JURNAL NOMOSLECA Volume 2, Nomor 1, April 2016
MENGUKUR OBJEKTIVITAS LIPUTAN MEDIA DENGAN RUMUS COEFFICIENT OF IMBALANCE (Studi Kasus Hasil Penelitian Metode Analisis Isi Kuantitatif Pemberitaan Kampanye Pemilu 1999 di Harian Jawa Pos dan Republika Terhadap Partai Golkar dan PDI-P) Rochmad Effendy Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Merdeka Malang email:
[email protected]
Abstract General election which aims at selecting the best national leadership for the next five year office term is people‟s democracy party event which requires the nation attention. Mass media plays an important role to have the event successful by covering general election campaign, along with its rule and procedures, the political party program statements, the prospective candidate track record, and general election irregularities in independent, neutral and impartial manner. By doing so, media functions as voter education to enable them to choose the candidate rationally based on unbiased and balanced media coverage. In addition, media have to control and monitor general election procedures violation committed by each general election stakeholders. If it is the case, the general election will run freely and fairly. To achieve this, media should cover objectively by means separating his subjective opinion from the fact being covered. This type of media coverage, among other things, will undoubtedly bring about free and fair general election. The paper attempts to describe the relation between media and politics, as well as the objectivity of East-Java Province based Jawa Pos newspapers sand Muslim-oriented Republika daily during general election 1999 campaign period. Besides, it tries to measure their coverage objectivity employing the Coefficient of Imbalance formulae especially with regard to the parties namely the presumed pro status quo Golkar party and the reformist PDI-P party. The paper puts its emphasis on the discussing the objectivity method for media coverage using quantitative content analysis. The papers concludes by presenting an example of content analysis result using the formulae on the 1999 general election media coverage which found that each newspaper was biased to each the political party with Jawa Pos favored PDI-P and Republika supported Golkar. Keyword :Objectivity, Content Analysis, Coefficient of Imbalance, Inferences, judgment. Abstrak Pemilihan Umum yang bertujuan untuk menyeleksi kelayakan calon wakil rakyat dan pemimpin nasional merupakan perhelatan yang banyak menyita perhatian masyarakat dalam sebuah negara demokratis. Liputan pers yang independen, netral, tidak berpihak tentang kegiatan pemilu terutama tentang identitas dan rekam jejak calon pemimpin mutlak diperlukan agar masyarakat dapat memilih secara cerdas calon pemimpin mereka. Pers yang mampu menjalankan fungsi pendidikan politik dan kontrol sosial pers dalam kegiatan pemilu, makanya,akan menjadi jaminan utama terhadap penyelenggaraan prosesi pemilu yang bebas, jujur dan adil. Untuk itu, pemberitaan pers yang objektif memainkan peran strategis untuk 211
Rochmad Effendy,Mengukur Objektivitas Liputan Media dengan RumusCoefficient of Imbalance (Studi Kasus Hasil Penelitian Metode Analisis Isi Kuantitatif PemberitaanKampanye Pemilu 1999 di Harian Jawa Pos dan RepublikaTerhadap Partai Golkar dan PDI-P)
mencapai tujuan tersebut. Artikel ini membahas objektivitas liputan pers pada pemilu 1999 yang merupakan kegiatan pesta demokrasi pertama kali yang demokratis pasca Orde Baru.Penekanan di sini, diberikan pada aspek metode mengkaji objektivitas liputan pers pada koranJawapos dan Republika pada pemilu 1999. Penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif analisis isi dengan menggunakan rumus Koefisien Keberpihakan menemukan adanya keberpihakan kedua koran kepada salah satu partai politik peserta pemilu yakni Golkar dan PDIP. Kata Kunci :Objektivitas, Analisis Isi, Coefisien Keberpihakan, Report, Inferences, Judgement
demikian, media tepat dibebani beberapa
Pendahuluan Kegiatan
pemilihan
umum
merupakan perhelatan politik.Para peserta pemilu mulai dari seperti partai politik beserta calon yang diusung, penyelenggara pemilu,
lembaga
swadaya
masyarakat
pemantau, pemerintah sebagai fasilitator berlomba-lomba untuk menyampaikan pesan politik
masing-masing
kepada
warga
pemilih.Program-program politik, peraturan tentang
penyelenggaraan
pemantuan
pemilu,
penyelenggaraan
hasil pemilu
semuanya tidak memiliki daya guna politik, kalau tidak dilaporkan dan diberitakan media.Dalam
negara
demokrasi
liberal
seperti Indonesia, media telah menjadi aktor politik
seperti
halnya
partai
politik,
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat kelompok penekan (Brian McNair : 1999; 73). Media di sini tidak hanya melaporkan peristiwa politik, tapi telah menyatu padu dengan lingkungan politik yang sedang berlangsung
(McNair:
1999:73).
Meski
tugas
dan
fungsi
keberlangsungan
untuk
dan
mengawal
terpeliharanya
pemerintahan yang demokratis. Untuk media itu, media lanjut McNair (1999: 21-22) harus dapat melaksanakan lima fungsi. Pertama, memberikan informasi seputar peristiwa yang di terjadi.Kedua, mendidik warga tentang arti dan nilai penting sebuah ‗fakta‘ yang meniscayakan wartawan untuk bekerja secara
profesional
lewat
menempatkan
objektivitas sebagai nilai utama dalam kegiatan
jurnalistik
menyediakan
mereka.Ketiga,
sebuah
keberlangsungan pembentukan
platform
diskursus opini
demi
politik
publik
dan
termasuk
mengakomodasi pendapat dan gagasan yang berbeda.Keempat, anjing
fungsi
penjaga
memberitakan
dan
pengawas
dan
(watchdog)
dengan
mengawasi
kegiatan
pemerintah dan lembaga politik.Kelima, menjadi
saluran
advokasi
bagi
penyebarluasan gagasan-gagasan politik.
