Sakinah Ummu Haniy dan Ikhsan Darmawan. Program Sarjana Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

ANALISIS KEPENTINGAN AKTOR DAN PENYEBAB KONFLIK PERIZINAN PEMBANGUNAN RUMAH IBADAH STUDI KASUS : GEREJA KRISTEN INDONESIA BAKAL POS TAMAN YASMIN TAHUN 2002-2012 Sakinah Ummu Haniy dan Ikhsan Darmawan Program Sarjana Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Artikel ini membahas tentang kepentingan aktor serta penyebab konflik perizinan pembangunan gereja GKI Yasmin. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menjelaskan kepentingan aktor-aktor yang terlibat dan menjelaskan penyebab konflik dari perspektif masing-masing aktor. Forkami ingin melindungi masyarakat dari upaya Kristenisasi, GKI Yasmin ingin membangun gerejanya, dan Pemerintah Kota Bogor ingin memelihara stabilitas di Kota Bogor. Penelitian ini berhasil menemukan bahwa penyebab konflik ini bagi Forkami adalah upaya Kristenisasi di Indonesia. Menurut GKI Yasmin konflik ini timbul karena ketidaktegasan Pemerintah Kota Bogor, sedangkan pemerintah kota merasa konflik ini timbul karena masyarakat yang tidak patuh pada peraturan. Kata Kunci: Otonomi Daerah, Konflik, Kebijakan Publik, Kelompok Kepentingan, Perizinan Pembangunan Rumah Ibadah Analysis of the Interest of Actors and Causes of Conflict of Building Permit of Worship House : Case Study of Indonesian Christian Church Taman Yasmin in Bogor City in Year 2002 - 2012 Abstract This article explains about the actors’ interest and the causes in the conflict of building permit for GKI Yasmin in Bogor City. This research is a explanative qualitative research which explain about the interests of the actors and also explain the cause of this conflict with each actor’s perspective. Forkami wants to protect the citizens from Christianisation, GKI Yasmin wants to build their Church, and the local government wants to keep the stability in the city. This research shows that the cause of the conflict for Forkami is the Christianisation which happened in many places in the country. For GKI Yasmin, this conflict happened because the local government showed indecision. But the local government feels that the conflict happened because the citizens did not obey the rules which already been made. Keywords: Local Government, Conflict, Public Policy, Interest Group, Building Permit of Worship House

1 Analisis kepentingan aktor..., Sakinah Ummu Haniy, FISIP UI, 2013

1. Pendahuluan Tuntutan akan adanya reformasi politik lokal didorong oleh kondisi otonomi daerah pada masa Orde Baru. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menempatkan kepala daerah otonom bertugas sebagai Kepala Wilayah yang berfungsi untuk memperkuat dan memperbesar kekuasaan Kepala daerah. Undang-Undang ini cenderung menciptakan kekuasaan yang tidak terbatas, sehingga banyak terjadi kasus-kasus penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh beberapa kepala daerah di berbagai tempat. Pada masa Orde Baru, kepala daerah bertanggung jawab langsung kepada presiden, sehingga laporan pertanggung jawaban tidak dilaporkan kepada DPRD. Hal ini membuat terbatasnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan membuat terjadinya strong state dan weak society (Kaloh, 2009). Maka pascareformasi dibuatlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (structural efficiency model). Tujuan lainnya adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Dalam model pemerintahan desentralisasi, kepala daerah dan perangkat daerah lainnya cenderung lebih akuntabel di mata masyarakat lokal karena kepala daerah dapat mengatur daerahnya secara langsung dan merespon aspirasi masyarakatnya secara langsung pula (Prasojo & dkk, 2006). Meskipun begitu kehadiran otonomi daerah juga menimbulkan permasalahan. Salah satu masalah yang terjadi adalah konflik. Konflik dalam otonomi daerah sering kali terjadi baik antartingkatan pemerintahan, antarlembaga pemerintahan lokal, maupun antara masyarakat dengan pemerintah lokal. Konflik lebih sering terjadi pada kabupaten/kota karena kabupaten/kota merupakan daerah otonom murni, sedangkan provinsi memiliki dua peran, yaitu daerah otonom dan daerah administratif. Oleh karena itu, kabupaten/kota memiliki kewenangan penuh untuk mengatur daerahnya, sedangkan provinsi tidak. Disahkannya UU ini mengakibatkan berkurangnya otoritas provinsi terhadap daerah kabupaten/kota, yang dulu dikenal sebagai Daerah Tingkat II (Chalid, 2005). Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa setiap tingkat pemerintahan memiliki wewenang terhadap urusan-urusan yang berbeda-beda. Pemerintah pusat memiliki kewenangan penuh atas tujuh urusan, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta urusan agama (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 2004). Dalam ketujuh urusan ini pemerintah pusat dapat menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan


sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah. Pemerintah daerah juga memiliki wewenangnya sendiri. Pemerintah provinsi berwenang dalam urusan dalam skala provinsi, sedangkan pemerintah kabupaten/kota berwenang dalam urusan dalam skala kabupaten/kota. Urusan wajib pemerintah daerah antara lain meliputi urusan pembangunan, pengawasan tata ruang, ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, sarana dan prasarana umum, kesehatan, pendidikan, masalah sosial, tenaga kerja, koperasi dan ukm, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan, pelayanan administratif, penanaman modal, dan pelayanan dasar lain yang belum diselenggarakan oleh pemerintah pusat (UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 2004). Konflik merupakan sesuatu yang selalu terjadi di masyarakat. Konflik merupakan konsekuensi dari adanya hubungan sosial. Konflik disebabkan oleh pertentangan atau perbedaan antara dua pihak atau lebih. Perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan sosial terjadi karena sifat alamiah manusia yang selalu berusaha untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri, meskipun terkadang hal itu dapat merugikan pihak lain. Konflik politik merupakan salah satu bentuk konflik sosial. Untuk membedakannya dengan konflik sosial, konflik politik selalu berkaitan dengan negara, pemerintah, para pejabat politik, maupun kebijakan publik. Konflik politik sering kali terjadi disebabkan oleh keterbatasan sumber daya dan posisi pemimpin. Salah satu sumber konflik politik adalah adanya struktur yang terdiri dari penguasa politik dan sejumlah orang yang dikuasainya. Konflik politik yang utama adalah konflik antara penguasa politik dan sejumlah orang yang menjadi objek kekuasaan politik (Rauf, 2000). Di antara urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat salah satunya adalah urusan agama. Konsep negara ketuhanan dan beragama yang dianut Indonesia tertulis dalam pembukaan UUD 1945 serta Pasal 29 dalam UUD 1945. Secara sosial historis agama telah berakar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pada masa perjuangan kemerdekaan para tokoh dan pemuka agama ikut turut serta melalui partai politik maupun sarana lainnya. Pada masa kemerdekaan kedudukan agama menjadi lebih kokoh dengan ditetapkannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, yang mencerminkan karakter bangsa Indonesia yang religius (Sejarah Kementrian Agama). Karena kedudukan agama yang sangat penting bagi Indonesia maka urusan yang berkaitan dengan agama kemudian menjadi tanggung jawab dari pemerintah pusat. Akan tetapi di Indonesia, pemerintah daerah seringkali juga ikut campur dalam urusan tersebut.


