������� ��� Salam Persaudaraan Kisah yang ....................... 2) Antarkita .............................. (3) Penanggung Jawab: Br. Ag. Marjito Ketua Redaksi : Br. T. Totok Sekretaris Redaksi: Br. Y. Juadi Staf Redaksi: Br. Y. Krismanto, Br. R. Koencoro, Br. M. Sariya Giri, Br. Ag. Suparno Redaktur Pelaksana: Br. M. Sidharta Keuangan: Br. Ag. Suparno Alamat Redaksi: Jalan Kartini 9B Muntilan 56411 Email: komunikasifi
[email protected]. Telp. (0293) 587592 - Faks. (0293) 587362. Dicetak: Perc. PL Muntilan, Jl. Talun Km. 1, Muntilan 56411. Email:
[email protected].
Redaksi menerima sumbangan naskah dari pembaca.
Provinsial Menyapa Api yang ......................... (4) Tema Utama Bulir di Ladang ................ (5) Kisah-Kisah ..................... (8) Spiritualitas Bernardus dalam .......... (10) Keluarga Bruder Urip Kuwi ...................... (13) Komunitasiana Harga Sebutir ............... (15)
Untuk Kalangan Sendiri
Ruang Komisi Para Novis ..................... (17) Permenungan Pendiri Kami ................. (19) Dari yang Muda Tekun dan Setia ........... (21)
Keterangan Sampul: Lukisan (Alm) Br. Aristides, FIC tentang persiapan perayaan Kamis Putih di Kamp Interniran
Figur Dan Kerbaupun ........... (22) Mendidik dengan ......... (23) Si O-O ................................ (24) Serba -Serbi Berguru pada ............... (25) Hidup dalam ................ (27)
Edisi EdisiI Th. I Th.XLII XL April 2010 2009
1
������ ������������
Kisah yang Tak Pernah Kering Hidup menjadi sungguh hidup karena ada warna-warni kisah yang menyertainya. Dalam aneka warna peristiwa hidup itu seseorang mengalami dinamika kehidupan. Adakalanya ia mengalami indahnya kehidupan. Di lain waktu ia harus berjuang keras. Itu pun sering tidak cukup, kesakitan dan kepedihan hidup menuntutnya berbuat lebih. Hal itulah yang dapat kita temukan ketika kita menikmati lagi sejarah para Bruder FIC di Indonesia dalam rentang waktu 1920-1950an. Kisah hidup diawali dengan situasi yang tak terlalu menggembirakan. Semua hadir dalam kesederhanaan, bahkan keterbatasan. Namun lima Bruder pertama yang diutus ke Indonesia, juga para Bruder selanjutnya terbukti mampu membuat yang terbaik. Karya dan komunitas Bruder berkembang. Perkembangan mulai dari Yogyakarta, Muntilan, dan terus berkembang ke kota-kota lain. Sampai sebelum datangnya Jepang di Indonesia boleh dikatakan para Bruder mengalami masa-masa yang indah. Namun ketika Jepang datang, kondisi Indonesia kacau. Para Bruder sebagian besar diinternir. Kehidupan secepat kilat berubah. Kepedihan dan kesakitan adalah lagu harian. Bukan hanya hidup para Bruder yang dikacaukan, karya-karya yang sudah dimulaipun secara fisik dihancurkan. Untunglah para Bruder FIC sudah memiliki anggota Bruder asli Indonesia (pribumi). Mereka inilah yang memegang kendali dan terus menerbitkan semangat bagi para Bruder yang diinternir. Bantuan bagi para Bruder yang diinternir terus diupayakan. Begitulah mereka saling menopang kehidupan. Itu artinya mereka saling merawat panggilan. Ujung-ujungnya, begitulah cara mereka merawat kehidupan Kongregasi FIC. Perjuangan dan pengorbanan para Bruder pribumi tidak sia-sia. Selepas masa internir para Bruder kembali mengolah kehidupan. Karya-karya yang hancur kembali ditata. Semangat dan keprihatinan Kongregasi di bumi nusantara ini kembali diguratkan. Dari rangkaian peristiwa sejarah ini kita belajar bahwa setiap masa punya kisah. Di dalamnya ada tantangan yang terbungkus oleh kehancuran dan kekacauan kehidupan. Ketika realitas kehidupan yang tidak ideal itu dihadapi, muncullah tokohtokoh yang terus menggulirkan kehidupan. Barangkali, dengan kesadaran demikian kita boleh terus berharap ketika kita mengalami kehidupan yang tidak ideal. Pasti ada jalan untuk keluar dari kesulitan. Pasti ada tokoh yang mampu menggulirkan kehidupan. Tokoh itu bisa Anda, bisa juga yang lain. (SS)
ra Sauda 2
Edisi I Th. XLII April 2010
FIC
��������� UNDANGAN SELEKSI CALON BRUDER FIC Para Bruder FIC akan mengadakan tes seleksi calon Bruder. Kegiatan ini akan diadakan pada: Hari/tanggal : Jumat-Minggu (28-30 Mei 2010), mulai pk 16.00selesai Tempat : Postulat FIC, Jl. Kartini 9B Muntilan. Kontak : Postulat FIC pada tlp (0293) 587592, dan Br. F.A. Agus Sekti pada HP 081 328 643 703. Persyaratan yang dibutuhkan: a. Fotocopy ijazah terakhir (minimal SMA/SMK). b. Fotocopy surat baptis yang dilegalisir otoritas gereja setempat. c. Surat keterangan dari pastor paroki. d. Surat keterangan dari orangtua. e. Pasfoto diri terbaru ukuran 4X6 sebanyak 6 lembar. f. Bagi mereka yang tahun ini duduk di kelas tiga SMA/SMK perlu meminta surat keterangan dari kepala sekolah yang bersangkutan. Terkait hal ini, kami berharap para pembaca KOMUNIKASI berkenan menyebarluaskan undangan kami ini kepada para pemuda Katolik yang berkehendak bergabung dengan Kongregasi FIC. Terimakasih.
Redaksi KOMUNIKASI turut bersyukur atas pengalaman oase program Spiritual Journey di Belanda, yang dialami Br. Yoh. Krismanto dan Br. Martinus S Giri, serta para peserta lain. Agaknya banyak pengalaman dan buah-buah rohani yang didapatkan. Semoga hidup panggilan para Bruder makin disuburkan. Dan dapat semakin bersemangat dalam kerasulan. Redaksi KOMUNIKASI mengucapkan selamat kepada Br. Yohanes Wiryasumarta yang telah mampu menuliskan autobiografinya. Kami banyak belajar dari ketekunan Bruder. Juga kesetiaan untuk menulis. Semoga semakin banyak Bruder kita yang tergerak untuk mau menulis. Juga di majalah kita ini, majalah KOMUNIKASI. Kami yakin, sharing hidup Bruder dalam buku autobiografi itu memberi inspirasi bagi siapa saja yang membacanya.
Edisi II Th. XLII Juni 2010
Benih yang Ditabur Tumbuh Subur
Edisi I Th. XLII April 2010
3
����������� �������
Api yang Terus Menyala Peristiwa sejarah tak pernah terulang. Namun semangat yang menyertainya bisa terus mewarnai kehidupan selanjutnya. Kira-kira begitulah yang kita alami ketika kembali menekuni sejarah para Bruder FIC di Indonesia. Setelah beberapa kali tidak mengabulkan permintaan hadirnya FIC di Hindia Belanda, akhirnya Br. Bertholdus yang waktu itu menjabat sebagai Pemimpin Umum mengutus kelima Bruder untuk memulai karya misi di Hindia Belanda. Seperti yang kini kita temukan dalam Konstitusi artikel 19, keputusan itu menjadi tradisi bagi kehidupan FIC hingga hari ini. “Suatu tradisi yang berharga dalam kongregasi yaitu kesediaan untuk menolong membangun dunia yang lebih layak bagi manusia di luar tanah air sendiri.” Dari buku Donum Desursum yang ditulis Br. Joachim van der Linden kita bisa menemukan kisah perjuangan para Bruder di Hindia Belanda. Kelima Bruder yang pertama diutus itu meninggalkan bangsa dan kebudayaan mereka sendiri untuk menyebarkan Kabar Gembira dengan perkataan dan perbuatan di Negara lain, di Hindia Belanda, yang kini bernama Indonesia. Di negeri ini mereka mewujudnyatakan Kerajaan Allah. Masih dari buku tulisan Br. Joachim itu, kita juga dapat merasakan dinamika hidup dan perjuangan para Bruder. Agaknya mereka banyak mengalami situasi hidup yang tidak mudah. Khususnya pada masa penjajahan Jepang. Hidup sehari-hari tibatiba menjadi sulit. Karya-karya yang sudah dibangun hancur diporak-porandakan. Namun para Bruder terbukti menunjukkan kualitasnya. Mereka mewujudkan apa yang kini kita temukan dalam Konstitusi artikel 15. Di sana diungkapkan,”Sebagai Bruder, kita menyadari bahwa kita dipanggil dan diutus bersama untuk ikut serta dalam karya Yesus. Ia berkeliling sambil berbuat baik. Ia memberikan kesaksian mengenai kebenaran. Ia datang untuk melayani. Ia datang untuk menyelamatkan, dan Ia membawa amanat yang membebaskan, yaitu amanat Kerajaan Allah, amanat cinta kasih. Ia mengundang kita untuk menyerahkan diri bagi pelayanan Kerajaan Allah.” Dalam kesadaran perutusan bersama itulah, kesulitan dan tantangan dapat diatasi. Ketika sejumlah Bruder Belanda ditawan Jepang, para Bruder pribumi menggantikan posisi mereka. Paling tidak, pelayanan dan perhatian mereka untuk para Bruder di kamp-kamp internir terus menyuntikkan semangat hidup, hingga para Bruder mampu terus berharap. Sampai di sini kita bisa belajar, hidup sebagai Bruder adalah sebuah perutusan bersama. Panggilan ini tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bersama para Bruder yang lain, dalam keluarga besar Kongregasi FIC. Dukungan dan perhatian bagi sesama Bruder adalah hal hakiki dalam merawat panggilan kita. Lebih dari itu, ketika panggilan setiap Bruder terawat dengan baik, bolehlah kita berharap dapat merasul dengan baik juga. Dengan begitu Kerajaan Allah terus diwartakan dan diwujudnyatakan. Begitulah cara kita terus menyalakan api kehidupan Kongregasi kita.
