WHITEPAPER MARCH 2017
SELLING STRATEGY SERIES The Sales Secret of High Growth Companies
Mengungkap rahasia strategi penjualan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan pertumbuhan penjualan tertinggi berapa tahun terakhir By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW)
Kalau mengikuti strategi perusahaan besar untuk menjual produk mereka maka tidak semua kita bisa mengikutinya. Kenapa? Selain masalah budget mereka yang luar biasa besar untuk promosi, semua tim marketing mereka sudah sangat kompeten dan bisa diandalkan. Bagaimana dengan perusahaan kita yang mungkin bisa dikategorikan pemain lokal atau bahkan start-up business? Jangan kecil hati dan pesimis terlebih dulu. Sebab melalui whitepaper kali ini, kita akan sama-sama belajar melalui pengalaman-pengalaman perusahaan yang dulunya lokal dan kecil, namun sekarang bisa menjadi membesar dalam waktu singkat. Jadi, titik pembelajarannya bukan kepada apa yang perusahaan tersebut lakukan sekarang saat sudah menjadi besar, melainkan proses perjalanan mereka saat berukuran kecil, suka-duka yang dihadapi dan cara kreatif yang berhasil dilalui, sedemikian menjadi perusahaan yang punya pertumbuhan yang tinggi dari tahun ke tahun.
Gambar 1. Old vs New Sales Model of High Growh Companies
Akan ada akibat dampak yang sangat berbeda antara perusahaan yang fokusnya pada omset / jangka pendek dibandingkan perusahaan yang fokusnya pada pertumbuhan / jangka panjang. Perusahaan yang fokusnya pada omset memang akan bertumbuh dengan cepat dan bersifat linear karena perputaran cash flow, namun jika tidak menjaga sisi kualitas produk dan layanan, maka branding perusahaan tersebut bisa jatuh dalam waktu singkat. Berbeda dengan perusahaan yang fokus pada pertumbuhan, walaupun nampaknya pertumbuhannya tidak secepat pesaingnya di tahun-tahun awal perusahaan berdiri, namun perusahaan ini telah meletakkan pondasi yang tepat dan siap untuk mengalami pertumbuhan secara eksponensial di kemudian hari. Perusahaan yang hanya fokus pada omset memiliki pola strategi penjualan yang cenderung pushy/menekan, dan hit & run. Sedangkan perusahaan yang fokus pada pertumbuhan akan lebih menekankan edukasi, engagement, dan social network kepada para pelanggannya. Artinya, perusahaan yang fokusnya pada pertumbuhan memahami bahwa pelanggan memerlukan problem solver, bukan product pusher. Apalagi dengan semakin mudahnya dan murahnya akses ke internet, setiap pelanggan akan selangkah lebih cepat ketimbang para sales yang akan datang menawarkan produk padanya, karena pola perilaku pelanggan adalah searching google dulu baru kontak / temui toko fisiknya (jika produknya adalah kategori B2B – business to business). Oleh sebab itu peran tim sales di perusahaan saat ini harus lebih fokus ke layanan/edukasi, bukan pada penjelasan product knowledge atau demo produk lagi. Bukan pula pada cold call atau telemarketing, melainkan pada aktif di social media dengan cara memberikan Like atau Comment akun sosmed yang dimiliki oleh pelanggan. Proses kualifikasi pelanggan apakah prospek atau tidak untuk dikunjungi, bukan pada melihat pada aspek gender, usia, pendidikan, daya beli lagi (qualify leads), melainkan pada proses engage / komunikasi 2 arah dengan mereka, sebab banyak sekali pelanggan yang sebenarnya mampu beli tapi pura-pura tidak memiliki budget yang cukup, begitupula sebaliknya, seringkali para tim sales tertipu dengan tampilan fisik pelanggannya, dikira mampu beli ternyata hanya tanya-tanya saja. Tapi dengan cara komunikasi 2 arah dan melihat akun facebook / Instagram calon pelanggan, kita bisa mengetahui lebih detail berapa besar daya beli mereka. Banyak perusahaan yang dulunya menerapkan cara lama yaitu fokus pada selling saja, untungnya mau melakukan evaluasi dan melakukan dengan cara yang baru karena dengan perkembangan zaman dan kebutuhan konsumen yang sangat cepat berubah, tidak lagi bisa kita
menjual dengan cara yang sama. Fokus ke depan sebaiknya perusahaan lebih mentargetkan kebutuhan seluruh orang dalam rumah tangga (household) atau kebutuhan kolektif, bukan hanya kebutuhan individu saja. Mengapa demikian? Menurut teori perilaku pengambilan keputusan, seorang pelanggan ternyata sangat dipengaruhi oleh family & friend untuk menentukan apakah dirinya akan membeli atau tidak sebuah produk. Sedemikian kita tahu banyak perusahaan yang dulunya hanya menjual produk untuk wanita muda, sekarang mulai menjual varian produk untuk pria, anak-anak, bahkan lansia. Kuncinya adalah melayani multi-segmen, namun harus tetap diperhatikan penataan branding image agar tidak saling bertabrakan satu sama lain.
