PERKEMBANGAN INDUSTRI ROKOK KRETEK KUDUS (1908 – 1964)
SKRIPSI
Disusun Oleh : IMANIAR PURBASARI K.4406026
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
i
PERKEMBANGAN INDUSTRI ROKOK KRETEK KUDUS (1908 – 1964)
Oleh : IMANIAR PURBASARI K4406026
Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing,
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Leo Agung S, M.Pd. NIP.195605151982031005
Drs. Djono, M.Pd NIP. 196307021990031005
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan telah diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Pada Hari : Senin Tanggal
: 01 Febuari 2010
Tim Penguji Skripsi :
Ketua
: Drs. Hermanu Joebagyo, M. Pd
.................................
Sekretaris : Musa Pelu, S. Pd, M. Pd
.................................
Anggota I : Drs. Leo Agung S, M.Pd
..................................
Anggota II : Drs. Djono, M.Pd
..................................
Disahkan oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Prof. Dr. H.M. Furqon Hidayatullah, M.Pd NIP. 19621126 198103 1 001
iv
ABSTRAK
Imaniar Purbasari.PERKEMBANGAN INDUSTRI ROKOK KRETEK KUDUS (1908-1964). Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2010. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) sejarah pendirian industri rokok kretek Kudus, (2) kondisi industri rokok kretek Kudus awal dekade 1900-an, (3) sistem pemasaran rokok kretek Kudus dekade 1900-an, (4) perubahan manajemen industri rokok kretek Kudus sejak 1920-an. Penelitian ini menggunakan metode historis, dengan langkah-langkah : (1) heuristik, (2) kritik, (3) interpretasi dan (4) historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sumber primer, sumber sekunder dan wawancara. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasi data sejarah. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa : (1) Industri rokok kretek Kudus berdiri sejak tahun 1908. Rokok kretek Kudus ditemukan oleh Haji Jamahri dan Mbok Nasilah. Nitisemito sebagai pendiri industri rokok kretek pertama di Kudus. Tahun 1914, Nitisemito membangun pabrik di desa Jati Kudus dengan nama pabrik Bal Tiga; (2) Bahan baku industri rokok kretek Kudus harus didatangkan dari luar daerah bahkan diimpor karena Kudus bukan merupakan penghasil bahan baku rokok kretek. Sistem produksi masih sangat sederhana dengan sistem abon. Sejak 1930, mulai diterapkan sistem pabrik; (3) Sistem pemasaran yang digunakan industri rokok kretek Kudus telah menerapkan sistem promosi modern dan sistem agen; (4) Pengusaha Tionghoa juga merambah industri rokok kretek Kudus mengikuti pengusaha pribumi. Kuatnya pengusaha Tionghoa industri rokok kretek Kudus, melemahkan posisi pengusaha pribumi. Kelangsungan usaha Tionghoa ini didukung oleh pemerintah dengan salah satu faktor, usaha Tionghoa memberikan pemasukan pajak yang besar bagi pendapatan negara. Dengan demikian, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dari tahun 1908-1964 industri rokok kretek Kudus mengalami masa pasang surut dari pengusaha pribumi ke pengusaha Tionghoa.
v
ABSTRACT Imaniar Purbasari. THE DEVELOPMENT OF THE KRETEK CIGARETTE INDUSTRY IN KUDUS (1908-1964). Skripsi, Surakarta : Faculty of Teacher Training and Education. Sebelas March Surakarta University, January 2010. The purpose of this study is to determine : (1) history of the establishment of the kretek cigarette industry in Kudus, (2) the condition of the kretek cigarette industry in Kudus early decade of the 1900’s, (3) the marketing system of kretek cigarette in decade of 1900’s, (4) the change in industrial management of kretek cigarettes industry since 1920’s. This study use the historical methode, with the following steps : (1) heuristic, (2) critics, (3) interpretation, (4) historiography. The source of data were primary and secondary data, and interview. The technique of collecting data was literature study. The technique of analisys data was historycal analysis which focus in argumentation and interpreting of historical data. Based on this research the results can be concluded : (1) The kretek cigarette industry in Kudus established since 1908. The kretek cigarettes was found by Haji Jamahri and Mbok Nasilah. Nitisemito was the founder of the first kretek cigarette industry in Kudus. In 1914, Nitisemito built a factory in the Jati village in Kudus with the name of Bal Tiga; (2) The materials of kretek cigarette kretek industry might be imported from the outside of Kudus. The system of production was simple with the abon system. Since 1930’s, the factory began to be applied; (3) The system of marketing that had been used by the kretek cigarette industry had been implemented the systems of modern campaigns and agents; (4) The Tionghoa penetrated into the kretek cigarette industry in Kudus followed the native entrepreneurs. The power of Tionghoa enterpreneurs weakened the position of native enterpreuners. The existence of Tionghoa Industry was supported by the government since the industry gave a huge tax income to the country. Thus, it could be concluded that from 1908-1964, Kudus Kretek Cigarette Industry had undergone power shift from native to Tionghoa enterpreneur.
vi
MOTTO
Sejarah adalah sebagai saksi dari Sang waktu, Obor daripada kebenaran, nyawa daripada ingatan, Sang Guru dari pada kehidupan, dan pembawa pesan daripada masa lampau. (Cicero) Setiap orang punya jalan kehidupan masing-masing, selalu semangat berusaha, melakukan yang terbaik, berdoa dan mensyukuri nikmatNya, karena Allah mengerti apa yang terbaik untuk kita. (Penulis)
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan Kepada: 1. Ayah dan Ibuku tercinta. 2. Adikku tersayang. 3. Ery Syarif Hidayat. 4. Almamaterku. 5. Teman-teman seperjuangan Pendidikan Sejarah 2006. 6. Sahabat dan Keluarga Besarku. 7. Pembaca
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skipsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagai persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Banyak hambatan dalam penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian untuk penyusunan skripsi ini. 2. Ketua Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian untuk penyusunan skripsi ini. 3. Ketua Program Pendidikan Sejarah yang telah memberikan ijin penelitian untuk penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Drs. Leo Agung S, M.Pd, Pembimbing I yang dengan sabar telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Bapak Drs. Djono, M.Pd, Pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan pengarahan, bimbingan, dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 6. Segenap Bapak/ Ibu Dosen Prodi Sejarah yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. 7. Pihak PPRK yang telah memberikan ijin untuk mengadakan penelitian dan memberikan sumber-sumber yang saya butuhkan dalam penelitian ini. 8. Bapak Afif Masluri yang telah membantu kelancaran dalam penelitian ini. 9. Bapak Hardi Cahyana dan Bapak Masturi yang telah membantu kelancaran dalam penelitian ini.
ix
10. Pihak Museum Kretek Kudus, Arsip Nasional Jawa Tengah, dan Perpustakaan Daerah Kudus yang telah membantu kelancaran dalam penelitian ini. 11. Almamater Sejarah angkatan 2006 yang telah memberikan motivasi untuk meyelesaikan skripsi ini. 12. Semua pihak yang telah membantu penulis untuk kelancaran penulisan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini telah berusaha semaksimal mungkin, namun penulis menyadari masih ada banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk menyempurnakannya. Penulis berharap semoga semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pendidikan khususnya pendidikan sejarah.
Surakarta, 12 Januari 2010 Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL .................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN ......................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................
iv
HALAMAN ABSTRAK ..........................................................................
v
HALAMAN MOTTO ...............................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...............................................................
viii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
ix
DAFTAR ISI .............................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................
8
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................
8
D. Manfaat Penelitian .........................................................................
8
BAB II KAJIAN TEORITIK A. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 10 1. Industrialisasi ............................................................................ 10 2. Manajemen ................................................................................ 13 3. Modernisasi Ekonomi ............................................................... 17 4. Perubahan Sosial ...................................................................... 20 B. Kerangka Berpikir ............................................................................. 23 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 28 B. Metode Penelitian................................................................................ 29
xi
.......................
xii
C. Sumber Data ........................................................................................ 32 D. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 34 E. Teknik Analisis Data ........................................................................... 36 F.
Prosedur Penelitian.............................................................................. 37
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Wilayah Kota Kudus ........................................................... 42 1. Letak dan Keadaan Geografis ......................................................... 42 2. Kondisi Demografis Kudus ............................................................. 45 B. Deskripsi Rokok Kretek ...................................................................... 48 1. Pengertian Rokok Kretek ................................................................ 48 C. Sejarah Awal Pembentulkan Industri Rokok Kretek Kudus ............... 57 1. Penemu Rokok Kretek Kudus Versi Haji Jamahri .......................... 57 2. Penemu Rokok Kretek Kudus Versi Mbok Nasilah ........................ 58 3. Golongan Pribumi Pendiri Industri Rokok Kretek Kudus .............. 60 D. Kondisi Industri Rokok Kretek Kudus Awal Dekade 1900-an ........... 67 1. Awal Mula Sumber Bahan Baku Industri Rokok Kretek Kudus .... 67 2. Pengadaan Bahan Baku Industri Rokok Kretek Kudus ................... 70 3. Produksi Rokok Kretek Kudus ........................................................ 78 4. Tantangan Industri Rokok Kretek Kudus masa Penjajahan ............ 85 5. Munculnya Aneka Pabrik Rokok Kretek Kudus ............................. 88 E. Sistem Pemasaran Rokok Kretek Industri Rokok Kretek Kudus Dekade 1900-an ........................................................... 93 1. Sistem Pemasaran Rokok Kretek Kudus Awal Dekade 1900-an .... 93 F.
Perubahan Manajemen Industri Rokok Kretek Kudus Awal Dekade 1920-an ............................................................. 98 1. Latar Belakang Masuknya Golongan Tionghoa dalam Industri Rokok Kretek Kudus ............................................... 98 2. Kerusuhan 1918 di Kudus ............................................................... 100 3. Lahir dan Berkembangnya Industri Rokok Kterek Kudus Milik Tionghoa ......................................................................................... 102 4. Ambruknya Industri Rokok Kretek Kudus Milik Pribumi .............. 104 xii
xiii
5. Manajemen Kelompok Tionghoa dalam Industri Rokok Kretek Kudus ....................................................................... 107 G. Perubahan Sosial Akibat Industri Rokok Kretek Kudus ...................... 109 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan ....................................................................................
113
B. Implikasi ........................................................................................
115
C. Saran ..............................................................................................
116
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
118
LAMPIRAN ...............................................................................................
122
xiii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel
1.
Letak Geografis Kabupaten Dati II Kudus .......................
2.
Luas Daerah Kabupaten Dati II Kudus Menurut Kecamatan .......................................................................
3.
123
Banyaknya Penduduk Kabupaten Dati II Kudus, 19051964 .................................................................................
4.
122
124
Peningkatan Jumlah Perusahaan Industri Rokok Kretek Kudus, 1914-1931 ...........................................................
124
5.
Daerah Penghasil Tembakau Rakyat ...............................
125
6.
Impor Cengkeh dan Produksi Kretek, 1921-1940 ...........
125
7.
Impor Cengkeh dan Produksi Kretek, 1949 - 1963 .........
126
8.
Konsumsi Tembakau untuk Firma-firma Kretek Daerah
9.
Kudus, 1963 ....................................................................
126
Produksi Rokok Kretek, 1929 - 1934 .............................
127
10. Produksi Kretek dari Karisidenan-karisidenan, 1934 1961 ...............................................................................
127
11. Produsen-produsen Kretek di Daerah Kudus, 1963 .......
128
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar
1. Kota Kudus .....................................................................
120
2. Kudus dan Kota-kota yang Berdekatan di Jawa Timur dan Jawa Tengah .............................................................
130
3. Peta Persebaran Industri Besar dan Sedang Kabupaten Kudus .............................................................................
131
4. Perusahaan Rokok Kretek Bal Tiga Nitisemito (1914) dan Perusahaan Rokok Kretek Milik H M Muslich .........
132
5. Almarhum Nitisemito ......................................................
133
6. Istana Kembar Nitisemito ................................................
134
7. Abon dari Desa-desa di Kudus .........................................
135
8. Peralatan Tradisional Industri Rokok Kretek Kudus .......
137
9. Makam Sunan Kedu, tokoh pengenal tembakau di Kudus ...............................................................................
139
10. Bahan Baku Industri Rokok Kretek Kudus ......................
140
11. Proses Pengerjaan Rokok Klobot Tradisional .................
146
12. Bentuk-bentuk Promosi Tradisional Pabrik Rokok Bal Tiga ..................................................................................
147
13. Barang-barang Promosi/Reward Pabrik Rokok Bal Tiga
151
14. Bentuk-bentuk Produksi Rokok Klobot dan Rokok Kretek Industri Rokok di Kudus.......................................
152
15. Pabrik-Pabrik Rokok Kretek Kudus ................................
154
16. Kantor PPRK 1943-sekarang ...........................................
155
17. Perusahaan Rokok Kretek Milik Tionghoa, Nojorono dan Perusahaan Kertas yang didirikan GAPRI dan Pemerintah Kudus.............................................................
xv
157
LAMPIRAN
Halaman Lampiran
1.
Surat ijin berusaha dari pemerintah Jepang. Gunseikan Zamubutyo. No. 10421/F di Jakarta 19 Oktober 2603 ......
2.
Balasan
keputusan
Gunseikan
Zamubutyo.
No.
TAI/16/19 di Jakarta 19 Oktober 2603 ............................. 3.
160
Surat Pemberitahuan tentang tjap dan boengkoes etjeran rokok kretek No 3/drie/26/149 di Kudus 1949 ..................
5.
159
Surat ijin berusaha dari pemerintah Belanda. No. 619/TA di Jakrta 31 Mei 2603 ........................................................
4.
158
161
Surat laporan adanya pendapatan uang rokok Bulan Oktober 1934 di Kudus oleh M Karmaen .......................... 162
6.
Artikel M Nitisemito yang disarikan dari buku Der Kretek Koening ..................................................................
163
7.
Artikel tentang Peroesahaan Rokok Kretek di Koedoes ...
164
8.
Artikel tentang Asal-Usul Tembakau ...............................
166
9.
Artikel tentang Almarhum Nitisemito ..............................
167
10. Artikel tentang Asal Mula Rokok .....................................
168
11. Artikel tentang Museum Kretek ing Kudus ......................
169
12. Keanggotaan Nitisemito dalam OPS Rokok Kretek ..........
175
13. Keanggotaan Nitisemito dalam GAPPRI ........................... 176 14. Keanggotaan Nitisemito dalam PPRK ............................... 176 15. Keanggotaan Nitisemito dalam Pati Syu Tabako Seizo Kumiai (T.S.K.) .................................................................
176
16. Surat Permintaan Rokok Kretek Bal Tiga dari Djambi, 1949 ...................................................................................
177
17. Surat Pemberitahuan dari Perusahaan Rokok Kretek Bal Tiga Kepada Konsumen di Palembang .............................. 178
xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Kebiasaan merokok bagi sebagian orang Indonesia telah menjadikan masyarakat adicted untuk menghisap rokok. Banyak orang berpendapat, kalau tidak menghisap rokok badan jadi kurang enak, bahkan pikiran sering terasa semrawut. Rokok terutama rokok kretek agaknya telah menjadi sebuah kebutuhan bagi bangsa ini. Sebagai dampaknya, meluasnya pasaran rokok kretek di Indonesia. Tetapi masih sedikit sekali orang yang mengetahui maupun memperhatikan sumbernya. Kudus merupakan satu kota kecil di sebelah Timur kota Semarang, yang mempunyai produk andalan dengan ciri khas dan keunikan yang tidak dimiliki daerah lain. Di mana produk tersebut : mempunyai daya saing handal dan dapat memberikan peluang kesempatan kerja kepada masyarakat lokal, mampu meningkatkan pendapatan dan kemampuan sumber daya lokal dan kontribusi terhadap pemerintah, dan mempunyai pasar lokal regional maupun internasional. Komoditi produk yang mampu menyumbangkan devisa yang cukup besar tersebut adalah rokok. Produk andalan unggulan sektor industri sedang dan besar Kabupaten Kudus dipegang produk rokok kretek (Pemerintah Kabupaten Kudus : 2004, 78). Munculnya industri rokok kretek di wilayah Kudus mungkin diragukan, karena wilayah ini tidak mempunyai komoditi untuk menghasilkan bahan pembuat rokok kretek. Berkat kemampuan meramu bahan rokok kretek yang telah tersedia, maka tersohorlah nama Kudus menjadi daerah sentra produksi rokok kretek. Menurut Lance Castle (1982 : 60), pada abad 19 Kudus menjadi salah satu wilayah jalur perdagangan di pantai utara Jawa. Tahun 1880-an sampai 1980-an industri rokok kretek di Kudus mulai berkembang. Ditemukannya tembakau berakibat kepada semakin meningkatnya kegemaran orang mengkonsumsi tembakau. Perkembangan ini menumbuhkan kemampuan masyarakat Kudus untuk membuat rokok tradisional. Rokok klobot merupakan jenis rokok pertama
1
2
yang umum dinikmati masyarakat Kudus. Baru pada tahun 1880 ditemukanlah rokok kretek sebagai pembaharuan rokok klobot. Bunyi kretek-kretek yang ditimbulkan dari pembakaran klobot ini membawa perubahan sebutan rokok klobot menjadi rokok kretek. Maksud awal pembuatan rokok kretek ini hanya sebagai obat, namun karena menjadi sumber manfaat dan membawa kenikmatan bagi masyarakat. Permintaan yang membludak dari masyarakat ini memaksa penemu rokok kretek, Hj. Djamahri untuk mendirikan sebuah usaha rokok kecilkecilan tanpa label dengan metode membuat rokok tingwe (linting dhewe) dan wujudnya lancip disalah satu ujungnya dengan pembungkus daun klobot (daun jagung kering), sehingga cukup sulit untuk membuat rokok ini dengan mesin butuh ketrampilan tangan yang ulet. Munculnya industri rokok kretek Kudus pertama oleh pengusaha kretek pribumi, secara otomatis membawa perubahan bagi masyarakat Kudus yang semula bertani menjadi buruh pabrik. Keberadaan perusahaan rokok kretek Kudus tersebut telah memperbaiki kesejahteraan penduduk sekitar Kudus. Industri pabrik kretek merupakan industri padat karya, yang awalnya mempekerjakan pekerja di sekitar district Kudus yang disebut dengan abone yang bertugas menerima jatah bahan baku pembuat rokok kretek untuk dibagikan kepada para buruh rumahan dan mengumpulkan serta menyetorkan rokok kretek yang telah jadi ke pabrik pemesan (Amen Budiman & Onghokham : 1987, 112). Suatu keajaiban tercermin bahwa segala bahan-bahan untuk membuat rokok kretek seperti : tembakau, cengkeh dan daun klobot tidak terdapat dan ditanam di daerah Kudus sendiri melainkan didatangkan dari wilayah luar Kudus. Asal mula industri rokok kretek Kudus dapat dipahami melalui peranan bakat dagang penduduk Kudus, termasuk kedudukan mereka sebagai perantara dengan pasaran luar baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur sebagai daerah penghasil tembakau. Didatangkannya bahan pembuat rokok kretek dari wilayah luar Kudus, bertujuan untuk mendapatkan kualitas terbaik dari produksi rokok kretek Kudus (Marcel Bennhoff : 1983, 240). Industri rokok kretek Kudus yang mayoritas dipegang oleh pribumi mulai tahun 1880 tersebut merupakan kebanggan bagi pengusaha pabrik kretek pribumi
3
dan kota Kudus. Pengusaha pabrik kretek pribumi adalah orang-orang yang mampu memajukan dirinya sendiri, orang yang tadinya tidak berharta, tidak mempunyai bekal ilmu pengetahuan yang memadai, tetapi berkat keuletan kerja, dengan
perasaan
dagangnya
yang
cerdik
dan
tajam
mereka
mampu
mengumpulkan kekayaan dengan mendirikan pabrik besar yang dijaga dan dipeliharanya dari kecil. Semangat mempertahankan apa yang telah dibangun oleh pengusaha pribumi sangatlah kuat dan telah tertanam kuat dalam sanubari mereka (Amen Budiman & Onghokham : 1987, 107). Berkat penciptaan pengusaha pabrik kretek pribumi mengenai perataan pemakaian cengkeh dan penentuan syaratsyarat pembuatannya, pengusaha rokok kretek pribumi telah memberi rasa khas kepada jenis produksi rokok kretek Kudus. Dengan variasi tertentu dan sesuai dengan bahan dan kadar campuran yang tepat, terutama komposisi sausnya untuk pembasah tembakau, rahasia rokok kretek dijaga ketat oleh masing-masing pembuatnya pengusaha pribumi pabrik rokok kretek Kudus (Marcel Bennoff : 1983, 240). Tidaklah menjadi sesuatu yang berlebihan jika para pengusaha pabrik kretek pribumi tersebut mendapatkan tempat yang layak dihadapan penguasa pada waktu itu, karena keberhasilannya di bidang ekonomi. Sayangnya, kondisi tersebut tidak terjadi entah karena pengaruh kedudukan pribumi yang selalu ditempatkan pada struktur sosial terendah, para pengusaha pabrik kretek pribumi ini harus tunduk pada penguasa dan golongan yang ada diatasnya. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi pengusaha pabrik kretek pribumi ini sebagai seorang usahawan besar nampaknya masih mengalami kesulitan. Walaupun demikian semangat pengusaha pabrik kretek pribumi untuk mengembangkan industri rokok kretek Kudus tetap berkobar kuat di dalam sanubari mereka. Tahun 1908, perjuangan pengusaha pabrik kretek pribumi dalam mengembangkan industri rokok kretek Kudus mulai menampakkan hasil yang gemilang. Ditandai dengan berdirinya pabrik rokok kretek yang tergolong jenis industri besar milik Nitisemito dengan merk produksi Bal Tiga. Pabrik rokok kretek Bal Tiga berkembang menjadi satu-satunya industri rokok kretek terbesar di Kudus pada masa itu. Pengusaha pabrik kretek pribumi asli Kudus, pada
4
masanya membawa industri rokok kretek Kudus ke arah kemajuan dengan berbagai strategi perpabrikan yang sudah mapan. Secara umum pengusaha pabrik kretek pribumi pada waktu itu telah berhasil menggerakkan orang-orang memasuki industri rokok kretek. Dalam waktu yang singkat, Kudus memiliki hampir dua ratus pabrik rokok kretek berukuran kecil. Nasib baik para pengusaha pabrik kretek pribumi pada waktu itu memunculkan kepercayaan orang untuk beradu nasib di bidang industri rokok kretek. Keberhasilan pengusaha pabrik kretek pribumi tersebut menarik golongan lain di luar pribumi yaitu etnis Tionghoa untuk beradu nasib pada industri rokok kretek. Akibat kesulitan fiskal (baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan), kesukaran untuk mendapatkan cengkeh yang sebagian besar didatangkan dari daerah luar, serta persaingan dengan pusat-pusat produksi rokok kretek di luar wilayah Kudus menjadi penyebab kegagalan pabrik kecil milik pengusaha pribumi dan menguntungkan munculnya perusahaan bermodal besar. Dalam waktu yang relatif singkat, pengusaha pabrik kretek Tionghoa berusaha mengikuti jejak keberhasilan pengusaha kretek pribumi. Keuntungan golongan Tionghoa yang telah terkenal dengan stereotip kemapanan manajemen ekonominya membawa mereka melesat bagaikan roket dalam berbagai bidang ekonomi. Selain itu, sejak pemerintahan kolonial dalam struktur sosial mereka ditempatkan pada golongan kedua yang memungkinkan mereka menjadi kekuatan ekonomi penghubung antara kolonial dan rakyat pribumi. Ditambah lagi dengan ciri khas etnis Tionghoa yang cenderung mengeksklusifkan diri, memandang rendah golongan pribumi asli, dan hanya mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri khususnya kepentingan ekonomi (Charles A Coppel : 1994, 39). Sekitar tahun 1920-an, masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda sempat kehilangan sejumlah hak istemewanya dalam usaha perdagangan (monopoli candu dan usaha penggadaian). Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Keputusan yang menguntungkan mereka seperti : dihapuskannya pembatasan tempat tinggal, ruang gerak dan pendidikan, memberikan keleluasaan bagi mereka dan akan mengubah bidang usaha mereka dari yang lama ke yang baru. Salah satu di antaranya adalah usaha penyediaan barang mentah bagi kaum pribumi.
5
Berdirinya industri rokok kretek milik Tionghoa, secara tidak langsung berdampak negatif terhadap industri rokok kretek pribumi. Persaingan antara kedua pihak berlangsung dalam kondisi yang cukup berat. Industri rokok kretek pribumi banyak mengalami kerugian secara ekonomi, karena kekuatan modal Tionghoa yang dirasa cukup berat untuk diimbangi oleh pengusaha pribumi yang hanya mengandalkan modal kecil. Pada tahun 1918, persaingan pengusaha pabrik kretek pribumi dan pengusaha pabrik kretek Tionghoa mencapai puncaknya, hingga menjadi salah satu faktor penting penyebab munculnya kerusuhan hebat yang meledak di Kudus pada tanggal 31 Oktober tahun itu juga. Diperkirakan hal tersebut terjadi akibat adanya suatu prosesi keagamaan warga Tionghoa yang berbaris di depan Menara Kudus, ketika umat Islam sedang melakukan ibadah. Hal tersebut dianggap telah menghina Nabi dan Islam secara terbuka. Yang akhirnya mendorong para santri dengan pimpinan kiai dari wilayah sekitar kompleks makam Sunan Kudus. Korban berjatuhan di antara kedua belah pihak, sejumlah rumah dan pabrik terbakar. Pengusaha-pengusaha pribumi yang dicurigai berperan terhadap aksi tersebut (sebagian pengusaha pribumi seorang Islam reformis) diajukan ke muka pengadilan dan dijatuhi hukuman. Kondisi tersebut semakin memperburuk kedudukan pengusaha kretek pribumi yang telah kalang kabut dibuat karena kekuatan pengusaha pabrik kretek Tionghoa, hingga harus mengalami kemunduran. Berlawanan dengan kondisi pengusaha kretek pribumi, pengusaha kretek Tionghoa berhasil memperkuat posisi mereka dalam industri rokok kretek Kudus akibat peristiwa tersebut (Lance Castle : 1982, 103). Industri rokok kretek ini bisa maju berkat melimpahnya tenaga sumber daya manusia di wilayah ini, industri ini menyerap sedikit demi sedikit tenaga kerja yang sebagian besar terdiri dari kaum perempuan, gadis desa tanpa keahlian. Mereka dibayar rendah, sesuai dengan hasil pekerjaan mereka tiap harinya dan mulai dibangun suatu jaminan kerja. Penggunaan tenaga ini tetap dilestarikan pengusaha Tionghoa industri rokok kretek Kudus, demi menjaga kesempatan kerja dan keseimbangan sosial diseluruh wilayah Kudus (Marcel Bennoff : 1983, 241).
6
Pasar perdagangan industri rokok kretek Kudus dari masa ke masa berkembang dikalangan para agen, warung, dan pedagang asongan. Di setiap kampung dan desa sudah terdapat banyak penjual rokok. Di kota khususnya penjual rokok tersebar di berbagai penjuru, mulai dari kios-kios kecil penjual rokok, warung penjual barang kelontong, sampai kedai nasi dimana biasanya para konsumen rokok sering membeli rokok sebatang sebagai pelengkap setelah makan nasi. Selama perkembangannya tahun 1950-an, pasar perdagangan industri rokok kretek Kudus tidak hanya terbatas dalam negeri, tapi juga meluas ke berbagai negara. Ekspor hasil produksi rokok kretek Kudus telah sampai ke Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Saudi Arabia, Thailand, Malaysia, Singapura, Jepang, dan Filipina (Amen Budiman & Onghokham : 1987, 196). Ambruknya perusahaan rokok kretek pribumi, termasuk Bal Tiga disusul kemajuan pabrik rokok kretek Tionghoa. Tahun 1930 berdiri pabrik rokok kretek Minak Djinggo milik Tionghoa Kho Djie Siong. Minak Djinggo melesat jauh disusul dengan kemajuan pabrik rokok kretek lain Djamboe Bol, Nojorono, Sukun, Djarum. Dengan berbagai sistem perpabrikan modern mereka berhasil mengembangkan industri rokok kretek Kudus, hingga mampu bersaing dengan industri rokok kretek di daerah lain. Djarum yang berdiri tahun 1950 oleh Oei Wie Gwan menjadi pabrik rokok kretek Kudus terbesar dan terkemuka di Indonesia, bahkan di mancanegara. Pabrik rokok Djarum milik pengusaha pabrik kretek Tionghoa ini berkembang pesat sampai dengan pewarisan industri ini oleh generasi kedua tahun 1964, dengan mengembangkan kombinasi kerja padat karya yang mempekerjakan ratusan tenaga kerja dan padat modal yang dioperasikan tenaga profesional. Dalam pengolahan limbah, Djarum berhasil membangun saluran limbah ramah lingkungan. Dalam upaya mengembangkan usaha, peningkatan kesejahteraan pekerja, dan peningkatan kinerja, Djarum merekrut tenaga profesional dan terus melakukan pelatihan rutin pada mereka. Djarum juga menyediakan jasa transportasi untuk sarana antar jemput buruh. Penetapan standar upah bagi pekerja disesuaikan dengan kemampuan dan kepentingan seluruh anggota. Djarum juga memberikan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan buruhnya. Sukses sistem pabrik kretek milik Tionghoa dengan
7
kemantapan sistem perpabrikan membawa pengusaha pabrik rokok kretek Tionghoa berada kekayaan tertinggi warga Kudus (Arin Astuti : 2003, 42). Keadaan ini, memang cukup miris bagi usahawan pribumi bila diketahui sejarah pepabrikan rokok kretek Kudus yang mulanya adalah hasil penciptaan mereka. Walaupun dapat dikatakan bahwa pribumi juga mendukung keberhasilan industri rokok kretek Kudus milik Tionghoa. Dengan alasan dari buruh, pemegang pembukuan, mandor dipegang oleh orang-orang pribumi. Orang Cina sebagai golongan minoritas di tanah air ini, dalam penguasaan industrinya masih sangat bergantung pada kemurahan hati pelindung pribumi yang memegang kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan. Keberhasilan pengusaha Tionghoa disatu sisi memang membuka peluang bagi rakyat pribumi dan membawa kemajuan bagi industri rokok kretek di Kudus. Namun, disisi lain di bidang ekonomi pengusaha Tionghoa sedikit menutup pertumbuhan yang lebih baik bagi industri milik golongan menengah milik pribumi di Kudus. Kelompok Tionghoa memang banyak menarik keuntungan dari sistem kolonial yang diterapkan masa lalu, terutama dalam persaingan dengan pengusaha pribumi dalam pembuatan rokok kretek spesialisasi Kudus. Akibat generasi muda pribumi yang berbeda sekali dengan kaum Tionghoa, dalam hal ini menjadi saingan mereka. Sedari awal mereka tidak pernah dibimbing dalam teknik perdagangan yang sesuai dengan tuntutan pasaran yang semakin kompleks, serta tidak tersedianya modal yang mencukupi untuk mereka mengadakan resesi sementara waktu. Lain halnya dengan orang-orang Tionghoa mempunyai jiwa semangat pembaharuan yang kuat sesuai dengan cara yang telah diterapkan kelompok mereka. Keberhasilan mereka terletak pada kemampuan mereka yang sangat tinggi untuk menyesuaikan diri dengan konjungtur yang ada, berkat kemampuan keuangan, diikuti dengan mekanisme solidaritas yang bersifat kekerabatan dan turun-temurun tersebut. Pada kenyataannya struktur sosial masyarakat Jawa kurang memberi kesempatan begerak menurut kesadaran kelas. Kedudukan para pedagang dan pengusaha kurang begitu berarti dan tidak mendapatkan pengakuan yang selayaknya. Dengan majunya pendidikan yang diterima masyarakat pribumi pasca kemerdakaan,
8
menjadikan posisi pegawai negari menjadi kedudukan yang paling diagungkan dan dicitakan (Marcel Bonneff : 1983, 243). Pengusaha pribumi sebagai pihak yang lebih lemah butuh bimbingan dan contoh yang baik dalam pengembangan usaha demi tercapainya pembangunan ekonomi nasional yang baik dan tercapainya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka diambil judul ”Perkembangan Industri Rokok Kretek Kudus 1908-1964”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain : 1. Bagaimana pembentukan industri rokok kretek Kudus? 2. Bagaimana kondisi industri rokok kretek Kudus awal dekade 1900? 3. Bagaimana sistem pemasaran rokok industri rokok kretek Kudus dekade 1900? 4. Bagaimana perubahan manajemen industri rokok kretek Kudus sejak 1920-an?
C. Tujuan Penelitian Dalam hubungannya dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan : a. Menjelaskan pembentukan industri rokok kretek Kudus. b. Menjelaskan kondisi industri rokok kretek Kudus awal dekade 1900. c. Menjelaskan sistem perdagangan rokok industri rokok kretek Kudus dekade 1900. d. Menjelaskan perubahan manajemen industri rokok kretek Kudus sejak 1920-an.
9
D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat : 1. Memberi tambahan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam pengembangan ilmu sejarah khususnya yang berkaitan dengan perkembangan industri rokok kretek Kudus 1908-1964. 2. Menambah khasanah pustaka mengenai rokok kretek dan industri rokok kretek Kudus. 3. Memberikan sumbangan wawasan ilmu pengetahuan tentang perkembangan industri rokok kretek di Kudus. b. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Memperoleh gelar sarjana pendidikan di FKIP UNS. 2. Memanfaatkan pengalaman masa lalu sebagai pegangan dalam menghadapi permasalahan di masa sekarang. 3. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan bagi perkembangan industri rokok kretek yang ada di Indonesia dan di Kudus pada khususnya. 4. Dapat memberikan informasi tentang perkembangan industri rokok kretek Kudus 1908-1964.
BAB II KAJIAN TEORITIK
A. Tinjauan Pustaka 1. Industrialisasi Sektor industri merupakan salah satu sektor yang diyakini mampu membawa kemajuan dalam perekonomian suatu negara. Sektor industri memiliki variasi produk yang beraneka ragam dan mampu memberikan manfaat kepada pemakainya,
memberikan
keuntungan
yang
lebih
menggiurkan,
serta
pengendaliannya cenderung lebih mudah karena tidak bergantung pada alam. Keungggulan sektor industri inilah yang menjadi arah pembangunan bangsa Indonesia di samping memajukan sektor lain sebagai penyeimbang selarasnya proses pembangunan bangsa seutuhnya. Industrialisasi merupakan proses peralihan susunan masyarakat yang mampu mengubah kedudukannya dari masyarakat agraris menjadi masyarakat yang menyediakan bahan baku ataupun barang jadi. Dalam implementasinya ada empat argumentasi atau basis teori yang melandasi kebijakan industrialisasi. Teori yang dimaksud adalah (1) keunggulan komparatif yaitu pengembangan industri berdasar pada keunggulan komparatif yang dimiliki; (2) argumentasi keterkaitan industrial yaitu mengaitkan pengembangan industri satu dengan sektor lain agar terjadi perkembangan yang maksimal; (3) penciptaan tenaga kerja yaitu memprioritaskan pengembangan industri yang banyak menyerap tenaga kerja; (4) loncatan teknologi yaitu pengembangan industri dengan pemanfaatan kemajuan teknologi yang tinggi (Dumairy, 1996 : 228). Menurut Bintarto, dalam Arin Astuti (2003 : 17), bahwa dalam suatu industrialisasi harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu : a. Tersedia bahan baku. b. Tersedia sumber tenaga kerja, baik alam maupun manusia. c. Tersedia tenaga kerja yang berpengalaman dan ahli untuk mengolah sumber-sumber yang tersedia. d. Tersedia modal.
