SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU DHARMA NUSANTARA JAKARTA
UPACARA SIMANTONAYANA DALAM UPAYA MELAHIRKAN ANAK SUPUTRA MENURUT AGAMA HINDU (STUDI ANALISIS UPACARA SIMANTONAYANA PADA MASYARAKAT ADAT BALI) DI PURA ADITYA JAYA RAWAMANGUN JAKARTA TIMUR
SKRIPSI
NI NYOMAN SUGI WIDIASTITHI 0809.00.0801 2009.02.0125
JURUSAN KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN AGAMA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU JAKARTA JULI 2012
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU DHARMA NUSANTARA JAKARTA
UPACARA SIMANTONAYANA DALAM UPAYA MELAHIRKAN ANAK SUPUTRA MENURUT AGAMA HINDU (STUDI ANALISIS UPACARA SIMANTONAYANA PADA MASYARAKAT ADAT BALI) DI PURA ADITYA JAYA RAWAMANGUN JAKARTA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Agama Hindu
NI NYOMAN SUGI WIDIASTITHI 0809.00.0801 2009.02.0125
JURUSAN KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN AGAMA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU JAKARTA JULI 2012 i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah dikoreksi dan disetujui oleh :
Pembimbing I
Pembimbing II
(Ni Nyoman Sudiani, SE., S.Pd.H., M.Fil.H)
(Dr. Lila Murti, Sp.A., S.Ag)
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI Skripsi ini diajukan oleh Nama NIM NIDA Program Studi Judul Skripsi
: : : : : :
Ni Nyoman Sugi Widiastithi 0809.00.0801 2009.02.0125 Pendidikan Agama Hindu “Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali) di Pura Adiya Jaya Rawamangun Jakarta Timur”
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Agama Hindu pada Program Studi PendidikanAgama Hindu, Jurusan Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Sekolah Tinggi Agama Hindu Dhrma Nusantara Jakarta. TIM PENGUJI Ketua Penguji : Prof. Dr. I Ketut Oka Setiawan, SH., Sp.N., MH (…………….) Anggota
: Tiwi Susanti, S.Ag. M.MP.d
(…………….)
Anggota
: Ni Nyoman Sudiani, SE., S.Pd.H., M.Fil.H
(…...………..)
Anggota
: Dr. Lila Murti, Sp.A., S.Ag
(…………….)
Ditetapkan di Tanggal
: Jakarta : 15 Juli 2012
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
:
Ni Nyoman Sugi Widiastithi
NIM
:
0809.00.0801
NIDA
:
2009.02.0125
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
15 Juli 2012
iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NIM NIDA Program Studi Jurusan
: : : : :
Jenis Karya
:
Ni Nyoman Sugi Widiastithi 0809.00.0801 2009.02.0125 Pendidikan Agama Hindu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta Hak Bebas Royaliti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : “Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali) di Pura Adiya Jaya Rawamangun Jakarta Timur” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royaliti Nonekslusif ini Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencatumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta Pada Tanggal : 15 Juli 2012 Yang menyatakan,
(Ni Nyoman Sugi Widiastithi)
v
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan bskripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Agama Hindu pada Jurusan Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada : (1)
Prof. Dr. IB Yudha Triguna, MS. Dirjen Pendidikan Agama Hindu atas bantuan sarana dan prasarana Pendidikan Agama Hindu di STAH Dharma Nusantara Jakarta.
(2)
Ir. Made Sudarta, MBA. Ketua Yayasan Dharma Nusantara Jakarta, yang telah menyediakan fasilitas Pendidikan STAH Dharma Nusantara Jakarta.
(3)
Prof. DR. Ir. I Made Kartika Diputra Dipl-ing selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta.
(4)
Ni Nyoman Sudiani, SE., S.Pd.H., M.Fil.H sebagai pembimbing I yang telah meluangkan waktunya dan dengan penuh kesabaran serta ketulusan hati untuk membimbing penulis dari awal sampai penyusunan skripsi selesai.
(5)
Dr. Lila Murti, Sp.A., S.Ag sebagai pembimbing II yang telah memberikan semangat dan saran-saran demi terselesaikannya skripsi ini.
(6)
Drs. Anak Agung Raka Mas, selaku kepala perpustakaan STAH Dharma Nusantara Jakarta yang telah mengadakan pengadaan buku secara baik.
(7)
Dosen dan seluruh Staf Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta yang telah memberikan dorongan baik moral maupun spiritual kepada penulis sehingga tersusunnya skripsi ini sebagai tugas akhir dalam perkuliahan.
(8)
Untuk kedua orang tua tercinta Drs.I Wayan Budha,M.Pd, dan Dra.Anak Agung Oka Puspa,M.Fil.H, yang selalu memberikan doa, dukungan, dan kasih sayang baik secara moral dan materil kepada saya.
vi
(9)
Untuk kakakku tersayang I Putu Adi Suryawan, adikku tersayang Ni Ketut Gita Saraswati dan Bhisma Adinatha, yang telah memberikan semangat dan canda tawa selama ini.
(10) Untuk teman terdekat saya Yani, Iin, Dian dan Beta terimakasih telah memberikan semangat dan dukungan untuk Widi. Semoga kita bisa menjadi sahabat hingga waktu yang tak terbatas. “Don’t Forget Me”. (11) Untuk seluruh sahabat angkatan X Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta terimakasih mau berbagi informasi selama 4 tahun ini. (12) Untuk adik-adik kelas terimakasih untuk doa dan semangatnya, semoga adik-adik bisa menjadi lebih baik lagi dari kami. Satu semboyan yang saya titipkan untuk adik-adik “If you try, you fail, and then you try again…it doesn’t matter, cause the real failure is when you stop trying…”
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Jakarta, 14 Juli 2012
Penulis
vii
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Ni Nyoman Sugi Widiastithi : Pendidikan Agama Hindu : Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali) di Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur
Dalam ajaran Agama Hindu dari sejak terjadinya atau sejak diketahuinya terjadi pembuahan, diadakan beberapa upacara sesuai dengan perkembangan jabang bayi yang ada dalam kandungan sang ibu. Banyak umat Hindu yang melaksanakan Upacara Simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali namun, kurang diimbangi dengan pemahaman secara mendalam terkait dengan pelaksanaan upacara tersebut khususnya di Pura Aditya Jaya Rawamangun. Dari latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian dengan mengambil judul skripsi “Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali) di Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur”. Penelitian ini bertujuan untuk menggali makna dan hubungan pelaksanaan upacara simantonayana. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dengan menggunakan logika berpikir perpaduan induktif-deduktif, dan argumentatif, sehingga menggunakan data primer sebagai data utama dan data sekunder sebagai data pendukung. Dari penelitian beberapa sumber pustaka dan hasil wawancara makna yang terkandung dalam upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali, ialah agar sang bayi yang berada di dalam kandungan mendapatkan perlindungan dan keselamatan serta pemeliharaan yang baik sehingga sangat jelas adanya hubungan dalam pelaksanaan upacara dalam upaya melahirkan anak yang suputra yakni anak yang berguna di keluarga maupun masyarakat.
viii
ABSTRACT
Name Study Program Tittle
: Ni Nyoman Sugi Widiastithi : Hindu Religious Education : Ceremony of Childbirth Children Simantonayana Efforts Suputra According to Hindu Religion (Studies on the Analysis of Indigenous Ceremony Simantonayana Bali) Aditya Jaya Pura Rawamangun in East Jakarta
In the teachings of Hinduism known from the onset, or since conception, held a ceremony in accordance with the development of newborn babies in the womb of the mother. Many Hindus who carry out the ceremony Simantonayana or better known as the ceremony magedong-Gedongan on indigenous Balinese however, offset by the lack of depth of understanding related to the implementation of the ceremony, especially in Aditya Jaya Pura Rawamangun. From this background the authors are interested in doing thesis research by taking the title of "Ceremony of Childbirth Children Simantonayana Efforts Suputra According to Hindu Religion (Studies on the Analysis of Indigenous Ceremony Simantonayana Bali) Aditya Jaya Pura Rawamangun in East Jakarta". This study aimed to explore the meaning and implementation of the ceremony simantonayana. This type of research is a qualitative study. This qualitative descriptive study, using a combination of inductive logic, deductive thinking, and argumentative, so using the primary data as the primary data and secondary data as supporting data. From several sources of literature research and interviews of meaning contained in the ceremony simantonayana or better known as magedongGedongan ceremony in Hindu Religion in Bali indigenous peoples, is that the baby inside the womb to get the protection and safety and good maintenance so it is clearly the relationship in the ceremony in an effort to give birth to children who suputra useful in the child's family and the community.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ......................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..........................
iv
HALAMAN PERNYATAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…….. .................................................................
v
KTA PENGANTAR ........................................................................
vi
ABSTRAK ......................................................................................
viii
ABSTRACT ....................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...................................................................................
x
DAFTAR TABEL…………………………………………………
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………….. .
1
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................
1
1.2 Fokus Penelitian .......................................................................
4
1.3 Tujuan Penelitian .....................................................................
5
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN METODELOGI PENELITIAN……………………………………………………. .
7
2.1 Tinjauan Pustaka .....................................................................
7
2.2 Landasan Konseptual ..............................................................
9
2.2.1 Pengertian Upacara Simantonayana……………………….....
9
2.2.2 Pengertian Anak Suputra……………………………………..
10
2.3
Acuan Teoritika Fokus Penelitian ...........................................
13
2.3.1 Teori Religi…………………………………………………. .
13
2.3.2 Teori Perkembangan Anak…………………………………...
14
2.3.3 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan……………………. ....
17
2.4 Metodelogi Penelitian ..............................................................
18
2.4.1 Latar Penelitian…………………………………………….. ..
19
2.4.2 Pendekatan Metode……………………………………….... ..
28
x
2.4.3 Data Dan Sumber Data…………………………………….. ..
28
2.4.4 Prosedur Pengumpulan Dan Perekaman Data…………….. ...
31
2.4.5 Analisis Data…………………………………………………
32
2.4.6 Pemeriksaan Dan Pengecekan Keabsahan Data…………... ...
34
BAB 3 DATA PENELITIAN…………………………………… .
36
3.1 Data Penelitian Berdasarkan Hasil Wawancara .......................
36
3.1.1 Catatan Pertanyaan Pertama…………………………….. .......
36
3.1.2 Catatan pertanyaan Kedua………………………………........
38
3.1.3 Catatan Pertanyaan Ketiga .......................................................
38
3.1.4 Catatan Pertanyaan Keempat ...................................................
39
3.1.5 Catatan Pertanyaan Kelima ......................................................
39
3.1.6 Catatan Pertanyaan Keenam ....................................................
40
3.1.7 Catatan Pertanyan Keujuh ........................................................
40
3.2 Data Penelitian Bedasarkan Hasil Observasi………………. ..
41
3.2.1 Catatan Pertanyaan Kedelapan.................................................
41
3.2.2 Catatan Pertanyaan Kesembilan...............................................
42
3.2.3 Catatan Pertanyaan Kesepuluh.................................................
42
BAB 4 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN………………. ..
43
4.1 Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan).........
43
4.1.1 Upacara Simantonayana (Magedong-gedong) merupakan Upacara Manusa Yajna ............................................................
43
4.1.2 Jenis Upacara dan Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan) .............................................................
48
4.1.3 Pelaksanaan dan Makna Upacara Simantonayana (Mgedong-gedongan) ...............................................................
54
4.2 Hubungan Antara Upacara Simantonayana Dalam Upaya Melahirkan Anak Suputra .......................................................
61
BAB V PENUTUP……………………………………………….. .
73
5.1 Kesimpulan .............................................................................
73
xi
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Organisasi Pengemmpon Pura Aditya Jaya Rawamangun……
20
Tabel 2.2 Tempek Jakarta Timur…………………………………………
20
Tabel 2.3 Sekretariat Bersama……………………………………………
21
xiii
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lembaga pendidikan, di samping sekolah dan masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak, sebab dalam keluargalah untuk pertama kalinya anak-anak memperoleh pendidikan dari orang tuanya. Sejak prenatal sampai lahir, dan seterusnya sampai dewasa, keluarga atau rumah tangga merupakan tempat pendidikan bagi anak-anak, mulai dari belajar bercakap-cakap, mengenal nama anggota badan, anggota keluarga, rumah tangga dengan isinya, penanaman dasar disiplin tentang makan, mandi, tidur, bangun dan sebagainya diperoleh dari pendidikan keluarga. Keluarga menurut Hindu disebut dengan Grahasta dan dimulai dengan adanya wiwaha atau perkawinan yang kemudian dari perkawinan tersebut menjadikan mereka (pria-wanita) sebagai sepasang suami istri. Tujuan utama dari suatu perkawinan ialah untuk memperoleh sentana (anak atau keturunan). Seorang anak diharapkan dapat menjadi penyelamat orang tua yang telah meninggal dari penderitaan atau neraka. Itulah sebabnya setiap keluarga mendambakan hadirnya seorang anak sebagai penerus atau pelanjut keturunannya yang sekaligus juga sebagai tempat berlindung bagi dirinya. Bagi sebuah keluarga, untuk menciptakan anak yang memiliki kualitas suputra, sangat bergantung dari upaya-upaya yang harus ditempuh oleh para orang tua dalam melaksanakan pembinaan terhadap anak-anaknya tersebut. Faktor keluarga sangat menentukan. Orang tua (suami atau istri) atau ayah dan ibu adalah dominan dalam pendidikan keluarga, sekaligus menjadi kunci utama dalam membentuk pribadi dan watak anak-anaknya yang berstatus sebagai penerima ilmu. Pendidikan dalam keluarga harus ditangani dan diperhatikan oleh orang tua dengan sungguh-sungguh. Dasar komunikasinya adalah cinta dan kasih sayang. Hendaknya pendidikan itu harus dimulai sejak bayi dalam
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
2
kandungan ibunya. Antara suami dan istri harus selalu berusaha menciptakan dan menjaga suasana keluarga tenang, tentram dan damai. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua, terlebih lagi seorang ibu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, pembinaan pribadi, dan watak anak tersebut nantinya setelah lahir (Awanita, 2008:112). Pembentukan watak ini, menurut agama Hindu, bukan dilakukan pada saat anak lahir, tetapi pendidikan itu diberikan jauh sebelum anak itu lahir, yang dapat diistilahkan Prenatal Education (pendidikan sebelum lahir) (Sudartha, 2006:2). Ada
pertanyaan-pertanyaan,
bagaimana
mungkin
memberikan
pendidikan kepada anak yang belum lahir? Memang tidak mungkin. Apalagi kalau memberikannya secara langsung. Pendidikan anak dapat diberikan dengan cara tidak langsung, yaitu mengatur kehidupan dan pikiran-pikiran orang tuanya, dimana melalui perasaan sang ibu akan berpengaruh pada watak si jabang bayi. Prenatal Education secara terperinci dapat diartikan sebagai tahap mendidik disiplin ayah dan ibu serta orang-orang disekitarnya semenjak bayi di dalam kandungan. Misalnya, sang ibu harus dididik soal kesehatan
badan
jika
sudah
mulai
menggandung.
Semakin
tua
kandungannya semakin hati-hati menjaga kesehatan dan perasaan serta pikiran sang calon ibu. Keadaan akan mempengaruhi keadaan si jabang bayi yang sedang dikandungnnya. Sang calon ayah hendaknya selalu menjaga diri dalam berkata-kata dan bertingkah laku sehingga tidak memberikan kesan negatif kepada istrinya yang secara tidak langsung berkesan negatif pula pada calon bayi. Selain itu, selama hamil hendaknya sang ibu diberikan ajaran-ajaran agama dengan menekankan pada ajaran tata susila. Dalam ajaran Agama Hindu dari sejak terjadinya atau sejak diketahuinya terjadi pembuahan, diadakan beberapa upacara sesuai dengan perkembangan jabang bayi yang ada dalam kandungan sang ibu. Tujuannya tidak lain dari mendoakan kesehatan, keselamatan, perkembangan intelektual dan rasa bagi si bayi yang positif, untuk nanti setelah menjadi manusia, sebagai dasar yang positif dalam menerima segala pendidikan di
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
3
luar kandungan. Apakah itu pendidikan dalam sekolah atau luar sekolah, apakah pendidikan yang formal maupun yang informal dan seterusnya (Sudartha, 2006:3). Berdasarkan keterangan tersebut diatas maka pendidikan, utamanya pendidikan moral dan budhi pekerti sangat penting ditanamkan bagi seorang anak. Demikianlah idealnya, setiap keluarga mendambakan anak idaman, berbudhi pekerti luhur, cerdas, tampan, sehat jasmani dan rohani, dan senantiasa memerikan kebahagiaan kepada orang tua dan masyarakat lingkungannya. Sebaliknya tidak semua orang beruntung mempunyai anak yang “suputra”. Anak memberikan kedamaian kepada orang tua, karena anak dapat mengambil segala tanggung jawab yang diwariskan oleh orang tuanya. Anak yang baik adalah penolong utama dan pertama bagi orang tuanya, demikian pula seorang Istri. Istri merupakan belahan jiwa dari seorang suami. Ia memberi kesejukan kepada suami dalam keadaan yang menyedihkan. Pergaulan dengan orang-orang suci akan membawa banyak manfaat. Mengapa? Karena orang-orang suci memancarkan berbagai kitab suci dan susastra Hindu agar orang senantiasa bergaul dengan orang-orang suci, orang bijaksana dan mereka yang integritasnya tidak diragukan (Titib, 2003:32). Demikianlah dapat dinyatakan bahwa ajaran suci Veda dan susastra Hindu lainnya memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam hal ini, umat Hindu meyakini, bahwa karakter seorang anak sangat ditentukan oleh kedua orang tuanya, lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan dengan proses kelahiran seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka karakter seseorang dapat di lihat pada hari kelahiranya yang disebut Dasavara (hari yang kesepuluh), yaitu :”Pandita, Patih, Sukha, Dukha, Sri, Manu, Manusa, Raja, Deva, dan Raksasa”. Demikian pula pemberian nama kepada seorang anak, dikaitkan pula dengan karakter anak sesuai hari Dasavara-nya tersebut (Titib, 2003:34).
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
4
Dengan demikian unsur putra-putri itu sangat penting artinya. Tidaklah mengherankan kalau umat Hindu menaruh perhatian yang besar dalam pembinaan putra-putrinya dari sejak masih dalam kandungan, dalam bentuk upacara. Upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam Surayin (2002:3) mengatakan upacara ini ditujukan kepada si cabang bayi yang sedang ada di dalam kandungan dan merupakan upacara yang pertama setelah kehamilan berumur 5-7 bulan. Karena, pada saat ini sudah dianggap ada hubungan badaniah dan kejiwaan antara ibu dengan bayinya di kandungan (Sudartha, 2006:10-11). Menurut pengamatan penulis, masih banyak umat Hindu yang melaksanakan Upacara Simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali namun, kurang diimbangi dengan pemahaman secara mendalam terkait dengan pelaksanaan upacara tersebut khususnya di Pura Aditya Jaya Rawamangun. Dari latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian dengan mengambil judul skripsi “Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana pada Masyarakat Adat Bali) di Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur”.
1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat di tentukan fokus penelitian dengan tujuan agar penelitian ini sesuai dengan judul dan hasil yang akan dicapai dapat maksimal, yakni antara lain : 1) Apakah makna upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam upaya melahirkan anak suputra? 2) Apakah ada hubungan antara upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam upaya melahirkan anak suputra?
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
5
1.3 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini yang terkait dengan permasalahan adalah : 1) Untuk mengetahui makna upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam upaya melahirkan anak suputra. 2) Untuk mengetahui hubungan antara upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam upaya melahirkan anak suputra.
