Menyoal Konflik Indonesia di Laut Cina Selatan Konflik di Laut Cina Selatan muncul saat China mengklaim kedaulatan atas kawasan laut serta wilayah di kepulauan Paracel (Xisha) dan Spratly (Nansha) – dua rangkaian kepulauan yang diklaim oleh sejumlah negara. Selain rangkaian pulau ini, ada pula pulau tak berpenghuni, atol, dan karang di seputar perairan ini. Akibatnya klaim yang dikeluarkan oleh China ini menuai protes dari Vietnam dan Filipina yang merasa juga memiliki hak klaim atas wilayah tersebut. Setelah pada tahun 2000 mulai dibahas perjanjian tentang daerah kepemilikan antara Cina dan Vietnam yaitu tanah dan territorial air di Gulf of Hainan. Tetapi pembahasan tentang kepulauan Spartly masih menjadi isu, hanya antara Cina dan Vietnam saja, namun permasalahan ini tidak mempengaruhi hubungan kerjasama China-ASEAN. Kedua negara Cina dan Vietnam mengklaim kepulauan ini berdasarkan ‘penggunaan sejarah’, utamanya saat para nelayan mulai mencari ikan di kepulauan ini. Negara Cina mengklaim kepulauan Sparlty pada 1951, tetapi belum menempatinya. Hanya pulau yang terbesar saja yang ditempati, oleh para tentara Nasionalis China. Filipina yang juga tertarik dengan pulau itu, memulai gerakannya pada tahun 1970-71 dengan ditempatinya oleh warga negara Filipina di lima pulau terbesar dan bahkan mereka sempat mengusir tentara Nasionalis Cina, tetapi tidak berhasil. Sengketa yang terjadi di laut cina selatan ini bukanlah bahasan yang masih baru, akan tetapi sudah menjadi konflik yang berkepanjangan manakala setiap negara yang bersengketa didalamnya masih memegang kemauan mereka untuk menguasai suatu wilayah di laut cina selatan. Konflik yang terjadi adalah sebuah konflik yang muncul dan tenggelam apabila ada yang menyinggung. Perang menjadi hal yang paling ditakutkan muncul, dan lebih berbahaya lagi apabila potensi perang yang kecil tidak diperhatikan. Pengelompokan Sengketa Laut Cina Selatan. a. Sengketa Teritorial Kategori sengketa ini terkait dengan siapa yang memiliki fitur lahan apa. b. Sengketa Batas Maritim Sengketa ini melibatkan ketidaksepakatan umum tentang tempat untuk menarik garis batas di perairan tersebut. Sengketa batas maritim menunjukkan bahwa tidak ada perjanjian khusus yang menyatakan fitur mana yang menghasilkan zona ekonomi eksklusif (ZEE)
berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS), sehingga hanya berhak mendapatkan laut teritorial, dan yang tidak menghasilkan zona maritim. Karena luasnya ukuran ZEE yang diperbolehkan berdasarkan UNCLOS, maka bisa menimbulkan perbedaan di antara memiliki ZEE 125.000 mil laut persegi, laut teritorial 450 mil laut persegi atau tidak memiliki apa-apa. Meskipun ketika kepemilikan dan hak terhadap zona maritim tidak dipersengketakan, karena fitur-fitur tersebut terletak dalam jarak yang saling berdekatan, sengketa batas maritim juga terkait dengan menentukan garis pemisah yang “benar” antara satu negara dengan negara-negara tetangganya. Di beberapa tempat, sengketa batas maritim juga merupakan hasil dari klaim garis putus-putus tidak lazim dari Tiongkok dan Taiwan, yang mencakup sebagian besar Laut Cina Selatan dan konflik dengan semua klaim ZEE yang lebih konvensional dari negara-negara pesisir. c. Sengketa Yurisdiksi Kelas sengketa ini di Laut Cina Selatan terutama tetapi tidak terbatas pada ketidaksepakatan tentang hak pengaturan apa yang diberikan di zona mana. Banyak negaranegara pesaing di Laut Cina Selatan mengklaim bahwa mereka diizinkan untuk mengatur kegiatan militer asing di ZEE mereka, di mana pun pada akhirnya ZEE mereka ditarik. Hak pengaturan semacam itu tidak diakui oleh UNCLOS, dan tidak diklaim oleh sebagian besar negara. Akan tetapi, di Laut Cina Selatan semua negara penggugat kecuali Filipina dan Brunei percaya bahwa mereka memiliki hak untuk membatasi pengoperasian kapal militer asing