Rokok: Antara Kemanfaatan dan Kemudharatan oleh: Abu Samman Lubis* 1. Latar Belakang Masalah Telah lama perkebunan tembakau ada di Indonesia. Bangsa Belanda datang ke Indonesia untuk mendapatkan rempah-rempah hasil kekayaan alam Indonesia, termasuk di antarannya tembakau yang dibudidayakan di berbagai daerah khususnya Jawa dan Sumatera. Setelah Indonesia merdeka, untuk mengisi kemerdekaan guna mewujudkan cita-cita Negara (tujuan Negara) sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, tidak terlepas dari upaya pemerintah menghimpun dana dari masyarakat. Dalam melaksanakan tugas negara sebagai tindak lanjut dari tujuan negara, pemerintah memerlukan dana yang besar. Sumber-sumber dana dapat berasal dari dalam negeri atau dari luar negeri, yang dalam stuktur dan format APBN, disebut Pendapatan Negara dan Hibah. Secara garis besar terdiri dari penerimaan dalam negeri, yaitu: (1) penerimaan perpajakan, berupa pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), PBB, BPHTB, Cukai, pajak lainnya, bea masuk, serta pajak ekspor; dan (2) Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa penerimaan sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba BUMN dan PNBP lainnya, sedangkan peneriman luar negeri dapat berupa hibah. Hibah dapat bersumber dari dalam maupun luar negeri. Dari berbagai penerimaan negara tersebut di atas, yang berkaitan dengan penulisan artikel ini adalah menguraikan dua sisi, yaitu penerimaan cukai khususnya rokok/tembakau, dijadikan sebagai penerimaan negara, sedangkan di sisi lain adalah dampak kesehatan masyaraklat, sehingga sering dikatakan bahwa rokok dan produk tembakau lainnya adalah komoditas kontroversial Namun terlepas dari komoditas controversial tersebut, penerimaan cukai (rokok) yang merupakan bagian dari penerimaan negara dari tahun ke tahun diusahakan selalu meningkat. Cukai merupakan salah satu andalan negara dalam upaya mengisi kas negara. Berdasarkan data tahun anggaran 2010 realisasi penerimaan cukai sebesar Rp 59.265,95 miliar, bandingkan dengan tahun anggaran 2011 realisasi penerimaan cukai sebesar Rp 77.009,46 miliar. Penerimaan ini sebagian besar diperoleh dari hasil penjualan rokok yang dikonsumsi masyarakat, sehingga dari konsumsi masyarakat tersebut, negara memperoleh uang berupa cukai atas rokok. 1
Selanjutnya tahukah berapa kerugian yang diderita oleh rakyat kecil atas rokok. Ongkos sosial memikul efek buruk tembakau, jauh lebih besar dibandingkan dengan cukai yang masuk ke kas negara. Sekadar contoh berdasarkan data Kementerian Kesehatan, konsumsi rokok tahun 2010 menyebabkan pengeluaran tak perlu sebesar Rp 231,27 triliun. Rinciannya, untuk membeli rokok Rp 138 triliun, biaya perawatan medis Rp 2,11 triliun, dan hilangnya produktivitas Rp 91,16 triliun. Pengeluaran ini lebih besar dibandingkan perolehan negara dan cukai dan rokok sebesar Rp 59.265,95 miliar. Hal tersebut sejalan dengan penelitian bahwa dari sisi ekonomi pemasukan negara yang diperoleh dari cukai rokok tidak sebanding dengan beban biaya kesehatan yang dipikul seorang perokok. Artinya bahwa pungutan yang dikutip dari kantong perokok itu pasti tak cukup buat mengongkosi lebih dari sepuluh penyakit akibat rokok yang sudah menunggu di belakang. Belum di hitung harga sosial serta susutnya produktivitas nasional yang diakibatkan kuatnya mistik rokok merongrong rakyat. Dengan kata lain bagi Indonesia, rokok bagaikan buah simalakama/dua sisi mata pisau. Dari sisi penerimaan negara mendapatkan uang triliuanan rupiah yang digunakan untuk pembangunan, sedangkan sisi lainnya harus mengorbankan rakyatnya yang pada akhirnya juga menjadi beban negara. Bagaimana kita menyikapi ini? 2. Kebijakan Penerimaan Cukai 1. Pengertian Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditentukan yang disebut Barang Kena Cukai (BKC) merupakan penerimaan negara, digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.yang ditetapkan dalam undang-undang. Undang-undang tersebut adalah UU Nomor 39/2007 tentang Cukai, yang dimaksud dengan barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik tersebut, mengandung arti, (1) konsumsinya perlu dikendalikan, (2) peredarannya perlu diawasi, (3) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau (4) pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Sedangkan yang dimaksud dengan BKC yaitu barang-barang yang dalam pemakaiannya perlu dibatasi dan diawasai. Jadi cukai dikenakan pada barang yang memiliki dampak negatif seperti alkohol, sehiungga konsumsinya dibatasi. 2