Dalam Undang-Undang yang berlaku, pemerintah daerah tidak memiliki wewenang dalam urusan yang berkaitan dengan urusan agama. Meskipun begitu, beberapa pemerintah daerah tetap mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan urusan agama, terutama dalam urusan pembangunan rumah ibadah. Peraturan mengenai perizinan rumah ibadah dikeluarkan melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM 2 Menteri) Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006. Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama dari umat beragama, pemerintah daerah, serta pemerintah pusat. Dalam melakukan tugasnya, pemerintah daerah dibantu oleh kepala kantor departemen agama provinsi/kabupaten/kota. Tugas walikota antara lain adalah untuk mewujudkan kerukunan umat beragama di kota yang dipimpinnya. Selain itu seorang walikota juga harus dapat mengoordinasikan kegiatan lembaga-lembaga vertikal dengan tujuan memelihara kerukunan umat beragama yang ada. Seorang walikota juga memiliki tugas untuk menerbitkan Izin Membangun Bangunan (IMB) rumah ibadah. Pemberian izin pembangunan rumah ibadah di Indonesia sering kali menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Dalam membangunan rumah ibadah, dibutuhkan persetujuan dari masyarakat sekitar. Hal ini yang sering kali menjadi pemicu terjadinya konflik. Biasanya penolakan timbul dari masyarakat dan konflik kemudian terjadi apabila pemerintah kota/kabupaten menuruti keinginan masyarakat yang kontra tersebut tanpa mempertimbangkan posisi masyarakat yang menyetujui serta panitia pembangunan rumah ibadah. Salah satu konflik mengenai pendirian rumah ibadah yang terjadi di daerah di Indonesia adalah konflik rumah ibadah yang terjadi di Kota Bogor, yaitu konflik Gereja Kristen Indonesia Bakal Pos Taman Yasmin (GKI Yasmin). GKI Yasmin merupakan pengembangan dari GKI Bogor (Fauzi & dkk, 2011), yang merupakan cabang dari GKI Jawa Barat. Usulan mengenai pembangunan gereja ini muncul pertama kali pada Tahun 2001. Ide ini berawal dari Kontestasi Ruang Gereja 85 GKI Bogor yang memiliki keterbatasan kapasitas dalam menampung jemaat. Lahan parkir di sekitar gereja tidak cukup sehingga sering kali menimbulkan kemacetan. Kondisi ini menimbulkan masalah bagi transportasi masyarakat sekitar, khususnya bagi angkutan umum. Oleh karena itu akhirnya pengurus GKI Bogor membentuk Panitia Pembangunan Gereja (PPG) untuk membangun gereja baru. Lokasi yang dipilih adalah di Perumahan Yasmin, Bogor Barat. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, urusan agama menjadi urusan yang merupakan wewenang pemerintah pusat. Namun terkait dengan pembangunan rumah ibadah pemerintah daerah memiliki kewenangan berdasarkan pada


Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Pembangunan rumah ibadah sering kali menimbulkan konflik antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Konflik GKI Yasmin telah menjadi perbincangan sejak 2008 dan belum terselesaikan hingga Tahun 2012. GKI berdiri dan berkembang di Bogor sejak Tahun 1968 dan berpusat di GKI pengadilan yang terletak di Jalan Pengadilan Nomor 35 di Kota Bogor. GKI Yasmin terletak di Jalan K.H. Abdullah bin Nuh 31 Taman Yasmin Sektor III, Bogor (Koordinator, 2013). Pihak GKI Yasmin memulai pembangunan gereja pada Tahun 2006. Namun dalam proses pembangunannya, Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Bogor memberlakukan Pembekuan Izin melalui surat Nomor 503/208-DKTP tanggal 14 Februari 2008. Pembekuan Izin ini kemudian diikuti dengan penyegelan gereja yang sedang dibangun tersebut (Kronologi Gereja Kristen Indonesia Bakal Pos Taman Yasmin Bogor). Pihak GKI Yasmin telah melakukan gugatan, dan pada September 2008 Pengadilan Tata Usaha Negara memutuskan membatalkan Surat Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan tersebut. Kemudian pada Februari 2009 Pengadilan Tinggi Tata Usaha juga membatalkan surat tersebut, dan pada Desember 2010 Mahkamah Agung pun membatalkan surat tersebut dengan mengeluarkan keputusan No. 127 PK/TUN/2009. Bahkan Ombudsman RI juga telah mengeluarkan rekomendasi No. 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 pada Juli 2011. Meskipun demikian penyegelan gereja serta pelarangan ibadah Jemaat Kristen Indonesia tersebut belum dihentikan (DPR Panggil Walikota Bogor Terkait Polemik GKI Yasmin). Dalam konflik ini Pemerintah Kota Bogor merupakan pihak yang memerintahkan penyegelan gereja GKI Yasmin, termasuk melarang serangkaian ibadah Jemaat GKI Yasmin untuk dilaksanakan. Akan tetapi pihak GKI Yasmin beranggapan bahwa pemerintah kota mengambil keputusan tersebut bukan karena alasan legal formal, melainkan karena dorongan banyak pihak yang tidak setuju atas pemberian izin yang diberikan pada GKI Yasmin untuk membangun gereja di tempat tersebut. Menurut GKI Yasmin, alasan kelompok tersebut melakukan pelarangan tidak disebabkan oleh hal-hal substansial, melainkan hanya karena sentimen yang sifatnya pribadi. Hal ini kemudian melatarbelakangi pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam skripsi ini, yaitu: 1. Bagaimana kepentingan aktor-aktor dalam konflik perizinan pembangunan rumah ibadah dengan studi kasus GKI Yasmin? 2. Apa saja penyebab konflik perizinan pembangunan gereja GKI Yasmin dari perspektif masing-masing aktor?


