Kajian Teoretik Karakter Kebijakan Publik Budi Prasetyo* Abstrak Kajian karakter kebijakan adalah sebuah sisi kajian formulasi kebijakan yang partisipatif. Karakter kebijakan adalah penggambaran visi dan kepentingan yang diperjuangkan oleh aktor kebijakan dalam proses perumusan kebijakan. Apabila suatu kebijakan publik dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi, maka tentu bangun ideal dari kebijakan dimaksud adalah dicapainya perubahan kualitas partisipasi masyarakat menuju arah yang lebih baik. Sebaliknya, bila kebijakan publik tidak menempatkan posisi dan kepentingan masyarakat sebagai orientasi utama, bahkan kebijakan lebih mencerminkan visi elit politik dan pembuat kebijakan, maka kebijakan seperti itu disebut sebagai kebijakan yang bersifat “ortodoks”. Diantara kebijakan publik yang responsif dan ortodoks inilah daerah abu-abu yang menjadi tarik ulur antar aktor pemerintah dan masyarakat. Kebijakan ini secara konsepsional sering disebut sebagai kebijakan yang “paternalis”. Kata-Kata Kunci: karakter kebijakan, partisipasi, kepentingan
Pendahuluan Kajian model karakter kebijakan ini merupakan studi literatur dalam upaya memperkaya khazanah kajian formulasi kebijakan yang produk akhirnya berupa sebuah kebijakan publik. Secara ontologis studi ini memang berempati dengan model-model formulasi kebijakan yang memiliki karakter ke arah demokratisasi yang ditandai dengan partisipasi politik dari seluruh stakeholder kebijakan. Studi ini berupaya mengkaji konsepkonsep teoretik yang dipergunakan dalam membahas karakter kebijakan yang muncul dari kebijakan publik yang dibuat, terutama membahas konsep-konsep yang digunakan dalam penyusunan kebijakan yang berkarakter (memihak pada demokratisasi atau sejenisnya). Dalam penyusunan kebijakan yang berkarakter dilakukan proses menganalisis pembentukan, substansi dan dampak dari kebijakan-kebijakan tertentu dengan indikator keterlibatan seluruh stakeholder yang relevan. Karakter kebijakan adalah penggambaran visi dan kepentingan yang diperjuangkan oleh aktor kebijakan dalam proses perumusan kebijakan. Idealnya kebijakan publik dirumuskan dalam upaya menciptakan perubahan kehidupan masyarakat ke arah yang
*
lebih baik (Bryant and White, 982: 11). Apabila suatu kebijakan publik dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi, maka tentu bangun ideal dari kebijakan dimaksud adalah dicapainya perubahan kualitas partisipasi masyarakat menuju arah yang lebih baik. Kebijakan publik demikian dikategorikan sebagai kebijakan publik yang “responsif’ yang biasanya didukung oleh sistem birokrasi yang responsif pula. Kebijakan dengan karakter demikian menempatkan kepentingan masyarakat di atas segala-galanya. Sejalan dengan itu, upaya untuk mengidentifikasi proses penyusunan kebijakan publik yang dikategorikan sebagai penyusunan kebijakan yang berkarakter menjadi penting. Berikutnya perlu untuk mengidentifikasi peran aktor dalam proses penyusunan kebijakan yang berkarakter serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyusunan kebijakan yang berkarakter. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diulas dalam tulisan ini. Maksud dan tujuan dari studi ini adalah untuk memperoleh pemahaman dan memperkaya khazanah kajian teoretik dalam proses perumusan kebijakan publik dengan memberikan titik tekan secara ontologis kepada model perumusan kebijakan publik yang berkarakter.1 Dalam arti kebijakan yang mampu mendorong proses demokratisasi melalui peluang yang diberikan kepada seluruh stake-
Staf Pengajar Departemen Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
1
2
Jurnal Politik Indonesia, Vol 1 No.1, Juli-September 2012, 1-10
holder kebijakan untuk berpartisipasi dan saling kompromis melalui interaksi yang intensif diantara sesamanya. Responsif, Paternalis atau Ortodoks. Apabila suatu kebijakan publik dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi, maka tentu bangun ideal dari kebijakan dimaksud adalah dicapainya perubahan kualitas partisipasi masyarakat menuju arah yang lebih baik. Kebijakan publik demikian dikategorikan sebagai kebijakan publik yang “responsif’, yang biasanya didukung oleh sistem birokrasi yang responsif pula. Kebijakan dengan karakter demikian menempatkan kepentingan masyarakat di atas segala-galanya. Sebaliknya, bila kebijakan publik (yang dirancang untuk meningkatkan partisipasi masyarakat) tidak menempatkan posisi dan kepentingan masyarakat sebagai orientasi utama, bahkan kebijakan lebih mencerminkan visi elit politik dan pembuat kebijakan, maka kebijakan seperti itu disebut sebagai kebijakan yang bersifat “ortodoks”. Diantara kebijakan publik yang responsif dan ortodoks inilah daerah abu-abu yang menjadi tarik ulur antar aktor pemerintah dan masyarakat. Kebijakan ini secara konsepsional sering disebut sebagai kebijakan yang “paternalis”. Untuk mengetahui apakah suatu kebijakan publik dikategorikan sebagai kebijakan yang berkarakter responsif, paternalis atau ortodoks, dapat dilihat dari: (1) dasar dan orientasi kebijakan; (2) penataan kelembagaan; dan (3) dampak kebijakan. 1) Dasar dan Orientasi Kebijakan. Kebijakan publik disebut responsif apabila kebijakan tersebut bersandar pada perkembangan paradigma pembangunan masyarakat yang bersandar pada sejumlah indikator berikut: a) berorientasi kepada perbaikan kehidupan manusia, yang ditandai oleh terciptanya peningkatan produktifitas dan perbaikan taraf hidup masyarakat; b) berorientasi kepada pengembangan manusia, bukan kepada produksi semata (people-centered), sehingga ada peningkatan kapabilitas masyarakat miskin untuk menolong dirinya sendiri; c) mendorong terjadinya mobilisasi sumber menuju terciptanya pemerataan; d) menumbuhkan partisipasi masyarakat; dan e) terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat untuk hidup layak.
