Saatnya Reimajinasi Nasionalisme Indonesia Penulis
: Surahmat, SPd MHum
Tanggal terbit
: 19 April 2016
Mulanya adalah rasa. Puluhan kerajaan dijajah oleh imperealis yang sama. Rasa mempersatukan tujuan untuk kembali merdeka. Perlawanan berkobar. Dari yang bersifat kedaerahan dan domestik, sejak 20 Mei 1908 perlawan lebih tertata - meski tak lantas terkoordinasi. Puncaknya, impian menjadi satu negara merdeka terverbalisasi pada kongres pemuda II 28 Oktober 1928. Negara baru bernama Indonesia menuangkan cita-cita nasionalnya dalam preambule Undang-undang Dasar 1945. Disebut empat hal, yakni melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta menjaga kedamaian dunia. Inilah argumen filosofis mengapa negara baru bernama Indonesia ada. Meski begitu, empat “panduan bernegara” itu tak lantas membuat bangsa ini sukses bernegara. Realitas sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan 67 tahun terakhir menyisakan catatan bahwa bangsa Indonesia terseok. Imajinasi kenegaraan yang ditanam dalam ingatan kolektif warga negara hilang bentuk. Bahkan pada titik terkestrim, negara absen dari kehidupan warganya. Mari bicara data. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, sepanjang 2011 terjadi 691 kasus kekerasan dengan 1.586 korban. Kekerasan tidak hanya muncul akibat konflik horizontal tapi kerap melibatkan negara (Kompas, 16/5). Di bidang hukum, kasus korupsi meningkat dari tahun ke tahun. 2011 saja KPK menerima setidaknya 5.742 laporan korupsi. Perilaku koersif massa dan korupsi telah merenggut hal yang sangat esensial dalam kehidupan bernegara, yaitu keadilan. Keadilan ekonomi, umpamanya, kini lebih menyerupai angan-angan ketimbang cita-cita. Ketimpangan pembangunan Jawa dan luar Jawa hanya salah satu gejalanya. Di luar itu, ketimpangan tampak pada kelas-kelas dalam masyarakat. Kelas atas mendominasi sektor-sektor produksi, mengantar kelas bawah pada jurang degradasi kesejahteraan.
1
Ini jelas berbeda dengan imajinasi bernegara yang lahir pada masa pembebasan diri. Negara dibangun, selain jalan meraih kedaulatan, juga sebagai “jembatan emas” meraih kesejahteraan. Sebagai instrumen, berupa kekuasaan, negara gagal memenuhi fungsinya untuk membebaskan manusia Indonesia dari belenggu kezaliman, diskriminasi kelas, ras, dan gender, menuju kondisi pembebasan yang makmur dan berkeadilan. Dalam catatan sejarah, beragam persoalan muncul karena negara, seperti perang saudara pada periode 45-69, otoriterianisme orde baru, kekerasan sosial, dan kini pemiskinan akibat korupsi. Kondisi inilah yang membuat saya merasa perlu menyodorkan proposal reimajinasi (negara) Indonesia. Tujuanya, membangun kembali kesepakatan tentang Indonesia: mengapa (negara) Indonesia hadir, apa urgensinya bagi manusia Indonesia, dan apa visinya di masa yang akan datang? Benarkah manusia Indonesia membutuhkan (negara) Indonesia? Jika membutuhkan, (negara) Indonesia seperti apa yang dibutuhkan? Apakah seperti (negara) Indonesia yang saat ini ada? Atau, perlu kita membuat (negara) Indonesia baru? Empat Faktor Sebagai produk pemikiran negara telah mengembangkan bentuknya menjadi sangat ideal. Pemikir Sunni Abu Bakar al-Asamm misalnya mengatakan, komunitas yang ideal adalah yang terdiri atas manusia-manusia jujur yang dengan begitu tidak butuh otoritas politik (Muzaffari, 1994). Namun, harus diakui, imajinasi tentang negara kerap berubah utopis lantaran tak dikelola oleh manusia yang memiliki kecakapan. Berdirinya negara tidak selamanya membawa kemaslahatan, tapi juga menggiring manusia pada konflik sosial, baik yang berdimensi ideologis maupun rasialisme. Konflik bahkan tak terhindarkan di negara yang secara historis muncul karena proses ideologis. Negara Timur Tengah misalnya berdiri akibat sentimen Sunni-Syiah. Iran misalnya, berdiri untuk melapangkan Syiah menjadi jalan pemberlakukan ide-ide politik Syiah. Irak yang didominasi warga Sunni sebaliknya. Adapun Arab Saudi bahkan kerap diidentifikasi untuk melapangkan perselingkuhan ideologis Ibnu Saud dengan Wahab. Ideologi keagamaan belum mujarab menjawab persoalan kemanusiaan universal.