10
11
e. Organisasi yang baik untuk melancarkan dan mengatur segala sesuatu dalam bidang industri. f. Keinsyafan dan kejujuran untuk melancarkan dan mengatur segala sesuatu dalam bidang industri. g. Mengubah agraris menjadi industri. Proses industrialisasi bukan saja bergeser dari sektor pertanian ke sektor industri, melainkan mencakup pergeseran struktur industri dari waktu ke waktu sehubungan dengan dimilikinya keunggulan komparatif dan akibat pergeseran dari kegiatan produksi yang bersifat padat karya dan berteknologi rendah kearah kegiatan yang padat modal dan berteknologi tinggi. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1996 : 1442), industri mengandung arti bagian dari proses produksi yang tidak secara langsung mengambil atau mendapatkan barang-barang dari alam, akan tetapi pekerjaan bahan dasar atau bahan baku secara mekanis atau kimiawi sehingga menjadikannya lebih berharga untuk digunakan manusia. Menurut Dumairy (1996 : 27), istilah industri mempunyai dua arti yaitu : (a) himpunan-himpunan perusahaan sejenis, dan (b) sektor ekonomi yang di dalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi. Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa industri merupakan suatu proses produksi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, dan barang setengah jadi, menjadi barang jadi dengan nilai yang lebih tinggi dibanding dengan asalnya sekaligus menambah daya guna suatu barang. Menurut Aryad Lincoln dalam Arin Astuti (2003 : 18), industri nasional dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu : 1) Industri dasar meliputi : industri mesin dan logam dasar dan kelompok industri kimia dasar. Industri ini diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, membantu penjualan struktur industri, bersifat padat modal, berteknologi tinggi dan dapat mendorong terciptanya lapangan kerja baru dan kegiatan ekonomi lainnya. 2) Industri kecil yang meliputi : industri pangan, industri sandang dan kulit, industri kimia dan bahan baku, industri galian bukan logam, industri
12
logam. Industri kecil ini diharapkan dapat memeratakan teknologi, usaha padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja, meningkatkan nilai tambah dengan memanfaatkan pasar di dalam dan di luar negeri. 3) Industri hilir meliputi industri pengolahan sumber daya alam. Industri hilir
diharapkan
mampu
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi,
memperluas kesempatan kerja, dan memeratakan teknologi. Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan per unit usaha, industri dapat dikelompokkan menjadi empat lapisan, yaitu : a) Industri besar jika mempekerjakan 100 orang atau lebih b) Industri sedang jika mempekerjakan 99 sampai 20 orang c) Industri kecil jika mempekerjakan 19 sampai 5 orang d) Industri rumah tangga jika mempekarjakan kurang dari 3 orang (Dumairy, 1996 : 232). Menurut Mubyarto (1987 : 206), industri kecil adalah industri yang diusahakan terutama untuk menambah pendapatan keluarga. Menurut Lance Castle (1982 : 162), industri besar adalah industri yang mempekerjakan paling sedikit 50 orang buruh atau dengan kapasitas 5 tenaga kuda atau lebih. Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam proses industrialisasi terjadi pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri. Industrialisasi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, menjadi obat untuk mengatasi masalah pembangunan ekonomi. Dengan memperhatikan berbagai faktor seperti : kondisi ketersediaan bahan mentah, ketersediaan teknologi, kecakapan tenaga kerja, dan kecukupan modal, maka proses industrialisasi akan mencapai keseimbangan
yang
didukung
pengembangan
sektor
lain.
Kelancaran
industrialisasi dapat tercapai apabila didukung sektor-sektor lain, seperti : surplus tenaga kerja di sektor pertanian dapat ditarik dalam sektor industri, dan kebutuhan sektor pertanian dapat dicukupi oleh sektor industri. Sehingga dalam kondisi nyata terjadi pembangunan ekonomi negara yang tidak berat sebelah. Proses industrialisasi yang terjadi dalam penelitian ini merupakan proses muncul dan berkembangnya industri rokok kretek Kudus. Munculnya industri rokok kretek Kudus menarik suatu perubahan dalam masyarakat yang mulanya
13
seorang petani menjadi buruh pabrik rokok kretek. Industri rokok kretek Kudus menyerap banyak tenaga kerja dari daerah-daerah atau district di sekitar Kudus, terjadi pergeseran dari produksi barang mentah menjadi barang jadi yang mempunyai nilai guna lebih tinggi dari bahan asalnya, dan berusaha memperkenalkan sekaligus menerapkan teknologi bagi buruh dan pekerjanya, serta terjadi peningkatan kualitas hidup akibat tingkat pendapatan yang semakin tinggi dan stabil. Proses industrialisasi merupakan pengharapan bagi negaranegara berkembang untuk menjadi salah satu solusi perbaikan dan perkembangan perekonomian negara. 2. Manajemen Setiap orang selalu berusaha mencapai hasil yang terbaik dalam masa hidupnya. Untuk mencapainya, maka perlu adanya manajemen dalam diri masingmasing. Manajemen terdapat hampir dalam semua aktivitas manusia. Begitu juga dengan suatu perusahaan atau usaha, perkembangan keberhasilan atau kegagalan suatu industri tidak dapat terlepas dari pelaksanaan manajemen. Kekuatan manajemen yang dijalankan akan bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan suatu perusahaan berdasarkan pada strategi yang dijalankan. Untuk mencapai sasaran, hasil, dan tujuan yang diinginkan perlu adanya suatu perencanaan dan pertimbangan. Melalui manajemen kita mampu mengarahkan segala sumber daya yang ada. Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakantindakan perencanaan, pengorganisasian dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang ditetapkan melalui sumber daya manusia dan sumber daya lain (George R Terry, 1979 : 4). Manajemen menurut Stoner dalam T. Hani Handoko (2003 : 8), mendefinisikan bahwa manajemen merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan pengguna sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang ditetapkan. Menurut Horold Koontz dan Cyril O'donnel (http://www.geocities.com : 14/7/2009), manajemen adalah usaha untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain. Menurut Luis Gulick dalam T.Hani Handoko (2003 : 11), manajemen merupakan ilmu
14
pengetahuan yang berusaha secara sistematis untuk memahami sistem kerja demi mencapai tujuan dan menjadikan sistem bermanfaat bagi kemanusiaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah manajemen selalu melibatkan pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Langkah penting yang dapat dilakukan dalam menejemen perusahaan yaitu mengidentifikasi sasaran yang akan dicapai dan melaksanakan pencapaian sasaran itu dengan sebaik-baiknya. Untuk mencapai sasarannya diperlukan kerjasama semua komponen yang ada. Planning atau perencanaan menjadi langkah awal penetapan arah dan susunan apa yang akan dilakukan dan menjadi kewajiban masing-masing komponen sesuai dengan kemampuan agar dihasilkan kerja yang maksimal. Organizing atau pengorganisasian menjadi langkah kedua dalam mengorganisasikan kerja komponen menjadi suatu gerak kerja yang terarah menuju pencapaian sasaran. Actuating, menggerakkan masing-masing komponen agar dapat diadaptasikan pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan sasaran yang diinginkan. Controlling atau pengawasan merupakan suatu usaha mengawasi gerak kerja agar kegiatan tetap berjalan menuju ke arah sasaran ataupun memperbaiki kondisi agar sasaran yang diperoleh lebih maksimal (G. Terry, 1986 : 35). Dengan langkah-langkah manajemen di atas, maka diharapkan usaha dan perusahaan dapat mencapai sasaran yang diinginkan yaitu kemajuan dan tetap bertahannya perusahaan di era globalisasi dan persaingan yang semakin ketat. Manajemen menyebabkan kesadaran terhadap kemampuan kita, memberi arah pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik, dan mengurangi hambatan yang mungkin dihadapi, serta mencapai tujuan yang dikehendaki sesuai rencana. Kebanyakan perusahaan dan usaha dapat mencapai kesuksesan dengan mendayagunakan manajemen secara efektif. Manajemen dalam suatu perusahaan atau usaha dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu : a. Manajemen
keuangan,
merupakan
sistem
pengaturan
dan
pengelolaan uang dalam suatu organisasi, serta proses pengambilan suatu keputusan dengan menggunakan informasi akuntansi untuk membantu pengelolaan organisasi dalam mencapai tujuan usaha atau
15
perusahaan. Dengan adanya manajemen keuangan maka aktivitas dan fungsi keuangan perusahaan sehari-hari dapat berjalan dengan optimal. (Sarwoko & Abdul Hakim, 1989 : 1) b. Manajemen operasional atau lebih sering disebut manajemen produksi.
Manajemen
produksi
merupakan
segala
pengaturan
perusahaan yang berhubungan dengan semua kegiatan dari pembuatan rencana-rencana produksi, proses produksi, sampai dengan hasil produksi yang siap dijual. (Moekijat, 1989 : 29) c. Manajemen strategi adalah sejumlah keputusan dan tindakan yang mengarah pada penyusunan suatu strategi yang efektif untuk membantu mencapai sasaran perusahaan (Lawrence R. Jauch, 1997 : 6). Cara yang ditempuh dalam manajemen strategi dapat dilakukan dengan proses perencanaan strategi sebelum menentukan sasaran dan mengambil keputusan. Dalam prosesnya perlu memperhatikan kesesuaian yang layak antara sasaran, sumber daya perusahaan, dan peluang pasar yang terus berubah. Dengan memperhatikan hal tersebut maka suatu perusahaan akan mempertajam kemampuan bisnis dan memperlancar produksi perusahaan, sehingga menghasilkan laba dan pertumbuhan usaha yang memuaskan. (Philip Kotler, 1994 : 44) d. Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), merupakan suatu pengaturan mengenai peranan manusia dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan. MSDM adalah ilmu atau seni yang mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien dalam membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat (Malayu P. Hasibuan, 1996 : 1). Sedang menurut T. Hani Handoko (1996
:
4),
MSDM
meliputi
kegiatan
penarikan,
seleksi,
pengembangan, pemeliharaan, dan penggunaan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan indibidu dan organisasi. e. Manajemen pemasaran, merupakan pelaksanaan kegiatan perusahaan yang mengarahkan aliran barang dan jasa dari produsen kepada konsumen untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan sebaik-
16
baiknya dan tujuan perusahaan dapat tercapai. Aktivitas ini termasuk pembelian, penjualan, transportasi, keuangan, penelitian pemasaran, dan pengambilan resiko. (Moekijat, 1981 : 51) Dalam pelaksanaan manajemen suatu perusahaan, banyak dijumpai pandangan atau konsep yang berbeda mengenai teori manajemen yang ada. Setiap pandangan dimungkinkan berguna bagi berbagai masalah yang berbeda satu sama lain. Teori manajemen sebagai acuan pelaksanaan manajemen dapat dibedakan menjadi tiga aliran, yaitu : 1) Menggunakan teori manajemen organisasi klasik. Dengan teori Fayol yang mengemukakan teori dan teknik-teknik administrasi sebagai pedoman bagi pengelolaan organisasi yang kompleks. Mooney, mengungkapkan bahwa manajemen merupakan sebuah organisasi kelompok yang tergabung untuk tujuan tertentu, sehingga perlu dibentuk suatu aturan kelompok untuk mencapai tujuan tersebut. Follet,
mendefinisikan
perusahaan,
industri
manajemen dan
dengan
pemerintah.
metode
Barnard
psikologi
menggunakan
pendekatan sistem dalam manajemen industri (T. Hani Handoko, 2003 : 45). 2) Menggunakan teori manajemen hubungan manusiawi sebagai akibat munculnya ketidakpuasan teori sebelumnya dalam menghasilkan efisiensi produksi dan keharmonisan kerja. Tokohnya : Mayo dan Hugo yang lebih menekankan pada psikologi industri, hubungan manusiawi
dalam
manajemen
industri
untuk
meningkatkan
produktivitas dari sumber daya industri yaitu tenaga manusia. (T. Hani Handoko, 2003 : 49) 3) Menggunakan teori manajemen modern. Di mana berkembang dengan memadukan teori manajemen hubungan manusia dengan manajemen ilmiah, yang meliputi operation research, manajemen sciense dan management operasi. (T. Hani Handoko, 2003 : 53). Perubahan manajemen dalam dunia industri sifatnya biasa, ada yang bersifat evolusioner dan revolusioner. Perubahan dalam manajemen suatu industri dapat
17
terjadi karena faktor internal (modernisasi sistem perpabrikan) maupun faktor eksternal (perubahan kepemilikan). Faktor internal dan eksternal saling berhubungan satu sama lain. Perubahan yang disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal, berdampak positif terhadap kemajuan dan berdampak negatif terhadap penolakan masyarakat. Penolakan terutama mengenai kecepatan perubahan. Pengetahuan memperlihatkan manusia siap menghadapi perubahan dan menerima konsekuensi dari perubahan tersebut. Secara manusiawi manusia tidak menolak perubahan itu sendiri, yang mereka tentang justru perubahan yang mengancam kepastian mereka (T. Hani Handoko, 2003 : 318). Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan manajemen yang digunakan dalam industri rokok kretek Kudus sudah cukup sesuai dengan langkah yang harus dikerjakan dalam manajemen suatu industri. Industri rokok kretek Kudus juga telah menggunakan tiga metode pengembangan manajemen industri tersebut sebagai penyeimbang jalannya usaha. Dalam proses perubahannya industri rokok kretek Kudus menggunakan prinsip manajemen modern sehingga mengalami perkembangan industri ke arah yang maju dan mampu mempertahankan eksistensi industrinya dengan mendayagunakan secara tepat segala komponen dan sumber daya yang ada. Penolakan atas perubahan manajemen yang terjadi berupa persaingan usaha antar pengusaha pribumi dan Tionghoa merupakan sebuah reaksi yang wajar yang didorong oleh keanekaragaman bangsa yang seringkali menimbulkan perbedaan kepentingan baik itu ras, agama, maupun budaya.
3. Modernisasi Ekonomi Desa merupakan wilayah yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup besar, tetapi kompetensi tersebut kurang diusahakan untuk meningkatkan potensi masyarakat secara berarti. Berkembangnya teknologi dan kemjuan globalisasi menyebabkan usaha besar di wilayah perkotaan semakin maju. Berlawanan dengan desa yang pada akhirnya harus mengalami ketidakberdayaan dalam mengikuti perkembangan bila tidak didukung dengan perkembangan teknologi. Pada akhirnya para petani mengubah
18
penghidupannya menjadi buruh pabrik. Perubahan masyarakat agraris menjadi masyarakat modern melalui beberapa proses yaitu : a. Dalam
bidang
teknologi,
suatu
masyarakat
yang
sedang
berkembang baru mengenal dan belajar dalam proses perubahan dengan penggunaan teknik-teknik sederhana dan tradisional ke arah penggunaan pengetahuan ilmiah. b. Dalam bidang pertanian, masyarakat yang sedang berkembang beralih dari pertanian sederhana ke arah produksi hasil pertanian untuk pasaran. c. Dalam bidang industri, masyarakat sedang bekembang mengalami suatu peralihan dari penggunaan tenaga kerja manusia dan binatang ke industrialisasi yang sebenarnya. d. Dalam susunan ekologinya, terjadi perubahan dari masyarakat sawah atau ladang dan desa ke arah pemusatan kota. (Myron Weiner, 1989 : 47) Soerjono Soekanto (2006 : 347), menyebutkan modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial yang terarah meliputi berbagai bidang. Sedang menurut Schoolar dalam Soerjono Soekanto (1980 : 1), menyebutkan modernisasi adalah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya atau dapat dikatakan suatu proses perubahan untuk membentuk suatu sistem sosial, ekonomi dan politik. Menurut Myron Weiner (1989 : 5), modernisasi adalah penerapan teknologi oleh manusia untuk menguasai sumber alam demi menciptakan peningkatan nyata dalam penyeimbangan pertumbuhan penduduk. Schermerhorn (1987 : 56), mendifinisikan modernisasi sebagai pola loncatan dari tipe masyarakat tertentu ke tipe masyarakat lainnya yang lebih kompleks. Kesimpulannya, modernisasi adalah proses menjadi modern atau proses ke arah kemajuan, proses perubahan dari tradisional ke arah modern. Di bidang ekonomi, modernisasi diwujudkan dalam bentuk proses industrialisasi. Industrialisasi terkait erat dengan perubahan sektor agraris. Perubahan sektor agraris akan membawa dampak pengiring, menyangkut produksi pertanian dan mobilisasi tenaga kerja yang kesemuanya dipengaruhi
19
IPTEK. Modernisasi di bidang ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan dalam struktur ekonomi yang menyangkut aspek-aspek dalam bidang ekonomi, dalam rangka memperbaiki kehidupan perekonomian. Modernisasi ekonomi menurut Francois Abraham dalam Arin Astuti (2003 : 9), merupakan perkembangan atau kemajuan ekonomi yang ditandai oleh tingginya tingkat konsumsi dan standar hidup, revolusi teknologi, birokrasi rasional. Modernisasi ekonomi mencakup : pembangunan sistem moneter, peningkatan skill melalui modernisasi teknologi, otomasi dan perpindahan tenaga kerja, perhitungan biaya rasional, spesialasi fungsional, pola tabungan dan investasi, alat transportasi dan komukasi yang semakin canggih, sehingga menghasilkan kemudahan dalam teknologi pemasaran, mobilitas tenaga kerja, distribusi barang dan perubahan pola konsumsi. Aspek-aspek modernisasi ekonomi menurut Hendra Esmara (1987 : 39), antara lain : perkembangan IPTEK, pembentukan modal dengan spesialisasi ekonomi yang cukup bahan mentah, barang produksi dan konsumsi, SDM, SDA, stabilisasi ekonomi. Keberhasilan proses modernisasi ekonomi ditandai dengan adanya tingkat pertumbuhan dan pendapatan suatu negara yang lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan penduduknya. Pelaksanaan modernisasi ekonomi hendaknya berusaha untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dalam pertumbuhan ekonomi artinya mampu mempengaruhi keseluruhan struktur sosial, politik, dan budaya masyarakat. Modernisasi ekonomi mempunyai ciri khas, menggambarkan proses pertumbuhan ekonomi untuk peningkatan kuantitas dan kualitas produksi industri. Pada umumnya, modernisasi ekonomi ditandai dengan dibangunnya kawasan industri maupun penggunaan teknologi. Dengan adanya pembangunan tersebut, akan
berdampak pada perkembangan sosial masyarakat yaitu berubahnya
karakter yang dimiliki masyarakat. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa Indonesia sebagai negara berkembang meski telah berusaha menciptakan kelas pengusaha dan mendukung berdirinya industri, namun belumlah mencapai modernisasi ekonomi yang sesungguhnya. Beragamnya karakter masyarakat Indonesia dengan keunikannya
20
dan dengan culture yang masih cenderung bergantung pada penguasa dan cenderung lemah, mengakibatkan gaya hidup yang dianut tidak dapat sepenuhnya mencerminkan manusia modern yang seutuhnya. Dalam industri rokok kretek Kudus modernisasi ekonomi dapat dilihat dalam langkah perkembangan IPTEK dan stabilisasi ekonomi sehingga membawa dampak positif bagi semua pihak.
4. Perubahan Sosial Kehidupan yang lebih baik pasti menjadi tujuan dari setiap manusia. Menurut Selo Soemardjan (1962 : 379), menyatakan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosial termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Menurut Gillin & Gillin dalam Soerjono Soekanto (2006 : 304), mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi pendidikan, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam mayarakat. Wilbert Moore, mendefinisikan perubahan sosial merupakan signifikasi dari struktur sosial yang merupakan pola interaksi dan aktivitas sosial. Struktur
sosial
tersebut
adalah
nilai,
norma,
(http://roykesiahainenia.i8.com/materi_sospol/materi_5.html
dan :
budaya 14/7/2009).
Kesimpulannya, perubahan sosial dapat didefinisikan sebagai segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan tentang sistem sosial (nilai, sikap, pola perilaku) masyarakat. Perubahan sosial dalam masyarakat dapat dikategorikan menjadi beberapa bentuk perubahan, yaitu : (a) cepat dan lambat, (b) besar dan kecil, (c) alami dan terencana (Soerjono Soekanto, 1990 : 311). Perubahan sosial yang terjadi dapat disebabkan oleh faktor internalistik maupun ekternalistik. Perubahan sosial yang bersumber dalam masyarakat itu sendiri : jumlah penduduk, invention, revolusi. Perubahan sosial yang bersumber dari luar masyarakat : alam, konflik, masuknya budaya lain (Soerjono Soekanto, 2006 : 317).
21
Perubahan sosial akan cepat terjadi bila dipengaruhi adanya kontak dan komunikasi dengan unsur budaya lain atau budaya dari luar, sehingga masyarakat menemukan suatu yang baru yang dianggap lebih baik. Disamping itu kemajuan pendidikan dan teknologi saat ini mendorong kemampuan berpikir sesorang menjadi lebih maju. Teknologi mempunyai pengaruh paling luas dalam perubahan sosial masyarakat, penemuan teknologi berupa kebendaan akan membawa perubahan lebih berarti bagi kemudahan pelaksanaan aktivitas kehidupan seharihari masyarakat. Menurut Rogers dalam buku Studi Masyarakat Indonesia (1998 : 43), perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dipengaruhi oleh faktor yang datang dari dalam maupun dari luar. Ada tiga kategori perubahan sosial : (1) Immanent change : perubahan sosial yang berasal dari dalam sistem itu sendiri, (2) Selective contact change : orang luar secara tidak sadar dan spontan membawa ide-ide baru pada anggota-anggota dari suatu sistem sosial, (3) Directed contact change : bila ide baru atau cara baru dibawa dengan sengaja oleh orang lain. Dari ketiga kategori tersebut, maka dalam kenyataan hanya nomor tiga yang banyak dijumpai dan mempengaruhi masyarakat. Disamping faktor penyebab perubahan sosial yang bersumber dari dalam maupun dari luar, juga terdapat faktor-faktor penunjang untuk mempermudah jalannya perubahan sosial : a) Berkembangnya
ilmu
pengetahuan
yang
dapat
menambah
pemecahan mengenai berbagai masalah yang dihadapi b) Jiwa yang terbuka terhadap perubahan c) Timbulnya keinginan baru d) Bertambahnya penduduk e) Penemuan baru di sektor sosial dan budaya tertentu f) Kemajuan teknologi (Hendro Puspito, 1989 : 127) Perubahan sosial yang diikuti dari penyebaran dan adobsi teknologi menyebabkan terjadinya perubahan gaya hidup yang membawa pengaruh pada persepsi, sikap dan perilaku manusia. Teknologi dalam hal ini merupakan suatu yang dianggap baru oleh masyarakat. Tujuannya dengan penemuan teknologi baru dapat menghasilkan suatu produk dengan tenaga, biaya, dan waktu yang hemat,
22
efektif dan efisien. Sehingga dapat memudahkan kehidupan masyarakat ke arah kemajuan. Perubahan sosial membutuhkan saluran perubahan yang ada dalam masyarakat dan berfungsi untuk mengatur jalannya kehidupan masyarakat. Saluran-saluran perubahan sosial yang ada adalah lembaga kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan , ekonomi, agama, pendidikan, politik, dan hukum. Lembaga kemasyarakatan pada waktu tertentu akan mendapat penilaian tertinggi dari masyarakat, akan menjadi saluran utama perubahan sosial. Perubahan suatu lembaga kemasyarakatan akan berpengaruh pada lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan sosial masyarakat ke arah positif merupakan perubahan yang dikehendaki dan direncanakan, tetapi perubahan sosial masyarakat yang negatif tidak dapat dihindari dampaknya. Terjadinya suatu proses perubahan sosial dalam masyarakat akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : a. Kontak dengan kebudayaan lain b. Sistem pendidikan formal yang maju c. Sikap menghargai hasil karya seseorang d. Adanya keinginan untuk maju e. Toleransi f. Sistem terbuka lapisan masyarakat g. Penduduk yang heterogen h. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu i. Orientasi masa depan (Soerjono Soekanto, 2006 : 326) Perkembangan yang dialami oleh masyarakat akibat adanya faktor-faktor tersebut, mendorong terjadi perubahan dalam kehidupan masyarakat. Sistem pertanian yang semula mengandalkan sistem kekerabatan dalam pembagian kerjanya, melaksanakan proses produksi secara bersama dalam suatu tempat yang sama pula dirasa sangat sulit untuk menerima suatu perubahan. Perkembangan industri mulai dari industri tradisional yang menerapkan sistem produksi dalam unit rumah tangga, sehingga mengakibatkan differensiasi dan spesifikasi masyarakat. Seiring dengan pesatnya perkembangan industri, sistem produksi
23
dalam satu tempat atau dalam suatu pabrik dirasa lebih ekonomis, efektif dan efisien, serta mempermudah pengontrolan aktivitas produksi dan karyawan. Perubahan masyarakat dari tradisional petani ke masyarakat industri tradisional, hingga akhirnya menuju masyarakat industri modern dengan penerapan teknologi yang mulai dikuasai mengakibatkan perubahan sosial masyarakat ke arah peningkatan adaptivitas kehidupan ke sistem yang lebih maju dan modern sesuai dengan perubahan jaman. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi dalam pola kehidupan manusia yang berkaitan dengan nilai, norma, pola tingkah laku, dan lapisan sosial dalam masyarakat. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat diharapkan mampu membawa kemajuan dan kesejahteraan terhadap masyarakat. Dalam perkembangan industri rokok kretek Kudus, membawa perubahan sosial terhadap pengusaha, pekerja, masyarakat dan pemerintah menuju masyarakat yang berusaha memperlajari penerapan teknologi, perbaikan kehidupan sosial ekonomi, serta menuju masyarakat yang modern. B. Kerangka Berpikir
Kondisi Sosial
Pengusaha Rokok Kretek
Ekonomi Masyarakat
Pribumi Kudus Industri Rokok Kretek Kudus
Perkembangan Industri
Manajemen
Rokok Kretek Kudus
Industri
Pengusaha Tionghoa
Kemajuan Industri Rokok Kretek Kudus
Perubahan Sosial Masyarakat Kudus
24
Keterangan : Pergeseran dalam suatu masyarakat, secara langsung maupun tidak langsung akan diikuti oleh berbagai permasalahan sosial. Desa sebagai wilayah yang seharusnya kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia, tetapi kompetensi yang dimiliki tersebut kurang dimanfaatkan secara optimal. Berbagai keterbatasan
yang
dimiliki
desa,
mengakibatkan
desa
mengalami
ketidakberdayaan sebagai masyarakat yang mengandalkan sektor agraris yang terdesak oleh kemajuan jaman. Masyarakat agraris yang sebagian besar menggantungkan kehidupannya pada alam dan mengandalkan tenaga manusia, sukar untuk menerima perubahan dari luar komunitasnya. Kehidupan masyarakat yang
sedemikian,
dirasakan
kurang
mendukung
usaha
perkembangan
perekonomian ke arah yang lebih maju. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kedudukan desa dan masyarakat agraris terdesak. Permasalahan dalam masyarakat agraris, seperti : semakin pesatnya pertumbuhan penduduk mengakibatkan surplus tenaga kerja, sedangkan lahan pertanian yang digarap semakin sempit. Pengangguran meningkat di wilayah pedesaan. Kebutuhan sehari-hari sulit dipenuhi karena pendapatan yang diperoleh dari hasil pertanian tidak menentu. Kondisi ini memaksa petani mencari sumber pendapatan lain di samping sumber hasil pertanian. Sistem perdagangan yang dikuasai oleh pedagang juga masih belum dapat memperbaiki kondisi perekonomian rakyat. Perdagangan yang berkembang masih dikuasai oleh golongan bermodal besar, terutama pihak swasta dan asing. Pedagang-pedagang pribumi cenderung lemah, dengan penguasaan sistem kelola dagang yang kurang matang. Asal barang yang mereka perdagangkan laku di pasaran, mendapatkan banyak keuntungan, dan dapat memenuhi kebutuhan kemewahan mereka dirasa sudah cukup tanpa memandang ke depan akan kelangsungan usahanya. Permasalahan tersebut dapat teratasi jika ada upaya dari masyarakat untuk mencari sumber penghasilan yang mampu menjamin tercukupinya kebutuhan sehari-hari masyarakat. Salah satu ide pembaharuan adalah dengan adanya proses
25
industrialisasi. Sektor industri dengan keunggulannya menjadi obat yang diharapkan dapat memperbaiki perekonomian. Sektor industri dapat : (a) menyerap banyak tenaga kerja, (b) tingkat pendapatan sebagai buruh relatif terjamin, konstan serta dapat diandalkan, (c) pemanfaatan teknologi mulai diperkenalkan dan diterapkan dalam proses produksi, (d) mengajarkan masyarakat lebih berpikir maju dengan menghasilkan barang yang mempunyai nilai guna lebih tinggi bagi masyarakat, dan sebagainya. Sektor industri mendorong perkembangan ke arah masyarakat yang modern. Proses industrialisasi membawa dampak positif bagi masyarakat dan perekonomian negara, apabila tetap memperhatikan kelancaran jalannya sektorsektor di luar sektor industri. Kemajuan yang menjadi salah satu dampak pengiring industrialisasi, menandakan munculnya ciri modernisasi ekonomi. Modernisasi yang terjadi nampak pada : pembangunan kawasan industri, penggunaan teknologi, peningkatan pendapatan yang berarti kesejahteraan penduduk, serta pemikiran masyarakat mulai jauh ke depan dengan mampu menghasilkan produk yang mempunyai nilai guna tinggi. Meskipun ciri kehidupan masyarakat modern yang sesungguhnya belum tercermin dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Merintis dan mngembangkan suatu usaha memerlukan pengaturan yang matang. Perkembangan suatu industri ke arah kemajuan tidak luput dari keberhasilan sistem manajemen yang diterapkan. Tanggung jawab sistem manajemen yaitu dengan kekuatannya menentukan berhasil atau tidaknya suatu industri dan menjamin eksistensi suatu industri. Untuk mencapai sasaran yang diinginkan dalam suatu usaha, maka diperlukan manajemen yang mampu mengarahkan semua sumber daya yang ada sesuai dengan fungsi dan kompetensi masing-masing. Langkah-langkah manajemen yang tepat (planning, organizing, actuating, controlling) mampu mengarahkan pada keberhasilan industri dan eksistensi industri. Manajemen yang mantap merupakan tameng sekaligus senjata ampuh untuk menghadapi pasang surut dunia industri. Adanya industrialisasi yang didukung sistem manajemen yang baik akan menghantarkan proses industrialisasi yang lancar dan didukung oleh masyarakat.
26
Keunggulan industrialisasi mendorong munculnya kelas-kelas pengusaha. Dalam penelitian ini, pengusaha pribumi rokok kretek Kudus berusaha muncul dengan kekuatan sendiri di tengah kondisi penjajahan yang membelenggu Indonesia. Pengusaha pribumi dengan segala keterbatasannya, mencoba mandiri dan memberanikan diri mengelola industri dengan modal tekat, kerja keras, keuletan, dan kejujuran. Dengan modal seadanya didukung permintaan masyarakat yang meningkat, menghantarkan pengusaha pribumi industri rokok kretek Kudus ke puncak raja-raja rokok kretek terkemuka. Perkembangan industri rokok kretek Kudus, bagaikan angin segar untuk mendobrak perekonomian negara yang lemah oleh penjajahan dan keadaan. Keberhasilan pengusaha rokok kretek pribumi membawa perubahan bagi sebagian besar masyarakat di sekitar wilayah Kudus. Para wanita yang tadinya bertani menjadi buruh pabrik rokok, sehingga membawa perubahan bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Setelah keberhasilan pengusaha pribumi, muncul pengusaha Tionghoa yang berusaha mengadu nasib dalam industri rokok kretek Kudus. Pengusaha Tionghoa rokok kretek Kudus mulai merambah industri rokok kretek dengan modal yang lebih besar serta sistem manajemen perusahaan yang lebih matang. Orang Cina yang terkenal ahli mengelola ekonomi dengan keuletan, kerja keras, dan sistem kekerabatan dalam kelompoknya menjadikan usaha industri rokok kretek yang dirintis berkembang pesat. Industri rokok kretek milik Tionghoa bersaing dengan pengusaha pribumi menciptakan produksi rokok yang terbaik bagi masing-masing konsumennya. Kemajuan industri rokok kretek Kudus yang dicapai membawa suatu perubahan sosial bagi pengusaha, pekerja, masyarakat dan negara. Pengusaha dengan menanamkan sistem perpabrikan yang mapan telah berhasil memperoleh banyak keuntungan dengan hasil kekayaan pribadi tertinggi seperti : kepemilikan rumah-rumah mewah, banyaknya gudang usaha yang dibangun disertai banyaknya mempekerjakan tenaga kerja, dan sebagainya. Pekerja yang sebagian besar merupakan rakyat pribumi pendukung industri rokok kretek Kudus, telah berhasil mengubah nasibnya dari seorang petani menjadi seorang buruh yang notabennya buruh akan memperoleh gaji tetap setiap bulannya. Dengan tingkat
27
penghasilan yang menentu mampu meningkatkan kondisi sosial ekonomi. Pekerja mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya, membangun rumah sederhana, dan menyekolahkan anak mereka sampai jenjang yang tinggi. Masyarakat dan pemerintah daerah Kudus sendiri juga dapat ikut merasakan kemajuan kota dan pemenuhan sarana-prasarana kota yang ikut disokong oleh industri rokok kretek Kudus. Negara juga tidak kalah merasakan keuntungan dari hasil industri rokok kretek ini, karena cukai rokok merupakan salah satu income terbesar negara untuk berbagai kemanfaatan rakyat. Tercapainya masyarakat yang modern, sejahtera, makmur, mampu memanfaatkan teknologi, berorientasi ke depan yang tercermin dalam kehidupan masyarakat merupakan akibat adanya industri rokok kretek di wilayah Kudus. Dengan suatu konsekuensi bahwa akibat dari konsumsi rokok sendiri akan merugikan individu yang menghisap rokok dan orang-orang yang ada disekitarnya.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam rangka penyusunan skripsi yang berjudul ”Perkembangan Industri Rokok Kretek Kudus 1908-1964” yang dilakukan dengan cara studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai tempat memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian, antara lain perpustakaan : a. Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS b. FKIP UNS c. Pusat UNS d. Kolese St. Ignasius Yogyakarta e. Pusat UGM f. Propinsi Jawa Tengah g. Arsip dan Perpustakaan Jawa Tengah h. Daerah Kabupaten Kudus i. Nasional Jakarta j. Persatuan Perusahaan Rokok Kudus
2. Waktu Penelitian Rencana waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak proposal disetujui pembimbing yaitu bulan April 2009 sampai dengan Januari 2010 (sepuluh bulan). Adapun kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut diantaranya adalah mengumpulkan sumber, melakukan kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir menyusun laporan hasil penelitian.
28
29
Dengan jadwal penelitian, sebagai berikut : Jadwal Kegiatan Penelitian Tahun 2009 No
1. 2.
3.
Jenis Kegiatan
April
Mei Juni
Juli-
September- Januari
Agustus
Desember
2010
Pengajuan Judul Penyusunan Proposal Pengajuan Surat Ijin
4.
Pengumpulan Data
5.
Analisis Data
6.
