ISBN 978-979-3132-41-9
Prosiding
SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN Bogor, 9 November 2011
Editor: Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. Prof. Ir. Dulsalam, MM. Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc.
KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN BOGOR, 2012 i
Prosiding Seminar Nasional TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN ISBN 978-979-3132-41-9 Tim Editing: Penanggung Jawab : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Ketua Tim
: Kepala Bidang Pengembangan Data dan Tindak Lanjut Hasil Penelitian
Editor
: Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si. Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. Prof. Ir. Dulsalam, MM. Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Dr. Krisdianto, S.Hut., M.Sc.
Staf Editor
: Ayit Taufik Hidayat, S.Hut. T, M.Sc. Marthen L. Hanas, S.H. Drs. Juli Jajuli Deden Nurhayadi, S.Hut.
Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610 Telp.: 0251-8633378; Fax.: 0251 86334134 Website: www.pustekolah.org Disain: Deden Nurhayadi, S.Hut.
KATA PENGANTAR Di tengah semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan, konsumen produk manufaktur tidak lagi hanya mempertimbangkan kualitas dan harga produk, melainkan juga mempertanyakan apakah suatu produk menggunakan bahan baku atau melibatkan proses yang berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan. Perubahan perilaku konsumen ini bahkan di beberapa negara mulai dilembagakan menjadi standar yang dalam prakteknya berfungsi sebagai non-tarrif barrier. Kondisi ini juga berlaku pada produk-produk manufaktur berbasis kehutanan. Oleh sebab itu, apabila tidak ingin kehilangan pasar, industri kehutanan dituntut untuk bertransformasi menjadi industri hijau, yakni industri yang bersahabat dengan lingkungan (ecofriendly) dan aman bagi kesehatan (health-safe). Parameter industri pengolahan hasil hutan yang eco-friendly dan health-safe mencakup antara lain penyediaan bahan baku, efisiensi penggunaan bahan baku, konsumsi energi fosil, penggunaan bahan pembantu anorganik, serta karakteristik dan penanganan limbah. Sejalan dengan itu, untuk mewujudkan industri kehutanan yang eco-friendly dan health-safe diperlukan berbagai teknologi, mulai dari teknologi untuk menghasilkan bahan baku tanpa membahayakan kelestarian sumberdaya hutan, untuk mengolah bahan baku secara efisien (zero waste), untuk menyediakan energi alternatif pensubstitusi energi fosil, untuk menyediakan bahan pembantu alternatif, serta untuk menangani limbah industri. Berangkat dari keinginan untuk menghimpun hasil-hasil riset yang mendukung terwujudnya industri hijau di bidang kehutanan, Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan menyelenggarakan seminar sehari “Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan” pada tanggal 9 November 2011 di Bogor. Prosiding ini mendokumentasikan keynote speech serta berbagai makalah yang dibahas dalam seminar tersebut. Semoga prosiding ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2012 Kepala Pusat,
Dr. Ir. IB Putera Parthama, M.Sc. NIP. 19590502 198603 1 001
iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PADA SEMINAR NASIONAL “TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN” Bogor, 9 November 2011
Saudara sekalian para peserta seminar dan undangan yang saya hormati, Assalamualaikum. Wr. Wb. Pertama sekali, seyogyanya kita mengucap syukur kehadapan Tuhan YME, karena hanya atas limpahan karuniaNya pagi ini kita semua ada dalam keadaan sehat walafiat, berkumpul di sini untuk acara pembukaan Seminar Naional TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN. Semoga seminar yang akan kita selenggarakan ini menjadi ajang untuk menghasilkan sesuatu yang positif yang bermanfaat bagi kehutanan dan bagi masyarakat. Amin. Saudara-saudara sekalian, Salah satu isu penting belakangan ini ialah green economic atau ekonomi hijau. Ekonomi hijau sendiri ialah ekonomi yang menyediakan produk dan jasa yang dalam prosesnya tidak melibatkan hal-hal yang bersifat negatif terhadap lingkungan atau alam. Tren dalam perdagangan dunia dewasa ini semakin kuat mengarah mensyaratkan produk-produk yang diperdagangkan harus demikian. Tidak bisa kita hindari karena pasar dunia mulai mendiskriminasikan produk-produk yang ditengarai atau tidak dipercaya diproses secara hijau. Ekonomi sebuah negara terdiri dari industri-industri. Sedangkan sebuah industri terdiri dari manufaktur-manufaktur. Oleh sebab itu, sebuah ekonomi suatu negara akan menjelma menjadi ekonomi hijau, apabila industri-industri di dalamnya sudah menjadi industri hijau. Industri kehutanan sangat bisa berdampak besar bagi terwujudnya ekonomi Indonesia yang hijau. Karena industri kehutanan meliputi berbagai manufaktur mulai dari penyediaan bahan baku, pembuatan bahan pembantu hingga prosesing dan distribusi produk. Untuk mewujudkan industri hijau kehutanan, maka seluruh komponen tersebut harus bersifat eco-friendly. Penyediaan bahan baku harus eco-friendly, berdampak minimal atau bahkan zero impact terhadap alam, tidak membahayakan kelestarian sumberdaya. Proses produksi juga harus eco-friendly, efisien, tidak meninggalkan banyak limbah, khususnya limbah-limbah berbahaya. Proses produksi juga dituntut menggunakan energi yang carbon-neutral atau setidaknya dengan carbon foot-print atau jejak karbon minimal. Produk yang dihasilkan juga dipersyaratkan tidak mengandung komponenkomponen yang dalam jangka pendek maupun jangka panjang bisa membawa dampak negatif
v
bagi lingkungan dan kesehatan. Kita tahu, bahwa dewasa ini sudah ada berbagai standar produk yang mengakomodasi berbagai persyaratan tersebut. Negara-negara pengimpor produk kehutanan semakin hari semakin memperketat standar produk tersebut. Saudara-saudara sekalian, Apabila kita ingin produk kita masih diterima dengan baik di pasar global, maka tidak ada pilihan selain mengikuti tuntutan-tuntutan tersebut. Untuk bisa memenuhi segala tuntutan tersebut diperlukan teknologi. Teknologi penyediaan bahan baku, teknologi prosesing yang efisien bahkan zero waste, teknologi energy alternatif, teknologi pembuatan bahan pembantu alternatif berbahan organik, teknologi pengolahan limbah, dan sebagainya. Pertanyaan besar yang kita hadapi sekarang ialah: apakah kita sudah siap untuk itu? Khususnya dalam hal teknologi, apakah kita sudah menguasai teknologi yang diperlukan untuk mewujudkan industri kehutanan hijau? Mungkin saja sudah cukup banyak teknologi dan invensi yang dihasilkan peneliti-peneliti kita, baik yang ada di Badan Litbang Kehutanan, diperguruan tinggi, maupun di sektor swasta, khususnya perusahaan. Namun teknologi dan invensi yang terserak tersebut, perlu kita konsolidasikan, perlu kita kumpulkan, untuk menjawab pertanyaan tentang kesiapan teknologi tadi. Oleh sebab itu, menurut saya tema seminar kita kali ini sangat tepat. Sangat timely untuk menjawab pertanyaan besar tadi. Saudara-saudara sekalian, Seminar adalah wahana bagi peneliti dan ilmuwan untuk menginformasikan capaian, temuan, kepada sesama ilmuwan-peneliti, maupun kepada khalayak umum termasuk pembuat kebijakan dan pengguna teknologi. Saya harapkan, dalam seminar ini para peneliti akan menyampaikan capaian terkininya tentang teknologi-teknologi tadi. Seminar, lokakarya, ekspose, dan sejenisnya memang belakangan seakan sebuah rutinitas. Tetapi apabila kita lakukan secara terarah, terfokus pada suatu tema yang relevan, maka tetap menjadi sebuah ajang yang bermanfaat, tidak hanya bagi kalangan ilmiah dan akademisi, tetapi juga bagi dunia industri. Oleh sebab itu pula, saya menghargai Pustekolah yang merancang seminar kali ini cukup terfokus pada teknologi mendukung industri hijau kehutanan. Seminar-seminar atau ekspose yang bersifat multi-topik bunga rampai, bukan tidak boleh, tetapi seminar seperti itu mungkin perlu didisain khusus semacam kongres IUFRO. Event besar seperti kongres IUFRO, sebenarnya sebuah gabungan dari banyak seminar-seminar topik spesifik. Bulan depan kita akan melakukan kongres INAFOR yang dapat dikatakan sebagai sebuah IUFRO mini lingkup nasional. Pada kongres tersebut nanti semua peneliti kehutanan di Indonesia dak hanya yang dari Badan Litbang Kehutanan, akan diundang untuk berpartisipasi. Saudara-saudara sekalian, Kembali ke topik seminar kita, dari hasil pemetaan kesediaan teknologi guna mendukung industri kehutanan hijau, juga bisa kita identifikasi aspek-aspek yang mememerlukan penelitian lebih jauh, atau pengembangan hasil penelitian. Dengan bersinergi dengan pihak praktisi industri, kita harapkan akan ada upaya lebih kongkrit ke arah mewujudkan industri kehutanan. Dalam hal ini
vi
saya sangat berharap para peneliti akan menjalankan peran agen atau aktor kunci. Karena sekali lagi, jawaban atas segala tuntutan pasar yang saya kemukakan tadi tidak lain ialah penguasaan teknologi. Saudara-saudara sekalian, Dukungan pihak praktisi industri tentu sangat menentukan. Teknologi seperti apapun yang tersedia, apabila pihak calon pengguna masih resisten untuk mengadopsi maka akan percuma saja. Dalam hal ini kita perlu mencontoh Korea Selatan. Di Korea, pelaku riset, pelaku industri dan pemerintah sudah demikian kompak, satu visi. Itu salah satu hal yang menjadikan Korea negara industri dalam waktu yang relatif singkat. Seminar-seminar yang diselenggarakan KFRI (Badan Litbang Kehutanan Korea) selalu dihadiri pelaku industri yang antusias, bahkan industri mensponsori. Sebaliknya, riset-riset yang dipresentasikan juga memang amat relevan dengan kebutuhan industri. Pemerintah Korea juga sangat sigap mendukung segala kebijakan. Di Indonesia situasi ideal seperti itu memang masih jauh. Tetapi dengan mengadakan seminar semacam ini, yang temanya relevan, mengundang para praktisi, kita bisa berharap semoga situasi ideal seperti di Korea itu segera kita wujudkan. Itu sangat kita harapkan, dan Badan Litbang akan terus berusaha ke arah itu. Saudara-saudara sekalian, Itu beberapa hal yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini. Semoga dapat memberikan dorongan bagi kita semua untuk lebih giat lagi berkarya, berkontribusi bagi kemajuan penelitian, bagi pembangunan kehutanan, bagi bangsa dan negara. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bogor, 9 November 2011 Kepala Badan Litbang Kehutanan,
Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc.
vii
SINTESIS MAKALAH “Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan” Bogor, 9 November 2011
Oleh: Dr. Ir. IB Putera Parthama, M.Sc.
Dewasa ini konsumen semakin menuntut bahwa suatu produk harus “hijau”. Secara sederhana, produk “hijau” ialah produk yang pengadaan bahan baku serta proses produksinya tidak berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan. Industri kehutanan juga tidak lepas dari perubahan pelaku konsumen tersebut. Oleh sebab itu, industri kehutanan Indonesia harus bertransformasi menjadi industri hijau bila ingin produknya tetap diterima pasar. Industri hijau kehutanan terintegrasi dari hulu sampai hilir. Di sektor hulu, bahan baku industri kehutanan harus legal dan berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Ke depan, diharapkan industri kayu Indonesia akan dipasok utamanya dari hutan tanaman yang dikelola secara lestari. Di sektor hilir, semua proses produksi harus ramah lingkungan. Dalam hal konsumsi energi, penghematan energi, dan konversi dari energi fosil ke energi terbarukan adalah sebuah keharusan. Demikian pula halnya dengan penggunaan air. Industri kehutanan, khususnya furniture dan woodworking, juga harus menggunakan bahan pembantu atau bahan kimia yang diperbolehkan. Teknologi untuk mewujudkan industri hijau kehutanan saat ini sudah mulai tersedia namun masih perlu upaya invensi dan inovasi lebih lanjut, sebagaimana tercermin dalam ringkasan berikut. Standardisasi Upaya untuk mewujudkan industri hijau membutuhkan teknologi, mulai dari teknologi penyediaan bahan baku, pengolahan, energi terbarukan, bahan pembantu organik, penanganan limbah, dan sebagainya. Selain itu, satu aspek yang juga sangat penting sejak hulu sampai hilir ialah standardisasi (pengembangan standar dan penerapan standar). Standar diperlukan sebagai acuan pencarian teknologi dan operasional produksi dalam menghasilkan produk yang diterima pasar, khususnya pasar global. Ketersediaan standar akan memberi manfaat berupa: x
Dorongan percepatan transfer atau adopsi teknologi,
x
Peningkatan hubungan antara pelaku ekonomi,
x
Peningkatan akses pasar dan daya saing,
x
Optimasi penggunaan infrastruktur,
x
Peningkatan kualitas, keselamatan, keamanan, kesehatan dan kualitas lingkungan, serta
x
Peningkatan diseminasi sistem manajemen dan proses bisnis yang baik.
ix
Khusus untuk sektor kehutanan, Kementerian Kehutanan telah menggariskan kebijakan standardisasi berikut: Pengembangan SNI bidang kehutanan: mengusulkan rencana penyusunan rancangan standar menjadi bagian dari Program Nasional Penyusunan Standar (PNPS) di Badan Standardisasi Nasional (BSN), menyusun Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) melalui 3 (tiga) Panitia Teknis, yaitu; Pengelolaan Hutan (PT.65-01), Hasil Hutan Kayu (PT. 65-02), dan Hasil Hutan Bukan Kayu (PT. 79-01) untuk diusulkan penetapannya oleh BSN, dan review SNI sesuai ketentuan yang ditetapkan dan kebutuhan/perkembangan IPTEK. Harmonisasi SNI dengan standar internasional, khususnya untuk proses/produk yang berpengaruh terhadap daya saing produk kehutanan Indonesia. Pengembangan Standar Kompetensi Bidang Kehutanan. Peningkatan pemahaman dan peran stakeholders. Partisipasi aktif dalam forum-forum standardisasi regional dan internasional. Bahan baku “hijau” Produksi bahan baku hijau dari hutan tanaman yang dikelola secara lestari berawal dari kebijakan yang selalu mempertimbangkan (1) pedoman-pedoman lingkungan internasional, undang-undang lingkungan serta persyaratan lingkungan yang berlaku, (2) pengurangan dampak lingkungan khususnya pada areal/ekosistem yang rentan, (3) penghematan energi, minimalisasi limbah, peningkatan efisiensi dan pengadaan barang yang ramah lingkungan, serta (4) aspek sosial guna memperbaiki mutu lingkungan. Secara umum, kebijakan diimplementasikan melalui: (1) adopsi RIL (Reduced Impact Logging) atau pemanenan ramah lingkungan, secara konsisten sejak pembukaan wilayah hutan hingga pemanenan, (2) pengelolaan lingkungan sesuai ISO 14001 pada seluruh aktifitas, dan (3) pengelolaan High Conservation Value Forests (HCVF) pada bagian kawasan yang memiliki nilai konservasi atau keragaman hayati tinggi. Pengelolaan lingkungan mencakup: pengendalian polusi udara, pengendalian pencemaran badan air, pengendalian pencemaran tanah, pembatasan penggunaan sumberdaya khususnya air, pembatasan pengunaan energi (BBM dan listrik), pengendalian emisi, pengelolaan B3 (Bahan Berbahaya Beracun) dan limbah B3. Selain itu juga perlu penerapan konsep reduce, re-use and re-change. Reduce ialah penggunaan teknik operasional tertentu untuk mengurangi jenis maupun jumlah bahan tanpa menurunkan produktivitas dan kualitas produk. Re-use adalah penggunaan kembali barang bekas. Sedangkan re-change ialah penggantian peralatan yang berdampak negatif terhadap lingkungan dengan peralatan dengan dampak lebih kecil. Langkah-langkah tersebut sebenarnya sebuah tindakan “back to basic” mengingat semuanya bukan sebuah konsepsi baru, melainkan bagian dari prinsip dasar pengelolaan hutan. Persoalan selama ini ialah tidak atau belum kuatnya dorongan agar setiap pengelola hutan menerapkan prinsip dasar itu secara konsisten. Adanya tuntutan industri hijau semestinya mengembalikan
x
pengelola hutan kepada prinsip dasar pengelolaan hutan lestari yang menyeimbangkan kelestarian usaha dan kelestarian sumberdaya. Bahan baku alternatif Bahan baku “hijau” juga dapat berupa bahan baku alternatif non-konvensional (non-kayu) dan/atau dari bahan terbuang/limbah. Sebagai contoh, telah ditemukan teknologi awal yang memungkinkan menghasilkan papan serat berkerapatan sedang (medium density fiber-board MDF) yang memenuhi standar dari campuran pulp limbah pembalakan hutan tanaman eukaliptus dengan arang aktif. Dari berbagai percobaan, diketahui bahwa MDF yang dibuat dengan perekat tanin formaldehida (TF) dengan komposisi arang aktif 2,5% (97,5% pulp limbah eukaliptus) adalah yang paling menjanjikan untuk dikembangkan lebih lanjut. Satu material lignocellulose yang sangat potensial sebagai pensubstitusi kayu ialah batang sawit. Setiap tahun dilakukan peremajaan ratusan ribu hektar kebun sawit yang menciptakan jutaan meter kubik limbah berupa batang sawit. Limbah batang sawit sangat dilematis, karena apabila dibiarkan membusuk akan menjadi inang hama, sedangkan apabila dimusnahkan secara benar (bukan dibakar) membutuhkan biaya besar. Teknologi mengolah batang sawit menjadi kayu solid sudah beberapa tahun lalu tersedia. Namun pemanfaatan teknologi tersebut hingga skala komersial belum ada. Saat ini telah diuji-coba teknologi lain, yaitu untuk mengolah batang sawit menjadi kayu lapis. Teknologi ini diharapkan akan lebih komersial mengingat kayu lapis untuk konstruksi tidak memerlukan kekuatan dan keindahan yang prima. Pengolahan batang sawit menjadi kayu lapis dapat memanfaatkan fasilitas konvensional pada pabrik kayu lapis. Uji coba menunjukkan rendemen sebesar 42-63% tergantung fasilitas produksi. Sedikit modifikasi mesin akan meningkatkan rendemen. Meskipun panel kayu lapis sawit relatif kurang stabil dengan kualitas rekatan lebih rendah, namun memenuhi standar Jepang (JIS) untuk panel interior. Limbah sawit lainnya yang bisa dimanfaatkan ialah tandan kosong sawit (TKS) sebagai bahan baku pulp. TKS dapat diolah melalui proses organosolv menggunakan pelarut asam asetat maupun asam formiat yang ramah lingkungan. Kertas yang dihasilkan dari TKS dapat dijadikan kertas cetak maupun kertas pembungkus. Industri kertas “hijau” Dalam mewujudkan green industry, industri pulp dan kertas Indonesia comply kepada sertifikasi ekolabel. Selain itu juga comply kepada sertifikasi Chain of Custody (COC) untuk menjamin asalusul kayu bahan baku. Kementerian Perindustrian juga telah menyusun Guidelines Technology Map for Pulp and Paper Industry dan Guidelines Technology of Carbon Calculation for Pulp and Paper Industry dalam rangka mewujudkan konservasi energi dan reduksi emisi CO2. Lebih operasional, industri diarahkan kepada efisiensi bahan baku, efisiensi bahan bakar minyak dan batubara khususnya efisiensi refining dan drying, efisiensi air termasuk pemanfaatan ulang air
xi
pasi (white water), penurunan konsumsi bahan kimia pemutih, peningkatan penggunanan bahan baku kertas bekas, serta pengelolaan limbah (udara, cair dan padat) termasuk pemanfaatan limbah padat (sludge). Teknologi pengolahan pulp dan kertas ramah lingkungan sudah mulai tersedia, namun masih terus ditingkatkan. Industri pulp dan kertas pada dasarnya dapat memenuhi sendiri kebutuhan energinya dari pemanfaatan limbah biomass ( recovery boiler dari lindi hitam) dan bark boiler berbahan bakar kulit kayu. Secara teoritis, boiler dapat memproduksi steam 15,8 GJ/Adt dan listrik 655 kWh/Adt. Kebutuhan steam untuk proses dapat dipenuhi dari recovery boiler, sedangkan kekurangan listrik dapat dipenuhi dari power boiler. Konservasi energi utamanya dapat dilakukan pada proses pemasakan dan pemutihan. Pada pemasakan dapat dilakukan modifikasi dari digester ke delignifikasi berlanjut (extended delignification). Sedangkan penghematan energi pada pemutihan dapat dilakukan dengan penambahan instalasi sistem perpindahan panas pada sistem umpan ClO2. Pemanfaatan kertas bekas cukup menjanjikan dalam hal efisiensi bahan baku dan penghematan energi. Satu ton pembuatan kertas dari serat daur ulang diperkirakan dapat menghemat 25-30 m3 air, 20-30 batang pohon, 4000 kWh listrik, serta menurunkan polusi karena hanya menggunakan sedikit bahan kimia. Pengolahan emisi partikulat dan gas juga dapat menghasilkan energi. Proses pemisahan partikulat dan pembakaran di unit Chemical Recovery Plant, akan menghasilkan senyawa sulfur yang berbau dan beracun. Senyawa ini dapat didestilasi untuk menghasilkan methanol sebagai pensubstitusi bahan bakar. Dalam hal pengolahan limbah (selain digunakan untuk bahan bakar), industri pulp dan kertas juga mengadopsi pengolahan secara biologis. Yang banyak digunakan ialah pemanfaatan bakteri anaerob melalui digestasi anaerobik. Proses ini akan menghasilkan biogas: metana (50-70%), CO2 (25-45%), dan sejumlah kecil H, N dan H2S. Satu kg biogas ekivalen dengan 0,4 kg minyak disel atau 0,6 kg besin atau 0,8 kg batubara. Selain sebagai bahan bakar (baik dibakar langsung maupun melalui proses pembuatan ethanol), limbah pulp dan kertas juga bisa diproses menjadi pupuk organik. Percobaan telah menunjukkan bahwa sludge dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi tanah bekas tambang, yakni memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah termasuk menurunkan kandungan logam. Ditunjukkan pula penggunaan sludge dengan dosis 50% (v/v) dapat memperbaiki KTK, peningkatan ketersdiaan N dan P, pada tailing pond maupun tailing dump di areal pertambangan. Penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan kompos sludge dapat meningkatkan produksi tanaman pertanian/perkebunan/kehutanan. Tanaman-tanaman kangkung, jagung, karet, akasia dan nyamplung terbukti sangat responsif terhadap kandungan hara dalam kompos sludge. Secara umum industri pulp dan kertas Indonesia sudah mulai bergerak ke arah industri hijau. Invensi-invensi dan inovasi-inovasi baru untuk memberikan akselerasi transformasi masih diperlukan.
xii
Bioenergi Bioenergi adalah alternatif potensial pengganti bahan bakar fosil dalam upaya mewujudkan industri hijau. Salah satu yang sudah cukup banyak diteliti ialah bioenergi dari nyamplung (Calophyllum inophyllum). Telah diketemukan teknologi pengolahan biji nyamplung yang menghasilkan biodiesel dengan parameter-parameter berat jenis, viskositas kinematik, bilangan setana, titik nyala, titik kabut, residu karbon, korosi air dan sedimen, suhu destilasi, abu tersulfaktan, belerang, fosfor, bilangan asam, gliserol total, kadar ester alkali, dan bilangan iodium yang memenuhi standar SNI 04-7182-2006 dan ASTM D 6751. Secara umum proses pembuatan biodiesel nyamplung terdiri dari: perlakuan/penyiapan biji hingga kadar air 8-12%, pengupasan, pengukusan biji tanpa tempurung, pengeringan biji tanpa tempurung, pengepresan, degumming (pemisahan kotoran) pada suhu 80 dan penambahan asam fosfat, dan esterifikasi-transesterifikasi. Salah satu yang menonjol dari minyak nyamplung ialah dengan proporsi 30% minyak nyamplung terhadap solar sudah menghasilkan bilangan setana sesuai SNI. Artinya nilai kalor minyak nyamplung 100% (tanpa pencampuran) sangat tinggi dan dapat digunakan untuk tujuan pembakaran langsung. Bioenergi juga dapat diproses dari limbah padat industri pulp/kertas (sludge), yang volumenya relatif besar yaitu mencapai sekitar 2-10% dari kapasitas produksi (sebagai gambaran, kapasitas terpasang produksi pulp Indonesia 6,2 juta ton/tahun dan kapasitas terpasang industri kertas 10,9 juta ton/tahun). Melalui proses simultaneous sacharification fermentation, sludge dengan bahan padatan 6% telah dibuktikan sangat baik untuk menghasilkan bioethanol. Hidrolisis dilakukan menggunakan enzim lokal selulase dan betaglusidase. Sedangkan fermentasi menggunakan ragi Sacharomices cerivisae. Kadar etanol yang dihasilkan berkisar antara 2,68-3,45%. Perekat Organik Dalam industri kayu, perekat adalah salah satu bahan utama, mencapai 20-60% dari biaya produksi. Sampai saat ini industri kayu majemuk sebagian besar menggunakan perekat sintetis jenis termoset seperti urea formaldehida (80%), phenol formaldehida (10%) dan melamin formaldehida (10%). Sedangkan untuk keperluan kayu struktural dan perkapalan, digunakan perekat dingin tipe WBP dari jenis phenol-resorsinol formaldehida atau resorsinol formaldida. Selain itu juga digunakan perekat termoplastik termoset berbahan baku isosianat, poliuretan atau poliviliasetat dan perekat hotmelt. Karena sebagian dari jenis-jenis perekat tersebut diperoleh melalui impor maka harganya relatif mahal. Lebih penting dari masalah harga, produk yang menggunakan perekat sintetis dengan komponen formaldehida semakin tidak mendapat tempat di pasar internasional. Misalnya, negara-negara pengimpor kayu lapis sudah menerapkan standar ambang batas emisi formaldehida. Penelitian yang saat ini masih berlangsung telah menunjukkan bahwa ekstrak cair kulit kayu merbau (Intsia spp) cukup menjanjikan sebagai bahan baku perekat organik karena senyawa yang terkandung dalam ekstrak tersebut identik dengan senyawa fenolik (resorsinol) dengan bobot molekul 753. Ekstrak cair tersebut dapat direaksikan dengan formaldehida dalam suasana basa
xiii
untuk membentuk polimer berbobot molekul 9308. Percobaan penggunaan perekat berbahan dasar ekstrak cair merbau menghasilkan kayu lamina tipe eksterior rendah emisi (0,22mg/L) dengan kategori emisi E0 atau F****. Produk kayu lamina tipe eksterior dengan emisi sangat rendah (0,03mg/L) dapat diperoleh dengan kopolimerisasi ekstrak kayu merbau dengan monomer resorsinol dan formaldehida yang membentuk kopolimer berbobot molekul 49.658.
xiv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................
iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN PEN ELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN ............................................................................................................
v
SINTESIS MAKALAH ............................... ...............................................................
ix
DAFTAR ISI ...............................................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................................
xvii
KEYNOTE SPEECH 1.
Sebuah Komitmen Menuju Industri Kehutanan yang Berkelanjutan Arya Warga Dalam .............................................................................................
1 - 14
MAKALAH UTAMA 2.
Standardisasi Hasil Hutan Guna Memenuhi Pasar Global S.Y. Chrystanto ...................................................................................................
15 – 27
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) Mendukung Penyediaan Bahan Baku secara Ramah Lingkungan: Pengalaman PT Musi Hutan Persada Tjipta Purwita ......................................................................................................
29 – 39
Pemanenan Kayu Ramah Lingkungan Dulsalam .............................................................................................................
41 – 61
Industri Pulp dan Kertas Menuju Indonesia Green Ngakan Timur Antara dan Susi Sugesty .............................................................
63 – 80
Pembuatan Papan Serat Berkerapatan Sedang Menggunakan Campuran Pulp Limbah Pembalakan Hutan Tanaman dan Arang Aktif Han Roliadi, Rena M. Siagian, Dian Anggraini Indrawan dan Rosi M. Tampubolon ........................................................................................................
81 – 89
Perekat Berbasis Resorsinol dari Ekstrak Limbah Kayu Merbau Adi Santoso dan Jamaludin Malik ......................................................................
91 – 101
Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Biodiesel Nyamplung ( Calophyllum inophyllum L.) R. Sudradjat .........................................................................................................
103 – 113
Pemanfaatan Sludge dari Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri Pulp dan Kertas sebagai Bahan Baku Bioetanol Rina S. Soetopo, Sri Purwati, Susi Sugesty dan Yusup Setiawan ......................
115 – 127
10. Ketahanan Papan Serat MDF terhadap Serangan Rayap Kayu Kering (Cryptotermes cynocephalus Light.) Jasni, Gustan Pari dan Rena M. Siagian .............................................................
129 – 134
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
xv
11. Hasil Uji-Coba Produksi Kayu Lapis Sawit Padatan ( Densified Oil Palm Plywood) Jamal Balfas ........................................................................................................
135 – 143
MAKALAH PENUNJANG 12. Penelitian Awal Pemuliaan Araucaria cunninghamii sebagai Jenis Alternatif Kayu Pulp di Bondowoso, Jawa Timur Dedi Setiadi ......................................................................................................... 13.
145 – 155
Pembuatan Pulp Ramah Lingkungan dari Limbah Agroindustri Sawit Zulfansyah, Hari Rionaldo dan Nur Asma Deli .................................................
157 – 172
Sifat Pemesinan Kayu Dolok Diameter Kecil Jenis Manglid (Manglieta glauca Bl.) Mohamad Siarudin dan Ary Widiyanto ..............................................................
173 – 179
Pengaruh Waktu dan Nisbah Pelarut pada Ekstraksi Tumbuhan Pewarna Alami Lawsonia inermis Yelin Adalina ......................................................................................................
181 – 189
16. Persepsi Petani terhadap Pemanfaatan dan Budidaya Nyamplung sebagai Sumber Biofuel Alternatif Devy P. Kuswantoro dan Tri S. Widyaningsih ...................................................
191 – 197
14.
15.
17.
18.
19.
20.
Potensi Bioenergi Ceiba petandra L. Gaertn. dan Prospek Pengembangan Titi Kalima ..........................................................................................................
199 – 206
Potensi Nyamplung (Callophyllum spp) sebagai Sumber Energi Alternatif bagi Masyarakat Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat Burhanuddin, Sudirman Muin, Eddy Thamrin dan Abdurrani Muin .................
207 – 214
Paper Mills Sludge: Limbah atau Sumberdaya? (Overview Penelitian Pemanfaatan PMS sebagai Bahan Amelioran Tanah) Enny Widyati ......................................................................................................
215 – 225
Manfaat Sludge Limbah Padat Pabrik Kertas untuk Pupuk Bioorganik Happy Widiastuti dan Tati Rostiwati ..................................................................
227 – 234
21. Pengawetan Kayu Mindi ( Melia azedarach L.) melalui Rendaman Dingin dengan Bahan Pengawet BAE Endah Suhaendah ................................................................................................
235 – 240
22. Selektivitas Delignifikasi Proses Kraft dan Soda dari Jenis Acacia mangium pada Tingkat Waktu Pemasakan dan Alkali Aktif Saptadi Darmawan dan I.M. Sulastiningsih ........................................................
241 – 248
LAMPIRAN ................................................................................................................
249 – 270
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Surat Keputusan Kepala Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan .....................................................................
249
Susunan Acara Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan...................................................................................
252
Notulasi Diskusi Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan ..................................................................................
253
Daftar Peserta Seminar Nasional .........................................................
265
xvii
KEYNOTE SPEECH
TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN
“SEBUAH KOMITMEN MENUJU INDUSTRI KEHUTANAN INDONESIA YANG BERKELANJUTAN”
Bogor, 9 November 2011
LATAR BELAKANG Industri pengolahan kayu yang berada dibawah binaan Kementerian Perindustrian adalah industri hilir yang mengolah lebih lanjut hasil produksi industri primer hasil hutan, yaitu meliputi industri wood working, furniture kayu dan rotan serta pulp/kertas, sedangkan industri primer hasil hutan yang mengolah langsung kayu bulat sesuai dengan PP 34 Tahun 2002 merupakan binaan Kementerian Kehutanan. Industri hijau kehutanan merupakan sebuah proses terintegrasi dari hulu sampai ke produk hilir. Di sektor hulu, bahan baku industri kehutanan harus memenuhi aturan legalitas yang menjamin bahwa bahan baku berasal dari hutan yang terjaga kelestariannya. Di sektor hilir, semua proses produksi harus memperhatikan prinsip ramah lingkungan. Untuk mewujudkan industri hijau di bidang pengolahan hasil hutan mutlak diperlukan dukungan teknologi. Teknologi diperlukan untuk menghasilkan bahan baku tanpa membahayakan kelestarian sumber daya hutan, untuk berproduksi secara efisien (limbah minimal atau zero waste), untuk menyediakan energi alternatif (terkait emisi gas rumah kaca) serta untuk menangani limbah industri.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
1
POTENSI INDUSTRI KEHUTANAN INDONESIA • Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat kaya akan sumber daya hutan. Indonesia memiliki kawasan hutantropis seluas ±133,84 juta hektar(Data Strategis Kehutanan, 2009), terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Zaire. • Berdasarkan hasil survey Kementerian Kehutanan tahun 2010 menyatakan luas areal berotan Indonesia mencapai 1,3 juta Ha dan potensi Annual Allowable Cut (AAC) sebesar 210.000 ton/tahun.
PROFIL INDUSTRI KEHUTANAN INDONESIA INDUSTRI PULP DAN KERTAS Industri pulp, kertas danpercetakan merupakan industri andalan nasional yang terus berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi proses, maupun teknologi informasi. Indonesia merupakan salah satu produsen pulp dan kertas terkemuka di dunia (industri pulp No. 9 dan industri kertas No. 11). Sebagian besar pabrik pulp dan kertas berlokasi di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Aceh, Sumut, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan Timur. Hampir semua jenis kertassudah dapat diproduksi di DN seperti: kertas koran, kraft liner/medium, kertas kantong semen, kertas bungkus, kertas tissue, kertas sigaret.
2
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
LOKASI PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PULP DAN KERTAS NASIONAL
Indikasi Lokasi Perusahaan
: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Papua : Sinar Mas Group (Banten, Jabar, Jatim, Riau, Jambi), Raja Garuda Mas Group (Sumut,
Riau), Pura Group (Jateng), PT. Fajar Surya Wisesa (Jabar), PT. Surabaya Agung (Jatim), PT. Surya Zig Zag (Jatim), PT. Tanjung Enim Lestari (Sumsel), PT. Kiani Kertas (Kaltim), PT. Kertas Leces (Jatim), PT. Pakerin (Jatim)
INDUSTRI PULP NO.
URAIAN
TAHUN
SATUAN 2007
1
Jumlah Perusahaan
2
Kapasitas Izin
2008
Unit
2009
14
Ton/th
6.697.100
2010
14
14
7.902.100
7.902.100
14 7.813.500
3
Produksi Riil
Ton/th
6.282.330
5.910.416
6.525.099
6.674.550
4
Nilai Produksi
Rp. Juta
17.998.897
18.032.897
19.908.318
20.759.000
5
Utilisasi Kapasitas
%
94
75
83
85,42
6
Konsumsi
Ton
4.448.414
4.141.474
4.878.086
7
Ekspor
Ton
2.826.687
2.770.153
2.134.268
2.557.501
Ribu US$
1.129.670
1.107.077
733.881
1.457.072
Rp. Juta
12.477.075
12.477.075
13.100.929
13.231.938
8
Investasi
9
Tenaga Kerja
Orang
79.923
78.325
5.285.438
78.577
79.363
INDUSTRI ROTAN OLAHAN (furniture rotan+ kerajinan rotan) NO.
URAIAN
TAHUN
SATUAN 2007 Unit
2008
2
Kapasitas Izin
3
Produksi Riil
Ton/th
373.880
304.114
269.871
250.980
4
Nilai Produksi
Rp. Juta
3.591.198
3.191.198
2.831.869
2.596.000
5
Utilisasi Kapasitas
%
590
551.585
430.236
2010
Jumlah Perusahaan
Ton/th
614
2009
1
68
6
Konsumsi
Ton
196.986
7
Ekspor
Ton
130.349.639
8
Investasi
9
Tenaga Kerja
Ribu US$
367.033
71 144.785 99.777.194 312.941
590 446.784
60
590 430.236
58,34
146.084
205.593
71.190.993
65.083.632
224.165
212.033
Rp. Juta
1.007.845
1.007.845
1.012.343
1.005.245
Orang
276.584
271.052
271.222
269.200
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
3
INDUSTRI FURNITURE KAYU DAN ROTAN • Hutan tropis yang dimiliki indonesia menghasilkan bahan baku industri furniture berupa kayu dan rotan yang tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan negara lain. Furniture Indonesia mempunyai ciri dan sifat khas yang jarang dimiliki oleh negaranegara produsen furniture lainnya, yaitu desain yang bercirikan etnis lokal (ukiran dan anyaman) dengan bahan baku beragam (seperti: kayu, rotan dan bambu). Walaupun daya saing industri ini pada tahuntahun terakhir mengalami penurunan, namun industri ini cukup strategis untuk dikembangkan. Industri furniture di Indonesia tersebar hampir di seluruh propinsi, dengan sentrasentra yang cukup besar terletak di Jepara, Cirebon, Sukoharjo, Surakarta, Klaten, Pasuruan, Gresik, Sidoarjo, Jabodetabek, dan lainlain. Negara tujuan ekspor terbesar Indonesia adalah Amerika Serikat, negaranegara Eropa, Timur Tengah dan negaranegara di Asia. Furniture kayu dan rotan masih memiliki porsi terbesar dalam ekspornya.
INDUSTRI FURNITURE KAYU NO.
URAIAN
SATUAN Unit
2007 950
Kapasitas Izin
Ton/th
3.411.554
3
ProduksiRiil
Ton/th
4 5
Nilai Produksi Utilisasi Kapasitas
6 7
Konsumsi Ekspor
1
JumlahPerusahaan
2
8 9
Investasi TenagaKerja
TAHUN 2008 912
2009 912
2010 912
3.411.554
3.411.554
3.411.554
2.265.660
2.220.347
1.990.319
2.030.125
Rp. Juta %
11.433.676 66
12.904.676 65
13.236.968 58
11.758.000 59,51
Ton Ton
338.404 663.529
252.043 603.682
1.221.417 497.441
1.480.824 584.666
Ribu US$
1.385.374
1.360.274
1.150.097
1.394.558
Rp.Juta Orang
7.208.225 435.112
7.208.225 426.410
7.376.766 426.693
7.450.534 430.960
INDUSTRI ROTAN OLAHAN (furniture rotan+ kerajinan rotan) NO.
URAIAN
TAHUN
SATUAN 2007
1
Jumlah Perusahaan
2
Kapasitas Izin
Unit Ton/th
614
590
551.585
430.236
2009 590 446.784
2010 590 430.236
3
ProduksiRiil
Ton/th
373.880
304.114
4
NilaiProduksi
Rp. Juta
3.591.198
3.191.198
5
Utilisasi Kapasitas
6
Konsumsi
Ton
196.986
146.084
205.593
7
Ekspor
Ton
130.349.639
99.777.194
71.190.993
65.083.632
367.033
312.941
224.165
212.033
%
Ribu US$
4
2008
68
71 144.785
269.871
250.980
2.831.869
2.596.000
60
58,34
8
Investasi
Rp.Juta
1.007.845
1.007.845
1.012.343
1.005.245
9
TenagaKerja
Orang
276.584
271.052
271.222
269.200
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
INDUSTRIWOOD WORKING • Industri woodworking masih tetap memiliki prospek yang baik meskipun substitusinya mulai bermunculan seperti penggunaan baja ringan dan alumunium dalam pembangunan perumahan. Kayu memiliki sifatsifat unik yang tidak sepenuhnya dapat digantikan oleh barangbarang lain. Permintaannya diproyeksikan akan tetap meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan ekonomi. Pasar utama ekspor produk woodworking, antara lain: Taiwan, China, Jepang, Australia, Jerman, dan Belanda.
INDUSTRI WOOD WORKING NO.
URAIAN
TAHUN
SATUAN 2007 Unit
2010
2
Kapasitas Izin
Ton/th
8.610.063
11.126.850
11.391.775
11.126.850
3
Produksi Riil
Ton/th
4.853.742
4.090.734
3.588.392
4.295.271
4
Nilai Produksi
Rp. Juta
29.958.597
30.006.597
26.321.787
28.206.542
5
Utilisasi Kapasitas
6
Konsumsi
Ton
4.059.773
3.023.719
2.860.414
3.241.544
7
Ekspor
Ton
625.185
612.681
467.277
1.076.961
8
Investasi
9
Tenaga Kerja
56
995
2009
Jumlah Perusahaan
%
1.036
2008
1
37
995
31
995
38,60
Ribu US$
977.188
957.644
574.706
642.795
Rp. Juta
5.306.202
5.306.202
5.534.829
5.590.177
Orang
311.421
305.193
310.168
313.270
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
5
PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DAN KEBIJAKAN MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN Bahan baku yang lestari dan berkelanjutan • Bahan baku untuk industri pulp sebagian besar (>95%) berupa kayu, sedangkan sisanya yang jumlahnya relatif kecil berasal darilimbah pertanian, terutama bagasse dan merang/jerami. Pada tahun 2010, dari kebutuhan bahan baku sebesar+ 30,015 juta m3, sebagian besar disuplai dari HTI. Bahan baku untuk industri kertas berupa virgin pulp dan kertas bekas, dimana secara nasional Rata-rata komposisinya sekitar 40%: 60%. Untuk pulp serat pendek, sebagian besar sudah dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, sedangkan untuk pulp seratpanjang hampir semuanya diimpor. Sementara itu, untuk kertas bekas impornya sekitar 2,5 juta ton per tahun. Kondisi industri pengolahan kayu pada saat ini mengalami kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan bahan baku kayu yang semakin melebar. Hal ini akibat dari masih maraknya praktekillegal logging pada hutan alam dan illegal trade, disamping masih belum optimalnya dukungan pasokan bahan baku dari Hutan Tanaman dan Hutan Rakyat.
Bahan baku yang lestari dan berkelanjutan Terkait industri pengolahan kayu, pasar internasional saat ini menuntut adanya legalitas bahan baku yang dipergunakan. Produk kayu olahan termasuk pulp dan kertas baru bisa dikatakan legal jika diperoleh dari hutan yang dikelola secara sustainable (hutan lestari). Regulasi terkait legalitas kayu mulai diterapkan di beberapa negara diantaranya di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan telah menyusun Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) bagi pengelola hutan dan perusahaan yang mengolah bahan baku kayu. Kedepan diharapkan industripengolahan kayutermasuk pulp dan kertas menggunakan bahan baku kayu dari sumber bahan baku legal dan lestari (berkesinambungan) khususnya yang berasal dari Hutan Tanaman.
6
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Teknologi proses yang ramah lingkungan •
Industri pulp tidak diperkenankan menggunakan proses sulfit untuk proses pemasakan dan khlorin (Cl2) untuk proses pemutihan. Mendorong penerapan cleaner production, ISO 9001: 2000 dan ISO 14000. Sementara itu pada industri furniture kayu, proses produksi yang ramah lingkungan bisa dilakukan dengan cara penerapan teknologi produksi yang hemat energi, misalnya: penggunaan dust removal secara efisien, penerapan water and gas Recyclingtechnology saat proses pengeringan atau hot pressing kayu. Industri furniture dan wood working juga memperhatikan penggunaan bahan kimia karena adanya peraturan internasional yang memberikan batasan penggunaan bahan kimia pada produksi furniture, contohnya adalah formaldehid.
Formaldehid adalah bahan kimia pembuat lem perekat dan sebagai pengawet pada bahan coating yang biasadigunakan pada produk furniture kayu dan wood working.
Teknologi pengolahan limbah Sumber GRK industri antara lain berasal dari GRK dari bahan bakar dan pembakaran, GRK dari proses produksi dan GRK dari limbah industri. Salah satu industri hilir kehutanan yang terkait dengan emisi adalah industri pulp dan kertas.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
7
G-20 Pittsburgh summit and COP15 Reduksi emisi GRK pada 2020
26%+ 15%= 41% Own Action and International Support Action
26% Own Action
National Action
Sumber GRK dari Industri GRK dari bahan bakar dan pembakaran
Bahan Bakar
Pembangkit Listrik dan Generasi Kukus
Udara
8
Listrik dan Steam
GRK dari proses
Proses (fisika dan kimia)
Udara Bahan bakar
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Bahan baku
GRK dari limbah
Produk dan Limbah
Pemakaian Steam dan Listrik Pada Industri Pulp sangat Tinggi
Industri Pulp total konsumsi Steam 12,2 GJ/ton dan Listrik 688 Kwh/adt Pemakaian Listrik pada Industri Pulp terletak pada bagian pemutihan pulp (100 kWh/adt) dan Pulp machine sebesar 141 kWh /adt)
Pemakaian Steam pada Industri Pulp terletak pada bagian pemutihan pulp 2,3 GJ/ton, Evaporator 3,1 GJ/ton, Power Plant 2,3 GJ/ton dan Pulp machine sebesar 2,3 GJ/ton
GRK Pada Proses Pembuatan Pulp
Emisi pada proses pemasakan pulp Emisi pada recovery boiler Emisi pada power boiler Emisi pada lime kiln Emisi pada make-up chemicals Emisi pada power plant system CHP (Combined Heat Power) Emisi berdasarkan penggunaan listrik yang dibeli dari luar pabrik (electricity purchase) Neraca massa pada proses pembuatan pulp
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
9
GRK pada Pembuatan1 ton pulp Putih
No 1.
Bahan dan bahan bakar Lindi hitam
2.
Kulit kayu
3.
Bahan bakar fossil untuk boiler (3 pilihan): Batubara Minyak Gas alam
0,00404 0,00411 0,00411
126000 76600 59900
Bahan bakar fosil untuk limekiln (2 pilihan): Minyak Gas alam
0,00148 0,00148
76600 59900
10,21 kg
440 kg CO2/ton
4.
5.
CaCO3
Jumlah (TJ)
kg CO2/TJ
0,01665
Faktor emisi CH4 N2O (kg (kg CO2Eq. CO2Eq./TJ) /TJ) 630 1550 860
0,00128
36,297 11,418
509,040 314,826 246,788
2,7 2,7
PROSES PEMBUATAN KERTAS
10
8060
Total CO2Eq. (kg)
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
0,3 0,4
113,372 88,656 43,10
Emisi dari Industri Kertas kg CO2/ton
Distribusi Tenaga Pada Industri Pulp GJ/ton
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
11
Kemungkinan penghematan energi pada proses produksi kertas
Target Reduksi Emisi Untuk Setiap Sektor
Sektor
EmissionYear 2020 (without reduction) GtCO2e
26%
+15% (total 41%)
Lahan Gambut
1.09
0.28
0.057
Limbah
0.25
0.048
0.030
Kehutanan
0.49
0.392
0.310
Pertanian
0.06
0.008
0.003
Industri
0.06
0.001
0.004
0.008
0.008
1.00
0.030
0.010
2.95
0.767
0.422
Perhubungan Energi
12
Emission reduction target (Year 2020) GtCO2e
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
LIMBAH PADAT INDUSTRI KERTAS DAN PENGOLAHANNYA
Landfill
• Proses produksi
PADAT
IPAL Power plant
GAS
CRP Digester Power plant
Organik Anorganik Kadar air
Insinerasi Pengomposan Digestasi anaerobik Pemisahan Partikulat
Emisi Sulfur Emisi Karbon Emisi NOx Pemisahan Gas
PENGELOLAAN LIMBAH CAIR PROSES
Fisika
Kimia
DASAR PEMILIHAN -
Partikel kasar
-
Partikel halus tersuspensi dan koloid Org terlarut sederhana
Aerobik
Org terlarut kompleks
PROSES Sistem upengendapan
PERALATAN
Clarifier
Lumpur
Sistem koagulasi flokulasi
Clarifier dilengkapi dgn koagulator Koagulatorflokulator
Lumpur
Activated sludge
Bak aerasi dgn clarifier
CO2 HH 2O lumpur
Reaktor, penangkap gas,
CO2 CH4 HH 2 HH 2O Lumpur lumpur
Reaktor UASB
Biologi Anaerobik (prospektif)
EMISI
Bahan organik tinggi : 10 – 30 kg COD/m3. hari Reduksi COD : 70 – 85% Konsumsi energi rendah : rendah Kebutuhan nutrisi : rendah Menghasilkan emisi gas yang dapat dimanfaatkan sebagai energi 0,3 – 0,4m 3 CH4/kg COD red
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
13
Dasar Penentuan Teknologi Proses Pengelolaan Limbah (Aspek Lingkungan)
Jenis teknologi item
Landfill
Incinerator
Composting
Digestasi anaerobik
Organik B3 Anorganik B3
Organik Nilai kalor tinggi
Organik Unsur hara
Organik bulki
Tujuan
Pembuangan akhir
Penghancuran limbah B3 secara cepat
Penstabilan dengan pemanfaatan unsur hara
Penstabilan dgn pemanfaatan energi
Emisi
CO2; CH4; NOx
CO2
CO2
• CO2; CH4; H2;
Sedang
(tanpa pemanfaatan energi)
Rendah
(tanpa pemanfaatan energi)
Sifat limbah
Tinggi Potensi GRK
Tinggi
Teknologi pengolahan limbah Teknologi pengolahan limbah industri pulp kertas semakin berkembang. Salah satunya yangtelah dikembangkan oleh PT. Riau Andalan Pulp Paper yang memanfaatkan biosludge sebagai bahan bakar pada recovery boiler. Biosludge merupakan waste activated sludge yang dihasilkan dari Treatment Plant (ETP). Biosludge tersebut masih memiliki nilai kalori dan dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti. Pengembangan teknologi ini merupakan hal baru, dimana Biosludge yang selama ini dibuang di Landfill akan dibakar di Recovery Boiler karena masih memiliki nilai kalori dan masih dapat dimafaatkan sebagai bahan bakar pengganti. Kegiatan proyek ini adalah memanfaatkan Biosludge yang dihasilkan dari proses Effluent Treatment Plant dengan mengurangi kandungan air didalamnya menggunakan alat Centrifuge. Kemudian Biosludge dicampur dengan Black Liquor pekat dari Evaporator untuk bersamasama dibakar di Recovery Boiler.
Standardisasi Standarisasi Produk-produk industri kehutanan saat ini juga telah disusun dalam bentuk Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI), baik RSNI produk kertas maupun produk furniture. 14
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
MAKALAH UTAMA
STANDARDISASI HASIL HUTAN GUNA MEMENUHI PASAR GLOBAL
PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN (Standardisasi , Lingkungan, Perubahan Iklim) Ir.S.Y.Chrystanto, M.For.Sc
Bogor, 9 Oktober 2011
OUTLINE BACK GROUND KEBIJAKAN STANDARDISASI PERUMUSAN SNI RANGKUMAN
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
15
BACK GROUND
STANDAR......? • Sesuatu yang jadi acuan :SBU,SBK • Sesuatu yang baku : Waktu, Jarak, Berat • Batasan maximum/minimum : polusi • Keteraturan : lampu merah • Sesuatu batasan yang disepakati umum à sirup, madu ?
STANDARDISASI Rangkaian proses mulai dari pengembangan standar (pemrograman, perumusan, penetapan dan pemeliharaan standar) dan penerapan standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan para pemangku kepentingan
SISTEM STANDARDISASI NASIONAL Suatu sistem yang dibentuk oleh jaringan kelembagaan, yang saling berinteraksi dalam tiga subsistem infrastruktur mutu yaitu metrologi, standardisasi dan penilaian kesesuaian untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan Landasan Hukum : PP 102 tahun 2000
16
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
TIGA PILAR SISTEM MUTU NASIONAL
MUTU (Q) Manajemen Mutu METROLOGI
STANDARDISASI
PENILAIAN KESESUAIAN
• Ilmiah
• Pengembangan
• Akreditasi
• Industri/terapan
• Penerapan
• Sertifikasi
• Legal
• Pemberlakuan
• Pengujian • Inspeksi
Pemasyarakatan Sistem Legal Sistem Ekonomi
STANDARDISASI DAN GLOBALISASI PRODUK GLOBAL
GLOBALISASI
EVALUASI GLOBAL
FREE TRADE AGREEMENT
GLOBALISASI STANDARDISASI DAN AKREDITASI
KOMITE TEKNIS
INDONESIA RATIFIKASI TH. 1994
RANTAI PASOKAN
STANDAR
AKREDITASI
LABORATORIUM / LMBG SERTIFIKASI
PENGUKURAN PENGUJIAN/ SERTIFIKASI
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
17
Standard adalah tanggung jawab bersama PENERAPAN STANDARD TERGANTUNG KETERLIBATAN PARA PIHAK (STAKEHOLDER)
RISET
PERNIAGAAN
KONSUMEN
INDUSTRI
UKM
PEMERINTAH
UNIVERSITAS
STANDARDISASI
AHLI
PENGUSAHA
PERDAGANGAN
MANFAAT STANDAR Mendorong percepatan transfer teknologi; Meningkatkan hubungan antar Pelaku Ekonomi; Membuka peluang akses Pasar terhadap Produk (Barang & Jasa)Æ DAYA SAING Optimisasi penggunaan infrastruktur; Meningkatkan Kualitas/Mutu, Keselamatan, Keamanan, Kesehatan dan Lingkungan; Melakukan diseminasi sistem manajemen dan proses bisnis yang baik; Melaksanakan Penilaian dan Pembuktian Kesesuaian.
18
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
KEBIJAKAN STANDARDISASI KEBIJAKAN NASIONAL STANDARDISASI Pengembangan SNI sesuai kebutuhan pasar dan peningkatan mutu SNI melalui penerapan tata cara internasional yang baik dalam pengembangan Standar (international code of good practices); Penyelarasan SNI dengan standar internasional sejauh mungkin untuk memfasilitasi perdagangan global à ADOPSI – DAPTASI – BOLISI Pengusulan SNI untuk menjadi standar internasional (ISO); Penyusunan SNI dengan parameter seminimal mungkin, tetapi berfungsi secara maksimal mencakup perlindungan terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, dan pelestarian lingkungan hidup; Peningkatan efektifitas dukungan penerapan SNI untuk mendorong perkembangan akses pasar àPemberian insentif (kemudahan) bagi penerap SNI dan penyediaan jasa penilaian kesesuaian yang terpercaya (LSPro) Penyusunan Regulasi Tekn is mengacu pada prinsip Good Regulatory Practices (GRP). Penegakan integritas tanda SNI dan tanda kesesuaian lainnya yang berbasis SNI; Edukasi kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran akan fungsi dan manfaat SSN.
Kebijakan Standardisasi Kht (2010-2014) 1. Pengembangan standar nasional (SNI) bidang kehutanan: a. Mengusulkan rencana penyusunan rancangan standar untuk masuk ke dalam Program Nasional Penyusunan Standar (PNPS) di Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang diputuskan melalui rapat MPTS dimana Kapustanling sebagai salah satu anggotanya, b. Menyusun rancangan standar (RSNI) melalui 3 Panitia Teknis (PH, HHK, HHBK) dan mengusulkan penetapannya menjadi SNI oleh BSN c. Review SNI sesuai ketent uan yang ditetapkan dan kebutuhan/perkembangan IPTEK terkait. 2. Harmonisasi SNI dengan standar internasional è terutama untuk produk/proses yang berpengaruh terhadap daya saing/kepentingan Indonesia dan terkait dengan kesepakatan-kesepakatan regional dan internasional.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
19
Kebijakan Standardisasi kht (lanjutan) 3. Pengembangan standar kompetensi (SKKNI) bidang kehutanan è bekerjasama dengan unit terkait lingkup Kemhut dan instansi di luar Kemhut, 4. Penyiapan bahan kebijakan standardisasi è terkait kebutuhan/penyusunan/penerapan standar dan isu standardisasi dalam perdagangan internasional, 5. Peningkatan pemahaman dan peran stakeholder di bidang standardisasi, melalui penataran, sosialisai, workshop, publikasi dll. 6. Partisipasi dalam forum regional (misal ASEAN), dan international (ISO dan yang terkait : TC 165 Timber Structure dan TC 89 Wood based Panel ).
POSISI PUSTANLING TERHADAP LEMBAGA LAIN
20
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
POSISI PUSTANLING DALAM STANDARDISASI NASIONAL INDONESIA (produk, proses, jasa hutan) ST ANDARDISASI BSN
KAN
Pengembangan dan Perumusan SNI
Akreditasi dan Sertifikasi
Dasar Hukum: PP 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional Sistem Standardisasi Nasional (SSN) Pedoman Standardisasi Nasional (PSN)
Panitia Teknis Perumusan RSNI
PUSTANLING
Lembaga Penilaian Kesesuaian/ Lembaga Sertifikasi
3 Panitia Teknis binaan Kemhut STANDARDISASI, LINGKUNGAN, (produk, proses, PERUBAHAN IKLIM jasa kehutanan)
Panitia Teknis Bidang Kehutanan • PT. 65-01 Pengelolaan Hutan (Ketua : Dr.Ir.Nur Masripatin, M.For.Sc) • PT. 65-02 Hasil Hutan Bukan Kayu (Ketua : Ir.S.Y.Chrystanto,M.For.Sc) • PT. 79-01 Hasil Hutan Kayu (Ketua : Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi MSc.)
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
21
Program Pustanling2010-2014 : Lingkungan Fasilitasi sertifikasi PHBML (pelatihan, pendampingan), bekerjasama dengan Dinas Kehutanan setempat.
Program Pustanling 2010-2014 : PI Review REDD+ demonstration activities dan penyiapan Draft Premenhut ttg MRV REDD+_ DA Membangun ISS- REDD+ Membangun standar (RSNI) Pengukuran carbon
22
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
PERUMUSAN SNI PRINSIP PERUMUSAN SNI Terbuka bagi siapa saja untuk berpartisipasi dalam proses perumusan standar melalui jalur PT atau Mastan
OPENESS Memberikan kesempatan kepada ukm dan daerah untuk berpartisipasi dalam DEVELOPMENT perumusan SNI DIMENSION
Prosesnya dapat diikuti secara transparan melalui media IT TRANSPARENCY
CONSENSUS AND IMPARTIALITY COHERENCE SNI dibuat dgn memperhati-kan keberadaan standar internasional, sebaiknya harmonis dengan standar internasional
Pelaksanaannya melalui konsensus nasional dan tidak memihak
EFFECTIVENESS AND RELEVANCE
Standar dibuat sesuaikebutuhan pasar, hasilnya harus efektif dipakai untuk fasilitasi perdagangan
Adopted from the Decision of the WTOTBT Second triennial review
PROSES PENGEMBANGAN SNI
Usulan PNPS
Verifikasi
Drafting
SISNI
Pemungutan suara
Pemeliharaan
Adopsi
Publikasi
Kaji ulang
Konsep akhir
Konsensus Nasional
MASTAN
Jajak Pendapat
Penilaian Kebutuhan pasar
21
Jajak Pendapat
TC/STC
Penetapan PNPS
Drafting/ Ratek
BSN
Perencanaan
Kebijakan Standardisasi Nasional Jakarta, 12 Januari 2011
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
23
PENERAPAN SNI SNI dapat diterapkan secara sukarela sebagai acuan/referensi pasar, atau diberlakukan secara wajib sebagai persyaratan pasar melalui suatu regulasi teknis REGULASI TEKNIS Dokumen yang mengatur sifat produk atau proses dan metode produksi terkait, termasuk aturan administrasi yang berlaku, yang pemenuhannya bersifat wajib. Regulasi teknis juga dapat meliputi atau berkaitan secara khusus dengan persyaratan terminologi, simbol, pengepakan, penandaan atau pelabelan yang diterapkan untuk suatu produk, proses atau metode produksi.
Bagaimana jika SNI dipakai sebagai acuan dalam regulasi teknis? Kebijakan Standardisasi Nasional Jakarta, 12 Januari 2011
PEMELIHARAAN SNI Pemeliharaan SNI oleh PT/SPT, minimal 5 tahun sekali Dapat diusulkan oleh pengguna ke BSN atau PT Hasil kaji ulang berupa ralat, amandemen, revisi, abolisi atau tetap tanpa perubahan Standar dan liabilitas Æ perhatikan 2 hal yaitu (1) ikuti tatacara perumusan yang disepakati secara internasional dalam ISO/IEC maupun TBT WTO, dan (2) lakukan kaji ulang untuk mengikuti perkembangan IPTEK terkini (state of the art) Jika terjadi sesuatu dengan pengguna barang yang distandarkan, harus ada pembuktian terbalik
24
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
PEMBERLAKUAN WAJIB SNI Beberapa prinsip dalam TBT-WTO: Ø
Harus transparant agar tidak mengganggu trade
Ø
Tidak boleh diskriminasi (NT dan MFN)
Ø
Regulasi harus mempunyai alasan yg legitimate
Ø
Menggunakan standar internasional
Ø
Boleh beda dgn alasan klimatik, geografis/geologis
Ø
Prinsip ekivalensi
Ø
Saling pengakuan penilaian kesesuaian
PEMBERLAKUAN WAJIB SNI Transparan: Notifikasi rancangan regulasi teknis Apa yang dinotifikasikan? Yang harus disiapkan (SNI, sistem PK, juknis); Periode notifikasi 2 bulan; Masukan yang relevan harus dipertimbangkan; Enforcement minimum 6 bulan stlh SK terbit; Bila kondisi berubah à harus ditinjau lagi.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
25
Skema akreditasi dan sertifikasi
SKEMA STANDARDISASI NASIONAL TANDA SNI
Standar Standar (SNI) (SNI)
Produk Produk
Industri Industri
Sertifikasi Sertifikasi
MUTU
Akreditasi Akreditasi
KOMPETENSI
Konsumen Konsumen
LPK LPK LEMBAGA PENILAIAN KESESUAIAN:
26
•
Laboratorium Penguji
•
Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro)
•
Lembaga Inspeksi
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
RANGKUMAN
PERAN STANDARDISASI DALAM PASAR GLOBAL PENGHUBUNG PENTING RANTAI PASOKAN GLOBAL à Meningkatkan hubungan para pelaku ekonomi & transfer techologi MELANCARKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN AKSES KE PASAR à Meningkatkan daya saing produk kehutanan di pasar global MEMBANTU MENGURANGI HAMBATAN TEKNIS DALAM PERDAGANGAN DAN MEMBANTU SISTEM PERDAGANGAN ANTAR NEGARA à Melindungi konsumen dalam negeri Meningkatkan kualitas/mutu, keselamatan, keamanan, kesehatan dan lingkungan;
Standardisasi & SertifikasiÆ jaminan kelestarian SDH dan akses pasar
Forum global terkait
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
27
PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) MENDUKUNG PENYEDIAAN BAHAN BAKU SECARA RAMAH LINGKUNGAN: PENGALAMAN PT MUSI HUTAN PERSADA Oleh: Tjipta Purwita Direktur Tanaman PT Musi Hutan Persada E-mail:
[email protected]
I. PENDAHULUAN PT Musi Hutan Persada (MHP) merupakan salah satu perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan Acacia mangium sebagai spesies utama untuk bahan baku pulp bagi industri PT Tanjung Enim Lestari Pulp & Paper (TELPP). PT MHP didirikan pada tahun 1991 di Sumatera Selatan, meliputi 6 wilayah kabupaten, yaitu: Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Lahat, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 038/Kpts-II/1996 luas bruto HTI ditetapkan ± 296.400 ha, terdiri atas tanaman pokok seluas ± 138.000 ha (46,5%), tanaman kehidupan seluas ± 68.128 ha (22,9%), tanaman unggulan seluas ± 30.812 ha (10,4%), serta sisanya berupa kawasan lindung (Daerah Perlindungan Satwa Liar dan Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah) seluas ± 44.098 ha (15%) dan areal tidak efektif untuk produksi (sarana-prasarana & areal penelitian) seluas ± 15.362 ha (5,2%). PT MHP merupakan perusahaan patungan (joint-venture) antara PT Marubeni Corporation Jepang (menguasai 60% saham) dan PT Inhutani V (menguasai 40% saham). Kemampuan pasok PT Musi Hutan Persada kepada PT Tanjung Enim Lestari (yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh PT Marubeni Corporation) adalah sebesar ± 2,0 juta m3. Kekurangan pasok kepada industri dipenuhi sendiri oleh PT TELPP dengan membeli kayu dari perusahaan lain. PT MHP dalam usahanya menerapkan prinsip pengelolaan hutan lestari yang diwujudkan dalam pengelolaan yang berkelanjutan, antara lain ditopang oleh adanya penggunaan benih unggul melalui upaya tree improvement, penerapan sistem silvikultur yang intensif, serta didukung dengan penerapan best practice pengelolaan hutan yang ramah lingkungan. II. FALSAFAH Pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan antara lain tercermin dalam visi maupun misi perusahaan PT Musi Hutan Persada, yaitu: 1. Visi Perusahaan “Menjadi perusahaan hutan tanaman terdepan yang berkelanjutan dengan selalu meningkatkan kapasitas pertumbuhan tegakan, kualitas karyawan, sistem dan struktur yang bertujuan untuk mengamankan lahan dan memaksimalkan hasil kayu untuk memuaskan pelanggan”. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
29
2. Misi Perusahaan “Menghutankan kembali lahan yang tidak produktif dan mengelolanya menjadi hutan tanaman yang tinggi produktivitasnya secara berkelanjutan seraya memperbaiki biodiversitas dan lingkungan untuk menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat”.
III. PRINSIP SUSTAINIBILITAS PT Musi Hutan Persada adalah perusahaan timber growing business, sehingga prinsip sustainibiltas menjadi sangat penting, yaitu filosofinya adalah: bagaimana produktivitas pada rotasi kedua dan rotasi-rotasi berikutnya tidak hanya bisa dipertahankan, melainkan harus dapat ditingkatkan. Dari hasil riset PT MHP, pertumbuhan tegakan Acacia mangium dari rotasi 1, rotasi 2 dan rotasi 3 terus mengalami peningkatan, sebagaimana disajikan pada grafik yang tertera pada Gambar 1, 2, dan 3 berikut. 50 45
V o l. (m 3 /h a /th )
40 35 30
MAI - R1
25 CAI - R1
20 15
Gambar 1. Hubungan MAI dan CAI Tegakan Rotasi 1
10
Perpotongan antara MAI dan CAI Tegakan Rotasi 1 adalah pada umur 8,5 tahun. Artinya, tegakan rotasi 1 paling optimal dipanen pada umur 8 tahun dengan riap 32,8 m3/ha/tahun.
5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Umur (tahun)
60
Vo l. m( 3 /h a /th
)
50 40 30
MAI - R2
20
CAI - R2
10 0 1
2
3
4
5
6
Um ur (tahun)
30
7
Gambar 2. Hubungan MAI dan CAI Tegakan Rotasi 2 Perpotongan antara MAI dan CAI Tegakan Rotasi 2 adalah pada umur 6,5 tahun. Artinya, tegakan rotasi 1 paling optimal dipanen pada umur 6 tahun dengan riap 37,9 m3/ha/tahun.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
150
Vo lu m e (m 3/h a)
125 100 75
Rotasi 1
50
Rotasi 2 Rotas i 3
25
Gambar 3. Produktivitas Tegakan Rotasirotasi 2 dan Rotasi 3
0 1
2
3
4
Pertumbuhan tegakan A.mangium dari rotasi 1, rotasi 2 dan rotasi 3 terus mengalami peningkatan.
Umur (tahun)
Daur pada rotasi 1 yaitu 8 tahun dapat diperpendek menjadi 6 tahun pada rotasi 2 dengan riap yang lebih tinggi. Apabila tidak ada gangguan yang signifikan, diharapkan pada rotasi 3 daur lebih pendek lagi dengan riap yang semakin meningkat. Peningkatan pertumbuhan tersebut disebabkan oleh kualitas benih yang digunakan antar rotasi semakin unggul. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri, bahwa teknik silvikultur seperti manajemen residu panen, masukan unsur hara, pengendalian gulma, dan sebagainya juga mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan produktivitas.
IV. KEBIJAKAN Dalam rangka mencapai visi dan misi perusahaan sebagai timber growing business company yang berkelanjutan, PT Musi Hutan Persada memiliki kebijakan terdokumentasi yang wajib dipahami oleh seluruh karyawan dan bisa diakses oleh publik. Kebijakan tersebut adalah selalu mempertimbangkan dampak lingkungan ketika menjalankan usahanya, mengurangi risiko lingkungan, melindungi lingkungan serta mencegah pencemaran lingkungan dengan cara: 1. Memperhatikan pedoman-pedoman lingkungan internasional, undang-undang lingkungan, serta persyaratan lingkungan lain yang berlaku. 2. Mengurangi dampak lingkungan ketika akan memulai operasi baru atau penggunaan mesin/ peralatan baru, terutama pada areal-areal yang kondisi ekosistem dan lingkungan perlu mendapat perhatian ekstra. 3. Penghematan energi dan sumberdaya, mengurangi limbah, peningkatan efisiensi usaha dan pengadaan barang yang ramah lingkungan. 4. Melaksanakan upaya untuk menghasilkan produk, jasa dan pembinaan sosial guna memperbaiki dan meningkatkan mutu lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
31
Kebijakan ini dimasukkan kedalam setiap standard operating procedures (standar prosedur operasi) kegiatan teknis di lapangan maupun administrasi perkantoran, yang selalu dievaluasi pelaksanaannya, serta dilakukan perbaikan secara terus menerus (continuous improvement) untuk menghindari kelemahan prosedur maupun kesalahan tindakan.
V. SASARAN Sasaran pengelolaan hutan tanaman yang ramah lingkungan adalah: 1. Meningkatkan pertumbuhan tegakan dengan mempertahankan kualitas tapak, serta pencegahan degradasi hutan dan pencemaran lingkungan. 2. Peningkatan keuntungan ekonomi dengan jalan pengurangan penggunaan energi, bahan dan sumber daya, serta penggunaan teknologi atau peralatan baru yang lebih efisien dan ramah lingkungan. 3. Kesehatan dan keselamatan pekerja dan masyarakat. 4. Menghasilkan produk hijau yang dapat diterima oleh pasar dunia.
VI. IMPLEMENTASI Implementasi pengelolaan hutan ramah lingkungan pada PT. Musi Hutan Persada diwujudkan dalam 3 kegiatan, yaitu: 1. Penerapan RIL (reduce impact logging) pada kegiatan pembukaan wilayah hutan (PWH) dan pemanenan. 2. Penerapan sistem manajemen lingkungan ISO 14001 pada seluruh aktivitas operasional dan administrasi. 3. Pengelolaan high conservation value forest (HCVF) atau kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi. A. Penerapan Reduce Impact Logging RIL diatur dalam standar prosedur operasi (SPO) pekerjaan pembukaan wilayah hutan dan pemanenan. SPO diturunkan menjadi Instruksi Kerja (IK) yang didistribusikan sampai ke level supervisor maupun subkontraktor sebagai pedoman pelaksanan pekerjaan dan pengawasan. 1. Pembukaan Wilayah Hutan a. SPO pembukaan wilayah hutan secara tegas menyebutkan bahwa prosedur tersebut dibuat untuk menjamin pelaksanaan pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan dan goronggorong, TPn dan sarana-prasarana lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari dan memastikan pengendalian aspek-aspek dan dampak lingkungan yang muncul akibat aktivitas PWH.
32
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
b. RIL pada PWH ditujukan untuk pencegahan erosi tanah, perlindungan area HCV dan keselamatan manusia. c. Perencanaan PWH selalu mendasarkan pada peta tata ruang hutan tanaman, peta kontur dan kondisi topografi di lapangan. d. Trase jalan mengikuti punggung bukit, menghindari area lindung/HCV, tidak melewati badan air, dan mengurangi kegiatan potong–timbun tanah. Jalan diupayakan pada lokasi dengan jarak angkut terpendek yang mampu melayani seluruh kegiatan operasional hutan tanaman. e. Pembuatan dan perawatan jalan dilakukan pada saat tanah kering, dan dihentikan apabila terjadi hujan. f. Gorong-gorong dibangun dan dilakukan pembersihan rutin dengan mempertimbangkan kelancaran arus air sehingga tidak memutus pergerakan satwa air. g. Lubang penjebak (pengendap) lumpur dibuat pada parit jalan yang mengarah ke badan air (sungai, rawa, cekungan) dan tempat air masuk (in let) gorong-gorong. h. TPn dibangun dengan meminimalkan pemotongan – penimbunan tanah, pada area yang datar dengan kemiringan maksimum 6 derajat, serta lokasi menjauhi area lindung/HCV dan badan air. i.
Secara detail SPO memberikan persyaratan kepada operator mesin berat untuk berhati-hati saat pengisian BBM/oli agar tidak terjadi tumpahan, menggunakan alat pelindung diri yang memadai (sepatu safety, helm, masker, penutup telinga), memeriksa ketersediaan alat pemadam kebakaran dan kotak K3, dan secara rutin melakukan general check up untuk memantau dampak pengoperasian mesin berat terhadap kesehatan.
2. Pemanenan a. RIL pada proses pemanenan bertujuan untuk keselamatan pekerja, pencegahan erosi dan pemadatan tanah, perlindungan area HCV, perlindungan lahan usaha masyarakat, dan pencegahan kerusakan tegakan tinggal (tanaman muda). b. Sebelum tebang dilakukan verifikasi dan pemastian batas area HCV, lahan usaha masyarakat dan tanaman muda disekitar petak tebang. Arah rebah pohon menjauhi dan mesin berat tidak diperbolehkan melintasi area-area tersebut. c. Penebangan secara manual (dengan chainsaw) lebih diprioritaskan, untuk menghindarkan mesin berat terlalu sering masuk area produksi. d. Metode pemanenan full mechanized (dengan harvester atau mesin berat lain) dilakukan secara selektif, terutama pada area yang berbahaya bagi pekerja jika dilakukan secara manual. e. Koridor tebang dibuat setiap 5 baris tanaman, dimana rebah pohon kearah baris tengah, dan jarak antar negara penebang minimal 25 m untuk menghindarkan pekerja tertimpa pohon rebah.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
33
f. Limbah tebangan disusun sebagai jalur (bantalan) mesin sarad saat beroperasi, sehingga mengurangi tekanan langsung ke tanah dan mempercepat penghancuran/pelapukan limbah (dekomposisi). g. Arah sarad mengikuti kontur atau sejajar dengan kemiringan lahan. h. Divisi R & D secara terprogram melakukan pemantauan dan pengujian efek penggunaan mesin-mesin berat produksi terhadap pemadatan tanah dan erosi. i.
Permudaan kembali (replanting) dilakukan segera setelah penyaradan kayu selesai untuk menghindarkan risiko erosi karena tanah terbuka terlalu lama, mengurangi biaya persiapan lahan dan untuk optimalisasi waktu pertumbuhan tanaman. Masa tanam tidak hanya dilakukan pada bulan-bulan basah. Aplikasi aquasorb memungkinkan penanaman dilakukan pada bulan dengan curah hujan sedikit (musim kemarau).
j.
Secara rutin Divisi R & D melakukan pengukuran dan pemantauan untuk mengidentifikasi terjadinya pemadatan tanah, pembuburan tanah, maupun perpindahan topsoil akibat aktivitas PWH dan pemanenan.
B. Implementasi Sistem Manajemen Lingkungan Untuk memperoleh pengakuan semua pihak bahwa MHP serius dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan, perusahaan mengikuti sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan (SML) ISO 14001 dan mendapatkan sertifikat pada tahun 2007 yang berlaku selama 3 tahun. SML memberikan manfaat yang besar bagi perusahaan, terutama merubah budaya kerja karyawan menjadi pro lingkungan serta memberikan kontribusi dalam penerapan sistem pengelolaan hutan lestari, sehingga tahun 2010 dilakukan resertifikasi dan Sertifikat SML ISO 14001 diperoleh kembali sampai tahun 2013. 1. Pengendalian Polusi Udara Kegiatan pengendalian polusi udara untuk mendukung industri hijau dan pembangunan berwawasan lingkungan, diimplementasikan PT Musi Hutan Persada dengan pengaturan sebagai berikut: a. Polusi udara terutama ditimbulkan dari aktivitas pemanenan dan pembukaan wilayah hutan yang banyak menggunakan mesin berat, kegiatan persemaian dan pengendalian gulma yang menggunakan pestisida. Hal ini sangat berbahaya bagi lingkungan, sehingga perlu dikendalikan. b. Pengendalian dilakukan sebagai-berikut:
34
§
Perencanaan kebutuhan alat dan bahan (jenis dan jumlah) yang akurat, sesuai target kegiatan atau produksi dan sebaran lokasi.
§
Pembatasan umur mesin/alat yang beroperasi (misal: logging truck maksimal berumur 5 tahun.
§
Jadwal pemeliharaan mesin secara berkala diimplementasikan secara ketat.
§
SPO persemaian dan SPO pemeliharaan tanaman mengatur bahwa pekerja yang melakukan penyemprotan pestisida wajib menggunakan masker dan penyemprotan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
dilakukan jika kondisi angin tenang. MSDS (material safety data sheet) wajib dipatuhi. Pengukuran emisi gas buang untuk setiap jenis mesin dilakukan per 3 bulan oleh Bagian Workshop. Pengukuran ambient udara dilakukan secara berkala oleh Bagian Lingkungan (Divisi R & D). 2. Pengendalian Pencemaran Badan Air a. Potensi pencemaran air bersumber pada aktivitas pemanenan, PWH dan penanaman yang dapat menimbulkan erosi, persemaian dan pengendalian gulma tanaman yang menggunakan pestisida, serta bengkel dan pemukiman (base camp). b. Metode pengendalianpencemaran badan air: Kontrol dosis dan tata cara aplikasi pestisida dilakukan secara ketat. SPO pemeliharaan tanaman mengatur dengan jelas dosis maksimal yang diperbolehkan, pencampuran pestisida dilarang dilakukan di dekat badan air, penyemprotan tidak diizinkan saat hujan. Pembuatan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) di seluruh persemaian, bengkel dan pemukiman, sehingga buangan cair yang dikembalikan ke badan air memenuhi standar baku mutu limbah. Dilakukan kerjasama dengan BLHD (Biro Lingkungan Hidup Daerah) untuk pengambilan sampel air dari IPAL, sumber air konsumsi dan aliran sungai untuk dilakukan pengujian baku mutu air. Untuk mengamati tingkat erosi dan sedimentasi sungai dibangun stasiun pengamatan aliran sungai (SPAS) dan plot-plot pengamatan erosi di banyak petak/compartement. 3. Pengendalian Pencemaran Tanah a. Pencemaran tanah di hutan tanaman utamanya diakibatkan tumpahan cairan B3 (BBM, oli, pestisida, dan lain-lain) dan sampah padat (kemasan makanan/minuman, wadah bibit). b. Untuk mengurangi sampah padat pada area tanaman sejak lama MHP tidak lagi menggunakan polibag untuk wadah bibit, namun diganti dengan pottrays yang wajib dikembalikan ke persemaian sebagai persyaratan wajib untuk mengambil bibit selanjutnya. c. Pencegahan tumpahan B3 diatur dengan tegas di beberapa prosedur operasional, misalnya SPO distribusi barang mengatur bagaimana pengiriman dan serah-terima B3 cair sehingga tidak tumpah atau hilang, SPO pemanenan mengatur bagaimana tata cara pengisian BBM/oli ke tanki mesin produksi agar tidak terjadi ceceran. d. Kotak sampah rumah tangga, perkantoran, persemaian dan bengkel telah dipisahkan untuk sampah organik dan anorganik. Pada beberapa base camp telah memiliki izin tempat pembuangan akhir (TPA) dimana dibuat tempat pembuangan yang terpisah di antara 2 jenis sampah tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
35
e. Bagian Rumah Tangga mencatat pengeluaran sampah dan pengiriman ke TPA setiap hari. Evaluasi dan tindaklanjut selalu dilakukan apabila produksi sampah melampaui rata-rata normal. 4. Pembatasan Penggunaan Sumberdaya (Khususnya Air) a. Bagian Umum memiliki prosedur yang mengatur penggunaan air, yang di dalamnya terdapat standar kebutuhan air per orang. Demikian juga Bagian Persemaian memiliki standar kebutuhan air untuk setiap bibit. b. Distribusi air dikontrol ketat. Konsumsi air setiap hari dicatat dan didokumentasikan untuk bahan evaluasi dan tindaklanjut apabila konsumsi melebihi rata-rata normal. 5. Pembatasan penggunaan energy (BBM dan Listrik) a. Pengisian BBM dengan sistem jatah harian sudah lama ditinggalkan. Metode yang diberlakukan saat ini adalah jumlah pengisian BBM mempertimbangkan status isi tanki kendaraan/mesin dan jarak yang akan ditempuh atau volume pekerjaan yang akan dilakukan mesin berat. b. Bagian Logistik, Umum, Pemanenan dan Konstruksi memiliki standar penggunaan BBM untuk setiap jenis kendaraan dan mesin berat yang diterapkan secara konsisten dengan supervisi ketat. c. Bagian Umum memiliki standar kebutuhan lampu untuk mess dan perkantoran. 6. Pengendalian emisi energi a. Emisi energi yang teridentifikasi dapat mengganggu kesehatan pekerja dalam pengelolaan hutan tanaman adalah emisi suara (kebisingan), getaran dan emisi cahaya (silau). b. Kebisingan dan getaran diakibatkan pengoperasian chainsaw, generator listrik, mesin berat produksi dan konstruksi jalan, aktivitas bengkel, serta logging truck. Sedangkan emisi cahaya ditimbulkan dari aktivitas pengelasan di bengkel dan operasi komputer. c. Pengendalian emisi energi diatur dalam beberapa prosedur, misalnya SPO workshop mensyaratkan penggunaan pelindung telinga untuk operator generator dan pelindung mata bagi welder (tukang las), SPO pemanenan mensyaratkan kecepatan logging truck di area pemukiman penduduk maks 10 km/jam agar tidak menimbulkan kebisingan dan hamburan debu. d. Setiap tiga bulan Divisi Workshop melakukan pengujian terhadap tingkat kebisingan dan getaran mesin, dan informasi yang diperoleh menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan perbaikan/pemeliharaan. 7. Pengelolaan B3 dan limbah B3 a. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang banyak dipergunakan adalah BBM dan oli, pupuk, pestisida dan cat semprot (banyak digunakan dalam kegiatan perencanaan: survey, penataan batas compartement dan area lindung, PUP, inventarisasi, dan lain-lain).
