DEATH du JOUR “Sebuah kisah tcnrant; corpus delicti yang pasti memuaskan … kisah kejahatan y<*nu membuat luilu kuduk merinding.” People “Cara penyajiannya setepat kilat dan rincian forensiknya mengerikan dan membuat kita terus terpaku.” Enter m in men f Wfcefc(y Temperance Brennan,seorang ahli antropologi forensik mengidentifikasi jenazah seorang biarawati yang telah meninggal lebih dari satu abad. Tugas yang dibebankan kepadanya oleh keuskupan di Montreal ini tampaknya sebuah tugas yang sederhana dan menarik. Tugas tersebut ternyata memiliki titik singgung dengan tugas berikutnya yang menyeretnya ke dalam petualangan yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidupnya. Peristiwa demi peristiwa yang muncul silih berganti membawanya ke dalam jalinan misteri yang mengerikan dan sejumlah pembunuhan yang kekejamannya Jauh melebihi batas-batas akal sehat manusia. Semuanya diawali oleh usaha pengidentifikasian tulangbelulang sejumlah korban pembunuhan di sebuah rumah yang terbakar hebat di tengah bekunya cuaca di Quebec. Kanada. Salah satu korban adalah seorang nenek berusia 80 an tahun yang tewas ditembak, serta sepasang pria dan wanita serta dua bayi yang dibantai dengan cara yang membuat bulu kuduk merinding. Satu sosok lagi ditemukan dalam kondisi yang lebih mengenaskan. Selain itu, dua mayat wanita ditemukan pula di sebuah pulau surga bagi primata di North carolina. dengan kondisi yang sama. Menghilangnya dua orang wanita, yang salah satu di antaranya adalah adiknya sendiri, menyebabkan benang misteri dirasakan aemakin kusut saja. Semua kejadian itu menyediakan berbagai petunjuk yang harus ditelahnya dengan cermat dan teliti agar mampu mengungkapkan cerita di balik misteri itu. Dengan mengandalkan kemampuan analisis forensik serta bantuan rekan-rekan akademisinya, termasuk detektif Andrew Ryan yang telah memikat hatinya. Tempe dipaksa berpacu dengan waktu untuk memecahkan misteri ini. Sebelum terjadi malapetaka yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lebih banyak lagi.
BUKU TERLARIS INTERNASIONAL NOMOR “Unjuk kehebatan yang membuat bulu kuduk berdiri dan menegangkan Brennan adalah pemenangnya, begitu juga dengan Recehs” Daily News
“Sebuah petualangan mengerikan yang menembus kejahatan di masa lalu dan masa kini Bacalah dan bersiap-siaplah menggigil ketakutan” Mademoiselle G I T A
menghidangkan kisah-kisah pilihan, fiksi maupun nonfiksi. yang cerdas sekaligus melipur DEATH DUJOUR Sebuah Novel SERAMBI Indonesian Language Translation copyright Š 2007, Serambi Copyright Š 1999 by Temperance Brennan, LP All Rights Reserved Diterjemahkan dari Death Du Jour, karangan Kathy Reichs, terbitan Pocket Books, New York: 2000
Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Penerjemah: Fahmi Yamani Penyunting: Sofia Mansoor Pewajah Isi: Siti Qomariyah PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jin. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730 www.serambi.co.id;
[email protected]; www .cerita-utama .serambi .co .id Cetakan I: Desember 2007 ISBN: 979-1112-96-3 Para tokoh dan peristiwa dalam buku ini hanyalah fiktif dan diciptakan berdasarkan imajinasi pengarang. Berlatar belakang Montreal, Kanada; Charlotte, North Carolina dan berbagai lokasi lainnya. Beberapa lokasi dan lembaga yang nyata disajikan dalam cerita ini, namun berbagai tokoh dan peristiwa yang dituturkan benarbenar fiktif. Kalaupun mayat itu ada di situ, aku tidak bias menemukannya. Di luar, angin menderu-deru. Di dalam gereja tua, yang terdengar hanyalah gesekan sekop, dengungan generator jinjing, serta pemanas yang bergema dengan menyeramkan di ruangan yang amat luas itu. Tinggi di atas, dahan pohon menggaruk-garuk jendela berkusen, jari-jemarinya mencakari dinding kayu lapis. Kerumunan orang berdiri dekat di belakangku, bergerombol, tetapi tidak menyentuh, tangan mengepal dalam saku masing-masing. Aku bisa mendengar pergerakan dari sisi yang satu ke sisi yang lain, satu kaki diangkat kemudian kaki yang satunya lagi. Sepatu lars menimbulkan suara menggerus di tanah yang beku. Tidak ada yang berbicara. Rasa dingin telah membius kami dalam kesunyian. Kuamati segumpal tanah menghilang melalui ayakan berlubang halus saat aku menebarkannya dengan lembut menggunakan sekop, Butiran tanah di lapisan bawah merupakan kejutan yang menyenangkan. Mengingat permukaannya, aku menduga akan menemukan lapisan tanah yang membeku selama peng galian ini. Namun, dua minggu terakhir di Quebec ini, tidak seperti biasanya, cuaca cukup hangat sehingga salju meleleh dan tanah melunak. Ciri khas keberuntungan Tempe. Walaupun tetesan musim semi telah terusir oleh badai salju arktik, cuaca yang hangat itu telah membuat tanah menjadi lunak dan mudah digali. Bagus. Tadi malam suhu menukik sampai -14 derajat Celcius. Tidak bagus. Walaupun tanah tidak membeku kembali, cuaca terasa sangat dingin menusuk tulang. Jarijemariku begitu kedinginan sehingga aku hampir tidak bisa mem bengkokkannya. Kami sedang menggali lapisan tanah yang kedua. Namun, masih belum ditemukan apaapa, kecuali kerikil dan serpihan batu yang menumpuk di ayakan. Aku tidak berharap menemukan apa-apa di kedalaman seperti ini, tapi bisa saja keliru. Selama ini aku belum pernah mengalami penggalian mayat yang berjalan sesuai dengan rencana. Aku berbalik menghadap seorang lelaki yang mengenakan jaket panjang hitam dan sebuah topi rajut. Dia memakai sepatu lars dari kulit yang bertali sampai ke lututnya, sepasang kaus kaki yang melipat keluar dari puncak sepatu itu. Wajahnya merah seperti sup tomat. “Hanya beberapa sentimeter lagi.” Aku memberikan tanda dengan menelungkupkan tanganku, seperti mengelus seekor kucing. Pelan-pelan. Dengan perlahan-lahan. Lelaki itu mengangguk. Kemudian, dia menancapkan sekop bergagang panjang ke lapisan tanah yang kedua, melenguh keras seperti Monica Seles, pemain tenis AS terkenal, ketika melakukan serve pertamanya. “Par pounces!” teriakku sambil menyambar sekop. Beberapa sentimeter lagi! Kuulangi gerakan meng iris yang telah kutunjukkan kepadanya sepagian ini.
“Galinya jangan terlalu dalam, tipis-tipis saja.” Ujarku kembali dengan lambatlambat dalam bahasa Prancis yang cermat. Terlihat jelas bahwa lelaki itu tidak mengacuhkan permintaanku. Mungkin karena pekerjaan ini sungguh membosankan atau mungkin karena pemikiran bahwa dirinya sedang menggali sebuah kuburan. Lelaki bermuka merah ini hanya ingin melakukannya dengan cepat, kemudian cepat berlalu daritempat ini. “Ayolah, Guy, coba lagi?” ujar suara lelaki di belakangku. “Baik, Pastor.” Gumamnya. Guy melanjutkan pekerjaannya, menggelengkan kepala, tetapi mengiris tanah seperti yang tadi kutunjukkan caranya, lalu melemparkannya ke atas ayakan. Kualihkan lirikanku dari gumpalan tanah hitam ke lubang itu, menunggu munculnya tandatanda bahwa kami memang sedang menggali sebuah kuburan. Kami sudah menggali selama berjam-jam dan aku bisa merasakan ketegangan yang mencuat di belakangku. Ayunan tubuh para biarawati semakin gencar. Aku berbalik untuk memberikan ekspresi wajah yang kuharap bisa menenangkan sekelompok wanita ini. Kedua bibirku begitu kaku sehingga aku tidak yakin apakah niatku itu terpan-carkan dengan baik di wajahku. Enam raut wajah membalas pandanganku, terlihat tirus karena kedinginan dan rasa gelisah. Kepulan asap muncul dan menghilang di depan wajah keenam wanita itu. Enam senyuman ditujukan kepadaku. Aku bisa merasakan mereka sedang giat berdoa. Sembilan puluh menit kemudian, kami sudah menggali sedalam satu setengah meter. Seperti satu setengah meter yang pertama, lubang ini hanya menghasilkan tanah. Setiap jari kakiku serasa sudah diserang radang dingin dan Guy sudah siap untukmen datangkan mesin pengeruk tanah. Sudah waktunya untuk menelaah situasi ini. “Pastor, sepertinya kita harus memeriksa lagi arsip penguburan.” Sejenak dia terlihat ragu. Kemudian, “Ya. Tentu saja. Tentu saja. Dan kita semua bisa beristirahat dulu; ngopi sambil makan roti lapis.” Pendeta itu melangkah menuju pintu kayu di ujung gereja tua kosong