RESPONS KULTURAL DAN STRUKTURAL MASYARAKAT TIONGHOA TERHADAP PEMBANGUNAN DI KOTA MEDAN
TESIS OLEH AGUSTRISNO 047024014
PEMBIMBING 1. Prof. Dr. CHALIDA FACHRUDDIN. 2. Drs. R. HAMDANI HRP, MSi.
PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Judul Tesis :
Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan
Nama Mahasiswa
:
Agustrisno
Nomor Induk Mahasiswa
:
047024014
Program Studi
:
Magister Studi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing:
Aggota,
Ketua,
(Drs. R. Hamdani Hrp., MSi)
(Prof. Dr. Chalida Fachruddin)
Ketua Program Studi,
Direktur SPs USU,
(Drs. Subhilhar, MA., PhD.)
(Prof. Dr. Ir.T.Chairun Nisa B., MSc.)
Tanggal Lulus : 08 Desember 2007.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
iv
Abstrak Tulisan ini berawal dari pemikiran yang menyatakan bahwa, berbagai bukti telah menunjukan, pada umumnya warga masyarakat Tionghoa telah mengalami hidup yang lebih sejahtera bila dibandingkan dengan warga masyarakat lain yang non-Tionghoa. Pada hal mereka adalah penduduk pendatang di negeri ini. Namun proses dinamika kehidupan yang terus berkembang dan tiada hentinya ini, seakanakan iramanya dapat diikuti terus oleh mereka di manapun dia berada. Orang-orang Tionghoa kebanyakan telah meraih sukses dalam kegiatan usaha terutama dibidang ekonomi, dengan tanpa meninggalkan kebiasaan budaya dan tradisi nenek moyangnya. Dengan pendekatan yang menggunakan pengalaman antropologis-filosofis yang didasarkan pada kajian kepustakaan dan wawancara di lapangan terhadap 42 orang informan yang bersedia diwawancarai, yang terdiri dari pedagang sebanyak 28 orang informan, dan mahasiswa sebanyak 14 orang, sikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi bagi masyarakat Tionghoa adalah didorong oleh cita-cita hidup yang ingin dicapainya di mana pun dia berada. Cita-cita hidup ini, dilatar belakangi oleh kombinasi antara pengalaman kultural dan pengalaman struktural di dalam hidup mereka. Dalam pengalaman-pengalaman mereka itu ternyata tersembunyi di dalamnya kandungan filosofis yang dikenal dengan yin dan yang. Suatu nilai kehidupan yang bersifat teleologis atau futurologis yang mengarah kepada suatu keinginan dalam suasana yang sifatnya keseimbangan atau harmoni. Keseimbangan dan harmoni inilah, yang mereka anggap sebuah kehidupan dalam keberadaan yang bersifat bahagia (wu-wei). Hal inilah yang telah menjadi faktor pengarah dan pendorong bagi mereka, agar hidup mereka senantiasa bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi. Dalam kasus keberadaan warga masyarakat Tionghoa Medan ini, hidup yang bahagia itu adalah dapat menyesuaikan diri dalam suasana dinamika perkembangan zaman, namun tidak meninggalkan akar dari tradisi nenek moyangnya. Sebagai keturunan warga pendatang (immigran) di Indonesia, yang kehadirannya tidak lagi dianggap sebagai tamu, tetapi mereka berharap agar posisinya disamakan dengan penduduk lokal lainnya.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Abstract
This writing based on thought telling us that, various of facts showed, generally the society of Tionghoa has lived more happily than the other society who non-Tionghoa. Moreover they are the comer to this country. However the process of living-dynamic which in creases continually and endless, as if the rythem can be followed on and on by them wherever they are. Most of the Tionghoa people has been successful in business activites especially in the economy, without leaving acustomed culture and the tradition of. By getting close to which using the experience of anthropo-philosofies that based on the explanation of books and interviewed in the field to 42 informen who willingly be interviewed, they are merchants; 28 informen and 14 collegers, the behavior of economical, perservering, digence, diligent, perserved, well-mannered, quick an powerful, and high spirit of self-trade for the society of Tionghoa is promoted by living ambition which want to be reached where ever be. This living ambition, been background by combination between cultural experience and structural experience in their living. In their experiences there are hiddin philosophies which called yin and yang. A mean of life that teleologist or futurelogist purposing to a curiosity to the condition that is balance and harmony characteristic. The balance and harmony which they regard as a living in civilized which be charasteristic happiness (wu-wei). This, as a factor of the destinator and promotor for them, so that their living always be economic, perservering, diligent, digence, well-mannered quick and powerfull, and high spirit og self-trade. In civilization case of the Medan Tionghoa society. This happy living can adobt in the situation of the dynamica developing era, but never leave the root of their great granparents tradition. As the decination of comer society in Indonesia, who their presence aren’t regarded as quests, but they hope that their position is treataliked to the other home population.
v
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Kata Pengantar
Tulisan ini merupakan kertas kerja sebuah tesis untuk melengkapi masa akhir tugas perkuliahan S2, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, untuk mencapai gelar Magister di Program Studi Pembangunan. Disusun sedemikian rupa, moga-moga akan bermanfaat bagi kita semua yang menaruh perhatian pada soal-soal kajian ilmu sosial, khususnya bidang Studi Pembangunan. Terutama bagi kita yang memfokuskan perhatiannya pada fenomena kehidupan warga masyarakat Tionghoa perantau yang ada di kota Medan. Adapun, sudut pandang dalam tulisan ini dipergunakan dengan pendekatan antropo-filosofis. Data-data yang ada, diperoleh dari lapangan, dikumpulkan selama lebih kurang lima bulan lamanya. Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada mereka yang telah sudi membantu kami sehingga kertas kerja (tesis) ini dapat diselesaikan dalam bentuk yang sekarang ini. Secara khusus penulis ingin menyebut Ibu Prof.Dr. Chalida Fachruddin yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan bimbingannya, juga dorongan semangat pada penulis, sejak penulis mengikuti perkuliahan di S1 Jurusan Antropologi Fakultas Sastra USU. Bimbingan dan dorongan semangat dari Ibu ternyata terus berlanjut, hingga penulis mengikuti Program S2 pada bidang Studi Pembangunan ini. Kepada Bapak Drs. R. Hamdani Harahap, M.Si, juga telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan bagi penulis serta saran-saran yang sangat besar manfaatnya untuk menyelesaikan tesis ini. Tidak mungkin dapat penulis lupakan, dorongan semangat yang tidak pernah pupus dari Bapak Drs. Agus Suariadi MA, yang begitu penuh perhatian pada penulis, sehingga penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan studi ini. Demikian pula kepada Bapak Almarhum Drs. Amir Syamsu Nadapdap MA, sungguh penulis sangat berhutang budi pada beliau, begitu besarnya jasa dan budi beliau pada penulis. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan Kasih Sayang-Nya, kepada
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
keluarga yang ditinggalkan, dan menempatkan beliau sebaik-baiknya di sisiNya. Amin Yaa Rabbil Alamin. Kepada Bapak Drs. Irfan Simatupang M.Si., yang juga tiada henti-hentinya memberi semangat dan dorongan kepada penulis, untuk segera mungkin penulis selesaikan perkuliahan di Program Studi Pembangunan ini. Bagaimanapun penulis tidak mungkin melupakan beliau, karena beliau telah banyak berjasa pada penulis dengan memberikan berbagai kemudahan-kemudahan secara finansial. Selanjutnya penulis ingin juga menyebut kebaikan dari para penguji yaitu Bapak Prof.Dr. Suwardi Lubis, MA., yang telah memberikan saran dan pendapat, yang sangat bermanfaat, kendatipun beliau sangat sibuk, namun masih sempat memberikan peluang waktu kepada penulis. Begitu pula, kepada Bapak Drs. Gustanto M.Hum. tidak mungkin penulis lupakan, saran maupun kritikan yang beliau sampaikan, sungguh tebaran mutiara yang harus penulis untai menjadi sebuah benda yang tidak ternilai harganya. Penulis juga tidak dapat melupakan rekan-rekan yang telah berjasa membantu dalam penyelesaian tesis ini, terutama para mahasiswa-mahasiswi departemen Antropologi FISIP USU Medan yang dengan kemurahan hatinya telah membantu penulis mengumpulkan data di lapangan. Penulis mohonkan, semoga kelak di kemudian hari Allah SWT memberikan ganjaran yang setimpal atas kebajikan ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Dina Rahma Nasution, S.Sos., Mas Iwan, Ibu Annisa, Ibu Dina, Sdr. Dadek yang juga turut memberi dorongan serta banyak membantu sejak penulis mengikuti perkuliahan di Program Studi Pembangunan USU hingga di saat-saat penyelesaian perkuliahan. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada Ibunda (Wagirah) yang tercinta, Rima Mulianawati isteriku, kedua puteraku Muhammad Ridho Akbar dan Roisyam Az’mal, yang penuh dengan kasih sayang, pengertian dan kesabaran telah memberikan kemudahan-kemudahan pada penulis. Tesis ini tentulah tidak terlepas dari berbagai kekurangan dan kelemahannya, yang retak adalah gading. Oleh sebab itu, dengan terbuka dan senang hati penulis
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
nantikan kritikan dan komentar, serta saran-saran, dan petunjuk-petunjuk dari pelbagai pihak asalkan sifatnya membangun sehingga tesis ini dapat menjadi lebih baik lagi dan bermanfaat pula di masa akan datang. Akhir kata, penulis berharap agar tesis ini memenuhi keinginan dan harapan kita semua, serta berguna dan bermanfaat bagi kalangan dunia ilmu-ilmu sosial untuk mencapai tujuan yang semakin mendekati kebenaran yang diharapkan, dan mengurangi kadar kesalahan atau kekhilafan. Beriring do’a kehadirat Allah SWT semoga arwah Ayanda, Almarhum Tumijan, beserta sanak keluarga yang telah berpulang keramatullah, diterima di sisiNya. Amin…
Medan, Akhir Nopember 2007
( Agustrisno)
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Agustrisno, lahir di Medan pada tanggal 23 Agustus 1960. Putra pertama dari pasangan orang tua Tumijan dan Wagirah. Riwayat Pendidikan: Pendidikan SD Negeri II di Kedai Durian Medan pada tahun 1973, SMP Negeri II Medan tahun 1976, SMA Negeri III Medan tahun 1980, Sarjana Muda Fakultas Sastra USU pada tanggal 27 Agustus 1985, Sarjana (S1) Jurusan Antropologi Fakultas Sastra USU Medan tahun Desember 1985. pernah mengikuti Program S2 di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1995-2000.
Pengalaman Kerja No. 1.
Waktu 1985
2.
1987-Sekarang
3.
2000-Sekarang
4.
2000-Sekarang
5.
2003-Sekarang
6.
2003-Sekarang
7.
2003-Sekarang
8.
2003-Sekarang
9.
2004-Sekarang
10.
2004-Sekarang
Nama Pekerjaan Staf Pengajar di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra USU Medan. Staf Pengajar di Departemen Antropologi FISIP USU Medan – Sekarang. Staf Pengajar di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran USU Medan. Staf Pengajar di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran USU Medan. Staf Pengajar di STIKes TAKASIMA SUMUT Medan. Staf Pengajar di STIKes Mutiara Indonesia Medan. Staf Pengajar di STIKes Deli Husada Deli Tua Staf Pengajar di STIKes Medistra Lubuk Pakam. Staf Pengajar di Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik USU Medan. Staf Pengajar di Fakultas Kedokteran
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
ix
11.
2004-Sekarang
12.
2005-Sekarang
Gigi USU Medan. Staf Pengajar di Akper Gleneagles Medan. Staf Pengajar di FISIPOL Universitas Medan Area Medan.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
i
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI.................................................................................
i
ABSTRAK …………………………………………………………………
iv
ABSTRACT ……………………………………………………………….
v
DAFTAR TABEL …………………………………………………………
vi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………....
vii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
viii
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………….
ix
I.
II.
PENDAHULUAN ………………………………………………….
1
1. 1. Latar Belakang Masalah …………………………………………...
1
1. 2. Perumusan Masalah……………………………………………….
19
1. 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………
19
1. 4. Kerangka Pemikiran ……………………………………………….
21
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………...34
2. 1. Tulisan-tulisan Mengenai Keberadaan Masyarakat Tionghoa…….34 2. 2. Tulisan Mengenai Warga Tionghoa Hubungannya Dengan Kebijaksanaan Pemerintah ………………………………………..37
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
ii
2. 3. Tulisan Mengenai Keberadaan Warga Tionghoa Hubungannya Atau Perbandingannya Dengan Warga Masyarakat Setempat…..42 2. 4. Tulisan Bersifat Etnografis Mengenai Keberadaan Warga Tionghoa di Indonesia…………………………………………….49
III.
