BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penelitian Krisis moneter yang melanda Asia telah menelan banyak korban
diberbagai negara Asia, khususnya Singapura, Korea Selatan, Thailand, Malaysia bahkan juga mengimbas ke Hongkong dan Jepang dengan skala berbeda termasuk Indonesia. Akibatnya banyak perusahaan besar dan konglomerat Indonesia yang sejak dekade 90-an awal tumbuh pesat pada saat krisis terpaksa menjual asetnya karena beban hutang yang meningkat terus akibat depresiasi rupiah terhadap dollar sehingga banyak yang bangkrut atau dilikuidasi. Kegiatan merger dan akuisisi di Indonesia telah berlangsung pada tahun 1970. Pada kasus industri perbankan, krisis perekonomian yang terjadi di wilayah ekonomi Asia Timur dan Asia Tenggara pada tahun 1997 telah membawa dampak terjadinya kemelut di industri perbankan di dalam negeri. Cukup banyak lembaga perbankan yang menghadapi permasalahan dan bahkan kemudian kolaps akibat krisis tersebut. (Sutrisno & Sumarsih,2004) Pada pertengahan tahun 1980-an berbagai macam deregulasi dikeluarkan oleh pemerintah untuk menggairahkan industri perbankan. Diawali dengan diluncurkannya Paket Kebijakan 20 Oktober 1988 (PAKTO) yang mencakup bidang keuangan, moneter dan perbankan. Kebijakan dibidang perbankan antara lain meliputi pemberian kemudahan-kemudahan dalam membuka kantor bank, dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, memperkenankan pendirian bank-bank swasta baru antara lain dengan penetapan syarat modal disetor minimal Rp 10 milyar, juga memberikan kesempaatan untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan modal minimum Rp 50 juta, dan memperingan persyaratan bagi bank menjadi bank devisa.( http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A6011CBA-1B4E49B1-9DDC-CB01AB6C60D0/19386/SejarahPerbankanPeriode19831997.pdf)
Setelah diluncurkannya deregulasi tersebut, dalam kurun waktu 19881996 bisins perbankan di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang sangat pesat itu ternyata tidak dapat mendorong terciptanya
industri perbankan yang kuat. Krisis keuangan yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 memberi dampak yang sangat buruk pada sektor perbankan. Beberapa indikator kunci perbankan pada tahun 1998 berada pada kondisi yang sangat buruk. Kinerja industri perbankan nasional pada waktu itu jauh lebih buruk dibandingkan kondisi perbankan dibeberapa negara Asia yang juga mengalami krisis ekonomi, seperti Korea Selatan, Malaysia, Philipina dan Thailand. Non Performing Loan (NPL) bank-bank komersial mencapai 50%, tingkat keuntungan industri perbankan pada titik minus 18%, dan Capital Adequacy Ratio (CAR) menunjukan kondisi minus 15%.(Hawkins,1999) Terpuruknya sektor perbankan akibat krisis ekonomi memaksa pemerintah melikuidasi bank-bank yang dinilai tidak sehat dan tidak layak lagi untuk beroperasi. Keputusan likuidasi 16 bank pada tanggal 1 November 1997 dianggap sebagai pemicu krisis kepercayaan yang berlanjut dengan terpuruknya sektor perbankan. Sebenarnya, tindakan likuidasi itu diambil untuk mencegah semakin meluasnya krisis perbankan (systemic risk) dan besarnya resiko yang ditanggung masyarakat (econimic cost). Selain itu, keputusan likuidasi itu juga merupakan hasil evaluasi dan rekomendasi IMF pada tannggal 31 Oktober 1997. Upaya penyelamatan dari bank-bank yang masih bertahan kemudian tertolong dengan dijalankannya kebijakan “restrukturisasi finansial”dan strategi “merger dan akuisisi”. Banyak perusahaan melakukan merger dan akuisis dikarenakan mengalami kesulitan dalam pendanaan dan dengan harapan agar dapat memperkuat struktur modal dan memperoleh keringanan pajak. Dengan adanya merger dan akuisisi, perusahaan dapat melanjutkan usahanya dengan bantuan dari perusahaan yang memiliki kelebihan terutama di bidang pendanaan perusahaan. Keputusan Merger dan akuisisi diambil oleh perusahaan-perusahaan perbankan di Indonesia. Dari 101 bank yang merger dan akuisisi, 71 bank dilikuidasi dan hanya 30 bank yang masih beroperasi itupun tidak berlangsung lama. Sebab, mereka hanya mampu bertahan hingga tahun 1998. Sebanyak 18 bank dibekukan dan dilikuidasi. Selebihnya 12 bank, masih beroperasi hingga tahun 2001. (Kusmargiani,2006)
Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki tujuan utama untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah demi terciptanya struktur perekonomian nasional yang dinamis, sehat dan kuat. Tujuan utama BI tersebut tidak dapat dilepaskandari tugas-tugas pokoknya yang terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yakni; menetapkan dan melaksankan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta mengatur dan mengawasi bank. Mengacu pada ketentuan tersebut maka sangat jelas bahwa Bank Indonesia memiliki kewenangan, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank-bank yang ada di Indonesia. Berdasarkan data Direktori Perbankan Indonesia 2007 dinyatakan bahwa saat ini jumlah bank di Indonesia mencapai angka 128 bank, baik itu bank persero atau pemerintah, bank umum swasta nasional devisa maupun bank umum swasta nasional non devisa, bank asing dan bank campuran serta bank pembangunan daerah (BPD). Diketahui juga bahwa 92 (sembilan puluh dua) bank di Indonesia dikendalikan oleh satu tangan dengan jumlah saham lebih dari 51%. Sedangkan bank yang para pemegang sahamnya memiliki kurang dari 30% saham hanya terdapat 10 (sepuluh) bank. Sisanya sebanyak 36 bank, pemegang saham pengendalinya memiliki saham sebesar 30-50%. Dan dari beberapa bank yang sahamnya tampak pecah-pecah, ternyata kepemilikannya masih dalam lingkup keluarga. Artinya 66,8% bank Indonesia kepemilikan sahamnya dikuasai oleh satu pemegang saham mayoritas yang secara otomatis memegang kendali atas bank (Pratiwi,2008). Selain itu, berdasarkan catatan biro riset infobank, diketahui pula bahwa pada bank yang telah go public kepemilikan saham mayoritas masih berada diatas 51%. Hal ini menunjukan bahwa bank yang telah go public tidak mengakibatkan kepemilikannya menjadi lebih tersebar. Dapat dilihat pada PT Bank CIMB Niaga Tbk dan PT Bank Lippo Tbk, walaupun sudah go public kompisisi saham dari pemegang saham pengendali Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo masih berada diatas 50%. Sedangkan pemegang saham publiknya hanya mengantongi lebih
kurang 10% dari total komposisi saham yang ada di Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo. Dalam rangka menghadapi segala perubahan dan tantangan tersebut, Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia mengeluarkan Arsitektur Perbankan Indonesia (selanjutnya diingkat API).
Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.
Arah kebijakan
pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Guna mempermudah pencapain visi API, maka dijabarkan 6 (enam) sasaran yang ingin dicapai. Keenam pilar tersebut adalah : a. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
dan
mendorong
pembangunan
ekonomi
nasional
yang
berkesinambungan; b. Menciptakan pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional; c. Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko; d. Menciptakan good corporate governace dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional; e. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan. Perwujudan visi API dan sasaran yang ditetapkan, serta mengacu kepada tantangan-tantangan yang dihadapi perbakan, maka keenam pilah API tersebut akan dilaksankan melalui beberapa program kegiatan. Salah satunya program API adalah konsolidasi perbankan. Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Penerapan konsolidasi diharapkan terjadi peningkatan skala ekonomi sehingga dapat meningkatkan efektifitas pengawasan bank.