36
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
b. Jumlah pengadaan dihitung berdasar kebutuhan minimal. Penyimpanan dilakukan pada tempat khusus (berizin dari KLH) dan distribusi bahan dilakukan dengan pengawasan ketat. c. Setelah pemakaian, seluruh limbah B3 (karung pupuk, kemasan pestisida, oli bekas, kemasan oli, ban bekas dan kaleng cat) harus dikembalikan ke gudang sebagai persyaratan wajib untuk permintaan barang selanjutnya. d. Limbah B3 disimpan pada Gudang Khusus yang berizin dari KLH, dan dalam jangka waktu tertentu (sesuai regulasi) limbah B3 diserahkan/dikirimkan kepada agen pengumpul yang mempunyai lisensi dari KLH. 8. Reduce (Pengurangan) a. Prinsip utama dalam “reduce” adalah penggunaan teknik operasional tertentu untuk mengurangi penggunaan jumlah maupun jenis bahan namun tetap memperoleh hasil yang optimal. b. Prinsip ini salah satunya diterapkan pada proses penanaman, dimana pada beberapa tahun lalu digunakan pupuk dengan dosis Urea dan TSP. Dari hasil penelitian lanjutan oleh Divisi R & D didapatkan bahwa Acacia mangium mempunyai perakaran yang dapat mengikat N, serta seresah dan limbah tebangan sudah mencukupi N, K dan unsur lain yang dibutuhkan tanaman, sehingga saat ini pemupukan cukup menggunakan TSP. c. Pengurangan jumlah ATK sampai 20% ternyata tidak mengganggu efektivitas kegiatan administrasi, justru membuat pekerja lebih berhati-hati dan cermat dalam penyusunan surat menyurat, pencatatan dan laporan. 9. Reuse (Penggunaan Kembali) a. Penggunaan kembali barang bekas sudah menjadi budaya di MHP, yang bertujuan untuk perlindungan lingkungan dan bukan sekedar penghematan biaya, mulai dari barang kecil/murah sampai yang besar/mahal. b. Contoh pemanfaatan kembali bahan kecil di perkantoran adalah penggunaan kertas bekas untuk pembuatan memo dan laporan internal pada lembaran sebaliknya, pemanfaatan kemasan tinta printer bekas untuk diisi ulang. c. Reuse barang bekas di lapangan antara lain pengangkutan bibit di compartement penanaman memanfaatkan jerigen bekas pestisida yang dibelah 2, oli bekas mesin berat untuk pelumas rantai chainsaw, serta perbaikan mesin memanfaatkan komponen dari mesin yang tidak bisa dioperasikan lagi. 10.Rechange (Mengganti) a. Penyaradan menggunakan skidder dengan 4 roda tidak lagi dipergunakan karena menimbulkan pemadatan tanah yang merata di beberapa bagian petak tebangan, dan beralih menggunakan pontoon darat dengan tapak roda yang lebar sehingga tekanan terhadap tanah lebih kecil.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
37
b. Divisi R & D melaksanakan penelitian lebih lanjut untuk mengganti sebagian lahan Acacia mangium dengan jenis Eucalyptus pellita untuk mengurangi dampak negatif monokultur terhadap lingkungan. C. Pengelolaan High Conservation Value Forest (HCVF) Bekerjasama dengan IPB, pada tahun 2008 dilaksanakan identifikasi HCV di areal kerja MHP pada tiga kelompok hutan. Hasil identifikasi tersebut telah diverifikasi tahun 2011 yang menjelaskan bahwa di dalam areal kerja PT MHP terdapat delapan tipe HCV, yaitu: 1. HCV 1
: Kawasan yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang penting, a. HCV 1.1 : Kawasan yang mempunyai atau memberikan fungsi pendukung keanekaragaman hayati bagi kawasan lindung atau konservasi (31 Sempadan sungai, 8 kawasan sekitar dam, 5 areal konservasi). b. HCV 1.2 : Species yang hampir punah, terdiri atas sempadan sungai, areal konservasi: ¾ Fauna : Harimau sumatera, musang, gajah, monyet ekor panjang, rangkong. ¾ Flora : Anggrek macan, meranti, gaharu, anggrek merpati, setali (Appendix I/II CITES), gaharu, garam, bulian, sayas, sebungai (vulnerable/rentan), lagan, merawan, cengal, meranti (critically endangered/terancam hampir punah). c. HCV 1.3 : Kawasan yang merupakan habitat bagi populasi species yang terancam, penyebaran terbatas atau dilindungi yang mampu bertahan hidup (sempadan sungai, areal konservasi). d. HCV 1.4 :Kawasan yang merupakan habitat bagi species atau sekumpulan species yang digunakan secara temporer (sempadan sungai, areal konservasi).
2. HCV 2
: Kawasan bentang alam yang penting bagi dinamika ekologi secara alami.
3. HCV 3
: Kawasan yang berisi populasi dari perwakilan species alami yang mampu bertahan hidup (sempadan sungai, areal konservasi).
4. HCV 4
: Kawasan yang menyediakan jasa-jasa lingkungan alami.
5. HCV 4.1 :Kawasan atau ekosistem yang penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir bagi masyarakat hilir (sempadan sungai, kawasan sekitar dam, areal konservasi). 6. HCV 4.2 : Kawasan yang penting bagi pencegahan erosi dan sedimentasi (Bukit Pendopo, area dengan kemiringan > 40% (445 ha). 7. HCV 5
38
: Kawasan yang mempunyai fungsi penting untuk identitas budaya komunitas lokal (Puyang Tanah Putih, Puyang Dayang Rindu).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam areal MHP terdapat enam area HCV, yaitu : a. Sempadan sungai (31 sungai); b. Sekitar danau/dam (8 lokasi); c. Areal konservasi (5 lokasi); d. Bukit atau areal dengan kelerengan> 40%; e. Situs budaya (2 lokasi). Adapun tujuan pengelolaan HCV adalah sebagai-berikut: a. Melindungi area HCV dari kegiatan manusia yang mengganggu; b. Mempertahankan kualitas air, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai/dam; c. Mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman hayati; d. Meningkatkan nilai keberadaan HCV. Pengelolaan HCV yang telah dilakukan oleh PT Musi Hutan Persada adalah: a. Inventarisasi dan identifikasi kondisi penutupan lahan; b. Pemasangan dan perlindungan tanda/pal batas; c. Perlindungan areal, flora dan fauna; d. Rehabilitasi dan pengkayaan (realisasi sampai dengan saat ini 535 ha); e. Pembuatan jalur isolasi; f. Penyuluhan ke masyarakat; g. Pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pengembangan usaha pemanfaatan hasil hutan (antara lain madu sialang, pengembangan agroforestry); h. Pemantauan.
VII. PENUTUP Pengelolaan hutan yang berwawasan lingkungan tidak boleh lagi dipandang hanya sebagai wacana, namun harus diimplementasikan secara konsisten. Pengelolaan hutan yangramah lingkungan harus dilakukan bukan semata-mata karena pasar dunia menghendaki produk hijau, namun juga untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan stakeholder (utamanya masyarakat sekitar hutan) atas manfaat pengelolaan hutan bagi mereka. Semua langkah-langkah yang dilakukan tersebut merupakan kegiatan yang sejalan dan dapat mempercepat terjadinya “Industri Hijau” dan akhirnya “Indonesia Hijau.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
39
PEMANENAN KAYU RAMAH LINGKUNGAN Oleh: Dulsalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pemanenan kayu ramah lingkungan merupakan bagian kegiatan pengelolaan hutan yang cukup berperan dalam menunjang ekonomi dan sosial masyarakat. Kegiatan pemanenan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: teknis, ekonomi, sosial, lingkungan dan politik. Berkaitan dengan isu lingkungan, kegiatan pemanenan kayu menjadi penting untuk disempurnakan dan dikembangkan menuju pemanenan kayu yang ramah lingkungan. Tulisan ini menyajikan pemanenan kayu ramah lingkungan pada kegiatan pembukaan wilayah hutan, penebangan, penyaradan muat bongkar dan pengangkutan. Kata kunci: Hutan alam, hutan tanaman, pemanenan kayu, ramah lingkungan
I. PENDAHULUAN Kegiatan pemanenan kayu di hutan alam luar Jawa berkembang sangat cepat pada tahun 1970 dengan menggunakan alat berat modern yang semuanya diimpor dari luar negeri. Peraturan dan petunjuk teknis pemanenan hutan pada saat itu boleh dikatakan sangat minim. Baru pada tahun 1972 ditetapkan beberapa sistem silvikultur yang dapat diterapkan di hutan alam. Salah satu sistem silvikultur tersebut adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) (Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35, 1972). Pada tahun 1989 sistem silvikultur TPI disempurnakan pelaksanaannya (Keputusan Menteri Kehutanan No. 485, 1989) dan teknis pelaksanaannya diterjemahkan dalam Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) (Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564, 1989). TPTI tersebut disempurnakan pelaksanaannya pada tahun 1993 (Keputusan Ditektur Jenderal Pengusahaan Hutan No 151, 1993). Pada tahun 2005, sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif diperkenalkan sesuai dengan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK.226/VI-BPHA/2005. Untuk meningkatkan efisiensi pemanenan kayu baik di hutan alam maupun di hutan tanaman maka berbagai upaya perlu dilakukan agar pemanfaatan sumberdaya hutan menjadi optimal dan pemborosan sumberdaya dan gangguan lingkungan menjadi minimal. Dalam kegiatan pemanenan kayu, semua kayu yang ditebang seharusnya dapat dikeluarkan dari hutan untuk dimanfaatkan. Teknik penggunaan sumberdaya yang demikian akan meningkatkan efisiensi pemanenan dan akan menekan besarnya limbah pemanenan yang terjadi. Peningkatan efisiensi pemanenan kayu tersebut sangat dituntut dalam rangka penyediaan bahan baku industri kayu yang memadai secara kuantitas dan kualitas di satu pihak dan minimasi gangguan lingkungan yang terjadi di lain pihak. Dalam artikel ini diuraikan pemanenan kayu ramah lingkungan yang meliputi aspek teknik, kerusakan tegakan tinggal, keterbukaan tanah, produktivitas, biaya dan upaya peningkatan efisiensi pemanenan kayu pada kegiatan pembukaan wilayah hutan (PWH), penebangan, penyaradan, muat bongkar dan pemanenan kayu.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
41
II. PEMBUKAAN WILAYAH HUTAN A. Hutan Alam Dalam pelaksanaan PWH, sebagian dari kawasan hutan harus dibuka untuk dijadikan jalan, jembatan, kemah basis dan bengunan pendukung lainnya. Proses pembukaan dan pembersihan tersebut tentu mengakibatkan terjadinya pengurangan lahan hutan produktif, pengurangan produksi kayu, gangguan lingkungan (erosi tanah) dan sebagainya. Tanpa perencanaan dan praktik pelaksanaan PWH yang baik maka aspek negatif dari PWH akan signifikan pengaruhnya terhadap tingkat efisiensi pemanenan kayu. Dengan perencanaan dan praktik pelaksanaan PWH yang baik maka aspek negatif tersebut di atas akan tidak berarti dibandingkan dengan aspek positif berupa kelancaran dan peningkatan efisiensi dalam pelaksanaan pemanenan kayu. PWH yang baik mempunyai karakteristik berikut ini: (1) Pelaksanaan dan pembangunan dilakukan secara integral; (2) Kerapatan jalan yang optimal; (3) Jalan dapat difungsikan sepanjang tahun; (4) Seluruh kawasan hutan terlayani; (5) Pengelola PWH memperhatikan dampak lingkungan; (6) Bagian khusus yang menangani PWH di tiap perusahaan hutan tersedia; dan (7) PWH merupakan salah satu kunci terpenting untuk mencapai sukses dalam pengelolaan hutan. Kegiatan utama pada PWH adalah pembuatan jalan angkutan. Jalan angkutan dibuat dengan prinsip sependek mungkin dan menghindari tanjakan dan turunan yang berat (>12%), menyebarangi sungai besar, memotong alur air, daerah rawa dan daerah konservasi. Untuk jalan yang diperkeras, lebar untuk jalan ranting cukup 5-6 m sedangkan lebar jalan cabang dan jalan utama secara berurutan adalah 6-8 m dan 10 m. Pada jalan angkutan yang badan jalannya banyak mengandung tanah liat lebar jalan tersebut cukup 6-7 m untuk jalan ranting, 11 m untuk jalan cabang dan 15 m untuk jalan utama. Untuk jari-jari tikungan, panjangnya tergantung keadaan topografi dan jarak pandang serta kecepatan kendaraan. Di samping jalan angkutan, jalan sarad diperlukan untuk memindahkan kayu dari tempat pohon ditebang ke tempat pengumpulan sementara (TPn). Syarat yang diperlukan dalam pembuatan jalan sarad pada dasarnya sama dengan syarat yang diperlukan pada pembuatan jalan angkutan. Untuk membuat rencana jalan sarad maupun jalan angkutan dapat digunakan foto udara atau citra satelit serta peta topografi skala yang cukup besar, yaitu 1:5.000 dan apabila memungkinkan sebaiknya menggunkan peta skala 1:1.000. Dari peta tersebut dapat dibuat rencana secara rinci baik jalan angkutan maupun jalan sarad sehingga kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pembuatan jalan angkutan dan jalan sarad menjadi minimal. Tempat pengumpulan kayu di hutan ditetapkan pada lokasi yang dipilih sedemikian rupa sehingga di samping tidak terlalu luas juga bukaan lahan tidak banyak yang mengakibatkan sedimentasi pada saluran air. Lokasi yang dipilih harus relatif datar, terutama di punggung bukit, untuk memungkinkan dapat dilakukannya penyaradan ke arah punggung bukit (uphill logging). Pemotongan bukit dan penggalian tanah harus dihindari. Bentuk tempat pengumpulan kayu dan ukurannya memudahkan pengaturaan kayu bundar yang disarad kemudian di tumpuk di TPn yang selanjutnya akan dimuat ke atas truk. Lokasi yang ditetapkan menjadi tempat pengumpulan kayu harus dicantumkan dalam peta kerja dan diberi nomor sehingga memudahkan dalam melakukan pengawasan. Di daerah TPn penggenangan air diusahakan tidak terjadi.
42
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
PWH dapat menyebabkan kerusakan tegakan tinggal, pengurangan areal produktif dan gangguan lingkungan (erosi). Kegiatan penebangan dan penyaradan dapat menimbulkan keterbukaan tanah. Pada kelerengan 0–25% dan jumlah pohon yang ditebang per ha 0–4, 5–9, dan 10 pohon/ha atau lebih keterbukaan tanah secara berurutan bervariasi antara 5,4 – 13,8%, 13,4 – 22,5% dan antara 20,9 – 26,6%. Keterbukaan tanah pada kemiringan lapangan 26% atau lebih dengan jumlah pohon ditebang per ha 0 – 4, 5 – 9 dan 10 pohon/ha atau lebih secara berurutan bervariasi antara 7,6 – 13,80%, 11,9 – 19,7% dan antara 17,1 – 24,6% (Thaib, 1985). Makin besar jumlah pohon ditebang maka keterbukaan tanah makin besar demikian juga sebaliknya. Selain itu, kebijakan perusahaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses terjadinya keterbukaan tanah. Faktor kebijakan perusahaan antara lain dicerminkan dari jenis peralatan penyaradan yang digunakan. Keterbukaan tanah akibat pemanenan kayu secara ramah lingkungan adalah 4,13%. Penerapan pemanenan kayu secara ramah lingkungan tersebut dapat mengurangi keterbukaan tanah sebesar 2,2% (Suparna, 1998). Keterbukaan tanah akibat PWH tidak dapat dihindari karena untuk mengeluarkan kayu dari hutan maka perlu dibangun jalan angkutan dengan kerapatan tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah yang terjadi akibat kegiatan PWH adalah 7,20 m3/ha atau 3,65% terhadap potensi volume kayu per ha (Anonim, 1989). Pengaruh fisik yang paling nyata terhadap lahan hutan yang dikelola adalah adanya pengurangan luas areal berhutan karena adanya pembuatan jalan dalam rangka PWH. Telah diketahui juga bahwa kemiringan lapangan dan tipe angkutan yang digunakan merupakan dua faktor utama yang menentukan luas kawasan yang digunakan untuk jalan hutan. Dari berbagai hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa untuk daerah yang bertopografi berat dan menggunakan alat kabel layang (skyline), persentase luas jalan hanya 2% dari luas hutan sedangkan untuk daerah yang bertopografi lebih ringan dan alat kabel tinggi (highlead), persentase luas jalan sangat bervariasi dari 3 - 24%. Untuk kombinasi alat kabel tinggi dan traktor diperoleh angka 6% luas areal untuk jalan (Tinambunan, 1994). Rata-rata lebar jalan utama yang dibuat di beberapa perusahaan di Indonesia adalah 12 m sedangkan rata-rata lebar jalan cabang adalah 8 m. Rata-rata luas keterbukaan tegakan akibat pembuatan jalan dan tebang bayang berkisar antara 1 - 35% dengan rata-rata 5% (Dulsalam, 1998). Persentase luas keterbukaan tegakan akibat pembuatan jalan ini (5%) tidak jauh berbeda dengan persentase luas keterbukaan tegakan akibat pembuatan jalan di Amerika Serikat pada sistem kombinasi antara traktor dan kabel tinggi (6%). PWH dapat menimbulkan gangguan terhadap lingkungan tempat kegiatan berupa erosi tanah dan di luar tempat kegiatan berupa sedimentasi. Di sini dibicarakan hanya yang pertama. Di Indonesia perhatian penentu kebijakan maupun pelaksana pembangunan hutan terhadap dampak lingkungan dari kegiatan PWH belum mendapat perhatian yang memadai. Demikian juga penelitian dalam bidang tersebut masih jarang dan biasanya masih bersifat observasi awal yang mencakup gambaran umum keadaan jalan dan identifikasi faktor-faktor erosi yang ada. Penelitian awal demikian telah dilakukan pada beberapa HPH di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Riau dan beberapa Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di Jawa. Hasil penelitian yang terbatas tersebut menunjukkan bahwa semua jalan hutan di Jawa dan Luar Jawa mempunyai potensi tinggi dalam menimbulkan gangguan erosi tanah. Hal tersebut dalam jangka panjang akan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
43
mempengaruhi produktivitas lahan hutan yang akhirnya akan menurunkan hasil kayu per satuan luas hutan (Tinambunan, 1988, 1990a, 1990b, 1991a, 1991b). Upaya peningkatan efisiensi pemanenan kayu pada kegiatan PWH di hutan alam dapat dilakukan sebagai berikut: (1) Penentuan lebar tebang bayang yang optimal; (2) Dalam tebang bayang, pemilihan pohon yang ditebang harus secara selektif, yaitu pohon-pohon yang dapat menaungi sinar matahari untuk mencapai permukaan jalan; (3) Perencanaan pembuatan jalan yang baik. B. Hutan Tanaman Sebagai dasar kegiatan operasional pengusaha hutan tanaman adalah Rencana Karya Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (RKUPHHK-HT), yang merupakan rencana pengusahaan jangka panjang. Perkembangan dokumen perencanaan tersebut menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Karya Tahunan (RKT) perusahaan. RKT selanjutnya menjadi dasar legal di dalam melaksanakan seluruh kegiatan operasional hutan tanaman, khususnya kegiatan pemanenan dan penanaman. Kegiatan yang perlu mendapat perhatian khusus adalah penataan batas areal kerja dimana walaupun secara hukum pengusaha hutan tanaman telah memiliki Ijin Hak Pemanfaatan Hutan Tanaman dari Pemerintah, tetapi dalam kenyataan di lapangan areal yang menjadi konsesi tersebut sebagian dikuasai secara adat, kelompok atau individu oleh masyarakat. Untuk mewujudkan penataan batas areal kerja, perusahaan hutan tanaman dapat melaksanakan penataan batas melalui perjanjian kerja sama penggunaan lahan dengan masyarakat setempat. Selain itu, dapat dilakukan pula penataan batas secara internal dalam rangka penataan areal berupa pembuatan batas petak dan batas luar konsesi. Pembukaan wilayah hutan sebagai awal dari pembangunan hutan tanaman dengan kegiatan pokok penyiapan sarana prasarana dan pembagian unit-unit pengelolaan hutan. Prinsip utama kegiatan PWH adalah tersedianya akses untuk semua kegiatan pengelolaan hutan dengan baik dan efisien. Pembangunan sarana prasarana meliputi pembangunan jalan dan infrastruktur berupa bangunan seperti kantor, camp, persemaian, tempat pengumpulan/penimbunan kayu dan lain-lain. Selain pembangunan jalan untuk menunjang kegiatan operasional, di setiap distrik dibangun camp permanen beserta fasilitas pendukungnya seperti kantor distrik, perumahan karyawan, sarana ibadah, kesehatan, bengkel dan yang lainnya. Dengan adanya sarana prasarana tersebut, khususnya jalan, telah ikut membuka akses bagi masyarakat di wilayah-wilayah terpencil untuk berinteraksi dengan wilayah lainnya. Kegiatan PWH di hutan tanaman dilakukan bersamaan pada saat pembangunan hutan tanaman. Dampak negatif dari PWH di hutan tanaman ini akan pulih kembali seiring dengan berjalannya waktu
III. PENEBANGAN A. Hutan Alam Penebangan pohon biasanya menimbulkan kerusakan kayu yang ditebang dan kerusakan tegakan tinggal. Hal ini mudah dipahami karena penebangan pohon adalah kegiatan merobohkan
44
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
pohon dan kemudian memotong-motongnya menjadi bagian batang yang layak untuk dikeluarkan dari hutan ke tempat pengumpulan kayu. Penebangan dilakukan oleh satu regu tebang dan menggunakan alat penebangan. Penebangan sebaiknya dilakukan mengikuti prosedur, antara lain menyangkut penentuan arah rebah, pembuatan takik rebah dan takik balas. Kedalaman takik rebah berkisar antara 1/3 -1/4 diameter batang dengan sudut 45 derajat. Sedangkan takik balas dibuat dengan ketinggian sekitar 1/10 diameter batang di atas takik rebah. Berkaitan dengan cara penarikan kayu di pinggir jalan maka cara penebangan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu paralel, tegak lurus dan condong pada alur jalan. Berdasarkan alat yang digunakan penebangan dapat dilakukan dengan menggunakan kapak, gergaji tangan dan gergaji rantai (chainsaw). Dalam kegiatan penebangan tersebut masih dijumpai terjadinya limbah penebangan, yaitu berupa tunggak yang masih tinggi dan bagian cabang yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan. Produktivitas pemanenan kayu bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Produktivitas rata-rata penebangan kayu dengan gergaji rantai secara konvensional berkisar antara 8,25 – 49,96 m3/jam sedangkan produktivitas rata-rata penebangan kayu dengan gergaji rantai secara terkendali berkisar antara 25,2 – 42,16 m3/jam (Suhartana & Dulsalam, 1996; Idris & Suhartana, 1995; Dulsalam, 1995). Upaya untuk meningkatkan efisiensi pemanenan kayu pada kegiatan penebangan dapat dilakukan sebagai berikut: (1) Menebang pohon serendah mungkin; (2) Menebang pohon yang dekat dengan TPn; (3) Operator gergaji rantai berpedoman pada rencana pemanenan yang telah dibuat; (4) Kayu berbanir dan di atas cabang pertama dimanfaatkan secara maksimal; (5) Penebangan mempersiapkan jalur winching; (6) Pembagian batang dilakukan dengan cermat; (7) Arah rebah yang tepat; dan (8) Pengawasan yang teratur. B. Hutan Tanaman Penebangan di hutan tanaman biasanya dilakukan dengan sistem tebang habis, yaitu seluruh pohon harus ditebang hingga bersih tanpa memperhatikan bentuk dan kualitas termasuk jenis kayu yang tidak dapat diterima di pabrik kecuali pohon-pohon di lokasi yang menjadi larangan penebangan sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Menumbangkan pohon dengan cara mencabut atau mendorong menggunakan alat berat yang dapat merusakan fisik kayu atau struktur tanah tidak diperbolehkan. Penebangan dapat menggunakan chainsaw atau feller buncher. Untuk pohon mati yang berdiameter cukup besar sebaiknya penebangan tidak dilakukan dengan menggunakan chainsaw, tetapi menggunakan feller buncher atau excavator. Di hutan tanaman yang mempunyai ukuran kayu kecil, kegiatan penebangan sebaiknya menggunakan chainsaw yang berukuran kecil. Keuntungan penggunaan chainsaw yang berukuran kecil adalah sebagai berikut: (1) Menghemat tenaga dalam transportasi dan pengoperasiannya, (2) Memudahkan dalam membuat takik rebah dan takik balas, (3) Dapat menebang kayu dengan rendah tunggak, (4) Biaya pemilikan lebih rendah, (5) Biaya operasional relatif lebih murah, (6) Berpindah tempat lebih cepat, dan (7) Biaya pemeliharaan lebih rendah. Penebangan dilakukan sesuai rencana lajur tebangan pada perencanaan mikro, di mana lajur 1 dan 3 terlebih dahulu dilakukan penebangan, sedangkan lajur 2 dan 4 dibiarkan terlebih dahulu. Penebangan berselang seling tersebut sampai ke batas petak. Untuk pohon dengan diameter 20 cm Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
45
atau lebih penebangan dimulai dengan membuat arah rebah dan takik rebah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) Membuat arah rebah pohon yang tepat yaitu arah rebah ditujukan pada tempat-tempat yang seminimal mungkin merusak pohon (pecah, dan lainlain) dan searah dengan jalan sarad menuju TPn yang telah disiapkan, (2) Takik rebah dibuat serendah mungkin sehingga tunggul pohon hampir rata dengan tanah, (3) Jalan/jalur penyelamatan diri bagi regu penebang, (4) Tinggi tunggul hasil penebangan diusahakan serendah mungkin dan tidak boleh lebih dari 10 cm. Pemotongan ranting/ujung dilakukan untuk memudahkan penyaradan dan disesuaikan dengan kebutuhan pabrik dan pengembalian unsur hara ke tanah. Untuk menghindari tumpang tindih dan memudahkan pekerjaan selanjutnya maka pohon yang telah ditumbang harus secepatnya dibersihkan dari ranting dan ujung (tajuk), sedangkan untuk ranting dan ujung yang memenuhi kualitas kayu produksi harus dimanfaatkan. Cabang dan ranting bagian ujung pohon harus dipotong rata dengan batang utama, baik menggunakan parang atau chainsaw. Cabang dan ranting diameter < 6 cm yang tidak dapat dimanfaatkan sebagai kayu Bahan Baku Serpih (BBS), harus digunakan untuk pembuatan jalur sarad untuk tempat berpijaknya track excavator atau roda skidder. Pembagian Batang diperlukan untuk mempermudah penyaradan atau pengumpulan kayu. Untuk itu, kayu yang dipotong harus sesuai dengan ukuran dan kapasitas penyaradan. Pembagian batang yang dilakukan dengan cara mematahkan kayu menggunakan alat berat tidak diperbolehkan. Setiap pekerja dilengkapi dengan stik/tongkat yang sudah distandarkan untuk menyeragamkan panjang potongan kayu. Kayu yang pecah atau cabang harus dipotong sesuai dengan kualitas kayu dan ukuran yang ditentukan. Untuk mengefisienkan pemanfaatan kayu, pemotongan kayu diusahakan dari bagian tunggul/pangkal pohon ke arah ujung. Produktivitas penebangan dengan chainsaw merek yang sama di PT Inhutani II, Pulau laut sebesar 3,12 m3/jam (Dulsalam & Tinambunan, 2001) adalah lebih besar bila dibandingkan dengan produktivitas penebangan di PT MHP. Hal ini disebabkan antara lain perbedaan keadaan lapangan dan keterampilan tenaga kerja. Di PT Inhutani II, tenaga kerja relatif lebih terampil dan topografi lapangan datar. Dalam kegiatan penebangan di PT MHP masih dijumpai terjadinya limbah penebangan, yaitu berupa tunggak yang masih tinggi dan bagian cabang yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan. Penebangan pohon dapat dilakukan serendah mungkin bahkan apabila memungkinkan rata dengan tanah. Kegiatan penebangan ini banyak menyerap tenaga kerja karena satu regu tebang terdiri dari 6 – 8 orang. Dulsalam dan Tinambunan (2001) mengemukakan bahwa pendapatan rata-rata pekerja penebangan adalah Rp 835.000/orang/bulan. Dengan jumlah tenaga penebangan sebanyak 357 orang, maka pendapatan masyarakat dari penebangan adalah Rp 298.095.000/bulan (Rp 3.577.140.000). Uang sebesar ini cukup besar manfaatnya bagi masyarakat di sekitar hutan. Secara sosial, kegiatan penebangan pohon dapat meningkatkan kesempatan kerja (mendapatkan penghasilan) bagi masyarakat di sekitar hutan. Kegiatan penebangan dapat dikatakan tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan yang berarti. Pemadatan tanah dan pergeseran tanah dapat dikatakan tidak berarti. Gangguan lingkungan yang terjadi akibat penebangan pohon ini hanyalah adanya sisa-sisa batang dan ranting yang tidak dimanfaatkan. Batang dan ranting ini apabila dihancurkan justru menjadi
46
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
pupuk bagi tanaman berikutnya. Dampak lain yang terjadi adalah penurunan absorpsi karbon dan terganggunya tata air di sekitar hutan yang dipanen. Hal ini tidak dapat dihindari karena untuk mendapatkan manfaat dari hutan perlu pengorbanan tertentu pada lokasi hutan yang dipanen. Suhartana dan Sinaga ( 2003) menjelaskan bahwa penerapan tekenik penebangan ramah lingkungan dapat: 1) Meningkatkan produktivitas rata-rata penebangan dengan gergaji rantai sebesar 3,09 m3/jam, (2) Biaya rata-rata produksi penebangan dengan gergaji rantai naik sebesar Rp 155/m3, (3) Meningkatkan efisiensi rata-rata pemanfaatan kayu sebesar 7,4%, (4) Menurunkan tinggi tunggak rata-rata sebesar 11 cm, (5) Meningkatkan produktivitas rata-rata penebangan dengan timber harvester sebesar 2,505 m3/jam, (6) Menurunkan biaya rata-rata penebangan sebesar 1.639/m3, (7) Meningkatan efisiensi pemanfaatan kayu dan menurunkan tinggi tunggak rata-rata secara berurutan 7,3% dan 4 cm. Suhartana dan Sinaga (2004) melaporkan bahwa penebangan kayu dengan timber harvester memerlukan waktu tebang efektif rata-rata sebesar 0,025 jam atau 1 menit 30 detik. Waktu efektif ini terdiri atas waktu merobohkan, waktu mengupas kulit dan waktu pembagian batang menjadi sortimen kayu. Dalam pembagian batang ukuran sortimen kayu adalah 4 m. Volume kayu yang ditebang rata-rata adalah 0,692 m3/pohon. Dari data volume kayu yang ditebang dan waktu tebang, didapat produktivitas penebangan yang besarnya berkisar antara 23,886-36,214 m3/jam dengan rata-rata 28,839 m3/jam. Sementara itu, teknik penebagan ramah lingkungan dengan timber harvester diperoleh volume kayu yang ditebang rata-rata sebesar 0,729 m3/pohon dengan waktu tebang efektif rata-rata sebesar 0,024 jam atau 1 menit 26 detik. Produktivitas penebangan berkisar antara 26,323 - 36,647 m3/jam dengan rata-rata 31,344 m3/jam. Produktivitas penebangan dengan teknik ramah lingkungan lebih besar dari pada produktivitas penebangan secara konvensional, yaitu 31,344 m3/jam dibanding 28,839 m3/jam. Biaya rata-rata penebangan dengan timber harvester untuk teknik konvensional adalah Rp 22.503/jam sedangkan untuk teknik ramah lingkungan adalah Rp 20.864/m3. Biaya penebangan dengan teknik ramah lingkungan lebih murah dengan selisih Rp 1.638/m3 dibanding dengan penebangan dengan teknik konvensional.
IV. PENYARADAN A. Hutan Alam Penyaradan kayu merupakan kegiatan pemindahan kayu dari tempat di mana pohon ditebang dan telah mengalami pemotongan batang tingkat pertama ke tempat pengumpulan kayu melalui jalan sarad yang tidak dipersiapkan secara maksimal. Penyaradan kayu dilakukan oleh satu regu penyarad dengan menggunakan alat penyarad untuk penyaradan kayu. Penyaradan secara manual dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia dan tenaga hewan (gajah, kerbau, sapi atau kuda). Penyaradan secara mekanis dilakukan dengan menggunakan alat “feller buncher”, “forwader”, bulldozer, trakor berban karet (wheel skidder) dan yarder (sistem kabel). Cara penyaradan yang dikenal sampai saat ini adalah: (1) pemikulan dan penarikan kayu oleh manusia; (2) penyaradan dengan bantuan gaya penarik binatang (sapi, gajah, kuda dan kerbau); (3) penyaradan dengan gaya berat gravitasi; (4) penyaradan dengan traktor; (5) penyaradan dengan kabel; (6) penyaradan dengan balon; dan (7) penyaradan dengan pesawat
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
47
udara (Elias, 1998). Penyaradan dengan traktor dan kabel pada saat ini banyak digunakan. Pada penyaradan dengan traktor, kayu yang disarad selalu menyentuh tanah. Traktor yang dapat digunakan untuk penyaradan kayu ada beberapa jenis seperti traktor pemanenan hutan berban rantai baja, traktor pemanenan hutan berban karet (wheel skidder) dan traktor pertanian (agricultural tractor). Juta (1954) menyatakan bahwa penyaradan dengan traktor dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran dan jenis traktor yang digunakan, daya tarik pada kait, mesin dan alat bantu yang digunakan, jumlah kayu yang disarad dan keterampilan operator yang menjalankan. Suparto (1979) menyatakan bahwa keuntungan penggunaan traktor sebagai alat sarad adalah dapat bergerak leluasa di antara pohon inti pada sistem tebang pilih, dapat digunakan dengan aman sampai tingkat kelerengan 40% dan dapat digunakan pada jarak yang cukup aman. Diapodiningrat (1980) menambahkan bahwa kegiatan penyaradan kayu juga dipengaruhi oleh jarak sarad, jumlah muatan, topografi, cuaca dan kondisi tanah. Pennyaradan kayu dengan sistem kabel layang merupakan salah satu cara pengeluran kayu yang ramah lingkungan. Waktu pengeluran kayu tidak termasuk waktu pasang dan bongkar alat dengan sistem kabel layang P3HH 20 berkisar antara 0,028 - 0,212 jam/rit dengan rata-rata 0,091 jam/rit (5,5 menit/rit). Produktivitas pengeluaran kayu tanpa memperhitungkan waktu pasang dan bongkar alat dengan sistem tersebut berkisar antara 0,575 - 5,058 m3/jam dengan rata-rata 1,856 m3/jam. Rata-rata produktuvitas pengeluaran kayu dengan memperhitungkan semua unsur kerja adalah 1,204 m3/jam (Dulsalam dkk., 1997). Pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang Koller 300 telah dicoba di PT Sumalindo Lestari Jaya di Kalimantan Timur. Dulsalam dan Tinambunan (1998) menyimpulkan bahwa produktivitas alat sistem kabel layang Koller 300 (tidak termasuk waktu persiapan dan bongkar alat) per jalur kabel berkisar antara 1,040 - 2,980 m3/jam dengan rata-rata 2,190 m3/jam. Sedangkan produktivitas ekstraksi kayu termasuk waktu persiapan dan bongkar alat berkisar antara 1,460 - 1,850 m3/jam dengan rata-rata 1,710 m3/jam. Biaya rata-rata pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang Koller 300 adalah Rp 33.322/m3 (Dulsalam & Tinambunan, 1998). Alat yang dikaitkan dengan sistem pemanenan adalah alat penyaradan. Apabila alat penyaradannya dengan kabel, maka sistem pemanenannya disebut sistem kabel. Apabila penyaradannya menggunakan trakor maka sistem pemanenannya disebut sistem trakor. Apabila penyaradannya menggunakan kuda-kuda maka sistem pemanenannya disebut sistem kuda-kuda. Pemilihan sistem penyaradan tergantung pada kondisi hutan seperti kemiringan, ukuran sortimen dan jarak sarad (Suparto, 1979). Kegiatan penyaradan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: jarak sarad, jumlah muatan, topografi, cuaca, kondisi tanah dan keterampilan pekerja (Dipodiningrat, 1980). Produktivitas penyaradan terkendali rata-rata dengan traktor penyarad adalah 25,30 m3/jam dengan biaya rata-rata Rp 9.150/m3 sedangkan produktivitas penyaradan secara konvensional rata-rata adalah 39,84 m3/jam dengan biaya rata-rata Rp 8.000/ m3 (Suhartana dan Dulsalam, 2000). Jafar (1984) dalam Adams dan Andrus (1991) menyatakan bahwa pada kelerengan lebih besar 30%, penyaradan kayu di mana kayu yang disarad menyentuh tanah tidak diperbolehkan karena alasan kerusakan lingkungan. Topografi lapangan sangat menentukan pemilihan sistem penyaradan. Staaf dan Wiksten (1984) mengklasifikasikan kemiringan lapangan menjadi lima
48
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
bagian sebagai berikut: (1) rata dan mulus atau sangat baik (0 - 9%); (2) bergelombang dan mulus atau baik (10 - 20%); (3) Bergelombang atau sedang (20 - 33%); (4) Bergelombang tidak beraturan atau jelek (33 - 50%); dan (5) Sangat tidak beraturan atau sangat jelek (> 50%). Jenis traktor pemanenan hutan berban rantai baja dan traktor pemanenan hutan berban karet telah banyak digunakan untuk penyaradan kayu. Traktor pertanian sebenarnya dapat digunakan untuk penyaradan kayu. Namun, tanpa adanya alat bantu, traktor pertanian tersebut mempunyai produktivitas penyaradan kayu yang rendah. Wellburn (1981) menyatakan bahwa penyaradan kayu dengan sistem traktor lebih murah dibanding dengan penyaradan kayu dengan sistem kabel. Lebih lanjut dinyatakan bahwa traktor banyak dimiliki oleh petani dan pemilik lahan kecil. Keuntungan penggunaan traktor berban karet untuk penyaradan kayu adalah kecepatan dan mobilitas yang relatif tinggi (Stenzel et al., 1985). Haryanto (1986) mengemukakan bahwa traktor berban karet di samping mempunyai kecepatan yang relatif tinggi tetapi juga dapat digunakan untuk jarak sarad yang lebih jauh. Lebih lanjut dinyatakan bahwa jenis traktor ini dirancang hanya untuk pekerjaan-pekerjaan yang ringan saja. Sedangkan kelemahannya, Ibotson (1991) menyatakan bahwa traktor berban karet tidak cocok digunkan pada daerah yang mempunyai kelerengan lapangan dan curah hujan tinggi. Dalam memilih cara penyaradan yang paling baik perlu memperhatikan beberapa faktor sebagai berikut: (1) topografi; (2) luas wilayah hutan yang dipanen; (3) geologi; (4) tanah; (5) iklim; (6) jumlah kayu yang akan disarad; (7) rencana penebangan; (8) jalan angkutan yang ada; (9) jarak sarad; (10) adanya tenaga kerja; (11) pengalaman tentang penyaradan kayu; (12) kemampuan penyesuaian alat sarad; (13) keadaan sosial ekonomi masyarakat; dan (14) modal yang tersedia. Brown (1958) menambahkan bahwa pertimbangan silvikultur, ukuran dan sifat kayu perlu dipertimbangkan dalam pemilihan sistem penyaradan. Wackerman (1949) menyatakan bahwa penyaradan ke arah bukit mengakibatkan kemampuan alat sarad untuk menempuh jarak sarad lebih pendek dan volume kayu yang disarad lebih kecil dari pada penyaradan di daerah datar. Penyaradan kayu dengan tenaga binatang yang sampai saat ini masih digunakan ialah penyaradan dengan sapi di hutan jati di Pulau Jawa, penyaradan dengan kuda di Amerika Serikat, penyaradan dengan kerbau di Philipina dan penyaradan dengan gajah di Myanmar, Thailand dan India. Pada penyaradan dengan hewan ini biasanya kayu (muatan) disarad di atas tanah. Juta (1954) menyebutkan bahwa keuntungan penyaradan di atas tanah adalah kayu yang disarad mudah diputarbalikkan dan memerlukan waktu yang pendek untuk mengaitkan muatan sedang kerugiannya adalah gesekan gelincir yang besar, memasukkan ujung batang dalam tanah dan memerlukan gaya tarik yang besar. Kegiatan penyaradan dipengaruhi oleh beberapa faktor, Brown (1949) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sistem penyaradan adalah ukuran dan sifat kayu, topografi, pertimbangan silvikultur, pertimbangan iklim dan jarak ke tempat pengumpulan sementara. Disamping itu volume kayu yang disarad dan cara penyaradan dapat mempengaruhi produktivitas penyaradan. Dulsalam dan Sukanda (1989) menyatakan bahwa produktivitas rata-rata traktor pemanenan hutan berban rantai baja Merek Catterpillar Model D7G adalah 92,09 m3.hm/jam. Suhartana dan Dulsalam (2000) menyatakan bahwa produktivitas rata-rata traktor merek Caterpillar model D7G Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
49
adalah 25,30 m3/jam untuk penyaradan secara ramah lingkungan dan 39,84 m3/jam untuk penyaradan secara konvensional. Grulois (2000) menyatakan bahwa produktivitas penyaradan kayu dengan traktor berban rantai baja pada sistem ramah lingkungan dan konvensional secara berurutan adalah 22 m3/jam (jaraksarad rata-rata 260 m) dan 18 m3/jam (jarak sarad rata-rata 530 m). Holmes et al. (1999) mengemukakan bahwa produktivitas rata-rata penyaradan kayu dengan traktor berban rantai baja merek Caterpillar model D6 SR pada sistem terkendali dan sistem konvensional secara berurutan adalah 22,39 m3/jam dan 31,66 m3/jam. Produktivitas rata-rata penyaradan kayu dengan traktor berban karet (wheel skidder) dengan “winch” dan dengan penjepit (grapple) merek Caterpillar model 518 secara berurutan adalah 22,61 m3/jam dan 45,60 m3/jam (Anonim, 1991). Penyaradan pada sistem tebang habis dapat menimbulkan erosi dan pemadatan tanah. Erosi di daerah hutan antara lain terjadi akibat pembangunan jalan dan kegiatan penyaradan kayu. Bagian yang peka terhadap erosi adalah daerah pembukaan tanah, penimbunan tanah tempat pengumpulan kayu, mahkota jalan, saluran drainase dan tempat pengumpulan kayu. Pada jalan sarad, Trimble dan Weitzmen (1953) dalam Tinambunan (1991c) menyimpulkan bahwa jalan sarad menimbulkan erosi yang serius. Tingkat erosi pada jalan sarad ini dipengaruhi oleh faktor kemiringan tanah, panjang lereng, intensitas pemakaian, vegetasi dan iklim. Lebih lanjut disarankan agar lokasi, konstruksi, pemeliharaan dan penggunaan jalan sarad dirancang dengan baik untuk mengurangi gangguan lingkungan. Masalah pemadatan tanah sangat penting peranannya dalam pengelolaan hutan oleh karena hal itu dapat mengurangi atau menghambat sama sekali pertumbuhan vegetasi. Di luar jalan sarad mengalami penurunan permeabilitas 35%, kenaikan berat jenis 2,4% dan penurunan ruang makrokospik 10%. Pada jalan sarad dengan traktor, penurunan permeabilitas 93%, kenaikan berat jenis 35% dan penurunan ruang makrokospik 53% (Tinambunan, 1991). Lebar jalan sarad pada penyaradan kayu dengan traktor pertanian adalah lebih kecil dibanding lebar jalan sarad pada penyaradan kayu dengan traktor berban rantai baja. Hal ini mudah dipahami karena lebar traktor pertanian hanya 2 m sedangkan lebar traktor berban rantai baja berikut pisaunya dapat mencapai 4 m. Pada kerapatan jalan yang sama, kerusakan tanah yang disebabkan oleh traktor pertanian jauh lebih kecil dibanding dengan kerusakan tanah yang disebabkan oleh traktor berban rantai baja. Upaya peningkatan efisiensi pemanenan kayu pada kegiatan penyaradan dapat dilakukan sebagai berikut: (1) Jalan sarad direncanakan dengan baik; (2) Adanya kerjasama yang baik antara regu penebang dan regu penyarad; (3) Keterampilan operator traktor ditingkatkan; (4) Operator traktor membuat jalan sarad; (5) Traktor hanya beroperasi di atas jalan sarad; (6) Operator menggunakan jalur winching yang telah dipersiapkan; (7) Penyaradan diusahakan tidak melintasi sungai/alur; (8) Pada waktu menyarad, bagian depan kayu yang disarad terangkat; (9) Tenaga motor alat sarad yang digunakan maksimal 180 HP; dan (10) Pengawasan pada kegiatan penyaradan dilakukan secara teratur. B. Hutan Tanaman Penyaradan kayu ramah lingkungan di hutn tanaman dapat dilakukan seperti diuraikan berikut ini. Kayu yang telah ditumpuk pada penyaradan potong pendek di dalam lokasi penebangan harus secepatnya ditarik keluar dari lokasi penebangan, paling lambat 2 minggu dari
50
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
waktu penebangan. Pada hutan tanaman dapat mnggunakan wheel skidder atau forwarder atau sistem kabel layang untuk penyaradan. Pada penyaradan dengan menggunakan wheel skidder atau forwarder, penyaradan harus melalui jalur sarad yang telah diberi sisa-sisa kayu/ranting dan cabang. Skidder menggendong muatannya ketika sedang melakukan penyaradan. Produktivitas rata-rata penyaradan dengan skidder adalah 34,5 m3/jam pada kelerengan lapangan 0-15% dan 31,50 m3/jam pada kelerengen lapangan 15-25%. Rata-rata biaya penyaradan adalah Rp 23.729/m3 pada kelerengan lapangan 0-15% dan Rp 26.000/m3 pada kelerengan lapangan 15-25% (Dulsalam dkk., 2009). Traktor pertanian yang dilengkapi alat bantu dapat digunakan untuk penyaradan kayu. Jumlah traktor pertanian beroda empat pada tahun 1996 adalah 5.384 buah dengan pertumbuhan 2% per tahun (BPS dalam Gultom dan Handaka, 1998). Penggunaan traktor pertanian untuk penyaradan kayu adalah cukup beralasan jika ukuran kayu yang disarad relatif kecil dan topografi lapangan relatif datar (Dykstra & Heinrich, 1996). Produktivitas traktor pertanian model D-110 bertenaga motor 65 HP yang dilengkapi dengan winch dan gandengan pada jarak sarad sekitar 20 - 70 m dengan kelerengan lapangan sekitar 15% berkisar antara 8,23 - 9,27 m3/jam atau 1,854 4,761 m3.hm/jam (Rodrigues, 1986). Produktivitas pengeluaran kayu dengan traktor pertanian buatan Volvo BM atau Valmet Model 505-4 bermesin diesel bertenaga motor 65 HP yang dilengkapi dengan alat bantu untuk muat dan semi gandengan pada jarak sarad rata-rata 400 m adalah 3,10 m3/jam (12,40 m3.hm/jam) untuk kayu pertukangan dan 2,50 m3 /jam (10 m3.hm/jam) untuk kayu bakar (Anonim, 1988). Produktivitas traktor pertanian Buatan Ford Model 5610 bermesin diesel bertenaga motor 65 HP dengan alat bantu sederhana berkisar antara 0,062 - 6,080 m3.hm/jam dengan rata-rata 2,075 m3.hm/jam (Dulsalam dan Sukadaryati, 2002). Pada jarak sarad rata-rata 1 hm maka produktivitas traktor Ford tersebut berkisar antara 0.062 m3 - 6,080 m3/jam dengan rata-rata 2,075 m3/jam. Abeli dan Meiludie (1991) menyebutkan bahwa produktivitas ratarata penyaradan kayu dengan traktor pertanian merek Ford model 6600 pada jarak sarad rata-rata 100, 151 dan 198 m secara berurutan adalah 8,3 m3/jam, 5,0 m3/jam dan 5,5 m3/jam (8,30 m3.hm/jam, 7,55 m3.hm/jam dan 10,89 m3.hm/jam). Lebih lanjut dinyatakan bahwa produktivitas rata-rata penyaradan kayu dengan traktor pertanian merek yang sama model County 754 pada jarak sarad rata-rata 64 m adalah 8,5 m3/jam atau 5,44 m3.hm/jam. Biaya traktor pertanian model D-110 bertenaga motor 65 HP yang dilengkapi dengan winch dan gandengan pada jarak sarad sekitar 20 - 70 m dengan kelerengan lapangan sekitar 15% adalah USD 0,92/ m3 (Rodrigues, 1986). Biaya pengeluaran kayu dengan traktor pertanian buatan Volvo BM atau Valmet Model 505-4 bermesin disel bertenaga motor 65 HP yang dilengkapi dengan alat bantu untuk muat dan semi gandengan adalah USD 4,43/m3 untuk kayu pertukangan dan 5,49/m3 untuk kayu bakar (Anonim, 1988). Biaya rata-rata traktor pertanian Buatan Ford Model 5610 bermesin disel bertenaga motor 65 HP dengan alat bantu sederhana adalah Rp 55.777/m3.hm (Dulsalam dan Sukadaryati, 2002). Pada jarak sarad rata-rata 1 hm maka biaya rata-rata traktor Ford tersebut adalah Rp 55.777/m3. Pengeluran kayu di hutan tanaman dapat dilakukan dengan sistem kabel layang. Produktivitas pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang P3HH24 berkisar antara 1,527 – 5,656 m3/jam dengan rata-rata 2,519 m3/jam. Produktivitas tersebut masih dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan efektivitas penggunaan waktu kerja antara lain dengan mempercepat
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
51
waktu persiapan. Produktivitas sistem kabel layang P3HH24 lebih rendah dari pada produktivitas kabel layang Isuzu 240, yaitu secara berurutan 2,519 m3/jam dibanding 21,060 m3/jam. Hal ini disebabkan tenaga motor pada sistem kabel layang P3HH24 jauh lebih kecil dibanding tenaga motor sistem kabel layang Isuzu 240, yaitu secara berurutan 24 tenaga kuda dibanding 240 tenaga kuda. Biaya rata-rata pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang P3HH20 yang telah disempurnakan adalah Rp 24.963/m3 (Dulsalam dkk., 2002). Heinrich (1987) menyatakan bahwa di hutan tanaman di daerah pegunungan dengan kayu yang berukuran besar dan jaringan jalan rendah, sistem kabel layang secara tradisional mungkin dapat menjadi cara yang cocok untuk pemanenan kayu, baik secara tebang pilih maupun tebang jalur. Lebih lanjut dilaporkan bahwa sistem kabel layang di Bhutan dapat mengeluarkan kayu 20 25 m3 per hari. Apabila waktu kerja 8 jam per hari maka produktivitas sistem kabel layang yang berkekuatan sekitar 80 tenaga kuda di Bhutan tersebut berkisar antara 2,500 - 3,125 m3/jam. Dibandingkan dengan produktivitas rata-rata sistem kabel layang di Bhutan, produktivitas kabel layang yang telah diuji coba dengan kekuatan tenaga tiga kali lebih kecil tidak jauh berbeda yaitu secara berurutan 2,519 m3/jam dibanding 2,500 - 3,125 m3/jam. Hal ini mengindikasikan sistem kabel layang P3HH24 masih lebih baik dibandingkan dengan sistem kabel layang yang ada di hutan. Produkstivitas penyaradan kayu dengan gajah tanpa alat bantu di Riau berkisar antara 0,969 - 4,132 m3.hm/jam dengan rata-rata 1,972 m3-hm/jam sedangkan produktivitas tersebut dengan alat bantu berkisar antara 1,260 - 5,112 m3-hm/jam dengan rata-rata 3,099 m3-hm/jam. Biaya penyaradan kayu dengan gajah tanpa alat bantu berkisar antara adalah Rp 1.334,30 - Rp 5.732,41/ m3.hm dengan rata-rata Rp 3.232,21/m3-hm sedangkan biaya penyaradan kayu dengan gajah dengan alat bantu berkisar antara Rp 1.159 - Rp 4.702,44/m3.hm dengan rata-rata Rp2.201/m3-hm (Dulsalam dkk., 1998). Penyaradan kayu dengan kerbau per rit memerlukan waktu berkisar antara 0,16-0,69 jam dengan rata-rata 0,28 jam. Diameter kayu yang disarad berkisar antara 11 - 19 cm dengan rata-rata 13 cm. Panjang kayu yang disarad berkisar antara 4,10-20,50 m dengan rata-rata 16,27 m. Volume kayu yang disarad berkisar antara 0,122 - 0,464 m 3/rit dengan rata-rata 0,243 m3/rit. Jumlah batang yang disarad berkisar antara 1-5 batang/rit dengan rata-rata 3,97 batang/rit. Produktivitas penyaradan kayu berkisar antara 0,287-1,335 m3.hm/jam dengan rata-rata 0,821 m3.hm/jam. Biaya rata-rata penyaradan kayu dengan kerbau berkisar antara Rp 6.299-Rp 29.293/m3 dengan rata-rata Rp 11.581/m 3.hm (Anonim, 2001).
V. MUAT BONGKAR DAN PENGANGKUTAN A. Hutan Alam Kegiatan muat bongkar dilakukan secara manual dengan tenaga manusia dan secara mekanis dengan menggunakan traktor pemuat kayu. Pemuatan kayu secara manual telah diteliti pada tahun 1999 dengan hasil sebagai berikut: (1) produktivitas pemuatan kayu berkisar antara 2,32 - 6,38 m3/jam dengan rata-rata 3,83 m3/jam, jarak pemuatan kayu berkisar antara 15 - 35 m, (3) biaya pemuatan berkisar antara Rp 1.990 - Rp 4.310/m3 dengan rata-rata Rp 3.235/m
52
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Produktivitas traktor pemuat pada pemuatan secara mekanis tersebut adalah 36 m3/jam dengan biaya Rp 7.620/m3. (Dulsalam dan Tinambunan, 2001). Untuk kegiatan pengangkutan kayu digunakan truk angkutan dengan berbagai kapasitas, yaitu berkisar antara 15 - 40 ton/rit. Kegiatan pengangkutan kayu di hutan tanaman tersebut belum efisien. Untuk itu efisiensi pengangkutan kayu di hutan tanaman perlu ditingkatkan. Upaya peningkatan efisiensi pemanenan kayu pada kegiatan pengangkutan dapat dilakukan sebagai berikut: (1) Pemuatan dan pembongkaran muatan harus dilakukan secara hati-hati agar kayu yang dimuat atau dibongkar tidak rusak; (2) Peningkatan keterampilan pengemudi; (3) Kayu yang telah dimuat di atas truk harus dalam posisi yang mantap sehingga kayu-kayu tersebut tidak mudah jatuh pada waktu truk berjalan; (4) Panjang dan volume kayu yang diangkut disesuaikan dengan panjang dan kapasitas truk angkutan; dan (5) Pengawasan dilakukan secara terus menerus. B. Hutan Tanaman Pemuatan kayu dilakukan seperti diuraikan berikut ini. Kayu yang dimuat dilarang tercampur dengan barang yang bukan merupakan satu kategori (tanah, pasir, paku, tali dan material lain), kayu terbakar, afkir dan kayu yang tidak diterima oleh pabrik. Pemuatan kayu ke sampan besi atau truk harus tersusun rapi dan diikat supaya tidak tumpah atau jatuh di perjalanan. Produktivitas pemuatan kayu rata-rata adalah 44 m3/jam. Biaya rata-rata pemuatan kayu adalah Rp 9.312/m3 (Dulsalam dkk., 2009). Pengngkutan kayu dilakukan seperti diuraikan berikut ini. Pengangkutan kayu dilakukan melalui jalan darat dan air sesuai dengan jenis dan kapasitas alat angkut yang ditentukan oleh peraturan perundangan yang berlaku. Setiap pengangkutan kayu wajib disertai dengan dokumen angkutan kayu yang sah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dokumen yang sah untuk kayu bahan baku serpih adalah Faktur dan surat keterangan sah hasil hutan (SKSHH) yang pengadaannya dilakukan oleh tata usaha kayu (TUK). Isi dokumen harus sesuai dengan fisik kayu yang diangkut. Produktivitas pengangkutan arata-rata adalah 18,5 m3/jam pada jarak rata-rata 26 km atau 518 m3.km/jam dengan biaya pengankutan rata-rata sebesar Rp 1.054/m3.km (Dulsalam dkk., 2009).
VI. EFISIENSI PEMANENAN KAYU RAMAH LINGKUNGAN A. Hutan Alam Efisiensi pemungutan kayu bebas cabang, sampai diameter minimal 30 cm dan 10 cm pada pemungutan kayu yang disempurnakan di hutan lahan kering disajikan dalam Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat bahwa rata-rata efisiensi pemungutan kayu bebas cabang, kayu sampai dengan batas diameter minimal 30 cm dan kayu sampai batas diameter minimal 10 cm secara berurutan adalah 83%, 70% dan 68%. Rata-rata tingkat efisiensi pemungutan kayu yang telah disempurnakan lebih tinggi dari pada rata-rata tingkat efisiensi pemungutan kayu secara konvensional, yaitu 83% dibanding 77%. Dengan perbaikan teknik pemungutan terjadi peningkatan efisiensi sebesar 7%. Volume kayu per batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan berkisar antara 6 - 16 m3/pohon dengan rata-rata 10 m3/pohon. Kayu yang diselamatkan dengan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
53
adanya perbaikan teknik pemungutan adalah 0,7 m3/pohon. Apabila dibandingkan dengan produksi aktual maka perbaikan teknik pemungutan tersebut dapat meningkatkan produksi sebesar 11%. Dengan asumsi bahwa produksi kayu dari hutan alam per tahun adalah 15 juta m3 per tahun maka perbaikan teknik pemungutan tersebut dapat meningkatkan produksi kayu sebesar 1,65 juta m3 per tahun. Jika besarnya Dana Reboisasi (DR) dan PSDH adalah Rp 150.000/m3 maka negara akan mendapat dana sebesar Rp 247,5 milyard per tahun. Dari tabel 1 juga dapat dilihat bahwa limbah yang terjadi pada pemungutan kayu bebas cabang, kayu sampai daiameter minimal 30 cm dan kayu sampai diameter 10 cm secara berurutan adalah 17%, 30% dan 32%. Apabila dibandingkan dengan produksi aktual, maka limbah yang terjadi pada pemanfaatan kayu bebas cabang adalah sebesar 20%. Limbah pemungutan kayu tersebut sangat potensial untuk dimanfaatkan. Tabel 1. Efisiensi pemungutan kayu bebas cabang, sampai diameter minimal 30 cm dan 10 cm pada pemungutan kayu yang ramah lingkungan di hutan lahan kering
No. Tahun penelitian 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
A (1993) B (1995) C (1996) D (1985) E (1988) F (1996) G (1997) Jumlah Rata-rata
Efisiensi pemungutan Bebas I t 30 I t 10 cabang 75 70 68 86 97 80 83 80 80 581 70 68 83 70 68
Limbah pemungutan Bebas I t 30 I t 10 cabang 25 30 32 14 3 20 17 20 20 99 30 32 17 30 32
Keterangan: A = Dulsalam (!993); B = Idris dan Suhartana (1995); C = Suhartana dan Dulsalam (1996); D = Simarmata (1985); E = Dulsalam (1988); F = Anonimus (1995); dan G = Anonimus (1997)
Efisiensi pemanenan kayu di hutan rawa lebih tinggi bila dibandingkan dengan efisiensi pemanenan kayu di hutan lahan kering. Efisiensi pemungutan kayu (bebas cabang) yang telah disempurnakan di hutan rawa disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Efisiensi pemanenan kayu (bebas cabang) yang ramah lingkungan di hutan rawa No. Hasil penelitian 1. 2.
H (1985) I (1997) Jumlah Rata-rata
Jumlah contoh 184 343 527 262,5
Efisiensi pemungutan (%) 83 89 172 86
Keterangan: H = Simarmata & Dulsalam (1985); I = Anonim (1997)
54
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Limbah pemungutan (%) 17 11 28 14
Kegiatan penebangan dan penyaradan di hutan alam dengan sistem tebang pilih dapat menyebabkan kerusakan tegakan tinggal. Semakin tinggi tingkat kerapatan tegakan semakin tinggi pula tingkat kerusakan tegakan tinggal, demikian juga sebaliknya. Berikut ini diuraikan kerusakan tegakan tinggal pada pemanenan kayu secara konvensional dan pemanenan kayu secra ramah lingkungan. Pada pelaksanaan penebangan dan penyaradan yang dilakukan secra konvensional sesuai kebiasaan mereka, yaitu sebelum penebangan tidak dilakukan penghilangan banir, jalan sarad tidak dibuat sebelumnya, pembuatan takik rebah dan takik balas belum dilakukan sebagaimana mestinya, kerusakan tegakan tinggal rata-rata berkisar antara 11,75 - 20,20% (Idris & Suhartana, 1997; Suhartana, 1997; Sukadaryati & Dulsalam, 2002). Faktor dominan yang mempengaruhi terjadinya kerusakan tegakan tinggal adalah jumlah pohon ditebang, kerapatan tegakan dan kemiringan lapangan. Makin tinggi tingkat kerapatan tegakan makin tinggi tingkat kerusakan tegakan tinggal yang terjadi (Dulsalam et al., 1989). Jumlah pohon ditebang per satuan luas dan kemiringan lapangan berpengaruh sangat nyata terhadap kerusakan tegakan tinggal (Suhartana & Dulsalam, 1996). Pelaksanaan pemanenan kayu ramah lingkungan dapat dicapai apabila kegiatan penebangan dan penyaradan dilakukan dengan cara: membuat perencanaan jalan sarad berdasarkan topografi dan lokasi penyebaran pohon dengan tanda-tanda yang jelas (cat kuning) di lapangan; jalan sarad dibuat sependek mungkin dan menghindari rusaknya pohon inti dan pohon induk serta tegakan tinggal yang rapat; melakukan pembersihan semak belukar di sekitar pohon yang akan ditebang; menetapkan arah rebah pohon sehingga membentuk sudut lancip dengan arah penyaradan yang akan dilakukan; menghindari jatuhnya pohon ke arah pohon inti dan pohon induk serta lereng bawah/jurang; melakukan penghilangan banir pada pohon tebang yang berbanir; membuat alas takik rebah dan takik balas serendah mungkin (r 54 cm dari permukaan tanah); pada waktu penyaradan dilakukan bagian depan kayu yang disarad terangkat dari permukaan tanah dengan bantuan tenaga dari traktor; traktor sarad tidak membuat gerakan membelok yang tajam dan mendadak yang akan mengakibatkan kayu yang disarad menyapu kiri-kanan tegakan tinggal; dilakukan teknik “winching” bila trkator sarad tidak kuat menyarad kayu pada arah mendaki, yaitu traktor tetap bergerak maju dengan mengulur kabel sehingga kayu yang disarad tidak bergerak untuk selanjutnya traktor sarad berhenti/tidak bergerak sedangkan kabel sarad digulung dengan tromol sehingga kayu yang disarad dapat ditarik; traktor sarad pada waktu menuruni lereng bergerak membentuk sudut lancip dengan arah lurus menurunnya lereng. Apabila kegiatan penebangan dan penyaradan dilakukan secara ramah lingkungan maka kerusakan tegakan tinggal rata-rata yang terjadi berkisar antara 7,05 - 11,30% (Idris & Suhartana, 1997; Suhartana, 1993, 1997, 2001; Suhartana & Dulsalam, 2000; Sukadaryati & Dulsalam, 2001). Teknik pemanenan kayu ramah lingkungan dapat mengurangi kerusakan tegakan tinggal rata-rata berkisar antara 4 - 9%. Jumlah kerusakan tersebut cukup berarti bagi potensi tegakan masa depan. Apabila potensi hutan diperkirakan 50 m 3/ha maka teknik pemanenan kayu ramah lingkungan dapat menyelamatkan potensi pohon masa depan sebesar 2 - 4,5 m3/ha. Untuk mengurangi kerusakan tegakan tinggal dapat dilakukan dengan jalan membatasi jumlah pohon yang ditebang dan meningkatkan tingkat kehati-hatian dalam pelaksanaan penebangan dan penyaradan. Kegiatan penebangan dan penyaradan perlu diperbaiki dengan cara sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
55
membatasi jumlah pohon yang ditebang yaitu tidak boleh menebang lebih dari 9 pohon per ha. Perbaikan manajemen harus direncanakan terutama pada kegiatan penebangan dan penyaradan. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kegiatan penebangan dan penyaradan paling banyak menimbulkan kerusakan tegakan tinggal. Keterampilan tenaga kerja perlu ditingkatkan. Tenaga kerja yang ada terutama tenaga penebang dan operator traktor biasanya belum mendapat pelatihan khusus dan hanya berdasarkan kebiasaan kerja di lapangan. B. Hutan Tanaman Efisiensi pemanenan kyu di hutan tanaman lebih tinggi bila dibanding efisiensi pemnenan kayu di hutan lahan kering. Efisiensi pemnenan kayu di hutan tanaman mangium pada kelerengan lpangan 0 – 15% disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Efisiensi pemanenan kayu pada kemiringan lapangan 0-15% No. 1. 2. 3. Total Rata-rata SD KV
Potensi kayu (m3)
Pemanfaatan kayu (m3)
8,011 6,644 7,528 22,183 7,394 0,980 13,26
7,931 6,445 7,226 21,602 7,197 1,051 14,60
Efisiensi (%) 99 97 96 292 97 2 2,23
Keterangan: SD = Standar deviasi, KV = Koefisien variasi Sumber: Diolah dari Dulsalam dan Roliadi (2011)
Tabel 3 menunjukkan bahwa efisiensi pemanenan kayu mangium pada kemiringan lapangan 0-15% berkisar antara 96 - 99% dengan rata-rata 97%. Efisiensi pemanenan kayu pada kemiringan lapangan 15-25% berkisar antara 94 – 96% dengan rata-rata 95% (Tabel 4). Tabel 4. Faktor eksploitasi pada kemiringan lapangan 15-25% No.
Potensi kayu (m3)
1. 2. 3. Total Rata-rata SD KV
7,854 6,320 5,985 20,519 6,720 1,409 20,97
Pemanfaatan kayu (m3) 7,382 6,067 5,685 19,316 6,379 1,258 19,721
Keterangan: SD = Standar deviasi, KV = Koefisien variasi Sumber: Diolah dari Dulsalam dan Roliadi (2011)
56
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Efisiensi (%) 0,94 0,96 0,95 2,85 0,95 0,014+ 14,74
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa efisiensi penebangan kayu mangium berkisar antara 99,6 - 100% (Suhartana dkk., 2004, 2010). Demikian juga dengan efisiensi pemnenan kayu rasamala dapat mencapai 100% (Suhartana, 2005). Pemanenn kayu ramah lingkungan seyogyanya juga diaplikasikan pada seluruh perusahaan hutan tanaman.
VII. KESIMPULAN Pemanenan kayu ramah lingkungan selain dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan juga dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu. Efisiensi pemanfatan kayu ramah lingkungan di hutan alam dapat mencapai lebih besar dari 85% sedangkan efisiensi pemanfatan kayu ramah lingkungan di hutan tanaman dapat mencapai lebih besar dari 95%. Pemanenan kyu ramah lingkungan di hutan alam juga dapat mengurangi kerusakan tegakan tinggal sebesar 4 - 9% dan mengurangi keterbukaan tanah sebekitar 2%. Pemanenn kayu ramah lingkungan seyogyanya diaplikasikan pada seluruh perusahaan hutan .
DAFTAR PUSTAKA Abeli, W.S. and R.E.L. Ole-Meiludie.1991. Future harvesting strategies in tanzania forest. Proceedings of A Symposium on Forest Harvesting ini South East Asia. Forest Engineering Inc. Oregon. Anonim. 1988. Case Study on Intermediate Technology in Forest Harvesting: Agricultural Tractor and Forest Trailer with Mechanical Crane. Funds - In-Trust Project: GCP/Int/343/ SW. FAO. Rome. _______. 1989. Studi identifikasi pemanfaatan limbah pembalakan di DAS Mahakam, Provinsi Kalimantan Timur. Tidak diterbitkan. ______. 1991. Tebang habis cara jalur, intensitas samp ling, tabel isi pohon, faktor eksploitasi dan angka pengaman serta faktor konversi di hutan alam pinus Daerah Takengon di Provinsi Aceh yang dikelola secara tebang habis dengan permudaan buatan. Laporan Kerjasama Penelitian antara Badan Litbang Kehutanan dengan PT Alas Helau. Tidak diterbitkan. _______. 1995. Penentuan faktor eksploitasi di konsesi hutan PT Mangole Timber Producer di Maluku. Kerjasama Penelitian antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan dengan PT Mangole Timber Producer. Ttidak diterbitkan. _______. 1997. Penelitian faktor eksploitasi (FE) PT Putraduta Indah Wood, Kabupaten Batanghari, Provinsi Dati I Jambi. Kerjasama Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan dengan PT Putraduta Indah Wood. Tidak diterbitkan. KOICA. 2001. The Feasibility Study on Small Diameter Log Resources Development in Indonesia. Final Report. Korea International Cooperation Agency and Korea Forest Research Institute. Seoul.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
57
Departemen Kehutanan. 2009. Data Strategis Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Brown, N.C. 1958. Logging. John Wiley & Sons Inc. New York. Dulsalam. 1988. Faktor eksploitasi meranti di Sumatera Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 1(5): 47 - 49. _______. 1995. Produktivitas penebangan kayu sungkai dengan gergaji tangan. Publikasi Khusus Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan 1(2):3847. _______. 1997. Hubungan kerpatan jalan hutan dengan intensitas pemungutan kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5(3): 200-211. _______. 1989b. Produktivitas traktor caterpillar D7G di suatu perusahaan hutan di Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(6):368-372. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. _______. 1993. Efisiensi penebangan kayu di kawasan hutan dengan sistem Tebang Pilih Indonesia. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11(6): 232-240. _______. 1998. Keterbukaan tegakan akibat pembuatan jalan hutan: Studi kasus di dua perusahaan di Kalimantan. Info Hasil Hutan 5(1): 51-60. Dulsalam, M.M. Idris & W. Endom. 1997. Produktivitas dan biaya pengeluaran kayu dengan sistem kabel P3HH20. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15(3):151-161. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Dulsalam dan T. Tinambunan. 1998. Sudi kasus p roduktivitas dan biaya pengeluaran kayu dengan sistem kabel layang Koller 300. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15(8):449-462. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. ________________________. 2001. Teknik pemanenan hutan tanaman. Proosiding Diskusi Teknologi Pemanfaatan Kayu Budidaya untuk Mendukung Industri Perkayuan yang Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Bogor. Dulsalam dan Sukadaryati. 2001. Produktivitas dan biaya penyaradan kayu dengan kerbau di Jambi. Buletin Penelitian Hasil Hutan 19 (3):147-164. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. _____________________. 2002. Produktivitas dan biaya penyaradan kayu dengan traktor pertanian type FORD 5660 di hutan tanaman Semaras, Pulau Laut. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(1):35-54. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Dulsalam, D. Tinambunan dan Sukadaryati. 2009. Teknik pemanenan hutan ramah lingkungan di hutan tanaman lahan kering. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Tidak diterbitkan. Dulsalam dan H. Roliadi. 2011. Faktor eksploitasi hutan tanaman mangium (Accacia mangium Wild): Studi kasus di PT Toba Pulp Lestari Tbk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Pusat Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor.
58
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Dykstra, D.P. and R. Heinrich. 1996. FAO Model Code of Forest Harvesting Practice. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Elias. 1998. RIL di hutan alam tropika Indonesia. Prosiding Workshop Reduced Impact Logging: Evaluasi Penerapan RIL di Hutan Alam Guna Meningkatkan Efisiensi Pemanenan Kayu yang Ramah Lingkungan Pada Tanggal 22-27 Oktober 1998. Hlm. 1-6. PT Suka Jaya Makmur dan PT Sari Bumi Kesuma. Camp Pawan Selatan. Endom, W. 1995. Faktor eksploitasi beberapa jenis kayu hutan produksi alam dan penyebaran limbah pembalakannya. Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial ekonomi Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Grulois, S. 2000. Economic cost assessment of reduced impact logging in Bulungan Research Site (East Kalimantan). CIFOR Final Report (tidak diterbitkan). Holmes, TP., G.M. Blate & J.C. Sweede, R. Pereira, P. Barreto, F. Boltz & R. Bauch. Financial cost and benefit of reduce impact logging relative to conventional logging in the Eastern Amazon. Phase I final Report Tropical Forest Foundation. Forest Service. Tidak diterbitkan. Ibotson, B.R. 1991. Tractor Logging in the Hill Forest of Sarawak. A Symposium of Forest Harvesting in South East Asia. Forest Engineering Department. Oregon. Idris, M.M. dan S. Suhartana. 1995. Produktivitas dan efisiensi pemanenan kayu dengan teknik penebangan serendah mungkin di hutan produksi alam: Studi kasus di tiga perusahaan hutan di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 13(3): 94-100. _______________________. 1996. Limbah kayu akibat pembuatan jalan hutan dan tebang bayang pada 6 HPH di Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 14(1): 7-15. _______________________. 1997. Pembalakan ramah lingkungan untuk minimasi kerusakan tegakan tinggal: Kasus di suatu perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15(3):212-222. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Juta, E.H.P. 1954. Pemungutan Hasil Hutan. NV Timun Mas. Jakarta. Rodrigues, E.O. 1996. Wood Extraction with Oxen and Agricultural Tractors. FAO Forestry Paper No. 49. Rome. Simarmata, S.R. dan Dulsalam. 1985. Faktor eksploitasi jenis meranti di Jambi, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2(1): 10 - 12. Simarmata, S.R. 1985. Limbah eksplotasi pada beberapa perusahaan pengusahaan hutan di Kalimantan dan Sumatra. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Lembaran Penelitian No. 20. Suhartana, S. 1993. Kajian keberadaan tegakan tinggal dan keterbukaan lahan pada kegiatan penyaradan dan penebangan di suatu perusahaan hutan di Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11(3):117-121. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
59
Suhartana, S. 1994. Penetapan besarnya limbah penebangan serta upaya penekanannya. Jutnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 9(3): 25 - 31. ________. 1997. Penyaradan yang direncanakan untuk minimasi kerusakan tegakan tinggal: Kasus di dua perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15(1): 60-67. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan & Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Suhartana, S. dan Dulsalam. 1996. Penebangan serendah mungkin untuk meningkatkan produksi kayu: Studi kasus di dua perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14(9): 374 – 381. ______________________. 2000. Pemanenan berwawasan lingkungan untuk minimasi kerusakan hutan. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18(2 ):87-103. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Suhartana, S. dan M. Sinaga. 2003. Peningkatan produksi penebangan di hutan tanaman. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Tidak diterbitkan. _______________________. 2004. Peningkatan produksi penebangan di hutan tanaman. Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Tidak diterbitkan. Suhartana, S., M. Sinaga dan I. Sumantri. 2004. Peningkatan produktivitas dan penebangan kayu di satu perusahaan hutan tanaman di Provinsi Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22(3):175-182. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil hutan. Bogor. Suhartana, S. dan Yuniawati. 2004. Studi aplikasi penebang an ramah lingkungan di Riau dan Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28(2):111-118. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil hutan. Bogor. ________________________. 2010. Studi komparasi aplikasi penerbangan ramah lingkungan di Riau dan Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 28(2):119-129. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Suhartana, S., Yuniawati dan D. Tinambunan. 2005. Peningkatan pemanfaatan kayu rasamala dengan perbaikan teknik penebangan dan sikap tubuh penebang: Studi kasus di KPH Cianjur, Perhutani Unit III Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 23(5):349-361. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil hutan. Bogor. Sukadaryati dan Dulsalam. 2002. Penebangan pohon yang efisien dengan kerusakan yang minimal. Buletin Penelitian Hasil Hutan 20(2): 95-105. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Suparna, N. 1998. Pengalaman penerapan reduced impact logging (RIL) di Alas Kusuma Group (Mitra Proyek NRM, USAID). Proceedings Joint Workshop on Silviculture and Reduced Impact Logging and Workshop on Silviculture, Growth & Yield and Reduced Impact Logging on April, 14 – 17 in Jakarta – Anyer. p. 51-55. Provincial Forest Management Project. Jakarta. Suparto, R.S. 1979. Eksploitasi Hutan Modern. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
60
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Staaf, K.A.G. and N.A. Wiksten. 1984. Tree Harvesting Techniques . Martinus Nijhoff/Dr. W. Junk Publisher. Dordrecht/Boston/Lancaster. Thaib, J. 1985. Kerusakan tegakan sisa akibat eksploitasi hutan dengan sistem traktor dan highlead. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 2(4): 14 - 18. Tinambunan, D. 1988. Potensi jalan hutan dalam akselerasi erosi tanah di Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5(3): 105-113. ________. 1990a. Beberapa aspek geometrika jalan hutan dan hubungannya dengan erosi tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(7): 411 - 419. ________. 1990b. Perkembangan keadaan jalan hutan menurut waktu dan hubungannya dengan potensi erosi tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 7(3): 79 – 90. ________. 1991a. Keadaan jalan hutan di hutan jati dan potensinya dalam akselerasi erosi tanah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 9(3): 129-136. ________. 1991b. Analisis pembangunan prasarana angkutan dan ekstraksi kayu serta dampaknya terhadap lingkungan hutan di Provinsi Riau. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 9(5): 183 - 200. ________. 1991c. Reduksi areal hutan produktif dan gangguan lingkungan akibat pembuatan prasarana angkutan di areal hutan jati. Duta Rimba (17):131-132. Perum Perhutani. Jakarta. ________. 1994. Reduksi areal hutan produktif dan gangguan lingkungan akibat pembuatan jalan hutan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 9(1): 8-132. Stenzel, G., T.A. Walbridge dan J.K. Pearce. 1985. Logging and Pulpwood Production. John Wiley & Sons Inc. New York. Wackerman, A.E. 1949. Harvesting Timber Crops. Mc Graw-Hill Book Company. New York. Welburn, G.V. 1981. Logging in mountainous regions. Proceedings of XVII IUFRO World Congress on Forest Operations and Techniques. 1981. Japanese IUFRO.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
61
INDUSTRI PULP DAN KERTAS MENUJU INDONESIA GREEN Oleh: Ngakan Timur Antara* dan Susi Sugesty** Balai Besar Pulp dan Kertas E-mail: *
[email protected]; **
[email protected]
ABSTRAK Green industry merupakan industri berwawasan lingkungan, yang menselaraskan pembangunan dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengutamakan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Green industry bukan merupakan cost tetapi merupakan capital bagi industri. Untuk mendorong gerakan green industry di Indonesia, pemerintah merencanakan pemberian insentif pajak tax allowance dan tax holiday bagi industri terutama yang mampu menyerap banyak tenaga kerja (MS Hidayat dalam Seputar Indonesia, 2011). Industri pulp dan kertas menuju Green industry di Indonesia diarahkan pada efisiensi sumber daya yaitu bahan baku, bahan bakar minyak dan batubara, air, serta penurunan konsumsi bahan kimia pemutih, peningkatan penggunaan bahan baku kertas bekas, pemanfaatan kembali air pasi (white water), efisiensi energi (refining) dan pengeringan (drying), serta pemanfaatan limbah padat (sludge). Penggunaan bahan baku yang cepat tumbuh (HTI) dan pemanfaatan (pinchips) dapat menghemat bahan baku pulp selain itu dengan memanfaatkan buangan gas seperti NCG dapat menghemat bahan bakar, satu ton pembuatan kertas dari bahan kertas bekas dapat menghemat 25-30 m3 air, 20-30 pohon, sekitar 4000 kWh listrik dan menurunkan polusi lingkungan karena hanya sedikit menggunakan bahan kimia jika dibandingkan pembuatan kertas dari serat kayu. Kebijakan kementerian lingkungan hidup yang dituangkan dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mendorong pabrik kertas di Indonesia untuk meningkatkan penggunaan bahan baku kertas bekas. Beberapa pabrik kertas di Indonesia telah mendapatkan sertifikat produk ekolabel karena dapat memenuhi kriteria persyaratan ekolabel. Kata kunci: Efisiensi sumberdaya, ekolabel, green industry, industri pulp dan kertas I. PENDAHULUAN Kemajuan dan perkembangan ekonomi suatu negara tidak terlepas dari pembangunan industrinya. Salah satu jenis industri yang dapat menunjang pembangunan Indonesia adalah industri selulosa yang mengolah bahan baku serat alam menjadi produk pulp dan kertas serta rayon. Bahan baku yang digunakan sebagai bahan baku pulp kertas dan pulp rayon yaitu kayu dan non-kayu seperti jerami/merang, ampas tebu, bambu, batang jagung dan lainnya. WWF (World Wildlife Fund ) pernah menyatakan bahwa kertas adalah produk berharga yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan budaya. Pada dasarnya kertas dibuat dari bahan terbarukan, dan kertas merupakan bagian yang penting dari kehidupan modern, membantu meningkatkan pendidikan dan demokrasi di seluruh dunia. Saat ini industri pulp dan kertas telah menggunakan kayu dari hutan lestari yaitu hutan tanaman industri (HTI). HTI yang dikelola secara lestari dan mampu berperan positif terhadap masyarakat sekitar (CSR) dan HTI yang menyerap karbon, dapat membantu mengurangi (mitigasi) pemanasan global.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
63
Tabel 1. Sumber daya hutan Indonesia tahun 2007 Status hutan Hutan lindung Kawasan pelestarian alam Hutan produksi Hutan produksi terbatas Hutan produksi dapat dikonversi Jumlah
Luas (juta ha) 31.6 20.1 36.6 22.5 22.8 133.7
Sumber: Departemen Kehutanan, Data Strategis Kehutanan 2007.