METODOLOGI PENELITIAN ………………………………….53 3. 1. Jenis dan Desain Penelitian……………………………………….53 3. 2. Lokasi Penelitian………………………………………………….54 3. 3. Populasi dan Informan…………………………………………….55 3. 4. Waktu Penelitian…………………………………………………..56 3. 5. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………..56 3. 6. Metode Analisis / Analisis Data…………………………………...59
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………62
4. 1. Pengalaman Kultural/Budaya Warga Tionghoa………………....62 4. 1. 1. Perilaku Rasional Dalam Bisnis………………………..70 4. 1. 2. Perilaku Irrasional Dalam Bisnis………………………...80 4. 1. 2. a. Hopeng ……………………………………..80 4. 1. 2. b. Hokie………………………………………..85 4. 2. Pengalaman Struktural Warga Tionghoa Dalam Hidup Bermasyarakat …………………………………………………..88 4. 2. 1. Pengalaman Peluang…………………………………88 4. 2. 2. Pengalaman Penekan ………………………………..94
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
iii
4. 3. Pandangan Teleologis Warga Tionghoa Medan ………………101
V. PENUTUP ………………………………………………………………111
5. 1. Kesimpulan .……………………………………………..111 5. 2. Saran……………………………………………………...113
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………116 LAMPIRAN
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar :
Berbagai jenis ragam pakwa ………………………...122 - 128
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Surat Permohonan Izin Penelitian………………………………………..129 2. Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian……………………………… 130 3. Daftar Pedoman Wawancara. ……………………………………………131 4. Daftar Para Informan……………………………………………………..132
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel :Kerangka berpikir respons kultrual dan struktural masyarakat Tionghoa terhadap pembangunan di kota Medan………………….33
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah Sejak pemerintah kolonial Belanda berupaya membuka areal perkebunan di tanah Deli dan sekitarnya, yang dipelopori oleh Jacob Nienhuys pada tahun 1863 dengan menyewa tanah seluas 4.000 bau dari Sultan Mahmud untuk jangka waktu selama 20 tahun (O’Malley, 1983:30-49). Kemudian areal ditambah lagi seluas 26.000 bau, pada tahun 1869 dengan tenaga kerja sebanyak 1.525 orang, yang kebanyakan didatangkan dari Cina. Sehingga daerah ini menjadi ramai dan terkenal (Said, 1990). Dikalangan para investor lain pun banyak yang tertarik perhatiannya untuk datang ke tanah Deli. Tanaman kebun yang terpenting dan sangat dikenal pada waktu itu adalah tembakau. Daun tembakau yang dihasilkan dari daerah ini merupakan daun tembakau yang mutunya dianggap terbaik. Sebab, daun tembakau dari tanah Deli ini dapat dijadikan sebagai bahan baku pembalut cerutu dan dikenal sebagai “tembakau Deli” (Sinar, 1994: 25). “Tembakau Deli pada akhir abad ke-19 dan ketiga dasawarsa pertama dari abad ke20 menjadi suatu komoditi ekspor yang amat penting dan yang menjadi sangat terkenal di pasaran dunia” (Koentjaraningrat, 1982: 246). Untuk pusat kegiatan administrasi perkatoran perkebunan, pada mulanya Jacob Nienhuys memusatkannya di kampung Labuhan, pusat perkantoran itu
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
2
dinamakan Deli Maatschappij (Deli Mij). Karena kampung Labuhan mudah dilanda banjir bila dimusim penghujan, maka pusat perkantoran perkebunan dipindahkan di kampung Medan Putri pada tahun 1869.
Lambat-laun kampung Medan Puteri
akhirannya lebih dikenal dengan sebutan Medan saja. Sungguh sulit menjelaskan asal usul nama Medan, sebab tidak ada dokumen ilmiah yang dapat menjelaskannya. Menurut Wahid dkk, yang dikutip dari Djawatan Penerangan Kotapradja-I Medan (2005: 40), terdapat dua versi mengenai asal-usul kata “Medan”. Ada versi yang mengatakan asal usul kata “Medan” diambil dari kata ‘Medan-peperangan’, karena dahulu merupakan dataran hutan rimba, tempat dimana telah terjadi arena peperangan antara Kerajaan Deli dengan Kerajaan Aceh. Versi lain mengatakan bahwa, kata “Medan” berasal dari India “maiden”, yang artinya ‘tanah dataran’. Sedangkan kata Deli itu sendiri barasal dari kata “Delhi” yang ada di India, dan yang diduga masih ada hubungannya dengan sultan pertama, yang memerintah di kesultanan Deli, yaitu: Tuanku Zulqarni Bahatsid Segh Mataruludin, termasuk masih keturunan bangsawan yang memerintah di kerajaan Delhi Hidustan. Sejak adanya pusat perkantoran perkebunan tembakau inilah, ramai orangorang berdatangan. Ternyata mereka tidak hanya melakukan aktivitas berbisnis saja, tetapi juga membuat daerah ini sebagai tempat-tempat pemukiman. Berangsur-angsur semakin banyaklah kelompok-kelompok pemukiman dan akhirnya tumbuh menjadi perkampungan-perkampungan baru, seperti: kampung Petisah Hulu, kampung Petisah Hilir, kampung Sungai Rengas, kampung Aur, kampung Keling, kampung Baru dan lain sebagainya. Masing-masing wilayah kampung biasanya dipimpin oleh
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
3
seorang Kepala kampung. Bangunan kantor-kantor yang lainnya pun didirikan, seperti bangunan emplasmen stasiun kereta-api yang dinamai Deli Spoorweg Maatschappij pada tahun 1883, 1 bangunan hotel—Grand Hotel—pada tahun 1884. Bangunan bank—Javasche Bank—pada tahun 1909. 2 Bangunan pertokoan di sekitarnya yang disebut Kesawan. Bangunan Kantor Pos pada tahun 1909. Bangunan gedung bioskop, dan berbagai sarana umum lainnya (Passchier, 1995: 56). Perubahan dan kemajuan zaman tak bisa dibendung, Medan telah menjadi sebuah kota yang semakin besar dan semakin ramai. Gedung-gedung, sarana jalan dan kantor-kantor, beserta toko-toko tempat perbelanjaan, semakin banyak menghiasi kota Medan. Medan terus berkembang cepat dengan mengalirnya para pendatang yang berasal dari berbagai wilayah, juga dari India, Pakistan, Cina, dan Eropa. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memberikan status pemerintahan yang otonom untuk wilayah Medan pada tanggal 4 April 1918. Sejak saat itulah Medan menjadi sebuah kota yang sepenuhnya berada dalam pengelolaan pemerintahan kotapraja. Untuk menambah prasarana dan sarana perkotaan, pemerintah menambah lagi jaringan jalan-jalan baru, membangun berbagai gedung, jembatan, rumah sakit, saluran pipa air minum, fasilitas jaringan listerik, dan lain-lain sebagainya. Perkembangan kota Medan yang demikian pesatnya, sehingga dirasakan oleh orang-orang dari Eropa sebagai “Parijs van Sumatera” pada awal abad ke-18 (Breman, 1997).
1 2
Sekarang stasiun kereta api tersebut dikenal dengan stasiun kereta-api titi gantung. Sekarang menjadi Bank Indonesia.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
4
Kalau dahulunya kota Medan, hanyalah sebuah perkampungan kecil saja di tanah Deli, dan hanya berfungsi sebagai lokasi tempat pemukiman penduduk asli setempat (suku-bangsa Melayu), yaitu kampung Medan Putri. Letak kampung Medan Putri ini dahulu berada di pertemuan antara delta sungai Deli dan delta sungai Babura, yakni sekitar 10 km di sebelah Selatan kampung Labuhan. Namun kini wilayah kampung Medan Putri sudah berubah menjadi kota Medan, menjadi mekar dan menjadi lebih luas. Medan berkembang menjadi sebuah kota yang besar, bukan disebabkan oleh kegiatan perdagangan, tetapi justeru dipicu oleh pengaruh bekas areal perkebunan yang terdapat di sekitarnya. Berbeda dengan kota-kota di Indonesia yang lainnya, yang pada umumnya timbul sebuah kota pra-sejarah bermula disebabkan oleh pusat-pusat istana, seperti: Gianyar dan Klungkung di Bali, Yogya dan Solo di Jawa Tengah; atau pusat keagamaan, seperti: kota Gede dekat Yogyakarta; dan pelabuhan, seperti: Banten, Demak, Gresik, dan Ujung Pandang (Koentjaraningrat, 1982: 251)). Kota Medan merupakan kota bentukkan baru, yang bermula sebagai pusat administarai yang timbul berkat pengaruh kolonial Belanda guna penyaluran investasi ke daerah ini. Proses perkotaan di sini disebabkan oleh perkembangan di bidang demografi, pertambahan penduduk yang besar dengan mendatangkan para migran untuk pengelolaan perkebunan (Nas, 1979: 97-98). Pada saat ini perluasan kota Medan sudah sampai pada daerah Sunggal, Binjai, Tanjung Morawa, Tembung, Labuhan Deli, Belawan, Pancur Batu dan daerah di sekitarnya. Medan sedang menuju menjadi sebuah kota metropolitan yang terletak
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
5
di wilayah bagian Barat Indonesia dan dikenal sebagai daerah Membidang Metropolitan Area (MMA) (Sirojuzilam, 2005). Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota Medan dipercepat lagi oleh pengaruh kemajuan teknologi, yakni: transportasi, telekomunikasi, dan travel/tourism. Medan kini bukan hanya perkampungan kecil dan bekas pusat perkebunan, tetapi juga telah menjadi kota industri dan perdagangan yang bertaraf internasional. Medan merupakan salah satu dari lima kota di Indonesia yang berprioritas menuju kota metropolitan, selain Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang (Wahid, dkk., 2005: 7-8). Kendatipun perkembangan kota Medan telah dipicu bekas areal perkebunan yang terdapat di sekitarnya, namun pertumbuhan dan perkembangannya yang demikian pesat, tidaklah terlepas dari proses sejarah dan peristiwa kultural kehidupan masyarakatnya sendiri. “Orang tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat juga turut mempengaruhi dan menentukan perkembangan kota-kota” (Menno, 1992: 13) Proses sejarah dan peristiwa kultural diantaranya, yang dapat diduga menjadi salah satu faktor pendorong lajunya pertumbuhan dan perkembangan di kota Medan, tidaklah luput dari upaya kreativitas warga masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di Medan. 3 Kedatangan mereka ke tanah Deli—khususnya di Medan dengan jumlah
3
Dalam hal ini saya menggunakan istilah Tionghoa sebagaimana yang disampaikan Leo Suryadinata, adalah sebutan yang mengandung pernyataan rasa sayang dan hormat untuk orang-orang Cina di Indonesia yang sudah menjadi bagian etnis dari penduduk di Indonesia. Sedangkan istilah Cina adalah sebutan yang tidak bisa dilepas dan masih berkaitan dengan tempat atau negara leluhurnya Cina (Husodo, Siswono Yudo: 1985, hal.ix) . Bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia kurang senang dengan istilah Cina, mereka lebih menyukai istilah Tionghoa. Banyak para sarjana yang berasal dari etnis ini dalam tulisannya dominan menggunakan istilah Tionghoa seperti: Melly G. Tan dan Leo
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
6
yang relatif cukup besar—adalah upaya Jacob Nienhuys. 4 Pada mulanya mereka didatangkan untuk menjadi kuli di perkebunan yang ada di sekitarnya. Gelombang pertama di datangkan dari Singapura, sebanyak 300 orang menurut catatan yang terdaftar dibagian arsip kedatangan di pelabuhan Belawan, kemudian menyusul sebanyak 100 orang lagi. Sebagian besar orang-orang Tionghoa yang didatangkan ke daerah ini berasal dari Penang, yang dahulunya adalah orang Tionghoa yang berasal dari suku Teo Chiu (dari propinsi Kwantung, Cina Selatan). Mereka dikumpulkan oleh broker-broker (Keh tau), dan sekaligus merupakan kepala gerombolan Kongsi Toh Pe Kong yang ada di sana (Sinar, 1994:58). Ada pula yang langsung didatangkan dari daratan Cina bagian Selatan yaitu dari Propinsi Fukien dan Kwantung. Jumlah mereka, pada tahun 1874, sudah mencapai 4.476 orang, dan dalam tahun 1890 meningkat menjadi 53.806 orang. Selanjutnya pada tahun 1900 jumlah mereka sudah sebanyak 58.516 orang. Namun dalam proses perkembangan selanjutnya, kedatangan orang-orang Tionghoa ini tidak hanya sebagai kuli saja, tetapi ada juga yang melakukan aktivitas untuk perniagaan. Menurut sensus pada tahun 1920, migran Tionghoa jumlahnya sudah mencapai 121.716 orang, yang terdiri dari 92.985 orang pria dan hanya 18.731 orang saja yang wanita (Vleming Jr, 1989:185).
