BAB IV PENUTUP
Perbudakan terhadap orang kulit hitam di Amerika Serikat merupakan suatu bentuk imperialisme yang dilakukan oleh warga berkulit putih. Pada waktu itu, kaum kulit putih bukan hanya mendominasi bidang ekonomi, politik dan budaya, tetapi mereka benar-benar menghapus hak masyarakat kulit hitam di ketiga bidang tersebut. Di masa perbudakan, kaum kulit hitam bukan hanya kelompok minoritas, namun juga periphery. Kondisi yang sama masih terjadi pasca perang saudara, bahkan setelah praktik perbudakan dilarang di AS. Hukum Jim Crow menyebabkan terbatasnya hak-hak masyarakat Afrika-Amerika. Dewasa ini, meski tidak menjadi budak, orang berkulit hitam tetaplah warga kelas dua di AS. Pasca Undang-Undang Hak Sipil 1964 disahkan dan Barack Obama terpilih menjadi presiden hingga dua kali masa pemerintahan, banyak yang menduga bahwa keadaan akan jauh lebih baik bagi masyarakat kulit hitam. Namun, menggeser posisi mereka dari periphery ke centre tidak mudah. Pasca krisis finansial tahun 2007, kemiskinan di dalam masyarakat kulit hitam terus meningkat dengan angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan pada masyarakat kulit putih. Krisis finansial yang terjadi enam tahun lalu di Amerika Serikat ini menghantam kelompok masyarakat Afrika-Amerika dua kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kalangan kulit putih. Keadaan ini bukanlah suatu hal yang kebetulan, melainkan dapat dijelaskan dengan faktor-faktor yang diderita oleh masyarakat kulit hitam, namun tidak oleh masyarakat kulit putih. Faktor-faktor ini antara lain berhubungan dengan rumah sebagai sektor yang terkena imbas krisis finansial, padahal rumah merupakan aspek kesejahteraan terbesar bagi kelompok masyarakat Afrika-Amerika. Penelitian juga membuktikan bahwa masyarakat kulit hitam mengalami penyitaan rumah dua kali lebih sering dibandingkan dengan masyarakat kulit putih. Peristiwa ini mengindikasikan adanya rasisme yang terjadi pada saat pembelian hipotek rumah, di mana banyak dari masyarakat kulit hitam yang membeli rumah secara kredit yang lebih berisiko dan lebih mahal. Alhasil, kelompok Afrika-Amerika, lagi-lagi, jatuh lebih miskin. Kondisi tersebut tidak teratasi dengan baik, antara lain karena adanya konsep colorblindness yang dipaksakan. Konsep ini dilatar belakangi oleh sejarah perbudakan dan diskriminasi yang terjadi pada warga berkulit hitam di Amerika Serikat yang menjadikan ras sebagai sesuatu yang sensitif untuk dibicarakan. Kesadaran tentang adanya perbedaan dikhawatirkan memicu kembali diskriminasi yang secara legal pernah dipraktikkan di negara 43
tersebut selama berpuluh-puluh tahun. Nilai colorblindness sesungguhnya dapat dibaca melalui Amandemen ke-14 yang disahkan pasca perang sipil, yang mengindikasikan bahwa setiap orang dapat mencapai kesuksesan tanpa dipengaruhi oleh identitas ras yang ia miliki. Pengertian ini dijadikan salah satu alasan bagi kebijakan pengentasan kemiskinan yang netral. Kebijakan yang netral secara ras juga dijalankan demi mengikuti suara mayoritas kulit putih yang menolak adanya kebijakan yang ditujukan kepada suatu ras tertentu. Berdasarkan penelitian, penolakan ini didasari oleh streotip warga berkulit putih terhadap warga AfrikaAmerika, di mana yang terakhir ini dianggap sebagai undeserved poor yang jatuh miskin akibat kesalahan mereka sendiri, sehingga tidak berhak mendapat subsidi atau kebijakan afirmatif lain yang berasal dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat kulit putih. Kebijakan yang netral secara ras terbukti tidak berhasil menciptakan kesetaraan antara warga Afrika-Amerika dan masyarakat kulit putih. Pada tahun 1920-an pasca krisis finansial besar yang melanda AS, Presiden Roosevelt mengeluarkan serangkaian kebijakan perbaikan ekonomi yang dikenal dengan kebijakan New Deal yang meliputi sektor pertanian, perumahan dan pekerjaan. New Deal memang memberikan