Jurnal Edukasi, Volume 1, April 2015
SEJARAH KOMUNITAS TIONGHOA DI YOGYAKARTA 1900-1942 Yudi Prasetyo (Program Studi Pendidikan Sejarah, STKIP PGRI Sejarah,
[email protected]) Abstrak Artikel ini mengulas tentang sejarah terbentuknya komunitas Tionghoa di Yogyakarta yang menitikberatkan pada hubungan sosial ekonomi dengan masyarakat Pribumi dan pemerintah kolonial Belanda di kota Yogyakarta pada periode 1900 – 1942. Disamping itu juga membahas status dan peran (status and role) etnis Tionghoa, kebijakan pemerintah Belanda, dan implikasinya terhadap etnis tersebut. Tujuan artikel ini adalah merekonstruksi dinamika kehidupan dan aktivitas ekonomi perdagangan etnis Tionghoa dalam perspektif kajian historis. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode penelitian ilmu sejarah dengan menggunakan sumber sejarah berupa arsip Belanda, referensi literatur baik dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda serta didukung dengan teori sosial dan data statistik. Kata kunci: Komunitas, Tionghoa, Yogyakarta Abstract This article is reviewing about the history of how was Tionghoa community was built in Yogyakarta. It foccusses to the social economy relationship of the indigenous people and the Holland government colonialism in Yogyakarta city in 1900 – 1942 .In addition to that, it is also discussing about the status and role of Tionghoa etnic, Holland government’s policy and the implkication to the etnic. The aim of this article is to reconstruct the life movement and the economy and trading activities of the Tionghoa etnic in the hitorical view. The method used in this article is the research method in history research using the historical source of the Holland files, Literature references not only in bahasa Indonesia but also in English and Dutch. It is also supported by the social theory and statistic data. Key words: Community, Tionghoa, Yogyakarta
19
Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa ...
Oleh karena itu, banyak diantara orang
PENDAHULUAN
Tionghoa yang menikah dengan wanita Kapan
komunitas
Tionghoa
di
Jawa
Yogyakarta mulai terbentuk? Tentunya
dijawab.
Ada
sumber
Hasil
keturunan
Tiongkok-Jawa inilah yang kemudian
ini merupakan pertanyaan yang tidak mudah
(pribumi).
disebut
yang
dengan
orang
Tionghoa
peranakan.
mengatakan bahwa komunitas Tionghoa Kawin
di Yogyakarta telah ada dan hidup
campur
ini
semakin
menetap sejak awal berdirinya Kesultanan
berkurang semenjak semakin banyaknya
Yogyakarta. Keberadaan orang Tionghoa
wanita
ini dibuktikan dengan adanya seorang
Indonesia pada awal abad XX seiring
kapten Tionghoa yang bernama To In
dengan dibukanya Terusan Suez dan
(1755-1764) untuk daerah Mataram yang
semakin membaiknya transportasi yang
diangkat oleh pemerintah Belanda.
memudahkan Tionghoa
Pendapat
berbeda
mengatakan
Tionghoa
dari
akses
yang
datang
masuknya
Tiongkok
ke
ke
orang Hindia
Belanda, khususnya ke Yogyakarta.
bahwa sejak tahun 1756, orang Tionghoa telah berada di Yogyakarta. Berdasarkan
Keberadaan kaum Hawa dari negeri
data tersebut, dapat ditarik kesimpulan
Tiongkok atau wanita pribumi yang
bahwa pada saat Sultan Hamengku
dinikahi oleh masyarakat etnis Tionghoa
Buwono
Mangkubumi)
tentunya berdampak pada disorientasi
mendirikan kota Yogyakarta, komunitas
kultur dan kehidupan sosial ekonomi
Tionghoa
Tionghoa dalam masyarakat Bumiputera
I
(Pangeran
peranakan
telah
ada
dan
maupun pemerintah Belanda. Kajian ini
terbilang cukup mapan
mencoba merekonstruksi, menganalisis, Sementara menurut sumber lain,
dan menafsirkan bagaimana kehidupan
etnis Tionghoa khususnya suku Hokkian,
aktivitas ekonomi perdagangan komunitas
diperkirakan sudah ada yang tinggal di Yogyakarta
pada
abad
XVI.
etnis Tionghoa di Yogyakarta dalam
Pada
konteks sosial ekonomi terkait dengan
awalnya orang Tionghoa yang datang
adanya
berasal dari “kaum Adam”, karena pada
berbagai
kebijakan
maupun
restriksi politik dari pemerintah kolonial
masa itu transportasi masih sangat sulit.
pada periode 1900 – 1942.
