BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep tentang Anak 2.1.1 Pengertian Anak Menurut Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam penelitian ini, peneliti memilih batasan usia anak berdasarkan UndangUndang Perlindungan Anak yaitu di bawah 18 tahun. Sementara itu itu, badan kesehatan dunia PBB yang mengurusi anak United Nation International Children Emergency Fund (UNICEF) mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa. Mereka memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara pada masa yang akan datang. Agar anak kelak mampu memikul tanggungjawab tersebut, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya,
segala bentuk tindakan kekerasan terhadap anak perlu dicegah dan diatasi (Huraerah, 2008). 2.1.2 Hak-hak Anak Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, kewajiban memberikan perlindungan anak didasarkan atas asas-asas : non diskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidupkelangsungan hidup dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Konvensi Hak Anak disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa pada tanggal 20 November 1989 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No 36 tahun 1990. Dalam Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Sementara itu, KUH Perdata menyatakan bahwa seseorang menjadi dewasa apabila telah pernah menikah meskipun usianya belum cukup 18 tahun. Konvensi menghormati hak-hak anak dan perlindungan terhadap anak, pentingnya peran keluarga, serta pengembangan sumber daya untuk kepentingan anak. Pasal 18 mengharuskan negara-negara peserta untuk melakukan upaya-upaya yang menjamin agar kedua orang tua bertanggungjawab bersama untuk membesarkan dan mengembangkan anak dan kepentingan terbaik anak akan dijadikan perhatian utamanya. Sementara itu pasal 19 secara khusus menyebutkan perlunya upaya untuk melindungi anak dari kekerasan, penyalahgunaan, penelantaran dan eksploitasi, serta
menguraikan langkah-langkah dalam mencapai perlindungan tersebut. Pasal-pasal lainnya menekankan pentingnya peran komunitas pelayanan kesehatan di dalam pemantauan dan pelaporan kekerasan terhadap anak. Untuk itu WHO telah merekomendasikan intervensi praktisnya. Bidang lain yang berkaitan dengan anak dengan kecacatan, tanggungjawab orangtua, eksploitasi anak, anak-anak dalam daerah konflik bersenjata, rehabilitasi anak dan lain-lain diuraikan dalam pasal yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup, tumbuh-kembang dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam membahas berbagai hak dan tanggungjawab, Konvensi menegaskan bahwa “hak-hak” tersebut merujuk kepada “child’s … social, spiritual and moral well being and physical and mental health and to achievement of fullest possible individual development in all areas” (kondisi sosial, spiritual dan moral anak serta kondisi fisik dan mental yang baik yang memungkinkan anak mampu mengembangkan diri sesuai kemampuan dengan sebaik-baiknya di segala bidang) (IDI-Depkes-UNICEF, 2004). 2.1.3 Kebutuhan Anak Setiap anak, sebagaimana halnya manusia lainnya, memiliki kebutuhankebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Menurut Katz (1997) dalam Muhidin (2003) kebutuhan dasar yang sangat penting bagi anak adalah adanya hubungan orang tua dan anak yang sehat dimana kebutuhan anak seperti perhatian dan kasih sayang yang kontinu, perlindungan, dorongan dan pemeliharaan harus dipenuhi oleh orang tua.