Suryadinata misalnya. Disamping itu istilah Cina bagi mereka mengandung konotasi bangsa yang tidak beradab, bangsa ‘Hua-na’. Dengan menggunakan istilah Tionghoa, menurut konsepsi mereka adalah manusia yang sudah berpegang teguh pada aturan peradatan yang dianggap cukup baik (Nio Joe Lan, Djakarta, 1961:34). 4 Orang-orang dari negeri Cina sebelumnya juga pernah melakukan kunjungan ke daerah ini tetapi untuk tujuan perdagangan dengan penduduk setempat.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
7
Ada pendapat yang menyatakan orang-orang Tionghoa mau meninggalkan daerah asalnya, karena pada saat itu, suasana politik dan kondisi sosial di tempat asalnya sedang memburuk. Perebutan dinasti tengah terjadi yang menimbulkan perang saudara diantara mereka, salah satu diantaranya adalah gagalnya pemberontakan Taiping (Soetriyono, 1989: 5) Kehidupan mereka di tempat asalnya dirasakan serba sulit, tanah kurang subur, penduduknya sangat padat terutama di daratan Cina bagian Selatan. Di samping itu, daerah asal mereka kerap kali terjadi bencana alam (banjir). Hal ini menjadi faktor pendorong bagi mereka untuk bermigrasi ke daerah Nan-Yang. 5 Peluang semacam itu, memberi keuntungan pula bagi pihak kolonial untuk merekrut tenaga kerja yang murah, terampil dan rajin. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah Hindia Belanda selama
beberapa dekade
mendatangkan ratusan ribu orang Tionghoa dari bagian Selatan daratan Cina. Mereka kebanyakan adalah orang-orang Hokkian, didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda terutama untuk dijadikan buruh perkebunan ke daerah Sumatera Timur, sedangkan orang-orang Hakka untuk dijadikan sebagai buruh tambang di daerah pertambangan timah di pulau Bangka dan Bilitung. Namun, banyak juga orangorang Tionghoa yang atas kemauannya sendiri
berdatangan ke Indonesia untuk
mencari kehidupan baru. Terutama ketika terjadi serangan yang dilakukan oleh tentera Jepang ke daerah Cina sekitar tahun 1937-38, membuat rakyat Cina Selatan 5
Sebuah ungkapan yang menurut orang-orang Tionghoa sendiri pada waktu itu, untuk menyatakan daerah-daerah yang letaknya berada di laut di sebelah Selatan Cina, termasuk Indonesia. Menurut mereka daerah ini adalah daerah yang sangat menyenangkan, kaya akan anekaragam flora dan faunanya (Siswono Yudo Husodo, 1985: 56 dan Stuart W. Greif, 1994: 1).
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
8
selalu dicekam ketakutan. Mereka pun pada mengungsi ke daerah lain, bahkan diantara mereka berupaya meninggalkan negerinya untuk merantau (Soetriyono, 1989: 30). Karena tujuan mereka memang untuk memperbaiki nasib, oleh karena itu kesungguhan untuk menduduki posisi yang dominan dalam bidang perekonomian memang mereka harapkan. Kesempatan ini diberi peluang pula oleh pemerintah kolonial.(Chalida, 1975:4). Sejak kuli-kuli Tionghoa tidak lagi terikat kontrak dengan pihak perkebunan, atau pertambangan, sebagian besar dari mereka tidak pula kembali ke daerah asalnya. Mereka kebanyakan tinggal menetap di wilayah tanah Deli Sumatera Timur, terutama tinggal di daerah perkotaan seperti Medan. Mereka diberi peluang kesempatan oleh pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu untuk bergerak di dunia bisnis. Dalam waktu yang cukup singkat mereka sudah beralih ke berbagai sektor perdagangan dan jasa (Sinar, 1980), disertai dengan kegigihannya yang sungguh-sungguh sehingga sebagian besar dari mereka telah pula meningkat dan berhasil dalam usahanya. Di kota Medan, masyarakat Tionghoa telah banyak memberikan corak tertentu, yang khas terhadap perkembangan kehidupan kota Medan itu sendiri. Kendatipun masyarakat Tionghoa yang jumlahnya hanya minoritas saja, bila dibanding dengan penduduk asli pribumi, tetapi mereka sering kali dapat menguasai berbagai posisi yang strategis dan dapat pula menggerakan kehidupan sosio-ekonomi penduduk lain yang non-Tionghoa di kota ini. Baik yang bergerak di sektor produsen maupun mereka yang bergerak disektor distributor dan jasa. Keberadaan etnis Tionghoa di kota Medan saat ini merupakan ‘The Godfather’, khususnya di bidang ekonomi. Di
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
9
tengah-tengah kehidupan masyarakat kota Medan yang heterogen dan serba kompleks kehandalan mereka membuat kota Medan “menjadi suatu yang lain”. Suatu fenomena yang menarik untuk dicermati (Bergerak, 1994: 4). Dapat diperkirakan tidak sedikit diantara warga penduduk asli pribumi lainnya di kota Medan, yang kebutuhan hidupnya juga sangat bergantung pada kesuksesan bisnis orang Tionghoa ini. Warga penduduk asli pribumi ada yang menjadi pekerja sebagai karyawan/karyawati di pabrik-pabrik milik pengusaha Tionghoa, bahkan ada pula yang menjadi pekerja sebagai pelayan di pertokoan maupun sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah keluarga orang-orang Tionghoa. Secara tidak disadari keberhasilan masyarakat Tionghoa di kota Medan dalam merespons pembangunan telah menimbulkan sebuah rangkaian rantai pekerjaan baru bagi penduduk Medan yang lainnya. Keberadaan dan keberhasilan mereka di kota Medan tidaklah sedikit membuat motivasi yang kuat terhadap masyarakat non-Tionghoa yang lainnya, sehingga tanpa disadari sudah menjadi suatu masyarakat yang kreatif (a creative society) dalam membangun kota Medan itu sendiri. Namun di sisi lain dengan adanya “dominasi-ekonomi” orang-orang Tionghoa terhadap jaringan-jaringan perdagangan di kota Medan, yang telah memberikan keuntungan yang besar bagi mereka, dan sulit untuk diterobos, ternyata hal ini memberikan kesan yang bersifat ekslusif. Kenyataan semacam itu, menjadi pemicu pula terhadap peristiwa-peristiwa rasialis yang cukup serius. Terbukti dengan adanya sejumlah tindakan-tindakan kekerasan, bentrokan-bentrokan fisik, serta serangkaian tindakan ekstrim lainnya. Peristiwa ini tidak hanya pernah terjadi di kota Medan saja
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
10
tetapi hampir semua kota di Indonesia. Sebagai contoh peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai berikut (Husodo: 1985, hal.42): *
Kegiatan anti Tionghoa pada tahun 1911, pada masa sekitar berdirinya Sarekat Dagang Islam untuk menandingi penguasaan ekonomi oleh orang-orang Tionghoa. 6
*
Pada masa-masa revolusi kemerdekaan, telah timbul di beberapa tempat, akibat adanya kesan bahwa di antara golongan non-pribumi Tionghoa telah ikut membantu penjajahan Belanda.
*
10 Mei 1963 di Jawa Barat, serangkaian peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dibeberapa kota mulai dari kota Cirebon, menjalar ke kota-kota lain di Jawa Barat, Jawa Timur dan berakhir di Yogya pada tanggal 21-22 Mei 1963.
*
Peristiwa Aceh tahun 1966.
*
5 Agustus 1973 di Bandung. 7
*
November 1980 di Solo-Semarang dan sekitarnya yang bermula di Solo dan seminggu kemudian nyaris menjalar ke kota-kota di Jawa Timur.
*
Peristiwa di Tanjung Periok pada tahun 1984.
*
Puncaknya, pada tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta. 8
Penyebab kerusuhan yang terjadi sebagian besar adalah berkisar pada masalah ekonomi. Golongan pribumi merasa pemerataan kegiatan usaha di bidang ekonomi belum diperolehnya. Sedangkan golongan orang-orang Tionghoa dianggap telah
6
Huru-hara anti Cina di Solo dan Surabaya pada tahun 1912, di Kudus pada tahun 1918, di Kebumen dan tangerang pada tahun 1946 (Marzali dalam Prisma, 12 Desember 1994: 57-71). 7 Peristiwa Malari di Jakarta pada tahun 1974 (Marzali dalam Prisma, 12 Desember 1994: 57-71). 8 Sebelumnya juga pernah terjadi huru-hara anti Cina di Medan pada bulan April 1994 (Marzali dalam Prisma, 12 Desember 1994: 57-71).
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
11
menguasai perekonomian. Oleh karena itu golongan pribumi (non-Tionghoa) menganggap, kehidupan orang-orang Tionghoa bisa menjadi lebih kaya dari pada golongan pribumi. Kecemburuan sosial tersebut dijadikan alasan kemarahan kaum pribumi terhadap golongan non-pribumi keturunan Tionghoa ini. Sasaran-sasaran dari kemarahan kaum pribumi adalah pusat-pusat perdagangan dan pertokoan, yang sebagian besar dikuasai oleh golongan masyarakat Tionghoa, ataupun tempat-tempat tinggal yang sejak dari dahulu sudah merupakan tempat-tempat bermukimnya orangorang Tionghoa secara eksklusif (Husodo: 1985, hal. 43). Menurut hasil penelitian yang di lakukan oleh Haida Jasin dan Alan W. Smith pada tahun 1976, di Medan, dijelaskan bahwa: orang-orang Tionghoa yang jumlahnya hanya 8% dari jumlah penduduk di kota Medan, namun mereka dapat menguasai 58% sektor perekonomian daerah ini. Sedangkan penduduk pribumi yang jumlahnya mencapai 84% dari jumlah penduduk di kota Medan, hanya 40% saja yang dapat bergerak di sektor ekonomi (Jasin, 1978: 165-173). Demikian pula pendapat Usman Pelly; di kota Medan masyarakat Tionghoa merupakan kelompok yang penting dan berarti, terutama karena dapat menguasai kehidupan disektor ekonomi, baik perdagangan maupun industri tingkat menengah dan atas (Pelly, 1983:6). Pemukiman etnis Tionghoa pada umumnya berada di kawasan elite strategis dan bergengsi (Bergerak, 1994: 4) Pengamat lain berpendapat bahwa, keberhasilan orang-orang Tionghoa, walaupun mereka memiliki kepercayaan religius yang kuat, namun mereka tetap dapat menampilkan nilai-nilai kehidupan kota yang majemuk, moderen dan serba
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
12
kompleks. Mereka berhasil karena memiliki karakter hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi sesuai dengan tuntutan persyaratan agar dapat menjadi sukses (Husodo, 1985: 75 dan Greif, 1994: 4). Senada dengan hal itu, Mattulada juga menyatakan bahwa mereka berhasil karena mereka memiliki sikap mental yang responsif terhadap perkembangan dan kemajuan zaman (Mattulada,1980:5-18). “Bangsa Cina merupakan suatu kelompok yang penuh dengan segala macam legenda, misteri dan tradisi yang telah tua usianya…Beberapa aspek kepercayaan mereka sudah dibuktikan sesuai dengan standar ilmiah yang sangat penting bagi Dunia Barat, tetapi di antaranya masih dalam proses pengujian. Sering kali kita temukan bahwa orang Cina sendiri tidak tahu apa yang sesungguhnya mendasari tingkah laku dan kebiasaan mereka tersebut. Semua itu sudah terbentuk sejak berabad-abad yang lalu, dan mereka tetap mempertahankan ajaran yang menerangkan gaya hidup yang bersangkutan … Mereka tergolong bangsa yang paling tidak dikenal dan paling kurang dimengerti … mereka merupakan etnik langka yang masih dapat mempertahankan tradisi dan kepercayaannya yang telah berusia ribuan tahun, namun pada waktu bersamaan telah mampu menyesuaikan diri dalam abad computer sekalipun… “ (Bloomfield, 1986: 20).
Para ahli lain pun berpendapat bahwa kendatipun budaya Eropa yang memacu kemajuan teknik dan ilmu pengetahuan moderen, serta kegiatan ekonomi yang pesat, namun etos Timur yang diwarnai ajaran Konfusius dirasakan masih tetap kuat menguasai kehidupan perekonomian (Sudiarja, 1996:1). Upaya pengkombinasian antara nilai-nilai tradisi dengan nilai-nilai yang moderen semacam itu, mirip dengan logika yang terdapat di dalam bentuk sistem kepercayaannya. Dalam kehidupan religius, mereka mengenal sinkretisme. Mereka
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
13
penganut lebih dari satu kepercayaan sekaligus (sinkretisme), seperti ajaran Konfusius, Budha, dan Tao, yang dikenal dengan istilah Tri Dharma, Sam Kauw atau San Chiao Wei Yi (ketiga agama adalah satu) (Hadiluwih, 1994: 207-208). Mereka juga tetap mempercayai adanya berbagai makhluk supra-alami, yang dikenal dengan kepercayaan shenisme. 9 Selain itu mereka mempercayai adanya “Pe’ Kong”, mereka juga percaya akan adanya “Datuk Kong”. Pada hal ”Datuk Kong” adalah makhluk gaib yang mempunyai ciri kepribadian khas lokal dan dianggap Muslim pula. Sedangkan “Pe’ Kong” adalah makhluk gaib yang mempunyai ciri kepribadian khas Konfusianis, namun keduanya baik “Pe’ Kong” maupun “Datuk Kong” keduanya ternyata mereka percayai secara terkombinasi. Keduanya dapat harmonikan dalam sistem kepercayaan shenisme, sehingga menjadi khas dan unik. Seni sinkretisasi semacam itu, merupakan seni kearifan filosofis hidup mereka, yang mereka warisi dari gerasi sebelumnya. Logika yang semacam itu merupakan hal yang wujudnya abstrak dan tersembunyi seakan-akan tanpa disadari oleh mereka sendiri. Namun aplikasinya dalam perilaku kehidupan sehari-hari dapat menjadi daya energi bagi prinsip-prinsip hidupnya. Hal semacam itu juga pernah dilakukan oleh To Thi Anh, yang berupaya merajut antara pemikiran Barat dan pemikiran Timur dalam karyanya. 10 Kasus seni mengkombinasikan semacam itu adalah upaya ekspresi yang dilandasi oleh latar belakang nilai filosofis kulturalnya, yakni kerangka pikir filosofis
9
Cheu Hock-Tong, 1982-83:203, Bloomfield, 1986:39, Gondomono, 1995:91. To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat, konflik atau harmoni ?, Jakarta: Gramedia, 1984.