20
Jurnal Edukasi, Volume 1, April 2015
Era 1900 dijadikan sebagai batasan
sosial, politik, ekonomi, dan budaya
awal dikarenakan pada periode tersebut
sehingga menghasilkan sebuah kajian
merupakan era modernisasi global yang
yang komprehensif.
juga berdampak pada perubahan wajah Artikel ilmiah ini bertujuan untuk
kota Yogyakarta dari segi infrastruktur maupun
sarana
menjadikan
prasarana
Yogyakarta
mendokumentasikan,
sehingga
sebuah
menginterpretasikan,dan mendeskripsikan
kota
bagaimana dinamika kehidupan etnis
kerajaan yang menjadi kota kosmpolitan. Sedangkan
periode
1942
merekonstruksi,
Tionghoa
dijadikan
di
Yogyakarta
pada
era
modernisasi awal abad XX serta mampu
sebagai batasan akhir kajian karena artikel
memberikan
ini memfokuskan pada era pemerintah
warna
dan
sumbangsih
dalam historiografi sejarah Indonesia
kolonial sebelum masuknya era transisi
terutama kajian tentang etnis minoritas
pendudukan Jepang pada tahun 1942.
Tionghoa. Metode
yang digunakan dalam Tulisan-tulisan
kajian ini adalah metode sejarah, terutama
prosedur:
sebagai acuan dalam penelitian skripsi
heuristik
adalah tulisan Peter Carey dengan judul
(pengumpulan sumber terkait), verifikasi dengan
kritik
sumber
internal
“Orang-orang Jawa dan Masyarakat Cina
dan
1775-1825” yang dapat dijadikan sebagai
eksternal, interpretasi atau hermeunitika,
acuan dasar dalam memahami latar
dan historiografi (proses penulisan kajian
belakang historis dan keberadaan orang-
sejarah). Sumber-sumber yang digunakan
orang Tionghoa di
berupa sumber primer dokumen dan arsip
1755.
literatur yang relevan, dokumentasi audio kehidupan
masyarakat
kerajaan-kerajaan
Jawa pasca Perjanjian Giyanti tahun
Belanda, studi pustaka melalui referensi
visual
orang
Tionghoa di Yogyakarta yang digunakan
metode ilmu sejarah dimana di dalamnya terkandung
tentang
Tempo
Selain itu, buku ini juga membantu
Doeloe, wawancara dengan saksi hidup /
mengungkap aktivitas ekonomi orang
keturunan generasi berikutnya dengan
Tionghoa
menggunakan metode sejarah lisan, dan
pemerintah kolonial atau penguasa lokal,
didukung dengan pendekatan teori-teori
dan juga eksistensi orang Tionghoa di
21
dan
kaitannya
dengan
Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa ...
dalam birokrasi kerajaan serta dampak
Tionghoa. Demikian halnya dengan karya
sosial ekonomi yang ditimbulkan di Jawa,
Soerachman, terbitan 1923, dengan judul
khususnya
Mededeelingen
di
Jawa
Tengah
dan
Yogyakarta.
van
Vorstenlanden kajian
berbahasa terbitan
Afdeeling
Nijverheid No.1 Het Batikbedrijf in de
Referensi lain yang relevan dengan objek
de
adalah
Belanda tahun
bagaimana
karya-karya
dan
1900-an
perusahaan
batik
pada yang
berproduksi di radius lingkungan tanah
merupakan yang
menitikberatkan
keraton (Vorstenlanden).
mana
literatur-literatur tersebut memuat data tentang
kehidupan
dan
neraca
HASIL DAN PEMBAHASAN
perdagangan etnis Tionghoa di Hindia Belanda,
yakni:
Henri
Borel
Orang Tionghoa di Yogyakarta
De
Chineezen in Nederlandsch-Indie terbitan
merupakan
1900
bagaimana
Tionghoa pada masa akhir pemerintahan
kehidupan etnis Tionghoa di Hindia
Hindia Belanda sekitar 10.000 orang dan
Belanda, baik kawasan Jawa, Sumatera,
berkelompok di Pecinan kota Yogyakarta
Borneo, Celebes, Maluku. Karya tersebut
atau tersebar di sepanjang jalan -jalan dan
sinergis dengan kajian J.L. Vleming Jr.
