SINTESIS DAN PE ENCIRIAN NANOS SILIKA BERBAHA B AN DASAR R ABU KETEL K IN NDUSTRI GULA DE ENGAN VARIASI V W WAKTU A AGING DA AN pH PR RESIPITA ASI
SASONGK KO SETY YO UTOM MO
DE EPARTEM MEN TEKN NOLOGI INDUSTRII PERTAN NIAN FAK KULTAS TE EKNOLOG GI PERTA ANIAN IN NSTITUT PERTANIIAN BOGO OR BOGOR R 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sintesis dan Pencirian Nanosilika Berbahan Dasar Abu Ketel Industri Gula dengan Variasi Waktu Aging dan pH Presipitasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015 Sasongko Setyo Utomo NIM F34110010
ABSTRAK SASONGKO SETYO UTOMO. Sintesis dan Pencirian Nanosilika Berbahan Dasar Abu Ketel Industri Gula dengan Variasi Waktu Aging dan pH Presipitasi. Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI dan ANDES ISMAYANA. Abu ketel industri gula mengandung silika yang dapat disintesis menjadi nanosilika menggunakan metode presipitasi. Paramater pH presipitasi dan waktu aging adalah parameter yang sangat berpengaruh terhadap sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis nanosilika dari abu ketel industri gula melalui metode presipitasi, mengetahui pengaruh dari variasi pH presipitasi dan waktu aging terhadap sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan, dan memberikan informasi terkait potensi aplikasi yang sesuai dengan sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu preparasi abu ketel, ekstraksi silika dari abu furnace, dan sintesis nanosilika. Kandungan silika pada abu ketel dan abu furnace secara berturut-turut adalah 49.69% dan 78.75%. Nanosilika merupakan senyawa dengan sifat dan ciri multifase. Peningkatan pH presipitasi akan meningkatkan jumlah fase kristal, puncak difraksi, dan intensitas puncak difraksi. Peningkatan waktu aging akan meningkatkan intensitas puncak difraksi dan fase kristal. Derajat kristalinitas memiliki range 66.397–93.530%, rata-rata ukuran kristal memiliki range 37.772–56.867 nm, rata-rata ukuran partikel memiliki range 214.04– 698.24 nm, dan nilai PDI memiliki range 0.207–0.833. Peningkatan pH presipitasi dan waktu aging akan meningkatkan jumlah gugus siloksan dan menurunkan jumlah gugus silanol. Nanosilika memiliki beberapa potensi aplikasi yaitu sebagai komposit membran elektrolit DMFC (Direct Methanol Fuel Cell), filler lapisan penyangga tambahan membran komposit ultrafiltrasi, filler kompon karet rubber air bag peluncur kapal dari galangan, filler resin komposit, dan sebagai SCM (Supplementary Cementitious Material) untuk beton. Kata kunci : abu ketel, nanosilika, pH presipitasi, presipitasi, waktu aging
ABSTRACT SASONGKO SETYO UTOMO. Synthesis and Characterization Nanosilica from Boiler Ash Sugar Cane Industry with Aging Time and Precipitation pH Variation. Supervised by NASTITI SISWI INDRASTI and ANDES ISMAYANA. Boiler ash from sugar cane industry contains silica that was synthesized to nanosilica using precipitation method. Precipitation pH and aging time are parameters that have influenced to nanosilica characterization. The purpose of this research was to
synthesis nanosilica from boiler ash using precipitation method, determine the effect of precipitation pH and aging time variation on the characterization of nanosilica, determine the potential application based on characterization of nanosilica. The research was consist of three stages, preparation of boiler ash, extraction silica from furnace ash, and synthesis nanosilica. Boiler ash from sugar cane industry contained 49.69% silica and furnace ash contained 78.75% silica. Nanosilica was material or compound that have multifase characterization. Increase precipitation pH would increase amount of crystal phase, diffraction peak, and intensity of diffraction peak. Increase aging time would increase intensity of diffraction peak and amount of crystal phase. Degree of crystallinity has ranges 66.397–93.530%, average of crystal size has ranges 37.772–56.867 nm, average of particle size has ranges 214.04–698.24 nm, and PDI value has ranges 0.207–0.833. Increase precipitation pH and aging time would increase amount of siloksane groups and decrease amount of silanol groups. Nanosilica has potential application as a composit of electrolyte membrane DMFC (Direct Methanol Fuel Cell), composit of addition support layer membrane ultrafiltration, filler in ship rubber air bag, filler of composit resin, and SCM (Supplementary Cementitious Material) for concrete. Key words : aging time, boiler ash, nanosilica, precipitation, precipitation pH
SINTESIS DAN PENCIRIAN NANOSILIKA BERBAHAN DASAR ABU KETEL INDUSTRI GULA DENGAN VARIASI WAKTU AGING DAN pH PRESIPITASI
SASONGKO SETYO UTOMO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi Nama NIM
: Sintesis dan Pencirian Nanosilika Berbahan Dasar Abu Ketel Industri Gula dengan Variasi Waktu Aging dan pH Presipitasi : Sasongko Setyo Utomo : F34110010
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Pembimbing I
Dr Ir Andes Ismayana MT Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Januari 2015 sampai April 2015 ini ialah nanopartikel, dengan judul Sintesis dan Pencirian Nanosilika Berbahan Dasar Abu Ketel Industri Gula dengan Variasi Waktu Aging dan pH Presipitasi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti dan Bapak Dr Ir Andes Ismayana MT selaku pembimbing. Mega Erin Setiyawati sebagai motivator dan penyemangat penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Di samping itu teman seperjuangan dalam penelitian Ersyad Mafqoeh, Aji Wibowo, dan Novi Dian Ruri Erlinda yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada penulis. Ucapan terimakasih juga diucapkan untuk rekan-rekan TIN 48, Golongan P1, ayah, ibu, serta keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilimiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Juli 2015
Sasongko Setyo Utomo
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Alat Bahan Prosedur Penelitian Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Abu Ketel dan Abu Furnace Silika dari Abu Ketel Sifat dan Ciri Nanosilika Hasil Pencirian Nanosilika Potensi Aplikasi Nanosilika SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
vi vi 1 1 2 3 3 3 3 3 7 8 8 9 10 24 25 34 34 34 34 39
DAFTAR TABEL 1.
Kandungan senyawa abu ketel dan abu furnace PG Gunung Madu Plantation 2. Sifat dan ciri silika presipitasi 3. Rata-rata dan range ukuran kristal nanosilika 4. Nilai PDI dan range ukuran partikel nanosilika 5. Rangkuman sifat dan ciri nanosilika presipitasi 6. Potensi aplikasi nanosilika
8 10 16 19 24 25
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4.
Diagram alir proses preparasi abu ketel Diagram alir ekstraksi silika dari abu furnace Diagram alir sintesis nanosilika Difraktogram nanosilika pH 7, pH 8, pH 9,dan pH 10 saat waktu aging 3 jam 5. Difraktogram nanosilika pH 7, pH 8, pH 9,dan pH 10 saat waktu aging 6 jam 6. Derajat kristalinitas nanosilika 7. Rata-rata ukuran partikel nanosilika 8. Distribusi ukuran partikel nanosilika pH 7, pH 8, pH 9,dan pH 10 saat waktu aging 3 jam 9. Distribusi ukuran partikel nanosilika pH 7, pH 8, pH 9,dan pH 10 saat waktu aging 6 jam 10. Spektra FTIR nanosilika (A) pH 10 dengan waktu aging 3 jam,
4 5 6 11 12 14 17 19 20 22
(B) pH 10 dengan waktu aging 6 jam, (C) pH 7 dengan waktu aging 3 jam, (D) pH 7 dengan waktu aging 6 jam
11. Morfologi partikel nanosilika perbesaran (a) 100x , (b) 1000x, (c) 5000x, dan (d) 10 000x
23
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan partikel berskala nano (nanopartikel) menjadi objek perhatian bagi para peneliti (Hui et al. 2003). Melalui ukuran yang lebih kecil (orde nano), proses penyusupan partikel-partikel akan lebih cepat dan merata sehingga struktur partikel menjadi lebih solid, luas permukaan interaksi menjadi lebih besar, dan partikel-partikel yang berinteraksi bertambah. Partikel nano akan memberikan peningkatan interaksi permukaan dan berdampak pada meningkatnya kekuatan mekanik, fisik, dan kimia dari material (Marlina et al. 2012). Salah satu nanopartikel yang menjadi objek penelitian saat ini adalah nanosilika. Dalam beberapa aplikasi, nanosilika digunakan sebagai adsorber, material pendukung katalis, semikonduktor, insulasi panas, dan filler keramik (Adam et al. 2011). Setiap aplikasi membutuhkan bahan penyusun (nanopartikel) dengan sifat dan ciri yang berbeda satu sama lain tergantung dari kebutuhan untuk mendukung kinerja aplikasi-aplikasi tersebut. Silika dapat disintesis dari berbagai sumber seperti abu sekam padi (Kalapathy et al. 2000), fly ash batubara (Retnosari 2013), abu tongkol jagung (Okoronkwo et al. 2013), lumpur sidoarjo (Munasir et al. 2010), fly ash industry sawit (Utama et al. 2010), dan pasir alam (Munasir et al. 2013). Sumber lainnya adalah abu ketel industri gula (Affandi et al. 2009). Silika yang terdapat pada abu ketel industri gula memiliki potensi untuk disintesis menjadi nanosilika. Ukuran partikel berskala nano akan mengubah sifat fisik, kimia, dan termal partikel (Rahman dan Padavettan 2012). Transformasi ukuran dari silika menjadi nanosilika akan memberikan dampak khusus seperti ketahanan termal, warna, dan sifat tidak tembus cahaya pada plastik (Midhun et al. 2013). Silika digunakan dalam pembuatan produk ban kendaraan untuk meningkatkan kinerja wet traction, wear resistance, dan mengurangi dampak rolling resistance permukaan ban. Perubahan ukuran silika menjadi nanosilika akan lebih meningkatkan kinerja ban kendaraan (Siswanto et al. 2012). Nanosilika akan memiliki keuntungan yang lebih baik dari silika ketika sebagai filler dalam adonan keramik. Semakin kecil ukuran filler akan memberikan luas permukaan interaksi yang tinggi antara filler dengan bahan lainnya dalam pori-pori keramik. Filler yang semakin kecil akan berdampak pada peningkatan nilai kuat patah dari keramik (Hanafi dan Nandang 2010). Peningkatan kekuatan dari perekatan semen disebabkan oleh nanosilika. Nanosilika yang memiliki keseragaman ukuran yang baik akan terdispersi di dalam cairan semen. Nanopartikel yang berada di cairan semen akan meningkatkan aktivitas hidrasi dari semen dan akan meningkatkan kekuatan dari beton yang dihasilkan (Hui et al. 2003). Selain itu perubahan silika menjadi nanosilika akan meningkatkan nilai jual. Harga silika presipitasi berkisar $0.7–$1.2 per 1 kg dan harga nanosilika presipitasi $156 per 1 kg (USRN 2015).
2
Abu ketel merupakan hasil perubahan secara kimiawi dari pembakaran ampas tebu untuk memanaskan boiler dengan temperatur mencapai 550–600 ˚C (Dwiyanty 2011). Biasanya abu ketel hanya dibiarkan saja pada area terbuka dan tidak dimanfaatkan lebih lanjut. Hasil pencirian abu ketel menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence), menunjukkan bahwa kandungan terbesar dari abu ketel yaitu silika (SiO2) sebesar 50.36 % (Affandi et al. 2009). Oleh karena itu, abu ketel dari industri gula berpotensi sebagai bahan dasar dalam mensintesis nanosilika. Metode untuk mendapatkan nanopartikel dapat berupa mikroemulsi, dekomposisi termal, dan presipitasi. Presipitasi merupakan metode potensial karena memiliki keunggulan yaitu mudah dilakukan, murah, dan temperatur proses rendah. Selain itu metode presipitasi dapat menghasilkan nanopartikel yang memiliki kemurnian tinggi dan kualitas baik (Mahdavi et al. 2013). Metode presipitasi merupakan metode yang aman dan ramah terhadap lingkungan (Shahmiri et al. 2013). Parameter pH presipitasi dan waktu aging adalah parameter yang sangat berpengaruh terhadap sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan pada metode presipitasi. Menurut Singh et al. (2012), pengaruh pH pada struktur sintesis nanopartikel memberikan hasil bahwa peningkatan pH akan meningkatkan ukuran kristal. Allaedini dan Muhammad (2013) mensintesis Co3O4 dengan metode presipitasi. Ukuran kristal saat pH 8 ke 9 adalah 20 nm dan saat pH 9 ke 10 adalah 30 nm. Ukuran kristal dari suatu nanopartikel berhubungan erat dengan pola difraksi, fase kristal, ukuran partikel, dan derajat kristalinitas. Proses aging akan mengarahkan pemutusan dan represipitasi dari monomer silika menjadi struktur gel yang lebih kuat. Waktu aging yang semakin lama menyebabkan kristalinitas sampel yang semakin tinggi (Smitha et al. 2006). Jalilpour dan Fathalilou (2012) mensintesis nanopartikel ceria menggunakan metode presipitasi dengan variasi waktu aging. Semakin lama waktu aging mengakibatkan meningkatnya kristalinitas dari nanopartikel. Selain itu, Happy et al. (2007) mensintesis nanopartikel dysprosium menggunakan metode presipitasi dengan hasil terjadi peningkatan ukuran partikel dari 50 nm menjadi 150 nm saat waktu aging 10 menit dan 90 menit. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan melihat pengaruh variasi pH presipitasi dan waktu aging terhadap sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan dan mengetahui potensi nanosilika yang dihasilkan pada berbagai aplikasi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mensintesis nanosilika dari abu ketel industri gula melalui metode presipitasi, mengetahui pengaruh dari variasi pH presipitasi dan waktu aging terhadap sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan, dan memberikan informasi potensi-potensi aplikasi yang sesuai dengan sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan.
