, kemudian diblender menggunakan pelarut air dengan perbandingan 1:5. Jus daun dan biji kelor masing-masing dipanaskan selama 5 menit kemudian didinginkan dan disaring hingga terpisah antara ampas dan larutannya (Chumark et al. 2008). Ekstrak daun dan biji kelor kemudian dicampurkan pada proses penggumpalan tahu Pembuatan Tahu dengan Penambahan Ekstrak Daun dan Biji Kelor Kedelai dicuci dengan air hingga bersih, selanjutnya direndam dalam air selama 1 malam dan dicuci lagi. Kedelai yang telah bersih dihancurkan menggunakan blender selama ±10 menit hingga halus, kemudian disaring untuk memisahkan padatan dan susu kedelai. Susu kedelai dimasak kemudian dicampur dengan ekstrak daun dan biji kelor masing-masing sebanyak 0% (kontrol), 10%,dan 20%. Tahapan selanjutnya adalah penggumpalan, dimana campuran susu kedelai dan ekstrak daun Moringa oleifera ditambah dengan larutan cuka dan siap untuk dicetak. Pengujian Sensoris Tahu Pengujian sensoris bertujuan untuk mengamati kerusakan tahu selama penyimpanan. Parameter yang menunjukkan mutu tahu yang mulai rusak adalah munculnya lendir pada permukaan tahu, baunya asam dan busuk, tumbuhnya kapang, dan tekstur tahu mulai tidak kompak. Analisis sensoris yang dilakukan diujian pada 20 penelis tidak terlatih (Gallagher dalam Ummah et al. 2013). Panelis mengamati perubahan yang terjadi pada tahu selama penyimpanan mulai hari ke 0 hingga hari ke 3. Panelis diminta memberikan penilaian pada sampel yang meliputi penampakan, aroma, dan tekstur dengan penilaian skala 1-5, dimana skala terbesar yaitu 5 mewakili deskripsi parameter tahu yang paling baik dan skala 1 mewakili deskripsi tahu yang paling rusak atau busuk (Setyadi 2008). Analisis Data Analisis data menggunakan uji variansi (ANOVA) dengan taraf signifikansi 5% untuk beda nyata dan dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey untuk mengetahui beda nyata pada setiap perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Sensoris terhadap Penampakan Tahu Penampakan permukaan tahu merupakan pengamatan secara sensori yang memanfaatkan rangsangan indera peraba. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa faktor sumber ekstrak dan lama penimpanan berpengaruh nyata (p≤0,05) terhadap penampakan tahu. Namun faktor penambahan konsentrasi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penampakannya. Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan ekstrak biji menunjukkan nilai rata-rata yang lebih tinggi dari ekstrak daun yaitu sebesar 3,058 dan untuk ekstrak daun sebesar 2,783. Berdasarkan uji lanjut Tukey nilai rata-rata penampakan tahu dengan ekstrak biji dan daun kelor masing-masing berbeda nyata. Tabel 1. Nilai rata-rata penampakan tahu secara sensoris berdasarkan faktor sumber ekstrak Sumber ekstrak Nilai Rata-rata Daun 2,783a Biji 3,058b
142
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05) Faktor lama penyimpanan pada Tabel 2 juga berpengaruh nyata (p≤0,05) terhadap penampakan tahu, semakin lama waktu penyimpanan maka nilai penampakan semakin kecil. Nilai rata-rata penampakan tahu berurutan adalah 4,025; 3,275; 2,500; dan 1,883. Hasil uji lanjut Tukey menjelaskan bahwa nilai rata-rata mulai hari ke 0 hingga ke 3 tersebut berbeda nyata. Tabel 2. Nilai rata-rata penampakan tahu secara sensoris berdasarkan faktor lama penyimpanan Lama penyimpanan (hari) Nilai Rata-rata d 0 4.025 1 3.275c 2.500b 1.883a
2 3
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05) Interaksi antara faktor konsentrasi dengan lama penyimpanan memberi pengaruh nyata (p≤0,05) terhadap penampakan tahu. Nilai penampakan tertinggi ditunjukkan oleh tahu dengan konsentrasi 0% atau kontrol pada hari ke 0, namun nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan tahu yang ditambahkan konsentrasi 10% dan 20% pada hari yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa tahu pada hari ke 0 memiliki penampakan tahu yang sama. Sedangkan nilai terendah ditunjukkan oleh tahu kontrol pada penyimpanan hari ke 3 dan nilai tersebut berbeda nyata dengan tahu yang mengandung ekstrak kelor 10% dan 20%. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara sensori terdapat perbedaan penampakan tahu di hari ke 3. Tabel 3. Nilai rata-rata penampakan secara sensoris berdasarkan interaksi faktor konsentrasi dengan lama penyimpanan Lama penyimpanan Konsentrasi (%) Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 0 4,200f 3,600e 2,000b 1,400a 10 20
3,925f 3,925f
3,100d 3,125d
2,600c 2,900d
2,125b 2,125b
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05) Interaksi antar tiga faktor yaitu sumber ekstrak, konsentrasi, dan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap penampakan tahu.
Gambar 1. Tren permukaan tahu secara sensoris selama penyimpanan
143
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Keterangan: Skala (1) Paling berlendir, (2) Berlendir, (3) Sedikit lendir, (4) Permukaan agak halus tanpa lendir, (5) Permukaan paling halus dan bagus tanpa lendir. Gambar 1 menjelaskan bahwa pada hari ke 0 nilai tahu cukup tinggi yaitu berkisar antara 3 – 5. Hasil penelitian yang diujikan secara sensori pada hari ke 0 ini menunjukkan bahwa penampakan permukaan tahu masih halus dan belum berlendir, sehingga tahu masih layak untuk dikonsumsi. Pada penyimpanan hari pertama terjadi penurunan tren terhadap penampakan tahu. Akan tetapi nilai-nilai yang dihasilkan menunjukkan mutu tahu yang masih cukup baik. Terjadi penurunan tren yang cukup tajam pada tahu kontrol pada penyimpanan hari ke 2 dimana nilainya turun hingga 2, hal ini menunjukkan bahwa tahu kontrol telah berlendir di seluruh permukaan tahu dan mulai muncul jamur. Tahu perlakuan dengan penambahan ekstrak daun juga telah mengalami pelendiran hampir diseluruh permukaannya. Sedangkan tahu dengan penambahan ekstrak biji masih mulai muncul lendir. Dihari ke 3 kelima sampel terus mengalami penurunan tren yang mendeskripsikan bahwa permukaan tahu berlendir diseluruh bagiannya dan hal ini menandakan bahwa tahu telah rusak. Analisis Sensoris Terhadap Aroma Aroma merupakan salah satu parameter uji untuk analisis sensori yang melibatkan respon indera pembau. Dengan memanfaatkan indera pembau panelis dapat mendeskripsikan tingkat kesegaran tahu selama penyimpanan. Penilaian aroma tahu secara statistik menunjukkan bahwa masing-masing faktor berpengaruh nyata (p≤0,05) terhadap aroma tahu, namun tidak pada faktor konsentrasi karena p=0,28. Penambahan ekstrak biji memiliki nilai rata-rata 2,992 dan lebih tinggi dari ekstrak daun, uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa keduanya berbeda nyata. Tabel 4. Nilai rata-rata aroma tahu secara sensoris berdasarkan faktor sumber ekstrak Sumber ekstrak Nilai Rata-rata Daun Biji
2,637a 2,992b
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05) Tabel 5 menunjukkan bahwa penyimpanan yang semakin lama akan menurunkan nilai aroma tahu. Nilai rata-rata yang ditunjukkan faktor lama penyimpanan secara berturut-turut adalah 3,992; 3,267; 2,633; 1,367, dan nilai tersebut secara statistik berbeda nyata. Tabel 5. Nilai rata-rata aroma tahu secara sensoris berdasarkan faktor lama penyimpanan Lama penyimpanan (hari) Nilai Rata-rata d 0 3,992 1 3,267c 2 2,633b 3 1,367a Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05) Hasil interaksi faktor sumber ekstrak dengan konsentrasi menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi 10% dan 20% pada ekstrak biji meningkatkan nilai aroma pada tahu dan nilai tersebut tidak berbeda nyata. Namun sebaliknya, tahu dengan ekstrak daun 10% dan 20% menurunkan nilai aroma.
144
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Tabel 6. Nilai rata-rata aroma tahu secara sensoris berdasarkan interaksi faktor sumber ekstrak dengan konsentrasi Konsentrasi (%) Sumber ekstrak 0 10 20 b b Daun 2,700 2,700 2,512a Biji 2,700b 3,175c 3,100c Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05) Penilaian aroma tahu berdasarkan interaksi faktor sumber ekstrak dengan lama penyimpanan menunjukkan bahwa ekstrak biji memiliki nilai aroma yang lebih tinggi dari ekstrak daun selama penyimpanan dan nilainya juga berbeda nyata. Namun seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan terjadi penurunan nilai aroma tahu pada kedua sumber ekstrak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu penyimpanan maka mutu tahu akan semakin menurun. Tabel 7. Nilai rata-rata aroma tahu secara sensoris berdasarkan interaksi faktor sumber ekstrak dengan lama penyimpanan Lama penyimpanan Sumber ekstrak Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Daun 3,950e 3,067c 2,200b 1,333a Biji
4,033e
3,467d
3,067c
1,400a
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05) Pada Gambar 2 disajikan tren perubahan nilai rata-rata aroma tahu selama penyimpanan berdasarkan interaksi faktor sumber ekstrak, konsentrasi, dan lama penyimpanan.
Gambar 2. Tren aroma tahu secara sensoris selama penyimpanan Keterangan: Skala (1) Sangat asam dan basi (busuk), (2) Berbau busuk, (3) Mulai berbau asam, (4) Agak Segar (5) Khas tahu segar. Pada hari ke 0 tingkat kesegaran tahu memiliki nilai yang cukup tinggi. Nilai tersebut berkisar antara 4 – 5 yang menunjukkan bahwa aroma tahu masih segar dan layak untuk dikonsumsi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tahu sampel pada hari ke 1 terjadi penurunan tren, dimana tahu dengan perlakuan penambahan ekstrak daun 10%, daun 20%, dan kontrol memiliki nilai lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan penambahan ekstrak biji 10% dan 20%. Akan tetapi nilai tersebut menunjukkan bahwa aroma tahu masih segar belum terjadi tanda-tanda kerusakan. Pada hari ke 2 nilai
145
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
tertinggi ditunjukkan oleh tahu dengan penambahan ekstrak biji 10% dan 20%, nilai tersebut menunjukkan bahwa aroma tahu masih segar. Sedangkan nilai tiga sampel tahu lainnya menunjukkan bahwa aroma tahu telah busuk. Gambar 2 menyatakan bahwa penyimpanan hari ke 3 kelima perlakuan mengalami penurunan tren hingga nilai 1 – 2. Nilai tersebut menunjukkan mutu tahu sudah tidak layak dikonsumsi yang ditandai dengan munculnya aroma busuk. ANALISIS SENSORIS TERHADAP TEKSTUR TAHU Parameter tekstur merupakan penilaian sensoris untuk mengetahui tingkat kekenyalan tahu dengan bantuan indera peraba. Hasil penilaian tekstur secara statistik menunjukkan bahwa sumber ekstrak dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (p≤0,05) terhadap tekstur tahu secara sensoris, begitu pula dengan pengaruh yang diberikan oleh interaksi antara faktor konsentrasi dengan lama penyimpanan. Namun interaksi antara 3 faktor tidak berpengaruh pengaruh nyata (p>0,05) sehingga nilainya tidak berbeda nyata. Penambahan ekstrak daun menunjukkan nilai rata-rata tekstur yang lebih rendah dari ekstrak biji dan keduanya berbeda nyata. Penambahan ekstrak daun dan biji memiliki nilai rata-rata sebesar 2,608 dan 2,908, keduanya berdeda nyata. Tabel 8. Nilai rata-rata tekstur tahu secara sensoris berdasarkan faktor sumber ekstrak Sumber ekstrak Nilai Rata-rata a Daun 2.608 Biji 2.908b Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05) Tabel 9 menunjukkan nilai rata-rata tekstur tahu pada hari ke 0 hingga ke 3 sebesar 3,833; 3,033; 2,542; 1,625. Nilai rata-rata tersebut cenderung mengalami penurunan seiring bertambahnya waktu simpan dan uji lanjut Tukey menunjukkan nilai pada masing-masing hari berbeda nyata. Tabel 9. Nilai rata-rata tekstur tahu secara sensoris berdasarkan faktor lama penyimpanan Lama penyimpanan (hari) Nilai Rata-rata 3,833d 3,033c 2,542b 1,625a
0 1 2 3
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05) Penilaian tekstur tahu secara sensoris pada interaksi antara faktor konsentrasi dengan lama penyimpanan menunjukkan bahwa pada masing-masing konsentrasi yang ditambahkan terjadi penurunan nilai tekstur tahu. Namun hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa dengan penambahan konsentrasi 10% pada hari ke 1 dan hari ke 2 tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan pemberian konsentrasi 10% lebih dapat mempertahankan tekstur tahu hingga hari ke 2 dibandingkan kontrol dan konsentrasi 20%. Tabel 10. Nilai rata-rata tekstur secara sensoris berdasarkan interaksi faktor konsentrasi dengan lama penyimpanan Lama penyimpanan Konsentrasi (%) Hari ke-0 Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 0 3,850h 3,150f 2,200d 1,750c 10
4,075h
3,075f
146
2,925f
1,475ab
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
20
3,575g
2,875f
2,500e
1,650b
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang rerata menunjukkan beda nyata antar perlakuan dengan tingkat signifikansi (p≤0,05) Interaksi 3 faktor tidak memberi pengaruh terhadap tekstur tahu, namun nilai rata-rata yang dihasilkan masing-masing sampel setiap harinya selama penyimpanan bervariasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3. Tren tekstur tahu secara sensoris selama penyimpanan Keterangan: Skala (1) Sangat mudah hancur dan sangat lengket, (2) Mudah hancur, (3) Mulai lunak
dan sedikit lengket, (4) Agak kenyal, (5) Paling kenyal dan kompak. Penilaian tekstur tahu dilakukan dengan mengamati tingkat kekenyalan dan kelengketan pada kelima tahu perlakuan. Pada hari ke 0 nilai parameter tekstur tahu beragam yaitu 3 – 5. Nilai kelima sampel tahu tersebut menunjukkan bahwa tingkat kekenyalan tahu masih masih bagus. Penyimpanan hari ke 1 terjadi penurunan nilai tekstur, namun nilai tersebut menunjukkan tekstur tahu yang masih cukup baik dan mendeskripsikan mulai terjadi pelunakan tekstur. Hasil penilaian sensori hari ke 2 pada Gambar 3 menjelaskan bahwa terjadi penurunan tren pada beberapa sampel tahu yang diujikan. Sampel tahu kontrol dan tahu dengan penambahan ekstrak daun 20% menunjukkan nilai yang menjelaskan bahwa tahu tersebut pada fase mudah hancur. Hal ini menunjukkan muncul tanda telah terjadi kerusakan tahu. Penilaian sensori hari ke 3 kelima sampel tahu mengalami penurunan tren dengan nilai 1 – 2 yang menunjukkan bahwa tekstur tahu mengalami kerusakan yang ditandai dengan menurunnya tingkat kekenyalan dan kekompakannya. Sehingga tahu dengan perlakuan penambahan ekstrak biji hanya dapat mempertahankan tekstur tahu satu hari lebih lama dari pada kontrol dan penambahan ekstrak daun. Hasil analisis sensoris yang meliputi penampakan, aroma, dan tekstur menunjukkan bahwa tahu dengan perlakuan penambahan ekstrak daun 10%, daun 20%, dan kontrol dapat mempertahankan parameter uji hingga penyimpanan hari ke 2. Sedangkan perlakuan penambahan ekstrak biji 10% dan 20% dapat mempertahankan mutu tahu hingga penyimpanan hari ke-3. Hal ini menunjukkan bahwa sifat antimikrobia pada biji Moringa oleifera lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada tahu dibandingkan dengan daunnya. Tahu yang dinyatakan rusak karena terjadi tanda-tanda kerusakan tahu seperti munculnya lendir pada permukaan tahu, tahu mulai berbau busuk, dan tekstur tahu mudah hancur. Kerusakan tersebut disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pembusuk, dimana pelendiran yang terjadi pada tahu disebabkan oleh hidrolisis zat pati dan protein yang menghasilkan sifat lekat. Sedangkan bau busuk timbul dari hasil fermentasi karbohidrat oleh bakteri golongan Bacillus, Clostridium, dan Coliform.
147
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
KESIMPULAN Penambahan ekstrak daun dan biji kelor dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap penampakan, aroma, tekstur, dan warna tahu, namun penambahan konsentrasi sebanyak 10% dan 20% tidak berpengaruh nyata. Tahu dengan ekstrak daun kelor dan kontrol mampu mempertahankan parameter uji selama 2 hari, sedangkan tahu dengan tambahan ekstrak biji kelor dapat mempertahankan hingga 3 hari penyimpanan. REFERENSI Bukar A., Uba A., Oyeyi T.I. 2010. Antitimokrobial Profile of Moringa oleifera lam. Extracts Against Some Food – Borne Microorganisms. Bayero Journalof Pure and Applied Sciences Vol 3(1): 43-48 Chumark P., Panya K., Yupin S., Srinchan P., Noppawan P.M., Laddawal P., Piyanee R., Supath S., dan Klai-upsorn S. P. 2008. The In Vitro and Ex Vivo Antioxidant Properties, Hypolipidaemic and Antiatherosclerotic Activities of Water Extract of Moringa oleifera lam Leaves. Journal of Ethenopharmacology Kumar V., Nishtha P., Nitin M., dan Ram P.S. 2012. Antibacterial and Antioxidant Activity of Different Extract of Moringa oleifera Leaves – An in-Vitro Study. International Journal of Pharmaceutical Science Review and Research Vol. 12 Oluduro A. 2012. Evaluation of Antimikrobial properties and Nutritional Potentials of Moringa oleifera lam. In South-Western Nigeria. Malaysian Journal of Microbiology Vol. 8(2): 59-67 Setyadi D. 2008. Pengaruh Pencelupan Tahu Dalam Pengawet Asam Organik Terhadap Mutu Sensori Dan Umur Simpan.[skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Ummah S., Umi P., Rahmad F. 2013. Efek Pre-Gelatinisasi dan Proporsi Tepung Porang Keriting Terhadap Penilaian Sensoris Korelasi Sifat Sensoris Mi Porang. Universitas Trunojoyo Madura
148
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
PENGARUH FORTIFIKASI EKSTRAK DAUN DAN BIJI KELOR (Moringa oleifera) TERHADAP SIFAT SENSORIS TAHU Kusumawardani S1, Hidayati D2, Mu’tamar MFF3 1. Mahasiswa, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan 2. Staf Pengajar, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan 3. Staf Pengajar, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan PO Box 2 Kamal, Jawa Timur 69162 Email :
[email protected] ABSTRAK Malnutrisi merupakan masalah global yang dihadapi dunia dimana asupan makro dan mikronutrien dikatakan tidak memadai dan banyak terjadi pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Kelor dapat dijadikan sebagai alternatif untuk memerangi masalah malnutrisi karena kaya akan kandungan nutrisi alami dan senyawa fitokimia yang mampu memberikan fungsi fisiologis pada tubuh. Penelitian ini melakukan fortifikasi ekstrak daun dan biji kelor pada pembuatan tahu, tahu dipilih karena merupakan makanan yang dapat diterima semua kalangan dengan kandungan protein yang tinggi dan harga yang murah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan fortifikasi terhadap sifat sensoris tahu dengan jumlah penambahan ekstrak biji dan daun kelor masing-masing sebanyak 10%, 20%, dan 0% sebagai kontrol. Parameter yang diuji yaitu sensoris tahu yang meliputi rasa, warna, aroma, dan kesukaan keseluruhan pada 20 panelis. Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS dan dilakukan uji variansi (ANOVA) dengan taraf beda nyata 5% lalu dilakukan uji Tukey. Hasil dari penelitian ini perlakuan penambahan ekstrak biji kelor sebanyak 10% pada tahu merupakan perlakuan yang dapat diterima dan paling mendekati tahu kontrol yang diperoleh dari uji sensoris. Kata Kunci: Malnutrisi, Kelor, Fortifikasi, Tahu, Sifat Sensoris.
