NASIONALISME DAN TIM NASIONAL INDONESIA Ganes Alyosha Sosiologi FISIP UI Program S1 Reguler
[email protected]
ABSTRAK Studi ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme penumbuh-kembangan sentimen nasionalisme yang dilakukan oleh timnas Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan tujuan untuk memaparkan bagaimana nasionalisme ditumbuh-kembangan melalui timnas Indonesia. Bagi Indonesia yang memiliki karakteristik masyarakat yang multikultur, sentimen nasionalisme mutlak dibutuhkan demi meredam munculnya sentimen primordialisme yang berlebih-lebihan. Sepak bola sebagai olahraga paling populer di Indonesia dianggap menjadi salah satu media yang mampu untuk memunculkan sentimen nasionalisme tersebut. Secara historis, sepak bola di Indonesia memang telah dikenal sebagai alat pemersatu bangsa. Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) didirikan pada tahun 1930 dengan semangat Sumpah Pemuda. Timnas Indonesia yang merupakan gabungan pemain terbaik dari berbagai etnik adalah representasi dari masyarakat Indonesia yang multikultur. Timnas Indonesia juga menggunakan simbol-simbol bangsa dalam sepak terjangnya di ajang internasional. Fakta-fakta tersebut membuat punggawa timnas mengidentifikasi diri mereka sebagai perwakilan bangsa. Tanggung jawab besar ada di pundak mereka setiap bertanding membela timnas. Masyarakat Indonesia yang menjadi penggemar timnas juga menganggap tim Garuda sebagai perwakilan dari diri mereka. Kata Kunci: Bangsa, Etnik, Identitas Nasional, Nasionalisme, Sepak bola, Simbol, Tim Nasional
ABSTRACT The purpose of this study is to determine the nationalism development mechanism conducted by Indonesian national team. The method used in this study is qualitative, with the aim to describe how nationalism fostered through Indonesia national team. For Indonesia which has the characteristics of multicultural society, nationalism is absolutely needed to reduce the excessive primordial sentiment. Football as the most popular sport in Indonesia is considered to be one of the media to be able to bring the sentiment of nationalism. Historically, football in Indonesia has been known as a means of unifying the nation. The Indonesia Football Federation was established in 1930 with the spirit of the Sumpah Pemuda. Indonesian national team consists of the best players from different ethnics that can represent Indonesia multicultural society. Indonesian national team also use symbols when playing at international game to show that they represent the nation. Indonesian people become supporter of their national team because they feel that the team represent themselves too. Keywords: Ethnic, Football, Nation, National Identity, National Team, Symbols
PENDAHULUAN Olahraga dan nasionalisme sudah sejak lama menjadi entitas yang saling berkaitan. Di berbagai negara, olahraga kerap dijadikan sebagai media untuk menunjukan semangat nasionalisme dan identitas nasional suatu bangsa. Bahkan kompetisi olahraga antar bangsa bertajuk olimpiade sudah dilaksanakan sejak abad ke-9 SM (Sebelum Masehi) di tanah Yunani (Cha, 2010). Bangsa yang berpartisipasi kala itu diantaranya adalah Sparta, Ellis, dan Pisa. Olimpiade kuno tersebut mempertandingkan cabang olahraga pacuan kuda dan atletik, seperti 1
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
lari, loncat, dan lempar. Olimpiade tersebut bahkan dilaksanakan di tengah perang Pelloponesus yang melibatkan bangsa-bangsa peserta olimpiade. Namun tiga raja dari 3 negeri berbeda, yaitu Iphistos dari Ellis, Cleosthenes dari Pisa, dan Lycurgus dari Sparta, menandatangani perjanjian Olympic Truce. Sebuah kesepakatan gencatan senjata yang berlangsung selama olimpiade tersebut. Dalam ruang lingkup waktu dan tempat yang berbeda, keterkaitan antara nasionalisme dan olahraga juga banyak ditemui di berbagai belahan dunia. Di Afrika Selatan, presiden Nelson Mandela menggunakan olahraga rugbi dan sepak bola yang merupakan olahraga paling populer sebagai alat rekonsiliasi rasial dan nasional (Catsam, 2010). Sekitar 45 tahun lamanya Afsel memberlakukan politik Apherteid dalam sistem pemerintahannya. Ketika Mandela menjabat sebagai presiden pada tahun 1994, barulah