56 |
| 6 DESEMBER 2015
KISAH PERANAKAN CINA INDONESIA DI BELANDA TAK banyak data tentang keberadaan kelompok Cina peranakan dari Indonesia di Belanda. Diperkirakan eksistensi mereka sudah semenjak seratus tahun lalu. Mereka hidup, berkarya, dan berbisnis di Negeri Kincir Angin. Pada 2011, terbentuk Chinese Indonesian Heritage Center di Belanda, yang berusaha meneliti warga Cina peranakan Indonesia. Hasilnya, sebuah pameran ”Verbinding van Culturen: Chinezen uit Indonesië in Nederland” (Pertautan Budaya: Komunitas Cina asal Indonesia di Belanda), yang digelar di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda. Kontributor Tempo di Belanda meliput pameran itu dan menemui beberapa warga Cina peranakan asal Indonesia yang sudah lama menetap di sana dan meraih sukses dalam berbisnis ataupun berkarya.
Pernikahan bibi Sioe Yao Kan mengenakan baju pengantin Cina, 1928. —FOTO KOLEKSI MUSEUM VOLKENKUNDE LEIDEN
6 DESEMBER 2015 |
| 57
SUARA gamelan terdengar lamat-lamat di Museum Volkenkunde Leiden. Begitu memasuki ruangan Indonesia, pengunjung dapat menyaksikan lemari-lemari kaca berisi berbagai obyek yang berharga untuk setiap keluarga Cina peranakan: kebaya encim sampai kain batik tulis dengan motif campuran Jawa-Cina-Eropa. Tapi, di mana pun pengunjung berdiri, niscaya mata akan terpaku pada sebuah gaun pengantin sutra merah keemasan. Gaun itu semarak berhias sulaman naga, burung garuda, dan awan: simbol kebahagiaan dan kesuburan dalam budaya Cina. Inilah suasana pameran ”Verbinding van Culturen: Chinezen uit Indonesië in Nederland” (Pertautan Budaya: Komunitas Cina asal Indonesia di Belanda), yang dimulai pada April lalu dan berlangsung sampai Mei 2016. ”Baju pengantin ini memang sentral dalam pameran kami,” kata Francine Brinkgreve, kurator Museum Volkenkunde. Pameran ini terselenggara berkat kerja sama Museum Volkenkunde dengan Chinese Indonesian Heritage Center (CIHC), sebuah lembaga yang didirikan Patricia Tjiook-Liem di Belanda pada 2011 dengan dukungan Profesor Henk Schulte Nordholt dari KITLV, pusat ilmu pengetahuan Asia Tenggara di Leiden. ”Ini adalah pertama kali dalam sejarah bahwa sebuah museum di Belanda mengadakan pameran tentang kelompok Cina peranakan dari Indo-
58 |
| 6 DESEMBER 2015
nesia,” kata Johanna Leijfeldt, anggota staf ahli museum. Gaun pengantin berwarna khas kuning pinang masak itu adalah pemberian Sioe Yao Kan, seorang bapak berusia 67 tahun. Ia hadir saat open day perdana CIHC pada Juni 2012 di Universitas Leiden. Namun baju itu baru diserahkan dua tahun kemudian. Ibu Sioe Yao Kan lahir pada 1948 di Scheveningen, dekat Den Haag, tapi menghabiskan sebagian masa kecil dan remaja di Jakarta. Baju itu pertama dikenakan neneknya, Han Tek Nio, ketika sang nenek menikah pada 1901 di Bogor, Jawa Barat. Sesudah itu, tiga bibi Sioe Yao Kan juga memakai kostum tersebut pada hari besar mereka. Dalam pameran itu terpampang foto hitam-putih baju pengantin tersebut saat pernikahan bibi Sioe Yao Kan pada 1928. ”Baju pengantin nenek saya itu dibawa ke Belanda di dalam kotak kayu tempat gaun itu selalu disimpan, dilengkapi dengan rempah-rempah bahan pengawet. Karena itu, warna aslinya masih tetap secerah dahulu,” kata Sioe Yao Kan. Selain baju pengantin, tampak kebaya encim warna putih berenda bunga aster dan kain batik Pekalongan khas peranakan milik nenek Sioe Yao Kan.