PENDAHULUAN Malnutrisi merupakan masalah global yang dihadapi dunia dimana asupan makro dan mikronutrien dikatakan tidak memadai dan tidak seimbang. Nutrisi merupakan hal yang sangat vital untuk diperhatikan karena fungsi dari nutrisi itu sendiri adalah untuk pertumbuhan, pembentukan organ dan fungsi tubuh, serta juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan sistem imun. Faktor yang seringkali melatarbelakangi terjadinya malnutrisi adalah masalah ekonomi. Kondisi tersebut rawan dialami oleh anak – anak dan ibu hamil seperti di Indonesia. Data The World Food Programme (WFP) dalam Church World Service (2008) menyebutkan bahwa sekitar 13 juta anak menderita gizi buruk. Hal ini menjadi sangat wajar, sebab rata–rata penduduk dengan tingkat ekomoni yang rendah seringkali mengabaikan asupan makanan yang dikonsumsi. Tanaman kelor (Moringa oleifera) adalah tanaman yang banyak tumbuh di negara beriklim tropis termasuk Indonesia. Saat ini kelor menjadi komoditas pangan yang penting di beberapa negara karena kaya akan kandungan nutrisi alami dan juga diketahui mengandung banyak senyawa fitokimia yang memberikan efek fisiologis yang baik bagi tubuh, sehingga beberapa bagian tanaman ini dimanfaatkan untuk memerangi masalah malnutrisi (Oluduro 2012, Bukar et al. 2010). Banyaknya manfaat yang ditawarkan oleh kelor ini sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai makanan fungsional dengan melakukan fortifikasi yaitu menambahkan zat yang mampu memberikan fungsi fisiologis pada pangan ketika dikonsumsi. Penelitian ini melakukan fortifikasi ekstrak daun dan biji kelor pada pembuatan tahu untuk mengetahui pengaruh perlakuan fortifikasi terhadap sifat sensoris. Penelitian yang dijadikan sebagai objek makanan fungsional adalah tahu karena merupakan makanan yang dapat diterima semua
149
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
kalangan dengan kandungan protein yang tinggi dan harga yang murah sehingga mampu memperbaiki kualitas gizi masyarakat. METODE Pembuatan Ekstrak Daun dan Biji Kelor Daun atau biji kelor segar dicuci hingga bersih, kemudian diblender menggunakan pelarut air dengan perbandingan 1:5. Jus daun atau biji kelor dipanaskan selama 5 menit kemudian didinginkan dan disaring hingga terpisah antara ampas dan larutannya (Chumark et al. 2008). Ekstrak daun atau biji kelor kemudian dicampurkan pada proses penggumpalan tahu Pembuatan Tahu yang difortifikasi dengan Ekstrak Daun dan Biji Kelor Kedelai dicuci bersih dengan air kemudian direndam selama 1 malam dan dicuci kembali hingga bersih, selanjutnya diblender selama ± 10 menit hingga halus. Bahan yang telah diblender kemudian disaring menggunakan kain saring hingga terpisah antara padatan dan susu kedelai. Susu kedelai yang telah direbus kemudian dicampur dengan ekstrak daun atau biji kelor masing-masing sebanyak 10%, 20%, dan 0% sebagai kontrol. Tahap selanjutnya adalah penggumpalan, dimana susu kedelai yang telah dicampur ekstrak daun dan biji kelor dengan konsentrasi yang berbeda kemudian dipadatkan dengan menggunakan asam cuka dan kemudian dicetak. Uji Sensoris Pengujian sifat organoleptik dari masing–masing tahu yang difortifikasi menggunakan daun dan biji kelor. Sampel tahu ditunjukkan pada panelis sebanyak 20 orang. Panelis mengamati dan memberi nilai pada sampel yang meliputi rasa, aroma, warna, dan kesukaan keseluruhan dengan 5 skala point – Hedonic (5, sangat suka; 4, suka; 3, biasa; 2, tidak suka; 1, sangat tidak suka) dan kemudian skor tersebut dikalkulasi (Ndatsu dan Olekan 2012). ANALISIS DATA Analisis data dilakukan menggunakan SPSS dan dilakukan uji (Analysis of Varians) ANOVA untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter uji pada taraf beda nyata 5% (p<0,05), jika analisis ragam berbeda nyata dilanjutkan uji lanjut Tukey untuk mengetahui perbedaan dari tiap perlakuan. Diagram Alir Penelitian
150
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 1. Diagram alir penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Sensoris Analisis sensoris merupakan pengamatan terhadap sifat–sifat tahu yang meliputi rasa, warna, aroma, dan kesukaan keseluruhan. Berdasarkan hasil pengujian pada 20 panelis, analisis sensoris fortifikasi ekstrak biji dan daun kelor (Moringa oleifera) pada pembuatan tahu adalah sebagai berikut. Tabel 1. Nilai rata-rata uji sensoris tahu Perlakuan Rata-rata Sumber Konsentrasi Rasa Warna Aroma Kesukaan ekstrak Keseluruhan Daun 20 2,2 1,8a 2,4 2,2a 10 2,3 2,0a 2,5 2,3a Biji 20 3,1 3,5b 3,4 3,7b 10 3,6 3,9c 3,8 3,7b d Kontrol 0 3,7 4,6 3,9 3,9b Keterangan: skala point – hedonic (5, sangat suka; 4, suka; 3, biasa; 2, tidak suka; 1, sangat tidak suka), angka dengan notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α=0.05
151
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Rasa Rasa merupakan suatu respon yang ditimbulkan oleh indera pengecap. Interaksi antara faktor sumber ekstrak dan konsentrasi penambahan pada tahu tidak berpengaruh nyata (p≥0,05) terhadap parameter kesukaan rasa. Rata-rata tertinggi dan mendekati kontrol adalah perlakuan tahu yang difortifikasi ekstrak biji kelor sebanyak 10%. Tahu yang difortifikasi ekstrak daun mendapatkan nilai terendah karena timbulnya rasa pahit yang disebabkan oleh kandungan senyawa saponin dan tanin sebesar 5% dan 1.4% pada daun kelor (Yulianti 2008), sehingga tahu perlakuan ini kurang diminati panelis. Warna Warna merupakan suatu kenampakan yang tampak oleh indera penglihatan. Umumnya, warna tahu yang banyak beredar di pasaran memiliki warna putih. Interaksi antara sumber ekstrak dan konsentrasi penambahan pada tahu memberikan pengaruh nyata (p≤0.05) pada parameter kesukaan warna. Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan fortifikasi ekstrak daun berbeda nyata dengan perlakuan lain, hal ini disebabkan tahu berwarna kehijauan. Warna hijau tersebut timbul karena adanya pigmen klorofil, sehingga mempengaruhi warna tahu (Kholis dan Hadi 2010). Sedangkan nilai rata-rata yang mendekati kontrol adalah tahu yang difortifikasi ekstrak biji 10% sebesar 3,9 sebab tidak mempengaruhi kenampakan warna tahu sehingga dapat diterima oleh panelis. Aroma Aroma adalah suatu rangsangan yang ditimbulkan karena adanya kontak syaraf–syaraf pada indera penciuman dengan suatu zat. Interaksi antara sumber ekstrak dan konsentrasi penambahan biji dan daun kelor tidak berpengaruh nyata (p≥0,05) terhadap parameter kesukaan aroma. Hasil uji lanjut menyatakan bahwa perlakuan penambahan ekstrak biji 10% (B1) merupakan nilai rata–rata tertinggi yang paling mendekati nilai rata–rata kontrol. Aroma yang dihasilkan dari perlakuan ini tidak menimbulkan efek langu maupun bau yang tidak sedap, karena pada dasarnya biji kelor tidak berbau sehingga aroma yang dihasilkan sama dengan tahu kontrol. Penambahan ekstrak daun kelor pada konsentrasi 10% dan 20% mendapatkan nilai rata-rata terendah, hal ini disebabkan adanya aroma khas daun kelor yang langu sehingga tingkat kesukaan panelis terhadap aroma perlakuan ini rendah. Kesukaan Keseluruhan Kesukaan keseluruhan merupakan penilaian yang diberikan terhadap sampel yang diujikan dengan parameter keseluruhan dari uji sensoris ini, meliputi rasa, warna, dan aroma. Interaksi antara sumber ekstrak dan konsentrasi penambahan pada tahu memberikan pengaruh nyata (p≤0.05) terhadap kesukaan keseluruhan. uji lanjut menyatakan bahwa nilai rata–rata pada penambahan ekstrak biji 10% (B1) dan 20% (B2) sama, yaitu sebesar 3,7. Nilai terendah sebesar 2,2 dimiliki oleh perlakuan tahu yang difortifikasi ekstrak daun 20% (D2). Hal ini disebabkan penambahan ekstrak daun secara fisik mengubah kenampakan tahu mulai dari rasa, aroma, dan warna yang menyebabkan tingkat penerimaan panelis terhadap perlakuan ini sangat rendah. KESIMPULAN Perlakuan fortifikasi ekstrak biji kelor pada konsentrasi 10% dalam pembuatan tahu menunjukkan nilai rata-rata kesukaan yang paling mendekati kontrol terhadap parameter sensoris yang meliputi rasa, warna, aroma, dan kesukaan keseluruhan. DAFTAR PUSTAKA Bukar A, Uba A, dan Oyeyi TI. 2010. Antimicrobial profile of Moringa oleifera lam.extracts against some food – borne microorganisms. Bayero Journal of Pure and Applied Sciences 3(1): 43 – 48. Chumark P, Khunawat P, Sanvarinda Y, Phornchirasilp S, Morales NP, Phivthong-ngame L, Ratanachamnong P, Srisawat S, Pongrapeeporn KS. 2008. The in vitro and ex vivo antioxidant
152
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
properties, hypolipidaemic and antiatherosclerotic activities of water extract of Moringa oleifera lam. leaves. Journal of Ethnopharmacology 116(3):439 – 446. Church World Service. 2008. Fact of malnutrition in Indonesia Kholis N dan Hadi F. 2010. Pengujian bioassay biscuit balita yang disuplementasi konsentrat protein daun kelor (Moringa oleifera) pada model tikus malnutrisi. Jurnal Teknologi Pertanian 11(3):144 – 151. Ndatsu Y dan Olekan AA. 2012. Effects of different types of coagulants on the nutritional quality tofu produced in the northern part of Nigeria. World Journal of Dairy & Food Sciences 7 (2): 135141. Oluduro AO. 2012. Evaluation of Antimicrobial properties and nutritional potentials of Moringa oleifera Lam. Leaf in southwestern Nigeria. Malaysian Journal of Microbiology 8(2): pp. 5967 Yulianti R. 2008. Pembuatan minuman jeli daun kelor (Moringa oleifera lamk) sebagai sumber vitamin c dan ß-karoten. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
153
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
UJI AKTIVITAS ANTIMIKROBIA EKSTRAK DAUN KELOR (MORINGA OLEIFERA) SEGAR TERHADAP BAKTERI ESCHERICHIA COLI, SALMONELLA SP. DAN STAPHYLOCOCCUS AUREUS Evendra Asih Saputra1, Supriyanto2, Darimiyya Hidayati3 1. Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian, UTM, Bangkalan 2. Dosen Teknologi Industri Pertanian, UTM, Bangkalan 3. Dosen Teknologi Industri Pertanian, UTM, Bangkalan Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan, PO BOX 2 Kamal 69162 Emai:
[email protected] ABSTRAK Daun kelor merupakan salah satu bagian dari tanaman kelor yang mempunyai manfaat yang sangat banyak, salah satunya adalah antibakteri. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sifat antimikrobia ekstrak daun kelor segar dengan menggunakan pelarut air, etanol 70% dan etanol 96% terhadap bakteri Escherichia coli, Salmonella sp dan Staphylococcus aureus. Ekstraksi daun kelor segar menggunakan metode maserasi. Pengujian aktivitas antivitas antimikrobia ekstrak daun kelor menggunakan metode cakram, dengan mengukur zona bening disekitar kertas cakram. Ekstrak daun kelor dengan pelarut etanol 70% lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri gram positif (Staphylococcus aureus). Sedangkan ekstrak daun kelor segar dengan pelarut etanol 96% lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri gram negarif (Escherichia coli dan Salmonella sp.) Ekstrak daun kelor dengan pelarut air tidak menunjukkan aktivitas antimikrobia. Kata Kunci, Kelor, Ekstraksi, Pelarut Antimikrobia, Daya hambat,
PENDAHULUAN Moringa oleifera adalah sejenis tumbuhan dari suku moringaceae. Tumbuhan ini memiliki ketinggian batang 7-11 meter. Daun Moringa oleifera berbentuk bulat telur dengan ukuran kecil-kecil bersusun majemuk dalam satu tangkai, buah Moringa oleifera berbentuk segitiga memanjang yang disebut dengan klentang. Daun dan buah Moringa oleifera dapat dibuat sayur dan obat-obatan. Moringa oleifera merupakan tanaman asli India utara dan saat ini banyak ditemukan di wilayah asia tenggara, termasuk Indonesia. Tanaman ini sangat mudah dijumpai dan telah dikenal serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, tetapi manfaatnya belum banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Daun Moringa oleifera merupakan salah satu bagian tumbuhan yang mempunyai manfaat yang sangat banyak salah satunya adalah antimikrobia. Beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa daun Moringa oleifera memiliki bahan aktif sebagai antibakteri. Menurut Bukar et al (2010) daun Moringa oleifera mempunyai senyawa aktif yang berperan sebagai antibakteri. Daun Moringa oleifera telah diketahui mengandung senyawa fitokimia seperti flavonoid, saponin, tanin dan beberapa senyawa fenolik lainnya yang memiliki aktivitas antimikroba (Mboto et al dalam Busani 2012). Tanin adalah senyawa fenol yang memiliki sifat-sifat menyerupai alkohol, salah satunya adalah bersifat antiseptik (zat penghambat jasad renik) (Fardiaz dalam Hidayati 2009) sehingga daun Moringa Oleifera berpotensi sebagai antibakteri atau pengawet. Menurut Vinoth et al (2012), ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dengan menggunakan pelarut air, etanol dan klorofom memiliki aktivitas antimikrobia, akan tetapi ekstrak etanol lebih aktif menghambat perumbuhan bakteri dibanding dengan ekstrak air. Penelitian lain yang dilakukan oleh Bukar (2010) menunjukkan bahwa daun kelor (Moringa oleifera) yang di ekstrak dengan pelarut etanol lebih efektif menghambat pertumbuhan semua bakteri uji. Sedangkan menurut Kumar et al
154
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
(2012) ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dengan pelarut etanol dan air mampu menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli, B. Subtilis dan Staphylococcus aureus. Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) dengan pelarut etanol menunjukkan adanya aktivitas penghambatan tumbuhnya bakteri. Oleh karena itu, penelitian ini mengkombinasikan daun kelor (Moringa oleifera) kering dan daun kelor (Moringa oleifera) segar dengan pelarut air dan etanol pada beberapa konsentrasi yang berbeda untuk menentukan sifat antimikrobia ekstrak daun kelor segar dengan menggunakan pelarut air dan etanol terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negative. METODE PENELITIAN Bahan Bahan berupa daun Kelor (Moringa oleifera)di peroleh dari kecamatan Paciran Kab. Lamongan. Daun kelor dalam keadaan segar dikumpulkan, dan dibersihkan. Bagian daun diseleksi kemudian di haluskan sehingga diperoleh serbuk daun kelor (Moringa oleifera). Ekstraksi dengan pelarut organik Daun kelor yang sudah halus masing-masing sebanyak 5 g dimasukkan kedalam Erlenmeyer dan dishaker dengan menggunakan 75 ml pelarut air, etanol 70% dan etanol 96% selama 3 hari (72 jam). Kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring. Pengujian aktivitas antibakteri Pengujian aktivitas antibakteri dari ekstrak daun kelor terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella sp. dilakukan dengan metode difusi cakram menggunakan kertas whatman. Media Nutrien Broth yang sudah padat kemudian di beri suspensi bakteri sebanyak 0,5 ml dan disebar ke permukaan media dengan menggunakan triangle yang sudah di sterilisasi. Kertas cakram steril sebanyak tiga buah direndam ke dalam ektsrak daun kelor masingmasing etanol 0%, etanol 70% dan etanol 96% selama 15 menit, kemudian diletakkan di atas permukaan media Nutrien Broth. Masing-masing petri kemudian di inkubasi selama 48 jam. Aktivitas antibakteri diamati berdasarkan pengukuran diameter daya hambat atau daerah bening yang terbentuk disekitar kertas. Pengujian dilakukan tiga kali ulangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Aktivitas antibakteri ekstrak daun kelor segar Jenis bakteri Eksrak air Ekstrak etanol 70% Ekstrak etanol 96% Diameter zona inhibisi Escherichia coli 10 12 Salmonella sp. 3 17 Staphylococcus aureus 15 11.5 Aktivitas antibakteri ekstrak daun kelor segar dengan pelarut air, etanol 70%, etanol 96% terhadap bakteri Escherichia coli, Salmonella sp, dan Staphylococcus aureus dengan menggunakan metode cakram menunjukkan zona penghambatan yang bervariasi. Tabel. 1 menunjukkan aktivitas antibakteri ekstrak daun kelor segar dengan pelarut etanol 70% lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus (15 mm). Sedangkan, ekstrak daun kelor segar dengan pelarut etanol 96% lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella sp (17 mm). Aktivitas antibakteri ekstrak daun kelor segar dengan pelarut air tidak menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap semua bakteri uji. Ekstrak daun kelor segar dengan pelarut etanol lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negative. Etanol merupakan pelarut yang bersifat polar. Pelarut ini berperan sebagai penarik senyawa-senyawa bioaktif yang terdapat pada tanaman (Ahmad dan Beg. 2001). Menurut Ramadhan (2010) mengungkapkan bahwa pelarut etanol mempunyai kadar kepolaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut air, sehingga senyawa-senyawa bioaktif yang terdapat pada daun kelor lebih mudah larut. Siddhuraju dan becker (2003) juga mengungkapkan bahwa pelarut
155
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
etanol mempunyai peran yang lebih baik untuk menarik senyawa-senyawa aktif yang terdapat pada daun kelor dibanding pelarut air. Ekstrak daun kelor dengan pelarut air tidak memunjukkan aktivitas antimikrobia terhadap semua bakteri uji. Hal tersebut disebabkan karena adanya kadar air yang tinggi pada daun kelor segar sehingga tercampur dengan pelarut air dan tidak hanya melarutkan senyawa-senyawa alami yang terdapat pada daun kelor seperti flavonoid, fenol, tannin, saponin, alkaloid akan tetapi juga melarutkan senyawa lainnya. Menurut Rajamanicka dan Sudha (2013) mengungkapkan bahwa di dalam daun kelor disamping terdapat senyawa aktif antimikrobia, juga ditemukan kandungan karbohidrat (pectin). Senyawa karbohidrat tersebut merupakan senyawa yang bersifat polar yang bisa larut dalam air (Septiana et al 2002). Diduga pada saat ekstraksi senyawa karbohidrat yang terdapat dalam daun kelor terhidrolisis sehingga menghasilkan beberapa senyawa turunan yang salah satunya adalah pektin. Pektin merupakan senyawa turunan karbohidrat yang bersifat pekat, molekul pektin berikatan satu dengan yang lainnya pada kondisi tertentu untuk membentuk gel sehingga kemungkinan juga dapat mempengaruhi laju difusi senyawa aktif daun kelor (Moringa oleifera) dengan pelarut air . Daya hambat yang dihasilkan oleh ekstrak daun kelor segar terhadap bakteri Escherichia coli, Salmonella sp dan Staphylococcus aureus adalah daya penghambatan lemah sampai daya penghambatan kuat. Menurut Stout dalam Sari menyatakan bahwa penggolongan daya penghambatan aktivitas antimikrobia dapat dibedakan dalam beberapa golongan. Yaitu, daya penghambatan sangat kuat (>20 mm), daya penghambatan kuat (10-20 mm), daya penghambtan sedang (5-10 mm), dan daya penghambatan lemah (<5 mm). Daya penghambatan yang dihasilkan oleh ekstrak daun kelor segar tidak terlepas dari peran senyawa-senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak daun kelor segar. Seperti flavonoid, tannin, saponin, glikosida dan terpenoid (Vinoth et al 2012) KESIMPULAN DAN SARAN Ekstrak daun kelor segar dengan menggunakan pelarut etanol mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negative. Penelitian ini masih perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menambah beberapa konsentrasi pelarut etanol serta identifikasi senyawa-senyawa alami yang terdapat pada daun kelor segar. DAFTAR PUSTAKA Ahmad. I, A. Z. Beg. 2000. Antimicrobial and phytochemical studies on 45 Indian medicinal plants against multi-drug resistant human pathogens. Journal of Ethnopharmacology 74 (2001) 113123 Bukar A., Uba A., Oyeyi T.I. 2010. Antimicrobial Profile of Moringa oleifera lam. Extacts Against Some Food – Borne Microorganisms. Bayero Journal of Pure and Applied Sciences Vol 3(1): 43-48 Busani, M., P.M. Julius and M. Voster. 2012. Antimicrobial Activities of Moringa oleifera Lam Leaf Extracts. African Journal of Biotechnology, 11(11): 2797-2802 Hidayati, Nurul. 2009. Uji Efektivitas Antibakteri Eksrak Kasar Daun Teh (Camellia sinensi L, V. Assamica) Tua Hasil Ekstraksi Menggunakan Pelarut Akuades dan Etanol. Skripsi. Malang. Fakultas Sains dan Teknologi Kumar V., Nishtha P., Nitin M., dan Ram P.S. 2012. Antibacterial and Antioxidant Activity of Different Extract of Moringa oleifera Leaves – An in-Vitro Study. International Journal of Pharmaceutical Science Review and Research Vol. 12 Rajamanickam. K, S. S. Sudha. 2013. In Vitro Antimicrobial activity and In Vivotoxixity of Moringa oleifera and Allamanda Chatartiica Againts Multiple Drug Resistant Clinical Pathogens. Int J Pharm Bio Sci 2013 Jan; 4(1): (B) 768-775
156
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Ramadhan, A. E dan H. A Phaza. 2010. Pengaruh Konsentrasi Etanol, Suhu dan Jumlah storage ada Ekstraksi Oleoriesin Jahe (Zingiber officinale rosc) secara Batch. Universitas Diponegoro Semarang Septiana. A. T., A. Asnani. 2012. Kajian Sifat Fisiko Kimia Ekstrak Rumput Laut Coklat Sargassum duplicatum menggunakan berbagai Pelarut dan Metode Ekstraksi. Agrointek Vol 6 Shidduraju, P., Becker, K., 2003. Antioxidant properties of various solvent extact of total phenolic constituents from three different agro-climatic origin of drumstick tree (Moringa oleifera Lam. J. Agric Food Chem 15: 2144-2155 Siswandono dan Soekarjo, B. 1995. Kimia Nedisinal. Surabaya: Airlangga University Press Vinoth B. Manivasagaperumal, dan Balamurugan. (2012). Phytochemical Analysis and Antibacterial Activity of Moringa oleifera lam. International Journal of Research in Biological Sciences Vol. 2(3): 98-102
