GITA SANG SURYA Vol. 10 No. 6, NOVEMBER - DESEMBER 2015, ISSN 1978-3868
M a d a h
16
K
P e r s a u d a r a a n
S e m e s t a
INDONESIA
urang lebih 200-an pastor, suster, frater, bruder dan umat Katolik di Jakarta ikut memenuhi jalan pusat ibu kota Jakarta, berbaur dengan ribuan orang pada hari bebas kendaraan, Minggu (29/11) yang lalu. Mengenakan baju berwarna putih, ikat kepala bertuliskan “Keadilan iklim dan mulut ditutupi masker dengan tulisan “Indonesia bebas asap” mereka berteriak “Indonesia, bebas asap, Indonesia, tolak sawit.” Mereka menamakan diri GELHUKI – Gerakan Lingkungan Hidup Katolik Indonesia. Mereka tidak sendirian pada saat itu, ada juga Walhi dan LSM lainnya yang secara bersama-sama menyerukan dan menuntut Indonesia dan dunia menghentikan setiap aktivitas yang merusak hutan, stop tambang dan selamatkan air demi keadilan iklim.
7
GITA UTAMA
Membangun Kepekaan Terhadap Alam Kepedulian terhadap lingkungan hidup (mesti) sungguh-sungguh menjadi sesuatu yang nyata dihidupi bukan sekadar retorika ataupun gerakan pencitraan karena diliput media semata. Gerakan itu harus menjadi gerakan yang melekat dengan keseharian tiap warga dunia sehingga menjadi gerakan bersama yang menyelamatkan, bukan hanya menyelamakan manusia yang ada saat ini melainkan juga manusia yang ada di masa depan dan tentu saja menyelamatkan seluruh alam beserta isinya kini dan nanti.
EDISI BULAN INI:
Editorial ................................2 Antarkita ................................3 Gita Utama ...........................4 Sosok ..................................10 Opini ....................................13 Indonesia .............................16 Internasional........................20 Inspirasi ..............................24
Profil................................ 28 Resensi........................... 30 Seni Sastra..................... 31 Wacana Fransiskan ..... 34 Refleksi .......................... 37 Obral Ide ........................ 40 Cover: Ir. Hj. Nan Djuarnani, MSc Foto: Dokumen JPIC OFM Indonesia Desain cover: Johny Dohut, OFM
Diterbitkan oleh JPIC-OFM Provinsi St. Mikhael dan SKPKC Kustodi Fransiskus Duta Damai Papua Indonesia sebagai media animasi dan informasi dalam bidang Justice, Peace and Integrity of Creation.
Pemimpin Redaksi: Sdr. Peter C. Aman, OFM, Wakil Pemimpin Redaksi: Valens Dulmin Redaktur Pelaksana: Eras Baum, OFM Redaksi: Peter C. Aman OFM, Valens Dulmin, Eras Baum OFM, Charles Talu OFM, Mike Peruhe OFM Sirkulasi: Charles Talu OFM Lay Out: Fery, Marciano, Ryan, Miko, Yornes Iklan: Antonius Latif -OFM Alamat Redaksi: JPIC-OFM, Jln. Let. Jend. Suprapto, No.80 Galur, Tanah Tinggi-Jakarta 10540 Telp/Fax: 021-42803546 E-mail:
[email protected] Redaksi menerima artikel-artikel, berita kegiatan, opini, refleksi, foto, karikatur, vignet dalam bidang JPIC (6000-6500 kata), kecuali puisi (boleh tema apa saja). Artikel-artikel berita akan diolah ulang oleh redaktur tanpa mengabaikan isi pokoknya. Artikel dapat dikirim melalui fax dan e-mail.
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
1
EDITORIAL
A
Ekologi di Inti Iman Kris iani
dalah Dennis Edwards yang antara lain mempromosikan gagasan bahwa ekologi merupakan tema inti dalam iman Kristiani, asal saja orang-orang Kristen mampu memainkan peran mereka mengikuti gerakan Roh Kudus untuk mencapai pemahaman akan makna dan konsekuensi ekologis dari keyakinan iman mereka yang paling dalam. Ia menunjuk sejumlah upaya dari sejumlah tokoh, seperti Thomas Barry yang menggagas perlunya tradisi Kristen Barat diganti dengan teologi merefleksikan ciptaan. Thomas Berry berbelok dari arus utama tradisi Kristen menuju spiri tualitas ekologis dan kisah baru alam semesta. Di sisi lain ada Mathew Fox yang berhasrat mengganti apa yang disebutnya gagasan agustiniandualistik tentang kejatuhan manusia dan ciptaan, dengan teologi yang lebih awali yang mempromosikan berkat untuk ciptaan dan gagasan Kristus kosmik. Refleksi kedua tokoh ini dihadirkan di sini sekedar untuk menyadarkan bahwa sudah ada upaya serius-sistematis dan teologis untuk mengangkat ekologi sebagai tema teologis Kristiani (ekoteologi) yang relevan dan menantang saat ini. Namun, sesungguhnya tema ekoteologi ini tidaklah baru dalam tradisi spiritualitas Kristen. Delapan abad silam, Santo Fransiskus Assisi, ketika lingkungan hidup belum menjadi isyu dan persoalan yang menyita perhatian manusia seperti sekarang, sudah mengangkat secara otentik tema
2
ciptaan ke dalam refleksi, penghayatan dan perwujudan imannya. Refleksi ekoteologi Santo Fransiskus tidak terdesak oleh kebutuhan menanggapi ancamanancaman bencana ekologis seperti yang sekarang terjadi. Refleksinya otentik karena lahir dari kesadaran, penemuan dan pengakuan diri secara tepat di tengah alam dan di hadapan Allah pencipta. Refleksi ekoteologi Fransiskus Assisi lebih merupakan revitalisasi kebenaran iman akan awal mula alam semesta sebagaimana diciptakan dan dirancang Allah sendiri, “semua baik adanya” dan “sungguh amat baik”. Kelemahan dan keberdosaan manusia, tentu saja berefek buruk pada hidupnya dan pada alam, tetapi alam tidak kehilangan martabat luhurnya, karena semuanya dipulihkan kembali dalam Kristus “yang sulung, yang utama dan tujuan ke mana semua yang ada terarah”. Paulus dalam suratnya kepada umat di Kolose, menempatkan Yesus Kristus pada pusat dan inti segala ciptaan. Demikian pula penginjil Yohanes menjadikan Yesus Kristus alasan berada dari segala ciptaan. Amatlah terang benderang landasan biblis dari refleksi ekoteologi, karena merefleksikan relasi manusia dengan Allah serta tanggapannya, adalah
upaya eksistensial dalam ruang dan waktu kehidupan di mana alam ciptaan tidak dapat diabaikan. “No heaven without earth” – tak ada surga tanpa dunia adalah tema majalah CONCILIUM (1991/4. Pernyataan ini benar manakala diakui bahwa refleksi tentang perjumpaan Allah dan manusia selalu terjadi dalam konteks kehidupan manusia di dunia ini. Bahkan dunia dengan segala isinya, dalam tradisi biblis dan teologis Kristiani,, merupakan manifestasi diri Allah dan cinta-Nya. Mungkin mengejutkan, tetapi tidak seluruhnya keliru jika Sally McFague menyebut bumi sebagai Tubuh Allah, sepertinya halnya Paulus menyebut Gereja, tubuh Kristus. Serpihan-serpihan tema teo logi ekologi ini patut diperdebatkan dan didiskusikan lebih mendalam karena sesungguhnya tidak ada ciptaan sesederhana apa pun dia, yang tidak menjadi tanda kehadiran dan keindahan Pencipta-Nya. Santo Fransikus meretas jalan menuju teologi ekologi dan dari dia kita bisa belajar untuk berjumpa dengan Allah dalam alam ciptaan. Karenanya ciptaan berada di pusat iman dan refleksinya tentangnya adalah niscaya.
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
ANTARKITA Para Pelanggan GSS yang terkasih: Redaksi mengharapkan dukungan dari saudara/saudari berupa partisipasi dalam penerbitan GSS dengan mengganti ongkos cetak sebesar Rp.100.000 per tahun! Atas partisipasi saudara/saudari kami mengucapkan terima kasih!
Redakisi GSS mengucapkan Terima Kasih Kepada SMP Marsudirini-Cawang atas sumbangan sejumlah satu juta rupiah dan Komunitas SFS Sragen sejumlah lima ratus ribu rupiah yang diberikan demikelancaran penerbitan Majalah GSS. Pax et Bonum! BEBERAPA PERBAIKAN: 1.Hlm. 1, pojok kanan atas, edisi September-Oktober ada kesalahan penulisan nomor. Di situ tertulis ‘...no. 4...’, seharusnya ‘ ...no. 5...’ 2. Hlm 3 Edisi September-Oktober, pada enam tema GSS 2016 ada kesalahan penulisan tahun. Di situ masih tertulis ’...2015:..’. Seharusnya ‘...2016...’ seperti pada edisi kali ini.
Segenap Anggota Redaksi GSS Mengucapkan:
SELAMAT HARI RAYA NATAL 25 DESEMBER 2015 &
TAHUN BARU 1 JANUARI 2016
TEMA TAHUN 2016
GITA SANG SURYA www.huffingtonpost.com
Januari - Februari 2016: Laudato Si Maret - April 2016 : Konsumerisme Mei - Juni 2016 : Pengungsi dan Sikap Gereja Juli - Agustus 2016 : Anti Diskriminasi Rasial September- Oktober 2016 : Liturgi dan Krisis Lingkungan November-Desember 2016 : Mencitrakan Gereja dari Perspektif JPIC
Kirim surat-surat Anda pada GSS via e-mail:
[email protected] GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
3
GITA GITA UTAMA UTAMA
Sikopi Kopi Bertahan Di Tengah Kepungan Sawit
P
residen Joko Widodo mempersingkat kunjungannya di Amerika Serikat untuk mempercepat penanggulangan kabut asap akibat kebakaran dalam tiga bulan terakhir. Kebakaran lahan dan hutan menurut estimasi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dalam periode 1 hingga 20 Oktober telah mencapai 2.089.911. Kekayaan hayati terancam akibat hancurnya ekosistem hutan (Kompas, 31/10/2015). Konversi Hutan alam menjadi kebun sawit yang berlebihan banyak dituding sebagai penyebab kebakaran. Menurut Prof.Dr.Emil Salim mantan menteri lingkung an hidup era Orde Baru dalam wawancara Kompas (26/10) perubahan perambahan hutan terjadi secara sporadik antara tahun 1997 ke tahun 2000. Perambahan hutan secara sporadik itu mengakibatkan lingkungan rusak berat. Emil menyimpulkan ada tiga hal yang mendorong hutan alam berubah fungsi menjadi tanaman sawit. Pertama, harga kelapa sawit meningkat pesat; kedua, lokasi tersedia; dan ketiga tahun 2000
4
Peraturan yang kurang memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan hidup mendorong masyarakat berlomba-lomba membakar hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawit. Pengusaha pun lebih mudah mendapat lahan perkebunan sawit dengan cara membakar daripada dengan teknologi sophisticated. setelah pergantian Presiden Soeharto muncul kebijakan desentralisasi. Wewenang kabupaten cukup besar untuk memberi izin. Yang fatal, dalam peraturan ada pasal yang berbunyi, “satu kepala keluarga bisa membuka 2 hektar untuk lahan perkebunan kelapa sawit secara tradisional dengan membakar”. Peraturan yang kurang memperhatikan aspek keseimbang an lingkungan hidup tersebut, mendorong masyarakat berlomba-lomba membakar hutan untuk membuka perkebunan kelapa sawit. Pengusaha lebih mudah mendapat lahan perkebunan sawit dengan cara membakar daripada dengan teknologi sophisticated. Pengusaha untung dan untuk sementara Pemda untung karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) naik untuk sementara wak-
tu. Namun tak lama kemudian negara mengalami kerugian yang luar biasa besar berupa surutnya nilai sumber daya alam, kerusakan lingkung an, timbulnya beragam penyakit, kuali tas hidup menjadi menurun, roda perekonomian terganggu, dan puncaknya akibat kabut asap ke sehatan masyarakat menurun bahkan sampai merengut nyawa. Hormat Pada Lingkungan Bila kita sungguh men yadari, bencana seperti kabut asap yang terjadi setiap musim kemarau dalam sepuluh tahun terakhir ini, disebut bencana karena langsung bersentuhan dengan kehidupan manusia. Alam tidak bisa dipersalahkan karena alam tidak bisa bertanggungjawab. Akan tetapi
GITA SANG SURYA, NOVEMBER-DESEMBER 2015
merdeka.com
Sdr. Mose E. Situmorang OFMCap
GITA UTAMA melalui setiap bencana seperti kabut asap yang sungguh membuat jutaan orang sesak bernapas, ada seruan mendesak. Seruan ini menjadi penting untuk menyadari perlu tindakan mendesak yang segera harus dilakukan agar tidak muncul bahaya yang lebih besar. Bentuk kemungkinan yang harus segera dan mendesak dilakukan adalah melestarikan dan merajut persahabatan dengan lingkungan hidup; para penegak hukum harus berani tegas untuk menindak segala bentuk pengrusakan lingkungan terutama pembalakan liar dengan cara membakar. Menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa bencana dalam bentuk kabut asap menjadi ‘warning’ dan ajakan untuk memahami kemanusiaan dan alam secara jernih. Kabut asap akibat kebakaran hutan menjadi sebentuk konsientisasi bahwa alam-dunia dan segala isinya bukan barang mati “inanimated being” yang dapat diperlakukan sewenang-wenang tetapi hutan dengan segala isinya adalah makhluk hidup, berjiwa, dan bertumbuh. Mungkin dalam konteks ini sebagai manusia normal dan apalagi sebagai orang beriman kita dapat mengerti dan memahami bukan hanya manusia yang kena musibah menderita tetapi juga Sang Pencipta pun turut menangisi kerusakan ciptaan-Nya di tempat musibah. Sebenarnya gerakan untuk melihat hutan sebagai bagian dari diri manusia sudah lama didengungkan seperti proyek reboisasi dan gerakan nasional menanam
Kerusakan hutan yang mengakibatkan beragam bencana dapat juga kita refleksikan sekarang sebagai akibat langsung dekadensi moral dalam arti ketidakmapuan manusia untuk menghayati keindahan alam ciptaan. pohon. Di Sumatera Utara misalnya gerakan itu terkenal dengan Toba Green. Di Tingkat inter nasional pelbagai upaya dilakukan agar perusakan hutan, terutama hutan alam tropis dapat dihentikan, misalnya pada pertengahan tahun 1989 diadakan suatu konferensi besar mengenai hutan-hutan curah hujan tropika di Sao Paolo Brasilia. Konfrensi dengan tema “Pers dan Planet” tersebut bertujuan untuk mengajak insan pers agar berminat lebih besar memberitakan masalah pengrusakan hutan tropika di se luruh dunia dengan satu tujuan agar ekosistem terjamin. Konfrensi besar ini hendak membangun kembali peradaban baru berupa jalinan persaudaraan harmonis dengan lingkungan hidup sebagai satu kesatuan ciptaan yang utuh. Kemampuan bersaudara dengan alam berupa perlindungan dan pemeliharaan hutan supaya hutan itu sendiri mampu terus memberikan keindahannya. Kerusakan hutan yang mengakibatkan beragam bencana dapat juga kita refleksikan sekarang sebagai akibat langsung dekadensi moral dalam arti ketidakmapuan untuk menghayati keindahan alam ciptaan. Dalam hal ini kita boleh menimba sejumput pemikiran filsuf Friedrich Schiller (1759-
GITA SANG SURYA,NOVEMBER-DESEMBER 2015
1805), “Beauty is a symbol of morality, art + beauty way be conducive to moral life.” Pemikiran Schiller ini hendak menggambarkan situasi Eropa abad ke-18 yang barbar, tanpa keindahan, egoistic, dan materialistik. Eropa dihuni oleh orangorang yang hidupnya tak bahagia, terpecah, bertentangan satu sama lain, bahkan termasuk dengan dirinya sendiri. Menurut Schiller, kepribadian dan masyarakat yang baik amat tergantung pada kemampuannya untuk mencintai keindahan yang hanya dapat diperoleh dari lingkungan hidup yang terjaga secara seimbang. Sikopi Kopi Menahan Agresi Sawit Bagaimana melestarikan lingkungan hidup dan memulihkan kembali hubungan persaudaraan dengan lingkungan hidup dalam hal ini kita mungkin dapat bercermin pada hidup santo Fransiskus Assisi (1182-1226), seorang mistikus dan penyair. Fransiskus dari Assisi-Italia adalah manusia unik, aneh, nyeleneh yang suka berkomunikasi dengan hewan dan tumbuhan dengan bahasa batin. Nafas perdamaian, cinta kasih, pengampunan dan persaudaraan dengan sekalian ciptaan mengisi utuh syair-syairnya. Fransiskus memandang semua mahkluk ciptaan sebagai “saudara” dan dalam diri
5
GITA UTAMA
keberadaan hutan Sikopi Kopi di tengah kepungan perkebunan sawit di daerah yang berbatasan langsung dengan Riau seakan menjadi simbol perlawanan positif terhadap perluasan perkebunan sawit yang seakan tak terkendali. “saudara” dia mengalami kehadiran dan kebesaran Sang Pencipta. Maka apapun yang dilakukannya kepada setiap makhluk ciptaan secara tak langsung dilakukannya bagi Sang Pencipta, walaupun Pencipta tak pernah terkurung dalam makhluk ciptaan (bukan panteisme). Salah satu bentuk kongkrit bagaimana merajut ‘persaudaraan yang intim’ dengan alam, saya membagikan pengalaman sederhana para pengikut santo Fransiskus Assisi yang tergabung Ordo Saudara Dina Fransiskan Kapusin (OFMCap) di desa Sikopi Kopi, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Bermula pada tahun 1993 Kapusin region Medan, membeli lahan seluas 40 hektar. Semula lahan ini tandus karena warga menebangi pohon lalu membakarnya menjadi lahan pertanian. Di lahan seluas 40 hektar ditanami pelbagai macam pohon kayu serta pemeliharaan binatang-binatang langka (Kompas, 27/06/2008). Proyek yang dimotori oleh almarhum pastor Simon Thadeus Sinaga OFMCap mulai tahun 1994 -2006 dan sejak tahun 2007 hingga kini dikelola dengan makin baik oleh Bruder Benno Simanullang OFMCap, secara pasif menahan agresi perkebunan kelapa sawit. Hutan hasil rehabilitasi lahan tandus ini tergolong sangat kecil dibandingkan dengan luas kebun sawit yang hampir mencapai 1 juta
6
hektar. Akan tetapi keberadaan hutan Sikopi Kopi di tengah kepung an perkebunan sawit di daerah yang berbatasan langsung dengan Riau seakan menjadi simbol perlawanan positif terhadap perluasan perkebunan sawit yang seakan tak terkendali. Bermodalkan ketekunan dan cinta yang mendalam pada lingkungan, pastor Simon Sinaga OFMCap yang ditugaskan secara khusus ordo OFMCap, menanam berbagai bibit tanaman di lahan yang kritis itu. Dia kadang-kadang dibantu oleh para frater yakni calon imam dan juga masyarakat setempat. Setelah 21 tahun kini kawasan Sikopi Kopi yang dulu tandus, kembali hijau dengan pohon-pohon besar di lereng Sikopi Kopi. Berbagai jenis hewan seperti kera, imbo, ular, biawak, dan babi hutan berumah di hutan itu. Semak tumbuh liar, tanaman seperti rotan pun tumbuh leluasa. Air sungai menjadi bening dan ikan hidup dengan tenang. Di dalam hutan terdapat goa yang menjadi habitat kelelawar. Pilihan para saudara Kapusin untuk menempatkan dan mendukung anggotanya secara konsis ten untuk menjaga dan melestarikan hutan Sikopi Kopi memang tak berdampak langsung atau mengurangi perluasan kebun kelapa sawit. Sejak awal hutan Sikopi Kopi dimaksudkan hanya untuk mengingatkan, lingkungan hidup harus
dilestarikan dan tak bisa semenamena diubah semuanya menjadi kebun sawit sebab lingkungan terutama hutan punya fungsi lain untuk menunjang kehidupan; mengajak masyarakat melihat masa depan dan menyadarkan orang agar jangan pernah jatuh pada pemikiran instan yang ingin segera mendapat uang dengan cara menebangi pohon. Memang disadari, persoalan ekonomi warga di sekitar hutan yang lemah membuat mereka mudah diajak untuk merambah hutan menjadi lahan sawit. Tawaran uang dari pengusaha telah menyeret sebagian warga, juga sebagian tokoh masyarakat dengan mudahnya merusak hutan. Hutan Sikopi Kopi yang dulu merupakan lahan tandus tetapi setelah dijaga dan dirawat dengan baik telah menjadi oase di tengah hamparan kebun sawit. Masyarakat kota Aek Kanopan cukup banyak menghabiskan hari libur di sana dengan menikmati udara segar dan keindahan beragam tumbuhan, minum air sejuk langsung dari celah batu dan mandi segar di dalam sungai hutan Sikopi Kopi. Dan kini terutama dalam tiga bulan terakhir ini saat daerah Sumatera, Kalimantan, Papua dilanda kabut asap yang pekat, orang disadarkan kembali betapa pentingnya melestarikan lingkungan hidup terutama hutan alam dan segala isinya. Penulis adalah Biarawan Kapusin Propinsi Medan, Pastor kepala paroki St. Fransiskus Asisi Berastagi, Tanah Karo Sumatera Utara.
