“SEKALI BURUH TETAP BURUH”: STUDI PEMBENTUKAN GENERASI BURUH DI PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI, KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA
PARDAMEAN DAULAY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ABSTRAK PARDAMEAN DAULAY. 2006. “Sekali Buruh Tetap Buruh” : Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Dibimbing oleh EKAWATI S. WAHYUNI dan INDRASARI TJANDRANINGSIH .
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor -faktor yang melatarbelakangi pembentukan generasi buruh dan menjelaskan respon anak terhadap sosialisasi nilai pekerjaan pada rumahtangga buruh tembakau Deli. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk menjawab tujuan tersebut dengan memilih lokasi penelitian di Desa Buluh Cina Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam dan pengamatan berperan serta dan data sekunder diperoleh melalu i buku dan dokumen lainnya. Responden kasus ditentukan sebanyak delapan rumahtangga buruh secara purposive dengan pertimbangan berdasarkan tujuan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelibatan pekerja anak dalam kultur teknis merupakan bentuk inisiasi atau sosialisasi nilai- nilai kerja dimana para buruh berkeinginan agar anak-anak dapat menggantikan posisi mereka setelah pensiun. Motif utamanya tak lain adalah melanggengkan posisi sebagai bahagian dari sistem perkebunan, yang dapat memperoleh manfaat dan kemudahankemudahan dalam mencari nafkah di luar atau di dalam perkebunan misalnya, menjadi pekerja harian lepas, beternak atau bertani. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa proses sosialisasi nilai kerja antara anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Anak laki-laki diharapkan untuk mencari nafkah (task oriented) , sedangkan anak perempuan diharapkan bersifat ekspresif yang berorientasi emosi (people oriented). Sosialisasi nilai kerja pada anak-anak dilakukan dalam empat tahap yakni tahap bermain, seleksi, orientasi dan pemantapan. Proses sosialisasi nilai kerja direspon negatif oleh anak-anak dengan menolak pekerjaan perkebunan dan memilih pekerjaan di luar perkebunan. Penolakan pekerja anak disebabkan pekerjaan sebagai buruh perkebunan dianggap tradisional, kotor dan tidak menjanjikan. Keinginan anak-anak untuk bekerja di sektor luar perkebunan pada dasarnya bukan disebabkan oleh berkembangnya aspirasi baru yang meninggalkan minat menjadi buruh, akan tetapi pekerjaan buruh tembakau tidak dapat menjadi sumber kehidupan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga.
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER TULISAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Sekali Buruh Tetap Buruh” : Studi Pembentukan Generasi Buruh Di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2006 Pardamean Daulay NIM A152030121
© Hak cipta milik Pardamean Daulay, tahun 2006 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutif dan memperbanyak tanpa izin tert ulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
“SEKALI BURUH TETAP BURUH”: STUDI PEMBENTUKAN GENERASI BURUH DI PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI, KABUPATEN DELI SERDANG, SUMATERA UTARA
PARDAMEAN DAULAY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
Nama NIM
: “Sekali Buruh Tetap Buruh”: Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara : Pardamean Daulay : A152030121
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni,MS Ketua
Dra. Indrasari Tjandraningsih, MA Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. MT. Felik Sitorus, MS
Prof. Dr. I r. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Ujian : 21 Desember 2005
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan tesis “Sekali Buruh Tetap Buruh” : Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dapat terselesaikan. Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu pe nulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing penulis hingga sampai pada tahap akhir penulisan tesis. Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS atas kepercayaan, arahan serta kesabaran bagi perbaikan tesis dan penyempurnaan kerangka analisis dan Dra. Indrasari Tjandraningsih, MA ditengah kesibukannya sebagai peneliti di Yayasan AKATIGA masih sempat melowongkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan diskusi baik melalui mail dan telepon yang membuat semangat penulis bangkit kembali untuk menyempurnakan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis aturkan setulus-tulusnya dan rasa hormat setinggi-tingginya, kepada : 1. Ibunda tercinta Hj. Lenggahari Hasibuan yang telah rela, ikhlas dan bersusah payah membesarkan dan mendoakan penulis, sehingga menjadi inspirasi dalam penulisan tesis ini. Terimakasih juga pada saudara-saudaraku yang banyak membantu baik moril maupun materil selama perkuliahan, Kak Hafsah, Kak Iba, Bang Saleh, Kak Nita, Kak Melly, Kak Elfi, yang selalu memberi semangat dan doa. 2. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, atas rekomendasinya sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan tingkat magister. 3. Buat teman seperjuangan di SPD- IPB angkatan 2003 atas kebersamaan sepanjang perkuliahan (Witrianto, Mbak Rita, Rokhani, Heru, Purnomo, Sofyan, Jean, Taya Toru, Jeter dan Agustina). 4. Teman-teman di Pondok Dayeuh Kuring yang setiap hari memberikan motivasi agar cepat lulus, buat Bang Tom, Apri, Pak Priyanto, dan temanteman lainnya. 5. Teman-teman di Sa!ns (Bang Budi Baik Siregar, Mas Sohibuddin, dan terkhusus untuk Bapak Dr. Sayogyo atas bimbingan dan kesempatan yang diberikan untuk maju). Akhirnya, penulis sangat menyadari bahwa meskipun diupayakan semaksimal mungkin, tesis ini masih jauh dari harapan. Disana-sini masih keliha tan kelemahan dan kekurangannya. Untuk itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran demi peningkatan kualitas tulisan ini. Bogor, Januari 2006
Pardamean Daulay
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Sibuhuan, salah satu kota kecamatan yang terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, pada tanggal 14 Oktober 1976. Merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara, dari keluarga Baginda Sayur Mulia Daulay (almarhum) dan Ibu Hj. Lenggahari Hasibuan. Pendidikan dasar diselesaikan di SDN 02426 Sibuhuan tahun 1989. Pendidikan menengah pertama ditamatkan pada tahun 1992 di Madarasyah Tsyanawiyah Swasta di Sibuhuan dan pendidikan menengah atas di Madarasah Aliyah Negeri 1 Medan tamat tahun 1995. Tahun 1995 penulis diterima di Universitas Sumatera Utara, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan mendapat gelar Sarjana Sosial tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan magister sains di Sekolah Pascasarjana IPB program studi Sosiologi Pedesaan dengan bantuan dana BPPS DIKTI. Ketertarikan pada masalah pekerja anak, tahun 1999 – 2003, mengantarkan penulis untuk bergabung pada salah satu LSM yang bergerak di bidang permasalahan pekerja anak yang diberi amanah untuk me nduduki posisi Koordinator Pusat Data dan Penelitian. Sejak itu, penulis memfokuskan perhatian pada gerakan sosial masyarakat dala m rangka memperjuangkan hak-hak anak. Pada tahun 2001, penulis terlibat sebagai Badan Pendiri Konsorsium Anti Eksploitasi Seks ual Komersial Anak (KAESKA) dan pada tahun 2002 membentuk Forum Anak Sumatera Utara (FORASU). Keinginan untuk selalu memperbaharui ilmu pengetahuan membawa penulis pada kegiatan mengajar dan asisten dosen untuk beberapa mata kuliah seperti Pengantar Sosiologi, Sistem Sosial Indonesia, dan Sosiologi Perburuhan di FISIP USU Medan, tahun 2000 – 2003.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR.............................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xi
I.
PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian...................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian....................................................................
1 1 5 6 6
II. PENDEKATAN TEORITIS ........................................................ 2.1. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 2.1.1. Pekerja Anak Suatu Tinjuan Historis............................ 2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Pekerja Anak .......................... 2.1.3. Peranan Anak dalam Ekonomi Keluarga ...................... 2.1.4. Konsep Nilai Kerja dan Pola Budaya Buruh Perkebunan .. 2.1.5. Proses Sosialisasi Nilai Kerja dalam Keluarga ............. 2.2. Alur Pemikiran ......................................................................... 2.3. Hipotesa Penelitian................................................................... 2.4. Konsep Kunci...........................................................................
7 7 7 10 14
III. METODE PENELITIAN............................................................. 3.1. Metode Penelitian..................................................................... 3.2. Pemilihan Lokasi dan Waktu Peneli tian.................................. 3.3. Penentuan Responden.............................................................. 3.4. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 3.5. Teknik Analisa Data .................................................................
30 30 31 35 42 44
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ........................ 4.1. Sejarah Desa Buluh Cina .......................................................... 4.2. Leta k Geografis dan Keadaan Alam ........................................ 4.3. Kependudukan.......................................................................... 4.3.1. Pendidikan...................................................................... 4.3.2. Agama ............................................................................ 4.4. Potensi Ekonomi Desa ............................................................. 4.5. Struktur Sosial Budaya Masyarakat Perkebunan..................... 4.6. Gambaran Pasar Tenaga Kerja ................................................. 4.6.1. Permintaan Tenaga Kerja ............................................... 4.6.2. Penawaran Tenaga Kerja ................................................ 4.7. Ikhtisar......................................................................................
46 46 48 51 52 53 54 56 58 58 60 61
18
22 25 27 28
ii
V.
PEMBENTUKAN GENERNASI BURUH DAN JAMINAN EKONOMI RUMAHTANGGA BURUH PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI . 63
5.1. Kebijakan PTPN II Sebagai Pengelola Tembakau Deli........... 5.1.1. Sistem Produksi Tembakau Deli dan Keterlibatan Pekerja Anak.................................................................. 5.1.2. Keterlibatan Anak dalam Sistem Borongan................... 5.2. Motivasi Keluarga dalam Pemanfaatan Pekerja Anak............. 5.2.1. Nilai Anak dalam Keluarga ............................................
64 67 69 73 74
A. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah B. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah.................
74 78
5.2.2. Tingkat Pendidikan Orang tua........................................ A. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah
84
B. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah.................
84 86
5.3. Orientasi Nilai Budaya Rumahtangga Buruh........................... 5.4. Ikhtisar......................................................................................
88 93
VI. SOSIALISASI NILAI KERJA DAN DINAMIKA PEKERJA ANAK DI PERKEBUNAN TEMBAKAU ................................ 6.1. Pola Sosialisasi dalam Keluarga Buruh Temba kau Deli.......... 6.1.1. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah..
97 97
6.1.2. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah......................
97 101
6.2. Proses Sosialisasi Nilai Kerja dalam Keluarga Buruh .............
103
6.2.1. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah ... 6.2.2. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah.......................
105 108
6.3. Perubahan Nilai Kerja dalam Keluarga Buruh Tembakau Deli 6.4. Ikhtisar......................................................................................
110 119
VII. RESPON PEKERJA ANAK TERHADAP SOSIALISASI NILAI KERJA.............................................................................. 7.1. Dinamika Peranan Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau... 7.2. Respon Pekerja Anak terhadap Sosialisasi Nilai Ker ja ........... 7.2.1. Penolakan Anak Terhadap Sosialisasi Nilai Kerja ........ 7.2.2. Penerimaan Anak Terha dap Sosialisasi Nilai Kerja ..... 7.4. Ikhtisar .....................................................................................
123 124 129 129 136 137
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ................... 8.1. Kesimpulan............................................................................. 8.2. Implikasi Kebijakan ...............................................................
139 139 142
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ LAMPIRAN...........................................................................................
143 149
iii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian, di Desa Buluh Cina, Tahun 2005................................................................................
41
Tabel 2. Jenis Data, metode pengumpulan Data dan sumber data ..........
44
Tabel 3. Luas Wilayah Desa Buluh Cina Berdasarkan Tataguna Tanah Tahun 2003................................................................................
50
Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Buluh Cina Menurut Golongan Usia dan Jenis Kelamin, Tahun 2003 ................................................
51
Tabel 5. Jumlah Penduduk Desa Buluh Cina Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 2003................................................................................
54
Tabel 6. Perbandingan Sumber -sumber Pendapatan Rumahtangga Pemilik Tanah dengan Nilai Fasilitas di Desa Buluh Cina, Tahun 2005
83
Tabel 7. Tipologi Rumahtangga Buruh Tembakau Deli di Desa Buluh Cina Berdasarkan Motivasi Pemanfaatan Pekerja Anak, Tahun 2005...........................................................................................
94
Tabel 8. Pembagian Kerja Tembakau Deli dan Keterlibatan Pekerja Anak di Desa Bulu h Cina, Tahun 2005..................................... Tabel 9. Fluktuasi Areal Tanaman Tembakau Deli, Tahun 2004...........
96 112
Tabel 10. Proses Sosialisasi Pekerjaan Terhadap Anak Laki-laki dan Perempuan di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 .........................
120
Tabel 11. Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pada Keluarga Buruh Tembakau Deli di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 ....................................
122
Tabel 12. Respon Pekerja Anak Terhadap Sosialisasi Nilai Kerja di desa Buluh Cina, Tahun 2005 .........................................................
137
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Bagan Alur Pemikiran...........................................................
27
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Lampiran 1. Gambar Photo Aktivitas Kerja ........................................
147
2. Lampiran 2. Peta Desa Buluh Cina .....................................................
150
3. Lampiran 3. Peta Kecamatan Hamparan Perak...................................
151
4. Lampiran 4. Peta Kabupaten Deli Serdang .........................................
152
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini persoalan buruh anak makin banyak diperhatikan berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena buruh anak merupakan persoalan serius dan menyangkut kepentingan banyak pihak. Salah satu persoalan klasik, kompleks dan masih tetap berlangsung adalah eksploitasi ekonomi terhadap anak. Eksploitasi terjadi karena tekanan kemiskinan yang dihadapi keluarga, sehingga sering kali anak-anak di bawah umur bekerja pa da pekerjaan terburuk dan sangat berbahaya. Seiring dengan berkembangnya perhatian terhadap buruh anak, telah menggeser pemahaman berbagai pihak dalam menyikapi keberadaan dan persoalan pekerja anak. Sebelumnya, persoalan pekerja anak berada dalam kerangka pasar tenaga kerja yang memandang eksistensi pekerja anak sebagai ancaman terhadap kesempatan kerja kaum dewasa dan ketakutan kaum humanitarian atas munculnya kelas proletariat. Bagi kelompok yang menganut pandangan ini, anak-anak yang bekerja dianggap akan melestarikan kemiskinan karena anak yang bekerja tumbuh menjadi dewasa yang terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih, sehingga pekerja anak akan terus berlanjut. Upaya yang ditawarkan untuk mengatasinya bersifat anti pekerja anak yang terwujud dalam gerakan penghapusan pekerja anak. Namun, menolak anak-anak yang bekerja bukanlah pilihan yang terbaik, akan tetapi dapat menciptakan kemiskinan karena bagi keluarga miskin peranan anak bekerja sangat penting terutama dalam membantu ekonomi keluarga. Oleh karena itu kebijakan anti pekerja anak tidak realistis dan kontradiktif. Sehubungan dengan itu muncullah paradigma baru1 yang mendukung adanya pekerja anak disertai jaminan pemenuhan hak anak atas pendidikan dan pelayanan kesehatan. 1
Paradigma baru ini dikenal dengan “pro pekerja anak” yang berkembang seiring dengan disahkannya Konvensi Hak Anak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menekankan adanya pemahaman baru tentang anak sebagai anggota masyarakat dan individu yang tidak hanya memiliki kewajiban tetapi juga memiliki hak. Pasal 32 Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa pekerja anak berhak dilindungi dari pekerjaan yang membahayakan kesehatan fisik, mental, spritual, moral maupun perkembangan sosial atau mengganggu pendidikan mereka (Tjandraningsih dan Anarita, 2002).
2
Idealnya anak-anak memang tidak perlu bekerja, akan tetapi ketika keadaan sosial-ekonomi memaksa mereka bekerja, maka menghapus pekerja anak merupakan tindakan yang tidak logis (Putranto, 1994). Senada dengan itu White (1994), menyatakan pekerja anak sebaiknya tidak usah dilara ng sepanjang anakanak masih mempunyai kesempatan bersekolah dan pekerjaannya masih dalam batas kemampuannya. Lebih lanjut, Tjandraningsih (1995), menyatakan persoalan pekerja anak tidak perlu ditolak tanpa melihat terlebih dahulu situasi lingkungan si anak secara menyeluruh dan faktor-faktor yang menyebabkan anak terpaksa harus bekerja. Dalam batas-batas tertentu, anak diperbolehkan bekerja sepanjang tidak mengganggu pendidikan, kesehatan dan masa depan anak. Di tengah perdebatan kedua paradigma tersebut, studi mengenai pekerja anak tetap merupakan tema yang penting di tengah kehidupan global
yang
mendorong munculnya ketimpangan dan kemiskinan. Berbagai studi yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa fenomena pekerja anak makin meluas. Berdasarkan hasil Surve Angkatan Kerja Nasional dapat dilihat perkembangan pekerja anak. Pada tahun 2002 terdapat 842,228 ribu orang yang bekerja, menurun menjadi sebesar 566,526 ribu pada tahun 2003. Pekerja anak di perdesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan. Pa da tahun 2002, anak yang bekerja di pe desaan berjumlah 82 persen, dan pada tahun 2003 menurun menjadi sebesar 447,027 persen. Di perkotaan, jumlah anak yang bekerja sebesar 18 persen atau 150,931 ribu. Dengan demikian pekerja anak lebih banyak berada di pedesaan dibandingkan perkotaan (Sakernas, 2002 dan 2003). Sayangnya, berbagai literatur mengenai pekerja anak menunjukkan bahwa studi-studi selama ini cenderung melihat permasalahan anak yang bekerja di kotakota besar, seperti anak jalanan yang secara kasat mata mudah terlihat, sementara permasalahan pekerja anak di pedesaan seperti di sektor perkebunan masih jarang dilakukan. Padahal, dilihat dari jumlah dan kondisi kerja yang dilakukan pekerja anak di sektor perkebunan tidak jauh berbeda, bahkan jauh lebih eksploitatif dan marginal. Eksploitatif berkaitan dengan jam kerja anak yang lama dan upah kerja rendah, sementara marginal letak perkebunan yang jauh dari masyarakat luas. Sebagaimana dikemukakan Sitorus (1999), bentuk-bentuk pekerjaan anak di perkebuna n berbeda -beda sesuai dengan jenis tanaman. Di perkebunan kakao,
3
pekerja anak terlibat dalam pekerjaan memanen coklat, membersihkan benalu, dan memangkas tunas tanaman. Di perkebunan sawit, anak bekerja untuk memindahkan polybag dari tempat pengisian tanah ke tempat pembibitan, menyiram bibit, dan mengumpulkan buah sawit yang berserakan. Hal yang sama ditemukan pada perkebunan di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, dimana bentuk-bentuk pekerjaan yang melibatkan anak sudah lama terjadi, bahkan telah menja di sebuah fenomena yang dianggap lumrah (Sairin, 1994, Breman, 1997, Ikhsan, 1999, Tjandraningsih & Anarita, 2002). Kabupaten Deli Serdang merupakan kawasan yang didominasi oleh perkebunan milik negara PTPN II, Perusahaan Perkebunan Swasta Nasional dan Perusahaan Perkebunan Swasta Asing. Komoditas utama sawit, karet, tebu, tembakau dan Kakao dengan luas keseluruhan areal perkebunan 138.373 Km2 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi memperkirakan bahwa pada tahun 2000 ada sekitar 10.000.000 buruh yang bekerja di perkebunan di Sumatera Utara dan Riau, diantaranya 10,8 persen tergolong pekerja anak dengan usia di bawah 18 tahun. Sementara itu, Ikhsan (1999), melalui penelitiannya di perkebunan tebu Sei Semayang PTPN II di Deli Serdang, memperkirakan 40.000 pekerja anak baik sebagai tenaga keluarga maupun sebagai pekerja upahan. Berbagai penelitian terdahulu yang mengungkap masalah pekerja anak di perkebunan memperlihatkan bahwa faktor utama munculnya pekerja anak di perkebunan karena sistem pekerjaan yang berlaku di perkebunan. Sairin (1994) menunjukkan bahwa anak-anak yang bekerja di perkebunan karet tidak dapat dilepaskan dari keadaan kemiskinan keluarga, sehingga cenderung eksploitatif. Fenomena eksploitasi anak dan kemiskinan keluarga di perkebunan diindikasikan adanya anak-anak yang bekerja dalam usia muda dengan upah yang rendah dan tidak memiliki jenjang karir yang tinggi. Ikhsan (1999) menunjukkan bahwa secara kultural keluarga pekerja anak memberi makna terhadap anak yang bekerja karena upaya anak untuk menunjukkan keperdulian dan bakti anak kepada orang tuanya. Alasan putus sekolah merupakan wujud dari beberapa hal yakni ketiadaan biaya sekolah, dan disuruh berhenti sekolah untuk membantu pekerjaan orang tua.
4
Sementara itu, Tjandraningsih dan Anarita (2002) menemukan bahwa anak-anak terlibat dalam pekerjaan di perkebunan karena didorong oleh faktor historis, sosio-kultural dan sistem manajemen perkebunan. Faktor-faktor ini dalam prosesnya saling terkait dan menempatkan anak-anak sebagai tenaga ker ja, baik sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak diupah, maupun yang diupah karena hubungan kerja secara individu dan langsung dengan perusahaan. Seiring dengan perkembangan jaman khususnya yang terkait dengan perkembangan ekonomi, demokratisasi serta ka rakteristik manajemen perkebunan di Indonesia, tampaknya fenomena pekerja anak di perkebunan tetap menonjol dan tidak banyak berubah, paling tidak bila dibandingkan dengan masa kolonial Belanda. Rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli2 di Deli Serdang sebagian besar masih menginginkan anaknya menja di generasi buruh di perkebunan. Padahal kesempatan kerja di luar sektor perkebunan sudah mulai terbuka dan dapat diakses oleh anak-anak dan pemuda di desa perkebunan. Penelitian Sairin (1994), Ikhsan (1999), Tjandraningsih dan Anarita (2002) kurang memberi tempat pada kajian fenomena adanya pewarisan nilai- nilai kerja buruh terhadap anak-anak di perkebunan. Meskipun dalam kerangka pemikiran gejala tersebut diungkapkan secara implisit, tetapi dalam analisa yang lebih mendalam masalah ini belum dikaji sama sekali. Kenyataan yang terjadi saat ini keluarga buruh tembakau Deli melakukan sosialisasi nilai-nilai kerja terhadap anak-anak dengan cara melibatkan mereka bekerja di perkebunan, di sawah, dan pekerjaan domes tik lainnya, meskipun usia anak-anak masih muda. Sosialisasi nilai kerja dilakukan agar anak-anak memiliki keterampilan kerja sebagaimana yang diharapkan pihak perkebunan. Keadaan inilah yang mendorong anak-anak yang belum mencapai usia kerja terpaksa harus bekerja. Anak-anak yang bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja , melainkan untuk membantu kebutuhan ekonomi dan bagian dari strategi bertahan hidup keluarga. 2
Pada awalnya tembakau Deli merupakan tanaman yang diproduksi penduduk Melayu secara tradisional. Penanaman tembakau secara intensif melalaui usaha komersial dikembangkan oleh Neinhiyus yang membawa hasil memuaskan dengan aroma yang khas, sehingga banyak disukai konsumen di pasar lelang Breman. Pada saat tembakau mulai dilelang ke Breman nama tembakau belum ada, sehingga tembakau tersebut diberi nama sesuai dengan asal daerahnya tembakau Deli. Pemberian nama Deli, kemudiaan bukan saja karena asal daerahnya, tetapi juga ciri khas daun tembakau yang memberikan aroma khas yang tidak dapat ditandingi oleh produsen tembakau lainnya baik di dalam negeri seperti di Jember maupun dari negara lain.
5
Berdasarkan hal di atas, maka penelitian ini dilaterbelakangi oleh suatu minat untuk melihat kelanjutan penelitian terdahulu dalam kasus serupa dengan masalah yang lebih terfokus pada aspek peranan pekerja anak dalam keluarga dan pewarisan nilai-nilai kerja buruh terhadap anak di Desa Buluh Cina Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Secara sosiologis gambaran penelitian ini sebagaimana yang diungkap di atas, cukup relevan digolongkan dalam paradigma fakta sosial, sehingga pendekatan struktural fungsional layak mewarnai kerangka pemikiran dan pembahasannya.
1.2. Perumusan Masalah Secara umum perkebunan memperlihatkan beberapa variasi, tergantung pada kehidupan perkebunan itu berada apakah di perkebunan yang dikelola oleh negara, swasta atau dikelola oleh rakyat. Demikian pula didalam setiap jenis perkebunan terdapat variasi keadaan sosial ekonomi penghuninya, tergantung pada status pekerjaannya. Komunitas perkebunan di Desa Buluh Cina mencerminkan suatu komunitas yang tersendiri dan terpisah dari komunitas sekelilingnya. Pekerjaan sebagai buruh perkebunan dianggap lebih terjamin keseja hteraannya dibanding dengan bekerja di sawah atau di luar kebun. Hal ini terkait dengan adanya fasilitas yang diberikan pihak perkebunan, seperti perumahan,
kesehatan
dan
pensiunan.
Implikasinya,
kehidupan
mereka
dipertaruhkan dari dan untuk kebun, sehingga regenerasi buruh kebun berlangsung secara alamiah, dimana mereka lahir, tumbuh dan berkembang hingga dewasa dan meninggal di lingkungan perkebunan pula. Tradisi melibatkan anak-anak bekerja di perkebunan dianggap sebagai bagian dar i proses sosialisasi nilai kerja dan pendewasaan diri agar anak-anak memiliki keterampilan kerja yang sesuai dengan kondisi di perkebunan. Sosialisasi nilai kerja dilakukan sejak usia anak masih muda. Pilihan ini dilakukan sebagai bagian dari strategi bertahan hidup rumahtangga buruh ditengah ketergantungan mereka terhadap perkebunan. Melihat kenyataan ini amatlah menarik bagi peneliti untuk mengkaji bagaimana sosialisasi nilai kerja pada keluarga buruh tembakau, sehingga dengan proses sosialisasi itu dapat memelihara stabilitas keluarga . Oleh karena itu pertanyaan utama yang diajukan
6
adalah bagaimana berlangsungnya proses sosialisasi nilai kerja dalam keluarga buruh. Berdasarkan pertanyaan itu, permasalahan yang hendak di jawab dalam penelitian ini adalah: 1.
Mengapa orang tua menginginkan anaknya menjadi pekerja anak di perkebunan tembakau Deli?
2.
Bagaimana proses sosialisasi nilai kerja yang berlangsung pada keluarga buruh perkebunan tembakau Deli?
3.
Bagaimana respon pekerja anak terhadap proses sosialisasi yang dilakukan keluarga dalam rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli?
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
melatarbelakangi
keluarga
buruh
mengharapkan anak-anaknya menjadi pekerja anak di perkebunan tembakau Deli. 2. Menggambarkan bagaimana proses sosialisasi nilai kerja yang dilakukan keluarga dalam mempersiapkan anak-anaknya menjadi buruh di perkebunan tembakau Deli. 3. Menjelaskan bagaimana respon pekerja anak terhadap keinginan orang tua dalam mempersiapkan generasi buruh di perkebunan.
1.4. Kegunaan Penelitian 1. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap studi mengenai pekerja anak, khususnya pekerja anak di perkebunan dan kaitannya dengan sosialisasi nilai kerja buruh. 2. Secara praktis, hasil penelitian dapat bermanfaat bagi para pemerhati pekerja anak, lembaga sosial, pemerintah dan lembaga yang berkepentingan untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menanganai persoalan pekerja anak secara terencana, sistematis, dan berkesinambungan.
II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pekerja Anak Suatu Tinjauan Historis Berbicara tentang pekerja anak bukanlah persoalan yang muncul secara tiba-tiba, namun bila dirunut ke belakang persoalan pekerja anak memiliki aspek historis yang panjang mulai dari perkembangan masyarakat primitif sampai modern3. Sebagaimana dijelaskan Blood (1972) bahwa dimasa berburu dan meramu peranan pekerja anak begitu penting bagi keluarga, karena pada masa berburu dan meramu kehidupan keluarga tergantung pada alam. Anak laki-laki diwajibkan ikut berburu binatang dan bagi anak perempuan diarahkan untuk membantu pekerjaan di rumah. Perkembangan masyarakat selanjutnya, ditandai dengan kehidupan yang bercorak agraris, anak-anak ditugaskan bekerja membantu pekerja an di sawah dengan harapan setelah orang tua tidak mampu mengerjakan sawah, anak-anak dapat menggantikan posisi orang tua sebagai petani4. Dengan cara ini kelangsungan ekonomi keluarga dapat terjamin secara terus menerus dan nilainilai budaya masyarakat petani dapat dipertahankan. Namun, otoritas orang tua yang berkeinginan untuk menciptakan anak-anaknya menjadi seorang petani ternyata telah menghalangi anak-anak untuk melakukan migrasi ke kota yang menawarkan pekerjaan yang lebih baik dan menjanjikan. Pada masyarakat modern peranan anak mulai beralih menjadi asset bagi orang tua. Pada awal perkembangan industri di Inggris peranan pekerja anak sangat penting5 terutama untuk memproduksi barang-barang tekstil. Terbukanya kesempatan perempuan bekerja di sektor industri dan lahirnya kebijakankebijakan yang melarang mempekerjakan anak-anak, maka pemanfaatan pekerja anak di sektor industri mulai berkurang (Blood, 1972). 3
Untuk lebih jelasnya lihat Blood (1994) dalam buku Sociology of The Family, yang menjelaskan secara rinci bagaimana pelibatan pekerja anak untuk membantu kelangsungan hidup keluarga. 4 Pada mulanya anak bekerja untuk membantu orang tua, terutama pada sektor pertanian sebagai tenaga kerja yang tidak dibayar. Walaupun mereka tidak menerima upah, pekerjaan yang mereka lakukan sangat banyak. Anak -anak yang bekerja digambarkan sebagai “kuda beban yang jinak” mereka melakukan pekerjaan yang ditugaskan tanpa banyak menuntut (Rahadi, 1994). 5 Anak-anak di pekerjakan dalam usia yang sangat muda mencapai puncak pembenaran pada masa Revolusi Industri (1750 -1840). Anak dipandang mampu dan wajib melakukan pekerjaan yang sebenarnya hanya tepat bagi orang dewasa (Aristriani, 2000).
8
Dalam kenyataannya, mempekerjakan anak atau tidak dalam kegiatan industri hanya berhasil pa da keluarga yang kebetulan mengalami perubahan alokasi sumber daya keluarga termasuk alokasi tenaga kerja anak. Boserup (1984) menunjukkan bahwa pada masyarakat awal era industri, seluruh anggota keluarga dituntut untuk turut bekerja agar keluarganya dapat bertahan hidup. Dalam konteks ini karena anak–anak termasuk dalam usia produktif, maka kemungkinan besar mereka terseret sebagai tenaga kerja menjadi lebih besar. Disini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya awal munculnya mempekerjakan anak baik dalam sektor ekonomi agraris maupun industri, karena berke mbangnya prinsip alokasi sumber daya keluarga. Demikian juga halnya persoalan pekerja anak di Indonesia, bukanlah fenomena yang berkembang pada saat ini, tetapi telah berkembang sesuai dengan perkembangan kelu arga dan pembagian alokasi tenaga kerja. Anak-anak yang bekerja di sektor perkebunan misalnya, telah ditemui sejak awal abad ke-20. Status pekerja anak pada masa itu sangat tergantung pada sistem kerja di unit-unit usaha perkebunan. Yasuo Uemura (1986) menunjukkan bahwa pemakaian tenaga kerja anak digunakan dalam proses pembudidayaan tebu di perkebunan Krian, pada afdeling Sidoarjo, Jawa Timur. Anak-anak ini terutama bekerja untuk pemupukan tanaman tebu dan pada saat panen tebu. Pada waktu yang bersamaan, penggunaan tenaga wanita dan anak-anak terjadi di perkebunan-perkebunan tembakau di daerah Sumatera Timur6 (Breman, 1997). Pekerjaan yang dilakukan anak-anak sebagaimana dikutip Breman (1997) dari Van den Brand adalah terutama pada masa menanam dan panen tembakau, tidak jarang anak laki-laki dan perempuan harus bekerja terus sampai malam hari untuk menggantungkan daun tembakau yang sudah dipetik di lumpung pengeringan. Secara kultural, anak-anak yang bekerja untuk pekerjaan rumahtangga maupun pekerjaan mendapatkan upah merupakan hal yang lazim dilakukan. Kajian Geertz (1983) mengenai keluarga Jawa di Mojokuto, menunjukkan bahwa anak perempuan kecil diperkenalkan dengan dunia jual beli untuk segera belajar tentang seluruh pekerjaan berbelanja sehari-hari sendirian bagi keluarga jika 6
Daerah-daerah perkebunan tersebut saat ini dikenal dengan nama Binjai, Tembung, Sampali Helvetia, Klumpang, dan Hamparan Perak. Desa Buluh Cina yang dijadikan sebagai lokasi penelitian ini termasuk salah satu daerah rintisan perkebunan tembakau Deli karena letaknya berada di Kecamatan Hamparan Perak dan lebih lanjut akan dibahas pada bab berikutnya.
9
ibunya seorang pedagang di pasar, serta barangkali juga mengambil alih peranan ibu selama periode tertentu. Anak laki-laki kecil diberi kebebasan bermain dengan sebayanya di seluruh kota, walaupun anak laki-laki pedesaan itu mempunyai pekerjaan berat tertentu, seperti misalnya menggembala ternak. Anak perempuan harus tinggal di rumah dan belajar bertanggung jawab mengurus rumahtangga. Pekerjaan
anak-anak
dalam
rumahtangga
yang
demikian
dapat
berkembang ke bentuk pekerjaan yang menghasilkan upah sebagaimana yang ditemukan White (1984) pada salah satu desa di Jawa bila anak-anak mulai menginjak remaja, pekerjaan mereka tentu menjadi lebih berharga. Seorang gadis mampu melakukan banyak pekerjaan rumahtangga dan untuk bekerja bersama ibunya di ladang dengan menerima upah bila ada kesempatan. Lebih lanjut, White (1984) menunjukkan bahwa anak yang mengerjakan pekerjaan rumahtangga memiliki kontribusi yang sama pentingnya dengan anak yang bekerja untuk mendapatkan upah. Paling tidak berdasarkan perkembangan usianya setelah anak tumbuh lebih besar, seorang anak tidak hanya melakukan pekerjaan rumahtangga saja, melainkan juga melakukan pekerjaan untuk mendapatkan upah. Peran produktif anak tidak jauh berbeda dengan orang dewasa. Pada usia 15 tahun, anak laki-laki terlibat dalam proyek pembangunan dan anak perempuan bekerja sebagai penenun di suatu pabrik kecil, rata -rata mereka menerima upah sama besar dengan orang dewasa. Sementara itu, anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun telah mampu mela kukan pekerjaan rumahtangga, sehingga anggota keluarga yang lebih besar atau dewasa dapat melakukan kerja produktif dengan memperoleh upah. Penggunaan tenaga kerja anak dalam ekonomi rumahtangga dengan bekerja mendapatkan upah sendiri juga dapat dilihat da ri temuan Harbirson (Effendi, 1995). Harbirson memperlihatkan bahwa pada masyarakat pedesaan yang mengalami transisi perubahan kondisi ekonomi akan menuntut adaptasi keluarga dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia terutama dengan memanfaatkan tena ga kerja keluarga. Jika tenaga kerja wanita, terutama ibu rumahtangga belum dapat memecahkan masalah yang dihadapi, biasanya anakanak yang belum dewasa diikutsertakan dalam menopang ekonomi keluarga. Di luar aspek budaya dan ekonomi, fenomena pekerja anak dapat dipahami dalam kerangka sistem perekonomian yang kapitalistik. Teori transisi industrialis yang dikembangkan Rodgers dan Standing dalam Effendi (1995) menjelaskan bahwa pada tahap awal industrialisasi dibutuhkan penumpukan
10
modal untuk meningkatkan produksi dan teknologi dengan menekan biaya produksi dengan jalan menekan biaya pengeluaran untuk upah. Salah satu jalan yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan wanita dan anak-anak. Oleh karena itu di kebanyakan negara berke mbang wanita dan anak-anak secara kultural dipandang sebagai pencari nafkah kedua, da n karenanya dapat dibayar murah, sehingga pemilik modal lebih menyukai mempekerjakan mereka sebagai buruh dengan upah yang rendah. Pemikiran Rodgers dan Standing di atas dapat memberikan pijakan unt uk memahami persoalan atau kondisi pekerja anak di perkebunan dalam konstelasi perkembangan perekonomian perusahaan berkaitan dengan proses rasionalisasi sebagai upaya meningkatkan efisiensi perusahaan. Akan tetapi, penelitian ini akan diarahkan dengan menitikberatkan aspek kondisi pekerja anak, baik dirinya pribadi maupun latar belakang atau kondisi rumahtangganya. Walaupun demikian, aspek yang dikemukakan Rodgers dan Standing di atas tidak dapat diabaikan sebagai struktur makro yang membingkai fenomena pe kerja anak di perkebunan. Hal ini disebabkan keberadaan komoditi perkebunan yang langsung berhubungan dengan pasar dunia, sehingga sedikit banyak akan mempengaruhi komunitas perkebunan ini dengan pasar internasional. 2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Pekerja Anak Diskursus tentang batasan usia anak dan pekerjaan apa yang layak dilakukan seorang anak hingga kini masih menjadi permasalahan yang belum tuntas. Setidaknya, hal ini diakibatkan keragaman batasan umur anak dalam Undang-Undang dan peraturan yang berlaku di suatu negara dan juga dipengaruhi persepsi yang berbeda serta tradisi budaya yang berkembang pada komunitas tertentu. Perdebatan mengenai batasan pekerja anak mendapat titik terang, setelah disahkannya Konvensi Hak Anak (KHA) pada tahun 1990. Konsepsi anak dalam KHA ditetapkan sebagai seseorang yang berusia 18 tahun, kecuali apabila peraturan perundang-undangan suatu negara menetapkan secara hukum bahwa usia dewasa lebih muda dari 18 tahun. Untuk konteks Indonesia, terdapat konsepsi yang berbeda-beda dalam penentuan batasan usia anak. Misalnya, UU No. 12 tahun 1948, mendefenisikan anak adalah laki-laki atau perempuan yang berumur 14 tahun ke bawah. Selanjutnya, dalam UU Kesejahteraan anak No. 4 tahun 1979 defisini anak adalah
11
seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. Batasan lain dapat dilihat pada UU Pengadilan anak No. 3 tahun 1977 yang menetapkan anak sebagai seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun. Dalam Surat Edaran menteri Tenaga Kerja No. SE-12/M/BW/1997, anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun. Sementara itu, UU No. 23 tahun 2002 menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Memperhatikan batasan-batasan tersebut, anak dapat didefenisikan sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Oleh karena itu, batasan anak dalam penelitian ini adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Berkaitan dengan konsep pekerja anak, Indikator Kesejahteraan Rakyat 1996 (Irwanto, 1999) memberi batasan bahwa yang termasuk pekerja anak adalah penduduk yang berusia 10 – 14 tahun yang melakukan kegiatan untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan minimal satu jam dalam seminggu. Kendati demikian, BPS 1993 meletakkan kategori anak yang berstatus sebagai pekerja anak tak dibayar, misalnya membantu orang tua menjaga warung, sebagai pekerja anak. Dari kondisi ini, Badan Indikator Kesejahteraan Rakyat 1996 menjelaskan bahwa pekerja anak tidak selalu identik dengan buruh anak (child labour). Buruh anak diidentifikasikan sebagai anak yang bekerja dalam situasi yang biasanya mengandung unsur lingkungan kerja yang membahayakan dan unsur eksploitatif. Konsepsi tersebut tidak mengabaikan bahwa pekerja anak kadangkala juga berada pada lingkungan kerja yang membahayakan. Akibatnya, batasan antara pekerja anak dengan buruh anak menjadi kabur. Batasan lainnya dapat ditemukan pada Horiushi (Sofian et al. 1999) yang menyebutkan pekerja anak sebagai anak-anak yang bekerja kurang lebih seperti pekerja pada umumnya yang bertujuan membiayai diri dan keluarganya. Sementara itu, Tjandraningsih (1995) melihat pekerja anak sebagai anak-anak yang melakukan pekerjaan rutin untuk orang tuanya atau orang lain yang membutuhkan sejumlah waktu dengan menerima imbalan atau tidak. Berdasarkan kedua batasan tersebut dapat dilihat bahwa aspek usia pekerja anak sama sekali tidak ditentukan. Konsepsi pekerja anak yang digunakan dalam penelitian ini sedikit banyak mengikuti batasan yang dikemukakan oleh Sofian dan Tjandraningsih di atas dengan mempertimbangkan konsep anak dalam batasan yang telah dikemukakan sebelumnya. Dengan demikian pekerja anak di perkebunan merupakan anak yang berusia dibawah 18 tahun yang melakukan
12
pekerjaan secara rutin dengan mendapatkan upah maupun sebagai pekerja keluarga yang tidak diupah. Kecenderungan yang terjadi pada pekerja anak perkebunan tembakau Deli adalah tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar, namun pekerjaan yang mereka lakukan cenderung eksploitatif karena diiringi dengan tekanan dari orang tua untuk mengejar target kerja borongan. Berbagai penelitian mengenai pekerja anak menunjukkan kemiskinan secara umum dipandang sebagai faktor utama penyebab anak bekerja. Studi yang dilakukan White (1984) di lingkungan rumahtangga desa di Jawa membuktikan bahwa anak-anak dari keluarga miskin terpaksa ikut bekerja dan mencari nafkah sebagai pekerja keluarga atau bekerja dalam usaha lain. Sementara itu, Irwanto et al. (1995), mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi lahirnya pekerja anak, antara lain; tingkat pendidikan orang tua, jenis pekerjaan orang tua, tingkat pendapatan keluarga, dan kondisi lingkungan. Dengan demikian faktor penyebab keterlibatan anak-anak bekerja umumnya lebih bersifat struktural. Artinya, pekerja anak muncul bukan hanya sekedar faktor kemiskinan, melainkan karena keluarga mengalami apa yang disebut Chambers (1987) sebagai ”perangkap kemiskinan”, yang meliputi kemiskinan itu sendiri, kerentanan, ketidakberdayaan, keterisoliran, dan kelemahan jasmani. Untuk menghindari kemiskinan penduduk desa biasanya melakukan strategi sustainable livelihood yaitu strategi mempertahankan hidup dan keberlanjutan hidupnya dengan memanfaatkan segala kemampuan, pengetahuan, akses dan tuntutan serta kekayaan yang dimiliki secara lokal maupun global dan terus meningkatkan kemampuan dirinya dengan bekerja sama dengan orang lain, berinovasi, berkompetisi, agar dapat bertahan dalam kondisi berbagai perubahan dan tercapai suatu keadilan (Chambers, 1992). Kaitannya dengan pekerja anak pada rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli, konsep ini dapat digunakan untuk mengkaji sejauh mana sebuah keluarga mengerahkan segala kemampuan keluarganya seperti mengerahkan seluruh tenaga yang ada termasuk wanita dan anak-anak, orientasi nilai budaya, pengetahuannya, serta asset yang dimiliki keluarga untuk tetap bertahan di komunitas perkebunan. Praktek
mempekerjakan
anak
di
perkebunan
hingga
kini
terus
berkembang, meskipun pelibatan anak bekerja berbeda-beda sesuai dengan komoditas yang dikembangkan. Di perkebunan besar meskipun ada peraturan mengenai pembatasan umur terendah bagi buruh perkebunan, namun sistem
13
produksi perkebunan telah membuka kesempatan bagi anak-anak untuk terlibat dalam proses produksi perkebunan. Struktur perkebunan yang ditandai dengan pemakaian sistem kerja borongan dan target, maka orang tua terpaksa melibatkan tenaga kerja anak. Kartodirdjo dan Suryo (1991) memperlihatkan bahwa buruh perkebunan berada dalam kondisi hidup yang serba berat. Secara fisik mereka dieksploitasi, memperoleh upah minimal, dan berada pada taraf hidup yang sangat rendah. Keadaan tersebut memaksa buruh mencari tambahan penghasilan dan mengerahkan tenaga anak-anak. Lebih lanjut Sairin (1994) mengungkapkan bahwa keterlibatan anak dalam produksi perkebunan juga tidak terlepas dari konteks masyarakat perkebunan sebagai suatu komunitas yang memiliki sistem ekonomi dan sosial tersendiri yang memiliki perbedaan dengan sistem yang berlaku dalam masyarakat luas7. Status pekerjaan seseorang berkait langsung dengan status sosialnya dalam masyarakat ataupun sebaliknya. Mobilitas sosial sangat jarang terjadi dan buruh perkebunan biasanya menempati kelas paling bawah, sehingga kehidupan mereka tidak berubah dari bayang-bayang kemiskinan. Keadaan ini pada akhirnya berdampak luas pada strategi buruh perkebunan untuk meningkatkan pendapatan kerluarga yang dalam banyak kasus mempunyai sasaran minimal untuk mempertahankan hidup. Dalam hal ini rumahtangga buruh perkebunan melakukan strategi bertahan hidup melalui optimalisasi peranan ekonomi dari rumahtangga de ngan melibatkan anak-anak terjun ke pasar tenaga kerja (Sukamdi dan Daryati, 1997). Muntiyah dan Sukamdi (1997) menegaskan bahwa ada dua hal yang mempengaruhi pemanfaatan pekerja anak. Pertama, penghasilan yang diperoleh oleh kepala keluarga, baik penghas ilan pokok maupun sampingan sangat terbatas. Kedua, tersedianya lapangan kerja di daerah tersebut. Dengan demikian faktor yang mendorong anak-anak terlibat bekerja merupakan suatu kebutuhan. Bila mereka tidak ikut bekerja, kebutuhan rumahtangga sulit dipenuhi. Namun, upaya ini sering menemui hambatan karena tidak tersedianya peluang kerja sehingga kemudian mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang sama dengan orang tua. Anak-anak inilah yang sering disebut pekerja anak yang terpaksa bekerja. 7
Sistem ekonomi dan sosial yang ada diperkebunan ini disebut sebagai sistem ekonomi dualisme sebagaimana yang dikemukakan oleh Boeke (1953). Sistem ekonomi dualisme di dalam hubungan industrial ini bersumber dari sejarah perkebunan di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia yang terkait dengan sejarah kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi (Kartodirdjo dan Suryo, 1991; Mubyarto, 1991).