157
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
PRODUKSI SUBSTRAT FERMENTASI BIOETANOL DARI RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONII MELALUI HIDROLISIS ASAM Rinda Gusvita1, Wagiman2, Jumeri3 1.Mahasiswa, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2.Staf Pengajar, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2.Staf Pengajar, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta E-mail:
[email protected] ABSTRACT Seaweed is an abundant natural resources in Indonesia. Increasing value-added of seaweed should be done continuously so that it can be useful for all stakeholders throughout its life cycle. This studyfocuses on developing biooethanol production technology of red seaweed Euchema cottonii to be used as a renewable fuel. Generally, red algae contains polysaccharides such as cellulose and monosaccharides such as glucose. These compositions show its potency as raw material for bioethanol production. Raw material preparation included washing process to reduce levels of salt and dirt. It was soaked for 24 hours and the size was reduced to make the process of hydrolysis easier. Furthermore hydrolisis was performed at temperature variation of 80°C, 90oC, and 100oC in time variation of 60, 90, and 120 minutes using 1%, 2%, 3% concentration of H 2SO4. The test results showed that the levels of reducing sugars obtained range from 2.94% 15.61% and HMF 2.81 g/l-5.40 g/l. Based on the results, the best treatment was obtained in the combination of 2% concentration of H2SO4 by time reaction of 120 minutes in80°C produced 15.61 g/l reducing sugar and 5.03 g/l HMF. Keywords: Euchema cottonii, bio-ethanol, acid hydrolysis, reducing sugar, HMF
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Rumput laut merupakan komoditas perikanan penting di Indonesia. Potensi ekspor produk olahan rumput laut ini dapat didukung dengan teknologi pascapanen yang tepat untuk menghasilkan produk rumput laut yang memenuhi standar mutu komersil. Dari segi perkembangan jumlah industri rumput laut Indonesia cukup meningkat. Hingga tahun 2012 terdapat sekitar 20-23 industri pengolahan rumput laut di Indonesia, tetapi produknya lebih banyak masih terbatas pada produk dasar (base line) bukan merupakan end product yang langsung dapat digunakan industri. Jenis rumput laut yang dibudidayakan secara luas di Indonesia terdiri dari jenis Eucheuma cottoni dan Gracilaria, dengan perbandingan hasil panen diperkirakan 70:30. Indonesia mengekspor 80% Eucheuma cottoni yang dihasilkan, sementara itu 80% Glacilaria yang dihasilkan dikonsumsi di dalam negeri (Rachbini et al., 2011). Menurut Harvey (2009) dalam Wiratmaja (2011), secara kimia rumput laut terdiri dari air (27,8%), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,60%), serta serat kasar (3,0%), dan abu (22,25%) dan menurut Suriawiria (2003), uji proksimat yang dilakukan pada limbah rumput laut kering didapatkan presentase masing-masing komponen kadar air adalah 11.28%, kadar abu 36,05%, kadar lemak 0,42%, kadar protein 1.86%, kadar serat kasar 8,96% dan karbohidrat 41,43%. Jung et al. (2012) telah membuktikan bahwa adanya potensi rumput laut sebagai bahan baku untuk biorefinery dengan memperkenalkan klasifikasi taksonomi, habitat lingkungan, dan kapasitas karbon cadangan. Dipandang secara global menunjukkan
158
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” bahwa rumput laut dapat dibudidayakan secara massal dengan teknologi pertanian yang tersedia saat ini. Disimpulkan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk pemanfaatan rumput laut sebagai biomassa baru yang menjanjikan serta dapat memberikan kontribusi bagi keberhasilan rumput laut berbasis biorefinery. Penelitian ini merupakan studi pemanfaatan rumput laut Eucheuma cottoni yang dihidrolisis menggunakan asam untuk menjadi substrat dalam fermentasi bioetanol. Dengan adanya perlakuan hidrolisis ini diharapkan dapat memudahkan pemecahan selulosa menjadi gula sederhana. Sehingga dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Apabila dengan beberapa perlakuan hidrolisis asam dapat meningkatkan glukosa maka berpeluang besar untuk pemanfaatan selanjutnya yaitu sebagai bioetanol (biofuel). Semua bahan yang mengandung gula dapat digunakan sebagai bahan pembuat etanol sebagai bahan bakar. Rumput laut khususnya dari jenis Eucheuma cottonii dapat diolah menjadi bioetanol dengan metode fermentasi, dengan memanfaatkan kandungan karbohidratnya. Untuk sepenuhnya memanfaatkan Eucheuma cottonii sebagai bahan baku untuk produksi etanol, pretreatment diperlukan untuk membuat serat selulosa lebih mudah diberi perlakuan hidrolisis. Rumput laut merah mengandung selulosa dan agar, sementara agar tidak dapat dihidrolisis oleh enzim, tetapi dapat dihidrolisis oleh asam (Jeong et al., 2011). Pengembangan teknologi bioproses dengan menggunakan enzim pada proses hidrolisisnya merupakan suatu proses yang lebih ramah lingkungan. Pada penelitian ini menggunakan bakteri selulolitik untuk memproduksi enzim guna menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. Namun menurut Jeong et al. (2011), penggunaan enzim membutuhkan biaya yang tinggi dan waktu reaksi yang lama. Selain itu menurut Kumar et al., 2009; Chen et al., 2011 dalam Jeong et al. (2011), enzim mudah dihambat oleh produk samping proses sakarifikasi, dan ini bukan merupakan solusi untuk komersialisasi, disamping harga enzim yang tinggi. Sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya oleh Putra et al. (2011), proses fermentasi dari limbah Euchema cotonii menjadi bioetanol dilakukan pretreatment delignifikasi menggunakan NaOCl dan emersi menggunakan campuran H2SO4 untuk variasi yang berbeda. Proses fermentasi dilakukan dengan menggunakan yeast Saccharomyces cerevisiae. Pada penelitian tersebut, NaOCl digunakan dengan variasi 0.25%, 0.50% dan 0.75%. H2SO4 digunakan dengan konsentrasi 0.5% dan variasi Saccharomyces cerevisiae dengan rasio 1: 0,0015; 1: 0,003; 1: 0,0045; 1: 0,006 dan 1: 0,0075 untuk setiap kilogram limbah Eucheuma Cottonii dan yeast, dan dengan waktu fermentasi 3, 6 dan 9 hari. Sebagai pembanding adalah sampel dengan perlakuan sama, tapi tanpa H2SO4. Berdasarkan penelitian, hasil bioetanol adalah 4.4% per hari dengan produksi tertinggi etanol tertinggi yang diproduki adalah 14.0%. Setiap kilogram limbah Eucheuma cottonii didelignifikasi dengan konsentrasi 0.5% NaOCl dengan variasi yeast 1: 0,006 dan waktu fermentasi tiga hari. Berdasarkan hasil penelitian Meinita et al. (2011) yang membandingkan penggunaan H2SO4 dan HCl, kondisi optimal untuk hidrolisis dicapai dengan penggunaan asam sulfat 0,2 M dengan waktu reaksi 15 menit, dan suhu 130oC. Penelitian-penelitian tersebut menggunakan bahan baku yang dikeringkan menggunakan oven dan dihaluskan. Proses tersebut memperpanjang daur produksi dan membutuhkan energi yang lebih banyak lagi untuk menghasilkan bioetanol. Oleh sebab itu, dibutuhkan proses produksi yang lebih singkat dan tidak membutuhkan banyak energi dalam menghasilkan bioetanol berbahan baku rumput laut ini.Penelitian ini bertujuan untuk memaksimalkan kondisi hidrolisis untuk produksi gula yang tinggi menggunakan katalis asam encer dengan perlakuan variasi suhu, konsentrasi asam, dan waktu hidrolisis.
159
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” 2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan variasi konsentrasi asam encer, suhu, dan waktu terbaik pada tahapan proses hidrolisis dalam usaha mengoptimalkan proses pembuatan substrat fermentasi etanol berbahan baku Eucheuma cottonii. METODOLOGI PENELITIAN 1. Waktu, Tempat, dan Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Desember 2013 sampai dengan April tahun 2014. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung. Objek yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut Eucheuma cottonii yang dipasok dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara dalam bentuk yang sudah dikeringkan di tingkat petani. 2. Tahapan Penelitian 1. Karakterisasi Rumput Laut Rumput Laut Euchema cottonii dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara dalam bentuk kering dibilas dengan aquades untuk menghilangkan garam dan pasir serta kotoran lainnya. Sebelum dihidrolisis, makroalga terlebih dahulu harus direndam dalam air selama 24 jam agar memudahkan proses hidrolisis. Karakterisasi rumput laut dilakukan dengan uji proksimat untuk mengetahui kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, dan kadar serat. 2. Hidrolisis polisakarida Metode hidrolisis dilakukan dengan menggunakan katalis asam encer. Perlakuan dalam penelitian ini disusun secara faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan tiga faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi asam sulfat (H2SO4) untuk pembuatan gula reduksi antara lain, 1%, 2%, 3% (b/v). Sedangkan faktor kedua adalah lama reaksi pada water bath tiga taraf, yaitu 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Selain itu faktor ketiga adalah suhu reaksi hidrolisis pada waterbath tiga taraf, yaitu 80oC, 90oC, dan 100oC. 3. Pengamatan Setelah dihidrolisis, residu dipisahkan dari cairan dengan filtrasi. Gula dan produk samping yang ada dalam cairan kemudian dinetralkan dengan penambahan NaOH hingga mencapai pH 7 pada suhu ruang (±30oC). Kemudian hidrolisat dianalisis kadar gula reduksinya. Cairan yang didapatkan dilakukan analisis gula reduksi dan hidroximetilfurfural (HMF). Kandungan gula reduksi ditentukan dengan metode Nelson-Somogy dan digunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. Kemudian perlakuan ini dikerjakan sebanyak tiga kali ulangan. Data yang diperoleh diuji kesamaan ragamnya dengan uji Barlett. Kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey, kemudian data dianalisis lebih lanjut dengan uji perbandingan dan polinomial ortogonal pada taraf nyata 5%.
160
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
30 g RL kadar air 92%
50 ml H2SO4
dimasukkan kedalam Erlenmeyer 100 mL
hidrolisis pada waterbath 80, 90, 100oC;60, 90, 120 menit
disaring dengan kertas saring
Ampas
Filtrat
Analisis Gula reduksi dan Analisis HMF Gambar 1. Perlakuan hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat encer HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Rumput Laut Euchema cottonii Obyek dalam penelitian ini, yaitu rumput laut merupakan salah satu komoditas penting di sebagian wilayah Indonesia. Rumput laut atau seaweed sangat popular dalam dunia perdagangan. Dalam dunia ilmu pengetahuan rumput laut dikenal sebagai Algae (Indriani, 1997). Menurut Jung et al. (2012), secara umum alga merah mengandung polisakarida seperti selulosa, juga monosakarida seperti glukosa. Komposisi tersebut menunjukkan potensi makroalga sebagai bahan baku etanol. Selain itu, Kim et al. (2010) juga menunjukkan komposisi rumput laut jenis Eucheuma cottonii memiliki kandungan selulosa 7,11% (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi Kimia Rumput Laut Merah Jenis Alga Selulosa Galaktan Karbohidrat Protein Lainnya (Lipid, Merah (%) (%) (%) (%) ash) (%) Glacilaria 19,7 44,4 74,1 11 14,9 E. cottonii 7,11 43,4 50,5 4,9 44,6 Sumber : Kim et al., 2010 Nurdin (2012) telah menganalisis mutu pasca panen rumput laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Sedangkan penelitian ini dilakukan
161
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” untuk mengetahui potensi rumput laut tersebut dalam menghasilkan substrat bagi proses fermentasi bagi terbentuknya bioetanol. Dalam penelitian ini dilakukan tahap persiapan bahan baku dan hidrolisis. Persiapan bahan baku meliputi proses pencucian dengan air bersih, perendaman selama 24 jam, dan pengecilan ukuran. Proses pencucian bahan baku bertujuan menghilangkan garam dan kotoran yang dapat menghambat proses hidrolisis. Sedangkan perendaman dan pengecilan ukuran bertujuan memudahkan proses hidrolisis. Cara untuk menilai mutu rumput laut adalah dengan pengujian fisik dan kimia. Untuk mengetahui potensi rumput laut Eucheuma cottonii sebagai bahan baku bioetanol, salah satunya harus dilakukan karakterisasi dengan analisa proksimat rumput laut tersebut. Setelah dilakukan hasil pengujian proksimat, didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 2. Hasil Pengujian Proksimat Sampel Rumput Laut Eucheuma cottonii Air Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat Ulangan % 1 40,809 33,771 3,859 0,054 4,068 17,439 2 40,660 33,780 3,851 0,103 4,107 17,499 3 40,700 33,701 3,865 0,100 4,050 17,350 Rata-rata 40,7345 33,7755 3,855 0,0785 4,0875 17,469 Kadar air menyatakan jumlah air serta bahan-bahan volatil yang terkandung dalam Eucheuma cottonii. Tinggi rendahnya nilai kadar air ditentukan oleh kondisi pengeringan, pengemasan dan cara penyimpanan. Kondisi penyimpanan, pengeringan dan pengemasan yang kurang rapat berpotensi meningkatkan kandungan air sehingga mutu Eucheuma cottonii yang dihasilkan menjadi rendah (Syamsuar, 2006). Kadar air rumput laut yang diteliti sebesar 40,7345%. Hal ini mungkin karena proses pengeringan yang kurang maksimal ditingkat petani. Rumput laut dengan kadar air tinggi rentan terkena resiko jamur dan kerusakan. Rumput laut besifat higroskopis sehingga penyimpanan pada tempat lembab akan menyebabkan kerusakan menjadi lebih cepat terjadi (Syamsuar, 2006). Kadar air optimal dalam rumput laut 31-35% untuk jenis Eucheuma sp. (Anonim, 2008). Selain itu, pembusukan dapat terjadi jika alga memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini berarti rumput laut yang memiliki kadar air yang tinggi berpeluang besar untuk mengalami pembusukan jika tidak segera dikeringkan kembali. Menurut Suyandra (2007), abu merupakan zat organik yang dihasilkan dari proses pembakaran yang dikenal sebagai unsur mineral. Kadar abu hasil penelitian mencapai 33,7755 %. Kadar abu dari rumput laut ini memiliki kandungan mineral atau zat anorganik yang tinggi. Hal ini disebabkan banyaknya garam yang terdapat pada bagian luar rumput laut. Pada pembuatan hidrolisat rumput laut, kadar abu dapat mempengaruhi proses hidrolisis karena kandungan mineral yang tinggi dapat menghambat proses hidrolisis. Kadar lemak dan kadar protein hasil pengujian rumput laut Euchema cottonii adalah 0,0785 % dan 3,855%. Kadar protein yang terkandung dalam bahan baku dapat mempengaruhi warna sirup glukosa. Reaksi yang terjadi antara gula pereduksi dengan protein pada suhu tinggi akan menghasilkan warna coklat atau disebut juga reaksi browning. Serat kasar adalah residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan dengan asam atau alkali mendidih (Fardiaz, et al., 1986 dalam Sudiaman, 1990). Serat kasar yang terkandung dalam rumput laut Euchema cottonii sebesar 4,0875%. Karbohidrat merupakan komponen utama yang dapat dikonversi menjadi bioetanol. Sementara gula reduksi yang dianalisis merupakan gula reduksi yang murni terkandung dalam Euchema cottonii. Sementara jika dilakukan hidrolisis, karbohidrat
162
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” yang ada akan dikonversi menjadi gula reduksi yang merupakan substrat utama pembentukan bioetanol. Untuk itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis gula reduksi setelah dilakukan proses hidrolisis. Proses hidrolisis dilakukan dengan metode asam. 2. Perlakuan Hidrolisis Asam Pada penelitian pendahuluan, pre-treatment rumput laut dilakukan dengan cara pengeringan menggunakan oven sampai berat konstan kemudian dihaluskan menggunakan blender. Teknik ini membutuhkan waktu proses yang lama dan energi yang tidak sedikit. Selain itu rumput laut yang telah dicuci dan dioven memiliki tekstur yang sangat keras sehingga sulit dilakukan pengecilan ukuran. Kemudian ketika dihidrolisis, rumput laut ini membutuhkan waktu untuk menyerap cairan terlebih dahulu sebelum terhidrolisis seutuhnya. Hal ini menyebabkan banyaknya cake yang dihasilkan setelah proses hidrolisis. Artinya, hidrolisis yang terjadi tidak optimal karena sedikitnya gula reduksi dan banyaknya by-product yang dihasilkan. Dalam penelitian ini, perlakuan awal bahan baku dilakukan dengan perendaman dalam air selama 24 jam. Kadar air rumput laut setelah direndam selama 24 jam berkisar 92,42%. Selanjutnya dilakukan pengecilan ukuran menggunakan blender selama 1 menit. Perendaman dan pengecilan ukuran ini dimaksudkan agar rumput laut dapat lebih mudah terhidrolisis. Air yang terkandung dalam rumput laut juga berfungsi sebagai prekursor reaksi. Hal ini yang membuat reaksi hidrolisis menjadi lebih optimal. Rumput laut ditimbang sebanyak 30g untuk masing-masing perlakuan. Setelah ditempatkan dalam glassware, ditambahkan larutan asam encer sebanyak 50 ml dengan variasi konsentrasi 1%, 2%, dan 3%. Selanjutnya ditutup menggunakan alumunium foil yang dikencangkan dengan cara diikat menggunakan karet agar tidak tumpah. Kemudian dilakukan homogenisasi dengan cara menggoyang alat gelas berisi campuran rumput laut dan asam encer dengan menggunakan shaker selama 15 menit. Setelah itu dilakukan hidrolisis pada variasi suhu 80oC, 90oC, dan 100oC dengan variasi waktu 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Hidrolisat kemudian dipisahkan dari padatannya menggunakan kertas saring whatman 41. Kemudian untuk keperluan analisis, hidrolisat di netralkan pH-nya menggunakan NaOH. Dengan demikian, volume NaOH yang ditambahkan termasuk kedalam pengenceran. Selanjutnya dilakukan analisis gula reduksi dan HMF. Sementara padatannya dianalisis kadar hemiselulosa, selulosa, dan lignin yang tersisa dari proses hidrolisis. 3. Kadar Gula Reduksi Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi H2SO4, lama reaksi, suhu, dan interaksi ketiganya berpengaruh nyata terhadap kadar gula reduksi Euchema cottonii. Sementara antar kelompok perlakuan tidak berbeda nyata. Hasil uji lanjut dengan uji polinomial (gambar 2) menunjukkan bahwa perlakuan dengan konsentrasi H2SO4 dan lama reaksi meningkatkan kadar gula reduksi secara linear pada konsentrasi 2% dan 3%. Sementara pada konsentrasi H2SO4 1%, kadar gula reduksi meningkat secara kuadratik seiring dengan semakin lamanya reaksi hidrolisis.
163
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 2. Pengaruh lama reaksi terhadap kadar gula reduksi Eucheuma cottonii pada masing-masing konsentrasi H2SO4 Sedangkan pada respon terhadap suhu reaksi pada setiap konsentrasi H2SO4 terlihat adanya penurunan kadar gula reduksi secara linear.
Gambar 3. Pengaruh suhu reaksi terhadap kadar gula reduksi Eucheuma cottonii pada masing-masing konsentrasi H2SO4 Demikian juga dengan respon suhu pada setiap lama reaksi. Semakin tinggi suhu reaksi, maka gula reduksi yang dihasilkan semakin sedikit pada tiap-tiap lama reaksi yang berlangsung.
164
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 4. Pengaruh suhu reaksi terhadap kadar gula reduksi Eucheuma cottonii pada masing-masing lama reaksi Respon terhadap lama reaksi pada setiap suhu reaksi naik pada suhu reaksi 80o dan naik pada suhu 90oC dan 100oC secara kuadratik. Semakin lama reaksi, kadar gula reduksi terlihat turun lalu terlihat naik pada suhu reaksi 80oC. Pada suhu reaksi 90oC dan 100oC, peningkatan kadar gula reduksi terjadi karena pada kondisi tersebut hidrolisis selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana berlangsung optimal, sedangkan penurunan terjadi karena dengan waktu reaksi yang lama maka gula sederhana yang terbentuk akan terhidrolisis lebih lanjut menjadi hidroximetilfurfural.
Gambar 5. Pengaruh lama reaksi terhadap kadar gula reduksi Eucheuma cottonii pada masing-masing suhu reaksi 4. Kadar HMF Metode hidrolisis asam ini menghasilkan produk selain glukosa, yaitu senyawa furan, fenolik, dan asam asetat yang tidak diharapkan terbentuk pada tahap ini karena akan menghambat proses fermentasi. Sakarifikasi menggunakan asam juga dapat
165
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” memicu degradasi glukosa sehingga rendemen glukosa dan etanol menurun (Howard et al., 2003). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama reaksi dan interaksi antara konsentrasi H2SO4 berpengaruh nyata terhadap kadar HMF hidrolisat euchema cottonii, sedangkan lama reaksi berpengaruh nyata terhadap kadar HMF pada hidrolisat euchema cottonii yang diberi perlakuan suhu hidolisis. Hasil uji lanjut dengan uji polinomial menunjukkan bahwa perlakuan dengan lama reaksi 60-120 menit pada konsentrasi H2SO4 1%-3% pada suhu 80-100oC dan interaksi diantara ketiga perlakuan tersebut berpengaruh nyata secara linear terhadap kenaikan kadar HMF hidrolisat euchema cottonii.