perbedaan, akan tetapi bukan berarti ia berjalan tanpa cela. Pada akhirnya, krisis finansial di tahun 1920 ini tetap membawa dampak yang jauh lebih besar terhadap kelompok Afrika-Amerika karena tidak semua dari mereka mendapat hak yang seharusnya. Program-program New Deal tidak terdistribusi dengan baik kepada masyarakat kulit hitam karena rasisme menyebabkan para stakeholders kulit putih enggan untuk menyalurkan bantuan yang seharusnya diterima oleh masyarakat kulit hitam. Kegagalan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan di masa Roosevelt tidak membuat pemerintah AS mencanangkan kebijakan baru yang memperhatikan aspek-aspek khusus yang hanya mempengaruhi suatu ras tertentu. Keadaan ini, lagi-lagi, dipengaruhi oleh pendapat yang bersikeras untuk menerapkan konsep colorblindness dalam setiap kebijakan. Pada akhirnya, analisis dengan menggunakan konsep colorblindness menjadi tidak konsisten. Konsep ini seolah hanya diterapkan dalam kebijakan, sedangkan dalam hubungan antar-ras dan dalam cara pandang suatu ras terhadap ras lain masih sangat dipengaruhi oleh stereotip dan rasisme. Contohnya, kebanyakan masyarakat kulit putih melihat bahwa kemiskinan yang diderita oleh orang kulit hitam adalah akibat dari kemalasan dan kebodohan mereka sendiri, namun mereka menolak adanya kebijakan pengentasan kemiskinan yang spesifik pada suatu ras. Bagaimanapun, melalui cara pandang lain, kita dapat melihat bahwa justru karena colorblindness dipraktekkan secara konsisten maka seseorang dapat mencapai kesuksesan karena kemampuannya dan tidak berhubungan dengan latar belakang rasnya. Banyaknya 44
masyarakat kulit hitam yang tidak sejahtera adalah sebuah kebetulan; memang banyak di antara mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri. Melalui perspektif ini, colorblindness telah menimbulkan ketidaksensitifan masyarakat terhadap persoalan ras, karena bagaimanapun, masyarakat kulit hitam memulai hidup dari garis awal yang berbeda dengan masyarakat kulit putih. Seperti ditulis di awal bab ini, situasi tersebut adalah imbas dari perbudakan dan diskriminasi yang terjadi selama ratusan tahun. Selama bertahun-tahun, masyarakat kulit hitam (bersama dengan kelompok minoritas lainnya seperti Hispanik dan keturunan Timur Tengah) telah menjadi korban dari racial profiling. Meski memiliki presiden keturunan kulit hitam, setiap harinya orang-orang kulit hitam tetap lebih sering diberhentikan pada waktu mengemudi, kemudian digeledah dan ditangkap. Masyarakat berkulit putih tidak mendapat pengalaman yang sama, karena itulah mereka tidak memahami konsep racial profiling dengan baik dan memilih untuk tetap mempraktekkan colorblindness. Pada titik inilah pemahaman tentang peran dan posisi tokoh atau organisasi yang memperjuangkan kesetaraan hak dan kemajuan hidup bagi warga Afrika-Amerika menjadi penting. Nation of Islam salah satunya. NOI adalah sebuah organisasi yang telah berdiri sejak segregasi dan diskriminasi masih diatur secara legal, dan masih bertahan hingga saat ini. Kelompok yang anggotanya dikenal dengan sebutan black Muslims ini memiliki karakter yang mengagungkan supremasi kulit hitam, hampir sama rasisnya dengan kelompok yang percaya pada supremasi kulit putih. Apabila kelompok supremasi kulit putih menganggap bangsa kulit hitam adalah bangsa yang bodoh, maka NOI percaya bahwa bangsa kulit putih adalah setan. Pada masa sebelum pergerakan sipil, gerakan NOI berfokus pada upaya untuk mengubah mentalitas masyarakat kulit hitam sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka. Mentalitas masyarakat Afrika-Amerika yang rendah diri karena diperlakukan secara tidak manusiawi selama beratus-ratus tahun diusahakan diubah agar ada kebanggaan terhadap asalusul mereka. Elijah Muhammad menulis sebuah buku yang berisikan kekayaan dan keagungan peradaban kulit hitam. NOI membangun sekolah dan mengadakan pertemuanpertemuan secara berkala. Upaya-upaya ini memberikan kepercayaan diri dan mengubah mental masyarakat Afrika-Amerika yang inferior menjadi superior. NOI juga menuntut separasi dan pengembangan bisnis bagi masyarakat kulit hitam agar mereka bisa memenuhi kebutuhan sendiri, dan memberi pemasukan bagi “saudara sebangsa”. Lima puluh tahun setelah pergerakan sipil berlalu, NOI masih memiliki ideologi dan tuntutan yang sama. Mereka tetap percaya pada supremasi kulit hitam: orang kulit hitam adalah manusia pertama yang diciptakan di dunia. Perbedaannya terletak pada penggunaan 45