ini dan para biarawati mengikutinya dari belakang, kepala ditundukkan, dengan hatihati sekali melangkah di tanah yang tidak rata itu. Kerudung putih mereka membentuk lengkungan yang sama di bagian belakang jaket wol hitam yang mereka kenakan. Pinguin. Siapa yang mengatakan itu? The Blues Brothers. Kumatikan cahaya lampu senter dan mulai melangkah, mata menatap tanah, tercengang saat melihat serpihan tulang yang terkubur di lantai tanah ini. Keterlaluan. Kami menggali di sebuah titik di dalam gereja ini yang ternyata tidak berisi kuburan. Pastor Menard mendorong salah satu pintu dan, dalam satu barisan, kami berjalan keluar bangunan itu ke dalam terangnya hari. Dalam beberapa saat mata kami sudah bisa menyesuaikan dengan cahaya di luar. Langit terlihat mendung dan sepertinya memeluk puncak menara semua bangunan di kompleks biara itu. Angin kering menerpa para biarawati St. Lawrence, menyebabkan kerah dan kerudung mereka berkibarkibar. Kelompok kami yang kecil itu membungkuk menentang angin dan menyeberang ke bangunan di sebelah, yang dibangun dari batu berwarna abu-abu seperti gereja itu, tetapi lebih kecil. Kami menaiki undakan tangga menuju beranda kayu yang dihiasi ukiran, lalu masuk melalui pintu samping. Di dalam, udara terasa hangat dan kering, terasa nyaman dibandingkan dengan cuaca dingin yang menggigit di
luar. Aku mencium bau teh dan kamper serta makanan yang sudah dikeringkan bertahuntahun yang lalu. Tanpa berkata sepatah kata pun, para wanita melepaskan sepatu lars mereka, satu demi satu tersenyum padaku, dan menghilang ke balik pintu di sebelah kanan bersamaan dengan masuknya seorang biarawati berperawakan kecil yang mengenakan sweter ski berukuran raksasa. Dia melangkah masuk ke foyer (ruang kecil di bagian depan). Gambar rusa cokelat berbulu tebal merentang di dadanya dan menghilang di balik kerudungnya. Dia mengedipkan matanya kepadaku melalui lensa kacamata yang tebal dan meraih jaket panjangku. Aku agak ragu, takut kalau jaketku yang berat itu membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjerembab ke lantai. Dia mengangguk cepat dan memberi isyarat padaku dengan menggerakkan jari telunjuknya, sehingga aku me lepaskan jaketku, meletakkannya di lengannya, lalu menambahkan topi serta sarung tanganku, Dia adalah wanita tertua yang masih hidup yang pernah kulihat. Kuikuti Pastor Menard menyusuri lorong yang panjang dan bercahaya redup menuju sebuah ruang belajar berukuran kecil. Di sini tercium aroma kertas yang sudah usang dan cat sekolah. Sebuah salib berukuran sangat besar tergantung di atas meja sehingga aku bertanya dalam hati bagaimana memasukkan salib besar itu ke dalam ruangan ini. Panel kayu ek berwarna gelap menjulang hampir mencapai langitlangit. Sejumlah patung menatap dari tempatnya di bagian atas ruangan, wajah mereka terlihat muram seperti sosok tubuh di atas salib. Pastor Menard duduk di salah satu dari dua kursi kayu yang menghadap meja, lalu menyuruhku duduk di kursi yang satunya lagi. Suara gemerisik jubahnya. Suara gemerisik rosarionya. Untuk sesaat aku merasa seakan kembali di St. Barnabas. Di dalam kantor Pastor. Dalam kesulitan lagi. Hentikan, Brennan. Usiamu sudah melewati empat puluh tahun, seorang profesional. Seorang ahli antropologi forensik.Orangorang ini memanggilmu karena mereka memerlukan keahlianmu. Sang pastor menarik sebuah buku bersampul kulit dari atas mejanya, membukanya di halaman yang diberi tanda dengan pita hijau, lalu meletakkan buku itu di antara kami berdua. Dia menarik napas panjang, mengerucutkan bibirnya, lalu mengembuskan napas melalui lubang hidungnya. Aku cukup kenal dengan diagram yang terpampang di halaman buku itu. Sebuah kisikisi dengan baris-baris melintang yang dibagi menjadi beberapa kotak segi empat, beberapa diisi nomor, beberapa diisi nama. Kami menghabiskan waktu berjam-jam lamanya mendiskusikan diagram ini kemarin, membandingkan berbagai tulisan dan arsip kuburan dengan posisinya di kisi-kisi tersebut. Lalu, kami memperhitungkan semuanya dan menandai semua lokasinya yang tepat. Suster Elizabeth Nicolet seharusnya berada di baris kedua dari dinding gereja sebelah utara, kotak ketiga dari sebelah barat. Tepat di sebelah Bunda Aurelie. Tetapi, ternyata dia tidak ada di situ. Begitu pula dengan Aurelie, yang tidak berada di tempat yang seharusnya. Kutunjuk sebuah kuburan di kuadran yang sama, tetapi beberapa baris ke bawah dan ke sebelah kanan. “Oke. Raphael sepertinya ada di tempat ini.” Kemudian, menurun satu barisan. “Dan Agathe, Veronique, Clement, Marthe, dan Eleonore. Mereka semua dimakamkan pada tahun 1840-an ‘kan?” “C’est ga.” Kugerakkan jariku ke bagian diagram di sudut barat daya gereja. “Dan ini adalah beberapa kuburan yang terbaru. Tandatanda yang kita temukan sesuai dengan arsip Anda.” “Ya. Itu adalah beberapa kuburan baru, tidak lama sebelum gereja itu ditinggalkan.” “Dan kemudian ditutup pada tahun 1914.”
“Sembilan belas empat belas, Ya, 1914.” Dia memiliki cara yang aneh dalam mengulangi kata dan frasa. “Elisabeth meninggal pada tahun 1833?” “C’est ga. 1888. Bunda Aurelie pada tahun 1894.” Semua itu tidak masuk akal. Bukti keberadaan kuburan itu seharusnya ada di situ. Sudah jelas bahwa berbagai artefak dari kuburan di tahun 1840-an ada di sana. Sebuah pengujian di daerah itu menghasilkan potongan kayu dan sisasisa peti mati. Dalam lingkungan yang terlindung di dalam gereja, dengan jenis tanah seperti itu, menurutku seharusnya tulangbelulangnya masih berada dalam kondisi yang cukup bagus. Jadi, ke manakah Elisabeth dan Aurelie? Biarawati tua itu menyeruak masuk sambil membawa nampan berisi kopi dan roti lapis. Asap dari cangkir membuat kacamatanya berembun, sehingga dia berjalan dengan langkah pendek-pendek, tidak pernah mengangkat seluruh kakinya dari lantai. Pastor Menard bangkit untuk menyambut nampan tersebut. “Merci, Suster Bernard. Sungguh baik sekali. Baik sekali.” Biarawati itu mengangguk dan menyeret kakinya keluar, tanpa menyeka kacamatanya. Aku mengamatinya saat meraih cangkir kopiku. Bahu biarawati itu sama lebarnya dengan pergelangan tanganku. “Berapa usia Suster Bernard?” tanyaku sambil mengambil sebuah croissant. Berisi salad salmon dan daun selada yang sudah layu. “Kami tidak tahu pasti. Dia sudah berada di biara ini ketika aku datang ke sini sewaktu kecil dulu, sebelum perang. Maksudku Perang Dunia II, Ke mudian, dia pergi mengajar di gereja di luar negeri. Dia tinggal di Jepang untuk beberapa waktu lamanya, kemudian di Kamerun. Kupikir usianya pasti sekitar sembilan puluh tahunan.” Dia menghirup kopinya. Tipe penyeruput. “Dia dilahirkan di desa kecil di Saguenay, konon masuk ke biara ini saat berusia dua belas tahun.” Seruput. “Dua belas. Arsip yang ada saat itu di daerah pedesaan di Quebec tidak begitu bagus. Tidak begitu bagus.” Kugigit roti lapis itu, kemudian menggenggam cangkir kopi. Hangatnya sungguh nikmat sekali. “Pastor, apakah ada arsip lainnya? Surat-surat tua, dokumen, apa pun yang belum kita lihat?” Aku mencoba menggerak-gerakkan jari kakiku. Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Dia menganggukkan kepala ke lembaran kertas yang berserakan di atas meja, lalu mengangkat bahu. “Ini semua arsip yang diberikan Suster Julienne kepadaku. Dia pengurus arsip di biara ini.” “Ya.” Aku dan Suster Julienne telah berbicara dan melakukan surat-menyurat cukup lama tentang masalah ini. Dialah yang pertama kali menghubungiku dan bercerita tentang proyek ini. Aku langsung tertarik saat mendengar ceritanya. Kasus ini sangat berbeda dengan pekerjaan forensikku yang biasa, yang melibatkan jenazah yang ditangani koroner. Pihak keuskupan agung memintaku menggali kuburan dan menganalisis sisasisa mayat seorang santa. Memang, jenazah itu sebenarnya bukan seorang santa. Tetapi, itulah masalahnya. Elisabeth Nicolet telah diusulkan untuk diberkati menjadi seorang santa. Aku diminta untuk menemukan kuburannya dan memverifi kasi bahwa tulangbelulangnya adalah memang miliknya. Urusan pemberkatan gelar santa diserahkan ke Vatikan.