1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan fenomena tentang upakara dalam upacara yajna ini banyak umat yang belum mengetahui akan tattwa dari upakara ini, maka dengan hadirnya penelitian ini diharapkan sangat bermanfaat bagi pembaca, walaupun penelitian ini jauh dari sempurna. Ada dua hal mengenai manfaat penelitian ini antara lain : 1) Manfaat Praktis Melalui pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali ini, memberikan tuntunan untuk hidup berdasarkan pada pedoman susastra suci Hindu. Tuntunan tersebut diberikan melalui pelaksanaan upacara manusa yajna yang didalamnya berisikan tahap-tahap pelaksaaan upacara dari manusia tersebut mulai terbentuk dalam kandungan sampai pada kelahirannya, dan diteruskan dalam perjalanan hidupnya, sampai pada waktu kembali lagi ke alam niskala. Untuk itu penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu gambaran baru bagi masyarakat Hindu dalam memaknai dan mengimplementasikan pelaksanaan suatu upacara. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan motivasi kepada umat Hindu untuk lebih mengembangkannya dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
6
2) Manfaat Teoritis Penelitian
ini
diharapakan
bermanfaat
bagi
perkembangan
pengetahuan tentang Agama Hindu, serta dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas untuk menjawab pertanyaan atau kesenjangan yang ada di lapangan dalam menginterpretasikan ajaran-ajaran Agama Hindu. Dalam hal ini khususnya mengenai upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam upaya melahirkan anak suputra menurut Agama Hindu. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian yang akan datang yang tentunya berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN METODELOGI PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka Titib
(2003:52),
“Menumbuhkembangkan
dalam Pendidikan
bukunya Budhi
yang Pekerti
Pada
berjudul: Anak”
menjelaskan di India, ada kebiasaan kuno untuk mengisahkan berbagai cerita mengenai para pahlawan dan orang-orang suci kepada ibu yang hamil. Diharapkan janin di dalam rahim dapat di pengaruhi oleh vibrasi yang timbul dalam diri sang ibu. Di dalam kitab Mahabharata dikisahkan bahwa pada saat Subhadra sedang hamil, Arjuna menceritakan tentang suatu bentuk formasi militer yang sangat rumit kepada anaknya yang sedang berada dalam kandungan istrinya Subhadra, tanpa disadari oleh sang Arjuna bahwa suatu hari anaknya akan menjadi seorang pahlawan yang gagah perkasa yang kita kenal dengan sebutan Abhimanyu. Pada waktu itu Sri Krsna datang dan memberi tahu Arjuna bahwa bayi yang dikandung Subhadra terpengaruh oleh hal yang diceritakannya kepada isrtinya. Di masa lalu, apa yang diceritakan Sri Krsna kepada Arjuna mungkin dianggap tidak ada artinya dan dilupakan. Namun kini, para ilmuan di Barat menyadari bahwa hal yang dituturkan dalam Mahabharata itu benar. Lembaga Kesehatan Anak dan Perkembangan Manusia yang bekerja untuk Universitas Carolina di Amerika telah menyelenggarakan berbagai eksperimen mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan anak. Anthony Casper. Seorang ilmuan terkenal di lembaga ini, setelah melakukan berbagai percobaan, menyimpulkan bahwa yang dinyatakan Sri Krsna itu benar, walaupun pikiran kita yang tumpul tidak dapat memahami sepenuhnya kebenaran mendalam yang melatar belakangi Sri Krsna tersebut. Anthony Casper mengumumkan penemunnya ini pada tanggal 3 januari 1984, dalam konferensi ilmuwan. Eksperimen Casper memperlihatkan bahwa makanan yang dimakan Ibu yang sedang hamil, gagasan-gagasan yang dipikirkannya, dan kata-kata yang didengakannya, mempengaruhi janin dalam kandungan. Di bali, tradisi untuk membacakan mantra-mantra kitap suci Veda dan Sloka
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
8
susatra Hindu seperti kakawin Ramayana, Arjuna Vivaha pada saat seseorang istri dalam keadaan hamil merupakan tradisi yang sampai kini masih dilakukan oleh umat Hindu di Indonesia (khususnya di jawa dan Bali) kiranya sangat sesuai dengan hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Anthony Casper. Sudharta (2006:5), dalam bukunya yang berjudul: “Manusia Hindu Dari Kandungan Sampai Perkawinan” menjelaskan tentang beberapa temuan-temuan para peneliti yakni salah satunya adalah Dr. Peiper. Pada suatu ketika ia mendudukkan wanita hamil di depan layar rontgen. Kemudian di dekat kandungan si ibu, ia meletakkan dan membunyikan klakson mobil sambil serentak memotret bayi itu. Hasilnya adalah kebanyakan bayi dalam kandungan menjadi bergetar ketika mendengar bunyi yang keras. Percobaan lain juga telah dilakukan oleh ahli jiwa music dari New York, Prof. Lee Salk. Ia merekam dengan tape recorder denyutan jantung seorang ibu yang tidak lama lagi akan melahirkan. Ketika ia membunyikan musik indah, maka hasil rekaman denyut jantung menjadi berbeda, menunjukkan frekwensi lebih tinggi. Ini berarti bahwa sang bayi dalam kandungan menunjukkan reaksi karena ia berhasil mendengarkan sesuatu yang berasal dari luar kandungan. Uraian tersebut menjelaskan bahwa seorang ibu sebaiknya selalu berada dalam keadaan tentram dan aman selama kehamilan, terlepas dari segala beban yang menyebabkan perasaan maupun pikiran tertekan, tersiksa dan takut. Agar nantinya bayi dapat lahir sehat dan menjadi anak yang suputra. Walaupun kedua buku tersebut tidak secara langsung membahas tentang upacara simantonayana akan tetapi kedua buku tersebut bisa dijadikan referensi karena didalamnya memberikan penjelasan tentang hasil penelitian yang menyatakan bahwa bayi dalam kandungan dapat menerima respon dari luar kandungan.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
9
2.2 Landasan Konseptual 2.2.1 Pengertian Upacara Simantonayana Upacara ditinjau dari segi bahasa, maka “upacara” berasal dari bahasa “upa” dan “cara”. Kata “upa” berarti berhubungan dengan, dan “cara” dari kata car yang berarti gerak jadi upacara adalah “segala sesuatu yang ada hubungannya dengan gerak, atau upacara adalah gerakan/pelaksanaan daripada upakara dalam salah satu yajna” (Putra, 1979: 13). Dari pengertian tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa upacara adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan atau dengan kata lain upacara adalah upakara-upakara dalam salah satu yajna dari awal sampai akhir dalam pelaksanaan suatu yajna tertentu. Sedangkan kata upakara berasal dari kata “upa” dan “kara”. Upa berarti berhubungan dengan dan kara berarti tangan, pekerjaan. Upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan atau pekerjaan (Putra, 1979:7). Menurut Somvir (2001:81), simant berarti perkembangan pikiran, dengan demikian Simantonayana berarti perkembangan pikiran, dengan demikian
Simantonayana
berarti
melalui
samskara
tersebut
ibu
memperhatikan bayinya supaya dapat berkembang dengan mental sehat. Upacara ini merupakan upacara ketiga pada masa prenatal (bayi dalam kandungan). Upacara ini perlu dilakukan demi perkembangan mental bayi, agar sehat (mental development). Menurut Sivananda (2003:97), upacara Simantonayana dilaksanakan pada saat kandungan berumur tujuh bulan, dengan penguncaran mantra Veda; untuk melindungi sang ibu dari pengaruh jahat dan memberikan kesehatan pada si anak. Badan si anak berkembang dengan baik; karena getaran-getaran yang selaras yang ditimbulkan oleh penguncaran mantra dan pelaksanaan upacara tersebut membantu membentuk badan si anak menjadi indah. Menurut Tjok Rai Sudharta (2006:10), Upacara ini dinamakan Magedong-gedongan di Bali atau Mitu Bulanin di Jawa. Di India upacara ini dinamai juga Simantonayana, diharapkan agar pada masa itu sang ibu tidak
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
10
sampai memgalami kejutan, kejengkelan, dan kesedihan. Karena perasaanperasaan itu bisa mempengaruhi si jabang bayi. Menurut Oka (2009:149), upacara ini dilaksanakan ketika sang bayi masih ada dalam kandungan ibunya, yang lebih dikenal dengan megedonggedongan.
Secara
rohaniah,
magedong-gedongan
ini
merupakan
pembersihan dan pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, dengan harapan agar anak yang akan lahir nanti manemukan kebahagiaan dan menjadi anggota masyarakat yang berguna (Suputra). Kepada si ibu (juga suami), dipesankan agar menghindari perbuatan dan tingkah laku yang kurang baik. Sebaliknya, agar mereka senantiasa melaksanakan hal-hal yang baik dan bermanfaat, sebab tingkah laku/kegemaran mereka bisa berpengaruh kepada si bayi yang akan lahir. Dari uraian tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam Agma Hindu upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali, adalah segala gerakan/pelaksanaan pembuatan korban suci yang tulus ikhlas ditujukan terhadap bayi yang ada dalam kandungan atau dalam garba ibunya untuk membantu proses perkembangan mental bayi, membantu menjaga psikologis ibu agar ibu mau merawat dirinya, dan untuk kesehatan ibu dan anak sehingga tujuan untuk melahirkan anak suputra tercapai. 2.2.2 Pengertian Anak Suputra Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomer 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 butir 1 menjelaskan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dalam hal ini pengertian suputra, yaitu anak yang hormat pada orang tua, cinta kasih terhadap sesama dan berbakti kepada Tuhan. Hal ini yang menjadi dambaan setiap orang tua, ini berarti bahwa orang tua yang selalu berbuat baik di dalam kehidupannya akan memperoleh salah satu anugrah Tuhan yaitu mendapatkan anak-anak yang suputra (Suasthi dan Suastawa, 2008:27). Seorang anak atau putra yang menjadi tujuan keluarga Hindu ialah anak atau putra yang utama. Mengenai hal tersebut diungkap dalam
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
11
beberapa sastra Hindu, bahwa putra yang utama disini yang dimaksud adalah anak yang baik yang disebut suputra. Membuat sebuah telaga untuk umum itu lebih baik daripada menggali seratus sumur. Melakukan yajna itu lebih tinggi mutunya daripada membuat seratus telaga; mempunyai seorang putra itu lebih berguna dari melakukan seratus yajna asalkan putra utama (Awanita, 2008:9). Jika semuanya diperhatikan dan diusahakan sebaik-baiknya maka akan terlahir generasi bangsa yang sehat dan berbudi luhur sehingga dapat memikul tugas keluarga juga tugas nusa dan bangsa. Generasi yang dapat mengharumkan nama keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara disebut putra suputra. Putra berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari dua kata yaitu ”put” yang berarti neraka, dan ”tra” yang berarti menyeberangkan. Sorang putra yang suputra mempunyai kekuatan menyeberangkan leluhurnya dari neraka, demikian disebutkan dalam
kitab Manawa
Dharmasastra Bab IX sloka 138. Pumnanno narakadyas mattraya te pitaram sutah tasmat putra iti proktah swayamewa swayambhuwa Artinya : ”Karena anak laki-laki akan mengantar Pitara dari neraka yang disebut Put, dan karena itulah ia disebut putra dengan kelahirannya sendiri” (Pudja dan Sudharta, 2002: 564)”. Sebuah ilustrasi ceritera dalam kitab adiparwa juga memberi penjelasan bahwa seorang pandita agung yang sangat mumpuni dengan tapanya harus tergantung pada sebilah bambu petung hanya karena putranya tidak mau melaksanakan kewajibannya memasuki tahap hidup sebagai grihasta dan memiliki seorang putra. Ketika putranya yang bernama Sang Jaratkaru melakukan kewajibannya memasuki tahap hidup grahasta dan memperoleh seorang putra yang diberi nama sang Astika maka orang tuanya (sang pendeta yang tergantung pada bambu petung) terbebas dari deritanya dan dapat bersatu dengan sanak saudaranya. Berkenaan penjelasan-penjelasan dari pustaka suci di atas tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kehadiran seorang putra yang suputra
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
12
sangatlah dinantikan. Putra suputra adalah generasi muda yang sehat, terdidik, terlatih, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, berakhlak mulia, beriman, mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Demikianlah tingginya kedudukan seorang anak (putra) dalam keluarga. Penekanan yang ditonjolkan adalah seorang putra yang baik yang kelak dapat menyelamatkan orang tua atau roh-roh leluhurnya dari penderitaan atau neraka. Sebait wiram yang terdapat dalam Niti Sastra dalam bentuk kakawin, Sargah IV, sloka 1 menyebutkan : Sang Hyang Candra taranggana pinaka dipa memadangi ri kala ning wengi, Sang Hyang Surya sedeng prabhasa maka dipa memadangi ri bhumi mandala, widya sastra sudharma dipanikanang tri bhuwana sumene prabhaswara, yening putra suputra sadhu gunawan memadangi kula wandhu wandhawa. Artinya: “Bulan dan bintang memberi penerangan di waktu malam, matahari bersinar menerangi bumi, ilmu pengetahuan, pelajaran dan peraturanperaturan yang baik menerangi tiga jagat dengan sempurna, putra yang baik, saleh dan pandai membahagiakan kaum keluarganya”. Demikian pula dalam Lontar Putra Sasana, dalam Awanita (2008:10) dinyatakan: Mapa phalaning suputra, pari purna dharmayukti, subhageng rat susilanya, ambek santa sedu budi, kinasihaning nasemi, pada ngakwa sanak tuhu, sami trana sih umulat, apan wus piana ageng widhi, yang supitra unggul ring sameng tumitah. Artinya: “Bagaimanakah pahala seorang suputra yang sempurna dan berbuat dharma, termasyur susila dan bagus, hatinya damai dn berbudi mulia, setiap orang mengasihinya, sama-sama mengaku keluarga, semua jatuh hati melihatya, oleh karena Tuhan telah memastikan bahwa orangorang yang suputra unggul di antara semua makhluk”. Putra yang utama merupakan pelita yang dapat menerangi seluruh keluarganya. Karena keutamaannya, pahalanya mengalahkan kegunaan melakukan seratus yajna. Karena keutamaannya pula, ia termasyur. Setiap orang mengasihinya. Semua orang jatuh hati melihatnya dan damai serta berbudi mulia. Tuhan-pun memastikan, bahwa anak yang suputra unggul di antara semua makhluk. Bahkan dikatakan bahwa suputra dapat menjadi harapan sebuah bangsa. Dapat diandalkan untuk membangun dan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
13
menciptakan kemakmuran; dapat menolong kerabatnya. Seratus kali beryajna kalah oleh keutamaan seorang suputra. Bagaikan pohon beringin besar, bertempat di pinggir jalan; setiap orang yang lewat berteduh, oleh karena penuh belas kasih dan berbudi mulia. Seorang suputra, adalah orang yang selalu bhakti dan hormat kepada orang tua; bagaikan menghormat para guru. Demikian pula kepada pemerintah, tidak akan membeda-bedakan dan didasarkan pikiran yang suci; bagaikan memuja Tuhan. Itulah sebabnya, memiliki anak yang berkualitas suputra adalah idaman setiap keluarga atau orang tua.
2.3 Acuan Teoritika Fokus Penelitian 2.3.1 Teori Religi Menurut teori ini bahwa suatu kepercayaan yang dijalankan oleh manusia lewat suatu agama tertentu merupakan suatu kebudayaan hasil budi daya manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Edward B. Taylor menyatakan bahwa yang terpenting dalam yajna adalah : (1) asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. (2) manusia adanya berbagai gejala alam yang tak dapat dijelaskan dengan akal seperti adanya mimpi, (3) keinginan manusia untuk menghadapi berbagai krisis yang senantiasa dialami manusia dalam hidupnya, (4) adanya kejadian-kejadian luar biasa disekeliling hidup manusia, (5) adanya getaran emosi berupa rasa kesatuan yang timbul dari jiwa manusia sebagai warga masyarakat, (6) manusia menerima firman dari Tuhan (Koentjaraningrat, 1977:48). Teori religi menurut J.G. Fraser mengatakan bahwa mula-mula perkembangan kepercayaan manusia secara kronologis percaya dengan adanya ilmu gaib untuk memecahkan masalah hidupnya. Kemudian lambat laun mengalih kepada religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemampuan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh dan dewa-dewa yang menempati alam (Koentjaraningrat, 1977:54). Dalam kenyataannya sistem religi, mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan-gagasan tentang tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus. neraka, surga dan sebagainya, dan juga mempunyai wujud yang berupa
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
14
upacara-upacara baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala dan sistem
religi
juga
mempunyai
wujud-wujud
benda-benda
religius
(Koentjaraningrat, 1980:218). Seperti kepercayaan dalam Agama Hindu yakni melaksanakan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali. Upacara ini termasuk ke dalam upacara manusa yajna yakni pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terbentuknya jasmani di dalam kandungan (janin) sampai akhir hidupnya (Suarjaya,dkk., 2008:49). Pelaksanaan upacara manusa yajna dalam Agama Hindu yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Bali di Pura Aditya Jaya Rawamangun merupakan suatu keyakinan, begitu juga halnya upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali
dilakukan pada saat kandungan umur
enam bulan dalam
hubungan untuk mendapatkan anak suputra merupakan suatu keyakinan atas adanya restu dari Tuhan dan para leluhur, sehingga dalam penelitian ini teori religi akan dipakai sebagai alat untuk menggali lebih mendalam tentang keyakinan religi dalam Agama Hindu khususnya pada masyarakat adat Bali di Pura Aditya Jaya Rawamangun yang diimplementasikan dalam upacara simantonayana (magdong-gedongangan). Di samping itu teori ini juga dipakai untuk mencari jawaban atas permasalahan makna dan hubungan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedonggedongan pada masyarakat adat Bali, dalam upaya mendapatkan anak yang suputra.
2.3.2 Teori Perkembangan Anak Perkembangan menurut Agama Hindu terjadi sejak manusia tercipta, dalam perkembangan selanjutnya manusia bergerak menjadi sarana penciptaan manusia selanjutya, sebagai alat melalui sanggama. Kemudian menjadi sukla (benih pria) yang mempunyai warna seperti manik putih kekuning-kuningan. Sedangkan swanita (benih wanita) keluar dari Pradhana Tattwa keduanya kemudian bercampur pada saat sanggama dan selanjutnya berkembang dalam rahim wanita (ibu). Disanalah ia terbentuk dan Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
15
berkembang sehingga mencapai wujud yang sebenarnya. Dalam rahim terjadi perkembangan sehingga kemudian lahir, keluar dari rahim dilukiskan sebagai berikut : 1) Pada saat baru berumur 1 bulan berwujud seperti buih. 2) Setelah berumur tiga bulan berwujud gumpalan darah. 3) Pada saat berumur 4 bulan menjadi Siwa lingga, berlubang dibagian tengahnya berisi Om Kara dan suksma rupa. 4) Pada waktu berumur lima bulan menjadi Mayareka. 5) Pada waktu umur enam bulan menjadi seperti api. 6) Ketika berumur tujuh bulan berubah menjadi seperti ulat dalam kepompong yang disebut gading. 7) Pada saat berumur delapan bulan menjadi anak gading disertai dengan nafas yang keluar dari Om kara, juga tulang, kuku dan rambut. 8) Waktu umur sepuluh bulan si jabang bayi lahir keluar dari rahim dan perut ibu (Bantas, 2000:81). Kemudian di dalam Lontar Kanda Empat Butha
(Tjateng, 1979)
mengatakan, bahwa bayi yang sudah beumur lima bulan, sudah lengkap menjadi manusia, sudah berambut, berkuping, bermata, berhidung, bermulut, berbahu, berbadan, bertangan, berkaki, bergigi, berperut, berodel, berdagu, berkemaluan, berpantat, berjeriji, dan sudah sempurna isi dada dan perutnya (Oka, 2009:149). Menurut teori perkembangan anak dalam Diane E. Papalia, Et Al. (2010:117), menjelaskan perkembangan prenatal terjadi dalam tiga tahap : germinal, embryonic, dan fetal. Sepanjang tiga tahapan kehamilan, zygote yang berasal dari satu sel berkembang menjadi embrio dan kemudian janin. Baik sebelum maupun setelah lahir, perkembangan berjalan sesuai dengan dua prinsip fundamental. Pertumbuhan dan perkembangan terjadi dari atas ke bawah dan dari tengah tubuh keluar. Adapun tahap-tahap tersebut antara lain : 1) Tahap Germinal (Pembuahan hingga 2 Minggu). Selama tahap germinal, dari pembuahan hingga minggu kedua kehamilan, zygote
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
16
membelah diri, menjadi semakin kompleks, dan tertanam di dinding uterus. 2) Tahap Embrionic (2 sampai 8 Minggu). Sepanjang masa embrionic, tahap kedua kehamilan, dari sekitar 2 sampai 8 minggu, organ dan sistem tubuh utama-pernafasan, pencernaan, dan syarafberkembang dengan pesat. 3) Tahap Fetal (8 Minggu hingga lahir) munculnya sel tulang pertama pada sekitar 8 minggu kehamilan mensyaratkan dimulainnya tahap fetal, tahap final kehamilan. Sepanjang masa ini, janin tumbuh 20 kali lebih panjang daripada sebelumnya, dan organ serta sistem tubuhnya menjadi lebih kompleks. Pada saat kelahiran hampir tiba, “sentuhan terakhir” seperti kuku jari tangan, kuku jari kaki, dan kelopak mata terbentuk. Janin bukanlah penumpang pasif dalam rahim ibu. Janin bernafas, menendang, berputar, meregangkan tubuh, berjungkir balik, berkedip, menelan, mengepal, cegukan, dan menghisap jari mereka. Cangkang fleksibel dinding uterine dan kantong ketuban, yang mengelilingi pelindung cairan ketuban, memungkinkan dan bahkan merangsang gerakan yang terbatas. Mulai sekitar dua belas minggu kehamilan, janin menelan dan menghisap sejumlah cairan ketuban tempat di mana ia mengambang. Cairan ketuban mengandug substansi yang mengghubungkan plasenta dari aliran darah ibu dan masuk ke aliran darah janin. Penggabungan kedua substansi ini dapat mengembangkan sensor perasa dan penciuman dan mungkin untuk bernapas dan mencerna. Sel perasa yang matang muncul pada sekitar 14 minggu kehamilan. Organ yang berhubungan dengan penciuman, yang mengontrol penciuman, juga berkembang dengan baik sebelum lahir. Janin juga merespons suara, detak jantung, dan getaran tubuh ibunya, menunjukkan bahwa mereka dapat mendengar dan merasa. Keintiman bayi dengan suara ibu bisa jadi memiliki fungsi bertahan dasar: untuk membantu bayi yang baru lahir menentukan lokasi makanan. Respon terhadap suara
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
17
dan getaran di mulai pada 26 minggu kehamilan, terus meningkat, dan mencapai puncak pada sekitar 32 minggu kehamilan. Perkembangan manusia tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhannya. Pertumbuhan adalah sesuatu yang menyangkut materi jasmaniah yang dapat menumbuhkan fungsi dan bahkan perubahan fungsi pada materi jasmaniah. Perubahan jasmaniah dapat menghasilkan kematangan atas fungsinya. Kematangan fungsi jasmaniah sangat mempengaruhi perubahan pada fungsi psikologis. Oleh karena itu, perkembangan manusia tidak dapat dipisahkan dengan pertumbuhannya. Perkembangan merupakan fungsi jasmaniah dan kejiwaan yang berlangsung dalam proses satu kesatuan yang menyeluruh (Jaali, 2006:21). Berdasarkan komponen-komponen perkembangan janin tersebut, maka dapat dikatakan bahwa janin berumur tujuh bulan sudah sempurna sehingga dikatakan telah dapat menerima rangsangan dari luar. Teori perkembangan anak akan dipergunakan untuk menjawab permasalahan tentang bagaimana hubungan antara upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali dalam upaya mendapatkan anak suputra. 2.3.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian terhadap upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali dalam bentuk skripsi telah dilakukan oleh : I Gusti Made Mudana, (2000:74) berjudul : “Pelaksanaan Upacara Pagedong-gedongan Dalam Manusa Yajna Ditinjau Dari Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu” memberikan suatu kesimpulan bahwa upacara pagedong-gedongan merupakan salah satu upacara yang di dalam ajaran Agama Hindu termasuk dalam upacara manusa yajna, sebab upacara ini diperuntukkan kepada seorang ibu yang sedang hamil kalau embrio dalam kandugan sudah berwujud manusia. Di samping itu upacara pagedong-gedongan mengandung nilai-nilai pendidikan kesusilaan yakni upacara ini dilaksanakan dengan maksud pembersihan, pemeliharaan atas keselamatan si ibu dan anaknya, disertai pula dengan pengharapan agar anak yang lahir kelak menjadi orang yang berguna di
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
18
masyarakat memenuhi harapan orang tuanya atau dengan kata lain agar menjadi anak yang suputra. Hasil penelitian tersebut memiliki kesimpulan yang menyatakan upacara pagedong-gedongan, memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan psikologis janin dalam kandungan, merupakan pembersihan dan pemeliharaan keselamatan ibu dan anak, mengandung nilai-nilai pendidikan kesusilaan, serta memperlihatkan bahwa makanan yang dimakan ibu yang sedang hamil, gagasan-gagasan yang dipikirkannya, mempengaruhi janin dalam pikirannya. Dalam penelitian ini memiliki kelebihan yakni untuk mengetahui makna serta hubungan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali dalam upaya melahirkan anak suputra. Dalam skripsi : Sri Endah Rejeki, (2008:65) berjudul : “Pengaruh Upacara Garbhadhana Terhadap Pertumbuhan Psikologis Janin Dalam Kandungan”, memberikan suatu kesimpulan bahwa upacara garbhadhana ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan psikologis janin dalam kandungan. Akan tetapi dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa upacara magedong-gedongan berbeda dengan upacara garbhadhana. Upacara garbhadhana merupakan salah satu upacara bayi dalam kandungan yang dilakukan sebelum upacara magedong-gedongan atau yang lebih dikenal dengan upacara simantonayana. Penelitian tentang upacara garbhadhana ini bisa dijadikan referensi sebagai salah satu upacara bayi dalam kandungan.