istilah “setan” yang kini tidak lagi eksplisit, Farrakhan memilih untuk menginterpretasikan kembali cara NOI memandang orang berkulit putih (dan Yahudi). Tentu saja Farrakhan tetap berpegang kepada ideologi yang ditanamkan oleh Fard Muhammad dan Elijah Muhammad, terutama yang tertulis dalam Message to the Blackman in America. Pada intinya, Farrakhan tetap menegaskan posisinya terhadap orang berkulit putih yang berbeda dari mereka dan karenanya kedua bangsa ini tidak dapat disatukan. Karena itulah, NOI terus menuntut agar mereka diberikan wilayah yang terpisah, yang dapat dihuni secara ekslusif oleh bangsa kulit hitam. Hal lebih spesifik yang menandai perjuangan NOI kontemporer adalah fokus perjuangan mereka yang terletak pada ekonomi (dibandingkan dengan perjuangan NOI pada saat pergerakan sipil yang memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan). NOI membeli tanah pertanian di Georgia dan mengembangkan pertanian di mana mereka memproduksi bahan makanan untuk kemudian dijual. NOI juga mendorong para anggotanya untuk membeli lebih banyak tanah lagi, karena mereka percaya bahwa tanah adalah simbol kebebasan dan awal yang baik untuk mengembangkan aset-aset kesejahteraan yang lain. Melalui pergerakan yang diberi judul The Time, NOI percaya bahwa saat ini adalah saat yang tepat bagi bangsa kulit hitam untuk memerdekakan diri. NOI tidak hanya mengumpulkan massa dari kalangan kulit hitam. Menyadari bahwa perubahan sosial dan globalisasi telah membawa lebih banyak manusia dari berbagai ras ke Amerika, NOI pun juga melakukan pendekatan ke kaum Hispanik yang notabene merupakan minoritas dan mengalami masalah yang kurang lebih sama dengan masyarakat kulit hitam. Hal berbeda lain yang dilakukan oleh NOI di masa modern ini adalah upayanya membangun hubungan dengan negara lain terutama yang berada di benua Afrika dan wilayah Timur Tengah. Upaya ini terbukti menguntungkan bagi pergerakan NOI. Persahabatan Farrakhan dengan mantan pemimpin Libya Moamar Khadafi berhasil menghasilkan pinjaman yang sangat besar bagi NOI untuk menjalankan pergerakannya. NOI kini juga lebih aktif dalam menyuarakan opini-opininya terkait dengan politik luar negeri. Mengingat sebagian besar politik luar negeri AS pada saat ini bertentangan dengan kepentingan negara-negara Islam, NOI pun lebih banyak melakukan kritik daripada memberikan dukungan pada pemerintah AS. Pergerakan NOI saat ini menunjukkan bahwa bangsa kulit hitam Amerika Serikat masih merasakan ketidakcocokan dengan masyarakat kulit putih. Mereka menjaga jarak dan mencari alternatif untuk dapat hidup terpisah. Pergerakan NOI yang berfokus pada aspek ekonomi membuktikan teori Galtung yang menyatakan bahwa disharmoni antara centre dan 46
periphery dipicu oleh kesenjangan kondisi kehidupan atau kesejahteraan antara kedua kelompok. Disharmoni atau ketegangan akan menurun atau hilang sama sekali apabila kesenjangan di antara kedua kelompok juga menurun. Sebaliknya, disharmoni akan meningkat seiring dengan meningkatnya kesenjangan. Dalam kasus ini, sejak krisis finansial melanda AS pada tahun 2007, kesenjangan kemiskinan yang melanda masyarakat AfrikaAmerika dan kulit putih terus melebar sehingga menimbulkan disharmoni yang tidak dapat diselesaikan antara kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Selain karena kesenjangan, disharmoni