Suster Julienne meyakinkanku bahwa terdapat arsip yang akurat. Semua kuburan di gereja tua itu telah disusun dalam katalog dan dipetakan. Penguburan yang terakhir terjadi pada tahun 1911. Gereja itu kemudian ditinggalkan dan ditutup pada tahun 1914 setelah terjadi kebakaran. Sebuah gereja baru yang lebih besar dibangun untuk menggantikannya dan bangunan tua itu tidak pernah digunakan kembali. Ditutup. Dokumentasinya rapi. Mudah sekali. Jadi, di manakah Elisabeth Nicolet? “Mungkin tidak ada salahnya bertanya. Mungkin ada sesuatu yang belum diberikan Suster Julienne kepada Anda karena menurutnya mungkin tidak penting.” Pastor hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian berubah pikiran. “Aku yakin dia telah memberikan semuanya kepadaku, tetapi aku akan menanyakannya nanti. Suster Julienne telah menghabiskan waktu yang cukup banyak untuk melakukan penelitian ini. Waktu yang cukup banyak.” Aku mengawasinya keluar dari pintu, menghabiskan croissan t-ku, kemudian melahap sepotong roti lagi. Kusilangkan kakiku, bersila, kemudian meremas jari kakiku. Nikmat. Aku mulai bisa merasakan jarijariku kembali. Sambil menghirup kopi, kuraih sehelai surat dari atas meja. Aku sudah pernah membacanya. 4 Agustus 1885. Campak mewabah di Montreal. Elisabeth Nicolet menulis surat kepada Uskup Edouard Fabre, memohon kepadanya untuk melakukan vaksinasi pada para jemaat yang masih sehat dan menggunakan rumah sakit untuk merawat mereka yang terjangkit campak. Tulisan tangannya sungguh rapi, dalam bahasa Prancis yang aneh dan kuno. Biara Notre-Dame de l’Immaculee-Conception benarbenar sunyi. Pikiranku melayang. Kukenang sebuah penggalian kubur lainnya. Polisi di St-Gabriel. Di pemakaman itu, peti mati ditumpuk tiga tingkat. Kami akhirnya menemukan Monsieur Beaupre, empat kuburan jaraknya dari lokasi yang ada di arsip, di bagian paling bawah, bukan yang paling atas. Lalu, ada seorang pria di Winston-Salem yang bahkan tidak berada di dalam peti matinya sendiri. Peti mati itu malahan berisi seorang wanita yang mengenakan gaun panjang bercorak bunga. Hal itu memunculkan dua masalah di tanah pekuburan itu. Ke manakah jenazah yang dicari itu? Dan siapakah tubuh di dalam peti mati itu? Keluarganya tidak pernah bisa menguburkan kembali sang Kakek di Polandia dan para pengacaranya mempersiapkan tuntutan sengit saat aku meninggalkan kasus itu. Di kejauhan, kudengar suara bel berbunyi, kemudian, di koridor terdengar suara gemerisik. Biarawati tua itu sedang berjalan ke arahku. “Serviettes,” ujarnya dengan suara melengking. Aku meloncat kaget, menumpahkan kopi ke lengan bajuku. Bagaimana mungkin suara senyaring itu muncul dari mulut orang sekecil ini? “Merci.” Jawabku sambil meraih serbet. Dia tidak mengacuhkanku, menghampiri, dan menggosok lengan bajuku. Sebuah alat bantu dengar tampak menempel di telinga kanannya. Aku bisa merasakan napasnya dan melihat helaian uban menghiasi dagunya. Dari tubuhnya tercium wangi wol dan air mawar. “Eh, voiia. Cucilah begitu sampai ke rumah. Air dingin.” “Baik, Suster.” Katakata itu terucap secara refl eks. Matanya menatap surat di tanganku. Untunglah, surat itu tidak terkena tumpahan kopi. Dia membungkuk, mendekat. “Elisabeth Nicolet adalah wanita hebat. Seorang wanita pencinta Tuhan. Benarbenar suci. Benarbenar bersahaja.” Purete. Austerite, Bahasa Prancisnya
terdengar persis seperti bila surat-surat Elisabeth diucapkan. “Ya, Suster.” Seakanakan aku berusia Sembilan tahun. “Dia akan menjadi seorang santa.” “Ya, Suster. Itulah sebabnya kami berusaha menemukan tulangbelulangnya. Agar dia bisa menerima penghormatan yang layak.” Aku tidak yakin bagaimana penghormatan yang layak untuk seorang santa, tetapi kedengarannya pantas untuk diucapkan. Kuraih diagram dan menunjukkannya kepadanya. “Ini peta gereja lama.” Kususuri barisan di dinding utara, lalu menunjuk sebuah persegi empat. “Ini kuburannya.” Si biarawati tua mengamati peta itu selama beberapa saat, dengan kacamata hampir menempel ke halaman tersebut. “Dia tidak ada di situ,” ujarnya. “Maaf?” “Dia tidak ada di situ,” Sebuah jari yang montok mengetuk kotak itu. “Ini tempat yang salah.” Pastor Menard masuk ke ruangan. Dia ditemani seorang biarawati bertubuh tinggi dan beralis tebal berwarna hitam pekat yang menyatu di pangkal hidungnya. Pastor itu memperkenalkan Suster Julienne, yang mengulurkan tangan sambil tersenyum. Tidak perlu menjelaskan apa yang dikatakan Suster Bernard. Mereka pasti telah mendengar ucapan wanita tua itu dari koridor. Mereka mungkin sudah mendengar biarawati tua itu ketika berada di Ottawa. “Itu tempat yang salah. Kalian mencari di tempat yang salah,” ujarnya. “Apa maksudmu?” tanya Suster Julienne. “Mereka mencari di tempat yang salah,” ujar Suster Bernard mengulangi perkataannya. “Dia tidak ada di situ.” Aku dan Pastor Menard bertukar pandang. “Jadi, di mana dia, Suster?” tanyaku. Dia membungkukkan tubuhnya sekali lagi di atas diagram itu, kemudian menunjuk bagian tenggara gereja. “Dia ada di situ. Dengan Bunda Aurelie.” “Tetapi Sus-“ “Mereka memindahkan keduanya. Menyediakan peti mati baru dan meletakkan keduanya di bawah sebuah altar khusus. Di sana.” Kembali dia menunjuk sudut sebelah tenggara. “Kapan?” Kami melontarkan pertanyaan itu pada waktu yang bersamaan. Suster Bernard memejamkan mata. Bibir tua yang keriput itu bergerak, menghitunghitung tanpa suara. “Sembilan belas sebelas, Itu tahun ketika aku datang sebagai biarawati baru. Aku masih ingat, karena beberapa tahun kemudian gereja itu terbakar dan mereka menutupinya dengan papan. Tugasku adalah masuk ke gereja dan meletakkan bunga di atas altar itu. Aku tidak menyukai tugas itu. Sangat menakutkan masuk ke dalam sendirian. Tapi, kuserahkan semuanya kepada Tuhan.”
“Apa yang terjadi dengan altar itu?” “Dikeluarkan sekitar tahun tiga puluhan. Sekarang ada di Kapel Bayi Suci di dalam gereja yang baru.” Dia melipat serbet dan mengumpulkan cangkir kopi. “Dulu ada sebuah plakat yang menandai keberadaan kuburan itu, tapi sekarang sudah tidak ada. Tidak ada seorang pun yang pergi ke tempat itu sekarang. Tanda itu sudah lama hilang.” Aku dan Pastor Menard kembali bertukar pandang. Dia mengangkat bahunya. “Suster,” ujarku pada akhirnya, “apakah Anda bisa menunjukkan kuburan Elisabeth kepada kami?” “Bien sur.” “Sekarang?” “Kenapa tidak?” Cangkir porselen berdenting saat mengenai cangkir porselen lainnya. “Biarkan saja cangkir-cangkir itu,” ujar Pastor Menard. “Pakailah jaket dan sepatumu, Suster, dan kita akan berjalan ke sana sekarang juga.” Sepuluh menit kemudian, kami semua kembali berada di dalam gereja tua itu. Cuaca belum berubah dan malahan terasa lebih dingin dan lembap dibandingkan dengan cuaca pagi harinya. Angin masih men deru-deru. Dahan pepohonan masih mengetukngetuk. Suster Bernard memilih jalanan yang rusak menyeberangi gereja, aku dan Pastor Menard masing-masing memegangi sebelah lengannya. Melalui kain bajunya, tubuhnya terasa rapuh dan ringan sekali. Biarawati lain mengikuti kami dengan bergerombol, Suster Julienne sudah siap dengan buku steno dan pulpennya. Guy mengikuti kami di barisan paling belakang. Suster Bernard berhenti di bagian gereja sebelah tenggara. Dia mengenakan topi chartreuse hasil rajutan tangan di atas kerudungnya, ditalikan ke dagunya. Kami mengamati kepalanya menengok kian-kemari, mencaricari tanda, berusaha mengingatingat kembali. Semua mata tertuju ke sebuah titik di bagian dalam gereja yang suram. Aku memberikan isyarat kepada Guy untuk membetulkan posisi lampu, Suster Bernard tidak mengacuhkannya. Setelah beberapa saat lamanya, dia mundur menjauhi dinding. Kepala menengok ke kiri, ke kanan, kemudian ke kiri lagi, Ke atas. Ke bawah. Dia memeriksa posisinya sekali lagi, kemudian menggores tanah dengan tumit sepatu larsnya. Setidaknya dia mencoba menggores dengan tumit sepatunya. “Dia di sini.” Suaranya yang melengking itu bergema, terpantul dari dinding batu. “Kau yakin?” “Dia di sini.” Suster Bernard terlihat sangat yakin. Kami semua menatap tanda yang dibuatnya. “Mereka berada di peti mati berukuran kecil. Bukan peti mati yang seperti biasanya. Waktu itu hanya tersisa tulangbelulangnya sehingga semuanya bias dimasukkan ke dalam peti mati kecil.” Dia merentangkan lengannya yang kecil untuk menunjukkan ukuran peti mati untuk anak kecil. Salah satu lengannya gemetaran, Guy menyorotkan lampunya ke titik di dekat kaki Suster Bernard. Pastor Menard mengucapkan terima kasih kepada biarawati tua itu dan meminta dua orang biarawati lain untuk mengantarkannya kembali ke biara. Aku mengawasi
mereka menjauh. Dia terlihat seperti seorang anak kecil di antara kedua rekannya, begitu kecilnya sehingga ujung jaketnya hampir tidak mencapai lantai yang kotor. Kuminta Guy membawa satu lagi lampu ke lokasi yang baru itu. Lalu, kutarik alat pemindaiku dari lokasi awal, meletakkan ujungnya di tempat yang telah dibuat Suster Bernard, dan mendorong pegangan berbentuk huruf T. Tidak berhasil. Tempat itu sama bekunya. Kugunakan sebuah alat pemindai ubin untuk menghindari kerusakan benda apa pun yang ada di bawah permukaan tanah, dan ujungnya yang berbentuk bola tidak bisa menembus lapisan tanah paling atas yang sudah membeku itu. Aku mencobanya sekali lagi, dengan lebih keras, Tenang, Brennan. Mereka tidak akan senang kalau kamu menghancurkan kaca peti mati. Atau mengebor lubang di kepala biarawati itu. Kubuka sarung tanganku, mencengkeram alat itu dengan kesepuluh jariku, dan mendorong kembali. Kali ini permukaan tanah pecah dan aku merasakan ujung pemindai itu menembus lapisan tanah. Sambil menahan keinginan untuk melakukannya secara tergesa-gesa, kuuji lapisan tanah itu, dengan mata terpejam, merasakan perbedaan lapisan tanah yang sedang kutembus. Berkurangnya tekanan berarti adanya sebuah ruang hampa yang diisi oleh sesuatu yang telah lapuk. Tekanan yang lebih besar bisa berarti sebuah tulang atau artefak ada di bawah tanah. Tidak ada. Kutarik alat itu dan mengulangi proses itu kembali. Pada percobaan ketiga aku merasakan ada yang menahan. Aku menariknya kembali, menancapkan kembali alat itu lima belas sentimeter ke sebelah kanan. Sekali lagi terasa ada tekanan. Ada sesuatu yang keras tidak jauh dari permukaan tanah. Kuberikan isyarat berupa jempol ke atas kepada pastor dan para biarawati, dan meminta Guy membawa ayakan. Sambil berbaring di sebelah alat pemindai, kuraih sekop berujung rata dan mulai mengiris lapisan tanah. Kukupas tanah, sejengkal demi sejengkal, melemparkannya ke ayakan, dan mataku bergerak dari ayakan ke lubang. Dalam waktu tiga puluh menit, aku sudah melihat benda yang kucari. Beberapa lapisan tanah yang terakhir kugali terlihat berwarna lebih gelap dibandingkan dengan lapisan tanah cokelat yang kulemparkan sebelumnya ke ayakan. Kuraih sekop kecil, membungkuk di atas lubang itu, dan pelan-pelan menggaruk lapisan dinding tanah, menyingkirkan butiran tanah dan meratakan permukaannya. Saat itu juga aku melihat sebuah benda berwarna gelap berbentuk lonjong. Bercak itu berukuran satu meter panjangnya. Aku hanya bias menduga-duga lebarnya karena setengahnya terkubur di bawah lapisan tanah yang sedang kugali itu. “Ada sesuatu di bawah sini,” ujarku sambil menegakkan tubuh. Napasku mengembun di depan wajahku. Secara serentak, para biarawati dan pastor bergerak mendekat dan mengintip ke dalam lubang. Kutunjuk bercak yang lonjong itu dengan ujung sekop. Pada saat itu, kedua biarawati yang mengantarkan Suster Bernard sudah kembali untuk bergabung dengan teman-temannya yang lain. “Ini bisa saja kuburan, walaupun terlihat lebih kecil dari biasanya. Aku tadi menggalinya ke arah kiri, jadi harus menggali bagian sebelah sini,” ujarku sambil menunjuk lokasi tempatku berjongkok. “Aku akan menggali sekeliling kuburan itu dan kemudian menggali ke bagian bawahnya. Dengan begitu, kita akan mendapatkan gambaran kuburan itu saat menggalinya. Dan akan lebih mudah bagiku untuk menggalinya seperti itu. Lubang di sekelilingnya akan mempermudah kita untuk mengangkat petinya dari samping jika terpaksa.” “Bercak apa itu?” tanya seorang biarawati muda yang wajahnya seperti anggota Pramuka.
