Siapa bilang orang Tionghua numpang di Indonesia, Sejarah Cina Peranakan membela Ibu Pertiwi http://www.karnadilim.com/siapa-bilang-orang-tionghua-numpang-di-indonesia-sejarah-cina-peranakan-membela-ibu-pertiwi/
Sejarah orang tionghoa di Indonesia sudah di mulai sejak ratusan tahun yang lalu, jauh sebelum negara Indonesia berdiri. Tapi disini kita tidak akan membahas mengenai sejarah orang tionghoa datang dan beranak pinak di Indonesia. Tapi kita akan lebih fokus membahas terhadap Individu-Individu dan sejarah sejarah yang terkandung di belakangnya, Individu-Individu yang ikut mendirikan dan membangun Negara Indonesia. 1.
Periode Kebangkitan Nasional
Sedari awal perjuangan kemerdekaan Indonesia dari belanda, ada golongan masyarakat Tiong Hoa yang ikut menentang dan melakukan gerakan anti-belanda. Beberapa dari mereka juga turut di penjarakan oleh belanda dan di asingkan ke digul. Lie Tiong Pik seorang pedagang di daerah cepu semenjak muda sudah mengikuti pergerakan anti-belanda. Pada tahun 1926 beliau di penjarakan di blora dan di buang ke boven digoel bersama sama dengan Tjan Tok Giap dan Tjan Tok Gwan yang bersaudara bersama juga dengan mereka adalah Mohammad Hatta atau Bung Hatta tokoh proklamator Indonesia. Apalagi ingin di tilik lebih jauh lagi ada nama Nie Hoe Kong yang memimpin pemberontakan terhadap belanda pada abad 18, di mana hasilnya adalah 10.000 orang Tiong Hoa di bunuh dan mayat nya di buang ke kali Angke.
1
Masyarakat Tiong Hoa di catat juga menjadi peserta dari Sumpah Pemuda pada Tahun 1928, yaitu Kwe Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie. Serta patut di catat juga adalah Johan Muhammad Tjia yang berpartisipasi sebagai seorang panitia dalam kongres pemuda yang memprakarsai terjadinya Sumpah Pemuda dimana almarhum mewakili dari Jong Islamieten Bond dan menjabat sebagai Pembantu I. Selain tokoh tokoh di atas yang ikut membantu pergerakan dalam mewujudkan Indonesia yang merdeka dari penjajahan belanda, Koran Sin po sebuah koran melayu-Tionghoa banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Harian Sinpo ini adalah harian pertama yang memuat teks lagu kebangsaan Indonesia “Indonesia Raya” dan juga turut mempelopori penggunaan nama Indonesia untuk menggantikan Hindia Belanda sejak Sumpah Pemuda pada tahun 28 oktober 1928. Selain hal hal di atas, Koran Sinpo juga mempelopori penggunaan kata bumiputera menggantikan kata Inlander, dan sebagai timbal balik nya semua pers lokal menggantikan kata “Tjina”/”Cina” dengan kata Tionghoa. 2. Revolusi dan Pra-Kemerdekaan Pada masa kependudukan Jepang dan dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan Indonesia ada tokoh tokoh dari etnis Tiong Hoa yang tercatat juga ikut aktif dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Oei Tiang Tjoei yang salah satu anggota dewan pertimbangan pusat (Chuo Sangi In) yang merupakan sebuah badan dewan bentukan Jepang untuk memberikan peran aktif kepada tokoh Indonesia di dalam lembaga pemerintahan,setelah itu Almarhum juga merupakan salah satu anggota dari BPUPKI (Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia). Selain Oei Tiang Tjoei tercatat juga ada Liem Koen Hian yang juga merupakan anggota BPUPKI yang di ketuai oleh Bung Karno; Liem Koen Hian meruapakan pendiri Partai Tionghoa Indonesia yang merupakan sebuah partai nasionalis Indonesia yang berdampingan dengan kaum nasionalis Indonesia lainnya untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka. Peran beliau setelah Indonesia merdeka juga sangat banyak yaitu menjadi anggota perundingan Reville yang di pimpin amir Sjarifuddin. Salah satu quote nya yang terkenal adalah; “Jikalau Peranakan Tionghoa dengan mendengar suara hatinya mau lengketkan nasibnya bersama Indonesia ini, ia pun mesti dianggap Indonesia sejati.”.Selain Oei Tiang Tjoei dan Liem Koen Hian ada juga Oei Tjong Hauw dan Tan Eng Hoa yang juga merupakan anggota BPUPKI. Ada banyak pejuang yang turun kedalam medan perang yang merupakan suku Tiong Hoa tapi hanya