212
JURNAL NOMOSLECA Volume 2, Nomor 1, April 2016
Berkaitan dengan hal tersebut, media yang
independen
yang
merupakan
perwujudan dari kebebasan pers adalah salah satu
indikator
pemilu.Untuk objektif,
sukses itu,
penyelenggaraan
liputan
netral,
media
berimbang
yang
merupakan
koefisien
keberpihakan
untuk
menakar
objektivitas pemberitaan pemilu 1999, serta paparan hasil penilitian objektivitas. Hubungan Pers Dengan Aktivitas Politik Dan Pemilu
keniscayaan. Hal ini untuk memberikan
Pers bukan hanya berfungsi sebagai
informasi yang memadai tentang regulasi
pemberi informasi tapi juga agenda setter,
pemilu, partai politik peserta, program kerja
sebagai penentu agenda bagi khalayak.Hal
beserta rekam jejak calon pemimpin kepada
ini mengasumsikan adanya hubungan positif
para pemilih. Fungsi pendidikan pemilih
antara
(voters
tentang topik tertentu/dengan perhatian yang
education)
ini
merupakan
isi
peliputan/pemberitaan
konsekwensi pers yang harus menjalankan
diberikan
fungsinya sebagai sarana pendidikan politik
tersebut. Singkat kata, apa yang dianggap
menjelang dan pada saat pemilu berlangsung.
penting oleh pers akan dianggap penting pula
Di samping itu, pers juga harus berperan
oleh khalayak. Demikian pula apa yang
sebagai kontrol sosial yang mengawasi
dianggap tidak penting akan dianggap tidak
tindakan
dalam
penting pula oleh khalayak (Jalaluddin
penyelenggaraan pemilu (Manuel Kaisiepo,
Rahmat, 1989:92). Akan tetapi informasi
1999:
pentingnya
yang terkemas dalam surat kabar baik yang
independensi pers dalam kegiatan pemilu,
berupa tulisan berita, photo dan gambar
Aliansi
(AJI)
kartun tidak tersaji dalam ruangan hampa.
bekerjasama dengan dengan IRRI Pact
Jelas ada maksud dan tujuan baik tersirat
memandang perlu untuk menyusun buku
maupun yang tersurat dibalik hal tersebut.
bertajuk
Ada praktek seleksi dan interprestasi dalam
penyimpangan
5-6).Mengingat
Jurnalis
Independen
―Bersikap
MeliputPemilu
di
Independen!Pedoman Masa
Transisi
Demokrasi‖.
khalayak
terhadap
media
persoalan
proses produksi teks ; memilih kelayakan berita dan pemuatannya di surat kabar, mendefinisikan dan memilih realitas sosial
Pembahasan Tulisan
empiris, ini
akan
mendiskusikan
tentang relasi pers dengan politik terutama kegiatan pemilihan umum, metode analisis isi kuantitatif dengan menggunakan rumus 213
mengkonstruksi
realitas
politik
sosial tertentu. Sejarah
pers
nasional
dipenuhi
dengan kompetisi sengit memperebutkan
Rochmad Effendy,Mengukur Objektivitas Liputan Media dengan RumusCoefficient of Imbalance (Studi Kasus Hasil Penelitian Metode Analisis Isi Kuantitatif PemberitaanKampanye Pemilu 1999 di Harian Jawa Pos dan RepublikaTerhadap Partai Golkar dan PDI-P)
wacana
politik
antar
kekuatan
dengan liputan atau iklan politik dari Partai
dominan.Sebagai aktor politik, pers menjadi
Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merupakan
kekuatan strategis untuk dijadikan sebagai
parpolnya warga Nahdhiyyin. Liputan pers
wahana perjuangan mengembangkan wacana
tentang parpol hanya akan efektif untuk
menggugat
mempengaruhi
keabsahan
penjajah
meski
pihak
menentukan
dan pemenjaraan para pengelola pers saat
voters). Meski demikian, aktivitas kampanye
pemerintahan kolonial.Era kebebasan pers
bagi partai politik tetap perlu dilaksanakan
sebagai
penerapan
untuk mencapai tiga tujuan. Pertama, ada
demokrasi liberal tahun 1955-1959 bukan
upaya untuk membangkitkan loyalitas para
membuat kinerja pers yang profesional, tapi
pengikut partai dan agar mereka memilih
malah justru melahirkan pers partisan bahkan
partai tersebut.Kedua, ada kegiatan untuk
menjadi corong politik partai politik tertentu.
menjajaki warga negara yang tidak terikat
Era kebebasan pers berakhir total pada era
pada partai atau menciptakan identifikasi
Orde Baru yang mengawasi secara ketat
pada golongan independen.Ketiga, ada usaha
perilaku
kampanye yang ditujukan kepada kaum
pers
yang
dari
tidak
menyisakan
oposisi,
di luar wacana yang telah didiktekan
kepercayaan
penguasa. Bahkan rezim orde baru telah
melainkan untuk rakyat bahwa keadaan akan
mengembangkan
bahasa
lebih baik jika dalam kampanye ini mereka
(language game) dengan memperkenalkan
memilih kandidat dari partai lain (Dan
kosakata, frase dan kalimat tertentu yang
Nimmo, 1993:192).
disampaikan secara berulang-ulang, formal dan eufimistik (Ibnu Hamad: 2004: 76-78). Pengaruh
pers
terhadap
perubahan
dirancang
(swinging
sedikitpun ruang untuk menyuarakan wacana
permainan
bukan
politik
belum
dengan resiko pahit berupada pembredelan
konsekwensi
pilihan
yang
dan
nilai
mengalihkan
anggota
partai,
Berkaitan dengan hal tersebut, pers yang merupakan pilar keempat demokrasi seharusnya memainkan peran strategis dalam
perilaku pemilih tidak signifikan dan hanya
proses
pendewasaan
cenderung memperkuat pilihan terhadap
masyarakat.
parpol tertentu (reinforcement effect) .
dituntut untuk selalu memegang teguh Kode
Pemilih dari kalangan Muhammadiyyah
Etik Jurnalistik yang mewajibkan wartawan
yang secara emosional dan struktural telah
untuk selalu menyajikan produk berita yang
berafiliasi dengan dengan Partai Amanat
objektif, berimbang, netral dan memihak
Nasional (PAN), jelas tidak akan mempan
kepada kebenaran serta memperjuangkan
Untuk
itu,
politik makanya
warga pers
214
JURNAL NOMOSLECA Volume 2, Nomor 1, April 2016
kepentingan rakyat. Pers nasional, menurut
menyediakan forum publik untuk kritik
pasal 6 UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers
maupun dukungan warga. (7) Jurnalisme
memainkan peranan untuk: (b) menegakkan
harus berupaya membuat hal-hal penting
nilai-nilai
mendorong
menarik dan relevan. (8) Jurnalisme harus
terwujudnya supremasi hukum dan HAM
menjaga agar berita komprehensif dan
serta
(c)
proporsional (9) Para praktisinya harus
umum
diperbolehkan mengikuti nurani mereka.
berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan
Objektivitas, keberimbangan dan netralitas
benar. (d) melakukan pengawasan, kritik,
pemberitaan pers merupakan hal
koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
mutlak tersaji dalam liputan pers nasional
berkaitan dengan kepentingan umum. (e)
pada masa pemilu.Pemberitaan yang nihil
memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
kepentingan-kepentingan
dasar
demokrasi,
menghormati
mengembangkan
Untuk
kebhinekaan. pendapat
itu,
dalam
rangka
melaksanakan kegiatan jurnalistiknya, para wartawan menurut Bill Kovach (2004:6 ) memiliki
kewajiban
utama
yakni
menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri mereka. Agar tugas mulia ini bisa dilakukan wartawan, Bill Kovach menyarankan sembilan hal yang mesti dipegang
teguh
dalam
tersebut adalah: (1) Kewajiban pertama jurnalisme
adalah pada
kebenaran. (2)
Loyalitas
pertama
memenuhi
hak mengetahui
jurnalisme
adalah
warga. (3)
Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi. (4) Para wartawan harus menjaga independensi terhadap sumber berita. (5) Jurnalisme harus berfungsi sebagai pemantau kekuasaan. 215
(6)
Jurnalisme
harus
politik
para
pengelola pers, dan elit penguasa diharapkan mampu mendidik para calon pemilih untuk membuat pilihan politis yang rasional. Dengan demikian, berita yang bersih dari sisipan
kepentingan
sempit
politik
ini
diharapkan mampu melaksanakan proses pembelajaran proses demokratisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Kajian tentang liputan pers dan Pemilu
melaksanakan
kegiatan jurnalistik mereka. Sembilan hal
yang
Penelitian tentang kampanye Pemilu 1992 dengan mengkaji editorial surat kabar Suara
Merdeka
(SM)
melalui
metode
semiotika menemukan bahwa koran SM cenderung memihak Golkar. Tapi penelitian tersebut tidak mempelajari lebih dalam alasan mengapa keberpihakan ini terjadi (Y. Krisnawan: 1997). Pada penelitian yang lain yang dilaksanakan pada Pemilu 1977 tapi berbeda dalam obyek kajian mendapatkan hasil temuan yang berbeda. Mustofa Kamil
Rochmad Effendy,Mengukur Objektivitas Liputan Media dengan RumusCoefficient of Imbalance (Studi Kasus Hasil Penelitian Metode Analisis Isi Kuantitatif PemberitaanKampanye Pemilu 1999 di Harian Jawa Pos dan RepublikaTerhadap Partai Golkar dan PDI-P)
dengan menganalisa isi 5 surat kabar
dalam mengungkapkan isu-isu kontroversial
nasional terbitan Jakarta (Kompas, Merdeka,
(Harsono Suwardi. 1993: 19-20)
Sinar Harapan, Suara Karaya dan Pelita) menemukan bahwa sebagian besar beritaberita liputan tentang kampanye Pemilu 19977 cenderung bersikap netral. Meski demikian, partisan
terdapat kepada
juga
kecenderungan
parpol
tertentu
dalam
peliputan. Ini terutama pada koran yang berafiliasi dengan parpol tertentu, seperti pada koran Suara Karya yang memihak kepada Golkar dan surat kabar Pelita kepada PPP. Akibat sikap partisan ini, peliputan tentang PDI sangat minim dalam kedua koran tersebut (Don Michael F, 1989: 177). Tambahan, penelitian pemberitaan Pemilu 1987 pada surat kabar Kompas, Suara Pembaharuan, Prioritas,
Suara
Pikiran
Karya,
Rakyat,
Merdeka, Kedaulatan
Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos, dan Bali Pos menemukan hubungan paternalistik antara pers dengan elit penguasa. Relasi patron-client penguasa dijinakkan dalam
antara
saat
pers
itu.Pers
saat
(domestikasi)
sebuah
menguntungkan
dengan itu
oleh
hubungan (sumbiosis
elit telah
yang
saling
mutualistis).
aroma
sloganistik
yang
lebih
menonjolkan aspek hiburannya daripada materi dan substansi pemilu. Berada dalam cengkeram kekuasaan otoriter orde baru,
karenanya,
penelitian
yang
mengkaji objektivitas peliputan pers tentang kampanye Pemilu parpol terasa mendesak dilakukan dengan beberapa alasan.Pertama, untuk mengetahui sikap pers nasional dalam meliput aktivitas parpol dalam kampanye Pemilu. Dengan kata lain, dalam kondisi kebebasan pers yang sedang menggejala seperti sekarang ini, diperlukan pers yang tetap memiliki komitmen memperjuangkan kepentingan masyarakat. Kalau tidak, pers justru akan terjerambab dalam kubangan kepentingan
sempitnya
sendiri.
Ini
mengingat pers masa kini adalah juga merupakan
institusi
bisnis
di
samping
sebagai lembaga sosial dari politik. Kedua, menjelaskan apakah mampu melaksanakan tugas peliputan Pemilu dengan tetap selalu memegang teguh nilai-nilai yang tersebut di atas. Konsep Objektivitas Berita
penguasa
Tidak heran, kalau gaya liputan pemilu lebih kental
Oleh
Konsep obyektivitas dalam peliputan adalah masalah subtle dan bahkan hampir hanya sebatas mitos.Term ini baru dipakai dalam wacana jurnalisme pada tahun 1920an.
Sebelumnya,
digunakan
dalam
istilah diskursus
yang selalu jurnalisme
adalah kata unbiased (tidak memihak, tidak bias) dan uncolored (tidak diwarnai oleh
membuat pers saat itu harus berhati-hati 216
JURNAL NOMOSLECA Volume 2, Nomor 1, April 2016
opini pribadi, benar berdasarkan fakta nyata
peristiwa, memberikan prinsip keseimbangan
di lapangan). Istilah-istilah ini menurut
dan keadilan serta melihat peristiwa dari dua
pengertian
perspektif.
aslinya
berarti
menemukan
Dennis
percaya,
objektivitas
kebenaran melalui usaha sungguh-sungguh
dapat diterapkan apabila mengadopsi metoda
sebagai mana layaknya ilmuwan berusaha
dan
mencari menemukan kebenaran (finding the
subjektivitas wartawan atau editor. Prosedur
truth
of
ini diterapkan baik pada tingkat peristiwa
scientist) (Richard Strekfuss, 1990: 975).