“Ketika sesuatu yang kandungan organiknya ting gi mengalami pembusukan, benda itu akan menye - babkan tanah di sekelilingnya lebih gelap. Bisa berasal dari kayu peti mati, atau bunga yang ikut dikuburkan di dalamnya.” Aku tidak ingin menjelaskan proses pembusukan. “Bercak seperti ini hampir selalu merupakan tandatanda keberadaan sebuah kuburan.” Dua orang biarawati membuat tanda salib di dadanya. “Apakah itu Elisabeth atau Bunda Aurelie?” Tanya seorang biarawati berusia setengah baya. Bagian bawah kelopak matanya bergetar. Kuangkat tanganku sebagai isyarat “entahlah.” Sambil mengenakan sarung tanganku kembali, aku mulai mengiris tanah di sebelah kanan bercak itu, melebarkan lubang yang sedang kugali sehingga memperjelas bercak lonjong itu dan pinggiran peti sepanjang enam puluh sentimeter di sebelah kanannya. Lagi-lagi, satu-satunya suara yang terdengar adalah suara gesekan dan tanah yang menerpa ayakan. Kemudian, “Apa itu?” Biarawati yang paling tinggi menunjuk ke ayakan. Kutegakkan tubuh untuk melihatnya, bersyukur atas kesempatan untuk meregangkan otot tubuhku. Biarawati itu menunjuk sebuah potongan kayu kecil berwarna cokelat kemerahan. “Wah, berani berta-. Memang jelas ada sesuatu ya, Suster. Kelihatannya seperti potongan kayu peti mati.” Kukeluarkan setumpuk kantong kertas dari tasku, lalu di sebuah kantong itu kutulis tanggal, lokasi, dan berbagai informasi penting lainnya, meletakkannya di ayakan, dan meletakkan sisanya di tanah. Jarijemariku kini benarbenar terasa kebas. “Waktunya untuk bekerja. Suster Julienne, tolong catat semua hal yang kita temukan. Tuliskan di kantong kertas dan catat dalam buku catatan, seperti yang sudah kita diskusikan. Sekarang kita”aku menatap ke dalam lubang-“pada kedalaman sekitar setengah meter. Suster Marguerite, tolong dipotret.” Suster Marguerite mengangguk sambil mengangkat kameranya. Mereka segera melakukan tugas masing-masing, dengan penuh semangat, setelah dari tadi hanya mengamati berjam-jam, Aku terus menggali, Suster Kelopak Mata dan Suster Pramuka membantu mengayak. Semakin banyak potongan kayu yang tergali dan tak lama kemudian kami bisa melihat garis yang berbentuk pada tanah yang dipenuhi bercak hitam itu. Kayu. Sudah sangat hancur. Pertanda buruk. Dengan menggunakan sekop kecil dan tangan telanjang, aku terus menggali dengan harapan bisa menemukan sebuah peti mati. Walaupun suhu berada di bawah titik beku dan seluruh jari tangan serta kakiku telah kehilangan indra perasanya, keringat mengucur deras di dalam jaketku. Ya Tuhan, mudah-mudahan ini sisasisa tubuhnya, pikirku. Nah, sekarang siapa yang berdoa? Saat aku menggali lubang itu ke arah utara, semakin banyak kayu yang tampak, benda itu terlihat semakin lengkap. Pelan-pelan, bentuknya terlihat jelas: segienam. Bentuk peti mati. Aku berusaha keras untuk meredam keinginan untuk berteriak “Halleluya!” Teriakan berbau gereja, tetapi tidak profesional, begitu kataku dalam hati. Kusapu tanah yang tersisa, sedikit demi sedikit, sampai puncak benda itu
benarbenar terlihat dengan jelas. Ternyata sebuah kotak kayu kecil dan sekarang aku menyapu dari bagian kaki menuju kepala. Kuletak kan sekop kecilku dan meraih sebuah kuas. Mata ku menatap sepasang mata salah seorang biarawati yang menjaga ayakan itu. Aku tersenyum, Dia membalas senyumanku. Kelopak mata kirinya berkedut-kedut. Kusapu permukaan kotak kayu itu berulang kali, menyingkirkan tanah yang telah menempel selama puluhan tahun. Semua orang mengamati sambil menahan napas. Pelan-pelan, sebuah benda muncul dari tutup peti mati itu. Tepat di bagian yang paling lebar. Tepat pada posisi diletakkannya sebuah plakat. Jantungku berdegup dengan kencang, Kusapu tanah dari benda itu sampai terlihat jelas bentuk aslinya. Bentuknya lonjong, dari logam, dengan pinggiran dihiasi benang emas yang sangat halus, Dengan menggunakan sikat gigi, pelan-pelan kubersihkan permukaannya. Tampak huruf terukir di situ. “Suster, bisa tolong ambilkan lampu senterku? Dari dalam tas?” Lagi-lagi, mereka membungkukkan tubuh bersama-sama. Mirip sekelompok burung penguin di atas kubangan air. Kusorotkan cahaya lampu senter ke atas plakat itu. “Elisabeth Nicolet1846-1888. Femme contemplative.” “Kita menemukannya,” ujarku, tidak ditujukan kepada siapa pun. “Halleluya!” seru Suster Pramuka. Sepertinya melupakan etika kehidupan di gereja. Selama dua jam berikutnya kami menggali sisasisa jenazah Elisabeth. Para biarawati, dan bahkan Pastor Menard, melakukan kegiatan itu dengan penuh semangat seperti mahasiswa jurusan arkeologi pada tugas penggaliannya yang pertama. Jubah biarawati dan jubah pastor berkibar-kibar di sekelilingku saat tanah dilemparkan ke ayakan, tas diisi, diberi label, ditumpukkan, sementara kamera merekam seluruh kegiatan itu. Guy ikut membantu, walaupun terlihat enggan. Sikapnya sungguh berbeda dengan para biarawati di sekelilingnya. Mengeluarkan peti mati itu bukanlah pekerjaan mudah. Walaupun ukurannya kecil, kayu peti mati itu sudah sangat lapuk dan bagian dalam peti dipenuhi tanah, menambah berat beban yang hendak diangkat menjadi sekitar sepuluh ton. Penggalian parit di sisi peti mati itu terbukti berguna, walaupun aku kurang cermat memperkirakan ukuran parit yang kami butuhkan. Kami harus memperluas lubang di sisi peti mati itu selebar setengah meter sebelum bias menyelipkan papan ke bagian bawah peti mati tersebut. Akhirnya, kami berhasil mengangkat seluruh peti mati itu dengan menggunakan tali polipropilen. Pada pukul setengah enam, kami telah menikmati kopi di dapur biara, kelelahan, dengan jari tangan dan kaki, serta wajah mulai menghangat. Elisabeth Nicolet dan peti matinya sekarang sudah terkunci dengan aman di bagian belakang mobil van milik biara, bersama-sama dengan peralatanku. Besok, Guy akan mengantarkannya ke Laboratoire de Medecine Legale di Montreal, tempatku bekerja sebagai Ahli Antropologi Forensik untuk Provinsi Quebec. Karena jenazah bersejarah ini tidak termasuk kasus forensik, izin khusus harus diperoleh dari Bureau du Coroner agar aku bisa melakukan analisis di situ. Aku diberi waktu dua minggu untuk menganalisis tulangbelulang itu. Kuletakkan cangkir dan mengucapkan salam perpisahan. Sekali lagi. Para biarawati mengucapkan terima kasih kepadaku, berulang kali, senyuman terpancar di selasela wajah yang tegang, sudah tidak sabar ingin mendengar hasil penelitianku. Mereka semua memberikan senyuman yang tulus. Pastor Menard mengantarku ke mobil. Hari telah beranjak gelap dan hujan salju
ringan mulai turun. Anehnya serpihan salju terasa hangat saat menyentuh pipiku. Pastor itu bertanya sekali lagi apakah aku bersedia menerima undangannya untuk bermalam di biara. Salju tampak berkilat di belakang tubuhnya karena melayanglayang di hamparan cahaya lampu beranda. Sekali lagi aku menolaknya. Setelah men dapatkan beberapa petunjuk jalan, aku pun segera beranjak pergi. Setelah selama dua puluh menit melaju di jalan dua arah, aku mulai menyesali keputusanku. Serpihan salju yang tadi melayang dengan malasnya di hadapan cahaya lampu mobilku sekarang menukik dengan tajamnya membentuk layar diagonal. Jalanan dan pepohonan di kedua sisi sekarang ditutupi kabut putih yang semakin tebal saja setiap detiknya. Kucengkeram kemudi dengan kedua tanganku, telapak tangan terasa lembap di dalam sarung tangan. Kuturunkan kecepatan sampai enam puluh kilometer per jam. Lima puluh lima. Setiap beberapa menit aku menguji rem. Walaupun sudah tinggal di Quebec bertahuntahun, kadang pindah dan kembali lagi, aku tidak pernah terbiasa mengemudi di musim dingin. Aku selalu menganggap diriku tangguh, tetapi saat duduk di dalam mobil di cuaca bersalju, maka aku berubah menjadi Putri Penakut. Aku masih memiliki reaksi orang Selatan dalam menghadapi badai musim dingin. Oh. Salju. Kalau begitu, kami tentu tidak jadi keluar rumah. Orang Quebec akan menatapku dan menertawakanku. Rasa takut memiliki efek yang setimpal. Rasa takut mengusir rasa lelah. Walaupun sangat lelah, aku tetap terjaga, gigi dirapatkan, leher tegak, dan otot tegang. Rute Kota Timur hanya sedikit lebih baik daripada jalan di pedalaman. Lac Memphremagog menuju Montreal biasanya makan waktu dua jam. Sekarang aku memerlukan waktu hampir empat jam. Tak lama setelah pukul sepuluh malam, aku berdiri di tengah gelapnya apartemenku, kelelahan, bersyukur karena telah tiba di rumah. Rumah di Quebec. Aku telah berdiam di North Carolina selama hamper dua bulan. Bienvenue, Proses berpikirku sudah berubah ke gaya Prancis kembali. Kunyalakan alat pemanas dan memeriksa lemari es. Tidak ada apa-apa. Kupanaskan burito beku dalam microwave selama beberapa detik, lalu menyantapnya dengan bantuan root beer hangat. Bukan makan malam yang elegan, namun cukup menge nyangkan. Koper yang kuletakkan pada Selasa malam masih berada di tempatnya di dalam kamar tidur. Aku tidak berniat untuk membongkarnya malam ini. Besok saja. Kujatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur, berencana untuk tidur sedikitnya sembilan jam. Suara telepon yang berdering empat jam kemudian mengacaukan rencanaku itu. “Oui, ya,” gumamku, transisi bahasa sekarang bercampur baur. “Temperance. Ini Pierre LaManche. Maaf sekali karena mengganggumu selarut ini.” Aku menunggu. Selama tujuh tahun bekerja dengannya, direktur lab itu tidak pernah menghubungiku pada pukul tiga subuh seperti ini. “Kuharap semuanya berjalan lancar di Lac Memphremagog.” Dia mendehemdehem. “Aku baru saja mendapat kabar dari koroner. Ada rumah kebakaran di St-Jovite. Para pemadam kebakaran masih berusaha memadamkannya. Para penyelidik kebakaran akan mencapai tempat itu besok pagi dan koroner ingin kita hadir di sana juga.” Kembali mendehemdehem. “Salah seorang tetangga mengatakan bahwa para penghuni rumah masih berada di dalamnya. Mobil mereka masih diparkir dijalan masuk.” “Kenapa kamu membutuhkanku?” tanyaku dalam bahasa Inggris.
