- PROLOGUE – Hampir semua manusia mungkin tahu, apa bagian paling klasik dalam sebuah catatan kehidupan manusia. Cinta. Ada yang percaya tentang pernyataan, cinta datang karena terbiasa. Ada juga yang percaya cinta itu datangnya instant, tidak mengenal waktu, tidak mengenal tempat. Untuk yang jenis terakhir, banyak orang mengatakannya sebagai cinta pada pandangan pertama. Anda, percaya yang mana? Ini kisah tentang sebuah pertemuan. Ini kisah tentang dua manusia yang berbeda, yang bertemu tanpa diduga, dan merangkai sebuah kisah milik mereka bersama-sama. Suatu kisah di kota Taipei. Sebuah kisah di suatu musim...
- Satu Hania menjejakan kakinya di sebuah depan sebuah gedung apartemen di district XinYi, Taipei. Hari pertamanya memulai kehidupan baru. Sendirian. Tanpa orang tua di sampingnya. Hania Ling, yang punya nama mandarin Ling Han Xiang, gadis cantik kelahiran Taiwan yang pindah ke Indonesia sejak umur 7 tahun, kini memutuskan kembali ke tempat kelahirannya. Ayahnya adalah pria Taiwan tulen, seorang pengusaha kaya raya yang menikah dengan wanita asal indonesia. “iya,papa... Hania sudah sampai di apartemen. Papa tidak usah khawatir ya,” sambil memasuki kamar apartemen mewah, Hania mengabarkan kepada ayahnya kalau ia sudah tiba di apartemen yang telah dibeli ayahnya untuk dirinya.
Hania menghela nafas panjang, memasukan semua barang bawaannya ke dalam apartemen barunya itu. Apartemen itu sudah dilengkapi dengan perabotan-perabotan yang ia butuhkan, tidak kosong melompong begitu saja. Ayahnya tidak mau Hania repot di Taipei. Alasan Hania kepada ayahnya saat memutuskan untuk kembali ke Taipei seorang diri adalah ingin melanjutkan kuliah di sana, namun kenyataan sesungguhnya tidak demikian. Kedua orang tua Hania bercerai tiga bulan yang lalu. Tak lama setelah bercerai, ibunya menikah lagi dengan lelaki selingkuhannya. Sudah dua bulan lebih, sama sekali tidak pernah menghubungi Hania. Ayahnya sendiri baru saja melamar seorang janda tanpa anak yang Hania ketahui sebagai Mrs Liu. Kalau Hania tidak salah informasi, Mrs Liu adalah cinta pertama ayahnya sewaktu SMA yang kemudian bekerja sebagai sekertaris ayahnya dua tahun terakhir ini setelah bercerai dari mantan suaminya. Sebagai anak tunggal, Hania sesungguhnya merasa sangat hancur, karena itulah ia putuskan menjauh dari keadaan kacau itu, berusaha menyembuhkan luka hatinya. Sendirian. “iya, papa... Hania suka kok... papa tenang saja, Hania memang masih 21 tahun tapi Hania kan putri papa yang tegar... iya... papa jangan lupa makan ya. Papa kan suka gitu kalau lagi giat bekerja... iya,pa... Hania janji akan sehat-sehat di sini... ya sudah, papa. Hania mau rapiin barang dulu... iya,iya... Hania kan sudah bawa jas tebal. Iya,pa... nanti kalau senggang, Hania telepon papa. Zai jian 1...” Apartemen Hania berukuran besar, lengkap dengan dapur yang cukup besar, ruang tamu yang dilengkapi dengan sofa besar nan nyaman dan TV flat besar, kamar mandi besar, sebuah kamar tidur dengan karpet bulu halus dan tempat tidur queen size, juga dua kamar kosong. Sebagai catatan, semua perabotnya mewah, jelas sekali ayahnya berusaha membuat tempat tinggal super nyaman untuk puteri semata wayangnya itu. Hania melangkahkan kaki ke dalam kamar tidurnya. Ia mulai memasukan pakaian-pakaiannya ke dalam lemari pakaian yang ada di kamar itu, menaruh buku-buku favoritnya yang ia bawa dari Indonesia di lemari buku alumunium dekat meja belajarnya. Setelah itu, ia merebahkan diri di tempat tidurnya. Kamarnya bernuansa putih, ayahnya tahu benar kalau Hania sangat suka warna putih. “terima kasih ya,papa... maaf Hania harus meninggalkan papa sendirian di sana,” Hania memandangi langit-langit kamarnya, menerawang dengan mata berkaca-kaca.