Subjek cukai adalah pengusaha pabrik atau pengusaha tempat menimbun dan importir BKC, sedangkan sebagai objek adalah BKC yang menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, dinyatakan bahwa yang termasuk Barang Kena Cukai adalah (1) etil alkohol atau etanol, (2) minuman yang mengandung etil alkohol, (3) konsentrat yang mengandung etil alkohol, (4) sigaret, (5) sigaret kretek, (6) sigaret putih, (7) sigaret kretek/putih yang dibuat dengan mesin, (8) sigaret kretek/putih yang dibuat dengan cara lain daripada mesin, (9) cerutu, (10) rokok daun, (11) tembakau iris, (12) hasil pengolahan tembakau lainnya. Untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan cukai, sebagai telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu: 1) Pemungutan cukai dilaksanakan beradasarkan asas keadilan dan pemerataan dengan meningkatkan cukai sehingga mampu berfungsi sebagai alat untuk menunjang pembangunan dan meningkatkan serta memeratakan kesejahteraan rakyat. 2) Sistem dan prosedur cukai untuk meningkatkan pendapatan negara terus disempurnakan dengan memperhatikan keadilan, pemerataan, manfaat dan kemampuan mutu pelayanan dan kualitas aparat yang tercermin dalam peningkatan kejujuran, tanggung jawab dan dedikasi serta melalui penyempurnaan sistem administrasi.
2. Dasar Hukum Upaya dan kebijakan pemerintah dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan cukai harus senantiasa berpijak pada asas legalitas, sebagai salah satu konsep negara hukum. Asas legalitas mengajarkan bahwa setiap perbuatan harus ditempatkan pada dasar (menurut undang-undang). Maksud dan tujuan penerapan asas legalitas di bidang cukai adalah agar tindakan atau perbuatan pemerintah untuk menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan cukai tidak dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Penerapan asas legalitas di bidang perpajakan (cukai) dalam sistem kenegaraan di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal 23A “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dasar hukum pemungutan cukai adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Undang-undang ini merupakan dasar bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam pemungutan pajak negara dalam bentuk cukai. 3
3. Citra Positif Industri Rokok a. Industri rokok membangun citra positif produk melalui kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility/CSR). Belakangan ini banyak kegiatan CSR yang didanai perusahaan rokok, seperti kegiatan yang terkait bidang pendidikan, misalnya pemberian bea siswa, bantuan bagi sekolah, dan pembangunan gedung. Kegiatan CSR berdasarkan peraturan yang ditentukan pemerintah dan harus dilaksanakan oleh perusahaan. b. Industri rokok menyerap tenaga kerja Buruh pabrik rokok dan petani tembakau, industri rokok rumahan, petani cengkeh, dan pekerja industri manufaktor rokok menyediakan lapangan pekerjaan dan memiliki efek berantai bagi daerah penghasil, hal ini dapat dijadikan sebagai tameng, apabila merugikan kepentingan mereka seperti dengan menggelar unjuk rasa yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat. c. Penerimaan Negara dari Sektor Cukai Adanya pembagian hasil penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau yang dibagikan melalui gubernur kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau. Gubernur mengatur pembagian dana bagi hasil cukai tembakau kepada bupati/walikota di daerahnya masing-masing berdasarkan besaran konstribusi penerimaan cukai hasil tembakaunya.
