Mendorong Tata Kelola Sekolah Bebas Pungutan dalam Rangka Pencapaian Wajar 12 Tahun
M
emperoleh pendidikan bermutu dan gratis adalah hak setiap warga negara. Program Wajar 9 tahun merupakan bentuk tanggungjawab pemerintah dalam memberikan hak-hak dan jaminan pendidikan warga negara. Meski sudah hampir berhasil melaksanakan Wajar 9 tahun, semangat untuk menuju Wajar 12 tahun belum mendapat dukungan optimal dari pemerintah sampai tahun 2013. Hambatan terpenuhinya hak pendidikan warga negara melalui kebijakan Wajar 12 tahun terjadi karena persoalan ekonomi, akuntabilitas sekolah, dan maraknya pungutan liar yang semakin membebani masyarakat. Revitalisasi tata kelola sekolah bisa menjadi kebijakan yang mendorong terwujudnya wajib belajar 12 tahun. Data tentang pemerataan pembangunan pendidikan di daerah menunjukkan bahwa sebanyak 146 kabupaten/kota (29,4%) masih memiliki APM SD di bawah 95%, dan 169 kabupaten/kota (34%) masih memiliki APK SMP dibawah 95%. Dari sisi ekonomi angka partisipasi penduduk usia 13-15 tahun masih tinggi (untuk kuantil 1; 81,0%, kuantil 2;88,8%, kuantil 3;92,3%, kuantil 4;93,9% dan kuantil 5;94,9%).
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
A. Latar Belakang Ekonomi Faktor ekonomi menjadi persoalan serius dalam menyukseskan Wajar baik 9 tahun maupun Wajar 12 tahun. Sekolah menjadi barang mahal yang tidak bisa terjangkau oleh sebagian warga negara. Mengatasi persoalan ekonomi dan pembiayaan tinggi atas penyelenggaraan pendidikan merupakan faktor penting bagi perbaikan pendidikan. Kebijakan pembiayaan pendidikan seharusnya menjadi perhatian tersendiri dalam rangka menghapus secara sistematis beban-beban pendidikan yang sering diterima peserta didik. Beban-beban pendidikan untuk kelompok masyarakat rentan akan menyebabkan kesenjangan baru, bahkan menjadikan mereka terjerembab pada kemiskinan baru, bila pemerintah tidak segera mengatasinya. Beberapa faktor ekonomi penyebab terhentinya pendidikan bagi warga negara di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Angka Putus Sekolah Berdasarkan data kemiskinan terbaru per tanggal 15 September 2015 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 28,59 juta orang atau (11,22%) atau bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 sebesar 27,73 juta orang (10,96%). Kemiskinan menjadi salah satu ancaman terbesar atas keberlanjutan pendidikan dasar bagi anak-anak usia belajar terutama kelompok sosial miskin dan marjinal. Tingkat pendapatan yang sangat rendah akan membuat Rumah Tangga Miskin (RTM) akan lebih mengalokasikan belanja out of pocket ke pemenuhan pangan, daripada pendidikan anak-anak dari rumah tangga tersebut.
26
Mendorong Tata Kelola
Berbagai upaya seperti program-program bantuan sekolah, BOS, BOM, tunjangan profesi, sertifikasi, beasiswa pendidikan, DAK dan DBH Pendidikan, DAU Pendidikan serta Dana Otonomi Khusus Pendidikan sudah dilakukan. Namun, permasalahan kemiskinan tetap menjadi salah satu alasan klasik yang menyebabkan masih tingginya angka putus sekolah. Berdasarkan data BPS tahun 2011/ 2012 dengan proyeksi jumlah penduduk tercatat angka putus sekolah adalah sebagai berikut; 0.90 untuk anak SD, 1.57 untuk anak SMP dan 2.20 untuk anak SMA. Nampak seiring dengan Angka Partisikasi Kasar (APK) untuk 3 tahun sebelumnya yakni ;
Tahun
SD/MI/ Paket A
SMP/Mts/ Paket B
SM/SMK/MA/ Paket C
2011
102.57
89.83
64.90
2012
104.33
89.49
68.80
2013
107.71
85.96
66.61
2014*
*(Belum keluar)
Sumber: BPS-RI, Susenas 2003-2013
Ada implikasi yang masih berlanjut dari angka putus sekolah tersebut. Presentase tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya menjadi tinggi yakni sebagai berikut; SD ke SMP (18,34%), SMP ke SMA (6,83%) dan SMA ke jenjang Perguruan Tinggi (51.59%). Jika menghitung target Wajar 12 tahun dari jenjang SD ke SMP dan jenjang SMP ke SMA, maka angka (18,34%) dan (6,83%) adalah angka yang sangat besar untuk mengejar terpenuhinya Wajar 12 tahun. Jika dihitung dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama 2012 untuk anak-anak yang tidak/belum bersekolah pada semua usia dari 3-23 tahun, jumlah itu adalah 30.639.393 orang. Ini merupakan jumlah yang mengkhawatirkan bagi
27
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
keberlanjutan dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Terlepas dari jumlah anak yang masih bisa melanjutkan sekolah, permasalahan angka putus sekolah perlu dimaknai sebagai permasalahan krusial yang setiap tahun perlu dicarikan solusi kebijakan dan pelaksanaan dari kebijakan tersebut. Ada sesuatu yang belum berjalan baik terkait proses pembiayaan pendidikan di Indonesia.
2. Pembiayaan Pendidikan Mahal Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 sudah mengamanatkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN atau APBD di luar pendidikan kedinasan, namun mandat ini belum sepenuhnya dilaksanakan. Amanat 20 persen alokasi APBD untuk pendidikan di daerah belum terwujud. Tidak semua daerah mampu secara konsisten mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBD, terutama dalam rangka menggratiskan biaya pendidikan Wajar 9 tahun, apalagi Wajar 12 tahun. Pemerintah telah mengeluarkan dana untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang angkanya selalu mengalami kenaikan untuk pembiayaan per siswa (SD & SMP) per tahun. Tahun 2015 dana yang dialokasikan untuk BOS Siswa SD mencapai Rp 800.000,- Per siswa/tahun, sedangkan untuk siswa SMP mencapai Rp 1.000.000,- Per siswa/tahun. Meskipun tidak menutupi 100 persen biaya operasional siswa, namun angka ini cukup signifikan membiayai lebih dari 70 persen kebutuhan operasional sekolah. BOS lebih banyak dipergunakan untuk membiayai kebutuhan operasional non personalia.