GITA SANG SURYA, NOVEMBER-DESEMBER 2015
MEMBANGUN SENSITIVITAS TERHADAP ALAM
Maksimus Adil Siswa kelas VIII Seminari Pius XII Kisol merayakan Ekaristi di Pantai Nanga Rawa bersama RD Ardus Tanis, November 2015.
Kepedulian terhadap lingkungan hidup (mesti) sungguh-sungguh menjadi sesuatu yang nyata dihidupi bukan sekadar retorika ataupun gerakan pencitraan karena diliput media semata. Gerakan itu harus menjadi gerakan yang melekat dengan keseharian tiap warga dunia sehingga menjadi gerakan bersama yang menyelamatkan, bukan hanya menyelamakan manusia yang ada saat ini melainkan juga manusia yang ada di masa depan dan tentu saja menyelamatkan seluruh alam beserta isinya kini dan nanti.
K
esadaran tentang penting nya kepedulian terhadap lingkungan hidup (baca: menjaga kelestarian lingkungan hidup) semakin meningkat dewasa ini. Hal itu dapat dilihat dari besarnya antusiasme masyarakat dan luasnya liputan media tentang tema kepedulian terhadap lingkungan hidup. Bila Anda sering nonton acara TV di akhir pekan, Anda akan disuguhkan berita kegiatan para artis yang kadang-kadang bersentuh
an dengan tema kepedulian pada lingkungan hidup. Atau bila Anda rajin membaca koran seperti Harian Kompas misalnya, Anda akan menemukan bahwa tokoh atau warga masyarakat yang mendedikasikan hidupnya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup akan diulas di sana. Banyak orang seperti berlomba-lomba untuk ikut ambil bagian dalam gerakan yang sangat popular ini, gerakan untuk peduli pada lingkungan hidup. Terbitnya ensiklik Paus
GITA SANG SURYA, NOVEMBER-DESEMBER 2015
GITA UTAMA Fransiskus ‘Laudato Si’ memperkuat gema panggilan untuk peduli pada lingkungan hidup. Gema dari ensiklik ini terdengar hingga seluruh pelosok dan dengan segera menjadi perhatian publik dunia. Gereja Katolik semesta menyambut gembira lahirnya ensiklik ini dan dengan cepat tersebar hingga menyentuh umat secara pribadi. Lepas dari berbagai kritik tentang patut tidaknya Bapa Suci mengeluarkan ensiklik yang secara spesifik menyinggung soal perubahan iklim dan lingkungan, ensiklik ini telah memicu diskusi di berbagai elemen masyarakat hingga ke lembaga dunia seperti PBB dan Kongres Amerika Serikat. Saya tidak hendak mengulang cerita soal Laudato Si. Yang mau saya tekankan adalah upaya yang dapat dilakukan oleh berbagai komunitas agar semangat kepedulian terhadap lingkungan hidup sungguh-sungguh menjadi sesuatu yang nyata dihidupi bukan sekedar retorika ataupun gerakan pencitraan karena diliput media semata. Gerakan itu harus menjadi gerakan yang melekat dengan keseharian tiap warga dunia sehingga menjadi gerakan bersama yang menyelamatkan, bukan hanya menyelamakan manusia yang ada saat ini melainkan juga manusia yang ada di masa depan dan tentu saja menyelamatkan seluruh alam beserta isinya kini dan nanti. Berdasarkan besarnya kesadaran untuk peduli pada alam, meski barangkali tidak semuanya murni tapi masih sekedar pencitraan dan mencari panggung untuk diri pelakunya, tidaklah berlebihan
7
GITA UTAMA bila dikatakan bahwa salah satu ciri menonjol dari awal abad 21 adalah kuatnya arus kesadaran untuk peduli pada lingkungan hidup. Karena itu bisa dimengerti bila hari ini Anda terlibat dalam aksi perusakan lingkungan hidup termasuk berburu satwa liar dan kegiatan Anda itu terekam media, termasuk media sosial, maka Anda akan dengan segera mendapati diri Anda menjadi musuh bersama oleh banyak orang. Sebaliknya, bila hari ini Anda berusaha mencari dukung an untuk menolak segala bentuk eksploitasi terhadap alam demi kepentingan bisnis segelintir orang, Anda ataupun petisi yang Anda buat akan dengan segera mendapat dukungan yang luas. Itu reliatas awal abad 21. Abad di mana gerakan untuk peduli pada alam dan lingkungan sedang mendapat
panggung yang luas. Tidak ada manusia yang ingin hidupnya susah oleh karena habisnya sumber daya alam ataupun akibat terjadinya bencana alam yang disebabkan oleh ulah manusia yang rakus serakah. Semua orang ingin mewariskan bumi yang sama ini untuk anak cucunya dan memastikan bahwa anak cucunya di masa depan bisa hidup berkecukup an dan menikmati alam yang sama indah dan kayanya dengan moyang mereka di masa sebelumnya. Untuk mewujudkan itu maka tidak ada pilihan lain, kita semua dituntut untuk sensitif ter hadap alam. Dengarkan rintihannya, lakukan apa yang bisa Anda lakukan, sekecil apapun itu, demi keberlangsungan alam ibu bumi kita. Bagaimana caranya? Apa yang bisa dilakukan?
Pendidikan Kita sering mendengar ucapan ‘ala bisa karena biasa’ atau ungkapan berbahasa Inggris ‘practice make perfect’. Kebenaran ungakapan ini telah diterima secara luas. Mengikuti makna ungkapan ini, kita tahu bahwa pembentukan karakter pribadi yang baik dan positif tidak bisa terjadi dalam semalam. Membuat hati nurani kita tajam dan dapat diandalkan untuk menjadi pandu dalam kehidupan pemiliknya tidak bisa terjadi dalam sekejap. Itu semua butuh latihan yang konsisten, butuh waktu dan pengorbanan. Sejalan dengan itu, Anda pasti sepakat dengan saya bahwa untuk membentuk pribadi yang peduli dan sensitif terhadap alam perlu latihan, kesabaran dan pengorbanan. Bagaimana model latihannya? Jawabannya pendidik an yang mendalam dan berkelanju-
GITA SANGNOVEMBER-DESEMBER 2015
GITA UTAMA tan. Pendidikan yang saya maksud bukan pendidikan yang bersifat formal di dalam kelas melainkan pendidikan non-formal di dalam dan di luar lingkungan sekolah. Saya cenderung melihat bahwa pendidikan non-formal di dalam dan di luar sekolah sangat berpeng aruh dalam membentuk pribadi yang peduli dan sensitif terhadap alam dan linkungannya. Pendidik an non-formal di dalam dan di lingkungan sekolah mengacu kepada pola hidup dan kebiasaan yang dibangun di dalam pagar sekolah, keluarga dan masyarakat lebih luas. Ketika menyebut kata pendidikan, yang saya maksud adalah segala upaya konkret untuk mengubah perilaku dan sikap yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran orang tentang nilai-nilai, dalam hal ini lingkungan, dan permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat menggerakkan orang tersebut untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Kelompok sasaran dari kegiatan ini adalah kelompok usia sekolah. Mereka merupakan sumberdaya yang sangat potensial di masa mendatang jika dipersiapkan dengan baik melalui proses pendidikan. Dengan ini saya hendak menyatakan bahwa proses ini perlu dimulai dari lingkungan sekolah. Mengapa lingkungan sekolah? Karena di sana kontrol terhadap proses hingga langkah terakhir dapat
dilakukan dengan mudah. Selain itu kenyataan bahwa murid lebih mendengar gurunya daripada orangtua mereka menjadi faktor yang perlu diperhitungkan dalam melakukan gerakan ini. Di dalam lingkungan sekolah proses pendidikan ini dapat dilakukan dengan menciptakan budaya bersih dan peduli lingkungan. Sekolah misalnya, bisa menciptakan semacam aturan yang jelas dan tegas, lengkap dengan segala prosedur yang tersistematisasi dengan konsekuensinya yang jelas yang pada intinya untuk membiasakan anak didik bersikap peduli pada lingkungannya, seperti mampu membedakan jenis-jenis sampah, mengetahui ke mana sampah jenis tertentu harus dibuang, tindakan apa yang harus diambil setelah sampah-sampah itu dikumpulkan, dan seterusnya. Bila perlu para murid dilibatkan dalam menentukan proses lanjutan terhadap sampah yang telah dikumpul hingga sampah buangan itu menjadi sesuatu yang berharga dan dapat dimanfaatkan dalam wujudnya yang baru. Para murid juga bisa dilibatkan untuk mengolah jenis sampah yang bisa dijadikan kompos hingga turut memutuskan untuk apa kompos itu digunakan. Kompos misalnya bisa dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman yang ditanam di lingkungan sekolah, juga bisa dipakai untuk memupuk kebun sayur kecil yang sengaja diadakan di dalam lingkungan sekolah. Proses lengkap semacam ini sangat bermanfaat dalam menciptakan pribadi yang berkarakter
GITA SANG SURYA, NOVEMBER-DESEMBER 2015
peduli dan sensitif terhadap alam bila dilakukan secara konsisten dan menjadi bagian dari budaya atau kebiasaan keseharian di sekolah. Apa yang dilakukan di sekolah harus juga dilakukan di lingkungan keluarga dan masyarakat. jadi perlu sinergi antara sekolah, keluarga dan masyarakat luas. Para murid perlu didorong untuk menjadi agen perubahan baik di keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Hal itu misalnya dapat dilakukan dengan memberi mereka proyek daur ulang atau proyek peduli lingkungan lainnya yang harus mereka lakukan di rumah dan di lingkungannya. Agar gerakan ini menjadi gerakan bersama, sekolah perlu melibatkan orang tua dan aparat pemerintahan di tingkat paling bawah seperti RT. Melihat rantai proses yang cukup panjang, harus diakui bahwa upaya untuk menciptakan manusia yang sensitif terhadap alam tidaklah mudah. Tetapi bagi orang yang membiarkan harapannya untuk melihat dunia yang semakin baik tetap hidup hambatan dan rantai proses yang cukup panjang ini tidak akan menjadi halangan. Mari kita menjadikan diri kita dan orang-orang yang ada di sekitar kita pribadi yang peka dan peduli dengan alam, sebab hanya dengan itu kita bisa mewariskan alam yang indah dan menghidupkan untuk generasi yang akan datang. Penulis adalah Pengajar di Jakarta Nanyang School, Bumi Serpong Damai.
9
SOSOK
M
10
JPIC-O FM
enggagas model pertanian yang menjamin kelestarian lingkungan hidup tidak selalu mudah di tengah dahsyatnya teknologi pertanian yang didominasi logika dagang dan bukan keutuhan lingkungan. Penggunaan zat-zat kimia yang berdampak buruk terhadap keanekaragaman flora dan fauna sulit dihindari. Semua demi optimalisasi produksi sambil mengorbankan keanekaragaman hayati. Namun hal itu tidak membawa kemandirian bagi para pe tani. Sebaliknya, ketergantungan pada industri yang menyediakan pupuk kimia dan obat-obatan tak terhindarkan. Di saat yang sama, ilmu pertanian menjadi barang mahal yang ‘didagangkan’ kepada para petani lewat paket latihan yang diselenggarakan di hotel-hotel besar. Petani kecil tentu sulit mengaksesnya. Sebagai Insinyur dan penyuluh Pertanian Ibu Nan Djuarnani, MSc prihatin dengan itu semua. Bersama suaminya, Dr. Ir. Ade Djuhara Wirasasmita MSc, ia memulai komunitas Saung Wira di Jl. Raya Tapos (Veteran III), Desa
Ir. Hj. Nan Djuarnani, MSc Banjarwaru, Ciawi-Bogor, Jawa Barat. Pengetahuan tentang bertani dan beternak mesti menjadi milik petani. Bagaimana wujud keber pihakan Saung Wira pada lingkungan hidup dan para petani? Berikut bincang-bincang GSS dengan Ir. Nan Djuarnani, MSc. Mengapa diberi nama Saung Wira? Saat membeli tempat ini dulu, ada sebuah gubug. Dalam bahasa Sunda, gubug disebut Saung. Lalu Wira itu diambil dari nama ayah suami saya yaitu Bapak Wirasasmita. Nama pa Ade sen diri, suami saya, adalah Adejohara Wirasasmita. Untuk mengingat men-
diang sang ayah, maka tempat ini disebut “Saung Wira. Selain itu Wira juga berarti berdiri sendiri (mandiri), berusaha sendiri tanpa bantuan modal dari luar, hasi jeri payah sendiri. Tempat ini dimulai dari usaha sendiri, diolah dengan modal sendiri, bahan-bahan olahan sendiri dan mengembangkan usahausaha demi kemandirian keluarga dan juga orang-orang binaan. Tempat ini akan tetap menjadi tempat usaha mandiri. Apa saja kegiatannya? Untuk memanfaatkan lahan ini, kami mendirikan wisma untuk memberi tambahan penghasilan. Sampai saat ini, ada delapan (8) unit wisma yang dilengkapi aula tempat pertemuan dan juga penyuluhan. Selain itu, kegiatan mayor, yang paling utama di tempat ini adalah Pelatihan “Wira Tani”. Ide awalnya? Setelah pensiun, k am i me mbu at lembaga pelati-
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
han “Wira Tani”. Latar belakang kami di bidang pertanian, suami bekerja di Departemen Pertanian Provinsi dan saya adalah Dosen di UNPAR – Bandung pada periode 1973 – 1986. Saya mengajar di Fakultas Peternakan secara khusus mengajar foodtechnology. Di sela-sela periode mengajar ini, kami mendapat kesempatan untuk mendalami ilmu masing-masing di Amerika (1980 -1984). Suami mengambil S2 dan S3 Pendidikan - Master of Education – khususnya Andragogy, yaitu pendidikan di luar sekolah, seperti pelatihan-pelatihan. Saya sendiri mengambil Tehknik Industri. Tahun 1984 -1986 melanjutkan tugas mengajar di UNPAR. Pada tahun 1986 saya pindah ke Departemen Pertanian dan kami pun memilih pindah ke Ciawi, tempat kami sekarang mengisi masa-masa pensiun. Karena latar belakang tersebut dan melihat situasi yang sangat memungkinkan di tempat inilah, kami memulai “Wira Tani” ini. Pengalaman mengajar di Universitas dan juga di Departemen Pertanian dan juga dengan seringnya mengadakan penyuluhan tentu saja sangat membantu usaha ini.