14
Sayogyo (1991) menyatakan bahwa strategi yang dilakukan petani dalam mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya dapat dibedakan kepada tiga. Pertama, strategi akumulasi, yang dilakukan petani lapisan atas, sebagai upaya mentransper surplus pertanian untuk membesarkan usaha di luar sektor pertanian. Kedua, strategi konsolidasi, dilakukan petani lapisan menengah, dalam upaya memilih sektor luar pertanian sebagai pengembangan ekonomi. Ketiga, strategi bertahan hidup, yang merupakan strategi petani lapisan bawah, yaitu menunjuk pada pentingnya struktur di luar sektor pertanian sebagai sumber nafkah. Dalam hal ini keluarga buruh perkebunaan tembakau Deli terpaksa melibatkan anak-anak untuk bekerja sebagai strategi bertahan hidup rumahtangga. Strategi bertahan hidup dengan cara melibatkan anak-anak untuk bekerja di perkebunan lebih menegaskan beberapa kondisi tentang bagaimana buruh perkebunan menghadapi perlakuan pihak pengusaha, bagaimana mereka beradaptasi dengan pekerjaan di lingkungan perkebunan, juga dalam konteks bagaimana para buruh mempertahankan kehidupannya secara pribadi dan rumahtangganya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi ini tidak lepas dari konteks pendapat Suhendar dan Winarni (1998) bahwa upaya sebuah keluarga bisa tetap survavive mengamankan seluruh keluarga dan solidaritas komunitas tetap kuat, maka sikap kepatuhan terhadap pengaturan-pengaturan sosial bersama dilembagakan dalam komunitasnya. Dalam kerangka kultural, hal ini tentu saja peranan anak dalam ekonomi keluarga menjadi penting. 2.1.3. Peranan Anak dalam Ekonomi Keluarga Peranan merupakan aspek dinamis dari status yang diartikan sebagai suatu posisi seseorang dalam suatu kelompok, berisi seperangkat peranan yang memberi batasan-batasan tentang perila ku yang diharapkan dari orang yang menempati status tersebut dalam berhubungan dengan orang lain. Menurut Soekanto (1997), terdapat tiga pengertian peranan (role) yaitu : (1) peranan meliputi norma -norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat; (2) peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi, dan (3) peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial dalam masyarakat. Peranan seseorang dalam masyarakat diatur oleh norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Di pedesaan masih berlaku norma tradisional yang umumnya
15
mengharapkan peranan anak dalam membantu ekonomi keluarga, bahkan di beberapa komunitas tertentu membantu ekonomi keluarga dianggap sebagai kewajiban seorang anak. Misalnya penelitin Geertz (1983) pada keluarga Jawa anak dianggap sebagai pembantu dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Status anak bekerja tidak saja mengandung peranan yang mengatur hubungannya dengan orang lain , tetapi juga peranan yang mengatur hubungan dengan keluarganya, khususnya dalam memberi manfaat ekonomi bagi keluarga tersebut. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan peranan anak adalah suatu pola perilaku yang diharapkan dari seorang anak dalam mengambil bagian dari fungsi ekonomi keluarga. Peranan ini ditampilkan melalui alokasi waktu untuk bekerja dalam batas-batas pekerjaan yang dapat diterima keluarganya. Pertanyaan yang muncul kemudiaan adalah mengapa keterlibatan anak dalam pekerjaan berlangsung secara mapan dan menjadi pola yang umum? Hal ini dapat dijelaskan melalui pendekatan struktural fungsional, yang memberi penjelasan bahwa bertahannya suatu praktek atau pola perilaku tertentu dapat dipahami dengan melihat manfaatnya. Merton dalam Johnson (1990) menyatakan bahwa sesuatu tindakan dapat bertahan jika didukung oleh kesadaran bahwa tindakan tersebut lebih memiliki konsekuensi yang memberi manfaat bagi masyarakat. Peranan anak dalam ekonomi keluarga yang berlangsung secara mapan, terus menerus, mengisyaratkan bahwa ada kecenderungan konsekuensi dari penampilan peranan anak tersebut disadari memberi manfaat. Konsekuensi manfaat tersebut dapat membentuk konsepsi yang menjadi keyakinan tentang citacita manfaat yang hendak diwujudkan dan memotivasi pemiliknya untuk mempertahankan pola perilaku tersebut. Bertolak dari tinjauan tersebut secara logis dapat dinyatakan bahwa konsepsi orang tua tentang manfaat yang diharapkan dari aktivitas kerja anak, menentukan keberlangsungan peranan anak. Dalam struktur keluarga ada lima fungsi yang harus dijalankan agar kelangsungan hidup keluarga tercapai. Adapun fungsi yang merupakan sub struktur tersebut menurut Levy (1991), sebagaimana dikutip Newman & Grauerholz (2002) adalah: (1) diferensiasi peranan; (2) alokasi ekonomi; (3) alokasi integrasi dan ekspresi; (4) alokasi kekuasaan; dan (5) alokasi solidaritas. Pertama, diferensiasi peranan, adalah cara mendudukkan anggota kerabat pada berbagai posisi menurut fungsinya atas pertimbangan perbedaan umur, jenis kelamin, generasi, posisi ekonomi dan dalam pe mbagian kekuasaan. Hal ini
16
diukur dengan curahan tenaga setiap anggota keluarga dalam berbagai pekerjaan produktif atau reproduktif dan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan ekonomi keluarga. Konsepsi ini erat hubungannya dengan konsepsi ekonomi rumahtangga yang mencerminkan strategi dasar dari organisasi rumahtangga. Kedua, alokasi ekonomi, adalah usaha-usaha produksi yang dilakukan setiap rumahtangga untuk keperluan konsumsi anggotanya akan barang dan jasa seperti: makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Alokasi ekonomi menunjukkan peranan setiap anggota rumahtangga untuk memperoleh pendapatan dengan cara menghasilkan barang dan jasa. Alokasi ekonomi dalam penelitian ini akan menunjukkan peranan anak dalam meningkatkan pendapatan keluarga . Ketiga, alokasi integrasi dan ekspresi, diartikan sebagai distribusi metode dan teknik sosialisasi, penanaman, dan pemeliharaan nilai, sikap, dan tatacara struktur kekerabatan khusus diantara anggota rumahtangga. Keempat, alokasi solidaritas, memiliki arti distribusi hubungan di antara anggota menurut isi, kekuatan, dan intensitas hubungan. Kelima, alokasi politik, merupakan distribusi kekuasaan atas kegiatan dari berbagai anggota unit kekerabatan. Analisis terhadap proses politik dalam keluarga dibatasi pada bidang-bidang penting yang terkait langsung dengan kebutuhan anak, seperti pendidikan dan kebutuhan fisik anak. Peranan anak dalam keluarga setidaknya dapat diamati dari aspek nilai anak bagi orang tua. Konsep nilai anak untuk pertama sekali dikemukakan oleh Hoffman (1973) yang menyatakan bahwa di dalam keluarga lapisan bawah di pedesaan dalam rangka bertahan atau memperbaiki kehidupannya, maka timbul suatu budaya yang diturunkan secara turun temurun, yaitu mengenai nilai anak. Lebih lanjut Hoffman (1973) menyatakan nilai anak berkaitan dengan fungsi anak terhadap orang tua atau kebutuhan-kebutuhan orang tua yang dipenuhinya. Nilainilai tertentu seperti yang tercermin dalam berbagai kebutuhan psikologis tertentu, juga nilai-nilai ini terkait pada struktur sosial dan dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan perubahan sosial. Nilai anak ini dapat diperoleh melalui keluarga dan juga dapat diperoleh melalui cara -cara yang lain. Berdasarkan hasil penelitian Hoffman (1973) di beberapa negara, nilai anak dapat di rumuskan menjadi sembilan kategori. Dari kesembilan kategori nilai anak tersebut selanjutnya
dikembangkan
menjadi tiga dimensi utama nilai
anak, yaitu; (1) nilai psikologis anak, (2). nilai ekonomi anak, dan (3). nilai sosial
17
anak. Pertama, nilai psikologis, berkaitan dengan nilai anak yang diharapkan dapat memberi kebahagian, rasa aman, kepuasan, cinta dan persahabatan. Kedua, nilai ekonomi, berkaitan dengan peranan anak dalam memberikan bantuan yang bernilai ekonomi berupa bantuan tenaga kerja. Ketiga, nilai sosial, berkaitan dengan peranan anak dalam menggantikan kewajiban orang tua dalam hidupnya sebagai anggota masyarakat. Suleeman (1999), menunjukkan bahwa bantuan yang diberikan anak perempuan lebih banyak daripada bantuan anak laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, adanya kepercayaan bahwa anak perempuan secara alamiah mempunyai sifat merawat yang tercermin dari tugas perempuan dalam keluarga mengasuh adik sebelum menikah, setelah menikah merawat anak dan melayani suami, serta merawat orangtua . Kedua, perempuan biasanya tidak mencari nafkah, sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk merawat orangtua. Berbeda dengan pendapat Suharto et al. (1990) yang mengungkapkan bahwa peranan anak laki-laki lebih mempunyai nilai positif dan lebih tinggi dibanding anak perempuan karena; (1) bantuan praktis dan keuangan; (2) jaminan hari tua; (3) melanjutkan keluarga; (4) persahabatan; dan (5) kewajiban sosial. Berkaitan dengan nilai anak, Sugito (1979) mengemukakan bahwa kebutuhan-kebutuhan orang tua terhadap anak dapat dilihat dari keuntungan kehadiran anak dalam keluarga yaitu dari segi kepaduan keluarga berupa kemajuan hubungan antara sua mi dan isteri dan kontinuitas garis keturunan. Dalam penelitiannya pada masyarakat petani di Jawa, Sugito juga mengemukakan bahwa untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian para petani (lapisan bawah) yang umumnya berpenghasilan rendah, cenderung menempuh cara penambahan tenaga kerja keluarga, diantaranya tenaga anak-anak. Kajian mengenai nilai anak dilakukan juga oleh White (1984) pada masyarakat pedesaan di Jawa. White mengemukakan bahwa anak tidak saja penting sebagai sumber tenaga produktif dalam ekonomi material saja, (dimana anak menunjukkan peran yang sangat nyata dalam ekonomi rumahtangga), tetapi juga mempunyai nilai non material seperti menolong orang tua, menjaga harta keluarga maupun sebagai sumber keselamatan bagi orang tua pada usia lanjut. Hal ini menjadi sangat penting, khususnya di pedesaan Jawa, dimana hampir se mua orang tua yang telah melampaui usia produktif dipelihara oleh anak-anak mereka.
18
2.1.4. Konsep Nilai Kerja dan Pola Budaya Buruh Perkebunan Konsep nilai kerja berkaitan langsung dengan masalah tindakan, kerja dan nilai. Parsons (1973) mengartikan tindakan sebagai aksi yang melibatkan individu sebagai subyek yang aktif dan kreatif untuk memilih alternatif -alternatif dalam rangka meraih tujuan. Hal ini merupakan wujud refleksi dari proses penghayatan diri, aktivitas dan kreativitas. Parson dalam Johnson (1990) menyebut ini sebagai orientasi nilai, yang merupakan salah satu elemen dasar yang membentuk tindakan seseorang. Lebih lanjut, Parsons melalui teori aksi (1973) membagi lima unit dasar tindakan sosial yaitu; (1) adanya individu sebagai pelaku, (2) pelaku dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu, (3) pelaku mempunyai alternatif cara, alat serta teknik untuk mencapai tujuannya, (4) pelaku berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan, (5) pelaku berada di bawah kendala nilai- nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhi pelaku dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan. Kerja diartikan sebagai bagian yang lebih khusus dari tindakan. Pudjiwati (1985) menyatakan ciri-ciri kerja meliputi: (1) pelaku mengeluarkan energi, (2) pelaku menjalin interaksi sosial dan mendapat status, (3) pelaku memberi sumbangan dalam produksi barang dan jasa, (4) pelaku mendapatkan penghasilan cash atau natura, dan (5) pelaku mendapatkan hasil yang mempunyai nilai waktu. Berdasarkan hal itu, kerja dapat dirumuskan sebagai suatu aktivitas yang dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga baik bersifat fisik, mental maupun sosial dengan imbalan berupa insentif ekonomi. Wallman (1979) menguraikan bahwa secara sosiologis, kerja tidak bermakna tanpa adanya pembagian kerja, dan juga tidak bermakna secara fisik jika tingkatan teknologi tidak dipertimbangkan. Demikian pula, secara antropologi kerja dalam budaya ya ng berbeda mempunyai makna yang berbeda. Kerja dalam pandangan masyarakat industri misalnya, hanya berfungsi sebagai unit produksi semata, sementara dalam konteks rumah tangga petani kerja umumnya merangkap sebagai unit produksi, konsumsi dan reproduksi sekaligus. Lebih lanjut, Wallman (1979), menjelaskan bahwa makna kerja bervariasi karena perbedaan orang yang melakukannya. Beberapa pekerjaan dinilai lebih tinggi karena dibentuk oleh suatu kategori orang dibandingkan pekerjaan lainnya. Orang-orang dapat dikhususkan menjadi bentuk-bentuk pekerjaan dengan beberapa kriteria yang berbeda,
19
misalnya berdasarkan karakteristik fisik, seperti jenis kelamin, umur, kebangsaan, ras atau kasta. Pekerjaan dapat membentuk identitas dan memperoleh status sosial. Hasil pene litian pada masyarakat Israel menemukan bahwa konsep kerja berkembang sepenjang sejarah manusia.
Survei yang dilakukan pada tahun
1980 – 1990. Mayoritas responden pada kedua periode itu menunjukkan kerja diartikan dimana seseorang mendapatkan bayaran. Sementara itu, nilai merupakan pilihan moral yang berkaitan dengan apa yang dianggap baik dan buruk-pantas atau tidak dijadikan pedoman bertingkah laku. Hendropuspito (1989) merumuskan pengertian nilai dalam kerangka fungsional yaitu sebagai suatu penghargaan masyarakat kepada segala sesuatu yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan hidup bersama.
Daya
guna
itu
menjadikan
sesuatu
diberi
penghargaan
dan
dipertahankan. Lebih lanjut Hendropuspito, menyatakan bahwa nilai akan mengarahkan seseorang untuk melakukan tindakan sosial yang didukung oleh motivasi. Berdasarkan ketiga konsep yang dikemukakan di atas, maka nilai kerja dapat dirumuskan sebagai suatu persepsi atau penghargaan terhadap aktivitas yang menghasilkan suatu bentuk materi maupun non materi yang dapat memberi kepuasan bagi keluarga. Ekonomi klasik percaya bahwa nilai kerja penting karena nilai tersebut menjadi ukuran nilai pertukaran barang- barang yang diperjualbelikan. Sebab ada aturan natural universal dalam ekonomi, yaitu pendapatan sama dengan pengeluaran, maka akan tercapai keseimbangan natural dari pertukaran nilai kerja tersebut. Artinya, setiap individu bebas bekerja meningkatkan kebahagiaan hidup mencari kesenangan, karena pada akhirnya akan tercapai kebahagiaan yang tidak hanya untuk seorang individu, tapi juga untuk seluruh masyarakat. Perbedaan
kondisi
sosial
ekonomi
memiliki
makna
perbedaan
pengalaman-pengalaman dan kebutuhan. Orang-orang berpengalaman dan berpendidikan rendah dapat memiliki pengalaman sosialisasi, bekerja, berteman, serta pengalaman sosial yang berbeda dengan orang yang berpenghasilan dan berpendidikan
yang
berbeda
pula.
Perbedaan-perbedaan
ini
merupakan
karakteristik individu yang dapat membuat fokus perhatian yang berbeda-beda pula dalam memper sepsi sesuatu, termasuk mempersepsi nilai kerja. Akibatnya pandangan tentang nilai kerja pun dapat berbeda -beda.
20
Tjakrawati (1984) sebagaimana yang dikutif Lubis & Soetarto (1992) menyatakan bahwa nilai kerja dapat diukur melalui enam dimensi, yaitu: (1) dimensi lahan, (2) dimensi tenaga kerja, teknologi dan hasil kerja, (3) dimensi modal, (4) dimensi pasar, komoditas dan transportasi, (5) dimensi pekerjaan dan pandangan terhadap kerja, serta (6) dimensi hubungan teman dan kerabat. Nilai kerja ini merupakan suatu akumulasi dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyangkut sosialisasi yang terutama dalam lingkungan keluarga dan kerabat. Faktor eksternal menyangkut aksessibilitas daerah, pendidikan dan kesempatan bekerja . Seseorang akan memiliki penilaian yang ber beda terhadap beragam pekerjaan. Namun kenyataannya, tidak seluruh harapan yang terkandung dalam nilai kerja dapat mewujudkan kenyataan pekerjaan yang dijalani. Dengan demikian ada peluang terjadi kesenjangan antara harapan pekerjaan dengan kenyataan pekerjaan yang sedang dijalani. Berbeda dengan nilai kerja pada keluarga buruh, khususnya buruh perkebunan. Kehidupan yang khas berbentuk negara dalam negara sejatinya menciptakan nilai kerja tersendiri. Pekerjaan sebagai buruh perkebunan dianggap sebagai penjamin kehidupan keluarga. Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya nilai kerja buruh. Van Neil (2003) mengungkapkan bahwa kaum tani Jawa tidak terbiasa denga n sistem pengupahan terbuka dan umumnya tidak menganggap kerja upahan sebagai satu-satunya cara memuaskan kebutuhan. Kaum tani Jawa tidak memahami nilai kerja sebagai alat mencapai tujuan, melainkan memandang kerja sebagai beban yang harus dipikul dan diderita. Wajah budaya masyarakat perkebunan seperti yang dijumapai di luar Jawa, khususnya Deli, menurut Kartodirdjo dan Suryo (1991), banyak menampilkan karakteristik masyarakat perkebunan di Jawa. Baik lokasi, isolasi, dan otonomi komunitas, serta dualisme ekonomi yang terjadi antara pengelola perkebunan dengan buruh maupun petani sekitar perkebunan, pluralisme sosial, hegemoni pengusaha, eksploitasi tenaga kerja di mana perlu dengan menggunakan daya paksa berupa teror dari unsur aparat keamanan maupun preman. Lebih lanjut Kartodirdjo dan Suryo (1991) , menjelaskan perbedaan antara budaya perkebunan luar Jawa dengan Jawa. Pada umumnya derejat isolasi perkebunan di luar Jawa lebih tinggi dibandingkan di Jawa sendiri. Hal itu disebabkan lebih berkembangnya infrastruktur di Jawa, sehingga komunikasi dengan daerah sekitar perkebunan yang dekat jaraknya untuk memobilisasi buruh cepat dilakukan.
21
Dengan demikian kaum pekerja tidak terlepas dari akar sosial budayanya sehingga tidak mengalami alienasi kultural. Selain itu para pekerja perkebunaan di samping memburuh di perkebunan juga masih bisa melanjutkan pekerjaan sendiri. Kontras dengan petani Jawa, buruh perkebunan di luar Jawa seperti digambarakan Breman (1997) buruh tembakau Deli mengalami alienasi kultural, intimidasi politik, kurangnya kontak dengan masyarakat luar, sehingga mempengaruhi terhadap pandangan mereka tentang nilai kerja. Menurut Breman8 (1997) nasib para kuli di perkebunan Sumatera Timur, mereka mengalami kekalahan yang amat sangat akibat perilaku tuan kebun yang menindas, bukan karena masalah budaya mereka yang lema h. Kuli-kuli di perkebunan tembakau yang sengsara kehidupannya, menurut Breman diakibatkan oleh pola pendisiplinan oleh tuan kebun yang berlebihan. Para kuli oleh tuan kebun hanya dipandang sebagai suatu kolektif
dengan
sifat-sifat
negatif.
Pendisiplinan
yang
keras
(paksaan)
diberlakukan sejak tuan kebun memberi panjar dalam rangka mengikat tenaga kerja di perkebunan tempat kuli mengabdikan dirinya. Dinyatakan bahwa dari semua kuli, kuli perempuan dan anak-anak sebagai yang paling sengsara, rentan terhadap pemerasan dan penindasan dari tuan kebun. Para kuli ditetapkan untuk bekerja selama sepuluh jam perhari, namun prakteknya mereka bekerja lebih lama, terkadang sampai larut malam. Paradoks dengan jam kerja yang lama para tuan kebun menggaji rendah para kuli, terutama para pembantu di ladang dan para kuli yang tidak bekerja di ladang tembakau paling rendah upahnya. Bagi keluarga buruh, pekerjaan perkebunan dianggap sebagai nilai kerja yang mempunyai nilai tinggi. Untuk itu, mereka memiliki harapan dan pandangan pekerjaan di perkebunan semestinya dipertahankan dengan cara mensosialisasikan nilai kerja perkebuna kepada anak-anak dan regenerasi keturunan mereka selanjutnya. Sebetulnya sebagian buruh telah memiliki kekayaan di luar perkebunan tetapi lebih memilih tinggal di perkebunan yang membutuhkan biaya hidup lebih rendah (karena ada subsidi perusahaan). Posisi sebagai buruh disandang seumur hidup secara bergenerasi dipandang sebagai hal yang wajar. Hal ini terjadi akibat sulitnya mobilitas vertikal pada per kebunan tembakau yang memang pihak perkebunan tidak banyak mengubah pola manajemen. 8
Lebih lanjut lihat Jan Breman, 1997. Menjinakkan Sang Kuli : Politik Kolonial Pada Awal Abad Ke- 20, Pustaka Utama Grafitri, Jakarta.
22
2.1.5. Proses Sosialisasi Nilai Kerja dalam Keluarga Keluarga pada dasarnya memiliki fungsi pokok yang sulit untuk dirubah atau digantikan oleh orang lain. Goode (2002) me ngemukakan bahwa keluarga sebagai suatu or ganisasi mempunyai fungsi me lahirkan, pemeliharaan fisik anggota keluarga, penempatan anak dalam masyarakat, pemasyarakatan dan kontrol sosial. Mengacu kepada fungsi keluarga sebagaimana yang dikemukakan Goode (2002), maka fungsi pemasyarakatan dan kontrol sosial termasuk fungsi sosialisasi. Artinya, sosialisasi tidak lain merupakan bentuk pengasuhan yang harus dilalui oleh setiap manusia dalam memperoleh nilai- nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan bela jar mengenai peran-peran sosial, sehingga nantinya dapat mendukung kehidupannya dalam keluarga maupun dalam masyarakat yang lebih luas. Davis (1960) mengemukakan bahwa sosialisasi merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan dan pewarisan kebudayaan serta tingkah laku dari generasi satu ke generasi berikutnya. Hal ini berarti, orang yang baru dilahirkan akan mendapat pengaruh dari lingkungan keluarga dan masyarakat dimana ia dibesarkan. Lebih lanjut, Soe’oed (1999) menyatakan sosialisasi merupakan suatu proses pengajaran yang dilakukan berulang-ulang mengenai keterampilan, perangai, dan nilai sikap yang dihubungkan dengan pekerjaan yang ada atau peranan-peranan yang diharapkan dari individu-individu. Dengan
memperhatikan
batasan
sosialisasi
sebagaimana
yang
dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sosialisasi mengandung unsur membentuk individu dengan menerapkan pola -pola sosial yang sesuai dan diinginkan oleh keluarga maupun masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Cohen yang diterjemahkan oleh Simamora (1983) bahwa tujuan pokok sosialisasi adalah: (1) memberikan keterampilan kepada orang-orang yang membutuhkan dalam kehidupannya kelak di masyarakat; (2) pengendalian fungsi-fungsi organik harus dipelajari melalui latihan mawas diri yang tepat; (3) tiap individu harus dibiasakan dengan nilai-nilai dan kepercayaan pokok yang ada pada masyarakat. Posisi pertama dan utama dalam mendidik seorang individu terletak pada keluarga. Melalui konsep tabula rasa dapat dijelaskan bahwa individu adalah ibarat sebuah kertas yang berbentuk dan coraknya tergantung kepada orang tua (keluarga) bagaimana mengisi kertas kosong tersebut sejak bayi. Melalui pengasuhan, perawatan dan pengawasan yang terus menerus, diri serta
23
kepribadian
anak
dibentuk.
Lewat
proses
sosialisasi,
seorang
individu
menghayati, internaslisasi, nilai-nilai, norma-norma dan aturan yang dianut kelompok dimana ia hidup. Artinya ia memiliki seperangkat sikap, nilai kesukaan dan ketidaksukaan, pola reaksi dan konsep yang mendalam dan konsisten tentang dirinya sesuai dengan latarbelakang budaya, status sosial keluarga maupun perannya dalam keluarga. Nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak sama dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Keluarga Jawa sebagaimana yang dikemukakan Geertz (1983) yaitu nilai hormat, rukun dan rasa malu. Pertama, hormat (Sungkan); Nilai hormat diajarkan orang tua semenjak anak masih kecil, misalnya mengajarkan kepada anak untuk memakai bahasa krama ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, memakai tangan kanan ketika menerima sesuatu dari orang lain, memanggil ”mbak atau mas” kepada kakak dan lain-lain. Kedua, Rukun; memelihara hubungan yang harmonis (hidup rukun) sehingga hal- hal yang dapat mengakibatkan konflik harus dihindari. Misalnya, bila memiliki perasaa n kurang mengenakkan kepada seseorang yang dapat mengakibatkan konflik lebih baik jangan diungkapkan, kakak harus mengalah kepada adik, tidak boleh berselisih atau bertengkar dengan saudara atau teman dan lain-lain. Ketiga, Rasa malu (isin); merupakan ungkapan rasa kecemasan, ketakutan dan rendah diri karena merasa dirinya lebih rendah dari yang lain. Rasa malu ditanamkan kepada anak pada hal-hal yang biasanya dianggap kurang baik oleh keluarga atau masyarakat setempat. Rasa malu akan berkembang setelah anak berumur lima tahun karena anak mengenal lingkungan yang lebih luas. Rasa malu yang ditanamkan orang tua kepada anak antara lain; anak merasa malu ketika ke luar rumah tidak memakai baju, bermain dengan teman yang berbeda kelas sosial, meminjam sesuatu ke pada orang
lain
tetapi
tidak
dipinjami,
meminjam
uang
tetapi
tidak
bisa
mengembalikan. Nilai malu (isin) juga ditanamkan orang tua pada situasi formal seperti saat ada pesta pernikahan atau pertemuan-pertemuan keluarga, orang tua mengajarkan kepada anak untuk diam (tidak boleh berbicara) dan selalu berada di dekat orang tuanya. Berlangsungnya proses sosialisasi adalah melalui interaksi sosial. Agen sosialisasi berperan mentransmisikan nilai-nilai dan norma -norma tertentu baik secara langsung maupun tidak la ngsung kepada individu baru. Agen sosialisasi merupakan significant other yaitu orang yang paling dekat dengan individu seperti
24
orang tua, kakak-adik, saudara, teman sebaya, guru dan lain sebagainya. Walgito, (2002) mengemukakan bahwa peranan keluarga terhadap perkembangan sosial anak ditentukan oleh faktor sikap dan kepemimpinan orang tua. Sikap dan kepemimpinan yang dimaksud adalah demokrasi dan otoriter. Orang tua yang otoriter akan senantiasa menuntut ketaatan mutlak tanpa penjelasan kepada anakanak, sehingga anak akan berlaku pasif, kurang inisatif, daya tahan berkurang dan penakut. Sebaliknya sikap demokratis orang tua akan menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, jujur, dan bertujuan. Proses sosialisasi dalam keluarga memliki dua pola, yaitu pola sosialisasi partisipatory yang menitikberatkan pada partisipasi dan pola represif yang menitikberatkan pada ketaatan (otoriter) (Soe’oed, 1999). Pola sosialisasi partisipasi menekankan pada komunikasi berbentuk dialog yang memberi kemungkinan pada anak untuk mengungkapkan kehendak dan kebutuhannya serta mencoba segala sesuatunya, namun orang tualah yang memberi pengawasan. Disini orang tua sangat memperhatikan keperluan anak dan memberikan imbalan agar anak dapat mengulangi perilaku yang baik. Pola sosialisasi yang berorientasi pada ketaatan menitikberatkan hukuman pada perilaku yang salah dan menuntut kepatuhan dari anak. Komunikasinya cenderung vertikal, searah dan mengarah ke bawah yaitu dari orang tua ke anak serta berbentuk perintah. Holzner dan Saptari (1997), mengemukakan bahwa sosialisasi yang diterima anak dipengaruhi oleh faktor strata atau posisi keluarga dalam struktur sosial. Orang tua yang berasal dari kelas menengah cenderung menekankan kepada anak-anak tentang pentingnya prestasi. Sebaliknya, orang tua dari kelas rendah lebih menekankan kepada anak-anak mereka tentang bagaimana upaya memenuhi kebutuhan hidup segera. Kondisi keluarga yang miskin, didukung oleh lingkungan kondusif untuk bekerja menyebabkan anak-anak terpaksa masuk ke pasar tenaga kerja . Parker dan Brown sebagaimana dikutip Ulrich (1989) menyatakan bahwa sosialisasi dari rumahtangga petani menyebabkan anak-anak petani mudah melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan kegiatan bertani, sehingga secara tidak sadar kemungkinan besar anak-anak tersebut akan mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang petani. Soekanto (1982) menyatakan bahwa sosialisasi dipengaruhi oleh faktor pola pendidikan keluarga yang pernah dialami orang tua. Pola pendidikan ini biasanya didukung oleh kerabat yang menganggap bahwa pola itulah yang terbaik
25
dan harus dilestarikan. Pola pendidikan yang diterapkan kepada anaknya, sama dengan pola yang mereka terima dahulu. Penelitian Fisher dan Miller (1984) sebagaimana dikutif Soe’oed (1999) membuktikan bahwa orang tua dengan tingkat pendidikan dan keterampilan rendah akan menciptakan anak-anak dengan tingkat pendidikan yang hampir sama rendahnya. Siswa berprestasi rendah biasanya berasal dari kalangan keluarga pekerja. Geertz (1983) menyatakan bahwa sosialisasi nilai kerja pada anak-anak merupakan bagian dari kepatuhan terhadap tatakrama (budaya). Hal ini dikemukakannya
dalam
penelitiannya
pada
keluarga
Jawa,
misalnya
memperlihatkan sejak kecil anak-anak sudah dilibatkan bekerja baik di sektor domestik maupun sektor publik. Bagi keluarga Jawa anak bekerja dalam usia yang muda dianggap bernilai positif karena merupakan proses sosialisasi dalam mempersiapkan anak untuk dapat melakukan tugas-tugas tertentu ketika anak sudah dewasa. Awalnya anak bekerja dimaksudkan untuk melatih dan mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi dunia pekerjaan dan sebagai tanggung jawab dalam mematuhi perintah orang tua, akan tetapi anak-anak terjebak dan memiliki keinginan untuk tetap bekerja. Dengan
memperhatikan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
proses
sosialisasi sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi dipengaruhi oleh sikap dan kepemimpinan orang tua, strata atau posisi dan status sosial keluarga, tingkat pendidikan orang tua, dan kepatuhan terhadap tatakrama (budaya). 2.2. Alur Pemikiran Masyarakat perkebunan mencerminkan suatu komunitas yang tersendiri dan terpisah dari komunitas sekelilingnya. Kehidupan buruh diperuntukkan dari dan untuk kebun, karena itu regenerasi orang kebun berlangsung alamiah, mereka lahir, tumbuh dan berkembang hingga dewasa dan meninggal di lingkungan perkebunan. Keadaan ini disebabkan sistem penguasaan lahan dan kepemilikan asset produksi, serta terbatasnya akses buruh terhadap pendidikan dan fasilitas perumahan. Sementara itu, mobilitas vertikal yang terwujud dari peningkatan posisi pekerjaan tidak pernah terjadi, meskipun ada jumlahnya sangat terbatas. Posisi buruh akan disandang selamanya sampai mereka meninggal, sehingga sebagian besar rumahtangga buruh perkebunan tidak dapat meningkatkan
26
pendapatan keluarga. Bahkan, ruma htangga mereka masih tergolong miskin. Kemiskinan rumahtangga buruh perkebunan dapat diamati dari strategi bertahan hidup buruh yang hanya memiliki sasaran minimal untuk bertahan hidup. Rumahtangga buruh perkebunan melakukan berbagai strategi bertahan hidup melalui optimalisasi fungsi ekonomi dari anggota rumahtangga dengan melibatkan peranan tenaga kerja anak. Peranan anak dalam ekonomi keluarga dapat berlangsung karena adanya motivasi dari orang tua untuk memperoleh manfaat dari tenaga kerja anak. Peranan anak juga terbentuk karena dipengaruhi oleh adanya nilai anak yang diyakini orang tua, yaitu: nilai psikologis anak, nilai ekonomi anak, dan nilai sosial anak (Hoffman, 1973). Tingkat pendidikan orang tua dan or ientasi nilai serta ketergantungan buruh terhadap perkebunan. Untuk mempertahankan adanya generasi buruh anak, rumahtangga buruh tembakau melakukan sosialisasi nilai kerja buruh perkebunan dengan cara memperkenalkan dan melibatkan anak-anak bekerja di perkebunan sejak usia mereka masih kecil. Sosialisasi nilai kerja terhadap anak penting dilakukan agar memiliki kepribadian yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat perkebunan. Dengan demikian anak-anak dapat bekerja sebagai buruh tembakau sesuai dengan pekerjaan orang tua mereka sebelumnya. Lingkungan perkebunan yang sebelumnya didominasi oleh kepentingan perkebunan, saat ini sedang mengalami pergeseran. Ada beberapa hal yang menyebabkan pergeseran diantaranya; terbukanya akses dengan masyarakat luar, adanya pilihan-pilihan pekerjaan non perkebunan dan munculnya rasionalitas buruh. Dalam lingkungan yang sedang berubah, rumahtangga buruh melakukan strategi bertahan hidup dengan cara tidak saja melakukan sosialisasi nilai kerja buruh, tetapi mulai bergeser kepada nilai pendidikan. Keseluruhan strategi ini mengarahkan anak untuk tetap terlibat bekerja, baik di perkebunan untuk menggantikan posisi orang tua maupun pekerjaan di luar perkebunan. Pilihan strategi tersebut terkait dalam kerangka fungsional keluarga sebagai suatu sistem sosial. Terkait dengan sosialisasi nilai kerja, pada kenyataannya pekerja anak memberikan respon dalam bentuk penolakan dan penerimaan. Bentuk respon pekerja anak terbentuk dari penilaian anak-anak tentang nilai kerja perkebunan yang dipersepsikan sebagai pekerjaan yang kotor, jorok dan tidak memberikan masa depan yang lebih baik. Selengkapnya alur pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.
27
Struktur dan kultur perkebunan
- sistem kerja - upah - fasilitas Kualitas hidup dan kemiskinan buruh
Pekerjaan non perkebunan di Desa dan Luar Desa
Strategi Bertahan Hidup Buruh Perkebunan tembakau Deli
Respon pekerja anak
Nilai Pendidikan
Sosialisasi nilai kerja dalam keluarga
Generasi Buruh perkebunan
Gambar 1. Bagan Alur Pemikiran 2.3. Hipotesis Pengarah Hipotesis pengarah dibuat sebagai acuan awal untuk mengarahkan penjajakan realita lebih lanjut. Adapun hipotesis pengarahnya adalah : 1. Keluarga sebagai institusi terdekat dan terkuat, bagi anak, kecuali sumber nilai budaya, lingkungan sosial, dan pendidikan anak, memberi kontribusi yang besar dalam membentuk buruh anak di perkebunan tembakau deli. 2. Kualitas hidup dan kemiskinan ekonomi keluarga buruh sebagai akibat dari manajemen kerja dan lingkungan sosial perkebunan dapat menciptakan kelangsungan generasi buruh tembakau Deli. 3. Terbukanya lapangan kerja di luar perkebunan dan merosotnya produksi perkebunan tembakau dapat merubah sosialisasi nilai kerja yang dilakukan orang tua pada keluarga buruh perkebunan tembakau.
28
2.4. Konsep Kunci Beberapa konsep kunci yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Buruh adalah individu yang tidak mempunyai alat produksi dan bekerja pada majikan untuk mendapatkan upah dari pekerjaannya. 2. Pekerja anak adalah anak-anak perempuan dan laki-laki berusia di bawah 18 tahun, yang bekerja di perkebunan baik atas kemauannya sendiri dengan mendapatkan upah ataupun sebagai pekerja keluarga yang tidak mendapatkan upah. 3. Pembentukan generasi buruh adalah upaya yang dilakukan oleh orang tua (buruh tembakau Deli) untuk dapat bertahan hidup pada komunitas perkebunan sebagai akibat dari hubungan kerja yang dialami buruh perkebunan tembakau Deli atas ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Proses ini berlangsung melalui mekanisme dan sistem kerja yang diterapkan pihak perkebunan, sehingga memaksa setiap rumahtangga buruh tembakau Deli untuk memanfaatkan tenaga kerja anak. 4. Respon pekerja anak adalah suatu sikap penolakan dan pembangkangan paling awal pekerja anak terhadap sikap orang tua yang menginginkan anak-anaknya menjadi kader buruh di perkebunan tembakau Deli 5. Rumahtangga buruh adalah sebuah keluarga yang memiliki tempat tinggal bersama dan memiliki satu kesatuan dalam kegiatan konsumsi, sehingga semua penghasilan dari pencari nafkah dalam keluarga dikumpulkan menjadi satu sebagai penghasilan yang digunakan untuk keperluan bersama (Supriyono & Agusta, 2002). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan keluarga adalah dalam pengertian rumahtangga, yaitu satu keluarga inti atau lebih ditambah dengan anggota keluarga anggota kerabat sendiri atapun ditambah orang lain sama sekali. Setiap bagian dari keluarga buruh tembakau Deli baik ayah, ibu, anak, maupun kerabat mempunyai fungsi dan peranan masing-masing dalam satu totalitas, akan tetapi peran tersebut saling menunjang dalam rangka mempertahankan kelangsungan keluarga. Secara khusus dalam penelitian ini akan melihat peranan anak dalam kelangsungan hidup keluarga buruh di perkebunan tembakau Deli. 6. Sosialisasi adalah proses yang harus dilalui individu untuk memperoleh nilainilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya.
29
7. Nilai kerja adalah persepsi dan penghargaan terhadap aktivitas yang menghasilkan sesuatu bentuk materi maupun non materi yang memberi kepuasan bagi keluarga buruh. 8. Nilai pendidikan adalah persepsi orang tua terhadap anak-anak bahwa pendidikan memiliki makna penting, karena terkait dengan keinginan mereka untuk bekerja di luar perkebunan. 9. Sosialisasi nilai kerja adalah proses pengenalan nilai- nilai pekerjaan yang dianggap penting untuk anak dan kepentingan keluarga. Proses sosialisasi nilai kerja di lakukan dengan memperkenalkan berbagai bentuk pekerjaan dengan melibatkan anak-anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan. 10. Strategi bertahan hidup adalah suatu usaha yang dilakukan seluruh anggota keluarga untuk mempertahankan kelangsungan hidup dengan berbagai cara, seperti pelibatan anak-anak dalam dunia kerja.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Penelitian ini berusaha mendeskripsikan pentingnya peranan anak dan sosialisasi nilai kerja pada keluarga buruh tembakau Deli di Desa Buluh Cina sebagai lingkungan desa perkebunan. Pemahaman yang mendalam terhadap fenomena ini memerlukan metode penelitian yang tepat, karena itu penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pemilihan metode kualitatif didasarkan pada kepekaan dan fleksibilitasnya dalam menyesuaikan diri dengan banyak penajaman terhadap pengaruh bersama dan pola-pola yang dihadapi. Mengingat substansi penelitian ini terkait dengan sistem nilai dan kebudayaan, metode kualitatif lebih mudah menyesuaikan jika berhadapan dengan kenyataan ganda. Pertimbangan lain adalah penelitian kualitatif peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman-penajaman studi terhadap nilai-nilai baru yang ditemukan. Hal ini memungkinkan terjadinya pengembangan kenyataan sebagaimana adanya dalam memperoleh pemahaman tentang realitas makna kenyataan dan mengembangkannya dalam penjelasan teoritis (Moleong, 2000). Meskipun demikian, penelitian kualitatif memiliki kelemahan atau keterbatasan terutama dalam melakukan generalisasi. Seperti halnya metode penelitian kuantitatif, metode kua litatif menurut Miles dan Huberman (1992) pada dasarnya merupakan proses penyelidikan yang menganalisis suatu fenomena sosial dengan cara memandingkan, mengkategorikan, mengklasifikasikan, dalam upaya menarik kesimpulan. Namun, kesimpulan yang diperoleh pada dasarnya tidak dapat digunakan untuk mengeneralisasi keseragaman pola dan sifat umum dunia sosial yang diteliti. Sementara itu, pendekatan studi kasus dipilih karena dianggap memadai dan paling tepat dengan tiga dasar pertimbangan: (1) pertanyaan penelitian “mengapa dan “bagaimana”; (2) peluang peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti sangat kecil, (3) fokus penelitian adalah peristiwa atau gejala sosial masa kini da lam konteks kehidupan nyata (Yin, 1996). Crasswel (1994) menyatakan bahwa pendekatan studi kasus memiliki keuntungan untuk menjelaskan fenomena sosial secara lebih mendalam.
31
3.2. Pemilihan Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini memfokuskan perhatian pada komunitas perkebunan tembakau Deli. Lokasi penelitian se ngaja ditetapkan di Desa Buluh Cina, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Ada beberapa alasan yang berhubungan dengan pemilihan lokasi penelitian. Pertama , peneliti pernah terlibat dalam penelitian pekerja anak bersama Yayasan AKATIGA9 , dengan tema yang berbeda . Dengan demikian penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang sebelumnya dengan mengambil tema baru mengenai peran anak dalam menjamin kelangsungan hidup rumahtangga buruh yang belum diungkap secara rinci dalam penelitian te rsebut. Pengalaman penelitian terdahulu dapat mempermudah penulis dalam pengumpulan data , karena hubungan yang baik sudah terjalin dengan masyarakat. Hubungan baik penting dilakukan karena penelitian ini dilakukan di tingkat mikro dan langsung pada masalah pokok yang sensitif dengan menyoroti strategi buruh perkebunan dalam mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga . Kedua, Desa Buluh Cina memiliki karakteristik sosial budaya yang tradisional dan belum banyak mengalami sentuhan pembangunan. Selain itu desa ini masih terkait dengan sejarah kehadiran buruh tembakau Deli yang berasal dari Jawa. Secara turun temurun dari generasi ke generasi mereka telah bekerja sebagai buruh tembakau dan bekerja di perkebunan tembakau sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Kondisi Desa Buluh Cina dapat dianggap mewakili potret kehidupan masyarakat perkebunan lainnya di Deli Serdang, karena secara umum karakteristik masyarakat perkebunan mencerminkan kehidupan suatu komunitas yang tersendiri dan terpisah dari komunitas sekelilingnya. Kehidupan buruh dipertaruhkan dari dan untuk kebun, karena itu regenerasi orang kebun berlangsung alamiah. Mereka lahir, tumbuh dan berkembang hingga dewasa dan meninggal di lingkungan perkebunan. Hal ini berhubungan dengan teknis pekerjaan tanaman tembakau Deli yang mengharuskan para pengelolanya tidak berada jauh dari perkebunan. 9
Yayasan AKATIGA merupaakan sebuah lembaga penelitian nirlaba yang melakukan berbagai kegiatan penelitian, penerbitan, dan pengembangan jaringan. Ada tiga topik yang menjadi fokus analisis lembaga ini, salah satu diantaranya adalah masalah perburuhan termasuk memberikan perhatian khusus pada buruh anak.
32
Ketiga, alasan lain yang sifatnya praktis adalah keberadaan sanggar belajar LSM Mahardika10 yang melakukan pendampingan terhadap pekerja anak di Desa Buluh Cina. Dengan memanfaatkan fasilitas sanggar belajar ini peneliti lebih mudah masuk dan mendekatkan diri kepada rumahtangga keluarga buruh, mengingat karakteristik masyarakat buruh perkebunan umumnya bersifat tertutup terhadap orang luar. Selain itu keberadaan sanggar belajar yang memberikan kegiatan pendidikan kepada pekerja anak di desa ini, dapat dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada anak-anak agar memudahkan pencarian data terutama tentang respon pekerja anak terhadap sosialisasi nilai kerja buruh, keinginan dan harapan serta aspirasi pekerja anak. Penelitian lapangan berlangsung selama dua bulan, yaitu dari pertengahan Maret sampai awal Mei 2005. Namun, akibat sulitnya mengurus ijin penelitian terutama ijin dari kantor Direksi PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) Tanjung Morawa , maka penelitian hanya efe ktif dilakukan selama 1 ½ bulan dengan beberapa tahap. Tahap pertama adalah mempersiapkan surat ijin penelitian. Kegiatan ini dimulai lewat pengurusan surat ijin dari kampus sebagai syarat administrasi dalam proses memperoleh ijin pelaksanaan penelitian di lapangan hingga mengurus ijinnya di instansi-instansi yang terkait. Langkah pertama untuk memperoleh perizinan penelitian, peneliti mendatangi Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Deli Serdang. Pada tahap ini peneliti berusaha memberikan penjelasan dan meyakinkan mereka bahwa penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan peranan anak dalam rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli. Pihak BAPPEDA Kabupaten Deli Serdang meresponnya secara positif dengan memberikan surat rekomendasi penelitian. Dengan menunjukkan surat rekomendasi tersebut peneliti mendatangi Kantor Camat Hamparan Perak untuk memperoleh ijin lokasi penelitian di Desa Buluh Cina yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena Camat Hamparan Perak tidak berada di tempat, ijin penelitian ditandatangani oleh Sekretaris Camat Kecamatan 10
Sebuah LSM yang memfokuskan kajiannya pada permasalahan pekerja anak, termasuk pekerja anak di perkebunan tembakau Deli di Desa Buluh Cina. LSM ini berdiri sejak tahun 1998 dan didukung oleh 15 staf berpengalaman. Saat ini LSM Mahardika melakukan pendampingan terhadap pekerja anak perkebunan terutama dalam meningkatkan pendidikan pekerja anak sebagai salah satu hak dasar anak sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hak Anak.
33
Hamparan Perak. Di kantor Camat itu peneliti bertemu dengan Bapak Suriadi yang menjabat sebagai Sekretaris Desa Buluh Cina. Dari keduanya, peneliti mengetahui bahwa Desa Buluh Cina selain sebagai komunitas perkebunan ternyata juga desa pertanian. Mayoritas penduduknya adalah suku Jawa yang sebagian besar bekerja sebagai buruh perkebunan tembakau Deli. Buruh tembakau Deli telah dilakukan oleh para pendahulu mereka sejak kolonial Belanda, yang sering disebut ”kuli kontrak”. Tahap kedua adala h mendatangi kantor Kepala Desa untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai masyarakat Desa Buluh Cina. Melalui Sekretaris Desa, peneliti diperkenalkan dengan Kepala Desa. Tahap kedua ini merupakan tahap yang cukup melelahkan karena selama dua minggu pertama, peneliti terpaksa pulang balik Medan – Desa Buluh Cina. Hal ini disebabkan surat ijin penelitian dari pihak perkebunan belum mendapat rekomendasi dari pihak Direksi PTPN II sebagai pimpinan tertinggi dalam struktur kerja dan manajemen produksi perkebunan tembakau Deli. Kesulitan memperoleh ijin penelitian karena kondisi sosial dan politik di sekitar perkebunan tembakau Deli kebun Buluh Cina tidak kondusif. Kondisi yang tidak kondusif ini ditandai dengan maraknya unjuk rasa11 yang dilakukan oleh masyarakat sekitar perkebunan yang menuntut pengembalian tanah rakyat yang telah diserobot pihak perkebunan. Namun, secara administratif, kepala Desa tidak menolak kehadiran peneliti di desa ini, sebaliknya banyak membantu terutama dalam memberikan informasi tentang keadaan penduduk dan informasi lain yang diperlukan oleh peneliti. Adapun informasi yang diperoleh dari kepala Desa adalah meliputi data tentang sejarah desa, kependudukan berupa buku monografi desa, nilai-nilai sosial budaya, sarana pendidikan, pemerintahan, serta kondisi pekerja anak perkebunan di desa Buluh Cina. Dari keterangan Bapak Kepala Desa juga peneliti memperoleh informasi tentang terjadinya perubahan orientasi nilai kerja rumahtangga buruh perkebunan 11
Aksi unjuk rasa yang dilakukan masyarakat yang menamakan kelompoknya sebagai rakyat penunggu, diiringi dengan pembakaran dua bangunan Bangsal milik PTPN II yang berada di Desa Buluh Cina pada awal Maret tahun 2005. Diperkirakan jumlah kerugian yang ditanggung pihak perkebunan mencapai Rp. 20 juta dengan perincian satu bangsal menghabiskan dana 10 juta. Untuk menyelidiki pelaku pembakaran bangsal tersebut, pihak perkebunan melakukan pemantauan yang ketat di lingkungan perkebunan yang dibantu oleh aparat kepolisian. Tanpa mendapat ijin dari pihak perkebunan siapapun tidak diperkenankan masuk ke lokasi perkebunan.