Indonesia memiliki kawasan hutan produksi yang sangat luas, sekitar 59 juta hektar yang berpotensi menyediakan bahan baku kayu bagi industri secara berkesinambungan. Iklim tropis, kondisi tanah dan topografi Indonesia memungkinkan pohon tumbuh dengan cepat (2-3 kali lebih cepat dibandingkan daerah non tropis). Posisi geografis Indonesia sangat strategis, berdekatan dengan pasar yang sedang tumbuh pesat. Pasar domestik cukup besar dan akan terus tumbuh karena konsumsi per kapita masih relatif rendah dan sumber daya manusia cukup tersedia. Saat ini industri kertas banyak beralih menggunakan kertas bekas, walaupun tidak mengurangi peran kayu dari HTI. Pada tahun 2010 Indonesia merupakan produsen pulp dan kertas no. 9 dunia (Menurut APKI, 2011). Kertas bekas merupakan sumber bahan baku yang penting disamping serat virgin. Proses daur ulang kertas dapat menurunkan penebangan hutan, konsumsi energi, emisi polutan dan problem pengolahan limbah. Satu ton pembuatan kertas dari serat daur ulang dapat menghemat 25-30 m3 air, 20-30 pohon, sekitar 4000 kWh listrik dan menurunkan polusi lingkungan karena hanya sedikit menggunakan bahan kimia jika dibandingkan pembuatan kertas dari serat alami. Industri pulp dan kertas menuju Green industry di Indonesia diarahkan pada efisiensi sumber daya yaitu bahan baku, bahan bakar minyak dan batubara, air serta dalam mengelola produksinya menggunakan konsep 3R (Recycle, Reduce and Re-use) sehingga produk yang dihasilkan menjadi produk yang ramah lingkungan, keuntungan lainnya yaitu dapat memangkas biaya produksi. Pada proses produksi juga dilakukan efisiensi pemulihan bahan kima kembali di chemical recovery plant, penurunan konsumsi bahan kimia pemutih, peningkatan penggunaan bahan baku kertas bekas, pemanfaatan kembali air pasi (white water), efisiensi energi refining dan drying, dan pengelolaan limbah cair, udara dan padat termasuk pemanfaatan sludge/limbah padat. Penggunaan bahan baku kayu yang cepat tumbuh dari HTI dan pemanfaatan pinchips dapat menghemat bahan baku pulp, selain itu dengan memanfaatkan buangan gas seperti NCG (NonCondensable dapat menghemat bahan bakar. Dengan konsep pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan proses produksi yang ramah lingkungan untuk menghasilkan eco-product, perusahaan tidak hanya mampu meningkatkan daya saing industrinya, namun sekaligus juga ikut berperan dalam menurunkan emisi gas karbon dan berkontribusi nyata dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Sebagai perusahaan yang peduli lingkungan, beberapa Industri pulp dan kertas sudah mempunyai sertifikat produk ekolabel. Ekolabel adalah label, tanda atau sertifikasi pada suatu
64
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
produk yang memberikan keterangan kepada konsumen bahwa produk tersebut dalam daur hidupnya menimbulkan dampak lingkungan negatif yang relatif lebih kecil dibandingkan produk lainnya yang sejenis dengan tanpa tanda ekolabel (Ekolabel Indonesia, 2008). Kertas menjadi target awal dalam sertifikasi ekolabel Indonesia karena produk tersebut menjadi kebutuhan dasar bagi setiap sektor baik pemerintah, swasta, dunia pendidikan dan masyarakat umum lainnya. Kebijakan ekolabel ini mendorong pabrik kertas di Indonesia untuk menggunakan lebih banyak bahan baku kertas bekas. Empat jenis produk kertas yang sudah memiliki Standar Nasional Indonesia ekolabel adalah Kertas Cetak Salut (sedang dalam proses), Kertas Cetak Tanpa Salut (SNI 19-7188.1.3-2006), Kertas Kemas (SNI 19-7188.1.1-2006) dan Kertas Tisu untuk Kebersihan (SNI 19-7188.1.2-2006). Bentuk sertifikasi dengan skema Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) ini dikembangkan di Indonesia dengan sistem dan standar sertifikasi untuk hutan alam, hutan tanaman, dan pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat (Community Based Forest Management). Sertifikasi Chain of Custody (COC) atau lacak balak oleh LEI akan menjamin asal-usul produk kayu dan non-kayu yang hanya berasal dari hutan rakyat lestari dan diperoleh secara legal. Komite Akreditasi Nasional menawarkan untuk memberikan akreditasi untuk lembaga sertifikasi ekolabel didasarkan pada Pedoman KAN 801-2004: Persyaratan Umum untuk Lembaga Sertifikasi Ekolabel yang selanjutnya disebut LS. Kebijakan kementerian lingkungan hidup yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, difokuskan pada perbaikan produk dengan mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, dari mulai bahan baku sampai kepada setelah habis masa pakai (life cycle consideration). Dengan demikian pencemaran maupun kerusakan akibat kegiatan manusia dalam memproduksi suatu barang/jasa dapat diantisipasi menuju kepada lingkungan yang lebih baik. Penghargaan terkait industri hijau adalah salah satu bukti upaya perusahaan menerapkan industri hijau dalam kegiatan industrinya. Beberapa bentuk penghargaan terkait dengan penerapan konsep industri hijau mulai berkembang. Lembaga pemerintah dan swasta ikut diharapkan berperan aktif dalam mendorong dan mengembangkan kesadaran pelaku usaha dan masyarakat dalam mensukseskan program ekonomi ramah lingkungan (ekonomi hijau). Beberapa bentuk kegiatan pemberian penghargaan terkait dengan pengembangan industri yang ramah lingkungan mulai dan terus berkembang saat ini, antara lain: a. Penghargaan Industri Hijau oleh Kementerian Perindustrian RI. b. Penghargaan Perusahaan Hijau (Green Business)/oleh SRI Kehati. c. Penghargaan Energi Bersih oleh Kementerian ESDM RI. d. Penghargaan Pengelolaan Minyak Sawit Berkesinambungan (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). e. Pernghargaan Produksi Bersih ( CP Award ) dari Kementerian Lingkungan Hidup (sedang dalam proses). Penganugerahan penghargaan Industri Hijau merupakan penghargaan dari pemerintah melalui Kementerian Perindustrian yang diberikan kepada industri yang telah berkontribusi terhadap perekonomian Negara. Selain itu, industri diharapkan melakukan upaya efisiensi dalam
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
65
pemanfaatan sumber daya dan menerapkan proses produksi ramah lingkungan. Kementerian Perindustrian akan terus berupaya dan mendorong industri dalam rangka mewujudkan industri hijau yang maju, mandiri, berdaya saing, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Melalui penghargaan ini diharapkan dapat memotivasi perusahaan industri untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumberdaya alam serta bermanfaat bagi masyarakat. Penilaian penghargaan industri hijau didasarkan pada hal-hal berikut: a. Proses produksi, meliputi bahan baku, energi, air, teknologi proses, produk, sumber daya manusia, dan lingkungan kerja. b. Manajemen industri, meliputi kebijakan internal perusahaan, Community Development Social Responsibility, penghargaan terkait industri hijau yang pernah diterima, dan sertifikasi. c. Pengelolaan lingkungan industri, meliputi upaya pengelolaan lingkungan industri dan kinerja pengelolaan lingkungan. Salah satu bentuk kebijakan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dalam mengukur Kinerja Pengelolaan Lingkungan Industri atau perusahaan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yaitu PROPER. Empat kegiatan utama yang tercakup dalam pelaksanaan PROPER, meliputi pengawasan penaatan perusahaan, penerapan keterbukaan dalam pengelolaan lingkungan atau, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pelaksanaan kewajiban perusahaan untuk menyampaikan informasi terkait pengelolaan lingkungan. Pemenuhan baku mutu lingkungan adalah sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Kewajiban industri untuk melakukan pengelolaan limbah dalam bentuk cair, padat, gas/debu merupakan upaya pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan dan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan secara berkesinambungan. Untuk meminimasi dampak limbah terhadap lingkungan dapat mengacu pada baku mutu yang telah ditetapkan. Ukuran kinerja perusahaan akan terlihat bagaimana upaya dan target pemenuhan terhadap baku mutu lingkungan ini dapat dicapai atau adanya peningkatan pemenuhan baku mutu yang telah ditetapkan.
II. INDUSTRI PULP DAN KERTAS NASIONAL A. Kebijakan dalam Mendukung Industri Pulp dan Kertas Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara industri yang tangguh pada tahun 2025, untuk menghadapi tantangan dan kendala yang ada, serta merevitalisasi industri nasional, maka telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Selain itu diterbitkan pula Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 121/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Kertas Tahun 2010-2014. Peta Panduan adalah dokumen perencanaan nasional yang memuat sasaran, strategi dan kebijakan, serta program/rencana aksi pengembangan klaster industri kertas untuk periode 5 (lima) tahun. Cakupan industri pulp dan kertas berdasarkan pengelompokan atau kategorisasi yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian dan Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) adalah sebagai berikut:
66
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
1. Berdasarkan panjang seratnya dibedakan atas: pulp serat panjang (needle bleached kraft pulp) dan pulp serat pendek (leaf bleached kraft pulp). 2. Berdasarkan proses pembuatannya dibedakan atas: pulp kimia (chemical pulp) dan pulp mekanikal (mechanis pulp). 3. Berdasarkan bahan bakunya dibedakan atas: pulp kayu (wood pulp) dan pulp non-kayu (nonwood pulp). 4. Pulp juga dibedakan atas: pulp virgin (pulp yang masih asli yang diperoleh dari pemrosesan bahan baku kayu/non-kayu menjadi pulp baik melalui proses kimiawi atau mekanis) dan pulp daur ulang yang diperoleh dari pemrosesan kembali kertas bekas. Cakupan industri kertas dikelompokkan ke dalam berbagai kelompok sebagai berikut: 1. Kertas budaya terdiri atas: kertas koran, kertas tulis cetak dan kertas berharga (kertas untuk saham, kertas perangko). 2. Kertas industri terdiri atas: (sack kraft) kertas kantong semen, (kraft liner), corrugating medium, board, dan kertas bungkus. 3. Kertas tissue terdiri atas: kertas tissu rumah tangga dan kertas tisu muka. 4. Kertas khusus (specialty paper), meliputi: kertas dekoratif, kertas rokok, kertas thermo dan kertas label. Berdasarkan struktur, industri pulp dan kertas juga dikelompokkan dalam jenis kelompok industri seperti: 1. Kelompok Industri Hulu Kelompok industri hulu kertas adalah industri. Industri bubur kertas ada dua macam yaitu virgin pulp dan kertas bekas. Virgin pulp secara garis besar ada dua macam yaitu pulp serat pendek (Leaf Bleach Kraft Pulp) dan pulp serat panjang (Needle Bleach Kraft Pulp). 2. Kelompok Industri Antara Kertas sebagian merupakan salah satu produk dari instansi antara, sebagian merupakan produk hilir. Kertas sebagai produk antara contohnya kertas Medium Liner dan Kraft Liner, jenis kertas ini merupakan bahan baku untuk industri kemasan Kotak Karton Gelombang (KKG). Contoh lainnya adalah kertas tisu dan kertas tulis cetak dalam bentuk gulungan besar. Untuk kertas tissue, roll besar dipotong menjadi roll-roll kecil atau segi empat, kemudian dipacking, sebelum dipasarkan ke konsumen. Sedangkan roll besar kertas tulis cetak pada umumnya dipotong menjadi ukuran A4, letter atau kwarto, selanjutnya dipacking dan dipasarkan kepada konsumen akhir. 3. Kelompok Industri Hilir Industri hilir kertas, antara lain adalah industri kertas fotocopy, industri kemasan kotak karton gelombang (KKG), industri percetakan dan grafika serta industri converting (seperti: industri buku tulis, tisu rumah tangga, dan lain-lain). Dalam membuat program untuk mendukung industri pulp dan kertas ke depan, Kementerian Perindustrian melakukan analisa SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats) untuk
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
67
melihat peta kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang dalam menentukan strategi dan kebijakan. 1. Kekuatan a. Teknologi proses telah dikuasai terutama terkait dengan operasional pabrik. b. Biaya produksi pulp dan kertas di Indonesia merupakan salah satu yang termurah di dunia. c. Tersedianya tenaga terampil di bidang pulp dan kertas yang dihasilkan oleh ATPK dan perguruan tinggi lainnya di Indonesia. d. Industri pulp dan kertas ditetapkan sebagai salah satu prioritas pengembangan industri nasional. e. Kontribusi industri pulp dan kertas dalam perekonomian nasional cukup penting. 2. Kelemahan a. Banyak industri pulp dan kertas permesinannya sudah tua, sehingga efisiensi dan produktivitasnya relatif rendah. b. Masih terbatasnya pasokan bahan baku kayu dari HTI dan belum termanfaatkannya bahan baku alternatif secara maksimal. c. Pasokan kertas bekas dari dalam negeri belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan industri kertas nasional. d. Masih tingginya ketergantungan terhadap luar negeri, terutama mesin dan peralatan proses. e. Masih terbatasnya dukungan litbang terhadap industri pulp dan kertas. 3. Peluang a. Adanya peluang pasar yang cukup besar, baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. b. Masih adanya lahan/hutan untuk pengembangan bahan baku (HTI). c. Tersedianya bahan baku alternatif (TKKS, abaca, kenaf) yang berlimpah, namun belum dimanfaatkan. d. Makin berkurangnya peran negara-negara NORSCAN dalam memasok kebutuhan pulp dan kertas dunia. e. Salah satu pasar pulp dan kertas yang cukup potensial yaitu negara-negara di kawasan Asia Pasifik (terutama China dan India), letaknya relatif dekat dengan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin atau NORSCAN. 4. Ancaman a. Banyaknya isu dumping yang dilontarkan oleh negara-negara pesaing terhadap industri pulp dan kertas Indonesia. b. Bad campaign yang dilakukan oleh negara-negara maju, seperti: pengkaitan perdagangan dengan masalah lingkungan dan HAM. c. Munculnya pesaing-pesaing baru yang potensial, terutama negara-negara dari Amerika Latin.
68
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
d. Masih adanya peraturan perundang-undangan yang kontra produktif terhadap pengembangan industri pulp dan kertas, seperti: Perda di beberapa daerah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan lain-lain. Pelaksanaan program dituangkan dalam sasaran yang meliputi jangka menengah (20102014) dan jangka panjang (2010-2025): 1. Jangka Menengah a. Makin meningkatnya pasokan bahan baku kayu dari HTI, dan diharapkan pada tahun 2009 ini seluruh bahan baku kayu untuk industri pulp sudah berasal dari HTI. b. Meningkatnya pemanfaatan bahan baku alternatif (non-kayu) untuk industri pulp. c. Meningkatnya suplai kertas bekas dari dalam negeri. d. Meningkatnya industri pulp dan kertas nasional yang berkualifikasi ramah lingkungan. e. Meningkatnya ekspor pulp dan kertas masing-masing sebesar 5%/tahun dan 10%/tahun. 2. Jangka Panjang a. Adanya keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan bahan baku. b. Minimalnya dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh industri pulp dan kertas. c. Meningkatnya industri permesinan nasional dalam memenuhi kebutuhan permesinan industri pulp dan kertas di dalam negeri. d. Meningkatnya posisi Indonesia dalam percaturan di bidang industri pulp dan kertas dunia (diharapkan dapat menjadi produsen 5 besar dunia). Indikator pencapaian yang diharapkan yaitu: a. Meningkatnya suplai bahan baku kayu dari HTI untuk industri pulp. b. Meningkatnya pasokan kertas bekas dari dalam negeri. c. Meningkatnya kapasitas terpasang industri pulp dan kertas. d. Meningkatnya utilisas kapasitas industri pulp dan kertas. e. Memfasilitasi Tim Klaster Industri Pulp dan Kertas dalam rangka mensinergikan Industri Inti, Industri Pendukung dan Industri Terkait guna meningkatkan daya tahannya di pasar dalam negeri dan daya saingnya di pasar global. Rencana aksi yang akan dilaksanakan dituangkan dalam program jangka menengah dan jangka panjang: 1. Jangka Menengah (2010-2014) a. Mempercepat realisasi penanaman HTI yang sudah ada. b. Mengalokasikan HTI baru untuk mendukung pengembangan industri pulp baru. c. Meningkatkan penggunaan bahan baku alternatif (eks limbah perkebunan/pertanian). d. Memfasilitasi restrukturisasi permesinan industri pulp dan kertas. e. Mendorong penerapan penggunaan teknologi modern yang efisien dan ramah lingkungan. f. Mengembangkan standar dalam rangka meningkatkan mutu dan daya saing industri pulp dan kertas nasional.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
69
g. Melakukan diversifikasi produk industri kertas yang bernilai tambah tinggi (terutama kertas khusus yang saat ini masih diimpor). h. Mendorong perkembangan industri hilir kertas. i.
Meningkatkan penerapan ISO 9001 : 2000, ISO 14000 dan ekolabel.
j.
Melakukan promosi investasi di bidang industri pulp dan kertas.
2. Jangka Panjang (2010-2025) a. Memaksimalkan penggunaan bahan baku kayu dari hutan tanaman dan bahan baku alternatif. b. Mendorong berkembangnya industri rancang bangun dan perekayasaan pemesinan industri pulp dan kertas. c. Peningkatan penerapan ISO 9001 : 2000, ISO 14000 dan ekolabel. d. Mengembangkan standar dalam rangka meningkatkan mutu dan daya saing industri pulp dan kertas nasional. e. Melakukan diversifikasi produk industri kertas yang bernilai tambah tinggi (terutama kertas khusus yang saat ini masih impor). f. Mendorong perkembangan industri hilir kertas. g. Melakukan promosi investasi di bidang industri pulp dan kertas. B. Perkembangan Industri Pulp dan Kertas Pasar dunia pulp dan kertas selama ini didominasi oleh negara-negara di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) dan negara-negara di kawasan Scandinavia, seperti: Swedia, Finlandia dan Norwegia. Kelompok negara-negara tersebut sering disebut sebagai NORSCAN. Kecenderungan yang akan datang, dominasi pasar pulp dan kertas oleh negara-negara NORSCAN (North America and Scandinavia) diperkirakan akan semakin berkurang mengingat di negara tersebut sudah tidak bisa mengembangkan lagi potensi bahan bakunya (terbatasnya lahan) secara signifikan dan biaya produksi yang relatif lebih mahal, akan bergeser ke Asia (terutama Indonesia dan negara-negara di Asia Timur) dan negara-negara Amerika Latin (seperti: Chili, Brazil, dan Uruguay), yang masih memiliki potensi hutan yang cukup besar dengan sistem HTI dan penerapan SFM (Sustainable Forest Management). Kapasitas terpasang industri pulp di Indonesia sekitar 7,9 juta ton (2009-2010) dan untuk industri kertas sekitar 12,2-12,9 juta ton (2009-2010). Kapasitas produksi industri pulp sekitar 5,7 juta ton (2009) sedangkan pada tahun 2010 sekitar 6,3 juta ton. Untuk industri kertas produksinya sekitar 10 juta ton (2009) sedangkan tahun 2010 sekitar 11,5 juta ton, sebagian besar menggunakan bahan baku kertas bekas. Menurut Asosiasi Pulp dan Kertas (APKI) ekspor pulp sekitar 50% dari kapasitas produksi sedangkan ekspor kertas sekitar 40%-nya. Ekspor pulp pada tahun 2009 sebesar 2,2 juta ton dan pada tahun 2010 meningkat menjadi sekitar 2,6 juta ton, untuk ekspor kertas sekitar 3,9 juta ton (2009) dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 4,2 juta ton. Pada Table 2 disajikan kapasitas terpasang Industri Pulp dan Kertas (IPK) di Indonesia berada di peringkat pertama di ASEAN.
70
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Tabel 2. Kapasitas terpasang peringkat IPK ASEAN tahun 2007 (dalam ribuan ton) No. 1. 2. 3. 4. 5.
Negara
Kapasitas kertas
Indonesia Thailand Malaysia Vietnam Filipina
Kapasitas pulp
11.825 5.254 1.600 1.341 1.100
6.483 1.144 365 200 200
Sumber: APKI (2009)
Industri pulp di Indonesia, sebagian besar menggunakan bahan baku kayu yang berasal dari (HTI). Filosofi HTI dikembangkan dari lahan hutan yang sudah rusak akibat eksploitasi yang berlebihan di masa lalu, untuk kemudian ditanami kembali (reforestrasi). Sebagian hasil kayunya dimanfaatkan untuk kebutuhan industri, namun sebagian besar lainnya masih merupakan tanaman hutan atau dengan kata lain pengelolaan HTI diatur sedemikian rupa berkelanjutan mengikuti kaidah-kaidah kelestarian (Sustainable Forest Management). Pada Tabel 3 disajikan alokasi pasokan kayu untuk industri pulp sampai tahun 2025 yaitu sebesar 68 juta m3. Tabel 3. Alokasi bahan baku untuk industri pengolahan kayu Uraian
Proyeksi pasokan kayu (juta m3)
2010 Sumber pasokan kayu: 79,2 - Hutan Alam 7,8 - HTI Pulp 31,7 - HTI Perkakas 4,5 - HTR 0 - Perhutani 0,9 - Hutan Rakyat 6,0 - Perkebunan Karet 6,0 - Perkebunan Kelapa Sawit 10,0 - Perkebunan Kelapa 8,0 - ISL dan IPK 4,1 - Impor 0,2 Alokasi pasokan kayu ke industri: - Kayu Gergajian 30,8 - Kayu Lapis 13,1 - Partikel 3,5 - Pulp 31,7
2011 76,0 8,5 29,3 5,4 0 0,9 6,0 6,0 10,0 8,0 1,6 0,2
2012 82,1 9,4 34,6 6,3 0 0,9 6,0 6,0 10,0 8,0 0,6 0,2
2013 82,5 10,3 33,6 7,2 0 0,9 6,0 6,0 10,0 8,0 0,3 0,2
2014 94,9 11,4 44,2 8,1 0 0,9 6,0 6,0 10,0 8,0 0,1 0,2
2020 230,2 20,1 65,1 21,4 92,4 0,9 6,0 6,0 10,0 8,0 0 0,2
2025 221,4 32,4 60,8 25,1 72,0 0,9 6,0 6,0 10,0 8,0 0 0,2
30,4 12,8 3,4 29,3
30,8 13,1 3,5 34,6
31,5 13,7 3,7 33,6
32,4 14,4 3,8 44,2
98,4 41,7 15,7 74,3
95,0 44,0 14,4 68,0
Sumber: Roadmap Industri Pulp dan Kertas, Kementerian Perindustrian (2009)
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
71
Perbandingan konsumsi kertas per kapita di beberapa negara di dunia internasional tercantum dalam Table 4. Indonesia menduduki peringkat ke-14 dengan konsumsi per kapita 26 kg/tahun. Tabel 4. Konsumsi kertas per kapita di beberapa negara No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Negara Finlandia Amerika Serikat Jepang Kanada Italia Taiwan Inggris Singapura Perancis
Konsumsi (kg/kapita/tahun) 368,6 288,0 245,5 206,0 204,6 204,0 199,5 197,7 182,9
No. 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Negara Malaysia China Thailand Brazil Indonesia Mesir Philippina India Afganistan
Konsumsi (kg/kapita/tahun) 110,8 54,8 62,1 42,2 26,0 20,0 17,4 7,7 0,2
Sumber: Roadmap Industri Pulp dan Kertas, Kementerian Perindustrian (2009)
Seiring dengan makin terbatasnya pasokan kayu dan makin tingginya kesadaran dunia terhadap masalah lingkungan, maka pada dekade terakhir berkembang pesat penggunaan kertas bekas sebagai bahan baku industri kertas (daur ulang). Di samping itu, pemakaian kertas bekas sebagai bahan baku industri juga dipicu oleh harganya yang relatif murah serta adanya dukungan teknologi yang dapat dipakai untuk membuat kertas dengan kualitas yang lebih baik dan adanya tekanan internasional di bidang lingkungan hidup. Kebutuhan kertas bekas untuk industri kertas nasional pada saat ini sekitar 6 juta ton per tahun, sekitar 3 juta ton dipasok dari pengumpulan kertas bekas lokal, sisanya sekitar 3 juta ton masih diimpor. Di samping itu juga akan berkembang penggunaan bahan baku non-kayu, yang potensinya besar antara lain adalah limbah perkebunan/pertanian seperti: tandan kosong kelapa sawit, bambu, jerami, abaca dan kenaf. Pada Tabel 5 dapat dilihat rendemen serat dan pulp yang dihasilkan per ton per tahun dalam 1 hektar. Indonesia pada umumnya mengimpor pulp serat panjang dan “dissolving pulp” (pulp rayon). Impor pulp sekitar 1,0 juta ton pada tahun 2009 dan meningkat sekitar 0,2 juta ton menjadi 1,2 juta ton pada tahun 2010, sedangkan untuk impor kertas umumnya kertas bekas dan kertas khusus sekitar 0,4 juta ton pada tahun 2009 dan sedikit meningkat pada tahun 2010 sekitar 0,5 juta ton.
72
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Tabel 5. Rendemen rata-rata tahunan dari bahan baku pulp kertas Plant Scandinavian softwood Fast-growing softwood Temperate softwood Fast-growing hardwood Wheat straw Rice straw Bagasse Bamboo Kenaf Hemp Elephant grass Canary grass
Fibre yield (tonnes/year/ha) 1,5 8,6 3,4 15 4 3 9 4 15 15 12 8
Pulp yield (tonnes/year/ha) 0,7 4 1,7 7,4 1,9 1,2 4,2 1,6 6,5 6,7 5,7 4,0
Sumber: Pierce (1991)
III. ISU LINGKUNGAN TERKAIT DENGAN PERUBAHAN IKLIM Di Indonesia, sumber penghasil emisi GRK diklasifikasikan dalam beberapa kegiatan, yaitu dari sektor kehutanan dan tata guna lahan, sektor energi, sektor industri, sektor pertanian dan sampah perkotaan. Indonesia sebagai negara berkembang ikut berperan serta meratifikasi protokol Kyoto melalui UU No. 17 Tahun 2004 yang berkomitmen menurunkan emisi CO 2. Indonesia membuat Rencana Aksi Nasional (RAN) yang menetapkan komitmen untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 26% dengan pendanaan sendiri dan sebesar 41% dengan bantuan donor internasional. Komitmen tersebut disampaikan oleh Presiden pada pertemuan G20 di Pittsburg, USA pada November 2009 dan COP-15 pada Desember 2009. Terkait dengan penggunaan energi, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2009 tentang konservasi energi yang mengharuskan penghematan energi di atas 6000 TOE (ton setara minyak) per tahun, pada industri yang tergolong mengkonsumsi energi tinggi. Dalam rangka implementasi PP No 70 tahun 2009, Kementerian Perindustrian telah melakukan kerjasama dengan ICCTF untuk tahun 2010-2011. Salah satunya adalah program penyusunan Guidelines Technology Map for Pulp and Paper Industry dan Guidelines Technology Carbon Calculationfor Pulp and Paper Industry, yang disusun oleh Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) dalam rangka mendukung program implementasi konservasi energi dan reduksi emisi CO2 di Industri Pulp dan Kertas. Gambaran umum tentang teknologi proses pembuatan pulp menunjukkan bahwa proses kimia memiliki sifat dan kualitas produk lebih baik dari proses mekanik dan semikimia, sehingga dapat digunakan untuk bahan baku kertas bermutu tinggi. Proses kimia mendominasi hampir diseluruh dunia, karena dari pulp ini dapat dibuat berbagai jenis kertas diantaranya adalah kertas budaya. Sembilan puluh persen dari berbagai jenis proses kimia didominasi oleh proses kraft.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
73
Keunggulan pulp kimia adalah lebih baik, lebih teratur, lebih rata dan lebih kompak dengan opasitas yang lebih rendah daripada lembaran pulp mekanis. Di samping itu pada derajat putih yang sama pulp kimia lebih stabil. Teknologi pembuatan pulp ke arah perolehan bilangan kappa rendah dengan delignifikasi berlanjut dimaksudkan untuk dapat menerapkan teknologi pemutihan yang berwawasan lingkungan sehingga dapat mengurangi kadar AOX/dioksin. Teknologi pembuatan pulp hemat energi tidak dapat dipisahkan dengan konsep teknologi ramah lingkungan. Dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan pada pembuatan pulp dapat diperoleh beberapa manfaat antara lain: menghemat bahan baku; menghemat air; menghemat energi sehingga mengurangi beban pencemaran dan sekaligus dapat menghemat biaya. Penghematan energi di industri pulp dapat dilakukan dengan konservasi energi pada sistem pemasakan dan pemutihan pulp. Pada sistem pemasakan pulp dapat dilakukan melalui modifikasi digester dengan metoda delignifikasi berlanjut (extended delignification). Sedangkan pada sistem pemutihan pulp dapat dilakukan dengan menambah instalasi sistem perpindahan panas pada sistem umpan ClO2. Secara teoritis Recovery Boiler dapat memproduksi steam 15,8 GJ/ADt dan listrik 655 kWh/ADt. Kebutuhan steam untuk proses cukup dipenuhi dari Recovery Boiler, untuk kebutuhan listrik kekurangannya dapat dipenuhi dari power boiler berbahan bakar kulit kayu. Industri pulp dapat menyediakan sendiri energi yang diperlukan untuk menggerakkan operasi pabrik. Energi yang disediakan berupa energi panas dalam bentuk uap maupun energi listrik untuk menggerakkan mesin-mesin. Kebutuhan energi dari pemanfaatan limbah biomasa seperti recovery boiler dari lindi hitam dan bark boiler dari kulit kayu dan limbah penebangan kayu. Pada Gambar 1 dan 2 dapat dilihat aliran proses pembuatan pulp dan kertas dari mulai penyediaan kayu di hutan sampai menjadi produk kertas dan kertas setelah pakai (kertas bekas) didaur ulang dan diambil seratnya kembali yang selanjutnya diproses kembali menjadi produk kertas.
Gambar 1. Proses pembuatan pulp dan kertas
74
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Beberapa aktivitas konservasi energi di unit chemical recovery dapat dilakukan antara lain dengan cara meningkatkan perolehan energi panas yang maksimal yang dihasilkan dari proses pembakaran. Efisiensi pembakaran dapat ditingkatkan antara lain dengan menambah padatan total lindi hitam yang masuk tungku boiler, penambahan aliran udara kuartener pada recovery boiler, penggunaan superkonsentrator pada evaporator, dan memperbaiki sistem filtrasi CaCO 3 dan refractory brick pada lime kiln. Bahan bakar yang dikembangkan cukup mudah diperoleh di sekitar pabrik, antara lain cangkang sawit, batok kelapa sawit, serat sawit dan lain-lain. Pengelolaan emisi partikulat dan gas di industri pulp dan kertas dilakukan dengan cara pemisahan emisi partikulat dan gas atau pengumpulan dan pembakaran gas yang tidak terkondensasi (Non-Condensible Gases) di lime kiln di unit Chemical Recovery Plant (CRP), emisi gas ini mengandung senyawa sulfur yang berbau dan bersifat racun, selain itu dapat didestilasi untuk memperoleh metanol, sehingga dapat mengurangi bahan bakar fuel. Recovery boiler dapat menyediakan sekitar 70% energi di pabrik pulp, 30% sisanya dipasok dari power boiler berbahan baku kulit kayu, biomassa dan batubara. Sumber penghasil emisi gas dan partikulat atau debu yang terbesar adalah pada industri pulp kraft. Konservasi energi pada power boiler dapat dilakukan dengan beberapa aktivitas diantaranya menghindari adanya kebocoran dan mengurangi udara ekses. Lime Kiln/Mud Concentrator
Wood Chips
Slaker/ Causticizer
Digester White Liquor Blow Tank Black Liquor
Washing/ Filtering
Screening
Water/ Screen Rejects
Bleaching
Water/ Chemicals
Flue Gas
Green Liquor Direct Contact Evaporator/ Recovery Furnace Multipleeffect Evaporator
Washing/ Screening
Flue Gas
Condensed Vapor
White water
Refiner
Clean/Screen
Pulp
Paper Making
White water Pulping Process
Gambar 2. Skema proses pembuatan pulp dengan proses kraft
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
75
Tabel 6. Konsumsi energi pada pabrik pulp No
Proses
1. Persiapan bahan baku 2. Pemasukan serpih ke sistem digester 3. Pemasakan dalam digester 4. Pencucian dan penyaringan pulp 5. Delignifikasi oksigen 6. Pemutihan pulp 7. Pulp machine 8. Evaporator 9. Power plant 10. Lime kiln dan rekaustisasi 11. Penyediaan air panas 12. Pengolahan air dan air limbah 13. Lain-lain Total konsumsi
Steam (GJ/ADT) 1,7 0,5 2,3 2,3 3,1 2,3 12,2
Listrik (kWh/ADT) 50 20 40 30 75 100 141 30 60 50 32 30 30 688
Proses pembuatan kertas adalah mencampurkan serat dan aditif dengan air. Pembuatan kertas umumnya menggunakan energi yang sangat besar dan diperoleh dari power plant yang biasanya menggunakan bahan bakar fosil. Penghematan energi pada proses pembuatan kertas dapat dilakukan pada setiap tahap proses. Konsumsi air yang cukup besar untuk pembentukan lembaran kertas akan dikeluarkan sebagai limbah cair. Proses pemisahan air ini berlangsung dalam 3 (tiga) tahap, yakni: 1. Secara gravitasi pada unit forming di wire part; 2. Secara mekanis pada unit pressing di press part; 3. Secara termal pada unit drying di dryer part. Unit drying merupakan tahap dewatering akhir yang dilakukan dimana air tidak dapat lagi dikeluarkan dari lembaran kecuali dengan cara menguapkannya. Energi termal yang digunakan berupa steam bertekanan rendah hingga sedang yang disuplai kedalam sejumlah silinder dryer yang berputar. Panas selanjutnya ditransfer ke permukaan luar silinder dimana lembaran ditempelkan. Kadar air akhir dalam lembaran kertas sangat menentukan sifat kertas yang dihasilkan dan juga kinerja unit drying
76
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Tabel 7. Konsumsi energi pada pabrik kertas
Unit proses Unit forming Unit pressing Unit drying
Konsistensi masuk (%) 0,2 – 1,0 15,0 – 25,0 33,0 – 55,0
Konsistensi keluar (%) 15,0 – 25,0 33,0 – 55,0 92,0 – 95,0
Jumlah air yang dikeluarkan (kg air/kg kertas) 100 – 170 2–4 1,0 – 1,5
Konsumsi energi (GJ/ton kertas) 0,45 4,05
Dilihat dari jumlah air yang dikeluarkan, unit forming merupakan operasi yang paling tinggi mengeluarkan air dan unit drying paling sedikit mengeluarkan air. Proses drying merupakan suatu tahapan penting didalam pengembangan sifat lembaran kertas/karton yang dihasilkan dan mengkonsumsi energi paling tinggi (paling mahal) dibanding dua tahap sebelumnya. Kocurek memberikan gambaran alokasi biaya operasi pengeluaran air di mesin kertas adalah sebagai berikut: unit forming sekitar 10%; unit pressing 12% dan unit drying 78%. Tabel 8. Peluang penghematan energi di industri kertas Main processes Stock preparation
Main process units Slushing Cleaning/ screening
Refining
Wet end
Forming and draining
Dry end
Pressing
Drying
Size press and 2nd dryer section Calendering Coating
Coating and dryer
Type and role of energy in each process Up to 60 kWh power/t to break up dry pulp The amount of pumping energy and stock heating depend on the number of stage required and they type of fibre (recycled fibre needs more than virgin); About 5 kWh/t is used for virgin stock Very energy intensive. Electrical energy is mostly used to drive the rotor in the refiner. Depends strongly on the paper properties to be achieved: 100 - 3,000 kWh/t. It uses large amounts of electricity for machine drive and vacuum processes. Energy efficient design of the headbox and twin wire machine leads to power savings; About 70 kWh/t is used for vacuum systems (varies with grade and porosity) It is not energy intensive in itself but efficient dewatering can give very large energy savings in the dryers Apart from refining it is the most energy intensive process in papermaking. Mostly heat energy Heat energy for after size press drying Electrical energy for machine drives and pressing Electrical and heat energy for re-drying
Potential for energy saving Moderate Low for virgin fibre
High
Moderate
Moderate
Very high
Low Low Low
Sumber: EU-China, 2009.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
77
Unit stock preparation termasuk bagian penggilingan adalah unit yang paling banyak mengkonsumsi energi, penghematan yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya giling menggunakan aditif atau enzim. Perkembangan teknologi pengelolaan lingkungan di industri pulp dan kertas (IPK) mengarah pada usaha pencegahan. Teknologi yang mengarah pada usaha mencegah terbentuknya limbah adalah strategi pengelolaan lingkungan melalui program produksi bersih, merupakan kegiatan mengolah limbah cair hingga memenuhi baku mutu lingkungan, dan sekaligus memanfaatkan limbah padat sebagai energi alternatif serta mengendalikan emisi gas agar tidak mencemari udara sehingga dapat mengurangi emisi GRK di atmosfir. Pada prinsipnya teknologi ini digunakan untuk mencegah atau meminimisasi limbah dengan melakukan modifikasi proses yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi proses produksi melalui pengurangan konsumsi bahan baku serat, air, bahan kimia, dan energi serta terbentuknya limbah yang bersifat B3. Penentuan teknologi dan sistem pengelolaan limbah didasarkan atas karakteristik limbah. Saat ini pengolahan biologi merupakan pengolahan limbah yang penting dan banyak digunakan di IPK karena bersifat ramah lingkungan dan merupakan konsekuensi dari penerapan daur ulang serat dan air yang semakin ketat, sehingga jumlah air limbah menjadi sedikit tetapi kadar organiknya menjadi tinggi dan bersifat terlarut. Proses digestasi anaerobik merupakan proses biodegradasi senyawa organik oleh aktivitas bakteri anaerob. Biodegradasi anaerobik menghasilkan biogas yang terdiri dari gas metana (50–70%), CO2 (25–45%) dan sejumlah kecil hidrogen, nitrogen dan H2S. Satu m3 biogas ekivalen dengan 0,4 kg minyak diesel atau 0,6 kg bensin atau 0,8 kg batubara. Limbah padat yang dihasilkan di IPK jumlahnya cukup besar dengan jenis dan karakteristik yang bervariasi, tergantung pada unit proses dimana limbah tersebut terbentuk. Untuk mendapatkan efisiensi yang lebih tinggi, limbah padat dapat diumpankan dalam bentuk pelet atau briket. Penanganan limbah padat yang perlu diperhatikan terutama adalah dalam pengurangan kandungan airnya, sehingga perlu adanya filter press. Secara keseluruhan industri pulp dan kertas mengkonsumsi energi yang cukup besar, namun dengan perkembangan teknologi dan upaya yang maksimal dapat dilakukan efisiensi proses dan penghematan energi. Tabel 9. Konsumsi energi spesifik industri berat Industri
Konsumsi energi spesifik (Gj/Ton )
Baja
2,80 – 37,10
Aluminium
11,95 – 85,19
Tekstil
3,20 – 32,40
Semen
2,20 – 7,90
Pulp dan Kertas
10,70 – 34,30
Sumber: Ray, 2008.
78
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Menurut Kamar Dagang dan Industri Indonesia (2010), industri pengolahan kayu hutan terdiri atas industri pengergajian dan pengawetan kayu, industri kayu lapis, panel kayu lainnya dan veneer, industri pulp, dan industri kerajinan dan ukiran dari kayu. Industri kertas (karena sebagian besar menggunakan bahan baku pulp dan adakalanya terintegrasi dengan industri pulp) dianggap sebagai industri pengolahan kayu hutan. Menurut statistik industri terbaru, 5,3% nilai tambah sektor industri berasal dari industri pengolahan kayu. Bersama-sama industri kertas, kontribusinya mencapai 8,8%. Industri pengolahan kayu bersifat padat karya, menyerap 5,9% tenaga kerja sektor industri. Bersama-sama dengan industri kertas, menyerap 7,5% tenaga kerja di sektor industri seperti terlihat pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Industri pengolahan kayu Kelompok Industri
Nilai tambah (%)
Penyerapan tenaga kerja (%)
Pengolahan kayu hutan Pengergajian dan pengawetan kayu Kayu lapis, panel kayu dan veneer Kerajinan ukiran dari kayu Bubur kertas Kertas Total
5,3 0,3 3,0 0,0 2,0 3,5 8,8
5,9 1,1 4,1 0,3 0,4 1,6 7,5
Sumber: BPS, Statistik Industri Besar dan Sedang (2007).
IV. PENUTUP Green industry bukan merupakan cost tetapi merupakan capital bagi industri. Untuk mendorong gerakan green industry di Indonesia, pemerintah merencanakan pemberian insentif pajak tax allowance dan tax holiday bagi industri terutama yang mampu menyerap banyak tenaga kerja (MS Hidayat dalam Seputar Indonesia, 2011). Dalam rangka mendukung program implementasi konservasi energi dan reduksi emisi CO2 di Industri Pulp dan Kertas (IPK). Kementerian Perindustrian bekerjasama dengan Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) telah menyusun pedoman pemetaan teknologi di industri pulp dan kertas. Secara keseluruhan penghematan energi di IPK dapat dilakukan dengan konservasi energi pada setiap unit proses yaitu pemasakan bahan baku, pemutihan pulp, Chemical Recovery, stock preparation, mesin kertas, dan power plant serta pengelolaan limbah. Selain itu industri pulpdapat menyediakan sendiri energi yang diperlukan untuk menggerakkan operasi pabrik dari Chemical Recovery Plant. Penggunaan bahan baku HTI dan pemanfaatan pinchips dapat menghemat bahan baku pulp. Teknologi pembuatan pulp dengan delignifikasi berlanjut ke arah perolehan bilangan kappa rendah dimaksudkan agar dapat menerapkan teknologi pemutihan yang berwawasan lingkungan sehingga dapat mengurangi kadar AOX/dioksin. Selain itu memanfaatkan buangan gas seperti NCG dapat menghemat bahan bakar. Pada proses pembuatan kertas, unit stock preparation Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
79
termasuk penggilingan yang paling banyak mengkonsumsi energi, penghematan dapat dilakukan dengan meningkatkan daya giling menggunakan aditif atau enzim. Perkembangan teknologi pengelolaan lingkungan di IPK mengarah pada usaha pencegahan melalui program produksi bersih, merupakan kegiatan mengolah limbah cair hingga memenuhi baku mutu lingkungan. Pemanfaatan limbah padat sebagai energi alternatif, produk kompos dan bahan bangunan serta mengendalikan emisi gas agar tidak mencemari udara sehingga dapat mengurangi emisi GRK di atmosfer.
DAFTAR PUSTAKA Ardeivala, S.J. 1998. Wastewater Treatment for Pollution Control. BPS. 2008. Statistik Industri Besar dan Sedang 2007. Dence, C.W., Douglas W. Reeve (ed). 1996. Pulp Bleaching: Principles and Practice. TAPPI Press Atlanta. Georgia. USA. Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2007. Directory 2010. Indonesian Pulp & Paper Industry. Kadin Indonesia. 2010. Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009 – 2014. Kementerian Perindustrian. 2011. Rencana Srategis Kemenperin 2010-2014. Kementerian Perindustrian. 2011. Pedoman Penilaian Penganugerahan Penghargaan Industri Hijau. Menteri Perindustrian Republik Indonesia. Kementerian Perindustrian. 2010. Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Prioritas Industri Berbasis Agro Tahun 2010 – 2014. Kementerian Perindustrian. 2010. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 121/M-IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Kertas. Kementerian Perindustrian. 2011. Pedoman Pemetaan Teknologi untuk Industri Pulp dan Kertas dalam Rangka Implementasi Konservasi Energi dan Pengurangan Emisi CO2 di Sektor Industri (Fase 1). Kementerian Perindustrian. 2011. Pedoman Perhitungan Karbon untuk Industri Pulp dan Kertas dalam Rangka Implementasi Konservasi Energi dan Pengurangan Emisi CO2 di Sektor Industri (Fase 2). Kocurek, M.G. 1989. Pulp and Paper Manufacture, Vol 5: Alkaline Pulping. Joint Texbook Committee of The Paper Industry. Atlanta. Ngakan Timur Antara. 2011. Pengembangan serat alam dan pemanfaatannya dalam industri pulp dan kertas. Seminar Balittas-Malang. Smook, G.A. 1994. Pulp and Paper Technologist. Joint Textbook Committee of the Pulp and Paper Indusrty. Canada.
80
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
PEMBUATAN PAPAN SERAT BERKERAPATAN SEDANG MENGGUNAKAN CAMPURAN PULP LIMBAH PEMBALAKAN HUTAN TANAMAN DAN ARANG AKTIF Oleh: Han Roliadi, Rena M. Siagian, Dian Anggraini Indrawan dan Rosi M. Tampubolon Staf Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jalan Gunung Batu No. 5, P.O.Box 182, Bogor 16610 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Papan serat berkerapatan sedang (MDF) sebagai salah satu produk rekonstruksi kayu memiliki banyak kegunaan untuk antara lain bahan isolasi, dinding penyekat, produk furniture, bagian peralatan listrik, bagian interior kendaraan bermotor, dan konstruksi ringan hingga berat. Untuk Indonesia, saat ini ketersediaan kayu hutan alam tropis sebagai bahan baku konvensional industri pengolahan MDF semakin terbatas dan langka. Akibatnya, produksi papan serat Indonesia saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan domestik. Oleh sebab itu perlu dicari sumber alternatif bahan serat berligno-selulosa lain untuk MDF, di antaranya yang cukup potensial adalah limbah pembalakan kayu hutan tanaman industri (HTI). Untuk memperbaiki sifat dan meningkatkan daya guna MDF sehingga memenuhi persayaratan standar, bahan aditif dapat ditambahkan selama proses pembuatannya, seperti perekat tanin-formaldehida (TF), perekat urea formaldehida (UF), dan arang aktif. Terkait dengan uraian tersebut telah dilakukan percobaan pembuatan MDF menggunakan bahan baku limbah pembalakan kayu HTI jenis Eucalyptus hybrid, dicampur dengan bahan aditif tertentu (perekat TF, UF, dan arang aktif). Limbah pembalakan dibuat menjadi serpih, lalu diolah menjadi pulp menggunakan proses semi-kimia soda panas terbuka pada kondisi: konsentrasi NaOH 8%, nilai banding bahan baku serpih dengan larutan pemasak 1 : 8 (b/v), dan suhu pemasakan maximum 100qC yang dipertahankan selama 3 jam. Pembentukan MDF menggunakan cara basah dari campuran limbah pulp pembalakan HTI dan arang aktif dengan komposisi (b/b) 100% + 0%, 97,5% + 2,5%, 95% + 5%, 92,5% + 7,5%, dan 90% + 10%. Sebelum dibentuk lembaran, pada campuran tersebut ditambahkan dua macam perekat (TF dan UF) secara terpisah masing-masing 5%. Rata-rata rendemen pulp sebesar 81,8%, dan konsumsi alkali 7,12%. Produk MDF berperekat TF memiliki sifat kekuatan lebih tinggi dan penambahan panjang lebih rendah dibandingkan pada MDF dengan perekat UF. Peningkatan porsi campuran arang aktif berakibat penurunan sifat kekuatan dan rekat internal (IB), menurunkan pengembangan tebal, tetapi meningkatkan kadar air dan penambahan panjang MDF. Dibandingkan dengan persyaratan JIS, sifat MDF yang banyak memenuhi adalah dengan penggunaan perekat TF. Diharapkan yang belum memenuhi syarat dapat diperbaiki dengan penambahan lebih banyak bahan perekatdan/atau penggunakan cross-linking agent. MDF yang paling menjanjikan adalah MDF dengan perekat TF pada porsi campuran pulp limbah pembalakan-arang aktif 97,5% + 2,5% dan 95% + 5%, dan MDF dengan perekat UF dari campuran pulp limbah pembalakan-arang aktif 97.5%+2.5%, yang mengindikasikan bahwa kinerja perekat TF untuk MDF lebih baik dari pada perekat UF. Kata kunci: Arang aktif, kayu hutan alam, limbah pembalakan kayu HTI, MDF, perekat TF dan UF, sifat fisik dan kekuatan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
81
I. PENDAHULUAN Papan serat didefinisikan sebagai salah satu produk panel hasil rekonstitusi kayu atau bahan berserat ligno-selulosa lain. Papan serat tersebut dibuat dengan pertama-tama menceraiberaikan kayu atau bahan berserat lain menjadi serat-serat terpisah (pulp). Selanjutnya, serat-serat terpisah tersebut dibentuk menjadi lembaran papan serat dengan bantuan media air (proses pembentukan basah) atau media udara (proses kering). Ikatan antar serat bisa berasal dari bahan kimia serat sendiri (lignin termoplastis). Guna memperbaiki sifat-sifat papan serat (seperti kekuatan, ketahanan air, dan ketahanan api), bahan lain bisa ditambahkan selama pembentukan lembaran (aditif internal) atau sesudah lembaran terbentuk (aditif external/finishing), seperti perekat thermosetting, lilin, bahan laminasi/coating, bahan pengawet, bahan tahan api, dan perlakuan minyak (oil tempering). Salah satu keuntungan papan serat adalah dapat dibuat dari kayu bermutu rendah, limbah kayu, atau kayu (bahan berserat ligno-selulosa lain) berukuran kecil. Papan serat banyak digunakan untuk bahan isolasi (peredam suara), dinding penyekat, produk furniture, bagian peralatan listrik (radio, televisi), bagian interior kendaraan bermotor, dan konstruksi ringan hingga berat. Di Indonesia arti penting kegunaan papan serat tercermin dari kecenderungan peningkatan ekspor dan impor papan serat selama periode 2004-2008. Selama periode tersebut expor papan serat meningkat dari 53,4 juta kg menjadi 102,2 juta kg, sedangkan impor pada periode yang sama berkisar 180,0-234,8 juta kg (Anonim, 2008). Terlihat bahwa pada periode tersebut (2004-2008) impor papan serat Indonesia jauh melebihi ekspornya. Ini mengindikasikan bahwa produksi papan serat Indonesia dalam negeri saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan domestiknya. Dewasa ini bahan baku pembuatan papan serat di Indonesia menggunakan bahan baku kayu karet tua (yang sudah tidak produktif lagi menghasilkan getah lateks), jenis tertentu kayu hutan rakyat (HR), dan kayu hutan tanaman (HTI) (Anonim, 2007; 2009). Anjuran menggunakan kayu hutan tanaman kayu sisa sebagai bahan baku papan serat mengacu pada kebijakan soft landing Kementerian Kehutanan, di mana salah satu pokok isinya adalah mengurangi peran kayu hutan alam sebagai pemasok industri perkayuan, termasuk industri pulp/kertas/papan serat, dan mengganti secara bertahap dengan bahan serat berligno-selulosa lain, seperti kayu HR atau HTI dan kayu karet tua (Pasaribu dan Roliadi, 2006), mengingat sumber persediaan kayu hutan alam semakin langka dan terbatas. Di samping itu adanya illegal logging dan pengrusakan hutan alam untuk tujuan konversi (seperti pemukiman penduduk, perkebunan, dan pendirian kawasan industri), berakibat laju kerusakan hutan mencapai 2,87 juta ha/tahun (Anonim, 2006). Sejalan dengan laju pertambahan penduduk Indonesia di masa mendatang, diperkirakan kebutuhannya pada produk kayu (termasuk papan serat) akan meningkat pula. Dikhawatirkan, bahwa kesenjangan (defisit) antara kemampuan produksi papan serat Indonesia dan kebutuhan domestiknya yang sudah terjadi saat ini akan semakin parah lagi di masa mendatang. Hal ini mencetuskan gagasan penggunaan sumber serat berligno-selulosa lain untuk papan serat. Sumber lain yang dapat disarankan untuk hal tersebut adalah limbah kayu hutan tanaman. Potensi limbah pembalakan hutan tanaman diperkirakan sebesar 8-10% dari potensi kayu HTI yang ditanam berdasarkan keseluruhan jenis dan rotasi yang diterapkan yaitu sekitar 150-300 juta m3 kayu/ha. Atas dasar itu potensi limbah pembalakan HTI diperkirakan mencapai 1,5-3,0 juta m3/tahun.
82
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Limbah pembalakan HTI selama ini hanya dibiarkan di tempat penebangan hingga membusuk (Pasaribu et al., 2006). Limbah tersebut jika kering akan mudah terbakar dan selanjutnya menyebabkan kebakaran hutan. Kebakaran tersebut dengan serta merta akan mengurangi areal tutupan hutan dan sekaligus mengakibatkan pemanasan global (emisi karbon ke atmosfir). Dengan demikian pemanfaatan limbah pembalakan HT diharapkan turut berperan menjaga kelestarian, menjaga keseimbangan ekosistem, dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Di antara produk panel papan serat yang berkembang dengan pesat adalah papan serat berkerapatan sedang (medium density fiberboard atau MDF). MDF banyak digunakan untuk antara lain industri furnitur, bagian interior kendaraan bermotor, dinding penyekat, dan bahan dekorasi. Produksi MDF Indonesia pada tahun 2008 tercatat mencapai 26 juta ton (Saptadi, 2009). Dalam rangka meningkatkan nilai tambah MDF, maka pada pembuatannya dapat ditambahkan arang aktif. Arang aktif merupakan bahan berpori produk arang (hasil karbonisasi kayu atau bahan berserat lingo-selulosa lain) yang telah melalui proses aktivasi menggunakan kombinasi uap air panas dan bahan kimia tertentu (antara lain senyawa fosfat atau klorida dalam bentuk larutan), sehingga arang tersebut memiliki luas permukaan besar. Arang aktif yang bersifat polar efektif sebagai absorban (penyerap gas atau cairan bersifat polar, misalnya gas-gas beracun). Diharapkan penambahan arang aktif dalam MDF selain memperbaiki sifat fisik dan menambah daya guna papan serat tersebut, juga mengurangi dampak negatif dari produk tersebut. Terkait dengan segala uraian tersebut, Makalah ini membahas hasil percobaan pembuatan MDF menggunakan bahan baku limbah pembalakan kayu HTI yang dicampur dengan arang aktif. Pada pembuatan MDF tersebut digunakan bahan aditif berupa perekat tanin formaldehida (TF), di mana tanin yang digunakan merupakan bahan hasil ekstrak kulit kayu mangium. Pohon mangium (Aacacia mangium) di Indonesia telah banyak dimanfaatan untuk pembangunan HTI, di mana kayunya dipakai sebagai pemasok utama kebutuhan bahan baku berapa industri pulp/kertas berskala besar di Indonesia. Kulit kayu mangium tersebut belum banyak dimanfaatkan, sehingga potensinya sebagai tanin untuk antara lain bahan perekat cukup potensial. Diharapkan pemanfaatan tanin (sebagai salah satu macam senyawa polifenol) (Sjostrom, 1993; Tsoumi, 1993) untuk perekat dalam pembuatan MDF dapat menyamai bahan perekat konvensional yang sudah banyak digunakan pada pengolahan MDF yaitu urea formaldehida.
II. METODOLOGI A. Bahan dan Alat Bahan utama dalam penelitian ini adalah limbah pembalakan kayu hutan tanaman (HTI) jenis Eucalyptus hybrid yang dikumpulkan dari daerah Sumatera Utara. Bahan kimia yang digunakan soda api (NaOH) teknis, perekat tanin formaldehida (TF) dan perekat ureaformaldehida (UF), dan arang aktif. Alat yang digunakan adalah ketel/panci tahan karat, kompor gas, alat pembentukan lembaran papan serat/MDF (deckle box), alat kempa dingin (cold press), alat kempa panas (hot press), timbangan, oven, dan alat UTM (universal testing machine) untuk pengujian sifat fisik-mekanik MDF.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
83
B. Prosedur Kerja Bahan baku penelitian berupa limbah pembalakan kayu HTI secara manual dijadikan serpih berukuran 2,5 x 2,5 x 0,3 cm. Serpih yang diperoleh dikering udarakan dan ditentukan kadar airnya. Serpih yang telah diketahui kadar airnya siap diolah menjadi pulp untuk MDF. Pembuatan pulp dari serpih limbah pembalakan HTI tersebut dilakukan dengan proses semikimia soda panas terbuka (tekanan udara sekitar satu atmosfir) pada ketel hasil rekayasa Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (P3KKPHH, Bogor) menggunakan konsentrasi NaOH 8%. Kondisi pemasakan (pengolahan pulp) adalah nilai banding bahan baku serpih dengan larutan pemasak 1 : 8 (b/v), suhu pemasakan maximum 100qC yang dipertahankan selama 3 jam. Selesai pemasakan serpih lunak dipisahkan dari sisa larutan pemasak dan dicuci sampai bebas larutan pemasak. Campuran sisa larutan pemasak dan air pencucian pulp diambil sampel untuk penetapan konsumsi alkali. Serpih lunak selanjutnya diuraikan seratnya menjadi pulp, menggunakan alat Hollander beater pada konsistensi 3% hingga serat terurai tersebut (pulp) mencapai derajat kehalusan 700-750 ml CSF. Pulp limbah pembalakan HTI yang diperoleh dikurangi airnya pada alat centrifuge untuk selanjutnya ditentukan rendemen pulp yang diperoleh, dan siap dibentuk menjadi MDF. Untuk pembentukan lembaran MDF, digunakan campuran pulp limbah pembalakan HTI dan arang aktif dengan komposisi berturut-turut (b/b): 100% + 0% (k1), 97,5% + 2,5% (k2), 95% + 5% (k3), 92,5% + 7,5% (k4), dan 90% + 10% (k5). Masing-masing komposisi campuran tersebut disuspensikan dalam air, dan diaduk hingga homogen. Sebelum pembentukan MDF, pada campuran tersebut ditambahkan dua macam perekat (TF dan UF) sebanyak 5% secara terpisah (dasar berat kering oven), dan selanjutnya diaduk pula hingga homogen. Pembentukan MDF dilakukan dengan cara basah (wet process) yaitu berukuran 30 cm x 30 cm x 1,0 cm dengan sasaran kerapatan 0,80 g/cm3 sesuai dengan persyaratan JIS (Anonim, 2003). Pembentukan lembaran MDF menggunakan alat deckle box. Untuk mengurangi air di dalam lembaran yang terbentuk tersebut dilakukan pengempaan dingin (pada suhu kamar) sampai ketebalan papan mencapai 10 mm, dilanjutkan dengan perlakuan panas pada suhu 150qC selama 4 jam, dan sesudahnya dilakukan kempa panas suhu 170qC dengan tekanan kempa 30 kg/cm2 selama 10 menit. Lembaran MDF yang terbentuk dikondisikan pada suhu dan kelembaban tertentu, dan siap diuji sifat fisik-mekaniknya yang mencakup kerapatan, keteguhan lentur (MOE), keteguhan patah (MOR), kadar air, daya serap air, pengembangan tebal. dan perubahan panjang. Prosedur pengkondisian dan pengujian tersebut mengacu pada standar JIS (Anonim, 2003). C. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelaahan sifat pengolahan pulp MDF (rendemen dan konsumsi alkali) dilakukan secara deskriptif yaitu rataan dan simpangan baku, sedangkan penelaahan sifat fisik-mekanik MDF menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial berpola petak terbagi (split plot). Sebagai petak utama adalah macam bahan perekat (P) terdiri dari dari 2 macam yaitu TF (p1), dan UF (p2). Sebagai petak sekunder adalah komposisi campuran pulp limbah dengan arang aktif (K), yaitu 100% + 0% (k1), 97,5% + 2,2% (k2), 95% + 5% (k3), 92,5% + 7,5% (k4), dan 90% + 10% (k5); dan interaksi campuran tersebut dengan macam bahan perekat (KP). Ulangan dari tiap taraf kombinasi faktor KP dilakukan sebanyak 3 kali. Data sifat MDF mencakup kerapatan, kadar air,
84
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
MOE (ditransformasi dalam bentuk logaritma), MOR, pengembangan tebal, perubahan panjang, dan keteguhan rekat internal (internal bond). Jika pengaruh perlakuan (faktor P dan K secara individu, dan interaksi KP) nyata terhadap pengamatan tertentu, maka penelaahan dilanjutkan dengan uji jarak beda nyata jujur (Tukey) (Snedecor and Cochran, 1980).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen dan Sifat Pengolahan Pulp untuk MDF Rendemen pulp limbah pembalakan kayu Eucalyptus hybrid (rata-rata 81,8%, dengan simpangan baku 2,27%) terletak pada selang yang umum pada rendemen pengolahan pulp semikimia (60-85%). Konsumsi alkali yang diperlukan untuk pengolahan pulp kayu eukaliptus tersebut yang sebesar 7,12% (simpangan baku 0,43%), mengindikasikan dari konsentrasi alkali awal yang digunakan untuk pemasakan (pengolahan pulp) tersebut yaitu 8%, hanya tersisa sebanyak 0,88% alkali (NaOH). Berarti sekitar 89% dari NaOH awal digunakan dalam pemasakan, di mana sebagian alkali (NaOH) tersebut digunakkan untuk melunakkan lignin, dan sebagian lagi diserap oleh fraksi karbohidrat limbah kayu. B. Sifat Fisik-Mekanik Hasil analisa keragaman terhadap data sifat fisik dan mekanik MDF (Tabel 1, Tabel 1a, dan Tabel 2) menunjukkan bahwa pengaruh interaksi interaksi antara faktor komposisi campuran (limbah dan arang aktif) dengan faktor macam bahan perekat juga nyata. Penelaahan lebih lanjut terhadap sifat tersebut dilakukan dengan uji BNJ (Tabel 2). Kerapatan MDF dengan perekat tanin formaldehida (TF), yaitu 0,641-0,730 gram/cm3, cenderung lebih rendah dari pada dengan perekat urea formadehida, yaitu 0,633-0,772 g/cm3 (Tabel 2). Di duga karena tanin (polifenol) merupakan makromolekul, sedangkan urea memiliki dimensi lebih kecil dari pada tanin. Dengan demikian diindikasikan pula bahwa luas permukaan partikel perekat/polimer TF jauh lebih kecil dibandingkan polimer UF (Blomquist et al., 1981; Tsoumi, 1993). Hal tersebut berakibat intensitas berkontak (adesi) antara partikel TF dengan permukaan serat (pulp MDF) lebih rendah dibandingkan antara partikel UF dengan permukaan serat. Dengan perkataan lain, diduga dalam struktur ikatan dan anyaman serat dalam MDF dengan perekat TF lebih banyak rongga kosong (kurang kompak/padat) dibandingkan dalam MDF dengan perekat UF. Lebih lanjut, kerapatan MDF yang menggunakan perekat TF cenderung menurun dengan meningkatnya porsi arang aktif. Diduga, semakin tingginya porsi arang aktif tersebut berakibat lebih banyak terjadi interfere terhadap ikatan dan anyaman serat dalam struktur MDF, dan juga interfere terhadap ikatan antara perekat TF dengan permukaan serat pulp MDF. Untuk dengan perekat UF, peningkatan porsi arang aktif hingga 2,5% mula-mula mengakibatkan kerapatan MDF, dan selanjutnya menurun. Diduga sifat higroskopis serat MDF akibat peningkatan porsi arang tersebut berakibat lebih efisiennya penyebaran perekat UF pada permukaan serat dan akibatnya menyempurnakan ikatan/anyaman antar serat (struktur serat MDF lebih kompak). Selanjutnya, porsi arang aktif di atas 2,5%, berakibat pula interfere terhadap ikatan dan anyaman antar serat dan terhadap ikatan perekat UF dengan permukaan serat, seperti halnya terjadi pada
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
85
perekat TF. Secara keseluruhan, kerapatan MDF hasil percobaan memenuhi persyaratannya menurut JIS yaitu 0,35-0,80 gram/cm3 (Anonim, 2003). Kadar air MDF dengan perekat TF (6,358-12,865%) cenderung lebih besar dari pada dengan perekat UF (6,667-10,468%) (Tabel 2). Diduga tanin sebagai polifenol lebih banyak terdapat gugusan polar (terutama OH) dibandingkan urea. Ini berakibat sifat menarik air (higroskopis) MDF dengan perekat TF lebih besar dengan perekat UF. Lebih lanjut, kadar air MDF dengan perekat TF mula-mula meningkat dengan makin tingginya porsi arang aktif hingga 7,5%, dan selanjutnya menurun. Gejala serupa terjadi pada kadar air MDF dengan perekat UF, tetapi pada peningkatan porsi arang aktif hingga 5%. Diduga peningkatan porsi arang aktif hingga sekitar 5-7,5% mula-mula menyebabkan sifat higroskopis MDF meningkat hingga kadar airnya meningkat. Selanjutnya peningkatan melewati 5-7,5% tersebut menyebabkan tertutupnya akses gugusan OH pada serat MDF, sehingga sebaliknya sifat higroskopis MDF menurun. Kadar air MDF yang dikehendaki adalah yang rendah. Di sini seluruh kadar air MDF hasil percobaan terletak pada selang yang dipersyaratkan oleh JIS, yaitu 5-13%. Sifat kekuatan MDF dengan perekat TF (MOR = 123.360-297.245 kg/cm2; MOE = 13.293,1-23.984,2 kg/cm2) cenderung lebih besar dibandingkan dengan perekat UF (MOR = 102.565-165.186 kg/cm2; MOE = 9.150,7-19.350,2 kg/cm2) (Tabel 2). Diduga tanin sebagai polifenol yang bersifat polar menyebabkan perekat TF lebih memiliki akses berkontak dengan permukaan serat sehingga memungkinkan terjadi ikatan kovalen parsial dan gaya Van Der Waals yang lebih intensif dibandingkan pada MDF dengan perekat UF. Di samping itu, diindikasikan bahwa senyawa polimerisasi polifenol tanin dengan formaldehida berakibat struktur kohesi internal perekat TF lebih kuat dibandingkan struktur UF. Lebih lanjut, sifat kekuatan MDF (MOR dan MOE) baik dengan perekat TF ataupun UF mula-mula cenderung meningkat pada peningkatan porsi arang aktif (sekitar 2,5-5%), dan selanjutnya menurun. Diduga peningkatan kadar air akibat meningkatnya sifat higroskopis MDF akibat peningkatan porsi arang mula-mula menyebabkan partikel-partikel perekat TF atau UF lebih terdispersi sehingga terjadi kontak permukaan dan ikatan lebih sempurna antara perekat tersebut dengan serat MDF. Melewati porsi arang aktif 2,5-5%, diduga terjadi lebih banyak interfere terhadap ikatan perekat dengan permukaan serat, sehingga sifat kekuatan MDF menurun. Dibandingkan dengan persyaratan MOR dan MOE menurut JIS, yang memenuhi adalah MDF dari campuran limbah yang dicampur arang aktif sebanyak 2,5-5% menggunakan perekat TF, sedangkan MOR dan MOE MDF yang menggunakan perekat UF seluruhnya tidak memenuhi syarat (Tabel 2). Dalam hal pengembangan tebal, nilainya untuk MDF dengan perekat TF (28.876 61.348%) lebih besar dibandingkan dengan perekat UF (28.401 - 43.462%) (Tabel 2). Dalam konteks ini, ternyata dalam struktur MDF ketahanan perekat TF terhadap air lebih rendah dari pada perekat UF. Diduga sebagaimana diuraikan sebelumnya karena tanin (sebagai polifenol) merupakan makromolekul, sedangkan urea (H2NCONH2) merupakan molekul dengan dimensi jauh lebih kecil, maka dengan demikian luas permukaan partikel tanin (TF) jauh lebih kecil dari pada luas permukaan urea (UF). Hal tersebut memungkinkan banyaknya rongga-rongga udara dalam MDF dengan perekat TF lebih dari pada dalam MDF dengan perekat UF. Akibatnya, ketahanan MDF dengan perekat TF tersebut terhadap air lebih rendah dibandingkan ketahanan MDF dengan UF, dan menurunkan ketsabilan dimensinya. Lebih lanjut, baik dengan perekat TF
86
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
ataupun UF ternyata pengembangan tebal cenderung menurun dengan meningkatnya porsi arang aktif. Sifat partikel arang aktif yang porous, polar, dan memiliki luas permukaan besar, menyebabkan gaya atraksi menarik air meingkat pula, dan akibatnya lebih sedikit molekul air yang terserap ke dalam struktur serat MDF. Pengembangan tebal MDF yang dikehendaki adalah yang rendah, sebab ini terkait dengan sifat kestabilan dimensinya. Dibandingkan dengan persyaratan pengembangan tebal MDF menurut JIS yaitu d 12% (untuk tebal 7-15 mm), maka seluruh MDF hasil percobaan tidak memenuhi syarat (Tabel 2). Diharapkan hal tersebut dapat pula diperbaiki dengan penggunaan perekat yang lebih banyak atau penggunaan cross-linking agent. Keteguhan rekat internal atau internal bond (IB) MDF dengan perekat TF (0,30-1,21%) lebih rendah dibandingkan dengan perekat UF (0,50-1,01 kg/cm2) (Tabel 2). Diduga ini dapat dijelaskan dengan fenomena adesi yang terjadi pada pengembangan tebal, yaitu intensitas adesi antara perekat TF (tanin sebagai makromolekul) dengan permukan serat lebih rendah (lebih banyak rongga-rongga udara, sebagaimana diinidikasikan dari kerapatannya yang lebih rendah pula) dibandingkan antara perekat UF dengan permukaan serat. Selanjutnya, untuk MDF dengan perekat TF, ternyata peningkatan porsi arang aktif hingga 5% mula-mula berakibat IB MDF meningkat dan selanjutnya menurun. Sebaliknya untuk MDF dengan perekat UF, peningkatan porsi arang aktif mengakibatkan IB MDF tersebut menurun. Untuk MDF dengan perekat TF, fenomena tersebut serupa dengan yang terjadi pada sifat kekuatan MDF (MOR dan MOE) (Tabel 2), yaitu diduga peningkatan kadar air akibat meningkatnya sifat higroskopis MDF akibat peningkatan porsi arang mula-mula menyebabkan partikel-partikel perekat TF lebih terdispersi sehingga terjadi kontak permukaan dan ikatan lebih sempurna antara perekat tersebut dengan serat MDF. Melewati porsi arang aktif 5%, diduga terjadi lebih banyak interfere terhadap ikatan perekat dengan permukaan serat, sehingga sifat keteguhan internal (IB) menurun. Untuk MDF dengan perekat UF, diduga dengan peningkatan porsi arang aktif juga terjadi lebih banyak interfere terhadap ikatan perekat tersebut dengan permukaan serat MDF. Keseluruhan IB MDF hasil percobaan ternyata tidak memenuhi persyatannya menurut JIS yaitu t 2,0 kgf/cm2 (Tabel 2). Diharapkan ini dapat diperbaiki pula dengan pengggunaan cross-linking agent. Penambahan panjang MDF dengan perekat TF (0,650-1,959%) lebih kecil dari pada dengan perekat UF (0,744-1,417%), diduga ini ada kaitannya sifat kekuatan MDF (MOR dan MOE) dengan TF yang lebih tinggi dibandingkan dengan UF (Tabel 2). Ini memberi indikasi bahwa penomena kohesi bahan perekat dan fenomena adesi bahan perekat dengan bahan serat terhadap pengujian sifat kekuatan pada arah memanjang lembaran MDF (MOR dan MOE tersebut) memberi respons yang serupa terhadap pengujian kestabilan dimensi MDF juga pada arah memanjang lembaran MDF tersebut (penambahan panjang). Lebih lanjut, penambahan panjang MDF (baik dengan perekat TF ataupun dengan UF) cenderung meningkat dengan peningkatan porsi arang aktif (Tabel 6 dan Tabel 10). Diduga arang aktif tersebut mengakibatkan lebih banyak terjadi interfere terhadap bidang kontak perekat tersebut dengan permukaan serat MDF, akibatnya kestabilan dimensi MDF menurun (penambahan panjang meningkat). MDF yang dikehendaki adalah yang penambahan panjangnya sekecil mungkin (kestabilan dimensi setinggi mungkin). MDF hasil percobaan yang memiliki prospek paling menjanjikan, berdasarkan hasil telaahan skor (melalui manipulasi uji BNJ) adalah MDF dari komposisi campuran limbah-arang
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
87
aktif (97,5% + 2,5% dan 95% + 5%) dengan perekat TF (Tabel 2). Untuk MDF dengan perekat UF, prospek yang menjanjikan adalah MDF dari campuran limbah-arang aktif (97,5% + 2,5%). Penelaahan tersebut juga menindikasikan kinerja perekat TF untuk MDF lebih baik dari pada perekat UF, dengan demikian perekat TF (dari bahan terbarukan) cukup berprospek menggantikan peran bahan perekat UF (dari bahan tidak terbarukan).
V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Rendemen pulp semi-kimia soda panas terbuka dari limbah pembalakan kayu hutan tanaman jenis Eucalyptus hybrid sebesar 81,8%, dengan konsumsi alkali 7,12%. Rendemen tersebut terletak dalam selang yang umum untuk pengolahan pulp semi-kimia (60-85%). 2. Konsumsi alkali (NaOH) sebesar 7,12% mengindikasikan bahwa dari konsentrasi awal NaOH (8%), sekitar 89% digunakan untuk pemasakan serpih limbah pembalakan tersebut menjadi pulp. 3. MDF dengan perekat TF memiliki sifat kekuatan (MOR dan MOE) lebih tinggi dan penambahan panjang lebih rendah dibandingkan pada MDF dengan perekat UF. Akan tetapi, dalam hal pengembangan tebal dan keteguhan rekat internal (IB), keadaan untuk MDF dengan perekat TF lebih buruk dibandingkan dengan perekat UF (pengembangan tebal lebih besar dan IB lebih rendah). Peningkatan porsi campuran arang aktif terhadap limbah pembalakan berakibat penurunan sifat kekuatan dan IB, meningkatkan kestabilan dimensi pada arah tegak lurus lembaran (menurunkan pengembangan tebal), tetapi meningkatkan kadar air dan penambahan panjang MDF. 4. Dibandingkan dengan persyaratan JIS, sifat MDF yang banyak memenuhi adalah dengan perekat TF. Diharapkan yang tidak memenuhi tersebut dapat diperbaiki dengan penambahan lebih banyak bahan perekat (TF atau UF) dan/atau penggunakan cross-linking agent. 5. Berdasarkan telaahan sifat fisik dan mekanik, MDF yang berprospek paling menjanjikan dan banyak memenuhi persyaratan JIS adalah MDF dengan perekat TF pada porsi campuran pulp limbah pembalakan-arang aktif 97,5% + 2,5% dan 95% + 5%, dan MDF dengan perekat UF dari campuran pulp limbah pembalakan-arang aktif 97,5% + 2,5%. Telaahan tersebut mengindikasikan pula bahwa kinerja perekat TF untuk MDF lebih baik dari pada perekat UF, sehingga perekat TF (dari bahan terbarukan) cukup berprospek menggantikan UF (dari bahan tidak terbarukan).
UCAPAN TERIMA KASIH Dengan tersusunnya makalah ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih sebesarnya dan penghargaan setingginya pada Ibu Ir. Rena M. Siagian, MS, yang telah melakukan pencermatan, memberikan petunjuk dan pengarahan selama melaksanakan kegiatan terkait dengan tulisan ini serta Ibu Setyani B. Lestari dan Ibu Yoswita (Teknisi di Lab Teknologi Serat Pusat
88
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor) yang telah membantu penulis dalam kegiatan di laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Fiberboard. Japanese Industrial Standard (JIS) A 5905. Tokyo. Japan. Anonim. 2006. Kayu Hutan Alam Distop Total: Laju Degradasi Mencapai 2,87 Juta Hektar per Tahun. Harian Kompas, tanggal 28 April 2006. Hlm. 22. Jakarta. Anonim. 2009. Masari Board. Environmemtally Friendly Products. PT. Masari Dwisepkat Fiber. Jakarta – Karawang. Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta. Blomquist, R.F., A.W. Christiansen, R.H. Gillespe dan G.E. Myers. 1981 . Adhesive Bonding of Wood and Other Structural materials. Forest Products Laboratory, USDA Forest Service in Cooperation with the University of Wisconsin - Extension. Madison, Wsiconsin. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2005. Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Departemen Kehutanan. Jakarta. Pasaribu, R.A. dan H. Roliadi. 2006. Kajian potensi kayu pertukangan dari hutan rakyat pada beberapa kabupaten di Jawa Barat. Prosiding Seminar Hasil Hutan 2006: Kontribusi Hutan Rakyat dalam Kesinambungan Industri Kehutanan, tanggal 21 September 2006. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Pasaribu, R.A., Dulsalam, H. Roliadi, dan R.M. Siagian. 2006. Penetapan faktor konversi bahan baku serpih beberapa jenis kayu HTI dan limbah pembalakan hutan tanaman. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Pusat Litbang Hasil Hutan. 2007. Hasil Studi Lapangan Pengukuran dan Pengujian Kayu Bulat Berdiameter Kecil (KBK). Laporan Final. Tim Studi Pusat Litbang Hasil Hutan dengan Direktorat Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Saptadi, D. 2009. Kualitas papan isolasi dari campuran kayu mangium dan arang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 27 (4): 291-302. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Sjostrom, E. 1993. Wood Chemistry: Fundamental and Applications. Academic Press, Inc. Orlando – San Diego – New York – L ondon – Sydney – Tokyo. Snedecor, G.W. and W.G. Cochran. 1980. Statistical Methods. The Iowa State College Press. Ames. Iowa. Tsoumi, G. 1993. Science and Technology of Wood: Structure, Properties, and Uses. Van Nostrand Reinhold. New York.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
89
PEREKAT BERBASIS RESORSINOL DARI EKSTRAK KAYU MERBAU Oleh: Adi Santoso dan Jamaludin Malik Peneliti pada Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor 16610 Telp. 0251-8633378; Fax. 0251-8633413 E-mail:
[email protected]
I. PENDAHULUAN Perekat merupakan salah satu bahan utama yang amat penting (20–60% dari seluruh biaya produksi) dalam industri kayu majemuk sampai saat ini, sebagian besar perekat yang digunakan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan industri kayu tersebut adalah perekat sintetis jenis termoset seperti: Urea formaldehida (80%), Phenol formaldehida (10%) dan Melamin formaldehida (10%). Untuk produk kayu keperluan struktural atau bangunan dan perkapalan masih menggunakan perekat impor dari Belgia dan Jepang, yaitu perekat dingin tipe WBP dari jenis phenol resorsinol formaldehida (Phenol Resorcinol Formaldehyde, PRF) dan resorsinol formaldehida (Resorcinol Formaldehyde, RF). Selain itu juga digunakan jenis perekat termoplastik termoset yang berbahan baku isosianat (epoksi), poliuretan atau polivinilasetat dan perekat hotmelt (Santoso, 2011). Menurut data statistik (BPS, 2010), pada tahun 2008 Indonesia mengimpor perekat jenis termoset seperti: Urea formaldehida: 201,9 ton (Rp2,5 milyar), Phenol formaldehida: 56,5 ton (Rp30,9 milyar) dan Melamin formaldehida: 353,8 ton (Rp21,8 milyar). Sementara jenis perekat termoplastik termoset: 2.214,5 ton (Rp28,6 milyar), jenis perekat sintetis lainnya: 1.336,5 ton (Rp38,3 milyar) dan jenis perekat alami: 193,2 ton (Rp3 milyar). Jenis-jenis perekat tersebut di atas sebagian besar merupakan perekat sintetis yang berasal dari hasil pengolahan minyak bumi di mana sumber dayanya bersifat tidak dapat dipulihkan (non renewable). Penggunaannya juga menyebabkan pencemaran dan menghasilkan emisi gas. Untuk itu perlu ditemukan solusi alternatif pengganti bahan baku perekat yang bersumber dari dalam negeri dan bersifat dapat dipulihkan (renewable) serta ramah lingkungan. Upaya penelitian penggunaan bahan perekat berbasis biomassa didasarkan pada tinjauan teoritis bahwa dalam materi tersebut selain terdiri dari lignoselulosa juga terkandung komponen kimiawi yang merupakan campuran senyawa polifenol sehingga reaksinya dengan formaldehida mirip dengan reaksi pembuatan phenol formaldehida (PF). Contoh nyata salah satu hasil penelitian ini adalah penemuan perekat berbahan dasar alami berbasis ekstrak tanin cair dari kulit kayu A. mangium (Santoso, 2005), yang mendorong dilakukannya penelitian sejenis untuk mendapatkan bahan alternatif perekat alami dari pohon/kayu merbau (Intsia spp). Kayu merbau sebagai salah satu jenis kayu komoditi ekspor Indonesia, mudah dikenal dari seratnya yang berwarna merah kecokelatan, memiliki keunggulan dalam kekerasan dan tektur halus kayunya. Kegunaanya cukup luas sebagai property karena sifat fisik dan mekanik yang dimilikinya membuat kayu merbau menjadi sebuah simbol eklusifitas dalam interior (Martawijaya, 2005). Kelemahan kayu ini adalah dalam keadaan hujan atau lembab,
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
91
menyebabkan kayu merbau mengeluarkan senyawaan ekstraktif berwarna merah yang mirip dengan warna larutan fenol atau resorsinol. Keberadaan fenol monosiklik sederhana seperti resorsinol diyakini terdapat dalam jumlah banyak dalam tumbuh-tumbuhan. Peranan senyawa fenolik salah satunya sebagai bahan pembangun dinding sel dan sistem pertahanan tumbuhan terhadap serangga penggerek tanaman (Hans, 2006). Makalah ini mengemukakan hasil penelitian perekat berbasis biomassa tanaman hutan khususnya ekstrak cair dari limbah kayu merbau.
