fragmen
~.kisah pembawa cincin.~
buku kesatu /Majikan Cincin/
Samwise Gamgee : "… Aku tahu kita akan meniti jalan panjang menuju kegelapan; aku tahu aku tak bisa kembali. Kini, yang aku inginkan bukanlah melihat Peri, bukan juga naga, atau pegunungan, aku tidak tahu persis apa yang kuinginkan, tapi aku tahu aku harus melakukan sesuatu sebelum akhir itu tiba, dan sesuatu itu ada di depan sana, bukan deeShaire. ...."
Saatnya Membuat Anak-anak Tersipu Versi 4.1
-- Mengoreksi Kekeliruan, Menulis Pengakuan, dan Membuat Pilihan -Gambar yang tampak di bagian kiri halaman ini saya ambil dari buku Permainan Berpikir-nya Michael Michalko. Saya gunakan sebagai bagian dari pembelajaran di kelas sejak tahun pelajaran 2005/2006. Dalam perjalanan penggunaannya, terdapat pengembangan-pengembangan materi. Hingga kini, menjadi versi ke-4 yang mengakomodasi pilihan-pilihan. Tentu saja, saya berterima kasih pada anak-anak, murid-murid saya di kelas yang telah memungkinkan materi ini berkembang hingga Versi 4.1. Materi ini menjadi bagian dari rangkaian pelajaran yang saya beri judul “Keluar dari Perangkap”. Judul materi dan isi pembelajarannya boleh dianggap tidak konsisten. Mengapa? Karena sebagian tujuan pelajaran ini adalah, justru sebagai perangkap. Melalui materi ini, saya sengaja memasang suatu perangkap. Jebakan yang sengaja dipasang. ~--~.sHoEs.~--~ Saya tayangkan gambar tersebut menggunakan proyektor. Kemudian, saya minta anak-anak untuk membuat salinannya di buku masing-masing. Setelah anak-anak selesai membuat salinan, saya bertanya, “Ada berapa persegi atau bujursangkar dalam gambar itu?” Selalu saja, dibutuhkan penjelasan ulang mengenai definisi bujursangkar/persegi. Meski sudah duduk di kelas 9, ada saja anak-anak yang lupa, atau bahkan tidak tahu apa itu bujursangkar/persegi. Jawaban yang segera adalah, dua puluh lima. “Nah, silahkan tulis di bukumu, 'jumlah bujursangkar/persegi = 25'.” Saya menunggu sejenak sebelum bertanya lagi, “Sudah ditulis?” Dan ketika jawaban 'sudah' saya terima, saya lanjutkan dengan berkata, “Sekarang; tulis di bawah baris tulisanmu tadi, 'Koreksi jumlah bujursangkar atau persegi….” Ini adalah permintaan yang biasanya segera dipotong oleh pertanyaan anak-anak: “Jadi, salah Pak, jawaban kami?” atau, “Kok salah?!” atau, “Bukan dua puluh lima, Pak, jawabannya?” atau, komentar tanya lainnya yang senada dengan itu.
Saya menanggapi dengan berkata, “Ya. Kalau kamu menjawab 25, jawaban kamu belum tepat. Ada lebih dari 25 bujursangkar/persegi. Jadi, berapa jumlahnya hayo.....” Anak-anak akan mencari bujursangkar yang sebelumnya tak terlihat oleh mereka. Dan jawaban koreksi yang biasanya segera adalah, “Dua puluh enam, Pak.” Memang, yang kemudian mudah terlihat adalah bujursangkar paling besar. Bujursangkar dua-puluh-lima-an sebagaimana saya tampilkan dengan blok warna biru. Sebagai tanggapan atas jawaban anak-anak, saya katakan, “Nah, silahkan tulis sebagai koreksi hasil hitungan awal tadi. Hitungan yang dua puluh lima tadi, tidak usah dicoret, ya... Biarkan saja. Nanti saya jelaskan apa artinya.”Biasanya, ada dialog kecil, percakapan pendek yang mengiringi kalimat saya tersebut. Setelah jeda sangat pendek menunggu anak-anak menuliskan hasil koreksi, saya melanjutkan, “Nah, baiklah. Saya mengharap kamu menyimak baik-baik apa yang akan saya sampaikan ini. Ini tentang apa yang bakal kamu pelajari melalui materi ini. Simak, ya.... Nih! Aku pernah mengatakan bahwa di kelasku, kamu boleh membuat kekeliruan. Kamu boleh melakukan kesalahan. Sebab, setiap orang pernah melakukan kesalahan. Bahkan para nabi pun juga melakukan kesalahan. Tak ada manusia yang tidak melakukan kesalahan. Apa yang jauh lebih penting adalah, apakah kita bersedia melakukan koreksi atau tidak. Selama ini, hasil-hasil pekerjaanmu diperiksa dan dikoreksi oleh guru, atau tidak” Ada beberapa jawaban berbeda yang disampaikan oleh anak-anak. Ada yang menjawab, “ …(diperiksa)….” / “ …(dikoreksi)….” / “ …(nilai tembak)….” / “...