2
Negara-negara sekuler Eropa mengalami persoalan tak kalah pelik. Kini zona Euro terancam bangkrut. Yunani, yang sejak 2009 dipandang jadi musebab krisis Eropa bahkan terancam didepak dari persekutuan ekonomi tersebut. Perancis, pemilik gagasan demokrasi melalui JJ Rousseaou dan Montesqiue juga menghadapi tantangan kenegaraan serius. Presiden baru Francoise Holande ditantang mengatasi persoalan pengangguran yang kini mencapai 2,8 juta jiwa. Realitas di atas coba mengemukakan simpulan bahwa ideologi agama dan sekuler tidak memiliki hubungan kausalitas yang dekat dengan keberhasilan negara. Sama halnya dengan sejarah yang tak cukup membantu Mesir dan India mencapai masa gemilangnya. Mesir, salah satu pemilik peradaban paling kuno, bahkan mengalami persoalan fundamental berkaitan dengan relasi sipil-militer pada sebuah negara pascajatuhnya Hosni Mubarak. Adapun India yang kini tengah tumbuh menjadi raksasa ekonomi Asia tak bisa menyembunyikan “aib” kesenjangan ekonominya. Hingga kini 360 juta warga India masih terbelit kemiskinan. Qurtuby (2008) menyelidiki, kegagalan negara-negara Islam di dunia disebabkan oleh empat hal utama. Keempatnya hadir untuk menjawab pertanyan mengapa negara yang awalnya hadir sebagai medium meraih keadilan justru menjadi sumber pertikaian berkepanjangan. Pertama, umat Islam atau tepatnya pemimpin Islam menjadikan negara sebagai tujuan (ghayah), bukan sarana (wasilah). Kedua, sistem khilafah berubah menjadi monarkhi. Konskuensinya, jabatan kepala negara didasarkan pada keturunan, bukan kapabilitas personal-sosial orang bersangkutan. Ketiga, kultus individu. Seperti terbaca pada periode Islam klasik dan pertengahan kerap muncul istilah untuk membangun kultus personal. Istilah khalifatullah, sultanullah, dan khalifah sebagai dzill Allah fi al-ard berkonskuensi pada ketakterbatasan kekuasan pemimpin. Keempat, di negara-negara Islam menggejala sentralisasi, atau lebih parah personalisasi, kekuasaan. Kondisi di atas dibarengi pula gaya hidup hedonis para pemimpin. Sekalipun tesis di atas digunakan untuk menganalisis negara (berideologi) Islam, tapi sebenarnya relevan untuk membaca 67 tahun kegagalan Indonesia menyejahterakan rakyatnya. Monarkhi dan personalisasi kekuasaan buktinya, nyaris terjadi pada periode Orde Baru. Ketika itu, presiden yang memiliki hak prerogratif memilih menteri pernah
3
memilih anaknya menjadi menteri, bahkan agaknya menyiapkan putra mahkota untuk menggantikannya menjadi presiden. Soal kultus pribadi lebih terang benderang terjadi pada masa kekuasaan Soekarno. Ia misalnya membaptis diri menjadi pemimpin besar revolusi, penyambung lidah rakyat, dan presiden seumur hidup. Setelah demokrasi berkembang baik sejak 1998, kini apa yang Qurtuby sebut sebagai “pemimpin yang bergaya hidup hedonis” benar-benar terjadi. Pemerintah menetapkan gaji besar kepada anggota parlemen dan pejabat negara sementara infrastruktur ekonomi rakyat tak dibangun dengan kuat. Terjadi perampokan keuangan negara triliunan rupiah tiap tahun oleh anggota DPR dan pemerintah. Badan Pemeriksa Keungan (BPK mencatat, 30-40 persen anggaran perjalanan dinas yang nilainya 30 trilian dikorupsi (Kompas, 16/5). Fakta tersebut cukup untuk menjustifikasi bahwa Indonesia tidak berada pada ril cita-cita nasional yang diharapkan. Masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana diamanatkan konstitusi jauh panggang dari api. Bahkan (negara) Indonesia kian hari kian abstrak. Sabang sampai Merauke nyaris menjadi satuan geografis belaka akibat rasa berindonesia yang melemah. Mencari Bentuk Ulama Abasiah bernama Abu Hasan Ali bin Ahbib al Mawardi al Basri alBaghdadi (975-1058) berpendapat negara hadir sebagai konskuensi logis atas pandangan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kecenderungan berinteraksi untuk bertukar manfaat. Dalam interaksi inilah dibutuhkan perangkat norma agar kehidupan sosial tak terjerumus pada perilaku homo homini lupus. Indonesia juga lahir akibat kebutuhan sosial warganya. Wilayah-wilayah di nusantara awalnya hanya kerajaan yang tak terlalu akrab secara diplomatis. Selama 3,5 abad Hindia Belanda “mempersatukan” mereka dalam satuan ideologis sebagai “yang sama-sama terjajah”. Kesamaan nasib membuat mereka menyamakan tujuan untuk kembali merdeka. Gagasan melahirkan Indonesia, berbentuk republik, dengan wilayah membentang dari Sabang sampai Merauke adalah ketelanjuran sejarah. Lahirlah Indonesia sebagai ide. Pasca 28 Oktober 1928 ide itu terverbalisasi. Setelah itu secara operasional gagasan-gagasan tentang bagaimana Indonesia akan dijalankan muncul melalui rangkaian musyawarah BPUPKI.