2. Tinjauan Teoritis Penelitian ini menggunakan 4 (empat) konsep, yaitu otonomi daerah, konflik, kebijakan publik, dan kelompok kepentingan. Konsep otonomi daerah digunakan sebagai kerangka awal dalam menjelaskan kewenangan yang dimiliki pemerintah kota dalam hal yang berkaitan dengan perizinan pembangunan rumah ibadah. Teori konflik digunakan untuk menjelaskan adanya perbedaan yang terjadi antara aktor-aktor yang terlibat yang kemudian memunculkan konflik antar aktor-aktor tersebut. Perbedaan yang ada adalah perbedaan kepentingan dari setiap aktor sehingga apabila ada satu pihak yang puas akan hasil yang mereka dapatkan, maka akan ada pihak yang merasa tidak puas. Teori kebijakan publik digunakan dalam penelitian ini untuk menjelaskan bahwa dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, pemerintah kota memiliki pertimbangan masing-masing. Sedangkan teori kelompok kepentingan digunakan untuk memperlihatkan bahwa aktor-aktor dalam konflik ini memiliki kepentingannya masing-masing yang membuat mereka memiliki cara masingmasing dalam usaha mencapai tujuannya. Hal tersebut memunculkan konflik karena cara yang ditempuh dan kepentingan dari masing-masing aktor saling bersebrangan. 3. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif eksplanatif dalam skripsi ini. Penelitian eksplanatif berfokus pada sebab mengapa sebuah fenomena terjadi dan apa pengaruhnya sehingga sebuah fenomena dapat terjadi dalam sebuah masyarakat sosial (Ritchie & Lewis, 2004). Penelitian ini menggunakan konsep otonomi daerah, teori konflik, kebijakan publik, dan kelompok kepentingan. Penelitian ini dilakukan dengan mengembangkan konsep, teori, dan menggambarkan keadaan yang ada di lapangan untuk menganalisis konflik yang terjadi. Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yang penulis gunakan adalah hasil dari wawancara dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan konflik GKI Yasmin. Penulis melakukan wawancara dengan lima narasumber, yaitu Asisten Tata Praja Kota Bogor, Kepala Dewan Syariah Kementrian Agama Kota Bogor, Ketua Forum Umat Islam Raya Bogor, Koordinator Media GKI Yasmin, dan Warga Kompleks Taman Yasmin, Kota Bogor. 4. Hasil dan Pembahasan Penelitian ini berhasil menemukan kepentingan dari aktor-aktor yang terlibat dalam konflik perizinan pembangunan gereja GKI Yasmin. Forkami merupakan sebuah forum perkumpulan


warga Curug Mekar, Wangkal dan Perumahan Taman Yasmin yang berada disekitar lokasi pembangunan gereja GKI Yasmin. Forkami didirikan oleh masyarakat dengan tujuan untuk mengawasi kinerja aparat pemerintahan Kota Bogor khususnya dalam menanggulangi kasus GKI Yasmin. Sebelum Forkami berdiri, penolakan atas dibangunnya gereja GKI Yasmin dilakukan oleh ormas Islam di Bogor serta masyarakat sekitar secara individual. Penolakan ini dilakukan karena dua alasan, yakni karena adanya dugaan pemalsuan tanda tangan warga, serta adanya dugaan upaya kristenisasi. Forkami memiliki kepentingan untuk melindungi masyarakat, khususnya yang beragama Islam agar terhindar dari upaya kristenisasi tersebut. Sepuluh hari pasca berdirinya Forkami, pada tanggal 30 Januari 2010 Forkami melaporkan adanya indikasi pemalsuan tanda tangan persetujuan warga yang digunakan oleh panitia pembangunan gereja sebagai salah satu syarat pembuatan IMB (Kronologi Singkat Soal GKI Yasmin Bogor). Pada 9 Februari warga datang ke Polresta Bogor untuk mengklarifikasi adanya indikasi pemalsuan tanda tangan warga yang dipalsukan untuk dicocokan dengan data yang dimiliki Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor. Akan tetapi pihak Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor tidak dapat menunjukan data asli yang mereka miliki. Akhirnya pada sore itu juga Forkami langsung mendatangi Pemerintah Kota Bogor untuk meminta pemerintah kota untuk segera mengusut tuntas permasalahan ini. Dua hari kemudian Forkami melakukan pertemuan dengan pemerintah kota dan menghasilkan kesanggupan pemerintah kota untuk membatalkan IMB gereja GKI Yasmin. Pada awalnya Pemerintah Kota Bogor menjanjikan pencabutan gereja IMB GKI Yasmin pada tanggal 12 Februari akan tetapi pihak Forkami tidak ingin pencabutan IMB yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur. Akhirnya Forkami meminta agar pencabutan IMB tersebut dilakukan sesuai dengan tahapan yang berlaku. Pada 22 Februari 2010 pemerintah kota mengundang Forkami, FKUB, Kementrian Agama dan GKI Yasmin dalam musyawarah yang akan membahas perihal penyelesaian permasalahan dan mencabut IMB yang bermasalah. Namun pihak GKI Yasmin tidak menghadiri pertemuan tersebut. Akhirnya pengaduan dari Forkami dilanjutkan ke DPRD dan diterima oleh Ketua Komisi D. Keesokan harinya, pihak GKI Yasmin sudah mempersiapkan baja ringan yang sedang dirangkai untuk dipasang. Forkami mendatangi gereja pada pukul 10 pagi dan segera menghentikan pemasangan tersebut. Forkami terlibat adu mulut dengan Bapak Sawi yang semula berjanji hanya akan membangun tembok depan akan tetapi ternyata membangun hingga kedalam. Akhirnya Forkami menghubungi pihak Satpol PP. Karena terjadinya adu mulut tersebut akhirnya Thomas Wadudara hadir untuk menghentikan proses


pekerjaan tersebut. Hal tersebut menimbulkan masalah karena dalam hasil rapat tanggapan pemerintah kota bahwa sampai hasil peninjauan kembali Mahkamah Agung dikeluarkan, maka tidak boleh ada kegiatan apapun yang dilakukan di lokasi gereja GKI Yasmin. Akan tetapi keesokan harinya pekerjaan pembangunan gereja tetap dilakukan. Pada tanggal 11 Maret 2010 dilakukan penyegelan di lokasi pembangunan gereja dan mulainya pemberhentian kegiatan pembangunan gereja GKI Yasmin. Pada saat itu terjadi adu mulut antara pihak GKI Yasmin, Pol PP dan Forkami. Menurut informasi dari situs resmi Forkami, terdapat pengancaman yang dilakukan oleh pihak GKI Yasmin dengan menggunakan celurit oleh Holiyanto, yakni preman yang dibayar oleh GKI Yasmin dan terkenal Pasal Undang-undang Darurat. Satu minggu kemudian segel hilang dari gerbang lokasi gereja GKI Yasmin. Forkami menanyakan langsung kepada pemerintah kota namun tidak ada perintah dari pemerintah kota maupun Satpol PP untuk melepaskan segel tersebut. Warga curiga adanya oknum yang ingin membuat masalah menjadi memanas kembali. Akhirnya dua hari kemudian segel kembali dipasang oleh Satpol PP. Pada tanggal 25 Maret 2010 pihak Forkami beserta warga mengajukan tiga orang saksi ke Polresta Bogor mengenai laporan tuduhan pemalsuan data. Forkami menyatakan bahwa tanda tangan yang diminta merupakan tanda tangan untuk persetujuan pembangunan rumah sakit hermina, namun ternyata digunakan sebagai persetujuan pembangunan gereka. Hal ini kemudia membuat warga menuntut Bapak Munir Karta sebagai ketua RT yang meminta tanda tangan tersebut. Dua hari kemudian warga melaporkan Bapak Munir ke Polresta untuk mengklarifikasi data yang diberikan ke Polresta. Namun pada saat itu Bapak Munir terlihat kurang sehat sehingga atas permintaan kuasa hukumnya pemeriksaan terhadap Bapak Munir ditunda. Empat hari kemudian Bapak Munir akhirnya memberikan keterangan sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh tiga orang saksi. Bapak Munir mengatakan bahwa tanda tangan yang beliau minta dari warganya yang sebelumnya diminta sebagai persetujuan hermina, kemudian digunakan untuk persetujuan pembangunan gereja. Hal ini dilakukan atas dasar perintah dari panitia pembangunan gereja atas nama Bapak Suntawijaya yang meminta agar Bapak Munir mencari 8 hingga 10 tanda tangan, termasuk warga yang hadir dalam kegiatan sosialisasi. Akhirnya pada tanggal 20 Januari 2011 Bapak Munir Karta dinyatakan bersalah karena terbukti memlasukan tanda tangan yang diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam proses perizinan pembangunan GKI Yasmin. Keputusan pengadilan negeri Kota Bogor tersebut kemudian menjadi alasan bagi pemerintah Kota Bogor untuk mengeluarkan keputusan pencabutan IMB GKI Yasmin pada tanggal 11 Maret 2011. Pasca pencabutan IMB GKI