(nggak tahu)....” “Jadi, begitu ya, menurutmu,” komentar saya menanggapi jawaban-jawaban serabutan anak-anak. “Kalau aku, bagaimana menurutmu? Pekerjaanmu kuperiksa atau tidak?” Nah, ternyata, ada saja anak-anak yang menjawab, “Nggak....” Adalah sangat wajar kalau ada yang menjawab demikian. Beberapa perkejaan anak-anak, ada yang belum saya kembalikan. Masih saya simpan untuk dikeluarkan nanti di semester genap. Saat anak-anak, mungkin sudah lupa mengenai apa yang pernah ditulisnya. Saat, nanti anak-anak akan saling me-review tulisan-tulisan teman lainnya. Membuat analisis sederhana. Ada beberapa pekerjaan lain yang 'soalnya' saya tayangkan di dinding. Anak-anak hanya menuliskan jawaban-jawabannya dibuku. Kemudian, satu per satu anak-anak saya minta menyebutkan jawaban-jawabannya yang langsung saya input-kan ke dalam lembar kerja: pengumpulan data. Pembahasan dilakukan secara klasikal. Beberapa jawaban siswa saja saya ambil sebagai contoh. Komentar dan pemeriksaan pun, dilakukan secara lisan. Wajar bila terdapat murid yang tidak merasa pekerjaannya diperiksa. Selain itu, ada pekerjaan lain yang skornya hanya saya perhitungkan berdasarkan apakah anak-anak mengerjakan dan melaporkannya atau tidak. Tidak ada pemeriksaan dengan kriteria dan ukuran benar-salah. Jadi, hasil
pekerjaan hanya saya bubuhi tanda tangan. Tanpa komentar. Ini pun, bisa dikatakan sebagai bagian dari 'permainan' membuat jebakan bagi anak-anak. :D Semakin kuat asumsi anak-anak bahwa saya tidak melakukan pemeriksaan terhadap hasil pekerjaan mereka, semakin mudah mereka terjebak. Menanggapi anak-anak yang mengira saya tidak melakukan pemeriksaan hasil kerja mereka, saya bertanya, “Jadi, menurutmu, dari mana datangnya nilai-nilai yang kutampilkan dalam file yang bisa kamu buka dari komputer manapun di ruangan ini? Nilai tembak? Hahaha... Sembarangan.” Salinan berkas lembar kerja berisi nilai dan perkembangan nilai minggu per minggu memang dapat diakses oleh anak-anak. Terbuka. Anak-anak bisa bertanya dan mempertanyakannya. “Nah, ini peringatan untukmu. Semuanya. Berhati-hatilah terhadap anggapan. Terhadap asumsi. Kita bisa dengan mudah terjebak oleh suatu anggapan, kalau kita bersikap tidak cermat. Kamu sudah belajar mengeluarkan kotak berpola dari jebakan dalam permainan Klotski. Dan ada beberapa materi lain yang sudah kuberikan padamu, tapi... kamu mungkin belum menyadari apa gunanya. Tak apa, lupakan dulu untuk sementara. Sekarang, kita masuk ke tahap berikutnya. Di bawah baris berisi tulisan 'Koreksi jumlah bujursangkar/persegi' kamu tulis, 'Pengakuan'.” “Pengakuan apa, Pak?” Nah, segera saja instruksi itu disambar dengan pertanyaan. “Tulis saja dulu,” sergah saya menimpali, “Yang tidak menuliskan kata 'pengakuan' berarti penakut. Hatinya lembek macam badan bekicot. Hahaha....” Ini kalimat yang biasanya disambut selain dengan tawa canda, namun juga tawa dan komentar masam. “Baiklah,” saya melanjutkan, “yang kuminta kamu tulisakan hanya pengakuan sederhana. Pengakuan berkaitan dengan apa yang telah kamu lakukan tadi, ketika kamu membuat hitungan jumlah bujursangkar. Namun, sebelum kamu menuliskan pengakuan, aku akan beri contoh dulu. Aku mau buat pengakuan juga.” Lalu, saya membuat pengakuan yang biasanya, membuat kelas agak hiruk-pikuk dengan pertanyaan-pertanyaan. Kadang, saya gunakan tayangan dari berkas digital yang slide pertamanya bergambar orang berbisik dengan tulisan 'Pssssttt.' Hiruk-pikuk pertanyaan yang saya timpali dengan penyataan negasi, “Nggak lah. Kalau kukatakan sekarang, itu berarti pengakuan tahap ke-empat. Masak loncat?! Dari pengakuan pertama langsung ke-empat? Tidak dooong. Wong kamu juga belum bikin satu pun pengakuan, kok.” Lalu, saya berusaha kembalikan anak-anak ke jalur pembelajaran. “Nah, yang perlu kamu tulis sebagai pengakuan, ku-dikte-kan. Kamu tinggal nulis. Nih... 'ternyata, hitunganku salah, jumlah bujursangkar atau perseginya bukan 25, tetapi, 26.” Kemudian, saya melanjutkan, “Aku akan bicarakan sesuatu yang mungkin bakal panjang.* Bahkan akan menyinggung suatu masa di zaman *