Sehubungan dengan hal tersebut dan penggabungan bank yang kini semakin marak mengingat persaingan yang ketat, ekspansi bank besar dan dan tekanan dari Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan yang berencana mempercepat konsolidasi perbankannya. Pada tanggal 5 Oktober 2006, Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 6/18/2006 tentang Kebijakan Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia (Single Presence Policy) dalam rangka menata kembali struktur kepemilikan perbankan. Kebijakan ini sebenarnya merupakan salah satu rangkaian upaya Bank Indonesia dalam mewujudkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) khususnya pilar kesatu yaitu terwujudnya struktur perbakan nasional yang sehat dan pilar ketiga yaitu peningkatan sistem pengawasan yang independen dan efektif. Bank Indonesia mensyaratkan pihak yang menjadi pemegang saham pengendali pada lebih dari satu bank untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikannya dalam bank-bank tersebut paling lambat sampai dengan akhir 2010, melalui cara-cara sebagai berikut : a)
Mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank; atau
b)
Melakukan
penggabungan
atau
konsolidasi
bank-bank
yang
dikendalikannya; atau c)
Membentuk perusahaan induk dibidang perbankan. Dengan diterapkannya kebijakan kepemilikan tunggal, maka secara tidak
langsung pemegang saham pengendali yang memiliki saham pengendali lebih dari satu bank harus memilih untuk melakukan divestasi saham, merger maupun membentuk bank holding company. Pada Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo pemegang saham pengendali kedua bank ini dimiliki oleh Khazanah Berhard yang merupakan investor asing dari Malaysia. Merger kedua bank ini merupakan merger pertama bank yang diakibatkan penerapan Single Presence Policy di Indonesia. Tentu ini bukan merupakan merger yang biasanya terjadi di Indonesia,
masalah dalam merger akan lebih kompleks karena kedua bank memiliki kekuatan dan kewenangan masing-masing yang besar. Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) Bank Indonesia (BI), Halim Alamsyah, mengatakan pihaknya telah mengeluarkan ijin prinsip untuk Bank Niaga dan Bank Lippo melakukan merger. Merger ke dua bank ini sejalan dengan ketentuan `single presence policy` yang dirilis Bank Indonesia (BI), sehingga pemegang saham pengendali di lebih dari satu bank harus menyerahkan rencana bisnisnya paling lambat akhir tahun 2007. Pilihannya ada tiga yaitu merger, menjual saham, atau membentuk induk perusahaan . ( http://www.antaranews.com/view/?i=1212147874&c=EKB&s=) Pada 1 November 2008, Bank CIMB Niaga (dahulu Bank Niaga) dan Bank Lippo, dua entitas bank terkemuka di Indonesia, telah bergabung menjadi Bank CIMB Niaga. Penggabungan kedua bank tersebut merupakan opsi terbaik bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang diambil oleh Pemegang Saham dalam rangka mematuhi kebijakan Bank Indonesia (BI) khususnya mengenai Kebijakan Kepemilikan Tunggal atau Single Present Policy (SPP). Setelah Pemegang Saham kedua bank menyetujui rencana penggabungan merger sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa tanggal 18 Juli 2008, Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo memasuki tahap integrasi, yang meliputi berbagai aspek legal, operasional dan organisasi, diantaranya termasuk Produk dan Layanan, Business Unit, Sales and Distribution, Human Resources, IT and Operations, dan Corporate Office. Merger adalah sebagai penggabungan (fusi) atau suatu proses peleburan (absorbsi) dari suatu benda kepada benda atau hak lain. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas menggunaka istilah “penggabungan” untuk pengertian merger ini. Alasan perusahaan lebih tertarik memilih merger sebagai strateginya daripada pertumbuhan internal adalah karena merger dianggap jalan cepat untuk mewujudkan tujuan perusahaan dimana perusahaan tidak perlu memulai dari awal suatu bisnis baru. Merger juga dianggap dapat menciptakan sinergi, yaitu nilai keseluruhan perusahaaan setelah merger yang lebih besar daripada penjumlahan nilai masing-masing perusahaan sebelum merger. Selain itu merger dapat
memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan antara lain peningkatan kemampuan dalam pemasaran, riset, skill manajerial, transfer teknologi, dan efisiensi
berupa
penurunan
biaya
produksi.