jalan utama sebagai pemilik toko eceran
dengan Het Chineesche Zakenleven in
atau klontong. Keadaan ini tidak terlepas
Nederlandsche-Indie, terbitan 1926 yang
dari
membahas bagaiman aktivitas ekonomi
Belanda
perdagangan etnis Tionghoa di Hindia
menempatkan orang Tionghoa di suatu
Belanda.
wilayah yang terkonsentrasi.
yang
Kat
mengupas
de
Angelino
minoritas.
intervensi yang
Hal
dengan
ini
Jumlah
pemerintah menentukan
dimaksudkan
Hindia dan
agar
Batikrapport, Betreffende Eene Gehouden
memudahkan
Enquete naar de Arbeidstoestanden in de
etnis Tionghoa Yogyakarta oleh pihak
Battikkerijen
pemerintah Hindia Belanda. Konsentrasi
op
Java
en
Madoera
pengawasan
orang
mencatat dengan komprehensif tentang
pemukiman
perusahaan batik cap serta kehidupan
sebutan Pecinan yang biasanya terdapat di
pekerja pribumi yang dikelola orang
ibukota kabupaten. Namun pada tahun
22
tersebut
masyarakat
dikenal
dengan
Jurnal Edukasi, Volume 1, April 2015
1830, masih banyak orang Tionghoa yang
meluas ke barat daya hingga ke Gading
tinggal di luar wilayah Pecinan bahkan
dan Ngasem. Sebetulnya hal tersebut
terdapat sumber yang mengatakan bahwa
dilarang tetapi orang Tionghoa tetap
pada tahun 1867 pemukiman orang
mengabaikan
Tionghoa di Yogyakarta masih menyebar
pemukiman orang Tionghoa yang lain
dan belum terkumpul menjadi satu,
yakni di daerah Patuk ke utara hingga
sehingga
sanksi.
dekat jalan kereta api di sebelah barat
Sanksi yang diberikan selain berupa harus
Tugu. Kawasan Pakualaman juga telah
tinggal di tempat yang telah ditentukan,
ada penduduk Tionghoa.
mereka
dikenakan
peraturan.
Tempat
orang Tionghoa yang tinggal di luar Daerah
Pecinan itu juga dikenakan denda sebesar
digunakan
f. 20 hingga f. 100.
luar orang
kota
yang
Tionghoa
juga
sebagai
tempat tinggal yakni di Godean. Pada Seiring dengan perkembangan kota Yogyakarta
yang
pada
peraturan sebelumnya, ditentukan daerah
pertengahan abad XVIII ketika keraton
mana saja yang dapat mereka huni di
dibangun,
dalam kota
orang
dimulai
tahun 1916, sebagai kelanjutan dari
Tionghoa
diberikan
Yogyakarta,
yang telah
tempat tersendiri untuk tempat tinggal
ditetapkan dengan Rijksblad no. 4 tahun
yakni di sebelah utara keraton tepatnya di
1867. Adapun wilyah tersebut adalah
ujung utara Jalan Malioboro. Semenjak
Kranggan, Malioboro, Ketandan, dan
tahun 1867 pemukiman orang Tionghoa
Ngabean. Peraturan ini direvisi dengan
di Yogyakarta mulai menyebar di daerah
adanya besluit tanggal 31 Desember 1902
ibukota
no. 10062 P & 10063 P, sekaligus
Yogyakarta.
Daerah-daerah
pemukiman tersebut meliputi Ketandan,
memperluas
daerah
tempat
tinggal
Gandekan, Ngabean, Ngadiwinatan, dan
komunitas Tionghoa di Yogyakarta.
Suranatan. Walaupun peraturan
pembatasan
Awalnya rumah mereka kecil dan
tempat tinggal itu baru dicabut pada tahun
kotor tetapi lama-kelamaan rumah mereka
1919 (I. Stb:150), dan sebagai akibatnya
semakin luas dan tinggi ibarat merambat
terjadi penyebaran dalam skala besar
melalui gerbang keraton selatan. Bahkan
pedagang Tionghoa pada dekade 1920 ke
pemukiman orang Tionghoa kemudian
pedalaman Jawa, meski sebenarnya pada
23
Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa ...
