8
BAB II KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori 1. Pengertian Karakteristik Menurut Abdullah (1992: 71), karakteristik merupakan sifat khas sesuai dengan tabiat atau coraknya, ciri khas dan watak. Hal tersebut sama dengan pendapat Thoifin (1992: 72), yang mengatakan bahwa karakteristik mempunyai sifat khas yang tidak dapat disembunyikan. Menurut John (2010: 1), karakteristik adalah ukiran atau pahatan watak/ jiwa sehingga berbentuk unik, khas, menarik dan berbeda atau dapat dibedakan dengan yang lain. Secara lebih umum, dalam Ensiklopedi Indonesia (1992: 1663), dijelaskan bahwa: “Karakteristik berasal dari kata karakter yang berarti watak. Secara umum pengertian karakteristik adalah sifat khas yang tetap menampilkan diri dalam keadaan apapun. Bagaimanapun upaya untuk menutupi dan menyembunyikan watak itu, ia akan selalu ditemukan sekalipun kadang-kadang dalam bentuk lain”. Sedangkan menurut Hartanto (2002: 406), karakter adalah: 1. Kualitas atau atribut yang menunjukkan sifat suatu objek atau organisme. 2. Dalam genetika, ekspresi gen atau sekelompok gen yang terlihat pada fenotipe. 3. Dalam psikiatri, istilah yang digunakan terutama dalam literatur psikoanalitik, dengan cara yang hampir sama dengan kepribadian, khususnya untuk ciri kepribadian yang dibentuk oleh pengalaman hidup dan proses perkembangan.
8
9
Dari
beberapa
pendapat
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
karakteristik adalah sifat khas yang unik, menarik dan berbeda yang tidak dapat disembunyikan sesuai dengan perwatakan tertentu. Untuk menemukan karakteristik pupuh Kinanti Kawali digunakan proses analisis. Analisis ialah ”penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan” (Poerwadarminto, 2001: 43). Menurut Brotowijoyo (1993: 65), analisis merupakan suatu proses ulasan mengenai suatu objek yang utuh sampai pada unsur-unsur terkecilnya. Tetapi berbeda dengan klasifikasi, analisis dimulai dari mengulas keseluruhan bagian, kemudian memecahkannya menjadi bagian-bagian terpisah yang berdiri sendiri. Sedangkan menurut pendapat Tambajong (1992: 11), analisis merupakan deskripsi ilmiah antara ilmu jiwa, ilmu hitung dan filsafat untuk menguraikan musik melalui rangkaian jalinan nada, irama, dan harmoni dengan membahas unsur gejala sadar dan tidak sadar dalam kesatuan komposisi. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis merupakan cara untuk mengurai suatu bentuk dengan proses memecahmecah objek penelitian kedalam bagian-bagian hingga komponenkomponen terkecil untuk memperoleh pemahaman secara keseluruhan. 2. Pupuh Pupuh adalah puisi Jawa yang berasal dari sastra yang terikat oleh jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata dalam tiap baris, suku kata terakhir
10
dari tiap akhir baris, tempat atau saat pernafasan (pedotan) serta watek atau karakter (Soepandi, 1995: 168). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mariko (2007: 69) yang mengatakan bahwa pupuh ialah macapat yang merupakan pola lirik tembang yang diimport dari Jawa pada permulaan abad ke-17 pada saat kerajaan Mataram menjadikan wilayah Sunda sebagai wilayah mancanegara. Sedangkan menurut Caturwati (2007: xx), pupuh adalah lagu Sunda atau Jawa dalam bentuk puisi yang terpola oleh guru lagu dan guru wilangan. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pupuh ialah pola lirik yang terikat pada beberapa patokan (aturan) yang berupa guru wilangan, guru lagu, pedotan dan watek, yang di adopsi dari kesenian Jawa, yaitu macapat. Ada 17 macam pupuh yang terdapat di Sunda, masing-masing pupuh tersebut memiliki aturan dan karakter yang berbeda. Ketujuh belas pupuh tersebut yaitu: Kinanti, Sinom, Asmarandana, Dangdanggula, Gurisa, Pangkur, Durma, Mijil, Wirangrong, Balakbak, Magatru, Gambuh, Juru demung, Maskumambang, Pucung, Ladrang dan Lambang (Koncara, 2005: 8). Ketujuh belas pupuh tersebut terbagi ke dalam dua kategori, yaitu: Sekar Ageung (besar) dan Sekar Alit (kecil), pupuh yang termasuk ke dalam sekar ageung ada 4 pupuh, yaitu: Kinanti, Sinom, Asmarandana dan Dangdanggula, sedangkan yang termasuk ke dalam sekar alit ada 13, yaitu:
11
Gurisa, Pangkur, Durma, Mijil, Wirangrong, Balakbak, Magatru, Gambuh, Juru demung, Maskumambang, Pucung, Ladrang dan Lambang. Berikut ini akan digambarkan ketujuh belas pupuh beserta aturanaturannya berupa nama pupuh, jumlah baris/ padalisan (I, II, III, dst.), guru wilangan dan guru lagu (jika jumlah suku kata pada tiap barisnya “8” dan bunyi huruf vokal terakhirnya adalah “U”, maka ditulis “8U” dst.), sifat/ watek serta penciptanya. Tabel 1. Macam-macam Pupuh (Koncara, 1999: 8) SEKAR PUPUH No.