4. Merokok sebagai Perilaku dan Dampak Buruknya Ada bentuk kekuatan sosial selain kekuasaan dan instrik politik
perusahaan rokok yang
mendorong orang mulai merokok. Sejatinya, merokok merupakan masalah perilaku. Maka, tak cukup hanya menambah kesadaran agar takut merokok atau memboikot perusahaan rokok dan petani tembakau, tetapi juga bagaimana agar sejak awal orang tidak memilih merokok. Harus diakui, mengubah perilaku telanjur merokok lebih pelik ketimbang membentuk perilaku tidak merokok sejak awal, Berdasarkan penelitian RJ Reynolds, Perokok remaja adalah satu-satunya sumber perokok pengganti. Jika para remaja tidak merokok, industri rokok akan bangkrut sebagaimana sebuah mayarakat yang tidak melahirkan generasi penerus akan punah. Mengingat sasaran utama perokok adalah remaja, peran sekolah seharusnya tidak kecil. Perlu ada kehendak politik membentuk perilaku tidak merokok masuk kurikulum sekolah. Sebagaimana pola pembentukan perilaku sehat lain, tak cukup kognitif, tetapi juga afektif agar terbentuk sikap positif terhadap hidup sehat, sehingga terbentuk kesadaran bahwa merokok tidak menyehatkan.
4
Peneliti LD-FE UI, Abdillah Ahsan, menunjukkkan pengeluaran untuk rokok keluarga miskin tahun 2009 menempati urutan kedua setelah beras (Kompas, Selasa, 17 April 2012; halm 13). Pembelian rokok seringkali lebih diperioritaskan daripada pangan bergizi, seperti daging, telur, buah, serta biaya pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini ironis di tengah besarnya jumlah anak kurang gizi, tingginya angka putus sekolah, dan rendahnya biaya kesehatan. Kementerian Kesehatan menyatakan, konsumsi rokok tahun 2010 menyebabkan pengeluaran tak perlu sebesar Rp 231,27 triliun. Rinciannya, untuk membeli rokok Rp 138 triliun, biaya perawatan medis Rp 2,11 triliun, dan hilangnya produktivitas Rp 91,16 triliun (Kompas, Selasa, 17 April 2012; halm 13). Pengeluaran ini jauh lebih besar dibandingkan perolehan negara dari cukai dan rokok.
5. Upaya Penanggulangannya a. Naikkan Cukai Rokok Untuk mengendalikan konsumsi rokok adalah menaikkan tarif cukai rokok. Saat ini kenaikan cukai ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/2012 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau pada 12 November 2012. Aturan berlaku 25 Desember 2012, dengan tarif rokok cukai 2013 rata-rata 8,5 parsen, dengan harga rokok Rp 6.000 – Rp 12.000 per bungkus (12 batang). Harga rokok harus dinaikkan sampai Rp 20.000 perbungkus (12 batang). b. Memberikan gambar “mengerikan” pada kemasan rokok Tingginya konsumsi rokok di Indonesia merugikan bagi kesehatan masyarakat. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya rokok, pemerintah perlu menerbitkan aturan yang mewajibkan perusahaan rokok mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar pada kemasan rokok produksinya. Beberapa negara, seperti Singapura, Malaysia, Brunai, dan Thailand, telah menerapkan peraturan peringatan kesehatan berbentuk gambar pada semua kemasan
rokok. Gambar
disertai pesan tunggal yang ditampilkan antara lain gambar mulut yang terserang kanker dan pendaharan otak penderita stroke. Namun, di Indonesia yang merupakan negara produsen rokok terbesar di Asia Tenggara justru belum ada aturan yang mewajibkan perusahaan rokok mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar pada bungkus rokok. Padahal bungkus peringatan kesehatan di bungkus rokok merupakan sarana pendidikan bagi masyarakat luas yang efektif dan murah karena biayanya tidak ditanggung pemerintah. 5