Sedangkan Brown dan Swanson (1999) mengatakan bahwa kebutuhan umum anak adalah perlindungan (keamanan), kasih sayang, pendekatan / perhatian dan kesempatan untuk terlibat dalam pengalaman positif yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan mental yang sehat Sementara itu, Huttman dalam Muhidin (2003), merinci kebutuhan anak adalah sebagai berikut : 1. Kasih sayang orang tua 2. Stabilitas emosional 3. Pengertian dan perhatian 4. Pertumbuhan dan kepribadian 5. Dorongan kreatif 6. Pembinaan kemampuan intelektual dan keterampilan dasar 7. Pemeliharaan kesehatan 8. Pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal yang sehat dan memadai. 9. Aktivitas rekreasional yang konstruktif dan positif 10. Pemeliharaan, perawatan, dan perlindungan. Untuk menjamin pertumbuhan fisiknya, anak membutuhkan makanan yang bergizi, pakaian, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Semasa kecil, mereka memerlukan pemeliharaan dan perlindungan dari orang tua sebagai perantara dengan dunia nyata. Untuk menjamin perkembangan psikis dan sosialnya, anak memerlukan
kasih sayang, pemahaman, suasana rekreatif, stimulasi kreatif, aktualisasi diri, dan pengembangan intelektual. Sejak dini, mereka perlu pendidikan dan sosialisasi dasar, pengajaran tanggungjawab sosial, peran-peran sosial dan keterampilan dasar agar menjadi warga masyarakat yang bermanfaat (Huraerah, 2008). Kegagalan dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual, mental, dan sosial anak. Anak bukan saja akan mengalami kerentanan fisik akibat gizi dan kualitas kesehatan yang buruk, melainkan pula mengalami hambatan mental, lemah daya nalar, dan bahkan perilaku-perilaku maladaptif seperti autisme, nakal, sukar diatur, yang kelak mendorong mereka menjadi manusia ‘tidak normal’ dan pelaku kriminal (Suharto, 2007). Pertumbuhan dan kesejahteraan fisik, intelektual, emosional, dan sosial anak akan mengalami hambatan jika anak mengalami : 1. Kekurangan gizi dan tanpa perumahan yang layak 2. Tanpa bimbingan dan asuhan 3. Sakit dan tanpa perawatan medis yang tepat 4. Diperlakukan salah secara fisik 5. Diperlakukan salah dan dieksploitasi secara seksual 6. Tidak memperoleh pengalaman normal yang menumbuhkan perasaan dicintai, diinginkan, aman, dan bermartabat.
7. Terganggu secara emosional karena pertengkaran keluarga yang terus menerus, perceraian dan mempunyai orang tua yang menderita gangguan penyakit atau sakit jiwa. 8. Diekpsloitasi, bekerja berlebihan, terpengaruh oleh kondisi yang tidak sehat dan demoralisasi. (Soetarso, 2003). 2.1.4 Pendekatan Holistik pada Tumbuh Kembang Anak Hawari (1997) dalam Huraerah (2008) berpendapat bahwa tumbuh kembang anak seutuhnya dipengaruhi oleh empat faktor yang saling berinteraksi satu dengan yang lain yaitu: faktor organobiologik, psiko-edukatif, sosial-budaya, dan spiritual (agama). Anak akan tumbuh dan berkembang secara sehat apabila keempat faktor tadi terpenuhi dengan baik. 1. Faktor organobiologik Perkembangan mental-intelektual (taraf kecerdasan) dan mental emosional (taraf kesehatan jiwa) banyak ditentukan sejauhmana perkembangan susunan saraf pusat (otak) dan kondisi fisik organ tubuh lainnya. Tumbuh-kembang anak secara fisik sehat, memerlukan gizi yang baik dan bermutu. Terlebih lagi bagi tumbuhkembang otak, bahan baku utama adalah gizi protein. Perkembangan organ otak sudah dimulai sejak bayi dalam kandungan hingga bayi berusia 4-5 tahun (usia balita).
2. Faktor psiko-edukatif Tumbuh-kembang anak secara kejiwaan (mental intelektual dan mental emosional yaitu IQ dan EQ), sangat dipengaruhi oleh sikap, cara, dan kepribadian orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Dalam tumbuh-kembang anak terjadi proses ‘imitasi’ dan ‘identifikasi’ anak terhadap kedua orang tuanya. Tumbuh kembang anak memerlukan dua jenis ‘makanan’, yaitu makanan bergizi untuk pertumbuhan otak dan fisiknya serta makanan dalam bentuk ‘gizi mental’. Bentuk ‘makanan’ yang kedua ini berupa: kasih-sayang, perhatian, pendidikan, dan pembinaan yang bersifat kejiwaan/psikologi (non fisik). 3. Faktor sosial-budaya Faktor sosial budaya penting bagi tumbuh-kembang anak dalam proses pembentukan kepribadian kelak di kemudian hari. Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi globalisasi, modernisasi, industrialisasi, dan sains dan teknologi telah mengakibatkan perubahan-perubahan pada nilainilai kehidupan sosial. Perubahan mana antara lain pada nilai moral, etik, kaidah agama dalam pendidikan anak di rumah, pergaulan, dan perkawinan. Perubahanperubahan nilai sosial budaya tersebut karena pada masyarakat yang sedang dan telah menjalani modernisasi, terjadi pergeseran pola hidup dari semula bercorak sosial religius kepada pola individual materialistis dan sekuler. 4. Faktor spiritual (agama) Bagaimanapun perubahan-perubahan sosial budaya tersebut terjadi, maka pendidikan agama hendaknya tetap diutamakan. Sebab, daripadanya terkandung