“Rupanya kebakaran itu sangat parah. Bila ada orang yang terbakar, pasti sudah gosong. Mungkin yang tersisa hanya tulangbelulang dan gigi. Pasti sulit untuk mengidentifi kasinya.” Sialan. Jangan besok dong, “Pukul berapa?” “Aku akan menjemputmu pukul enam pagi, Bagaimana?” “OK.” “Temperance. Ini mungkin kasus kebakaran yang mengenaskan. Ada anakanak tinggal di rumah itu.” Kupasang alarm pada pukul lima tiga puluh. Bienvenue. f J Setelah dewasa, aku tinggal di daerah selatan, Cuacanya tidak pernah terasa panas bagiku. Aku mencintai pantainya di bulan Agustus, baju renang, kipas angin di langitlangit, bau rambut anakanak kecil yang berkeringat, suara kumbang menerpa jendela. Namun, aku selalu menghabiskan musim panas dan masa liburan sekolah di Quebec. Selama beberapa bulan dalam satu tahun ajaran, aku meninggalkan Charlotte, North Carolina, tempatku mengajar di fakultas antropologi, untuk bekerja di lab kedokteran hukum di Montreal. Jarak antara kedua tempat itu kira-kira dua ribu kilometer. Ke arah utara. Saat pertengahan musim dingin, aku sering kali berdebat sendiri sebelum menyusun rencana. Cuacanya pasti dingin sekali, ujarku mengingatkan diri sendiri. Pasti luar biasa dinginnya. Tapi ‘kan bias mengenakan pakaian yang sesuai dan bersiapsiap menghadapinya. Ya. Aku pasti akan siap menghadapinya. Kenyataannya aku tidak pernah siap. Aku selalu kaget ketika menghadapi cuaca yang membeku saat melangkahkan kaki keluar bandara dan menghirup napas untuk pertama kalinya. Pada pukul enam pagi, di hari kesepuluh di bulan Maret, termometer di berandaku menunjukkan angka dua derajat Fahrenheit atau minus tujuh belas derajat Celcius. Kukenakan semua baju yang bias kupakai. Rok panjang, celana jins, dua sweter, sepatu lars untuk mendaki gunung, dan kaus kaki wol. Di dalam kaus kaki kukenakan baju hanoman ketat yang juga digunakan untuk menghangatkan tubuh para astronot saat mendarat di Pluto. Pakaian yang sama garangnya dengan hari kemarin. Kehangatan yang kurasakan mungkin akan sama dengan kemarin. Saat LaManche membunyikan klakson, kutarik retsleting jaketku, kukenakan sarung tangan serta topi ski dan melesat keluar dari lobi. Walaupun sama sekali tidak bersemangat menghadapi hari ini, aku tidak mau membuatnya menunggu. Dan aku merasa sangat kepanasan di dalam lobi tadi. Kukira LaManche membawa sedan hitamnya, tetapi dia melambaikan tangan dari sebuah mobil yang mungkin pantas disebut sebagai mobil sport. Beroda empat, merah menyala, bergaris-garis mirip mobil balap. “Boleh juga mobilnya,” ujarku saat masuk ke dalamnya. “Merci.” Dia menunjuk bagian tengah dasbor. Tampak dua buah gelas Styrofoam dan sekantong Dunkin Donut. Puji Tuhan. Aku memilih donat berisi serpihan apel. Saat mengemudikan mobil menuju St-Jovite, LaManche menceritakan hal-hal yang diketahuinya. Jauh lebih teperinci dari cerita yang kudengar pada pukul tiga subuh tadi. Dari seberang jalan, seorang tetangga melihat para penghuni masuk ke rumah pada pukul sembilan malam. Kemudian, si tetangga pergi mengunjungi temannya yang rumahnya tidak terlalu jauh dan baru pulang setelah larut malam. Saat mendekati rumahnya sekitar pukul dua subuh, mereka melihat kilauan cahaya dari kejauhan, kemudian api menjulang dari rumah itu. Seorang tetangga lainnya mengira dia mendengar suara ledakan sesaat setelah tengah malam, merasa raguragu, lalu kembali tidur. Daerah itu cukup terpencil dengan penduduk yang agak jarang. Para relawan pemadam kebakaran tiba pada pukul setengah tiga, dan segera meminta pertolongan begitu menyaksikan kebakaran yang mereka hadapi. Dibutuhkan dua regu pemadam selama tiga jam untuk memadamkan
api itu. LaManche sudah bicara lagi dengan koroner pada pukul lima lewat empat puluh lima menit. Ada dua orang tewas dan diperkirakan masih ada yang lainnya. Beberapa bagian rumah masih terlalu panas, atau terlalu berbahaya, untuk diperiksa. Diperkirakan kebakaran ini disengaja. Kami mengemudi ke arah utara saat cahaya subuh mulai menampakkan wajahnya, ke kaki bukit di Pegunungan Laurentian. LaManche tidak banyak bicara, dan aku tidak keberatan sama sekali. Aku bukan orang yang langsung bersemangat di pagi hari. Namun, dia penggemar musik dan terus memutar serangkaian kaset tanpa putus. Lagu klasik, pop, bahkan C8tW, semuanya diubah menjadi lagu santai. Mungkin lagunya dibuat untuk menenangkan para pendengarnya, seperti musik monoton yang dibunyikan di dalam lift dan ruang tunggu. Hal itu membuatku gelisah. “Seberapa jauh St-Jovite ini?” Kuraih donat cokelat berbalut madu. “Sekitar dua jam perjalanan. St-Jovite terletak sekitar dua puluh lima kilometer di sisi terdekat Mont Tremblant. Pernah main ski di gunung itu?” Dia memakai jaket yang menjuntai sampai lututnya, berwarna hijau tentara dengan tudung kepala berlapis bulu binatang. Dari samping, yang bisa kulihat hanyalah ujung hidungnya. “Ehm. Gunung yang cantik.” Jarijemariku hampir terserang radang dingin di Mont Tremblant. Itu adalah saat pertama kalinya aku main ski di Quebec dan saat itu aku mengenakan pakaian yang sebenarnya lebih pantas kalau dipakai ke Pegunungan Blue Ridge. Embusan angin di puncak Mont Tremblant sangat dingin sehingga bias membekukan hidrogen cair. “Bagaimana keadaan di Lac Memphremagog?” “Kuburan itu tidak berada di tempat yang kami duga, seperti biasanya ‘kan? Rupanya jenazahnya pernah diangkat dan dikebumikan lagi pada tahun 1911. Anehnya tidak ada catatan tentang hal itu.” Sangat aneh, pikirku, sambil menghirup kopi. Terdengar lagu instrumental Springsteen. “Born in the USA.” Aku mencoba untuk tidak mengacuhkannya. “Akhirnya kami berhasil juga menemukannya. Sisasisa tulangbelulangnya akan dikirimkan ke lab hari ini.” “Sayang sekali ada musibah kebakaran ini. Aku tahu kamu pasti ingin menghabiskan waktu seminggu untuk berkonsentrasi pada analisis itu.” Di Quebec, musim dingin bisa menjadi musim yang santai bagi para ahli antropologi forensik. Suhu jarang melebihi titik beku. Sungai dan danau membeku, tanah menjadi sekeras batu, dan salju membenamkan semua yang ada. Kumbang menghilang, dan banyak binatang pemakan bangkai bersembunyi di bawah tanah. Akibatnya: Mayat yang tergeletak di luar tidak membusuk. Mayat yang mengambang tidak diambil dari sungai St. Lawrence. Orang juga lebih suka meringkuk di rumah masing-masing. Para pemburu, pendaki gunung, dan mereka yang senang berpiknik tidak lagi menjelajahi hutan dan padang, dan bangkai binatang buruan di musim sebelumnya baru ditemukan ketika salju sudah mencair di musim semi. Berbagai kasus yang dilimpahkan kepadaku, wajah tak dikenal yang perlu diidentifi kasi, merosot jumlahnya antara bulan November dan April. Pengecualian ada pada rumah yang terbakar. Selama bulan-bulan dingin, kasus seperti ini meningkat. Kebanyakan mayat yang terbakar dikirimkan ke ahli odontologi dan diidentifi kasi berdasarkan arsip gigi. Alamat dan penghuninya biasanya mudah dikenali, sehingga arsip antemortem hanya digunakan sebagai perbandingan saja. Bila mayat itu tidak dikenali, saat itulah bantuanku dibutuhkan. Atau dalam kasus pengenalan yang cukup sulit. LaManche memang benar. Aku tadinya berharap tidak akan disodori kasus apa pun dan merasa kurang senang saat diminta pergi ke St-Jovite.