4
Harus diakui, (negara) Indonesia lahir dalam situasi terjajah. Belum sepenuhnya Belanda hengkang, Jepang telanjur datang. Tidak heran jika landasan konstitusi yang dirumuskan saat itu banyak mengambil bentuk dari Belanda. Kondisi ini didukung oleh berkembangnya demokrasi di Eropa sejak abad 17 hingga 20. Tokoh nasional pun banyak yang berpendidikan Barat pada periode itu. Kekaguman mereka pada demokrasi coba mereka terapkan pada negara baru, Indonesia. Dalam perkembangannya, Indonesia pernah menjadi negara serikat, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan akhirnya menjadi negara presidensial hingga kini. Saya pribadi meyangkan sikap mereka yang tidak mengakomodasi ide-ide monarkhi yang sejatinya memiliki rujukan sejarah di nusantara. Ada peristiwa menarik pada periode pencarian bentuk negara, ketika MPRS bersidang menentukan dasar negara. Muncul pertentangan gagasan antara kaum nasionalis dan agama soal peran agama bagi negara. Kaum agama berusaha menjadikan Piagam Jakarta sebagai dasar negara dengan konskuensi negara berhak mengatur supaya syariat Islam menjadi dasar berperilaku pemeluknya. Namun gagasan itu tak disetujui kaum nasionalis sehingga muncul sila baru hasil negosiasi seperti tercantum pada sila pertama Pancasila. Dispensasinya, dibentuknya Departemen Agama yang kemudian dipimpin wakil kaum agama saat itu, Hasyim Asyarie. Negosiasi politik pada masa itu ternyata membawa konskuensi hingga saat ini. Republik Indonesia berada di antara dua bentuk negara, agama dan sekuler. Syariat Islam tetap kuat mempengaruhi produk hukum negara. Bahkan negara sendiri, melalui Dapartemen Agama (kini Kementerian Agama), tampak bersemengat mencampuri urusan keyakinan rakyatnya. Dalam berbagai hal bahkan umat Islam yang mayoritas mendapat perlakuan istimewa dari negara. Dimulai pada Orde Baru, hukum-hukum Syariah antara lain muncul melalui pengaturan tentang BAZIS (1991) pendirian Bank Muamalat Indonesia, dan larangan judi berkedok Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) pada tahun 1993. Tempo (29 Agustus-4 September 2011) mencatat, hingga 2011 terdapat 150 peraturan berdasarkan syariat Islam. Dominasi syariat Islam dalam konstitusi Indonesia adalah fenomena wajar dan memiliki pijakan historis. Pada batas tertentu Pemerintah Hindia Belanda pada masa kekuasaannya pun menggunakan Syariah, antara lain untuk mengatur perkawinan: nikah, talak, dan waris. Meski demikian, hukum syariah belum cukup membantu Indonesia
5
menghadapi persoalan-persoalan universal, seperti kemiskinan, pendidikan, dan kini korupsi. Karena itu, di tengah kemapanan konstitusi saat ini diperlukan imajinasi ulang terhadap konsep negara dan bernegara. Proyek Reimajinasi Milan Kundera dalam Kita Lupa dan Gelak Tawa (Bentang, 2000) menyodorkan istilah lithos untuk menggambarkan situasi kesadaran atas kondisi chaos lingkungannya, namun malas untuk bergerak. Keprikhatinan atas kondisi negara yang berantakan tak menyulut perlawanan. Tiap-tiap orang bergerak lari namun sekadar menyelamatkan diri. Bisa jadi itulah kondisi manusia Indonesia kini. Ketimpangan ekonomi, penindasan hukum, dan pemiskinan massal akibat korupsi tak menggerakan rakyat revolusi. Jika dipandang sebagai persoalan personal, keputusan demikian hanya persoalan bagaimana seseorang menuliskan sejarahnya. Namun jika dipandang sebagai persoalan sosial, sikap fatalistik demikian adalah gejala penyakit sosial yang parah. Kemungkinan pertama, sekalipun telah merdeka secara politis, jiwa-jiwa manusia Indonesia ternyata masih terjajah. Jiwa terjajah ditandai oleh ketakutan oleh banyak hal, termasuk takut dipersalahkan lantas