tahun
1916
orang
Tionghoa
telah
setempat. Sama seperti peraturan tempat
diperbolehkan untuk bertempat tinggal
tinggal
atau
Wijkenstelsel,
aturan
sesuai dengan yang mereka inginkan dan
Passenstelsel pun dihapuskan kepada
sudah boleh bepergian keluar kota tanpa
kalangan burjuis Tionghoa pada dekade
surat ijin jalan atau Passenstel. Namun
kedua pada abad XX.
kenyataannya masih banyak dari orang Hingga tahun 1900, populasi orang
Tionghoa yang tetap memilih tinggal di
Tionghoa sudah lebih dari setengah juta
kota. Sebagai pedagang, orang Tionghoa
orang di Hindia Belanda ini, yaitu:
tentunya lebih memilih tempat yang
277.000 orang berada di Jawa dan
strategis di kota.
Madura, dan hampir dalam jumlah yang Bagi bangsa Tionghoa, dan seperti
sama (260.000) tersebar di pulau- pulau
halnya bangsa Barat, pada dasarnya kota
sekitarnya.
merupakan ruang yang bersifat heterogen,
pertama
berkedudukan mewah, istimewa, tempat
318.000
berkumpulnya
penggerak
(128.000) bertempat di Jawa dan 60%
ekonomi pertukaran barang-jasa, dan
sisanya (190.000) memperbesar jumlah
tempat berkembangnya gaya hidup yang
populasi Tionghoa di pulau-pulau luar
berkelas. (Boediono,1981:19)
Jawa terutama di pesisir Timur Sumatera
pusat–pusat
Imigrasi
(1860-1890) orang,
besar-besaran jumlah
40%
sekitar
diantaranya
(sekarang Sumatera Utara), Bangka, dan Belitung. Selain kebijakan tempat tinggal, dan diberlakukan
aturan
surat
Dibandingkan
jalan
Jawa ataupun di seluruh Hindia Belanda,
yang bisa bergerak bebas yaitu orangTionghoa
keuntungan
bagi
yang
membawa
usaha.
pemerintah,
jumlah
penduduk Tionghoa di seluruh Pulau
(Passenstelsel), namun tetap saja ada
orang
dengan
jumlah orang Tionghoa di Yogyakarta tidak terlalu besar, akan tetapi di wilayah Yogyakarta
misalnya: pemegang sewa pajak hasil
sendiri,
orang
Tionghoa
menempati posisi nomor dua terbanyak
bumi pemerintah. Orang Tionghoa inilah
setelah orang Jawa. Walaupun orang
yang diberi hak istimewa oleh pejabat
Eropa secara kuantitas tidak sebanyak
Belanda yang berkuasa pada daerah
orang Jawa namun secara stratifikasi
24
Jurnal Edukasi, Volume 1, April 2015
sosial dan politik berada di atas orang
merupakan pusat administrasi sekaligus
Bumiputera.
pusat ekonomi yang didalamnya terdapat berbagai masyarakat yang heterogen baik
Orang minoritas
Eropa yang
adalah mampu
kelompok
secara ekonomi maupun sosial sehingga
menguasai
dibutuhkan peran orang Tionghoa sebagai
mayoritas penduduk di Yogyakarta dalam bidang
politik
Demikian
dan
halnya
kelompok
pemerintahan.
dengan
yang
mampu
menjawab
permintaan pasar.
Tionghoa,
dimana mereka cenderung menguasai
Menurut Henri Borel, sebenarnya
bidang ekonomi. Orang Bumiputera yang
orang Tionghoa memiliki kelebihan yang
terbesar
tidak
secara
kuantitas
justru
dimiliki
orang
yakni
Eropa
upaya
dalam
kedudukannya, walaupun tidak semua,
berdagang
menjalin
rata-rata paling rendah diantara golongan
hubungan yang intensif antara pedagang-
yang lain. Konsentrasi orang Tionghoa di
pedagang Tionghoa dengan konsumen-
Yogyakarta adalah di wilayah perkotaan.
