wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL
ISSN 1410-1298 | Nomor 34, Tahun XVI, 2014 | Halaman 145–161 Diterbitkan oleh Indonesian Society for Social Transformation (INSIST) http://www.insist.or.id/ | http://blog.insist.or.id/insistpress/ | http://jurnalwacana.com/
Rehal
Kretek dan Budaya Nusantara Nuran Wibisono
Penulis di The Geo Times
[email protected]
S
UDAH berpuluh tahun berlangsung perang antara industri rokok dan industri farmasi, dan belum ada tanda-tanda perang ini akan berakhir. Pada 1998, Robert A. Levy dan Rosalind B. Marimont menulis artikel berjudul “Lies, Damned Lies, & 400.000 Smoking-Relating Deaths” di jurnal Regulation (terbitan The Cato Institute). Levy adalah praktisi hukum dan ekonom serta anggota dari lembaga think tank The Cato Institute. Marimont adalah ilmuwan yang pernah bekerja untuk National Institute of Standards and Techonology. Artikel mereka menuding industri farmasi telah mempekerjakan intelektual karbitan (pseudo intellectual) untuk membuat hasil riset yang disebut sebagai ilmu pengetahuan sampah (junk science), sebutan untuk hasil riset yang mengambil metode dan kesimpulan secara serampangan demi kepentingan tertentu. Secara khusus, dalam artikel itu, Levy dan Marimont (1998: 24) pertama kali menuding rilis pers dari World Health Organization (WHO) yang berjudul “Passive Smoking Does Cause Lung Cancer, Do Not Let Them Fool You”. Menurut mereka, WHO mengkhianati penelitiannya sendiri karena “gagal secara ilmiah membuktikan hubungan antara perokok pasif dan penyakit, terutama kanker paru-paru”. Laporan yang sama lantas muncul di Journal of the National Cancer Institute.
146 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014 Levy dan Marimont (1998: 25) juga menuding laporan Environmental Protection Agency (EPA)1 yang dirilis pada 1993, dengan menyebut laporan EPA sebagai junk science. Laporan itu dicerca juga oleh hakim federal Amerika Serikat, William L. Osteen, karena dianggap memukul rata objek penelitiannya dan tidak berhasil memberikan contoh adanya hubungan antara enviromental tobacco smoke (ETS)2 dan kanker. Laporan lain yang dikritik dengan keras oleh Levy dan Marimont (1998: 25) adalah “Morbidity and Mortality Weekly Report” yang diterbitkan Judul: Kretek: The Culture oleh Centers for Disease Control and Prevention and Heritage of Indonesia’s Cigarettes (CDC)3 pada 27 Agustus 1993. Dalam laporan Clove Penulis: Mark Hanusz Ketiga, 2011 ini, CDC mengklaim bahwa sekitar 418.690 Edisi: Tebal: XV + 203 Halaman orang Amerika Serikat yang meninggal pada Penerbit: Jakarta, Equinox Publishing 1990 disebabkan oleh karena mereka merokok. Levy dan Marimont (1998) gerah terhadap angka buatan atau generalisasi tentang jumlah kematian prematur akibat rokok tersebut. Angka itu tak valid. Levy dan Marimont (1998: 25) mengatakan bahwa angka itu adalah generalisasi dari aplikasi komputer bernama Smoking Associated Mortality, Morbidity, and Economic Cost (SAMMEC). Aplikasi ini menerabas secara salah ilmu kesehatan, selain juga menyimpulkan terlalu cepat mengenai kematian akibat rokok. Jika ada seorang yang meninggal karena penyakit tertentu, dan ia merokok, maka SAMMEC akan mencatatnya sebagai orang yang meninggal karena rokok. Padahal, sebenarnya ia meninggal oleh sebab yang lain. Sebermula dari artikel Levy dan Marimont (1998) itu perang antara industri rokok dan industri farmasi semakin sengit. Ada banyak buku dari kedua belah pihak yang membeberkan data dari berbagai penelitian. 1 EPA adalah agen pemerintah federal Amerika Serikat yang bertugas melindungi kesehatan manusia dan lingkungan. Caranya dengan memaksakan peraturan atau undang-undang (berbasis hukum) yang sudah disahkan oleh Kongres. 2 ETS adalah istilah lain untuk menyebut lingkungan rokok pasif. Seseorang yang menghirup udara dalam lingkungan ETS disebut sebagai perokok pasif. Dengan kata lain, perokok pasif adalah orang yang terkena asap rokok orang lain. 3 CDC adalah institut nasional Amerika Serikat yang bergerak di bidang kesehatan publik. Didirikan pada 1 Juli 1946, CDC adalah agen pemerintah federal yang berada di bawah Departemen Kesehatan Amerika Serikat. Tujuan utama institut ini melindungi kesehatan dan keamanan warga.
Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil tembakau terbesar, turut ramai dengan perseteruan ini. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, di Indonesia, terdapat kurang lebih 270 ribu hektare lahan tembakau.4 Industri rokok juga mempekerjakan puluhan juta tenaga kerja dari sektor pengolahan dan pertanian tembakau. Itu belum tenaga kerja tak langsung, seperti pengecer rokok, atau pekerja dari sektor pendukung rokok, seperti petani cengkeh. Jika dirinci, sekitar 1,25 juta orang bekerja di ladang cengkeh dan tembakau. Lalu, ada 10 juta orang yang terlibat secara langsung dalam industri rokok. Sekitar 24 juta orang terlibat secara tidak langsung. Belum lagi jika menengok kontribusi pabrik rokok terhadap pendapatan negara melalui cukai. Menurut Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (dikutip dalam Cahyadi 2014), pada 2013, cukai hasil tembakau dan rokok menyumbang 103,53 triliun rupiah dari total penerimaan negara sektor bea dan cukai pada tahun yang sama, yang mencapai 108,45 triliun rupiah. Jumlah itu terus naik tiap tahun. Pada sisi lain, kubu antirokok mengatakan bahwa rokok adalah penyebab kematian prematur, selain juga penyebab berbagai penyakit, seperti kanker paru-paru. Menurut mereka—di antaranya Gerakan Anti Rokok dan Generasi Muda Anti Rokok—jumlah uang yang masuk dalam kas negara tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh rokok. Di antara perang yang sengit dan riuh itu, muncul sebuah buku yang terasa meneduhkan. Judulnya: Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes (selanjutnya disebut Kretek). Penulisnya adalah Mark Hanusz,5 pria berkebangsaan Swiss, yang juga pendiri penerbit buku kelas premium, Equinox Publishing. Buku ini berhasil menyajikan gambaran utuh mengenai kretek, budaya Nusantara yang sudah lama ada sebelum gaduh perang industri rokok melawan industri farmasi. Dengan penuturan yang deskriptif, dilengkapi banyak gambar dan foto yang sangat indah, buku Kretek dipuja-puji oleh banyak orang. Dalam sampul depan majalah ini, dimuat kutipan yang diambil dari majalah Time, “Hanusz mempersembahkan 4
Diambil dari tabel produksi, luas areal, dan produktivitas perkebunan di Indonesia. Tabel yang dimaksud dapat diakses di http://www.pertanian.go.id/Indikator/tabel-3-prod-lsareal-prodvitas-bun.pdf. 5 Hanusz tercatat pernah menulis tiga buku: Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes (2000), A Cup of Java (2003, ditulis bersama Gabriella Teggia), dan Family Business: A Case Study of Nyonya Meneer, One of Indonesia’s Most Successful Traditional Medicine Companies (2007, ditulis bersama Asih Sumardono). Semua buku tersebut diterbitkan oleh Equinox Publishing.
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014
147
148 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014 sebuah buku dengan detail dan ilustrasi yang mengagumkan tentang industri yang sudah bertahan selama 120 tahun (...). Buku ini adalah karya penting bagi dunia riset.”
Kretek dari Catatan Personal Pram
Buku ini mendapat kehormatan besar dengan dibuka oleh esai pendek yang sangat personal oleh pengarang besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Di esai pembukaan ini, pembaca bisa melihat sisi personal Pram— panggilan akrab Pramoedya—dari dekat. Pram menulis esai dengan sangat santai, sembari mengenang masa kecilnya kala berjualan kretek di pasar malam di Blora, kota kelahiran yang ia cintai sampai ajal menjemput. Esai Pram ini memang bukan sekadar preambul biasa. Ada banyak hal yang bisa kita perhatikan, mulai dari kebiasaan merokok sejak zaman kolonialisme hingga kala Jepang datang ke Indonesia pada 1942. Gaya Pram menulis pembukaan dalam buku Kretek ini sedikit banyak mengingatkan pembaca pada salah satu karya terbaik Pram, Bukan Pasar Malam.6 Menurut banyak pembaca Pram, Bukan Pasar Malam adalah karya Pram yang paling personal. Buku tipis itu menceritakan tentang kehidupan sang ayahanda Pram. Dalam buku itu juga muncul sekelumit kenangan Pram terhadap ayah dan kehidupan mereka. Dari sini, ada kemiripan antara prakata Pram dalam buku Kretek dan Bukan Pasar Malam. Prakata Pram sangat personal. Isinya tentang hidup Pram yang selalu bersinggungan dengan kretek, mulai dari masa kecil Pram yang berjualan kretek hingga bagaimana kretek menemani Pram menulis karya-karya terbaiknya. Nuansa seperti itu nyaris sama dengan nuansa yang dimunculkan dalam Bukan Pasar Malam. Dengan gaya bertutur ala Bukan Pasar Malam, Pram bercerita tentang bagaimana keinginannya bersekolah ditolak oleh ayahnya karena Pram dianggap terlalu bodoh (Toer 2011: XIII). Karena itu, Pram akhirnya berbisnis. Ia, bersama kakak lelakinya, mulai berjualan kretek di depan rumah. Dagangan mereka ternyata laris. Dua bersaudara ini kemudian mengembangkan sayap. Mereka berjualan rokok kretek di pasar malam di 6 Bukan Pasar Malam pertama kali diterbitkan pada 1951 oleh Balai Pustaka. Setelah dinyatakan sebagai novel terlarang sejak 1965, novel ini kembali diterbitkan ulang pada 1999 oleh Bara Budaya, kemudian oleh Equinox pada 2001 dan Lentera Dipantara pada 2004.