Gambar 6. Respon terhadap reaksi pada setiapkonsentrasi H2SO4 Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi H2SO4 yang digunakan untuk menghidrolisis Euchema cottonii, maka semakin tinggi pula kadar HMF yang dihasilkan seiring dengan semakin lamanya waktu fermentasi.
Gambar 7. Respon terhadap lama reaksi pada setiap suhu reaksi 100°C Demikian juga dengan respon terhadap lama reaksi pada setiap suhu reaksi. Kadar HMF meningkat secara linear seiring dengan semakin lamanya reaksi dan semakin tingginya suhu hidrolisis.
166
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 8. Respon terhadap suhu reaksi pada setiap konsentrasi H2SO4 Pada grafik respon terhadap suhu reaksi pada setiap konsentrasi H2SO4 terlihat bahwa semakin tinggi suhu dan konsentrasi H2SO4, maka kadar HMF juga naik secara linear.
Gambar 9. Respon terhadap suhu reaksi pada setiap lama reaksi Dengan adanya peningkatan suhu reaksi, terjadi juga kenaikan kadar HMF secara linear pada setiap lama reaksi. Kadar HMF pada Euchema cottonii setelah dilakukan hidrolisis berkisar antara 2,81 g/l sampai dengan 5,40 g/l. Semakin lama reaksi, kadar hidroximetilfurfual yang dihasilkan semakin tinggi. Hidroximetilfurfural yang memiliki nilai terendah merupakan yang tebaik, namun karena pada konsentrasi dan lama reaksi tersebut kadar gula reduksinya rendah, maka kadar HMF terbaik disesuaikan dengan kadar gula pereduksi yang tertinggi. Seiring dengan semakin lamanya waktu reaksi hidrolisis dan peningkatan suhu reaksi, maka kadar HMF yang dihasilkan juga semakin tinggi. Hal ini karena gula reduksi yang terbentuk telah terkonversi lebih lanjut menjadi HMF dan kandungan gula reduksi yang terbentuk dari hidrolisis asam lebih rendah daripada kandungan gula reduksi yang terkonversi menjadi HMF. Tinggi rendahnya kadar HMF erat hubungannya dengan kadar glukosa pada Euchema cottonii yang telah dihidrolisis dalam larutan H2SO4. Semakin tinggi konsentrasi asam dan suhu yang digunakan, serta semakin lama reaksi yang berlangsung maka kadar HMF semakin besar. Pada suhu dan tekanan tinggi, glukosa akan terkonversi menjadi hidroksimetilfurfural (HMF). Apabila HMF terhidrolisis lebih lanjut akan membentuk asam lavulinat dan asam formiat (Musatto dan Roberto, 2004).
167
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Reaksi tersebut merupakan reaksi-reaksi samping yang tidak dapat dihindari pada keadaan hidrolisis yang bersifat asam. Hal ini menyebabkan dekomposisi gula yang telah terhidrolisis. Produk degradasi yang paling penting dari segi hasil dan kemungkinan penggunaannya adalah senyawa siklis furfural (2-furaldehida) yang dibentuk dari pentosa dan asam uronat, dan hidroksimetilfurfural (5-(hidroksimetil)-2-furaldehida) (HMF) dari gula heksosa, terutama glukosa. Hasil-hasil yang tinggi dari senyawa-senyawa ini hanya diperoleh dalam asam pekat dan suhu tinggi. Jika suhu dinaikkan, molekul HMF siklis berubah menjadi asam levulinat dan asam format (Fengel dan Wegener, 1995). Senyawa tersebut dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang digunakan dalam proses fermentasi menjadi etanol. Hal ini dikarenakan glukosa dan senyawa gula lainnya yang merupakan komponen utama dalam pembentukan etanol telah terdegradasi menjadi senyawa lain yang tidak diharapkan. Penentuan perlakuan terbaik untuk proses hidrolisis Euchema cottonii ini didasarkan pada kadar gula reduksi tertinggi, kadar hidroximetilfurfural terendah, dan kadar hemiselulosa, selulosa, dan lignin terendah. Untuk gula reduksi tertinggi didasarkan pada nilai tertinggi dari kombinasi antara lama reaksi dan konsentrasi H2SO4 serta suhu reaksi, sedangkan untuk kadar hidroximetilfurfural dan kadar lignin didasarkan pada yang terendah. Berdasarkan tabel, grafik, dan pembahasan diatas, perlakuan terbaik diperoleh pada kombinasi konsentrasi H2SO4 2% dengan lama reaksi 120 menit pada suhu 80oC yang menghasilkan gula reduksi sebesar 15,609 g/l dan HMF 5,03 g/l. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa perlakuan hidrolisis terbaik diperoleh pada kombinasi konsentrasi H2SO4 2% dengan lama reaksi 120 menit pada suhu 80oC yang menghasilkan gula reduksi sebesar 15,609 g/l dan HMF 5,03 g/l. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktortat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah mendanai penelitian ini melalui skema Hibah Penelitian MP3EI sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Nomor : 254/SP2H/PL/DIT.LITABMAS/VII/2013, tanggal 15 Juli 2013. DAFTAR PUSTAKA Fengel, D & G. Wegener. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Diterjemahkan oleh Dr. Hardjono Sastroahmidjojo. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 730 hlm Jeong Tae Su, Young Soo Kim, Kyeong Keun Oh. 2011. Two-Stage Acid Saccharification of Fractionated Gelidium amansii Minimizing the Sugar Decomposition. Bioresource Technology 102 (2011) 10529-10534 Jung, Seong-R. L., Yoori K., Jong M. P. 2012. Potential of Macroalgae As Feedstocks For Biorefinery. Journal of Bioresource Technology. Kim, G. S, M., Kim, Y., Kim, J. S., Ryu., & Kim, K. H. 2010. Patent No. US 2010/0124774 A1. South Korea. Meinita MD, Yong-KiHong, Gwi-Taek Jeong. 2011. Comparison of Sulfuric and Hidrochloric acids as Catalyst in Hydrolysis of Kappaphycus alvarezzii (cottonii). Bioprocess Biosyst Eng (2012) 35:123-128
168
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Mussatto, S.I., Roberto, I.C., 2004. Alternatives for detoxification of diluted-acid lignocellulosic hydrolyzates for use in fermentative processes: a review. Bioresour. Technol. 93 (1), 1–10. Nurdin, I. N. 2012. Evaluasi Mutu dan Penanganan Pascapanen Rumput Laut Eucheuma cottonii di Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Putra, I.N.W. 2011. Proses Treatment dengan Menggunakan NaOCl dan H2SO4 untuk Mempercepat Pembuatan Bioetanol dari Limbah Rumput Laut Eucheuma cottonii. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Volume 5 Nomor 1 (64 – 68). Rachbini D. J., B. Arifin. A. E. Yustika, E. S. Hartati, E. Listiyanto, A. H. Firdaus, A. P.G. Talattov, I. Abdullah. 2011. Outlook Industri 2012 : Strategi Percepatan dan Perluasan Agroindustri. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. SNI 01-3545-2004. Madu. Cara Uji Hidroximetilfurfural. Badan Standarisasi Nasional. Sudarmadji et al. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian edisi ketiga. Liberty. Yogyakarta. Suyandra, Isra Dharma. 2007. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.) sebagai Sumber Karbon pada Fermentasi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Wiratmaja, I.G. 2011. Pembuatan Etanol Generasi Kedua dengan Memanfaatkan Limbah Rumput Laut Eucheuma cottonii sebagai Bahan Baku. Jurnal Cakram Teknik Mesin Universitas Udayana Volume 5.
169
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
POTENSI MINYAK BIJI TEMBAKAU SEBAGAI SUMBER MINYAK NABATI KAYA ASAM LEMAK OMEGA-6 Rahmad Fajar Sidik Staf Pengajar, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan Kontak Person: Rahmad Fajar Sidik, MSi Jl Stadion II/17B Pamekasan Email :
[email protected]
ABSTRAK Asam lemak omega-3, omega-6, dan omega-9 telah umum digunakan pada berbagai suplemen makanan, produk kesehatan, kosmetika dan berbagai bentuk pemanfaatan lainnya. Biasanya asam lemak omega tersebut diambil dari berbagai varian ikan, seperti ikan Cod, Herring, dan Pelagis, akan tetapi adapula yang berasal dari ekstraksi dari tanaman, misalnya minyak biji bunga matahari dan minyak jagung. Artikel ini akan mengulas potensi minyak nabati dari biji tembakau dan metode isolasi asam lemak omega-6 di dalamnya, untuk berbagai kebutuhan kesehatan manusia. Kata kunci: omega-6, minyak biji tembakau, potensi dan metode isolasi
PENDAHULUAN Tanaman tembakau merupakan salah satu komoditi perdagangan non migas yang menguntungkan bagi bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Madura sebagai salah satu sentra tanaman tembakau. Pemanfaatan utama dari tanaman perkebunan ini biasanya ada pada bagian daun, untuk menghasilkan produk rokok dalam berbagai bentuk. Pemanfaatan tembakau non rokok memiliki daya tarik tersendiri setelah harga daun tembakau untuk rokok sangat fluktuatif dan cenderung merugikan petani. Karena itu konversi produk tembakau non rokok menjadi suatu pilihan sebagai salah satu jalan keluar untuk membantu masyarakat petani tembakau meningkatkan kesejahteraan dan sekaligus membantu pemerintah dalam koridor pembangunan nasional. Dari beberapa penelitian telah diketahui, bahwa biji tembakau dapat dimanfaatkan menjadi komoditi lain yang layak jual karena memiliki kandungan minyak nabati yang cukup besar, sekitar 36-40% (Eshetu, 2000). Kandungan minyak biji tembakau cukup tinggi, penelitian Tondelli dkk. (2009) melaporkan minyak yang dihasilkan dari biji tembakau bisa mencapai 2 ton per hektar. Di Kabupaten Pamekasan dengan luasan areal tanam tembakau pernah mencapai 31 ribu (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pamekasan 2009) hektar berpotensi menghasilkan minyak sebesar 2000 ton pertahun. Hal ini sangat menarik dari segi agribisnis, karena biji tembakau menghasilkan minyak dengan komponen asam lemak tak jenuh yang sangat tinggi jika dibandingkan tanaman tradisional lain seperti minyak jagung, lobak, kedelai, dan biji bunga matahari. Minyak yang dihasilkan memiliki kandungan asam lemak tak jenuh sangat tinggi (lebih dari 70%). Asam lemak tak jenuh pada minyak biji tembakau tersebut mayoritas asam linoleat (LA). Asam linoleat adalah kelompok dari asam lemak esensial yang disebut asam lemak omega-6, disebut demikian karena merupakan zat makanan esensial yang dibutuhkan oleh semua mamalia. Kelompok lain dari asam lemak esensial adalah asam linoleat omega-3, contohnya asam alfa-linoleat.
170
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Secara fisiologis asam linoleat disebut 18:2 (n-6). Secara kimiawi asam linoleat adalah asam lemak yang memiliki rantai karbon berjumlah 18 rantai karbon dan memiliki 2 ikatan rangkap isomer cis. Ikatan rangkap pertama terdapat pada karbon ke-6 dan omega terakhir. Asam linoleat adalah poli asam lemak tak jenuh yang digunakan dalam biosintesis prostaglandin. Banyak ditemukan dalam lemak dan membran sel. Asam linoleat yang termasuk ke dalam golongan gamma-asam linoleat sangat besar manfaatnya untuk tubuh, reaksi katalisis dilakukan oleh enzim delta-6-desaturase (D6D). Kekurangan omega-6 akan memberikan gejala seperti rambut kering, rambut rontok dan memperlambat penyembuhan luka. Asam linoleat juga digunakan untuk membuat sabun, pengemulsi, dan minyak pengering. Reduksi asam lemak tersebut menghasilkan senyawa linoleil alkohol. Asam linoleat dikenal dalam produk industri kecantikan karena bahannya diperlukan oleh kulit. Penelitian utama dari asam linoleat berhubungan dengan pengaruhnya pada saat tersedia berlimpah di dalam kulit, antara lain dapat memberikan efek anti-peradangan, mengurangi jerawat, menjaga kulit agar tetap lembab. Minyak dan bahan makanan yang mengandung asam linoleat termasuk minyak safflower (78%), minyak tembakau (76%), minyak biji opium (70%), minyak rami (5070%), minyak kacang kenari, rumput makanan sapi perah, minyak zaitun, minyak kelapa, kuning telur (10%), spirulina, minyak kacang, okra, minyak gandum, minyak biji anggur, minyak macademia, minyak biji kenari, dan minyak wijen.
PRODUKSI MINYAK NABATI Ekstraksi Minyak Nabati dari Biji-Bijian Kebanyakan biji yang mengandung minyak memerlukan beberapa langkah pembersihan dan persiapan sebelum minyak yang akan dipisahkan dari bagian padatan biji. Keberadaan zat asing akan mengurangi jumlah rendemen hasil minyak dan protein yang dihasilkan, meningkatkan terjadinya gesekan dan memperbesar kerusakan alat. Serpihan, pasir, daun, beling, debu, kerikil, dan kotoran lainnya adalah komponen yang biasa menjadi zat asing yang ditemukan pada biji-bijian seperti biji kedelai, biji bunga matahari, biji safflower, biji kanola, dan biji kacang tanah. Perlu dilakukan beberapa langkah pemisahan untuk membuang komponen asing ini baik dengan memakai prinsipprinsip kerja pemisahan berdasarkan perbedaan ukuran maupun prinsip elektromagnetik. Setelah pembersihan selesai, kebanyakan biji yang mengandung minyak mengalami proses dehuling, untuk mempertinggi rendemen minyak yang dihasilkan. Biji kanola , biji tembakau dan biji safflower tidak di dehuling karena ukuran bijinya sangat kecil sehingga sangat susah untuk dihilangkan dari alat dehuling secara efisien. Proses selanjutnya adalah preparasi menggunakan pemanasan atau pemasakan biji yang telah dikecilkan ukurannya. Proses ini dapat mencapai temperatur 80 sampai dengan 105°C (176 sd 221°F) tergantung dari jenis biji yang akan diambil minyaknya. Proses pemanasan merupakan proses final preparasi biji sebelum masuk ke proses ekstraksi. Untuk sumber minyak nabati yang berasal dari biji, biasanya diolah dengan menggunakan salah satu dari metode berikut: (1) ekstraksi expeller atau tekanan berulir, (2) ekstraksi gabungan metode press dan pelarut, dan (3) ekstraksi pelarut. Pemilihan proses ekstraksi tergantung pada kuantitas minyak yang terkandung di dalam biji, jumlah minyak tersisa dalam sisa bungkil biji, jumlah protein terdenaturasi dalam bungkil biji, modal yang dimiliki (peralatan) dan hukum tentang lingkungan yang diadopsi pemerintah setempat berkenaan dengan limbah yang dihasilkan.
171
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Ekstraksi Tekanan Berulir Ekstraksi tekanan berulir memeras minyak dari biji dengan cara mekanis. Metode pressing mekanis biasanya digunakan pada biji-bijian yang memiliki kandungan minyak cukup tinggi dan dibatasi oleh keadaan biji yang mengandung minyak. Pada metode tekanan berulir, biji yang telah mengalami perlakuan awal dipisahkan komponen minyak mentah dengan bungkilnya. Bungkil biji biasanya mengandung minyak sisa sekitar 3 sampai 10%, diproses lebih lanjut menjadi bahan pakan ternak atau sumber protein. Setelah pengendapan dan penyaringan, minyak mentah siap untuk dimurnikan lebih lanjut sampai pada formulasi produk. Metode tekanan berulir kontinyu digunakan untuk ekstraksi mekanis pada biji kedelai, kacang, kopra atau kelapa, palm kernel, serta bijibijian lain diberbagai belahan dunia. Ekstraksi Gabungan Metode Press dan Pelarut Ekstraksi gabungan metode press dan pelarut merupakan proses pengambilan minyak pertama dilakukan dengan cara tekanan berulir, dan kemudian sisa minyak pada bungkil diekstraksi dengan menggunakan pelarut organik. Selama proses pressing pertama, uliran dilonggarkan sehingga tekanannya lebih rendah dan minyak yang dihasilkan lebih sedikit. Minyak yang diperoleh dari proses press berulir biasanya berkisar 15 sampai dengan 18%. Sisa minyak yang masih ada pada bungkil biji dapat diambil dengan cara yang sama dengan ekstraksi menggunakan pelarut secara langsung. Minyak yang dihasilkan dari proses press dan ekstraksi menggunakan pelarut biasanya digabung terlebih dahulu sebelum dimurnikan lebih lanjut. Keuntungan metode ini adalah kapasitas penggunaan alat tekanan berulir meningkat dan membutuhkan pelarut ekstraksi lebih kecil (efisiensi). Ekstraksi Pelarut secara Langsung Ekstraksi pelarut secara langsung mengambil minyak dari biji, yang telah dipreparasi sebelumnya, dengan menggunakan pelarut organik. Metode ini lazim digunakan untuk mengekstrak minyak dari biji kedelai di Negara Amerika Serikat sejak 1940. Setelah biji yang mengandung minyak selesai dipreparasi dengan baik, proses ekstraksi dapat langsung dilakukan. Teori ekstraksi sangat sederhana: mengeluarkan dan menampung minyak dari biji yang telah dipreparasi, dengan menggunakan pelarut, biasanya heksan. Walaupun penggunaan panas dapat mengurangi viskositas minyak dan mempertinggi difusi minyak, tekanan uap heksan membatasi penggunaan panas pada peralatan ekstraktor sampai kira-kira 50 sampai dengan 55°C (122 sampai dengan 131°F). Pemisahan minyak dengan pelarut dapat dilakukan dengan metode distilasi konvensional. Campuran minyak dan pelarut didistilasi untuk memisahkan minyak dari pelarut, pelarut akan menguap terlebih dahulu dan ditampung pada bagian penampung. Pelarut yang diperoleh kembali dapat didinginkan, disaring sebelum disimpan atau digunakan kembali untuk ekstraksi pelarut lanjutan. PEMURNIAN MINYAK BIJI TEMBAKAU Setelah tahap pemisahan minyak biji tembakau selesai dilakukan, tahap berikutnya adalah pemurnian minyak biji tembakau. Mengadopsi cara Sobstad (1990) dalam proses pemurnian minyak ikan, maka dapat diterapkan juga untuk minyak biji tembakau. Karena keduanya identik, sama-sama minyak dengan asam lemak rantai panjang (18C) dan juga sama-sama memiliki ikatan rangkap cis pada ratai karbonnya. Yang berbeda hanya asal dan metode ekatraksinya saja. Terdapat 5 tahap untuk pemurnian minyak biji tembakau, yaitu:
172
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Saponifikasi (penyabunan) Proses pemurnian minyak biji tembakau pada umumnya diawali dengan penambahan larutan alkali encer (misalnya, larutan NaOH). Proses ini disebut juga proses penyabunan. Tujuan dari penambahan larutan alkali encer adalah untuk menetralisir dan menghilangkan asam-asam bebas lemak. Proses penyabunan tersebut akan menyebabkan komponen asam menyatu dengan fase air. Pemucatan (bleaching) Setelah tahap penyabunan selesai, tahap berikutnya adalah pemucatan (bleaching) yang pada umumnya dilakukan dengan menambahkan bentonit pada minyak dalam kondisi panas atau dingin. Penambahan bentonit dapat mengurangi warna dan bau minyak biji tembakau, mereduksi bilangan peroksida dan bilangan asam serta meningkatkan bilangan penyabunan. Penyaringan Penyaringan dilakukan dengan menggunakan tekanan untuk memisahkan bentonit yang mengandung pengotor reaktif, seperti komponen warna. Deodorisasi (penghilangan bau) Tahap akhir dari proses pemurnian minyak biji tembakau adalah proses deodorisasi yang merupakan tahapan penting dalam proses pemurnian minyak biji tembakau. Sejumlah kecil komponen yang mudah menguap (volatil) yang terdapat dalam minyak biji tembakau dihilangkan melalui proses penyulingan uap. Komponen-komponen tersebut erat kaitannya dengan masalah bau dan rasa dari minyak biji tembakau. Penyimpanan Minyak biji tembakau yang telah dimurnikan hendaknya disimpan dalam wadah yang bersih dan tertutup, sebab minyak ikan dapat mengalami kerusakan sebagai akibat dari perubahan oksidatif. Pertumbuhan mikroorganisme selama masa penyimpanan dapat merusak mutu minyak biji tembakau. Oleh karena itu tingkat kebersihan selama proses penyimpanan berlangsung merupakan hal yang sangat penting. Tidak hanya karena perkembangan teknologi yang semakin kompleks, tetapi juga karena kapasitas wadah penampungan yang digunakan lebih besar.
