RUANG UTAMA
REGENERASI BIROKRAT SEBAGAI KUNCI KEBERHASILAN REFORMASI BIROKRASI DAN PELAYANAN PUBLIK
Oleh : Riyadi Santoso
Abstract The problem of bureaucracy in Indonesia as though never quiet on the complaint, criticism and even insults. Because birikrat a lazy, undisciplined and do not have the skill. So it can be said that stagnant bureaucratic, stagnant, roads in place, inefficient and so on. This would not be allowed to drag on, because the evils of bureaucracy is very large impact to many aspects of life, whether social, political, economic, law and various aspects of human life in this beloved country. Jandi has a lot of promises made at various levels from central to local officials, the Road Map and Grand Design Bureaucracy has been made by the Ministry of PAN and RB, but until now seems to have also seen all the plans and promises are real and concrete. Rakyar been increasingly apathetic, pessimistic banking already prustrasi see bureaucracy in this country. With conditions like i ni, then the bureaucracy Reformation percepatn merupkan something that should be immediately implemented. We need an efficient and effective bureaucracy. Bureaucrats who have the skills, so that should also be improvement of human resources in various layers and levels, and conduct a rigorous employee selection and reduction of employees who do not have the ability to (un Skill). Keywords: Quality of Human Resources, Public Service, Bureaucracy Reformation.
1.
Pengantar
Reformasi Birokrasi sangat populer, tidak asing di telinga kita, karena terus menerus menjadi bahasa para pejabat di Republik Indonesia
sejak tahun 1998. Baik pejabat pusat maupun daerah seakan ramai-ramai siap ingin melakukan reformasi jajarannya, tidak mau ketinggalan,
tentu ironis dengan tujuan berdemokrasi, demikian jugu ironis dengan tujuan reformasi birokrasi jika tidak terjadi perbaikan kualitas pelayanan publik. Sebenarnya apa yang menjadi kunci solusi atau pemecahan masalah tersebut atas kondisi yang dihadapi birokrasi kita? Dapatkah kita memulai memperbaiki birokrasi secara serius alias tidak setengah hati ? Untuk mencari benang merah solusi tersebut, penulis coba dengan memberikan analisis singkat secara sederhana dalam uraian berikut ini.
latah ingin memprogramkan bahwa reformasi birokrasi telah menjadi program unggulannya. Reformasi birokrasi telah menjadi retorika kampanye para Calon Presiden, Calon Gubernur, Calon Bupati ataupun Calon Walikota. Namun selama ini kita juga sering mendengar bahwa banyak program-program reformasi yang diterapkan di lingkungan instansi pemerintahan belum mampu membawa hasil yang menggembirakan, bahkan dapat dikatakan stagnan. Padahal tujuan refomasi birokrasi muaranya diharapkan mampu meningkatan kualitas pelayanan publik, dan hal itu tentu saja berkaitan dengan harapan masyarakat, bahwa apabila reformasi birokrasi berhasil maka kualitas pelayanan publik dapat berhasil pula. Dengan kalimat lain, dapat kita katakan bahwa reformasi di Negara ini menjadi tidak bermakna bagi rakyat (masyarakat) selama pelayanan publik masih mengecewakan. Sebagaimana kita tahu juga apabila demokrasi yang kita sedang bangun, tidak mampu memberikan kesejahteraan sosial kepada rakyat Indonesia dan reformasi birokrasi yang tak kunjung mampu memberikan solusi bagi peningkatan kualitas pelayanan publik, maka dapat diprediksi bahwa pemerintahan akan kehilangan kredibilitas (kepercayaan, trust) di hadapan rakyatnya. Kondisi ini
2.