4
Edisi I Th. XLII April 2010
����� �����
Bulir di Ladang yang Gersang Adakah kehidupan yang lahir dan hadir tanpa kesakitan? Atau kesakitan itu menjadi keniscayaan bagi hadirnya kehidupan? Pertanyaan ini rasanya pantas dilontarkan ketika kita menikmati lagi sejarah awal hadirnya FIC di Indonesia sampai sekitar tahun 1945. Bruder Joachim van der Linden menulis dengan bagus peziarahan FIC pada masamasa itu. Kita bisa membacanya dalam buku Donum Desursum. Pada buku itu kita bisa mencecap perjuangan, kegelisahan, bahkan kepedihan yang menyertai hadirnya FIC di bumi pertiwi ini. Setelah berulangkali misi di Hindia Belanda mengajukan permohonan kepada FIC untuk hadir di Hindia Belanda, akhirnya pada 24 Desember 1919 Br. Bertholdus yang menjabat Pemimpin Umum memutuskan untuk mengutus sejumlah Bruder ke tanah misi di Hindia Belanda. Sesungguhnya ada banyak Bruder yang menyediakan diri untuk diutus ke tanah misi. Dari 350 Bruder pada waktu itu,
ada 113 Bruder yang menyediakan diri untuk diutus ke Hindia Belanda. Namun akhirnya hanya lima Bruder yang dipilih dan diutus ke tanah misi. Hal ini diumumkan pada Pesta Paskah 1920. Mereka yang diutus adalah Br. August, Lebuinus, Eufrasius, Constantius, dan Ivo. Kelima Bruder ini akan berangkat ke Jawa pada bulan Agustus tahun itu. Para Bruder FIC datang ke Hindia Belanda dengan misi tegas, datang dan berkarya untuk orang-orang pribumi. Tentu ini bukan sembarang sikap dan sembarang pilihan. Pada waktu itu, orang-orang pribumi praktis tidak mendapat kesempatan hidup yang bermartabat. Orang-orang Belanda memandang diri lebih bermartabat dan berbudaya ketimbang orang-orang pribumi. Hal inilah yang sempat membuat romo van Lith meradang dan melabrak Dewan Rakyat di Belanda. Belajar dari sejarah semacam itu, tak berlebihan kalau saat ini kita memandang kehadiran FIC di Indonesia untuk mereka
Edisi I Th. XLII April 2010
5
yang lemah, miskin, dan terlantar. Baik mereka yang terlantar karena keterbatasan materi, maupun yang terlantar karena sistem sosial waktu itu. Agaknya tatanan sosial waktu itu lebih memihak dan menguntungkan orang-orang Belanda. Kalau demikian, kedatangan FIC di Indonesia adalah sebuah pilihan bebas dan sadar untuk hadir dalam realitas kehidupan yang tidak ideal. FIC datang untuk hidup bersama kemelaratan, keterabaian, kemiskinan kehidupan. Selanjutnya FIC hendak menggeliat, sembari terus berupaya mengajak sesamanya (baca: orang-orang pribumi) juga menggeliat. Hingga pada saatnya para Bruder berharap orang-orang pribumi mampu melompat dan berteriak keras mengabarkan martabat hidupnya. Situasi yang tak ideal Hal-hal di atas adalah sebuah idealisme indah. Namun kita tahu, untuk mewujudkan idealisme itu bukanlah sebuah kisah yang indah nan romantis. Kelima Bruder yang datang di Jogyakarta harus tinggal di sebuah rumah usang, bekas kantor pabrik besi. “Sesudah apa yang kami dengar tentang rumah kami, maka tidak begitu mengecewakan,” tulis Br. August tentang kesannya setelah melihat kondisi rumah baru mereka di Jogyakarta. Kita bisa mencecap kegalauan perasaan kelima Bruder kita. Nadanya kurang menunjukkan perasaan gembira. Namun sejarah menunjukkan, mereka tidak patah arang. Para Bruder sanggup menanggung situasi hidup yang tidak ideal tersebut. Barangkali, di jaman kita sekarang ini, pantaslah kita mensyukuri perjuangan hidup kelima Bruder itu. Mereka adalah benih awal FIC di bumi pertiwi ini. Kalau saja mereka memutuskan pulang, atau selalu mengirimkan kabar tanpa harapan ke Belanda, barangkali FIC tak banyak menyejarah di nusantara ini. 6
Edisi I Th. XLII April 2010
Kesediaan para Bruder awal di nusantara ini adalah persembahan hidup yang harum semerbak bagi kehidupan FIC di Indonesia. Mereka membuat jejak-jejak awal. Jejak yang berkarakter. Jejak yang dibangun tanpa menghiraukan kesakitan diri. Jejak yang digulirkan dalam tatapan pandang yang tegas ke depan. Dalam pergulatan yang mengagumkan itu FIC terus berkembang di nusantara ini. Bocah-bocah Jawa yang masih bertelanjang kaki dan bersarung itu terus mendapat pendampingan yang terbaik dari tangan-tangan para Bruder FIC. Sekolahsekolah terus dibangun. Komunitas para Bruderpun terus bermunculan. Mulai dari Jogyakarta, lalu Muntilan, Solo, Ambarawa, juga Semarang. Benih itu terus tumbuh, mengakar, dan bercabangcabang. Ia menjadi demikian rimbun, bahkan berbuah. Embun di tanah gersang Ketika kehidupan FIC begitu semarak, kehidupan sosial politik tak selalu memberi ruang dan saat yang baik. Kekalahan Belanda atas Jepang telah membuat situasi hidup yang sudah tertata dan dinamis diporak-porandakan. Kita dapat mencecapnya dalam catatan-catatan Br. Timotheus dan Br. Petrus Claver yang dibukukan dalam buku berjudul Membawa Barang ke Kesilir. Waktu itu sekitar Natal di tahun 1942. Hampir semua Bruder Belanda diinternir oleh Jepang. Mereka yang diinternir dibawa ke kamp-kamp. Kehidupan di kamp-kamp begitu menyedihkan. Makanan amat kurang. Fasilitas hiduppun jauh dari layak. Pendek kata, kehidupan para Bruder begitu menyedihkan. Untunglah pada waktu itu FIC telah melahirkan para Bruder pribumi. Mereka adalah Br. Aloysius Soegihardjo, Timotheus Wignjosoebroto, Petrus Claver Atmosoejitno, Mario Hardabudja, dan
Johanes de Deo Wangsadimedja. Para Bruder pribumi inilah yang menjadi “penyelamat” kehidupan para Bruder dan kelangsungan FIC di Indonesia. Dari luar kamp, para Bruder sedapat mungkin meringankan beban hidup para Bruder yang diinternir. Pada bulan September 1942 dan April 1943, Br. Timotheus pergi ke Kesilir sebanyak tiga kali. Beliau membawa barang-barang untuk para Bruder yang diinternir di tempat itu. Kesempatan lain beliau pergi bersama Br. Petrus Claver. Mereka berdua menempuh perjalanan dengan naik kereta api. Rute yang ditempuh mulai dari Solo – Madiun – Surabaya – Bangil – Probolinggo – Klakah – Jember – Ragajampi – Benculuk. Dari Benculuk mereka harus menumpang angkutan lain untuk sampai di Kesilir. Biasanya mereka ikut angkutan truk. Kisah sejarah semacam ini menuturkan kepada kita bahwa setiap masa membawa kisah. Bersama kisah itu lahirlah para tokoh. Dari pergulatan tokoh pada kisahnya tercecaplah sebuah kualitas kehidupan. Kualitas kehidupan semacam itu rasanya pantas disyukuri. Maka, di tahun Jubelium ini, pantaslah kita bersyukur atas sejarah hidup FIC di Indonesia. Kita syukuri perjuangan tulus
para Bruder pendahulu yang hadir di nusantara ini. Mereka adalah pribadipribadi yang teguh dalam komitmen untuk memberdayakan orang-orang pribumi. Terbukti tak butuh waktu lama untuk menerima orang-orang pribumi hingga diterima sebagai sesama anggota Kongregasi. Artinya, para Bruder sungguh-sungguh melahirkan semangat pluralisme yang mengakar dalam konteks keindonesiaan di bumi nusantara ini. Kita juga bersyukur atas keberanian para Bruder pribumi awal. Mereka terbukti menunjukkan kualitas dan karakternya. Kesediaan dan kepedulian mereka membantu para Bruder di interniran, serta keberanian mereka merawat Bruderan yang ditinggalkan para Bruder Belanda adalah kualitas yang mengagumkan. Mereka hadir pada saat yang tepat, dengan kualitas yang akurat. Dalam kenyataan ini, tak berlebihan kalau kita memahami realitas ini sebagai pengejawantahan guratan Tuhan atas kehidupan FIC di Indonesia. Dalam tanah yang gersang oleh kesulitan dan penderitaan, selalu hadir embun dalam rupa ketekunan, kesetiakawanan, solidaritas, dan tanggungjawab untuk merawat kehidupan. Disarikan dari buku Donum Desersum (hlm. 3-114) dan Membawa Barang ke Kesilir (hlm. 1-7)
Edisi I Th. XLII April 2010
7
Kisah-Kisah Seputar Tahun 1950an Tahun 1951 merupakan tahun penting untuk Surakarta. Telah cukup lama warga Katolik di kota Surakarta meminta para Bruder FIC untuk memulai SMA Katolik di Surakarta. Mereka sering bertanya, mengapa Surakarta dipandang tak setaraf dengan Jogyakarta dan Semarang yang telah memiliki SMA? Dengan bijaksana Br. Antherus (menjabat Bruder Superior) menggali informasi dari umat dan pejabat Gereja. Akhirnya diputuskan bahwa FIC akan memulai SMA di Surakarta. Bekas gedung HCS di Keprabon, Jl. Slamet Riyadi dipilih menjadi tempat SMA Katolik itu. Nama SMA itu SMA St. Yosef. Untuk mengelola SMA St. Yosef, dipercayakan pada Br. Bonifacio Renders. Sebelumnya ia bertugas di Ambarawa. Bruder lain yang ditugasi untuk membantu adalah Br. Armando Verhagen yang sebelumnya bertugas di SGA Don Bosco Semarang. Awal SMA St. Yosef kurang menggembirakan. Banyak yang mendaftarkan ke SMA St. Yosef, namun banyak juga yang mengundurkan diri untuk menjadi siswa ketika mereka mendapat panggilan untuk belajar di sekolah negeri. Bruder Bonifacio sadar betul kondisi ini. Rakyat masih meragukan sekolah baru ini. Karenanya, ia berusaha keras untuk membuktikan kelayakan sekolah itu. Demi kualitas, SMA St. Yosef segera berbenah. Pertama-tama dengan mendatangkan tenaga pengajar yang mumpuni. Br. Bonifacio tentu yang pertama. Ia mempunyai sejumlah ijazah. Daya ingatnya juga luarbiasa. Ia dapat 8