Kami membuka wawasan bahwa pertanian itu luas, bukan hanya bercocok tanam, tetapi ada juga perikanan, peternakan, dan lain sebagainya. Apa keprihatinan pada saat itu? Pada tahun 1990-an sedang boomingnya produksi pakan ternak seperti cacing, jangkrik dari Trubus atau perusahaan lain. Kami sangat prihatin bahwa untuk mengikuti pelatihan ini membutuhkan biaya yang sangat mahal. Dibutuhkan jutaan rupiah untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Padahal, pesertanya dari kalangan petani dan mahasiswa. Melihat kondisi tersebut, kami berpikir untuk membantu para petani dengan membuka pelatihan untuk yang kurang mampu. Kami bukannya mau menandingi, tetapi untuk mengimbangi, terutama agar terjangkau oleh kelas menenga h ke bawah. Prinsipnya, kami menyediakan yang murah dan yang terjangkau oleh kelas bawah. Ke wiraan dan kemandirian; bagaimana nilai ini disampaikan
JPIC-OFM
JPIC-OFM
SOSOK
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
kepada para petani? Kami ingin memotivasi calon-calon petani, anak-anak, dan orang muda melalui penyuluhan dan pelatihan, bahwa kita harus punya kemauan untuk berusaha dan jangan malu berusaha, terutama dalam bidang pertanian. Kami membuka wawasan bahwa pertanian itu luas, bukan hanya bercocok tanam, tetapi ada juga perikanan, peternakan, dan lain sebagainya. Sehingga kami juga menyediakan pelatihan-pelatihan untuk bidang-bidang itu. Kita harus cepat mengambil peluang. Kami juga mengajak mereka untuk bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya, agar bisa mandiri. Selain mengajar, kami juga menunjukkannya dengan tindakan. Kami beternak dan mendapatkan hasil produksi. Misalnya saja, waktu itu kami mengembangkan usaha jangkrik, kami menunjukkan bahwa kami bisa mendapatkan penambahan penghasilan yang lumayan. Telur jangkrik waktu itu punya harga setara emas. Demikian juga cacing. Asal ada kemauan, tidak susah untuk mencari pendapatan. Bagaimana perkembangan para petani dampingan? Kami selalu menjalin kontak dengan para petani dampingan. Kami juga menyadari, hasil produksi pertanian selalu naik turun. Tetapi kami mengajak para petani damp-
11
SOSOK ingan untuk selalu menangkap peluang yang ada. Ada Program untuk anak-anak? Kami membentuk program petani cilik di “Wira Tani”. Program ini bertujuan untuk memperkenalkan pertanian sejak dini, karena ada kecendrungan untuk menghindari yang namanya pertanian dan menjadi petani. Mengapa? karena pertanian itu identik dengan pekerjaan rendah, remeh temeh, kotor, tidak menguntungkan. Karena itulah kami membuka program tani sejak dini. Kami mengajak anak-anak untuk menyadari pentingnya pertanian dan menunjukkan bahwa menjadi petani bukanlah profesi yang remeh temeh. Kami membangun kebanggan dalam diri anak – anak untuk bangga dengan profesi sebagi petani. Selain untuk anak-anak kecil, kami juga membuka pelatihn bagi pensiunan. Intinya, kegiatan di Wira Tani adalah mengajak semua orang dari segala usia untuk tidak berhenti berkarya. Anak-anak sangat senang dan antusias mengikuti berbagai pelatihan di tempat ini. Mereka tidak lagi takut kotor. Mereka berani terun ke sawah untuk menanam padi. Dengan mengadakan Program Petani Cilik ini, kami juga punya kesempatan untuk mendampingi ibu-ibu yang datang menemani anak-anaknya, misalnya dengan mengajarkan pembuatan mie sehat, bakso sehat, chicken nuget, telur asin, dan lain sebagainya. Ada kegiatan lain? Di sini, kami juga membuat
12
sanggar angklung. Seperti kita keta hui, pada tahun 2010, angklung mau diambil Malaysia sebagai budaya nya, maka kami melakukan protes dengan mengembangkan angklung. Kami pun membeli paket angklung dari Saung Ujo di Bandung. Kami mengajak teman-teman pensiunan dari berbagai kalangan yang punya minat untuk kegiatan ini. Kemu dian kami mengajak anak-anak dan sekarang makin berkembang. Untuk latihan tidak dipungut biaya. Kami malah memberi uang saku kepada anak-anak. Pendidikan dan setiap pelatiha n ternyata bisa dijang kau. Dalam diri anak-anak mu lai tertanam kebanggaan, bahwa mereka bisa mandiri dan bahkan bisa menghasilkan uang melalui kegiatan-kegiatannya. Pernah-anakanak dim inta untuk memainkan angklung di pembukaan pesantren yang dibiayai oleh Negara Qatar. Dari penampilan tersebut, anakanak mendapat masing-masing 1 juta rupiah. Selain itu, kami juga meng ajak ibu-ibu di sekitar untuk me nambah penghasilan dengan pro gram pembuatan pupuk organik. Pupuk hasil olahan kami beli dan ibu-ibu mendapat tambahan pema sukan untuk rumah tangganya. Prolingkungan Hidup? Sejak awal usaha di bidang pertanian ini prinsipnya tidak meng hasilkan limbah. Tetapi sesuatu yang selalu bisa diolah kembali. Usaha kami adalah untuk membentuk siklus yang menghasilkan barangbarang yang dapat diolah kembali, bukan menghasilkan limbah. Itu
KAMI mengajak anak-anak untuk menyadari pentingnya pertanian dan menunjukkan bahwa menjadi petani bukanlah profesi yang remeh temeh. Kami membangun kebanggan dalam diri mereka untuk bangga dengan profesi sebagai petani. menjadi cara kami untuk prolingkungan hidup. Apakah ini bagian dari ajakan Iman? Dalam Alquran ditekankan untuk bisa merawat, menjaga dan memanfaatkan apa yang diberikan Tuhan. Kita semua belajar dari alam, dari apa yang disediakan dari alam. Denganya terbentuk rasa syukur dan keyakinan untuk melihat apa yang diciptakan Tuhan tetap lestari. Apa harapannya terhadap orang – orang di lingkungan sekitar? B e rhar ap s e mu a y ang datang mencontohi apa yang sudah ditunjukan di Saung Wira. Semua orang bisa memanfaatkan limbah yang ternyata menguntungkan dan menghasilkan uang. Limbah/sampah jangan dibuang, ‘b’-nya aja yang dibuang sehingga jadi ‘uang’. ” Sdr. Asep Cahyono OFM
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
OPINI
Agama-agama dan Lingkungan Hidup
P
ada saat ini salah satu “duka” yang mendalam yang sedang dirasakan oleh dunia adalah rusaknya lingkungan yang semakin parah dan semakin terjadi. Data dan fakta yang ada semakin memperjelas dan mempertegas kenyataan kehancuran alam semesta. Proses pemanfaatan alam yang tidak terkendali telah mengakibatkan eksploitasi alam tanpa batas dan melanggar semua aturan yang ada. Kenyataan ini telah menghasilkan penjarahan luar biasa generasi masa kini atas warisan bagi generasi yang akan datang. Sumber alam yang seharusnya diwariskan kepada generasi penerus yang akan datang telah dirampok habis-habisan secara membabi buta oleh manusia saat ini. Rasa kasih manusia pada alam semesta seperti hilang begitu saja. Akhir-akhir ini dampak kerusakan dan pencemaran lingkung an sudah semakin parah dan mengancam kehidupan mahluk hidup. Paparan polusi dan pen cemaran lingkungan sudah jauh melebihi ambang batas bahaya bagi kehidupan, bahkan akhir-akhir ini korban mulai berjatuhan akibat paparan polusi bencana asap. Akibat dari pencemaran dan kerusakan-kerusakan itu sebagaimana yang telah terdeteksi sebelumnya akan mengakibatkan dampak yang
Sr. Modesta Endang Murtiwi, SMFA Rusaknya lingkungan hidup ini sudah menjadi masalah global,masalah yang menyangkut seluruh kehidupan semesta ini. Karena itu masalah ini juga harus diatasi oleh seluruh bangsa yang ada di dunia ini, gerakan bersama harus segera dimulai untuk menyelamatkan bumi ini, semua pihak harus saling bersinergi menyatukan langkah demi keselamatan alam semesta. berkepanjangan dan mengancam seluruh eksistensi mahkluk hidup yang tinggal di bumi ini antara lain pemanasan global,semakan berkurang dan bahkan hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim diseluruh dunia dan munculnya berbagai macam jenis penyakit baru. Rusaknya lingkungan hidup ini sudah menjadi masalah global,masalah yang menyangkut seluruh kehidupan semesta ini. Karena itu masalah ini juga harus diatasi oleh seluruh bangsa yang ada di dunia ini, gerakan bersama harus segera dimulai untuk menyelamatkan bumi ini, semua pihak harus saling bersinergi menyatukan langkah demi keselamatan alam semesta. Berkaitan dengan masa-
GITA SANG SURYA, NOVEMBER -DESEMBER 2015
lah tersebut Kompas edisi Sabtu 05 September 2015 memuat beri ta yang kiranya perlu disambut dengan hangat dan menjadi oase yang menyejukkan ditengah gencarnya semua pihak menghadang laju kerusakan alam. “Organisasi Keagamaan Satukan Seruan”. Diberitakan bahwa sejumlah tokoh keagamaan di Indonesia pada hari jum’at 4 September 2015,menyatakan komitmennya bergabung dalam gerakan “BERGERAK MENYELAMATKAN BUMI” Mereka akan menggandeng sejumlah komunitas dan organisasi demi meningkatkan kesadaran tentang perubahan iklim dan dampak nya pada Negara kepulauan dan global. Gerakan tersebut diinisiasi oleh Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
13
OPINI Din Syamsudin didukung lembaga-lembaga keagama an Persekuatuan Gereja-Gereja Indonesai (PGI), Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI), perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) dan Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia (Matakin), serta WWF Indonesia. Kita bersyukur dan sangat mengapresiasi gerakan tersebut, dengan semakin banyaknya orang ataupun kelompok-kelompok bahkan organisasi-organisasi keagama an bergerak dan menyatukan langkah yang sama menyelamatkan bumi ini akan semakin membuka kesadaran seluruh elemen ma syarakat agar memiliki tujuan yang sama. Bumi harus diselamatkan dari ancaman kehancuran yang semakin masif. Peran lembaga keagamaan memang sangat penting dan menjadi sangat strategis karena mampu menggerakkan peran umat untuk turut berpartisipasi aktif dalam menghambat lajunya perubahan iklim. Agama-agama sangat berperan karena memiliki lembaga yang cukup banyak dan pemimpin yang dipercaya oleh umatnya dan sekaligus mampu menggerakkan umatnya. Agama manapun pasti mengajarkan dan menghendaki bahwa semua pengikutnya merawat dan memelihara alam semesta. Semua agama mengajarkan agar selalu hidup dalam harmoni dengan alam serta memanfaatkan alam dengan baik dan benar. Agama-agama juga menekankan pentingnya tanggung jawab manusia terhadap alam semesta dan menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Agama-
14
agama melihat bahwa factor utama munculnya masalah lingkungan hidup karena rusaknya keseimbangan tersebut. Dengan menjaga lingkungan hidup berarti usaha untuk mencapai keseimbagan antara pemanfaatan sumber-sumber alam dan menjaganya untuk masa depan. Disisi yang lain agama-agama juga mengingatkan para anggota nya bahwa ketika umat manusai mulai lalai dan mengabaikan upaya melindungi lingkungan hidup baik secara individu maupun organisasi maka sebesar itu juga akibat yang akan ditimbulkannya. Secara umum agama-agama memiliki cara pandang yang sama dalam menghormati alam. Agama-agama menilai bahwa lingkungan tempat tinggal manusia merupakan bagian dari kehidupan dan diciptakan untuk kelangsung an hidup manusia serta dipergunakan dengan baik dan benar. Alam telah memberi kehidupan14 d a n
melayani manusia sejak kehadiran nya dimuka bumi ini. Manusia dari abad ke abad telah menikmati sumber-sumber pokok kehidupan melalui alam. Secara alami proses ini terus berlangsung hingga sampai detik ini, di mana saat ini manusia sudah kehilangan rasa hormatnya terhadap alam semesta. Sebagai bagian dari alam semesta kita semua diundang untuk semakin terlibat dalam penyelamatan bumi. Dalam konstitusi pastoral Gaudium et Spes, para bapa konsili vatikan II telah menegaskan dengan jelas peran tersebut bahwa Gereja Katolik menjadikan suka duka dunia sebagai suka dukanya sendiri. Gereja Katolik ingin bersikap solider terhadap dunia,menjadi senasib sepenanggungan dengan dunia. Lingkung an hidup yang sekarang semakin teraniaya oleh manusia itu sendiri menjadi symbol teraniayanya Allah sang pemberi kehidupan itu
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
OPINI sendiri. Dalam hal ini sikap Santo Fransiskus menjadi teladan bagi siapa saja yang berkehendak baik untuk menyelamatkan bumi ini. Santo Fransiskus juga telah lama menjadi inspirasi hijau,melalui deklarasi Assisi pada tahun 1986 juga telah ditegaskan kembali peranan para pemimpin agama-agama yang telah menyerukan agar manusia hidup secara harmonis dengan alam. Niat-niat baik dari semua yang peduli menyelamatkan bumi ini harus juga disertai dengan tindakan-tindakan dan langkah-langkah konkrit. Para pemuka agama harus berani berada di garda depan dalam melawan korporasi yang defacto paling banyak andil dalam kerusakan lingkungan. Lembaga-lembaga agama harus bersatu padu dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat dalam gerakan untuk menekan pemerintah selaku pengambil kebijak
an agar membuat dan menegakkan peraturan-peraturan yang mencegah rusaknya lingkungan hidup. Perambahan hutan dan eksploitasi tambang oleh korporasi besar yang tidak bisa dihadapi oleh kelompok-kelompok kecil harus dilawan oleh semua pihak yang peduli terhadap masalah lingkungan hidup. Kiranya
dalam hal ini peran para tokoh agama sangat strategis menggerakkan umatnya bergandengan tangan memperkuat barisan melawan para perusak lingkungan yang selama ini terlindungi dan bersembunyi dibalik para penguasa. Foto: Fr. Kristo Selamat
Para pemuka agama harus berani berada di garda depan dalam melawan korporasi yang defacto paling banyak andil dalam kerusakan lingkungan. Lembaga-lembaga agama harus bersatu padu dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat dalam gerak an untuk menekan pemerintah selaku pengambil kebijakan agar membuat dan menegakkan peraturan-peraturan yang mencegah rusaknya lingkungan hidup. GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
15
INDONESIA
MAHASISWA EKOLOGIS Persoalan ekologis bukanlah masalah konsep, ide atau gagasan tetapi menyangkut sikap dan tindakan kita terhadap alam. Karena itu, diskusi tentang ekologi tidak boleh berhenti di ruang kelas pada gagasan spekulatif, ekologi bukan soal lurus atau tidaknya pikiran tetapi mengenai tanggung jawab kita ter hadap lingkungan sekitar.
S
alah satu tema pokok yang sedang hangat dibicarakan saat ini adalah persoalan mengenai keutuhan lingkungan hidup. Betapa tidak, setiap hari kita selalu dikejutkan oleh berita tentang bencana alam. Bencana alam kerap kali menghiasi media masa dan elektronik. Di berbagai daerah di belahan dunia masalah lingkungan hidup menjadi masalah yang serius. Ekologi menjadi persoalan yang penting karena ekologi menyangkut hidup seluruh makhluk hidup. Menyangkut keselamatan manusia dan kelestarian alam. Masa depan bumi bergantung dari seberapa serius kita mengatasi persoalan tersebut. Pada kita bergantung seluruh harapan seluruh anak cucu kita. Setiap sikap dan tindakan kita terhadap alam sangat menentukan keselamatan bumi. Karena itu, masalah lingkungan hidup menjadi keprihatinan semua insan yang berakal budi. Refleksi atas lingkung an hidup mestinya dilaksanakan setiap
16
orang, mulai dari pribadi-pribadi sampai pada lembaga atau institusi resmi negara. Masyarakat kecil dalam hal ini para petani mendapat porsi yang sangat besar dalam ref leksi atas lingkungan hidup sebab merekalah yang merasakan secara langsung dampak dari kerusakan alam.Sebagai mahasiswa, apa yang mesti kita perbuat mengenai ma salah lingkungan hidup? Pertama-tama perlu disadari bahwa persoalan ekologis bukanlah masalah konsep, ide atau gagasan tetapi menyangkut sikap dan tindakan kita terhadap alam. Karena itu, diskusi tentang ekologi tidak boleh berhenti di ruang kelas pada gagasan spekulatif, ekologi bukan soal lurus atau tidaknya pikiran tetapi mengenai tanggung jawab kita terhadap lingkungan sekitar. Masalah ekologis membutuhkan sikap, kepedulian dan tindakan untuk menyelamatkan bumi dengan tetap berpegang pada konsep pemikiran yang benar yang selaras dengan alam. Saat ini, mungkin kita
terkejut dengan perubahan iklim yang ekstrem, siang hari sangat panas sedangkan malam sangat dingin. Perubahan suhu udara yang sangat drastis ini disebabkan karena alam kita sedang dalam masalah. Akhir-akhir ini, surat kabar dan televisi menyuguhkan kepada kita berita tentang kebakaran hutan, kemarau yang panjang yang menyebabkan kekurangan air bersih dan gagal panen, dan polusi udara semua ini merupakan bukti bahwa alam kita sudah rusak. Melihat persoalan ekologis di atas Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Widya Sasana Malang mengambil inisiatif yang sederhana namun menantang. Mereka mengatasi persoalan ekologis dengan tidak hanya berdiskusi di ruang kelas tetapi mulai dari tindakan konkret setiap hari yaitu mengubah gaya hidup. Cara para mahasiswa jurusan Filsafat-Teologi ini mengatasi
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
INDONESIA
Foto: Mathias Jebaru Adon
Para Frater SMM di MalangJawa Timur, Bike to Campus dijadikan pilihan dalam aksi meng urangi emisi gas rumah kaca. pencemaran udara dengan tidak menggunakan mobil atau sepeda motor saat berangkat ke kampus. Kampus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang yang jarak 7 KM dari seminari Montfort Pondok Kebijaksanaan di Joyo Agung, 2 KM dari komunitas studi San Giovani di Sigura-gura, 8 KM dari rumah studi Pasionis dan OSM di Bandulan, 1 KM dari rumah studi CM di Lansep, rumah studi CDD di Belimbing dan rumah studi MSF, Malang ditempuh oleh ratusan mahasiswa setiap hari dengan mengendarai sepeda ontel. Tujuannya jelas, supaya mengurangi emisi akibat pembakaran bahan bakar minyak (BBM)
yang menyebabkan polusi udara, akibat jangka panjangnya pemanasan global. Kita bisa membayangkan berapa persen sumbangan setiap orang setiap hari bagi pencemaran lingkungan mulai dari kendaraan yang kita gunakan setiap hari, limbah rumah tangga dan berbagai kebiasaan lain yang dapat merusak lingkungan. Hal inilah yang menjadi keprihatinan para Mahasiswa Filsafat Teologi Widya Sasana sehingga mereka dengan berani menantang dirinya untuk menggunakan sepeda onthel setiap hari. Dengan menggunakan sepeda onthelsetiap hari para mahasiswa menyadari bahwa persoalan lingkungan hidup bukan hanya persolan yang hanya dibicarakan di bangku kuliah tetapi soal pola hidup kita setiap hari. Dengan mengendarai sepeda setiap hari para mahasiswa dapat merasakan panasnya suhu udara di siang hari dicampur polusi udara akibat asap kendaraan serta dapat melihat secara langsung
sampah yang berserakan di pinggir jalan. Pengalaman semacam ini menumbuhkan semangat dalam diri para mahasiswa untuk senanti asa membangun pola hidup yang selaras dengan alam. Program everyday no car dari para mahasiswa ini, secara tidak langsung mengajak masya rakat untuk menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) secara bijaksana sehingga tidak merusak lingkungan sekitar. Gerakan everyday no car dari para mahasiswa menjadikan kampus Sekolah Tinggi Filsafat TeologiWidya Sasana sebagai kampus ekologis. Mathias Jebaru Adon, SMM
Kepedulian ada pada kesahajaan dan kesetiaan mengayuh ontel yang tiap kali diuji di bawah terik panas siang hari dan kepulan asap kendaraan bermotor! Bro, Mampukah kalian bertahan?
