PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
Wanita Kapuk Dari Desa Tapelan
Local Content Pimpinan Redaksi/ Pimpinan Umum Muhammad A Qohhar Sekretaris Redaksi Suziana Dwi Unzila Redaktur Nitis S Nidhomatum. M.R. Staf Redaksi Joel Joko (Koordinator Liputan) Akbar Ardiansyah Riska Irdiana Khoirul Muhsinin Fotografer : Erfan Effendi Desain Visual Mahesa El-Pacul Pendampingan Hukum Fiska Maulidian Nugroho, SH Penerbit PT BCA SIUP : 517/034/208.412/PB/2011 TDP : 131615200011 NPWP : 31.350.156.1-601.000 Direktur Utama Nitis Sahpeni Administrasi & Keuangan Suziana Dwi Unzila Pemasaran M Koliq Iklan Ardilla Sholikhatus Zahra Aar Fatunnisa Alamat Redaksi Jl Veteran No. 99 Kota Bojonegoro Telp : 0353 - 3410044 Email:
[email protected],
[email protected] Redaksi menerima tulisan berupa artikel, opini dan karya tulis lainnya dengan panjang tulisan minimal 4 halaman kertas A 4, font Times New Roman ukuran 12 sapsi single. Tulisan bisa dikirim via email yang telah disediakan di atas. Juga bisa datang langsung ke kantor redaksi blokBojonegoro. Redaksi berhak merubah kalimat tanpa merubah maksud dan tujuan penulis dan bagi tulisan yang dimuat, akan mendapatkan imbalan sepantasnya.
C
obalah sesekali mendengar dengan seksama dan serius apa saja yang menjadi rasanrasan di kalangan petinggi Pemkab Bojonegoro dan DPRD Bojonegoro saat ditanya apa pendapat mereka mengenai keberadaan minyak bumi dan gas (migas) di Bojonegoro? Jamak diketahui, jawaban yang muncul adalah bagaimana mengoptimalkan peran serta pemerintah daerah, khususnya masyarakat Bojonegoro, dalam mendayagunakan migas untuk kemakmuran rakyat. Kalau ingin mendapat jawaban yang lebih mengerucut, pasanglah telinga, dan buka mata, serta sadap apa yang dimaui masyarakat yang dekat dengan lokasi migas nun di kawasan Kecamatan Ngasem dan Kalitidu, tempat ladang migas tersebut bersemayam: Blok Cepu. Jawaban yang mengemuka ke permukaan niscaya adalah seberapa besar kalangan lokal (local content) dilibatkan dalam pengelolaan migas. Nyaris seragamnya koor urgensi local content agar dilibatkan dalam proses pengelolaan minyak hampir seperti suara dan nyanyian sumbang, di tengah gegap gempita penyiapan lima mega proyek (EPC) untuk menunjang produksi puncak minyak dari Blok Cepu yang diproyeksikan bakal berlangsung pada 2013 mendatang. Seolah, hembusan local content seperti menjadi daya dorong yang membangun kekompakan untuk menyuarakan bentuk-bentuk ketidakadilan yang selama ini dirasakan Bojonegoro. Rasanya, masyarakat sudah tahu bahwa besaran dana coorporate social responsibility (CSR/tanggung jawab sosial perusahaan) yang diberikan operator minyak sejak 2006 hingga sekarang yang “hanya” Rp 21 miliar ini, masih cukup kecil apabila dibandingkan dengan potensi kerusakan lingkungan, kultur, sosial politik,
Penulis : Kasminah
ekonomi, dan juga mentalitas masyarakat untuk masa depan generasi mendatang. Sebagian besar masyarakat Bojonegoro juga telah merasakan bagaimana terjadinya disparitas penerimaan pajak. Hingga sekarang ini, pajak yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro terhadap keberadaan investor pengelola kilang mini (mini refinery) yang mengolah minyak mentah dari Blok Cepu menjadi minyak jadi, teramat minim. Hanya seratus juta lebih sedikit. Itupun hanya untuk pajak bumi dan bangunan (PBB). Padahal, aset, nilai konstruksi, dan manfaat kilang mini tersebut hingga mencapai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Kemana larinya? Ke pusat. Belum lagi kalau bicara bentukbentuk ketidakadilan lain yang diterima oleh Bojonegoro. Sebut saja, soal lifting minyak, apakah selama ini pemerintah daerah diberitahu? Apakah benar-benar sebesar 25 ribu barel per hari, sebagaimana yang disuarakan selama ini?. Siapa yang menjamin bahwa klaim itu benar, toh juga pemerintahan daerah (Pemkab dan DPRD) tidak pernah diberi data pembanding oleh BP Migas maupun operator. Belum lagi kalau bicara soal bagi hasil participating interest (PI/penyertaan modal), dana bagi hasil (DBH) minyak, maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan pengadaan atau pembuatan infrastruktur penunjang eksploitasi Blok Cepu. Rasanya memang ada semacam sesuatu yang tidak boleh diketahui, meskipun negeri ini sudah memiliki Undang-Undang tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP). Rasanya, tidak salah kalau kemudian local content menjadi nyanyian koor yang disuarakan oleh berbagai pihak. Karena, local content adalah kulminasi dari semua bentuk ketidakadilan itu sendiri. [*]
Mungkin sekarang istilah “wanita dijajah pria” sudah tidak lagi terdengar nyiur. Malah sebaliknya, “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah”. Begitulah kiranya gambaran wanita-wanita perkasa saat ini. Dulunya, wanita dikenal dengan istilah 3 M. Yakni, masak, macak (berdandan) dan manak (melahirkan). Namun, sekarang ini kata-kata itu tidak lagi berlaku bagi sebagian wanita-wanita perkasa dari Desa Tapelan, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro. Setiap pagi, wanita-wanita dari Desa Tapelan, bukan sibuk dengan urusan rumah tangganya, namun lebih sibuk dengan acara petualangan berjualan kapuk (kapas dari pohon randu) untuk bahan bantal atau kasur. [*] Asal Desa Tapelan, Kecamatan Ngraho
[email protected]
Perempuan Bicara Agenda Baksos Pengirim: Ima Lutfi Komunitas Perempuan Bicara yang berasal dari Bojonegoro, adalah komunitas yang terbentuk atas dasar keinginan untuk memberi manfaat bagi bangsa dan perempuan Indonesia, khususnya perempuan Bojonegoro. Perempuan Bicara terbentuk sekitar awal tahun 2011 lalu, dengan latar belakang anggota yang berbeda-beda. Mulai dari guru, wartawan, pengrajin, mahasiswi hingga peneliti. Sejak awal terbentuk, sudah beberapa kali mengadakan diskusi kecil, dengan mengambil tema yang beragam. Mulai isu pendidikan, kesehatan, percintaan dan isu lainnya yang perlu diketahui oleh perempuan. “Lebih baik saat puasa ada baksos yang di fokuskan ke panti asuhan yang sangat membutuhkan,” kata Aminah, salah satu anggota. [*] Asal Kecamatan Sumberrejo
[email protected]
Next Edition: tabloid blokBojonegoro edisi September Pada Edisi ketiga (September), redaksi tabloid blokBojonegoro akan menghadirkan kepada pembaca investigasi dengan tema utama “Potret Buram Petani di Ladang Migas”. Pembahasan fokus akan menyajikan tentang “Jejak Purbakala di Bojonegoro”, dengan segmen religi mengupas “Jedoran yang Tergerus Zaman”. Sedangkan rubrik sosok mengangkat profil “Ki Wardan Guno Carito”, penjaga tradisi Wayang Thengul Semoga sajian kami berkenan dan Anda selalu rindu pada blokBojonegoro, tabloid kritis, cerdas dan terdepan.
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
Menggugat Ketidakadilan Migas
Laporan: Muhammad A Qohhar, Nitis Sahpeni, Joel Joko PETANI tembakau dengan latar belakang rig pengeboran minyak di Jambaran terdistribusi dan terkesan terpinggirkan. Karena, pekerja yang datang lebih banyak dari luar dan belum mementingkan aspek lokal. “Kondisinya memang seperti itu, bisa dicek sendiri ke lapangan. Padahal, mereka yang sebenarnya diutamakan. Selama ini, desakan kami belum dilakukan operator,” papar Ketua Komisi C
“
Jangan sampai masyarakat yang mengonsumsi gaplek semakin meluas
“
S
ampai saat ini, berapa dana pasti CSR yang sudah dinikmati masyarakat di Kabupaten Bojonegoro, banyak yang tidak mengetahui. Selain faktor operator yang ditengarai kurang koordinasi dengan Pemkab Bojonegoro, juga sistem pemberian yang terkesan sentralistik. Untuk operasi migas Blok Cepu yang dioperatori Mobil Cepu Limited (MCL), format penyaluran CSR melalui mitra. Artinya, tidak langsung ke Pemkab Bojonegoro. Bahkan, terkadang pemerintah hanya mendapatkan tembusan data yang tidak terdapat berapa nominal dana. Sedangkan untuk Lapangan Sukowati yang dioperatori Joint Operating Body Pertamina-Petrochina East Java (JOB P-PEJ), mekanismenya langsung ke perangkat desa setempat. Kondisinya hampir sama, pemerintahan yang lebih tinggi hanya diberikan tembusan dan terkadang juga kebingungan mengenai pendataannya. Melihat kondisi tersebut, blokBojonegoro yang sempat ke sekitar Lapangan Banyuurip, di Blok Cepu, masih menemukan banyak ketimpangan sosial. Warga yang seharusnya menikmati aliran dana CSR dari proyek migas, banyak yang belum tersentuh. Buktinya, data yang dibeber Komisi C DPRD Bojonegoro menyebut, setidaknya ada 6.500 tenaga kerja belum
blokBojonegoro/Khoirul Mukhsinin
Sejak beroperasi, Lapangan Sukowati, Banyuurip dan Tiung Biru, belum banyak mensejahterakan masyarakat Bojonegoro. Selain masih minimnya dana Coorporate Social Responsibility (CSR), kebijakan yang abra-kadabra seumpama sulap, sering diterpakan oleh pemerintah pusat.