2.4 Metodelogi Penelitian Sudarmayanti dalam Praptini (2009:2) menyatakan bahwa metodologi adalah langkah-langkah yang sistematis untuk memperoleh ilmu sedangkan metode adalah prosedur atau cara mengetahui sesuatu dengan langkahlangkah sistematis tersebut. Suatu penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan. Menemukan berarti berusaha mendapatkan sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan. Mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam apa yang ada, sedangkan menguji kebenaran
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
19
dilakukan jika apa yang sudah ada diragukan kebenarannya (Praptini, 2009:3). Suatu metode yang tepat sangat bermanfaat dan membantu penulis dalam meneliti obyek penelitian untuk mendapat data dan informasi yang sesuai dengan realitas, sehingga keabsahan hasil penelitian tersebut dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya 2.4.1 Latar Penelitian Penelitian ini mengambil Lokus pada Pura Aditya Jaya Rawamangun yang terletak di Jakarta Timur, karena melihat kondisi umat di Jakarta Timur yang sebagian besar berkumpul di tempat ini. Pura ini sering di jadikan tempat pertemuan dari anak-anak sampai orang tua, dapat dilihat dari bangunan-bangunan yang besar dan luas yang mampu memuat banyak umat sehingga Pura Aditya Jaya Rawamangun menjadi tempat yang strategis untuk umat untuk melaksanakan pertemuan baik untuk kepentingan berorganisasi maupun pelaksanaan upacara. Pura Aditya Jaya Rawamangun mempunyai arti yang sangat penting bagi umat Hindu khususnya di daerah Jakarta Timur dan sekitarnya pada umumnya lebih-lebih terhadap bangsa dan Negara. Karena dengan adanya Pura berarti umat Hindu ikut berperan aktif dalam membangun dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pura sebagai tempat ibadah atau tempat suci Agama Hindu didasari oleh konsepsi religius tentang hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lingkungan yang disebut dengan Tri hita Karana (Kaler, 1994:830). Kemudian di dalam perkembangannya umat Hindu di Rawamangun dan sekitarnya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dalam jumlah serta kesadaran umat Hindu tentang arti dan makna hidup beragama semakin tinggi, yaitu terbentuknya Pengempon Pura sampai saat ini, susunan Pengempon Pura Aditya Jaya Rawamangun periode tahun 2007-2012:
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
20
Tabel 2.1 : Organisasi Pengempon Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur Jabatan
Nama
a. Ketua
I Putu Maharta Adijadnja
b. Wakil Ketua
I Made Rai Suparta
c. Sekretaris I
Pardiyo
d. Sekretaris II
I Gusti Agung Ngurah Putra
e. Bendahara I
Ngurah Arya
f. Bendahara II
Dewa Nyoman Kariawan
g. Umum
Ketut Widiarsa
h. Keagamaan dan Upacara
Wayan Budha
i. Bidang Organisasi Komunikasi j. Pemberdayaan Perempuan
dan Ketut Suryawan Sari Murdjana
k. Kepemudaan, Olahraga dan Ida Bagus Wisnu Siputra Humas l. Pembangunan dan Pemeliharaan Gusti Kompyang Suanda m. Pendidikan dan SDM
Sutharta
n. Keamanan dan Parkiran
Made Bagus Suparma
o. Sosial dan Kemasyarakatan
Nyoman Sudarsana
p. Dokumentasi dan Publikasi
Ida Bagus Oka Nila
Pura Aditya Jaya Rawamangun merupakan Pura yang cukup luas di kawasan Jakarta Timur ini karena mempunyai beberapa tempek dan di pimpin oleh masing-masing ketua yakni : Tabel 2.2 : Tempek Jakarta Timur NO
TEMPEK
KETUA
1.
Tempek Ciracas
Wayan Nuada
2.
Tempek Cibubur
Putu Gelgel
3.
Tempek Munjul
Gusti Ketut Suarta
4.
Tempek Halim
I Made Meliun Suyana, SH
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
21
5.
Tempek Cipinang
Nyoman Udayana Sangging, SH, MM
6.
Tempek Pondok Bambu
Gusti Kompyang Suwanda
7.
Tempek Jatiwaringin
Nyoman Sudarsana
8.
Tempek Rawamangun
Made Suprabawa,SE
9.
Tempek Klender
Wayan Budha, S.Ag, M.Pd
10.
Tempek Kp. Ambon
Drs. I Ketut Tisna
11.
Tempek Cijantung
Ir. Putu Yogi Pramana
12.
Tempek Utan Kayu
Ir. Putu Maharta
Pengempon Pura Aditya Jaya mempunyai kewajiban secara bergilir untuk menyiapkan sarana upakara pelaksanaan yajna rutin seperti Purnama, Tilem, Tumpek, Kajeng Kliwon, Galungan dan Kuningan. Untuk pujawali dibentuk panitia tersendiri yang terdirin dari unsur-unsur tempek. Tugas lain dari tempek adalah secara bergilir ngiring/mundut Pakuluh ke Pura yang sedang melaksanakan pujawali. Daerah sekitar Pura ini di pimpin oleh ketua banjar bernama Ir. Made Sudartha dan salah satu anggota adalah I Gusti Kompyang Suanda yang membantu sistem kerjanya ketua Banjar. Selain organisasi Banjar Jakarta Timur dan tempek-tempek pengempon Pura, ada juga organisasi lembaga keamanan Hindu lainnya yang bersekretariat diareal Pura Aditya Jaya dengan membentuk Sekretariat Bersama diantaranya sebagai berikut:
Tabel 2.3 Sekretariat Bersama No
Nama Lembaga
Nama Ketua
1
Parisada DKI Jakarta
Kombes Pol. I Ketut Wiardana
2
Parisada Jakarta Timur
Dra. Ketut Oka Harmini, MM.
3
SDHD DKI Jakarta
Drs. Erlangga Mantik
4
SDHD Banjar Jakarta Timur
Ir. Made Sudarta,MBA.,M.Sc
5
Yayasan Mandira Widhayaka
Ir. I Gusti Komang Widana,Si.,MM.,M.Fil.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
22
6
Yayasan Dharma Indonesia
Sevanam Drs. I Nyoman Astawa,M.Si.,MM.,M.Fil.
7
Yayasan Dharma Nusantara
IGKG Suena
8
PWSHD DKI Jakarta
Nurastuti Mulyadi
9
PWSHD Jakarta Timur
Nyoman Rai Somawati
10
KPSHD Jakarta Timur
Misnan
11
WHDI DKI Jakarta
Nurastuti Mulyadi
12
WHDI Jakarta Timur
Nyoman Rai Somawati
13
Sanggraha Pinandita Nusantara
Dewa Putu Suradana
14
Pasraman Rawamangun
Nyoman Udayana Sangging
15
KMHDI
I Made Raditya Mahardika
Selain Sekretariat Bersama di Gedung Dharma Sevanam ada juga lembaga lainnya yang menggunakan Graha Aditya Carya diantaranya: 1). STAH Dharma Nusantara Jakarta; 2).Pasraman Aditya (sekolah Minggu Agama0; 3). TK dan SD Pertiwi Abilasa; 4). Sanggar Pustaka Aditya dan 5). LPDG. Tahun 2007 tepatnya sejak pergantian kepengurusan SDHD Banjar Jakarta Timur (masa bhakti 2007-2012) dengan Ketuanya Bapak Ir. Made Sudarta,MBA atas ksepakatan bersama antar pengurus, dan masukan dari umat, Otorita Pura Aditya Jaya ditiadakan dengan pertimbangan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam menjalankan tugas menata dan mengelola Pura. Selama ini fungsi Otorita yang semula tujuannya hanya menangani masalah pembangunan Pura, secara perlahan berubah fungsi menangani semua hal sehingga peran banjar tidak jelas bahkan terkesan Pura Aditya Jaya adalah milik Otorita. Adapun yang pernah menjadi ketua Otorita Pura Aditya Jaya sebagai: 1). Periode 1979-1991 ketunya Bapak Ir. I Gusti Agung Ketut Alit; 2). Periode 1991-1995 Bapak Ir. Made Sudarta,MBA; 3). Periode 1995-1999
ketuanya Bapak Gde Maya Rumiada,SE.,AAg.,MM
(alm); dan 4). Periode 1999-2007 ketuanya Bapak Drs Gede Darsana.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
23
Pengelolaan dan penataan Pura Aditya Jaya ditangani langsung oleh SDHD Banjar Jakarta Timur dengan memfungsikan semaksimal mungkin semua Wakil Ketua dan bidang-bidang seperti halnya bidang agama dan yajna dimonitor langsung oleh Wakil Ketua I membawahi bidang agama dan yajna, fokus terhadap pelaksanaan upacara yajna di Pura mulai dari pelaksanaan Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan, mengurus kesejahteraan Pinandita dan bahkan mengiring Pakuluh ke Pura yang sedang melasanakan Pujawali juga diurus oleh bidang agama dan yajna yang memiliki empat koorditator dan anggota berfungsi dimasing-masing Pura karena di Jakarta Timur ada empat Pura yang diempon. Demikian halnya bidang sarana prasarana dan pembangunan Pura hanya fokus kepada bidangnya masingmasing. Untuk menata dan mengelola para pedagang khusus untuk dagang makanan khas Bali dan jajanan Bali serta aneka minuman, pengurus Banjar memanfaatkan kantin Aditya Boga yang dibangun oleh Yayasan Dharma Sevanam sebagai kompensasi pembangunan Gedung Pusdiklat Dharma Sevanam diatas bekas kantin lama. Untuk dagang canang, dagang kaset lagu-lagu rohani, pernak pernik Hindu dan alat-alat persembahyangan disiapkan disatu tempat yang bernama kios dagang canang. Semua dagang dikelola sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi pedagang yang berkeliaran diareal Pura, semua tertata rapi berada ditempatnya, dan ini juga dapat memudahkan umat untuk mendapatkan kebutuhan belanja untuk kebutuhan persembahyangan. Pengelolaan terhadap para pedagang ini dikoordinir oleh seorang koordinator unit usaha di Pura Aditya Jaya yang ditunjuk langsung oleh ketua banjar dan bertanggung jawab langsung kepada ketua banjar. Dalam mengelola keuangan yang merupakan hasil usaha tersebut Koordinator Unit Usaha berkoodinasi langsung dengan salah satu bendahara banjar. Hasil usaha ini digunakan oleh banjar untuk meningkatkan Fasilitas Pura mengingat sangat tinggi dan beragamnya aktivitas umat yang tentunya membutuhkan fasilitas yang lebih memadai dengan sarana penunjang dan tenaga kerja yang senantiasa bisa menjaga kebersihan dan keasrian Pura.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
24
Pengelolaan pedagang inilah yang menjadi sektor ekonomi banjar dan dapat berfungsi sebagai labhaPura selain dana punia. Secara Geografis Pura Aditya Jaya Rawamangun terletak di wilayah Jakarta Timur, tepatnya di Kelurahan Rawamangun Muka RT 11/RW 10 Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Secara Administratif berada di Jl. Daksinapati Raya Nomor 10 Rawamangun. Bangunan Pura menghadap ke Selatan dengan dibatasi pagar sekeliling sebagai berikut: 1. Di sebelah Utara, pemukiman penduduk, 2. Di sebelah Selatan berbatasan dengan komplek perumahan dosen UI, 3. Di sebelah Timur, berbatasan langsung dengan masjid Al. Taqwa, 4. Di sebelah Barat berbatasan dengan jalan by pass Jl. Jend. A.Yani. Lokasi Pura memang sangat strategis dan tidak membuat umat yang ingin bersembahyang tidak mengalami kesulitan yang terletak di pinggir jalan raya di lingkungan komplek Dosen IKIP, di sebelah masjid Al-Taqwa dan berada dekat lapangan golf, lingkungan Pura ini berdekatan dengan Universitas Negeri Jakarta yang banyak orang sudah mengetahuinya. Pada umumnya Pura-Pura yang besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu Tri berarti tiga, Mandala berarti wilayah, jadi Tri Mandala berarti tiga wilayah/daerah yang dimiliki oleh setia Pura dan antar mandala yang satu dengan yang lain di batasi dengan tembok/pintu masuk yang khas. Sebagian Pura pada umumnya Area Pura Aditya Jaya Rawamangun juga terdiri tiga mandala yaitu : 1. Kanisthama Mandala (jaba sisi) Area Pura paling luar yang masih satu-kesatuan dengan Pura. Memasuki Kanistama Mandala Pura Aditya Jaya dapat melalui dua Candi Bentar yakni yang menghadap kejalan DI. Panjaitan (Bay pass) hanya dibuka pada hari minggu dan pada waktu pujawali, serta pada perayaan Tawur Agung Kesanga. Sedangkan Candi Bentar yang menghadap kejalan Daksinapati Raya dapat digunakan setiap hari. Posisi Kanisthama Mandala mengitari
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
25
sebagian Madhyama Mandala dan sebagian Uttama Mandala menyerupai hurup U dari posisi Timur, Utara dan sebelah Barat. Adapun palinggih dan bangunan yang terdapat di Kanistama Mandala antara lain: 1) Dua palinggih tugu untuk pohon beringin berada disebelah timur sebagai stana Sang Kala Bang dengan pengiringnya Ida Sekar Sandat dan Sekar Gadung sebagai pengamong-among menjaga dan membenahi hal-hal yang kurang sakral untuk memasuki Madhyama Mandala. Sebelah Barat Uttama Mandala terdapat tugu sebagai sthana Jero Gede yang menjaga kesetabilan Pura. Sebuah tugu untuk pedagang didepan kantin sebagai sthana Ida Ratu Mas Melanting; 2) Bale Peyajnan sebagai
tempat
mempersiapkan
tetandingan
dan
tempat
pelaksanaan manusa yajna; 3) Ruang perpustakaan terbuka; 4) Dua buah Bale Bengong; 5) Jineng; 6) Griya untuk tempat Ratu Pedanda; 7) Kios canang dan dagang alat perlengkapan upakara; 8) Gedung Pusdiklat Dharma Sevanam untuk sekretariat bersama, ruang rapat dan diklat; 9) Kantin Aditya Boga; 10) Graha Aditya Boga Aditya Charya untuk ruang kelas; 11) Graha Sabha Aditya ; 12) Dua buah toilet; 13) Arena bermain out door TK Pertiwi Abhilasa. 2. Madhyama Mandala (jaba tengah) Halaman tengah yang terdapat pada Pura dan merupakan tempat kegiatan seperti cerdas cermat, kesenian, hiburan, dan dijadikan tempat sembahyang dalam piodalan. Menuju Madhyama Mandala dapat masuk dari Candi Bentar sebelah Timur dan sebelah Barat. Disebelah kiri kanan Candi Bentar terdapat Arca Dwarapala (patung penjaga pintu atau pengapit lawang) berbentuk raksasa. Di Madhyama Mandala terdapat beberapa bangunan antara lain: 1) Perantenan (dapur); 2) Bale Wantilan sebagai tempat menyiapkan segala keperluan upakara pada saat piodalan, sebagai tempat pertunjukan tari-tarian saat piodalan, dan sebagai tempat mesandekan umat yang baru tiba untuk mempersiapkan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
26
persembahyangan sebelum memasuki Uttama Mandala. Sejak Oktober Tahun 2007 Bale Wantilan juga digunakan sebagai tempat persembahyangan pada saat pujawali; 3) Bale Kulkul; 4) Tempat tirta pembersihan, tempat dupa, bunga dan selendang; 4) Gudang penyimpanan peralatan upacara. 3. Uttama Mandala (jeroan) Halaman utama yang digunakan untuk bersembahyang umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi. Menuju Uttama Mandala melewati Kori Agung (Candi Kurung) dengan tiga pintu utama dan dua pintu lagi dikiri kanannya. Kori Agung senantiasa dalam keadaan tertutup hanya digunakan pada saat odalan (pujawali) dan hari-hari tertentu. Sedangkan untuk jalan keluar masuk Jeroan menggunakan pintu yang berada disebelah kiri dan kanan Kori Agung sering disebut babetelan. Depan Kori Agung terdapat dua Arca Dwarapala dan di atas pintu masuk terdapat hiasan atau ukiran yang berbentuk bhoma. Terdapat pula pintu tembus samping yang digunakan sebagai pintu keluar bagi umat yang selesai sembahyang bersama, yakni dari Uttama Mandala langsung ke Kanistha Mandala. Beberapa Palinggih/bangunan suci yang terdapat di Uttama Mandala antara lain sebagai berikut: a. Padmasana sebagai Palinggih Utama yaitu untuk menstanakan Sang Hyang Widhi dalam manifestasin-Nya sebagai Siwa Aditya. b. Anglurah yaitu palinggih pengiring berada disebelah kiri Padmasana. c. Bale
Papelik/Pangaruman
untuk
mensthanakan
para
Dewa/Tapakan/Pakuluh yang hadir pada saat Pujawaili. d. Bale Pawedaan digunakan sebagai tempat Ida Pedanda mapuja pada saat pujawali atau pada hari-hari suci lainnya. e. Taman Sari yaitu tempat pemujaan Sang Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Pancaka Tirtha yang
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
27
disebut Ida Bhatara Lingsir tempat memohon pengobatan dan pengelukatan. f. Palinggih Beji sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya, Dewa Wisnu sebagai Sang Hyang Taya disebut Ida Bhatara Khrsna Tanu tempat memohon Tirtha Pasucian dan sebagai sumber kehidupan. g. Murti/Arca Dewi Saraswati sebagai palinggih tambahan terdapat didalam Taman Sari sebagai Istadevata yang dipuja untuk memohon kecerdasan, kebijaksanaan dan pencerahan bathin. h. Murti/Arca Ganesa sebagai palinggih tambahan terdapat disebelah kanan belakang Padmasana sebagai Istadevata yang dipuja untuk memohon keselamatan. Pura Aditya Jaya yang dikelilingi tembok/penyengker sebagai batas pekarangan yang disakralkan, pada sudut-sudut pekarangan dibuatkan paduraksa (penyanggah sudut) yang berfungsi untuk menyangga sust-sudut pekarangan tempat suci (dikpalaka). Yang membedakan Pura Aditya Jaya dengan Pura yang lainnya adalah terletak pada pemanfaatan Kanisthama Mandala disebelah Timur Uttama Mandala dibagi menjadi tempat labhaPura dengan memberi batasan tembok antara tembok Bale Penyajian dengan Kantin, Gedung Diklat, Kios Canang dan ruang pendidikan. Sarana pendidikan di sekitar wilayah Pura Aditya Jaya Rawamangun adalah terdapat gedung STAHDN Aula umum di sebelah gedung STAHDN biasanya digunakan untuk acara-acara dan kegiatan generasi muda maupun lembaga STAHDN, Pasraman, tempat belajar tinggkat kanak-kanak, tempat organisasi, parkiran yang luas, dan taman-taman tempat beristirahat. Terdapat kantor sekretariat bersama letaknya di sebelah Selatan dan berhimpitan dengan dapur. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat untuk pelayanan kepada umat untuk mencari informasi ataupun kepentingan dengan pengurus maupun lembaga yang sudah berdiri. Sekretariat bersama ini digunakan bersama-sama oleh lembaga organisasi masyarakat seperti PHDI DKI, SDHD DKI, Banjar Jakarta Timur, dan WHDI DKI.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
28
2.4.2 Pendekatan Metode Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bertolak dari asumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman individu-individu.