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
17 Foto: JPIC-OFM
INDONESIA
Bersama Mendukung Perubahan Iklim
K
Kampanye Demi Tegaknya Keadilan Iklim demi kenyamanan di bumi rumah kita bersama
urang lebih 200-an pastor, suster, frater, bruder dan umat Katolik di Jakarta ikut memenuhi jalan pusat ibu kota Jakarta, berbaur dengan ribuan orang pada hari bebas kendaraan, Minggu (29/11) yang lalu. Mengenakan baju berwarna putih, ikat kepala bertuliskan “Keadilan iklim dan mulut ditutupi masker dengan tulisan “Indonesia bebas asap” mereka berteriak “Indonesia, bebas asap, Indonesia, tolak sawit.” Mereka menamakan dirinya GELHUKI – Gerakan Lingkungan Hidup Katolik Indonesia. Mereka tidak sendirian pada saat itu, ada juga Walhi dan LSM lainnya yang secara bersama-sama menyerukan dan menuntut Indonesia dan dunia menghentikan setiap aktivitas yang merusak hutan, stop tambang dan selamatkan air demi keadilan iklim. Desakan bebas asap, tolak sawit, dan tolak tambang bukan tanpa dasar. Asap yang melanda wilayah Sumatera dan Kalimantan beberapa waktu lalu telah mengakibatkan penderitaan bagi banyak orang dan kematian bagi anak-anak. Pembukaan perkebunan sawit yang tanpa batas dengan cara menebang atau membakar hutan telah membuat masyarakat asli yang sangat tergantung pada hutan tersingkir dan menjadi tambah miskin. Demikianpun aktivitas pertambangan telah membuat warga masyarakat sekitarnya menjadi miskin. Aksi GELHUKI merupakan aksi solidaritas dengan The
18
Global Catholic Climate Movement (GCCM) di seluruh dunia dan semua orang yang berkendak baik yang mendiami planet bumi, rumah semua orang. Selain aksi serentak turun ke jalan-jalan di negara masing-masing, GCCM juga membuat petisi dan mengumpulkan 1 juta tanda tangan atas petisi tersebut untuk diserahkan ke COP 21 di Paris. “Sudah ada 800 ribu tanda tangan yang sudah diserahkan ke sidang COP 21 Paris. Sisanya akan diserahkan setelah sidang 21 November 2105,” demikian Pastor Paul Rahmat, SVD, koordinator GELUKHI. Tuntutan GELHUKI, GCCM dan warga dunia pada aksi Global untuk Keadilan Iklim menunjukan bahwa ada hubungan yang tak terpisahkan antara bumi rumah kita bersama dengan umat manusia yang mendiaminya. Tentang hubungan yang tak terpisahkan itu, merujuk pada St. Fransiskus dari Assisi Paus Fransiskus menyatakan “St. Fransiskus menunjukkan kepada kita hubungan tak terpisahkan antara kepedulian terhadap alam, keadilan bagi kaum miskin, komitmen kepada masyarakat, dan kedamaian batin." “Kita hadir di sini, karena kita peduli; peduli terhadap ibu pertiwi yang sedang menangis dan meratap; Kita hadir di sini karena mau mendengarkan dengan hati nurani jeritan penderitaan orang-orang miskin, kelompok-kelompok rentan yang terdampak akibat perubahan
iklim yang kita akui sebagai “human made disaster” dan krisis moral terbesar dewasa ini. Kita berdiri di sini untuk mengambil sikap dan bertindak, bersama-sama mengatasi dampak perubahan iklim tersebut,” demikian pernyataan GELHUKI. Aksi global untuk keadilan iklim 2015 dilakukan menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (Conference of Parties / COP) ke-21 United Nation Framework on Climate Change (UNFCCC/ Konvensi kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) di Paris, Prancis, 30 November hingga 11 Desember yang dihadiri kurang lebih 40.000 delegasi dari 195 negara di seluruh dunia termasuk Presiden RI, Joko Widodo. Tujuan COP21 Paris adalah untuk mencapai kesepakatan yang mengikat secara hukum, dengan partisipasi semua bangsa, untuk menjaga pemanasan global di bawah ambang 2 derajat celcius seperti yang diprediksi para ilmuwan. (Tempo.co/29/11/15). Kepada para kepala negara inilah Aksi Global untuk keadilan iklim dilakukan dan diserukan agar mereka mau mendengarkan ra tap tangis bumi yang sudah sema kin
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
JPIC-
-OFM
INDONESIA rusak dan jeritan penderitaan kaum miskin di seluruh dunia. “Kita menyerukan kepada mereka sebagai saudari dan saudara untuk mendengarkan ratap tangis ibu pertiwi dan jeritan penderitaan kaum miskin di seluruh dunia; dan mengambil komitmen yang ber arti dan mengikat sehingga terarah kepada sebuah transformasi sejati dalam membangun relasi dengan semua ciptaan,” kata Pastor Paul Rahmat, SVD. Bersama GCCM, GEL HUKI menyerukan kepada para pemimpin dunia dan para politisi Indonesia untuk mengurangi emisi carbon secara drastis demi mene kan tingkat kenaikan suhu global di bawah ambang batas berbahaya 1,5 derajat Celsius. GELUKHI juga mendesak pemimpin politik Indonesia dan dunia membantu kaum miskin, kelompok paling rentan - anakanak, kaum perempuan, kelompok disabilitas, para petani, nelayan, dan kaum buruh - dalam menghadapi dampak perubahan iklim dengan menyedia-kan finansial yang diper lukan agar mereka mampu berad aptasi dan memitigasi perubahan iklim global. Di tangan semua delegasi COP 21 masa depan bumi rumah kita bersama digantungkan. ada
kekuatan besar di sana yang dapat membawa bumi ini ke arah yang lebih baik atau semakin hancur. Menurut Paus Fransiskus, masa depan umat manusia tidak hanya berada di tangan-tangan para pemimpin besar, para penguasaa dan kaum elit yang hebat-hebat tersebut. Sebaliknya masa depan umat manusia secara fundamental ada di tangan orang-orang biasa dan dalam kemampuan mereka mengorganisir. Itu ada di tangan mereka yang dengan rendah hati dan penuh keyakinan memimpin proses perubahan ini. Presiden Jokowi: Penegakan Hukum Secara Tegas Presiden Jokowi dalam pidatonya pada COP 21 menegaskan komitmennya untuk berkontribusi dalam aksi global menurunkan emisi. “Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29 per sen dibawah ambang batas pada tahun 2030. Penurunan emisi tersebut dilakukan dengan mengambil langkah di bidang energi berupa pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif, peningkatan penggunaan sumber energi terbarukan hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional 2025.” (Kompas.com/1 Des 2015). Presiden juga mengatakan bahwa pemerintahannya akan membangun Indonesia dengan memperhatikan lingkungan. Untuk mencapai itu menurut Jokowi perlu penegakan hukum yang tegas. “Penegakan hukum secara tegas, dilakukan langkah preventif, telah disiapkan dan sebagian mulai diimplementasikan restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut.” (Kompas.com/1 Des 2015).
19 GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
Presiden Jokowi berharap Kesepakatan Paris harus mencerminkan keseimbangan, keadilan, serta sesuai prioritas dan kemampuan nasional mengikat, jangka panjang, ambisius, namun tidak menghambat pembangunan negara berkembang. Presiden Jokowi juga berharap bahwa mencapai kesepakatan di Paris adalah suatu keharusan. Semua yang hadir dalam COP 21 harus menjadi bagian dari solusi menjadikan bumi ini menjadi tempat yang nyaman bagi anak cucu kita. Komitmen Presiden Jokowi untuk keselamatan lingkungan di Indonesia dan dunia merupakan sesuatu yang kita tunggu. Aksi Global untuk Keadilan Iklim 2015 merupakan bagian dari tuntutan yang harus dipenuhi oleh Presiden Jokowi dan para politisi di Senayan. Dengan demikian”jeritan bumi maupun jeritan kaum miskin” tidak terdengar lagi. Yang ada adalah bumi rumah kita bersama yang nyaman untuk didiami oleh semua makhluk di muka bumi ini. Semua mata hati tertuju kepada COP 21 di Paris. “Bersidang tentang perubahan iklim yang diharapkan mencapai kesepakatan yang mengikat. Gagal mencapi kesepakatan dalam perundingan tersebut merupakan bencana. Tanggal 11 November kita akan menyaksikan apakah berkah atau bencana yang keluar dari ruang sidang COP 21. Keputusan yang mereka ambil, entah berkah atau bencana, akan menentukan wajah bumi kita dan nasib umat manusia tahun 2050 atau 2100,” kata Paus Fransiskus. Valens Dulmin
19
INTERNASIONAL
Di Australia, Kebijakan Imigrasi Menekan Nasib Puluhan Ribu Pencari Suaka Yang Masuk Melalui Jalur Laut Kebijakan “Stop the boats”
atau “Tolak kapal”. Kini, siapa saja termasuk para pengungsi yang memasuki wilayah perairan Austra lia akan diusir atau dikirim ke tempat-tempat pe nahanan imigran ilegal.
M
elonjaknya jumlah pencari suaka dan pengungsi yang memasuki Australia melalui jalur laut telah menimbulkan reaksi keras dari pemerintah. Departemen Imigrasi menilai, ke datangan 39,588 pencari suaka, termasuk anak-anak, dalam 5 tahun terakhir telah mengganggu stabilitas batas negara. Mereka yang datang dengan kapal-kapal kayu itu bertolak dari negara-negara seperti Indonesia, Malaysia dan Sri Lanka. Karena dianggap imigran ilegal, mereka pertama-tama dimasukkan ke dalam tahanan. Mereka yang membawa anak-anak, atau yang sakit, umumnya dibebaskan terlebih dahulu dan diizinkan tinggal di tengah-tengah penduduk Australia. Namun, sejak bulan Agustus 2013, bahkan pemerintah memperkeras bentengnya dengan kebijakan “Stop the boats” atau “Tolak kapal”. Kini, siapa saja termasuk para pengungsi yang memasuki wilayah perairan Australia akan diusir atau dikirim ke tempat-tempat penahanan imigran ilegal.
20
Data Menurut Sensus 1 Januari 2014 Pada tanggal 1 Januari 2014, tercatat sekitar 30,500 orang, termasuk anak-anak, masih me nunggu jawaban dari Departemen Imigrasi Australia untuk diakui sebagai pengungsi yang sah. Mereka datang melalui jalur laut sebelum kebijakan “Tolak Kapal” diberlakukan dan pemerintah Australia memberikan mereka kesempatan untuk mengajukan suaka. Apabila dapat menunjukkan bukti yang kuat sebagai pengungsi, peme rintah akan mengizinkan mereka menjadi penduduk sementara selama 3-5 tahun. Tidak ada apapun yang bisa menjamin masa depan mereka. Sambil menunggu proses yang panjang itu, mereka harus berusaha memenuhi ke butuhan sehari-hari dengan tunjangan pemerintah yang berjumlah di bawah standar minimal. Mereka, para pencari suaka yang mengambil jalur maritim ke Australia, berasal dari kelompok minoritas yang hidupnya terancam di negara-negara asal mereka.
Kelompok Tamil yang beragama Hindu, misalnya, sering menjadi korban diskriminasi di Sri Lanka. Selain itu, berbagai etnis mi noritas dari Afganistan, Iran dan Irak juga menerima banyak ancaman berbasis SARA di negara-negara tersebut. Kelompok Rohingya yang berasal dari Myanmar telah melahirkan perhatian internasional karena mereka tergolong etnis yang paling terancam keberadaannya setelah tragedi pembantaian di Myanmar yang sudah menjadi tempat kelahiran mereka selama turun temurun. Mereka memiliki satu harapan, yaitu kehidupan yang layak, aman dan damai. Indonesia adalah salah satu negara transit sebelum para pencari suaka menyeberang ke Australia. Perjalanan dengan kapal dari Indonesia ke Australia, dari pesisir pantai selatan pulau Jawa ke batas utara Australia, memakan waktu sekurang-kurangnya 20 hari. Selain harus bertahan di bawah terik sinar matahari, hujan, angin, serta deburan ombak, tidak sedikit pengungsi yang bernasib naas dan tenggelam.
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
www.telegraph.co.uk
Kebijakan Imigrasi Pemerintah Australia
INTERNASIONAL Menurut sensus, jumlah korban tenggelam mencapai 500 jiwa dalam periode Juni 2012 - Juli 2013. Meski nyawa menjadi taruhannya, mereka tetap mengambil risiko itu demi mencari kehidupan yang layak dan tenteram.
ter hadap sekian banyak pencari suaka yang ada di atas kapal-kapal ter sebut, termasuk anak-anak, setelah mereka mengarungi lautan lepas dengan menahan lapar dan dahaga selama kurang lebih 3 minggu.
tahun sebelumnya. Apabila dirinya yang tergolong etnis Tamil dikirim pulang, ia akan dihukum menurut Undang-undang di negara tersebut. Kedua kasus itu merupakan puncak gunung es dari masalah yang sebenarnya. Sangat banyak pencari suaka di Australia merasa terhimpit “Stop the Boats” (Tolak Kapal) Puluhan Ribu Pencari Suaka yang oleh proses imigrasi yang sangat ruSejak berlakunya kebijakan Ada di Australia mit, ditambah trauma yang mere“stop the boats”, pencari suaka yang Puluhan ribu pencari suaka ka alami untuk keluar dari negara datang melalui jalur laut ditahan di yang ada di Australia masih berada tempat asal mereka. pulau Christmas, Nauru (salah satu dalam keadaan terombang-ambing Sejak beberapa bulan ter negara di wilayah Kepulauan Pasimeski mereka diperbolehkan tingakhir, para pencari suaka diizinkan fik) dan pulau Manus (bagian dari gal di tengah-tengah penduduk. bekerja. Tetapi, mencari pekernegara Papua Niu Gini). Hampir Bagaikan telur di ujung tanduk, jaan sangatlah sulit. Ranah publik 3,000 orang saat ini berada di kampmereka dapat diusir sewaktu-waktu di Australia belum memiliki jalur kamp pengungsi yang dikelola oleh dari Australia apabila bukti-bukti pekerjaan yang dapat diakses oleh pemerintah Australia tersebut. yang mereka miliki tidak memenupara pencari suaka. Kebanyakan Komisi HAM Australia mengatahi definisi pengungsi yang ditentulapangan kerja mengharuskan kan, “penahanan pencari s es e o r a n g Australia m e m i l i k i suaka dalam kurun waktu Sangat banyak pencari suaka di yang berkepanjangan ada-merasa terhimpit oleh proses imigrasi yang san- ijazah, atau lah tindakan yang mel-gat rumit, ditambah trauma yang mereka alami m e n g i k u t i anggar hak asasi manusia.” pelatihan daMereka, termasuk untuk keluar dari negara tempat asal mereka. lam ketramanak-anak, hidup dapilan tertentu. lamkondisi yang buruk, ren tan kan. Proses pemeriksaan tersebut Pelatihan semacam itu tentunya ter hadap gangguan fisik maupun memakan waktu yang tak menentu, membutuhkan biaya, sementara psikis; hal ini menyebabkan terbisa mencapai 5-6 tahun. Apabila tunjangan yang mereka dapatkan jadinya aksi-aksi percobaan bunuh pemerintah Australia tidak mengedari pemerintah hanya menutup kediri serta aksi mogok di kampsahkan mereka sebagai pengungsi, butuhan pokok, pendidikan dasar, kamp tersebut. Telah dilaporkan mereka akan dipulangkan ke negaserta pelayanan kesehatan yang juga bahwa pelecehan seksual dan ra asal mereka dimana hak hidup minimal. Ironis bahwa begitu banpemerkosaan dialami oleh bebermereka terancam. yak pencari suaka dan pengungsi apa pencari suaka wanita. Tidak sedikit pencari suaberharap dapat melanjutkan profesi Sejak Desember 2013, Auska yang ada di Australia mengalamereka di Australia. Namun, kontralia telah mengusir 633 orang mi depresi karena ketidakjelasan disi sosial kini memaksa mereka pencari suaka ketika kapal-kapal status kependudukan mereka. Di untuk menjadi pengangguran. yang mereka tumpangi memasuki bulan Oktober 2015, seorang penwilayah maritim Australia. Ironisncari suaka berusia 30 tahun asal Tanggung Jawab Internasional ya, informasi itu dinilai sebagai Afghanistan melakukan tindakan dan Domestik suatu kesuksesan bagi pemerintah bunuh diri karena takut dimasukAustralian Human Rights dalam upaya melindungi perbatkan ke dalam tahanan bagi imigran Commission, Children in Immiasan negara Australia, menegasilegal atau dideportasi. Baginya, gration Detention: statements by kan integritas proses imigrasi, dan kembali ke Afghanistan sama denhealth professional organisations, menghentikan penyelundupan magan hukuman mati. Seorang pen2015. Tak dapat disangkal, Aus nusia di perairan Australia. Pemercari suaka asal Sri Lanka juga telah tralia memiliki reputasi dan sejarah intah seakan-akan menutup mata melakukan tindakan yang sama seyang menonjol di wilayah Asia PaGITA SANG SURYA,NOVEMBER - DESEMBER 2015
21
INTERNASIONAL nya
untuk
Sebagai penandatangan Konvensi memberi perPBB tahun 1951 Tentang Pengungsi, Aus- lindungan bagi tralia bertanggung jawab melindungi pengungsi dan dungi penhak asasi para pengungsi tanpa mem- melin cari suaka yang bedakan bagaimana para pengungsi hidupnya terancam di negara lain. masuk ke wilayah Australia. sifik sebagai negara yang menerima pengungsi. Sebagai penandatangan Konvensi PBB tahun 1951 Tentang Pengungsi, Australia bertanggung jawab melindungi hak asasi para pengungsi tanpa membedakan bagaimana para pengungsi masuk ke wilayah Australia. Konvensi tersebut mendefinisikan pengungsi sebagai seseorang yang merasa terancam karena alasan ras, agama, kewarganegaraan, keanggotaan dalam kelompok sosial atau pendapat politik tertentu, yang berada di luar dari negara dimana ia memiliki status kewarganegaraan, dan tidak dapat atau tidak ingin mendapat kan perlindungan dari negara tersebut. Sudah seharusnya, Australia memenuhi tanggung jawab
22
Akan tetapi, struktur sosial-ekonomi di Australia yang penduduknya baru mencapai 24 juta itu memiliki jurang yang sangat besar bagi para pengungsi yang baru datang untuk berpartisipasi secara aktif. Berbagai kelompok pragmatis, termasuk Gereja, menilai apabila para pencari suaka dan pengungsi diberikan izin tinggal dan lapangan pekerjaan, mereka bisa memberikan kontribusi yang besar bagi Australia. Hal itu juga akan mengangkat para pencari suaka dari keadaan yang depresif dan mengaktualisasikan aspirasi-aspirasi mereka sebagai manusia yang berhak untuk hidup, untuk mendapatkan perlindungan, pendidikan, serta pekerjaan yang layak. Berbagai upaya dilakukan
oleh kelompok-kelompok LSM yang mendampingi para pengungsi dan pencari suaka untuk memulihkan hak hidup mereka. Di antara nya, pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang dapat membangun rasa ke keluargaan bagi para pencari suaka dan mengundang beberapa industri untuk membantu penyaluran tenaga kerja. Respon dari pihak industri sayangnya tidak memadai. Di atas itu semua, pemerintah harus melindungi hak-hak dan kewajiban para pencari suaka selama mereka menunggu keputusan imigrasi di Australia. Yang terjadi justru se baliknya. Setiap hari mereka dibangunkan oleh harapan yang semakin pupus karena kehidupan yang layak masih sangat jauh bagi mereka dan anak-anak mereka. (*) Elsa Loequito, SSPS
Penulis tinggal di Australia dan bekerja sebagai sukarelawan untuk para pencari suaka.