Edisi I Th. XLII April 2010
mencerna segala data dan mengolahnya hingga merumuskan aksi yang akurat bagi pengembangan SMA St. Yosef. Selanjutnya untuk SMA St. Yosef didatangkan Br. Goswin yang mumpuni di bidang Ilmu Pasti. Untuk pengajaran Kimia dan Ilmu Alam didatangkan si cerdas Br. Honoratus Knaapen. Tak heran kalau prestasi pelajaran Ilmu Alam dan Kimia di SMA St. Yosef begitu berkualitas. Itu belum cukup, Br. Seraphion ikut bergabung untuk mengajar Bahasa Inggris. Bruder Seraphion memang ahlinya dalam pengajaran Bahasa Inggris. Begitulah awal mula SMA St. Yosef Surakarta. Sekolah itu seperti digelontor tenaga-tenaga pengajar handal. Bolehlah dikatakan, sekolah itu digelontor tenaga pengajar bertaraf internasional. Tak heran kalau lulusan pertama sekolah itu membuat decak kagum wong Solo. Maka tahun-tahun berikutnya jumlah pendaftar meningkat dengan drastis. Ini kisah yang lain. Pada tanggal 20 Juli 1950 para Bruder FIC memutuskan untuk kembali masuk Muntilan. Situasi rumah tempat tinggal para Bruder belumlah ideal. Namun Br. August, Landoald, Albrecht, dan Gaudinus telah bersedia memulai lagi karya di Muntilan. Bruder Landoald mulai bekerja di SMP Kanisius. Bruder Albrecht bertugas di SGB. Sementara Br. August mengurusi rumah tangga dan memberi laporan penting ke redaksi majalah “Uit Eigen Kring”. Bulan Juli tahun 1952 merupakan tahun penting untuk karya para Bruder
di Muntilan. Pada saat itu Serikat Yesus memutuskan untuk menyerahkan SGB ke pengelolaan para Bruder FIC. Selanjutnya, demi meningkatkan mutu, sejumlah Bruder yang handal dikirim untuk memperkuat karya di Muntilan. Mereka adalah Br. Landoald, Albrecht, Guntram, Regidius, Eucherius, Eustasius, Constantio, Gaudinus, Odulpho. Sementara itu, Br. Gonzalvus ikut terlibat untuk memberi perawatan dan urusan ekonomi. Dengan kerja keras para Bruder, SGB Muntilan menjadi sekolah yang bermutu. SGB Muntilan tak hanya menjadi berkah bagi kehidupan di Nusantara ini. Tetapi juga bagi Kongregasi, dengan masuknya para lulusan SGB untuk menjadi Bruder. Agaknya SGB Muntilan ada di tempat yang tepat untuk menumbuhkan panggilan. Para murid adalah orang-orang muda desa yang sederhana. Perjumpaan mereka dengan para postulan dan novis di gereja memberi inspirasi bagi mereka untuk menjadi Bruder. Sekarang kita menikmati kisah-kisah itu dengan decak kagum. Kerja keras dan semangat yang membara pada para Bruder begitu mengagumkan. Dari kisahkisah itu kita bisa merasakan sikap para Bruder yang teguh memandang ke depan, menyongsong sebuah masa dengan penuh harapan dan keyakinan. Namun, situasi semacam itu barangkali sulit dibayangkan pada realitas seputar tahun 1945. Saat itu banyak Bruder diinternir. Kehidupan mereka begitu sulit. Tubuh mereka seperti diremuk oleh kondisi hidup yang amat buruk. Bersama dengan itu, tentulah jiwa yang dikandung badan juga ikut diredupkan. Kehancuran bukan hanya dialami dalam tubuh. Gedung-gedung dan aneka fasilitas yang sudah dibangun sejak pertama kali datang di Indonesia ikut dihancurkan. Kekacauan politik yang melahirkan gejolak sosial menciptakan aksi sosial brutal. Banyak rumah Bruderan dijarah. Semua porak poranda. Nyaris tak ada
yang tersisa dari kerja keras sejak tahun 1920. Mengingat konteks realitas semacam itu, tak berlebihan kalau kita kian kagum dengan semangat juang para Bruder. Kita juga dapat belajar tentang daya juang, spirit tak mau cepat kalah dan menyerah. Kesakitan dan kegetiran hidup tak serta merta menghancurkan seluruh bangunan jiwa para Bruder. Barangkali juga bersama dengan menata bangunan yang hancur dan porak poranda itu, para Bruder juga kembali menata bangunan jiwanya. Kalau memang demikian yang terjadi, kehidupan panggilan itu tergurat dalam guliran hidup keseharian. Ketika para Bruder kembali menata batu bata satu demi satu, menempatkan lagi daun-daun pintu serta jendela yang hilang dijarah orang, para Bruder juga kembali menekuni pergulatan jiwanya. Barangkali dalam cara semacam itu panggilan mereka dikokohkan. Energi perjuangan terus dipancarkan. Akhirnya, dari pergulatan hidup para Bruder dalam rentang waktu 1920-1950 kita dapat menikmati aneka karunia sejarah FIC di Indonesia. FIC Indonesia dibangun dari situasi yang sangat tidak ideal. Tak ubahnya saat awal Kongregasi ini dilahirkan di kota Maastricht. Ketika kehidupan para Bruder mulai tertata, krisis sosial politik meningkahi, menghancurkan bangunan yang mulai tampak semarak. Tentu ini menjengkelkan. Namun, justru dari segala kesulitan dan kepedihan itu, para Bruder seperti tertantang untuk terus bergerak, berbuat, dan memaknai kehidupan. Para Bruder tidak tenggelam dalam duka dan nestapa. Barangkali dari realitas ini kita bisa mencecap spirit hidup para Bruder. Mereka senantiasa terarah untuk sesuatu yang lebih baik, hingga mencapai yang terbaik.
Edisi I Th. XLII April 2010
9
�������������
Bernardus dalam Bayang-Bayang Vincentius “Apa yang asli dari semangat Bernardus?” tanya seorang Frater pagi itu. Itu sebuah pertanyaan yang bagus. Namun sejujurnya pertanyaan itu sangat menyulitkan. Karena, setelah Kapitel Umum 2006 di Belanda itu, memang terasa sulit untuk menentukan mana semangat asli Bernardus, pendiri Kongregasi FIC. Kapitel Umum 2006 itu telah menemukan semangat asli Kongregasi, yaitu bersumber pada semangat Vincentius a Paulo. Atau setidaknya sekarang kita lebih mudah mengatakan, fakta persentuhan dengan semangat Vincentius a Paulo pada Bernardus (juga Rutten) tak bisa ditepiskan. Beberapa pertimbangan baru Barangkali inilah sulitnya kalau Kongregasi didirikan oleh seseorang yang tidak memiliki latarbelakang pendidikan religius yang jelas sejak awal. Bernardus muda berasal dari keluarga cukup baik. Setidaknya itu ditandakan dengan semua anak dalam keluarga itu menjadi religius. Anak laki-laki menjadi Yesuit, dan anak perempuan menjadi Suster Karmelit. Si bungsu, Bernardus menjadi Bruder FIC. Namun Bernardus ini cuma lulusan SD. Saat memutuskan mengikuti proyek Rutten ia tak punya banyak pengetahuan tentang hidup religius. Artinya, Bernardus memasuki hidup sebagai religius, juga ketika memulai Kongregasi FIC (praktis) 10
Edisi I Th. XLII April 2010
tanpa bekal hidup religius apapun. Satu-satunya bekal awal dan utama yang didapat ia peroleh dari para Bruder Caritas. Rutten menitipkan Bernardus di Novisiat Caritas. Itulah pengetahuan pertama, torehan awal, inspirasi pertama tentang hidup religius. Di sinilah ungkapan Bernardus tak bisa ditepiskan dari pengaruh Vincentius a Paulo tak bisa dielakkan. Karena spiritualitas para Bruder Caritas adalah spiritualitas Vincentian. Dan dari para Bruder Caritas itu juga Bernardus mulai menggelindingkan roda Kongregasi FIC. Dengan demikian, bisa dimengerti kalau akhirnya FIC, khususnya dalam Kapitel Umum 2006 dengan mantap menyatakan bahwa FIC (yang dilahirkan oleh Bernardus dan Rutten) memiliki semangat asli Vincentian. Semangat santo Vincentius adalah semangat yang sejatinya dihidupi Bernardus, dan selanjutnya para Bruder FIC. Hingga hari ini. Dalam pemahaman seperti di atas, sesungguhnya jawaban seorang Frater di awal tulisan ini sangat mudah. Tak ada yang asli pada semangat Bernardus. Bernardus cuma menterjemahkan, menyusu, melanjutkan semangat Vincentian yang didapatnya saat menjalani masa Novisiat di Bruderan Caritas. Apalagi ketika ia harus membentuk sebuah aturan hidup, tentu dengan terbatasnya pengetahuan dan tak adanya kesempatan, Bernardus “mencontek” aturan hidup para Bruder Caritas yang disemangati spiritualitas Vincentius.
juga di saat kedua Kongregasi ini dilahirkan. Hal lain, tentu para pendiri FIC dan CB hidup dalam kondisi sosial-budaya-religius yang sama. Yang menarik, hari-hari ini CB tidak lagi menegaskan kehadiran Vincentian dalam denyut kehidupannya. Sementara FIC justru menegaskan kembali untuk kembali ke semangat Vincentian yang dipandang semangat semangat asli pendiri. Fakta lain yang menarik juga adalah, CB yang pada awalnya mengajukan nama berlabelkan “Suster Putri santo Vincentius” rela berganti nama menjadi para Suster Carolus Boromeus.