sistem politik tersebut benar-benar dihapuskan sama sekali. Rugbi sendiri merupakan olahraga yang identik dengan orang-orang kulit putih. Sedangkan sepak bola lebih populer bagi penduduk kulit hitam. Kedua olahraga tersebut betulbetul menjadi kekuatan Afsel dalam mewujudkan rekonsiliasi rasial di negara paling selatan benua Afrika tersebut. Hebatnya, Afsel sukses menyelenggarakan Piala Dunia Rugbi satu tahun pasca Mandela didapuk sebagai presiden dan sukses besar menghelat Piala Dunia Sepak bola pada tahun 2010. Dalam cabang olahraga sepak bola, katerkaitannya dengan nasionalisme ternyata dapat lebih banyak lagi ditemui. Sorek (2010) melalui pendekatan strukturalnya menjelaskan bahwa pada awalnya, sepak bola dimanfaatkan oleh elit Arab untuk membangun nasionalisme Palestina. Setelah elit Yahudi mengambil alih kekuasaan, dimana elit Palestina dibuang dan diasingkan, fungsi sepak bola bergeser menjadi alat untuk mendorong asimilasi dan integrasi warga Arab, dan memanipulasi identitas nasional Arab di Israel. Warga Arab Palestina yang memiliki kemampuan yang baik dalam bidang sepak bola dijadikan andalan di klub-klub sepak bola Israel. Mereka dikontrak secara profesional, digaji, dan diberi fasilitas. Namun demikian mereka dilarang keras menunjukan identitas kebangsaannya. Di lapangan mereka nyaris dibuat seperti orang Israel sehingga tak banyak penonton yang sadar bahwa mereka tersebut adalah seorang Arab. Dalam konteks Indonesia, sepak bola juga memiliki peranan penting dalam menumbuhkembangkan sentimen nasionalisme. Bagi Indonesia yang memiliki masyarakat yang multikultur, sentimen nasionalisme mutlak dibutuhkan demi meredam munculnya sentimen 2
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
primordialisme yang berlebih-lebihan. Sentimen nasionalisme yang ditumbuh-kembangkan sepak bola biasanya berupa nilai persatuan dan identitas nasional. Sepak bola sebagai olahraga paling populer di Indonesia dianggap menjadi salah satu media yang mampu untuk memunculkan sentimen nasionalisme tersebut. Sepak bola dianggap mampu mengalahkan pamor bulutangkis yang justru lebih banyak memberikan prestasi bagi bangsa ini. Antusiasme masyarakat selalu tinggi meski tim nasional (timnas) sepak bola minim prestasi. Stadion selalu penuh sesak dan rating siaran televisi selalu bagus jika timnas bertanding. Selain karena popularitasnya, sepak bola juga dianggap mampu merepresentasikan kondisi masyarakat Indonesia yang multikultur. Hal tersebut dikarenakan sepak bola adalah olahraga kelompok, bukan perseorangan seperti bulutangkis, tenis, dan lain sebagainya. Dalam sebuah tim nasional sepak bola Indonesia misalnya, anggota tim dapat terdiri dari banyak pemain yang berasal dari berbagai etnik. Di Indonesia, sepak bola memang telah lama dikenal sebagai alat pemersatu bangsa. Dua tahun pasca Sumpah Pemuda yang dilaksanakakan pada tahun 1928, berdirilah Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI). Dengan semangat Sumpah Pemuda, Ir. Suratin mendirikan PSSI sebagai kamuflase pergerakan kaum pemuda dalam mempersatukan Indonesia untuk melawan penjajah (Isyanto, 2010). Organisasi yang terdiri dari gabungan beberapa voetbal bond (Perkumpulan Sepak bola) berbagai daerah tersebut turut berjuang seirama dengan perjuangan kemerdekaan bangsa. Kala itu, PSSI menjadi tempat bimbingan dan perkembangan semangat dan jiwa kebangsaan bagi para pemuda yang belum leluasa berkecimpung dalam dunia politik (PSSI, 1960). Dan PSSI juga membentuk sebuah kesebelasan yang mewakili semangat perlawanan dan identitas nasional golongan bumiputera. Tim bentukan PSSI tersebut pun berhasil
menandingi
kesebelasan
NIVB/NIVU
(Nederlandsch
Indische
Voetbal
Bond/Nederlandsch Indische Voetbal Unie) yang notabene merupakan tim bentukan pemerintah kolonial Belanda. Berangkat dari hal-hal tersebut studi ini bertujuan untuk mengetahui proses penumbuhkembangan sentimen nasionalisme yang dilakukan oleh timnas Indonesia. Metode kualitatif dipilih guna menjelaskan bagaimana proses penumbuh-kembangan sentimen nasionalisme yang dilakukan oleh timnas. Metode ini dipilih bertujuan untuk membangun suatu kesimpulan umum dari temuan-temuan empirik mengenai sentimen nasionalisme Indonesia yang ditumbuhkembangkan timnas. 3
