P P A T K AMLNEWS Clipping Service Anti Money Laundering 17 November 2011
Indeks 1. Rosa, Eks Orang Kepercayaan Nazaruddin Diperiksa Kasus Herlambang 2. Suap di Kemenakertrans Muhaimin arahkan agar uang disimpan 3. Anas Berperan Bereskan Proyek Hambalang 4. Bukti Baru, Tersangka Kasus Lab BPOM Bertambah 5. Saksi Akui Terima Cek Pelawat dari Politikus PPP
Detik.com
Kamis, 17 November 2011
Rosa, Eks Orang Kepercayaan Nazaruddin Diperiksa Kasus Hambalang Jakarta - Kasus kompleks olahraga Hambalang akhirnya naik ke tahap penyelidikan.
Eks orang kepercayaan Nazaruddin, Mindo Rosalina Manulang yang tadi pagi datang ke KPK ternyata tengah dimintai keterangan untuk kasus Hambalang.
"Ibu Rosa kita mintai keterangan untuk kasus Hambalang," ujar juru bicara KPK, Johan Budi di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (17/11/2011). Johan tidak bisa memastikan sudah berapa orang yang dimintai keterangan terkait
kasus Hambalang. Hanya saja, Johan menegaskan, KPK akan memanggil siapapun juga yang dibutuhkan untuk kasus ini.
"Siapapun yang kita butuhkan, jangan diarahkan kepada seseorang," tegasnya. Kasus ini sendiri secara tidak sengaja ditemukan KPK. Saat tengah melakukan penggeledahan dalam kasus Sesmenpora, KPK menemukan informasi soal
Hambalang. Informasi itu pun diperkuat dari salah satu tersangka kasus suap wisma atlet.
(mok/ndr)
Kompas.com
Kamis, 17 November 2011 Suap di Kemenakertrans
Muhaimin Arahkan Agar Uang Disimpan
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin
Iskandar disebut memerintahkan anak buahnya, I Nyoman Suisnaya dan Dadong Irbarelawan untuk menyimpan uang yang diduga suap Rp 1,5 miliar dari pengusaha Dharnawati.
Uang itu nantinya akan diambil oleh orang dekat Muhaimin yang bernama
Muhammad Fauzi. Hal itu terungkap dalam surat dakwaan Dharnawati, tersangka
kasus dugaan suap program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (16/11/2011). "Muhammad Fauzi melaporkan kepada Menakertrans, Muhaimin dan mendapat
arahan agar uang tersebut disimpan dahulu oleh Nyoman dan Dadong yang nantinya diambil Fauzi jika diperlukan," kata jaksa Dwi Aries membacakan surat dakwaan.
Menurut dakwaan, uang itu sengaja disimpan dahulu karena pemberian komitmen
fee tersebut sudah tercium wartawan. Adapun uang Rp 1,5 miliar dari Dharnawati diduga merupakan sebagian komitmen fee atas jasa Muhaimin, Nyoman, Dadong,
dan Dirjen P2KT Jamaluddien Malik sebagai imbalan karena telah mengupayakan
empat kabupaten di Papua yakni Manokwari, Teluk Wondama, Mimika, dan Keerom, masuk dalam daftar daerah penerima dana PPID.
"Sehingga terdakwa (Dharnawati) dengan meminjam bendera PT Alam Jaya Papua dapat mengerjakan proyek di keempat kabupaten tersebut," kata Dwi.
Pemberian uang berlangsung di kantor Kemennakertrans, Kalibata, Jakarta Selatan pada 24 Agustus. Uang disimpan dalam kardus durian dan diantar dengan mobil
Avanda hitam milik Dharnawati. Namun, Fauzi tidak jadi mengambil uang tersebut seperti yang direncanakan.
Saat Dharnawati tiba, Fauzi sedang tidak di tempat sehingga Nyoman dan Dadong memerintahkan stafnya, Dandan Mulyana mengambil uang tersebut. Dalam kasus ini, Nyoman dan Dadong juga menjadi terdakwa.
Seusai mendengarkan dakwaannya, Nyoman membantah menerima uang. Dia juga
mengatakan bahwa tuduhan terhadap Muhaimin itu tidak benar. Menurut Nyoman, uang itu sejak awal ditujukan untuk anggota Badan Anggaran DPR.