10
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
14
yin-yang. Sebab nilai-nilai filosofis yin-yang, memiliki logika daya kemampuan untuk mendorong terjadinya perubahan tetapi tetap memiliki kekhasan aslinya. Logika yin-yang mengandung dinamika-akumulasi semacam akulturasi. Kombinasi semacam itu bertujuan dalam rangka mencari keseimbangan (harmoni), terhadap dua nilai atau lebih yang saling berbeda dan bertentangan, baik di luar maupun di dalam diri manusia. Menurut J.C. Cooper nilai yin maupun nilai yang dalam filosofis yin-yang dapat berkembang lagi menjadi nilai yin-minor dan nilai yang-mayor bagaikan hukum matetis seperti deret ukur berkelipatan dua. 11 Warga masyarakat Tionghoa dalam merespon pembangunan, pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi di kota Medan seringkali memperoleh keberhasilan dalam hidupnya. Kendatipun status sosial mereka seringkali termarjinalisasi. Namun prinsip (so) untuk sikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi tidak pernah pupus dalam hidupnya walau dimanapun mereka itu berada. Hal ini dimungkinkan karena adanya dorongan semacam daya energi (ch’i) sebagaimana layaknya hukum (li) yang terkandung dalam nilai-nilai yin-yang. Pada satu pihak, mereka tetap dapat mempertahankan nilai-nilai tradisi dan kepercayaan warisan leluhurnya. Sedangkan di lain pihak, mereka harus terbuka terhadap kemungkinan yang ada, agar dapat merespons berbagai perobahan yang bakal dan yang sedang terjadi. 12
11
J.C. Cooper, 1981:33-56. Lihat Bloomfield 1986: 10 yang menerangkan bahwa, ch’i adalah energi yang mendorong gerakan yin-yang menjadi hukum atau li sehingga menimbulkan prinsip yang matematis atau so. 12
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
15
Mempertahankan nilai-nilai tradisi dan kepercayaan yang demikian patuhnya. merupakan aplikasi dari nilai-nilai Yang. Sedangkan respons terhadap kemungkinan yang ada dan terjadi untuk diadopsi sehingga terjadi perobahan mirip dengan nilai Yin. Pengalaman sejarah adalah pelajaran, yang tidak mudah untuk dilupakan, dan merupakan aplikasi dari nilai-nilai Yang. Masa depan, merupakan aplikasi dari nilainilai Yin, adalah harapan yang harus diraih dan harus diperjuangkan agar dapat mencapainya. Kombinasi antara nilai Yang dan nilai Yin inilah, faktor hukum yang menimbulkan reaksi (energi) sehinga mereka berprinsip untuk bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi adalah upaya mereka merespons kemungkinan-kemungkinan yang bakal ada dan terjadi dalam kehidupan ini. Termasuk kemungkinan-kemungkinan yang ada dan bakal terjadi pada perkembangan di kota Medan. To Thi Anh berpendapat bahwa: perbedaan antara nilai budaya Timur dan nilai budaya Barat seharusnya tidak dipertentangkan. Tetapi sebaliknya, keduanya harus diharmonikan menjadi pasangan yang saling melengkapi (1984). Dalam hal ini, tawaran yang di sampaikan To Thi Anh bukan didasarkan pada pandangan dan sikap yang bersifat netral, namun justeru dia berangkat dari latar belakang nilai budaya Timur itu sendiri, yakni: nilai-nilai filosofis yin-yang. Yang terdapat di dalam ajaran Kofusius, Budha, dan Tao. Dengan berlandaskan sistem berpikir filosofis yinyang, To Thi Anh berhasil membangun sebuah sistem pemikirannya, kreativitas intelektualnya. Kasus tersebut membuktikan bahwa, nilai filosofis yin-yang ternyata memiliki kekuatan untuk membentuk sikap mental dan sistem berpikir individu
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
16
warga masyarakatnya. Termasuk To Thi Anh
sendiri, ketika memaparkan
pemikirannya dilandasi oleh pemikiran binnary opposition sebagaimana yang terdapat dalam ajaran filosofis yin-yang. Betapa kuat nilai-nilai filosofis yin-yang, sehingga kreativitas berpikirpun seperti—To Thi Anh, salah seorang intelektual— ternyata juga dipengaruhi oleh logika Yin-Yang ini. Namun pendapat dan sikap intelektual To Thi Anh tersebut telah membuktikan bahwa di dalam dirinya sudah menganggap, nilai budaya Barat memiliki keunggulan tersendiri dan merupakan saingan atau ancaman bagi nilai budaya Timur. Oleh karena itu, agar tidak terjadi konflik antara kedua nilai budaya tersebut maka solusinya, dia berupaya merespons, dengan cara mengkombinasikan antara keduanya. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan penulis sendiri, ternyata masyarakat. Tionghoa di Medan dalam kehidupan religiusnya, juga memiliki logika filosofis yin-yang. Keyakinan kepada Pekong, yang merupakan kepercayaan asli leluhur mereka, tidak pernah dipertentangkan dengan kepercayaan terhadap makhluk supra-alami lokal yang mereka sebut Datuk. Kendatipun Datuk adalah makhluk supra-alami beragama Islam, sedangkan mereka sendiri bukan beragama Islam. Dalam kenyataan seperti ini, jelas masyarakat Tionghoa di Medan juga memiliki sistem berpikir yang bersifat a`la yin-yang. Pekong dan Datuk mereka sintesakan menjadi sistem kepercayaan yang khas dan unik (Agustrisno, 2005). Datuk juga dianggap suatu makhluk gaib yang diyakini keberadaannya, setiap saat dapat mengancam kehidupan mereka. Untuk merespons hal tersebut mereka dapat
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
17
mengadopsinya dengan upaya mengkombinasikannya sehingga menjadi kepercayaan yang baru, khas, dan unik. Keberhasilan mereka dalam merespons kemungkinankemungkinan yang bakal ada dan terjadi terutama terhadap proses perkembangan di kota Medan diduga mempunyai indikasi yang sama semacam itu. Kecuali nilai-nilai tradisi, kepercayaan, dan budaya yang mereka warisi dari generasi sebelumnya, mereka juga mewarisi pengalaman sejarah keberadaan status sosial mereka selama di bumi Indonesia. Baik pengalaman suka maupun duka yang dirasakan berupa bentuk tekanan sosial ataupun berupa peluang kesempatan yang pernah dialami sebelumnya. Banyak bukti-bukti yang menjelaskan hal tersebut, yang telah ditulis oleh berbagai kalangan. Apakah tekanan akibat peperangan maupun diskriminasi hukum, politik, ekonomi, dan sosial-budaya terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia. Salah satu bukti diantaranya adalah dimasa pemerintahan kolonial; orang-orang Tionghoa dipisahkan dari penduduk pribumi. Baik dalam hal hukum maupun perlakuannya oleh pihak kolonial Belanda sesuai dengan Ordonasi dalam Staatsblad Nomor 17 Tahun 1917, yang diberlakukan mulai 1 Mei 1917 (Soetriyono, 1989: 9-10). Hal inilah juga melatar belakangi salah satu kenyataan historis dari status sosial kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Pemerintah Belanda membuat kantong-kantong pemukiman yang khusus untuk mereka, menyebabkan orang-orang Tionghoa mempertahankan kehidupannya secara eksklusif (Chalida, 1975: 8). Keadaan semacam itu ternyata terus berlanjut di alam kemerdekaan Negara Indonesia. Walaupun sejak peristiwa reformasi sudah dikumandangkan, dan diskriminasi secara hukum mulai dihilangkan, namun
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
18
sebagaimana menurut Parsudi Suparlan, ideologi kesukubangsaan ternyata belum sepenuhnya hilang. Etnis Tionghoa masih sering disudutkan dan selalu ditempatkan dalam posisi sebagai etnis asing atau etnis yang berasal dari luar Indonesia (Suparlan). 13 Jika nilai-nilai tradisi, kepercayaan, dan budaya merupakan aspek kultural masyarakat Tionghoa, maka yang dimaksud dengan aspek strukturalnya adalah keberadaan, posisi atau status sosial orang-orang Tionghoa di tengah-tengah kehidupan masyarakat, yaitu keberadaannya di dalam masyarakat kota Medan. Kombinasi antara aspek kultural dan aspek struktural inilah yang diduga, telah menimbulkan orientasi teleologis atau arahan bagi masyarakat Tionghoa yang hidup di
kota
Medan.
Mereka
memiliki
kepandaian
untuk
menginterpretasikan
kemungkinan-kemungkinan yang ada dan bakal terjadi di kota Medan. Kedua aspek inilah yang menjadikan faktor pendorong kebolehan mereka untuk membentuk pandangan teleologisnya, seperti memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi tersebut. Kendatipun pandangan teleologis tersebut keberadaannya tidak jelas bagi kita, samar-samar, bahkan dapat dikatakan gelap sama sekali bagi kita. Namun bagi mereka seakan-akan sudah dapat terbayangkan kemungkinankemungkinan yang ada dan akan terjadi. Sebagaimana menurut pendapat Berkeley, “Esse est percipi” (ada itu sama dengan ditanggap), sebenarnya ada itu berarti ada dalam tanggapan dan pikiran mereka (Alisjahbana, 1981: 45). Pandangan teleologis semacam itu hampir sama dengan pengertian kebudayaan menurut pendapat Parsudi 13
http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps2.htm
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
19
Suparlan. Dalam hal ini kebudayaan didefinisikan oleh Parsudi Suparlan, sebagai: “keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkuangan yang dihadapi, dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan”. Oleh karena itu kebudayaan berfungsi dapat menjadikan seseorang individu membuat sistem pengkategorisasian terhadap keanekaragaman yang ada di lingkungan hidupnya secara lebih sederhana. Dapat membuat identifikasi, membuat metode yang sistematis, memprediksi kemungkinan yang terjadi, serta membuat model-model berpikir yang khas dalam rangka menginterpretasikan lingkungan hidupnya (1981). Dengan demikian kebudayaan dipahami sebagai faktor stimulus bagi seseorang individu atau suatu warga masyarakat yang berasal dari pengalaman hidup dalam lingkungannya dan sekaligus juga sebagai faktor pendorong keinginan atau motivasinya. Disebabkan adanya pandangan teleologis inilah, yang menjadikan faktor pendorong ataupun menjadi faktor penyebab untuk bertindak hidup dengan berprinsip hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi. Pandangan teleologis tersebut dapat diperoleh oleh seorang individu, yaitu dengan jalan latihan dan belajar dari pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya (Wahyudi, 1993: 19).
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
20
1. 2. Perumusan Masalah. Pengalaman kultural dan struktural yang dimiliki masyarakat Tionghoa di Medan merupakan sumber pembelajaran bagi mereka,
yang telah membentuk
pandangan teleologis dalam hidupnya. Pandangan teleologis itu sendiri merupakan daya pendorong ataupun faktor penyebab untuk bertindak hidup dengan berprinsip hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi. Yang menjadi masalah dan hal yang perlu diungkapkan dalam penelitian ini adalah, apa dan bagaimana pandangan teleologis atau futurologis mereka itu dalam menghadapi kehidupan ini ?
1. 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini berupaya mengkaji pandangan teleologis yang dimiliki masyarakat Tionghoa Medan dalam rangka merespons fenomena kehidupan yang mungkin ada dan terjadi di kota Medan. Peristiwa-peristiwa apa atau perobahanperobahan apa yang bakal ada dan terjadi di kota Medan. Bagaimana mereka membuat
prediksi,
bereaksi,
membuat
strategi,
berprinsip
dan
sekaligus
mempersiapkan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dan bakal terjadi tersebut. Secara rinci ada tiga hal yang ingin dikaji dalam penelitian ini:
1.