Gambar 2. Old vs New Focus of High Growth Companies
Fokus kedua yang harus digarap adalah bagaimana perusahaan berupaya meningkatkan growth-nya tidak hanya mencari omset dari para pelanggan baru saja, melainkan bisa meningkatkan omset dari para pelanggan lama dengan cara up/cross selling, yaitu upaya meningkatkan repeat order pelanggan lama. Agar bisa melakukan ini, perusahaan bisa memulainya dengan customer mapping, sebuah proses pemilahan/pengkategorian pelanggan yang selama ini kita layani, manakah yang masuk dalam kategori potensial atau tidak. Kemudian melihat pola pembelian dan produk apa saja yang selama ini dibeli dengan metode RFM Analysis, sebuah pendekatan yang digunakan SLC MARKETING, INC. untuk membantu klien dalam memanfaatkan customer base mereka. Mengapa harus fokus ke pelanggan lama? Jawabannya adalah pelanggan lama adalah pelanggan yang sudah kenal kita sejak lama, mereka tahu persis bagaimana kualitas produk dan layanan yang kita berikan.
Artinya tanpa biaya iklan sekalipun, asal perusahaan kita tidak pernah melakukan kesalahan fatal, maka target omset tetap bisa dicapai. Fokus ketiga adalah bagaimana menata kembali branding yang selama ini dimiliki. Terlebih jika perusahaan tersebut memiliki banyak sekali varian produk, masing-masing dengan brand-nya sendiri-sendiri. Agar terjadi pertumbuhan ekponensial, perusahaan dapat menggunakan pendekatan strategic brand portfolio. Artinya, tetap ada beberapa brand yang dipertahankan, namun harus disinergi-kan satu sama lain. Dan ada beberapa brand yang memang harus terpaksa di-eliminasi karena tidak terlalu menguntungkan dan malah menjadi beban bagi perusahaan ke depannya. Di SLC MARKETING, INC. kami membantu klien untuk menata kembali ragam produk dan brand mereka dengan metode BCG Matrix sedemikian bisa diketahui mana brand produk yang masuk kategori cashcow, star, question mark atau dogs. Sinergi brand portfolio yang bisa dilakukan adalah dengan cara “using founder personal
branding”, yaitu contohnya yang dilakukan MNC Group milik Hary Tanusoedibjo, dimana beliau bisa menyatukan persepsi konsumen bahwa RCTI, i-News, MNC Bank, MNC Land, bahkan Partai Perindo sekalipun adalah manunggal dengan dirinya dan tidak bisa dipisahkan. Artinya jika semisal terjadi kasus pada Hary T., maka semua anak perusahaan yang ada di bawah MNC Group juga akan kena imbasnya. Hal ini pernah terjadi pada Aburizal Bakrie dan grupnya pada waktu yang lalu sedemikian semua saham anak perusahaannya rontok di pasar bursa akibat kasus lumpur Lapindo yang belum tuntas hingga sekarang. Fokus keempat yang harus diubah jika perusahaan ingin beranjak menjadi high-growth company adalah dari pola investasi pengembangan perusahaannya. Jika selama ini sangat masif melakukan investasi dengan permodalan sendiri atau permodalan dari perbankan yang mana artinya 100% kepemilikan saham adalah milik perusahaan itu sendiri, maka ke depan jika ingin memiliki pertumbuhan yang eksponensial, maka investasi yang sebaiknya dilakukan adalah menganut konsep sharing economy. Tidak perlu semua aset fisik harus dimiliki sendiri, melainkan perusahaan cukup fokus pada core competence-nya saja, sedangkan sisanya bisa dilakukan secara strategic network build-out. Sebagai contoh, hal ini dilakukan oleh Uber, Grab, Go-Car, dll yang tidak fokus pada investasi untuk memiliki armada sendiri, melainkan fokus pada pengembangan software, perekrutan dan training kompetensi para driver, serta melakukan edukasi kepada para pelanggan / penumpang. Perusahaan pengembang aplikasi transportasi online ini pun tidak melakukan investasi dengan