Tempointeraktif.com
Kamis, 17 November 2011
Anas Berperan Bereskan Proyek Hambalang TEMPO Interaktif, Jakarta - Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Ignatius Mulyono, mengungkapkan, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum
berperan membereskan proyek pembangunan pusat olahraga di Bukit Hambalang, Sentul, Bogor. Proyek ini sedang diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mulyono mengatakan pernah dipanggil oleh Anas, yang waktu itu masih Ketua Fraksi Partai Demokrat, dan diminta mengurus masalah tanah proyek Hambalang. “Di situ juga ada Nazaruddin (Muhammad Nazaruddin),” katanya kepada Tempo kemarin. Menurut Mulyono, ia diminta membantu karena dekat dengan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Joyo Winoto. “Saya dan Pak Joyo itu sama-sama (anggota) tim sukses SBY saat 2004," ujarnya.
Proyek Hambalang dibangun pada 2010 di atas lahan seluas 30 hektare. Sumber
dana proyek senilai hampir Rp 1,2 triliun ini berasal dari Kementerian Pemuda dan
Olahraga. Kasus ini muncul setelah M. Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, mengaku ada aliran uang ke Kongres Partai Demokrat di Bandung tahun lalu senilai Rp 50 miliar. Duit ini berasal dari PT Permai Group, salah satu perusahaannya, yang ikut mengelola proyek Hambalang.
Dalam salinan sebuah dokumen yang dimiliki Tempo, peran Anas juga disinggung
oleh Nazaruddin. Di sana disebutkan, Anas, setelah diperkenalkan oleh Nazar, meminta Mulyono mengurus masalah tanah itu.
Nazar juga mengungkapkan ada sebuah pertemuan lanjutan di restoran masakan
Jepang, Nippon Chan, di Hotel Sultan, Jakarta, yang dihadiri Anas, Nazar, Joyo, dan Mulyono. Tapi, soal pertemuan di restoran Nippon itu, Mulyono mengatakan tak
mengetahuinya. Nazaruddin saat ini menjadi tersangka dalam kasus suap wisma atlet. Anas tak menjawab panggilan telepon saat hendak dimintai konfirmasi.
Pengacaranya, Patra M. Zen, meminta Tempo mengirim pesan pendek, tetapi setelah SMS dikirim tak dibalas juga.
FEBRIYAN | PRIHANDOKO | DEDDY S
Tempointeraktif.com Kamis, 17 November 2011
Bukti Baru, Tersangka Kasus Lab BPOM Bertambah TEMPO Interaktif, Jakarta -- Kejaksaan Agung menemukan bukti baru dalam
pengusutan korupsi pengadaan alat laboratorium Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Kejaksaan kembali membidik tersangka baru dari lembaga tersebut.
"Orangnya dari internal dan eksternal BPOM," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Noor Rachmad, melalui telepon selulernya, Kamis, 17 November 2011.
Noor mengatakan institusinya sedang mendalami keterlibatan pihak internal maupun eksternal tersebut pada bukti baru itu. Tujuannya untuk memperkuat dugaan tindak pidana yang telah mereka lakukan. "Ini tentu dalam proses penyidikan," kata Noor menolak memerinci identitas dan bukti yang dimaksud.
Badan Pengawasan Obat memenangkan CV Persada Putra Mandiri dan PT Ramos Jaya Abadi dalam pengadaan 122 jenis alat-alat laboratorium lembaga tersebut. Persada memperoleh proyek senilai Rp 43,49 miliar. Adapun PT Ramos memperoleh proyek senilai Rp 13,02 miliar.
Namun, kejaksaan menduga kedua perusahaan itu menggelembungkan biaya
pembelian alat hingga Rp 11 miliar. Modusnya menggunakan perusahaan lain, yakni
PT Bhinneka Husada Raya sebagai subkontrak. Kejaksaan lantas menetapkan empat tersangka dalam kasus ini, yakni Kepala Pusat Pengujian Obat dan Makanan BPOM Siam Subagyo serta Ketua Panitia Pengadaan BPOM Irmanto Zamahrir Ganin.
Kemudian Direktur CV Persada Ediman Simanjuntak, serta Direktur PT Ramos Surung Hasibuan Simanjuntak. Keempatnya kini berstatus tahanan kejaksaan. Noor berjanji akan membeberkan identitas maupun bukti baru bila pengembangan penyidikan sudah rampung. Ia berdalih bahwa substansi kasus belum bisa dibeberkan karena bisa merugikan proses penyidikan.
Meski begitu, ia tak membantah pihak internal BPOM dimungkinkan berasal dari kalangan pejabat BPOM. Adapun eksternal tak lepas dari tiga perusahaan yang mengelola proyek itu.