M
ENURUT Patricia TjiookLiem, 76 tahun, pendiri CIHC, belum banyak riset tentang kelompok Cina peranakan Indonesia yang pindah ke Belanda. Adapun Patricia datang ke Belanda pada 1956. Selagi menempuh studi S-3 hukum di Universitas Leiden, Patricia mulai kerap mengikuti seminar akademis tentang warga migran di Belanda. ”Ada penelitian tentang kelompok Indo, Maluku, Suriname, Maroko, Turki, dan bahkan tentang migran dari Cina. Tapi saya tidak menemukan apa pun tentang migran Cina peranakan dari Indonesia. Padahal begitu banyak dari kami bermukim di sini.” Dua puluh persen penduduk Belanda atau sekitar 17 juta orang berasal dari negeri lain atau punya orang tua yang lahir di luar Belanda. Dan, menurut perkiraan badan pusat statistik Belanda, CBS, sekitar 400 ribu orang berasal dari Indonesia. Kelompok terbesar adalah orang-orang Belanda dan Indo (yang berdarah campuran Eropa
Maya Liem menari serimpi di Surabaya (atas). Maya Liem (kedua dari kanan) dalam karnaval di Vught, Belanda, 1967. Kebaya dan kain pemberian Sioe Yao Kan dalam pameran ”Verbinding van Culturen: Chinezen uit Indonesië in Nederland” (kanan). Sepatu milik keluarga Sioe Yao Kan dipamerkan.
DOK. MAYA LIEM, KOLEKSI MUSEUM VOLKENKUNDE LEIDEN
Ko mu n i t a s C i n a A s a l I nd o n e s i a d i B e l a nd a
dan Indonesia) yang meninggalkan Nusantara setelah Indonesia merdeka. Kemudian ada orang-orang Maluku dan warga Cina peranakan, yang diperkirakan mencapai belasan atau puluhan ribu orang. Menurut Patricia, kedatangan warga Cina peranakan Indonesia ke Belanda bisa dibagi dalam tiga tahap. Pertama adalah mereka yang pergi ke Belanda untuk menimba ilmu sebelum Perang Dunia II. ”Catatan pertama mahasiswa Cina dari Indonesia yang belajar di Belanda adalah tahun 1886,” tutur Patricia. Gelombang kedua adalah mereka yang datang selama era perang kemerdekaan pada 1945-1949. Warga Cina saat itu sering menjadi sasaran kekerasan. Sesudah itu, masih ada yang meninggalkan Indonesia dari akhir 1950-an sampai pertengahan 1960-an, terutama pada tahun-tahun sekitar G-30-S. Juul de Moel-Nitisusanta, misalnya. Ia pindah ke Belanda pada 1968. ”Kami tidak
Kedatangan warga Cina peranakan Indonesia ke Belanda bisa dibagi dalam tiga tahap. Pertama adalah mereka yang pergi ke Belanda untuk menimba ilmu sebelum Perang Dunia II. Kedua adalah mereka yang datang selama era perang kemerdekaan. Sesudah itu yang meninggalkan Indonesia pada tahun-tahun sekitar G-30-S.
merasa aman di Indonesia,” kata Juul, yang lahir pada 1951 di Bondowoso, Jawa Timur. Ayah Juul adalah ketua setempat Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi sosial-politik yang dianggap bersimpati kepada Partai Komunis Indonesia. Sesudah G-30-S 1965, Baperki dilarang dan banyak anggotanya dipenjarakan oleh pemerintah Orde Baru. Setelah peristiwa September 1965, keluarga Juul lari dan bersembunyi di Surabaya, dan akhirnya berhasil pergi ke Belanda. CIHC kini banyak mewawancarai mereka yang sudah lanjut usia tentang jalan hidup mereka. CIHC bukan perkumpulan peranakan Cina pertama yang dibentuk di Belanda. Pada 1977, misalnya, ada perkumpulan Inisiatip, disusul beberapa yang lain, seperti De Vriendschap (persahabatan) dan Lian Yi Hui. Perkumpulan ini menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial, dari bermain mahyong dan golf sampai menggelar ceramah dan berwisata ke luar
6 DESEMBER 2015 |
| 59
Ko mu n i t a s C i n a A s a l I nd o n e s i a d i B e l a nd a
negeri. ”Tujuan utama dari perkumpulan ini adalah memelihara kontak sosial di antara warga peranakan,” kata Juul de Moel-Nitisusanta, yang kerap menemani ibunya ke acara De Vriendschap. Tapi Juul tidak yakin berapa lama perkumpulan seperti De Vriendschap akan bertahan, karena kebanyakan anggotanya sudah berusia lanjut.