Nama Pupuh
Baris/Padalisan I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
Sifat/Watek
Pencipta
1
Kinanti
8U
8I
8A
8I
8A
8I
2
Sinom
8A
8I
8A
8I
7I
8U
7A
3
Asmarandana
8I
8A
8EO
8A
7A
8U
8A
4
Dangdanggula
10I
10A
8EO
7U
9I
7A
6U
5
Gurisa
8A
8A
8A
8A
8A
8A
6
Pangkur
8A
12I
7A
7A
12U
8A
8I
kasar
7
Durma
12i
7I
7A
7A
8I
5A
7I
ambek (kemarahan)
8
Mijil
10i
6o
10E
10i
6i
6U
sedih
9
Wirangrong
8i
8o
8U
8I
8A
8A
wirang (malu)
10
Balakbak
12A
3E
12A
3E
12A
3E
heureuy (lawak)
11
Magatru
12U
8i
8U
8I
8O
nalangsa (penyesalan)
Sultan Mayagung
12
Gambuh
7U
10U
12I
8U
8o
bingung
Sn. Bonang
13
Juru Demung
8A
8U
6I
8A
8U
handeudeul (kebingungan)
14
Maskumambang
12i
6A
8Ii
8A
15
Pucung
12U
6A
8EO
12A
16
Ladrang
10i
2x4A
8I
12A
17
Lambang
8A
8A
8A
8A
8I
12A
8A
12I
7A
nineung (penantian)
Sultan Adi E
waas hegar (kegembiraan) birahi (cinta kasih) bungah (agung)
Sn. Giri Kedaton Sunan Kalijaga Sn. Muriapada
lucu
sasambat (kesedihan) papatah (nasehat) moyok (sindiran) siloka (lambang)
Sn. Gesang
Sn. G. Parapen Natapraja
12
3. Pupuh Kinanti Kawali Pupuh Kinanti Kawali ialah pupuh Kinanti yang berasal dari daerah Kawali yaitu nama sebuah kecamatan yang berada disebelah utara ibu kota Kabupaten Ciamis. Pupuh ini diciptakan oleh Ki Reksa sekitar tahun 1901 dan berkembang di daerah Kawali pada saat itu. Pupuh ini tidak memiliki bukti tertulis, perkembangannya hanya terbatas pada cara tradisional. Pengembangannya dilakukan dengan cara diajarkan di Sekolah Dasar di daerah Kawali tanpa serat kanayagan (notasi), hanya dinyanyikan oleh guru (Bapak Yaya dalam wawancara pada tanggal 09 September 2011). Menurut Danandjaya (1991: 3-4), folklor yang berarti sebagian kebudayaan suatu kolektif memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut: a. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya. b. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi). c. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan)………………………………………………………… d. ………………………………………………………………………. e. ………………………………………………………………………. f. ………………………………………………………………………. g. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan. h. ………………………………………………………………………. i. ……………………………………………………………………….. Untuk mengakhiri bagian ini perlu kiranya ditambahkan bahwa suatu folklor tidak berhenti menjadi folklor apabila ia telah diterbitkan dalam bentuk cetakan atau rekaman.