nilai-nilai moral, etik, dan pedoman hidup sehat yang universal dan abadi sifatnya. Orang tua mempunyai tanggungjawab besar terhadap tumbuh-kembang anak agar jika dewasa kelak berilmu dan beriman. Selengkapnya, interaksi antara keempat faktor yaitu faktor organobiologik, psiko-edukatif, sosial-budaya, dan spiritual (agama) dapat digambarkan sebagai berikut :
Organobiologik
Agama/ spiritualitas
Anak
Psikoedukatif
Sosialbudaya
Gambar 2.1. Pendekatan Holistik pada Tumbuh Kembang Anak (Huraerah, 2008)
2.2 Kekerasan Seksual pada Anak 2.2.1 Pengertian Kekerasan Seksual Pada awal mulanya, istilah tindak kekerasan pada anak (child abuse) berasal dan mulai dikenal dari dunia kedokteran. Pada tahun 1946, Caffey, seorang radiologist, melaporkan kasus cedera yang berupa gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk pada anak atau bayi disertai perdarahan subdural tanpa mengetahui sebabnya (Suyanto, 2010). Kekerasan terhadap anak (child abuse) adalah peristiwa perlukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggungjawab terhadap kesejahteraan anak Contoh paling jelas tindakan kekerasan yang dialami anak-anak adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjadi luka atau goresan. Namun demikian, perlu disadari bahwa child abuse sebenarnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik, melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk eksploitasi melalui misalnya pornografi dan penyerangan seksual (sexual assault), pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan, dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse) (Gelles, 1985 dalam Suyanto, 2010). Kekerasan seksual adalah praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku. Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik maupun non fisik. Dan kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha-usaha jahatnya tersebut (Huraerah, 2008).
Wahid dan Irfan (2001) memandang bahwa kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual merusak kedamaian di tengah masyarakat.
Adanya
kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian. Kekerasan seksual adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, di mana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan. Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain. Aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, perkosaan, hubungan seksual yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan darah (incest), dan sodomi (Depkes RI, 2007). Pelecehan seksual dan kekerasan seksual atau perkosaan adalah sebuah peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan karena dilatarbelakangi oleh nilai sosial budaya di masyarakat yang sedikit banyak bias gender. Pelecehan seksual tidak selalu berupa tindakan perkosaan atau kekerasan seksual. Bentuk pelecehan seksual dapat bermacam-macam: mulai dari sekedar menyuiti perempuan yang sedang berjalan, memandang dengan mata seolah sedang
menyelidiki tiap-tiap lekuk tubuh, meraba-raba ke bagian tubuh yang sensitif, memperlihatkan gambar porno, dan sebagainya sampai bentuk tindak kekerasan seksual berupa perkosaan (Suyanto, 2010). Kekerasan seksual tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga mencakup banyak perilaku lainnya, misalnya penganiayaan psikologis dan penghinaan, sehingga kalau berbicara masalah kekerasan seksual haruslah menyentuh pada inti kekerasan dan pemaksaan, tidak hanya perilaku yang keras dan menekan. Kalau kekerasan seksual hanya diartikan sempit sebagai perilaku yang keras dan menekan, jangan heran apabila banyak kejadian kekerasan seksual yang lepas dari tuntutan pengadilan. Tersangka kasus perkosaan banyak yang lolos dari tuntutan hanya karena “korban dituduh sebagai pihak yang ikut menikmati peristiwa laknat yang menimpanya itu.” Selama ini, seringkali ada anggapan seseorang dengan orang lain itu berbeda dalam mengartikan suatu tindakan pelecehan seksual itu termasuk dilakukan “suka sama suka atau tidak”, ‘memaksa atau tidak”, “mengancam atau tidak”. Ironisnya dalam hal ini adalah sering kali suatu tindakan yang menurut definisi di atas termasuk ‘tindakan kekerasan’ namun masyarakat atau bahkan perempuan sendiri tidak merasa yang dirinya mengalami tindak kekerasan seksual, misalnya perkosaan dalam perkawinan (marital rape), perkosaan saat kencan (dating rape), perkosaan karena dieksploitasi (exploitation rape), dan sebagainya (Suyanto, 2010).