yang akan diliput (apa pertimbangan objektif
Tidak
dan rasional
though
heran,
rigorous
kalau
methodology
hal
sempat
ini
prosedur
yang
dapat
membatasi
mengapa suatu peristiwa
mengundang perdebatan alot antara kubu pro
diliput), mencari data ( dari mana saja data
objektivitas
diambil), sampai menulis ( kata apa yang
dan
pihak
yang
anti
objektivitas.John C. Merril seperti dikutip
dipakai), editing tulisan ( apa
alasan
Eriyanto (2000: 87) menyatakan bahwa
menempatkan berita menjadi headline), dan
objektivitas jurnalistik itu mustahil terwujud
lain sebagainya (Eriyanto: 2000: 87).
karena semua aktivitas jurnalistik pada dasarnya adalah subjektif. Ini, lanjutnya, bisa
Meski
konsep
objektivitas
dilihat dari mulai mulai pencarian berita,
mengundang perdebatan, tapi Hayakawa
peliputan, penulisan sampai editing yang
(1946)seperti dikutip Severin dan Tankard
kesemuanya adalah melibatkan subjektivitas
(1992: 82-83) memberikan jalan keluar dari
wartawan; kenapa suatu peristiwa diliput,
perdebatan ini dengan cara selalu berusaha
siapa
meliput
yang
diwawancarai,
apa
yang
warta
dalam
report
yang
ditanyakan, kemana kecenderungan berita
memungkinkan dilakukannya validasi dan
ditulis, kenapa mengambil sudut pandang
verifikasi
berita tertentu, bagian mana yang dihapus
menghindari
dan ditonjolkan. Sebaliknya, Everette E.
(kesimpulan), judgement (peniliaian), dan
Dennismemandang objektivitas jurnalistik
slanting (memilih dan memilah bahan yang
sangat dimungkinkan dan bukan sesuatu
sesuai atau tidak sesuai dengan materi yang
yang mustahil.Ini, lanjutnya, karena semua
sedang dideskripsikan). Yang dimaksud
kegiatan jurnalistik pada dasarnya dapat
dengan
diukur dengan nilai-nilai objektif. Ini bisa
mengandung
dilihat
diverifikasi
dari
beberapa
prinsip
seperti:
terhadap sejauh
objek
mungkin
Reportadalah fakta dan
berita
yang
yang
bisa
oleh
pihak
kalimat
yang
disangkal
memisahkan fakta dari opini, menghindari
lain.Inferences
pandangan emosional dalam memandang
mengandung sebuah pernyataan tentang
217
adalah
inference
kalimat
keras
serta
Rochmad Effendy,Mengukur Objektivitas Liputan Media dengan RumusCoefficient of Imbalance (Studi Kasus Hasil Penelitian Metode Analisis Isi Kuantitatif PemberitaanKampanye Pemilu 1999 di Harian Jawa Pos dan RepublikaTerhadap Partai Golkar dan PDI-P)
sesuatu yang belum diketahui dan dibuat
dan neutrality (sikap netral). (2) Faktualitas
dibuat berdasarkan pada sesuatu yang telah
yang mencakup truth (kebenaran), relevance
diketahui. Dengan kata lain, kalimat yang
(relevansi) dan informativeness (lihat tabel
berusaha menyimpulkan sesuatu yang belum
dibawah).
terverifikasi serta hanya berlandaskan dari
berkaitan dengan nilai dan fakta yang
sesuatu
memiliki
yang
diketahui
sebelumnya.
Menurutnya,
implikasi
objektivitas
evaluatif.Faktualitas
Sementara judgements adalah kalimat yang
berarti sebuah bentuk reportase tentang
mengandung ungkapan suka atau tidak suka
peristiwa
oleh sang penulis terhadap kejadian, orang
diverifikasi terhadap sumber berita dan
atau obyek tertentu yang sedang penulis
disajikan bebas dari opini subjektif wartawan
jelaskan. Petunjuk praktis di sini adalah
atau paling tidak terpisah dari komentar
sebuah kalimat yang terdiri kata sifat dan
subjektif. Ini juga meliputi kelengkapan data,
adverb atau kata yang kuat atau yang secara
akurasi data dan wujudnya niat untuk tidak
jelas
menyembunyikan
menggambarkan
perasaan
penulis
terhadap obyek sikap tertentu
Objektivitas McQuail posisi
terpisah
adalah
dan
pernyataan
apa
yang
yang
bisa
penting.
Relevansi lebih berkaitan dengan proses
menurut
(2000:172)
dan
Dennis mengambil
netral
dengan
pemilihan
daripada
penyajian.
Hal
mempersyaratkan tersebut
dengan ini
bahwa
berlangsung
bentuk makanya,
proses
secara
seleksi
jelas
dan
menanggalkan subjekvitas dan pendapat
berkesinambungan tentang apa yang penting
pribadi
objek
untuk khalayak/masyarakat. Singkat kata,
pemberitaan atau sumber berita. Ini juga
apa berkaitan secara langsung terhadap
berarti memegang teguh secara ketat prinsip
masyarakat adalah yang paling relevan.
akurasi
Dalam
wartawan
dan
relevansi
kriteria
dan
terhadap
kebenaran
kasus
perkosaan
misalnya, wartawan harus menyajikan fakta
maksud
kasus tersebut dengan menggunakan rumus
tersembunyi untuk mengutamakan melayani
5H 1H apa adanya dan tidak terjebak pada
pihak ketiga. Untuk menjelaskan konsep ini,
eksploitasi
Wasterstahl (dalam Dennis McQuail: 2000:
secara detil bagaimana proses bagaimana
173-4)
objektivitas
pemerkosaan itu terjadi. Ini karena hal ini
meliputi dua konsep utama yakni: (1)
tidak relevan, tidak memiliki kepentingan
impartiality
apapun
berarti
menyatakan
(sikap
data.
memberitakan
Ini
sekaligus
kelengakapan
seperti
nihilnya
bahwa
nonpartisan)
yang
mencakup aspek balance (keberimbangan)
pornografi
terhadap
dengan mengulas
masyarakat.
Adapun
impartiality mengasumsikan sebuah sikap 218
JURNAL NOMOSLECA Volume 2, Nomor 1, April 2016
netral
yang
harus
menerapkan
dengan
tersaji secara berimbang dan adil serta
keberimbangan
memaparkan pendapat-pendapat alternatif
waktu/ruang/penekanan)
dengan cara yang tidak bias dan tidak
prinsip
(keberimbangan dalam
diwujudkan
memperlakukan
pandangan
yang
menyajikan
hal
penafsiran,
bertentangan tersebut
secara
sensasional (Dennis. McQuail: 2000: 173-4).
serta
Information should be objective in the sense
tidak
of
being
accurate,
honest,
sufficiently
berpihak. Singkat kata, informasi yang tersaji
complete, true to reality, reliable, and
dalam pers harus objektif dalam arti akurat ,
separating fact from opinion. Information
jujur, cukup lengkap, sesuai dengan realitas,
should be balanced and fair (impartial),
terpercaya
reporting alternative perspectives in a non-
dan
terpisah
dari
gagasan
subjektif. Disamping itu, informasi harus
sensational, unbiased way.