“Mungkin aku tidak akan dilibatkan dalam analisis itu,” Sejuta satu alat gesek mulai menyanyikan “I’m Sitting on Top of the World.” “Mungkin ada arsip tentang keluarga itu.” “Mungkin.” Kami tiba di St-Jovite dalam waktu kurang dari dua jam. Matahari telah terbit, menyelimuti kota dan daerah pinggiran dengan cuaca pagi hari yang dingin menusuk tubuh. Kami mengarah ke barat menuju jalan dua jalur yang berbelok-belok. Seketika itu juga dua truk derek melewati kami ke arah yang berlawanan. Salah satu menarik Honda abu-abu yang penyok, yang lainnya menarik Plymouth Voyager ber warna merah. “Rupanya mereka sudah mengungsikan mobilmobilnya,” ujar LaManche. Kuamati dari kaca spion mobilmobil itu menghilang. Dalam mobil van itu ada kursi bayi di jok belakang dan sebuah gambar tempel kuning bergambar wajah tersenyum di bemper belakangnya. Ku bayangkan seorang anak di jendela, menjulurkan lidahnya, tangan di kedua telinganya, mengejek dunia di hadapannya. Mata lucu, itulah sebutan yang kuciptakan bersama adik perempuanku. Mungkin anak itu sudah tergeletak hangus tanpa bisa dikenali lagi di kamar di lantai atas. Beberapa menit kemudian, kami melihat apa yang kami cari. Beberapa mobil polisi, mobil pemadam kebakaran, truk barang, kendaraan wartawan, ambulans, dan beberapa mobil biasa yang berjejer memanjang di kedua sisi jalanan yang berkerikil. Para wartawan berdiri bergerombol, beberapa di antaranya bercakap-cakap dan beberapa lagi mengutakatik peralatan yang mereka bawa. Beberapa lagi duduk di dalam mobil, berusaha menghangatkan diri sambil menunggu kelanjutan berita. Berkat udara dingin dan waktu yang masih pagi, hanya ada beberapa orang yang sengaja menonton kejadian itu, Sesekali sebuah mobil melaju, kemudian pelanpelan memutar untuk melihat apa yang terjadi. Orangorang yang penasaran. Tak lama lagi pasti akan semakin banyak orang berkumpul di tempat ini. LaManche memberi tanda hendak belok dan kemudian masuk ke halaman. Seorang polisi menghentikan kami. Dia memakai jaket hijau zaitun dengan kerah bulu binatang berwarna hitam, penutup mulut berwarna gelap, topi hijau zaitun, dan penghangat telinga. Telinga serta hidungnya berwarna merah cerah dan saat dia berbicara, kepulan asap terbentuk di depan mulutnya. Aku ingin mengatakan agar dia menutup telinganya, namun segera merasa seperti ibuku yang cerewet, dan tidak jadi mengatakannya. Dia sudah besar. Jika daun telinganya membeku, dia harus menghadapinya sendiri. LaManche menunjukkan tanda pengenal dan polisi itu mengizinkan kami lewat, memberi tanda agar kami memarkir mobil di belakang sebuah truk peneliti TKP (Tempat Kejadian Perkara) berwarna biru. SECTION D’IDENTITE 3UD1C1A1RE tertulis dalam huruf hitam yang tebal. Unit Peneliti TKP sudah berada di situ. Aku menduga pihak penyelidik pembakaran yang disengaja juga sudah tiba. Aku dan LaManche memegang erat topi dan sarung tangan saat keluar dari mobil. Langit kini berwarna biru, matahari terlihat berkilauan menerpa salju yang turun malam sebelumnya. Udara terasa sangat dingin sehingga tubuhku terasa mengkristal dan membuat semuanya terlihat jelas dan tajam. Mobil, bangunan, pepohonan, dan tongkat peralatan membentuk bayangan hitam di tanah yang bersalju, terlihat jelas, seperti gambar di fi Im dengan tingkat kekontrasan yang tinggi. Kuamati keadaan ke sekelilingku. Puingpuing rumah yang berwarna hitam, serta garasi yang masih berdiri dan semacam bangunan kecil di ujung jalan masuk, semuanya dibangun dengan gaya Alpine murahan. Tapak untuk berjalan kaki membentuk segitiga di atas salju, menghubungkan ketiga bangunan tersebut, Beberapa pokok pohon pinus mengelilingi apa yang tersisa dari rumah itu, batangnya digelayuti salju sehingga ujungnya menjuntai ke bawah. Kuamati seekor
tupai hinggap di salah satu dahan, kemudian lari mencari perlindungan ke batang pohon. Di bekas jejaknya tampak gundukan salju berundak-undak ke bawah, membentuk lubang-lubang di salju yang putih. Rumah itu beratap tinggi berwarna merah-jingga, sebagian masih berdiri, tetapi sekarang warnanya sudah menghitam dan ditutupi es. Bagian dari permukaan dinding luar yang tidak terbakar ditutupi papan berwarna krem. Jendela-jendelanya tampak kosong dan gelap, semua kaca pecah berantakan, kusen berwarna biru kehijauan sudah terbakar atau menghitam. Bagian kiri rumah itu terbakar hangus dan bagian belakangnya benarbenar hancur. Di kejauhan kulihat kayu yang menghitam, tempat bertemunya atap dan dinding rumah. Kepulan asap masih terlihat dari bagian belakang rumah. Kerusakan di bagian depan tidak begitu parah. Beranda dari kayu terbentang sepanjang rumah, dan balkon-balkon kecil menjulur dari jendela lantai atas. Beranda dan balkon tersebut terbuat dari kayu berwarna merah muda, bagian atasnya berbentuk bundar dengan hiasan berbentuk hati. Kulihat ke belakangku, ke jalan di depan rumah. Di seberang terlihat sebuah vila kecil yang mirip dengan rumah ini, hanya warnanya merah dan biru. Seorang lelaki dan wanita berdiri di depannya, dengan lengan dilipat di dada, tangan yang dibalut sarung tangan dikepit di ketiak. Mereka menonton tanpa berkata apa-apa, memicingkan mata di bawah tatapan matahari pagi, wajah mereka muram di bawah topi berburu warna Jingga. Merekalah tetangga yang melaporkan kebakaran itu. Mataku menyapu jalanan. Tidak ada rumah lain dalam jarak pandangku. Orang yang katanya mendengar suara ledakan pastilah memiliki telinga yang peka. Aku dan LaManche berjalan mendekati puingpuing rumah. Kami melewati belasan petugas pemadam kebakaran, tampak warna-warni dalam seragam kuningnya, topi merah yang kokoh, sabuk peralatan biru, dan sepatu lars karet berwarna hitam. Beberapa memakai tabung oksigen yang digantungkan di punggung. Kebanyakan dari mereka terlihat sedang mengumpulkan peralatan. Kami mendekati seorang polisi berseragam yang berdiri di dekat beranda. Seperti polisi yang menjaga jalan masuk tadi, dia adalah Surete du Quebec, mungkin dari pos di St-Jovite atau kota di dekat sini. SQ atau Quebec Provincial Police, memiliki juridiksi di semua tempat di luar Montreal, kecuali di kotakota yang memiliki pasukan polisinya sendiri. St-Jovite pastinya terlalu kecil untuk memiliki kantor polisi sendiri, sehingga SQ telah diminta datang, mungkin oleh kepala pemadam kebakaran, mungkin oleh salah seorang tetangga. Mereka lalu memanggil petugas penyelidik kebakaran dari lab kami. Bagian d’Incendie et Explosif. Aku bertanya dalam hati siapa yang memutuskan untuk memanggil koroner. Berapa banyak korban yang akan kami temukan? Dalam kondisi seperti apa? Pasti kondisi yang tidak mudah, pikirku. Detak jantungku semakin kencang. Kembali LaManche mengacungkan lencananya dan orang itu memeriksanya. “Un instant, Docteur, s’ii vous piait,” ujarnya sambil mengangkat tangannya yang memakai sarung tangan. Dia memanggil salah seorang petugas pemadam, mengatakan sesuatu, lalu menunjuk kepalanya. Segera kami diberi topi helm dan masker. Kami memakai topinya dan menggantungkan masker di tangan. “Attention!” seru sang polisi, lalu menelengkan kepalanya ke arah rumah. Kemudian, dia melangkah ke samping untuk memberi jalan. Oh ya, aku pasti akan berhatihati. Pintu depan terbuka lebar. Saat melangkah masuk ke dalam rumah dan meninggalkan cahaya matahari, suhu langsung turun sekitar dua puluh derajat. Udara di dalam terasa lembap dan beraroma kayu hangus, plaster dan kain yang lembap. Bercak hitam menghiasi seluruh permukaan.