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
INTERNASIONAL carkan serangan terhadap orang lain. Orang beragama dan sungguh beriman mestinya tidak melakukan sesuatu yang menyimpang dari kasih, yang esensial dalam ajaran agama. Jemaat yang melakukan kekerasan adalah orang yang beragama secara formalisme belaka. Di sinilah tugas pe muka agama untuk ‘meng-akar-kan’ ajaran agama kepada jemaat sungguh dibutuhkan. Dengan nya agama tidak hanya sebuah identitas-formal tetapi spirit yang menjiwai kehidupan sehari-hari dalam kasih. Konflik menahun di Afrika Tengah dan juga di daerah lain termasuk di Indonesia sangat mungkin dipengaruhi oleh berbagai ketimpangan ekonomi dan politik yang diskriminaif. Peran pemerintah untuk mensejahterakan secara ekonomis warganya sangat penting. Negara mesti menjamin warganya unttuk hidup sejahtera dan hak-hak politiknya diakui dan di hargai. Kalau semua warga negara sejahtera secara ekonomi dan secara politik dihargai, konflik dapat diminimalisisr. Ketidakadilan adalah akar segala konflik.
Afrika Tengah Bergolak; Paus Fransiskus Serukan Perdamain
Ajakan Paus Paus Fransiskus turut prihatin dengan situasi di Afrika Tengah yang sulit menemukan perdamaian.
Dalam kunjungannya yang pertama ke negara itu (Jumaat, 27/11/2015), Paus mendesak agar semua pihak mengakhiri konflik yang hanya berujung pada kematian masal. “Tanggal senjata kebencian dan kenakan senjata keadilan, cinta, pengampunan, dan perdamaian!” seru Paus saat perayaan Ekaristi di Bangui-Afrika Tengah “Kekerasaan bukan hakikat dari etnik, sistem politik, dan agama kita. Oleh karena itu,” Paus melanjutkan “kita tidak perlu takut terhadap kelompok lain yang mengancam kedamaian kita.” Perdamaian harus terus diusahakan dengan tak henti melakukan dialog antaragama dan antar etnik. Paus berharap, terselenggaranya Pemilihan Umum yang di rencanakan pada tanggal 27 Desember 2015 mendatang memungkin negara tersebut memulai lembaran baru yaitu hidup berbangsa dan bernegara dengan tenteram. Agama dan Kekerasan Afrika Selatan adalah negara republik; bukan negara Islam. Juga bukan negara Kristen. Tetapi konflik berlabelkan agama terus bergolak. Paus Fransiskus mengatakan, kekerasan bukan hakikat agama. Lalu, Mengapa masih terjadi konflik, jika itu bukan hakikat agama? Jika petaka tersebut adalah konflik agama maka betapa memprihatinkan kualitas penghayatan iman mereka yang terus melan-
GITA SANG SURYA,NOVEMBER - DESEMBER 2015
Sdr. Rian Safio ofm
www.startribune.com
Foto:merdeka.com
P
erdamaian tak kunjung datang di Afrika Selatan. Negara yang dipimpin oleh Catherine Samba-Panza (penjabat sementara) itu tengah dilanda kon flik antara pemberontak Muslim dan militan Kristen. Petakan ini sudah berlangsung bertahun-tanun. Namun sejak Maret 2013, pasca digulingnya Presiden Francois Bozize konflik bernuansa agama tersibak. Bertahun-tahun sebelumnya konflik tidak bernuansa agama. Kini kelompok pemberontak Muslim menguasai negara itu untuk sementara. Sementara kaum Kristiani terus terjepit dalam ketakutan. Pemberontak Muslim menyasar di gereja-gereja dan me lakukan tindak kekerasan terhadap kaum Kristiani yang menjadi minoritas di daerah tersebut. Pihak Kristiani pun tidak tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan dengan membentuk militan anti Balaka (anti kekerasan). Karena konflik tersebut, banyak orang yang harus kehilangan keluarganya, hartanya dan mengungsi di tempat-tempat penampungan yang berdasarkan agama. Ada jurang yang sedemikian luas dan menyeramkan antara kaum Muslim dan Kristiani yang sama-sama mengimani Allah Yang Esa, Allah Abraham.
23
INSPIRASI
Bagian Kedua Bumi ini amat rentan dan tak digdaya menghadapi campur tangan berlebihan dari manusia. 2. Ekologi ebagaimana sudah dikatakan sebelumnya, pembangunan mengena terutama pada manusia (tujuan) dan bumi atau alam ciptaan (obyek). Adalah keyakinan umum bahwa demi mencapai kesejahteraan umum maka bumi mesti juga diolah. Mengolah bumi untuk kehidupan dan kesejahteraan manusia, selaras dengan mandat awali penciptaan yakni: menguasai dan menaklukkan bumi (bdk. Kej.1:28); mengelola dan mengusahakan bumi (bdk. Kej.2:15).
S
2.1.Mendorong Teknologi Sepanjang sejarah, Gereja tidak saja mendukung, tetapi malah memelopori implementasi mandat awali penciptaan ini. Kehidupan monastik tidak terpisahkan dari tugas mengolah bumi. Prinsip hidup “ora et labora” (berdoa dan bekerja) lahir dari haribaan kehidupan monastik Gereja Katolik. Gereja bahkan terus menerus mendorong manusia untuk mengolah bumi yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Mengolah bumi adalah sumber harta milik. ASG mengakui ada nya hak milik pada setiap orang, namun tetap mengingatkan ciri sosial dari harta milik. Sejak St. Ambrosius (abad 4) sampai ASG mutakhir ciri sosial harta benda tetap ditegaskan oleh Gereja. Dalam arti itu, Gereja mendorong upaya pembangunan dengan mengoptimalkan pemanfaatan dan pengelolaan sum24
ber-sumber alam demi kehidupan manusia. Gereja mendorong kemajuan teknologi yang semakin menolong manusia memperoleh hasil optimal dalam pengelolaan alam ciptaan. “Tetapi zaman sekarang ini, terutama berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, ia telah dan tetap masih memperluas kedaulatannya atas alam semesta. …Dengan demikian banyak harta nilai, yang dulu oleh manusia terutama di harapkan dari kekuatankekuatan atas bumi, sekarang sudah diusahakannya melalui kegiatannya sendiri” (GS. 33). Konsili Vatikan II memuji kemajuan IPTEK yang semakin memampu kan manusia mengusai bumi demi kesejahteraannya. Gereja menilai penguasaan alam bermakna positif untuk memenuhi kebutuhan sesama manusia dan tanda nyata keterlibatan Gereja dalam membangun dunia. “Maka jelaslah pewartaan kristiani tidak menjauhkan orangorang dari usaha membangun dunia, pun tidak mendorong mereka untuk mengabaikan kesejahteraan bersama; melainkan mereka justru semakin terikat tugas untuk melaksanakan itu” (GS 34). Sebenarnya persoalan lingkungan hidup sudah mulai disuarakan menjelang Konsili Vatikan II. Rachel Karson menerbitkan bukunya Silent Spring tahun 1962, di dalamnya dia menyuarakan persoalan lingkungan hidup yang timbul akibat revolusi hijau, ter utama penggunaan pestisida
yang membawa kematian banyak spesies hidup, terutama burung-burung. Carson menunjukkan bahwa bumi ini amat rentan dan tak digdaya menghadapi campur tangan berlebihan dari manusia. Carson sudah menulis saat itu bahwa pestisida (DDT) tidak saja berbahaya bagi lingkungan ciptaan tetapi juga mnenyebabkan penyakit pada manusia. Seruan Carson belum bergema luas dan tidak terdengar dalam ruang-ruang di mana Konsili Vatikan II berlangsung. Mater et Magistra sudah sedikit men yinggung tentang bumi, tetapi lebih dalam konteks pemanfaatannya untuk hidup manusia (MM 196), dan mengingatkan agar kekuatan teknologi jangan sampai menghancurkan alam (MM 197). Demikian juga dalam dokumen tentang pembangunan (PP), perhatian terutama dicurahkan pada upaya untuk membangun demi kesejahteraan umum dan manusia seutuhnya, tanpa menyinggung persoalan lingkungan hidup, yang dapat timbul karenanya. 2.2. Kritis tehadap Teknologi Barulah pada 1971, Gereja secara resmi menyatakan sikap nya terhadap persoalan lingkungan hidup yang merupakan dampak langsung pembangunan. Gereja mulai menyadari bahwa upaya pembangunan yang acakacak dan tidak komprehensif serta tidak integratif justru dapat mengancam keberlangsungan kehidupan, bukan hanya manusia tetapi bumi seluruhnya (Bdk. OA 21). Sikap Gereja ini kemudian disampaikan dalam Konfrensi Lingkungan Hidup Pertama di Stolkholm(1972). Pernyataan Gereja Katolik di Stolkholm 1972 memperlihatkan keprihatinan terhadap degradasi lingkungan hidup akibat pembangunan yang menyebabkan bahwa bumi tidak
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
INSPIRASI bisa lagi menjadi rumah yang ramah bagi generasi masa depan. Sikap kritis terhadap teknologi disampaikan sambil mengingatkan bahwa pemanfaatan teknologi mesti disertai kesadaran moral agar teknologi tidak menghancurkan, Untuk itu diperlukan perubahan mental secara radikal. ASG selanjutnya terus menerus mengingatkan manusia, agar memanfaatkan teknologi secara etis dan bertanggungjawab tidak saja untuk kehidupan manusia masa kini, tetapi juga di masa depan. Yohanes Paulus II (1979) mengingatkan bahwa kemajuan teknologi yang dicapai manusia justru membawa kepada “kesia-siaan” karena menjadi ancaman terhadap manusia dan membawa kehancuran kepada alam ciptaan. “Tidakkah kemajuan amat besar yang sebelum ini tak dikenal – dan berlangsung khususnya abad ini – di bidang kedaulatan manusia atas bumi sendiri menyingkapkan penaklukan ganda kepada kesia-siaan itu. Cukuplah mengingatkan akan kendala-kendala tertentu, misalnya ancaman pencemaran lingkungan alam di kawasan-kawasan industrialisasi yang pesat, atau konflik-konflik bersenjata yang setiap kali pecah lagi, atau prapandangan-prapandangan penghancuran diri dengan penggunaan senjata-senjata nuklir, zat air (hydrogen), neutron dan sebagianya….” (RH 8). Beliau mengingatkan bahwa kemajuan pesat yang dicapai manusia menuntut “perkembangan moralitas dan etika yang sepadan” (RH 15). Teknologi semakin mempercepat pengambilan sumber-sumber alam untuk hidup manusia. Bahkan kecenderungan untuk mengeruk sumber daya alam secara tak terbatas seolah-olah menjadi kaidah dari sikap serta perilaku manusia ter hadap alam. Gereja mengingatkan
Pembangunan tidak bisa direduksi hanya pada ekonomi (ekonomisentris). Pembangunan harus merupakan wujud tanggungjawab manusia terhadap karunia dan panggilan Allah. perlunya kesadaran dan praksis keugaharian, karena ketersediaan sumber-sumber alam bukannya tidak terbatas (SRS 26). Pembangunan tidak bisa direduksi hanya pada ekonomi (ekonomisentris). Pembangunan harus merupakan wujud tanggungjawab manusia terhadap karunia dan panggilan Allah. Dengan pembangunan alam ciptaan harus dipelihara dan dijaga, karena pembangunan sejati berarti memanfaatkan ciptaan sebagai citra Allah, yang mengabdi kepada hidup abadi, bukan hidup fana. Harta bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk kesejahteraan bersama (SRS 29). Karena itu pembangunan harus juga berarti meningkatkan perhormatan manusia terhadap ciptaan (SRS 34). 2.3 Perubahan Gaya Hidup Perkembangan baru dalam dunia ekonomi, membawa serta tidak saja kemajuan ekonomi, tetapi juga kerusakan lingkungan hidup. Pembangunan direduksi hanya pada ekonomi. Demi keuntungan ekonomi teknologi dimanfaatkan untuk mengeks ploitasi alam secara sembrono. Kemajuan ekonomi menghasilkan akumulasi harta dan manusia jatuh ke dalam bahaya konsumerisme. “Dari pilihan-pilihan pelbagai hasil produksi dan barang-barang konsumsi nampaklah kebudayaan tertentu, yang mencerminkan visinya tentang keseluruhan hidup. Dari situlah muncul gejala konsumerisme. … bila yang langsung dianut ialah selera-selaranya sendiri, sedangkan kenyataan pribadi yang berakal
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
budi dan bebas tidak dihiraukan. Dapat muncul sikap-sikap konsumeristis dan corak-corak hidup yang secara obyektif tidak pantas atau merugikan kesehatan jiwa-raga” (CA 36). ASG mensinyalir bahwa di balik hasrat manusia mengeruk sumber-sumber alam, akibat dorongan konsumerisme, tersembunyi kemerosotan manusiawi menyangkut akal sehat (budi) dan etika (moral) serta kesadaran religius (spiritual). Manusia dengan pongah mengangkat dirinya sebagai tuan atas ciptaan dan karena itu “mengira boleh semaunya sendiri mendaya-gunakan bumi dan menikmati hasilnya, dengan menaklukkannya tanpa syarat kepada kehendaknya sendiri, seolah-olah bumi tidak mengemban tuntutan serta maksud tujuannya semula yang diterimanya dari Allah, … Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerja sama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya tetapi justru disiksanya” (CA 37; SRS 34). Dalam Pesan Perdamaian (1 Januari 1990) Yohanes Paulus II secara khusus mengangkat tema ekologi, di mana beliau mengaitkan sikap hidup spiritual dengan sikap terhadap alam ciptaan: “Berdamai dengan Allah Pencipta, Berdamai dengan seluruh Alam Ciptaan”. Ada empat pokok yang beliau ajukan dalam dokumen itu. Pertama, alam ciptaan diciptakan Allah baik adanya. Alam diserahkan kepada pemeliharaan dan 25
JPIC-OFM
INSPIRASI tanggungjawab manusia. Kerusakan alam sekarang ini adalah bukti nyata ketidaksetiaan dan ketidaktaatan manusia kepada mandat awal penciptaan. Kedua, kerusakan alam sekarang ini adalah bukti nyata kemerosotan moral manusia masa kini. Kemerosotan moral terindikasi nyata dalam memudarnya sikap hormat terhadap kehidupan dan hilangnya tanggungjawab untuk merawat alam yang berakibat hilang pulalah tanggungjawab terhadap sesama manusia. Ketiga, Paus menawarkan solusi dengan mempelajari kembali tatanan alam agar manusia menyesuaikan sikap dan perilakunya dengan tatanan alam, sambil meningkatkan tanggungjawab terhadap keadilan, karena semua manusia berhak untuk dihidupi oleh sumber hidup yang berasal dari alam. Keempat, dibutuhkan solidaritas baru, yang mencakup segenap bangsa serta perubahan gaya hidup (konsumerisme), serta konsep pembangunan yang ter integrasi dengan ling-
26
kungan (sustainable d evelopment). Kelima, tanggungjawab memu-
lihkan dan merawat alam adalah tanggungjawab seluruh umat manusia.
2.4. Tanggungjawab Bersama: Ekologi dan Orang Miskin Paus Benediktus XVI juga mengangkat tema ekologi dalam Pesan Perdamaian Dunia (1 Januari 2009). Beliau menegaskan bahwa dunia yang damai baru akan terwujud jika manusia juga “berdamai” dengan ciptaan. Sikap manusia yang dikritik adalah konsumerisme yang melahirkan eksploitasi alam serta konflik dan ketidakadilan. Benediktus XVU juga berbicara tentang ketidakadilan terhadap generasi yang akan datang. Perebutan sumber-sumber alam menjadi penyebab utama pelbagai konflik masa kini, baik pada level lokal-nasional, maupun internasional. Beliau meng ingatkan lagi bahwa “melindungi lingkungan dan membangun bumi yang damai merupakan tugas semua orang” (no. 14). Dalam ensiklik Caritas in Veritate (2009) Benediktus XVI juga menegaskan konsernnya pada lingkungan hidup, beliau menyampikan sejumlah hal: (1) manusia perlu mencermati “gramatika” lingkungan hidup, karena dengan memahaminya manusia dapat menyesuaikan diri dan hidupnya selaras dengan gramatika alam. Namun beliau juga mengingatkan agar alam dan manusia dilihat sebagai satu kesatuan ciptaan, di mana manusia memiliki tempat khas dan bahwa alam tidaklah lebih utama dari manusia (CIV 11). (2) Manusia diminta
untuk menjadi pemelihara alam, agar menikmati hasilnya dan mengolahnya dengan cara-cara baru yang berkelanjutan (CIV 12). (3) Untuk itu amat dibutuhkan perubahan gaya hidup yang mesti lahir dari perubahan mental (CIV 13). (4) Ada sejumlah hal penting lain yang diangkat Benediktus XVI, yakni: keadilan antar-generasi (CIV 14); solidaritas internasional dan solidiaritas yang mencakup ruang dan waktu (CIV 15). Dengan memilih nama Fransiskus, Paus sudah meng isyaratkan bahwa lingkungan hidup akan menjadi salah satu tema pokok dalam masa ke pausannya. Tiga hari setelah terpilih (16 Maret 2013) beliau menjelaskan sosok Fransiskus Assisi sebagai “pencinta orang miskin, pelindung, dan pencinta alam ciptaan”. Beliau menghubungkan perlindungan terhadap manusia dan perlindungan terhadap ciptaan, sebagai dua hal tak terpisahkan. “Segala sesuatu dipercayakan kepada kita untuk dilindungi dan itulah tanggungjawab kita bersama”. Pada 5 Juni 2013 dalam peringatan hari Lingkungan Hidup, beliau mengeritik konsumerisme dan budaya pemborosan. Ia menyerukan agar di bangun semangat solidaritas yang menjadi landasan bagi tanggungjawab bersama untuk bumi dan semua manusia dalam keluarga manusiawi. Dalam kotbah Minggu Paskah 2013 beliau mengingatkan bahwa manusia adalah sarana yang dengannya Allah menyirami bumi, melindungi semua ciptaan, melakukan keadilan dan menumbuhkan perdamaian. Ia mendesak Gereja Amerika Latin untuk memperhatikan kondisi lingkungan Amazon dan warga suku asli Indian di sana. Dalam Surat Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium beliau mengingatkan perlunya perha-
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
INSPIRASI tian dan tanggungjawab terhadap bumi yang ringkih, di mana kita semua hidup, demikian juga makhluk ciptaan lainnya. Beliau mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan hidup membawa derita lebih besar kepada orang-orang miskin. Bahaya konsumerisme dikecam dan berhala uang yang menjadi spirit manusia masa kini harus dibayar mahal oleh manu sia masa kini dan masa depan, yakni kerusakan alam yang makin sulit dipulihkan. Ketidakadilan, akumulasi harta, marjinalisasi dan pemiskinan membawa serta persoalan lingkungan, baik untuk manusia masa kini maupun di masa depan. Dalam EG beliau membahas isyu lingkungan hidup secara terbatas, karena kemudian beliau secara khusus menerbitkan ensiklik tentang lingkungan hidup Laudato Si (24 Mei 2015). Dibutuhkan kesempatan khusus untuk membahas ensiklik Laudato Si, yang penting ini. Namun beberapa hal dapat disampaikan di sini, yakni hal-hal yang relevan dengan topik pembahasan tentang pembangunan dan ekologi. Pertama, diingatkan bahwa ada yang salah pada manusia (pemahaman tentang diri dan tindakannya, serta konsep (ideologi) pembangunan yang ternyata lebih membawa mudarat daripada manfaat, terutama kerusakan dan dis-integrasi lingkungan hidup, yang melahirkan masalah: polusi dan perubahan iklim, masalah air, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kualitas hidup manusia dan sosial serta ketimpangan global. Kedua, kerusakan alam disebabkan oleh manusia yang tidak peduli pada kehendak Allah (Pencipta), tidak mencermati misteri atau rahasia serta hukum-hukum alam, ekosistem, kesatu an universal ciptaan, ciri sosial harta benda serta sentral itas Yesus dalam seluruh ciptaan.