Laporan Penelitian
B. Metode Penelitian Menurut kamus Webster’s, Third New International Dictionary of the English Language, yang dimaksud dengan metode adalah : 1. Suatu prosedur atau proses untuk mendapatkan suatu obyek. 2. Suatu disiplin atau sistem yang acapkali dianggap sebagai cabang logika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan untuk penyidikan ke dalam atau eksposisi dari beberapa subyek. 3. suatu prosedur, teknik, dan cara melakukan penyelidikan sistematis. (Helius Sjamsuddin, 2007 : 12) Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu ”Methodos” yang artinya cara atau jalan. Karena berhubungan dengan cara ilmiah, maka yang dimaksud dengan metode adalah cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu penelitian yang sistematis mengacu pada aturan baku yang sesuai dengan permasalahan
ilmiah
yang
bersangkutan
dan
hasilnya
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Koentjaraningrat, 1983 : 72). Menurut kamus The New Lexicon, metode adalah suatu cara untuk membuat sesuatu, suatu
30
prosedur untuk mengerjakan sesuatu, keteraturan dalam berbuat, berencana, dan suatu susunan atau sistem yang teratur (Helius Sjamsuddin, 2007 : 13). Menurut Mardalis (2002 : 24), metode diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Metode dapat diartikan jalan, cara, atau
petunjuk
pelaksanaan
atau
merupakan
petunjuk
teknis
(Dudung
Abdurrahman, 1999 : 43). Metode dapat diartikan tata cara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan, yang melingkupi prosedur penelitian dan teknik penelitian (Iqbal Hasan, 2002 : 21). Dari beberapa pengertian di atas, maka metode dapat didefinisikan sebagai cara, jalan, dan teknik yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah-langkah yang sistematis. Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji serta tujuan yang akan dicapai, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Pemilihan metode historis didasarkan pada pokok permasalahan yang dikaji yaitu peristiwa masa lampau, untuk direkonstruksikan menjadi cerita sejarah melalui langkah atau metode historis. Menurut Kuntowijoyo (1994 : 24), metode sejarah didefinisikan sebagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian sejarah. Menurut Gilbert J. Garraghan dalam Dudung Abdurrahman (1999 : 43), metode sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip yang sistematis yang digunakan secara efektif untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Menurut Sartono Kartodirdjo (1992 : 4), metode sejarah adalah bagaimana memperoleh pengetahuan sejarah atau bagaimana mengetahui sejarah. Metode penelitian historis menurut Louis Gottschalk dalam Dudung Abdurrahman (1999 : 44) adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan penilaian masa lampau. Rekonstruksi yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses yang disebut dengan historiografi. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Helius Sjamsuddin, 1996 :
31
17). Metode sejarah bertujuan untuk memastikan dan menyatakan kembali faktafakta masa lampau, dan penulisan sejarah merupakan cara untuk merekonstruksi gambaran masa lampau berdasarkan bukti-bukti dan data yang diperoleh dari peninggalan masa lampau. Metode historis bertujuan merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan obyektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan mensintesiskan bukti untuk menempatkan fakta sejarah dan mencapai konklusi yang dapat dipertahankan. Penelitian dengan metode historis merupakan metode kritis terhadap keadaaan-keadaan dan perkembangan, serta pengalaman masa lampau dan menimbang secara teliti hati-hati terhadap validitas sumber-sumber sejarah agar fakta yang diperoleh bersifat obyektif. Berdasarkan penjelasan tentang metode historis di atas, maka metode historis dipergunakan dengan alasan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi peristiwa yang terjadi di Kudus, yaitu : ”Perkembangan Industri Rokok Kretek Kudus 1908-1964”. Sedangkan obyek penelitian dan waktu terjadinya peristiwa yang diteliti adalah awal mula pendirian industri rokok kretek Kudus, perkembangan industri rokok kretek Kudus awal dekade 1900an, dan sistem pemasaran, serta perubahan manajemen industri rokok kretek Kudus dekade 1900-an. Di tengah kesulitan pra-kemerdekaan, pengusaha rokok kretek pribumi berusaha muncul dengan kekuatan sendiri hingga akhirnya mendulang keberhasilan dalam industri rokok kretek. Perkembangan industri rokok kretek Kudus oleh pengusaha pribumi telah menarik perhatian pengusaha Tionghoa untuk ikut serta dalam pengembangan usaha industri rokok kretek Kudus. Terjadi persaingan yang cukup hebat antara pengusaha pribumi dan pengusaha Tionghoa, hingga mencapai suatu titik perusuhan di Kudus. Persaingan usaha dan kesalahpahaman kepentingan etnis menjadi pemicu terjadinya perubahan kekuatan usaha industri rokok kretek di Kudus. Keadaan tersebut membawa dampak menguatnya pengusaha Tionghoa dalam industri rokok kretek Kudus, dan sebaliknya semakin melemahnya pengusaha pribumi. Kondisi tersebut berlanjut dengan kepemilikan perusahaan rokok kretek besar milik Tionghoa, diikuti dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi masyarakat Kudus sebagai
32
komponen pekerja pabrik rokok kretek Kudus. Dalam perkembangannya industri rokok kretek Kudus membawa kemajuan pada pengusaha, pekerja, masyarakat Kudus, Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus, serta keberhasilan pembangunan negara.
C. Sumber Data Sumber data yang merupakan sumber sejarah adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai penulisan peristiwa sejarah, merupakan suatu hasil penyelidikan untuk mendapatkan data apa saja yang ditinggalkan manusia pada masa lampau. Menurut Sidi Gazalba (1981 : 105) sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu : (1) sumber tertulis yang mempunyai fungsi mutlak dalam sejarah, (2) sumber lisan, yaitu sumber tradisional dalam pengertian luas, (3) sumber visual atau benda, yaitu semua warisan masa lalu yang berbentuk dan berupa seperti candi dan prasasti. Sumber sejarah merupakan bahan mentah yang mencakup segala macam bukti yang ditinggalkan manusia yang menunjukkan segala aktivitas manusia masa lalu baik tertulis, lisan maupun benda. Sumber sejarah sebagai produk dari kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak yang mampu memberikan informasi pada generasi berikutnya. Menurut Helius Sjamsuddin (1996 : 62), sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi : (1) sumber dokumenter, berupa bahan sejarah dalam bentuk tulisan; (2) sumber korporal, berwujud benda; dan (3) sumber lisan, berupa cerita sejarah lisan oleh subyek sejarah baik yang mengalaminya langsung maupun saksi mata. Sumber sejarah merupakan bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi sebenar-benarnya tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Jadi, sumber sejarah merupakan sesuatu yang dapat menceritakan tentang kenyataan pada masa lalu yang diperoleh dari peninggalan dan data pada masa lalu. Sumber sejarah merupakan peninggalan masa lampau yang kejadiannya telah terjadi, maka terdapat keterbatasan dalam pengungkapan peristiwa karena tidak semua peristiwa mendapat perhatian secara menyeluruh. Hanya sebagian peristiwa sejarah yang mampu direkam dalam ingatan manusia, maka informasi
33
yang diperoleh dari sumber sejarah serba kurang lengkap sehingga sumber sejarah perlu dihimpun untuk mendapatkan kebenaran informasi sejarah. Sumber sejarah yang asli atau sumber saksi mata disebut sumber primer. Sumber berupa pencitraan atau garapan terhadap sumber asli dinamakan sumber sekunder.(Helius Sjamsuddin, 1996 : 65) Menurut Louis Gottschalk (1975 : 35), sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi mata dengan mata kepala sendiri atau saksi dari panca indera yang lain, yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya. Sedangkan sumber sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi mata yakni dari seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkan. Sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi beberapa cara yaitu : (1) kontemporer (contemporary) dan lama (remote), (2) formal (resmi) dan informal (tidak resmi), (3) pembagian menurut asalnya (dari mana asalnya), (4) isi (mengenai apa), (5) tujuan (untuk apa) yang masing-masing dibagi lagi lebih lanjut menurut waktu, tempat dan cara atau produknya. Sumber sejarah secara garis besar dibedakan menjadi peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan. (Helius Sjamsudin, 2007 : 96). Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber tertulis primer maupun sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah beberapa arsip perusahaan rokok kretek Kudus milik Nitisemito yang dibuat saat perusahaan tersebut masih beroperasi, arsip pemerintahan Jepang dan Belanda mengenai kebijakan terhadap industri rokok kretek Kudus, dan wawancara, misalnya : (1) Sumber subyek wawancara : (a) Bp. Masturi penjaga makam Sunan Kedu yang mengetahui proses dan peranan Sunan Kedu dalam memperkenalkan tembakau sebagai bahan baku rokok kretek Kudus, (b) Bp. Afif Masluri, sejarawan industri rokok kretek Kudus yang banyak mengetahui sejarah dan perkembangan industri rokok kretek Kudus baik oleh pengusaha pribumi maupun pengusaha Tionghoa, (2) Arsip Belanda Betreffende Eene Behouden Enquete naar de Arbeids Toestanden in de Industrie van Strootjes en inheemsche Sigaretten op Java, (3) Arsip Propinsi Jawa Tengah tentang surat ijin berusaha dari pemerintah Jepang, Gunseikan Zamubutyo
34
No. 10421/F di Jakarta 19 Oktober 2603, (4) Arsip Propinsi Jawa Tengah tentang surat balasan keputusan Gunseikan Zamubutyo No. TAI/16/19 di Jakarta 19 Oktober 2603, (5) Arsip Propinsi Jawa Tengah tentang surat ijin berusaha dari pemerintah Belanda. No. 619/TA di Jakrta 13 Mei 2603, (6) Arsip Propinsi Jawa Tengah tentang Surat Pemberitahuan tentang tjap dan boengkoes etjeran rokok kretek No 3/drie/26/149 di Kudus 1949, (7) Arsip Propinsi Jawa Tengah tentang surat laporan adanya pendapatan uang rokok Bulan Oktober 1934 di Kudus oleh M. Karmaen, (8) Arsip Propinsi Jawa Tengah tentang M. Nitisemito yang disarikan dari buku Der Kretek Koening, (9) Arsip Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tentang Peroesahaan Rokok Kretek di Koedoes , (10) Arsip PPRK yatiu artikel Asal-Usul Tembakau, artikel Almarhum Nitisemito, artikel tentang Asal Mula Rokok. Sumber sekunder yang digunakan adalah buku-buku literatur yang relevan dengan penelitian ini. Adapun buku-buku literatur yang relevan, antara lain : (1) Buku karangan Lance Castle yang berjudul Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa : Industri Rokok Kudus yang menguraikan tentang sejarah dan persoalan-persoalan industri kretek Kudus serta fakta lingkungan Kudus dalam persoalan pembangunan di Indonesia, (2) Buku Rokok Kretek Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara karangan Amen Budiman dan Onghokham menguraikan tentang penemuan rokok kretek di Kudus, lahirnya industri rokok kretek di Kudus, perkembangan industri rokok kretek di Kudus dari tahun ke tahun dilihat dari sisi : pengusaha, buruh, inovasi produksi dari rokok kretek, (3) Sumber subyek wawancara : pihak PPRK (Persatuan Perusahaan Rokok Kudus) Bapak Dhani yang mengetahui sejarah dan perkembangan industri rokok kretek Kudus (4) ”Indonesia Sekarang” karangan Parada Harahap, (5) ”Kudus dan Kekunoan Islam” karangan Solichin Salam, (6) John Multiplysite (13 Maret 2008), (7) ”Museum Kretek Ing Kudus” karangan Suharyanto BP 1991 dalam Djoko Lodang 1009, (8) ”Kudus dan Sejarah Rokok Kretek” karangan Solichin Salam, (9) ”Islam di Jawa Dilihat dari Kudus” karangan Marcel Bonneff, (10) ”Kretek The Culture and Heritage of Indonesia Clove Cigarretes” karangan Mark Hanuzs, serta buku-buku lain yang relevan terhadap penelitian ini.
35
Pengumpulan data berdasarkan sumber data yang ditetapkan yaitu teknik studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis menggali data dari buku-buku dan bentuk pustaka lainnya. Sumber-sumber ini diperoleh melalui kunjungan pustaka, analisis dan lain-lain.
D. Teknik Pegumpulan Data Dalam penelitian historis, pengumpulan data dinamakan heruistik. Teknik pengumpulan data adalah ketrampilan mencari, menemukan, mengumpulkan, menganalisa dan mengklarifikasikan data. Dalam penelitian ini digunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka. Menurut Koentjaraningrat (1986 : 36), keuntungan dari studi pustaka ini ada empat hal, yaitu : (1) memperdalam kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan pemikiran, (2) memperdalam pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan sehingga
mempermudah
dalam
perumusan,
(4)
menghindari
terjadinya
pengulangan suatu penelitian. Pengumpulan data atau heruistik dapat dilakukan dengan membaca bibliografi mengenai topik penelitian. Melalui bacaan tersebut dapat dikumpulkan sebagian data, dapat membaca sumber-sumber terkait yang dipergunakan dalam karya-karya terdahulu, dan dapat menjaring sebanyak mungkin jejak atau data sejarah yang sesuai dengan obyek kajian. Dalam pengumpulan data harus mencari sumber primer maupun sumber sekunder yang berguna untuk mengungkapkan fakta sejarah. Menurut Dudung Abdurrahman (1999 : 56) mengutip pendapat Florence M.A. Hillbish, mengemukakan bahwa catatan-catatan dalam pengumpulan data ada tiga bentuk, yaitu : (1) quation (kutipan langsung), (2) citation atau indirect quation (kutipan tidak langsung), (3) summary (ringkasan) dan comment (komentar). Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data melalui studi pustaka dilakukan terhadap buku dan subyek yang berkaitan dengan obyek penelitian, juga terhadap buku-buku literatur yang berkaitan dengan obyek penelitian. Berkaitan dengan buku primer yang digunakan, pengumpulan sumber dilakukan di Kolese St. Igansius Yogyakarta, Badan Arsip dan Perpusatakaan Jawa Tengah,
36
Persatuan Perusahaan Rokok Kudus, Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah, Perpustakaan Daerah Kabupaten Kudus, Perpustakaan Pusat UNS. Untuk mencarinya, peneliti terlebih dahulu membaca katalog, mencatat nomor kode buku maupun arsip dan menyerahkan pada petugas, yang kemudian akan membantu mengambilkan data yang dibutuhkan oleh peneliti. Dengan membandingkan sumber yang satu dengan sumber yang lain peneliti berusaha untuk memahami isi dan peristiwa sebenarnya yang terjadi di dalam obyek penelitian. Peneliti membaca, mencatat atau membuat catatan ringkas, meminjam, dan memfoto copi bagian buku-buku literatur yang dianggap penting dan sesuai dengan tema penelitian yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan yang ada di Surakarta, Kudus, Semarang, Yogyakarta. E. Teknik Analisis Data Sumber data baik sumber primer maupun sumber sekunder yang telah terkumpul, kemudian dianalisis. Analisis dalam proses penelitian sangat penting karena dengan analisis data akan nampak manfaatnya baik dalam pemecahan masalah penelitian dan pencapaian tujuan akhir penelitian. Proses analisis data dilakukan setelah melalui proses klasifikasi data yang telah diperoleh. Di dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasi data sejarah. Interpretasi diperlukan mengingat fakta sejarah tidak mungkin berbicara sendiri. Kategori fakta-fakta sejarah mempunyai sifat yang sangat kompleks, sehingga suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri. Fakta merupakan bahan utama yang dijadikan para sejarawan sebagai bahan menyusun cerita sejarah. Fakta sejarah merupakan suatu unsur yang dijabarkan secara langsung atau tidak langsung dari dokumen sejarah dan dianggap kredibel setelah pengujian yang saksama sesuai dengan hukum metode sejarah (Louis Gottschalk, 1975 : 96). Pengkajian fakta sejarah tidak dapat dilepaskan dari unsur subyektivitas sejarawan, sehingga tidak diperlukan konsep-konsep dan teori sebagai kriteria penyeleksi dan pengklasifikasian fakta sejarah (Sartono Kartodirdjo, 1992 : 85).
37
Penulisan sejarah yang dapat dipercaya memerlukan analisis data sejarah yang obyektif, sehingga unsur-unsur subyektivitas dalam menganalisis data sejarah dapat diminimalisir. Dalam proses analisis data harus diperhatikan unsurunsur yang sesuai dengan sumber data sejarah dan kredibilitas unsur tersebut. Unsur yang kredibel, maksudnya apabila unsur tersebut paling dekat dengan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya terjadi. Unsur tersebut dapat diketahui kredibelnya berdasarkan penyelidikan kritis terhadap sumber data sejarah yang ada (Louis Gottschalk, 1975 : 95). Analisa data dapat dilakukan dengan aturan-aturan : fakta sejarah harus diseleksi, disusun, diberi atau dikurangi tekanannya (tempat atau bahasanya) dan ditempatkan dalam urutan kausal. Dari keempat aturan menyusun fakta tersebut, seleksi merupakan masalah penting sehingga peneliti harus mampu memilih dan memilah fakta mana yang lebih relevan dari sejumlah data (Dudung Abdurahman, 1999 : 25). Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah merupakan bukti-bukti sejarah yang masih berdiri sendiri-sendiri sehingga perlu dirangkaikan menjadi fakta yang terkait sebelum ditulis dalam rangkaian hasil penelitian. Berdasarkan sintesa fakta muncullah interpretasi yang tidak dapat terlepas dari unsur subyektivitas, sehingga dalam melakukan interpretasi diperlukan pengetahuan konsep teori dan metodologi yang tepat guna memfokuskan pada posisi tertentu yang menjadi obyek penelitian serta meningkatkan unsur obyektivitas dalam historiografi sejarah. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengklasifikasikan sumber data yang telah terkumpul yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Langkah selanjutnya adalah kritik sumber, baik kritik intern maupun kritik ekstern. Sumber data tersebut kemudian dibandingkan dengan sumber data yang lain guna memperoleh kredibilitas sumber data. Dalam penelitian ini analisa dilakukan setelah kegiatan pengumpulan dan pengklasifikasian data. Analisa dimulai dengan menyeleksi dan membandingkan data kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan berbagai keterangan lengkap mengenai data yang dijadikan fakta sejarah. Mengacu pada kajian teori, fakta
38
diberi keterangan baik yang mendukung atau menolak sampai tersusun fakta yang saling menunjukkan hubungan yang relevan diinterpretasikan guna mendapatkan hasil penelitian yang utuh untuk sebuah karya ilmiah.
F. Prosedur Penelitian Sebelum melakukan penelitian perlu dibuat suatu prosedur penelitian karena dapat mempermudah cara kerja dan memperlancar jalannya penelitian. Menentukan tema yang akan diteliti merupakan langkah awal sebelum membuat suatu rencana kerja dari persiapan membuat proposal sampai dengan penulisan hasil penelitian. Untuk mempermudah penelitian langkah yang perlu dijalankan guna mendapatkan hasil penelitian yang optimal diperlukan adanya prosedur yang digambarkan dalam bagan persiapan. Bagan persiapan tersebut berisi langkah sistematis yang menggambarkan kegiatan dari awal perncanaan sampai dengan pembuatan laporan hasil penelitian. Karena penelitian ini merupakan penelitian historis maka skema dalam metode historis digambarkan sebagai berikut :
Heuristik
Kritik
Interpretasi
Historiografi
Fakta Sejarah
Keterangan : 1. Heruistik Heruistik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak atau sumber lain yang relevan dengan penelitian ini. Menurut G.J. Reiner dalam Dudung Abdurrahman (1999 : 55), heruistik adalah suatu teknik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu. Menurut Sidi Gazalba (1981 : 15) heruistik adalah kegiatan mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan bahan penelitian. Menurut Ernest Berschen dalam Helius Sjamsuddin (2007 : 19), heruistik adalah proses mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah.
39
Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan tema penelitian. Sumber berupa buku-buku literatur diperoleh dari beberapa perpustakaan diantaranya Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Daerah Kabupaten Kudus, Perpustakaan Propinsi Jawa Tengah, Badan Arsip dan Perpustakaan Jawa Tengah, Perpustakaan Kolese St Ignasius Yogyakarta, Persatuan Perusahaan Rokok Kudus, dan lain-lain. 2. Kritik Kritik merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menyelidiki jejak-jejak sejarah yang telah dikumpulkan, yaitu yang menyangkut apakah jejak-jejak sejarah itu dapat dipercaya atau tidak, kegiatan menganalisis secara kritis sumber sejarah yang telah terkumpul. Kritik terbagi menjadi dua macam yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Kritik intern berhubungan dengan kredibilitas dan reabilitas isi dari suatu sumber sejarah. Kritik intern merupakan suatu analisis atas isi dokumen dan suatu pengujian positif maupun negatif mengenai apa yang ditulis penulis. Kritik ini bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu sumber sejarah dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang diperlukan. Kritik ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang berkenaan dengan keberadaan sumber apakah masih asli atau sudah turunan. Kriritk ekstern berusaha untuk menegakkan kembali teks yang benar, menetapkan di mana dan kapan, serta oleh siapa dokumen ditulis. Kritik ini dilakukan dengan meneliti bahan yang dipakai, jenis tulisan, gaya bahasa, dan lain-lain. Hal tersebut dapat diuji berdasarkan pertanyaan yaitu dimana sumber itu dibuat dan kapan sumber itu dibuat. Dalam penelitian ini, pada tahap kritik intern dilakukan dengan melihat kredibilitas dan reliabilitas isi dari sumber sejarah yang terkumpul. Kritik intern dilakukan dengan menganalisis isi sumber sejarah, antara lain : (1) Sumber subyek wawancara :
(a) Bp. Masturi penjaga makam Sunan Kedu yang
mengetahui proses dan peranan Sunan Kedu dalam memperkenalkan tembakau sebagai bahan baku rokok kretek Kudus, (b) Bp. Afif Masluri, sejarawan industri
40
rokok kretek Kudus yang banyak mengetahui sejarah dan perkembangan industri rokok kretek Kudus baik oleh pengusaha pribumi maupun pengusaha Tionghoa, (2) Arsip Belanda Betreffende Eene Behouden Enquete naar de Arbeids Toestanden in de Industrie van Strootjes en inheemsche Sigaretten op Java, (3) Arsip Propinsi Jawa Tengah tentang surat ijin berusaha dari pemerintah Jepang, Gunseikan Zamubutyo No. 10421/F di Jakarta 19 Oktober 2603, (4) Arsip Propinsi Jawa Tengah tentang surat balasan keputusan Gunseikan Zamubutyo No. TAI/16/19 di Jakarta 19 Oktober 2603, (5) Arsip Propinsi Jawa Tengah tentang surat ijin berusaha dari pemerintah Belanda. No. 619/TA di Jakrta 13 Mei 2603, (6) Arsip Propinsi Jawa Tengah tentang Surat Pemberitahuan tentang tjap dan boengkoes etjeran rokok kretek No 3/drie/26/149 di Kudus 1949, (7) Arsip Propinsi Jawa Tengah tentang surat laporan adanya pendapatan uang rokok Bulan Oktober 1934 di Kudus oleh M. Karmaen, (8) Arsip Propinsi Jawa Tengah tentang M. Nitisemito yang disarikan dari buku Der Kretek Koening, (9) Arsip Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tentang Peroesahaan Rokok Kretek di Koedoes , (10) Arsip PPRK yatiu artikel Asal-Usul Tembakau, artikel Almarhum Nitisemito, artikel tentang Asal Mula Rokok. Dengan kritik intern ini dapat diketahui fakta sejarah yang terpercaya dan diperoleh informasi yang mendukung dalam penelitian ini, yaitu mengenai : sejarah industri rokok kretek Kudus, kondisi awal dan sistem pemasaran industri rokok kretek Kudus awal dekade 1900, serta perubahan manajemen industri rokok kretek Kudus sejak 1920-an. Pada tahap kritik ekstern dilakukan dengan melihat penulis atau pengarang tentang hasil karyanya sesuai dengan keahliannya atau tidak, sehingga diketahui keasliannya dan sikap untuk menerima atau menolak sumber tersebut. Dalam penelitian ini menggunakan sumber yang berasal dari karya : Lance Castle, Amen Budiman, Ong Hok Ham, dan Solichin Salam yang sekiranya diketahui hasil karyanya sesuai dengan keahliannya dan fakta yang diungkapkan dalam hasil karyanya tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Pada langkah kritik ekstern yang berkenaan dengan isi sumber dilakukan dengan melihat apakah keaslian sumber tersebut dari pengarangnya asli atau turunan karya orang lain dari tahap ini akan didapatkan validitas data. Beberapa arsip yang digunakan dalam penelitian ini
41
merupakan arsip perusahaan rokok kretek Kudus milik Nitisemito merupakan sumber asli yang dibuat langsung oleh pelaku sejarah, arsip pemerintahan Jepang dan Belanda mengenai kebijakan terhadap industri rokok kretek Kudus juga merupakan sumber asli yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dan Belanda. Beberapa sumber buku lain yang digunakan sebagian merupakan turunan karya maupun hasil penelitian penulis. Berkenaan dengan waktu dan tempat pembuatan sumber sejarah dibuat, maka kritik ekstern dilakukan dengan melihat jenis tulisan dan gaya bahasa yang dipakai oleh penulis sejarah seperti berberapa tulisan lepas dan arsip perusahaan rokok kretek Kudus milik Nitisemito yang menggunakan ejaan lama sesuai dengan tahun pembuatannya. 3. Interpretasi Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut dengan analisis sejarah. Analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori disusunlah fakta ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Interpretasi dapat dilakukan dengan membandingkan data guna mengungkapkan kronologi peristiwa sejarah. Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk menafsirkan data yang diperoleh, kemudian mencari kaitan antara data yang satu dengan data yang lainnya. Setelah itu data yang saling berkaitan dihubungkan sehingga akan diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh. 4. Historiografi Tahap historiografi merupakan langkah terakhir dalam prosedur penelitian sejarah. Historiografi merupakan karya sejarah dari hasil penelitian, dipaparkan dengan bahasa ilmiah dan seni yang khas untuk menjelaskan apa yang telah ditemukan beserta argumentasi secara sistematis. Historiografi merupakan langkah merangkai fakta sejarah menjadi cerita sejarah yang memberikan gambaran sejarah yang terjadi pada masa lampau. Dalam
penelitian ini
historiografi diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul ”Perkembangan Industri Rokok Kretek Kudus 1908-1964”. Kegiatan historiografi dalam penelitian ini dilakukan dengan memaparkan hasil interpretasi penulis terhadap sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan
42
pada tahap heruistik dan telah diverifikasi pada tahap kritik. Dalam penulisan penelitian ini penulis berusaha memaparkan hasil penelitian yang obyektif berdasarkan data sumber-sumber sejarah yang telah melalui tahap heruistik, kritik, interpretasi, sehingga apa yang dituliskan merupakan data yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Dalam penelitian ini tempo atau waktu masalah yang dikaji adalah masa lalu, maka dalam kegiatan historiografinya penelitian ini lebih berdasarkan sumber fakta sejarah masa lalu untuk kemudian diungkap dan dirangkaikan oleh penulis menjadi gambaran atau cerita sejarah mengenai perkembangan industri rokok kretek Kudus yang mengalami masa pasang surut dari tahun ke tahun hingga berkembang menjadi suatu industri rokok kretek Kudus yang besar.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Wilayah Kota Kudus 1. Letak dan Keadaan Geografis
Kudus adalah sebuah kota kecil yang berstatus Daerah Tingkat II/Kabupaten, dan terletak 51 Km sebelah Utara kota Semarang. Kudus terletak di Pantai Utara Jawa Tengah, selama berada di bawah penguasaan kolonial Belanda sampai tahun 1924, Kudus termasuk dalam Karesidenan Jepara-Rembang (Lance Castle, 1982 : 139). Letak kota Kudus sangat strategis, karena berbatasan dengan kota Jepara di sebelah Utara; kota Pati, Juwana, Rembang, Lasem, Blora dan Cepu di sebelah Timur; Kota Grobogan di sebelah Selatan; serta kota Demak dan Semarang di sebelah Barat. Luasnya 425,16 Km2 dan sampai tahun 1964 berpenduduk sekitar 395.202 jiwa (Solichin Salam, 1988 : 3). Kota Kudus terletak di pantai Utara Jawa Tengah, dari Semarang berjarak 51 Km, dari Demak berjarak 25 Km, dari Jepara berjarak 38 Km, dan dari Pati berjarak 24 Km (Solichin Salam, 1983 : 7). Kudus merupakan Kabupaten kecil di Jawa Tengah yang terbagi dalam 9 Kecamatan yaitu Kecamatan Kota Kudus, Kecamatan Jati, Kecamatan Bae, Kecamatan Dawe, Kecamatan Undaan, Kecamatan Gebog, Kecamatan Kaliwungu, Kecamatan Jekulo, dan Kecamatan Mejobo (Aristasius Sugiya, 2001 : 126). Letaknya yang strategis antara jalur Semarang-Surabaya mengakibatkan Kudus mempunyai prospek bagus di bidang industri dan perdagangan. Letak geografis Kudus yang strategis memudahkan hubungan arus lalu lintas dari wilayah Barat ke Timur Pulau Jawa, ataupun sebaliknya. Hal ini sangat mendukung perkembangan kota Kudus sebagai kota yang mengembangkan industri rokok kretek. Kendaraan distribusi hasil produksi rokok kretek maupun pengangkut bahan baku rokok kretek dapat dengan mudah menjangkau wilayah tujuan pendukung industri rokok kretek Kudus (Sofia, 1992 : 25).
43
44
Nama kota Kudus diberikan oleh Sunan Kudus, dari asal kata bahasa Arab : Al Quds atau Qudus yang berarti Suci. Nama itu diambil dari nama sebuah batu peringatan yang terletak di mihrab Masjid Menara Kudus, yang bertuliskan dalam huruf dan bahasa Arab. Batu tersebut konon dibawa oleh Sunan Kudus dari Baitul Makdis (Al Quds), sebagai oleh-oleh atau hadiah ketika beliau dahulu pergi haji dan kemudian singgah ke Baitul Makdis untuk memperdalam ilmu agamanya. Kota ini kemudian diberi nama “Kudus” oleh Sunan Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus. Dengan diketemukannya bekas bangunan suci serta berbagai arca Hindu di daerah Kudus seperti : (1) bangunan Menara Kudus yang mirip dengan candi Hindu, (2) gapura sebagai pintu masuk ke kompleks makam Sunan Kudus, Menara Kudus, dan Masjid Menara Kudus yang bentuknya mirip candi bentar merupakan bentuk akulturasi budaya Hindu dan Islam (Solichin Salam, 1977 : 38). Di samping itu adanya legenda yang hidup dikalangan masyarakat setempat, dan dongeng-dongeng yang menyebutkan masyarakat Kudus tidak pernah menyembelih sapi karena dahulu Sunan Kudus pernah merasa dahaga kemudian ditolong seorang pendeta Hindu dengan diberi air susu sapi. Sebagai rasa terimakasih dan rasa hormat terhadap masyarakat yang baru memeluk Islam dengan keyakinan agama lama mereka yang mempercayai sapi sebagai binatang suci dan dimuliakan, maka Sunan Kudus mengkeramatkan hewan sapi untuk disembelih. Hal tersebut merupakan petunjuk atau indikator yang kuat bahwa daerah kota Kudus sebelum kedatangan Islam merupakan salah satu pusat agama Hindu dan dipandang sebagai “Kota Suci” (Solichin Salam, 1988 : 6-7). Kudus memiliki tata letak kota yang hampir sama dengan tata letak kota di Indonesia pada umumnya. Pusat kota atau alun-alun menjadi batas sebutan Kudus Kulon dan Kudus Wetan. Masjid Agung berada di sebelah Barat alun-alun, pusat pemerintahan berada di sebelah Selatan alun-alun, dan pusat perekonomian berada di sebelah Timur alun-alun. Titik percabangan jalan raya yang mengitari pusat kota tersebut ada tujuh, maka sering disebut dengan simpang tujuh. Ditilik dari segi histories, kota Kudus mulai tampil dalam panggung sejarah pada abad ke-16 Masehi yaitu ketika Sunan Kudus menyebarkan ajaran
45
agama Islam dan mendirikan Masjid Menara Kudus pada tahun 956 Hijriyah atau 1549 Masehi. Kota Kudus dikenal dalam sejarah masa silam maupun dewasa ini karena perkembangannya ke arah kemajuan. Selain nilai sejarah yang ditinggalkannya, perkembangan Kota Kudus dari tahun ke tahun hingga era global seperti sekarang ini terus berkembang dan mengalami kemajuan sesuai dengan tuntutan zaman. Sesungguhnya, Kudus dapat diberi julukan : Kota Wali, Kota Wisata, Kota Budaya, Kota Sejarah dan Kota Kretek (Solichin Salam, 1988 : 3). Kudus merupakan sebuah kota tua yang mempunyai warisan budaya dan sejarah yang kaya. Dikatakan bersejarah karena di Kudus banyak peninggalan sejarah masa lampau, bangunan monumental yang unik dan spesifik. Kota Kudus memiliki sejarah masa lampau kewalian tempat penyebaran agama Islam oleh Sunan Kudus dan Sunan Muria, sehingga Kudus mendapat julukan salah satu Kota Wali. Peninggalan bersejarah seperti Menara Kudus, Masjid Menara Kudus, Makam Sunan Kudus, Makam Sunan Muria, dan Museum Kretek merupakan bukti bahwa Kudus merupakan kota bersejarah. Kudus juga mencatat sejarah besar mengenai industri rokok kretek (Solichin Salam, 1988 : 3). Kudus juga telah melahirkan Raja Kretek sebagai pioneer wirausahawan pribumi. Perusahaan rokok kretek baik besar maupun kecil berhasil menopang kesejahteraan rakyat Kudus. Kudus mencapai tingkat kesejahteraaan tertinggi di Jawa Tengah yang ditopang dari industri rokok kretek yang telah lahir sejak tahun 1890. Perkembangan industri rokok kretek Kudus maju pesat, di mana industri rokok kretek ini mampu memberikan kontribusi ekonomi mencapai 40% terhadap pemerintah (Aristasius Sugiya, 2001 : 128). Secara administratif, penggunaan tanah di Kudus dimanfaatkan sebagai : tempat tinggal, lahan pertanian, jalan, bangunan, dan lain-lain. Pada mulanya lahan pertanian di kota Kudus cukup luas dan dimanfaatkan untuk penanaman tanaman pangan. Sebagian besar penduduk Kudus bermatapencaharian sebagai petani dan pedagang. Seiring dengan perkembangan jaman, bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri di daerah pedesaan menyebabkan lahan pertanian semakin lama semakin sempit. Penduduk desa yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani, memerlukan tanah untuk tempat tinggal dan
46
tempat menggantungkan hidup bagi perekonomian keluarga. Karena tanah pertanian semakin sempit, maka penduduk mencari penghasilan tambahan lain yang dapat menopang perekonomian keluarga. Masuknya industri di Kudus yaitu industri rokok kretek menarik para wanita dari desa-desa menjadi buruh industri rokok kretek tersebut (James C Scoot, 1983 : 115).