II. KARAKTERISTIK EKSTRAK KAYU MERBAU Ekstrak cair kayu merbau berwarna merah kecokelatan mirip dengan larutan fenol atau resorsinol. Derajat kemasaman (pH) 4,8 dengan rendemen ekstrak padatannya 5,59% (b/b). Hasil identifikasi dengan spektofotometer UV-Vis pada O= 273,50 nm, menunjukkan spektrum senyawa ekstrak cair limbah kayu merbau ini identik dengan resorsinol (Gambar 1), dengan kadar kemurnian 78,03% (b/b). Perolehan kadar resorsinol tersebut cukup besar dan dapat bernilai komersial karena nilainya ada dalam kisaran 70-80% (Palfreyman, 1998). Berdasarkan perhitungan, dari 1 m3 kayu merbau dapat diperoleh 2,55 kg resorsinol.
(a)
(b)
Gambar 1. Spektrum standar resorsinol (a) dan ekstrak kayu Merbau (b)
Hasil analisis lebih lanjut dengan Py-GCMS (Gambar 2) menunjukkan ekstrak cair limbah kayu merbau mengandung senyawa fenolik yang didominasi oleh resorsinol (1,3-benzenediol (CAS) resorcin), dengan waktu retensi 22,187 menit. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa resorsinol yang terkandung dalam ekstrak cair limbah kayu merbau mencapai 55%, bahkan berpotensi lebih besar (73%) bila 1,2,3-Benzenetriol (CAS) 1,2,3-Trihydroxybenzene dapat berubah menjadi 1,3-benzenediol atau 1,3-dihidroksibenzene dengan melepas satu gugus OH (Malik dan Santoso, 2009).
92
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Gambar 2. Kromatogram ekstrak kayu merbau
Hasil analisis gugus fungsi dengan menggunakan spektrofotometer infra merah (FTIR) memperlihatkan ekstrak cair limbah kayu merbau mengandung senyawa yang didominasi senyawa fenolik yang ditunjukkan oleh adanya puncak pita serapan di daerah 3.134 –3.366 cm-1 untuk gugus-OH dan 1.510 – 1.693 cm-1 untuk aromatik (Gambar 3).
100 %T
707.89
841.94
1088.84
1114.87
1029.04
1199.74
1157.31
3134.38
1619.27
50
1342.48
2943.42
60
1452.42
70
1304.87
1510.29
975.03
80
628.80
90
3361.98
40
30
20 E0
4000
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 3. Spektrogram FTIR ekstrak kayu merbau
Berdasarkan hasil analisis dengan difraksi sinar-X diketahui derajat kristalinitas senyawa yang terkandung dalam ekstrak cair kayu merbau 20,86% (Gambar 4).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
93
Gambar 4. Difraktogram ekstrak kayu merbau Dari hasil analisis dengan Differensial Thermal Analysis (Gambar 5) diperoleh suhu transisi fase pelelehan ekstrak cair kayu kayu merbau ini 110,89oC dengan suhu dekomposisi/disosiasi 308,01oC. Suhu transisi fase pelelehan ekstrak cair kayu merbau ini relatif sama dengan suhu transisi fase pelelehan resorsinol, yaitu 111,59 oC (Astu, 2005).
Gambar 5. Termogram ekstrak kayu merbau Hasil analisis dengan IV-meter intrinsic viscosity diperoleh data bobot molekul dari ekstrak cair limbah kayu merbau: 753.
III. FORMULASI DAN KARAKTERISASI PEREKAT Ekstrak cair kayu merbau yang didominasi senyawa resorsinol dapat direaksikan dengan formaldehida dan aditif (katalis), membentuk polimer dan/atau kopolimer untuk aplikasi perekat kayu. A. Polimerisasi Ekstrak Cair Limbah Kayu Merbau Polimerisasi dilakukan dengan mereaksikan formaldehida 37% pada ekstrak cair kayu merbau dengan katalis basa pada suhu kamar. Hasil analisis dengan FTIR terhadap produk reaksi
94
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
tersebut memperlihatkan pita serapan yang berbeda dengan komponen asalnya (Gambar 3 dan Gambar 6), yaitu terbentuknya pita serapan yang baru di daerah bilangan gelombang 2.831cm-1, 1.599cm-1 dan, 1.365 cm-1 dengan intensitas sangat tinggi, yang mengindikasikan terjadinya reaksi antara resorsinol dari ekstrak cair kayu merbau dengan formaldehida membentuk polimer. 105 %T
60
3431.42
45
1045.44 2716.78
775.40
30
2831.55
3220.21
75
2955.00
3117.98
90
1599.02
1364.66
15
0
ET0
4000
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/ cm
Gambar 6. Spektrogram produk reaksi ekstrak kayu merbau dengan formaldehida
Identifikasi terjadinya reaksi di atas dipertegas dengan hasil analisis py-GCMS (Gambar 7) yang memperlihatkan puncak-puncak pita yang berbeda yang didominasi turunan polimer senyawa fenolik yaitu: 5-methoxy-2,3-dimethyl(CAS)-3-methoxy-5,8-dimethylphenol dengan waktu retensi 24,747 menit yang bila dibandingkan dengan puncak-puncak pita ekstrak kayu merbau sendiri yang dominan mengandung resorsinol (1,3-benzenediol atau 1,3dihidroksibenzene), dengan waktu retensi 22,187 menit.
Gambar 7. Kromatogram produk reaksi ekstrak kayu merbau dengan formaldehida
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
95
Hasil analisis dengan difraksi sinar-X menunjukkan senyawa yang terkandung dalam produk reaksi ekstrak cair kayu merbau dengan fomaldehida 37% pada nisbah mol tertentu dengan katalis basa ini memiliki derajat kristalinitas 30,47% (Gambar 8), lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak cair kayu merbau (20,86%), yang mengindikasikan terbentuknya senyawa baru.
Gambar 8. Difraktogram produk reaksi ekstrak kayu merbau dengan formaldehida
Dari hasil analisis dengan Differensial Thermal Analysis (Gambar 9) diperoleh suhu transisi fase pelelehan produk reaksi ekstrak cair limbah kayu merbau dengan formaldehida: 111,08 oC dengan suhu dekomposisi/disosiasi 299,65oC. Suhu transisi fase pelelehan ekstrak kayu merbau ini meskipun relatif sama dengan suhu transisi fase pelelehan ekstrak cair limbah kayu merbau (110,89o C), namun suhu dekomposisi/disosiasinya lebih rendah daripada ekstrak cair kayu merbau (308,01oC).
Gambar 9. Termogram produk reaksi ekstrak kayu merbau dengan formaldehida
96
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Hasil analisis dengan IV-meter intrinsic viscosity diperoleh data bobot molekul dari produk ini: 9.308, meningkat dibanding dengan bobot molekul ekstrak cair kayu merbau sendiri (753), yang mengindikasikan terbentuknya polimer. Produk polimerisasi ekstrak cair kayu merbau ini adalah perekat kayu tipe eksterior yang ketika diaplikasikan pada kayu lamina sengon menghasilkan nilai keteguhan rekat: 21,65–44,27 kg/cm2 dengan kerusakan kayu 80 – 90% (uji kering), dan: 8,82 – 19,16kg/cm2 dengan kerusakan kayu 0% (uji basah). Emisi formaldehida dari kayu lamina sengon yang menggunakan perekat ini 0,22 mg/L yang tergolong F**** (klasifikasi produk paling rendah emisi). Nilai keteguhan rekat dari hasil penelitian sebelumnya terhadap produk dan jenis kayu yang sama berturut-turut 36,96 54,91 kg/cm2 dengan kerusakan kayu 0% (uji kering) (Malik dan Santoso, 2010), 14,64–44,44 kg/cm2dengan kerusakan kayu 50 – 100% (uji kering) dan 7,22 – 22,56 kg/cm2 dengan kerusakan kayu 40 – 70% (uji basah) (Santoso dan Malik, 2011). B. Kopolimerisasi Ekstrak Cair Limbah Kayu Merbau Kopolimerisasi dilakukan dengan mereaksikan sejumlah kecil monomer (resorsinol) dan formaldehida 37% pada ekstrak cair kayu merbau dengan katalis basa pada suhu kamar. Identifikasi terbentuknya kopolimer dengan FTIR ditunjukkan dengan terbentuknya puncakpuncak pita yang berbeda dibandingkan dengan spektrum polimer maupun monomernya, antara lain tidak adanya puncak serapan di daerah bilangan gelombang 2.831cm-1 dan berkurangnya intensitas serapan di daerah bilangan gelombang 1.599cm-1 dan 1.365 cm-1(Gambar 6) yang bergeser ke daerah kedaerah bilangan gelombang 1.586 cm-1 dan 1.358cm-1 (Gambar 10).
100 %T
1469.78
3110.27
70
778.29
2830.59
80
1019.40
90
60
1357.91
50
3425.64
40
20 10 E4
4000
3500
3000
2500
2000
1750
403 13
1586.48
30
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 10. Spektrogram kopolimer berbasis resorsinol ekstrak kayu merbau
Identifikasi terjadinya reaksi di atas dipertegas dengan hasil analisis py-GCMS (Gambar 11) yang memperlihatkan puncak-puncak pita yang berbeda, yang didominasi turunan kopolimer senyawa resorsinol, yaitu: 1,3-benzenediol, 4,5-dimethyl-(CAS)-4,5-dimethylresorcinol dengan waktu retensi 24,378 menit yang berbeda dengan puncak-puncak pita turunan polimer fenolik
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
97
yang dominan mengandung 5-methoxy-2,3-dimethyl dengan waktu retensi 24,747 menit (Gambar 7) .
(CAS)-3-methoxy-5,8-dimethylphenol,
Gambar 11. Kromatogram kopolimer berbasis resorsinol ekstrak kayu merbau
Identifikasi lebih lanjut dengan difraksi sinar-X menunjukkan senyawa yang terkandung dalam produk kopolimerisasi ekstrak cair kayu merbau ini memiliki derajat kristalinitas 23,32% (Gambar 12), lebih mendekati nilai derajat kristalinitas ekstrak cair kayu merbau (20,86%), yang mengindikasikan terbentuknya kopolimer dari resorsinol.
Gambar 12. Difraktogram kopolimer berbasis resorsinol ekstrak kayu merbau
Hasil analisis dengan Differensial Thermal Analysis (Gambar 13) menunjukkan suhu transisi fase pelelehan produk kopolimerisasi ekstrak cair kayu merbau ini: 115,31 oC dengan suhu dekomposisi/disosiasi:468,77oC. Suhu transisi fase pelelehan ekstrak kayu merbau ini lebih tinggi dibandingkan dengan suhu transisi fase pelelehan produk polimerisasi ekstrak cair kayu merbau (111,08o C) yang suhu dekomposisi/disosiasinya: 299,65oC.
98
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Gambar 13. Termogram kopolimer berbasis resorsinol ekstrak kayu merbau
Terbentuknya kopolimer lebih teridentifikasi lagi dengan alat IV-meter intrinsic viscosity yang menetapkan bobot molekul produk tersebut: 49.658, jauh lebih besar dibanding dengan bobot molekul produk polimerisasi ekstrak cair kayu merbau (9.308). Aplikasi produk kopolimerisasi ekstrak cair kayu merbau pada kayu lamina sengon: 44,84 – 56,91 kg/cm2 dengan kerusakan kayu 80 - 100% (uji kering), dan 29,62 – 33,43kg/cm2 dengan kerusakan kayu 20-75% (uji basah). Nilai keteguhan rekat produk perekatan ini lebih tinggi dibanding dengan produk sejenis yang menggunakan produk polimerisasi ekstrak cair kayu merbau. Emisi formaldehida dari kayu lamina sengon yang menggunakan perekat ini: 0,03 mg/L yang tergolong F**** (klasifikasi produk paling rendah emisi). Secara keseluruhan karakteristik dan aplikasi formula produk polimerisasi dan kopolimerisasi dari ekstrak cair kayu merbau ini diringkas pada Tabel 1.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
99
Tabel 1. Karakteristik produk polimerisasi dan kopolimerisasi ekstrak cair merbau sebagai perekat kayu lamina sengon
No.
Produk
Sifat
Polimerisasi
Kenampakan: Bentuk Warna Bau 2. Kekentalan, poise 3. Kemasaman (pH) 4. Bobot molekul 5. Suhu Depolimerisasi, 0C: Titik gelas Dekomposisi/disosiasi 6. Derajat kristalinitas, % 7. Waktu retensi, menit 8. Bobot jenis 9. Solid content, % 10. Formaldehida bebas, % 11. Uji pada kayu lamina sengon a. Keteguhan rekat, kg/cm2: Uji kering Uji basah (100oC, siklus) b. Emisi formaldehida (mg/L) Keterangan: (-) = tidak ada data.
Pembanding
Kopolimerisasi
PF
PRF
1.
Cair Cokelat-hitam Fenol 1,98 11 9.308
Cair Cair Cair Merah-cokelat Merah-cokelat Merah-cokelat Fenol Fenol Fenol 2,87 1,74 3,40 11 11 8 49.658 -
111,08 299,65 30,47 24,75 1,08 14,46 0,1
115,31 468,77 23,32 24,38 1,12 17,64 0,03
1,19 41,03 < 1,0
161 51,53 1,15 57,03 0,04
21,65 – 44,27 8,82 – 19,16 0,22
44,84 – 56,91 29,62 – 33,43 0,03
47,32 21,48 -
-
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Rendemen ekstrak cair kayu merbau: 5,59% (b/b), dengan tingkat kemurnian 78,03%. Berdasarkan identifikasi dengan spektofotometer UV-Vis, FTIR, Py-GCMS, XRD, DTA danIVmeter intrinsic viscosity disimpulkan bahwa senyawa yang terkandung dalam ekstrak cair kayu merbau identik dengan senyawa fenolik (resorsinol), dengan bobot molekul: 753. Ekstrak cair kayu merbau dapat direaksikan dengan formaldehida dalam suasana basa, membentuk polimer berbobot molekul 9.308. Identifikasi terjadinya polimerisasi dapat dilakukan dengan spektofotometer UV-Vis, FTIR, Py-GCMS, XRD, DTA dan IV-meter intrinsic viscosity. Aplikasi produk polimerisasi dari ekstrak cair kayu merbau sebagai perekat menghasilkan kayu lamina tipe eksterior rendah emisi (0,22 mg/L) dengan katagori E0 atau F****. Kopolimerisasi ekstrak cair kayu merbau dengan monomer resorsinol dan formaldehida dalam suasana basa, menghasilkan kopolimer berbobot molekul 49.658. Identifikasi terjadinya kopolimerisasi dapat dilakukan dengan spektofoto-meter UV-Vis, FTIR, Py-GCMS, XRD, DTA dan IV-meter intrinsic viscosity. Aplikasi produk kopolimerisasi dari ekstrak cair kayu merbau sebagai perekat menghasilkan kayu lamina tipe eksterior sangat rendah emisi (0,03 mg/L) dengan katagori E
100
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Teknologi formulasi perekat berbahan dasar terbarukan yang berasal dari tanaman hutan memberikan harapan optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan yang dapat memberikan nilai tambah selain kayu. Dibandingkan dengan perekat sintetis impor, teknologi perekat berbahan baku dari biomassa relatif lebih menguntungkan guna mencapai green technology dan green product. Langkah pemanfaatan ini pelu didukung semua stakeholder perekatan kayu di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2000. Standar Nasional Indonesia: Venir Lamina. Badan Standardisasi Nasional-BSN. Jakarta. SNI-5008.9-2000. _______. 2003. Japanese Agricultural Standard for Structural Glued Laminated Timber. Japanese Agricultural Standard (JAS). Japanese Plywood Inspection Corporation (JPIC). Tokyo. Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Industri Besar dan Sedang: Bahan Baku Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Brandt, T.B. 1953. Mangrove Tannin-Formaldehy de Resins as Hot-Press Plywood Adhesive. Pengumuman No. 37 Balai Penyelidikan Kehutanan. Bogor. Comyn, J. 2004. Theory of Adhesion in Philippe Cognard (Ed.) Adhesion and Sealant: General Knowledge, Application Techniques, New Curing Techniques. Handbook of Adhesive and Sealant Vol. 2. Elsevier. Versailles. France. p: 1-47. Coppens, H.A., M.A.E. Santana and F.J. Pastore. 1980. Tannin formaldehyde adhesive for exterior grade plywood and particleboard manufacture. For. Prod. J. 30(4) : 38-42. Hans. 2006. Concise International Chemichal Assasment: Resorcinol. WHO Library Cataloguing. Hanover. Malik, J. dan A. Santoso. 2009. Peningkatan pemanfaatan kayu merbau untuk produk pertukangan melalui penanggulangan zat ekstraktif. Laporan Hasil Penelitian 2009. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Martawijaya. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Media Aksara. Bogor. Prayitno, T.A. 1996. Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Santoso, A. dan J. Malik. 2011. State of the Art Penelitian Perekat dan Perekatan Kayu di Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Makalah Utama. Disampaikan pada Diskusi Perekatan tanggal 30 Juni 2011 di Bogor. Santoso, A. 2011. Tanin dan Lignin dari Acacia mangium Willd. sebagai Bahan Perekat Kayu Majemuk Masa Depan. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Pengolahan Hasil Hutan. Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan, tanggal 25 Oktober 2011 di Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
101
TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN BIODIESEL NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum L.) Oleh: R. Sudradjat Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tanaman nyamplung adalah tanaman pantai yang tersebar luas merata di seluruh Indonesia. Tanaman ini tumbuh pada tanah yang tandus dan toleran terhadap ketinggian yaitu 0 – 400 dpl, toleran terhadap iklim kering dan basah, range pH yang lebar 4 – 7,4. Produksi biji kering per tahun 10 – 20 ton/hektar dengan jarak tanam 5 m x 5 m. Setiap pohon menghasilkan 50 – 100 kg biji kering dan kadar minyak berkisar 40 - 60%. Berdasarkan analisa citra satelit, luas lahan yang sesuai untuk nyamplung di Indonesia adalah 480.000 ha, yang sudah eksis tanamannya di dalam kawasan dan luar kawasan hutan seluas 255.000 ha. Keuntungan lain dari pengembangan tanaman nyamplung sebagai bahan baku biodiesel di daerah pantai, selain menghasilkan biodiesel untuk para nelayan juga menghasilkan kayu yang keras dan tahan terhadap marine borrer. Kayu nyamplung telah laku dijual secara komersial dengan harga yang lebih tinggi dari kayu sengon. Hal tersebut menyebabkan para nelayan sejak lama telah menggunakan kayu tersebut untuk pembuatan perahu dan dayung mereka. Demikian pula ditinjau dari aspek ekologi, bentuk mahkota daun pohon nyamplung yang rimbun, memungkinkan tanaman ini berfungsi sebagai “wind breaker” di sepanjang pantai. Proses yang sesuai untuk pengolahan biodiesel nyamplung adalah proses ET (esterifikasitransesterifikasi). Hasil penelitian menunjukkan parameter kualitas biodiesel seluruhnya telah sesuai dengan standar SNI 04-7182-2006 dan ASTM D 6751. Biodiesel nyamplung telah dicoba dengan road test menggunakan bus dan jeep dengan jarak tempuh 300 km dengan hasil yang baik. Biodiesel nyamplung yang digunakan adalah B-100 atau biodiesel tanpa campuran solar. Hasil analisis ekonomi menunjukkan BEP 93,46 kg biodiesel per jam, dengan bunga 16% dan masa proyek 10 tahun layak secara ekonomi dengan PBP 4 tahun 8 bulan, NPV Rp 343,8 juta, ARR 32,19%, IRR 33% dan B/C rasio 2,03. Kata kunci: Biodiesel, citra satelit, nyamplung, wind breaker
I. PENDAHULUAN Krisis energi dunia yang terjadi pada dekade terakhir memberikan dampak yang signifikan pada meningkatnya harga bahan bakar minyak (BBM), telah mendorong pengembangan energi alternatif dengan pemanfaatan sumberdaya energi terbarukan (renewable resources). Salah satu bentuk energi alternatif yang saat ini mulai dikembangkan adalah biofuel yang mempunyai tingkat kelayakan teknologi cukup tinggi. Untuk mendorong pengembangan biofuel, pemerintah telah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional diantaranya dengan menetapkan target produksi biofuel pada tahun 2025 sebesar 15% dari total kebutuhan energi minyak nasional dan penugasan kepada Kementrian Kehutanan untuk
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
103
berperan dalam penyediaan bahan baku biofuel. Salah satu tanaman hutan yang mempunyai potensi sebagai bahan baku biofuel adalah nyamplung (Calophyllum inophyllum). Kelebihan nyamplung sebagai bahan baku biofuel adalah biji mempunyai rendemennya yang relatif tinggi dan pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan. Selain itu, nyamplung memiliki keunggulan ditinjau dari prospek pengembangan dan pemanfaatan lain, antara lain: (1) tanaman nyamplung tumbuh dan tersebar merata secara alami di Indonesia, regenerasi mudah dan berbuah sepanjang tahun menunjukkan daya survival yang tinggi terhadap lingkungan; (2) tanaman relatif mudah budidayakan; (3) cocok di daerah beriklim kering, permudaan alami banyak dan berbuah sepanjang tahun; (4) hampir seluruh bagian tanaman nyamplung berdayaguna dan menghasilkan bermacam produk yang memiliki nilai ekonomi; (5) tegakan hutan nyamplung berfungsi sebagai wind breaker/perlindungan untuk tanaman pertanian dan konservasi sempadan pantai; dan (6) pemanfaatan biofuel nyamplung dapat menekan laju penebangan pohon di hutan sebagai kayu bakar. Informasi ini diharapkan akan memudahkan dalam menyusun strategi pengelolaan nyamplung yang menjamin kesinambungan produksi biofuel di Indonesia.
II. PENGOLAHAN A. Perlakuan dan Penyimpanan Biji Biji nyamplung yang sudah dipanen, dikeringkan terlebih dahulu di bawah sinar matahari atau jika alatnya tersedia, dikeringkan dengan menggunakan mesin pengering biji. Apabila sinar matahari cukup terik, pengeringan memerlukan waktu 2-3 hari. Setelah tercapai kondisi kering udara (kadar air 8 - 12%), kemudian biji dikuliti yaitu daging biji dipisahkan dari tempurung/ cangkangnya. Setelah dikuliti, diperoleh rendemen biji sebesar 70% dan cangkangnya 30% (kering udara). Biji dimasukkan ke dalam karung goni yang ditutup rapat dan disimpan digudang, diusahakan lantai gudang dialasi kayu/papan yang tidak begitu rapat agar ada udara yang mengalir dan agar tidak lembab. Ruang penyimpanan diusahakan tidak terlalu dingin dan lembab, suhu ideal adalah 26 - 27oC dan kelembaban sekitar 60 - 70%.
Gambar 1. Buah basah, buah kering, biji sebelum dan dan setelah ekstraksi
104
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
B. Pengupasan, Pengukusan dan Pengeringan Biji Biji nyamplung yang masih ada tempurungnya, dihilangkankan dahulu tempurungnya, kemudian biji tanpa tempurung tersebut dikukus dengan air panas selama 2 jam untuk menghilangkan getahnya atau fraksi tak tersabunkan, kemudian dikeringkan lagi di bawah sinar matahari. Pengeringan biji tanpa tempurung bisa juga dilakukan dengan cara digoreng tanpa minyak (sangray) atau dengan mesin. Pengeringan dilakukan sampai biji nyamplung berwarna coklat kemerahan. Tahapan pengeringan ini sangat penting, karena menentukan besarnya rendemen minyak yang dihasilkan. C. Pengepresan Biji Alat yang digunakan untuk mengekstrak minyak nyamplung dari bijinya ada dua tipe yaitu: mesin pres hidrolik manual, dan mesin pres ekstruder/ulir. Mesin tipe hidrolik sesuai digunakan untuk skala rumah tangga atau rakyat, sedangkan tipe ekstruder digunakan untuk pabrik. Produksi minyak tipe hidrolik sangat kecil yaitu sekitar 10 liter/hari, sedang tipe ekstruder yang mampu dibuat sampai saat ini dapat menghasilkan 100 liter minyak/hari. Hasil pengerpresan selain minyak akan dihasilkan juga limbah berupa bungkil yang terdiri dari tempurung, daging biji dan sisa minyaknya dengan jumlah sekitar 80% dari berat biji kering. Oleh karena itu, pabrik pengolahan minyak nyamplung harus disertai dengan pengolahan limbah bungkil menjadi briket bungkil. Hasil uji laboratorium cara pres dengan menggunakan pelarut kimia menghasilkan minyak sebesar 48,8%, air 23,0%, protein 11,4% dan karbohidrat sebesar 5,3% atau total sebesar 63,5%. D. Pemisahan Kotoran (Deguming) Minyak yang keluar dari mesin pres umumnya berwarna hitam gelap, karena banyak mengandung kotoran yang berasal dari kulit dan senyawa kimia seperti alkoloid, fosfatida, karotenoid, khlorofil dan lain-lain yang berwarna gelap. Proses deguming adalah untuk memisahkan kotoran dari minyak, dilakukan pada suhu 80oC selama 15 menit. Endapan yang terjadi dipisahkan, kemudian dicuci dengan air hangat suhu 600C sampai jernih. Proses deguming dilakukan dengan menambahkan asam fosfat teknis sebanyak 0,3-0,5% (b/b) minyak, sehingga akan terbentuk senyawa fosfatida yang mudah terpisah dari minyak. Kemudian senyawa tersebut dipisahkan berdasarkan berat jenis, yaitu senyawa fosfatida berada di bagian bawah dari minyak. E. Pengolahan Minyak Nyamplung Menjadi Biodiesel Setelah minyak nyamplung dipisahkan getahnya, dianalisis kadar asam lemak bebasnya (FFA) dan ditetapkan besaran jumlah preaksi metanol yang digunakan, kemudian diolah lanjut menjadi biodiesel. Proses esterifikasi-transesterifikasi (ET), proses ini digunakan apabila kadar FFA dari refined oil cukup tinggi, karena apabila proses yang digunakan langsung transesterifikasi maka asam lemak bebas bukan diubah menjadi biodiesel, tetapi menjadi sabun. Prinsip proses ini adalah melakukan terlebih dahulu proses esterifikasi sebelum proses transesterifikasi. Hasil penelitian menunjukkan, untuk proses esterifikasi, perbandingan molar metanol terhadap kadar FFA minyak nyamplung hasil deguming yang optimum adalah 20 : 1, katalis HCL 1% dan lama reaksi 1 jam. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
105
Setelah itu barulah dilakukan proses pengolahannya. Proses trasnsesterifikasi dilakukan sama dengan esterifikasi hanya perbandingan molar metanol terhadap minyak adalah 6 : 1, katalis yang digunakan KOH 0,5%, lama reaksi 0,5 jam Proses esterifikasi-esterifikasi-transesterifikasi (EET), proses ini digunakan apabila kadar FFA dari refined oil sangat tinggi, sehingga kadar asam lemak bebasnya juga tinggi. Kadar asam lemak bebas tersebut harus diubah dahulu dengan proses esterifikasi sebanyak 2 kali, sehingga asam lemak bebas dapat terbentuk menjadi metil ester dari pada terbentuk sabun. Prosedurnya sama dengan proses ET hanya saja proses esterifikasi dilakukan sebanyak 2 kali. Apabila dengan 2 kali esterifikasi belum berhasil (biasanya dalam keadaan ekstrim), maka dilakukan proses netralisasi dengan NaOH teknis untuk mengubah asam lemak bebas menjadi sabun. Risiko proses netralisasi ini adalah menurunnya nilai rendemen.
Biji NYAMPLUNG
ESTERIFIKASI (E)
PENGUPASAN, PENGUKUSAN, PENGERINGAN
TRANSESTERIFIKASI (T)
EKSTRAKSI/PENGEPRESAN
PENCUCIAN DAN PEMURNIAN cruid oil
DEGUMING BIODIESEL NYAMPLUNG
refined oil
Gambar 2. Diagram alir proses produksi biodiesel dari biji nyamplung
III. KARAKTERISTIK MINYAK NYAMPLUNG Karakterisasi sifat fisiko kimia minyak nyamplung dilakukan dalam rangka mengevaluasi perubahan karakteristik minyak tersebut yang terjadi setelah proses pengolahannya menjadi biodiesel. Pada Tabel 1 diperlihatkan karakteristik minyak nyamplung sebelum deguming (crude oil) dan sesudah deguming (refined oil). Minyak nyamplung tersusun oleh beberapa komponen asam lemak utama yaitu asam palmitat, stearat, oleat dan linoleat, yang jumlah keseluruhan dari empat jenis asam lemak tersebut yaitu 98,46%. Jumlah komposisi asam lemak utama pada minyak jarak pagar sebesar 93,1%, dan minyak kelapa sawit 95,7%. Dengan demikian minyak nyamplung memiliki kemiripan dengan minyak-minyak tersebut yang sudah biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.
106
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Tabel 1. Sifat fisiko kimia minyak nyamplung Karakteristik Kadar air Densitas pada suhu 20oC Viskositas suhu 40 oC Bilangan asam Kadar asam lemak bebas Bilangan penyabunan Bilangan iod Indeks refraksi Penampakan
Sebelum deguming (Crude oil) 0,25% 0,944 g/ml 56,70 cP 59,94 mg KOH/g 29,53% 198,1 mg KOH/g 86,42 mg/g 1,477 Hijau gelap dan kental dengan bau menyengat
Sesudah deguming (Refined oil) 0,41% 0,940 g/ml 53,4 cP 54,18 mg KOH/g 27,21% 194,7 mg KOH/g 85,04 mg/g 1,478 Kuning kemerahan dan kental
Pustaka 0,920 - 0,940 g/ml Kental 14,65 mg KOH/g 7,4% 100 - 115 mg/g 1,475 - 1,482 Hijau dan kental bau seperti olive oil
Sumber: Sudradjat (2007)
Tabel 2. Komposisi asam lemak minyak nyamplung Minyak nyamplunga)
Komponen Asam Miristat C14) Asam Palmitat (C16) Asam stearat (C18) Asam Oleat (C 18:1) Asam Linoleat (C 18:2) Asam Linolenat (C 18:3) Asam Arachidat (C20) Asam Erukat (C20:1)
Minyak jarak pagarb)
Minyak sawitc)
0,09
-
0,7
14,6 19,96 37,57 26,33 0,27 0,94 0,72
11,9 5,2 29,9 46,1 4,7 -
39,2 4,6 41,4 10,5 0,3 -
Keterangan: a) Hasil analisis; b) Haas dan Mittelbach, 2000; c) Darnoko, 2005 Sumber: Sudradjat (2007)
IV. KUALITAS BIODIESEL NYAMPLUNG Analisis sifat fisiko kimia biodiesel terdiri dari massa jenis, viskositas kinematik, bilangan setana, titik nyala, titik kabut, korosi kepingan tembaga, residu karbon, air dan sedimen, suhu distilasi, abu tersulfatkan, belerang, fosfor, bilangan asam, gliserol total, kadar ester alkil dan bilangan iodium. Metode uji menggunakan prosedur dari ASTM, AOCS dan SNI. Sifat-sifat biodiesel minyak nyamplung hampir seluruhnya telah memenuhi persyaratan SNI 04-7182-2006. Khusus untuk bilangan asam dengan proses EET dapat diturunkan dari nilai yang sangat tinggi 59,94 mg KOH/g menjadi sangat rendah, sehingga memenuhi persyaratan SNI.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
107
Kadar ester alkil sebesar 96,99% secara langsung menunjukkan bahwa proses EET telah sesuai untuk pembuatan biodiesel minyak nyamplung, karena nilainya lebih tinggi dari standar (96,5%).
Tabel 3. Sifat fisiko kimia biodiesel nyamplung dibandingkan dengan standar SNI 04-7182-2006 No.
Parameter
Satuan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
kg/m3 mm2/s(cSt) o c o c -
ASTM D1298 ASTM D445 ASTM D613 ASTM D93 ASTM D2500 ASTM D130
850-890 2,3-6,0 Min. 51 Min. 100 Maks. 18 Maks.no 3
% massa
ASTM D4530
8. 9. 10. 11.
Massa jenis pada 40oC Viskositas kinematik pada 40 oC Bilangan setana Titik nyala (mangkok tertutup) Titik kabut Korosi kepingan tembaga (3 jam pada 50oC) Residu karbon dalam: - Contoh asli - 10% ampas distilasi Air dan sedimen Suhu distilasi 90% Abu tersulfatkan Belerang
ASTM D1796 ASTM D1160 ASTM D874 ASTM D1266
0 340 0,026 16
12.
Fosfor
ASTM D1091
Maks. 10
0,223
13. 14. 15. 16.
Bilangan asam Gliserol total Kadar ester alkil Bilangan iodium
% volume c % massa ppm-m (mg/kg) ppm-m (mg/kg) Mg KOH/g % massa % massa % massa (g I2/100 g)
Maks.0,05 Maks.0,30 Maks.0,05 Maks. 360 Maks.0,02 Maks. 100
AOCSCd 3d-63 AOCS Ca 14-56 SNI04-7182-2006 AOCS Cd1-25
Maks. 0,8 Maks.0.24 Min. 96,5 Maks. 115
0,76 0,222 96,99 85
7.
o
Metode Uji
Nilai
Biodiesel Nyamplung 880,6 5,724 71,9 151 38 1b
0,04
Keterangan: Analisis dilakukan di Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) Jakarta dan P3HH Bogor Sumber: Sudradjat (2010)
Beberapa parameter kualitas nyamplung yang memenuhi syarat SNI 04-7182-2006 adalah: bilangan setana, bilangan asam, titik nyala, korosi kepingan tembaga, suhu destilasi, belerang, phospor, gliserol total, ester alkali dan bilangan iod. Beberapa parameter yang belum memenuhi standar adalah: viskositas, titik kabut dan residu karbon. Bilangan setana menentukan suhu ruang pembakaran dan kemudahannya untuk mesin di starter, bilangan asam menentukan tingkat korositas biodiesel terhadap mesin, titik nyala berhubungan dengan keamanan pengangkutan biodiesel karena kemudahannya terbakar, ester alkali menunjukkan persentase asam lemak yang diubah menjadi metil ester, bilangan iod menunjukkan banyaknya jumlah ikatan rangkap pada asam lemak, viskositas menunjukkan kekentalan biodiesel yang menentukan kelancaran aliran dalam permesinan, titik kabut berhubungan dengan kemudahannya biodiesel tersebut membeku. Parameter lainnya berhubungan dengan emisi dan polusi.
108
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Sifat yang menonjol dari minyak nyamplung adalah dengan porsi 30% minyak nyamplung terhadap solar sudah memberikan bilangan setana yang sesuai dengan standar SNI. Artinya nilai kalor dari minyak tersebut pada porsi 100% tanpa pencampuran akan sangat tinggi. Sifat ini akan menguntungkan bila minyak nyamplung digunakan untuk tujuan pembakaran langsung seperti pengganti minyak tanah (biokerosene). Titik kabut yang tinggi akan menyebabkan biodiesel mudah membeku pada suhu ruang, hal ini disebabkan kandungan asam lemak rantai panjang (C20) yaitu asam arachidat dan eurekat. Kedua asam tersebut menyebabkan tingginya nilai kalor, tapi di pihak lain juga menyebabkan biodiesel mudah membeku. Oleh karena itu, dianjurkan biodiesel nyamplung penggunaannya untuk sementara waktu hanya sebagai pencampur solar (<30%). Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh asam lemak telah dikonversi menjadi bentuk metil ester. Komposisi kimia biodiesel dari minyak nyamplung yang dianalisis menggunakan GCMS (Gas Chromatography Mass Spectrofotometry) menunjukkan bahwa biodiesel terdiri dari metil ester yang berasal dari asam lemak jenuh dan tidak jenuh (C:8 – C:22) dengan metil ester yang dominan adalah metil palmitat, metil stearat, metil oleat dan metil linoleat. Sebagian kecil terdiri dari metil ester yang berasal dari asam lemak dari rantai pendek adalah metil kaprilat dan metil peralgonat. Metil ester yang berasal dari lemak jenuh rantai panjang diantaranya metil arakhidat, metil erukat dan metil behenat. Karakteristik biodiesel nyamplung sangat dipengaruhi oleh titik leleh dan titik kabut, metil stearat, oleat, linoleat, linolenat dan palmitat.
Tabel 4. Komposisi biodiesel dari minyak nyamplung hasil analisis GCMS No.
RT Area (menit) (%)
Nama sistematik
Nama dagang
Karbon Titik leleh (oC)
1.
3,91
0,06
Metil ester asam Oktanoat
Metil kaprilat
C8:0
16,7
2.
6,81
0,04
Metil ester asam Tetradekanoat
Metil miristat
C14:0
54,4
3.
7,03
0,09
Metil ester asam Nonanoat
Metil pelargonat
C9:0
12,5
4.
7,91
14,67 Metil ester asam Hexadekanoat
Metil palmitat
C16:0
30,5
5.
8,03
0,43
Metil ester asam 9-Hexadesenoat
Metil palmitoleat
C16:1
30
6.
8,52
0,24
Metil ester asam Heptadekanoat
Metil margarat
C17:0
61,3
7.
9,55
24,34 Metil ester asam Oktadekanoat
Metil stearat
C18:0
39,6
8.
9,73
33,59 Metil ester asam 8-Oktadesenoat
Metil oleat
C18:1
-19,9
9.
10,15
23,94 Metil ester asam 10,13 Oktadekadienoat
Metil linoleat
C18:2
-35,0
10.
10,65
0,23
Metil ester asam 9,12,15, Oktadekatrinoat Metil linolenat
C18:3
-52,0
11.
11,34
1,27
Metil ester asam Eikosanoat
Metil arakhidat
C20:0
45,8
12.
11,54
0,29
Metil ester asam 11-Eikosanoat
Metil erukat
C20:1
-15,0
13.
13,33
0,44
Metil ester asam Dokosanoat
Metil behenat
C22:0
53,2
14.
13,48
0,02
Metil ester asam 9-Oktadekanoat
Metil vaccenat
C18:1
44
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
109
V. PEMBUATAN BIOKEROSIN Alternatif lain dari pembuatan minyak nyamplung adalah sebagai pengganti minyak tanah (biokerosene). Pemanfaatannya untuk biokerosene akan lebih realistis dan lebih menyentuh masyarakat pedesaan khususnya masyarakat yang kurang mampu. Cara pembuatannya terdri dari 2 tahap yaitu proses Deguming dan Netralisasi. 1. Proses Deguming Minyak nyamplung apabila akan digunakan sebagai biokerosin lebih dahulu harus dihilangkan getahnya denga proses deguming, karena keberadaan getah akan meyebabkan minyak tidak bisa mengalir ke sumbu bagian atas, demikian pula pada aplikasi kompor semawar akan membuat nozzle akan menjadi tersumbat. Prosedur proses deguming sama seperti prosedur proses deguming untuk pembuatan biodiesel. 2. Proses Netralisasi Tujuannya adalah mengurangi viskositas dengan jalan mengendapkan bagian tersabunkan serta memberi warna minyak yang lebih cerah. Caranya yaitu : setelah minyak dipisahkan dari getah dengan cara dekantasi, kemudian minyak direaksikan dengan NaOH teknis. Banyaknya NaOH yang ditambahkan tergantung besarnya nilai kandungan FFA yang dinyatakan dalam satuan derajat Be. Kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 60oC selama 15 menit, selanjutnya didekantasi untuk mengendapkan sabun selama 1 jam. Minyak dipisahkan dari sabun dengan cara gravitasi.
VI. KEGIATAN YANG TELAH DILAKUKAN Kegiatan penelitian dan pengembangan biodiesel nyamplung di Kementrian Kehutanan telah dilaksanakan sejak tahun 2005 – 2008 dengan hasil sebagai berikut: 1. Biodiesel hasil penelitian menghasilkan biodiesel yang sesuai dengan standar SNI dan ASTM. 2. Hasil biodiesel telah dilakukan uji kinerja permesinannya dengan memberikan hasil yang baik dan emisis gas yang bebas dari polutan. 3. Telah dilakukan road test menggunakan kendaraan jeep dan bus sejauh 330 km dengan hasil yang baik dan lancar tanpa memberikan kerusakan apapun pada mesin. 4. Telah melakukan sosialisasi teknologi biodiesel di dalam dan luar negeri yaitu di Jakarta, Purworejo, Kebumen, Ciamis, Kulonprogo, Banyuwangi, Riau, Pencana-ngan Hari Tanam Indonesia di Cibinong dan Banten (2008), di China (2008), di Konferensi Bioenergy Asia Pasific di Jakarta (2008) dan di Singapura (2008).
110
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
VII. KESIMPULAN 1. Tanaman nyamplung adalah tanaman yang habitatnya di daerah pantai, menyukai tanah pasir berlempung (sandy loam). Struktur pohon rindang, bercabang banyak dan tinggi > 20 meter. Mulai berbuah pada umur 5 tahun, biasanya mulai berbuah sekitar bulan Juli sampai Desember. 2. Tanaman ini ini bisa tumbuh pada tanah yang tandus, cukup toleran pada ketinggian yaitu 0 -400 meter dpl, toleran terhadap iklim kering sampai sangat basah (curah hujan 1000 3000 mm). 3. Kelebihan tanaman nyamplung dari tanaman biofuel lainnya yaitu nyamplung tumbuh dan tersebar secara alami hampir di seluruh pantai berpasir di Indonesia, relatif mudah dibudidayakan, produktifitas biji lebih tinggi, pemanfaatan nyamplung sebagai biofuel tidak berkompetisi dengan kebutuhan pangan, hampir seluruh bagian tanaman berdaya guna dan memiliki nilai ekonomi serta dapat di tanam sebagai tanaman wind breaker dan konservasi sempadan pantai. 4. Cara pengolahan biji nyamplung menjadi biodiesel terdiri dari beberapa tahapan: a. Perlakuan dan penyimpanan biji, b. Pengupasan, pengukusan dan pengeringan biji, c. Pengepresean biji, d. Pemisahan kotoran minyak/degumming, e. Pengolahan minyak menjadi biodiesel dengan cara proses esterifikasi transesterifikasi, dan f. Pencucian dan pemurnian biodiesel. 5. Parameter kualitas biodiesel nyamplung adalah: berat jenis, viskositas kinematik, bilangan setana, titik nyala, titik kabut, residu karbon, korosi air dan sedimen, suhu destilasi, abu tersulfatkan, belerang, fosfor, bilangan asam, gliserol total, kadar ester álkali dan bilangan iodium. Seluruh parameter tersebut sudah sesuai dengan stándar SNI 04-7182-2006 dan ASTM D 6751.
DAFTAR PUSTAKA Rahman, F. dan A. Prabaswara . 2008. Biji Nyamplung sebagai sumber energi alternatif. Pemenang Karya Tulis SMA Wisata Iptek 2007. Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Indartono, Y.S. 2005. Krisis Energi di Indonesia: Mengapa dan harus bagaimana. INOVASI Online. Ed. Vol.5/XVII/November 2005 Website: http://io.ppi-jepang.org Email:
[email protected]. Friday, J.J. and D. Okano. 2006. Calophyllum inophyllum-Kamani. Jøker, D. 2004. Calophyllum inophyllum L. Seed Leaflet No 87 (was prepared in collaboration with indonesia forest seed project). Forest & Landscape. Denmark. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I (Ed. Revisi). Badan Litbang Kehutanan. DEPHUT. Bogor. Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
111
Nandiyanto, A.B.D. dan F. Rumi. 2006. Biogas sebagai peluang pengembangan energi alternatif. Inovasi Online. Ed. Vol.8/XVIII/November 2006. Website: http://io.ppi-jepang.org Email:
[email protected]. Rochandi, I. 2008. Biji buah nyamplung bahan baku alternatif minyak tanah. The Journalist online. dilihat pada tanggal Juli 2008. http://www. seputar-indonesia.com/edisicetak/ragam/ biji-buah-nyamplungbahan-baku-alternatif-minyak.html. The Journalist. Sahirman. 2008. Penelitian Pembuatan Biodiesel dari Biji Nyamplung dengan Proses Esterifikasi dan Transesterifikasi. Disertasi. Fakultas Teknologi Industri. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soerawidjaja, T.H. 2005. Potensi sumber daya hayati Indonesia dalam menghasilkan bahan bakar hayati BBM. Makalah Lokakarya “Pengembangan dan Pemanfaatan Sumber Energi Alternatif Untuk Keberlanjutan Industri Perkebunan dan Kesejahteraan Masyarakat”. Hotel Horrison. Bandung. Sudrajat, R. 2006. Laporan pembuatan biodiesel dari biji nyamplung. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. (tidak diterbitkan). Sulaeman, A.G. 2008. Jenis-jenis tanaman biofuel dan karakteristiknya - Calophyllum elatum. http://macklin.tmip-unpad.net.
112
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Lampiran: PENELITIAN DAN PILOT PLANT ENERGI YANG TELAH DILAKUKAN TAHUN 1970 -2010 No. 1.
2.
Tahun
Judul Penelitian
1965 – 1970 Pembangunan tungku arang kapasitas 12 m3 model “IshikawaSutarna” di Ciromed, Sumedang. 1970 – 1980 Pembuatan berbagai jenis pawon (tungku) efisiensi tinggi model untuk rumah tangga. Penelitian nilai kalor dari 112 jenis kayu.
3.
4.
1980 – 1985 - Pembuatan biogas dari kotoran sapi dan limbah pertanian.
Pelaksana
Keterangan
Sutarna, Yaqob Ando, Hartoyo, dan Ishikawa
Produk arang, cuka kayu dan ter
Hartoyo, Sudradjat, Salim Soleh, Yaqob Ando dan Tjutju N.
Tungku: Singer, model FAO, Thailand, China dan model P3HH
Hartoyo, Sudradjat, Salim Soleh dan Yaqob Ando
Jenis-jenis kayu komersial, pertumbuhan cepat dan limbah pertanian
Sudradjat, Tjutju N., Sukandar, Nurmala, dan Salim S.
- Pembuatan tungku/kiln, pembuatan arang dari serbuk gergaji, limbah pembalakan, tungku Mark V (FAO) untuk areal transmigrasi.
Sudradjat, Hartoyo Nurmala Salim Soleh dan Mahpudin
Jenis-jenis kayu komersial, pertumbuhan cepat dan limbah pertanian
- Pembuatan pilot plant gasifikasi dari kayu dan arang kapsitas 1 ton/hari (down/up draft)
Hartoyo, Sudradjat, Gustan Pari, Djeni, Nurmala, Mahpudin dan Tim ITB
Kerjasama dengan ITB
Hartoyo, Gustan Pari, Nurmala dan Salim Hartoyo, Sudradjat, Gustan Pari, Djeni H., Tjutju N., Nurmala, Sri K., Gusmailina, Made W., F. Sembiring, Sukandar, Dadang dan Erik Dalian
Kayu dan biomasa
- Penelitian arang, briket arang, dan arang aktif 1985 – 1990 - Penelitian eceng gondok, limbah hasil pertanian dan sampah kota untuk biogas dan tenaga listrik - Pembangunan pilot plant limbah dari sampah kota 1 ton/hari
Kerjasama dengan Belgia ATA 251
- Pembangunan pilot plant gasifikasi fluidized bed kap. 1 ton/hari - Penelitian arang dan arang aktif 5.
1990 – 2000 - Penelitian arang kompos, cuka kayu - Penelitian arang, briket arang dan arang aktif
6.
2000 – 2010 - Penelitian biodiesel dari jarak pagar, nyamplung, kesambi dan kepuh
Hartoyo, Gustan Pari, Salim S. dan Mahpudin Tjutju N, Sri K., Gusmailina dan Mad Ali Hartoyo, Gustan Pari, Djeni H., Nurmala, Mahpudin, Dadang S. dan Salim S. Sudradjat, Djeni H., Sahirman, Dadang S. dan Mad Ali
- Penelitian arang, arang kompos, briket arang, arang aktif, biopelet dan cuka kayu
Gustan P., Djeni H., Tjutju N, Sri K., Gusmailina, Dadang S., Salim S., Mahpudin dan Mad Ali
- Penelitian epoxy, poliol dan polyurethane dari minyak jarak pagar
Sudradjat, Ratri, Yetti, Dadang S. dan Mad Ali
- Penelitian bioetanol
Sudradjat, Djeni H. Dadang S. dan Mad Ali
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
113
PEMANFAATAN SLUDGE DARI INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI PULP DAN KERTAS SEBAGAI BAHAN BAKU BIOETANOL Oleh: Rina S. Soetopo, Sri Purwati, Susi Sugesty dan Yusup Setiawan Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK), Kementerian Perindustrian Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian pemanfaatan limbah sludge IPAL industri pulp dan kertas untuk bahan baku bioetanol telah dilakukan pada skala laboratorium dengan sistem batch. Penelitian dilakukan terhadap 4 jenis sludge dari industri pulp dan kertas yang berbeda, yang diawali dengan uji potensi sludge sebagai bahan baku bioetanol melalui proses sakarifikasi sludge 2%. Bagi sludge yang memiliki efisiensi sakarifikasi lebih besar dari 75%, dianggap memiliki potensi. Penelitian dilakukan terhadap sludge terpilih. Percobaan dilakukan dalam 3 tahap yaitu (1) penentuan kondisi optimum hidrolisis selulosa dalam sludge; (2) Penentuan kondisi optimum fermentasi gula hasil proses hidrolisis dan (3) Percobaan sakarifikasi-fermentasi serentak. Proses hidrolisis dilakukan dengan rancangan percobaan RAL dengan 3 faktor perlakuan yaitu kadar padatan sludge (2-8%), dosis selulase (5,0-27,0 FPU/g selulosa) dan lama inkubasi (24 - 96 jam). Beta glukosidase ditambahkan sebanyak 6,7 IU/FPU pada setiap perlakuan. Kondisi percobaan hidrolisis ditentukan berdasarkan kondisi optimum selulase yaitu pada suhu 50oC; pH 5,5 dan putaran pengadukan 110 rpm. Parameter pengamatan adalah konsentrasi gula pereduksi, dan efisiensi proses hidolisis. Metoda uji gula pereduksi mengacu pada cara Somogy Nelson. Percobaan proses fermentasi merupakan lanjutan proses hidrolisis dari perlakuan yang menghasilkan kadar gula pereduksi tertinggi. Variasi perlakuan proses fermentasi adalah pH dan waktu inkubasi. Kondisi percobaan fermentasi adalah suhu 28oC dan jumlah inokulum ragi Saccharomyces Cereviceae 10% v/v dengan jumlah sel 106 per mL. Pengamatan kadar bioetanol dengan metoda GC. Hasilujipotensi sludge menunjukkan bahwa sludge (A) dan sludge (B) pada padatan total 2% memiliki efisiensi sakarifikasi lebih besar dari 75%, dimana sludge (A) adalah sludge primer yang berasal dari pabrik kertas berbahan baku virgin pulp, sedangkan sludge (B) adalah sludge primer yang berasal dari pabrik pulp dan kertas berbahan baku kayu. Kondisi optimum untuk proses hidrolisis adalah kadar padatan sludge 6%, dengan penambahan selulase sebesar 9 FPU/g selulosa dan beta glukosidase 6,7 U/FPU pada kondisi pH 5,5 dan suhu 50oC selama 48 jam. Kadar gula pereduksi yang dihasilkan adalah 31,3%, dari sludge A dengan efisiensi hidrolisis 64% dan 36,2%, dari sludge B dengan efisiensi 64%. Proses SSF telah dilakukan pada pH 4,5, suhu 28oC selama 96 jam menghasilkan etanol dengan konsentrasi sebesar 3,45% menggunakan substrat sludge A, dan 2,89% menggunakan sludge B. Efisiensi masingmasing adalah 72% dengan substrat sludge A dan 60% dengan subsrat B. Kata kunci: Bioetanol, fermentasi, hidrolisis, selulase, sludge, S. Cereviceae I. PENDAHULUAN Di Indonesia terdapat 84 industri pulp dan kertas dengan kapasitas terpasang produksi pulp 6,2 juta ton per tahun dan kapasitas terpasang produksi kertas 10,9 (APKI, 2008). Industri pulp dan kertas dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu industri pulp dan kertas terpadu dan non terpadu sebagai industri pulp atau industri kertas. Industri pulp dan kertas terpadu menggunakan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
115
bahan baku kayu, sedangkan industri kertas menggunakan bahan baku virgin pulp atau bahan baku kertas bekas. Selain menghasilkan produk kertas yang berkualitas dan memiliki nilai ekspor yang tinggi, juga menghasilkan limbah lumpur (sludge) yang cukup besar, terutama yang dihasilkan dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Jumlah produksi sludge IPAL tersebut sangat besar berkisar antara 2-10% (kadar air 70%) dari kapasitas produksi. Sludge IPAL dari industri pulp dan kertas, umumnya terdiri dari sludge primer yang berasal dari IPAL sistem fisikakimia, dan sludge sekunder yang berasal dari IPAL sistem biologi. Komponen utama dari sludge primer adalah serat selulosa halus yang lolos dari mesin kertas dan keluar bersama air limbah, sedangkan komponen utama dari sludge sekunder adalah biomassa mikroba. Umumnya, jumlah sludge primer jauh lebih banyak dari sludge sekunder. Berdasarkan komponennya, sludge primer banyak mengandung bahan organik terutama selulosa. Achira (2006) dan Purwati (2006) menjelaskan bahwa komposisi sludge primer IPAL dari industri pulp dan kertas terdiri dari selulosa 21,1%, hemiselulosa 4,1%, lignin 9,0% dan abu 46,5%. Sedangkan menurut Lynd et al. (2001) komposisi limbah sludge dari industri pulp dan kertas terdiri dari karbohidrat 42%; kadar abu 23,2% dan bahan tervolatile 17,4%. Knutson (2007) juga menjelaskan bahwa sebagian besar limbah sludge industri pulp dan kertas mengandung glukosa 40-50%, karbohidrat, selulosa dan hemiselulosa 50-75% (dasar kering bebas abu). Atas dasar komposisi sludge primer tersebut yang masih banyak mengandung selulosa, maka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pembuatan bioetanol. Pemanfaatan selulosa sebagai sumber alternatif bahan baku pembuatan bioetanol yang merupakan generasi kedua sudah mulai banyak dilakukan, dimana sebelumnya bahan baku yang digunakan sebagai generasi pertama adalah yang bersumber dari pati-patian, jagung dan tebu. Penelitian pemanfaatan limbah sludge industri pulp dan kertas untuk bioetanol telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain, yang diantaranya adalah: Gang Hu et al. (2008), menjelaskan bahwa memproduksi etanol dari selulosa dapat dilakukan dengan sakarifikasi-fermentasi. Hasil penelitian Knutson (2007) menjelaskan bahwa limbah sludge primer dari industri pulp dan kertas berpotensi untuk diubah menjadi bioetanol melalui hidrolisis-fermentasi. Samsuri et al. (2007), menjelaskan bahwa memanfaatkan selulosa bagas untuk produksi etanol dapat dilakukan melalui proses Simultaneous Saccharificatian - Fermentation (SSF) dengan enzim xilanase dan ragi S. cereviceae. Kerstetter et al. (1997) menjelaskan bahwa 11 industri pulp dan kertas di United Stated dengan kapasitas produksi 325 - 2740 ton/hari, menghasilkan limbah sludge sekitar 9 - 170 ton/hari yang berpotensi menghasilkan etanol 0,126 - 3,2 juta gallon per tahun atau 80% dari perhitungan secara teoritis. Pada umumnya bioetanol diproduksi dengan cara fermentasi gula dengan bantuan aktivitas mikroorganisme. Bagi bahan baku organik kompleks seperti selulosa, hemiselullosa dan organik kompleks lainnya perlu di hidrolisis lebih dahulu yang dapat dilakukan secara kimia ataupun enzimatis. Teknologi proses hidrolisis secara kimia pada dasarnya kurang ramah lingkungan, sehingga proses hidrolisis banyak dikembangkan dengan menggunakan enzim (Samsuri dkk., 2007). Xilanase dan selulase masing-masing merupakan enzim hidrolisis hemiselulosa dan selulosa menjadi xilosa dan glukosa yang merupakan bahan baku etanol (Samsuri dkk., 2007). Selain itu, Samsuri juga menjelaskan bahwa jamur pelapuk putih dapat digunakan untuk perlakuan awal sebelum menggunakan enzim selulase pada proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa. Proses selanjutnya setelah hidrolisis adalah fermentasi gula dan atau xilan dengan menggunakan yeast
116
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Banyak manfaat dari etanol, antara lain sebagai bahan kimia, pelarut, dan bahan bakar. Etanol yang semula diaplikasikan untuk produk minuman, kini dikembangkan untuk bidang farmasi, kedokteran, dan energi. Dalam dunia kedokteran dan farmasi, etanol digunakan untuk menseterilkan alat operasi dan sebagai campuran beberapa variasi obat-obatan. Beberapa informasi tentang menipisnya cadangan minyak bumi dunia, merupakan peluang bioetanol sebagai bahan bakar alternatif. Etanol merupakan sumber energi alternatif yang mempunyai prospek yang baik sebagai penganti bahan bakar cair dengan bahan baku yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Hambatan pemanfaatan sludge IPAL industri pulp dan kertas sebagai bioetanol adalah kompleksnya komponen karbohidrat yang terkandung dalam sludge, sehingga perlu dilakukan proses hidrolisis secara efektif. Selain itu ketersediaan sludge IPAL di industri umumnya terdiri dari gabungan sludge primer dan sekunder, sehingga perlu dikaji pengaruh sludge gabungan tersebut terhadap proses konversi sludge menjadi bioetanol. Atas dasar komponen polisakarida dalam limbah sludge IPAL yang masih cukup tinggi dan beberapa hasil penelitian sebelumnya, maka limbah sludge IPAL industri pulp dan kertas memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol. Pemanfaatan ini akan sangat menguntungkan, selain menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi, juga merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi masalah lingkungan. Artikel ini berisi hasil penelitian pemanfaatan sludge IPAL industri pulp dan kertas sebagai bahan baku bioetanol yang telah dilakukan di Balai Besar Pulp dan Kertas, atas biaya Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PIPKPP) Kementerian Riset dan Teknologi Tahun 2011.
II. METODOLOGI A. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat jenis limbah sludge yang diperoleh dari 4 industri pulp dan kertas yang berbeda yang dianggap dapat mewakili kelompoknya berdasarkan bahan baku. Industri tersebut adalah: (1) sludge A berupa sludge primer dari industri kertas dengan bahan baku virgin pulp di Tangerang; (2) sludge B berupa sludge primer dari industri pulp dengan bahan baku kayu di Riau; (3) sludge C berupa sludge primer dari industri kertas dengan bahan baku kertas bekas di Bekasi; dan (4) sludge D sludge campuran primer dan sekunder dari industri pulp dan kertas terpadu dengan bahan baku kayu di Jambi. Sampel limbah sludge diambil dari outlet clarifier atau dari keluaran mesin press limbah sludge pada sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dari setiap industri. Sampel diangkut dalam kontainer. Penyimpanan sampel dilakukan dalam cold storage 4 oC. Bahan pendukung penelitian yang digunakan adalah enzim lokal yaitu selulase yang memiliki aktivitas 6 FPU/mL dan beta glukosidase yang memiliki aktivitas 10 unit/mL pengkondisi pH pada proses hidrolisis digunakan larutan buffer asam phosphat; ragi untuk fermentasi alkohol digunakan Saccharomycetes cereviceae.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
117
B. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas untuk percobaan hidrolisis enzimatis dan fermentasi; inkubator shaker; autoclave; pH meter, magnetic stirer, oven dan rangkaian alat destilasi; laminer air flow, cold storage dan termometer. Peralatan yang digunakan untuk pengujian: spectrofotometer untuk uji gula pereduksi; AAS flame untuk kandungan logam dalam sludge; GC untuk analisis bioetanol. C. Metodologi Penelitian 1. Karakterisasi sludge IPAL industri pulp dan kertas Terhadap sludge dari masing-masing industri dilakukan karakterisasi yang meliputi beberapa parameter yang berhubungan dengan potensi sebagai bahan baku bioetanol yang meliputi: kadar abu, lignin, hemiselulosa, holoselulosa, dan ekstraktif serta beberapa parameter logam berat yang meliputi timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), nikel (Ni), seng (Zn), kromium (Cr), kobalt (Co) dan mangan (Mn). Analisis di lakukan di Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) Bandung dengan menggunakan metoda SNI. 2. Tahapan penelitian Secara garis besar, penelitian dilakukan dalam empat tahap yaitu: (1) Uji potensi sludge sebagai bahan baku etanol; (2) Penentuan kondisi optimum proses hidrolisis sludge; (3) Penentuan kondisi optimum proses fermentasi gula sakarifikasi; dan (4) Proses sakarifikasi-fermentasi serentak. Uji potensi dilakukan dengan cara melakukan hidrolisis enzimatis terhadap 4 jenis sludge pada kadar padatan 2% dalam erlenmeyer 250 mL. Enzim yang digunakan adalah selulase dengan dosis 11 FPU/g selulosa, pH diatur pada kisaran 5,5 dengan asam phosphat. Uji ini dilakukan secara aseptik dalam shaker inkubator pada suhu 50oC selama 96 jam. Masing-masing uji dilakukan dengan 3 replikasi dengan parameter pengamatan adalah gula pereduksi. Metoda uji gula pereduksi mengacu pada cara Somogy Nelson. Sludge yang memberikan konsentrasi gula pereduksi tertinggi dengan efisiensi proses lebih besar dari 75% dianggap memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan baku etanol. Penentuan kondisi optimum hidrolisis selulosa dalam sludge dilakukan hanya terhadap sludge yang memiliki efisiensi sakarifikasi > 75% pada uji potensi di atas. Proses hidrolisis dilakukan dengan rancangan percobaan RAL dengan 2 faktor perlakuan yaitu: a. Kadar padatan sludge, per dasar kering: 2%; 4%; 6%; 8%; dan 10%. b. Dosis selulase FPU per g selulosa: 5; 7; 9; 18; dan 27. Beta glukosidase ditambahkan sebanyak 6,7 U/FPU. Kondisi percobaan ditentukan berdasarkan kondisi optimum selulase yaitu suhu 50oC; pH 5,5 dan putaran pengadukan 110 rpm. Parameter pengamatan adalah konsentrasi gula pereduksi. Efisiensi hidrolisis dihitung dengan menggunakan persamaan (1), dan rendemen dihitung dengan persamaan (2) menurut Vertes, 2010 sebagai berikut:
118
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
glukosa yang dihasilkan (g) 1,11 x selulosa (g)
x 100% ...................................... pers (1)
glukosa yang dihasilkan (g) 1,11 x selulosa (%) x sludge (g)
x 100 ......................................... pers (2)
Efisiensi hidrolisis (%) =
Efisiensi yield sludge =
Percobaan penentuan kondisi optimum proses fermentasi hanya dilakukan terhadap cairan hasil proses hidrolisis sludge yang memiliki kadar gula pereduksi tertinggi dengan menggunakan gelas erlenmeyer 250 mL Terhadap cairan tersebut ditambah 12,5% (v/v) medium nutrisi yang komposisinya terdiri dari 0,5 g/L (NH4)HPO4; 0,025 g/L MgSO4.7H2O dan 1 g/L yeast extract. o
Semua medium disterilisasi pada suhu 121 C selama 30 menit pada autoclave. Fermentasi dilakukan dengan ragi Saccharomyces cerevisiae yang telah diaklimatisasi terhadap gula hasil o hidrolisis selulosa dalam sludge pada suhu 28 C. Percobaan dilakukan dengan 2 faktor perlakuan yaitu pH (4,5; 5,0; 5,5; 6,0) dan lama inkubasi (24; 48; 72; 96; 120) dengan penambahan 6 inokulum ragi Saccharomyces cerevisiae sebanyak 10% v/v dengan jumlah sel 10 /mL. Parameter pengamatan dilakukan terhadap kadar etanol yang dianalisis dengan Gas Chromatografi (GC). Setelah diperoleh kondisi optimum proses hidrolisis dan proses fermentasi, kemudian dilakukan Simoultaneous Saccharification Fermentation (SSF) atau Sakarifikasi Fermentasi Simultan yaitu proses sakarifikasi dan fermentasi yang dilakukan secara simultan pada satu reaktor.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Sludge IPALIndustri Pulp dan Kertas Sludge industri pulp dan kertas yang digunakan untuk penelitian ini diutamakan dari sludge primer, yang sebagian besar kandungan dari sludge tersebut merupakan senyawa organik lignoselulosa. Kadar senyawa organik dalam sludge sangat bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kadar abu yang berkisar antara 3,10-39,63%. Sludge yang digunakan umumnya limbah serat yang dihasilkan dari pemisahan serat selulosa yang lolos pada pembuangan limbah cair, pencucian pulp, mesin kertas, reject proses penyedian stok, unit pemulihan serat, dan hasil akhir pengolahan IPAL. Komponen sludge tersebut selain bahan serat, juga berupa bahan pengisi dan pengotor lainnya. Baik dalam jumlah maupun karakteristiknya sangat bervariasi tergantung dari bahan baku, proses pembuatan dan produk yang dihasilkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa komponen sludge yang berasal dari sistem pengolahan air limbah industri pulp dan kertas terdiri dari lignin dengan kadar berkisar antara 3,24-4,276% dan holoselulosa sekitar 48,99 - 93,26%. Kandungan hemiselulosa yang berupa pentosan sekitar 4,25-16,32%. Komponen sludge tersebut merupakan komponen lignoselulosa yang berasal dari kayu sebagai bahan baku industri pulp dan kertas.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
119
Tabel 1. Komposisi sludge IPAL industri pulp dan kertas
Contoh Sludge
Hasil analisis Pentosan sebagai Holoselulosa Hemiselulosa (%) (%) 77,70 4,25
Ekstraktif Alkohol/Benzen (%) 3,07
Abu (%)
Lignin (%)
A
21,96
-
B
3,10
3,24
93,26
16,32
2,08
C D
39,63 31,65
4,27
61,01 48,99
5,72 4,45
4,81 7,18
Berdasarkan data karakteristik sludge pada Tabel 1 di atas, menunjukkan bahwa sludge IPAL ini masih memiliki selulosa yang cukup tinggi. Kandungan selulosa yang tinggi merupakan sumber utama pembentuk glukosa sebagai bahan yang akan dikonversi menjadi etanol melalui proses hidrolisis-fermentasi. Sedangkan rendahnya kandungan lignin dalam sludge menunjang pembentukan glukosa. Lignin merupakan komponen sludge yang berpotensi sebagai inhibitor pada proses hidrolisis selulosa enzimatis. Keberadaan lignin dalam sludge dapat menghambat dalam proses degradasi selulosa dan hemiselulosa menjadi glukosa. Oleh karena itu, bahan baku untuk pembuatan bioetanol sebaiknya tidak mengandung lignin (Trisanti, 2009).
Tabel 2. Kandungan logam berat pada sludge IPAL industri pulp dan kertas
Parameter Kromium (Cr) Seng (Zn) Kadmium (Cd) Kobalt (Co) Tembaga (Cu) Nikel (Ni) Timbal (Pb)
Sludge A (mg/kg) 4,929 41,105 < 0,046 8,468 54,136 8,468 4,154
Sumber sludge Sludge B Sludge C (mg/kg) (mg/kg) 4,894 9,533 8,479 224,09 < 0,053 < 0,047 7,865 11,144 0,924 12,781 7,885 11,144 3,708 3,834
Sludge D (mg/kg) 31,112 99,804 1,169 12,165 41,655 29,389 13,739
Bahan anorganik yang terkandung dalam sludge cukup bervariasi seperti terlihat dari kadar abu (Tabel 1). Komponen pencemar yang dapat menghambat proses hidrolisis maupun fermentasi, antara lain logam berat yang terkandung dalam masing-masing sludge (Tabel 2). B. Hasil Uji Potensi Sludge sebagai Bahan Baku Etanol Hasil perhitungan efisiensi hidolisis pada uji potensi sludge dapat dilihat pada Gambar 1. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa sludge (A) dan sludge (B) memiliki efisiensi hidolisis
120
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
lebih besar dari 75%. Sludge (A) adalah sludge primer yang berasal dari pabrik kertas berbahan baku virgin pulp, sedangkan sludge (B) adalah sludge primer yang berasal dari pabrik pulp dan kertas berbahan baku kayu. Sejalan dengan karakteristik masing-masing sludge, menunjukkan bahwa sludge A dan B memiliki potensi lebih baik dibandingkan sludge C dan D. Kadar glukosa dari hasil hidrolisa pada sludge A dan B berkisar antara 10-20%, sedangkan sludge C dan D hanya sekitar 2-5% saja. Hal ini dikarenakan kadar selulosa yang terkandung dalam sludge A dan B yang jauh lebih tinggi. Demikian pula dengan perhitungan efisiensi hidrolisis pada sludge A dan B mencapai lebih besar dari 75%, yang jauh lebih tinggi dari sludge B dan C yang leih kecil dari 40%. Berdasarkan hasil uji potensi ini, maka untuk percobaan selanjutnya hanya menggunakan sludge A dan sludge B.
Gambar 1. Hasil uji potensi limbah sludge IPAL industri pulp dan kertas: (A) ditinjau dari kandungan gula pereduksi; (B) Ditinjau dari efisiensi hidrolisis selulosa C. Proses Hidrolisis Selulosa pada Sludge secara Enzimatis 1. Penentuan kondisi hidrolisis Hasil proses hidrolisis sludge secara enzimatis dengan penambahan selulase dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan uji statistik univarian dengan progran SPSS, menunjukkan bahwa variasi kadar padatan (TS) sludge berpengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi sebagai produk hasil proses hidrolisis. Dengan makin tinggi kadar padatan sludge dari 2% sampai 6% menghasilkan kadar gula pereduksi yang makin tinggi dengan kisaran rata-rata 9,3 g/L sampai 25,1 g/L (Tabel 3).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
121
Gambar 2. Hasil percobaan hidolisis enzimatis sludge (48 jam inkubasi)
Tabel 3. Aplikasi kondisi optimum proses hidrolisis
Jenis sludge Sludge A Sludge B
Kadar gula rata-rata Gula pereduksi (g/L) 31,3 36,2
Efisiensi hidrolisis (%) 64 71
Kondisi ini sejalan dengan jumlah selulosa yang dihidrolisis dalam sludge yang makin besar sehingga gula pereduksi yang terbentuk makin besar pula. Namun kadar gula pereduksi dari hasil hidolisis sludge dengan kadar padatan 8% hingga 10% menunjukkan penurunan. Hal tersebut disebabkan oleh karena proses hidolisis sludge dengan TS di atas 8%, tidak cocok dengan metoda shaker sebagai pengocokannya karena pencampuran antara sludge dengan enzim tidak dapat terjadi secara sempurna sehingga reaksi hidrolisis kurang efektif. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Marques (2008) yang menyatakan bahwa konsentrasi TS di atas 7,5% (w/v), tidak efektif digunakan sebagai bahan baku untuk proses hidolisis enzimatis. Berdaarkan perhitungan efisiensi hidrolisis, menunjukkan kecenderungan yang berbeda dari yang ditunjukkan oleh kadar gula pereduksi (Tabel 3). Perbedaan kadar padatan sludge memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap efisiensi hidrolisa, namun pada kadar TS Sludge terendah (2%) memberikan efisiensi hidolisis tertinggi dan berbeda nyata terhadap kadar TS lainnya yang lebih tinggi (4 - 14%) yang ditampilkan pada Tabel 3. Keadaan ini berbanding terbalik dengan data analisis kadar gula pereduksi. Menurut Yang, Reeses, dan Sinitsyn dalam Peng (2011), hal ini dapat disebabkan oleh adanya penghambat dalam lumpur, adanya enzyme inactivation dan terjadinya penurunan reaktivitas terhadap penambahan selulosa. Berdasarkan uji Duncan dari dua parameter pengamatan yaitu kadar gula pereduksi dan efisiensi hidrolisis, maka kondisi sludge yang optimum diperoleh pada kondisi TS 8%. Sedangkan berdasarkan pertimbangan lapangan proses pengelolaan sludge di industri pulp dan kertas, dengan kadar TS sludge 6% dapat dicapai pada primary clarifier tanpa penambahan perlakuan.
122
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Pada variasi dosis penambahan selulase pada proses hidrolisis menunjukkan kecenderungan bahwa dosis 5 - 9 FPU/g selulosa memberikan nilai peningkatan kadar gula pereduksi tertinggi (Gambar 2), namun perhitungan secara statistik peningkatan tersebut tidak berbeda nyata. Berdasarkan hal tersebut, dosis selulase 7 - 9 FPU/g selulosa ditentukan sebagai kondisi optimum proses hidrolisis yang diaplikasikan pada percobaan selanjutnya yaitu Percobaan Simultaneous Sacharification Fermentation (SSF). 2. Aplikasi kondisi optimum hidrolisis Kondisi optimum hidrolisis yang diperoleh diaplikasikan terhadap sludge yang berpotensi tinggi sebagai bahan baku bioetanol yaitu sludge primer dari industri kertas berbahan baku pulp virgin (sludge A) dan sludge primer dari industri pulp dan kertas terpadu berbahan baku kayu (sludge B). Proses hidolisis enzimatik terhadap kedua sludge tersebut dilakukan pada kondisi optimumnya yaitu kadar padatan (TS) sludge 6%, dosis selulase 9 FPU/g selulosa dan beta glukosidase 6,7 U/FPU dengan waktu inkubasi 48 jam. Aplikasi kondisi optimum proses hidrolisis pada sludge (TS 6%) menunjukkan bahwa kedua sludge A dan B cukup potensial untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol yaitu mencapai efisiensi >50%. Dari masing-masing sludge dapat dihasilkan kadar gula pereduksi 31,3 g/L dan efisiensi hidolisis 64% untuk sludge A, sedangkan sludge B menghasilkan kadar gula pereduksi 36,2g/L dan efisiensi 71%. Efisiensi hidolisis yang dicapai dalam penelitian ini menunjukan kecenderungan yang relatif sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Peng (2011) dan Marquez (2006). Hasil penelitian Peng (2011) dengan menggunakan bahan baku paper sludge dengan konsentrasi 40,8 g/L (± 4,1%) dengan waktu inkubasi 82,7 jam dan dosis selulase 18 FPU/gr selulosa dapat mencapai tingkat hidolisis 82,1%. Selain itu, hasil penelitian Marquez (2006) menjelaskan bahwa recycle paper sludge dengan total padatan 3% (lama hidrolisis: 72 jam dan 144 jam) dan 7,5% (lama hidrolisis: 120 jam) dengan suhu 35oC masing-masing dapat mencapai 100% dan 92%. Juga sebagai pembanding, pembuatan etanol dari bahan baku jagung telah dilakukan oleh llyod dan Wyman (2005), dengan kadar total padatan 1%, dosis selulase 60 FPU/g selulosa dan waktu 72 jam telah diperoleh yield berkisar 78,9-93%. Berdasarkan atas karakteristik bahan, maka sludge IPAL sebagai limbah industri pulp dan kertas yang merupakan senyawa lignoselulosa generasi kedua dari hasil penelitian ini cukup prospektif untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol. Peningkatan yield efisiensi masih bisa dilakukan dalam suatu kondisi proses untuk mengoptimasi beban enzim melalui perlakuan terhadap substrat dan penghomogenan campuran dalam suatu reaktor kontinyu. 3. Penentuan kondisi optimum proses fermentasi Proses fermentasi dapat dilakukan dengan menggunakan yeast dari berbagai spesies yang salah satunya adalah Saccharomyces cerevisiae. Yeast ini banyak digunakan untuk fermentasi alkohol dari berbagai jenis biomassa dalam berbagai kondisi fermentasi. Penggunaan spesies yeast yang berbeda dalam produksi bioetanol sangat berpengaruh terhadap konsentrasi bioetanol yang dihasilkan. Selain itu, konsentrasi bioetanol yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh suhu, pH, sumber karbon, sumber nitrogen dan waktu inkubasi dari masing-masing ragi selama fermentasi (Trisanti, 2009).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
123
Gambar 3 menunjukkan bahwa kadar etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi pada pH 4,0 dan pH 4,5 cenderung tidak berbeda yaitu masing-masing berturut-turut berada pada kisaran 0,62 - 2,47% dan 0,84 - 3,38%. Sedangkan pada pH 5,0; 5,5 dan 6,0 masing-masing menunjukkan kadar etanol yang lebih rendah yaitu berturut-turut 0,25 - 15; 0,07% - 0,3% dan 0,035 - 0,13%. Berdasarkan hasil percobaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pH optimum untuk proses fermentasi alkohol dengan Saccharomyces cerevuceae adalah pH 4,5 dengan lama inkubasi 96 jam.
.
Gambar 3. Data fermentasi glukosa pada variasi pH dan waktu inkubasi 4. Proses sakarifikasi-fermentasi serentak (SSF) Pada akhir-akhir ini pembuatan bioetanol banyak dikembangkan dengan menggunakan metoda proses Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF) atau Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak (SFS). Metoda ini banyak dikembangkan, karena memiliki beberapa keuntungan yang diantaranya adalah lebih efisien karena dilakukan dalam satu reaktor. Dalam reaktor tersebut akan terjadi hidrolisis berlanjut secara enzimatis untuk mendegradasi polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian dapat langsung difermentasi oleh Saccharomyces cereviceae. Berdasarkan komponen sludge yang didominasi oleh selulosa, maka hidrolisis dilakukan dengan menggunakan selulase. Selulase digunakan untuk memecah selulosa menjadi glukosa yang kemudian akan difermentasi oleh S. cereviceae menjadi alkohol dan karbondioksida. S. cereviceae yang digunakan telah mengalami aklimatisasi terhadap media gula pereduksi secara bertahap selama 2 minggu. Jumlah S. cereviceae yang digunakan untuk proses SSF adalah 5.106./mL. Hasil percobaan proses SSF dapat dilihat pada Gambar 4. Pada proses ini terjadi perubahan pH, yang menunjukkan adanya reaksi aktivitas Saccharomyces cereviceae. Perubahan pH pada pecobaan yang menggunakan substrat sludge A menunjukkan ada sedikit penurunan yaitu dari 4,5 ke 4,1. Perubahan tersebut terjadi setelah inkubasi 24 jam. Lain halnya dengan perubahan pH pada percobaan yang menggunakan substrat B yang menunjukkan penurunan yang signifikan yaitu dari 4,5 ke 3,8. Adanya penurunan pH tersebut disebabkan oleh terbentuknya asam karbonat dan asam organik lainnya selama proses
124
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
sakarifikasi-fermentasi (Li, 2011). Adanya perbedaan perubahan pH pada percobaan yang menggunakan substrat sludge A dengan sludge B dapat dijelaskan sebagai berikut: Sludge A berasal dari pabrik kertas yang memiliki kadar abu tinggi yaitu 21,96% yang berarti mengandung kadar anorganik yang dapat menetralisir pembentukan asam yang terbentuk saat proses sakarifikasi-fermentasi (Li,2011). Sedangkan sludge B berasal dari pabrik pulp dan kertas memiliki kadar abu rendah yaitu 3,1%, sehingga tidak memiliki penetralisir asam-asam yang terbentuk saat proses sakarifikasi-fermentasi.
Gambar 4. Perubahan pH selama proses SSF Kadar etanol yang dihasilkan dari proses SSF dengan substrat sludge A berkisar pada 2,68% - 3,45%, yang menunjukkan lebih tinggi dibanding dengan menggunakan sludge B berkisar 0,67% -2,89% (Gambar 5). Kecenderungan tersebut sejalan dengan efisiensi proses SSF untuk masing-masing substrat yaitu 58% - 72% dengan substrat sludge A dan 34% - 60% dengan subsrat sludge B. Hal tersebut disebabkan oleh karena adanya pembentukan asam-asam organik selama proses yang mengakibatkan pH tidak optimum dan kemungkinan adanya unsur-unsur penghambat yang berasal dari limbah industri pulp dan kertas. Unsur-unsur tersebut kemungkinan berasal dari derivat lignin (Petro et al., 2010).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Karakteristik sludge 4 (empat) jenis yang digunakan dalam percobaan ini memiliki komponen organik dengan komposisi terdiri dari: lignin berkisar 0,5-21,96%; holoselulosa sekitar 70,7077,70%; Į -selulosa berkisar 28,79-80,15%; hemiselulosa yang berupa pentosan sekitar 4,2513,81%. 2. Hasil uji potensi sludge menunjukkan bahwa sludge primer yang berasal dari pabrik kertas berbahan baku virgin pulp (sludge A) dan sludge primer yang berasal dari pabrik pulp dan kertas berbahan baku kayu (sludge B) pada padatan total 2% memiliki efisiensi hidolisis >75%.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
125
3. Sludge dengan kadar padatan 6% merupakan kondisi yang terbaik untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol. Kondisi proses hidrolisis adalah dosis selulase sebesar 9 FPU/g selulosa dan beta glukosidase 6,7 IU/FPU, pH 5,5 dan suhu 50oC selama 48 jam. Hasil yang diperoleh untuk sludge A dari industri kertas kadar gula pereduksi 31,3%, efisiensi 64% dan untuk sludge B dari industri kertas pulp dan kertas kadar gula pereduksi 36,2%, efisiensi 64%. 4. Proses SSF telah dilakukan pada pH 4,5, suhu 28 oC selama 4 hari menghasilkan etanol dengan kadar etanol sebesar 2,68 - 3,45% menggunakan substrat sludge A, dan 0,67 - 2,89% menggunakan sludge B. Efisiensi masing-masing 58 - 72% dengan substrat sludge A dan 34 60% dengan subsrat B.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kementerian Riset dan Teknologi yang telah mendanai penelitian ini melalui Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PIPKPP) Tahun 2011.