Hanya saja, jawaban terakhir ini ternyata tak cukup bagi Frater itu. Ia bertanya lagi, “Kalau demikian, mengapa kita masih harus menggali semangat Bernardus, juga Rutten?” Ini pertanyaan yang bagus juga, meski sejujurnya sangat sulit untuk menjawabnya. Sekedar membandingkan Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan Frater itu, barangkali baik kalau kita belajar dari pengalaman tarekat lain. Pertama, kita belajar dari para Suster CB. Tarekat ini didirikan di Maastricht juga pada tahun 1837. Biara induk CB ada dalam satu kompleks dengan biara induk FIC di Maastricht. Dari data ini kita dapat mengatakan, pastilah FIC dan CB lahir dalam kondisi sosial, ekonomi, budaya, politis, serta religius yang sama. Mungkin juga (bahkan bisa jadi pasti) FIC dan CB memiliki keprihatinan yang sama
Atas fakta itu, seorang Bruder FIC pernah berargumen. CB bisa melepas Vincentius karena pendiri mereka tidak pernah mengalami hidup langsung dalam tarekat yang bersemangatkan Vincentian. Sementara FIC, faktanya Bernardus memulai hidup religius serta mengawali lahirnya Kongregasi dalam semangat Vincentian yang diperolehnya di Novisiat Bruder Caritas. Maka, FIC tak bisa melepas Vincentius. Cetakan awal FIC adalah cetakan yang diwarnai semangat santo Vincentius. Barangkali memang jawaban Bruder ini benar. Namun tetap saja kita boleh bertanya, mengapa CB bisa meninggalkan semangat Vincentius? Bukankah Kongregasi mereka lahir dalam kepungan semangat Vincentian yang kental di Maastricht waktu itu? Memang mereka tidak bersentuhan secara fisik dengan komunitas religius Vincentian, namun tidakkah gagasan-gagasan Vincentian tetap mewarnai kesadaran dan ekspresi
Edisi I Th. XLII April 2010
11
iman pendiri mereka? Apakah bapa rohani mereka tidak juga disemangati spirit Vincentian seperti yang dialami Rutten dan Bernardus? Kedua, kita bisa juga belajar dari Suster Teresa dari Calcuta. Kita tahu, sebelum hidup bersama orang miskin, Sr. Teresa adalah anggota tarekat para Suster Loreto. Mungkin kita bisa mencari informasi, apakah tarekat Suster Cinta Kasih dari Calcuta ini juga bersikap seperti FIC? Tak ada yang asli pada tarekat yang didirikan Sr. Teresa ini, lebih-lebih pada spiritualitas pendiri mereka. Sebab, faktanya Sr. Teresa telah menjalani hidup dan menghidupi semangat para Suster di Loreto itu. Pastilah, seperti sikap para Bruder FIC terhadap Bernardus, ekspresi iman Sr. Teresa juga diwarnai atau bahkan menterjemahkan semangat yang dihidupi oleh para Suster Loreto. Terlalu gegabahkah kita kalau kita mengatakan spiritualitas Sr. Teresa yang asli adalah spiritualitas yang dihidupi para Suster Loreto itu? Anehnya, Gereja dan semua orang melihat Sr. Teresa dari Calcuta ini memiliki spiritualitasnya sendiri. Ini sungguh aneh. Mungkinkah Gereja atau setidaknya sejumput umat telah keblinger plus amat sangat ceroboh? Agaknya Gereja dan banyak orang tidak mempelajari sejarah spiritualitas Sr. Teresa dengan utuh dan komprehensif. Bagaimanapun juga, spiritualitas yang didapat Sr. Teresa selama hidup bersama para Suster Loreta telah menjadi bagian jiwanya. Spiritualitas Suster Loreto itu adalah cetakan awal, pijakan pertama spiritualitas Sr. Teresa. Jadi, mestinya tak berlebihan (dengan belajar dari para Bruder FIC) kalau kita mengatakan bahwa tak ada semangat asli pada Sr. Teresa.
12
Edisi I Th. XLII April 2010
Belum selesai Bagi para Bruder, khususnya yang langsung terlibat dalam Kapitel Umum 2006, spiritualitas FIC sudah jelas dan mantap. Tak ada lagi yang perlu didiskusikan dan diulas. Hal ini dibuktikan, sekaligus dikukuhkan dengan masuknya artikel tambahan bertemakan Vincentius a Paulo dalam Konstitusi. Pergulatan yang dialami oleh para Bruder tentang peran dan dinamika spiritualitas asli FIC (semangat santo Vincentius a Paulo) barangkali hanya karena kekurangtahuannya saja. Pergulatan itu juga mesti dipahami dalam konteks proses hidup para Bruder dalam Kongregasi FIC. Saat mereka masuk sebagai Postulan, mereka tak dikenalkan dengan semangat santo Vincentius. Padahal itulah semangat asli Kongregasi FIC. Maka, ketika tiba-tiba harus menghidupi semangat Kongregasi FIC yang asli – yaitu semangat Vincentius, mereka butuh waktu. Nah, barangkali hanya butuh waktu. Dalam bergulirnya waktu ini, mungkin akan lebih membantu bila para Bruder seperti kembali dibina lagi dengan lebih intensif tentang semangat Vincentian yang merupakan semangat asli Kongregasi FIC. Buku-buku spiritualitas Vincentius dan penuturan sejarah Kongregasi yang tidak lagi menitikberatkan pada kiprah RuttenBernardus semata rasanya akan sangat membantu para Bruder untuk segera menjadi Bruder FIC yang sejati, Bruder FIC yang menghidupi semangat aslinya yaitu semangat santo Vincentius a Paulo. Dalam cara semacam itu, guliran pergulatan yang kadang tak mudah ini akan segera cepat berlalu. Dan para Bruder tidak perlu lagi bertanya konyol,”Adakah yang asli pada semangat dan spiritualitas Bernardus?” Semoga. Oleh Br. Sidharta tinggal di komunitas Muntilan
��������� ������ �������� Kel. Bpk. Ignatius Sumorejo
Urip Kuwi Tansah Sing Sabar Lan Setio! N
aik..naik ke puncak gunung...,sepotong bait lagu riang gembira itu cocok untuk menggambarkan kegiatan kami pada 11 Maret 2010. Semburat sinar matahari pagi berwarna kuning keemasan mewarnai perjalanan kami dan luasnya rongga bumi. Semua keringat dan peluh Bruder Muda Regio Yogyakarta dan KOMUNIKASI terurai luntur kedalam ibu pertiwi. Perjalanan itu akhirnya menjadi untaian makna dalam kehidupan kami. Pagi itu, KOMUNIKASI FIC dan Bruder Muda regio Yogyakarta memacu kendaraan ke arah puncak perbukitan Menoreh. Kami begitu bersemangat. Terpancar sejuta senyum untuk berbagi berkat dan kasih di masa Paskah. Suasana alam pegunungan begitu indah. Alam pegunungan Menoreh menggoreskan perasaan kagum yang begitu mendalam. Sesekali mata kami menyapu pandangan ke
bukit-bukit yang dihiasi nuansa alam pedesaan yang masih murni. Udara yang disibakkan oleh daun-daun kelapa dan aneka pepohonan membuat kami ingin belama-lama dalam perjalanan. Melepaskan kepenatan hidup di kota bersatu dan akrab dengan alam. Berada di puncak pegunungan, menyadarkan seseorang untuk berani mengakui sebagai ciptaaan yang kecil. Dia sang Pencipta begitu Agung. Ciptaan-Nya tumbuh dan berkembang hingga boleh kami cecap dan nikmati pada setiap saat. Jalan berliku dan labirin sedikit menghambat perjalanan laju kendaraan mobil yang kami tumpangi. Melalui perjalanan panjang, karena kesasar ke tempat yang semakin memisahkan kami dengan tujuan, akhirnya KOMUNIKASI FIC dan rombongan sampailah di desa Ponces, Girimulyo, Kulon Progo Nanggulan. Rasa lega dan senang berbinar di raut wajah kami.