di ZEE mereka. Perseteruan baru-baru ini antara Malaysia dan Tiongkok, misalnya, menyoroti praktik subregional ini. Pada 3 Juni 2015, kapal patroli Penjaga Pantai Tiongkok (CCG) Haijing 1123 terlihat berkeliaran di perairan di dekat South Luconia Shoals yang disengketakan, dan laporan pada 19 Juni 2015 menunjukkan kapal lain mungkin berlabuh di dekatnya. Kedua kapal itu disebut sebagai “penyusup” oleh pihak berwenang Malaysia, meskipun kedua kapal itu berlabuh lebih dari 80 mil laut dari pantai Malaysia. Pada jarak ini, kapal itu cukup jauh dari laut teritorial Malaysia, satu-satunya zona tempat Kuala Lumpur memiliki hak untuk membatasi gerakan militer asing. Tentu saja, jika kapal CCG itu berada dalam 12 mil laut dari pulau atau batu di dekat kawanan beting tersebut, maka Kuala Lumpur akan memiliki yurisdiksi. Beberapa terumbu karang di Luconia Breakers mungkin berada di atas air pada saat pasang. Lokasi yang tepat dari kapal tersebut dalam kaitannya dengan fitur-fitur yang lebih kecil tidak dimasukkan
dalam pelaporan berita tersebut, sehingga sulit untuk menentukan apakah Kuala Lumpur dapat mengklaim yurisdiksi atas dasar itu. Laporan tersebut tampaknya menunjukkan bahwa Kuala Lumpur mendasarkan yurisdiksinya pada jarak kapal itu terhadap pantai utara Kalimantan. Penafsiran UNCLOS ini, yang menganugerahkan hak yang luas kepada negara pantai untuk membatasi kebebasan navigasi bagi kapal angkatan laut yang lewat, tidak didukung oleh teks perjanjian. Hal ini juga bertentangan dengan penafsiran ortodoks hukum internasional dan kebijakan Amerika Serikat. Imbas Konflik Laut Cina Selatan Imbas yang akan dirasakan oleh setiap negara yang secara khusus bertikai dan secara umum oleh negara yang tidak terlibat adalah modernisasi dibidang kekuatan militer. Modernisasi ini terjadi karena potensi yang kecil di sengketa laut cina selatan, semuanya terjadi karena ketakutan akan kekalahan kekuatan militer meskipun belum pasti akan terjadi perang atau, istilahnya adalah security dilemma melahirkan army race. Selain army race, laut cina selatan dapat dilihat sebagai meja judi bagi seluruh dunia dikarenakan dalam hal ini juga terdapat perlombaan mencari aliansi. India berpegangan erat dengan Vietnam dalam usaha Vietnam menolak klaim China, dan juga diikuti oleh negara lainnya seperti jepang dan Amerika. Di dalam UNCLOS yang tercetus pada tahun 1958 dan telah disempurnakan kembali pada tahun 1982, sudah ditetapkan kewenangan-kewenangan negara atas laut. Disebutkan bahwa sebuah negara pantai (coastal state) berhak atas laut territorial dengan jarak 12 mil laut, zona tambahan sejauh 24 mil laut, dan landas kontinen (dasar laut) sejauh 350 mil laut atau lebih[6]. Lebar masing-masing dari zona ini diukur dari garis pangkal (baselines) yang dalam keadaan biasa merupakan garis pangkal berupa sabuk yang melingkupi keseluruhan kepulauan. Jika suatu negara tidak pernah mengklaimkan garis padanya pada PBB, maka yang berlaku baginya adalah garis pantainya ketika air surut terendah. Upaya ASEAN menyelesaikan konflik laut cina selatan atau declaretion of parties in the south china sea (DOC) merupakan salah satu langkah politis dalam menyelesaikan sengketa teritorial dan yuridiksi dengan cara alami tanpa penggunaan kekerasan dan melalui perundingan. Namun DOC tidak dapat dikatakan efektif, karena DOC belum berhasil memenuhi misinya untuk membangun rasa saling percaya diantara negara-negara yang terlibat konflik laut cina selatan dan meminimalisir konflik berkembang lebih jauh, hal ini ditandai