Pada kebijakan ortodoks, yang terjadi adalah sebaliknya. Kebijakan tidak berorientasi kepada perbaikan kehidupan manusia, tidak juga berorientasi kepada peningkatan kapabilitas masyarakat untuk dapat menolong dirinya sendiri. Acapkali mobilisasi sumber bukan merupakan hal yang perlu dilakukan dalam rangka menciptakan pemerataan, dan karenanya partisipasi masyarakat dalam arti yang sesungguhnya juga tidak mendapatkan tempat yang layak. Pada kebijakan demikian, terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara layak tentu sulit terwujud. Sementara itu, kebijakan yang paternalis, biasanya berorientasi kepada kepentingan masyarakat dalam wujud yang semu (pseudo), seolah-olah dasar dan orientasi kebijakan publik ditujukan untuk membela dan memberdayakan masyarakat, namun faktanya hanyalah merupakan kebijakan segelintir elit untuk mempertahankan kekuasaannya. 2. Penataan Kelembagaan Model penataan kelembagaan dalam sebuah kebijakan publik merupakan aspek strategis yang dapat menentukan karakter kebijakan. Penataan kelembagaan seringkali merupakan jembatan yang menghubungkan antara formulasi kebijakan dengan implementasi kebijakan. Oleh karena itu penataan kelembagaan merupakan titik strategis untuk menentukan suatu kebijakan berkarakter responsif atau tidak. Penataan kelembagaan merupakan perangkat yang amat penting dalam implementasi suatu kebijakan, terlebih kebijakan untuk melakukan perubahan secara terencana, karena penataan kelembagaan merupakan aspek strategis yang dapat menentukan suatu kebijakan dapat berhasil mencapai tujuan atau tidak. Derajat pencapaian tujuan suatu kebijakan salah satunya ditentukan oleh corak dan kualitas penataan kelembagaannya. Kebijakan publik yang berkarakter responsif memiliki penataan kelembagaan yang memberi keleluasaan bagi tumbuhnya proses pemberdayaan sehingga terbangun kapabilitas dan otoritas di kalangan masyarakat miskin untuk membangun dirinya sendiri, baik pada tingkat penyusunan rencana maupun implementasi program, semua ini dapat mendorong terciptanya masyarakat yang mandiri dan tidak tergantung kepada proyek dan bantuan pihak di luar diri mereka. Sementara pada kebijakan publik yang berkarakter ortodoks, penataan kelembagaannya bersifat sentralistis,
Sebagai penelitian pustaka, kajian ini merupakan rangkaian dari riset yang pernah dilakukan oleh peneliti dalam membuat model kajian pemberdayaan masyarakat. Dalam perkembangannya, hasil kajian ini disempurnakan sebagai bagian dari materi perkuliahan di departemen politik FISIP Unair dalam mata kuliah Proses Politik dan Teknik Penyusunan Undang-Undang. 1
Budi Prasetyo : Kajian Teoretik Karakter Kebijakan Publik
dimana kekuatan kepentingan penguasa dengan segala otoritasnya secara serta-merta mengendalikan berjalannya publik. Sifat sentralistisnya penataan kelembagaan ini mewarnai secara dominan setiap program publik baik pada tataran penyusunan program maupun implementasinya. Sedangkan dalam kebijakan publik yang paternalis, penataan kelembagaan seringkali hanya formalisme belaka. Secara institusional kelembagaan yang ada sudah mencerminkan model yang partisipatif namun aktiualisasinya sangat tersentralisasi. 3. Dampak Kebijakan Kebijakan publik yang responsif berdampak pada terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berlanjut. Kebijakan tidak sekedar charity strategy, yang hanya menyelesaikan masalah secara sesaat, melainkan berusaha menyelesaikan permasalahan sampai ke akamya. Dampak dari suatu kebijakan publik masyarakat yang responsif dapat: (1) meningkatkan taraf hidup masyarakat; (2) mendorong terciptanya partisipasi masyarakat; dan (3) menciptakan dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri. Kebijakan publik yang berkarakter ortodoks biasanya tidak memberikan perhatian yang cukup besar kepada dampak kebijakan. Justru yang biasanya diperhitungkan adalah bagaimana dampak implementasi kebijakan publik pada citra penguasa di mata masyarakat, karena melalui bendera publik penguasa ingin meraup keuntungan berupa terbangunnya image positif dalam memperkokoh kekuasaannya. Dalam kebijakan paternalis, dampak kebijakan biasanya hanya berupa euphoria yang menekankan pada formalitas dan seremonial dibanding dengan aktualisasi di lapangan. Mengukur Responsibilitas Kebijakan dengan Dukungan Kebijakan Pemerintahan yang demokratis di satu sisi senantiasa meminta partisipasi warga masyarakat. Hal ini berkaitan dengan besarnya pertanggung jawaban kebijakan pemerintah terhadap prinsip partisipasi (policy responsiveness). Dalam sisi yang lain, kendala pokok yang seringkali dihadapi dalam prinsip partisipasi ini adalah seberapa besar kemampuan dari struktur keputusan tertentu untuk memproses dan menindak lanjuti berbagai tuntutan yang ada. Hal ini berkaitan dengan tinggi rendahnya dukungan kebijakan yang diberikan
3
pemerintah (policy advocacy). Pada tahapan tertentu, rendahnya kapasitas proses seperti yang diungkap di atas pada hakekatnya dapat diartikan bahwa beberapa tuntutan masyarakat (citizen) tidak akan memperoleh respon dan tanggapan yang memadai dari pihak pemerintah. Kondisi yang terjadi di negara-negara sedang berkembang yaitu bahwa para perumus kebijakan secara frekuentif belum menguasai berbagai liku-liku yang seringkali terjadi di sekitar permasalahan kebijakan yang dilakukannya itu. Dari berbagai kemungkinan tarik ulur antara komitmen pemerintah dalam melaksanakan kebijakan partisipatif dan komitmen dukungan struktur birokrasi dalam proses dan implementasi kebijakan yang dirumuskan secara partisipatif tersebut. Harmon (1969) membuat model gaya atau karakter kebijakan yang mempertemukan antara tingkat responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) dengan tingkat dukungan kebijakan (policy advocacy) dalam proses formulasi kebijakannya. Responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) adalah penggambaran (deskripsi) perilaku perumus kebijakan yang bertanggung jawab terhadap nilai-nilai demokrasi dalam proses perumusan kebijakan baik dengan melalui musyawarah, voting maupun cara lain dengan mana tuntutan/kehendak/kepentingan publik dapat diterjemahkan secara sah dalam suatu kebijakan yang dibuat secara partisipatif tersebut. Dukungan kebijakan (policy advocacy) adalah mendiskripsikan perilaku perumus kebijakan dalam memberikan dukungan yang aktif dan serius (kesediaan) dari para administrator publik (aktor pemerintah) dalam mengadopsi (menerima dan melaksanakan) suatu kebijakan yang dibuat bersama masyarakat tersebut. Dalam sisi masyarakat, dukungan kebijakan (policy advocacy) dapat dimaknai sebagai kesediaan aktor masyarakat dalam bekerjasama dengan pemerintah dalam menerima dan melaksanakan kebijakan. Dari dua indikator formulasi kebijakan tersebut, Harmon (1969) mendefinisikan modelmodel karakter atau gaya kebijakan yang terbentuk akibat dari perpaduan pola proses perumusan (formulasinya). Pertama, gaya survival terbentuk jika dalam proses formulasi kebijakan tersebut disusun dengan responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) rendah (low) dan dukungan kebijakan (policy advocacy) yang rendah (low). Karakter kebijakan ini terbentuk akibat dari administrator (aktor pemerintah) membatasi akses para politisi, masyarakat dan pengusaha (aktor
4
Jurnal Politik Indonesia, Vol 1 No.1, Juli-September 2012, 1-10
masyarakat) dalam proses perumusan kebijakan. Kedua, karakter kebijakan rationalist, terbentuk jika responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) tinggi (high) dan dukungan kebijakan (policy advocacy) yang rendah (low). Dalam hal ini, proses perumusan kebijakan dilakukan dengan proses para administrator (elit pemerintah) menempatkan dirinya sebagai agen dari politisi dan masyarakat yang memandang tuntutan publik adalah sah bila disampaikan oleh wakil-wakil rakyat yang telah dipilih secara konstitusional. Sejauh mungkin elit pemerintah membatasi diri dari keterlibatan secara langsung dalam proses perumusan kebijakan tersebut agar tidak divonis sebagai intervensi dan sebagainya. Dalam gaya ini, administrator pemerintah berupaya menjauhkan diri dan pertanggung jawabannya dari proses perumusan kebijakan, masyarakat, politisi diberikan kesempatan dan harus bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses. Ketiga, karakter kebijakan reactive, terbentuk jika responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) berada pada posisi tengah (middle) dan dukungan kebijakan (policy advocacy) juga tepat berada pada posisi tengah (middle). Dalam hal ini, proses perumusan kebijakan dilakukan dengan proses para administrator (elit pemerintah) menempatkan dirinya terlibat langsung dalam proses perumusan kebijakan karena menganggap antara perumusan dan implementasi tidak dapat dipisahkan. Perilaku responsif dan advokasi para elit pemerintah berbeda-beda tergantung dari konteks dalam hal apa masalah-masalah kebijakan tersebut dirumuskan dan dicarikan solusinya. Keempat, karakter kebijakan prescriptive, terbentuk jika responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) rendah (low) dan dukungan kebijakan (policy advocacy) yang tinggi (high). Dalam hal ini, proses perumusan kebijakan dilakukan dengan proses para administrator (elit pemerintah) menempatkan dirinya sebagai agen dari politisi dan masyarakat yang memandang dirinya paling memahami dan paling bertanggung jawab terhadap proses perumusan kebijakan. Sehingga dalam perumusan kebijakan aktor pemerintah mendominasi proses tersebut dan menekan partisipasi aktor massa dalam proses perumusan kebijakan. Kelima, karakter kebijakan proactive, terbentuk jika responsibilitas kebijakan (policy responsiveness) tinggi (high) dan dukungan kebijakan (policy advocacy) yang tinggi (high) pula. Dalam hal ini, proses perumusan kebijakan dilakukan dengan proses para administrator (elit
pemerintah) menempatkan dirinya sebagai pembaharu model perumusan kebijakan yang mengajak aktor kebijakan lainnya (masyarakat, politisi dan pengusaha) untuk aktif berperan serta dan mengambil bagian dalam proses perumusan kebijakan bersama yang partisipatif. Di samping itu, para aktor pemerintah (administrator) berupaya keras secara aktif menanamkan nilai bersama aktor masyarakat lain untuk bertanggung jawab atas keseluruhan proses dan dampak formulasi kebijakan yang telah dirumuskan secara bersama tersebut. Dalam hal inilah kebijakan merupakan hasil resultant yang seimbang dan setara antara berbagai aktor pembuat kebijakan yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Long and Long (1992: 16-46). Secara skematik Model Gaya Formulasi Kebijakan yang dikemukakan oleh Harmon, (1969) dapat digambarkan sebagai berikut: Bagan 1. Policy Formulation Grid HIGH1 P O L I C Y R E S P O N S I V E N E S S LOW1
1.9. Style : RATIONALIST
9.9. Style : PROACTIVE
5.5. Style : REACTIVE
1.1. Style : SURVIVAL LOW
9.1.Style : PRESCRIPTIVE
POLICY ADVOCACY
HIGH
Sumber: Harmon (1969: 23)
Orientasi Aktor dalam Perumusan Kebijakan Posisi teoretik orientasi aktor dalam perspektif Budaya Politik (Almond dan Verba, 1985) dan Teori Kultural (Scott, 1989: 34-41) yang menekankan aspek eksistensi budaya masyarakat dalam berpartisipasi pada perumusan kebijakan. Kritik dari pendekatan budaya ini dikaji dengan menggunakan perspektif Rational Choice (Popkin, 1979) dan Kepentingan Publik (Harmon, 1969) yang lebih menekankan rasionalitas ekonomis aktor dalam perumusan kebijakan serta perspektif interaksi yang intensif, interface dalam jangka lama yang menunjukkan fenomena bahwa pola-pola organisasi sosial dan mekanisme kerja serta hasilhasilnya merupakan dampak dari interaksi,
Budi Prasetyo : Kajian Teoretik Karakter Kebijakan Publik
negosiasi dan perjuangan masing-masing aktor yang terlibat di dalamnya (Long and Long, 1992). Kesemuanya dalam konteks penekanan pentingnya peran masyarakat terlibat dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan meletakkan peran individu warga negara sebagai pihak yang dalam posisi yang tidak sub-ordinate dengan peran pemerintah dan stakeholder lainnya. Proses pertemuan orientasi aktor dalam mekanisme akomodasi dijelaskan melalui konsep arena kebijakan (Danziger, 1995) sebagai wilayah “debate” dalam konteks memperjuangkan berbagai kepentingan yang ada dalam proses perumusan kebijakan. Perspektif Intensitas Interaksi Model orientasi aktor ini menjelaskan model transaksi dan pengambilan kebijakan secara interaksi simbolik dan analisis fenomenologis. Dalam pengertian lain model aktor ini menjelaskan bagaimana respon yang berbeda dari masingmasing aktor dapat muncul dari struktur yang sama dalam situasi masyarakat yang relatif homogen (Long and Long, 1992: 23). Asumsinya, respon yang berbeda tersebut merupakan kreasi dan pemahaman individual dari aktor yang bersangkutan. Aktualisasi sosial dari aktor memiliki pola yang berbeda-beda meskipun dalam strata sosial yang sama (persamaan kelas atau stratifikasi sosial lainnya). Atau meskipun menerima intervensi yang sama tetapi respon yang dilakukan masingmasing aktor akan berbeda termasuk di dalamnya dalam menerima dan menyikapi kebijakan yang merupakan stimulus dari luar. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh local indigeneous yang dimiliki masing-masing aktor. Dalam penelitian ini pendekatan orientasi aktor digunakan dalam kajian analisis kebijakan dengan maksud untuk menemukan model umum dari fenomena yang diteliti sehingga dapat ditarik garis umum (abstraksi) untuk menjadi model bagi analisis kebijakan dalam tempat dan waktu yang berbeda. Analisis formulasi kebijakan dengan menggunakan pendekatan orientasi aktor ini memiliki asumsi-asumsi dasar sebagai berikut: Pertama, logika yang mendasarinya adalah setiap individu memperoleh kemampuan dan kesempatan berperan dalam proses kemasyarakatan dan kehidupan. Dalam konteks kebijakan, ini bermakna sebagai kebijakan yang partisipatif. Kedua, dalam model ini, kebijakan berarti untuk semua (semua kelompok sasaran seperti wanita, anak-anak, penduduk miskin dan lainnya). Dalam konteks ini kebijakan bermakna pemerataan. Ketiga, kebijakan didasarkan pada
5
logika keseimbangan ekologi lingkungan, yang berarti tidak hanya mementingkan generasi sekarang, tetapi juga generasi mendatang. Dalam konteks ini berarti bermakna kebijakan yang berkelanjutan. Pendekatan ini memberikan makna bahwa persoalan bersama termasuk di dalamnya adalah persoalan perumusan kebijakan harus merupakan proses orientasi masing-masing aktor, karena tidak bisa aktor tertentu seperti negara sebagai misalnya dengan begitu saja mengatas namakan masyarakat sebagai fihak yang pasti memahami dan menerima kebijakan yang dilaksanakan. Dalam model orientasi aktor ini pola-pola organisasi sosial dan mekanisme kerja serta hasilhasilnya merupakan dampak dari interaksi, negosiasi dan perjuangan masing-masing aktor yang terlibat di dalamnya. Orientasi ini tidak hanya sekedar interaksi atau pertemuan tatap muka secara langsung melainkan juga harus didukung oleh situasi atau suasana afeksi yang mampu mendorong aktualisasi dari masing-masing aktor yang terlibat (Long and Ploeg dalam Booth, 1994: 65) . Model Orientasi Aktor ini menjelaskan bagaimana inovasi perilaku individu dalam proses pengambilan keputusan atau bagaimana individu memobilisasi sumberdaya yang dimiliki untuk membangun jaringan sosial yang mendukung aktualisasinya. Dalam beberapa penjelasan, model aktor ini khususnya dalam ilmu politik dan ekonomi sering disamakan dengan model Rational Choice (Popkin, 1979) yang sama-sama mendasarkan pada individu sebagai unit analisis dalam konteks interaksi sosialnya. Dalam hal Orientasi Aktor, sesungguhnya individu anggota masyarakat masing-masing dapat berperan sebagai “problem solver” yang rasional yang berusaha memaksimalkan keuntungan. Hal ini terlihat dari perilaku individu anggota masyarakat dalam menentukan logika tindakan kolektif, proses pengambilan keputusan, prospek kembalinya investasi dan kualitas organisasi dimana mereka bergabung dan memberikan kontribusinya. Perbedaannya antara rational choice dan model orientasi aktor terletak pada model orientasi aktor yang menganalisis kecenderungan perlakuan kehidupan sosial khususnya bagaimana cara menyikapi dan harapan terhadap perubahan sosial sebagai aspek penting yang mempengaruhi sikap dan perilaku aktor individual. Sedangkan perspektif rational choice menggunakan model universal yang menganggap pilihan rasional individu sebagai dasar yang mempengaruhi dan melandasi perilaku
6
Jurnal Politik Indonesia, Vol 1 No.1, Juli-September 2012, 1-10
manusia. (Gudeman, 1986: 31). Long and Ploeg (dalam Booth (ed), 1994: 6265), menyatakan bahwa pendekatan orientasi aktor merupakan pendekatan metodologis dalam memahami proses sosial. Penekanan kajiannya lebih mengarah kepada analisis program bukan sebagai intervensi program atau sebuah bentuk managemen baru dalam pelaksanaan program. Konsep agensi dan aktor sosial, merupakan penggambaran dari realitas sosial yang kompleks dan arena perjuangan di mana berbagai kepentingan dan latar belakang sosial bertemu dan berinteraksi. Kebutuhan akan interaksi yang intim (interface) dalam jangka waktu yang lama untuk menjaga kesinambungan hubungan orientasi aktor dalam menemukan pola interaksi yang merupakan akomodasi dari berbagai orientasi aktor yang terlibat. Konsep lain yang berhubungan dengan orientasi aktor adalah kepentingan, pola sikap, strategi, kekuasaan termasuk di dalamnya adalah negosiasi dan akomodasi. Perspektif Kepentingan Publik Kepentingan publik sebagai perubahan yang berkelanjutan sebagai akibat dari aktivitas politik di antara individu dan kelompok di dalam sistem politik yang demokratis Harmon, (1969: 19-23). Dalam definisi ini kepentingan publik dianggap sebagai konsekuensi yang muncul dalam proses formulasi kebijakan yang ditentukan oleh orientasi dan kepentingan aktor yang terlibat di dalamnya, baik aktor pemerintah (administrator) maupun aktor masyarakat yang terdiferensiasi berdasar kelompok-kelompok politik, kelompok kepentingan dan berbagai kelompok penekan yang ada di dalam komunitas masyarakat. Bagaimana kepentingan publik dikonsepsikan dalam ranah konfrontatif motivasi dan peran di antara satu aktor dengan lainnya diuraikan dalam konsepsi arena kebijakan (Danziger, 1995). Berkaitan dengan sifat dan karakteristik kepentingan publik dalam tahap perumusan masalah kebijakan, penting untuk memahami peranan dan motivasi masing-masing aktor yang ada dalam perumusan kebijakan. Setiap aktor yang terlibat tentu saja berupaya untuk mengejar orientasi mereka, baik yang bersifat individual maupun kelembagaan. Dalam kondisi seperti inilah seringkali konflik kepentingan dalam proses perumusan kebijakan semakin berkembang menjadi sesuatu yang dapat saja diinterpretasikan sebagai sebuah “arena” dalam proses tersebut. Di dalam proses ini terjadi apa yang diungkap oleh Danziger (1995) sebagai wilayah “debate” dalam konteks memperjuangkan berbagai
kepentingan yang ada dan mungkin muncul dalam proses tersebut. Analisis tentang konfrontasi di antara para aktor di dalam arena kebijakan disusun, baik dalam kerangka interpretatif secara umum maupun dalam proses identifikasi masalah-masalah publik. Pendekatan seperti ini memungkinkan untuk memahami peranan para penerima persepsi, ruang mobilisasi dan karakteristik dasar kebijakan itu sendiri yang selalu dinamis di dalam proses perumusan masalah kebijakan yang dilakukan oleh para aktor yang terlibat. Perumusan kebijakan juga sangat berkaitan dengan apa yang diungkap oleh para pakar sebagai kekuasaan yang sistematik (a systemic power). Stone (1995) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan Teori Stratifikasi (Stratification Theory), perumusan kebijakan menempatkan para pejabat publik dalam konteks yang secara strategis mempunyai sumber daya yang amat penting yaitu susunan hirarkhi (hierarchically arrange). Oleh karena itu para pejabat publik keberadaannya amat bergantung pada kepentingan strata kekuasaan yang lebih tinggi. Perilaku pejabat publik seperti itu merupakan asumsi dasar pendekatan kekuasaan sistemik di mana para pejabat publik berusaha mengejar kepentingan mereka untuk menghasilkan suatu relasi di mana tingkatan jabatan tertinggi akan lebih diuntungkan daripada kepentingan strata yang paling rendah. Greenwald (1977) menjelaskan bahwa kelompok kepentingan adalah suatu kumpulan dari beberapa individu yang berupaya untuk mengejar kepentingan mereka melalui seperangkat apa yang telah menjadi kesepakatan mereka. Meskipun demikian, kepentingan tersebut kenyataannya terjadi dalam bentuknya yang saling berkompetisi serta tak nampak sebagai sesuatu yang memiliki peluang kompetisi. Dalam kaitannya dengan mekanisme bertemunya orientasi aktor sebagai gambaran dari negosiasi kepentingan tersebut, maka perlu dijelaskan definisi dan ruang lingkup serta bekerjanya proses negosiasi tersebut. Salah satu teori yang dapat menjelaskan hal tersebut dijelaskan oleh Walton and McKersie (1965) dalam Joel (1989) yang mengungkap bahwa teori negosiasi sosial dapat dibedakan pada empat sub proses, yang dijelaskan pada segi fungsinya masingmasing untuk melakukan orientasi aktor, logika internalnya, serta taktik dan tindakan instrumentalnya masing-masing. Pertama adalah tawar menawar distributif (distributive bargaining); pola ini berfungsi untuk menyelesaikan konflik kepentingan yang masih
Budi Prasetyo : Kajian Teoretik Karakter Kebijakan Publik
murni (pure conflicts of interest), untuk mengalokasi sejumlah sumber yang sudah tetap atau berbagai sumber daya lainnya. Taktik yang digunakan adalah seringkali berpusat pada pengembangan kekuasaan yang bersifat relatif serta menyakini adanya kekuasaan relatif lain dari mereka sendiri. Kedua adalah tawar menawar integratif (integrative bargaining), yang berfungsi untuk menemukan jalan bagi adanya persesuaian kepentingan bersama dan saling komplementer serta menyelesaikan permasalahan menyelesaikan permasalahan dengan konfrontasi pada kedua partner tersebut. Taktiknya berpusat pada pertukaran informasi secara akurat serta melakukan eksplorasi daripada kepentingan tertentu yang lebih tinggi. Ketiga adalah penjenjangan sikap (attitudinal structuring), yang berfungsi untuk mempengaruhi dari sikap daripada para peserta yang ada terhadap masing-masing yang lain dan mempengaruhi ikatan dasar yang menghubungkan dua parner yang mereka wakili. Taktik yang digunakan meliputi upaya untuk membangun kepercayaan. Keempat adalah tawar menawar antar organisasi (intra-organizational bargaining) yang mempunyai fungsi untuk mencapai konsensus dalam masing-masing