sumber pendanaan sendiri atau dari perbankan, melainkan dari perusahaan modal ventura (venture capital) yang tentu saja ikut memiliki kepemilikan saham dari perusahaan tersebut. Fokus kelima sebuah perusahaan yang ingin mengedepankan high growth ketimbang hanya sekedar omset saja yang bersifat jangka pendek adalah bagaimana melayani pelanggan lebih baik, sedemikian para pelanggan tidak hanya merasa puas, melainkan juga mau berperan sebagai ambassador untuk melakukan word of mouth dan memberikan referensi kepada saudara dan koleganya sehingga mau membeli produk yang kita jual. Cara yang sering dilakukan perusahaan adalah membuat beragam loyalty program yang benefit nya sangat banyak kepada para pelanggan existing yang ada. Diharapkan loyalty program ini juga semakin bisa meningkatkan loyalitas pelanggan terhadap perusahaan kita. Memang dengan memberikan loyalty program maka profit margin kita pasti akan mengalami penurunan, namun sesungguhnya kita sedang menyiapkan pertumbuhan eksponensial yang sebentar lagi bisa terjadi.
Gambar 3. The 4 Steps Sales Secret of High Growth Companies Lantas bagaimana langkah demi langkah yang harus dipersiapkan agar fokus perusahaan untuk bertumbuh secara eksponensial bisa segera terealisasi? Setidaknya dalam whitepaper kali ini akan dibahas 4 langkah taktis yang bisa dicoba oleh perusahaan kita, berikut adalah penjelasannya:
Step 1 – Develop Sales Strategy. Langkah pertama yang bisa dilakukan perusahaan sebelum melakukan rekrutmen pasukan sales dalam jumlah yang banyak atau melakukan promosi secara besar-besaran adalah terlebih dulu melakukan Account Segmentation untuk para pelanggan
eksisting yang database nya telah kita miliki, sedemikian kita dapat mengetahui manakah pelanggan yang potensial dan mana yang tidak. Analisis yang digunakan SLC MARKETING, INC, untuk para klien adalah menggunakan RFM Analysis. Selain itu, kita juga perlu melakukan Lead Management, yaitu untuk mensortir dan maintain database baru yang telah masuk ke sistem kita, namun masih belum terjadi proses transaksi jual beli. Kemudian setelah kita memilah dan memilih manakah pelanggan potensial (eksisting) yang akan difollow up untuk proses terjadinya repeat buying, serta bagaimana melakukan pendekatan ke calon pelanggan baru (yang potensial) agar terjadi first transaction, maka langkah berikutnya adalah menjalankan Step 2.
Step 2 – Develop Go-to-Market Plan. Langkah kedua adalah perusahaan kita harus bisa memastikan apakah channel yang tersedia sekarang atau yang akan digunakan ke depannya dapat menjamin terjadinya pertumbuhan secara eksponensial atau tidak. Misalkan setelah kita lakukan analisis internal ternyata jalur distribusi yang digunakan selama ini masih banyak yang konvensional (misal: toko-toko, agen, distributor, dll), padahal jika ingin mengalami pertumbuhan secara masif ke depannya, perusahaan harus bisa langsung menjual secara direct sales ke para end user, dimana hal ini hanya bisa dilakukan secara online dan digital. Oleh sebab itu, perusahaan wajib menyiapkan rencana pemasaran yang matang untuk melakukan jemput bola secara efektif. Apabila cara ini berhasil dilakukan, maka profit margin yang bisa diperoleh oleh produsen / principal akan semakin banyak ketimbang mereka menjualnya melalui jalur konvensional. Peran atau fungsi distributor / agen / toko konvensional ke depannya akan bergeser menjadi showcase / showroom dan service center saja sifatnya, bukanlah pusat transaksi jual-beli, sebab perilaku masyarakat ke depan mereka lebih suka melakukan pembelian secara online.