2
sedikit bukti sejarah yang mencatatkan keberadaan mereka secara langsung, sehingga bukti nyata yang di miliki sekarang ini sangat sedikit bahkan hampir tidak ada. Salah satu yang terkenal dan tercatat ikut turut serta dalam perjuangan fisik memerangi belanda adalah Tony Wen atau Boen Kin To, Boen Kin To terlahir dari sebuah keluarga berada di Sungai Liat Bangka. Dia meneruskan pendidikan hingga bangku kuliah di Cina, tetapi jalan yang di pilihnya bukanlah jalan berdagang ataupun menjadi akademisi. Setelah Jepang menyerah dia memilih untuk menetap di kota Solo untuk memimpin barisan Tionghoa. Di kemudian hari beliau menjadi pembantu Mukarto kepala Opium en Zoutregie (Jawatan Opium dan garam), di sana beliau sering ke singapura untuk menukar candu/opium dengan senjata yang kemudian di selundupkan ke Republik untuk memperkuat barisan perjuangan, Salah satu aksi terbesar yang di lakukan oleh Tony Wen adalah beliau ikut serta dalam perobekan bendera Belanda di Hotel Oranye (sekarang Hotel Majapahit, di kota Surabaya). Sejarah singkat rasialisme terhadap etnis Tionghoa di Indonesia Pada jaman penjajahan belanda suku cina di Indonesia di bagi menjadi dua yaitu : Kiau Seng (warga keturunan yang sudah melupakan budaya dan ajaran nenek moyang, karena sudah berbaur dan berasimilasi) -- Cina Benteng dan Hoa-Kiau yang merupakan perantauan yang datang ke Indonesia untuk melakukan perdagangan saja dan mereka masih menganggap bahwa mereka itu orang “cina”. Pada masa penjajahan Belanda status masyarakat di Indonesia akan di bedakan menjadi tiga golongan yaitu : 1. Lapisan atas : Golongan Eropa dan Indo (blasteran) 2. lapisan kedua : Golongan Timur Asing (Arab dan Cina) 3. Lapisan Ketiga/Terakhir : Golongan Pribumi. Berbeda dengan kelompok Arab, kelompok cina lebih susah untuk membaur dengan kelompok bumiputera. Hal ini di sebabkan oleh faktor agama, adat istiadat, status sosial dll. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan status sosial yang membuat masyarakat cina dan pribumi tidak bisa berbaur dengan baik, tidak seperti masyarakat Arab yang memiliki keyakinan sama sehingga lebih bisa berbaur dengan masyarakat Pribumi.
3
Maju ke tahun 1740 dimana pembantaian masyarakat Cina –Chineezenmoord- oleh pemerintahan kolonial Belanda, Hal ini di sebabkan oleh VOC yang menganggap bahwa orang cina di anggap sebagai pesaing paling berat dalam bidang ekonomi di Indonesia. Masyarakat Tionghoa Indonesia pada waktu itu menguasai hampir semua sektor dan aspek perdagangan di Indonesia. Tahun 1690- Pada jaman itu masyarakat pribumi dan Tionghoa masih terjalin dengan baik, masih banyak orang cina yang menduduki jabatan jabatan penting di kerajaan. Melihat hal tersebut VOC merasa di perlukan adanya pembatasan. VOC memberlakukan yang di namakan kapitan Tionghoa, dimana tugasnya adalah pencatatan para imigran cina yang datang semenjak tahun 1683. Dari sana VOC akan menyaring siapa yang boleh menjadi warga Batavia mana yang tidak boleh. Tahun 1706-VOC sedikit melonggarkan peraturan di mana kapal Tiong Hoa besar boleh mengangkut 100 penumpang dan kapal kecil membawa 50 penumpang, dengan biaya bagi kapal besar 1000 ringgit dan 500 ringgit untuk kapal kecil, dari situ mulai banyak lagi arus imigran cina ke Batavia. Tahun 1717-Pada masa pemerintahan Van Swol, arus imigrasi masyarakat cina ini bisa di hentikan dengan cara menurunkan harga teh dari pedagang Tiong Hoa. Tapi cara ini bagaikan pisau bermata dua karena cara ini merugikan VOC, karena tidak lagi mendapat pemasukan bea dari imigran Cina. Ledakan penduduk cina di antara rentan waktu tahun 1719 hingga 1739, Jika pada tahun 1719 tercatat hanya ada 7550 jiwa warga Tiong Hoa di Batavia pada tahun 1739 tercatat ada 10.574 jiwa. Hal ini menyebabkan banyaknya