Dalam praktiknya, ceramah ini bukanlah ceramah panjang dalam ukuran 'normal'. Hanya beberapa menit yang sebentar
sebelum masehi. Jadi, kalau ada yang merasa enggan dan bakal bosan mendengarkan pembicaraanku, silahkan keluar ruangan dulu. Mau jajan atau ngobrol di tempat Mbak Eli, atau ke tempat Wak Icun, kubolehkan. Nanti kalau ada yang perlu kamu lakukan lagi, kamu akan kupanggil. Atau, kalau kamu mau keluar nanti selagi aku bicara, keluar saja diam-diam, nggak usah bikin berisik apalagi gaduh.Dan kamu yang tetap di dalam, mau mendengarkan sembari tiduran atau sambil ngantuk, juga nggak apa. Tidur beneran pun, aku nggak'kan apa. Asal nggak ngorok saja kamunya. Hanya saja, kuingatkan pada kamu yang berniat keluar ruangan. Kalau kamu keluar sekarang, kamu tidak akan segera tahu untuk apa kamu saya minta melakukan hitungan, membuat koreksi dan membuat pengakuan. Kamu akan terlambat tahu tujuan pembelajaran ini. Jadi, sebaiknya, kamu tetap di dalam ruangan ini. :D” Ketika suatu pembelajaran membutuhkan penceramahan (baca: upaya pencerahan yang ramah ;)), biasanya, pada minggu sebelumnya saya memberi minggu bebas. Minggu tatap muka yang boleh digunakan oleh anak-anak untuk memilih aktivitasnya sendiri. Sehingga, bilamana saat ceramah dilakukan ada anak-anak yang asyik sesama mereka dengan obrolan, saya akan mengingatkan, bahwa saat semacam itu sudah lebih dari cukup mereka dapatkan di minggu sebelumnya. “Ini saatnya kamu beradaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan belajar yang kita butuhkan bersama. Tenang dan menyimak.” Ya. Salah satu tujuan saya memberi minggu bebas pada anak-anak adalah untuk 'mempersiapkan' kelas ceramah di minggu berikutnya. Seandainya terjadi anak-anak asyik dengan sesama mereka dan bikin berisik, saya akan ledeki mereka sebagai orang yang belum mampu belajar mengendalikan dirinya sendiri. Dan ledekan-ledekan lain yang 'kontekstual'.# Dan begitulah, setelah anak-anak yang sedia siap menyimak, saya buka bicara lagi. Mengulang tentang kebolehan membuat kesalahan beserta alasan mengapanya. Saya bercerita tentang perjalanan sejarah sains yang dibangun berdasarkan perkiraan-perkiraan, anggapan-anggapan akibat dari pengetahuan yang tidak/belum lengkap. Bahwa pengetahuan kemudian berkembang dari 'kesalahan-kesalahan' yang dilakukan di masa lalu. Bahwa kemajuan-kemajuan terjadi karena percobaan-percobaan yang gagal pada awalnya. Dan bahwa, inti dari proses belajar adalah proses memperbaiki diri, dengan--salah satu caranya--melakukan koreksi-koreksi. Kemudian, tentang pengakuan, di antara yang saya katakan adalah, “... tidak semua orang memiliki keberanian untuk membuat pengakuan bahwa dirinya salah. Orang untuk menyampaikan potongan-potongan informasi. Namun, bagi yang gampang bosan, memang bisa dianggap lama. #
Minggu bebas, juga saya gunakan untuk membacakan cerita sangat pendek. Atau potongan bacaan lain yang saya ambil entah dari mana saja. Bagaimana kalau saat membacakan, tidak semua anak menyimak dan tetap asyik dengan kegaduhannya sendiri? Saya gunakan pengeras suara. Pengeras suara ini berguna pula saat sesi-sesi diskusi kelompok. Ketika, misalnya, ada suatu pertanyaan atau persoalan yang perlu diketahui oleh kelompok lain, saya gunakan pengeras suara pula. Kelompok lain, yang tidak merasa perlu untuk ikut menyimak, bisa tetap melanjutkan diskusinya. Setidaknya, dengan pengeras suara, suara saya masih bisa mengatasi kegaduhan yang lain.