Yasmin, kegiatan Forkami adalah mengawasi dan memastikan agar semua pihak tetap mematuhi kebijakan Pemerintah Kota Bogor tersebut. Dalam konflik ini, GKI Yasmin juga memiliki kepentingannya tersendiri. Sebelum konflik ini terjadi, GKI Bogor belum pernah menghadapi permasalahan yang berarti selama berkembang di Bogor sejak tahun 1999. Menurut pihak GKI Yasmin, pihak-pihak yang menolak perizinan pembangunan gereja GKI Yasmin beralasan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang dihuni mayoritas Muslim. Sejak tahun 2006 banyak spanduk-spanduk liar bertuliskan “daerah mayoritas” yang mengatasnamakan warga. Demonstrasi pertama yang terliput oleh media nasional dan lokal Bogor adalah demonstrasi Hizbut Tahrir Indonesia tahun 2006. Aksi massa tersebut tidak berlokasi di depan gereja GKI Yasmin, melainkan langsung di depan kantor walikota Bogor. Agenda awal dari aksi tersebut adalah mengenai Ahmadiyah, akan tetapi kemudian muncul juga isu HKBP Bintaro dan GKI Yasmin dalam aksinya. Tuntutan dari kelompok yang menyelenggarakan aksinya tersebut adalah menolak pendirian gereja GKI Yasmin dan HKBP Bintaro. Menurut GKI Yasmin, alasan kelompok ini adalah alasan-alasan personal dan ideologis dari kelompok tersebut, seperti alasan bahwa gereja ini membawa agenda-agenda penyesatan dan agenda kristenisasi. Kelompok tersebut mengatasnamakan warga sekitar dalam aksinya menyuarakan kepentingannya (Koordinator, 2013). Pihak GKI Yasmin menginginkan agar pemerintah Kota Bogor tidak melarang mereka untuk membangun rumah ibadahnya. Pihak GKI Yasmin telah mengurus seluruh persyaratan yang dibutuhkan dalam perizinan pembangunan rumah ibadah, termasuk tanda tangan warga yang setuju atas dibangunnya

gereja GKI Yasmin. Memang ada beberapa masyarakat yang

menyatakan tidak setuju atas rencana pembangunan gereja tersebut, tetapi pihak panitia lalu tidak memaksakan mereka untuk tanda tangan, melainkan mencoba mencari tanda tangan ke warga lain di daerah tersebut. Karena seluruh persyaratan memang sudah dipenuhi oleh pihak GKI Yasmin, kemudian IMB gereja tersebut sudah keluar pada tahun 2006. Melihat hal-hal tersebut, pihak GKI Yasmin merasa bahwa penolakan yang terjadi memang benar-benar tidak ada alasan yang jelas. Dalam rangka memperjuangkan kepentingannya untuk membangun gereja di lokasi tersebut, pihak GKI Yasmin telah melakukan berbagai langkah. Upaya tersebut telah dimulai sejak tahun 2000, yakni saat pertama kali ide mengenai pembangunan gereja GKI Yasmin muncul. Pada tahun 2002 upaya untuk mengumpulkan persyaratan mulai dilakukan. Menurut penuturan narasumber, pada tahun 2002 panitia pembangunan gereja GKI Yasmin telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar. Persyaratan berupa tanda tangan persetujuan warga juga telah disetorkan pada tahun 2005. Setelah itu pada tahun 2006 pasca


aksi yang dilakukan HTI ada sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah Kota Bogor yang bertempat di Kantor Kelurahan Curug Mekar. Menurut penuturan narasumber, yang dituduhkan warga sebagai pemalsuan tanda tangan adalah penandatanganan daftar kehadiran pada saat sosialisasi tersebut, padahal yang memberlakukan daftar hadir tersebut adalah pemerintah Kota Bogor, bukan panitia pembangunan gereja GKI Yasmin. Tuntutan yang diinginkan oleh GKI Yasmin hanyalah agar mereka dapat membangun gereja di lokasi yang semula karena mereka telah memulai pembangunannya. Dengan adanya permasalahan ini proses pembangunan rumah ibadah bagi jemaat GKI Yasmin menjadi terhambat. Menurut GKI Yasmin konflik perizinan rumah ibadah seperti ini dibuat oleh pemerintah dan masyarakat yang kontra seolah-olah hanya mengenai perizinan. Pada saat izin dikeluarkan namun ada pertentangan dari masyarakat yang kemudian menekan walikota secara politis justru diakomodir sehingga pemerintah tidak menjalankan putusan hukum yang ada. Konflik ini pada awalnya hanya merupakan konflik antara pemerintah Kota Bogor dengan GKI Yasmin, akan tetapi kemudian dipolitisir. Menurut GKI Yasmin, apabila walikota dapat menunjukkan sikap yang tegas masyarakat tidak perlu resah, baik masyarakat yang setuju maupun tidak setuju atas pembangunan gereja ini. Permasalahan ini tidak dilihat dalam kerangka hukum, karena penolakan hanya berlandasan rasa ketidaksukaan. Pihak kepolisian juga bereaksi berlebihan dengan memblok seluruh jalan saat jemaat GKI Yasmin sedang beribadah. GKI Yasmin berbeda pendapat dengan Pemerintah Kota Bogor, bukan bermasalah dengan masyarakat. Dalam seluruh tuntutan GKI Yasmin yang diajukan ke pengadilan, yang dituntut adalah pemerintah Kota Bogor, bukan masyarakat. Yang dipermasalahkan dalam pengadilan adalah mengenai pembekuan IMB yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bogor. Hal inilah yang menjadi fokus utama dari tuntutan GKI Yasmin. Pemerintah Pusat tidak banyak ikut campur dalam permasalahan GKI Yasmin. Keputusan yang dikeluarkan oleh salah satu institusi Pemerintah Pusat hanya berupa rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman Republik Indonesia. Namun hingga 2012 Pemerintah Kota Bogor tetap pada pendiriannya yakni membatalkan IMB dan merelokasi pembangunan gereja GKI Yasmin. Pada pernyataan persnya tertanggal 19 Februari 2012, GKI Yasmin menyatakan bahwa GKI Yasmin akan terus menaati hukum, yakni putusan Mahkamah Agung tertanggal 9 Desember 2010 yang menyatakan pencabutan pembekuan IMB gereja GKI Yasmin serta rekomendasi dari Ombudsman RI yang menyatakan bahwa pencabutan permanen IMB gereja GKI Yasmin sebagai tindakan melawan hukum dan mengabaikan kewajiban hukum sehingga wajib