28
Mendorong Tata Kelola
Perkembangan Dana BOS Tahun 2005-2015 SD/M
SMP/SMPLB/SMPT/Satap 1,000,000
324,000
354,000
235,000
254,500
2005 & 2007&2008 2006
575,000
575,000
400,000
400,000
2009& 2010
2011
710,000
2012
570,000
710,000
800,000
580,000
2013 & 2014
2015
Sumber: Juknis BOS Kemendikbud (Diolah)
Sumber: Juknis BOS Kemendikbud (Diolah) Sejak 2013, Pemerintah bahkan mulai menggulirkan BOS untuk SMA dan sederajat. Besaranya adalah BOS sebesar Rp 1.000.000,‐. Adanya BOS setidaknya mengurangi beban pembiayaan pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta didik.
Sejak 2013, Pemerintah bahkan mulai menggulirkan BOS
Permasalahan di hulu terkait dengan pembiayaan pendidikanadalah Standar Satuan Biaya untuk SMA dan sederajat. Besaranya adalah BOS sebesar pendidikan. Meskipun sudah ada aturan melalui Permendiknas No. 69 Tahun 2009 tentang RpBiaya 1.000.000,-. mengurangi beban Standar Operasi Non Adanya Personalia BOS Tahun setidaknya 2009 untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah pembiayaan pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Dasar Luar didik. Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), namun peraturan tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 2005 tentang Permasalahan di hulu terkait dengan pembiayaan Standar Nasional Pendidikan dalam rangka menerapkan kebijakan pendidikan dasar Wajar pendidikan adalah Standar Satuan Biayaterdiri pendidikan. 9.Dalam Pasal 62 disebutkan bahwa (1) Pembiayaan Pendidikan atas biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal; (2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud Meskipun sudah ada aturan melalui Permendiknas No. 69 pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya Tahun 2009kerja tentang Biaya Operasi Non Personalia manusia, dan modal tetap; Standar (3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang Sekolah harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk mengikuti Tahun 2009 untuk Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/ proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Lebih rinci terkait biaya‐biaya; biaya investasi MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah adalah biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana prasarana, pengembangan sumberdaya sekolah, dan modal kerja tetap. Biaya operasi adalah Biaya (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah operasi satuan pendidikan terbagi dua bagian, biaya operasi personalia dan biaya operasi non (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah personalia. Untuk personalia meliputi; gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan Dasar pada Luargaji. Biasa (SDLB), Sekolah Luaralat tulis yang melekat Sedangkan biaya operasi Menengah non personalia Pertama meliputi; biaya sekolah (ATS), biaya bahan dan alat habis pakai (BAHP), biaya pemeliharaan dan perbaikan Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), ringan, biaya daya dan jasa, biaya transportasi/ perjalanan dinas, biaya konsumsi, biaya namun peraturan tersebutkurikuler, belum sepenuhnya dilaksanakan. asuransi, biaya pembinaan siswa/ekstra biaya uji kompetensi, biaya praktek kerja industri, dan biaya pelaporan. Sedangkan biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan berkelanjutan seperti telah biaya pakaian, transportasi, buku pribadi, konsumsi, akomodasi biaya pribadi biaya operasi melalui Program Pendidikan Bantuan Operasional No.19lainnya.Meskipun Tahun 2005untuk tentang Standar Nasional Sekolah (BOS) dan Biaya Operasional Madrasah (BOM) telah signifikan mendorong dalam rangka menerapkan kebijakan pendidikan dasar pemenuhan kebutuhan jumlah biaya operasional, namun dalam pelaksanaan BOS dan BOM kerap masih ditemui praktek penyimpangan dan penyalahgunaan.
29
3
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Wajar 9. Dalam Pasal 62 disebutkan bahwa (1) Pembiayaan Pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal; (2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap; (3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Lebih rinci terkait biaya-biaya; biaya investasi adalah biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana prasarana, pengembangan sumberdaya sekolah, dan modal kerja tetap. Biaya operasi adalah Biaya operasi satuan pendidikan terbagi dua bagian, biaya operasi personalia dan biaya operasi non personalia. Untuk personalia meliputi; gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan yang melekat pada gaji. Sedangkan biaya operasi non personalia meliputi; biaya alat tulis sekolah (ATS), biaya bahan dan alat habis pakai (BAHP), biaya pemeliharaan dan perbaikan ringan, biaya daya dan jasa, biaya transportasi/ perjalanan dinas, biaya konsumsi, biaya asuransi, biaya pembinaan siswa/ekstra kurikuler, biaya uji kompetensi, biaya praktek kerja industri, dan biaya pelaporan. Sedangkan biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan seperti biaya pakaian, transportasi, buku pribadi, konsumsi, akomodasi dan biaya pribadi lainnya. Meskipun untuk biaya operasi melalui Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Biaya Operasional Madrasah (BOM) telah signifikan mendorong pemenuhan kebutuhan jumlah biaya operasional, namun dalam pelaksanaan BOS dan BOM kerap masih ditemui praktek penyimpangan dan penyalahgunaan.
30
Mendorong Tata Kelola
Berdasarkan Penelitian lain yang diselenggarakan PATTIRO tahun 2011 tentang BOS di 10 Kabupaten/Kota, masih terdapat selisih signifikan antara kebutuhan Standar Biaya Operasi Nonpersonalia dengan besaran Biaya BOS. Besaran selisih biaya tersebut untuk SD/MI antara Rp 124.900,(Kota Semarang) dan tertinggi Rp 554.200,-(Kabupaten Jayapura), sedangkan untuk SMP/MTS antara Rp 67.550,(Kota Semarang), dan tertinggi Rp 594.400,- (Kabupaten Jayapura, Papua). Selisih biaya antara biaya operasional dan yang ditanggung BOS, menjadi salah satu sebab munculnya potensi pungutan untuk pemenuhan kebutuhan biaya tersebut. Adapun gambaran selisih biaya operasional yang dibayarkan peserta didik dan biaya yang ditanggung BOS adalah sebagai berikut:
Sumber: Penelitian PATTIRO-2011
Adanya selisih biaya yang harus dibayarkan oleh peserta didik dan yang ditanggung oleh BOS makin menunjukkan bahwa beban biaya pendidikan yang ditanggung masyarakat juga cukup besar.