antara masyarakat kulit putih dan kulit hitam juga terus bertahan akibat colorblindness yang dipaksakan. Konsep ini menjadi hambatan bagi ditemukannya solusi atas kesenjangan karena mayoritas masyarakat kulit putih menolak aksi afirmatif; mereka bahkan cenderung tidak sensitif terhadap sejarah perbudakan yang mempengaruhi kondisi masyarakat Afrika-Amerika hingga sekarang. Permasalahan minoritas, dan munculnya kelompok ‘garis keras’ bukanlah hal yang baru di dunia. Politik internasional pada saat ini tidak hanya berkutik dengan konflik kepentingan antar negara-bangsa. Lahir dan berkembangnya ide-ide hak asasi manusia dan konsep menentukan nasib sendiri (self determination) menjadikan berbagai kelompok lebih peka akan hak-hak yang seharusnya mereka terima. Sebagai konsekuensi, konflik kepentingan pun terjadi tidak hanya dalam level internasional, namun juga pada level nasional, yaitu antara kelompok-kelompok masyararakat yang tinggal di suatu negara. Menyelesaikan permasalahan minoritas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Meski demikian, William Darity Jr. dari University of North Carolina memberikan pencerahan mengenai langkah-langkah yang mungkin dapat diambil untuk mencapai integrasi, yaitu pengakuan, kompensasi dan penutupan.93 Ketiga langkah ini belum pernah diambil oleh pemerintah AS untuk menengahi disharmoni yang dirasakan oleh masyarakat kulit hitam. Ini berbeda dengan perlakuan terhadap minoritas lainnya misalnya masyarakat Asia-Amerika khususnya mereka yang berdarah Jepang. Pada saat Perang Dunia II berlangsung, masyarakat Jepang-Amerika menerima perlakuan yang sangat buruk. Hal ini dipicu oleh peristiwa Pearl Harbor, di mana ratusan anggota pasukan Angkatan Laut dan Udara AS tewas karena bom Jepang. Sejak itu, AS masuk ke medan perang melawan Jepang dan aliansinya. Perang militer ini ternyata mempengaruhi kebijakan yang diberlakukan kepada warga masyarakat berdarah Jepang yang tinggal di AS, bahkan mereka yang berstatus masyarakat sipil sekalipun. Pemerintah
93
‘Black Reparation’, WPSU TV/FM (online)
47
menyiapkan sebuah kamp khusus, di mana seluruh warga Jepang-Amerika direlokasikan untuk tinggal di sana.94 Mereka kehilangan rumah, pekerjaan, segala aset, dan mengalami diskriminasi secara sosial. Setelah Perang Dunia II berakhir, kamp tahanan bagi masyarakat Jepang-Amerika dibubarkan. Beberapa puluh tahun kemudian, pemerintah AS menerapkan kebijakan reparasi untuk masyarakat Jepang-Amerika. Pemerintah secara formal meminta maaf atas diskriminasi dan kebijakan penahanan yang dijalankan selama masa Perang Dunia II. Pemerintah AS juga memberikan sejumlah uang sebagai kompensasi atas peristiwa masa lalu itu, mengingat diskriminasi yang terjadi pada masyarakat Jepang-Amerika telah membuat mereka kehilangan kesempatan dan harta. Pada saat ini, apabila kita bicara mengenai stereotip, barangkali kita harus melakukan penelitian lebih lanjut. Akan tetapi setidaknya, proses pengakuan dan kompensasi yang diberikan terhadap masyarakat Jepang-Amerika telah memberikan mereka kesempatan untuk mendapatkan kesejahteraan yang setara dengan masyarakat kulit putih di AS.95 Skripsi ini telah menunjukkan bahwa gerakan NOI pada saat ini masih relevan dengan kehidupan warga Afrika-Amerika. NOI menyebarkan ideologi dan melakukan gerakan yang menunjukkan ketidakpuasan, bahkan kemarahan mereka terhadap cara masyarakat AfrikaAmerika diperlakukan di AS. Ideologi dan gerakan yang bersifat ‘garis keras’ ini, menurut Galtung, akan terus ada hingga kesenjangan kesejahteraan antara masyarakat kulit putih dan kulit hitam di AS menghilang, dan ada pengakuan dari pemerintah bahwa perbudakan dan diskriminasi di masa lalu bukanlah sebuah norma, melainkan kejahatan kemanusiaan.
94 E. Sundquist, ‘The Japanese American Internment: A Reaprraisal’, The American Scholar, vol. 57, no. 4, pp. 530-531. 95 Brophy, pp. 43-44.
48