1
Sampai jumpa, dalam bahasa mandarin
Hidup sebagai puteri tunggal dari pengusaha asing yang kaya raya membuat Hania tidak punya banyak teman di Indonesia. Tapi di Taipei, Hania punya seorang sahabat yang ia kenal sewaktu masih bersekolah di taman kanak-kanak dulu. Namanya Tan Jia Hua, Hania memanggilnya Xiao Jia. Walau sudah lama terpisah jarak, Hania dan Xiao Jia tak pernah berhenti berkomunikasi satu sama lain. Apa guna email? “Wei 2, Xiao Jia... aku sudah di Taipei sekarang. Mainlah ke apartemen ku. Aku akan kirim alamatku padamu via sms. Iya, hari ini aku ingin berjalan-jalan sendirian dulu. Tenanglah, aku akan baik2 saja... see you soon..” Masih pukul setengah enam sore, saat Hania melirik ke jam tangannya. Sepertinya ia masih bisa berjalan-jalan sejenak sebelum larut malam. Hania mengambil jas tebal panjang warna cokelat miliknya dan menyampirkan sehelai shawl warna putih di lehernya. Sebuah boot hitam di kakinya. Perfect! Ia tak akan kedinginan di musim dingin ini. Akan tetapi, langkah kaki Hania terhenti di depan pintu apartemennya. “naik bus atau taksi?” Hania mulai bingung. Ia memang masih sangat mengenali Taipei dengan baik, toh setiap liburan natal ia selalu pulang ke Taiwan untuk berlibur dan mengunjungi Xiao Jia. Tapi ia meragukan apakah aman bepergian seorang diri di Taipei sore-sore begini. “ah, naik taksi sajalah...” Sesaat Hania memeriksa uang yang ada di dompetnya, lalu tersenyum dan meninggalkan apartemennya. “aku mau bersenang-senang sesaat,” ia mengunci pintu apartemennya, memasukan kunci itu ke dalam sling bag hitam miliknya dan tersenyum menghibur diri, “kuharap bisa memperbaiki suasana hatiku. Hello,Taipei...” ... “Ya 3! Eomma 4! kenapa bisa begitu kejam padaku? Sendirian di Taipei, di rumah sederhana seperti ini?” Kim Joon Ho, seorang pemuda berusia 22 tahun asal korea yang terpaksa melanjutkan kuliahnya di Taipei National University of Arts. Sesungguhnya ia tidak mau kuliah di Taipei, tapi ibunya yang kesal dengan
2
Halo, dalam bahasa mandarin
3
Hey, dalam bahasa korea
4
Ibu, dalam bahasa korea
kelakuan putra bungsunya yang kadang suka seenaknya sendiri itu, mengirim Joon Ho ke Taipei. Berharap besar agar putranya itu bisa mandiri, hidup dengan uang dan fasilitas yang sudah ia atur. “Baiklah, eomma memang menyediakan sebuah mobil bagus untukku, tapi apa tidak bisa eomma memberiku seorang pelayan untuk membantu?,” Joon Ho berteriak di ponselnya, ia selalu seperti itu kalau sewot. Ia bahkan tidak sadar kalau yang sedang berbicara dengannya adalah ibunya. “Ya! eomma ini kenapa bisa kejam? Uang juga kau atur, tak ada pelayan. Mati saja deh aku ini!,” Joon Ho mengacak bagian belakang rambutnya, wajahnya tampak begitu kesal. “kenapa ibu tega sih? Sekarang aku kebingungan di rumah ini.” Karena sebal pada putranya, nampaknya sang ibu langsung memutus sambungan pembicaraan, yang tentu saja membuat Joon Ho bertambah sewot. Berkali-kali ia berusaha untuk menghubungi ibunya lagi, tapi tetap tak bisa dihubungi. Joon Ho membanting ponselnya hingga berserakan di lantai. Ia menyandarkan tubuhnya di sofa lalu melemparkan pandangan ke sekeliling rumahnya. Rumah ini memang tidak mewah, tapi cukup besar