Blora.7 Pram bersama abangnya biasanya membeli rokok dalam kemasan karton besar, kemudian dijual per pak. Dagangan Pram semakin laris. Rokok yang mereka jajakan bisa habis hanya dalam waktu dua jam. Berkat bisnis rokok yang berhasil itu, Pram akhirnya bisa mengumpulkan uang untuk melanjutkan sekolah. Ia melanjutkan sekolah ke Surabaya. Pram juga mengisahkan tentang betapa populernya rokok Bal Tiga waktu itu. Pertama kali Pram mencoba merokok, ia merokok kelobot bermerek Bal Tiga.8 Dalam kisah hidup Pram, kretek tak sekadar menjadi hobi. Mengisap kretek sudah menjadi laku hidup pengarang yang pernah mendapat nominasi nobel sastra pada 1995 ini. Dalam esainya itu, Pram mengaku tak bisa menulis kalau tak ada kretek dalam tangannya. Pram memang bertumbuh jadi perokok berat. Dalam sehari, ia bisa mengisap dua bungkus rokok atau sekitar 32 batang. Rokok juga yang menemani Pram kala melewati masa paling berat dalam hidupnya. Pada 1942, ia pindah ke Jakarta. Ini awal masa susah Pram. Ibunya mangkat. Pram pun harus memulai hidup baru di kota yang keras. Kretek membantu Pram melewati lorong penuh pilu itu, termasuk perihal perut. Kala itu, makanan susah didapat. Banyak mayat bergelimpangan di jalan karena kelaparan. Saat itulah Pram semakin gencar merokok. Menurutnya, merokok membantunya untuk melupakan lapar. Kala diasingkan di Pulau Buru, Pram juga terbantu oleh kretek. Ia merokok semakin kencang. Bahkan, kala tak menemukan cengkeh untuk dicampur bersama tembakau, Pram dan kawan-kawannya rela masuk ke hutan untuk mencari cengkeh liar. Begitu mendapat kiriman uang pun Pram selalu menghabiskannya untuk membeli rokok. Lagi pula, uang di Pulau Buru bisa untuk membeli apa? Tak ada lagi yang bisa dibeli. Pram juga menanam tembakau, yang bibitnya 7
Pram juga menceritakan tentang rokok yang populer pada waktu itu. Di Blora, sebagian besar orang yang hidup di pinggiran kota dan desa adalah perokok kelobot, tembakau yang dibungkus dengan kulit jagung. Hanya orang kota yang bisa merokok kretek berbungkus kertas (Toer 2011: XIII). Memang nyaris mustahil mendapati rokok ala Barat di kota kecil seperti Blora. Kalaupun ada, menurut Pram, tak akan ada yang mau merokok rokok putih. Rokok lain yang populer waktu itu adalah klembak menyan, rokok tembakau yang dicampur dengan kemenyan. Rokok menyan populer di area Kebumen dan sekitarnya. Karena kemenyan adalah salah satu bagian dalam ritual tradisional Jawa, banyak orang kota yang merasa aneh dengan rokok ini menganggap merokok klembak menyan adalah ritual magis. 8 Bal Tiga termasuk perusahaan rokok pertama yang menjual produk dengan berbagai tipuan pemasaran (gimmick) yang menarik konsumen. Bal Tiga adalah salah satu perusahaan pertama yang menerapkan sistem kerja modern. Pada masa jayanya, perusahaan ini mempekerjakan lebih dari 15 ribu orang (Hanusz 2011: 47).
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014
149
150 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014 diberi oleh penduduk lokal. Sebelumnya, karena susah mencari tembakau, Pram mencoba berbagai jenis daun untuk coba dirokok. Eksperimen ini tentu berakhir dengan kegagalan yang komikal. Semasa di Buru, Pram memelihara beberapa ekor ayam. Hasil telurnya ia jual pada penduduk atau orang di pelabuhan. Uang itu dibelanjakannya, untuk apa lagi kalau bukan membeli rokok. Rokok, bagi Pram, sudah serupa ilham. Ia menulis Bumi Manusia dengan asap yang mengebul (Toer 2011: XVI). Dari asap yang ia kepulkan itu pula kelak lahir Tetralogi Pulau Buru, karya Pram yang paling termasyhur.
Karena Kretek Itu Istimewa
Kretek adalah istilah untuk menyebutkan produk khas olahan tembakau dari Indonesia. Khas artinya tak akan bisa didapatkan di negeri lain. Kretek pertama kali dicatat kemunculannya pada akhir abad ke-19 di Kota Kudus, Jawa Tengah—kota yang kini dikenal sebagai Kota Kretek. Pada awal kemunculannya, kretek dibalut oleh kelobot alias kulit jagung. Belakangan, rokok kretek dibalut oleh kertas hingga sekarang. Suara cengkeh yang terbakar dan menimbulkan bunyi pecah “kretek-kretek” itulah yang membuat rokok ini disebut “kretek”. Kretek punya banyak sekali keistimewaan yang tak akan bisa disamai oleh produk rokok lain. Kretek dibuat dengan komposisi yang rumit. Kalau rokok Western style hanya berbahan baku tembakau, kretek paling tidak memadukan tiga komposisi, yakni tembakau, cengkeh, dan saus. Saus kretek adalah bahan yang misterius. Setiap perusahaan rokok yang memproduksi kretek pasti punya resep rahasia saus. Biasanya hanya tiga atau empat orang pejabat perusahaan yang tahu resep saus ini. Belum lagi kalau berbicara tembakau. Sebagian besar pabrik kretek menggunakan tembakau lokal. Menurut Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Kementerian Pertanian (tanpa tahun), penggunaan tembakau lokal sebagai bahan baku kretek mencapai 80 persen. Menurut banyak ahli tembakau, tembakau di Indonesia disebut sebagai tembakau yang paling rumit dalam hal kualitas dan varietas. Beragam dan rumitnya tembakau lokal ini adalah pengaruh dari cara penanaman hingga penanganan pascapanen. Dalam tiap kretek yang diproduksi, ada kurang lebih tiga puluh varietas tembakau. Bayangkan betapa rumit dan berseninya kretek Indonesia.