34
dari sektor perkebunan ke sektor industri. Perubahan nilai kerja ini dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk di Desa Buluh Cina dan merosotnya hasil perkebunan tembakau Deli, sehingga mempengaruhi terhadap daya tampung tenaga kerja . Berkembangnya peluang kerja di luar perkebunan yang dapat diakses oleh anak-anak dan pemuda di desa juga mempengaruhi perubahan nilai kerja rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli. Tahap ketiga adalah tahap pengumpulan data primer, dimana peneliti tinggal bersama masyarakat di lokasi penelitian. Pada tahap ini peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap responden baik terhadap orang tua maupun anak-anak yang tinggal di dalam desa. Wawancara dilakukan seputar dunia keluarga dan pekerjaan, nilai kerja yang disosialisasikan kepada anak, faktor -faktor yang mempengaruhi orang tua melibatkan anak-anak bekerja, keinginan meneruskan pekerjaan sebagai buruh, tujuan dan harapan yang diinginkan oleh orang tua kepada anak, nilai dan pe ran anak dalam ekonomi keluarga . Sementara itu khusus untuk anak-anak wawancara mendalam dilakukan guna menggali respon anak-anak terhadap sosialisasi nilai kerja yang dilakukan oleh orang tua beserta anggota kerabat lainnya. Untuk wawancara dengan pekerja anak peneliti banyak dibantu oleh Darwis salah seorang pendamping LSM Mahardika. Pada awalnya beberapa buruh (terutama kaum wanita) menunjukkan rasa takut dan menghindar untuk diwawancarai. Pada akhirnya, peneliti bisa memahami penghindaran mereka lebih didasarkan pada ketakutan akan pertanyaan yang diberikan seputar kondisi keluarga mereka, kondisi kerja dan tanggapan mereka terhadap keadaan perkebunan. Oleh karena itu, peneliti melakukan wawancara selalu didampingi oleh Sekretaris Desa atau anggota keluarga responden lainnya. Setiap data yang diperoleh akhirnya dikonfirmasi melalui sumber lisan, pada saat wawancara dengan anaknya, istrinya, teman sekerja atau dari tetangga. Frekuensi wawancara tidak dilakukan secara merata pada semua responden, ada yang hanya sekali dan ada yang didatangi berulangkali. Hal ini sangat tergantung ketuntasan masalah dan kualitas komunikasi yang terjadi.
35
3.3. Penentuan Responden Langkah awal dalam penentuan responden yang baik dilakukan dengan terlebih dahulu mencari informan. Penentuan informan dilakukan melalui metode bola salju sebagaimana yang dikemukakan oleh Faisal (1990), yaitu aktivitas yang berkaitan dengan usaha mendapatkan data yang benar-benar terjamin dimulai dengan mencari informan dan selanjutnya menemukan beberapa orang buruh yang dapat memberikan informasi lengkap sesuai dengan tujuan penelitian. Upaya-upaya tersebut dimulai dengan melakukan pendekatan kepada pemimpin desa, yaitu Kepala Desa dan Sekretaris Desa. Dari pendekatan ini peneliti diperkenalkan kepada dua orang tokoh masyarakat, satu orang ustad/guru mengaji yang cukup terpandang di desa ini, tiga orang mantan buruh tembakau yang mengetahui sejarah perkebunan dan dinamika perubahan sistem kerja, dua orang rumahtangga buruh yang berhasil melakukan mobilitas vertikal dengan indikator telah memiliki tanah/sawah. Beranjak dari informasi yang diperoleh pada tahap ini, selanjutnya peneliti melakukan pendekatan dan berusaha membina hubungan yang baik terhadap anak-anak, orang tua dan seluruh penduduk Desa Buluh Cina. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mendapatkan responden. Untuk kepentingan itu, maka peneliti selalu mengikuti aktivitas mereka yang tidak hanya terbatas di lingkungan tempat tinggal tetapi juga ikut ambil bagian di kebun tembakau dimana mereka banyak menghabiskan waktunya. Dalam suasana sebagaimana dimaksud, peneliti tidak hanya diterima sebagai bagian dari warga mereka, tetapi dapat juga mengetahui dan merasakan sebagian dari dinamika kehidupannya. Mereka merasa senang dan memberikan respon de ngan selalu bersikap terbuka dan membantu proses penelitian ketika peneliti ada kesulitan memahami cara kerja, sistem nilai, budaya dan bahasa yang berlaku. Menurut Wahyuni (2000) penciptaan suasana seperti ini penting dilakukan dalam rangka pencapaian sasaran penelitian dapat berhasil. Informasi yang diperoleh selain wawancara dengan responden bisa juga dengan melakukan observasi terhadap aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Urut-urutan kegiatan tersebut sangat penting dilakukan agar penelitian ini terarah ke dalam permasalahan yang dirumuskan. Namun, dengan berbagai keterbatasan, seperti dana, tenaga dan waktu yang ada tidak mungkin untuk
36
menjangkau keseluruhan populasi di seluruh Desa Buluh Cina. Dengan merujuk kepada Sitorus (1998) yang menyebutkan bahwa tujuan utama dari sebuah penelitian kualitatif adalah mendeskripsikan kenyataan yang se benarnya dan sebagaimana adanya. Berdasarkan rujukan itu, maka penelitian ini menggunakan suatu sampel menurut keterwakilan aspek masalah dan tidak mengutamakan aspek keterwakilan populasi. Dengan kata lain, sampelnya tidak bergantung kepada jumlah populasi, melainkan kasus yang dapat menggambarkan kedalaman masalah. Penentuan responden dilakukan secara sengaja (purpossif) dengan terlebih dahulu peneliti menetapkan kriteria tertentu, yaitu: (1) rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli yang memiliki anak dibawah 18 tahun, (2) Anak-anak mereka terlibat bekerja baik di perke bunan sebagai tenaga keluarga maupun di luar perkebunan yang dapat memberikan peranan besar untuk membantu ekonomi keluarga, (3) rumahtangga buruh tetap yang masih terikat secara struktural dengan pihak perkebunan. Berdasarkan kriteria tersebut, maka sampel responden yang dipilih berjumlah delapan rumahtangga. Pilihan dilakukan dengan me mpertimbangkan bahwa selama dua minggu pertama menggali kehidupan buruh di lokasi penelitian, hanya delapan rumahtangga itulah yang paling terbuka dalam menyampaikan informasi yang dibutuhkan kepada peneliti. Pilihan terhadap responden juga dilakukan dengan mendasarkan pada keragaman tingkat pendidikan kepala rumahtangga, keterlibatan anggota rumahtangga terutama anak-anak dalam pekerjaan produktif dan reproduktif, serta kepemilikan alat produksi seperti tanah/ladang, ternak dan lain sebagainya. Rumahtangga buruh yang menjadi sampel responden dalam pengumpulan data primer yang ditetapkan dengan sengaja menurut keterwakilan aspek masalah, yakni: Pertama, responden keluarga Bapak Legiran (42 tahun). Beliau lahir dan dibesarkan di komunitas perkebunan tembakau Deli. Bekerja sebagai buruh perkebunan merupakan sumber ekonomi keluarga di dalam kehidupannya. Sejak usia tujuh tahun orangtua beliau telah memperkenalkan nilai kerja buruh dengan cara membawanya bekerja di kebun tembakau. Hal demikian memang lumrah di kalangan komunitas perkebunan tembakau, karena anak laki-laki dibiasakan untuk secepatnya dapat membantu tugas-tugas orangtua di kebun tembakau. Pekerjaan
37
tembakau telah menjadi pekerjaan turun temurun di desa Buluh Cina. Sejak menikah dengan Ponitri (37 tahun), keluar ga Bapak Legiran tinggal di rumah orangtua istrinya yang merupakan mantam buruh tembakau Deli. Setelah mertuanya pensiun, rumah tersebut menjadi hak pakai atas nama Bapak Legiran. Setelah menikah kurang lebih 20 tahun, keluarga ini dikarunia dua orang anak laki-laki. Keluarga Bapak Legiran mencirikan kasus buruh yang tidak memiliki modal ekonomi berupa tanah untuk menunjang kebutuhan keluarga. Kedua, responden keluarga Bapak Syamsuddin (46 tahun). Beliau lahir dan dibesarkan dalam komunitas perkebunan tembakau Deli. Sejak umur lima tahun, beliau sudah terbiasa bekerja di kebun tembakau untuk sekedar membantu ayahnya yang kebetulan bekerja sebagai buruh tembakau. Kebiasaan bekerja pada usia muda menyebabkan beliau tidak tertarik untuk melanjutkan sekolah sampai tingkat SLTP. Setelah menikah dengan bu Surtini (43 tahun), beliau diterima bekerja sebagai buruh tetap di kebun tembakau. Menjadi buruh perkebunan merupakan sumber utama ekonomi keluarga, karena pak Syamsuddin belum mampu memiliki tanah, ternak dan asset ekonomi lainnya. Akibatnya, pak Syamsuddin sejak kecil sudah memanfaatkan tenaga kerja anak-anaknya untuk membantu di kebun dan di pekerjaan lain yang mendapatkan uang. Beliau memiliki empat orang anak Surif (20 tahun), Hendi (17 tahun), Srimulyani (15 tahun) dan Dewi (13 tahun) yang selalu membantu ekonomi keluarga, dimana dua orang diantaranya telah bekerja di luar perkebunan, satu orang masih sekolah kelas tiga SMP, dan satu orang lagi bekerja di perkebunan sebagai buruh harian lepas yang diharapkan oleh Bapak Syamsuddin akan melanjutkan pekerjaannya sebagai buruh tembakau. Ketiga, responden keluarga Bapak Aman (50 tahun). Beliau sudah sangat sulit mengingatkan persisnya tanggal, bulan dan tahun kelahirannya. Suatu hal yang masih dapat terngiang dalam ingatannya adalah dia sebagai anak kuli tembakau Deli dan bekerja sebagai buruh perkebunan di Desa Buluh Cina. Bagi Bapak Aman, keterlibatan anak membantu kerja di kebun tembakau sangat penting. Bapak Aman memiliki tiga orang anak laki-laki, salah satunya tetap menginginkan meneruskan pekerjaannya sebagai buruh. Karena itu, pada usia anak-anaknya masih muda, mereka telah dibiasakan bekerja keras, mandiri dan
38
ulet, di samping untuk membantu ekonomi orang tua bekerja di kebun, mengangon dan pekerjaan domestik. Keluarga ini juga menunjukkan tipologi keluarga yang tidak memiliki tanah/sawah. Keempat, responden Bapak Sutardjo (48 tahun). Beliau lahir dan dibesarkan di luar perkebunan. Namun sejak kecil sudah mengenal pekerjaan di kebun tembakau dari pamannya yang kebetulan bekerja sebagai buruh tembakau. Orang tuanya sendiri bekerja sebagai petani dan tinggal di desa dekat perkebunan. Berdasarkan pengakuannya sebagai seorang buruh, peranan anak dalam membantu ekonomi orang tua terutama untuk bekerja di perkebunan sangat penting, disamping sebagai bentuk penghargaan terhadap etika sosial bagi seorang anak tetapi juga merupakan ajang latihan atau magang untuk mempersiapkan anak-anak menjadi kepala keluarga ketika saatnya nanti telah bersistri. Jadi ketika usianya dipandang dewasa dan siap membentuk rumahtangga anak-anak telah mengenal cara-cara strategi berproduksi untuk kebutuhan keluarga. Kelima, responden Bapak Sugiono (48 tahun). Beliau merupakan keturunan buruh tembakau Deli, dimana orang tuanya termasuk generasi kedua yang tinggal di Desa Buluh Cina. Pekerjaan perkebunan tembakau di perkenalkan orang tuanya sejak usia kecil, meskipun dia tidak dapat mengingat persisnya umur berapa mulai bekerja di perkebunan, namun yang masih diingatnya adalah dia mulai bekerja sewaktu masih sekolah SD. Bapak Sugiono berhenti sekolah setelah tamat SD dan tidak melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggai, karena dia tidak memiliki minat untuk sekolah dan lebih ingin cepat-cepat bekerja. Pilihan Bapak Sugiono untuk bekerja sebaga i buruh di perkebunan tembakau, karena pada masa itu lowongan pekerjaan lain tidak tersedia. Sementara itu, orang tuanya sangat mendukung pilihan Bapak Sugiono untuk bekerja di perkebunan, karena merupakan tradisi pada masyarakat Buluh Cina, bekerja sebagai buruh tembakau diteruskan secara turun temurun. Dorongan ini lebih disebabkan adanya fasilitasfasilitas yang diberikan perkebunan, berupa rumah untuk tempat tinggal selama menjadi buruh, upah tetap, dan fasilitas kesehatan. Bapak Sugiono menikah pada usia 17 tahun dengan seorang gadis yang berdomisili di desa Buluh Cina. Selain membantu pekerjaan Bapak Sugiono di kebun tembakau, istrinya juga bekerja sebagai buruh harian lepas mencari ulat di kebun tembakau dan bekerja menyortir
39
daun tembakau di gudang pengeringan. Dari perkawinannya dengan Bu Astri (43 tahun), mereka memiliki empat orang anak, dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Diantara anaknya tersebut dua orang telah menikah, satu orang masih sekolah kelas satu SMP, sementara satu orang lagi berusia tiga tahun. Dari usaha Bapak Sugiono dan istrinya, mereka telah memiliki tanah seluas 1,5 ha dan memiliki hewan ternak peliharaan sebanyak lima 5 ekor lembu. Sejak kecil, kepada anak-anaknya telah diperkenalkan bagaimana sistem pekerjaan tembakau, bekerja di sawah dan tanggungjawab untuk mengangon dan mengarit rumput untuk makanan ternak. Pelibatan anak-anak ikut bekerja sejak usia kecil selain untuk membantu ekonomi keluarga, tepi juga bagian dari proses sosialisasi nilai kerja sehingga bila anak-anaknya besar tidak sulit untuk bekerja. Adanya sumber penghasilan di luar perkebunan, Bapak Sugiono dan istrinya tidak mengharapkan anak-anaknya bekerja di luar perkebunan, seperti yang berkembang pada akhirakhir ini di Desa Buluh Cina. Keenam, responden keluarga Bapak Usman (45 tahun). Beliau termasuk keturunan kuli kontrak. Masa kecil beliau banyak dihabiskan untuk membantu pekerjaan orang tuanya di kebun tembakau dan di sawah. Sejak kecil orang tua pak Usman selalu memberikan pelajaran bagaimana mengelola tanaman tembakau. Hal ini disadari pak Usman sangat penting untuk bekal mencari pekerjaan ketika memasuki pernikahan dan menjadi kepala keluarga. Berkat pendidikan yang diberikan orang tuanya , dia dapat meneruskan pekerjaan sebagai buruh tembakau.
Bapak Usman menikah pada usia 18 tahun dengan salah
seorang gadis (Rini 37 tahun) yang juga termasuk keturunan buruh tembakau Deli. Dari perkawinanya tersebut, mereka telah memiliki anak empat orang, Tono (17 tahun), kelas satu STM, Ariyanto (15 tahun), kelas dua SMP, Anti (9 ta hun) kelas empat SD dan Wulandari (3 bulan). Bapak Usman selalu menasehati dan memberikan pelajaran kepada anak-anaknya agar rajin-rajin membantu pekerjaan orang tua baik di kebun tembakau, di sawah dan di rumah. Hal ini penting dalam membantu ekonomi keluarga dan juga berguna bagi anak-anaknya dikala mereka memasuki remaja dan untuk kepentingan mencari pekerjaan nantinya. Berkat kegigihan Bapak Usman bersama istri dan anak-anaknya, saat ini keluarga Bapak Usman selain menggantungkan hidup di perkebunan, beliau juga telah memiliki
40
tanah seluas 2,5 ha yang diusahakan dengan menanam tanaman padi dan holtikultura secara bergantian mengikuti musim. Oleh karena itu anak-anak Bapak Usman selain diajak bekerja di kebun tembakau juga bekerja di ladang. Keluarga ini tidak mengharapkan anak-anaknya akan menjadi buruh di kebun tembakau, karena bisa bekerja sebagai petani sambil bekerja di kebun tembakau. Namun, apabila ada kesempatan diantara anak-anaknya tetap meneruskan pekerjaan di tembakau, sehingga dapat bekerja di sawah dan di kebun secara melengkapi. Ketujuh , responden Bapak Aryadi (41 tahun) merupakan keturunan dari keluarga buruh perkebunan tembakau Deli. Jabatan terakhir orang tuanya di perkebunan adalah sebagai mandor. Sama seperti sembilan orang saudaranya, ketika musim tanam tembakau orang tua nya selalu melibatkan mereka untuk bekerja. Jenis pekerjaan yang diikuti oleh responden adalah mulai dari proses persiapan, penanaman, perawatan sampai panen tembakau. Banyaknya pekerjaan yang dibebankan kepada orangtuanya, maka kesempatan untuk sekolah tidak ada. Pendidikan responden sendiri hanya sampai SD. Walaupun demikian pak Aryadi dapat bekerja sebagai buruh di kebun tembakau, karena untuk menjadi buruh perkebunan tembakau tida k memerlukan tingkat pendidikan. Syarat utama diterima bekerja sebagai buruh hanya kesanggupan untuk bekerja dalam mengelola tembakau dan kepatuhan terhadap pihak perkebunan. Di antara sembilan orang saudaranya, lima orang bekerja meneruskan profesi orang tua sebagai buruh perkebunan tembakau. Setelah menikah responden tinggal di rumah keluarga istri hingga sekarang dan tinggal bersama mertua dan saudara-saudara istrinya. Bapak Aryadi telah memiliki tiga orang anak, satu orang perempuan yang sudah sekolah di kelas tiga SD, dua orang lagi masih belum sekolah. Karena anak-anak Bapak Aryadi masih kecil-kecil, maka belum ada yang dapat membantu
bekerja
di
kebun
tembakau.
Kehadiran
mertua
di
rumah
menguntungkan bagi istrinya, karena dapat leluasa bekerja di luar rumah. Istrinya ikut bekerja terutama pada masa tanam tembakau, yaitu memupuk tembakau, mencari ulat dan di bangsal pengeringan, istrinya juga bekerja dibagian penyortiran. Bapak Aryadi merupakan tipologi buruh yang memiliki sawah di luar perkebunan yang diperoleh dari pembagian warisan dari keluarga istrinya.
41
Kedelapan, responden keluarga Bapak Purwanto (47 tahun). Beliau termasuk keturunan kuli tembakau yang termasuk keturunan ketiga. Bekerja sebagai buruh perkebunan tembakau sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat di Buluh Cina, termasuk pada keluarga Bapak Purwanto, sehingga tidak heran bila dia telah mendapatkan sosialisasi nilai kerja tembakau pada usianya masih muda. Beliau menikah pada usia 16 tahun dan saat ini telah dikaruniai lima orang anak. Kelima orang anaknya selalu ikut membantu pekerjaan di kebun tembakau ataupun di sawah. Selain kelima orang anaknya, istri juga bekerja menyortir daun tembakau di gudang pemeraman pada saat musim tembakau, dan pada musim motong tebu, istrinya sesekali ikut bekerja memotong tebu bersama anakanaknya. Bapak Purwanto merupakan tipologi keluarga buruh yang memiliki tanah/sawah yang berhasil diperoleh berkat kegigihannya selama kurang lebih 18 tahun bekerja di perkebunan. Karakteristik responden penelitian selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 N o
1
2
3
4 5
6
7
8
Nama Kepala rumah tangga Legiran
Umur
42
Tempat Lahir
Desa Buluh Cina Syamsuddin 46 Desa Buluh Cina Aman 50 Desa Buluh Cina Sutarjo 48 Desa luar Sugiono 48 Desa Buluh Cina Usman 45 Desa Buluh Cina Aryadi 41 Desa Buluh Cina Purwanto 47 Desa Buluh Cina Sumber : Data Primer, 2005
Asal keluarga
Nama Istri
Umur
Pekerjaan
Istri
Jumlah Anak L P
Pemilikan Modal Tanah
Ternak
Kuli kontrak Jawa Kuli kontrak Jawa Kuli Kontrak Jawa Petani biasa Kuli Kontrak
Ponirin
37
Ikut Suami
2
-
-
-
Surtini
45
BHL
2
2
-
-
Mariya
47
-
4
2
Intan
45
BHL
3
2
-
Astri
43
BHL
2
2
1,5 ha
Kuli kontrak
Rini
39
-
2
2
2,5
5 ekor 5 ekor lembu 4
Kuli kontrak
Misnah
35
BHL
2
1
2 ha
10
Kuli kontrak
Jumiati
40
BHL
4
1
2 ha
42
Rumahtangga buruh perkebunan digunakan sebagai unit analisis dengan pertimbangan kajian penelitian ini tidak terlepas dari hubungan antar anggota rumahtangga terutama dalam melakukan strategi bertahan hidup. Lebih lanjut, unit analisis rumahtangga juga dipilih untuk melihat keragaman pola nafkah dan pola pembagian kerja yang dibangun anggota rumahtangga, sehingga dapat memperlihatkan peran masing-masing anggota rumahtangga, termasuk peran anak dalam membantu ekonomi keluarga. Sekalipun aktivitas kerja dilakukan oleh individu anggota keluarga, namun pengelolaannya berada dalam satu unit rumahtangga. Dalam penelitian ini, pengertian keluarga dan rumahtangga dibedakan, dimana anggota dari suatu rumahtangga tidak selalu bertampat tinggal di satu rumah yang sama dan sebaliknya penghuni satu rumah bisa lebih dari satu rumahtangga. Dengan mengacu kepada pendapat White (1978), rumahtangga di pedesaan Jawa, merangkap fungsi banyak yaitu sebagai unit produksi, konsumsi, reproduksi, serta unit interaksi sosial-ekonomi dengan tujuan utama untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan anggotanya. Kebutuhan anggota rumahtangga dipenuhi dalam satu dapur yang sama. Setiap bagian dari anggota rumahtangga baik ayah, ibu, anak, maupun kerabat mempunyai fungsi dan peranan masingmasing dalam satu totalitas, akan tetapi peran tersebut saling menunjang dalam rangka mempertahankan kelangsungan keluarga. Dengan demikian, dalam penelitian ini unit analisis rumahtangga dipahami sebagai sebuah unit sosial terkecil dimana anggota rumahtangga berada dalam satu dapur yang sama.
3.4. Teknik Pengumpulan data Data-data penelitian dikelompokkan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang berupa informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi orang tua menginginkan anaknya menjadi buruh, nilai anak pada keluarga buruh, sosialisasi nilai kerja, dan respon pekerja anak sendiri terhadap adanya regenerasi buruh. Data primer diperoleh dari informan (orang yang memberi keterangan tentang orang lain) serta responden (orang yang memberi keterangan tentang dirinya sendiri). Informan adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintah desa, pensiunan buruh, mantan pekerja anak dan pihak perkebunan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara
43
mendalam dan pengamatan berperan serta dimana peneliti selalu bersama dengan responden. Wawancara yang berlangsung pada masing-masing responden dilaksanakan dalam bahasa Indonesia, meskipun sesekali responden menggunakan bahasa ibu (Jawa). Pada saat responden tidak dapat berbahasa Indonesia, peneliti membawa informan kunci yang dapat menerangkan jawaban dari responden. Proses wawancara tidak hanya di rumah tempat tinggal responden, tetapi juga dilakukan di tempat-tempat kerja, terutama pada delapan responden. Perpindahan tempat wawancara tersebut dipandang cocok dan layak digunakan sebagai suatu variasi untuk meningkatkan mutu wawancara, sehingga data yang diperoleh benar-benar lengkap dan valid. Tahapan ini dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara yang telah dipersiapkan. Meskipun demikian, proses wawancara, tetap mengandung kelemahan dan hambatan, antara lain ketika panduan wawancara belum sempat dikembangkan pada saat responden kesulitan mengingat peristiwa masa yang lalu, kesulitan mengekspresikan hal yang dialaminya dan kurang mampu menangkap pertanyaan peneliti. Untuk itu ketika wawancara berlangsung, peneliti menjadi partisipasi aktif sambil melakukan pengamatan langsung pada rumahtangga responden. Menurut Wahyuni (2000) langkah seperti itu merupakan sebuah langkah yang benar dan mendapat keuntungan, dimana pengamatan langsung mempunyai kemungkinan-kemungkinan untuk mencatat hal-hal baru, perilaku keseharian dan sebagainya pada saat kejadian itu berlangsung atau sewaktu perilaku tersebut terjadi. Dengan kata lain data yang langsung mengenai perilaku responden dapat dicatat segera dan tidak menggantungkan daya ingatan semata. Artinya, pada saat proses pengumpulan data melalui wawancara mendalam, panduan wawancara harus disiapkan lebih dahulu secara terencana, sistematis dan terkait dengan tujuan penelitian. Keselurahan hasil wawancara tersebut ditulis dalam catatan harian. Catatan harian inilah yang menjadi instrumen utama dalam penelitian tentang peran anak dan sosialisasi nilai kerja pada rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli. Jenis data, sumber informasi dan cara pengumpulan data yang dia mbil dapat dilihat dalam tabel 2.
44
Tabel 2. Jenis Data, metode pengumpulan Data dan sumber data Tujuan Penelitian
Data yang dikumpulkan
1. Faktor-faktor • Nilai anak bagi keluarga yang mendorong buruh orang tua • Tujuan dan harapan orang menginginkan tua terhadap peranan anak anaknya menjadi dalam membantu ekonomi generasi buruh di keluarga perkebunan? • Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan orang tua mempekerjakan anak • Kesesuaian tujuan dengan kenyataan 2. mekanisme • Upaya-upaya yang dalam dilakukan orang tua menghasilkan • Sosialisasi dan penanaman generasi buruh nilai kerja di perkebunan? • Menjaga hubungan dengan pihak perkebunan. 3. respon pekerja • tekanan-tekanan yang anak dalam dihadapi pekerja anak menanggapi • strategi yang dilakuk an keinginan orang anak tua • potret harapan dan cita-cita anak
Metode Pengumpulan Data Wawancara, observasi
Sumber Data Orang tua, buruh anak
Wawancara, observasi
Orang tua buruh anak,
Wawancara, pengamatan partisipatif
Buruh anak, mantan buruh anak
3.5. Teknik Analisa Data Data primer maupun data skunder yang diperoleh dari penelitian lapangan diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisa data kualitatif, yang dimulai sejak hari pertama peneliti melakukan penelitian lapangan dan berlangsung secara terus menerus hingga penelitian selesai dilakukan. Miles dan Huberman (1992) membagi tiga alur kegiatan dan dilakukan secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi. Tahap pertama , reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan (Miles dan Huberman, 1992). Reduksi data meliputi kegiatankegiatan: meringkas data, mengkode, menelusur i tema, membuat gugus, me mbuat partisi dan menulis memo (Sitorus, 1998). Teknik analisis data selalu mengacu pada topik penelitian yaitu faktor -faktor yang menyebabkan orangtua mewariskan
45
generasi buruh diperkebunan, sosialisasi nilai kerja dalam keluarga buruh dan respon pekerja anak terhadap sosialisasi nilai kerja . Data yang terkumpul kemudian dilakukan pengkodean kedalam beberapa topik penting yang kemudian menjadi topik pembahasan. Kejadian sosial diurutkan sesuai dengan kejadian agar hubungan antar faktor dapat dianalisis. Tahap kedua, penyajian data dilakukan dalam beberapa bentuk, yaitu: (a) kutipan pernyataan responden dan informan, (2) tabel dan grafik untuk menggambarkan perubahan nilai kerja, (c) gambar untuk mendeskripsikan tempat tinggal rumahtangga buruh. Keseluruhan jenis penyajian tersebut dirancang untuk menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah dipelajari, sehingga peneliti dapat menentukan kesimpulan yang benar. Tahap ketiga, menarik kesimpulan melalui verifikasi yang dilakukan selama penelitian berlangsung dengan menghubungkan semua kejadian sosial yang ditemukan. Sebelum hasil temuan menjadi kesimpula n tetap peneliti, penginterpretasian kesimpulan sementara dilakukan bersama responden. Apabila interpretasi yang diungkapkan menunjukkan kesesuaian maka temuan tersebut akan menjadi kesimpulan tetap peneliti. Sebaliknya bila kesimpulan sementara belum sesuai dengan interpretasi responden, peneliti mencari data, menganalisis dan merumuskan kesimpulan kembali.
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Sejarah Desa Buluh Cina Sejarah
lahirnya
Desa
Buluh
Cina
tidak
bisa
dilepaskan
dari
perkembangan perkebunan tembakau Deli di Sumatera Timur. Konon sebelum perkebunan besar hadir, wilayah desa Buluh Cina merupakan hutan belantara yang dikuasai oleh Sultan Deli dengan perantaraan Datuk Hamparan Perak. Desa Buluh Cina sebagai enklave kebun diperkuat oleh kedudukan emplasmen yang amat penting bagi perkembangan sosial ekonomi di Desa Buluh Cina. Perkebunan ini dibuka NV Cultuur Maatschappij sekitar tahun 1879 yang selanjutnya dikembangkan oleh kolonial Belanda. Seiring dengan perluasan areal perkebunan tembakau, pemerintah kolonial Belanda membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Penduduk asli yang tinggal di se kitar lingkungan perkebunan kebanyakan etnik Melayu, Batak dan Karo menolak untuk menjadi buruh di perkebunan. Sebaliknya, penduduk lokal menunjukkan ketidaksenangannya terhadap pihak perkebunan. Hal ini dapat dilihat dari adanya perlawanan yang pada dasar nya disebabkan dua hal. Pertama, tanah rakyat yang diambil oleh perkebunan, sehingga masyarakat setempat yang dahulunya juga menanam tembakau tidak lagi dapat menanam tembakau karena ketiadaan lahan. Kedua hilangnya pasar eksport tembakau bagi rakyat. Sulitnya mencari tenaga kerja, menyebabkan tuan kebun berusaha untuk mendatangkan kuli dari dataran Cina12, India dan Jawa dengan cara membuat sistem kontrak kerja. Dalam perkembangannya orang Cina dan India sebagian besar sukses mengakumulasi modal dan mengembangkan kegiatan ekonomi di dalam maupun di luar perkebunan. Sedangkan orang-orang Jawa tetap tinggal terbenam dalam kehidupan sebagai buruh perkebunan dari generasi ke generasi karena tergantung pada upah kerja yang hanya dapat digunakan untuk kebutuhan subsisten. Hingga saat ini, keturunan kuli Jawa tetap menempati Desa Buluh Cina dan sebagian besar tetap bekerja sebagai buruh tembakau Deli. 12
Ketika Neinhuyus pertama kali membuka kebun tembakau, dia mempekerjakan 88 orang Cina dan 23 orang Melayu dan buruh Cina khusus dipekerjakan untuk perkebunan tembakau terutama pada jenis pekerjaan menanam dan menyortir daun tembakau (Sairin, 1997)
47
Berdasarkan cerita yang berkembang pada masyarakat setempat, nama Desa Buluh Cina terkait dengan sejarah masuknya kuli kontrak. Kata ”buluh” diambil dari bahasa lokal untuk menyebut pohon bambu berwarna kuning yang tumbuh di sekitar emplasmen. Konon pohon bambu itu dibawa oleh tuan kebun dari Cina yang digunakan untuk melindungi kawasan emplasmen yang disekitarnya berdiri kantor administrasi, perumahan administratur, staf dan asisten dari penduduk lokal dan kuli kontrak yang tidak senang kepada pihak perkebunan. Dalam perkembangannya, bambu kuning banyak digunakan para kuli kontrak untuk menghisap candu atau madat. Para kuli kontrak memiliki kebiasaan menghisap madat yang dipercaya mampu menghilangkan sakit setelah seharian bekerja. Pihak kolonial Belanda tidak melarang menghisap madat, karena kenyataannya madat digunakan sebagai salah satu strategi tuan kebun untuk menciptakan ketergantungan buruh terhadap perkebunan. Dengan demikian, pihak perkebunan tidak mendapat hambatan untuk memperoleh tenaga kerja, bahkan ketergantungan buruh menjadi jaminan penyediaan tenaga kerja jangka panjang. Pada tahun 1950 komunitas perke bunan ini resmi menjadi sebuah desa otonom yang diberi nama Buluh Cina. Pada awal berdirinya desa, peran administrasi perkebunan sangat besar. Bahkan proses pendirian desa di dorong oleh para elit perkebunan. Pihak perkebunan tidak lagi menjadi sumber kontrol sebagaimana terdahulu , namun perannya tidak hilang begitu saja. Kepemimpinan desa masih bercorak perkebunan meski ada sumber kekuasaan lain. Sebelum dipimpin oleh Kepala Desa yang sekarang, Desa Buluh Cina telah memiliki enam orang Kepala Desa. Kepala Desa yang pertama adalah seorang buruh tembakau yang bernama Citro Miharjo. Kepemimpinannya diawali pada tahun 1950-an, yang selanjutnya digantikan oleh Muto Gino. Kepemimpinan Muto Gino tidak berlangsung lama, karena itu kepala desa digantikan Muchtahudin. Pada masa kepemimpinan Muchtahudin terjadi beberapa perubahan sistem pemerintahan desa, yaitu tidak bergantung secara penuh kepada pihak perkebunan. Setelah kepala desa Muchtahudin berhenti, kepala Desa Buluh Cina diteruskan oleh Jamirin sampai tahun 2005. Dan untuk periode 2005 - 2010, kepala desa dijabat Bapak Zainal yang terpilih saat tepatnya tanggal 16 April 2005.
penelitian ini dilakukan,
48
4.2. Letak Geografis dan Keadaan Alam Desa Buluh Cina terletak 25 km ke arah Barat Daya Kota Medan yang merupakan Ibu Kota Provinsi, 45 km dari Ibu Kota Kabupaten Deli Serdang – Lubuk Pakam, dan 5 km dari ibu kota Kecamatan Hamparan Perak. Lokasi dapat dicapai dengan menaiki angkutan umum di terminal Pinang Baris - Medan tujuan Hamparan Perak. Perjalanan mengarah ke Selatan dan akan melintasi sebagian wilayah Kota Medan yang langsung berbatasan dengan kawasan perkebunan PTPN II, seperti perkebunan Helvetia, Klambir Lima, dan Klumpang.
Dari
Hamparan Perak, perjalanan menuju Buluh Cina mengarah ke Barat Laut. Kondisi jalan beraspal tetapi pada beberapa tempat mengalami kerusakan yang cukup berat, akibatnya perjalanan memakan waktu 60 menit untuk sampai di Desa Buluh Cina. Sepanjang perjalanan terdapat pemukiman penduduk yang mengelompok yang merupakan bangunan perumahan kopel milik perkebunan. Sekitar tiga kilometer sebelum memasuki Desa Buluh Cina terbentang tanaman tebu, hutan jati, dan bangsal-bangsal pengeringan tembakau. Desa Buluh Cina berbatasan dengan Desa Kota Rantang sebelah Utara, Desa Paya Bakung di sebelah Selatan, Desa Tandam Hilir di sebelah Barat dan Desa Klambir Lima di sebelah Timur. Kondisi topografi desa tergolong dataran rendah dengan posisi permukaan mendatar yang berada pada ketinggian 5 m sampai dengan 15 m dari permukaan laut. Angka curah hujan rata-rata sepanjang tahun cukup tinggi, yaitu 1.500 mm pertahun. Temperatur udara berkisar antara suhu terendah 24° dan tertinggi 32° celcius setiap tahunnya. Dengan kondisi topografi desa tersebut, maka tanaman yang paling cocok tumbuh dan berkembang adalah tembakau, tebu, dan pohon jati. Hingga saat ini hanya tembakau dan tebu saja yang terus berkembang, sedangkan jenis tanaman yang terakhir konon memiliki sejarah yang baik perkembangannya, akan tetapi tanpa banyak diketahui sebabnya kini tanaman itu hampir tidak ditemukan lagi. Secara administratif, Desa Buluh Cina terbagi atas 22 dusun dengan perkampungan yang tersebar mengikuti luasan areal perkebunan. Tiga dusun berlokasi di sekitar pusat desa, yaitu dusun Karang Jati, dusun Emplasmen B, dan dusun Militan. Sementara dusun lainnya terpencar mengelilingi luasan
49
perkebunan dengan jarak antara 5 – 20 km dari pusat desa. Kesembilanbelas dusun yang tersebar di luar pusat desa itu adalah; dusun Karang Bangun, dusun Karang Turi, dusun Karang Luas, dusun Pasar 8, dusun Amplasmen A, dusun Kloni IV, dusun Krani Lama, dusun Limau Miri, dusun Tegal Rejo, dusun Bambangan I, dusun Bambangan II, dusun Kloni II, dusun Militan, dusun Kloni III, dusun Pasar III, dusun Pasar V, dusun Pasar VII, dusun Segitiga, dusun Ampera, dusun Kota Rantang, dan dusun Jatiwangi. Luas wilayah desa keseluruhan 3.683 ha dengan tataguna tanah seperti pada tabel 3. Disamping penggunaan untuk pemukiman, pekarangan dan sarana umum seperti jalan, sekolah, lapangan dan lain -lain, sebagian besar tanah merupakan areal perkebunan milik PTPN II yang letaknya mengelilingi pemukiman penduduk. Sejak tahun 2000 yang lalu, status HGU tanah milik perkebunan yang terletak di Desa Buluh Cina telah berakhir. Menurut informan Bapak Novian (asisten kebun) tanah perkebunan yang telah berakhir HGU-nya sebagian telah diperpanjang, namun hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan surat ijin. Hal ini dipengaruhi oleh adanya pihak masyarakat sekitar perkebunan yang mengklaim sebagian tanah milik perkebunan sebagai tanah milik mereka. Masalah perpanjangan HGU tanah milik perkebunan melahirkan konflik antara masyarakat sekitar perkebunan dengan pihak perkebunan.
Tabel 3. Luas Wilayah Desa Buluh Cina Berdasarkan Tataguna Tanah, Tahun 2003 No 1. 2. 3. 3. 4.
Penggunaan Perumahan dan pekarangan Persawahan Ladang/Tegalan Perkebunan Lainnya (jalan, sekolah, dll) Jumlah
Luas (ha) 55 ha 510 ha 190 ha 2905 ha 23 ha 3.683 ha
Persentase 1,49 13,8 5,16 78,88 0,62 100
Sumber: Monografi Desa Buluh Cina, 2003
Lingkungan pemukiman yang terbentuk di kebun Buluh Cina memiliki karakteristik yang merefleksikan struktur hierarkis masyarakat perkebunan. Pusat perkebunan Buluh Cina terletak di sekitar emplasemen seluas 59.51 ha.
50
Lingkungan emplasmen terdiri dari rumah tinggal administratur, bangunan kantor, gudang pemeraman tembakau, sekolah taman kanak-kanak, mesjid serta kompleks khusus pemukiman staf pegawai kantor administratur dan asisten lapangan. Bangunan rumah yang ditempati oleh administratur merupakan bangunan lama tetapi terlihat paling megah. Rumah tersebut merupakan peninggalan pejabat perkebunan zaman Belanda yang terbuat dari tembok dan batu dengan atap genting dan berhalaman luas. Para staf dan karyawan tinggal di rumah-rumah yang juga terbuat dari tembok tetapi lebih sederhana dan berhalaman lebih sempit. Sementara itu, buruh kebun tinggal di kompleks pemukiman yang berada jauh dari kompleks emplasemen. Mereka tinggal di kompleks pemukiman yang lebih dekat dengan areal perkebunan. Hal ini terkait dengan sejarah penempatan kuli kontrak yang menempatkan buruh di sekitar areal penanaman tembakau untuk mempermudah para buruh mencapai areal perkebunan. Rumah buruh perkebunan berbentuk kopel dengan bentuk yang seragam. Satu kopel biasanya dibagi atas dua bagia n yang dibatasi oleh dinding. Satu bagian rumah yang merupakan separuh bagian kopel memiliki dua kamar, satu ruang tamu. Dapur biasanya dibangun sendiri oleh keluarga yang menempati bangunan. Dalam perkembangannya, satu kopel dapat ditempati oleh tiga kelu arga atau lebih. Keluarga tambahan ini merupakan keluarga anak-anak para buruh yang menempati kopel semula. Anak-anak itu membangun rumah sendiri berdempetan dengan kopel orang tuanya. Biasanya rumah yang dibangun itu terletak di sebelah samping atau di belakang kopel, sehingga dari bagian depan kopel tidak terlihat dengan jelas. Kecuali pada bagian dapur yang beratapkan rumbia, kopel-kopel itu beratapkan seng. Ruang tengah yang dijadikan tempat menerima tamu dan kedua kamar lainnya berlantaikan semen, sele bihnya jika ada ruangan tambahan di bagian belakang atau dapur masih berlantai tanah. Fasilitas perumahan ini hanya diberikan kepada buruh yang telah berstatus buruh tetap perkebunan, dengan catatan apabila sudah pensiun rumah tersebut akan ditarik kembali (Lihat Gambar 1 lampiran 1). Perkembangan beberapa tahun belakangan ini buruh yang memiliki modal dan kemampuan telah melakukan renovasi rumah kopel menjadi bangunan rumah permanen, karena mereka meyakini rumah serta tanah yang ada akan menjadi hak milik sendiri.
51
4.3. Kependudukan Penduduk yang tinggal di lokasi ini merupakan buruh yang berasal dari kuli kontrak yang beretnik Jawa. Hingga kini, sebagian besar penduduk desa mewarisi pekerjaan nenek moyang mereka menjadi buruh perkebunan tembakau. Sebagian kecil dari mereka bernasib baik karena bisa mencapai kedudukan lebih tinggi daripada sekedar buruh kebun, seperti mandor, asisten, atau staf pegawai kantor. Selain keturunan Jawa, sebagian kecil penduduk Buluh Cina berasal dari etnik Cina dan India. Secara historis kedua etnik ini juga merupakan keturunan kuli kontrak yang didatangkan dari daratan Cina. Berdasarkan data monografi Desa Buluh Cina, diketahui jumlah penduduk pada tahun 2003 tercatat sebanyak 11.454 jiwa, yang terdiri dari 5.711 jiwa pria dan 5.683 jiwa wanita. Jumlah penduduk ini terbagi dalam 3.151 kepala keluarga dengan jumlah rata-rata tiap keluarga adalah 10 jiwa. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup besar bila dibandingkan dengan tahun 1999, jumlah penduduk sebesar 10.099 jiwa yang terdiri atas 4.763 laki-laki dan 5.336 perempuan. Selengkapnya jumlah penduduk Desa Buluh Cina tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Jumlah Penduduk Desa Buluh Cina Menurut Golongan Usia dan Jenis Kelamin, Tahun 2003 No
Golongan Umur
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
0 – 4 tahun 5 – 6 tahun 7 – 12 tahun 13 – 15 tahun 16 – 18 tahun 19 – 25 tahun 26 – 35 tahun 36 – 45 tahun 46 – 50 tahun 51 – 60 tahun 61 – 75 tahun > 76 tahun Total
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 286 361 218 220 450 556 401 527 221 232 215 216 1210 1315 1239 1058 1131 1034 85 105 72 111 90 91 5771 5683
Sumber : Monografi Desa Buluh Cina, 2003
Jumlah 647 438 1006 928 453 431 2525 2297 2165 200 183 181 11.454
52
Dari data di atas dapat diamati bahwa mayoritas penduduk Desa tergolong penduduk dalam kategori muda dan termasuk dalam tenaga kerja produktif. Angkatan kerja yang termasuk dalam kategori tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 10 tahun ke atas. Tenaga kerja ini dibagi atas dua kategori yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja merupakan tenaga kerja yang bekerja atau mencari pekerjaan, sedangkan yang termasuk kategori bukan angkatan kerja adalah tenaga kerja yang tidak mencari pekerjaan, seperi misalnya ibu rumahtangga ataupun pelajar yang masih bersekolah. Berdasarkan monografi penduduk tahun 2003, memperlihatkan bahwa tenaga kerja di desa Buluh Cina adalah sebesar 17.598 jiwa, yang tergolong angkatan kerja sebesar 8.799 jiwa, yang sudah bekerja 7.188 jiwa dan yang belum bekerja 1.611 jiwa. Dengan kata lain jumlah angkatan kerja di desa Buluh Cina adalah sebesar 65,2 persen dari jumlah tenaga kerja, sedangkan bukan angkatan kerja adalah sebesar 34,8 persen dari jumlah tenaga kerja yang ada.
4.3.1. Pendidikan Mayoritas tingkat pendidikan penduduk Buluh Cina adalah tingkat SD. Tercatat sekitar 3.880 tamat SD, 3.844 tamat SLTP, 1.017 tamat SLTA, lulusan Akademi 33 orang, dan Sarjana sekitar 4 orang. Saat ini tercatat pula sekitar 1.006 orang anak masih bersekolah di SD, 928 orang di SLTP, dan 453 orang di SMA. Tingginya jumlah penduduk yang mengecap pendidikan Sekolah Dasar, didukung oleh tersedianya tujuh fasilitas SD yang berada di dusun Ampera, Blambangan, dusun V dan dusun Emplasmen. Sekolah yang paling tua adalah SD induk yang letaknya tepat bersebelahan dengan kantor kepala desa. Sekolah ini berdiri tahun 1980 yang merupakan bantuan pihak perkebunan, sementara SD lainnya merupakan hasil pemerintahan Orde Baru yang berdiri dalam era SD Inpres. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang ada di Desa Buluh Cina sebanyak tiga buah, sekolah Lanjutan Tingkat Atas satu buah dan satu Sekolah Menengah Teknik (STM). Meskipun fasilitas sekolah dapat dikatakan mencukupi untuk tingkat menengah, tetapi kesadaran anak-anak akan pentingnya pendidikan masih rendah. Orientasi pendidikan anak-anak lebih banyak ikut-ikutan. Mereka mau sekolah
53
karena teman-temannya sekolah dan yang lainnya menyatakan sekolah sebagai alasan agar tidak diajak bekerja oleh orangtuanya bekerja ke kebun tembakau atau ke ladang. Berdasarkan catatan salah seorang pendamping sebuah LSM Yayasan Handal Mahardika jumlah anak-anak putus sekolah mencapai 20 – 30 orang anak.
4.3.2. Agama Penduduk Buluh Cina mayoritas menganut agama Islam yaitu sekitar 10.762 orang, Kristen Protestan 335 orang, Kristen Khatolik 215 orang dan Budha ada sekitar 11 orang. Penduduk yang beragama Budha tersegregasi di dusun emplasmen B, penduduk yang beragama Kristen di dusun Ampera dan Segi Tiga. Kedua dusun ini merupakan penduduk pendatang yang berasal dari tanah Batak. Mereka sengaja ditempatkan di dusun tersebut agar mereka lebih leluasa menjalankan agamanya dan sebagian besar mereka memelihara ternak babi yang haram bagi penduduk beragama Islam. Penduduk yang beragama Islam tersebar di beberapa dusun lainnya. Sarana peribadatan yang ada di desa Buluh Cina adalah dua buah mesjid, 19 mushola yang letaknya tersebar di seluruh desa. Bangunan Gereja dua, Vihara satu dan Pura satu buah. Di lingkungan emplasmen yang merupakan tempat kantor administrasi perkebunan Buluh Cina berdiri sebuah mesjid dengan bentuk yang bagus. Mesjid ini didirikan atas bantuan pihak perkebunan. Sementara itu, di dusun pasar tujuh terdapat satu mesjid yang didirikan dari swadaya masyarakat. Walaupun terdapat mushola, masyarakat setempat jarang memanfaatkannya untuk sholat berjama’ah kecuali untuk tempat diselenggarakannya pengajian anak-anak yang dilakukan hampir setiap hari setelah waktu Ashar ataupun setelah magrib. Kegiatan keagamaan yang paling menonjol adala h pengajian menurut kelompok usia dan jenis kelamin. Pengajian kelompok ibu-ibu dilaksanakan setiap hari Jum’at dari rumah ke rumah, pengajian kelompok bapak-bapak dilakukan pada malam Jum’at yang bergilir dari satu rumah ke rumah yang lain sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Selain itu, kegiatan peringatan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha rutin dilakukan. Bentuk penyelenggaraannya sangat beragam dan bervariasi baik antar momentum maupun antar waktu.