Penelitian
ini
yang diinterpretasikan oleh
menggunakan
pendekatan
studi
kepustakaan. Bungin (2007:121) menyatakan bahwa metode kepustakaan adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial untuk menelusuri data histories. Sedangkan Sugiyono (2007:329) menyatakan bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang berbentuk tulisan, gambar, atau karyakarya monumental dari seseorang. 2.4.3 Data dan Sumber Data Istilah data yang merupakan kata jamak dari datum maksudnya keterangan atau petunjuk, yang merupakan bahan yang akan diolah secara ilmiah. Jadi, data adalah keterangan atau petunjuk tentang fakta, tanpa adanya fakta tidak ada data. Menurt Sarwono dalam Sudiani (2009:14-20) ada dua jenis data yaitu : 1) Data primer Data primer berasal dari sumber asli atau pertama, yang tidak tersedia dalam bentuk file-file. Data ini harus dicari melalui nara sumber (responden), yaitu orang yang dijadikan obyek penelitian atau orang yang dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan informasi. Dalam pencarian data primer ada tiga dimensi penting yang perlu diketahui, yaitu: kerahasiaan, struktur dan metode koleksi. Dalam penelitian ini data primer yang dimaksud adalah data yang bersumber pada realitas kehidupan masyarakat (data lapangan) yang diperoleh melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara. 2) Data sekunder Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sehingga peneliti tinggal mencari dan mengumpulkan. Data sekunder dapat diperoleh dengan lebih mudah dan cepat karena sudah tersedia, misalnya di perpustakaan,
perusahaan-perusahaan,
organisasi-organisasi
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
29
perdagangan, biro pusat statistik dan kantor-kantor pemerintahan. Data jenis ini dapat diperoleh dengan cara membaca, melihat dan mendengarkan. Pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan untuk mendapatkan data sekunder adalah kesesuaian data dengan penelitian yang akan dilakukan, menekankan pada kualitas data, dan data sekunder hanya dipergunakan sebagai pendukung data primer. Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) yang bersumber dari kitab-kitab suci Agama Hindu, buku-buku sastra Agama Hindu, buku-buku tentang upacara manusa yajna, dan beberapa literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Menurut Arikunto dalam Sudiani (2009:14-20) sumber data yang dimaksud di sini adalah subyek dari mana data diperoleh. Karena peneliti menggunakan wawancara dalam pengumpulan data maka sumber data disebut informan, sedangkan dalam teknik observasi maka sumber datanya adalah bisa benda, gerak atau proses sesuatu, dan dalam teknik dokumentasi maka dokumen atau catatan-catatan yang menjadi sumber data. Menurut Suprayogo dan Tobroni dalam Sudiani (2009:4-20) dalam penelitian yang bersifat kualitatif maka ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan kekayaan data yang diperoleh. Lebih lanjut dikatatakan bahwa, jenis sumber data terutama dalam penelitian kualitatif dapat diklasifikasikan, sebagai berikut : 1) Nara Sumber (Informan) Dalam
penelitian
kuantitatif,
sumber
data
ini
disebut
“respondent”, yaitu orang atau sejumlah orang yang memberikan “respond” atau tanggapan terhadap apa yang diminta atau ditentukan oleh peneliti. Dalam penelitian kualitatif posisi nara sumber sangat penting, bukan sekedar memberi respons, melainkan juga sebagai informan (orang yang memberikan informasi, sumber informasi, sumber data) atau disebut juga subyek yang diteliti, karena ia bukan saja sebagai sumber data,
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
30
melainkan juga aktor atau pelaku yang ikut menentukan berhasil tidaknya sebuah penelitian berdasarkan informasi yang diberikan. 2) Peristiwa atau aktivitas. Data atau informasi juga dapat diperoleh melalui pengamatan terhadap peristiwa atau aktivitas yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Dari peristiwa atau aktivitas ini, peneliti bisa mengetahui proses bagaimana sesuatu terjadi secara lebih pasti karena menyaksikan sendiri secara langsung. 3) Tempat atau lokasi. Tempat atau lokasi yang berkaitan dengan sasaran atau permasalahan penelitian juga merupakan salah satu jenis sumber data. Informasi mengenai kondisi peristiwa atau aktivitas dilakukan bisa digali lewat sumber lokasinya, baik yang merupakan tempat atau lingkungannya. 4) Dokumen atau Arsip Dokumen merupakan bahan tertulis atau benda yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Ia bisa merupakan rekaman atau dokumen tertulis seperti arsip, database, suratsurat, rekaman gambar benda-benda peninggalan yang berkaitan dengan suatu peristiwa. Untuk mendapatkan data-data yang dapat mendukung penelitian ini, penentuan informan dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu dengan menunjuk secara langsung informan yang akan dijadikan subyek penelitian yaitu beberapa orang informan yang penulis anggap memiliki kompetensi dibidang yang menjadi objek penelitian ini, seperti tokoh-tokoh masyarakat (pedanda, pemangku dan parisadha), dan orang tua yang melaksanakan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedonggedongan dalam Agama Hindu adat Bali. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dengan menggunakan logika berpikir perpaduan induktif-deduktif, dan argumentatif,
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
31
sehingga menggunakan data primer sebagai data utama dan data sekunder sebagai data pendukung. 2.4.4 Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data Dalam penelitian ini yang menjadi data primer adalah data yang peneliti peroleh dari penelitian secara langsung di lapangan dan dikumpulkan melalui metode. Menurut Sukardi dalam Sudiani (2009:14-20) metode tersebut ialah : (1) Wawancara, teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara yang tidak berstruktur dimana peneliti sebelum melakukan
wawancara
membuat
catatan-catatan
pertanyaan,
(2)
Dokumentasi dengan teknik merekam gambar dan pengumpulan arsip-arsip, dan (3) Observasi langsung di lapangan. Observasi yang peneliti gunakan adalah observasi terbuka. Sedangkan data sekunder peneliti peroleh melalui studi pustaka terhadap sumber-sumber tertulis tentang upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali, serta kaitannya dengan upacara manusa yajna, dan juga diperoleh secara online. Menurut Sarwono dalam Sudiani (2009:14-20) pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan dalam memilih data sekunder adalah sebagai berikut: 1) Jenis data harus sesuai dengan tujuan penelitian yang sudah kita tentukan sebelumnya. 2) Data sekunder yang dibutuhkan bukan menekankan pada jumlah tetapi pada kualitas dan kesesuaian, oleh karena itu peneliti harus selektif dalam memilih dan menggunakannya. 3) Data sekunder biasanya digunakan sebagai data pendukung data primer, oleh karena itu kita tidak dapat hanya menggunakan data sekunder
sebagai
satu-satunya
sumber
informasi
untuk
menyelesaikan masalah penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan prosedur pengumpulan dan perekaman data dengan teknik wawancara. Di dalam Modul Metodelogi Penelitian yang ditulis oleh Oka (2008:29), wawancara ialah Tanya jawab dalam bentuk komunikasi verbal (berhubungan dengan lisan), bertatap muka
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
32
di antara interviewer (pewawancara) dengan para informan atau responden yang menjadi interviwi, yaitu para anggota masyarakat yang diwawancarai. Wawancara dapat digolongkan menjadi tiga bagian yakni : 1) wawancara sambil lalu, 2) wawancara tidak berencana dan 3) wawancara berencana. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara tidak berencana dimana wawancara diersiapkan lebih dahulu sebelum wawancara dilaksanakan. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik wawancara tidak berstruktur, yakni, wawancara yang dilakukan tanpa mengajukan daftar pertanyaan, tetapi sebelum wawancara dilakukan membuat catatan-catatan pertanyaan. 2.4.5 Analisis Data Analisis data menurut Suprayogo dan Tobroni dalam Sudiani (2009:14-20) adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah. Menurut Muhadjir dalam Sudiani (2009:14-20) analisis data juga merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain Meurut Netra dalam Sudiani (2009:14-20) analisa data dilakukan setelah selesai pengumpulan data. Mengingat penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif, sedangkan teknik yang digunakan untuk menganalisis data adalah perpaduan antara teknik induktif, deduktif dan argumentatif. Teknik induktif adalah apabila dalam uraian analisis terlebih dahulu dikemukakan faktafakta yang bersifat khusus, baru kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum. Menurut Titib dalam Sudiani (2009:14-20) teknik deduktif dalam analisis adalah terlebih dahulu dikemukakan fakta yang bersifat umum menuju penarikan suatu kesimpulan. Teknik argumentasi adalah dengan memberikan komentar-komentar pada saat penarikan suatu kesimpulan. Dalam penelitian ini, teknik induktif akan digunakan untuk menguraikan fakta-fakta yang bersifat khusus yang diperoleh di lapangan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
33
dari beberapa informan yang menyangkut ketiga permasalahan dalam penelitian ini, kemudian ditarik suatu kesimpulan secara umum. Sedangkan teknik deduktifnya akan digunakan untuk menguraikan fakta-fakta yang diperoleh dari kepustakaan yang bersifat umum baru kemudian ditarik suatu kesimpulan. Menurut Sarwono dalam Sudiani (2009:14-20) pada penelitian kualitatif analisis data merupakan analisis yang mendasarkan pada adanya hubungan semantis antara variabel yang sedang diteliti, agar peneliti mendapatkan makna hubungan variabel-variabel sehingga dapat digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Menurut Suprayogo dan Tobroni dalam Sudiani (2009:14-20) analisis data pada penelitian kualitatif bersifat literatif (berkelanjutan) dan dikembangkan sepanjang program. Analisis data dilaksanakan mulai penetapan masalah, pengumpulan data, dan setelah data terkumpulkan. Menurut Ndraha dalam Sudiani (2009:14-20) analisa kualitatif diartikan sebagai usaha analisis berdasarkan kata-kata yang disusun ke dalam bentuk teks yang diperluas. Sedangkan analisis deskriptif dimaksudkan adalah dengan mengadakan suatu telaah pada suatu gejala yang bersifat obyektif sesuai dengan data kepustakaan maupun lapangan yang menjadi obyek penelitian ini, sehingga merupakan sebuah bentuk tulisan yang bertalian dengan usaha untuk melukiskan sebuah rincian dari obyek yang sedang dibicarakan Menurut Miles dan Huberman juga Yin dalam Sudiani (2009:14-20) bahwa tahap analisis data dalam penelitian kualitatif secara umum dimulai sejak pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Setelah semua data yang diperlukan terkumpul melalui pengumpulan data, selanjutnya akan dilakukan pengolahan data seperti memilah-milah data dan klasifikasi data. Dalam penelitian ini analisis data dilakukan ketika, sedang, dan setelah selesai pengumpulan data, dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, sedangkan teknik yang digunakan adalah perpaduan teknik induktif, deduktif dan argumentatif. Dalam kesempatan ini juga akan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
34
dilakukan upaya pengecekan kembali data yang masih meragukan, dan bila dipandang perlu peneliti akan menghubungi kembali informan di lapangan. 2.4.6 Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data Dalam riset kualitatif triangulasi menjadi sesuatu yang sangat penting untuk membantu pengamatan menjadi lebih jelas dan lebih terang sehingga informasi yang diperlukan menjadi lebih jernih. Triangulasi adalah proses validasi yang harus dilakukan dalam riset untuk menguji kesahihan antara sumber data yang satu dengan sumber data yang lain dan /atau metode yang satu dengan metode yang lain (misalnya,observasi dengan wawancara). Triangulasi menjadi penting karena , menurut Lincoln and guba dalam Ali (2010:155) tidak ada satu informasi pun dapat dipertimbangkan untuk diterima kecuali setelah dilakukan triangulasi. Menurut Ali (2010:155) dalam pelaksanaan triangulasi ada empat modus yang sebaiknya dilakukan , yaitu penggunaan lebih dari satu atau beberapa sumber data, metode, investigator, dan teori. Triangulasi sumber data merupakan triangulasi dengan modus penggunaan sumber data yang berbeda dan lebih dari satu mengandung makna,bahwa suatu informasi yang diperoleh dari satu sumber data dicek silang kepada sumber data yang lain . Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi lain yang mungkin mengkonter informasi yang diperoleh dari sumber data sebelumnya atau bahkan memperkaya informasi yang telah diperoleh dari sumber data pertama. Triangulasi metode merupakan triangulasi dapat juga dilakukan dengan penggunaan metode yang berbeda. Artinya, dalam pengumpulan data ini menggunakan beberapa metode. Dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode yang berbeda untuk pengumpulan data misalnya wawancara, dan observasi. Triangulasi investigator artinya dalam penelitian ini ketika melakukan triangulasi menggunakan lebih dari satu investigator yakni dimana adanya pengamat di luar peneliti yang turut memeriksa hasil pengumpulan data. Dalam penelitian ini, dosen pembimbing bertindak sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
35
Triangulasi teori mengandung makna bahwa suatu fakta empiris hasil investigasi divalidasi dengan beberapa teori yang harus memiliki kebenaran dalam beberapa teori tersebut. Penggunaan berbagai teori yan berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memasuki syarat.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
36
BAB 3 DATA PENELITIAN
3.1 Data Penelitian Berdasarkan Hasil Wawancara Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
wawancara tidak
berstruktur dimana wawancara dilakukan tanpa mengajukan daftar pertanyaan, tetapi sebelum wawancara dilakukan peneliti mebuat catatancatatan pertanyaan. Dari hasil penelitian di lapangan peneliti menemukan beberapa hasil dari catatan-catatan pertanyaan tersebut yakni : 3.1.1 Catatan Pertanyaan Pertama Menurut hasil wawancara tujuan berkeluarga dalam Agama Hindu ada tiga yakni: 1) Dharma Sampati yakni peralihan dari masa brahmacari menuju ke masa
grahasta
sehingga
nantinya
bersama-sama
dapat
melaksanakan kewajiban dalam bermasyarakat dan bernegara. 2) Praja yakni memiliki keturunan yang suputra. 3) Rati yakni sesudah memasuki masa ini laki-laki (suami) dan perempuan (istri) diperbolehkan melakukan hubungan layaknya sepasang suami, istri (I Gusti Putu Raka, wawancara tanggal 1 Juli 2012). Demikian juga halnya hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan Ida Pedanda Gede Panji Sogata (wawancara tanggal 5 Juli 2012) mengatakan hal yang sama tentang tujuan berkeluarga dalam Agama Hindu meliputi tiga hal yakni Dharma Sampati, Praja dan Rati. Keseluruhan dari syarat-syarat tersebut merupakan dasar atau landasan yang kuat bagi kelangsungan hidup berkeluarga. Suatu keluarga dianggap sejahtera apabila telah terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, terutama dalam bentuk materi. Namun keluarga yang sejahtera ini belumlah dapat dikatakan telah mencapai kebahagiaan, apabila unsur-unsur pendukung tercapainya kebahagiaan, tersebut belum memenuhi syarat untuk itu.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
37
Kebahagiaan dan kesejahteraan ini haruslah berkeseimbangan, seimbang antara jasmani dan rohani, seimbang antara lahir dan bathin serta seimbang antara material dan spiritual. Menurut Hasil wawancara tujuan berkeluarga ialah untuk mendapatkan anak yang suputra karena sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pasal 1 dinyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan adanya ikatan lahir bathin tersebut diharapkan akan terjalinnya suatu ikatan suci demi mendapatkan keluarga sukinah dan memiliki anak yang berguna bagi nusa dan bangsa (suputra) (I Ketut Wiardana, SH. wawancara tanggal 30 Mei 2012). Tujuan yang dirumuskan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia itu erat sekali hubungannya dengan adanya keturunan, yang pada hakekatnya juga merupakan tujuan dari perkawinan itu sendiri. Karena kebahagiaan dari keluarga tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang menyangkut masalah keturunan. Itulah sebabnya, maka salah satu tujuan melaksanakan perkawinan atau wiwaha adalah memperoleh sentana (keturunan). Alasannya adalah karena dengan mengadakan putra atau sentana lebih-lebih sentana yang berkualitas suputra, adalah salah satu jalan untuk membayar hutang budi kepada para leluhur, yang sekaligus juga bahwa membentuk suatu keluarga adalah sebuah amanat dari Tuhan Yang Maha Esa yang patut diemban dengan sebaik-baiknya, penuh dengan ketulus ikhlasan dan penuh dengan rasa tanggung jawab. Keluarga adalah suatu ikatan atau jalinan berdasarkan pengabdian, yakni suami (ayah) mengabdi kepada istri dan anak-anaknya; demikian pula seorang istri (ibu) mengabdi kepada suami dan anak-anaknya serta selanjutnya anak mengabdi kepada kedua orang tuanya. Jadi karena adanya ikatan dan saling mengabdi inilah maka jalinan itu disebut dengan keluarga. Dengan kata lain bahwa keluarga adalah suatu ikatan atau hubungan yang terjalin secara harmonis antara suami (ayah/bapak), istri (ibu) dan anak.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
38
3.1.2 Catatan Pertanyaan Kedua Menurut hasil wawancara anak yang suputra tercipta melalui dari sepasang suami istri yang memiliki niat dan perilaku yang baik dimana anak suputra merupakan adanya hubungan abadi antara orang tua dan anak hingga orang tua meninggal sampai kepada hubungan dengan para leluhur. Pentingnya
memiliki
anak
suputra
yakni
agar
nantinya
dapat