DPRD Bojonegoro, Muhammad Fauzan. Selain data tenaga kerja, Komisi C juga menilai masyarakat miskin di wilayah tersebut juga tumbuh subur beberapa tahun terakhir. Artinya, dana CSR yang mengalir belum bisa dikatakan tepat sasaran. Oleh karena itu, Fauzan meminta operator lebih transparan dan berkoordinasi dengan Pemkab Bojonegoro mengenai dana untuk masyarakat. “Jangan sampai, masyarakat yang mulai mengon-
sumsi gaplek atau jagung belakangan ini semakin meluas. Karena, sudah tidak bisa membeli beras. Jelas itu sangat miris untuk wilayah penghasil migas,” jelasnya. Sementara itu Ketua Komisi B Chisbullah Huda menegaskan, pihaknya sempat mendapatkan kabar jika CSR dari Blok Cepu jumlahnya Rp 17 miliar di tahun 2009, namun ada kabar lagi hingga Rp 21 miliar. Tetapi saat ditanya kepada pihak MCL selalu dilemparkan ke Jakarta dan saat dicek disana, kalangan dewan sempat di pim-pong. “Melalui hak inisiatif telah diajukan draf perbup mengenai optimalisasi kandungan lokal dalam kegiatan industrialisasi migas di Kabupaten Bojonegoro. Kedepannya akan didorong untuk menjadi Peraturan Daerah (Perda),” tambahnya. Sementara itu Kepala Bapeda Pemkab Bojonegoro, Abdul Choliq yang dimintai data mengenai jumlah dana CSR yang masuk ke masyarakat Bojonegoro, belum bisa menjawab yang dikerjakan. Karena, pihaknya hanya diberikan tembusan mengenai program usulan, mitra, status dan program. “Rata-rata telah dilakukan dan hanya itu saja datanya. Berapa jumlah dananya masih belum ada,” terang Choliq. [*]
(MCL-JOB PPEJ)
MCL : Besarnya Dana CSR Tidak Penting Untuk kesekian kalinya, operator Blok Cepu, Mobil Cepu Ltd (MCL) selalu mengelak dan sulit dimintai data besaran dana CSR yang sudah menyebar ke masyarakat. Dengan dalih besarnya dana tidak terlalu penting untuk diketahui. Karena, besar anggaran yang digunakan untuk masyarakat, sangat relatif dalam segi sudut pandang. “Kalau menurut pihak perusahaan besar, belum tentu menurut masyarakat sama besarnya, atau sebaliknya,” kata Field Public and Government Affairs Manager MCL, Rexy Mawardijaya. Mantan wartawan radio itu menegaskan, MCL berkomitmen untuk memberikan pengembangan kepada masyarakat di sekitar wilayah. Khususnya dalam tiga hal, pendidikan, kesehatan, dan peningkatan ekonomi. Sementara itu Field Admin Superintendent JOB P-PEJ, Hananto Aji menerangkan, bentuk CSR terhadap masyarakat di sekitar Lapangan Sukowati berbentuk program sosial penunjang operasi (PSPO). “Sejak awal pengembangan migas, JOB P-PEJ memberikan program yang langsung dikelola oleh desa dan disalurkan kepada masyarakat, ” tegasnya. Ada tiga desa yang di sekitar pengeboran, yakni Campurejo, Sambiroto dan Ngampel. Setiap desa akan menerima dana Rp 25 juta setiap bulannya, yang dikelola oleh pihak desa untuk disalurkan kepada warga.[*]
Istibsyaroh (Anggota DPD-RI)
Porsi Bojonegoro Harus Lebih Keberadaan migas di Bojonegoro yang cukup melimpah seharusnya bisa menjadi berkah. Bukan sebaliknya, masih banyak masyarakat yang kondisinya sengsara dan di bawah garis kemiskinan. Anggota DPD-RI asal Jawa Timur, Istibsyaroh disela-sela berkunjung ke Bojonegoro menjelaskan, masyarakat di Bojonegoro harus terlibat dan bisa merasakan langsung manfaat migas. “Oleh karena itu, kami bersama dengan anggota DPD-RI lainnya dari Jatim tetap akan ikut memperjuangkan hak-hak masyarakat, khususnya Bojonegoro,” lanjutnya. Ditegaskan, hasil masukan beberapa pihak di Bojonegoro, termasuk kajian masalah CSR, tenaga kerja yang minim, usulan pergantian nama Blok Cepu menjadi Blok Bojonegoro dan pembangunan Lapangan Terbang (Lapter), telah dilaporkan sampai ke presiden. Dan akan menjadi bahan rujukan pada sambutan 16 Agustus mendatang.[*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
Pejabat Pusat : Regulator Atau Pebisnis
Masyarakat Bojonegoro Bersatu Ketua Komisi B Chisbullah Huda
Beberapa kebijakan terkait dengan keberadaan migas di Bojonegoro terkadang jauh dari harapan masyarakat dan pemerintah daerah. Sulit dibedakan, antara pribadi pengambil kebijakan, dengan seorang pebisnis ulung. Laporan : Muhammad A Qohhar
S
ejak pemerintahan bupati sebelumnya, HM. Santoso-HM. Thalhah, beberapa kebijakan yang diterapkan masih jauh yang berpihak atau pro rakyat kecil. Termasuk juga saat pemerintahan Bupati Suyoto dan Wabup Setyo Hartono (TOTO), beberapa produk kebijakan sering dipertanyakan oleh khalayak umum. Sebut saja, proses injeksi air untuk kebutuhan minyak dan gas (migas) saat Blok Cepu berada di produksi puncak. Dalam Plan of Development (PoD) disebutkan, injeksi untuk Lapangan Banyuurip di Blok Cepu, yang masuk di Kecamatan Ngasem dan Kalitidu, menggunakan air, dan sempat dirancang untuk penampungan atau water pond. Namun, seiring waktu, muncul kebijakan mengejutkan dari pemerintah pusat di Jakarta, dalam hal ini yang diwakili oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP-Migas). Yakni, injeksi air akan memakai pengolahan air laut dari Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, dan dialirkan melalui pipa sepanjang 70 kilometer (Km) yang sebelumnya akan diolah terlebih dahulu menjadi tawar (proses desalinasi). “Memang itu yang kita pertanyakan, kenapa kami harus dipaksa untuk memilih itu. Seharusnya, kita diberi tawaran atau pilihan yang lain,” kata Bupati Bojonegoro, Suyoto, kepada blokBojonegoro. Saat diputuskan beberapa waktu
lalu, sempat ada pertentangan. Bahkan, kalangan DPRD Bojonegoro sempat memanggil beberapa pihak untuk menggelar pertemuan bersama antara perwakilan masyarakat, eksekutif, legislatif, BP-Migas, operator Blok Cepu, Mobil Cepu Ltd (MCL) dan beberapa pihak lain. Dewan tetap mendesak adanya penggunaan water pond untuk injeksi air pendingin eksploitasi migas. Setelah itu muncul keputusan mengejutkan lagi dengan komposisi 50 persen menggunakan desalinasi, dan 50 persen menggunakan sistem waduk. “Kami akan terus mempertanyakan mengenai kebijakan itu, bagaimana bisa pemerintah (kabupaten) di lokal tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut,” lanjut bupati asal PAN itu. Pemkab Bojonegoro berencana menggelar workshop (lokakarya) mengenai beberapa kemungkinan pemerintah daerah secara langsung bisa ikut terlibat. Khususnya dalam memperjuangkan keterlibatan masyarakat lokal (local content). Kemungkinan awal Agustus atau waktu yang telah ditetapkan. BP Migas, MCL, rekanan maupun pihak yang berkompeten akan diundang untuk menjelaskan pekerjaan yang ada. Bupati Suyoto memandang, para pejabat di pemerintah pusat terkadang belum memposisikan diri sebagai pengambil kebijakan yang benar-benar peduli kepada rakyat. Atau lebih tepatnya tidak seperti se-
orang regulator, melainkan bertindak sebagai pebisnis. “Contohynya gas flare atau pengolahan gas ikutan di Joint Operating Body Pertamina-Petrochina East Java (JOB P-PEJ) yang sudah disepakati dan menjadi planning Pemkab Bojonegoro. Namun, secara tiba-tiba pemerintah pusat memperpanjang Gasuma dan wilayah kewenangan pemkab dipersulit,” sambungnya. Padahal, Pemkab Bojonegoro telah berencana untuk mengolah sedikit gas dari Lapangan Sukowati di Kecamatan Kota Bojonegoro. Melalui BUMD PT Bangkit Bangun Sarana (BBS), Pemkab Bojonegoro ingin mendapatkan pengelolaan dengan menggandeng mitra perusahaan swasta, yakni PT Inter Media Energi dan PT Niaga Gema Teknologi. Kasus lain yang tidak kalah peliknya adalah keinginan Pemkab Bojonegoro untuk membangun lapangan terbang (lapter) dan merubah nama Blok Cepu menjadi Blok Bojonegoro. Padahal, dua proyek tersebut benar-benar demi kepentingan masyarakat Bojonegoro secara utuh, bukan perwakilan perorangan. “Padahal untuk mensuplai air kita telah menggandeng Perum Jasa Tirta, pembangunan lapter juga siap mencari rekanan, pengolahan gas telah mendapat partner, serta kebijakan lain yang sudah dipersiapkan. Namun, kenapa masih belum juga mendapatkan kepastian yang memadai dari pusat,” terang Suyoto. [*]
SELAIN Pemkab Bojonegoro, belakangan ini di kalangan DPRD Bojonegoro juga satu suara untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Kebersamaan itulah yang menjadi bekal untuk menaikkan daya tawar (bargainning position) dari Kabupaten Bojonegoro di depan pemerintah pusat, dalam hal ini BP-Migas serta Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). Ketua Komisi B, DPRD Bojonegoro, Chisbulah Huda mengatakan, legislatif akan segera ke Jakarta bersama-sama dengan hampir semua perwakilan fraksi untuk menuntut transparansi dalam pengelolaan migas di Bojonegoro. Sehingga, posisi Bojonegoro yang mempunyai sumber daya alam cukup besar tidak dipinggirkan terus. “Selama ini yang terlihat kan, minyak diangkat dan diangkut ke Jakarta, sedangkan Bojonegoro hanya kecipratan saja,” sambungnya. Minimnya daya tawar pemerintahan kabupaten juga dikarenakan oleh sistem yang dibangun sebelumnya. Selama ini, Bojonegoro terkesan nerimo ing pandum dan tidak ingin memperjuangkan haknya. Padahal, apabila dibandingkan dengan wilayah lain, jelas masyarakat sekitar harus mendapatkan lebih. Kalau masih kurang bisa memberikan tekanan kepada pengambil kebijakan di pusat, maka bisa jadi akan ada gerakan yang lebih besar. Sebab, masyarakat Bojonegoro dalam menuntut ini harus satu suara dan tidak boleh sepenggal-sepenggal. Terpisah, Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Nafidatul Himah menegaskan, sebenarnya progres untuk desalinasi lambat dan lagi-lagi tidak menguntungkan Kabupaten Bojonegoro dan masyarakat umum. Sehingga, pihaknya meminta sistem tersebut dibatalkan dan dialihkan semuanya ke waduk seperti semula. “Kebijakan tersebut terkesan sangat dipaksakan. Sehingga, harus dibatalkan karena memang kondisinya tidak berpihak bagi Kabupaten Bojonegoro dan masyarakat sekitar tambang,” lanjut Hima, panggilan akrabnya. [*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
Retribusi Tak Jelas, Pemkab Setengah Hati Minimnya penerimaan objek pajak dan retribusi dari sekitar minyak dan gas (migas) seakan-akan dibiarkan. Padahal, jika dihitung nilainya cukup besar untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya dari izin. negoro. Perusahaan asal Jakarta tersebut mengklaim izin gangguan atau HO mengikuti pengurusan Mobil Cepu Ltd. (MCL), sebagai operator Blok Cepu. Kondisi tersebut sempat membuat Badan Perizinan Pemkab Bojonegoro berang. Bagaimana tidak, pemasukan dari izin yang seharusnya disetor Rp 180 juta oleh PT TWU kepada Pemkab Bojonegoro. Namun, hingga menjelang akhir bulan Juli belum juga terbayarkan. Beberapa
Pemka b Har us emkab Harus Tegas Sekretaris Komisi A DPRD Bojonegoro Sigit Kushariyanto TEMUAN tentang bandelnya investor dalam memenuhi retribusi perizinan sempat membuat Komisi A DPRD Bojonegoro berang. Karena, kondisi tersebut jelas merugikan Pemkab Bojonegoro yang wilayahnya dipakai untuk investasi. “Memang benar, kita sangat mempermasalahkannya. Sebab, masyarakat di Kabupaten Bojonegoro yang seharusnya menikmati, khususnya dari pajak penghasilan maupun pajak bumi dan bangunan,” kata Sekretaris Komisi A, DPRD Bojonegoro, Sigit Kushariyanto, kepada blokBojonegoro. Realita seperti itulah yang seharusnya diperjuangkan oleh Pemkab Bojonegoro dan beberapa pihak terkait. Karena, jika dibiarkan terus menerus, maka anak cucu warga di Kabupaten Bojonegoro tetap akan seperti wilayah lain yang sumber daya alamnya telah dikeruk untuk dibawa pergi. “Minimal, sejak awal kita sudah membentengi dengan kejelasan pembayaran retribusi maupun perangkat lain. Kalau perbup masih kurang kuat, maka kita akan mendorong untuk digulirkannya menjadi Peraturan Daerah (Perda),” jelas politisi asal Partai Golkar tersebut. Ditanya mengenai ketegasan dari Pemkab Bojonegoro? Sigit menambahkan, kalau hal itu mutlak harus dilakukan. Contohnya, Satpol PP sebagai penegak perda harus cepat bertindak. Bahkan, Komisi A telah menyarankan kepada Satpol PP untuk menganalisa kekuatan personilnya. [*]
KILANG mini milik PT TWU yang berada di Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu saat malam kali ditagih oleh Badan Perizinan untuk segera menyelesaikan tanggungan, perusahan tersebut sempat enggan untuk memenuhinya. “Memang sempat nyamin, tetapi setelah kita jelaskan panjang lebar, akhirnya mereka bersedia untuk membayarnya. Sehingga, pihak kami masih terus menunggu penyelesaian izin HO PT TWU,” kata Kepala Badan Perizinan, Edi Susanto, kepada blokBojonegoro. Ditambahkan, kalau mulai berdiri tahun 2008 yang lalu, PT TWU belum mempunyai izin HO. Padahal, seharusnya itu sudah dilengkapi sebelum beroperasi dan menampung minyak dari Lapangan Banyuurip, di Blok Cepu. “Kalau dikatakan, Pemkab Bojonegoro dirugikan dengan keberadaan masalah itu,” jelasnya. Tidak hanya itu saja, TWU yang tidak mempunyai perwakilan di Bojonegoro atau berkantor di Jakarta, membuat pajak terbesar berada di ibukota. Padahal, jika ditinjau dari dampak beroperasinya kilang mini tersebut, jelas masyarakat di sekitar yang mendapatkan secara langsung. Kondisi seperti itulah yang menimbulkan adanya ketimpangan sosial. Ditanya mengenai tengarai pembiaran investor yang bandel membayar retri-
busi izin ? Edi enggan menanggapinya. Sebab, semuanya dikatakan masih proses dan membutuhkan waktu. Walaupun begitu, pihaknya terus memberikan pengertian kepada pengurus izin, khususnya di wilayah migas. Sementara itu Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkab Bojonegoro, Kamidin menjelaskan, pihaknya akan menertibkan pihak-pihak atau perusahan
“
Tidak hanya sekarang saja, namun kedepannya juga kami akan tegas”
“
P
olemik mengenai retribusi dari beberapa izin yang masih belum dikantongi oleh Perseroan Terbatas (PT) yang berada di sekitar wilayah minyak dan gas bumi (migas) terus berlanjut. Karena, ada memang yang membangkang dan nyamin dengan mengklaim izinnya ikut pihak operator. Contohnya yang diduga dilakukan PT Tri Wahana Universal (TWU), pengelola kilang mini di Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, Bojo-
blokBojonegoro/Muhammad A Qohhar
Laporan : Joel Joko, Muhammad A Qohhar