Dengan
demikian,
tujuan
menggabungkan usaha melalui merger diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Sebagai lembaga intermediasi antara pihak-pihak yang memilki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana, diperlukan bank dengan kinerja keuangan yang sehat, sehingga fungsi intermediasi dapat berjalan lancar. Beberapa penelitian tentang penilaian kinerja bank pada industri perbankan yang didasarkan pada rasio-rasio dari laporan keuangan pernah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini kinerja keuangan bank akan dilihat dari segi tingkat kesehatan bank tersebut. Perbankan Indonesia dapat menjalankan fungsinya berasaskan demokrasi ekonomi dan menggunakan prisip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian ini tercermin pada tingkat kesehatan yang penilaiannya dilakukan setiap tiga bulan sekali yang dikenal dengan metode CAMELS. Dan metode CAMELS ini diterapkan baik pada bank umum konvensional, bank umum syariah, maupun pada unit usaha syariah. Metode CAMELS merupakan metode penilaian tingkat kesehatan yang digunakan di Indonesia dan teratur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/1/PBI/2007 tanggal 12 April 2004 untuk bank umum (perubahan dari UU No. 10 tahun 1998). Penilaian tingkat kesehatan ini mencakup enam faktor yaitu : 1.
Permodalan (capital)
2.
Kualitas aset (asset quality)
3.
Manajemen (management)
4.
Rentabilitas (earning)
5.
Likuiditas (likudity)
6.
Sensitivitas terhadap resiko pasar (sensitivity to market risk) Faktor keenam ini baru muncul diakhir tahun 1997 lalu. Diantara keenam
fator tersebut faktor permodalan (capital), kualitas aset (asset quality),
manajemen (management), rentabilitas (earning), dan likuiditas (liquidity) yang paling sering digunakan dalam berbagai penelitian dikarenakan kemudahan perhitungan dan ketersediaan informasi. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Analisis Kinerja Keuangan PT Bank CIMB Niaga Tbk Sebelum dan Sesudah Melakukan Merger Dengan Menggunakan metode CAMEL“
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukaan diatas, penulis
membatasi permasalahan pada kinerja keuangan Bank CIMB Niaga sebelum dan sesudah merger, sehingga dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana perkembangan kinerja keuangan Bank CIMB Niaga sebelum dan sesudah merger berdasarkan CAMEL.
2.
Bagaimana perbandingan skor CAMEL Bank CIMB Niaga sebelum dan sesudah merger.
3.
Apakah ada perbedaan yang signifikan kinerja keuangan Bank CIMB Niaga sebelum merger dan sesudah merger berdasarkan CAMEL selama periode penelitian.
1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, tujuan
penelitian ini adalah : 1.
Mengetahui perkembangan kinerja keuangan Bank CIMB Niaga sebelum dan sesudah merger berdasarkan CAMEL.
2.
Mengetahui dan membandingkan perkembangan skor CAMEL Bank CIMB Niaga sebelum dan sesudah merger.
3.
Mengetahui perbedaan yang signifikan kinerja keuangan Bank CIMB Niaga sebelum dan seseudah merger berdasarkan CAMEL selama periode penelitian.
1.4
Manfaat Penelitian
1.
Kontribusi teoritis Merger Bank CIMB Niaga dan Bank Lippo merupakan merger pertama
bank yang diakibatkan penerapan Single Presence Policy di Indonesia. Tentu ini bukan merupakan merger yang biasanya terjadi di Indonesia, masalah dalam merger akan lebih kompleks karena kedua bank memiliki kekuatan dan kewenangan masing-masing yang besar. Penelitian ini terfokus pada kinerja keuangan sebelum merger dan sesudah merger dengan menggunakan metode CAMEL. Apabila pembuktian empiris nanti menunjukan bahwa kinerja keuangan sebelum dan sesudah merger tidak ada perbedaan yang signifikan, maka hasil ini sesuai dengan pendapat Fritsch (2007) yang menyatakan bahwa merger yang terjadi pada dua perusahaan yang relatif berimbang tidak menghasilkan perubahan profitabilitas dan efisiensi pengeluaran secara signifikan. Kinerja hasil merger tidak berubah bila merger dilakukan antar perusahaan yang sebanding. Apabila penelitian ini terbukti berbeda secara signifikan, maka faktor penyebabnya diharapkan dapat teridentifikasi, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap teori.
2.