Ketiga, hal itu terutama dipicu oleh antroposentrisme, teknologi nir-nilai (etis-moral), globalisasi ekonomi (neoliberalisme) yang mendorong eksploitasi alam. Keempat, ada keterkaitan (kesatuan) antara alam ciptaan dan manusia. Kelima, sejumlah pedoman yang dapat mengantar manusia keluar dari krisis ekologi. Keenam adalah perlunya pendidikan dan spiritualitas ekologis. Penutup Saripati dari pembahasan ASG tentang hubungan antara pembangunan dan ekologi dapat dirumuskan dalam sejumlah pokok berikut. Pertama, pem-
memajukan pembangunan. Keempat, pembangunan manusiawi yang sejati tidak bisa mengabaikan keutuhan dan pemeliharaan ciptaan, karena manusia yang sejahtera hanya dapat hidup dan berkembang dalam lingkungan hidup yang kondusif bagi kehidupan dan keberlangsungan pembangunan yang manusiawi. Karena itu melalui ASG Gereja mendorong dan mendesak agar pembangunan harus juga meperhatikan keutuhan ciptaan. Mengabaikan keutuhan ciptaan berarti menghancurkan pembangunan manusiawi itu sendiri. Kelima, agar tercapai pembangunan yang manusiawi dan
Pengembangan diri manusia sejati tidak diukur oleh harta dan besarnya kepemilikan kekayaan, tetapi kebahagiaan dan kedamaian hidup yang hanya tercapai jika seluruh aspek dan dimensi kehidupan manusia diperhatikan secara utuh dan seimbang. bangunan sebagai upaya manusiawi harus tertuju kepada kepentingan manusia seutuhnya dan seluruhnya (kesejahteraan umum). Pembangunan mesti mengindahkan keluhuran mar tabat manusia sebagai mahkotanya. Kedua, sebagai upaya bersama suatu masyarakat, maka pembangunan merupakan pekerjaan dan tanggungjawab bersama (pemerintah dan masyarakat). Solidaritas dan subsidiaritas merupakan roh dari pembangunan sejati, selain demokratisasi dan partisipasi. Ketiga, Gereja mengajarkan bahwa membangun masyarakat manusia yang sejahtera selaras dengan tugas perutusan Gereja mewartakan Injil Kerajaan Allah demi kebaikan, keselamatan serta kesejahteraan manusia lahir batin. Tidak ada pertentangan antara tugas Gereja mewartakan Injil dengan partisipasinya baik secara nyata maupun dengan sumbangan gagasan serta konsep, dalam
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
ekologis, maka manusia harus mengendalikan diri dari hasrat akan akumulasi harta yang membawa dampak buruk pada mutu hidup manusia dan mutu social manusia. Pengembangan diri manusia sejati tidak diukur oleh harta dan besarnya kepemilikan kekayaan, tetapi kebahagiaan dan kedamaian hidup yang hanya tercapai jika seluruh aspek dan dimensi kehidupan manusia diperhatikan secara utuh dan seimbang. Tanpa itu, pembangunan akan memakan korban manusia itu sendiri.
27
PROFIL
Marianus Dagur, SS
mempertanggungjawabkan ini dalam tugas-tugas saya.”
Pengagum Masyarakat Adat Raih Penghargaan Karya Jurnalistik Bidang Lingkungan Hidup Se-Asia 2015
M
masyarakat adat kerap kali dianggap kolot dan pri mitif. Namun Marianus Dagur, warwatan Kelahiran Wesang 10/7/1988, Manggarai Timur, Flores, justru melihat sebaliknya. Yang tradisional mengundang kekaguman. Sikap peduli masyarakat adat terhadap kelestarian alam, Bagi Ryan, menjadi kritik di hadapan gagasan pembangunan yang miskin visi keutuhan dan sarat ketimpang an sosial dan ekologis. Sikap, atau tepatnya spirit, itulah yang dipegang komunitas warga Sui Utik di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar yang sebagian besar beragama Katolik. Di tengah kepungan korporasi, mereka memegang teguh warisan budaya. Mereka menolak kehadiran sawit dan perusahan kayu. Seperti tak habis-habisanya cerita tentang komunitas Sui Utik mengalir dalam obrolan ditemani es kelapa muda malam itu, 27/11. GSS menemui Ryan di Rumah Makan Mas Miskun, Salemba, Jakarta Pusat. Ryan menulis feature tentang perjuangan komunitas Sui Utik
menjaga warisan leluhur di tengah kepungan korporasi sawit dan perusahan kayu. Karya ini lalu mendapat penghargaan dari Asian Environmental Journalism Awards (AEJA). Sejak 2013, tutur Ryan, AEJA bekerja sama dengan Singapore Environmental Council (SEC)dan beberapa sponsor, memberikan penghargaan kepada wartawan dan media yang memiliki perhatian di bidang ekologi. Panitia mengundang semua media ternama di Asia untuk terlibat dalam ajang ini. Karang khas Ryan tentang komunitas Sui Utik masuk nominasi dan dinyatakan sebagai “Merit Winner” dalam penghargaan tahunan ini. Pada November lalu Ryan bertolak ke Singapur untuk menerima penghargaan itu. Dalam karir jurnalistik nya hingga saat ini Ryan sering meliput isu-isu lingkungan. Bagi wartawan UCAN ini, masalah lingkungan hidup sudah menjadi masalah bersama. Karena itu, “Penghargaan ini” ujar Ryan seperti dilansir indonesia. ucanews.com “hanya pemacu semangat. Tugas ke depan bagaimana
Hutan Ibu Kami Apa yang dihidupi komunitas adat Sui Utik, tutur Ryan, melampaui apa yang orang omong tentang lingkungan. Warga Sui Utik teguh memegang adat. Di sana orang tidak boleh menebang semua pohon di kebunnya. Ada sanksi adatnya. Alam ini mereka lihat itu sebagai ibu. “Hutan adalah Ibu kami. Kalau kami tebang pohon di hulu, airnya keruh. Akibatnya buruk untuk kami. Kami selalu memperhitungkan akibat prilaku kami terhadap alam” ujar Ryan menirukan warga yang dijumpainya. “Di sana, sanksi untuk para pencuri sangat keras. Tapi jika dia sangat lapar, dan ia ambil buah dari kebun orang, dia wajib untuk memberitahu kepada pemiliknya. Mereka sangat yakin, kalau saya menipu, saya pasti celaka.” Memegang teguh juga tidak mengurangi kegembiraan mereka menjalankan hidup sehari-hari. Mereka hidup dengan nikmat dan bahagia. Alam tampaknya sangat murah hati terhadap komunitas Sui Utik. “Makan minum sangat berlimpah. Tiada jam makan tanpa lauk. Bayangkan orang bisa memasang menjerat dan paginya men dapat 30 ekor babi hutan Satu keluarga berangkat semua pergi ambil babi hutan. Selama di sana, tiap malam, kami makan nuru motang dan minum tuak bakok” kenang Ryan. Namun hari-hari di Sui Utik bukan tanpa keprihatinan. Ryan juga menemukan adanya ketimpangan. Komunitas Sui Utik belum mendapat JPIC-OFM
28
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
PROFIL perhatian dari pemerintah. Salah satu contoh, pada wilayah lain di sekitarnya, sudah ada jaringan listrik PLN. Namun warga Sui Utik masih menggunakan listrik tenaga surya. Memegang Teguh Adat Menarik, kesan Ryan, di satu sisi mereka terbuka dengan perkembangan. Paling tidak sekarang ini sudah banyak anak Sui Utik yang mengenyam pendidikan di sekolah formal. Namun dalam keadaan se perti ini mereka tetap menunjukkan vitalitasnya. Hal ini kontras dengan kampung tetangga yang sudah dirasuki rasio instrumental peradaban mo dern. Mereka tidak lagi memegang teguh adat. Ada yang berubah dalam sikap mereka terhadap alam. Kampung tetangga sudah kehilangan hutan. Pada hutan-hutan yang tersisa, kendati masih kelihatan hijau, sebetulnya tidak ada lagi pohon-pohon besar. Debit air pun menurun. Sungai-sungai juga keruh sebab mereka telah memberi hutannya kepada perusahan. Kehebatan komunitas Sui Utik, demikian Ryan, justru terletak pada kearifan ekologisnya. Orang seringkali jatuh dalam anggapan keliru bahwa kampung itu primitif. Namun bagi Ryan, gaya hidup mereka melawan semua anggapan itu. Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air Singapura, Amy Khor yang menyerahkan trofi kepada Ryan di Hotel Orchard, Singapura pada 20/11 memuji kar-
Ryan Dagur saat menerima award dari Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air Singapura, Amy Khor pada 20 Oktober dalam acara di Hotel Orchard, Singapura.
ya Ryan dan menyebutnya, sebagai upaya mempromosikan kearifan masyarakat adat dalam melindungi hutan, hal yang gagal dilakukan oleh pemerintah saat ini terutama dengan munculnya bencana asap. Tantangan dan Peluang Ada banyak LSM yang datang ke sana dan menawarkan program. Namun tidak semua orang datang dengan kehendak baik untuk menggali konsep mereka dan membangun komunitas Sui Utik sesuai adat mereka. Mereka malah datang dengan konsep sendiri dan memaksakannya kepada warga. Karena masih memegang teguh adat, warga Sui Utik bisa me nyaring setiap gagasan yang ditawarkan. Mereka akan menolak jika hal itu tidak sesuai dengan penghayatan mereka. Mereka cukup kompak dalam pengambilan keputusan. Peran tua adat juga masih sangat besar. Semua hal dibicarakan bersama da-
“Hutan adalah Ibu kami. Kalau kami tebang pohon di hulu, airnya keruh. Akibatnya buruk untuk kami. Kami selalu memperhitungkan akibat prilaku kami terhadap alam” GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
lam rumah adat. Di tengah upaya bertahan, mereka bersyukur karena ada pastor yang sangat paham dengan konsep mereka tentang alam. Mereka merasa dihargai dan didukung. Pastor ini cukup memberi dukungan kepada upaya mereka melestarikan budaya dan menjaga alam. Dialog antara iman dan budaya pun dibuka. Alam misalnya dilihat seperti tubuh Yesus, Air adalah darah-Nya. Mereka tidak akan kasih ke perusahan karena air itu akan jadi keruh. Begitu juga dengan hutan, yang tidak akan mereka jual ke korporasi. Kekayaan budaya yang sakral milik komunitas Sui Utik terancam desakrali sasi. Ritual budaya mereka diusulkan untuk pelahan-lahan berubah menjadi semacam show demi melayani kebutuhan pengunjung. Tetapi menarik, kata Ryan, mereka berhasil menundukkan para tuan wisatawan untuk menyesuaikan diri dengan kalender budaya mereka. Tamu mesti menyesuaikan diri deng an kalender tahunan Sui Utik. Johnny Dohut, OFM
29
RESENSI Judul
: Seandainya Indonesia Tanpa Katolik: Jalan Merawat Ingatan
Indonesia sebagai Rumah Damai
Penulis : Prof. Dr. A. Eddy Kristiyanto OFM Penerbit : OBOR, 2015 Tebal : i-xli-261 halaman
U
ntuk menjelaskan identitas Ke-Katolikan dan ke-Indonesiaan kita, pertanyaan berikut menjadi relevan: sejak kapan orang Indonesia mengenal Tuhan Yesus dan memercayai-Nya? Kapan Nama Tuhan Yesus untuk pertama kalinya diperkenalkan di Indonesia? Siapakah yang pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia dan mewartakan iman-kepercayaannya? Beberapa pertanyaan mendasar ini akan kita temukan jawabannya dalam buku ini. Berisi sebelas bab ditambah catatan Pengantar dan Penutup, Romo Eddy secara bertahap dan kronologis membahas perjalanan menjadi katolik di negeri
30
ini. Dimulai dengan penelusuran kehadiran komunitas Nestorian di Barus, Sibolga-Sumatera Utara (Bab I), bagaimana komunitas katolik berjumpa dengan agama asli setempat (Bab II). Tiga bab berikutnya (III-V) akan dipaparkan kisah-kisah heroik sebagai usaha untuk tetap eksis. Selanjutkan kita akan diperkenalkan dengan tokoh-tokoh penting seperti Magelhaes SJ, Mascarenhas SJ, Lorenzo Garralda OFM, Antonio Ventimiglia, Fransiskus Xaverius SJ. Pada bab VI kita akan melihat bahaya yang mengancam ketika kekuatan uang bersenyawa dengan politik dan religi, lalu kita diperkaya dengan tantangan yang dihadapi Gereja di abad ke-19 (Bab
VII). Pada bab VIII, Romo Eddy melacak jejak kekristenan (kekatolikan) di tanah Papua yang tidak bisa dimengerti dengan melepaskan kekristenan. Selanjutnya kisah pertemuan dengan agama Kristen dan bagaimana Gereja Katolik mengupayakan kemandiriannya akan kita temukan di Bab IX. Dua bab berikutnya (XXI), masa ORLA dan ORBA, kita akan melihat bagaimana gereja berdiri di persimpangan jalan antara mendengarkan atau mengabaikan suara hati Gereja. Akhirnya, pada catatan Penutup (hal 207-214), Romo Eddy berusaha mereposisi relasi agama dan negara dalam masyarakat majemuk, yang hendak menyatakan bahwa Indonesia adalah rumah damai bagi semua. Seandainya Indonesia Tanpa Katolik? Pembaca sekalian akan menemukan jawabannya dalam buku ini.