Edisi I Th. XLII April 2010
13
Kami memarkir mobil di halaman rumah salah seorang keluarga Bruder FIC yang saat ini bertugas di Jakarta. Awalnya, rumah itu tampak sepi. Begitu tahu kami datang, dan mengatakan Bruder FIC, kami disambut dengan senyum ramah penuh persaudaraan. Di teras rumahnya yang beralaskan keramik mengkilap dan bersih, KOMUNIKASI FIC dan rombongan memperkenalkan diri. Kami ditemui oleh bapak Ignatius Sumorejo dan ibu Veronika Sakiyem. Mereka adalah orang tua dari Br. Agustinus Giwal Santoso FIC. “Panggil saja mbah Sumo...ya nak! Cucu saya sudah enambelas!” pintanya sambil berkelakar. Dari penuturan mbah Sumo, Br. Giwal adalah anak keenam dari sepuluh bersaudara. Beliau mengaku bangga karena ada dua orang anaknya yang terpanggil menjadi biarawan. Bagi mbah Sumo, panggilan itu merupakan anugerah. Panggilan hidup sebagai religius dialami sebagai wujud persembahan dalam devosinya kepada Bunda Maria. Kini mbah Sumo telah berusia 77 tahun. Namun beliau masih rajin beraktifitas. Hari-harinya diisi dengan berkebun dan memelihara ikan lele. ”Untuk sambilan orang desa Der,” seloroh mbah Sumo bangga. Mbah Sumo berharap agar para Bruder tetap setia dalam menghidupi panggilan hidupnya. Beliau sedih setiap kali mendengar ada biarawan yang meninggalkan panggilan hidupnya. “Urip kuwi kudu sing tansah setia lan sabar (hidup itu harus setia dan sabar),“ imbuhnya dalam Bahasa Jawa yang kental. ”Kesabaran akan mampu menghalau rintangan yang datang menghempas kita. Namun kita harus berani menghadapinya,” tuturnya penuh
14
Edisi I Th. XLII April 2010
semangat. Perbincangan KOMUNIKASI FIC dengan keluarga mbah Sumo begitu asyik. Tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Sejenak KOMUNIKASI FIC dan rombongan mohon pamit dan meminta doa untuk kami yang masih muda. Kami dihantar dengan senyum penuh persahabatan oleh keluarga besar mbah Sumorejo. Ada rasa syukur di hati kami. Perjumpaan itu membawa berkah persaudaraan dan kitapun terasa semakin bersaudara. Dengan doa-doa dari keluarga Bruder, kami berusaha memancarkan fajar kesetian dalam menjalani panggilan sebagai Bruder FIC. Keluarga sungguh bahagia kalau putranya tetap setia dalam menjalani panggilan Tuhan. Doakan kami ya Mbah..... Br.R. Koencoro. Budi .S dan Br.Yustinus Juadi. Tinggal di komunitas Yogyakarta
�������������
Harga Sebutir Kerikil Pagi itu Br. Cary yang tinggal di Muntilan hendak mengantar dua Bruder lain ke Jogyakarta. Mereka menggunakan mobil komunitas. Ketika mobil itu mulai keluar kompleks Bruderan, tiba-tiba terdengar bunyi onderdil yang lepas. Suaranya seperti lempeng besi tipis yang menyentuh aspal jalan. Tidak keras, namun cukup mengganggu. Maka, mobil dihentikan sejenak untuk mencari penyebab bunyi itu. Ketiga Bruder mencermati bagian bawah mobil. Namun tak ditemukan ada onderdil mobil yang salah. Apa boleh buat, mereka diburu waktu. “Ya sudah. Mau apa lagi. Kita tak menemukan penyebabnya. Kalau nanti kita kecelakaan dan mati di perjalanan ya baik to. Kita akan mati dalam perjalanan kerasulan. Ha ha ha. Itu kematian yang mengharukan to,” kelakar Br. Cary. Perjalananpun dilanjutkan. Sampai lebih dari setengah jam perjalananpun lancar. Namun ketika mulai memasuki wilayah Jombor, terdengarlah suara keras dari arah ban depan mobil mereka. Suaranya seperti dua lempeng besi yang bergesekan.
Ketiga Bruder ini begitu tegang. Mobil segera dihentikan. Mereka mengamati mobil, khususnya bagian ban. Tetap saja tak mereka temukan penyebabnya. Namun suara gesekan dua lempeng benda keras itu tak juga hilang ketika mereka mencoba menjalankan mobil lagi. Waktu terus bergulir. Para Bruder harus segera sampai di Jogyakarta. Akhirnya diputuskan agar kedua Bruder itu naik taksi ke Jogyakarta. Sementara Br. Cary tetap tinggal bersama mobilnya. Dengan pelan-pelan akhirnya Br. Cary dapat membawa mobilnya ke sebuah bengkel. Di bengkel itu montir segera membuka ban depan mobil Br. Cary. Namun tak juga ditemukan hal yang salah dengan ban mobil itu. Lalu montir itu mengungkit antara lempeng besi dan kampas rem. Sejenak kemudian,”Klithik.” Sebutir kerikil jatuh dari celah kampas rem mobil itu. “Cuma ini kok mas penyebabnya. Cuma sebutir kerikil,” kata montir itu. Ah, itu bukan Cuma. Karena kerikil kecil itu hati Br. Cary dan dua Bruder lain sempat dibuat ciut. Mereka takut ada kesalahan fatal dengan mobil
Edisi I Th. XLII April 2010
15
mereka. Meskipun di awal perjalanan mereka berkelakar siap mati dalam tugas kerasulan. Lain hal, harga sebutir kerikil itu terbukti mahal. Harganya sebesar ongkos kerja montir bengkel, plus ongkos naik taksi dua Bruder yang lain. Hmm… mahal juga. Tapi, kita bisa belajar juga dari kerikil yang menyelip di kampas rem
mobil itu. Tak ada yang sepele dan percuma dalam kehidupan ini. Sekecil dan sesederhana apapun wujudnya. Kalau ia sedang ada di saat, situasi, dan tempat yang tepat, ia menjadi begitu berarti. Ia mampu membuat peristiwa yang di luar kebiasaan. Contohnya kerikil itu. Oleh Br. Sidharta Tinggal di Komunitas Muntilan
������� ���������� ������ �������� �� ����� �������� ������ ������ ������
��������� ���� ���� ���������� �������� ����� ��������������������
16
Edisi I Th. XLII April 2010
������ ������
Para Novis Mengenal Yesus Kristus
“Menurut kamu, siapakah Yesus Kristus itu?” itulah pertanyaan yang pertama diajukan kepada para frater Novis Kanonik dalam Kursus Gabungan Novis (KGN) awal April lalu. KGN kali ini masih diadakan di Novisiat para suster CB Jogyakarta. Kursus diadakan pada hari Selasa sampai Sabtu (6-10 April 2010). Materi pendalaman KGN kali ini adalah Kristologi. Pendamping KGN untuk tema Kristologi ini adalah Rm. Y.B. Prasetantha, MSF. Beliau dosen Fakultas Teologi Sanata Dharma. Romo Pras, demikian panggilannya, adalah mantan murid SMP PL Salatiga. Ada 48 peserta
kursus kali ini. Mereka berasal dari tarekat CB, ADM, KFS, FCJ, OP, SFD, MTB, CSA, dan FIC. Hari pertama KGN diawali dengan perkenalan. Sebagai bahan perkenalan adalah mengkomunikasikan gambar Yesus yang telah dibuat masing-masing peserta. Dari gambar inilah sebenarnya ingin digali konsep-konsep tentang Yesus Kristus yang telah dimiliki para peserta. Konsep-konsep tentang Yesus Kristus itu tentu lahir dari pergulatan hidup sehari-hari. Ada peserta yang mengalami Yesus sebagai sahabat. Yang lain mengalami Yesus sebagai sosok yang penuh kasih. Ada juga yang memandang Yesus sebagai pribadi yang mampu berjuang dan berkorban habis-habisan untuk orang yang dicintainya. Dari pengalaman-pengalaman seperti itu tentu akan mempengaruhi juga bagaimana ekspresi penghayatan relasinya dengan Yesus Kristus. Selanjutnya para peserta KGN diajak untuk mengenal gagasan-gagasan dasar tentang Kristologi. Gagasan awal yang ditekankan adalah tema Yesus Kristus sebagai pusat iman Kristiani. Kristologi merfleksikan pribadi, hidup dan perutusan (misi) Yesus Kristus dalam hubungan-Nya dengan manusia dan dengan Allah. Untuk mengenal Yesus Kristus dengan tepat, pengenalan itu harus bertolak dari Kitab Suci. Ini kekhasan teologi pasca Konsili Vatikan II. Refleksi tentang Yesus Kristus dimulai dari pengalaman para murid pertama
Edisi I Th. XLII April 2010
17
Yesus di Nazareth. Santo Hieronimus mengatakan,”Tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus.” Maka, romo Pras meminta para peserta KGN untuk lebih mengakrabi Kitab Suci. Mengenal Yesus Kristus perlu ketekunan untuk membaca, merenungkan, dan mempelajari kesaksian Gereja Perdana yang tersurat dan tersirat dalam Kitab Suci. Hal lain yang dipesankan romo Pras adalah kesetiaan dalam mengenal Yesus Kristus. Mengenal dan mencintai Yesus Kristus itu merupakan suatu perjumpaan pribadi yang dinamis. Mengenal dan mencintai Yesus Kristus itu juga suatu pilihan mendasar (opsi fundamental) dan seluruh hidup (hati-budi-kehendak). Karena itu pengenalan Yesus Kristus itu butuh kepercayaan, penyerahan diri, dan komitmen yang selalu diperbarui terusmenerus. Tokoh-tokoh besar dan para pujangga Gereja telah menunjukkan betapa tidak mudah mengenal Yesus Kristus itu. Namun dalam kesulitan yang begitu rupa itu justru iman terbit sedemikian benderang. Santo Agustinus sampai-sampai mengatakan,”Semoga aku dapat mengenal-Mu, Kau yang mengenalku, semoga aku dapat mengenal-Mu seperti aku sendiri dikenal!” Pada KGN itu para peserta diajak untuk mengenal dua pendekatan Kristologi. Pertama, Kristologi dari bawah. Pendekatan ini mulai dari tokoh Yesus yang hidup di Nazaret. Ia mewartakan dan menghadirkan Kerajaan Allah di muka umum. Pendekatan ini berangkat dari kemanusiaan Yesus. Injil yang menjadi rujukan adalah injil sinoptik, yaitu injil Matius, Markus, dan Lukas. Pendekatan kedua adalah Kristologi dari atas. Pendekatan ini berpangkal dari Allah, Sang Sabda dan Sang Putra yang masuk dalam sejarah dengan menjadi
18
Edisi I Th. XLII April 2010
manusia (Yesus) untuk membawa manusia kembali kepada Bapa. Karena itu pendekatan ini berangkat dari sisi keilahian Yesus. Sumber Kitab Suci yang menjadi rujukan adalah injil Yohanes, surat-surat Paulus (Filipi, Roma, Galatia, Efesus, dan Kolose). Pada umumnya para peserta kursus merasa terbantu dengan kursus ini. Romo Pras juga membantu para peserta untuk mengenal Yesus Kristus dengan nyata dalam kehidupan konkret. Untuk hal ini romo Pras mengajak para peserta kursus belajar dari film. Film yang diputar bukanlah kisah-kisah kudus, namun justru dari film dokumenter yang berbau action. Dari metode ini diharapkan para peserta kursus dapat menemukan konteks tema kristologi dalam hidup harian. Metode lain yang digunakan adalah sharing dan diskusi. Sebagai bahan sharing dan diskusi adalah konstitusi masing-masing tarekat. Romo Pras meminta para peserta menemukan gagasan-gagasan Kristologi yang terungkap pada konstitusi. Dengan metode ini diharapkan para peserta menyadari bahwa pergulatan setiap tarekat sesungguhnya mengalir dari pribadi Yesus Kristus. Selanjutnya, seluruh dinamika hidup tarekat, juga pergulatan setiap religius berangkat dan menuju pada pribadi Yesus Kristus. Kursus ini diakhiri dengan perayaan Ekaristi. Dalam perayaan Ekaristi itu juga para peserta diminta menampilkan ekspresi penghayatan Kristologi. Maka jadilah Ekaristi Sabtu siang itu begitu semarak. Semoga para frater semakin terbantu untuk mengenal pribadi Yesus Kristus. Lebih dari itu, semoga seluruh pergulatan dan penziarahan hidupnya senantiasa berpola pada pribadi Yesus Kristus. Br. Sidharta Pemimpin Novisiat Kanonik, tinggal di Muntilan.