3
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik dan Manajemen Lingkungan, Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Pengawasan Mutu, dan Laboratorium Teknik Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian Fateta IPB. Analisis dan pencirian dilakukan di Laboratorium Analisis Bahan Departemen Fisika FMIPA IPB, Laboratorium Nanotech Herbal Indonesia, dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB. Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga April 2015.
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanur, neraca analitik, peralatan refluks, magnetic stirrer, magnet, pengering oven, pH meter, dan penyaring vakum. Peralatan analisis meliputi PSA (Particle Size Analyzer) Vasco, XRF (X-Ray Fluorescence) ARL OPTX-2050, XRD (X-Ray Diffraction) GBC Emma, dan FTIR (Fourier Transform Infrared) Tensor 37 (Bruker Optics).
Bahan Bahan yang digunakan adalah abu ketel yang diperoleh dari Pabrik Gula Gunung Madu Plantation (GMP), natrium hidroksida (Merck/Teknis), kertas saring, asam sulfat (Merck/PA), amonium hidroksida (Merck/PA), asam klorida (Merck/PA), kertas saring Whatmaan 42, dan aquades.
Prosedur Penelitian Preparasi Abu Ketel Abu ketel dicuci menggunakan air aquades dan selanjutnya dikeringkan dalam blower selama 5 jam. Setelah kering, abu ketel disaring menggunakan saringan kasar dan diabukan pada suhu 700 ˚C selama 6 jam menggunakan tanur (Thuadaij dan Nuntiya 2008). Gambar 1 menunjukkan diagram alir proses preparasi abu ketel.
4
Mulai Abu Ketel Pencucian Pengeringan Penyaringan Pengabuan Abu Furnace Selesai Gambar 1 Diagram alir proses preparasi abu ketel
Ekstraksi Silika dari Abu Furnace Sepuluh gram sampel abu furnace diekstrak dengan NaOH 2.5 N sebanyak 80 ml selama 3 jam. Larutan disaring dan residu dicuci menggunakan 20 ml air aquades mendidih. Filtrat hasil penyaringan didinginkan sesuai suhu ruang. Filtrat ditambahkan H2SO4 5 N hingga pH menjadi 2 dilanjutkan penambahkan NH4OH 2.5 N hingga pH menjadi 8.5 menggunakan magnetic stirrer. Larutan dibiarkan (aging) dalam suhu ruang selama 3.5 jam. Setelah didiamkan 3.5 jam, larutan dikeringkan pada suhu 105 ˚C selama 12 jam (Thuadaij dan Nuntiya 2008; Ismayana 2014; Setiawan 2015). Gambar 2 menunjukkan diagram alir ekstraksi silika dari abu furnace.
5
Mulai 10 Gram Abu Furnace Ekstraksi
NaOH 2.5 N
Penyaringan NH4OH 2.5 N
Presipitasi
H2SO4 5 N
Aging Pengeringan
Silika
Selesai
Gambar 2 Diagram alir ekstraksi silika dari abu furnace Sintesis Nanosilika Silika dihidrolisis menggunakan HCl 3 N selama 6 jam. Setelah dihidrolisis selama 6 jam, larutan disaring dan residu dicuci dengan air aquades untuk membuang sisa asam hingga pH netral. Residu yang sudah netral dilarutkan dalam NaOH 2.5 N menggunakan magnetic stirrer selama 8 jam. Larutan ditambahkan H2SO4 5 N hingga pH presipitasi 7, 8, 9, atau 10. Larutan didiamkan (aging) pada suhu ruang selama 3 atau 6 jam. Larutan dikeringkan dalam suhu 105 ˚C selama 12 jam di oven (Thuadaij dan Nuntiya 2008; Jalilpour dan Fathalilou 2012; Singh et al. 2012; Allaedini dan Muhammad 2013; Ismayana 2014; Setiawan 2015). Gambar 3 menunjukkan diagram alir proses sintesis nanosilika.
6
Mulai
Silika
Hidrolisis
HCl 3 N
Penyaringan
Pencucian
Pelarutan
NaOH 2.5 N
Presipitasi
H2SO4 5 N
pH 7
pH 9
pH 8
pH 10
3 jam
6 jam
3 jam
3 jam
6 jam
6 jam
3 jam
6 jam
Pengeringan Nanosilika
Selesai Gambar 3 Diagram alir sintesis nanosilika Pengujian Abu Ketel dan Abu Furnace Kandungan senyawa dan elemen dari abu ketel dan abu furnace dianalisis menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence) ARL OPTX-2050 yang dioperasikan dengan arus 10 mA tegangan 50 kV. Sebanyak 5 gram sampel dipindai dan
7
dikalibrasikan sesuai energi dan intensitasnya. Analisis unsur dari Na hingga U dengan detektor Si (Li) (Sintilation).
Pengujian dan Pencirian Nanosilika Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel diamati dengan PSA (Particle Size Analyzer) Vasco. Sebanyak 0.002 gram nanosilika didispersikan dalam 100 ml aquades. Selanjutnya larutan diputar menggunakan magnetic stirrer selama 20 menit. Pemindaian partikel nanosilika dilakukan dengan PSA selama 2–10 menit. Ukuran kristal, derajat kristalinitas, dan fase kristal diamati dengan XRD (XRay Diffraction) GBC Emma yang dioperasikan pada 35 kV dan 25 mA. XRD GBC Emma menggunakan radiasi Cu-Kα dengan panjang gelombang (λ) 1.54056 Å. Difraktogram dipindai mulai 10˚ sampai 80˚ (2θ) dengan laju pemindaian 3˚ per menit. Perhitungan derajat kristalinitas menggunakan software PowderX dan ukuran kristal menggunakan persamaan Scherrer.
Konstanta k merupakan konstanta Scherrer (0.9), λ adalah panjang gelombang Cu-Kα (0.154056 nm), β merupakan Full Width at Half Maximum (FWHM) artinya lebar puncak (peak) pada setengah tinggi puncaknya, dan θ adalah sudut fase. Pola difraksi dan fase kristal akan diidentifikasi melalui pencocokkan dengan kartu PDF (Powder Diffraction File) menggunakan software Match! 2. PDF [96-9000076] merupakan kartu PDF dari fase quartz. PDF [96-900-0521] merupakan kartu PDF dari fase tridimit dan PDF [96-900-1579] merupakan kartu PDF dari fase kristobalit. Pembentukan gugus fungsi pada sintesis nanosilika akan dianalisis menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared) Tensor 37 (Bruker Optics). Sampel nanosilika sebanyak 2 mg ditambahkan 200 mg KBr untuk dibentuk menjadi pelet. Pelet yang sudah terbentuk dianalisis gugus fungsinya menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared) Tensor 37 (Bruker Optics) dalam rentang wavenumber 400– 4000 cm-1.
Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan alat, teknik, atau prosedur yang digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan kumpulan data, fakta, dan hasil pengamatan yang telah dilakukan. Analisis deskriptif ini memiliki tujuan untuk memberikan gambaran (deskripsi) mengenai suatu data agar data yang tersaji menjadi mudah dipahami dan informatif bagi orang yang membacanya.
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Abu Ketel dan Abu Furnace Abu ketel yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Pabrik Gula Gunung Madu Plantation (GMP). Pabrik Gula Gunung Madu Plantation (GMP) memiliki kapasitas produksi sebesar 12 000 TCD (Ton Cane Per Day). Bagasse (ampas tebu) yang dihasilkan pabrik ini sebesar 30–34% dari total tebu yang digiling namun hanya sekitar 27% ampas tebu yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar boiler (ketel). Sisanya sekitar 73% dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan pakan ternak. Abu ketel yang dihasilkan pabrik ini sebesar 1.5–2% dari total tebu yang digiling. Abu ketel yang dihasilkan dari proses pembakaran bagasse sebagai bahan bakar boiler dimanfaatkan sebagai bahan tambahan untuk pupuk organik. Hasil analisis menggunakan XRF (X-Ray Fluorescence) terhadap abu ketel dan abu furnace Pabrik Gula Gunung Madu Plantation disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan senyawa abu ketel dan abu furnace PG Gunung Madu Plantation No Senyawa Abu Ketel (%) Abu Furnace (%) 1 SiO2 49.69 78.75 2 Al2O3 11.24 10.36 3 K2O 8.76 1.80 8.14 0 4 P2O5 5 Na2O 7.00 0 6 CaO 4.95 0.886 7 MgO 3.59 1.06 8 Fe2O3 3.23 5.37 1.63 0 9 SO3 10 TiO2 0.790 0.622 Melalui analisis XRF terhadap abu ketel Pabrik Gula GMP, membuktikan bahwa kandungan terbesar dari abu ketel adalah silika (SiO2). Kandungan silika dari abu ketel PG GMP ini mencapai 49.69%. Persentase kandungan silika abu ketel PG GMP tidak berbeda jauh dari hasil penelitian oleh Affandi et al. (2009) yang mendapatkan kandungan silika sebesar 50.36%. Melalui kandungan silika 49.69%, abu ketel memiliki potensi sebagai bahan dasar dalam mensintesis nanosilika. Pemanfaatan abu ketel sebagai bahan dasar sintesis nanosilika akan meningkatkan nilai tambah yang lebih dibandingkan dengan pemanfaatan sebagai bahan tambahan pupuk organik. Hasil pengujian kandungan abu furnace menghasilkan kadar silika sebesar 78.75%. Kadar silika pada abu furnace lebih tinggi dari kadar silika pada abu ketel. Peningkatan kadar silika ini akibat proses normalisasi jumlah. Normalisasi jumlah akan meningkatkan persentase silika pada abu furnace karena menurunnya jumlah
9
senyawa selain silika akibat proses pengabuan suhu 700 ˚C. Hal ini membuktikan bahwa senyawa organik dan mineral lainnya menurun atau hilang saat suhu 700 ˚C. Senyawa P2O5, Na2O, dan SO3 memiliki titik lebur ketika suhu 44.19 ˚C, 97.8 ˚C, dan 115.2 ˚C secara berturut-turut (Bauccio 1993). Hal inilah yang menyebabkan ketiga senyawa tersebut sudah tidak terdeteksi lagi pada abu furnace. Sedangkan senyawa Al2O3, K2O, CaO, dan MgO memiliki titik lebur ketika suhu 660.45 ˚C, 350 ˚C , 840 ˚C, dan 649 ˚C secara berturut-turut (Bauccio 1993). Hal inilah yang menyebabkan keempat senyawa tersebut mengalami penurunan jumlah yang akan berdampak pada penurunan persentase. Senyawa Fe2O3 memiliki titik lebur ketika suhu 1535 ˚C sehingga tidak mengalami penurunan jumlah akibat pengabuan suhu 700 ˚C (Bauccio 1993). Senyawa silika (SiO2) memiliki titik lebur ketika suhu 1414 ˚C sehingga tidak mengalami penurunan jumlah akibat pengabuan suhu 700 ˚C (Bauccio 1993). Tingginya titik lebur senyawa Fe2O3 dan SiO2 yang menyebabkan senyawa tersebut mengalami peningkatan persentase Kadar silika yang tinggi pada abu furnace sangat penting dalam rangkaian proses sintesis nanosilika dengan metode presipitasi. Kadar silika tinggi akan mempengaruhi reaksi antara SiO2 dengan NaOH untuk membentuk natrium silikat (Na2SiO3). Na2SiO3 merupakan senyawa prekursor untuk membentuk silika dalam ukuran nano.
Silika dari Abu Ketel Ekstraksi silika dilakukan dengan hidrolisis abu ketel dalam natrium hidroksida pada suhu 90–100°C selama 3 jam. Silika dalam abu ketel akan bereaksi dengan natrium hidroksida membentuk natrium silikat dan air. Semakin banyak persentase silika di dalam abu ketel akan berdampak pada semakin tinggi kemurnian silika yang dihasilkan. Oleh sebab itu fungsi dari preparasi abu ketel menjadi abu furnace adalah untuk meningkatkan persentase silika di dalam abu ketel. Persamaan reaksi antara silika dengan natrium hidroksida dapat dilihat dibawah ini
2NaOH
+
SiO2
Æ
Na2SiO3
+
H2O
Silika dipisahkan dari larutan natrium silikat dengan teknik presipitasi. Penambahan senyawa asam akan mengubah keadaan larutan menjadi supersaturated (superjenuh). Keadaan larutan superjenuh akan mengakibatkan terbentuknya inti kristal dari senyawa silika. Pengendapan selanjutnya dapat terjadi pada partikel yang mula-mula terbentuk ini. Ukuran inti akan meningkat karena terdapat penambahan inti kristal lainnya sehingga membentuk partikel primer. Partikel primer akan mengendap ke dasar wadah (Utama et al. 2010). Proses aging akan mengarahkan pemutusan dan represipitasi dari monomer silika menjadi struktur gel yang lebih kuat
10
(Smitha et al. 2006). Tabel 2 menunjukkan sifat dan ciri dari silika presipitasi. Silika presipitasi memiliki penampakan berwarna putih dan memiliki bentuk serpih jarum. Fase kristal silika didominasi oleh fase kristal kristobalit. Derajat kristalinitas dari silika presipitasi sebesar 76.34% dan tergolong ke dalam golongan semi kristalin. Silika presipitasi memiliki ukuran berkisar 2000–3000 nm.