60 |
| 6 DESEMBER 2015
Foto pernikahan warga peranakan di Padang, 1960-an, yang dipamerkan Museum Volkenkunde Leiden.
“Foto-foto ini menyentuh bagi saya karena mereka memperlihatkan betapa banyak perhatian dan tradisi yang terangkum dalam ritual pernikahan ini.” —JOHANNA LEIJFELDT
Giam Kwee, perempuan sekitar 40 tahun yang lahir di Belanda, menuturkan dalam rekaman video bahwa meskipun dibesarkan di tengah budaya Barat, dia tetap merasa bagian dari tiga budaya. ”Kalau saya harus memilih apakah saya Cina, Indonesia, atau Belanda, saya tidak akan bisa. Saya tiga-tiganya: saya peranakan,” kata Giam Kwee. Akan halnya Maya Liem ingat tentang karnaval pertama di Belanda yang diikutinya. Pada 1967, tatkala berusia 10 tahun, ia dan keluarganya pindah dari Surabaya ke Vught. Di sana ia diperkenalkan dengan karnaval, tradisi Belanda. Semua orang memakai kostum istimewa dan berpesta di luar. Sebagai anak berumur 10 tahun, Maya cukup bingung akan semua itu. ”Teman-teman saya berkata, ’Pakailah kostum tradisional petani Belanda dan bergayalah yang eksentrik’.” Dan Maya ingat, betapapun mengenakan kostum petani Belanda, ia saat itu juga memakai mahkota Jawa, yang pernah dia pakai menarikan serimpi. ”Saya tidak tahu apakah itu asimilasi atau kerancuan budaya,” tutur Maya, yang kini penerjemah terkemuka karya sastra Indonesia ke bahasa Belanda. ● LINAWATI SIDARTO
DOK. KOLEKSI KELUARGA YAP (PERNIKAHAN), KOLEKSI MUSEUM VOLKENKUNDE LEIDEN (JOHANNA)
S
ELAIN gaun pengantin nan elok itu, dalam koleksi Museum sendiri terpajang satu set gambang kromong, yang merupakan campuran dari alat musik Cina, Eropa, dan Jawa Barat. Instrumen tersebut bercat merah emas dan berhias ukiran naga. Di sela-sela obyek pameran juga terpampang teks dan foto-foto yang memaparkan sejarah Cina peranakan di Indonesia, sebagian besar lewat uraian seputar upacara dan tradisi pernikahan. Foto yang terpajang antara lain memperlihatkan ritual cio tao di rumah masing-masing pengantin perempuan dan lelaki dengan keluarga mereka sebelum upacara pernikahan. ”Fotofoto ini menyentuh bagi saya karena mereka memperlihatkan betapa banyak perhatian dan tradisi yang terangkum dalam ritual pernikahan ini,” kata Johanna. Beberapa foto juga jelas menunjukkan perbauran budaya, dengan satu foto pengantin berbaju lengkap Cina, diapit dengan orang tua mereka yang memakai jas dan sarung kebaya. Yang menarik, permadani sepanjang lorong pameran didesain bermotif ubin klasik Hindia Belanda, yang sering ada di rumah Cina peranakan zaman kolonial. ”Setelah kami meneliti album foto keluarga Bapak Sioe, ternyata corak lantai tersebut juga terlihat di rumah keluarga mereka,” kata Francine Brinkgreve, kurator museum. Pameran ini dilengkapi rekaman video yang menampilkan tiga perempuan peranakan Cina yang bermukim di Belanda. Mereka, termasuk Patricia Tjiook-Liem, bercerita tentang hari pernikahan mereka. Patricia menikah dengan Tjiook Tiauw Han pada 1959 di Belanda. ”Walau orang tua saya tidak bisa hadir di Belanda, merekalah yang mencari ’hari baik’ dan menetapkan tanggal pernikahan kami,” kata Patricia.