banyaknya aktifitas pembangunan yang dilakukan cina serta tindakan-tindakan yang mengancam perdamaian di kawasan asia tenggara. Ketidakefektifan DOC disebabkan oleh bebera hal yaitu : 1. Tidak memiliki kekuatan yang resmi untuk mengekang tindakan pihak-pihak yang bersengketa di laut cina selatan. 2. Tidak memiliki mekanisme untuk memonitor atau bahkan memaksa para pihak untuk memenuhi isi perjanjian. 3. Tidak dikenal adanya mekanisme untuk menjatuhkan sanksi retoris atau repulasi atas pihak-pihak yang melanggar isi perjanjian. 4. Pihak yang bersengketa saling memperlihatkan ketidakpatuhannya akan perjanjian dan justru berlomba-lomba melanggar Dari ketidakefektifan DOC melahirkan code of conduct (COC) yang bertujuan untuk menyempurnakan celah-celah isi dokumen DOC, pembahasan isi COC diharuskan untuk lebih mendetail dari DOC. Diperlukan sebuah mekanisme yang jelas untuk menjamin kepatuhan pihak-pihak yang bersengketa dalam pelaksanaan COC dan juga menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa dalam penerapan COC. Dalam hal ini tidak hanya aturan dan prinsip yang menyeluruh, tetapi juga prosedur yang jelas yang dapat membantu pihak-pihak yang terjebak dalam sengketa. COC mungkin tidak akan cukup untuk menjaga dan menjamin perdamaian stabilitas di laut cina selatan atu mampu menyelesaikan konfliknya. Karena China menggunakan kekuatan bilateral dalam bernegosiasi sehingga nega-negara yang terkait dapat dilemahkan satu persatu untuk melemahkan ASEAN dan hukum-hukum internasional (UNCLOS). Laut Cina Selatan merupakan salah satu jalur bagi transportasi laut didunia. Laut cina selatan merupakan bagian dari kawasan asia pasifik, Asia Pasifik membutuhkan minyak dari Timur Tengah dengan transportasi laut hal ini dikarenakan volumenya yang besar dan berat, disamping itu transportasi lebih cepat dan ekonomis. Volume asia pasifik lebih dari 1/3 volume perdagangan dunia di laut, dimana ekonomi dunia saat ini terus naik dikawasan ini dikarenakan kondisi eropa yang mengalami stagnasi. 50% pengiriman tanker minyak dunia melalui laut cina selatan hal ini dikarenakan banyaknya industri dikawasan Asia tenggara. Upah minimum yang rendah, sumber daya alam yang tersedia, dan posisi strategis untuk mengirimkan hasil produksi dari kawasan Asia Pasifik, Timur Tengah dan juga Eropa. Untuk itu diperlukan kebebasan, keamanan dan keselamatan pelayaran atau bebes hambatan untuk berjalannya perekonomian dunia.
Pada 2004 perdagangan antara China dan ASEAN mengalami surplus sebesar US $ 20 milliar, sementara perdagangan China dan negara atau region lain mengalami defisit. Hal ini menggambarkan bagimana pentingnya ASEAN bagi China dalam menggerakkan ekonomi negara. Sedangkan Vietnam yang merupakan rival dalam sengketa laut cina selatan adalah negara dengan eksportir terbesar dari China. Keterikatan ekonomi yang terjalin menyebabkan China, Vietnam dan Filipina tidak dapat menemui titik solusi. Kegelisahan China akan ASEAN dipicu oleh kerjasama ekonomi yang telah terjalin, Secara keseluruhan dapat dilihat ASEAN sebagai pasar dan juga sebagai stock sumber daya alam yang terdekat. Sebelum masuknya barang ke jalur perairan laut cina selatan terlebih dahulu melewati selat malaka dan Singapura. Sehingga meskipun China dapat meguasai laut cina selatan akan sia-sia bila negara anggota ASEAN memainkan jalur perdagangannya. Adanya Jepang sebagai mitra dagang ASEAN juga menciptakan kecemasan sendiri bagi China akan pengaruhnya di Asia Tenggara. Jepang yang berkeinginan untuk menjadi leader di kawasan Asia menjadi pesaing berat bagi China yang saat ini memiliki ekonomi yang sangat bagus. Lingkaran ekonomi menyebabakan potensi perang didaerah sengketa menjadi sangat kecil. Pertama ekonomi di kawasan Asia Tenggara sedang melambung yang menyebabakan banyak investor masuk, Investor tidak hanya berasal dari negara seperti China atau Jepang tetapi juga dari Amerika, Korea Selatan, Eropa, Rusia dan lainnya. Sehingga apabila terjadi konflik akan merugikan banyak investor di negara. keengganan rugi meyebabkan negara harus berusaha agar potensi konflik menjadi kecil, dapat dilihat pertarungan ini melibatkan banyak