54
4.4. Potensi Ekonomi Desa Kondisi wilayah Desa Buluh Cina yang sebagian besar merupakan areal perkebunan PTPN II, menyebabkan penduduk mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai buruh perkebunan baik sebagai buruh tetap, buruh harian lepas, dan buruh musiman. Sebagian kecil bernasib bagus dapat bekerja di kantor administrasi perkebunan, mandor kebun, asisten kebun dan pegawai staf lainnya. Tabel 5 memperlihatkan bahwa lebih dari 45,48 persen penduduk Desa Buluh Cina bekerja di sektor perkebunan tembakau.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Desa Buluh Cina Menurut Jenis Pekerjaan, Tahun 2003 No
Jenis Pekerjaan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Buruh Perkebunan Petani Pemilik Petani Penggarap Pedagang Pegawai Neger i Buruh Pabrik Total
Jumlah (Jiwa) 1151 420 623 56 16 265 2531
Persentase (%) 45,48 16,60 24,61 2,21 0,63 10,47 100
Sumber : Monografi Desa Buluh Cina, 2003
Selain bekerja di sektor perkebunan, sektor pertanian merupakan sektor ke dua yang sangat diandalkan dari Desa Buluh Cina. Pekerjaan bertani dilakukan masyarakat di lahan mereka sendiri atau sebagai buruh tani di lahan pertanian orang lain. Buruh tani ini dilakukan dengan mendapatkan gaji harian dari pemilik tanah, sehingga walaupun warga memiliki lahan pertanian sendiri, memungkinkan untuk bekerja di la han pertanian orang lain mendapatkan penghasilan tambahan. Tanaman yang banyak dibudidayakan adalah padi dan tanaman holtikultura seperti kacang panjang, sayur-sayuran, cabe dan lain -lain. Lahan pertanian yang ditanami padi dan holtikultura secara bergant ian mengikuti masa tanam dan kondisi iklim setempat. Saat penelitian ini dilakukan tanaman yang sedang dipelihara penduduk adalah padi yang sudah mulai panen. Tanaman padi dikembangkan dengan sistem padi tadah hujan, karena di Desa Buluh Cina belum ada irigasi yang mampu mengairi persawahan penduduk yang luasnya sekitar 13.84 persen dari luas tanah desa.
55
Selain sektor pertanian, sektor peternakan merupakan sektor yang juga banyak dilakukan penduduk. Sektor ini merupakan usaha sampingan yang lebih berfungsi sebagai tabungan hidup. Hampir setiap rumah tangga di desa Buluh Cina memelihara ternak sapi, kambing, bebek dan ayam. Hal ini dapat dilihat dari jumlah hewan ternak yang dimiliki oleh warga yang terdiri dari sapi sebanyak 920 ekor, kambing 1.100 ekor, ayam 4.000 ekor, itik 400 ekor, kerbau 3 ekor, dan babi 100 ekor. Hewan ternak digunakan sebagai tabungan ketika tidak musim tembakau dan persediaan biaya pendidikan anak-anak, pembelian perabotan keluarga dan untuk acara perkawinan. Selain sebagai petani dan beternak, akhir-akhir ini banyak juga penduduk yang bekerja di bidang lain seperti pedagang, pegawai negeri, jasa, dan lainnya. Penduduk yang bekerja di bidang non pertanian terutama adalah mereka yang masih berusia muda, memiliki tingkat pendidikan, dan didominasi oleh keluarga yang berasal dari penduduk yang tidak bekerja sebagai buruh di perkebunan. Di sektor non pertanian, terdapat beberapa aktivitas perekonomian sebagai sumber pendapatan penduduk diantaranya berdagang kebutuhan sehari-hari, tengkulak hasil pertanian, serta jasa angkutan (ojek). Perdagangan kebutuhan sehari-hari umumnya dilakukan berupa warung yang terletak langsung di rumah tinggal warga. Tengkulak hasil pertanian seperti kacang-kacangan, pisang, daun pisang dan hasil holtikultura lainnya sifatnya berantai. Para tengkulak membeli barang dagangan dari penduduk dan menjualnya kepada tengkulak tingkat kecamatan atau kabupaten yang masuk ke desa. Sementara ojek banyak dilakukan oleh pemuda yang berusia muda dan pada umumnya mereka berasal dari keluarga preman atau keluarga bukan bekerja sebagai buruh perkebunan. Untuk mendapatkan kebutuhan sembilan bahan pokok, penduduk bisa memperolehnya di warung-warung dan kedei milik penduduk setempat. Dalam waktu yang tidak teratur pedagang ikan, sayuran dari luar desa masuk ke Buluh Cina. Selanjutnya, terdapat satu pasar di dalam Desa Buluh Cina yang dibuka bertepatan pada saat buruh gajian besar dan kecil. Keluarga buruh terbiasa membelanjakan upah/gaji pada pekan tersebut, sehingga untuk kebutuhan hidup sehari-harinya mereka menghutang di warung-warung yang ada dalam desa.
56
4.5. Struktur Sosial Budaya Masyarakat Perkebunan Secara umum dapat dibedakan dua tipe tatanan sosial di Desa Buluh Cina. Dusun yang penduduknya dominan Suku Jawa beragama Islam, sistem kekerabatan Jawa dan dusun yang penduduknya dominan Batak dengan sistem kekerabatan Batak, beragama Kristen. Interaksi sosial antar etnis yang berbeda sangat terbatas, karena pemukiman mereka yang berjauhan. Etnis Jawa, lebih tergantung pada perke bunan, karena terkait dengan sejarah kehadiran mereka sebagai kuli kontrak yang didatangkan dari Jawa untuk bekerja di perkebunan. Berbeda dengan etnis Batak, yang datang setelah perkebunan berkembang, sehingga tidak terlalu tergantung dengan perkebunan. Mereka datang ke Buluh Cina untuk bekerja sebagai petani. Sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat Jawa yang berada di desa Buluh Cina adalah sistem kekerabatan secara bilateral, artinya semua anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan mengikuti garis keturunan ayah atau ibu. Mereka mengenal adat menetap sesudah menikah secara verilokal dan patrilokal, artinya adat menetap sesudah menikah yang menetapkan atau mengharuskan setiap pengantin baru tinggal secara menetap di sekitar tempat kediaman ka um kerabat laki-laki. Selain itu, sistem kekerabatan di daerah ini dikenal juga sistem menetap sesudah menikah (verilokal), artinya adat menetap sesudah menikah yang menentukan bahwa pengantin baru harus tinggal secara berganti-ganti, yaitu pada suatu masa tertentu tinggal di sekitar rumah kaum kerabat suami dan pada masa yang lain tinggal di kediaman kaum kerabat istri. Sehubungan dengan prinsip bilateral yang mereka anut, maka salah satu tujuan perkawinan bagi mereka adalah sebagai alat untuk meneruskan cikal bakal keturunan yang tidak terlalu membeda -bedakan anak laki-laki atau perempuan. Sistem bilateral ini merupakan kebalikan dari sistem patrilineal yang dipakai oleh etnik Batak yang mendambakan kelahiran anak laki-laki. Namun, kebiasaan keluarga bur uh tembakau selalu mendambakan kelahiran anak laki-laki, karena bagi keluarga buruh, fungsi anak laki-laki sangat luas, misalnya anak laki-laki dapat membantu pekerjaan di kebun. Selain itu, fungsi anak laki-laki juga sebagai penerus keturunan keluarga, dan akan membantu serta membiayai hidup orang tuanya setelah lanjut usia.
57
Berhubungan dengan itu, adat sopan santun yang berlaku bagi masyarakat di desa Buluh Cina meliputi berbagai aspek pergaulan yang dijabarkan dengan hubungan kekerabatan antara sesamanya. Anak-anak diarahkan dan diwajibkan untuk menghormati dan mematuhi orangtuanya. Untuk melaksanakan kewajiban ini anak-anak selalu dibimbing agar tidak berlaku sembarangan terhadap orangtuanya. Panggilan kepada orang tua perempuan adalah mbok atau ibu. Sementara panggilan untuk orang tua laki-laki adalah ayah, bapak, dan panggilan untuk sesama saudara yaitu mas, abang dan lain sebagainya. Masyarakat buruh kebun di Buluh Cina kerap juga menyelenggarakan kegiatan adat yang berkaitan dengan penandaan pergantian dalam daur hidup seperti kelahiran, khitanan, dan perkawinan. Acara kelahiran anak (kenduri) berupa acara selamatan yang dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur dan do’a untuk keselamatan anak yang baru lahir dalam keluarganya. Hal ini menunjukkan nila i anak bagi keluarga buruh sangat penting dimana sejak kecil telah memberikan pengeluaran dengan membuat acara selamatan. Pada upacara dan tradisi tersebut, mereka menyelenggarakan pesta dengan mengundang kerabat dan tetangga. Tradisi ini dilakukan dengan cara mengundang langsung kerabat dan tetangga, sementara untuk pihak lain yang dianggap lebih dekat dan lebih dihormati dilakukan dengan cara mengirimkan punjangan yaitu berupa makanan dalam rantang yang diantar sendiri oleh tuan rumah. Bagi masyarakat setempat, undangan yang dilakukan dengan cara ini sudah sama -sama dimaklumi, yakni merupakan keharusan untuk memberikan kado, biasanya berupa uang dengan jumlah yang lebih besar atau setara dengan yang mereka terima. Sementara itu, penduduk yang tidak menerima punjangan, ketika menghadiri acara pernikahan ataupun sunatan mereka memberikan amplop yang berisi sejumlah uang ketika bersalaman dengan tuan rumah. Biasanya para buruh memberikan uang minimal Rp. 10.000,-. Jika masih kerabat dekat memberi uang lebih besar sekitar Rp. 20.000,- ditambah dengan barang kebutuhan dapur seperti mie, gula, teh dan garam. Acara dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu, karena pada hari- hari tersebut penduduk banyak memiliki waktu kosong. Keluarga yang berasal dari golongan mandor, staf perkebunan dan buruh tetap tembakau dalam acara pernikahan atau sunatan kerap membuat hiburan
58
dengan mengundang pemain keybord dan beberapa penyanyi. Hal ini sangat diminati oleh masyarakat setempat terutama dari kalangan anak-anak dan usia remaja, karena mereka bisa mendapatkan hiburan. Selain itu, bagi para pemuda, acara keyboard dangdut dijadikan sebagai ajang pencarian jodoh. Berdasarkan pengamatan seorang Ustadz di desa ini, kemunculan keyboard dangdut mempengaruhi terhadap semakin meningkatnya kenakalan remaja. Indikatornya dapat diamati dari kasus remaja yang menikah pada usia dini akibat kecelakaan atau pergaulan bebas. Pada saat pengumpulan data dilakukan, muncul satu kasus seorang siswa SLTP yang terpaksa dikawinkan oleh orang tuannya, karena anak tersebut hamil. Kasus ini merupakan gambaran bahwa di desa Buluh Cina pernikahan pada usia muda masih terus berkembang hingga saat ini. Umumnya, perkawinan pada usia muda memiliki pendidikan rendah yang secara langsung berpengaruh pada kualitas keturunannya. Hal ini dapat diamati dari kualitas kesehatan anak yang rendah dan angka kematian bayi yang tinggi. Rendahnya tingkat pengetahuan sang ibu untuk merawat anak juga ditunjang lemahnya pelayanan kesehatan, jika pun tersedia tetapi mahal terutama bagi keluarga usia muda yang belum memiliki pekerjaan dan pendapatan tetap. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila keluarga usia dini terus berlanjut. Salah satu yang tidak bisa terelakkan adalah anak-anak rentan menjadi pekerja anak, sehingga akan mereproduksi munculnya generasi buruh di perkebunan.
4.6. Gambaran Pasar Tenaga Kerja 4.6.1. Permintaan Tenaga Kerja Proses permintaan tenaga kerja yang dilakukan perkebunan tembakau Deli di kebun Buluh Cina tergolong dalam kombinasi perusahaan yang beroperasi jangka panjang, namun memiliki fluktuasi produksi yang bervariasi. Kondisi ini dipengaruhi oleh faktor sifat tanaman tembakau. Ada tidaknya suplai tembakau untuk gudang pengolah tembakau tergantung pada produksi tembakau di kebun. Sementara suplai dari kebun sangat bergantung pada cuaca dan musim. Oleh karena itu, jenis pekerjaan yang dilakukan buruh tembakau mengikuti irama musim. Untuk produksi di kebun, biasanya buruh bekerja selama 3 – 4 bulan, sementara produksi tembakau di gudang berlangsung selama 8 – 9 bulan.
59
Penggunaan tenaga kerja dan waktu kerja di kebun, diperlukan untuk menangani tahapan kerja pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen dan pengangkutan serta pengeringan daun tembakau. Pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik seperti mengolah tanah, dan penyemprotan tanaman dengan menggunakan mesin dilaksanakan oleh laki-laki. Sementara tenaga kerja perempuan ditempatkan pada pekerjaan yang membutuhkan kehati-hatian seperti di pembibitan, mencari ulat, dan pemupukan. Pekerjaan di dalam gudang pengolah tembakau, pada umumnya tenaga kerja dibutuhkan untuk melakukan jenis pekerjaan yang terdiri dari pemilihan daun tembakau kering, fermentasi, pelayuan, memipihkan dan mendatarkan daun tembakau, sortasi kualitas daun, dan pengepakan daun tembakau (ngebal). Hampir seluruh proses kerja di atas dilakukan oleh buruh perempuan. Buruh laki-laki secara kuantitatif merupakan minoritas dalam proses kerja di gudang. Hal ini disebabkan sebagian besar proses kerja yang dilakukan di dalam gudang, diasumsikan sebagai pekerjaan ”perempuan” yang membutuhkan ketekunan, ketelitian dan rutinitas yang sangat membosankan. Di gudang, para pekerja lakilaki hanya ditempatkan pada bagian pengepakan dan pengangkutan. Bersadarkan data terakhir menunjukkan bahwa luas laha n penanaman tembakau Deli di Kabupaten Deli Serdang adalah 2.813 ha. Dari segi produksi, pada tahun 2003 perkebunan PTPN II menghasilkan 33,155 bal atau 128.400 kg. Apabila jumlah permintaan tersebut dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja di Desa Buluh Cina pada tahun 2003 sekitar 8.799 jiwa orang, maka perkebunan tembakau Deli dapat menyerap sekitar 12–14 persen dari seluruh angkatan kerja di Desa Buluh Cina. Secara keseluruhan komoditi tembakau menyerap 50 persen dari total angkatan kerja. Gambaran ini menunjukkan bahwa komoditi tembakau di Desa Buluh Cina cukup signifikan dalam penyerapan tenaga kerja. Perbandingan antara tersedianya kesempatan kerja dan peminat yang tidak seimbang setiap tahun, menunjukkan bahwa meskipun penghargaan terhadap buruh perkebunan dirasakan masih sangat rendah, tetapi minat untuk menjadi buruh tetap atau buruh lepas tidak pernah surut. Masalahnya sekarang adalah, penerimaan buruh tetap untuk beberapa tahun belakangan tidak pernah terjadi. Menurut keterangan krani di kantor emplasemen kebun Buluh Cina, penerimaan
60
buruh tidak ada karena merosotnya produksi tembakau, disamping jumlah tenaga kerja yang tersedia masih cukup besar. Hal ini menyebabkan semakin banyak penduduk yang tidak tertampung di perkebunan. Bagi mereka yang tidak tertampung akan menjadi penganguran dan sebagian lainnya mencoba mencari kerja di luar perkebunan terutama dari kalangan anak-anak dan pemuda.
4.6.2. Penawaran Tenaga Kerja Kebutuhan tenaga kerja di industri tembakau Deli, seluruhnya dipenuhi oleh tenaga lokal. Sejauh pengamatan tidak ditemukan fenomena tenaga kerja migran dari wilayah desa lain di perkebuna tembakau Deli. Hal ini berhubungan dengan kebijakan pihak perkebunan yang mengutamakan perekrutan tenaga kerja lokal yang berada di wilayah desa di mana kebun/gudang tersebut berlokasi. Penerimaan tenaga kerja lokal sangat menguntungkan bagi perkebunan, dimana tenaga kerja lokal merupakan anak buruh tembakau yang telah terbiasa dengan proses kerja di tembakau, sehingga pihak perkebunan tidak mengeluarkan dana untuk membina dan memberikan pelatihan. Sementara itu, untuk mendapatkan pekerjaan sebagai buruh harian atau musiman sangatlah mudah dan tidak memerlukan syarat-syarat khusus, kecuali kuat bekerja keras dan kesediaan bekerja di bawah kondisi yang telah ditentukan perusahaan. Hal ini berlaku bagi buruh dewasa dan buruh anak-anak. Seorang buruh yang ingin bekerja tinggal mendatangi mandor dan meminta ijin agar diperbolehkan bekerja, karena setiap ada penerimaan buruh, mandor memiliki peranan penting dalam merekrut dan menyeleksi buruh. Dalam hal ini seorang mandor mempunyai fungsi-fungsi lain diluar fungsi pengawasan kerja, diantaranya sebagai perekrut tenaga kerja. Apabila perusahaan membutuhkan tenaga kerja, mandor akan memberitahukan lowongan itu kepada masyarakat sekitar perkebunan. Dengan peran-peran tersebut, mandor menduduki posisi kunci dalam pemberian akses untuk bekerja di perkebunan tembakau. Perekrutan buruh biasanya didasarkan atas kebutuhan secara musiman dan jumlahnya tidak tetap. Adapun faktor yang cukup berpengaruh terhadap penawaran tenaga kerja dalam kasus perkebunan tembakau Deli di Buluh Cina adalah siklus pertanian padi – palawija/holtikultura – tembakau. Terutama pada akhir-akhir ini sebagian
61
buruh telah memiliki tanah/sawa h yang dapat digunakan untuk berusaha lain di luar perkebunan dengan cara menanam padi dan tanaman holtikultura lainnya. Meskipun demikian jumlah buruh yang masih menggantungkan hidup di sektor perkebunan tembakau masih lebih banyak. Mereka ini pada umumnya belum memiliki tanah/sawah sebagai sumber ekonomi yang lain. Bagi rumahtangga buruh yang telah memiliki tanah/sawah, baik laki-laki maupun perempuan, sektor pekerjaan mereka saat ini banyak dipengaruhi oleh siklus tersebut. Pada musim tanam padi/palawija , laki-laki bekerja di sawah/ladang. Sementara pada saat musim tanam tembakau tiba, laki-laki beralih kerja ke kebun tembakau terutama pada tahap persiapan penanaman yang ditandai dengan sistem kerja borongan. Sementara itu, fenomena umum yang terungkap adalah pada saat musim tanam tembakau atau saat gudang berproduksi, perempuan terserap bekerja di kebun/gudang. Namun pada saat musim tembakau berlalu, perempuan berusaha mencari pekerjaan di sektor pertanian atau di kebun tebu. Sebagian lagi mencoba mencar i pekerjaan lain di sektor nonpertanian dan ada pula yang menganggur, tapi untuk yang terkahir ini sangat jarang terjadi. Kebiasaan keluarga buruh di desa Buluh Cina sebagian besar tidak mengenal istilah menganggur dalam hidupnya. Ia bekerja di sawah/ladang pada saat musim tanam padi/palawija, sementara pada saat musim tembakau, mereka bekerja rangkap di kebun dan di sawah. Dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya penyusutan tenaga kerja di kebun/gudang pengolah adalah akibat penurunan produksi dan masa panen padi. Pada waktu ini buruh tembakau di kebun/gudang meninggalkan pekerjaan mereka selama seminggu atau dua minggu untuk membantu panen padi di sawah. Menurut seorang informan mandor gudang pemeraman tembakau, pada saat-saat musim penen padi penurunan persentase buruh di gudang dapat mencapai 75 persen. Penyerapan sementara buruh tembakau ke sektor pertanian disebabkan tidak tersedianya tenaga kerja lain.
4.7. Ikhtisar Lokasi penelitian ini merupakan daerah berekosistem perkebunan dengan letak geografis agak terisolir. Desa Buluh Cina sebagai enklave kebun diperkuat oleh kedudukan emplasmen yang amat penting bagi perkembangan sosial
62
ekonomi Desa. Penduduk memiliki mata pencaharian sebagai buruh perkebunan tembakau baik sebagai buruh tetap maupun buruh harian lepas yang diperoleh secara turun temurun. Sebagian ada juga yang bekerja di sawah, namun pekerjaan ini biasanya banyak dilakukan sebagai pekerjaan sampingan. Sektor luar perkebunan seperti industri (pabrik) kurang berkembang di dalam desa, tapi pada desa-desa lain yang berabatasan langsung dengan desa Buluh Cina, seperti di Hamparan Perak mengalami perkembangan. Hal ini terlihat dari banyaknya pabrik-pabrik yang bermunculan dewasa ini. Perkembangan industrialisasi tersebut, ternyata berimbas positif terhadap anak-anak dan remaja di Desa Buluh Cina, karena mereka dapat diterima bekerja di pabrik tersebut. Berkembangnya lapangan kerja di luar perkebunan yang dapat diakses oleh remaja maupun anakanak sedikit merubah nilai kerja mereka terhadap lapangan kerja di perkebunan. Pendidikan sebagian besar masyarakat relatif masih rendah, mayoritas lulusan tingkat sekolah dasar. Beberapa tahun terkahir ini ada peningkatan pendidikan karena telah berdirinya SMP dan SMA. Tingkat pendidikan yang berkembang ini sedikit merubah pola berfikir dan bertindak anak-anak terutama tentang nilai pekerjaan perkerbunan yang dianggap kuno dan membosankan. Hal inilah yang turut mempengaruhi munculnya respon anak-anak dalam bentuk penolakan terhadap sosialisasi nilai kerja ya ng dilakukan orang tua baik di dalam keluarga maupun di lingkungan komunitas perkebunan. Ekologi komunitas perkebunan yang banyak memberikan kemudahankemudahan bagi masyarakat untuk mengembangkan usahanya dengan beternak menjadi suatu alasan bagi sebagian buruh untuk tetap mempertahankan hidupnya di perkebunan. Walaupun pada umumnya mereka tidak berminat ke luar dari perkebunan diiringi juga faktor sosial budaya masyarakat setempat.
V. PEMBENTUKAN GENERASI BURUH DAN JAMINAN EKONOMI RUMAHTANGGA BURUH PERKEBUNAN TEMBAKAU DELI
Pembentukan generasi buruh adalah upaya yang dilakukan oleh orang tua (buruh tembakau Deli) untuk dapat bertahan hidup pada komunitas perkebunan sebagai akibat dari hubungan kerja yang dialami buruh perkebunan tembakau Deli13 atas ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Proses ini berlangsung melalui mekanisme dan sistem kerja yang diterapkan pihak perkebunan, sehingga memaksa setiap rumahtangga buruh tembakau Deli untuk memanfaatkan tenaga kerja anak. Peranan tenaga kerja anak penting dalam ekonomi keluarga dan secara khusus dipersiapkan untuk menggantikan posisi orang tua sebagai buruh di perkebunan tembakau Deli. Rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli di Desa Buluh Cina memandang bahwa pekerjaan sebagai buruh tembakau merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Pandangan ini terkait dengan situasi dan kondisi rumahtangga buruh yang dilatarbelakangi oleh rendahnya kesejahteraan ekonomi keluarga, ketiadaan perumahan, struktur produksi kerja perkebunan yang masih feodal, dan sempitnya lapangan pekerjaan di luar perkebunan. Nilai kerja yang terbentuk pada rumahtangga buruh tembakau Deli ini juga dipengaruhi oleh daya tarik perkebunan yang menyediakan beberapa fasilitas kepada buruh, seperti perumahan, kesehatan, dan pensiunan. Dalam kenyataannya nilai fasilitas ini memberikan makna yang baik terhadap keluarga buruh, sehingga mendorong orang tua untuk mendidik anak-anak menjadi generasi buruh. Bab ini akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi orangtua menginginkan adanya generasi buruh di perkebunan. Pada bagian akhir ditutup dengan rangkuman yang ditarik dari hasil pembahasan tentang faktor -faktor tersebut dan meninjau dinamika rumahtangga buruh. Namun, sebelumnya akan dijelaskan tentang kebijakan dan mekanisme kerja di perkebunan tembakau Deli. 13
Buruh perkebunan tembakau Deli adalah sebutan untuk orang yang bekerja di perkebunan tembakau yang menjadi responden dalam penelitian ini. Untuk selanjutnya penyebutan responden ini secara bergantian akan dituliskan buruh tembakau Deli atau buruh perkebunan tembakau Deli.
64
5.1. Kebijakan PTPN II Sebagai Pengelola Tembakau Deli Tembakau bukan tanaman asli Indonesia, tetapi tanaman tropis yang dijumpai untuk pertama kalinya pada suku asli Indian di benua Amerika. Tembakau berasal dari kata tobaco yang diambil dari nama pipa yang digunakan oleh orang Indian untuk upacara keagamaan. Kolombus adalah orang pertama yang mengetahui penggunaan tembakau pada orang Indian sekitar tahun 1492. Tembakau termasuk kelompok tumbuhan beracun. Dalam susunan taksonominya tembakau termasuk famili Solanaceae, subfamili Nicotianae , genus Nicotiana, subgenus tabacum, seksi genuinae, dan spesies tabacum (Suwarsono, 1997). Tembakau (N. tabacum L.) berkembang luas ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Indonesia. Jumlah varietas tembakau sangat banyak, setiap negara bahkan setiap wilayah mempunyai varietas tertentu, sehingga banyak dikenal tipe tembakau seperti virgina, burley, bright, turki, havana, maryland dan Deli. Tanaman tembakau di Indonesia dikenal dan diusahakan pertama kali di Jawa pada tahun 1600. Selanjutnya, pada tahun 1865 pemerintah Belanda memperkenalkan tembakau Deli di Sumatera Timur. Sebagai daerah yang memiliki tanah yang subur, masyarakat di tanah Deli ternyata telah melakukan usaha budi daya tembakau jauh sebelum bangsa Eropa datang ke daerah Sumatera Timur. Tembakau sudah menjadi penghasilan utama Sultan Deli dari petani tembakau, meskipun pada waktu itu dikelola masyarakat secara tradisional. Hal ini terbukti dari beberapa laporan bahwa Sultan Deli telah menjadikan tembakau sebagai salah satu komoditi eksport (Devi, 2004). Penanaman tembakau Deli secara sistematis dan intensif baru dimulai pada tahun 1863 oleh Jacobus Neinhuys . Ia datang ke tanah Deli untuk mencari lahan bagi pengembangan tanaman tembakau yang lebih baik daripada di Jawa. Percobaan penanaman tembakau yang dilakukan Neinhuys membawa hasil yang memuaskan, sehingga tembakau Deli berkembang pesat da n dalam waktu singkat nama tembakau Deli sudah terkenal ke seluruh dunia . Bahkan, sejak pertengahan abad 19 industri cerutu Eropa telah menggantungkan pasokan tembakau Deli yang sampai sekarang sulit dicari penggantinya 14. 14
Nilai yang tinggi dari tembakau Deli disebabkan daunnya halus, aroma yang khas dan sangat cocok untuk pembalut cerutu. Hal itulah yang menjadi alasan pada lelang tembakau di Breman, tembakau Deli selalu menjadi primadona.
65
Pada tahun 1950-an setelah terja di nasionalisasi perusahaan milik kolonial Belanda dan swasta asing diambil alih oleh pemerintah melalui perusahaan perkebunan negara. Hingga saat ini tembakau Deli masih tetap dilestarikan dan yang ditetapkan sebagai pengelola budidaya tembakau Deli adala h PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) Tanjung Morawa yang didirikan berdasarkan Akta Notaris Harun Kamil SH, No. 35 tanggal 11 maret 1996, sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1996 tentang peleburan Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan II Wilayah Sumatera Utara dan Irian Jaya dengan PT Perkebunan IX di Wilayah Sumatera Utara, dan telah disyahkan oleh Menteri Kehakiman RI dengan SK No. C2.8330.HT.01.01 Agustus tahun 1996. Tembakau Deli merupakan salah satu komoditi ekspor yang mempunyai sumbangan cukup besar terhadap penerimaan devisa negara. Berbeda dengan penghasil tembakau lainnya di Indonesia seperti Jember yang memproduksi daun tembakau untuk kebutuhan lokal, tembakau Deli hanya diproduksi untuk kebutuhan pasar dunia. Sebagai komoditas ekspor, produksi tembakau Deli sangat tergantung kepada permintaan pasar dunia yang mempengaruhi juga terhadap konsekuensi penyediaan tenaga kerja. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja sebagai upaya mempertahankan produksi tembakau, maka PTPN II melakukan perekrutan tenaga kerja. Tidak seperti pada awal pembukaan perkebunan tembakau Deli, kolonial Belanda mengalami hambatan dalam penyediaan tenaga kerja, sehingga harus mendatangkan buruh dari Cina, India dan Pulau Jawa. Saat ini tenaga ker ja dapat dengan mudah diperoleh dari desa-desa di sekitar perkebunan yang dalam sejarahnya sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya mereka adalah generasi keturunan kuli kontrak terutama dari etnik Jawa. Perekrutan tenaga kerja setiap tahunnya dilakukan pihak PTPN II baik buruh tetap, buruh harian lepas, dan buruh musiman. Buruh tetap adalah buruh mendapat fasilitas-fasilitas perkebunan. Sementara buruh harian lepas adalah buruh yang mengerjakan pekerjaan dan tidak terikat, sedangkan buruh musiman buruh yang direkrut untuk mengerjakan pekerjaan yang berkaitan dengan musim tanam tembakau, seperti mencari ulat, memupuk, dan di bagian penyeortiran. Perekrutan buruh, terutama untuk buruh tetap, PTPN II tidak menetapkan syarat-syarat yang dapat memberikan seseorang untuk masuk dalam pasar tenaga
66
kerja. Dari informasi yang diperoleh di lapangan pihak PTPN hanya menetapkan syarat yang umum yaitu bersedia bekerja keras, memiliki keterampilan dalam pengelolaan produksi tembakau Deli dan memiliki tanggungjawab. Persyaratan khusus hanyalah berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki. Sementara tingkat pendidikan tidak mempengaruhi diterima atau tidaknya calon buruh. Dengan demikian, siapa saja asal laki-laki dan kuat bekerja bisa menjadi buruh di kebun tembakau De li. Sementara itu, untuk posisi buruh harian lepas dan buruh musiman, PTPN II banyak merekrut tenaga kerja perempuan baik dewasa dan anak-anak. Berbeda dengan perekrutan buruh tetap yang harus mendapatkan ijin tertulis dari Direksi PTPN II, akan tetapi untuk perekrutan buruh lepas hanya dikelola di tingkat kebun Buluh Cina yaitu melalui pimpinan tertinggi kepala Administrasi (ADM). Wakil pihak perkebunan yang berperan penting dan berhadapan langsung dengan buruh adalah mandor. Dalam hal ini posisi mandor tidak saja mengawasi pekerjaan buruh di lapangan, tetapi bertugas untuk merekrut tenaga kerja. Biasanya ketika lowongan kerja ada, mandor akan mengumumkan kepada buruh tetap tentang adanya penerimaan. Namun, dalam kenyataannya mandor selalu mengutamakan anggota keluarga dan kerabatnya terlebih dahulu dan seterusnya membuka lowongan kepada masyarakat umum. Meskipun untuk posisi buruh harian lepas, minat dan antusias penduduk di Buluh Cina untuk bekerja di perkebunan tembakau tetap tinggi. Setidaknya hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu; Pertama, kebijakan perkebuna n yang berkaitan dengan sistem penerimaan buruh tetap yang memprioritaskan buruh lepas terlebih dahulu. Kedua, kebijakan perkebunan yang memberikan rumah dinas di dalam lingkungan perkebunan, upah bulanan, tunjangan sembilan bahan pokok, dan jaminan kesehatan bagi seluruh buruh tetap dan anggota keluarganya dengan menyediakan layanan pengobatan di rumah sakit khusus milik perusahaan. Kebijakan perkebunan mempengaruhi terhadap keinginan orang tua yang sangat besar agar anak-anak mereka dapat meneruskan pekerjaan sebagai buruh tembakau. Keinginan orang tua dilakukan melalui sosialisasi nilai kerja perkebunan yang telah dimulai sejak anak-anak berusia muda hingga mereka dewasa.
67
5.1.1. Sistem Produksi Tembakau Deli dan Keterlibatan Pekerja Anak Sistem produksi tembakau Deli memiliki dua tahapan penting, yaitu tahap produksi di kebun dan di gudang pemeraman tembakau. Pada awalnya untuk mengerjakan kedua tahapan tersebut pihak perkebunan menggunakan dua sistem kerja yang berbeda. Pada tahap musim panen tembakau pihak perkebunan menggunakan sistem upah borongan yang ditandai dengan pemberian pinjaman tanah masing-masing buruh sekitar 0,8 ha untuk ditanami tembakau. Sistem penggajian dilakukan de ngan menerapkan sistem kerja borongan, yaitu setiap buruh bertanggung jawab penuh mengelola tanaman tembakau mulai dari persiapan lahan, penanaman sampai pemetikan daun tembakau dan diangkut ke bangsal yang dihargai sesuai dengan masing-masing tahapan pekerjaan. Sementara itu, pasca musim tanam tembakau, sistem upah buruh ditetapkan dengan upah harian. Struktur kerja yang tetap dipertahankan hingga saat ini merupakan warisan dari sistem perkebunan pada jaman Belanda. Beberapa informan dari pihak perkebuna n seperti asisten kebun, mandor dan staf yang sempat diwawancarai membenarkan bahwa, sistem kerja yang diterapkan di perkebunan tembakau Deli hingga saat ini belum mengalami banyak perubahan. Sistem produksi yang diterapkan masih mengacu kepada pengelolaan perkebunan tembakau pada masa kolonial Belanda. Model- model manajemen feodalisme tampaknya masih menjadi ciri khas masyarakat perkebunan, meskipun dalam prakteknya mengalami pergeseran tapi tidak secara siginifikan menguntungkan nasib buruh. Dalam manajemen yang demikian, biasanya para staf perkebunan dan staf yang lebih tinggi jabatannya adalah seorang tuan yang dihormati dan harus dipatuhi oleh para kuli kebun. Hal yang menjadi keputusan dan kebijakan perusahaan, meskipun itu sangat merugikan buruh adala h sebuah fatwa yang tidak dapat dibantah. Posisi sebagai buruh kebun kemungkinan besar akan disandang seumur hidup bahkan secara bergenerasi, karena sistem kerja tersebut hampir tidak memberikan peluang kepada mereka untuk dapat melakukan mobilitas sosial secara vertikal melalui kenaikan jabatan dan kesejahteraan. Suasana perkebunan diatur sedemikian rupa agar buruh hanya menjadi semacam komponen mesin yang tidak berharga, sehingga tidak mungkin pindah mencari pekerjaan lain.
68
Secara struktural, organisasi produksi kerja PTPN II menerapkan sistem manajemen dalam bentuk tugas dan wewenang secara hierarkis. Berdasarkan data emperis yang ditemui di lapangan, jenjang tenaga kerja di perkebunan tembakau dapat digambarkan sebagai berikut: -
Pimpinan utama perkebunan disebut Direksi yang berkedudukan di kantor Pusat PTPN II di Tanjung Morawa Medan.
-
Pimpinan perkebunan dikepalai seorang administratur (ADM).
-
ADM dibantu oleh asisten kepala, asisten kebun di tingkat afdeling dibantu seorang krani dan mandor. Pada masa tanam tembakau, biasanya areal kebun dibagi kedalam beberapa
afdeling dan setiap afdeling dibagi menjadi dua atau tiga kongsi. Setiap kongsi dikepalai oleh seorang mandor dan seorang krani yang secara struktural setingkat dengan mandor tetapi berbeda tugasnya. Krani melaksanakan tugas-tugas urusanurusan administratif, sedangkan mandor melaksanakan urusan lapangan dan teknis di kebun. Pada setiap kongsi terdapat sekitar 27 – 30 buruh harian tetap dan buruh harian lepas yang dibayar secara harian untuk mengerjakan jenis-jenis pekerjaan yang tidak termasuk ke dalam paket kerja borongan. Pada satu afdeling biasanya berdiri sebuah bangunan yang digunakan sebagai pemeraman bibit tembakau, lahan pembibitan dan kantor asisten, krani serta mandor. Bangunan ini juga dilengkapi dengan peralatan kerja, kelender tanam tembakau, dan tempat istirahat para buruh. Di kantoran tersebut, biasanya ada seorang buruh harian lepas yang tinggal sehari-hari untuk menjaga inventaris perkebunan maupun untuk melayani kebutuhan asisten kebun atau mandor. Bangunan kantoran ini akan bubar dan kantoran ini akan dibongkar setelah panen selesai yang kemudiaan disimpan untuk kembali dipakai pada musim tanam tahun berikutnya di areal lain sesuai dengan rotasi yang telah direncanakan. Sementara itu, daun tembakau yang telah dipanen biasanya akan dibawa ke bangsal-bangsal untuk selanjutnya dilakukan pengeringan daun tembakau selama
2 – 3 minggu atau sampai daun tembakau berwarna coklat. Di setiap
bangsal, biasanya ada seorang buruh harian lepa s yang bertugas untuk menjaga keamanan baik siang maupun malam hari dan untuk menyalakan api pada malam hari agar warna dan aroma daun tembakau tetap mendapat kualitas yang baik.
69
5.1.2. Keterlibatan Anak dalam Sistem Borongan Sistem kerja borongan yang berat tidak mungkin dapat diselesaikan oleh seorang buruh. Untuk itulah, setiap buruh akan memobilisasi seluruh anggota rumahtangga termasuk anak-anak untuk membantu pekerjaan di kebun tembakau. Biasanya, anak-anak mulai dilibatkan dalam pekerjaan borongan tembakau pada usia mereka masih sangat mudah yaitu 6 – 8 tahun. Sebenarnya, bagi keluarga buruh semakin cepat seorang anak terlibat bekerja di perkebunan semakin menguntungkan, karena dibalik keuntungan pekerjaan dapat selesai tepat waktu, pelibatan pekerja anak juga terkait dengan harapan dan keinginan orang tua untuk menciptakan generasi buruh. Peranan pekerja anak ini senantiasa dipertahankan orang tua selama hubungan kerja bersifat subkontrak dimana kultur teknis relatif rumit, memerlukan kehati-hatian, kecermatan, keuletan dan kesabaran. Sementara itu, dari pihak perkebunan sebenarnya secara administratif tidak membenarkan mempekerjakan anak-anak, tetapi pada kenyataannya pelibatan anak-anak bekerja dalam tahapan pengelolaan tembakau Deli tidak dapat dilarang sepanjang tidak mengganggu dan merugikan kepada pihak perkebunan. Salah seorang informan Bapak Novian mengungkapkan bahwa anak-anak yang bekerja di kebun tembakau lebih banyak untuk membantu pekerjaan borongan orang tua. Pihak perkebunan di satu sisi mendapat keuntungan karena dengan pelibatan anak-anak bekerja sejak usia dini, mereka telah terbiasa untuk melakukan pekerjaan pengelolaan tembakau yang berarti untuk jangka panjang mereka dapat direkrut untuk menggantikan buruh yang telah pensiun. Dengan merekrut anakanak buruh tembakau ini dapat mengurangi biaya pelatihan dan pendidikan pengelolaan tembakau. Berkaitan dengan sistem kerja borongan di perkebunan tembakau Deli, setidaknya dapat diklasifikasikan tiga tahap pengelolaan tembakau Deli yang senantiasa melibatkan pekerja anak, yaitu: Pertama, pengelolaan di kebun, meliputi; (1) penyiangan, yaitu pembersihan lahan, (2) pembuatan bedegan dan paret untuk tempat penanaman tembakau, (3) penanaman tembakau, dilakukan sekitar pukul tiga sore sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pihak perkebunan, (4) perawatan, yang terdiri atas tutup kaki (membersihkan rumput yang tumbuh disekitar batang tembakau), pemupukan, penyiraman, dan mencari
70
ulat, (5) panen, yaitu pemetikan daun tembakau, dilakukan sebelum matahari terbit, karena apabila terkena sinar matahari maka daun tembakau akan lengket dan layu. Kedua, pekerjaan di bangsal pengeringan antara lain; (1) menyujuk daun tembakau dengan memakai jarum panjang, (2) menjerangi tembakau dan menyusunnya berjejer ke palang-palang penyanggah yang disusun mulai dari atas sampai bawah. Ketiga, proses pekerjaan yang dilakukan di gudang pemeraman yang meliputi pekerjaan sebagai berikut; pemilihan daun tembakau kering berdasarkan kegunaan, fermentasi, membuka dan mendatarkan permukaan daun tembakau, sortasi kualitas daun, serta pengepakan daun tembakau. Pembagian kerja borongan dan perhitungan upah buruh diatur dalam Surat Perjanjian Khusus Tanam Tembakau (PK2T2) antara perwakilan PTPN II dengan perwakilan buruh tanam tembakau yang diwakili oleh dua organisasi serikat buruh perkebunan yaitu Serikat Pekerja Perkebunan (SP-Bun) dan Serikat Buruh Merdeka. Selengkapnya PK2T2 ini dapat dilihat pada kotak 1. Terkait dengan sistem borongan yang berlaku selama tahapan proses produksi tembakau yang menjadi kewajiban seorang buruh dan untuk menyelesaikannya biasanya terpaksa memobilisasi tenaga kerja anak dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama , persiapan lahan. Pada tahap ini dilakukan pembukaan lahan yang telah dihutankan selama lima tahun, lalu dilakukan pematokan batas lahan yang membagi lahan tersebut menjadi kotakkotak seluas 0,8 ha. Pada tahap pertama ini, seluruh pekerjaan dilakukan oleh laki-laki atau bapak. Dalam prakteknya untuk mengerjakan tugas-tugas ini setiap buruh tidak dapat melaksanakannya secara sendiri, sehingga pada umumnya harus dibantu oleh istri dan anak-anaknya. Selain dibantu oleh ibu dan anak-anak, dalam prakteknya sehari-hari, setiap buruh berkongsi15 dengan buruh lain. Kedua, tahap penanaman, pihak perkebunan akan membagi bibit tembakau kepada setiap buruh sebanyak 19.000 pokok yang harus ditanam secara bertahap. Tahap pertama sebanyak 9.000 pokok, tahap kedua sebanyak 6.000 pokok dan terkahir 4.000 pokok. Proses penanaman tembakau ini memerlukan tenaga kerja yang banyak, sehingga setiap buruh memobilisasi anggota keluarga dan kerabat lainnya seperti nenek, paman, bibi untuk ikut membantu. Dalam pekerjaan menanam tembakau ini tenaga anak-anak sangat intensif 15
Sistem kerja sama kongsi ini berlangsung sejak dimulainya kerja borongan, biasanya dari tahap membersihkan lahan dari sampah hingga mengangkut daun tembakau yang sudah kering ke gudang pemeraman. Sistem kongsi ini hanya dalam pekerjaannya, sedangkan hasilnya dinilai berdasarkan kontribusi masing-masing dan tidak ada sistem bagi hasil.
71
karena penanaman yang terjadwal dan hanya dilakukan pada sore hari, sekitar pukul 14.00 wib - pukul 16.00 wib. Pada tahap ini pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan terlihat jelas, namun pekerjaan orang dewasa tidak berbeda dengan pekerjaan anak-anak. Pekerjaan mengambil bibit dari tempat pembibitan ke kebun biasanya dilakukan ayah dan anak laki-laki. Sebelum ditanam, bibit tembakau dilocoti atau dilepas dari polybang, lalu ditanam di lahan yang sudah dilubangi. Pekerjaan melocoti biasanya dilakukan oleh ibu dan anak-anak lakilaki maupun perempuan. Setelah dilocoti, bibit tembakau disebarkan oleh anak laki-laki untuk kemudian ditanam oleh ibu dan anak perempuan (Lihat gam abar 2 dan 3 Lampiran 1). Ketiga, tahap pemeliharaan, setelah bibit tembakau ditanam, segera dilakukan penyiraman pe rtama oleh anak laki-laki dibantu oleh ayah. Setelah itu barulah dimulai proses pemeliharaan yang membutuhkan ketelatenan. Proses pemeliharaan selanjutnya adalah tahap tutup kaki yaitu menutup pangkal pohon dengan tanah. Pekerjaan ini dilakukan oleh ayah yang dibantu oleh anak laki-laki. Pada tahap pemeliharaan ini dilakukan juga penyiraman hama dan mencari ulat tembakau. Mencari ulat dilakukan oleh buruh harian lepas yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak perempuan. Keempat, tahap panen tembakau (mengutip). Pemetikan harus dilakukan sepagi mungkin agar daun tembakau tidak terkena sinar matahari, sehingga dapat menghasilkan tembakau dengan kualitas yang terbaik. Intensitas keterlibatan seluruh anggota keluarga sangat diperlukan pada saat panen agar pemetikan dapat diselesaikan tepat waktu. Pemetikan daun tembakau dilakukan pagi hari yaitu sekitar pukul 05.00 Wib pagi sampai dengan jam 09.00 Wib. Setelah dipetik, tahap selanjutnya daun tembakau diangkut ke bangsal untuk dikeringkan. Tahap yang harus dilalui adalah penyucukan, yaitu menyusun dan mengikat daun-daun tembakau sedemikian rupa. Setiap ikatan terdapat sebanyak 42 lembar daun tembakau. Sebelum digantung di palang-palang bambu di dalam bangsal, ikatan-ikatan daun tersebut dijerang atau diganting di tempat yang lebih rendah untuk menunggu giliran digantung. Pada tahap penyucukan hingga penjerangan, anakanak perempuan terlibat intensif bersama ibu mereka. Sementara ayah menggantungkan ikatan-ikatan daun tembakau di palang-palang bambu, dimulai dari pala ng di tingkat tertinggi berurutan sesuai dengan urutan waktu pemetikan (Lihat Gambar 5,6, dan 7). Kelima, tahap pengeringan, setelah daun dianggap cukup kering, tahap selanjutnya adalah memindahkan tembakau ke bangsal pemeraman untuk dilakukan penyortiran berdasarkan kualitas dan warna daun, kemudian dilakukan tahap pemeraman atau fermentasi. Tahap terakahir adalah pengemasan dalam ukuran bal hingga siap ekspor. Penyortiran di bangsal pemeraman dilakukan oleh buruh harian lepas perempuan dan anak-anak.
72
Kotak 1 Surat Perjanjian Khusus Tanam Tembakau (PK2T2) PT. Perkebunan Nusantara – II (PERSERO) Tahun 2004 yang dijadikan landasan sistem kerja borongan dan sistem kerja harian pada komoditas tembakau Deli. Pasal 1 Karyawan tanam tembakau adalah karyawan pelaksana ataupun yang belum karyawan pelaks ana, yang telah mengadakan ikatan kerja dengan PTPN II dan yang menyatakan kehendaknya bahwa ia hendak dipandang sebagai yang demikian itu serta diterima oleh perusahaan atau yang ditetapkan sebagai yang sedemikian itu, untuk melakukan seluruh pekerjaan penanaman tembakau Deli dan seterusnya di sebut Karyawan Tanam Tembakau dan kepada yang bersangkutan diberikan uang ikatan kerja sebesar Rp. 29.836,- yang diberikan satu minggi sebelum pekerjaan cangkul 3x (kepyak) dimulai. Pasal 2A Jenis-jenis pekerjaan khusus tanam tembakau yang bersifat borong dengan tarif tertentu antara lain: 1. Cangkul 3x manual/kepyak 2. Menyisir 3. Membuat lubang tanam 4. Angkat dan bagi pupuk lubang dan pupuk sebelum tutup kaki 5. Angkat bibit 6. Seleksi dan kutip daun bibit sebelum tanam 7. Menanam 8. M enanam pokok cadangan 9. Menyiram sebelum dan sesudah tanam 10. Menyiram hari kedua dan hari ketiga sesudah tanam 11. Menyisip Pasal 2 B Jenis-jenis pekerjaan khusus tanam tembakau yang bersifat harian antara lain : 1. Pembibitan : a. cangkol 3x b. Menyisir c. Mendalamkan parit U/S dan parit T/B d. Membuat dan memasang titi pasar petak. 2. Persiapan lahan dan pemeliharaan a. Babat 2x b. Rumpuk bakar c. Bongkar tunggul d. Mendalamkan parit induk, parit U/S dan parit T/B e. membuat pasar petak f. Cangkul 2x manual tepi parit U/S, parit T/B dan pusingan traktor g. Menggali parit pusingan traktor h. Menyiram ektra i. Memperbaiki kerusakan tanaman akibat angin ribut j. Membabat keliling bangsal dan mendalamkan parit keliling bangsal k. Membersihkan/memelihara pasar petak dan parit T/B l. Menutup perigi tanam m. Mencabut pokok dan angkat keluar lahan tanaman tembakau untuk persiapan tanaman tebu. Sumber: Perjanjian Kerja Khusus Tanam Tembakau, Tahun 2004.