Lexy Nantu, OFM
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
SENI SASTRA
A
pa jadinya hidup tanpa impian dan harapan? Kau pasti mengatakan nya, “tidak bermakna!!!”. Itu benar. Betapa absurdnya hari kelahiran. Ketika manusia seperti seekor babi di rumah jagal, dengan leher yang pasti tanggal, hanya menunggu parang. Itulah makanya aku me ngasah impianku, hari demi hari, seperti perempuan yang setia berdandan merawat kecantikannya. Engkau tidak tahu, kalau aku memiliki ambisi akan masa depan. Aku tidak berniat menjadi penguasa, karena kekuasaan hanya diperuntukan bagi mereka yang jiwanya rapuh. Aku tidak seperti itu. Kendatipun aku menggunakan salah satu dari yang diimpikan orang, seperti kekuasaan atau kekayaan, itu bukan demi kekuasaan atau kekayaan. Mereka seperti jembatan penyeberangan, yang segera akan dilupakan jika aku sudah di seberang. Impianku sederhana. Aku ingin abadi. Sekali lagi kukatakan, AKU INGIN ABADI. Sangat am bisius, bukan??? Tentu saja. Bayangkan demikian. Manusia lahir dan hadir dengan takdir yang dibawa serta, bahwa ia akan mati. Tetapi aku ingin menepis tangan takdir. Aku ingin menjauhkan kematian dan kefanaan dari duniaku. Aku ingin seperti Tuhan, yang sekalipun mati, toh bangkit lagi. Impian itu kusembunyikan di bawah bantal. Tak pernah diteriakan lantang dari sotoh rumah. Impianku sederhana. Menjadi abadi. Tetapi kawan, apa jadinya jika impian dan harapan yang kita miliki tak pernah menjadi ke nyataan? Kau mungkin menjawabnya demikian, seperti nasehat yang sudah-sudah, “Hadapi saja. Toh hidup adalah persoalan personal yang
Oleh: memiliki kemiripan satu sama lain. Kita perlu memiliki impian masa depan, tetapi juga harus realistis dengan daya yang serba terbatas.” Engkau mungkin benar. Namun, aku ingin menceritakan kepadamu bagaimana caraku menghindar dan mengelabui maut. Ia satu-satunya musuh yang me rusak impianku. Begini. Aku lahir tiga kali. Setiap kelahiran itu ber akhir dengan kematian. Demikian juga cerita ini, akan kukisahkan dalam tiga babak. *** 1/ Aku sebenarnya tahu cara meramu masa depan dan menjadi abadi dari seorang penguasa yang berkuasa hampir separuh abad. Aku berpikir bahwa hidup bisa dikekalkan jika kekuasaan ada dalam genggaman. Maka, setapak demi setapak jalan kutempuh. Dari bukan siapa-siapa. Dari seorang anak kampung yang sopan ketika digertak, hingga menjadi penguasa kampung yang de ngan sopan menggertak rakyat. Aku tidak peduli, sudah berapa banyak ibu yang kehilangan anaknya demi memuluskan langkah kakiku menuju kekuasaan yang dicinta-citakan. Toh, selalu ada pengorbanan dalam impian akan keabadian. Aku pun tak mau tahu, sudah berapa banyak kepala yang
GITA SANG SURYA,NOVEMBER-DESEMBER 2015
dijagal, mulut yang dibungkam karena bersuara terlalu lantang menantang penguasa seperti aku. “Semua aral yang menghadang perlu ditentang. Senjatalah satu-satunya yang perlu ditenteng.” Itulah prinsip kekuasan dari pe nguasa macam aku. Jangan segera mencela aku sebagai penguasa buruk. Kekuasaan tak mengenal baik buruk. Ia netral, tergantung berada di lengan siapa. Kalau hari ini kekuasaan itu ada di tanganku, ia dapat dikenal sebagai yang baik atau sebagai yang buruk. Tunggu dulu. Baik buruk juga ha nya soal sudut pandang. Kekuasaan di tanganku bisa dikenal sebagai yang buruk untuk sebagian orang. Sebagian yang lain masih meng anggapnya baik. Terserah. Yang paling penting adalah kekuasa an itu, sekurang-kurangnya ber makna bagiku. Dalam genggamanku kekuasaan hanya memiliki satu tujuan, demi keabadiaan. Pertama-tama keabadianku. Kemudian, rakyat yang baik akan mengikuti jejak pemimpinnya. Selama aku belum abadi, aku hanya perlu merayu telinga rakyat dengan kata-kata gombal. Kata-kata penguasa bisa meredam gejolak dalam masyarakat. Mereka mudah dibuai dengan kata-kata. Aku, seperti juga penguasa yang
31
SENI SASTRA cerdas, perlu berjanji demi meraih simpati. Kalau pun kelak aku beringkar, mereka sudah lupa dengan janji itu. Kalau mereka masih melawan, aku bisa angkat senjata untuk membungkam. Aku berpikir hidup bisa dikekalkan dengan lengan kuasa. Rumah dijaga serdadu bersenjata. Setiap derap langkah dikawal pria berotot besar. Kalau demi kian, bagaimana mungkin maut bisa masuk mengabarkan kefanaan? Bagaimana mungkin maut bisa masuk dalam dadaku untuk me ngibarkan bendera kematian? Aku keliru. Penguasa yang cerdas pun seringkali keliru. Tuhan juga pernah keliru, bukan? Maut datang menyusup lewat celah pintu. Ia menjelma sepoi senja yang meneduhkan. Aku sedang ter tawa membaca berita duka kematian seorang petani yang dibunuh dengan lengan kuasa. Semua orang bilang dia aktivis, tetapi bagiku ia tak lebih dari seorang pengemis. Aku tertawa membaca koran kota yang cepat-cepat menganggapnya orang hebat. Semua orang menduga-duga siapa pembunuhnya. Media mengarahkan tetapi tak pernah menemukan. Kalau pun negara menemukan, hukum akan menyembunyikannya. Di negeri di mana aku berkuasa, pembunuh sulit dihukum. Angin senja itu tiba-tiba meninabobokan aku. Ketika terbangun, aku sudah berada di kubur ini. *** Apa yang menarik dalam kubur? Tentu saja tidak ada. Kekuasaan yang pernah kugenggam, terlepas begitu saja. Dalam kubur tak lagi ada penguasa, selain maut itu sendiri. Aku memelas di hadapan maut, meminta dipulangkan ke
dunia. Memang memalukan, se orang penguasa yang memerintah dengan tangan besi, mendadak menjadi seperti seorang bocah di liang kubur. Aku dibolehkan pergi, dengan cara yang sama ketika pertama kali aku hadir ke bumi. Aku tak ingin mengulang kesalahan yang serupa. Kesempatan kedua mungkin tak pernah datang lagi. Namun, aku masih ingin menjadi abadi. Aku paham keabadian tidak bisa diraih dengan kekuasaan. Lalu, aku memilih jalan lain. Jalan yang akan kau paham setelah menyelsaikan bagian kedua ini. *** 2/ Aku memilih mengenakan kekaya an sebagai jubah. Engkau tahu, tentu saja. Kekayaan bukan jalan yang mudah untuk ditempuh. Kita perlu menumpahkan banyak peluh dan juga darah untuk mendapatkan rupiah. Maka kubunuh petani yang tak merelakan lahannya, yang beritanya pernah kubaca dalam koran. Bertahun-tahun aku menabung, tak mudah membuang uang. Kekayaan hanyalah soal mengumpulkan uang. Tak pernah memperhitungkan jalan yang ditempuh. Orang-orang tidak pernah bertanya bagaiamana aku mendapatkan uang. Mereka lebih sibuk bertanya perihal harta yang kumiliki dan untuk apa uang itu digunakan. Harta negara kusimpan dalam rekening pribadi, lalu media massa mengumbar gossip karena iri. Mereka mengatakan aku korupsi, tapi kemudian lenyap. Suara yang lantang mendadak menjadi senyap setelah diberi suap. Korupsi hanyalah kosa kata yang diberikan oleh mereka yang tidak tahu jalan mendapatkan kekayaan dengan cepat tan-
GITA SANG SURYA,NOVEMBER-DESEMBER 2015
pa ditangkap. Lagipula, aku tidak mengejar kekaya an hanya untuk dipamerkan. Kau mungkin akan kaget betapa murah hatinya aku. Uang yang menurut koran kota merupakan hasil korupsi, sebagian besar kusumbangkan bagi yatim piatu. Tentu saja juga untuk pembangunan rumah ibadat. Tokoh-tokoh agama pun sering mendoakan kesuksesanku. Apakah Tuhan tidak mengabulkan doa tokoh agama untuk seorang koruptor? Tuhan mungkin membenci seorang koruptor seperti aku, tetapi ia pasti mengabulkan doa tokoh agama yang mencintainya sepenuh hati. Seperti yang kukatakan, kekayaan bukanlah tujuanku. Ia hanyalah jembatan. Seberang yang kutuju adalah keabadian. Aku pi kir dengan kekayaan yang kumiliki, maut tak bisa lagi menemukanku. Namun, aku sekali lagi keliru. Ia menyusup lewat makanan ketika aku sedang berpesta mensyukuri kematian petani yang pembunuh nya tidak ditemukan negara. *** Aku merayu maut sekali lagi. Memintanya melepaskan aku ke dunia. Maut pun bisa murah hati. Ia merelakanku pergi, dengan satu catatan. “Satu kesalahan lagi tak kan termaafkan”. Aku berikrar kembali kepada dunia sebagai yang murah hati, seperti maut. Aku tak lagi peduli dengan kekuasaan apalagi kekayaan. Namun, ketika aku tidak mempeduli kannya, kekuasaan dan kekayaan datang menawarkan dirinya cuma-cuma. Aku membiarkan kesempatan itu lewat, meskipun aku layak mendapatkannya. Aku tahu, dari balik kubur maut tersenyum bangga. Namun, ada hal yang maut pun masih tak tahu tentang aku. Aku ingin abadi, seperti maut. Aku masih mencari
32
SENI SASTRA dah dirayu laki-laki, sementara laki-laki mudah dirayu maut dan maut takluk di hadapan perempuan. Aku pasti akan abadi, pikirku. Perempuan-perempuan itu akan menyelamatkan aku dari kematian. Aku menikahi banyak jelita, dan membiarkan mereka menjaga nyala nyawa ini. Namun, maut pun pandai bersiasat. Itu hal yang aku lewatkan. Suatu ketika maut berdandan, mengalahkan kecantikan perem puan-perempuan itu. Maut menjelma dalam diri perem puan muda. Aku jatuh cinta padannya. Eitss. Tidak. Lebih tepatnya, aku bernafsu padanya. Tanpa peduli apakah ia jatuh cinta atau bernafsu padaku. Ia menggorok leherku di malam pertama saat kami sedang bersenggama, sebelum melemparkan aku kembali ke kubur ini. *** Aku tidak tahu apakah sewaktu lahir aku sudah ditakdirkan untuk menghuni tempat ini. Apakah setiap kelahiran hanyalah sisi lain dari kematian. Kubur bukan tempat yang nyaman, apalagi kalau ternyata ada tempat yang lebih istimewa. Sekalipun di sana aku masih ada, orang sudah terlanjur menganggapku sebagai orang mati. Aku meminta sekali lagi kepada maut untuk kembali ke dunia. Pada saat itu ayam jantan berkokok tiga kali. Aku teringat pesan ibu. “Selalu ada yang tidak mungkin dari permintaan yang melebihi takdir.” Bertahun-tahun sudah aku berdiam dalam kubur ini, di dunia orang mati. Seperti aku, banyak orang y a n g datang dengan
GITA SANG SURYA,NOVEMBER-DESEMBER 2015
jubah kekayaan atau lengan kuasa. Namun, hal itu ditanggalkan dan ditinggalkan. Suatu ketika aku berterus terang kepada maut. “Aku ingin abadi. Tunjukkan aku jalan yang perlu untuk menempuhnya.” Maut tertawa. “Kau tak mungkin abadi.” “Tetapi, kenapa engkau bisa?” “Siapa bilang aku abadi? Aku hanyalah maut, bukan abadi.” “Iya, maut pun bisa abadi, bukan?” “Itu keliru. Maut hanyalah maut. Ia tak kekal. Itulah mengapa aku mencari teman, supaya tak kesepian dalam kefanaan.” Aku tidak memahami apa yang dikatakannya. Tetapi ia melanjutkan rahasianya, sebelum berlalu. “Hanya kasih yang abadi.” *** Aku menuliskan surat ini dari kubur. Kau perlu membacanya pada setiap hari kematianku. Aku tak ingin engkau gegabah memilah dan memilih apa yang ingin kau kejar, dan menghajar apa yang hendak kau tinggalkan. Jangan salah, di sini banyak yang telah salah langkah, seperti aku. Tak ada ke sempatan kedua, setelah kita men dapatkan tiga kesempatan.
JPIC-OFM
cara yang tepat untuk mengekalkan hidup yang sebenarnya hanya sebentar. Aku berpikir masih ada rahasia yang disembunyikan Tuhan tentang dunia. Rahasia bahwa manusia yang fana sebenarnya bisa menjadi abadi. Kalau dengan dua langkah sebelumnya, aku keliru. Aku memutuskan untuk menggunakan langkah ketiga. Aku teringat pada cerita bahwa maut mudah dikelabui oleh perempuan. *** 3/ Seperti kelahiran yang sudah-sudah, aku kembali hadir ke bumi melalui rahim seorang perempuan. Tanpa kekayaan. Tanpa kekuasaan. Aku masih bisa berbahagia tanpa keduanya. Satu-satunya ketidakbahagiaanku bersumber dari kenyataan bahwa suatu hari aku akan mati. Sekuat apapun hidup digenggam, ia akan terlepas. Namun, aku masih memiliki ambisi yang sama seperti kelahiran yang pertama. Aku inginkan keabadian. Jika setiap manusia hadir dan hidup dalam rahim seorang perempuan, bukankah itu pertanda bahwa mereka memiliki kehidupan. Aku pun memutuskan untuk mencari perempuan yang sepadan dengan impianku. Tak perlu alasan cinta. Tak perlu harta yang melimpah. Perempuan ha nya membutuhkan kepastian yang meskipun hanya diberikan laki-laki dengan kata-kata. Aku memilih seorang perempuan untuk menemaniku dan menjauhkan aku dari maut. Setelah perempuan pertama, aku mencari yang kedua dan seterusnya sampai bahkan nama perempuan pertama dilupakan. Aku tidak menyebut mereka istri. Aku berpikir dengan banyaknya perempuan yang mengelilingiku, maut tak punya jalan masuk. Lagipula, perempuan mu-
33
WACANA FRANSISKAN
SANTO FRANSISKUS DAN SIAPA MANUSIA ITU
“Ingatlah hai manusia, betapa unggulnya kedudukan yang diberikan Tuhan Allah kepadamu. Ia telah mnciptakan dan membentuk engkau sesuai dengan gambar Putera-Nya yan terkasih menurut badan dan sesuai dengan keserupaan-Nya menurut roh” (Pth V: 1; bdk. Kej 1: 26).
manusia itu tidak ada apa-apanya di mata Tuhan. Itulah keadaan dan martabatnya yang sesungguhnya. Namun dengan membaca teks yang lain diperoleh gambaran yang lain juga tentang manusia itu. Dan dalam kaitan dengan itu dapat dita nyakan: Apakah kiranya, menurut St Fransiskus, kedudukan dan martabat manusia itu sesungguh nya? Dan apakah yang masih dapat dipelajari dari pandangan seperti itu? Diciptakan oleh Tuhan Allah Menurut St. Fransiskus manusia itu diciptakan oleh Tuhan Allah. Dan sebagai
34
Aleks Lanur, OFM
ciptaan Tuhan Allah dia mempunyai kedudukan dan martabat yang khusus dan luhur. “Ingatlah hai manusia, betapa unggulnya kedudukan yang diberikan Tuhan Allah kepadamu. Ia telah menciptakan dan membentuk engkau sesuai dengan gambar Putera-Nya yang terkasih menurut badan dan sesuai dengan keserupaan-Nya menurut roh” (Pth V: 1; bdk. Kej 1: 26). Dan atas kenyataan ini St Fransiskus menyampaikan ucapan syukurnya kepada Tuhan Allahnya. Dan ucapan syukur itu juga diulanginya lagi tetapi dengan tambahan. Katanya: “Allah yang Maha kuasa…Tuhan raja langit dan bumi, kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau sendiri, sebab deng an kehendak-Mu yang kudus dan oleh Putera-Mu yang tunggal bersama Roh Kudus Engkau telah mencipta kan segala sesuatu yang rohaniah dan badaniah; dan kami yang Kauciptakan menurut citra dan persamaan-Mu Kautempatkan di Firdaus, namun kami telah jatuh karena kesalahan kami” (AngTBul XXIII: 1-2). Manusia memang diciptakan oleh Tuhan Allah yang Maha kudus… dan oleh Putera-Nya bersama dengan Roh Kudus menjadi makhluk yang unggul kedudukan dan martabatnya di antara semua makhluk ciptaan lainnya (bdk. Mzm 8: 4-9). Namun demikian St Fransiskus serentak pula menambahkan bahwa manusia itu adalah makhluk yang telah jatuh, artinya,
JPIC.pic
D
alam salah satu Mazmur dikatakan: “Ya Tuhan, apakah manusia sehingga Engkau memperhatikannya dan anak manusia sehingga Engkau memperhitungkannya? Manusia sama seperti angin, hari-harinya seperti bayang-bayang yang lewat” (Mzm 143/144: 3-4). Dengan membaca teks ini jelaslah kiranya bahwa
telah berdosa terhadap Tuhan Allahnya (bdk. Kej 2: 8-3: 24). Namun demikian kenyataan itu bukanlah akhir dari segalanya. Dalam kaitan dengan keduduk an dan martabat manusia itu St Fransiskus masih menambahkan sesuatu yang tidak kalah pentingnya. “Kami bersyukur kepada-Mu karena sebagaimana dengan perantaraan Putera-Mu, Engkau telah menciptakan kami, demikian pula karena kasih-Mu yang kudus, yang telah Engkau berikan kepada kami, Engkau telah membuat Dia, yang sungguh Allah dan sungguh manusia, lahir dari Santa Maria yang tetap perawan, yang mulia dan amat berbahagia, dan oleh salib,
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
tamingthewalf. com
WACANA FRANSISKAN darah dan wafat-Nya Engkau mau menebus kami orang tawanan” (AngTBul XXIII: 3). Dengan semua ini St. Fransiskus mau menunjukkan bahwa manusia sungguh adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Allah, yang Mahakudus, tetapi yang telah berdosa melawan Tuhan Allah itu sendiri. Kendati demikian masih terbuka kemungkinan untuk mendapat dan mengalami pe nebusan atas dosanya dari Tuhan Allah yang sama, dengan perantaraan Putera-Nya Yesus Kristus. Dengan demikian menjadi kentara dan jelaslah apa dan bagaimana kedudukan dan martabat manusia itu yang sesungguhnya. Di hadapan Allah semua manusia setara dan sederajat saja kedudukan dan mar tabatnya. Artinya, mereka bersaudara dan adalah saudara satu sama lain (bdk. AngTBul XXII: 33-35; Mat 23: 8-12). Dalam hidup sebagai saudara satu sama lain itu seharus nya berkuasalah cintakasih tanpa pamrih dan tulus sesuai dengan firman Tuhan: Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi sama seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh 15: 12; AngTBul XI: 5), di mana mereka siap sedia dan nyatanya saling mengasihi dan mengasuh seperti seorang ibu mengasihi dan mengasuh anaknya (AngTBul VI: 8-9), saling membantu dan melayani, saling memperlakukan sesuai dengan firman Tuhan: Apa pun yang kaukehendaki supaya diperbuat orang lain bagimu, perbuatlah demikian juga kepada mereka, lagi: Apa yang tidak kaukehendaki terjadi atas di-
rimu, jangan kauperbuat terhadap orang lain (Tob 4: 16; AngTBul IV: 4-5), tidak saling menghakimi dan menghukum dan ingin mencintai mereka yang menganiaya, mencela dan berperkara dengan mereka (AngBul X: 10-11). Bila demikian halnya, maka tidak dapatlah dan bahkan tidak olehlah mereka memperlakukan satu sama lain sesuka hatinya, apalagi meniadakan, membinasakan dan atau membunuhnya. Sebab, mereka yakin bahwa mereka sendiri dan kehidupannya serta saudara-saudaranya dan kehidup an mereka dikaruniakan kepada mereka oleh Tuhan Allah, Sang Penciptanya yang mahakuasa dan mahakasih. Dialah satu-satunya yang memiliki mereka semua dan kehidupannya serta berkuasa mutlak atasnya dan mencintainya sebagai anak-anak-Nya tanpa batas. Berdamai dengan siapa dan apa saja St Fransiskus pernah melibatkan dirinya dalam peperangan antara warga Asisi dan warga Perugia. Namun buahnya adalah dia kehilangan banyak temannya peperangan itu. Dia sendiri bahkan ditawan dan jatuh sakit yang cukup berat. Dan sesudah agak sembuh dari sakitnya dia berangkat ke Apulia untuk ikut ambil bagian dalam Perang Salib di Italia Sela-
tan. Tetapi di Spoleto, dalam mimpi, Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya. Tuhan bertanya kepadanya tentang siapa yang dapat berbuat lebih banyak kepadanya: tuan atau hamba? “Tentu saja tuan”, jawabnya. Karena jawaban itu dia diminta untuk kembali ke Asisi. Di sana akan diberitahukan kepada nya apa yang akan dilakukannya selanjutnya (3 Sah II: 4-6; 2 Cel 6). Semula dia memang bercita-cita untuk menjadi seorang ksatria yang mulia, terhormat dan termasyhur. Namun cita-cita tersebut digantinya dengan suatu cita-cita serta tujuan yang le bih luhur lagi. Dan cita-cita serta tujuan itu adalah menjadi seorag mempelai Tuhan Allah yang suci dan tak bercela, seorang hamba-sahaya Kerajaan Allah dan seorang pelayan Injil (1 Cel 7-8). Seorang ksatria Allah, Yesus Kristus tidak boleh menyibukkan dirinya dengan perang, tetapi mengabdikan diri nya seluruhnya kepada Tuan Puteri Kemiskinan. Pengabdian seperti itu menunjukkan penyerahan diri Tuhan Yesus Kristus sendiri, yang hidup dalam kemiskinan dan kesederhanaan di dunia ini. Dan hal itu menjadi sumber ke selamatan bagi mereka yang mencari peng ampunan dan rekonsiliasi. Seperti sudah dikatakan di atas, St Fransiskus pernah melibat kan dirinya dalam peperangan.
“Semoga Tuhan memberikan damai kepada kalian” (bdk. Was 23). Damai itu disampaikannya dengan amat khidmat kepada pria dan wanita, kepada yang dijumpainya dan kepada yang berpapasan dengannya.