Objectivity Impartiality
Factuality
Truth
Balance
Relevance
Neutrality
Informativeness Sumber : Dennis. McQuail: 2000: 173
Berkaitan
dengan
objektivitas
pemberitaan. Ini berkaitan dengan hal-hal
(faktualitas dan imparsialitas) tersebut di
seperti : (a) kesesuaian judul berita dengan
atas, Siti Hanifa (2014: 7) mengemukan
isi berita; (b) kelengkapan data yang
sembilan tolok ukur pemberitaan yang
disajikan seperti dalam rumus penyusuan
objektif.Hal ini seperti faktualitas, akurasi,
berita
kelengkapan,
relative
pendukung atau kelengkapan informasi atas
priority, proporsional, cover both side, non
kejadian yang ditampilkan; (d) ada tidaknya
evaluatif, dan non sensasional.Sementara itu,
pencampuran fakta dengan opini wartawan
Henri Subiakto dkk (2000) mengulas konsep
yang menulis berita yang tercermin dari
tersebut secara operasional.Pertama, Aspek
penggunaan kata-kata opinionative seperti
faktualitas
tampaknya,
relative
salience,
meliputi akurasi pemberitaan
yang menekankan pada kejujuran dalam 219
5
terkesan,
WH;
(c)
Penggunaan
diperkirakan, kesannya,
data
seakan-akan,
seolah,
agaknya,
Rochmad Effendy,Mengukur Objektivitas Liputan Media dengan RumusCoefficient of Imbalance (Studi Kasus Hasil Penelitian Metode Analisis Isi Kuantitatif PemberitaanKampanye Pemilu 1999 di Harian Jawa Pos dan RepublikaTerhadap Partai Golkar dan PDI-P)
diperkirakan,
diramalkan,
kontroversi,
menggunakan
konsep
semantik
bahasa.
mengejutkan, manuver, sayangnya, dan kata-
Dalam studinya ―How Time Stereotype
kata opinionatif lainnya. Kedua, aspek
Theree
imparsialitas
mencakup
mengelompokkan enam jenis bias dalam
keseimbangan penulisan berita. Ini dapat
pemberitaan: Attribution bias, adjective bias,
diukur dari : (a) Keseimbangan dalam
adverbial bias, outright opinion, contextual
memberikan porsi yang sama pada masing-
bias, photogrphic bias, adjective
masing pihak yang diberitakan baik dilihat
adverbial bias, outright opinion, contextual
dari kedudukan mereka sebagai sumber
bias, photographic bias. Hasil studinya
berita, mapun dari jumlah sumber beritanya;
menemukan bahwa ditemukan bias negatif
(b) Kesamaan perlakuan dalam memberikan
yang kuat terhadap Truman, bias positif yang
proporsi ruang luas kolom (centimeter
kuat terhadap Eisenhower dan peliputan
kolom), dan waktu. Henri Subiakto (2000)
yang berimbang terhadap Kennedy.
atau
fairness
U.S
Presidents,‖
Merrill
bias,
lantas menambah satu point objektivitas pemberitaan
yakni
validitas
keabsahan
Singkat
kata,
objektivitas
pemberitaan. Ini meliputi dua hal yakni
menganut
atribusi dan kompetensi nara sumber yang
(Eriyanto: 2002: 20-35). Pandangan mereka
dirujuk dalam pemberitaan. Aspek atribusi
lantas dipaparkan oleh Eriyanto dengan
mencakup pencantuman sumber berita secara
mempertentangkannya dengan pandangan
jelas (baik identitas maupun dalam upaya
para konstruksionis. Positivis melihat adanya
konfirmasi atau cek dan ri-cek).Sedangkan
fakta yang ‗riil‘ yang diatur oleh kaidah-
aspek kompetensi sumber berita berkaitan
kaidah
dengan hasil liputan.Berita yang dihasilkan
universal.Media, makanya bertugas untuk
merupakan
menyalurkan
karya
pengamatan
langsung
pandangan
tertentu
kaum
berita positivis
yang
pesanyang
berlaku
merupakan
wartawan, atau dari sumber berita yang
cerminan dan pantulan dari kenyataan. Sebab
menguasai persoalan, atau hanya sekadar
berita yang disampaikan harus sama dan
kedekatannya
sebangun dengan fakta yang hendak diliput.
dengan
media
yang
bersangkutan atau karena jabatannya.
Nah agar objektif, berita harus faktual
Ada kriteria lain yang ditawarkan oleh John Merrill (1965) dalam Severin dan Tankard (1992: 84) untuk mengukur sejauh mana
bias
sebuah
warta
dengan
dengan menyingkirkan pandangan subjektif dari
pembuat
berita.
Sebaliknya,
konstruksionis memandang bahwa fakta merupakan Kebenaran
konstruksi suatu
fakta
atas bersifat
realitas. relatif, 220
JURNAL NOMOSLECA Volume 2, Nomor 1, April 2016
berlaku sesuai dengan konteks tertentu.
komunikasi merupakan pertukaran makna
Media, makanya media merupakan agen
yang bersifat dinamis yang merupakan
konstruksi pesan. Ini karena berita tidak
produk konstruksi dan interaksi antara
mungkin merupakan cermin dari realitas,
pengirim dan penerima. Karena makna tidak
karena berita yang terbentuk merupakan
terlihat
konstruksi atas realitas. Berita, makanya
substansinya
selalu bersifat subjektif, sebab saat meliput
menafsirkannya
wartawan
interpretif
menggunakan
subjektifnya.
pertimbangan
Konsekwensinya,
adalah
alias
laten,
maka
dapat lewat
kualitatif
isi
atau
diungkap
dengan
metode
analisis
seperti
framing,
semiotika dan wacana.