2. Kondisi Demografis Kudus Pembahasan mengenai penduduk di wilayah Kudus tidak lepas dari kondisi geografis kota Kudus. Kudus memiliki kontur tanah datar dan berhawa panas (sejuk), sehingga lahan di kota Kudus cocok dimanfaatkan untuk penanaman tanaman pangan. Selain itu, pengaruh agama Islam di Kudus juga memungkinkan munculnya jiwa dagang masyarakat Kudus. Penduduk desa sebagian besar memanfaatkan lahan pertanian dengan bertani tanaman pangan dan tebu. Penduduk di sekitar Kudus Kulon memanfaatkan pengaruh agama Islam dengan berdagang ke luar daerah Kudus. Penduduk memegang peranan penting dalam pembangunan, sesuai dengan potensi alam (pemanfaatan lahan) dan potensi sumber daya manusia daerah tersebut. Penduduk Kudus terdiri dari berbagai macam etnis dan keturunan. Penduduk kota Kudus terdiri dari : orang pribumi, bangsa Arab, dan etnis Tionghoa. Sebagian besar penduduk Kudus memeluk agama Islam. Kaum Tionghoa sebagian besar tinggal di sekitar pusat kota, seperti di wilayah : Kramat, Panjunan, Wergu, Demaan. Orang-orang keturunan Arab sebagian tinggal di sekitar kompleks Sunan Kudus. Orang-orang pribumi menyebar ke seluruh penjuru kota Kudus. Kebanyakan dari penduduk Kudus dahulunya berprofesi sebagai pedagang, petani, perajin, atau petugas agama. Pedagang pergi membeli maupun menjual dagangannya, menjajakan dagangannya ke berbagai penjuru dan kembali ke daerah asalnya untuk berapa lama dan kemudian melakukan aktivitas dagangnya kembali. Perdagangan merupakan salah satu sumber utama kemakmuran kota Kudus sampai munculnya industri rokok kretek Kudus (Lance Castle, 1982 : 82-83). Penduduk Kudus juga mempunyai ciri dialek khas bahasa
47
Jawa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang membedakan dengan daerah lain (Solichin Salam, 1984 : 3). Perkembangan kota Kudus dari tahun 1900 sampai 1964, dilihat dari berbagai sisi kehidupan baik itu pembangunan fisik, kependudukan, maupun industri secara wajar mengalami masa pasang surut. Ada kalanya berada pada keberhasilan dan ada kalanya mengalami masa-masa suram. Sejarah kota Kudus dilihat dari garis dinamikanya menunjukkan ke arah kemajuan atau perkembangan sesuai dengan data yang diperoleh dari BPS tahun 1905-1961: a. Tahun 1905 berpenduduk sebanyak 90.000 jiwa b. Tahun 1915 berpenduduk sebanyak 278.000 jiwa c. Tahun 1930 berpenduduk sebanyak 280.294 jiwa d. Tahun 1953 berpenduduk sebanyak 309.273 jiwa e. Tahun 1958 berpenduduk sebanyak 329.696 jiwa f. Tahun 1961 berpenduduk sebanyak 373.598 jiwa (Solichin Salam, 1983 : 8). Pertumbuhan penduduk yang terjadi di Kudus (lihat atas) mengakibatkan seluruh aspek masyarakat maupun pemerintah berusaha mengupayakan suatu cara untuk bisa tetap menjamin kesejahteraan masyarakat secara merata. Perubahan dari satu sektor, nantinya akan mempengaruhi sektor-sektor lainnya. Pertumbuhan penduduk wanita secara nyata jumlahnya lebih banyak dibanding dengan jumlah pertumbuhan penduduk laki-laki. Untuk mengatasi pertambahan penduduk di wilayah Kudus dan semakin sempitnya lahan pertanian, maka diusahakan satu sektor di luar pertanian yaitu industri. Adanya industrialisasi, terutama industri rokok kretek Kudus membawa kemajuan yang berarti bagi kota Kudus. Di bidang industri, aneka perusahaan rokok kretek mulai dibangun dari usaha kecil. Tercatat 62 perusahaan rokok kretek berkembang di kota Kudus (Solichin Salam, 1983 : 8). Keterkaitan
antara
pemenuhan
kesejahteraan
masyarakat
dengan
penyempitan lahan pertanian, mendorong sebagian penduduk wanita untuk bekerja dalam sektor industri rokok kretek Kudus. Buruh wanita lebih banyak dibutuhkan dalam industri rokok kretek Kudus, karena pengerjaan produksi rokok
48
kretek Kudus memerlukan kesabaran, ketelitian, keuletan, dan kerapian. Upah buruh wanita juga lebih murah jika dibandingkan dengan buruh pria. Industrialisasi mengakibatkan kesejahteraan keluarga dari buruh wanita lebih terjamin, daripada mereka hanya menggantungkan hidupnya dari hasil tani yang tidak memberikan harapan hidup secara pasti (Sofia, 1992 : 30). Kondisi kota Kudus cukup luar biasa dalam beberapa hal. Hampir disepanjang jalan baik di kota maupun di pinggir kota dapat dijumpai pabrik rokok kretek baik besar maupun kecil. Bau saus campuran cengkeh dan tembakau mengisi lapisan udara di sepanjang jalan yang berderet gudang atau brak pabrik rokok kretek. Salah satu fenomena yang menarik di Kudus adalah pada waktu pagi-pagi buta wanita-wanita dari berbagai district di sekitar Kudus beramairamai memasuki pintu gerbang pabrik rokok kretek bagaikan arak-arakan semut. Kendaraan distribusi rokok kretek terlihat sering melintas menghantarkan kebutuhan konsumen. Pada sore hari mereka berbondong-bondong keluar dari brak pabrik rokok tempat mereka bekerja, dan menjalani kebiasaan para ibu-ibu yaitu berbelanja bahan makanan di depan pabrik yang telah siap dijajakan oleh para penjual insidental (Lance Castle, 1982 : 72). Kudus merupakan daerah industri dan perdagangan, di mana sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB (Produk Domestic Regional Bruto). Jiwa dan semangat wirausaha masyarakat Kudus diakui ulet, semboyan jigang (ngaji dagang) yang dimiliki masyarakat mengungkapkan karakter, bahwa dalam menjalankan usaha ekonomi juga menggunakan dasar ilmu agama. Kudus merupakan daerah yang dibentuk oleh Sunan Kudus dengan etos kerja yang baik. Sunan Kudus sendiri merupakan seorang pedagang. Bagi Sunan, orang saleh adalah orang yang menyeimbangkan niat dengan usaha, ibadah menjadi sumber energi dan pendorong gairah kerja. Masyarakat Kudus yang menyimpan jiwa dagang dan etos kerja tinggi mampu mandiri di bidang perekonomian. Etos kerja yang tinggi muncul akibat adanya berbagai tantangan dan harapan. Kerja keras yang tekun merupakan jawaban waktu terhadap kesuksesan pengusaha industri rokok kretek (Suharso, 1994 : 154155).
49
Kudus tergolong unggul dalam bidang industri, pabrik gula terdapat di pinggir kota, pabrik kertas terdapat di berbagai penjuru, dan hampir di setiap jalan di kota Kudus rupanya terdapat pabrik kretek besar ataupun kecil. Orang-orang Kudus dahulunya memang terkenal dengan kehidupannya yang tidak jauh bergelut dengan perdagangan dan industri kecil. Pekerjaan sebagai pedagang menjadikan orang-orang Kudus terbiasa mengadakan usaha ke daerah-daerah lain untuk menguatkan jaringan distribusi hasil produksinya, termasuk rokok kretek. Selama abad ke-19 Kudus menjadi pusat sejenis perdagangan khas, pedagang menjajakan barang dagangannya ke berbagai penjuru, kembali ke kota Kudus sementara waktu, dan kemudian menjalani aktivitas berdagang kembali ke berbagai wilayah. Modal yang rendah, transaksi perdagangan minim, dan munculnya saingan pedagang Cina mengakibatkan pedagang pribumi harus pandai-pandai menyiasati persaingan perdagangan. Potensi ekonomi Kabupaten Kudus terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta kondisi geografis yang mendukung menjadikan Kudus sebagai wilayah yang berpotensi tinggi mengembangkan sistem industri terutama industri rokok kretek. Untuk dapat memanfaatkannya maka diperlukan perencanaan, inovasi dari sumber daya manusianya, serta dukungan dari aspek ekonomi agar pengembangan kota Kudus sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Sejak ditemukan rokok kretek Kudus dan berkembangnya industri rokok kretek Kudus, potensi ekonomi baik itu sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan di daerah Kudus serta sumber daya dari daerah luar penghasil bahan baku rokok kretek Kudus dapat dimanfaatkan dengan efektif.
B. Deskripsi Rokok Kretek 1. Pengertian Rokok Kretek
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dirajang. Nama rokok sendiri mulanya berasal
50
dari bahasa Spanyol “cigar”, “cigaret”, atau “cigarrel” artinya kebun. Rokok dinamakan demikian karena tembakau yang dipakai untuk rokok ditanam sebagai tanaman pemeliharaan orang-orang berharta di Spanyol (Solichin Salam, 1983 : 13). Manusia di dunia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad ke-15 ketika bangsa Eropa Columbus beserta rombongannya menemukan benua Amerika untuk pertama kalinya mereka melihat penduduk asli orang Indian membungkus semacam rempah-rempah yang telah dikeringkan dengan potongan daun jagung kering, sehingga terbentuk gulungan silinder dan penggunaannya dibakar salah satu ujungnya serta menghisap asap dari ujung yang lain. Perbuatan seperti itu dipercaya dapat menimbulkan kenikmatan pada anggota tubuh, dapat membuat mereka mabuk, dan mengurangi kelelahan atau kepenatan (Amen Budiman & Onghokham, 1987 : 1). Kebiasaan menghisap tersebut sesungguhnya merupakan kebiasaan merokok yang sejak dulu telah mereka lakukan, walaupun belum diketahui kapan pastinya. Sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok dan kemudian membawa tembakau ke Eropa. Orang-orang Eropa membawa pulang rokok ini dengan sebutan cigarro atau cerutu. Kebiasaan merokok kemudian mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa, terutama cerutu karena menghisap cerutu dianggap sebagai perlambangan kekayaan. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata (Arsip PPRK : Asal Mula Rokok). Kalau cerutu dikenal dengan kemewahannya, maka rokok justru dikenal secara primitif oleh suku Indian. Bentuk rokok yakni tembakau yang dijejalkan dalam buluh atau batang tebu yang dikeringkan. Bentuk lainnya yaitu tembakau kering yang dimasukkan dalam batang gandum kering atau sejenis sayuran lain yang sudah dikeringkan. Rokok hanya dihisap oleh penduduk miskin yang kantongnya tipis, mereka bahkan memungut puntung cerutu milik orang kaya untuk dihisap. Kondisi menghisap cerutu sisa yang telah pendek tersebut disebut
51
oleh masyarakat umum sebagai “rokok si miskin” (Arsip PPRK : Asal Mula Rokok). Abad 17 dari Amerika Selatan kebiasaan merokok menyebar ke berbagai negara di Eropa, seperti : Spanyol, Portugal, Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, Swiss, Turki, dan seluruh daratan Eropa. Kebiasaan merokok akhirnya masuk ke Turki dan saat itu pula kebiasaan merokok mulai masuk ke negara-negara Islam. Di Indonesia kebiasaan merokok sulit diketahui kapan pastinya mulai berkembang. Bagi masyarakat Indonesia budaya merokok diperkirakan dimulai dengan budaya mengunyah sirih, injet dan gambir atau mengunyah buah pinang yang ada sejak dahulu kala warisan nenek moyang kita. Bahan baku rokok, tembakau bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Dimana Portugislah bangsa yang pertama kali memasukkan tembakau dan budaya merokok ke Indonesia. Dari orang jaman dahulu, tanaman tembakau dipakai untuk kepentingan pengobatan. Pada awal abad ke-17 merokok tembakau dan menghisap madat telah dikenal di Pulau Jawa. Pembesar-pembesar Jawa juga telah diketahui gemar mengkonsumsi rokok. Abad ke-18 merokok telah menjadi salah satu kebutuhan hidup primer kalangan masyarakat Jawa, tidak ubahnya dengan makan sirih. Hal ini dapat dideteksi dari besarnya jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Pekerjaan yang sangat sederhana tidak menghalangi mereka untuk menikmati hidup dalam ketentraman dan kenyamanan. Seorang bujangan bisa hidup dengan dua belas duit sehari, tanpa memikirkan makan makanan yang bergizi bagi tubuhnya. Jika dapat diumpamakan dua belas duit tadi digunakan untuk : tiga duit untuk membeli tembakau sebagai bahan merokok yang dibungkus dengan selembar kulit jagung kering/klobot, tiga duit untuk membeli nasi dan garam/tempe, enam duit untuk membeli beras (Amen Budiman & Onghokham, 1987 : 87). Merokok tidak hanya merupakan kesenangan pribadi, namun juga menjadi hidangan penting yang disajikan kepada para tamu. Rokok dalam kepercayaan tradisional mempunyai arti sebagai barang dagangan sekaligus sebagai salah satu komponen upacara sesajen serta sebagai pelengkap berbagai macam kepentingan dan ditaruh di berbagai macam tempat. Rokok kadang juga
52
dipercaya sebagai salah satu alat pembayaran bagi jasa dukun di daerah pesisir utara Jawa (Amen Budiman & Onghokham, 1987 : 99-100). Orang-orang Indonesia mempunyai cara tersendiri untuk membuat rokok sendiri yang akan dihisapnya. Cara yang digunakan amat sederhana, baik susunan maupun bentuknya. Pada umumnya tembakau dan campuran rempah digulung menggunakan daun jagung kering atau yang lebih biasa disebut klobot, kemudian digulung atau dilinting dengan bentuk lancip pada salah satu ujungnya, dan ujung untuk menghisap ditali menggunakan jinggo. Oleh sebab itu, rokok yang dibuat sendiri penduduk asli Indonesia pada awal penemuannya belum merupakan barang dagangan yang menarik (Solichin Salam, 1983 : 16). Tahun 1880-an, setelah adanya usaha untuk mencampur tembakau dan rempah-rempah terbaik seperti cengkeh, bentuk kesederhanaan rokok mulai beralih ke arah barang yang lebih berarti dan menguntungkan untuk diperdagangkan. Pencampuran tembakau dan cengkeh oleh orang Indonesia merupakan penemuan rokok yang tergolong paling enak, paling tua, dan paling terkenal di berbagai penjuru. Rokok yang terbuat dari campuran tembakau dan cengkeh, serta dibungkus dengan daun jagung kering terkenal dengan nama rokok kretek. Bunyi kretek-kretek akibat pembakaran cengkeh waktu rokok itu dihisap, menjadikan nama rokok tersebut terkenal dengan sebutan rokok kretek. Pada umumnya rokok dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Pembedaan ini dapat didasarkan atas : bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok, proses pembuatan rokok, dan penggunaan filter pada rokok. Rokok berdasarkan bahan pembungkus. a)
Klobot : rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun jagung.
b)
Kawung : rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun aren.
c)
Sigaret
: rokok yang bahan pembungkusnya berupa kertas
d)
Cerutu
: rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun tembakau (Solichin Salam, 1983 : 18).
53
Rokok berdasarkan bahan baku atau isi : a)
Rokok Putih : rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.
b)
Rokok Kretek : rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.
c)
Rokok Klembak : rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau, cengkeh, dan menyan yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu (Solichin Salam, 1983 : 18).
Rokok berdasarkan proses pembuatannya : a) Sigaret Kretek Tangan (SKT) : rokok yang proses pembuatannya dengan cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan dan atau alat bantu sederhana. b) Sigaret Kretek Mesin (SKM) : rokok yang proses pembuatannya menggunakan mesin. Sederhananya, material rokok dimasukkan ke dalam mesin pembuat rokok. Keluaran yang dihasilkan mesin pembuat rokok berupa rokok batangan. Hasil keluaran sekitar enam ribu sampai delapan ribu batang rokok per menit. Mesin pembuat rokok, biasanya, dihubungkan dengan mesin pembungkus rokok sehingga keluaran yang dihasilkan telah dalam bentuk pak ataupun dalam bentuk pres (Amen Budiman & Onghokham, 1987 : 182). Rokok berdasarkan penggunaan filter : a) Rokok Filter (RF)
: rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus.
b) Rokok Non Filter (RNF) : rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus (www.demirtas.com : 11/3/09 ). Rokok kretek pada umumnya diproduksi tanpa menggunakan filter seperti rokok-rokok lainnya. Minat rokok kretek adalah kecenderungan seseorang
54
terhadap rokok kretek yang menetap terhadap diri sendiri sehingga timbul kepuasan bagi individu tersebut. Dapat juga diartikan sebagai rangsangan terhadap sesuatu yang memberi pengaruh dalam diri. Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang terhadap minat rokok kretek adalah : a)
Rasa yang berbeda dengan rokok filter
b)
Kemurnian pada komposisi rokok kretek dibandingkan dengan rokok filter yang memiliki komposisi cengkeh dan tembakaunya yang sedikit.
c)
Faktor prestise yang didapat oleh individu yang mengkonsumsinya.
d)
Harga yang lebih mahal menjadikannya tingkat faktor yang cukup diperhatikan dan memberi kepuasan tersendiri bagi individu yang mengkonsumsi.
e)
Individu tersebut tidak pernah mengkonsumsi rokok lain selain rokok kretek.
f)
Usia peminat rokok kretek lebih dewasa (telah menginjak usia > 23 tahun) (www.demirtas.com : 11/3/09 ).
Semakin lama dari waktu ke waktu rokok kretek tidaklah lagi milik dari orang-orang yang sudah dewasa dan tua. Namun sekarang para remaja sudah mulai banyak yang mengkonsumsi rokok kretek. Tidak lepas dari pantas-tidak pantasnya rokok kretek dikonsumsi oleh anak remaja, tapi ini mengenai selera dan gaya hidup remaja saat ini. Bisa dikatakan rokok dapat memberi efek santai dan sugesti merasa lebih jantan. Merokok biasanya dilakukan dengan membakar salah satu ujungnya dan membiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain. Semakin keras, semakin lama, dan semakin dalam seseorang menghisap asap rokok, maka semakin besar kebutuhan adiktif terhadap rokok tersebut. Rokok di Indonesia saat ini biasanya diperdagangkan dalam bentuk bungkusan kotak kertas berisi sekitar 12 batang. Kemasan kertas rokok didesign dalam kotak kecil agar dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kantong. Dalam bungkusanbungkusan rokok tersebut umumnya telah disertai pesan kesehatan yang
55
merupakan aturan yang ditetapkan dunia internasional pada semua perusahaan rokok di dunia. Dimana pesan tersebut memperingatkan perokok akan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok, misalnya kanker paru-paru atau serangan jantung, kecanduan, penyakit pernapasan, penyakit pencernaan, efek buruk bagi kelahiran, dan emfisema. Pesan kesehatan ini sejak awal merupakan hasil penelitian mengenai rokok oleh Amerika, bahwa rokok menjadi penyebab berbagai macam penyakit terutama kanker pau-paru. Setelah hasil penelitian ini disebarluaskan penjualan rokok merosot tapi cerutu dalam penelitian tersebut memiliki kandungan bahaya yang lebih kecil. Orang-orang kembali keranjingan mengkonsumsi rokok. Segala macam peringatan, slogan, pamflet bahaya merokok tampak sia-sia belaka. Pada kenyataannya pesan kesehatan itu lebih berfungsi sebagai hiasan semata karena banyak masyarakat yang kurang peduli akan dampak negatif dan sulit untuk meninggalkan budaya merokok yang telah mengakar kuat di keseharian hidup masyarakatnya (Arsip PPRK : Asal-Usul Tembakau). Merokok dilakukan dengan berbagai alasan, antara lain : a.) Pengaruh lingkungan, ajakan teman, dan sebagainya b.) Rasa ingin tahu dan coba-coba, yang berujung pada ketagihan c.) Agar lebih terlihat jantan d.) Keadaan ekonomi yang semakin sulit, mendorong semakin banyak orang mengalami stress sehingga dengan merokok diharapkan stress yang mendera dapat hilang sesaat e.) Tingkat aktivitas sosial yang tinggi, juga mendorong orang untuk sedikit melepas penat dengan merokok f.) Tingkat sosial yang tinggi yang memungkinkan orang dapat membeli rokok,
untuk
alasan
mendapatkan
suatu
kenikmatan
rasa
(www.wikipedia/rokok_kretek:11/3/2009). Pada rokok setidaknya terdapat beberapa zat yang dapat merugikan kesehatan
tubuh,
antara
lain
:
tar,
nikotin,
dan
karbonmonoksida
(www.wikipedia/rokok_kretek:11/3/2009). Di balik kegunaan atau manfaat rokok
56
seperti : sebagai obat, penghilang stres, dsb terkandung kerugian yang cukup besar bagi orang yang merokok (tanpa menyadari kekuatan diri dalam mengkonsumsi rokok yang berlebihan) maupun orang di sekitar perokok yang bukan perokok : a.) Perokok pasif secara tidak langsung dirugikan dengan menghisap asap rokok dari perokok aktif yang bahayanya hampir sama dengan perokok aktif. b.) Seseorang yang mencoba merokok biasanya akan ketagihan karena rokok bersifat candu yang sulit dilepaskan dalam kondisi apapun. Seorang perokok berat akan memilih merokok daripada makan jika uang yang dimilikinya terbatas. c.) Harga rokok yang mahal akan sangat memberatkan orang yang tergolong miskin, sehingga dana kesejahteraan dan kesehatan keluarganya sering dialihkan untuk membeli rokok. d.) Sebagian perokok biasanya akan mengajak orang lain yang belum merokok untuk merokok agar dapat menyesuaikan dengan lingkungan tempat ia bersosialisasi. Sehingga orang lain ikut merasakan enaknya atau menderitanya dalam menghisap asap rokok (www.wikipedia/rokok_kretek:11/3/2009). Perubahan akibat timbulnya sarana baru yang menunjang kehidupan masyarakat seperti industri rokok kretek Kudus ini sangat besar. Industri rokok kretek Kudus mengakibatkan : (1) pertumbuhan masyarakat di suatu daerah, (2) adanya suatu proses pertumbuhan atau kemunduran di bidang sosial ekonomi serta kesejahteraan masyarakat Kudus. Bagi pemerintah rokok yang diproduksi oleh perusahaan rokok merupakan sumber pendapatan yang sangat penting artinya. Berbagai macam pajak dapat ditarik dari industri ini. Mulai dari cukai tembakau, pajak perseroan, pajak reklame, pajak pekerja, dsb. Selama bertahuntahun jelas dapat dilihat dukungan pemerintah untuk selalu meningkatkan hasil produksi rokok. Industri rokok memberi kesempatan kerja yang begitu luas terhadap ribuan masyarakat kelas bawah. Mulai dari pekerja kasar pembuat rokok, para pedagang besar/kecil yang menjual rokok, para petani tembakau yang
57
mendukung produksi rokok. Perusahaan rokok kretek Kudus juga mempengaruhi perkembangan pertanian di daerah lain, seperti : di daerah Temanggung, Kedu, Madura, Bojonegoro, Muntilan, Weleri, dan Magelang. Karena hubungan industri rokok kretek Kudus tidak dapat dipisahkan dengan petani di daerah tersebut, khususnya petani tembakau dan petani cengkeh yang menghasilkan bahan baku utama rokok kretek. Perusahaan rokok kretek Kudus juga memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat di pedesaan di daerah Kudus dan sekitarnya. Wilayah pedesaan sangat berpengaruh, pembangunan di berbagai sektor untuk mendukung kelancaran sektor produksi dan pemasaran. Daerah penghasil bahan baku rokok kretek dan daerah asal buruh rokok kretek juga menikmati hasilnya, terutama naiknya taraf hidup petani bahan baku rokok kretek Kudus serta keberhasilan daerahnya karena barang hasil pertaniannya dibutuhkan industri rokok kretek Kudus (wawancara Bapak Afif Masluri : 12 Oktober 2009). Peran industri rokok tehadap kebanggaan bangsa berupa keberhasilan mencetak para atlet bulu tangkis yang handal yang membawa harum nama Indonesia di kancah dunia Internasioal. Di bidang seni industri rokok mendukung kreativitas musik Indonesia hingga menjadi sangat maju dan bervariasi seperti saat ini. Di bidang lingkungan, industri rokok berpartisipasi menghijaukan sekaligus menerangi fasilitas jalan-jalan raya dibeberapa tempat. Perkembangan industri rokok kretek didukung dengan permintaan konsumen rokok dari golongan masyarakat kelas bawah semakin meningkat, karena desakan kebutuhan hidup yang begitu sulit sehingga mengakibatkan stress dan dilampiaskan dengan merokok untuk sedikit menenangkan pikiran (Amen Budiman & Onghokham, 1987 : 192-201). Pengaruh positif maupun pengaruh negatif yang merupakan dampak dari setiap penemuan. Di satu sisi keuntungan besar yang didapat berbagai pihak, namun di sisi lain kerugian juga menghantui akibat aktivitas merokok. Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan fungsi tertentu, salah satu diantaranya adalah tembakau yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan rokok. Sungguh, bila manusia dapat memanfaatkan karunia Tuhan dengan penuh
58
kebijaksanaan maka hal tersebut sangat bermanfaat dan akan memberikan manfaat bagi tubuh dan manfaat yang terbaik bagi semua pihak dapat diperoleh.
C. Sejarah Awal Pembentukan Industri Rokok Kretek Kudus 1. Penemu Rokok Kretek Kudus Versi Haji Jamahri
Lahirnya industri rokok kretek di Kudus bermula setelah penemuan rokok kretek oleh Haji Jamahri, seorang warga masyarakat di Kudus. Mulanya Haji Jamahri menderita penyakit dada. Untuk mengobati penyakitnya yang telah lama menderanya, Haji Jamahri mencoba memakai minyak cengkeh untuk digosokkan ke bagian dada dan punggungnya. Usahanya kurang membawa kesembuhan yang maksimal bagi penyakit dada yang diderita Haji Jamahri. Haji Jamahri mencoba mengunyah cengkeh, hingga diperoleh suatu kesembuhan yang lebih baik. Terlintas dalam pikiran Haji Jamahri untuk memakai cengkeh sebagai bahan obat. Cengkeh dirajang halus, kemudian dicampurkan pada tembakau yang dipakai Haji Jamahri untuk merokok. Haji Jamahri menghisap asap dari pembakaran rokok dalam-dalam, sampai masuk ke dalam paru-paru (Solicihin Salam, 1987 : 16). Hasilnya dipercaya diluar dugaan, karena penyakit dada yang diderita sembuh secara total. Dari mulut ke mulut pengobatan dengan cara ini menyebar ke sekitar tempat tinggal Haji Jamahri. Masyarakat sekitar mulai meminta rokok mujarab yang dipercaya menyembuhkan penyakit dada itu. Masyarakat justru merasakan suatu kenikmatan yang luar biasa. Rokok yang membawa manfaat dan dapat memberi kenikmatan pada sebagian orang ini memaksa Haji Jamahri untuk memproduksi rokok dalam jumlah besar dan mendirikan usaha rokok kecilkecilan (Amen Budiman & Onghokham, 198 : 105-106). Keberhasilan usaha Haji Jamahri mengakibatkan banyak orang berusaha mengikuti jejak beliau. Penemuan rokok kretek di akhir abad ke-19 membuka pintu keberhasilan masyarakat Kudus untuk muncul menjadi pengusaha rokok kretek. Pada mulanya, jenis rokok temuan Haji Jamahri ini biasa disebut dengan rokok cengkeh. Lantaran ketika dihisap efek yang ditimbulkan dari pembakaran rokok yang terbuat dari klobot jagung dan cengkeh ini memunculkan bunyi
59
kretek-kretek atau kumretek dalam bahasa Jawa mengakibatkan orang menyebutnya dengan rokok kretek (Lance Castle, 1982 : 61). Secara umum, kebanyakan masyarakat Kudus bermata pencaharian sebagai pedagang dan petani. Para pedagang biasanya berdagang ke luar kota, seperti : Semarang, Solo, Jogya, Kediri, Bojonegoro, Surabaya, Malang, Jombang, dan daerah sekitarnya. Rokok kretek mula-mula hanya menjadi kegemaran masyarakat Kudus saja. Akan tetapi, lambat laun rokok kretek diminati di daerahdaerah lain, akibat para pedagang Kudus jika pergi berdagang ke luar kota sambil membawa bekal rokok kretek untuk dijual secara eceran ke wilayah tempat berdagangnya (Solichin Salam, 1983 : 22). Kegiatan ini berlangsung lama. Jiwa dagang masyarakat Kudus diturunkan oleh Sunan Kudus, beliau adalah pedagang ulung
yang
berdagang
antar
benua.
Dalam
bekerja
Sunan
Kudus
menyeimbangkan antara agama dan usaha. Niat yang disertai usaha dan memaknai kerja itu sebagai suatu ibadah, maka ketiganya merupakan sumber energi atau pendorong gairah kerja tinggi. Dengan berlandaskan semangat kerja tinggi dan diseimbangkan dengan ilmu agama, diyakini akan membawa kebaikan duniawi dan mencapai surgawi dengan indahnya (Suharso, 1994 : 154). Jasa para pedagang Kudus menjadikan rokok kretek akhirnya kian dikenal. Namun tidak begitu dengan Haji Jamahri yang diketahui meninggal pada 1890. Siapa dan bagaimana asal-usul Haji Jamahri masih remang-remang. Hanya temuan rokok kretek Haji Jamahri yang terus berkembang. Beberapa sumber mengatakan penemu rokok kretek Kudus adalah Haji Jamahri, namun beberapa cerita sejarah lisan mengatakan bahwa Haji Jamahri hanya membuat ramuan rokok untuk obat tidak sepenuhnya rokok kretek seperti yang dikenal dihisap untuk mendapatkan suatu kenikmatan.
2. Penemu Rokok Kretek Kudus Versi Mbok Nasilah Penemu rokok oleh beberapa cerita sejarah lisan dipercaya masyarakat ditemukan oleh Mbok Nasilah. Mbok Nasilah adalah janda kusir delman Kardi. Sepeninggal suaminya Kardi, Mbok Nasilah berwiraswasta membuka sebuah warung. Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok
60
kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870. Di warung Mbok Nasilah, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus 120, Mbok Nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warung milik Mbok Nasilah. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotor warung Mbok Nasilah, dengan menyuguhkan rokok Mbok Nasilah berusaha agar warungnya tidak kotor (http://bluedayax.multiply.com/journal/item/177 : 13/3/2009). Pada
awalnya
Mbok
Nasilah
mencoba
meracik
rokok
dengan
menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok tersebut biasa disebut dengan rokok klobot. Rokok klobot racikan Mbok Nasilah disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemar rokok kretek Mbok Nasilah adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir (wawancara Bapak Afif Masluri : 12 Oktober 2009). Sampai saat ini, beberapa referensi mengacu pada penemuan rokok kretek Kudus oleh Haji Jamahri. Tapi Mbok Nasilah sendiri oleh sebagian sumber lisan juga disebutkan sebagai orang yang dapat dan mahir meracik rokok kretek. Usaha industri yang dirintis oleh Nitisemito berawal dari perkenalan dengan Mbok Nasilah yang telah menjual rokok kretek hasil racikan Mbok Nasilah sendiri di warung miliknya. Dari hasil racikan rokok kretek milik Mbok Nasilah, akhirnya Nitisemito tertarik dan terus mengembangkan usaha rokok kretek menjadi industri besar. Usaha Nitisemito belum dapat dikaitkan dengan jelas bila dihubungkan dengan penemuan rokok kretek oleh Haji Jamahri. Jika ditilik dari tahun penemuan rokok kretek, Mbok Nasilah terlebih dahulu meracik rokok kretek tahun 1870 dan kemudian baru Haji Jamahri menemukan rokok kretek sebagai obat penyakit dadanya pada tahun 1880. Terjadi selisih waktu dan terlihat Mbok Nasilah yang terlebih dahulu menemukan rokok kretek. Bagaimanapun penemuan rokok kretek oleh Mbok Nasilah dan Haji Jamahri, mereka berdua sangat berperan dalam perkembangan industri rokok
61
kretek di Kudus. Penemuan rokok kretek telah menimbulkan kemajuan pesat bagi perkembangan daerah industri di Kudus.
3. Golongan Pribumi Pendiri Industri Rokok Kretek Kudus Akhir abad ke-19 masyarakat pribumi tanah air telah mengenal istilah ”rokok”, setelah munculnya penemuan rokok. Menghisap rokok telah menjadi salah satu kebiasaan masyarakat Indonesia. Kalau tidak menghisap rokok badan rasanya kurang enak, bahkan pikiran sering tidak jalan atau kalut. Rokok kretek telah menjadi kebutuhan di negara kita Indonesia. Secara otomatis, pasar rokok kretek telah meluas. Harga rokok kretek yang masih terjangkau oleh konsumen baik itu kalangan atas, menengah, maupun kalangan bawah, sehingga dengan mudah masyarakat dapat menemukan rokok kretek di seluruh pelosok negeri. Tidak banyak yang mengetahui bagaimana sejarah penemuan rokok kretek yang setiap hari dihisap oleh para perokok, mungkin perokok hanya tahu merk rokoknya, cita rasa rokoknya, bahan pembuatan rokok kretek, dan sedikit bahaya merokok atau hanya kenikmatan saat menghisap rokok saja. Rokok kretek yang telah menjadi salah satu barang kebutuhan negeri ini, memiliki sejarah awal pembentukan industri rokok kretek yang salah satunya terdapat di Kudus. Pada masa kolonial tembakau menjadi hal penting bagi usaha perkebunan yang diusahakan Belanda di Jawa dan Sumatra. Tanaman tembakau hasil perkebunan awalnya dikhususkan untuk pembuatan cerutu yang hasilnya diekspor ke Eropa. Pada waktu yang sama produsen yang ada di Indonesia menanam tembakau yang khusus dikonsumsi dalam negeri. Tembakau dilinting sendiri oleh para perokok dengan di bungkus daun jagung kering atau selaput sayuran lain. Tembakau di Jawa Tengah dicampur dengan bermacam rempah-rempah sesuai dengan selera perokok (Lance Castle, 1982 : 59). Perokok yang menggulung campuran bahan rokoknya sendiri dengan cara seperti ini disebut dengan rokok tingwe (linting dhewe). Meluasnya kebiasaan merokok tersebut, mengakibatkan tembakau mulai menjadi barang yang dicari dan diusahakan di pasaran (Lance Castle, 1982 : 60).