Parameter Warna Bentuk Kristalinitas (%) Fase kristal dominan Ukuran Partikel (nm)
Tabel 2 Sifat dan ciri silika presipitasi Spesifikasi Putih Serpih Jarum 76.34% Kristobalit 2000–3000 nm
Sifat dan Ciri Nanosilika Pola Difraksi dan Fase Krisal Pola difraksi dihasilkan dari analisis menggunakan XRD (X-Ray Diffraction). Pola difraksi dari setiap senyawa akan memiliki sifat yang khas pada nilai 2θ yang terbentuk. Setiap senyawa memiliki berbagai jenis fase kristal. Silika memiliki fase kristal berupa quartz, kristobalit, dan tridimit. Setiap fase kristal dari nanosilika memiliki nilai 2θ yang khas. Puncak difraksi setiap perlakuan akan dicocokkan dengan kartu PDF (Powder Diffraction File) fase silika. PDF [96-900-0076] merupakan kartu PDF dari fase quartz. PDF [96-900-0521] merupakan kartu PDF dari fase tridimit dan PDF [96-900-1579] merupakan kartu PDF dari fase kristobalit. Pola difraksi nanosilika dengan waktu aging 3 jam dapat dilihat pada Gambar 4. Peningkatan pH akan memberikan peningkatan intensitas pada beberapa puncak difraksi walaupun peningkatannya tidak terlalu tinggi. Selain itu peningkatan pH saat waktu aging 3 jam akan menghasilkan beberapa puncak difraksi baru pada difraktogram yang dihasilkan. Pola difraksi nanosilika dengan waktu aging 6 jam dapat dilihat pada Gambar 5. Sama halnya dengan waktu aging 3 jam, peningkatan pH saat waktu aging 6 jam akan meningkatkan intensitas pada beberapa puncak difraksi walaupun peningkatannya tidak terlalu tinggi. Selain itu peningkatan pH saat waktu aging 6 jam akan menimbulkan puncak difraksi baru. Bila membandingkan pola difraksi ketika pH yang sama dalam waktu aging 3 dan 6 jam dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan intensitas yang cukup tinggi pada beberapa puncak difraksi namun tidak terdapat kemunculan puncak difraksi baru.
11
1100 1000
= tridimit = quartz = kristobalit
800 600 400 200 10 1100 1000
20
30
40
50
60
20
30
40
50
60
20
30
40
50
60
20
30
40
50
60
800 600
Intensitas (counts)
400 200 10
1100 1000 800 600 400 200 10 1100 1000 800 600 400 200 10
2θ (degrees)
Gambar 4 Difraktogram nanosilika pH 7( ), pH 8( ), pH 9( saat waktu aging 3 jam
), dan pH 10(
)
12
1200
= tridimit = quartz = kristobalit
1000 800 600 400 200 10 1200
20
30
40
50
60
20
30
40
50
60
20
30
40
50
60
20
30
40
50
60
), dan pH 10(
)
1000 800 600
Intensitas (counts)
400 200 10
1200 1000 800 600 400 200 10 1200 1000 800 600 400 200 10
2θ (degrees) Gambar 5 Difraktogram nanosilika pH 7( ), pH 8( saat waktu aging 6 jam
), pH 9(
13
Berdasarkan analisis pola difraksi dan fase kristal, peningkatan pH presipitasi baik saat waktu aging 3 jam maupun 6 jam memberikan peningkatan jumlah puncak difraksi dan intensitas puncak difraksi. Menurut Allaedini dan Muhamad (2013), reaksi kondensasi senyawa nanopartikel terjadi ketika peningkatan nilai pH, sehingga terjadi pertumbuhan partikel primer. Hal ini disebabkan, saat pH tinggi laju nukleasi lebih rendah dibandingkan pertumbuhan partikel primer. pH tinggi menyebabkan peningkatan laju dari pertumbuhan partikel primer. Pertumbuhan partikel primer inilah yang menyebabkan terjadinya pembentukan kristal-kristal baru dari inti kristal yang sudah ada. Kristal-kristal baru yang terbentuk saat peningkatan pH presipitasi menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah puncak difraksi dan akan berdampak pada bertambahnya fase kristal yang terbentuk. Selain meningkatan jumlah puncak difraksi, kristal baru yang terbentuk akan meningkatkan intensitas puncak difraksi akibat bertambahnya jumlah fase kristal pada suatu nilai 2θ yang sudah ada. Berdasarkan analisis pola difraksi dan fase kristal bahwa peningkatan waktu aging akan memberikan peningkatan intensitas puncak difraksi. Menurut Smitha et al. (2006), proses aging akan mengarahkan pemutusan dan represipitasi dari monomer silika menjadi struktur gel yang lebih kuat. Waktu aging yang semakin lama menyebabkan kristalinitas sampel yang semakin tinggi. Selama proses aging, kekuatan dan kekakuan dari gel meningkat. Hal ini mengindikasikan meningkatnya derajat reaksi kondensasi dan ikatan silang siloksan di dalam pemutusan dan represipitasi silika. Hal inilah yang menyebabkan intensitas puncak difraksi menjadi meningkat saat peningkatan waktu aging akibat penguatan struktur bidang kristal yang terbentuk. Dari hasil analisis fase kristal waktu aging 3 dan 6 jam, maka dapat disimpulkan bahwa nanosilika merupakan senyawa yang memiliki sifat dan ciri multifase. Hal ini dibuktikan bahwa terdapat 3 jenis fase kristal pada setiap perlakuan pH presipitasi, yaitu fase quartz, tridimit, dan kristobalit. Kemunculan puncak difraksi baru dan peningkatan intensitas puncak difraksi akan berpengaruh terhadap derajat kristalinitas dari nanosilika. Setiap perlakuan akan menghasilkan sifat dan ciri yang berbeda satu sama lain. Tidak ada perlakuan yang terbaik dalam konteks ini. Setiap perlakuan akan memiliki sifat dan ciri yang khas untuk menunjang suatu aplikasi tertentu. Pola difraksi dengan intensitas tinggi dan jumlah puncak difraksi banyak akan berdampak terhadap derajat kristalinitas yang tinggi. Sebaliknya, bila semakin rendah intensitas puncak difraksi dan sedikit jumlah puncak difraksi akan mengakibatkan derajat kristalinitas yang rendah. Menurut Ismayana (2014), derajat kristalinitas yang tinggi cocok untuk aplikasi filler penguat beton dan derajat kristalinitas rendah cocok untuk aplikasi adsorben. Derajat Kristalinitas Derajat kristalinitas menunjukkan jumlah atau proporsi fase kristal didalam suatu sampel atau bahan. Perhitungan menggunakan software PowderX. Perlakuan pH presipitasi dan waktu aging sangat mempengaruhi derajat kristalinitas dari bahan. Gambar 6 menunjukkan derajat kristalinitas nanosilika pada setiap perlakuan. Peningkatan pH presipitasi akan meningkatan derajat kristalinitas nanosilika yang
14
ddihasilkan. Peningkatan P n waktu aginng dari 3 jaam ke 6 jam m menunjukkkan terjadinnya p peningkatan n derajat kristalinitas. W Waktu Aging g 3 Jam
82.377%
83.275%
86.076%
W Waktu Aging 6 Jam 92.794% 86.5003%
89.652%
9 93.530%
66.387 7%
pH 7
pH 8
p 9 pH
pH 100
Gambar 6 Deerajat kristaliinitas nanosiilika Derajaat kristalinittas berhubunngan erat dengan d pola difraksi daan fase krisstal n nanosilika. Peningkatan P n pH presipiitasi akan meningkatkan m n derajat kriistalinitas. Hal H i berhubun ini ngan dengann kemunculann puncak diffraksi baru akibat a prosess pertumbuhhan p partikel prim mer saat pH H tinggi. Paada hasil annalisis pola difraksi daan fase kristal m menjelaskan n bahwa peningkatan p pH presiipitasi akann berpengaaruh terhaddap p peningkatan n jumlah puuncak difrakksi. Peninggkatan jumlaah puncak difraksi akkan b berdampak terhadap t penningkatan juumlah fase kristal k yang terbentuk. t P Peningkatan i ini a akibat muncculnya kristaal-kristal baaru saat penningkatan pH H presipitasii. Peningkattan j jumlah kristtal dan fase kristal k akan berdampak pada peninggkatan derajaat kristalinitaas. S Selain itu seemakin menningkat intennsitas puncaak difraksi akkan meninggkatkan deraj ajat k kristalinitas. . Peningkataan intensitas disebabkaan bertambaahnya jumlaah fase kristal p pada nilai 2θθ yang sudahh ada. Waktu u aging akaan mempenggaruhi terhadap kekuataan struktur bidang kristal y yang terben ntuk. Semakkin lama waaktu aging akan meninngkatkan sttruktur bidaang k kristal yang g kuat. Strukktur bidang kristal yangg kuat akann meningkattkan intensittas p puncak difrraksi yang dihasilkan. Intensitas puncak difraksi yangg tinggi akkan m meningkatka an derajat krristalinitas.
15
Dari hasil yang diperoleh dapat terlihat bahwa derajat kristalinitas terendah terdapat pada perlakuan waktu aging 3 jam dan pH 7 sebesar 66.387%. Hal ini membuktikan bahwa saat pH 7 laju pertumbuhan partikel primer rendah sehingga jumlah puncak-puncak difraksi dan intensitas puncak difraksi rendah. Selain itu waktu aging 3 jam memberikan tingkat intensitas puncak difraksi yang lebih rendah dibandingkan waktu aging 6 jam sehingga berdampak terhadap rendahnya derajat kristalinitas. Derajat kristalinitas tertinggi terjadi saat waktu aging 6 jam dan pH 10 sebesar 93.530%. Hal ini membuktikan bahwa saat pH 10 laju pertumbuhan partikel primer sangat tinggi yang dibuktikan oleh munculnya puncak-puncak difraksi baru dan tingginya intensitas puncak difraksi. Puncak difraksi baru dan tingginya intensitas puncak difraksi mengakibatkan peningkatan derajat kristalinitas. Selain itu waktu aging 6 jam memberikan tingkat intensitas puncak difraksi yang tinggi akibat penguatan struktur bidang kristal sehingga berdampak langsung terhadap peningkatan derajat kristalinitas. Ukuran Kristal Ukuran kristal dihitung menggunakan persamaan Scherrer dan software PowderX. Analisis Full Width at Half Maximum (FWHM) artinya lebar puncak (peak) pada setengah tinggi puncaknya dilakukan menggunakan software PowderX. Perubahan ukuran kristal merupakan indikasi terjadinya proses kristalisasi. Tabel 3 memperlihatkan bahwa pH presipitasi dan waktu aging mempengaruhi rata-rata dan range ukuran kristal nanosilika yang dihasilkan. Terlihat bahwa semakin tinggi pH presipitasi akan menghasilkan rata-rata ukuran kristal yang semakin meningkat dan range ukuran yang semakin meluas. Waktu aging 6 jam memberikan rata-rata ukuran kristal yang lebih besar dan range yang lebih luas dibandingkan rata-rata ukuran kristal 3 jam. Peningkatan pH presipitasi akan memberikan peningkatan terhadap rata-rata ukuran kristal yang diperoleh. Hal ini berkaitan dengan proses pertumbuhan partikel primer saat pH tinggi. Pertumbuhan partikel primer akan menghasilkan ukuran kristal yang besar akibat bergabungnya (agregasi) antara inti kristal dengan inti kristal lainnya. Menurut Allaedini dan Muhamad (2013), reaksi kondensasi senyawa nanopartikel terjadi ketika peningkatan nilai pH sehingga terjadi pertumbuhan partikel primer. Hal ini disebabkan bahwa saat pH tinggi laju nukleasi lebih rendah dibandingkan pertumbuhan partikel primer. pH tinggi menyebabkan peningkatan laju dari pertumbuhan partikel primer. Hal inilah yang menyebabkan rata-rata ukuran kristal yang dihasilkan lebih besar saat pH tinggi. Peningkatan rata-rata ukuran kristal saat peningkatan pH presipitasi akan berbanding lurus dengan peningkatan derajat kristalinitas. Hal ini terbukti bahwa rata-rata ukuran kristal saat pH 7 merupakan ratarata ukuran kristal terkecil dan derajat kristalinitas terendah. Sedangkan saat pH 10, rata-rata ukuran kristal merupakan yang terbesar dan derajat kristalinitas yang terbesar. Faktor lain peningkatan rata-rata ukuran kristal dan range ukuran kristal adalah proses aglomerasi. Peningkatan ukuran kristal akan terjadi ketika kondisi pH presipitasi tinggi. Kondisi pH presipitasi yang tinggi akan memudahkan partikel
16