Step 3 – Design Sales Force. Langkah ketiga yang bisa dilakukan perusahaan agar mampu mengalami pertumbuhan secara eksponensial adalah dengan mendesain dan menyiapkan Sales Force Structure dan Sales Force Size. Ini adalah terkait dengan strategi alokasi fokus tenaga penjualan dan jumlah tenaga sales yang dibutuhkan untuk menjalankan strategi tersebut. Gambar di bawah berikut adalah contoh pemodelan organisasi atau rancangan sub divisi / sub departemen
penjualan yang sering SLC MARKETING, INC. lakukan untuk para klien sedemikian fungsi organisasi menjadi efektif dan efisien.
Gambar 4. Sales Force Structure & Size
Kami biasanya menyarankan klien untuk memilih satu atau beberapa struktur di atas, jika klien memilih lebih dari satu model maka akan disebut Hybrid Strategy. Klien sebaiknya memilih model organisasi yang paling pas dengan kapasitas perusahaan, bagaimana kesiapan kompetensi tenaga penjualannya, sedemikian mampu menjawab kebutuhan pasar yang akan dilayaninya. Ada 6 klasifikasi struktur divisi penjualan yang bisa kita pelajari bersama, di antaranya adalah: -
Stratification; perusahaan bisa membuat sub divisi penjualan berdasarkan berapa layer stratifikasi customer yang ada, misal tim sales senior khusus melayani customer paling potensial (piramida paling atas), sedangkan layer yang kurang potensial akan dilayani oleh tim sales yang lebih junior.
-
Activity; perusahaan membagi tim penjualan berdasarkan hasil tes karakter kepribadian tenaga sales yang ada dan aktivitas mereka di lapangan. Setidaknya perusahaan bisa membuat 2 tim, yaitu tim hunter yang lebih mencari pelanggan baru dan tim farmer yang lebih untuk maintain hubungan dengan pelanggan lama. Tim hunter cocok diisi oleh orang-orang yang punya karakter dominance dan influence (D&I). Sedangkan tim farmer
lebih cocok jika diisi oleh orang-orang yang punya karakter steadiness dan compliance (S&C). -
Geography; perusahaan bisa membagi divisi penjualan berdasarkan area teritori penjualan yang hendak dijangkau ke depannya. Misalkan ada tim sales area Sumatera, tim sales area Kalimantan, Jawa, dst yang dibagi berdasarkan pulau / provinsi. Masingmasing pastinya memiliki Area Sales Manager yang kompeten dan bisa diandalkan.
-
Buying roles; perusahaan bisa membagi tim penjualannya berdasarkan peran para customer/klien yang akan dihadapi oleh tim salesnya nanti siapa. Jika telah diketahui bahwa klien ybs decision maker-nya adalah direktur produksi, maka sebaiknya tim sales yang mengerti benar akan hal teknis dan masalah produksi yang sebaiknya menemui dan menjelaskan product knowledge-nya. Jika decision maker nya adalah direktur keuangan, maka tim sales yang berlatar belakang finansial yang sebaiknya maju menghadapinya. Artinya, perusahaan yang menganut pola struktur organisasi seperti ini, setidaknya merekrut para sales dari beragam bidang pendidikan dan beragam latar belakang pengalaman pekerjaan.
-
Product; jika perusahaan kita menjual produk yang lintas kategorinya sangat beragam dan jumlah item produknya sangatlah banyak, maka sebaiknya tim sales dibagi berdasarkan kategori produk, sedemikian penguasaan product knowledge nya akan semakin baik dan mendalam. Misal perusahaan properti membagi tim sales nya menjadi tim sales landed house, tim sales apartemen, tim sales commercial space, dll.
-
Industry / market; jika perusahaan kita melayani beragam segmen pelanggan dan kebutuhan, maka sebaiknya perusahaan kita membagi tim sales berdasarkan segmen pasar yang dilayani. Misal sebuah produsen chemical di Surabaya yang SLC MARKETING, INC. bantu, membagi tim sales nya menjadi sales project, sales ritel, sales agen, sales canvassing, sales merchandiser, dan sales online.