untuk dirinya yang tinggal sendiri. Sebuah kamar tidur dengan kamar mandi dalam, sebuah dapur sederhana, teras, ruang tamu yang sudah dilengkapi televisi dan DVD player, gudang, garasi mobil, dan taman kecil di bagian belakang rumah. “Hah...!!,” Joon Ho menghela nafas berat. Semua miliknya ini benar-benar tidak bisa dibandingkan dengan rumah mewah super besar miliknya di Seoul. Ayahnya pemilik perusahaan roti terbesar di korea dan ibunya adalah seorang aktris senior yang terkenal tidak hanya di korea, tapi juga di beberapa negara lain. Kakak laki-lakinya adalah dosen termuda di Seoul National University. Mustahil baginya untuk memiliki fasilitas yang minim dengan keadaan keluarga seperti itu. Joon Ho mulai menyesali tindakan bodoh terakhirnya yang membuat ayah dan ibunya murka dan memutuskan untuk “melempar” Joon Ho ke Taipei untuk kuliah sekaligus belajar mandiri. Kalau saja ia tidak tertangkap paparazi sedang berkelahi di pub dalam keadaan mabuk, mungkin keadaannya tidak seperti ini. Beruntung Joon Ho sangat fasih berbahasa mandarin, jadi ia tidak terlalu merasa asing tinggal di Taiwan ini. Namun ia sungguh putus asa membayangkan harus melakukan segala sesuatunya seorang diri. Ia bahkan tidak tahu cara mencuci piring. Kalau pakaian sih, ia bisa pergi ke tempat Laundry. Memasak? Ia hanya bisa memasak ramen. Masak mau makan ramen sepanjang tahun?
Saat sedang kacau pikiran macam itu, terdengarlah bunyi krucuk dari perutnya. Semakin frustasi lah Joon Ho. Ia sedang tidak dalam keadaan ingin makan ramen. Lalu harus bagaimana? Kim Joon Ho memandang sebal ke arah ber-plastik-plastik lusinan mie ramen yang ia bawa dari Korea. “aku sedang dalam keadaan tidak nafsu makan ramen. Lalu?,” sesaat ia terdiam sambil memunguti bagian-bagian ponselnya yang terserak di lantai. Lalu wajahnya berbinar, “sepertinya enak pergi ke derah Shilin. Seingatku, Ibu pernah bilang, di sana ada pasar malam dan banyak penjual makanan. Yes!” Sesegera mungkin Joon Ho memasang seluruh bagian ponselnya. Kemudian ia mengambil kunci mobil yang terletak di piano putih kecil di depan kamarnya dan bergegas menuju garasi, melarikan mobilnya dari rumahnya. ... Lampu-lampu jalanan berwarna kuning mulai menyala. Pemandangan seperti ini, mengingatkan Hania pada kelap-kelip lampu kota Jakarta. Hania merasa dadanya sesak. Baru saja sehari tinggal sendirian di Taipei, masak sudah homesick? Cepat-cepat Hania menghapus perasaan itu dan menguatkan diri dengan tekad awalnya ke Taipei. “aku pasti bisa! Iya,Hania... kamu pasti bisa!,” terus menerus Hania memotivasi dirinya dalam hati. “xiao jie 5, kita sudah tiba.” Tiba-tiba suara supir taksi mengejutkan Hania. Sedikit gugup ia membuka tas-nya, mengambil sejumlah uang seperti yang terpampang di argo taksi. “xie xie 6...,” kemudian Hania membungkukan badan dengan cepat lalu segera keluar dari taksi. Perutnya sudah lapar dan ia juga enggan berlama-lama di dalam taksi. Distrik Shilin di Taipei, terkenal dengan daerah pasar malam-nya. Di pasar malam ini, banyak sekali kedai-kedai yang menjual makanan-makanan yang murah. Kalau di Indonesia, anggaplah harganya mirip-mirip seperti kedai-kedai mie ayam di pinggir jalan.