�����������
Pendiri Kami Luar Biasa … “Siapa pendiri Tarekatmu?” tanya seorang suster. “Mgr. Rutten dan Br. Bernardus,” jawabku mantap. “Siapa itu?” Tanya suster itu lagi. Kali ini dengan ekspresi heran. “Aku tak pernah mengenalnya.” “Ya pendiri Kongregasi kami. Mereka orang Belanda. Mereka luarbiasa,” jawabku singkat. “Luarbiasa?” sahut suster itu sambil tersenyum. “Apa luarbiasanya? Gak ada tuh dalam sejarah?” “Asem tenan,” kataku dalam hati. Tapi apa boleh buat. Pendiri Kongregasi kami, Mgr. Rutten dan Br. Bernardus bagi para Bruder FIC memang sosok yang luarbiasa. Para Bruder mencecapnya dari sejarah awal Kongregasi yang dibaca dari buku Bagai Biji Sesawi. Dalam buku sejarah Kongregasi berjudul Bagai Biji Sesawi itu memang ditampilkan sosok Rutten dan Bernardus yang luarbiasa. Mereka adalah orangorang sederhana. Rutten memang berasal dari keluarga berada. Namun kisah hidup Rutten yang ditinggal mati ibunya ketika masih kecil membuatnya kurang stabil dalam hidup selanjutnya. Semangatnya kadang luarbiasa. Namun seringkali kali juga semangat yang menggebu itu segera sirna. Ia gampang jenuh dengan sebuah sikap dan aktifitas yang rutin. Bernardus berasal dari keluarga ekonomi menengah. Ayahnya seorang tukang kayu. Ibunya bekerja di rumah mengurus toko dan rumah tangga. Menimbang kakak-kakaknya yang menjadi imam Yesuit dan Suster Karmel, tak berlebihan kalau dikatakan Bernardus berasal dari keluarga dengan tradisi religius yang amat baik. Pastilah tak
terlalu berspekulasi kalau kita mendugai keluarga Bernardus adalah keluarga yang harmonis, penuh kasih, dengan tradisi karakter yang tegas. Yang dikenal para Bruder secara nyata adalah pada hidup Bernardus dalam FIC. Bernardus memiliki emosi yang stabil. Semangat hidupnya luarbiasa dan stabil. Sikapnya tegas. Ia juga mempunyai kepedulian pada kehidupan religius yang baik, entah untuk diri sendiri maupun bagi sesama Brudernya. Ia memandang begitu pentingnya memperhatikan kehidupan religius dalam kehidupan para Bruder. Karena sikap Bernardus ini, ia sering terkesan sangat hati-hati. Namun sesungguhnya barangkali lebih tepat disebut ia bersikap cermat. Saat dua tokoh ini hidup dan hadir bersama dalam pengelolaan Kongregasi FIC pada masa awal, saat itulah kita bisa merasakan keluarbiasaannya. Kegairahan Rutten yang cenderung meledak-ledak bersinergi dengan kecermatan Bernardus. Sebuah perpaduan yang amat apik. Karena perpaduan dua karakter ini, FIC muda belia hadir sebagai tarekat yang aktif namun mempunyai kepedulian hidup yang kian mendalam. Rutten berperan melebarkan sayap, sementara Bernardus berperan mengokohkan kepakan sayap hingga mampu terbang kuat sekaligus indah. Memang disayangkan, dua pendiri FIC yang konon memang dikagumi di kota Maastricht pada masa hidupnya itu belum banyak digali kekayaan hidupnya. Belajar dari para Suster CB dalam mengeksplorasi spiritualitas dan kharisma pendiri, sesungguhnya para Bruder FIC perlu bersusah-susah juga membongkar, menterjemahkan, serta mengeksplorasi Edisi I Th. XLII April 2010
19
Elisabeth Gruyters
Pendiri Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus
segala dokumen yang terkait dengan kehidupan Rutten dan Bernardus. Para Suster CB telah membongkar catatan polisi rahasia Maastricht atas sepak terjang pendirinya. Dari satu jenis dokumen itu saja mereka dapat merasakan betapa khasnya perjuangan pendiri mereka. Bukan hanya itu, para Suster CB akhirnya meyakini bahwa pendiri mereka layak dibanggakan, pergulatannya layak menjadi sumber inspirasi bagi para Suster CB dari jaman ke jaman. Tak heran kalau kini mereka bangga dan dengan kepala tegak menunjukkan identitas, spiritualitas, kharisma, dan sejarah Kongregasi mereka. “Ah, itu kan para Suster CB. Bruder FIC beda,” kata seorang Bruderku. Hmm… . Bagaimana dengan FIC? Barangkali ini memang sudah menjadi pola hidup kita. Para Bruder tidak terlalu tertarik dengan topik spiritualitas, kharisma, dan semacamnya.
20
Edisi I Th. XLII April 2010
Para Bruder lebih banyak menghabiskan waktu-waktunya dalam karya. Apalagi kalau karya itu bagi orang miskin. Ini persis menunjukkan karakter Rutten pendiri FIC. Rutten juga begitu menggelora kalau dihadapkan pada kehidupan sesamanya yang miskin. Ia tak pernah bisa berlama-lama diam. Seolah, ada bagian dari diri Rutten yang mudah terpantik dan menyentak untuk segera berbuat bagi kemiskinan di hadapannya. Jarang sekali Rutten lebih dulu mempertimbangkan seberapa mampu dan layak dirinya atau para Bruder untuk bisa membantu orang miskin itu. Namun, meskikah kita terus hidup demikian? Cukupkah kita hidup demikian tanpa sedikit masuk dalam pergulatan kita untuk menekuni semangat awal Rutten-Bernardus? Memang kita punya banyak Bruder yang menutup hidupnya sebagai FIC. Namun, sebanyak itu jugakah para Bruder menutup penziarahan hidupnya sebagai FIC yang mengisi pergulatan hidupnya dengan pergulatan awal Rutten-Bernardus? Jangan-jangan begitu banyak para Bruder lebih tepat disebut menutup hidupnya sebagai religius yang baik dan suci. Waktu masih panjang. Idealisme belum dimatikan. Harapan dan rencana terus kita renda. Dengan demikian sejarah masih mungkin digulirkan. Aneka kemungkinan masih bisa dilahirkan. Begitu juga dengan FIC. Tangan masih melekat pada tubuh. Juga kedua kaki kita yang kokoh. Segala daya dan fasilitas masih kita punya. Itu cukup untuk membuat sesuatu yang lebih berarti. Mengguratkan hidup dalam karakter sejati manusia yang merindu untuk hidup kian baik, menuju kesempurnaannya. Br. Sidharta Tinggal di Komunitas Muntilan.