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
TINJAUAN LITERATUR Agar tidak mengulang hasil yang telah ditunjukkan studi-studi terdahulu, tinjauan pustaka peneliti lakukan utamanya terhadap studi-studi dengan tema nasionalisme dan olahraga. Hal ini dilakukan untuk mengarahkan studi ini menjadi sebuah model dengan hasil yang baru. Studi-studi ini akan dikelompokkan berdasarkan kesamaan substansinya agar posisi studi-studi tadi serta studi yang peneliti lakukan terlihat dengan jelas. Olahraga dan Kampanye Nasionalisme Dalam Yu dan Gordon (2006), hampir satu abad sejak diperkenalkannya olahraga bisbol di Taiwan, nasionalisme telah memainkan peran utama dalam pengembangan bisbol di Taiwan. Kelas penguasa telah menggunakan bisbol untuk melaksanakan agenda politik mereka sendiri. Diantaranya, kampanye Japanisasi, Sinisisasi, dan Taiwanisasi. Di awal abad ke-21, kemenangan internasional menyelamatkan bisbol profesional dari kepunahan. Di sini, penulis mendapati bagaimana olahraga dapat berubah fungsinya ketika rezim yang berbeda memerintah Taiwan dan bagaimana hal itu berkembang menjadi budaya lokal yang unik. Dalam Pilus dan Hussin (2013), dijelaskan bahwa secara sosial olahraga merupakan kegiatan yang signifikan untuk meningkatkan identitas nasional di Malaysia. Dalam studi tersebut, diketahui bahwa terdapat hubungan sebab-akibat yang signifikan antara loyalitas dan niat penonton untuk menonton pertandingan sepak bola. Studi kuantitatif tersebut juga memunculkan variabel-variabel seperti, klub sepak bola yang berlaga, kompetisi yang diikuti, dan pemain sebagai variabel yang mempengaruhi niat penonton untuk menonton pertandingan. Dari analisa tersebut disimpulkan bahwa kampanye ‘Satu Malaysia’ yang diusung pemerintah Malaysia untuk meningkatkan identitas nasional warga negaranya, dapat disosialisasikan melalui kegiatan olahraga. Olahraga dan Identitas Nasional Gutek (2006) menjelaskan bahwa sekolah adalah salah satu alat yang paling penting bagi sebuah negara-bangsa untuk mempertahankan status quo, untuk mendorong nasionalisme, dan untuk mengembangkan identitas nasional (Cannock, 2012, h. 38). Sementara Gagen (2004) mengatakan bahwa penggunaan simbol-simbol nasional dan artefak budaya selama acara 4
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
olahraga adalah alat yang hebat dalam proses pengembangan identitas nasional (Cannock, 2012, h. 39). Relevan dengan pernyataan tersebut, pemerintah Peru menggunakan pendidikan olahraga dan jasmani sebagai alat pembangun identitas nasional yang efektif (Cannock, 2012). Nilai-nilai kebangsaan disosialisasikan melalui pelajaran olahraga di sekolah-sekolah. Kegiatan olahraga juga digunakan untuk meningkatkan pembangunan sosial, dimana olahraga lebih mampu dijangkau masyarakat ketimbang politik. Tuñón dan Brey (2009) dalam studinya menjelaskan tentang digunakannya sepak bola sebagai alat untuk membangun identitas nasional di berbagai negara. Penelitiannya mengambil studi kasus perpecahan regional dan nasional yang terjadi di Spanyol. Contoh kasusnya ialah Basque dan Katalunya. Melalui sepak bola, orang-orang dari dua kelompok etnik yang ada di dalam wilayah kerajaan Spanyol tersebut ingin diakui sebagai bagian yang terpisah dari Spanyol. Mereka melakukan perlawanan lewat sepak bola. Studi ini berusaha untuk menganalisa dan membuktikan interaksi antara sepak bola dan pembelahan regional dan nasional (sambil membangun identitas nasional) di Basque dan Katalunya. Klub Athletic Bilbao yang berada di wilayah otonom Pais Vasco, mengharamkan pemain yang berasal dari luar suku Basque untuk memperkuat klub tersebut sebagai simbol bahwa rakyat Basque bukanlah bagian dari Spanyol. Sementara di Katalunya, klub kebanggaan Barcelona menjadi sebuah simbol perjuangan rakyat Katalan. Di stadion Camp Nou, kandang Barcelona, fans fanatik El Barca (julukan untuk klub Barcelona) tak henti-hentinya mengkampanyekan kemerdekaan rakyat Katalan dalam setiap pertandingan. Mereka membentangkan bendera raksasa merah-kuning dan membagi-bagikan bendera berukuran kecil ke semua penonton. Mereka juga melakukan perlawanan melalui pemasangan spanduk, baliho, dan nyanyian-nyanyian yang berisi sikap anti Spanyol. Dalam Garcia (2010) juga dijelaskan bahwa organisasi-organisasi pro kemerdekaan rakyat Katalan kerap berkampanye dalam sebuah pertandingan tim Barcelona. Salah satunya adalah Asosiasi pro bahasa Katalan yang turun ke tengah lapangan stadion Camp Nou dan membentangkan poster besar mendukung promosi bahasa Katalan. Sejarah Sepak bola dan Nasionalisme Indonesia Dalam konteks Indonesia, sepak bola juga telah lama dikenal sebagai alat pemersatu bangsa. Dua tahun pasca Sumpah Pemuda yang dilaksanakakan pada tahun 1928, berdirilah 5