ANALISA KUALITAS MINYAK BIJI TEMBAKAU Untuk dapat mengetahui kualitas minyak biji tembakau hasil pemurnian, maka perlu dilakukan perbandingan antara karakteristik minyak biji tembakau sebelum dan sesudah pemurnian. Beberapa karakteristik yang sering dijadikan dasar dalam penentuan kualitas minyak biji tembakau adalah bilangan penyabunan, bilangan peroksida, bilangan asam, dan bilangan yodium. Penentuan karakteristik tersebut dapat dilakukan sebagai berikut: Bilangan Penyabunan Bilangan penyabunan didefinisikan sebagai jumlah mg kalium hidroksida yang dibutuhkan untuk mengikat asam bebas dan untuk menyabunkan ester dari 1 gram senyawa (Woodman dan Snell et al. dalam Sudarmadji, 1984). Penentuan bilangan penyabunan dilakukan sebagai berikut: Timbang sebanyak 5 gram contoh ke dalam erlenmeyer 200 ml, lalu tambahkan 50 ml KOH yang dibuat dari 40 gram KOH dalam 1 liter alkohol. Setelah itu ditutup dengan pendingin balik. Didihkan dengan hati-hati selama 30 menit. Selanjutnya dinginkan dan tambah beberapa tetes indikator
173
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” phenopthalein. Titrasi kelebihan larutan KOH dengan larutan standar 0,5 N HC1. Dilakukan pengerjaan blanko. Bilangan penyabunan = Bilangan Peroksida Bilangan peroksida didefinisikan sebagai jumlah peroksida dalam miliekuivalen oksigen aktif yang dikandung dalam 1000 gram senyawa (metode AOAC dalam Sudarmadji, 1984). Penentuan bilangan peroksida dilakukan sebagai berikut: Sebanyak 5 gram contoh konsentrat dalam erlenmeyer 250 ml ditambah dengan 30 ml pelarut yang terdiri dari 60 % asam asetat glasial dan 40 % kloroform dan dikocok sampai semua minyak larut. Tambahkan 0,5 ml KI jenuh (sebagai katalisator reaksi) dan didiamkan selama 2 menit pada ruang gelap dengan sesekali dikocok. Larutan ditambah 30 ml aquades. Kelebihan iod dititrasi dengan sodium tiosulfat 0,01 N. Dilakukan pengerjaan blanko. Bilangan peroksida = Bilangan Asam Bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah kalium hidroksida yang dibutuhkan untuk netralisasi asam bebas yang terdapat dalam 1 gram senyawa (Woodman dan Snell et al dalam Sudarmadji, 1984). Penentuan bilangan penyabunan dilakukan sebagai berikut: Timbang 20 gram contoh, lalu tambah dengan 50 ml etanol 95% (untuk melarutkan lemak). Panaskan sampai mendidih sambil diaduk. Larutan ini dititrasi dengan KOH 0,1 N dengan indikator phenolpthalein sampai terbentuk warna merah muda. Bilangan asam = Bilangan Yodium Bilangan yodium didefinisikan sebagai bilangan yang menunjukkan tingkat ketidakjenuhan dari minyak ikan tersebut (Woodman dan Snell et al. dalam Sudarmadji, 1984). Penentuan bilangan yodium dilakukan sebagai berikut: Timbang minyak biji tembakau sebanyak 0,5 gram dalam erlenmeyer bertutup. Tambah 10 ml kloroform atau karbon tetraklorida dan 25 ml reagen yodium - bromida. Biarkan di ruang gelap selama 30 menit sambil sesekali dikocok. Kemudian tambahkan 10 ml larutan KI 15% dan aquades 100 ml yang telah didihkan, dan segera dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,l N sampai larutan berwarna kuning pucat. Tambahkan 2 ml larutan pati. Titrasi sampai warna biru hilang. Dilakukan pengerjaan blanko. Bilangan yodium =
Bau dan Warna Masalah bau dan warna merupakan bagian yang cukup penting karena menyangkut penampakan minyak biji tembakau. Perubahan bau dan warna minyak biji tembakau dapat diamati setelah penambahan bentonit dalam proses pemucatan (bleaching).
METODE ISOLASI ASAM LEMAK OMEGA-6 Minyak biji tembakau yang akan diisolasi untuk mendapatkan asam lemak omega6 adalah minyak biji tembakau yang telah melalui proses pemisahan dan pemurnian seperti di atas. Berikut ini akan diuraikan salah satu metode isolasi asam lemak omega-6 yang biasa digunakan, yaitu metode Medina et al. (1995) yang biasa digunakan untuk asam lemak omega-3. Prosedur isolasinya dibagi atas 2 tahap, yaitu:
174
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Saponifikasi minyak biji tembakau Sebanyak 350 gram minyak biji tembakau hasil pemurnian disaponifikasi dengan 700 gram larutan NaOH dalam alkohol encer (120 gram NaOH dan 1,25 gram Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA) dilarutkan dalam 400 ml aquades dan 400 ml etanol 96%). Saponifikasi dilakukan pada temperatur kamar selama 8 jam dengan pengadukan secara konstan sambil dialiri gas nitrogen. Hasil saponifikasi tersebut ditambahkan dengan larutan HC1 6N sampai pH larutan mencapai 1. Setelah pH 1 tercapai, lalu ditambahkan n-heksan sebanyak 200 ml (beberapa kali). Campuran diuapkan dengan rotavapor pada temperatur 30°C. Fraksinasi dengan urea Sebanyak 25 gram asam lemak hasil saponifikasi di atas ditambahkan ke dalam 100 ml larutan urea panas (65 -70°C) (rasio urea/asam lemak sebesar 4:1) dan 267 ml metanol. Campuran diaduk sampai jernih. Urea dan senyawa kompleks urea dibiarkan semalam sampai mengkristal pada temperatur antara -36°C sampai 36°C. Setelah dilakukan penyaringan, fase cair dievaporasi vakum pada temperatur kamar. Konsentrat kemudian ditambahkan dengan HC1 0,1 N sebanyak 125 ml dan n-heksan sebanyak 125 ml. Kemudian lapisan heksan dipisahkan. Lapisan bagian bawah diekstraksi kembali dengan 50 ml n-heksan. Campuran fase heksan dievaporasi vakum pada temperatur kamar. Konsentrat yang diperoleh ditambahkan dengan octyl gallate sebagai penstabil. Konsentrat yang diperoleh merupakan konsentrat asam lemak omega-6. Konsentrat disimpan dalam wadah tertutup pada temperatur -20°C.
KELAYAKAN MINYAK NABATI DARI BIJI TEMBAKAU Nilai nutrisi minyak biji tembakau lebih baik jika dibandingkan dengan minyak kacang tanah, minyak biji kapas dan minyak sawit. Bahkan nilai nutrisinya sebanding dengan minyak dari safflower. Minyak tembakau yang telah dimurnikan sudah digunakan sebagai bahan pangan di beberapa Negara Eropa (Talaqani et al., 1986). Tabel 1: Perbandingan nilai bilangan yodium minyak biji tembakau Jenis Minyak Nilai Bilangan Yodium Minyak Goreng (Sawit) 45-46 Biji Tembakau 135-147 Minyak Kedelai 120-135 Persentase asam lemak tak jenuh yang sangat tinggi (nilai bilangan yodium), menandakan minyak tembakau memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang sangat tinggi. Sehingga minyak biji tembakau memiliki potensi yang sangat baik untuk kebutuhan minyak pangan. Dari beberapa laporan penelitian menyatakan bahwa minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh baik untuk kesehatan (jantung), karena mampu menurunkan kandungan Low Density Lipoprotein (LDL) (Silalahi dan Nurbaya, 2011). Selain itu asam lemak tak jenuh juga berperan sebagai antioksidan, karena efek dari ikatan tak jenuh menjadikan asam lemak lebih reaktif. Akantetapi untuk digunakan sebagai bahan minyak pangan, minyak biji tembakau mentah hasil ekstraksi harus melalui beberapa tahapan pemurnian lebih lanjut. Komposisi asam lemak dari minyak biji tembakau adalah asam linoleat 70.6%, asam oleat 17.1%, asam palmitat 7.9%, asam stearat 3.1% dan asam lemak lainnya (Gofur et al., 1993). Karakterisasi kimia dari minyak biji tembakau sangat penting untuk
175
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” diketahui jika minyak yang dihasilkan akan digunakan sebagai produk alternatif, sebagai bahan minyak nabati. Tabel 2: Komposisi asam lemak dari minyak biji beberapa jenis tembakau Biji
C16:0 C16:1 C17:0 C18:0 C18:1
C18:1
C18:2 C18:3 C20:0 C22:0
Tembakau Kentucky 104
9.5
0.1
0.1
2.8
10.6
0.6
74.9
1.1
0.2
0.1
Tembakau Bright Italia
9.2
0.1
0.1
2.5
9.5
0.8
76.1
1.4
0.2
0.1
Tembakau Bright V
8.9
0.1
0.1
2.6
11.1
0.7
75.1
1.1
0.2
0.1
Tembakau (Tondelli)
810
-
-
2-3
11-12
-
7577
-
-
-
Biji Grape
7.7
0.2
-
3.8
14.0
0.6
73.1
0.4
0.2
-
Biji Safflower
7.5
-
-
2.8
12.0
0.8
76.1
-
-
-
Sumber: Frega et al., 1991 dan Tondelli et al., 2009 Penggunaan asam lemak omega-3 dan omega-6 sebaiknya dilakukan bersamasama dengan menggunakan rasio ideal sekitar 5-10:1 untuk manfaat kesehatan yang optimal (Singh, 2005). Kekurangan atau kelebihan asam lemak tersebut dilaporkan dapat menyebabkan peradangan jantung dan penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Frega, N., Bocci, F.,Conte, L.S., Testa, F., 1991, Chemical Composition of Tobacco Seeds (Nicotiana tabacum L.), JAOCS, 68: 29-33 Gofur, M.A., Rahman, M.S., Ahmed, G.M., Hossain, A, Haque, M.E., 1993, Studies on the Characterisation and Glyceride Composition of Tobacco (Nicotiana tabacum L.) Seed Oil, Bangladesh J. Sci. Ind. Res. 28: 25-31. Medina, A. R., A. G. Gimenez, F. G. Camacho, J.A. S. Perez, E. M. Grima, and A.C. Gomez. 1995. Concentration and Purification of Stearidonic, Eicosapentaenoic, and Docosahexaenoic Acids from Cod Liver Oil and the Marine Microalga Isochrysis galbana. J. of the American Oil Chem. Soc. 72 (5): 575 -583 Sobstad, G. 1990. Marine oils: The Technology of Separation and Purification of Marine Oils In : Edible Fats and Oils Processing (D.P. Erickson, ed.). American Oil Chemists's Society Champaign. Illionis, 37-42 Silalahi J, Nurbaya S. 2011. Komposisi, Distribusi dan Sifat Aterogenik Asam Lemak dalam Minyak Kelapa dan Kelapa Sawit. J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 11, November 2011.
176
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi Ketiga. Liberty. Yogyakarta, 138 hal. Talaqani, T.E., Shafik, J., Mustafa, F.K., 1986, Fatty Acids Composition of the Seed Oil of Certain Tobacco Varieties Cultivated in Northern Iraq, Indian J. Agric. Chem. 19: 147-154. Tondelli et al., 2009. Oil Production of Plantechno tobacco. Source: “I costi di generazione da fonti rinnovabili” Universita’ degli studi di Padova for APER 2007
177
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
“INOTEK PINTAR” INOVASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LAUT MENJADI AIR SULING SIAP MINUM, KRISTAL GARAM, SERTA MINERAL BITTERN BERBASIS MEMBRAN FILTRASI DAN ENERGI SURYA Ibadur Rohman, Ilham Defriono, Ach. Fawaid A., Universitas Trunojoyo Madura, Email:
[email protected] ABSTRAK Garam, air suling dan bittern merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Akan tetapi, kebutuhan tersebut masih belum terpenuhi oleh masyarakat Indonesia termasuk di Madura. Karena pada kenyataannya produksi garam Madura masih belum mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Begitu juga dengan bittern yang selama ini masih dianggap limbah, padahal kandungan mineral pada bittern berkhasiat bagi kesehatan, inilah yang menyebabkan produk mineral bittern yang ada dipasaran lebih didominasi oleh produk impor. Keadaan tersebut semakin diperparah dengan sulitnya masyarakat pesisir Madura dalam memenuhi kebutuhan air tawar ketika musim kemarau datang. Oleh karena itu, diperlukan adanya teknologi tepat guna sebagai upaya menjawab permasalahan yang ada di masyarakat yaitu dengan mengimplementasikan “Inotek Pintar” yang bertujuan dapat mengolah air laut menjadi air suling, kristal garam, serta bittern. Teknologi yang multi fungsi dan ramah lingkungan ini menggunakan metode destilasi surya yang terdiri dari beberapa bagian yaitu: Atap penutup terbuat dari kaca pada bagian atas. Wadah penjemuran pada bagian bawah, dilengkapi membran filtrasi pemisah kristal garam dengan bittern pada bagian dalam, dan ditutupi kayu berlapis sterofoam sebagai casing pada bagian luar, serta gelas penampung hasil output air suling pada bagian samping. Penggunaan metode ini bermaksud untuk memaksimalkan energi panas matahari yang sustainable di Madura. Kata kunci: destilasi, inotek pintar, multi fungsi dan ramah lingkungan.
PENDAHULUAN Latar Belakang Garam, air suling siap minum dan mineral bittern merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Akan tetapi, kebutuhan tersebut masih belum terpenuhi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk di pulau Madura yang terkenal sebagai pulau garam. Karena pada kenyataannya produksi garam Madura masih belum mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri, sehingga Indonesia harus mengimpor dari negara luar (Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010). Begitu juga dengan bittern yang selama ini masih dianggap limbah oleh petani garam Madura. Padahal, setelah diuji oleh Hapsari (2008), kandungan mineral pada bittern sangat berkhasiat bagi kesehatan tubuh manusia. Inilah yang menyebabkan produk mineral bittern yang ada dipasaran lebih didominasi oleh produk impor, sementara produk lokal jarang ditemukan. Keadaan tersebut semakin diperparah dengan sulitnya masyarakat pesisir Madura dalam memenuhi kebutuhan air tawar ketika musim kemarau datang (Observasi Lapangan, 2013). Permasalahan tersebut sangatlah tidak wajar bagi negara Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki pantai terpanjang nomor dua di dunia. Oleh karena itu, diperlukan adanya teknologi tepat guna sebagai upaya untuk menjawab permasalahan yang ada di masyarakat pesisir Madura yaitu dengan mengimplementasikan teknologi “Inotek Pintar” Inovasi Teknologi Pengolahan Air Laut Menjadi Air Suling Siap Minum, Kristal Garam, Serta Mineral Bittern Berbasis Membran Filtrasi dan Energi
178
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Surya yang murah, melimpah dan sustainable di Madura yang memiliki manfaat jangka panjang, multi fungsi, ramah lingkungan dan juga bernilai ekonomis. Luaran Yang Diharapkan a. Prototipe “Inotek Pintar” yang dapat digunakan untuk mengolah air laut menjadi air suling siap minum, kristal garam, serta mineral bittern yang akan diaplikasikan kepada masyarakat pesisir Madura. b. Publikasi Ilmiah dan draft paten (HKI).
Manfaat a. Dapat meningkatkan jumlah produksi garam dalam negeri, sebagai solusi dari permasalahan kurangnya produksi garam di Indonesia saat ini. b. Mampu memproduksi air tawar dari air laut, bahkan tidak perlu khawatir kehabisan persediaan air minum ketika musim kemarau datang. c. Mampu memproduksi mineral bittern yang selama ini masih dianggap limbah oleh petani garam di Madura. d. Dalam jangka panjang teknologi “Inotek Pintar” mampu meningkatkan pendapatan perekonomian masyarakat pesisir Madura dikarenakan hasil produksi teknologi yang dihasilkan dapat dijual dipasaran.
179
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lingkungan dan Potensi Sumberdaya Alam di Madura Pulau Madura terkenal dengan sebutan pulau garam karena sebagian besar masyarakat pesisirnya bekerja sebagai petani garam (KKP, 2010). Hasil observasi lapangan tim penulis tahun 2013, petani tambak garam di Madura dalam memproduksi garam masih mengandalkan energi matahari sebagai energi utama dalam proses penjemuran. Hal ini sangatlah wajar dikarenakan Indonesia merupakan negara tropis dan melimpahnya energi panas matahari di Indonesia termasuk di pulau Madura merupakan keunggulan yang sangat luar biasa, karena penggunaan energi surya yang murah, melimpah dan sustainable maka Indonesia tidak perlu impor dari negara luar (Hasyim, 2006). Namun kekurangannya dalam proses produksi garam menggunakan energi surya akan gagal jika terjadi hujan. Berkenaan hal tersebut, desain rancangan teknologi Inotek Pintar dirancang sedemikian rupa agar pada saat proses pengkristalan garam tidak perlu lagi khawatir jika terjadi hujan dan proses penjemuran masih bisa dilanjutkan sampai proses pengkristalan garam selesai. Teknologi “Inotek Pintar” ini mempunyai peluang usaha yang cukup tinggi di Indonesia terutama di pesisir Madura. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan diantaranya: (1) Ketersediaan bahan baku air laut yang mudah diperoleh. (2) Memiliki suhu panas yang lebih tinggi dari pada daerah lain. (3) Mampu memproduksi air suling siap minum, kristal garm, dan bittern yang bisa dijual. Pengolahan Air Laut Menjadi Air Suling Siap Minum Menurut Cammack (2006), destilasi merupakan istilah lain dari penyulingan. Teknologi destilasi air untuk mendapatkan air tawar dari air laut intinya adalah menguapkan air laut dengan cara dipanaskan, yang kemudian uap air tersebut diembunkan sehingga didapatkan air tawar yang sudah layak konsumsi. Sumber panas dapat berasal dari energi yang beragam yaitu: minyak, gas, listrik, matahari, dan lainnya (Abdullah, 2005) dalam (Astawa, dkk. 2011). Pemisahan Antara Garam dan Bittern Menggunakan Membran Filtrasi Membran didefinisikan sebagai lapisan tipis semi permiabel yang berfungsi sebagai alat pemisah berdasarkan sifat fisiknya. Dibandingkan dengan teknologi lain, membran menawarkan keunggulan seperti pemakaian energi yang rendah, sederhana dan ramah lingkungan karena tanpa menggunakan bahan kimia (Hartomo,1994). Bersarkan penelitian diatas penulis akan memanfaatkan membran filtrasi untuk memanipulasi proses peminihan pada tanah tambak garam tradisional untuk memisahkan antara larutan garam dengan bittern. Peminihan adalah proses saat penyerapan tanah tambak garam pada air laut ketika dalam proses pengkristalan garam (Purbani, 2006). Sehingga proses pengkristalan garam akan lebih sempurna dan pada akhirnya kualitas garam yang dihasilkan pun akan lebih berkualitas. Kurangnya Penelitian Khasiat Bittern di Indonesia Penelitian khasiat bittern di Indonesia baik dalam membantu atau mengatasi penyakit masih sangat terbatas. Hal ini menyebabkan produk mineral yang ada di pasaran lebih didominasi oleh produk impor, sementara produk lokal jarang ditemukan. Setelah ditelaah lebih lanjut ternyata pada proses pembuatan garam selain menghasilkan garam juga dapat menghasilkan bittern. Bittern adalah cairan pekat yang diperoleh dari sisa kristalisasi proses pembuatan garam. Mineral yang terkandung dalam bittern yaitu: Mg, Na, K dan Ca. Ke-empat mineral ini merupakan mineral yang sangat dibutuhkan untuk kesehatan tubuh manusia dan dapat dipakai sebagai suplemen mineral ionic untuk kesehatan (Hapsari, 2008). 180
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Alat Yang Sudah Pernah Dibuat Teknologi yang sudah pernah dibuat yaitu alat pemisah garam dan air tawar yang diciptakan oleh mahasiswa IPB Bogor. Secara kualitas air tawar yang dihasilkan sudah layak konsumsi dan mampu memenuhi kebutuhan air minum. Namun, kelemahannya secara kualitas garam yang dihasilkan masih rendah.