21Express
BEAR BRAND
Buka Peluang Menjadi Agen
Selalu Ada #365Alasan Minum BEAR BRAND
elanjutkan ekspansi bisnis di 2015, 21Express mengikuti Franchise Expo di Balai Kartini Jakarta, 20-22 November 2015 untuk membuka peluang bagi masyarakat menjadi agen. Perusahaan jasa pengiriman barang yang telah beroperasi hampir 25 tahun ini mulai lebih agresif membangun jaringan dan memberikan layanan baru kepada pelanggan mereka. Fany Wyadi, Managing Director 21 Express, mengatakan perusahaan ini sangat serius menggarap pasar Indonesia. “Sesuai dengan meningkatnya bisnis e-commerce, pengiriman barang dan dokumen merupakan salah satu jasa pelayanan yang dibutuhkan. Kami ingin memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi agen 21Express melalui sistem franchise,” kata Fany. Kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi agen dibuka pertama kali pada September 2015 lalu. Kini puluhan agen baru telah bergabung dengan 21Express untuk melayani pelanggan di seluruh Indonesia.z
etiap hari memiliki tantangan berbeda bagi Bayu Winanta. Wartawan sebuah media di Jakarta ini harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendapatkan informasi yang tepercaya. Tak jarang, ia harus bekerja sampai larut karena harus mewawancara narasumber atau menulis berita. Bayu sadar, pekerjaannya yang membutuhkan aktivitas tubuh dan pikiran ini, termasuk perhatian pada detail yang mendukung hadirnya sebuah informasi berkualitas, terkadang membuat tubuhnya lemah. Karena itu, ia selalu menjaga kesehatannya dengan pola hidup sehat. Itulah salah satu alasan Bayu meminum BEAR BRAND. Ia percaya, BEAR BRAND dapat mendukung pola hidup sehatnya dan menjaga tubuhnya agar tetap maksimal. Anda juga dapat membagi alasan meminum BEAR BRAND melalui Twitter atau Instagram dengan menggunakan tagar #365Alasan untuk mendapatkan kesempatan memenangkan 365 hadiah menarik. Di akhir periode, alasan-alasan terpilih berkesempatan mendapatkan grand prize seperti New Macbook, Samsung Smart TV, Lumix Mirrorless Camera, Samsung Galaxy Note 5, dan kamera GoPro. Tak cukup grand prize, BEAR BRAND juga menyediakan hadiah mingguan untuk alasan-alasan yang masuk. Keterangan lebih lanjut kunjungi www.365alasan.co.id.z
Dermaster Clinic
PT Nissan Motor Indonesia
Buka Cabang di Kemang
All New X-Trail, Si Stylish yang Makin Fungsional
M
S
i stylish All New X-TRAIL X-Trail dari Nissan tidak hanya dengan berbagai fitur yang canggih, tapi juga semakin fungsional dengan layout interior tiga baris (3-row seat). Ini memungkinkan sang legenda SUV ini membawa penumpang atau barang lebih banyak dengan volume bagasi hingga 1.982 liter. Kenyamanan interior All New X-Trail tercipta dari sentuhan material berkualitas dalam kabin yang sejuk dan lapang. Kursi baris kedua yang memiliki format kursi terpisah 60/40 dapat digeser ke depan untuk keleluasaan akses, kenyamanan ruang kaki, juga pengaturan ruang bagasi dengan rebah rata atau tidur. Jika ingin membawa penumpang lebih banyak, tersedia kursi baris ketiga dengan format 50/50. Kursi di baris terakhir ini juga bisa dilipat untuk memaksimalkan ruang bagasi. Sebuah penutup lantai mendatar dapat dipasang menutupi barang di bawahnya sehingga penyimpanan lebih rapi.z
S i tahun kedua kehadirannya, klinik kecantikan Korea Dermaster Clinic membuka cabang di Kemang, Jakarta Selatan, Senin, 23 November. Berlokasi di Gedung Piccadilly, cabang terbaru ini menonjolkan konsep eksterior dan interior bertema modern vintage. Konsep tersebut dimunculkan melalui penggunaan paduan warnawarna natural, seperti putih dan hijau, untuk memberikan kesan bersih dan nyaman bagi pasien. Dengan tim dokter yang terdiri atas Edo Raharja, Oktavian Tamon, Debby Intan, Dermaster Kemang menawarkan sejumlah perawatan baru. Perawatan itu di antaranya tanam benang dengan campuran PRP, PRP untuk rambut, vampire junior, peeling untuk badan, dan berbagai paket perawatan kecantikan lainnya.z
D
MEREKA MELUPAKAN TANAH KELAHIRAN Tak semua kaum peranakan ingin kembali ke negeri kelahiran. Khing, ilustrator 400 buku, mencoba melupakan Indonesia. Patricia, pendiri CIHC, merasa Belanda sudah menjadi rumahnya.