13
Dari keterangan tersebut, pupuh ini dapat dikategorikan sebagai sebuah folklor yang pada saat ini keberadaannya hampir hilang. Hanya sebagian warga Kawali saja yang saat ini mengetahui keberadaan pupuh tersebut. Bapak Yaya Ganda Koncara merupakan salah seorang budayawan Sunda yang sekarang berdomisili di Kawali yang mengetahui keberadaan pupuh tersebut sekitar tahun 1994 yang bersumber dari salah seorang mantan penilik Kawali bernama bapak Tisna (alm). Kemudian beliau pula yang mendokumentasikan serta mengenalkan pupuh ini ke wilayah yang lebih luas. Beliau membuat dokumentasi pupuh ini yang kemudian disimpan dibeberapa tempat seperti di stasiun TVRI Bandung dan Sungkeman RRI Bandung yang bertujuan untuk mengenalkan sekaligus melestarikan keberadaan pupuh tersebut. 4. Karawitan Sunda Karawitan ialah suara instrumental/ vokal yang menyanyikan lagu atau ritme berdasarkan pola rasa tradisional (Soepandi, 1995: 104). Menurut Nano dan Engkos (1983: 1) dilihat dari segi pergelarannya, karawitan dapat dibagi dalam tiga kelompok besar. Ketiga kelompok itu terdiri atas Karawitan Sekar (vokal), Karawitan Gending (instrumental), dan Karawitan Sekar Gending. Berikut diuraikan secara ringkas mengenai ketiga kelompok karawitan tersebut. a. Karawitan Sekar (vokal) Karawitan Sekar (vokal) ialah seni suara yang substansi dasarnya menggunakan suara manusia. Adapun pembagian sekar menurut
14
bentuknya ialah sekar irama merdeka (irama bebas) dan sekar tandak (ajeg, tetap). 1) Sekar Irama Merdeka Sekar irama merdeka ialah sekar (vokal, nyanyian) yang dalam membawakan lagunya tidak terikat oleh irama (Nano S. dan Engkos W, 1983: 8). Artinya, dalam lagu tersebut, ketukan masih tetap ada, namun bersifat semu. Sementara itu, melodi lagu yang telah ada masih
bisa
dikembangkan
oleh
penyanyi
terutama
dalam
ornamentasinya. Materi-materi sekar yang terdapat pada kelompok sekar irama merdeka antara lain tembang, beluk dan kakawen. a) Tembang (Mamaos) Tembang sangat erat kaitannya dengan kesusastraan. Satu hal yang paling menonjol adalah pupuh. Namun, banyak pula yang tidak menggunakan pupuh sebagai patokan untuk rumpakanya (liriknya), sehingga terdapat kategori untuk tembang Sunda, yaitu papantunan yang berakar dari pantun; jejemplangan yang hampir serupa dengan papantunan namun memiliki intro/ gelenyu dan memiliki iringan kecapi tersendiri; dan rarancagan, berbentuk pupuh yang pada mulanya hanya bentuk ini saja yang disebut tembang/ mamaos (Mariko, 2007: 85-86). Isi ungkapan yang diangkat dalam tembang Sunda antara lain tentang sanjungan terhadap leluhur, terutama pada saat
15
kejayaan dan keruntuhan kerajaan Pajajaran; keindahan alam Priangan; dan ungkapan percintaan. b) Beluk Beluk sangat erat dengan pergelaran nembang wawacan. Menurut Nano dan Engkos (1983: 15) wawacan ialah cerita yang didangdingkeun (disenisuarakan), biasanya dilakukan pada upacara selamatan 40 hari bagi bayi yang baru dilahirkan. Beluk ini sudah sangat langka dan dianggap sebagai kesenian buhun (kolot, tua, lama). Nada-nada yang digunakan biasanya tinggitinggi dan menggunakan teknik bersuara yang banyak menggunakan nasal hidung (sengau). Dewasa ini beluk dikenal sebagai teknik bernyanyi yang menggunakan nada-nada tinggi yang meliuk-liuk dan banyak menggunakan nasal hidung. c) Kakawen Kakawen lebih dikenal sebagai nyanyian ki dalang pada waktu pergelaran wayang. Isi kakawen antara lain banyak mengisahkan tentang pergantian babak cerita, karakter tokoh wayang, dan kekuatan tokoh wayang. 2) Sekar Tandak Sekar tandak ialah nyanyian yang terikat oleh ketentuanketentuan ketukan dan matra/ wiletan/ bar (Nano dan Engkos, 1983: 17). Adapun lagu-lagu dalam ragam sekar tandak antara lain
16
Sindenan, Kawih, Ketuk Tilu, Lagu-lagu Indriya (lagu anak-anak), dan Lagu-lagu Rakyat. b. Karawitan Gending (instrumental) Karawitan Gending (instrumental) ialah seni suara yang substansi dasarnya bersumber dari alat musik, baik itu yang bernada atau tidak bernada. Gending identik dengan gamelan, ditambah beberapa instrumen tunggal seperti rebab, suling dan kecapi. Menurut irama lagu yang dipergunakan, gending terdiri atas dua macam, yaitu gending irama merdeka dan gending tandak. c. Karawitan Sekar Gending (campuran) Karawitan Sekar Gending (campuran) ialah seni suara yang substansi dasarnya bersumber dari alat musik dan suara manusia. Sekar gending ini merupakan perpaduan antara gending (instrumental) dengan sekar (vokal) dimana biasanya vokal menjadi unsur utama dengan diiringi musik. Pengembangan Sekar Gending melahirkan istilah baru yang merupakan puncaknya, yaitu gending karesmen dan sekar gending wanda anyar. Menurut Mariko (2007: 9) dalam Karawitan Sunda, terdapat beberapa ciri khas yang sangat kuat, yaitu vokal sebagai unsur utama, improvisasi dan laras ganda. 1) Vokal Sebagai Unsur Utama Dapat dikatakan, vokal merupakan unsur utama dalam penyajian karawitan Sunda, sedangkan instrumen-instrumen lainnya hanya