yang tidak mematuhi perda. Termasuk PT TWU yang lambat memenuhi kewajibannya. Jika itu terus berlangsung, maka sebagai penegak perda, akan dilakukan penertiban tanpa tebang pilih. “Contohnya dua kali surat yang kami dikirimkan untuk menyelesaikan izin gangguan atau HO tidak ada respon sama sekali, sehingga kami harus tiga kali mengirimkannya,” tegas Kamidin. Diterangkan, sejak awal pihaknya telah mendapatkan
surat tembusan dari Badan Perizinan yang intinya bangunan di Desa Sumengko tersebut belum mempunyai izin HO. Dari 7 hektare lahan yang dipakai, 6 hektare diantaranya sudah berupa bangunan. Sedangkan sisanya belum dioptimalkan. “Tidak hanya sekarang saja, namun kedepannya juga kami akan tegas,” sambungnya. PT TWU : Kami Patuhi Aturan Salah seorang Perwakilan menejemen PT TWU, Tri Harmawan menegaskan, jika pihaknya bukan melakukan perluasan, melainkan hanya menambah tanki timbun sebanyak 3 unit. Itu dibangun dalam areal kilang. Sehingga, PT TWU sebagai perusahaan telah berusaha mematuhi semua peraturan yang ada, baik pusat hingga di Bojonegoro. “Kalau masalah perizinan, tentu sudah kami lengkapi sebelum beroperasi. Yang jelas, pada prinsipnya PT TWU akan mengikuti aturan yang ada, jika hal tersebut benar seperti yang diamanatkan dalam Perda No 5 tahun 2003 beserta perubahannya,” jelasnya. Sehingga, PT TWU tetap akan mematuhi apapun yang ada dalam aturan. Karena, selama ini pihaknya juga telah menambah pendapatan negara maupun daerah, khususnya melalui sektor pajak.[*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
Kantor di Jakarta, Setoran Pajak Minim
Har ga Tanah di Harg Atas NJOP
Sejauh ini pajak dari migas yang diterima Kabupaten Bojonegoro masih cukup sedikit. Karena, kebanyakan kantor utama perusahaan berada di Jakarta, bukan di Bojonegoro. Selain itu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sama seperti lahan lainnya. Laporan : Joel Joko, Akbar Ardiansyah Muhammad A Qohhar
blokBojonegoro/Khoirul Muhsinin
J
ika mengacu pada besarnya tran saksi lahan di sekitar migas dan orang yang terlibat dalam proyek tersebut sejak beberapa tahun belakangan ini, seharusnya pendapatan Kabupaten Bojonegoro dari sektor pajak pasti melimpah. Namun, lagi-lagi karena banyak faktor yang membuat Kota Ledre penerimaannya tidak sebesar yang diangan-angankan. Data yang dihimpun blokBojonegoro menyebutkan, porsi pembagian sesuai Undang-Undang Perpajakan yang menyebutkan 62 % dari total pajak diberikan kepada wilayah penghasil masih benar-benar memunculkan ketimpangan. Pasalnya, sejauh ini Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) antara wilayah biasa dengan objek migas tidak jauh berbeda. Padahal, jika dilihat dari aset dan juga kegunaan lahan dan bangunannya cukup besar dan mencapai triliunan. Contoh saja beberapa lokasi objek pajak di wilayah migas Blok Cepu seperti dalam daftar realisasi penerimaan pendapatan pajak daerah dari pos Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) awal tahun 2011. Disebutkan jika beberapa lahan atas nama Bp-Migas dengan alamat Jl Jend. Sudirman 28 Jakarta di Desa Mojodelik, Brabuhan, Bonorejo dan Gayam, Kecamatan Ngasem, NJOP PBB lahan yang luasannya minimal 300 m2 dan ada yang sampai 4.000 m2, nilainya hanya rata-rata Rp 20.000 m2 sampai Rp 36.000 m2. Jumlah tersebut hampir sama dengan kondisi NJOP di sekitarnya, walaupun dengan peruntukan berbeda. Yang lebih rendah lagi NJOP lahan atas nama Bp-Migas di Desa Sudu, Kecamatan Kalitidu, yang hanya dikisaran Rp 10.000 m2 dengan luas lahan 804 m2. Selain itu, NJOP lainnya rata-rata Rp 14.000 m2 sampai dengan Rp 27.000 m2. Jadi sangat wajar kalau penerimaan pajak di Bojonegoro dari sektor migas tidak terlalu mentereng. Data tahun 2009, penerimaan PBB dari sektor pertambangan, khususnya migas, untuk Kabupaten Bojonegoro sebesar Rp 90.503.165.406 dari peren-
SEORANG ANAK nampak berdiri dengan latar rig pengeboran Jambaran canaan awal Rp 90.503.165.000. Sedangkan tahun 2010 dari rencana penerimaan Rp 89.956.590.000, pajak yang diperoleh menembus angka Rp 104.169.958.736. Untuk tahun 2011 ini, direncanakan penerimaan PBB bisa sampai angka Rp 109.546.137.644 dari migas. Ketua Komisi B DPRD Bojonegoro, Chisbullah Huda menegaskan, jika selama ini pajak dari migas belum terlalu banyak. Sehingga, perlu kajian mendalam mengenai fungsi lahan dan penetapannya oleh Pemkab Bojonegoro. “Dengan begitu, bagi hasil pajak untuk Bojonegoro akan lebih tinggi lagi dan masyarakat juga akan sema-
kin bisa menikmatinya,” tegasnya. Dikatakan, kalau selama ini pendapatan dari pajak yang minim juga disebabkan perusahaan yang mengeruk minyak dari Bojonegoro berkantor di Jakarta. Semisal ExxonMobil, JOB P-PEJ maupun Pertamina EP Cepu. “Kalau seperti ini yang diuntungkan adalah DKI Jakarta. Contohnya saja pajak yang disetor TWU yang katanya sampai miliaran, ternyata juga tidak masuk ke Bojonegoro,” lanjutnya. Keresahan akan minimnya pajak dari migas yang diterima juga disadari oleh pihak eksekutif. Melalui surat nomor 050/3349/412.11/2011 tertangal 11 Juli 2011, atas nama
Sumber: Litbang blokBojonegoro
Bojone gor o Har us Sia p Infr astr uktur Bojoneg oro Harus Siap Infrastr astruktur
Satya W Yudha Anggota Komisi VII DPR RI,
Pertambangan minyak di wilayah Blok Cepu dan juga Lapangan Sukowati benar-benar mengatrol harga tanah. Namun, untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) masih sama penerimaannya dengan kondisi lahan biasa. Sehingga, tidak tampak lonjakan pendapatan dari pajak, walaupun di sektor migas. Penilai PBB Pajak Pratama Bojonegoro, Budiono mengatakan, kalau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lebih tinggi dibandingkan yang telah ditetapkan untuk lahan yang ada. “Harga nilai penjualan dari pemilik tanah ke pihak kedua dalam hal ini MCL melonjak tajam,” kata Budiono. Dikatakan, jika dalam NJOP, rata-rata harga tanah di wilayah Blok Cepu mencapai Rp 27.000/ m2 hingga Rp 36.000/m2. Tetapi, untuk pembebasan lahan yang di gunakan untuk wilayah perminyakan harganya rata-rata Rp 80.000/m2. “Tanah tersebut berada di wilayah yang merupakan daerah migasBlok Cepu,” jelasnya.[*]
Desakan agar pemerintah pusat benar-benar memperhatikan pemasukan daerah dari sektor migas juga disampaikan Anggota Komisi VII DPR RI, Satya W Yudha. Dewan yang terpilih dari Dapil IX (BojonegoroTuban) asal Partai Golkar tersebut menegaskan, pihaknya telah meminta transparansi dari Menteri Keuangan mengenai dana sharing yang diterimakan ke- pemerintah daerah.
“Beberapa kali sudah disarankan dan tetap kami siap perjuangkan. Sehingga, pendapatan daerah di era otonomi lebih besar, khususnya wilayah penghasil migas,” katanya. Pria yang juga anggota Badan Anggaran DPRRI itu juga mengatakan, Pemkab Bojonegoro harus menyiapkan regulasi yang rasional dan mendukung keterlibatan lokal. Semisal, jika ingin ada kantor perusahaan migas di Bojonegoro, maka infrastruktur juga harus segera dibenahi dan ditingkatkan. “Jangan sampai adanya regulasi tidak disertai dengan kondisi infrastruktur yang memadai. Sehingga, kondisi tersebut tetap akan sulit terlaksana, karena yang terpenting
Pemkab Bojonegoro Sekda Soehadi Moeljono mengirimkan surat kepada pimpinan dewan dan segenap komisi. Inti surat tersebut meminta masukan atas rancangan peraturan bupati tentang optimalisasi kandungan lokal dalam kegiatan industri migas di Bojonegoro. Rancangan perbup tersebut memperhatikan pemasukan dari pajak, khususnya terkait pasal 8 di Bab IV yang berbunyi, pihak operator dan kontraktor Engineering, Procurement dan Construction (EPC) yang melakukan kegiatan di wilayah migas diwajibkan mendirikan kantor perwakilan di Bojonegoro. “Selain itu, di pasal 9, jika dilarang mendirikan fasilitas pendukung pembangunan proyek di dalam area sarana produksi, melainkan di suatu area terpusat (zona development),” tambah anggota Komisi A PDRD Bojonegoro, Mugi Waluyo.[*]
adalah bagaimana masyarakat sekitar migas bisa sejahtera,” lanjutnya. Sudah seharusnya memang perusahaan yang terlibat dalam eksplorasi maupun eksploitasi migas di Bojonegoro bertempat di sekitar tambang. Sehingga, pemasukan akan lebih banyak di wilayah sekitar yang terdampak secara langsung. Tetapi yang lebih penting keterlibatan semua elemen dalam proses pengerjaan mega proyek tersebut. Jangan sampai hanya mengandalkan dari dana sharing migas saja. “Padahal, kegiatan industri ikutan di sekitar tambang itulah yang harus segera digarap. Semisal membuka kegiatan penopang yang memunculkan kesejahteraan masyarakat,” sambungnya. [*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
Laporan: Muhammad A Qohhar Joel Joko, Nitis Sahpeni
P
rosentase 25 % bagi Kabupaten Bojonegoro dan 75 % untuk PT Surya Energi Raya (SER), rekanan di PI Blok Cepu, benar-benar membuat banyak orang gelenggeleng kepala. Walaupun prosesnya sudah berjalan dan berlangsung lebih dari 5 tahun, tetapi hingga kini tetap banyak yang mempertanyakan. Salah satu pihak yang masih getol mempermasalahkan adalah Bojonegoro Institute (BI). Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang concern pada migas dan pemberdayaan tersebut ingin mengurai benang kusut yang dianggap merugikan pihak masayarakat Bojonegoro. Direktur BI, Joko Purwanto kepada blokBojonegoro menjelaskan, pihaknya tetap ingin memperjuangkan prosentase PI di wilayah operasi Mobil Cepu Limited (MCL) harus direvisi. Dengan pertimbangan, yakni pembagian sharing 75% untuk rekanan BUMD PT Asri Dharma Sejahtera (ADS) dan 25% bagi pemkab tidak logis. Karena, yang mempunyai saham lebih banyak tetap Bojonegoro, walaupun resiko minim diterima. “Ya minimal seperti yang dilakukan BUMD Kabupaten Blora, Jawa Tengah yang tetap mendapatkan prosentase lebih tinggi,” katanya. Selain itu, model kerjasama yang dilakukan BUMD PT ADS dengan PT SER tidak ada dalam model kerjasama migas selama ini. Karena, PT ADS sebagai kepanjangan tangan Pemkab Bojonegoro harus membayar terlebih dahulu kepada pihak ketiga sampai lunas dan diperkirakan sekitar tahun 2018 paling cepat. Setelah itu, baru ada pembagian 75% dan 25%. Persoalannya jika di tengah jalan ada hal-hal yang tidak diinginkan, semisal bencana alam yang menghentikan produksi di Blok Cepu, maka bisa jadi Pemkab Bojonegoro ngaplo, karena belum menikmati hasil dari PI. “Kalau sekarang ini Bojonegoro menikmatinya baru sebatas kecipratan saja, yakni dari
blokBojonegoro/Khoirul Mukhsinin
PETANI sedang mengambil air disumur dekat operasi Migas
Mempertanyakan Ulang PI 10 % di Blok Cepu Prosentase yang njomplang antara investor dengan bagian Pemkab Bojonegoro dalam participating interest (PI) 10 % di Blok Cepu kembali diperbincangkan. Bahkan ada wacana untuk mendesak Bojonegoro melakukan negosiasi ulang. comitment fee $50.000 dan sekali signature bonus $100.000. Jelas itu tidak sebanding dengan dampak yang diterima dan pengorbanan masyarakat,” sambungnya. Joko lebih sepakat model yang diterapkan oleh PT Bangkit Bangun Sarana (BBS) yang juga BUMD milik Pemkab Bojonegoro. PT yang dipimpin Deddy Afidick itu dalam kerjasamanya dalam proyek gas flare di Lapangan Sukowati dengan Konsorsium PT Inter Media Energy dan PT Niaga Gema Teknologi menggunakan sharing lebih maju. Karena kedua belah pihak sama-sama menanggung resiko, dan Bojonegoro bisa langsung mendapatkan keuntungan dari kerjasama. “Maka, pemerintahan Bupati Suyoto sekarang harus berani melakukan negosiasi ulang kontrak dengan investor terkait PI di Blok Cepu. Karena, jika berlarut-
larut dengan prosesntase yang tidak menguntungkan, secara umum masyarakat Bojonegoro yang dikorbankan,” pintanya. Sementara itu Bupati Bojonegoro, Suyoto, lebih memilih berhati-hati dalam menanggapi masalah tersebut. Ia menganggap jika proses PI di Blok Cepu berlangsung akibat kesalahan nama awal. Jika menggunakan Blok Bojonegoro, maka sudah pasti secara utuh akan diterima oleh Kota Ledre, bukan dibagi dengan wilayah lain. “Kondisinya memang seperti itu, namun kami tetap akan berusaha untuk mengambil langkah terbaik untuk Kabupaten Bojonegoro di industri ekstraktif tersebut,” jelasnya. Termasuk meminta bagian PI 7 % di Pad C Lapangan Sukowati yang dioperatori Joint Operating Body Pertamina-Petrochina East Java (JOB P-PEJ). Namun, yang menjadi
Sugeng Suprawoto (PT SER)
PT SER : K ami Sudah K eluar $ 54 J uta Kami Keluar Juta Sejauh ini PT Surya Energi Raya (SER) selaku investor participating interest (PI) di Blok Cepu yang digandeng PT Asri Dharma Sejahtera (ADS), BUMD Pemkab Bojonegoro, mengaku telah menge-
luarkan biaya cukup besar. Bahkan, dikalkulasi telah sampai pada angka $ 54 juta. Seperti dikatakan Direktur PT SER, Sugeng Suprawoto, kepada blokBojonegoro belum lama ini. Dikatakan, jika pengeluaran tersebut terus bertambah tiap periode penagihan yang dilakukan operator, dalam hal ini Mobil Cepu Limited (MCL). “Jumlah yang kami keluarkan sudah sangat besar, dan jika dirupiahkan bisa mencapai Rp
persoalan, pengembangan Pad C muncul setelah Plan of Development (PoD) disepakati bersama. Sehingga, Pemkab Bojonegoro harus merubah kegunaan tata ruang atau RT/RW, sesuai dengan kebutuhan yang ada. Terpisah, Field Public and Government Affairs Manager MCL, Rexy Mawardijaya menegaskan, jika masalah PI tersebut termasuk bagian pemerintah pusat. Karena, sejauh ini MCL hanya melaksanakan saja di lapangan. Sehingga, masalah data atau bagaimana kebijakannya, langsung di Bp-Migas. Sementara itu Field Admin Superintendent JOB P-PEJ, Hananto Aji menambahkan, terkait permintaan PI 7 % di pengembangan Pad C, sejauh ini pihaknya masih belum mengetahuinya. Tetapi, biasanya jika ada perubahan akan dimasukkan di kontrak baru. [*]
450 miliar lebih,” kata Sugeng. Dari jumlah tersebut, pemasukan yang didapatkan baru sekitar $ 18 juta atau masih minus sekitar $ 36 juta lebih. Jumlah itu belum termasuk untuk penyertaan modal setelah ini. Walaupun begitu, PT SER mengaku telah memberikan pemasukan ke Pemkab Bojonegoro melalui PT ADS tiap tahunnya $ 50.000 sebagai management support. Selain itu juga signature bonus $ 100.000. “Total investasi di Blok Cepu yang kurang lebih $ 3 miliar, kemungkinan kita akan kebagian menyertakan modal $ 100 juta,” sambungnya.[*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
DBH Naik = DAU Anjok, Siapkah Bojonegoro ?