primer untuk beragregasi dengan partikel primer lainnya untuk membentuk partikel sekunder. Kondisi ini disebut dengan proses aglomerasi partikel primer. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan rata-rata ukuran kristal dan range ukuran meluas. Menurut Happy et al. (2007), proses pertumbuhan pada proses aglomerasi dimulai oleh pembentukan nuklei (inti kristal) dan diikuti penambahan molekul inti kristal lainnya untuk membentuk partikel kecil (partikel primer). Setelah terbentuk partikel primer, maka partikel primer ini akan beraggregasi dengan partikel primer lainnya membentuk partikel sekunder yang lebih besar. Proses ini didukung oleh gerak Brown, gaya Van Der Walls, atau perubahan kondisi larutan. Peningkatan pH presipitasi atau menaikkan kekuatan ionik larutan dapat mengurangi penghalang elektrostatik disekitar partikel primer dan memudahkan untuk beraglomerasi. Proses agglomerasi akan berhenti ketika kestabilan partikel sekunder sudah dicapai. Tabel 3 Rata-rata dan range ukuran kristal nanosilika Waktu Aging (Jam) 3
6
pH 7 8 9 10 7 8 9 10
Range (nm) 33.359–40.325 38.752–48.396 41.570–53.668 46.487–61.113 39.401–59.717 43.919–64.666 44.469–68.398 44.491–78.827
Rata-rata (nm) 37.772 43.993 47.024 52.048 45.651 51.856 53.849 56.867
Peningkatan waktu aging akan menyebabkan proses aglomerasi partikel primer. Proses aglomerasi ini menyebabkan peningkatan rata-rata ukuran kristal yang terbentuk dan range ukuran kristal yang meluas. Menurut Jarvenin (2013), aglomerasi menjelaskan kencenderungan partikel kecil di dalam larutan suspensi untuk bergabung satu sama lain menjadi agregat yang lebih besar. Istilah aging mengenai suatu proses yang mengubah kondisi presipitat setelah terbentuk. Hukum Ostwald mengenai kencenderungan pembentukan partikel besar (sekunder) dari partikel kecil (primer) setelah terjadi nukleasi dan pertumbuhan partikel primer. Kondisi ini terjadi ketika ukuran kurang dari 1 mikron. Peningkatan rata-rata ukuran kristal saat waktu aging berbanding lurus dengan peningkatan derajat kristalinitas. Hal ini terbukti bahwa derajat kristalinitas waktu aging 3 jam selalu lebih rendah dibanding waktu aging 6 jam. Dari hasil yang diperoleh dapat terlihat bahwa rata-rata ukuran kristal dan range ukuran terkecil terdapat pada perlakuan waktu aging 3 jam dan pH 7 sebesar 37.772 nm. Hal ini membuktikan bahwa saat pH 7 laju pertumbuhan partikel primer dan tingkat aglomerasi masih rendah. Selain itu, saat waktu aging 3 jam proses aglomerasi partikel primer masih rendah. Rata-rata ukuran dan range ukuran kristal terbesar terjadi saat waktu aging 6 jam dan pH 10 sebesar 56.867 nm. Hal ini membuktikan bahwa saat pH 10 laju pertumbuhan partikel primer dan tingkat
17
aaglomerasi tinggi. Selaain itu, saat waktu aginng 6 jam proses aglom merasi partikkel p primer tingg gi. U Ukuran dan n Distribusii Ukuran Paartikel Ukuraan partikel memiliki m defi finisi yang beerbeda denggan ukuran kristal. k Ukurran ppartikel merrupakan hassil proses agglomerasi dari partikel primer (kriistal) sehinggga d dalam satu partikel terddapat lebih dari satu kristal. k Hal inilah i yang menyebabkkan u ukuran partikel lebih besar b dibanddingkan ukuuran kristal. Ukuran paartikel sanggat m menentukan n sifat dann karakteristik dari suuatu bahan. Ukuran partikel akkan yang dimilliki oleh suaatu m mempengaru uhi secara langsung l keppada sifat fisiko-kimia f m material. Menurut M Nam mazi et al. (2012), ( nanoopartikel addalah definissi dari partikkel t terdispersi atau a partikell padat yanng memiliki ukuran dalam kisaran 10–1000 nm. M Menurut Marlina M et all. (2012), melalui m ukuuran yang lebih kecil (nano) prosses p penyusupan partikel-parrtikel akan lebih l cepat dan d merata sehingga strruktur partikkel m menjadi leb bih solid, luuas permukaaan interakssi menjadi lebih l besar, dan partikelp partikel yan ng berinterakksi bertambah. Melaluii ukuran dallam skala nano, n interakksi p permukaan total akan meningkat dan berdaampak padaa meningkattnya kekuattan m mekanik maaterial. Gam mbar 7 menuunjukkan baahwa waktu aging dan pH presipitaasi m mempengaru uhi rata-rata ukuran parttikel yang dihasilkan. W Waktu Aging 3 Jam
W Waktu Aging 6 Jam 698.24 nm
529.14 nm
331.95 nm 214.04 4 nm
pH 7
411.05 nm 345.89 n nm 338.669 nm 2 243.69 nm
pH 8
p 9 pH
pH 10
Gam mbar 7 Rata--rata ukuran partikel nannosilika Param meter pH prresipitasi meempengaruhhi terhadap rata-rata ukkuran partikkel n nanosilika yang y terbenntuk. Hal inni didasari saat terjadiinya proses pertumbuhhan p partikel prim mer (kristal).. Menurut Allaedini A dann Muhamad (2013), ( saat pH presipitaasi
18
tinggi laju nukleasi lebih rendah dibandingkan pertumbuhan partikel primer. pH presipitasi tinggi menyebabkan peningkatan laju dari pertumbuhan partikel primer. Hal ini menyebabkan ukuran kristal yang dihasilkan lebih besar. Ukuran kristal yang besar akan mempengaruhi secara langsung kepada ukuran partikel yang dihasilkan. Peningkatan ukuran kristal akan berdampak langsung terhadap peningkatan ukuran partikel nanosilika. Hal ini terbukti bahwa semakin meningkatnya pH presipitasi akan meningkatkan rata-rata ukuran kristal yang dihasilkan (Tabel 3). Selain itu, semakin meningkatnya pH presipitasi akan meningkatkan juga rata-rata ukuran partikel nanosilika yang terbentuk (Gambar 7). Menurut Happy et al. (2007), setelah terbentuk partikel primer, maka partikel primer ini akan beragregasi dengan partikel primer lainnya membentuk partikel sekunder yang lebih besar. Peningkatan pH atau menaikkan kekuatan ionik larutan dapat mengurangi penghalang elektrostatik disekitar partikel primer dan memudahkan untuk beraglomerasi. Proses agglomerasi akan berhenti ketika kestabilan partikel sekunder sudah dicapai. Melalui proses aglomerasi ini ukuran partikel yang dihasilkan akan semakin membesar (partikel sekunder). Partikel sekunder inilah yang akan terbaca ukurannya oleh PSA (Particle Size Analyzer). Parameter waktu aging akan mempengaruhi rata-rata ukuran partikel nanosilika yang dihasilkan. Peningkatan waktu aging akan menyebabkan proses aglomerasi partikel primer membentuk partikel sekunder yang lebih besar ukurannya. Proses aglomerasi akan menyebabkan peningkatan ukuran kristal yang dihasilkan. Peningkatan ukuran kristal akan berdampak langsung terhadap peningkatan ukuran partikel nanosilika. Hal ini terbukti bahwa semakin meningkatnya waktu aging akan meningkatkan rata-rata ukuran kristal yang dihasilkan (Tabel 3). Selain itu, semakin meningkatnya waktu aging akan meningkatkan juga rata-rata ukuran partikel nanosilika yang terbentuk (Gambar 7). Menurut Jarvenin (2013), aglomerasi menjelaskan kencenderungan partikel kecil di dalam larutan suspensi untuk bergabung satu sama lain menjadi agregat yang lebih besar. Hukum Ostwald menjelaskan mengenai kencenderungan pembentukan partikel besar (sekunder) dari partikel kecil (primer) setelah terjadi nukleasi dan pertumbuhan partikel primer. Kondisi ini terjadi ketika ukuran kurang dari 1 mikron. PDI (Podispersity Index) adalah parameter yang menjelaskan mengenai distribusi ukuran partikel nanopartikel. Kisaran nilai PDI 0.01 adalah nanopartikel monodispersi. Nilai PDI hingga sekitar 0.7 masih dalam batas toleran nanopartikel yang dapat digunakan sebagai bahan pendukung pada berbagai aplikasi. Nanopartikel dengan distribusi ukuran yang sangat luas akan memiliki nilai PDI lebih besar dari 0.7 (Nidhin 2008). Nilai PDI dipengaruhi oleh range ukuran partikel suatu sampel. Semakin luas range ukuran partikel maka akan mengakibatkan peningkatan nilai PDI. Tabel 4 menunjukkan nilai PDI dan range ukuran partikel nanosilika. Dari tabel tersebut, peningkatan pH presipitasi dan waktu aging akan mengakibatkan range ukuran meluas. Range ukuran yang meluas akan berdampak terhadap peningkatan nilai PDI. Nilai PDI yang tinggi menunjukkan bahwa sampel nanosilika yang dihasilkan memiliki ukuran yang tidak seragam.
19
Tabel 4 Nilai PDI dan range ukuran partikel nanosilika Waktu Aging (Jam) 3
6
pH 7 8 9 10 7 8 9 10
Range (nm) 32.37–1622.24 33.89–2344.85 51.30–2819.13 64.58–7081.33 61.68–1950.36 64.58–3549.07 67.63–5129.97 85.14–9774.96
PDI 0.207 0.315 0.348 0.756 0.216 0.416 0.556 0.833
Intensitas (u.a.)
Selain itu dalam kurva distribusi ukuran partikel, semakin lebar kurva mengindikasikan nilai PDI semakin besar. Gambar 8 memperlihatkan kurva distribusi ukuran saat waktu aging 3 jam. Semakin meningkat pH maka nilai PDI akan semakin meningkat. Nilai PDI meningkat akan mengakibatkan kurva distribusi ukuran akan semakin melebar. Hal ini diakibatkan proses pertumbuhan partikel primer yang tidak stabil dan proses aglomerasi seiring peningkatan pH presipitasi. Proses pertumbuhan partikel primer dan aglomerasi yang membuat ketidakseragaman ukuran dari nanosilika. Hal ini didukung dengan hasil analisis pada parameter pola difraksi, ratarata ukuran kristal, dan rata-rata ukuran partikel. Pola difraksi saat pH presipitasi tinggi akan memunculkan kristal–kristal baru akibat pertumbuhan partikel primer. Selain akan meningkatkan ukuran kristal dan partikel, proses aglomerasi dan pertumbuhan partikel primer akan membuat ketidakseragaman ukuran yang dihasilkan. Ketidakseragaman ini dibuktikan dengan kurva distribusi ukuran partikel nanosilika yang semakin melebar.
Ukuran Partikel (nm) Gambar 8 Distribusi ukuran partikel nanosilika pH 7( ), pH 8( ), pH 9( ), dan pH 10 ( ) saat waktu aging 3 jam
20
Intensitas (u.a.)
Gambar 9 memperlihatkan kurva distribusi ukuran saat waktu aging 6 jam. Sama halnya saat waktu aging 3 jam, semakin meningkat pH presipitasi maka nilai PDI akan semakin meningkat. Selain itu bila membandingkan Gambar 8 dan 9, maka semakin meningkat waktu aging, nilai PDI akan semakin meningkat dan kurva distribusi ukuran partikel akan semakin melebar. Hal ini disebabkan proses aglomerasi saat peningkatan waktu aging. Proses aglomerasi tersebut membuat ketidakseragaman ukuran dari nanosilika. Hal ini didukung dengan hasil analisis pada parameter rata-rata ukuran kristal dan rata-rata ukuran partikel. Proses aglomerasi akan membuat partikel primer beragregasi dengan partikel primer lainnya membentuk partikel sekunder. Selain meningkatkan ukuran kristal dan partikel, proses aglomerasi akan membuat ketidakseragaman ukuran yang dihasilkan. Ketidakseragaman ini dibuktikan dengan kurva distribusi ukuran partikel nanosilika yang semakin melebar.
Ukuran Partikel (nm) Gambar 9 Distribusi ukuran partikel nanosilika pH 7( ), pH 8( ), pH 9( ), dan pH 10 ( ) saat waktu aging 6 jam Dari hasil yang diperoleh dapat terlihat bahwa rata-rata ukuran partikel terkecil terdapat pada perlakuan waktu aging 3 jam dan pH 7 sebesar 214.04 nm. Hal ini membuktikan bahwa saat pH 7 laju pertumbuhan partikel primer dan tingkat aglomerasi masih rendah. Selain itu, saat waktu aging 3 jam proses aglomerasi partikel primer masih rendah. Selain itu distribusi ukuran tersempit juga terdapat pada perlakuan waktu aging 3 jam dan pH 7. Hal ini dibuktikan dengan nilai PDI yang terendah dan range ukuran partikel yang terkecil. Rata-rata ukuran partikel terbesar terdapat pada perlakuan waktu aging 6 jam dan pH 10 sebesar 698.24 nm. Hal ini membuktikan bahwa saat pH 10 laju pertumbuhan partikel primer dan tingkat aglomerasi tinggi. Selain itu, saat waktu aging 6 jam proses aglomerasi partikel primer tinggi. Selain itu distribusi ukuran terluas juga terdapat pada perlakuan waktu aging 6 jam dan pH 10. Hal ini dibuktikan dengan nilai PDI yang tertinggi dan range ukuran yang terluas.