DAFTAR PUSTAKA Harry, T.C. 2008. Paper Sludge-to-Ethanol Process and Conceptual Design. Alabama Center for Pulp and Bioresource Engineering. Auburn University. Auburn. Alabama. Hettenhaus, J.R. 1998. Ethanol Fermentation Strains: Present and Future Requirements for Biomass to Ethanol Commercialization. Amerika Serikat: United States Department of Energy. Lark, Nicole, Youkun Xia, Cheng Guo Xin, C.S.Gong, G.T. Tsao. 1997. Production of ethanol from recycled paper sludge using cellulase and yeast, Kluveromyces marxianus. Biomass and Bioenergy Vol.12, No.2.pp.135-143,1997. Marques, S., L. Alves, J.C. Roseiro, F.M. Gı´rio.2008. Conversion of recycled paper sludge to ethanol by SHF and SSF using Pichia stipitis. Biomass and Bioenergy 32 ( 2008 ) 400 – 406. Peng, Lincai, Yuancai Chen. 2011. Conversion of paper sludge to ethanol by seperate hydrolysis and fermentation (SHF) using Saccharomyces cerevisiae. Biomass and Bioenergy 35 (2011) 1600-1606. Petro, Susan. 2010. Fermentation in the yeast Saccharomyces cerevisiae. phobos.ramapo. edu/~spetro/lab_pdf/ Fermlab.pdf - Amerika Serikat. Philippidis, George. P, Smith, Tammy K, Charles E. Wyman. 1992. Study of the enzymatic hydrolysis of cellulose for production of fuel ethanol by the simultaneous saccharification and fermentation process. Biotechnology and Bioengineering, Vol. 41, Pp. 846-853 (1993).
126
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Roehr, M. 2001. The Biotechnology of Ethanol: Classical and Future Apllication. ISBN: 3-52730199-2. Sinsupha Chuichulchern. 2005. Design and start-up of a fluidized bed bioreactor for ethanol fermentation. Proceeding of the 1st International Conference on “Fermentation Technology for Value Added Agricultural Products” Khon Khaen-Thailand. March 22 - 25, 2005. Trisanti Anindyawati. 2009. Prospek enzim dan limbah lignoselulosa untuk produksi bioetanol. Berita Selulosa. Volume 44. No.1. Juni. 49-56.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
127
KETAHANAN PAPAN SERAT MDF TERHADAP SERANGAN RAYAP KAYU KERING (Cryptotermes cynocephalus Light.) Oleh: Jasni, Gustan Pari dan Rena Siagian Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor Email:
[email protected]
ABSTRAK Produk papan serat khususnya yang berkerapatan sedang (MDF) semakin digemari oleh konsumen. Hal ini disebabkan produk MDF mempunyai kelebihan, seperti fleksibilitas ukuran, permukaan yang bagus, mudah dibentuk akan mudah dalam pengerjaan akhir. Namun demikian sebagian besar produk papan serat tidak tahan terhadap serangan organisme perusak. Tulisan ini mempelajari keawetan papan serat terhadap organisme perusak, khususnya rayap kayu kering. Papan serat MDF yang diuji dibuat dari kayu gmelina (Gmelina arborea Roxb.) dengan beberapa tingkat asetilasi (25% dan 50%). Perekat yang digunakan adalah Urea Formaldehida (UF) dan Khitosan. Hasilnya menunjukan papan serat yang di tingkat 50% dengan menggunaan perekat khitosan menghasilkan papan serat dengan ketahanan paling baik, dimana mortalitasnya mencapai 81,6%, dan termasuk dalam kelas ketahanan I – II. Kata kunci: Gmelina, khitosan, rayap kayu kering, urea formaldehida
I. PENDAHULUAN Papan serat adalah salah satu papan tiruan yang terbuat dari serat kayu atau bahan berlignoselulosa lain melalui ikatan antar serat menjadi lembaran papan dengan bantuan kempa panas. Bahan pengikat dan bahan lainnya perlu di tambahkan untuk meningkatkan sifat fisismekanis, ketahanan terhadap air, api, organisme perusak, dan pelapukan. Papan serat dikategorikan berkerapatan sedang (Medium Density Fibreboard) jika memiliki kerapatan antara 0,35 sampai 0,80 g/cm3 (JIS, 2003). Salah satu sifat MDF yang penting adalah memiliki permukaan yang halus dan sisi yang solid (solid-edge) sehingga memudahkan proses pemesinan dan penyelesaian akhir (finishing). Salah satu upaya peningkatan kualitas papan serat adalah perlakuan asetilasi serat-serat kayunya sebelum dibentuk papan. Asdar et al. (1998), telah melakukan asetilasi serat pulp kayu magium untuk pembuatan papan serat. Hasilnya penelitian menunjukan bahwa asetilasi serat pulp kayu akasia mampu menaikan persentase penambahan berat (WPG). Bertambahnya tingkat asetilasi dapat memperbaiki sifat fisis papan serat, yaitu menurunkan kadar air, meningkatkan stabilitas dimensi yang ditandai dengan penunurunan pengembangan tebal. Akan tetapi perlakuan asetilasi menurunkan sifat mekanis yaitu modulus patah, modulus elatis dan keteguhan rekat internal. Keawetan papan serat yang sudah di asetilasi belum diketahui, oleh karena itu penelitian bertujuan mempelajari ketahanan papan serat MDF yang sudah diasetilasi terhadap serangan rayap kayu kering.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
129
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan Kayu yang digunakan dalam pembuatan papan serat berkerapatan sedang adalah kayu gmelina (Gmelina arborea Roxb.). Perekat yang digunakan adalah urea formadehida dan khitosan. B. Metode 1. Pembuatan papan serat MDF Pembuatan lapik MDF dilakukan dengan cara kering terhadap serat pulp yang sudah diasetilasi sebanyak 0%, 25% dan 50%. Papan serat yang dibuat adalah papan serat kerapatan sedang (MDF) dengan target kerapatan 0,7 g/cm3. Pencampuran perekat dan serat dilakukan dalam blender. Serat kering yang telah di asetilasi disemprot perekat dengan spray gun secara merata. Perekat yang digunakan adalah perekat khitosan sebanyak 10% dengan kadar kepadatan 2% dan urea formadehida (UF) dengan kadar kepadatan 55% sebanyak 10% dari bobot kering pulp. Setelah itu serat-serat tersebut dibentuk lembaran-lembaran yang siap di kempa kemudian terbentuk papan serat berbentuk lembaran. 2. Pengujian sifat ketahanan terhadap rayap kayu kering Papan serat yang sudah terbentuk, dibuat contoh ujinya dengan ukuran 5 cm x 2,5 cm x 1 cm. Pada salah satu sisi yang terdapat perekat pada masing-masing contoh uji tersebut dipasang semprong kaca yang berdiameter 1,8 cm dengan ukuran tinggi 3 cm. Ke dalam semprong kaca tersebut dimasukkan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light.) sebanyak 50 ekor rayap pekerja yang sehat dan aktif, kemudian contoh uji tersebut disimpan di tempat gelap selama 12 minggu, SNI 01-7207 (Anonim, 2006). 3. Pengamatan Pengamatan dilakukan pada contoh uji setelah mencapai waktu akhir penelitian 12 minggu pengujian. Pada akhir pengujian kemudian ditetapkan persen kematian (mortality) data yang diperoleh dari transformasi data kedalam aresin ¥% dan penurunan berat (weight loss) akibat serangan rayap, data ini untuk menentukan klasifikasi ketahan kayu dan untuk mengetahui kelas ketahanan kayu digunakan klasifikasi kelas ketahan kayu, SNI 01-7207 (Anonim, 2006) seperti pada Tabel 1. Table 1. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap kayu kering ( Crptotermes cynocephalus) berdasrkan pengurangan berat dan presentase rayap yang hidup
130
Kelas
Penurunan berat (%)
I II III IV V
<2.303 2.003-4.406 4.406-8.158 8.158-28.096 >28.096
Ketahanan Sangat tahan Tahan Sedang Buruk Sangat buruk
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Di samping itu juga ditentukan derajat serangan rayap kayu kering berdasarkan klasifikasi dari SNI 01-7207 (Anonim, 2006) dan Pablo dan Gracia (1997) seperti disajikan dalam (Tabel 2). Tabel 2. Derajat serangan rayap kayu kering % Kerusakan 0 1-25 26-50 51-75 >76
Kondosi contoh uji Tidak ada serangan rayap Serangan ringan Serangan sedang Serangan hebat Serangan sangat hebat
Nilai derajat serangan 100 90 70 40 0
4. Analisis data Untuk mengatuhui pengaruh perlakuan kadar tiap macam perekat pada setiap jenis kayu maka dilakukan sidik ragam menggunakan program mikrostat. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Pengaruh phenol-formaldehyda terhadap serangan rayap kayu kering dianalisis secara statistik non parametrik yaitu uji KruskalWallis menggunakan mikrostat (Mustafa, 1990).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Ketahanan contoh uji papan serat dari kayu gmelina dinilai berdasarkan ketahanan kayu tersebut masing-masing terhadap serangan rayap kayu kering. Parameter yang digunakan untuk menilai efektifitas bahan perlakuan (perekat UF dan kitosan) terhadap serangan rayap kayu kering adalah jumlah kematian (mortalitas), penurunan berat dan derajat serangan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan tersebut terhadap kematian rayap dan penurunan berat contoh uji dilakukan sidik ragam seperti disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Ringkasan sidik ragam keawetan (ketahanan) papan serat MDF Ketahanan Kematian Penurunan berat
F Hitung
F Tabel
5,92* 44,72**
3,40 3,40
Keterangan:**= sangat nyata(highly significant)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa ada pengaruh nyata di antara kedua jenis perekat terhadap jumlah kematian, dan penurunan berat, terhadap kematian rayap dan penurunan berat contoh uji akibat serangan rayap kayu kering. Untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan uji lanjut yaitu uji beda Duncan (Tabel 4).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
131
Tabel 4. Keawetan kayu kayu sungkai dan mi ndi terhadap serangan rayap kayu kering (Cryptotermes cyncephalus Light.) Jenis perekat Asetilasi (%)
0 25 50
Kematian (%) X ± SD* 81,60±0,12 100 ± 0 b 100 ± 0 b
UF (A) Penurunan berat (%) X ± SD* 2,79±0,11a 0,96±0,01b 0,92±0,01b
Kelas ketahanan II I I
Kematian (%) X ± SD* 93,60 ±0,11 100 ± 0 b 100 ± 0 b
Khitosan (B) Penurunan berat (%) X ± SD* 0,86±0,03a 0,75±0,03b 0,69±0,02b
Kelas ketahanan I I I
Keterangan nilai: *Nilai rata-rata diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris tidak berbeda nyata; Nilai ratarata diikuti huruf kecil yang sama pada kolok tidak nyata; X = rata-rata; SD = Standar deviasi
Berdasarkan data Tabel 4, dapat diketahui bahwa kematian rayap kayu kering pada papan serat dengan perekat UF(A) terendah pada control tidak diasetilasi yaitu 81,60% demikian pula pada perekat kitosan 93,60%, sedangkan presentase kematian tertinggi terdapat pada perlakuan asetilasi 25% ke atas baik pada perekat UF maupun khitosan, mortalitas mencapai 100%. Sebagaimana diketahui rayap kayu kering mempunyai sifat bergerombol, sehingga rayap tersebut menyerang kayu secara bersamaan. Dalam hal ini rayap mati secara bersama-sama makan serat kayu yang mengandung racun. Disamping itu pada Tabel 4 terlihat ada hubungan antara perlakuan asetilasi dengan pemberian perekat UF dan khitosan dengan penurunan berat contoh uji, dengan pemberian perlakuan tersebut akan memperkecil penurunan berat contoh uji. Penurunan berat ini dapat juga digunakan sebagai salah satu factor untuk menentukan ketahanan papan serat. Papan serat control tanpa perlakuan termasuk kelas II, sedangkan dengan asetilasi 25% ke atas dengan perekat urea formaldehida maupun khitosan naik dari kelas II menjadi kelas I. Menurut Jasni dan Supriana (1999) serta House dan Supriana dalam Martawijaya (1996), penurunan berat atau kehilangan berat adalah salah satu faktor menentukan ketahanan kayu. Menurunnya berat kayu akibat serangan rayap, karena serat kayu mengandung selulosa yang cukup tinggi, sedangkan selulosa adalah makan utama rayap, akibatnya selulosa yang ada dalam kayu akan dimakan rayap dan terjadi kehilangan berat kayu tersebut. Perlakuan asetilasi 25% keatas dengan perekat UF dan kitosan dalam pembuatan papan serat (MDF) dapat meningkatkan kelas ketahanan dari kelas II (control) menjadi kelas I. dengan demikian pemakaian asetilasi diatas 25% dengan pemberian perekat UF dan kitosan sebagai pembuatan papan serat MDF cukup efektif untuk mencegah serangan rayap kayu kering. Kemampuan bahan perlakuan asetilasi, perekat UF dan khitosan untuk mencegah serangan rayap kayu kering dapat pula dinyatakan dalam nilai dan tingkat serangan rayap kayu kering pada contoh uji kayu (Tabel 5). Hasil penelitian menunjukan bahwa derajat serangan kedua jenis bahan perekat terjadi perbedaan nyata berdasarkan uji Kruskal-Wallis (H hitung
132
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Tabel 5. Rata-rata derajat serangan rayap kayu kering pada kayu sungkai dan mindi Jenis perekat Asetilasi 0 25 50
UF A % kerusakan* 36 a 31 b 29,6c
Nilai 70 70 70
Kitosan B % kerusakan* 23,4 a 11 b 10,2 c
Nilai 70 90 90
Keterangan: *Nilai rata-rata diikuti oleh huruf besar pada baris tidak berbeda nyata dan huruf kecil pada jalur yang sama tidak berbeda nyata
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pada kontrol dengan perekat UF ternyata kerusakan paling tinggi yaitu 36% (nilai 70), sedangkan terendah pada asetilasi 50% dengan perekat khitosan, kerusakan hanya mencapai 10,2% (nilai 90). Hal ini sesuai dengan kelas ketahanan papan serat terhadap rayap kayu kering. Pemberian perlakuan asetilasi di atas 25% dengan perekat UF maupun khitosan dalam pembuatan papan serat MDF dapat menurunkan tingkat serangan rayap kayu kering.
IV. KESIMPULAN Pada serat MDF dari kayu gmelina, perlakuan asetilasi di atas 25% dengan perekat UF, kelas ketahanannya meningkat dari kelas II (penurunan 2,79%) menjadi kelas I (penurunan berat 0,92 - 0,96%). Sedangkan untuk perekat kitosan papan serat MDF tetap masuk dalam kelas I, walaupun kontrol, yaitu kelas I (penurunan berat 0,69 - 0,86%). Di samping meningkat kelas ketahananya juga dapat mengurangi kerusakan papan serat akibat serangan rayap kayu kering, dimana derajat serangan pada papan serat tanpa asetlasi (kontrol) dengan perekat UF kerusakan mencapai 36% (nilai 70), sedangkan untuk kontrol pada perekat kitosan, kerusakan mencapai 23,4% (nilai 70). Namun untuk asetilasi di atas 25% dengan perekat UF, kerusakan berkisar 29,6 - 31% (nilai 70), sedangkan papan sera dengan perlakuan asetilasi di atas 25% dengan perekat kitosan, kerusakan hanya berkisar 10,2 - 11% (nilai 90). Pemberian perlakuan asetilasi di atas 25% dengan perekat UF maupun khitosan dalam pembuatan papan serat MDF dapat menurunkan tingkat serangan rayap kayu kering.
DAFTAR PUSTAKA Asdar, M., Y.S. Hadi, K. Sofyan dan R. Siagian. 1998. Physical and mechanical properties of medium density fiberboard made from acetylated Acacia mangium fiber. Proceeding The Fourt Pacufuc Rim_Bio-Based Composites Symposium. Nov. Bogor. BSN. 2006. Uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-7207. ICS 79.020. Badan Standarisasi Nasional (BSN). Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
133
Jasni dan N. Supriana. 1999. The resistance of eight rattan species against the powder-post beetle Dinoderus minutus Farb. Proceedings of The Fourth International Conference on The Development of Wood Science, Wood Technology and Forestry. Missenden Abbey. Forest Products Research Centre. England. Mustafa, Z.E.Q. 1990. Panduan Mikrostat untuk Mengelola Data Statistik. Andi Offset. Yogyakarta. Pablo, M.S. dan C.M. Gracia. 1997. Natural durability of aahau (Livistona rotundifolia (Lam) Mart. Forest Products Research and Development Industries Journal (FPRDI). Laguna. Philippines 23 (2): 69-76. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Gramedia. Jakarta.
134
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
HASIL UJI-COBA PRODUKSI KAYU LAPIS SAWIT PADATAN (DENSIFIED OIL PALM PLYWOOD ) Oleh: Jamal Balfas Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Keterbatasan pasokan bahan kayu lingkup nasional telah menyebabkan penurunan produksi industri panel kayu lapis Indonesia secara drastis dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan ini praktis menurunkan devisa, pajak, lapangan kerja serta kontribusi lainnya dari sektor industri tersebut. Pemulihan situasi ini hanya dapat dilakukan melalui revitalisasi potensi bahan baku atau melalui pemanfaatan bahan baku alternatif. Indonesia memiliki bahan berkayu dari peremajaan kebun sawit secara berlimpah, dan sampai saat ini belum digunakan untuk keperluan industri perkayuan. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi teknis terhadap penggunaan kayu sawit sebagai bahan baku industri kayu lapis. Sumber keragaman yang diamati dalam adalah fasilitas teknologi produksi, jumlah lapisan pada panel dan komposisi lapisan panel. Penentuan kualitas panel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan parameter karakteristik fisis dan mekanis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi dan efektivitas produksi panel kayu sawit secara nyata dipengaruhi oleh faktor fasilitas produksi. Pabrik pertama menghasilkan kualitas produk yang lebih baik namun memiliki efisiensi yang lebih rendah dibandingkan dengan pabrik kedua. Karakteristik fisis dan mekanis pada panel kayu sawit dipengaruhi secara nyata oleh faktor proses produksi, jumlah lapisan dan komposisi lapisan. Kualitas fisis dan mekanis panel kayu sawit menurun dengan pertambahan jumlah lapisan dan komposisi venir kayu sawit. Terdapat korelasi positif antara nilai kerapatan dan keteguhan rekat pada panel kayu lapis sawit. Panel kayu lapis yang dihasilkan dalam percobaan ini dapat memenuhi kualifikasi produk interior. Kata kunci: Fisis, kayu lapis, kelapa sawit, mekanis
I. PENDAHULUAN Industri panil kayu Indonesia mengalami penurunan secara drastis dalam beberapa tahun terakhir, sebagai salah satu implikasi dari pelaksanaan program restrukturisasi industri kehutanan, yang memuat kebijakan “Soft landing“ pada tahun 2002. Menurut laporan data Asosiasi Panil Kayu Indonesia (APKINDO) yang diuraikan oleh Purwanto (2008), jumlah anggota asosiasi tersebut pada periode puncak produksi tahun 2003 mencapai 130 perusahaan dengan kapasitas produksi sekitar 6,1 juta m3/tahun. Namun pada tahun 2006 jumlah anggotanya menurun sekitar 50%, dan dari jumlah tersebut hanya 19 unit perusahaan yang berproduksi secara normal dengan volume kumulatif sekitar 1,54 juta m3/tahun. Perubahan ini praktis menurunkan devisa, pajak, lapangan kerja serta kontribusi lainnya dari sektor industri panil kayu lapis nasional. Faktor dominan yang menyebabkan perubahan tersebut adalah defisit pasokan bahan baku kayu bulat baik dari hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat maupun sumber kayu lainnya.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
135
Industri panil kayu lapis nasional dalam beberapa tahun terakhir telah memanfaatkan segala jenis kayu dari berbagai sumber, seperti sengon, randu, kemiri, mangium, karet dan kelapa. Bahkan jenis kayu yang selama ini tidak digunakan dari kelompok jenis mahang (Macaranga spp.) telah dimanfaatkan menjadi venir inti (core veneer) pada beberapa industri kayu lapis di Sumatera. Keterbatasan pasokan bahan baku industri kayu telah mendesak kenaikan harga kayu bulat sampai pada batas marginal yang mengancam kelangsungan industri kayu nasional. Sebagai contoh, harga kayu bulat sengon per m3 pada tahun 2003 hanya sekitar Rp 100.000, sedangkan pada tahun 2008 harganya telah mencapai Rp 600.000. Sementara harga produk kayu lapis dalam periode yang sama di pasar internasional mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan porsi biaya bahan baku pada struktur biaya produksi kayu lapis melonjak dari sekitar 30% pada tahun 2003 menjadi sekitar 55% pada tahun 2008. Uraian di atas menggambarkan bahwa kelangsungan industri kayu lapis nasional saat ini sangat ditentukan oleh faktor harga kayu bulat. Pada sisi lain kemungkinan penurunan harga kayu bulat sukar diharapkan karena sumber kayu tersebut makin lama makin jauh dari lokasi pabrik, sehingga komponen biaya angkutannya cenderung terus meningkat. Permasalahan ini perlu ditanggulangi secepatnya agar terhindar dari risiko pemutusan kerja karyawan dan kerawanan sosial. Satu solusi yang paling mungkin dilakukan adalah menggunakan bahan berkayu lain yang bernilai murah dan tersedia dalam jumlah besar. Alternatif ini hanya mungkin dipenuhi melalui pemanfaatan kayu sawit sebagai bahan baku industri kayu lapis. Bahan kayu ini sama sekali belum digunakan oleh industri perkayuan nasional, sementara puluhan juta meter kubik limbah batang setiap tahun terbuang percuma di areal peremajaan kebun sawit. Tulisan ini melaporkan hasil uji coba kayu sawit sebagai bahan baku kayu lapis yang telah dilakukan selama dua tahun terakhir pada dua lokasi pabrik berbeda di Samarinda dan Riau. Pada bagian ini dilaporkan aspek teknis yang meliputi aspek proses produksi dan karakteristik hasil produksi kayu lapis.
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada dua unit pabrik kayu sawit dalam selang waktu sekitar dua tahun. Penelitian pertama dilakukan di pabrik kayu lapis PT Sumalindo, Loh Janan, Kalimantan Timur pada tahun 2006. Penelitian ke dua dilakukan di pabrik kayu lapis PT Forestama Raya (Group RGM), Rumbai, Riau pada tahun 2008. B. Bahan Penelitian Bahan kayu bulat sawit yang digunakan dalam penelitian pertama berasal dari tanaman sawit berusia 24 tahun di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Bahan kayu bulat sawit pada percobaan ke dua berasal dari perkebunan sawit berumur sekitar 22 tahun milik PTP Nusantara V, Riau. Bahan pembantu yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah perekat Urea Formaldehida (UF), dempul, pita gulung (reeling tape) dan pita rekat (gummer tape).
136
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
C. Metode Pengolahan Proses pengolahan kayu lapis sawit secara umum mengikuti tahapan proses produksi kayu lapis konvensional dengan beberapa tambahan modifikasi pada peralatan dan tahapan produksi. Modifikasi utama yang dilakukan pada peralatan produksi adalah pengaturan sudut pisau kupas yang sesuai digunakan untuk mengupas kayu sawit. Sedangkan modifikasi yang dilakukan terhadap tahapan produksi terdiri dari dua tahap, yaitu pemanasan dan kompresi venir. Uraian mengenai tahapan produksi kayu lapis sawit padatan secara rinci dapat disimak dalam Deskripsi Paten P0028355 (Direktorat Paten, 2011). Komposisi penyusunan venir dalam pembuatan panel kayu lapis dalam percobaan ini terdiri dari 7 dan 11 lapis dengan rancangan komposisi venir sawit 100, 92 dan 82%. Venir lain yang digunakan dalam komposisi tersebut adalah venir kayu kamper dengan ukuran tebal venir 1,46 mm, yang diletakkan pada bagian muka (face) dan belakang (back) panel. Ukuran panel yang dibuat dalam percobaan ini adalah ukuran komersil (120 cm x 240 cm). Pengujian pada panel kayu lapis dilakukan dengan metode yang digunakan oleh pabrik kayu lapis, yaitu standar Jepang, JAS (Anonim, 1993). D. Rancangan Percobaan Percobaan ini memiliki tiga faktor utama, yaitu proses produksi, jumlah lapisan dan komposisi lapisan. Proses produksi panel dilakukan secara berbeda menurut fasilitas pengolahan pabrik. Pembuatan panel secara umum dibuat dalam dua kelompok contoh panel menurut perlakuan jumlah lapisan (JL) dan komposisi lapisan (KL). Jumlah lapisan terdiri dari dua taraf, yaitu 7 dan 11 lapis. Komposisi lapisan terdiri dari 3 taraf, yaitu 82, 92 dan 100% kandungan venir sawit. Masing-masing taraf memiliki ulangan sebanyak 5 buah contoh panel. Untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor di atas terhadap karakteristik panel dilakukan analisis data menurut prosedur faktorial.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran efisiensi (rendemen) pada proses produksi kayu lapis sawit menurut tahapannya disajikan pada Tabel 1. Proses pemotongan bagian ujung kayu bulat (log) pada tahap awal menyebabkan kehilangan volume sekitar 3%. Porsi kehilangan pada tahap ini relatif sama dengan kehilangan volume yang terjadi dalam pengolahan jenis kayu lainnya yang berasal dari hutan tanaman maupun kayu rakyat. Proses pengupasan kayu bulat sawit pada percobaan pertama di PT Sumalindo, yang dilakukan dengan menggunakan sudut kupas sekitar 23o pada mesin Rotary lathe dan 21o pada mesin Spindle less cenderung menimbulkan kerusakan pada venir yang dihasilkan, sehingga menyebabkan rendemen venir pada percobaan ini tidak lebih dari 43%. Pengubahan ukuran sudut pisau pada mesin kupas menjadi 19o dalam percobaan ke dua di PT Asia Forestama Raya secara efektif dapat meningkatkan rendemen venir menjadi sekitar 63%. Hasil ini menunjukkan bahwa rendemen venir kayu sawit pada tahap awal (sebelum perlakuan kompresi) mendekati nilai rendemen venir kayu tanaman (69 - 70%). Namun demikian, hasil pengupasan venir kayu sawit akan menjadi lebih baik apabila kecepatan putar (RPM) pada spindle rotary dapat diperlambat
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
137
sekitar 20% melalui modifikasi pada bagian penggerak mesin (pulley). Kecepatan putar log pada mesin rotary konvensional bersifat tetap (unadjustable) dan dirancang untuk mengupas kayu tradisional dengan rotasi per menit (RPM) sekitar 160. Kecepatan putar mesin tersebut relatif terlalu tinggi bila digunakan dalam pengupasan kayu sawit.
Tabel 1. Rendemen (%) pengolahan kayu lapis sawit Tahapan proses Pemotongan log Pengupasan - Rotary lathe - Spindle less - Kumulatif Pengempaan venir Pengeringan Pengempaan panas Pemotongan dan pengamplasan
Percobaan pertama
Percobaan kedua
96,92
97,85
25,48 17,29 42,77
36,62 26,45 63,07 39,51 26,17 24,62 21,55
16,46* 16,21 13,24
Keterangan: *Menggunakan mesin press-dryer
Proses pengempaan dan pengeringan venir pada percobaan pertama terjadi secara bersamaan pada satu unit mesin (press dryer) dan kadar air venir setelah melalui perlakuan tersebut mencapai 6%, sehingga venir mengalami kehilangan volumetris sekitar 26% dalam pressdrying. Pada percobaan ke dua perlakuan pengempaan dan pengeringan venir masing-masing menyebabkan kehilangan volume sekitar 24 dan 13%. Kedua perlakuan tersebut menunjukkan kehilangan volumetris pada venir sawit sekitar 60% dari volume venir kayu sawit basah. Perubahan dimensi secara drastis pada struktur kayu sawit bersifat unik, serupa dengan struktur kayu kelapa (Balfas, 2007), namun tidak dijumpai pada struktur kayu tradisional baik yang berasal dari hutan alam maupun hutan tanaman. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh kandungan air dan jaringan parenkim dalam jumlah besar pada kayu sawit (Balfas, 2006). Pada tahap inilah kompatibilitas (kuantitatif) venir kayu sawit menjadi sangat rendah dibandingkan dengan venir kayu asal hutan tanaman yang sampai tahap kondisi venir kering dapat mencapai rendemen lebih dari 50%. Namun demikian, perlakuan pengempaan tersebut menghasilkan venir dengan kerapatan struktur lebih dari dua kali kerapatan kayu sawit asal, sehingga memiliki sifat keteguhan longitudinal lebih baik daripada venir kayu hutan tanaman, terutama dari jenis pohon cepat tumbuh. Dalam tahap pengempaan panel pada mesin hot press terjadi kehilangan volumetris sekitar 0,2% pada percobaan pertama, yang nilainya relatif kecil dibandingkan dengan 1,5% pada percobaan ke dua (Tabel 1). Perbedaan ini terutama berkaitan dengan perbedaan kadar air venir setelah proses pengeringan, di mana metode pertama mencapai kadar air 6%, sedangkan pada metode ke dua hanya sekitar 12%. Menurut Haygreen dan Bowyer (1985) nilai kadar air venir saat penyusunan panel sangat menentukan besaran penyusutan panel dalam proses pengempaan panas.
138
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Pada tahap pemotongan kedua sisi panel dan pengamplasan permukaan panel terjadi kehilangan volumetris sekitar 3%, sehingga rendemen kumulatif pada pembuatan panel kayu lapis sawit pada masing-masing percobaan adalah 13,24 dan 21,55%. Hasil ini menunjukkan bahwa perbaikan pada mekanisme pengolahan kayu sawit dalam percobaan ke dua mampu meningkatkan nilai rendemen pengolahan sekitar 8% dibandingkan dengan nilai rendemen yang diperoleh pada percobaan pertama. Namun demikian, nilai rendemen tersebut relatif kecil bila dibandingkan dengan rendemen pengolahan kayu tanaman yang berkisar antara 40 sampai dengan 50% (Iskandar, 2006). Hasil pengujian laboratoris terhadap karakteristik produk panel kayu lapis sawit pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sifat fisis produk tersebut beragam menurut beberapa faktor yang diamati dalam penelitian ini. Hasil analisis keragaman pada Tabel 3 menunjukkan bahwa faktor proses percobaan, jumlah lapisan, komposisi lapisan, serta kombinasi ketiganya berpengaruh sangat nyata (p>99%) terhadap kandungan air pada panel kayu lapis sawit. Sedangkan nilai kerapatan panel hanya dipengaruhi secara nyata (p>95%) oleh faktor proses percobaan dan jumlah lapisan, serta kombinasi kedua faktor tersebut. Kadar air dan kerapatan panel kayu lapis sawit pada percobaan pertama memiliki nilai lebih rendah daripada percobaan ke dua (Tabel 2). Perbedaan kedua sifat fisis tersebut terutama berkaitan dengan kondisi venir yang dihasilkan dari masing-masing proses percobaan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa proses pengempaan dan pengeringan venir pada percobaan pertama terjadi secara bersamaan pada satu unit mesin (press dryer) dan kadar air venir setelah melalui perlakuan tersebut sekitar 6% lebih rendah, serta kehilangan volumetris yang lebih tinggi daripada percobaan kedua.
Tabel 2. Sifat fisis kayu lapis sawit Percobaan
Jumlah lapisan 7 Lapis
I 11 Lapis
7 Lapis II 11 Lapis
Komposisi lapisan
Kadar air, %
Kerapatan, kg/cm3
82 92 100 82 92 100 82 92 100 82 92 100
7,05 7,76 8,18 8,20 9,38 11,04 8,41 8,96 10,45 9,62 10,14 10,85
729,14 726,18 733,08 696,21 695,64 693,93 659,73 661,14 660,28 627,36 628,05 627,71
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
139
Tabel 3. Analisis keragaman pada sifat fisis panel kayu lapis sawit Sumber keragaman
F- Hitung
db Kadar air
EXP = Percobaan NUMBER = Jumlah lapisan COMP = Komposisi lapisan EXP * NUMBER EXP * COMP NUMBER * COMP EXP * NUMBER * COMP Galat
1 1 2 1 2 2 2 48
sn
531,048 811,527 sn 453,413 sn 89,319 sn 4,832 sn 6,771 sn 54,415 sn
Kerapatan 296,59 sn 99,68 sn 0,78 sn 1,03 sn 0,96 sn 0,93 sn 1,39 sn
Keterangan: db = derajat bebas; sn = sangat nyata; tn = tidak nyata
Nilai kadar air pada panel 7-lapis lebih rendah daripada kadar air panel 11-lapis (Tabel 2). Sebalikanya nilai kerapatan pada panel 7-lapis lebih tinggi daripada kerapatan panel 11-lapis. Perbedaan kedua sifat fisis tersebut tampak konsisten pada percobaan pertama maupun percobaan ke dua. Perbedaan sifat ini merupakan suatu kecenderungan teknis yang lazim dijumpai dalam proses produksi panel kayu lapis, sebagai akibat dari proses pengempaan panas (hot pressing) terhadap karakteristik panel. Panel kayu lapis yang terbuat dari kondisi venir yang sama akan mengalami penurunan kadar air dan peningkatan kerapatan dengan berkurangnya jumlah lapisan pada panel Anonim (2008). Kadar air pada panel kayu lapis sawit mengalami peningkatan dengan pertambahan komposisi venir sawit (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa venir kayu sawit bersifat lebih higroskopis dibandingkan dengan venir kayu kamper yang digunakan sebagai komponen kombinasi dalam penelitian ini. Karakteristik tersebut berkaitan dengan sifat dasar kayu sawit yang memiliki kadar air lebih tinggi dari kayu tradisional dari hutan alam maupun tanaman, sehingga secara alami kayu sawit memiliki tempat ikatan air (water sorption sites) lebih banyak daripada kayu lainnya (Balfas, 1998). Karakteristik mekanis panel kayu lapis sawit disajikan pada Tabel 4. Nilai keteguhan rekat pada panel kayu sawit secara nyata dipengaruhi oleh faktor proses percobaan, jumlah lapisan, komposisi lapisan, serta kombinasi ketiga faktor tersebut (Tabel 5). Keragaman nilai keteguhan rekat pada panel kayu sawit mengikuti pola keragaman pada nilai kerapatan panel. Kedua parameter ini memiliki korelasi yang sangat erat (p>99%) dengan koefisien korelasi (R2) sebesar 0,884. Hal ini berarti nilai keteguhan rekat pada panel kayu lapis sawit mengalami peningkatan dengan pertambahan nilai kerapatan panel. Fenomena serupa telah dilaporkan oleh Santoso dan Sutigno (2004) pada panel kayu lapis kapur. Nilai keteguhan geser rekatan pada Tabel 4 secara umum memiliki nilai keteguhan lebih rendah daripada batasan minimal yang ditetapkan dalam standar Jepang (7 kg/cm2). Hal ini berarti bahwa kualitas rekatan pada panel kayu lapis sawit lebih rendah daripada rekatan pada panel kayu lapis sengon yang dilaporkan oleh Iskandar (2006). Namun demikian, panel kayu lapis sawit
140
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
memiliki nilai kerusakan kayu dan delaminasi masing-masing sebesar 100 dan 0%, sehingga menurut standar tersebut panel kayu lapis sawit dapat digunakan untuk keperluan interior. Tabel 4. Sifat mekanis kayu lapis sawit Percobaan
Jumlah lapisan
Komposisi lapisan 82 92 100 82 92 100 82 92 100 82 92 100
7 Lapis I 11 Lapis
7 Lapis II 11 Lapis
KR kg/cm2 6,85 6,91 7,02 6,31 6,41 6,30 6,14 6,22 6,19 5,67 5,69 5,71
KK (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Del (%) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keterangan: KR = Keteguhan rekat; KK = Kerusakan kayu; Del = Delaminasi
Tabel 5. Analisis keragaman pada sifat mekanis panel kayu lapis sawit
Sumber keragaman EXP = Percobaan NUMBER = Jumlah lapisan COMP = Komposisi lapisan EXP * NUMBER EXP * COMP NUMBER * COMP EXP * NUMBER * COMP Galat
db 1 1 2 1 2 2 2 48
F- Hitung Keteguhan rekat
Kerusakan kayu
Delaminasi
308,710 sn 174,661 sn 0,920 sn 1,448 sn 0,134 tn 0,897 sn 0,659 sn
0 tn 0 tn 0 tn 0 tn 0 tn 0 tn 0 tn
0 tn 0 tn 0 tn 0 tn 0 tn 0 tn 0 tn
Keterangan: db = derajat bebas; sn = sangat nyata; tn = tidak nyata
Nilai kerusakan kayu dan delaminasi pada semua panel kayu lapis sawit masing-masing menunjukkan nilai yang sama (Tabel 4). Nilai kerusakan kayu pada panel sebesar 100% menunjukkan bahwa nilai keteguhan rekat pada panel tersebut sesungguhnya menggambarkan nilai keteguhan geser pada venir kayu sawit. Artinya keteguhan rekat pada garis rekatan (bonding line) dapat mencapai lebih dari nilai yang tercantum pada Tabel 4, karena pada garis rekatan tersebut tidak terjadi kerusakan. Dengan demikian kelemahan yang dijumpai pada kualitas rekatan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
141
panel kayu lapis sawit terletak pada kelemahan struktur kayu sawit. Kelemahan ini terutama berhubungan dengan porsi jaringan non struktural (parenkimatos) dalam jumlah yang besar pada struktur anatomi kayu sawit (Balfas, 2006). Perlakuan impregnasi resin organik ke dalam struktur kayu monokotil dapat menyempurnakan karakteristik fisis maupun mekanis kayu tersebut (Balfas, 2007).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Batang sawit dapat dimanfaatkan untuk pembuatan panel kayu lapis dengan menggunakan fasilitas konvensional yang terdapat pada industri kayu lapis. 2. Percobaan produksi venir kayu sawit menghasilkan rendemen venir basah sebesar 42 sampai dengan 63% tergantung fasilitas dalam proses produksi. 3. Peningkatan efisiensi dan produktivitas dalam pembuatan venir dan panel kayu lapis sawit dapat dilakukan melalui beberapa modifikasi pada mesin dan peralatan yang digunakan dalam proses produksi. 4. Kualitas panel kayu lapis sawit secara nyata dipengaruhi oleh faktor proses percobaan, jumlah lapisan dan komposisi lapisan. 5. Keteguhan rekat pada kayu lapis sawit memiliki korelasi positif dengan nilai kerapatannya. 6. Panel kayu lapis sawit relatif kurang stabil dan memiliki kualitas rekatan lebih rendah dibandingkan dengan panel kayu lapis sengon. 7. Mengacu pada standar Jepang (JAS) kayu lapis sawit hanya memenuhi persyaratan panel interior. B. Saran 1. Percobaan pemanfaatan batang kayu sawit untuk produksi kayu lapis menunjukkan hasil produk yang cukup baik, namun masih banyak hal yang perlu disempurnakan melalui modifikasi mesin, peralatan, serta tahapan dalam proses produksi, sehingga kegiatan produksi dapat dilakukan secara lebih praktis dan efisien, serta pencapaian kualitas produk yang lebih tinggi. 2. Kelemahan pada struktur anatomi kayu sawit perlu disempurnakan melalui suatu proses densifikasi yang lebih efektif agar diperoleh stabilitas dimensi dan keteguhan rekat panel yang lebih sempurna.
142
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1993. Japanese Agricultural Standard for Structural Plywood. Japan Plywood Inspection Corporation. Tokyo. ______. 2008. Plywood Design Fundamentals. Canadian Plywood Association. Canada. Balfas, J. 1998. Sifat dasar kayu sawit. Prosiding Diskusi Nasional Hutan Rawa dan Ekspose Hasil Penelitian di Sumatra Utara. Medan 18-19 September 1998. Balai Penelitian Kehutanan. Pematang Siantar. _______, 2006. New approach to oil palm wood utilization for wood working production, Part 1: Basic properties. Journal of Forestry Research 3(1):55-66. Forestry Research and Development Agency. Jakarta. _______. 2007. Perlakuan resin pada kayu kelapa. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 25(2):108-118. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Direktorat Paten. 2011. Metode pembuatan produk kayu lapis padatan dari kayu sawit. Deskripsi Paten ID P0028355. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta. Haygeen, J.G. and L. Bowyer. 1985. Forest Products and Wood Science. Second Printing. The IOWA State University Press. Ames. Iskandar, M.I. 2006. Pemanfaatan kayu hutan rakyat sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) untuk kayu rakitan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006. Bogor, 21 September 2006; 142-150. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Purwanto, B.E. 2008. Alokasi bahan baku kayu untuk keperluan domestik. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor, 25 Oktober 2008; 7-15. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Santoso, A. dan P. Sutigno. 2004. Pengaruh tepung gaplek dan dekstrin sebagai ekstender perekat Urea Formaldehida terhadap keteguhan rekat kayu lapis kapur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 22(2):61-68. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
143
MAKALAH PENUNJANG
PENELITIAN AWAL PEMULIAAN Araucaria cunninghamii SEBAGAI JENIS ALTERNATIF KAYU PULP DI BONDOWOSO, JAWA TIMUR Oleh: Dedi Setiadi Balai Beasar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta Jalan Palagan Tentara Pelajar Km.15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582 Telp. (0274) 895954, 896080, Fax. (0274) 896080 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Araucaria cunninghamii Ait. Ex D. Don keberadaanya ditemukan di wilayah subtropis dan di wilayah hutan hujan tropis, penyebarannya terjadi secara meluas dimulai dari Papua Barat yang terletak kira-kira pada koordinat 10LS, kemudian menyambung ke dataran tinggi Papua New Guinea, sampai di atas bagian timur Australia pada koordinat 31 0LS. Kebun benih araukaria ini telah dibangun di Bondowoso, Jawa Timur sejak tahun 2008. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kinerja pertumbuhan dan parameter genetik kebun benih araukaria pada umur 6, 12 dan 24 bulan. Kebun benih ini didesain menggunakan Rancangan Acak Lengkap Berblok (RALB) yang terdiri dari 80 famili, 4 treeplot, 6 blok dan jarak tanam 4 m x 2 m. Variabel penelitian yang diamati adalah persen hidup, pertumbuhan dan beberapa parameter genetik. Hasil analisa menunjukkan bahwa persen hidup rata-rata araukaria sampai umur 24 bulan berkisar antara 96,7 sampai dengan 100%, sedangkan hasil analisis varian terhadap tinggi dan diameter tanaman menunjukkan berbeda nyata. Taksiran nilai heritabilitas tinggi dan diameter (h2f = 0,68; h2f = 0,57), untuk 6 bulan, (h2f = 0,58; h2f = 0,55) untuk 12 bulan dan untuk 24 bulan (h2f = 0,52;, h2f = 0,64) termasuk klasifikasi moderat. Korelasi genetik tinggi x diameter cukup kuat untuk umur 6, 12 dan 24 bulan (rg = 0,45; rg = 0,78; rg = 0,75). Kata kunci: A. cunninghamii, heritabilitas, kebun benih, korelasi genetik, pertumbuhan
I. PENDAHULUAN Pemuliaan pohon merupakan salah satu upaya dalam rangka peningkatan produktifitas hutan melalui penyediaan benih yang berkualitas/unggul. Sumbangan keberhasilan kegiatan pemuliaan pohon akan dapat diidentifikasi bahwa pertumbuhan tanaman, kualitas produksi, ketahanan terhadap hama dan penyakit dan adaptasi terhadap lingkungan akan menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan tanpa adanya kegiatan pemuliaan pohon. Sangat tepat kiranya bahwa kegiatan pemuliaan pohon di Indonesia harus mendapatkan perhatian yang cukup serius baik dalam perencanaan, pengelolaan maupun pelaksanaan di lapangan, karena Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan alam tropis yang cukup besar. Hal ini ditunjang lagi dengan adanya komitmen pemerintah untuk mensukseskan program pembangunan hutan tanaman industri yang bercirkan meningkatnya produktifitas hutan tanaman tanpa meninggalkan aspek kelestarian sumberdaya hutan dan lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
145
Pada program pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dengan areal yang luas dan risiko kegagalan yang sangat tinggi, perlu ditunjang oleh penggunaan benih unggul agar riap tanaman per satuan luas dapat ditingkatkan. Pemilihan jenis yang akan dibudidayakan merupakan langkah awal yang sangat penting, karena akan berpengaruh terhadap teknis pengelolaan jangka panjang yang secara ekonomi menguntungkan. Melihat hal tersebut, maka jenis-jenis yang akan diusahakan perlu mempunyai persyaratan tertentu sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Jenis yang mempunyai riap tinggi, kayunya bernilai ekonomis tinggi merupakan kriteria yang umumnya diinginkan, salah satu jenis yang memenuhi persyaratan tersebut adalah Araucaria cunninghamii. A. cunninghamii dikenal sebagai jenis yang bernilai ekonomis tinggi karena hasil kayunya sangat baik digunakan untuk bahan industri plywood, pulp, paper, kayu pertukangan dan juga menghasilkan getah (Handro, 1986 dalam Bajai, 1986). Jenis ini adalah andalan lokal potensial yang tumbuh dan menyebar secara alami di hutan alam tropis Papua dengan kondisi tofografi medan yang umumnya sulit dijangkau. Keberadaan populasi alam yang dulunya berada dalam kondisi aman dan tidak terancam punah, pada saat ini telah mulai terganggu. Untuk lebih mengoptimalkan nilai eknomis dan melestarikan populasi dan keragaman genetik dari jenis tersebut, perlu dilakukan tindakan pemuliaannya. Persoalan utama yang membuat berbagai pihak ragu untuk mengembangkan A. cunninghamii adalah karena adanya kesulitan dalam memperoleh benih untuk pembangunan pertanamannya. Oleh karenanya, usaha untuk memperoleh benih jenis A. cunninghamii yang dapat tersedia secara mudah, rutin dan dalam jumlah yang memadai sangat diperlukan. Selama ini pembangunan pertanaman Araukaria di Papua kebutuhan benihnya masih bergantung pada hutan alam, yang untuk memperolehnya memerlukan biaya yang cukup tinggi dan umumnya benihbenih tersebut hanya dikumpulkan dari area dengan dasar genetik yang relatif sempit. Hal ini mendorong perlunya membangun sumber benih dengan genetik unggul sehingga mampu menyediakan benih dalam jumlah yang memadai untuk pengusahaan hutan tanaman skala operasional. Pada tahun 2004 sampai 2006 telah terkumpul materi genetik benih sebanyak 80 famili hasil kerjasama Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta yang bekerjasama dengan Balai Penelitian Kehutanan Manokwari telah melakukan koleksi benih A. cuninghamii dari tegakan alam di kepulauan Papua sebayak 60 famili dari 5 provenan (Serui, Wamena, Manokwari, Jayapura dan Fak-fak) dan mendapatkan materi genetik dari provenan Queensland (Australia Selatan) sebanyak 20 famili. Pada tahun 2008 materi benih dari 6 provenan tersebut digunakan untuk membangun kebun benih uji keturunan di Bondowoso, Jawa Timur. Salah satu kegiatan operasioanal dalam melaksanakan pemuliaan pohon adalah dengan mengupayakan terbentuknya populasi pemuliaan yang akan menjadi dasar dalam melaksanakan kegiatan pemuliaan pohon secara umum. Di dalam kebun benih uji keturunan inilah beberapa individu pohon terseleksi (pohon plus) dari populasi dasar (hutan alam/hutan tanaman) akan diuji melalui serangkaian kegiatan seleksi yang dituangkan dalam bentuk strategi pemuliaan. Dalam makalah ini akan disampaikan penelitian pemuliaan pohon A.cunninghamii sampai umur 24 bulan pada tingkat lapang. Penelitian ini bertujuan untuk membangun populasi pemuliaan yang akan menjadi dasar pelaksanaan pemuliaan secara umum, melaksanakan evaluasi dan analisa data dari
146
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
famili-famili yang diuji di dalam kebun benih uji keturunan untuk menentukan langkah dalam melaksanakan tahapan strategi pemuliaan yang telah ditetapkan dalam menghasilakan benih unggul dan melaksanakan langkah awal dalam penyiapan materi dasar pemuliaan untuk pengujian pada generasi selanjutnya.
II. BAHAN DAN METODE A. Koleksi Benih Benih dikumpulkan dari pohon induk dari hutan alam di Papua. Pemilihan pohon plus didasarkan pada fenotipenya, yang sifat fenotipik tersebut merupakan cerminan dari faktor genetik dan lingkungan tempat tumbuhnya (Wright 1976, Zobel dan Talbert 1984). Seleksi pohon induk didasarkan baik pada sifat kualitatif, maupun kuantitatif seperti tinggi dan diameter batang, tinggi hingga bebas cabang, lebar tajuk, bentuk batang, resistensi terhadap serangan hama dan penyakit. Contoh pohon plus yang berhasil ditunjuk disampaikan pada Gambar 1. Informasi detil mengenai provenan dimana benih dikoleksi disampaikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sumber asal benih yang digunakan dalam uji keturunan A. cunninghamii di Bondowoso, Jawa Timur No. Provenan 1 2 3 4 5 6
Serui Wamena Manokwari Jayapura Queensland Fak-fak
Jumlah Famili 11 28 12 6 16 7
Lokasi Kanobon Napua Kebar Cyklop Yarraman Fak-fak
Garis Lintang Garis Bujur Selatan Timur 02 o - 34 ' 135 o - 11 ' 04 o - 21 ' 135 o - 11 ' 02 o - 59 ' 139 o - 09 ' 04 o - 25 ' 140 o - 38 ' 26 o - 52 ' 152 o - 25 ' 02 o - 34 ' 132 o - 31 '
Ketinggian tempat (m dpl) 800 1600 1200 1600 1000 900
Gambar 1. Contoh pohon plus Araucaria cunninghamii yang diseleksi Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
147
B. Pemapanan dan Rancangan Uji Penelitian dilakukan pada Hutan Penelitian Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Secara administratif hutan penelitian tersebut terletak di Desa Wringinanom, Kecamatan Sukosari, Kabupaten Bondowoso. Tapak uji keturunan memiliki tipe iklim B (Scmidt dan Ferguson), 1945 dengan rerata curah hujan sebesar 2.400 mm/tahun. Jenis tanahnya termasuk Andosol. Tapak tergolong datar dengan kelerengan rata-rata 0-10%, terletak pada ketinggian tempat 800 m di atas permukaan laut. Uji keturunan A. cunninghamii dibangun pada bulan Januari 2008 dari 6 sumber benih yang terdiri dari 5 sumber benih populasi alam Papua (Fak-fak, Sorong, Serui, Wamena dan Manokwari) sebanyak 60 famili dan 1 sumber benih dari Queensland (CSIRO) sebanyak 20 famili. Uji keturunan dirancang mengikuti rancangan acak berblok (Randomizes Completely Block Design) dengan 6 sumber benih, 80 famili, 4 blok, 4 pohon per plot dengan jarak tanam 4 x 2 m. C. Pengukuran dan Analisis Data Pengukuran sifat pohon dilakukan pada semua individu pohon. Karakter yang diukur adalah tinggi pohon dan diameter batang. Tinggi pohon total (cm) diukur mulai dari permukaan tanah sampai titik tumbuh apikal (ujung pohon). Diameter batang (mm), yang diukur pada bagian batang dengan menggunakan kalifer pada ketinggian 20 cm di atas permukaan tanah. Data ini kemudian dianalisis untuk mengetahui rerata pertumbuhan tanaman, keragaman sifat di antara famili yang diuji dan nilai parameter genetik. Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan analisis varians dan kovarians untuk mengetahui nilai parameter genetik (variasi genetik, heritabilitas famili dan korelasi genetik). Model matematika dari analisis varians yang digunakan adalah: Yijk = + Bi + Pj + F(P)k + BF(P)ik + Eijkl di mana: Yijk
= pengamatan individu pohon ke-k dari famili ke-j dalam blok ke-i
= nilai rerata umum
Bi
= efek blok ke i
Pj
= efek provenan ke j
F (P)k = efek famili di dalam provevavs ke-k BFij
= efek interaksi blok ke-i pada famili ke-j
E ijk
= eror random
Analisis varians dan kuadrat rerata harapan untuk penentuan komponen varians disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.
148
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Tabel 2. Analisis varians dan rata-rata kuadrat harapan Sumber varians
Derajat bebas
Blok Provenan Famili (Provenan) Famili x Blok. (P) Eror
Kuadrat rerata
b-1 p-1 f-1 (f-1)(b-1) (n-1) bf
KRB KRP KRF KRFB RKE
Kuadrat rerata harapan ı ı ı ı ı
2 e 2 e 2 e 2 e 2 e
+ n ı 2fb (P)+ nfı 2b + n ı 2fb (P)+ nfı 2(P) + ı 2P + n ı 2fb (P) + nbı 2f (P) + n ı 2fb (P)
Estimasi heritabilitas famili setiap sifat yang diukur dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Hardiyanto, 2007); V2f
2
h f= V2f + (V2bf) / b + (V2e) / nb hi2
3 =
V2f V2f + V2bf + V2e
Komponen varans famili (V2f) diasumsikan sebesar 1/3 varians genetik aditif (V2A), karena benih dikumpulkan dari pohon induk dengan penyerbukan alami pada hutan alam di mana sebagian benih kemungkinan hasil dari kawin kerabat (neighborhood inbreeding). Keterangan: h2i = nilai heritabilitas individu h2f = nilai heritabilitas famili V2f = komponen varians famili V2bf = komponen varians interaksi antara blok dan famili V2e = komponen varians error n = rerata harmonik jumlah pohon per plot b = rerata harmonik jumlah blok Taksiran korelasi genetik antar karakteristik, dihitung menggunakan formula sebagai berikut (Zobel dan Talbert, 1984): V f xy rg = (V2fx . V2fy) Sedangkan untuk menghitung besarnya komponen kovarians untuk dua sifat (x dan y), menggunakan rumus sebagai berikut (Fins et al,. 1992): V f xy = 0,5 (V2 f (x + y) - V2f x - V2f y) rg ı f (x y) ı 2f (x+y) ı 2f (x) ı 2f (y)
= korelasi genetik = komponen kovarians untuk sifat x dan y = komponen varians untuk sifat x dan y = komponen varians famili untuk sifat x = komponen varians famili nuntuk sifat y
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
149
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Tanaman Berdasarkan Gambar 1 yaitu pada tingkat lapang umur 6 bulan penampilan pertumbuhan provenan untuk tinggi terbaik dicapai oleh provenan dari Queensland dan penampilan pertumbuhan provenan dengan pertumbuhan terendah dicapai provenan dari Manokwari. Tetapi pada umur 12 bulan di lapangan terlihat bahwa terjadi perubahan rangking pertumbuhan dalam provenan yaitu penampilan pertumbuhan tertinggi dicapai oleh provenan dari Manokwari dan penampilan pertumbuhan terendah dicapai oleh provenan dari Queensland seperti terlihat pada Gambar 2. Keragaman pertumbuhan tanaman pada tingkat lapang umur 6, 12 dan 24 bulan disajikan pada Gambar 3.
Tinggi (cm) / Diameter (mm)
60 49.81
49.85
53.57
50.18
49.81
46.06
50 40 30 20 10
7.54
7.76
7.84
8.06
6.84
7.34
0 1. Fak-fak
2. Jay ap ura
3. Serui
4. Wamena
5. M anokwari
6. Queensland
Provenan
Tinggi (cm) / Diameter (mm)
Gambar 1. Grafik pertumbuhan tinggi dan diameter uji keturunan A. cunninghamii umur 6 bulan pada tingkat lapang di Bondowoso, Jawa Timur
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
83.11
13.63
1. Fak-fak
83.52
14.3
2. Jayapura
84.24
82.87
14.27
3. Serui
14.15
4. Wamena
88.03
13.34
5. M anokwari
81.35
12.72
6. Queensland
Provenen Provenan
Gambar 2. Grafik pertumbuhan tinggi dan diameter uji keturunan A. cunninghamii umur 12 bulan pada tingkat lapang di Bondowoso, Jawa Timur
150
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
(Umur 6 bulan)
(Umur 24 bulan)
(Umur 12 bulan)
Gambar 3. A. cunninghamii umur 6, 12, dan 24 bulan di Bondowoso-Jawa Timur Untuk mengetahui rerata pertumbuhan tinggi dan diameter umur 6 bulan dan 12 bulan diurut berdasarkan rangking disajikan pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Rerata pertumbuhan tinggi dan diameter A. cunninghamii umur 6 dan 12 bulan pada tingkat lapang di Bondowoso, Jawa Timur No.
Sumber asal benih 1 Serui 2 Wamena 3 Manokwari 4 Jayapura 5 Queensland 6 Fak-fak Rerata pertumbuhan
T 49,81 50,18 46,06 49,85 53,57 49,81 49,88
Umur 6 bulan R D 3 7,84 2 8,06 6 6,84 5 7,76 1 7,.34 4 7,54 7,56
R 2 1 6 3 5 4
T 82,87 84,24 88,03 83,52 81,35 83,11 83,85
Umur 12 bulan R D 5 14,27 2 14,16 1 13,34 3 14,30 6 12,72 4 13,6 13,74
R 2 3 5 1 6 4
Keterangan: T (Tinggi/cm), D (Diameter/mm) dan R (Rangking)
Tabel 3 serta Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa rerata pertumbuhan tinggi pada umur 6 bulan di tingkat lapang mencapai 49,88 cm dengan nilai tertinggi sebesar 53,57 cm yang dicapai provenan dari Queensland dan nilai terendah sebesar 46,06 cm dari provenan Manokwari. Sedangkan rerata pertumbuhan diameternya sebsar 7,56 mm, dengan nilai tertinggi diameter sebesar 8,06 mm yang dicapai provenan dari Wamena dan nilai diameter terendah sebesar 6,84 mm dari provenan Manokwari. Pada umur 12 bulan rerata pertumbuhan tinggi sebesar 83,85 cm dengan nilai tertinggi sebesar 88,03 cm yang dicapai provenan dari Manokwari dan nilai terendah sebesar 81,35 cm yang dicapai provenan dari Queensland. Untuk rerata pertumbuhan diameter pada umur 12 bulan, di lapangan sebesar 13,74 mm dengan nilai diameter terbesar 14, 30 mm yang dicapai provenan dari Jayapura dan nilai diameter terendah sebesar 12,72 mm yang dicapai provenan dari Queensland.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
151
Dari hasil analisis varian untuk sifat tinggi dan diameter batang, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4 di bawah ini, keragaman sifat tinggi dan diameter di antara sumber benih yang diuji sangat berbeda nyata. Informasi ini menunjukkan bahwa variasi sumber benih telah berkontribusi pada pertumbuhan tinggi dan diameter A. cunninghamii. Di samping itu, bila dilihat dari provenani terbaik dari lokasi yang berbeda juga menunjukkan hasil yang berbeda pula meskipun material benih yang digunakan adalah sama. Menurut Zobel dan Talbert (1984), perbedaan tersebut dapat terjadi karena penampilan suatu pohon (phenotype) dipengaruhi oleh potensi genetik dan kualitas lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh. Hasil analisis varians famili untuk karakter tinggi dan diameter A. cunninghamii umur 6, 12, dan 24 bulan di Bondowoso selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Analisis varian dan nilai heritabilitas famili (h 2f) uji keturunan A. cunninghamii umur 6, 12 dan 24 bulan pada tingkat lapang di Bondowoso-Jawa Timur
Sumber keragaman
db
Kuadrat tengah Tinggi
Diameter
3 5 82 230 959
2628,068** 881,821** 303,692** 101,733** 77,788
29,689** 35,321** 3,515** 1,543** 1,136
3 5 82 230 959
12578,659** 1368,889** 632,044** 279,147** 220,025
108,049** 66,773** 10,851** 4,884** 4,240
3 5 82 230 959
64086.6212** 4111.9809** 2230.1741** 1100.7361** 752.853
1035.238422** 433.926526** 112.361133** 41.505599* 32.91372
Umur 6 bulan Blok Provenan Famili (Provenan) Blok x Fam (Provenan) Error Umur 12 bulan Blok Provenan Famili (Provenan) Blok x Fam (Provenan) Error Umur 24 bulan Blok Provenan Famili (Provenan) Blok x Fam (Provenan) Error
Keterangan: ** = signifikan pada taraf uji 1%, * = signifikan pada taraf uji 5%
Berdasarkan hasil analisis varians di atas (Tabel 4) menunjukkan bahwa perbedaan blok, provenan dan famili adalah sangat berbeda nyata untuk sifat tinggi dan diameter tanaman di kebun benih uji keturunan A. cunninghamii sampai dengan umur 24 bulan di Bondowoso. Hal ini menunjukkan bahwa dari awal pertumbuhan pada saat umur 6, 12 dan sampai umur 24 bulan terlihat keragaman famili dalam provenan sangat berbeda nyata. Dengan demikian berarti bahwa keragaman yang tinggi untuk sifat-sifat tersebut disebabkan oleh sifat genetik A. cunninghamii
152
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
pada perbedaan provenani. Hal ini disebabkan kemungkinan oleh adanya perbedaan tempat tumbuh asal benih tersebut seperti; tinggi tempat, letak geografis dan suhu udara yang berkontribusi terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman tersebut. Perbedaan yang signifikan untuk karakter tinggi dan diameter diantara famili yang diuji sangat penting artinya bagi program pemuliaan A. cunninghamii di uji keturunan ini dimasa yang akan datang. Hal menarik lain yang dapat diungkap dari penelitian awal ini adalah belum adanya jaminan bahwa tidak semua benih dari famili yang dikoleksi dari Papua yang memiliki ketinggian tempat relatif sama dengan tempat uji ini dibangun akan memberikan pertumbuhan yang terbaik. Untuk pertanaman uji keturunan ini pada umur 6 bulan provenan Queensland menunjukkan penampilan pertumbuhan tinggi yang terbaik, diikuti oleh provenan Wamena, Serui, Fak-fak, Jayapura dan Manokwari. Tetapi terjadi perubahan rangking pada umur 12 bulan provenan dari Manokwari menujukkan penampilan pertumbuhan tinggi yang terbaik, diikuti oleh provenan Wamena, Jayapura, Fak-fak, Serui dan Queensland. Terjadinya perubahan rangking tersebut, dikarenakan di dalam suatu pohon terdapat variasi geografis (antar provenan) sehingga kemampuan beradaptasi setiap provenan pada kondisi lingkungan yang berbeda tidak tidak selalu sama (Zobel dan Talber, 1984). Dengan adanya perubahan rangking pertumbuhan pada provenan yang diuji maka untuk tujuan penanaman komersial yang efisien, uji asal sumber benih yang tepat sangat diperlukan. B. Heritabilitas dan Korelasi Genetik Suatu fenotipe sering digambarkan sebagai produk ekspresi kinerja gen-gen yang menyusun genotipe suatu individu pada lingkungan tertentu pada lingkungan tertentu. Uji genetik merupakan salah satu upaya mengidentifikasi kinerja gen-gen dari individu yang sudah diketahui fenotipenya (Zobel and Talbert, 1984). Melalui uji genetik, individu-individu yang berfenotipe unggul dikumpulkan pada suatu tapak yang seragam, sehingga kalau ada perbedaan fenotip yang muncul diantara individu-individu tersebut maka diduga kuat karena muatan genetik yang berbeda. Untuk mengetahui proporsi faktor genetik yang diturunkan dari induk kepada keturunannya, maka dilakukan penaksiran nilai heritabilitas, sedangkan untuk melihat keeratan hubungan genetik diantara dua sifat yang diukur dilakukan perhitungan korelasi antar sifat seperti disajikan pada Tabel 5. Hasil penaksiran nilai heritabilitas untuk tinggi pohon umur 6 bulan sebesar 0,68, umur 12 bulan sebesar 0,58 dan umur 24 bulan sebesar 0,52. Pada umur 6 bulan nilai heritabilitas diameter pohon sebesar 0,57, umur 12 bulan sebesar 0,55 dan umur 24 bulan sebesar 0,64. Berdasarkan pada klasifikasi Cotterill dan Dean (1990) maka nilai heritabilitas famili untuk tinggi dan diameter pada umur 6, 12 dan 24 bulan termasuk klasifikasi sedang/moderat. Hal ini mengidikasikan bahwa variasi pertumbuhan sifat tinggi dan diameter cukup kuat dipengaruhi faktor genetik selain oleh faktor lingkungan. Nilai heritabilitas ini kemungkinan bisa berubah sejalan dengan penambahan umur pohon, tempat dan pola pertanaman yang berbeda (Wright, 1976). Informasi mengenai parameter genetik, khususnya heritabilitas pada A.cunninghamii masih sangat terbatas, dengan demikian informasi mengenai heritabilitas dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam pengembangan seleksi dan program pemuliaan spesies ini. Untuk melihat keeratan hubungan genetik diantara dua sifat pertumbuhan tanaman Araukaria di Kebun benih semai uji keturunan di Bondowoso ini maka dilakukan perhitungan korelasi antar sifat. Hasil analisa data menunjukkan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
153
bahwa korelasi sifat tinggi dan diameter cukup kuat pada umur 6, 12 dan 24 bulan mencapai (rg = 0,45; rg = 0,78; rg = 0,75), sehingga perbaikan satu sifat itu akan secara langsung memperbaiki sifat lainnya.
Tabel 5. Estimasi heritabilitas famili, individu dan Korelasi Genetik dari karakter pohon A. cunninghamii umur 6, 12 dan 24 bulan di Bondowoso, Jawa Timur Karakter yang diukur
Tinggi Diameter Tinggi Diameter Tinggi Diameter
Heritabilitas Korelasi genetik Famili Individu Tinggi Diameter Umur 6 bulan 0,68 0,43 0,45 0,57 0,30 Umur 12 bulan 0,58 0,28 0,78 0,55 0,30 Umur 24 bulan 0,52 0,25 0,75 0,64 0,36
IV. KESIMPULAN 1. Persen hidup rata-rata famili-famili A.cunninghamii sampai umur 24 bulan secara umum baik. 2. Variasi pertumbuhan tinggi dan diameter dipengaruhi oleh faktor keragaman sumber benih/provenan dan famili yang diuji. 3. Provenan terbaik pada umur 6 bulan ditunjukkan oleh provenan Queensland, diikuti oleh provenan Wamena, Serui, Fak-fak, Jayapura dan Manokwari. Tetapi terjadi perubahan rangking pada umur 12 bulan provenan dari Manokwari menujukkan penampilan pertumbuhan tinggi yang terbaik, diikuti oleh provenan Wamena, Jayapura, Fak-fak, Serui dan Queensland. 4. Nilai heritabilitas sifat tinggi dan diameter tanaman termasuk klasifikasi sedang, hal ini memberi indikasi bahwa keragaman pertumbuhan tinggi dan diameter itu dipengaruhi oleh faktor genetik selain oleh faktor lingkungan. 5. Korelasi sifat tinggi dan diameter cukup kuat, sehingga perbaikan satu sifat itu akan secara langsung memperbaiki sifat lainnya.
154
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Dr. A.Y.P.B.C. Widyatmoko sebagai koordinator penelitian jenis A. cunninghamii yang mengarahkan penulisan dan penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada peneliti dan teknisi team penelitian A. cunninghamii yang telah membantu dalam pembangunan kebun benih tersebut, serta pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Bajaj. 1986. Biotechnology in Agriculture and Forestry Trees I. Springer-Verlag. Berlin Heidelberg New York. Tokyo. p. 310-311. Buitjtenen, J.P.V. and J.L. Yeiser. 1989. Exercise in Quantitative Genetic of Forest Trees. Forest Genetic Laboratory. Texas A&M University. Cotteril, P.P. dan C.A. Dean. 1990. Succesfull Tree Breeding with Index Selection. CSIRO. Melbourne. Dirdjosoemarto, S. 1991. Penerapan nilai potensi pertumbuhan akar sebagai tolak ukur mutu bibit beberapa tanaman hutan industri. Hardiyanto, E.B. 2007. Penaksiran heritabilitas dan perolehan genetik. Handout Mata Kuliah Pemuliaan Pohon II. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika (Suatu Pendekatan Biometrik). PT. Gramedia Pustaka Utama. Edisi Kedua. Jakarta. Schmidt, F.A. and J.H.A. Ferguson . 1951. Rainfalls Types Based on Wet and Dry Period Ratio for Indonesia and Western New Guinea Verth. 42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika Jakarta. Wright, J.W. 1976. Introduction to Forest Genetics. Academic Press. New York. Zobel, B. and J. Talbert. 1984. Applied Tree Improvement . John Wiley & Sons, Inc. 505 p.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
155
PEMBUATAN PULP RAMAH LINGKUNGAN DARI LIMBAH AGROINDUSTRI SAWIT Oleh: 1*
Zulfansyah , Hari Rionaldo1 dan Nur Asma Deli 2 1
Jurusan Teknik Kimia Universitas Riau, Pekanbaru Kampus Binawidya Jalan H.R. Subrantas Km. 12,5 Simpang Baru, Pekanbaru 28293 * E-mail:
[email protected] 2 Program Studi Teknologi Pengolahan Sawit Politeknik Kampar, Bangkinang Jalan Tengku Muhammad Bangkinang Km. 2 Batu Belah, Riau 28461
ABSTRAK Peningkatan komsumsi pulp dan kertas tidak hanya mengakibatkan perlunya ketersediaan bahan baku yang lebih, tetapi juga memerlukan pengembangan proses-proses baru dalam pembuatan pulp yang dapat meningkatkan produksi pulp dan lebih ramah lingkungan. Bahan bukan kayu (non-wood), seperti limbah agroindustri sawit, merupakan bahan baku alternatif yang layak diperhitungkan sebagai sumber selulosa untuk pembuatan pulp dan kertas dengan kualitas yang memenuhi standar. Makalah ini merupakan ulasan dari serangkaian penelitian pembuatan pulp dengan bahan baku limbah agroindustri sawit menggunakan pelarut organik asam formiat dan asetat. Pembuatan pulp dengan pelarut organik (organosolv pulping) sangat menarik untuk dikembangkan, karena lebih ramah lingkungan dibanding proses pembuatan pulp konvensional (kraft dan soda). Selain itu, proses organosolv juga dapat memanfaatkan keseluruhan komponen utama biomassa menjadi sumber bahan baku produk yang bernilai jual. Sehingga upaya penerapan teknologi hijau bagi industri pulp dan kertas menjadi lebih mungkin pelaksanaannya. Pelarut organik yang digunakan, kondisi proses pembuatan pulp, seperti konsentrasi asam organik, suhu dan waktu pemasakan, nisbah cairan terhadap biomassa, jenis dan konsentrasi katalis yang digunakan, merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pulp yang dihasilkan dari proses organosolv. Kata kunci: Asam organik, limbah sawit, non-wood, organosolv pulping I. PENDAHULUAN Industri pulp dan kertas merupakan salah satu industri yang sangat berperan dalam memacu roda perekonomian Indonesia. Kebutuhan pulp diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya, seiiring dengan naiknya tingkat kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kebutuhan pulp dunia mencapai 20% setiap tahunnya (Gracia et al., 2008), sedangkan di Indonesia rata-rata sebesar 5% pertahun (Pattinasarany, 2010). Namum demikian, perkembangan industri pulp di Indonesia masih menemui beberapa kendala, seperti ketersediaan bahan baku. Hal ini dikarenakan pasokan kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI) belum sepenuhnya dapat menggantikan bahan baku dari hutan alam (Pattinasarany, 2010). Selain itu, perkembangan teknologi proses pembuatan pulp juga diharuskan untuk mampu menyelesaikan beberapa persoalan yang berhubungan dengan dampak lingkungan. Bahan baku alternatif, seperti dari bahan non-wood, serta teknologi proses pembuatan pulp yang ramah lingkungan, mulai dari proses pemasakan sampai proses pemucatan pulp, akan menjadi suatu upaya dalam mendorong berkembangnya industri pulp dan kelestarian lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
157
Limbah padat agroindustri sawit, seperti tandan kosong dan pelepah, sangat berpotensi untuk dijadikan bahan baku alternatif pada industri pulp. Selain ketersediannya yang melimpah, selama ini limbah padat agroindustri sawit tersebut belum tertanggulangi secara maksimal. Tandan kosong (TKS) dikeluarkan sebagai limbah pada proses ekstraksi minyak dari pengolahan tandan buah segar (TBS) untuk mendapatkan crude palm oil (CPO). Sedangkan pelepah sawit merupakan limbah yang berasal dari perkebunan sawit, sebagai hasil samping panen TBS. Sebagai bahan berlignoselulosa, baik TKS maupun pelepah, dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp. Setiap 1 ton pengolahan tandan buah segar (TBS) akan mengeluarkan TKS sebanyak 200-250 kg. Kemudian, setiap 1 hektar perkebunan sawit diperkirakan bisa menghasilkan 10,5 ton pelepah pertahun (Budiman et al., 1985). Beberapa kajian telah membuktikan bahwa TKS dan pelepah dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp kertas maupun bahan kimia turunan selulosa, baik dengan proses konvensional (kraft dan sulfit) maupun dengan proses alternatif, termasuk proses organosolv yang ramah lingkungan (Zulfansyah, 2000; Azman et al., 2002; Wanrosli et al., 2004; Wanrosli et al., 2007; Alriols et al., 2009; Fermi et al., 2010; Zulfansyah et al., 2010; Wanrosli and Law, 2011; Wanrosli et al., 2011). Selain itu, limbah padat agroindustri sawit juga dapat digunakan sebagai sumber energi (Husain et al., 2003), maupun pembuatan material komposit (Rozman et al., 2004). Pembuatan pulp dengan pelarut organik (organosolv pulping) merupakan salah satu proses alternatif dalam pembuatan pulp, yang ramah lingkungan. Proses organosolv menggunakan campuran air dan pelarut organik sebagai media penyisihan lignin (delignifikasi), yang dapat diambil kembali (recovery) secara distilasi setelah proses selesai. Selain itu, secara keseluruhan proses organosolv tidak menggunakan senyawa sulfur, dan produk samping yang terdapat pada black liquor dapat dengan mudah dipisahkan, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan keseluruhan komponen utama penyusun biomassa (Alriols et al., 2009). Berbagai pelarut organik telah dicobakan sebagai media delignifikasi biomassa, baik kayu maupun non-wood, yang meliputi alkohol, asam, amina, keton, ester dan fenol. Kualitas pulp yang dihasilkan proses organosolv juga cukup berimbang dengan pulp yang dihasilkan proses konvensional, serta dapat digunakan sebagai bahan baku kertas maupun bahan kimia turunan selulosa (Johansson et al., 1987). Hasil-hasil kajian menunjukkan bahwa proses organosolv dapat digunakan untuk menghasilkan pulp dan kertas dengan proses yang ramah lingkungan. Asam asetat dan formiat merupakan asam organik yang banyak digunakan dan dikembangkan pemakaiannya sebagai pelarut organik dalam pembuatan pulp. Pembuatan pulp dengan pelarut asam asetat tanpa katalis dikenal dengan prosesacetocell dan yang menggunakan katalis disebut dengan proses acetosolv (Parajo et al., 1993; Pan dan Sano, 2005). Proses pembuatan pulp organosolv berbasis asam formiat diantara proses formasolv dan milox. Proses formasolv menggunakan katalis asam mineral, sedangkan proses milox dengan katalis hidrogen peroksida (Seisto dan Poppius-Levlin, 1997). Selain itu, penggunaan pelarut organik asam asetat dengan tambahan asam formiat yang lebih sedikit dikenal dengan proses formacell (Saake et al., 1995). Keunggulan utama kedua pelarut organik ini dibanding pelarut organik lainnya sebagai media delignifikasi adalah proses pembuatan pulp dapat dilakukan pada suhu didih normal pelarut dan tekanan atmosfer (Pan dan Sano, 2005; Jahan et al., 2007). Selain itu, adanya sejumlah kecil katalis yang ditambahkan pada pelarut asam asetat maupun asam formiat, akan meningkatkan
158
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
selektifitas proses pembuatan pulp, sehingga menghasilkan pulp yang kaya selulosa (Parajo et al., 1993; Ligero et al., 2008; Villaverde et al., 2010). Makalah ini merupakan ulasan dari serangkaian penelitian pembuatan pulp dari TKS dan pelepah dengan pelarut organik asam asetat dan formiat, sebagai upaya penanggulangan limbah padat agroindustri sawit. Pengaruh kondisi proses terhadap kualitas pulp, teruatama yield dan kadar lignin menjadi perhatian utama, selain itu dipelajari juga beberapa informasi penting lainnya, seperti prilaku delignifikasi biomassa limbah dalam media asam asetat dan formiat. Sehingga penggunaan proses yang ramah lingkungan mungkin dapat dikembangankan dalam pembuatan pulp berbahan baku limbah agroindustri.
II. PROSES PEMBUATAN PULP Proses pembuatan pulp merupakan proses pengubahan bahan berlignoselulosa mejadi bentuk serat, dengan pemutusan ikatan-ikatan struktur pembentuk komponen biomassa. Secara umum, proses pembuatan pulp komersil dapat diklasifikasikan menjadi proses mekanis, semikimia dan proses kimia. Proses mekanis mengubah bahan baku menjadi pulp secara mekanis, tanpa menggunakan bahan kimia. Pembuatan pulp proses mekanis tidak menghilangkan lignin, sehingga yield proses mencapai 98%. Kadar lignin pulp mekanis masih tinggi dan mengakibatkan warna pulp kecokelatan dan sedikit kaku (Biermann, 1996). Umumnya proses pembuatan pulp mekanis digunakan untuk membuat kertas koran dan kertas pembungkus. Pembuatan pulp dengan proses kimia adalah proses yang menggunakan bahan kimia berbasis alkali atau asam, dengan yield proses berkisar antara 40 - 45%. Proses pembuatan pulp dengan berbasis alkali yang banyak digunakan adalah proses kraft, sedangkan proses yang berbasis asam adalah proses sulfit (Wegener, 1992), skema proses kraft dan sulfit diperlihatkan pada Gambar 1 dan 2. Sebagian besar industri pulp di dunia menggunakan proses kraft, karena pulp yang dihasilkan memiliki kekuatan lebih tinggi dibanding proses lainnya. Sebaliknya, proses sulfit kurang banyak digunakan karena sifat fisik pulp relatif kurang baik dibanding pulp kraft. Kelemahan utama proses kimia (kraft dan sulfit) adalah kurang ramah lingkungan, karena menggunakan larutan pemasak yang memiliki unsur belerang. Kemudian, proses semi mekanis adalah proses pembuatan pulp dengan kombinasi mekanis dan penggunaan bahan kimia. Bahan kimia yang digunakan dalam proses semi kimia tidak banyak, hanya untuk mendegradasi sedikit lignin dan melunakkan biomassa. Sehingga serat lebih mudah diperoleh dengan kerja mekanis dan yield proses berkisar antara 50-80% (Biermann, 1996).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
159
Gambar 1. Skema proses kraft
Gambar 2. Skema proses sulfit III. LIMBAH SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI PULP Agroindustri sawit berkembang sangat pesat di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Sampai tahun 2009, luas perkebuan sawit telah melebihi 7,5 juta hektar dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 4,7% pertahun. Kemudian, total jumlah pabrik CPO di Indonesia sebanyak 680 unit, dengan kapasitas terpasang 34.280 ton TBS/jam, telah mampu menghasilkan produk CPO sekitar 19,8 juta ton (Hambali et al., 2010). Namun demikian, perkembangan agroindustri
160
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
tersebut tidak diikuti dengan kemampuan penanggulangan limbahnya, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu keberlanjutan perkembangannya saat ini. Aktivitas agroindustri sawit mengeluarkan limbah padat yang cukup banyak sepanjang tahun. Seperti, TKS, sabut dan batok yang dikeluarkan saat produksi CPO di pabrik berlangsung. Selain itu, pada lahan perkebunan dihasilkan pelepah pada saat panen TBS, dan batang sawit serta pelepah ketika peremajaan pohon sawit yang telah mencapai usia 25 tahun. Jumlah limbah padat tersebut dikeluarkan pabrik CPO per ton produksi CPO adalah 1,1 ton TKS, 0,68 ton sabut, dan 0,38 ton cangkang (Lubis et al., 1994). Sedangkan jumlah pelepah yang dihasilkan ketika panen mencapai 10 ton per hektar kebun sawit, dan sebanyak 70 ton batang sawit serta 16 ton pelepah akan dihasilkan per hektar luas kebun peremajaan. Selama ini penanggulangan limbah padat agroindustri sawit masih sangat terbatas, kecuali sabut dan cangkang yang digunakan sebagai bahan bakar boiler di pabrik CPO. Tandan kosong umumnya ditanggulangi dengan cara membakarnya di incenerator, dan memanfaatkan abunya sebagai pupuk kalium. Sedangkan pelepah dan batang hasil peremajaan, biasanya dibiarkan membusuk di lahan perkebunan. Cara lain yang mulai dikembangkan juga masih terbatas pada TKS, dengan menjadikannya mulsa di lahan perkebunan. Upaya penanggulaan tersebut belum tepat, selain berdampak buruk bagi lingkungan, juga tidak memberikan nilai ekonomis bagi agroindustri sawit. Sebenarnya, limbah padat TKS dan pelepah dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas, karena komposisi utama pada limbah padat tersebut adalah selulosa. Selain itu, kualitas lignoselulosa TKS dan pelepah cukup berimbang dengan bahan lignoselulosa lainnya, seperti yang diperlihatkan Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia bahan berlignoselulosa Lignoselulosa Tandan kosong (TKS) Pelepah sawit Batang sawit Sabut sawit Sabut kelapa Batang jagung Ampas tebu Jerami padi Bambu Kayu lunak (soft wood) Kayu keras (hard wood)
Selulosa (%-berat) 36 – 42 37 – 45 29,2 –45,8 34,3 30,6 20 – 25 32 – 44 28 – 36 26 – 43 40 – 45 38 – 49
Hemiselulosa (%-berat) 25 – 27 23 – 25 16,1 – 26,4 27,2 19,9 31 – 38 27 – 32 23 – 28 15 – 26 7 – 14 19 – 26
Lignin (%-berat) 16 – 18 15 – 20 18,8 – 22,6 31,9 38,9 21 – 25 19 – 24 12 – 16 21 – 31 26 – 34 23 – 30
Sumber: Zulfansyah (2000); Wanrosli dan Law (2011)
Upaya pemanfaatan TKS dan pelepah sebagai bahan baku pulp sangatlah tepat. Selain dapat memenuhi kebutuhan pulp dan kertas yang terus meningkat, pemanfaatkan TKS dan pelepah sebagai bahan baku pulp dan kertas juga mampu memberikan nilai tambah ekonomi bagi agroindustri sawit, sekaligus meningkatkan program pelestarian lingkungan. TKS dan pelepah
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
161
merupakan biomassa limbah yang sangat berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku industri kimia dan energi, karena ketersediaannya sepanjang tahun. Pengumpulan TKS relatif lebih mudah, karena telah tersedia di pabrik CPO, dibanding pelepah yang harus dikutip dari lahan perkebunan yang mungkin tersebar di beberapa lokasi. Berdasarkan data luas kebun dan produksi CPO di Indonesia pada tahun 2009, maka diperkiraan potensi biomassa TKS dan pelepah sebagai bahan baku industri maupun energi, masing-masing adalah sebanyak 21,78 juta ton dan 75 juta ton. Selanjutnya, jika hanya 10% dari potensi biomassa TKS dan pelepah dapat dikonversi menjadi pulp, akan dihasilkan pulp sebanyak 9,6 juta ton, dan jumlah ini melebihi jumlah produksi pulp Indonesia pada tahun 2009 yaitu sebanyak 6,5 juta ton (Pattinasarany, 2010). Namum demikian, pemanfaatan TKS dan pelepah sebaiknya tidak menggunakan proses pengolahan yang tidak ramah lingkungan karena hanya akan merubah limbah agroindustri sawit menjadi limbah lain yang mungkin lebih sulit ditanggulangi dan berbahaya.