Sejak dua tahun belakangan ini, Dana Bagi Hasil (DBH) migas Bojonegoro naik cukup signifikan. Namun, kondisi berbalik dengan kondisi pemasukan dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang terus anjlok.
2008 Keterangan:
2009 ANGGARAN
2010
2011
REALISASI
Sumber Data: Litbang blokBojonegoro
2008 Keterangan:
2009 ANGGARAN
2010
Perpres Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negera dan Pendapatan Daerah yang diperoleh dari Industri Ekstraktif, menjadi payung hukum yang penting dalam kerangka mengawal pendapatan daerah dari sumber daya alam, termasuk untuk meminta data besaran cost recovery. Selain itu, daerah harusnya makin bijak meletakkan pendapatan dari DBH migas secara lebih proporsional. Jangan berpikir secara analog, bahwa apabila lfiting naik, harga bagus, pasti pendapatan juga naik. Jangan pula berpikir linier, bahwa pendapatan yang direncanakan dalam APBD pasti tercapai. Artinya daerah harus siap mental apabila suatu saat tiba-tiba pendapatan jauh melebihi target seperti di Bojonegoro tahun 2010. Namun juga siap apabila terjadi koreksi PMK sampai tiga kali, dan itupun tetap tidak tercapai seperti tahun 2009. Sehingga terancam gagal bayar (default). Dengan kata lain, APBD harus dirancang secara fleksibel yakni dapat naik atau dapat turun sesuai realisasi di lapangan dan perkembangan asumsi ekonomi makro. “Salah satu langkah yang diperlukan bisa melalui endowment fund atau dana abadi. Mengingat DBH Sumber Daya Alam (SDA) terutama untuk industri ekstraktif yang tidak terbarukan,” kata Kepala DPPKA Pemkab Bojonegoro, Herry Sudjarwo. Sehingga kebutuhan pendanaan pembangunan di masa mendatang, terutama dalam menghadapi era eksploitasi sudah berakhir dapat tetap terpenuhi. Kondisi tersebut sebagai langkah antisipasi, agar Bojonegoro nantinya tidak terhimpit dengan APBD yang kecil seperti belum ada migas dengan kondisi sekitar terdapat sisa-sisa kejayaan industri migas yang meninggalkan lingkungan tercemar. [*]
2011
REALISASI
Sumber Data: Litbang blokBojonegoro
2008 Keterangan:
2009 ANGGARAN
2010
Rp
Rp
19.214.990
22.020.376
17.675.020
12.379.727
Daftar Lifting Minyak Bojonegoro Empat Tahun Terakhir
Rp
Rp 163.000.000.000
Rp 169.078.028.347
Rp 133.854.028.374
RP 37.924.920.620
RP 62.176.033.000
Rp 65.376.013.000
Rp 88.184.834.333
Rp
Rp 665.539.925.000
Rp 583.763.532.000
Rp 583.763.532.000
Rp 596.430.263.000
Dana Bagi Hasil (DBH) MIGAS Empat Tahun Terakhir
Rp 596.440.060.000
Dana Alokasi Umum (DAU) Empat Tahun Terakhir
Rp 586.814.120.000
Komisi VII, Satya W Yudha menjelaskan, jika mekanisme lifting berada di Bp-Migas sebagai perwakilan pemerintah. “Sudah ada yang mengawasi sendiri, dan memang daerah tidak ikut serta secara langsung,” katanya. Sementara itu Ketua Komisi B DPRD Bojonegoro, Chisbullah Huda menegaskan, dengan tidak dilibatkannya daerah dalam penghitungan lifting migas, maka dana bagi hasil minyak untuk Bojonegoro tidak bisa maksimal. Padahal, pihaknya mendesak agar ada kenaikan bagi hasil sampai 15 %, bukannya 6 %. Sehingga, APBD Bojonegoro juga bisa terdongkrak cukup tajam. “Kita tidak iri dengan wilayah otonomi khusus (otsus) yang sampai mendapatkan dana bagi hasil 50 % lebih,” jelasnya. [*]
Rp 586.814.120.000
untuk provinsi. Ditanya mengenai mekanisme bagi hasil, Herry menyebutkan, jika setiap tahun semua Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan membuat kertas kerja yang divalidasikan oleh Bp-Migas dan selanjutnya ditetapkan oleh Menteri ESDM sebagai prognosa lifting bagi setiap daerah. Selanjutnya dari ketetapan prognosa lifting, Menteri Keuangan menetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Prakiraan Bagian Daerah dalam satu tahun. “Dengan hasil perhitungan atas dasar realisasi dan bukan target sebagaimana ketentuan pasal 23 Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005, maka sangat dimungkinkan ada fluktuasi pendapatannya,” sambungnya. Terpisah anggota DPR RI dari
Endowment Fund Migas
9.111.570
S
ejak tiga tahun terakhir, besaran minyak yang dihasilkan tidak selalu berbanding lurus atau linier dengan besaran pendapatan daerah. Banyak pihak geleng-geleng kepala, termasuk di kalangan eksekutif maupun legislatif, karena dasar pendekatan celah fiscal (fiscal gap) antara fiscal need dan fiscal capacity, yang menjadikan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai komponen pembiayaan desentralisasi turun, ketika pendapatan dari bagi hasil meningkat. “Contohnya telah banyak, seperti Kabupaten Sorong, Riau dan Siak. Mereka harus menanggung gaji pegawai dari bagi hasil migas. Ketika bagi hasil migas turun pada tahun 2009, daerah-daerah kaya minyak ini harus kelabakan mencari pinjaman,” kata Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Kauangan dan Asset (DPPKA) Bojonegoro, Herry Sujarwo, kepada blokBojonegoro. Dua tahun belakangan ini, kondisi seperti itu mulai menghinggapi Bojonegoro. Yakni, DBH migas naik signifikan dari tahun 2009 Rp 37.924.920.620 menjadi Rp 169.078.028.347 di tahun 2010. Bahkan, tahun 2011 ini juga direncanakan bisa menembus angka Rp 163.000.000.000. Namun, kondisi DAU terus anjlok, dari tahun 2009 yang nominalnya mencapai Rp 596.430.263.000, di tahun 2010 tinggal Rp 583.763.532.000. Sehingga, secara akumulatif APBD tidak akan bertambah besar seperti pada posisi sekarang yang mencapai sekitar Rp 1,3 triliun. “Undang Undang Nomor 33 Tahun 2002 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, ada kebijakan pusat untuk membagi sumber keuangan yang semula dikuasai pusat untuk dikembalikan sebagian ke daerah penghasil,” tegas Herry Dikatakan “sebagian”, karena dengan konsep NKRI, maka daerah bukan penghasil di sekitar wilayah setempat dalam satu provinsi. Dengan konsep 6:6:3 dari 15, yakni dari bagian daerah 15 % dibagi untuk daerah penghasil 6%, bukan daerah penghasil dalam provinsi 6% dan provinsi 3 %. Sedangkan 85% menjadi bagian pusat, dimana dalam perkembangannya diberikan lagi 0,5% kepada daerah untuk mendukung program pendidikan dasar dengan alokasi 0,2 % untuk daerah penghasil, 0,2% untuk seluruh daerah bukan penghasil dalam provinsi dan 0,1%
Herry Sudjarwo (Kepala DPPKA Pemkab Bojonegoro)
9.094.785
Laporan: Muhammad A Qohhar, Joel Joko, Akbar Ardiansyah
2011
REALISASI
Sumber Data: Litbang blokBojonegoro
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
Persiapan Persibo Mawut Sambut Kompetisi Baru Sampai saat ini, persiapan Persibo Bojonegoro untuk mengarungi kompetisi dengan format baru masih setengah hati. Bahkan, terkesan ala kadarnya dan mawut. Laporan : Muhammad A Qohhar
N
ahkoda baru di pucuk pimpi nan PSSI membuat format kompetisi sepak bola tertinggi di Indonesia kemungkinan akan berubah. Liga Primer Indonesia (LPI) yang sebelumnya tempat Persibo Bojonegoro bernaung, dihentikan di tengah jalan dan Persebaya 1927 telah dianggap sebagai juara. Di tengah jeda seperti ini, menejemen Persibo Bojonegoro yang dirombak oleh CEO PT Pengelola Persibo Indonesia (PT PPI), hingga kini belum terbentuk utuh. Diperparah lagi, orang nomor satu di PT PPI, Widyawan Feriyanto Kodrat, tengah diberi beban untuk menjadi menejer Timnas Indonesia Pra Piala Dunia di Brazil. Akibatnya, ia jarang sekali bisa ke Bojonegoro dan konsentrasi membentuk kerangka tim Laskar Angling Dharma. Pemain yang diseleksi oleh pelatih Sartono Anwar rata-rata belum mempunyai nama di kancah sepak bola nasional, namun telah dire-
komendasikan untuk bisa direkrut oleh menejemen. “Memang kita masih menunggu format kompetisi yang baru. Termasuk juga menunggu CEO Ferry Kodrat ke Bojonegoro. Karena, janjinya setelah leg kedua Indonesia Vs Turkmenistan beberapa waktu lalu akan ke Bojonegoro,” kata Ketua Umum Persibo Bojonegoro, Letkol Inf Taufiq Risnendar kepada blokBojonegoro. Ia menambahkan, dengan menjadi menejer timnas, secara otomatis mengganggu eksistensi CEO Ferry Kodrat di Bojonegoro. Tetapi, semuanya akan segera dikomunikasikan. Karena, keputusan berada di tangannya, khususnya mengenai nasib pelatih Luciano Leandro yang sekarang ada di Brazil dan beberapa pemain dari Indonesia Super League (ISL) yang akan direkrut. “Bisa dibilang pemain yang ada sekarang ini seadanya, karena juga sedang puasa. Tetapi, fisik pemain harus tetap ditingkatkan
setelah hasil buruk di turnamen segi empat di Surabaya,” lanjut pria yang juga Komandan Kodim 0813 Bojonegoro itu. Seperti diketahui jika saat ini pemain yang masih bercokol di Persibo rata-rata baru dan juga dihuni oleh eks punggawa Persibo U-21. Diantara pemain lama yang masih tampak adalah Samsul Arif, Bagus Cahyono, Syamsul Huda, Novan Setya Sasongko, Nur Hidayat, Jajang Paliama dan Achmad Sumardi. Selain itu juga ada Aang Suparman dan Aris Tuansyah di sektor belakang. Sementara itu pemain tenar yang dijanjikan, seperti empat orang dari Persela Lamongan, dua dari Arema Indonesia dan tiga pemain dari Persib Bandung, hingga kini belum ada kejelasan. Alasan yang dipakai tetap seperti semula, kebanyakan para pemain masih terikat kontrak dengan tim lamanya sampai akhir Agustus. Terpisah CEO PT PPI, Ferry
Bagus Cahyono Striker Persibo Bojonegoro
Kodrat mengaku masih terus memantau beberapa pemain untuk bisa direkrut ke Persibo. Karena, dengan format kompetisi baru nanti, diharapkan pemain yang ada bisa lebih kompetitif. Tetapi, pendekatan tidak bisa dilakukan terbuka, karena ditakutkan bisa dipersulit tim tempat pemain tersebut berlaga. [*]
Lima Pemanah Siap Ikuti Pemusatan Latihan
IKA YULIANA, Salah satu pemanah Bojonegoro yang masuk tim SEA Games 2011
“Rencananya, seluruh timnas panahan akan dipusatkan di satu lokasi, agar bisa lebih fokus dan maksimal latihannya” Laporan: Nitis Sahpeni
S
etelah memastikan diri lolos dalam tim inti SEA Games XXVI 2011, lima pemanah asal Bojonegoro akan langsung mengikuti pemusatan latihan dalam satu lokasi. Lokasi pemusatan latihan masih dalam pembicaraan antara manager
timnas cabor panahan dengan pelatih masing-masing pelatnas, baik Surabaya, Bojonegoro, maupun Jakarta. Berdasar informasi yang diperoleh blokBojonegoro menyebutkan, kelima pemanah tersebut adalah IGNP Praditya Jati, Erwina Safitri , Ika
Yuliana, Catur Wuri dan Yanu Ardianto. “Rencananya, seluruh atlet timnas panahan akan dipusatkan di satu lokasi, agar bisa lebih fokus dan maksimal latihannya. Karena ini event internasional,” kata pelatih pelatnas Bojonegoro, Endah Sulistyorini. Perempuan asal Subang, Jawa Barat ini menuturkan, berdasar informasi yang diperoleh dari pihak manajer maupun dari Satlak Prima, timnas cabor panahan akan mulai menjalani pemusatan latihan secara bersama-sama seusai lebaran atau sekitar pertengahan September nanti. Sementara untuk tetap melakukan persiapan lebih matang, masingmasing pelatnas di tiga kota, yakni Jakarta, Surabaya, dan Bojonegoro dijadwalkan tetap melakukan latihan di daerahnya. Selanjutnya sebanyak 16 atlet dari tiga lokasi Pelatnas Panahan seusai
lebaran baru difokuskan untuk latihan teknik dan fisik secara bersamasama. “Kita masih terus menunggu informasi lebih lanjut terkait hal ini,” papar Endah. Selain itu, untuk tetap meningkatkan performa, kemampuan teknik dan fisik atlet panahan, khususnya pelatnas Bojonegoro sendiri, tetap berlatih selama pelaksanaan puasa Ramadan pada Agustus ini. Hal itu untuk menjaga agar kemampuan atlet panahan tetap bagus dan konsisten. “Melatih konsentrasi atlet,” ujarnya. Kelima atlet panahan Bojonegoro sendiri memastikan lolos sebagai tim inti SEA Games 2011 yang akan digelar pada November mendatang, setelah mereka menjalani tes skor keenam atau tes terakhir pada 29-30 Juli lalu di lapangan Sekolah Model Terpadu (SMT), Desa Sukowati, Kecamatan Kapas. [*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
blokBojonegoro/Khoirul Muhsinin
WARGA Desa Pandantoyo Kecamatan Temayang memanjatkan doa saat Megengan di salah satu rumah.