dicabut. GKI Yasmin berharap dengan adanya penyataan ini tidak adalagi pihak, termasuk pemerintah, yang mendesak pihak GKI Yasmin untuk tidak taat hukum yakni dengan mengabaikan putusan Mahkamah Agung dan rekomendasi Ombudsman. Menurut GKI Yasmin, opsi relokasi yang diberikan pada dasarnya merupakan sebuah bentuk penggusuran. Pemerintah Kota Bogor juga memiliki kepentingan dalam konflik ini. Setiap pembangunan, termasuk pembangunan rumah ibadah memerlukan izin. Izin yang dibutuhkan oleh GKI Yasmin telah keluar pada tahun 2006. Meskipun banyak warga yang protes karena perizinan tersebut disinyalir dimanipulasi, pemerintah kota tetap mengeluarkan izin tersebut karena seluruh persyaratan secara normatif telah dipenuhi oleh pihak GKI Yasmin. Pasca dikeluarkannya izin mendirikan bangunan (IMB) untuk gereja GKI Yasmin, terjadi eskalasi demonstrasi masyarakat yang besar. Hal ini disebabkan karena masyarakat merasa dibohongi dalam pembuatan izin tersebut. Ada elemen masyarakat yang mengatakan bahwa lahan tersebut diperuntukan untuk perluasan Rumah Sakit Hermina yang berada tepat disebelah lahan gereja GKI Yasmin. Ada pula elemen masyarakat yang mengatakan bahwa pendirian gereja GKI Yasmin memiliki maksud lain selain sebagai tempat ibadah bagi jemaat setempat. Sebagian masyarakat memilih jalur hukum dengan melaporkan pihak GKI Yasmin dengan tuduhan pemalsuan tanda tangan yang dibutuhkan sebagai salah satu syarat pemberian izin mendirikan bangunan. Setelah adanya laporan tersebut, pihak Pemerintah Kota Bogor melalui Dinas Pertamanan dan Tata Kota melakukan pembekuan izin membangunan bangunan yang dimiliki oleh gereja GKI Yasmin dan menyegel lokasi pembangunan gereja tersebut. Lalu pihak GKI Yasmin mengajukan laporan kepada PTUN agar pemerintah kota mencabut pembekuan izin, dan hasilnya pihak GKI Yasmin memenangkan perkara tersebut. Kemudian pemerintah kota bogor mengajukan banding, namun tetap kalah. Lalu pemerintah kota bogor mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, akan tetapi tetap pihak GKI Yasmin yang memenangkan perkara tersebut, dengan hasil yang mengharuskan pemerintah kota untuk mencairkan kembali izin pendirian gereja GKI Yasmin. Seiring berjalannya proses hukum yang memperseterukan pihak GKI Yasmin dengan Pemerintah Kota Bogor, Pengadilan Negeri Bogor juga tetap memproses laporan masyarakat mengenai pemalsuan tanda tangan. Akhirnya pengadilan negeri Bogor memutuskan bahwa pihak GKI Yasmin atas nama Munir terbukti melakukan pemalsuan tanda tangan warga yang merupakan salah satu syarat pembangunan gereja. Oleh karena itu, pemerintah kota kemudian mengeluarkan dua keputusan untuk melaksanakan hasil dari keputusan MA dan keputusan Pengadilan Negeri Bogor, yaitu pada tanggal 8 Maret 2011 pemerintah kota membatalkan


surat pembekuan izin pembangunan gereja GKI Yasmin dan pada tanggal 11 Maret pemerintah kota mencabut surat izin pembangunan gereja GKI Yasmin. Menurut penuturan Asisten Tata Praja Kota Bogor, kalahnya pemerintah kota di pengadilan TUN dan MA dikarenakan dua hal. Pertama karena yang membekukan izin adalah Dinas Pertamanan dan Tata Kota, padahal seharusnya walikota. Kedua, tata krama pembekuan seharusnya diawali dengan tiga kali peringatan, akan tetapi dalam kasus GKI Yasmin sendiri tidak diberikan peringatan. Jadi, menurut penuturan narasumber tersebut, pemerintah kota kalah di pengadilan TUN dan MA karena dua hal tersebut, bukan karena hal yang substansial. Pasca kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kota tersebut, sebagian jemaat gereja GKI Yasmin tetap memaksa untuk beribadah disekitar lokasi pembangunan gereja GKI Yasmin yaitu di trotoar Jalan K.H.Abdullah bin Nuh. Dalam ibadat yang dilakukan oleh GKI Yasmin tersebut, banyak wartawan internasional yang meliput, yang menurut penuturan narasumber merupakan undangan dari pihak GKI Yasmin. Untuk meminimalisir friksi yang terjadi, pemerintah kota memberikan pengawalan pada setiap ibadat yang dilakukan oleh GKI Yasmin. Pemerintah kota juga menyewa gedung yang berjarak 200 meter dari lokasi pembangunan gereja GKI Yasmin setiap hari minggu agar para jemaat dapat beribadah dengan layak, akan tetapi tawaran ini tidak diterima dengan baik oleh pihak GKI Yasmin. Pilihan terakhir diberikan oleh Pemerintah Kota Bogor adalah dengan merelokasi gereja GKI Yasmin dan membelikan sebuah gedung yang cukup besar di Jalan Doktor Semeru, akan tetapi pihak GKI Yasmin juga tetap tidak menerima penawaran tersebut. Dalam upaya penyelesaian kasus ini, DPR RI pernah mengundang Pemerintah Kota Bogor dan pemerintah pusat. Dalam hasil rapat gabungan tersebut, diambil keputusan bahwa penyelesaian kasus ini diserahkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah kota. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kota Bogor sepakat untuk memberikan solusi berupa relokasi gereja GKI Yasmin ke tempat lain yang masih dalam wilayah Bogor Barat. Dikeluarkannya keputusan ini dilatarbelakangi oleh 3 hal utama. Pertama, adanya indikasi pemalsuan tanda tangan warga yang terbukti melalui vonis yang dijatuhkan pada Munir Karta, padahal surat tersebut merupakan salah satu syarat pengajuan IMB. Kedua, keputusan tersebut diambil dengan tujuan untuk menjaga stabilitas kondisi serta menjaga kerukunan antar umat beragama di Kota Bogor. Ketiga, keputusan ini diambil untuk menghindari terjadinya konflik dan aksi anarkis yang berkepanjangan di Kota Bogor. Pemerintah Kota Bogor menyatakan bahwa penerbitan Surat Keputusan tersebut tidak berarti upaya untuk menghalangi warga untuk melakukan ibadah, akan tetapi untuk mendisiplinkan pendirian bangunan gedung,