62
Awal abad ke-20 merupakan fajar menyingsing dunia industri rokok kretek Kudus. Tahun 1904 setelah penemuan rokok kretek, H.M. Ilyas telah memproduksi rokok kretek secara masal. Langkah ini diikuti oleh pengusaha rokok kretek pribumi yang lain. Penemuan rokok kretek awalnya menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito sebagai perintis industri rokok kretek pertama di Kudus dari golongan pribumi (Solichin Salam, 1983 : 22). Tahun 1908, perjuangan pengusaha pabrik kretek pribumi dalam mengembangkan industri rokok kretek Kudus mulai menampakkan hasil yang gemilang. Ditandai dengan berdirinya pabrik rokok kretek yang tergolong jenis industri besar milik Nitisemito dengan merk produksi Bal Tiga. Pabrik rokok kretek Bal Tiga berkembang menjadi satu-satunya industri rokok kretek terbesar di Kudus. Pengusaha pabrik kretek pribumi asli Kudus membawa industri rokok kretek Kudus ke arah kemajuan dengan berbagai strategi perpabrikan yang sudah mapan. Secara umum pengusaha pabrik kretek pribumi telah berhasil menggerakkan
orang-orang
memasuki
dunia
industri
(http://bluedayax.
multiply.com/journal/item/177 : 13/3/2009). Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek "Tjap Bal Tiga". Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Kudus. Beberapa babad dan legenda yang beredar di Jawa, dicatatkan rokok sudah dikenal sudah sejak lama bahkan sebelum Haji Jamahri dan Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual rokok "klobot" (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok yang dijajakan telah direkatkan dengan ludah Roro Mendut yang amat cantik jelita (Amen Budiman & Onghokham, 1987 : 93-94). Nitisemito sendiri seorang buta huruf, dilahirkan dari rahim Ibu Markamah dan ayah H. Sulaiman di desa Janggalan dengan nama kecil Rusdi pada tahun 1874 (Arsip PPRK : Almarhum Nitisemito). Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Semasa hidupnya Nitisemito tidak pernah mendapatkan
63
pendidikan formal di sekolah. Nitisemito adalah seorang yang cerdas, ulet, dan religius. Sebagian masa hidup Nitisemito digunakan untuk berdagang. Semasa muda Nitisemito telah memiliki banyak pengalaman dagang. Beberapa tahun menjadi carik Kampung Jagalan, kemudian berniaga ke Mojokerto tapi usaha Nitisemito mengalami kegagalan. Pada usia 17 tahun, Rusdi mengubah namanya menjadi Nitisemito (Arsip Propinsi Jawa Tengah : M Nitisemito). Pada usia 17 tahun itu juga, Nitisemito merantau ke Malang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang, hingga Nitisemito mampu menjadi pengusaha konfeksi. Beberapa tahun kemudian, usaha tersebut kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai usaha baru membuat minyak kelapa dengan alasan banyak masyarakat Kudus dan sekitarnya sering menggunakan minyak kelapa untuk penerangan rumah dan menggoreng. Kembali usaha Nitisemito mengalami kegagalan, ternyata masyarakat Kudus lebih senang membuat minyak kelapa sendiri daripada membeli. Nitisemito bangkit kembali dengan berdagang kerbau karena sapi dikeramatkan disembelih di daerah Kudus, namun gagal (Amen Budiman & Onghokham, 1987 : 128). Awal terbukanya jalan Nitisemito dalam usaha dagangnya, ketika Nitisemito bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat itulah Nitisemito berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok klobot di Kudus. Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870. Di warung Mbok Nasilah, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus 120, Mbok Nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotor warung Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok, Mbok Nasilah berusaha agar warungnya tidak kotor. Pada awalnya Mbok Nasilah mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran tersebut kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok racikan Mbok Nasilah ternyata disukai oleh para kusir dokar dan pedagang
64
keliling. Salah satu penggemar rokok racikan Mbok Nasilah adalah Nitisemito yang saat itu bekerja sebagai kusir. Karena sering menyambangi warung Mbok Nasilah, Nitisemito terbiasa dan menganggap keluarga Mbok Nasilah sebagai keluarga (Arsip Propinsi Jawa Tengah : M Nitisemito). Nitisemito
lantas
menikahi
Mbok
Nasilah
tahun
1894
dan
mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi dagangan utama. Di warung milik bersama Mbok Nasilah dan Nitisemito menyediakan barang kebutuhan hidup sehari-hari, warung kopi, menjual rokok kretek eceran, dan bahan baku rokok kretek, seperti : tembakau, cengkeh, klobot, dan jinggo (benang). Tahun 1905, rokok kretek buatan Mbok Nasilah diusahakan oleh Nitisemito dan rokoknya terkenal sangat enak. Tamu-tamu yang berkunjung dirumah Nitisemito sangat menggemari rokok kretek buatan Mbok Nasilah. Atas saran sahabatsahabat Nitisemito, rokok klobot diusahakan dan dibuat bungkus bercap pemiliknya. Rokok klobot yang diperdagangkan diberi nama rokok klobot Nitisemito. Usaha rokok kretek Nitisemito tumbuh menjadi industri kecil yang dikelola sendiri oleh Nitisemito, Mbok Nasilah, dan kedua putrinya masingmasing Nahari dan Nafi’ah (Arsip Propinsi Jawa Tengah : M Nitisemito). Mulailah Nitisemito membuat rokok klobot berdasarkan pesanan sahabatsahabat. Usaha ini maju pesat, Nitisemito tidak sekedar membuat rokok klobot berdasarkan pesanan dari sahabat-sahabatnya tapi sudah khusus menjaul rokok klobot di warungnya. Untuk pertama kalinya rokok klobot dijual tanpa bungkus dengan harga 2,5 sen seikat untuk 25 batang ukuran kecil dan 3 sen seikat untuk 25 batang ukuran besar. Dari dijajakan eceran di pinggir jalan, dibawa (dicangking) ketika berdagang di pasar, sampai akhirnya rokok klobot berkembang di jual ke luar kota : Semarang dan Kendal tapi masih dalam bentuk eceran. Rokok klobot yang dijual Nitisemito hanya dibungkus pakai kertas koran. Setiap satu bendel berisi 250 batang. Tahun 1908, industri kecil milik Nitisemito tersebut berkembang menjadi industri mapan (Arsip Propinsi Jawa Tengah : M Nitisemito). Rokok klobot yang diusahakan Nitisemito kemudian diberi bungkus kertas polos dan dilekati merk ”Tumpeng Segitiga”, ”Sawer”, ”Soempil”, ganti dengan
65
”Djeroek”. Kemudian Nitisemito memberi label rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga di bawahnya diberi nama Nitisemito. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito). Mulanya timbul ide untuk menggunakan cap Bal Tiga adalah berdasarkan pertimbangan, bahwa Nitisemito gemar bermain bola ”Bal” dan ”Tiga” melambangkan dirinya serta kedua orang menantunya Karmain dan Oemarsaid (Solichin Salam, 1983 : 25-26). Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus dan menjadi industri rokok kretek raksasa dengan ribuan tenaga kerja. Munculnya industri rokok kretek Kudus pertama oleh pengusaha kretek pribumi, secara otomatis membawa perubahan bagi masyarakat Kudus yang semula bertani menjadi buruh pabrik. Keberadaan perusahaan rokok kretek Kudus tersebut telah memperbaiki kesejahteraan penduduk sekitar Kudus (Solichin Salam, 1983 : 25). Bertindak sebagai pemimpin perusahaan Bal Tiga milik Nitisemito adalah H. Akwan dan M. Karmain, tapi sang pengatur rasa berada di bawah kuasa Nitisemito. Usaha rokok kretek bercap Bal Tiga makin berkembang tahun 1924 dengan bungkus (longsong) yang menarik, dimana tiap longsong berisi 25 batang. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merk Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merk Delima), H. Ali Asikin (merk Djangkar), Tjoa Khang Hay (merk Trio), dan M. Sirin (merk Garbis & Manggis) (http://bluedayax. multiply.cm/journal/item/177 : 13/3/2009). Jiwa semangat wiraswasta telah membakar masyarakat pribumi nasional di daerah Kudus untuk tampil dan maju ke depan dibidang industri rokok kretek Kudus. Aneka rokok kretek dengan berbagai merk telah bermunculan. Menurut catatan statistik Kabupaten Kudus dalam tahun 1930, di Kudus terdapat 70
66
perusahaan rokok kretek yang terdiri dari : 14 buah perusahaan besar, dan 56 perusahaan kecil. Tahun 1932 meningkat jumlahnya menjadi 165 buah. Tahun 1933 menjadi 175 buah. Tahun 1934 turun menjadi 152 buah. Dalam perkembanagannya, industri rokok kretek Kudus dari waktu ke waktu mengalami masa pasang surut, sesuai dengan pergolakan dan perubahan zaman (Solichin Salam, 1983 : 17). Tahun 1930-an produksi rokok kretek mencapai 3 – 10 juta per hari, dengan jumlah buruh mencapai 10 ribu orang. Pabrik rokok kretek yang dibangun di Jati mengubah sistem pengerjaan rokok kretek yang diborongkan kepada abon menjadi sistem buruh pabrik. Upah buruh batil, linting rokok per seribu buah adalah sebesar 20 sen. Sedang buruh nyontong memasukkan 4-8 batang rokok kretek ke longsong mendapat upah 1 sen. Etiket rokok kretek milik Nitisemito awalnya dicetak di Drukkerij “Nimef” Malang, dan berubah dicetak di Drukkerij “Masman” Semarang (Solichin Salam, 1983 : 26). Keberuntungan Nitisemito semakin melonjak disertai dengan kelahiran putra keempatnya M. Soemadji Nitisemito, rokok kreteknya laris luar biasa. Nitisemito menarik menantunya M. Karmain untuk membantu mengelola industri. Industri rokok kretek milik Nitisemito ini membawanya menjadi salah satu raja kretek. Usaha yang dikelola Nitisemito menyerap ribuan buruh pabrik rokok kretek (Arsip Propinsi Jawa Tengah : M. Nitisemito). Nitisemito yang tak pernah mengenyam pendidikan formal, tidak berarti dia terbelakang. Sebagai seorang pedagang yang tangguh, penuh dengan ide-ide baru, kreatif, inovatif Nitisemito berhasil merintis dan mengelola perusahaan rokok kretek pertama di Indonesia yang paling besar dan modern milik pribumi. Semangat kerja yang tinggi dan diimbangi dengan ketaatan beribadah menjadikan pribumi Kudus menjadi orang-orang yang mandiri di bidang perekonomian. Berbagai tantangan, harapan dan keinginan menjadikan pengusaha pribumi industri rokok kretek Kudus semakin semangat untuk memajukan industri dalam kondisi masih dalam belenggu penjajahan. Kerja keras, tekun, ulet menjadi jawaban waktu terhadap kesuksesan Nitisemito dan kawan-kawan dalam menata industri rokok kretek milik pribumi. Munculnya enterpreuner baru dari golongan
67
pribumi menjadi salah satu tonggak penguat bagi kelas menengah untuk terus berusaha dan sadar akan kemampuan pengusaha pribumi, bahwa pengusaha dari golongan pribumi bisa menjadi yang terbaik. Jiwa enterpreuner yang dimiliki Nitisemito seperti : mampu membina kepercayaan relasi, memiliki semangat dan daya kerja tinggi, memahami makna laba dalam bentuk uang, bekerja keras, dan mengembangkan naluri bisinisnya. Kesemuanya itu dalam perkembangannya mengalami pergeseran-pergeseran membawa kemajuan dalam manajemen perusahaan Nitisemito (Suharso, 1994 : 155). Sedikit demi sedikit makna kerja dari pribumi mengalami banyak pergeseran dari penggunaan alat tradisional ke sistem pabrik yang lebih modern. Para pengusaha pribumi rokok kretek ini mulai menggunakan manajemen modern untuk mengembangkan usahanya. Untuk mengembangkan usahanya Nitisemito menyewa tenaga pembukuan asal Belanda untuk membantu menerapkan sistem manajemen handal dalam usahanya. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Nitisemito dengan ide M Karmain kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta. Setiap ada pameran di berbagai wilayah produk rokok kretek Nitisemito ikut serta meramaikan standstand yang ada, hingga meluaslah kabar produksi rokok kretek. Dalam promosi rokoknya Nitisemito juga menyediakan barang-barang pecah belah sebagai reward kepada para konsumen rokoknya (Solichin Salam, 1983 : 26). Industri rokok kretek Kudus yang mayoritas dipegang oleh pribumi mulai tahun 1880 tersebut merupakan kebanggan bagi pengusaha pabrik kretek pribumi dan kota Kudus. Pengusaha pabrik kretek pribumi adalah orang-orang yang mampu memajukan dirinya sendiri, orang yang tadinya tidak berharta, tidak mempunyai bekal ilmu pengetahuan yang memadai, tetapi berkat keuletan kerja, dengan
perasaan
dagangnya
yang
cerdik
dan
tajam
mereka
mampu
mengumpulkan kekayaan dengan mendirikan pabrik besar yang dijaga dan dipeliharanya dari nol. Semangat mempertahankan apa yang telah dibangun oleh
68
pengusaha pribumi sangatlah kuat dan telah tertanam kuat dalam sanubari mereka (Amen Budiman & Onghokham, 1987 : 107). Sektor industri merupakan sektor yang paling strategis bagi perekonomian Kudus, produk unggulan Kudus untuk industri besar atau sedang yaitu industri rokok kretek. Komoditas industri rokok kretek Kudus memiliki potensi untuk berkembang, tercermin bahwa industri rokok kretek Kudus : memiliki keunggulan kompetitif, bahan baku yang cukup, sumber tenaga kerja yang memadai, tersedianya modal yang cukup, mampu menyerap tenaga kerja terutama tenaga kerja lokal setempat, memberi kontribusi terhadap perekonomian daerah dan nasional, mempunyai jaminan mutu produksi yang baik, mampu meningkatkan pendapatan dan kemampuan sumber daya masyarakat setempat, dan tersedianya teknik industri yang tidak merusak budaya setempat. Rokok kretek buatan industri rokok kretek Kudus mampu bersaing, nilai permintaannya tinggi baik bagi pemasok maupun bagi pembeli, jangkauan pasarnya luas dan memiliki keunggulan bila disaingkan dengan produk lain. Usaha rokok kretek Kudus juga dalam perkembangannya mengalami pasang surut produksi, produktivitas tenaga kerja, dan provitabilitas.
Sayangnya, industri rokok kretek Kudus memiliki
kelemahan : bahan baku rokok kretek masih didatangkan dari luar daerah, permodalan industri kecil kurang, limbah industri merajalela dan menggangu, persaingan pasar yang ketat. Untuk mengatasi kelemahan industri rokok kretek Kudus tersebut diperlukan kerjasama antara pemerintah, pejabat pemerintah, pengusaha, dan lingkungan dunia usaha mengembangkan industri rokok kretek dan perekonomian daerah Kudus, atau dengan meningkatkan basis industri dan meningkatkan kemandirian industri (Pemkab Kudus, 2004 : 90-110).
D. Kondisi Industri Rokok Kretek di Kudus awal Dekade 1900-an 1. Awal Mula Sumber Bahan Baku Industri Rokok Kretek Kudus
Bahan baku rokok kretek Kudus utamanya adalah tembakau dan cengkeh. Satu hal yang luar biasa, bahwa Kudus bukan merupakan wilayah penghasil bahan
69
baku rokok kretek tersebut, bahkan tanahnya tidak cocok untuk ditanami bahan baku tembakau ataupun cengkeh. Dikenalnya tembakau oleh masyarakat Kudus ternyata memiliki hubungan historis dengan Sunan Kudus. Menurut oral history dari masyarakat Kudus dan adanya makam atau petilasan Sunan Kedu di desa Gribig, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus yang terletak di dekat gudang pabrik-pabrik rokok kretek Kudus, menyatakan bahwa tembakau diperkenalkan kepada masyarakat Kudus oleh Sunan Kedu. Hingga akhirnya dapat dimanfaatkan dengan menjadi penemuan rokok kretek. Sunan Kedu lahir di Paraan Kabupaten Temanggung (daerah sentra tembakau). Semasa kecil bernama Abdul Hakim dan menginjak dewasa belajar ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama dan setelah kembali dari Mekkah diberi gelar Sunan Kedu atau Syeikh Abdul Basyir (setingkat wali). Sunan Kedu sangat gigih dalam menjalankan syiar Islam dan pemerintahan. Sunan Kedu datang ke Kudus terutama ke daerah Gribig sekitar tahun 1576 M. Sunan Kedu datang ke wilayah Kudus dengan tujuan untuk nyantri di Mbah Sunan Kudus untuk menjalankan syiar Islam di Kudus dan sekitarnya dan di Gribig pada khususnya. Selama nyantri di Sunan Kudus, dikalangan santri Sunan Kedu adalah santri yang berpengetahuan agama Islam sangat luas. Sunan Kedu yang berasal dari Temanggung diam-diam memiliki keahlian sebagai seorang petani tembakau yang handal. Keahlian ini yang dibawa Sunan Kedu memperkenalkan tembakau pada gurunya Sunan Kudus yang seorang pedagang untuk mengusahakan tembakau sebagai tanaman perdagangan (wawancara bapak Hardi Cahyana : 31 Desember 2009). Kisah pewayangan tentang peranan Sunan Kedu terhadap penemuan tembakau dan rokok kretek di Kudus menceritakan suatu kisah yang berbeda. Kisah Sunan Kedu di Kudus yang berhubungan dengan tembakau dan penemuan rokok kretek diusahakan untuk menarik dan mempermudah ingatan masyarakat tentang munculnya tembakau dan pengusahaan rokok kretek Kudus masa penyebaran Islam. Ketika masa penyebaran Islam, Sunan Kedu dari Magelang berniat sowan (berkunjung) kepada Sunan Muria. Di tengah perjalanannya, sudah
70
menjadi kebiasaaan masyarakat jaman dahulu untuk saling mengadu kesaktian yang dimiliki. Sunan Kedu ingin mengadu kesaktiannya dengan Sunan Kudus. Sunan Kedu bersenjata tampah yang diterbangkan ke wilayah Menara melewati puncak Menara Kudus dengan tujuan untuk berusaha memancing kemarahan Sunan Kudus. Kejadian tersebut menjadikan Sunan Kudus merasa tertantang dan meminta Sunan Kedu untuk adu ayam. Adu ayam jago terjadi di daerah Gunung Pati Ayam, perbatasan Kudus-Pati. Sunan Kedu menggunakan ayam jago andalannya dan Sunan Kudus dengan kesaktiannya mengubah gaman kapak menjadi ayam jago. Perjanjian antara Sunan Kedu dan Sunan Kudus, adalah siapa yang kalah harus bergantung pada yang menang. Dalam pertarungannya Sunan Kedu kalah. Sunan Kudus meminta Sunan Kedu membawa bibit tembakau dari Magelang untuk ditanam. Atas keputusan para Sunan, bibit tembakau harus ditanam Sunan Kedu di Magelang dan hasilnya dibawa ke Kudus. Tembakau hasil tanam Sunan Kedu digunakan Sunan Kudus untuk nginang. Ketika itu banyak masyarakat Kudus Kulon yang berguru kepada Sunan Kudus, maka dari itu tembakau diupayakan oleh warga di Kudus sebagai salah satu barang dagangan dan sampai akhirnya dikembangkan menjadi temuan rokok klobot. Kesaktian Sunan Kudus dalam bahasa Jawa kesedik wali, semua ucapan Sunan Kudus yang menyatakan bahwa siapa yang kalah harus bergantung kepada yang menang dalam tradisi lisan masyarakat Kudus ini ada benarnya. Tembakau Kedu yang dihasilkan wilayah Kedu (Sunan Kedu) hanya dapat digunakan untuk membuat rokok kretek oleh industri rokok kretek di wilayah Kudus saja, di wilayah lain tidak dapat digunakan. Sunan Kedu wafat sekitar tahun 1612 M, di desa Gribig Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus. Beliau dimakamkan di desa Gribig. Dari tembakau yang dibawa Sunan Kedu menjadi awal perkembangan perdagangan tembakau di Kudus, sampai akhirnya tercipta rokok klobot. Rokok klobot yang diminati warga Kudus berkembang pesat menjadi usaha kecil, dan oleh pengusaha pribumi terus mengembangkannya menjadi suatu industri rokok kretek Kudus yang terkemuka di dalam maupun di luar negeri. Perusahaan-perusahaan rokok kretek Kudus masih melestarikan budaya khaul terhadap Sunan Kedu. Setiap tanggal 13 bulan
71
Syuro diadakan penyembelihan kerbau untuk acara khaul yang dikelola masyarakat sekitar dan dikunjungi masyarakat dari seluruh penjuru Kudus atau dari sekitar daerah Kudus (wawancara Bapak Masturi : 26 Oktober 2009).
2. Pengadaan Bahan Baku Industri Rokok Kretek Kudus Penemuan rokok kretek di Kudus oleh Haji Jamahri dan Mbok Nasilah sekitar tahun 1880-an, membuat banyak orang mengikuti jejak Mbok Nasilah hingga lahirlah industri rokok kretek di Kudus. Pada mulanya, segala sesuatu tentang industri rokok kretek dalam pengerjaan dan penjualan produk rokok kreteknya masih sangat sederhana bahkan belum nampak adanya suatu lapangan usaha yang menjanjikan. Tahun 1880-an sampai 1980-an industri rokok kretek di Kudus mulai berkembang. Ditemukannya tembakau berakibat kepada semakin meningkatnya kegemaran orang mengkonsumsi tembakau. Basic pedagang yang dikuasai oleh masyarakat Kudus ditambah dengan perkembangan kegemaran orang mengkonsumsi tembakau menumbuhkan kemampuan masyarakat Kudus untuk membuat dan memasarkan rokok tradisional atau rokok klobot (Marcel Boneff, 1990 : 240). Rokok klobot merupakan jenis rokok pertama yang umum dinikmati masyarakat Kudus. Baru pada tahun 1880 ditemukanlah rokok kretek sebagai pembaharuan rokok klobot. Bunyi kretek-kretek yang ditimbulkan dari pembakaran klobot ini membawa perubahan sebutan rokok klobot menjadi rokok kretek. Pada awal kelahiran rokok kretek di Kudus, perdagangan dan pemenuhan permintaan rokok kretek hanya terbatas di Kudus saja. Dalam waktu yang sangat singkat, rokok kretek juga disenangi di daerah lain di luar kota Kudus. Sedikit demi sedikit pemasaran rokok kretek mengalami peningkatan yang luar biasa. Apalagi setelah munculnya Nitisemito sebagai pioneer wiraswastawan pribumi yang sukses mengelola industri rokok kretek miliknya. Berkat keahlian para pengusaha rokok kretek pribumi dalam perataan pemakaian cengkeh dan tembakau, serta penentuan syarat-syarat pembuatan rokok kretek, pengusaha rokok kretek memberi rasa khas terhadap produksi rokok kreteknya. Apalagi dengan variasi bahan, kadar campuran, dan komposisi saus
72
membuat rokok kretek memiliki rasa khas yang dapat memuaskan permintaan konsumennya (wawancara Bapak Afif Masluri : 12 Oktober 2009). Bahan baku utama untuk membuat rokok kretek ada dua macam, yaitu tembakau dan cengkeh. a. Tembakau Pada tahun 1863, Nien Huys pegawai bangsa Belanda mencoba menanam jenis tanaman baru di daerah Deli. Tanaman ini disebut dengan tembakau, dan berhasil tumbuh menjadi tanaman komoditi pembuatan cerutu (Antonie Rieth, 1987 : 98). Tanpa tembakau rokok tidak dapat diproduksi. Seluruh perusahaan rokok kretek yang ada di pulau Jawa biasanya menggunakan tembakau yang dihasilkan dari wilayah pulau Jawa sendiri. Umumnya, perusahaan rokok kretek dari suatu daerah tertentu belum tentu menggunakan tembakau yang dihasilkan dari daerahnya sendiri sebab perusahaan rokok kretek tidak hanya mendatangkan satu jenis tembakau saja untuk produksi rokok kreteknya. Dataran Kudus tidak cocok untuk menanam jenis tanaman tembakau, kalaupun dapat ditanam tembakau yang dihasilkan dari daerah Kudus rasanya terlalu pahit dan aromanya tidak begitu harum. Sedang untuk menghasilkan rokok kretek dibutuhkan tembakau yang mempunyai rasa gurih dan mempunyai aroma harum. Kebutuhan tembakau untuk perusahaan rokok kretek Kudus didatangkan dari daerah : Kedu, Weleri, Bojonegoro, Mojokerto, Madura, dan Temanggung. Tembakau bisa sangat mempengaruhi rokok kretek yang akan dibuat sesuai dengan rasa dan kaulitas tembakaunya. Rasa dan kualitas rokok kretek tertentu, juga membutuhkan rasa dan kualitas tembakau tertentu pula. Rasa dan kualitas tembakau dipengaruhi oleh iklim dan letak geografi daerah tanam tembakau. Hal inilah yang menyebabkan adanya perdagangan tembakau, dari daerah-daerah menuju ke Kudus (Mark Hanusz, 2000 : 78-82).
73
Sebagian besar pengusaha rokok kretek sangat merahasiakan pembelian dan jumlah penggunaan tembakau, hal ini dilakukan untuk menghindari ramuannya tidak diketahui oleh pihak lain. Cara perusahaan rokok kretek Kudus menciptakan tembakau dengan mengangkat seorang agen atau perwakilan perusahaan rokok kreteknya. Jika tidak, pengusaha rokok kretek di Kudus berusaha mencari tembakau di daerah-daerah penghasil tembakau yang dibutuhkan oleh perusahaannya. Bentuk penjualan tembakau dari petani secara langsung kepada agen atau pengusaha rokok kretek, antara lain : 1.)
Dijual secara bebas, yaitu tembakau dijual oleh petani kecil kepada agen pada waktu tembakau masih belum dipanen. Cara pembelian seperti ini biasanya berlaku untuk jenis tembakau Virginia dan tembakau Weleri.
2.)
Menjual rajangan kepada tengkulak-tengkulak kecil yaitu tembakau dipanen kemudian tembakau dikeringkan dan dirajang, baru kemudian dijual kepada agen atau langsung kepada pengusaha rokok kretek.
3.)
Tengkulak kecil menjual tembakau kepada tengkulak besar. Prosesnya sama dengan atas, bedanya tembakau tersebut diserahkan langsung oleh tengkulak besar kepada pengusaha rokok kretek tanpa melalui agen.
4.)
Tengkulak menjual langsung kepada pengusaha rokok kretek dengan mendapat komisi langsung dari pengusaha rokok kretek di perusahaan. Tengkulak macam ini biasa disebut dengan makelar tembakau (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009).
Perbedaan kualitas tembakau ditentukan oleh faktor alam dan faktor perawatan. Faktor perawatan meliputi : perajangan dan penyimpanan tembakau yang nantinya sangat mempengaruhi harga tembakau bila hasilnya baik (Mark Hanusz, 2000 : 87-88).
74
Tembakau yang dijual di daerah Kudus biasanya diambil dari nama daerah asalnya, seperti : tembakau Temanggung dan tembakau Madura. Pengusaha rokok kretek Kudus banyak menggunakan tembakau dari daerah Madura, Temanggung, Weleri, Magelang, Mojokerto, Muntilan dan Bojonegoro. Jenis tembakau Virginia terutama tembakau krosok Bojonegoro mempunyai mutu paling baik untuk membuat rokok kretek. Tembakau krosok juga dihasilkan dari daerah Wonosobo, Besuki, Lumajang, dan Bojonegoro (wawancara bapak Afif Masluri : 12 Oktober 2009). Perusahaan rokok kretek Kudus lebih senang menggunakan tembakau dari daerah Kedu, hal ini disebabkan tembakau yang dihasilkan dari daerah Kedu juga sangat cocok untuk memproduksi rokok kretek. Daerah Kedu menghasilkan tembakau garangan dan tembakau pepean, jenis tembakau kuning dan rasanya ringan. Harga tembakau dari Kedu cukup terjangkau dan kualitasnya cukup bagus. Menurut RJL Kussendrager dalam Amen Budiman & Ong Hok Ham ( 1987 : 89) juga menyebutkan ketinggian mutu tembakau dari Kedu : “tembakau Kedu sangat disukai benar yang dipandang sebagai tembakau yang paling baik di seluruh Pulau Jawa”. Orang Belanda juga memakai tembakau Kedu sebagai bahan pembuatan cerutu mereka. Biasanya tembakau yang digunakan dalam rokok kretek lebih bernilai bila disimpan lebih lama. Beberapa perusahaan rokok kretek menyimpan tembakau selama lima tahun. Kulaitas rokok yang bagus akan diperoleh jika tembakau disimpan lebih lama dahulu di dalam gudang. Rokok buatan pabrik kecil yang murah biasanya cukup membutuhkan waktu simpan selama tiga bulan. Semakin baik kualitas tembakau maka terjadi perbaikan mutu hasil produksi rokok kretek. Agar memperoleh tembakau dengan harga murah biasanya pengusaha membeli tembakau saat panen sehingga harganya murah. Tembakau
75
untuk rokok klobot perlu disimpan selama enam bulan (Lance Castle, 1982 : 48). b. Cengkeh Cengkeh yang digunakan ada dua macam, yaitu : a) Cengkeh impor dari Zanzibar dan Madagaskar b) Cengkeh hasil produksi dalam negeri dari daerah Manado, Maluku, Ambon, Jawa Barat, Jawa Tengah (Mark Hanusz, 2000 : 64). Perusahaan rokok kretek Kudus lebih senang menggunakan cengkeh impor daripada menggunakan cengkeh hasil dalam negeri, sebab kualitas cengkeh impor jauh lebih baik, kadar minyaknya lebih banyak, rasanya gurih, lebih banyak mengkreteknya (mengeluarkan suara kretek-kretek) dan rasanya lebih ringan. Untuk penggunaan cengkeh impor pemerintah mengusahakan pembagian cengkeh bagi pengusaha rokok kretek di Jawa agar cengkeh tidak menjadi obyek spekulasi pengusaha rokok kretek. Pembagian cengkeh impor diatur berdasarkan besar kecilnya perusahaan rokok kretek dalam membayar pajak pita cukai. Untuk penggunaan cengkeh dalam negeri tidak diadakan sistem pembagian sebab harganya jauh lebih murah, rasanya keras (nyegrak), tidak ada rasa gurihnya, dan kurang mengkreteknya (Mark Hanusz, 2000 : 69). Semakin banyak penggunaan cengkeh dalam suatu perusahaan rokok kretek, menunjukkan semakin banyak produksi rokok kretek. Naik turunnya penggunaan cengkeh di perusahaan rokok kretek dipengaruhi oleh jumlah impornya. Kondisi negara yang tidak stabil juga mempengaruhi pasokan impor cengkeh ke Indonesia. Ketika kondisi negara sedang tidak stabil masa 1950-an, maka terjadi pembatasan impor cengkeh. Hal ini memaksa pengusaha untuk berupaya menutup kebutuhan cengkeh pabrik rokok kreteknya dengan penggunaan cengkeh yang diusahakan di dalam negeri.
76
Harga cengkeh yang selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, menjadi salah satu persoalan yang sulit bagi pabrik rokok kretek. Untuk mengatasi masalah harga cengkeh yang melambung tinggi,
pengusaha
rokok
kretek
pernah
tergoda
untuk
:
mempergunakan tembakau atau cengkeh yang lebih murah, atau dengan penggunaan campuran dengan takaran atau perbandingan campuran cengkeh yang lebih rendah dibanding dengan tembakau, atau mengurangi upah para abon (Lance Castle, 1982 : 63-64). Langkah-langkah tersebut dilakukan dengan harapan dapat menekan biaya, sehingga harga jual rokok dapat dipenuhi oleh para konsumen yang kebanyakan golongan menengah ke bawah. Mutu dan campuran tembakau dengan cengkeh merupakan hal yang sangat penting dalam pabrik kretek. Untuk cengkeh tidak perlu disimpan dalam waktu lama untuk mendapatkan aroma khas, tetapi karena naik turunnya harga dan kadang terjadi perhentian penawaran serta kesulitan pembagian dari pemerintah kolonial maka perusahaan rokok kretek sebaiknya mempunyai persediaan cengkeh yang cukup (Lance Castle, 1982 : 48). Bahan baku pendukung untuk memproduksi rokok kretek dan rokok klobot, antara lain : a. Daun Jagung atau klobot sebagai pembungkus rokok klobot Klobot yang digunakan dalam industri rokok kretek masa itu, digunakan istilah ”ombyok, uter, ontong”. Setiap satu ombyok klobot terdiri dari 20 buah ontong jagung, tiap 25 ombyok berisi 500 ontong dan disebut satu uter. Dan setiap satu ontong klobot dapat dijadikan kira-kira sebanyak 5 batang rokok. Kira-kira satu uter klobot dapat dijadikan 2500 buah batang rokok (Solichin Salam, 1983 : 18). Biasanya klobot yang digunakan dalam industri rokok kretek Kudus berasal dari daerah Undaan (pinggiran kota Kudus yang berbatasan dengan Grobogan, Purwodadi). Kualitas klobot jagung dari daerah Undaan tersebut baik, tapi kwantitas atau jumlah pemenuhan
77
bahan produksinya tidak mencukupi. Untuk menutupi kekurangan kebutuhan bahan
baku klobot
industri
rokok kretek Kudus
mempergunakan klobot dari daerah Purwodadi (dari desa Plendungan dan Kuwu), memang kualitasnya tidak sebagus klobot dari daerah Undaan tapi kwantitasnya mencukupi (Solichin Salam, 1983 : 18). b. Tali pengikat atau jinggo, untuk mengikat rokok klobot c.
Saus, bahan pewangi rokok kretek. Saus digunakan sebagai bahan pemberi rasa khas pada aroma rokok kretek yang membedakan rokok yang satu dengan yang lain. Rasa atau aroma dari rokok kretek tiap perusahaan berbeda-beda. Penggunaan saus sangat mempengaruhi rasa rokok kretek. Hal ini mengakibatkan saus sebagai bahan misterius dalam mengahasilkan rokok kretek. Perusahaan rokok kretek besar biasanya menggunakan saus yang didatangkan dari Inggris dan Amerika. Tiap daerah biasanya memiliki permintaan berbeda-beda terhadap rasa atau aroma rokok kretek : di Jawa Barat lebih menyukai rasa pedas, di Jawa Tengah lebih menyukai rasa manis, dan di Jawa Timur menyukai rasa asin (Mark Hanusz, 2000 : 90-96).
d. Lem dari tepung aci, untuk mengelem kertas sigaret kretek dan kertas kemasan luar (kertas selop luar) e. Kertas Kegunaan kertas pada industri rokok kretek Kudus, ada beberapa macam : a) pembungkus rokok (kertas papir) b) pengepak terdiri dari jenis kertas cassing, HVS, syllovan, dan kertas minyak. c) mencetak pita cukai d) pengepres dan pembungkus luar (selop) e) pembuatan merk luar (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009).
78
Jumlah penduduk yang kian bertambah dan jumlah perusahaan yang menggunakan kertas bertambah mengakibatkan kelangkaan kertas. Kelangkaan kertas sering mengakibatkan kerugian besar bagi industri rokok kretek Kudus. Apabila kekurangan jenis kertas pita cukai yang dibuat oleh pemerintah, pengusaha rokok kretek Kudus mengalami kerugian yang tidak sedikit. Rokok yang sudah dibungkus tidak dapat dipasarkan, kondisi tersebut dapat menghentikan perputaran modal dan bahkan dapat mengakibatkan rokok kretek yang telah jadi dan disimpan digudang akan rusak dimakan ulat atau terkena udara lembab, sehingga tidak dapat dipasarkan lagi. Kebutuhan kertas tidak dapat dipenuhi hanya dari dalam negeri, produksi kertas Padalarang dan Leces tidak dapat memenuhi hampir semua jenis kertas kebutuhan perusahaan rokok kretek Kudus hanya kertas pengepak jenis pembungkus luar yang dapat dipenuhi. Sedangkan kebutuhan kertas yang lain, seperti : kertas pita cukai yang dicetak pemerintah, kertas papir, kertas pembungkus selop luar, harus didatangkan dari Inggris dan Jerman. Kebutuhan kertas perusahaan rokok kretek Kudus memunculkan ide pembuatan industri kertas di Kudus. Tahun 1952 pemerintah dan panitia pengelola rencana pembuatan kertas industri rokok kretek Kudus telah berhasil mengupayakan penanaman pohon pinus di Jawa sebagai bahan pembuatan kertas. Tahun 1958, perusahaan kertas didirikan di Kudus. Mulai tahun 1960, kebutuhan kertas industri rokok kretek Kudus sudah dapat dipenuhi oleh perusahaan kertas yang telah didirikan di Kudus dan tidak lagi mengimpor kertas dari luar negeri. Penyediaan bahan baku rokok kretek bagi industri rokok kretek Kudus masih sangat bergantung dari daerah lain di luar kota Kudus, bahkan dari luar negeri. Diperlukan hubungan timbal balik dan interaksi yang baik dengan daerahdaerah penunjang bahan baku industri rokok kretek Kudus. Agar proses pendistribusian bahan baku rokok kretek dari daerah-daerah tersebut ke Kudus berjalan dengan lancar.
79
3. Produksi Rokok Kretek Kudus Pada awal pembentukan indstri rokok kretek Kudus cara produksi yang diterapkan masih sangat tradisional, yaitu : klobot dibesut (dihaluskan), kemudian campuran tembakau dan cengkeh dibungkus dengan klobot secara hati-hati agar klobot tidak sobek oleh batang cengkeh. Salah satu ujung rokok klobot diikat dengan tali atau serat, terakhir rokok klobot dijajakan di warung, kampungkampung,
dan
dipasar-pasar.