17
sebagai pengiring. Dalam bukunya, Mariko mengutarakan pendapatnya tentang penyebab mengapa vokal dianggap sebagai unsur utama dalam penyajian karawitan Sunda, yaitu: Hal ini mungkin berkaitan dengan asal mulanya nyanyian di Sunda. Masyarakat Sunda memiliki budaya ’baca’, yaitu melagukan (atau menyanyikan) suatu teks. Salah satu jenis kesenian yang kini lazim disebut tembang Sunda Cianjuran pun sebenarnya berasal dari budaya ’baca’ teks, maka pada mulanya dinyanyikan tanpa iringan, kemudian dalam proses perkembangannya, mulai diiringi instrumen. Karena itu, wajar saja apa yang bersifat dominan adalah vokal (Mariko, 2007: 10). Dalam karawitan Sunda, sejauh ini belum ada penelitian khusus mengenai teknik vokal. Teknik vokal yang baik sering diidentikkan dengan bener jeung merenah (melodi dan ornamentasinya benar). Teknik vokal disini lebih condong kepada dongkari (ornamentasi). Menurut salah satu tokoh cianjuran, ornamentasi adalah hiasan lagu yang khas yang terdapat dalam tembang Sunda Cianjuran (Wiradiredja, 1999: 29). Ornamentasi atau hiasan lagu yang oleh sebagian ahli cianjuran disebut reureueus atau mamanis (pemanis), merupakan suatu aspek yang sangat penting untuk dikuasai, karena kehadiran ornamentasi dalam tembang Sunda Cianjuran bagaikan sebuah atribut yang tidak dapat dipisahkan (Sarinah, 1999: 42). Nama-nama ornamentasi yang dipakai dalam tembang Sunda Cianjuran sebenarnya sampai saat ini belum ada istilah yang seragam/ baku. Hal ini sangat erat kaitannya dengan improvisasi yang merupakan salah satu ciri khas karawitan Sunda.
18
2) Improvisasi Dalam penyajian karawitan Sunda, sifat improvisasi sangat menonjol. Hal ini paling jelas terlihat dalam permainan vokal dan rebab. Vokal dan rebab terutama dalam penyajian gamelan salendro sifat improvisasinya sangat dominan, apabila pemain vokal atau rebab mau, laras juga boleh diubah secara spontan asal saja setelah goong (Mariko, 2007: 10). Pada penyajian gamelan salendro di Sunda, sinden/ vokalisnya pasti menyanyi secara tunggal, kalaupun ada beberapa sinden diatas panggung, sinden-sinden tersebut tidak akan bernyanyi secara bersama-sama. Hal tersebut merupakan bukti bahwa sifat improvisasi dalam permainan vokal sangat dominan. 3) Laras Ganda Pada umumnya laras ganda terjadi pada ansambel yang instrumennya berlaras salendro. Laras ganda terjadi pada suatu lagu yang iringannya berlaras salendro, tetapi melodinya (vokal atau instrumen melodis lainnya) berlaras madenda/ sorog atau berlaras pelog degung (Mariko, 2007: 12). 5. Tangganada/ Laras Tangganada adalah susunan nada-nada secara alphabetis yang disusun ke atas, dari nada terendah ke nada tertinggi, maupun ke bawah, dari nada tertinggi ke nada terendah (Mudjilah, 2004: 21). Menurut Tim Abdi Guru (2007: 63) tangganada terdiri atas nada-nada yang bertingkat-tingkat tingginya.
19
Menurut Koncara (1999: 8) laras ialah nada yang disusun beruntun, baik turun atau naik yang dimulai dari suatu nada hingga ulangannya dengan jumlah nada tertentu. Dalam istilah musik disebut tangganada. Hal ini sama dengan pendapat Suparli (2008: 108) yang mengatakan bahwa laras identik dengan istilah scale atau mode atau dalam bahasa Indonesia disebut tangganada. Di dalam laras terdapat relasi nada-nada yang mempunyai perbedaan tinggi rendah nada yang tersusun secara sistematis. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tangganada/ laras ialah nada yang disusun dengan jarak tertentu, baik turun atau pun naik dengan suatu nada sebagai nada dasar. Terdapat berbagai jenis tangganada yang sering digunakan di Indonesia. Dari sekian banyak tangganada tersebut, kesemuanya dapat digolongkan ke dalam dua golongan besar, yaitu tangganada diatonis dan tangganada pentatonis. Tangganada diatonis adalah sebuah sistem tangganada yang masing-masing nada dalam tangganada tersebut mempunyai jarak 1 tone (whole tone), dan 1 semitone (half tone), secara bervariasi (Mudjilah, 2004: 21). Jumlah nada yang terdapat dalam tangganada diatonis sebanyak tujuh nada dalam 1 oktafnya, sedangkan tangganada pentatonis adalah sebuah sistem tangganada yang masingmasing nadanya berjarak ½, 1, 1 ½, dan 2 secara bervariasi. Jumlah nada dalam 1 oktafnya sebanyak lima nada.