seperti ini, selain tidak punya keberanian, bernyali kecil, biasanya malah sombong. Menganggap dirinya serba benar. Orang-orang yang terhalang untuk melakukan perbaikan bagi dirinya sendiri. Orang-orang yang biasanya celaka menjalani hidupnya. Mengapa hayoo...?” … Diskusi kecil.... “Ya. Orang-orang seperti itu biasanya perlu nyusruk dan nyungsep dulu, baru kemudian sadar. Aku termasuk nggak, yaa.....?!” …. Selanjutnya, kembali pada aktivitas yang perlu anak-anak lakukan, “Sekarang, di bawah baris terakhir tulisanmu tadi, tulis: 'Koreksi ke-2' karena jawabanmu yang dua puluh enam itu masih kurang banyak.” Perkataan yang biasanya langsung disergah dengan tanya, “Masih salah, Pak?” / “Kurang, Pak?!” Dan komentar-komentar lain yang seperti tak percaya bahwa mereka telah membuat baris-baris tulisan yang seolah sia-sia. Masih salah juga. Sebal karena merasa saya kerjai. Ungkapan ekspresi pikiran yang bertanya-tanya, 'Kenapa sih, Pak Bun nggak kasih saja jawabannya langsung?' Ungkapan-ungkapan yang saya tanggapi dengan riang, “Huh, baru juga dikasih dengar cerita tentang memperbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu, sekarang proteeeesss... :D” Hantaman kecil kesadaran biasanya akan membuat anak-anak tertawa. Menertawai diri sendiri. “Nah, berapa jumlah bujursangkarnya menurutmu? Hitung lagi dong.” Yang lebih kerap terjadi adalah, anak-anak menebak angka asal-asalan. Ketika diminta menunjukkan yang mana saja, mereka enggan. Yang menarik adalah ketika ada siswa yang menjawab 50. Dan ketika diminta menunjukkan, yang diajukan adalah penjelasan. Argumentasi. Argumentasinya demikian. Menggunakan gambar di sebelah kiri sebagai contoh, garis tepi dianggap sebagai kerangka dan menjadi bujursangkar pertama. Sedangkan bagian berwarna kuning, menjadi bujursangkar kedua. “Argumentasi yang menarik,” kata saya, “dan bisa kuterima. Sayangnyaa..., kalau, seandainya, argumentasimu ini diberlakukan, maka jumlah keseluruhan bujursangkar itu kurangnya malah jadi semakin banyak. Baiklah. Kita gunakan hitungan untuk salah satunya saja. Bagian dalam itu kita sebut ubin, dan garis itu kita sebut rangka. Kamu hitung rangka saja, atau ubin saja. Kamu tadi memperoleh angka 25 dengan menghitung, kita sebut saja, bujursangkar satu-an. Dan mendapat tambahan satu lagi dengan menghitung bujursangkar, kita sebut saja sebagai bujursangkar dua-puluh-lima-an.”Kemudian, sambil menunjukkan tayangan-tayangan slide, …. “Kamu sudah hitung yang ini:
dan ini:
“Tapi, kamu belum menghitung yang berikut ini nih....