62 |
| 6 DESEMBER 2015
dan meja.” Berkat kegigihan Khing, akhirnya Toonder membuka pintu. Keputusan Toonder ternyata tak keliru. Khing pada akhirnya menjadi salah satu ilustrator terkenal di Belanda. Dia mulai dengan cerita komik di koran dan majalah. Pada awal 1970an, dia berganti haluan sebagai ilustrator buku anak. Karyanya mencakup spektrum yang lebar, dari seri Rubah dan Kelinci (Vos en Haas) dan Kue Taart, dongeng-dongeng klasik, sampai cerita anak dikombinasi dengan CD musik opera. Bukunya diterjemahkan ke selusin bahasa, termasuk Mandarin dan Yahudi. Khing telah menerima berbagai penghargaan, baik dari segi komersial maupun estetik. Pada 2010, dia menerima penghargaan utama Max Velthuijs. Karyanya dianggap dinamis dan anggun serta banyak emosi dan vitalitas yang tecermin dalam ekspresi karakter-karakternya, dari mengantuk sampai ketakutan, kesepian sampai mabuk cinta. Sukses dan pujian beruntun dari kalangan seni Belanda kelihatannya tidak mengubah Khing yang terkenal rendah hati dan apa adanya. ”Banyak orang menyebut saya seniman, tapi saya lebih senang disebut ilustrator. Seniman adalah orang yang bisa membuat karya sendiri. Saya menerjemahkan cerita orang lain dalam gambar.” Hubungan Khing dengan Indonesia terkesan pelik. Hanya satu kali, yaitu pada 1972, dia kembali ke Indonesia untuk menghadiri ulang tahun perkawinan emas orang tuanya. Ketika ditanya tentang kenangannya di Indonesia, dia menjawab pendek, ”Saya tidak pernah mengenang masa lalu.” Walau enggan memberi alasan, ia me-
nyinggung bahwa orang tuanya pindah ke Singapura pada 1970-an, ”Untuk menghindari iklim anti-Cina di Indonesia.” Ditanya soal identitas dirinya, Khing menggeleng sambil tersenyum. ”Saya sungguh tidak tahu. Bukankah itu lumrah untuk kaum peranakan? Di Indonesia saya tidak merasa di rumah sendiri, di sini juga tidak. Saya berkunjung ke Cina lima tahun lalu dan orang bertanya mengapa saya sebagai orang Cina tidak bisa sepatah kata pun bahasa mereka.”