20
a. Tangganada Diatonis Terdapat dua jenis tangganada diatonis yang sering digunakan, yaitu tangganada mayor dan tangganada minor. 1) Tangganada Mayor Tangganada Mayor adalah tangganada yang memiliki susunan interval 1, 1, ½, 1, 1, 1, ½ dalam tiap oktafnya. Berikut ini contoh tangganada C Mayor:
Gambar I. Tangganada C Mayor 2) Tangganada Minor (Minor Asli) Tangganada Minor adalah tangganada yang memiliki susunan interval 1, ½, 1, 1, ½, 1, 1 dalam tiap oktafnya. Berikut ini contoh tangganada a minor:
Gambar II. Tangganada a minor b. Tangganada Pentatonis Beberapa
daerah
di
Indonesia
menggunakan
tangganada
pentatonis. Setiap daerah memiliki nama yang berbeda untuk setiap
21
tangganada pentatonis tersebut. Namun dalam hal ini akan dibahas lebih spesifik tentang tangganada yang terdapat di daerah Sunda saja. Ada banyak tangganada/ laras yang terdapat dalam karawitan Sunda, tetapi hanya tiga laras saja yang menjadi laras pokoknya, yaitu: laras salendro, laras pelog degung, dan laras madenda (sorog) (Mariko, 2007: 8). Dalam bukunya, Mariko (2007: 8) mengatakan bahwa dalam karawitan Sunda terdapat dua macam laras pelog, yaitu laras pelog pada gamelan pelog yang berasal dari Jawa yang terdiri atas 7 nada dalam 1 oktaf, dan laras pelog yang terdiri atas 5 nada dalam 1 oktafnya yang disebut juga sebagai pelog degung. Namun laras pelog dengan 7 nada tidak berkembang di Sunda, sehingga jika dikatakan laras pelog, kemungkinan besar yang dimaksud adalah pelog degung. Laras pelog degung telah berkembang di daerah Sunda jauh sebelum kedatangan gamelan pelog yang berasal dari Jawa ke Sunda. Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa banyak diantara lagu-lagu yang ada menggunakan laras pelog degung, hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa laras pelog dengan 7 nada dalam 1 oktafnya tidak berkembang di daerah Sunda. Gamelan salendro-pelog di Sunda awalnya berasal dari Jawa yang dibawa oleh para pejabat Mataram sekitar abad ke-17 yang pada akhirnya beradaptasi dengan lingkungan Sunda. Jika dibandingkan antara gamelan salendro Jawa dengan Sunda, tinggi nada gamelan
22
salendro Sunda lebih rendah. Jika tinggi nada 1 (da) pada gamelan salendro Sunda atau nada 6 (nem) di Jawa, sekitar ‘a’ (dalam tangganada diatonis), sedangkan tinggi nada 6 (nem) di Jawa sekitar ‘bes’. Jika diquasikan dalam tangganada diatonis, biasanya laras slendro (Jawa) menggunakan tangganada Es Mayor (3b), sedangkan laras salendro (Sunda) dengan tangganada G Mayor (1#) seperti berikut ini:
Gambar III. Laras Slendro (Jawa)
Gambar IV. Laras Salendro (Sunda) Seperti halnya dengan gamelan salendro, tinggi nada pada gamelan pelog Sunda pun agak berbeda dengan gamelan Jawa. Nada 4 (ti) Sunda sedikit lebih rendah daripada nada 2 (gulu) Jawa, begitu juga nada 3- (ni) Sunda sedikit lebih rendah daripada nada 4 (pelog) Jawa. Hal ini mengubah rasa pelog pathet nem (Jawa) atau surupan pelog jawar (Sunda) menjadi mirip dengan laras pelog degung, sedangkan pelog pathet lima (Jawa) atau surupan pelog liwung (Sunda) menjadi mirip dengan laras madenda. Hal ini diperkirakan hasil dari akulturasi
23
(perpaduan) supaya nada yang dihasilkan lebih cocok (sesuai) dengan nada yang sudah ada di lingkungan masyarakat Sunda (Mariko: 2007: 80). Nada-nada pada laras pelog degung lebih mendekati nada-nada dalam tangganada diatonis. Menurut Suparli (2010: 158) simbol atau lambang nada yang digunakan untuk sistem penotasian laras-laras tersebut terdiri atas dua sistem, yaitu sistem notasi buhun yang memiliki dua versi, dan sistem notasi da-mi-na-ti-la. Sistem notasi buhun adalah sistem notasi yang digunakan sebelum adanya sistem notasi da-mi-na-ti-la, dan hanya dipergunakan untuk menunjukkan nada-nada yang melekat pada gamelan, sehingga sifatnya mutlak, sedangkan sistem notasi da-mi-nati-la yang diciptakan oleh R.M.A. Koesoemadinata sekitar tahun 1925 dapat digunakan baik untuk sistem penotasian gamelan maupun pada sistem penotasian sekar/ vokal. Keberadaannya tidak mutlak, artinya dapat digeser sesuai dengan ketentuan. 1) Laras Salendro Berikut ini sistem penotasian laras salendro pada gamelan salendro menggunakan sistem penotasian buhun 1 (jawa), buhun 2 (sunda), kepatihan dan da-mi-na-ti-la.