dihukum. Kedua, manusia Indonesia pada ambang batas krisis konsep diri sehingga tak mengetahui potensi, peran - dan pada tingkat tertentu – jati dirinya. Krisis konsep diri hampir selalu diikuti kebuntuan berpikir dan bersikap sehingga bertahan pada situasi apapun di sekitarnya. Dalam kondisi kebangsaan inilah diperlukan proyek reimajinasi bernegara, yakni proyek yang mendorong bangsa Indonesia menyusun ulang cita-cita nasional dengan membayangkan wujud kehidupan paling ideal. Pada tahap tertentu reimajinasi juga berupa penyatuan gagasan, konsolidasi ide, menuju terwujudnya cita-cita bersama. Manusia Indonesia sebenarnya memiliki pengalaman berharga soal reimajinasi. Pertama terjadi saat Sumpah Pemuda. Menyadari kesamaan nasib, tokoh pemuda bergabung menyatakan berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu. Pada masa itu sumpah pemuda adalah pengalaman imajinatif intelektual yang bisa jadi dianggap tak realistis. Mereka membayangkan sebuah dunia baru, kehidupan baru, berdasarkan pembacaan terhadap situasi pada masa itu. Dream comes true. 17 tahun sejak cita-cita itu diverbalisasi, Indonesia lahir sebagai negara berdaulat.
6
Pengalaman imajinatif lain terjadi saat penyusunan Undang-Undang Dasar 1945. Para penggagas menjangkau masa depan sehingga memutuskan untuk memberi mandat kepada negara untuk menyejahterakan rakyat lewat penguasaan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Saya menyebut keputusan tersebut sebagai imajinasi pada zamannya lantaran sangat visioner. Mereka memiliki kecerdasan dan kesadaran tingkat tinggi tentang pentingnya tugas sosial negara. Dengan sebutan dan periode yang berbeda, proyek reimajinasi negara kini telah dan sedang dilakukan China, Brazil, dan Argentina. Tak heran jika ketiganya telah dan siap tumbuh menjadi kekuatan politik dan ekonomi baru dunia. China membangun imajinasi kebangsaannya melalui Mao Tse Tung dan Partai Komunis. Karyanya “imajinatif” Paman Mao Litle Red Book telah memandu bangsa China mencapai kegemilangan yang hilang sejak periode kekaisaran. Brazil, dibawah pimpinan Lula da Silva, membangun imajinasi sebagai bangsa mandiri. Langkah penting mereka adalah melunasi hutang negara atas IMF sehingga mereka leluasa mengatur perekonomiannya. Ditopang oleh kemapanan makroekonomi dan kesenjangan sosial yang menurun negara Amerika latin itu diprediksi akan menjadi negara ekonomi terbesar ke lima satu dekade mendatang. Adapun Argentinta dibawah komando Christina Fernandez Krichner kini memulai proyek reimajinasi dengan menasionalisasi Yacimientos Petroliferos Fiscales (YPF), perusahaan minyak terbesar, dari perusahaan multinasional asal Spanyol, Repsol (Batubara, 2012). Langkah bersejarah Argentina ini tetap ditempuh sekalipun harus berhadapan dengan ancaman Spanyol. Sejarah bangsa dan pengalaman negara lain mestinya cukup menjadi pijakan awal agar reimajinasi Indonesia dimulai. Cita-cita nasional yang berserak dan sempat terkubur sejarah dapat dipungut ulang, disublim dalam ruang kontemplasi kolektif. Ekspektasi founding father yang pada awal kemerdekaan terkesan gigantis pun perlu direnungkan ulang. Tujuannya, membangunkan optimisme manusia Indonesia agar darinya mengucur energi besar, energi tanpa batas - keberanian besar, keberanian tanpa batas. Soekarno pernah menyodorkan tiga konsep Indonesia masa depan yang disebutnya
Tri
Sakti,
yakni
kemandirian
ekonomi,
kedaulatan
politik,
dan
berkepribadian dalam budaya (Adams, 2008). Saya menilai konsep ini sangat
7