Satu lagi keunggulan kretek adalah terdapat cengkeh dalam ramuannya. Cengkeh (Syzygium aromaticum) adalah jenis rempah yang membuat para penakluk (conquistador) berbondong datang ke Nusantara. Pasalnya, tanaman ini adalah tanaman asli Indonesia. Hal ini pernah ditulis Jack Turner dalam buku Spice: The History of Tempation (2004). Menurut Turner (2004), cengkeh hanya tumbuh di lima pulau kecil di Kepulauan Maluku, yakni Bacan, Makian, Moti, Ternate, dan Tidore. Gugus kepulauan ini dikenal sebagai kepulauan rempah dalam pelajaran sejarah dunia. Masih menurut Turner (2004), cengkeh sudah tercatat jejaknya sejak 1721 Sebelum Masehi dalam kerajinan keramik dari Suriah. Lalu, pada abad ke-3 Sebelum Masehi, kaisar Tiongkok mengunyah cengkeh untuk mengharumkan napas (Andaya 1993). Selain itu, cengkeh juga digunakan untuk berbagai keperluan lain, mulai dari bahan untuk masakan hingga campuran kretek. Karena tingkat kebutuhan yang tinggi dan jumlahnya yang sedikit, cengkeh berharga sangat mahal. Sebelum cengkeh berhasil dibudidayakan di luar daerah Maluku, cengkeh diperlakukan seperti minyak bumi. Sistem pembelian cengkeh pun diatur dengan kuota oleh pemerintah Belanda (Worrall 2012). Karena itu, Belanda berhasil memonopoli peredaran cengkeh di pasar dunia dan menangguk banyak keuntungan karenanya (Krondl 2008). Monopoli cengkeh juga dilakukan di masa Orde Baru. Rezim yang berkuasa selama tiga puluh dua tahun ini membentuk Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC). Tommy Soeharto menjadi salah satu aktor di balik badan ini. Tommy sebelumnya mendirikan PT Kembang Cengkeh Nasional. Bersama dua perusahaan lain, mereka lantas membentuk BPPC. Badan ini, dengan mandat peraturan menteri, punya hak eksklusif membeli cengkeh dari petani. Perusahaan rokok sebagai pengguna utama cengkeh tak lepas dari kewajiban untuk membeli cengkeh dari BPPC. Karena itu, cengkeh dari para petani dibeli dengan harga yang sangat murah. Tak ada pilihan lain, karena petani tak boleh menjual cengkeh kepada pihak mana pun selain BPPC. Akibat kekecewaan itu, para petani cengkeh membabat ribuan pohon cengkeh. Setelah Orde Baru tumbang, BPPC bubar dan cengkeh bisa dijual dengan harga yang tinggi lagi. Saat ini, sebagian besar penggunaan cengkeh untuk kretek. Bertahannya industri kretek jelas sangat membantu para petani cengkeh. Berdasarkan data Direktorat Jenderal wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014
151
152 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014 Perkebunan Kementerian Pertanian (2013), saat ini terdapat 1.041.881 petani yang terlibat dalam usaha budidaya cengkeh di tingkat on farm. Hal-hal istimewa tentang kretek inilah yang membuat Hanusz tertarik untuk menulis buku Kretek. Menurutnya, semakin mempelajari kretek, semakin ia terpesona. Ini yang membuat ia tertarik untuk menulis tentang kretek. Apalagi, setelah ia mencari-cari di perpustakaan, tak ada buku yang menuliskan kretek dengan lengkap. Hanusz membuat beberapa pembabakan tentang kretek di Indonesia, mulai dari awal mula masuknya tembakau di Indonesia, pembuatan kretek skala rumahan, hingga kretek yang menjadi salah satu industri terbesar di Indonesia. Pembabakan ini ia buat secara linear agar pembaca lebih mudah memahami alur perjalanan kretek. Hal menarik lain dari buku ini adalah foto-foto eksklusif nan langka. Untuk mendapatkan foto ini, Hanusz berkeliling Jawa guna mencari tahu soal kretek. Saat itulah, banyak keluarga yang pernah atau masih berbisnis kretek sehingga perusahaan kretek sendiri mau membagi foto-foto lama dan dokumen mereka. Dari sana Hanusz mendapat banyak foto lama yang langka. Selepas dari perjalanan itu, Hanusz pergi ke Belanda dan mengunjungi beberapa museum dan galeri foto dan mendapat banyak foto dan dokumentasi tentang kretek. Nantinya foto-foto itu banyak muncul dalam buku Kretek. Setelah itu, Hanusz dan Jez O’Hare, salah satu fotografer terkenal, pergi ke Jawa Tengah untuk memotret pembuatan kretek dan panen tembakau.
Masa Sebelum Kretek
Belum ada catatan pasti kapan tembakau masuk ke Indonesia. Namun, kitab Jawa kuno berjudul Babad Ing Sangkala menceritakan bahwa tembakau sudah digemari oleh orang Jawa semenjak 1523 Saka (1601 Masehi). Penuturan dari kitab Jawa kuno ini didukung oleh catatan yang dibuat oleh Edmund Scott, seorang kapten niaga asal Inggris yang tinggal di Banten sekitar 1603–1604. Menurut Scott, orang Jawa yang tinggal di Banten sangat menggemari tembakau. Tembakau semakin luas tersebar dan dalam skala besar pada zaman Gubernur Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Johannes van den Bosch (1830–1833) melalui sistem cultuurstelsel alias kerja tanam paksa. Pada masa itu, Eropa memang sedang sangat membutuhkan tembakau untuk pemenuhan kebutuhan pabrik cerutu Eropa.
Tak hanya di Jawa, kebiasaan mengisap tembakau juga terdapat di banyak daerah di Nusantara. Di gugusan Kepulauan Maluku, misalnya, dikenal rokok tradisional yang disebut bungkus. Rokok ini adalah tembakau lokal yang digulung di dalam daun jagung atau daun pisang dan diikat oleh sehelai benang. Rokok ala Maluku ini diperkirakan sudah ada semenjak abad ke-17. Di Sumatra, dikenal roko. Hampir sama dengan bungkus atau kelobot, tapi di Sumatra dibungkus dengan daun nipah. Menurut beberapa ahli linguistik, istilah “rokok” berasal dari bahasa Belanda, “roken”, yang artinya “to smoke” atau “mengisap”. Besar kemungkinan istilah ini muncul ketika pelabuhan Sumatra ramai dikunjungi oleh pelaut asal Belanda di abad ke-17. Hingga saat ini, istilah “rokok” masih dipakai, dan “bungkus” disebut untuk wadah rokok. Istilah kelobot sendiri konon dikenal pada abad ke-19 (Hanusz 2011: 10). Pada masa ini, konsumsi rokok semakin meningkat. Pada 1850-an, kelobot dibuat dalam skala rumahan. Namun, di akhir dekade itu pula, rokok sudah masuk masa industri. Rokok dibuat dalam skala besar dan muncul dalam berbagai pusat keramaian, seperti pasar atau pasar malam. Hanusz mengatakan bahwa periode itu hampir bersamaan dengan periode orang Kudus mulai mencampurkan cengkeh dalam gilingan tembakau. Dari sini, kisah kretek bermula.