24
Buhun1 (Jawa)
1 Barang
2 Gulu
3 Dhadha
5 Lima
6 Nem
1 Barang
Buhun2 (Sunda)
Singgul 5
Galimer 4
Panelu 3
Loloran 2
Tugu/ Barang 1
Singgul 5
Ma Mi
Nem Da
Ji La
Kepatihan Daminatila
Ji La
Ro Ti
Lu Na
Gambar V. Sistem Notasi Laras Salendro pada Gamelan Salendro (Dokumen Pribadi) 2) Laras Pelog Berikut ini sistem penotasian laras pelog pada gamelan pelog menggunakan sistem penotasian buhun 1 (jawa), buhun 2 (sunda), kepatihan dan da-mi-na-ti-la.
Buhun1 (Jawa)
1 Bem
2 Gulu
3 Dhadha
4 Pelog
Buhun2 (Sunda)
Singgul 5
Galimer
4
Panelu 3
Liwung 3-
Ji La
Ro Ti
Lu Na
Pat Ni
5 Lima
6 Nem
7 Barang
Loloran 2
Barang/ Tugu 1
Sorog 5+
Bungur/
Kepatihan Daminatila
Ma Mi
Nem Da
Pi Leu
Gambar VI. Sistem Notasi Laras Pelog pada Gamelan Pelog (Dokumen Pribadi) Dalam gamelan pelog, meskipun jumlah nadanya ada tujuh tetapi dalam sebuah lagu hanya menggunakan lima nada dari ketujuh nada tersebut, hal tersebut yang kemudian menjadikan laras pelog dinyatakan sebagai laras/ tangganada pentatonis. Lima nada yang dipakai dalam
25
suatu lagu terbagi ke dalam tiga kategori. Di Jawa, ketiga jenis kategori tersebut disebut pathet, sedangkan di Sunda biasanya disebut surupan. Berikut ini merupakan kategorisasi laras pada gamelan pelog: Jawa : (pelog) pathet nem Sunda : surupan pelog jawar
1–2–3–5–6 5–4–3–2–1
Jawa : (pelog) pathet barang Sunda : surupan pelog sorog
2–3–5–6–7 4 – 3 – 2 – 1 – 5+
Jawa : (pelog) pathet lima Sunda : surupan pelog liwung
1–2–4–5–6 5–4–3–2–1
Berikut ini digambarkan interval dari laras salendro, pelog degung, dan madenda dengan menggunakan penulisan not balok. Interval yang terbentuk antara tangganada pentatonis pada kenyataannya tidak pasti, hanya sebuah perumpamaan saja. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan ialah intervalnya, bukan tinggi rendah nada-nadanya. 1) Laras Salendro Laras salendro memiliki interval yang relatif sama rata antara setiap nadanya, yaitu 1 dan 1 ½ (meskipun pada kenyataannya, interval tersebut terkadang lebih lebar ataupun lebih sempit).
Gambar VII. Interval Laras Salendro Jika diquasikan dalam tangganada diatonis, disini menggunakan tangganada G Mayor (1#), yang berarti nada-nadanya adalah 1 (do), 2 (re), 3 (mi), 5 (sol) dan 6 (la). Tinggi nada 1 (da) laras salendro
26
pada gamelan salendro berkisar antara nada ‘a’ atau ‘g’ (dalam tangganada diatonis), sedangkan dalam tembang Sunda pada umumnya berkisar antara ‘g’ atau ‘f’. 2) Laras Pelog Degung Berbeda dengan laras salendro, laras pelog degung memiliki interval yang tidak rata antara setiap nadanya, yaitu ½, 1 dan 2 (meskipun pada kenyataannya, interval tersebut terkadang lebih lebar ataupun lebih sempit).