mensejahterakan orang tua dan leluhurnya (I Ketut Wiardana, SH. wawancara tanggal 30 Mei 2012). Hasil wawancara dengan narasumber yang berbeda mengatakan bahwa anak yang suputra merupakan anak yang menuruti perkataan orang tua, rajin membantu, ramah terhadap setiap orang, tidak berbuat nakal dan nantinya mampu membawa nama baik keluarga dengan baik. Pentingnya memilii anak yang suputra ialah agar kehidupan orang tua beserta keluarga menjadi bahagia dengan adanya anak yang suputra (I Wayan Rudji, wawancara tanggal 25 Juni 2012). Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang suputra akan mampu memberikan ketenangan, kedamaian dan persatuan dalam keluarga, masyarakat serta nusa dan bangsa. Untuk itu hadirnya seorang anak suputra menjadi sebuah harapan dan sangat penting bagi sebuah keluarga. 3.1.3 Catatan Pertanyaan Ketiga Menurut hasil wawancara seorang ibu yang sedang hamil hendaknya selalu berbuat baik, mendekatkan dirinya dengan orang-orang yang pintar, mendengarkan ajaran-ajaran suci, dan mengikuti pelaksanaan-pelaksanaan hari raya agar anak yang dilahirkannya menjadi anak yang baik (suputra) (Ida pedanda Istri Mayun, wawancara tanggal 25 Juni 2012). Hasil wawancara dengan narasumber yang berbeda mengatakan ibu yang sedang hamil hendaknya selalu menjaga dirinya dari pikiran yang tidak baik misalnya berfikir untuk menyakiti orang lain , perkataan yang tidak baik misalnya mencaci maki orang lain dan perbuatan yang tidak baik
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
39
misalnya menyiksa serta membunuh makhluk hidup serta menjaga kesehatannya (I Gusti Putu Raka, wawancara tanggal 1 Juli 2012). Memelihara kesehatan seseorang ibu yang sedang hamil merupakan faktor penting dalam mendapatkan kelahiran anak yang baik atau sempurna. Selain makanan yang sehat, juga yang harus diperhatikan pantanganpantangan dan anjuran-anjuran. Pantangan-pantangan terhadap ibu yang sedang mengandung ada bermacam-macam, misalnya tidak berfikir, berkata, dan berbuat yang tidak baik, tidak memakan makanan yang tidak sehat dan tidak melakukan sesuatu yang melampui batas-batas tertentu, seperti bekerja keras, terlalu bebas memenuhi hawa nafsunya dan lain-lain. Hendaknya seorang ibu dianjurkan melakukan hal-hal yang berpengaruh positif yang nantinya berpengaruh positif pula pada bayinya. 3.1.4 Catatan Pertanyaan Keempat Menurut hasil wawancara pelaksanaan upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) pernah dilaksanakan di Pura Aditya Jaya Rawamangun (Perdana Ida Pedanda Istri Mayun, wawancara 25 Juni 2012). Demikian juga halnya hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan I Wayan Rudji (wawancara tanggal 25 Juni 2012) mengatakan hal yang sama bahwa umat pernah melaksanaan upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) di Pura Aditya Jaya Rawamangun. Upacara
simantonayana
(upacara
magedong-gedongan)
pernah
dilaksanakan di Pura Aditya Jaya Rawamangun. Akan tetapi selama proses penelitian ini berlangsung berkisar antara bulan Mei-Juli peneliti tidak menemukan
adanya
pelaksanaan
upacara
simantonayana
(upacara
magedong-gedongan) di Pura Aditya Jaya Rawamangun . 3.1.5 Catatan Pertanyaan Kelima Menurut hasil wawancara peneliti tentang spesifikasi tempat pelaksanaan upacara simantonayana (magedong-gedongan) di Pura Aditya Jaya Rawamangun biasanya dilaksanakan di bagian Kanisthama Mandala (jaba sisi) Pura hal ini diungkapkan oleh Perdana Ida Pedanda Istri Mayun, dalam wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 25 Juni 2012.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
40
Hasil wawancara dengan narasumber yang berbeda mengatakan pelaksanaan
upacara
simantonayana
(magedong-gedongan)
dapat
dilangsungkan di rumah maupun di Pura tepatnya di jaba sisi Pura (I Gusti Putu Raka, wawancara tanggal 1 Juli 2012). Berdasarkan hasil wawancara tersebut peneliti dapat menyimpulkan bahwa pelaksanaan upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) dapat dilangsungkan di Pura ataupun di rumah. 3.1.6 Catatan Pertanyaan Keenam Menurut
hasil
wawancara
peneliti
tentang
makna
upacara
simantonayana (magedong-gedongan) dengan I Gusti Putu Raka pada tanggal 1 Juli 2012 menyatakan bahwa makna dari upacara simantonyana adalah untuk memohon kepada Sang Hyang Atman yang berstana di dalam bayi agar tetap berstana dan membentuk janin menjadi sehat dan kuat sehingga dapat lahir dengan selamat kedunia serta nantinya kelak menjadi anak yang suputra. Hasil wawancara dengan narasumber yang berbeda mengatakan pelaksanaan upacara simantonayana (magedong-gedongan) memiliki makna untuk meningkatkan kualitas kelahiran manusia menjadi lebih baik yakni menjadi anak suputra (Ida Pedanda Gede Panji Sogata, wawancara tanggal 5 Juli 2012). Makna upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) adalah memohon kepada Sang Hyang Atman untuk tetap berstana pada bayi sehingga sang bayi dapat terlahir menjadi anak suputra, disamping itu upacara ini juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kelahiran manusia. 3.1.7 Catatan Pertanyaan Ketujuh Berdasarkan pernyataan Ida Pedanda Gede Panji Sogata dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 5 Juli 2012 menyebutkan ada beberapa sumber sastra Hindu yang menjelaskan tentang upacara simantonayana (magedong-gedongan) diantaranya adalah Manawa Dharmaçastra dan Lontar Yajna Prakerti sedangkan dalam wawancara dengan narasumber lain yaitu I Gusti Putu Raka yang dilakukan pada
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
41
tanggal 1 Juli 2012 menyebutkan sumber sastra lainnya yang dapat dijadikan rujukan terhadap keberadaan upacara simantonayana (magedong-gedongan) yakni Mahabharata. Dari hasil wawancara tersebut maka peneliti dapat menyimpulkan tentang beberapa sumber sastra Hindu yang dapat dijadikan rujukan pelaksanaan upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) yaitu Manawa Dharmaçastra, Mahabharata dan Lontar Yajna Prakerti. 3.2 Data Penelitian Berdasarkan Hasil Observasi Dalam penelitian ini selain menggunakan metode wawancara tidak berstruktur peneliti juga melakukan observasi pelaksanaan upacara simantonayana (magedong-gedongan) selain melakukan observasi peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa narasumber terkait dengan tahapan
pelaksanaan
upacara
simantonayana
(magedong-gedongan),
upakara yang dibutuhkan serta hubungan upacara simantonayana dalam upaya melahirkan anak suputra. 3.2.1 Catatan Pertanyaan Kedelapan Berdasarkan
hasil
observasi
peneliti
pelaksanaan
upacara
simantonayana (magedong-gedongan) dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain: 1. Pemangku Mepuja 2. Ngaturang banten ke leluhur 3. Suami dan Istri melakukan pembersihan dan natab banten byakala dan prayascita serta penglukatan 4. Natab banten (magedong-gedongan) 5. Ngayab banten 6. Suami istri mengelilingi cabang dab-dab yang dipancangkan dikanan-kiri pintu gerbang merajan menghadap keluar yng dihubungkan dengan benang hitam satu tukel. Dalam mengelilingi tersebut si perempuan menjunjung ceraken, tangan kanan menjinjing daun kumbang berisi air dan ikan. Sedangkan sang suami tangan kirinya memegang benang dan tangan kanan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
42
menusuk-nusuk daun kumbang tadi dengan bungbungan sampai ikan tumpah. 7. Suami dan Istri melakukan persembahyangan 8. Pemercikan tirtha Hal ini sejalan dengan yag dijelaskan oleh Ida Pedanda Gede Panji Sogata dalam wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 5 Juli 2012 di Griya Lenteng Agung. 3.2.2 Catatan Pertanyaan Kesembilan Dalam hasil observasi peneliti menemukan beberapa upakara yang dibutuhkan dalam pelaksanaan upacara simantonayana (magedonggedongan antara lain: 1. Untuk pembersihan: Byakala, Prayascita, dan Panglukatan 2. Untuk ayaban: Sesayut pamahayu tuwuh, sesayut tulus dadi, sesayut ketututan, pulagembal, pengambyan. 3. Banten pagedongan Hal ini ditegaskan pula dalam wawancara peneliti dengan I Gusti Putu Raka ang dilakukan pada tanggal 1 Juli 2012.
3.2.3 Catatan Pertanyaan Kesepuluh Berdasarkan
pengamatan
peneliti
selama
observasi
peneliti
menemukan adanya hubungan antara upacara simantonayana (magedonggedongan dalam upaya melahirkan anak suputra hal ini ditunjukkan dengan keberadaan banten pagedong-gedongan yang melambangkan perut ibu yang mengandung lengkap dengan saudara-saudara si calon bayi (Catur Sanak) yang dalam tujuannya adalah untuk memohon agar Ibu dan calon anak mendapatkan pemeliharaan yang baik dan selamat serta sang anak kelak akan menjadi anak yang suputra. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ida Pedanda Gede Panji Sogata yang menyatakan bahwa banten pagedonggedongan merupakan inti dari upacara magedong-gedongan.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
43
BAB 4 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.1 Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan) 4.1.1 Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan) merupakan upacara manusa yajna Dalam paparan mengenai pelaksanaan ajaran Agama Hindu dapat dilihat dari jenis yajna, dasar yajna, tingkatan yajna, pahala ber-yajna, tempat ber-yajna dan tujuan ber-yajna. Yajna berasal dari kata yaj yang artinya korban, sedangkan yajna berarti yang berhubungan dengan korban. Dalam hal ini korban yang dimaksud adalah korban yang berdasarkan pengabdian dan cinta ksih, sebab pelaksanaan Yajna bagi umat Hindu adalah satu contoh perbuatan yang dilakukan untuk Ida Sang Hyang Widhi, yang telah menciptakan manusia serta alam semesta ini dengn Yajna-Nya. Dalam Bhagavadgita III. 10 menjelaskan dengan sangat terperinci tentang pelaksanaan yajna yakni : Saha-yajnah prajah srstva purovacaprajapatih, anena prasavisyadhvam esa vo’stv ista-kama-dhuk Artinya : “Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, tuhan setelah menciptakan manusia melalui Yajna, berkata: dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri) (Pudja, 2005:84)” Sesungguhnya
pengorbanan
yang
dilaksanakan
berdasarkan
pengabdian dan rasa cinta kasih, tidak memerlukan balasan. Walaupun pada dasarnya pelaksanaan yajna tidak terikat pada hasilnya, tetapi mempunyai tujuan-tujuan spiritual yakni menghubungkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Sebagai tanda terimakasih atas segala rahmat yang telah diberikan. Disebutkan dalam Asma Medha Parwa dalam Ramayanti (2003:20) yakni : “Raja Janamejaya mengajukan pertanyaan kepada Rsi Waisampayana : ‘O Rsi raja-raja sejak jaman dahulu sudah terikat untuk melakukan upacara, sedangkan para Rsi diikat oleh taa dan yoga. Para Brahmana
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
44
bijaksana diikat oleh tuntunan dan latihan guna mendapatkan ketenangan bathin, tingkah laku damai dan pengendalian diri. Menurut keyakinan hamba selaku raja, tidak ada damai dan pengendalian diri. Menurut keyakinan hamba selaku raja, tidak ada berkah yang lebih mulia daripada berkah-berkah upacara. Keyakinan hamba itu tentulah merupakan keyakinanyang benar, stidak-tidaknya bagi golongan rajaraja. Hamba tahu bahwa tidak terhitung banyaknya raja-raja yang melakukan pemujaan dengan menyelenggarakan upacara-upacara. Dan mereka semua telah menjadi besar termasyur dan mencapai alam sorga.” Dalam hal ini jelaslah bahwa melakukan korban suci/yajna akan membahagiakan diri baik di dunia dan akhirat. Berdasarkan uraian diatas maka upacara sangat berguna untuk mencapai kesempurnaan hidup lahir dan bathin. Untuk mencapai kesucian, membebaskan diri dari segala dosa demi tercapainya kesempurnaan lahir dan bathin. Penjelasan tersebut telah menjawab fokus penelitian yang pertama dalam penelitian ini yakni dimana penulis menggunakan teori religi karena, dalam kenyataannya sistem religi, mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan-gagasan tentang tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus. neraka, surga dan sebagainya, dan juga mempunyai wujud yang berupa upacara-upacara baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala dan sistem
religi
juga
mempunyai
wujud-wujud
benda-benda
religius
(Koentjaraningrat, 1977:218). Dalam Agama Hindu wujud keyakinan tersebut yang berkaitan dengan teori religi adalah adanya yajna (persembahan) yang dilakukan umat Hindu secara keseluruhan dapat diformulasikan menjadi lima bagian yang biasa dikenal dengan nama Panca Yajna atau juga dikenal denan lima persembahan yang utama (Panca Maha Yajna). Adapun bagian-bagiannya yaitu: 1).Persembahan kepada ‘Tuhan dan manifestasinya (Deva Yajna), 2).Persembahan kepada orang tua secara sekala dan niskala (Pitra Yajna), 3).Persembahan kepada orang suci (Rsi Yajna), 4). Persembahan kepada semua makhluk ciptaan Tuhan (Bhuta Yajna), 5). Persembahan kepada sesama manusia (Manusa Yajna) (Surayin,2004:3). Betapa pentingnya yajna itu bagi umat Hindu, seperti yang disebutkan di dalam Kitab Bhagavadgita Bab III, 12 dan 13 sebagai berikut:
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
45
Istan bhogan hi vo deva, dasyante yadnabhavitah, tair datatan apradayaibhyo, yo bhunte stena eva sah. Artinya : “Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh dewa-dewa karena yajna, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi yajna sesungguhnya adalah pencuri (Pudja, 2005:85)” Yadna sistasinah santo, mucyante sarvakilbisaih, bhunjate te tvagham papa, ye pacanty atmakaranat. Artinya : “Ia yang memakan sisa yajna akan terlepas dari segala dosa, tettapi ia yang hanya memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya memakan dosa (Pudja, 2005:86)” Dalam hal ini adanya rasa terima kasih atas anugrah Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang diwujudkan dalam bentuk yajna, yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara permohonan dengan pemberian yang berupa yajna itu, atau dengan kata lain bahwa yajna bertujuan untuk menyebarluaskan ajaran Veda, sebagai sarana untuk menyeberangkan atma untuk mencapai moksa, sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai sarana untuk menciptakan keseimbangan dan sebagai sarana untuk mendidik yang bersifat praktis tata laku pengalaman ajaran agama. Manusa Yajna adalah korban suci yang dilaksanakan mulai dari bayi di dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Kelahiran hidup manusia diselimuti oleh kekotoran dan disertai pula sifat-sifat yang baik maupun yang tidak baik sebagai akibat dan karma wasana-nya. Sifat yang tidak baik akan menimbulkan penderitaaan dan kesengsaraan hidup sedangkan kekotoran yang melekat pada badan akan mengurangi kesucian baik lahir maupun bathin (Susila, 2009:61). Mensucikan lahir dan bathin perlu diadakan upacara, sebab Sang Hyang Widhi hanya berkenan melimpahkan anugrah-Nya kepada orang yang suci lahir dan bathin. Jika seseorang sudah suci lahir dan bathin
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
46
diharapkan dapat menerima sinar kekuatan suci dan Sang Hyang Widhi, yang akan menerangi jalan hidupnya sehingga terhindar dari hal-hal yang menyesatkan. Sifat-sifat kurang baik yang disebabkan oleh pengaruh hari lahir, perlu dinetralisir dengan sarana upacara yang khusus untuk hal tersebut agar terhindar dari hal-hal yag tidak baik, sehingga mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam hidup. Mengenai pelaksanaan upacara Manusa Yajna, dalam kitab Manawa Dharmasastra Buku II sloka 27 dan 28, dijelaskan diantaranya sebagai berikut: Sloka 27 : Garbhairhomairjatakarma caudamaunjini bnadhanah baijikam garbhikam caino dwijanamapamrjyate Artinya: “Dengan upacara membakar bau-bauan harum pada waktu hamil sang ibu, dengan upacara jatakarma (bayi baru lahir), upacara Cauda (upacara gunting rambut pertama) dan upacara Maunji Bandhana (upacara memberi kalung/gelang) maka kekotoran yang didapat dari orang tua akan terhilang dari Tri wangsa (Pudja dan Sudartha, 2002:68)” Sloka 28: Swadhyayena wratairhomais Traiwidhyenejyaya sutaih, Mahayajnaiçca yajnaiçca Brahmiyam kriyate tanuh. Artinya: “Dengan mempelajari Veda, dengan tapa, dengan korban suci, dengan pembacaan pustaka-pustaka suci, dengan memperdalam tiga ilmu suci, dengan upacara persembahan (pada para Deva, Rsi dan Leluhur), dengan melahirkan putra-putra, dengan mengadakan upacara besar, dengan pensucian badan wadag ini dibuat mampu untuk bersatu dengan Tuhan (Pudja dan Sudartha, 2002:68).” Berdasarkan penjelasan dan kutipan-kutipan sloka yang merupakan sumber-sumber hukum Hindu tersebut didepan, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan upacara oleh umat Hindu memiliki tujuan yang sama dan pelaksanaannya mulai dari upacara bayi dalam kandungan sampai akhir hidupnya.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
47
Didalam buku pengantar acara Agama Hindu yang ditulis oleh ketut Subagiasta, (2008:68), disini Sri Svami Sivananda mengatakan bahwa pemujaan (upasana) kepada Tuhan memurnikan hati, membangkitkan getaran-getaran selaras, kemantapan pikiran, memurnikan dan mempertinggi perasaan, menyelaraskan kelima selubung (kosa), dan akhirnya membawa pada penyatuan, persekutuan atau realisasi Tuhan. Upasana membantu para penyembah untuk duduk dekat Tuhan atau bersatu dengan-Nya. Ia mengisi pikiran dengan prema atau kasih sayang murni pada Tuhan, yang secara bertahap merubah manusia menjadi makhluk Tuhan. Upasana merubah bahan-bahan mental, menghancurkan sifat-sifat rajas dan tamas serta mengisi pikiran dengan sifat sattwam atau kemurnian. Akhirnya ia membawa para bhakta berhadapan dengan Tuhan, membebaskan dari roda kelahiran dan kematian serta memberinya kekekalan dan kebebasan. Jadi ber-yajna itu memiliki pahala yang sangat utama bagi umat manusia. Yajna pahalanya adalah kesucian diri, pembebasan diri dari segala dosa, penyatuan diri dengan Tuhan, memiliki sikap dan sifat sattwam (bijaksana, arif, cerdas, mulia, dan berpikiran luhur), hidup bahagia secara perorangan dan kebersamaan dan hidup rukun dalam komunitas yang majemuk. Selain itu bahwa pahala yajna adalah untuk membangkitkan rasa bhakti (pengabdian) dan Sradha (keyakinan/kepercayaan) kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tidak hanya dengan demikian, dengan ber-yajna juga dapat mengharmoniskan diri dengan Tuhan,
mengharmoniskan
diri
dengan
sesama
manusia,
serta
mengharmoniskan diri dengan kondisi dan situasi dimana kita berada, terutama dengan lingkungan, adat istiadat setempat. Konsep ini sangat berkaitan dengan pentingnya keharmonisan hidup manusia yang bersumber dari tiga hal yang disebut dengan Tri Hita Karana (Subhagiasta, 2008:6869). Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa penggunaan teori religi dalam bentuk banten, terutama banten atau upacara simantonayana pada tahapan upacara manusa yajna yang kita jumpai pada saat upacara Agama Hindu, merupakan media untuk menyampaikan sraddha dan bhakti kepada
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
48
kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, memiliki hubungan erat antara alam semesta (bhuana agung) dengan manusia (bhuana alit).