“Ini:
Ini:
Dan ini:
“
“Jadi, sebagai langkah koreksi yang kedua, harap kamu hitung seluruh bujursangkar yang bisa kamu temukan. Paling tidak, sekali lagi kuulangi, paling tidak, kamu perlu melakukan hitungan dua kali. Yang pertama, kamu hitung dari bujursangkar satu-an, empat-an, seterusnya hingga bujursangkar dua-puluh-lima-an. Ini kita sebut sebagai menghitung dari kotak kecil ke kotak besar.” Sambil saya menggambarkannya di papan tulis. “Dan yang kedua, arahnya dibalik,” saya tambahkan tanda panah dengan arah sebaliknya pada gambar. “.... Dari bujursangkar dua-puluh-lima-an, enam-belas-an, seterusnya hingga bujursangkar satu-an. Kita sebut ini sebagai menghitung dari kotak besar ke kotak kecil.” Ini instruksi yang biasanya butuh penjelasan ulang dan atau penjelasan tambahan. Setelah itu, “Masih ada lagi yang perlu kamu lakukan. Sebelum kamu melakukan hitungan, catat waktu mulainya. Dan setelah selesai menghitung, catat juga waktu usainya.” Ini juga instruksi yang biasanya juga butuh pengulangan dan tambahan penjelasan. Terutama terkait dengan dua pencatatan waktu, masing-masing ketika menghitung dari kotak-kecil ke kotak-besar. Dan sebaliknya. Latihan membuat catatan waktu semacam ini--sebagai sesuatu yang bernilai data--telah dilakukan sebelumnya ketika anak-anak 'bermain' klotski. Untuk menampilkan jam digital, saya gunakan daliclock. Ada pertanyaan lain yang saya ajukan pada anak-anak. Sebagai 'pekerjaan' berikutnya. Mana yang lebih mudah: a. Menghitung dari kotak kecil ke kotak besar. Atau, b. Menghitung dari kotak besar ke kotak kecil. Tak ada tuntutan dari saya agar anak-anak mendapatkan hasil hitungan yang pasti. Hasil hitungan akhir boleh berbeda, salah tidak mengapa. Hal ini penting agar anak-anak tidak 'termotivasi' untuk sekadar mencontek pekerjaan temannya. Selain itu, data yang apa adanya dapat menjadi ukuran awal seberapa cermat anak-anak melakukan pekerjaannya. Pada kolom sebelah kiri, saya tampilkan hasil pekerjaan salah satu kelas berkenaan dengan pencatatan waktu. Durasi diperoleh dari waktu (usai—mulai). Tanda '?' saya bubuhkan bila anak-anak tidak mencatat waktu pengerjaannya. Sehingga hasilnya menampilkan #VALUE!. Data awal tersebut memperlihatkan hasil di antaranya adalah sebagai berikut. 1) #VALUE! Jelas-jelas menunjukkan laporan pekerjaan yang tidak lengkap. 2) Bagian yang diblok warna kuning menunjukkan bahwa, didukung dengan data jumlah bujursangkar yang sama, salah satunya hanya mencontek pekerjaan temannya. 3) Bagian yang
ditandai dengan kotak merah-hijau-biru, menunjukkan bahwa, kombinasi merah-hijau atau merah-biru, sangat mungkin melakukan kerja sama. Berbagi tugas. Salah satu menghitung dari kotak-besar ke kotak-kecil, dan yang lainnya bekerja dengan arah sebaliknya. Salah satu kombinasi warna tersebut menunjukkan jumlah bujursangkar yang sama. 4) Data lainnya, durasi pendek, menunjukkan anak-anak yang tidak mengalami kesulitan, dapat bekerja cepat atau--malah--sekadar asal-asalan. 5) Selebihnya, durasi panjang, menunjukkan anak-anak yang cenderung mengalami kesulitan. Atau, bisa terjadi, yang bersangkutan bekerja berkali-kali, memeriksa ulang hasil pekerjaannya. Kelima ihwal tersebut dibahas dalam pertemuan berikutnya. Dan masih ada satu lagi makna yang terutama pada data yang ditampilkan. Namun, ini saya simpan untuk saat, ketika pembahasan dilakukan secara personal. Saat anak-anak saya panggil satu per satu. Ketika anak-anak, secara sendiri-sendiri, belajar mambaca dan memaknai data. Hasil sebagaimana saya tampilkan sebagai contoh adalah justru, hasil yang saya harapkan. Pada pembahasan dalam pertemuan tatap muka