2.2.2 Klasifikasi Kekerasan Seksual pada Anak Menurut Resna dan Darmawan (2002), tindakan penganiayaan seksual dapat dibagi atas tiga kategori yaitu perkosaan, incest, dan eksploitasi. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Perkosaan Pelaku tindakan perkosaan biasanya pria. Perkosaan biasanya terjadi pada suatu saat dimana pelaku (biasanya) lebih dulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Jika anak diperiksa dengan segera setelah perkosaan, maka bukti fisik dapat ditemukan seperti air mata, darah, dan luka memar yang merupakan penemuan mengejutkan dari penemuan akut suatu penganiayaan. Apabila terdapat kasus pemerkosaan dengan kekerasan pada anak, akan merupakan suatu risiko terbesar karena penganiayaan sering berdampak emosi tidak stabil. Khusus untuk anak ini dilindungi dan tidak dikembalikan kepada situasi dimana terjadi tempat perkosaan, pemerkosa harus dijauhkan dari anak (Resna dan Darmawan, 2002). Secara garis besar, terdapat lima tipe tindakan perkosaan yaitu : a. Sadistic rape (perkosaan sadis), yang memadukan seksualitas dan agresi dalam bentuk kekerasan destruktif. Pelaku menikmati kesenangan erotis bukan melalui hubungan seksualnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh korban. b. Anger rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan amarah yang tertahan
baik pada korban maupun pada orang lain. Tubuh korban seakan dijadikan objek terhadap siapa pelaku memproyeksikan pemecahan kesulitan, kelemahan, frustasi, dan kekecewaan hidupnya. c. Domination rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan pelaku menunjukkan kekuasaan atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama penaklukan seksual. d. Seductive rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi merangsang yang diciptakan kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan untuk membatasi keintiman personal, dan sampai batas-batas tertentu
bersikap
permissive (membolehkan) perilaku pelaku asalkan tidak sampai melakukan hubungan seksual. Namun karena pelaku beranggapan bahwa perempuan umumnya membutuhkan paksaan dan tanpa itu dia merasa gagal, maka terjadilah perkosaan. e. Exploitation rape yaitu perkosaan yang terjadi karena diperbolehkan keuntungan atau situasi dimana perempuan bersangkutan dalam posisi tergantung padanya secara ekonomi dan sosial (Marzuki, 2007). 2. Incest Incest didefenisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antara individu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan diantara mereka dilarang oleh hukum maupun kultur. Incest biasanya terjadi dalam waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.
3. Eksploitasi Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi, dan hal ini cukup unik karena sering meliputi suatu kelompok secara berpartisipasi. Hal ini dapat terjadi sebagai sebuah keluarga atau di luar rumah bersama beberapa orang dewasa dan tidak berhubungan dengan anak-anak dan merupakan suatu lingkungan seksual. Pada beberapa kasus ini meliputi keluarga-keluarga, seluruh keluarga ibu, ayah dan anak-anak dapat terlibat dan anak-anak harus dilindungi dan dipindahkan dari situasi rumah. Hal ini merupakan situasi patologi dimana kedua orang tua sering terlibat kegiatan seksual dengan anak-anaknya dan mempergunakan anak-anak untuk prostitusi atau untuk pornografi. Eksploitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak secara psikiatri (Resna dan Darmawan, 2002) Dalam bentuk lebih ringan, Kalyanamitra (2009), memberikan beberapa contoh tindak pelecehan seksual adalah: menyuiti perempuan di jalanan, memanggilmanggil, atau mengomentari perempuan secara tidak sopan, menceritakan lelucon kotor kepada seseorang yang merasakannya sebagai merendahkan derajat, komentar terus menerus mengenai seks atau yang memiliki makna ganda, memperlihatkan gambar seksi, kalender, majalah, atau buku-buku bergambar perempuan kepada orang yang tidak menyukainya, terus menerus bertanya kepada seseorang mengenai kehidupan pribadi atau kegiatan seksualnya, terus menerus mengajak berkencan kepada seseorang yang jelas-jelas tidak mau, menggerakkan tangan atau tubuh secara tidak sopan terhadap seseorang, memandang atau mengerling, menyentuh, menyubit,
menepuk, menimbang, mengamati tubuh seseorang secara berlebihan, memeluk, atau menciumi seseorang yang tidak menyukai pelukan dan ciuman itu, dan lain-lain sebagainya. 2.2.3 Faktor-faktor terjadinya Kekerasan Seksual pada Anak Terjadinya kekerasan seksual pada anak disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor yang memengaruhinya demikian kompleks, menurut Suharto (2007), kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, yaitu: 1. Anak yang mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamental lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa. 2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak. 3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi. 4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan, anak yang lahir di luar nikah.