Gambar 1. Alat Pemisah Garam dan Air Tawar dengan Menggunakan Energi Matahari (Hidayat, 2011). Berkenaan dengan hal tersebut, penulis berkeinginan dapat mengembangkan lagi alat yang sudah pernah dibuat dengan alat yang baru yaitu “Inotek Pintar” yang memiliki keunggulan dapat menghasilkan tiga manfaat sekaligus diantaranya: menghasilkan air suling siap minum, kristal garam yang lebih berkualitas serta mineral bittern dari air laut. Desain gambar teknologi Inotek Pintar ini dapat dilihat pada (Gambar 8) yang menjabarkan gambaran teknologi yang hendak diterapkembangkan di masyarakat pesisir Madura. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan ini berlangsung selama 5 bulan yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu perancangan, perakitan, dan pengujian. Proses perancangan dan perakitan bertempat di Laboratorium Sistem Manufaktur (SISMAN) Teknik Industri Universitas Trunojoyo Madura (UTM), dengan sampel air laut diambil dari Kab. Sumenep. Pengujian produk hasil kinerja alat destilasi bertempat di Laboratorium Ilmu Kelautan (IKL) (UTM). Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam proses perakitan “Inotek Pintar” meliputi: gergaji kayu, palu, bor listrik, mesin gerinda, obeng, roll meter, amplas, kikir, kuas, penggaris siku, mesin serut dan pemotong kaca. Alat-alat yang digunakan untuk pengujian in-situ “Inotek Pintar” meliputi: termometer raksa, gelas ukur, lembar data, pensil, dan stopwatch. Alat-alat yang digunakan untuk pengujian ex-situ “Inotek Pintar” di laboratorium meliputi: refraktometer, pH meter, erlenmeyer, desikator, , kertas saringt, oven, dan timbangan digital. Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan meliputi: kayu, paku, lem kayu, lem G, pipa PVC, fiber, sterofoam, membran filter, alumunium, bingkai alumunium, kaca transparan, engsel pintu, baut, keran, selang plastik. Bahan uji coba menggunakan sampel air laut yang diambil dari Sumenep karena kualitas air lautnya lebih baik. Tahapan Pengerjaan Teknologi “Inotek Pintar” 181
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Pengerjaan pembuatan teknologi ini dilakukan di Laboratorium Sistem Manufaktur yang disusun ke dalam beberapa tahap yang mencakup perencanaan dan pola pelaksanaan kerja meliputi: persiapan, perumusan masalah, perancangan model, pengujian model, perancangan perangkat, perakitan perangkat. Perancangan model meliputi pembuatan desain dan pemilihan bahan yang akan digunakan dalam perakitan. Pemilihan bahan-bahan yang digunakan adalah bahan yang tidak mudah korosif. Penyatuan perangkat mencakup pembuatan atap ruang evaporasi, pembuatan wadah penjemuran, pembuatan membran filtrasi, dan pembuatan saluran output air suling dan bittern. Selanjutnya dilakukan ujicoba, ujicoba mencangkup pengukuran parameter yang mempengaruhi kinerja teknologi “Inotek Pintar”
Gambar 2. Diagram Alir Tahapan Pengerjaan Teknologi “Inotek Pintar” Proses Pengambilan Data Proses pengambilan data dilakukan dengan cara menjemur sampel air laut ke dalam wadah penjemuran “Inotek Pintar” hingga semua air tersebut menguap. Pengambilan data suhu dan volume dilakukan dari pukul 09.00-15.00 WIB. Ujicoba dilakukan pada pukul tersebut karena panas matahari dalam keadaan maksimal. Variabel yang diukur mencakup suhu lingkungan, suhu ruang dan suhu air laut di dalam “Inotek Pintar” (ruang evaporasi), volume air laut, jumlah garam, jumlah air suling serta bittern yang dihasilkan. Analisis Hasil Analisis hasil dilakukan di Laboraturium (IKL), meliputi pengukuran salinitas, pH, TSS, dan bobot kering garam. Salinitas diukur menggunakan refraktometer sedangkan pH diukur menggunakan pH meter digital. Penentuan TSS digunakan metode gravimetri langkah-langkah proses sebagai berikut: a. Menyiapkan kertas saring dan cawan penguapan dipanaskan dengan suhu 105 0C selama 1 jam. Kemudian diambil dan didinginkan ke dalam desikator selama ± 5 menit lalu ditimbang untuk mengetahui beratnya (berat kering). 182
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” b. Mengukur sempel air laut dan sempel air hasil sebanyak 200 ml. c. Menyaring sampel dengan kertas saring yang sudah diketahui beratnya. d. Masukkan ke dalam oven dengan suhu 105 0C selama 1 jam, kemudian dinginkan dalam desikator selama ± 15 menit lalu. e. Timbang untuk mengetahui beratnya (berat basah). f. TSS dihitung dengan menggunakan rumus : TSS = [ (berat basah – berat kering) / volume sampel ] x 1000. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penyelesaian Perakitan Prototipe “Inotek Pintar”
Gambar 3. “Inotek Pintar” Bagian Atas
Gambar 4. Wadah Penjemuran dan Gelas Penampung.
Gambar 5. Membran Filtrasi
183
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 6. “Inotek Pintar” Tampak dari Samping Kiri.
Gambar 7. “Inotek Pintar” Tampak dari Samping Kanan Depan
Atas
Kanan
Kiri
Gambar 8. “Inotek Pintar” dari Beberapa Pandangan.
Gambar 9. Perakitan Prototipe “Inotek Pintar”
184
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 10. Hasil Rakitan Prototipe “Inotek Pintar” dari Beberapa Pandangan. Prototipe “Inotek Pintar” dengan jumlah volume kapasitas 1600 ml air laut ini merupakan alat dengan prinsip evaporasi yang terdiri dari beberapa bagian yaitu atap penutup menggunakan prinsip efek rumah kaca pada bagian paling atas, wadah penjemuran pada bagian bawah dan gelas penampung hasil output uap air H2O pada bagian samping. Atap penutup sebagai ruang evaporasi ini menggunakan prinsip efek rumah kaca (gambar 3), yang terbuat dari kaca transparan, penggunaan kaca transparan dipilih sebagai penutup dikarenakan kaca memiliki sifat kaku, tahan terhadap panas matahari, memiliki daya tembus yang baik serta merupakan bahan yang baik untuk mengalirnya air. Wadah penjemuran (gambar 4), terbuat dari bak berbentuk kotak berwarna hitam terbuat dari fiber yang didalamnya dilengkapi membran filtrasi untuk menyaring dan memisahkan kristal garam dari endapan cairan bittern (Gambar 5). Membran filtrasi ini bermaksud untuk memanipulasi proses peminihan penyerapan cairan bittern pada tanah tambak garam tradisional. Penggunaan bak fiber ditujukan untuk menghindari korosi yang disebabkan oleh air laut, sedangkan warna hitam bertujuan agar meningkatkan kemampuan bak penjemuran dalam menyerap panas. Jadi selain sebagai wadah penjemuran air laut, bak tersebut juga berperan sebagai penyerap panas. Untuk memperkokoh dan mengurangi kehilangan energi panas ke lingkungan maka disisi luar dilapisi kayu yang didalamnya sudah dilapisi sterofoam sebagai casing. Bagian dalam bak terdapat ruang penampung uap air H2O, yang dilengkapi saluran air hasil penguapan yang terbuat dari pipa PVC yang dipotong menjadi ½ lingkaran agar uap air laut (H20) dapat keluar. Pada bagian wadah paling bawah terdapat semacam kran aliran air yang dapat dibuka dan ditutup, bertujuan agar bisa mengeluarkan air bittern pada wadah bagian paling bawah (Gambar 6). Gelas penampung hasil output uap air (air suling) terbuat dari plastik yang dapat dibongkar pasang pada wadah penjemuran untuk mengantisipasi ketika air penuh, sehingga dapat diganti dengan gelas yang baru. asil Pengujian Kinerja “Inotek Pintar” Paremeter suhu yang diukur pada pengujian kinerja “Inotek Pintar” meliputi suhu lingkungan, suhu ruang dan suhu air laut. Suhu merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi produktivitas suatu alat destilasi air laut. Suhu lingkungan yang diukur sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca, kelembaban relatif udara, dan wilayah atau kondisi geografis yang bersifat relatif dan tidak dapat dikendalikan (Hidayat, 2011). Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh nilai suhu yang berubah-ubah tiap harinya tergantung pada besarnya intensitas matahari yang diterima. Suhu lingkungan yang diperoleh dari hasil pengujian selama empat hari berkisar antara 30-42 0C. Pada pengamatan ini diperoleh suhu ruang evaporasi pada kisaran 34-57 0C. Suhu air laut kurang berpengaruh langsung terhadap suhu lingkungan, hal ini disebabkan karena air merupakan penyimpan panas yang baik. Suhu air tidak langsung turun apabila suhu 185
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” lingkungan turun. Suhu air laut yang diperoleh di pengamatan ini berkisar antara 42-64 0 C (Gambar 11).
Gambar 11. Grafik Suhu Hasil Pengukuran Selama Empat Hari Suhu dalam ruangan evaporasi lebih tinggi dari suhu lingkungan disebabkan karena suatu fenomena yang sering disebut sebagai green house effect (efek rumah kaca. Air Suling yang Dihasilkan “Inotek Pintar” Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama empat hari, diperoleh air suling dalam 1 kali produksi sebanyak 410 ml dari 1600 ml air laut. Air suling yang dihasilkan disini merupakan uap dari air laut yang ditahan oleh kaca untuk kemudian dialirkan melalui pipa menuju gelas penampung air suling.
Gambar 12. Kuantitas Air Suling Yang Dihasilkan Setelah melalui proses destilasi, pH mengalami penurunan dari 8 menjadi 6,5. Nilai TSS juga mengalami penurunan dari 0,3 (air laut) menjadi 0,1 (air suling). Untuk parameter yang diuji, air suling hasil destilasi sudah memenuhi standar untuk dapat dikonsumsi (Cammack, 2006). Penguapan air laut terjadi pada suhu di bawah 100 0C padahal secara teori air akan mendidih pada suhu 100 0C pada keadan normal (1atm). Hal ini disebabkan karena ruang evaporasi memiliki suhu yang tinggi akibat adanya efek rumah kaca yang ditimbulkan, 186
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” dengan adanya kondensasi pada bagian atap penutup yang memiliki suhu lebih rendah dari ruang evaporasi, maka terjadi pengembunan sehingga menyebabkan suhu evaporasi tersebut berada di bawah titik uap air secara normal (Hidayat, 2011). Selama proses penjemuran terdapat lapisan kristal garam di permukaan wadah penjemuran serta didapatkan pula sisa kristalisasi proses pembuatan garam yang tidak ikut mengkristal (mineral bittern). Kualitas Garam yang Dihasilkan “Inotek Pintar” Hasil pengujian selama empat hari diperoleh jumlah garam kurang dari 30 gr dari 1600 ml air laut (tua) salinitas 24 0Be. Kandungan garam yang dihasilkan dari alat ini secara fisik tergolong bersih dan bening. Sehingga tidak perlu dilakukan proses lebih lanjut seperti pencucian.
Gambar 13. Kuantitas Garam yang Dihasilkan Bittern yang Dihasilkan “Inotek Pintar” Hasil pengujian selama empat hari diperoleh jumlah bittern 0,2 ml yang mana cairan bittern merupakan cairan sisa dari hasil kristalisasi garam yang tidak ikut mengkristal, warna bittern yang didapat yaitu agak kecoklatan.
Gambar 14. Kuantitas Bittern yang Dihasilkan
187
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Desain rancangan teknologi “Inotek Pintar” yang multi fungsi dan ramah lingkungan ini cukup baik untuk memproduksi garam, air suling dan bittern karena dengan alat ini produksi garam dapat dilakukan sepanjang tahun, tidak hanya pada musim kemarau saja. Jika dibandingkan dengan produksi garam dengan cara tradisional yang akan gagal apabila pada saat penjemuran terjadi hujan, sedangkan dengan teknologi “Inotek Pintar” produksi garam masih dapat dilanjutkan sampai penjemuran selesai. Teknologi yang multi fungsi dan ramah lingkungan ini memiliki nilai tambah yaitu mampu memproduksi garam yang lebih berkualitas dibandingkan alat yang sudah pernah dibuat sebelumnya, dikarenakan teknologi “Inotek Pintar” dilengkapi dengan membran filter manipulasi proses peminihan pada tanah tambak garam tradisional, sehingga proses pengkristalan lebih sempurna, serta teknologi ini juga mampu menghasilkan cairan bittern sisa proses pengkristalan garam. Harapan penulis merancang teknologi “Inotek Pintar” ini ke depan yaitu mampu menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat pesisir serta mampu meningkatkan pendapatan perekonomian dan mensejahterakan masyarakat pesisir Madura. Saran Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai kandungan mineral yang ada pada bittern karena masih terbatasnya penelitian tentang khasiat bittern di Indonesia baik dalam membantu atau mengatasi penyakit.
DAFTAR PUSTAKA Astawa, K., M. Sucipta, dan I. P. G. A. Negara. 2011. Analisa Performansi Destilasi Air Laut Tenaga Surya Menggunakan Penyerap Radiasi Surya Tipe Bergelombang Berbahan Dasar Beton. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Universitas Udayana Vol.5 No.1. (7-13). Cammack, R. 2006. Oxford Dictionary of Biochemistry and Molecular Biology. Oxford University Press. New York. 720 h. Fathoni, Mahmudi dan Hasri. 2011. Teknologi Pengolahan Garam Sederhana Dalam Memperbaiki Perekonomian Petani Garam. Laporan PKMT Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura. Bangkalan. Hapsari, Nur. 2008. Pengambilan Mineral Elektrolit dari Limbah Garam (Bittern) untuk Suplemen Mineral Ionic Pada Air Minum. Jurnal Teknik Kimia Jurusan Kimia Fakultas Teknologi Industri UPN Vol.2, No2. Hartomo, A . J dan Widiatmoko, M.C, (1994) “ Teknologi Membran Untuk Pemurnian Air”, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. Hasyim, I. 2006. Siklus krisis di sekitar energi. Proklamasi Pub. House. Michigan. 170 h. Hidayat, R. R. 2011. Rancang Bangun Alat Pemisah Garam dan Air Tawar Dengan Menggunakan Energi Matahari. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 65 h. Ihsanuddin. 2011. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Guna Pencapaian Swasembada Garam. Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura. Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010. Program Swasembada Garam 188
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Nasional. Makalah disampaikan pada Seminar Garam Nasional. Hotel Sultan Jakarta. 18 Mei 2010. Lakitan, B. 2004. Dasar-dasar klimatologi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 175 h. Purbani, Dini. 2006. Proses Pembentukan Kristalisasi Garam. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Pati. Pati.
189
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI JAMU MADURA Abdul Azis Jakfar Jurusan Manajemen Industri Fak. Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Email:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan dari penyusunan karya tulis ini adalah: 1. Memetakan produksi, pemasaran dan kemitraan jamu di Madura; 2. Merumuskan strategi dan kebijakan pengembangan jamu di Madura. Pendekatan yang dilakukan dalam karya ilmiah ini adalah pendekatan analisis deskriptif dengan melakukan telaah pustaka yang kemudian dilanjutkan dengan deskripsi dan analisis terhadap teori yang saling berkaitan serta menghubungkannya dengan berbagai fenomena terkait dengan pemetaan produksi, pemasaran dan kemitraan industri jamu di Madura. Berdasarkan hasil identifikasi, analisis hambatan dan arah dari visi Jamu Indonesia Maju 2020 maka strategi pengembangan jamu Madura, meliputi: 1. Pengoptimalan aspek produksi pada industri jamu Madura dengan: a. Perbaikan irigasi dan jalan akses, b. Perbaikan teknologi produksi, c. Peningkatan standar mutu dan keamanan produk. d. Mempermudah akses perbankan, e. Pengembangan SDM Petani dan Pengusaha jamu,e. f. Peningkatan jumlah lahan tanaman obat (ekstensifikasi). g. Mendorong implementasi manajemen usaha. 2. Pengoptimalan aspek pemasaran dengan: a. Berjejaring dengan multipihak untuk meningkatan informasi pasar, b. Optimalkan asosiasi dan koperasi untuk mengurangi ketergantungan kepada tengkulak tanaman obat, c. Perbaikan kualitas agar jamu rakyat diterima konsumen DN dan LN, d. Optimalkan asosiasi dan koperasi petani dan usaha kecil jamu untuk mengatasi perbedaan harga. 3. Pengoptimalan aspek kemitraan dengan: a. Optimalkan kelembagaan multi pihak sesuai tupoksinya, b. Optimalkan kelembagaan multi pihak sesuai tupoksinya. Sedangkan, kebijakan pengembangan jamu Madura, meliputi: 1. revitalisasi, 2. intensifikasi; dan 3. ekstensifikasi. Kata kunci: strategi dan kebijakan, industri jamu Madura
PENDAHULUAN Jamu merupakan warisan budaya bangsa yang sudah digunakan secara turun menurun. Indonesia memiliki keunggulan dalam hal pengembangan jamu dengan 9.600 jenis tanaman obat yang dapat digunakan sebagai bahan dasar jamu. Dari sisi perekonomian, industri jamu telah berkontribusi sangat besar bagi pendapatan nasional, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penyediaan lapangan kerja. Bahan baku yang hampir sekitar 99% yang digunakan merupakan produk dalam negeri dinilai mampu membawa multiplier effect yang cukup signifikan dalam pertumbuhan perekonomian di Indonesia mulai dari sektor hulu (pertanian) hingga sektor hilir yang meliputi perindustrian dan perdagangan. Perkembangan industri jamu di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dengan pertumbuhan omzet yang baik. Jumlah industri jamu tercatat sebanyak 1.166 industri yang terdiri dari 129 industri besar dan 1.037 merupakan industri kecil. Dari 1.166 industri tersebut, 129 industri besar dan 621 industri kecil sudah tergabung dalam Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu, 2004). Dalam aktivitas ekonominya, pasar industri jamu Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dengan nilai penjualan mencapai Rp 6 triliun, telah menciptakan tiga juta lapangan kerja, dan dengan daerah konsumen terbesar di pulau 190
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Jawa mencapai 60% pada tahun 2007 (GP Jamu, 2008). Dengan keunggulan komparatif yang dimiliki sebagai industri berbasis sumberdaya lokal, KADIN dalam visi 2030 dan Road Map Industri Nasional merekomendasikan jamu sebagai klaster industri unggulan penggerak pencipta lapangan kerja dan penurun angka kemiskinan dan atas dasar kearifan lokal dan potensi yang dimiliki produk Jamu. Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi telah mencanangkan gerakan “Jamu Brand Indonesia” sebagai bagian dari kegiatan menyatukan merek jamu dalam satu payung Brand Indonesia. Madura dikenal sebagai salah satu sentra jamu tradisional di Indonesia. Jamu Madura sudah cukup terkenal khususnya untuk pengobatan dan perawatan fungsi reproduksi wanita. Cerita dari mulut ke mulut tentang kemanjuran jamu tersebut merupakan salah satu cara penyampaian informasi jamu ke konsumen. Konsumen tidak terbatas pada penduduk pulau Madura tetapi telah meluas ke Jawa Timur dan sekitarnya, bahkan dari sumber tidak resmi menyatakan bahwa jamu Madu sudah dipasarkan sampai ke luar negeri. Meskipun jamu Madura ditujukan untuk pria dan wanita tetapi tampaknya konsumen terbanyaknya adalah wanita (Handayani.L,dkk, 1998) . Melihat kondisi ini maka dipandang perlu untuk melakukan berbagai upaya strategi dan kebijakan pengembangan jamu di Madura. Tujuan dari penyusunan karya tulis ini adalah: 1. Memetakan produksi, pemasaran dan kemitraan jamu di Madura; 2. Merumuskan strategi dan kebijakan pengembangan jamu di Madura. METODE Pendekatan yang dilakukan dalam karya ilmiah ini adalah pendekatan analisis deskriptif dengan melakukan telaah pustaka yang kemudian dilanjutkan dengan deskripsi dan analisis terhadap teori yang saling berkaitan serta menghubungkannya dengan berbagai fenomena terkait dengan pemetaan produksi, pemasaran dan kemitraan industri jamu di Madura. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemetaan Potensi Produksi Jamu di Madura Madura dikenal dengan ramuan tradisional yang manjur dan terbukti mengobati beberapa penyakit, serta ramuan ampuh untuk kejantanan pria ataupun wanita. Meski belum dikelola dengan optimal, masyarakat Madura sudah menanam tanaman obat, seperti: jahe, cabe jamu, kencur, temu lawak dan lain-lain. Data areal tanaman obat di Jawa Timur (2004) menunjukkan luas areal tanaman jahe di Bangkalan seluas 112,39 Ha, Sampang seluas 54,12 Ha, Pamekasan seluas 1.969,85 Ha dan Sumenep seluas 510,22 Ha. Tabel 1. Jumlah Luasan Lahan Tanaman Jahe Di Madura Luas Areal (Ha) No Kabupaten 1. Bangkalan 112,39 2. Sampang 54,12 3. Pamekasan 1.969,85 4. Sumenep 510,22 Jumlah 2.990 Sumber: Muhammad, 2010 Sedangkan, cabe jamu sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri obat tradisional dalam negeri. Rincian jumlah luasan lahan tanaman cabe jamu di Madura disajikan pada Tabel 2.2. 191
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Tabel 2. Jumlah Luasan Lahan Tanaman Cabe Jamu Di Madura Luas Areal (Ha) Produksi (ton/thn) No Kabupaten 1. Bangkalan 331 73 2. Sampang 778 499 3. Pamekasan 404 415 4. Sumenep 1.477 4.151 Jumlah 2.990 5.138 Sumber: Kemala, et.al, 2005 Pengembangan tanaman obat mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan di Madura. Untuk tanaman obat seperti temu lawak produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Batu, Malang, Pasuruan dan Jember dengan produksi rata-rata 2 Kg/rumpun. (data belum dipublikasikan. Penelitian 2010 Pelaksana Universitas Brawijaya). Seiring dengan meningkatnya areal tanaman obat di Madura maka terdapat peningkatan jumlah industri jamu rakyat di Madura. Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2012 jumlah industri rakyat sebanyak 24 industri. Rincian jumlah industri jamu di Madura disajikan pada Tabel 4.3. Tabel 3. Jumlah Industri Jamu Rakyat Di Madura Jumlah Industri Jamu Rakyat No Kabupaten 2011 2012 1. Bangkalan 7 8 2. Sampang 0 1 3. Pamekasan 0 2 4. Sumenep 7 13 Jumlah 14 24 Sumber: Kem.Kesehatan RI 2013 Peluang dan Tantangan Produksi Peluang dalam peningkatan produksi jamu Madura adalah: 1. Pemerintah menyediakan benih bermutu, 2. Penguatan lembaga pendukung permodalan, 3. Pemberian insentif pengembangan jamu, 4. Kesadaran masyarakat semakin meningkat bahwa mereka tiidak mau mengambil risiko terkena efek samping dari obat-obatan modern, dapat dikatakan sebagai salah satu alasan mengapa kini banyak orang mengkonsumsi Jamu Tradisional untuk menjaga kesehatan tubuhnya, 5. Semua media informasi seolah telah membuka kesadaran masyarakat kita bahwa obat modern tidaklah segalanya bagi penyakit. 6. Semakin banyaknya lembaga penelitian dan peneliti yang dalam kegiatannya melakukan penelitian tanaman obat merupakan kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan jamu. Tantangan dalam peningkatan produksi jamu Madura adalah: 1. Penyediaan lahan yang potensial bagi budidaya tanaman obat, 2. Penyediaan benih yang bermutu, 3. Penerapan standar penanaman tanaman obat yang sesuai dengan rekomendasi Kementerian Pertanian serta penerapan data base yang baik sehingga informasi produksi dan kebutuhan tanaman obat dapat terencana dengan baik. 4. Permodalan yang memadai melalui pembiayaan yang efektif, 5. Pengadaan SDM yang unggul, 6. Bantuan pemasaran, serta 7. Penelitian yang dapat meningkatkan nilai tambah. 7. Ketersediaan standar dan metode sebagai instrumen untuk mengevaluasi mutu. 8. Penyelenggaraan iklim usaha yang kondusif, 9. Jaminan pasar dan harga. 10. Semakin berkurangnya antusiasme dari generasi muda untuk meneruskan usaha jamu karena dianggap tidak mampu memberikan jaminan pendapatan ekonomi yang layak. 192
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Pemetaan Pemasaran Pemasaran jamu rakyat sebenarnya dapat dikatakan terbuka lebar jika menilik pada manfaat dari komoditi jamu. Berikut pemetaan jenis dan pasar obat tradisional yang bisa diakses oleh pelaku usaha jamu rakyat (baik petani tanaman obat maupun pengusaha jamu). Tabel 4. Pemetaan Jenis Dan Pasar Obat Tradisional Jenis Jamu Pengertian Contoh Produk Pasar 1. Jamu Jamu merupakan kriteria/jenis obat Jamu Gendong, Pedagang tradisional pada tingkat terendah dalam jamu seduh, jamu pengelompokkan ini. Hal ini pilkita, laxing, gendong, dikarenakan jamu merupakan produk keji beling, dll kios jamu dari bahan tanaman obat dan belum memiliki bukti ilmiah mengenai manfaat yang dihasilkan, melainkan hanya berdasarkan bukti empiris dan diwariskan secara turun-temurun. 2. Obat Kelompok ini merupakan tingkatan Tolak Angin Sido PT. Herbal yang lebih tinggi karena telah memnuhi Muncul, Kiranti, SidoMuncul, Terstandar. persyaratan uji pra klinis yang meliputi: Datang Bulan, PT. Nyonya kriteria uji keamanan dan uji khasiat Diapet, hiMeneer, PT. yang dibuktikan secara ilmiah, Stimuno, dll PT. Dexa standarisasi terhadap bahan baku Medica dll (simplisia) yang digunakan dalam produk jadi, dan persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Materia Medika Indonesia, Departemen Kesehatan atau Monograf Tanaman Obat Badan POM. Standarisasi simplisia sebagai bahan baku diperlukan untuk mendapatkan efek yang terulangkan (Reproducible). Simplisia yang dimaksud adalah bagian tertentu dari tanaman obat yang bisa diambil manfaatnya yang kemudian diolah sesuai dengan ketentuan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). 3. Fitofarmaka.