4.1.2 Jenis Upakara dan Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan) Pelaksanaan yajna dapat kita lihat pula dari kualitas Tri Guna, di dalam Kitab Suci Bhagavadgita Bab XVII sloka 11, 12, dan 13 membedakan tingkatan yajna menjadi tiga golongan yaitu: 1) Satvika Yajna adalah yajna yang dilaksanakan dengan keikhlasan tanpa mengharapkan hasilnya, dilaksanakan semata-mata sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan, sesuai dengan Kitab Suci Bhagavadgita Bab XVII sloka 11 : Aphalakanksibhir yajno vidhi-drsto ya ijyate, yastavyam eveti manah samadhaya sa sattvikah Artinya: “Yajna menurut petunjuk kitab-kitab suci, yang dilakukan oleh orang tanpa mengharap pahala dan percaya sepenuhnhya bahwa upacara ini sebagai tugas kewajiban, adalah satvika.” 2) Rajasika Yajna adalah yajna yang dipersembahakan dengan motivasi untuk memamerkan kemampuan serta terikat dengan keinginan untuk memperoleh buahnya, sesuai dengan Kitab Suci Bhagavadgita Bab XVII sloka 12 : Abhisandhaya tu phalam dambhartham api caiva yat, ijyate bharata-srestha tam yajnam viddhi rajasam. Artinya: “Tetapi yang dilakukan dengan mengharap ganjaran, dan semata-mata untuk kemegahan belaka, ketahuilah, wahai Arjuna, yajna itu adalah bersifat rajas.” 3) Tamasika Yajna adalah yajna yang dilakukan secara sembarangan, tidak sesuai dengan ketentuan sastranya, tidak ada makanan yang dibagi-bagikan, tidak ada mantra, syair yang dinyanyikan, tidak ada
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
49
daksina, serta tidak dilandasi dengan keyakinan dan kepercayaan, sesuai dengan Kitab Suci Bhagavadgita Bab XVII sloka 13 : Vidhi-hinam asrstannam Mantra-hinam adaksinam, Sraddha-virahitam yajnam Tamasam paricaksate. Artinya: “Dikatakan bahwa, yajna yang dilakukan tanpa aturan (bertentangan), di mana makanan tidak dihidangkan, tanpa mantra dan sedekah serta tanpa keyakinan dinamakan tamas.” Demikian tingkatan kualitas yajna dibedakan atas dasar pengaruh tri guna yang member motivasi dalam melaksanakannya. Dalam tingkatan ini besar kecilnya upakara tidak menjadi ukuran. Tingkat spiritualitas suatu persembahan (yajna) lebih ditentukan oleh srada, kebaktian, keikhlasan serta jauh dari rasa ego. Sedangkan tingkatan yajna yang didasarkan atas besar kecilnya upakara yang dipersembahakan dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu: Kanista (upakara kecil), Madya (upakara menengah) dan Utama (upakara besar). Keharmonisan antara besar dan kecilnya yajna yang akan dilaksanakan dengan tingkat kemampuan yang bersangkutan sangat diperlukan agar pelaksanaan yajna yang bertujuan menuju kesejahteraan dan kebahagiaan
tidak
justru
membawa
penderitaan
melainkan
dapat
meningkatkan diri dari segala segi baik segi spiritual dan moral. Menurut hasil wawancara, perbedaan tingkatan yajna disesuaikan dengan tingkat kemampuan umat yang melaksanakan karena, dalam kenyataan tingkat kemampuan materi yang dimiliki tidaklah sama. Dari segi kualitas
tingkatan
yajna
tidak
ada
perbedaan,
sepanjang
dalam
pelaksanaannya didasari dengan bhakti, ketulusan dan kesucian hati (Ida Pedanda Istri Mayun, wawancara tanggal 25 Juni 2012). Demikian pula halnya dalam upacara simantonayana (magedonggedongan) yang juga memiliki tiga tingkatan didasarkan pada besar dan kecilnya upakara yang digunakan yakni: 1. Nista (upakara kecil) : byakala, peras, daksina, ajuman, prayascita, sesayut pengambyan atau sesayut pamahayu tuwuh.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
50
2. Madya (upakara menengah) : byakala, peras daksina, ajuman prayascita, sesayut pamahayu tuwuh, sesayut tulus dadi, sesayut ketututan, pulagembal, pengambyan, banten pagedongan, membuat permandian (kalau upacara dilakukan di rumah), dua buah cabang dadap ditancapkan di pintu merajan (gerbang) kedua batang dadap dihubugkan dengan tali hitam, daun talas yang berisi air dan ikan, sebuah ceraken (bakul) yang berisi rempah-rempah, sebatang bambu buluh runcing (gelanggang). 3. Utama (upakara besar) : byakala, peras, daksina, ajuman, 2 buah banten suci, dewa-dewi, prayascita, bebangkit, panglukatan, pagedong-gedongan, caru dipermandian, beberapa jenis sesayut, tataban, membuat permandian (kalau upacara dilakukan di rumah), dua buah cabang dadap ditancapkan di pintu merajan (gerbang) kedua batang dadap dihubugkan dengan tali hitam, daun talas yang berisi air dan ikan, sebuah ceraken (bakul) yang berisi rempahrempah, sebatang bambu buluh runcing (gelanggang). Pada dasarnya pelaksanaan yajna tersebut tidaklah bergantung pada besar dan kecilnya suatu upakara kan tetapi berdasarkan keikhlasan dan kesucian hati dalam pelaksanaannya serta disesuaikan dengan desa, kala dan patra di masing-masing tempat karena dalam pelaksanaannya memiliki makna yang sama. Menurut hasil wawancara pencerminan dari persembahan yang didasari hati yang suci terdapat pada kitab Bhagavadgita Bab IX, sloka 26 yakni : Patram puspam phalam toyam yo me bhaktya prayacchati, tad aham bhakty-upahrtham asnami prayatatmanah. Artinya: “Siapaun yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci (Pudja, 2005: 239).” dari penjelasan sloka dalam kitab Bhagavadgita Bab IX, sloka 26, seluruh umat dapat melaksanakan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
51
dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali (I Wayan Rudji, wawancara tanggal 25 Juni 2012). Penjelasan beberapa upakara/banten magedong-gedongan: 1. Byakala adalah sejenis sesajen yang ditujukan kehadapan para bhuta kala/kekuatan-kekuatan negatif, agar si ibu yang akan diupacarai tidak diganggu dan upacaranya berjalan lancar. 2. Peras, Daksina dan Ajuman adalah nama-nama jenis sesajen yang pada dasarnya berfungsi sebagai persaksian, dan ditujukan kehadapan Bhatara Surya/Dewa Matahari, agar beliau berkenan menyaksikan upacara yang akan diselenggarakan dengan tujuan diberikan kekuatan supaya berhasil dan sukses (sebagai maksud dari banten peras yaitu Prasida artinya berhasil). 3. Prayascita
adalah sejenis
penyucian/pembersihan
sesajen yang bertujuan sebagai
secara
rohani
terhadap
kekotoran-
kekotoran yang mungkin terdapat pada diri seseorang, khususnya dalam upacara ini adalah pada diri si Ibu yang sedang hamil. 4. Pagedong-gedongan adalah sejenis sesajen yang berbentuk gedong/kotak dibuat dari daun lontar yang didalamnya berisi perlengkapan antara lain : beras, sebutir telur ayam, kelapa gading yang masih muda digambari anak kecil, segulung benang, uang kepeng 225 dilengkapi dengan jenis banten yang lainnya seperti canang tubungan, dan beberapa jenis rempah-rempah. Semua banten ini dialasi dengan kain yang baru putih dan kuning. Banten pagedong-gedongan ini kiranya adalah merupakan simbolik dari perut si Ibu yang berisi bayi lengkap dengan saudara-saudaranya (Catur Sanak). Menurut Geriya (2004: 19) kepercayaan masyarakat Hindu di Bali, janin yang ada di dalam kandungan dipelihara dan dijaga oleh Sang Hyang Catur Bhuana yang siap dengan senjatanya berupa bajra, gada, mentang nagapasa, dan cakra. Di samping itu, kenyataannya janin perlu mendapat pemeliharaan dan penjagaan dari 4 unsur yaitu :
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
52
a. Yeh Nyom (air ketuban) adalah merupakan cairan yang melindungi si bayi terhadap sentuhan/ getaran dari luar. b. Lamad/lamas adalah merupakan lemak yang membungkus jasmani bayi. c. Darah adalah yng mengedarkan makanan air dan lain-lain sesuai dengan fungsi darah. d. Ari-ari adalah merupakan tempat melekatnya tali pusat, menyerap makanan dan lain-lain. Adapun tujuan dari banten ini adalah untuk memohonkan agar si Ibu dengan anak yang masih berada dalam kandungannya mendapatkan pemeliharaan yang baik dan selamat, serta kelak pada saat akan dilahirkan menjadi sempurna dan selanjutnya nanti dapat berguna dalam kehidupan di masyarakat. Banten pagedongan ini nantinya akan dibuka pada saat si Ibu melahirkan. 5. Suci adalah sejenis sesajen yang berfungsi sebagai persaksian, ditujukan kehadapan Bhatara Surya, Bhatara Brahma, dan Bhatara di Pamerajan/Sanggah Kemulan/Leluhur. 6. Sesayut adalah sejenis sesajen yang berfungsi yang macamnya banyak antara lain : sesayut pamahayu tuwuh, tulus dadi dan dirangkaikan dengan banten pengambyan yang fungsinya adalah untuk memohonkan keselamatan, panjang umur, kandungannya kuat/ tidak mengalami keguguran/abortus dan selamanya menjadi baik dalam perkembangannya. 7. Sesayut Pamahayu Tuwuh merupakan sebuah aled/alas sesayut di isi nasi penek (tumpeng) sebuah, rerasmen satu tangkih berisi daging ayam panggang, buah-buahan, jajan, sampian nagasari, penyeneng, canang genten, canang sari, dan sampian sesayut. 8. Sesayut Tulus Dadi merupakan sebuah aled sesayut di isi nasi penek merah, rerasmen, ayam panggang dari ayam biying, jajan, buah-buahan, tetebus benang merah, putih, hitam (Tri datu), jajan, canang genten, canang sari, sega merah, sega hitam, sampyan sesayut (rerasmen berisi kacang, saur, sambal, garam).
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
53
9. Sesayut Ketututan merupakan sebuah aled sesayut berisi nasi tlompokan (penek tapak) disusuni kelapa disisir/parut, rerasmen, rempah-rempah/basan ubad, kapur sirih masing-masing satu bugkus kemudian dilengkapi jajan, buah-buahan, sampian ngasari, canang genten, canang sari. 10. Pulagembal adalah sejenis sesajen yang fungsinya sebagai banten ayaban/tataban. Banten ini ditujukan kehadapan Bhatara Gana beserta Widyadara/Widyadari agar beliau berkenan menghindarkan segala mara bahaya dan dapat menuntun ke arah yang selamat dan sejahtera. 11. Dewa/dewi adalah sejenis sesajen yang melambangkan Hyang Widhi sebagai Purusha dan Pradana (laki dan perempuan). Fungsinya sebagai persaksian agar Beliau berkenan memberikan restu untuk kesuksesan Yadnya yang telah diselenggarakan. 12. Bebangkit merupakan sejenis sesajen yang fungsinya sama dengan pulagembal yaitu sebagai ayaban/tataban/suguhan simbolik mohon berkah, yang ditujukan kehadapan Bhatara Durgha agar beliau tidak memberikan pengaruh negatif kepada orang yang diupacarai. 13. Panglukatan adalah sejenis air suci/tirtha yang dimohonkan kehadapan para Dewa, yang nantinya berfungsinya untuk ngelukat/membersihkan/menyucikan
segala
dosa
dan
noda/kekotoran yang akhirnya menjadi suci. Menurut hasil wawancara sarana upakara yang paling umum digunakan oleh umat di Pura Aditya Jaya Rawamangun ini adalah Byakala, Pejati, Prayascita, Pagedong-gedongan, Sesayut, Sesayut Pamahayu tuwuh, Sesayut Tulus dadi, Sesayut Ketututan dan Caru/Nasi Mawong-wongan (Ida Pedanda Istri Mayun, wawancara tanggal 25 Juni 2012). Bahan
pelengkap
dari
permohonan
tersebut
adalah
dengan
mempersembahkan upakara byakala kehadapan para bhuta kala, agar si Ibu yang sedang hamil itu memperoleh keseimbangan fisik. Setelah itu dilanjutkan dengan prayascita dengan memercikan tirtha pengelukatan yang maknanya adalah untuk membersihkan serta menyucikan pikiran/rohani
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
54
terhadap kekotoran-kekotoran yang mungkin ada. Hal ini sangat perlu, karena seorang ibu yang sedang hamil itu, perasaannya sedapat mungkin supaya tetap bersih dan aman, sebab bila tidak maka hal ini akan dapat berpengaruh terhadap bayi yang dikandungnya, serta kemudian diwarisi dalam kehidupannya. Hal inilah kemudian dapat kita rasakan dari sifat dan wataknya. Oleh sebab itu, pada seorang ibu yang sedang hamil tidak diberikan berpikir serta berlaksana yang berat-berat/bukan-bukan, bila diinginkan agar selamat. Yajna inti sebagai simbolis dalam upacara magedong-gedongan ini, adalah berupa banten pagedongan yaitu berbentuk sebuah kotak (gedong), yang didalamnya telah disusun sarananya yang lengkap, hal ini adalah merupakan simbolis dari perut si Ibu berisi bayi dengan saudara-saudaranya yang disebut Catur Sanak. Bila banten pagedongan itu dibuka dan diperhatikan isinya maka dijumpai sebuah kelapa muda yang warnanya gading digambari dengan seorang bayi/anak kecil, hal ini adalah simbolis dari bayi yang berada dalam kandungannya, dan sebutir telur adalah simbolis dari jiwa si bayi yang masih hidup, sedangkan sarana-sarananya yang lain adalah sebagai simbolis dari saudara-saudaranya yang mengikutinya yaitu Catur Sanak (darah, air nyom, lamas dan ari-ari). Banten pagedongan ini setelah upacaranya selesai dilaksanakan, diletakkan diatas tempat tidur/dekat si Ibu tidur maksudnya supaya si Ibu selalu dapat dijaga setelah si Ibu melahirkan barulah banten itu dibuka (Makalah upacara pengrujakan dan magedong-gedongan, hal 14-15).
4.1.3 Pelaksanaan dan Makna Upacara Simantonayana (Magedong-gedongan) Proses Pelaksanaannya atara lain: 1) Pelaksanaan Upacara Nista a. Mabyakala dan prayascita boleh dirumah dan boleh di tempat pendeta, Nyurya sewana/dihalaman natar. b. Melukat dan mejaya-jaya oleh pendeta/sulinggih. c. Sampai di rumah sembahyang pada Sang Hyang Guru di merajan dilanjutkan metirta wangsuh pada.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
55
d. Natab banten magedong-gedongan dan lainnya di tempat tidur/bale sumanggen. 2) Pelaksanaan Upacara Madia a. Pengelukatan di sungai/permandian dengan cara: -
Ibu hamil diantar ke sungai/permandian bertongkat bumbung yang diikat dengan benang satu tukel dan benang itu ujungnya dipegang oleh suaminya. (apabila permandian di rumah, maka perjalanan ke pemandian diwujudkan dengan mengelilingi tiga kali arah jarum jam/purwa daksina tempat mandi tersebut.
-
Sesampainya di tempat pemandian menghaturkan banten persaksian atur uning kehadapan Dewa Wisnu/Dewi Gangga (bila di sungai) dengan menghaturkan pengeresikan diteruskan juga pengresikan itu kepada Ibu hamil.
-
Dilanjutkan mesegeh cacahan.
-
Ibu hamil lalu mandi, mencuci rambut (Ibu hamil pada saat mandi tetap menggunakan baju).
-
Setelah selesai mandi lalu berganti pakaian dilanjutkan sembahyang kehadapan Dewa Surya, Dewa Wisnu/Dewi Gangga.
-
Mohon pengelukatan
b. Dalam perjalanan pulang dari pemandian bertongkat bungbung seperti tadi. c. Sampai di rumah mabyakala dan prayascita di halaman rumah/halaman merajan. d. Suami istri mengelilingi cabang dab-dab yang dipancangkan dikanan-kiri pintu gerbang merajan menghadap keluar yng dihubungkan dengan benang hitam satu tukel. Dalam mengelilingi tersebut si perempuan menjunjung ceraken, tangan kanan menjinjing daun kumbang berisi air dan ikan. Sedangkan sang suami tangan kirinya memegang benang dan tangan kanan menusuk-nusuk daun kumbang tadi dengan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
56
bungbungan sampai ikan tumpah ; waktu mengelilingi cabang dap-dap tadi sajen segehan diperciki tirta oleh pemimpin upacara dipersembahkan kepada bhuta kala agar tidak menggoda. Menurut hasil wawancara hal ini sebagai simbol agar kelahiran sang bayi dapat berlangsung dengan baik (Ida Pedande Gede Panji Sogata, wawancara tanggal 5 Juli 2012). e. Dilanjutkan sembahyang kehadapan Hyang Guru terutama oleh sang suami agar kandungannya selamat tanpa godaan sampai lahirnya selamat. f. Melukat mejaya-jaya oleh pendeta/sulinggih. g. Natab banten magedong-gedongan/tataban. 3) Pelaksanaan
Upacara
Utama
pada
prinsipnya
upacara
simantonayana (magedong-gedongan) tingkat madia dan utama memiliki pelaksanaan upacara yang sama yang membedakan adalah keberadaan banten suci, dewa-dewi, bebangkit, dan banten caru dipermandian pada pelaksanaan upacara simantonayana (magedong-gedongan) tingkat utama. Demikian halnya yang diungkapkan oleh Ida Pedande Gede Panji Sogata dalam wawancarannya dengan peniliti pada tanggal 5 Juli 2012 yang menyatakan bahwa banten suci, dewa-dewi, bebangkit, dan banten caru dipermandian hanya digunakan pada tingkatan upacara utama. 4) Mantram Magedong-gedongan Om Sang Hyang padaku Ibu Pertiwi Bhatari Gayatri, Bhatari Savwitri, Bhatari Suparni, Bhatari Wastu, Bhatari Kedep, Bhatari Angukuhi, Bhatari Kandang Kasih, Bhatari Kamajaya-Kamaratih makadi Widyadara Widyadari, Kuranta Kuranti samudaya, iki tadah saji aturan manusanira si …(nama yang bersangkutan) ajaken sarongwangan ira amangan anginum, menawi ana kirangan kaluputan ipun den agung ampuranen manusanira, mangke ulun aminta nguraharing sira den samuha aja sira angedonging, angancingin muwang anyangkalen, uwakakena selacak dana, anakan denipun den apekik, dirgayyusa yowana weta urip tan ana saminaksan ipun. Om Siddhirastu swaha. Artinya : “Om Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya Bhatari gayatri, Bhatari Sawitri, Bhatari Suparni, Bhatari Wastu, Bhatari Kedep, Bhatari Angukuhi, Bhatari Kandang Kasih, Bhatari
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
57
Kamajaya-Kamaratih makadi Widyadara Widyadari, Kuranta Kuranti kesemuanya silahkan menikmati persemahan hamba-Mu si …. (nama yang ber-upacara), sertakan semuanya menikmati makanan-minuman, seandainya ada yang kurang karena kelupaan olehnya, mohon dimaafkan hamba-Mu, hamba mohon waranugraha-Mu, janganlah dikekang, dikunci, maupun dicederai Hyang Widhi semoga tidak mendpat halangan, bukakanlah pintu rahim agar keluar dengan selamat, hidup panjang umur dan tiada halangan, semoga permohonan hamba terpenuhi (Sujana, 2010: 3)”. Dalam penggunaan mantram magedong-gedongan tidak ada perbedaan penggunaan dalam upacara tingkat nista, madya, maupun utama. Hal ini juga ditegaskan oleh Ida Pedanda Gede Panji Sogatadalam wawancara yang dilakukan peneliti pada tanggal 5 Juli 2012. Di dalam kitab suci Veda dijumpai pula mantra yang berkaitan dengan Upacara Simantonayana. Berikut sebuah mantra yang berkaitan dengan upacara tersebut : Rakamaham suvaham sustuti huve srnoti nah subhaga bodhatu tmana, sivyatvapah sucya-cchidyamanaya dadatu viram sata dayamukthayam. (Rgveda: II. 32. 4) “Saya sebagai seorang suami dengan sopan dan bahasa yang lemah lembut, memanggil istriku yang bercahaya bagaikan bulan purnama. Demikian pula halnya yang telah mendengarkan kata-kata kami dan menerima keinginan kami dalam hati yang tulus ikhlas. Seperti halnya jarum yang menjahit kain tebal, demikian juga dengan istriku yang menjalankan tugas Grhastha sehari-hari dengan baik. Seperti halnya seorang istri yang melahirkan anak yang dapat menolong dunia dengan ratusan tangan dan mendapatkan pujian dari masyarakat. Semoga lahir putra yang kuat agar nanti dapat menyumbangkan kemampuannya untuk masyarakat.” Walaupun masing-masing sarana atau upakara magedong-dedongan tersebut telah mengandung arti dan bahasa sendiri, namun di dalam pelaksanaan upacara magedong-gedongan ini perlu pula di sertai dengan manta-mantra. Karena pemujaan dan permohonan kepada Tuhan yang disertai dengan puja mantra atau doa maka upakara-upakara yang dipergunakan dalam upacara magedong-gedongan tersebut menjadi lebih sempurna dan tujuan yang ngin dicapaipun akan lebih sempurna pula.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
58
Di dalam pelaksanaan upacara yajna tentu disertai dengan mantra. Menurut Dr.L.R. Chawdhri (2003: 97), mengatakan bahwa mantra adalah sebuah pola gabungan kata-kata bahasa veda yang diidentikkan dengan Dewa atau Dewi tertentu. Mantra-mantra yang ada sekarang adalah warisan yang didapatkan dari para maha Rsi, orang suci, sadhu dan yogi yang telah mempraktekan berbagai mantra itu selama ribuan
tahun, kini dapat
menuntut kita untuk mengikuti jejak ajaran beliau. Mantra adalah sejumlah huruf, kata yang dijadikan satu. Mantra juga digunakan dalam Sadhana Tantra atau berbagai ritual, diucapkan atau diulang-ulang dalam berbagai macam kombinasi dan konteks, yang kemudian membuat pola variasi tertentu. Seseorang harus belajar untuk mengucapkannya dengan benar dan juga harus memahami artinya. Hindu meyakini adanya Dewa, kesehatan yang baik, nasib baik dan kemenangan atas musuh bisa dicapai dengan mengucapakan mantra tertentu. Menurut Purana, Sastra, dan para maha rsi, mantra adalah salah satu-satunya jalan untuk mendapatkan pemenuhan keinginan, asalkan seseorang mengucapkannya dengan penuh keyakinan, sesuai dengan metode dan aturannya. Pengucapan kata-kata yang terdapat dalam mantra hendaknya diucapkan penuh dengan kemurnian dan benar untuk bisa menciptakan vibrasi yang baik. Adapun yang dimaksud dengan upacara dalam kandungan ini adalah upacara yang dilaksanakan pada saat bayi masih berada dalam kandungan ibunya. Gedong disini berarti kandungan. Kehamilan itu telah mulai terjadi sejak bertemunya kamajaya ( sperma) ayah dan kamaratih (sel telur) dari ibu. Selanjutnya mengenai pelaksanaan Upacara Magedong-gedongan ini, menurut Lontar Eka Pratama Dahrma Kauripan dalam Awanita, (2008:73) menguraikan : tingkah pamahayurare ring jero weteng, yan sampuan tutug ulaning bobobt, watara kurang malih 10, tiwin, 15 dina prajaniamijil, yogya apagedongan kang bobotan rihin “, artinya : “tata cara memohonkan keselamatan bayi yang masih dalam kandungan, adalah apabila hamil lahirnya kandungan, kurang lebih sepuluh atau limabelas akan lahirnya , seharusnya kandungan itu dibuatkan upacara Magedong-gedongan terlebih dahulu.”