73
5.2. Motivasi Keluarga dalam Pemanfaatan Pekerja Anak Pilihan strategi sebagai langkah perjuangan para buruh dan keluarganya untuk tetap bertahan hidup sangat dipengaruhi oleh pencaharian suami, pekerjaan anak-anak, jumlah batih, sumber daya agraria yang dimiliki, modal ekonomi lain serta modal sosial. Usia buruh juga menjadi faktor yang mempengaruhi strategi kehidupan yang diambil para buruh terutama dalam memilih alternatif pekerjaan yang dianggap lebih menguntungkan bagi mereka. Hasil wawancara menunjukkan bahwa rumahtangga buruh tembakau Deli telah menjalani aktifitas bekerja sebagai buruh kebun dalam jangka waktu yang lama. Keadaan ini berlangsung sejak perkebunan tembakau Deli berkembang di Sumatera Timur yang ditandai dengan masuknya kuli kontrak dari Cina, India dan pulau Jawa. Tak jarang, para kuli dari Cina menikah dengan sesama buruh perempuan dari Jawa ataupun sesama etnis Jawa sendiri yang selanjutnya memiliki keturunan yang sebagian besar dari mereka melanjutkan pekerjaan orang tua sebagai buruh di perkebunan. Berjalannya waktu, maka penduduk lokal termasuk keturunan dari Jawa, Cina atau India berkembang dan bertambah sedemikian rupa, sehingga ada kecenderungan terjadinya kelebihan tenaga kerja. Kelebihan tenaga kerja menyebabkan menurunnya permintaan akan tenaga kerja di perkebunan. Meskipun demikian motivasi orang tua untuk mempertahankan adanya generasi buruh tidak mengalami perubahan yang signifikan. Kenyataan di lapangan menunjukkan keinginan orang tua masih tetap tinggi untuk mengusahakan agar anak-anaknya meneruskan profesi sebagai buruh tembakau. Berlangsunya peran anak dalam keluarga buruh tembakau Deli yang diiringi dengan ada nya dorongan pembentukan generasi buruh ini karena pekerja anak dianggap bermanfaat. Secara struktural fungsional sesuatu tindakan yang cenderung diulang dan dipelihara keberadaannya karena tindakan tersebut bermanfaat bagi keluarga (Merton, 1996). Berdasarkan data lapangan yang terkumpul dan sesuai dengan metode analisis data, maka ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi orang tua agar anak-anaknya mewarisi profesi sebagai buruh tembakau. Perkembangan keluarga perkebunan tembakau Deli saat ini ternyata telah mengalami perubahan yang salah satunya disebabkan oleh berkembangnya pemilikan tanah di komunitas perkebunan. Berkenaan dengan terjadinya
74
perubahan sebagian besar keluarga buruh, maka penjelasan lebih lanjut motivasi orang tua dalam pemanfaatan tenaga kerja anak dikonstruksikan melalui tipologi rumahtangga buruh yang belum memiliki tanah dan tipologi rumahtangga buruh pemilik tanah. Adapun faktor-faktor tersebut adalah nilai anak dalam keluarga, tingkat pendidikan orang tua, dan orientasi nilai budaya buruh.
5.2.1. Nilai Anak dalam Keluarga A. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah Sumber penghasilan dari bekerja di perkebunan menjadi sumber penghasilan utama dan satu-satunya untuk hidup bersama anggota keluarga. Seluruh anggota rumahtangga turut serta dalam aktivitas pekerjaan di perkebunan terutama pada saat musim tanam tembakau yang berlangsung satu kali dalam setahun. Seperti salah seorang responden Pak Syamsuddin (46 tahun), terpaksa memobilisasi istri dan anak-anak untuk membantu menyelesaikan pekerjaanya. Setiap hari Pak Syamsuddin dibantu istri dan anak-anaknya bekerja di kebun tembakau untuk mengelola lahan 0,8 ha yang menjadi kewajibannya. Aktivitas kerja Pak Syamsuddin dilakukan secara teratur yang dimulai sejak pukul 06.00 sampai pukul 17.00 Wib. Pada waktu pekerjaan yang memerlukan penyelesaian yang cepat terkadang jadwal kerja diatur menyesuaikan beratnya pekerjaan di kebun. Namun, anak-anak yang masih sekolah biasanya ikut bekerja sepulang sekolah bagi yang masuk pagi. Sebaliknya, anak yang masuk siang ikut bekerja pukul 06.00 sampai pukul 12.00 Wib. Artinya optimalisasi kerja dinilai dari jumlah tenaga kerja keluarga dan besarnya curahan waktu setiap anggota rumahtangga untuk membantu bekerja di kebun tembakau. Peran anak dalam keluarga Pak Syamsuddin sangat signifikan terutama dari segi ekonomi. Anak dapat memberikan kontribusi terhadap ekonomi keluarga secara tidak langsung sebagai tenaga kerja keluarga. Kontribusi tenaga anak ini bisa dikonversi dengan besar bia ya yang harus dikeluarkan oleh Pak Syamsuddin untuk membayar tenaga kerja dari luar keluarga. Bila Pak Syamsuddin ingin menyewa buruh dari luar keluarga, maka dia harus membayar Rp. 13.500,- per hari, sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk upah buruh sebesar Rp. 94.500,- per minggu. Biaya tersebut tidak perlu dikeluarkan karena pekerjaan
75
dibantu oleh istri dan anak-anaknya, maka uang tersebut dapat digunakan untuk kepentingan lain, misalnya untuk keperluan kebutuhan hidup sehari-hari, biaya nyumbang 16 dan untuk biaya sekolah anak-anak. Bila hasil usaha musim tanam tembakau meningkat, sebagian hasil tersebut disimpan dan akan diambil pada saat tidak musim tembakau dan apabila ada kebutuhan dalam jumlah besar, misalnya untuk membeli ternak. Dengan hasil kerja musim tembakau pada tahun 2004 yang lalu, Pak Syamsuddin memiliki lima ekor ayam. Selain ternak ayam, Bu Surtini (45 tahun) istri Pak Syamsuddin menceritakan bahwa keluarganya pernah juga memiliki empat ekor kambing dari hasil tabungan musim tanam tembakau, tetapi karena ternaknya tidak terurus dengan baik, maka tiga ekor mati dan satu lagi terpaksa dijual. Berbeda dengan Pak Syamsuddin, Legiran (42 tahun), salah seorang buruh tanam tembakau yang tergolong generasi keempat dengan usia yang masih lebih muda tidak terlalu menekankan agar anak-anaknya membantu pekerjaan di kebun tembakau. Dari dua orang anaknya, Pak Legiran hanya melibatkan mereka bekerja pada waktu menanam tembakau dan panen atau ngutip. Karena dua jenis pekerjaan tersebut memang termasuk sulit, rumit dan karena waktu kerja telah diatur tersendiri oleh pihak perkebunan. Pak Legiran selain dibantu istri dan anaknya, terkadang dibantu oleh mertua dan dua orang adek iparnya17. Dengan mengandalkan penghasilan dari bekerja sebagai buruh tembakau Pak Legiran terpaksa harus lebih menghemat pengeluarannya untuk makan. Berbeda dengan Pak Syamsuddin yang mampu membeli ternak dari hasil tabungan setelah musim tembakau, dari hasil upah ker ja borongan Pak Legiran hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga. Untuk biaya sekolah dua orang anaknya, bu Ponirin (37 tahun) terpaksa membuat kripik ubi yang dijual di kedei yang ada di desa. Bantuan tenaga anak penting terutama untuk mengantarkan 16
Nyumbang adalah memberikan uang kepada tetangga atau kerabat yang kebetulan mengadakan tradisi sebagai tanda siklus kehidupan. Tradisi yang biasa dilakukan adalah mengawinkan anak, sunatan, akikah atau menambalkan nama anak. Menurut bu Surtini (45 tahun) biaya pengeluaran untuk nyumbang antara Rp. 50.000,- Rp. 100.000, - per bulan. Pengeluaran ini tergantung kerabat dekat atau jauh. Bila kerabat dekat uang yang diberikan lebih banyak, sebaliknya kerabat yang masih jauh biasanya lebih sedikit biasanya Rp. 10.000,-. 17 Rumahtangga Pak Legiran mencirikan rumahtangga luas. Rumah tempat tinggal keluarganya pada awalnya ditempati oleh mertuanya karena sudah meninggal rumah tersebut digantikan oleh Pak Legiran.
76
kripik tersebut ke kedei-kedei yang telah menjadi la ngganannya. Penghasilan dari kripik sekitar Rp. 20.000,- per minggu, dan semuanya dialokasikan untuk biaya sekolah anak seperti untuk ongkos angkot, biaya beli buku dan uang sekolah. Selain nilai ekonomi anak, peranan dalam rumahtangga tipologi yang tidak memiliki tanah muncul pula nilai anakl secara psikologis. Kasus Bapak Sutardjo (48 tahun) yang telah bekerja sebagai buruh tembakau lebih dari 20 tahun. Dengan pengalaman itu pula pak Sutardjo telah ikut merasakan bagaimana susah maupun kesenangan sebagai buruh tembakau. Dalam usianya yang sudah tidak muda lagi, penghasilan keluarganya tetap diperoleh dari perkebunan, sehingga kemerosotan produksi tembakau Deli yang terjadi sejak tahun 2000, ditambah dengan munculnya keinginan pihak perkebunan untuk melakukan pengalihan komoditas temba kau Deli menjadi komoditas lain, seperti kelapa sawit, tebu atau coklat menjadi kekhawatiran bagi keluarganya. Pak Sutardjo telah memiliki anak lakilaki, secara psikologis memberikan rasa aman bagi kelangsungan keluarganya. Setidaknya hal ini berhubungan dengan adanya penyediaan fasilitas-fasilitas dari pihak perkebunan selama mereka bekerja di perkebunan. Adanya rumah menyebabkan keluarga buruh tidak kerepotan mencari tempat tinggal. Kasus Pak Sutardjo (48 tahun) yang lahir di luar perkebunan. Sebelum bekerja sebagai buruh tembakau pernah bekerja di Medan sampai tahun 1980. Namun, Pak Sutardjo memutuskan untuk kembali ke desanya dan selama itu pula dia selalu membantu pamannya bekerja di kebun tembakau. Ketika ada penerimaan buruh tembakau, Pak Sutardjo diterima bekerja sebagai buruh tembakau untuk menggantikan posisi pamannya yang kebetulan telah pensiun. Sementara itu, nilai anak secara sosial berkaitan dengan perasaan senang dari orang tua karena adanya anak laki-laki maupun perempuan sebagai penerus keturunan. Kasus pak Aman (50 tahun) merasakan nilai anak selain ekonomi material juga nilai ekonomi non material. Prinisip hidup Bapak Aman memiliki perbe daan dengan orang tuanya yang mengharuskan seluruh anak-anaknya bekerja di perkebunan. Bagi Bapak Aman, diantara tiga orang anak laki-lakinya, hanya Anto (15 tahun) yang diharapkan meneruskan pekerjaannya di perkebunan karena Anto dinilai kurang pintar. Agar pekerjaannya tidak keteter Pak Aman terpaksa melibatkan Anto secara in tensif untuk membantunya di kebun tembakau.
77
Dengan melibatkan Anto bekerja di kebun maka pekerjaan borongan dapat selesai sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan pihakl perkebunan. Pak Aman menginginkan agar Anto bekerja terus di kebun untuk menggantika nnya, sehingga pada saat pensiun tidak perlu ke luar dari Desa Buluh Cina. Keuntungan lain yang dirasakan pak Aman dari nilai anak adalah dapat memberikan kebahagiaan dalam kehidupan pribadi dan keluarganya. Yang paling diharapkan dari anak selain nilai ekonomis adalah agar anaknya menjadi orang yang baik, menjalankan agama dengan tekun, dan pada akhirnya jika orang tua meninggal, maka akan terus mendoakan orang tuanya. Ada suatu kepercayaan dalam agama Islam dan budaya Jawa yang dianut keluarga buruh di desa Buluh Cina, bahwa mendidik anak berakhlak baik akan merupakan amal zariah yang tidak bisa dinilai dengan uang. Sebagaimana yang diungkapakan Bapak Aman: ”dulu setelah kawin, saya kepingin secepatnya punya anak, dengan adanya anak, hidup jadi tenteram dan bahagia, sekarang saya sudah dikarunia empat orang anak. Alhamdulillah, mudah-mudahan saya dapat mendidiknya sehingga mempunyai akhlak yang baik, kalau saya meninggal nanti, akan ada empat orang anak dan cucu yang akan mengurus dan mendoakan saya”. Nilai anak bagi rumahtangga buruh tembakau Deli yang tidak memiliki tanah sangat penting untuk membantu pekerjaan di kebun tembakau. Hanya dengan memanfaatkan optimalisasi tenaga kerja dari anggota rumahtangga, maka kemampuan buruh untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dapat tercapai. Keterlibatan anak-anak bekerja banyak dipengaruhi oleh nilai anak dalam dimensi ekonomi. Nilai anak yang dimaknai oleh rumahtangga ini adalah sebagai ekonomi material, dimana anak-anak dapat dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan di kebun temba kau. Walaupun tidak ditemukan hubungan antara keinginan memiliki anak banyak dengan keinginan untuk memperbanyak tenaga kerja dalam sebuah keluarga, tetapi jelas bahwa keadaan ekonomi rumahtangga tipologi ini merupakan salah satu faktor pendorong orang tua untuk melibatkan tenaga kerja anak dalam pekerjaan produktif.
Selain itu, secara psikologis nilai anak juga
penting untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas yang disediakan pihak perkebunan, sementara nilai anak secara sosial untuk meneruskan garis keturunan, dan segi ajaran agama Islam dan budaya Jawa mendoakan orang tua yang telah meninggal.
78
B. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah Sebagian rumahtangga buruh tembakau Deli saat ini berusaha di bidang pertanian untuk menambah pendapatan da ri upah bekerja sebagai buruh kebun. Diversifikasi pekerjaan sektor pertanian dan perkebunan ini disebut Sayogyo (1991) dengan istilah pola nafkah ganda. Lahan pertanian yang dimiliki oleh rumahtangga buruh diperoleh dengan cara membeli pada petani di luar perkebunan dan
sebagian lainnya berdasarkan warisan orang tua. Pasangan
Purwanto – Jumiati (47 – 40 tahun) Sugiono – Astri (48 – 43 tahun), Usman – Rini (45 – 39 tahun), Aryadi – Misnah dan (41 – 35 tahun) adalah empat rumahtangga buruh tembakau Deli di desa Buluh Cina yang telah memiliki tanah. Dengan memiliki tanah penghasilan yang diperoleh rumahtangga ini tidak saja dari sektor perkebunan, tetapi juga penghasilan dari sawah. Mereka yang telah memiliki tanah sendiri penghidupan keluarganya lebih terja min, karena bisa bekerja dengan tenang tanpa tergantung sepenuhnya terhadap perkebunan. Seperti Pak Aryadi (41 tahun) yang telah menjalani pekerjaan sebagai buruh tembakau sekitar 18 tahun. Sebelum memiliki sawah di luar desa penghasilan keluarga hanya dar i bekerja di kebun, tetapi sejak mertuanya membagikan tanah kepada anak-anaknya, maka penghasilan rumahtangga Pak Aryadi tidak saja tertumpu pada upah di kebun tembakau. Dengan menjalani dua pekerjaan sekaligus keluarga ini terpaksa memerlukan tenaga kerja yang banyak pula. Pekerjaan borongan di kebun tembakau tidak mungkin dilakukan sendirian, bila kontribusi anak tidak ada , maka dampaknya selain beban pekerjaan yang berat harus ditanggung sendirian, Pak Aryadi terpaksa mengeluarkan tambahan modal untuk menyewa tenaga kerja dari luar keluarga. Pak Aryadi merasakan tenaga kerja anak penting dalam membantu pekerjaan borongan di kebun tembakau. Bekerja di kebun tembakau, setiap harinya dari pukul 06.00 Wib, Pak Aryadi hanya dibantu oleh istrinya, karena usia anak-anaknya belum dapat membantu bekerja di kebun dan anaknya yang paling tua kebetulan perempuan, sehingga tidak dapat diandalkan untuk bekerja di kebun. Ketiadaan tenaga kerja anak yang membantu, maka Pak Aryadi terpaksa menyewa tenaga kerja dari luar keluarga. Pak Aryadi menyewa buruh dari luar keluarga dengan membayar Rp. 13.500,-, per hari. Selama enam hari
79
mempekerjakan tenaga kerja di luar keluarga, Pak Aryadi mengeluarkan upah buruh lepas sebesar Rp. 94.500,- Jumlah sebesar itu ternyata sangat memberatkan bagi keluarganya. Sementara itu, untuk mengerjakan tanah Pak Aryadi mengandalkan tenaga kerja luar dengan sistem bagi hasil. Untuk keperluan pupuk, bibit dan sebagainya disediakan, dan setelah panen dilakukan pembagian hasil. Pekerjaan seorang buruh temba kau sambil bersawah cukup berat. Dengan menjalani dua pekerjaan tersebut maka tenaga kerja anak benar-benar sangat dibutuhkan. Tenaga kerja anak dibutuhkan bukan sekedar untuk membantu di kebun saja sebagai pekerjaan yang produktif, tetapi juga untuk pekerjaan yang reproduktif. Bapak Usman (45 tahun), yang telah memiliki tanah seluas 2,5 hektar dan empat ekor ternak lembu. Untuk membantu pekerjaan pak Usman setiap harinya selalu meluangkan tenaga yang banyak. Setiap hari jam kerjanya dimulai pada pukul 06.00 – 16.00 Wib di kebun tembakau dan sore harinya sekitar 16.00 – 18.00 bekerja di sawah. Padatnya pekerjaan yang harus dijalani menyebabkan tenaga anak-anak sangat diharapkan untuk membantu. Dari empat orang anaknya dua orang yang selalu aktif dalam membantu baik di kebun tembakau maupun di sawah. Pekerjaan yang dijalani secara bersamaan, sering sekali membuat mereka kerepotan. Untuk mengatasinya Pak Usman melakukan pembagian alokasi tenaga kerja keluarga menjadi hal yang penting. Pada musim tanam tembakau pak Usman membagi alokasi tenaga kerja kepada seluruh anggota keluarga. Untuk mengurus pekerjaan borongan di kebun tembakau ditangani oleh pak Usman, pekerjaan di ladang dibebabankan kepada dua orang anak laki-lakinya, dan pekerjaan di rumah diker jakan oleh ibu dan anak perempuannya. Bu Rini juga ikut bekerja sebagai buruh musiman di kebun tembakau, misalnya sebagai buruh hariaan lepas untuk mencari ulat. White (1984) menyatakan bahwa nilai anak bisa diamati dalam hal kerjasama dalam kehidupan keluarganya, seperti pada anak-anak yang belum masuk usia kerja dapat membantu pekerjaan di rumah. Sekalipun tidak nyata produktifnya tugas-tugas yang dilakukan pekerja anak secara tidak langsung dapat juga produktif bila pekerjaan anak dapat membebaskan anggota rumah tangga lain dari tugas -tugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang lebih produktif. Realisasi teori yang dikemukakan White (1984) semakin tampak jelas dari hasil wawancara
80
dengan bu Rini (43 tahun) yang menganggap bahwa anak merupakan bantuan tenaga kerja di rumah dan sekaligus pengasuh bagi saudaranya. Diusianya yang sudah tidak muda lagi bu Rini masih memiliki anak usia lima tahun, sehingga dia harus bekerja lebih keras untuk menambah penghasilan suaminya. Setiap pagi sekitar pukul 06.00 Wib, Bu Rini sudah berangkat ke kebun tembakau untuk bekerja mencari ulat. Pekerjaan mencar i ulat hanya musiman, sehingga Bu Rini harus benar-benar mengambil kesempatan tersebut untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Selama Bu Rini bekerja, pekerjaan memasak, me ncuci dan mengurus anaknya diserahkan kepada anak perempuan. Berikut ungkapan Bu Rini tentang nilai anak: “untuk membantu suami, saya bekerja di gudang pemeraman tembakau, dan yang mengerjakan pe kerjaan rumah terpaksa disuruh si Anti (9 tahun) khususnya menjaga adeknya paling kecil yang masih berusia lima tahun, sementara abangnya bekerja membantu bapaknya di kebun tembakau dan di sawah. Kalau tidak begitu mana lah mampu untuk memenuhi biaya hidup keluarga dan biaya sekolah anak-anak” Nilai anak secara psikologis, juga dapat diamati dari tipologi rumahtangga ini. Nilai anak digunakan untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas yang disediakan pihak perkebunan. Fasilitas yang diberikan pihak perkebunan menempati makna penting bagi buruh perkebunan. Seringkali fasilitas inilah yang menjadi faktor pendorong utama bagi keluarga buruh untuk tetap bertahan di perkebunan bahkan sampai mendidik anak-anak mereka secara bergenerasi. Kasus Bapak Sugiono (48 tahun), dari pengalamannya bekerja sebagai buruh tembakau selama 25 tahun lebih telah mampu membeli tanah seluas 1,5 ha ditambah dengan ternak masingmasing lima ekor sapi dan tujuh ekor kambing. Bagi bapak Sugiono tenaga kerja anak tetap penting untuk membantu pekerjaannya. Selain untuk membantu di kebun, di sawah dan mengurusi ternak, nilai anak secara psikologis ditunjukkan untuk dapat meneruskan pemilikan fasilitas -fasilitas yang disediakan pihak perkebunan. Pak Sugiono juga memiliki harapan tanah-tanah milik perkebunan yang akan habis masa HGU didistribusikan kepada buruh. Pemanfaatan tenaga kerja anak sudah dipikirkan secara matang mensosialisasikan pekerjaan perkebunan dan pekerjaan pertanian yang dianggap cocok bagi anak-anak mereka jika sudah dewasa.
81
Fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pihak perkebunan tembaka u Deli adalah; Pertama, fasilitas perumahan. Setiap buruh yang telah dinyatakan lulus menjadi buruh tetap akan mendapatkan tunjangan berupa rumah dinas dan akan dikembalikan setelah mencapai masa pensiun. Bagi keluarga buruh yang tidak mendapatkan rumah dinas, pihak perkebunan menggantinya dengan tunjangan uang sewa rumah sebesar Rp. 60.000,- perbulan. Berkurangnya jumlah rumah dinas, karena banyak buruh yang telah mengalami pensiun lebih memilih tetap tinggal di komunitas perkebunan, meskipun beberapa diantaranya sudah tidak memiliki generasi yang meneruskan pekerjaan buruh di perkebunan. Bagi pihak perkebunan tidak menjadi masalah karena pensiunan buruh tersebut dapat diandalkan untuk menjadi buruh harian lepas di kebun tembakau atau di tebu. Kedua, fasilitas yang lebih diandalkan oleh keluarga buruh adalah fasilitas kesehatan. Fasilitas ini adalah hak anggota keluarga buruh yang ditanggung oleh perusahaan. Biasanya perusahaan hanya menanggung biaya per obatan dengan tiga orang anak. Bila dalam keluarga memiliki empat orang anak, maka anak keempat bukan menjadi tanggungan perkebunan, sebaliknya akan menjadi beban keluarga buruh. Di satu sisi peraturan ini dapat dijadikan sebagai salah satu faktor yang tutur mempengaruhi perubahan nilai anak pada keluarga bur uh, dimana para buruh tidak menginginkan anak dalam jumlah besar. Salah seor ang mantan istri buruh pensiunan Bu Marina (75 tahun) menjelaskan tentang perubahan nilai anak pada komunitas buruh perkebunan di Buluh Cina. Sekitar tahun 1980-an, kebiasaan orang tua memiliki anak dalam jumlah besar masih berkembang. Memiliki banyak anakl masih dipandang akan membawa rezeki, karena semakin banyak anak semakin banyak pula tenaga kerja yang dapat membantu pekerjaan orang tua di kebun tembakau. Bu Marina sendiri memiliki anak 11 orang, saat ini lima orang diantaranya bekerja sebagai buruh tembakau meneruskan pekerjaan bapaknya. Ungkapan Bu Marina diperkuat oleh Bu Astri (35 tahun) seorang istri mandor tanam tembakau yang menyatakan bahwa buruh tembakau yang bekerja sekarang memiliki jumlah anak sedikit. Rata -rata buruh memiliki anak 3 – 4 orang 18. 18
Hal ini dapat diperbandingkan dengan Tabel 1. yang menggambarkan ciri-ciri rumahtangga responden dengan indikatornya adalah jumlah anak dalam keluarga.
82
Ketiga, tunjangan kebutuhan sembilan bahan pokok. Tunjangan yang diberikan hanya beras setiap bulan sebanyak 23 kg yang diberikan pada awal bulan sebanyak 10 kg dan pada akhir bulan sebanyak 13 kg. Anak-anak yang masuk tanggungan hingga berusia 17 tahun atau hingga selesai sekolah dengan menunjukkan ijazah. Salah seorang informan yang berasal dari istri mantan buruh tembakau Bu Marina menyatakan tunjangan bahan pokok yang diterima buruh tembakau saat ini mengalami pengurangan. Pada masa perkebunan dikuasai oleh kolonial Belanda tunjangan sembako tidak hanya beras, tetapi juga pakaian, susu, gula dan biaya perbaikan rumah. Memang pekerjaan pada saat itu sangat berat, tetapi fasilitas yang diberikan juga banyak. Kalau sekarang tunjangan sembako hanya beras saja, jadi untuk kebutuhan lainnya, keluarga buruh tembakau hanya mengandalkan upah harian dan tabungan keluarga pada saat masa upah borongan. Keempat, upah bulanan yang diterima buruh sebesar Rp. 386.000,- ketika pekerjaan harian yang ditandai dengan selesainya paket kerja borongan. Sistem kerja paket borongan hanya berlaku dari bulan Pebruari – Juli setiap tahunnya. Tinggi
rendahnya
upah
seorang
buruh
tergantung
kedisiplinan
dalam
mengandalkan seluruh anggota keluarga, karena setiap tahapan kerja yang diborongkan selain mendapat upah dari hasil kerja juga mendapat bonus tambahan bila mandor menilai pekerjaan yang dilakukan benar-benar bagus. Sistem kerja borongan, upah yang diperoleh jauh lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari kasus Pak Sugiono, yang menjelaskan bahwa rata-rata upah yang diperolehnya dengan upah borongan ada lah sebesar
Rp. 400.000,- per bulan. Selain itu, adanya
permintaan tenaga kerja musiman di gudang pemeraman tembakau juga diikuti oleh istri pak Sugiono. Upah yang diperoleh sebesar Rp. 13.500,- per hari. Jika bu Astri bekerja selama enam hari maka upah yang diterima sebesar Rp. 81.000,per minggu, sehingga bila bekerja dalam satu bulan bu Astri akan memperoleh upah sebesar Rp. 324.000,-. Sementara itu, terbukanya lapangan kerja di luar perkebunan seperti di pabrik yang berkembang di sekitar perkebunan, ternyata juga dimanfaatkan oleh Dian (17 tahun) salah seorang anak laki-laki Pak Sugiono yang sekarang tidak sekolah lagi. Dian bekerja di pabrik yang memproduksi tali plastik sejak Juli tahun 2004. Waktu kerja nya 7 – 8 jam per hari, yang dibayar sebesar Rp. 12.000,-. Dalam setahun, rata-rata hari kerjanya 12 bulan. Dengan
83
nilai upah Rp. 12.000,- per hari, maka Dian mendapat upah sebesar Rp. 4.320.000,- per tahun. Untuk memperlihatkan sejauh mana pentingnya nilai fasilitas bagi rumahtangga buruh tembakau Deli, kasus rumahtangga Bapak Sugiono diambil sebagai salah satu contoh. Sumber-sumber pendapatan rumahtangga Bapak Sugiono tahun 2004 dapa t dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Perbandingan sumber-sumber Pendapatan Rumahtangga Pemilik Tanah dengan Nilai Fasilitas di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 Sumber pendapatan Rumahtangga
A.
Upah siklus kerja tembakau 1. Upah borongan a. 6 bulan upah buruh suami b. 3 bulan upah buruh Istri 2. Upah harian suami (6 bulan)
Frekuensi Per tahun
6x 3x 6x
Pendapatan per bulan
Rp. 400.000,Rp. 324.000,Rp. 386.000,-
Pendapatan per tahun
Rp. 2.400.000,Rp. 972.000,Rp. 2.316.000,-
3. Sumber lain a. Buruh anak Laki-laki 12 x Rp. 360.000,Rp. 4.320.000,b. Upah hasil tanaman padi 2x Rp. 750.000,Rp. 1.500.000,dan holtikultura Total A Rp. 11.408.000,B. Nilai Fasilitas∗ 12 x Rp. 60.000, Rp. 720.000,1. Rumah 12 x Rp. 200.000,Rp. 2.400.000,2. Kesehatan 12 x Rp. 250.000,Rp. 3.000.000,3. Beras Total B Rp. 510.000,Rp. 6.120.000,Total A dan B Rp. 17.528.000 Sumber: Data primer, 2005 ∗Asumsi : 1. Rumah sama dengan nilai sewa rumah sejenis yang diberikan oleh pihak perkebunan setiap bulannya. 2. Biaya kesehatan sama dngan biaya pengobatan di Puskesmas yang terdekat dengan Desa Buluh Cina. 3. Beras sama dengan harga beras yang berlaku di Desa Buluh Cina pada saat penelitian ini berlangsung.
Dari tabel di atas dapat memperlihatkan bahwa selama tahun 2004 pendapatan total rumahtangga Pak Sugiono sebesar Rp. 11.408.000,-. Dengan nilai pendapatan tersebut, maka dapat diperkirakan secara lebih obyektif fasilitasfasilitas yang disediakan pihak perkebunan sangat penting bagi rumahtangga buruh. Penghasilan Pak Sugiono dengan istri dan anak-anaknya hanya 38 % dari total pendapatan tahunan rumahtangga. Total pendapatan rumahtangga Pak Sugiono sebesar Rp. 1.460.666, per bulan. Jumlah ini tidak mencukupi kehidupan keluarga, sehingga nilai fasilitas rumah sangat penting bagi pak Sugiono.
84
5.2.2. Tingkat Pendidikan Orang Tua Hasil Wawancara dan pengamatan menunjukkan bahwa keterbatasan fasilitas pendidikan di Desa Buluh Cina dan kurangnya kesadaran sebagian besar orang tua tentang pentingnya pendidikan, mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan orangtua. Sarana transportasi yang terbatas, mengharuskan seorang anak yang ingin sekolah harus tinggal di kota. Dengan demikian diperlukan biaya tinggal, biaya makan, biaya sekolah serta kebutuhan lain yang pengadaannya tidak bisa dilakukan berbarengan dengan pemenuhan kebutuhan anggota keluarga lainnya. Hal inilah yang menyebabkan orangtua sering merasa tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi dari SD. Akibatnya, hanya sekelompok kecil saja yang bisa mencapai pendidikan hingga SMP, SMA atau kuliah. Bahkan ada indikasi keluarga buruh perkebunan tidak sanggup untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Bisa lulus sampai SD saja sudah sangat baik bagi sebagia n besar buruh tembakau. Data lapangan menunjukkan, ada perbedaan nilai kerja antara orang tua yang hanya lulusan SD dengan yang berpendidikan lebih tinggi. Orang tua yang memiliki pendidikan tamat SMP atau SMA, tidak melakukan
pemaksaan
terhadap anak-anak untuk tetap bekerja di perkebunan. Mereka telah menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Berikut ini akan dijelaskan tingkat pendidikan orang tua pada kedua tipe rumahtangga buruh.
A. Tipe Rumahtangga Buruh yang tidak Memiliki Tanah Dengan memiliki pendidikan yang tinggi, orang tua lebih meyakini anakanak mereka akan dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik, sehingga mereka cenderung menyekolahkan anak-anaknya. Kasus Bapak Legiran (43 tahun) salah seorang responden yang lulus sekolah sampai tingat SLTA, akhirnya pasrah menerima nasib bekerja sebagai buruh perkebunan. Sebelum bekerja di perkebunan sebenarnya sudah pernah bekerja di luar sebagai pegawai Hotel di daerah Brastagi, namun karena orang tua meminta agar pulang akhirnya bekerja di kebun tembakau untuk menggantikan posisi orang tua. Pendidikan yang diperoleh Bapak Legiran banyak memberi keuntungan baginya. Misalnya, mengikuti pelatihan pengelolaan tembakau yang diselenggarakan pihak perkebunan PTPN II
85
pada tahun 2004 yang lalu. Tingkat pendidikan pula yang menyebabkan pada tahun 2005 ini terpilih sebagai salah satu calon yang akan diangkat menjadi mandor tanam. Pengalaman pendidikan ini akan diteruskan kepada anak-anaknya, seperti yang diutarakan Bapak Legiran saat mengenang masa lalunya, dengan menyatakan: “hidup saya sekarang sudah susah, kalau bisa anak-anak saya tidak merasakan seperti ini lagi. Untuk itu saya sudah mencoba akan tetap menyekolahkan anak-anak sampai ke jenjang yang lebih tinggi, Kalau anak-anak memiliki pendidikan mungkin untuk mendapatkan pekerjaan yang baik lebih mudah. Saya sengaja menyekolahkan salah seorang anak saya di STM yang ada di Binjai agar dia mendapat pendidikan yang lebih baik, mendapat pengalaman dari teman-teman di luar perkebunan. Hal ini akan menjadi bekalnya nanti, bila mau mencari pekerjaan” Berbeda dengan pandangan Bapak Aman (50 tahun) yang sekolah hanya sampai SD saja, memiliki pandangan bahwa sekolah tidak menjamin anak-anak mendapat pekerjaan yang le bih baik. Bapak Aman menyadari betul kecilnya peluang untuk bekerja di luar sektor perkebunan terutama sebagai pegawai negeri atau pekerjaan yang dipandang masyarakat sebagai pekerjaan yang lebih baik dan bergengsi. Bapak Aman telah pasrah pada nasib menja di buruh perkebunan tembakau, sehingga tidak mendorongnya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Keberadaan buruh tembakau yang merupakan kelas terendah dalam struktur perkebunan, membuatnya takut untuk menyekolahkan anaknya sampai ke SLTA. Pada keluarga buruh dengan tipe seperti ini, maka kegiatan sekolah anak tidak menjadi masalah penting. Jika anak sudah malas sekolah biasanya orang tua tidak berusaha untuk membujuknya dan anak yang tidak sekolah akan langsung memasuki dunia kerja dan ini berarti usia kerja anak akan semakin dini. Bapak Aman (50 tahun) yang tidak tamat SD menyatakan: ”pekerjaan mengelola tembakau tidak perlu dipelajari sampai sekolah segala. Sejak kecil kami sudah menyaksikan bahkan mengerjakannya langsung. Asal ada kemauan dan memiliki tenaga kuat pasti bisa. Beda dengan kerja di pabrik atau pegawai negeri yang harus memakai otak, kalau tidak sekolah ya..tidak diterima...makanya sejak kecil anak-anak dilibatkan saja untuk bekerja...”
86
Proses rekruitmen kerja yang tidak mementingkan tingkat pendidikan di perkebunan merupakan strategi pengusaha agar mendapatkan tenaga kerja yang patuh, tidak memiliki wawasan yang luas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memproduksi tenaga kerja dimasa yang akan datang. Strategi ini cukup berhasil dalam memberikan keuntungan bagi pihak perkebunan. Setidaknya orientasi nilai kerja orang tua tetap menganggap pekerjaan perkebunan sebagai pekerjaan yang bernilai tinggi dalam menjamin kehidupan keluarga. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana kehidupan mereka tetap berlanjut dengan bantuan dari anakanaknya. Dengan demikian faktor lain yang menyebabkan rendahnya dorongan orang tua untuk menyekolahkan anak-anak ke jenjang yang lebih tinggi adalah akibat peraturan perkebunan yang tidak mementingkan pendidikan dalam perekrutan tenaga kerja.
B. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah Ada asumsi yang menyatakan bahwa latar belakang pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor pendorong bagi anak dalam menentukan masa depan penduduk maupun terhadap pilihan pekerjaannya. Kenyataan ini paling tidak mempengaruhi aspirasi pendidikan dari kebanyakan orang tua pada komunitas perkebunan tembakau Deli dan secara langsung maupun tidak berpengaruh pula pada tingkat pendidikan anak-anak mereka. Kasus Bapak Usman (48 tahun) yang sekolah hanya sampai tingkat SD, memiliki pandangan bahwa pekerjaan sebagai buruh
perkebunan
tembakau
dianggap
sebagai
alternatif
yang
paling
memungkinkan untuk dimasuki anak-anaknya karena tidak memerlukan tingkat pendidikan yang khusus. Pak Usman tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk sekolah sampai tinggi, karena tanpa sekolah pun anak-anak dapat bekerja di perkebunan seperti yang dialaminya 38 tahun yang lalu. Satu-satunya keahlian yang diperlukan adalah kepandaian dan keterampilan mengelola tembakau yang hanya bisa diperoleh melalui pengalaman kerja dan bukan melalui proses pendidikan formal. Pilihan rasional Pak Usman untuk mengikutsertakan anak mereka bekerja dengan hasil yang lebih pasti dibanding mengirim mereka ke sekolah tanpa ada kepastian lapangan pekerjaan yang lebih baik dan menguntungkan. Apalagi biaya
87
pendidikan saat ini semakin membumbung tinggi yang tentu sangat memberatkan bagi keluarga buruh. Dengan demikian satu faktor yang mendorong orang tua tetap menginginkan anak-anak untuk bekerja di perkebunan adalah latar belakang pendidikan. Kurangnya pendidikan individu dari kelas rendah berarti bahwa mereka tidak memiliki pandangan yang canggih ataupun kemampuan untuk membentuk
abstraksi-abstraksi
dari
pengalama n
kongkrit
dan
mereka
menunjukkan tidak adanya fleksibilitas imaajinatif. Mereka kurang memiliki persfektif waktu yang lama, strategis sebagai pembentuk masa depan Meski demikian, setelah kehadiran SMP dan SMA sekitar tahun 1990-an di Desa Buluh Cina sema kin banyak anak-anak yang berpeluang menikmati pendidikan sampai SMP dan SMU. Bahkan ada indikasi bahwa keluarga yang tingkat ekonominya rendah sangat responsif untuk memanfaatkan lembaga pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah anak-anak yang sempat diwawancarai sebagai responden sebagian adalah anak-anak dari keluarga buruh yang tidak memiliki tanah. Dorongan untuk memperbaiki kehidupan diupayakan dengan perbaikan kualitas pendidikan. Salah seorang informan Bapak Zamiran (60 tahun) yang menjabat se bagai Kepala Desa menyatakan bahwa dinamika pendidikan anak-anak di Desa Buluh Cina sudah banyak mengalami perubahan. Masyarakat sudah mulai mengalami pergeseran ke arah pendidikan anak-anak. Penjelasan yang disampaikan Bapak Zamirin diperkuat oleh pandangan informan lain Pak Holid (35 tahun) salah seorang guru di SLTP Swasta Pelita yang menuturkan bahwa pendidikan anak-anak di Desa Buluh Cina mengalami peningkatan. Bila lima tahun yang lalu anak-anak yang lulus SLTP tidak banyak yang melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi pada akhir-akhir ini mengalami perubahan. Anak-anak sudah melanjutkan pendidikan sampai SMU atau STM dua sekolah yang baru di bangun. Biasanya anak-anak yang berasal dari keluarga buruh perkebunan lebih memilih untuk menyekolahkan anak laki-laki ke STM. Hal ini dipengaruhi oleh keinginan orang tua agar anak-anaknya memperoleh pekerjaan di sektor industri setelah mereka tamat dari sekolahnya. Bahkan anak-anak yang lulus SMU ada yang melanjutkan pendidikannya sampai ke Universitas. Namun, untuk yang terakhir ini, anak-anak biasanya berasal dari keluarga mandor, staf administrasi, dan krani perkebunan.
88
5.3. Orientasi Nilai Budaya Rumahtangga Buruh Perkebunan Permasalahan yang dihadapi buruh di perkebunan cukup kompleks. Rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga masih menjadi masalah utama mereka hingga sekarang. Soegiarti (2002) menunjukkan bahwa upah buruh sektor perke bunan lebih rendah dibandingkan sektor industri. Sistem upah buruh perkebunan cenderung eksploitatif, pola hubungan kerja bersifat feodal, dan curahan waktu kerja panjang yang tidak sebanding dengan upah yang diterima. Sementara itu, pada umumnya keluarga buruh tidak memiliki simpanan atau modal kerja. Ironisnya, tak jarang mereka harus terjerat oleh ulah para rentenir19 yang memaksa keluarga mereka masuk dalam perangkap kemiskinan (Cambers, 1987). Kemiskinan yang terus menerus dihadapi buruh memaksa mereka tida k dapat keluar dari perkebunan. Sebenarnya ketergantungan buruh terhadap perkebunan sengaja diciptakan pihak perkebunan. Hal ini telah berlangsung sejak masa kolonial Belanda dengan cara memperbolehkan menghisap candu, mengadakan hiburan wayang, ronggeng bangsawan, judi, pasar malam, dan prostitusi. Semua hiburan tersebut sengaja dilakukan untuk menarik upah yang diterima para kuli kembali, dengan demikian mereka akan terlilit hutang dengan perkebunan. Pelaksanaan hiburan masih tetap menjadi tradisi di komunitas perkebunan hingga saat ini. Pasar malam di emplasmen Buluh Cina yang bertepatan dengan setiap gajian kecil dan besar hingga saat ini masih terus berlangsung. Ketergantungan buruh ini mempengaruhi terhadap sikap dan perilaku buruh yang tunduk terhadap perkebunan dan memilih tetap bertahan di komunitas perkebunan dan melestarikan kerja sebagai buruh kepada anak-anak yang dianggap mampu dan cekatan dalam bekerja. Berdasarkan wawancara dan temuan lapangan dapat dikonstruksikan beberapa faktor yang menyebabkan buruh perkebunan mengalami ketergantungan terhadap
perkebunan. Pertama,
perkebunan
adalah
penjamin
keamanan
subsistensi keluarga. Untuk kebutuhan buruh yang paling mendesak mereka disubsidi oleh perkebunan. Di samping itu bagi para buruh yang memiliki modal 19
Rentenir adalah orang yang memberikan pinjaman dana kepada keluarga yang kurang mampu setelah sebelumnya pihak peminjam menyepakati aturan main yang ditetapkan oleh tengkulak, yakni dalam pengembaliaannya, pinjaman ini harus dilipatgandakan (berbunaga), sehingga sekeras apapun mereka bekerja dan berusaha mengembalikan pinjaman tersebut, mereka tidak mampu melunasinya.
89
dapat memelihara ternak seperti kambing, lembu dan menanam tanaman padi dan holtikultura bagi mereka yang telah memiliki tanah. Artinya, sebenarnya keluarga buruh telah memiliki kesempatan untuk mengalokasikan modal dan keluar dari perkebunan, tetapi sengaja tidak ke luar karena menurut pandangan mereka jauh lebih baik dibanding harus bekerja di luar perkebunan yang belum tentu ada jaminan ekonomi keluarga. Sementara itu, ekologi di sekitar perkebunan merupakan basis subsistensi bagi para kuli. Seperti terlihat pada riteme kehidupan para kuli, jika rerumputan di sekitar kebun Buluh Cina dan sekita rnya tidak subur mereka tidak dapat memberikan pakan ternak sapi dan kambing yang dipelihara para buruh. Kesuburan lahan di kebun Buluh Cina dengan rerumputan yang tumbuh amatlah membantu para buruh yang beternak sapi dan kambing untuk mencukupi kebutuhan pakan ternaknya. Kedua, tradisi memburuh yang masih berkembang hingga saat ini, sehingga mereka sulit berpindah profesi. Kebiasaan hidup di perkebunan yang aman tenteram tidak terlalu memikirkan hal- hal yang rumit dapat mendorong keluarga buruh untuk tetap menginginkan anak-anaknya tetap menjadi buruh di perkebunan. Bahkan ketahanan para buruh untuk bekerja dengan tekun terutama bagi buruh yang sudah berusia tua dengan upah yang rendah dibandingkan dengan bekerja di luar perkebunan seperti di pabrik. Sikap nrimo dan rasa syukur yang ada dalam batin memperkuat ketahanan kuli untuk bekerja secara maksimal meski hasil yang mereka terima tidak sebanding dengan nilai kerja yang mereka lakukan. Sikap para kuli yang diwarnai nrimo ini senyatanya menjadi kebudayaan yang membuat para kuli tahan hidup ditengah kemiskinan. Karakteristik nilai-nilai budaya Jawa yang masih berlaku pada sebagian besar buruh dapat menghambat kemajuan hidup mereka sendiri. Sebagian besar buruh masih memegang kuat nilai-nilai kejawen yang diwariskan oleh leluhurnya, seperti memberikan sesajen atau persembahan kepada arwah leluhur dan roh-roh halus yang menguasai daerah, memilih “hari baik” sebelum melakukan suatu kegiatan/usaha, percaya pada dukun dan takhyul. Kultur masyarakat perkebunan juga memandang sesuatu terjadi semata-mata karena kehendak Yang Maha Kuasa. Misalnya, jika mereka miskin, lalu bodoh, maka hal ini mereka anggap sebagai takdir yang tidak bisa diubah. Demikian pula jika mereka menjadi buruh,
90
maka itu pun dianggap sebagai takdir. Akibatnya mereka lebih suka menerima realitas kehidupan ini sesuai apa adanya. Sebaliknya, jika seseorang berhasil menjadi kaya, maka disebut sebagai nasib baik. Sikap patalistik atau sikap nrimo terhadap segala sesuatu, mangan ora mangan asal ngumpul, hedonitas, saiki dudhu sesuk , gugontuhon, membuat mereka pasrah pada keadaannya. Pada akhirnya, nilai-nilai budaya itu dapat mendorong keinginan orang tua agar generasi berikutnya tetap menjadi buruh di perkebunan.
Berikut kasus
pengalaman Bapak Legiran yang diceritakannya kembali ketika memilih bekerja sebagai buruh tembakau Deli: “…mungkin sudah nasib saya, harus bekerja di kebun tembakau, karena setelah beberapakali mencoba kerja di luar perkebunan, ada saja masalah yang membuat saya tidak betah dan harus pulang ke desa Buluh Cina. Sekarang saya sudah pasrah pada nasib menjadi buruh selamanya. Paling kalau ada rezeki saya diangkat jadi mandor. Perasaan sebagai seorang buruh yang merupakan kelas terendah dalam struktur perkebunan, membuatnya takut untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke universitas. “Kalau macam saya, tidak mungkinlah menyekolahkan anak ke universitas, soalnya masuk perguruan tinggi tidak ada biaya. Penghasilan dari seorang buruh hanya cukup untuk makan, apalagi seperti keluarga saya tidak memiliki tanah yang dapat diolah. Menurut
kerangka
berfikir
Kluckhohn
dan
Strodtbeck
dalam
Koentjaraningrat (1990), konsepsi mengenai isi dari sistem nilai budaya atau soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia sedikitnya ada lima yaitu (1) soal human nature atau makna hidup manusia; (2) soal man-nature atau soal makna dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; (3) soal time atau persepsi manusia mengenai waktu; (4) soal activity , atau soal makna dari pekerjaan, karya dan amal pe rbuatan manusia dan (5) soal relational, atau hubungan manusia dengan sesama manusia. Lebih lanjut, Koentjaraningrat (1990), menyatakan bahwa kelima orientasi nilai itu mempunyai masing-masing tiga variasi konsepsi yang sebenarnya bisa diurutkan sebagai pe rkembangan ciri kebudayaan manusia dari tahapan tradisional hingga yang disebut modern. Secara sederhana kerangka ini disusun oleh Koentjaraningrat seperti berikut ini : 1.