Di depan kami tampak sebuah tangga menuju lantai kedua, di bagian kiri dan kanan kami tampak puingpuing yang dulunya pasti ruang duduk dan ruang makan. Yang tersisa dari dapur berada di bagian belakang rumah. Aku telah beberapa kali mengunjungi lokasi kebakaran lain, tetapi tidak ada yang luluh lantak seperti rumah ini. Papan yang terbakar hangus berserakan di manamana seperti puingpuing yang di hentak kan ombak ganas. Semua papan dan kayu itu bertebaran di atas kerangka kursi dan sofa, di tangga, serta bersandar ke dinding dan pintu. Sisasisa perabotan rumah yang sudah menjadi arang bertumpuk menjadi satu. Kabel bergelantungan dari dinding dan langitlangit, dan pipa ledeng terpelintir ke dalam di tempat pipa itu semula melekat. Kerangka jendela, pegangan tangga, papan, semuanya menunjukkan pinggiran bergerigis seperti renda hitam. Rumah itu dipenuhi orang yang memakai topi helm, bercakap-cakap, mengukur, memotret, dan merekam dalam video, mengumpulkan bukti, dan mencatat di buku catatan. Aku mengenali dua orang penyelidik kebakaran dari lab kami. Keduanya memegang ujung-ujung pita pengukur dan salah seorang jongkok di satu titik, sementara yang lain berjalan mengelilinginya, mencatat data setiap beberapa langkah. LaManche mengenali salah seorang staf koroner, dan berjalan mendekatinya. Aku mengikutinya, berjalan di antara serpihan logam yang terpelintir, pecahan kaca, dan sesuatu yang mirip kantong tidur merah yang sudah rusak, dengan bagian dalamnya hangus terbakar. Koroner itu bertubuh tambun dan terlihat kepanasan. Dia langsung menegakkan tubuhnya begitu melihat kami, mengembuskan napas ke udara, menjilat bibir bawahnya, dan menunjuk dengan tangannya ke kerusakan di sekeliling kami. “Jadi, Monsieur Hubert, ada dua orang korban tewas?” LaManche dan Hubert terlihat sangat berbeda, seperti bayangan yang kontras di roda berwarna. Sang ahli patologi bertubuh tinggi dan langsing dengan wajah yang panjang. Koroner itu bertubuh bulat. Hubert mengingatkanku akan garis horizontal dan LaManche garis vertikal. Hubert mengangguk, dan tiga lapisan dagu beriak di atas kerah kemejanya. “Di atas.” “Yang lainnya?” “Belum ada, tapi kami belum selesai memeriksa lantai bawah. Apinya lebih dahsyat di bagian belakang rumah. Kami menduga berasal dari dapur. Daerah itu terbakar habis dan lantainya jatuh ke ruang bawah tanah.” “Kamu sudah lihat mayatnya?” “Belum. Aku masih menunggu izin untuk naik ke atas. Kepala pemadam ingin memastikan bahwa semuanya cukup aman.” Aku bisa memaklumi kewaspadaan sang kepala. Kami berdiri tanpa berkata apa-apa, mengamati puingpu-ing di sekitar kami. Waktu berlalu. Kugerakgerakkan jari tangan dan jari kakiku, mencoba untukmembuatnya tetap lentur. Akhirnya tiga orang pemadam kebakaran menuruni tangga. Mereka memakai topi helm dan masker berkacamata, dan terlihat seakanakan baru saja memeriksa keberadaan senjata kimia. “Sudah aman,” ujar petugas yang terakhir, sambil membuka dan melepaskan maskernya. “Kalian bisa naik ke atas. Hanya saja hatihati saat melangkah dan
tetap pakai topinya. Langit-langitnya bias runtuh setiap saat. Tapi, lantainya cukup aman.” Dia terus melangkah ke arah pintu, kemudian berbalik. “Korban ada di kamar di sebelah kiri.” Hubert, LaManche, dan aku berjalan menaiki tangga, pecahan kaca dan arang bergemerisik di bawah injakan kaki kami. Perutku sudah menegang dan perasaan hampa mulai terbentuk di dalam dadaku. Walaupun ini memang tugasku, aku tidak pernah terbiasa dengan pemandangan kematian yang mengerikan. Di lantai atas, sebuah pintu terbuka di sebelah kiri kami, satu lagi di sebelah kanan, dan tampak sebuah kamar mandi di depan. Walaupun sudah rusak akibat asap, bila dibandingkan dengan di bawah, segala sesuatunya di lantai ini tidak terlalu luluh lantak. Melalui pintu sebelah kiri bisa kulihat sebuah kursi, rak buku, dan ujung tempat tidur kembar. Di atasnya terlihat sepasang kaki. Aku dan LaManche memasuki ruangan di sebelah kiri, Hubert melanjutkan pemeriksaan ke ruangan di sebelah kanan. Dinding belakang terbakar sebagian, dan di beberapa tempat tampak kayu-kayu kecil berukuran 5 x 10 cm mencuat di balik kertas-dinding bercorak bunga. Tiangtiangnya sudah hangus, permukaannya kasar dan retak-retak, seperti sisik buaya. “Bersisik”, begitu yang mungkin ditulis salah seorang penyelidik kebakaran. Puingpuing yang sudah hangus dan membeku berserakan di kaki dan jelaga menutupi semuanya. LaManche melihat ke sekelilingnya dengan saksama, kemudian meraih sebuah Dictaphone kecil dari dalam sakunya. Dia merekam tanggal, waktu, dan lokasi, dan mulai menggambarkan kondisi para korban. Tubuh para korban tergeletak di atas tempat tidur kembar yang membentuk L di ujung sudut ruangan, dipe-rantarai sebuah meja kecil. Anehnya, kedua orang ini sepertinya memakai pakaian lengkap, walaupun asap dan arang telah menghilangkan tandatanda gaya pakaian yang dikenakan dan jenis kelamin masing-masing. Korban di dekat dinding belakang memakai sepatu olahraga, yang lainnya mengenakan stoking. Kuamati salah satu kaus kaki olahraga terlepas sebagian, menampakkan pergelangan kaki yang sudah hitam. Ujung kaus kaki itu terkulai menutupi jari kakinya. Kedua korban adalah orang dewasa. Salah satunya terlihat lebih tegap dari lainnya. “Korban nomor satu …” LaManche melanjutkan. Kupaksa diriku untuk melihat dengan lebih teliti lagi. Korban nomor satu mengangkat lengannya tinggi-tinggi, dikepalkan, seakan hendak melawan. Pose pugilistic (seperti akan bertinju). Api tidak berkobar cukup lama atau cukup panas sehingga tidak sampai membakar seluruh daging, tapi api yang menjalar di dinding belakang memancarkan panas yang cukup hebat sehingga berhasil membakar tubuh bagian atas dan menyebabkan otot mengerut. Lengan di bawah siku tampak kurus. Kepingan daging menggantung di sepanjang tulang. Tangan itu kini hanya tinggal bonggol tulang berwarna hitam. Wajahnya mengingatkanku pada mumi Ramses. Bibirnya terbakar habis, menampakkan gigi berwarna gelap dan e-mail yang sudah mengelupas. Salah satu gigi seri memiliki guratan tepi yang rapi dari emas. Hidungnya terbakar dan remuk, lubang hidung mengarah ke atas seperti moncong kelelawar. Bisa kulihat serat otot mengelilingi tulang pipi dan jakunnya, seperti sebuah gambar dari buku anatomi. Setiap lubang mata berisi bola mata yang sudah kering dan mengerut. Rambutnya telah hilang, begitu juga dengan kulit kepala bagian atas. Korban nomor dua, walaupun juga sudah tewas, berada dalam kondisi yang lebih baik. Beberapa bagian kulit tampak gelap dan mengelupas, tetapi di kebanyakan tempat hanya kotor oleh asap. Garis-garis putih kecil menyebar dari ujung
matanya, dan bagian dalam telinga serta bagian bawah cuping tampak pucat. Rambutnya yang tersisa hanya di puncak kepalanya. Salah satu lengan terkulai, sementara yang lainnya merentang lebar, seakan hendak meraih rekannya yang samasama menjadi korban. Tangan yang dijulurkan itu sekarang telah menjadi cakar hitam bertulang. Nada suara LaManche yang monoton kelam terus terdengar, menggambarkan ruangan dan penghuninya yang sudah tak bernyawa itu, Aku setengah mendengarkan, lega karena ternyata tidak dibutuhkan. Atau apakah aku akan dibutuhkan? Katanya ada anakanak di rumah ini. Di manakah mereka? Melalui jendela yang terbuka bisa kulihat cahaya matahari, kumpulan pohon pinus, dan salju putih yang berkilat. Di luar, kehidupan terus berlanjut. Kesunyian membuyarkan pikiranku. LaManche telah berhenti merekam dan mengganti sarung tangan wol dengan sarung tangan karet. Dia mulai memeriksa korban kedua, mengangkat kelopak mata korban dan mengamati bagian dalam hidung dan mulut. Kemudian, dia menggulingkan tubuh korban menghadap ke dinding, lalu mengangkat ujung bawah kemejanya. Bagian luar kulit telah terkelupas dan bagian pinggirnya tergulung ke dalam. Epidermis yang mengelupas itu terlihat tembus pandang seperti bagian dalam telur. Di bawahnya, terlihat daging berwarna merah terang, dan bercak putih di bagian yang bersentuhan dengan seprei yang kusut. LaManche menekankan jarinya yang terbungkus sarung tangan ke otot punggung dan bercak putih muncul pada daging merah ungu itu. Hubert bergabung kembali bersama kami saat LaManche mengembalikan korban ke posisinya yang terlentang. Kami berdua menatapnya dengan pandangan bertanya. “Kosong.” Aku dan LaManche tidak mengubah ekspresi kami. “Ada dua buaian di sana. Pastinya kamar anakanak. Tetangga mengatakan ada dua orang bayi.” Dia bernapas dengan terengah-engah. “Anak lakilaki kembar. Mereka tidak ada di dalam sana.” Hubert mengeluarkan sapu tangannya dan menyeka wajahnya yang basah. Keringat dan udara dingin bukanlah kombinasi yang baik. “Ada apa di sini?” “Tentu saja kedua mayat ini akan membutuhkan autopsi lengkap,” ujar LaManche dalam nada suara bassnya yang melankolis. “Tapi, berdasarkan pemeriksaan awalku, sepertinya kedua orang ini masih hidup saat api berkobar. Paling tidak yang satu ini masih hidup.” Dia menunjuk korban nomor dua. “Aku masih butuh waktu sekitar tiga puluh menit, lalu kalian boleh memindahkan mereka.” Hubert mengangguk dan pergi untuk member tahu anggota timnya yang mengurus transportasi. LaManche membuat tanda salib di atas korban pertama, kemudian kembali ke korban nomor dua. Aku mengamatinya tanpa berkata apa-apa, mengembuskan kehangatan ke balik sarung tanganku. Akhirnya, dia selesai. Aku tidak usah mengajukan pertanyaan apa pun. “Asap,” ujarnya. “Di sekeliling lubang hidung, di dalam hidung dan jalan udara.” Dia menatapku. “Mereka masih bernapas saat api berkobar.” “Ya. Ada hal lainnya?”