c. Batasi Iklan Iklan rokok kini semakin ekspansif, baik di jalan-jalan, media televisi, ataupun mensponsori di berbagai acara musik dan olahraga. Iklan yang kian gencar itu menimbulkan keinginan pada remaja untuk memulai merokok. Berdasarkan hasil penelitian ”Sekitar 29 persen responden menyatakan terdorong kembali untuk menyalakan rokok setelah melihat iklan rokok. Dari hasil survei yang pernah dilakukan oleh Komnas Perlindungan Anak ternyata 99,7 persen anak-anak terpapar iklan rokok ditelevisi, 87 persen terpajang iklan rokok di luar ruang, serta 76,2 persen remaja-remaja melihat iklan rokok di koran dan majalah. Sekitar 62,2 persen remaja memiliki kesan positif terhadap iklan rokok, 51,6 persen remaja dapat menyebutkan lebih dari tiga slogan iklan rokok, dan 50 persen remaja perokok merasa dirinya lebih percaya diri seperti yang dicitrakan iklan rokok. Karakteristik iklan rokok sangat dekat dengan dunia anak-anak muda. Slogan-slogan rokok mewakili dunia anak muda seperti ”Gak Ada Loe Gak Rame, Enjoy Aja! Ekspresikan Aksimu, U are U!” Selain itu, industri rokok juga menggunakan idola remaja sebagai ikon produksinya. Pesannya berubah-ubah dengan tema yang konsisten, berulang-ulang dan terus-menerus. d. Pendidikan tidak merokok Mengingat merokok merupakan urusan perilaku, peran sekolah seharusnya tidak kecil. Perlu ada kehendak politik membentuk perilaku tidak merokok masuk kurikulum sekolah. Sebagaimana pola pembentukan perilaku sehat lain, tak cukup kognitif, tetapi juga afektif agar terbentuk sikap positif terhadap hidup sehat. Menginsafi bahwa merokok tidak sehat. 6. Simpulan Dari uraian tersebut di atas di atas, dapat disimpulkan bahwa rokok ibarat buah simalakama, di satu sisi pemerintah menginginkan pendapatan dari cukai setiap tahunnya terus meningkat, tetapi di sisi lain menuai dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, bahkan dalam pengelolaan keuangan rumah tangga, rokok adalah perioritas kedua setelah beras dengan mengabaikan kecukupan gizi lainnya. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan generasi muda penerus bangsa dari bahaya rokok, perlu dilakukan upaya-upaya penanggulangannya melalui: kenaikan cukai rokok; memberikan gambar yang menakutkan pada kemasan rokok; pembatasan iklan baik di televisi, media massa, kegiatan konser, spanduk maupun pembatasan melalui peraturan daerah (perda); serta melalui pendidikan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar sampai tingkat menengah atas.
6
DAFTAR PUSTAKA Marsuni, Lauddin. 2006. Hukum dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia. Yogyakarta:UII Press. Pusdiklat PSDM, Kemenkeu. 2011. Pengelolaan Keuangan Negara. Jakarta. Kompas, 2012. “Kenaikan Tarif Cukai: Produksi Tetap Naik”. Kamis, tanggal 13-12-2012, hlm, 13 Media Indonesia, 2010. “Merokok dan Demokrasi”. Rabu, tanggal 03-11-2010, hlm, 21. Kompas, 2009. “Ihwal Ayat Tembakau”. Senin, 19 Oktober 2009. hlm, 7. Kompas, 2012. “Pengendalian Tembakau: Mengatur Rokok, Mencegah Kemiskinan” . Selasa, 17 April 2012, htm 13. Kompas, 2009. ”Bahaya Rokok ”Total Ban” Sebuah Pilihan Tak Terelakkan”. Rabu, 24 Juni 2009, hlm, 13. http://repository.beacukai.go.id. didownload tanggal 02-01-2012, pk. 11.16.
*Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Malang.
7