Kemungkinan-kemungkinan apa, yang ada dan bakal terjadi dalam kehidupan di kota Medan
2.
Bidang usaha apa kiranya, yang dianggap mempunyai peluang keberhasilan/keuntungan yang cukup besar nantinya.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
21
3.
Persiapan-persiapan yang bagaimana harus dilakukan untuk menghadapi hal tersebut.
Ke-piawai-an semacam itu sungguh suatu pelajaran yang tak terhingga nilainya. Mana kala potensi pengalaman hidup berbudaya semacam itu dapat terungkap dan terbukti dalam penelitian ini, dapatlah dipetik untuk dijadikan pelajaran bagi masyarakat yang lainnya. Dengan kata lain, belajar dari pengalaman budaya orang lain dalam merespons kehidupan yang berupa pandangan teleologis, tidaklah mengurangi nilai dan makna kehidupan itu sendiri. Bahkan dapat dijadikan sebagai alat untuk mengkoreksi, introspeksi, dan mengevaluasi diri terhadap kekurangan-kekurangan maupun kelemahan-kelemahan yang kita miliki selama ini. Nilai-nilai budaya yang tidak lagi relevan dalam membuat pandangan teleologis atau memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang ada dan yang bakal terjadi, seperti perobahan-perobahan,
peristiwa-peristiwa
yang
mungkin
timbul,
sebaiknya
diperbaiki. Pada gilirannya nanti, selain dapat memperkaya khazanah nilai-nilai budaya yang selama ini sudah kita dimiliki, juga dapat memperkecil kesenjangankesenjangan sosial yang sering kali, justeru menimbulkan kecemburuan sosial di antara sesama warga di dalam masyarakat.
1. 4. Kerangka Pemikiran Bagaimanapun sederhananya kultur atau budaya suatu masyarakat, namun di dalamnya tetap memiliki potensi untuk melakukan orientasi maupun mekanisme
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
22
merespons fenomena kehidupan, atau dapat membentuk pandangan teleologis warga masyarakatnya. Budaya suatu masyarakat, biasanya mengandung potensi daya energi untuk membentuk corak atau warna sikap mental dan watak yang khas (etos) bagi individu-individu warga masyarakatnya. Rata-rata sikap mental dari suatu warga masyarakat memiliki kesamaan, antara satu individu dengan individu yang lainnya. Namun berbeda budaya, akan berbeda pula keunikannya. Pada gilirannya nanti akan membedakan pula sikap mental individu yang berasal dari satu warga masyarakat, dengan masyarakat yang lainnya. Dengan kata lain dapat membedakan pula basic personality type (tipe kepribadian dasar) bagi individu yang berasal dari satu warga masyarakat tertentu, dengan individu dari warga masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan, suatu kebudayaan memiliki potensi kemampuan atau daya energi yang berfungsi sebagai penentu (determinasi) bagi anggota warga masyarakatnya. Sebuah kebudayaan dapat dimiliki oleh seorang individu dengan proses pembelajaran atau proses enkulturasi, sosialisasi, dan internalisai. Kebudayaan yang sudah menjadi milik dirinya itu dengan sendirinya dapat mengakibatkan seorang individu warga dari suatu masyarakat itu memiliki kekhasan dalam berpikir, memprediksi, membentuk pandangan teleologis, bersikap, berprilaku dan untuk menentukan pilihan-pilihan, maupun dalam upaya mengambil keputusan. Sikap mental individu warga suatu masyarakat dipola oleh budayanya dengan tidak disadari lagi oleh individu tersebut, sebab daya energi yang terkandung dalam budaya itu tidak hanya sebagai milik tetapi sudah menjadi bagian dalam sistem kepribadiannya.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
23
Dengan meminjam istilah Ruth Benedict, di dalam pribadi individu tersebut, daya energi budaya sudah menjadi unconscious canons of choice (Benedict, 1960), atau E.Sapir menyebutnya dengan isitilah: unconscious system of meaning (sistem makna di bawah sadar). Menurut Claude Levi-Strauss, daya energi budaya tersebut merupakan hukum yang secara tidak disadari atau tanpa dikenalnya lagi sudah membentuk watak atau sikap mental individu warga masyarakat tadi. Sehingga mengikat sistem pemikirannya seperti memaksa, harus ditaati, dan senantiasa selalu mempengaruhi dalam kehidupannya (van Baal, 1988:118). Daya energi kebudayaan tersebut menurut Parsudi Suparlan (1981), memiliki kemampuan untuk menjadikan seseorang individu dapat membuat sistem pengkategorisasian terhadap keanekaragaman yang ada di lingkungan hidupnya secara lebih sederhana. Dapat membuat identifikasi, atau membuat metode yang sistematis, memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bakal ada dan
terjadi
(teleologis), serta membuat model-model berpikir yang khas dalam rangka menginterpretasikan lingkungan hidupnya. Menurut Koentjaraningrat, daya energi kebudayaan dapat membentuk metalitas individu warga masyarakat. Daya energi budaya semacam itu bentuknya dapat berupa, sistem nilai budaya, sistem sosial, dan sistem kepribadian. Bentuk budaya yang dinamakan sistem nilai budaya, menurut Sigmund Freud disebut dengan istilah superego (Freud, 1987). Bentuk budaya berupa sistem nilai adalah bentuk budaya yang lebih abstrak tetapi memiliki daya energi yang lebih tinggi sifatnya, dari semua sistem budaya manusia. Hal tersebut merupakan konsepsi
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
24
yang paling abstrak jenjangnya, dalam sistem berpikir manusia, dan yang paling luas pula lingkup jangkauanya dalam kehidupan sebagian besar warga suatu masyarakat (Koentjaraningrat, 1984:25-31). Isi yang terdapat di dalamnya mengandung campuran elemen kognitif, afektif, dan direktif sehingga dapat membentuk metalitas warga masyarakatnya. Oleh karena itu setiap individu warga masyarakat dapat menilai tentang sesuatu hal: apakah berupa benda-benda, aktivitas, perilaku, peristiwa-peristiwa, hubungan-hubungan dan lain sebagainya, yang berada di sekitarnya. Berbagai ahli berpendapat bahwa, daya energi budaya yang berbentuk sistem nilai ini kecuali dapat membentuk sikap mental, juga memberi arah bagi diri individu warga suatu masyarakat. Diri individu tadi dapat membuat configurations (konfigurasi-konfigurasi) dalam hidupnya kata E.Sapir. Namun, dapat juga membuat tema-tema budaya (culture themes) sebagaimana menurut M.Opler. Sedang E.A.Hoebel berpendapat bahwa, dengan adanya daya energi budaya yang berbentuk sistem nilai, manusia dapat membuat postulates (postulat-postulat) (Koentjaraningrat, 1984a:115-169). R.Redfield berpendapat dengan adanya daya energi sistem nilai budaya, menjadikan manusia mempunyai world view (pandangan dunia) atau peta mengenai jagad (Shri Ahimsa Putra, 1985:103-133). Ruth Benedict menyatakan, manusia dengan daya energi sistem nilai budaya tadi dapat membuat patterns of culture (pola-pola budaya) (Benedict, 1960; Danandjaja, 1988). Clyde Kluckhohn menyatakan, dengan adanya daya energi sistem nilai budaya, manusia dapat membuat orientasi (Kluckhohn, 1961, Koentjaraningrat, 1984:25-31).
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
25
Max Weber dan Franz-Magnis Suseno, menyatakan bahwa dengan daya energi sistem nilai budaya ini, manusia memiliki dorongan untuk beretika dalam hidupnya (Weber, 1958; Franz-Magnis Suseno, 1993). Usman Pelly menyatakan bahwa pada dasarnya para perantau melakukan mobilitas dari daerah asalnya karena dimotivasi oleh daya energi sistem nilai budaya ini. Daya energi sistem nilai budaya tersebut dinamakan oleh Usman Pelly sebagai missi budaya (Pelly, 1994). Sedangkan Miyamoto Musashi melukiskan keberhasilan bisnis masyarakat Jepang karena sikap mentalnya didorong oleh daya energi sistem nilai budayanya yang terdiri dari istilahistilah seperti Zen, Bushido, dan Heiho (1984). Dengan adanya daya energi sistem nilai budaya, sering kali menjadikan berbedanya karakter antara masyarakat yang satu dengan lainnya. Ruth Benedict berupaya mendeskripsikan kehidupan masyarakat Jepang, dengan sikap mental individu yang lembut bagaikan Bunga Seruni dan sekaligus keras bagaikan Pedang Samurai (1946). Sedangkan hasil karyanya yang lain, dengan menggunakan metode content analysis, Benedict berpendapat bahwa pada masyarakat Dobu digambarkan sebagai individu yang memiliki sifat schizophrenian. Di mana warga masyarakatnya selalu bersikap curiga dan penuh ketakutan terhadap sesamanya, tidak suka menolong apalagi bekerja sama bergotong royong dengan orang lain, disamping itu mereka gemar pula dengan ilmu gaib. Masyarakat Indian Kwakiutl digambarkannya sebagai Dionysian, suatu adat kebiasaan bersikap dinamis dan agresif, suka bersaing dan berkelahi, congkak, suka membual, sering mengintoxikasi diri dengan mabukmabukan baik dalam kehidupan seharian apalagi di dalam kegiatan-kegiatan upacara.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
26
Dalam melakukan upacara, warga masyarakat Indian Kwakiutl sering kali, para pemimpinnya menonjolkan kekuasaan dan gengsi sosial,
suka memamerkan
kekayaannya di depan umum. Masyarakat Pueblo Zuni digambarkan berwatak Apollonian, di mana warganya selalu bersikap suka damai, pasif terhadap hidup, gemar bekerja sama secara bergotong-royong (Benedict, 1960). Sedang M.Opler misalnya, sistem keperibadian masyarakat Indian Apache Chiricahua di Amerika Serikat, digambarkan sebagai masyarakat yang hidupnya memiliki orientasi tema-tema berpikir. Antara tema pikir yang satu, dengan lainnya, boleh jadi saling bertentangan. Sebagai contoh misalnya, di satu sisi masyarakat Indian Apache Chiricahua menganggap ideal kalau berusia panjang. Oleh sebab itu biasanya orang-orang tua yang berusia lanjut sangatlah di hormati. Pada sisi lain, orang yang berprilaku aktif, agresif dan sibuk kendatipun masih berusia muda, menjadi tipe yang ideal pula. Oleh karena itu, orang tua yang berusia lanjut, tetapi pemalas dalam hidupnya, menjadi orang yang tidak begitu dihormati lagi (Koentjaraningrat, 1984a:115-169). Franz-Magnis Suseno, menyatakan bahwa sistem nilai budaya Jawa telah membentuk prilaku orang Jawa pada umumnya, sehingga dikalangan orang-orang Jawa, rata-rata mereka memiliki sikap mental: sepi ing pamrih, rame ing gawe (1993). 14
14
Sepi ing pamrih, rame ing gawe: lebih mengutamakan beraktivitas, kreativitas, atau karya ketimbang mengharapkan imbalan atau hasilnya. Orang yang rajin dengan sendirinya akan mendapatkan hasil yang memuaskan.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
27
Sedangkan Clifford Geertz berupaya melukiskan sikap mental pada masyarakat Jawa disebabkan oleh latar belakang pengaruh ajaran agama Islam yang berkembang di Mojokuto (desa Pare) Jawa Tengah. Masyarakat di Jawa yang dikategorikan menjadi tiga kelompok oleh Geertz, terdiri dari: orang-orang Jawa santri, yaitu orang Jawa yang taat dan menjalankan ajaran agama Islam secara murni; kemudian orang-orang Jawa Priyayi, adalah orang Jawa yang menjalankan ajaran agama Islam disamping masih meyakini ajaran agama Hindu; dan yang terakhir adalah orang-orang Jawa abangan, yaitu orang Jawa yang melaksanakan ajaran agama Islam tetapi bersinkretis dengan keyakinan Kepercayaan Asli (Geertz, 1981). Ketiga kelompok masyarakat Jawa ini memiliki karakter hidup yang berbeda satu sama lain. Hal ini disebabkan oleh proses penyerapan sistem nilai Islam yang berbeda-beda antara kelompok yang satu dengan yang lainnya. Max Weber pernah mencoba melukiskan keadaan di kalangan masyarakat Eropa dalam penelitiannya. Ia berpendapat bahwa, diantara warga penganut agama Nasrani (Kristen) terdapat
dua golongan yang berbeda, yaitu: warga penganut
Protestan dan warga penganut Katolik. Perbedaan ini disebabkan oleh sistem nilai Kristiani yang berbeda-beda penyerapannya pada masing-masing mereka. Perbedaan tersebut ternyata telah membentuk prinsip dan sikap mental yang berbeda pula. Max Weber berkesimpulan bahwa, ajaran Protestan ternyata telah mendorong semangat kapitalis dikalangan penganutnya. Warga masyarakat Eropa yang berjiwa kapitalis, justeru ditumbuh kembangkan dengan subur oleh sistem nilai ajaran Protestan, bukan ajaran Katolik (1958).