"Kami tidak mengarahkan, tapi kalaupun itu Kepala BPOM, haruslah bertanggung jawab," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa bukti yang dimaksud salah satunya adalah fakta perbuatan. "Tapi masih kami dalami." TRI SUHARMAN
Tempointeraktif.com
Kamis, 17 November 2011
Saksi Akui Terima Cek Pelawat dari Politikus PPP TEMPO Interaktif, Jakarta - Saksi Muhammad Iqbal memberi pengakuan yang
menyudutkan terdakwa kasus suap cek pelawat Otorita Batam, Sofyan Usman. Iqbal, yang pada 2004 lalu menjabat Kepala Bagian Anggaran Otorita Batam, mengaku dijatah cek pelawat oleh politikus Partai Persatuan Pembangunan.
"Saya mendapat lima lembar cek pelawat. Tiap lembarnya bernilai Rp 25 juta. Tapi uang itu kemudian saya bagi lagi ke teman-teman," kata Iqbal dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI, Kamis, 17 November 2011. Saat ditanya hakim anggota, Anwar, Iqbal mengaku mendapat cek pelawat dari
Sofyan setelah Otorita Batam "menyumbang" Rp 1 miliar untuk pembangunan masjid
di kompleks perumahan Dewan Perwakilan Rakyat, Cakung, Jakarta Timur. Pembangunan masjid itu atas inisiatif Sofyan.
Pengakuan Iqbal memantik sindiran hakim Anwar. "Anda memberi terdakwa Rp 150 juta dan Rp 850 juta, tapi kemudian Anda sendiri mendapat Rp 125 juta yang Anda bagi-bagikan lagi. Apakah Anda masih yakin, uang yang Anda berikan ke terdakwa itu benar digunakan untuk pembangunan masjid?" tanyanya.
Iqbal mengatakan, Otoritas Batam pada prinsipnya memang ingin memberi jatah
untuk Sofyan karena anggota Badan Anggaran DPR 1999-2004 itu bisa membantu
Otorita mendapat tambahan anggaran dari Rp 10 miliar menjadi Rp 85 miliar dalam APBN-P 2004.
Ia pun mengaku, sebenarnya dirinyalah yang berinisiatif memberi Sofyan cek
pelawat. Usul itu dia sampaikan saat menghadiri pertemuan dengan petinggi Otorita. "Pak Deputi saat itu tanya, kami akan bantu Pak Sofyan berapa. Lalu saat semua
diam, saya nyeletuk dan memberi usul pemberian 1 persen dari anggaran, yakni Rp 850 juta."
Karena para pejabat Otorita sepakat dengan usulannya, Iqbal kemudian
menghubungi Ketua Otorita Batam Ismeth Abdullah. Ismeth ternyata tak keberatan
dengan nilai duit yang Iqbal sodorkan dan menginstruksikannya untuk meminjam Rp 850 juta dari kas Otorita.
Pemberian itu adalah yang kedua, menyusul pemberian pertama untuk Sofyan sebesar Rp 150 juta. Duit Rp 150 juta juga atas perintah Ismeth dan dilakukan melalui Deputi Adren Otorita Batam Mochamad Prijanto.
Menjelang sidang ditutup, Sofyan menyampaikan bantahannya. Ia menepis
pengakuan Iqbal ihwal pemberian cek pelawat senilai Rp 125 juta. "Saya enggak
pernah membagi-bagikan traveler's cheque ke orang-orang Otorita Batam, termasuk
Pak Iqbal," kata Sofyan.
Sofyan terancam hukuman penjara maksimal lima tahun, sebagaimana diatur
dakwaan pertama yang menjeratnya dengan Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan dalam dakwaan kedua, Sofyan dijerat Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor.
Ia didakwa menerima suap berupa uang tunai Rp 150 juta dan cek pelawat senilai Rp 850 juta karena memuluskan Otorita memperoleh anggaran Rp 85 miliar melalui
APBN-P. Uang itu dia klaim digunakan untuk pembangunan masjid di kompleks DPR Cakung.
ISMA SAVITRI
Humas PPATK Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Centre (INTRAC) (P) +62-21-3850455/3853922 (F) +62-21-3856809/3856826 (E)
[email protected]
DISCLAIMER: Informasi ini diambil dari media massa dan sumber informasi lainnya dan
digunakan
khusus
untuk
PPATK
dan
pihak-pihak
yang
memerlukannya. PPATK tidak bertanggungjawab terhadap isi dan pernyataan yang disampaikan dalam informasi yang berasal dari media massa.