berikutnya, hasil yang demikian memberi saya alasan untuk (pura-pura) kesal dan marah karena anak-anak bekerja kurang cermat. Tidak lengkap. Mengabaikan 'detil' dan lain sebagainya. Mungkin karena saya biasanya guyon, ketika saya menampilkan sikap serius, membuat anak-anak lebih menyimak. Meski pula, ada yang tidak terpengaruh. Dengan hasil yang demikian itulah, saya pun memiliki alasan memadai untuk meminta anak-anak melakukan HITUNG ULANG. Yang berlaku bagi semuanya. Namun, bekerja menghitung ulang ini saya tunda untuk pertemuan berikutnya. Saya suka saat melihat tampang anak-anak yang pasrah diharuskan bekerja mengulang. Ada pikiran iseng yang selama ini belum pernah saya lakukan. Tidak tega, soalnya. Keisengan yang hanya saya simpan dalam pikiran. Isengnya begini. Ah. Sudahlah. Biarlah iseng itu tersimpan saja dalam pikiran. :D Nah, kemudian, dalam pertemuan yang selanjutnya, saya menegaskan lagi tentang perlunya mengulang kerja. Remedial. Tentang perlunya bekerja untuk memperbaiki kesalahan, melengkapi kekurangan. Lalu, kepada anak-anak, saya tunjukkan hitungan jumlah bujursangkarnya, dan mengakhirinya dengan bertanya, “Jelas, kan? Bisa, kan? Kalau kuminta kamu mengulangi pekerjaan menghitung bujursangkar seluruhnya?” Konfirmasi dari anak-anak. Pada tahap ini, penjelasan-penjelasan yang sebelumnya hanya saya sampaikan menggunakan kata-kata, kali ini saya tambah dengan bantuan gambar (tampak samping kiri). Untuk lebih mempermudah dan mengingatkan anak-anak tentang kelengkapan data yang diperlukan. Tahap untuk membuat siswa bekerja dengan memperhatikan detil. Dan setelah itu, saya tayangkan gambar, sambil saya berucap, “Nih, gambar
yang perlu kamu hitung bujursangkarnya.”
“Aduhhhh....., Paaaak.” Uh... rasanya nikmat sekali ketika telinga ini diayun suara anak-anak yang memperdengarkan keluh merana begitu melihat tampang menyulitkan dari gambar itu. Penegasan-penegasan saya sebelumnya memang berguna untuk membuat pikiran anak-anak mengira bahwa bekerja ulang itu, artinya, ya, menghitung ulang gambar yang pertama. Semakin anak-anak yakin demikian ihwalnya, semakin terdengar merana keluhannya. Membuat anak-anak sama sekali tidak mengira bahwa yang bakal dihadapinya adalah gambar baru. Keluhan-keluhan anak-anak saya timpali dengan godaan-godaan. Juga, perkataan-perkataan yang saya nilai perlu untuk pembelajaran dan menyemangati. Lantas, sambil saya menunjukkan lembaran-lembaran hasil kerja anak-anak yang lalu, saya katakan, “Ini lembar hasil kerjaanmu. Kamu kerjakan di lembar ini saja kalau ruangnya masih cukup.” Setelah lembaran dibagikan, saya membuka 'kunci' beberapa komputer yang sudah saya persiapkan sebelumnya. Anak-anak membuat salinan gambar dari komputer yang tersedia. Ketika 'kunci' saya buka dari server epoptes, lalu monitor menayangkan gambar-gambar yang berbeda, segera saja pertanyaan-pertanyaan bingung berhamburan. Ihwalnya, saya memberikan pilihan kepada anak-anak. Selain yang sudah ditayangkan, berikut ini pilihan-pilihan yang saya sediakan untuk anak-anak.
Kepada anak-anak, saya sampaikan, “Ini ujian buat kamu. Aku pengen tahu apakah kamu termasuk tipe orang yang hanya mau mengambil gampangnya, ataukah, kamu termasuk orang-orang yang berani menantang diri sendiri. Ini saat kamu belajar membuat pilihan, belajar mengambil keputusan. Dan harap kamu ingat, pilihan yang diambil, akan menentukan nilai diri seseorang.” Hal yang saya katakan sambil geli sendiri. Karena diam-diam pikiran saya berkata, 'kalau nilai diriku maa...h, ala kadarnya saya.' :D :D
Membaca dan Memaknai Data Saat untuk.... memuji, menghargai, membuka 'belang', menggoda, dan … apa lagikah?