konsumen pribumi uang membuat mereka lebih mengenal kebutuhan dan selera
Pada tahun 1930 jumlah orang
permintaan pasar. (Borel, 1900:24)
Tionghoa yang tinggal di Yogyakarta yang
Faktor lain disebabkan karena target
lainnya tersebar di beberapa wilayah
pemerintah kolonial yang pada awalnya
kabupaten seperti Regentschap Adikarta
berusaha
477, Regentschap Kulon Progo 171,
pribumi dengan etnis Tionghoa melalui
Regentschap Bantul 1.560, Regentschap
aturan passenstelsel dan wijkenstelsel,
Gunung Kidul 267. Maka dapat ditarik
ternyata telah menciptakan konsentrasi
kesimpulan bahwa penyebaran penduduk
kegiatan ekonomi orang Tionghoa di
terbesar adalah di wilayah Regentschap
perkotaan. Ketika perekonomian dunia
Yogyakarta
beralih ke sektor industri, orang-orang
adalah 9.189 jiwa, sedangkan
yang
meliputi
kota
Yogyakarta.
untuk
mencegah
interaksi
Tionghoa ini yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan, minuman,
Alasan utama mengapa populasi
jamu, peralatan rumah tangga, bahan
orang Tionghoa terbanyak berada di kota
bangunan,pemintalan,kretek, transportasi,
terkait dengan faktor ekonomi. Kota
dan batik.
25
Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa ...
pertama kali datang ke wilayah Nanyang dan Indonesia. Mereka menjadi suku yang terbanyak
di
Indonesia
dan
di
Nanyangkarena letak provinsi Hokkian yang paling dekat dengan pelabuhan “Xian
Kang” atau yang kini disebut
dengan Hong Kong, sehingga lebih memudahkan orang Tionghoa perantauan untuk
mencari
kehidupan
dan
kesejahteraan di wilayah Nanyang. Tabel I Penduduk Etnis Tionghoa menurut Etnis dan Jenis Kelamin 1930 Kota Yogyakarta No Etnis Pria Wanita Jumlah 1 Hokkian 3.131 2.391 5.523 Kwong 2 Fu 618 308 926 3 Hakka 134 69 203 4 Teo Ciu 43 25 68 Etnis 5 Lain 916 948 1.864 Total 4.842 3.741 8.584
Gambar I Iklan batik milik pengusaha Tionghoa di Yogyakarta Apabila sekilas kita melihat orang Tionghoa yang berada di Indonesia pada umumnya dan orang Tionghoa yang berada di Yogyakarta pada khususnya, tentu kita akan menduga bahwa mereka semua sama atau homogen. Namun sesungguhnya mereka berasal dari suku
Dari tabel I dapat terlihat bahwa
dan provinsi yang berbeda dari negara
suku Hokkian merupakan suku terbanyak
Tiongkok. Orang Tionghoa yang berada
diantara suku yang lain dan merupakan
di Yogyakarta berasal dari suku Hokkian,
suku yang mendominasi perdagangan
Kwongfu atau Kanton, Hakka, Tio Ciu, Hokcia,
Hailan,
dan
dalam aktivitas ekonomi baik di wilayah
Hailokhon.
Yogyakarta atau Hindia Belanda, bahkan
(Poerwanto, 2005:100-103)
di seluruh wilayah
Nanyang. Hal ini
Suku Hokkian merupakan suku
disebabkan karena latar belakang suku
terbanyak yang berada di Yogyakarta dan
orang Hokkian yang telah terbiasa dengan
mereka juga diduga merupakan suku yang
kegiatan ekonomi perdagangan sejak
26
Jurnal Edukasi, Volume 1, April 2015
mereka meninggalkan provinsi Hokkian
Yogyakarta yang digolongkan ke dalam
di negari Tiongkok
golongan etnis Tionghoa. Hal tersebut menimbulkan adanya indikasi bahwa
Selain itu, dari tabel tersebut juga
kemungkinan pria Tionghoa menikahi
terdapat data yang menunjukkan bahwa
wanita
jumlah wanita Tionghoa di Yogyakarta
Hal
ini
perantau
Tionghoa
wilayah
Yogyakarta,
mayoritas
disebabkan yang pada
merupakan
mengakibatkan
terjadinya
ke
awalnya,
laki-laki
pribumi,
atau
sebagai istri simpanan. Bagi pria pribumi
para
datang
kalangan
menjadikan wanita dari kalangan pribumi
lebih kecil dibandingkan jumlah pria Tionghoa.
dari
hampir
tidak
memungkinkan
mereka
menjadi
suami
dari
apabila wanita
Tionghoa karena wanita tersebut tidak
dan
akan memilih calon suami dari kalangan
perkawinan
yang stratifikasi sosialnya lebih rendah
silang antara orang Tionghoa totok
dari orang Tionghoa.