pihak (negara lain) sehingga ini akan menjadi arena kasino untuk berjudi. Kedua, Industri yang didirikan oleh banyak investor di negara berkembang juga menjadi salah satu faktor yang meminimalisir potensi perang, pasalnya industri yang berada dinegara berkembang didasarkan adanya upah minimum yang rendah, sumber daya alam yang tersedia, posisi yang strategis untuk mengirimkan hasil ke kawasan Asia Pasifik, Timur tengah dan juga Eropa. Disamping itu negara-negara di Asia tenggara sangat konsumtif. Dapat disimpulkan Asia Tenggara adalah pasar, industri, dan pemilik sumber daya alam. Indutri yang terdapat di negara kawasan Asia Tenggara berasal dari negara Amerika, Jepang, China, Rusia, Eropa. Maka konflik perang tidak hanya milik Vietnam-China ataupun China-ASEAN tapi milik banyak negara. Perang dan konflik militer akan lebih mahal biayanya karena hal itu bukan hanya menghancurkan orang dan barang tetapi juga merusak seluruh sistem perekonomian dari negara-negara yang terlibat dalam perang. Ini menyebabakan kekuatan militer kurang penting ketimbang di masa lalu, dan hubungan ekonomi menjadi variabel yang lebih kuat.
Mengingat pentingnya posisi Laut China Selatan yang rawan konflik dan implikasinya yang besar di kemudian hari bila pecah konflik bersenjata terbuka di perairan tersebut, maka penelitian ini akan mengupas, membahas dan menganalisis beberapa penyebab dan implikasi konflik yang rawan dan besar, yang diperkirakan di atas, secara gamblang dan komprehensif. Secara khusus, Indonesia, sekalipun bukan negara pengklaim memiliki kepentingan, namun klaim mutlak yang dilancarkan China atas seluruh wilayah perairan Laut China Selatan, yang meliputi seluruh kepulauan dan pulau di dalamnya, pada tahun 2012 tersebut, turut mengancam kedaulatan dan kepentingan Indonesia di wilayah perairan Natuna, yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau. Dengan klaim mutlak tersebut, bukan saja kedaulatan wilayah Indonesia atas Kepulauan Natuna yang terancam, tetapi juga seluruh kepentingan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan berdasarkan konsep Wawasan Nusantara, yang dihormati eksistensinya berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, khususnya hak-hak pengelolaan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) hingga 200 mil laut. Padahal, tanpa ini saja, hak-hak tradisional nelayan Indonesia di sekitar perairan Kepulauan Natuna sudah terancam Hubungan Indonesia dengan Tiongkok memasuki babak baru. Setelah sebelumnya hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok relatif mesra, ditandai dengan investasi Negeri Tirai Bambu di Indonesia, hubungan keduanya kini dinamis. Konflik di Natuna adalah penyebabnya. Dalam berbagai kesempatan, Beijing telah menyampaikan bahwa mereka tidak memiliki masalah mengenai kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna dan perairan di sekitar kepulauan tersebut yang berdekatan dengan wilayah LCS yang diklaim China. Namun kondisi di lapangan tidak sepenuhnya berjalan sesuai pernyataan Beijing tersebut. Indonesia dan China sudah beberapa kali mengalami ketegangan di sekitar perairan Natuna, terutama terkait persoalan wilayah penangkapan ikan. Ketegangan yang terjadi pada Maret lalu antara Indonesia dan China misalnya, cukup mengkhawatirkan. Ketegangan itu dipicu oleh aksi kapal penjaga pantai China di Laut Natuna. Kapal penjaga pantai China mengganggu penegakan hukum di laut yang sedang dilakukan kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan, KP Hiu 11. Menindaklanjuti kejadian tersebut, Menteri Luar Negeri, Retno L.P.Marsudi, memanggil Kuasa Usaha Kedutaan Besar China di Jakarta dan menyampaikan nota protes. Dalam nota protes tersebut ditekankan tiga