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
28
Kesemua pandangan mengenai kebudayaan tadi, pada dasarnya telah mendorong kesadaran manusia untuk menggunakan pikirannya dalam menanggapi atau menghadapi hidup ini. Karena masing-masing kebudayaan memiliki kekhasan atau perbedaan dalam cara menanggapi kehidupan ini, maka
masing-masing
kebudayaan pun mengajarkan sistem berpikir yang berbeda-beda pada masingmasing warga masyarakatnya. Kemudian. semua kebudayaan pada hakekatnya mengandung pandangan yang bersifat teleologis, oleh sebab itu manusia yang melakukan perbuatan atau kegiatan tertentu secara sadar dalam hidupnya bukanlah perbuatan atau kegiatan yang kebetulan saja, atau karena dorongan naluri belaka. Namun manusia melakukan suatu kegiatan atau tindakan dalam hidupnya karena tindakannya itu dianggap bermakna atau bernilai. Karena mengandung makna dan nilai inilah, manusia mau melakukannya. Dengan kata lain, tindakan dan kegiatan manusia itu mengandung tujuan (teleologis), karena tindakannya bermakna atau bernilai. Pandangan yang menganggap warisan sistem nilai budaya adalah modal personality yang menjadikan satu-satunya faktor pendorong jiwa wira usaha atau interpreneur, telah disangkal oleh Frank Young. Menurut Young, jiwa interpreneur dari suatu warga masyarakat, justeru dapat timbul disebabkan adanya tekanantekanan struktur sosial dimana mereka berada. Mereka mau bekerja keras disebabkan kekaburan keberadaan status mereka baik dari sudut kebudayaan maupun status sosialnya di dalam masyarakat. Karena tekanan-tekanan inilah mereka menjadi lebih bersemangat untuk berkreasi memajukan usahanya, dengan tujuan agar status sosial
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
29
mereka dapat diakui keberadaan di dalam masyarakat. Mereka berusaha untuk melakukan penyesuaian yaitu dengan jalan berkreativitas dalam situasi-situasi perobahan yang terjadi (Kilby, 1975: 6-21). Pendapat Young ada relevansinya dengan kenyataan yang pernah dialami oleh berbagai warga masyarakat seperti orang-orang Yahudi pada zaman pertengahan di Eropa, orang-orang Libanon di Afrika Barat, orang-orang India di Afrika Timur dan orang-orang Tionghoa yang terdapat di Asia Tenggara. Dengan demikian pendapat Young dapat dijadikan bahan kontribusi dalam kerangka pemikiran. Sebab orang-orang Tionghoa di Medan pun pernah memiliki pengalaman hidup semacam itu. Status mereka sebagai imigran, diharapkan dapat diterima menjadi bagian salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia, ternyata mengalami tekanan-tekanan. Hal inilah merupakan salah satu faktor insentif yang membentuk kepribadian kreatif bagi mereka. Respons masyarakat Tionghoa di Medan salah satu diantaranya adalah untuk beralih dari suatu kondisi status sosial yang dianggap tidak menyenangkan dan kabur agar dapat diterima keberadaannya sebagai bagian dari struktur sosial warga masyarakat Medan umumnya. Untuk membuktikan tumbuhnya rasa kepercayaan bagi warga masyarakat lainnya, agar mereka bertahan di perantauan. Dengan kata lain, tidak diposisikan sebagai tamu tetapi sebagai kerabat sendiri oleh warga masyarakat Medan lainnya. Hampir sama dengan pendapat Young, Skinner juga berpandangan demikian, dalam kajiannya terhadap masyarakat Tionghoa yang hidup di Thailand. Orang-orang Tionghoa di Thailand dapat memperoleh kesuksesan dalam usahanya karena
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
30
didorong oleh keinginannya agar status sosial mereka diterima sebagai orang Thailand. Sedangkan masyarakat Thailand hanya mengenal dua kelompok status sosial, yaitu: Nai dan Phrai. Kedua status sosial tersebut berhubungan secara vertical dyadic alliances. Status sosial kelompok Nai menduduki lapisan yang teratas, dan berfungsi sebagai patron, yang terdiri dari keluarga bangsawan, yang menguasai pemerintahan. Sedangkan status sosial kelompok Phrai menduduki lapisan yang bawah, yang terdiri dari Phrai Luang (abdi kerajaan), berfungsi sebagai pegawai administrasi kerajaan, dan Phrai Som (rakyat biasa), yang bekerja sebagai petani, dan dikuasai oleh Nai secara individual, sehingga ruang geraknya menjadi terbatas. Sehingga segala aktivitasnya harus berdasarkan persetujuan Nai (patronnya). Kekakuan hubungan struktur sosial inilah yang memberikan peluang bagi para migran Cina di Thailand untuk melibatkan dirinya sebagai pedagang dan berbagai kewirausahaan lainnya (Skinner, 1960). Berdasarkan hasil kajian Young dan Skinner tersebut, telah membuktikan bahwa keberadaan status sosial ini juga dapat mengilhami terbentuknya pandangan teleologis mereka. Mereka melakukan kegiatan tertentu adalah dalam rangka untuk melegalitaskan kondisi status sosial di dalam masyarakat. Dengan kata lain agar mereka tidak diposisikan sebagai tamu tetapi sebagai kerabat sendiri oleh warga masyarakat Medan lainnya. Pengalaman kultural dan struktural masyarakat Tionghoa di Medan inilah yang membentuk pandangan teleologis-nya. Pertama oleh sistem nilai budaya yang mereka warisi, dan yang kedua adalah keberadaan status sosial mereka. Jika sistem
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
31
nilai budaya merupakan faktor interen atau aspek kulturalnya, maka status sosial merupakan faktor eksteren atau aspek strukturalnya. Kombinasi antara keduanya telah membentuk pandangan teleologis. Dengan adanya pandangan teleologis inilah yang menentukan daya energi pendorong agar mereka bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi. Dalam kerangka konseptual, penulis/peneliti cenderung menggunakan istilah teleologis sebuah pemikiran filosofis metafisik tentang hukum kausal yang berbeda dengan pemikiran mekanis. Dalam pandangan teleologis, suatu rentetan kejadian mendahulukan akibat dari pada sebab.
Dengan kata lain, bukan sebab yang
menentukan akibat, bukan karena mereka bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi sehingga mereka memperoleh keberhasilan dan kesuksesan berbisnis; melainkan sebaliknya, akibatlah yang menetapkan sebab. Tujuan dan keinginannyalah yang menjadikan mereka bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi. Gambaran-gambaran tentang keinginan/kemauan atau tujuan mereka itulah yang menjadi pendorong orang-orang Tionghoa untuk melakukan tindakkannya. Tujuan yang menjadi pendorong dari tindakkannya itu sama dengan yang ditujunya sendiri. “Kalau orang berkata, bahwa segala kejadian menuju ke suatu tujuan, hal itu semata-mata fiksi, yaitu buatan atau pikiran manusia saja…. Tujuan seolah-olah menjadi penarik, menjadi pendorong, mejadi sebab manusia itu bertindak….sesuatu kemauan yang mempunyai atau menimbulkan…tujuan, barulah ada perbuatan…yang menuju kepada tujuan dan akhirnya tercapailah yang dituju itu. Disini nyatalah yang yang menggerakkan ialah sama dengan yang ditujui.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
32
Pikiran dan tanggapannya itulah yang memimpin kemauan dalam memilih alat dan cara bekerja untuk menacapai tujuan. Disini nyataaah kepada kita, bahwa yang dalam perbuatan manusia yang sadar berupa dikuasai oleh sesutau tujuan, dalam lingkungan perbuatan yang tiada sadar berupa ketaklukan kepada sesuatu susunan yang teratur dan lengkap, yang (meskipun tiada dengan sadar) mempunyai suatu tujuan bersama yang nyata dan pasti. Dalam hubungan ini perkataan tujuan menjadi searti dengan ketaklukan kepada kelengkapan… yang membuat kemungkinan menjadi kenyataan dan selanjutnya membawanya kepada tujuan dan akhir keadaannya (Alisjahbana, 1981: 61-67).
Secara filosofis hukum kausal (sebab-akibat) yang di dalamnya terkandung pandangan metafisika teleologis biasanya mengarah kepada keadaan yang determinisma atau serba tertentu. Berbeda dengan pandangan mekanis, suatu rentetan kejadian dapat mengarah kepada keadaan yang serba tertentu (determinisma) atau dapat juga pada keadaan yang serba taktentu (indeterminisma). Para ahli ilmu sosial pada umumnya menamai pandangan teleologis ini dengan istilah orientasi ataupun ethos yang bermakna futurologis. Dimana pandangan teleologis orang-orang Tionghoa Medan itu terdapat ? Tentu saja hal tersebut, ada tersembunyi di dalam khazanah kultural/budaya maupun di dalam pengalaman struktural kehidupan mereka. Bagaimana pandangan teleologis orang-orang Tionghoa tersebut sehingga menentukan mereka untuk bersikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi, hal inilah yang menjadi fokus perhatian untuk dikaji dalam penelitian ini. Secara ringkas dengan cara visual kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebegai berikut:
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
33
Tabel Kerangka Berpikir Repons Kulturan dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan Di Kota Medan Pengalaman
Pengalaman
Kultural /Budaya
Struktural
Respons Kultural & Struktural Sebagai Penentu:
PANDANGAN TELEOLOGIS / ORIENTASI / ETHOS/ atau FUTUROLOGIS YANG MENDORONG:
Sikap Masyarakat Tionghoa Medan Untuk: ☯ hemat, ☯ ulet, ☯ tekun, ☯ rajin, ☯ gigih, ☯ luwes, ☯ cepat dan tangguh, ☯ serta semangat wira usaha yang tinggi
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
34
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
34
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Tulisan-tulisan Mengenai Keberadaan Masyarakat Tionghoa Kajian mengenai kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para ahli atau Sinolog. Masalahnya karena masyarakat Tionghoa di negeri kita maupun di negara-negara Asia Tenggara lainnya, dipandang sebagai warga pendatang atau perantau yang dikenal dengan istilah: ‘Huakiau’, ‘Tionghoa Perantau’ atau ‘Perantau Tionghoa’ dalam bahasa Inggerisnya ‘Overseas Chinese’. Umumnya karya-karya tulis mengenai orang-orang Tionghoa ini erat berkaitkan dengan cara pandang, selera, maupun motivasi yang ingin disampaikan oleh penulisnya sendiri. Masing-masing para ahli atau penulis dalam mengkaji kehidupan warga keturunan Tionghoa ini mempunyai penekanan yang mungkin bisa saling berbeda. Namun demikian, hampir semua para ahli melihatnya dari kaca mata cakupan kehidupan nasional keindonesiaan, tidak hanya menyangkut masalah ‘Rukun Rumah Tangga’ di dalam negeri, tetapi juga menyangkut ‘Rukun Tetangga’ yang berhubungan dengan keberadaan Indonesia di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya (Wangania, 1976: 41-56). Kalau kita perhatikan dengan cara menganalisis isi dari berbagai tulisan kepustakaan mengenai deskripsi kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia,
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
35
pengungkapan yang telah dibuat oleh para ahli dapat dikelompokan menjadi tiga tipologi. Pertama, para ahli yang berupaya mengkaji keberadaan orang-orang Tionghoa
dengan
mengkaitkannya
terhadap
kebijaksanaan
pemerintah.