5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi. 6. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung akan memperlakukan salah anak-anaknya. 7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya paham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil. Sementara itu, Rusmil (2004), menjelaskan bahwa penyebab atau risiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu faktor keluarga/orang tua, faktor lingkungan sosial/komunitas, dan faktor anak sendiri. 1. Faktor orang tua/keluarga Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan seksual pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan seksual pada anak diantaranya : a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak seperti kepatuhan anak kepada orang tua, hubungan asimetris. b. Anak dibesarkan dalam penganiayaan c. Gangguan mental
d. Orang tua yang belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berumur 20 tahun. e. Orang tua yang longgar terhadap perilaku seks bebas f. Kurangnya pendidikan seks dalam keluarga g. Orang tua pecandu minuman keras dan obat. 2. Faktor lingkungan sosial/komunitas Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan seksual pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan seksual dan penelantaran pada anak yaitu : a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materilistis b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri d. Status wanita yang dipandang rendah e. Sistem keluarga patriarkal f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis 3. Faktor anak itu sendiri a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya. b. Perilaku menyimpang pada anak. Multifaktor diyakini oleh banyak ahli dalam memandang penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak. Posisi anak sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya, moralitas masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang rendah,
kontrol dan kesadaran orangtua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak, kurangnya program edukasi dari pihak pemerintah yang bisa diakses oleh masyarakat, dan masih banyak lagi faktor lain. Psikologi lingkungan memandang bahwa setting lingkungan suatu masyarakat tidak hanya berpengaruh secara fisik tetapi juga secara psikologis dan sosial bagi masyarakat yang menempatinya. Setting lingkungan dapat meliputi tata ruang secara fisik, kepadatan, ketersediaan ruang publik, ruang personal, hingga menyangkut privacy pada setiap orang. Setting lingkungan yang ideal hendaknya memperhatikan berbagai dimensi kebutuhan masyarakat yang menempatinya. Setting lingkungan yang tepat tentunya akan mendukung kesejahteraan masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut. Sebaliknya, setting lingkungan yang kurang tepat akan mengurangi kesejahteraan masyarakatnya dan menghambat berbagai proses yang seharusnya dialami. Anak-anak merupakan salah satu pihak yang menempati suatu lingkup sosial. Pada usianya, mereka sedang mengalami proses tumbuh kembang yang sangat pesat baik secara fisik maupun psikologis. Setting lingkungan yang tepat akan sangat mendukung proses tersebut. Sayangnya, saat ini di Indonesia masih begitu banyak dijumpai lingkungan yang tidak berpihak pada tumbuh kembang anak secara sehat, namun justru menempatkan anak pada kondisi penuh resiko. Situasi semacam itu banyak dijumpai di daerah yang masyarakatnya berada pada tingkat sosial ekonomi bawah. Rumah ukuran kecil yang dipadati oleh penghuni, tidak adanya pembagian ruang, sehingga satu ruangan digunakan bersama untuk berbagai aktivitas oleh banyak orang di rumah. Berbagai hasil penelitian
menyebutkan bahwa kepadatan di rumah berkaitan erat dengan berbagai patologi sosial dan gangguan mental, angka kematian, serta tingginya pembunuhan (Galle & Gove, 1979; Booth & Welch, 1973; dalam Hertinjung, 2010). Penelitian lain memfokuskan pada hubungan antara anak-orangtua pada keluarga yang memiliki kepadatan tinggi. Ditemukan bahwa anak lebih sedikit menerima perhatian yang konstruktif, anak lebih sering keluar rumah tanpa pengawasan orang tua sehingga memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menjadi nakal dan mengalami masalah perilaku dan masalah belajar (Booth & Edwards, 1976; Booth & Johnson, 1975; Saegert, 1980; dalam Hertinjung, 2010). Selain kepadatan secara fisik di rumah, psikologi lingkungan juga membahas mengenai ketersediaan ruang personal yang sifatnya lebih abstrak namun sangat dibutuhkan oleh setiap individu. Ruang personal (personal space) mengacu pada area dengan batas yang tidak tampak di sekitar tubuh seseorang dimana orang asing/orang lain tidak dapat sembarangan masuk (Sommer, 1969). Ruang personal menyangkut komponen jarak dari suatu hubungan interpersonal, yang menjadi indikator dan bagian integral dari proses pertumbuhan, pemeliharaan, dan kemunduran dari hubungan interpersonal (Hertinjung, 2010). Tindak kekerasan seksual pada anak melalui kegiatan perdagangan anak perempuan untuk tujuan seksual, Suyanto (2010) membaginya dalam 6 penyebab yaitu :