Kemajuan
industri
rokok
kretek
Kudus
memungkinkan munculnya sejumlah merk Indonesia yang pemiliknya dikenal sebagai raja kretek. Hal ini merupakan teladan yang baik bagi penduduk pribumi untuk menunjukkan kekuatan diri pada masa kolonial Belanda. Masa Kolonial, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem) (Lance Castle, 1982 : 46). Pada tahun 1920-an, rokok kretek yang beredar adalah rokok kretek yang masih sederhana sistem pengerjaannya belum ada mesin modern hanya perlu keahlian khusus dari para buruhnya. Pengusaha rokok kretek memperoleh tembakau dan cengkeh dengan kualitas super dari berbagai daerah penyuplai tembakau dan cengkeh. Pihak pabrik mencampurkan sendiri tembakau, cengkeh, serta saus rahasia yang menjamin mutu produksi rokok kreteknya. Kegiatan mencampur bahan pembuat rokok kretek dilakukan di dalam pabrik oleh pengusaha sendiri untuk menjamin rahasia kenikmatan khas dari masing-masing rokok kretek
yang dibuat, agar tidak
sering merubah aturan dalam
pencampurannya. Pengusaha rokok kretek harus benar-benar memikirkan produksi rokok kreteknya. Rasa dan perbandingan bahan harus benar-benar dipikirkan untuk menjaga kepercayaan konsumen. Cengkeh dan tembakau terdiri dari beraneka jenis, masing-masing memiliki keistimewaan dan rasa yang khas. Seorang pengusaha rokok kretek harus mempunyai pengalaman luas di bidang pertembakauan, serta percampuran cengkeh dan saus. Pengusaha yang berpengalaman dapat meramu tembakau dan melakukan pencampuran dengan komposisi yang tepat sehingga menjadi rokok kretek sesuai yang diinginkan untuk konsumen. Ahli mencampur bahan rokok kretek tersebut dinamakan ”master”. Masing-masing kemampuan atau selera pengusaha memberikan ciri tersendiri
80
pada jenis rokok kretek yang dihasilkan. Pengolahan bahan rokok kretek Kudus sebagai kunci rahasia dari masing-masing perusahaan, jangan sampai diketahui perusahaan lain bahkan diketahui umum (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Berhubung dengan bentuk rokok yang diproduksi yang lancip di salah satu ujungnya pada waktu itu, dan bungkus yang digunakan untuk membungkus tembakau dan cengkeh dari daun klobot, maka butuh ketrampilan khusus dalam membuat lintingan rokok kretek. Membesut klobot tidak mudah, apalagi dengan campuran tembakau dan cengkeh harus diusahakan agar rajangan cengkeh tersebut tidak merusak atau merobek klobot pembungkusnya. Ribuan tangan terampil dibutuhkan untuk memenuhi permintaan rokok kretek Kudus. Pekerja rokok kretek selain bekerja di pabrik biasanya mengerjakan pekerjaan di rumahrumah. Pekerja yang rumahnya jauh tidak perlu meninggalkan rumah, menghabiskan uang transport, dan tetap bisa melaksanakan kegiatan rumah tangga, serta pekerjaannya dapat dibantu oleh seisi rumah (Arsip PNRI : Peroesahaan Rokok Kretek di Koedoes). Pekerja yang bekerja di pabrik biasanya bagian sortir (bagian pemilah), pembungkus rokok kretek dalam pack, dan pengirim hasil produksi untuk didistribusikan pada agen dan pemesan rokok kretek. Sebagian besar kegiatan melinting rokok dilakukan di rumah-rumah. Bahan-bahan pembuat rokok kretek dibagikan dari pabrik kepada para abon yaitu orang yang menjadi perantara antara majikan dalam pabrik dengan buruh-buruh. Bahan-bahan pembuat rokok biasanya diambil secara keseluruhan terlebih dahulu oleh para abon pada salah satu pabrik rokok kretek Kudus, kemudian abon membagi-bagikan bahan-bahan tersebut kepada buruh atau kornet. Jumlah abon ditaksir sekitar 30.000orang lebih. Abon ini berasal dari lingkungan kampung sekitar district Kudus yang datang ke pabrik rokok kretek, dan meminta campuran bahan rokok kretek yang telah siap dari para pengusaha untuk diedarkan kepada para buruh linting rokok rumahan dan dilinting di rumah mereka masing-masing yang disebut kornet. Rokok kretek yang telah dilinting oleh para kornet diserahkan kembali kepada para abon untuk dikumpulkan. Setelah terkumpul dalam jangka waktu seminggu,
81
para abon mengembalikan rokok kretek yang telah jadi kepada pengusaha pabrik dan mereka mendapatkan upah sesuai jumlah yang telah mereka kerjakan (Lance Castle, 1982 : 61-63). Para abon harus menjaga dengan baik hasil produksi rokok selama dalam pengangkutan dengan menggunakan gerobak kuda dari desa-desa disekitar Kudus ke pabriknya, dan biaya keseluruhan dari produksi dan pengangkutan ditanggung oleh perusahaan. Biasanya para abon menerima pekerjaan dari seorang pengusaha dan menerima dari pengusaha yang bersangkutan semacam abonnemen rokok yang mereka hasilkan. Oleh karena itu, mereka disebut sebagai abonne yang artinya langganan (Amen Budiman & Ong Hok Ham, 1987 : 113). Sistem abon diterapkan berdasar pada beberapa pertimbangan, masa kelahiran industri rokok kretek Kudus telah mendapatkan buruh pelinting rokok dari kota Kudus sendiri. Untuk mencapai tingkat produksi yang mereka inginkan, pengusaha rokok kretek kemudian mengambil pekerja-pekerja baru dari daerah di sekitar kota Kudus. Untuk mendatangkan pekerja yang letaknya jauh dari pabrik, butuh biaya transportasi yang banyak. Biaya transportasi tidak mungkin dibebankan terhadap harga jual kepada konsumen, karena konsumen yang sebagian rakyat berpenghasilan rendah tidak mungkin harga jual rokok dinaikkan. Masalah lain adalah tempat bagi ribuan pekerja ketika itu belum memungkinkan, biaya pembangunan pabrik masih sangat mahal. Oleh karena itu, digunakan sistem abon agar produksi rokok yang diinginkan terpenuhi tanpa harus repot memikirkan biaya transport yang harus dikeluarkan bagi pekerja yang jauh, dan tempat bagi pekerja untuk memproduksi rokok kretek (Amen Budiman & Ong Hok Ham, 1987 : 112). Umumnya pengusaha besar pabrik rokok kretek mempunyai sekitar 100 abon. Abon memiliki anak buah atau buruh-buruhnya sendiri dalam kampungnya yang disebut kornet sekitar delapan sampai sepuluh kornet. Sistem abon ini merupakan sistem yang masih tradisional, di mana pekerja mengerjakan produksi rokok kretek di rumah masing-masing. Biasanya dalam satu rumah satu keluarga dapat ikut membantu mengerjakan produksi rokok kretek. Selain itu, produksi rokok kretek ini dapat dikerjakan pada waktu luang setelah pekerjaan rumah
82
selesai dikerjakan. Jadi buruh rokok ini masih dapat melakukan aktivitas sehariharinya tanpa harus keluar jauh dari rumah. Selama sepuluh sampai lima belas tahun sebelum pendudukan Jepang, sistem abon digantikan dengan sistem pabrik. Alasan utama penggantian sistem ini adalah untuk memenuhi kebutuhan penguasaan yang lebih besar karena industri rokok kretek mengalami persaingan menghadapi tantangan baru dari tahun 1925 sampai 1933. Karena mutu rokok kretek sangat ditentukan oleh campuran tembakau dan cengkeh, maka pengadaan bahan baku menjadi satu hal yang cukup penting bagi usaha rokok kretek. Untuk mendapatkan kualitas rokok kretek yang baik maka perlu diimpor cengkeh dari Zanzibar. Harga cengkeh sendiri selalu mengalami fluktuasi harga, tahun 1928 harga cengkeh melambung tinggi hingga begitu menyulitkan industri rokok kretek. Karena sebagian besar perokok adalah golongan miskin maka beberapa kebijakan harus dikeluarkan oleh para pengusaha rokok kretek. Pengusaha rokok kretek tergoda untuk menggunakan tembakau atau cengkeh yang lebih murah atau perbandingan tembakau dan cengkeh dikurangi, atau mungkin mengurangi jumlah tenaga abon. Dengan tujuan untuk menekan biaya, sehingga konsumen tidak lekas kabur (Lance Castle, 1982 : 63-64). Kebijakan mengurangi upah para abon, mendapat respon negatif dari para abon. Abon yang membenci kebijakan tersebut membalas dendam dengan memalsukan cengkeh yang rendah mutunya ke dalam campuran tembakau saat menggulung rokok tersebut. Tahun 1930-an pengusaha rokok kretek mulai membangun
pabrik-pabrik
dan
meninggalkan
kebiasaan
memborongkan
pekerjaan menggulung kepada para abon. Dibukanya pabrik, secara otomatis modal kerja dapat dihemat dalam satu lingkungan kerja. Biaya produksi yang melambung dapat ditutup dengan masuknya modal kerja yang diperoleh, sehingga pengusaha rokok kretek masih bisa menguasai merk kesetiaan bagi konsumennya (Lance Castle, 1982 : 64). Pekerjaan membuat rokok kretek ini membutuhkan kesabaran, tenaga buruh rokok kretek mendapat gaji borongan sesuai dengan berapa banyak dia menghasilkan rokok kretek hari itu pula. Sebagian besar pekerjaan membuat
83
rokok kretek ini dilakukan oleh wanita. Wanita-wanita Jawa agaknya sudah terbiasa mencari pekerjaan di luar rumah. Daerah Jawa sendiri notabennya sudah kelebihan jumlah penduduk, produksi rokok kretek telah menarik penduduknya menjadi buruh industri rokok kretek. Banyak dari pekerja merupakan wanita, mereka bekerja untuk menambah penghasilan suami atau keluarga mereka yang kebanyakan hanya sebagai petani dan pengrajin. Upah buruh rokok dahulu masih kecil, maka sumber penghidupan harus ditutupi dengan pertanian yang dahulu mereka miliki. (Lance Castle, 1982 : 52) Mayoritas buruh memang merupakan wanita yang berasal dari kampungkampung, namun di dalam satu pabrik besar ada sejumlah karyawan yang digaji besar dengan kedudukan tertentu. Karyawan yang digaji besar biasanya berkedudukan sebagai juru tulis atau pengawas. Kehidupan karyawan lebih terikat pada pabrik sebagai sumber penghasilan utama. Karyawan yang mendapat hak istimewa ini paling sedikit merupakan anggota kultural yang sama atau keluarga dari pemilik pabrik (Lance Castle, 1982 : 92). Industri rokok kretek secara teknis memang sederhana, tapi di dalamya banyak kerumitan. Pengusaha dan mereka yang bekerja di dalam perusahaan harus pandai-pandai membeli bahan baku, menjalankan proses produksi dan pengawasan proses produksi dan memasarkan hasil produksi haruslah mempergunakan ketrampilan yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan laba dan mempertahankan kepercayaan konsumen, serta kelangsungan usaha rokok kretek. Proses produksi rokok kretek Kudus secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian : a. Proses Pengerjaan Beberapa jenis tembakau rajangan dicampur menjadi satu dengan perbandingan tertentu. Campuran tersebut dimasukkan dalam mesin pencampuran untuk dibersihkan dari tanah dan kotoran. Cengkeh direndam dalam air supaya minyaknya hilang, agar rasanya tidak terlalu pedas. Cengkeh yang sudah direndam dimasukkan dalam mesin perajang cengkeh. Kemudian tembakau dan cengkeh yang sudah siap dicampur menjadi satu dalam perbandingan tertentu kira-kira dua
84
banding satu. Dua untuk tembakau dan satu untuk cengkeh. Setelah selesai baru diberi saus atau biang wangi-wangian yang biasanya diimpor. Agar perbandingan bahan-bahan tersebut meresap ke dalam tembakau, campuran tersebut disimpan dalam waktu satu sampai dua malam (wawancara bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Setiap pabrik biasanya mempunyai rahasia campuran jenis-jenis tembakau, cengkeh, dan saus. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesetiaan konsumen rokoknya dan berusaha mempertahankan rasa yang khas dari masingmasing produksi pabrik rokok kretek. (Lance Castle, 1982 : 45) b. Proses pembuatan Rokok yang dihasilkan ada dua macam, yaitu rokok klobot dan sigaret kretek. 1.) Rokok Klobot Seperti yang telah diterakan diatas, pembuatan rokok klobot masih sangat sederhana. Pengerjaannya hanya butuh keahlian tangan buruhnya. Tembakau dan cengkeh dicampur dengan perbandingan rata-rata dua (tembakau) banding satu (cengkeh). Klobot dibesut (dihaluskan) dengan setrika, formula yang telah jadi dimasukkan dan dilinting, diikat dengan benang (jinggo) (Lance Castle, 1982 : 42). Proses
penggulungan
rokok
klobot
benar-benar
membutuhkan ketrampilan dan keahlian tangan pembuatnya, dalam sehari pembuatam rokok klobot hanya mampu mencapai 2000 batang. Untuk membesut klobot biasanya buruh membawa pulang seikat klobot ke rumah untuk disetrika, sebagai bekal besok membuat rokok klobot berikutnya (Lance Castle, 1982 : 46). 2.) Sigaret Kretek Setelah proses pengerjaan, formula yang sudah jadi dibagikan kepada buruh penggulung. Buruh duduk menghadap mesin penggulung. Mesin penggulung terdiri dari kayu, kain,
85
dan logam. Buruh penggulung
yang jumlahnya banyak
berkumpul dalam satu ruangan, tidak ada usaha diantara mereka saling membantu ataupun berbicara pada saat bekerja. Setiap buruh berusaha mengejar target produksi sebanyak mungkin, karena upah yang diterimanya tergantung dari besar kecilnya buruh menggulung rokok kretek. Pembuatan sigaret kretek memerlukan
gerakan
berbeda
pada
setiap
penggulung
membentangkan formula dengan jumlah tertentu di atas kain, kemudian membubuhi kertas papir dengan sedikit lem yang telah ada barulah buruh penggulung menggerakkan tuas logam mesin yang menghasilkan sigaret kretek. Sisa tembakau yang mencuat keluar dari ujung sigaret kretek, dipindahkan dari buruh penggulung kepada buruh mbatil untuk dirapikan (Lance Castle, 1982 : 45-46). Untuk dua orang buruh penggulung diperlukan satu orang buruh mbatil. Rokok kretek yang telah dirapikan, kemudian diikat dengan benang sebanyak 25 buah setiap ikat. Rokok yang sudah dibendel, dikeringkan dengan sinar matahari. Setelah kering, dicelup ke dalam air yang telah dicampur dengan campuran sakarin agar salah satu ujung rokok terasa manis. Setelah selesai, bisa dibungkus dengan pembungkus luar (selop) dan diberi nama sesuai pemilik pabrik, dan diberi pita cukai dengan tujuan agar terlihat pajak cukai rokok kretek telah dibayar lunas oleh perusahaan rokok kretek Kudus (Lance Castel, 1982 : 45-46). c. Proses Pembungkusan Satu bungkus atau satu pack berisi beberapa batang rokok kretek banyaknya tergantung dari permintaan konsumen dan kebijaksanaan pengusaha. Satu bungkus bisa berisi 8, 10, 12, 16 batang rokok kretek, dan sebagainya.
86
Beberapa pack rokok kretek, biasanya dibungkus satu pres. Biasanya satu pres berisi 20 unit dan proses pembungkusannya dikerjakan dengan cetakan yang terbuat dari kayu. Setiap 10 pres dapat dikemas kembali menjadi satu bos rokok kretek. Ukuran kemasan bos biasanya digunakan untuk memenuhi pesanan rokok di daerah sekitar Pulau Jawa. Setiap 10 bos bisa dikemas kembali menjadi satu peti. Biasanya kemasan peti digunakan untuk pesanan dalam jumlah besar di daerah luar Jawa (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Dapat kita lihat segala aktivitas produksi rokok kretek mulai dari : mencampur tembakau, menggiling cengkeh, menggulung rokok, sortir, memasang banderolnya, membungkus serta memasukkan dalam bungkusan besar untuk dikirim kepada seluruh agen semuanya dikerjakan oleh pribumi. Dari tuan sampai kuli rokok kretek di pegang oleh pribumi. Sebenarnya bangsa kita bangsa yang besar, seharusnya dapat berkembang sama dengan bangsa-bangsa yang lainnya (Parada Harahap, 1952 : 240). Proses produksi rokok kretek Kudus mulai dari yang tradisional sampai yang modern, kesemuanya membutuhkan tenaga manusia atau buruh dalam menunjang
proses
produksi.
Pengusaha
industri
rokok
kretek
Kudus
membutuhkan tenaga kerja sebagai pendukung produksi terbaik rokok kreteknya. Buruh yang bekerja juga mendapatkan kesejahteraan yang lebih terjamin selama bekerja pada industri rokok kretek Kudus. Personalia dari pengusaha hendaknya memahami kebutuhan pekerjanya. Sedangkan, pekerja yang mendapat jaminan kesejahteraan akan memberikan loyalitas kerja yang tinggi bagi industri rokok kretek Kudus yang mereka jadikan gantungan hidup.
4. Tantangan Industri Rokok Kretek Kudus Masa Penjajahan Dari tahun ke tahun perkembangan perusahaan rokok kretek Kudus semakin mengalami kemajuan yang pesat. Ketika masa kolonial perusahaanperusahaan rokok kretek di Kudus diwajibkan membuat ijin usaha sehingga dapat diketahui jenis usaha, pengusaha, dan tempat usaha. Hal ini dilakukan agar
87
kolonial mengetahui dengan pasti jumlah pabrik rokok yang beroperasi terutama di wilayah Kudus. Pemerintah kolonial memberlakukan ijin usaha dengan cukup ketat. Ijin usaha dalam jangka waktu tertentu wajib lapor. Bagi perusahaan yang belum lapor akan mendapatkan surat peringatan dan apabila surat peringatan tersebut tidak mendapat respon dari pengusaha maka ijin usahanya dianggap tidak ada atau dicabut. Pemerintah kolonial akan memberhentikan perusahaan yang beroperasi. Bila pengusaha rokok kretek ingin melanjutkan usahanya, harus mengurus kembali ijin dari awal (Arsip Propinsi Jawa Tengah : Surat ijin berusaha dari pemerintah Belanda. No. 619/TA di Jakrta 13 Mei 2603). Kedudukan orang pribumi yang masih diletakkan pada strata paling bawah mengakibatkan mereka harus tunduk pada kekuasaan kolonial, sekalipun pribumi itu adalah seorang pengusaha yang telah menghidupi ribuan buruh dan menyumbangkan income yang banyak bagi kas kolonial. Kedudukan para pengusaha pribumi industri rokok kretek Kudus di depan penguasa sama sekali tidak sesuai dengan sumbangan mereka dalam bidang perekonomian. Pengusaha rokok kretek bila ada keperluan atau diundang datang ke rumah Regent masih disuruh duduk di lantai (Parada Harahap, 1952 : 144). Tidaklah menjadi sesuatu yang berlebihan jika para pengusaha pabrik kretek pribumi tersebut sudah seharusnya mendapatkan tempat yang layak dihadapan penguasa pada waktu itu (kolonial), karena keberhasilannya di bidang ekonomi. Sayangnya, kondisi tersebut tidak terjadi entah karena pengaruh kedudukan pribumi yang selalu ditempatkan pada struktur sosial terendah, para pengusaha pabrik kretek pribumi ini harus tunduk pada penguasa dan golongan yang ada diatasnya. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi pengusaha pabrik kretek pribumi ini sebagai seorang usahawan besar nampaknya masih mengalami kesulitan. Walaupun demikian, semangat pengusaha pabrik kretek pribumi untuk mengembangkan industri rokok kretek Kudus tetap berkobar kuat didalam sanubari mereka. Kesalutan terhadap usaha pengusaha pribumi dapat terlihat dalam besarnya pabrik dan rumah pemilik pabrik. Kemewahan yang terlihat dari luar menunjukkan banyaknya keuntungan yang didapat dari penjualan rokok, sehingga
88
menumpukkan pundi-pundi harta. Pribumi harusnya merasa bangga dengan contoh yang dilihat di depan mata tersebut. Pabrik rokok milik bangsa sendiri, dari kuli sampai pembukuan, dari mandor sampai direktur semuanya terdiri dari golongan pribumi. Masing-masing pembagian pekerjaan tersebut dapat berjalan dengan baik. Apa yang diperoleh individu pribumi terutama pengusaha industri rokok kretek telah ditujukan bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia. Apabila orang-orang pribumi mau bekerja dan berusaha dengan keras tidak mustahil, kesuksesan setara dengan orang Eropa akan tercapai. Tahun 1932 pemerintah kolonial menetapkan pemungutan pajak tembakau, banyak pengusaha rokok kretek Kudus memutuskan mundur sejenak. Akibatnya banyak para abon yang tidak bekerja. Sebagian dari mereka mendirikan perusahaan rokok kecil. Pengaruh malaise juga mengakibatkan penurunan pendapatan pengusaha rokok kretek. Pabrik rokok kretek kecil dirasa dapat memberikan tambahan pendapatan, maka dari itu ketika terjadi malaise banyak pabrik rokok kecil bermunculan (Amen Budiman & Ong Hok Ham, 1987 : 137). Kehidupan perusahaan rokok kretek pada masa pendudukan Jepang mengalami kesulitan yang cukup parah. Penanaman tembakau dibatasi oleh bala tentara Jepang, karena lahan pertanian digunakan untuk menanam tumbuhan jarak sebagai kebutuhan permesinan dan transportasi mereka. Cengkeh susah didapat, impor dibatasi dan cengkeh dalam negeri susah didapat. Kesulitan mendapatkan bahan baku pengusaha rokok kretek menutup perusahaan rokok mereka. Armada angkutan perusahaan rokok kretek dirampas tentara Jepang, gudang penyimpanan tembakau dijadikan tempat latihan militer dan asrama tentara Jepang (Amen Budiman & Ong Hok Ham, 1987 : 175-176). Sama halnya dengan pemerintah kolonial pihak Jepang juga mewajibkan pengusaha pribumi untuk mendaftarkan ijin usahanya. Menurut pasal 22 P.P 1932 No.517 Jepang memberikan ijin bagi para pengusaha untuk menjalankan perusahaan atau pabrik dari hasil tembakau. Surat ijin berusaha dari pemerintah Jepang (Arsip Propinsi Jawa Tengah : Gunseikan Zamubutyo. No. 10421/F di Jakarta 19 Oktober 2603).
89
Selain mewajibkan mengurus ijin usaha para pengusaha pabrik rokok kretek pribumi juga diwajibkan melaporkan penggunaan cap/merk dan bungkus rokok kretek untuk masing-masing pabrik rokok kretek. Dalam ijin tersebut diterakan merk/cap, jenis rokok, dan isi masing-masing bungkus eceran serta beberapa gambar pengajuan atau sample bungkus rokok. Sample atau cap rokok akan diseleksi dan dicap sebagai tanda persetujuan dari pemerintah kolonial. Laporan persetujuan kemudian ditembusi kepada masing-masing pengusaha untuk kemudian dijalankan dalam usahanya. Pajak perang yang dipungut oleh pemerintah kolonial juga memberatkan pengusaha pribumi (Arsip Propinsi Jawa Tengah : Surat Pemberitahuan tentang tjap dan boengkoes etjeran rokok kretek No 3/drie/26/149 di Kudus 1949). Tahun 1932 semua bungkus rokok harus disegel dengan kertas “bandrol” yang menunjukkan harga eceran, bandrol ini harus diperoleh sebelumnya dari Dinas Bea dan Cukai Jakarta dengan proporsi pembayaran sesuai pajak. Penetapan peraturan ini menyebabkan ketakutan bagi para pengusaha rokok kretek. Pemungutan pajak yang lebih rendah terjadi pada rokok buatan tangan tangan daripada rokok buatan mesin. Pada tahun 1935, pemerintah juga menetapkan harga eceran minimum rokok putih (Lance Castle, 1982 : 65). Di masa revolusi fisik industri rokok kretek Kudus tetap bertahan dan bermunculan, sekalipun dalam ukuran kecil. Sesudah pengakuan kedaulatan, masa berproduksi rokok-rokok cap Nojorono, Jambu Bol, Gunung, dan Delima. Masa ini bermunculan new comers, seperti rokok cap : Anggur, Sukun dan Djarum. Di masa orde lama, rokok besar tercatat 6 buah, yaitu : Nojorono, Anggur, Djambu Bol, Djarum, Sukun, Sri Hesti (Solichin Salam, 1983 : 31).
5. Munculnya Aneka Pabrik Rokok Kretek Kudus Awal abad ke-20 merupakan fajar Kebangkitan Nasional, lahirnya berbagai organisasi pergerakan nasional mempengaruhi semangat masyarakat Indonesia termasuk di kota Kudus. Para pribumi merasakan adanya angin segar dan semangat nasionalisme mendorong mereka untuk berani tampil ke depan berusaha dengan jiwa dan semangat percaya pada kekuatan sendiri. Jiwa
90
semangat wiraswasta telah membakar semangat masyarakat pribumi terutama di daerah Kudus untuk tampil dan maju ke depan dibidang industri rokok kretek. Pembangunan ekonomi memerlukan kelompok pengusaha yang kompetitif dan otonom. Golongan pengusaha belum nampak terbentuk masa kebangkitan nasional sampai pasca kemerdekaan. Selama masa penjajahan Belanda struktur perekonomian didominasi oleh perusahaan asing Belanda dan para pedagang Cina. Perusahaan besar berada di tangan orang-orang Belanda dan orang-orang Cina bergerak disektor menengah. Orang-orang Cina sebagai perantara antara orang Asing dengan orang pribumi. Kebijaksanaan kolonial Belanda telah memberikan orang-orang Cina kedudukan penting dalam perekonomian. Pedagang Cina menguasai industri kecil, menampung hasil para petani kecil dan menguasai sebagian besar lalu lintas pedagang kecil. Orang-orang pribumi berada pada lapisan paling bawah yang bergerak hanya pada sektor pertanian substitusi dan perdagangan kecil. Sedikit sekali orang pribumi yang terlibat dalam kegiatan kewiraswastaan atau dunia bisnis. Karena alasan historis menjadikan orang Indonesia pada waktu itu tidak memiliki jiwa wiraswasta (Yahya Muhaimin, 1990 : 2-3). Kondisi Kudus menunjukkan setelah keberhasilan Nitisemito, mendorong kelompok pengusaha pribumi lain mengadu nasib dalam industri rokok kretek Kudus. Beberapa industri rokok kretek yang bermunculan di kota Kudus : a. H.M. Muslich H.M. Muslich seorang pedagang yang selalu melewati kota Kudus, selama perjalanan selalu dibekali istrinya dengan rokok kretek buatan istrinya sendiri. Lambat laun, rokok buatannya dititipkan pada pedagang Cina (pedagang es keliling) untuk dijualkan ternyata rokoknya laku keras. Menerima pesanan dan akhirnya membuat rokok kretek dalam jumlah besar. Tahun 1914 membuka pabrik rokok kretek dengan merk ”De Klauw”, beberapa tahun kemudian diganti menjadi cap ”Tebu dan Tjengkeh”. Dimasa kolonial tercatat pernah memiliki buruh tetap/lepas sebanyak 4000 orang. Rata-rata tiap orang memproduksi 500 batang rokok klobot tiap harinya. Pemasaran
91
rokoknya sampai ke : Jawa Timur, Madura, Gorontalo, Banjarmasin, pontianak, Balikpapan, Ambon, Lombok, Sabang, Medan, Bengkulu, dan Palembang. b. H.M. Ma’roef H.M. Ma’Roef memulai usaha rokok kecil-kecilan tahun 1937, dengan bermodal kemauan dan kejujuran (manajemen tradisional). Modal awal sekitar f.125,-- gulden. Cap rokok yang mula-mula dipakai adalah cap ”Sawo”, kemudian diganti menjadi cap ”Djambu Bol” dan pada tahun 1937 mendirikan pabrik di desa Ngembal Rejo Kudus. Jenis produksi rokoknya adalah rokok klobot, dengan buruh awal sebanyak 15 orang. Daerah pemasarannya, antara lain : Semarang, Tegal, Pekalongan, Batang, Rembang, Jepara, Surabaya dan Kudus. Selama 8 tahun berdiri Djambu Bol belum begitu stabil. Baru ketika tahun 1949, Djambu Bol memproduksi rokok kretek, tanpa meninggalkan rokok klobot. Tahun 1950-an pemasaran rokok Djambu Bol melebar sampai ke Lampung. Buruh rokoknya pun kian meningkat, bahkan terspesifikasi menjadi : buruh borongan tetap, buruh borongan lepas, dan staf kantor. Jiwa sosial H.M. Ma’roef sangat besar terbukti dalam pengalokasian dana keuntungan usahanya untuk pendirian masjid dan sekolah di berbagai daerah di sekitar Kudus yang diakui sangat bermanfaat (Solichin Salam, 1983 : 33). c. Atmowidjojo Atmowidjojo mendirikan pabrik rokok kretek dengan merk ”Goenoeng Kedoe”. Tercatat pabriknya pernah memiliki buruh sebanyak 6000 orang, produksinya tergolong besar dan ternama di bawah Niitisemito. d. H.M. Ashadi H.M. Ashadi, tahun 1918 mendirikan pabrik rokok kretek dengan cap ”Delima”. Produksinya juga cukup besar, memiliki sekitar 5000 orang buruh pabrik. Pemasaran rokok klobotnya sampai ke daerah Jember, Banyuwangi, dan Kudus. Sedang rokok sigaret kreteknya
92
sampai ke Jepara dan daerah lain disekitar Kudus. Rokok klobot dan sigaretnya sampai ke Semarang, Jakarta, dan Lampung. e. Rusjdi Pabrik rokok kretek cap Sogo merupakan pecahan rokok cap Gunung Kedu milik Atmowidjojo. Tahun 1938 Rusjdi mendirikan pabrik rokok kretek cap Sogo. Pemasaran rokok kretek Sogo meliputi daerah Pati, Lasem, Tuban, Surabaya, Sidoarjo, Bangil, Pasuruan, Lumajang, Malang dan Mojokerto. Mengalami masa kejayaan ketika tahun 1942 dan mengalami penurunan produksi mulai tahun 1943 sampai dengan 1946. f. Mabruri Mabruri melanjutkan usaha ayahnya H M Djoefrij pengusaha rokok klobot merk ”Sepeda Motor”. Tahun 1923 membuat rokok klobot dengan cap ”Bola Dunia”, 1924 diganti menjadi rokok klobot cap ”Mustafa Kemal”, kemudian cap ”Autosedan” dan ”Lampoe Magic Tiga”. Produksi rokok klobotnya cukup pesat tahun 1935. Bahan pembuat rokok klobotnya, seperti tembakau diambil dari daerah Muntilan, Magelang dan Temanggung. Sedang cengkehnya diimpor dari Zanzibar. Buruh rokok klobotnya ada 100 orang dan produksinya sebanyak 500.000 per hari. Daerah pemasarannya, meliputi : Kertosono, Jombang, Pare, Malang, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Banyuwangi, Balikpapan, Samarinda, Lahat, Palembang, Gorontalo. g. Mc. Wartono Mc. Wartono mendirikan pabrik rokok ”Siyem” tahun 1947 di desa Gondosari Gebog. Ketika itu buruh yang dimiliki baru 10 orang. Produksi rokok klobotnya per hari mencapai 6000 batang. Tahun 1949, berganti merk menjadi rokok cap ”Sukun”. Produksi rokoknya dipasarkan di daerah Gebog dan sekitarnya. Produksi rokok kretek menyusul dibuatnya, pembuatannya menggunakan tangan (tenaga kerja manusia). Bahan baku tembakau yang digunakan berasal dari daerah Temanggung, Muntilan, Weleri, Bojonegoro, dan Madura.
93
Cengkeh dari Purwokerto, Lampung, Padang, Ambon, dan Menado, serta sebagian kecil dari Zanzibar. Pemasaran rokok kreteknya sampai ke daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Sumatra Utara, Sumatra Timur, Lampung dan Bali. Jiwa sosial Mc. Wartono terhadap masyarakat sekitar juga cukup besar, terbukti andilnya memberikan bantuan pada pembangunan dan kemajuan daerah sekitar (Solichin Salam, 1983 : 30-35). Aneka rokok kretek dengan berbagai merk mulai bermunculan. Sekian banyak perusahaan rokok kretek Kudus berdiri, selang 1908-1964 tercatat 11 tokoh pembesar industri rokok kretek Kudus, yaitu : 1. M Nitisemito (PR Bal Tiga) 2. M Atmowijoyo (PR Goenoeng Kedoe) 3. H M Muslich (PR Teboe & Tjengkeh) 4. Tjoa Kong Hay (PR Tiro) 5. H M Ashadi (PR Delima) 6. H Ali Asikin (PR Djangkar) 7. M Sirin (PR Garbis & PR Manggis) 8. H A Ma’ruf (PR Djambu Bol) 9. Koe Djie Siong (PR Nojorono) 10. Oei Wie Gwan (PR Djarum) 11. Mc Wartono (PR Sukun) (Arsip Museum Kretek Kudus). Setelah Belanda mengakui kedaulatan RI, sekitar tahun 1950-an diadakan perbaikan perekonomian dengan cara merubah sistem perekonomian dari perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional. Hasrat untuk memegang peranan perekonomian mulai dimiliki oleh kalangan pribumi. Idealnya perekonomian nasional merupakan perekonomian yang stabil dan beraneka, berkembang dan makmur, pemilikan pengawasan dan pengelolaan ekonomi berada di tangan pribumi dan pemerintahan nasional. Namun, keinginan memegang peranan perekonomian rakyat pribumi mendapat beberapa kendala. Sumber daya manusia yaitu orang-orang terlatih yang sudah berpengalaman dalam dunia usaha masih sangat sedikit. Selain ketrampilan yang masih terbatas,
94
modal menjadi faktor utama mengembangkan usaha juga masih sangat kecil. Orang-orang pribumi hanya bisa menguasai sektor ekonomi tradisional, dan orang-orang Belanda serta Cina menguasai ekonomi modern. Belum ada perubahan besar dalam pengambilalihan perekonomian nasional. Apalagi ditambah adanya pertentangan dalam pemerintah yang menginginkan lepas dari ketergantungan asing dan di lain pihak menganggap bahwa bangsa kita dalam mengembangkan perekonomiannya tidak dapat lepas dari pengaruh asing. Dalam perkembangannya perekonomian asing dapat masuk dengan aturan yang cukup ketat (Yahya Muhaimin, 1990 : 4-6). Pemerintah dengan program Bentengnya berusaha mengembangkan dan melindungi golongan pengusaha pribumi, menekan persaingan dengan pihak asing dan Cina, memperkecil ketergantungan pengusaha pribumi terhadap pengusaha asing dan pedagang Cina. Pembentukan modal besar yang diusahakan oleh pemerintah belum berhasil, justru praktek jual beli kemudahan kebijakan dalam birokrasi mendominasi. Para pengusaha pribumi yang ingin berusaha mandiri kesulitan untuk mengembangkan diri karena pejabat birokrasinya telah membuat berbagai rencana dan kebijaksanaan yang tidak semata untuk mendorong kewiraswastaan (Yahya Muhaimin, 1990 : 5). Industri besar menjadi determinan terhadap industri kecil, usaha menggalakkan pengusaha mampu mengadakan impor barang telah gagal. Kendala semula yang telah dihadapi, ditambah dengan kondisi pemerintah yang mengalami keterpurukan keuangan mengakibatkan sangat sulitnya membentuk usahawan pribumi.
E. Sistem Pemasaran Rokok Kretek Industri Rokok Kretek Kudus awal Dekade 1900-an 1. Sistem Pemasaran Rokok Kretek Kudus awal Dekade 1900-an
Laku tidaknya suatu produk, tidak hanya bergantung pada kualitas produk tersebut tetapi juga ditentukan oleh strategi pemasaran yang diterapkan agar dapat menjaring konsumennya. Dalam perkembangan industri rokok kretek Kudus,
95
tercatat bahwa Nitisemito sebagai pelopor sistem pemasaran modern industri rokok kretek di Kudus. Perkembangan perusahaannya kian maju karena Nitisemito mengadakan sistem promosi berhadiah sejak 1930. Pada setiap bungkus rokok kretek Bal Tiga di belakangnya diberi keterangan : setiap bungkus rokok kretek harus disimpan setelah mencapai jumlah tertentu dapat ditukar dengan hadiah menarik. Hadiahnya, antara lain : sepeda, arloji, gelas, piring, Tshirt. Semua barang hadiah diberi cap rokok kretek Bal Tiga. Untuk menunjang promosi ini perusahaan mempunyai bus khusus yang berkeliling dari kota ke kota yang lain untuk membawa contoh-contoh hadiah. Bus ini dibuat khusus dengan kaca lebar, hadiah digantungkan dalam jendela kaca tersebut sehingga dapat terlihat dengan jelas benda promosi itu dari luar. Selain itu, orang-orang dapat menukarkan hadiah di bus tersebut (Arsip foto dan benda-benda promosi milik perusahaan Bal Tiga di Museum Kretek Kudus). Setiap ada pekan raya, pasar malam, Sekatenan, rokok kretek cap Bal Tiga membuka stand dengan mempergunakan sistem hadiah atau loterij. Hadiahnya bahkan kadang berupa mobil sedan baru dan hadiah lain yang menarik. Penjualan ketika mengikuti pasar malam bisa mencapai 500.000 batang habis (Solichin Salam, 1983 : 26). Sistem hadiah dapat diberlakukan karena : (1) jika pembelian melalui agen tentu ada korting bila membeli dalam jumlah banyak, (2) jika rokok kretek dijual eceran berarti ada extra profit, (3) dan dari keuntungan yang diperoleh inilah dipergunakan sebagai hadiah oleh pabrik rokok kretek Bal Tiga (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Setiap tahun diadakan pasar malam di Surabaya (Jaarmarkt), Solo (Sekatenan), dan di Semarang pabrik rokok kretek Nitisemito selalu ikut serta membuat stand untuk mempromosikan dan menjual rokok kreteknya. Selain itu, sistem periklanan melalui reklame juga telah dilakukan oleh perusahaan rokok kretek milik Nitisemito. Di Jakarta dan Bandung rokok kretek Bal Tiga menyebarkan selebaran melalui udara dengan menyewa pesawat jenis Fokker baling-baling seharga 150-200 Gulden. Untuk menarik perhatian pembeli
96
digunakan banyak taktik. Rokok menggunakan jinggo hijau diganti menjadi jinggo merah (Solichin Salam, 1983 : 26). Sandiwara keliling juga dibentuk dalam rangka menjalankan promosi. Sandiwara keliling biasanya mendatangkan lakon terkenal. Industri rokok kretek sebagai sponsor, ikut membentangkan spanduk atau reklame promosi perusahaan rokok kretek. Penonton sandiwara keliling biasanya tidak dipungut biaya karcis, cukup dengan menukar bekas pembungkus rokok kretek Bal Tiga Nitisemito untuk dapat menyaksikan sandiwara keliling tersebut (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Ketika tahun 1937 rokok kretek Bal Tiga mendirikan R.V.K ”Radio Vereniging Koedoes”. Sekalipun zender radio ini tidak boleh secara resmi digunakan sebagai reklame pabrik. Tapi setiap siaran disebutkan radio Bal Tiga Kudus maka dengan sendirinya rokok Bal Tiga dikenal dimana-mana (Solichin Salam, 1983 : 26). Pemasaran rokok kretek melalui berbagai pedagang perantara, antar lain : asongan, kaki lima, toko kelontong, pedagang keliling sebagai media promosi, setiap ada pameran di berbagai daerah selalu mendirikan stand rokok kretek, media penyebaran melalui kumpul-kumpul para pesepeda ontel, ngopi-ngopi, malalui seni (pementasan drama, musik, teatrical) (Arsip foto Propinsi Jawa Tengah : promosi pabrik Bal Tiga Nitisemitos). Pasar perdagangan industri rokok kretek Kudus masa 1900-an berkembang dikalangan para agen, warung, pedagang asongan. Masa 1920-an, disetiap kampung/desa ataupun dikota sudah terdapat banyak penjual rokok. Di kota khususnya penjual rokok tersebar di berbagai penjuru, mulai dari kios-kios kecil penjual rokok, warung penjual barang kelontong, sampai kedai nasi dimana biasanya para konsumen rokok sering membeli rokok sebatang sebagai pelengkap setelah makan nasi. Pemasaran rokok kretek Kudus tidak hanya terbatas di wilayah pulau Jawa saja, tapi sampai keluar Jawa. Pada masa jayanya rokok kretek milik Nitisemito, hampir tersebar ke seluruh Jawa bahkan sampai Lampung. Berdasarkan kondisi geografis, adat istiadat, dan minat, setiap daerah pemasaran rokok kretek Kudus
97
memiliki perbedaan permintaan konsumsi rokok kretek. Pemasaran rokok klobot di daerah Jawa Barat sepi, karena masyarakat Jawa Barat tidak menyukai rokok yang dibungkus dengan daun jagung kering (klobot masih asing) dan mereka lebih menyukai daun kawung. Masyarakat Jawa Barat lebih menyukai sigaret kretek karena telah terbiasa menghisap rokok putih yang diproduksi daerah tersebut. Untuk daerah Jawa Tengah, daya beli masyarakat terhadap rokok klobot dan rokok kretek seimbang. Rokok klobot telah membudaya di masyarakat lingkungan keraton sampai pedesaan. Rokok kretek biasanya digemari masyarakat daerah perkotaan. Untuk pasaran Jawa Timur masyarakatnya menyukai jenis rokok keras, seperti : rokok siong, rokok klembak, rokok klobot. Konsumen rokok kretek untuk daerah Jawa Timur hanya terbatas bagi yang berusia muda dan tinggal di daerah perkotaan (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Pemasaran rokok kretek di Pulau Sumatra karena sebagian masyarakatnya terdiri atas transmigran dari Pulau Jawa, maka hampir sama dengan minat rokok kretek terutama Jawa Barat. Daerah pemasarannya terbatas sekitar propinsi Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Lampung. Hal ini tidak jauh beda dengan wilayah pemasaran di Kalimantan dan Nusa Tenggara (Arsip Propinsi Jawa Tengah : surat permintaan dan tembusan rokok kretek Bal Tiga Nitisemito). Ramai tidaknya pasaran hasil produksi rokok kretek Kudus dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : (1) Musim Konsumen rokok kretek Kudus yang masa itu para petani mempengaruhi ramai tidaknya pasaran rokok kretek Kudus. Adanya musim dalam dunia pertanian sangat mempengaruhi ramai tidaknya pemasaran produksi rokok kretek Kudus. Kalau musim sesudah panen, pemasaran rokok kretek Kudus sangat ramai. Kantong para petani setelah panenan juga masih tebal. Bila musim hujan tiba pemasaran rokok kretek Kudus menjadi sepi. Banyak petani musim hujan kembali bekerja ke sawah. Bila musim tandur seperti itu,
98
kebanyakan petani lebih senang membuat rokok kretek sendiri atau tingwe karena biayanya lebih murah. (2) Bulan Besar Pada bulan Besar banyak masyarakat yang menyelenggarakan pesta sunatan dan perkawinan. Rokok kretek sangat dibutuhkan sebagai suguhan bagi para tamu undangan dan orang-ornag yang membantu dalam penyelenggaraan hajat tersebut (Wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Selama perkembangannya 1970-an, pasar perdagangan industri rokok kretek Kudus tidak hanya terbatas dalam negeri dan baru meluas ke berbagai negara (Amen Budiman & Onghokham : 1987, 196). Sistem pemasaran hasil produksi rokok kretek Kudus dari perusahaan ke perantara adalah dengan mengangkat agen-agen penjualan di berbagai daerah. Agen-agen tersebut bertanggung jawab terhadap kelancaran penjualan rokok kretek. Agen perusahaan rokok kretek diangkat langsung oleh pengusaha rokok kretek. Agen-agen dalam memperoleh hasil produksi rokok kretek tidak langsung dari pusat, tapi harus melalui Tempat Pemasaran Rokok (TPR). Kalau daerah tempat agen berada tidak ada TPR maka agen dapat memperoleh rokok langsung dari pusat. TPR didirikan oleh pengusaha rokok kretek dengan tujuan untuk memudahkan pengontrolan pemasaran di daerah-daerah yang jauh dari pusat perusahaan. TPR diberi wewenang penuh oleh perusahaan rokok kretek untuk mengangkaat pegawai, membeli alat inventaris, dan mengatur jalannya pemasaran dengan mengkoordinir agen-agen di wilayah kekuasaannya. TPR diberi komisi 2% oleh perusahaan dari rokok kretek yang terjual. Sedangkan, agen mendapat komisi langsung dari perusahaan rokok kretek. Kunci keberhasilan pemasaran rokok kretek terletak pada kecakapan pegawai TPR dan agen perusahaan. Peran agen dan TPR diberbagai daerah amat penting bagi kelangsungan perusahaan. TPR dan agen dapat menjatuhkan perusahaan rokok kretek dengan menjual hasil produksi yang telah rusak ke pasaran bebas. Hubungan baik antara perusahaan rokok kretek, TPR, dan agen
99
harus dijaga dengan baik agar tidak terjadi kejatuhan perusahaan (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Pada dasarnya, pemasangan iklan dan promosi perusahaan rokok kretek terutama perusahaan besar sangat efektif dilakukan dan akan semakin berkembang berkat adanya penyebarluasan dari satu orang ke orang lain secara lisan. Pembicaraan demi pembicaraan dimana rokok kretek tersebut terkenal di suatu daerah secara tidak langsung akan menyebarluaskan kualitas rokok kretek dan merk rokok kretek secara lisan akan menarik konsumen satu ke konsumen yang lain (Lance Castle, 1982 : 47).
F. Perubahan Manajemen Industri Rokok Kretek Kudus Dekade 1920-an 1. Latar Belakang Masuknya Golongan Tionghoa dalam Industri Rokok Kretek Kudus
Pada awalnya industri rokok kretek di Kudus berada di tangan pengusaha pribumi dan mengalami kemajuan yang pesat. Banyak para pengusaha memperoleh keuntungan yang berlimpah, prospek usaha yang ditawarkan industri rokok kretek Kudus sangat bagus. Nasib baik para pengusaha pabrik kretek pribumi pada waktu itu memunculkan kepercayaan orang untuk beradu nasib di bidang industri rokok kretek. Keberhasilan pengusaha pabrik kretek pribumi tersebut menarik golongan lain di luar pribumi yaitu etnis Tionghoa untuk beradu nasib pada industri rokok kretek. Akibat kesulitan fiskal (baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan), kesukaran untuk mendapatkan cengkeh yang sebagian besar didatangkan dari daerah luar, serta persaingan dengan pusat-pusat produksi rokok kretek di luar wilayah Kudus menjadi penyebab kegagalan pabrik kecil milik pengusaha pribumi dan menguntungkan munculnya perusahaan bermodal besar. Dalam waktu yang relatif singkat, pengusaha pabrik kretek Tionghoa berusaha mengikuti jejak keberhasilan pengusaha kretek pribumi. (Charles A Coppel : 1994, 39). Golongan Tionghoa dengan kelebihannya, mengikuti jejak pengusaha pribumi dalam industri rokok kretek tersebut. Di Kudus, kelompok Tionghoa
100
menunjukkan keunggulan dalam usahanya ketimbang pribumi. Masyarakat keturunan Tionghoa di Kudus yang mempunyai modal, tidak mau kalah terhadap masyarakat pribumi Kudus dalam mendirikan perusahaan rokok kretek. Keuntungan golongan Tionghoa yang telah terkenal dengan stereotip kemapanan manajemen ekonominya membawa mereka melesat bagaikan roket dalam berbagai bidang ekonomi. Selain itu, sejak pemerintahan kolonial dalam struktur sosial mereka ditempatkan pada golongan kedua yang memungkinkan mereka menjadi kekuatan ekonomi dominan. Etnis Tionghoa dengan kekhasannya yang cenderung mengeksklusifkan diri, memandang rendah golongan pribumi asli, hanya mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri khususnya kepentingan ekonomi (Charles A Coppel : 1994, 39). Pada masa kolonial jelas masyarakat digolongkan menjadi tiga yaitu : (1) golongan priyayi atau pegawai, seperti : guru, dokter, dsb; (2) golongan pedagang; (3) golongan wong cilik, termasuk buruh, pelayan rumah tangga, dsb. Golongan orang Cina merupakan saatu golongan berbeda dalam fungsi ekonomi sama dengan wong dagang, tetapi secara kultural perbedaannya sangat menyolok (Lance Castle, 1982 : 88). Berdirinya industri rokok kretek milik Tionghoa, secara tidak langsung berdampak negatif terhadap industri rokok kretek pribumi. Persaingan antara kedua pihak berlangsung dalam kondisi yang cukup berat. Industri rokok kretek pribumi banyak mengalami kerugian secara ekonomi, karena kekuatan modal Tionghoa yang dirasa cukup berat untuk diimbangi oleh pengusaha pribumi yang hanya mengandalkan modal kecil. Munculnya industri rokok kretek milik Tionghoa mengakibatkan industri rokok kretek pribumi di Kudus mengalami kemunduran. Sebaliknya pengusaha Tionghoa industri rokok kretek Kudus berhasil memperkuat posisinya. Kebanyakan diantara mereka berhasil membangun pabrik-pabrik yang lebih besar daripada setiap pabrik milik pribumi yang pernah dibangun sebelumnya. Permodalan yang dimiliki pengusaha Tionghoapun lebih besar daripada milik pengusaha pribumi.
101
Dalam bidang perdagangan dan perusahaan, pribumi harus menghadapi kekuatan usaha Tionghoa yang lebih banyak jumlahnya dan berkedudukan kuat. Kelompok Tionghoa banyak menarik keuntungan dari sistem kolonial, ketika itu di Kudus pesaing usahanya adalah kelompok pengusaha pribumi terutama dalam persaingan pembuatan rokok kretek spesialisasi Kudus.
2. Kerusuhan 1918 di Kudus Berdirinya industri rokok kretek milik Tionghoa, secara tidak langsung berdampak negatif terhadap industri rokok kretek pribumi. Persaingan antara kedua pihak berlangsung dalam kondisi yang cukup berat. Industri rokok kretek pribumi banyak mengalami kerugian secara ekonomi, karena kekuatan modal Tionghoa yang cukup berat untuk diimbangi oleh pengusaha pribumi yang hanya mengandalkan modal kecil. Pada tahun 1918, persaingan pengusaha pabrik kretek pribumi dan pengusaha pabrik kretek Tionghoa mencapai puncaknya, hingga menjadi salah satu faktor penting penyebab munculnya kerusuhan hebat yang meledak di Kudus pada tanggal 31 Oktober 1918. Korban berjatuhan di antara kedua belah pihak, sejumlah rumah dan pabrik terbakar. Sekitar 50 rumah dihancurkan, 8 orang Tionghoa dibunuh dan sebagian besar mati karena dibakar, kira-kira 2000 orang Tionghoa di Kudus melarikan diri ke Semarang. Polisi dan tentara dikerahkan untuk menindak para perusuhnya. Dua orang perusuh meninggal dan 60 lainnya luka-luka. Sejumlah 75 orang ditangkap dan diinterogasi, kemudian 61 orang dijatuhi hukuman 9 bulan sampai 15 tahun. Laporan dari kedua pihak pribumi dan Tionghoa mengenai penyebab perusuhan sangat kontras. Laporan dari pihak pribumi mengatakan bahwa perusuhan terjadi karena orang Tionghoa memancing kemarahan karena membawa naga arak-arakan mereka melewati masjid Sunan ketika masjid dalam proses renovasi dan cara-cara Tionghoa lain yang dianggap pribumi menghina Nabi dan agama Islam. Selain itu alasan dari pihak Tionghoa, bahwa munculnya industri rokok kretek Tionghoa diduga memancing huru-hara karena pengusaha rokok kretek pribumi mengalami kerugian besar dalam pengusaha rokok kretek Tionghoa. Laporan dari pihak Tionghoa tersebut
102
menduga keras perusuhan tersebut didalangi oleh pengusaha rokok kretek pribumi (Lance Castle, 1982 : 103-104). Pengusaha-pengusaha pribumi yang dicurigai berperan terhadap aksi tersebut diajukan ke muka pengadilan dan dijatuhi hukuman. Kondisi tersebut semakin memperburuk kedudukan pengusaha kretek pribumi yang telah kalang kabut dibuat karena kekuatan pengusaha pabrik kretek Tionghoa, hingga harus mengalami kemunduran. Berlawanan dengan kondisi pengusaha kretek pribumi, pengusaha kretek Tionghoa berhasil memperkuat posisi mereka dalam industri rokok kretek Kudus akibat peristiwa tersebut (Lance Castle : 1982, 103). Terjadi ketidakseimbangan antara jumlah pengusaha dan jenis usaha yang dimiliki antara pribumi dan Tionghoa dalam industri rokok kretek Kudus. Pengusaha rokok kretek pribumi yang jumlahnya banyak memiliki perusahaan kecil dan menengah. Sedangkan pengusaha Tionghoa yang jumlahnya sedikit mempunyai perusahaan besar. Perusahaan rokok kretek Kudus milik pribumi tidak mampu menyaingi perusahaan Tionghoa dalam kemajuan perusahaannya. Generasi muda pribumi jauh berbeda dengan golongan Tionghoa. Generasi muda pribumi tidak penah dibimbing dalam teknik perdagangan sesuai dengan tuntutan pasar yang semakin kompleks. Modal yang dimiliki pribumi masih kecil. Ketika pengusaha pribumi mencapai keberhasilan, mereka lebih memilih memboroskan harta merek auntuk kepentingan prestise semata (Marcell Bonneff, 1983 : 242). Bagi golongan Tionghoa, semangat pembaharuan mereka tinggi. Kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dengan keadaan terkontrol berkat kemampuan mengelola keuangannya. Hubungan kekerabatan amat solid, kekerabatan secara turun-temurun bila ada saudaranya yang kesusahan maka akan saling bantu (Marcel Bonneff, 1983 : 243). Keunggulan yang dimiliki golongan Tionghoa dan ketertarikan melihat keberhasilan golongan pribumi menarik mereka untuk ikut beradu nasib dalam industri rokok kretek Kudus.
103
2. Lahir dan Berkembangnya Industri Rokok Kretek Kudus Milik Tionghoa Perusahaan rokok kretek pertama milik Tionghoa tahun 1930 yang didirikan di Pati adalah pabrik rokok kretek Minak Djinggo milik Tionghoa Kho Djie Siong. Kho Djie Siong lahir di Kudus tahun 1910. Kho Djie Siong adalah anak seorang pedagang keliling Cina. Ketika usianya 15 tahun, Kho Djie Siong sudah bekerja kepada orang tuanya. Kho Djie Siong adalah pemuda cerdas terbukti usaha ayahnya maju pesat ketika Kho Djie Siong ikut mengelola usaha ayahnya. Namun, usahan ayah Kho Djie Siong mengalami ganjalan karena usahanya tertangkap oleh polisi rahasia Belanda yang mencium ketidakberesan toko yang dimilikinya (toko candu ilegal). Usaha toko milik keluarga Kho Djie Siong kemudian ditutup dan kekayaannya disita oleh Belanda (wawancara bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Pada masa-masa itu Kho Djie Siong menganggur, dan akhirnya berkenalan dengan Karmaen yang pada waktu itu bekerja di perusahaan rokok kretek Bal Tiga milik mertuanya Nitisemito. Kho Djie Siong dan Karmaen adalah teman lama, ketika mereka masih sama-sama sekolah di HIS Semarang. Melihat nasib sahabat lamanya yang tak menentu, Karmaen mengajaknya untuk ikut bekerja di perusahaan rokok kretek Nitisemito (http://bluedayax.multiply.com/journal/item : 13/3/2009). Pekerjaan pertamanya di perusahaan rokok kretek Bal Tiga adalah sebagai petugas pengontrol pemasaran rokok kretek di berbagai daerah di seluruh Jawa. Pekerjaan tersebut dikerjakan dengan tekun dan jujur selama 2 tahun. Ketekunan Kho Djie Siong membuatnya diangkat sebagai agen perusahaan rokok kretek di daerah Pati. Jabatan kepercayaan ini digunakan, Kho Djie Siong sebagai titik tolaknya untuk menjalin kerjasama dengan sesama rekannya agen di seluruh Jawa Tengah untuk berusaha mendatangkan tembakau dan cengkih untuk dijual kepada perusahaan rokok kretek Bal Tiga melalui Karmaen. Jabatan yang dipegang Kho Djie Siong sebagai agen secara resmi, merangkap pedagang tembakau di perusahaan rokok kretek Bal Tiga dan hubungannya semakin baik dengan Karmaen menumbuhkan keinginan untuk membunjuk Karmaen agar mau memberi bocoran mengenai seluk beluk
104
pembuatan rokok kretek beserta sistem pemasarannya. Rahasia berupa keterangan dari Karmaen diketahui oleh Nitisemito, yang berakibat dipecatnya Kho Djie Siong oleh Nitisemito (http://bluedayax.multiply.com/journal/item : 13/3/2009). Tahun 1929, Kho Djie Siong memutuskan kembali ke Pati untuk membuka kembali usaha ayahnya. Atas saran dari rekan-rekan agen rokok kretek Bal Tiga, Kho Djie Siong diminta untuk mencoba membuat perusahaan rokok kretek di daerah Pati dengan bekal rahasia pembuatan rokok kretek Bal Tiga yang telah diperoleh Kho Djie Siong dari Karmaen. Akhirnya, perusahaan rokok kretek Kho Djie Siong berdiri 1930 di Pati yang diberi cap Minak Jinggo. Berdasar dari kesenangannya terhadap satriya dari Blambangan Minakjinggo dan asal daerah istrinya dari Blambangan, maka Kho Djie Siong memberikan label Minak Jinggo pada produksi rokok kreteknya. Jenis produksi rokok klobot dengan cap : Auto Sedan, Kimar, Cabang (Trisula). Jumlah tenaga kerjanya baru sekitar 50 orang. Pemasarannya masih terbatas ke daerah : Jawa Tengah dan Jawa Barat (Solichin Salam, 1983 : 33). Tahun 1932, perusahaan rokok kretek Minak Jinggo dipindah ke Kudus jalan A.B.C (jalan dondong), karena tenaga kerja susah didapat di daerah Pati. Selain memproduksi rokok klobot, usahanya mulai memproduksi rokok jenis sigaret kretek. Masyarakatnya lebih tertarik untuk bekerja membatik, upah buruh cukup tinggi, biaya transportasi mahal. Alasan tersebut dipilih untuk memindah perusahaan rokok kretek Minak Jinggo ke Kudus untuk menghindari kerugian yang makin besar pada perusahaan yang baru saja berdiri (Solichin Salam, 1983 : 33). Tahun 1932, perusahaan rokok kretek Bal Tiga mengalami perselisihan mengenai rencana penghibahan perusahaan rokok kretek kepada Sumadji Nitisemito, putra ke-empat Nitisemito yang ditentang oleh Karmaen menantu Nitisemito yang telah banyak memberikan sumbangsih. Kondisi yang memanas dalam tubuh intern keluarga Nitisemito ini, dimanfaatkan oleh Kho Djie Siong untuk memproduksi rokok kretek Minak Jinggo sebanyak mungkin untuk mengisi kekosongan stok rokok kretek Bal Tiga yang produksinya semakin menurun. Politik Kho Djie Siong memanfaatkan kondisi berhasil dengan baik, berkat
105
dukungan Karmaen dan dukungan sebagian rekan-rekan Kho Djie Siong yang masih menjadi agen rokok kretek Bal Tiga. Rokok kretek Minak Jinggo dengan cepat menguasai pasaran karena harganya lebih murah dan rasanya sama dengan rokok kretek Bal Tiga. Rahasia sistem pencampuran tembakau dan cengkeh diperoleh dari Karmaen, dengan alasan agar perusahaan rokok kretek Bal Tiga tidak jatuh ke tangan Sumadji. Karmaen adalah seorang yang ahli pula mencampur bahan tembakau dan cengkeh di perusahaan rokok kretek Bal Tiga selain Nitisemito (wawancara bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Tahun 1935, perusahaan rokok kretek Minak Jinggo pindah lokasi di Jalan Nganguk No.11 Kudus. Sampai tahun 1940, pemasaran hasil produksi rokok kretek Bal Tiga mendapat saingan rokok kretek Minak Jinggo. Tahun 1940, perusahaan rokok kretek Minak Jinggo mengalami perkembangan pesat, dan mengeluarkan produksi baru yang dikenal dengan nama Nojorono. Tahun 1960, perusahaan rokok kretek Minak Jinggo terus berkembang menjadi salah satu perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus. Pemasaran rokok klobotnya melingkupi pulau Jawa, bahkan luar Jawa (Solichin Salam, 1983 : 34). 3. Ambruknya Industri Rokok Kretek Kudus Milik Pribumi ”Bal Tiga” Pasang surut dalam dunia industri rokok kretek merupakan suatu hal yang lazim terjadi dalam industri rokok kretek Kudus baik pribumi maupun Tionghoa. Khusus untuk perusahaan rokok kretek Bal Tiga konflik keluarga sangat mencolok. Ketika masa kolonial Hindia Belanda, akibat perselisihan hebat akhirnya diketahui bahwa perusahaan rokok kretek Bal Tiga memiliki pembukuan ganda. Hal ini sebenarnya dikatakan sudah lazim dikalangan pengusaha rokok kretek baik pribumi maupun non-pribumi. Pemerintah Hindia Belanda menuduh perusahaan rokok kretek Bal Tiga milik Nitisemito ini belum membayar pajak yang harus disetorkan kepada pemerintah kolonial. Rumah dan mobil Nitisemito disita. Kebaikan hati penguasa kolonial, melihat jasa Nitisemito yang telah banyak membayar pajak kepada pemerintah sehingga sangat membantu keuangan pemerintah, maka perusahaan rokok kretek Bal Tiga diperbolehkan beroperasi kembali. Keputusan penguasa ini diambil dengan persetujuan dan pertimbangan
106
bahwa apabila pabrik diberikan kelonggaran beroperasi maka hutang pajak yang ditanggung mereka akan terbayar dan ribuan buruh tetap bisa menggantungkan kehidupannya pada industri rokok kretek Kudus. Setelah mengalami vakum beberapa saat industri rokok kretek Nitisemito harus memulai dari awal lagi membangun, karena banyak agen rokok kretek yang sudah beralih ke perusahaan rokok kretek yang lain (Amen Budiman & Ong Hok Ham, 1987 : 130). Terjadinya perselisihan intern antar anggota keluarga Nitisemito semakin memanas
ketika
Nitisemito
yang
sudah
sepuh
berniat
menghibahkan
perusahaannya kepada salah satu anggota keluarganya. Perselisihan intern keluarga harus dibayar mahal dengan kerugian perusahaan dan hancurnya perusahaan rokok kretek Bal Tiga Nitisemito. Ahwan Markum cucu Nitisemito yang diberi jabatan sebagai direktur perusahaan; Sumaji Nitisemito anak laki-laki (anak nomer empat) Nitisemito diberi jabatan kasir; M Karmaen menantu Nitisemito yang diberi jabatan kepala kantor. Ketiga orang ini adalah orang kepercayaan Nitisemito untuk mengelola perusahaan rokok kretek Bal Tiga milik Nitisemito (Arsip Propinsi Jawa Tengah : M Nitisemito). Nitisemito berencana menghibahkan perusahaan rokok kretek Bal Tiga miliknya kepada anak laki-lakinya Sumaji Nitisemito. Sumaji dianggap telah mampu dan lebih menonjol dibanding dua orang kepercayaannya yang lain. Sumaji telah menamatkan sekolah MULO-nya di Belanda.
Alasan ini yang
memantapkan keputusan Nitisemito menghibahkan perusahaan kepada Sumaji Nitisemito.
Terlalu
percaya
kepada
diploma
Handelsschool,
Nitisemito
menyerahkan kekuasaaan kepada Sumaji Niitsemito. Ahwan Markum dan M Karmaen hanya boleh bantu-bantu saja di dalam perusahaan (wawancara Bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Ahwan Markum dan M Karmaen tidak menyetujui keputusan tersebut karena mengetahui bahwa Sumaji Nitisemito, belum berpengalaman sama sekali untuk mengelola perusahaan sebesar Bal Tiga. Dilihat dari pengalaman memang M Karmaenlah yang sudah sangat berpengalaman dalam mengelola perusahaan. Semua ide kemajuan perusahaan Bal Tiga, seperti : manajemen hadiah, pemasaran, master peracik bahan baku rokok kretek, hubungan dengan agen
107
rokok kretek juga telah dikuasai. Sebelum menjadi mantu Nitisemito Karmaen juga telah bekerja lama dalam perusahaan rokok kretek Bal Tiga milik Nitisemito (Solichin Salam, 1983 : 26). Dikeluarkannya surat hibah perusahaan kepada Sumaji Nitisemito, mengakibatkan dipecatnya M Karmaen dan Ahwan Markum dari perusahan rokok kretek Bal Tiga. Keluarnya dua orang berpengalaman ini, diikuti oleh banyaknya buruh yang mengundurkan diri, bahkan buruh bagian promosi keliling, buruh pemasaran, dan sebagian agen perusahaan rokok kretek Bal Tiga dari beberapa daerah ikut mengundurkan diri. Mundurnya buruh-buruh penting yang memegang peran maju tidaknya industri rokok kretek Bal Tiga, akan membawa dampak buruk bagi perusahaan. Sumaji dianggap kurang cakap mengelola perusahaan dalam memberantas kasus pemalsuan hasil produksi rokok kretek Bal Tiga di pasaran (wawancara bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Omset pemasaran hasil produksi perusahaan rokok kretek Bal Tiga di berbagai daerah selain disebabkan oleh faktor di atas, juga disebabkan banyaknya rokok kretek hasil produksi yang sudah lama di agen dijual lagi karena agen telah mengalami kesukaran untuk meminta kiriman rokok kretek baru. Keadaan semakin memburuk ketika bangsa ini berada di bawah jajahan Jepang, banyak aset perusahaan rokok kretek Bal Tiga disita oleh Jepang untuk memenuhi keperluan
perang
dan
penjajahan
mereka
(http://bluedayax.multiply.
com/journal/item/177 : 13/3/2009). Ambruknya perusahaan rokok kretek Bal Tiga dipercepat dengan meninggalnya Nitisemito tahun 1952. Sumaji terbukti kurang cakap dalam mengelola perusahaan warisan orang tuanya, sebagai langkah selanjutnya karena sudah tidak ada keluarga yang cakap yang mampu mengelola perusahaan rokok kretek, maka harta yang tersisa dibagi rata kepada seluruh keluarga tahun 1955. Hasil sekolah tinggi saja tidak menjadikan garansi seseorang cakap memimpin suatu, terutama dalam hal ini perusahaan rokok kretek (Arsip Propinsi Jawa Tengah : pembagian aset keluarga Nitisemito).