kesalahan yang dilakukan kapal penjaga pantai China, yaitu kapal penjaga pantai melanggar hak berdaulat dan yurisdiksi Indonesia di wilayah ZEE dan landas kontinen Indonesia; melanggar penegakan hukum yang sedang dilakukan aparat Indonesia; dan melanggar kedaulatan laut teritorial Indonesia. Sikap Indonesia tersebut direspons Kementerian Luar Negeri China dengan bantahan bahwa kapal penjaga pantainya tidak memasuki wilayah perairan Indonesia. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa kapal penjaga pantai datang untuk menyelamatkan kapal nelayan China, KM Kway Fey 10078 yang diserang kapal bersenjata Indonesia. Menurutnya, kapal nelayan China tersebut hanya melakukan aktivitas penangkapan ikan seperti biasa di tempat yang telah turun-temurun dikunjungi. Selanjutnya China kembali menyampaikan protes pada Mei 2016 untuk menyikapi penangkapan kapal nelayan China Gu Bei Yu 27088 oleh KRI Oswald Siahaan-354 yang diduga kuat sedang melakukan aktivitas penangkapan ikan di wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna. Penangkapan itu direspons dengan protes keras dari Kementerian Luar Negeri China. Mereka berpandangan bahwa kapal tersebut beroperasi secara sah di wilayah yang sah juga. Dua insiden tersebut semestinya sudah cukup untuk mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa kedua negara juga menyimpan potensi-potensi konflik di perairan sekitar wilayah LCS yang dipersengketakan sejumlah negara. Ketegangan yang berkembang di kawasan LCS sangat mungkin akan memicu terjadinya kembali insiden-insiden serupa antara Indonesia dan China. China yang sedang merasa terpojok menjelang keluarnya putusan MAI, tampaknya telah mendorong China untuk meningkatkan kehadirannya di wilayah sengketa. Sementara di sisi lain, Indonesia juga sedang berusaha meningkatkan kehadiran kapal-kapal patroli untuk mencegah pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di perairan Indonesia. Kondisi inilah yang mengharuskan Indonesia untuk berhati-hati dalam menyeimbangkan upayanya menjaga kekayaan laut dan kedaulatan territorial dengan menjaga stabilitas kawasan. Mengapa negara Indonesia seringkali bersitegang dengan Tiongkok di perairan Natuna? Menurut Damos Dumoli Agusman, Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri RI, persoalan di Laut Tiongkok Selatan harus dibedakan atas dua hal karena sering membingungkan. Pertama, isu mengenai sengketa kepemilikan pulau. Kedua, delimitasi batas maritim. Di Laut Tiongkok Selatan, terdapat pulau-pulau kecil. Pulau-pulau itu diperebutkan oleh Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Subyek/negara yang
mengklaim (claimant state) dan obyek yang diklaim juga berbeda. Misalnya, Filipina merebut pulau yang sama dengan Malaysia, Filipina juga merebut pulau yang sama dengan Vietnam. Namun, tidak semua pulau diklaim oleh Filipina. Tidak semua pulau pula diklaim oleh Vietnam dan Malaysia. Namun, semua pulau diklaim oleh Tiongkok. Persoalan inilah yang disebut sebagai sengketa kepemilikan pulau. Dalam sengketa kepemilikan pulau, Indonesia bukanlah claimant state sehingga tidak terlibat dalam isu pertama ini. Alasannya, tidak ada sengketa pulau antara Indonesia dengan negara-negara lain baik Tiongkok maupun negara-negara ASEAN di Laut Tiongkok Selatan. Natuna tidak diklaim oleh Tiongkok dan negara-negara lain. Indonesia juga tidak mengklaim pulau karang di Laut China Selatan. Pada isu kedua, yaitu delimitasi batas maritim (maritime delimitation), Indonesia terlibat. Namun, dalam mengatasi isu ini, Indonesia telah menyelesaikan pembicaraan mengenai batas landas kontinennya, baik dengan Malaysia maupun dengan Vietnam. Menurut Damos Dumoli Agusman, yang menjadi akar persoalan di antara Indonesia dan Tiongkok adalah nine-dash line. Nine-dash line digunakan oleh Tiongkok sebagai dasar yang membolehkan para nelayannya untuk masuk dan mencari ikan di wilayah ZEE Indonesia. Pada titik inilah persoalan antara Indonesia dan Tiongkok muncul.