Soal makna hidup bervariasi dari hidup adalah penderitaan (evil), hidup itu sumber kesenangan (good) atau hidup itu dapat diperbaiki (mixture of good and evil).
91
2.
Soal makna hubungan manusia dengan alam bervariasi dari tunduk terhadap alam (subjugation to nature), selaras dengan alam (harmony with nature) atau menundukkan alam (mastery over nature).
3.
Soal makna waktu bervariasi dari orientasi ke masa lalu (past), orientasi ke masa kini (present) dan orientasi ke masa depan (future).
4.
Soal makna karya bervariasi dari karya untuk hidup (being), karya untuk kedudukan (being in becoming) dan karya untuk karya (doing).
5.
Soal hubungan manusia dengan manusia bervariasi dari orientasi ke atas (lineality), orientasi sesamanya (collaterality) dan orientasi individu (individuality). Berdasarkan kelima hal di atas peneliti mencoba melihat orientasi nilai
budaya buruh tembakau Deli memutuskan tetap bekerja dan bertempat tinggal di dalam komunitas perkebunan hingga saat ini. Bagi buruh perkebunan tembakau di Desa Bulu Cina memandang bahwa hidup ini baik, namun untuk itu perlu usaha. Hari esok yang lebih baik hanya bisa tercapai jika usaha ke arah itu dilakukan. Manusia harus berusaha agar hidup hari esok bisa lebih baik dari hari kemarin. Tapi, bagi buruh perkebunan hidup untuk meningkatkan kehidupan sudah sebatas angan-angan saja, karena kondisi dan situasi di lingkungan perkebunan yang tidak menyediakan lapangan pekerjaan selain menjadi buruh di perkebunan, seperti yang diutarakan Pak Sutardjo : “bagaimanalah ya …kalau hanya tetap tinggal disini pasti bekerja di perkebunan ini saja, kecuali mau ke luar dari desa ini mungkin bisa bekerja di pabrik. Tapi kalau bekerja di pabrik rata-rata hanya anak perempuan saja, sementara anak laki-laki lebih memilih bekerja bangunan dan di perkebunan, saya itu tidak memiliki keterampilan, yang saya tahu hanya bekerja di kebun” Bagi rumahtangga buruh yang telah memiliki tanah juga sangat yakin hasil kerja di perkebunan sambil mengembangkan usaha dengan bertanam-tanaman holtikultura di tanah yang mereka miliki. Keinginan akan datangnya perubahan nasib itu didasarkan atas kearifan buruh yang selalu belajar dari pengalaman. Pengalaman yang diserap dari masyarakat sekitarnya dengan adanya kasus masyarakat yang menyerobot tanah perkebunan yang telah habis HGU-nya. Buruh berpeluang untuk keluar dari kemiskinan yang mendera kehidupannya. Peluang tersebut sebagian diaktualkan dalam bentuk pilihan sikap dan perilakunya untuk
92
tetap bertahan dan bekerja sebagai buruh. Bila mengacu kepada konsepsi Kluchohn mengenai orientasi nilai budaya, maka masyarakat buruh perkebunan di Desa Bulu Cina dikategorikan kepada kelompok masyarakat transisi. Hal ini terlihat dari adanya keinginan masyarakat untuk merubah kehidupannya, tapi karena keterbatasan lapangan kerja maka mereka tetap bekerja di perkebunan. Para buruh tidak memandang pekerjaan sebagai buruh perkebunan sebagai pekerjaan rendah. Malah sebagian bercita -cita agar anak-anak dan keturunannya tetap meneruskan pekerjaan sebagai buruh tembakau. Hidup tenang di lingkungan perkebunan pada masa tuanya nanti, merupakan pilihan yang dianggap paling tepat karena lebih nyaman dan menyenangkan dapat selalu berkumpul dengan anggota keluarga, anak dan cucu. Artinya, dalam soal hubungan manusia dengan alam mereka memiliki orientasi untuk menundukkan alam dalam rangka memperjuangkan kebutuhan hidup manusia. Kesadaran buruh sebagai kelas yang tertindas selama ini telah membuat mereka untuk berani melakukan protes terhadap pihak perkebunan dengan tuntutan agar terjadi perubahan sistem kerja dan upah kerja agar dinaikkan. Masa lalu sebagai kelas bawah masyarakat di lingkungan perkebunan adalah waktu kenangan. Masa kini dan masa depan adalah perjuangan yang harus dijalani. Mereka juga memaknai waktu dengan berorientasi pada masa depan. Sayangnya, pola hidup hemat belum menjadi keseharian mereka, malah sebaliknya buruh perkebunan terlihat hidup boros. Bapak Zamiran (60 tahun) menjelaskan bahwa secara kasat mata keluarga buruh tembakau dapat digolongkan masyarakat ekonomi yang mampu. Tapi, pada kenyataannya tidaklah demikian karena harta yang mereka miliki hanyalah se bagai fantasi belaka. Di balik fantasi yang ada, ternyata tanda-tanda kesejahteraan hidup masih memprihatinkan. Harta benda yang mereka miliki seperti televisi, sepada motor, dan alat-alat elektronik lainnya diperoleh secara mengangsur hanya sebagai simbol. Pada kenyataannya mereka tidak sanggup untuk membeli barang-barang tersebut. Adapun yang memotivasi mereka untuk membeli karena sudah menjadi tradisi masyarakat buruh perkebunan gemar mengalokasikan penghasilan mereka, meskipun anak-anak putus sekolah. Orientasi nilai budaya buruh perkebunan dalam memandang waktu masih berorientasi masa lalu dan masa kini, masa depan belum dipikirkan.
93
Berdasarkan uraian orientasi nilai budaya buruh perkebunan ini, diperoleh beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya pe mbentukan generasi buruh secara turun temurun, yaitu : (1) memilih sendiri (menyukai), hal ini terkait dengan faktor nilai budaya yang berkembang di masyarakat perkebunan. Mereka masih menekankan sikap hidup biar susah yang penting ngumpul. (2) tidak memiliki alternatif pilihan (terpaksa), keluarga buruh tidak memiliki pilihan pekerjaan lain yang membuat mereka terlepas dari komunitas perkebunan. (3) tidak mampu mengembangkan pilihan (apatis), meskipun belakangan ini ada beberapa lapangan pekerjaan yang bisa dimasuki, tetapi buruh memiliki sifat yang kurang maju. Mereka merasa tidak akan mampu bekerja di luar perkebunan, selain karena kurangnya keterampilan yang dimiliki, dan juga rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. (4) lebih memilih tinggal di perkebunan, karena membutuhkan biaya hidup lebih rendah (ada subsidi pihak perkebunan, seperti fasilitas perumahan, kesehatan, upah bulanan, tunjangan bahan pokok dan pensiunan).
5.4. Ikhtisar Lemahnya posisi buruh selain karena merupakan lapisan terbawah dalam struktur organisasi perkebunan, juga adanya mekanisme kontrol menajemen perkebunan yang sangat besar kepada mereka. Upah buruh masih rendah, belum disesuaikan
dengan
ketentuan
UMR/UMP.
Dalam
perkembangannya
rumahtangga buruh tembakau Deli terus bergerak, sehingga saat ini ditemukan dua tipologi rumahtangga, yaitu rumahtangga yang tidak memiliki tanah dan yang memiliki tanah. Kedua tipologi rumahtangga itu dapat mempengaruhi perbedaan terhadap motivasi dalam pemanfaatan pekerja anak. Posisi buruh masih dipandang sebagai faktor produksi belaka. Terkait dengan situasi dan kondisi tersebut, maka sebagai salah satu strategi bertahan hidup rumahtangga buruh tembakau Deli memandang bahwa anak merupakan
pewaris keluarga yang akan menjamin
keselamatan orang tua. Anak bur uh perkebunan akan menjadi buruh perkebunan sama dengan orang tua dianggap hal yang wajar.
94
Tabel 7. Tipologi Rumatangga Buruh Tembakau Deli di Desa Buluh Cina Berdasarkan Kepemilikan Tanah dan motivasi mempekerjakan anak, Tahun 2005 Tipologi Rumahtangga Rumatangga buruh yang tidak memiliki tanah
Faktor memotivasi mempekerjakan anak • Nilai Anak dalam keluarga
• Tingkat pendidikan orang tua
Rumahtangga pemilik tanah
• Orientasi budaya
nilai
Nilai anak keluarga
dalam
Tingkat pendidikan
Orientasi budaya
Sumber : Data Primer, 2005
nilai
1). Nilai anak secara ekonomi material: • Tenaga Kerja Keluarga Produktif (terkait dengan sistem kerja borongan) • Reproduktif, bekerja di dalam rumah (White, 1984). • Nilai psikologis anak, terkait dengan keinginan memperoleh fasilitas yang disediakan perkebunan (perumahan, kesehatan, upah bulanan, dan sembako) 2). Nilai anak secara ekonomi non material: • nilai sosial anak sebagai pengembangan garis keturunan. • dalam aspek agama, anak dapat mendoakan orang tua, bila sudah meninggal. - Pendidikan orang tua rendah, makna dan nilai pekerjaan perkebunan benar, sehingga pelibatan anak dalam ekonomi keluarga tinggi. - Tidak mampu untuk mengembangkan usaha, sehingga pekerjaan perkebunan tetap dipertahankan, dan lebih mengarahkan anak-anaknya untuk bekerja di luar perkebunan. 1). Nilai anak secara ekonomi material: • Tenaga Kerja Keluarga Produktif (terkait dengan sistem kerja borongan) • Reproduktif, bekerja di dalam rumah (White, 1984). • nilai psikologis anak, terkait dengan keinginan memperoleh fas ilitas yang disediakan perkebunan (perumahan, kesehatan, upah bulanan, dan sembako) 2). Nilai anak secara ekonomi non material: • nilai sosial anak sebagai pengembangan garis keturunan. • dalam aspek agama, anak dapat mendoakan orang tua, bila sudah meninggal. - Tingkat pendidikan orang tua yang tinggi, tidak membawa mereka untuk menyekolahkan anaknya lebih tinggi, tetapi tetap mengarahkan anak-anak untuk bekerja di perkebunan atau di pertanian. - Memiliki keyakinan hasil kerja di perkebunan sambil mengembangkan usaha dengan bertanamtanaman holtikultura di tanah yang mereka miliki. - Keinginan akan datangnya perubahan nasib itu didasarkan atas kearifan buruh yang selalu belajar dari pengalaman penduduk lokal yang berhasil mendapatkan akses tanah.
95
Pertama, rumahtangga buruh yang tidak memiliki tanah menganggap bahwa bekerja di perkebunan tembakau Deli sebagai cara hidup dan satu-satunya sumber matapencaharian. Optimalisasi tenaga kerja pada rumahtangga ini dinilai dari besarnya curahan waktu yang dipergunakan oleh masing-masing anggota keluarga termasuk tenaga kerja anak. Peranan utama anak dalam ekonomi rumahtangga adalah berkaitan dengan sistem kerja borongan yang diterapkan pihak perkebunan, dengan demikian penggunaan tenaga dapat dida yagunakan untuk menghindari pemakaian tenaga kerja di luar keluarga yang berkonsekuensi terhadap pengeluaran. Kedua, rumahtangga buruh perkebunan yang telah memiliki tanah tidak menggantungkan hidup seluruhnya kepada perkebunan. Namun, karena sistem kerja borongan peranan tenaga kerja anak sangat diperlukan. Tenaga kerja anak tidak hanya diandalkan untuk membantu di kebun tembakau, akan tetapi juga untuk bekerja di sawah/ladang. Keluarga buruh tetap menginginkan anaknya meneruskan pekerjaan sebagai buruh, karena secara ekonomis, bekerja di perkebunan tembakau Deli memberi harapan untuk memperbaiki kehidupan buruh dengan adanya fasilitas dan tunjangan yang diberikan pihak perkebunan. Tunjangan kesehatan, upah bulanan, dan penyediaan rumah merupakan alasan ya ng mempengaruhi kehidupan keluarga buruh untuk terus mendorong munculnya generasi buruh di perkebunan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pilihan sendiri (menyukai), karena membutuhkan biaya hidup lebih rendah (ada subsidi pihak perkebunan, seperti fasilitas perumahan, kesehatan, upah bulanan, tunjangan bahan pokok dan pensiunan).
Tidak
memiliki
alternatif
mengembangkan pilihan (apatis),
pilihan
(terpaksa),
tidak
mampu
merasa tidak akan mampu bekerja di luar
perkebunan karena kurangnya keterampilan yang dimiliki . Keterlibatan pekerja dalam sistem kerja di tembakau dimulai sejak usia masih 6 tahun. Pekerjaan yang dilakukan disesuaikan dengan gender. Anak lakilaki mengerjakan pekerjaan yang dianggap berat, sementara anak perempuan bekerja yang sedikit ringan tetapi memerlukan ketelitian yang cermat. Perbedaan pekerjaan yang didasarkan pada gender merupakan taktik perkebunan untuk mendapatkan tenaga kerja secara turun temurun. Selengkapnya pembagian kerja tembakau dapat dilihat pada tabel 8.
96
Tabel 8. Pembagian Kerja Tembakau Deli dan Keterlibatan Pekerja Anak di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 Dewasa No
Jenis Pekerjaan
P BT
A. Kebun Penyiapan Lahan - membuka lahan - membuat bedengan/paret - Ngayap 2. Penanaman - Pemupukan - M elubang - Menanam - Mengangkut dan menyiram 3. Pemeliharaan - Penyiraman - Tutup kaki - Mencari ulat - Menyemprot hama - Menyiangi 4. Panen - Pemetikan - Pengangkutan ke bangsal B. Bangsal Pengeringan 5. - Menyucuk - M enjerang/mengganting - M enggantung C. Gudang Pemeraman 6. Sortir Pengebalan Sumber : Data Primer, 2005
L BHL
BT
BHL
AnakP L BD BD
1.
Keterangan : BT : Buruh tetap BHL : Buruh Harian Lepas BD : Buruh Domestik
Waktu
Jan- Maret √
√ √
√ √ √
√ √ √
√ √
Maret April √ √ √
√ √ √ Maret - Mei
√ √ √ √
√
√
√
√ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ Mei- Juli √
√ √
√
√
√ √
Mei - Juli √
Juli Desember
VI. SOSIALISASI NILAI KERJA DAN DINAMIKA PEKERJA ANAK DI PERKEBUNAN TEMBAKAU Bab ini akan menjelaskan bagaimana rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli membentuk anak-anak menjadi buruh, sehingga keluarga mereka dapat hidup terus secara bergenerasi di komunitas perkebunan. Pada penelitian ini terungkap bahwa pembentukan generasi buruh dilakukan melalui proses sosialisasi nilai kerja. Peranan pekerja anak merupakan nilai yang berharga bagi orang tua karena dapat membantu di kebun, mengembala ternak, di rumah untuk mengasuh adik sekalipun umur mereka masih muda. Keterlibatan anak bekerja dianggap sebagai suatu proses belajar, pendewasaan diri, menumbuhkan rasa percaya diri, kemandirian anak, dan bagian dari proses pe mbentukan generasi buruh. Berlangsungnya pembentukan generasi buruh juga dipengaruhi oleh daya tarik perkebunan yang menyediakan beberapa fasilitas kepada buruh, seperti perumahan, kesehatan, dan pensiunan. Fasilitas perumahan memberikan makna penting bagi orang tua, sehingga fasilitas ini pula menjadi alasan untuk mendidik anak-anak menjadi generasi buruh. Bagian ini beturut-turut akan menjelaskan sosialiasasi anak-anak pada rumahtangga buruh tembakau Deli, proses sosialisasi nilai pekerjaan dan perubahan sosialisasi nilai kerja. Pembahasan mengacu kepada dua tipologi rumahtangga buruh pemilik tanah dan yang belum memiliki tanah.
6.1. Sosialisasi Anak Pada Rumahtangga Buruh Tembakau Deli 6.1.1. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah Komunikasi antara orang tua dan anak merupakan salah satu cara dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak, karena melalui komunikasi dengan anak akan diketahui nilai dan norma mana yang dianggap baik dan tidak baik serta mana yang harus dilakukan atau dihindari. Dalam kehidupan sehari-hari, rumahtangga buruh tembakau Deli yang tidak memiliki tanah melakukan pendekatan yang berbeda dalam sosialisasi terhadap anak, baik kepada anak kecil (balita), kanak-kanak (6 – 9 tahun), dan kepada anak remaja (10 – 15 tahun). Hubungan ayah dengan anak usia balita le bih akrab apabila dibandingkan dengan hubungan kepada anak remaja. Hubungan antara ayah dengan anak laki-laki terbatas pada hal- hal yang dianggap sangat penting, sementara dalam hal-hal yang
98
biasa, seorang ibu berperan sebagai penghubung antara anak dengan ayahnya, sehingga hubungan ibu dengan anak sangat dekat. Terdapat rasa canggung bila seorang ayah bepergian santai dengan anak-anaknya, apalagi bersama dengan anak perempuan, sehingga jarang terlihat se orang ayah mengajak bermain anakanaknya. Orang tua pada tipe rumahtangga ini tidak pernah melakukan hal itu karena mereka tidak cukup waktu. Bila mereka tiba di rumah sepulang bekerja, biasanya dipergunakan untuk istirahat sebentar kemudian mengerjakan sesuatu di sekitar rumahnya, seperti berkebun atau meme lihara ternak kambing, sapi, ayam dan lain-lain. Bahkan tidak jarang menjelang magrib ayah masih mencari rumput (ngarit) untuk makanan ternak Hasil wawancara yang dilakukan dengan responden dan pengamatan secara langsung, terekam pula bahwa tipe rumahtangga buruh ini berkumpul di rumah bersama -sama dengan seluruh anggota keluarga hanya setiap sore hari sekitar pukul 17.00. Pada malam hari mereka kadang-kadang berbincang-bincang dengan keluarga sambil beristirahat dan mendengarkan radio, menonton televisi samapai pukul 21.00 Wib. Setiap malam hari biasanya para buruh perkebunan beserta anak-anaknya menyempatkan waktu menonton televisi ke rumah-rumah tetangga yang kebetulan memiliki televisi. Nampaknya, di kawasan perkebunan, menonton televisi merupakan sala h satu hiburan yang paling umum dan sangat digemari untuk mengurangi kelelahan setelah seharian penuh bekerja di kebun tembakau. Acara yang paling digemari oleh anak-anak adalah sinetron bercerita percintaan seperti Liontin, Dara Manisku, dan Si Cantik dan Si Buruk Rupa. Nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak sama dengan yang diajarka n pada Keluarga Jawa sebagaima na Geertz (1983) yaitu nilai hormat, rukun dan rasa malu. Seperti yang diajarkan dalam rumahtangga Bapak Syamsuddin – Surtini, bila berbicara dengan orang yang lebih tua harus menggunakan bahasa krama, patuh dengan orang tua, bila bertemu dengan orang yang lebih tua harus lebih dahulu menyapa, hidup rukun dengan saudara, kakak harus mengala kepada adiknya, tidak boleh berkata kotor, punya rasa malu (isin) (malu ketika memakai barang milik orang lain tanpa izin), cara makan (mendahulukan orang yang lebih tua, piring tidak boleh bunyi), berpakaian (laki-laki memakai celana, perempuan memakai rok, tidak boleh memakai pakaian yang ketat).
99
Cara yang digunakan orang tua dalam sosialisasi anak cenderung otoriter dan bersifat ketaatan. Orang tua membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh anak, seperti meletakkan pakaian pada tempatnya, sebelum magrib sudah harus di rumah, tidak boleh main jauh-jauh. Orang tua tidak segan-segan akan memukul anaknya jika mereka berlaku tidak sesuai dengan perintah orang tua atau hal-hal yang tidak senonoh dan bertentangan dengan budaya setempat. Orang tua terutama ayah memukul anaknya terutama anak laki-laki bila tidak mentaati apa yang diperintahkan. Berikut ini pernyataan responden Bu Astri (43 tahun): ”Ibu hanya cukup memberikan nasehat seperti ini, kamu harus belajar membantu pekerjaan orang tua, karena manusia tidak enak dagingnya, manusia yang rajin bekerja kehidupannya kelak akan senang. Akan tetapi kalau ayahnya kadang-kadang marah sambil memukul”. Dalam komunikasi sehari-hari jarang sekali anak-anak mempunyai kesempatan untuk bercakap-cakap secara akrab, santai dan leluasa dengan ayahnya. Ayah hanya sekali-kali memulai percakapan jika dalam keadaan terpaksa harus memberikan nasehat langsung berkenaan dengan kesalahan yang dilakukan anak, itupun jika kesalahan dianggap perlu ditanggapi secara langsung oleh ayah sebagai kepala keluarga. Kerenggangan hubungan tersebut menurut para informan bukanlah karena ayah tidak sayang kepada anaknya, tetapi peranan dan fungsi ayah yang diletakkan pada posisi ”disegani”. Masyarakat pedesaan yang primordial telah menempatkan posisi ayah sebagai tokoh panutan utama dalam keluarga yang harus dijaga kewibawaannya. Sifat
primordial
yang
sering
diiringi
oleh
sikap
patrimonial
mengangungkan dominasi peranan kaum laki-laki, sehingga menyebabkan proses sosialisasi anak perempuan dibedakan secara tegas dengan anak laki-laki. Anak perempuan cenderung diarahkan kepada pewarisan peranan kaum ibu sebagai orang yang melahirkan, pengasuh anak, dan pendidik anak. Hal ini cenderung pula memperlebar jarak keakraban anak perempuan dengan ayahnya. Anak-anak perempuan dianggap harus lebih banyak belajar dari kaum ibu, karena itu mereka lebih intim dengan ibu kandungnya dan pencurahan hati mereka juga lebih dipercayakan kepada ibu. Seperti kasus responden Bapak Sugiono (48 tahun) yang tidak menyuruh anak perempuannya untuk menyabit (ngarit) rumput. Pada usia
100
dua tahun sudah mulai membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Keberadaan seorang anak mulai dibedakan dengan pakaiannya, permainannya, dan perbedaan yang erat kaitannya dengan jenis pekerjaan, misalnya pekerjaan mencucui piring menja di tugas anak perempuan sementara memotong (ngarit) rumput adalah pekerjaan anak laki-laki. Penentuan pendidikan bagi anak pada rumahtangga tipologi ini lebih banyak ditentukan oleh bapak, hal ini dikarenakan bapak merupakan kepala keluarga yang wajib menafkahi keluarganya termasuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Mereka berpendapat bahwa motivasi menyekolahkan anak adalah untuk memiliki bekal pengetahuan yang tinggi. Jika anak berbekal pengetahuan yang tinggi akan memperoleh kehidupan yang layak dan lebih baik. Orang tua yang ada di lingkungan keluarga buruh tembakau Deli umumnya hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan tidak tamat Sekolah Dasar. Karena itu buruh tembakau Deli sangat mengharapkan anak-anaknya dapat mencapai pendidikan formal lebih tinggi dari mereka, seperti Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), baik sekolah umum maupun sekolah kejujuran, bahkan apabila ada biaya dan anaknya mampu dapat dilanjutkan ke Perguruan Tinggi. Sebenarnya motivasi menyekolahkan anak selepas SD besar sekali, namun karena keterbatasan biaya maka hanya beberapa di antara keluarga buruh tembakau Deli yang bisa menyekolahkan anaknya sampai tingkat SLTA. Seperti pernyataan responden Bapak Legiran (42 tahun): ”sebanarnya saya bukan tidak ingin menyekolahkan anak, bukan tidak sayang sama anak, tetapi biayanya tidak ada. Saya yakin kalau uang mencukupi pasti orang tua menyekolahkan anak. Lagian saya lihat sekolah tinggi-tinggi juga percuma, karena anak-anak yang sudah tamat SLTA sama saja dengan yang tidak sekolah, mereka juga tidak dapat kerja yang bagus. Hal ini juga menyebabkan anak-anak tidak termotivasi untuk sekolah” Harapan mengenai pendidikan dan pekerjaan untuk anak laki-laki tidak sama dengan anak perempuan. Mereka menganggap anak laki-laki mempunyai nilai lebih dibandingkan anak perempuan. Hal ini mengakibatkan jika ada biaya dan anak laki-lakinya pandai, maka orang tua ingin menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Berbeda dengan anak perempuan, meskipun pandai orang tua cenderung mengharuskan anak tinggal di rumah. Hal ini berarti anak perempuan
101
wajib membantu pekerjaan orang tua di rumah. Seperti layaknya ibu-ibu lain, Bu Surtini memilih untuk tidak memberikan pendidikan kepada anak perempuannya. Anaknya hanya di rumah membantu pekerjaan ibunya, sesekali saja yang dibawa ke kebun apabila pekerjaan sibuk, seperti masa tanam tembakau. Anak perempuannya dibiarkan saja di rumah, bila ada yang melamar langsung dikawinkan saja. Bu Surtini tidak keberataan kalau anak-ana k perempuan cepat menikah, karena menikah diusia muda sudah menjadi tradisi di perkebunan. Tak jarang, bila anak perempuan yang belum menikah di atas umur 20 tahun dikatakan gadis tua. Selain untuk menutupi aib menyuruh anak perempuan cepat menikah merupakan konsekuensi mengur angi beban tanggungan orang tua, karena bila anak telah menikah biaya untuk membeli keperluan si anak seperti untuk makan, pakaian, bedak dan lain sebagainya akan berkurang.
6.1.2. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah Bagi rumahtangga buruh yang kebetulan telah memiliki tanah, biasanya sepulang bekerja dari kebun tembakau masih disempatkan untuk bekerja di ladang yang biasanya ditanami padi dan tanaman holtikultura seperti kacang-kacangan, sayuran dan lain sebagainya. Seperti kasus responden Pak Usman (45 tahun) yang ditemui setelah bekerja di bangsal pengeringan, ternyata tidak langsung pulang ke rumah, tetapi masih menyempatkan waktu untuk bekerja di ladang sampai pukul 18.00 Wib. Oleh karena itu, komunikasi antara orang tua dengan anak dalam tipe rumahtangga ini jarang terjadi secara intens. Hubungan kedekatan yang tercipta antara bapak dan anak laki-laki kurang karena anak lebih memilih menceritakan masalah yang sedang mereka hadapi kepada ibu atau teman-teman dibanding kepada bapak. Masalah yang diceritakan dengan bapak terbatas pada soal pekerjaan bagi mereka yang tidak sekolah lagi, tapi bagi anak yang masih sekolah masalah yang dibicarakan pada biaya pendidikan seperti meminta uang untuk membayar SPP atau buku sekolah. Hubungan ayah dan anak dalam kehidupan sehari-hari yang cenderung renggang menimbulkan kesan bahwa di antara kedua belah pihak ada semacam hubungan menghindar dan menjaga jarak. Dari pihak anak hubungan ini didasari oleh perasaan segan dan hormat yang memang telah ditanamkan sejak kecil dalam
102
pola sosialisasi yang dianut oleh masyarakatnya. Sebaliknya, dari pihak ayah hubungan ini didasari oleh rasa kasih sayang yang dibungkus dalam selimut kharisma dan wibawa primordial yang juga diatur dalam pola kebudayaannya. Anak-anak buruh tembakau Deli seperti yang tergambar di lapangan menyatakan rasa segan yang lebih besar kepada ayah dibandingkan kepada ibu. Percakapan antara anak dengan ayah lebih sering dimulai oleh ayah dan biasanya berkisar kegiatan rutin anak, seperti masalah sekolahnya atau dalam masalah pekerjaan terutama pembagian tugas untuk melakukan kerja yang telah ditetapkan sebelumnya. Berikut ini ungkapan Tono (15 tahun) , seorang pekerja anak yang terungkap pada saat wawancara : ”saya hanya berkomunikasi dengan ayah ketika membicarakan masalah pekerjaan. Saya sering bertanya kepada bapak bagaimana cara menyemprot hama, berapa dosisinya, jam berapa datang ke kebun...itu saja, tak pernah berbincang-bincang dengan obrolan yang santai...”. Agen sosialisasi utama bagi anak dalam tipologi keluarga ini adalah istri. Nilai-nilai yang diajarkan orang tua kepada anak sama dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Keluarga Jawa yakni nilai hormat, rukun dan rasa malu (Geertz, 1983). Orang tua mendidik anak untuk bersika p hormat kepada orang yang lebih tua, bila lewat di depan orang yang lebih tua harus permisi atau (kulo numun).Orang tua mengjarkan kepada anak untuk hidup rukun dengan saudara, teman dan tetangga (bila melakukan kesalahan kepada orang lain harus meminta maaf) dan juga memiliki rasa malu (misalnya anak laki-laki tidak boleh cengeng, bila berada di tempat orang lain harus sopan). Cara yang dilakukan orang tua dalam sosialisasi anak cenderung bersifat otoriter. Dalam menanamkan nilai sosial, ekonomi dan nila i kerja pada anak, orang tua melakukan pengawasan yang ketat, nilai yang bersumber dari orang tua merupakan nilai-nilai yang harus diyakini kebenarannya. Anak-anak yang tidak mentaati nilai- nilai yang diajarkan dan ditanamkan orang tua akan mendapat sanksi berupa kemarahan atau nasehat orang tua. Dalam menasehati anak biasanya kepada anaknya yang masih kecil dilakukan dengan berbagai ungkapan yang menakut-nakuti anak, sementara kepada anak yang lebih besar isi nasehatnya diwarnai dengan nilai-nilai agama Islam.
103
Penentuan pendidikan bagi anak pada rumahtangga tipologi ini lebih banyak ditentukan oleh bapak. Bila memiliki uang antara anak laki-laki dan perempuan tidak dianggap berbeda. Baik anak laki-laki dan perempuan samasama akan disekolahkan tergantung ke mauan si anak dan kesanggupan biaya orang tua. Kasus keluarga Bapak Sugiono sebagai tipe keluarga buruh tembakau Deli yang telah memiliki tanah, memiliki pandangan yang berbeda tentang tujuan mengawinkan anak perempuannya pada usia muda. Bapak Sugiono menyatakan bahwa mengawinkan anak perempuannya yang baru berusia 16 tahun merupakan salah satu cara untuk memperoleh bantuan tenaga kerja. Keuntungan mengawinkan anak pada usia muda merupakan konsekuensi untuk mendapatkan tenaga kerja tambahan yang dapat membantu pengembangan usaha keluarga. Tambahan tenaga kerja dalam keluarga Bapak Sugiono adalah untuk membantu pekerjaannya di kebun tembakau, di sawah serta untuk mengurus ternak peliharaannya. Menurut pengakuan Bapak Sugiono, dia sengaja meminta agar anak da n menantunya untuk menetap di rumahnya. Hal ini dilakukannya untuk menambah penghasilan keluarga dari usaha di luar perkebunan. Hingga saat ini ia telah memiliki tanah seluas dua ha yang ditanami padi dan tanaman holtikultura seperti cabe, kacang panjang secara bergantian mengikuti musim. Untuk pekerjaan di sawah kini ia banyak dibantu menantunya. Sedangkan, menyabit rumput untuk makanan ternak, ia dibantu oleh anak laki-lakinya yang berusia 14 tahun yang saat ini masih sekolah kelas dua SLTP.
6.2. Proses Sosialisasi Nilai Kerja dalam Keluarga Buruh Tembakau Deli Proses sosialisasi nilai kerja secara langsung maupun tidak langsung merupakan dasar bagi tingkah laku menuju orang dewasa bila mereka memasuki pekerjaan itu secara mandiri. Nilai dan pengetahuan yang diperoleh dari orang tua atau keluarga terwujud dari tradisi anak-anak melalui wujud tingkah laku dan kebiasaan dalam kehidupannya. Penelaahan proses sosialisasi nilai kerja dilakukan dengan memperhatikan fungsi keluarga inti dan sistem kekerabatan, karena kedua kesatuan tersebut
memiliki ciri-ciri tertentu yang dapat
memperlihatkan proses sosialisasi individu secara jelas dan mendasar. Struktur keluarga dan kekerabatan yang mencakup diferensiasi peranan, alokasi, kekuasaan
104
dan alokasi ekonomi, dapat memberikan penjelasan tentang status individuindividu anggota kerabat dan perana nnya masing-masing sesuai dengan nilai-nilai sosial yang dianut. Sebagaimana tipe masyarakat yang masih tradisional, tipe keluarga yang terdapat di Desa Buluh Cina lebih banya k adalah tipe keluarga luas. Rumahtangga ditempati oleh suami – istri, ana k, cucu, nenek, bapak dan kerabat lain yang tinggal bersama dalam satu rumah. Mereka mengenal adat menetap sesudah menikah secara verilokal, artinya adat menetap sesudah menikah yang menetapkan atau mengharuskan setiap pengantin baru akan tinggal secara menetap di sekitar tempat kediaman kaum kerabat laki-laki atau kerabat perempuan. Menurut adat kebiasaan masyarakat di Desa Buluh Cina, pengantin baru lebih banyak tinggal di tempat keluarga istri. Setelah menikah, pengantin laki-laki bertempat tinggal di rumah istri (matrilokal). Bila orang tua pihak perempuan tidak memiliki lahan/tanah, pengantin laki-laki bekerja di perkebunan sebagai buruh harian lepas atau bila memiliki pendidikan dan pengalaman sebelumnya dapat bekerja di luar perkebunan. Jika orang tua perempuan kuat secara ekonomi, masing-masing anaknya akan dibuatkan rumah berjejer sehingga membentuk halaman yang memanjang. Tetapi bagi keluarga yang tidak mampu secara ekonomi, suami istri akan tinggal bersama keluarga istri dalam jangka waktu relatif lama dengan cara menyekat bagian rumah untuk kamar anak perempuannya. Cara lain dilakukan dengan menamba h bangunan rumah ke samping yang berhempitan secara langsung dengan rumah asli (Lihat Gambar 1 Lampiran 2). Pemilihan tempat tinggal setelah menikah, secara langsung mempengaruhi terhadap sosialisasi nilai kerja , karena sosialisasi anak dalam keluarga bersentuhan langsung dengan kegiatan ekonomi keluarga yaitu pembagian pekerjaan berdasarkan jenis kelamin, maupun peran masing-masing individu dalam keluarga. Dengan demikian sosialisasi nilai kerja yang berlangsung di Desa Buluh Cina biasanya diwarnai oleh aktivitas ekonomi keluarga istri yaitu bekerja sebagai buruh perkebunan tembakau Deli.
105
6.2.1. Tipologi Rumahtangga Buruh yang Tidak Memiliki Tanah Tipologi rumahtangga terbesar yang ada di desa
Buluh Cina adalah
tipologi yang tidak memiliki tanah. Rumahtangga pada lapisan ini memiliki pola budaya yang khas, yaitu kurang inovasi, cita-cita terbatas, berwawasan sempit, dan selalu mudah menyerah pada nasib. Pola budaya yang dimiliki oleh orang tua pada lapisan ini tidak saja dapat dilihat dari ayah dan ibu, tetapi juga dapat dilihat dengan jelas dari sikap anak-anaknya. Dalam kehidupannya terutama dalam bidang pekerjaan yang ditekuni selama ini sebagai buruh tembakau terlihat pola budaya seperti itu. Orang tua berpendapat bahwa tidak ada lagi pekerjaan yang pantas bagi mereka selain bekerja sebagai buruh tembakau. Bekerja di luar perkebunan sebagai salah satu peluang untuk perubahan nasib tidak menarik perhatian mereka. Hal ini setidaknya disebabkan sifat kultur teknis perkebunan yang tidak banyak memberikan waktu luang yang akhirnya menyebabkan mereka tidak berani bekerja ke luar dari perkebunan. Usaha lain di luar perkebunan dan pertanian, seperti berdagang, beternak atau keahlian lain, hanya sedikit dilakukan oleh tipe rumahtangga buruh ini dan dianggap sebagai usaha sampingan. Sebagai usaha sampingan mereka tidak melakukannya secara rutin karena rumahtangga ini merasa cukup dengan bekerja sebagai buruh yang ada saat ini. Salah seorang responden Pak Sutardjo menyatakan hal ini: “dulu saya pernah punya cita-cita bekerja di kota, tetapi tidak kerasan karena upahnya tidak tetap, sebaliknya kalau kerja di kebun biarpun upahnya rendah tapi ada fasilitas rumah, kesehatan, yang disediakan oleh pihak perkebunan” Sikap seperti ini sudah melekat pada para buruh yang tidak memiliki tanah yaitu mudah menyerah pada nasib dan kurang inovasi. Sikap-sikap seperti ini, kemudian ditanamkan pada anak-anaknya sejak mereka masih kecil dan ketika anak-anak itu mulai ikut bekerja di kebun tembakau pola pikir dan sikapnya akan sama dengan orang tua mereka. Inilah yang disebut kemiskinan kultural sebagaimana yang dikemukakan Lewis (1988) yang menyatakan bahwa kemiskinan bukan semata-mata berupa kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan yang diturunkan dari generasi ke gene rasi melalui proses sosialisasi.
106
Berkaitan dengan itu sifat-sifat tersebut, maka anak-anak sudah mulai diajak bekerja membantu orang tua di kebun tembakau maupun untuk bekerja mendapatkan upah sekitar umur 8 tahun atau jika tenaganya sudah kelihatan cukup dan malas sekolah, anak-anak sudah diajak ke kebun. Orang tua mengajarkan bahwa cara hidup yang tenang tanpa resiko adalah cara yang terbaik untuk mereka, misalnya dengan menjadi seorang buruh tembakau tidak perlu memikirkan sewa rumah dan kesehatan. Hasil pengamatan dilapangan pekerja anak dari umur 8 tahun sudah pandai mengerjakan tahapan produksi tembakau, seperti menanam bibit tembakau, ngutip tembakau, membersihkan lahan, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti ini tentu saja tidak begitu saja terjadi, tapi pekerjaanpekerjaan se perti ini telah diajarkan pada anak-anak, sebelum mereka dilibatkan bekerja. Salah seorang pekerja anak, Anto berumur 15 tahun menceritakan pengalamannya mulai diajak bekerja: “sejak kecil saya sudah hidup di kebun, dulu pulang sekolah, ikut ibu main di kebun, makan siang di kebun, main sampai sore disini, siang lihat bapak kerja di kebun dan kalau ibu lagi kerja nyucuk ikut juga ke bangsal. Sekarang saya masih sekolah kelas tiga SMP, tapi kalau lagi musim tembakau saya sering bolos lebih banyak membantu ba pak di kebun tembakau”. Anak-anak sudah mulai bekerja pada usia 8 tahun, lalu sejak umur berapa mereka mulai belajar pekerjaan di kebun tembakau hingga mereka terampil. Proses sosialisasi nilai kerja dilakukan sejak usia mereka masih dua tahun sampai mereka dewasa dan berkeluarga. Bagi anak-anak yang masih berusia dua tahun, mereka sudah membawanya ke tempat-tempat kerja, seperti kebun tembakau, bangsal baik oleh ibu, bapak, kakak, abang ataupun anggota rumahtangga lainnya. Anak laki-laki mulai diarahkan pada pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan laki-laki yang mendapatkan bimbingan dan arahan bapak, sebaliknya anak perempuan diarahkan untuk melakukan pekerjaan berkaitan dengan pekerjaan perempuan dibawah bimbingan ibu dan saudara perempuan yang lebih tua. Anak laki-laki dibimbing dan diarahkan untuk mengerjakan pekerjaan yang berkaitan dengan sistem matapencaharian baik yang ada di desa, seperti pekerjaan tembakau, beternak, dan perdagangan. Anak perempuan dibimbing dan diarahkan pada pekerjaan di dala m rumah seperti memasak dan mencuci.
Perbedaan
107
sosialisasi pekerjaan antara anak laki-laki dan anak perempuan berkaitan dengan keinginan dan harapan orang tua. Anak laki-laki diharapkan untuk mencari nafkah (task oriented) sedangkan anak perempuan harus melakukan peran yang bersifat ekspresif yang berorientasi emosi serta hubungannya dengan orang lain (people oriented). Oleh karena itu, anak laki-laki disosialisasikan untuk menjadi lebih aktif dan tegas sedangkan anak perempuan lebih pasif dan tergantung. Hal ini dilakukan berkaitan dengan kepentingan setelah dewasa laki-laki harus bersaing bekerja sedangkan perempuan menjadi istri dan ibu dalam keluarganya. Perbedaan sosialisasi nilai kerja juga berkaitan dengan rantai proses produksi tembakau Deli yang sedikitnya dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk. Pertama, proses produksi dikebun. Sistem kerja di perkebunan lebih banyak membutuhkan tenaga kerja laki-laki dibandingkan perempuan, sehingga orang tua lebih banyak melibatkan anak laki-laki untuk pekerjaan di kebun tembakau. Anak laki-laki selalu diajarkan untuk melakukan jenis pekerjaan yang berat, mulai dari pekerjaan di kebun tembakau, menggembala ternak. Sementara itu, tenaga anak perempuan tidak begitu diharapkan di kebun tembakau, sehingga anak perempuan lebih banyak diajarkan jenis pekerjaan ringan dan umumnya pekerjaan domestik. Perhatian lebih terhadap anak laki-laki berhubungan dengan keinginan orang tua untuk menjadikan mereka sebagai generasi buruh yang dapat menggantikan posisi orang tua di perkebunan. Kedua, proses produksi di gudang. Anak-anak perempuan banyak dilibatkan pada pekerjaan di gudang dan bangsal pengeringan tembakau. Jenis pekerjaan yang diajarkan di bangsal adalah nyujuk tembakau, menjerangi tembakau dan menyusunnya berjejer ke palang-palang penyanggah yang disusun mulai dari atas sampai bawah. Pada tahap penyucukan hingga penjerangan, anakanak perempuan terlibat intensif bersama ibu mereka. Anak laki-laki tidak ada yang ikut nyujuk daun tembakau. Sementara ayah menggantungkan ikatan-ikatan daun tembakau di palang-palang bambu, dimulai dari palang di tingkat tertingi berurutan sesuai dengan urutan waktu pemetikan. Sementara itu, di gudang pemeraman tembakau anak-anak perempuan diajarkan untuk bisa menyortir daun tembakau. Salah seorang informan Bu Astri (35 tahun) istri seorang mandor tanam yang bekerja di bagian gudang pemeraman tembakau menyatakan bahwa
108
pekerjaan memilih (sorter) daun tembakau sangat sulit, karena seorang buruh harus mengenali banyak nama-nama daun tembakau menurut jenis warna yang dihasilkan. Daun tembakau yang akan diekspor ke Breman adalah daun tembakau yang memiliki warna coklat yang biasa disebut sebagai daun kaki satu (VA). Begitu intensifnya pekerjaan di bagian penyortiran ini, pada saat mereka bekerja di gudang pengeringan harus memakai pakaian yang berwarna putih dan kain batik klasik, dimana untuk bagian bawah pada umumnya berwarna coklat yang sama dengan warna daun tembakau yang sudah kering. Wawasan sempit dan cita-cita yang terbatas, nampak pada sikap orang tua maupun anak pada lapisan bahwa yang memandang bahwa hidup ini hanya terbatas pada lingkungan perkebunan saja, keberhasilan dan kegagalan hidup di desa ukurannya sempit sekali, yaitu lebih dari berhasil atau gagalnya usaha. Hal ini diakibatkan karena buruh tembakau deli ini memang jarang melakukan hubungan dengan luar desa (lingkungan non perkebunan), sehingga pandanganpandangan hidupnya sebatas apa yang mereka dapat dari lingkungan yang digelutinya sehari-hari. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa media informasi telah masuk ke desa, lingkungan perkebunan sudah mulai berubah secara fisik dan wilayah, tapi untuk golongan buruh perkebunan tidak banyak berpengaruh. Artinya, meskipun terjadi perubahan lingkungan perkebunan secara fisik tetapi secara pemikiran, budaya dan orientasi hidup para buruh tidak turut mengalami perubahan. Dengan demikian sudah dapat di duga bahwa angan-angan yang paling tinggi atau cita-cita yang mungkin dapat dijangkau saat ini adalah tidak terlepas dari masalah perkebunan da n pertanian.
6.2.2. Tipologi Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah Tipologi keluarga yang memiliki tanah, anak-anak sejak kecil diajak membantu bekerja di kebun tembakau untuk mensosialisasikan nilai-nilai kerja buruh dan mensosialisasikan nilai-nilai kerja sektor pertanian, seperti cara-cara bertanam padi dan holtikultura. Perbedaan dengan tipologi rumahtangga yang tidak memiliki tanah dalam cara mengajarkan pertanian dari orang tua terhadap anak. Pada tipe rumahtangga pemilik tanah karena dilatarbelakangi adanya sumber modal berupa tanah, maka yang ditanamkan orang tua memang tidak
109
hanya sekedar bekerja di kebun tembakau, tetapi juga pekerjaan di pertanian seperti tanaman padi dan holtikultura. Biasanya anak-anak yang berasal dari keluarga ini akan menamatkan pendidikan sampai SLTA, maka hubungan dengan luar desa ikut mempengaruhi pemikirannya, sehingga respon yang besar dari anak-anak ini untuk belajar bertani cukup tinggi. Rumahtangga pemilik tanah menganggap bahwa keberhasilan hidup lebih kepada berhasil atau tidaknya seseorang dalam usahanya. Hal ini menggambarkan bahwa dari orang tua yang bekerja sebagai buruh tembakau, maka akan muncul sosialisasi kehidupan buruh dalam keluarganya. Kasus keluarga pak Usman ada suatu pembagian kerja yang jelas antara anggota rumahtangganya. Pembagian kerja ini terlihat jelas pada saat musim tanam tembakau. Di mana anak laki-laki Ariyanto (15) dan Tono (17) diberikan tugas mengurus pekerjaan di ladang. Sementara itu, pekerjaan di kebun tembakau dilakukan oleh Bapak dibantu oleh istrinya. Tapi, dalam beberapa pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja banyak, Ariyanto dan anggota rumah tangga lainnya diajak juga untuk membantu di kebun tembakau. Biasanya pekerjaan yang diikuti adalah nanam tembakau, ngutip (panen) tembakau dan nyujuk tembakau. Suatu gambaran yang terlihat bahwa dari rumahtangga buruh yang memiliki tanah, sosialisasi yang dilaksanakan dari orang tua kepada anaknya yang paling berpengaruh dimulai dari diperkenalkannya pekerjaan buruh dan bertani pada anaknya. Dari proses bekerja sebagai buruh dan bertani akhirnya mental anak terpola sebagaimana lingkungan yang ditemuinya sehari-hari. Di kebun tembakau dan tempat-tempat kerja lainnya, seorang anak bergaul dengan orangorang yang sama dalam tindakan, pekerjaan dan pola pikir dengan orang tuanya di rumah, sementara lingkungan sekolah tidak ditemukannya, sehingga pola pikir, wawasan, cita-citanya hampir seragam dengan lingkungan dimana anak menghabiskan waktunya yaitu di ladang dan di rumah. Sosialisasi pola pikir da n sikap sebagai seorang buruh dan petani ini terjadi setiap waktu secara terus menerus, tumbuh menjadi suatu kesatuan yang membentuk kepribadian anak. Vembrianto (1997) mengemukakan bahwa sosialisasi adalah proses belajar sosial yaitu proses akomodasi dimana individu mengadopsi kebiasaan, sikap, nilai, ide, keyakinan dan pola-pola tingkah laku dalam keluarga atau masyarakat dan
110
mengembangkannya menjadi suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya. Proses akomodasi dari orang tua terhadap anak menjadi lancar karena lingkungan masyarakatnya yang seragam dengan keluarga dan sedikitnya pengaruh dari luar (kebiasaan yang berbeda), menjadikan kebiasaan, pola pikir dan nilai anak seragam dengan keluarga dan juga lingkungannya. Sosialisasi yang dipengaruhi kehidupan berburuh tembakau Deli, terdapat juga pada tipologi rumahtangga pemilik tanah. Hal ini dikarenakan kehidupan pertanian tetap diperkenalkan pada anak-anak, sementara itu anak-anak dapat melihat dari waktu ke waktu bahwa pekerjaan pertanian menguntungkan secara ekonomi. Dari segi inovasi, tipologi rumahtangga ini mewarisi sifat dari pendahulunya, yaitu mempunyai inovasi yang tinggi, hal ini dikarenakan keluarga sudah terbiasa memiliki modal besar. Sementara dari segi wawasan hidupnya, walaupun lapisan atas ini lebih sering berhubungan dengan luar desa dan masuknya informasi lewat media informasi lebih banyak, namun karena ruang lingkup pergaulannya lebih sering di desa, maka wawasan hidupnya sama dengan tipologi rumahtangga yang tidak memiliki tanah, hal ini bisa dilihat dari cara mereka memandang arti pendidikan, arti keberhasilan hidup yang selalu dihubungkan dengan keberhasilan pertanian.