31
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Dari data Susenas tahun 2012-2014, rata-rata total biaya pendidikan per kapita per tahun cenderung mengalami kenaikan. Jumlah rata-rata tersebut menggabungkan total biaya pendidikan untuk penduduk pedesaan (rural) dan penduduk perkotaan (urban). Total tahun 2014 (per-september), biaya pendidikan per kapita per tahun mencapai Rp 453.432,- Per kapita/tahun atau meningkat (7,15%). Adapun komponen pengeluaran biaya pendidikan tersebut mencakup biaya-biaya sebagai berikut; Biaya Pendidikan
Sept’ 2012
Sept’ 2013
Sept’ 2014
6,685
6,716
7,227
16,632
19,699
21,602
Iuran Sekolah Lainnya
2,080
2,621
2,740
Buku Pelajaran
3,021
3,365
3,334
Alat-alat Tulis
1,713
1,836
1,859
Uang Kursus
1,260
847
1,024
376,692
421,008
453,432
Sumbangan Pembangunan Sekolah/ Uang Pangkal Uang Sekolah (SPP, BP3, POMG)
Total Biaya Pendidikan Per Kapita Per Tahun
Sumber: BPS RI-Susenas 2012-2014 (Diolah)
Data menunjukkan bahwa komponen biaya pendidikan terbesar adalah uang sekolah yang mencakup Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP), Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3), Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG). Uang sekolah yang biasa dibayarkan oleh peserta didik dan dibayarkan secara rutin (bulanan) nampak mencolok jika dibandingkan dengan komponen biaya pendidikan yang lain. Bahkan pada Tahun 2014, komponen biaya pendidikan berupa uang sekolah tercatat mencapai Rp 21.602,-. Salah satu hal yang berkaitan adalah bahwa komponen biaya yang lain, tidak selalu dibayarkan
32
Totaal Biaya Pend didikan Per K Kapita Per Tahun
376,692
Sumbe er: BPS RI‐Suse enas 2012‐2014 4 (Diolah)
421,008 8
453,4332
Mendorong Tata Kelola
Data menunjukkan m n bahwa kom mponen biayya pendidikaan terbesar aadalah uang sekolah yan ng mencaakup Sumbaangan Pemb biayaan Pendidikan (SPP), Badan Pembantu P Penyelenggar P ra Pendid dikan(BP3), Persatuan Orangtua O Mu urid dan Gurru (POMG). Uang sekolaah yang biassa setiap atau tidak berkala, bisa jikka dibayaarkan oleh bulan peserta didik dan dibayardibayarkan rkan secara rutin r secara (bulanaan) nampak mencolok diband dingkan den ngan kompo onen biaya p pendidikan y yang lain. B per kegiatan Bahkan padaa Tahun 2014, satu kali selama proses belajar, per tahun atau kompo onen biaya pendidikan p berupa b uang sekolah terccatat mencap pai Rp 21.602,‐. Salah sattu lainnya. uang secara rutin setiaap dibaayarkan hal yang berkaitan n Sedangkan adalah bah hwa komponen kompon nen biaya yang sekolah lain, tidak selalu bayarkan sec oses belajar, p per tahun ata au bulan atau tidak di bisa satu ka dibayarakan per cara berkala, bulan. Dari total li selama pro biaya pendidikan per per ke egiatan lainnyya. Sedangkaan komponen n uang sekollah secara ru utin dibayarakkan per bulan. kapita per tahunper tersebut, jika digambarkandigambarkan dalam grafik Dari total biaya pendidikan p kapita pe er tahun tersebut, jika d n dalam graffik h sebagai ber rikut; adalah adalah sebagai berikut;
Besaran Biaya
Total Biaya B Pen ndidikan n Per Kapita Per Tahun 50 00,000 40 00,000 30 00,000 20 00,000 10 00,000 -
TTotal Biaya Pen ndidikan Per Kapita Perr Tahun
SSept' 2 2012
SSept' 2 2013
SSept' 2 2014
37 76,692
42 21,008
453,432
Sumbe er: BPS RI‐Suse enas 2012‐2014 Sumber: BPS RI-Susenas4 (Diolah) 2012-2014 (Diolah) Grafik diatas meng ggambarkan kenaikan to otal biaya pe endidikan yan ng harus dikkeluarkan ole eh pesertta didik setiiap tahun. Untuk U kalangan miskin dan kurang g mampu, ke enaikan biayya pendid dikan akan berakibat bdi ataspad da prioritas pemenuhan p kebutuhan yang la ain. Jika haru us Grafik menggambarkan kenaikan hhidup total biaya memilih, antara ke ebutuhan paangan, keseh hatan dan te empat tinggaal. Biaya pen ndidikan tenttu pendidikan yang bukan utama harus dikeluarkan oleh eran dalam m peserta menekan biay didik menempati p pilihan yang b a. Pemerintah h perlu berpe ya akan m pendid dikan yang tahun. dikeluarkan oleh kalangan masyaarakat miskin agar bisa lebih terjangkau, t terutama bagi setiap Untuk dan kurang mampu, kelompok miskin dan kurang mampu. Pe embenahan atas a tata kellola pendidikkan di tingkaat kenaikann kemendesa biaya pendidikan akan berakibat akan agar waajar 12 cepat t terwujud. pada prioritas sekolaah merupaka
pemenuhan kebutuhan hidup yang lain. Jika harus memilih, Seiring g dengan has sil Susenas t ahun 2012‐20 014, studi PA ) atas Out of f Pocket (OOP P) TTIRO (2010) yang d dikeluarkan o oleh masyaraakat di 10 Ko en meliputi 6 6 jenis penge eluaran Rumaah antara kebutuhan pangan,ota/Kabupate kesehatan dan tempat tinggal. Tangg ga untuk pe endidikan terdiri atas; (1) Sumbaangan pemb bangunan se Biaya pendidikan tentu SPP) dan iura akan menempati pilihan ekolah yang (uanng pangkkal/uang gedu ung), (2) Uan ng sekolah (S an BP3/POMG G, (3) Iuran se ekolah lainnyya bukan utama. Pemerintah perlu berperan dalam menekan (ketrampilan, esku ul, les, tes, ds sb), (4) Buku u pelajaran, f foto kopi ba han pelajara n, (5) alat‐alaat pulpen, pens sil, penghapu us, penggaris s, kalkulator,, jangka, raut tan, dsb), (6) Uang kursu us tulis (p biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh masyarakat agar (bahassa, ketrampilan komputter, alat mu usik, pelajaraan, dan kettrampilan laiin). Penelitiaan bisa lebih terutama bagi miskin di dan (2010) PATTIRO m terjangkau, mencatat besaran OOP dii kota lebih besar b kelompok jika dibandingkan kabupaten. besaraan rata‐rata Pembenahan a antara Kota dan Kabupa Rp pendidikan 252.148,‐‐/bulan (tahu un Sedangkan kurang mampu. atas ten tatasebesar kelola di tingkat sekolah merupakan kemendesakan agar wajar 12 cepat terwujud.