kelompok yang berinteraksi tersebut. Proses keputusan internal mereka serta komunikasi antar kelompok yang dilakukannya dapat mempengaruhi sejumlah konsensus internal. Hasil penelitian Joel (1989) menunjukkan bahwa keempat sub proses tersebut merupakan suatu kerangka analisis dan ide yang berinteraksi dalam kondisi yang kompleks. Oleh karena itu, penerapan kerangka dan pola negosiasi kepentingan yang ditunjukkan dengan adanya pola perubahan tertentu, dalam prakteknya masih perlu adanya elaborasi teori yang diperlukan untuk menjelaskan fenomena itu. Dari berbagai proses terdefinisinya kepentingan publik, sebagaimana diuraikan dalam proses negosiasi sosial tersebut, Harmon (1979) mendefinisikan model-model kepentingan publik berdasar beberapa indikator yang menentukan proses terbentuknya kepentingan publik tersebut. Pertama, apakah kepentingan publik bersifat individualistic atau bersifat unitaristic? Kepentingan publik yang bersifat individualistic menggambarkan kepentingan publik sebagai cerminan atau didominasi oleh kepentingan individu yang berkuasa (dominant). Dalam model ini, kepentingan publik tergambarkan sebagai perwujudan dari otoriterisme aktor (individu) yang mementingkan kepentingannya di atas
7
kepentingan kelompok sosial yang lebih luas. Dalam keseluruhan model ini kebijakan dibuat bukan sebagai sebuah proses tawar menawar yang melibatkan kepentingan keseluruhan aktor, tetapi kebijakan dirumuskan dengan menonjolkan kepentingan individu yang mendominasi (khususnya penguasa) dan kurang memperhatikan peran masyarakat yang biasanya memiliki daya tawar yang rendah dibandingkan dengan penguasa (administrator). Kepentingan publik yang unitaristic adalah jika kepentingan publik merupakan bentuk pluralisme kepentingan masyarakat dalam sebuah entitas. Sehingga kepentingan publik baik proses maupun substansinya merupakan cerminan dari aspirasi dan orientasi aktor secara pluralis yang mewakili heterogenitas komunitas/publik. Dalam hal ini antara aktor pemerintah dengan masyarakat terdapat saling memahami dan saling memperhitungkan kepentingan masing-masing dalam berupaya menemukan titik temu dalam mewujudkan kepentingan bersama yang bermodel unitaristic tersebut. Kedua, apakah kepentingan publik bersifat descriptive atau bersifat prescriptive? Kepentingan publik yang descriptive dimaknai sebagai hasil dari proses dan aktivitas politik yang berlangsung. Dalam model ini kepentingan publik dan pemecahan permasalahan publik termasuk keputusan/kebijakan yang dihasilkan tergantung dari mekanisme bargaining antar individu/ kelompok dalam proses politik yang berlangsung. Artinya siapa yang paling mewarnai kebijakan adalah mereka (individu atau kelompok) yang mendominasi kepentingan publik. Individu atau kelompok yang medominasi kepentingan publik adalah individu atau kelompok yang secara bargaining memiliki keunggulan di banding individu atau kelompok lainnya. Sehingga orientasi kepentingan publik tidak selalu menggambarkan kepentingan komunitas (kepentingan umum) melainkan sangat tergantung dari kepentingan aktor individu atau kelompok yang berkuasa. Khususnya bagi elit pemerintah (administrator) dalam model ini dimaknai sebagai administrator yang bersifat kaku (rigid) dan kurang memperhatikan aspirasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan bersama. Kepentingan publik yang prescriptive merupakan hasil dari perwujudan kebutuhan dan orientasi mayoritas hampir keseluruhan aktor politik baik pemerintah maupun masyarakat untuk menemukan alternatif pemecahan permasalahan yang lebih baik dalam arti lebih berorientasi kepada
8
Jurnal Politik Indonesia, Vol 1 No.1, Juli-September 2012, 1-10
kepentingan masyarakat yang lebih luas. Orientasi kebijakan yang dihasilkan mengarah kepada pemecahan masalah publik yang lebih baik yang merupakan perwujudan dari kepentingan bersama aktor pemerintah maupun masyarakat umum. Ketiga, apakah kepentingan publik bersifat substansive atau procedural? Kepentingan publik yang bersifat substantif merupakan penggambaran kepentingan publik yang tidak mempermasalahkan apakah dibentuk atau dirumuskan secara demokratis atau tidak. Proses tidaklah terlalu penting, yang utama adalah bagaimana substansi dari kepentingan publik tersebut apakah berorientasi kepada kepentingan individu atau kelompok tertentu ataukah berorientasi kepada kepentingan kelompok yang lebih besar (masyarakat). Dalam model substantif ini memiliki kecenderungan kepentingan publik diterjemahkan secara otoritatif sebagai kepentingan