5
Nona, dalam bahasa mandarin
6
Terima kasih, dalam bahasa mandarin
Hania melangkahkan kaki-nya dengan wajah senang. Perut-nya sudah berbunyi sejak ia di dalam taksi, tanda minta segera diisi. Hania melihat kesana kemari. Biasanya ia suka memesan mie kuah sapi kalau ke sini bersama Xiao Jia, tapi hari ini, Hania berencana ingin mencoba makanan lainnya. Hari ini pasar malam lumayan ramai. Rupanya cuaca dingin tak mempengaruhi jumlah pembeli yang hendak makan di sini. Mata Hania tertuju pada sebuah kedai yang menjual nasi belut. kayaknya enak juga kalau dingin-dingin begini makan nasi belut yang hangat. “xiao jie, hendak membeli nasi belut kami?” si ibu paruh baya, pemilik kedai nasi belut menawarkan nasi belut-nya kepada Hania dengan wajah ramah. Hania mengangguk dengan cepat sambil tersenyum pada si ibu penjual nasi belut. si ibu penjual dengan cekatan menaruh nasi hangat ke dalam mangkuk dan memotong belut panggang serta menaruh-nya di atas nasi. Hania senang memperhatikan ibu itu bekerja. “Bisa tambahkan kuah-nya di atas nasi,Bu?,” Hania meminta dengan sopan dan si ibu penjual segera dengan tersenyum menambahkan kuah belut pada nasi pesanan Hania. “terima kasih,Bu...”, kata Hania seraya membungkukan badan pada si ibu penjual nasi belut. “Xiao Jie, kau masih muda, cantik dan begitu sopan,” si ibu penjual menyerahkan nasi belut kepada Hania kemudian menuangkan segelas teh kembang seruni. “ini, kuberikan gratis untuk gadis baik sepertimu.” “zen de ma 7? Ibu begitu baik sekali padaku,” Hania menerima gelas teh dengan wajah berbinar, ia kembali membungkukan badan pada si penjual nasi belut. “benar-benar terima kasih,Bu...” “Sudahlah, jangan terus-terusan membungkuk seperti itu,” Ibu penjual nasi belut mengibaskan tangannya, “Aku jadi tak enak hati. Cepat! Cari tempat duduk, dan makanlah. Mumpung masih hangat.” Hania membayar sejumlah uang kepada ibu penjual nasi belut dan segera mencari tempat duduk, namun pasar malam semakin lama semakin ramai. Hania sulit menemukan spot kosong untuknya duduk. Bagaimana ini? Masak iya, ia harus makan sambil berdiri macam kondangan prasmanan? “xiao jie! Hei, yang memakai jas cokelat!”
7
Benarkah?, dalam bahasa mandarin
Hania menoleh kepada seorang pemuda yang duduk di meja di samping tempat ia sedang berdiri. Pemuda itu duduk sendirian di meja, dengan semangkuk miesua tiram dan segelas teh yang menemaninya. “memanggilku?” dengan ragu-ragu Hania menjawab panggilan pemuda itu. Kemudian Hania menoleh ke sekitarnya. Nampaknya sih benar kalau pemuda itu memanggilnya. Karena di sekitarnya kini, tak ada perempuan yang mengenakan jas warna cokelat selain dirinya. Pemuda itu tertawa kecil dan mengangguk. “tentu saja kau. Kalau bukan, siapa lagi?” Pemuda asing itu menepuk sebuah kursi plastik di sampingnya, merapikan mangkuk dan gelas yang ada di hadapannya. Ia berusaha menyisakan spot kosong untuk Hania dan hidangan yang ia bawa. “duduklah di sini. Daripada terpaksa makan sambil berdiri,” si pemuda tersenyum hangat, “udara begitu dingin. Kalau tidak segera dimakan, nanti nasinya tidak hangat lagi.” Hania sedikit ragu menerima tawaran si pemuda yang masih asing untuknya. Wajah super tampan itu bukan garansi baginya kalau si pemuda itu pastilah laki-laki berhati baik. Namun rupanya, ekspresi wajahnya mudah ditebak oleh