wartawan menurut positivis adalah pelapor atas
peristiwa
yang
diliput
yang
mewajibkannya untuk menyingkirkan nilai,
Mengukur Objektivitas dengan Rumus Coefficient of Imbalance
etika, pilihan moral saat meliput peristiwa. Tidak
demikian
halnya
dengan
konstruksionis yang memandang bahwa wartawan sebagai partisipan yang bertugas menjembatani
keragaman
subjektivitas
pelaku sosial. Nilai, etika atau keberpihakan wartawan, makanya tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa. Dengan kata lain, objektivitas menurut Fiske seperti dikutip Eriyanto (2011: 2-4) mengikuti aliran transmisi yang memandang bahwa
komunikasi
sebagai
proses pengiriman pesan secara linear dari pengirim kepada penerima. Pesan bersifat statis berupa materi konkrit yang terlihat serta dapat dirasakan, didengar atau dibaca. Pesan
tersebut,
makanya
hanya
akan
diketahui isinya kalau diukur dan dihitung dengan metode analisis isi kuantitatif. Hal ini jelas berbeda dengan aliran produksi dan pertukaran makna yang memandang bahwa 221
Agar dapat diketahui objektivitas pemberitaan, analisis isi kuantitatif dapat diterapkan untuk tujuan tersebut. Analisis isi menurut
Klaus
Krippendorff
(1993:15)
merupakan suatu teknik penelitian untuk membuat simpulan data yang dapat ditiru (replicable)
dan
sahih
dengan
memperhatikan konteksnya. Metode analisis isi pada dasarnya merupakan suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih. Kerlinger (2000), analisis isi didefinisikan sebagai suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, obyektif, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak dengan tujuan untuk
mengukur
merupakan
variabel.
metode
Analisis
penelitian
isi yang
Rochmad Effendy,Mengukur Objektivitas Liputan Media dengan RumusCoefficient of Imbalance (Studi Kasus Hasil Penelitian Metode Analisis Isi Kuantitatif PemberitaanKampanye Pemilu 1999 di Harian Jawa Pos dan RepublikaTerhadap Partai Golkar dan PDI-P)
sistematis, objektif dan kuantitatif (Wimmer
2. C (u) = (f-u).u/r.t. Rumus ini
& Dominick 2003: 141).Eriyanto (2011: 15)
digunakan ketika jumlah kalimat
mendefinsikannya
teknik
negatif
penelitian ilmiah yang ditujukan untuk
positif.
mengetahui gambaran karakteristik isi dan
SimbolCberari koefsien keberpihakan
menarik inferensi dari isi. Hal ini diarahkan
. f berarti jumlah kalimat positif. Simbol u
untuk mengidentifikasi secara sistematis isi
berarti jumlah kalimat negatif. Simbol r
komunikasi yang tampak (manifest), dan
berarti
dilakukan secara objektif, valid, reliabel, dan
positif dan netral
dapat direplikasi. Analisis isi, makanya
penyikapan yang. Sedang simbol t berarti
metode penelitian yang objektif, sistematis,
jumlah seluruh kalimat baik yang terkait
replikabel, manifes (isi yang tampak), serta
maupun yang tidak terkait dengan obyek
melakukan perangkuman (summarizing) dan
penyikapan. Selanjutnya, setiap unit kalimat
generalisasi.
positif memperoleh nilai +1. Sedangkan unit
sebagai
suatu
Koefisien keberpihakan (Coefficients of Imbalances) merupakan rumus yang dikembangkan leh Janis dan Fadner (1965). Rumus ini digunakan untuk mengukur derajat
keberpihakan suatu surat kabar
terhadap obyek penyikapan tertentu. Ini dapat diterapkan dengan cara menghitung keseluruhan isi komunikasi dan konten komunikasi yang releven dengan objek penyikapan (object attitude) yang akan diteliti (Diana Peh dan Melkote. 1991: 67). Keberpihakan di sini berarti kadar rasio perbedaan antara informasi positif, negatif, berimbang/netral.
Rumus koefisien ini
adalah sebagai berikut: 1. C (f) = (f-u). f/r.t. Rumus digunakan jika jumlah kalimat positif lebih banyak daripada yang negatif.
jumlah
melebihi
jumlah
kalimat
kalimat-kalimat
negatif,
yang berkait
objek
kalimat negatif mendapatkan nilai – 1, unit kalimat netral dan tidak terkait dengan objek penyikapan memperoleh nilai 0. Teknik menerapkan rumus ini adalah dengan cara menghitung jumlah kalimat yang positif dan negatif yang menyangkut objek penyikapan tertentu. Kalau jumlah kalimat positif lebih banyak daripada yang negatif, rumus nomor 1 digunakan. Sebaliknya, jika jumlah kalimat negatif melebihi jumlah kalimat positif, rumus
nomor
2
digunakan.
Koefisien
Keberpihakan berada pada rentang nilai +1 dan – 1. Agar rumus ini dapat diterapkan dapat diterapkan, maka arah dan kecenderungan jumlah kalimat (negatif, positif, netral) terhadap objek penyikapan harus dihitung. Operasionalisasi ragam kalimat tersebut adalah
sebagai
berikut.
(1)
Kalimat 222
JURNAL NOMOSLECA Volume 2, Nomor 1, April 2016
dikategorikan negatif, arti
negatif
kalau mengandung
terhadap,
atau
menjelaskan obyek secara negatif atau
akan
positif. Juga yang tidak membenarkan atau
dimungkinkan menggiring para pembaca
mengutuk.
membentuk pendapat negatif terhadap suatu
sebagai tidak terikat dengan obyek kajian,
obyek tertentu. Kalimat negatif mengandung
kalimat
penjelasan negatif para pelaku dan perilaku
obyek kajian, termasuk di sini adalah kalimat
dan mengutuk tindakan dan pelaku yang
transisi. Di samping itu, juga dihitung jumlah
terlibat.(2) Kalimat disebut positif,
kalau
ragam kalimat klasifikasi Hayakawa seperti
mengandung arti positif terhadap, atau akan
report, inferences dan judgment.Kerangka
dimungkinkan menggiring para pembaca
waktu
membentuk pendapat positif terhadap suatu
pemberitaan koranJawa Pos dan Republika
obyek
akan
adalah 19 Mei hingga 4 Juni 1999. Selama
mengandung penjelasan positif para pelaku
periode pemberitaan tersebut ditemukan
atau perilaku dan menghargai tindakan dan
beberapa hal sebagai berikut.
pelaku
tertentu.