Stagnasi Reformasi Birokrasi
Program reformasi birokrasi yang banyak dicanangkan di institusi – institusi negara dan instansi-instansi pemerintah di pusat dan daerah dapat dinilai telah mengalami stagnasi atau kemandegan, kalau tidak dikatakan tersumbat ataupun lambat. Mengapa terjadi hal itu, padahal semua pihak menghendaki adanya percepatan reformasi birokrasi, terutama dijajaran birokrasi pemerintahan sipil (aparatur pegawai negeri /PNS, sebagai pilar Negara) yang bertugas pokoknya adalah pelayanan publik. Para aktifis masyarakat sipil atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) /NGO, non government organization) bahkan selalu lantang memperjuangkan dan mendorong kepada para politisi di
14 Jurnal Madani EdisiI/ Mei 2011
bersamaan dibangun. Untuk persoalan struktural ini, Eko Prasojo, 2009 menyampaikan bahwa ruang lingkup reformasi birokras dapat meliputi restrukturisasi (downsizing dan rightsizing), rekayasa proses, pengembangan SDM aparatur, serta bentuk hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat. Penataan struktur birokrasi selalu dibutuhkan dengan mengingat lingkungan sosial birokrasi selalu berubah (dinamis). Sayangnya ini sering dan bahkan sangat lamban direspon pemerintah, sehingga penataan ataupun penyesuaian struktur organisasi-organisasi di jajaran kementerian (untuk pemerintah pusat) dan juga di jajaran pemerintah daerah di Provinsi dan Kabupaten/Kota, terbukti sering status quo alias tidak cepat dibenahi, padahal tuntutan masyarakat/publik tidak dapat ditunda-tunda lagi. Inilah yang terjadi terutama biokrasi yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik (public services). Padahal pemerintah seharusnya berani melakukan restrukturisasi dan reorganisasi, seperti melalukan perampingan dan desentralisasi kewenangan. Mandeknya penataan kelembagaan ini akan menjadi persoalan mendasar yang berlarutlarut apabila dilakukan. Di samping penataan struktur, penataan budaya (cultural) terutama budaya kerja yang berkaitan dengan kinerja birokrasi sangat dibutuhkan setiap saat. Apalah artinya struktur baru yang dibangun jika tidak diikuti langkah-langkah perubahan budaya kerja. Inilah yang nampak selama ini menggelayuti
negeri ini untuk menepati janjinya dan memberikan pressure (tekanan) terhadap pemerintah yang sedang berkuasa agar melaksanakan janji reformasi birokrasi. Sayangnya belakangan ini suara lantang LSM dan Politisi negeri ini melemah, bahkan dapat dikatakan mati suri. Pasalnya mereka yang diharapkan memompakan perubahan dan reformasi birokrasi malah banyak yang terjerumus ikut bermain kotor, mengotori birokrasi dengan bentukbentuk korupsi dan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) gaya baru yang awalnya mereka perjuangkan. Sayang mereka terjebak dan mengkhianati sendiri perjuangannya. Mandeknya reformasi birokrasi banyak terkendala persoalan internal dalam tubuh birokrasi sendiri, yang memang secara teori akan cenderung status quo atau kemapanan, para birokrat cenderung puas dengan yang dilakukan selama ini, minim inovasi dan mempertahankan kemapanannya, dengan berbagai cara. Itulah sindrom, yang mengelayuti tubuh birokrasi kita. Dalam persoalan internal itu, dapat dikelompokkan pula persoalan structural (kelembagaan); persoalan cultural (budaya) dan dapat kita tambahkan dalam analisis ini adalah persoalan personnel (sumber daya manusia) dan kepemimpinan (leaderships). Dua persoalan besar yaitu : structural dan cultural, telah banyak diberikan analisis bahwa memang keduanya saling mempengaruhi dan mesti secara
15 Jurnal Madani Edisi I/ Mei 2011