IV. PEMBUATAN PULP DARI LI MBAH SAWIT DENGAN PELARUT ORGANIK Pembuatan pulp dengan pelarut organik akan sangat menarik untuk dikembangkan prosesnya jika menggunakan bahan baku TKS dan pelepah sawit. Selain menjadi solusi bagi penanggulangan limbah padat agroindustri sawit, proses organosolv juga diyakini mampu mewujudkan produksi bersih pada industri pulp (Villaverde et al., 2010). Proses organosolv dilangsungkan dengan menerapkan konsep fraksionasi biomassa, dengan memilah biomassa menjadi komponen utama penyusunnya yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin, dan tanpa banyak merusak ataupun mengubahnya. Selanjutnya, hasil pemilahan tersebut dapat diolah dengan berbagai proses menjadi produk yang dapat dipasarkan, dan konsep ini dikenal dengan biomassrefinery (Myerly et al., 1981). Prinsip pengolahan proses organosolv adalah berdasarkan perbedaan sifat kimia fisik komponen utama penyusun biomassa, perbedaan sifat-sifat tersebut disajikan dalam Tabel 2, dan secara sederhana skema proses organosolv ditampilkan pada Gambar 2.
Tabel 2. Perbandingan sifat kimia fisik komponen utama biomassa Selulosa
Hemiselulosa
Lignin
Tidak larut dalam air Larut dan terhidrolisis dalam beberapa asam mineral pekat. Tidak larut dalam asam organik Tidak larut dalam alkali hidroksida
Sedikit larut dalam air Larut dan terhidrolisis dalam asam mineral encer Larut dan terhidrolisis dalam asam organik Larut dalam alkali hidroksida encer
Tidak larut dalam air Tidak larut dalam asam mineral Larut secara parsial dalam asam organik pekat Larut dalam alkali hidroksida encer
162
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Gambar 2. Skema sederhana proses organosolv
Tandan kosong dan pelepah sawit merupakan biomassa non-wood, sehingga sangat sesuai jika diolah dengan proses organosolv untuk menghasilkan produk pulp. Umumnya, bahan baku pulp non-wood diolah secara semi kimia berbasis alkali. Adanya senyawa silika pada sebagian besar bahan non-wood dan densiti bahan yang relatif lebih rendah dibanding kayu, menyebabkan sulitnya pengolahan bahan non-wood dengan proses Kraft (Rousu et al., 2002). Sehingga penggunaan asam asetat dan formiat sebagai media penyisihan lignin dalam pembuatan pulp dari TKS dan pelepah lebih tepat dibanding proses konvensional. Selengkapnya beberapa keunggulan proses organosolv dibanding proses pembuatan pulp konvensional (kraft) ditabulasikan dalam Tabel 3. Walaupun demikian, proses organosolv masih memiliki kekurangan yaitu sulitnya mengambil kembali seluruh pelarut organik yang diumpankan ke dalam sistem proses organosolv. Beberapa pelarut organik membentuk sistem azeotrop dengan air, sehingga membutuhkan unit operasi yang lebih rumit. Pengunaan pelarut organik dalam pembuatan pulp dari limbah agroindustri sawit telah dilakukan sebagai upaya penanggulangan TKS dan pelepah, seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 4. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa, baik TKS maupun pelepah dapat diproses oleh pelarut organik menjadi pulp dengan kualitas yang beragam, tergantung kondisi operasi. TKS dapat dijadikan bahan baku pulp dengan pelarut asam asetat (Zulfansyah dan Susanto, 1998; Zulfansyah, 2000), asam formiat (Azman et al., 2002; Fermi et al., 2010; Mariana et al., 2010; Ferrer et al., 2011), dan beberapa asam organik bertitik didih tinggi seperti etilen glikol (Rodriquez et al., 2007; Arliols et al., 2009), dietilen glikol, etanol amin, dietanol amin (Rodriquez et al., 2008). Sedangkan pelepah dapat dijadikan bahan baku pulp dengan menggunakan pelarut asam formiat (Deli et al., 2005; Zulfansyah et al., 2010; Wanrosli et al., 2011). Kualitas pulp berbahan baku TKS dan pelepah dipengaruhi kondisi operasi pembuatan pulp, seperti konsentrasi asam organik, lama pemasakan, jenis dan konsentrasi katalis, suhu pemasakan, dan nisbah cairan terhadap biomassa (C/B). Pemasakan TKS dan pelepah dalam media asam asetat dan formiat dapat dilakukan dengan proses tahap tunggal, baik delignifikasi maupun hidrolisis hemiselulosa berlangsung secara serempak.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
163
Tabel 3. Keunggulan proses organosolv dibanding proses konvensional (Kraft) Keunggulan Rendah nilai investasi
Ramah lingkungan
Untung lebih banyak dengan jumlah bahan baku yang sama Diversifikasi produk yang dipasarkan
Alasan
Konsekwensi
Biaya sistem recovery pelarut murah, tidak ada recoveryboiler, lime kiln dan caustisizer Tidak menggunakan sulfur atau hidroksida, ceceran dan emisi hanya alkohol yang mampu terdegradasi secara alami Pembuatan pulp dapat berlangsung secara simultan dengan by-product
Ekonomis pada skala yang lebih kecil
By product dapat dijual pada pasar yang tidak harus sama dengan siklus penjualan pulp. By product sama atau sesuai dengan produk-produk karbon fosil. Siliki dapat terpisah dari cairan pemasak dengan distilasi
Menjadi proteksi untuk gejolak pasaran pulp
By product dihasilkan dari sumber bahan terbarukan Kehadiran senyawa tidak tidak menjadi kendala operasi Sumber: Pye dan Katzen (2011)
Investasi pemantauan kualitas lingkungan rendah, dan masyarkat lebih menerima Sangat mungkin dilakukan pada skala mini.
Mendukung pengurangan gas greenhouse Mengeliminasi masalah operasi untuk penggunaan bahan non-wood.
Tabel 4. Pembuatan pulp berbahan baku TKS dan pelepah sawit menggunakan pelarut organik asam asetat dan formiat No. Pelarut organik Bahan baku Kondisi operasi 1. Asam asetat TKS Asetat= 70, 90% (Acetosolv) C/P = 8/1,10/1,12/1 t = 3 jam [HCl] = 1% T = 120oC 2. Asam asetat TKS Asetat= 70% (Acetosolv) C/P = 10/1 t = 1-4 jam [HCl] = 0-2% T = 120-160oC 3. Asam formiat TKS Formiat = 85% (milox 2 tahap) t tahap 2 = 2 jam t tahap 1 = 1-3 jam C/P = 8/1 dan 10/1 H2O2 = 1,3,5% T = 107oC 4. Asam formiat TKS Formiat = 70,80,90% (milox 1 tahap) t = 1,2,3 jam C/P =8/1,10/1,12/1 H2O2 = 5% T = 107oC
164
Yield, %
Lignin
40-50
4-7%
Peneliti Zulfansyahdan Susanto (1998)
Zulfansyah (2000) 32-72
0,5-13%
Azman et al. (2002) 32,8-42,3 1,4-6,4%
35,9-39,7
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Kappa No 3,5-28,9
Fermi et al. (2010)
Tabel 4. (Lanjutan) No. Pelarut organik Bahan baku Kondisi operasi 5. Asam formiat TKS Formiat = 70-90% (milox 1 tahap) T = 5-240 menit C/P =10/1 H2O2 = 5% T = 107oC 6. Asam formiat TKS Formiat = 80-95% (milox 2 tahap) C/P = 10/1 t = 1-3 jam H2O2 = 2-4% T = 107oC 7. Asam formiat Pelepah Formiat = 70,80,90% (milox 1 tahap) C/P = 8/1,9/1,10/1 t = 1,2,3 jam H2O2 = 5% T = 107oC 8. Asam formiat Pelepah Formiat = 65,75,85% (milox 1 tahap) C/P = 10/1 t = 1,2,3 jam H2O2 = 1,3,5% T = 107oC 9. Asam asetat Pelepah Asetat = 65-95% (Acetosolv) C/P =10/1 t = 2 jam HCl = 0-1% T = 110-170 oC
Yield, %
Lignin
35-63
8-13,5%
41,7-56,5
23,8-38,4
Kappa No 7-31,6
Kappa No 9,5-30
Peneliti Mariana et al. (2010)
Ferrer et al. (2011)
Deli et al. (2005)
Zulfansyah et al. (2010) 33,1-50,7 9,4-13,1%
Wanrosli et al. (2011) -
13-16
Secara umum kualitas pulp yang dihasilkan dari TKS dan pelepahdengan pelarut asam asetat dan formiat memenuhi persyaratan kualitas pulp untuk kertas, baik sebagai kertas cetak maupun kertas pembungkus. Pulp TKS yang dihasilkan dari pemasakan dengan pelarut asam asetat kualitasnya cukup berimbang jika dibandingkan dengan pulp pelepah sawit yang dimasak dengan pelarut organik yang sama, dan dengan pulp TKS yang dimasak dengan pelarut organik asam formiat menggunakan proses 2 tahap. Tetapi, pulp TKS yang dimasak dengan pelarut organik asam asetat kualitasnya relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pulp pelepah sawit yang dimasak dengan pelarut organik asam formiat menggunakan proses tahap tunggal. Selain itu, pulp TKS yang dihasilkan dari pemasakan dalam media asam asetat juga memenuhi standar pulp kimia, dengan kadar lignin <1%, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku produk berbasis selulosa (Zulfansyah, 2000). Penambahan tahap pada pemasakan TKS dengan pelarut asam formiat dapat memperbaiki kualitas pulp menjadi lebih baik, jika dilihat dari kadar lignin pulp (Azman et al., 2002; Ferrer et al., 2011). Pembuatan pulp TKS dan pelepah sawit dengan pelarut organik asam asetat dan formiat dapat dilakukan dengan konsentrasi asam berkisar antara 65 - 95%-berat, baik untuk asam asetat maupun formiat. Penggunaan konsentrasi asam asetat 70 - 75% dalam pemasakan TKS dan pelepah ternyata memberikan pulp dengan kualitas yang terbaik, yield memadai dan kadar lignin pulp terendah. Sedangkan pada penggunaan asam formiat untuk pemasakan TKS dan pelepah, pulp dengan kualitas terbaik diperoleh dengan konsentrasi asam 85 - 90%. Pelarut organik asam
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
165
asetat lebih selektif dibanding asam formiat pada reaksi delignifikasi TKS, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4. Pengunaan konsentrasi asam organik yang lebih pekat pada proses organosolv dapat mempercepat reaksi delignifikasi, sehingga kadar lignin pulp menjadi sedikit. Peningkatan konsentrasi asam dalam larutan pemasak juga dapat menyebabkan selulosa terdegradasi dan menurunkan selektivitas reaksi delignifikasi. Namun demikian, pekatnya asam organik yang digunakan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan selektivitas turun. Faktor lain seperti nisbah cairan terhadap biomassa, konsentrasi katalis dan lamanya pemasakan juga dapat menurunkan selektivitas delignifikasi.
Gambar 4. Yield vs kadar lignin pada pemasakan TKS dengan proses organosolv (pelarut asam asetat, asam formiat 1 tahap, asam formiat 2 tahap) Nisbah cairan terhadap biomassa yang digunakan pada pemasakan TKS dan pelepah dengan pelarut organik asam asetat dan formiat berkisar antara 8/1 - 12/1. Pemasakan menggunakan pelarut organik asam asetat dengan nisbah yang besar (12/1) menghasilkan kualitas pulp yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan nisbah yang lebih kecil. Sebaliknya, pemasakan dengan pelarut asam formiat penggunaan nisbah yang kecil 8/1 menghasilkan pulp dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan penggunaan nisbah yang lebih besar. Penggunaan pelarut oganik asam formiat dalam pembuatan pulp TKS dan pelepah lebih ekonomis dibanding asam asetat, jika melihat perbandingan nisbah cairan terhadap biomassa yang dapat menghasilkan pulp dengan kualitas terbaik. Perbandingan cairan yang lebih sedikit menyebabkan kapasitas pemasakan biomassa yang lebih banyak. Sebagai perbandingan proses konvensional biasanya menggunakan nisbah cairan terhadap biomassa sekitar 3,5 - 4,5. Katalis yang ditambahkan untuk pemasakan dengan menggunakan pelarut organik adalah asam klorida (HCl), dengan konsentrasi 1 - 2%. Sedangkan, katalis yang digunakan pada pemasakan menggunakan pelarut asam formiat adalah H2O2, dengan konsentrasi 1 - 5%.
166
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Pengunaan katalis HCl dengan konsentrasi terbesar (2%) pada pemasakan dengan pelarut asam asetat menghasilkan pulp dengan kualitas yang lebih baik. Begitu juga dengan penggunaan katalis hidrogen peroksida pada pemasakan menggunakan pelarut asam formiat, konsentrasi H2O2 terbesar (5%) menghasilkan pulp yang lebih rendah kadar ligninnya. Penggunaan katalis pada delignifikasi TKS dan pelepah dalam pelarut organik asam asetat dan formiat tidak hanya mempercepat reaksi delignifikasi, tetapi juga mempengaruhi selektivitasnya. Konsentrasi katalis yang lebih besar dapat menyebabkan selulosa ikut terdegradasi dan menyebabkan selektivitas delignifikasi turun. Waktu pemasakan yang digunakan dalam pembuatan pulp TKS dan pelepah dengan pelarut asam asetat dan formiat berkisar antara 1 - 4 jam. Bertambahnya waktu pemasakan belum tentu dapat meningkatkan kualitas pulp (penyisihan lignin maksimal). Pemasakan dengan waktu yang terlalu lama dapat mengakibatkan reaksi repolimerisasi lignin, sehingga kadar lignin dalam pulp meningkat kembali. Namum demikian, repolimerisasi lignin bukan hanya disebabkan bertambah lamanya waktu pemasakan. Peningkatan jumlah air dalam larutan pemasak, dengan bertambahnya nisbah cairan terhadap biomassa juga mendorong terjadinya reaksi repolimersisasi lignin. Waktu yang digunakan untuk menghasilkan pulp TKS berkadar lignin rendah <2,5% dengan pelarut asam asetat tidak lebih dari 2,5 jam (Zulfansyah, 2000), sedangkan dengan pelarut asam formiat sekitar 3 jam (Deli et al., 1995; Zulfansyah et al., 2010). Pola penurunan yield dan kadar lignin pulp dalam larutan organik asam asetat dan formiat digambarkan sebagai prilaku delignifikasi biomassa, seperti yang disajikan dalam Gambar 4 (Villaverde et al., 2010). Penurunan lignin awalnya berlangsung cepat, dari mulai reaksi delignifikasi sampai menit ke 60, dan akan berlangsung lambat untuk waktu selanjutnya. Perilaku yang sama ditemukan pada pemasakan TKS dalam media asam formiat, hanya saja delignifikasi yang berlangsung cepat terjadi sampai menit ke 20 (Mariana et al., 2010). Proses delignifikasi biomassa dengan pelarut asam asetat dan formiat sesuai dengan asumsi bahwa lignin dalam biomassa terdiri dari dua fraksi, yakni lignin yang bereaksi cepat dan lambat (Parajo et al., 1993). Gambar 5 memperlihatkan bahwa, penggunaan asam formiat sebagai media delignifikasi biomassa memberikan yield yang lebih rendah dibanding yield yang dihasilkan dari penggunaan asam asetat.
Gambar 5. Delignifikasi biomassa dalam pelarut asam asetat dan formiat (a. yield pulp; b. kadar lignin pulp) (Villaverde et al., 2010) Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
167
Pengaruh kondisi proses pembuatan pulp TKS dan pelepah sawit dengan pelarut asam asetat dan formiat juga dipelajari dengan model-model statistik (empirik) yang telah dibuat dari beberapa hasil percobaan. Model empirik dibentuk dari persamaan polinomial orde dua, yang akan memperkirakan pengaruh kondisi proses, konsentrasi asam, konsentrasi katalis, suhu, nisbah cairan-biomassa dan waktu reaksi terhadap kualitas pulp. Seluruh model yang telah dibentuk dapat digunakan untuk memprediksi kualitas pulp dengan tingkat signifikansi 95%. Kualitas pulp yang diperkirakan model meliputi yield, kadar lignin (bilangan kappa), kadar selulosa (Zulfansyah, 2000; Deli et al., 2005; Fermi et al., 2010; Zulfansyah et al., 2010; Ferrer et al., 2011), maupun beberapa sifat fisik pulp (Wanrosli et al., 2011). Keunggulan penggunaan model empirik ini adalah, dapat memperkirakan pengaruh kondisi proses secara bersamaan terhadap kualitas pulp dan bisa untuk optimasi kondisi proses yang menghasilkan pulp dengan kualitas baik.Sebagai contoh model yang telah dihasilkan pada pembuatan pulp TKS dan pelepah dengan pelarut asam asetat dan formiat adalah sebagai berikut. a. Model empirik perkiraan kualitas pulp TKS dengan pelarut asam asetat (Zulfansyah, 2000). Y1 = 37,16 – 9,19XT + 3,34XT2 – 2,88XC + 7,97XC2 – 3,03Xt + 7,73Xt2 Y2 = 1,59 – 3,6XT + 1,88XT2 + 1,57XTXt – 0,95XC + 1,27XC2 – 1,22Xt + 1,9Xt2 Y3 = 80,85 + 6,39 XT + 2,94 XTXC – 2,05XTXt – 6,06XC – 1,86XC2 + 1,18XCXt - ... 1,47Xt – 2,62Xt2
Dengan: Y1 = yield pulp, %; Y2 = kadar lignin pulp, % dan Y3 = kadar Į -selulosa pulp, % Berlaku pada rentang kondisi operasi: Suhu (T) = 120 – 160oC untuk [(T(oC) – 140)/20]; Konsentrasi HCl katalis = 0 – 0,2%, untuk [(C% - 0,1)/0,1]; Waktu pemasakan (t) = 1 – 4 jam, untuk [(t (jam) – 2,5)/1,5] dan Konsentrasi asam asetat 70%, nisbah cairan terhadap biomassa 12/1. b. Model empirik perkiraan kualitas pulp pelepah dengan pelarut asam formiat (proses milox tahap tunggal) [Zulfansyah et al. 2010]. Y1 = 34,76 – 6,67XF – 1,64XP – 1,78Xt + 3,36XFXt + 2,48XP2 + 2,22Xt2 Y2 = 11,07 – 1,07X F + 1,19XP – 1,24Xt + 0,85XPXt + 2,24Xt2 Dengan: Y1 = yield, % dan Y2 = kadar lignin pulp, % Berlaku pada rentang kondisi operasi: Konsentrasi asam formiat (F) = 65 – 85%, untuk [(F(%) – 75)/10]; Konsentrasi hidrogen perosikda (P) = 1 – 5%, untuk [(P(%) – 3)/2] dan Waktu pemasakan (t) = 1 – 3 jam, untuk [(t (jam) – 2)/1]. Nisbah cairan terhadap biomassa 12/1, dan suhu didih normal cairan pemasak (±107oC). Selain bisa digunakan untuk memprediksi kualitas pulp, model empiris yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk mengetahui kondisi proses yang paling mempengaruhi kualitas pulp. Untuk pemasakan TKS dalam media asam asetat, suhu (T) merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap yield pulp, kadar lignin dan kadar Į -selulosa pulp. Sedangkan konsentrasi katalis (C) merupakan faktor paling sedikit pengaruhnya terhadap yield dan kadar lignin pulp TKS. Sementara, waktu (t) menjadi faktor yang kurang berpengaruh terhadap kadar Į -selulosa pulp. Kemudian, pada pemasakan pelepah dalam media asam formiat, konsentrasi asam formiat merupakan faktor yang memberikan pengaruh terbesar terhadap yield, tetapi menjadi faktor yang
168
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
paling kecil pepengaruhnya terhadap kadar lignin pup. Waktu pemasakan (t) merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kadar lignin pulp, dan konsentrasi hidrogen peroksida (P) menjadi faktor yang paling sedikit pengaruhnya terhadap yield pulp. Pengaruh kondisi proses terhadap kualitas pulp dari persamaan model empirik disajikan dalam bentuk diagram kontur ataupun kurva surface, seperti yang diperlihatkan Gambar 6 dan 7.
c) Konsentrasi Hidrogen Peroksida 5%
b) Konsentrasi Hidogen Peroksida 3%
a) Konsentrasi Hidrogen Peroksida 1%
50
60 55 50 % , 45 d le i y 40
45
45
40
,%40 ld e iy 35
% ,d 35 l ie y 30
35
25
30
30
1
1 25
25 65
[HCOOH], %
t, jam
75
65
65
2
2
2
70
t, jam
t, jam
75
75 [HCOOH], %
3
3 20
[HCOOH], %
3
85
85
85
1
80
Gambar 6. Pengaruh konsentrasi asam formiat dan waktu pemasakan terhadap yield pada pembuatan pulp dari pelepah sawit dengan proses milox tahap tunggal (Zulfansyah et al., 2010) c. Konsentrasi asam formiat 85%
b) konsentrasi asam formiat 75%
a) Konsentrasi asam formiat 65% 5
14-16
5
14-16
5
13-15
12-14
11-13
8-10
3
2 Waktu pemasakan (t), jam
Gambar 7.
3
8-10
3
1
2
3
Waktu pemasakan (t), jam
9-11 7-9
1
1
1 1
10-12
Konsentrasi hidrogen peroksida, %
10-12
Konsentrasi hidrogen peroksida, %
3
Konsentrasi hidrogen peroksida, %
12-14
1
2
3
waktu pemasakan (t), jam
Pengaruh kondisi operasi terhadap kadar lignin pulp pada pembuatan pulp dari pelepah sawit dengan proses milox tahap tunggal (Zulfansyah et al., 2010)
V. KESIMPULAN Tandan kosong dan pelepah sawit merupakan limbah agroindustri sawit yang sangat berpotensi untuk dijadikan bahan baku alternatif pada industri pulp dan kertas. Penggunaan proses organosolv, baik dengan pelarut asam asetat maupun asam formiat, merupakan pilihan yang tepat untuk memanfaatkan TKS dan pelepah sebagai bahan baku pembuatan pulp, karena proses ini ramah lingkungan. Selain itu, penggunaan proses organosolv dapat mendorong terwujudnya produksi bersih bagi industri pulp dan agroindustri sawit. Pengunaan asam asetat sebagai pelarut organik dalam pemanfaatan TKS dan pelepah memberikan selektivitas delignifikasi yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan asam formiat. Namum demikian, jumlah asam asetat yang
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
169
digunakan, per satuan berat biomassa, lebih banyak dibanding jumlah asam formiat dalam pembuatan pulp dari TKS dan pelepah. Kualitas pulp dari TKS dan pelepah yang dihasilkan dengan pelarut asam asetat dan formiat dapat digunakan sebagai kertas cetak dan pembungkus. Kualitas pulp dan sifat fisik pulp TKS dan pelepah dengan pelarut asam asetat dan formiat dipengaruhi oleh konsentrasi asam, konsentrasi katalis, nisbah cairan terhadap biomassa, suhu dan waktu pemasakan.
DAFTAR PUSTAKA Alriols, M.G., A. Tejado, M. Blanco, I. Mondragon and J. Labidi. 2009. Agricultural palm oil tree residues as raw material for cellulose, lignin and hemicelluloses production by ethylene glycol pulping process. Chemical Engineering Journal 148:106–114. Azman, N., A.E. Putra, Zulfansyah dan P.S. Utama. 2002. Pembuatan pulp dari tandan kosong sawit dengan proses milox. Prosiding Seminar Skripsi Mahasiswa Universitas Riau 2002. Biermann, C.J. 1996. Handbook of Pulping and Papermaking, 2nd ed. Academic Press. USA. Budiman, A.F.S., F.G. Winarno, T. Silitonga dan B. Soewardi. 1985. Potensi pemanfaatan limbah can pemanfaatan hasil perkebunan. Kantor Menteri Negara Muda Urusan Produksi Pangan. Fermi, M.I., Zulfansyah dan S.K. Dewi. 2010. Pembuatan pulp pelepah sawit dengan proses milox tahap tunggal. Prosiding Seminar Nasional SATEK III Universitas Lampung. Bandar Lampung 18-19 Oktober 2010. Deli, N.A., N. Khafiya, D. Susanti, Yusmay eni dan Zulfansyah. 2005. Pembuatan pulp pelepah sawit dengan pelarut asam formiat. Prosiding Seminar Teknik Kimia Teknologi Oleo dan Petrokimia Indonesia 2005. Pekanbaru 21 Desember. Ferrer, A., A. Vega, A. Rodríguez, P. Ligero and L. Jiménez. 2011. Milox fractionation of empty fruit bunches from Elaeis guineensis. Bioresour. Technol. 102:9755–9762. Gracia, M.M., F. Lopez, A. Alfaro, J. Ariza, and R. Tapias. 2008. The use of tagasaste (Chamaecytus proliferus) from different origin for biomass and paper production. Bioresour. Technol. 99(9):3451-3457. Hambali, E., A. Thahar and A. Komarudin. 2010. The potential of oil palm and rice biomass as bioenergy feedstock. Proceeding 7th Biomass Asia Workshop. 29 November 29 – 1 December. Jakarta. Indonesia. Husain, Z, Z.A. Zainal, and M.Z. Abdullah. 2003. Analysis of biomass-residue-based cogeneration system in palm oil mills. Biomass Bioenergy 24: 117–124. Jahan, M.S., D.A. Nasima Chowdhury, and M. Khalidul Islam. 2007. Atmospheric formic acid pulping and TCF bleaching of dhaincha (Sesbania aculeata), kash (Saccharum spontaneum) and banana stem (Musa Cavendish). Ind. Crop.Prod. 26: 324–331. Johansson, A., O. Aaltonen, and P. Ylinen. 1987. organosolv pulping – method and pulp properties. Biomass 13: 45-65.
170
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Ligero, P. J.J. Villaverde, A. Vega, and M. Bao. 2008. Pulping cardoon ( Cyanara cardunculus) with peroxyformic acids (milox) in one single stage. Bioresour. Technol . 99:5687-5693. Lubis, A., P. Guritno, and Darnoko. 1994. Prospek industri dengan bahan baku limbah padat kelapa sawit di Indonesia. Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Vol. 1 No. 3 JuliSeptember. Mariana, F.L., Zulfansyah, and M.I. Fermi. 2010. Delignifikasi tandan kosong sawit dalam media asam asetat. Prosiding Seminar Nasional SATEK III Universitas Lampung. Bandar Lampung 18-19 Oktober 2010. Myerly, R.C., M.D. Nicholson, R. Katzen, and J.M. Taylor. 1981. The forest refinery. Chemtech March: 186-192. Parajo, J.C., J.L. Alonso, and D. Vasquez. 1993. On the behaviour of lignin and hemicellulose during acetosolv processing. Bioresour. Technol. 46: 233-240. Pattinasarani, W. 2010. Perkiraan penggunaan sumber bahan baku industri pulp dan kertas: studi advokasi PT. RAPP dan PT. IKPP di Provinsi Riau. Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF). Pan, X. and Y. Sano. 2005. Fractionation of wheat straw by atmospheric acetic acid process. Bioresour. Technol. 96: 1256–1263. Pye, E.K. and R. Katzen. 2011. Recovery of co-product from orgnasolv pulping. [internet] diakses tgl 15 oktober 2011 pada http://www.tappi.org/Downloads/unsorted/UNTITLED--pulp0025pdf.aspx Rodrıguez, A., L. Serrano, A. Moral, A. Pe´rez, and L. Jime´nez. 2008. Use of high-boiling point organic solvents for pulping oil palm empty fruit bunches. Bioresour. Technol . 99: 1743– 1749. Rousu, P., P. Rousu, and J. Anttila. 2002. Sustainable pulp production from agricultural waste. Resource, Concervation, Recycling 35:85-103. Rozman, H.D., K.R. Ahmadhilmi, and A. Abubakar. 2004. Polyurethane, (PU)-oil palmempty fruit bunch (EFB) composites: The effect of EFBG reinforcement in matform and isocyanate Treatment on the Mechanical Properties. Polymer Testing 23:559–565. Saake, B., R. Lehnen, S. Lummictsch, and H.H. Nimz. 1995. Production of dissolving and paper grade pulps by the formacell process. In: The 8th International Symposium on Wood and Pulping Chemistry (8th INWFPPC), 6–9 June 1995, Helsinki, Finland, vol. 2. Jyva¨skyla¨: Gummerus Kirjapaino Oy. Seisto, K., K. Poppius-Levlin, and T. Jousima. 1997. peroxyformic acid pulping of nonwood plant by the milox method. Part 2: Reed Pulp for Woodfree Fine Paper. TAPPI Journal Vol 12 no. 10. Villaverde, J.J., P. Ligero, and A. Vega. 2010. Formic and acetic acid as agent for a cleaner fractionation of Mischantus X Gigantues. Journal of Cleaner Production 18:395-401.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
171
Wanrosli, W.D., K.N. Law, and Z. Zainuddin. 2004. Effect of pulping variables on the characteristic of oil palm frond fibers. Bioresour. Technol. 93(3): 233-240. Wanrosli, W.D., Z. Zainuddin, K.N. Law, and R. Asro. 2007. Pulp from oil palm fronds by chemical process. Industrial Crop and Products. 25 (1): 89-94. Wanrosli, W.D., R. Rohaizu, and A. Ghazali. 2011. Synthesis and characterization of cellulose phosphate from oil palm empty fruit bunches microcrystalline cellulose. Carbohydrate Polymers 84: 262–267. Wanrosli, W.D. and K.N. Law. 2011. Oil palm fiber as papermaking material: Potential and chalengges. BioResources 6(1): 902-927. Wegener, G. 1992. Pulping innovation in germany. Ind. Crop. Prod . 1(2-4):113-117. Zulfansyah dan H. Susanto. [1998]. Pembuatan pulp dari tandan kosong sawit dengan proses asam asetat. Prosiding Seminar Nasional Fundamental dan Aplikasi Teknik Kimia 1998. Surabaya Nov. 25-26. Zulfansyah. 2000. Pembuatan pulp acetosolv dari tandan kosong sawit: Pengaruh kondisi proses terhadap karakteristik pulp. Jurnal Penelitian Universitas Riau. Vol IX No.2. Zulfansyah, M.I. Fermi, S.Z. Amraini, H. Rionaldo, dan M.S. Utami. 2010. Pembuatan pulp pelepah sawit dengan pelarut asam formiat. Prosiding ChESA 2010. Banda Aceh 22-23 Desember 2010.
172
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
SIFAT PEMESINAN KAYU DIAMETER KECIL JENIS MANGLID (Manglieta glauca Bl.) Oleh: Mohamad Siarudin dan Ary Widiyanto Balai Penelitian Teknologi Agroforestri Jalan Raya Ciamis-Banjar KM 4, Ciamis E-mail:
[email protected]
ABSTRAK
Manglid (Manglieta glauca Bl.) merupakan jenis yang banyak dikembangan di hutan rakyat Jawa dan banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku kayu pertukangan. Namun demikian pemanfaatan jenis ini masih banyak menghasilkan limbah batang diameter kecil (diameter kurang dari 15 cm). Dalam rangka mengembangkan pemanfaatan limbah manglid menjadi produk olahan yang memiliki nilai tambah lebih baik, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji sifat pemesinan kayu manglid diameter kecil yang berasal dari hutan rakyat. Pengamatan sifat pemesinan dilakukan pada 15 sampel papan dari dolok diameter kecil (10-15 m) yang berasal dari limbah tebangan manglid di hutan rakyat di di Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir Kabupaten Tasikmalaya. Hasil menunjukan bahwa kayu manglid yang berasal dari batang diameter kecil memiliki mutu pemesinan yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta memiliki mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran dan pembubutan. Berdasarkan sifat pemesinannya, kayu manglid yang berasal dari batang diameter kecil memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai produk yang memerlukan tampilan halus dan konstruksi ringan seperti mebelair dan produk kerajinan. Kata kunci: Dolog, manglid, pemanfaatan, sifat pemesinan
I. PENDAHULUAN Perkembangan hutan rakyat dewasa ini semakin diperhitungkan sebagai alternatif pemasok kebutuhan kayu yang selama ini lebih banyak berasal dari hutan alam. Hutan rakyat yang terkonsentrasi di Jawa, yaitu seluas 778.253,26 ha, atau 49,6% dari total luas hutan rakyat di Indonesia, memiliki kontribusi yang cukup baik dalam memasok kebutuhan kayu. Menurut Astraatmaja (2000) produksi log dari hutan rakyat mencapai 32,47% dari total produksi log di Jawa. Persentase tersebut bahkan didapatkan dari luasan hanya 13,23% dari total luas hutan negara dan hutan rakyat di Jawa. Manglid (Manglieta glauca Bl.) merupakan jenis yang banyak dikembangan di hutan rakyat Jawa. Walaupun tidak terdapat data pasti mengenai potensi jenis ini, pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ketersediaan jenis ini cukup banyak di hutan rakyat, khususnya di Jawa Barat. Jenis ini menjadi salah satu jenis andalan Jawa Barat dan masih terus dikembangkan dalam kegiatan-kegiatan penghijauan. Menurut Djam’an (2008), manglid di Jawa Barat sudah banyak dibudidayakan dengan masa penebangan setiap 35 tahun dengan hasil 12,1 m³/ha. Manglid dikenal masyarakat sebagai bahan baku pembuatan perkakas meja, kursi, almari, konstruksi ringan dan lain-lain. Menurut Seng (1990), kayu manglid memilik berat jenis 0,32-0,58
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
173
dengan kelas kuat III-IV dan kelas awet II. Namun demikian kendala yang sering dijumpai dalam pemanfaatan jenis ini adalah rentan terhadap serangan jamur dan rayap, serta kayu yang mudah retak dan kurang stabil. Disamping itu pemanfaatan jenis ini belum banyak didukung informasi hasil-hasil penelitian mengenai karakteristik penggergajian maupun sifat pengerjaan kayunya. Pengelolaan hutan rakyat jenis manglid tidak berbeda dengan karakteristik hutan rakyat di Jawa pada umumnya, yaitu dikelola secara tradisional tanpa input teknologi yang memadai. Selain itu, jenis manglid ini juga menjadi salah satu pilihan masyarakat karena termasuk jenis cepat tumbuh (fast growing). Sementara menurut Abdurachman dan Hadjib (2006), jenis-jenis cepat tumbuh dari hutan rakyat umumnya menghasilkan mutu kayu relatif rendah karena selain berumur muda, juga mengandung banyak cacat seperti mata kayu, miring serat, cacat bentuk dan sebagainya. Rendahnya mutu kayu rakyat jenis manglid juga diduga disebabkan penggunaan bibit yang tidak berkualitas serta teknik pemeliharaan yang tidak intensif. Sebagaimana menurut Sabarnudin (2005) kelemahan yang nampak pada sisi silvikultur antara lain berhubungan dengan mutu bibit atau benih, dan pemeliharaan selanjutnya. Bibit tanaman umumnya berasal dari semai alam seadanya, walaupun mungkin sudah dilakukan "peningkatan" genetik dengan memilih benih atau bibit dari induk yang terbaik. Selanjutnya petani pemilik hutan rakyat nampaknya secara sadar sengaja hanya mengalokasikan sedikit waktunya untuk pemeliharaan hutannya, karena menganggap menanam pohon tidak harus intensif. Salah satu tahapan pengelolaan hutan rakyat yang masih menjadi kendala saat ini antara lain tidak dikuasainya teknik pengolahan kayu yang baik, terutama di industri-industri kecil penggergajian dan pengolahan kayu yang menjadi penampung hasil kayu rakyat. Pelaku industri kecil sebagian besar belum menguasai dengan baik teknik-teknik peningkatan mutu kayu seperti teknik pengawetan kayu, pengeringan kayu, perekatan kayu dan lain-lain. Hal ini juga disebabkan masih terbatasnya hasil-hasil penelitian mengenai teknologi peningkatan mutu kayu jenis ini. Mutu bahan baku kayu rakyat jenis manglid yang relatif rendah dan kurangnya dukungan teknik pengolahan yang baik menyebabkan diversifikasi pemanfaatan kurang beragam dan tidak efisien. Hal ini menyebabkan rendahnya rendemen pemanfaatan serta tingginya limbah baik pada saat penebangan, penggergajian, maupun pengolahan kayu. Salah satu jenis limbah yang banyak terdapat dalam pemanfaatan jenis manglid untuk pertukangan adalah limbah batang diameter kecil (di bawah 15 cm). Secara umum Dulsalam et al. (2000) menyatakan bahwa limbah pembalakan hutan tanaman adalah sebesar 10% yang berupa batang berdiameter lebih dari 10 cm dan limbah berdiameter kurang dari 10 cm. Limbah batang diameter kecil ini umumnya dimanfaatkan untuk kayu bakar dengan nilai tambah yang relatif kecil. Latar belakang permasalahan di atas mendorong perlunya pengembangan pemanfaatan limbah kayu manglid, batang diameter kecil, untuk diolah menjadi produk yang memiliki nilai tambah lebih baik. Salah satu informasi penting yang diperlukan untuk menjadi dasar pengembangan tersebut adalah sifat pemesinan kayu. Pemesinan kayu adalah proses pengolahan kayu menjadi komponen produk kayu seperti kayu gergajian, venir dan komponen meubel yang bertujuan untuk menghasilkan bentuk dan dimensi yang diinginkan dengan ketepatan dan kualitas permukaan yang diharapkan melalui proses paling ekonomis (Szymani, 1989 dalam Asdar, 2010).
174
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji sifat pemesinan kayu manglid diameter kecil yang berasal dari hutan rakyat. Pengujian sifat pemesinan yang dilakukan mencakup pengolahan kayu secara umum seperti penyerutan, pembentukan, pembubutan, pengeboran, pembuatan lubang persegi dan pengampelasan untuk menentukan kualitas pengerjaan kayu menggunakan mesinmesin komersil (ASTM, 1981). Diharapkan melalui penelitian ini, dolog manglid diameter kecil dapat dimanfaatkan menjadi produk olahan dengan nilai tambah yang lebih baik.
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 batang manglid dengan diameter < 15 cm yang berasal dari limbah tebangan hutan rakyat di Desa Sodonghilir, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya. Pengujian sifat pemesinan dilakukan di Laboratorium Pengerjaan Kayu Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor. Mesin-mesin yang digunakan dalam pengujian tersebut tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Spesifikasi mesin pengerjaan kayu yang digunakan Jenis pengerjaan
Alat
Tipe
Kecepatan (rpm)
Penyerutan (Planing)
Mesin serut (Planer)
San Yung
2500
Pembentukan (Moulding)
Mesin bentuk (Moulder)
Wadkin
4500
Pembubutan (Turning)
Mesin bubut (Turner)
ML-60 Shengpeng
1450
Pemboran (Boring)
Mesin bor (Borer)
DTBM 15 AEG
1400
Pengampelasan (Sanding)
Mesin ampelas (Sander)
Sand Max
1480
B. Metode Penelitian 1. Pembuatan contoh uji Kayu bulat manglid dibuat menjadi papan dengan ukuran 125 cm x 12 cm x 2 cm sejumlah 15 lembar dan dibiarkan hingga mencapai kadar air kering udara. Papan-papan yang dijadikan sebagai contoh uji tersebut dipilih papan yang bebas cacat baik cacat alami, cacat fisik maupun biologis. Selanjutnya masing-masing papan dibagi menjadi contoh uji sifat pemesinan seperti pada Gambar 1 dengan ukuran seperti pada Tabel 2. Metode pengujian mengikuti prosedur ASTM D1666-64 yang dimodifikasi menurut Abdurachman dan Karnasudirdja (1982).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
175
Tabel 2. Ukuran contoh uji Macam pengujian
Ukuran (cm)
Penyerutan
90 x 10 x 2
Pembentukan
90 x 10 x 2
Pembubutan
12 x 2 x 2
Pemboran
30 x 5 x 2
Pengampelasan
30 x 5 x 2
Gambar 1. Pola pembuatan contoh uji: (A) penyerutan dan pembentukan; (B) pembubutan; (C) pengampelasan; (D) pemboran 2. Pengujian Penilaian sifat pemesinan didasarkan pada perbandingan luas bagian permukaan bagian permukaan yang cacat per total luas seluruh permukaan, dinyatakan dalam persen. Pengamatan cacat menggunakan alat bantu loupe dengan pembesaran 10 kali. Jenis cacat yang diamati secara visual pada masing-masing sifat serta klasifikasinya tercantum dalam Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3. Jenis cacat yang diamati pada sifat pemesinan kayu Jenis cacat Penyerutan
Sifat pemesinan Pembentukan Pengampelasan
Pemboran
Pembubutan
Serat berbulu
+
+
+
+
+
Serat patah
+
-
-
-
+
Serat terangkat
+
+
-
-
-
Tanda serpih
+
+
-
-
-
Bekas garukan
-
-
+
-
-
Penghancuran
-
-
-
+
-
Kelicinan
-
-
-
+
-
Penyobekan
-
-
-
+
-
Kekasaran
-
-
-
-
+
Keterangan: + = jenis cacat yang ditemukan dan diamati pada contoh uji; - = jenis cacat yang tidak ditemukan pada contoh uji Sumber: Abdurachman, et al. (1982)
176
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Tabel 4. Klasifikasi sifat pemesinan Permukaan bebas cacat
Mutu pemesinan
0 – 20 21 – 40 41 – 60 61 – 80 81 - 100
Kelas mutu
Sangat jelek Jelek Sedang Baik Sangat baik
V IV III II I
Sumber: Rachman dan Malik (2008)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian sifat pemesinan kayu manglid dari batang diameter kecil disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Sifat pemesinan kayu manglid diameter kecil Jenis cacat
Sifat pemesinan (%) Penyerutan
Pembentukan Pengampelasan
Pemboran
Pembubutan
Serat berbulu
11
23,33
7,33
11
25
Serat patah
0
-
-
-
14
Serat terangkat
0
0
-
-
-
Tanda serpih
7
0
-
-
-
Bekas garukan
-
-
6,33
-
-
Penghancuran
-
-
-
27
-
Kelicinan
-
-
-
0
-
Penyobekan
-
-
-
0
-
Kekasaran
-
-
-
-
0
Total cacat
18
23,33
13,66
38
39
Bebas cacat
82
76,67
86,34
62
61
Kelas mutu
I
II
I
II
II
Sangat baik
Baik
Sangat baik
Baik
Baik
Mutu pemesinan
Tabel 5 memperlihatkan bahwa cacat serat berbulu pada kayu manglid yang berasal dari batang diameter kecil. Berdasarkan persentase cacat yang terukur, kayu manglid dari dolok manglid diameter kecil memiliki sifat pemesinan baik sampai sangat baik atau kelas mutu I sampai II. Manglid memiliki sifat penyerutan dan pengampelasan yang sangat baik atau kelas mutu I. Hal ini menunjukkan bahwa batang manglid diameter kecil ini cocok untuk produk yang memerlukan tampilan permukaan yang baik seperti mebelair, kerjinan dan lain-lain. Sementara
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
177
sifat pembentukan yang baik memungkinkan batang manglid diameter kecil untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku produk kayu bentukan (moulding) dengan lebar papan terbatas seperti profil dan papan sambung. Papan sambung dengan sistem finger joint dan tongue & groove yang memerlukan sifat pembentukan baik dapat diaplikasikan pada papan manglid. Sifat pemboran yang baik memungkinkan aplikasi pemboran papan manglid seperti penyambungan dengan pasak atau dowel. Demikian juga dengan sifat pembubutan yang baik memungkinkan pemanfaatan manglid untuk pembuatan kerajinan dengan aplikasi pembubutan. Meskipun demikian dari Tabel 5 terlihat bahwa cacat terbanyak (39 buah) atau bebas caca t terkecil (61%) terdapat pada proses pembubutan, dengan ditemukannya banyak serat berbulu dan serat tegak. Hal ini dimungkinkan terjadi akibat proses penggergajian yang tidak sejajar arah serat. Davis (1962) dalam Asdar (2010) mengemukakan cara mencegah dan mengatasi permasalahan cacat kayu yang terjadi selama proses pemesinan. Serat terangkat dan berbulu dapat dikurangi dengan menggunakan pisau yang tajam, kadar air di bawah 12%, serta grinding bevel 30q-40q. Cacat serat patah dapat dicegah dengan menambah jumlah keratan per inci (knife cuts per inch) dan untuk menghilangkannya diperlukan pengampelasan yang lebih banyak dibanding untuk menghilangkan serat terangkat dan serat berbulu. Untuk menghindari tanda garukan selama proses pengampelasan, maka jenis ampelas yang digunakan harus disesuaikan dengan tekstur kayu, semakin halus teksturnya, semakin halus pula ampelas yang harus digunakan. Sedangkan menurut Szymani (1989) dalam Asdar (2010), serat patah pada kayu yang seratnya bergelombang atau berpadu dapat diatasi dengan mengurangi sudut kerat pisau menjadi 15qatau bahkan 10q.
IV. KESIMPULAN 1. Kayu manglid yang berasal dari batang diameter kecil memiliki mutu pemesinan yang sangat baik (kelas mutu I) pada sifat penyerutan dan pengampelasan, serta memiliki mutu pemesinan baik (kelas mutu II) pada sifat pembentukan, pemboran dan pembubutan. 2. Berdasarkan sifat pemesinannya, kayu manglid yang berasal dari batang diameter kecil memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai produk yang memerlukan tampilan halus dan konstruksi ringan seperti mebelair dan produk kerajinan.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman dan N. Hadjib. 2006. Pemanfaatan kayu hutan rakyat untuk komponen bangunan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Abdurachman, A.J. d an S. Karnasudirdja. 1982. Sifat pemesinan kayu-kayu indonesia. Laporan No. 160. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. American Society for Testing and Meterial (ASTM). 1981. Annual Book of ASTM Standards. Part 22: Wood; Adhesives. Philadelphia. USA. pp. 494- 520.
178
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Anonim. 2007. Manglid (Manglieta glauca Bl.). Lembar informasi teknis jenis-jenis pohon untuk hutan rakyat. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Ciamis. Asdar, M. 2010. Sifat pemesinan kayu surian (Toona sinensis (Adr.Juss.) M.J. Roemer) dan kepayang (Pangium edule Reinw.). Jurnal Hasil Hutan Vol 28 No 1 tahun 2010 . Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Djam’an, D.F. 2006. Mengenal manglid (Manglieta glauca Bl,), manfaatnya dan permasalahan. Majalah Kehutanan Indonesia Edisi VI. Jakarta. Dulsalam, D. Tinambunan, I. Sumantri dan M. Sinaga. 2000. Peningkatan efisiensi pemanenan kayu bulat sebagai bahan baku industri. Makalah Utama pada Seminar Hasil Penelitian Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor 7 Desember 2007. Malik, J. dan O. Rachman. 2002. Sifat pemesinan lima jenis kayu dolok diameter kecil dari Jambi. Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol. 20 (5): 401-412 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Rachman, O. dan J. Malik. 2008. Penggergajian dan pengerjaan kayu, pilar industri perkayuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Sabarnudin, S. 2005. Observasi terhadap sistem silvikultur hutan rakyat dan arah perbaikannya. http://www.fkkm.org/artikel/index.php. Diakses pada tanggal 24 Janu ari 2008. Seng, O.D. 1990. Spesific Grafity of Indonesian Woods and Its Significance for Practical Use. Diterjemahkan oleh Suwarsono P,H. Pusat Penelitian dan Pengembangan H asil Hutan. Departemen Kehutanan Indonesia. Bogor. Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
179
PENGARUH WAKTU DAN NISBAH PELARUT PADA EKSTRAKSI TUMBUHAN PEWARNA ALAMI Lawsonia inermis Oleh: Yelin Adalina Peneliti pada Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor Telp. (0251) 863324; 7520067; Fax (0251) 8638111 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Lawsonia inermis atau pacar kuku terkenal karena daunnya yang dapat memberikan warna merah. Tumbuhan ini sering digunakan untuk mewarnai rambut, kuku dan kulit tangan seseorang dengan tujuan untuk memperindah penampilan. Kegunaan lainnya dari daun pacar kuku yaitu untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, di antaranya kusta, cacar, sakit kepala, panas, demam, penyakit saraf, reumatik, iritasi kulit dan lain sebagainya. Di Indonesia, penyebarannya merata mulai dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cara ekstraksi yang tepat dan optimum dari tumbuhan Lawsonia inermis dalam pembuatan zat warna alami yang siap pakai. Percobaan ini menggunakan rancangan Percobaan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor (perlakuan). Setiap taraf perlakuan dilakukan dua kali ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah dengan menggunakan dua jenis pelarut organik, yaitu metanol teknis 70% dan air suling. Pada penggunaan pelarut air dengan 2 perlakuan pemanasan, yaitu pemanasan selama 10 menit dan 20 menit. Konsentrasi pelarut terdiri dari 2 level, yaitu 5% dan 10%, sehingga diperoleh 6 kombinasi perlakuan. Parameter pengamatan meliputi rendemen, nilai pH, dan intensitas warna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jenis pelarut organik, lama pemanasan dan konsentrasi pelarut memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap intensitas warna yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<<Į =0,01). Intensitas warna tertinggi diperoleh pada perlakuan penggunaan pelarut akuades, konsentrasi 5% dan lama pemanasan 10 menit yaitu sebesar 31,81, sedangkan intensitas terendah pada penggunaan pelarut metanol dengan konsentrasi 5% yaitu sebesar 4,84. Kata kunci: Ekstraksi, Melastoma malabathricum, tumbuhan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zat warna yang dipergunakan untuk mewarnai makanan, kulit, produk kerajinan, tekstil dan produk lainnya selama ini masih didominasi oleh zat warna sintesis, karena lebih mudah didapat, lebih praktis dan lebih stabil dalam pemakaiannya maupun dalam penyimpanan dan diproduksi dalam jumlah besar. Riset telah menunjukkan bahwa zat warna buatan (sintetik) dicurigai berkadar zat kimia yang menyebabkan alergi, kanker dan merugikan kesehatan manusia. Saat ini terdapat peningkatan perhatian terhadap bahan pewarna alami, berkaitan dengan hasilnya yang bersifat non-toksis, tidak bersifat polutif, tidak berefek samping, tidak merugikan kesehatan, tidak bersifat karsinogenik (tidak membahayakan sebagai penyebab kanker), dan tidak
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
181
beracun. Pelarangan penggunaan beberapa golongan zat warna sintesis yang bergugus azo mengakibatkan maraknya penggalian kembali penggunaan zat warna alam di Indonesia. Jerman sebagai penemu zat-zat warna sintetik/azo menjadi negara pertama yang melarang penggunaan zat-zat warna azo sejak tahun 1996 (Siva, 2007). Bahan pewarna alami sesungguhnya telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Kondisi alam Indonesia yang subur memungkinkan tumbuhnya berbagai jenis tanaman yang berpotensi sebagai sumber bahan pewarna alami. Prosea melaporkan bahwa terdapat sekitar 62 jenis tanaman di Indonesia berpotensi untuk dikembangkan dan dijadikan sebagai pewarna alami. (http://www.proseanet.org/prohati4/browser.php ? pcategory=2&pageset=1). Secara umum bahan pewarna alami terdapat sangat luas hampir di semua bahan alam, yaitu dari mineral, tumbuhan (bunga, batang, daun, akar, kulit dan buah), dan hewan (seperti pewarna lak). Namun, saat ini sebagian besar pewarna alami banyak diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Di dalam bahan pewarna terdapat pigmen penimbul warna yang berbeda tergantung struktur kimianya seperti klorofil, karotenoid, flavonoid, dan kuinon (Lemmens dan Soetjipto, 1999). Dengan potensi sumber bahan pewarna alami yang ada di Indonesia maka zat warna alam perlu dikembangkan. Tanaman yang berpotensi untuk dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai bahan pewarna alami di antaranya adalah Lawsonia inermis L. (pacar kuku) karena sering dipergunakan sebagai pewarna rambut dan kuku. Daun pacar kuku mempunyai daya toksis yang rendah dan pada umumnya diproduksi oleh industri rumah tangga. Ekspor serbuk daun dan daun kering dari India, Mesir dan Sudan diperkirakan sebesar 6.000- 8000 ton/tahun dalam kurun waktu 1975-1980 (Lemmens et al., 1999). Tumbuhan pacar kuku ini dapat menghasilkan 2.5003.000 kg/ha daun. Isolasi pigmen dengan cara mengekstrak bahan tumbuhan dengan menggunakan pelarut yang memiliki kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen yang terdapat dalam tanaman. Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui jenis pelarut dan metode ekstraksi yang sesuai dari daun Lawsonia inermis dalam menghasilkan zat warna yang optimum. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknik atau metode ekstraksi yang sesuai dari tumbuhan Lawsonia inermis dan mengetahui kualitas zat warna yang dihasilkan.
II. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat penelitian Persiapan dan ekstraksi bahan penelitian dilakukan di Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, sedangkan perlakuan evaporasi hasil ekstraksi dan pengujian intensitas warna di lakukan di Laboratorium Balitro, Bogor.
182
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
2. Waktu penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2009. B. Bahan dan peralatan Spesimen tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Lawsonia inermis atau dikenal dengan nama pacar kuku (Sunda, Jawa, Madura), yang diperoleh dari Desa Ciherang Pondok Rt 01/01, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Bahan pendukung yang digunakan antara lain: metanol teknis 70%, air suling, buffer pH, kertas saring. Alat-alat yang digunakan adalah timbangan analitik, oven, pemanas, blender, spektrophotometer, pH meter, alat gelas kaca dan peralatan lain yang mendukung dalam penelitian ini. C. Metode 1. Prosedur kerja Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap persiapan, tahap perlakuan dan tahap analisa. Prosedur kerja penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Daun dipisahkan dari rantingnya, kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 50-60°C selama 24 jam. Daun yang telah kering kemudian diblender menjadi serbuk halus. b. Ditimbang 90 gram daun, dan dimasukkan ke dalam panci. c. Ditambahkan air suling dengan perbandingan masing-masing perlakuan dengan konsentrasi 10% (1 bagian sampel : 10 bagian pelarut) dan 5% (1 bagian sampel : 20 bagian pelarut). d. Dipanaskan campuran bahan tersebut sesuai perlakuan selama (10 dan 20 menit) setelah air dalam panci mendidih, sambil sesekali diaduk. Sebagai indikasi bahwa pigmen warna yang ada dalam tumbuhan sudah keluar ditunjukkan dengan air setelah perebusan menjadi berwarna. Jika larutan tetap bening berarti tanaman tersebut diindikasikan tidak mengandung pigmen warna. Pada perlakuan dengan pelarut etanol tidak dilakukan pemanasan tetapi dengan cara maserisasi selama 24 jam dengan perbandingan masingmasing perlakuan (1 bagian bahan tanaman : 10 bagian pelarut) dan (1 bagian bahan tanaman : 20 bagian pelarut). e. Larutan hasil ekstraksi disaring menggunakan kain planel untuk memisahkan sisa bahan yang diekstrak (residu). Kemudian disaring kembali dengan kertas saring Whatman. Larutan ekstrak hasil penyaringan ini disebut larutan zat warna alam. 2. Analisa kualitas zat warna Analisis yang dilakukan terhadap kualitas zat warna yang dihasilkan terdiri atas : nilai pH, intensitas warna, dan rendemen ekstrak.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
183
a. Nilai pH larutan Pengukuran nilai pH ditentukan dengan menggunakan alat pH meter yang telah dikalibrasi terlebih dahulu dengan larutan buffer pH 4 dan pH 7 sebagai standar. Apabila alat pH meter tersebut sudah stabil maka masing masing larutan hasil ekstraksi diukur pHnya. b. Intensitas warna Diukur panjang gelombang maksimum dari larutan hasil evaporasi. Ditimbang sampel zat warna, kemudian diencerkan dengan pelarut yang sesuai perlakuan pada proses ekstraksi/maserisasi dalam labu ukur 25 ml. Kemudian diukur absorbansinya (A) pada kuvet dengan tebal 1 cm dengan menggunakan alat spektrophotometer pada panjang gelombang maksimum yang telah ditentukan pada langkah pertama. Penentuan intensitas warna diukur dengan rumus: Intensitas warna = c.
A u 25 Berat sampel
Rendemen ekstrak Setelah pelarut diuapkan dengan evaporator didapatkan ekstrak pekat. Ekstrak tersebut ditimbang dan dibandingkan dengan berat awal sampel. Rendemen ekstrak kasar pigmen warna yang dihasilkan: Berat ekstrak x 100% Berat sampel
D. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor (perlakuan). Setiap taraf perlakuan dilakukan 2 kali ulangan. Isolasi zat warna dilakukan dengan cara infundasi dengan berbagai variasi konsentrasi, yaitu 10% (1 bagian sampel : 10 bagian pelarut ) dan 5% (1 bagian sampel : 20 bagian pelarut) dan lamanya waktu pemanasan selama 10 menit dan 20 menit. Jenis pelarut yang digunakan yaitu, metanol dan aquades/air suling. Dengan demikian banyaknya perlakuan yang dicobakan adalah sebanyak 6 kombinasi perlakuan. Setiap kombinasi diulang sebanyak 2 kali, sehingga banyaknya percobaan adalah 12 unit percobaan. E. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan kualitatif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tumbuhan Lawsonia inermis Tumbuhan ini dikenal dengan nama henna (Inggris), henna, inai (Indonesia), pacar kuku (Sunda, Jawa, Madura), ineng, gaca (Sumatera), ngatu (Kalimantan), kayu laka (Menado), tilangge kuku (Gorontalo), paci (Bugis), daun laka (Maluku), bunga jai (Halmahera), pacah (Bali,
184
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Nusa Tenggara). Di Indonesia, penyebarannya merata mulai dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku. Tumbuh dari dataran rendah sampai dataran tinggi ± 450 m dpl. Pacar kuku dapat tumbuh di padang pasir, dan dapat beradaptasi pada daerah tropis dan subtropis. Suhu yang paling baik untuk pertumbuhan adalah 19-27°C dengan pH tanah 4,3 sampai 8,0. Daun pacar kuku akan rontok bila ditanam pada suhu 10°C (EFG, 1997 dalam Kusdinar, 2002). Zat warna yang terkandung dalam Lawsonia inermis adalah lawson, pertama diisolasi oleh Tomasi pada tahun 1916 dan dideterminasi sebagai senyawa kimia 2-hydroxyl-1,4 naphthoquinon, C10H6O3 (Sarigan, 1957). Pewarna merah dari pacar kuku telah digunakan oleh orang yunani dan Romawi kuno sebagai kosmetik dan bagian-bagian tubuh.Warna yang dihasilkan sesuai dengan bagian tumbuhan yang digunakan, seperti akar memberikan warna hitam, daun memberikan warna merah, dan batang memberikan warna natural (tidak berwarna).Ketiganya dicampur dengan perbandingan tertentu untuk memperoleh warna yang diiinginkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).
Gambar 3. Daun tumbuhan Lawsonia inermis L.
Gambar 4. Bunga tumbuhan Lawsonia inermis L.
B. Ekstraksi Bahan Pewarna 1. Perlakuan pendahuluan Isolasi pigmen dilakukan dengan cara mengekstrak bahan dengan menggunakan pelarut yang sesuai dengan kepolarannya dengan zat yang akan diekstrak. Hasil percobaan pendahuluan menunjukkan bahwa penggunaan pelarut organik (air dan metanol) menghasilkan pigmen yang berbeda. Perbedaan warna yang dihasilkan untuk setiap jenis pelarut organik berkaitan dengan sifat tumbuhan. Tumbuhan yang mempunyai sifat polar diekstrak dengan pelarut yang bersifat polar juga. Perlakuan pendahuluan dimaksudkan untuk mempermudah proses ekstraksi, yang tergantung pada senyawa dalam bahan yang akan dianalisis (Robinson, 1995). Perlakuan pendahuluan dalam penelitian ini meliputi pengeringan daun dan pengecilan ukurannya menjadi
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
185
serbuk halus. Pengeringan dimaksudkan untuk mendapatkan air yang tidak terlalu tinggi, karena contoh tumbuhan dengan kadar air tinggi akan mudah rusak dalam penyimpanannya. Pengecilan ukuran daun menjadi serbuk halus dimaksudkan untuk memperluas permukaan contoh, sehingga semakin banyak yang terekstraksi. 2. Ekstraksi tumbuhan Lawsonia inermis L. (pacar kuku) Ekstraksi merupakan proses pengambilan zat warna/zat terlarut dengan bantuan pelarut, yaitu dapat berupa ekstraksi cair-cair, maupun ekstraksi padat-cair. Ekstraksi padat-cair dapat dilakukan dengan soklet, perkolasi atau maserisasi.Metode pemisahan pada ekstraksi pelarut menggunakan prinsip kelarutan like dissolve like. Dalam pemilihan pelarut, hal yang perlu diperhatikan adalah zat yang akan diekstraksi harus larut dalam pelarut yang digunakan serta dapat berdifusi dengan baik. Metode ekstraksi yang dilakukan tergantung pada tekstur, kandungan air, dan jenis senyawa yang diisolasi. Keberhasilan ekstraksi suatu senyawa dari jaringan hijau tergantung pada banyaknya klorofil yang tertarik ke dalam pelarut tersebut. Bila ampas serbuk daun pada ekstraksi sudah tidak berwarna hijau, maka semua senyawa berbobot molekul rendah dapat dianggap telah terekstrak. Analisa keragaman menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan (penggunaan jenis pelarut, konsentrasi larutan dan lamanya waktu pemanasan) memberikan pengaruh sangat nyata terhadap rendemen, pH, absorben dan intensitas warna) dengan peluang nyata 0,0001 (<<Į =0,01). Hasil pengumpulan bahan dari 5.400 gram daun tanaman pacar kuku diperoleh 1.100 gram serbuk kering daun yang berwarna kehijauan dan berbau khas. Tabel 1. Hasil analisa tumbuhan Lawsonis inermis
No.
Perlakuan
1 2 3 4 5 6
T1 T2 T3 T4 T5 T6
Rendemen % (b/b) 46,78 45,77 25,17 19,94 19,00 14,72
pH 4,60 4,10 3,85 3,80 4,75 4,80
Hasil analisis Panjang gelombang maksimum () 594 594 594 594 594 594
Absorben (A) 0,063 0,029 0,070 0,049 0,012 0,010
Intensitas warna 31,81 12,36 31,58 23,05 5,72 4,84
Keterangan: T1 = Pelarut akuades, konsentrasi 5%, pemanasan 10 menit T2 = Pelarut akuades, konsentrasi 5%, pemanasan 20 menit T3 = Pelarut akuades, konsentrasi 10%, pemanasan 10 menit T4 = Pelarut akuades, konsentrasi,10%, pemanasan 20 menit T5 = Pelarut metanol, konsentrasi 10% T6 = Pelarut metanol, konsentrasi 5%
a. Rendemen Penggunaan jenis pelarut memberikan pengaruh sangat nyata terhadap rendemen ekstrak pekat pigmen yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<<Į =0,01). Berdasarkan hasil uji
186
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
BNJ, rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan menggunakan pelarut aquades, konsentrasi 5% dengan lama pemanasan selama 10 menit, yaitu sebesar 46,78%. Penggunaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan. Penggunaan pelarut aquades menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pelarut metanol. Hal ini mungkin disebabkan karena aquades memiliki kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen yang terdapat dalam daun Lawsonia inermis L. Lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan. Pemanasan selama 10 menit menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemanasan selama 20 menit. Hal ini mungkin disebabkan karena terjadinya penguapan zat-zat yang terdapat dalam larutan yang diakibatkan oleh pemanasan yang terlalu lama. Perbedaan konsentrasi pelarut berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan. Konsentrasi pelarut 5% (1bagian bahan :20 bagian pelarut) menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena pigmen yang terkandung dalam daun Lawsonia inermis L. yang terekstrak lebih banyak. b. pH Larutan Penggunaan berbagai jenis pelarut memberikan pengaruh sangat nyata terhadap pH ekstrak pekat pigmen yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<<Į =0,01). Berdasarkan hasil uji BNJ, pH tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan menggunakan pelarut metanol, yaitu sebesar 4,80 dan pH terendah pada penggunaan pelarut aquades dengan konsentasi 10% dengan waktu pemanasan selama 20 menit, yaitu sebesar 3,80. Perbedaan pH ekstrak ini mungkin disebabkan karena larutan metanol yang bersifat basa sehingga mengakibatkan pH larutan menjadi lebih tinggi. c. Panjang gelombang Penggunaan jenis pelarut, lama pemanasan dan konsentrasi larutan memberikan panjang gelombang maksimum yang sama, yaitu 594. Warna yang dihasilkan pada penggunaan pelarut air memberikan warna yang sama yaitu merah kecokelatan, sedangkan pada penggunaan pelarut metanol menghasilkan larutan yang berwarna kuning kehijauan. d. Absorben Penggunaan jenis pelarut, lama pemanasan dan konsentrasi larutan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap absorben ekstrak pekat pigmen yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<<Į =0,01). Berdasarkan hasil uji BNJ pada taraf 5%, absorben tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan menggunakan pelarut aquades dengan konsentrasi 10% dan lama pemanasan selama 10 menit, yaitu sebesar 0,07 dan absorben terendah pada penggunaan pelarut metanol dengan konsentrasi 5%, yaitu sebesar 0,01. Penggunaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap nilai absorben ekstrak pigmen yang dihasilkan. Absorben yang dihasilkan pada penggunaan jenis pelarut aquades lebih tinggi dibandingkan pada penggunaan jenis pelarut metanol. Hal ini mungkin disebabkan karena aquades memiliki kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen yang terdapat dalam daum Lawsonia inermis L.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
187
Lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap nilai absorben ekstrak pigmen yang dihasilkan. Pemanasan 10 menit memberikan nilai absorben lebih tinggi dibandingkan pemanasan 20 menit. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan Lawson yang terdapat dalam larutan menguap pada pemanasan yang terlalu lama. Konsentrasi pelarut yang digunakan berpengaruh nyata terhadap absorben ekstrak pigmen yang dihasilkan. Konsentrasi pelarut 10% memberikan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pelarut dengan konsentrasi 5%. Hal ini disebabkan karena kandungan Lawson yang terdapat dalam daum lawsonia inermis L. lebih banyak terekstrak sehinga warna yang dihasilkan menjadi lebih pekat. e. Intensitas warna Berdasarkan hasil analisis ragam terhadap intensitas warna ekstrak pekat pigmen daun Lawsonia inermis L., maka terlihat bahwa penggunaan jenis pelarut organik, lama pemanasan dan konsentrasi pelarut memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap intensitas warna yang dihasilkan dengan peluang nyata 0,0001 (<<Į =0,01). Berdasarkan hasil uji BNJ pada taraf 5%, intensitas warna tertinggi diperoleh pada perlakuan penggunaan pelarut aquades, konsentrasi 5% dan lama pemanasan 10 menit, yaitu sebesar 31,81, sedangkan intensitas terendah pada penggunaan pelarut metanol dengan konsentrasi 5%, yaitu sebesar 4,84. Penggunaan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap intensitas warna ekstrak pigmen yang dihasilkan. Intensitas warna yang dihasilkan pada penggunaan jenis pelarut aquades lebih tinggi dibandingkan pada penggunaan jenis pelarut metanol. Hal ini mungkin disebabkan karena aquades memiliki kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen yang terdapat dalam daun Lawsonia inermis L. Lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap intensitas warna yang dihasilkan. Pemanasan selama 10 menit menghasilkan intensitas warna yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemanasan selama 20 menit. Hal ini mungkin disebabkan karena terjadinya penguapan kandungan Lawson yang terdapat dalam larutan ekstrak pigmen yang diakibatkan oleh pemanasan yang terlalu lama. Hasil analisa ekstrak pigmen tanaman Lawsonia inermis L. menunjukkan bahwa rendemen tertinggi dihasilkan pada penggunaan jenis pelarut aquades dengan konsentrasi 5% dan lama pemanasan 10 menit. Absorben tertinggi dihasilkan pada penggunaan jenis pelarut akuades dengan konsentarsi !0% dan lama pemanasan 10 menit, tetapi hasil absorben tersebut tidak jauh berbeda dengan penggunaan pelarut akuades dengan konsentrasi 5% dan pemanasan 10 menit. Nilai intensitas warna tertinggi dihasilkan pada penggunaan pelarut akuades dengan konsentrasi 5% dan lama pemanasan 10 menit. Oleh karena itu metode yang sesuai dalam ekstraksi tanaman lawsonia inermis L. yaitu dengan menggunakan pelarut akuades dengan konsentrasi 5% dan lama pemanasan 10 menit.
188
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
IV. KESIMPULAN 1. Isolasi pigmen dapat dilakukan dengan cara mengekstrak bahan tumbuhan dengan menggunakan pelarut yang memiliki kepolaran yang relatif sama dengan polaritas pigmen yang terdapat dalam tanaman. Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari sifat dan karakteristik tumbuhan. 2. Pengaruh perlakuan (metode ekstraksi) memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kualitas ekstrak pigmen yang dihasilkan. 3. Metode yang paling sesuai dalam ekstraksi tumbuhan Lawsonia inermis adalah dengan menggunakan pelarut akuades dengan perbandingan (1 bagian bahan tanaman : 20 bagian pelarut) dan lama pemanasan 10 menit.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Pewarna alami. http://www.proseanet.org/prohati4/browser.php?pcategory= 2&pageset=1). Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1985. Formularium KosmetikaIndonesia. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Majanan. Jakarta hal 208-213. Kusdinar, E. 2002. Isolasi komponen zat warna daun pacar kuku (Lawsoniainermis L.) untuk pewarna rambut. Skripsi Program Studi Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Siva, R. 2007. Status of natural dyes and dye-yielding plants in India. Current Science, Vol.92. No.7. Lemmens, R.H. dan W. Soetjipto. 1999. Sumberdaya Nabati Asia Tenggara No.3. Tumbuhtumbuhan Penghasil Pewarna dan Tannin. PROSEA Foundation. Bogor. Robinson, T. 1995. Kandunan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung. ITB Pess. Sarigan, E. 1957. Cosmetic Science and Technology. Sixth Edition. Interscience Publisher Inc. New York.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
189
PERSEPSI PETANI TERHADAP PEMANFAATAN DAN BUDIDAYA NYAMPLUNG SEBAGAI SUMBER BIOFUEL ALTERNATIF Oleh: Devy P. Kuswantoro dan Tri S. Widyaningsih Balai Penelitian Teknologi Agroforestri E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji karakteristik responden petani hutan rakyat di daerah pesisir dan persepsi para petani mengenai pemanfaatan dan budidaya nyamplung sebagai sumber biofuel. Penelitian dilakukan di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya dan Kecamatan Binangun, Kabupaten Cilacap. Responden petani hutan rakyat termasuk dalam kelompok usia produktif, jumlah keluarga kecil dengan pendidikan didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar dengan pekerjaan utama sebagai petani/buruh tani. Responden mengetahui manfaat tanaman nyamplung sebagai kayu bangunan, kayu bakar, dan manfaatnya sebagai pelindung pantai dan penahan angin, namun banyak yang tidak mengetahui teknik budidaya nyamplung. Pengembangan budidaya nyamplung di hutan rakyat untuk sumber bahan baku biofuel perlu dibarengi dengan kejelasan keuntungan, harga, dan pasarnya sehingga menarik diusahakan oleh petani. Kata kunci: Biofuel, nyamplung, persepsi, petani
I. PENDAHULUAN Untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah menetapkan Kebijakan Energi Nasional, yang salah satu sasarannya adalah meningkatkan peran bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5% pada tahun 2025. Seiring dengan kebijakan tersebut, pencarian sumber energi baru sebagai alternatif sumber biofuel terus dilakukan. Tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) yang telah diteliti secara intensif sejak tahun 2005 oleh Pusat Litbang Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai sumber biofuel. Produk bodiesel dari pengolahan biji nyamplung telah diteliti memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk biodiesel menurut SNI 04-7182-2006 dan telah diuji coba di jalan raya dengan hasil yang memuaskan (Masyhud, 2008). Perhitungan kelayakan finansial pembangunan hutan tanaman nyamplung maupun industri minyaknya secara ekonomi layak diusahakan (Bustomi et al., 2008). Sosialisasi nyamplung ke masyarakat dilakukan dengan pembuatan demplot Desa Mandiri Energi (DME) berbasis nyamplung yang berupa pembangunan unit pengolahan biodiesel dan upaya penanaman nyamplung. DME diharapkan dapat menjadi percontohan dalam mendukung kemandirian energi masyarakat. Secara alami tanaman nyamplung di Indonesia dijumpai di hampir seluruh daerah terutama wilayah pesisir pantai baik di kawasan konservasi maupun di luar kawasan seperti di Taman Nasional (TN) Alas Purwo, TN Kepulauan Seribu, TN Baluran, TN Ujung Kulon, TN Berbak,
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
191
kawasan Pantai Pangandaran dan Batukaras di Ciamis, Pantai Carita Banten, wilayah Papua, dan Maluku Utara. Di Pulau Jawa, Perhutani juga melaksanakan penanaman di lahan negara sebagai bagian dari upaya perlindungan pantai seperti di wilayah BKPH Purworejo, KPH Kedu Selatan. Oleh karena itu, sumber bahan baku DME sampai saat ini dipenuhi dari hasil tanaman nyamplung dari Perhutani maupun hasil dari masyarakat. Ke depan, dengan adanya prospek yang menjanjikan, diharapkan peluang usaha budidaya nyamplung dapat ditangkap oleh masyarakat sebagai salah satu usaha untuk menambah pendapatan. Dengan demikian masyarakat dapat berperan aktif untuk menyediakan bahan baku dan bahkan mampu mengolah biji nyamplung menjadi biofuel. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji karakteristik responden petani hutan rakyat di daerah pesisir dan persepsi para petani mengenai pemanfaatan dan budidaya nyamplung sebagai sumber biofuel. Dengan mengetahui pendapat masyarakat, dapat diperoleh strategi pengembangan nyamplung serta kebijakan dan mekanisme insentif untuk mendukungnya.
II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2010 sampai dengan September 2010 di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Lokasi penelitian di Kabupaten Tasikmalaya adalah di Kecamatan Cipatujah dengan mengambil sampel penelitian di Desa Cikawungading dan Desa Sindangkerta. Lokasi penelitian di Kabupaten Cilacap adalah di Kecamatan Binangun dengan mengambil sampel penelitian di Desa Widarapayung Kulon dan Desa Pagubugan. Lokasi dipilih secara sengaja karena merupakan desa-desa di wilayah pesisir pantai yang merupakan tempat tumbuh yang cocok bagi tanaman nyamplung. Tanaman nyamplung ditemukan tumbuh di lokasi penelitian. B. Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara kepada responden petani hutan rakyat. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja dari kelompok tani hutan rakyat di desa penelitian. Jumlah responden petani setiap desa sebanyak 15 orang. Data yang dikumpulkan meliputi jati diri responden, kepemilikan lahan hutan rakyat, pengalaman usaha tani, dan persepsi responden terhadap budidaya dan pemanfaatan nyamplung sebagai sumber biofuel alternatif. Data yang terkumpul diolah menggunakan statistik deskriptif. Selanjutnya, dianalisis secara deskriptif kualitatif komparatif berupa perbandingan antara satu kelompok responden dengan satu kelompok responden lainnya, dalam hal ini adalah responden petani di Kecamatan Cipatujah dan responden petani di Kecamatan Binangun.
192
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Karakteristik responden petani yang diuraikan meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Deskripsi tentang karakteristik responden dikemukakan untuk mengetahui latar belakang responden yang diteliti. Karakteristik responden penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik responden petani
Karakteristik 1. Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Jumlah 2. Usia a. < 15 tahun b. 15 – 54 tahun c. > 54 tahun Jumlah 3. Anggota keluarga a. 1 – 3 orang b. 4 – 5 orang c. > 5 orang Jumlah 4. Tingkat pendidikan a. Tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMA e. Perguruan Tinggi Jumlah 5. Pekerjaan utama a. Buruh/Tani b. Nelayan c. Wiraswasta d. PNS/Aparat desa Jumlah 6. Pekerjaan sampingan a. Buruh/Tani b. Nelayan c. Wiraswasta d. PNS/Aparat desa Jumlah
Kecamatan Cipatujah
Kecamatan Binangun
SK
CA
Total - %
PG
WP
Total - %
15 0 15
14 1 15
29 – 97% 1 – 3% 30 – 100%
15 0 15
15 0 15
30 – 100% 0 – 0% 30 – 100%
0 9 6 15
0 14 1 15
0 – 0% 23 – 77% 7 – 23% 30 – 100%
0 7 8 15
0 8 7 15
0 – 0% 15 – 50% 15 – 50% 30 – 100%
14 1 0 15
12 3 0 15
26 – 87% 4 – 13% 0 – 0% 30 – 100%
7 7 1 15
9 4 2 15
16 – 53% 11 – 37% 3 – 10% 30 – 100%
0 10 2 1 2 15
0 10 0 5 0 15
0 – 0% 20 – 67% 2 – 7% 6 – 23% 2 – 7% 30 – 100%
3 6 4 2 0 15
3 12 0 0 0 15
6 – 20% 18 – 60% 4 – 13% 2 – 7% 0 – 0% 30 – 100%
6 3 4 2 15
7 3 2 3 15
13 – 43% 6 – 20% 6 – 20% 5 – 17% 30 – 100%
12 0 1 2 15
13 1 1 0 15
25 – 83% 1 – 3% 2 – 7% 2 – 7% 30 – 100%
9 0 5 1
8 0 7 0 15
17 – 57% 0 – 0% 12 – 40% 1 – 3% 30 – 100%
7 0 5 3 15
9 1 4 1 15
16 – 53% 1 – 3% 9 – 30% 4 – 13% 30 – 100%
Keterangan: Pengolahan data primer. SK= Desa Sindangkerta, CA= Desa Cikawungading, PG= Desa Pagubugan, WP= Desa Widarapayung Kulon
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
193
Responden petani, baik di Kecamatan Cipatujah maupun Kecamatan Binangun didominasi oleh laki-laki. Kaum perempuan (ibu) secara umum merasa pekerjaan utamanya adalah mengurus rumah tangga. Pekerjaan di sektor pertanian biasanya lebih bersifat sampingan untuk membantu petani. Dilihat dari segi usia responden, responden petani di Kecamatan Cipatujah didominasi oleh usia produktif (15-54 tahun). Dengan demikian, diharapkan pengelolaan hutan rakyat dapat berjalan lebih optimal karena dikelola oleh tenaga-tenaga yang masih produktif. Usia responden petani hutan rakyat di Kecamatan Binangun terbagi rata antara yang berusia produktif dan petani yang sudah memasuki usia tidak produktif. Pada umumnya di Jawa, banyak orang-orang tua yang masih bekerja dan sehat karena etos kerja sebagai pekerja keras yang terbawa sampai usia senja. Adapun dari jumlah anggota keluarga, terlihat bahwa responden mulai memperhatikan jumlah anggota keluarga yang masih sanggup untuk ditanggungnya. Jumlah anggota keluarga yang sesuai akan memberikan kualitas hidup keluarga yang lebih baik. Meskipun responden didominasi yang berusia produktif, akan tetapi dari segi pendidikan didominasi oleh responden yang berpendidikan rendah baik yang tamat maupun tidak tamat SD. Tingkat pendidikan yang rendah dapat menjadi kendala dalam penerimaan teknik, inovasi, dan informasi baru termasuk informasi mengenai nyamplung. Diniyati dan Fauziyah (2006) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan yang rendah dapat tercermin dalam sikap dan perilaku yang cenderung hanya mengikuti pihak lain. Artinya perubahan-perubahan yang akan dilakukan harus dimulai oleh pihak lain misalnya melalui penyuluhan/sosialisasi yang memerlukan waktu yang lama. Sementara itu, mengenai pekerjaan responden, sebagian besar responden bekerja sebagai petani baik mengurus sawah maupun hutan rakyatnya. Widyaningsih dan Diniyati (2006) mengungkapkan bahwa kaum laki-laki lebih banyak menangani pekerjaan pertanian termasuk mengelola hutan rakyatnya dan menghabiskan sebagian waktunya dalam sehari untuk aktivitas tersebut. B. Usaha Tani Hutan Rakyat di Lokasi Penelitian Responden petani rata-rata memiliki pengalaman usaha tani lebih dari sepuluh tahun. Mereka mengusahakan lahan miliknya baik yang berupa sawah, pekarangan, hutan rakyat, bahkan ada yang menggarap lahan pantai. Usaha hutan rakyat seperti halnya di daerah lain telah berkembang pesat karena permintaan akan kayu rakyat yang terus meningkat. Pola tanam di hutan rakyat menggunakan pola tanam agroforestri yang dapat memberikan pendapatan pada berbagai periode waktu sehingga apabila petani memerlukan dana untuk kebutuhan mendesaknya, terdapat hasil tanaman dari hutan rakyat yang dapat dipanen dan dijual. Adapun jenis-jenis tanaman di hutan rakyat yang diusahakan petani hutan rakyat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Hutan rakyat didominasi oleh jenis sengon yang merupakan primadona kayu rakyat. Pohon sengon tumbuh baik dan tidak terserang karat tumor. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh iklim daerah pesisir yang panas tidak seperti di dataran tinggi yang membuat penyebaran penyakit karat tumor lebih cepat. Di samping jenis sengon, tanaman yang umum terdapat di daerah pesisir dan menjadi ciri khas adalah kelapa. Pengunduhan buah kelapa memberikan hasil yang kontinyu setiap bulan bagi petani baik apabila dipanen buahnya maupun diambil niranya untuk pembuatan gula kelapa. Pengelolaan hutan rakyat oleh responden masih sangat sederhana tanpa tambahan input teknologi yang berarti. Kegiatan pemeliharaan yang dapat meningkatkan produktivitas dan
194
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
hasil jarang yang secara intensif dilakukan oleh petani sehingga hasil hutan rakyat kurang maksimal. Tabel 2. Jenis-jenis tanaman pada hutan rakyat yang dimiliki responden No.