Kontribusi praktis Penelitian ini diharapkan akan memberikan bukti empiris mengenai
perbedaan kinerja keuangan perusahaan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas merger. Apabila kinerja keuangan perusahaan sebelum dan sesudah merger terbukti tidak ada perbedaan yang signifikan, maka bank dapat memanfaatkan hasil penelitian ini agar dapat menjaga tingkat kesehatan bank yang diukur melalui metode CAMEL sehingga bank tersebut memiliki kesempatan untuk meningkatkan kinerja keuangan setelah merger. Apabila kinerja keuangan setelah merger mengalami peningkatan kinerja dari sisi komponen CAMEL, maka hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi bank sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan bank dimasa yang akan datang.
1.5
Definisi Variabel-variabel Penelitian 1. Aspek Permodalan (Capital Adequancy) Dalam penelitian kecukupan modal dinilai berdasarkan rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) yang dinamakan dengan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) yaitu sebagai berikut :
𝐶𝐴𝑅 =
𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑏𝑎𝑛𝑘 (𝑖𝑛𝑡𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝) × 100% 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑇𝑒𝑟𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑡 𝑅𝑒𝑠𝑖𝑘𝑜 (𝐴𝑇𝑀𝑅)
Pengertian Capital Adequacy Ratio (CAR) menurut Dendawijaya (2006;121) adalah : “Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalnya kredit yang diberikan.” 2. Aspek Kualitas Aset (Asset Quality) a. Rasio Aktiva Produktif yang Diklasifikasikan terhadap Aktiva Produktif (APYDAP). Rasio ini digunakan
untuk mengetahui perbandingan
antara aktiva produktif yang sudah maupun yang tidak berpotensi memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian, yaitu sebagai berikut :
𝐴𝑃𝑌𝐷𝐴𝑃 =
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑘𝑙𝑎𝑠𝑖𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 × 100% 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓
b. Rasio Pemenuhan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Rasio ini digunakan untuk mengetahui sebarapa besar tingkat Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang
telah diwajibkan untuk dibentuk. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :
𝑃𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢𝑎𝑛 𝑃𝑃𝐴𝑃 =
𝑃𝑃𝐴𝑃 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑙𝑎 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑃𝑃𝐴𝑃 𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏 𝑑𝑖𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘
× 100%
3. Aspek Manajemen (Management) Aspek manajemen pada penilaian kinerja bank tidak dapat menggunakan pola yang ditetapkan Bank Indonesia, tetapi diproksikan dengan Net Profit Margin (NPM), sebagai berikut :
𝑁𝑒𝑡 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 =
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖 × 100% 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
4. Aspek Rentabilitas (Earning) Rentabilitas digunakan untuk menilai keberhasilan bank dalam menghasilkan laba sebelum pajak melalui penanaman yang dilakukan untuk seluruh aktiva yang dimilki. penilaian ini meliputi rasio laba terhadap total aset (ROA) dan perbandingan biaya operasi dengan pendapatan operasi (BOPO). a)
Return On Asset (ROA) ROA adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Perhitungan rasio ini dirumuskan sebagai berikut :
𝑅𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑂𝑛 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡 =
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘 × 100% 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡
b) Beban Operasi terhadap Pendapatan Operasi (BOPO). Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Rasio BOPO dirumuskan sebagai berikut :
𝐵𝑂𝑃𝑂 =
𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙 × 100% 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
5. Aspek Likuiditas (Likuidity) Dalam perbankan, rasio likuiditas terdapat dua macam, yaitu LDR (Loan to Deposit Ratio) adalah rasio antara jumlah seluruh kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :
𝐿𝐷𝑅 =
1.6
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛 × 100% 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 𝐷𝑎𝑛𝑎 𝑃𝑖𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎
Outline Skripsi Outline penelitian ini dimaksudkan untuk memudahkan penyanpaian
informasi berdasarkan urutan dan aturan logis penelitian. Skripsi ini disajikan penulis dengan urutan yang dimulai dari bab I mengenai pendahuluan, yang meliputi latar belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta definisi variabel-variabel penelitian dan outline skripsi. Kemudian dilanjutkan dengan bab II mengenai kajian pustaka yang membahas lebih dalam
mengenai teori yang digunakan dan definisi pengembangan
hipotesis. Selanjutnya diiukuti bab III mengenai metode penelitian yang digunakan. Pada bab IV membahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan. Dan bab paling akhir dari skripsi ini adalah bab V yang membahas mengenai kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan.