RUANG KAJIAN
KEBIJAKAN PUBLIK DAN APRESIASI TERHADAP KONSEP MEGAPOLITAN
Oleh : Riyadi Santoso
Abstract Megapolitan concept is very interesting both in theory and in practice, because dealing with social realities Jabodetabekjur spatial region is very complex. As one of public policy, we can give a critical assessment with respect to both support and criticism of various parties. However, the concept and that policy needs to gain appreciation and good response, given the reality of complex problems in the region Jabodetabekjur. For that megapolitan concept is expected to be the key public policy solutions. As a key, megapolitan should be formulated in a comprehensive manner at the level of public policy, and needs to be translated into operational kebijalan technically with respect to all parties involved. To follow up on megapolitan concept, representing the central government's Ministry of Home Affairs, took the initiative to invite sitting with Provincial Government of DKI Jakarta, Banten province and West Java Provincial Government, including all the regents and mayors in the region Jabodetabekjur to unify perception and concrete measures in an integrated manner, in order to formulate a plan parent (master plan) megapolitan. Regional Development Planning Board (Bappeda) in all regions are invited synergistically integrated plan, operational and technical plans for each territory. To implement the master plan, contingency plan and technical plan in the region Jabodetabekjur, we can infer the main thing is the presence of leadership (managerial) are capable, proactive and effective. Of course, the effective leadership of human resources need to support reliable and adequate sources of financing. Keyword: megapolitan, Integrated Planning, Leadership Effectiveness, and Human Resources.
1. Pengantar Salah satu kebijakan publik yang amat sangat menarik untuk
kita cermati adalah “Konsep Megapolitan”, bagi warga Jakarta dan sekitarnya, bahkan secara
nasional konsep ini perlu kita berikan apresiasi. Megapolitan merupakan gagasan dari Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Soetiyoso di Kawasan Jabodetabekjur (Jakarta-BogorDepok-Tangerang-Bekasi dan Cianjur), sebenarnya secara konsep bukanlah yang pertama. Konsep Megapolitan sebelumnya pernah dilontarkan dan diperjuangkan oleh Gubernur Ali Sadikin (Bang Ali). Bahkan menurut penjelasan Bang Ali, sejak awal digagas, konsep megapolitan tidak ada pencaplokan wilayah, tetapi membangun wilayah Ibukota Negara secara terpadu di wilayah Jabodetabek. Gubernur Sutiyoso (Bang Yos) sebenarnya memiliki kesamaan konsep dengan pendahulunya, bahwa konsep megapolitan Jabodetabekjur harus dijadikan pedoman sebagai konsep pembangunan yang terpadu di Jabodetabekjur. Kalau konsep ini tidak segera diterapkan, maka dikawatirkan Ibukota Jakarta akan menjadi Kota yang memiliki kelebihan beban dan dampak negatifnya akan dipikul oleh generasi pada masa yang akan datang. Namun demikian gagasan yang baik tersebut telah mendapat tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan, dan dari kebanyakan tanggapan yang kontra tersebut berawal dari kekurangpahaman dan dapat dikatakan miss-interpretasi serta kekawatiran-kekawatiran yang berlebihan.
Kajian sederhana berikut ini akan coba kita lakukan dengan mencermati beberapa hal, antara lain mengenai dukungan publik atas konsep megapolitan, adanya kritik-kritik dari berbagai pihak, juga adanya respon dan kebijakan pemerintah pusat, konsep lanjutan serta catatan Bang Ali atas megapolitan tersebut. Untuk menutup kanjian ini, penulis coba sampaikan catatan-catatan kesimpulan dan rekomendasi atas beberapa hal yang terkait betapa pentingnya konsep megapolitan untuk dapat diaplikasikan. 2. Dukungan Publik Berdasarkan hasil survey dari Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) dari tanggal 1 s.d 3 Maret 2006, yang diberi judul : “Survey Persepsi Masyarakat Jabodetabekjur Terhadap Konsep Megapolitan Jabodetabekjur”, telah menunjukkan hasil bahwa sebesar 79 persen warga menyetujui pembentukan kawasan megapolitan Jabodetabekjur, sedangkan sebanyak 20 persen responden menyatakan tidak setuju dan hanya 1 persen yang tidak mejawab. Bila kita cermati lebih lanjut, bahwa mayoritas responden pendukung pembentukan kawasan Jabodetabekjur berasal dari luar warga Jakarta. Ini sangat menarik, mengingat selama ini pada kenyataannya warga di luar Jakarta telah merasakan buruknya kondisi infrastruktur dan kondisi fasilitas umum ataupun fasilitas sosial.