“Perubahan warna kulitnya. Warna merah terang. Menunjukkan kandungan karbon monoksida di dalam darah.” “Dan …?” “Pemutihan total saat kita menekan otot. Livor (pengendapan darah setelah seseorang mati) belum sempurna. Pemutihan total terjadi beberapa jam setelah perubahan warna yang pertama terjadi.” “Ya.” Dia menatap jam tangannya. “Sekarang pukul delapan lewat. Korban ini diperkirakan masih hidup pada pukul tiga atau empat subuh.” Dia melepaskan sarung tangan karetnya. “Diperkirakan, tapi pemadam kebakaran tiba pukul setengah tiga, sehingga dia pasti sudah tewas sebelum jam setengah tiga. Livor memang sangat beragam. Apa lagi?” Pertanyaan itu tidak mendapatkan jawaban. Kami mendengar keributan di bawah, lalu terdengar derap langkah kaki menaiki tangga. Seorang pemadam kebakaran muncul di gerbang pintu, pipi merona dan napas tersengal. “Estidecofistabernacf” Kubuka kamus dialek quebec milikku. Tidak ada kata itu. Aku menatap LaManche. Tetapi, sebelum dia sempat menerjemahkan, lelaki itu sudah melanjutkan. “Ada yang bernama Brennan di sini?” tanyanya kepada LaManche. Perasaan hampa menusuk ke dalam kalbu. “Kami menemukan sesosok tubuh di ruang bawah tanah. Mereka mengatakan kita akan memerlukan orang bernama Brennan ini.” “Aku Tempe Brennan.” Dia menatapku beberapa saat lamanya, helm dikepit di tangannya, kepala ditelengkan ke samping. Lalu dia menyeka hidungnya dengan bagian belakang tangannya, dan menoleh kembali kepada LaManche. “Kalian bisa ke bawah segera setelah Pak Kepala memberi izin. Dan lebih baik bawa sendok. Tidak banyak yang tersisa dari korban yang satu ini.”[] Petugas pemadam kebakaran sukarela itu memimpin kami menuruni tangga, lalu menuju bagian belakang rumah. Di sini, hampir seluruh atap telah hilang dan cahaya matahari membasuh dinding bagian dalam yang kelabu. Partikel jelaga dan debu menarinari di udara musim dingin. Kami berhenti di pintu dapur. Di sebelah kiri tampak puingpuing meja, bak cuci piring, dan beberapa peralatan besar lainnya. Mesin pencuci piring terbuka, bagian dalamnya tampak hitam dan meleleh. Papan hangus berserakan di manamana, seperti beberapa tongkat kayu besar yang kulihat di kamar depan. “Tetap merapat ke dinding,” ujar petugas, sambil memberi tanda dengan tangannya saat dia menghilang di balik pintu. Dia muncul kembali beberapa detik kemudian, berusaha menyusuri bagian barat ruangan itu. Di belakangnya, bagian atas meja dapur menggulung ke atas seperti gula-gula raksasa. Di dalamnya tampak pecahan botol wine dan gumpalan benda berbagai ukuran yang tidak bisa dikenali lagi. Aku dan LaManche mengikutinya, merapat ke dinding depan, kemudian mengelilingi sudut ruangan dan menyusuri meja. Sedapat mungkin kami menjauh dari bagian tengah ruangan, memilih jalan di antara puingpuing, wadah logam yang terbakar,
dan tangki gas yang sudah hangus. Aku melangkah ke samping si petugas, dengan punggung menempel ke meja, dan memerhatikan kerusakan yang terjadi, Dapur dan ruangan di sebelahnya benarbenar hangus. Langit-langitnya sudah tidak ada, dinding yang memisahkan kedua ruangan tinggal berupa kepingan kayu gosong. Yang dulunya lantai sekarang hanya tinggal lubang hitam besar yang menganga, Sebuah tangga muncul dari dalamnya di dekat kami. Melalui lubang itu aku bisa melihat beberapa orang yang memakai topi helm mengangkat puingpuing dengan melemparkannya atau mem bawanya keluar dari pandangan kami. “Ada mayat di bawah sini,” ujar penuntunku, sambil menganggukkan kepalanya ke arah lubang itu. “Kami menemukannya saat mulai membersihkan puingpuing lantai yang runtuh.” “Hanya satu, atau masih ada lagi?” tanyaku. “Wah, entahlah, Yang satu ini juga nyaris tidak berbentuk manusia.” “Dewasa atau anakanak?” Dia menatapku seakanakan hendak mengajukan pertanyaan, “Bu, kamu ini bodoh atau bagaimana?” “Kapan aku bisa turun ke situ?” Matanya menatap LaManche, lalu menoleh kepadaku lagi. “Itu terserah Pak Kepala. Mereka masih membersihkan daerah itu dulu. Kami tidak mau ada apa-apa yang bisa menyakiti kepala Ibu yang cantik itu.” Dia memberiku senyuman yang pasti dianggapnya memesona. Dia mungkin sudah melatihnya berulang kali di depan cermin. Kami terus mengawasi para petugas pemadam kebakaran mengangkat potongan kayu dan membersihkan puingpuing. Dari dalam lubang itu aku bisa mendengar suara senda gurau dan suara barangbarang dicabut dan diseret. “Apa mereka sadar bahwa mereka bisa menghancurkan barang bukti?” tanyaku. Petugas itu memandangku seakan aku mengatakan bahwa rumah itu baru dihantam oleh komet. “Hanya papan bekas lantai dan kotoran yang jatuh dari tingkat ini.” ‘“Kotoran1 itu bisa membantu memberikan gambaran tentang apa yang terjadi,” ujarku, suaraku terdengar sama dinginnya dengan es yang membeku di meja di belakang kami. “Atau posisi mayat.” Wajahnya langsung mengeras. “Di bawah sana mungkin masih ada tempat yang membara, Bu. Ibu tidak mau bara api membakar wajah Ibu Śkan?” Aku terpaksa mengakui bahwa aku tidak menginginkan hal itu. “Dan kurasa mayat di dalam sana tidak akan peduli.” Di dalam topi helm yang kupakai, aku merasakan denyutan di batok kepalaku yang cantik itu. “Bila korban terbakar parah seperti yang kausebutkan tadi, teman-temanmu bisa
saja secara tidak sengaja menghilangkan beberapa bagian organ tubuh yang tersisa.” Rahangnya mengeras saat dia menatap ke belakangku mencari dukungan. LaManche tidak berkata apa-apa, “Lagi pula, Pak Kepala mungkin tidak akan memperbolehkan kalian masuk ke bawah sana,” ujarnya. “Aku harus masuk ke sana sekarang juga untuk meneliti apa yang tersisa di bawah sana. Khususnya gigi geligi,” Kubayangkan bayi kembar itu, Aku berharap bisa menemukan gigi. Banyak gigi. Semuanya dewasa. “Kalau masih ada yang tersisa.” Petugas itu memandangku dari atas kepala sampai ke kakiku, mengukur tubuhku dengan tinggi seratus enam puluh tiga cm, enam puluh kilo. Walaupun pakaian hangat menyembunyikan ukuran tubuhku yang sebenarnya dan topi helm itu menelan rambut panjangku, dia merasa cukup untuk menilai bahwa aku seharusnya tidak berada di tempat ini. “Dia tidak bersungguhsungguh ingin turun ke bawah sana ‘kan?” Dia menatap LaManche untuk mencari dukungan. “Dr. Brennan akan melakukan penyelidikannya.” “Estidecolistabernac!” Kali ini aku tidak membutuhkan terjemahan. Petugas Macho ini berpendapat bahwa tugas itu harus dilakukan seorang lelaki. “Tempat panas bukan masalah bagiku,” ujarku, menatap matanya lekat-lekat, “Bahkan, aku biasanya lebih suka bekerja di tengah api. Jadi lebih hangat.” Dia langsung mencengkeram pegangan tangga, berayun ke tangga dan meluncur turun, tidak pernah menyentuh anak tangga dengan kakinya. Hebat. Dia pintar bergaya rupanya. Aku bias membayangkan apa yang dia jabarkan kepada atasannya. “Mereka ini sukarelawan,” ujar LaManche, tersenyum simpul. Dia mirip Mr. Ed yang memakai helm. “Aku harus menyelesaikan pengamatanku di atas, tapi akan segera bergabung denganmu.” Aku mengamatinya menyusuri jalur tadi menuju pintu, tubuhnya yang besar membungkuk dengan penuh konsentrasi. Beberapa detik kemudian, Pak Kepala muncul dari ujung tangga. Ternyata dia orang yang menunjukkan tempat mayat di lantai atas. “Anda Dr. Brennan?” tanyanya dalam bahasa Inggris. Aku mengangguk sekali, siap-siap untuk berdebat. “Luc Grenier. Aku mengepalai sukarelawan dari St-Jovite,” Dia membuka tali helm dari dagunya dan membiarkannya menggantung. Dia lebih tua dari rekannya yang suka meremehkan wanita tadi. “Kami membutuhkan waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit lagi untuk mengamankan lantai bawah. Ini daerah terakhir yang kami bersihkan, jadi masih banyak tempat yang membara di bawah sana. “Tali helmnya berayun-ayun saat dia bicara. “Kebakaran ini parah sekali dan kami tidak ingin ada kecelakaan lebih lanjut.” Dia menunjuk ke belakangku. “Coba lihat bagaimana pipa itu sampai berubah bentuknya.” Aku menoleh, “Itu pipa tembaga. Untuk bisa melelehkan tembaga, diperlukan api sepanas seribu
seratus derajat Celcius.” Dia menggelengkan kepalanya dan tali itu mengayun kembali. “Ini benarbenar kebakaran yang dahsyat,” “Anda tahu apa yang menyebabkannya?” tanyaku. Dia menunjuk sebuah tangki gas di dekat kakiku. “Sejauh ini kami menghitung ada dua belas tangki semacam ini. Entah ada orang yang memang sengaja meledakkan semua tabung gas ini atau dia telah berbuat salah ketika memasak daging panggang untuk keluarganya.” Wajahnya sedikit memerah. “Maaf.” “Kebakaran yang disengaja?” Grenier mengangkat bahu dan alis matanya. “Aku tidak berhak menentukannya.” Dia mengaitkan kembali tali helmnya dan meraih ujung tangga. “Kami hanya bertugas membersihka