penguasa (aktor yang dominan). Sehingga sifat kebijakan akan sangat tergantung dari good will aktor penguasa tersebut, apakah memiliki orientasi kepada kepentingan umum dalam arti kepentingan masyarakat secara lebih luas ataukah hanya mementingkan kelompoknya atau bahkan kepentingan individunya semata. Melihat prosesnya yang diabaikan tersebut, model aktor ini cenderung memperjuangkan kepentingan individu dan kelompoknya secara sempit untuk dimaknai sebagai kepentingan publik yang harus diterima secara luas oleh berbagai individu dan kelompok lainnya. Model procedural, melihat kepentingan publik dari proses pembentukannya apakah melibatkan mayoritas aktor dalam komunitas ataukah hanya dilakukan oleh sekelompok kecil individu (penguasa) saja. Asumsinya, dalam proses pembentukan kepentingan publik tersebut semakin melibatkan banyak orang/pihak maka kepentingan publik akan semakin menggambarkan aspirasi dan orientasi mayoritas masyarakat sebagai aktor sehingga akan semakin bermakna demokratis. Sebaliknya, semakin kepentingan publik dibentuk dan diterjemahkan oleh hanya sekelompok kecil orang (aktor) maka kepentingan publik akan semakin bermakna sempit, hanya memperjuangkan kepentingan kelompok atau individu (aktor) yang mendominasi tersebut. Keempat, apakah kepentingan publik bersifat static ataukah dinamic. Kepentingan publik yang bersifat static adalah jika kepentingan publik dianggap sebagai statis, kaku tidak responsif terhadap perubahan atau tuntutan lingkungan
termasuk lingkungan internal dari masyarakatnya. Dalam hal ini kepentingan publik dianggap hanya milik otoritas penguasa kebijakan (administrator) semata, tuntutan atau aspirasi masyarakat kurang bermakna dan kurang berpengaruh terhadap perubahan-perubahan yang mungkin terjadi bagi perbaikan aspirasi massa. Sebaliknya jika kepentingan publik bersifat dinamic, maka kepentingan publik merupakan resultant dari berbagai kepentingan individu atau kelompok yang ada dalam komunitas tersebut dan secara proses maupun substansi selalu menyesuaikan dengan tuntutan dan aspirasi berbagai individu atau kelompok yang ada dalam komunitas politik tersebut. Kesimpulan Kebijakan public yang berkarakter adalah kebijakan publik dirumuskan dalam upaya menciptakan perubahan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Kebijakan dengan karakter demikian menempatkan kepentingan masyarakat di atas segala-galanya. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah bagaimana interaksi kepentingan dan orientasi masing-masing aktor dapat berinteraksi secara lebih intensif di samping berbagai latar ideologis dan pragmatismenya serta kebijakan rezim yang mendorongnya. Esensi penting daripada pemerintahan demokrasi adalah adanya keterlibatan publik dalam proses politik. Demokrasi memerlukan suatu tingkat keaktifan masyarakat, sebab melalui keterlibatan itulah terdapat diskusi diantara berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat. Tanpa adanya pelibatan tersebut, maka demokrasi akan menjadi amat terbatas baik dalam hal legitimasinya maupun dalam hal kekuatan pendukungnya. Di sisi lain, komitmen pemerintah dalam memberikan arena demokratis kepada masyarakat juga merupakan hal utama di samping kesediaan dalam memberikan dukungan terhadap proses maupun implikasi kebijakan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat agar mampu mengimbangi sumber daya yang dimiliki oleh aktor pemerintah. Daftar Pustaka Almond, Gabriel dan Verba, Sidney, 1963, The Civic Culture : Political Attitude and Democracy in Five Nations, Princeton, Princton University Press. Anderson. J. E, (1984), Public Policy Making, Second Edition, University of Houston, Holt,
Budi Prasetyo : Kajian Teoretik Karakter Kebijakan Publik
Rinehart and Wiston, New York. Booth, David (ed), 1995, Rethinking Social Development : Theory, Research and Practice, Centre of Developing Area Studies, University of Hull. Bryant, Carolie & White, L.G, 1982, Managing Development in The Third World, Westview Press, I Boulder, Colorado. Harmon, M.M, (1969), Administrative Policy Formulation and Public Interest, Hasper & Row, New York. Long, Norman and Ann Long (ed), 1992, Battlefield of Knowledge : The Interlocking of Theory and Practice in Social Research and Development, Roudlegde, London. Ufford, van, Phillip Quarles & Giri, Ananta Khumar (ed), 2000, Kritik Moral Pembangunan, Kanisisus, Yogyakarta. Zeeuw, Gerard de, 2001, Interaction of Actors Theory, Kybernetes, 2001, 30, 7/8, Academic Researh Library, p. 971-983.
9