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI). Dengan semangat Sumpah Pemuda, Ir Suratin mendirikan PSSI sebagai kamuflase pergerakan kaum pemuda dalam mempersatukan Indonesia untuk melawan penjajah (Isyanto, 2010). Pada ruang lingkup waktu yang hampir bersamaan, orang-orang keturunan Tionghoa juga menunjukan nasionalisme Indonesia-nya melalui sepak bola. Dalam Buntoro (2007), pada masa peregerakan kemerdekaan, warga Tionghoa mendirikan badan sepak bola Tionghoa dan menyelenggarakan pertandingan. Pembentukan badan sepak bola Tionghoa tersebut bertujuan untuk menunjukan eksistensi etnis Tionghoa yang kemudian membawa keterlibatan mereka ke dalam level yang lebih tinggi, yaitu tim nasional Indonesia. Salah satu tim sepak bola yang tergabung dalam badan sepak bola Tionghoa adalah klub Union Makes Strenght (UMS) yang terlibat dalam pergerakan kemerdekaan dan masih eksis hingga kini (Julianto, 2011). Sementara Aji (2010), menjelaskan tentang eksistensi pesepak bola Tionghoa di Surabaya pada masa kolonial. Studi tersebut menemukan konteks sosial politik pada masa kolonial sebagai cikal bakal berkembangnya perkumpulan sepakbola Tionghoa di Surabaya. Prestasi yang ditorehkan pesepak bola etnis tionghoa di berbagai kompetisi yang diadakan oleh bond di Surabaya, membuat beberapa pemain Tionghoa Surabaya dipanggil tim nasional yang kala itu masih dibawah naungan NIVU. Di bawah bendera Hindia-Belanda, mereka tampil sebagai kontestan asal Asia pertama di Piala Dunia 1938. Dalam studi tersebut dijelaskan pula bahwa sepakbola dan politik selain menumbuhkan fanatisme juga dapat menumbuhkan semangat nasionalisme.
Setiap
pertandingan
sepakbola
diselenggarakan,
maka
fanatisme
akan
tertransformasikan dalam semangat pertandingan, suporter dan pemain. KERANGKA KONSEPTUAL: NASIONALISME Smith (2001) mengemukakan beberapa indikator yang harus diketahui ketika membicarakan nasionalisme, diantaranya: (1) Proses pembentukan atau pertumbuhan bangsa; (2) Sentimen atau kesadaran sebagai bangsa; (3) Bahasa dan simbol bangsa; (4) Gerakan sosial dan politik atas nama bangsa; (5) Doktrin dan ideologi bangsa, baik yang umum maupun khusus. Hal-hal di atas saling berkaitan satu sama lain. Namun, tidak selalu hal-hal tersebut berjalan beriringan. Misalnya, seseorang bisa memiliki kesadaran nasional yang besar walaupun tidak tertarik pada simbol-simbol bangsa, gerakan atau bahkan ideologi bangsa. Ada pula sekelompok orang yang dapat menunjukan kesadaran nasional yang tinggi, tetapi tidak tertarik dengan 6
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
ideologi, apalagi gerakan politik. Namun demikian, setidaknya orang-orang tersebut memiliki pengetahuan tentang simbol dan sejarah bangsa. Oleh karena itu, istilah nasionalisme akan dapat lebih dipahami dengan menggunakan satu atau lebih dari tiga poin terakhir. Sebagai sebuah gerakan sosial politik, nasionalisme tidak berbeda dengan gerakan lainnya dalam hal organisasi, aktivitas, serta hal-hal teknis yang menyertainya. Perbedaannya adalah penekanan pada pembentukan budaya dan representasi. Sebuah gerakan nasionalis tidak dimulai dengan aksi protes, deklarasi, atau perlawanan bersenjata, tetapi dengan munculnya masyarakat sastra, penelitian sejarah, festival musik dan jurnal budaya. Tujuan dari gerakan sosial politik didefinisikan bukan oleh kegiatan atau gerakan personilnya, tapi cita-cita dasar dan prinsip-prinsip ideologi. Nama negara yang sesuai, dipilih dan dipertahankan dari masa lalu untuk mengekspresikan kekhasan bangsa, kepahlawanan dan takdir, serta menggetarkan jiwa antar anggota