gangguan di masyarakat dan menimbulkan keresehan bagi VOC karena tidak semuanya masyarakat cina ini memiliki ketrampilan. Sehingga pada rentang waktu tahun 1727 hingga 1739, pemerintahan kolonialis belanda membuat peraturan untuk mendaftarkan mereka mereka yang mau hidup di Batavia, dan apabila tidak mendaftarkan akan di deportasi kembali ke asalnya, VOC juga melarang warga etnis cina untuk membuka tempat penginapan, pemadatan candu dan warung baik di dalam maupun di luar Batavia. Sistem izin menetap ini adalah salah satu cara VOC untuk memeras warga Cina. Sejak tahun 1739-1740 warga Etnis Tionghoa yang tinggal di Batavia berkali kali di suru membayar dan mengajukan izin menetap. Padahal menurut peraturan sebelumnya hanya membayar sekali seumur hidup. Pemerasan ini dan pungutan pungutan liar yang di lakukan Belanda ini adalah salah satu cara Belanda untuk menutup kerugian kerugian yang di alaminya. Situasi ini bertambah buruk karena para etnis cina yang ketakutan
4
memilih berpangku tangan di rumah dan dengan demikian perdagangan menjadi ambruk, Berita ini pun mulai menyebar di mana para etnis Tiong Hoa yang tidak memiliki surat izin tinggal akan di deportasi ke negeri asalnya atau di kirim ke Sri Lanka untuk di pekerjakan di sana; sedangkan kabar burung yang berhembus ke kalangan warga bumi putra adalah bahwa mereka akan di bunuh oleh warga etnis Tionghoa, perempuan akan di perkosa dan menjadikan mereka serta anaknya menjadi budak. Orang orang cina yang berada di perkampungan (di luar tembok kota Batavia) memulai menyusun rencana untuk melakukan perlawanan. Karena Belanda semakin beringas, main asal tangkap, penganiayaan dan menyita barang barang (yang di dasari salah tangkap, Belanda tidak bisa melakukan pembedaan mana yang sudah membayar dan mana yang belum). Tindak perlilaku kejam Belanda terhadap warga etnis Tionghoa Batavia kian menjadi ketika pada akhir tahun 1739 hingg awal tahun 1740 VOC melakukan penangkapan penangkapan terhadap etnis Tionghoa mulai dari bekasi hingga Tanjung Priok. Pada tahun 1740 bulan Februari Gubernur Jendral Valckneier mendapat laporan bahwa beberapa etnis Tionghoa yang bermaksud menyerang penjaga penjara untuk menyelamatkan teman sebangsanya yang di tahan. Melihat aksi ini Gubernur Jendral Valckeneier kemudian meresolusikan penangkapan terhadapa para etnis Tionghoa yang “di anggap” mencurigakan, dan juga bagi yang mereka tidak bisa membuktikan memiliki pekerjaan akan di buang ke Sri Lanka. Kekerasan yang di laksanakan belanda terhadap etnis Tionghoa semakin membuat para etnis cina ingin membalas perlakuan itu. Di lakukannya gerakan anti-Belanda yang semakin meningkat dan menarik banyak simpatisan. Pada akhir September 1740 sudah ada 1000 orang di pabrik gula Gandaria. Mereka berniat untuk melakukan perlawana terhadap VOC. Jumlah ini terus berkembang dari waktu ke waktu hingga sampai 5000 orang. Tetapi tidak di sangka ada orang yang berkhianat dan melaporkan kumpulan dan gerakan massa ini ke gubernur jendral. Pada bulan Oktober awal di mulai lah pembantaian oleh VOC terhadap para masyarakat cina. Pada hari kedua yaitu tanggal 10 oktober 1740, pembantaian itu bukan tambah mereda tapi malah semakin mengerikan. Gubernur Jendral Valckenier menginstruksikan penghabisan semua etnis tiong hoa yng tersisa, termasuk yang ada di penjara dan rumah sakit. Saat itu Valckenier menjanjikan hadiah 2 dukat per kepala warga etnis cina yang berhasil di pancung (pemberian hadiah ini, karena VOC tidak hanya mengerahkan para tentaranya tapi juga warga pribumi dan budak belian).
5
disadur dari berbagai sumber : 1. http://booklens.com/sam-setyautama/tokoh-tokoh-etnis-tionghoa-di-indonesia 2. http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia 3. http://psmti-pusat.org/id/tokoh/ 4. Tionghua dalam pusaran politik – Benny G. Setiono 5. Hoakiau di Indonesia – Pramoedya Ananta Toer
6