termasuk rumah ibadah (Permasalahan Pembangunan Gereja GKI Taman Yasmin Kota Bogor). Dalam rangka menyelesaikan konflik yang terjadi, pemerintah Kota Bogor juga berkoordinasi dengan Kementrian Agama Kota Bogor. Bentuk keterlibatan Kantor Kementrian Agama Kota Bogor antara lain berupa membantu advokasi, pemberian pemahaman baik kepada masyarakat sekitar maupun kepada jemaat GKI Yasmin, serta berkontribusi dalam arbitrase. Contohnya, pada bulan Maret 2013 kantor Kementrian Agama memberikan sosialisasi mengenai peraturan 2 menteri tentang pendirian rumah ibadah dan tanggung jawab kepala daerah dalam hal tersebut. Menurut narasumber, permasalahan GKI Yasmin bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah melainkan tanggung jawab masyarakat bogor secara keseluruhan (Kepala). Pasca otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan tanggung jawab dan wewenang yang lebih besar dari sebelumnya. Salah satu tujuan dari otonomi daerah adalah agar dalam penyelesaian konflik di masyarakat, dapat dilakukan secara lebih cepat dan lebih tepat sasaran. Dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemerintah daerah memiliki wewenang dan tanggung jawab yang tertuang dalam PBM 2 Menteri. Dalam konflik perizinan pembangunan gereja GKI Yasmin Pemerintah Kota Bogor memiliki kepentingan untuk menjaga kerukunan masyarakat di sekitar lokasi tersebut. Pemerintah kota mengambil kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas di Kota Bogor, sehingga yang terlihat kemudian adalah kebijakan yang memihak kelompok mayoritas, yakni masyarakat muslim yang menolak. Dari hasil penelitian, penulis menemukan bahwa alasan Forkami dan kelompok masyarakat lainnya yang menolak pembangunan Gereja GKI Yasmin adalah karena mereka menganggap GKI Yasmin melakukan pemalsuan tanda tangan serta adanya dugaan upaya Kristenisasi yang dilakukan kelompok Kristen di tempat tersebut. Dugaan mengenai alasan ini juga disampaikan oleh pihak GKI Yasmin. Dalam wawancara dengan Koordinator Media GKI Yasmin, peneliti bertanya mengenai tuntutan dan alasan penolakan dari pihak-pihak yang kontra. Narasumber menjawab: “Tuntutan pihak tersebut ya, menolak.

Kalau ditanya lebih lanjut ya itu personal dan

ideologis mereka. ada kristenisasi, ada penyesatan, intinya mereka menolak pembangunan. Alasannya yang kita lihat mereka mengatasnamakan warga.” Alasan Kristenisasi telah menjadi akar dalam upaya penolakan pembangunan gereja serta gerakan kelompok-kelompok Islamis garis keras lainnya di Indonesia sejak tahun 1960-an (Group, 2010). Kelompok ini berdasar pada sebuah ayat dalam Al-Quran yang berbunyi:


“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (QS Al-Baqoroh:120) Penelitian International Crisis Group pada tahun 2010 memberikan gambaran mengenai Kristenisasi di Indonesia. Kegiatan pekabaran Injil Protestan meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun belakangan. Menurut sensus penduduk tahun 2000, penganut Kristen di Indonesia sebesar 8,8% dari populasi dengan pembagian 5,8% Protestan dan 3% Katolik. Banyak penginjil yang meyakini bahwa sebenarnya jumlah penganut Protestan mencapai 12%-15%. Namun banyak dari mereka yang tidak mengganti identitas keagamaannya karena berbagai hal sehingga masih banyak yang terhitung sebagai Muslim. Di Jawa kebanyakan penduduk yang berubah menjadi Kristen adalah kelompok usia 13-18 tahun, yakni kelompok muda yang pindah ke kota untuk bekerja atau bersekolah sehingga memiliki pengetahuan tentang doktrin Kristen. Besarnya perhatian mengenai fenomena Kristenisasi, pada tahun 2006 Majelis Ulama Indonesia membentuk “Komite Penganggulangan Bahaya Pemurtadan” yang kemudian berganti nama menjadi “Komite Dakwah Khusus.” Kebanyakan kegiatan pekabaran Injil berfokus pada pembinaan umat Kristiani. Akan tetapi ada beberapa proyek yang memang bertujuan untuk merubah masyarakat umum menjadi penganut Kristen. Terdapat setidaknya lima proyek Kristenisasi di Indonesia yang dikemukakan dalam penelitian International Crisis Group, yakni The Joshua Project, Lampstand, Partner International, Frontiers, dan Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (Group, 2010). Kristenisasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia marak dilakukan oleh para misionaris karena terdapat amanat dalam kitab suci Umat Kristiani untuk melakukan pekabaran Injil: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Injil Markus 16:15)


Dalam Injil Matius juga disampaikan hal serupa: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Injil Matius 28:19) Salah satu proyek Kristenisasi yang terdapat di Indonesia adalah The Joshua Project. Proyek ini memiliki misi “bringing definition to an unfinished task” (membawa definisi kepada tugas yang belum selesai) (What is Joshua Project?). Proyek ini dimulai pada tahun 1995 di Amerika Serikat. Dalam situs resminya, The Joshua Project mengumpulkan, menggabungkan dan membagi informasi lengkap mengenai kelompok-kelompok etnis dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Informasi tersebut antara lain terdiri dari informasi mengenai profil etnis, foto-foto penduduk, peta, bahasa, dan juga informasi tentang status perkembangan Kristenisasi dari tiap-tiap etnis di berbagai negara. Informasi-informasi tersebut diperuntukan bagi agen-agen misionaris dan gereja-gereja agar dapat mengakselerasi proses pekabaran Injil, khususnya bagi kelompok-kelompok etnis yang kurang tersentuh oleh pekabaran Injil sebelumnya. Adanya bukti tentang upaya kristenisasi di Indonesia membuat Forkami begitu bersikeras agar GKI Yasmin tidak membangun gereja di sekitar tempat tinggal mereka. Penulis melihat bahwa wajar ada kekhawatiran dari umat Islam setempat, termasuk warga yang tergabung dalam Forkami atas kemungkinan akan adanya upaya Kristenisasi melalui pembangunan gereja GKI Yasmin. Namun, adanya upaya Kristenisasi di tempat lain di Indonesia tidak membuktikan bahwa rencana pembangunan gereja GKI Yasmin memiliki tujuan Kristenisasi pula. Menurut penulis motif yang dimiliki oleh Forkami merupakan motif emosional. Oleh karena itu, alasan Kristenisasi merupakan salah satu penyebab dari konflik dalam perizinan pembangunan gereja GKI Yasmin. Selain dari pihak Forkami, penulis juga menemukan penyebab lain dari konflik ini melalui perspektif pihak GKI Yasmin. GKI Yasmin merupakan pihak yang terlihat paling dirugikan dalam konflik ini. GKI Yasmin tidak dapat membangun gerejanya, akibatnya mereka tidak dapat melakukan kegiatan ibadah mereka dengan layak. Penulis melihat bahwa pihak GKI Yasmin merasa akar konflik adalah karena kesalahan dari Pemerintah Kota Bogor, yakni karena pemerintah kota tidak mengambil kebijakan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam perkembangan konflik ini, PTUN Bandung serta Mahkamah Agung telah memenangkan perkara yang diajukan oleh GKI Yasmin kepada Pemerintah Kota Bogor. Pemerintah Kota Bogor kemudian menuruti putusan tersebut dan mencairkan kembali IMB