33
5
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Seiring dengan hasil Susenas tahun 2012-2014, studi PATTIRO (2010) atas Out of Pocket (OOP) yang dikeluarkan oleh masyarakat di 10 Kota/Kabupaten meliputi 6 jenis pengeluaran Rumah Tangga untuk pendidikan terdiri atas; (1) Sumbangan pembangunan sekolah (uang pangkal/uang gedung), (2) Uang sekolah (SPP) dan iuran BP3/POMG, (3) Iuran sekolah lainnya (ketrampilan, eskul, les, tes, dsb), (4) Buku pelajaran, foto kopi bahan pelajaran, (5) alat-alat tulis (pulpen, pensil, penghapus, penggaris, kalkulator, jangka, rautan, dsb), (6) Uang kursus (bahasa, ketrampilan komputer, alat musik, pelajaran, dan ketrampilan lain). Penelitian PATTIRO (2010) mencatat besaran OOP di kota lebih besar jika dibandingkan di kabupaten. Sedangkan besaran ratarata antara Kota dan Kabupaten sebesar Rp 252.148,-/bulan (tahun 2007), dan Rp 202.689,-/bulan (tahun 2009). Untuk sekolah di Kota, biaya OOP bisa mencapai lebih dari Rp 4 Juta per tahun.
B. Pembenahan Tata Kelola Sekolah atas Pungutan Pihak sekolah sebagai penerima manfaat sekaligus service provider dari program-program pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah dan pemerintah daerah memegang peranan penting dalam pengembangan kualitas tata kelola sekolah. Sekolah memiliki fungsi strategis dalam proses perencanaan, penetapan
34
Mendorong Tata Kelola
alokasi, penyaluran, penggunaan dan pertanggungjawaban atas kebijakan berbagai program bantuan (BOS, BOM, Bantuan Pendidikan, dst). Fungsi ini menjadikan sekolah sebagai pihak yang rentan bila tidak disertai kemampuan kapasitas dan tata kelola yang baik. Kerentanan dimaksud adalah menyangkut kapasitas sekolah dalam menjalankan aturan-aturan pelaksanaan program dan kegiatan pendidikan. Pihak sekolah dituntut untuk melakukan upaya-upaya yang sehat dalam merencanakan dan mengelola pertanggungjawaban program dan kegiatan pendidikan yang diamanatkan kepadanya. Sebagai pemangku kepentingan, sekolah dituntut untuk melakukan pembenahan dan menyelesaikan masalah. Ini menjadi tantangan tersendiri. Salah satu tantangan, misalnya dalam pengelolaan dana BOS, adalah larangan penggunaan dana BOS untuk transportasi rutin dan pembayaran bonus untuk guru. Adanya larangan ini, menyebabkan sekolah tidak bisa memberikan tugas tambahan untuk guru, tambahan kegiatan ekstra kurikuler, dan tugas kegiatan lain selain tugas utama guru. Hal ini dikarenakan dalam alokasi dana BOS tidak memperbolehkan pemberian honor kesejahteraan terkait tugas tambahan tersebut. Dampak lain adanya larangan alokasi penggunaan dana BOS untuk kesejahteraan guru di luar tugas tambahan adalah timbulnya praktek pungutan. Meskipun tidak bisa digeneralisir dan menjadi sebab adanya pungutan, ada persoalan mendasar terkait dengan pungutan di sekolah. Akhir tahun 2011 tepatnya 30 Desember 2011, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Permendikbud Nomor 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Namun kurang dari 6 bulan, kebijakan tersebut diubah menjadi Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada
35
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Satuan Pendidikan Dasar pada 28 Juni 2012. Hal ini makin melengkapi ‘ketidaktegasan’ pemerintah dalam melihat konteks permasalahan terkait pungutan atau sumbangan. Dari sisi regulasi, terjadi kegamangan di mana pihak pemerintah pusat dan daerah belum siap untuk menerapkan larangan secara tegas menyangkut pungutan. Semangat yang dimunculkan dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tidak diikuti dengan aturan pendukung, misalnya ketegasan atas sangsi dan prinsip keadilan. Meskipun yang dimaksud pungutan memenuhi prinsip keadilan dalam Permendikbud adalah pendanaan pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing pihak; Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Namun jika prasyarat dasar atas prinsip keadilan adalah transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana pendidikan belum diterapkan maka akan muncul tafsir ‘karet’ yang akan melegalkan praktekpraktek pungutan atau sumbangan. Adalah sebuah ironi, persoalan pungutan selalu menjadi celah dilematis antara aspek pemenuhan ketersediaan standar pendidikan oleh pihak internal sekolah, dinas pendidikan dan pemerintah secara umum dan eksternal oleh orangtua/wali murid dan warga masyarakat. Sisi lain terutama menyangkut pemenuhan pendidikan bermutu dan pendidikan gratis, antara biaya strategis dan operasional sekolah, antara kegiatan intra dan ekstra, mementingkan kebutuhan inklusif atau ekslusif. Semua persoalan biaya dan pengelolaan biaya yang menjadi sisi dilematis akan terus berkembang sepanjang persoalan pelaksanaan kebijakan dan tata kelola sekolah tidak dibenahi secara baik. Tata kelola sekolah menjadi salah satu titik krusial terkait permasalahan pendidikan di Indonesia. Berbicara tata kelola sekolah tidak lepas dari kebijakan pendidikan di tingkat sekolah. Kebijakan pendidikan di sekolah juga sering kali
36
Mendorong Tata Kelola