I
NDONESIA dicoba dilupakan oleh Khing, tapi tidak bagi Patricia Liem Giok Kiauw Nio. Banyak kenangan manis masa kecilnya di Indonesia yang masih melekat di ingatan Patricia, 76 tahun. Satu di antaranya bila keluarga besarnya berkumpul di rumah kakeknya di Jalan Peloran, Semarang. ”Suara ’klik-klak’ dari permainan mahyong terdengar di sela-sela musik gamelan dari radio,” tulis Patricia dalam bukunya, Sih Hay Khie: Perusahaan dan Keluarga, yang mengisahkan sejarah keluarga ibunya. Tidak ketinggalan penjaja bakso, buah, dan kue jajan pasar yang selalu mampir. Patricia, anak kedua dari empat bersaudara, melewati masa kecil di Cirebon, Se-
DOK. THÉ TJONG KHING, LINAWATI SIDARTO (2015)
Y
ANG membuat Thé TjongKhing terkesan muda bukan hanya keriputnya yang jarang atau rambut ikalnya yang masih lebat, melainkan terutama gerak langkahnya yang ringan dan pasti. Ketika ditanya tentang jadwal kerjanya, dia menghela napas. ”Saya tidak bisa lagi menggambar pada malam hari. Mata saya sudah kurang awas dengan warna tanpa sinar alami,” kata Khing, 82 tahun, ketika ditemui di rumahnya di Haarlem, Belanda, awal bulan lalu. Khing lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada 1933 dan melewati masa kecil di Cirebon dan Bandung. Ia anak bungsu dari lima bersaudara. Bapaknya pengelola gedung bioskop. Sejak kecil, Khing punya dua hobi: menggambar dan menonton film. Ketika dia masuk Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, ayahnya tak setuju. ”Menggambar itu hobi, bukan untuk mencari nafkah,” kata Khing menirukan ucapan sang ayah. Untuk memperdalam ilmu menggambarnya, pada 1956 Khing meninggalkan Jakarta dan berlayar ke Amsterdam. Dia kuliah di Akademi Seni Rupa di Belanda. ”Tapi saya hanya tahan kuliah beberapa bulan. Satu hal yang saya mau: menggambar. Hanya, pada saat itu, saya belum tahu persis dalam bentuk apa.” Masa awal sebagai migran, menurut Khing, terasa sangat berat. ”Semua lain di sini dan untuk pertama kalinya saya benarbenar sendiri,” katanya. Beruntung dia mengetuk pintu studio kartunis ternama Belanda, Marten Toonder. ”Pertama-tama saya tidak diterima, tapi saya menawarkan untuk kerja gratis. Saya hanya minta kursi
Ko mu n i t a s C i n a A s a l I nd o n e s i a d i B e l a nd a
Patricia (kanan) bersama dua adiknya di rumahnya di Bandung, 1952. Thé Tjong Khing di rumahnya di Haarlem, Belanda, Oktober 2015.
Patricia Tjiook-Liem, 2015.
DOK. PATRICIA TJIOOK-LIEM
Thé Tjong Khing (kanan) saat baru tiba di Eropa, 1956.
marang, dan Jakarta, dan lulus dari Hoogere Burgerschool—sekolah menengah—di Bandung. Umurnya 17 tahun ketika ia terbang seorang diri ke Amsterdam untuk mulai kuliah farmasi di Universiteit van Amsterdam. ”Untungnya, ada sanak keluarga di Belanda,” katanya saat ditemui di apartemennya di Amstelveen, Belanda, dua pekan lalu. Kuliah Patricia terputus tiga tahun lantaran menikah dengan Tjiook Tiauw Han, dokter anak kelahiran Yogyakarta. Selama 30 tahun, waktunya diisi dengan mengerjakan administrasi praktek suaminya di Amsterdam sembari mengurus rumah tangga dan tiga anak mereka. ”Saya sempat kursus pada malam hari untuk memperoleh diploma bahasa Inggris, tapi ijazah itu tidak pernah saya pakai.” Kini, ketika ketiga anaknya sudah ke luar rumah, Patricia memutuskan kembali ke universitas yang dia tinggalkan puluhan tahun silam. Umurnya sudah setengah abad ketika dia mulai kuliah paruh waktu di Fakultas Hukum Universiteit van Amsterdam. ”Banyak teman yang mendukung keputusan saya, tapi ada juga yang bertanya, ‘Bukannya kamu harus mengurus suami?’.” Ketika skripsinya hampir selesai, Patricia mulai bertanya-tanya apa yang bisa dia
lakukan dengan gelar hukumnya di usia yang hampir mencapai 60. ”Untungnya pembimbing skripsi saya menyarankan untuk meneruskan penelitian saya ke jenjang S-3.” Ia lalu pindah ke Universitas Leiden untuk mengerjakan disertasinya, ”Posisi Hukum Warga Cina di Hindia-Belanda 1848-1942”, yang dia selesaikan pada 2009. Dalam masa kuliahnya, yang sejalan dengan topik penelitiannya, Patricia mulai lebih mendalami asal-usulnya. ”Sebelum itu, saya jarang memikirkan latar belakang saya,” katanya. ”Mungkin usia juga berpengaruh. Semakin bertambah umur, kita mulai retrospeksi: Siapa saya? Di mana akar saya?” Sesuai dengan disertasinya, Patricia sebetulnya bermaksud memulai proyek berikutnya: menulis sejarah keluarga ibunya, yang bermula dengan kedatangan kakek buyutnya, Sih Khay Hie, dari Fujian ke Semarang. Tapi proyek ini tertunda oleh gagasan Profesor Henk Schulte Nordholt dari KITLV, pusat ilmu pengetahuan Asia Tenggara di Leiden. ”Saya berbincang-bincang dengan Henk mengenai tidak adanya penelitian tentang kelompok Cina peranakan di sini. Dialah yang akhirnya meyakinkan saya untuk bersama-sama membentuk Chinese Indonesian Heritage Center (CIHC) pada 2011.”