yang semula telah dibekukan. Akan tetapi justru tiga hari kemudian pemerintah kota mencabut IMB tersebut. Konsekuensi dari pencabutan IMB tersebut, pemerintah kota kemudian memberikan solusi agar GKI Yasmin merasa bahwa pemerintah kota mengeluarkan kebijakan-kebijakan tersebut hanya karena takut kepada sekelompok orang. Penulis melihat bahwa pernyataan ini beralasan. Dalam wawancara dengan Asisten Tata Praja Kota Bogor, beliau menyatakan bahwa: “..dalam rangka deskresi, pemkot punya kewenangan. Dan ini kan terbukti, dibanding Cikeusik yang sampe rame hingga ada yang meninggal, dibakar, nah di Bogor tidak terjadi itu.” Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa salah satu dari alasan dikeluarkannya kebijakankebijakan tersebut adalah karena pemerintah kota tidak ingin kelompok-kelompok tertentu melakukan tindak kekerasan yang kemudian dapat menciptakan ketidakstabilan dalam masyarakat Bogor seperti yang terjadi dalam kasus Cikeusik. Selain kebijakan pencabutan IMB, kebijakan lain dalam konflik ini yang dianggap merugikan GKI Yasmin adalah kebijakan relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah kota. GKI Salah satu alasan penolakan GKI Yasmin terhadap usulan ini adalah karena mereka melihat kejadian yang sebelumnya terjadi pada HKBP Filadelfia di Bekasi yang dijanjikan relokasi namun ternyata tidak diberikan tempat. Menurut penulis, sama dengan alasan dugaan Kristenisasi yang menjadi pemicu konflik dari pihak Forkami, alasan ini juga merupakan motif emosional. Meskipun HKBP Filadelfia yang terletak dalam satu provinsi, yakni di Jawa Barat, tidak mendapatkan tempat yang dijanjikan saat relokasi, tidak berarti Pemerintah Kota Bogor akan melakukan pelanggaran serupa. Bahkan Pemerintah Kota Bogor telah menunjukan keseriusannya dalam upaya relokasi ini dengan memberikan tiga opsi wilayah relokasi. Oleh karena itu, alasan-alasan yang dikemukakan oleh GKI Yasmin tersebut dapat dikatakan sebagai penyebab terjadinya konflik manifes yang terjadi. Dalam melihat konflik ini, Pemerintah Kota Bogor juga memiliki pandangan yang berbeda. Menurut pemerintah kota, penyebab konflik ini adalah karena ketidakpatuhan masyarakat terhadap peraturan yang ada. Dalam wawancara dengan Ketua Dewan Syariah Kementrian Agama Kota Bogor, beliau mengatakan: “GKI itu kan bukan kasus ya. Tapi karena ketidakpatuhan masyarakat terhadap peraturan.” Sedangkan dalam wawancara lain, Asisten Tata Praja Kota Bogor mengemukakan: “...luar biasa gejolak yang terjadi di Kota Bogor. Demo dari masyarakat, kemudian juga dilain pihak, teman-teman yang kelompok masyarakat GKI juga memaksakan untuk beribadah di trotoar, sehingga terus mengundang. Kelompok yang beribadah disitu juga


kebanyakan bukan orang situ, tapi orang luar yang datang diundang dan sepertinya jadi dagangan. Politisnya lebih tinggi. Dijual ke nasional, dijual ke internasional, sehingga datang dari tv Al-Jazeera, dari Australia, Swedia, Inggris, Amerika, banyak yang datang ke Bogor hanya ingin melihat kasus GKI ini.” Kedua kutipan diatas memperlihatkan bahwa pemerintah kota menganggap bahwa GKI Yasmin merupakan pihak yang tidak taat terhadap peraturan, khususnya setelah dikeluarkannya kebijakan-kebijakan terkait, seperti pencabutan IMB dan usulan relokasi. Menurut penulis pihak GKI Yasmin memang tidak menaati peraturan yang telah diberlakukan oleh pemerintah kota. Akan tetapi hal ini terjadi tidak murni karena kesalahan dari GKI Yasmin, melainkan juga karena situasi yang terjadi pada saat itu. Kebijakan pencabutan IMB yang dikeluarkan pemerintah kota membuat GKI Yasmin tidak dapat meneruskan pembangunan gereja mereka. Karena itu mereka akhirnya kemudian melakukan ibadahnya di trotoar di depan lokasi pembangunan gereja. Meskipun begitu penulis juga menemukan kejanggalan dari keadaan tersebut. Pada saat status IMB GKI Yasmin masih tidak tentu, pemerintah telah menyewakan gedung yang letaknya hanya 200 meter dari lokasi semula. Keberadaan gedung tersebut dimaksudkan agar para jemaat dapat beribadah dengan lebih layak. Namun jemaat GKI Yasmin tetap tidak mau beribadah sementara di gedung tersebut dan tetap memilih untuk beribadah di trotoar meskipun tidak nyaman dan menimbulkan kemacetan. Akhirnya pemerintah kota hanya dapat memberikan pengawalan keamanan selama kegiatan ibadah berlangsung. 5. Kesimpulan Penelitian ini memiliki tema tentang konflik yang terjadi dalam perizinan pembangunan rumah ibadah. Pemilihan konflik GKI Yasmin sebagai studi kasus dalam penelitian ini dikarenakan konflik GKI Yasmin merupakan salah satu konflik lokal yang menjadi sorotan dari dunia internasional. Konflik GKI Yasmin cenderung tidak sarat dengan kekerasan fisik, jika dibandingkan dengan konflik rumah ibadah lainnya di Indonesia, sehingga dalam analisis yang dilakukan dapat lebih fokus pada konflik kepentingan yang ada diantara aktor-aktor yang terlibat. Konflik perizinan pembangunan gereja GKI Yasmin ini merupakan konflik manifes, karena konflik ini hingga 2012 belum terselesaikan. Ada kelompok-kelompok yang menganggap bahwa konflik ini disebabkan karena pelanggaran hukum semata. Namun penelitian ini memperlihatkan bahwa ada motif emosional dan primordial yang menjadi penyebab sulitnya menyelesaikan konflik ini. Salah satu alasan Forkami menolak keberadaan gereja di sekitar