2 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2006
pemerintahan (manajemen pemerintahan), nampaknya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dan Pemprov Jawa Barat menolak, tetapi bila mengintegrasikan tata ruang dan perencanaan kota, mereka mulai menerima, (Pos Kota, 7 Maret 2006). Penolakan dua Pemprov tersebut, menurut penulis sangat wajar sebagai bentuk ketakutan, kawatir kehilangan wilayah-wilayah (teritorial) penyangga Jakarta yang secara ekonomi sangat menguntungkan. Wilayah-wilayah seperti Tanggerang, Depok, Bekasi, Bogor merupakan tambang emas, yang berkontribusi besar dalam memberikan income atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi kedua provinsi tersebut. Ernan Rustiadi (2006), Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) Institute Pertanian Bogor (IPB), memberikan penilaian bahwa gagasan Gubernur Sutiyoso yang bertekad akan menerapkan megapolitan Jabodetabekjur merupakan langkah yang benar dan dapat segera direalisasikan, karena penduduk Jabodetabek pada saat ini telah mencapai sekitar 20 Juta Jiwa, Sembilan juta Jiwa diantaranya tinggal di Jakarta. Dengan penduduk sebanyak itu, sebenarnya sudah harus stagnan atau berhenti bertumbuh mengingat keterbatasan ruang Jakarta, namun untuk penduduk Bodetabekjur masih akan terus berkembang, (Catatan : Urbanisasi saat ini di wilayah Bodetabekjur terus
Responden sebagai warga sangat berharap bahwa kondisi infrastruktur dan kondisi fasilitas umum akan bisa sama seperti yang ada di Jakarta, misalnya : kondisi jalan dan jembatan, transportasi massal, lapangan kerja, dan lainlainnya, (Media Indonesia, 7 Maret 2006). Stevanus Subagijo (2007), peneliti dari Centre for National Urgency Studies Jakarta menilai bahwa gagasan Sutiyoso untuk mengaplikasikan Megapolitan Jabodetabekjur merupakan langkah positif, mengingat progresivitasnya dalam melihat sense of urban masa depan Jakarta dan wilayah kota penyangga di sekitarnya. Kawasan Jabodetabekjur membutuhkan keleluasaan kesatuan komando politik-administrasi pemerintahan, seperti perencanaan megapolitan, tata ruang dan pembangunannya. Hal itu yang diperhatikan sebagaimana dilakukan di kotakota bear di Eropa dan Amerika Serikat, bahkan kecenderungan penerapan konsep megapolitan di sana, tidak hanya antar kota, melainkan juga antar Negara. Para pengamat yang lain juga menilai, dengan dibentuknya kawasan megapolitan, dapat dipastikan akan meningkatkan kualitas daerah penyangganya dan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut akan lebih cepat, lebih baik. Menyangkut penggabungan daerah penyangga dan administrasi
3 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2006
berjalan, apalagi dengan tumbuhnya daerah industri manufaktur, barang dan jasa, juga kawasan property (perumahanperumahan) yang sangat pesat). Masyarakat kelompok ekonomi menengah ke atas akan memilih menjadi masyarakat commuter, dengan tetap memilih tinggal di kota penyangga namun bekerja di Jakarta. Sementara kaum urban yang langsung ke Jakarta adalah kelompok masyarakat ekonomi bawah yang akan menjadi beban sosial dan lingkungan Jakarta akan kumuh. Oleh karenanya, perlu segera diterapkan megapolitan untuk mengatur sistem urban di Jabodetabekjur.
halnya dengan kawasan Gelora Bung Karno (GBK) di Senayan, di sana ada alasan heritage Gedung MPR/DPR RI. Bila konsep megapolitan diarahkan agar dipimpin oleh pejabat setingkat menteri, maka juga akan bertentangan dengan daerah otonom di sekitarnya. Fajrul Falaakh (2006), Pakar Hukum Tata Negara UGM juga mengkritisi dan mengkritik bahwa Ibukota Negara dalam administrasi pemerintahan tidak membutuhkan konsep megapolitan, seperti Washington DC (Ibukota Amerika Serikat) atau Amsterdam (Ibukota Belanda), yang tidak dikembangkan istilah megapolitan. Karena megapolitan adalah tempat multifungsi, yang biasanya lebih cenderung pada pertimbangan bisnis, perdagangan dan perkembangan penduduk. Namun demikian ada juga pihak yang memilih berpendapat biarlah megapolitan menjadi wacana Gubernur Sutiyoso dalam mengembangkan kerjasama dengan Pemerintah Daerah sekitarnya, seperti diamanatkan dalam otonomi daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Untuk itu Pemerintah Pusat sepatutnya dapat menanyakan kepada Pemprov DKI Jakarta tentang peran apa saja yang perlu dilakukan sebagai pemegang wilayah Ibukota Negara Jakarta, (Kompas, 3 Maret 2006). Sementara itu, DPRD Provinsi Banten dan DPRD
3. Kritik Berbagai Pihak Pakar Imu Administrasi Negara Fisip UI, Eko Prasojo (2006), menyampaikan kritik dan penilaian bahwa batas kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan Ibukota Negara nampaknya tidak jelas diatur dalam perundangundangan. Sebagai contoh salah satu akibat dari ketidakjelasan kewenangan tersebut, adalah dalam pengelolaan kawasan kemayoran seluas 420 ha, yang seharusnya ditangani pengelolaannya oleh Pemprov DKI Jakarta, namun yang terjadi masih ditangani oleh Sekretariat Negara (Setneg). Sebenarnya tidak ada alas an lagi bagi pusat untuk tetap mempertahankan pengelolaan kawasan kemayoran tersebut. Lain
4 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2006
menteri, (Sinar Harapan, 7 Februari 2006). Selanjutnya berdasarkan hasil survey Puskaptis (2006), ditemukan terdapat perbedaan yang cukup mencolok dalam mensikapi gagasan megapolitan Jabodetabekjur. Kalangan pejabat Pemerintah Daerah di Pemprov Jawa Barat dan Banten cenderung menolak konsep megapolitan, Sedangkan dari kalangan warga Jabodetabekjur, justru menghendaki konsep megapolitan segera diterapkan, hal ini dapat dipahami bahwa masyarakat sangat mengharapkan perbaikan kesejahteraan bagi kehidupan sosialnya, dimana selama ini mereka tinggal di kawasankawasan perbatasan maupun bekerja di Jakarta. Ini sangat menarik dan dapat diartikan, bahwa ternyata jajaran pejabat Pemprov Jabar dan Banten, resisten (menolak) terhadap kebijakan megapolitan yang akan merugikan status quo mereka yang selama ini sangat diuntungkan dengan limpahan rejeki bahkan menjamurnya korupsi di kawasan Bodetabekjur. Para pejabat kedua Pemprov tersebut, takut kehilangan kawasan-kawasan tambang emas sumber-sumber ekonomi di kawasan Bodetabekjur yang selama ini telah membuat mereka kaya raya atau tebal kantongkantongnya. Inilah yang seharusnya pemerintah pusat kritis, dan lebih memihak terhadap kepentingan kesejahteraan masyarakat luas di Jabodetabekjur.
Provinsi Jawa Barat, dapat membentuk Kelompok Kerja atau Tim Khusus Bersama untuk mensikapi gagasan Gubernur Sutiyoso tentang Megapolitan di Jabodetabekjur. Mereka nampaknya menyadari bahwa secara alamiah dan sosiologis, megapolitan cepat atau lambat akan terwujud. Seperti dikemukakan oleh Ketua Komisi A DPRD Provinsi Banten, bahwa DPRD Banten siap dan setuju duduk bersama guna membicarakan konsep megapolitan dalam kedudukan sebagai mitra kerja yang sejajar, egaliter dan saling menghormati serta sejauh tidak mengubah-ubah kedaulatan administrasi wilayah masingmasing Provinsi. DPRD Provinsi banten mengusulkan agar megapolitan memiliki payung hukum khusus tentang megapolitan untuk mengatur tata ruang di kawasan Jabodetabekjur dan terpisah dari UU Nomor 32 Tahun 2004. Kritik senada juga disampaikan Asisten I Pemprov banten, jika urusan megapolitan diserahkan kepada Gubernur DKI Jakarta, pemerintah pusat harus mengubah Sembilan undangundang tentang Pembentukan Pemerintah Daerah di Bodetabekjur. Ada juga yang menyarankan untuk mengatasi problem di Jabodetabekjur, agar peran Badan Kerja Sama Pemerintah (BKSP) Jabotabek supaya ditingkatkan statusnya dan sebaiknya dipimpin oleh pejabat yang kewenangannya setingkat
5 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2006
4. Respon dan Kebijakan Pemerintah Pusat. Konsep Megapolitan Jabodetabekjur hingga saat ini nampaknya masih menjadi wacana dan bahan kajian Pansus DPR RI yang sedang melakukan pembahasan Rancangan UndangUndang tentang DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, sebagai revisi UU Nomor 34 Tahun 1999. Direktur Eksekutif Center Of Indonesia Regional and Urban Studies (CIRUS), Andrinov Chaniago (Fisip UI), mengemukakan bahwa konsep megapolitan merupakan konsep yang bagus dan perlu diterapkan di Jabodetabekjur karena penduduknya telah mencapai lebih dari 23 juta jiwa dan permasalahan publik yang sangat kompleks. Untuk itu diperlukan adanya perencanaan pembangunan yang komprehensif di Jabodetabekjur. Sehubungan dengan itu pula, seharusnya yang mengambil kebijakan adalah pemerintah pusat melalui Depdagri (Departemen Dalam Negeri), karena menyangkut masalah kota yang sangat besar (megapolitan) dan merupakan masalah nasional yang menyangkut kepentingan beberapa kota.
Tabel : 1 Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah Jabodetabekjur No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Provinsi/Kab upaten/Kota
DKI Jakarta Kabupaten Bogor Kota Bogor Kota Depok Kabupaten Tangerang Kota Tangerang Kabupaten Bekasi Kota Bekasi Kabupaten Cianjur TOTAL
Jumlah Penduduk (juta jiwa) 8.603,776 3.798,212 816,860 1.324,452 3.186,690 1.466,884 1.797,900 1.814,316 2.058,134
23.249,11 4 Sumber : BPS, Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, 2005.
Luas Wilaya h (Km 2) 661,62 2.237,0 9 108,98 212,24 1.110,3 8 164,31 1.065,3 6 209,55 2.977,4 4 8.746,9 7
Respon Pemerintah Pusat atas konsep megapolitan muncul dari Menteri Dalam Negeri. Untuk mensikapi wacana megapolitan yang terus berkembang, Mendagri mefasilitasi untuk mempertemukan para Gubernur dan Walikota/Bupati se Jabodetabekjur di Kantor Mandagri, Jalan Merdeka Utara, Jakarta. Pertemuan diselenggarakan pada tanggal 21 Maret 2006 tersebut menyimpulkan bahwa ketiga Gubernur serta para Walikota dan Bupati telah satu persepsi yakni setuju dengan konsep Megapolitan Jabodetabekjur yang meliputi : Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur. Pada intinya, para pihak yang terkait dapat memahami dan menyetujui
6 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2006
pembangunan megapolitan Jabodetabekjur. Dan karena telah satu persepsi, langkah selanjutnya adalah menindaklanjuti dengan membentuk Tim Bersama, dengan melibatkan Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) masing-masing. Pada kesempatan tersebut, Gubernur Jawa Barat mengusulkan Tata Ruang Terpadu Megapolitan itu dikendalikan secara effektif oleh manajerial yang kompeten dari Pemerintah Pusat untuk dapat menyelesaikan kendala yang akan ditemui di lapangan pada saat mengembangkan Megapolitan Jabodetabekjur, antara lain persoalan keuangan untuk infrastruktur megapolitan. Sementara itu, Walikota Depok (Dr.Ir.Nur Mahmudi Ismail, M.Sc.), menyatakan bahwa konsep megapolitan akan lebih mempermudah koordinasi antar wilayah atau kota. Namun untuk mengimbangi pembangunan infrastruktur di Kota Depok, perlu ada tambahan DAU setidaknya lima kali lipat dari yang ada sekarang, (Rakyat Merdeka, 27 Februari 2006).
konsep tata ruang wilayah megapolitan Jabodetabekjur. Dan apabila kelak konsep megapolitan dapat terwujud, dimana policy maker dan politisi daerah dapat menerima, maka dukungan serta partisipasi masyarakat akan lebih melengkapi tekad tersebut. Dalam perpaduan dua kota atau lebih yang mendukung megapolitan, tentu pemerintah diharapkan berpartisipasi aktif untuk dapat menjadi perekat, bahkan mengambil inisiatif sepenuhnya, sehingga megapolitan Jabodetabekjur dapat menjadi kenyataan implementasi kebijakan publik. Harapan lebih lanjut tentu saja adalah harapan akan terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya serta tampilnya Ibukota Negara akan menjadi kebanggaan nasional. Konsep ataupun langkahlangkah ke depan tentu harus disusun secara komprehensif dan bersama, terpadu dan sinersis dengan koordinasi operasional yang baik, baik koordinasi dari tingkat policy hingga koordinasi teknis operasional di tingkat bawah atau lapangan. Apabila payung hukum secara politik telah diputuskan dan terbentuk maka sangat dibutuhkan langkah-langkah lanjutan yang bersifat teknis. Dalam kaitan ini maka Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) masing-masing daerah akan bertemu secara periodik (berkala) untuk merencanakan pembangunan
5. Konsep Lanjutan Teknis Untuk membahas konsep lanjutan yang bersifat teknis, dalam upaya mewujudkan konsep megapolitan, maka akan dilakukan pertemuan-pertemuan antar Kepala Daerah se Jabodetabekjur dengan melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan dari wilayahnya masing-masing. Tujuan utamanya adalah untuk mensinergikan
7 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2006
terpadu dan secara teknis operasional, guna menyongsong tantangan perkembangan pembangunan ke depan yang berkelanjutan.
wilayah Provinsi Banten. Sebagai gambaran, bahwa Rencana Induk (master plan) pembangunan Jabodetabek sudah dirintis sejak tahun 1954, pada saat periode Walikota Sudiro, dan penyusunannya mendapat bantuan teknik dari PBB. Dalam rencana induk tersebut antara lain dinyatakan bahwa Jakarta adalah suatu kota yang cepat meluap, melampaui batas-batas kota semula. Oleh karena itu, rencana induk Jakarta harus memperhitungkan pengaruh timbal-balik antar daerah, baik dalam wilayah kota Jakarta maupun dengan daerahdaerah sekitarnya. Dalam pendekatan tersebut, Rencana Induk Jakarta Raya (saat itu), sudah mempertimbangkan keterkaitannya dengan rencana pembangunan di Bogor, Tangerang dan Bekasi, yang kemudian dikenal sebagai “Rencana Pembangunan Regional Jabotabek”. Pada tahun 1976 dilakukan kerjasama Gubernur Provinsi DKI Jakarta dengan Gubernur Provinsi Jawa Barat dengan membentuk Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabotabek berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
6. Catatan Ali Sadikin Atas Kawasan Megapolitan Mantan Gubernur DKI Jakarta Tahun 1970an, Ali Sadikin, yang sangat dikenal dengan sebutan Bang Ali, terhadap konsep Megapolitan Jabodetabekjur juga memberikan tanggapan yang sangat menarik untuk kita cermati, sebagai berikut : a. Kawasan Megapolitan merupakan kawasan “perkotaan” Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Artinya bukan wilayah Bodetabek menjadi bagian dari Provinsi DKI Jakarta, tetapi rencana pembangunan di kawasan tersebut disusun secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan segala aspek dan factor dalam satu rangkaian yang bersifat komprehensif yang disebut Rencana Induk Magapolitan Jabodetabek, yang disusun sesuai dengan pola dan karakter masing-masing daerah. Dengan demikian, Kabupaten/Kota Bekasi, Kota Depok, Kabupaten/Kota Bogor, tetap merupakan wilayah Provinsi Jawa barat, serta Kabupaten/Kota Tangerang tetap merupakan
8 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2006
b. Pembangunan Megapolitan Jabodetabek dilaksanakan atas prinsip-prinsip perencanaan yang mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat termasuk didalamnya DPRD serta Pemerintah Pusat, baik eksekutif maupun legislatif. Bila dukungan tersebut tidak ada, betapa baik dan indahnya rencana yang disusun akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, diperlukan “peraturan perundangundangan” dan “lembaga” yang jelas dan diberi kekuasaan penuh, baik formal maupun politis dalam mengambil keputusan, serta mengakomodir semua kepentingan.
dilakukan revisi (perubahan) sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, serta permasalahan yang terjadi di Jakarta serta daerah-daerah sekitarnya. Berarti maksud dan tujuan dibentuknya UU tersebut, adalah untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi di Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya (Jabodetabek) dalam satu rencana pembangunan yang terarah dan terpadu dalam satu kawasan Magapolitan Jabodetabek. Sehubungan dengan itu, undang-undang tersebut tidak saja mengatur tentang kekhususan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, tetapi juga mengatur rencana induk pembangunan Megapolitan Jabodetabek, yng dapat dijadikan dasar hokum bagi Pemerintahan Daerah yang berada di kawasan Jabodetabek dan masyarakatnya. Undangundang tersebut bukan saja ditujukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi juga kepada Pemerintah Daerah Bogor, DEpok, Tangerang dan Bekasi. Oleh sebab itu judul undangundang perlu direvisi menjadi “Undang-Undang Megapolitan Jabodetabek”. Keterkaitan dengan pengaturan kekhususan Jakarta sebagai Ibukota
Atas dasar dua point pandangan tersebut diatas, pembangunan Megapolitan Jabodetabek tidak hanya tanggungjawab Gubenur DKI Jakarta saja, tetapi juga menjadi tanggungjawab Gubernur Provinsi Jawa Barat dan Gubernur Provinsi Banten. Untuk itu perlu dibentuk “lembaga khusus” untuk menangani Megapolitan Jabodetabek yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Berkenaan dengan hal itu, Undangundang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia perlu
9 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2006
Negara merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 18 b ayat (1) UUD 1945, bahwa : “Negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Menyangkut adanya 3 (tiga) kekhususan dalam urusan pemerintahan sebagai implikasi kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara yang tidak terdapat di daerah lainnya di Republik Indonesia, dapat dijelaskan sebagai berikut :
sebagai Ibukota Negara, harus diikuti dengan “dana” dan “sumber daya lainnya”, agar tugas dan tanggungjawab tersebut dapat dilaksanakan. Pengaturan rencana induk Megapolitan Jabodetabek sesuai dengan ketentuan Pasal 227 ayat (3) huruf c UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Dearah, bahwa keterpaduan rencana umum tata ruang Jakarta dengan rencana umum taat ruang daerah sekitarnya sangat diperlukan. Berbagai permasalahan yang terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya dari tahun ke tahun semakin kompleks, dan tidak akan mampu untuk diselesaikan oleh seorang Gubernur, karena terkait dengan berbagai sektor di luar jangkauan tugas dan tanggungjawabnya.
a. Pertama adalah urusan keamanan dan ketertiban Ibukota Negara dalam rangka menciptakan kelancaran penyelenggaraan Negara, pemerintahan, dan lembaga internasional. b. Kedua, pengendalian masalah sosial, budaya, politik, ekonomi, jasa, tata ruang dan lingkungan. c. Ketiga, penyelenggaraan otonomi daerah di Provinsi DKI Jakarta yang berada di lingkup provinsi bukan di kotamadya sebagaimana diatur dalam UU sebelumnya. Sehubungan dengan tugas dan tanggungjawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penyelenggaraan kekhususan Jakarta
7.
Penutup dan Rekomendasi Gagasan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tentang Megapolitan Jabodetabekjur, telah mendapat tanggapan yang luas dari berbagai kalangan masyarakat dan elite politik di Indonesia, baik di tingkat lokal (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur), maupun para elite politik lintas partai di DPR RI. Tanggapan publik yang muncul atas gagasan
10 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2006
megapolitan Jabodetabekjur sangat beragam, sebagian telah memberikan apresiasi yang positif atau mendukung konsep megapolitan, namun sebagian mempertanyakan konsep dan operasionalisasinya. Hal ini masih menunjukkan bahwa gagasan Gubernur Sutiyoso tentang megapolitan Jabodetabekjur telah banyak memberikan inspirasi berbagai pihak untuk lebih tahu, memahami dan mendalami pentingnya konsep megapolitan tersebut untuk kemudian dirumuskan dalam kebijakan publik yang komprehensif (rencana induk/master plan) serta kemudian dijabarkan dalam rencana-rencana operasionalisasi kebijakan (rencana bidang dan rencana teknis).
daerah dalam satu kesatuan tata ruang administrasi pemerintahan (wilayah administrasi Jabodetabekjur), melalaui perencanaan pembangunan kewilayahan, seperti penataan jaringan infrastruktur (sarana dan prasarana) secara terpadu. Fungsi-fungsi kewilayahan dapat dikoordinasikan dan dilakukan pembagian tugas secara tepat dan disiplin berdasarkan kewenangan masing-masing dan dengan tanggungjawab yang terkoordinasi dengan effektif. Masyarakat tentu akan mendukung apabila antar pemdapemda Jabodetabekjur bekerjasama dengan proaktif dan efektif. Sesungguhnya tidak hanya masyarakat yang akan memetik manfaat, namun pemdapemda akan mendapat keuntungan „pertumbuhan ekonomi regional‟ secara bersama-sama maupun masingmasing. Prinsipnya kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi pada gilirannya akan menaikan PAD (Pendapatan Asli Daerah), pertumbuhan PDRB (Product Domestic Regional Brutto).
Nampaknya, wacana megapolitan akan terus menjadi pembelajaran yang sangat berharga bahwa permasalahan yang kompleks di Jakarta dan kawasan sekitarnya sebagai kawasan penyangga (buffer) Ibukota Negara RI, haruslah segera diberikan solusi dan kunci pemecahannya. Konsep megapolitan dapat diyakini akan dapat diterapkan dengan memadukan (mensinergiskan) pendekatan manajemen public (public management) dan kebijakan publik (public policy). Konsep megapolitan, dengan pendekatan manajemen public akan mampu mensinergiskan hubungan antar pemerintahan
Rekomendasi yang dapat penulis sampaikan pada kesempatan ini dengan memperhatikan berbagai analisis diatas dan hasil-hasil kajian serta penelitian yang dilakukan oleh beberapa pihak, yang terutama adalah : (1) Perlunya menggalang kerjasama secara proaktif di
11 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2006