tentu harus dipandu oleh kepemimpinan (leadership) yang efektif, yang memiliki kapasitas dan manajemen. Jadi tidak asal pemimpin, namun pemimpin yang mengerti ilmuilmu kepemimpinan dan yang berbasis manajemen. Kepemimpinan disini tentu mencakup kepemimpinan yang visioner. Kepemimpinan yang mampu memberi arahan dan makna pada kerja dan usaha yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas (Diana Kertanegara, 2003), dan kata Sedarmayanti (2009, h.161), visi merupakan kunci menuju kepemimpinan sukses dan kepemimpinan adalah kunci menuju keberhasilan organisasi. Bagaimanapun juga kepemimpinan dan SDM yang berkualitas sangat menentukan reformasi birokrasi. Mengenai reformasi Birokrasi yang terkait dengan pengembangan SDM birokrasi ini juga diingatkan, akan menjadi kunci sukses pelayanan publik, bahkan diingatkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida S. Alisjahbana bahwa pekerjaan rumah pemerintah yang besar adalah masalah birokrasi dan SDMnya, (Kompas, 19/2/2011). Tanpa dukungan SDM dan Birokrasi yang berkualitas maka pertumbuhan ekonomi akan berjalan pelan. Sebagai contoh adalah China dan Korea Selatan, SDM mereka telah siap menunjang pertumbuhan ekonomi, sedangkan kita Indonesia masih harus banyak belajar untuk memperbaiki kinerja birokrasi dan SDMnya. Kinerja SDM aparatur pegawai negeri sipil yang menjadi sorotan ini memang
birokrasi kita, bahkan ironis jika strukturnya telah dibenahi, dukungan peralatan kerja telah modern dan canggih, namun praktik budaya kerja masih gaya lama yaitu pola pikir birokrat sebagai penguasa dan bukan sebagai pelayan publik (Prasojo, 2009 : 80). Terlihat pula bahwa birokrat masih tidak disiplin dan malasmalasan, serta tidak ada inovasi caracara bekerja dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Intinya menurut Prasojo, 2009 masih belum tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan (service delivery culture), Itulah yang banyak kita perhatikan di kantor-kantor pelayanan pemerintahan, seperti di kantor kelurahan, kantor kecamatan, dinasdinas daerah dan sebagainya. Jadi persoalan budaya ini, seharusnya mengikuti perubahan struktural. Untuk melakukan kedua perubahan (change) di atas yaitu struktural dan kultural, ternyata masalah personnel (SDM) menjadi tiang-tiang penyangga perubahan utama (“soko guru” dalam istilah jawa) karena berperan sebagai pelaku (subyek) yang menjalankan perubahan. Dan satu persoalan lagi yang menjadi kunci keberhasilan perubahan dan pengembangan SDM adalah persoalan kepemimpinan (leadership), yang dapat digambarkan sebagai lokomotif penarik gerbonggerbong personnel (SDM). Lokomotif tentu perlu memiliki “energy” yang kuat dan membanggakan agar kecepatan gerbong personil dapat berjalan dengan baik. Untuk itu pembangunan SDM menjadi sangat strategis, dan
16 Jurnal Madani EdisiI/ Mei 2011
patut dikritisi dengan evaluasi dan pembenahan yang intensif, karena sangat berkaitan dengan kinerja pelayanan publik. Singkatnya bahwa kunci keberhasilan reformasi birokrasi jelas-jelas sangat ditentukan kondisi SDM yang menjadi subyek sekaligus obyek reformasi birokrasi itu sendiri. Tentu haruslah diikuti dengan kebijakan SDM bahwa kebutuhan SDM yang kompeten untuk Jabatan dalam struktur organisasi birokrasi publik yang telah disempurnakan (restrukturisasi maupun reorganisasi) tidak boleh ditawar-tawar lagi (perhatikan juga, Sedarmayanti : 2009: 73). 3.