Gambar VIII. Interval Laras Pelog Degung Jika diquasikan dalam tangganada diatonis, disini menggunakan tangganada A Mayor (3#), yang berarti nada-nadanya adalah 1 (do), 3 (mi), 4 (fa), 5 (sol) dan 7 (si). Tinggi nada 1 (da) laras pelog degung pada gamelan degung berkisar antara nada ‘a’ atau ‘g’ (dalam tangganada diatonis), sedangkan dalam tembang Sunda pada umumnya berkisar antara ‘g’ atau ‘f’. 3) Laras Madenda (Sorog) Begitu pula dengan laras madenda yang memiliki interval yang tidak rata antara setiap nadanya, yaitu ½, 1 dan 2 (meskipun pada kenyataannya, interval tersebut terkadang lebih lebar ataupun lebih sempit).
27
Gambar IX. Interval Laras Madenda (Sorog) Jika diquasikan dalam tangganada diatonis, disini menggunakan tangganada A Mayor (3#), yang berarti nada-nadanya adalah 1 (do), 3 (mi), 4 (fa), 6 (la) dan 7 (si). Tinggi nada 1 (da) laras madenda pada gamelan degung berkisar antara nada ‘a’ atau ‘g’ (dalam tangganada diatonis), sedangkan dalam tembang Sunda pada umumnya berkisar antara ‘g’ atau ‘f’. 6. Rumpaka/ Lirik Lirik menurut Tambajong (1992: 334), secara etimologi berasal dari kata lyric yang berarti suatu bentuk syair yang digunakan dalam semua jenis lagu. Lirik merupakan bagian lagu yang berhubungan dengan bahasa atau sering disebut teks lagu (Tambajong, 1992: 358), sedangkan Tim Abdi Guru (2007: 71) mengatakan bahwa lirik atau syair merupakan simbol bahasa yang digunakan komponis dalam mengekspresikan perasaan untuk mempermudah pendengar dalam mencerna karya musiknya. Menurut Nano dan Engkos (1983: 54), rumpaka secara singkat berarti kata-kata yang digunakan dalam lagu, diidentikkan dengan syair atau lirik. Hal tersebut selaras dengan pendapat Soepandi (1995: 85) yang mengatakan bahwa rumpaka adalah syair atau kata-kata dalam penyajian nyanyian sebagai penjelasan dari tema lagu.
28
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa lirik/ rumpaka adalah kata-kata atau syair dalam sebuah lagu yang merupakan simbol bahasa dari sang komponis untuk mengekspresikan perasaannya. Untuk mengetahui makna dari lirik dalam suatu karya musik, dapat menggunakan ilmu semiotika. Istilah semiotika berasal dari kata semion (Yunani), yang berarti tanda. Semiotika adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Hoed via Nurgiyantoro, 2005: 40). Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini, walau harus diakui bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. Tanda-tanda tersebut dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rumah, pakaian, karya seni: sastra, lukis, musik, tari, dan lain-lain yang berada di sekitar kita (Nurgiyantoro, 2005: 40). Tanda menurut Saussure (via Sunardi: 2004), memiliki tiga wajah, yaitu tanda itu sendiri (sign), aspek material (signifier), dan aspek mental (signified). Dalam konteks semiotik, Barthes (via Kurniawan, 2001: 30) mengemukakan pendapat Saussure tentang tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna, yakni apa yang ditulis atau dibaca. Signified
29
adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep dari bahasa. Saussure (1980: 208) juga menegaskan bahwa tanda itu sendiri, selain memuat penanda dan petanda, juga merupakan pasangan dari tanda-tanda bahasa yang lain. Semiotika digunakan sebagai pencari makna akhir dari sebuah tanda. Dalam ilmu semiotika Saussure, terdapat tiga hubungan yang dapat dipilih sebagai pencari makna akhir yaitu hubungan simbolik, paradigmatik dan sintagmatik. Hubungan simbolik adalah hubungan tanda dengan dirinya sendiri (hubungan internal), Barthes memberi contoh bulan sabit sebagai simbol islam. Adapun hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan tanda lain yang satu kelas dan atau sistem. Contohnya gambar supermarket memiliki hubungan paradigmatik dengan pasar dan atau mal. ‘Tempat belanja’ merupakan kelas dari hubungan antara supermarket, pasar dan mal. Sedangkan hubungan sintagmatik adalah hubungan suatu tanda dengan tanda lain, baik yang mendahului maupun mengikutinya. Yang dimaksud dengan akhir dalam pencarian sebuah makna disini bukan berarti makna baru seolah-olah bisa ditemukan pada tahap akhir, melainkan tahap dimana kita bisa melihat dengan kurang-lebih pasti objek yang kita teliti sebagai kesatuan utuh sebuah sistem pemaknaan atau signification. Jika semiotik berfaedah sebagai metode purgatorio (metode membongkar setiap bentuk stereotipe/ memurnikan persepsi kita dari suara dominan, agar dapat mendengar suara baru), semiotik membutuhkan