21
Spektra FTIR (Fourier Transform Infrared) Nanosilika yang disintesis dari abu ketel dengan metode presipitasi dianalisis dengan FTIR. Analisis FTIR dapat menunjukkan gugus-gungsi yang terdapat di dalam sampel. Pita serapan akan muncul pada bilangan gelombang (wavenumber) tertentu. Bilangan gelombang ini akan menunjukkan identitas bagi gugus fungsi tertentu di dalam suatu sampel. Selain itu intensitas dari suatu gugus fungsi tertentu menunjukkan banyak dan sedikitnya gugus fungsi tersebut di dalam suatu sampel Semakin kuat intensitas menunjukkan semakin banyak dan kuat gugus fungsi tersebut di dalam suatu sampel. Gambar 10 A dan C menunjukkan spektra FTIR waktu aging 3 jam. Pita serapan gelombang kedua sampel memiliki kesamaan, namun dengan intensitas yang berbeda. Pada perlakuan pH 10 terbentuk pita serapan pada 3398.39, 1626.15, 1060.64, 986.45, dan 794.45. Menurut Sriyanti et al (2005), pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 3400 cm-1 menunjukkan vibrasi gugus –OH (hidroksil) dari gugus silanol (Si-OH). Pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 1600 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk –OH dari gugus silanol. Pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 1100 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur dari gugus siloksan (Si-O-Si). Sedangkan pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 900 cm-1 dan 700 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur dari Si-OH (silanol) dan Si-O-Si (siloksan) secara berturut. Pada perlakuan pH 7 memiliki spektra FTIR yang tidak berbeda jauh dengan pH 10. Pita serapan muncul pada bilangan gelombang 3423.56, 1603.34, 1104.54, 990.87, dan 786.45. Pita serapan tersebut menunjukkan vibrasi –OH (hidroksil) dari silanol (Si-OH), vibrasi tekuk –OH dari air, vibrasi ulur gugus siloksan (Si-O-Si), vibrasi ulur dari silanol (Si-OH), dan vibrasi ulur siloksan (Si-O-Si) secara berturut. Pada pita serapan bilangan gelombang 3400 cm-1 pada pH 7, intensitasnya lebih tinggi dibandingkan pita serapan pH 10. Hal mengindikasikan bahwa gugus silanol pada pH 10 lebih rendah dibandingkan gugus silanol pada pH 7. Pada pita serapan bilangan gelombang 1100 cm-1 pada pH 7, intensitasnya lebih rendah dibandingkan pita serapan pH 10. Hal ini mengindikasikan bahwa gugus siloksan pada pH 10 lebih tinggi dibandingkan pH 7. Pada pH 10 terjadi peningkatan gugus siloksan dan penurunan gugus silanol. Hal ini mengindikasikan bahwa pada pH 10, terjadi reaksi kondensasi antar senyawa silika. Reaksi kondensasi ini terjadi antara gugus silanol dengan gugus silanol lainnya sehingga membentuk gugus siloksan. Reaksi kondensasi disebabkan terjadinya aglomerasi senyawa silika. Sedangkan intensitas gugus silanol pada pH 7 lebih tinggi dibandingkan pada pH 10. Hal ini mengindikasikan bahwa proses aglomerasi pada pH 7 tergolong rendah. Hal ini dibuktikan pita serapan gugus siloksan pH 7 lebih rendah dibandingkan pH 10. Gambar 10 B dan D menunjukkan spektra FTIR waktu aging 6 jam. Pita serapan kedua sampel memiliki kesamaan dengan pita serapan sampel saat waktu aging 3 jam. Pada perlakuan pH 10 maupun 7 terbentuk pita serapan pada bilangan gelombang sekitar 3400, 1600, 1100, 900, dan 700. Pita serapan tersebut menunjukkan vibrasi gugus –OH (hidroksil) dari gugus silanol (Si-OH), vibrasi tekuk –OH dari gugus silanol, vibrasi ulur dari gugus siloksan (Si-O-Si), vibrasi ulur dari Si-OH (silanol), dan Si-O-Si (siloksan) secara berturut.
22
Transmitan
B
Transmitan
Transmitan
A
Transmitan
C
D
Wavenumber (cm-1)
Gambar 10 Spektra FTIR nanosilika (A) pH 10 dengan waktu aging 3 jam, (B) pH 10 dengan waktu aging 6 jam, (C) pH 7 dengan waktu aging 3 jam, (D) pH 7 dengan waktu aging 6 jam
23
Terdapat perbedaan pada intensitas pita serapan yang dihasilkan. Pita serapan bilangan gelombang 3400 cm-1 baik pH 7 maupun 10 pada waktu aging 6 jam, intensitasnya lebih rendah dibandingkan pita serapan saat waktu aging 3 jam. Hal mengindikasikan bahwa gugus silanol pada waktu aging 6 jam jumlahnya lebih rendah dibandingkan gugus silanol pada waktu aging 3 jam. Pita serapan bilangan gelombang 1100 cm-1 baik pH 7 maupun 10 pada waktu aging 6 jam, intensitasnya lebih tinggi dibandingkan pita serapan pada waktu aging 3 jam. Hal ini mengindikasikan bahwa gugus siloksan pada waktu aging 6 jam lebih tinggi dibandingkan saat waktu aging 3 jam. Pada waktu aging 6 jam terjadi peningkatan gugus siloksan dan penurunan gugus silanol dibandingkan saat waktu aging 3 jam. Hal ini mengindikasikan bahwa pada waktu aging 6 jam terjadi proses aglomerasi partikel primer untuk membentuk partikel sekunder. Aglomerasi menyebabkan gugus silanol akan berikatan dengan gugus silanol lainnya untuk membentuk gugus siloksan. Proses pembentukan gugus siloksan disebut dengan reaksi kondensasi antar senyawa silika. Morfologi Partikel Morfologi partikel yang teramati merupakan satu atau beberapa partikel nanosilika yang diambil secara acak dengan perbesaran 100 kali hingga 10 000 kali. Perbesaran 100 kali digunakan untuk mengamati sebaran ukuran partikel sedangkan perbesaran 10 000 kali digunakan untuk mengamati morfologi partikel tunggal. Gambar 11 menunjukkan morfologi partikel nanosilika.
a
b
c
d
Gambar 11 Morfologi partikel nanosilika perbesaran (a) 100x , (b) 1000x, (c) 5000x, dan (b) 10 000x
24
Sebaran ukuran partikel yang teramati adalah sebaran partikel tidak terlalu seragam (Gambar 11a). Hal ini didukung oleh nilai PDI yang belum dibawah 0.1 sehingga keseragaman ukuran tidak terlalu baik. Morfologi partikel tunggal nanosilika yang dihasilkan memiliki bentuk serpih dan poligonal (Gambar 11a dan b). Selain itu dapat terlihat bahwa dalam satu partikel tunggal terdapat beberapa bagian kristal (Gambar 11c dan d). Menurut Ismayana (2014), metode presipitasi cenderung menghasilkan nanosilika dengan morfologi poligonal. Dari pengamatan EDX (Energy Dispersion X-ray spectroscopy) dan mapping dapat terlihat bahwa partikel nanosilika memiliki kandungan terbesar yaitu Si dan O. Selain unsur Si dan O, pada analisis EDX terdapat elemen C dan Na. Elemen C (karbon) berasal dari plat preparat sampel yang terbuat dari karbon. Elemen Na berasal dari garam Na2SO4 (produk samping dari produksi silika) yang masih menempel pada partikel nanosilika. Secara keseluruhan elemen Si memiliki persentase 18.95% (wt) dan elemen O 25.31% (wt).
Hasil Pencirian Nanosilika Parameter proses pH presipitasi dan waktu aging merupakan parameter yang sangat berpengaruh terhadap sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan. pH presipitasi dan waktu aging mempengaruhi pola difraksi, intensitas difraksi, fase kristal, derajat kristalinitas, rata-rata ukuran kristal, rata-rata ukuran partikel, nilai PDI (Polidispersity Index), dan gugus fungsi dari nanosilika yang dihasilkan. Tabel 5 menunjukkan rangkuman sifat dan ciri nanosilika presipitasi.
Waktu Aging
3 Jam
6 Jam
7 8 9 10
Tabel 5 Rangkuman sifat dan ciri nanosilika presipitasi PDI Fase Derajat Rata-Rata Rata-Rata Ukuran Kristalinitas Ukuran Kristal Kristal Partikel (%) Dominan (nm) (nm) Kristobalit 66.387 37.772 214.04 0.207 Kristobalit 83.275 43.993 243.69 0.315 Kristobalit 86.503 47.024 345.89 0.348 Kristobalit 89.652 52.048 529.14 0.756
7 8 9 10
Kristobalit Kristobalit Kristobalit Kristobalit
pH
82.377 86.076 92.794 93.530
45.651 51.856 53.849 56.867
331.95 338.69 411.05 698.24
0.216 0.416 0.556 0.833
Gugus Fungsi Dominan Silanol Siloksan Siloksan Siloksan
25
Potensi Aplikasi Nanosilika Perlakuan pH presipitasi dan waktu aging mempengaruhi sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan. Sifat dan ciri yang dihasilkan akan dianalisis terkait potensi aplikasi yang sesuai. Nanosilika mempunyai kegunaan dalam beragam aplikasi di berbagai bidang. Melalui analisis ini diharapkan terdapat kesesuaian antara sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan dengan potensi aplikasi yang ada. Tabel 6 menunjukkan potensi aplikasi nanosilika. Tabel 6 Potensi aplikasi nanosilika Perlakuan Sifat dan Ciri Nanosilika Potensi Aplikasi Derajat Ukuran Ukuran Kristalinitas Kristal Partikel (%) (nm) (nm) pH 7 dengan 66.387 37.772 214.04 DMFC dan SCM waktu aging membuthkan komposit 3 jam dengan sifat hifrofilik (derajat kristalinitas terendah), ukuran partikel dalam orde nano, dan PDI <0.7 pH 7 dengan 82.377 waktu aging 6 jam pH 8 dengan 83.275 waktu aging 3 jam
45.651
331.95
43.993
243.69
pH 8 saat 86.076 waktu aging 6 jam pH 9 saat 86.503 waktu aging 3 jam pH 9 saat 92.794 waktu aging 6 jam
51.856
338.69
47.024
345.89
53.849
411.05
Lapisan penyangga tambahan membran ultrafiltrasi dan resin komposit membutuhkan komposit semi kristalin, ukuran partikel dalam orde nano, dan PDI <0.7
Rubber air bag membutuhkan komposit dengan kristalinitas tinggi, ukuran partikel dalam orde nano, dan PDI <0.7
Komposit membran elektrolit DMFC (Direct Methanol Fuel Cell) DMFC (Direct Methanol Fuel Cell) adalah aplikasi sel bahan bakar dalam menghasilkan energi listrik dengan metanol sebagai sumber bahan bakarnya. Sel bahan bakar terdiri dari anoda dan katoda yang dipisahkan oleh suatu membran
26
elektrolit. Pada umunya membran yang digunakan adalah membran nafion namun memiliki kelemahan yakni mahal, permeabilitas metanol yang tinggi, dan stabilitas termal yang kurang baik (Assufi 2014). Saat ini sudah dikembangkan membran untuk menggantikan membran nafion yaitu membran polisulfon tersulfonasi. Membran ini memiliki kelebihan baik stabilitas termal dan laju permeasi dari metanol (Ghali 2014). Pada beberapa penelitian digunakan komposit material anorganik untuk memberikan peningkatan terhadap kinerja membran polisulfon tersulfonasi. Assufi (2014), menambahkan TiO2 sebagai komposit membran elektrolit. Material anorganik memiliki stabilitas dan hidrofilitas yang tinggi. Polisulfon tersulfonasi dengan komposit material anorganik akan menghasilkan membran dengan konduktivitas proton yang semakin tinggi akibat sifat hifrofilitas yang baik. Sifat hidrofilitas akan meningkatkan transfer proton dari anoda menuju katoda. Konduktivitas proton yang semakin tinggi akan berdampak pada peningkatan kuat arus yang dihasilkan. Silika yang berasal dari prekursor TEOS (Tetraethyl Orthosilicate) digunakan sebagai komposit dari membran DMFC (Direct Methanol Fuel Cell) dengan bahan membran nafion. Membran nafion tersulfonasi-silika dibuat dengan menggunakan MPTS (3-Mercaptopropyl trimethoxisilane) ditambahkan dengan TEOS sebagai prekursor silika dan pelarut etanol. MPTMS akan mengalami hidrolisis, kondensasi, dan oksidasi gugus tiol menjadi gugus sulfonik. Penambahan silika 10% (wt) merupakan penambahan yang menghasilkan sifat membran terbaik. Permeabilitas yang dihasilkan sebesar 2.6 x 10-6 cm2 s-1. Konduktivitas proton yang dihasilkan sebesar 13.6 mS cm-1 atau 13.6 x 10-3 S cm-1 (Rodriguez et al. 2005). Nanopartikel di dalam membran komposit DMFC (Direct Methanol Fuel Cell) memberikan dampak yang sangat signifikan. Nanopartikel mempengaruhi sifat dan ciri dari membran, seperti konduktivitas proton, transfer metanol, ketahanan membran, dan sifat elektrokimia. Nanosilika memiliki luas permukaan (150, 200, 300, dan 380 m2 g-1) dan rata-rata ukuran partikel (7, 12, dan 14 nm). Nanosilika dengan ukuran 7 nm akan mempunyai luas permukaan paling besar dibandingkan dengan ukuran nanosilika yang lebih besar dari 7 nm. Nanosilika dengan ukuran 7 nm memiliki luas permukaan sebesar 380 m2 g-1. Nanosilika dengan luas area yang besar dan ukuran paling kecil (7 nm) menunjukkan hasil konduktivitas proton tertinggi, umur membran yang panjang dalam kondisi oksidasi, stabilitas dimensi, dan mengurangi metanol cross-over. Nanosilika memiliki peran vital dalam mikrostruktur dari membran seperti konduktivitas proton dan penghalang dari metanol pada anoda. Namun peningkatan konsentrasi nanosilika diatas 3% (wt) mengakibatkan agregasi besar dari nanosilika sehingga akan mengurangi sifat mekanik dari membran. Oleh sebab itu penambahan nanosilika dengan 2 % (wt) adalah penambahan yang paling optimal dalam mendukung kinerja membran DMFC (Direct Methanol Fuel Cell). Pada konsentrasi nanosilika 2% (wt) menghasilkan konduktivitas proton sebesar 1.4 x 10-1 S cm-1 dan permeabilitas metanol berkisar 3 x 10-8 cm2 s-1 (Chang et al. 2007). Bila membandingkan penggunaan silika dan nanosilika sebagai komposit membran DMFC (Direct Methanol Fuel Cell), maka penggunaan nanosilika memiliki banyak keuntungan. Dari segi penambahan konsentrasi, penambahan nanosilika sebanyak 2% (wt) akan memberikan tingkat optimal dari kinerja membran sedangkan
27