Kelompok ini merupakan kelompok yang paling tinggi tingkatannya karena sudah mengalami uji pra klinis dan klinis. Hal ini dapat diartikan bahwa prdok fitofarmaka menggunakan bahan baku yang terstandar dan khasiatnya sudah terbukti aman bagi manusia yang diuji secara ilmiah. Sumber: BP POM RI Peluang dan Tantangan Pemasaran 193
Obat Daya Tahan Tubuh Stimuno Dexa Medica, Obat lemah syahwat X-Gra Phapros, dll
PT. Dexa Medica, PT. Phapros, PT. Nyonya Meneer, PT. Kalbe Farma
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Peluang terkait pemasaran, meliputi: 1. Terdapat 3 segmen pasar (jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka) yang bisa diakses petani tanaman obat, 2. Pergeseran paradigma masyarakat untuk back to nature dalam bidang kesehatan. Tantangan terkait pemasaran, meliputi: 1. Banyaknya peredaran jamu ilegal dan jamu palsu di masyarakat, 2. Standarisasi mutu jamu, 3. Preferensi pelanggan terhadap jamu, 4. ketidakjelasan informasi, termasuk kandungan, efek samping, dan dosis, 5. Pengetahuan masyarakat pengguna terhadap jamu, 6. Masih belum tingginya loyalitas pengguna dimana jamu ditempatkan sebagai alternatif kepada obat farmasi. Tantangan untuk non pengguna jamu, antara lain: 1. Rendahnya pengetahuan masyarakat non pengguna terhadap jamu, 2. Sikap masyarakat non pengguna masih belum positif terhadap jamu dimana sebagian besar cenderung memandang bahwa minum jamu adalah berbahaya serta 3. Ketidakpercayaan terhadap mutu dan khasiat dari jamu Indonesia akibat masalah budaya yang mempengaruhi masyarakat non pengguna untuk tidak meminum jamu, 4. Masalah ketidakjelasan informasi terutama pada label produk jamu, dan 5. Masalah masyarakat non pengguna bahwa minum jamu adalah sesuatu yang tidak nyaman bagi mereka terutama bentuk dan rasa jamu yang tidak disukai. 6. Kewaspadaan terkait beberapa jenis obat tradisional dan atau bahannya diketahui toxic baik sebagai sifat bawaannya maupun kandungan bahan asing yang berbahaya atau tidak diizinkan. Pemetaan Kemitraan Industri Jamu Rakyat Peluang Kemitraan Multipihak Peluang kemitraan multipihak/masyarakat pejamuan sebenarnya sangat menjanjikan asalkan dapat dikelola dengan baik. Memang, jika mengamati strukturnya cukup komplek. Berikut pemetaan kemitraan kelembagaan multipihak industri jamu rakyat disajikan pada tabel 4.1. Tabel 5. Pemetaan Kemitraan Multipihak Jamu Kelembagaan Kementerian Pertanian Kementerian Perdagangan Kementerian Pariwisata Pemerintah Propinsi Jatim dan 4 Kab di Madura, serta DPRD Badan Usaha Milik Daerah 4 Kab. Di Madura KADIN 4 Kab. Di Madura Koperasi Jamu
Peran/Manfaat Memfasilitasi pengembangan tanaman obat Memfasilitasi pengembangan industri jamu rakyat Mempromosikan jamu rakyat sebagai produk global Memfasilitasi pengembangan industri jamu rakyat, melalui: Dinas Pertanian, Dinas Koperasi, Disperindag, Bappeda, Bagian Perekonomian Setda, DPR, DPRD, dll Mengelola potensi tanaman obat dan industri jamu untuk meningkatkan PAD Mendorong iklim investasi jamu Meningkatkan kesejahteraan petani tanaman jamu dan pengusaha kecil Meningkatkan posisi tawar petani tanaman obat dan pengusaha jamu
Asosiasi Petani tanaman obat dan asosiasi pengusaha jamu Asosiasi Dokter herbal dan Mengangkat potensi jamu herbal dalam pengobatan Apoteker herbal Perguruan Tinggi Riset terkait jamu (ada wacana pembentukan Institut Jamu) BP POM Pengawasan jamu palsu dan ilegal PT. Air Mancur - Membeli tanaman obat rakyat 194
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Masyarakat PT. Santos, Semen Gresik, Perusahaan Garmen/Tekstil, dll Perbankan BPS Swasta LSM Aparat Penegak hukum Sumber: Hasil Analisis
- Memberikan alih teknologi kepada industri jamu rakyat - Membeli produk jamu rakyat - Mengawasi peredaran jamu palsu dan ilegal Mengarahkan program CD nya untuk pengembangan jamu rakyat Memberikan insentif pembiayaan petani tanaman obat dan industri jamu rakyat Pendataan potensi lahan tanaman obat dan industri jamu Program CD untuk CSR dalam pengembangan industri jamu rakyat Ikut mengawal proses pemberdayaan masyarakat (petani tanaman obat dan industri kecil jamu) Pemberantasan jamu palsu dan ilegal
Peluang dan Tantangan Kemitraan Peluang kemitraan yang bisa dilakukananya pendekatan-pendekatan ke pihak industri jamu besar, seperti: Sido Muncul, Air Mancur, Jamu Ibu, perlu terus dilakukan agar produksi jamu rakyat bisa memenuhi standar jamu industri. Sebenarnya, kalau masyarakat mau membuat jamu dengan kualitas bagus, tidak akan terlalu sulit untuk memasarkannya karena pasar masih terbuka lebar. Permasalahan pemasaran jamu memang masih perlu terus ditindaklanjuti. Jadi tantangan untuk selanjutnya adalah perlu dipikirkan bagaimana jamu rakyat di Madura bisa memenuhi standar kebutuhan global. Menurut Anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh (2012), Pemerintah perlu mengkaji ulang sejumlah regulasi yang mengancam keberadaan industri jamu nasional. Hal ini disampaikan Poempida menanggapi keluhan pelaku industri jamu nasional, di Jakarta, Kamis (31/1/2012). Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahwa sejumlah regulasi pemerintah akan mengganggu daya saing dan keberlangsungan sektor itu di tengah serbuan produk impor dan ilegal. Beberapa regulasi yang dinilai menghambat industri jamu nasional antara lain Permenkes No 6/2012 tentang Ijin Obat Tradisional, Permenkes No 7/2012 tentang Registrasi Obat Tradisional, Peraturan Kepala BPOM tentang Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), Permenkes No 386/Menkes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Tradisional, RUU Kefarmasian yang memasukkan jamu ke dalam farmasi, Harmonisasi obat tradisional ASEAN dan Asean-China Free Trade Area (ACFTA). Poempida mengungkapkan bahwa dalam rangka merancang atau merumuskan suatu peraturan, hal yang sangat penting adalah mengharmonisasi draf peraturan sebelum ditetapkan menjadi peraturan. Upaya harmonisasi itu perlu dilakukan untuk menghindari adanya disharmoni dan pertentangan dengan pihak-pihak berkepentingan. Selain itu, Pemerintah dalam menerbitkan sebuah kebijakan harusnya melakukan dialog dengan pemangku kepentingan terkait sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Pemerintah seharusnya melakukan dialog terbuka dengan pemangku kepentingan terkait agar dihasilkan kebijakan yang tidak merugikan stakeholder industri jamu. Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) belum lama ini merilis hasil survei. Survei dilakukan pada Januari 2013 di lima kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Hasil survei 195
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” tersebut menemukan terdapat sedikitnya 56 produk jamu yang telah dilarang (public warning) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tetapi masih beredar bebas tanpa pengawasan.Hasil survei menunjukkan bahwa masih lemahnya BPOM dalam melakukan pengawasan peredaran produk jamu ilegal. Untuk itu, BPOM untuk serius dan melakukan langkah nyata untuk mengatasi peredaran jamu dan obat tradisional ilegal tersebut, Ketua Umum Gabungan Perusahaan (GP) Jamu Charles Serang mengatakan bahwa temuan YPKKI memperkuat bukti ancaman besar terhadap industri jamu nasional. Masa depan jamu suram karena tidak ada menteri yang mau memikirkan jamu, padahal jamu merupakan tradisi bangsa (31/1/2013). Tantangan kemitraan dari kelembagaan multipihak pengembangan jamu di Madura adalah adanya egosektoral yang masih menjadi momok dalam bersinergi. Tentunya peran aktif Pemerintah untuk memfasilitasi semua stakeholder jamu Madura untuk duduk bersama menyamakan persepsi dan komitmen. Multipihak terkait jamu Madura kurang terkoordinasi dengan baik. Pihak-pihak terkait seperti: pemerintah, industri, lembaga pendidikan dan penelitian pada perguruan tinggi, petani tanaman obat dan penyedia jasa kesehatan-kefarmasian belum bekerjasama dengan sinergis. Pembiayaan untuk pengembangan obat tradisional terutama untuk kegiatan penelitian masih jauh dari kebutuhan. Di satu sisi keuangan pemerintah masih terbatas sementara di pihak lain industri obat tradisional belum termotivasi untuk tanggung renteng ikut membiayai kegiatan penelitian. Dari 907 IKOT yang ada, sebanyak 35,4% dapat digolongkan dapat sebagai industri rumah tangga dengan fasilitas dan sumber daya yang sangat minimal. Sedangkan dari 129 IOT, baru 69 industri yang mendapatkan sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). Industri obat tradisional masih sangat kurang memanfaatkan hasil penelitian ilmiah dalam mengembangkan produk dan pasar. Dalam pengembangan pasar, industri obat tradisional masih lebih menekankan pada kegiatan promosi dibandingkan ilmiah mengenai kebenaran khasiat, keamanan dan kualitas. STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN JAMU MADURA Identifikasi Permasalahan Industri Jamu Madura Berdasarkan kajian literatur diperoleh permasalahan utama yang dinilai menghambat pengembangan jamu Madura, antara lain: peredaran jamu kimia (BKO), kurangnya pembinaan pemerintah terhadap pelaku mikro/menengah UKM, peraturan yang menghambat seperti pelarangan pencantuman istilah tertentu pada produk, kesulitan dalam memperoleh bahan baku yang terstandar dan tersedia, serta persaingan dengan perusahaan farmasi terutama untuk jenis/kategori produk herbal terstandar dan fitofarmaka. Sementara itu, permasalahan yang sering dijumpai oleh regulator, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BP POM) dan Kementerian Kesehatan beserta Dinas Propinsi adalah: peredaran jamu BKO yang melibatkan produsen jamu khususnya UKM dan rumah tangga, sebagian perusahaan belum melaksanakan standar yang sudah ditetapkan, yaitu: Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), serta penggunaan label yang belum standar. Salah satu kendala yang dihadapi oleh produsen dan pedagang jamu tradisional adalah: semakin menurunnya jumlah konsumen jamu akibat semakin banyaknya obatobatan serta ramuan kesehatan yang lebih praktis dan moderen. Minuman jamu cair tradisional ini juga tidak tahan lama sehingga kalah bersaing dengan produk ramuan energi instan. Hal lain yang membuat industri rumahan jamu tradisional sulit untuk berkembang adalah pengelolaan usaha yang masih belum profesional (hanya kegiatan 196
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” sampingan untuk menambah penghasilan bagi keluarga) serta jangkauan pemasaran yang masih terbatas di tingkat lokal. Secara umum identifikasi permasalahan usaha jamu rakyat di Madura, meliputi: (1) Internal Usaha ( aspek produksi, SDM dan teknologi, serta ekonomi) (2) Eksternal Usaha (aspek pemasaran dan kemitraan). Skema lebih lengkapnya disajikan pada Gambar 5.1.
197
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan” Gambar 1. Identifikasi permasalahan usaha jamu rakyat di madura Identifikasi Permasalahan Usaha Jamu Rakyat
Internal Usaha
Eksternal Usaha
Aspek
Aspek SDM &
Aspek
Aspek
Produksi
Teknologi
Ekonomi
Pemasaran
Biaya Produksi
SDM rendah
tinggi Prasarana
Teknologi
minim
sederhana
Sumber
Sarana
Pembiayaan
minim
minim
Informasi
Peran Asosiasi &
kecil
Pasar minim
Koperasi tidak
Harga rendah
Tanpa
Harga tidak
Manajemen
seragam
Usaha
Profit
rendah
rendah
Produktivitas rendah
Skala Usaha
Modal kecil
Kualitas jamu
Aspek Kemitraan
Pengepul
berjalan Peran Pemerintah belum optimal Peran PT. Jamu belum optimal
curang Jamu import
Posisi Tawar Petani rendah
Petani Jamu Terpuruk
Hasil Identifikasi
198
Peran Multipihak belum optimal
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Analisis Hambatan Pengembangan Industri Jamu Madura Selanjutnya, hambatan pengembangan industri jamu rakyat di Madura, meliputi: (1) Internal Usaha ( aspek produksi dan ekonomi) (2) Eksternal Usaha (aspek pemasaran dan kemitraan). Skema lebih lengkapnya disajikan pada Gambar 5.2. Gambar 5.2. ANALISIS HAMBATAN PENGEMBANGAN INDUSTRI JAMU RAKYAT
SDM &
Internal
Aspek
Teknologi
Produksi
Infrastruktur
Aspek
Skala Usaha Skala Usaha
Usaha Hambatan
Ekonomi
Pengembangan Industri Jamu Rakyat
Eksternal
Profitabilitas
Aspek
Informasi
Pemasaran/
Pasar
Tata Niaga
Usaha
Aspek
Hubungan
Kemitraan
Kelembagaan
Berdasarkan skema pada Gambar 5.2 dapat dipetakan hambatan pengembangan industri jamu rakyat di Madura berdasarkan identifikasi permasalahan. Hasil pemetaan disajikan pada tabel 5.1. Tabel 5.1.Pemetaan Hambatan Pengembangan Industri Jamu Madura Berdasarkan Identiifikasi Permasalahan Aspek Produksi
SDM Teknologi
Hambatan Biaya produksi tinggi Prasarana minim
Alternatif Solusi Perbaikan teknologi produksi a.Perbaikan irigasi lahan tanaman obat untuk mengoptimalkan produksi dan b. jalan akses untuk memudahkan pemasaran Sumber pembiayaan Secara kelompok mengakses program minim KUR (kredit usaha rakyat) Kualitas jamu rendah Akses alih teknologi dari perguruan Tinggi dan Perusahaan Jamu Peningkatan kapasitas SDM petani & SDM rendah tanaman obat dan pengusaha kecil jamu rakyat melalui pelatihan, penyuluhan, dll Teknologi masih Pengenalan teknologi baru untuk sederhana meningkatkan kualitas jamu Sarana Minim Peningkatan sarana kepada petani tanaman obat dan pengusaha kecil jamu rakyat 199
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Peningkatan jumlah lahan (ekstensifikasi) Peningkatn Bermitra dan berjejaring dengan perbankan, Pengusaha besar maupun Koperasi Tanpa manajemen Intervensi usaha dengan implementasi usaha manajemen dan akuntansi meskipun pada taraf sederhana Pemasaran/Tat Informasi pasar minim Berjejaring dengan multipihak untuk meningkatan informasi pasar a Niaga Harga rendah Perbaikan kualitas dan keamanan jamu Harga tidak seragam Optimalkan asosiasi dan koperasi petani dan usaha kecil jamu untuk mengatasi perbedaan harga Pengepul tanaman Optimalkan asosiasi dan koperasi untuk obat curang mengurangi ketergantungan kepada tengkulak tanaman obat Jamu import Perbaikan kualitas agar jamu rakyat diterima konsumen DN dan LN Peran multipihak Optimalkan kelembagaan multi pihak Kemitraan belum optimal sesuai tupoksinya Bermitra dan berjejaring dengan multipihak Sumber: Hasil Identifikasi Ekonomi Usaha
Skala usaha minim Modal kecil
Arah Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Arah pengembangan Jamu Madura seyogyanya merujuk pada arah pengembangan obat tradisional yang telah dirumuskan Kementerian Perdagangan RI (2009) terbagi menjadi tiga tahap (Gambar 5.3): Tahap yang paling awal adalah Jamu, tahap ini merupakan kategori obat tradisional paling rendah karena belum memiliki pembuktian empiris mengenai manfaat yang dihasilkan. Pembuktian lebih berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan secara turun menurun. Disamping itu kehigienisan dan sanitasinya juga belum terjamin. Tahap berikutnya adalah obat tradisional terstandar. Pada tahap ini simplisia atau tanaman obat yang dikeringkan sudah melewati uji pra klinik dimana khasiat dari tanaman tersebut telah terbukti dan kandungan simplisianya telah terstandarisasi. Tahap terakhir adalah fitofarmaka, yakni tanaman obat telah dinyatakan lulus uji klinik dimana simplisia diujicoba ke hewan hidup dan dinyatakan aman untuk dikonsumsi. Pengembangan obat tradisional yang hanya terfokus di jamu akan menghambat peningkatan ekspor ke pasar internasional karena masyarakat internasional, khususnya pasar Eropa sangat mensyaratkan adanya bukti ilmiah dan riset yang berkaitan dengan obat tradisional. Oleh karena itu, jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang dapat mendorong berkembangnya obat tradisional ke arah fitofarmaka, maka peluang untuk menembus pasar global akan lebih terbuka.
200
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 5.3 ARAH PENGEMBANGAN OBAT TRADISIONAL INDONESIA
Strategi dan Kebijakan Pengembangan Jamu Madura Strategi dan kebijakan pengembangan Jamu Madura seyogyanya merujuk pada penjabaran visi Jamu Indonesia Maju 2020 (Gambar 5.4).