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
59
Mengenai waktu pelaksanaan upacara tersebut tidak terikat terhadap waktu seperti tersebut di dalam kitab Manawa Dharmasastra Bab II sloka 15 halaman 64-65 menjelaskan : Atra trstantamaha Udite’ nudeta ca caiwa samayadhyusite tatha sarwatha wartate yajna itiyam waidiki crutih. Artinya: “Dengan demikian misalnya, suatu upacara korban dapat dilaksanakan pada saat-saat apa saja setelah matahari terbit, sebelum terbit atau pada waktu tidak ada matahari ataupun binatang-binatang yang nampak, semua ketentuan ini disebut-kan oleh ajaran Veda.” Dari pengertian tersebut di atas maka setiap upacara yang ada di dalam Agama Hindu, demikian pula dengan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali pelaksanaannya bebas dalam arti waktunya akan tetapi tetap melihat situasi dan kondisi pada saat pelaksanaan. Upacara mangedong-gedongan dilakukan setelah kandungan berumur lima bulan(enam bulan kalender), sebelum bayi itu lahir. Kehamilan yang berumur di bawah lima bulan dianggap jasmani si bayi itu belum sempurna dan tidak boleh diberi upacara Manusa Yajna. Kehamilan yang berumur di bawah lima bulan dianggap jasmani si bayi belum sempurna dan tidak boleh diberi upacara Manusa Yadnya. Di dalam Manawa Dharma Sastra, pada bagian keterangannya menyebutkan bahwa “Sarira Samskara” yaitu penyucian badan yang disebut upacara garbhadana, yang dilaksanakan sebelum upacara magedong-gedongan. Upacara ini mendahului magedonggedongan, atau upacara waktu hamil besar. Setiap upacara keagamaan dilakukan sudah pasti mempunyai tujuan tertentu. Demikian pula upacara magedong-gedongan yang dilakukan terhadap bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, juga mempunyai tujuan tertentu. Tujuan pelaksanaan upacara magedong-gedongan adalah memohon keselamatan si ibu dan anaknya yang akan lahir serta mohon pencucian segala dosa yang telah diperbuat.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
60
Dari rangkain pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali diharapkan agar kandungan si ibu tidak mengalami keguguran (brunaha), seperti disebutkan pada buku Kanda Pat Rare dalam Ramayanti (2003:60) sebagai berikut : “Di dalam garbha sang bayi ditunggu juga oleh Sang Hyang Catur Bhuana. Sang Hyang Catur Bhuana menjaga dengan siap siaga bersenjatakan bajra, gada, nagapasa, dan cakra. Di dalam ibu sedang mengandung banten yang digunakan ialah banten byakala, pagedongan, sesayut pengambeyan dan canag daksina. Upacara ini untuk maksud lahiriah memperkuat kedudukan kama reka (janin) di dalam kandungan agar tidak gugur (brunaha) dan rohaniahnya diharapkan agar Sang Kamareka nantinya menjadi kuat (Bendesa K. Tonjaya, 1981: 5).” Dalam salinan Lontar Eka Pratama Dharma Kauripan dalam Awanita (2008:75), disebutkan : Munggah ring wdhi sastra agama, saking pewarah Ida Bhatara Siwa Dharma ring para loka, buat separi tinghaking dadi jatma, wantah misadiayang rada sarira memanggih tur memukti dharma patut ring jagate, yarian ring pewargi mangda terang antargalang spading. Mangda tatas uning ring tingkapisadiayang pisan ngupakara rarene saking ngawit kantun ring jeroning garbha; Bilih sunya polih yusa panjang, mangda uring ring ula bawa laksana patut, miwah tatwatatwa caritra, uning ring kaon recik manjadma ngontos kapejahannya dlaha. Sapunika danging pawarah-warah Ida Bhatara Dharma’, artinya : “terdapat pada Widhi Sastra Agama ,Sabda dari Ida Bhatara Siwa Darma dari sorga, untuk semua manusia, yang menyebabkan tubuh mencapai dan mendapatkan keselamatan, agar memperoleh kebaika, merupakan kewajiban dalam hidup ini, sehingga tercapai jalan yang terang tampa rintangan. Agar diketahui dengan pasti adanya dunia dan tata cara menjelma oleh karenanya agar di usahakan sekali membuat upakara terhadap bayi sejak dalam kandungan. Supaya mendaatkan umur panjang, supaya tahu dengan prilaku yang benar dan filsafat-filsafat ceritra, tahu tentang baik buruk menjadi manusia sampai pada kematiannya. Begitulah isi sabda dari Ida Bhatara Siwa Dharma”. Demikianlah hendaknya sebagai orang tua agar diusahakan adanya keselamatan bayinya dari sejak ada di dalam kandungan dan memeliharanya dengan baik agar kelak tumbuh menjadi anak yang normal, selamat dan sehat lahir bathin. Melalui upacara magedong-gedongan tersebut, memiliki
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
61
makna agar kelak anak yang lahir menjadi anak suputra, dapat berguna bagi masyarakat dan Negara serta dapat memenuhi segala harapan orang tuanya, memiliki budi pekerti yang luhur, pandai bijaksana dan dihormati oleh semua orang.
4.2 Hubungan Antara Upacara Simantonayana (magedong-gedongan) dalam Upaya Melahirkan Anak Suputra Keluarga berarti sanak saudara, kaum kerabat; orang seisi rumah; dan berarti pula anak bini. Istilah keluarga ini berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata “kula” artinya keturunan dan dalm bahasa Jawa Kuno berarti : saya , hamba atau abdi; dan kata “warga” artinya jalinan atau ikatan. Istilah lain juga mengatakan bahwa kata keluarga berasal dari kata “kaula” dan “warga”. Kaula berarti abdi dan warga berarti kelompok yang berada dalam suatu ikatan suami, istri, anak, keluarga besar, masyarakat dan bangsa (Awanita, 2008:2). Dengan demikian keluarga berarti pengabdian seseorang kepada orang lain yang masih dalam satu ikatan. Kata “suami” dalam bahasa sansekerta berarti master dominion, lord (yang dipertuan, penguasa, pelindung). Sedngkan kata “istri” berasal dari kata “stri”, yang artinya pemberi kasih. Selanjutnya yang disebut anak atau putra sesungguhnya bukan hanya berarti anak laki-laki, tetapi juga anak perempuan. Kata “putra” berasal dari kata “neraka put” yang artinya penyelamat dari neraka. Anak laki-laki dalam bahasa sansekerta disebut “suta”. Anak perempuan disebut juga wanita, yang berasal dari urat kata “wan” artinya yang dikasihi. Suami itu disebut “pati” dan istri disebut “patni”. Pati dalam bahasa sansekerta artinya “pemilik, penguasa, tuan atau raja”. Sedangkan “patni” artinya “istri” atau “permaisuri”. Pertemuan pati dengan patni ini lahirlah manusia yang mengisi kehidupan di dunia ini (Awanita, 2008:3). Gambaran adanya kedudukan, peranan dan fungsi suami, istri dan anak dalam mewujudkan suatu fungsi keluarga dalam kehidupan grhasta, terjadi setelah dimulainya suatu keluarga baru, yang pada saat itu juga mereka (suami-istri) berkewajiban melakukan dharmanya (tugasnya), baik sebagai
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
62
suami, maupun yang sebagai istri. Inti keluarga Hindu yang sempurna adalah memiliki : 1) Tempat tinggal tersendiri, terpisah dari orang tuanya; 2) Mempunyai tempat sembahyang sendiri sebagai sanggar tempat pemujaan, yang merupakan “agni homa” di mana keluarga baru diharapkan harus mempunyai tempat pemujaan, yang dikenal dengan Kemulan atau Sanggar Tiga Ruang (rong tiga/telu) sebagai perlambang asal mula dan diibaratkan sebagai stana Sang Hyang Tiga, yaitu Brahma, Wisnu dan Iswara; 3) Mempunyai anak (keturunan) terutama yang dikenal dengan suputra (Awanita, 2008:3). Pada saat terbentuk keluarga, dan telah diterima sebagai anggota yang penuh, maka tugas dan kewajiban sebagai keluargapun harus dijalankan. Mereka berkewajiban melakukan upacara untuk menjamin keselamatan hidup keluarganya, memohon perlindungan dan berkah dari para dewata yang dapat menjaga keselamatan rumah tangga. Suami istri dalam suatu keluarga wajib melaksanakan atau menjalankan Panca Maha Yajna, yaitu Dewa Yajna, Pitra Yajna, Rsi Yajna, Manusa Yajna dan Bhuta Yajna. Pelaksanaan Panca Maha Yajna ini bertujuan agar mereka yang hidup dalam keluarga terbebas dari segala dosa akibat perbuatan-perbuatannya yang terjadi sebelum dan setelah mereka berumah tangga. Pelaksanaan Panca Maha Yajna ini merupakan suatu kewajiban yang mutlak diperhatikan dan dikerjakan dengan penuh keyakinan. Bila kita memperhatikan berbagai upacara (ritual) sejak perkawinan sampai dengan kematian dan setelah kematian seseorang, nampak proses upacara yang berlangsung terus-menerus. Pelaksanaan upacara, khususnya upacara berkenaan dengan siklus hidup yang di India disebut “Sarira Samskara” atau “Vidhi-vidhana”, yang secara traditional di Bali disebut upacara “Manusa Yajna”. Upacara-upacara
“Sarira
Samskara”
seperti
diuraikan
secara
mendalam oleh Rajbali Pandey dalam Titib (2003:45) meliputi : saat prenatal (bayi dlam kandungan) yang terdiri dari Garbhadhana (konsepsi),
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
63
Pumsavana dan Simantonayana, saat postnatal (setelah kelahiran bayi) terdiri dari : Jatakarma, Namakarana, Niskramana, Annaprasana, Mudana, Chudakarana, dan Karnavedha, saat mengikuti pendidikan baik formal maupun informal, meliputi : Vidyaramba, Upanayana, Vedaramba dan Samawartana, upacara ini berakhir dengan Vivaha, ketika seseorang sudah memasuki masa Grhasthasrama atau hidup berumah tangga. Penjelasan upacara-upacara tersebut ialah: 1) Garbhadhana Samskara, upacara ini adalah upacara konsepsi, pembuahan atau penghamilan (membuat istri menjadi hamil) untuk memperoleh benih yang baik. 2) Pumsavana Samskara, upacara ini adalah upacara yang dilakukan pada saat kehamilan tersebut berumur dua atau tiga bulan agar ibu memperhatikan bayi di dalam kandungan. 3) Simantonayana Samskara , upacara ini dilakukan pada saat kehamilan jatuh pada bulan ke empat atau bulan ke delapan dilakukan demi perkembangan mental bayi. 4) Jatakarma Samskara, upacara ini dilakukan saat bayi telah lahir untuk memohon kecerdasan dan budhi pekerti yang luhur serta lingkungan yang baik. 5) Namakarana Samskara,upacara ini adalah upacara pemberian nama kepada bayi yang baru lahir dan dilakukan pada hari ke-10 atau ke-12, ke-100 hari atau paling lama setelah setahun dari kelahiran agar sang anak memperoleh kemashyuran dari namanya. 6) Niskramana Samskara ,upacara ini adalah upacara untuk pertama kali seorang anak (bayi) boleh keluar dari rumah yang dilaksanakan pada bulan ke-3 atau ke-4 dari kelahirannya agar sang anak mendapatkan udara segar dan cahaya matahari. 7) Annaprasana Samskara,adalah upacara pemberian makanan yang agak keras (padat) untuk pertama kalinya dilaksanakan pada saat anak berusia 6 bulan untuk melatih anak agar menjadi mandiri.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
64
8) Chudakarana Samskara / Mudana Samskara,upacara pemotongan rambut yang dilaksanakan pada saat anak berusia 6 sampai 7 bulan menandakan sang anak memperoleh ketenangan. 9) Karnavedha Samskara, upacara tindik, menusuk kedua daun telinga anak yang dapat dilakukan pada hari ke-10, 12 atau ke-16 menurut Brhaspati, sedangkan menurut Katyayana Sutra upacara ini sebaiknya dilaksanakan pada hari yang baik ketika anak mencapai umur 3 atau 5 tahun agar sang anak memperoleh perlindungan. 10) Vidyaramba Samskara, upacara persiapan untuk memperoleh pendidikan,
terutama
pendidikan
budhi
pekerti
dengan
memperkenalkan huruf dilaksanakan pada tahun ke-5 dari kelahiran anak. 11) Upanayana Samskara,upacara bagi seorang anak yang mulai memasuki masa brahmacari. 12) Vedaramba Samskara,upacara mulai mempelajari kitab suci Veda yang berarti mulai menerima atau mempelajari pengetahuan dari seorang guru. Upacra ini dilaksanakan pada hari yang baik, setelah upacara upanayana. 13) Samawartana Samskara, upacara yang dilakukan setelah seorang brahmacari berhasil menamatkan masa belajarnya. 14) Rajasawala dan Mapandes, ditujukan kepada anak-anak yang mulai memasuki usia dewasa. Maksud dari upacara ini adalah memohon kepda Tuhan Yang Maha Esa, agar anak-anak dapat mengendalikan dirinya. 15) Vivaha Samskara,upacara perkawinan 16) Vanaprastha Samskara,pelepasan diri dari ikatan keduniawian. Jenis-jenis upacara manusa yajna dalam Agama Hindu khususnya pada masyarakat adat Bali antara lain ialah: 1) Upacara Magedong-gedongan, upacara ini dilakukan ketika kandungan berusia 7 bulan.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
65
2) Upacara Kelahiran (Jatakarma Samskara), upacra ini ditujukan bagi bayi yang baru lahir. Upacara ini mengandung makna sebagai ucapan angayubagia atas kelahirannya di dunia. 3) Upacara Kepus Puser, adalah upacara yang dilakukan pada saat puser bayi lepas (kepus). 4) Upacara Ngelepas Hawon (Namadheya Samskara), upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 12 hari pada saat ini sang anak diberi nama (namadheya). 5) Upacara Tutug Kambuhan (42 hari), upacara ini dilakukan ketika bayi berumur 42 hari, bertujuan untuk pembersihan lahir bathin untuk bayi dan ibunya, dan untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negatif (mala). 6) Upacara Bayi Umur 3 Bulan (Nyambutin), upacara penyucian yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari. 7) Upacara Satu Oton (Wetonan), adalah upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu,
sehingga
dalam
kehidupan
sekarang
mencapai
kehidupan yang lebih sempurna. 8) Upacara Ngempugin (Tumbuh Gigi), adalah upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik. 9) Upacara Makupak (Tanggal Gigi), upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan. 10) Upacara Rajaswala (Menginjak Dewasa), adalah upacara yang dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Sang Hyang Smara Ratih aar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi yang bersangkutan. 11) Upacara Mapandes (Potong Gigi), adalah upacara yang bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada dirinya.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
66
12) Upacara Wiwaha (Perkawinan), adalah upacara persaksian kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yng bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami istri dapat dibenarkan dan segala akibat perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Susunan upacara penyucian diri di Bali dan di India tidaklah sama. Akan tetapi dalam pelaksanaannya memiliki makna yang sama yakni demi melakukan
penyucian
diri
pada
manusia
sehingga
memperoleh
kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Untuk itu hendaknya dilaksanakan setiap penyucian diri manusia tersebut sesuai dengan desa, kala dan patra pada setiap tempat. Upacara prenatal umumnya hanya ada upacara ”magedong-gedongan”
di
Bali
yang
sama
maknanya
dengan
“simantonayana” di India. Dalam menjawab masalah kedua dalam penelitian ini penulis menggunakan teori perkembangan karena dapat dikatakan bahwa janin berumur tujuh bulan sudah sempurna sehingga dikatakan telah dapat menerima rangsangan dari luar sesuai dengan pernyataan yang ada dalam buku manusa yajna upacara magedong-gedongan ini dilaksanakan ketika bayi sedang berada dalam kandungan dan diupacarai setelah mencapai umur 175 hari (5 bulan Bali).Hal ini disebabkan, karena pada umur tersebut keadaan bayi sudah dianggap mempunyai wujud yang sempurna dalam arti organ tubuhnya sudah berbentuk, walaupun keadaannya masih kecil, yang masih memerlukan waktu beberapa saat lagi untuk kesempurnaannya. Upacara inilah yang dimasukkan sebagai upacara yang pertama dalam manusa yajna. Perlu diketahui bahwa pelaksanaan upacara magedong-gedongan ini harus dapat dilakukan dengan sebaik- baiknya, penuh dengan kesucian dan ketulusan hati. Ada suatu anggapan bahwa bayi mempunyai suatu indra yang berbeda dengan orang dewasa. Dia mampu menangkap getara jiwa kita; kesucian dan ketulusan atau kecurangan atau kebencian yang kerkandung di dalam kalbu kita. Oleh karena itu, maka upacara magedonggedongan ini harus dilakukan dengan penuh keyakinan, penuh ketulusan,
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
67
penuh cinta kasih terhadap mereka yang akan diupacarakan. Ketika bayi masih berada dalam kandungan ibunya, segala getaran jiwa dan perasaan si ibu memberikan rangsangan dasar-dasar perwatakan terhadap anak yang akan dilahirkan. Itulah sebabnya bayi yang masih ada dalam kandungan ibunya sangat sensitif terhadap perasaan dan getaran jiwa yang dirasakan pleh si ibu yang mengandungnya. Wanita yang sedang hamil harus menjaga dirinya dengan baik supaya selalu terbina kesehatannya. Karena itu dia hendaknya menghindarkan diri dari segalah sesuatu yang melampui batas-batas tertentu, seperti bekerja keras, terlalu bebas memenuhi hawa nafsunya dan lain-lain. Bahaya yang sering ditimbulkan oleh adanya pelanggaran ini adalah keguguran kandungan atau yang sedikit banyak dapat menggagu keadaan bayi yang ada di dalam kandungan. Oleh sebab itu, wanita yang sedang hamil hendaknya tidak mengangkat barang yang berat-berat, lari yang kencang-kencang atau mengambil pekerjaan lain yang dapat menggangu keadaan kandungannya. Ada juga beberapa kepercayaan kita, tentang apa yang tidak patut dilihat dan dikerjakan oleh seorang ibu yang sedang mengandung. Dia harus mendengarkan nasehat-nasehat para orang tua, di antaranya tidak menertawai orang yang cacat, sebab nanti anak yang dikandungnya, setelah lahir bisa cacat pula seperti orang yang ditertawainya karena cacat itu. Sering kita dengar, bahwa seorang ibu yang sedang mengandung jika terperancat atau takut kepada binatang yang dilihatnya, takut kepada orang atau terhadap barang yang dashyat, maka anak yang dikandungnya itu akan menyerupai apa yang dilihatnya tadi. Demikian pula, ibu yang sedang hamil di anjurkan agar tidak berkata-kata kasar, seperti menfitnah, berbohong dan lain sebagainya. Juga tidak berfikir buruk kepada orang lain, misalnya mempunyai perasaan dengki, iri hati, marah dan benci kepada sesama makhluk dan lain sebagainya. Didalam sastra hindu disebutkan beberapa paberatan atau pantangan bagi wanita yang sedang hamil, adalah: (1) Wakcapala artinya tidak berkata yang kasar. (2) Wakpurusa artinya tidak berkata bohong, (3) Tidak menyembah mayat atau sewa, dan (4) tidak mendukung tirtha pengetes.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
68