Megengan, Antara Transedental dan Profan Masyarakat Jawa, khususnya di Jawa Timur, sebagian besar melaksanakan satu tradisi khusus menyambut bulan suci Ramadan. Masyarakat menyebutnya sebagai megengan. Laporan : Khoirul Muhsinin, Nidhomatum MR kat dan dilaksanakan secara turun temurun. Bahkan, terasa tidak lengkap kalau tidak melaksanakan tradisi. Salah satunya di Desa Pandantoyo, Kecamatan Temayang. Bagi ma-syarakat daerah ini, megengan banyak dikenal dengan istilah Ruwahan atau tradisi sambut Ramadan. Menurut Sokran (73), kiai masjid desa setempat, tradisi megengan di desanya dimulai pada per-tengahan bulan Sya’ban sampai menjelang Ramadan. Pelaksanaan megengan dilakukan dengan menggelar hajatan di rumah masing-masing, bersama tetangga terdekat. “Megengan biasanya dimulai setelah Nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya`ban dalam penanggalan Hijriyah) hing-
ga satu atau dua hari menjelang bulan Ramadan,” kata Sokran kepada blokBojonegoro saat ditemui di rumahnya. Megengan asal ka-
rangnya. Tujuan dari megengan, lanjut dia, adalah mendidik umat Islam untuk bersyukur dan menyambut bulan puasa.
“
Megengan biasanya dimulai setelah Nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya`ban dalam penanggalan Hijriyah) hingga satu atau dua hari menjelang bulan Ramadan.
“
T
radisi megengan sebagian besar diadakan oleh masyarakat di pedesaan. Biasanya tradisi ini dilaksanakan dua pekan hingga sepekan menjelang puasa. Secara umum megengan merupakan tradisi yang dilaksanakan khusus untuk menyambut Ramadan. Disinyalir, tradisi ini hanya ada di tanah jawa, sehingga tak ayal kata “indigeneus atau khas” Jawa melekat pada tradisi ini. Khususnya di daerah pedesaan. Tradisi ini juga dilaksanakan oleh masyarakat beberapa desa di Bojonegoro. Mereka memulai tradisi megengan berdasar hitungan Qomariah (Hijriyah), tepatnya selepas 15 Sya’ban. Menurut sebagian masyarakat, megengan merupakan tradisi yang sudah membudaya di masyara-
ta dari “megeng” yang berarti menahan. Misalnya dalam ungkapan megeng nafas, artinya menahan nafas, megeng hawa nafsu artinya menahan hawa nafsu dan lain sebagainya. “Makna megengan ini adalah sebagai upaya untuk mengingatkan, akan puasa Ramadan. Ramadan adalah waktunya megeng, atau mulai ngeker hawa nafsu,” te-
Serta agar umat Islam senantiasa mengingat kematian. “Sebab, usai hajatan ini biasanya diteruskan dengan ritual ziarah kubur ke makam leluhur,” terang kakek tiga cucu ini. Asal kata megengan, menurut santri KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Pesantren Ciganjur, Jakarta, yang berasal dari Bojonegoro, Mahbib Khoiron be-
rarti mengagungkan datangnya bulan suci penuh hikmah, Ramadan. Dengan diksi lain secara simbolik, upacara megengan menjadi penanda bahwa manusia akan memasuki bulan puasa. Sehingga harus menahan hawa nafsu, baik yang terkait dengan makan, minum, hubungan seksual, dan nafsu lainnya. Dengan kata lain, tradisi yang terjadi di masyarakat pedesaan dan selama ini sudah sering dilakukan, menjadi wujud dari munculnya kebudayaan di masyarakat. Tapi, dengan tetap menunjukkan jati diri keagamaan. Kebudayaan dan agama berbicara tentang dua tingkatan realitas yang sangat berbeda. Kebudayaan masuk pada tataran profan yang jika ditelaah
secara letter lijk memang tidak ada hubungannya dengan agama. Kebudayaan diakui sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, yang bersifat duniawi. Sedangkan agama berbicara tentang realitas yang lebih tinggi, bersifat transendental, dan di luar jangkauan pengalaman inderawi. Realitas inilah, kata Khoiron, yang selanjutnya menjadi bukti bahwa ke-budayaan dan theology bukanlah suatu dikotomi, alias pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan. Melainkan dua hal yang bisa saling mengisi. Dimana agama yang pada dasarnya bersifat eksklusif dengan ke”transendental”annya, tanpa sadar kadang berubah inklusif baik secara elaborasi, asimilasi, sintesis maupun inkulturasi, termasuk dengan budaya. Salah satu contoh dari inkulturasi antara kebudayaan dan agama dapat ditelaah dari tradisi megengan. Ketika konteks kata megeng ditarik pada konteks menyambut bulan puasa, yang dimaksud adalah persiapan diri meliputi outside sebagai unsur jasadi maupun inside sebagai unsur nafs selama memasuki bulan suci. Tradisi megengan memiliki signifikansi untuk mendidik umat akan urgensi syukur atas datangnya bulan suci Ramadan. Setidaknya, tradisi megengan menjadi wujud kegembiraan warga menyambut bulan suci Ramadan. [*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
Sintesis Islam dan Kejawen
Laporan : Khoirul Muhsinin, Nidhomatum MR Dalam kacamata ini, puasa lebih bersifat latihan rasa yang mencakup dimensi batiniah, maka tidak heran dalam jarwa dhosok bahasa Jawa poso berarti ngempet roso. Ada juga juga yang mengartikan sebagai ngeposke roso, yang mempunyai makna memberhentikan rasa. “Dengan pemaknaan Ramadan yang lebih dimaknai olah rasa ini, ulama terdahulu mengajarkan kepada kita untuk memaknai arti puasa Ramadan sebagai ritual yang sakral dengan cara menggelar tradisi megengan,” papar ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) ini. Apem dan Filosofi Megengan Satu hal yang membuat megengan benar-benar memiliki kekhasan tersendiri, di Desa Pandantoyo, Blongsong, maupun desa di tanah Jawa pada umumnya adalah kelaziman adanya jajanan bernama apem. Menurut keterangan Abdul Mu‘ti, yang masih termasuk keturunan Sunan Blongsong ini, secara filosofi kejawen, apem berasal dari Bahasa Arab AfwÎn yang artinya ampunan atau maaf. Dengan adanya apem
“Sebenarnya tradisi yang dilakukan masyarakat Islam Jawa ini dalam ajaran Rasulullah tidak ada. Ini hanya budaya orang Jawa dulu yang diislamkan oleh pembawa ajaran Islam di tanah Jawa, yaitu Wali Songo.”
blokBojonegoro/Khoirul Muhsinin
S
eperti yang dipa parkan KH Alamul Huda, Pengasuh Ponpes Ar-Rosyid, Desa Ngumpak dalem, Kecamatan Dander, ditilik dari segi agama Islam, megengan adalah tradisi yang tidak ada pada zaman Rasulullah. Meskipun demikian, hal itu tidak dilarang untuk diamalkan. Sampai saat ini, tradisi yang merupakan sintesis antara Islam dan kejawen ini memang belum diketahui pasti dari mana dan siapa pencetus awalnya. Kuat dugaan tradisi ini diciptakan secara kreatif dari pemikiran akulturatif dan variatif para walisanga, khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga. “Sebenarnya tradisi yang dilakukan masyarakat Islam Jawa ini, dalam ajaran Rasulullah tidak ada. Ini hanya budaya orang-orang Jawa dulu yang akhirnya diislamkan oleh para pembawa ajaran Islam di tanah Jawa, yaitu Wali Songo,” terang Gus Huda. Gus Huda me-lihat, filosofi megengan sangat dalam. Menurutnya, megengan berasal dari kata ageng (Agung). Berarti, megengan dapat pula dimaknai mengagungkan bulan Ramadan.
TRADISI Megengan juga diisi dengan mengaji atau membaca kitab suci Alquran yang harus disertakan sebagai jajanan dalam kenduri megengan, masyarakat diharapkan selalu memohon ampunan atau maaf, selama masih hidup hingga meninggal sekali-
pun. Makna lainnya, meski telah wafat, orang yang meninggal masih bisa didoakan agar dosadosanya diampuni oleh Allah SWT, melalui kiriman doa dari anak keturunannya. “Dengan begitu, yang masih hidup akan tetap ingat dan terus beristighfar, memohon ampunan kepada Allah sebelum maut merenggut nyawa,” ujar Mu`ti.
Dia menambahkan, setelah membuat berbagai jajanan, khususnya apem yang harus selalu ada dalam berkatan kenduri. Masyarakat juga memberikan jajanan melalui weweh ke tetangga dan sanak keluarga sebagai bentuk permintaan maaf satu sama lain. Untuk melebur kesalahan. Sehingga selama masih hidup akan selalu berbuat baik kepada sesama. [*]
Pesan untuk Ber der ma Sosial dan Sila tur ahmi Berder derma Silatur turahmi LAIN lubuk lain ikannya, seje deso mowo coro, pepatah ini tampaknya cocok jika dikaitkan dengan pelaksanaan megengan di wilayah Bojonegoro. Di Desa Blongsong, Kecamatan Baureno, Megengan dilaksanakan dengan cara lain. Menurut sesepuh desa tersebut, Abdul Mu’ti, tradisi Megengan dilaksanakan tidak hanya dengan melaksanakan hajatan di rumah masing-masing. Melainkan, juga dengan weweh atau mengirimkan nasi, jajan, dan lain sebagainya ke rumah handai taulan, atau tetangga terdekat. Dengan kata lain, ada nilai berbagi, filantropi (kedermawanan sosial), sekaligus silaturahmi. “Biasane megengan iku weweh nang sanak dulur, karo tonggo-tonggo cedak omah (Biasanya megengan
dilaksanakan dengan weweh kepada sanak saudara dan tetangga terdekat),” ungkap bapak tiga anak ini. Sama halnya dengan pendapat yang disampaikan Sokran, Abdul Mu’ti juga menambahkan, di Desa Blongsong pun seusai weweh orang yang berhajat Megengan juga nyekar (ziarah) ke makam keluarganya masing-masing. Ritual ini sebagai bukti bakti dan pengingat umat manusia terhadap kematian. Menurut keduanya, dengan melakukan Megengan masyarakat diajak untuk bersama-sama saling mengedepankan persaudaraan, peduli terhadap sesama dan menjalin kerukunan antar warga. Dimana sikap tersebut saat ini sangat sulit dilihat dan diperoleh di kehidupan masyarakat. [*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
Dunia Burung Makin Digemari Laporan: Erfan Effendi, Khoirul Muhsinin
“Selain hobi, memelihara burung bisa dijadikan refreshing , sekaligus mendatangkan rejeki.”