201
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Gambar 5.4. VISI JAMU INDONESIA MAJU 2020 (KEM.DAG RI, 2009)
Kementerian Perdagangan RI (2009) merumuskan Visi 2020 Jamu Brand Indonesia yang Maju, yakni: ”Jamu Indonesia Maju 2020: Modern, Mutu tinggi, Murah dan Memasyarakat”. Makna dari ”Visi Jamu Indonesia Maju 2020” adalah suatu keadaan dimana paling lambat di tahun 2020, jamu Indonesia akan dipandang oleh masyarakat sebagai produk yang modern, mutu tinggi, murah, dan memasyarakat. • Modern: Jamu Indonesia tidak lagi dipersepsi sebagai kuno, ketinggalan jaman, dan alternatif saja, melainkan sebagai produk yang setara dengan obat farmasi karena khasiat, bentuk, dan rasa yang modern sehingga disukai masyarakat. • Mutu tinggi: Kualitas jamu yang manjur, terstandar, dan terjamin. • Murah: Harga jamu dapat terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. • Memasyarakat: Dicintai oleh dan menjadi bagian dari budaya seluruh masyarakat Indonesia Sasaran 1, yaitu: Mewujudkan Jamu Brand Indonesia yang Modern, adalah salah satu sasaran yang harus dicapai dalam rangka menggapai visi Jamu Indonesia Maju 2020 adalah mewujudkan jamu brand Indonesia yang modern. Hal ini karena pada saat ini ternyata banyak dari masyarakat non konsumen memandang bahwa jamu adalah produk yang ketinggalan jaman. Hasil kajian menemukan bahwa sekitar 46% responden konsumen menyebutkan hal ini. Citra ini sangatlah tidak baik bagi masa depan jamu. Sebagai produk yang dipandang ketinggalan jaman, jamu tetap akan dianggap sebagai alternatif terakhir daripada obat-obatan farmasi. Jamu tidak akan mampu memperbesar potensi pasarnya. Malahan, pengguna saat ini pun akan semakin berkurang apabila terdapat inovasi baru dari produk non jamu Indonesia yang mampu memuaskan mereka. Harapan ini bukanlah mustahil. Lihatlah keberhasilan Jamu Tolak 202
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Angin dari Sido Muncul yang berhasil mengubah image-nya dengan kampanye ”Orang Pintar Minum Tolak Angin.” Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan kampanye dengan tema: ”Jamu Brand Indonesia kini Telah Modern”, ”Siapa Bilang Jamu Indonesia Ketinggalan Jaman?”, ”Kini Ketinggalan Jaman bila Tidak Kenal Jamu”, dan sebagainya. Walau demikian, kampanye saja tidak cukup. Perlu diakui bahwa memang citra yang diimbuhkan oleh sebagian masyarakat non konsumen tidak lah salah dengan memperhatikan kondisi dari produk dan produksi jamu tradisional saat ini. Oleh karena itu, dibutuhkan revolusi terhadap produk jamu Indonesia agar tetap modern dalam arti mengikuti perkembangan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Produk jamu Indonesia perlu lebih inovatif dan menyesuaikan dengan perkembangan permintaan masyarakat. Salah satu temuan kajian adalah bahwa ternyata sebagian konsumen dan juga sebagian besar non konsumen cenderung tidak menyukai bentuk serbuk. Padahal, bentuk serbuk ini adalah bentuk dari sebagian besar jamu tradisional Indonesia. Bentuk serbuk ini boleh terus dipertahankan, namun perlu inovasi pengembangan produk jamu dan pengembangan metode produksi sehingga dapat memproduksi jamu yang sesuai dengan keinginan potensi pasar, seperti bentuk : cair, pil maupun kapsul. Rasa jamu yang sangat tradisional juga dikeluhkan oleh sebagian besar responden non pengguna. ”Tidak enak”, kata mereka. Apabila masyarakat non pengguna ingin diraih, sepertinya perlu pengembangan rasa jamu agar lebih enak dan diterima oleh para potensi penggunanya. Misalnya saja, dengan menyertakan rasa sari buah dalam produk. Demikian pula, kemasan dan label produk jamu perlu juga ditingkatkan. Kemasan sebagian besar produk jamu tradisional memang sangat tradisional. Bagi pengguna yang telah menjadi pelanggan, ini mungkin tidak menjadi masalah. Namun, dengan keadaan kemasan dan label jamu yang ada saat ini, sangatlah sulit untuk merebut hati pasar potensial. Selain itu kemasan juga harus mencantumkan kejelasan komposisi produk, kejelasan dosis dan aturan pakai, serta cara kerja bahan aktif jamu dan efek samping. Langkah tersebut perlu didukung pemerintah melalui: 1. Sosialisasi untuk menyadarkan industri jamu tradisional bahwa pengembangan produk adalah perlu untuk memperluas basis pasar sasaran dengan bekerja sama dengan GP Jamu, Dinas Perindag, Dinas Kesehatan dan Balai POM di daerah melakukan sosialisasi, baik secara tertulis maupun dengan seminar dan penyuluhan. 2. Membantu industri jamu tradisional dengan melakukan riset dan konsultansi pengembangan sistem produksi jamu dan produk jamu yang sesuai dengan keinginan pengguna atau potensi pengguna. Dalam hal ini, balai-balai riset yang dikelola oleh Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, maupun Kementerian Kesehatan di daerah dapat diserahi tanggung jawab ini. Koordinasi aktifitas ini dapat dilakukan oleh Kantor Menko Perekonomian. 3. Membuat aturan yang menetapkan standarisasi label jamu. Pemerintah memang telah membuat aturan yang ketat tentang label pangan dan label obat. Aturan ini perlu dibuat untuk menyediakan informasi tentang komposisi yang jelas, indikasi, dosis dan cara pemakaian, serta efek samping sehingga aman bagi penggunanya. Selain itu, aturan ini juga diperlukan untuk memodernisasi jamu di mata pelanggan. Namun, perlu dipikirkan implementasinya agar industri kecil dan menengah obat tradisional tidak mengalami kesulitan. 4. Melakukan kampanye bahwa produk jamu adalah modern. Kampanye ini ditujukan kepada pengguna dan potensi pengguna jamu tradisional. Sasaran 2, yaitu: Mewujudkan Jamu Brand Indonesia dengan Mutu Tinggi. Berdasarkan hasil penelitian bahwa salah satu keluhan responden konsumen maupun non konsumen adalah menyangkut mutu jamu. Mutu jamu di sini adalah mutu dalam arti luas 203
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
yang menyangkut dimensi kemanjuran atau manfaat, standarisasi mutu, kandungan yang alami, keamanan dikonsumsi, bentuk produk yang sesuai keinginan pengguna, dan rasa produk jamu. Sebagian dari responden mengeluhkan bahwa kini banyak jamu yang palsu serta dicampur dengan bahan kimia sehingga mereka pun tidak menaruh kepercayaan terhadap jamu. Kepastian kandungan yang alami ini perlu ditegakkan secara tegas oleh pemerintah melalui pengawasan yang lebih diperketat untuk mencegah jamu yang tercemar bahan kimia dan pengawet masuk ke pasaran, apabila ingin agar jamu memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Setelah dapat memastikan bahwa seluruh produk jamu yang beredar adalah 100% alami, pemerintah perlu mengkampanyekan kepada masyarakat bahwa produk jamu Indonesia adalah 100% alami tanpa bahan kimia sintetik. Berkaitan dengan kemanjuran dan khasiat jamu, beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi pun telah membuktikan kemanjuran ini. Informasi ini hendaknya disosialisasikan kepada industri jamu agar mampu meningkatkan kemanjuran produk jamu yang diproduksinya. Komposisi yang tidak jelas dan tidak standar dari industri kecil jamu disinyalir memperburuk kualitas kemanjuran jamu. Sistem produksi yang masih tradisional serta pengetahuan produsen yang sangat rendah terhadap bahan aktif jamu memperburuk keadaan ini. Pemerintah dan para ahli obat tradisional perlu melakukan pembinaan tentang standarisasi produksi jamu. Perlu juga dipikirkan sistem manajemen mutu bagi industri jamu serta implementasinya bagi industri besar, menengah dan kecil jamu tradisional. Keamanan produk jamu juga mendapat aspirasi yang cukup tinggi dari masyarakat. Selain karena ancaman dari jamu yang mengandung kimia sintetik (seperti telah dibahas di atas), keamanan produk jamu juga terkait dengan standarisasi produk dan sistem produksi. Pada industri kecil obat tradisional, komposisi produk seringkali berdasarkan intuisi. Hal ini cukup berbahaya karena setiap bahan aktif pasti memiliki ambang batas maksimal yang dapat diterima oleh tubuh sesuai dengan tingkat usia dan berat badannya. Sayangnya, pengetahuan tentang hal ini jarang dimiliki oleh industri kecil jamu. Sasaran 3, yaitu: Mewujudkan Jamu Brand Indonesia yang Murah. Salah satu alasan konsumen meminum jamu adalah harganya yang lebih murah dibandingkan dengan alternatif-alternatif lainnya (termasuk juga apabila dibandingkan dengan obat farmasi). Sayangnya, ketika suatu produk sudah melewati uji pre-klinis dan uji klinis serta dipatenkan, biasanya harga produk tersebut menjadi sangat mahal. Hal ini patut menjadi perhatian dari pelaku usaha maupun pemerintah. Ketika jamu Indonesia sudah menjadi pilihan utama masyarakat karena mutu dan kemanjurannya, hendaknya produk tersebut tetap dapat terjangkau oleh masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu menjaga dengan mengurangi beban para pelaku usaha agar dapat memproduksi jamu dengan biaya rendah. Dengan biaya rendah, diharapkan harga jamu pun dapat murah sehingga jamu tetap akan menjadi pilihan utama dari masyarakat Indonesia. Selain itu, perlu juga dipikirkan peningkatan jumlah pasokan bahan baku jamu yang berkualitas. Dengan semakin banyaknya permintaan terhadap jamu, dikuatirkan akan terjadi kelangkaan bahan baku yang akan berpengaruh kepada biaya dan harga produk jamu. Sasaran 4, yaitu: Mewujudkan Jamu Brand Indonesia yang Memasyarakat Dalam literatur ilmu pemasaran, strategi perubahan sikap masyarakat ini dimungkinkan dengan menggunakan teori model mutriatribut dan model teori sikap fungsional dari Katz. Model Multiatribut (Assael, 1987) menyarankan bahwa mengubah
204
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
sikap dan perilaku dapat dilakukan dengan mengubah arah atau intensitas kebutuhan, kepercayaan, evaluasi terhadap produk/merek, dan niat perilaku seperti: • Strategi mengubah arah kebutuhan dilakukan dengan mengajak masyarakat potensi pasar jamu memikirkan ulang atribut jamu secara berbeda. Misalnya mengajak mereka berpikir bahwa rasa yang tidak enak dari bahan rempah-rempah yang digunakan oleh jamu adalah sesuatu bukti bahwa jamu tersebut memang asli menggunakan bahanbahan bermutu, sehingga berkhasiat bagi penyembuhan penyakit atau menjaga kesehatan. • Strategi mengubah intensitas kebutuhan dilakukan dengan mengajak masyarakat berpikir tentang pentingnya suatu atribut jamu yang sebelumnya tidak terlalu diperhatikan oleh mereka, sehingga atribut tersebut akan menjadi prioritas bagi pertimbangan mereka bertingkah-laku. Misalnya saja, masyarakat non pengguna mungkin sebelumnya tidak terlalu memikirkan pentingnya atribut kealamian dari obat, sehingga lebih cenderung memilih obat farmasi. Dengan kampanye jamu sebagai produk alami, masyarakat dirangsang untuk lebih memilih obat alami untuk menyembuhkan penyakit atau menjaga kesehatan. • Strategi mengubah kepercayaan masyarakat dilakukan dengan membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat saat ini mengenai jamu sebagai sesuatu yang negatif adalah salah. Misalnya saja, masyarakat mungkin memiliki kepercayaan bahwa jamu adalah produk obat-obatan yang kalah manjur daripada obat farmasi. Anggapan ini kurang tepat karena pada penyakit-penyakit tertentu, ternyata jamu lebih baik dan berefek samping lebih kecil daripada obat farmasi. Kepercayaan masyarakat yang salah ini perlu diubah dengan strategi yang tepat, antara lain dengan mengkampanyekan melalui testimonitestimoni dari mereka yang telah sembuh dari penyakitnya dengan menggunakan jamu. • Strategi mengubah evaluasi masyarakat akan produk dapat dilakukan dengan mengkaitkan sesuatu atribut terkait dengan emosi positif yang sebenarnya tidak terlalu terkait dengan atribut inti dari produk. Misalnya, masyarakat disarankan untuk memilih jamu karena memang telah lama digunakan oleh dan menjadi warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia. Dengan mengkaitkan jamu dengan warisan leluhur dan membangkitkan rasa nasionalisme, diharapkan evaluasi masyarakat yang sebelumnya tidak terlalu tinggi dapat meningkat dengan pesan ini. • Strategi mengubah intensi berperilaku biasanya dilakukan untuk mengundang masyarakat non pengguna untuk mengkonsumsi jamu dengan cara mengurangi harga, memberikan diskon/kupon, atau memberikan sampel produk. Dengan merasakan jamu dan khasiatnya bagi kesehatan dan kesegaran tubuh, diharapkan masyarakat non pengguna bisa beralih menjadi konsumen jamu. Merujuk pada hasil identifikasi, analisis hambatan dan arah dari Visi Jamu Indonesia Maju 2020 maka strategi pengembangan jamu Madura, meliputi: 1. Pengoptimalan aspek produksi pada industri jamu Madura dengan: a. Perbaikan irigasi dan jalan akses, b. Perbaikan teknologi produksi, c. Peningkatan standar mutu dan keamanan produk. d. Mempermudah akses perbankan, e. Pengembangan SDM Petani dan Pengusaha jamu,e. f. Peningkatan jumlah lahan tanaman obat (ekstensifikasi). g. Mendorong implementasi manajemen usaha. 2. Pengoptimalan aspek pemasaran dengan: a. Berjejaring dengan multipihak untuk meningkatan informasi pasar, b. Optimalkan asosiasi dan koperasi untuk mengurangi ketergantungan kepada tengkulak tanaman obat, c. Perbaikan kualitas agar jamu rakyat diterima konsumen DN dan LN, d. Optimalkan asosiasi dan koperasi petani dan usaha kecil jamu untuk mengatasi perbedaan harga. 3. Pengoptimalan aspek kemitraan dengan: a. Optimalkan kelembagaan multi pihak sesuai tupoksinya, b. Optimalkan kelembagaan multi pihak sesuai tupoksinya 205
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
Kebijakan Pengembangan Jamu Madura 1. Kebijakan Revitalisasi Lemahnya produksi jamu Madura tidak hanya dipicu oleh membanjirnya jamu impor (Cina, Jepang, India dan lainnya). Berdasarkan jumlah ini, sejumlah areal tanaman obat perlu direvitalisasi. Seandainya areal-areal yang tidak produktif dapat direvitalisasi dan luasnya bisa ditambah, maka produksinya bisa untuk meningkatkan produksi tanaman obat. Revitalisasi ini diberikan pada para petani yang tadinya memiliki lahan tanaman obat produktif, tapi kemudian terbengkalai karena tidak kuat lagi bersaing di harga dan ketidak mampuan memperbaiki sarana dan infrastuktur penunjang produksi tanaman obat. Kondisi tersebut terjadi pada petani tanaman obat di Madura. Petani tersebut kesulitan menggenjot produksi tanaman obat mereka akibat jaringan pengairan yang tidak memadai. Sebagian jaringan irigasi yang ada sudah mulai rusak dan mengalami pendangkalan. Jaringan irigasi air laut yang tidak memadai membuat banyak lahan tanaman obat di Madura yang tidak teraliri. Kondisi ini akan lebih parah saat musim kemarau. Buruknya infrastruktur tambak jamu ini juga akan mempengaruhi pendapatan petani jamu. Menurunnya, infrastruktur pada petani tanaman obat mulai dari dari lahan hingga gudang; termasuk akses jalan akan membuat ongkos transportasi tinggi sehingga revenue yang diterima akan kecil. Untuk itu harus ada intervensi dari pemerintah daerah guna ikut membantu memperbaiki sarana dan infrastruktur produksi tanaman obat. Itu sebabnya, petani tanaman obat mengharapkan ada revitalisasi pada lahannya. 2. Kebijakan Ekstensifikasi Ekstensifikasi adalah usaha meningkatkan produksi jamu dengan memperluas lahan tambak jamu. Ekstensifikasi, meski merupakan solusi yang sulit dilakukan karena costly tetapi masih dapat dilakukan. Ekstensifikasi tanaman obat dibutuhkan lantaran salah satu permasalahan adalah terbatasnya kepemilikan lahan untuk memenuhi produksi skala besar. Kepemilikan lahan tanaman obat rakyat umumnya hanya berkisar dibawah 1 hektare. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah guna memperluas dan mengoptimalkan lahan yang masih belum produktif. Tentunya, ini menjadi peluang tersendiri bagi Madura untuk terus meningkatkan lahan tidak produktif menjadi produktif. Madura memiliki produktivitas dan tingkat kesesuaian dalam rangka pengembangan komoditi tanaman obat. Diharapkan dengan adanya penambahan atau pengembangan lahan tanaman obat serta seluruh lahan bisa berproduksi optimal dan produksi bahan baku jamu nasional akan terdongkrak. Berangkat dari hal tersebut Madura bisa memainkan perannya dalam menangkap peluang ini. Terlepas dari itu semua kebijakan pendampingan diperlukan ketika ekstensifikasi lahan tanaman obat dilakukan. Hal yang paling penting untuk dilakukan adalah penetapan tanaman obat. Selain untuk melindungi usaha tanaman obat lokal dari impor, kebijakan penetapan harga bahan baku jamu yang layak akan memacu masyarakat untuk mau mengembangkan lahan tanaman obat yang dimiliki. 3. Kebijakan Intensifikasi Intensifikasi yang dimaksud disini adalah bagaimana meningkatkan produktivitas dan kualitas jamu lokal di Madura. Meskipun tidak semua jamu produksi lokal bermutu rendah tetapi kenyataan menunjukkan menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan yang vital bagi mutu jamu lokal Madura. Terkait hal tersebut beberapa langkah yang perlu dilakukan terkait intensifikasi industri jamu rakyat di Madura terdiri dari: 1. Pembinaan penerapan manajemen mutu industri jamu rakyat 2. Pembinaan industri jamu rakyat melalui Penerapan standar mutu bahan dan alat 206
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
3. Pembuatan standar dan metode uji kualitas jamu secara laboratorium dan visual 4. Perbaikan areal lahan tanaman obat, saluran primer dan sekunder 5. Penerapan mixed farming system pada lahan tanaman obat untuk meningkatkan pendapatan petani 6. Penggunaan teknologi tepat guna untuk menunjang kuantitas dan kualitas jamu 7. Menjalin terus kerjasama dengan multipihak, contohnya dengan mengadakan riset/studi kelayakan potensi produksi dan pemasaran jamu, hasil kerjasama Dinas Perindustrian 4 Kabupaten di Madura dan Propinsi Jatim, BP POM, Perusahaan Jamu, seperti: PT. Sidomuncul, PT Air Mancur, Perguruan Tinggi, dan lainnya. Bentuk kemitraan ini harus terus dilakukan dalam rangka intensifikasi industri jamu rakyat di Madura.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan 1. Hasil pemetaan produksi menunjukkan bahwa di 4 kabupaten di wilayah Madura mempunyai potensi tanaman obat, seperti: jahe, cabe jamu, kencur, temu lawak dan lain-lain. Pemetaan pemasaran menunjukkan bahwa tanaman obat banyak diserap oleh industri kecil obat tradisional (IKOT) dan industri obat tradisional (IOT) yang terbagi atas jenis: jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Pemetaan kemitraan menunjukkan bahwa multipihak jamu di Madura masih belum optimal (terjebak egosektoral) dalam bersinergi. 2.
Berdasarkan hasil identifikasi, analisis hambatan dan arah dari visi Jamu Indonesia Maju 2020 maka strategi pengembangan jamu Madura, meliputi: 1. Pengoptimalan aspek produksi pada industri jamu Madura dengan: a. Perbaikan irigasi dan jalan akses, b. Perbaikan teknologi produksi, c. Peningkatan standar mutu dan keamanan produk. d. Mempermudah akses perbankan, e. Pengembangan SDM Petani dan Pengusaha jamu,e. f. Peningkatan jumlah lahan tanaman obat (ekstensifikasi). g. Mendorong implementasi manajemen usaha. 2. Pengoptimalan aspek pemasaran dengan: a. Berjejaring dengan multipihak untuk meningkatan informasi pasar, b. Optimalkan asosiasi dan koperasi untuk mengurangi ketergantungan kepada tengkulak tanaman obat, c. Perbaikan kualitas agar jamu rakyat diterima konsumen DN dan LN, d. Optimalkan asosiasi dan koperasi petani dan usaha kecil jamu untuk mengatasi perbedaan harga. 3. Pengoptimalan aspek kemitraan dengan: a. Optimalkan kelembagaan multi pihak sesuai tupoksinya, b. Optimalkan kelembagaan multi pihak sesuai tupoksinya. Sedangkan, kebijakan pengembangan jamu Madura, meliputi: 1. revitalisasi, 2. intensifikasi; dan 3. ekstensifikasi.
Rekomendasi Multipihak yang terkait dengan jamu Madura harus segera bersinergi untuk mewujudkan Visi 2020 Jamu Brand Indonesia yang Maju, yakni: ”Jamu Indonesia Maju 2020: Modern, Mutu tinggi, Murah dan Memasyarakat”.
207
Seminar Nasional “Optimalisasi Potensi Hayati untuk Mendukung Agroindustri Berkelanjutan”
DAFTAR PUSTAKA Djauhariya. Endjo dan Rosman. Rosihan, 2004, Status Teknologi Tanaman Cabe Jamu (Piper retrofractum), Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Handayani. Lestari, dkk, 1998, Inventarisasi Jamu Madura Yang Dimanfaatkan Untuk Pengobatan Atau Perawatan Gangguan Kesehatan Berkaitan Dengan Fungsi Reproduksi Wanita, Bulletin Penelitian Sistem Kesehatan- Vol 2, No 1, 1998 Kemala, S., dkk. 2005, Studi Serapan, Pasokan dan Pemanfaatan Tanaman Obat di Indonesia. Laporan Akhir. Proyek/Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif/PAATP, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian (tidak dipulbikasikan). Lensa Indonesia, 2013, Gabungan Pengusaha Jamu: Tidak Ada Menteri yang Memikirkan, Ini Tradisi Bangsa, DPR Desak Pemerintah Kaji Ulang Regulasi „Pembunuh‟ Industri Jamu, Editor: Rudi, Kamis, 31 Januari 2013 23:23 WIB, Artikel didownload 8 Juni 2014 Muhammad, 2010, Budidaya Tanaman Obat-Obatan: Jahe, Kencur Dan Temu Lawak Di Pulau Madura, Muhammad’s Blog: Bioteknologi Tanaman, didownload tanggal 8 Juni 2014 Muslimin. Lukman, dkk. 2009, Kajian Potensi Pengembangan Pasar Jamu, Laporan Akhir, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri Badan Penelitian Dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan
208