Pada awalnya Patricia ragu apakah dia telah mengambil keputusan yang tepat, tapi tawaran CIHC terlalu menarik untuk ditolak. Walau sibuk dengan CIHC dalam empat tahun terakhir, berkat disiplin dan kerja keras, Patricia berhasil menulis buku sejarah keluarga ibunya, yang diterbitkan tahun lalu. Apartemennya di Amstelveen, kota kecil di luar Amsterdam, kini menjadi markas informal CIHC. Rumah Patricia yang anggun mencerminkan penghuninya: Barat dan Timur terpadu serasi dengan perabot modern dan batik Obin sebagai penghias dinding. Rapat kerja di rumah Patricia selalu dilengkapi dengan jajan pasar atau sup buatan sendiri. Patricia harus berpikir sejenak ketika ditanya tentang identitas dirinya. ”Ketika pertama kali sampai di Belanda, saya langsung betah. Saya baru kembali ke Indonesia untuk berlibur 14 tahun kemudian, dan anehnya pada saat itu saya terhanyut emosi: mengapa saya pergi dari Indonesia? Beberapa tahun sesudah kunjungan itu, saya terkadang rindu kampung halaman.” Tapi sekarang, tutur Patricia, ”Kalau naik pesawat dari Jakarta menuju Amsterdam, saya tahu bahwa saya akan pulang. Belanda adalah rumah saya.” ● LINAWATI SIDARTO
6 DESEMBER 2015 |
| 63
TAIPAN PENGANAN KHAS INDONESIA Memulai dari menjual kacang Shanghai buatan sendiri, lebih dari 100 produk makanan Go Tan terjual di 17 negara Eropa. Kini roda bisnis dipimpin generasi ketiga keluarga Go.
Nenek Swan Han Go di pabrik Go Tan. Swan Han Go (tengah) dalam iklan kerupuk Go Tan.