Setelah perusahaan kita memilih satu atau beberapa strategi alokasi tenaga penjualan dari keenam jenis struktur pemodelan organisasi di atas, maka perlu diperhitungkan juga berapa orang jumlah tenaga sales yang diperlukan untuk mengisi setiap sub divisi yang ada. Setelah tahap 3 selesai dilakukan, maka selanjutnya kita akan mempersiapkan tahap 4 berikut.
Step 4 – Build Infrastructure. Membangun infrastruktur yang dimaksud di sini bukanlah menyiapkan bangunan secara fisik, melainkan membuat sebuah sistem penilaian kinerja khususnya bagi tim sales, yang tentu saja sebisa mungkin terintegrasi secara online dan dapat dipantau secara real time, sedemikian para direksi dapat segera melakukan evaluasi dan mengambil tindakan untuk fokus pada pertumbuhan perusahaan secara eksponensial. Hal ini untuk menjaga kondisi optimum secara berkelanjutan karena para tim sales seluruhnya berupaya agar mencapai kinerja secara maksimal dari waktu ke waktu. Apabila infrastruktur IT yang bisa memfasilitasi penilaian kinerja ini bisa diterapkan di suatu perusahaan, maka pertumbuhan yang terjadi akan semakin berimbang di segala aspek, sebab KPI tidak hanya diukur berdasarkan pencapaian omset saja, melainkan banyak aspek lain yang meliputi sbb:
Daily Revenue Profitability
Up Front Cash SALES INFRASTRUCTURE & KPI
New Accounts
Regularity of Orders Reference
Gambar 5. Sales Infrastructure & KPI
-
Daily revenue, adalah total omset harian yang dihasilkan dari seorang tim sales atau sub divisi tertentu. Dengan mengetahui omset secara harian, maka perusahaan bisa cepat membuat promo-promo diskon apabila target selama sekian waktu tertentu belum tercapai.
-
Up front cash, adalah rasio jumlah nomimal antara pelanggan yang membayar secara cash di depan dibandingkan mereka yang meminta tempo pembayaran dari seorang sales. Artinya, semakin besar nilai pembayaran cash yang diperoleh, maka semakin hebat kompetensi tim sales tersebut dalam melayani dan men-service pelanggannya.
-
New accounts, adalah jumlah pelanggan baru yang diperoleh oleh seorang sales dalam kurun waktu tertentu. Ini adalah untuk menilai apakah tim sales tersebut proaktif dalam memperbesar market share perusahaan atau tidak.
-
Reference, adalah jumlah nama referensi dari para pelanggan lama yang berhasil digali oleh seorang tim sales sedemikian bisa menjadi lead / calon pelanggan baru yang bisa difollow up untuk menambah omset perusahaan.
-
Regularity of orders, adalah jumlah repeat buying dari pelanggan lama yang dilayani oleh seorang tim sales untuk kurun waktu tertentu. Hal ini menunjukkan kompetensi tim sales tersebut untuk terus bisa menggali kebutuhan para pelanggannya.
-
Profitability, adalah tingkat profit margin yang bisa disumbangkan ke perusahaan atas setiap transaksi yang berhasil di-closing oleh seorang tim sales. Ini menunjukkan kompetensi negosiasinya yang semakin hebat sebab tidak mudah dan tidak cepat memberikan promo diskon ke pelanggan apabila mereka tidak memaksa memintanya. Itulah sekilas pemaparan konsep whitepaper berjudul “The Sales Secret of High Growth
Companies”. Bahwa setiap perusahaan bisa belajar dari kegagalan dan kesuksesan perusahaanperusahan yang dulunya kecil, namun bisa berkembang menjadi perusahaan yang besar dan kuat. Banyak perusahaan yang bisa membesar dalam waktu singkat namun tidaklah terlalu kuat pondasinya, akibatnya mudah sekali jatuh. Oleh sebab itu, sebaiknya perusahaan tidak hanya fokus pada omset jangka pendek saja yang bersifat linear, melainkan fokus pada pertumbuhan jangka panjang yang bersifat eksponensial. Untuk konsultasi lebih lanjut mengenai aplikasi konsep ini di perusahaan Anda, segera kontak tim kami di kantor untuk mendapatkan penjelasan lebih detail akan layanan yang ada di SLC MARKETING, INC.!
ONLY MARKETING CAN DRIVE INNOVATION! By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW) Praktisi & Pakar Marketing dan Inovasi Consultant, Trainer, Business Coach, Writer, Speaker Business Development Director SLC MARKETING, INC.