Lokasi
Jenis tanaman
1 2 3 4
Desa Sindangkerta Desa Cikawungading Desa Pagubugan Desa Widarapayung Kulon
Sengon, Kelapa, Mahoni, Jati, Cengkeh, Pisang, Mangga Sengon, Kelapa, Formis, Jati, Mahoni, Pisang Kelapa, Akasia, Jati, Sengon, Nyamplung, Ketela pohon Sengon, Kelapa, Akasia, Nyamplung, Pisang
Sumber: Pengolahan data primer
C. Persepsi Petani Terhadap Pemanfaatan Nyamplung Responden petani di Desa Cikawungading dan Sindangkerta kebanyakan tidak mengetahui manfaat dari bagian tanaman nyamplung kecuali kayu nyamplung yang dapat dimanfaatkan sebagai kayu bangunan dan kayu bakar. Responden lebih mengetahui manfaat tanaman nyamplung bagi konservasi kawasan pantai mengingat kejadian tsunami di waktu lalu yang juga melanda pesisir Tasikmalaya. Responden menyadari pentingnya perlindungan pantai ini dan tanaman nyamplung dirasa cocok sebagai salah satu jenis tanaman pelindung. Sosialisasi manfaat nyamplung baru didapat setelah ada kegiatan penanaman dan demo biodiesel oleh TNI AD. Itupun tidak seluruh masyarakat mengetahui adanya sosialisasi ini. Kejadian berbeda ditemui pada responden di Desa Pagubugan dan Widarapayung Kulon. Masyarakat di kedua desa ini sudah akrab dengan nyamplung dan mengetahui manfaat nyamplung terutama manfaat kayu nyamplung sebagai kayu bangunan, kulit dan buah nyamplung sebagai bahan bakar, dan manfaat biji nyamplung sebagai sumber biofuel setelah buahnya laku dijual ke pabrik pengolahan minyak nyamplung. Masyarakat juga mengetahui manfaat nyamplung bagi perlindungan pantai, penahan erosi, penahan angin (wind breaker) yang dapat melindungi tanaman pertanian mereka dari terpaan angin laut yang kencang. Pendapat masyarakat tersebut dapat menjadi modal dalam pengembangan budidaya nyamplung sebagai bahan baku biofuel. Budidaya nyamplung di lahan pantai sebagai pelindung pantai mempunyai manfaat ganda karena nantinya yang akan diambil hasilnya adalah hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa buahnya. Pemanfaatan lahan-lahan pantai yang tidak produktif dengan tanaman nyamplung dapat terus digalakkan sehingga nantinya masyarakat sudah mempunyai pemasok bahan baku biofuel yang siap diolah lebih lanjut. D. Persepsi Petani Terhadap Budidaya Nyamplung Perbedaan mendasar yang ditemui di lokasi penelitian mengenai tanaman nyamplung adalah apabila di wilayah Kecamatan Cipatujah sangat jarang ditemukan tanaman nyamplung, sementara di wilayah Kecamatan Binangun lebih mudah ditemui keberadaan tanaman nyamplung. Tanaman nyamplung di Kecamatan Cipatujah ditemui tumbuh berjajar di tepi jalan Pantai Cikawungading serta tumbuh soliter di pemakaman dan halaman. Sementara di wilayah Kecamatan Binangun, tanaman nyamplung dapat ditemui tumbuh alami di pekarangan rumah penduduk serta di pantai.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
195
Seluruh responden petani di seluruh lokasi penelitian mengetahui dan pernah melihat keberadaan tanaman nyamplung serta dapat menyebutkan ciri-ciri tanaman nyamplung. Responden petani di Kecamatan Binangun bahkan memiliki tanaman tersebut karena tumbuh sendiri di pekarangan rumah maupun di kebunnya. Selain tumbuh alami, saat ini di kedua kecamatan terdapat tanaman nyamplung hasil penanaman dari kegiatan proyek kehutanan maupun instansi lain. Pada tahun 2005 pernah diadakan sosialisasi oleh TNI Angkatan Darat berupa kegiatan penanaman yang melibatkan masyarakat dan demo pembuatan biodiesel di wilayah Kecamatan Cipatujah yang dipusatkan di daerah Pamayangsari. Akan tetapi untuk turut membudidayakannya, ternyata lebih dari 75% responden petani di Kecamatan Cipatujah mengaku belum mengetahui teknik budidaya nyamplung dengan benar. Meskipun demikian dari hasil pengamatan mereka, tanaman nyamplung mudah tumbuh dan berkembang tanpa perawatan yang berarti. Bibit nyamplung pun dapat diperoleh dengan mudah karena sudah ada pohon yang cukup tua dan besar yang dapat dijadikan sumber bibit baik dari buahnya maupun anakan nyamplung sebagai sumber cabutan. Akan tetapi untuk membudidayakannya di lahan hutan rakyat maupun di lahan pantai untk bahan baku biofuel, responden menyatakan ketidaksiapan dan ketidakbersediaannya. Hal ini dilatarbelakangi oleh belum diketahuinya keuntungan yang akan didapat dari budidaya nyamplung, harga biji, dan pemasarannya. Responden enggan berspekulasi dengan membandingkan dengan hasil dari tanaman sengon dan kayu rakyat lainnya yang sudah jelas harga, pasar, dan keuntungannya. Responden petani di Desa Pagubugan dan Widarapayung Kulon tidak pernah dengan sengaja menanam nyamplung di pekarangan atau kebunnya. Mereka membiarkan tanaman nyamplung tetap hidup dengan alasan kayunya dapat digunakan sebagai kayu bakar. Sekitar 70% responden belum mengetahui teknik budidaya nyamplung. Responden lainnya belajar dari tanaman nyamplung yang tumbuh alami dan kemudian menambah jumlah tanaman di kebunnya. Pemeliharaan yang dilakukan adalah dengan memberikan pupuk kandang maupun pupuk kimia dan pembersihan rumput disekitarnya. Dengan demikian petani mempunyai stok bahan kayu bakar untuk keperluan sehari-hari. Tanaman nyamplung yang sudah berbuah kemudian diunduh buahnya lalu dijual ke pedagang pengumpul buah di Desa Pagubugan untuk kemudian dijual ke pabrik pengolahan minnyak nyamplung yang berada di Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap. Responden juga mengetahui bahwa biji nyamplung dapat diolah lebih lanjut di pabrik untuk menjadi biodiesel. Akan tetapi, untuk membudidayakan dalam bentuk hutan rakyat nyamplung, responden petani menyatakan kesediaannya asalkan usaha hutan rakyat berbasis nyamplung untuk bahan baku biofuel ini jelas perhitungan ekonominya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa harga buah nyamplung masih dipandang cukup murah sehingga kurang menarik. Di samping itu, pabrik pengolahan minyak nyamplung yang berada di Kroya sampai saat ini belum maksimal bekerja dan hasil minyaknya masih banyak untuk keperluan penelitian saja. Hal ini membuat usaha budidaya nyamplung dipandang oleh responden belum mampu memberikan keuntungan. Persepsi responden di kedua kecamatan tersebut mengarah pada pendapat yang sama, yaitu mau mengembangkan hutan rakyat nyamplung sebagai bahan baku biofuel asalkan jelas keuntungannya. Ini menggambarkan bahwa usaha hutan rakyat saat ini benar-benar berkontribusi dalam pendapatan petani dan peningkatan kesejahteraanya. Hal-hal yang baru dan belum
196
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
memperlihatkan kejelasan seperti nyamplung, kecil kemungkinan mendapatkan tempat. Responden selama ini memandang kegunaan nyamplung untuk kayu bakar yang memang memberikan panas yang baik karena kandungan getah di dalam kayunya. Adanya manfaat tersebut membuat petani di Pagubugan mempertahankan keberadaan tanaman nyamplung di kebunnya. Pengembangan budidaya nyamplung untuk sumber biofuel tidak sepenuhnya ditolak oleh masyarakat. Hanya saja masyarakat menginginkan kejelasan usaha dan hasil yang akan diperoleh. Oleh karena itu, untuk mendorong pengembangan budidaya nyamplung perlu sosialisasi, pendampingan, dan mekanisme insentif untuk menarik keterlibatan masyarakat dalam usaha menuju kemandirian energi masyarakat.
IV. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Responden petani hutan rakyat termasuk dalam kelompok usia produktif, jumlah keluarga kecil dengan pendidikan didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar dengan pekerjaan utama sebagai petani/buruh tani. 2. Responden mengetahui manfaat tanaman nyamplung sebagai kayu bangunan, kayu bakar, dan manfaatnya sebagai pelindung pantai dan penahan angin. 3. Responden petani banyak yang tidak mengetahui teknik budidaya nyamplung. Pengembangan budidaya nyamplung di hutan rakyat untuk sumber bahan baku biofuel perlu dibarengi dengan kejelasan keuntungan, harga, dan pasarnya sehingga menarik diusahakan oleh petani.
DAFTAR PUSTAKA Bustomi, S., T. Rostiwati, R. Sudradjat, B. Leksono, A.S. Kosasih, I. Anggraeni, D. Syamsuwida, Y. Lisnawati, Y. Mile, D. Djaenudin, Mahfudz, dan E. Rachman. 2008. Nyamplung, sumber energi biofuel yang potensial. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Diniyati, D. dan E. Fauziyah. 2006. Strategi pengembangan kelompok tani hutan rakyat. Prosiding Seminar Pekan Hutan Rakyat I tanggal 6 September 2006 di Ciamis. Hal. 51-64. Puslit Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. Masyhud. 2008. Litbang kehutanan temukan sumber energi biofuel dari biji nyamplung. Siaran Pers Nomor S.578/PIK-1/2008 tanggal 24 November 2008. Website: http://www.dephut.go.id/ index.php?q=id/node/ 4960. Diakses tanggal 5 Maret 2010. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Widyaningsih, T.S. dan D. Diniyati. 2006. Etos kerja petani dalam pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap. Prosiding Seminar Pekan Hutan Rakyat I tanggal 6 September 2006 di Ciamis. Hal. 142-152. Puslit Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
197
POTENSI BIOENERGI Ceiba petandra L. Gaertn. DAN PROSPEK PENGEMBANGAN Oleh: Titi Kalima Puslibang Konservasi dan Rehabilitasi Hutan Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor Email:
[email protected]
ABSTRAK
Pemenuhan sumber energi dalam bentuk cair terutama solar pada sektor transportasi merupakan sektor paling kritis dan perlu mendapat perhatian khusus. Melalui pemanfaatan teknologi bioenergi, Indonesia memliki kesempatan yang besar di dalam penyediaan energi bersih, termasuk biodiesel. Sebagai negara tropis memiliki berbagai jenis tumbuhan yang dapat dikembangkan sebagai bahan baku produksi energi, salah satunya Ceiba petandra, yang mempunyai peluang untuk menjadi penghasil biodiesel. Kata kunci: Bahan baku biodiesel, Ceiba petandra L. Gaertn., prospek pengembangan
I. PENDAHULUAN Diperkirakan terdapat sekitar 4000 jenis pohon di Indonesia, termasuk pohon yang dapat menghasilkan energi alternafif. Oleh karena itu, peranan pengembangan energi alternatif harus ditingkatkan. Kebutuhan energi alternatif tersebut dapat dipenuhi dari sumber-sumber energi alternatif lainnya seperti biodiesel. Biodiesel yang sedang gencar dikembangkan di Indonesia saat ini kebanyakan dari minyak jarak (Ricinus communis ) dan minyak nyamplung (Calophyllum inophyllum). Padahal sebenarnya masih banyak energi alternatif bahan lain yang dapat digunakan untuk pembuatan biodiesel seperti minyak biji Ceiba petandra L.Gaertn. (Tatang, 2006). Karena pentingnya spesies Ceiba petandra L. Gaertn. dalam penyediaan bahan baku berupa biodiesel, ada beberapa keunggulan yang dimiliki minyak biji Ceiba petandra L.Gaertn. antara lain mudah di dapat, harga relatif murah, kadar asam lemak tak jenuh relatif tinggi (71,95%) (Dewayani, 2008). Ceiba pentandra L.Gaertn. adalah jenis pohon tropis yang tergolong famili Bombacaceae, dengan nama lokal Kapuk randu atau kapuk yang berasal dari bagian utara Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Karibia. Kata "kapuk"atau "kapuk" juga digunakan untuk menyebut serat yang dihasilkan dari bijinya. Pohon ini juga dikenal sebagai kapas Jawa atau kapok Jawa, atau pohon kapas-sutra. Selain sebagai penyediaan bahan baku biodsel, penting juga penyediaan berupa kayu gergajian, obat-obatan dan lain-lain di kawasan Asia Tenggara, maka dilakukan survei kajian botani yang bertujuan untuk memperoleh informasi keanekaragaman manfaat spesies dan keberadaan sebaran tempat tumbuh jenis pohon Ceiba petandra L.Gaertn. di Cagar Alam Gunung Celering, Jepara, Jawa Tengah. Diharapkan hasil kajian ini dapat dijadikan data dasar dalam pengambilan langkah-langkah lebih lanjut dalam usaha penanganannya.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
199
A. Klasifikasi Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo
: Malvales
Famili : Bombacaceae Genus : Ceiba Spesies : Ceiba pentandra L. Gaertn B. Deskripsi Pohon Ceiba petandra L. Gaertn. tumbuh tegak hingga setinggi 60-70 m dan dapat memiliki batang pohon yang cukup besar hingga mencapai diameter 3 m. Batang dengan atau tanpa cabang, kadang-kadang berduri. Akar menyebar horizontal, di permukaan tanah. Daun majemuk menjari dengan 5 - 8 anak daun, melambai di ujung tangkai yang panjang, tersusun berseling; bentuk anak daun memanjang - lanset, gundul. Percabangan mendatar seperti jeruji roda pedati. Bunga bisexual; kelopak menggenta, di bagian luar gundul; mahkota bunga memanjang - bulat telur terbalik, bersatu pada pangkal, biasanya berwarna putih kekuningan, di bagian dalam gundul dan di bagian luar berambut lebat seperti sutra; benang sari bersatu pada pangkal dalam kolom staminal, kepala sari bergelung atau seperti ginjal. Buah berbetuk kapsul, lonjong, panjang dan keras, berwarna hijau, ketika masak berubah menjadi coklat, dengan gumpalan putih serat kapuk bertabur bulir biji hitam menyembul dari cangkang yang membuka. Biji bulat telur, coklat tua, putih, kuning muda atau berwarna seperti sutra.
A
B
Gambar 1. A. Habitus pohon Ceiba petandra; B. Buah dan serat kapuk putih Ceiba petandra di lereng Gunung Celering, Jepara, Jawa Tengah (Foto Titi Kalima)
C. Persebaran Ceiba petandra L. Gaertn berasal daerah tropis di Amerika berkembang dan menyebar ke Afrika sepanjang pantai barat dari Senegal ke Angola. Pohon Ceiba petandra ini di Asia dibudidayakan.dan terlukis di relief Jawa sejak 1000 setelah Masehi. Di Indonesia, pohon ini tersebar merata di seluruh daerah tropika, terutama di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Jawa,
200
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Sumatera, Timor, Kai, Ternate dan Irian) (Heyne, 1987), Thailand dan Amerika Selatan. (http://www.wikipedia.htm). D. Habitat Tempat Tumbuh Ceiba petandra L. Gaertn. tumbuh di lereng Gunung Celering pada ketinggian 400 - 600 m di atas permukaan laut, temperatur udara 32°C. Curah hujan sekitar 1500 - 3000 mm per tahun, curah hujan melimpah selama periode vegetatatif dan lebih kering pada periode berbunga dan berbuah, jenis tanah lempung vulkanik, cukup sinar matahari dan pengairan. Pohon ini mudah rusak oleh angin yang kuat.
Gambar 2. Lereng CA.Gunung Celering, tempat tumbuh pohon Ceiba petandra (Foto Titi Kalima)
E. Sifat Kayu Ceiba petandra Kayu Ceiba petandra sangat ringan dengan warna kuning pada waktu basah dan kuning kecoklatan atau coklat muda bila kering. Kadar air segar kayu rata-rata sebesar 206% dan mudah mengering mencapai kering angin (KA=15%) dengan banyak cacat pengeringan akibat ketidakstabilan dimensi kayu (Chatarina, 1992). F. Manfaat dan Potensi Pohon Ceiba petandra Tiap bagian dari pohon Ceiba petandra memiliki manfaat dan potensi yang sangat besar, mulai dari kayu, daun, bunga, buah, biji hingga kulit buah (http://www.kapuk-kasurcplus.com/ berita-103-kapuk-randu-ceiba-pentandra-l.html). 1. Buah Ceiba pentandra merupakan sumber serat, digunakan untuk bahan dasar matras, bantal, hiasan dinding, pakaian pelindung dan penahan panas dan suara. 2. Kulit buah sebagai pengganti bahan kertas untuk pembuatan kertas di Jawa. Kulit kaya akan potasium dan abu yang dapat digunakan sebagai pupuk. Mereka juga digunakan untuk membuat baking soda dan sabun.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
201
3. Kulit kering digunakan sebagai bahan bakar. 4. Biji mengandung minyak yang digunakan dalam industri sabun sebagai pelumas dan minyak lampu, campuran coating pada genting, campuran pada kain batik serta sumber protein untuk sapi dan domba. Oleh sebab itu dapat dipakai sebagai bahan baku energi. Kandungan minyak yang terdapat dalam biji randu sebesar 24 - 40% (Soerawidjaya, 2005). 5. Daun muda dimakan sebagai sayuran di Filipina, bunga dan buah muda dimakan di Thailand, dan polong yang masih sangat muda dimakan di Jawa. 6. Daun digunakan sebagai makanan ternak dan untuk memperbaiki tanah. 7. Kayunya digunakan untuk pembuatan kertas, pintu, furniture, kotak dan mainan. 8. Bunganya merupakan sumber madu yang bagus. 9. Ceiba petandra L.Gaertn sangat bermanfaat bagi para petani di daerah yang bertanah tandus dan beriklim kering, selain bernilai ekonomi juga berfungsi sebagai penahan tanah dari erosi, mencegah banjir dan sebagai tanaman penghijauan yang dapat diandalkan untuk usaha pengawetan tanah dan melestarikan sumber daya alam. Pemanfaatan lain untuk pengobatan secara tradisional: a. Daun digunakan untuk mengobati demam, batuk, serak, dan penyakit lainnya. b. Kulit kayu diyakini sebgai diuretic dan astringent juga digunakan dalam mengobati demam, asma, gonorrhoea dan diare. Akarnya diyakini sebagai diuretic dan febrifuge. c. Di India rebusan akar digunakan untuk mengobati disentri kronik dan penyakit cacing. G. Perbanyakan Ceiba petandra L.Gaertn. diperbanyak dengan biji atau stek. Biji disebarkan pada bedengan-bedengan pembibitan dimana untuk 1Ha diperlukan biji kapuk sebanyak 16 kg. Setelah berumur 1 (satu) tahun akar tunggang dipotong sampai tertinggal kurang lebih 30 cm dan lingkar batang pada leher akar telah mencapai kurang lebih 10 cm. Ketika tanaman muda mencapai tinggi 12-15 cm, diletakkan di bawah cahaya matahari penuh. Tanaman yang tidak menerima banyak sinar matahari tumbuh tinggi dan kurus. Cara kedua adalah stek, yaitu dengan cara mengambil dari batang kapuk randu yang sudah tua, sepanjang 1,5 - 2 m. Akan tetapi cara stek ini bentuk pohon maupun produksinya tidak sebaik tanaman yang berasal dari biji. Apabila Ceiba petandra L.Gaertn. akan dilakukan penanaman pada tanah yang berpasir, maka 2-3 bulan sebelumnya harus sudah dibuat lubang tanam. Penanaman sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan. Untuk tanah subur, lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm, jika tanahnya kurang subur maka dibuat lubang tanam dengan ukuran 80 cm x 80 cm x 80 cm. Setelah dibuat lubang tanam, dibiarkan terlebih dahulu 2-3 hari, kemudian diberikan pupuk kandang sebanyak 5 kg. Pada saat penanaman, dibuat lubang secukupnya untuk memasukkan akar tanaman. Untuk mengurangi penguapan, di sekitar tanaman sebaiknya diberikan mulsa dari serasah daun atau lainnya. Dalam penanaman komersial di Jawa, Ceiba petandra L.Gaertn. ditanam dengan jarak 7 m × 7 m atau 8 m × 8 m. Penanaman dilakukan dengan tumpang sari antara Ceiba petandra L.Gaertn dengan palawija sebaiknya berjarak tanam 10 m × 10 m serta
202
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
jarak tanaman tumpangsari dibatasi 2 m dari pohon Ceiba petandra L.Gaertn. Pemupukan diberikan 2 (dua) kali setahun atau sekaligus setahun sekali. Perawatan kapuk randu dilakukan untuk mengurangi gulma serta benalu Loranthus spp. yang sering ditemui menyerang kapuk randu. Pemangkasan sebaiknya dilakukan pada awal musim penghujan. Hama yang banyak ditemui adalah penggerek buah Mudaria variabilis dan penggerek batang Alcides leeweni. Pohon Ceiba petandra L. Gaertn. di beberapa tempat di Indonesia telah diusahakan secara intensif. Misalnya di Pulau Jawa di lereng Gunung Muria (Pati) di sekitar Weleri, antara Semarang–Pekalongan; di daerah Pandaan antara Gunung Arjuno dan Penanggungan dan antara Pare dan Ngantang yaitu jalan dari Kediri menuju ke Malang. Di Sulawesi Ceiba petandra L. Gaertn. didapati di bagian selatan Danau Tempe dekat Sengkang, di bagian selatan dan timur Gunung Lompobattang sekitar Jeneponto dan Bantaeng, kemudian di sekitar Tanette dan Pulau Muna. Pohon Ceiba petandra L. Gaertn di Indonesia dikembangkan oleh rakyat, perkebunan swasta dan perkebunan pemerintah (BUMN). Areal seluruhnya saat ini mencapai 250.500 ha dengan produksi serat mencapai 84.700 kg (Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan, 2008). Di Asia Tenggara, pohon Ceiba petandra L. Gaertn. ditanam di sekitar desa, di lahan petani atau di penanaman komersial. Ceiba petandra L. Gaertn. juga ditanam di sepanjang jalan dan di sekeliling ladang. Di Jawa, Ceiba petandra L. Gaertn sangat jarang ditanam sebagai tanaman yang diperjualbelikan. Pohon ini digabungkan dengan bermacam-macam tanaman, seperti ketela pohon (Manihot esculenta Crantz), kacang tanah (Arachis hypogaea L.) dan turmeric (Curcuma longa L.). Di Kamboja digabungkan dengan tanaman jagung, kapas dan kedelai selama 2 - 3 tahun pertama setelah penanaman pohon. H. Nilai Ekonomi Buah randu (Ceiba petandra L. Gaertn.) biasanya dimanfaatkan untuk pembuatan bahan baku kasur dan bijinya dapat diolah menjadi minyak biji randu (Ricinus comunis) sebagai bahan bakar nabati atau sumber energi alternatif atau biodiesel. Satu pohon Ceiba petandra, menghasilkan buah randu sebanyak 140 kg, dijual dengan harga Rp 2.500/kg, akan menghasilkan Rp 350.000. Namun demikian Ceiba petandra merupakan salah satu pohon yang berpotensi menghasilkan minyak. Setiap gelondong buah Ceiba petandra mengandung 26% biji, sehingga setiap 100 kg gelondong Ceiba petandra akan menghasilkan 26 kg limbah biji, dijual dengan harga Rp 500/kg lebih murah dibandingkan dengan minyak biji jarak (Ricinus communis) dengan harga Rp 4000/kg (Hambali dkk., 2006; Prihandana dan Endroko, 2007). Namun minyak biji Ceiba petandra berpotensi untuk dijadikan subsitusi biodiesel, dimana sumber minyak nabati yang terkandung di dalam biji Ceiba petandra sebesar 24-40% (http://www.disbunjatimonline.htm ).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
203
Gambar 3. Buah dan Serat putih kapuk Ceiba petandra (Sumber: http://www.plantamor.com/index.php?album=301&p=2&s=1)
II. PROSPEK PENGEMBANGAN Dengan semakin mahal dan terbatasnya BBM fosil di alam maka harus dicari energi alternatif yang dapat diperbaharui yang antara lain biofuel misalnya biodiesel. Beberapa kajian seperti yang dikemukakan oleh peneliti ITB bahwa minyak nabati dapat langsung digunakan sebagai minyak diesel. Pengembangan biodiesel sebagai pengganti solar, meskipun dari aspek lingkungan lebih menguntungkan maka yang tidak kalah pentingnya adalah tinjauan dari aspek ekonomisnya, karena kalau biodiesel jauh lebih mahal dari BBM maka akan kurang mendapat respon dari pengguna (masyarakat atau industri). Oleh karena itu diperlukan bahan baku biodiesel yang banyak terdapat atau mungkin dapat dikembangkan di indonesia, misal Minyak biji Ceiba petandra mempunyai potensi yang besar untuk dieksplorasi sebagai bahan baku biodiesel (Rahmat Hidayat, 2010). Ceiba petandra adalah salah satu komoditas yang dipilih oleh masyarakat Indonesia terutama Jawa Timur, karena memiliki beberapa keunggulan, yakni: Pertama, mudah dibudidayakan, Kedua, waktu panen lebih singkat (5 tahun) dengan daur pohon bisa mencapai 50 tahun, Ketiga, harga buah randu relatif lebih stabil dengan pangsa pasar yang terjamin, Keempat, termasuk tanaman konservasi, makanya ditanam di tepi-tepi sungai, Kelima, memberikan keuntungan lain berupa industri lebah madu bagi masyarakat dan Keenam, bijinya pun dapat menghasilkan minyak. Peluang untuk mengembangkan jenis pohon Ceiba petandra sebagai sumber bahan bakar biodiesel sangat diperlukan (http://kapukrandukaraban-pati.blogspot. com/2011 08_01 archive.html). Pengembangan pohon Ceiba petandra dilakukan di Pandaan dekat dengan Perusahaan minyak biji Ceiba petandra pada areal 12.604 ha dengan jumlah pohon 2.048.757 pohon dan menghasilkan biji kapuk randu 7.900 ton dengan kapasitas produksi mencapai 600 ton per tahun. Selain bijinya dimanfaatkan sebagai minyak, kapuknya dapat dimanfaatkan untuk kasur/jok.
204
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Penanaman juga dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, hasil inventarisasi sementara, pohon Ceiba petandra menghasilkan populasi sejumlah 439,8 pohon (Anonim, 1994). Bila ratarata diameter batang pohon sebesar 45 cm dan tinggi pohon bebas cabang 9 m (yang dapat dipungut untuk pertukangan) serta rotasi 10 tahun akan diperoleh volume kayu pertukangan sebesar 62.953 m3 per tahun.
III. PENUTUP Ceiba pentandra L.Gaertn. adalah salah satu komoditas yang dipilih oleh masyarakat Indonesia memiliki beberapa keunggulan, yakni mudah dibudidayakan, waktu panen lebih singkat (5 tahun), harga buah randu relatif lebih stabil dengan pangsa pasar yang terjamin, termasuk tanaman konservasi, dan bijinya dapat menghasilkan minyak atau sumber bahan bakar biodiesel. Selain bijinya dimanfaatkan sebagai minyak, kapuknya dapat dimanfaatkan untuk kasur/jok. Biodiesel tidak akan habis karena bahan bakunya dapat ditanam atau diperbaharui sumbernya. Dengan berkembangnya biodiesel jelas akan dapat memanfaatkan tanah-tanah kritis yang banyak tersebar diseluruh pelosok tanah air. Penggunaan biodiesel ini akan menurunkan polusi udara karena emisi hidrokarbon lebih sedikit.
DAFTAR PUSTAKA Chatarina, S.R. 1992. Sifat fisik dan mekanika kayu randu (Ceiba petandra L. Gaern.). Skripsi INSTIPER Yogyakarta (tidak diterbitkan). Dewayani. H. 2008. Potensi minyak biji randu (Ceiba petandra) sebagai alternatif bahan baku Biodiesel. Jurnal Teknologi Separasi Vol.I No.2. DISTILAT. Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta. 1994. Laporan Tahunan. Yogyakarta. Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan. 2008. Budidaya Kapuk ( Ceiba petandra L.Gaern.). Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Hambali, Erliza. 2006. Diversifikasi Produk Olahan Jarak Pagar dan Kaitannya dengan Corporate Social Responsibility. Perusahaan Swasta di Indonesia. Eka Cipta Foundation. Bogor. Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia IV. Litbang Kehutanan. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. http://kapukrandukaraban-pati.blogspot.com/2011_08_01_archive.html. Prospek Kapuk Randu (Ceiba petandra L.Gaern.). Diunduh 12 September 2011. http://www.kapuk-kasurcplus.com/berita-103-kapuk-randu-ceiba-pentandra-l.html. Kapuk Randu (Ceiba petandra L.Gaern.). Diunduh 12 September 2011. Prihandana, R. dan R. Endroko. 2007. Energi Hijau Pilihan Menuju Negeri Mandiri Energi. Penebar Swadana. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
205
Rahmat Hidayat. 2010. Pemanfaatan Minyak Biji Kapuk Randu (Ceiba pentandra) dalam Pembuatan Biodiesel dengan Teknologi Gelombang Mikro. http://memedtpunyasesuatu. blogspot.com/2010/04/pemanfaatan-minyak-biji-kapuk.html. Diunduh 1 Oktober 2011. Soerawidjaya, T. 2005. Membangun Industri Biodiesel di Indonesia. Beberapa Skenario dan Persoalan Pengembangan yang Perlu Dicermati. Forum Biodiesel Indonesia (FBI). Tatang, H.S. 2006. Material Aspects of Biodiesel Production in Indonesia. Seminar “Business opportunities of Biodiesel into the Fuel Market in Indonesia“. BPPT. Jakarta, 8 Maret 2006.
206
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
POTENSI NYAMPLUNG (Callophyllum spp) SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BAGI MASYARAKAT KABUPATEN KAYONG UTARA KALIMANTAN BARAT Oleh: Burhanuddin, Sudirman Muin, Eddy Thamrin dan Abdurrani Muin Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mengetahui potensi tegakan alam dan kadar minyak nyamplung (penage) sebagai sumber energi alternatif di Kabupaten Kayong Utara. Penelitian dilakukan di sepanjang daerah pesisir Kabupaten Kayong Utara mulai dari daerah Telok Batang ke arah selatan dengan metode survei. Pengumpulan data dilakukan secara sensus (100%) terhadap jumlah, ukuran keliling pangkal batang dan tinggi pohon, dan secara sampling terhadap jumlah dan berat buah serta kandungan minyak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Kayong Utara terdapat tegakan alam nyamplung sebanyak 219 pohon di Desa Tambak Rawang dan 71 pohon di Pulau Datok. Hasil pengukuran terhadap tinggi dan keliling pangkal batang menggambarkan bahwa pohon-pohon yang terdapat di kedua lokasi tersebut sudah berukuan besar, namun rendah (tidak lebih dari 8 meter). Dari hasil uji kandungan minyak mentah, ternyata biji nyamplung dari tegakan alam yang terdapat di Kayong Utara cukup tinggi (53-63%). Kondisi ini menggambarkan bahwa nyamplung ini cukup potensial untuk dijadikan sumber bahan energi alternatif dimasa yang akan datang, terutama untuk kebutuhan masyarakat Kayong Utara. Kata kunci: Jumlah pohon, kandungan minyak, energi alternatif, nyamplung
I. PENDAHULUAN Menurunnya tingkat produksi minyak bumi yang seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk termasuk di Kabupaten Kayong Utara, menyebabkan harga bahan bakar minyak bumi akan semakin sulit diperoleh dan harganya akan terus mahal karena persediaan yang semakin terbatas. Menurut Saufi (2011) untuk menjamin pasokan energi dalam negeri terutama penyediaan energi bagi industri, transportasi dan rumah tangga, serta untuk pengembangan ekonomi lebih lanjut, perlu dilakukan langkah-langkah penghematan dan pengembangan diversifikasi energi, termasuk energi alternatif yang terbarukan. Karena itu mulai sekarang sudah harus dipersiapkan bahan energi alternatif untuk menggantikan bahan bakar minyak bumi tersebut. Minyak nabati sebagai biofuels dari biji nyamplung (Callophyllum spp.) merupakan salah satu alternatif untuk menggantikan minyak bumi, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Menurut Budi dan Rosika (2011) biodiesel yang dihasilkan dari nyamplung pun memiliki keunggulan dibandingkan dengan tanaman lain, rendemen minyak nyamplung lebih tinggi, yaitu 40-73%, dari jarak pagar 40-60%, dan sawit 46-54%. Selain itu, daya bakar minyak nyamplung dua kali lebih lama dibandingkan dengan minyak tanah. Karena keunggulannya tersebut, maka jenis ini sudah dijadikan sebagai sumber energi alternatif (bioenergi) di daerah Jawa dan sangat memungkinkan untuk dikembangkan di daerah
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
207
Kalimantan Barat, termasuk di Kabupaten Kayong Utara. Hasil pengamatan Muin (2010) menunjukkan bahwa sejumlah pohon nyamplung atau yang tumbuh secara alam ditemukan dan tumbuh subur di Kabupaten Kayong Utara dan Desa Sukabaru Kabupaten Ketapang. Sebagai jenis pohon yang tumbuh di daerah pantai, maka jenis pohon ini memiliki daya tahan yang tinggi terhadap lingkungan, sehingga ditemukan dalam jumlah populasi yang besar. Jenis ini sebetulnya sudah banyak dikenal oleh masyarakat Kayong Utara yang mereka sebut dengan pohon penage, namun belum mengetahui jika bijinya dapat digunakan sebagai sumber energi. Melihat potensi tegakan alam yang tersedia, maka sangat dimungkinkan biji nyamplung digunakan sebagai sumber bahan baku energi alternatif. Namun untuk memanfaatkannya masih membutuhkan informasi lokasi, potensi dan kondisi tegakan alam yang tersedia serta kandungan (kadar) minyak pada biji dari tegakan alam tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi tegakan alam nyamplung sebagai sumber energi alternatif di Kabupaten Kayong Utara dengan melakukan studi terhadap: (1) jumlah dan ukuran pohon nyamplung yang tumbuh secara alam, (2) rata-rata buah atau biji nyamplung per pohon dan (3) rata-rata kadar minyak yang dihasilkan dari setiap kilogram biji kering nyamplung.
II. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di sepanjang daerah pesisir Kabupaten Kayong Utara mulai dari daerah Telok Batang ke arah selatan. Lokasi-lokasi ini ditentukan setelah mendapatkan informasi dari masyarakat Kabupaten Kayong Utara. B. Metode Penelitian 1. Potensi tegakan dan buah penage Penelitian dilakukan dengan metode survei dan pengambilan data pohon nyamplung ditentukan secara sensus. Data yang dikumpulkan meliputi lokasi pohon penage, ukuran batang (tinggi total pohon), ukuran tajuk (luas dan tinggi tajuk), produksi buah (kg/pohon). Untuk menghitung produksi buah, dilakukan pengambilan sampel buah di setiap cabang dan berat basah buah ditimbang. Selain itu dilakukan juga pendataan terhadap potensi dan sebaran permudaan alam yang terdapat di setiap lokasi. 2. Kandungan minyak nyamplung Untuk mengetahui kandungan minyak mentah (masih mengandung getah) maka dilakukan tahap-tahap pengolahan biji nyamplung sebagai berikut: a. Pengeringan buah. Buah segar yang diperoleh dari lapangan, dikupas kulit dan tempurungnya. Biji yang sudah dikupas tersebut dijemur di bawah sinar matahari selama 30 hari. Pengeringan dilakukan sampai biji nyamplung berwarna coklat kemerahan dan beratnya tetap.
208
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
b. Pengepresan biji. Pengeperesan biji dilakukan dengan menggunakan alat press yang dibuat oleh Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura (UNTAN). Sebelum biji dipress, terlebih dahulu biji nyamplung tersebut diblender secara kasar, diblender kasar dan ditumbuk dengan meggunakan lesung dari batu, dan diblender kembali sampai halus. c. Uji ekstraksi (penyulingan) Pengujian kandungan minyak dengan metode penyulingan dilakukan dengan cara dua cara: (1) sisa peresan dari hasil belenderan dan (2) biji yang sudah dibelender secara kasar.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Tegakan 1. Jumlah tegakan Hasil survei yang dilakukan di sebelas tempat (Tabel 1) di Kabupaten Kayong Utara, ternyata tegakan alam nymaplung hanya dijumpai di dua tempat yakni Tambak Rawang dan Pulau Datok. Daerah Tambak rawang memiliki potensi tegakan alam nyamplung yang terbanyak (219 pohon) dengan lokus (luas daerah sebaran) sepanjang pantai 1.400 m dan melebar ke arah daratan sepanjang 50 m. Sementara itu di Pulau Dato terdapat tegakan alam sebanyak 71 pohon dengan lokus sepanjang pantai 1.250 m dan sebaran ke arah darat sepanjang kurang lebih 50 m. Tabel 1. Lokasi dan potensi ditemukannya tegakan nyamplung di Kabupaten Kayong Utara No. 1. 2.
Lokasi
Jumlah pohon
Luas per lokus (ha)
Tambak Rawang Pulau Datok
219 71
1.400 x 50 1.250 x 50
Jumlah
290
2. Ukuran tinggi pohon Pengukuran tinggi dilakukan mulai dari permukaan tanah sampai ujung pucuk pohon nyamplung paling atas. Hasil pengukuran yang tertera pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pohon nyamplung yang terdapat di dua lokasi (Tambak Rawang dan Pulau Datok) bukan merupakan pohon yang berukuran tinggi. Dari hasil pengukuran tersebut, ternyata tinggi pohon yang terdapat di Kayong Utara ini berkisar antara 2,5 m - 8 m. Tinggi pohon sekitar 2,5 - 4,9 m merupakan terbanyak yang terdapat di Kabupaten ini.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
209
Tabel 2. Ukuran tinggi pohon nyamplung di Kayong Utara Lokasi Tambak Rawang Pulau Datok Jumlah
2,5-2,9 71 15 86
Jumlah pohon/ukuran tinggi batang (m) 3,0-3,9 4,0-4,9 5,0-5,9 6,0-6,9 7,0-7,9 49 67 23 8 21 24 10 1 70 91 33 9 -
<8 1 1
Total 219 71 290
Pohon-pohon seperti ini sangat cocok jika digunakan sebagai pohon penghasil buah. Arsitektur pohon yang rindang dengan tajuk yang melebar, merupakan ciri khas pohon penghasil buah. Pohon dengan arsitektur tajuk yang lebar ini dapat menghasilkan buah dalam jumlah yang banyak dan pohon yang tinggi seperti ini akan mempermudah dalam pemanenan. 3. Ukuran keliling pangkal batang Berdasarkan hasil pengukuran keliling pangkal batang, ternyata pohon yang terdapat di Tambak Rawang sebagian besar memiliki ukuran keliling batang antara 34-49 cm, sementara yang di Pulau Datok dengan ukuran keliling pangkal batang antara 50-74 cm. Meskipun jumlah pohon nyamplung yang terdapat di Pulau Datok lebih sedikit, namun ukuran diameter atau lingkaran keliling batangnya lebih besar. Tabel 3. Ukuran keliling pangkal batang pohon penage di Kayong Utara Lokasi Tambak Rawang Pulau Datok Jumlah
Jumlah pohon/ukuran keliling batang (cm) 15-34 34-49 50-74 75-100 100 51 71 36 52 9 6 15 24 23 3 57 86 60 75 12
Jumlah batang 219 71 290
4. Kandungan minyak nyamplung Untuk mengetahui kandungan minyak nyamplung yang terdapat di Kabupaten Kayong Utara dilakukan pengumpulan buah yang masih di atas pohon dan yang sudah jatuh serta buah yang akan masak. Ciri-ciri buah yang masak seperti juga dengan nyamplung di pulau Jawa adalah kulit buah berwarna kuning dan jika sudah masak berwarna coklat agak keunguan, sedangkan buah yang masih muda memilik kulit berwarna hijau. Buah yang sudah dikumpulkan dibawa ke Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan UNTAN untuk diuji kandungan minyaknya. Buah tersebut dikupas kulit dan tempurungnya dan diambil bijinya yang selanjutnya dikeringanginkan selama 30 hari sampai beratnya tetap. Hasil pengamatan perubahan berat buah segar, setelah dikupas kulit dalam keadaan segar dan setelah dkeringkan tertera dalam Tabel 4.
210
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Tabel 4. Perubahan berat buah segar dan biji setelah dilakukan pengeringan No. Sampel 1 2 3 4 5 Rata
Berat segar + kulit (g) 1.000 3.000 3.000 2.000 2.000 2.200
Berat segar tanpa kulit (g) 414,3 1.077, 1 1.086,5 699,7 706,9 796,9
% 41,43 35,90 36,22 34,99 35,35 36,22
Berat kering tanpa kulit (g) 281,3 675,2 678,1 478,1 457,2 513,9
% 67,90 62,69 62,41 68,33 69.68 23,36
Tabel 5. Hasil analisis kandungan minyak dengan sistem pemeresan dan ekstraksi dengan penyulingan Berat contoh Kandungan % Ekstrak sisa (g) minyak minyak peresan 1. Dibelender kasar 300 97,33 ml 32,44 25,23 2. Dibelender kasar dan ditumbuk 100 39,33 ml 39,33 23,78 3. Dibelender halus 100 40,00 ml 40,00 23,42 Metode penghalusan
Persentase total (%) 57,67 62,49 63,42
Dari berbagai uji kandungan minyak tersebut (Tabel 5), ternyata kandungan minyak biji nyamplung yang dihasilkan dengan membelender biji dan diperes menghasilkan minyak sebanyak 32,44 sampai 40%. Biji yang hanya dibelender kasar dan diperes menghasilkan minyak yang lebih sedikit dibandingkan dengan dibelender dan ditumbuk serta dibelender halus. Selanjutnya sisa peresan tersebut disuling dan menghasilkan minyak antara 23% sampai 25%. Dari kedua cara tersebut menghasilkan minyak (diperes dan ekstrak), ternyata kandungan miinyak biji nyamplung Kabupaten Kayong Utara berkisar antara 57,67 - 63,42%. Sementara itu kandungan minyak yang diperoleh dari ekstrak langsung biji yang sudah dibelender hanya berkisar 54% (Tabel 6). Menurut Yunarlaeli dan Rochmatika (2011) yang melakukan pemeresan biji karet, bahwa faktor yang berpengaruh pada proses pengepresan yang pertama adalah ukuran bahan baku (karet). Semakin kecil diameter biji karet, maka rendeman yang dihasilkan semakian besar. Faktor kedua adalah ukuran pori-pori biji dan yang ketiga adalah daya tekan press. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang pernah dilakukan terhadap biji nyamplung di pulau Jawa. Menurut Candra dan Sugiharto (2011) biji nyamplung yang sudah tua mengandung minyak berkisar antara 40-70%. Menurut Sutrisno (2011) produksi nyamplung pertahun sekitar 5-7 ton dengan jarak tanam 3 m x 3,5 m, dan menurut Friday dan Okano, 2005 dalam Sutrisno (2011) bahwa setiap pohon menghasilkan 30-50 kg biji dengan kadar minyak berkisar antara 50-70%. Hargono dan Haryani (2010) juga menyatakan kandungan minyak pada biji nyamplung yang tua yang diperoleh secara mekanik (pressing) mencapai 50-70%. Produktivitas biji keringnya tinggi, 10 ton/ha dari jarak tanam 5 m x 10 m dan 20 ton dari jarak 5 m x 5 m, dengan kadar minyak 60 hingga 65% dari kapasitas total dan 45-40 minyak yang diekstrak (Anonim, 2008).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
211
Tabel 6. Kandungan minyak biji nyamplung dari hasil ekstrak (suling) Nomor sampel
Berat sampel (g)
Hasil ekstrak (g)
Persentase (%)
1 2 3 Total
5,135 5,147 5,112 15,394
2,767 2,754 2,771 8,292
53,89 53,51 54,21 53,87
Dari hasil penelitian, ternyata di Kayong Utara terdapat sebanyak 219 pohon tegalan nyamplung di Tambak Rawang dan 271 di Pulau Datok. Dari hasil analisis pengamatan pada bulan Agustus (waktu tidak musim berbuah) masih ada sebagian dari pohon tersebut sedang berbuah. Menurut data yang ada, rata-rata setiap pohon menghasilkan buah sekitar 8,5 kg, sehingga diperkirakan tegakan alam nyamplung tersebut akan menghasilkan 2,32 ton buah segar. Produksi buah akan lebih banyak pada musim berbuah yang menurut informasi masyarakat setempat akan terjadi sekitar bulan Oktober atau Nopember. Pada waktu pengamatan, hampir seluruh pohon tegakan alam nyamplung tersebut sedang berbunga dan hampir seluruh cabang dari pohon tersebut terdapat bunga. Diperkirakan pada waktu musim berbuah, setiap pohon akan menghasilkan 20-40 kg buah. Dalam perhitungan, jika sebanyak 80% dari pohon tersebut berbuah, maka akan dihasilkan sebanyak 290 x 0,80 x 30 kg = ± 6.96 ton buah segar nyamplung dengan biji kering sebanyak ±1,6 ton. Berdasarkan berat kering biji dan persentase minyak, maka tegakan alam nyamplung pada waktu musim berbuah akan menghasilkan sebanyak 1,6 ton x 0,634% = ±1000 liter minyak mentah yang siap diolah menjadi bahan bakar elternatif. Produksi buah sebanyak ini sudah bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan bahan bakar (biodiesel) masyarakat setempat (nelayan dan bahan bakar keperluan rumah tangga) dengan cara membangunan home industry berskala kecil sampai menengah. Heryana (2010) mengemukakan bahwa nyamplung memiliki kelebihan sebagai bahan baku biodiesel yang dihasilkan dari bijinya dengan rendemen cukup tinggi dan dalam pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan pemanfaatan lain. Karena itu nyamplung merupakan tanaman hutan yang memiliki potensial tinggi untuk dikembangkan sebagai bahan baku biofuels (Hendra, Setiawan dan Wibowo, 2010). Kebutuhan bahan baku bisa ditingkatkan dengan mendatangkan buah atau biji nyamplung dari daerah lain seperti Kabupaten Ketapang yang menurut pengamatan Muin (2010) memiliki sejumlah tegakan alam. Perawatan secara intensif terhadap tegakan alam juga akan meningkatkan produksi buah nyamplung di Kayong Utara tersebut. Namun yang lebih penting jika ingin meningkatkan produksi sumber energi yang didukung industri berkapasitas tinggi, perlu dilakukan pembangunan hutan tanaman nyamplung di Kabupaten Kayong Utara dengan menggunakan tegakan alam sebagai sumber benih. Untuk menggalakan penanaman nyamplung bagi masyarakat di Kabupaten Kayong Utara perlu disusun suatu program dengan tahapan kegiatan sebagai berikut: a. Program pertama diarahkan untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang manfaat nyamplung nyamplung. b. Pemberian bantuan atau pembuatan demplot pembibitan. c. Penanaman nyamplung serta pelatihan teknik menanam dan pemeliharaan tanaman.
212
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
d. Pemberian bantuan mesin pengolah nyamplung menjadi bahan bakar alternatif atau biofuel disertai dengan pelatihan teknik penggunaannya. e. Pelatihan kepada masyarakat pesisir teknik pengolahan biji nyamplung menjadi minyak mentah, f. Uji coba penggunaan minyak (biodiesel) kepada nelayan yang memiliki kapal penangkap ikan dan ibu rumah tangga yang menggunakan kompor sebagai alat memasak. g. Memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk melakukan pembangunan hutan tanaman nyamplung nyamplung dan mendirikan industri pengolah biji nyamplung.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kabupaten Kayong Utara terdapat tegakan alam nyamplung atau disebut oleh masyarakat setempat dengan sebutan penage. Tegakan alam tersebut terdapat di Tambak Rawang sebanyak 219 pohon dan Pulau Datok sebanyak 71 pohon. Tegakan alam yang di Tambak Rawang menyebar sejajar pesisir pantai sepanjang kurang lebih 1.400 m dan kearah daratan selebar 50 m, sedangkan di Pulau Datok sepanjang 1.250 m dan kearah darat selebar 50. 2. Hasil pengukuran terhadap tinggi dan keliling pangkal batang menggambarkan pohon-pohon yang terdapat di kedua lokasi tersebut sudah berukuran besar, namun rendah (tidak lebih dari 6 meter). Tinggi pohon antara 3-4 meter merupakan yang terbanyak baik di Tambak Rawang maupun di Pulau Datok. Sebagian besar pohon-pohon tersebut bercabang lebih dari satu pada pangkal batangnya dengan ukuran diameter cabang lebih dari 15 cm. Di Tambak Rawang sebagian besar ditemukan pohon dengan ukuran keliling antara 34-49 cm, sedangkan di Pulau Datok antara 50-74 cm. 3. Dari hasil uji kandungan minyak mentah, ternyata biji nyamplung (penage) dari tegakan alam yang terdapat di Kayong Utara cukup tinggi (53-63%). Kondisi ini menggambarkan bahwa nyamplung (penage) ini cukup potensial untuk dijadikan sumber bahan baku enegri alternatif (biofuel) dimasa yang akan datang, terutama bagi masyarakat Kabupaten Kayong Utara. B. Saran 1. Dalam rangka mendukung Program Pemerintah untuk memanfaatkan nyamplung sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi, maka Kayong Utara dengan potensi tegakan alam yang ada sekarang perlu menyusun program penyediaan bahan baku biofuel dimasa mendatang. 2. Program tersebut dimulai dengan memanfaatkan tegakan alam yang tersedia sekarang ini (Tambak Rawang dan Pulau Datok) sebagai awal penggunaan biofuel dan dilanjutkan dengan pembangunan hutan tanaman nyamplung dengan tegakan yang berkualitas (cepat berbuah, produksi buah tinggi dan kandungan minyak yang lebih tinggi).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
213
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Pusat Penelitian dan Pengambangan Hasil Hutan telah melaksanakan penelitian pembuatan biodiesel dari biji nyamplung (Calophyllum inopyllum L.) tahun 2005-2008. http://www.dephut.go.id/files/ nyamplung_Ind.pdf. Benny. 2007. Pemanfaatan biji nyamplung (Calophyllum inophyllum) sebagai biokarosen, benny.blog.uns.ac.id/2010/07/21/136/. Diunduh tanggal 28-2-2011. Budi, A dan N. Rosika. 2011. Nyamplung, Tanaman Penghasil Biofuel. http://www. agrikaindoraya.com/nyamplung-tanaman-penghasil-biofuel/.Diunduh tanggal 28 – 2 -2011. Chandra, W.S.A. dan M.S. Sugiharto. 2011. Prints.undip.ac.id/1347/1/makalah_penelitian_pdf. pdf. Dikutip 28 September 2011. Hargono dan K. Haryani. 2010. Pengaruh jenis solvent dan variasi tray pada pengambilan minyak nyamplung dengan metode ekstrasi kolom. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia”Kejuangan”, Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam Indinesia. Tanggal 26 Januari 2010. Repository.upnyk.ac.id./593/1/50.pdf. Dikutip tanggal 28 Sept 2011. Hendra D., D. Setiawan dan S. Wibowo. 2010. Anilisis sifat fisiko kimia minyak biji nyamplung (Callophyllum inophyllum L.) hasil proses degumming. Bulletin Hasil Hutan 16 (1) : 63-70. Heryana, D. 2010. Perbanyakan tanaman nyamplung (Callopyllum inophyllum) melalui sambung pucuk. Jur. Info Teknik 1(1) : 63-69. Saufi,
A. 2011. Agroforestri nyamplung sebagai sumber bahan baku biodiesel. www.facebook.com/ topic.php?uid=214087676235. Diunduh tanggal 28-2 2011.
Sutrisno, E. 2011. Nyamplung (Calophyllum /2011/…/nyamplung-Calopyllum.
inophyllum).
Soetrisnoeko.blogspot.com
Yunarlaeli, F. dan B. Rochmatika. 2011. Penga ruh metode pengepresan terhadap minyak biji karet. Puslit.petra.ac.id.journals/pdf.php?publishedID=MES 09110209. Dikutip Tanggal 28 Sept 2011.
214
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
PAPER MILLS SLUDGE: LIMBAH ATAU SUMBERDAYA? (Overview Penelitian Pemanfaatan PMS Sebagai Bahan Amelioran Tanah) Oleh: Enny Widyati Peneliti Biologi Tanah dan Kesuburan Lahan Puslitbang Produktivitas Hutan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Indonesia merupakan produsen pulp dan kertas kelas atas dunia maka yang juga menghasilkan paper mills sludge (PMS) sebagai salah satu limbahnya dalam jumlah besar. Sampai saat ini belum ada pemanfaatan secara optimal bahan tersebut karena masih terdapat polemik berkepanjangan antara kekhawatiran akan bahan berbahaya yang terdapat di dalamnya dengan potensi manfaat yang terdapat dalam bahan tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa PMS yang berasal dari virgin pulp tidak mengandung bahan yang berbahaya. Aplikasi PMS pada dosis 50% dapat memperbaiki sifat-sifat tanah gambut, tanah bekas tambang batubara dan tailing tambang mineral secara signifikan setelah 15 hari aplikasi. Bahan tersebut dapat memperbaiki pH, KTK, ketersediaan unsur hara makro serta menurunkan kelarutan logam-logam berat secara signifikan. Dengan demikian saatnya mengubah image PMS dari limbah menjadi sumber bahan organik untuk memperbaiki lahan-lahan terdegradasi yang banyak terdapat di Indonesia. Kata kunci: Perbaikan sifat-sifat tanah, PMS, sumber bahan organik
I. PENDAHULUAN Hingga saat ini, Indonesia masih merupakan salah satu negara pengekspor pulp dan kertas. Dengan total produksi nasional mencapai lebih dari 16 juta ton per tahun, diperkirakan setiap hari di seluruh industri kertas di Indonesia dihasilkan lebih dari 4.800 ton limbah padat yang dikenal dengan nama sludge (paper mills sludge = PMS). Namun karena di Indonesia PMS dikategorikan sebagai limbah B3 (walaupun tidak tercantum dalam tabel lampirannya), sampai saat ini pengelolaan PMS di beberapa industri pulp dan kertas, sebagian besar hanya dibenamkan ke dalam tanah sebagai land filling, ditumpuk di lahan terbuka (opened dumping) atau dibakar. Penanggulangan dengan cara-cara tersebut mempunyai beberapa resiko. Pengelolaan PMS di beberapa industri besar di Indonesia pada umumnya dilakukan dengan cara pengomposan. Investasi besar telah dialokasikan untuk mengelola PMS menjadi kompos, di samping itu berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji apakah kompos PMS layak untuk diaplikasikan di sektor pertanian dan kehutanan. Hasil penelitian kerjasama PT Arara Abadi dengan Biotrop yang dilakukan pada tahun 2003 menunjukkan bahwa kompos PMS dapat meningkatkan produktivitas jagung, sayur mayur dan jamur merang. Walaupun perusahaan telah mengelola PMS dengan baik melalui pengomposan, regulasi dari pemerintah belum mendukung upaya pemanfaatan kompos PMS tersebut. Regulasi pemerintah cenderung melarang walaupun pendapat para pakar yang didasarkan pada hasil
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
215
penelitian dan kajian mendalam bahwa PMS dan komposnya tidak perlu dikhawatirkan mengandung bahan-bahan berbahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan biota lainnya. Pada bulan November 2008 diadakan suatu simposium oleh Pusat Penelitian Hasil Hutan (saat ini berganti nama menjadi Pusat Penelitian Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan), Badan Litbang Kehutanan yang membahas masalah pemanfaatan PMS. Dalam simposium tersebut para pakar PMS memaparkan hasil penelitian masing-masing dan hampir seluruh pemakalah tidak menemukan hal-hal yang perlu dikhawatirkan yang terdapat dalam PMS. Oleh karena itu, makalah ini akan mereview hasil hasil penelitian maupun data sekunder pemanfaatan PMS untuk memperbaiki produktivitas lahan sektor pertanian, kehutanan dan pertambangan.
II. PMS MEMPERBAIKI KUALITAS TANAH, MENGHEMAT PUPUK KIMIA DAN MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PERTANIAN Sejalan dengan meningkatnya populasi penduduk dunia, masalah krusial yang akan dihadapi oleh umat manusia (termasuk penduduk Indonesia) adalah prediksi terjadinya krisis pangan, energi dan air (food, energy and water scarecity = FEWS). Hal ini mulai dirasakan di Indonesia misalnya terjadinya antri bahan bakar, kebanjiran di musim hujan dan kelangkaan air di musim kering serta teridentifikasinya daerah-daerah rawan pangan dan mencuatnya kasus balita gizi buruk di berbagai mass media. Berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi hal tersebut. Untuk meningkatkan ketahanan pangan antara lain melalui perluasan lahan pertanian (ekstensifikasi pertanian) dan program intensifikasi pertanian serta program diversifikasi pangan. Namun demikian luas bumi tidak akan pernah bertambah, sedangkan selain untuk lahan pertanian, permintaan akan lahan pemukiman, industri, dan prasarana penunjang lainnya juga semakin meningkat. Oleh karena itu, optimasi produksi pertanian sebagai salah satu upaya intensifikasi pertanian merupakan suatu solusi yang paling sesuai. Optimasi dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan atau memperbaiki lahan yang kurang produktif agar dapat berproduksi optimal. Krisis energi dapat diatasi melalui penyediaan energi alternatif. Indonesia kaya akan sumber-sumber energi misalnya energi surya, energi angin, energi air atau energi panas bumi. Di samping itu, banyak tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai kayu energi (kayu bakar dan arang). Penggalakan penanaman tanaman penghasil bioenergi atau biodiesel juga merupakan upaya yang dapat mengatasi krisis energi sekaligus dapat meningkatkan pendapatan nasional. Krisis air hanya dapat diatasi dengan menampung semaksimal mungkin, menyimpan selama mungkin dalam tanah, air yang datang dari hujan serta mengeluarkannya sebagai air permukaan sepanjang tahun. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui revitalisasi fungsi hutan. Dengan demikian rehabilitasi lahan dan hutan yang sudah dilaksanakan selama ini harus mencapai hasil yang lebih memuaskan. Cara yang paling mudah untuk meningkatkan kesuburan tanah adalah managemen bahan organik tanah. Menurut Stevenson (1994), bahan organik akan memperbaiki sifat fisik tanah antara lain meningkatkan water holding capacity (WHC) tanah, sehingga dapat memperbaiki kelembaban dan suhu tanah, ketersediaan air bagi tanaman dan mikroba. Selain itu bahan organik
216
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
juga akan memperbaiki agregasi tanah dan menurunkan kepadatan tanah. Secara kimia, bahan organik akan dimineralisasikan menjadi unsur-unsur hara, merupakan sumber kation yang akan memperbaiki kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB) tanah. Bahan organik bersifat amfoter sehingga mempunyai kapasitas penyangga yang akan memperbaiki pH tanah. Meningkatnya KTK dan KB serta pH yang sesuai akan menyebabkan pemupukan lebih efisien karena pupuk yang ditambahkan diikat oleh tanah sehingga tidak hilang karena tercuci ketika hujan. Selain itu, bahan organik juga dapat memperbaiki sifat biologi tanah karena bahan organik menyediakan sumber makanan, energi dan shelter bagi mikroba tanah. Namun demikian, luasnya lahan pertanian akan menuntut pemenuhan permintaan bahan organik dalam jumlah besar dan berkesinambungan. Bahan organik yang umum digunakan sampai saat ini adalah kompos sampah organik, kompos sisa panen, kompos sisa pakan ternak, pupuk kandang dan hijauan. Kebutuhan bahan organik yang dipasok dari sumber-sumber tersebut tidak pernah cukup sehingga harga bahan organik tersebut makin lama makin mahal. Hasil kunjungan ke beberapa toko pertanian di Kota Bogor menunjukkan bahwa harga kompos komersial saat ini berkisar antara 900 - 3.000 rupiah per kilogram. Apabila dalam satu hektar diperlukan 5 ton, maka biaya produksi akan meningkat 4.500.000 - 15.000.000 rupiah, suatu nilai yang tidak rasional. Di samping itu, produk kompos yang ada saat ini tidak akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan bahan organik yang diperlukan, sehingga sebagian besar petani masih memilih menggunakan pupuk kimia untuk mengoptimalkan produksi hasil panen. Oleh karena itu perlu dicari alternatif sumber kompos yang mampu menyediakan dalam jumlah besar dan berkesinambungan. Menurut beberapa hasil penelitian di beberapa instansi di Indonesia, kompos PMS merupakan salah satu sumber atau subtituen bahan organik tanah yang dapat dipertimbangkan. Seperti disampaikan pada bagian terdahulu, bahan ini memiliki kandungan nutrisi yang memadai, keraguan akan kandungan bahan berbahaya tidak terbukti, tetapi terbukti memperbaiki properti tanah dan produktivitas tanaman. Di Eropa, Amerika dan Canada, kompos PMS sudah banyak diaplikasikan untuk meningkatkan produktivitas hortikultura dan HTI. Di negara-negara tersebut PMS tidak lagi dipandang sebagai limbah tetapi sebagai sumberdaya (resource) (Cooperband et al., 2000). Kompos PMS digabung dengan pupuk kandang, pupuk pabrikan dan bahan amelioran lain telah banyak diaplikasikan pada tanaman jagung dan kentang. Salah satu contoh adalah di Central Wisconsin yang merupakan salah satu kota produsen pulp dan kertas terbesar di Inggris telah menghasilkan PMS dalam jumlah besar. Sebelumnya PMS hanya diperlakukan sebagai land filling. Saat ini pemanfaatan kompos PMS mulai berkembang pesat setelah hasil analisis dari Consogro® tidak menemukan senyawa yang mengandung klor pada kompos PMS (Cooperband et al., 2000). Saat ini penelitian tentang keuntungan dan kemungkinan resiko lingkungan jangka pendek dan jangka panjang akibat pemanfaatan kompos PMS pada tanaman pertanian masih terus dilakukan secara komprehensif di Wisconsin. Karena daerah ini berencana akan memanfaatkan kompos PMS pada skala besarbesaran pada rentang kisaran pemanfaatan lahan yang luas. Central Wisconsin juga merupakan salah satu sentra penghasil sayur mayur. Daerah ini mempunyai jenis tanah dengan tekstur berpasir sehingga irigasi harus dilakukan secara intensif (Cooperband et al., 2000). Namun saat ini petani sayur di daerah ini menghadapi hasil panen yang
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
217
merosot kualitasnya dan adanya peningkatan serangan penyakit sehingga harga sayur mayur menjadi merosot yang mengakibatkan menurunnya pendapatan petani. Hal ini diduga karena kondisi tanah yang sudah dibudidayakan dalam jangka waktu lama mendukung berkembangnya penyakit. Seperti halnya manusia, tanaman memiliki preferensi terhadap unsur hara tertentu, tidak menyukai terhadap unsur hara tertentu dan selalu menghasilkan eksudat akar sebagai metabolit sekunder. Ketika dalam jangka waktu yang lama digunakan sebagai budidaya monokultur dalam tanah akan terjadi pengurasan hara yang disukai, penumpukan hara yang tidak disukai dan penumpukan eksudat akar. Hal ini yang mengakibatkan datangnya penyakit. Di lain sisi, petani dituntut oleh berbagai fihak untuk meminimalisir penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Oleh karena itu The Wisconsin Potato Vegetable Grower’s Association (WPVGA) tertarik untuk memelopori pengembangan sistem pengelolaan tanaman alternatif, yaitu peningkatan kualitas tanah dan meminimalisir dampak lingkungan pertanian sayur mayur dengan memanfaatkan PMS atau kompos PMS (Cooperband et al., 2000). Sudah banyak penelitian penggunaan PMS maupun kompos PMS dengan hasil bahan tersebut dapat meningkatkan kesuburan tanah seperti ketersediaan nutrien, meningkatnya kelembaban, meningkatnya struktur tanah, memperbaiki pH, dan lain-lain, sehingga meningkatkan produktivitas pertanian. Berikut akan dibahas peningkatan kualitas tanah akibat pemanfaatan PMS atau komposnya. Di Canada penggunaan kompos PMS merupakan salah satu cara yang efisien untuk memperbaiki nutrisi tanah, sifat biokimia dan fisik tanah yang bertekstur kasar yang digunakan sebagai lahan budidaya kentang (Simard et al., 2000). Dampak yang diberikan karena penambahan bahan organik akan memberikan pengaruh dalam jangka panjang serta tidak menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan. Hasil kajian Cooperband et al. (2000) pada budidaya tanaman kentang menunjukkan bahwa setelah satu tahun perlakuan aplikasi kompos PMS dapat meningkatkan kelembaban tanah sebesar 25 - 67% lebih tinggi dibanding kontrol. Akibatnya aplikasi kompos PMS meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman sebesar 33 - 150% lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol. Hal ini karena kompos PMS (dan bahan organik pada umumnya) mempunyai kapasitas untuk memegang air beberapa kali lipat dibandingkan dengan biomasnya. Menurut Cooperband et al. (2000), hasil perbaikan kualitas tanah berpasir di Central Wisconsin yang paling dramatis setelah penambahan PMS adalah peningkatan pH tanah dari asam menjadi netral. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Widyati (2006), bahwa pada lahan bekas tambang batubara penggunaan PMS dosis 25% dapat meningkatkan pH dari 3,2 menjadi 6,6 dalam waktu 14 hari. Hasil serupa juga dicapai oleh Widyati et al. (2009), aplikasi PMS pada tanah gambut menunjukkan bahwa penambahan kompos sludge dengan dosis 50% dapat meningkatkan pH tanah gambut dari 4,1 menjadi 6 pada hari ke-5 setelah inkubasi dan pada hari ke-10 pH meningkat pada level 6,6. Nilai pH 6,6 ini merupakan kisaran nilai optimum hampir bagi semua jenis tanaman. Pemberian PMS atau kompos PMS dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara makro. Penelitian Cooperband et al. (2000), menunjukkan bahwa penambahan kompos PMS dengan C/N 20 dapat menyediakan kebutuhan N 25 - 50% dari total N yang dibutuhkan oleh tanaman. Hal ini terdeteksi dari peningkatan secara signifikan ketersediaan residu NO3-N dalam tanah setelah panen pada lahan yang diamendemen dengan kompos PMS. Penelitian Bowen et al. (1995)
218
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
menggunakan kompos PMS dan PMS pada areal penanaman kentang (Solanurn tuberosum L. Hilite Russet) menunjukkan bahwa areal yang diberi penambahan PMS dapat memproduksi kentang lebih tinggi dibandingkan dengan areal yang diberi pupuk N sebanyak 200 kg/ha. Hasil ini sejalan dengan hasil kajian Cooperland et al. (2000) bahwa hasil panen kentang pada tanah berpasir yang ditambah dengan perlakuan PMS atau kompos PMS menghasilkan tanaman kentang yang lebih baik secara kualitas maupun kuantitas dibandingkan dengan tanaman kentang pada lahan yang sama yang dibudidayakan melalui cara-cara budidaya konvensional. Kompos PMS telah digunakan sebagai campuran untuk memperbaiki kesuburan tanah pertanian dalam jumlah besar di Amerika bagian Utara setiap tahunnya (N'Dayegamiye, 2006). Kajian lapangan selama tiga tahun (1997–1999), untuk menguji dampak aplikasi PMS pada tanaman jagung (Zea mays L.), baik terhadap perbaikan sifat tanah maupun hasil panen menunjukkan penambahan PMS 20 ton/ha ditambah 135 kg pupuk N/ha dan perlakuan 40 PMS ton/ha digabung dengan 90 kg pupuk N/ha merupakan kombinasi terbaik dalam mencapai produktivitas optimal jagung. Produktivitas yang dicapai setara dengan budidaya jagung tanpa penambahan PMS dengan perlakuan pupuk N sebesar 180 kg/ha. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cooperband et al. (2000) pada tanaman kentang yang disebutkan di atas, bahwa aplikasi kompos PMS membantu menurunkan penggunaan pupuk kimia N sebesar 25 – 50% dari kebutuhannya. N'Dayegamiye (2009) juga melaporkan hasil penelitian lapangan selama enam tahun (2001– 2006) untuk mengetahui dampak pemberian PMS secara berulang-ulang digabung dengan pemupukan pupuk kimia dan pupuk kandang terhadap kualitas tanah dan produktivitas tanaman jagung (Zea mays L.), barley ( Hordeum vulgaris L.), dan kedelai (Glycine max L. Merr.) yang ditanam pada tanah bertekstur liat dan bertekstur pasir. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa aplikasi PMS dan pupuk kandang meningkatkan mineralisasi N dan meningkatkan hasil panen ketiga komoditas tersebut lebih baik pada tanah berpasir daripada tanah berliat. Aplikasi PMS pada dosis 36 dan 54 ton/ha tanpa pupuk NPK dan PMS pada dosis 18 ton/ha digabung dengan pemupukan NPK 60% dari dosis umum memberikan produktivitas tertinggi pada kedua jenis tanah tersebut dibandingkan dengan tanpa pemberian PMS dengan 100% pasokan pupuk NPK pabrikan. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi kompos PMS dengan dosis yang tepat dapat menurunkan penggunaan pupuk pabrikan dari 40% sampai tergantikan sama sekali sehingga tidak perlu lagi menambahkan pupuk kimia. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penambahan kompos PMS dapat meningkatkan resistensi tanaman terhadap serangan patogen tanah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vallad et al. (2000) menggunakan bahan organik PMS, kompos PMS dan kompos PMS yang dicampur dengan kulit kayu (access bark) diaplikasikan pada tanaman kentang, mentimun dan snap bean. Kemudian diinokulasi dengan berbagai penyakit antara lain Phytium spp, patogen yang dapat merusak umbi, akar dan daun tanaman kentang, patogen penyebab penyakit lodoh pada mentimun dan bercak cokelat pada daun dan polong kacang snap. Penelitian dilakukan selama tiga tahun pada lahan yang memiliki tanah bertekstur pasir (Tabel 1).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
219
Tabel 1. Dampak penambahan kompos PSM terhadap insiden serangan penyakit
Perlakuan
PMS 10T/ha PMS 5T/ha Kompos PMS tinggi Kompos PMS rendah Kompos PMS+bark tinggi Kompos PMS+Bark rendah Kontrol
Kentang Snap bean (1998) (1999) Pytium Snap bean Pythium Aerial yield damping off pythium index incidence 6,3 6,37 1,8 3,0 5,1 7,19 1,4 1,7 10,3 7,43 1,5 1,5 4,8 6,27 1,8 1,7 4,1 6,80 1,7 1,9 8,1 6,46 1,7 1,9 13,1 6,08 3,2 15,0
Foliar Pod brown brown spot spot incidence 2,3 22,9 3,4 34,3 1,5 12,1 1,1 7,6 2,4 25,3 2,5 23,3 3,9 24,7
III. PMS MEMPERBAIKI PROPERTI TANAH GAMBUT DAN MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS TEGAKAN HTI Indonesia memiliki luasan hutan gambut yang cukup besar. Seperti kondisi hutan yang lain, hutan gambutpun banyak mengalami kerusakan. Namun demikian, lingkungan gambut mempunyai kondisi yang unik, memiliki pH sangat masam, ketersediaan unsur hara makro sangat rendah, unsur hara mikro defisien, jenuh air, dan sebagainya, maka untuk melakukan rehabilitasi hutan gambut memerlukan perbaikan tanah. Penelitian yang dilakukan Widyati et al. (2009) menunjukkan bahwa pemberian PMS dan kompos PMS pada tanah gambut yang diambil dari Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa penambahan PMS dosis 25% dapat meningkatkan ketersediaan N 300% sedangkan penambahan kompos PMS dosis 50% meningkatkan ketersediaan N 800% dibanding kontrol (Gambar 1). Kontrol SOP Sludge 25% Sludge 50% Kompos sludge 25% kompos sludge 50%
0.8 0.7
Sludge 50%
0.4 0.3
300 200
0.1
100
H-15
kompos sludge 50%
400
0.2
0
Kompos sludge 25%
500
SOP
7.00
Sludge 25%
600
K etersediaan P (ppm )
N total (% )
SOP
700
0.5
H-5 H-10 Pengamatan hari ke-
Kontrol
Kontrol
0.6
H-0
8.00
800
K etersediaan K (m e/100g gam but)
0.9
7.20
Sludge 25%
6.31
Sludge 50%
6.00
Kompos sludge 25% kompos sludge 50%
5.00
4.52 4.00 3.00
3.50 3.08
3.40 3.38
0.71
0.79
3.75
2.00 1.00
0.94
0.94
0.00
0 H-0
H-5 H-10 Pengamatan hari ke-
H-15
H-0
H-5
H-10
H-15
Pengamatan hari ke-
Gambar 1. Dinamika ketersediaan N, P dan K dalam tanah gambut setelah perlakuan pemberian PMS maupun kompos PMS
220
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Gambar 1 juga menunjukkan bahwa penambahan kompos PMS 25% dan 50% memberikan pengaruh paling baik dalam meningkatkan ketersediaan K dalam tanah gambut (Widyati et al., 2009). Peningkatan ini berasal dari proses dekomposisi yang terjadi pada kompos PMS yang digunakan sebagai bahan amelioran tersebut. Aplikasi kompos PMS pada lahan HTI dilaporkan oleh Sherman (1995) bahwa aplikasi kompos PMS pada lahan HTI dapat membantu tanah dalam menyimpan mineral dan melepaskannya secara perlahan-lahan, sebagai sumber kation alkali dan sebagai sumber C bagi mikroba tanah. Peningkatan kandungan C dapat meningkatkan populasi mikroba tanah yang pada akhirnya akan meningkatkan kandungan humus tanah, meningkatkan water holding capacity dan memperbaiki agregasi tanah. Menurut hasil penelitian PT. Arara Abadi (komunikasi pribadi) PMS yang telah dikomposkan dengan dosis 10 kg/lubang (ukuran lubang 40 x 40 x 30 cm) dapat meningkatkan pertumbuhan Acacia spp di lapangan secara signifikan. Penelitian di HTI Pinus juga dilakukan di Amerika. Hasil penelitian pada tanaman Pinus radiata yang diukur satu tahun setelah aplikasi kompos PMS menunjukkan bahwa diameter batang meningkat 40 – 66% lebih besar dibanding kontrol. Hal ini karena kompos PMS dapat meningkatkan serapan N 17 - 37% lebih tinggi dibanding kontrol (Jackson et al., 2000).
IV. PMS MEMPERBAIKI LINGKUNGAN LAHAN BEKAS PERTAMBANGAN Indonesia memiliki cadangan bahan galian yang cukup menjanjikan sehingga dalam percaturan industri pertambangan dunia, Indonesia memainkan peranan yang sangat strategis. Menurut data pada tahun 2005, Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara pengekspor batubara uap. Untuk pertambangan mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2, tembaga ke-3, nikel ke-4 (Gautama, 2007). Sedangkan untuk tambang emas Indonesia menempati peringkat ke-8 dunia (Gautama, 2007). Namun di lain sisi, sektor pertambangan juga disadari telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat serius. Hal ini karena selama proses eksploitasi dan ekstrasi bahan galian tidak dapat dihindari akan mengganggu bahkan merusak bentang lahan. Proses pertambangan umumnya dilakukan melalui dua proses, tergantung letak dan struktur batuan induknya. Apabila deposit bahan galian terletak di dekat permukaan tanah atau struktur batuan induknya bersifat rapuh, maka tambang terbuka (open pit mining) merupakan cara ekstraksi yang paling tepat karena aman dan ekonomis. Sebaliknya apabila deposisi bahan galian terletak jauh dari permukaan tanah dengan batuan induk yang kokoh maka praktek tambang dalam (underground mining) merupakan cara yang paling bijaksana. Pertambangan sistem terbuka (batubara atau mineral) akan meninggalkan lahan dengan kepadatan tanah yang sangat tinggi, kandungan unsur hara makro sangat rendah, akumulasi logam tinggi dan tanah miskin akan bahan organik tanah. Sebagian besar batuan Indonesia tersusun atas mineral sulfidik akibat terbentuk melalui proses vulkanik hal ini akan menyebabkan fenomena air asam tambang. Air asam tambang merupakan proses teroksidasinya mineral sulfidik menghasilkan asam sulfat sehingga pH menjadi sangat masam. Masamnya pH (<3) akan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
221
meningkatkan kelarutan logam-logam sehingga pada lahan dengan fenomena AAT selalu memiliki kandungan logam yang tinggi. Pada penambangan mineral akan dihasilkan limbah batuan dalam jumlah besar yang disebut tailing. Hal ini karena konsentrat batuan yang berharga jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan total batuan yang dieksploitasi. Tailing memiliki permasalahan yang mengkawatirkan karena berupa butiran pasir yang mengandung unsur unsur logam berat, sehingga perlu dikelola dengan bijaksana. Bahan organik dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah bekas tambang batubara maupun tailing tambang mineral. Aplikasi PMS segar pada tanah bekas tambang batubara tersebut dengan dosis 25% dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah lebih baik daripada perlakuan top soil 50% yang biasa menjadi perlakuan standar (SOP) revegetasi lahan bekas tambang dan kontrol. Selain meningkatkan sifat kimia tanah perlakuan PMS juga dapat menurunkan kandungan logam-logam dalam tanah bekas tambang batubara (Tabel 2), 14 hari setelah inkubasi. Peningkatan pH ini berhubungan dengan peningkatan bahan organik, pelakuan PMS dapat meningkatkan C organik dalam tanah bekas tambang batubara dari 1,32% (kriteria PPT, 1983 tergolong rendah) menjadi 3,70% yang menurut kriteria PPT (1983) tergolong tinggi. Menurut Stevenson (1994) bahan organik dapat berperan sebagai buffer sehingga akan meningkatkan pH tanah apabila pH tanah rendah. Meningkatnya bahan organik dan pH tanah bekas tambang batubara akibat pemberian perlakuan PMS pada penelitian ini ternyata mengakibatkan meningkatnya KTK (Tabel 4), perlakuan SOP meningkatkan KTK tanah dari 6,51 me/100 g tanah pada perlakuan kontrol yang tergolong rendah (PPT, 1983) menjadi sedang yaitu 21,25 me/100 g tanah, sedangkan pada perlakuan PMS meningkatkan KTK menjadi 22,57 me/100 g tanah. Tabel 2. Perbaikan ketersediaan unsur hara makro dan mikro dalam tanah bekas tambang batubara 15 hari setelah penambahan PMS pH
KTK
Kontrol
2,99
Me/100g tanah 6,51
1,32
SOP
4,82
21,25
PMS
6,41
22,57
Perlakuan
Corg
N
P
K
ppm
me/100g
0,02
3,22
2,21
315
153
53
8,75
1,21
0,16
6,80
1,80
97
298
36
6,04
3,70
0,63
145,99
8,72
14
79
12
1,30
%
Fe
Mn
Zn
Cu
Tersedia (ppm)
Sumber: Widyati (2006)
Meningkatnya pH dan KTK dapat mempengaruhi ketersediaan unsur-unsur hara makro dalam tanah bekas tambang batubara. Tan (1993) menyatakan bahwa ketersediaan dan kelarutan unsur hara sangat dipengaruhi oleh reaksi (pH) tanah. Ketersediaan unsur hara makro N, P dan K tanah bekas tambang batubara mengalami peningkatan secara signifikan setelah 15 hari perlakuan. Perlakuan PMS meningkatkan N dari 0,02% pada kontrol menjadi 0,63% (meningkat 3.150%). Ketersediaan unsur P juga menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan karena perlakuan PMS, dari 3,99 ppm menjadi 145,99 ppm (meningkat 4.533% dibanding kontrol). Peningkatan N
222
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
dan P ini terjadi karena PMS diperoleh dari pengendapan lumpur selama proses pengolahan air limbah. Pada proses pengolahan limbah ini ditambahkan pupuk urea 1,5 ton dan asam fosfat 350 liter setiap hari untuk memelihara mikroba yang berperan dalam pengolahan air limbah. Perlakuan SOP dengan top soil juga meningkatkan ketersediaan N menjadi 0,16% (meningkat 800% dibanding kontrol) yang menurut kriteria PPT (1983) termasuk sedang. Di samping itu perlakuan SOP dapat meningkatkan P 200% dibanding kontrol. Peningkatan N dan P pada perlakuan SOP ini diduga berasal dari proses mineralisasi tanah top soil atau eksudat akar yang dihasilkan oleh tanaman Dipterokarpa yang berasal dari tempat pengambilan top soil tersebut. Perbaikan sifat-sifat tanah telah memperbaiki pertumbuhan tanaman revegetasi (Gambar 2).