silika butuh konsentrasi 10% (wt) untuk mencapai tingkat optimal. Hal ini tentu akan menghemat dari penggunaan komposit yang akan berdampak langsung terhadap biaya. Dari segi kinerja membran yang dihasilkan pada penggunaan konsentrasi yang optimal, membran dengan komposit nanosilika menghasilkan konduktivitas proton yang lebih tinggi (1.4 x 10-1 S cm-1) dibandingkan membran dengan komposit silika (13.6 x 10-3 S cm-1). Permeabilitas terhadap metanol dari membran komposit nanosilika (3 x 10-8 cm2 s-1) lebih kecil dibandingkan permeabilitas metanol pada membran komposit silika (2.6 x 10-6 cm2 s-1). Semakin kecilnya permeabilitas metanol akan mendukung kinerja membran dalam mencegah terjadinya metanol cross-over sehingga tetap menjaga kondisi metanol pada anoda. Dari hasil analisis spektra FTIR, bahwa pH 7 memiliki gugus silanol yang lebih banyak dibandingkan saat pH 10. Hal ini terkait dengan proses aglomerasi yang menyebabkan gugus silanol akan terkondensasi menjadi gugus siloksan saat peningkatan pH. Reaksi kondensasi terjadi antara gugus silanol dengan gugus silanol lainnya menghasilkan gugus siloksan. Gugus silanol merupakan salah satu jenis gugus hidrofilik. Menurut Iolevich (2014), penurunan derajat kristalinitas akan meningkatkan sifat hidrofilitas. Hal ini terbukti bahwa saat pH 7 dan waktu aging 3 jam menghasilkan derajat kristalinitas terendah sehingga gugus silanol (hidrofilik) akan lebih banyak dibandingkan perlakuan lain. Tingginya gugus hidrofilik pada komposit akan meningkatkan transfer proton pada membran elektrolit. Dari segi ukuran kristal dan ukuran partikel, pH 7 dan waktu aging 3 jam merupakan ukuran partikel dan kristal yang terkecil dan dalam orde nano (10–1000 nm). Ukuran nano ini akan meningkatkan stabilitas termal dan kimia dari membran elektrolit yang dihasilkan. Melalui ukuran nano akan mengatasi permasalahan methanol cross-over pada membran sehingga ketersediaan bahan bakar metanol di anoda bisa terjaga. Nilai PDI dari pH 7 dan waktu aging 3 jam merupakan nilai PDI terbaik, sehingga baik digunakan sebagai komposit membran elektrolit akibat peningkatan luas permukaan dan interaksi dari nanosilika. Semakin meningkatnya luas permukaan dan interaksi akan berdampak pada kepadatan (compact) pada struktur membran sehingga mencegah terjadinya methanol cross-over. Filler lapisan penyangga tambahan pada membran komposit ultrafiltrasi Membran ultrafiltrasi memiliki ukuran pori berkisar 1–100 nm. Membran ultrafiltrasi dibuat dengan mencetak polimer selulosa acetate (CA) ataupun jenis polimer alam sebagai lembaran tipis. Membran selulosa acetate (CA) mempunyai sifat pemisahan yang baik namun memiliki kelemahan yaitu dapat dirusak oleh bakteri, zat kimia, dan rentan pH. Membran juga dapat terbuat dari polimer polisulfon, akrilik, polikarbonat, PVC, poliamida, piliviniliden fluorida, kopolimer AN-VC, poliasetal, dan poliakrilat. Pemisahan membran berpori berdasarkan atas perbedaan ukuran partikel dengan ukuran pori membran (Yuniarsih 2013). Penambahan silika akan memberikan peningkatan dari laju fluks. Hal ini disebabkan peningkatan penambahan silika akan mengakibatkan peningkatan poripori membran. Peningkatan pori membran ini berdampak langsung terhadap laju fluks. Nilai fluks menunjukkan peningkatan dari 35.83 ke 46.74 l m-2 h-1 seiring
28
peningkatan penambahan silika. Sifat mekanikal terbaik didapatkan pada penambahan silika 10% (wt). Penambahan 10% (wt) menghasilkan nilai intensitas tensil, tegangan tensil, perpanjangan putus yang paling tinggi. Penambahan silika menyebabkan peningkatan tebal dari lapisan, mengisi kekosongan pori, dan interaksi antara silika dengan polimer. Hal tersebutlah yang mengakibatkan penambahan silika dapat meningkatkan sifat mekanik dari membran. Namun penambahan silika di atas 10%, mengakibatkan penurunan dari sifat mekanis. Hal ini disebabkan partikel silika beragregasi satu sama lain sehingga menyebabkan tidak terdispersinya silika di dalam matriks polimer. Persentase rejeksi dari membran ultrafiltrasi menggunakan silika ini memiliki rentang sekitar 66–92% (Arthanareeswaran et al. 2008). Membran ulrafiltrasi dengan penambahan nanosilika memiliki penambahan optimal saat 2% (wt). Jumlah penambahan nanosilika lebih rendah dibandingkan dengan penambahan silika pada membran ultrafiltrasi. Hal ini tentu akan menghemat pemakaian filler dan berdampak langsung pada biaya. Selain itu dari segi nilai fluks yang diperoleh, penambahan nanosilika 2% (wt) menghasilkan nilai fluks lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan silika yaitu 62 l m-2 h-1. Ukuran dalam nano mengakibatkan interaksi antara filler dan polimer semakin kuat akibat luas permukaan nanosilika yang lebih besar dibandingkan luas permukaan silika. Luas permukaan yang lebih besar ini mengakibatkan gugus reaktif (gugus silanol) dari nanosilika dapat bekerja secara efektif. Persentase rejeksi dari membran dengan penambahan nanosilika berkisar 70–90% (Harun et al. 2013). Membran komposit ultrafiltrasi memiliki tiga buah lapisan yaitu lapisan permukaan tipis, lapisan penyangga berpori, dan lapisan penyangga tambahan. Lapisan permukaan tipis memiliki pori berukuran kecil (≤ 100 nm) yang berfungsi sebagai barrier (penghalang) untuk meningkatkan rejeksi dan menurunkan fluks. Lapisan penyangga berpori memiliki ukuran pori (>100 nm). Lapisan ini berfungsi sebagai penguat membran. Lapisan penyangga berpori memiliki ukuran pori lebih besar dari 100 nm sehingga akan menghasilkan fluks yang lebih tinggi dari lapisan permukaan tipis. Fluks yang tinggi ini akan mencegah terjadinya fouling (akumulasi kerak) yang akan mengurangi kinerja membran. Lapisan penyangga tambahan biasanya menggunakan jenis polimer yang berbeda dengan lapisan permukaan. Lapisan ini berfungsi sebagai penyangga (penguat) dalam mendukung ketahanan mekanik dari membran (Yuniarsih 2013). Dalam lapisan penyangga tambahan dibutuhkan komposit yang memiliki kekuatan mekanis yang tinggi guna mendukung kinerja membran ultrafiltrasi. Lapisan penyangga tambahan memiliki ketebalan 50–150 µm. Komposit yang digunakan dalam lapisan penyangga tambahan ini memiliki derajat kristalinitas yang tidak terlalu tinggi (semi kristalin 45% < x < 85%) untuk mendukung daya tahan terhadap tekanan mekanik. Selain kekuatan mekanis, dibutuhkan juga sifat hidrofilitas rendah dan ukuran partikel yang lebih besar dari komposit lapisan permukaan tipis guna mendukung fluks yang tinggi (Yudhistira et al. 2012). Perlakuan pH 7 saat waktu aging 6 jam dan pH 8 saat waktu aging 3 jam memiliki sifat dan ciri sesuai dengan aplikasi lapisan penyangga tambahan. Perlakuan tersebut memiliki derajat kristalinitas dalam rentang (45% < x < 85%) sehingga akan mendukung kekuatan mekanis dan kinerja membran ultrafiltrasi. Dari segi ukuran
29
perlakuan tersebut dalam rentang nano (10–1000 nm) dan memiliki rata-rata ukuran partikel >100 nm sehingga mendukung terhadap fluks yang tinggi. Nilai PDI dalam perlakuan tersebut berada di bawah 0.7 sehingga mendukung dalam aplikasi komposit membran ultrafiltrasi. Filler resin komposit Resin komposit merupakan komposit yang digunakan di dunia kedokteran gigi dalam merestorasi gigi berlubang. Komposit resin digunakan untuk mengganti bahan restorasi amalgam yang memiliki beberapa kelemahan yaitu amalgam memiliki warna sehingga mengurangi nilai estetika dan mengandung merkuri. Namun resin komposit memiliki kelemahan yaitu umurnya yang lebih pendek (resistensi pendek) dan mudah mengalami keretakan dibandingkan amalgam (Guangqing et al. 2012). Tiga komponen pembentuk resin komposit adalah resin matriks, partikel bahan pengisi, dan bahan coupling. Bahan komposit yang umum digunakan adalah monomer diakrilat aromatik atau alipatik. Dimetakrilat yang umum digunakan sebagai resin komposit adalah Bisphenol-A-Glycidyl Methacrylate (Bis-GMA), Urethane Dimethacrylate (UDMA), dan Trietilen Glikol Dimetakrilat (TEGDMA). Bahan pengikat (coupling) memiliki fungsi dalam mengikat partikel bahan pengisi dengan resin matriks. Selain itu dengan adanya bahan coupling akan meningkatkan sifat mekanis, sifat fisik, dan kestabilan hidrolitik dengan pencegahan air. Ikatan ini akan berkurang ketika komposit menyerap air dari penetrasi bahan pengisi resin. Bahan pengikat yang paling sering digunakan adalah organosilanes (3-metoksi-profiltrimetoksi silane) (Sinulingga 2009). Pengembangan resin komposit pada dunia kedokteran gigi saat ini banyak menjadi perhatian para peneliti. Pengembangan resin komposit mengarah dalam peningkatan sifat fisik dan mekanik dari materal resin komposit. Penambahan material filler dengan ukuran nano diprediksi akan menutupi kekurangan dari resin komposit yang sudah ada. Interaksi utama antara matriks resin dengan permukaan filler di dalam komposit disebabkan oleh ikatan kimia antara monomer matriks dan gugus metakrilat dari bahan coupling silane dengan permukaan filler. Reaksi yang terjadi adalah reaksi kondensasi antara gugus fungsional metakrilat silane dengan gugus hidroksil dari permukaan partikel pengisi. Sifat resin komposit seperti resistensi, permukaan komposit, dan kekuatan lentur diperkirakan akan meningkat dengan penambahan filler dalam ukuran nano. Penggabungan dari nanopartikel dengan resin komposit akan meningkatkan sifat seperti resistensi pemakaian, permukaan yang halus, elastisitas, kekuatan lentur, dan kekuatan tarik (Atai et al. 2012). Kekuatan lentur (flexural strength) umum digunakan dalam mengevaluasi sifat dari resin komposit. Peningkatan dari kekuatan lentur diakibatkan oleh ikatan kimia antara matriks resin dengan gugus metakrilat dari bahan coupling silane. Ikatan ini akan mencegah terjadinya perambatan keretakan dari resin komposit sehingga akan menghasilkan kekuatan lentur yang tinggi (Atai et al. 2012). Modulus elastis (flexural modulus) tergantung dari sifat elastisitas komponen penyusunnya. Filler dengan sifat kekakuan yang tinggi, maka akan meningkatkan nilai modulus elastis dari resin
30
komposit (Atai et al. 2012). Fracture toughness menggambarkan daya tahan terhadap penjalaran keretakan dari material atau bahan yang sudah mengalami kecacatan terlebih dahulu. Faktor yang menyebabkan filler akan meningkatkan fracture toughness adalah filler akan bertindak sebagai jembatan pada daerah keretakan. Ketika terjadi keretakan kecil di komposit, filler akan tetap utuh di bagian retak dan mencegah terjadinya penjalaran keretakan ke semua daerah (Guangqing et al. 2012). Atai et al. (2012) menggunakan jenis bahan pengisi mikrofiller dengan ukuran 2–5 µm dan nanofiller dengan ukuran mencapai 12 nm. Nilai kekuatan lentur dari resin komposit dengan filler nanosilika memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan filler dalam ukuran mikro. Nilai kekuatan lentur dari resin komposit dengan filler nanosilika adalah 100 MPa sedangkan dengan mikrofiller adalah sebesar 64 MPa. Nilai fracture toughness dari resin komposit dengan filler nanosilika memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan filler dalam ukuran mikro. Nilai fracture toughness dari resin komposit dengan filler nanosilika adalah 1.7 MPa.m1/2 sedangkan dengan mikrofiller adalah sebesar 1.15 MPa.m1/2 (Atai et al. 2012). Namun disisi lain penambahan bahan pengisi dengan ukuran nano akan mengakibatkan luas permukaan meningkat. Luas permukaan yang semakin meningkat akan mengakibatkan peningkatan penyerapan air. Penyerapan air yang tinggi akan mengakibatkan degradasi dari matriks resin (Atai et al. 2012). Penyerapan air yang berlebihan akan mengakibatkan rusaknya ikatan antara matriks resin dan bahan coupling dengan bahan pengisi (Sinulingga 2009). Oleh sebab itu, filler nanosilika yang dibutuhkan adalah dengan derajat kristalinitas yang tidak terlalu tinggi (semi kristalin 45% < x < 85%) untuk mendukung terhadap kinerja dari resin komposit. Nanosilika yang tergolong semi kristalin akan memiliki jumlah gugus siloksan yang lebih tinggi dibandingkan dengan silanol. Gugus siloksan akan berfungsi dalam mencegah penyerapan air berlebih pada resin komposit karena gugus ini termasuk kedalam gugus hidrofobik. Sedangkan gugus silanol memiliki fungsi sebagai gugus yang berikatan dengan matriks resin dan bahan coupling. Perlakuan pH 7 saat waktu aging 6 jam dan pH 8 saat waktu aging 3 jam memiliki sifat dan ciri sesuai dengan aplikasi filler resin komposit. Perlakuan tersebut memiliki derajat kristalinitas dalam rentang (45% < x < 85%) sehingga akan mendukung kekuatan mekanis dari filler resin komposit. Dari segi ukuran perlakuan tersebut dalam rentang nano (10–1000 nm) dan memiliki rata-rata ukuran partikel >100 nm sehingga mendukung terhadap peningkatan dari kekuatan lentur, fracture toughness, dan modulus elastis. Nilai PDI dalam perlakuan tersebut berada di bawah 0.7 sehingga akan mendukung dalam aplikasi filler resin komposit. Filler kompon karet rubber air bag peluncur kapal dari galangan Silika dalam aplikasinya dapat digunakan sebagai filler dalam pembuatan produk karet ban kendaraan. Penggunaan silika bertujuan dalam meningkatkan kinerja wet traction dan wet resistance serta mengurangi dampak rolling resistance permukaan ban. Salah satu produk karet adalah rubber air bag. Rubber air bag adalah suatu produk karet untuk aplikasi peluncuran kapal laut dari galangan (Siswanto et al. 2012).