Apa itu nine-dashed-line ? Istilah nine-dash line digunakan oleh Tiongkok sebagai dasar dari klaim atas wilayah kedaulatan mereka di laut. Namun, tahukah Anda makna sebenarnya dari nine-dash line? Secara sederhana, nine-dash line adalah garis pembatas imajiner yang digunakan oleh Tiongkok untuk menunjukkan klaim mereka atas wilayah Laut Tiongkok Selatan. Menurut Peter J.Brown dalam tulisannya “Calculated Ambiguity in the South China Sea”, nine-dash line pada awalnya bernama eleven-dash line. Istilah ini pertama kali dipublikasikan melalui sebuah peta yang dibuat oleh Republik Tiongkok (1912-1949) pada Desember 1947 untuk menetapkan klaimnya atas Laut Tiongkok Selatan. Setelah berpisah dari Republik Tiongkok (Taiwan)
pada
1949,
RRT
(Tiongkok)
kemudian menggunakan garis
menunjukkan klaim mereka atas sebagian besar wilayah Laut Tiongkok Selatan.
ini
untuk
Damos Dumoli Agusman (Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri RI) memberikan definisi yang menarik perihal ninedash line. Pertama, nine-dash line hanya merupakan indikasi bahwa semua pulau di dalamnya ialah milik Tiongkok. Artinya, Tiongkok hanya membuat garis-garis ini, kemudian semua yang ada di dalam garis itu mereka miliki Kedua, kata Damos, nine-dash line adalah garis batas terluar. Jadi, semua air dan pulaunya dimiliki oleh Tiongkok. “Ini tafsir sangat eksesif dan sangat bertentangan tafsirnya dengan UNCLOS.” Ketiga, nine-dash line menggambarkan bahwa perairan di dalamnya adalah hak historis yang diperoleh bukan berdasarkan UNCLOS. Bagi Damos, hal ini sangat ambigu. Dari ketiga tafsir itu, yang terlihat di lapangan (dipraktikkan Tiongok) ialah tafsir kedua dan ketiga. Alasannya ialah karena Tiongkok mengirimkan nelayan-nelayannya menangkap ikan di sana Penutup Beberapa insiden yang terjadi belakangan ini semestinya menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia bahwa Indonesia dan China juga menyimpan potensi konflik yang membutuhkan penyelesaian di sekitar perairan Kepulauan Natuna. Kondisi ini menjadikan sikap Indonesia yang secara konsisten mendorong negara-negara yang bersengketa untuk menahan diri dan mengedepankan cara-cara damai untuk menyelesaikan sengketa, menjadi tidak cukup memadai. Indonesia juga perlu meningkatkan kehadiran patroli pengawasan di wilayah perairan yang sering kali terjadi pelanggaran kedaulatan. Peran Parlemen menjadi sangat penting untuk memastikan terlaksananya patroli pengawasan di wilayah perairan, karena keterbatasan anggaran selama ini selalu menjadi penghambat aparat Indonesia untuk melaksanakan patroli pengawasan di perairan perbatasan Indonesia
Referensi http://apdf-magazine.com/id/permainan-paling-berbahaya-tiongkok/ Ratna Shofi Inayati, Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerja Sama, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar; Jakarta: P2P – LIPI, 2011), hlm. 129 Martin Stuart – Fox, A Short Story of China and Southeast Asia “Tribute, Trade, and Influence”, (New South Wales: Allen and Unwin, 2003), hlm. 227 http://alsaindonesia.org/site/tindakan-cina-atas-klaim-sepihak-wilayah-kepulauan-spartly/, diakses pada 5 Juni 2013 pukul 15:45 WIB http://indo.wsj.com/posts/2014/05/14/konflik-hambat-eksplorasi-laut-cina-selatan/diakses pada 24 November 2014 pukul (16:53) http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict
https://lingstra.org/diplomasi-dan-hubungan-internasional/analisis-ancaman-terhadapisu-klaim-china-atas-kepulauan-natuna-terkait-konflik-laut-china-selatan-melaluimetode-analisis-intelijen-hank-prunckun/