Kebijaksanaan dimaksud adalah produk berupa Undang-undang, kebijaksanaan berupa
hukum,
peraturan-peraturan
maupun
keputusan-keputusan
mengenai
keberadaan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Tipologi kedua, adalah para ahli yang berupaya mengkaji keberadaan warga masyarakat Tionghoa di tengah-tengah kehidupan warga masyarakat lainnya yang bukan-Tionghoa. Peneliti atau penulis dalam hal ini, melihatnya dengan perspektif keterkaitan hubungan atau interaksinya antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat lain, yang diakibatkan oleh dampak tipologi pertama. Diantaranya ada ahli atau penulis yang berupaya mengkaji mengenai masalah asimilasi, integrasi, stereotype, bahkan konflik sosial yang terjadi antara warga etnis Tionghoa dengan warga etnis lainnya yang bukan-Tionghoa. Ada pula ahli atau peneliti yang berupaya melakukan studi komparatif mengenai kemampuan kehidupan sosial-ekonomi yang dimiliki antara warga Tionghoa dan warga yang bukan-Tionghoa. Hasil penelitian maupun tulisan yang berkaitan dengan tipologi kedua ini ternyata sangat banyak dilakukan orang, lebih-lebih dimasa pemerintahan Orde Baru. Hal ini mereka lakukan karena sangat berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam usahanya untuk membina kerukunan hidup antar golongan, Warga Negara Indonesia Asli dan Warga
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
36
Negara Indonesia keturunan Asing, terutama etni Tionghoa Indonesia, dengan tujuan agar terciptanya stabilitas nasional. Ada kalanya kebijaksanaan yang dibuat oleh pihak pemerintah tersebut, tidak hanya dapat memberikan pengaruh hubungan atau interaksi sosial, antara warga etnis Tionghoa dengan warga etnis lainnya. Namun bisa jadi, kebijaksanaan pemerintah tersebut sengaja diproduk sedemikian rupa, sering kali di dalamnya tersirat demi kepentingan warga pribumi. Sebagaimana disinyalir dalam tulisan oleh Parsudi Suparlan (http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps2.htm): “…bahwa diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial terhadap orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara dominannya ideologi kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada tingkat nasional dengan kesukubangsaan Cina sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan dan perebutan sumberdaya. ”
Sedangkan tipologi ketiga, adalah tulisan-tulisan para ahli atau peneliti yang berupaya mendeskripsikan keberadaan orang-orang Tionghoa di Indonesia dalam bentuk etnografis dengan tanpa mengkaitkannya dengan perspektif tipologi yang pertama maupun yang kedua. Ada kalanya tulisan-tulisan yang bersifat etnografis tersebut cakupannya bersifat lebih umum, dalam konteks keindonesiaan, atau dapat juga bersifat parsial, hanya mencakup salah satu unsur budaya yang dimiliki etnis Tionghoa tersebut. Oleh karena itu, ada peneliti yang hanya menyoroti segi-segi kehidupan religi saja, atau sistem kekerabatannya saja atau lebih khusus lagi mengenai sistem istilah kekerabatannya saja. Ada juga peneliti yang hanya melihat
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
37
sistem keseniannya saja, atau sistem perekonomiannya saja. Namun pada umumnya, tulisan-tulisan yang termasuk dalam tipologi ketiga ini, belum banyak upaya yang melakukan suatu kajian komparatif antara kehidupan orang-orang Tionghoa di Indonesia pada suatu daerah tertentu, dengan membandingkannya orang-orang Tionghoa yang hidup dan berada di daerah Indonesia lainnya, kecuali tulisan J.L.Vleming Jr. (1989). Vleming berupaya melakukan perbandingan tentang kehidupan ekonomi orang-orang Tionghoa di pelbagai daerah di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Mengapa para ahli atau peneliti cenderung mengungkapkan jenis kajiannya jenis tipologi yang pertama dan kedua bukan yang ketiga. Mungkin para ahli masih menganggap masalah tipologi pertama maupun yang kedua dipandang lebih penting atau mendesak dan merupakan persoalan yang rumit dan belum terselesaikan secara mendasar, sehingga banyak mengundang perhatian dan prioritas untuk mengkajinya.
2. 2. Tulisan Mengenai Warga Tionghoa Hubungannya Dengan Kebijaksanaan Pemerintah
Para ahli yang telah mengkaji (membicarakan) mengenai kehidupan orangorang Tionghoa di Indonesia dan yang mengkaitkannya dengan kebijaksanaan pemerintah, sejak pemerintahan kolonial Belanda hingga dimasa Orde Baru, contohnya seperti dalam tulisan: Leo Suryadinata yang berjudul: Political Thingking of Indonesian Chinese: 1900-1977 (Singapore: 1979, Singapore University Press). Termasuk juga di dalam tulisannya yang lain dengan judul: Kebudayaan Minoritas
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
38
Tionghoa di Indonesia (diterjemahkan oleh Dede Oetomo dari judul aslinya: The Culture of the Chinese Minority in Indonesia), Jakarta: 1988, Gramedia. Menurut Suryadinata, kebijaksanaan pemerintah dianggap telah mempengaruhi orang-orang Tionghoa terutama pemikiran politiknya, sehingga mendorong masyarakat ini untuk bermotivasi mengembangkan kehidupan ekonomi, pendidikan, pers dan status kewargaan negara mereka di Indonesia; Sementara di dalam kesempatan lain juga, Melly G. Tan (editor) dalam bukunya Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: 1979, Gramedia) berupaya memfokuskan kajiannya terhadap masalah pembinaan bangsa, yang masih erat berkaitan dengan masalah kebijakan pemerintah terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia. Demikian pula yang dilakukan Stuart W.Greif dalam bukunya: “WNI”, Problematik Orang Indonesia Asal Cina (Jakarta:1994, Grafiti), yang menggunakan studi kasus dengan mewawancarai sebanyak 25 orang keturunan etnis Tionghoa di Jawa dan Bali pada tahun 1985; dalam kajiannya juga mengkaitkan kebijaksanan pemerintah yang pada saat itu masih dalam kekuasaan pemerintahan Orde Baru, dalam prakatanya ia menyatakan, bahwa: “Pertemuan saya dengan orang Indonesia keturunan Cina yang pertama terjadi di Bali. Walaupun sudah dewasa ia tak bisa berbahasa Cina…Ketika memberikan kartu namanya kepada saya, terbacalah sebuah nama JawaSanskerta yang indah. Ia telah mengubah namanya pada tahun 1966. Ia sendiri berdarah setengah Jawa dan isterinya seorang wanita Toraja dari Sulawesi yang beragama Kristen. Akan tetapi di bawah hukum Indonesia (pen: masa Orde Baru), yang meneruskan tradisi Belanda, anak-anak orang itu masih dianggap Cina. Sedikit sekali ciri-ciri rasial dan bekas-bekas budaya Cina yang tertinggal dalam dirinya. Secara tak sadar saya merasa tertarik sekali karena pertemuan itu.” (1994: xxxiv-xxxv) .
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
39
Kita memang tidak bisa menyangkal bahwa pada masa Orde Baru ketentuanketentuan pokok yang dikeluarkan negara menurut H.Junus Jahja antara lain (Jahja, 1998:82-92): 1. Resolusi MPRS No.III/MPRS/1966, tentang Pembinaan Kesatuan Bangsa tanggal 5 Juli. Hal-hal yang relevan dalam Keppre ini antara lain: merealisasikan dengan konsekuen larangan perangkapan kewarganegaraan; mempercepat proses integrasi melalui asimilasi warganegara keturunan asing; dan menghilangkan segala hambatanhambatan yang mengakibatkan yang tidak harmonisnya hubungan mereka dengan warga negara asli. 2. Keputusan Presidium Kabinet N0.127/U/Kep/12/1966, mengenai ganti nama bagi warganegara Indonesia yang memakai nama Cina. Keputusan ini berkaitan dengan prosedur yang sangat mempermudah etnik Cina yang ingin ganti secara sukarela dengan nama Indonesia. Hampir semua WNI-Cina mengganti nama mereka menjadi nama Indonesia setelah keputusan ini dikeluarkan. Namun dalam kenyataannya, walaupun WNI sudah ganti nama dan tidak bisa lagi berbahasa Cina, acapkali masih tetap dianggap ‘orang luar’, misalnya masalah KTP dengan kode-kode khusus serta keharusan menunjukan formulir K-1. Termasuk juga Instruksi Menteri Dalam Negeri No.X01 tahun 1977 tentang Petunjuk Pelaksanaan pendaftaran Penduduk masih terdapat ‘kebiasaan’ membeda-bedakan sesama warga negara. Termasuk juga Peraturan Menteri Kehakiman RI No.M.01-HC.03.01 tahun 1987yang mengharuskan WNI keturunan menyertakan Surat Tanda Bukti Kewarganegaraan RI pada saat pendaftaran ciptaan. Tidak hanya itu, Surat Edaran Medgri No.477/75054 tahun 1978 mengenai petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, pada hal hanya ada lima agama yang diakui pemerintah. Sedangkan Kong Hu Cu tidak diakui oleh pemerintah. 3. Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adapt istiadat Cina tanggal 6 Desember 1967. Kebijakan pemerintah ini dibuat dengan pertimbangan bahwa agam, kepercayaan, dan adapt istiadat Cina di Indonesia, dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental, dan moril bagi warga negara Indonesia lainnya. Hal ini dinilai dapat menghambat jalannya proses asimilasi. Adapun isi instruksi tersebut adalah: Tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan menuanikan ibadatnya, tata cara ibadat Cina yang memiliki aspek
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
40
afinitas cultural pada negeri leluhur, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorang; perayaanperayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, tetapi dilakukan dalam lingkungan keluarga; instruksi ini dianggap sangat penting untuk mengurangi jarak antara etnik Cina dan warga negara lainnya. Selain itu, dengan adanya instruksi ini, maka pertunjukan seperti Barong say, arak-arakan Toapekong, dan perayaan Imlek (sejak tahun 1960 memang sudah kurang popular) dirayakan dalam lingkungan intern atau keluarga saja. 4. Keppres 240/1967 tentang kebijaksanaan pokok yang menyangkut WNI keturunan asing. Dalam kebijakan ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia keturunan asing adalah sama kedudukannya di dalam hukum dengan bangsa Indonesia lainnya. Pembinaannya dijalankan melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial. Dinyatakan pula, bahwa perbedaan perlakuan antara warga negara Indonesia keturunan asing dan warga negara Indonesia asli ditiadakan dan tidak dibenarkan. 5. GBHN 1978 dan 1988 mengenai kebijaksanaan pembauran terhadap etnik Cina yang dinyatakan bahwa: ‘Usaha-usaha pembauran bangsa perlu dilanjutkan di segala bidang kehidupan, baik dibidang ekonomi maupun sosial, dan budaya, dalam rangka usaha memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta memantapkan ketahanan nasional.’
Kendatipun sebelumnya, dimasa pemerintahan Orde Lama (khususnya Presiden Soekarno), adakalanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dibuat bernada memberikan peluang bagi etnik Tionghoa di Indonesia. Agar diakui sebagai ‘suku bangsa’ yang sederajat dengan suku-suku bangsa yang ada lainnya, seperti Jawa, Sunda
dan
lain
sebagainya.
Perwujudannya
dibentuklah
lembaga
Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Karena Baperki menjadi organisasi politik kekiri-kirian dan anggotan nyaris 100% adalah etnik Tionghoa,
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
41
berakhir pula cita-cita mereka dalam peristiwa politik Getapu/PKI 1965, yang berakibat diskriminasi terhadap mereka timbul kembali. Demikian pula yang diungkapkan dalam sebuah buku, yang merupakan kumpulan dari 13 tulisan mengenai konfusianisme, yang dianggap sudah sejak lama menjadi bagian dari kehidupan keimanan bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Buku tersebut merupakan terbitan interfidei Yogyakarta, 1995. Banyak peristiwa sejarah yang melibatkan golongan etnis Tionghoa ini secara tidak disadari sudah turut memperkaya khazanah kehidupan budaya bangsa Indonesia. Sehubungan proses pembentuk bangsa yang telah dan terus berlangsung, bagaimanapun keberadaan etnis Tionghoa ini mencari tempat secara proposional. Pada dasarnya semua kelompok termasuk etnis Tionghoa ini ingin diakui eksistensinya, selaku bagian integral dari sebuah bangsa.
Namun hubungan antar kelompok ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’
sering kali jadi kendala, dan dipicu pula oleh masalah kesenjangan ekonomi antara ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’. Mungkinkah ajaran konfusianisme dapat memberikan suatu pandangan yang bersifat kreatif bagi etnis Tionghoa dalam pergulatannya untuk mencari jati diri di Indonesia. Semua pemikiran para ahli yang terkumpul di dalam buku tersebut selalu memberikan harapan dan peluang yang bersifat positif. Memang dalam kenyataannya, ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden Republik Indonesia, ajaran konfusianisme diakui sebagai salah satu ajaran agama di negara Indonesia ini. Ditandai dengan dikeluarkan Keputusan Presiden No.6, tahun 2000 yang mencabut instruksi presiden No.14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Atraksi ‘barongsai’ mulai bebas melakukan
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
42
pertunjukan. Kemudian pada masa pemerintahan presiden Megawati pada tahun 2002 perayaan Imlek diakui oleh negara sebagai hari libur nasional (Budhiyanto, 2004). Sebagai kesimpulan sementara, ternyata kebijaksanaan yang dibuat oleh pihakpihak penguasa pemerintahan, sejak zaman kolonial Belanda, mungkin juga hingga pemerintahan saat ini, sangat berpengaruh terhadap kehidupan warga masyarakat Tionghoa pada umumnya, termasuk mereka yang berada di Medan.
Pengaruh
tersebut dapat sebagai peluang ataupun sebaliknya dapat menjadi penekan. Namun faktor penekan ini adalah daya energi yang dapat berubah menjadi pendorong pula dikalangan masyarakat Tionghoa dalam kehidupan berbisnis.
2. 3. Tulisan Mengenai Keberadaan Warga Tionghoa Hubungannya Atau Perbandingannya Dengan Warga Masyarakat Setempat.