yang
dikategorikan
Kalimat
terlibat. netral,
ini
(3)
kalau
(4)
Kalimat
diklasifikasikan
tersebut membahas topik di luar
penelitian
untuk
mengkaji
Kalimat ia
tidak
Tabel 1 Sebaran Dan Prosentase Jumlah Kalimat Negatif, Positif, Netral, Tidak Terkait Serta Koefisien Keberpihakan Coeficients OfImbalances Terhadap Objek Penyikapan Golkar dan PDI-Perjuangan di Harian Jawa Pos Surat Kabar Jawa Pos Arah Kalimat
Obyek Penyikapan Thd. PDI-P Kalimat
Kalimat
%
Positif
128
30,1
225
24,3
Negatif
122
28,7
314
33,9
Netral
142
33,4
340
36,7
32
7,5
46
4,9
424
100
925
100
Tidak Terkait Total Col
223
%
Obyek Penyikapan Thd. Golkar
0,0046
-0,034
Rochmad Effendy,Mengukur Objektivitas Liputan Media dengan RumusCoefficient of Imbalance (Studi Kasus Hasil Penelitian Metode Analisis Isi Kuantitatif PemberitaanKampanye Pemilu 1999 di Harian Jawa Pos dan RepublikaTerhadap Partai Golkar dan PDI-P)
Tabel 2 Sebaran Dan Prosentase Jumlah Kalimat Negatif, Positif, Netral, Tidak Terkait Serta Koefisien Keberpihakan Coeficients Of Imbalances Terhadap Objek Penyikapan Golkar Dan PDI-Perjuangan di Harian Republika Surat Kabar Republika Arah Kalimat
Obyek Penyikapan Thd PDI-P Kalimat
Obyek Penyikapan Thd Golkar
%
Kalimat
%
Positif
23
5,1
106
51,2
Negatif
255
57,1
30
14,4
Netral
168
37,6
56
27
45
10
35
16,9
446
100
207
100
Tidak Terkait Total Col
-0,029
0,226
Dua tabel di atas menunjukkan
Makanya, ia harus dihabisi hingga akar-
bahwa Jawa Pos telah bias dalam meliput
akarnya. Sebaliknya, Jawa Pos menganggap
Partai Golkar dengan memberikan gambaran
PDI-P sebagai kekuatan reformasi yang pro
yang negatif dengan nilai – 0, 034 dan
rakyat
memberitakan PDI-P secara positif dengan
menghadapi kekuatan status quo.
yang
harus
didukung
untuk
nilai 0,0046 dalam koefisien keberpihakan
Berbeda dengan Jawa Pos, Republika
(tabel 1). Perlakuan diskriminatif terhadap
memberikan Golkar secara positif dengan
Golkar yang dilakukan Jawa Pos mungkin
nilai 0,226 dan memperlakukan PDI-P secara
disebabakan
yang
negatif dengan nilai –0,029 dalam koefisien
sedang dinikmati sebagian warga masyarakat
keberpihakan (tabel 2). Republika berbuat
termasuk pers. Perilaku yang menonjol pada
demikian sebab ia adalah penerbitan yang
era reformasi tersebut adalah menanggalkan
berafiliasi
semua tata aturan yang telah diletakkan Orde
makanya
Baru dan merubahnya dengan yang baru
memperjuangkan
sama sekali. Di samping itu, hujatan
muslim. Di samping itu, Republika juga
terhadap rezim Orde Baru mewarnai sikap
berada dalam Yayasan Abdi Bangsa yang
dan tindakan masyarakat yang diwujudkan
diketuai Presiden Habibie. Tidak heran,
dengan menganggap Golkar adalah sisa-sisa
kalau Republika bersikap sangat ‗bersahabat
rezim Orde Baru dan sangat pro status quo.
karib‘
euphoria
kebebasan
kepada harus
dengan
ummat
Islam
memihak kepentingan
Golkar.
yang dan
pembaca
Sebaliknya, 224
JURNAL NOMOSLECA Volume 2, Nomor 1, April 2016
Republikabersikap ofensif terhadap PDI-P
kedua
surat
kabar
yang
bermaksud
dengan mengangkat isu-isu agama. Dari
menghimbau warga muslim agar memilih
sektarian yang dikembangkan ini diharapkan
partai yang calegnya memeluk agama yang
akan mendapatkan sambutan antusias dari
sama dengan mereka.
masyarakat. Ini bisa dilihat dari maraknya iklan layanan masyarakat yang dimuat di Tabel 3 Distribusi dan Prosentase Inferences, Judgement Terhadap Kedua Objek Penyikapan PDI-P & Golkar DiHarian Jawa Pos&Republika Jawa Pos
Surat Kabar
Kalimat
Republika %
Kalimat
%
Inferences
27
2
15
2,2
Judgement
10
0,1
11
1,6
1349
100
653
100
Total Semua Kalimat Yang Dikaji Meski
terjadi
pemihakan
dari
masing-masing surat kabar, Republika dan Jawa Pos (tabel 3) jarang dan sedikit sekali
PDI-P. Ini karena kedua koran tersebut lebih banyak mengandalkan kalimat report. Temuan tersebut menunjukkan sikap
memperkuat
bias
mereka
dengan
partisan yang ditunjukkan kedua surat kabar
menggunakan
kalimat-kalimat
subjektif
memang jauh dari fungsi ideal pers nasional
inferences dan judgement dalam pemberitaan
sebagaimana
mereka. Republika hanya menggunakan
Tentang Pers. Pers yang seharusnya berperan
2,2% kalimat inferences dan 1,6% kalimat
sebagai mesin penggerak bahkan percepatan
judgement dari
proses demokratisasi tidak mampu berfungsi
yang
diteliti
total keseluruhan kalimat sebanyak
UU
No
40
kalimat.
maksimal. Kedua pers yang diteliti lebih
Sementara Jawa Pos menggunakan 2%
asyik bermain denga hidden agenda mereka
kalimat
sendiri dan tidak peduli terhadap proyek
inferences
dan
653
diamanatkan
0,1%
kalimat
judgement dari jumlah keseluruhan kalimat
pemberdayaan
politik
rakyat
serta
sebanyak 1349 kalimat. Ini berarti Republika
mengabaikan
proyek
dan Jawa Pos masih bersikap objektif dalam
kepentingan rakyat seperti yang digambarkan
meliput pemberitaan tentang Golkar dan
oleh Bill Kovach yang mengharuskan pers
memperjuangkan
melakukan sembilan kewajiban: berpegang 225
Rochmad Effendy,Mengukur Objektivitas Liputan Media dengan RumusCoefficient of Imbalance (Studi Kasus Hasil Penelitian Metode Analisis Isi Kuantitatif PemberitaanKampanye Pemilu 1999 di Harian Jawa Pos dan RepublikaTerhadap Partai Golkar dan PDI-P)
teguh kepada kebenaran, mengutamakan
jumlah
kepentingan
jumlah kalimat positif, rumus nomor
masyarakat,
bersikap
independen terhadap sumber berita, menjadi sarana
mengawasi
perilaku
penguasa,
kalimat
negatif
melebihi
2 diterapkan. 4. Agar
dapat
diketahui
menyediakan forum publik untuk kritik dan
objektivitas
dukungan warga
memperbolehkan
katergori kalimat yang dikembangkan
wartawan untuk menggunakan hati nurani
Hayakawa juga dapat digunakan
dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik.