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
35
WACANA FRANSISKAN Pada waktu itu peperangan berkecamuk terutama karena daya tarik ketiga hal ini, yakni kekuasaan, uang dan nama besar. Namun di depan Bapak Uskup Asisi dia menolak ayahnya serta harta kekayaannya. Penolakan itu dapat dipandang tidak hanya sebagai penolakan terhadap ketiga nilai manusiawi yang sangat menarik itu, melainkan juga sebagai penolakan terhadap kekerasan sebagai sarana untuk mendapatkannya. Selanjutnya, di tengah berkecamuknya pertempuran antara laskar Kristen dan laskar kaum tak beriman St Fransiskus menemui Sultan Mesir, Melek el Kamil tanpa senjata apa pun dan perlin dungan sedikitpun (1 Cel 57; Leg Maj IX: 7-8). Dia tidak ikut ambil bagian dan melibatkan dirinya dalam peperangan yang sedang berkecamuk. Dia mau menempuh jalan yang lain. Peristiwa pertemuan dengan Sultan Mesir ini menjadi lebih bermakna lagi, bila orang ingat akan peristiwa di Spoleto tadi. Se sudah peristiwa di Spoleto itu tidak ada lagi peristiwa di mana St Fransiskus melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun. Sebaliknyalah yang terjadi. Dia hidup dalam perdamaian, hidup berdamai dengan manusia baik sebagai individu mau pun sebagai kelompok, entah di kota entah di tempat-tempat lain. Dan dia juga bahkan hidup dalam perdamaian, hidup berdamai de ngan seluruh ciptaan. Selain itu ‘dalam se tiap khotbahnya, sebelum dia mengetengahkan Sabda Allah
kepada orang-orang yang berkumpul, ia menyampaikan salam damai katanya: ”Semoga Tuhan memberikan damai kepada kalian” (bdk. Was 23). Damai itu disampaikannya dengan amat khidmat kepada pria dan wanita, kepada
yang dijumpainya dan kepada yang berpapasan dengannya. Karena itu lah banyak orang, yang tadinya membenci damai dan keselamatan, lalu dengan bantuan Tuhan memeluk damai dengan segenap hati dan malah menjadi anak-anak damai dan pengejar keselamatan’ (1 Cel 23). Memang St Fransiskus hidup sekitar 800-an tahun yang lalu. Peri hidup dan pandangan nya barangkali agak sulit diterima. Bagaimana pun juga peri hidup serta pandangannya itu, meskipun
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
belum seluruhnya disampaikan, masih dapat membantu untuk menata dan menata kembali hidup kita yang mencita-citakan persaudaraan universal yang sejati, yang mencita-citakan hidup sebagai saudara satu sama lain. Adalah benar bahwa hidup kita diturunkan melalui dan deng an perantaraan manusia-manusia. Namun demikian mereka bukanlah sumber serta pemilik kehidupan yang se sungguhnya. Tuhan Allah yang mahakuasa, mahapengasih dan mahapenyayanglah sumber dan pemilik kehidupan manusia yang sesungguhnya. Dan St Fransiskus sangat percaya dan yakin akan kebenaran ini. Tuhan Allah yang sama juga selalu mencintai dan menyayangi manusia itu baik masing-masing mau pun bersama-sama sebagai anak-anak-Nya dengan cinta kasih yang tiada ba tasnya. Kehidupan manusia, baik masing-masing mau pun bersama-sama bahkan sangat berharga di mata-Nya. Pelbagai macam bentuk kekerasan, peniadaan kehidupan dalam rupa pembunuhan dan yang serupa baik sekarang ini mau pun pada waktu yang lalu, khususnya pada 1965 dan sesudahnya, sulit didamaikan dengan peri hidup yang coba diwujudkan St Fransiskus serta pandangan yang melandasinya. Kiranya perlu dicatat bahwa tidak sedikit pria dan wanita di seluruh dunia yang berupaya mewujudkan peri hidup serta pandangan yang disampaikan oleh St Fransiskus itu sebagai teladan kepada mereka***
36
REFLEKSI
MANUSIA DIPANGGIL UNTUK MENJADI ADMINISTRATOR ALLAH Oleh: Mathias Jebaru Adon, SMM
G
Kendati mengatasi alam, manusia juga bagian dari alam, sehingga sikap hormat terhadap alam merupakan sikap moral yang layak diambil.
agasan dalam kosmologi baru bahwa alam semesta tidak statis tetapi dinamis menjadi pisau bedah dalam permenungan kita tentang Tuhan sebagai Sang Pencipta semesta alam. Semesta alam bukan sesuatu yang bersifat kekal, melainkan berawal dan berkembang secara evolusioner yang berawal dari ‘Big Bang’ yang terjadi 15 milyar tahun lalu dan terus menerus mengalami perubahan. Peristiwa tersebut sekaligus mengawali adanya ruang dan waktu serta memungkinkan terjadinya proses perubahan dalam ruang dan waktu. Kenyataan ini menyadarkan manusia akan eksistensinya dalam kosmos bahwa ia hanyalah bagian kecil dalam kosmos yang begitu luas. Maka paham antroposentrisme yang beranggapan bahwa manusia merupakan puncak dan pusat segala ciptaan merupakan anggapan yang dalam kenyataan telah ikut menyebabkan ketidakseimbangan dan kerusakan dalam alam semesta. Sejarah umat manusia hanyalah bagian kecil dari panggung evolusi alam semesta. Dalam kisah evolusi alam sejak ‘Big Bang’ yang terjadi 15 milyar tahun lalu manusia baru masuk panggung sejarah kurang dari 5 juta tahun lalu. Kesadaran akan kenyataan ini dapat mencegah kita dari sikap sombong. Di lain pihak, kenyataan bahwa
alam semesta nampaknya seperti disiapkan sedemikian rupa sehingga manusia dapat masuk pang gung sejarah dan membuat sejarah, sungguh suatu kenyataan yang mengagumkan. Manusia sungguh makhluk yang bermartabat. Diantara semua ciptaan, manusialah salah-satunya makhluk yang sadar diri dan juga menyadari keagungan sejarah alam semesta yang menjadi panggung bagi sejarah hidupnya. Dari bukti saintifik ini kita tiba pada permenungan bahwa asal-usul alam semesta itu bukan suatu kejadian teknis alam yang melulu bersifat kebetulan dan tanpa tujuan apa pun. Sebab kita dapat menyaksikan gejala-gejala yang dapat merupakan bukti atau sekurang-kurangnya indikasi untuk menyakinkan kita bahwa proses alam ini sungguh menakjubkan, sungguh misteri dan bukan tanpa tujuan. Pandangan kosmologi baru ini mengantar kita pada permenungan bahwa semua itu telah terjadi dan terjadi demikian, bukan karena harus terjadi demikian tetapi kerena tindakan bebas Tuhan terdorong oleh cinta. Semua terjadi kerena kehendak Tuhan yang “bekerja” secara imanen dalam proses alam semesta. Aspek imanensi Tuhan adalah kehadiran dan karyaNya terus-menerus dalam alam semesta. Artinya Allah tidak
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
menciptakan alam semesta sekali untuk selama-lamanya kemudian dibiarkan begitu saja seakan-akan manusia dilemparkan ke dalam dunia tanpa tujuan apa pun. Sebaliknya karya penciptaan alam semesta berlangsung terus-menerus sepanjang sejarah, baik sejarah kos mik maupun sejarah umat manusia. Karya penciptaan tak terlepas dari karya pemeliharaan Tuhan terus-menerus. Akhirnya kosmologi baru memungkinkan dialog agama dan sains dan pandangan tentang posisi dan peran manusia dalam kosmos. Manusia tidak hanya dilihat sebagai puncak ciptaan Tuhan tetapi juga buah perkembangan evolusi alam. Ia dapat disebut anak Tuhan, tetapi juga anak bintang. Kendati mengatasi alam, manusia juga bagian dari alam. Karena itu, hormat terhadap alam dan kewajiban menjaga keles tariannya merupakan sikap moral yang layak diambil. Karena itu, manusia sebagai gambar dan rupa Allah diharapkan menjadi rekan kerja Allah dalam menjaga dan melestarikan alam bukan menjadikannya sebagai objek yang harus dieksploi tasi secara massal tetapi menjadikan alam sebagai “aku yang lain” dalam hubungan ketergantungan. Sebab, panggilan dasar manusia sebagai mahkota ciptaan bukan menjadi penguasa atas alam semesta tetapi dipanggil untuk menjadi administrator Allah dalam mengatur dan mengelolah alam semesta untuk menjadikanya tempat yang layak dihuni.*** Penulis adalah calon Biarawan onfortan. Tinggal di Seminari M Montfort “Pondok Kebijaksanaan” Malang- Jawa Timur.
37
REFLEKSI Foto:RD Ardus
Oktober 2014, usai semalaman rebah dalam hangat pasir pantai di tengah desau ombak, Kelas IX SMP Seminari Pius XII Kisol- Keuskupan Ruteng, merayakan Ekaristi Minggu pagi bersama RD Ardus Tanis saat camping di Pantai Bondei, Manggarai Timur,
Menjadi Manusia Ekaristis: Peduli dan Berbagi dengan Lingkungan Hidup Oleh: Sdr. Charlest, OFM Iman kita dalam Ekaristi semakin terwujud jelas d alam ungkapannya terutama untuk memberi perhatian pada lingkungan hidup yang makin hancur.
E
karisti disadari sebagai elemen penting yang mendasari iman kristiani. Ekaristi sebagai puncak dan sumber hidup kristiani, bukan sekadar ritual tetapi sungguh merupakan sumber dan daya yang membantu umat beriman (jika dihayati) dalam mengarungi kehidupan ini. Ekaristi menjadi dasar yang kokoh dan daya yang ampuh dalam membangun hidup bermasyarakat, menjalin relasi dengan sesama dan juga
38
dengan lingkungan hidup. Di tengah masifnya persoalan lingkungan hidup, kita perlu menimba daya dan kekuatan dari Ekaristi yang adalah kehadiran Allah sendiri melalui Putera-Nya dan dalam Roh Kudus untuk menjadi manusia yang peduli dan berbagi juga terhadap lingkungan hidup. Perayaan Ekaristi: Perayaan Keutuhan Ciptaan Saat kita merayakan Ekaristi, kita mengenangkan dan menghadirkan Misteri Paskah, yakni wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus dan sekaligus merupakan perayaan keutuhan ciptaan. Dalam doa-doa dan simbol-simbol Ekaristi terungkap secara jelas bagaimana melaluinya kita meng ungkapkan pujian kepada Allah atas ciptaan-Nya. Selain itu, iman
yang kita rayakan sebenarnya me rupakan perayaan kehidupan kita sendiri, yaitu kehidupan bersama kita dengan Allah, sesama dan alam lingkungan, yang menampilkan keutuhan. Karena itu, perayaan liturgi terutama Misa Kudus tidak pernah bisa dilepaskan dari kehidupan dan perjuangan konkrit sehari-hari. Pada akhir perayaan Ekaristi kita diutus untuk mewartakan dan menghadirkan kebaikan Tuhan: Ite Missa est! Pergilah kalian diutus! Kesegaran dan kesejukan rohani yang telah kita terima dalam pe rayaan Ekaristi hendaknya bukan untuk kepuasan pribadi, tetapi agar kita dikuatkan kembali untuk me lanjutkan perutusan kita di tengah dunia ini. Karya penebusan Tuhan yang mengembalikan keutuhan ciptaan yang telah kita rayakan pada saat Ekaristi, itulah yang kita bawa dan tampilkan dalam kehidupan konkrit. Paus Benediktus XVI dalam Anjuran Apostolik Sacramentum Caritas tanggal 22 Februari 2007, no 92, menulis demikian: “Spiritualitas ekaristis yang mendalam juga mampu mempengaruhi tatanan masyarakat secara nyata untuk mengembangkan spiritualitas ekaristis itu, dalam bersyukur kepada Allah lewat Ekaristi, orangorang Kristen hendaknya me nyadari bahwa mereka berbuat demikian atas nama seluruh ciptaan, sambil mengharapkan pengudusan dunia dan bekerja secara tekun
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
REFLEKSI
Siap Untuk Peduli dan Berbagi Kita patut mengapresiasi segala bentuk kepedulian dan perhatian yang besar dari orang-orang yang berniat baik untuk menyisih kan waktu, pikiran dan tenaga demi terciptanya keutuhan ciptaan. Banyak ide yang telah dihasilkan, berlimpah usaha telah dilakukan, beragam suka dan duka yang telah diterima, itu semua karena iman yang teguh akan karya Allah yang dialami dan dibagikan kepada se sama melalui perhatian terhadap keutuhan ciptaan. Apa yang dilakukan tidak harus dan selalu hal yang luar biasa, tetapi mulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana disekitar lingkungan kita, rumah, sekolah, kantor, kampus, kos-kosan, dan lain sebagainya. Mulai dari kebersihan lingkungan sampai pada aksi so lidaritas membantu para korban bencana alam termasuk merehabilitasi lingkungannya yang telah rusak (reboisasi, misalnya) ataupun bencana karena keserakahan, atau juga meluangkan waktu untuk berpikir bersama dengan masyarakat yang hak ulayatnya terganggu kare-
Foro: RD Ardus Tanis & Fr. Kristo
sampai akhir”. Dengan kata lain, melalui Ekaristi, kita diundang untuk bekerjasama dengan Allah dan ambil bagian dalam karya pengudusan dunia melalui tugas perutusan kita masing-masing. Kita diajak untuk berupaya dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab dalam melindungi ciptaan. Iman kita dalam Ekaristi semakin terwujud jelas dalam ungkapannya terutama untuk memberi perhatian pada lingkungan hidup yang makin hancur.
na pertambangan yang mengganggu keharmonisan antara masya rakat lokal dengan lingkungannya, dan banyak lagi contoh yang lain. Usaha-usaha sederhana tersebut kiranya bukan hanya sekedar humanisme belaka, tetapi sungguh karena digerakan oleh semangat iman kepada Allah yang mau peduli dan berbagi dengan manusia dengan menjadi manusia seperti kita, menderita dan wafat demi persatuan kita dengan Allah dan kini hadir untuk terus menghidupi kita melalui Ekaristi. Tuhan hadir dan terus berkarya melalui dan bersama kita. Ekaristi bukan hanya kenangan akan karya penebusan Allah tetapi sungguh menghadirkan kembali karya itu dan sekaligus mengajak kita, umat beriman kristiani untuk menghadirkannya dalam kehidup an konkrit terutama untuk menjamin keutuhan dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan sekitar. Akhirnya Ekaristi adalah perayaan pujian dan syukur atas
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015
karya penciptaan dan penebusan Allah. Allah terus berkarya untuk mencipta dan menebus dan sejak semula Ia telah memanggil kita untuk menjadi rekan sekerja-Nya, menjadi partner-Nya dalam mencipta dan menebus. Kita diciptakan seturut gambar dan rupa Allah agar kita mampu melihat dan memandang segala sesuatu baik adanya, sebagaimana Allah melihat dan memandang segala sesuatu baik adanya. Kita seringkali lupa akan peran kita dalam karya penciptaan dan penebusan yang terus berlangsung hingga hari ini. Dalam Ekaristi kita menyadari kembali siapa kita di hadapan Allah dan apa tugas kita di dunia ciptaan-Nya ini. Melalui Ekaristi kita ditugaskan kembali untuk menjadi wazir (wakil) Allah dalam mempertahankan keutuhan seluruh ciptaannya, sesuai dengan konteks dan situasi hidup kita masing-masing.***
39
OBRAL IDE
U
ntuk konteks Indonesia, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah anak sejarah yang dilahirkan dan diperjuangkan dengan sa ngat susah payah. Penanganan kasus HAM semakin dilematis manakala negara, yang secara konstitusional (sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 I ayat 4 UUD 1945) mengemban tanggung jawab besar dalam hal perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM, terkesan apatis dan tidak serius. Oleh karena itu, meskipun HAM secara internasional dan nasional telah diterima sebagai konsepsi dasar peradaban manusia, eskalasi pelanggaran HAM tetap saja menanjak tajam dari tahun ke tahun. Bahkan, dalam sajarah Indonesia, negara yang sebenarnya memiliki kewajiban utama dalam melindungi dan memajukan HAM acapkali menjadi aktor utama pelanggaran HAM. Gelimang realitas ini serentak menyeruakkan sebuah harapan sekaligus tuntutan dasariah agar “negara” sesegera mungkin menuntaskan kasus HAM di republik ini, yang seakan dilupakan begitu saja oleh negara. *** Terpilihnya Ir. Joko Widodo sebagai Presiden RI, awalnya mem bawa ekspektasi baru bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Beliau pernah berjanji untuk mengupaya kannya. Namun, amat disayangkan, hingga saat ini sejumlah kasus pe langgaran HAM masih tetap belum jelas kelanjutan penyelesaiannya. Bahkan, pemerintah terkesan lalai dalam menanganinya. Peristiwa Pembunuhan Massal 1965, Peristiwa Talangsari-Lampung 1989, Tragedi Pe nembakan Mahasiswa Trisakti 1998, Tragedi Semanggi I 1998, Tragedi Semanggi II 1999, Kasus Wasior dan Wamena (2001 dan 2003), Kerusuh an Mei 1998, Penembakan Misterius (“Petrus”) 1982-1985, yang menelan banyak korban, hingga kini belum jelas penyelesaiannya.
40
Penuntasan Kasus HAM Terbantai Sepi Terkait hal tersebut, Setara Institute mencatat fakta miris bahwa kasuskasus pelanggaran HAM berat tersebut seringkali macet di Kejaksaan Agung. Lah, mengapa dan ada apa di balik fenomena ini? Penyelesaian kasus pelanggar an HAM masa lalu sangat mendesak untuk dituntaskan, bukan hanya karena dinilai sebagai amanat reformasi, tetapi juga merupakan tantangan bagi bangsa untuk menatap masa depan. Penuntasan pelanggaran HAM berat juga menjadi gelanggang untuk me nguji ketahanan bangsa sebagai negara hukum. Dalam hal ini, Presiden Jokowi bisa saja berdalih bahwa prioritas pemerintah saat ini adalah pembangunan ekonomi. Tetapi, dalih ini dapat kita nilai sebagai sebuah skenario untuk menghindari tanggung jawab konstitusional. Ingat! Pengungkapan dan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu akan menunjukkan bahwa hukum masih berdaulat; dan bahwa Indonesia sungguh negara hukum, sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD Negara RI Tahun 1945. Namun, de facto, sejumlah kasus HAM berat hanya mondar-mandir di Komnas HAM dan Kejaksaan Agung tanpa menemui titik terang. Lantas, kapan tumpukan kasus ini ditangani secara serius hingga tuntas? *** Fenomena ‘lupa’ terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak boleh dibiarkan terus membatu begitu saja. Berkaitan dengan itu, tentu tidak salah jika kita menaruh ekspektasi besar kepada pemerintah saat ini. Jokowi, yang dikenal sebagai sosok merakyat, kiranya mampu menjamin dan merealisasikan rasa keadilan rakyat, terlebih keluarga para korban kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal ini penting untuk diperhatikan secara serius karena negara memiliki
tanggung jawab dan tugas fundamental untuk melayani rasa keadilan rakyat. Apalagi, pengusutan dan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu ini sudah dimaktubkan Jokowi-Kalla dalam agenda dan rancangan visi-misi yang mereka tawarkan kepada rakyat sewaktu masa kampanye Pilpres kali lalu. Oleh karena itu, sampai kapan pun, kita akan selalu menagih janji itu. Dalam kaitannya dengan tesis tersebut, ada beberapa hal fundamental yang sekiranya perlu diperhatikan Jokowi dalam membangun pola pendekatan dan penanganan kasus HAM ke depan. Pertama, problematika HAM mesti dimasukkan dalam tanggung jawab dan agenda negara. Logikanya sederhana. Para korban adalah anakanak bangsa yang harus dilindungi dan dihargai hak-hak dan otonomitas pribadi nya. Pemerintah bertanggung jawab untuk memulihkan hak para korban dengan mengadakan pengadilan HAM yang benar, jujur, dan adil. Perangkat hukum untuk melakukan hal ini sudah cukup adekuat. Rujukannya adalah TAP No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Kedua, langkah penegakan hukum harus dibarengi dengan pertimbangan moral. Dasar pertimbang an moral tak lain adalah empati dan solidaritas. Dengan memiliki empati, pemerintah bisa lebih peka dalam merasa kan derita korban. Sementara melalui solidaritas, pemerintah dapat mempertimbangkan kepentingan korban yang de facto dirugikan, dan deng an demikian, dapat menjamin rasa keadilan bagi setiap korban. Beberapa anjuran atau usulan ini hanyalah sebagian dari begitu banyak alternatif yang sekiranya penting untuk diterapkan dalam menangani setiap persolan HAM di republik ini.
Joan Udu, OFM
GITA SANG SURYA, NOVEMBER - DESEMBER 2015