dengan wanita pribumi. Keturunan dari perkawinan inilah yang kemudian disebut
Sejak
dengan istilah orang Tionghoa peranakan.
merupakan
tahun
1930
wilayah
Yogyakarta
yang
terpadat
penduduknya di antara seluruh daerah di Namun
apabila
kita
cermati,
Pulau Jawa namun sebaliknya prosentase
perbedaan antara jumlah pria Tionghoa
per tahun sangat kecil dibandingkan
dengan jumlah wanita Tionghoa tidak
dengan daerah lain di Jawa. Pertambahan
begitu menyolok karena mulai abad XX telah banyak wanita Tionghoa yang turut serta bermigrasi ke Indonesia terkait dengan
semakin
membaiknya
penduduk
di
disebabkan
oleh
karena
akses
Yogyakarta migrasi
pertambahan
bukan melainkan
alamiah
yakni
kelahiran atau natalitas.
transportasi, maka pria Tionghoa tidak perlu
lagi
mempersunting
istri
dari
Kehidupan budaya orang Tionghoa
kalangan pribumi.
di Yogyakarta sampai menjelang akhir abad XIX boleh dikatakan merupakan
Diketahui
bahwa
di
kota
zaman Tionghoa peranakan. Periode ini
Yogyakarta pada tahun 1930 terdapat 292
disebut dengan istilah zaman Babah Jin
wanita Bumiputera dan 525 wanita Bumiputera
di
seluruh
Sing dimana telah terjadi akulturasi antara
Regentschap
budaya Tionghoa dan Jawa. Hal tersebut
27
Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa ...
dibuktikan
dengan
diadaptasinya
beberapa adat dan kebiasaan
Pada masa pendudukan Jepang
dalam
tahun
1942,
kemampuan
berbahasa
kehidupan keluarga Jawa, contohnya
Mandarin menjadi simbol superioritas,
kebiasaan
bahkan
berpantang
mengandung,
pada
“wetonan”,
waktu
dan
lain
orang
berpendidikan
sebagainya. (Rustopo, 2007: 56)
Tionghoa pun
tidak
menjadi
merasa
percaya diri ketika berhadapan dengan orang Tionghoa
Meskipun
yang tidak
bisa
dibilang
peranakan yang pada
umumnya berpendidikan Barat/Belanda.
banyak tetapi tidak sedikit pula orang Tionghoa yang menyukai kesenian Jawa,
Jika orang Tionghoa mengalami
dan lebih dari itu, mereka juga pandai
kenaikan status
dalam
Bahkan
Belanda mengalami hal yang sebaliknya.
pedagang
Orang Belanda mendapat kedudukan
menurut
kesusastraan Vleming,
Jawa. banyak
sosial, justru orang
Tionghoa yang tidak lagi menguasai
yang
bahasa
kekuasaan ini. Orang Tionghoa pada
Cina
pembukuannya
dan
telah
dengan
menuliskan huruf
Jawa.
terendah
untuk
sosial-budaya
pernikahan
Tionghoa
pergantian
masa ini mempunyai kesempatan besar
Dengan kata lain, secara umum orientasi etnis
akibat
di
Yogyakarta.
menikahi
wanita-wanita
orang
hasil
Barat-Bumiputera
(Indo). Nasib wanita-wanita Tionghoa Yogyakarta sendiri tidak seburuk wanita-
Kecenderungan Tionghoa berkiblat
wanita Indo ataupun orang Bumiputera
ke Jawa disebabkan oleh kebudayaan
karena agaknya tidak banyak dari mereka
keraton yang dianggap lebih halus. Pada
yang
masa pendudukan Jepang di Yogyakarta, status golongan orang Tionghoa
dijadikan
penghibur”
Jepang (Jugun Ianfu) disebabkan adanya
totok
persamaan ras dan lokasi geografis di
mengalami mobilitas yang tajam. Hal ini
kawasan
diakibatkan kebijakan yang ditempuh
Asia
1997:87)
Jepang. Akibat dari diwajibkannya orang Tionghoa berbahasa Mandarin/”Kuo Le” maka orang Tionghoa
“wanita
totok merasa
kedudukannya lebih tinggi dari orang
SIMPULAN
Tionghoa peranakan.
28
Timur.