108
4. Manajemen Kelompok Tionghoa dalam Industri Rokok Kretek Kudus Dalam mengelola perusahaan rokok kretek pengusaha rokok kretek Tionghoa, selalu memberi prioritas kepada kelompok masyarakat keturunan Tionghoa di sekitar mereka untuk bekerja di perusahaan yang dikelolanya. Ikatan kelompok yang begitu kuat antara kelompok Tionghoa, usaha pengusaha rokok kretek Tionghoa mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat Tionghoa. Tidak hanya keturunan Tionghoa dari daerah Kudus tapi meluas ke daerah lainnya. Hal ini terbukti dengan adanya buruh-buruh keturunan Tionghoa dari daerah Semarang, Pekalongan, Magelang, Surabaya yang bekerja pada perusahaan rokok kretek Minak Jinggo. Sistem kekeluargaan juga diterapkan di kalangan masyarakat Tionghoa di daerah Kudus. Caranya dilakukan suatu sistem peminjaman modal kepada masyarakat Tionghoa atau pegawai perusahaan khususnya keturunan Tionghoa yang ingin mendirikan usaha rokok kretek. Pinjaman modal ini biasanya diberikan kepada buruh keturunan Tionghoa yang sudah duduk sebagai staf ahli. Sistem pengembalian pinjaman modal diatur berdasarkan sistem bagi hasil dan menjual hasil produksi rokok kretek ke perusahaan tempat ia dipinjami modal. Atau modal pinjaman dikembalikan bila perusahaannya telah sukses meraup keuntungan dari pemasaran rokok kretek yang telah diproduksi. Seandainya usaha yang dipinjami modal itu gagal, maka pihak yang mendapat pinjaman modal dapat kembali bekerja dalam perusahaan rokok kretek tempat semula ia bekerja. Sistem tersebut berkembang dengan baik, terbukti bermunculan beberapa perusahaan rokok kretek Kudus milik keturunan Tionghoa. Beberapa perusahaan rokok kretek Kudus milik Tionghoa yang berhasil berdiri karena sistem ini, antara lain : perusahaan rokok kretek Gentong Gotri (1940) oleh Kho Ciang Hai, perusahaan rokok kretek Laras Hati (1940) oleh Lim Siong Hong, perusahaan rokok kretek Dami (1942) oleh Ngo Tik San. Minak Djinggo melesat jauh disusul dengan kemajuan pabrik rokok kretek Tionghoa yang didirikan masyarakat Tionghoa dengan modal sendiri, antara lain : (1) perusahaan rokok kretek Kaki Tiga (1948) oleh Ong Tik San, (2) perusahaan rokok kretek Muria (1948) milik Sam Ling Tho, (3) perusahaan rokok kretek
109
Pompa (1950) oleh Ngo Tik San, (4) perusahaan rokok kretek Sri Hesti (1950) oleh Lim Sin Hong, (5) perusahaan rokok kretek Jarum (1951) oleh Oei Wie Gwan, (6) perusahaan rokok kretek Supiah (1952) oleh Kim Liong Wan (wawancara bapak Afif Masluri : 25 Oktober 2009). Keberhasilan pengusaha Tionghoa dalam persaingan industri rokok kretek Kudus dengan golongan pribumi, disebabkan oleh beberapa faktor : a) Orang Cina mempunyai bekal ilmu perusahaan yang lebih banyak. b) Orang Cina lebih mampu untuk membaca pasar rokok kretek. c) Orang Cina dalam mengadakan hubungan kerja berprinsip pada rasa saling percaya. d) Orang Cina lebih terikat pada usaha sebagai cara hidupnya. e) Orang Cina punya kekuatan modal yang besar. f) Orang Cina lebih suka menerapkan sistem usaha kooperatif daripada sistem kekeluargaan agar mencegah perbuatan harta kelak nantinya. g) Orang Cina lebih menguasai teknik yang lebih maju dalam industri rokok kretek Kudus (Lance Castle, 1982 : 143-144). Dengan berbagai sistem pabrik modern mereka berhasil mengembangkan industri rokok kretek Kudus, hingga mampu bersaing dengan industri rokok kretek daerah lain. Djarum yang berdiri 1950 oleh Oei Wie Gwan menjadi pabrik rokok kretek Kudus terbesar dan terkemuka di Indonesia, bahkan di mancanegara. Pabrik rokok Djarum milik pengusaha pabrik kretek Tionghoa ini berkembang pesat sampai dengan pewarisan industri ini oleh generasi kedua tahun 1964, dengan mengembangkan kombinasi kerja padat karya yang mempekerjakan ratusan tenaga kerja dan padat modal yang dioperasikan tenaga profesional. Dalam pengolahan limbah, Djarum berhasil membangun saluran limbah ramah lingkungan. Dalam upaya mengembangkan usaha, peningkatan kesejahteraan pekerja, dan peningkatan kinerja, Djarum merekrut tenaga profesional dan terus melakukan pelatihan rutin pada mereka. Djarum juga menyediakan jasa transportasi untuk sarana antar jemput buruh. Penetapan standar upah bagi pekerja disesuaikan dengan kemampuan dan kepentingan seluruh anggota. Djarum juga
110
memberikan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan buruhnya. Sukses sistem pabrik kretek milik Tionghoa dengan kemantapan sistem perpabrikan membawa pengusaha pabrik rokok kretek Tionghoa berada kekayaan tertinggi warga Kudus (Arin Astuti : 2003, 42). Keberhasilan sistem managerial modern industri rokok kretek Kudus dapat dikatakan bahwa pribumi banyak mendukung keberhasilan industri rokok kretek Kudus milik Tionghoa. Semua jabatan dari buruh, pemegang pembukuan, mandor dipegang oleh orang-orang pribumi. Orang Cina sebagai golongan minoritas di tanah air ini, dalam penguasaan industrinya masih sangat bergantung pada kemurahan hati pelindung pribumi yang memegang kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan. Keberhasilan pengusaha Tionghoa disatu sisi membuka peluang bagi rakyat pribumi dan membawa kemajuan bagi industri rokok kretek di Kudus. Namun, disisi lain di bidang ekonomi pengusaha Tionghoa sedikit menutup pertumbuhan yang lebih baik bagi industri milik golongan menengah milik pribumi di Kudus. Industri rokok kretek kecil milik pengusaha pribumi pada akhirnya harus puas melayani konsumsi suatu daerah atau menyokong usaha Tionghoa dalam menyuplai produk, sedangkan Tionghoa berhasil memperoleh keuntungan yang lebih dominan ketimbang pengusaha pribumi. Kelemahan pengusaha rokok kretek pribumi adalah terlalu menjaga kerahasiaan perusahaan, rahasia pencampuran tembakau baik itu kepada keluarga, atau kepada siapapun. Akibatnya, ketika pengusaha yang menguasai rahasia perusahaan tersebut telah meninggal, maka habis pulalah perusahaan rokok kretek yang dikelolanya. Tidak ada generasi penerus yang diwarisi keahlian mengelola industri perusahaan secara utuh. Generasi penerus tidak cakap, mengakibatkan ambruknya perusahaan rokok kretek Kudus milik pribumi
G. Perubahan Sosial Akibat Industri Rokok Kretek Kudus
Kudus sebagai sentral industri membentuk ekonomi kapitalis. Daerah di sekitar Kudus penyedia buruh tenaga kerja menjadi daerah semi peri-peri. Begitu
111
pula dengan daerah penghasil bahan baku rokok kretek Kudus menjadi daerah periferal atau daerah peri-peri. Kudus menjadi daerah agen setelah penemuan industri rokok kretek Kudus. Perusahaan rokok kretek berkembang menjadi perusahaan besar, banyak sekali menyerap tenaga kerja. Pencarian buruh tenaga kerja pabrik rokok kretek Kudus, biasanya menyerap tenaga petani dari daerah pedesaan. Petani-petani meninggalkan mata pencahariannya, karena pertimbangan resiko bekerja di perusahaan lebih kecil ketimbang resiko yang akan diterima bila menjadi petani. Penghasilan dari bertani (petani penggarap) sangat kecil, dibanding upah yang akan diterima bila bekerja di perusahaan besar. Di samping itu fasilitas kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial disediakan perusahaan bila mereka bekerja di perusahaan tersebut. Apalagi lahan peetanian makin sempit akibat jumlah penduduk yang terus meningkat. Perusahaan rokok kretek menyerap banyak buruh yang berasal dari pedesaan. Perusahaan rokok kretek meluaskan perusahaannya ke wilayah pelosok pedesaan, alasannya perusahaan rokok kretek Kudus mencari tenaga kerja yang murah dan produktif, dan memperoleh lokasi tanah untuk didirikan perusahaan baru yang harga tanahnya masih murah. Hal ini mengakibatkan menyempitnya lahan persawahan di pedesaan. Tempat di mana perusahaan rokok kretek meluaskan usahanya biasanya mendapat kompensasi khusus dari perusahaan rokok kretek kepada masyarakat sekitar ataupun pemerintahan daerah tersebut. Sektor pertanian tembakau di beberapa wilayah mendapat pengaruh besar dengan berkembangnya perusahaan rokok kretek Kudus. Rakyat di daerah pertanian tembakau Kedu, Magelang, Temanggung, Madura, Parakan, Weleri, dan Bojonegoro justru berkembang dengan pesat. Hal ini dikarenakan, petani tembakau hidupnya sangat tergantung dari perusahaan rokok kretek Kudus. Alasan petani menanam tanaman tembakau di daerah tersebut karena : (1) tanaman tembakau panennya lebih sering, (2) daerah tersebut beriklim dingin dan mendapat sedikit sinar matahari yang sangat cocok untuk tanaman tembakau, (3) harga tembakau jauh lebih mahal dibanding dengan tanaman jenis lain. Berkembangnya perusahaan rokok kretek di Kudus mengakibatkan perbaikan
112
nasib petani tembakau. Petani-petani tembakau dari daerah-derah tersebut dapat menunaikan ibadah haji dan menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi (wawancara Bapak Dhani PPRK : 13 September 2009). Sturktur masyarakat di daerah pedesaan meningkat, baik itu di wilayah sekitar Kudus maupun di luar Kudus. Daerah-daerah penghasil tembakau di luar kota Kudus dapat membangun fasilitas pendukung usaha dan kehidupan seharihari mereka. Dari hasil penjualan tembakau, swadana petani tembakau berhasil membangun fasilitas, seperti : jalan raya, irigasi, masjid dan sarana pendidikan. Permintaan tembakau yang kian pesat dari perusahaan rokok kretek, mendukung perubahan
daerah-daerah
tersebut
terutama
pembangunan
jalan
yang
menghubungkan desa-desa penghasil tembakau dengan pusat kota. Perusahaan rokok kretek Kudus beserta sebagian petani tembakau di daerah-daerah tersebut berusaha membangun infrastruktur transportasi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengangkutan hasil tembakau dari pedesaan ke agen-agen tembakau di pusat kota. Sarana jalan ini juga digunakan masyarakat untuk kelancaran arus perekonomian sehari-hari mereka. Ekonomi daerahnya maju, maka muncul pedagang yang menawarkan barang penunjang usaha pertanian, barang elektronik, bahan bangunan dan sebagainya. Adanya listrik masuk desa, karena perusahaan rokok kretek Kudus banyak yang mendirikan gudang penyimpanan tembakau di wilayah pedesaan tersebut. Perusahaan atau daerah luar negeri yang menyuplai cengkeh dan sos ke perusahaan rokok kretek di Kudus, dapat melebarkan sayap usahanya sampai di Indonesia yang bertempat di ibu kota negara. Kesadaran masyarakat juga meningkat akan pentingnya pendidikan. Kebiasaan menikahkan anak pada usia muda mulai berkurang, sarana kesehatan dan fasilitas keagamaan semakin diperhatikan dan ditingkatkan. Perluasan perusahaan di wilayah pedesaan sekitar Kudus disebut dengan brak. Brak adalah gudang tempat produksi atau gudang yang berfungsi sebagai pencampur tembakau. Lokasi pembangunan brak mengambil daerah tanah pertanian subur. Daerah subur banyak dihuni penduduk, maka akan mudah mencari tenaga kerja. Untuk mendukung produktivitas brak biasanya akan dibangun fasilitas
113
penerangan dan transportasi, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan (wawancara Bapak Afif Mulari : 25 Oktober 2009). Pemerintah juga memperoleh keuntungan besar dengan adanya perusahaan rokok kretek. Adanya pajak cukai, menjadikan pemasukan besar bagi pemerintah pusat. Pembangunan daerah juga tercukupi, pemasukan terhadap pemerintah daerah juga ada. Partisipasi pengusaha rokok kretek dapat dilihat dari sumbangansumbangan di lingkungan sekitar lokasi tempat perusahaan berada. Lampu jalan disekitar kota Kudus, penghijauan kota Kudus, pembangunan infrastruktur modern, bantuan pendidikan, bantuan terhadap olahraga, pagelaran musik, dan sebagainya merupakan andil besar swasta termasuk pabrik-pabrik rokok kretek Kudus dalam memajukan kualitas bangsa.
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang Perkembangan Industri Rokok Kretek Kudus 1908-1964, dapat diambil kesimpulan : 1. Pembentukan industri rokok kretek Kudus diawali dengan penemuan rokok kretek Kudus oleh Haji Jamahri dan Mbok Nasilah sekitar tahun 1880-an. Industri rokok kretek Kudus berdiri sejak 1908. Nitisemito, pioneer pengusaha pribumi yang membangun industri rokok kretek Kudus dengan mendirikan pabrik rokok kretek Bal Tiga. Usaha rokok kretek yang dikelola Nitisemito berkembang pesat. Tahun 1914, usaha rokok kretek Nitisemito telah mampu mendirikan sebuah pabrik rokok kretek besar di desa Jati Kudus. Semangat dagang dan keberhasilan Nitisemito mengelola perusahaan rokok kretek Bal Tiga menarik warga pribumi untuk ikut beradu nasib dalam usaha rokok kretek. 2. Kudus bukan merupakan wilayah penghasil bahan baku rokok kretek, tapi mampu untuk menghasilkan produksi rokok kretek. Tembakau menjadi barang dagangan industri rokok kretek Kudus karena diperkenalkan oleh Sunan Kedu. Bahan baku produksi rokok kretek Kudus, terdiri dari : (1) tembakau didatangkan dari wilayah : Kedu, Weleri, Bojonegoro, Mojokerto, Madura, Temanggung; (2) cengkeh diimpor dari Zanzibar, Madagaskar; (3) Klobot didatangkan dari wilayah Undaan (Kudus) dan Purwodadi (Grobogan); (4) saus didatangkan dari Amerika dan Inggris yang memberikan aroma khas masing-masing produksi rokok kretek Kudus. Proses produksi industri rokok kretek Kudus tahun 1900-an, masih sangat sederhana. Industri rokok kretek Kudus menerapkan sistem abon. Proses pengerjaan rokok klobot masih sangat sederhana, campuran cengkeh dan tembakau dilinting dalam daun jagung kering (klobot). Tahun 1930-an sistem abon dihapuskan dan diganti dengan sistem pabrik untuk menghemat produksi
114
115
dan memudahkan pengawasan. Proses pengerjaan rokok kretek berkembang menggunakan alat produksi tradisional. 3. Perkembangan industri rokok kretek Kudus didukung oleh sistem pemasaran yang modern. Nitisemito dan menantunya M. Karmaen telah berhasil membuat inovasi sistem pemasaran dengan promosi, iklan, pendirian stand dalam setiap event di berbagai daerah, memasarkan rokok kretek lewat seni dan pemberian hadiah. Industri rokok kretek Kudus menerapkan sistem agen dalam mendistribusikan produksi rokok kretek ke berbagai wilayah. Agen mendistribusikan rokok kretek kepada pedagang besar. Pedagang besar menjual rokok kretek kepada pedagang asongan, pedagang kelontong, warung, sampai kedai nasi. Kenikmatan rokok kretek Kudus tersebar luas ke berbagai wilayah, permintaanpun berdatangan dari berbagai wilayah di seluruh pelosok negeri. 4. Keberhasilan pengusaha pabrik kretek pribumi menarik etnis Tionghoa untuk beradu nasib pada industri rokok kretek. Pada tahun 1918, terjadi persaingan pengusaha pabrik kretek pribumi dan pengusaha pabrik kretek Tionghoa, hingga menjadi salah satu faktor penting penyebab munculnya kerusuhan di Kudus pada tanggal 31 Oktober 1918. Perubahan kepemilikan industri rokok kretek Kudus pribumi, bermula ambruknya pasaran Bal Tiga yang mendapat saingan rokok Minak Djinggo milik Tionghoa. Kho Djie Siong mendirikan pabrik rokok kretek milik Tionghoa yang pertama kali pada tahun 1930, yang diberi nama Minak Djinggo. Keberhasilan industri rokok kretek milik Tionghoa, melemahkan posisi pengusaha pribumi dalam industri rokok kretek Kudus. Industri rokok kretek Kudus memberikan pengaruh besar tehadap perubahan sosial dan ekonomi masyarakat yang mendukung industri rokok kretek Kudus.
116
B. Implikasi
1. Teoritis Secara teoritis implikasi dari hasil penelitian tentang Perkembangan Industri Rokok Kretek Kudus 1908-1964 adalah penemuan rokok kretek Kudus mendukung berdirinya industri rokok kretek Kudus. Terbentuknya industri rokok kretek Kudus, mengakibatkan terjadi pergeseran dari masyarakat agraris ke masyarakat modern. Pergeseran dari masyarakat petani ke masyarakat industri di daerah Kudus dan di sekitar Kudus terutama para petani penghasil bahan baku rokok kretek di luar wilayah Kudus. Adanya industri mengakibatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat. Pembangunan di wilayah kota Kudus dan di sekitar penghasil bahan baku rokok kretek mengalami kemajuan pesat. Pemerintah mendapatkan keuntungan dengan pemungutan pajak cukai rokok, pajak sebagai income terbesar pemerintah pusat dalam pembangunan bangsa salah satunya berasal dari industri rokok kretek Kudus. Selain itu, industri rokok kretek Kudus mendukung berkembangnya kemajuan di berbagai bidang dengan peran swasta seperti : olahraga, seni, teknik, otomotif, pendidikan, dan sebagainya. Perkembangan industri rokok kretek Kudus oleh pengusaha pribumi maupun pengusaha Tionghoa telah menunjukkan pengaruh positif bagi kemajuan masyarakat.
2. Praktis Implikasi praktis dari hasil penelitian tentang “Perkembangan Industri Rokok Kretek Kudus 1908-1964” adalah adanya kemajuan kehidupan ekonomi. Adanya industri rokok kretek Kudus memberikan nilai positif bagi pengusaha, pemerintah, dan rakyat. Secara tidak langsung kemajuan kehidupan ekonomi berdampak luas bagi semua aspek kehidupan masyarakat. Implikasi praktis dari hasil penelitian ini terhadap pendidikan adalah memperkaya khasanah sejarah nasional yang bidang kajiannya multidimensional. Sejarah lokal dari Kudus ini dapat memberikan pengetahuan asal mula dan sejarah
117
rokok kretek yang selama ini telah membudaya pada masyarakat Indonesia dan mengambil manfaat positif dari fakta sejarah rokok kretek Kudus.
3. Metodologis Sesuai dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Pemilihan metode historis didasarkan pada pokok-pokok permasalahan yang dikaji yaitu peristiwa masa lalu untuk direkonstruksikan menjadi cerita sejarah berdasarkan fakta sejarah yang didapatkan. Pengumpulan bahan menggunakan arsip, dokumen/buku perpus, dan wawancara. Kesulitan yang dihadapi dalam pengumpulan data adalah data yang tersebar di beberapa kota mengakibatkan ekstra tenaga khusus untuk mencari di berbagai kota. Beberapa sumber berbahasa Belanda dan Inggris mengakibatkan penulis harus menelaah data dengan seksama agar tidak terjadi penyelewengan fakta.
C. Saran
1. Pemerintah Pemerintah sebagai pihak penguasa yang ikut andil dalam pengaturan usaha terutama industri rokok kretek Kudus hendaknya bersikap bijaksana. Pemerintah sebagai penerima income terbesar hasil pembayaran cukai rokok diharapkan dapat bertindak adil dalam pembagian hasil dengan daerah lokal industri rokok kretek Kudus. Kerjasama yang baik antara pemerintah daerah Kabupaten Kudus, pengusaha rokok kretek Kudus, masyarakat Kudus dan pemerintah
pusat
akan
mewujudkan
pembangunan
daerah
Kudus
dan
pembangunan bangsa yang seutuhnya. Ribuan buruh, puluhan petani tembakau dan cengkeh menggantungkan hidupnya pada industri rokok kretek Kudus. Keberlangsungan dan kemajuan industri rokok kretek Kudus bergantung pada kemantapan pengelolaan seluruh aspek pendukung industri rokok kretek Kudus yang didukung kebijakan pemerintah. Kerjasama antara pemerintah dan
118
pengusaha yang baik, akan menjamin kesejahteraan masyarakat dan kemajuan perekonomian bangsa.
2. Pengusaha Pengusaha sebagai produsen rokok kretek yang memproduksi dan memperoleh banyak keuntungan dari usaha merokok hendaknya memperhatikan para pendukung berlangsung lancarnya industri rokok kretek Kudus. Tidak hanya pengaruh negatif saja yang diambil dari barang yang diproduksi oleh mereka tapi pengaruh positif bagi masyarakat harus terus mereka ciptakan untuk memajukan sumber daya manusia Indonesia yang handal. Kesejahteraan buruh, para agen rokok, para konsumen, masyarakat sekitar tempat produksi harus diperhatikan dengan baik. Dukungan swasta terhadap kemajuan bangsa harus terus ditingkatkan, demi mencapai masyarakat Indonesia yang berkompetensi global. Lingkungan juga membutuhkan perhatian pengusaha, di mana industri yang baik adalah industri yang dapat memelihara kelestarian lingkungannya.
3. Masyarakat Masyarakat
sebagai
konsumen
rokok
kretek
hendaknya
mampu
mengambil manfaat sebaik mungkin dari hasil ciptaan rokok kretek tersebut. Budaya merokok boleh saja, asal kita tahu kekuatan diri sejauh mana diri kita mampu menghisap asap rokok tersebut dan jangan sampai dari kegiatan merokok tersebut menimbulkan kerugian besar pada diri sendiri atau bahkan kepada orang lain. Budaya merokok masyarakat Indonesia sudah merambah berbagai golongan, hendaknya kontrol terhadap generasi penerus bangsa diperketat. Kesadaran terhadap konsumsi rokok yang berbahaya bagi kesehatan hendaknya menjadi perhatian bagi masyarakat, demi terciptanya generasi baru Indonesia yang lebih baik.
119
DAFTAR PUSTAKA
Amen Budiman dan Onghokham. 1987. Rokok Kretek Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara. Kudus : PT Djarum Arin Astuti. 2003. Eksistensi Industri Rokok Kretek PT Djarum Kudus dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Sosial Ekonomi Penduduk Desa Gribig, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Uns Aritasius Sugiya. 2001. Profil Daerah Kabupaten dan Kota Jilid I. Kompas Astrid Susanto. 1999. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung : Putra A Bardin Bonneff, Marcel. 1983. Islam di Jawa dilihat dari Kudus. Jakarta Castle, Lance. 1982. Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa : Industri Rokok Kudus. Jakarta : Sinar Harapan Charles A Coppel. 1994. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Dudung Abdurrahman. 1999. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana Ilmu Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia. Jakarta : Erlangga Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jilid III. 1998 Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta : UI Press Hanuzs, Mark. 2000. Kretek The Culture and Heritage of Indonesia Clove Cigarretes. Jakarta : Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd Helius Sjamsudin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta : Pakarti ______________. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak Hendriyani M.M. 2002. Akulturasi Kebudayaan Jawa dan Tionghoa. Uns Jamuin Ma’arif. 2001. Memupus Silang Sengkarut Relasi Jawa-Tionghoa : Panduan Advokasi Untuk Membangun Rekonsiliasi. Surakarta : Ciscore Koentjaraningrat. 1983. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta : Gramedia Kotler, Phillip. 1994. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Erlangga Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogyakarta Lawrence R Jauch & William F G. 1997. Manajemen Strategi dan Kebijaksanaan Perusahaan. Jakarta : Gelora Aksara Pratama Litbanglahtasibda Kabupaten Kudus. 2004. Indentifikasi Produk Andalan Unggulan Kabupaten Kudus. Kudus : Pemkab Kudus Lukas Setiatmaja. 1994. Manajemen Keuangan. Jakarta : Andi
120
M Iqbal Hasan. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasi. Jakarta : GI Malayu P Hasibuan. 1996. Organisasi dan Motivasi Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta : Bumi Aksara Mardalis. 2002. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara Moekijat. 1989. Dasar-dasar adminidtrasi dan Manajemen Perusahaan. Bandung : Mandar Maju Mubyarto. 1987. Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan. Yogyakarta : BPFE Parada Harahap. 1952. Indonesia Sekarang. Jakarta : Bulan Bintang Polak, Mayor. 1966. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. Jakarta : Ikhtiar R Bintarto. 1993. Interaksi Desa Kota. Jakarta : Ghalia Indonesia Ried, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Islam. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia Sarwoko & Abdul Hakim. 1989. Manajemen Keuangan. Yogyakarta : BPFE Schermerhorn. 1987. Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta : Rajawali Press Scoot, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani. Jakarta : LP3ES Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta : Bathara Selo Soemardjan. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Yogyakarta : UGM Press Soerjono Soekanto. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada _______________. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Sofia. 1992. Pengaruh Perusahaan Rokok Kretek Djarum Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat di Kudus Tahun 1960-1985. Semarang : UNDIP Solichin Salam. 1983. Kudus dan Sejarah Rokok Kretek. Kudus : PPRK _____________. 1977. Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam. Kudus : Menara _____________. 1988. Sunan Kudus-Menara Kudus-Kudus. Kudus : Menara R Suharso. 1994. Masyarakat Kudus Kulon dalam Pembangunan Ekonomi. Jakarta : IKIP Jakarta Weiner, Myron. 1989. Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Yogyakarta : UGM Press Yahya Muhaimin. 1990. Bisnis dan Politik. Jakarta : LP3ES
121
T Hani Handoko. 2003. Manajemen. Yogyakarta : UGM Terry, George R. 1986. Asas-asas Menejemen. Bandung : Alumni Majalah : Suharyanto BP. “Museum Kretek Ing Kudus”. Djoko Lodang. No.1009. Januari. 1991. hal : 36 Arsip : 1. Arsip Propinsi Jawa Tengah : Surat ijin berusaha dari pemerintah Jepang. Gunseikan Zamubutyo. No. 10421/F di Jakarta 19 Oktober 2603 Balasan keputusan Gunseikan Zamubutyo. No. TAI/16/19 di Jakarta 19 Oktober 2603 Surat ijin berusaha dari pemerintah Belanda. No. 619/TA di Jakrta 13 Mei 2603 Surat Pemberitahuan tentang tjap dan boengkoes etjeran rokok kretek No 3/drie/26/149 di Kudus 1949 Surat laporan adanya pendapatan uang rokok Bulan Oktober 1934 di Kudus oleh M Karmaen Artikel M Nitisemito yanmg disarikan dari buku Der Kretek Koening 2. Arsip PNRI : Artikel tentang Peroesahaan Rokok Kretek di Koedoes Rapport Van der Reijden. 1935. Betreffende Eene Gehouden Enquete Naar De Arbeids to Estanden in de Industrie Van Stroojes en inheemsche Sigaretten of Java. Bandung : Dukkerij Stragevangenis Soekamiskin 3. Arsip PPRK : Artikel tentang Asal-Usul Tembakau Artikel tentang Almarhum Nitisemito Artikel tentang Asal Mula Rokok Internet : http://bluedayax.multiply.com/journal/item/177 : 13/3/2009 www.demirtas.com : 11/3/09 www.wikipedia/rokok_kretek : 11/3/2009 http://roykesiahainenia.i8.com/materi_sospol/materi_5.html : 14/7/2009.
122
http://www.geocities.com : 14/7/2009 http://roykesiahainenia.18.com/materi_sospol/materi-5.html : 14/7/2009
123
Daftar Informan 1. Nama Pekerjaan Usia Alamat Informasi Tanggal 2. Nama
: Bapak Dani : Humas PPRK : 35 tahun : Demaan, Kudus : Sejarah dan perkembangan industri rokok kretek Kudus : 22 Agustus 2009 : Bapak Afif Masluri
Pekerjaan
: Pemerhati/Sejarawan Industri Rokok Kretek Kudus
Usia
: 50 tahun
Alamat
: Kedung paso, Kudus
Informasi Tanggal 3. Nama
: Sejarah industri rokok kretek Kudus dari pemilikan pribumi sampai pemilikan Tionghoa : 25 Oktober 2009 : Bapak Nawang
Pekerjaan
: Kepala Museum Kretek Kudus
Usia
: 49 tahun
Alamat
: Pedawang, Kudus
Informasi
: Manajemen pengusaha pribumi dan pengusaha Tionghoa industri rokok kretek Kudus
Tanggal
: 20 Agustus 2009
4. Nama
: Bapak Masturi
Pekerjaan
: Juru Kunci Makam Sunan Kedu
Usia
: 73 tahun
Alamat
: Gribig, Kudus
Informasi
: Sejarah Sunan Kedu memperkenalkan tembakau ke Kudus sebagai bahan baku rokok kretek Kudus
Tanggal
: 26 Oktober 2009
124
5. Nama Pekerjaan
: Bapak Hardi Cahyana : Ketua Pengurus Makam Sunan Kedu dan Pubilc Affairs Officer PT Djarum Kudus
Usia
: 35 tahun
Alamat
: Gribig, Kudus
Infromasi
: Riwayat hidup Sunan Kedu dan perjalanan hidup Sunan Kedu yang dikenal jago bertani tembakau
Tanggal
: 12 Desember 2009
125
126
Letak Geografis Dati II Kudus No
Kondisi/Keadaan (1) Letak
Uraian (2) 1 Kabupaten Dati II Kudus terletak diantara 3,50’ dan 4,20’BT serta 6,30’ dan 7,00’ LS (disebelah Selatan Gunung Muria, disuatu dataran rendah bukan pantai) 2 Batas Sebelah Utara : Kabupaten Dati II Jepara dan Kabupaten Dati II Pati Sebelah Timur : Kabupaten Dati II Pati Sebelah Selatan : Kabupaten Dati II Grobogan dan Kabupaten Dati II Pati Sebalah Barat : Kabupaten Dati II Demak dan Kabupaten Dati II Jepara 3 Tinggi Sekitar 55 m dari permukaan air laut 4 Iklim Tropis dan bertemperatur sedang 5 Hujan Relatif rendah Rata-rata di awah 3000 mm/th Per hari hujan rata-rata di bawah 150mm/th Sumber Data : KSS.Kabupaten Dati II Kudus Jarak 1.) Jarak Terjauh daerah Kudus 1.1 Dari Barat ke Timur : 22,50 Km 1.2 Dari Utara ke Selatan : 39,00 Km 2.) Jarak dari Kudus 2.1 Ke Kota-Kota Jakarta : 536 Km Bandung : 418 Km Cirebon : 288 Km Semarang : 51 Km Surakarta : 153 Km Purwokerto : 262 Km Yogyakarta : 170 Km Surabaya : 261 Km 2.2 Ke Ibu Kota Kecamatan Kaliwungu : 6 Km Kota : 2 Km Jati : 4 Km Undaan : 13 Km Mejobo : 7 Km Jekulo : 8 Km Bae : 5 Km Gebog : 12 Km
127
Dawe
: 9 Km
3.) Jarak dari Pusat Pemerintah Dati II Kudus ke Obyek Wisata : 3.1 Peninggalan Sejarah Menara Kudus : 1,5 Km Makam Sunan Muria : 18 Km 3.2 Peristirahatan Colo : 18 Km Sumber : KSS Kabupaten Dati II Kudus
Luas Daerah Kabupaten Dati II Kudus Menurut Kecamatan No
Kecamatan (1)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kaliwungu Kecamatan Kota Jati Undaan Mejobo Jekulo Bae Gebog Dawe Jumlah Sumber : KSS Dati II Kudus
Luas Wilayah (Km2) (2) 32,66 10,34 26,16 71,01 36,01 84,91 22,67 57,62 80,83 422,21
Prosentase Luas Kecamatan (%) (3) 7,73 2,45 6,20 16,82 8,53 20,11 5,37 13,65 19,14 100,00
128
Grafik Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Kudus 1905-1964
Jumlah Penduduk (ribu)
450,000
392,752 395,202 373,598 383,706
400,000 350,000
309,273
410,203
329,696
278,294
300,000 250,000 200,000 150,000 100,000
90,000
50,000 0 1905
1915
1930
1953
1958
1961
1962
1963
1964
(Tahun)
(Sumber : BPS Kabupaten Kudus tahun 1961-1964 dan Solichin Salam, 1983 : 8 dari tahun 1905-1958)
(Jumlah Perusahaan besar /kecil)
Grafik Peningkatan Jumlah Perusahaan Industri Rokok Kretek Kudus (1914-1934)
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
165
175 156
70 35
1914-1924
1930
1932 (Tahun)
(Sumber : Solichin Salam, 1983 : 7)
1933
1934
129
Daerah Penghasil Tembakau Rakyat (seribu hektar) Daerah Priangan Semua Jawa Barat Pekalongan Banyumas Kedu Semarang Jepara-Rembang Solo Yogyakarta Semua Jawa Tengah Madiun Kediri Bojonegoro Surabaya Malang Besuki Madura Seluruh Jawa Timur Seluruhnya Jawa dan Madura (Sumber : Lance Castle, 1982 : 166)
1939 6,1 (8,0) 3,8 8,4 31,2 7,0 2,1 5,0 5,8 (63,8) 7,2 7,3 20,1 1,3 5,6 12,3 12,8 (67,5) 139,2
1958 12,5 (15,7) 3,3 6,6 24,7 6,8 2,5 10,9 4,2 (59,0) 4,4 7,9 28,9 8,2 4,3 16,0 6,0 (75,6) 150,2
Impor Cengkeh dan Produksi Kretek 1921-1940
Tahun
Impor Cengkeh
1921 1922 1923 1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930 1931
(Seribu ton metrik) 0,48 0,60 0,57 0,82 1,33 1,95 3,03 3,11 2,27 3,08 5,19
Produksi Kretek Sebenarnya (Juta)
Perkiraan Produksi Kretek Tahunan (Juta) 1.145
1.929
5,724 7.111 7.271 6.949
7.110
130
1932 2,07 1933 3,56 1934 5,05 1935 4,36 1936 5,43 1937 4,42 1938 5,70 1939 8,66 1940 7,06 (Sumber : Lance Castle, 1982 : 168)
6.082 8.428 11.468
8.677
10.049
15.137
Cengkeh Impor dan Produksi ; Produksi Kretek, Tahun 1949-1963 Tahun
Impor
Cengkeh Produksi
Impor dan Produksi
Seribu ton metrik 1949 7,7 ? 8,7 1950 11,0 ? 12,0 1951 14,4 1,2 15,6 1952 6,2 6,1 12,3 1953 3,3 3,2 6,5 1954 7,7 6,5 14,2 1955 6,8 2,5 9,3 1956 12,7 4,0 16,7 1957 7,2 5,1 12,3 1958 8,3 3,8 12,2 1959 6,3 5,6 11,9 1960 6,9 7,3 14,1 1961 9,0 7,4 16,4 1962 5,0 7,6 12,6 1963 4,0 (Sumber : Lance Castle, 1982 : 171)
Kretek Perkiraan produksi tahunan Seribu rokok 16.102
Produksi sebenarnya
14,637 17.356 18.293 21.218 21.356 20,222 19.300 20,711
Konsumsi Tembakau untuk Firma-firma Kretek Daerah Kudus, 1963 Firma Besar Cina (25) Firma Besar Pribumi (6) Arab dan Gabungan Total Firma Besar Firma Kecil Cina, Diperkirakan (25) Firma Kecil Pribumi, Diperkirakan
Persen 45 26 6 (77) 8 15
131
(165) 100 41 59
Total Firma Pribumi Total Firma Nonpribumi dan Gabungan (Sumber : Lance Castle, 1982 : 181)
Produksi Rokok Kretek, 1929 – 1934 1929 1930 Karesidenan 3.675 3.495 JeparaRembang (terutama Kudus) Karesidenan 2.100 2.310 Kediri (Lembah Brantas) Seluruhnya 7.111 7.271 Jawa (Sumber : Lance Castle, 1982 : 168)
1931 2.875
1932 2.165
1933 3.500
1934 5.300
2.560
2.500
2.730
3.715
6.949
6.082
8.482
11.468
Produksi Kretek dari Karisidenan-karisidenan, 1934 -1961 (juta) Karesidenan 1934 Jepara-Rembang 5.300 (termasuk Kudus) Kediri 3.715 Semarang 510 Surabaya 395 Kedu 400 Pekalongan 317 Yogyakarta dan Solo 310 Madiun 208 Bojonegoro 125 Malang 105 Sumatra Timur ? Bali dan Lombok ? Total Nasional 11.468 (Sumber : Lance Castle, 1982 : 170)
1961 5.755 3.148 2.116 1.427 306 277 893 1.340 204 3.020 630 979 20.222
132
Produsen-produsen Kretek di Daerah Kudus, 1963 Merek
Golongan (Etnis)
Sedan (Noyorono) Cina Jambu Pribumi Srihesti Pribumi Gentong Cina Jarum Cina Pompa Cina Anggur Pribumi Pak Tani Cina SAB Arab Sukun Pribumi Supiah Gabungan Larasati Cina Tapel Kuda Cina Delima Pribumi Kale Pribumi Trisno Cina Dami Cina Djoharmanik Cina Tapen Cina Kakitiga Cina (Sumber : Lance Castle, 1982 : 180)
Jumlah Buruh Desember 1963 1.653 1.755 1.021 815 1.230 700 622 376 640 1.432 296 279 351 315 311 569 290 300 192 362
Tembakau yang dipergunakan (ton metrik) 877 592 480 438 398 387 344 262 233 184 184 152 144 139 119 117 114 112 106 105
133
134
135
136
137
138
139
140
Peralatan Tradisional Industri Rokok Kretek Kudus
141
142
(Sumber : Foto-foto Museum Kretek Kudus)
143
Makam Sunan Kedu sebagai tokoh yang memperkenalkan tembakau di Kudus
(Sumber Dokumentasi Pribadi Penulis)
144
Bahan Baku Industri Rokok Kretek Kudus 1. Macam-macam Tembakau
2. Macam-macam Cengkeh
145
3. Klobot
(Sumber : Foto-foto Museum Kretek Kudus)
146
147
148
149
Proses Pengerjaan Rokok Klobot secara Tradisional
(Sumber : Foto-foto Museum Kretek Kudus)
150
Sistem Promosi Pemasaran Tradisional Industri Rokok Kretek Kudus
Sistem Pemasaran melalui agen
sistem pemasaran melalui pameran
Sistem promosi melalui drama
sistem promosi melalui stand pameran
Sistem promosi melalui pesawat Fokker untuk wilayah Bandung dan Jakarta (Sumber : Foto-foto Museum Kretek Kudus)
151
152
153
Barang-barang Hadiah Promosi Industri Rokok Kretek Kudus
(Sumber : Foto-foto Museum Kretek Kudus)
154
Bentuk-bentuk Produksi Rokok Klobot dan Rokok Kretek Industri Rokok di Kudus
(Sumber : Foto-foto Museum Kretek Kudus)
155
Pabrik-Pabrik Rokok Kretek Kudus
156
(Sumber : Foto Museum Kretek Kudus dan Dokumentasi Pribadi Penulis)
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172