6.3. Perubahan Nilai Kerja dalam Keluarga Buruh Tembakau Deli Perubahan nilai kerja merupakan konsekuensi logis dari sebuah peristiwa mengubah cara-cara manusia hidup sehari-hari dan bekerja melalui orang dan tempatnya. Proses pembangunan, kekuatan ekonomi uang atau unsur -unsur luar memiliki kekuatan untuk menekan dan mengubah jalan hidup pribadi dan keluarga. Kehidupan buruh yang selalu mengedepankan hubungan sosialnya dari ikatan-ikatan
kekeluargaan,
memang
sangat
rentan
dengan
pengaruh
industrialisasi maupun sebagian dari rentetan kejadian dan tindakan dari luar, tetapi itulah gambaran masyarakat yang sedang berada dalam dinamika perekonomian dan industrialisasi. Bertitik tolak dari sisi perubahan, maka dapat dikatakan bahwa industrialisasi merupakan mesin utama sebuah perubahan yang terkait dengan persoalan keluarga maupun nilai-nilai fungsional keluarga. Perubahan demikian
111
dalam prosesnya sering digambarkan dengan proses transisi perubahan masyarakat perkebunan yang tradisional ke masyarakat modern. Hal ini berarti juga sebagai peralihan suasana keluarga buruh perkebunan ke masyarakat modren yang dalam prosesnya tidak hanya berdampak kepada perubahan struktur cara produksi, tetapi telah menggeser nilai-nilai sosial dan ikatan sosial. Perubahan nilai- nilai kerja juga mengedepankan sebuah pemahaman tentang lajunya perubahan yang digambarkan dalam dimensi-dimensi karakteristik modern, dinamis dan relatif stabil. Artinya, pola kehidupan dan strategi keluarga buruh untuk menghadapi gejolak yang sedang dan akan muncul akibat menyempitnya lapangan pekerjaan di perkebunan yang berada di dalam desa, dilakukan melalui perubahan pola sosialisasi nilai kerja ke luar desa untuk menjadi seorang individu yang lebih aktif, produktif dan percaya diri. Di samping itu tergambar pula sikap para orang tua yang selalu berpegang kepada kearifan nilai-nilai tradisional tampaknya tidak banyak me ngambil sikap terhadap perubahan yang terjadi pada komunitas perkebunan. Bagi orang tua yang tetap mempertahankan sosialisasi nilai kerja buruh, lebih disebabkan adanya keinginan mereka untuk dapat memiliki tanah, rumah dan aset perkebunan lainnya. Melalui wawancara dengan informan maupun responden terungkap tiga faktor penting yang mempengaruhi terhadap perubahan sosialisasi nilai kerja buruh. Pertama, ketergantungan keluarga buruh. Sesuai dengan corak agraris yang mewarnai desa Buluh Cina, buruh tembakau Deli rata -rata berasal dari keluarga buruh perkebunan baik sebagai buruh tetap maupun buruh harian lepas. Diperkirakan 85 persen dari keluarga buruh tembakau tidak memiliki lahan pertanian. Kondisi tanpa lahan yang dihadapi oleh keluarga buruh, makin memperbesar keinginan mereka untuk tetap bertahan pada pasar tenaga kerja yang ada di perkebunan. Kemiskinan diturunkan dari generasi ke generasi, anak-anak buruh mewarisi keadaan orang tuanya. Kombinasi penguasaan tenaga kerja dengan melibatkan anak-anak dila kukan sedemikian rupa semata -mata untuk dapat bertahan hidup, karena penghasilan keluarga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal (subsisten). Adanya ketergantungan keluarga buruh terhadap perkebunan menyebabkan buruh selalu berusaha menjaga hubungan dengan perusahaan. Hubungan ini akan menjamin akses ekonomi keluarga. Salah
112
satu bentuk usaha menjaga hubungan itu adalah melibatkan anak dalam proses produksi perkebunan dan diharapkan akan terus menjadi generasi buruh. Kedua, perusahaan perkebunan tembakau Deli dewasa ini terus mengalami penurunan. Produksi tembakau semakin merosot, luas lahan/kebun yang diusahakan semakin sempit, banyak bangsal20 yang tidak produktif, tidak ada pembangunan dan penambahan alat-alat produksi baru, dan secara perlahan ada pengalihan jenis komoditi dari tembakau ke tebu dan sawit. Merosotnya produksi tembakau Deli berkaitan dengan issu globalisasi. Gejala globalisasi yang paling nyata dialami oleh PT. Perkebunan Nusantara II adalah penurunan komoditi/harga tembakau Deli di pasar internasional. Sebelumnya, pasar tembakau Deli di tingkat internasional terus mengalami fluktuasi yang bercirikan peningkatan sepanjang tahun. Menurut laporan PTPN II sebagaimana yang diacu Tjandraningsih dan Popon (2002) pada tahun 1970-an, produksi tembakau mencapai titik tertinggi hampir mencapai 40.000 bal. Pada tahun 1980-an, produksi mulai menurun tetapi secara konstan berada pada kisaran 15.000 – 25.000 bal. Mulai dekade 1990-an, produksi berlangsung konstan. Pada tahun 1998, PTPN II menda patkan keuntungan dari nilai tukar dolar sebagai akibat krisis moneter yang dialami Indonesia. Akan tetapi, pada tahun 1999 terjadi penurunan produksi yang cukup drastis hingga produksi mencapai angka 8.000 bal.
Perkembangan fluktuasi
produksi dan harga tembakau Deli di Bremen dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Fluktuasi Areal Tanaman Tembakau Deli, Tahun 2004 Tahun panen 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000/2001 2001/2002 2002/2003 2003/2004
Luas areal Total Jumlah (kg) tanaman (ha) (ball) 3.286 7,452 526.446 3.286 9,434 678.942 3.297 4,479 292.958 3.297 6,782 489.675 3.221 2,704 194.231 3.070 2,304 166.788 2.813 33,155 128.400
Harga (rata -rata) 45.78 DM per pon 36.88 DM per pon 32.53 DM per pon 22.32 DM per pon 20.48 euro per kg 21.64 euro per kg 860.4 euro per kg
Sumber : Kantor Direksi PTPN II, Medan, 2004. 20
Bangsal adalah tempat pemeraman tembakau yang baru dipetik dari kebun tembakau. Bangsal ini ramai didatangi oleh anak-anak buruh karena tempatnya yang luas. Selain bermain anak-anak yang belum bisa berjalan terbiasa juga ditidurkan di bangsal ini.
113
Sedangkan di aras mikro merosotnya produktivitas tembakau Deli antara lain akibat adanya okupasi areal oleh masyarakat di sekitar kebun yang mengatasnamakan rakyat kecil, orang-orang miskin dan penduduk asli yang ingin menguasai tanah yang mereka anggap milik kolonial. Selain itu pemekaran kota dan pemukiman penduduk kota Medan, Binjai dan Deli Serdang secara berangsurangsur telah mengurangi areal tembakau Deli. Dampak lainnya adalah menurunnya
minat
tenaga
kerja
untuk
menanam
tembakau,
karena
berkembangnya industri-industri atau pabrik-pabrik di sekitar kebun yang semua ini menyebabkan penurunan produktivitas tembakau Deli. Namun, dari segala bentuk ancaman terhadap keberadaan tembakau Deli, yang paling serius adalah adanya ancaman penggarap/okupasi oleh masyarakat. Kemerosotan produksi tembakau yang disebabkan oleh beberapa faktor di atas berpengaruh terhadap produktivitas tembakau. Keadaan ini secara siklikal berakibat pada melorotnya sema ngat para mandor dan buruh perkebunan dalam bekerja. Sejak awal masa tanam tembakau pada bulan Pebruari 2005, karyawan tanam tembakau yang sebelumnya mendapat jatah lahan dipindahkan ke kebun lain, atau bekerja di pabrik tebu dan sebagian ditugaskan untuk menjaga keamanan. Untuk masa tanam tembakau tahun 2005 ini kebun Buluh Cina hanya memaksimalkan areal sekitar 140 ha, dengan peincian 175 ladang. Dengan demikian untuk tahun 2005 ini karyawan yang dilibatkan untuk mengelola tembakau hanya 175 orang. Upaya peningkatan produktivitas tembakau Deli terus dilakukan melalui intensifikasi pemupukan organik dengan kompos. Di samping itu untuk meningkatkan ketahanan dari kekeringan juga diintroduksi bahan-bahan pembuat jasad renik Trichoderma sp, selain inpkulasi Mimosa invisa pada perakaran tanaman hutan terbukti antagonis terhadap layu bakteri (Hartana, 1996). Peningkatan produktivitas tembakau Deli, sejak tahun 1997 PTPN II telah menetapkan delapan upaya pemantapan tembakau Deli yaitu : Pertama , konversi lahan tembakau Deli bertujuan untuk meningkatkan potensi kesuburan alamiah tanah. Dengan memisahkan areal tebu dengan areal tembakau, mengembalikan rotasi lima tahunan dan menanam kayu hutan. Kedua, perbaikan pemupukan berupa pemberian bahan organik berupa pupuk kompos dan
114
penambahan unsur N (Nitrogen).
Ketiga,
mengantisipasi cuaca dengan
mengembalikan penanaman tanaman pelindung, mengefektifkan pemakaian sprinkler irigation dan jog selang dengan membuat sumur-sumur artetis sebagai pengganti air sungai yang terce mar. Keempat, menggalakkan penelitian untuk menekan penyakit layu bakteri. Kelima, mencoba penanaman tembakau di areal rotasi khusus, yaitu areal sawah dan tegalan. Keenam, meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia. Ketujuh, efisiensi biaya sehubungan dengan makin langka dan mahalnya sarana serta bahan produksi tembakau. Kedelapan, mengambil kembali areal yang diserobot penggarap liar dan melindungi areal HGU tembakau sesuai Perda No. 12 tahun 1997. Ketiga, di Buluh Cina beberapa tahun belakangan ini muncul kesempatankesempatan ekonomi di luar perkebunan yang dapat diakses oleh keluarga buruh. Anggota keluarga buruh bekerja di pabrik, pertanian beternak, juga masuk di sektor perdagangan dan jasa. Selain itu ada juga kesempatan untuk bekerja di luar perkebunan yang dianggap lebih baik melalui kesempatan kerja bagi banyak
jalur pendidikan. Terbukanya
remaja dan anak-anak ke desa Buluh Cina
mendapat respon yang baik dari pada anak-anak termasuk keluarga. Pelayanan yang dilakukan pabrik setidaknya mempercepat motivasi anak-anak untuk beralih kerja ke pabrik dan mulai meninggalkan pekerjaan di perkebunan. Seperti yang diungkapkan Bapak Suriadi (38 tahun) berikut ini : ”Beberapa tahun belakangan ini anak-anak dan pemuda di Desa Buluh Cina banyak yang bekerja di luar perkebunan, seperti di pabrik yang baru dibangun di Kecamatan Hamparan Perak. Pada awal pembukaan pabrik banyak membutuhkan tenaga kerja, sehingga anak-anak dari Desa Buluh Cina tertarik untuk bekerja di pabrik. Apalagi dengan adanya fasilitas dan kemudahan yang diberikan oleh pengusaha. Kemudahaan terlihat dengan adanya penyediaan bus khusus karyawan pabrik yang masuk ke Desa Buluh Cina untuk mengantar dan menjemput para buruh. Bagi anak-anak dan pemuda yang bertempat tinggal di dusun yang jauh terpaksa memakai sepeda ke tempat dimana bus Karyawan pabrik biasanya menunggu. Mereka yang memakai sepeda terpaksa harus menitipkannya di salah satu rumah penduduk dan selanjutnya akan diambil pada sore harinya ketika pekerjaan sudah selesai” Uraian di atas menggambarkan bahwa kehidupan sosial masyarakat di Buluh Cina pada dasarnya telah mengalami perubahan dari tata hidup tradisional
115
menjadi masyarakat yang cenderung berlaku rasional. Sikap demikian dapat diidentifikasi dalam pola kerja dan pola pengambilan keputusan dalam menghadapi perubahan yang sedang berlangsung di sekitar lingkungan perkebunan. Pada akhirnya orang tua terbuka terhadap pola kerja luar perkebunan dan mendukung keinginan anak-anak mereka bekerja di luar desa, karena jika orang tua tidak mendukung akan menjadi hambatan bagi kelangsungan hidup rumahtangga. Kemampuan orang tua dalam menyesuaikan dan membagi peran diantara anak-anaknya siapa yang bekerja di luar desa dan siapa pula yang akan dipertahankan di dalam desa merupakan bagian dari strategi untuk bertahan hidup di atas ketergantungan buruh yang masih tinggi terhadap perkebunan. Sebagai konsekuensi terjadinya perubahan-perubahan didalam proses kerja, maka setiap keluarga buruh tidak lagi mempertahankan sosialisasi nilai kerja buruh perkebunan semata, tapi di satu sisi muncul model sosialisasi baru dengan mengajarkan dan mendorong anak-anak untuk memasuki kerja di luar perkebunan seperti bekerja di pabrik. Di sisi lain karena keluarga masih mengharapkan menjadi bagian dari struktur sosial perkebunan sehingga anak-anak tetap dipertahankan untuk meneruskan profesi seorang buruh perkebunan. Bagi keluarga buruh sosialisasi nilai kerja dilakukan sangat ketat dan memaksa agar anak-anak sejak kecil sudah terlibat bekerja di kebun tembakau. Proses sosialisasi nilai kerja kepada anak-anak dilakukan empat tahap, yakni sebagai berikut: Pertama, Tahap Pengenalan. Anak-anak yang sudah berusia dua tahun dimana anak sudah bisa berjalan, tahan terhadap sengatan matahari mulai dibawa ke kebun, bangsal dan tempat-tempat kerja lainnya. Anak-anak dibawa oleh ayah, ibu, abang dan kerabat lainnya untuk sekedar bermain dengan teman-teman yang lain. Mereka mulai mengenal lingkungan kerja perkebunan meski tidak terlibat dalam pekerjaan. Paling tidak pada masa ini anak-anak sudah mengamati bagaimana cara-cara kerja di kebun dan mereka dapat mempelajarinya. Meski tidak ikut dalam kerja, bagaimanapun hal-hal yang dilakukan oleh orang tua di kebun akan membekas dalam pikiran anak-anak. Seperti kasus Bu Rini (39 tahun), dalam usianya yang masih muda memiliki anak kecil yang baru berusia 1,5 tahun. Bu Rini sengaja membawa anak yang paling kecil ke bangsal pengeringan tembakau. Di tempat kerja itu anaknya ditidurkan memakai ayunan yang dibuat
116
seadanya. Anaknya dibawa ke lokasi kerja karena tidak ada yang mengasuh di rumah, sementara abangnya ikut membantu bekerja di kebun te mbakau. Nenek yang tinggal satu rumah dengan mereka ikut pula bantu nyujuk di bangsal. Mereka bermain sama anak-anak sambil memperhatikan cara-cara kerja di kebun sehingga kalau mereka sudah besar bisa menggantikan kerja orang tua. Proses sosialisasi nilai kerja antara anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Scanzoni dan Scanzoni dalam Soe’eod (1999), sosialisasi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki diharapkan untuk mencari nafkah (task oriented) sedangkan anak perempuan harus melakukan peran yang bersifat ekspresif yang berorientasi emosi serta hubungannya dengan orang lain (people oriented). Oleh karena itu, anak laki-laki disosialisasikan untuk menjadi lebih aktif dan tegas sedangkan anak perempuan lebih pasif dan tergantung. Hal ini dilakukan berkaitan dengan kepentingan setelah dewasa laki-laki harus bersaing bekerja sedangkan perempuan menjadi istri dan ibu dalam keluarganya. Sementara itu, hasil wawancara dan pengmatan menunjukkan perbedaan sosialisasi nilai kerja antara anak laki-laki dan anak perempuan pada rumahtangga buruh berkaitan dengan rantai proses produksi tembakau Deli yang setidaknya dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk. Pertama, proses produksi di kebun. Sistem kerja di perkebunan lebih membutuhkan tenaga kerja laki-laki dibandingkan perempuan, sehingga sosialisasi nilai kerja lebih terfokus pada anak laki-laki. Sementara itu, anak perempuan lebih banyak diajarkan jenis pekerjaan ringan dan umumnya pekerjaan domestik. Perhatian lebih terhadap anak laki-laki berhubungan dengan keinginan orang tua untuk menjadikan mereka sebagai generasi buruh yang dapat menggantikan posisi orang tua di perkebunan. Kedua, proses produksi di gudang. Anak-anak perempuan banyak dilibatkan pada pekerjaan di gudang dan bangsal pengeringan tembakau. Jenis pekerjaan yang diajarkan di bangsal adalah nyujuk tembakau, menjerangi tembakau dan menyusunnya berjejer ke palang-palang penyanggah yang disusun mulai dari atas sampai bawah. Pada tahap penyucukan hingga penjerangan, anakanak perempuan terlibat intensif bersama ibu mereka. Anak laki-laki tidak ada yang ikut nyujuk daun tembakau. Sementara ayah menggantungkan ikatan-ikatan
117
daun tembakau di palang-palang bambu, dimulai dari palang di tingkat tertingi berurutan sesuai dengan urutan waktu pemetikan. Sementara itu, di gudang pemeraman tembakau anak-anak perempuan diajarkan untuk bisa menyortir daun tembakau. Salah seorang informan Bu Astri (35 tahun) istri seorang mandor tanam yang bekerja di bagian gudang pemeraman tembakau menyatakan bahwa pekerjaan memilih (sorter) daun tembakau sangat sulit, karena seorang buruh harus mengenali banyak nama-nama daun tembakau menurut jenis warna yang dihasilkan. Daun tembakau yang akan diekspor ke Breman adalah daun tembakau yang memiliki warna coklat yang biasa disebut sebagai daun kaki satu (VA). Begitu intensifnya pekerjaan di bagian penyortiran ini, pada saat mereka bekerja di gudang pengeringan harus memakai pakaian yang berwarna putih dan kain batik klasik, dimana untuk bagian bawah pada umumnya berwarna coklat yang sama dengan warna daun tembakau yang sudah kering. Mereka dilarang memakai pakaian berwarna lain karena warna pakaian dianggap dapat mempengaruhi warna daun tembakau. Kedua, Tahap Seleksi. Pada masa anak-anak berusia 4 – 5 tahun, mereka dilibatkan dalam pekerjaan yang mudah. Seperti mengangkat bibit tembakau pada saat penanaman. Sebenarnya anak-anak yang bekerja pada usia 4 – 5 tahun tidak begitu bernilai, malah mungkin membebani orang tua, bahkan menambah pekerjaan orang tua karena cara kerjanya tidak bersih atau mungkin juga menginjak tanaman. Namun, lama kelamaan pekerjaan tersebut akan terbiasa. Secara tidak sadar proses tersebut merupakan proses sosialisasi tentang kegiatan kerja di perkebunan yang merupakan bagian dari kehidupan keluarga yang tidak dapat terlepaskan sampai anak-anak dewasa. Untuk posisi ini anak-anak memerlukan bimbingan dan arahan sebaik mungkin. Artinya harus didampingi dan diarahkan dan terus dipertahankan. Memasuki usia sekolah keterlibatan anak-anak bekerja sepulang sekolah atau sebelum sekolah. Namun, dalam beberapa jenis pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak, orang tua meminta anak-anak untuk tidak sekolah dan menyuruh mereka bekerja. Jenis pekerjaan yang diajarkan kepada anak-anak sesuai dengan pembagian gender. Di kebun tembakau anak laki-laki dan perempuan dilibatkan membantu sewaktu nanam tembakau. Anak
118
laki-laki mengerjakan mengangkat bibit, membuat lobang tempat penanaman tembakau, menyiram, sementara anak perempuan melakukan pekerjaan melocoti bibit tembakau. Selain itu, setelah pulang sekolah anak-anak laki-laki langsung disuruh ngangon kambing dan lembu. Ketiga, Tahap Orientasi. Pada usia anak 10 tahun anak-anak dibimbing untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan orang dewasa. Anak-anak diberikan contoh bagaimana mencangkol, membersihkan rumput, menanam, pemeliharaan, dan panen tembakau. Pada tahap ini juga orang tua mulai memperhatikan dan menilai siapa kira-kira diantara anaknya yang tidak serius belajar, maka anak-anak itu akan tetap diarahkan untuk menjadi buruh. Namun, apabila anak-anak itu memiliki pendidikan yang baik di sekolah orang tua akan tetap menyekolannya tergantung kemauan si anak. Seiring dengan berjalannya waktu, orang tua terus melakukan pemilihan terhadap anak-anak yang akan menjadi buruh menggantikan orang tua. Kriteria anak-anak yang dipilih adalah anak yang malas sekolah, tidak pintar, penurut yang tidak banyak menuntut, dan rajin bekerja. Dalam proses ini anak-anak sudah dipisah-pisahkan antara anak yang dapat dipersiapkan untuk mengakses peluang ekonomi di luar dan menjadi buruh kebun. Anak-anak yang dianggap pintar aka n di sekolahkan sampai ke jenjang yang lebih tinggi sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga, sementara anak-anak yang masuk kriteria buruh diberikan perhatian khusus dengan membawa mereka bekerja di perkebunan. Pada tahap ini anak-anak dipisah-pisahkan secara jelas antara anak yang akan menjadi buruh dan bekerja di luar dengan penanaman nilai kerja yang berbeda. Bagi anak yang terseleksi akan ditanamkan nilai kerja buruh lebih mendalam dan bahkan mereka juga diajari kerja -kerja teknis perkebunan dengan lebih terstruktur. Sementara bagi anak-anak yang pintar akan terus disekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi dan didorong untuk dapat mengakses kerja di luar perkebunan. Keempat. Tahap Pemantapan. Keluarga telah memutuskan akan menjadikan anak sebagai pekerja . Sosialisasi semakin spesifik dan dilakukan secara intensif melalui pelibatan kerja yang lebih banyak. Anak-anak sudah mulai tidak memperhatikan sekolah sementara orang tua cenderung membiarkan. Hal itu semakin memantapkan posisi anak sebagai ahli waris buruh. Setelah itu akhirnya
119
anak-anak dianggap layak untuk menjadi penerus orang tua bekerja di kebun. Proses ini berlangsung sampai anak-anak memasuki usia dewasa dimana mereka berhasil menjadi buruh tetap atau sebagai pekerja harian lepas menggantikan orang tuanya. Kondisi yang dihadapi oleh rumahtangga buruh tembakau ini makin memperbesar keinginan mereka untuk tetap bertahan pada pasar tenaga kerja yang ada di perkebunan. Kemiskinan diturunkan dari generasi ke generasi, anak-anak buruh mewarisi keadaan orang tuanya. Kombinasi penguasaan tenaga kerja dengan melibatkan anak-anak dilakukan sedemikian rupa semata -mata untuk dapat bertahan hidup, karena penghasilan keluarga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal (subsisten). Adanya ketergantungan keluarga buruh terhadap perkebunan menyebabkan buruh selalu berusaha menjaga hubungan dengan perusahaan. Hubungan ini akan menjamin akses ekonomi keluarga. Salah satu bentuk usaha menjaga hubungan itu adalah melibatkan anak dalam proses produksi perkebunan dan diharapkan akan terus menjadi generasi buruh.
6.4. Ikhtisar Rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli mensosialisasikan nilainilai kerja buruh kepada anak-anak sejak usia dini. Bagi si anak, sosialisasi ini penting se bagai modal untuk masa depannya , sementara orang tua sebagai ajang untuk mendidik anak agar terbiasa melakukan dan mengelola tanaman tembakau. Dengan membawa anak-anak sejak kecil bekerja di kebun, maka lama kelamaan mereka akan terbiasa dengan pekerjaan tersebut dan bila sudah dewasa mereka dapat mewarisi pekerjaan sebagai buruh tembakau. Proses sosialisasi nilai kerja yang dilakukan rumahtangga buruh berkaitan dengan perbedaan aspek kepemilikan tanah. Bagi keluarga buruh yang belum memiliki tanah sebagai asset keluarga, sosialisasi nilai kerja dilakukan sangat ketat dan memaksa agar anak-anak sejak kecil sudah terlibat bekerja di kebun tembakau. Berbeda dengan tipe keluarga yang memiliki tanah, sejak kecil anakanak diajak membantu bekerja di kebun tembakau untuk mensosialisasikan nila inilai kerja buruh dan mensosialisasikan nilai-nilai kerja sektor pertanian, seperti cara-cara bertanam padi dan holtikultura.
120
Tabel 10. Proses Sosialisasi Pekerjaan Terhadap Anak Laki-laki dan Perempuan di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 Jenis Pekerjaan
A.
Produktif di kebun/gudang 1. Penyiapan Lahan - membuka lahan - membuat bedengan/paret - Ngayap 2. Penanaman pemupukan Melubang Menanam Mengangkut menyiram
&
3. Pemeliharaan Penyiraman Tutup kaki Mencari ulat Menyemprot hama Menyiangi 4. Panen Pemetikan Pengangkutan ke bangsal Penyucukan 5. Sortir B.
C.
D.
Produktif di sawah/ladang dan peternakan 1. cangkol tanah 2. Nanam padi 3. Menyermprot hama 4. Panen padi dan sayuran 5. mengembala kambing Reproduktif : Kerja Rumahtanga 1. mencuci baju 2. mencuci piring 3. memasak nas i 4. menggosok 5. bersihkan rumah 6. memperbaiki atap yang bocor 7. membersihkan halaman Sosial : Kerja Sosial 1. Gotong Royong d esa 2. Ronda
Sumber : Data Primer, 2005
Pihak sosialisasi Bapak/Ibu
Anak Laki-laki
Sejak Umur
Bapak Bapak Bapak/ibu
√ √ √
8 th 15 th 7 th
Bapak/ibu Bapak Bapak/Ibu Bapak
√ √ √ √
10 th 7 th 6 th 6 th
Anak Perempuan
Sejak Umur
√ √ √
10 th 8 th 6 th
Bapak Bapak Ibu Bapak/Ibu Bapak/Ibu
√ √ √ √ √
10 th 13 th 12 th 15 th 10 th
√
10 th
Bapak/ibu
√
10 th
√
10 th
Ibu Ibu
-
√ √
9 th 10 th
Bapak Bapak/Ibu Bapak Bapak/Ibu
√ √ √ √
10 th 10 th 15 th 10 th
√
10 th
√
10 th
Bapak
√
7 th
√ √ √ √ √
12 th 7 th 10 th 12 th 7 th
√
15 th
√
8 th
√ √
15 th 15 th
121
Perbandingan antara proses sosialisasi anak yang bekerja berdasarkan tipologi rumahtangga buruh perkebunan dapat dilihat pada tabel 10. Pertama, sosialisasi nilai kerja antara anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang disesuaikan dengan bentuk pekerjaan. Hal ini menunjukkan sejak kecil anakanak sudah mendapat pemahaman perbedaan pekerjaan secara seksual. Kedua, Pelibatan anak-anak bekerja baik anak laki-laki maupun anak-anak perempuan dilakukan sejak mereka berusia enam tahun dan pihak yang memberikan sosialisasi disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan. Pekerjaan yang berciri khas keibuaan dilakukan oleh istri, sebaliknya pekerjaan yang bercirikhas laki-laki dilakukan oleh suami atau saudara kandung abang, paman, kakek dan sebagainya. Ketiga, jenis pekerjaan yang dilakukan anak-anak sesuai dengan perbedaan gender. Anak laki-laki banyak terlibat pada pekerjaan produktif di luar rumah, sementara anak perempuan di dalam rumah sebagai tenaga reproduktif. Proses sosialisasi nilai ker ja antara laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak banyak perbedaan. Namun, sosialisasi pekerjaan terkait dengan proses produksi tanaman tembakau, sehingga sosialisasi pekerjaan dilakukan berdasarkan perbedaan gender. Setidaknya, proses sosialisasi pekerjaan dapat dibagi ke dalam tiga. Pertama, produksi di kebun, anak-anak laki-laki yang lebih banyak dilibatkan. Kedua, produksi di gudang, anak-anak perempuan keterlibatan anak perempuan lebih intens, dan Ketiga, pekerjaan yang tidak berhubungan secara produktif, tetapi bekerja di dalam rumah dan juga dilibatkan pada pekerjaan di lingkungan komunitas. Munculnya peluang-peluang kerja di luar perkebunan mempengaruhi terhadap perubahan nilai kerja buruh. Sosialisasi nilai kerja yang dilakukan keluarga buruh tidak lagi terfokus pada perkebunan semata, akan te tapi disesuaikan dengan keinginan anak-anak untuk bekerja di luar perkebunan. Bahkan untuk kasus anak-anak yang dianggap memiliki kecakapan dalam pendidikannya mereka di dorong untuk dapat keluar dari sektor ini dengan menyekolahkan ke luar desa. Hal ini merupakan antisipasi atas ketidakpastian lapangan pekerjaan di perkebunan. Tindakan rumahtangga buruh perkebunan seperti ini adalah tindakan rasional, artinya pekerjaan yang dilakukan sangat dibutuhkan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan sebagai
122
bagian dari strategi bertahan hidup rumahtangga di tengah keterdesakan kemorosotan perkebunan tembakau Deli. Mengacu kepada pendapat Parsons (1956) merupakan tindakan yang diharapkan secara fungsional untuk mencapai keseimbangan keluarga. Dan bila mengacu kepada teori tindakan sosial Weber (Jhonson, 1991) maka apa yang dilakukan rumahtangga buruh termasuk dalam tindakan rasional yang masih tradisional. Tahapan proses sosialisasi nilai kerja yang dilakukan rumahtangga buruh baik tipologi yang belum memiliki tanah maupun pemilik tanah dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Proses Sosialisasi Nilai Kerja Pada Keluarga Buruh Tembakau Deli di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 No 1.
Tahap proses sosialisasi Tahap bermain (Pengenalan)
2.
Tahap Seleksi (pemilihan)
3.
Tahap Orientasi (Pembelajaran)
4.
Tahap Pemantapan
Sumber : Data Primer, 20005.
Tujuan
Sosialisasi
Pengenalan awal tempat-tempat Membawa anak kerja. bermain ke kebun dan bangsal dan membimbing anak untuk mengerjakan pekerjaan ringan. Memisahkan anak berdasarkan Mengikutsertakan kecocokan di dalam kebun atau dalam pekerjaan ke luar kebun. Memberikan penanaman nilai- Mengajari dan nilai kerja perkebunan secara membimbing anak lebih mendalam kepada anak- untuk bekerja. anak yang cocok untuk jadi buruh dan menyekolahkan anak yang dianggap pintar sekaligus mendorongnya untuk bekerja di luar. Memutuskan anak untuk Menjadikan anak menjadi pekerja dengan cara sebagai buruh. memberikan nilai-nilai kerja secara intensif dan membawa bekerja dengan waktu yang lebih banyak.
VIII. RESPON PEKERJA ANAK TERHADAP SOSIALISASI NILAI KERJA
Bab sebelumnya telah menguraikan pentingnya peran pekerja anak dalam ekonomi keluarga . Peranan pekerja anak diaktualisasikan melalui pelibatan tenaga kerja anak untuk membantu orang tua di kebun tembakau dan pekerjaan di rumah. Untuk mempertahankan peran anak tersebut, sejak kecil anak-anak telah mendapat sosialisasi nilai kerja dari orang tua. Sosialisasi anak bekerja sedini mungkin juga berkaitan dengan keinginan orang tua untuk memperoleh fas ilitas yang disediakan pihak perkebunan. Bahkan dalam jangka panjang orang tua memiliki harapan akan mendapatkan pembagian jatah tanah dari pemerintah ketika masa HGU perkebunan habis. Peluang mendapatkan tanah itu sebagian diperlihatkan dalam bentuk pilihan sikap untuk tetap bertahan dan bekerja sebagai buruh. Sementara itu, anak-anak terus mendapatkan sosialisasi nilai kerja baik melalui nasehat maupun pelibatan anak bekerja, bahkan tidak jarang orang tua melakukan pemaksaan bila anak menolak permintaan orang tua. Perubahan lingkungan perkebunan dengan menurunnya produktivitas tembakau Deli berpengaruh terhadap keterbatasan daya tampung tenaga kerja pada masa yang akan datang. Di sisi lain, terbukanya lapangan pekerjaan di luar perkebunan yang didukung oleh semakin lancarnya transportasi ke desa Buluh Cina. Perubahan-perubahan tersebut ternyata berpengaruh terhadap respon yang diberikan anak terhadap harapan dan keinginan orang tua agar anak-anak mereka dapat mengikuti dan meneruskan pekerjaan sebagai buruh di perkebunan tembakau Deli. Pada penelitian ini terungkap dua respon pekerja anak. Pertama, penolakan anak terhadap sosialisasi nilai kerja. Kedua, penerimaan anak terhadap sosialisasi nilai kerja. Bab ini secara khusus akan menggambarkan bagaimana res pon pekerja anak terhadap sosialisasi nilai kerja yang dilakukan keluarga dan sebelumnya akan ditelusuri dinamika peranan pekerja anak di perkebunan tembakau berdasarkan periode sejarah perkembangan perkebunan tembakau Deli.
124
7.1. Dinamika Peranan Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau Deli Salah satu sektor perkebunan yang menyerap pekerja anak adalah perkebunan tembakau di Deli Serdang Sumatera Utara. Jumlah anak-anak yang bekerja diperkirakan dari tahun ke tahun mengalami penurunan, bila dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja anak pada masa awal berdirinya perkebunan. Peranan pekerja anak di perkebunan tembakau Deli begitu penting yang dapat diamati dari periodesasi berikut ini yang memperlihatkan pula bagaimana respon yang dilakukan oleh pekerja anak. Periode 1870 – 1945, masa Kolonial Belanda. Pada masa ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria pada tahun 1870 yang dalam arti formal menandai berakhirnya sistem tanam paksa di Jawa dan beralihnya sistem perkebunan dengan masuknya kapitalisme yang lebih bebas. Sejak itulah dimulai perluasan eksploitasi kekayaan alam di luar pulau Jawa dengan melakukan pembukaan areal perkebunan tembakau di tanah Deli. Perkebunaan tembakau Deli ternyata cepat berkembang, akibatnya kolonial Belanda mendapat hambatan dalam persoalan tenaga kerja. Salah seorang tokoh desa yang juga merupakan mantan kuli tembakau Deli dari Jawa Bapak Poniman (70 tahun) menyatakan bahwa kedatangan kuli tembakau ke tanah Deli karena pada awal pembukaan perkebunan pihak kolonial Belanda kesulitan memperoleh tenaga kerja. Untuk mengatasinya pihak perkebunan mendatangkan tenaga kerja dari Cina dan India. Namun, mendatangkan tenaga kerja dari Cina dan India memiliki biaya yang mahal dan tenaga kerja India dan Cina tidak bersedia memper panjang kontrak kerjanya di kebun tembakau. Oleh karena itu, untuk memperoleh tenaga kerja dengan biaya murah, kolonial Belanda mendatangkan tenaga kerja dari Pulau Jawa. Kuli kontrak dari Jawa lebih disenangi oleh pihak perkebunan berserta pengusaha perke bunan swasta lainnya. Hal ini disebabkan kuli kontrak dari Pulau Jawa memiliki keunggulan karena biasanya datang bersama seluruh anggota keluarga termasuk istri dan anakanaknnya. Sementara itu, istri dan anak-anak para kuli kontrak akan dimobilisasi oleh pengusaha Belanda sebagai tenaga kerja tambahan. Biasanya tenaga kerja tambahan ini dipersiapkan untuk mengantisipasi banyaknya pekerjaan di perkebunan tembakau, terutama pada musim tanam tembakau. Tenaga kerja
125
tambahan dilibatkan bekerja jika dibutuhkan dan akan diberhentikan ketika pihak perkebunan tidak membutuhkannya. Mereka diberi upah rendah walaupun jam kerjanya panjang dan pekerjaan tersebut sangat menentukan jumlah dan kualitas produksi tembakau. Pekerjaan yang dilakukan anak-anak tidak berbeda dengan pekerjaan orang dewasa, meskipun demikian anak-anak yang bekerja dibayar murah dengan jam kerja yang panjang bahkan sampai malam hari. Tidak jarang pula anak-anak yang tidak mau bekerja akan mendapat hukuman dari keluarga. Bentuk-bentuk pekerjaan yang melibatkan anak pada periode ini dapat dibagi kedalam dua bagian mengikuti pr oses produksi di kebun tembakau sebagaimana yang digambarkan oleh Breman (1997), pada masa musim tanam tembakau anak-anak dilibatkan bekerja, yaitu ; (1) produksi di kebun tembakau, anak-anak terlibat bekerja mencari ulat, belalang, jangkrik. (2) di bangsal pengeringan dan peragian, pekerja anak dilibatkan untuk mengikat, memilih dan menumpuk daun tembakau. Bahkan pada musim panen tidak jarang lelaki, perempuan
dan
bahkan
anak-ana k
harus
bekerja
hingga
malam
hari
menggantungkan tembakau yang sudah dipetik di lumbung pengeringan . Peran pekerja anak pada periode ini sangat penting, karena pada masa ini ditandai dengan pembukaan perkebunan yang luas, sementara peralatan kerja masih tradisional, sehingga pekerjaan buruh sangat berat. Kondisi inilah yang mendorong orang tua untuk melibatkan anak bekerja yang dalam beberapa kasus orang tua memaksa anak untuk bekerja di kebun tembakau, meskipun usia mereka masih kecil. Anak-anak sendiri tidak dapat menolak permintaan orang tua bila diajak untuk bekerja di kebun tembakau. Selain adanya permintaan secara lengsung dari orangtua, keterlibatan pekerja anak pada periode ini mendapat intervensi dari pihak perkebunan. Dengan demikian keluarga bersama pihak perkebunan memobilisasi istri dan anak-anak untuk bekerja di kebun tembakau. Berikut penuturan Bapak Poniman (70 tahun) mantan buruh tembakau Deli : “saya masih ikut bekerja pada masa kolonial Belanda, saya bekerja pertama kali sekitar umur 10 tahun. Bekerja di kebun tembakau pada masa usia 10 tahun sudah menjadi hal yang biasa pada anak-anak seusianya untuk membantu orang tua di kebun tembakau. Hampir setiap hari ikut membantu orang tua di kebun, kadang-kadang pada musim panen tidak jarang anak-anak dan orang tua harus pulang malam, kalau tidak demikian pekerjaan borongan orang tua tidak siap, jadi bisa dapat tegoran”
126
Periode 1940 – 1950, pada masa ini ditandai dengan kekalahan kolonial Belanda kepada Jepang. Nasib para buruh belum banyak berubah, meskipun tenaga kerja yang semula terserap dalam penjara perkebunan beralih menjadi petani tanaman pangan. Perubahan yang terjadi tidak merubah kondisi buruh perkebunan menjadi lebih baik. Pembebasan tenaga kerja dari kungkungan perke bunan tidak mempengaruhi terhadap kesejahteraan buruh, sehingga pola keterlibatan pekerja anak diperkebunan tembakau masih terus berlangsung. Namun, meningkatnya tuntutan produksi, sistem kerja yang diterapkan dengan beban kerja yang cukup banyak merubah status hubungan kerja anak-anak dari tenaga upahan menjadi tenaga kerja keluarga yang tidak diupah, karena buruh sendirilah yang memobilisasi anak-anak untuk membantu menyelesaikan pekerjaan mereka yang tidak mungkin dilakukan sendirian. Periode 1950 – 1982, masa ini ditanda i dengan nasionalisasi yang dilakukan dengan cara mengambil alih seluruh aset perkebunan yang dimiliki oleh kolonial Belanda yang selanjutnya dikelola oleh pemerintah Indonesia. Pada awal nasionalisasi perkebunan tembakau mengalami banyak kerugian, karena pengelola perkebunan belum ada yang bisa memimpin perkebunan seperti pada masa Kolonial Belanda. Perkebunan dikuasai oleh negara melalui PTP IX yang secara khusus mengelola tanaman tembakau Deli. Sejak tahun 1982, selain tanaman tembakau pihak PTP IX juga mengembangkan tanaman musiman lainnya seperti tebu21. Penanaman tebu dilakukan untuk meningkatkan pendapatan perusahaan dan secara kultur teknis untuk memberikan efisiensi pemakaian tanah yang digunakan untuk areal tembakau. Konsekuensi dari komoditas yang dikembangkan, maka pihak perkebunan selain mempekerjakan buruh tetap, buruh harian lepas, juga mempekerjakan buruh musiman, baik tenaga kerja wanita maupun anak-anak. Peluang kerja upahan secara bergantian bagi penduduk perkebunan termasuk anak-anak dan mendapat upah berdasarkan jumlah potongan tebu yang dihasilkan. Satu ikat tebu (satu ikat 21
Sistem kerja pada tanaman tebu berbeda dengan tembakau. Pihak perkebunan tidak langsung mempekerjakan anak-anak. PT. Perkebunan Nusantara II men-subkontrak pekerjaan di perkebunan tebu kepada sebuah perusahaan kontraktor tertentu. Kemudian perusahaan tersebut menghitung semua biaya-biaya pengerjaan tebu. Kontraktor itu kemudian merekrut tenaga harian lepas untuk mengerjakan proyek PTPN II. Pada tahap inilah anak-anak seringkali direkrut untuk terlibat dalam pekerjaan di perkebunan.
127
terdiri atas 20 batang tebu) dihargai Rp. 170,-. Untuk satu hari kerja selama tujuh – delapan jam, anak-anak rata-rata bisa membuat 75 – 100 ikat tebu. Mereka yang bekerja di tebu mendapatkan upah secara langsung dari mandor. Belakangan pekerja anak di kebun tebu yang berasal dari Desa Buluh Cina jumlahnya mulai menurun, karena lebih memilih bekerja bekerja di pabrik. Perubahan keinginan untuk bekerja di luar perkebunan mencerminkan perubahan orientasi nilai kerja anak-anak ke sektor luar perkebunan. Peraturan baru22 yang ditetapkan pihak perkebunan juga memberatkan anak-anak. Kesadaran bahwa anak-anak bisa menghasilkan uang sendiri dari kebun tebu hingga batas terte ntu mengurangi minat membantu orang tua, karena bila mereka membantu kerja di tembakau mereka tidak diupah oleh orang tua. Anakanak di kebun tebu biasanya bekerja atas dasar dan keinginannya sendiri. Berbeda halnya bila mereka diminta membantu orangtua di tembakau, mereka akan menyambutnya dengan sikap malas-malasan. Artinya, pada masa inilah awal mulanya respon penolakan anak-anak untuk bekerja di tembakau, walaupun pada akhirnya mereka belum bisa menolak permintaan orang tua untuk bekerja di kebun tembakau. Selain itu, anak-anak juga masih banyak yang tetap mengharapkan agar diterima bekerja di kebun tembakau. Hal ini terkait dengan masih minimnya lapangan pekerjaan dan bagi orang tua sendiri pilihan anak-anak untuk bekerja di kebun tembakau adalah untuk keamanan (subsisten) keluarga ketika orang tua mulai pensiun. Bentuk keterlibatan anak-anak di perkebunan tembakau Deli pada periode ini dapat dibedakan kepada dua. Pertama, pekerja anak keluarga yang tidak dibayar karena melakukan pekerjaan keluarga dalam hal ini membantu menyelesaikan borongan yang diberikan kepada orang tua yang menjadi buruh tetap. Kedua, pekerja anak yang menerima upah karena memberikan tenaganya secara langsung kepada pihak-pihak yang mempekerjakannya, misaln ya; abang, paman dan tetangga. Tipe pekerja anak yang pertama biasanya terlibat bekerja karena alasan membantu orang tua untuk meringankan beban kerja keluarga yang 22
Peraturan tersebut dikeluarkan sejak tahun 2004 yang berisi tantang penetapan peraturan baru dalam aturan pemotongan tebu, yaitu setiap buruh yang bekerja di kebun tebu harus memotong tebu dengan memenuhi kriteria PTPN II yang disebut ”MASPANBERS” singkatan dari masak, Pandas (benar-benar dipotong di pangkal), bersih (tidak ada sampah yang tersisa di batang tebu) dan segar.
128
telah ditetapkan perkebunan. Sementara tipe pekerja anak yang kedua pada umumnya melakukan pekerjaan karena ingin mendapatkan uang sendiri untuk biaya kebutuhan sehari-hari, misalnya membeli rokok, jajan dan ada juga karena ingin membayar uang sekolah bagi pekerja anak yang masih sekolah. Pekerja anak sering mendapat tekanan dari orang tua terutama apabila tidak mau membantu pekerjaan orang tua di kebun tembakau. Tekanan-tekanan yang dihadapi anak-anak biasanya bukan saja berupa nasehat, tetapi tidak jarang mereka mendapat tekanan berupa hukuman secara fisik. Ancaman yang sering dihadapi anak-anak adalah orang tua tidak memberikan uang sekolah dan keperluan lain yang berhubungan dengan pendidikan anak-anak. Ancaman seperti ini terutama diberikan kepada anak-anak yang tidak menuruti orang tua. Hasil wawancara dengan Surip (20 tahun) yang merupakan salah seorang mantan pekerja anak menceritakan bahwa permintaan agar anak-anak bekerja di kebun tembakau sebagai awal pengenalan kerja di tembakau tidak dapat dibantah. Hal ini disebabkan oleh rasa kasihan kepada orang tua karena pekerjaan yang dilakukan berat, disisi lain bila me nolak permintaan orang tua, tidak jarang mereka dimarahi dan memukul anak. Beberapa kasus tidak jarang anak-anak mendapat perlakuan kasar seperti pemukulan dan ditendang. Periode 1998 – sekarang telah terjadi perubahan-perubahan yang mendasar dalam proses produksi tembakau. Setidaknya, perubahan ini terjadi akibat eforia reformasi yang berkembang sejak tahun 1998 hingga saat ini. Reformasi yang digerakkan oleh mahasiswa ternyata mempengaruhi juga terhadap sikap dan perilaku buruh perkebunan. Perubahan sika p dan perilaku buruh terlihat dari munculnya keberanian buruh perkebunan untuk mempertanyakan soal sistem kerja dan pengupahan yang selama ini merugikan dan memiskinkan buruh. Situasi seperti ini tidak jarang memunculkan konflik antara buruh dengan mandor sebagai perjuangan tangan pihak perkebunan pada level bawah. Konflik itu terlihat dalam bentuk perdebatan tentang jumlah penghasilan yang diperoleh para buruh, walaupun pada akhirnya dicapai kompromi sebagai solusi konflik yang terjadi. Tercapainya kompromi sebagai solusi konflik bukan saja untuk menghindari kerugian bagi kedua belah pihak yang terlibat konflik, melainkan pula karena para buruh berkeinginan untuk tetap sebagai buruh di perkebunan.