komprehensif untuk menggambarkan cita-cita manusia Indonesia, tidak hanya sebagai bangsa tapi sebagai manusia-manusia. Kemandirian adalah istilah makro yang hadir dalam peta politik ekonomi dunia. Penggagasnya, Soekarno, adalah tokoh sosialis antiliberal yang pada masanya mengimajinasikan sosialisme Indonesia dalam konsep Marhaen. Kemandirian ekonomi negara adalah ketidakbergantungan kelangsungan hidup negara pada pihak asing. Penguasaan penuh sektor produksi vital dan distribusi kekayaan secara proporsional. Pada tingkat mikro kemandirian adalah kebebasan akses individu pada sektor-sektor produksi yang dibutuhkan. Kemandirian juga berarti proteksi negara atas rongrongan hak ekonomi seseorang oleh pihak asing. Kedaulatan politik juga berdimensi ganda. Pada tataran negara kebebasan politik bermakna terjalinnya hubungan setara antarnegara. Bagi individu kebebasan politik mencakup kebebasan berpendapat, berkeyakinan, berserikat, dan menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan etis masing-masing. Kebebasan individu dijamin konstitusi melalui alat negara yang berdaulat dan berwibawa. Budaya juga menjadi aspek penting negara ideal yang perlu diimajinasikan. Secara makro, budaya yang berkepribadian ditunjukan dalam politik berkebudayaan dunia yang setara. Karakter kebudayaan tidak hanya muncul dalam ekspresi asketik, tapi juga keseharian. Karakter kebudayaann yang berkperibadian muncul dari jiwa-jiwa kreatif yang bebas, juga jiwa yang memiliki kepercayaan diri. Kemandirian ekonomi Tan Malaka, saya kira, juga bagian dari imajinasi gigantis lain yang patut dihidupkan kembali. Cara revolusioner Datuk Tan – saya lebih suka menyapa begitu - adalah dengan menasionalisasi aset negara supaya kepentingan ekonomi dalam negeri tidak digrecoki asing. Sebab, laba-laba yang berjuta-juta jumlahnya selama ini dinikmati borjouis, kalangan imperealis. Pada masa itu, kaum borjuis yang menjajah Indonesa terbatas dari Inggris, Belanda, Jepang, dan Amerika, kini Malaysia, Singapura, bahkan Hongkong juga menguasai aset ekonomi Indonesia. … Kita berani katakan sedemikian itu, bukannya karena kita hendak menjanjikan kepada setiap orang satu surga, akan tetapi untuk kepentingan kemerdekaan sendiri… Jika kita dapat melaksanakan program ini di Indonesia Merdeka, maka kemerdekaan semacam itu akan lebih nyata daripada yang dinamakan merdeka di banyak negara-negera modern di dunia. (Malaka, 1987).
8
Bagaimana agar proyek reimajinasi negara berhasil di Indonesia? Saya mengajukan dua prasyarat, yaitu keberanian pemimpin dan keasadaran partisipatif rakyat. Imajinasi besar, cita-cita besar, hanya akan terpelihara jika Indonesia memiliki pemimpin berani. Ciri-cirinya, pemimpin yang percaya diri, lahir dari proses politik yang matang, dan dekat dengan rakyat, bukan peragu, inlander, dan tak kuasa menerima sanjungan asing. Kedua, adalah kesadaran partisipatif rakyat. Kesadaran partisipatif adalah perasaan nduweni, semacam keyakinan bahwa mereka adalah pemilik sah negeri ini. Dengan cara itu energi manusia Indonesia terakumulasi menjadi energi produktif baru yang menjulang di Asia, bahkan dunia. Daftar Rujukan Adams, Cindy. 2007. Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat (Edisi Revisi). Jakarta: Media Presindo Al-Qurtuby, Sumanto. 2008. “Melawan Mawardi Mengkritik Sunni”. Dalam Jurnal Justisia. Semarang: LPM Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo. Hlm.111136. Batubara, Marwan. 2012. “Menggapai Kedaulatan Sektor Migas”. Dalam Kompas, Edisi 19 Mei 2012. Hlm. 7. Malaka, Tan. 1987. Naar de 'Republiek Indonesia'. Jakarta: Yayasan Massa. Kompas. 16 Mei 2012. Mental Korupsi Sudah Merata. Hlm. 1 Kundera, Milan. 2008. Kitab Lupa dan Gelak Tawa. Yogyakarta: Penerbit Bentang Tempo. 26 Agustus-4 September 2011. Politik Perda Syariah. Hlm. 19
9