Kontrol SOP PMS 25% PMS 50%
Gambar 2. Keragaan tanaman revegetasi pada tanah bekas tambang batubara dengan perlakuan bahan organik 3 bulan setelah tanam (foto: Enny, 2006).
Tabel 3. Hasil penghitungan efisiensi peningkatan unsur hara makro dan KTK (%) Perlakuan
N
P
K
KTK
0
3,89
8
23,3
TD + 25% sludge
1029
100,2
-10
76,5
TD + 50% sludge
2414
150,8
-6
93,9
0
0
0
12,3
TP + 25% sludge
1086
181,2
-21
99,5
TP + 50% sludge
3243
442,5
-3
154,3
TD
TP
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
223
Hasil penelitian pemanfaatan PMS terhadap perbaikan kualitas tailing telah menunjukkan bahwa PMS dengan dosis 50% (v/v) dapat memperbaiki KTK, ketersediaan N dan P baik pada tailing pond (TP) maupun tailing dump (TD) secara signifikan 15 hari setelah aplikasi (Tabel 3). Aplikasi PMS juga dapat menurunkan ketersediaan logam-logam pada tailing dump secara signifikan (Tabel 4). Tabel 4. Hasil penghitungan efisiensi penurunan beberapa mineral dan logam (%) Perlakuan
S
Fe
Cu
Cd
Pb
CN
TD
6,1
5,9
0,0
0,0
1,3
-16,4
TD + 25% sludge
52,9
21,5
30,0
87,0
9,5
99,8
TD + 50% sludge
82,2
63,7
73,3
90,0
53,6
99,8
V. PENUTUP Paper mills sludge (PMS) merupakan limbah pabrik kertas yang ternyata mempunyai beberapa sifat yang dapat memperbaiki sifat-sifat tanah pertanian, kehutanan dan pertambangan. Dengan demikian saatnya dimulai pemanfaatan bahan tersebut untuk membantu kelangkaan ketersediaan bahan organik yang sangat diperlukan baik untuk memperbaiki sifat-sifat tanah maupun untuk memperbaiki produktivitas lahan dan tegakan. Seandainya masih terdapat hal-hal yang mengkhawatirkan akan adanya kandungan bahan-bahan berbahaya dalam sludge, saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meperbaiki kualitas limbah telah berkembang dengan baik. Dengan demikian sudah saatnya mengubah image PMS dari limbah menjadi semberdaya.
DAFTAR PUSTAKA Cooperband, L., A. Stone and B. Foley. 2000. Using paper mill sludge and compost in potato production: first year effects on soil quality and crop production. http://www.soils.wisc. eduextensionwcmcproceedings5A.cooperband.pdf (18 Februari 2010). Gautama, R.S. 2007. Pengelolaan air asam tambang: Aspek penting menuju pertambangan berwawasan lingkungan. Pidato Guru Besar ITB. http://www.itb.ac.id/favicon.ico20 (Mei 2007). Jakcson, M.J., M.A. Line, S. Wilson dan S.J. Hetherington. 2000. Application of composted pulp and paper mill sludge to a young pine plantation. Journal of Environmental Quality. Vol. 29, n o2, pp. 407-414. N'Dayegamiye, A. 2006. Mixed paper mill sludge effects on corn yield, nitrogen efficiency, and soil properties. Agron J (98):1471-1478 (2006).
224
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
N'Dayegamiye, A. 2009. Soil properties and crop yields in response to mixed paper mill sludges, dairy cattle manure, and inorganic fertilizer application. Agron J (101):826-835 (2009). Pusat Penelitian Tanah. 1983. Interpretasi data kesuburan dan penyusunan rekomendasi. Pusat Penelitian Tanah. Departemen Pertanian (Tidak diterbitkan). Sherman, W.R. 1995. A review of the main appendix sludge research program. TAPP 1(78): 135 – 150. Simard, R.R., R. Lalande, B. Gagnon, G. Parent and P. Parent. 2000. Beneficial Use of Paper-Mill Residue Compost in Potato Production. http://www.dolbec.ca (11 Februari 2010). Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reaction. 2 nd ed. John Willey and Son. New York. Vallad, G.E., A.G. Stone, R.M. Goodman, W.R. Stevenson, and L.R. Cooperband. 2000. Paper mills sludge and compost effects on disease incidensin a vegetable rotation (2000). httpwww.soils.wisc. eduextensionwcmcproceedings5A.vallad.pdf (10 Januari 2010). Widyati, E., H. Daryono dan Mawazin. 2009. Ameliorasi tanah gambut dengan sludge industri kertas. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Dalam tahap penerbitan. Widyati, E. 2006. Bioremediasi Tanah Bekas Tambang Batubara dengan Sludge Industri Kertas untuk Memacu Revegetasi Lahan. Program Pendidikan Doktor, IPB. Disertasi. Bogor.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
225
MANFAAT SLUDGE LIMBAH PADAT PABRIK KERTAS UNTUK PUPUK BIOORGANIK Oleh: Happy Widiastuti 1) dan Tati Rostiwati 2) 1)
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia 2) Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Sludge merupakan salah satu alternatif bahan kompos yang dapat digunakan sebagai pupuk organik, karena ketersediaannya yang melimpah dan mengandung karbon dan beberapa hara makro serta mikro yang cukup tinggi. Kemampuan Limbah sludge Pabtrik Kertas (LSPK) dalam media tanaman yang dapat meningkatkan produktivitas bibit dan tanaman telah ditunjukkan dengan beberapa hasil penelitian. Penelitian terhadap keefektifan pupuk biorganik sludge ini telah dilakukan pada tanaman pertanian (kangkung dan jagung), tanaman perkebunan (karet), tanaman kehutanan (akasia dan nyamplung). Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa pemanfaatan LSPK dapat menekan penggunaan pupuk anorganik sebanyak 50% dan responsnya yang ditunjukkan dengan penambahan pupuk biorganik sludge berupa pertambahan tinggi bibit kangkung, karet dan akasia di persemaian, pertambahan jumlah tangkai daun jagung, pertambahan jumlah daun bibit nyamplung, pertambahan diameter batang tanaman akasia di lapangan serta produksi jamur tiram. Kata kunci: Anorganik, bibit, biorganik sludge, jamur tiram, pupuk
I. PENDAHULUAN Lumpur sludge pabrik kertas (LSPK) merupakan limbah pabrik kertas di samping limbah lainnya seperti lignosulfonat, fiber, dan flush. Di antara jenis limbah limbah tersebut, LSPK merupakan limbah terbesar. Produksi sludge di satu pabrik dapat mencapai 15 - 400 ton per hari (Nur, 1990). Potensi produksi LSPK secara nasional berkisar sekurangnya 500 ton per hari. Pada saat ini, limbah sludge belum dimanfaatkan dan penanganannya hanya sebagai open dumping dan land fill. Bagaimanapun juga, dengan terus meningkatnya kebutuhan kertas akan diikuti peningkatan jumlah limbah pabrik kertas sehingga limbah ini akan menjadi masalah yang serius. Seperti halnya limbah agroindustri lain, limbah sludge pabrik kertas adalah limbah organik yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin dalam jumlah tinggi. Analisis laboratorium menunjukkan bahwa kandungan C limbah sludge tersebut sangat tinggi sedangkan kandungan N sangat rendah sehingga menghasilkan nisbah C/N sangat tinggi yaitu berkisar antara 50 - 200 (Newspaper Industry Environmental Technology Initiative , 2000). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa baik selulosa, hemiselulosa, maupun lignin dapat digunakan sebagai sumber C bagi organisme lignoselulolitik. Dalam metabolismenya organisme tersebut menghasilkan senyawa C sederhana di samping hara tersedia. Terbentuknya senyawa C sederhana dan hara terlarut menjadikan bahan ini dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk bioorganik. Saat ini
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
227
telah tersedia teknologi pembuatan pupuk bioorganik berbahan baku LSPK (Widiastuti dkk., 2008). Penggunaan kompos LSPK telah banyak dilakukan di negara lain. Beberapa manfaat yang ditunjukkan dari aplikasi kompos LSPK adalah kemampuannya dalam memperbaiki struktur tanah setelah aplikasi selama dua tahun (Foley dan Cooperband, 2002), meningkatkan produksi tanaman, dan mengurangi serangan penyakit (Vallad et al., 2002). Selain itu, juga ditunjukkan bahwa kompos limbah sludge dapat menekan serangan penyakit daun pada tanaman tomat dan arabidopsis (Vallad et al., 2003). Limbah sludge juga dapat digunakan sebagai media tanam jamur merang (Widiastuti at al., 1989; Widiastuti, 2005) dan jamur tiram (Widiastuti dan Gunawan, 1989). Penelitian pemanfaatan kompos sludge untuk meningkatkan produksi pertanian sudah banyak dilakukan terutama di Eropah dan Amerika. Aplikasi sludge pulp and paper terhadap lahan pertanian dan kehutanan menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sludge dapat meningkatkan pertumbuhan, redudancy nutrisi tanaman dan kondisi fisik tanah. Tulisan ini mengulas tentang hasil-hasil penelitian aplikasi pupuk bioorganik LSPK yang bertujuan untuk mengurangi dosis pupuk anorganik pada tanaman pertanian, perkebunan dan kehutanan serta sebagai media produksi jamur tiram. . II. MANFAAT PADA TA NAMAN PERTANIAN Jenis tanaman pertanian yang digunakan untuk mengetahui keefektifan penggunaan pupuk biorganik sludge adalah: A. Kangkung Pupuk bioorganik sludge yang digunakan terdiri dari pupuk bioorganik sludge tanpa pengaya (CS dan GS) dan pupuk bioorganik sludge yang diperkaya (G16-50PK dan C16-50PK). Hasil yang diperoleh dalam uji keefektifan pupuk bioorganik sludge terhadap tanaman kangkung terlihat bahwa pertumbuhan kangkung dipacu oleh pemberian pupuk baik dalam bentuk pupuk anorganik maupun pupuk bioorganik sludge G4-50PK, C4-50PK, G16-50PK dan C16-50PK terutama pada 20 hari setelah tanam (Gambar 1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa dosis pupuk kandang dapat dikurangi 50% asalkan digantikan dengan pupuk bioorganik. B. Jagung Pada percobaan pemanfaatan pupuk biorganik sludge pada tanaman jagung, diperoleh hasil bahwa walaupun 50% pupuk anorganik dapat digantikan dengan pemberian pupuk bioorganik sludge G4, C4, C16, atau C4H. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk bioorganik sludge dapat meningkatkan efisiensi pupuk anorganik. Pada peubah jumlah tangkai daun ditunjukkan bahwa perlakuan G4, C4, C16 yang disertai pupuk anorganik 50% menghasilkan jumlah tangkai daun tertinggi (Gambar 2). Perlakuan C4 dan C16 yang disertai pupuk anorganik 50% menghasilkan jumlah tangkai daun sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pemupukan anorganik 100%.
228
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Gambar 1. Pertumbuhan kangkung pada perlakuan (berturut-turut dari kiri ke kanan): 1) tanpa permupukan; 2) pemupukan anorganik 100%, 3) aplikasi pupuk bioorganik sludge formula G16 + 50% pupuk kandang; 4) aplikasi pupuk bioorganik sludge formula C16 + 50% pupuk kandang (Widiastuti dkk., 2008).
Gambar 2. Jumlah tangkai daun jagung umur 3 bulan pada perlakuan pupuk bioorganik G4 dan C4 serta C16 disertai pemberian pupuk anorganik (50%) (Widiastuti dkk., 2008).
III. MANFAAT PADA TANAMAN PERKEBUNAN Pengujian keefektifan pupuk sludge pada tanaman karet telah dilakukan di kebun Merbuh PTPN X. Pada pengujian di pembibitan di polibag, pupuk bioorganik sludge diaplikasikan di perakaran batang bawah tanaman karet. Tinggi tanaman karet yang dipupuk bioorganik sludge formula G4 lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman karet yang dipupuk anorganik 100% (Gambar 3).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
229
Gambar 3.Tinggi bibit karet pada pengujian keefektifan pupuk bioorganic sludge pada pembibitan karet di polibag di kebun Merbuh PTPN IX (Widiastuti dkk., 2008). Hasil ini menunjukkan bahwa di samping pupuk bioorganik sludge formula G4 dapat mengurangi dosis pupuk anorganik 50%, demikian juga pada respon pertumbuhan tinggi yang lebih baik dibandingkan dengan bibit karet yang dipupuk anorganik 100%. Hasil yang sama juga dikjumpai pada peubah lilit batang
IV. MANFAAT PADA TANAMAN KEHUTANAN A. Akasia (Acasia mangium) Pemberian pupuk bioorganik sludge menghasilkan pertumbuhan tinggi tanaman A. mangium di persemaian yang lebih baik dibandingkan dengan pemupukan anorganik 100%. Demikian juga pada pengamatan warna daun menunjukkan bahwa pemupukan dapat meningkatkan nilai indeks warna daun. Pemberian pupuk bioorganik sludge dapat menghasilkan warna daun lebih hijau khususnya pemberian pupuk bioorganik sludge G4, G16, dan C4H. Pertumbuhan tanaman di lapang menunjukkan bahwa pemberian pupuk anorganik 50% dapat dikurangi dan digantikan dengan pupuk bioorganik sludge dan menghasilkan pertumbuhan tinggi tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik 100%. Pupuk bioorganik sludge G4 menghasilkan pertumbuhan tanaman tertinggi (Gambar 4). Demikian juga pada pengamatan diameter batang menunjukkan bahwa peningkatan diameter batang jauh lebih tinggi dengan pemberian pupuk bioorganik sludge dibandingkan pemberian pupuk anorganik.
230
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Gambar 4. Tanaman A. mangium berumur 7 (tujuh) bulan pada pengujian keefektifan beberapa formula pupuk bioorganik sludge di lapangan (kiri); Pertambahan tinggi A. mangium yang telah diberikan perlakuan Formula G4 +pupuk anorganik 50% dan pupuk anorganik anorganik 100% (K) (Widiastuti dkk., 2008). B. Nyamplung Widiatuti dan Rostiwati (2010) telah melakukan aplikasi pupuk bioorganik sludge pada bibit nyamplung umur 3,5 bulan, ternyata perlakuan tersebut memberikan peningkatan pertumbuhan tinggi dan diameter yang paling baik dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik saja atau yang dikombinasi dengan pupuk bioorganik sludge 20 g (K50S2). Respons yang paling mencolok adalah pada parameter jumlah daun yang menunjukkan peningkatan yang cukup besar yaitu 64,44% (Gambar 5). Peningkatan beberapa peubah pertumbuhan sebagai respons penggunaan pupuk bioorgnaik sludge diduga disebabkan karakteristik pupuk bioorganik sludge. kandungan unsur makro serta mikro yang lengkap sehingga dapat meningkatkan kandungan hara rhizosfer nyamplung yang selanjutnya dapat meningkatkan serapan hara bibit nyamplung. Selain itu, penambahan pupuk bioorganik sludge dapat memperbaiki kandungan karbon yang sangat diperlukan bagi mikroba tanah sebagai sumber karbon. Dengan demikian, pemberian pupuk dengan dosis pupuk bioorganik sludge 50% dan ditambah dengan 50% dosis pupuk anorganik akan menghasilkan pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun nyamplung yang lebih tinggi dengan umur yang relatif muda dibandingkan dengan penggunaan media kompos organik + arang kayu 1:2 (v:v). Perbedaan respons tersebut mengindikasikan bahwa pemupukan anorganik dengan dosis yang tepat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas penyerapan hara ke dalam organ tanaman nyamplung sedangkan pemberian pupuk bioorganik sludge berfungsi mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
231
Gambar 5. Penampilan bibit nyamplung umur 2 (diua) bulan (kiri); Kurva pertambahan jumlah daun bibit nyamplung dengan perlakuan pemupukan biorganik sludge (Widiatuti dan Rostiwati, 2010)
V. MANFAAT SEBAGAI MEDIA JAMUR TIRAM Produksi jamur tiram putih diuji menggunakan campuran sludge, serbuk gergaji dan bekatul serta kapur di rumah produksi jamur. Pengujian sludge sebagai media jamur tiram menunjukkan bahwa jamur tiram dapat tumbuh baik di medium campuran sludge dan serbuk gergaji (Gambar 5).
Gambar 5. Pertumbuhan miselium jamur tiram di media campuran sludge dan serbuk gergaji di rumah produksi jamur (Widiatuti dkk, 2008).
232
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Pertumbuhan miselium tidak seluruhnya mendukung pembentukan tubuh buah. Pengamatan menunjukkan bahwa pada medium campuran sludge dan serbuk gergaji, persentase tumbuh tubuh buah lebih tinggi dibandingkan dengan pada medium standar. Inokulasi JTS menghasilkan persentase tumbuh tubuh buah jamur tertinggi yaitu mencapai 100%.
VI. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian uji coba keefektifan pemanfaatan pupuk biorganik sludge yang berasal dari limbah padat pabrik kertas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Hara yang tersedia pada bahan organic sludge memberikan respons positif terhadap komoditi pertanian, perkebunan, kehutanan serta produksi jamur tiram sehingga mempunyai peluang untuk pemanfaatan dalam skala yang lebih luas. 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk melakukan kajian terhadap pengelolaan limbah pabrik kertas untuk bahan baku media tanam sehingga dapat diaplikasikan oleh para petani di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA Allahdadi, I., C.J. Beauchamp, and F. Chalifour. 2004. Symbiotic dinitrogen fixation in forage legumes amended with high rates of de-inking paper sludge. Agron J: 96: 956-965. Chu, H., T. Fujii, S. Morimoto, X. Lin, K. Yagi, J. Hu, and J. Zhang. 2007. Community structure of ammonia oxidizing bacteria under long-term application of mineral faertlizer and organic manure in a sandy loam soil. Appl. Environ. Microbiol. 73: 485-491. D’Amor, J.J., S.R. Al Abed, K.G. Scheckel and J.A. Ryan. 2005. Methods for speciation of metals in soils: a review. J. Environ Qual. 34, 1707-1745. Darby, H.M., A.G. Stone. and R.P. Dick. 2006. Compost and manure mediated impacts on soilborne pathogens and soil quality. Soil Sci. Soc. Am. 70(2): 347-358. Flavel, T.C., and D.V. Murphy. 2006. Carbon and nitrogen mineralization rates afeter application of organic amendments to soil. J. Environ Qual. 35:183-193. Foley, B.J. and L.R. Cooperband. 2002. Paper mill residuals and compost effects on soil carbon and physical properties. J. Environ. Qual. 31: 2086-2095. Vallad, G.E., L. Cooperband. and R.M. Goodmana. 2003. Plant foliar disease suppression mediated by composted forms of paper mill residuals exhibit molecular features of induced resistance. Physiol and Molec. Plant Pathol 63: 65-77. Bipfubusa, M., D.A Angers, A.N. Dayegam iye, and H. Anton. 2008. Soil aggregation and biochemical properties following the application of fresh and composted organic amendments. Soil Sci. Soc Am J., 72: 160-166.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
233
Widiatuti, H., Isroi, Siswanto, Suharyanto dan T. Panji. 2008. Pemanfaatan limbah sludge pabrik kertas untuk pupuk organik, media produksi jamur konsumsi dan enzim lignolitik secara simultan. Laporan RUT KMNRT. Widiatuti, H. dan T. Rostiwati. 2010. Upaya peningkatan pertumbuhan bibit nyamplung (Calophyllum inophylum L.) dengan pemanfaatan pupuk bioorganik sludge. Makalah Penunjang. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. (Dalam proses pencetakan).
234
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
PENGAWETAN KAYU MINDI ( Melia azedarach L.) MELALUI RENDAMAN DINGIN DENGAN BAHAN PENGAWET BAE Oleh: Endah Suhaendah Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Agroforestri E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Mindi (Melia azedarach L.) merupakan salah satu tanaman yang dikembangkan di hutan rakyat karena sudah terbukti baik sebagai bahan baku mebel untuk ekspor dan domestik. Namun, kayu mindi termasuk ke dalam kayu dengan kelas awet rendah yaitu IV-V sehingga rentan terhadap serangan organisme perusak kayu. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan masa pakai melalui pengawetan kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama perendaman dingin dan ukuran sortimen terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet BAE (Boric Acid Equivalent) pada kayu mindi. Sampel kayu berasal dari pohon di hutan rakyat Desa Parigi, Ciamis. Percobaan disusun secara faktorial dengan 3 perlakuan lama perendaman (3, 5 dan 7 hari) serta 2 ukuran sortimen kayu (tebal 2,5 dan 5 cm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama perendaman berpengaruh nyata terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet BAE, dengan kecenderungan peningkatan retensi dan penetrasi dengan meningkatnya lama perendaman. Berdasarkan persyaratan SNI untuk perumahan dan gedung, pengawetan kayu mindi dengan bahan pengawet BAE 10% yang disarankan adalah dengan lama perendaman selama 3 hari (tebal 2,5 cm) dan 5 hari (tebal 5 cm). Kata kunci: BAE, mindi, pengawetan, rendaman dingin, SNI
I. PENDAHULUAN Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 2,5% per tahun mengakibatkan meningkatnya permintaan akan bahan kayu konstruksi dan untuk mebel. Sedangkan di sisi lain, ketersediaan kayu semakin menurun baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Pada tahun 1980-an kayu bangunan didominasi jenis-jenis kayu tertentu seperti kapur, kempas, jati, merbau dan ulin yang termasuk jenis-jenis kayu kelas kuat dan kelas awet cukup tinggi. Pada saat sekarang ini dengan meningkatnya permintaan akan kayu, penyediaan kayu yang berkualitas tinggi dari hutan alam mengalami penurunan. Oleh karena itu penyediaan bahan baku untuk bangunan banyak beralih pada kayu yang berasal dari hutan rakyat. Berdasarkan penggolongan keawetan kayu di Indonesia (mulai dari kelas I yang paling awet sampai kelas V yang tidak awet), 85% dari 4000 jenis kayu yang dikembangkan di hutan rakyat termasuk dalam kelas awet rendah (kelas III, IV dan V). Kenyataan ini ditunjang pula oleh letak geografis Indonesia di khatulistiwa dengan iklim tropisnya yang memungkinkan hadirnya berbagai jenis organisme perusak kayu seperti rayap, bubuk kayu kering dan jamur pelapuk. Mindi merupakan salah jenis pohon cepat tumbuh yang dibudidayakan di hutan rakyat. Kayu mindi bercorak indah dan mudah dikerjakan sehingga banyak digunakan sebagai bahan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
235
baku mebel untuk ekspor dan domestik. Namun, kayu mindi termasuk kelas awet IV-V, sehingga mudah terserang organisme perusak seperti jamur dan serangga. Masyarakat umumnya mengabaikan perlunya pengawetan kayu. Sementara teknik pengawetan yang ada saat ini dianggap masih kurang efektif dan hanya bisa membuat kayu awet selama lima tahun. Padahal paling tidak akan terjadi penghematan sebesar 50% dari total konsumsi kayu saat ini bila saja kayu bisa lebih awet hingga 15 tahun. Penghematan yang terjadi diperkirakan dapat mencapai 14,76 m3/tahun, yang nilainya setara dengan hutan seluas 147.600 hektar. Upaya pencegahan kerusakan kayu sangat penting dalam rangka peningkatan mutu dan masa pakai (service life). Salah satu langka strategis yang dapat diterapkan adalah memperpanjang umur pakai atau mempertahankan umur komponen kayu melalui pengawetan kayu sesuai dengan standar teknis yang berlaku. Upaya peningkatan mutu kayu dan masa pakai kayu sangat penting sehingga diperlukan metoda yang dapat diterapkan dalam memperpanjang umur pakai atau mempertahankan umur komponen kayu melalui penerapan teknologi pengawetan kayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentarsi larutan dan lama perendaman dingin terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet BAE pada kayu mindi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengawetan kayu mindi yang memenuhi standar pengawetan berdasarkan kriteria Standar Nasional Indonesia (SNI). II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Juli 2009. Pengambilan contoh uji kayu mindi dilaksanakan di Desa Parigi, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Secara keseluruhan keadaan alam Desa Parigi mempunyai topografi dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 3,2 m dpl. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu mindi (Melia azedarach L.), bahan pengawet kayu BAE (Boric Acid Equivalent) serta pereaksi boron. Peralatan yang diperlukan yaitu bak perendam, gelas ukur untuk menetapkan konsentrasi larutan bahan pengawet dan gergaji untuk memotong contoh kayu yang akan diawetkan. C. Prosedur Kerja Metode pengawetan yang dilakukan adalah metode perendaman dingin dengan faktor utama ukuran sortimen dan lama perendaman. Contoh uji berupa kayu mindi dipotong dengan dua ukuran sortimen yaitu 2,5 cm x 5 cm x 100 cm dan 5 cm x 5 cm x 100 cm. Contoh uji disimpan pada suhu kamar sampai kering udara dan ditimbang kemudian direndam ke dalam larutan bahan pengawet pada suhu kamar dengan konsentrasi 10%. Perlakuan dibedakan berdasarkan lama perendaman, yaitu selama 3, 5 dan 7 hari. Contoh uji setiap perlakuan sebanyak 10 buah sehingga total contoh uji sebanyak 60 buah.
236
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Untuk mengukur dalamnya penembusan bahan pengawet setiap contoh uji dipotong melintang pada bagian tengahnya setelah dibiarkan selama dua minggu pada suhu kamar. Kedalaman penetrasi bahan pengawet BAE dapat diamati dengan menyemprotkan atau melaburkan pereaksi boron pada penampang melintang contoh uji hasil pemotongan. Adanya unsur Boron ditunjukkan oleh warna merah jambu, sedangkan bagian yang tidak mengandung boron berwarna kuning. Uji penetrasi penetrasi boron terdiri dari (a) 2 g ekstrak kurkuma dalam 100 ml alkohol (b) 20 ml asam khlorida pekat, 80 ml alkohol dan dijenuhkan dengan asam salisilat (13 g per 100 ml). Analisis data untuk melihat pengaruh ukuran sortimen dan lama perendaman terhadap penetrasi bahan pengawet digunakan uji sidik ragam (Steel dan Torrie, 1960).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa perlakuan lama perendaman dan ukuran sortimen berpengaruh nyata (taraf kepercayaan 95%) terhadap retensi bahan pengawet BAE pada kayu mindi. Tabel 1.Sidik ragam pengaruh ukuran sortimen dan lama perendaman terhadap retensi bahan pengawet pada kayu mindi Sumber keragaman
Derajat bebas
Kwadrat tengah
F Hitung
Nilai-p
Ukuran sortimen
1
90,676
6,130
0,016*
Lama perendaman
2
60,308
4,077
0,022*
Sortimen * Lama perendaman
2
116,733
7,892
0,001 *
Keterangan: * = berpengaruh nyata
Hasil pengamatan retensi bahan pengawet BAE pada kayu mindi disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Retensi BAE pada kayu mindi
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
237
Berdasarkan Gambar 1, ditunjukan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan nilai retensi dengan peningkatan lama perendaman. Semua perlakuan lama rendaman dan ukuran sortimen menunjukkan nilai retensi BAE yang lebih tinggi dari nilai retensi SNI, kecuali pada perlakuan lama rendaman 3 hari, besarnya retensi BAE pada ukuran sortimen 5 cm x 5 cm x 100 cm masih di bawah retensi SNI. Nilai retensi BAE paling tinggi ditunjukkan pada lama perendaman 7 hari. Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, persyaratan retensi bahan pengawet sebesar 8,0 kg/m3. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan retensi dengan nilai minimal 8,0 kg/m3 cukup dengan mengawetkan kayu mindi dengan larutan BAE 10% selama 3 hari untuk kayu dengan tebal 2,5 cm, sedangkan untuk kayu dengan tebal 5 cm nilai retensi minimal 8,0 kg/m3 diperoleh dengan lama perendaman 5 hari. Hasil sidik ragam penetrasi BAE pada kayu mindi disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2, terlihat bahwa ukuran sortimen dan lama perendaman masing-masing berpengaruh terhadap penetrasi BAE, namun korelasi antara ukuran sortimen dan lama perendaman tidak berbeda nyata. Tabel 2. Sidik ragam pengaruh ukuran sortimen dan lama perendaman terhadap penetrasi bahan pengawet pada kayu mindi Sumber keragaman
Derajat bebas
Kwadrat tengah
F Hitung
Nilai-p
Ukuran sortimen
1
6,888
138,045
0,000*
Lama perendaman
2
0,179
3,593
0,034*
Sortimen * Lama perendaman
2
0,042
0,834
0,440tn
Keterangan: * = perpengaruh nyata; tn = tidak nyata
Hasil pengamatan penetrasi BAE pada kayu mindi disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Penetrasi BAE pada kayu mindi
238
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Berdasarkan Gambar 2, semua perlakuan lama perendaman dan ukuran sortimen menunjukkan nilai penetrasi bahan pengawet yang lebih tinggi dari nilai penetrasi SNI. Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, persyaratan penetrasi bahan pengawet sebesar 5 mm. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan penetrasi dengan nilai minimal 0,5 cm cukup dengan mengawetkan kayu mindi dengan larutan BAE 10% selama 3 hari baik untuk kayu dengan ketebalan 2,5 cm maupun 5 cm. Perlakuan lama perendaman masing-masing saling menghasilkan penetrasi bahan pengawet yang berbeda nyata dengan kecenderungan peningkatan penetrasi dengan meningkatnya lama perendaman. Adanya kecenderungan meningkatnya penetrasi dengan peningkatan lama perendaman sesuai dengan hasil penelitian Abdurrohim (2006) yang mengtakan bahwa lama perendaman berkaitan dengan kesempatan kayu berhubungan dengan konsentrasi larutan bahan pengawet. Sebelum saluran dalam kayu berupa noktah, tertutup seluruhnya oleh bahan pengawet yang berfiksasi, akibat bahan pengawet kontak dengan lignin, larutan bahan pengawet dapat masuk terus ke dalam kayu karena sifat higroskopisitas kayu. B. Pembahasan Salah satu kelemahan kayu dari hutan rakyat adalah mudah terserang oleh jamur dan rayap terutama terjadi pada keadaan kayu lembab. Dengan adanya kelemahan ini, maka kayu tersebut perlu diawetkan dengan bahan kimia tertentu untuk membunuh atau mencegah serangan jamur dan rayap. Bahan pengawet kayu adalah suatu senyawa (bahan) kimia, baik berupa bahan tunggal maupun campuran dua atau lebih bahan, yang dapat menyebabkan kayu yang digunakan secara benar akan mempunyai ketahanan terhadap serangan cendawan, serangga, dan perusak-perusak kayu lainnya. Kemanjuran (efektivitas) bahan pengawet tergantung pada toksisitas (daya racun = daya bunuh) terhadap organisme perusak kayu atau organisme yang berlindung di dalam kayu. Semakin tinggi kemampuan meracuni organisme perusak kayu, semakin manjur dan semakin efektif pula bahan pengawet itu digunakan untuk mengawetkan kayu. Disamping bersifat racun bagi organisme perusak kayu, bahan pengawet yang layak digunakan dalam proses pengawetan kayu juga harus memenuhi persyaratan mudah meresap pada kayu menuju ke bagian dalam, harus dapat digunakan secara mudah dan tidak menimbulkan iritasi pada kulit atau membahayakan kesehatan, tidak mudah menguap dan tidak mudah terurai menjadi unsur-unsur yang tidak beracun, namun harus mampu berada secara permanen di dalam kayu, harganya relatif murah serta mudah didapatkan di pasaran, tidak mengkorosikan (mengauskan) logam (sebagai contoh: paku) yang bersentuhan (digunakan bersama) dengan kayu yang diawetkan, tidak mengurangi sifat baik (misal: keindahan dan kekuatan) yang melekat pada kayu, tidak berwarna dan berbau, tidak mudah terbakar dan tidak mengembangkan (memperbesar ukuran panjang, lebar, tebal) dimensi kayu. BAE merupakan bahan pengawet yang memiliki beberapa sifat baik antara lain beracun terhadap jamur dan serangga perusak kayu tetapi tidak berbahaya bagi manusia maupun ternak, dapat digunakan baik dengan proses tekanan maupun dengan proses diffusi, tidak korosif terhadap logam, tidak berbau dan tidak merubah warna serta kayu yang diawetkan dapat dicat, diplitur atau
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
239
direkat dengan baik. Berdasarkan sifat baik tersebut, maka penggunaan BAE sebagai bahan pengawet kayu mendukung konsep pengolahan hasil hutan yang ramah lingkungan karena tidak berbahaya bagi manusia maupun ternak. Diharapkan melalui pengawetan kayu akan terjadi penghematan sebesar 50 persen dari total konsumsi kayu. Hal ini diasumsikan jika saat ini kayu bisa lebih awet hingga 15 tahun. Penghematan yang terjadi diperkirakan dapat mencapai 14,76 m3/tahun, yang nilainya setara dengan hutan seluas 147.600 hektar.
IV. KESIMPULAN 1. Perlakuan lama perendaman berpengaruh nyata terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet BAE pada kayu mindi, dengan kecenderungan peningkatan retensi dan penetrasi dengan meningkatnya lama perendaman. 2. Persyaratan retensi dan penetrasi bahan pengawet menurut Standar Nasional Indonesia untuk perumahan dan gedung adalah sebesar minimal 8,0 kg/m3 dan 5 mm. Berdasarkan kriteria tersebut pengawetan kayu mindi menggunakan larutan BAE yang disarankan adalah dengan konsentrasi 10% dengan lama perendaman 3 hari untuk tebal kayu 2,5 cm, sedangkan kayu mindi dengan tebal 5 cm diawetkan dengan BAE 10% selama 5 hari.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrohim, S. 2006. Bagan pengawetan tiga jenis kayu dengan bahan pengawet ccb secara rendaman panas dingin dan sel penuh. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan: Penyelamatan Industri Kehutanan Melalui Implementasi Hasil Ristek. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Hal 55-62. Anonim. 1999. Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung. Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-5010.1-1999. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Barly dan S. Abdurrochim. 1996. Petunjuk Teknis Pengawetan Kayu untuk Bangunan Hunian dan Bukan Hunian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Martawijaya, A dan N. Supriana. Penembusan Persenyawaan Bor pada Sepuluh Jenis Kayu Indonesia yang diawetkan dengan Proses Diffusi. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Mindi. Brosur terbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Oey, D.S. 1990. Spesific Grafity of Indonesian Woods and Its Significance for Practical Use. Diterjemahkan oleh Suwarsono P.H. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan Indonesia. Bogor. Indonesia.
240
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
SELEKTIVITAS DELIGNIFIKASI PROSES KRAFT DAN SODA DARI JENIS Acacia mangium PADA TINGKAT WAKTU PEMASAKAN DAN ALKALI AKTIF Oleh: Saptadi Darmawan dan I.M. Sulastiningsih 1
2
Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi HHBK, Mataram Penelti pada Pusat Litbang Keteknikan dan Pengolahan Hail Hutan, Bogor E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kayu mangium merupakan bahan baku pembuatan pulp kertas yang potensial dan di dalam proses pembuatannya menjadi pulp akan dipengaruhi oleh jenis proses dan kondisi pemasakan. Proses soda dan kraft menggunakan bahan pemasak NaOH yang bersifat basa, dan untuk proses kraft terdapat bahan kimia lain berupa Na2S. Pada kedua proses tersebut akan terjadi reaksi kimia yang berbeda selama pulping. Dalam penelitian ini dikaji karakteristik pulp yang dihasilkan dan tingkat selektivtas delignifikasi yang terjadi dan dari pengaruh perlakuan lainnya yaitu waktu pemasakan dan pamakaian alkali aktif. Kata kunci: Acacia mangium, alkali aktif, proses soda dan kraft, selektivitas delignifikasi, sifat pulp, waktu pemasakan I. PENDAHULUAN Kayu mangium banyak dikembangkan dalam bentuk hutan tanaman industri sebagai bahan baku pembuatan pulp kertas. Ukuran kayu yang dimanfaatkan sebagian besar adalah batangnya hingga diameter terkecil 15 cm. Dimensi kayu dibawah ukuran tersebut belum banyak dimanfaatkan padahal jumlahnya cukup besar yaitu mencapai 20% dari volume kayu yang diproduksi. Jika pada tahun 2002 produksi Hutan Tamanan Industri (HTI) untuk kayu serat sebesar 7,6 juta m3 maka limbah kayu berdiameter kurang dari 10cm mencapai 1,5 juta m3 (Siagian, 2007). Tujuan utama proses pulping adalah mendegradasi lignin untuk mendapatkan serat. Teknik pemisahan antara lignin dan serat (pulping) dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu secara kimia dan mekanis. Pada delignifikasi kimia diperlukan penambahan sejumlah bahan kimia sebagai pereaksi seperti soda, sulfite, anthraquinone, polysulfide dan hydrogen sulfide (Berggren, 2003). Penggunaan bahan tersebut pada umumnya mencirikan tipe proses pulping. Sementara itu delignifikasi secara mekanis lebih mengandalkan pada kekuatan fisik dan mekanis dalam pemisahan serat dan dapat juga dikombinasikan menggunakan uap air. Kualitas pulp dari masing-masing proses tersebut tentunya akan memberikan hasil yang berbeda tergantung dari bahan kimia pemasak. Salah satu parameter yang dapat digunakan dalam menentukan kualitas pulp dan proses pulping adalah selektivitas delignifikasi. Pulp dengan rendemen yang tinggi belum tentu selektif dalam mendegradasi lignin. Selain bahan kimia, selektivitas delignifikasi dipengaruhi juga oleh kondisi pemasakan (Gustavsson, 2007).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
241
Tulisan ini menguraikan hasil delignifikasi jenis kayu mangium berdiameter kecil (< 10cm) yang dibuat dengan proses soda dan sulfat pada kondisi pulping yang sama.
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan Jenis kayu yang digunakan untuk pembuatan pulp adalah Acacia mangium Willd. berdiameter kecil (< 10 cm) dari Sumatera Selatan. Untuk pemasakandigunakan rotari digester AU/E-20 merek Regmed dengan pamanasan tidak langsung menggunakan media air yang terdiri dari 4 tabung kapasitas serpih 150 g (o.d). B. Metode Kayu mangium dibuat serpih secara manual dengan ukuran 3 x 2,5 x 0,2-0,3 cm3 dan dikering udarakan hingga diperoleh kadar air kesetimbangan. Serpih tersebut dimasak sebanyak 150g (o.d) dalam rotary digester. Pemasakan menggunakan proses sulfat dan soda dengan alkali aktif masing-masing 16 dan 17% dan sulfiditas 20% (untuk sulfat) pada perbandingan kayu:larutan 1:4. Kondisi pemasakan diterapkan pada suhu maksimum 170oC yang dipertahankan selama 2 dan 2,5 jam, serta waktu tuju 2 jam. Untuk setiap perlakuan dilakukan dua kali ulangan pemasakan. Pulp hasil pemasakan dicuci dan disaring kemudian ditetapkan kadar air, rendemen, konsumsi alkalidan bilangan Kappa. Penentuan parameter tersebut dilakukan duplo untuk setiap kali ulangan. Perhitungan persentase lignin sisa (Klason), lignin pada pulp dan karbohidrat pada pulp dilakukan menggunakan rumus: Persentase lignin sisa (%) = bilangan Kappa x 0,13 (TAPPI 236 cm-85) ....................... (1) Lignin pada pulp (g)
= persentase lignin sisa x berat pulp tersaring ...................... (2)
Karbohidrat pada pulp (g) = berat pulp tersaring – lignin pada pulp ............................... (3)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen dan Bilangan Kappa Rendemen tersaring pulp proses soda sedikit lebih besar dibandingkan dengan proses kraft yaitu pada kisaran 51,89 dan 54,27%, sedangkan bilangan Kappa perbedaanya cukup besar dan pengaruhnya sangat nyata (Tabel 1). Tingginya bilangan Kappa pada proses soda menunjukkan bahwa delignifikasi yang terjadi belum berlangsung secara optimal dibandingkan proses kraft. Hal tersebut didukung dengan masih adanya rendemen kasar (reject) pada proses soda (Gambar 1).
242
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Tabel 1. Analisis statistik No.
Sumber keragaman
1. 2. 3. 4.
Proses Alkali aktif Waktupemasakan Alkaliaktif x waktu
Rendemen Konsumsi alkali Bilangan Kappa (%) (%) Probability,P 0,059 0,590 0,000** 0,059 0,570 0,238 0,949 0,173 0,047* 0,125 0,320 0,320
Selektivitas delignifikasi 0,000** 0,636 0,421 0,968
Keterangan: ** berpengaruh sangat nyata pada kepercayaan 95%
Kraft
Soda
Gambar 1. Rendemen tersaring dan bilangan kappa pulp kraft dan soda
Pada proses kraft terdapat dua jenis eksternal nukleophile yaitu ion OH- dan SH- sedangkan pada proses soda hanya terdapat OH-. Ion hidrogen sulfid merupakan nukleo filik yang sangat kuat, sehingga kehadirannya pada proses kraft akan meningkatkan delignifikasi lignin terutama terhadap pemutusan ikatan E aril ether pada unit fenol (Gambar 2), pada proses soda hal tersebut tidak terjadi. Pemutusan ikatan E aril ethermemberikan dampak yang besar pada penurunan bilangan Kappa mengingat hampir 60% ikatan tersebut terdapat pada unit fenilpropana dalam ligninkayu daun lebar (Sjostrom,1995).Pemutusan ikatan E-aril ether unit non-fenolik melalui HSSN2 terjadi pada proses kraft (Gambar 4). Pemutusan alkil gugus metoksil pada unit non-fenol pada proses kraft terjadi oleh ion hidrosulfida (Gambar 5).
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
243
Gambar 2. Pemutusan ikatan E-aril ether unit fenol lignin secara sulfidolitik pada proses kraft (bawah) dan pembentukan unit E-aroksi stiren pada proses soda (Ragauskas, 2009) Kahadiran ion hidrosulfida juga memiliki peran yang penting untuk mencegah terjadinya kondensasi pada lignin, yaitu bersaing dengan internal nukloephile dari struktur enol (Gambar 3). Reaksi tersebut akan membantu dalam menurunkan bilangan Kappa. Pemutusan CJ unit fenol yang menghasilkan formaldehid (Gambar 2) pada proses soda berpeluang menyebabkan terjadinya reaksi kondensasi (Sjostrom, 1995).
Gambar 3. Kompetisi penambahan eksternal (kraft) dan internal nukleophile melalui quinon methida intermediat (Chakar, 2001)
244
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Pada alkali aktif yang sama antara proses kraft dan soda, adannyaion hidrosulfida pada proses kraft akan mengurangi ion hidroksil. Ion hidroksil ini menyebabkan terdegradasinya karbohidrat saat pulping, sehingga pada proses sulfat akan diperoleh karbohidrat dalam jumlah yang lebih besar dan baik kualitasnya (derajat polimerisasi tinggi). Pada komposisi alkali aktif 17% dan proses pulping yang sama,peningkatan lama pemasakan pada suhu maksimal dari 2 menjadi 2,5 jam menyebabkan penurunan rendemen tersaring.Pulping pada fase akhir delignifikasi cenderung menyebabkan depolimerisasikarena dipengaruhi energi kinetikdan tinggginya alkali aktif (Sjostrom, 1995).Padapemakaian alkali aktif 16% masih terjadi peningkatan rendemen dengan bertambahnya waktu pulping. Sementara itu pada lama pemasakan yang sama, terjadi peningkatan rendemen tersaring dengan bertambahnya alkali aktif dari 16 menjadi 17%. Pada kondisi pemasakan tinggi baik pada proses kraft maupun sulfat cenderung menghasilkan bilangan Kappa rendah (Baptista, 2008). Meningkatnya konsentrasi alkali aktif dari 16% menjadi 17%, akan memberikan peluang delignifikasi lebih besar antara larutan pemasak dan lignin karena ion hidroksida yang tersedia lebih banyak. Bertambahnya waktu pemasakan sampai batas tertentu akan memberikan peluang terjadinya degradasi dan pelarutan lignin sehingga bilangan Kappa yang diperoleh rendah.
Gambar 4. Pemutusan ikatan E-aril ether unit non-fenolik melalui HS- SN2 pada proses kraft
Gambar 5. Pemutusan alkil gugus metoksil pada unit non-fenol pada proses kraft (Chakar, 2001)
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
245
B. Konsumsi Alkali Jumlah alkali aktif yang digunakan selama proses pulping kraft lebih sedikit dibandingkan proses soda karena adanya ion hidrosulfida yang secara aktif mendegradasi lignin. Pada waktu pulping yang lebih lama (2,5 jam) memberikan peluang pada alkali aktif (dalam larutan pemasak) untuk mendegradasi dan melarutkan lignin sehingga alkali aktif yang digunakan lebih besar (Tabel 2). Tabel 2. Karakteristik pulp kayu mangium Proses
AA (%)
Waktu pada suhu 170 oC (jam)
1.
Kraft
16
2
2.
Kraft 16
2,5
3.
Kraft 17
2
4.
Kraft 17
2,5
5.
Soda
16
2
6.
Soda
16
2,5
7.
Soda
17
2
8.
Soda
17
2,5
No.
Kode AA16-T2
AA16-T2,5
RT (%)
RK (%)
K. Alk (%)
LP (g)
KP (g)
51,89
0,00
13,46
1,67
76,16
52,400,0014,041,63 76,96
AA17-T2 53,020,0012,611,68 77,85 AA17-T2,5
52,280,0013,191,63 76,78
AA16-T2
52,07
1,67
14,31
4,70
73,41
AA16-T2,5
52,80
1,74
15,31
4,63
74,56
AA17-T2
54,27
1,20
14,31
4,90
76,50
AA17-T2,5
53,68
0,30
14,46
4,33
76,19
Keteragan: AA = Alkali aktif; RT = Rendemen Tersaring; RK = Rendemen Kasar; K. Alk. = Konsumsi Alkali; LP = Lignin pada Pulp; KP = Karbohidrat pada Pulp; SD = Selektivitas Delignifikasi
C. Selektifitas Delignifikasi Selektivitas delignifikasi pada proses kraft jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proses soda (Gambar 6) dan pengaruhnya sangat nyata (Tabel 1). Fenomena tersebut terjadi karena pada proses kraft terdapat ion hidrosulfida yang sangat reaktif menyerang lignin dan melindungi terjadinya degradasi karbohidrat oleh ion hidrogen.
Gambar 6. Selektivitas delignifikasi pulping proses kraft dan soda pada beberapa tingkat alkali aktif dan lama pemasakan
246
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Pada pemasakan selama 2,5 jam cenderung masih meningkatkan selektivitas delignifikasi pada proses kraft dan soda, namun rendemennya pada pemakaian alkali aktif 17% mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi karena reaksi berjalan lebih lama pada konsentrasi ion hidrogen yang lebih besar sehingga terjadi degradasi terhadap karbohidrat. Semakin lama waktu pulping baik pada proses kraft maupun soda, degradasi lignin meningkat dan karbohidrat tersisa pada pulp bertambah. Sementara itu peningkatan penggunaan alkali aktif pada proses kraft dan soda dari 16% menjadi 17% mampu menurunkan lignin sisa pada pulp tetapi berdampak negatif terhadap turunnya karbohidrat sisa (Gambar 7 dan 8). Karbohidrat (g)
16%
2,5 jam
17% 2 jam
Lignin (g)
¡ Waktu pada suhu 170qC, ¡ Alkali Aktif
Gambar 7. Hubungan antara karbohidrat dan lignin pada pulp kraft
Karbohidrat (g)
16% 17% 2,5 jam
2 jam
¡ Waktu pada suhu 170qC, ¡ Alkali Aktif
Gambar 8. Hubungan antara karbohidrat dan lignin pada pulp soda
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
247
IV. KESIMPULAN A. Kesimpulan 1. Selektivitas delignifikasi dan bilangan Kappa pada proses kraft lebih baik dari pada proses sulfat karena keberadaan ion hidrosulfida yang merupakan nukleofilik secara selektif mampu mendegradasi lignin dan pengaruhnya sangat nyata. 2. Rendemen pulp soda lebih tinggi dari pulp sulfat tetapi kandungan lignin di dalamnya lebih besar. 3. Semakin lama waktu pemasakan cenderung menurunkan bilangan Kappa dan meningkatkan konsumsi alkali dan selektivitas delignifikasi. 4. Penggunaan alkali aktif yang lebih tinggi cenderung menurunkan bilangan Kappa dan konsumsi alkali serta meningkatkan selektivitas delignifikasi. B. Saran Untuk mengetahui kecenderungan dari perlakuan waktu pemasakan dan pemakaian alkali aktif secara lebih mewakli, diperlukan pengambilan tingkat selang yang lebih banyak untuk masing-masing perlakuan.
DAFTAR PUSTAKA Baptista, R.D. and A.P. Duarte. 2008. Relationship between lignin structure and delignification degree in Pinus pinaster kraft pulps. Bioresource Technology 99: 2349-2356. Berggren, R. 2003. Cellulose Degradation in Pulpfibers Studied as Changes in Molarmass Distributions. Thesis doctoral. Royal Institute of TechnologyDepartment of Fibre and Polymer Technology. Division of Wood Chem istry and Pulp Technology. Stockholm. Chakar, F.S. 2001. Fundamental Delignification Chemistry of Laccase-Mediator System on HighLignin-Content Kraft Pulps. Dissertation. Institute of Paper Science and Technology. Atlanta, Georgia. Fengel, D. and G. Wegener. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Terjemahan. Yogyakarta. Gadjah Mada University PressGustavsson M. 2007. The Significance of Liquor-to-Wood Ratio on the Reaction Kinetics of Spruce Sulphate Pulping. Thesis. Dept. of Chem. Engi. Fakulty of Technology and Science. Depart. Of Chemical Engineering. Karlstads Universitiet. Ragauskas, A.J. 2009. High Selectivity Oxygen Delignification. Final Technical Report. Institute of Paper Science and TechnologyGeorgia Institute of Technology. Atlanta. Georgia. Siagian, R.M. 2007. Teknologi produksi pulp rayon dan papan isolasi dari limbah pembalakan hutan tanaman kayu pelita (Eucalyptus pellita). Laporan Hasil Penelitian (tidak dipublikasikan). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu. Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi Kedua. Terjemahan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
248
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
LAMPIRAN
Lampiran 1.
SURAT KEPUTUSAN KEPALA PUSTEKOLAH
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
249
KEDUA
KETIGA
250
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
251
Lampiran 2.
SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN Bogor, 9 November 2011 WAKTU
ACARA
08:00 – 08:30 08:30 – 08:35 08:35 – 08:40 08:40 – 09:00 09:00 – 09:20
Registrasi Do’a Laporan Kepala Pusat Arahan dan Pembukaan oleh Kepala Badan Keynote Speech Sebuah Komitmen Menuju Industri Kehutanan yang Berkelanjutan Break Sesi I a. Standardisasi Hasil Hutan Guna Memenuhi Pasar Global b. Pembangunan HTI Mendukung Penyediaan Bahan Baku yang Ramah Lingkungan: Pengalaman PT Musi Hutan Persada (MHP) c. Pemanenan Kayu Ramah Lingkungan d. Pembuatan Papan Serat Berkerapatan Sedang Menggunakan Campuran Pulp Limbah Pembalakan Hutan Tanaman dan Arang Aktif e. Industri Pulp dan Kertas Menuju “Green Indonesia” Ishoma Sesi II a. Perekat Berbasis Resorsinol dari Ekstrak Limbah Kayu Merbau b. Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Biodiesel Nyamplung (Colopyllum inophyllum L.) c. Pemanfaatan Limbah Sludge IPAL Industry Pulp dan Kertas sebagai Bahan Baku Bioetanol d. Ketahanan Papan Serat MDF terhadap Serangan Rayap Kayu Kering e. Hasil Uji Coba Produksi Kayu Lapis Sawit Padatan (Desified Oil Palm Plywood) Penutupan
09:20 – 09:40 09:40 – 12:30
12:30 – 13:30 13:30 – 16:30
16:30 – 16:40
252
PEMBICARA Panitia Drs. M. Muslich, M.Sc. Kepala Pustekolah Kepala Badan Litbang Kehutanan Ir. Arya Warga Dalam, MA.
Ir. SY. Christanto, M.For.Sc. Dr. Tjipta Purwita, M.BA.
Prof. Riset Ir. Dulsalam, MM. Dian Anggraini, S.Hut. MM.
Dr. Ir. Ngakan Timur Antara
Prof. Riset Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. Prof. Riset Dr. Ir. R. Sudrajat, M.Sc.
Dr. Rina Soetopo
Dra. Jasni, M.Si. Ir. Jamal Balfas, M.Sc.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Lampiran 3. NOTULASI DISKUSI SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI MENDUKUNG INDUSTRI HIJAU KEHUTANAN
SESI – I Makalah Kunci (Keynote Speech) Paparan: Sebuah Komitmen Menuju Industri Kehutanan yang Berkelanjutan Oleh: Ir. Arya Wargadalam, MA (Kementerian Perindustrian/IHHP)
SESI – II A. MAKALAH UTAMA 1. Makalah yang dibahas: a. Standardisasi Hasil Hutan Guna Memenuhi Pasar Global Oleh: Ir. SY. Chrystanto, M.For.Sc. (Pustanling) b. Pembangunan HTI Mendukung Penyediaan Bahan Baku yang Ramah Lingkungan: Pengalaman PT Musi Hutan Persada Oleh: Dr. Tjipta Purwita, M.BA. (PT Musi Hutan Persada) c. Pemanenan Kayu Ramah Lingkungan Oleh: Prof. Riset Ir. Dulsalam, MM. (Pustekolah) d. Industri Pulp dan Kertas Menuju Green Indonesia Oleh: Dr. Ir. Ngakan Timur Antara (Balai Besar Pulp dan Kertas Bandung) e. Pembuatan Papan Serat Berkerapatan Sedang Menggunakan Campuran Pulp Limbah Pembalakan Hutan Tanaman dan Arang Aktif Oleh: Dr. Ir. Han Roliadi, M.Sc., Dian Anggraeni, S.Hut., MM & Rosi M. Tampubolon, S.Hut. 2. Diskusi: a. Pertanyaan/saran/masukan: 1) Kusmintarjo (BTPTH Bogor) Untuk Pak Tjipta: x
Acacia mangium sebagai kayu andalan, MHP setuju. Pada rotasi penanaman kedua tanaman biasanya kurus, hal ini bisa dimaknai bahwa produksi tinggi hanya pada produksi awal, terjadi pengurasan hara. Setuju kalau hasil hutan bukan kayu tetap ditinggalkan. Tetapi dengan mengektraksi kayu sedemikian hebat mengakibatkan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
253
terjadi pengurasan hara, sebagai substitusi tidak bisa ditutup dengan pupuk dan lainlain. Apa yang harus dilakukan MHP untuk mengembalikan kondisi tersebut? x
Belum disebutkan ancaman yang terjadi pada Acacia mangium. Ancaman yang hebat adalah penyakit busuk akar. Balai Besar Yogyakarta sekarang bekerjasama dengan proyek ACIAR. Kita tidak akan mampu menggunakan berjuta-juta liter pestisida. Mohon penjelasan jalan keluarnya.
2) Subarudi (Puspijak) Untuk Pak Ngakan: x
Pasokan kayu terbatas. Kekurangan pasokan bahan baku. Untuk BBPK: Dari pemaparan tadi, dimana green teknologinya. Teknologi tekstil bisa menghemat air. Industri pulp bagaimana?
x
Pasokan kayu untuk kayu terbatas. Ada ketidakadilan. Pulp kita kompetitif karena biaya produksi rendah. Biaya bahan baku pulp 8-10%. Apakah kita akan bertahan, nanti akan kekurangan bahan baku.
3) Sukma (Biomaterial LIPI) Untuk Pak Ngakan: x
Dari judul “Industri Pulp dan Kertas Menuju Indonesia Green”, mestinya terdapat perbedaan industri pulp yang konvensional dan industri yang green teknologi. Tapi tidak disebutkan data yang mengatakan hal tersebut.
Untuk Bu Dian: x
Pembuatan MDF dari pulp dan penambahan arang aktif. Apakah telah diuji viabilitas terhadap bahan baku yang digunakan?
4) Saptadi Darmawan (Pustekolah) Untuk Bu Dian: x
Ada 2 proses yaitu basah dan kering. Yang berkembang adalah proses kering. Dari lingkungan basah yang lebih ramah lingkungan karena tidak perlu perekat. MDF perlu proses basah. Bagamana kualitas apabila dilihat dari proses yang cenderung memakai proses kering.
x
Arang aktif dapat menurunkan sifat-sifat MDF. Penambahan arang aktit dengan penambahan 4%, semua kualitas meningkat termasuk kualitas dan emisi formaldehidnya.
5) UNTAN Untuk Pak Tjipta: x
254
Hutan monokultur apalagi Acacia mangium, tahun kedua akan mengurangi unsur hara dan pengurangan pertumbuhan. Apakah ada usaha-usaha untuk mempercepat
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
dekomposisi. Apa ada usaha untuk tanaman campuran (misalnya eukaliptus atau jenis lain) supaya tidak memliki tanaman monokultur? x
Apakah ada usaha penggunaan pupuk ramah lingkungan (pupuk hayati)?
6) Joko Sulistyo (UGM) Untuk Pak Dulsalam: x
Pemanenan ramah lingkungan cukup meningkatkan produktivitas hasil. Belum melihat apakah limbah dimanfaatkan atau ditinggal. Sawit semua limbahnya ada nilai ekonomisnya. Apakah limbah sebagian bisa dikeluarkan atau tidak. Kalau bisa, bisa mendorong pemanfaatan energi yang ramah lingkungan sekalian meningkatkan nutrisi dalam hutan. Seperti kelapa sawit, seluruh limbahnya dapat dimanfaatkan.
Untuk Pak Ngakan: x
Sekarang industri kertas banyak menghadapi komplain dari negara maju. Komitmen pemerintah dalam menjawab isu itu seperti apa. Industri kertas berjuang sendiri untuk menjawab isu tersebut.
7) Gustan Pari (Pustekolah) Untuk Pustanling: x
Indonesia dalam ISO 14001, industri mebel berada nomor dua dari bawah. Perlu klarifikasi dari Pustanling, supaya nanti bisa lebih meningkat lagi.
8) Wesman (Pustekolah) Untuk Pak Ngakan: x
Bahan baku industri pulp sebagian besar impor, tidak memanfaatkan cabang-cabang limbah pemanenan. Seberapa jauh pemanfaatan cabang-cabang, apakah kualitasnya berbeda apabila menggunakan kayu diameter kecil?
x
Sedang mencoba alat, tapi memotong arah melintang dari kayunya. Apa kualitas dari cara memotong mempengaruhi kualitas pulp (arah memotong melintang)?
b. Jawaban/tanggapan: 1) SY. Chrystanto (Pustanling) x
Posisi di negara Asian ISO 14001. ASEAN itu ada pertemuan yang khusus membahas standar, hanya saja data yang masuk sebetulnya kadangkala tidak valid, karena seluruh negara tidak memberi data yang pas. Disepakati masing-masing negara rajin untuk menyampaikan informasi data yang lengkap. Tidak mengajak dirjen-dirjen terkait untuk pemantauan kegiatan-kegiatan dan rajin memberi informasi, sehingga posisi Indonesia bisa lebih baik dari sekarang.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
255
x
Kami akan cek kembali di kehutanan, kelembagaan kadangkala yang paling terkait tidak diajak. Litbang diajak terus, BUK yang paling banyak tertkait malah ditinggalkan. Perlu pemantauan dan rajin menyampaikan informasi sehingga posisi Indonesia bisa lebih baik dari sekerang. Di AACC ada 38 datar yang standarnya sudah diharmonisasikan, hanya 4 negara dari 10 negara.
2) Tjipta Purwita Untuk Pak Kusmintarjo: x
Sama mengkhawatirkan soal itu. Resiko itu ada. Kami peduli soal itu. Kami membuat plot penelitian untuk meneliti agar tidak terjadi penurunan produktivitas atau setidaknya mempertahankan. Dalam skala penelitian pada rotasi kedua masih bagus. Namun apakah bisa skala laboratorium itu dibawa ke skala yang lebih besar. Masalah hama penyakit, terjadi. Kita kerjasama dengan ACIAR untuk mengatasi hal itu. Hama monyet juga berat.
x
Proses dekomposisi apalagi tunggak lama sekali. Dengan cara dicincang. Kalau dibiarkan saja akan lama waktunya. Sehingga bahan organik merata. Ada jenis lain. Dan ada pemikiran ada jenis pohon pengganti. Dan sudah disiapkan rencana apabila ada penyerangan hama yang berat. Namun yang large scale masih dalam proses negoisasi. Kita menggunakan bahan organik yang tidak beresiko terhadap lingkungan, tapi tidak menggunakan pupuk kandang.Dengan menggunakan fertilizer yang berersiko terhadap lingkungan.Sehingga bisa berkurang resiko.
x
Dekomposisi daun, masih normal dalam skala lab.
3) Dian Anggraeni Untuk Sukma: x
Weatbilitas tidak diuji, karena hanya menggunakan perekat tanin dan urea. Apakah dengan penambahan arang bisa menaikkan stabilitas dimensinya, tidak untuk penelitian ke depan.
Untuk Saptadi: x
Penambahan arang aktif kekuatan MOE MOR dan stabilitas meningkat, mengapa penelitian kita menurun. Apakah karena perbedaan proses? Apakah karena perekatnya? Harus diteliti lebih lanjut. Dilakukan dengan menggunakan sabut apakan menurun pengaruh dari proses atau perekatnya.
Untuk Wesman:
256
x
Pulp sekecil apapun, ranting pun bisa digunakan selama bisa dimasak asal jangan terlalu hancur. Karena sekarang masih menggunakan proses manual dengan golok.
x
Proses basah itu akan menyebabkan lebih sedikit penggunakan perekat sehingga air folutionnya sedikit. Sedangkan proses kering menggunakan perekat yang lebih banyak sehingga air folutionnya lebih banyak. Jadi untuk pengusaha kecil lebih banyak menggunakan dengan proses basah.
x
Tanin berprospek baik, lebih ramah lingkungan.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
4) Ngakan Timur Antara Untuk Pusdiklat: x
Bagaimana green isndurtri: salah satunya adalah penghematan sumberdaya, peningkatan efisiensi. Dalam paparan kami, industri IPK telah melakukan komitmen pemerintah pada batas mendorong. Mereka telah melakukan ekolabel, semua hal-hal yang berkaitan dari hulu–hilir harus mengacu SNI produk multi kriteria. Penggunaan air, energi, dan lain-lain, tersirat dalam ekolabel. Pemerintah/Kementrian Perisndustrian ada komitmen besar yang harus digarap bersama. Memetakan industri pulp dan kertas, dimana terjadi penghematan-penghematan: apakah peralatan perlu diganti tapi proses tidak berubah.
Untuk Sukma: x
Dengan adanya capaian yang telah dilakukan, komitmen pemerintah untuk memetakan teknologi, itu proses yang sedang berjalan. Industri PK cukup tinggi memenuhi komitmen tersebut. BBPK mensuplai perangkat infrastruktur, peralatan dan sertifikasi produk ekolabel. IPK kita menuju dan sejalan dengan program pemerintah dalam mengurangi emisi dan menuju undustri hijau.
x
Pembelian BB cukup rendah, tidak banyak menyentuh itu. Jika salah satu pihak merasa dirugikan, bisnis tidak lama dan tidak merubah. Akan workshop bulan Desember. Dari hasil pemetaan akan ada beberapa kategori, low, medium, high cost. Mereka mau pakai yang mana?
Untuk Sulistyo: x
Industri tidak bergerak sendirian, akan mengikuti dengan porsi yang sesuai. Ini harus dilakukan seharusnya demikian. Harus dilakukan kontribusi sesuai porsi.
x
Ranting apa dimanfaatkan? Efisiensi, jika tidak efektif sama saja mencacah air, sehingga proses tidak efisien. Pernah dilakukan tanaman (atas, tengah, bawah) tapi ada perbedaan yang signifikan.
x
Cara pemotongan tidak melihat, serta dengan cara pemotongan tidak terpotong. Saya kira tidak signifikan.
x
Tiap tahun sebaiknya dilakukan kegiatan seminar seperti ini. Kita ingin tahu barometer IPK sejauh mana. Printing teknologi sangat maju, harus diikuti kertas untuk memenuhi kebutuhan printing.
5) Dulsalam x
Pemanfaatan limbah dibagi dua, HT langsung diproses, di hutan alam ada, tapi belum diteliti. Mudah-mudahan ada tambahan target, kegiatan sudah ada tapi target penelitian belum. Di Sarminto ada, malah khusus mengeluarkan tidak bersama dengan traktor tapi dengan eksavator mengambil kecil-kecil dan diangkut. Tapi ada industri dalam hutan/industri veenir, bisa mengupas kayu-kayu berdiamer kecil. Belum diteliti, baru melihat di lapangan. Ada yang sudah diangkut tapi tidak dibeli, rugi, akhirnya ditinggal. Apabila digunakan portible kupas/rotary bisa dilakukan di lapangan, membantu sekali pemanfaatan limbah di lapangan.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
257
SESI - III B. MAKALAH PENUNJANG 1. Makalah yang dibahas: a. Perekat Berbasis Resorsinol dari Ekstrak Limbah Kayu Merbau Oleh: Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si. (Pustekolah) b. Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Biodiesel NyamplungCalopyllu ( inophylum L) Oleh: Prof. Riset. Dr. Ir. R. Sudradjat, M.Sc. (Pustekolah) c. Pemanfaatan Limbah Sludge Industri Pulp dan Kertas Oleh: Dr. Rina S. Sutopo (Balai Besar Pulp dan Kertas Bandung) d. Ketahanan Papan Serat MDF Terhadap Serangan Rayap Kayu Kering Oleh: Dra. Jasni, M.Si., Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si. dan Ir. Rena M. Siagian, MS. (Pustekolah) e. Hasil Uji Coba Produksi Kayu Lapis Sawit Padatan (Desified Oil Palm Plywood) Oleh: Ir. Jamal Balfas, M.Sc. (Pustekolah) 2. Diskusi: a. Pertanyaan/saran/masukan: 1) Han Roliadi Untuk Pak Adi S.: x
Bagaimana kalau ditambah reaksi pewarnaan dengan reaksi resorsinol agar lebih yakin.
Untuk Bu Rina: x
Diekspan menjadi proses etanol dan bisa menggerakkan kendaraan-kendaraan di PT TEL.
Untuk Pak Jasni: x
Bagaimana kekuatannya apakah lebih baik dengan menggunakan chitosan dibanding TF? Asteliasi merubah gugus? Dicurigai kekuatannya menurun namun keawetannya meningkat.
Untuk Pak Jamal: x
Kayu lapis/kayu reguler beda. Apakah sudah diantisipasi keawetan dari panel kayu lapis ini?
Untuk Pak Adi S.: x
258
Ada hal bagus merau jadi bahan perekat bisa merngeras pada suhu kamar. Untuk lebih yakin ditambah analisis dengan reaksi pewarnaan sama dengan resorsinol.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Untuk Ibu Rina: x
Konveri sludge menjadi etanol. Pada sludge, bagaimana kalau suatu saat akan dieksvan menjadi metanol? Bisa menggerakkan kendaraan di PT TEL.
Untuk pak Jasni: x
Mematikan rayap lebih bagus, bagaimana kekuatannya? Apakah juga lebih baik apabila menggunakan chitosan dibanding TF.
Untuk Pak Jamal: x
Bagus sekali densigikasi kalapi dari sawit. Sesudah didisensikasi kayu kembali lagi ke asal, perlu perlakuan. Apa sudah diantisipasi? Kayu lapis dan reguler beda. Apakah sudah diantisipasi terhadap keawetan kayu lapis terhadap mikroorganisme dari kayu sawit.
2) Joko Untuk Pak Adi: x Kayu merbau itu jauh dari Papua. Bagaimana cara memperoleh ekstrak bila diperlukan? Apakah dari limbah atau pemanenan khusus untuk pohon berdiri? Untuk Pak Adjat: x Energi yang diperlukan untuk memperoleh bioetanol yang kompotetitf? Pohon nyamplung berapa luasan yang ekonomsi untuk meproduksi bioetanol. Berapa besar energi yang diperlukan untuk bioetaniol apakah kompetitif/tidak? Untuk Bu Rina: x Apakah bila dibandingkan dengan limbah sludge kompotetitif? Lebih mahal atau lebih murah? Limbah padat semuanya sudah dimanfaatkan apakah masih ada yang terbuang? 3) Krisdianto (Pustekolah) Untuk Pak Adi: x Spektrogram dan lain-lain. Disebutkan ada puncak. Sedangkan kalau dilihat grafiknya itu lembah bukan puncak karena ke bawah. Gambar 6 dan 10 kalau bisa digabungkan karena ingin melihat seberapa besar perbedaannya. Untuk Pak Jasni: x Asetoilasi? Penambahan beratnya? Untuk Pak Jamal: x Densifikasi batang kelapa sawit 130 derajat menjadi bentuk lain? Ada penjelasan dari proses tersebut?
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
259
4) Barly Untuk Pak Adi: x Kesimpulan 5.5 itu bentuk larutan atau padatan? x Apalah ekonomis? Untuk Bu Rina: x Kadar etanol? Kurang jelas kesimpulannya. Dari 2% didapat 6 kg/ton sludge. Kalau memang demikian kecil, padatan yang dihasilkan kecil. Apakah ekonomis? Untuk Pak Jasni: x Penjelasan Tabel 5, tidak ada bedanya antara yang 0 dan yang lain. x Chistosan yang 25 dan 50 tidak ada bedanya. Untuk Pak Jamal: x Potensi memang besar, namun kalau terlambat dalam pengolahan karena ada keterlambatan pencegahan dalam mengantisipasi pengawetan (pencegahan bakteri). Kerapatan kayu sawit beda dengan kayu. Bagaimana menyikapi hal itu dalam pengolahan. Apakah tidak terjadi cacat-cacat karena ada perbedaan kerapatan? 5) Dulsalam Untuk Bu Rina: x Mengkomersilkan teknologi untuk membuat energi dari limbah pembalakan, bisa membuat biozat dari limbah pembalakan. Apakah bisa sludge ini dibuat menjadi biozat atau bio gas? CH8? Untuk Pak Jasni: x Kerusakan dengan derajat serangan. Apa tidak kebalik? Derajat serangan dan kerusakannya? Untuk Pak Jamal: x 130rb dan pengangkutan 60rb. Tergantung dari jarak pengangkutannya. Selain pengangkutan di lapangan ada kegiatan pemotongan, dan lain-lain. Apakah harga tersebut sudah termasuk itu? Termasuk uang untuk “RT, polisi” dan lain-lain. 6) Yusuf Sudo Hadi Untuk Pak Adi: x Kayu merbau di Irian tua. Bagaimana dengan kayu merbau yang masih muda? Ekstraktifnya? Untuk Pak Adjat: x Apabila ini untuk komemrsial, apakah bisa menghasilkan di bawah harga internasional yaitu 1 dollar? Prospektif tidak? Untuk Pak Jamal: x Pengeringan veneer apakah harus kontinyu? Badtch? Full press drying? x Kerapatan satuannya bukan gr/m3 harusnya kg/m3 dan tidak perlu pakai koma.
260
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
b. Jawaban/tanggapan: 1) Adi Santoso Untuk Pak Han: x Analisis komponen kimia dari bahan bakunya. Kami berpijak dari tujuan awal menemukan kendala pada penggunaan kayu merbau pada saat finishing. Yaitu pada saat finishing akan berwarna merah pada saat kena air. Sehingga konsentrasi kita hanya pada zat itu saja. Jadi tidak menganalisis lebih lanjut lagi. Untuk Pak Krisdianto: x
Menggabungkan gambar-gambar grafik. Kami kesulitan dalam pemogramannya, sehingga tampilannya begitu. Agar terlihat perbedaan antara ekstrak dan polimer.
x
FTUR. Puncak tapi di bawah. Graik pertama kombinasi hidroksil dan aromatis.
x
Rendemen 5,5%. Kadar padatannya dominannya cairan dianalisis dengan perawatan tadi diperlukan kristalnya. Ternyata rendemennya 5,5%. Ternyata 78% kemurnian kristalnya.
Untuk Pak Yusuf: x Yang diamati yang dipanen, yang muda tidak tahu namun harus dibuktikan. Masukan untuk ditindaklanjuti. 2) Jasni Untuk Pak Han: x Kerapatan papan serat menurut JIS. x Menghasilkan papan serat yang lebih tinggi dengan chistosan bukan dari yang urea. Untuk Pak Barly: x Tabel 5. Non parametrik. Range nilainya terlalu besar pada kerusakan karena perbedaan statistik non parametrik. Jika masuk SNI tidak berbeda 90. Semua ini sudah standar. Serangan 0-90 ya begitu sesuai dengan standar yang ada. 3) R. Sudradjat Untuk Pak Joko: x
Luas minimal sekitar 30 hektar. Kalau hitung-hitungan 1 ton/jam. 24 jam = 24 ton. 1 tahun 300 ton biodiesel.
x
Energi balance. Harusnya efisien. Bagian-bagian prosesing pengeringan biji. Sekarang bisa atasi tidak dikukus tapi disisir/dicincang tipis. Untuk mengatasi pengeringan. Proses degumming dan lain-lain lamanya 2 jam. Energi balance-nya positif.
Untuk Pak Yusuf: x Dengan harga 9 ribu, itu dengan harga jual 6 ribu sudah pasti ekonomis. Ekspor biodisel ke LN seharga 10 ribu. Harga pokok biodisel 4 ribu.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
261
4) Jamal Balfas x
Spring back pada kayu konvensional berbeda dengan kayu monokotil. Dalam kasus kayu sawit, kelapa, aren relatif mudah dilakukan densifikasi. Makin ke dalam porsi jaringan parenkim makin besar dan makin mudah dilakukan pemadatan vasculer bundels. Itu yang dilakukan densifikasi dengan tujuan untuk meningkatkan kerapatan, kekuatan stabilitas kayu sawit.
x
Densifikasi 30 derajat terjadi perubahan kimia. Terjadi karamelisasi berbau enak. Densifikasi ada dua: Press dryer. Banyak karamel. Pada saat pressing metal dari bagian mesin, veneer lekat skali dengan alas. Sehingga alat ini harus disodok-sodok dan recovery-nya hanya 30%. Perubahan kimianya ekstrim karena ada perubahan selulosa, lignin yang paling tegas pada pati. Penambahan yang efektif terhadap struktur. Perubahan ini dicontoh dari ilmu food teknologi. Dan diadopsi pada proses pengolahan kayu sawit.
x
Spring back terjadi pada kayu konvensional.
Untuk Pak Barly: x
Pengawetan dilakukan yaitu treatment borak borik. Untuk propilatik efektif. Namun untuk yang pengawetan permanen di luar negeri mereka umum menggunakan pestisida tertentu. Kita bisa mengadospsi cara tersebut. Varisasi tinggi pada kayu sawit sangat mengganggu. Veneer dimasukkan ke dalam larutan sebelum dilakukan pengeringan. Variasi rotarinya sudah minimal. Cara paling efektif untuk mengurangi densitas kayu sawit dan lainnya.
x
Di Riau 7 tahun terakhir sudah menggunakan kayu kepala untuk plywood. Satu potensi yang paling kuat untuk menggunakan kayu sawit.
x
Di Malaysia perusahaan perkebunan wajib menyuplai kayu sawit ke pabrik kayu yang mengolah dan dikenakan ongkos kirim 130 ribu. Cost perusahaan perkebunan. Ke pabrik kayu. Ongkos kirim ke pabrik kayu sawitnya. Termasuk biaya “plus” lainnya. Kebun sawit posisinya sangat mudah. Bahkan ada yang di tengah kota. Jadi tidak memerlukan biaya yang besar. Dan hanya membutuhkan biaya yang mahal.
Untuk Yusuf: x Densitas keliru satuan: kg/m3 sehingga ada nilai yang seribu kali lebih besar. 6) Rina S. Sutopo x
Konversi sludge menjadi metanol. Belum ada pengalaman. Untuk menjadi metanol diperlukan mikroba yang lain. Dan kita belum mendalami soal itu.
Untuk Pak Joko:
262
x
Limbah padat dikeringkan dan dimasukkan ke boiler. Kadar airnya 60-70%. Permasalahan industri limbah padat untuk menghasilkan energi, karena kadar air yang tinggi. Limbah lignin dimasukkan sudah bisa digunakan untuk sumber energi.
x
Kadar etanol 2-3% adalah kadar etanol setelah fermentasi. Tidak ekonomis, namun karena bahan bakunya menggunakan limbah, sehingga melihat keekonomisnya perlu diperhitungan lagi.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
x
Sludge untuk biogas, sudah banyak dilakukan. Di Riau pemanfaatan sludge untuk biogas. Lebih cocok digunakan dari biological/biogass. Sludge biologi sifatnya sulit diendapkan, sulit dipresss dan dominan oleh mikroba sehingga sulit untuk dihilangkan.
Untuk Pak Adjat: x Sludge bisa untuk metanol tetapi melalui proses gasifikasi.
SESI - III a. Pertanyaan/saran/masukan: 1) Kusmintarjo Untuk Pak Sudradjat: x Perihal biofuel. Lipid ada dalam benih apapun dalam bentuk granul yang disebut oleosin. Itu kimianya triacil gricerol. Benih membutuhkan energi untuk berkecambah. Dari bentuk granul itu harus dipecah-pecah untuk menjadi energi oleh enzim lipase. Untuk biofuel ini ada di segmen yang mana? Proses awal dengan proses pengepresan. Kalau melihat ada kinerja enzimatik, kalau dibantu triasilgli bisa menjadi molukelmolukel yang sederhana, mohon pendapat/keterangan? 2) Ratih Untuk Bu Rina: x Kalau ekspor ditolak karena mengandung kayu ramin. Bagaimana bisa membedakan kertas yang ada itu mengandung kayu raminnya? Untuk Pak Jamal: x Kelemahan kayu sawit yaiut pada anatominya, parenkimnya yang terlalu besar. Batang sawit apakah cocok? b. Jawaban/tanggapan: 1) R. Sudradjat x
Bahan yang diambil dari nabati, biji-bijian. Selain dari lipid, lipase alamiah yang dikandung oleh biji.
x
Harus dibuat reaksi enzimatik. Lalu proses esterfikasi karena pH-nya rendah karena kalau diproses tetap akan menjadi panjang. Prosesnya panjang.
2) Jamal Balfas x
Pengeringan dengan menggunakan sistem drum atau betch ketimbang hotpress.
x
Kelemahan anatomi kayu sawit sudah dari tahun 50an.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
263
x
Harga produk yang relatif murah yaitu panel, partical board.
x
Orang apresiasi karena faktor lingkungan.
x
Mengolah kayu sawit sulit. Dikeringkan peot. Dibiarkan busuk. Pada saat bersamaan fenomena tunggak pinus yang telah ditebang 3 tahun masih fresh. Dan ini yang digunakan untuk kayu sawit. Memasukan getah pinus ke dalam kayu sawit. Dan itu awal dari semua ini. Tapi mana mungkin terus mengkonsumsi getah resin pinus untuk kayu sawit. Jadi apa yang dilakukan dengan modifikasi dengan food teknologi. Material komponen pangannya lebih banyak daripada komponen kayunya. Bagian atasnya mudah dibuat pangan. Lebih mudah dikonversi untuk bahan pangan.
x
Kelamahan anatomi ini maka kita lakukan densifikasi. Kemungkinan untuk menjadi kayu lapis cenderung lebih optimis. Lebih mudah densifikasi, lebih stabil, dirakit menjadi panel pun lebih mudah dibanding dengan kayu solid. Percobaan di Riau, harganya di atas harga panel sengon. Sedang disiapkan pabrik kayu lapis pertama di Aceh. Perlu investasi 140 milyar. Prospek plywood dengan kayu sawit itu positif.
3) Rina S. Sutopo x
Mengenai produksi kertas, saya tidak research dengan produksi kertas dan mengindentifikasi kertas terbuat dari jenis kayu apa.
Untuk Bu Susy:
264
x
Industri telp ke BPPK ada masalah dimana pulpnya mengandung kayu ramin. Balai Besar adalah balai besar proses pulp dan kertas. Yang bisa mengindentifikasi jenis apa yaitu Pustekolah.
x
Pulp dengan menggunakan ramin Mixard wood?
x
Produksi pulp kertas massa jenis 0,3-0,5. IPK tidak mungkin menggunakan kayu yang massa jenisnya lebih dari 0,5 karena polusinya lebih tinggi.
x
Perekat ektrak kayu merbau dapat sebagai perekat sisntetis formaldehid terbarukan, ramah lingkungan dan murah, penacapaian green teknologi dan green produk.
x
Biji nyamplung kadar minyak tinggi, non pangan (tidak kompetitif dengan pangan), tersebar di seluruh Indonesia, untuk biodiesel dan karosen. Ramah lingkungan dan green produk.
x
Sludge dapat untuk BB bioetanol yang ramah lingkungan sebagai alternatif bioenergi yang ramah lingkungan.
x
Pada MDF dapat meningkatkan serangan terhadap RKK.
x
Permanfaatan batang kayu kelapa sebagai kalap dapat alternatif.
x
Perlu penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas dari kayu lapisnya.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Lampiran 4.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
265
266
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
267
268
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Mendukung Industri Hijau Kehutanan
269