D
unia burung kicau Indonesia semakin hari semakin ramai. Ini ditandai dengan munculnya penghobi baru burung kicauan dan kembalinya para penghobi burung yang sudah lama tidak aktif bermain burung. Hal ini juga bisa terlihat dari perkembangan jumlah fans page atau penggemar website omkicau.com di facebook.com, yakni Halaman Hobi Burung Kicauan dan Penangkaran. Ramainya dunia burung kicauan juga ditandai dengan semakin besarnya minat penghobi burung kicauan yang ikut bergabung di Komunitas Kicaumania Indonesia di kicaumania.org. Pada saat yang sama, muncul grup baru yang berkaitan dengan dunia burung di facebook.com. Ada puluhan grup di situs jejaring tersebut, yang terbentuk karena kesamaan hobi dan minat pada burung, baik itu burung kicauan, anggungan (perkutut), derkuku dan juga merpati. Dunia burung juga merambah di Bojonegoro. Budi Arifianto (36), salah satu penghobi burung kicauan asal Bojonegoro, membenarkan sejak dua tahun lalu para penghobi burung kicauan mengalami peningkatan yang signifikan. Hal itu ditandai dengan semakin maraknya pagelaran lomba burung kicauan yang diselenggarakan berbagai klub-klub tertentu baik tingkat nasional maupun regional. Menurut Budi, burung kicauan
yang paling diminati antara lain jenis burung kenari, serindit, jog-jog atau merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier), kutilang (Pycnonotus aurigaster), murai batu (Copsychus malabaricus), anis merah (Zoothera citrina), kacer, dan cica-daun (Chloropsis sp), poksai, anis merah, cucak rowo dan lain-lain. “Selain hobi, memelihara burung juga bisa dijadikan media refreshing dan mengisi waktu luang, sekaligus mendatangkan rejeki,” papar ayah satu anak ini kepada tabloid blokBojonegoro. Masih menurut Budi, merawat burung-burung kicauan seperti cendet, cucak hijau, cucak rowo, kacer, kenari, anis kembang, anis merah, branjangan, lovebird, burung murai batu dan beberapa jenis burung berkicau lainnya, gampanggampang susah. Baginya, me-
melihara dan merawat burung berkicau ada tantangan yang harus dihadapi, yaitu kesabaran dan ketekunan yang harus extra dalam memperlakukan burung berkicau tersebut. Hal ini dikarenakan burung berkicau sangat mudah terserang penyakit stress yang akhirnya membuat kondisi badannya kurang baik dan akhirnya berujung kepada kematian. Selain kondisi fisik, kandang burung kicauan juga harus bersih dan bebas dari penyakit, minimal dua hari sekali kandang harus dibersihkan. “Ada baiknya selain perawatan yang intens, sesekali burung kicauan kita dibawa ke dokter hewan atau kita beri vitamin dua kali dalam seminggu,” ujar laki-laki yang juga pecinta sepeda kuno ini. [*]
Tips Merawat Burung Kicau mania tentu harus mengetahui cara merawat burung ocehan kesayangan, agar burung tersebut tampil ciamik, bila akan dilombakan ataupun saat mau didengar suaranya. Agar burung tetap bagus, maka perlu perawatan yang optimal. Kini, burung ocehan menjadi salah satu bagian dan tujuan kicau mania sebagai tempat untuk menyalurkan hobi yang terkandung nilai refresing atau rilek dan bisnis. Seiring melambungnya gengsi dalam memiliki burung ocehan, memang perlu ketelitian dalam merawatnya, apalagi burung tersebut berharga mahal serta mempunyai kicauan yang menarik. Untuk mencetak burung kicauan agar bisa terdongkrak tinggi nilai jualnya, diperlukan ketelatenan dan keseriusan yang mendalam. Tujuannya, untuk memberikan rasa nyaman
terhadap burung. Terutama menu makannya. Untuk itu, penggemar perlu memperhatikan beberapa hal sebagai beikut: Pertama, menu jangkrik merupakan makanan tambahan yang sangat digemari burung berkicau. Jangkrik juga dapat sebagai extra fooding, karena kadar proteinnya sangat tinggi, mencapai 60 persen. Sedangkan kandungan vitamin yang terkandung di dalam jangkrik serta lemaknya juga sangat dibutuhkan burung berkicau. Kedua adalah kroto. Kroto adalah sebangsa serangga yang mempunyai daya genjot yang cukup bagus terhadap burung ocehan, sebab juga terkandung protein yang tinggi melebihi jangkrik. Kroto bila disantap juga sangat mudah dicerna, sedangkan kandungan lemak serta seratnya tipis. Ketiga ulat Hongkong. Adalah juga menjadi makan favorit burung ocehan akan tetapi penggunaannya tidak banyak. Ulat Hongkong
biasanya banyak disukai burung cucak hijau, cendet, kacer, dan lainnya. Penggunaan ulat sebaiknya dibatasi, sebab bila kebanyakan akan mengakibatkan mata sakit dan terlihat putih. Keempat pisang kepok putih. Pisang ini sangat disukai burung ocehan, semisal cucak rowo, cucak hijau jenggot dan lainnya. Komoditi ini mudah dicari, karena ini hasil budidaya petani yang setiap saat mudah dicari. Kelima belalang. Hewan ini juga makanan burung ocehan. Belalang susah dicari, bila adapun hanya di tempat tempat tertentu, dan di pasar burung. Menu burung yang lain berupa cacing, juga penting bagi si burung ocehan. Keenam minuman feed suplemen, merupakan bagian yang penting dan dipakai oleh penggemar burung sebagai penyeimbang stamina. Nah, bila anda akan dan ingin memelihara burung dan atau belum tahu apa menu-menunya, tips ini semoga membantu anda memahami perawatan burung kicauan dengan baik. Selamat mencoba. [*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
Laporan : Nitis Sahpeni, Khoirul Muhsinin
B
ila dihitung secara ke ekonomian, aset yang dimiliki Pemkab Bojonegoro nilainya cukup besar. Total nilainya mencapai Rp 3 triliun lebih. Sungguh sebuah nilai yang bisa dibilang sangat besar, dan andai digunakan untuk biaya pembangunan, akan memiliki dampak yang amat-amat signifikan. Akan tetapi, harapan itu belum seindah yang dibayangkan. Faktanya, berdasarkan penelusuran blokBojonegoro, aset dengan nilai triliunan rupiah tersebut, tersebar ke ratusan titik. Bahkan, ada sebagian aset yang belum teridentifikasi, baik di Kecamatan Kota Bojonegoro maupun kecamatan lainnya. “Untuk di Kecamatan Kota (Bojonegoro) saja itu ada 500 titik lahan pemkab yang tersebar. Itupun luasnya tidak sama. Bahkan luasnya cenderung kecil dan terpencar-pencar,” ungkap Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Bojonegoro, Herry Sudjarwo.
blokBojonegoro/Khoirul Mukhsinin
RUMAH WARGA di kelurahan Banjarrejo Kecamatan Kota yang merupakan aset daerah Kesadaran akan banyaknya aset dan kayanya potensi yang terkandung, sudah disadari sejak awal oleh Pemkab Bojonegoro. Sejak tahun 2008 lalu, pemkab sebenarnya sudah mulai melakukan penataan asetaset yang berserakan tersebut. Namun, hingga sekarang masih belum rampung. Pemkab berdalih, penataan aset tidak bisa dilaksanakan hanya dalam tempo singkat, namun hasilnya tidak sesuai dengan harapan dan justru bisa-bisa berakibat timbulnya kerugian negara. Dasar yang digunakan oleh Pemkab Bojonegoro untuk melakukan penataan aset adalah adanya konsolidasi aset ke aset. Maksud dari penataan aset yang tidak terurus dan terpencar itu adalah agar aset-aset tersebut menjadi aset baru, namun bisa terkumpul dan dimanfaatkan dalam satu aset bersama. “Itu tidak akan mengurangi aset dan diupayakan untuk memberi nilai lebih,” jelasnya. Telebih lagi, bagi aset yang dimiliki Pemkab Bojonegoro banyak tersebar dengan luas yang tidak
“
Lama tidak apa-apa, asalkan semua sesuai koridor, karena untuk penilaian oleh tim appraisal (tim penaksir harga) indepeden itu juga mahal. Untuk tahun ini, di perubahan APBD saja dianggarkan sekitar Rp 200 juta
“
Pemkab Bojonegoro mempunyai potensi aset daerah yang sangat besar. Ada sekitar 500 titik, itupun hanya yang tersebar di kawasan Kecamatan Kota Bojonegoro, belum termasuk di kecamatan lain. Tetapi sayangnya, penataan dan inventarisasi terhadap aset-aset tersebut belum tertata dengan rapi. Sudah hampir dua tahun lamanya, sejak 2008, aset yang berserakan itu belum juga tuntas tertata.
Meski terkesan sangat lamban dan lama dalam penataan kepemilikan aset negara, pemkab tidak mau gegabah. Karena, apabila dalam penilaian nilai aset tersebut tidak sama, justru malah akan menimbulkan kerugian negara dan bisa berakibat pada unsur pidana. “Lama tidak apa-apa, asalkan semua sesuai koridor, karena untuk penilaian oleh tim appraisal (tim penaksir harga) indepeden itu juga mahal. Untuk tahun ini, di perubahan APBD saja
dianggarkan sekitar Rp 200 juta,” paparnya. Selain itu, harus ada unsur keterbukaan dalam penataan aset daerah, dalam aspek ekonomi tidak ada kerugian. Sehingga, melakukan penataan maupun pelepasan terhadap aset daerah yang notabene adalah milik negara harus dilakukan dengan matang. “Karena, banyak kasus yang terjadi karena ketidak hati-hatian dalam penentuan nilai aset. Misalnya di Jember dan daerah lain,”ujarnya. [*]
merata. Herry menambahkan, Pemkab Bojonegoro selama dua tahun terakhir ini sudah menyusun neraca aset yang dimiliki oleh seluruh kecamatan di Bojonegoro. “Karena itu penting. Apalagi, pada audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2009 untuk penyelenggaraan pemerintahan 2008, Pemkab Bojonegoro mendapat predikat disclimer,” jelas Herry. Atau dalam kondisi laporan keuangan yang tidak wajar, yang salah satu faktor penyebabnya adalah berserakannya asetaset yang dimiliki pemkab.
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
blokBojonegoro/Khoirul Mukhsinin
Ratusan titik aset Pemerintah Daerah yang masih ditempati oleh warga
Aset Berserakan Akan Dilepas “Sudah ada gambaran, nanti lokasinya akan disatukan dalam satu lokasi, sesuai dengan rencana pengembangan kota,” jelasnya. Sesuai rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) yang masih terus digodok, pengembangan lebih di arahkan pada Bojonegoro bagian selatan Laporan: Nitis Sahpeni
K
onsekuensi dari penataan aset-aset daerah, Pemkab Bojonegoro berencana melepas sejumlah tanah negara yang notabenenya aset daerah. Salah satunya adalah tanah yang dinilai tidak mempunyai nilai guna dan ekonomi yang tinggi. Serta karena, kondisi tanah yang tidak terlalu luas, terpetak-petak, serta tersebar di banyak titik.
“Itu yang ada di Kecamatan Kota (Bojonegoro) saja sudah ratusan jumlahnya, belum lagi yang ada di kecamatan dan belum terdata,” kata Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Bojonegoro, Herry Sudjarwo. Herry menuturkan, rencana pelepasan aset milik pemkab ada di sekitar 150 titik. Tetapi, sebelum melakukan pelepasan aset, ada be-
berapa langkah dan prosedur sesuai aturan yang berlaku yang hendak dilakukan. Aturan baku dalam pengelolaan aset negara tersebut sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah. Selain itu, juga aturan main yang tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Dalam aturan yang berlaku tersebut dijelaskan, pelepasan aset harus melalui prosedur, yakni atas persetujuan DPRD setempat, dalam hal ini adalah DPRD Bojonegoro. Serta, ada penilaian dari tim appraisal independen untuk mengetahui nilai aset yang akan dilepas dan gantinya. Selain itu, ada prosedur pelelangan secara terbuka melalui Kantor Lelang Negara (KLN), dalam hal ini untuk sistem pelelangan dengan prioritas bagi pembeli pertama, yang diberikan kesempatan terlebih dahulu. Tidak hanya itu, pelepasan aset juga bisa dilakukan kepada pihak ketiga, misalnya investor. Mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Bojonegoro ini, menyebutkan, pelaksanaan pelepasan aset yang berserakan dan terpencar lokasinya dapat dilaksanakan sesuai perencanaan pemkab. Selanjutnya, akan berpikir tentang pembelian aset baru yang bisa dimanfaatkan dalam satu kompleks. “Sudah ada gambaran, nanti lokasinya akan disatukan dalam satu lokasi, sesuai dengan rencana pengembangan kota,” jelasnya. Sesuai rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) yang masih terus digodok, pengembangan lebih di arahkan pada Bojonegoro bagian selatan. Namun, Herry mengingatkan bahwa penataan aset pemkab tidaklah mudah, dan dinilainya sangat sensitif. “Karena, kalau aset tersebut benar-benar dilepaskan, kemudian diganti dengan yang baru, itu nilainya harus benar-benar sesuai. Jangan sampai ada kerugian negara, itu yang sangat kita hindari,” paparnya. [*]
Komisi A : pasan Aset Untuk Optimalisasi elepasan Pele Menanggapi polemik tentang aset daerah, Komisi A DPRD Bojonegoro sejak April lalu membentuk panitia kerja (panja) tentang Sugeng H. A penataan aset Pemerintah Daerah (Pemda). Pembentukan panja dengan tujuan menginventarisir aset, menghitung secara riil nilai aset yang sebenarnya, dan melakukan optimalisasi. Dasar pemikiran munculnya panja adalah Pemda Bojonegoro selama ini belum secara nyata mempunyai database tentang keberadaan aset. Selain itu, masih banyak aset daerah yang tercecer dan digunakan pihak ketiga tanpa adanya kompensasi. “Selain itu, ada juga aset yang belum memiliki sertifikat atau secara dejure belum