Awal Mula Kretek
Kretek bermula dari seorang tokoh masyarakat bernama Haji Djamhari, yang sedang mencari obat untuk penyakit asmanya. Sebermulanya, ia mengoleskan minyak cengkeh pada dadanya. Karena mengalami kemajuan, Haji Djamhari mencoba untuk mencampurkan biji cengkeh pada tembakau untuk kemudian diisap. Ternyata, setelah beberapa kali merokok ramuan itu, penyakit asma Haji Djamhari sembuh. Sejak itu ia mulai mencoba menjual rokok temuannya. Ia menyebut rokok tersebut sebagai rokok cengkeh. Selain dijual di rumahnya, rokok cengkeh bisa dibeli di toko obat karena khasiatnya untuk menyembuhkan asma. Pada 1890, Haji Djamhari meninggal sebelum sempat menikmati kesuksesan rokok kretek buatannya. Sepeninggal Haji Djamhari, warga Kudus lain mengikuti jejaknya membuat rokok cengkeh. Tapi, perlu dicatat, kala itu rokok cengkeh—yang kelak disebut kretek—masih dibungkus dengan daun jagung alias kelobot. Rokok kretek belum dibungkus dengan kertas. wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014
153
154 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014 Kretek tak lagi menjadi sekadar obat bagi para penderita asma, tapi juga sesuatu yang baru untuk diisap. Usaha rokok kretek di Kudus adalah industri rumahan dalam arti sesungguhnya, yakni kretek dibuat di rumah dan langsung didistribusikan pada konsumen atau pelanggan. Saat itu belum ada merek, belum ada label, gambar, atau apa pun seperti rokok kretek pada masa modern. Namun, masa kretek sebagai industri skala kecil ini tak lama berlangsung. Semua berkat seorang bernama Nitisemito.
Bal Tiga dan Pemasaran Modern
Kalau ada orang yang berjasa pada industri rokok modern, Nitisemito boleh disebut paling awal. Pasalnya, lelaki asal Kudus ini adalah orang yang pertama kali mengubah sistem pemasaran dan sistem kerja rokok kretek. Dari usaha yang ia rintis, kretek yang awalnya industri rumahan menjelma jadi industri raksasa yang menyumbangkan ratusan miliar rupiah pada kas negara melalui cukai. Nitisemito adalah anak priayi. Bapaknya adalah H. Sulaiman, Kepala Desa Jagalan pada 1874. Kala itu banyak anak priayi yang berbisnis. Dengan bantuan dari keluarga, biasanya bisnis ini bisa berkembang. Namun, tidak demikian dengan Nitisemito. Menurut penuturan Hanusz (2011: 33), Nitisemito pernah merantau ke Malang untuk jadi penjahit. Usaha ini berakhir dengan kegagalan yang membuatnya pulang kampung. Di kota kelahirannya, berbagai usaha ia lakoni, tapi tak ada yang berhasil. Akhirnya, dua usaha terakhir dilakoninya. Kalau siang, ia menjadi sais pedati. Malam ia berdagang tembakau. Kala itulah ia bertemu dengan Nasilah, perempuan yang punya reputasi sebagai penjual rokok kelobot. Konsumen Nasilah kebanyakan adalah sais pedati, musafir, hingga para pekerja biasa. Nitisemito akhirnya punya ide menikahi Nasilah. Belum ada catatan tertulis apakah pernikahan ini berdasarkan pertimbangan bisnis semata atau memang karena pertimbangan romansa. Apabila pernikahan ini didasarkan oleh pertimbangan bisnis, berarti Nitisemito memang punya visi bisnis yang tajam semenjak lama. Setelah mereka menikah, usaha mereka semakin maju. Saat itulah Nitisemito membuat gebrakan. Dalam ilmu ekonomi, istilah umumnya adalah differentiation. Ekonom Eddward Hastings Chamberlin memperkenalkan istilah ini dalam bukunya yang termasyhur, Theory of Monopolistic Competition. Chamberlin
(1933) menjelaskan, dengan diferensiasi, sebuah produk memiliki keunggulan yang membedakan dengan produk para pesaingnya. Kalau diferensiasi bisa dijalankan dengan baik, sebuah produk bisa memonopoli pasar. Hal ini terjadi pada perusahaan Nitisemito. Kala itu, rokok kretek tak ada yang mempunyai merek. Penjualannya pun dilakukan skala rumahan. Celah ini lantas dimasuki oleh Nitisemito dengan membuat beberapa langkah pembeda. Diferensiasi pertama yang dilakukan oleh Nitisemito adalah membuat merek untuk produknya. Ini untuk membedakan rokok buatannya dengan rokok lain di pasaran. Pada awalnya, merek rokoknya adalah Kodok Mangan Ulo. Namun, karena dianggap tak enak di kuping, ia menggantinya jadi Bulatan Tiga, lantas diganti lagi jadi Tiga Bola, sebelum akhirnya menjadi Bal Tiga (Hanusz 2011: 34). Nitisemito secara resmi mendaftarkan perusahaannya dengan nama Naamloze Vernootschap Bal Tiga Nitisemito pada 1908, meski perusahaan ini sudah memproduksi kelobot dua tahun sebelumnya. Diferensiasi kedua yang dilakukan oleh Nitisemito adalah membuat kemasan rokok dengan disertai logo. Ini hal yang baru bagi industri rokok di Kudus, bahkan di seluruh Nusantara. Nitisemito juga membuat sejarah baru dalam dunia pemasaran Nusantara kala itu. Ia, misalnya, mencetak logo kemasan rokoknya di Jepang. Diferensiasi ketiga yang sekaligus berhasil meningkatkan penjualan Bal Tiga adalah pemberian hadiah bagi pembeli produknya, juga bagi mereka yang menukarkan bungkus kosong.9 Hal ini lazim belaka dalam dunia pemasaran modern. Namun, kala itu langkah pemasaran seperti ini sangat tidak biasa. Berkat beberapa diferensiasi ini, Bal Tiga melesat menjadi salah satu rokok terlaris saat itu.
Dimulainya Sistem Abon
Selain terkait pemasaran, diferensiasi yang dilakukan oleh Nitisemito juga terkait dengan produksi rokok. Ia memperkenalkan sistem abon dalam produksi rokok, yang kemungkinan besar menjadi awal mula 9
Langkah pemberian hadiah ini ditiru oleh banyak perusahaan rokok lain, bahkan perusahaan rokok kecil. Salah satu yang mengikuti cara ini adalah perusahaan Goenoeng & Klapa. Ini perusahaan rokok kecil, bahkan dalam izin registrasinya terdaftar sebagai: perusahaan sangat kecil. Goenoeng & Klapa didirikan pada 1913 oleh Mohamed Atmowijojo. Perusahaan ini masih berdiri hingga sekarang. Perusahaan ini masih menggunakan cara memproduksi rokok yang sama: dengan tangan, dan di gedung yang sama. Goenoeng & Klapa memproduksi beberapa hadiah sebagai gimmick untuk menarik pelanggan, seperti teko teh dari keramik bertuliskan nama perusahaan hingga pensil yang bertuliskan nama pendiri perusahaan.
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014
155
156 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014 sistem outsourcing dalam dunia kerja. Sistem ini mungkin termasuk bagian yang paling sigfinikan dalam revolusi industri kretek yang dilakukan oleh Nitisemito (Hanusz 2011: 38). Hanusz (2011: 38) menjelaskan sistem yang diberlakukan kala itu sebagai berikut: Nitisemito lebih dulu menyeleksi tembakau. Setelah dirajang, ia meramunya dengan cengkeh dan saus kretek. Setelah itu, ia akan memberikan alat produksi rokok, seperti kertas dan alat penggulung, kepada para abon alias mandor. Sang mandor ini nanti akan mengambil tembakau yang sudah siap digulung, kertas, dan alat penggulung, lalu membawanya kembali ke desa tempat tinggalnya. Selanjutnya, sang mandor akan membagikan tembakau dan alat produksi itu ke para pekerja yang ia tunjuk. Para pekerja ini biasanya diupah berdasarkan jumlah rokok yang diproduksi. Setelah selesai, biasanya memakan waktu beberapa hari, para mandor akan mengumpulkan rokok yang sudah jadi, lalu menyetorkan kepada Nitisemito. Dengan sistem ini, Nitisemito berhasil menghemat ongkos dalam jumlah besar, sekaligus memberikan banyak keuntungan. Keuntungan yang paling terlihat adalah Nitisemito tak perlu membangun pabrik yang besar karena pekerjaan itu bisa dikerjakan di rumah masing-masing pekerja. Dari segi labor cost pun, ongkos yang dikeluarkan Nitisemito lebih kecil karena honor yang dibayarkan sesuai dengan produktivitas para pekerja. Di sisi para pekerja, mereka merasa lebih santai karena bisa bekerja dari rumah. Hanya saja, sisi buruk sistem abon ialah perusahaan tak punya kewajiban untuk menyediakan tunjangan kesejahteraan (social walfare) bagi para buruh. Meski demikian, sistem abon terbukti berhasil membesarkan Bal Tiga. Terbukti, banyak perusahaan rokok lain menggunakan sistem yang sama, mengadopsi sistem yang dipakai oleh Nitisemito. Ironisnya, sistem ini pula yang menggerogoti Bal Tiga dari dalam. Beberapa abon yang curang, bisa jadi karena tiadanya rasa kepemilikan terhadap perusahaan, atau karena suap dari perusahaan saingan, membawa tembakau yang sudah jadi kepada beberapa perusahaan rokok lain untuk ditiru. Akibatnya, muncul beberapa rokok imitasi Bal Tiga. Tentu dengan kualitas yang tak sebagus aslinya. Tim manajemen Bal Tiga tak bisa melakukan apa pun terhadap “pembajakan” ini sehingga akhirnya perusahaan berani memberi hadiah bagi mereka yang menukarkan bungkus asli Bal Tiga. Ini membuat para konsumen kembali setia pada Bal Tiga.
Seiring membesarnya industri kretek, perusahaan rokok setelah Bal Tiga lebih memilih untuk membangun pabrik dan memproduksi rokok di pabrik. Hal ini dilakukan tentu untuk memantau produksi, selain juga meminimalisir kecurangan seperti yang sudah disebut di atas.10
Kapal Tua Karam dan Lahirnya Raksasa Baru
Perusahaan Nitisemito sebenarnya paradoks tersendiri. Di satu sisi, mereka salah satu perusahaan pribumi yang kala itu menerapkan sistem pemasaran modern, yang jauh melampaui zaman. Namun, di sisi lain, mereka masih menerapkan sistem oligarki dalam perusahaan. Mereka menunjuk atasan perusahaan berdasar kedekatan ikatan darah, bukan semata pertimbangan kemampuan. Hal ini yang disebut Hanusz sebagai salah satu pukulan telak yang lantas mengaramkan Bal Tiga untuk selamanya. Nitisemito punya orang kepercayaan. Namanya Karmain. Selain pekerja lama dalam perusahaan, Karmain juga suami anak kedua Nitisemito. Karmain-lah yang di tengah jalan mengambil alih tampuk kekuasaan di Bal Tiga sejak 1918. Karmain, dengan darah muda dan segala kegesitannya, berhasil bergerak taktis; membuahkan beberapa ide segar yang terbukti meningkatkan omzet perusahaan. Promosi melalui sistem pemasaran yang tak biasa adalah buah pikir Karmain. Karmain juga menggencarkan cakupan pasar Bal Tiga. Hampir di setiap pasar malam, Bal Tiga selalu memasang tenda besar untuk memajang produknya. Ada juga tenda hiburan dan hadiah. Mereka bahkan membeli bus yang dipesan khusus untuk keperluan promosi (Hanusz 2000: 42). Bahkan, Bal Tiga selalu menyewa rombongan pemain tonil dalam setiap pasar malam. Pengunjung tak perlu membayar untuk menyaksikan penampilan tonil. Cukup menukarkan bungkus kosong Bal Tiga. Pada puncak kepemimpinan Karmain, Bal Tiga mencapai puncak kejayaan. Perusahaan rokok yang bermula dari usaha rumahan ini menjelma jadi usaha raksasa, mempekerjakan lebih dari 15 ribu karyawan (Hanusz 2000: 47). Bal Tiga menjadi salah satu perusahaan pribumi terbesar di Hindia Belanda. Namun, laiknya perusahaan berbasis keluarga, banyak anggota keluarga yang tak puas atau iri dengan kesuksesan perusahaan. Keinginan untuk 10 Sistem abon kini sudah nyaris punah. Tapi, beberapa perusahaan rokok masih memberlakukan sistem ini, entah berdasar kepentingan ekonomi atau sebatas tradisi. Salah satu perusahaan yang masih mempertahankan sistem lawas ini adalah Nojorono, yang terkenal dengan produk rokok Minak Djinggo (Hanusz 2011: 39).
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014
157
158 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014 mencongkel pemimpin semakin besar. Kali ini dilakukan oleh Akuan Markum, salah satu cucu Nitisemito. Pada 1932, dalam rangka meningkatkan pendapatan Belanda, tiap perusahaan rokok dikenai cukai oleh pemerintah Belanda. Akuan menuding Karmain menggelapkan cukai yang disetor untuk pihak Belanda. Karmain sempat ditangkap dan dipenjara, walau akhirnya lepas dari tuduhan. Sampai saat ini, belum terbukti apakah Karmain bersalah atau tidak. Pada 1935, Karmain akhirnya keluar dari perusahaan, yang kemudian membuat Bal Tiga semakin terperosok. Selepas Karmain keluar, tampuk kekuasaan perusahaan diambil alih oleh Nitisemito, alih-alih oleh Akuan. Namun, hal ini tak membantu perusahaan. Tertatih, perusahaan Bal Tiga berjalan. Hingga akhirnya Jepang datang menjajah Indonesia pada 1942. Saat itulah kejatuhan imperium Bal Tiga. Masa itu, Jepang mengambil alih semua aset perusahaan pribumi, termasuk Bal Tiga, mulai dari emas, uang tunai, bangunan, kendaraan, hingga pagar bangunan di Desa Jati, Kudus (Hanusz 2011: 48). Selepas Indonesia merdeka, Bal Tiga tetap tak bisa bangkit, hingga akhirnya Nitisemito meninggal dunia pada 1953. Kematiannya sekaligus lonceng kematian bagi Bal Tiga. Merek yang pernah merajai pasar rokok di Indonesia ini hilang untuk selamanya. Namun, matinya Bal Tiga tak lantas membuat industri kretek turut mati. Muncul perusahaan-perusahaan baru yang lantas menjadi besar. Nyaris semua punya satu kesamaan: berawal dari industri rumahan, lantas menjadi besar dengan berbagai inovasi. Hanusz menyebutkan beberapa nama perusahaan ini: H.M. Sampoerna, Nojorono, Bentoel, Djambu Bol, Gudang Garam, hingga Djarum (Hanusz 2011: 120–132). Buku ini tak membahas secara lengkap tentang sejarah perusahaan-perusahaan itu. Beberapa bahkan hanya diterangkan sedikit saja. Nojorono, misalnya, hanya diterangkan dalam lima paragraf ditambah dengan beberapa gambar terkait (Hanusz 2011: 122). Ini jauh berbeda dengan, misalnya, Djarum, yang mendapat porsi delapan belas halaman. Sebenarnya hal ini bisa dipahami. Dari segi skala, Djarum adalah perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Saat ini Djarum mempekerjakan kurang lebih 75 ribu pekerja (Hanusz 2011: 142). Sejarah perusahaan tersebut
juga panjang dan berliku.11 Nyaris tak jauh berbeda dengan Nitisemito dan Bal Tiga. Lagi pula, selepas pembacaan rampung, buku ini lebih banyak berkisah tentang kretek dan budaya.
Kretek dalam Buku Bernama Indonesia
Sekilas, akan muncul pertanyaan: apakah hal sepele macam rokok kretek termasuk bagian dari kebudayaan Nusantara? Jawabannya: ya, kretek adalah bagian penting dari buku besar bernama Nusantara, Indonesia. Hal ini memang laten, tapi jika menengok lebih cermat, kretek mengambil bagian penting dalam banyak aspek kehidupan di Nusantara. Hanusz mendedahnya dalam beberapa subbagian. Hanusz, misalnya, memberi contoh bagaimana sebatang rokok kretek menjadi medium pemecah kebekuan (ice breaker), sumbu pengawal percakapan yang ampuh (Hanusz 2011: 155). Kalau bertemu orang yang tak dikenal dalam sebuah situasi, tawarkan saja sebatang rokok untuk memulai percakapan. Meski orang yang ditawari tak merokok, tapi ia jelas akan mengucapkan terima kasih sebagai ungkapan menghargai tawaran yang hangat itu. Hanusz juga menggambarkan bagaimana rokok kretek “mengambil alih” kebiasaan orang dalam mengunyah pinang dan sirih pada masa lampau. Mengunyah pinang dan sirih serta mengisap kretek sama-sama memberi efek yang sama: menenangkan, menghilangkan rasa sakit, mengurangi rasa lapar, dan memberikan efek rileks (Hanusz 2011: 156). Kretek dalam ritual di Nusantara juga dibahas oleh Hanusz. Kretek acap muncul dalam sesajen yang dipersembahkan untuk para leluhur dan para dewa. Hanusz memberikan contoh di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Di sana, dikenal istilah rokok sajen. Ini adalah sisa-sisa rokok dengan kualitas rendah yang dijual untuk keperluan ritual (Hanusz 2011: 161). Aroma kretek dianggap sebagai sarana untuk mempermudah para perokok menuju “dunia lain” (Hanusz 2011: 164). Hal yang sama sebenarnya juga sudah dikenal lebih dulu dalam kebudayaan suku Indian. Daun tembakau pun berasal dari suku ini. Daun tembakau menempati posisi yang tinggi dalam kebudayaan Indian. Para shaman, dukun Indian, menggunakan tembakau untuk mencapai kondisi 11 Hanusz juga kurang menyentuh hubungan antara Djarum dan taipan politik di Indonesia.
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014
159
160 wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014 trance (Goodman 2005). Selain itu, tembakau juga diisap dalam keseharian para Indian, termasuk anak-anak kecil. Menurut mereka, tembakau adalah daun suci hasil kasih sayang para dewa. Selain itu, kretek juga memperoleh tempat terhormat dalam revolusi di Indonesia, baik revolusi diplomasi seperti pernah dilakukan oleh Agus Salim hingga revolusi kebudayaan di dekade 1950-an. Banyak seniman, mulai dari penyair, penulis, hingga pelukis, menganggap kretek adalah pemberi inspirasi. Para seniman yang terkenal sebagai penggemar berat kretek di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, hingga Henk Ngantung, pelukis yang kelak menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Kesimpulan Buku Kretek
Hanusz mengakhiri buku ini dengan kesimpulan: kretek bukan cerutu, bukan pula rokok. Kretek adalah sesuatu yang spesial, “sesuatu yang punya posisi istimewa dalam jagat rokok dan cerutu” (Hanusz 2011: 181). Berbicara tentang kretek jelas tak akan bisa mengabaikan faktor sejarah, seperti bagaimana para pengelana dari dunia yang sama sekali jauh datang ke Nusantara hanya untuk mencari cengkeh, juga bagaimana para penakluk membawa bibit tembakau ke Nusantara dan memulai babak sejarah baru tanaman itu di tempat yang baru. Kretek juga menjadi perlambang budaya Nusantara yang memberi tempat istimewa bagi rempah. Dari berbagai pemaparan itu, kesimpulannya jelas: kretek punya tempat khusus dalam khazanah kebudayaan di Nusantara. Dalam bab terakhir, Hanusz menyatakan bahwa kretek bisa dianggap sebagai simbol dari masyarakat Indonesia dan kebudayaan. Lebih jauh, kretek bisa menyatukan orang Indonesia. Premisnya: kretek bisa ditemukan di mana saja. Dari Sabang hingga Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote. Lebih dari 17 ribu pulau, dan lebih dari 300 bahasa, kretek selalu ada di antaranya. []
Daftar Pustaka
Andaya, L.Y. 1993. “Cultural State Formation in Eastern Indonesia.” Dalam Southeast Asia in the Early Modern Era: Trade, Power, and Belief, disunting oleh A. Reid, 23–41. New York: Cornell University Press.
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat Kementerian Pertanian. Tanpa tahun. “Varietas Unggul.” Diakses pada 28 November 2014. http://balittas.litbang.pertanian. go.id/ind/index.php?option=com_content&view=section&id=13&Itemid=95. Cahyadi, H. 2014. “Dilema Regulasi Rokok, Menimbang Efektivitas Pictorial Health Warning.” 7 Agustus. Diakses pada 1 Desember 2014. http://www.pajak.go.id/ content/article/dilema-regulasi-rokok-menimbang-efektivitas-pictorial-healthwarning. Chamberlin, E.H. 1933. Theory of Monopolistic Competition. Cambridge: Harvard University Press. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. 2013. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Rempah dan Penyegar: Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Cengkeh Tahun 2014. Tanpa penerbit. Goodman, J. 2005. Tobacco in History and Culture: An Encyclopedia. Detroit: Thomson Gale. Hanusz, M. 2011 [2000]. Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes. Jakarta: Equinox Publishing. Krondl, M. 2008. The Taste of Conquest: The Rise and Fall of the Three Great Cities of Spice. New York: Ballantine Books. Levy, R.A. dan R.B. Marimont. 1998. “Lies, Damned Lies, & 400.000 Smoking-Related Deaths.” Regulation 21 (4): 24–29. Toer, P.A. 2011 [2000]. “Foreword.” Pengantar dalam M. Hanusz, Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, XIII–XVI. Jakarta: Equinox Publishing. Turner, J. 2005. Spice: The History of Tempation. New York: Vintage Publishing. Worrall, S. 2012. “The World’s Oldest Clove Tree.” BBC News Magazine 23 Juni. Diakses pada 21 November 2014. http://www.bbc.com/news/magazine-18551857.
wacana JURNAL TRANSFORMASI SOSIAL 34/XVI/2014
161