memimpin dan memandu percepatan reformasi birokrasi. Selain itu, patut diketahui bahwa Kementerian PAN dan RB juga telah menyusun Road Map dan Grand Desain Reformasi Birokrasi untuk siap dilaksanakan pada tahun 2011 ini. Kita tunggu saja, apakah kementerian tersebut serius dalam mendorong jajaran birokrasi, baik birokrasi pemerintah pusat maupun birokrasi pemerintah daerah. Sebagai catatan, bahwa jajaran birokrasi pemerintah daerah yang tersebar dari Sabang sampai dengan Merauke, di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan jumlah sebanyak 33 Provinsi dan 497 kabupaten/kota (399 kabupaten dan 98 kota, serta 6 daerah administratif di DKI Jakarta), tentu sangat membutuhkan bimbingan dan arahan dari Kementerian Dalam Negeri bersama Kementerian PAN dan RB dalam melaksanakan implementasi Reformasi Birokrasi. Kementerian Dalam Negeri semestinya lebih aktif melakukan pembenahan birokrasi hingga jajaran direktorat-direktorat jenderalnya, untuk kemudian memberikan bimbingan teknis, konsultasi dan pendampingan serta sosialisasi kepada seluruh pemerintah daerah. Dalam melaksanakan tugas ini Kemendagri mesti mengajak Kemeneg PAN dan RB sehingga program pemerintah untuk serius
Percepatan Reformasi Birokrasi
Langkah yang paling ditunggutunggu rakyat Indonesia adalah percepatan reformasi birokrasi, agar rakyat tidak semakin pesimis dan frustrasi atas persoalan yang terjadi pada wajah buruk birokrasi pemerintahan di Republik ini. Langkah percepatan ini juga telah dikumandangkan beberapa waktu yang lalu ketika Presiden SBY dipilih kembali untuk jabatan Periode keduanya, dengan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (2009 – 2014). Namun kumandang suara tersebut, kurang nyaring terdengar lagi di jajaran Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB), yang memang ditugasi untuk
17 Jurnal Madani Edisi I/ Mei 2011
menjadi kekuatan utama yang menggerakkan birokrasi. Aparatur birokrasi kita, yang didominasi oleh PNS (Pegawai Negeri Sipil) baik itu PNS di pusat maupun PNS di daerah (pemda), dengan jumlah sekitar 4 juta PNS, dan telah mengalami carut marut dalam formasi dan karir, mengingat banyaknya pertambahan pegawai daerah yang kurang terkendali atau termanage (terkontrol) dengan baik, di era otonomi daerah ini, dimana bupati/walikota dapat seenaknya mengacak-acak jajaran pemkab/pemkot sesuai dengan kepentingan sesaat (jangka pendek). Hal ini tidak kita bahas disini dan memerlukan analisis penelitian tersendiri untuk melihat parahnya kerusakan sebagai implikasi pemilihan kepala daerah langsung dan wewenangnya untuk membina kepegawaian (aparatur) birokrasi pemdanya. Satu hal yang mesti kita pikirkan adalah apa kunci keberhasilan terkait dengan perpaduan sistem karir (carrier system) dan sistem prestasi (merit system), namun menitikberatkan prestasi kerja yang dianut UndangUndang No.43 Tahun 1999 tentang Pokok Pokok Kepegawaian, (Perubahan UU No.8 Tahun 1974). UU 43/1999 merupakan produk era reformasi, karena lahir pada periode pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Dalam perjalanan pelaksanaan
melaksanakan reformasi birokrasi tidak berhenti pada tataran program percepatan. Percepatan reformasi birokrasi merupakan langkah konkrit atas keseriusan pemerintah melakukan reformasi birokrasi, yang tidak boleh dirtunda-tunda terus sebagaimana yang dirasakan selama ini, sejak lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998. Berarti telah 13 tahun, Negara dan pemerintah dalam masa transisi demokrasi di bidang politik. Reformasi total yang dikumandangkan saat itu hingga saat ini masih tanda tanya besar, terutama reformasi birokrasi yang selalu tertunda dari beberapa kali berganti Presiden (Habibie, Gus Dur, Megawati hingga SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) yang bahkan hingga masa kepresidenannya yang kedua ini (2009 -2014). Oleh karena itu rakyat Indonesia masih terus menunggu tindakan dan langkah-langkah secara nyata implementasi percepatan reformasi birokrasi yang telah dijanjikan SBY dengan Jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid Dua. 4.