(Kwartanada,
Jurnal Edukasi, Volume 1, April 2015
Eksistensi
etnis
Tionghoa
sifatnya intenal maupun eksternal hingga
mengalami
pasang-surut
detik ini. Hal inilah yang membuat
seiring dengan adanya berbagai kebijakan
sejarah komunitas Tionghoa di Yogyakata
dari pemerintah yang berkuasa, baik dari
sangat berbeda dengan wila yah Pecainan
kalangan keraton Yogykarta, pemerintah
di Batavia, Tangerang, Semarang, dan
kolonial Belanda hingga era pendudukan
Surabaya.
Yogyakarta
Jepang. Apabila Sikap keluwesan dan kemampuan
tersebut
Pecinan
dibuat
di
kota-kota
dengan
sengaja
etnis Tionghoa dalam beradaptasi dengan
memusatkan pada satu wilayah tertentu
pemerintah maupun masyarakat kolonial
oleh pemerintah kolonial, maka lain
menempatkan mereka sebagai sebuah
halnya dengan Pecinan Yogyakarta yang
komunitas etnis yang dinamis meski
sejak masa Hamgku Bowono I telah
terdapat
hidup berdampingan selama berabad-
beberapa
kebijakan
yang
merestriksi mobilitas sosial vertikal dan
abad,
sehingga
horizontal etnis Tionghoa.
mutualisme diantara keduanya dan proses penyebaran
Bangsa
Tionghoa
sejak
yang tepat akan keberadaan Pecinan yang
keras, hemat, dan sangat menjunjung
sesungguhnya. Selain itu, konsekuensi
tinggi budaya leluhur negeri asalnya.
logis dari penyebaran tersebut adalah
Kemampuan mereka dalam bersosialisasi
terjadinya asimilasi yang kental antara
dengan penduduk setempat membuat
masyarakat
setempat.
mengherankan Yogyakarta
dengan
Maka
apabila
merekrut
baik
penduduk
untuk menentukan secara pasti posisi
pedagang yang dikenal tekun, pekerja
diterima
pemukiman
simbiosis
Tionghoa di Yogyakarta. Maka sulit
kedatangannya dikenal sebagai bangsa
mereka
terjadi
orang
oleh
Tionghoa
pribumi
tidak
yang
dengan kelak
penduduk
menghasilkan
golongan orang Tionghoa peranakan.
Kesultanan dalam
Secara ekonomi, bangsa Tionghoa
Sehingga sultan
dikenal sebagai bangsa yang sangat
secara turun-temurun sangat melindungi
pandai berdagang dan kreatif dalam
keberadaan
mencari
lingkungan keraton.
orang
mereka
Tionghoa
di
Yogyakarta dari berbagai tekanan yang
ekonomi,
29
peluang
usaha
sehingga
di
bidang
memunculkan
Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa ...
paradigma memiliki
bahwa bakat
mereka
berbagai
keterbatasan
ruang
geraknya justru mampu menjadikanya
tersebut
seabagai “cambuk” untuk bekerja keras
sebenarnya tidak selalu benar karena pada
hingga akhirnya mampu mengisi posisi
dasarnya orang Tionghoa terjun di bidang
sebagai salah satu bangsa minoritas yang
perdagangan karena orang Tionghoa tidak
dibutuhkan oleh penguasa lokal maupun
diberikan kesempatan bergerak di bidang
pemerintah
politik sejak masa pemerintahan masih
kelebihannya yang tidak dimiliki bangsa
dikuasai Kesultanan Yogyakarta hingga
mana pun. Namun kemampuan mereka
masa pendudukan Jepang. Oleh kerena
yang sangat berpengaruh juga harus
itu, mereka menitikberatkan pada bidang
dibayar
ekonomi karena hanya di bidang tersebut
Tionghoa yang selalu ditempatkan oleh
bangsa Tionghoa dapat bergerak dengan
pemerintah kolonial sebagai “kambing
leluasa karena pembatasan gerak orang
hitam” dan berusaha dimanfaatkan oleh
Tionghoa
pemerintah
di
di
dengan
bidang
perdagangan.
alami
memang
Hipotesis
bidang
ekonomi
tidak
“seketat” bidang politik.
kolonial
mahal
karena
dengan
Jepang
berbagai
posisi
sebagai
orang
“mesin
perang” malawan Sekutu. Pendek kata, kehadiran
Mereka mulai merintis usaha di
orang
Tionghoa
sangat
dibutuhkan, namun pada situasi tertentu
bidang ekonomi sebagai buruh kasar atau
mereka
petani di pedalaman. Namun seiring
justru
ditempatkan
atau
dimanfaatkan penguasa sebagai “objek
berjalannya waktu yang juga didukung
penderita”.