tersandung pada persoalan laten terkait dengan pungutan. Ujung dari permasalahan pungutan adalah beban masyarakat makin bertambah. Dalam situasi sulit, masyarakat khususnya orang tua/ wali murid memiliki kerentanan dalam menyikapi banyaknya pungutan yang harus mereka bayarkan. Masyarakat memiliki sisi dilematis ketika mempersoalkan berbagai macam pungutan baik yang legal maupun ilegal. Anak-anak mereka tidak memiliki ‘bargaining’ untuk menolak pungutan apalagi dampak psikologis yang harus didapatkan ketika tidak mampu membayar di tengah peserta didik lainnya. Sedangkan orang tua/ wali murid menjadi bahan gunjingan dan menjadi ‘public enemy’ karena mencoreng nama baik guru atau sekolah. Situasisituasi ini memerlukan penanganan khusus untuk mendorong tata kelola sekolah yang lebih baik. Persoalan pembagian urusan pembiayaan pendidikan sudah diatur dalam PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai turunan dari UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemerintah pusat bertanggung jawab atas penyediaan pendanaan semua level pendidikan dan program, serta penyediaan sumber daya untuk pendidikan tinggi dan subsidi silang (pendidikan usia dini, sekolah dasar dan menengah, dan pendidikan nonformal). Sementara pemerintah Propinsi memiliki tanggungjawab pendanaan tingkat menengah dan pendidikan vokasional, serta pendidikan khusus. Propinsi juga bisa menyediakan tambahan sumber daya atau subsidi untuk PAUD, pendidikan dasar dan non-formal, serta pendidikan tinggi. Sedangkan untuk pemerintah kabupaten/ kota bertanggung jawab atas penyediaan sumber daya PAUD, pendidikan dasar dan pendidikan non formal. Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pembiayaan Pendidikan terutama Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan pendanaan pendidikan menjadi tanggung
37
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
jawab bersama antara pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Sedangkan Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa biaya pendidikan meliputi 3 hal yakni biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan serta biaya pribadi peserta didik. Lebih lanjut turunan biaya–biaya tersebut (termasuk biaya investasi) dapat bersumber dari masyarakat. Sumber pendanaan yang berasal dari masyarakat inilah yang membuka peluang adanya berbagai macam tarikan atau pungutan dari penyelenggara pendidikan pada peserta didik. Dengan alasan biaya tinggi, peserta dan orang tua didik berada dalam posisi dilematis dan terpaksa ‘memaklumi’ adanya pungutan dengan berbagai macam alasan dan kesepakatan. Lebih dari itu, kebijakan pungutan ini juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Permendikbud secara tegas menyatakan bahwa sumber biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah selain APBN dan APBD dapat juga berasal dari sumbangan dari peserta didik atau orangtua/ walinya (Pasal 5. Huruf c). Hal yang relatif sama juga disebutkan pada pasal berikutnya bahwa sumber biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah berupa pungutan, dan/atau sumbangan dari peserta didik atau orang tua/walinya (Pasal 6. Huruf b). Ada suatu pola pendekatan yang salah dalam hal ini. Akan timbul banyak masalah menyangkut pungutan atau sumbangan. Ada situasi dan korelasi kekuasaan yang tidak seimbang antara sekolah dan peserta didik khususnya pada satuan pendidikan dasar. Daya tawar atas penolakan pungutan bisa menjadi lemah karena belum didukung penanganan keluhan atas pungutan tersebut. Mekanisme hukuman bagi sekolah yang melanggar tidak cukup jelas sehingga tidak dapat menjadi efek jera bila
38
Mendorong Tata Kelola
sekolah masih melakukan pungutan. Situasi ini diperparah dengan ketidakcukupan dana untuk membiaya operasional sekolah. Penyebab lain adalah kebijakan pengelolaan kewenangan pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah. Sebelum polemik Sekolah Berstandar Internasional, pemetaan atas kewenangan dan tanggung jawab di setiap jenjang pendidikan belum terbagi secara tuntas. Idealnya pelimpahan kewenangan juga diikuti dengan pelimpahan anggaran. Pemerintah pusat sampai saat ini masih mengelola berbagai macam bantuan sosial, beasiswa, pembangunan sekolah, penyaluran dana-dana khusus, penyaluran kegiatan teknis sampai ke lingkup satuan pendidikan (sekolah). Selain bantuan program dan kegiatan yang langsung di kelola kementerian tingkat pusat, Dana Penyesuaian yang masih dikelola Pusat yang diperuntukkan untuk daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dan mempercepat pembangunan di daerah di antaranya adalah dana tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), Dana Insentif Daerah (DID), Tunjangan Profesi Guru (TPG), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), DP Cukai, Kurang Bayar Sarana Prasarana Infrastruktur Papua Barat, DP DAU, dan DP DAK. Kewenangan pendidikan yang dimiliki daerah tidak diimbangi dengan kewenangan pengelolaan anggaran yang memadahi, sehingga daerah-daerah miskin dan terpencil akan kesulitan untuk mengejar kesenjangan dan ketimpangan pendidikan tersebut. Faktor lain adalah tata kelola pendidikan di daerah. Ini menjadi penyebab utama era desentralisasi. Munculnya kepemimpinan daerah yang memiliki komitmen pada persoalan pendidikan menjadikan satu daerah akan berkembang dinamis dalam pengelolaan pendidikan. Komitmen Kepala Daerah yang visioner biasanya ditandai dengan munculnya inisiatif kebijakan
39
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
kebijakan pendidikan yang langsung mencoba menyelesaikan permasalahan dasar pendidikan, di antaranya pada aspek penyediaan sarana prasarana, pendidik, operasional dan manajemen. Seiring dengan bertumbuhnya aspek penyediaan pendidikan, terdapat pula upaya peningkatan mutu pendidikan, seperti peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan, program-program pendukung, lingkungan pendidikan dan lintas kerjasama antar pihak untuk mendukung programprogram pendidikan. Kebijakan pendidikan ini disertai dengan alokasi anggaran pendidikan yang memadai untuk mendukung program kerja dan kegiatan pendidikan.