masyarakat. Demikian pula dengan bendera nasional dan lagu kebangsaan. Warna, bentuk dan pola, serta lirik-lirik dan musik, melambangkan sifat khas suatu bangsa. Bentukbentuk dan irama musik tersebut bertujuan untuk mengingatkan sejarah bangsa dan takdir di kalangan masyarakat. Dan yang paling penting dari semua hal tersebut adalah bagaimana simbol-simbol tersebut memiliki potensi makna bagi anggota masyarakatnya. Faktanya, setiap bangsa memiliki ibu kota, majelis nasional, mata uang nasional, paspor dan perbatasan, upacara bagi warganya yang gugur dalam perang, parade militer untuk hari besar nasional, monumen nasional, peringatan perang, festival, dan hari libur nasional. Seperangkat simbol-simbol bangsa tersebut hanya berfungsi untuk mengekspresikan, mewakili, dan memperkuat batasan definisi bangsa, dan untuk menyatukan anggota dengan berbagi kenangan bersama, mitos, dan nilai-nilai. Simbolisme nasionalisme tidak dapat dipisahkan dengan dari ideologi nasionalisme karena berfungsi memberikan kekuatan dan arah untuk simbol dan gerakan. Smith (2001) mendefinisikan nasionalisme sebagai “sebuah gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang potensial” (h, 9). Definisi tersebut mengikat ideologi nasionalisme sebagai gerakan yang berorientasi pada tujuan, karena sebagai ideologi, nasionalisme menetapkan beberapa jenis tindakan. Namun demikian, hubungan erat antara ideologi dan gerakan tidak membatasi konsep nasionalisme 7
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
hanya sebagai gerakan
mencari kemerdekaan. Kata ‘dan mempertahankan’ dalam definisi
memperlihatkan pengaruh nasionalisme pada negara yang sudah lama merdeka dan mapan, atau dapat pula bagi negara yang baru saja merdeka. Definisi Smith mengusulkan pengandaian konsep ‘bangsa’, tapi itu tidak menunjukan bahwa negara-negara memang telah ada sebelum kemunculan nasionalisme ‘mereka’. Kata ‘atau “bangsa” yang potensial’ mengenali banyak situasi dimana sebagian kecil nasionalis yang memiliki konsep umum dari ‘bangsa’ yang abstrak berusaha untuk menciptakan negara-negara tertentu di tanahnya. Smith juga menemukan nasionalisme-nasionalisme tanpa adanya bangsa-bangsa bagi mereka. Secara khusus Smith banyak menemuinya pada negaranegara bekas jajahan di Afrika dan Asia. Nasionalisme tersebut tidak terbatas pada mencapai kemerdekaan, atau lebih umum hanya untuk tujuan politik. Setiap nasionalisme mengejar tujuan identitas nasional dalam berbagai derajat. Namun selalu mereka akan kembali kepada cita-cita bangsa. Smith (1991) mendefinisikan proposisi sentral dari ideologi, atau inti dari doktrin nasionalisme sebagai berikut: (1) Dunia ini dibagi menjadi bangsa-bangsa, dimana masingmasing mempunyai individualitas, sejarah, dan takdirnya sendiri; (2) Bangsa adalah sumber dari semua kekuatan politik dan sosial, dan kesetiaan kepada bangsa mengabaikan semua kesetiaan lainnya; (3) Manusia harus mengidentifikasi diri dengan bangsa jika mereka ingin bebas dan mewujudkan diri; (4) Bangsa harus bebas dan aman jika ingin terwujudnya perdamaian dan keadilan dunia. Dalam studi ini, konsep Nasionalisme yang dikemukakan oleh Smith akan digunakan sebagai alat analisis yang utama. Peneliti akan melihat sepak terjang timnas melalui lima indikator nasionalisme Smith. Timnas sendiri hadir dengan membawa simbol-simbol bangsa, seperti bendera nasional, lagu kebangsaan, lambang negara, dan lain sebagainya. Sepak terjang timnas di ajang internasional juga kerap dikaitkan dengan gerakan sosial politik yang kerap memprovokasi masyarakat sepak bola Indonesia. Seperti yang didefinisikan oleh Smith, nilainilai nasionalisme yang bakal ditonjolkan dalam studi nasionalisme dalam sepak terjang timnas ini adalah nilai persatuan dan kesatuan dan identitas sebagai bangsa
8
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
PEMBAHASAN Bagian ini memaparkan bagaimana timnas memiliki mekanisme untuk menumbuhkembangkan
sentimen nasionalisme bagi para anggota timnya. Melalui lima indikator