31
Silika yang ditambahkan ke karet akan meningkatkan kekuatan tarik, kekerasan, kekuatan sobek, dan ketahanan abrasi. Menurut Siswanto et al. (2012) bahwa silika dengan bentuk kristal dengan ukuran rata-rata 200 nm meningkatkan kemampuan proses dibandingkan silika dengan bentuk yang amorf dan heterogen. Semakin kecil ukuran akan meningkatkan luas permukaan sehingga partikel nanosilika akan lebih banyak berinteraksi dengan kompon karet. Silika yang ditambahkan sebagai filler kompon karet rubber air bag kapal galangan menghasilkan kekuatan tarik sekitar 116.19–121.160 N/m. Nilai tersebut masih dibawah nilai kekuatan tarik pada vulkanisat berfiller silika komersil yang memiliki nilai kekuatan tarik sekitar 131.06–159.43 N/m. Silika yang diperoleh diubah ukurannya menjadi orde nano. Nanosilika ditambahkan sebagai filler dari vulkanisat rubber air bag. Hasil pengujian kekuatan tarik, didapatkan hasil bahwa kekuatan tarik vulkanisat menggunakan filler nanosilika lebih tinggi dibandingkan vulkanisat dengan filler silika. Kekuatan tarik vulkanisat dengan filler nanosilika didapatkan sebesar 137.00–150.00 N/m (Siswanto et al. 2012). Hal ini membuktikan bahwa suatu partikel dalam ukuran nano akan memiliki luas permukaan yang lebih luas sehingga akan meningkatkan interaksi partikel filler dengan kompon karet. Semakin meningkatnya interaksi akan berdampak langsung terhadap peningkatan kekuatan mekanis dari suatu produk. Berdasarkan analisis sifat dan ciri nanosilika, bahwa pH 10 baik waktu aging 3 jam maupun 6 jam memiliki derajat kristalinitas yang tinggi. Namun dalam hal ini tidak sesuai dengan syarat aplikasi rubber air bag. Hal ini disebabkan terlalu luasnya distribusi ukuran partikel pada pH 10 baik saat waktu aging 3 jam (PDI 0.756) dan 6 jam (PDI 0.833) pada perlakuan tersebut. Hal ini didasari oleh Nidhin (2008), bahwa nilai PDI>0.7 merupakan distribusi ukuran yang sangat meluas dan memiliki stabilitas fisik, kimia, dan termal yang tidak baik. Oleh sebab itu perlakuan yang memiliki derajat kristalinitas tinggi (>85%) dan PDI yang lebih kecil dari 0.7 adalah pH 8 dengan waktu aging 6 jam dan pH 9 baik saat waktu aging 3 jam maupun 6 jam. Selain itu, perlakuan tersebut memiliki ukuran dalam skala nano (10–1000 nm) sehingga akan mendukung luasnya permukaan interaksi antara partikel nanosilika dengan kompon karet. Distribusi ukuran partikel (PDI) perlakuan tersebut dibawah 0.7 sehingga interaksi dan luas permukaan akan mencapai tingkat optimalnya. Melalui derajat kristalinitas yang tinggi, ukuran skala nano, dan PDI dibawah 0.7 akan berdampak meningkatnya kekuatan tarik, kekuatan sobek, dan ketahanan abrasi pada produk yang dihasilkan. SCM (Supplementary Cementitious Material) untuk Beton Limbah hasil pertanian seperti slag, fly ash, dan rice husk ash (abu sekam padi) merupakan bahan yang dapat digunakan sebagai bahan subtitusi atau bahan tambahan semen. Penggunaan bahan pengganti sebagian semen SCM (Supplementary Cementitious Material) melalui komposisi campuran yang inovatif akan mengurangi jumlah semen yang digunakan sehingga dapat mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dan penggunaan konsumsi energi fosil bumi pada industri semen (Bakri 2008).
32
Penggunaan abu sekam padi dengan kombinasi campuran yang sesuai pada semen akan menghasilkan kualitas semen yang lebih baik (Singh et al. 2002). Abu sekam padi merupakan bahan pozzolan yang reaktif untuk meningkatkan mikrostruktur pada daerah transisi interfase antara pasta semen dan agregat beton yang memiliki kekuatan tinggi. Penggunaan abu sekam padi pada komposit semen dapat memberikan beberapa keuntungan seperti meningkatkan kekuatan dan ketahanan, mengurangi biaya bahan, mengurangi dampak lingkungan, dan mengurangi emisi karbon dioksida (Bui et al. 2005). Matriks semen hidrolik jika bereaksi dengan air akan menghasilkan kalsium silikat hidrat (CSH) primer dan kalsium hidroksida (CH). Pembentukan CSH dan CH dalam proses hidrasi dikendalikan oleh hidrasi C3S dan C2S dalam semen. Hidrasi C3S dan C2S menghasilkan CSH dan CH yang berbeda. Jumlah CH yang dihasilkan dari proses hidrasi C3S, tiga kali lebih banyak dari hidrasi oleh C2S. CH yang terbentuk pada proses hidrasi berbentuk heksagonal dan menempati 20–25 % volume pasta semen, tetapi tidak memberikan konstribusi kekuatan pada semen. Sedangkan CSH merupakan gel kaku yang tersusun oleh partikel-partikel sangat kecil dengan susunan lapisan yang cenderung membentuk formasi agregat yang akan memberikan kekuatan pada semen (Bakri 2008). Menurut Chatveera and Lertwattanaruk (2008), reaksi abu sekam padi dengan CH mengakibatkan jumlah CH akan berkurang, CSH bertambah, dan permeabilitas berkurang. Pembentukan CSH sekunder yang semakin banyak akan mengurangi jumlah senyawa CH sehingga menambah ketahanan pasta semen terhadap serangan kimia. Hal ini disebabkan jumlah CH yang berkurang dapat menurunkan alkalinitas pasta semen sehingga mengurangi reaksi senyawa asam atau basa. Senyawa asam atau basa dapat dapat bereaksi dengan CH yang dapat merusak atau melunakkan CSH. Pembentukan CSH sekunder dapat mengurangi permeabilitas pasta semen sehingga menghalangi masuknya zat cair ke dalam pasta semen. Jika permeabilitas pasta semen tinggi maka air dan senyawa luar lainnya akan mudah masuk ke dalam pasta semen. Penggantian sebagian semen oleh abu sekam padi akan menghasilkan reaksi antara CH dan silika abu sekam padi yang menyebabkan terbentuknya CSH sekunder. Jumlah CSH sekunder yang terbentuk tergantung pada proporsi antara silika yang dikandung oleh abu sekam padi dan CH yang dihasilkan dari reaksi C3S atau C2S dan air. Persentase silika yang dikandung oleh abu sekam padi sebesar 72.28%. Persentase sebesar itu lebih kecil dari persentase silika abu sekam padi yang dibuat pada skala industri. Persentase silika abu sekam padi yang dibuat pada skala industri umumnya di atas 90% (Bakri 2008). Penggunaan abu sekam padi yang memiliki kandungan silika di atas 85% sebagai pengganti sebagian semen dapat meningkatkan kekuatan komposit semen yang dibuat (Chindaprasirt et al. 2007). Kandungan senyawa lain selain silika yang cukup besar pada abu sekam padi dapat menyebabkan berkurangnya reaktifitas silika terhadap CH pada proses hidrasi (Bakri 2008). Oleh sebab itu ekstraksi silika dari abu limbah pertanian (abu sekam dan abu ketel industri gula) dapat meningkatkan kandungan silika. Peningkatan kandungan silika ini akan berdampak pada peningkatan reaksi antara senyawa silika dengan CH untuk membentuk lebih banyak lagi gel CSH sekunder.
33
Di dalam beton, silika bekerja pada dua fungsi. Pertama dalam reaksi kimia pozolanik antara silika dengan kalsium hidroksida dan menghasilkan gel CSH di akhir proses. Fungsi kedua adalah bahan pengisi karena silika 100 kali lebih kecil dibandingkan dengan semen. Silika dapat mengisi rongga-rongga yang kosong akibat hidrasi dari pasta semen. Melalui mekanisme ini maka densitas dari pasta semen akan meningkat. Penambahan 1 kg dari silika dapat mengurangi penggunaan sekitar 4 kg semen. Bila menggunakan nanosilika akan lebih tinggi lagi pengurangan dari pemakaian semen. Nanosilika memiliki luas permukaan yang lebih besar dibandingkan silika sehingga akan meningkatkan tempat pembentukan kristal dari presipitasi gel CSH (Quercia dan Brouwers 2010). Pengaruh dari penambahan nanosilika pada semen adalah peningkatan dari densitas, mengurangi pori-pori, dan meningkatkan ikatan antara matriks semen dan agregat. Beton yang dihasilkan akan memiliki kekuatan tekan yang tinggi (Quercia dan Brouwers 2010). Proses sintesis nanosilika akan mengubah ukuran mikrosilika menjadi ukuran nano. Melalui ukuran dalam orde nano, partikel akan memiliki luas permukaan yang lebih luas dan akan berdampak pada peningkatan kereaktifan nanosilika dengan CH dalam pembentukan CSH sekunder. Selain itu menurut Nehdi (2004), partikel yang memiliki ukuran partikel lebih kecil dari semen dapat berfungsi sebagai mikrofiller untuk meningkatkan kerapatan komposit semen. Peningkatan pembentukan CSH sekunder dan kerapatan komposit semen akan berdampak pada peningkatan kekuatan tekan dari beton yang dihasilkan. Berdasarkan kebutuhan dalam aplikasi sebagai SCM (Supplementary Cementitious Material) dibutuhkan nanosilika dengan gugus reaktif yang tinggi dalam mendukung ikatan dengan CH dari semen. Gugus silanol merupakan gugus dari silika yang reaktif. Perlakuan pH 7 dan waktu aging 3 jam menghasilkan derajat kristalinitas terendah sehingga gugus silanol (hidrofilik) akan lebih banyak dibandingkan perlakuan lain. Tingginya gugus hidrofilik akan meningkatkan ikatan antara CH semen dengan nanosilika. Selain itu, ukuran partikel perlakuan pH 7 dan waktu aging 3 jam merupakan ukuran partikel yang terkecil dan dalam orde nano (10–1000 nm). Ukuran nano ini akan meningkatkan luas permukaan sehingga berdampak terhadap peningkatan kereaktifan nanosilika dalam mengikat CH. Nilai PDI dari pH 7 dan waktu aging 3 jam merupakan nilai PDI terkecil sehingga nanosilika dapat digunakan sebagai SCM (Supplementary Cementitious Material). Melalui nilai PDI yang terendah maka mengindikasikan keseragaman ukuran yang baik. Hal ini akan mendukung terhadap peningkatan dari kerapatan komposit semen.