dengan
serta
pemberitaan,
kadar
cara
menghitung
tiga
jumlah
kalimat yang mengandung aspek Penutup
report,
inferences,
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan
judgement.Kadar objektivitas sebuah
beberapa hal di bawah ini:
liputan
dianggap
tinggi,
dan
ketika
jumlah kalimat yang mengandung 1. Rumus koefisien keberpihakan yang
report melebihi jumlah kalimat yang
dikembangkan oleh Janis dan Fader
berisikan inferences dan judgement.
merupakan
Sebaliknya,
formula
analisis
isi
kadar
kuantitatif yang dapat digunakan
dianggap
untuk menakar kadar objektivitas
kalimat inferences dan judgement
liputan pemberitaan media cetak.
lebih banyak daripada jumlah kalimat
2. Rumus ini dapat diterapkan dengan
rendah,
objektivitasnya ketika
jumlah
report.
terlebih dahulu menentukan objek penyikapan (attitude
yang
hendak
dikaji
object).Kemudian
ruang
lingkup waktu pemberitaan berkaitan dengan
objek
penyikapan
tersebut.Lantas, menghitung jumlah kecenderungan kalimat baik negatif, positif, netral, dan tidak terkait tentang objek penyikapan yang telah ditentukan. 3. Kalau jumlah kalimat positif lebih banyak daripada yang negatif, rumus nomor 1 digunakan.Sebaliknya, jika 226
JURNAL NOMOSLECA Volume 2, Nomor 1, April 2016
Daftar Pustaka Denis, Everette E, (1991), Understanding Mass Media, Boston, Houghton Milfin Company Eriyanto, (2000), Objektivitas Media: Pandangan Konstruksionis dan Positivistik. Dalam Jurnal Pantau Edisi 08 / Maret- April 2000. Eriyanto, 2002, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, Lkis, Yogyakarta Eriyanto, 2011, Analisis Isi: Pengantar Metodologi Untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Kencana, Jakarta Flournoy, Michael Don, (1989), Analisa Isi Surat Kabar-Surat Kabar Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Hamad, Ibnu, (2004), Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis, Granit, Jakarta. Hanifa, Siti, 2014, Objektivitas Berita Pemilu Presiden RI 2014, Analisis Isi Atas Objektivitas Berita Pemilu Presiden RI dalam Berita Online Tempo.co,id dengan Detik.com, skripsi Fikom Universitas Islam Bandung, diakses pada http://karyailmiah.unisba.ac.id/index.p hp/Jurnalistik/article/download/118/26. Hasibuan, Imron (editor), 1999, Bersikap Independen! Pedoman Meliput Pemilu di Masa Transisi Demokrasi”, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerjasama dengan IRRI Pact, Jakarta 227
Hayakawa, Samuel, I, (1946), Language in Action and Thought, NY; Harcout, Brace and World Janis, I. L., & Fadner, R. 1965. The Coefficient of Imbalance. In H. Lasswell, N. Leites, & Associates (Eds.), Language of politics: 153–169. Cambridge, MA: MIT Press. Kovach, Bill & Rosienstiel, Tom, (2004), Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa Yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Yang Diharapkan Publik, Yayasan Pantau, Institut Studi Arus Informasi, dan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Jakarta Kaisiepo, Manuel, 1999,dalam Imron Hasibuan (editor), 1999, Bersikap Independen! Pedoman Meliput Pemilu di Masa Transisi Demokrasi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerjasama dengan IRRI Pact, Jakarta Krippendorf, Klaus, (1993), Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta McQuail, Dennis, Communication London
(2000), Theories,
Mass Sage,
McNair, Brian, 1999, An Introduction to Political Communication, Routledge, New York. Merrill, John, C, (1965), How Stereotyped Three US. President, Journalism Quarterly, 42;563-570 Nimmo, Dan, (1993), Komunikasi Politik; Komunikator, Pesan, dan Media, Remaja Rosda Karya, Bandung
Rochmad Effendy,Mengukur Objektivitas Liputan Media dengan RumusCoefficient of Imbalance (Studi Kasus Hasil Penelitian Metode Analisis Isi Kuantitatif PemberitaanKampanye Pemilu 1999 di Harian Jawa Pos dan RepublikaTerhadap Partai Golkar dan PDI-P)
Peh, Diana & Melkote, Srinivas S, (1991), Bias in Newspaper Reporting: A Content Analysis of the Coverageof Korean Airlines and Iran Airbus Shooting in The U.S Elite Press, International Communication Gazette,Vol 47 No. 2, (January 1991)
Introduction, Thomson Wadsworth, Belmont California, United States.
Rahmat, Jalaluddin, (1989), Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, Remaja Karya Severin, Werner J, & Tankard, James, W, (1992), Communication Theories: Origins, Methods, and Uses in the Mass Media, New York, Longman Strekfuss, Richard, (1990), Objectivity in Journalism: A Search and Assessment, Journalism Quarterly; 67: 973-975 Syafiya & Yahya, (1990), Australian Perception of Indonesia: Content Analysis of The Australian Newspapers‟ News Coverage on East Timor Affiairs, Laporan Penelitian di IAIN Malang yang tidak dipublikasikan Suwardi, Harsono. 1993, Peran Pers Dalam Politik di Indonesia; Suatu Studi Komunikasi Politik Terhadap Liputan Berita Kampanye Pemilu 1987, Pustakan Sinar Harapan, Jakarta Subiakto, Henri, Cahyana, Yan Yan, et.al . 2000, Obyektifitas Pemberitaan Pers Indonesia, diakes pada http://www.journal.unair.ac.id/login/jur nal/filer/J.%20Penelit.Din.%20Sos.13%20Des%202000%20%5B06%5D.p df Wimmer, Roger, D & Dominick, Joseph, R., 2003, Mass Media Research. An 228