perumahan Yasmin adalah karena ketakutan akan upaya Kristenisasi kepada umat Muslim setempat. Meskipun terdapat bukti bahwa memang ada proyek Kristenisasi yang diperuntukan bagi umat Muslim di Indonesia, namun tidak berarti pembangunan gereja GKI Yasmin memiliki tujuan tersebut. Karena hal primordial ini, kemudian muncul konflik emosional antara GKI Yasmin dengan Forkami. Setelah penulis melakukan wawancara dengan beberapa pihak, penulis dapat melihat tiga aktor utama dalam konflik perizinan pembangunan gereja GKI Yasmin ini, yaitu Forkami, GKI Yasmin, dan Pemerintah Kota Bogor. Masing-masing pihak dalam konflik memiliki kepentingannya masing-masing. Kepentingan tersebut muncul karena hal yang berbeda. Forkami memiliki kepentingan untuk melindungi masyarakat muslim setempat dari upaya kristenisasi. Kepentingan tersebut membuat Forkami berusaha maksimal agar gereja GKI Yasmin tidak jadi dibangun di wilayah tersebut. Disisi lain, pihak GKI Yasmin memiliki kepentingan untuk membangun gereja mereka di lokasi yang mereka inginkan. GKI Yasmin merasa pemerintah kota tidak melaksanakan putusan Mahkamah Agung, padahal putusan Mahkamah Agung tersebut merupakan putusan yang dapat mengizinkan GKI Yasmin membangun kembali gereja mereka di tempat tersebut. GKI Yasmin melihat bahwa kebijakan pemerintah kota diambil hanya karena tidak dapat menindak tegas kelompok-kelompok yang menolak pembangunan gereja GKI Yasmin. Pemerintah kota memiliki kepentingan untuk menjaga kestabilan di Kota Bogor. Oleh karena itu kebijakan yang diambil pemerintah kota merupakan kebijakan yang bertujuan untuk memperkecil friksi yang ada. Agama Islam merupakan agama yang paling banyak dianut oleh penduduk Kota Bogor, dan juga agama mayoritas masyarakat disekitar kompleks Yasmin. Sehingga akhirnya pemerintah kota kemudian mengeluarkan kebijakan yang menjaga agar kelompok mayoritas tersebut tidak merusak kestabilan yang ada di Kota Bogor. Forkami merupakan forum masyarakat sekitar lokasi pembangunan gereja GKI Yasmin yang menolak pembangunan gereja tersebut. Forkami memiliki dua penyebab utama dalam penolakannya terhadap pembangunan gereja GKI Yasmin di sekitar tempat tinggal mereka, yakni karena adanya pemalsuan tanda tangan yang merupakan salah satu syarat pemberian izin, serta ketakutan mereka terhadap upaya Kristenisasi yang dilakukan berbagai kelompok Kristen di Indonesia. Faktor agama menjadi faktor primordial yang kuat sehingga kemudian menyebabkan Forkami sangat berusaha agar gereja GKI Yasmin tidak dibangun di wilayah tersebut. Menurut Forkami konflik ini telah selesai sejak pemerintah kota mengeluarkan pencabutan IMB bagi gereja GKI Yasmin. Akan tetapi Forkami akan terus mengawasi agar


pihak GKI Yasmin tidak melanggar keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah kota tersebut. GKI Yasmin merupakan pihak yang berkepentingan untuk membangun rumah ibadahnya. GKI Yasmin merasa bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bogor tidak adil bagi mereka. Pemerintah kota tidak mengeluarkan kebijakan berdasarkan hukum yang ada, melainkan karena takut kepada sekelompok masyarakat. GKI Yasmin merasa bahwa konflik ini telah dipolitisir sehingga menjadi melebar. Pemerintah kota tidak bertindak tegas sesuai dengan hukum yang ada sehingga pemerintah kota justru mengambil kebijakan-kebijakan politis, bukan kebijakan yang sesuai dengan peraturan yang ada. Pihak GKI Yasmin bahwa ketidaktegasan dari Pemerintah Kota Bogor ini yang kemudian menjadi salah satu penyebab konflik perizinan pembangunan gereja GKI Yasmin terjadi. Daftar Kepustakaan Kaloh, J., Kepemimpinan Kepala Daerah: Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta: Sinar Grafik, 2009 Prasojo, Eko, dkk., Desentralisasi & Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, 2006 Chalid, Pheni, Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan dan Konflik, Jakarta: Kemitraan, 2005 Rauf, Maswadi, Konflik dan Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 2000 “Sejarah Pemerintahan di Kota Bogor,” http://www.kotabogor.go.id/sekilas-bogor/sejarahpemerintahan, diakses pada 9 Juni 2013 Ali-Fauzi, Ihsan, dkk, Kontroversi Gereja di Jakarta dan Sekitarnya, Yayasan Wakaf Paramadina dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2011 Ritchie, Jane dan Jane Lewis, Qualitative Research A Guide for Social Students and Researchers, London: Sage Publications, 2004 International Crisis Group, Indonesia “Chrsitanisation” and Intolerance dalam Policy Briefing, Asia Briefing No114, Jakarta/Brussels, 24 November 2010 “Kronologi Singkat Soal GKI Yasmin Bogor”, http://forkami.com/berita-149-kronologisingkat-soal-gki-yasmin-bogor.html, diakses pada 9 Juni 2013 “DPR Panggil Walikota Bogor Terkait Polemik GKI Yasmin, http://m.tribunnews.com/2011/11/29/dpr-panggil-walikota-bogor-terkait-polemik-gkiyasmin, diakses pada 25 Juni 2013 “Kronologi Singkat Soal GKI Yasmin Bogor”, http://forkami.com/berita-149-kronologisingkat-soal-gki-yasmin-bogor.html, diakses pada 9 Juni 2013


“Permasalahan Pembangunan Gereja GKI Taman Yasmin Kota Bogor”, http://kotabogor.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=8201 diakses pada 9 Juni 2013 “What is Joshua Project?”, http://www.joshuaproject.net/joshua-project.php diakses pada 26 Juni 2013 Wawancara dengan Kepala Penyelenggara Syariah, Kementerian Agama Kota Bogor pada 15 April 2013 Wawancara dengan Kris Hidayat, Koordinator Media GKI Yasmin, pada 16 April 2013 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


Sakinah Ummu Haniy dan Ikhsan Darmawan. Program Sarjana Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Recommend Documents