Kunci Keberhasilan Regenerasi Birokrat
dan
Di atas telah diuraikan bahwa SDM dan Kepemimpinan dalam birokrasi publik sangat dibutuhkan,
18 Jurnal Madani EdisiI/ Mei 2011
dalam menjaga NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), selain TNI dan Polri ditengah kehidupan demokrasi politik yang multi partai. Dalam gagasan pokok atas rancangan undang-undang yang baru tersebut, aparatur sipil negara yang diinginkan adalah bermutu, netral dan professional dalam menjalankan birokrasi sipil publik. Diharapkan pembahasan UU baru, yang diberi judul usulan RUU tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tersebut di Komisi II DPR RI bersama dengan Pemerintah (Kemeneg PAN dan RB) dapat segera selesai di tahun 2011 ini. Lalu apa yang harus kita lakukan sambil menunggu selesainya regulasi dalam UU yang baru nanti, yang hal itu menjadi kunci keberhasilan reformasi jajaran birokrasi publik di negeri ini dan terus ditunggu-tunggu rakyat Indonesia selama ini. Di atas telah kita uraikan bahwa pengembangan SDM terutama peningkatan kualitas SDM akan menjadi kunci keberhasilan reformasi birokrasi. Apabila percepatan dalam peningkatan SDM telah dilakukan, lalu secara struktural juga telah ditempuh, mengapa masih terkendala pula implementasi percepatan keberhasilan reformasi birokrasi dalam pelayanan publik. Satu lagi yang perlu segera dilakukan menurut analisis ini adalah melakukan percepatan regenerasi birokrat. Inilah yang selama ini
(implementasi) UU tersebut hingga satu dasawarsa (1999-2009) telah banyak mengalami berbagai kendala di lapangan dan adanya perubahan realitas, terutama terkait gencarnya pelaksanaan desentralisasi pemerintahan (otonomi daerah) dengan tumbuhnya daerah daerah otonom baru. Juga kentalnya issue kedaerahan (putra daerah), dalam mengisi jabatan-jabatan birokrasi publik di daerah. Belum lagi dampak buruk dari politisasi birokrasi pemda, sebagai akibat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung. Contohnya : kasus-kasus Kepala Daerah yang secara terselubung menarik para birokrat menjadi tim suksesnya, dalam pencalonan kembali (incumbent). Peristiwa-peristiwa ini sungguh dapat merusak netralitas dan profesionalisme birokrasi Pemda. Berkaitan dengan imlementasi UU 43/1999 di atas, yang dapat dinilai telah banyak deviasi dan perubahan kondisi di lapangan, maka dewasa ini di DPR RI sedang dilakukan proses penyusunan untuk melakukan perubahan UU 43/1999 dengan melakukan perubahan-perubahan yang mendasar dan disesuaikan dengan semangat reformasi dan desentralisasi serta netralitas Aparatur Sipil Negara. Penguatan aparatur sipil Negara menjadi amat sangat penting, karena menjadi salah satu pilar pokok
19 Jurnal Madani Edisi I/ Mei 2011
selesai dan diundangkan, bahkan menjadi peluang baru saatnya untuk membenahi secara serius jajaran birokrat publik di negeri ini. Apabila menengok sejenak ke belakang, langkah ini sebenarnya yang pernah dilontarkan oleh beberapa pihak pada waktu yang lalu untuk “memanggkas satu generasi” guna mempercepat reformasi di jajaran birokrasi publik. Mereka tidak percaya, bahwa generasi yang mengomandani birokrasi saat ini dapat berubah, hal itu bahkan lebih hebat lagi tidak hanya di jajaran birokrasi pemerintahan. Para politisi pun juga perlu di pangkas satu generasi, karena terindikasi politisi busuk dan hanya berlindung cari aman di Parpol-Parpol yang eksis sekarang. Mengingat analisis ini membatasi di birokrasi, maka kita fokuskan bahwa percepatan regenerasi jajaran birokrat menjadi suatu keharusan dan pilihan yang mesti dilakukan pemerintah saat ini. Jika ini masih juga enggan dan ditunda-tunda, maka kita tetap akan berjalan lamban seperti siput dalam melakukan reformasi birokrasi dan pelayanan publik. Pilihan berani ini mestinya diperintahkan langsung dan terukur pengawasannya oleh Presiden RI dengan Meneg PAN & RB. Inilah saatnya, mengingat Presiden tidak punya beban ke depan karena masa Kepresidenan kedua akan berakhir di 2014 dan SBY tidak boleh