30
pendekatan lain seperti sosiologi, agar kita mengetahui asal dan atau sejarah dari hal/ tanda yang kita bahas (Barthes via Kurniawani, 2001). Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode semiotika dengan menggunakan hubungan paradigmatik sebagai pencari makna akhir dianggap paling tepat dalam penelitian ini. 7. Dongkari/ Ornamentasi Dongkari adalah teknik menghasilkan suara yang diolah dengan cara tertentu guna memberikan mamanis (pemanis) pada lagu. Menurut salah satu tokoh cianjuran, ornamentasi adalah hiasan lagu yang khas yang terdapat dalam tembang Sunda Cianjuran (Wiradiredja, 1999: 29). Ornamentasi atau hiasan lagu yang oleh sebagian ahli cianjuran disebut reureueus atau mamanis (pemanis), merupakan suatu aspek yang sangat penting untuk dikuasai, karena kehadiran ornamentasi dalam tembang Sunda Cianjuran bagaikan sebuah atribut yang tidak dapat dipisahkan (Sarinah, 1999: 42). Nama-nama ornamentasi yang dipakai dalam tembang Sunda Cianjuran sebenarnya sampai saat ini belum ada istilah yang seragam/ baku. Namun, penulis mengambil nama-nama ornamentasi yang digunakan dalam penelitian ini yang diambil dari informan melalui wawancara dengan alumni STSI Bandung yang mengambil spesifikasi minat utama karya pembawaan vokal dalam tembang Sunda dan studi pusaka.
31
B. Penelitian yang Relevan Penelitian terhadap Karakteristik Pupuh Kinanti Kawali dianggap relevan dengan penelitian sebelumnya. 1. Analisis Karya Musik Abu Bakar Tokoh Musik Tarling di Cirebon Skripsi yang berjudul Analisis Karya Musik Abu Bakar Tokoh Musik Tarling di Cirebon yang ditulis oleh Daulat Rahadisunu pada tahun 2011, merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis nilai dalam lirik menggunakan pendekatan semiotika negativa. Penelitian dilakukan dengan melakukan observasi, wawancara dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melodi lagu karya Abu Bakar mencerminkan rasa kedaerahan, dengan nada-nada yang digunakan adalah do (a) – mi (cis) – fa (d) – sol (e) – si (gis) bila diquasikan dalam tangganada A, dengan bentuk lagu satu bagian. Sedangkan lirik lagu Tarling karya Abu Bakar, menceritakan kehidupan masyarakat dengan kebudayaan dan tradisinya serta termasuk kedalam bentuk lirik yang tidak teratur. 2. Analisis Struktur Melodi dan Makna Lirik Lagu Campursari Karya Manthous Sedangkan skripsi yang berjudul Analisis Struktur Melodi dan Makna Lirik Lagu Campursari Karya Manthous yang ditulis oleh Ninuk Anindya Janu Wardhani pada tahun 2011, merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan teknik analisis isi (content analysis). Penelitian dilakukan dengan melakukan observasi, wawancara dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Analisis Struktur Melodi dan Makna Lirik
32
Lagu Campursari Karya Manthous menggunakan sistem nada pentatonis pelog dan slendro dengan bentuk lagu terdiri dari dua dan tiga bagian. Liriknya tidak menggunakan kaidah seperti dalam tata cara pembuatan seni tembang Jawa, tetapi menggunakan dayasastra sesuai dengan bentuk puisi dalam sastra Jawa, sedangkan makna yang terdapat pada lagulagunya menceritakan tentang dinamika kehidupan masyarakat khususnya masyarakat menengah kebawah. Skripsi yang disusun oleh Daulat Rahadisunu dianggap relevan dengan penelitian Karakteristik Pupuh Kinanti Kawali karena menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis lirik menggunakan semiotika serta ditemukannya tangganada serta bahasa yang digunakan memiliki karakter sendiri. Sedangkan skripsi karya Ninuk Anindya Janu Wardhani dianggap relevan karena dalam penelitian Karakteristik Pupuh Kinanti Kawali pun ditemukan karakter berupa lirik yang kemudian dianalisis dengan menggunakan kaidah seperti dalam tata cara pembuatan pupuh di Sunda serta terdapat analisis sistem nada. Namun dalam Pupuh Kinanti Kawali tidak ada analisis struktur melodi dan bentuk lagu secara mendetail sehingga hal tersebut yang membedakan kedua penelitian ini dengan penelitian Karakteristik Pupuh Kinanti Kawali. Dari penjelasan tersebut, peneliti menganggap bahwa penelitian tentang Analisis Karya Musik Abu Bakar Tokoh Musik Tarling di Cirebon dan Analisis Struktur Melodi dan Makna Lirik Lagu Campursari Karya Manthous dianggap relevan dengan penelitian Karakteristik Pupuh Kinanti Kawali.