nasionalisme Smith, peneliti akan menggambarkan bagaimana proses tersebut terjadi. Akan dijeslakan pula bagaimana sepak terjang mampu memprovokasi masyarakat pecinta timnas. Timnas Indonesia Salah satu tujuan dan usaha dari PSSI untuk memajukan sepak bola Indonesia adalah dengan membentuk tim nasional. Dalam bab II Pedoman Dasar PSSI tentang Tujuan dan Usaha, disebutkan dalam pasal 3 ayat 2c bahwa salah satu bentuk tujuan dan usaha PSSI memajukan sepak bola Indonesia adalah dengan membentuk tim nasional yang berkualitas, dalam rangka berpartisipasi secara optimal di event regional maupun internasional (PSSI, 2004). Namun demikian, dalam perjalanannya timnas bentukan PSSI tidak hanya disiapkan untuk bermain secara optimal di berbagai ajang internasional. Disadari maupun tidak, timnas telah dianggap sebagai sarana bagi bangsa Indonesia untuk menunjukan rasa nasionalisme kepada bangsa lainnya. Timnas dianggap telah merepresentasikan jutaan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, bukan sekedar bermain sepak bola, timnas Indonesia yang bertanding di pentas internasional juga memiliki tanggung jawab untuk berjuang bagi harga diri bangsa. Dalam pasal 31 ayat 1 Pedoman Dasar PSSI tentang tim nasional, dijelaskan pula bahwa Tim Nasional adalah kumpulan pemain sepak bola yang terpilih untuk bermain di tim nasional PSSI sesuai dengan tingkatannya. Tim Nasional berasal dari klub sepak bola amatir dan non amatir (PSSI, 2004). Hal tersebut menunjukan bahwa timnas Indonesia merupakan kumpulan pemain-pemain terbaik yang berasal dari berbagai daerah. Bersatunya pemain-pemain yang berasal dari berbagai daerah ini merupakan perwujudan dari nilai-nilai nasionalisme. Smith (2001) mendefinisikan nasionalisme sebagai “sebuah gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang potensial” (h, 9). Selain disatukan sebagai sebuah tim, para pemain tersebut juga berjuang membawa identitas bangsa Indonesia. Identitas primordial mereka, seperti etnik ditanggalkan demi kepentingan yang lebih besar, yaitu bangsa.
9
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
Simbol-Simbol Bangsa Salah satu indikator nasionalisme yang digunakan Smith (2001) adalah pemahaman tentang bahasa dan simbol bangsa. Gagen (2004) mengatakan bahwa penggunaan simbol-simbol nasional dan artefak budaya selama acara olahraga adalah alat yang efektif dalam proses pengembangan identitas nasional (Cannock, 2012, h. 39). Sebagai sebuah tim sepak bola yang mewakili nama Indonesia, timnas selalu tampil dengan membawa simbol-simbol bangsa. Kesakralan bendera merah-putih diwujudkan menjadi warna seragam timnas. Warna kebesaran bangsa Indonesia tersebut selalu digunakan para pemain timnas sebagai seragam utama. Seragam merah-putih tersebut semakin menunjukan identitas punggawa timnas sebagai sebuah bangsa ketika lambang Garuda Pancasila juga disematkan di dada kiri seragam setiap pemain. Lambang yang merupakan simbol negara tersebut adalah kebanggaan dan motivasi bagi setiap pemain timnas yang mengenakannya. Informan Kurniawan D. Y. mengakatan bahwa dengan mengenakan seragam merah-putih dengan lambang Garuda, itu akan memberikan motivasi yang berlipat bagi dirinya. Sangkaka merah-putih juga dikibarkan sesaat sebelum timnas bertanding untuk menunjukan kepada masyarakat dan pemain, bahwa timnas berjuang demi nama bangsa. Bersamaan dengan dikibarkannya bendera merah-putih, satu simbol bangsa yang tak kalah sakralnya juga turut dihadirkan, lagu kebangsaan. Informan Bambang Pamungkas juga mengungkapkan pengalamannya di timnas. Baginya, walaupun tak semua pemain memahami makna dari simbol-simbol tersebut, namun dapat dipastikan bahwa para pemain akan memberikan 50% tenaga ekstra ketika membela timnas. Sentimen atau Kesadaran Sebagai Bangsa Smith (2001) menjelaskan bahwa indikator lain dari nasionalisme adalah sentimen dan kesadaran sebagai bangsa. Bagi para pemain timnas, melekatnya simbol-simbol bangsa dalam sepak terjang mereka di lapangan diartikan sebagai sebuah tanggung jawab terhadap bangsa. Salah satu bentuk tanggung jawab mereka di lapangan adalah dengan memberikan penampilan terbaik. Para pemain sadar, sebagai representasi dari bangsa maka mereka harus berjuang demi harkat dan martabat bangsa Indonesia. Oleh karena itu tim tidak hanya mempersiapkan taktik dan strategi, namun juga motivasi bagi pemain untuk berjuang demi harga diri bangsa.