dalam penguasaan pemkab,” kata anggota Komisi A, Sugeng Hari Anggoro kepada blokBojonegoro. Ia mencontohkan, tanah eks bengkok yang salah satunya tersebar di Kecamatan Dander disewakan. Diketahui, dari hasil nilai sewa itu terlalu minim bagi pemerintah daerah. Misalnya, tanah di Desa Ngraseh seluas 2 hektare hanya menghasilkan PAD sebesar Rp 1 juta, padahal itu bisa lebih besar lagi. “Selain itu, pembelian tanah yang dilakukan pemkab namun belum disertifikatkan, dibelakang hari sangat riskan dengan sengketa hukum,” jelasnya. Dari hasil panja tersebut Komisi A menemukan ada tiga identifikasi aset pemkab. Yakni aset yang secara defacto dan dejure dikuasi oleh pemkab, aset yang secara dejure
dikuasai pemerintah tetapi secara defacto dikuasai pihak ketiga, serta aset yang ditelantarkan pemerintah. Politisi PAN itu juga menyebutkan, jika pemda ingin melakukan pelepasan terhadap aset, setidaknya perlu mempertimbangkan beberapa kriteria. Diantaranya aset ini digunakan sebagai langkah optimalisasi pemerintah daerah dan harus menggunakan prinsip tidak merugikan daerah, atau bisa menguntungkan keuangan daerah dan negara. Serta disesuaikan dengan rencana strategi pemkab, yaitu pelepasan aset harus digunakan untuk pengembangan kabupaten. “Proses pelepasan aset ini harus melalun aprecial (penilaian) dan memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku,” jelas Sugeng. [*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
SKPD pun Ikut Mendata Pendataan aset-aset yang dimiliki Pemkab Bojonegoro, penting dilakukan. Laporan: Nitis Sahpeni
blokBojonegoro/Khoirul Mukhsinin
S
BEBERAPA KANTOR Parpol yang termasuk menjadi aset pemerintah daerah
“
SKPD juga hendaknya mendata aset yang dimiliki untuk diinventaris”
“
elain penataan aset dengan cara pelepasan, Pemkab Bojonegoro juga berencana melakukan pengembangan terhadap lahan milik pemerintah yang ditempati hunian warga. Salah satunya adalah pengembangan untuk sarana pendidikan di SDN Kepatihan, Kecamatan Kota Bojonegoro. Adanya empat rumah di belakang SDN Kepatihan, merupakan bangunan yang berdiri di atas tanah yang bersertifikat milik Pemkab Bojonegoro. Sehingga, pihak yang menempati rumah itu tidak pernah mendapatkan izin penempatan dari pemerintah, baik dalam bentuk sewa atau pakai. “Untuk yang di belakang SDN Kepatihan itu tidak akan dilepas, tetapi akan dikembangkan untuk perluasan SD,” jelasnya. Selain itu, pengembangan juga akan dilakukan di Kelurahan Banjarejo, Kecamatan Bojonegoro, dimana saat ini aset yang dimiliki cukup luas dan terletak di belakang Pasar Banjarejo. Selanjutnya, lahan tersebut tidak akan dilepas, melainkan akan dikembangkan untuk pasar itu sendiri. Pada dasarnya, penataan aset yang dimiliki Pemkab Bojonegoro selama ini masih terus dilakukan pembaharuan. Hal itu bertujuan untuk mengetahui nilai aset yang dimiliki pemerintah kabupaten. “Sehingga, bisa dimanfaatkan sesuai dengan kebu-
tuhan dan manfaat bagi masyarakat,”jelas Herry. Untuk terus melakukan updating data, pemkab melalui DPPKA, sudah membentuk tim penelusuran aset. Pendataan sendiri dilakukan dengan melibatkan pihak kecamatan, karena asetnya yang tersebar di masing-masing kecamatan sangat besar. Termasuk aset yang dimiliki oleh masingmasing satuan kerja pemerintah daerah (SKPD). “SKPD juga harus mendata aset yang
dimiliki untuk diinventaris,” ujarnya. Menurut dia, pendataan aset-aset yang dimiliki Pemkab Bojonegoro, penting dilakukan karena SKPD, baik yang berada di wilayah Kecamatan Kota Bojonegoro maupun yang berada di wilayah kecamatan-kecamatan, lebih mengetahui mengenai apa saja aset yang dimilikinya tersebut. SKPD yang memiliki ban-
yak aset adalah yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan (Disdik) yang kepanjangan tangannya di wilayah kecamatan adalah unit pelaksana teknis daerah (UPTD) pendidikan. Selain disdik, dinas kesehatan (Dinkes) juga memiliki aset yang melimpah, misalnya aset yang selama ini dikelola puskesmas. Itupun belum termasuk aset-aset yang dimiliki oleh kecamatan. “Agar terjadi
pendataan yang masif, untuk itu kami juga meminta agar SKPD yang memiliki jaringan luas hingga kecamatan ikut melakukan pendataan. Sebab, mereka sendiri yang lebih tahu ase-aset yang dimilikinya,” imbuhnya. Selain SKPD, inventarisir dan pendataan aset milik pemerintah daerah terus terus dilakukan. Termasuk mencari informasi dari masyarakat. [*]
Sumber Data: Litbang blokBojonegoro
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
Ada Yang Pro, Banyak Pula Yang Kontra Sudahkah pemkab memiliki langkah antisipasi agar masyarakat tidak terlantar, terpinggirkan, dan tidak terjadi gejolak di kemudian hari? Laporan : Nitis Sahpeni, Khoirul Muhsinin
PEMKAB berencana melepas aset yang ditempati warga
D
ari ratusan aset bidang tanah yang dimiliki Pemkab Bojo negoro tersebut, sebagian di antaranya ditempati warga dengan status tanah negara. Antara lain tanah tersebut tersebar di empat kelurahan di Kecamatan Kota Bojonegoro, dan ditempati oleh sekitar 148 warga. Sedangkan jumlah warga yang menempati tanah aset pemerintah yang berstatus tanah eks bengkok dan
blokBojonegoro/Khoirul Muhsinin
tanah sekolah sebanyak 144 orang yang tersebar di lima kelurahan. Dari jumlah tersebut, warga yang paling banyak menempati tanah yang menjadi aset Pemkab Bojonegoro berada di wilayah Kelurahan Banjarejo, dengan 92 kepala keluarga. Khusus di wilayah Kota Bojonegoro sendiri, ada sekitar 150 titik yang akan dilepas. Lantas, bagaimana dengan nasib warga yang sudah me-
nempati lahan dan sudah mendirikan tempat tinggal selama bertahuntahun tersebut. Bahkan, tidak sedikit di antaranya yang mempunyai usaha di lahan tersebut? Sudahkah pemkab memiliki langkah antisipasi agar masyarakat tidak terlantar, terpinggirkan, dan tidak terjadi gejolak di kemudian hari. Berdasar penelusuran wartawan blokBojonegoro di beberapa lokasi, banyak anggapan muncul dari masyarakat, bahwa lahan yang mereka tempati sudah dibebaskan pemkab untuk pemukiman mereka. Salah satunya di Kelurahan Banjarejo, Kecamatan Bojonegoro. Seperti yang dikatakan Atin (40). Dia mengaku tanah yang sudah dihuni bertahun-tahun tersebut tidak mungkin akan digusur. “Yang jelas masyarakat akan keberatan kalau dipindah, walaupun toh itu ada ganti rugi dari pemkab,” jelas mbak Tin, panggilan akrabnya. Atin menambahkan, usaha warkopnya di tanah tersebut sudah bertahun-tahun dan juga dikenal masyarakat. Belum tentu jika nanti di tempat lain buka warung lagi bisa laris seperti di lahan yang sudah ditempati sekarang. Hal senada juga diungkapkan Lasmo (35). “Kalau kami dipindah, itu akan merugikan kami, soalnya harus mulai lagi hidup dari awal semua,” tuturnya. Selain karena alasan sudah menempati lahan tersebut sejak bertahun-tahun secara turun temurun, banyak warga setempat yang mem-
buka usaha warung jajanan dan pertokoan. Hal ini menunjukkan, bahwa warga yang tinggal di kawasan lahan milik pemkab itu, bukan sekadar dijadikan pemukiman saja, tetapi juga sebagai tempat usaha dan mencari nafkah. “Jika lahan yang dimukimi warga akan dilakukan pelelangan, kami juga merasa sangat keberatan. Tapi kalau hanya sekedar bayar pajak tiap tahun, tidak masalah bagi semua warga sini,” sambungnya. Namun, ada juga warga yang menyadari, jika tanah yang digunakan dan menjadi tempat tinggal selama ini adalah milik pemkab. Kalaupun Pemkab Bojonegoro ingin melepaskan aset dengan cara dilelang, ada warga yang siap untuk membelinya. “Ya, karena kan sudah ditempati lama, nanti kalau harus menempati lahan baru, kan memulai baru lagi,” jelas salah satu sumber. Dia menambahkan, jika aset pemkab tersebut ditarik kembali diharapkan pemerintah terkait tetap memperhatikan nasib penghuninya. “Ya, kalau bisa ada gantinya,” paparnya lebih lanjut sambil melangkah pergi. Karena itu, rencana pemkab yang akan melakukan penataan aset yang dimiliki, harus memperhatikan segi kebutuhan masyarakat. Sehingga, tidak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat di kemudian hari. Meskipun, warga masyarakat juga perlu menyadari jika tanah milik negara, harus dikelola oleh negara. [*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
Kecelakaan nahas di malam pesta pernikahan di rumah Mari (47) warga Dusun Kedungkrambil, Desa Sumberejo, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro masih menyisakan duka. Namun, berbagai upaya dilakukan agar kecelakaan susulan tidak terulang kembali.
K
abupaten Bojonegoro sepertinya belum berhenti mendapatkan cobaan berat. Musibah silih berganti berlangsung, dan dua kecelakaan nahas belakangan ini disebabkan oleh kecerobohan manusia, bukan karena faktor lain. Pertama dimulai akibat perahu tenggelam di Kecamatan Kanor, dan disusul kecelakaan tragis PUING-PUING rumah Mari yang tertimpa truk tronton dalam kecelakaan Margomulyo, Rabu (29/06/2011) di Kecamatan Margomulyo. merelokasi rumah Mari yang letaknya cukup Tragedi di pementasan ketoprak asal Kabupariskan. Yakni, berada diturunan yang tidak terlalu ten Blora di malam pesta perkawinan pasangan Witajam, tetapi cukup panjang. Sehingga, membuat dodo (25) dan Suparni (19) berakhir dengan kepipengendara yang lalai bisa langsung menghantam luan. Sebab, saat pagelaran baru dimulai, truk tronrumah di tepi jalan raya tersebut. “Wacana itu ton bermuatan semen nopol L 8286 UH yang dikememang dibahas, tetapi, bagaimana nantinya mudikan Abdurrohman (45) warga Desa/Kecamamasih belum tahu. Pak Bupati, juga belum tan Jenu, Tuban melaju kencang tanpa bisa dikenmemberikan info apa-apa, terkait wacana relokasi dalikan. Akibatnya, ia menabrak pick up L 300 di tersebut,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum depannya yang dikemudikan Mulyadi. Tidak han(DPU) Bojonegoro, Andi Tjandra kepada blokya itu saja, tronton Varia Usaha yang mengangkut Bojonegoro. 30 ton semen atau 750 zak tersebut menghantam Ditambahkan, kalau untuk relokasi atau mengtruk tangki dari arah berlawanan. ganti rumah, perlu mekanisme yang membutuhAkibatnya, warga yang sedang asyik melihat kan waktu cukup lama. Antara lain, ada dasar yang pertunjukan semburat. Kesenangan yang awalnya kuat, selain itu juga persetujuan pemindahan, dan tersaji di Jalan Raya Bojonegoro-Ngawi tersebut mencari lokasi yang baru. “Semua harus melalui harus berakhir dengan tangis pilu. Sebab, 16 korban meninggal dunia dan 13 mengalami luka-luka. Se- (35) dan Wahyu Setya P (16), keduanya warga proses yang ada,” tambahnya. Dukungan relokasi rumah Mari juga muncul lain itu, masih ada beberapa yang shock hingga Desa Sumberejo, Kecamatan Margomulyo. Banyaknya korban yang meninggal dan luka- dari Wakil Ketua DPRD, Suyuthi. Menurutnya, jika sampai saat ini. Diantara korban yang meninggal dunia antara luka membuat warga hingga sekarang masih trau- pemkab akan melakukan relokasi rumah yang lain, Tamiran (27), Lestari Ira Wahyu (3), Suranto ma. Yang miris, santunan dari pihak Varia Usaha berada di jalur rawan kecelakaan itu, DPRD siap (35), Suyanto (41), Bambang (19), Rubianto (22), belum juga diberikan secara manusiawi. Polres untuk mengawal penganggarannya. “Semuanya Slamet (59), Wartono (30), Budi Riyanto (19), Rudi- Bojonegoro terus berusaha menegosiasi ulang itu demi kebaikan bersama,” jelasnya. Ketua janto (14), Pujianto (16) dan Sundari (26), seluruh- dengan perusahaan mengenai jumlah yang Komisi D, Ali Huda juga menyampaikan hal nya warga Dusun Batang, Desa atau Kecamatan diinginkan oleh keluarga korban. Sehingga, hampir senada. Karena, ia menganggap relokasi rumah Margomulyo. Selain itu, korban tewas lainnya Edi satu bulan berlangsung pasca kejadian, korban yang berada di tempat rawan seperti itu sangat Purnomo (16) warga Dusun Besali, Desa Meduri, baru menerima santunan dari Jasa Raharja dan perlu dilakukan. “Kalau bisa akan diupayakan Kecamatan Margomulyo, Sumanggiono (18) asal Pemkab Bojonegoro. Sementara itu buntut dari untuk anggarannya pada pembahasan APBD Desa Sumberejo, Kecamatan Margomulyo, Nariyo kecelakaan tragis di Margomulyo, muncul wacana Perubahan,” sambungnya. [*] Kapolres:
Harus dipindah Letak rumah Mari yang tepat di pinggir jalan membuat analisa pihak kepolisian membenarkan jika harus ada relokasi. Karena, kalau dibiarkan, bisa menyebabkan kecelakaan serupa. Hal itu dikatakan Kapolres Bojonegoro, AKBP Widodo, kepada blokBojonegoro. Dijelaskan, setelah pihak Satlantas Polres Bojonegoro dan Polda Jatim menggelar olah tempat kejadian perkara (TKP) dan analisa kejadian, memunculkan beberapa hasil. Diantaranya, rumah tersebut cukup rawan kecelakaan.
Alasannya, rumah berada di tepi jalan yang sedikit menikung dan di turunan yang cukup panjang. Dengan kondisi jalan seperti itu, pengendara yang melintas akan menggunakan rem yang tidak matang, dan jika lalai akan langsung menghantam rumah. “Hasil olah TKP dan analisa kami terkait rumah Mari memang seperti itu. Sehingga cukup wajar jika ada wacana relokasi rumah tersebut,” jelas mantan Kapolres KP3 Tanjung Perak Surabaya tersebut. Menurut Widodo, pihaknya sangat mendukung relokasi. Karena demi kebaikan bersama dan kecelakaan tidak terulang kembali.