C. Dampak dan Modus Pungutan Pengalaman PATTIRO melalui Survei Citizen Report Card (CRC) atau Kartu Penilaian Warga yakni Survei Penilaian atas pelayanan publik yang diterima oleh warga masyarakat di suatu wilayah dari penyedia layanan/ pemerintah masih menunjukkan indikasi adanya pungutan pendidikan. Program ini pertama kali dikembangkan di Bangalore, India tahun 1993. Survei ini menilai pelayanan publik dari beberapa aspek di antaranya aspek ketersediaan pelayanan, keberterimaan pelayanan, performa kinerja pelayanan (termasuk petugas), kualitas sampai ke kepuasan layanan di lebih dari 30 Kota/ Kabupaten di Indonesia sejak tahun 2006 sampai awal tahun 2014. Hasil survei menunjukkan masih adanya kecenderungan pungutan yang harus dibayar oleh peserta didik. Berbagai biaya tersebut di antaranya adalah biaya ekstrakurikuler, praktek, komite, penyediaan peralatan (komputer dan alat bantu belajar), tambahan perlengkapan sekolah, pengecatan, sumbangan kematian dan kelahiran, buku dan photocopi buku pelajaran, sampai ke acara-acara keagamaan seperti peringatan hari besar keagamaan, infak, qurban dan semacamnya.
40
Mendorong Tata Kelola
Kegiatan ekstrakurikuler sangat tergantung pada kebijakan sekolah. Setidaknya ada beberapa contoh kegiatan ekstrakurikuler yang dapat menjadi alasan untuk melakukan pungutan. Kegiatan ekstrakurikuler dibagi berdasarkan jenisnya menjadi ; (1) Krida seperti kepramukaan, Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), Palang Merah Remaja (PMR), Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), OSIS, dst. (2) Kegiatan karya ilmiah seperti Karya Ilmiah Remaja (KIR), penguasaan dan pendalaman ilmu pengetahuan, penelitian, penulisan karya ilmiah lain dan sejenisnya, dan yang terakhir (3) adalah kegiatan ekstrakurikuler berupa latihan/olah bakat/prestasi meliputi pengembangan bakat olah raga, seni, budaya, cinta alam, jurnalistik, teater, keagamaan, musik, marching band, marawis, dst. Semakin luasnya cakupan kegiatan ekstrakurikuler, pada tahun 2013 pemerintah mengatur kegiatan ekstrakurikuler dalam kurikulum 2013. Pembenahan ini diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 81 A Tahun 2013, di mana dalam kurikulum 2013 kegiatan ekstrakurikuler dikelompokkan mejadi dua; yakni ekstrakurikuler wajib dan ekstrakurikuler pilihan. Kegiatan kepramukaan ditetapkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib dari sedkolah dasar (SD/ MI) hingga sekolah menengah atas (SMA/SMK) melalui kerjasama dengan organisasi kepramukaan setempat. Sedangkan kegiatan ekstrakurikuler pilihan di antaranya OSIS, UKS, dan PMR serta kegiatan ekstrakurikuler berbentuk kelompok atau klub yang dikembangkan berkenaan dengan konten suatu mata pelajaran, misalnya klub olahraga (bola, voli, basket, bulu tangkis, dst) atau ekstrakurikuler yang dikembangkan dari peserta didik seperti klub tari, paskibra, menyanyi, melukis, teater, kesenian, klub diskusi, sastra, drama, klub bela diri, silat, karate, judo, klub pecinta komputer, otomotif, elektronika, matematika, bahasa inggris, klub pecinta alam, pertanian, daur ulang, pekerja sosial, polisi lalu lintas, perkumpulan pengelola tempat ibadah, rohis dan kelompok peduli yatim.
41
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler berpotensi menimbulkan pungutan baik yang “legal maupun ilegal”. Namun ini semua tidak dapat langsung dibuktikan. Berbagai modus pungutan atas kegiatan ekstrakurikuler di antaranya adalah sebagai berikut; (1) pembayaran sekali/ Dalam modus ini, kegiatan ekstrakurikuler sudah termasuk dalam uaang pangkal (uang sumbangan saat pertama kali peserta didik masuk sekolah); (2) kegiatan ekstrakurikuler pembayaran berkala, dilakukan per bulan; 3 bulan, semester atau per tahun. Biasanya berjenis kegiatan ekstrakurikuler pilihan berbentuk kelompok seperti klub olah raga, seni, dan peminatan khusus lainnya. Pungutan akan dilakukan saat penerimaan raport semesteran, atau langsung oleh panitia pelaksana saat peserta didik belum melakukan pembayaran;(3) pembayaran sewaktu-waktu, kegiatan ekstrakurikuler pilihan sesuai dengan even atau kegiatan dalam rangka peringatan peristiwa besar, perlombaan, atau bersifat kunjungan. Kegiatan ekstrakurikuler kompetisi antar kelas, antar sekolah, promosi antar sekolah merupakan aktivitas yang membutuhkan biaya tambahan. Pembayaran dilakukan sewaktu-waktu, di mana sekolah berargumen bahwa dana yang disediakan sekolah tidak mencukupi untuk melakukan pembayaran trainer/pelatih, narasumber, pihak ketiga dan kebutuhan perlengkapan dan peralatan yang belum memadahi; (4) Pembayaran mendadak. Modus ini dilakukan ketika kegiatan ekstrakurikuler menjadi pilihan yang sifatnya mendadak. Modus awalnya berupa sumbangan sukarela kemudian menjadi kebiasaan yang secara informal menjadi kebiasaan sekolah. Seperti persiapan perpisahan sekolah yang ditempelkan pada kegiatan ekstrakurikuler pilihan lain. Biasanya juga ditambahkan pungutan mendadak, misalnya pelatih ekstrakurikuler mendadak ulang tahun, hajatan, pindah kerja, atau kegiatan sumbangan keagamaan dalam rangka suatu peristiwa penting yang dilekatkan pada kegiatan ekstrakurikuler pilihan lainnya.
42
Mendorong Tata Kelola
Modus pembenaran atas pungutan pada kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan di antaranya; (1) sudah mendapat persetujuan dari komite sekolah, (2) sesuai dengan program yang telah dicanangkan pihak sekolah, dinas atau pemerintah daerah, (3) kesepakatan rapat orang tua wali murid, (4) sudah menjadi tradisi sekolah, (5) sesuai edaran dinas atau kepala daerah, (6) membawa nama baik sekolah dan daerah, (7) mengajarkan anak pada nilai-nilai tertentu (agama), (8) jumlahnya tidak seberapa, jika agak besar bisa dicicil dan tidak memberatkan, (9) orang tua lain sudah setuju, (10) kegiatan berpengaruh pada nilai rapor atau kelulusan, dan (11) buat kenang-kenangan. Jumlah nominal pungutan sangat tergantung pada lingkungan sekolah, kebiasaan dan bentuk kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan. Bentuk ekstrakurikuler yang bervariasi dan memiliki kekhususan (tidak semua peserta didik ikut), menyebabkan jumlah nominal dianggap wajar. Besaran itu mulai Rp 1.000,-, Rp 2.000,-, Rp 3.000,-, Rp 5.000,-, Rp 10.000,-, Rp 20.000,- sd Rp 50.000,- untuk setiap kali kegiatan ekstrakurikuler, dengan waktu kegiatan dalam 1 minggu antara 1-2 hari. Kegiatan ekstrakurikuler bisa menjadi semakin melenceng dari tujuannya ketika ada aspek psikologis yang muncul sebab seringkali guru pengasuh ekstrakurikuler juga adalah guru mata pelajaran atau guru kelas. Situasi ini menciptakan ekslusivisme peserta didik dan orang tua peserta didik yang merasa ‘aman’ karena telah ‘membayar’ pada pengasuh ekstrakurikuler. Terlebih ketika jenis ekstrakurikuler itu menonjolkan kegiatan dan perlengkapan yang ‘mahal’. Siswa yang menjadi peserta dari ekstrakurikuler tersebut memiliki kebanggaan tersendiri meskipun harus ‘membayar lebih’. Kedua pihak merasa dalam posisi benar dan wajar. Padahal kecenderungan kegiatan ekstrakurikuler seperti ini telah melahirkan kebanggaan semu. Tujuan utama dalam belajar dikalahkan kegiatan ekstrakurikuler.
43
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Di beberapa sekolah, dalam studi PATTIRO, praktek pungutan menjadi ‘biasa’ dan mendapat pemakluman. Ironisnya, sekolah, terutama guru bidang tertentu, menilai pungutan dianggap sebagai hal wajar. Bentuk kewajaran akan sangat kentara ketika berhubungan dengan sumbangan atas peringatan hari-hari besar agama, sumbangan keagamaan seperti infak, shodaqoh dan semacamnya. Yang menarik, sumbangan atau pungutan tersebut dilakukan melalui surat edaran. Jenis dan jumlah besaran ditetapkan, sampai ada semacam ‘sangsi’ sosial yang bisa diterima peserta didik jika tidak memberikan sumbangan tersebut. Ada kalanya sumbangan dihubungkan dengan penilaian proses belajar-mengajar. Situasi ini tidak hanya terjadi di Pulau Jawa tapi juga sudah meluas ke luar Pulau Jawa. Berbagai efek dan dampak lanjutan atas pungutan-pungutan yang tidak transparan menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan tersendiri bagi peserta didik maupun orang tua yang memiliki keterbatasan dana untuk bisa bergabung, bahkan mereka merasa dikucilkan. Ketika pungutan dianggap wajar dan biasa, stigma mutu akan selalu dikaitkan dengan pembiayaan lebih. Pihak sekolah selalu punya alasan untuk selalu menarik pungutan baik legal maupun ilegal. Sekolah menjadi sebuah lingkungan moral yang tidak kondusif, jauh dari transparansi, menghilangkan semangat saling membantu. Padahal, lembaga pendidikan semestinya lebih mengutamakan integritas moral, menumbuhkan budaya hormat dan menjadi contoh perilaku jujur.
D. Kesimpulan dan Rekomendasi Dalam rangka mencapai Wajar 12 tahun, terkait dengan tata kelola sekolah yang baik khususnya dalam rangka mengurangi pungutan sekolah dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;
44
Mendorong Tata Kelola
1. Tata kelola sekolah yang baik akan berkontribusi positif pada pencapaian Wajar 12 tahun. Masalah pendidikan termasuk adanya pungutan tidak bisa dilepaskan dari masalah manajemen atau tata kelola Sekolah. Perubahan cukup mendasar di dunia pendidikan sekitar 1 dekade terakhir seiring dengan adanya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional adalah tata kelola, kurikulum dan kemudian diikuti dengan perubahan teknis lainnya. Tata kelola sekolah yang baik, harus bisa mensinergikan kesepuluh komponen (Pendidik, Peserta Didik, Tenaga Kependidikan, Paket Instruksi Pendidikan, Metode Pengajaran, kurikulum Pendidikan, Alat Instruksi dan Pendukung, Fasilitas Pendidikan, Anggaran Pendidikan, dan Evaluasi Pendidikan) berjalan selaras. Dengan berjalannya kesepuluh komponen utama, setidaknya permasalahan pungutan bisa dikurangi. 2. Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab utama menyelaraskan kebijakan, anggaran, sumber daya dan sarana prasarana pendukung guna menjawab tuntutan Wajar 12 tahun. Dari aspek tata kelola pendidikan, perubahan cukup mendasar adalah berubahnya sentralisasi pendidikan menjadi desentralisasi. Meskipun belum semua kebijakan ‘didesentralisasi’ namun perubahan ini cukup membawa perubahan signifikan yang membawa dampak bagi daerah untuk menyukseskan pengelolaan pendidikan ditingkat daerah. Untuk sebagian daerah dengan infrastruktur dan kapasitas sumber daya yang memadaii akan lebih mudah melakukan akselerasi dan otonomi pendidikan tertentu. Ini berbeda dengan daerah yang memiliki infrastruktur dan kapasitas sumber daya terbatas, apalagi daerah yang baru berdiri sebagai daerah otonomi baru. 3. Desentralisasi pendidikan yang tengah bergulir memberi peluang bagi daerah untuk mengembangkan pendidikan dan pengajaran yang selaras dengan kebutuhan dan situasi masyarakat setempat. Begitupun dalam hal
45
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
penyelenggaraan. Hubungan kewenangan yang makin dekat akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses peningkatan kualitas pendidikan di daerahnya. Namun demikian, praktek-praktek terkait pungutan di sekolah harus menjadi perhatian bersama terutama Pemerintah baik pusat maupun daerah. 4. Pemenuhan akses dan standar kualitas pelayanan pendidikan di daerah masih rendah. Meskipun sudah ada Permendikbud Nomor 23 Tahun 2013 yang menetapkan bahwa setiap kabupaten dan kota wajib memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) sekurang-kurangnya dalam waktu 3 tahun setelah SPM tersebut disahkan. Sampai tahun 2013 baru ada sebanyak 68,7% SD/MI dan 62,5% SMP/MTs yang terakreditasi minimal B. Ini berarti kualitas pendidikan dasar masih rendah. Hal yang hampir sama juga pada kualitas layanan pendidikan di jenjang pendidikan menengah.
Untuk itu, kami memberikan rekomendasi untuk mengatasi persoalan tata kelola sekolah agar dapat menjadi pendorong tercapainya Wajar 12 tahun sebagai berikut; 1. Mencabut atau memperbaiki Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendi dikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Hal ini sangat krusial karena akan membawa efek perhatian bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan khususnya sekolah. Peme rintah daerah bisa membantu dalam rangka proses pengawasan dan mendorong tata kelola sekolah yang lebih baik. 2. Perlunya kebijakan lokal sebagai pendukung pelaksanaan akuntabilitas sekolah. Meskipun ditingkat nasional sudah ada aturan yang mendukung, namun di daerah perlu ada payung hukum tambahan untuk memastikan bahwa pungutan yang terjadi di sekolah merupakan kejahatan
46
Mendorong Tata Kelola
dan ada sangsi hukumnya. Di level tertentu bahkan bisa masuk ke ranah hukum. Kebijakan lokal dimaksud bisa berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Kepala Daerah (Perkada), Keputusan Kepala SKPD (SK Kepala Dinas), sampai keputusan kesepakatan di tingkat Sekolah (Berita acara kesepakatan atau Surat Kepala Sekolah). 3. Mendorong partisipasi dan praktek transparansi pengelolaan keuangan sekolah. Sebagai upaya mengurangi praktek pungutan di sekolah, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat perlu mendorong kembali upaya transparansi pengelolaan keuangan sekolah dengn membuat pedolan tentang transparansi dan larangan praktek pungutan di sekolah. Bentuknya adalah adanya pedoman tentang transparansi dan larangan praktekpraktek pungutan sekolah. Pedoman ini berisi sangsi hukum bagi yang melanggar. 4. Penguatan kapasitas sekolah SD dalam mengelola sekolah, berupa penguatan kapasitas pengelola keuangan. Isu transparansi masih menjadi tantangan bagi pihak sekolah terutama di SD. Salah satu penyebabnya adalah kapasitas pengelola keuangan. Berbeda dengan tingkat SMP dan SMA yang telah mempunyai tata usaha (TU) atau staf administrasi yang bisa dipekerjakan, situasi di SD belum mendukung. Salah satu alternatifnya adalah melakukan penguatan kapasitas pengelolaan keuangan tingkat SD khususnya untuk bendahara sekolah atau guru yang ditunjuk menjadi pengelola keuangan. Bentuk penguatan dimaksud di antaranya adalah pelatihan administrasi keuangan, workshop khusus, kunjungan belajar, assistensi keuangan, dst. Stakeholder yang ada di sekolah perlu menyadari bahwa sekolah adalah badan publik, sehingga pengelolaan keuangan sekolah juga perlu menganut prinsip-prinsip keterbukaan. Sekolah tidak perlu merasa risih, jika pengelolaan keuangan sudah dilakukan dengan baik. Ppenyadaran bersama
47
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
tentang pentingnya transparansi pengelolaan keuangan di sekolah harus terus dilakukan. Transparansi dimaksud diantaranya mendorong pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) berbasis Partisipasi Masyarakat. Melaporkan penggunaan dana yang bisa diakses orang tua dan peserta didik (misalnya melalui papan pengumuman, majalah dinding, atau surat kepada orang tua murid tentang pertanggungjawaban penggunaan dana). 5. Guna menguatkan kualitas layanan pendidikan, maka perlu mengefektifkan kembali peran pengawas dan komite Sekolah. Peran pengawas sekolah sangat relevan untuk melakukan pengawasan sekaligus peningkatan kapasitas bagi pengelola keuangan. Sehingga pengawas, setidaknya memiliki jadwal rutin untuk melakukan kunjungan ke sekolah (minimal per semester). Selain kunjungan rutin, pengawas sekolah bisa menjadi mitra untuk peningkatan kapasitas bagi pengelola keuangan. Agenda kunjungan pengawas sekolah harus jelas dan diketahui bersama (jika perlu gunakan berita acara pengawasan) sehingga sekolah juga mendapatkan feedback dan langkah perbaikan. (tidak sekedar informal pertemuan di sekolah, rumah makan dan tempat ngopi). Sekecil apapun pungutan akan sangat mempengaruhi performance dari sekolah. Sehingga pengawas dapat memberikan feedback yang mendorong akuntabilitas sekolah karena akan berpengaruh pada performance sekolah yang bersangkutan.Sedangkan komite sekolah, dapat melakukan perannya sebagai perwakilan orang tua murid untuk menampung keluhan dan aspirasi perbaikan (meskipun bisa juga langsung ke sekolah), menyalurkan keluhan dan menjadi mitra sekaligus pengawas pelaksanaan kegiatan sekolah. Komite sekolah bukan stempel kebijakan kepala sekolah, tetapi menjadi perwakilan aktif orang tua murid dan peserta didik yang mendorong peningkatan kualitas pendidikan dan pengajaran di sekolah.
48