si pemuda itu. Lagi-lagi pemuda itu tersenyum hangat padanya. “Tenanglah, aku tak bermaksud jahat. Sungguh hanya bermaksud memberikan tempat untukmu.” Hania memberanikan diri untuk menerima tawaran pemuda itu. Dalam hati Hania mengingatkan diri sendiri agar tetap waspada pada orang asing, meskipun lubuk hatinya paling dalam mengatakan bahwa pria di sampingnya ini sungguh-sungguh baik. Hanya mungkin, sedikit nakal. Hania tidak tahu benar atau tidak prediksinya, tapi ya... seperti itulah perasaannya berkata. “Namaku Kim Joon Ho. Kau?” Pemuda itu mengulurkan tangan dan tersenyum ramah pada Hania yang baru hendak menyumpit sepotong belut. Hania menyambut uluran tangannya, tak sopan kalau menolak niat baik seseorang. “Ling Han Xiang, kau bisa panggil Hanxiang, atau panggil saja Hania,” setelahnya Hania hanya tersenyum sekilas dan mulai menyantap makanannya. “Namanya indah. Kenapa punya dua nama? Apakah kau bukan asli orang sini? Atau kau warga negara asing keturunan Cina?” Hania menelan makanannya, lalu menjawab pertanyaan Kim Joon Ho. “Ayahku asli orang sini, dan ibuku orang Indonesia. Umur 7 tahun, aku pindah ke Indonesia, dan hari ini, aku mulai tinggal di sini, di
tempat kelahiranku untuk kuliah. Masalah namaku yang ada dua, di Indonesia sepertinya sulit bagi orangorang memanggilku Han Xiang, jadi ayahku membuat nama panggilan Hania. Kalau di akte lahir sih masih tertulis Ling HanXiang.” Hania tersadar kalau ia tadi berbicara terlalu panjang lebar kepada orang yang baru ia kenal. Ia sedikit menyesal. “Maaf kalau aku bicara nya terlalu cerewet.” Joon Ho tertawa kecil setelah menyeruput teh-nya. “Ahh, tidak apa. Aku senang punya teman baru di sini. Aku sendiri, baru hari ini tiba dari Korea. Tanpa teman, tanpa saudara. Memiliki teman baru untuk berbicara, bukankah sangat menyenangkan?” Mata Hania membulat saat mendengar bahwa Kim Joon Ho adalah orang Korea. “Orang Korea? Ahh, bodohnya aku! Harusnya aku tahu dari namamu,” namun kemudian Hania menaikan alisnya sambil memandang Kim Joon Ho, “tapi untuk ukuran orang Korea, bahasa mandarin mu sangatlah fasih dan bagus. Hanya saja kau tak memiliki aksen Taiwan” Kim Joon Ho tertawa melihat ekspresi wajah Hania, seperti sedang curiga kalau Joon Ho telah berbohong. “Aku pernah tinggal di Beijing bersama nenek dan kakekku sampai umur 15 tahun. Jadi aku cukup bisa berbicara bahasa mandarin.” Hania memperhatikan wajah Kim Joon Ho. Nampaknya ia pernah melihat pemuda ini, tapi di mana ya? Ia yakin benar kalau ini adalah pertemuan pertama mereka, tapi ia juga yakin sebelum ini ia pernah melihat wajah Kim Joon Ho. “Ahh, Joon Ho, kupanggil begitu saja ya? Maaf, apakah kau ini artis?” Joon Ho tertawa kecil, kemudian menggeleng. “Aku? Artis? Tentulah bukan... kenapa bertanya seperti itu? Apakah wajahku familiar?” Hania masih memandangi Kim Joon Ho yang sudah selesai dengan makanannya dan kini tersenyum kepadanya. “Entahlah. Aku hanya merasa pernah melihatmu. Kau yakin tidak membohongiku?” Hania kini tertawa kecil pada Kim Joon Ho lalu kembali berkata, “bukan suatu sikap yang menyenangkan dengan berbohong pada teman baru. Ya bukan? Kau ini, sebenarnya siapa?”
“Baiklah,” Kim Joon Ho akhirnya menyerah pada pertanyaan Hania. “aku memang bukan artis. Tapi ibuku lah yang artis. Jadi, aku tidak berbohong padamu kan?” ...