Semua paberataan (pantangan) ini dapat memepengaruhi keadaan janin yang sedang dikandungnya itu. Dianjurkan tidak berpikir, berkata dan berbuat yang tidak wajar, serta agar senang mendengarkan nasehat-nasehat dari suami atau dari orang-orang yang mengetahui pemberataan wanita yang mengandung. Suka membaca caritra kepahlawanan, membaca dan meretapi isi kitab suci Veda yang isinya oenuh dengan kesucian dan keluhuran. Dalam salinan Lontar Eka Parata Dharma Kauripan dalam Awanita (2008:53) menguraikan : Sekantun rarene sajroning garbha, sang mobot patite astiti pisan, saha maberata nyuci, tan amati-mati, akrodha, tan iri, yan uning memawos tatwa-tatwa”, artinya :”semasih bayi itu ada di dalam kandungan ibunya, sang mengandung harus dijaga atau dipelihara, serta mengusahakan ada kesucian, tidak melakukan pembunuhan, tidak marah, tidak iri dan dengki, jika tahe bacalah tatwa-tatwa (filsafat).” Adapun filsafat yang dimaksud di sini adalah filsafat agama yang mengajarkan tentang kebenaran, seperti yang tercantum di dalam buku – buku Agama
misalnya
Manawa
Dharma Sastra,
Bhagavad Gita,
Sarassamuccaya dan pengetahuan tentang Aji Asrama Gama, seperti Lontar Smara Krida Laksana, Roekmini Tatwa, Aji Dresti Lokakreti, Rahasya Sanggama, Keputusan Dasa Bayu, Dharma Kauripan dan lain-lain (Awanita, 2008:53) Di samping pemberataan tersebut di atas, juga sering kita perhatikan kebiasaan yang dilakukan oleh seorang wanita yang sedang hamil yaitu pergi ke pantai atau kesumber air lain untuk mengadakan pembersihan. Pembersihan cara ini menurut kepercayaan Hindu dianggap dapat membersikan dirinya dan bayi yang dikandungnya dari segalah kotoran atau keletihan. Mengenai air laut yang merupakan timbunan dari sampah-sampah yang dialirkan oleh sungai-sungai mengandung berjenis-jenis mineral segalah kotoran dunia, dimana dapat kita bayangkan bahwa sejak berjutajuta pulalah segala kotoran itu dilebur di laut. Oleh karena itulah maka air laut disebut pelebur sarwa mala. Pelaksanaan pembersihannya itu, dipilihlah hari-hari tertentu yang dianggap baik, seperti yang disebutkan di dalam salinan Lontar Eka Pratama Dharma Kauripan dalam Awanita (2008:54) yaitu :
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
69
Sekantun rarene jeroning garbha, sang mobot patite astiti pisan, metirtha, meningning, satunggil, rerahinan: Purnama, tilem, Budha Leliwon, Tumpek, Anggara Kasih, artinya: “Semasih bayi berada dalam kandungan, sang mengandung harus berdoa terus, membersihkan diri setiap hari suci Purnama, Tilem, Budha Kliwon, Tumpek, Anggara Kasih.” Menurut hasil wawancara ibu yang sedang hamil hendaknya selalu bangun pagi, melaksanakan persembahyangan, bertutur kata yang baik, berfikir positif, dan melaksanakan anjuran dokter sebab apa yang dimakan, difikirkan dan diperbuat seorang ibu akan memberikan pengaruh pada bayi yang di kandungnya (Ida Ayu Kadek Iva Rahayu, wawancara tanggal 30 Juni 2012). Bayi tergantung sepenuhnya kepada ibu yang secara naluriah mempunyai rasa kasih sayang, cinta dan kemesraannya dalam membimbing dan memelihara perkembangan bayinya. Untuk dapat memberikan cinta dan kasih sayang kemesraan itu, seorang ibu harus merasa bahagia dalam hidupnya. Sebab hanya ibu yang bahagia dapat memberikan rasa aman, simpati dan kasih sayang yang mesra terhadap anaknya. Karena itu seorang ibu yang sedang mengandung agar betul-betul memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya sehingga persaannya tetap dalam kondisi yang baik. Sikap suami pada saat istrinya mengandung dan sesudah melahirkan harus bijaksana, selalu membantu dan mencarikan segala sesuatu untuk kebutuhan istrinya. Penting bagi seorang suami ia harus menjaga perasaan istrinya yang sedang mengandung tetap tentram dan sejahtera serta tidak menimbulkan kecurigaan atau kecemburuan. Seorang suami harus tetap cinta dan setia kepada istrinya. Sungguh sangat bijaksana seeorang suami yang mau Selain itu, bayi yang masih berada dalam kandungan ibunya, sensitif pula terhadap lingkungan yang mempengaruhinya. Janin (bayi) semasa di dalam kandungan, perkembangan jasmani dan mentalnya dapat dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan luar. Karenanya, perlu dilakukan upacara bayi dalam kandungan, dengan tujuan untuk membina jasmani dan rohani
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
70
kamareka, agar kelak setelah lahir dan dewasa, dapat menjadi manusia yang sempurna, berbudi pekerti yang luhur, cerdas dan berbakti. Kesensitifan bayi di waktu masih dalam kandungan mulai usia 4-5 bulan ini, hendaknya diberikan sentuhan perasaan yang tulus dan suci. Karena pada umur inilah bayi paling mudah untuk menerima rangsangrangsang dari luar dan sudah sepatutnyalah dilaksanakan pembinaan perkembangan jiwanya secara sekala dan niskala sehingga nantinya dapat melahirkan anak yang baik (suputra). Di dalam Kitab Nitisastra dalam bentuk Kakawin Sargah XII Smaradhahana menjelaskan lebih mendalam mengenai pentingnya memiliki anak suputra yakni : Padaning ku-putra taru çuska tumuwuh i ri madhyaning wana. Maghasagerit matemah agni sahana-hananing halas geseng. Ikanang su-putra taru candana tumuwuh i ring wanantara. Plawagoraga mrega kaga bhramata mara riya padaniwi. Artinya: “Anak yang jahat sama dengan pohon kering ditengah hutan. Karena pergeseran dan pergesekan, keluar apinya, lalu membakar seluruh hutan. Akan tetapi anak yang baik sama dengan pohon cendana yang tumbuh didalam lingkungan hutan. Kera, ular. Hewan berkaki empat, burung dan kumbang datang mengerubunginya.” Dapat kita ketahui bahwa ada hubungan yang sangat erat antara pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu adat Bali dalam upaya melahirkan anak suputra. Menurut hasil wawancara pelaksanaan upacara ini memiliki hubungan yang sangat erat karena dari proses pembuatan banten sampai pelaksanaan serta pengucapan mantra-mantra suci dalam upacara ini mengharapkan agar sang bayi dapat menerima keseluruhan rangkaian upacara tersebut dengan baik
dari dalam kandungan karena di dalam sastra suci Hindu dan
perkembangan bayi pada saat usia 4-7 bulan sudah dapat menerima respon dari luar kandungan (Ida Pedanda Istri Mayun, wawancara tanggal 25 Juni 2012). Menurut hasil wawancara memang tidak secara mutlak bahwa anak yang pada saat dalam kandungan dilakukan upacara magedong-gedongan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
71
kemudian dia akan menjadi anak yang sangat baik. Tentunya hal tersebut bukan menjadi sebuah jaminan akan tetapi kembali lagi kepada penanaman pendidikan untuk si anak kelak. Namun, dalam upaya untuk membuat anak tersebut suci dan menjadi anak yang suputra haruslah dilaksanakan upacara seperti magedong-gedongan dan dilandasi keyakinan orang tua terlebih upacara terebut memang ada dan dijelaskan dalam ajaran Agama Hindu (Ida Ayu Kadek Iva Rahayu, wawancara tanggal 30 Juni 2012). Dalam Kitab Manawa Dharmasastra Bab II sloka 6 dan 9 menyebutkan : Idanim dharma pramananyaha wedo’khilo dharmamulam smrtiçile ca tadwidam acaraçcaiwa sadhunam atmanastutiewa ca. Artinya : “Seluruh pustaka suci weda adalah sumber pertama dari pada Dharma kemudian adat istiadat, dan lalu tingkah laku yang terpuji dari orangorang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Weda, juga tata cara perikehidupan orang-orang suci dan akhirnya kepuasan dari pribadi (Pudja dan Sudartha, 2002: 62)”. çruti smrtyudita dharma manutisthanhi manawah, iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham.. Artinya : “Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustakapustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapat kemasyuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan tak terbatas/tak ternilai (Pudja dan Sudartha, 2002: 63)” Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat kita ketahui bahwa pelaksanaan upacara manusa yajna dalam Agama Hindu khusunya pada pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali memiliki hubungan yang erat dalam salah satu upaya melahirkan anak yang berguna bagi nusa dan bangsa (suputra). Akan tetapi pelaksanaan upacara saja tidaklah cukup untuk menjadikan seorang anak menjadi anak yang suputra harus tetap didasari ketulusan hati orang tua dan upaya-upaya lainya yang dilakukan
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
72
orang tua salah satunya adalah pelaksanaan upacara simantonayana (magedong-gedongan), serta upaya baik dalam membesarkan hingga mendidik anak mulai dari dalam kandungan hingga nantinya terbentuk mental generasi muda yang cerdas, kokoh, berani, kuat, sehingga dapat menuntun orang tua dan para leluhurnya menuju kesejahteraan.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
73
BAB 5 KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan Berdasarkan pengumpulan dan pembahasan hasil penelitian data dalam penelitian ini yang merujuk pada rumusan masalah, maka penulis dapat simpulkan sebagai berikut : 1) Sesuai penjelasan tulisan bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa, upacara adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan (pelaksanaan) dari pada upakara dalam salah satu yajna. Upakara (banten) merupakan sarana untuk memudahkan manusia menghubungkan dirinya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya. Upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali, merupakan salah satu upacara yang di dalam ajaran Agama Hindu termasuk dalam upacara manusa yajna, sebab upacara ini diperuntukkan kepada seorang ibu yang sedang hamil pada saat bayi sudah berwujud manusia. Makna yang terkandung dalam upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali, ialah agar sang bayi yang berada di dalam kandungan mendapatkan perlindungan dan keselamatan serta pemeliharaan yang baik sehingga kelahirannya nanti dapat menjadi anak yang suputra yakni anak yang berguna di keluarga maupun masyarakat. 2) Pentingnya upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu pada masyarakat adat Bali, memiliki hubungan yang sangat erat dalam upaya melahirkan anak suputra. Untuk memperoleh atau mendapatkan anak yang berkualitas (suputra), orang tua harus berusaha semaksimal mungkin dalam merawat dan membesarkan anak sejak mulai terjadinya pembuahan sel telur dari ibu dengan sel sperma dari ayah hingga
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara jakarta
74
nantinya anak itu lahir ke dunia. Seorang ayah dan seorang ibu yang sedang mengandung memegang peranan penting dalam membentuk perkembangan mental sang anak. Oleh karemna itulah kondisi keluarga atau rumah tangga yang harmonis sangat perlu dibina, untuk menjaa ketenangan jiwa dan raga sang ibu yang sedang mengandung. Dijelaskan bahwa di dalam susastra suci Hindu terdapat berbagai penjelasan tentang upacara manusa yajna dalam hal ini khususnya pelaksanaan upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan pada masyarakat adat Bali hendakya dilakukan oleh seluruh umat agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Upacara diidentikkan dengan pelaksanaan samskara (penyucian diri) bukan sekedar bersifat formalitas akan tetapi mengandung makna perkembangan mental diri dari arah luar dan dalam. Perkembangan mental dari arah luar yakni yang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh yang menjalankan, perkembangan mental dari dalam adalah adanya keyakinan yang bertujuan untuk membentuk jiwa yang sempurna.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara jakarta
65
5.2
Saran Dengan penelitian yang berjudul “Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana pada Umat Hindu Adat Bali) di Pura Aditya Jaya Rawamangun” peneliti menyampaikan beberapa saran yang kiranya penting artinya bagi pembinaan Umat Hindu khususnya. Adapun saran-saran penulis sampaikan adalah : 1) Diharapkan
agar
Umat
Hindu
dapat
melaksanakan
upacara
simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedonggedongan dalam Agama Hindu adat Bali terhadap ibu yang sedang hamil, sebagai salah satu tujuan dari kehidupan keluarga yakni memiliki anak yang suputra. 2) Upacara simantonayana atau yang lebih dikenal dengan upacara magedong-gedongan dalam Agama Hindu adat Bali memiliki makna dan hubungan yang terikat satu sama lain dan merupakan salah satu upacara manusa yajna dimana pelaksanaannya sudah menjadi suatu keharusan demi menjaga keajegan Agama Hindu serta nantinya umat Hindu dapat memahami makna dan hubungan pelaksanaan upacara ini dengan baik.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara jakarta
DAFTAR PUSTAKA Ali, Mohammad. Metodelogi Dan Aplikasi Riset Pendidikan. Jakarta: Pustaka Cendekia Utama. 2010. Awanita, Made. Membentuk Kepribadian Anak Dalam Kandungan. Surabaya: Paramita. 2008. Anom, Ida Bagus. Himpunan Upacara Manusa Yadnya. Tabanan: Yayasan Dharmo Padesa Kabupaten Tabanan. 2002. Bungin, M. Burhan. Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2008. Chawdhri, Dr. L. R. Rahasia Yantra, Mantra Dan Tantra. Surabaya: Paramita. 2003. Diane E. Papalia, ET AL. Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta: Kencana. 2010. Geriya, Dra. S. Swarsi. Upacara Daur Hidup. Surabaya: Paramita. 2004. Jaali, Haji. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2011. Koentjaraningrat. Pengantar Antropologo Budaya. Jakarta : PT Gramedia. 1997. Maswinara, I Wayan. Rg. Veda Samhita Sakala Sakha. Surabaya: Paramita. 2008. Mudana, I Gusti Made. Pelaksanaan Upacara Pagdong-gedongan dalam Manusa Yajna Ditinjau dari nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu. Jakarta: STAH Dharma Nusantara .2000. Oka, Ida Pedanda Gede Nyoman Jelantik. Sanatana Hindu Dharma. Denpasar: Widya Dharma. 2009. Oka, I Ketut Setiawan.Modul Metodologi Penelitian. Jakarta. 2008. Praptini, dkk. Materi pokok Metodologi Penelitian. Jakarta: Ditjen Bhimas Hindu Departemen Agama RI, 2009. Puja, I Gede. Bhagawadgitta (Pancama Veda).Surabaya: Paramita. 2005. ---------------. dan Tjokorda Rai Sudartha. Manawa Dharmasastra.Jakarta: CV Pelita Nusantara Lestari. 2002. Putra, Ny. IGA Mas. Upacara Yajna. Denpasar: IHD. 1979. Ramayanti, Ni Wayan. Kajian Upacara Garbhadana Ditinjau dari Pendidikan Agama Hindu. Jakara: STAH Dharma Nusantara. 2003.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
Rejeki, Sri Endah. Pengaruh Upacara Garbhadana Terhadap Pertumbuhan Psikologi Janin dalam Kandungan di Banjar Cibinong. Jakarta: STAH Dharma Nusantara. 2008. Suarjaya, dkk. Panca Yajna. Denpasar: Widya Dharma. 2008. Subagiasta, I Ketut. Srada dan Bhakti. Surabaya: Paramita. 2008. Sudartha, Tjokorda Rai. Manusia Hindu Dari Kandungan sampai Perkawinan. Denpasar: Kayumas Agung. 2006. Sudani, Ni Nyoman. Upaya Peningkatan Partisipasi Remaja Hindu Bekasi dalam Dharmagita Pada Pelaksanaan Upacara Dewa Yajna Mealului Ekstrakulikuler di Pasraman. Jakarta: STAH Dharma Nusantara. 2009. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet, 2005. Sujana, I Made. Manggala Upacara.Denpasar: Widya Dharma. 2010. Somvir. Mutiara Veda untuk Kehidupan Sehari-hari.Surabaya: Paramita.2001. Surayin, Ida Ayu Putu. Manusa Yajna. Surabaya: Paramita. 2005 ----------------------------. Melangkah Ke Arah Persiapan Upakara-Upacara Yajna. Surabaya: Paramita. 2004. Susila, I Nyoman. Acara Agama Hindu. Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu. 2009. Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: STAH Dharmanusantara Jakarta. 2011. Tim Penyusun. Niti Sastra dalam Bentk Kekawin. Singaraja: Proyek Penerangan Bimbingan da Da’wah/Khotbah Agama Hindu dan Budha.1986/1987. Tim Penyusun. Sekilas Tetang Pura Aditya Jaya Rawamangun.Jakarta Timur: Suka Dukha Hindu Dharma Banjar Jakarta Timur. 2009. Titib, I Made. Menumbukmbangkan Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak. Jakarta: Ganeca. 2003.
Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
1. Upakara/banten upacara magedong-gedongan
2. Pelaksanaan Natab Upakara/banten upacara magedong-gedongan
3. Pelaksanaan Persembahyangan
DAFTAR INFORMAN
Nama Umur Alamat Pekerjaan
: : : :
Perdana Ida Pedanda Istri Mayun 78 tahun Jl. Daksinapati Raya No.10 Rawamangun Jakarta Timur Pedanda di Pura Aditya Jaya Rawamangun
Nama Umur Alamat
: : :
Pekerjaan
:
Ida Pedanda Gede Panji Sogata 64 tahun Jl Bunga Raya RT.01/ RW 16 No.150, Srengseng Sawah, Jagakarsa , Jakarta Selatan Ketua Dharma Upapati Parisada
Nama Umur Alamat Pekerjaan
: : : :
I Ketut Wiardana, SH. 57 tahun Jl, Buni Gang Salak III/45 Munjul Ketua PHDI DKI
Nama Umur Alamat Pekerjaan
: : : :
I Wayan Rudji 77 tahun Pondok Bambu, Jl. Kejaksaan II No.13 Pemangku Pura Aditya Jaya Rawamangun
Nama Umur Alamat Pekerjaan
: : : :
I Gusti Putu Raka 58 tahun Jl. Dalang RT 13/RW 05 Kelurahan Munjul Jakarta Timur Sarathi Banten dan Pemangku Pura Widya Dharma
Nama Umur Alamat Pekerjaan
: : : :
Ida Ayu Kadek Iva Rahayu 31 tahun Jl.Kincir 8 No. 4 RT 06/RW 010 Rawamangun Jakarta Timur Karyawan Swasta
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
:
Ni Nyoman Sugi Widiastithi
Tempat Tanggal Lahir
:
Denpasar, 23 Maret 1990
Agama
:
Hindu
Kewarganegaraan
:
Indonesia
Alamat
:
Jl. P. Komarudin No. 80 RT 11/RW 05 Kelurahan Penggilingan Kecamatan Cakung, Jakarta Timur
Pendidikan Formal
:
1. Tahun 1997 TK Nurut Taqwa Ujung Pandang 2. Tahun 2002 SD Katolik Santo Yakobus Makassar 3. Tahun 2005 SMP Negeri 6 Makassar 4. Tahun 2008 SMA Negeri 11 Jakarta Timur 5. Tahun 2011 Program Studi Diploma III Kebidanan Universitas Gunadarma
Demikian riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 14 Juli 2012
Ni Nyoman Sugi Widiastithi
Pedoman Wawancara Tentang Upacara Simantonayana dalam Upaya Melahirkan Anak Suputra Menurut Agama Hindu (Studi Analisis Upacara Simantonayana Pada Masyarakat Adat Bali) Di Pura Aditya Jaya Rawamangun Jakarta Timur ___________________________________________________________________________ Data Informan 1. Nama
:
2. Umur
:
3. Alamat
:
4. Pekerjaan
:
Tanggal Pelaksanaan Wawancara : Pertanyaan Wawancara : 1. Apakah tujuan berkeluarga dalam ajaran Agama Hindu? 2. Apa pengertian dan pentingnya anak suputra dalam ajaran Agama Hindu? 3. Dalam ajaran Agama Hindu hal-hal apa yang patut dilaksanakan dan tidak boleh dilaksanakan bagi ibu yang sedang dalam mengadung ? 4. Adakah umat Hindu di Pura Aditya Jaya Rawamangun yang melaksanakan upacara simantonayana (upacara megedong-gedongan)? 5. Dimanakah biasanya upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) ini dilakukan? 6. Apakah makna upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) ? 7. Apakah ada sumber yang menyatakan upacara simantonayana (upacara magedonggedongan) ini patut dilaksanakan? 8. Bagaimana tahapan upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) ? 9. Apa saja upakara yang dibutuhkan pada saat upacara simantonayana (upacara magedong-gedongan) ? 10. Apakah ada hubungan antara upacara simantonayana (upacara magedonggedongan) dalam upaya melahirkan anak suputra?