34
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Nanosilika dapat disintesis dari abu ketel industri gula menggunakan metode presipitasi. Peningkatan pH presipitasi akan meningkatkan jumlah fase kristal, pola difraksi, puncak difraksi, dan intensitas puncak difraksi. Selain itu peningkatan pH presipitasi akan berdampak meningkatnya derajat kristalinitas, ukuran kristal, dan ukuran partikel. Peningkatan pH presipitasi akan memperluas distribusi ukuran partikel yang berdampak meningkatnya nilai PDI. Peningkatan waktu aging akan meningkatkan intensitas puncak difraksi pada analisis pola difraksi dan fase kristal. Peningkatan waktu aging akan meningkatkan derajat kristalinitas, ukuran kristal, dan ukuran partikel. Peningkatan waktu aging akan memperluas distribusi ukuran partikel yang berdampak pada meningkatnya nilai PDI. Peningkatan pH presipitasi akan meningkatkan jumlah gugus siloksan dan menurunkan jumlah gugus silanol. Peningkatan waktu aging akan meningkatkan jumlah gugus siloksan dan menurunkan jumlah gugus silanol. Nanosilika memiliki beberapa potensi aplikasi yaitu sebagai komposit membran elektrolit DMFC (Direct Methanol Fuel Cell), filler lapisan penyangga tambahan membran komposit ultrafiltrasi, filler kompon karet rubber air bag peluncur kapal dari galangan, filler resin komposit, dan sebagai SCM (Supplementary Cementitious Material) untuk beton.
Saran Nanosilika perlu disintesis pada pH dibawah 7 untuk melihat pengaruh terhadap sifat dan ciri nanosilika yang dihasilkan. Selain itu nanosilika yang sudah dicocokkan dengan potensi aplikasi baik membran elektrolit DMFC, membran ultrafiltrasi, filler kompon karet, filler resin komposit, dan SCM (Supplementary Cementitious Material) untuk beton sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut. Perlakuan konsentrasi nanosilika dapat digunakan untuk melihat pengaruh sifat dan ciri nanosilika terhadap sifat dan ciri produk yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA [USRN] United States Research Nanomaterials, Inc. 2015. Nanopowder Products Catalog. USA: Houston. Adam F, Thiam-Seng C, Andas J. 2011. A simple template-free sol–gel synthesis of spherical nanosilica from agricultural biomass. J. Sol-Gel Sci Technol. 59:580– 583.
35
Affandi S, Setyawan H, Winardi S, Purwanto A, Balgis R. 2009. A facile method for production of high purity silica xerogel from bagasse ash. Journal Advanced Powder Technology. 20:468–472. Allaedini, G, Muhammad A. 2013. Study of influential factors in synthesis and characterization of cobalt oxide nanoparticles. Journal Of Nanostructure in Chemistry. 3:77–94. Arthanareeswaran G, Sriyamuna DTK, Raajenthiren M. 2008. Effect of silica particles on cellulose acetate blend ultrafiltration membranes: Part 1. Separation and Purification. 64:38–47. Assufi AH. 2014. Membran komposit polisulfon tersulfonasi-titanium dioksida untuk aplikasi direct methanol fuel cell. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Atai M, Pahlavan A, Moin M. 2012. Nano-porous thermally sintered nano silica as novel fillers for dental composites. Dental Materials. 28:133–145. Bakri. 2008. Komponen kimia dan fisik abu sekam padi sebagai SCM untuk pembuatan komposit semen. Jurnal Perennial. 5(1):9–14. Bauccio M. 1993. ASM Metals Reference Book Third Edition. United States of America : ASM International. Bui DD, Hu J. Stroeven, P. 2005. Particle size effect on the strength of rice husk ash blended gap-graded portland cement concrete. Cement and Concrete Composites. 27:357–366. Chang HL, Kyung AM, Ho BP, Young TH, Byung OJ, Young ML. 2007. Sulfonated poly (arylene ether sulfone)–silica nanocomposite membrane for direct methanol fuel cell (DMFC). Journal of Membrane Science. 303:258–266. Chatveera B, Lertwattanaruk P. 2008. Evaluation of sulfate resistance of cement mortars containing black rice husk ash. Journal of Environmental Management. 30:1–7 Chindaprasirt P, Kanchanda P, Sathonsaowaphak A, Cao HT. 2007. Sulfate resistance of blended cements containing fly ash and rice husk ash. Construction and Building Materials Journal. 21:1356–1361. Dwiyanty E. 2011. Kajian rasio karbon terhadap nitrogen (C/N) pada proses pengomposan dengan perlakuan aerasi dalam pemanfaatan abu ketel dan sludge industri gula.[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Ghali V. 2014. Membran komposit polisulfon tersulfonasi-kitosan untuk aplikasi direct methanol fuel cell. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Guangqing G, Yuwei F, Jian-Feng Z, Joseph L. Hagan, Xiaoming X. 2012. Novel dental composites reinforced with zirconia–silica ceramic nanofibers. Dental Materials. 28:360–368. Hanafi A, Nandang A. 2010. Studi pengaruh bentuk silika dari abu ampas tebu terhadap kekuatan produk keramik. Jurnal Kimia Indonesia. 5:35–38. Happy, Tok AIY, Su LT, Boey FYC, Ng SG. 2007. Homogeneous precipitation of Dy2O3 nanoparticles—effects of synthesis parameters. Journal of Nanoscience and Nanotechnology.7: 1–9.
36
Harun Z, Jamalludin MR, Basri H, Shokur MF, Rosman N, Yunos MZ. 2013. Effect of synthetic silica on ultrafiltration PSf membrane. Jurnal Teknologi (Science and Engineering). 65(4):121–125. Hui L, Hui-gang X, Jie Y, Jinping O. 2003. Microstructure of cement mortar with nanoparticles, composites part B. Journal Engineering. 35:185–189. Ioelovich M. 2014. Crystallinity and hydrophility of chitin and chitosan. Journal of Chemistry. 3(3):7–14. Ismayana A. 2014. Perancangan proses co-composting dan nanoteknologi untuk penanganan limbah padat industri gula. [Disertasi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Jalilpour M, Fathalilou M. 2012. Effect of aging time and calcination temperature on the cerium oxide nanoparticles synthesis via reverse co-precipitation method. International Journal of the Physical Sciences. 7(6):944–948. Jarvenin G. 2013. Precipitation and crystallization processes. Los Alamos National Laboratory. Kalapathy U, Proctor A, Shultz J. 2000. A Simple method for production of pure silica from rice hull ash. Bioresour. Technol. 73:257–262. Mahdavi M, Mansor, Haron MJ, Namvar F, Nadi B, Rahman MZ, Amin J. 2013. Synthesis, surface modification, and characterisation of biocompatible magnetic iron oxide nanoparticles for biomedical applications. Journal Molecules. 18:7533–7548. Marlina L, Sriyanti I, Iskandar F, Khairurijal. 2012. Pengaruh komposisi sekam padi dan nano silika terhadap kuat tekan material nanokomposit. Jurnal Penelitian Sains. 15(3). Midhun DCD, Begum PMS, Joseph R, Joseph D, Kumat P, Ayswarya EP. 2013. Synthesis, characterization, and application of rice husk nanosilica in natural rubber. International Journal of Science, Environment and Technology. 2(5):1027–1035 Munasir, Abdullah AM, Triwikantoro. 2010. Sintesis silika amorf dari bahan alam lumpur sidoarjo dengan metode kopresipitasi. Prosiding Seminar Nasional UNNES Semarang; Semarang; Indonesia. Munasir, Surahmat H, Triwikantoro, Zainuri M, Darminto. 2013. Pengaruh molaritas NaOH pada sintesis nanosilika berbasis pasir bancar tuban. Jurnal Penelitian Fisika dan Aplikasinya (JPFA). 3(2). Namazi H, Fathi F, Heydari A. 2012. Nanoparticles based on modified polysaccharides. Iran : In Tech. Nehdi M. 2004. A reply to the discussion by A. Demirbas of the Paper ‘‘Performance of Rice Husk Ash Produced Using a New Technology as a Mineral Admixture in Concrete’’. Cement and Concrete Research. 34:1271–1272. Nidhin M, Indumathy R, Sreeram K, Nair BU. 2008. Synthesis of iron oxide nanoparticles of narrow size distribution on polysaccharide templates. Bull. Mater. Sci. 31:93–96. Okoronkwo EA, Imoisili PE, Olusunle SOO. 2013. Extraction and characterization of amorphous silica from corn cob ash by sol-gel method. Chemistry and Material Research. 3(4):68–73.
37
Quercia G, Brouwers HJH. 2010. Application of nano-slica (nS) in concrete mixtures. Makalah. Dalam: 8th fib PhD Symposium in Kgs. Lyngby di Denmark ,20–23 Juni. Rahman IA, Padavettan V. 2012. Synthesis of silica nanoparticles by sol-gel: size dependent properties, surface modification, and application in silica polymer nanocomposites A review. Journal of Nanomaterials. 2012:1–15. Retnosari A. 2013. Ekstraksi dan penentuan kadar silika (SiO2) hasil ekstraksi dari abu terbang (fly ash) batubara. [Skripsi]. Jember (ID) : Universitas Jember. Rodriguez JIC, Ladewig BP, Dicks AL, Duke MC, Martin DJ, Lu G, Diniz JC.2005. Nanocomposite nafion-silica membranes for direct methanol fuel cells. Makalah. Dalam: World Hydrogen Technologies Convention di Singapura, 3–5 Oktober. Sagita IN. 2012. Proses co-composting abu ketel dengan bagas menggunakan kotoran sapi dengan perlakuan laju aerasi dan nilai C/N awal. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Setiawan WK. 2015. Preparasi nanosilika dari abu ketel dengan metode co-presipitasi sebagai aditif membran elektrolit berbasis kitosan. [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Shahmiri M, Ibrahim NA, Zainuddin N, Asim NB, Bakhtyar B, Zaharim A, Sopian K .2013. Effect of pH on the synthesis of CuO nanosheets by quick precipitation method. Journal Issue 2. 9:137–146. Singh NB, Rai S, Chaturvedi S. 2002. Hydration of composite cement. Progress in Crystal Growth and Characterization of Materials. 171–174. Singh N, Dhruvashi, Kaur D, Mehra RM, Kapoor A. 2012. Effect of ageing in structural properties of ZnO nanoparticles with pH variation for application in solar cells. The Open Renewable Energy Journal. 5:15–18. Sinulingga A. 2009 Microleakage pada restorasi resin komposit. [Skripsi]. Medan (ID) : Universitas Sumatera Utara. Siswanto, Hamzah M, Mahendra A, Fausiah. 2012. Perekayasaan nanosilika berbahan baku silika lokal sebagai filler kompon karet rubber air bag peluncur kapal dari galangan. Prosiding. Jakarta : Insinas (29–30 Nop 2012). Smitha S, Shajesh P, Aravind PR, Rajesh KS, Pillai PK, Warrier KGK. 2006. Effect of aging time and concentration of aging solution on the porosity characteristics of subcritically dried silica aerogels. Microporous and Mesoporous Materials. 91:286–292. Sriyanti, Taslimah, Nuryono, Narsito. 2005. Pengaruh keasaman medium dan imobilisasi gugus organik pada karakter silika gel dari abu sekam padi. JSKA. 8 (3). Thuadaij N, Nuntiya A. 2008. Preparation of nanosilica powder from rice husk ash by precipitation method. Chiang Mai J. Sci. 35(1):206–211. Utama PS, Fermi, Sopian MI. 2010. Pengaruh pH dan waktu aging terhadap proses presipitasi silika dari fly ash sawit dengan menggunakan CO2. Seminar Nasional Fakultas Teknik-UR. Hotel Pangeran Pekanbaru 29–30 Juni 2010.
38
Yudhistira AD, Iswanto FB, Kusworo TD. 2012. Pembuatan asimetrik membran untuk pengolahan air : pengaruh waktu penguapan terhadap kinerja membran. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. 1(1):186–193. Yuniarsih NM. 2013. Efektifitas membran khitosan dari kulit udang galah (Macrobanchium rosenbergii) untuk menurunkan fosfat dalam air limbah laundry. [Tesis]. Denpasar (ID) : Universitas Udayana.
39
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 05 Maret 1993 dari ayah Sumarno dan ibu Sukarti. Penulis adalah putra pertama dari dua bersaudara. Penulis memulai pendidikan dasar di SD Adya Pratama dan lulus pada tahun 2005. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan tingkat menengah di SMP Pupuk Kujang Cikampek dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2011 penulis lulus dari dari SMAN 1 Karawang . Pada tahun 2011 penulis diterima masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan di Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi. Pada tahun 2011-2012 penulis aktif sebagai anggota Koperasi Mahasiswa IPB dan anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Karawang, Tahun 2012-2013 penulis aktif sebagai Kepala Departemen Pengembangan Sumber Daya Anggota Koperasi Mahasiswa IPB dan staf Human Resource Departement Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (Himalogin) IPB. Tahun 2013-2014 penulis aktif sebagai staf Human Resource Departement Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (Himalogin) IPB. Penulis melaksanakan Praktik Lapang di Perusahaan Daerah Perkebunan Kahyangan Jember dengan judul Mempelajari Penerapan Cleaner Production (Produksi Bersih) di Unit Produksi Karet Olahan Ribbed Smoked Sheet (RSS) Perusahaan Daerah Perkebunan Kahyangan Jember. Selain itu penulis memiliki pengalaman kerja sebagai pengajar di Bimber Sentral Edukatif dan pengajar privat beberapa siswa SMA.