tiga provinsi wilayah Jabodetabekjur, yaitu Pemprov DKI Jakarta, Pemprov Jawa Barat dan Pemprov Banten. Inisiatif ini bisa datang dengan komunikasi antara pemprov dimaksud, dengan program aksinya. (2) Untuk memprakarsai tindak lanjut atas konsep megapolitan, sebagai leadernya sangat dinantikan inisiasi Departemen Dalam Negeri RI (Ditjen Bangda dan Ditjen Otda) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), tentu sangat diharapkan dapat mempertemukan ketiga pemprov, menyusun rencana induk Jabodetabekjur, beserta rencana operasional bersama dengan distribusi wewenang dan tanggungjawabnya. (3) Perpaduan implementasi Kebijakan Publik dengan Manajemen Publik atas Rencana Induk (master plan) Megapolitan, agar konsisten dilaksanakan oleh setiap pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota jabodetabekjur, dan Depdagri dan Bappenas melakukan pendampingan aktif serta pengawasan dan evaluasi setiap progress/perkembangan yang telah dicapai. (4) Dukungan dan kesiapan pembiayaan perlu diselesaikan bersama antar
pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat, terutama yang mendesak adalah infrastruktur (sarana dan prasarana) jalan. Masalah infrastruktur ini sangat serius untuk ditangani secara terpadu dan terkoordinasi dengan baik. (5) Dukungan dan kesiapan SDM (personil) di Jabodetabekjur, tentu SDM yang dinantikan adalah yang berkualitas, mempunyai keahlian dan kredibel dibidangnya. Antar pemprov dan pemda dapat melakukan kerjasama dengan pelatihan bersama dan tukar pengalaman dan ketrampilan. (6) Kunci penentu keberhasilan penerapan megapolitan sesungguhnya adalah kehadiran kepemimpinan (leaderships) yang proaktif, efektif dan konsisten dalam implementasi rencana induk megapolitan di seluruh kawasan Jabodetabekjur. Syarat inilah yang akan membawa kemajuan dan keberhasilan megapolitan, dan tentu saja kepemimpinan yang tidak korupsi dan menjadi teladan bagi rakyatnya.
12 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2006
Daftar Bacaan :
13. Harian Pos Kota, tanggal 7 Maret 2006. 14. Harian Sinar Harapan, tanggal 7 Februari 2006. 15. Harian Rakyat Merdeka, tanggal 6 Maret 2006.
1. Adisasmita, HR., Pembangunan Ekonomi Perkotaan. (Yogyakarta : Penerbit Graha Ilmu, 2005). 2. Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, Jakarta Dalam Angka, (BPS Jakarta, 2005). 3. Budiharjo, Eko dan Sujarto, D., Kota Berkelanjutan, (Bandung : Penerbit Alumni, 1999). 4. _____________________, Tata Ruang Perkotaan, Bandung : Penerbit Alumni, 2005). 5. Gallion, Arthur B. Dan Simon Eisner, Pengantar Perancangan Kota, Desain dan Perencanaan kota, (terjemahan), (Jakarta : Erlangga, 1996). 6. Priatmojo, Danang, Megapolitan : Tata Ruang Wilayah Vs Administrasi Wilayah, Bahan Diskusi panel “Telaah Konsep Megapolitan, Tinjauan Multi Disiplin Ilmu, DPD KNPI Jakarta, 2006. 7. Nugroho, I dan Rochimin Dahuri, Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan, Jakarta : LP3ES, 2004. 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 9. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Ibukota Negara DKI Jakarta. 10. Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta. 11. Harian Kompas, tanggal 3 Maret 2006. 12. Harian Media Indonesia, tanggal 7 Maret 2006.
Daftar Pustaka : Daerah Istimewa Yogyakarta, KPH. Soedarisman Poerwokoesoemo, Gadjah Mada University Press.1980. Sri Sultan, Hari-hari Bhuwono IX sebuah Majalah Tempo.
Hamengku presentasi
Tahta untuk Rakyat, PT. Gramedia Palmerah Selatan 22 Lantai IV, Jakarta Pusat. Rapat-rapat Komisi II DPR tahun 2009. Rapat DPRD-DIY tanggal 30 Juni 2008. Pisowanan Agung Rakyat DIY pada bulan April 2008. Undang-Undang Dasar 1945.
13 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2006