M
ENCARI waktu luang di agenda Swan Han Go, 46 tahun, tak mudah. Kurang dari sehari sebelum jadwal wawancara yang sudah disepakati, ia terpaksa memundurkan janjinya sekitar dua jam. Tapi, begitu duduk di kantornya, Han terkesan santai walau suara telepon selulernya tak pernah berhenti. ”Bekerja bukan beban buat saya. Apa pun yang kita lakukan harus dikerjakan dengan senang hati,” kata anak bungsu Frans Go, pendiri Go Tan, itu, dua pekan lalu. Go Tan adalah perusahaan dengan sekitar 60 pegawai beromzet tahunan kurang-lebih 25 juta euro dan pangsa pasar sedikit di bawah 10 persen. Go Tan harus bersaing dengan pemain utama di sektor makanan Asia di Belanda, terutama keluaran Unilever. Meski begitu, hampir semua orang Belanda mengenal produk Go Tan, seperti sambal, kerupuk, dan berbagai bumbu wok. Semua itu tersedia di supermarket besar, seperti Albert Heijn dan Jumbo. ”Bayangkan, pesaing utama kami adalah Conimex kepunyaan Unilever. Tapi kami tidak gentar. Yang penting adalah bahwa kami tetap keluar dengan produk berkua-
64 |
| 6 DESEMBER 2015
litas tinggi dan enak,” ucap Han. Produk terbaru mereka antara lain emping balado dan bumbu sambal goreng buncis khas Indonesia. Kakek Han, Go Kwie Siong, beserta istri dan tujuh anaknya berangsur pindah dari Bandung ke Belanda pada 1948-1955. Tujuan ke Belanda awalnya adalah belajar. Untuk menutupi biaya kuliah, Go Kwie Siong dan istrinya membuka restoran Cina-Indonesia bernama Hokkie di pusat Kota Amsterdam. Ketika putra sulung mereka, Frans, beranjak dewasa, ia berjualan kacang Shanghai yang dibuat sendiri. Kacang ini laku keras dan menjadi cikal-bakal berdirinya perusahaan Go Tan pada 1954. Frans juga mulai mengembangkan asortimen mereka dengan produk seperti bawang goreng dan kecap. Usaha Frans menanjak. Ia akhirnya memutuskan pindah dari pusat Kota Amsterdam. ”Ayah saya membuka peta Belanda. Dengan penggaris, ia mencari titik tengah di peta, karena menurut dia itulah yang paling efisien untuk distribusi. Titik itu jatuh di kawasan pabrik dan kantor kami berada sekarang,” ujar Han, yang lahir di Rhenen, kota dekat Kesteren, lokasi kantor dan pabrik Go Tan. Frans pintar memasak. ”Tapi ia lebih
dari itu. Ayah saya adalah connoisseur sejati. Dia pencinta makanan dan minuman,” kata Han. Ia bercerita bagaimana mereka pulang liburan dari Italia pada 1974. ”Sepanjang jalan pulang, saya harus memangku mesin besar pembuat espresso. Bayangkan, saat itu hampir tidak ada orang di luar Italia yang tahu apa itu espresso,” kata Han sambil tertawa. ”Mungkin saya barista pertama di Belanda. Dari kecil saya bertugas membuat kopi dari mesin itu.” Han melewati masa kecil dengan orang tua dan dua kakak lelakinya di lingkungan yang ”amat Belanda”. Kesteren adalah desa di tengah daerah pertanian Betuwe, yang terkenal dengan perkebunan buah. ”Tak banyak migran tinggal di sini, apalagi ketika saya masih kecil.” Meski begitu, Han tidak pernah merasa terkucil atau didiskriminasi. ”Semua orang di sini kenal keluarga kami karena semua orang tahu apa itu Go Tan,” katanya. Han baru berusia 14 tahun ketika ayahnya meninggal. Kakaknya, Swan Bing Go, yang baru mulai kuliah di Universitas Teknik Delft, mulai terlibat dalam perusahaan sambil meneruskan studinya. Pada akhir 1990-an, Han dan Swan Bing masuk direksi perusahaan. Kakak tertua mereka, Cliff, memilih pindah ke Singapura dan bekerja di sana sebagai bankir. ”Tapi dia tetap duduk dalam dewan komisaris perusahaan dan secara teratur berkunjung ke sini.” Han kini menjabat creative director, setelah mengelola bagian keuangan dan teknologi informasi. ”Kebanyakan dari sanak keluarga kami pernah bekerja di perusahaan ini. Om saya duduk di dewan komisaris dan hampir semua tante saya pernah membantu dalam produksi. Kalau kami meluncurkan produk baru, keluarga pasti mencicipi dan memberi masukan,” ucap Han. Berbasis penilaian keluarga itulah kemudian muncul slogan a very foodloving family untuk produk Go Tan. Tawanya kembali menggema ketika ditanya tentang masalah identitas. ”Mungkin orang Belanda yang unik. Saya lahir dan besar di sini. Ketika kuliah, saya dan kakak saya juga bergabung dengan klub mahasiswa Belanda. Tapi, bagaimanapun, Asia tetap menjadi bagian dari saya, apalagi mengingat lingkup kerja saya,” kata Han, yang beristrikan orang Belanda. ● LINAWATI SIDARTO
DOK. GO TAN
Ko mu n i t a s C i n a A s a l I nd o n e s i a d i B e l a nd a