banyak pemerhati kurang memeberikan tekanan, barangkali upaya mempercepat regenegasi birokrasi menjadi keharusan untuk direkomendasikan. Birokrat-birokrat karir menengah (middle carrier) yang punya prestasi dan kualitasnya lebih baik mesti segera menempati posisiposisi penting dalam birokrasi pelayanan publik. Caranya, pemerintah segera melakukan gebrakan besar-besaran untuk memerintahkan pensiun dini, bagi para birokrat yang telah stagnan atau mentok karirnya, yang bermalasmalasan tidak kunjung berprestasi dan berinovasi. Yang waktunya hanya dihabiskan untuk menunggu masa datangnya usia pensiun. Memang tidak ada data yang pasti, namun hal ini jumlahnya sangat banyak di jajaran birokrasi kita dari pusat sampai daerah. Para pejabat-pejabat karir, yang hanya dimutasikan dari posisi satu ke posisi lainnya, sementara banyak birokrat generasi dibawahnya menunggu hingga potensi dan idealismenya yang segar menguap sirna karena lamanya proses antrian untuk menunggu promosi. Cara ini sangat terbuka, mendesak dan dapat dimotori oleh Presiden RI selalu pembina aparatur Negara melalui Kemeneg Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Hal ini juga selalu terbuka kesempatannya apabila UU baru tentang ASN telah
20 Jurnal Madani EdisiI/ Mei 2011
mencalonkan lagi sesuai amanat UUD Negara RI Tahun 1945, (hasil amandemen). 5. Kesimpulan dan Rekomendasi Tibalah kita pada bagian yang paling menentukan dan penting untuk dijadikan pegangan atas seluruh analisis yang telah dipaparkan dimuka. Kesimpulan dan rekomendasi yang dapat penulis sampaikan dalam kajian ini sebagai berikut : 1. Reformasi birokrasi yang berjalan lamban hingga satu dasawarsa sejak lengsernya Presiden Soeharto pada Tahun 1998, perlu didorong terus oleh pemerintah yang berkuasa saat ini. Reformasi birokrasi yang dilakukan secara serius menjadi dasar pokok untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik yang selalu dikeluhkan rakyat Indonesia. 2. Reformasi birokrasi yang dinilai stagnan selama ini dikarenanya banyak terkendala persoalan yang bersifat kelembagaan (struktural) dan budaya (kultural) di dalam tubuh birokrasi publik itu sendiri dan hubungan birokrasi publik dengan masyarakat. 3. Dua persoalan pokok yang perlu disertakan dan direkomendasikan untuk mendorong kendala struktural dan kultural adalah peningkatan kualitas SDM dan
4.
5.
6.
kepemimpinan yang efektif. Dengan kata lain, terpenuhinya SDM yang berkualitas dan kepemimpinan yang effektif, akan menjadi pengungkit (dongkrak) utama percepatan reformasi birokrasi dan pelayanan publik, baik di jajaran birokrasi pemerintah pusat maupun birokrasi pemerintah daerah. Supaya rekomendasi tersebut diatas tidak sekadar menjadi wacana dan retorika para elite pemerintahan dan birokrasi, hendaknya Presiden RI dengan Kemeneg PAN & RB memimpin – mengawasi dan mengevaluasi langsung dengan memerintahkan langkah nyata percepatan penataan SDM dan kepemimpinan di jajaran birokrasi pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Berkait dengan penataan jajaran birokrasi pemerintah daerah, agar Presiden memerintahkan Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan langkah-langkah konkrit dalam pembimbingan dan pendampingan reformasi birokrasi pemerintah daerah. Salah satu kunci keberhasilan yang layak untuk dilaksanakan dan sangat direkomendasikan adalah melakukan gebrakan baru, yaitu mempercepat proses regenerasi birokrat dalam
21 Jurnal Madani Edisi I/ Mei 2011
6. Danang Giridrawardana, Reengineering Ombudsman Republik Indonesia Demi Mewujudkan Good Governance, Makalah Visi dan Misi dalam rangka Fit & Proper Test Calon Anggota ORI, dipresentasikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI, 16 Januari 2011. 7. Hadi Buana, dalam leadershipPark, Edisi XXVIII Tahun 2010 8. Harian Kompas, 19 Februari 2011. 9. LeadershipPark, Edisi XXVIII Nopember – Desember 2010.
rangka memperbaiki kinerja pelayanan publik. Proses percepatan regenerasi birokrat ini menjadi keharusan dan pilihan serta kata kunci keberhasilan reformasi birokrasi dan pelayanan publik di Republik Indonesia. Bahan Bacaan : 1. Eko Prasojo, Reformasi Kedua : Melanjutkan Estafet Reformasi, (Jakarta : Penerbit Salemba Humanika, 2009). 2. Sadili Samsudin, Manajemen Sumber Manusia, (Bandung : Pustaka Setia, 2006. 3. Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan, (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan Yang Baik), (Bandung : PT. Refika Aditama, 2009). 4. Juarno Ridwan, dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik (Bandung : Nuansa Cendekia, 2009). 5. Max Weber, Studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan, (Yogyakarta : IRCiSoD, 2006).
*****
22 Jurnal Madani EdisiI/ Mei 2011