1. Adanya kepercayaan para konsumen
(laki-laki hidung belang) bahwa
berhubungan seks dengan anak-anak dapat sebagai obat kuat, obat awet muda dan mendatangkan hoki (keuntungan) tertentu. 2. Anak-anak dipandang masih bersih dari penyakit kelamin dan belum banyak yang “memakainya” sehingga lebih menambah selera konsumen. Faktor penyebab pertama dan kedua merupakan panda para pedofilia yang menyukai melakukan hubungan seks dengan anak-anak. 3. Orang tua kadangkala memandang anak perempuan sebagai aset yang mendatangkan keuntungan besar, sehingga orang tua kandung sampai hati menjual anak perempuannya karena harganya yang sangat tinggi, khususnya harga keperawanannya. 4. Pandangan seksualitas yang sangat menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberi kesempatan bagi mereka yang sudah tidak perawan untuk menentukan dirinya, sehingga kadang pacarnya yang menjual dan memaksanya berhubungan dengan orang lain. 5. Jeratan utang. Orang tua kadang meminjam uang kepada germo yang sekaligus rentenir dengan bunga sangat tinggi. Ketika utang jatuh tempo tidak dapat mengembalikan, maka anak perempuan pengutang diminta bekerja kepada germo yang rentenir tersebut, namun ternyata pekerjaan yang dimaksud sebagai melayani nafsu laki-laki hidung belang. Apabila perjalanan menuju tempat tujuan jauh, antar pulau misalnya, maka biaya perjalanan dihitung sebagai hutang dan dilipatgandakan serta dihitung bunganya dalam perjalanan waktu belum terlunasi.
6. Adanya kemiskinan struktural dan disharmoni keluarga yang dapat memicu depresi dan frustasi. Kondisi semacam ini dapat menyebabkan orang tua hanya hadir secara fisik, namun tidak hadir secara emosional. Oleh karena itu anak merasa tidak kerasan di rumah, sehingga dapat menyebabkan anak mencari orang untuk berlindung yang pada gilirannya dapat mengatnarkannya masuk dalam sindikat perdagangan. 2.2.4 Dampak Kekerasan Seksual pada Anak Kekerasan seksual terhadap anak perlu mendapatkan perhatian serius mengingat akibat dari kekerasan seksual terhadap anak akan menyebabkan anak mengalami trauma yang berkepanjangan. Trauma dapat membahayakan bagi perkembangan jiwa anak sehingga anak tidak akan dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. Seperti tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dinyatakan bahwa Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Akibat lebih jauh dari adanya trauma itu juga menyebabkan terhambatnya proses pembentukan bangsa yang sehat. Untuk itu penegakan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual khususnya terhadap anak perlu untuk dikaji karena menyangkut tentang kesejahteraan anak dan itu merupakan hak setiap anak. Menurut Charles Zastrow dalam Suharto (2003), ciri-ciri umum anak yang mengalami kekerasan seksual adalah sebagai berikut :
1. Tanda-tanda perilaku a. Perubahan-perubahan mendadak pada perilaku: dari bahagia ke depresi atau permusuhan, dari bersahabat ke isolasi, atau dari komunikatif ke penuh rahasia. b. Perilaku ekstrim: perilaku yang secara komparatif lebih agresif atau pasif dari teman sebayanya atau dari perilaku dia sebelumnya. c. Gangguan tidur: takut pergi ke tempat tidur, sulit tidur atau terjaga dalam waktu yang lama, mimpi buruk. d. Perilaku regresif: kembali pada perilaku awal perkembangan anak tersebut, seperti ngompol, mengisap jempol, dan sebagainya. e. Perilaku anti sosial atau nakal: bermain api, mengganggu anak lain atau binatang, tindakan-tindakan merusak. f. Perilaku menghindar: takut akan, atau menghindari dari orang tertentu (orang tua, kakak, saudara lain, tetangga, pengasuh), lari dari rumah, nakal atau membolos sekolah. g. Perilaku seksual yang tidak panas: masturbasi berlebihan, berbahaya atau bertingkah porno melebihi usianya, perilaku seduktif terhadap anak yang lebih muda, menggambar porno. h. Penyalahgunaan Narkotika dan Penyalahgunaan Zat Adiktif (NAPZA), alkohol atau obat terlarang khususnya pada anak remaja.
i. Bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap diri sendiri (self abuse): merusak diri sendiri, gangguan makan, berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan beresiko tinggi, percobaan atau melakukan bunuh diri. 2. Tanda-tanda kognisi a. Tidak dapat berkonsentrasi: sering melamun dan mengkhayal, fokus perhatian singkat/terpecah. b. Minat sekolah memudar: menurunnya perhatian terhadap pekerjaan sekolah dibandingkan dengan sebelumnya. c. Respons/reaksi berlebihan: khususnya terhadap gerakan tiba-tiba dan orang lain dalam jarak dekat. 3. Tanda-tanda sosial-emosional a. Rendahnya kepercayaan diri: perasaan tidak berharga. b. Menarik diri: mengisolasi diri dari teman, lari ke dalam khayalan atau ke bentuk-bentuk lain yang tidak berhubungan. c. Depresi tanpa penyebab jelas: perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan, pikiran dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri. d. Ketakutan berlebihan: kecemasan, hilang kepercayaan pada diri sendiri maupun kepercayaan terhadap orang lain. e. Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti sebelumnya atau sebagaimana dialami oleh teman sebayanya.
4. Tanda-tanda fisik a. Hamil b. Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut, tenggorokan tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah-muntah. c. Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin: pada vagina, penis atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri atau gatal-gatal di seputar alat kelamin. Daftar perilaku ini bukanlah “standar” yang bersifat pasti. Jadi anak yang menunjukkan satu atau dua perilaku di atas tidak dapat serta merta dianggap sebagai mengalami kekerasan secara seksual. Selanjutnya, korban perkosaan anak-anak kemungkinan dapat pulih jauh lebih lama dan sulit. Mereka cenderung akan menderita trauma akut (Geiser, 1979). Masa depannya akan hancur, dan bagi yang tidak kuat menanggung beban, pilihan satusatunya ialah bunuh diri. Acap terjadi, perempuan korban perkosaan, sesudahnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual yang wajar karena menderita vaginismus, dimana otot dinding vagina selalu berkontraksi atau menguncup ketika melakukan hubungan kelamin, sehingga sulit dilakukan penetrasi. Bahkan dalam beberapa kasus dapat terjadi dispareunia, yaitu rasa nyeri atau sakit yang dirasakan sebagai penderitaan bila dilakukan senggama (Suyanto, 2010). Kekerasan seksual yang menimpa para korban, terutama anak-anak sering menjadi stressor yang tidak dapat diatasi dan menimbulkan masalah di kemudian
hari, seperti menderita gangguan makan (anoreksia atau bulimia), masalah seksual, penganiayaan diri dan bunuh diri, gejala somatik, kecemasan, hancurnya penghargaan diri, atau depresi berkepanjangan (Knauer, 2002). Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa kekerasan seksual. Secara spesifik Faulkner (2003) menjelaskan bahwa kendala yang menghambat seseorang dalam melaporkan kasus kekerasan seksual adalah anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban, korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya. Selain itu, korban cenderung takut melaporkan karena mereka merasa terancam akan mengalami konsekuensi yang lebih buruk bila melapor, korban merasa malu untuk menceritakan peristiwa kekerasan seksualnya, korban merasa bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan seksual membuat korban merasa bahwa dirinya mempermalukan nama keluarga (Ilena S., 2011). 2.2.5 Pemulihan Diri Korban Kekerasan Seksual pada Anak Kekerasan seksual menimbulkan dampak bagi korbannya. Pada umumnya, dampak yang muncul yaitu perasaan buruk akibat pengalaman kekerasan seksual yang mereka alami dan pendam akan menjadi lebih buruk dari hari ke hari, dan menjadikan identitas yang buruk bagi korban (Lisak, 1994). Pengalaman traumatis dan perasaan buruk akan diri sendiri ini menyebabkan korban tidak dapat melupakan