10
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
Para pemain timnas memang diberikan tanggung jawab untuk menjaga harga diri bangsa melalui profesi mereka sebagai pesepak bola. Tanggung jawab tersebut juga membuat mereka sadar bahwa merekalah representasi dari bangsa dan seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai representasi bangsa para pemain timnas tentu sadar bahwa mereka adalah harapan dari jutaan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu mereka memikul beban tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab besar tersebut kemudian dimanifestasikan para pemain melalui perjuangan di lapangan. Informan Rochi Putiray mengatakan, sebagai tanggung jawabnya di lapangan, ia tak pernah bermain separuh hati untuk timnas. Pun demikian dengan informan Ricky Yacobi. Baginya, hasil adalah urusan belakangan, yang penting berjuang terlebih dahulu. Sejarah Bangsa Pemahaman tentang sejarah bangsa menjadi salah satu indikator nasionalisme yang diungkapkan oleh Smith (2001). Sepak terjang timnas di lapangan kemudian kerap disejajarkan dengan perjuangan para pahlawan terdahulu yang gigih merebut kemerdekaan. Bagi punggawa timnas, perjuangan para pahlawan harus dihargai dengan terus berjuang membanggakan bangsa ini melalui sepak bola. Informan Kurniawan D.Y. mengungkapkan bahwa untuk menghargai jasa pahlawan terdahulu, pemain timnas hanya perlu menjaganya dengan sepak bola. Oleh karena itu menurut Kurniawan, dalam setiap kesempatan tampil, punggawa timnas hendaknya bermain sungguh-sungguh. Ideologi Bangsa Indikator nasionalisme lainnya yang diungkapkan oleh Smith (2001) adalah pemahaman tentang ideologi bangsa. Sebagai kumpulan pemain terbaik dari berbagai daerah, timnas dianggap sebagai miniatur dari bangsa Indonesia. Para pemain timnas sendiri pun sadar bahwa disatukannya mereka di timnas adalah perwujudan dari nilai-nilai ideologi Pancasila. Ketika berada di timnas, para pemain akan mengesampingkan sentimen primordialnya dan bersatu untuk tujuan yang sama sebagai Indonesia. Pemain timnas hanya akan fokus untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini tanpa memikirkan dari mana dirinya dan rekan-rekannya berasal. Bagi informan Bambang Pamungkas bangsa Indonesia merupakan bangsa yang mudah terpancing oleh isu-isu yang sensitif. Namun ketika timnas berlaga, apalagi berhasil memenangkan pertandingan dan juara, seketika itu pula masyarakat Indonesia akan bersatu. 11
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
Lebih lanjut Bambang mengatakan bahwa sepak bola sebagai olahraga nomor satu di negeri ini membuatnya menjadi semakin mudah untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang berbedabeda. Gerakan Sosial-Politik Atas Nama Bangsa Indikator nasionalisme lainnya dari Smith (2001) adalah gerakan sosial-politik atas nama bangsa. Tak dapat dipungkiri bahwa sepak bola kerap dibumbui oleh isu-isu bermuatan politik. Namun bagi para punggawa timnas sendiri, isu sosial-politik yang melibatkan Indonesia dengan negara lain tidak mempengaruhi motivasi mereka dalam bertanding. Bagi para pemain, isu sosial-politik tersebut hanya terjadi di level suporter. Sementara para pemain akan selalu berjuang tanpa memilih siapa pun lawannya. Sementara dalam konteks suporter, isu sosial-politik dalam sebuah pertandingan timnas justru mempengaruhi dukungan mereka terhadap timnas. Terlebih bila pertandingan tersebut melibatkan Malaysia. Duel dua tim serumpun ini selalu menghadirkan tensi tinggi. Permasalahan batas negara atau sengketa produk budaya bangsa juga disinggung dalam setiap pertandingan Indonesia-Malaysia. Kedua kubu suporter melakukan olok-olok dan provokasi selalu terjadi sebelum, saat, dan sesudah pertandingan. Tak jarang kericuhan terjadi di stadion tempat berlangsungnya pertandingan atau bahkan di dunia maya. Melalui proses sosial kemudian sepak terjang timnas dikait-kaitkan dengan gerakan sosial-politik atas nama bangsa dan dimakanai sebagai simbol perlawanan politik. Rivalitas politik Indonesia-Malaysia yang menular ke lapangan hijau juga terjadi di Asia Timur. Pertandingan-pertandingan yang melibatkan Jepang dengan Korea, atau Jepang dengan Tiongkok juga selalu menghadirkan tensi tinggi (Sasada, 2006). Pengaruh isu sosial-politik di lapangan sepak bola memang lebih banyak memberikan dampak negatif seperti kericuhan dan hubungan negara yang makin renggang. Namun peneliti melihat satu hal yang positif dari fenomena ini, yaitu dikesampingkannya sentimen kedaerahan demi kepentingan bangsa. Konflik dengan negeri tetangga justru semakin memperkuat integrasi bangsa itu sendiri. KESIMPULAN Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari masyarakat yang beraneka-ragam. Keaneka-ragaman penduduknya dibarengi pula dengan sentimen primordialisme yang kuat. 12