����� ����� ���� Pleno II Bruder Muda:
Tekun dan Setia Dalam Hidup Merasul “Tekun dan Setia dalam Hidup Merasul” adalah tema besar pertemuan PlenoII Bruder Muda. Kegiatan Pleno II Bruder Muda telah dilaksanakan pada Sabtu dan Minggu (27–28 Maret 2010) di komunitas Surakarta. Sekitar 22 orang Bruder Muda dari berbagai regio dan komunitas berkumpul. Mereka berbaur berbagi ceria dan cerita. Hanya para Bruder Muda regio Kalimatan yang tidak bisa hadir karena keterbatasan transportasi. Acara dimulai pukul 17.00 dengan doa pembukaan oleh Bruder Muda regio Semarang. Kegiatan dilanjutkan dengan sambutan Br. Dwiyatno selaku koordinator Tim Pendamping Bruder Muda (TPBM). Pada Sabtu malam itu diisi dengan laporan pertanggungjawaban kepengurusan Bruder Muda periode 2009 -2010. Dalam laporan itu dipaparkan program kegiatan yang telah dilaksanakan. Pelaksanaan program itu mengacu pada agenda provinsi yang telah ditetapkan. Kegiatan selanjutnya adalah laporan kegiatan masing-masing regio. Dalam laporannya, beberapa regio menampakkan dinamika kegiatan masing-masing regio dengan ciri khasnya. Ada kegiatan yang terlaksana dengan baik, namun ada juga yang masih menjadi harapan ke depan. Acara Pleno II malam itu dilanjutkan pemilihan kepengurusan baru Bruder Muda periode 2010-2011. Malam itu telah terpilih kepengurusan baru. Koordinator Bruder Muda dipercayakan kepada Br. C. Eko Wahyudi, wakil ketua oleh Br. Ing. Rudi Irawan. Untuk jabatan Sekretaris dipercayakan kepada Br. Ign Wasiaji dan Br. Ag. Anton Widyanto. Dalam sambutannya Bruder Provinsial berterimakasih kepada para pengurus yang telah melaksanakan
dan yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan Bruder Muda. Himbauan kepada Bruder Muda untuk terus belajar dan mengisi kegiatan-kegiatan yang kreatif, inovatif, dan rekreatif. Hal ini dimaksudkan supaya para Bruder tidak jenuh dalam rutinitas kegiatan di kampus dan unit karya. Hari kedua, yaitu hari Minggu diisi dengan sarasehan tentang “Kerasulan”. Sarasehan ini diampu oleh Br. Petrus Anjar Trihartono. Sarasehan itu membahas tentang bagaimana seorang Bruder memaknai arti “setia dan tekun” dalam kerasulan. Titik tolak pembahasan dari Konstitusi artikel 27 dan 32. Kerasulan menemukan maknanya manakala kerasulan itu menjadi tugas bersama yang mengacu pada semangat pendiri. Dari semangat itulah yang akan mengerakkan kongregasi kita untuk selalu “ada“. Hal lain yang ditekankan adalah bahwa kerasulan juga tidak lepas dari hidup doa dan berkomunitas. Hal ini yang sering menimbulkan ketegangan dan tarik menarik antara being dan doing. Ketegangan yang muncul dalam kebutuhan untuk menjadi diri kita sendiri dalam komunitas, sekaligus yang menjadi diri kita dalam karya. Idealnya keduanya tetap bersinergi. Dalam sinergi itulah kita menemukan kedalaman makna sebagai Bruder. Oleh. Br. R. Koencoro Tinggal di Komunitas Yogyakarta Edisi I Th. XLII April 2010
21
�����
Dan Kerbaupun Berhitung Bruder Landoald begitu populer dalam kenangan para muridnya. Ia seorang guru yang hebat. Guru yang bisa membuat siapa saja yang diajarnya menjadi berhasil. Sampai-sampai orang mengatakan, kalau kerbau sempat belajar padanya, kerbau itu akan bisa berhitung. Namun apakah yang menarik dan unik dari cara pengajaran Br. Landoald? Sesungguhnya cara mengajar Br. Landoald sama seperti para pengajar lain. Kekuatan Br. Landoald adalah sifatnya yang sabar. Ia tak pernah marah. Suatu ketika Bp. Djemono yang waktu itu telah menjadi rekan guru Br. Landoald di Boro telat datang ke sekolah. Saat ia tiba 22
Edisi I Th. XLII April 2010
di sekolah, Br. Landoald sudah berdiri di depan pintu kelas yang harusnya diajar Djemono. “Bruder Landoald tidak marah,” kenang Djemono. “Ia hanya mengatakan, lain kali jangan terlambat. Kasihan anak-anak yang telah menunggu lama kedatanganmu.” Saat itu Djemono berdiri tegap seperti layaknya anak upacara, dengan kepala menunduk. Bruder Landoald sungguh mantap dalam kepribadiannya. Ia mampu mengelola gejolak emosinya dengan baik. Dalam mengajar Br. Landoald tergolong irit kata. Karena memang ia tidak terlalu menguasai Bahasa Indonesia. Namun kekurangan ini justru menjadi kekuatannya. Dengan terbatasnya kata-kata yang digunakan, ia lebih banyak mengajarkan alur pemikiran. Kata-katanya sedikit, tapi efektif. Ia lebih menekankan pengulangan, hingga muridnya paham. Hal lain yang menarik, Br. Landoald selalu membuat formasi soal ulangan yang unik. Separo dari soal yang diberikan adalah soal dengan tingkat kesulitan mudah. Jadi dipastikan setiap muridnya dapat mengerjakan separuh lebih, dan mendapat nilai paling jelek tujuh. Dengan cara ini Br. Landoald hendak membangun sikap percaya diri pada para muridnya. “Yes, aku bisa! Aku pasti bisa!” itulah spirit yang ingin ditanam Br. Landoald. Tak tahu, apakah ini terkait dengan kesadaran Br. Landoald tentang mental orang-orang Jawa waktu itu yang mudah menyerah? Yang pasti, dengan caranya seperti itu, Br. Landoald adalah motivator yang cerdas. Ia menerbitkan rasa percaya diri pada pribadi setiap muridnya.
Mendidik dengan Raganya Di Surakarta, tepatnya di SMA Pangudi Luhur St. Yosef, pernah dikenal sosok yang kharismatis. Sosok itu meraga dalam diri Br. Bonifacio. Ia figur yang sangat disegani. Para murid sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika mereka sudah mendengar gemerincing bandelir (Rosario panjang yang diikatkan di pinggang yang berjubah), atau bau asap rokok dari pipa cangklongnya. Romo Ismartono SJ adalah salah satu mantan murid Br. Bonifacio. Siang itu, kenang Romo Ismartono, anakanak sedang berbaris bersiap-siap masuk kelas. Tiba-tiba dari kejauhan di gerbang sekolah tampaklah beberapa putri berseragam SMA Ursulin memasuki kompleks SMA St. Yosef. Spontan saja kehadiran siswi-siswi SMA Ursulin itu mengundang reaksi para siswa SMA St. Yosef. Akibatnya ada sedikit suara gaduh. Saat para siswa masih gaduh, Br.
Bonifacio keluar dari kantornya. Lalu tangannya memberi aba-aba agar anak-anak segera masuk kelas. Tanpa menunggu waktu lama, kegaduhan spontan ditelan bumi. Anak-anak masuk kelas, dan pelajaran segera dimulai. Entah apa yang membuat Br. Bonifacio demikian berwibawa dan kharismatis. Barangkali karena komitmen dan ketotalannya dalam memperhatikan pendidikan bagi setiap muridnya telah menyentuh jiwa mereka. Kisah ini mungkin salah satu bentuknya. Ketika Br. Bonifacio menjabat kepala sekolah, jangan berharap akan pulang awal meskipun ada guru yang berhalangan datang. Apapun pelajarannya. Bruder Bonifacio akan mengganti mengajar mata pelajaran yang diampu guru yang berhalangan datang. Bukan sekedar mengajar, atau sekedar menghabiskan waktu pelajaran. Namun sungguh mengajar. Bahkan mungkin lebih baik. Ini sungguh luarbiasa. Konon, Br. Bonifacio memiliki akte mengajar 12 mata pelajaran. Hmm… tak bisa dibayangkan, bagaimana cerdasnya Bruder kita ini. Kecerdasan yang berpilin dengan komitmen sebagai pendidik, serta perhatian personal bagi setiap muridnya rasanya telah menyergap segenap kesadaran setiap muridnya. Tak ada pilihan lain bagi para murid untuk menyerah, percaya, dan patuh pada Br. Bonifacio. Mereka percaya Br. Bonifacio sungguh peduli pada mereka.
Edisi I Th. XLII April 2010
23
��� ���
�������� ������ ��������� ����������� ����� ������� ������� �������� ���� ���������� ���� ��������� �������� ��� �������� �������� ���� ����� ���������������� ����� ������ ������ ����������� �������� � ���������
24
�������� ����� ����� ��������� ���������� � ���� ����� ���� �������� �������� ����� �������� �����������
Edisi I Th. XLII April 2010
����������� ������ ����� ��������� ������ ���� �������� �������� ����� ����� ����������� �������������� ������ ������ ����� ������� ������������� ��� ���������� �������������� ������������ ����������� � ����������� ����� ������� ��������� ������ �����
�����������
Berguru pada Air Seperti air yang mengalir, berputar, mencari tempat rendah, menyesuaikan tempat di mana ia berada, tenang namun kuat, lembut namun dahsyat, diam namun tetap bergerak, tak bernafas namun hidup, mendingin, membeku, mengembang, mengeras, meleleh, fleksibel, memanas, mendidih, menguap, melembut, terbang tinggi namun tak lupa diri. Ia akan turun lagi untuk membawa pengharapan bagi kehidupan. Ia mengemban visi yang besar, yaitu kehidupan. Segala segi kehidupan terkandung di dalamnya. Ia adalah dunia, meski setetes. Ia adalah berbagai tempat yang ada, berbagai situasi yang ada, berbagai kehidupan yang ada, dan juga sekaligus yang tak ada. Ia tak pernah memilih tempat tinggi, namun malah lebih memilih bagian terendah di bumi ini. Meski itu bagian terkotor sekalipun. Walaupun begitu
ia tetap air. Di manapun tempatnya ia tetap air dengan segala kepenuhannya. Ia tetap air yang tidak asing dengan semua makhluk, menyatu dalam darah dan daging. Ia dirindukan, dinantikan, diimpikan, dipuja, dicari, dihargai melebihi emas dan perak. Namun ia pernah juga ditolak, disingkirkan, dibuang dalam tempat yang terjorok, direndahkan hingga tempat yang paling rendah, dinodai, dicemarkan, kehadirannya tak diinginkan. Ia menjadi bukti akan cinta Allah. Namun ia dapat juga menjadi bukti murka Allah. Selebihnya ia hanyalah sebuah alat. Dengan begitu ia mengalami ruparupa kehidupan. Ia masuk ke dalam berbagai segi kehidupan. Ia juga masuk ke dalam kematian. Dengan itu ia benarbenar menyatu dengan kehidupan dan juga kematian. Karena yang ia alami itu juga menjadi milik. Namun bukan untuk
Edisi I Th. XLII April 2010
25