oleh kemampuan mereka yang tidak mengenal lelah dan putus asa serta kemampuan mengembangkan jaringan
DAFTAR PUSTAKA
sesama Tionghoa telah menempatkan orang
Tionghoa
mampu
Arsip dan Dokumen Resmi Belanda:
menguasai
Archieven Financien no. 339, 341, 931.
bidang perdagangan di Hindia Belanda. Sangat
menarik
apabila
RegeeringsAlmanaak voor NederlandschIndiё van het Jaar 1816–1942 (RAI)
kita
Regerings Almanak voor Nederlandsch Indië 1905, Tweede Gedeelte: Kalender en Personalia. 1906. Batavia:Landsdrukkerij.
memahami bagaimana dinamika sejarah sosial ekonomi masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda. Karena orang Tionghoa
30
Jurnal Edukasi, Volume 1, April 2015
Volkstelling 1930. Landsdrukkerij.
1933.
Batavia:
Terpadu Bagian II:Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Noordjanah, Anjarwati. 2004. Komunitas Tionghoa di Surabaya 1900-1946. Semarang:Mesiass.
Sumber Literatur Anonim, 1913. De Handel van Nederlandsch- Indie in 1911. Batavia: G. Kolff & Co.
O’Malley, William J. 1983. “Indonesia di Masa Malaise: Suatu Studi Terhadap Sumatera Timur dan Yogyakarta di tahun 1930-an”, Prisma 8, Agustus 1983, Jakarta: LP3ES.
Angelino, Kat. 1930. Batikrapport, Betreffende Eene Gehouden Enquete naar de Arbeidstoestanden in de Battikkerijen op Java enMadoera. Landsdrukkerij:Weltevreden.
Onghokham. 1982. Rakyat dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan.
Boediono.1981. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.
Poerwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu.
Borel, Henri. 1900. De Chineezen in Nederlandsch-Indie. Amsterdam: L.J. Veen.
Republik Indonesia. 1953. “Daerah Yogyakarta VII Tahun Republik Indonesia”. The Djakarta: Kementrian Penerangan.
Carey, Peter. 1985. Orang Jawa dan Masyarakat Cina. 1755-1825. Jakarta: Pustaka Azet.
Rustopo. 2007. Menjadi Jawa: Orangorang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998. Yogyakarta: Ombak.
Data Statistik Perubahan Pendaftaran Orang Asing di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1958.
Sandick van, L.H.W.. 1909. Chineezen buiten China: hunne beteekenis voor de ontwikkeling van zuid-oost-aziё, speciaal van Nederlandsch-Indiё. Tanpa kota: ‘S-Gravenhage.
Handoko, Hani T. “Tradisi (Manajemen) Dagang ala Tionghoa”,d alam Lembaga Studi Realino, tanpa tahun. Penguasa Ekonomi dan Siasat Penguasa Tionghoa, Seri Siasat Kebudayaan. Jakarta: Lembaga Studi Realino.
Soerachman, 1923. Mededeelingen van de Afdeeling Nijverheid No.1 Het Batikbedrijf in de Vorstenlanden. Landsrukkerij: Weltevreden.
Kwartanada, Didi, 1997. “Kolaborasi dan Resinifikasi: Komunitas Cina Kota Yogyakarta pada Jaman Jepang 1942 1945”, Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Surjomihardjo, Abdurrachman, 2000. Sejarah Perkembangan Kota Yogyakarta, 1880-1930. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.
Lohanda, Mona dkk. 2002.Antara Prasangka dan Realita; Telaah Kritis Wacana Anti Cina di Indonesia. Jakarta: Pustaka Inspirasi.
Suryadinata, Leo. 1986. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917 -1942. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah
Tan, Mely G. (ed.). 1979. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia:Suatu Masalah
31
Prasetyo, Sejarah Komunitas Tionghoa ...
Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: LEKNAS LIPI dan Yayasan Obor Indonesia. Twang, Peck Yang. 2004. Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950. Yogyakarta: Niagara. Vleming, J.L Jr., 1926. Het Chineesche Zakenleven in Nederlandsche- Indie, Batavia: Volkslectuur. Wardoyo, T.S., 1990. Tan Djin Sing dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta. Yogyakarta: Pustaka Utama Grafiti.
32