kekerasan seksual yang dialaminya dan dapat menjadi gangguan stress yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD). PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomic, kerentanan emosional, dan kilas baik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stres fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa. PTSD dapat dialami siapapun yang telah mengalami kejadian traumatik, tidak peduli usia dan jenis kelamin (Kaplan & Saddock, 2008). Menurut Knauer (2002), ada beberapa jenis gangguan akibat PTSD yaitu gangguan disosiatif, gangguan akibat penggunaan alkohol dan obat terlarang, gangguan makan, dan perilaku kecanduan atau kompulsif. Tentunya hal ini memerlukan pemulihan diri agar korban dapat pulih dari traumanya dan fungsinya sebagai individu dapat berlangsung dengan baik. Kesedihan sebagai dampak traumatis dapat dijelaskan melalui model pemulihan diri dari Kubler-Ross (1969). Model pemulihan diri ini memiliki lima tahapan dan setiap korban tidak selalu melewati setiap tahapan. Lima tahapan tersebut adalah : 1. Tahap penyangkalan Awal tahap ini diwarnai dengan perasaan tidak percaya bahwa kekerasan seksual tersebut menimpa diri korban. Para korban selalu berkata, “Tidak, bukan saya, itu tidak benar”. Penyangkalan ini hampir selalu dilakukan oleh semua korban dan merupakan pertahanan sementara.
2. Tahap kemarahan Ketika masa penyangkalan tidak tertahankan lagi, korban akan mengalami perasaan marah, gusar, cemburu, dan benci. Pertanyaan yang sering muncul adalah, “mengapa aku?” atau “mengapa bukan orang itu saja?”. Kemarahan ini dapat terjadi kapanpun dan diproyeksikan ke lingkungan pada saat yang tidak terduga. Mereka biasanya akan memaki-maki diri sendiri, orang lain atau Tuhan atas kejadian traumatis tersebut, sering menangis, bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap diri sendiri atau orang lain. 3. Tahap penawaran Ketika perasaan marah sudah agak mereda, maka korban akan memasuki tahap penawaran. Tahap ini mampu menolong korban meskipun hanya untuk beberapa saat. Karena menyadari kondisi dirinya yang sedang dalam masa krisis, maka korban berusaha melakukan berbagai hal bagi dirinya asalkan pengalaman tersebut dapat hilang. Tahap ini merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri, dimana korban berharap trauma itu akan hilang dengan sendirinya. 4. Tahap depresi Kelelahan fisik, perubahan mood yang terus menerus, dan usaha-usaha untuk memperbaiki dirinya dapat membuat korban masuk ke dalam kondisi depresi. Mereka dapat kehilangan gairah hidup, merasa sangat sedih, tidak ingin merawat diri dan kehilangan nafsu makan. Mood depresif menjadi semakin buruk bila korban meyakini bahwa dirinyalah yang salah dan menyebabkan terjadinya pengalaman tersebut.
5. Tahap penerimaan Setelah korban mencapai tahap penerimaan, barulah dapat terjadi perkembangan yang positif. Penerimaan terbagi menjadi dua tipe. Pertama, penerimaan intelektual yang artinya menerima dan memahami apa yang telah terjadi. Kedua, penerimaan
emosional
yang
artinya
dapat
mendiskusikan
pengalaman
traumatisnya tanpa reaksi-reaksi berlebihan. Proses menuju penerimaan tidak sama bagi semua orang dan rentang waktunya juga berbeda.
2.3. Kerangka Pikir Kekerasan Seksual Anak - Perkosaan
Kesehatan Reproduksi : - Fisik - Psikologis
Gambar 2.1. Kerangka Pikir Bagan di atas merupakan rangkaian pembahasan kekerasan seksual pada anak menurut teori Resna dan Dermawan (2002), teori dari Kalyanamitra (2009) serta teori yang dikemukakan oleh Charles Zastrow dalam Suharto (2003).