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
Akibatnya, Isu-isu sensitif mudah memancing pecahnya kerusuhan di negeri ini. Konflik berbau SARA tak jarang ditemui. Hal tersebut mengancam integrasi Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Sentimen nasionalisme mutlak ditumbuh-kembangkan di nusantara demi meredam bertumbuhnya sentimen primordialisme yang berlebih-lebihan. Sepak bola hadir sebagai media yang mampu menanamkan sentimen nasionalisme bagi bangsa Indonesia. Sepak bola juga merupakan olahraga nomor satu negeri ini. Tim nasional Indonesia mampu menumbuh-kembangkan nilai-nilai nasionalisme bagi para punggawa timnas dan masyarakat penggemar timnas. Tim nasional dianggap sebagai representasi dari jutaan masyarakat Indonesia. Selain itu, tim nasional juga dianggap sebagai alat pemersatu bangsa. Sebagai representasi bangsa, tim nasional turut memberikan pengetahuan akan simbolsimbol bangsa kepada masyarakat luas. Penggunaan seragam berwarna bendera merah-putih, penyematan lambang Garuda di dada seragam timnas, hingga pengibaran bendera merah-putih yang diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya sebelum timnas bertanding. Simbol-simbol tersebut kemudian semakin dimaknai masyarakat Indonesia sebagai identitas bangsanya. Sepak terjang timnas di lapangan juga dianggap sebagai simbol perjuangan bangsa. Ekspresi wajah dan gesture para pemain timnas yang berjuang di lapangan ini kemudian dianggap sebagai representasi dari semangat perjuangan ratusan juta masyarakat Indonesia. Sepak terjang timnas di lapangan bahkan juga dimaknai sebagai perjuangan para pahlawan terdahulu bagi punggawa timnas dan masyarakat penggemar timnas. Sebagai alat pemersatu bangsa, tim nasional yang terdiri dari putra-putra terbaik bangsa yang berasal dari berbagai daerah dianggap sebagai perwujudan ideologi bangsa. Salah satu nilai ideologi Pancasila yang paling kentara yaitu nilai persatuan Indonesia. Dalam konteks ini timnas mampu menjadi manifestasi dari semboyan Bhineka Tunggal Ika. Timnas mampu memberi pesan bagi seluruh masyarakat bahwa perbedaan tidak menghalangi bangsa Indonesia untuk bersatu. Sepak terjang timnas juga dimaknai oleh masyarakat sebagai simbol perlawanan politik bangsa Indonesia terhadap negara-negara yang dikenal memiliki rivalitas. Sentimen nasionalisme yang mampu ditumbuh-kembangkan timnas telah memunculkan reaksi bagi masyarakat sepak bola Indonesia. Ketika menyaksikan timnas bertanding, kesadaran mereka sebagai bangsa timbul. Sejenak mereka menanggalkan sentimen primordialnya dan bersama-sama mendukung timnas yang mereka anggap sebagai perwakilan bangsa. Sepak terjang timnas telah mampu meredam sentimen primordialisme masyarakat Indonesia yang 13
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014
berlebih-lebihan. Sentimen nasionalisme yang ditumbuh-kembangkan oleh timnas kepada masyarakat dianggap dapat menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi bangsa yang bisa datang kapan saja. DAFTAR REFERENSI Aji, R. N. B. (2010). Tionghoa Surabaya dalam Sepakbola. Yogyakarta: Ombak. Buntoro, E. (2007). Etnis Tionghoa dalam Sejarah Persepakbolaan Indonesia (19291956). Depok: Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Cannock, F. J. L. (2012). Engendering nationalism and national identity through sports and education in the peruvian school system within the context of globalization. Journal of Sociological Research, 3(2), 36-45. Catsam, D. C. (2010). The death of doubt? sport, race, and nationalism in the new south africa. Georgetown Journal of International Affairs, 11(2), 7-13. Cha, V. D. (2010). Match point: Sports, nationalism, and diplomacy. Georgetown Journal of International Affairs, 11(2), 3-5. Isyanto, H. (2010). Drg. Endang Witarsa: Dokter Bola Indonesia. Jakarta: Suara Harapan Bangsa. Julianto, H. (2011). Dinamika Pesepakbola Etnis Tionghoa dalam Persepakbolaan Indonesia : Studi terhadap Klub Union Makes Strength (UMS). Depok: Skripsi Jurusan Ilmu Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. PSSI. (1960). Peringatan dan Sejarah 30 Tahun PSSI. Jakarta: PSSI. PSSI. (2004). Pedoman Dasar PSSI. Jakarta: PSSI. Sasada, H. (2006). Youth and nationalism in japan. The SAIS Review of International Affairs, 26(2), 109-122. Smith, D. A. (1991). National Identity. London: Penguin Books. Smith, D. A. (2001). Nationalism. Cornwall: Polity Press. Sorek, T. (2010). Nasionalisme Palestina di Lapangan Hijau: Sejarah Ringkas Sepak bola Arab-Palestina di Wilayah Kekuasaan Israel. Depok: Kepik Ungu.
14
Garuda-garuda lapangan hijau ..., Ganes Alyosha, FISIP UI, 2014