Camat Margomulyo:
Keluarga Mari Bersedia direlokasi Wacana relokasi yang didengungkan berbagai pihak, baik pemkab, DPRD, dan masyarakat terhadap rumah milik Mari (47), warga Desa Sumberrejo, Kecamatan Margomulyo, kelihatannya tidak bertepuk sebelah tangan. Sebab, pemilik rumah mengaku bersedia direlokasi dari tempat kejadian perkara (TKP) kecelakaan tragis yang menewaskan 16 orang tersebut. Camat Margomulyo, Yayan Rochman, mengaku telah bertemu
kembali dengan keluarga Mari. Intinya, mereka menyatakan kesediaan untuk dipindah ke lokasi lain yang lebih aman. “Benar memang, itu setelah beberapa kali dilakukan pendekatan dan diberikan penjelasan. Akhirnya mereka bersedia direlokasi,” kata Yayan. Ditambahkan, jika Mari dan keluarganya juga menyadari kondisi tempat tinggal mereka yang tepat di sisi jalan sangat rawan terjadi kecelakaan lagi.Walau begitu, pihak kecamatan akan terlebih dahulu membawa wacana relokasi tersebut ke tingkat pemerintah kabupaten. “Termasuk meminta rekomendasi DPRD Bojonegoro,”jelasnya. [*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
blokBojonegoro/Erfan Effendi
Laporan: Khoirul Muhsinin, Nitis Sahpeni, Erfan Effendi
Menggugat Ketidakadilan Migas Oleh: Muhammad A Qohhar Pemimpin Redaksi blokBojonegoro.com
K
isah negeri yang memiliki ka ndungan minyak melimpah belum tentu menjadikan negeri tersebut kaya, makmur, dan sejahtera ada benarnya. Blok Cepu, yang 90 persen wilayah operasinya masuk di Kabupaten Bojonegoro, menyimpan kekayaan minyak luar biasa. Dari sekitar 40 sumur yang dikerjakan ExxonMobil melalui anak perusahaannya, Mobil Cepu Limited (MCL), dan Pertamina, diperkirakan mengandung 600 juta barel minyak, dan gas 1,7 triliun hingga 2 triliun kaki kubik (TCF). Di lapangan, diperkirakan Blok Cepu menyimpan kandungan minyak 250 juta barel. Pada kondisi puncak yang diperkirakan diatas tahun 2013, operator akan mampu memproduksi minyak 165.000 barel per hari lebih atau jika dijumlah dengan yang diproduksi Joint Operating Body Pertamina-Petrochina East Java (JOB P-PEJ) bisa setara dengan 20 persen produksi minyak Indonesia saat ini (Gatra, 25 Maret 2006, lihat juga Tempo, 2 April 2006). Faktanya, kondisi yang dirasakan oleh Kabupaten Bojonegoro sekarang, tak seindah dalam angan-angan pada waktu itu. Bahkan bisa dibilang suatu ironis. Alih-alih kesejahteraan, Kabupaten Bojonegoro justru mengalami ketidakdilan dalam pengelolaan minyak, khususnya di luar ranah bagi hasil minyak. Setidaknya menurut penulis, ada empat perlakuan tidak adil yang diterima Kabupaten Bojonegoro dalam kaitannya dengan implikasi pengelolaan minyak. Pertama, minimnya dana coorporate social responsibility (CSR/tanggung jawab sosial perusahaan) yang diberikan oleh operator minyak. Selama MCL beroperasi (sejak 2006 hingga sekarang/lima tahun), dana CSR (dulu community development) yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro “hanya” Rp 17 miliar. Memang besaran riil dana CSR tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Namun, dalam pasal 15 (b) pada UU yang sama ditegaskan, yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma,
dan budaya masyarakat setempat. Dalam konteks seimbang inilah besar dana CSR sudah seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal. Kedua, ada kesan pengadaan/ pembuatan infrastruktur penunjang eksploitasi Blok Cepu di luar kaki bor dipersulit. Alotnya pembangunan lapangan terbang (lapter) adalah satu di antara sekian contoh. Padahal, untuk menunjang puncak produksi minyak, dibutuhkan lapter terbang untuk memperlancar proses pengiriman minyak dan transportasi. Dari sisi ekonomi, pembangunan lapter juga bisa menghemat dana hingga triliunan rupiah. Jika hal ini bisa dimaksimalkan, akan ada pemasukan yang signifikan bagi Bojonegoro, yang tentu juga merupakan modal untuk kesejahteraan masyarakat. Di luar lapter, Bojonegoro juga “dipersulit” dalam pembangunan waduk yang berfungsi sebagai pendingin saat eksploitasi minyak memasuki fase puncak. Padahal, berdasarkan kajian tim Pemkab Bojonegoro, keberadaan waduk penting tak hanya sebagai pendingin, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai stok air untuk pengairan sawah pada saat musim kemarau tiba. Waduk juga dapat digunakan sebagai tempat cadangan untuk menampung air saat debit air di Bengawan Solo berlimpah. Alih-alih usulan pemkab ini disetujui, BP Migas justru mengeluarkan keputusan “aneh”, yaitu fifty-fifty. Artinya, separo memakai konsep waduk, separo lainnya menggunakan desalinasi (penyulingan air laut menjadi air tawar) yang disalurkan dari laut di wilayah Rembang, Jawa Tengah. Ketiga, disparitas penerimaan pajak. Hingga saat ini, pajak yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro
atas keberadaan PT Tri Wahana Universal (TWU), investor pengelola kilang mini (mini refinery) yang mengolah minyak mentah dari Blok Cepu menjadi minyak jadi, teramat sangat minim. Dalam setahun, PT TWU yang ada di Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro, hanya menyetor pajak ke Bojonegoro minim, karena lebih banyak langsung ke pusat. Itupun yang masuk ke Bojonegoro hanya untuk pajak bumi dan bangunan (PBB). Padahal, aset, nilai konstruksi, dan manfaat kilang mini tersebut hingga mencapai ratusan miliar rupiah. Penerimaan pajak tersebut kontradiktif dengan yang ada dalam UU tentang Perpajakan, dimana daerah penghasil harusn y a menerima 62 persen dari total penghasilan. Ironisnya, penerimaan pajak (PPN/PPH) terbesar justru diterima oleh Pemprov DKI Jakarta, hanya karena PT TWU kantornya berada di wilayah Jakarta. Hal ini tentu tak adil, karena yang menanggung semua resikonya adalah masyarakat sekitar, dalam hal ini rakyat Kabupaten Bojonegoro. Keempat, penerapan regulasi yang tidak berpihak. Selama ini, pembayaran pajak untuk bangunan EPF (early production fasilities) yang terletak di Kabupaten Bojonegoro hanya mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP), yang berada pada kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 30 ribu per meter persegi. Hal ini kontradiktif, karena nilai aset dari EPF mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Seharusnya, pembayaran pajak EPF mengacu pada taksiran validasi harga kekinian. Apabila hanya mengacu NJOP, dengan mengatasnamakan regulasi, tentu Bojonegoro amat dirugikan. Sementara, segala dampak
negatif yang ditimbulkan akan ditanggung oleh Bojonegoro. Disparitas penerimaan pajak juga akan dialami Kabupaten Bojonegoro, bila lima proyek EPC penunjang puncak produksi minyak, hanya mengacu regulasi yang memunculkan satu ketidakadilan bagi daerah. Sebab, semua homebase perusahaanperusahaan yang menang tender dalam proyek lima EPC terletak di Jakarta. Lagi-lagi, Kabupaten Bojonegoro hanya kecipratan, yang dalam konteks tertentu, tentu tidak adil. Pemerataan Ekonomi Dalam skala besar kebijakan pemerintah pusat di atas akan mampu menumbuhkan PDRB (product domestic regional bruto). Akan tetapi, sentralisasi kebijakan tersebut tak mampu menciptakan pemerataan ekonomi. Alih-alih pemerataan ekonomi, yang terjadi justru menciptakan kesenjangan kelas ekonomi antara daerah dan pusat. Dibutuhkan sebuah terobosan berani agar daerah potensial tidak lagi menjadi sapi perah, melainkan diberikan kewenangan dalam mengelola keuangannya. Teori welfare state (negara kesejahteraan) yang selalu merekomendasi betapa pentingnya menumbuhkan potensi masyarakat kreatif yang mandiri, seharusnya menjadi titik pijak pemerintah pusat. Campur tangan pemerintah, yang tampak dalam kebijakan bagi hasil pajak, yang justru menciptakan kesenjangan distribusi bagi hasil sebagaimana dipaparkan di tulisan awal, tidak boleh menjadi tangan-tangan kotor yang justru menjebak rakyat dalam posisi ketergantungan. Sebab, ada kecenderungan secara politis, bahwa rakyat diciptakan begitu tergantung pada pemerintah yang berkuasa (rezim). Padahal seharusnya, penyelenggaraan pemerintahan modern harus bisa menyeimbangkan perubahan perilaku sosio-ekonomi masyarakat yang berkembang serasi dan selaras dengan perubahan tersebut, tanpa rakyat harus terlempar dari risiko perubahan dan perilaku modern ataupun dari akses-akses ekonomi. Selama hal ini tidak dijalankan oleh pemerintah pusat, jangan harap ketidakadilan dalam pengelolaan migas, dapat hilang. [*]
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com
ngaruhi oleh peristiwa konflik di berbagai daerah yang melibatkan antar umat beragama. Faktor internal dan eksternal itulah yang menjadi latar belakang terben-tuknya organisasi lintas agama di Bojonegoro. “Untuk pertama kalinya
“Perbedaan itu bukan suatu penghalang dalam menjalankan ajaran agama masingmasing. Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk dipahami” Laporan : Khoirul Muhsinin
D
engan keyakinan itulah, sosok yang dikenal dengan ciri khas bersurban ini dipercaya selama tiga periode berturutturut menjadi ketua Paguyuban Umat Beragama Forum Komunikasi Umat Beragama (PUB-FKUB) Bojonegoro. Dialah KH Alamul Huda, ketua PUB-FKUB Bojonegoro, sebuah wadah yang digunakan untuk berinteraksi dan komunikasi antarumat beragama di wilayah Kota Ledre ini.
Dari cerita yang diperoleh, PUB-FKUB Bojonegoro didirikan pada April 2001. Prosesnya melalui tahapan yang cukup panjang. Beberapa tokoh agama, masyarakat, mahasiswa dan pemuda lintas agama melakukan diskusi untuk menentukan format lembaga, sekaligus pemimpinnya. Akhirnya, KH Alamul Huda dianggap sebagai orang yang tepat untuk mengelola wadah antar umat beragama ini. Ide perlunya wadah yang keanggotaannya dari lintas agama salah satunya dipe-
terbentuk PUB dulu, lantas ditindak lanjuti oleh pihak pusat dan terbentuklah FKUB,” katanya. Pria yang akrab dengan siapa saja ini beranggapan menyatukan perbedaan itu sebenarnya tugas negara, sebagai negara Pancasila. Terlebih lagi, Indonesia mempunyai landasan Bhineka Tunggal Ika, yang bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan. “Akan tetapi, sebagai masyarakat yang melihat adanya perpecahan dan perbedaan, sudah sepatutnya untuk terus berkomunikasi. Meskipun berbeda keyakinan,” ujarnya. Kalaupun pada akhirnya Gus Huda dipercaya sebagai ketua PUB-FKUB, hal ini dikarenakan banyak pihak memandang bahwa kyai kelahiran Bojonegoro, 2 Juni 1964 ini bisa menjadi penggerak kerukunan antar umat beragama. Seperti pendapat yang disampaikan Stevanus Somianta, saat ditemui blokBojonegoro dalam kesempatan terpisah. “Dari awal mula berdiri, FKUB itu diketuai oleh
Gus Huda. Bahkan sampai sekarang ini beliau masih terus dipilih oleh kawankawan dari lintas agama,” papar pendeta protestan ini. Sejak berdiri pada 2001, sosok Gus Huda masih dilihat lebih mampu mengayomi umat beragama. “Dari semua lintas agama, Gus Huda adalah sosok yang memang pantas untuk dijadikan ketua. Karena beliau bisa berkomunikasi dengan umat beragama secara baik, selain itu beliau berpengalaman dalam memimpin banyak umat,” tegasnya . Pendapat yang sama diungkapkan oleh salah seorang tokoh dari Konghucu, Harianto Budiono. “Pak Alamul (Huda) itu memang orangnya bisa diterima di semua kalangan, dan dari agama apa saja, dia mampu untuk berdialog dengan baik,” ungkap Harianto Budiono. Pandangan terhadap kepemimpinan Gus Huda di forum lintas agama ini menjadi salah satu modal penting bagi masyarakat Bojonegoro untuk hidup secara berdampingan dan mencegah perbedaan menjadi konflik horizontal. Bagi Gus Huda menjalin komunikasi dan interaksi secara intensif dengan berbagai pemeluk umat beragama sangat mutlak dilakukan di kalangan lintas agama. “Ya, melalui diskusi berkala, selain itu bisa dilakukan dengan kegiatan sosial, melalui bakti sosial (baksos) misalnya,” beber suami dari Lait Stinnafis ini. Bentuk penghormatan ke-
yakinan umat beragama lainnya dilakukan dengan cara mangayu bagyo pada hari raya. Ayah dua anak ini menjelaskan, apabila salah satu dari kelompok agama sedang merayakan hari besarnya, FKUB memberikan penghormatan dalam bentuk ucapan selamat. “Contoh yang menonjol saat Ramadan,” tuturnya. Setiap Ramadan, selalu ada kajian ilmiah yang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan puasa. Banyak umat non muslim yang mengikuti acara kajian tersebut dan memberi makanan berbuka. “Ya, itu sebagai contoh bagi masyarakat. Bahwa perbedaan itu bukan suatu penghalang dalam menjalankan ajaran agama masing-masing,” ungkapnya. Gus huda berharap ada perhatian dari masyarakat agar menjalin kerukunan, dengan umat agama manapun. Seharusnya dengan perbedaan ini bisa dipertemukan dengan komunikasi untuk saling dipahami. [*]
Biodata Nama : Alamul Huda Tetala : Bojonegoro, 2 Juni 1964 Istri : Lait Stinnafis Alamat : Desa Ngumpakdalem, Kecamatan Dander Riwayat Khidmah 1. Ketua Ikatan Alumni Pondok Modern (IKAPM) Gontor, Bojonegoro 2. Pimpinan Ponpes AlRosyid 3. Wakil Ketua MUI Bojonegoro 4. Wakil Ketua IPHI Bojonegoro
PDF Created with deskPDF PDF Writer - Trial :: http://www.docudesk.com