pribadi, tetapi untuk dibagikan dalam kelimpahan. Ia disebut sumber kehidupan justru karena berani mendidih, berani menguap, berani membeku, berani dibuang dalam jamban, mau bercampur dengan yang disingkirkan, mau menyatu dengan yang tak berguna, tidak takut api meski harus mendidih, tidak menyerah dengan kerasnya karang, tidak takut menjadi bau, tidak takut menjadi kotor, tidak takut tercemar, tidak takut disingkirkan, tidak takut dibuang, tidak takut mati, tidak takut menjadi tidak berguna. Ia tidak pernah memilih mau duduk atau berdiri. Ia tidak pernah memilih mau berlari atau berjalan. Ia tidak pernah memilih mau hidup atau mati. Namun begitu ia tetap ada, tidak pernah lenyap. Dalam dirinya hanya ada kekosongan yang berisi. Ia tetap tinggal menetap dalam keberadaannya. Karena dalam keadaan apapun, dalam situasi apapun, dalam wujud apapun, ia tidak kehilangan sifat hakikinya. Meski bercampur dengan berbagai macam zat namun ia sendiri tetap satu, tidak terpengaruh, tidak terikat. Ia dapat melepaskan diri dan berdiri sendiri dalam sifatnya yang asli. Ia memiliki kemerdekaan yang luas, kebebasan yang tak terkira. Lepas bebas. Keberadaannya adalah sebuah pemurnian yang terus bergulir, berputar terus tak berujung, tidak pernah berhenti dan merasa puas diri. Jika pemurnian
26
Edisi I Th. XLII April 2010
itu berhenti dalam fase tertentu, maka kehidupanpun juga terhenti. Namun ia tidak mementingkan diri sendiri, karena ia tidak menyadari secara egois akan keberadaannya yang hakiki. Itulah, yang berani menjadi segalanya, menerima segalanya, memberi segalanya akan menjadi penentu segalanya itu. Dengan semua itu ia menjadi yang utuh, absolut, kedewasaan diri yang tak terukur, kedewasaan yang tak ada batasnya, kedewasaan yang tidak dipengaruhi situasi, ia berdiri sendiri, muncul sendiri dari kekosongan, berada dari ketiadaan. Dengan semua itu ia semakin murni, dengan semua itu ia semakin disucikan. Dengan cara itu ia semakin menjadi berkat, menjadi rahmat, menjadi sumber kehidupan. Kedewasaan di sini bukan disebabkan oleh sesuatu hal, melainkan sebuah konsekuwensi dari proses pemurnian terus menerus, pergulatan terus menerus, keberanian mengalahkan diri, kesetiaan meski dalam ketidakpastian, ketaatan dalam kerendahan hati. Kedewasaan tidak lain dan bukan adalah kesucian itu sendiri, yang diukur berdasar ranah Illahi, bukan berdasar pandangan-pandangan kesia-siaan dari manusia. Oleh Br. Ign Wasiaji Tinggal di Komunitas Bernardus Semarang
Hidup dalam Keheningan Pertapaan Rawaseneng Itulah tempat yang sejuk, asri, dan nyaman bagi siapa saja. Disamping itu ada yang mengatakan bahwa pertapaan Rawaseneng adalah tempat untuk mencari ketenangan, tempat untuk retret, atau bahkan hanya sekedar untuk rekreasi/wisata rohani. Ada pula yang berpendapat dengan sedikit aneh, bahwa Rawaseneng menjadi tempat orang yang menghadapi problem kehidupan dan ingin berkonsultasi dengan Rm. Abbas. Demikianlah pendapat-pendapat yang terlontar ketika kami mendapat informasi dari bruder Magister mengenai “live in Rawaseneng”. Lalu bagaimana dengan pertapaan Rawaseneng yang sesungguhnya? Inilah kisahnya: Jauh dari keramaian Perjalanan menuju Rawaseneng diwarnai dengan keceriaan dan canda tawa di antara kami. Keceriaan itu terasa semakin lengkap setelah menyantap semangkuk bakso hangat di sela-sela perjalanan. Ketika memasuki kawasan Rawaseneng, terbesit pikiran “kok sepi ya?”. Suasana yang masih asri dan kesejukan alami yang tidak dapat terbeli di kota-kota, dengan sedikit rimbunnya hutan di sisi kanan-kiri jalan. Itulah situasi alam Rawaseneng. Jauh berbeda dengan daerah di sekitarnya yang semakin bising dan panas. Kendaraan lalu-lalang tiada henti, membuat hidup semakin penat dan stress. Pantas saja banyak orang-orang dari kota besar seperti Jakarta, singgah di pertapaan Rawaseneng. Tujuan utamanya adalah mencari ketenangan. Dunia kerja hampir menyita sebagian besar waktu manusia.
Seakan-akan waktu terus mengejar tanpa ada sela untuk rekreasi/isitrahat. Belum lagi tuntutan kerja yang semakin ekstrem dan persaingan yang ketat. Akibatnya, tidak ada waktu untuk rileks. Salah satu tempat yang menjanjikan ketenangan yaitu Rawaseneng. Akan tetapi lain halnya dengan kami para Novis, kami bukan mencari ketenangan seperti yang dirindukan oleh orang kota, justru kami ingin mengenal lebih jauh tentang kehidupan para rahib (hidup kontemplatif murni). Sebuah panggilan ke kesucian Dalam sejarah hidup bakti (yang kami pelajari bersama Br. Aloysius setiap hari Sabtu), banyak orang yang melarikan diri ke padang gurun selama masa penganiayaan dan pengejaran terhadap umat kristiani. Semua itu dilakukan demi mempertahankan iman mereka akan Kristus. Justru di padang gurun inilah mereka semakin merasakan persatuan dengan Allah melalui Kristus. Hidup mereka diwarnai dengan laku tapa, mati raga, askese, dan hidup menyendiri. Askese menjadi penolakan mutlak terhadap semua keinginan-keinginan daging dan wujud pengosongan diri. Dari keadaan yang seperti itulah muncul para pendiri hidup bakti. Begitu juga dengan St. Benediktus yang mencari tempat sepi untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Dan ternyata tidak hanya para rahib saja yang membutuhkan kesunyian, namun setiap orang membutuhkannya untuk mengalami kehadiaran Tuhan. Dalam kesunyian alam, setiap orang menemukan secercah sinar pengharapan yang mengagumkan. Setiap rahib dipanggil untuk membaktikan diri demi kedatangan Kerajaan Allah. Maka tidak cukuplah jika seorang rahib mengenakan jubah dan penitensi badaniah semata, melainkan ia harus menyucikan diri sendiri. Jubah
Edisi I Th. XLII April 2010
27
tidak menjadikan seseorang menjadi rahib. Panggilan kesucian akan semakin konkret ketika seorang rahib mampu melepaskan diri dari hal-hal duniawi dan mengarahkan seluruh hidupnya pada doa, baik bersama ataupun pribadi. Doa bersama merupakan bagian dari kebersamaan hidup komunitas. Meskipun bersifat wajib, namun tidak semua rahib dapat hadir dalam doa bersama, karena alasan tertentu (misalnya urusan penting) tetapi mereka menyisihkan waktu untuk doa pribadi di tempat di mana berada. Hal ini sudah menjadi kesadaran setiap rahib. Doa adalah unsur esensial dalam hidup seorang rahib. Kerja sebagai pelayanan Kegiatan para rahib tidak melulu berdoa, meditasi dan melakukan kegiatan yang rohani, tetapi mereka juga bekerja. Tidak mungkin hidup hanya berdoa sepanjang waktu. Seperti dikatakan oleh Rasul Paulus “Barang siapa tidak bekerja, janganlah ia makan (2Tes 3:10b)”. Kerja di sini dimaksudkan bukan untuk mencari/mengumpulkan harta, namun guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka tidak mengharapkan belas kasih dari para penderma atau dari masyarakat. Hal ini juga ditekankan oleh St. Benediktus (bapa pendiri). Dalam pandangan mereka bekerja merupakan sebuah karya pelayanan dan pengabdian kepada Allah. Untuk memenuhi seluruh kebutuhan ordo, mereka mengusahakan peternakan, perkebunan, pertukangan, dan persewaan tanaman hias. Melihat dari banyaknya usaha, tidak mungkin semua itu dikerjakan oleh rahib sendiri. Maka mereka mencari tenaga dari desa di sekitar pertapaan. Hal ini juga membantu masyarakat yang membutuhkan pekerjaan (membuka lapangan kerja). Rasa solidaritas para rahib terhadap masyarakat begitu tinggi khusunya bagi mereka yang KLMT (Kelompok Lemah Miskin Terpinggirkan). Wujud dari rasa solider itu adalah memberi bantuan berupa pakaian, sandal, sepatu dan sumbangan. Persentuhan hati para rahib begitu kentara.
28
Edisi I Th. XLII April 2010
Mengenal dan terlibat dalam rutinitas. Selama delapan hari kami mengikuti seluruh kegiatan yang ada, mulai dari bangun pagi (03.00 WIB) sampi istirahat malam (20.45 WIB). Pada siang dan sore hari kami terjun langsung ke lahan karya para rahib. Ada yang di pembibitan kopi dan ada yang di perawatan tanaman hias. Jadi selama seminggu kami tidak hanya berdoa dan merenung, namun juga ikut bekerja. Di sinilah ritme hidup semaikin harmonis. Selain itu juga menjadi sarana efektif dalam proses pembelajaran. Mengatur waktu, antara doa dan karya, dan bagaimana menyeimbangkannya (ora et labora). Di lain kesempatan, kami diperbolehkan masuk ke dalam biara, melihat situasi (ruang produksi roti, kamar rahib, tempat postulat dan novisiat). Fr. Albert Lintang yang dengan setia menemani kami berkeliling di sekitar biara. Ini adalah kesempatan istimewa bagi frater FIC. Makna dan kenangan Hari terakhir adalah yang yang begitu mengesan. Perjumpaan kami dengan Fr. Albert Lintang (Mantan bruder FIC, angkatan Br. Simon Adrus) tidak berhenti di situ. Untuk mengakhiri penziarahan kami di Rawaseneng, kami pergi ke hutan (melihat turbin) bersama Fr. Albert. Hanya sekedar untuk rekreasi dan mengenang masa lalunya di FIC. Cerita ngalor-ngidul namun penuh makna. Itulah yang terjadi di antara kami. Namun, justru dari sinilah ada sesuatu yang kami anggap berharga. Kami semakin sadar bahwa tidak mudah untuk setia dalam rutinitas. Perasaan jenuh, bosan dan tidak mood seringkali menjadi santapan. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana tetap tekun dan setia dalam menjalani rutinitas dan yang terpenting bagaimana kami mampu menyelaraskan antara doa dan karya. Kita sebagai yang aktif merasul seringkali lupa akan doa karena sekian banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaan tidak akan bermakna tanpa didukung dengan doa. Menjadi karya kerasulan yang kering tanpa makna. oleh Fr. Eko tinggal di Novisiat Kanonik - Muntilan