129
Apalagi, motif dibalik keinginan buruh itu juga lebih didorong oleh keyakinannya melakukan mobilitas sosial dimasa yang akan datang. Mobilitas sosial yang akan dilakukan oleh buruh didasarkan atas pemahaman dan harapan bahwa ketiga HGU perusahaan habis maka hak pemanfaatan lahan perkebunan dapa t berpindah tangan kepada para buruh dengan restu dari pemerintah. Keinginan akan datangnya perubahan nasib itu didasarkan atas kearifan buruh yang selalu belajar dari pengalaman. Pengalaman yang diserap dari masyarakat sekitarnya adalah kasus masyarakat yang mengambil secara paksa atau menyerobot tanah perkebunan yang telah habis HGU-nya, sehingga areal tanah perkebunan semakin menyempit dan yang terpenting tanah yang diserobot tidak dapat lagi dikuasai oleh pihak perkebunan. Perjuangan para buruh telah menunjukkan hasil, wa laupun belum mengubah kondisi kemiskinan keluarga para buruh. Hal ini terlihat dari mulai diperbaikinya kebijakan sistem produksi dengan mengurangi paket kerja borongan. Sebagian pekerjaan yang tadinya dibebankan kepada buruh tetap, mulai dikurangi dan unt uk menyelesaikan pekerjaan tersebut pihak perkebunan merekrut buruh harian lepas. Di satu sisi perubahan ini dapat mengurangi beban kerja para buruh dengan sendirinya mengurangi juga beban kerja anak-anak, karena mereka tidak terlalu dituntut untuk membantu kerja orang tuanya. Di sisi lain, perubahan ini juga menciptakan ke sempatan kerja yang lebih luas bagi penganggur yang sebagian besar adalah para mantan pekerja anak yang sekarang sudah berusia menjelang dewasa.
7.2. Respon Pekerja Anak Terhadap Sosial isasi Nilai Kerja 7.2.1. Penolakan Anak Terhadap Sosialisasi Nilai Kerja Upaya sosialisasi nilai kerja yang dilakukan oleh orang tua, ternyata anakanak merasa tidak cocok bekerja di perkebunan, karena anak-anak memandang pekerjaan di perkebunan sebagai pekerjaan yang tradisional, kotor dan tidak menjanjikan. Pekerja anak memandang nilai kerja perkebunan tembakau bukan sesuatu pekerjaan yang utama dan harus diharapkan di masa yang akan datang. Anak-anak memiliki pilihan sendiri yaitu bekerja di luar perkebunan seperti bekerja di pabrik yang belakangan ini banyak menawarkan peluang kerja .
130
Pilihan anak-anak ini didasarkan pada pandangan mereka bahwa bekerja di pabrik mudah, terhormat, dan upah bekerja lebih besar daripada di perkebunan. Nilai kerja yang dipersepsikan oleh pekerja anak sebagai bidang pekerjaan tanpa masa depan, sebenarnya dapat dipahami. Kondisi pekerja anak sebagai individu yang masih energik, perjalanan hidup yang masih panjang, mobilitas yang masih tinggi dan kaya dengan harapan-harapan menciptakan optimisme tertentu yang kontradiktif dengan apa yang dikenalinya sebagai sifat dan kriteria pekerjaan perkebunan. Hal ini dimungkinkan pula oleh banyaknya jenis pekerjaan lain sebagai alternatif untuk dimasuki di masa yang akan datang. Respon pekerja anak dalam bentuk penolakan ini cenderung menggunakan cara-cara terselubung dengan cara diam, tetapi sebenarnya anak-anak menolak keinginan orang tua. Anak-anak tidak pernah membantah bila mereka diminta untuk membantu bekerja di kebun tembakau, namun dibelakang orang tua seringkali mereka mengomel dan marah-marah. Setidaknya, respon pekerja anak dalam bentuk penolakan tersembunyi dapat dibedakan atas dua , yaitu; (1) golongan pekerja anak yang memaksa terus sekolah, (2) golongan pekerja anak yang memilih bekerja. Golongan kedua ini masih dapat dibagi dua yaitu golongan pekerja anak yang bekerja di luar perkebunan dan golongan yang bekerja di dalam desa tetapi pada komoditi yang berbeda yaitu di kebun tebu. Pertama, golongan pekerja anak yang memaksa terus sekolah. Upaya pekerja anak menghindari keinginan orang tua untuk mewarisi kerja buruh di perkebunan tembakau Deli adalah dengan memaksa tetap sekolah, meskipun sebenarnya model pendidikan yang dikembangkan pemerintah saat ini tidak menguntungkan sama sekali bagi kebutuhan dan masa depan anak, sehingga mereka sebenarnya tidak menyukainya. Tjandraningsih & Popon (2002) melalui penelitian tentang pekerja anak di kebun tembakau memperlihatkan bahwa salah satu faktor yang mendorong masuknya anak-anak bekerja di tembakau baik sebagai tenaga kerja keluarga maupun tenaga upahan karena model pendidikan yang tidak sesuai dengan keinginan anak-anak. Situasi dan kondisi kerja menurut pekerja anak sangat berat menjadi alasan utama mereka menolak keharusan membantu kerja orang tua. Ketika anak merasa terganggu dengan keharusan membantu kerja orang tua, mereka akan rajin
131
sekolah atau bermain bersama teman-teman dari desa lain agar tidak mudah dicari, meskipun mereka menanggung risiko dimarahi oleh orang tuanya. Tidak jarang pekerja anak yang ketahuan mendapat hukuman berupa tamparan dan ancaman tidak membayar uang sekolah. Salah seorang responden pekerja anak bernama Tono (14 tahun) menuturkan apa yang dialaminya ketika menolak membantu bekerja di kebun tembakau: ”Saya kasihan sama bapak, kalau tidak dibantu kerjaannya khan bisa keteter, bisa dimarahi oleh mandor bisa -bisa upah bapak dipotong. Kalau ibu…sela lu menasehati saya supaya ikut kerja bantu bapak diperhatika n, nanti kalau sudah besar bisa menggantikan bapak. Tetapi, saya tidak berminat menjadi buruh tembakau, kalau bisa saya dapat pekerjaan yang lebih bagus. Tapi saya tidak berani melawan orang tua...nanti bisa kualat, lagian kalau melawan orang tua dimusuhi orang sekampung. Saya berusaha tetap sekolah agar bisa mendapat pekerjaan lain. Saya ingin bekerja sebagai guru” Kedua, golongan yang memilih bekerja di luar perkebunan. Beberapa pekerja anak yang diwawancarai mengungkapkan bahwa alasan menolak bekerja di kebun tembakau Deli karena sejak dini mereka sudah mulai bekerja dan bertempat tinggal di lingkungan yang sama, sehingga merasa jenuh kalau tetap bekerja di perkebunan. Pilihan bekerja di luar perkebunan karena upah yang lebih besar, pekerjaan yang tidak kotor, dan dapat memperluas pengalaman. Umumnya, ana k laki- laki merantau23atau mencari pekerjaan di luar perkebunan, sebagai buruh bangunan, buruh tani, dan bengkel. Hasil wawancara dan pengamatan lebih dalam menunjukkan bahwa pekerja anak yang memilih untuk bekerja di luar perkebunan terus berkembang. Setidaknya ada beberapa hal yang mendorong anak-anak untuk memilih bekerja di luar desa perkebunan, yaitu; Pertama, makin terbukanya peluang-peluang kerja di luar perkebunan yang dapat diakses oleh anak-anak maupun mantan pekerja anak yang berusia di atas 18 tahun. Masuknya industrialisasi ke daerah-daera h pinggiran perkebunan membawa pengaruh terhadap perubahan nilai kerja pemuda dan anak-anak yang bekerja di perkebunan. Saat ini anak-anak memandang pekerjaan di perkebunan sebagai pekerjaan yang tradisional, kotor dan tidak 23
bagi anak -anak yang ingin merantau biasanya selalu mendapat hambatan dari orang tua karena di Desa Buluh Cina masih berkembang tradisi budaya Jawa ”biar susah asal ngumpul”.
132
menjanjikan, sementara bekerja di pabrik lebih mudah, lebih terhormat, jam kerja dan aturan yang lebih mudah, meskipun jaraknya sangat jauh dari desa. Hal ini juga didorong oleh kesadaran anak-anak bahwa dengan bekerja di luar perkebunan me reka bisa menghasilkan uang sendiri, sehingga dalam batas tertentu mengurangi minat membantu orang tua, karena bila mereka membantu pekerjaan di tembakau mereka tidak diupah oleh orang tua mereka 24. Kedua, akses transportasi yang masuk Desa Buluh Cina sudah mulai lancar. Pada tahun 2000 praktis hanya satu angkutan yang masuk ke Desa Buluh Cina, tapi saat ini sekitar tiga jenis angkutan dapat dimanfaatkan penduduk Buluh Cina bila hendak ke luar desa. Di samping itu, sebagian keluarga buruh tembakau Deli sudah banyak memiliki sepeda motor. Hal ini dipengaruhi oleh berkembangnya penawaran sepeda motor dengan kemudahan-kemudahan memperolehnya. Selama penelitian diketahui hanya dengan uang muka RP. 200.000,- seorang buruh dapat memiliki sepeda motor dengan pembayaran secara angsuran. Seperti kasus keluarga Pak Syamsuddin telah memiliki sepeda motor sejak bulan Oktober 2004. Sepeda motor dibeli seharga Rp. 8.500.000,- dengan cara mengangsur. Pada saat pembelian Pak Syamsuddin hanya memberi uang pangkal sebesar Rp. 2.000.000,- Uang tersebut diperoleh dari hasil upah borongan dari kebun tembakau ditambah dengan upah Hendi (17 tahun) salah seorang anak Pak Syamsuddin yang bekerja di pabrik di Kawasan Industri Medan. Berbeda dengan Hendi, kebanyakan anak-anak di desa Buluh Cina mendapat informasi pekerjaan di pabrik dari teman mereka sendiri yang kebetulan sudah terlebih dahulu bekerja. Seperti kasus Iwan (16 tahun) pekerja anak yang memilih bekerja di pabrik anti nyamuk yang terletak di sekitar kawasan industri Binjai. Sejak lulus SLTP, Iwan tidak melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi karena orang tuanya tidak memiliki biaya. Iwan selalu ikut membantu orang tua pada musim tanam tembakau, setelah musim tanam berakhir Iwan biasanya bekerja di kebun tebu yang terletak di dalam desa. Seorang temannya satu desa Joko yang terlebih dahulu bekerja di pabrik nyamuk mengajak Iwan ikut 24
dalam sistem perkebuan tembakau Deli anak-anak yang bekerja di kebun tembakau tidak diupah, karena dalam peraturan kontrak kerja hanya Bapak yang terdaftar sebagai buruh yang harus diupah. Sementara yang lain dianggap bagian dari pekerja keluarga yang tidak perlu dibayar.
133
bekerja di pabrik. Awalnya, Iwan menolak karena tempat kerjanya jauh dari desa dan ketakutan bila berinteraksi dengan orang luar desa Buluh Cina. Namun, akhirnya Iwan menerima dan mulai bekerja sejak bulan Agustus tahun 2004. Upah kerja yang diterima Iwan sebesar Rp. 10.000,- per hari dengan jam kerja rata-rata delapan jam, tetapi terkadang jam kerjanya lebih dari itu, karena bila bahan banyak pihak perkebunan menambah jam kerjanya. Meskipun Iwan sudah bekerja di pabrik tetapi bila musim tanam tembakau orang tuanya tetap menyuruh untuk membantu di kebun. Iwan diajak membantu pekerjaan orang tua terutama pekerjaan menanam tembakau dan saat panen tembakau. Iwan mengakui kalau pada masa pekerjaan banyak terpaksa tidak bekerja di pabrik. Seperti apa yang disampaikannya ketika menceritakan pengalamannya bekerja di kebun tembakau: ”mulai minggu depan kata bapak sudah mulai panen atau ngutip tembaka u. Biasanya awal-awal ngutip, daun tembakau pekerjaannya banyak, sehingga bapak perlu dibantu. Nanti kalau hari pertama mengutip saya libur dulu kerja di pabrik, biar ikut membantu pekerjaan bapak di kebun” Tidak berbeda jauh dengan anak perempuan, banyak memilih bekerja di pabrik. Salah seorang pekerja anak perempuan Suriyani (16 tahun) telah terbiasa bekerja membantu orang tua, baik kerja domestik maupun di kebun tembakau. Sekolah hanya tamat SD karena orang tuanya tidak mampu lagi membiayai pendidikannya sampai jenjang yang lebih tinggi. Suriyani mulai bekerja di pabrik udang di Hamparan Perak sejak tahun 2004. Kecuali hari Minggu, Suriyani bersama dengan teman-temannya dijemput naik bus karyawan milik perusahaan dimana mereka bekerja. Menurut Suriyani adanya fasilitas bus antar jemput buruh ini sangat mendorong anak-anak untuk bekerja di pabrik. Sekitar pukul 06.00 Wib Sri sudah bersiap-siap di depan rumahnya yang kebetulan berada di pinggir jalan besar untuk menunggu bus jemputan. Beruntung Sri yang memiliki rumah di depan jalan umum, sehingga bus jemputan tidak sulit dicapainya. Berbeda dengan pekerja anak lainnya yang harus rela berjalan kaki atau memakai sepeda dari rumah mereka menuju jalan utama dimana bus perusahaan menunggu kedatangan mereka. Jarak dusun terjauh dari pusat Desa Buluh Cina sekitar 13 km. Berdirinya pabrik-pabrik yang terus berkembang dan kebutuhan tenaga kerja di sektor manufaktur, bahkan di tingkat yang paling berteknologi dan modal
134
sederhana, ternyata menyediakan sebuah wilayah kehidupan lain untuk pekerja anak baik laki-laki maupun perempuan. Wilayah tersebut dapat membebaskan anak-anak dari tekanan keluarga untuk secara terus menerus bekerja di ke bun tembakau. Pada bentuk ini hubungan kekerabatan yang terjalin antar sesama teman, RT dan keluarga amat berperan dalam menyediakan sarana informasi mengenai lowongan kerja. Setiap harinya kabar-kabar baru mengenai pabrikpabrik yang membuka lowongan beredar diantara anak-anak dan warga desa. Di Desa Buluh Cina, pihak pabrik tidak pernah nampak masuk ke desa untuk melakukan rekruitmen tenaga kerja, anak-anak ataupun saudara-saudara mereka yang bekerja di luar perkebunan adalah pembawa berita tempat kerja yang cepat dan dapat dipercaya. Mengacu kepada pendapat Scott (1989), respon yang ditunjukkan pekerja anak dalam kehidupan sehari-hari baru dalam bentuk terselubung. Munculnya respon yang demikian sebagai reaksi terhadap kondisi yang dilakukan oleh orang tua. Tidak terjadinya respon secara terbuka bagi kaum yang lemah, miskin atau dalam konteks ini adalah pekerja anak, menurut Scott (1989), karena adanya faktor -faktor penghalang munculnya respon terbuka, yaitu: Pertama , struktur sosial yang tidak kondusif. Seperti hasil penelitiannya di Sedaka, bahwa konflik terbuka tidak muncul, karena transformasi dalam lahan pertaniannya telah menghapus peranan kaum miskin dari proses produksi, sehingga kaum miskin semakin tersisih dan semakin sedikit pilihan dalam hubungan kerja dengan pemilik lahan. Jika keadaan ini dianalogikan dalam kehidupan buruh anak di perkebunan tembakau, nampak jelas bahwa berubahnya lingkungan perkebunan, seperti
semakin
menyempitnya
lahan,
menurunnya
produksi
tembakau
menyebabkan pekerja anak tidak tertampung lagi dalam struktur perkebunan seperti yang dijalani oleh orang tua dan generasi-generasi buruh sebelumnya, sehingga mereka masuk dalam pekerjaan alternatif lain yang hampir merupakan salah satu yang mungkin dilakukan untuk membantu ekonomi keluarga, yaitu bekerja di luar perkebunan. Pilihan yang mulai menunjukkan keberagaman jenis pekerjaan yang dapat dimasuki pekerja anak, sehingga peran pekerja anak dalam keluarga tidak hanya diarahkan untuk dapat menghasilkan dari perkebunan saja tetapi juga dari luar perkebunan.
135
Kedua, adalah kebutuhan survival. Pekerjaan yang ditekuni pekerja anak tersebut harus dijalani bukan semata-mata untuk keperluan diri anak sendiri atau mengisi waktu luang semata, tetapi ada kebutuhan yang penting, yaitu dalam rangka mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya yang umumnya tergolong keluarga miskin. Jadi tidak ada jalan lain, kecuali mencari cara penyesuaian dengan lingkungan kerja, agar bisa terus bertahan di perkebunan. Jadi, respon yang dilakukan pekerja anak merupakan alternatif yang paling aman atau meminjam istilah Scott (1989) tindakan pe kerja anak ini adalah sebagai tindakan ”dahulukan selamat” dan rasional agar mereka tetap bisa bekerja sambil membantu ekonomi orang tua, meskipun mereka tidak bekerja di perkebunan lagi sama dengan keinginan orang tua. Di sisi lain, jika dikaitkan dengan pemikiran Weber (dalam Campbell, 1994) , menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan pekerja anak merupakan tindakan yang rasional yang cenderung mengarah pada tipe rasional praktis, artinya bahwa respon yang dilakukan tidak hendak merubah tatanan struktur perkebunan, tetapi hanya semata-mata kepentingan praktis agar keluarga mereka tetap bisa bertahan di perkebunan tembakau selama situasi saat ini yang belum pulih. Respon pekerja anak ini, umumnya ditanggapi biasa saja oleh orang tua , bahkan beberapa orang tua mendukung pilihan anak-anak. Sebagai konsekuensi terjadinya perubahan-perubahan didalam proses kerja, maka setiap keluarga buruh tidak lagi mempertahankan sosialisasi nilai kerja buruh perkebunan semata, tapi di satu sisi muncul model sosialisasi baru dengan mengajarkan dan mendorong anakanak untuk memasuki kerja di luar perkebunan seperti bekerja di pabrik. Di sisi lain karena keluarga masih mengharapkan menjadi bagian dari struktur sosial perkebunan sehingga anak-anak tetap dipertahankan untuk meneruskan menjadi buruh perkebunan. Kasus Bapak Syamsuddin, misalnya telah terjadi proses perubahan sosialisasi nilai kerja dari sektor perkebunan ke luar perkebunan. ”diantara keempat anaknya, tiga orang telah bekerja, dan satu orang masih sekolah di SMP. Hendi bekerja di pabrik plastik, sementara Srimulyani lulusan SD bekerja di pabrik udang. Kedua anaknya sangat membantu meringankan beban tanggungan keluarga. Apalagi, pada masa musim tanam tembakau tahun 2005 ini, Bapak Syamsuddin tidak mendapatkan jatah ta nah seluas 0,8 ha untuk ditanami tembakau. Namun diantara empat orang anaknya, Surip sebagai anak sulung diharapkan menggantikan posisi bapaknya”
136
7.2.2. Penerimaan Anak Terhadap Sosialisasi Nilai Kerja Meskipun sosialisasi nilai kerja dalam keluarga telah mengalami perubahan, tapi pada kenyataannya tidak seluruh anak di keluarga buruh menolak untuk menjadi buruh. Beberapa anak ada yang menerima tapi jumlahnya sangat kecil. Seperti Anto (15 tahun) tida k memiliki pendidikan yang baik di sekolah karena sejak masuk SMP dia lebih sering tidak masuk sekolah. Alasannya tidak sekolah karena tugasnya (PR-nya) banyak. Kalau pada musim tanam tembakau selalu ikut membantu bapak bekerja . Pengalaman Anto dalam membantu pekerjaan bapaknya di kebun tembakau, merupakan sebuah gambaran respon pekerja anak terhadap keinginan orang tua. Anto menuturkan kembali sesuatu yang biasanya dilakukan ketika ayah atau ibunya memintanya untuk ikut bekerja di kebun tembakau : “Anto tidak pernah menolak kalau disuruh untuk bekerja di kebun, karena kasihan tidak ada yang membantu, sementara kalau musim tanam tembakau pekerjaan borongan banyak, seperti menanam tembakau, membersihkan rumput, menyiram tembakau, mengutip daun tembakau serta nyujuk tembakau. Biasanya yang mengajak ikut bekerja adalah bapak, terutama pada masa pekerjaan di kebun lagi repot. Pekerjaan yang harus dibantu adalah nanam dan ngutip tembakau, karena pekerjaannya berat dan waktunya sangat terbatas. Jika tidak dibantu pekerjaan borongan di kebun tembakau bisa keteter, nanti bapak dimarahi mandor. Selain karena alasan ingin membantu orang tua, sebagian kecil anak-anak ingin meneruskan profesi ayahnya sebagai buruh tembakau dengan alasan mencari pekerjaan di perkebunan te mbakau tidak susah. Alasan lain yang disampaikan oleh pekerja anak perkebunan adalah karena adanya harapan mereka untuk mendapatkan fasilitas rumah, upah bulanan dan jaminan kesehatan. Hal ini terkait dengan rt adisi pihak perkebunan yang memberikan kemudahan pada anggota keluarga buruh tembakau, misalnya da lam penerimaan buruh. Kemudahankemudahan ini menjadi pendorong anak-anak untuk tetap menginginkan meneruskan pekerjaan orang tua di kebun tembakau. Bahkan sejak awal pun pihak perkebunan telah banyak memberi lapangan kerja bagi anggota masyarakat di sekitar desa. Peluang kerja yang dimaksudkan disini adalah bekerja sebagai buruh harian lepas terutama bagi perempuan.
137
7.3. Ikhtisar Berdasarkan data yang dikumpulkan dan metode analisis data yang digunakan dapat dideskripsikan bahwa telah terjadi perubahan nilai kerja perkebunan pada pekerja anak. Anak-anak memandang pekerjaan di perkebunan sebagai pekerjaan yang tradisional, kotor dan tidak menjanjikan, sementara bekerja di pabrik lebih mudah, dan lebih terhormat, biarpun jaraknya sangat jauh dari Desa Buluh Cina serta jam kerja dan peraturan yang sangat ketat dan mengikat. Oleh karena itulah keinginan keluarga buruh di perkebunan agar anakanak mereka dapat meneruskan pekerjaan orang tua sebagai buruh, ternyata mendapat respon yang tidak baik dari anak-anak. Ada dua bentuk respon yang muncul dari pekerja anak, yaitu; bentuk penolaka n, dan bentuk penerimaan. Perbandingan antara dua bentuk respon pekerja anak dapat dilihat pada tabel 12.
Tabel 12. Respon Pekerja Anak Terhadap Sosialisasi Nilai Kerja di Desa Buluh Cina, Tahun 2005 Tipologi Rumahtangga Buruh Rumahtangga yang tidak memiliki tanah
Respon Pekerja Anak
Penolakan pekerja anak
Penerimaan Pekerja Anak Rumahtangga Buruh Pemilik Tanah
Penolakan pekerja anak
Penerimaan Pekerja Anak Sumber : Data Primer, 2005 .
Karakteristik Pekerja Anak
• Bekerja di - Usia pekerja anak 15 – 18 tahun. - anak-anak bekerja di luar perkebunan luar sebagai buruh pabrik. perkebunan dan dalam - Bekerja di dalam desa tetapi di komoditas tanaman tebu. perkebunan - Mmmmm - Usia anak 13 – 15 tahun • Tetap - Sekolah hanya sebagai alasan agar tidak memilih dilibatkan untuk bekerja bersekolah Bekerja di - usia anak 10 – 15 tahun perkebunan - anak-anak biasanya malas sekolah masih dianggap - memiliki pekerjaan di rumah untuk baik ngangon kambing atau sapi. • Bekerja di - anak-anak pada umumnya masih sekolah dalam sampai tingkat SLTA. perkebunan - Lebih memilih bekerja di dalam desa, karena dapat membagi waktu sambil sekolah dan membantu orang tua di sawah. Bekerja di - usia anak 10 – 15 tahun perkebunan - anak-anak bias anya malas sekolah masih dianggap - memiliki pekerjaan di rumah untuk baik ngangon kambing atau sapi.
138
Pertama, golongan yang melakukan penolakan. Pekerja anak yang melakukan penolakan lebih didasarkan bahwa bekerja di perkebuna bagi mereka tidak menjanjikan, kotor dan tradisional sehingga hanya pantas dikerjakan oleh orang tua. Sementara bagi anak yang memaksa untuk tetap bersekolah sebenarnya sebagai suatu strategi agar tidak disuruh bekerja di kebun tembakau oleh orang tua, karena model dan kur ikulum pendidikan yang ada saat ini tidak begitu diminati oleh anak-anak. Kedua, golongan yang menerima sosialisasi nilai kerja. Anak-anak masih tetap bekerja di perkebunan tembakau untuk membantu orang tua karena adanya keinginan mereka untuk mendapatkan fasilitas rumah, kesehatan dan upah. Bentuk respon yang lahir dari pekerja anak ini sebenarnya merupakan alternatif yang paling aman atau meminjam istilah Scott (1993) tindakan pekerja anak ini adalah sebagai tindakan ”dahulukan selamat” dan rasional. Pekerjaan yang ditekuni anak-anak tersebut harus dijalani bukan semata -mata untuk keperluan diri
anak sendiri atau mengisi waktu luang semata, tetapi ada
kebutuhan yang penting, yaitu dalam rangka mencukupi kebutuhan ekonomi keluargan yang umumnya tergolong keluarga miskin. Di sisi lain, jika dikaitkan dengan pemikiran Weber, menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan pekerja anak merupakan tindakan yang rasional yang cenderung mengarah pada tipe rasional praktis, artinya bahwa respon yang dilakukan tidak henda k merubah tatanan struktur perkebunan, tetapi hanya semata-mata kepentingan praktis individu buruh agar keluarga mereka tetap bisa bertahan di perkebunan tembakau.
VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
8.1. Kesimpulan Diperkenalkannya model perkebunan tembakau pada masa penjajahan kolonial Belanda, telah membawa perubahan pada pengelolaan sektor perkebunan yang semula dengan cara tradisional, beralih menjadi modern yang lebih memperhitungkan pada rasionalitas dan keuntungan. Namun, hingga saat ini hubungan yang terbentuk dalam agroindustri tembakau masih berupa hubungan yang tidak seimbang, dimana penguasa atau pengelola perkebunan selalu berada pada posisi yang selalu di atas. Beberapa bukti yang bisa dikemukakan dari hasil penelitian ini, bahwa dalam struktur organisasi perkebunan dan sistem produksi tembakau Deli yang berciri upah borongan tidak banyak mengalami perubahan. Lemahnya posisi buruh selain karena merupakan lapisan terbawah dalam struktur organisasi perkebunan, juga adanya mekanisme kontrol menajemen perkebunan yang sangat besar kepada mereka.
Bahkan, buruh tembakau dipandang oleh
pihak perkebunan hanya sebagai faktor produksi belaka. Kondisi kehidupan rumahtangga buruh di Desa Buluh Cina sebagai suatu desa enclave perkebunan di Deli Serdang yang pada umumnya menggantungkan hidup sepenuhnya pada kegiatan perkebunan yang dalam penelitian ini ditemukan dua tipologi rumahtangga buruh. Pertama,
rumahtangga buruh yang tidak
memiliki tanah memiliki ketergantungan terhadap perkebunan yang cukup besar, karena sumber penghasilan keluarga hanya berasal dari perkebunan. Kedua, rumahtangga
pemilik
tanah/sawah,
juga
memiliki
kerterkaitan
dengan
perkebunan, sehingga mendorong mereka untuk tetap tinggal di perkebunan. Kedua tipologi rumahtangga buruh masih menggantungkan kontribusi tenaga anak-anak dalam kegiatan pengelolaan tembakau agar dapat memberikan hasil yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Selain itu, orang tua tidak mungkin mengerjakan luas lahan 0,8 ha yang diatur dalam kerja borongan, pengeluaran ongkos untuk membayar tenaga kerja di luar keluarga sangat signifikan bagi pemenuhan kebutuhan rumahtangga sehari-hari.
140
Lebih jauh dari itu motivasi orang tua me libatkan pekerja anak dalam kultur teknis merupakan bentuk inisiasi atau sosialisasi nilai-nilai kerja dimana para buruh berkeinginan agar anak-anak dapat menggantika n posisi mereka setelah pensiun dan menjadi generasi buruh yang berkela njutan. Motif utamanya tak lain adalah melanggengkan posisi mereka sebagai bahagian dari sistem perkebunan, yang dapat memperoleh manfaat dan kemudahan-kemudahan dalam mencari nafkah di luar atau di dalam perkebunan misalnya, menjadi pekerja harian lepas, beternak atau berkebun. Motif lainnya terikat dengan beberapa fasilitas yang diberikan pihak perkebunan, seperti perumahan, kesehatan, upah bulanan, dan tunjangan kebutuhan sembako yang dapat diperoleh selama terikat kerja dengan pihak perkebunan. Pembentukan generasi buruh juga terkait dengan faktor nilai budaya yang berkembang pada masyarakat perkebunan, seperti kebiasaan hidup yang aman tenteram dan tidak memikirkan hal-hal yang rumit , sikap patalistik atau sikap nrimo terhadap segala sesuatu, mangan ora mangan asal ngumpul, hedonitas, saiki dudhu sesuk , gugontuhon, membuat mereka pasrah pada keadaannya dan memperkuat ketahanan buruh untuk bekerja secara maksimal meskipun hasil yang mereka terima tidak sebanding dengan nilai kerja yang mereka lakukan. Sikap para buruh yang diwarnai nrimo ini senyatanya menjadi kebudayaan yang membuat mereka bertahan hidup ditengah kemiskinan. Proses sosialisasi pekerjaan antara anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan sesua dengan proses produksi tembakau Deli yang dibagi dalam empat tahap. Pertama, tahap pengenalan atau bermain. Pada tahap ini, anak laki-laki dan perempuan diperkenalkan dengan pekerjaan dengan cara membawa mereka ke tempat-tempat bekerja. Kedua, tahap seleksi, anak mulai dilibatkan bekerja dalam pekerjaan yang dianggap mudah dan juga dilakukan pemilihan anak berdasarkan kecocokaan bekerja di kebun atau di luar kebun. Ketiga, tahap orientasi atau pembelajaran, anak-anak mendapat nilai-nilai kerja perkebunan secara lebih mendalam kepada anak-anak ya ng dianggap cocok untuk menjadi buruh, sementara
bagi
anak
yang
dianggap
pintar
menyekolahkan
sekaligus
mendorongnya untuk bekerja di luar perkebunan. Keempat, tahap pemantapan, memutuskan anak yang akan menjadi pekerja dengan cara memberikan nilai-nilai kerja secara intensif dan membawanya bekerja dalam waktu yang lebih banyak.
141
Respon yang dilakukan anak-anak terhadap sosialisasi nilai kerja, cenderung menggunakan cara-cara terselubung dengan cara diam, tetapi melawan secara sembunyi dan mengomel. Pola ini menjadi pilihan yang sering dilakukan anak-anak, karena orang tua dan masyarakat masih menganggap anak sebagai kelas subordinat, sehingga anak yang membantah perintah orang tua dianggap sebagai anak durhaka. Respon yang dilakukan anak dapat dikategorikan menjadi dua , yaitu dalam bentuk penolakan dan penerimaan. Penolakan pekerja anak lebih disebabkan adanya pandangan anak-anak tentang pekerjaan di perkebunan sebagai pekerjaan yang tradisional, kotor dan tidak menjanjikan. Pekerja anak memandang nilai kerja perkebunan tembakau bukan sesuatu pekerjaan yang utama dan harus diharapkan di masa yang akan datang. Anak-anak memiliki pilihan tersendiri yaitu bekerja di luar perkebunan seperti bekerja di pabrik. Keinginan anak-anak untuk bekerja di sektor luar perkebunan pada dasarnya bukan disebabkan oleh berkembangnya aspirasi baru yang meninggalkan minat menjadi buruh. Namun lebih didorong alasan bahwa pekerjaan buruh perkebunan tidak lagi dapat dijadikan andalan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Nilai kerja yang menempatkan pekerjaan sebagai buruh perkebunan pada kedudukan yang terhormat sampai saat ini memang masih dapat menangkal arus pergeseran tenaga kerja ke sektor non perkebunan. Namun tidak mustahil nilai kerja tersebut dapat mengalami erosi jika kondisi nyata memang tidak memberi peluang lagi bagi anak-anak untuk meneruskan pekerjaan sebagai buruh di perkebunan. Penerimaan anak terhadap sosialisasi nilai kerja terkait dengan adanya keuntungan secara ekonomi yang masih dapat diraih dari perkebunan, misalnya harapan akan ada pembagian tanah milik perkebunan yang akan habis masa HGU, harapan akan memiliki rumah, dan kesempatan bekerja di luar perkebunan yang mampu menawarkan lapangan usaha baru terutama bagi anak-anak dan pemuda desa, seperti adanya pekerjaan ojek, bengkel di dalam desa, sementara menjadi buruh pabrik, bangunan, dan pembantu rumah tangga bisa di peroleh di luar desa.
142
8.2. Implikasi Kebijakan Pekerja anak di perkebunan tembakau Deli yang muncul sebagai hasil penerapan sistem produksi perusahaan perkebunan memberikan arah bahwa persoalan eksistensi mereka tidak dapat dipisahkan dari sistem perkebunan yang sudah terbangun. Agar dapat menyikapi persoalan pekerja anak secara proporsional diperlukan pemahaman menyeluruh mengenai konteks yang melingkupinya. Pemahaman ini akan banyak membantu menurunkan berbagai kebijakan dan perundang-undangan mengenai pekerja anak di tingkat emperik dan mengefektifkan implementasinya. Undang-undang perlindungan anak perlu diuji dalam menilai kondisi pekerjaan yang dilakukan anak-anak di perkebunan. Hal penting lainnya yang perlu disinggung adalah tentang spesifikasi konflik dalam hubungan kerja buruh perkebunan khsusunya yang dikelola oleh negara, karena selama penelitian dilakukan ditemukan fakta bahwa adanya konflik antara buruh dengan pihak perkebunan. Dalam kaitan ini perlu ditegaskan bahwa konflik yang dimaksud adalah konflik laten, belum bersifat terbuka. Perlunya penanganan konflik ini bukan saja untuk menghindari kerugian bagi kedua belah pihak yang terlibat konflik, melainkan pula karena para buruh berkeinginan untuk tetap bertempat tinggal di perkebunan sebagai buruh perkebunan. M otif dibalik keinginan buruh lebih didorong oleh keyakinannya untuk melakukan mobilitas sosial dimasa yang akan datang. Mobilitas sosial yang akan dilakukan oleh buruh didasarkan atas pemahaman dan harapan bahwa ketiga HGU pihak perkebunan habis maka hak pemanfaatan lahan perkebunan dapat berpindah tangan kepada para buruh dengan mendapat restu dari pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA Aristriani, Agnes, 2000. Seandainya Aku Bukan Anakmu, Kompas, Jakarta. Astuti, Tjok, Istri P. 1999. Nilai Anak dalam Kehidupan Keluarga Orang Bali dalam T.O. Ihromi (ed). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Adisewojo, 1982. Bercocok Tanam Tembakau (Nikotiana Tabacum) , Sumur Bandung, Bandung. Breman J. 1997. Menjinakkan Sang Kuli, Grafiti Press, Jakarta. Booke JH. 1953. Memperkenalkan Teori Ekonomi Ganda, dalam Sayogyo ed. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Blood. Jr, Robet O, 1972. The Family, The Free Press, New York. Boserup, Ester, 1984. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi , Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Bellamy, C. 1997. Laporan Situasi Anak-anak di Dunia 1997. Unicef. Jakarta. Chambers, Robert, 1987. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang, LP3ES, Jakarta. Chambers, Robert and Conway Gordon R. 1992. Sustainable Rural Livelihoods Practical Concepts For The 21st Centrury. Institute of Develpoment Studies (Discusion Paper. 296. At The University of Sussex). England. Denzin, Norman K dan Yvonne S. Lincoln (ed) 1994. Handbook of Qualitative Research, London: Sage Publications. Devi, Azwar, Keizerina, T. 2004. Poenale Sanctie : Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870 –1950), USU Press , Medan. Davis , Kinslye, 1960. Socialization, Human Society, New York, The Macmillan Company. Effendi, Tadjuddin Noer, 1992. Buruh Anak-anak Fenomena di Kota dan Pedesaan, dalam Buruh Anak di Sektor Informal-Tradisional dan Formal, Pusat Pembinaan Sumber Daya Manusia, Jakarta. _____________________, 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan, Tiara Wacana, Jakarta. Fadjar, Undang, Bambang Drajat, M.T. Felix Sitorus, dan Melani A. Sunito, 2002. Penduduk, Kebun Karet Dan Kemiskinan, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Bogor.
144
Faisal, Sanafiah. 1990. Format-Format Penelitian Sosial, Rajawali, Yogyakarta. Geertz, Clifford. 1970. Involusi Pertanian : Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Bintara Karya Aksara, Jakarta. Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa , penerjemah Hersri, Grafiti Press, Jakarta. Goode, William J. 2002. Sosiologi Keluarga, Bumi Aksara, Jakarta. Haryadi, Dedi dan Indrasari Tjandraningsih, 1995, Buruh Anak dan Dinamika Industri Kecil, Akatiga, Bandung. Hendropuspito, 1989. Sosiologi Sistematis, Kanisius, Jakarta. Hamilton, Peter, 1990. Talkott Parsons dan Pemikirannya Sebuah Pengantar, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Hoffmann, L. W. & Hoffmann, M. L. 1973. The Value of Children to Parents. In: Fawcett, J. T. (ed.): Psychological Perspectives on Population. New York: Basic Books. 19-76. Irwanto, Sutrisno R. Pardoen, Sahat Sitohang, Attas Hendartini Habsyah, dan Laurike Moeliono, 1995. Pekerja Anak di Tiga Kota Besar: Jakarta, Surabaya, Medan. UNICEF & Pusat Penelitian Unika Atmajaya, Jakarta. Irwanto, 1999. Anak -anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus, Unika Atmajaya, Jakarta. Ikhsan, Edy, Ediyono, Suzanna, Hisar Siregar, dan Ali Martua, 2000. Pekerja Anak di Perkebunan Tebu , Kerjasama LAAI-ACIL, Medan. Ihromi, T.O, 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Jhonson, Doyle, Paul, 1991. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid I, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Terjemahan dari: Sosiological Theory: Classical Founders and Contemporary Perpectives. Koentjaraningrat, 1991. Masalah-masalah Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi Terapan, LP3ES, Jakarta. Khairuddin, H. 1985. Sosiologi Keluarga, Nurcahaya, Yogyakarta. Kartodirdjo, S dan Suryo J., 1991, Sejarah perkebunan di Indonesia ‘Kajian Sosial ekonomi , Aditya media, Jogjakarta. Lewis, Oscar, 1988. Kisah Lima Keluarga: Telaah-Telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayan Kemiskinan, Yayasan Obor Indoensia, Jakarta. Lubis,
Djuara, P. dan Endriatmo Sutarto, 1991. Konsistensi Pola Matapencaharian Antara Orangtua dan Anak Pada Masyarakat Petani di Pedesaan. Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian IPB, Bogor.
145
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif , Buku Sumber Tentang Metode -Metode Baru. Terjemahan dari Analyzing Qualitative Data : A Source Book for New Methods. UI Press, Jakarta. Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif , Remaja Rosdakarya, Bandung. Mubyarto, 1991. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi, Aditya Media, Yogyakarta. Muntiyah dan Sukamdi, 1997. Strategi Kelangsungan Hidup Rumahtangga Miskin di Pedesaan, Populasi, UGM, Yogyakarta. Neuman, Lawrence, W. 2000. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches , Allyn and Bacon, 4 ed. Newman, David M. dan Liz Grauerholz. 2002. Sociology of Families Second Edition. Pine Forge Press. Thousand Oaks. Nye, Ivan F. dan M. Felix Berardo (ed.). 1967. Emerging Conceptual Frameworks in Family Analysis. The Macmillan Company. New York. Padmo, Sugianto dan Edhie Djatmiko, 1991. Tembakau : Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media, Yogyakarta. Planck, Ulrich, 1993. Sosiologi Pertanian, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Putranto, Pandji. 1994. Idealnya Anak-anak Tidak Bekerja, Warta Demografi, Lembaga Kependudukan UGM, 1994. Parsons, Talcott, 1973. The Structure of Social Action. The Free Prees. New York. Collier-Macmillan Limited. London. Pelzer, Karl J. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Sinar Harapan, Jakarta. Purwanto, B. 2002. Potret Perkebunan di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Makalah (tidak diterbitkan), yang diselenggarakan Pusat Studi Sosial Perkebunan, Yogyakarta. Rahadi, F. 1994. Petani Berdasi, Penebar Swadaya, Jakarta. Ritzer, G. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Rajawali Press, Jakarta. Suharto I, Sulastri S, dan Purwanti I. 1990. Survey Nilai Anak di Padalarang (Studi Kasus tentang Perubahan Pandangan Masyarakat terhadap Anak sebagai Pembangunan dalam bidang Sosial Ekonomi di Daerah Pedesaan, Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, Bandung.
146
Sayogyo, Pudjiwati, 1985. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa, Rajawali, Jakarta. Sayogyo, 1991, Sosiologi Terapan, Pidato Ilmiah Purna Bhakti Guru Besar IPB, 23 September, Bogor. Sairin, Sjafri, 1994. Pekerja Anak di Perkebunan : Hasil Penelitian Tahun 1985 makalah dalam Seminar Sehari Profil Pekerja Anak di Indonesia (tidak diterbitkan) yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Antropologi Universitas Gajah Mada di Yogyakarta. Sitorus, Henri, 1999. Perlindungan Khusus Bagi Anak yang Mengalami Eksploitasi Ekonomi , dalam Konvensi, vol. III No. 5 September 1999. Subagio, 1991. Asosiasi Sosio Budaya Antara Kemiskinan dan Fertilitas: Studi Kasus Nelayan Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang Jawa Barat, Tesis IPB. Bogor. Soekanto, Soerjono, 1997. Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta. _______________, 1990. Sosiologi Keluarga tentang Ikhwal Keluarga Remaja dan Anak. Rineka Cipta. Jakarta. Suhendar, Endang dan Yohana, Budi, Winarni, 1998. Petani dan Konflik Agraria, Akatiga, Bandung. Suhendi, Hendi H, Wahyu, Ramdani, 2001. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Pustaka Setia, Bandung. Sitorus, MT, Felix, 1998. Penelitian Kualitatif Sebuah Perkenalan, Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. ____________________ , 1989 Struktur Alokasi Tenaga Kerja Rumah Tanga Petani Di Pedesaan Jawa : Studi Kasus Pola Kerja Pria dan Wanita dalam Komunitas Petani di Dusun Jrukung, Jawa Tengah, Tesis IPB. Bogor. Sukamdi dan Daryati S.M. 1997. Pemanfaatan Tenaga Kerja Anak di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Lembaga Penelitian Universitas Gajah Mada. Suleeman, Evelyn. 1999. Hubungan-hubungan dalam Keluarga dalam T.O. Ihromi (ed.). Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner, 1997, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial : Sebuah Pengantar Studi Perempuan, Kalyanamitra, Jakarta. Scott, James C. 1993, Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta.
147
Soe’oed, RDF. 1999. Proses Sosialisasi dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Penyunting : T.O. Ihromi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sofian, Ahmad, Rinaldi, Emil W Aulia, dan Agus Susanto, 1999. Kekerasan Seksual terhadap Anak Jermal, Kerjasama Found Foundation dengan Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sugiarti, KL. 2002. Sistem Kerja Borongan pada Buruh Pemetik Teh Rakyat dan Negara: Menguntungkan atau Merugikan? Dalam Jurnal Analisis Sosial 7 (1, Pebruari): 111 – 134. Tjandraningsih, Indrasari, 1995. Pemberdayaan Pekerja Anak: Studi Mengenai Pendampingan Pekerja Anak, AKATIGA, Bandung. Tjandraningsih, Indrasari dan Anarita, Popon, 2002. Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau, Akatiga, Bandung. Tjandraningsih, Indrasari dan White, Benyamin. 1992. Anak-anak Desa Dalam Kerja Upahan. Prisma No. 1. LP3ES, Jakarta. Tetiani, Ani, 2005. Memudarnya Dualisme Ekonomi : Studi Mobilitas Sosial Komunitas Perkebunan Teh Kertamanah, Pangalengan, Jawa Barat, Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tjakrawati, Silvia. 1988. Perubahan Nilai Kerja Pertanian di Daerah Persawahan. Kasus Pemuda di Dusun Kewakilan, Desa Kampung Sawah, Kecamatan Rengasdengklok, Ka bupaten Karawang, Tesis Pascasarjana IPB. Bogor. Van, Neil, Robert. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. LP3ES, Jakarta. Usman, Hardius dan Nachrowi, Djalal. 2004. Pekerja Anak di Indonesia Kondisi, Determinan dan Eksploitasi (Kajian Kuantitaf), Grasindo, Jakarta. Undang-undang Republik Perlindungan anak
Indonesia
Nomor
23
tahun
2002
Tentang
Undang-undang Republik Kejahteraan Anak.
Indonesia
Nomor
4
Tahun
1979
Tentang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1969. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1948. Wahyuni, Ekawati S. 2000. The Impact of Migration Upon Family Structure and Functioning in Java. Unpublished PHD Thesis. Departement of Geographical and Environmental Studies. The University of Adelaide.
148
White, Ben, dan Tjandraningsih, Indrasari, 1998. Child Worker In Indonesia, AKATIGA, Bandung. White, Ben, 1994. Respon terhadap Masalah Anak-anak Yang Bekerja, Dahulu dan Sekarang: Belanda dan Indoensia 1850 – 1994, paper untuk Seminar Bulanan , Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gajah Mada. White, Ben. 1984. Peranan Anak Desa dalam Ekonomi Rumah Tangga Desa di Jawa dalam Masalah -Masalah Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi Terapan. Koentjaraningrat (Ed.). LP3ES, Jakarta. White, Ben, 1978. Rumahtangga Sebagai Unit Analisa. Makalah ADC/SAE yang disajikan dalam lokakarya Studi Dinamika Pedesaan Jawa Timur. Survey Agro Ekonomi-Universitas Brawijaya, Malang. Wallman, Sandra, 1979. Social Antropology of Work, Academic Press, London Walgito, 2002. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar) , Andi, Yogyakarta. Yasuo, Uemura, 1986. Perkebunan Tebu dan Masyarakat Pedesaan di Jawa, dalam Akira Nagazumi (ed.), Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX dan XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Yin, Robert. 1996. Studi Kasus: Desain dan Metode Manajemen. Radja Grafindo Persada. Jakarta.
Lampiran 1
Gambar 1. Rumah Kopel Milik Perkebunan PTPN II yang telah mendapat Penambahan. Bagian yang dilingkari merupakan bangunan rumah yang ditambah oleh buruh.
Gambar 2. Tahapan Proses Penanaman Tembakau yang melibatkan seluruh anggota keluarga buruh
148
Gambar 3. Seorang pekerja anak sedang bekerja menanam tembakau bersama peneliti
Gambar 4. Tanaman Tembakau Deli di areal PTPN II Kebun Buluh Cina yang siap panen
149
Gambar 5. Seorang ibu mantan buruh tembakau Deli, sejak 20 tahun yang lalu sudah menjalani pekerjaan menyujuk daun tembakau Deli
Gambar 6. Ibu-ibu dan anak perempuan sedang bekerja menyujuk daun tembakau di Bangsal pengeringan
150
Gambar 7. Seorang buruh tembakau Deli sedang menjerangi daun tembakau sebelum digantung secara berjejer ke atas atap di Bangsal Pengeringan
Gambar 8. Peneliti bersama beberapa orang pekerja anak laki-laki yang bekerja di pabrik
151
Lampiran 2.
Keterangan : Batas Desa
Kebun Tebu
Jalan Tanah / Jalan Desa
Kebun Tembakau
Jalan Raya Perumahan Masyarakat Kantor PTPN II (Emplacement) Hutan Bangsal Pengeringan Tembakau
152
153
Lampiran 3.
Peta Kabupaten Deli Serdang