Dampak dari kebijaksanaan pemerintah sejak zaman kolonial Belanda hingga pada masa pemerintahan Orde Baru telah pula memberikan pengaruh terhadap keberadaan orang-orang Tionghoa di daerah-daerah tertentu, termasuk warga masyarakat yang tinggal di kota Medan. Kenyataan semacam itu memberi inspirasi kepada peneliti-peneliti lain untuk mengkaji hubungan atau interaksi sosial antara warga Tionghoa di Medan, dengan warga setempat yang bukan Tionghoa. Diantaranya seperti yang terdapat dalam tulisan: Chalida Fachruddin, Penanggulangan Masalah Cina di Kotamadya Medan dan daerah Sekitarnya, Suatu tinjauan historis tentang masalah yang dihadapi dalam menanggulangi dominasi Cina terhadap kehidupan masyarakat Indonesia (Skripsi, 1975), yang menyatakan
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
43
bahwa pembangunan sosial ekonomi masyarakat pribumi pada umumnya menghadapi rintangan disebabkan oleh monopoli warga masyarakat Tionghoa itu sendiri dalam sektor-sektor penting dalam perdagangan dan perekonomian. Hal ini dilatar belakangi pada kenyataan historis dari kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia sejak zaman Belanda sebagai peletak dasarnya. Mereka membuat kantongkantong pemukiman yang khusus di daerah perkotaan, sehingga menyebabkan warga Tionghoa dapat mempertahankan kehidupan yang eksklusif. Tradisi semacam itu terus dapat bertahan karena didukung pula dengan cara hidup yang berkelompokkelompok. Cara menanggulangi kehidupan sosio-ekonomi Tionghoa yang merintangi perkembangan sosio-ekonomi masyarakat pribumi di Indonesia dibutuhkan campur tangan pihak pemerintah yang berkuasa, agar memberikan dukungan berupa bimbingan, pengarahan, serta kemudaha-kemudahan kepada warga pribumi (1975:8). Pada tahun 1986 Usman Pelly pernah melakukan penelitian mengenai asimilasi dikalangan pelajar pada tingkat SMP dan SMA yang terdapat di kota Medan. Hal itu dilakukannya pada sekolah yang dianggap merupakan tempat pembauran, yakni: Perguruan Sutomo, Perguruan Budi Murni, Perguruan Methodis, Perguruan Kalam Kudus, dan Perguruan Amir Hamzah. Setiap perguruan ditetapkan 50 orang murid SMP dan 50 orang murid SMA yang duduk di kelas III. Dalam hal ini Usman Pelly menggunakan tujuh variabel yaitu: budaya, struktural, amalgamasi, identifikasi, sikap, perilaku, dan civics. Tujuan dalam peneltian tersebut untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat keberhasilan asimilasi di bidang pendidikan. Hasil dari penelitian itu dikatakan bahwa tingkat keberhasilan asimilasi mengalami kemajuan
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
44
dibidang pendidikan. Namun di masing-masing perguruan saling bervariasi tingkat asimilasinya jika dilihat dari ketujuh variabel tersebut (Pelly, 1986). Subanindyo Hadiluwih juga pernah melakukan kajian di kota Medan mengenai stereotype orang-orang Tionghoa terhadap dirinya sendiri, dan penilaian warga masyarakat lain (Jawa, Melayu, Batak, Mandailing, Karo, Minangkabau, dan Aceh) terhadap orang-orang Tionghoa. Tujuan dari penelitian tersebut untuk mengetahui sifat-sifat negatif dan positif mengenai perilaku kehidupan warga Tionghoa maupun yang bukan warga Tionghoa. 15 Hasil dari kajian tersebut telah membuktikan bahwa masih terdapat sikap yang salah, berupa kecurigaan, kecemburuan serta sikap ekslusif baik dari pihak warga Tionghoa sendiri maupun yang berasal dari warga masyarakat lainnya. Masyarakat Tionghoa di Medan masih belum mampu untuk merasa menjadikan orang Indonesia sebagai in-group-nya. Mereka belum dapat merasakan bahwa sesungguhnya yang bernama bangsa Indonesia termasuk adalah diri mereka sendiri. Sebaliknya, dikalangan pribumi juga tidak pernah berhasil menganggap bahwa sesungguhnya warga Tionghoa itu sudah menjadi warga negara Indonesia dan merupakan in-group-nya juga. Hal ini karena tidak adanya sikap terbuka dari kedua belah pihak (Hadiluwih, 1994:248-249). Sebuah tesis S2 yang berupaya mengkaji kehidupan etnis Tionghoa khususnya di derah Sumatera Timur dengan pendekatan sejarah dibuat oleh Azhar Djohan
15
Yang termasuk nilai positif seperti: kerja keras/ulet, rajin, ramah, jujur, hemat, disiplin, berani ambil resiko, menghargai waktu, teliti, dan serius; yang bernilai negative seperti: santai, malas, ketus, curang, boros, tidak tepat janji, takut resiko, ceroboh, ingin cepat untung, suka ngompas, suka menyuap, cari yang mudah (Subanindyo Hadiluwih, 1994:217).
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
45
dengan judul: ‘Imigran Cina Di Sumatera Timur, Pada Pertengahan Abad ke 19 Sampai Perempatan Awal Abad ke 20 (Suatu Studi Perkembangan Ekonomi Mereka dan Pengaruhnya Bagi Orang Melayu)’, Fakultas Sastra dan Kebudayaan Unversitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1981. Peneliti dengan menggunakan metode pendekatan sejarah, berupaya mengkaji selain pengaruh faktor kebijaksanaan politik kolonial Belanda yang telah memberi peluang meningkatnya kehidupan sosial-ekonomi bagi masyarakat Tionghoa juga berupaya mengkaji faktor-faktor lainnya, seperti: potensi yang dipunyai oleh orang-orang Melayu sebagai penduduk setempat maupun kondisi sosio-kultural yang dimiliki oleh warga Tionghoa sendiri. Dalam pembahasannya memang punulis tidak menyangkal, bahwa kebijaksanaan politik kolonial Belanda telah memberi peluang bagi para warga pendatang seperti orang Batak termasuk juga orang-orang Tionghoa yang datang ke Sumatera Timur. Orang Melayu sebagai penduduk setempat tidak memiliki kemampuan untuk berdagang. Hal ini disebabkan oleh faktor kondisi sosio-kulturalnya, sehingga mereka lebih tertarik pada kegiatan pertanian dan nelayan. Pekerjaan sebagai pedagang dianggap merupakan pekerjaan kelompok bangsawan dan kaum aristokrat atau golongan orang kaya saja. Kondisi semacam ini telah menjadikan peluang pula bagi para pedagang etnis Tionghoa yang datang kemudian. 16 Faktor lain yang juga cukup menentukan kesuksesan orang-orang Tionghoa di Sumatera Timur adalah kegigihan dan ketekunan kerja serta sistem kekerabatan dan filasafat hidup masyarakat Tionghoa itu sendiri (Djohan, 1981).
16
faktor itu adalah merupakan respons di mana masyarakat Tionghoa itu berada, yang penduduk pribuminya sendiri tidak gigih melakukan kegiatan disektor perdagangan (Tan, 1996).
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
46
Penelitian yang dilakukan oleh Sentosa Tarigan dkk pada tahun1992, dengan judul: Integrasi Masyarakat Etnik Cina di Kotamadya Medan (Studi Kasus di Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Barat), dengan lokasi yang lebih kecil, tingkat kelurahan, ternyata juga menyatakan bahwa konstelasi politik kolonial Belanda telah mengakibatkan sulitnya integrasi masyarakat golongan etnis Tionghoa ke dalam kesatuan bangsa Indonesia, sehingga tidak terjadi satu kesatuan yang harmonis. Kasus di kelurahan Petisah Tengah ini menunjukan bahwa warga masyarakat Tionghoa masih bersikap eksklusif dan kurang mau bergaul dengan masyarakat etnis lainnya.. Untuk mengupayakan pengintegrasian dari etnis Tionghoa ini, disaran agar mereka benar-benar sadar dan mau mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Indonesia (Tarigan, dkk., 1992). Menurut hasil penelitian dengan menggunakan data yang berasal dari Departemen Perdagangan Sumatera Utara dan dinas-dinas lainnya serta interviu terhadap 200 pedagang yang di lakukan oleh Haida Jasin dan Alan W. Smith di Medan, pada tahun 1976, menjelaskan bahwa: orang-orang Tionghoa yang jumlahnya hanya 8% dari jumlah penduduk di kota Medan, namun mereka dapat menguasai 58% sektor perekonomian daerah ini. Sedangkan penduduk pribumi yang jumlahnya mencapai 84% dari jumlah penduduk di kota Medan, namun hanya 40% saja yang mau bergerak di sektor ekonomi (Jasin, 1978: 165-173). Termasuk juga dalam tipologi kedua ini adalah hasil kajian berupa sebuah disertasi S3 yang dilakukan oleh Suwardi Lubis. Gambaran
uraian ringkasnya
merupakan tulisan artikel yang telah dimuat dalam: Wawasan, Jurnal Ilmu-ilmu,
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
47
halaman 61-80; diterbitkan atas kerjasamaYayasan Bina Mitra Wawasan dengan FISIP-USU Medan, Vol.8 No.1, 2001. Inti dari disertasi tersebut menyatakan bahwa kota Medan penduduknya memiliki keanekaragaman etnis dan budaya dan merupakan masyarakat yang sedang berkembang. Pada dasarnya belum merupakan suatu kesatuan, karena itu integrasi sosial merupakan masalah pokok yang sering menjadi perhatian. Untuk mewujudkan suatu integrasi sosial, dengan menggunakan pendekatan komunikasi antarbudaya dapat memberikan landasan pemahaman dan kesadaran etnik menuju integrasi sosial. Dengan kata lain integrasi sosial tersebut tidak menghilangkan rasa identitas sosial masing-masing etnis maupun budayanya. Sebagai bentuknya merupakan suatu proses adanya saling keseimbangan pada masing-masing kelompok sosial tertentu guna mewujudkan kedekatan hubungan sosial, ekonomi dan lain-lain. Metode penelitian yang dilakukan dengan melaksanakan survei. Pengumpulan data menggunakan sample, dengan pengujian hipotesis: analisa jalur dan korelasi serta uji coba. Populasinya adalah warga etnik Batak dan etnik Tionghoa. Dari hasil pengujian hipotesis diperoleh jawaban bahwa integrasi sosial antar etnik di kota Medan masih diwarnai adanya unsur-unsur prasangka sosial, stereotipe, dan adanya jarak sosial. Setiap etnik tetap mempertahankan norma dan nilai etniknya, tetapi secara terbuka juga mau menerima norma dan nilai positif dari etnik lainnya. Peranan etnik memang tidak menonjol namun yang menonjol adalah “rasa aku” yang menganggap superior dari “rasa kau” yang lain (Lubis, 2001).
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
48
Kajian-kajian ataupun tulisan-tulisan berupa biografi mengenai tokoh-tokoh yang berasal dari etnis Tionghoa juga masih termasuk dalam tipologi kedua. Logikanya karena hal itu dilakukan oleh para penulis dengan tujuan untuk menunjukan atau membuktikan bahwa tokoh tersebut telah berjasa dan sangat peduli untuk berintegrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tulisantulisan biografi mengenai salah seorang tokoh yang berasal dari kalangan etnis Tionghoa ini kebanyakan berbentuk artikel yang termuat dalam majalah ataupun koran. Kecuali biografi terdapat juga sebuah buku otobiografi menganai kenangkenangan akan kejayaan, keunikan dan kehidupan budaya di Medan pada masa lampau. Otobiografi tersebut ditulis oleh puteri kandung Tjong A Fie (Chang Hungnan), yaitu Queeny Chang. Sedangkan Tjong A Fie sendiri dikenal sebagai tokoh Tionghoa yang pernah menjadi Kapitan dan sangat berpengaruh di kota Medan pada zaman kolonial Belanda. Judul otobiografi tersebut adalah Memories of Nonya, diterbitkan oleh Eastern Universities Press ASD.BHD, Singapura, 1981 dan telah dicetak ulang pada tahun 1982 dan 1984. Dalam buku tersebut memberi gambaran mengenai kehidupan keluarga Tjong A Fie yang termasuk keluarga elite pada masa zaman kolonial di Medan. Otobiografi tersebut ditulis untuk menunjukan kekaguman penulis terhadap ayahnya pada masa lampu yang dirasakan tidak mungkin terulang kembali pada saat ini. Ada suatu hal yang cukup menarik terutama menganai hubungan dan interaksi sosial di antara kelompok-kelompok ras yang berbeda terdapat di kota Medan pada masa zaman kolonial. Menurut penulis hbungan sosial
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
49
ketika itu bersifat cukup fleksibel terutama di kalangan elite. Terdapat kesan tidak adanya pemisahan yang jelas di antara berbedanya ras, antara elite Tionghoa dan elite Belanda. Mereka saling mengunjungi dan bergaul secara sosial maupun di tempattempat pesta juga mereka sering bertemu (Chang, 1984). Sebagai kesimpulan sementara, hubungan antara warga masyarakat Tionghoa dengan warga lainnya seakan-akan belum begitu harmonis sesacara sosial. Orangorang Tionghoa sejak dahulu bergaul secara sosial hanya dengan kalangan warga elite saja, terutama pada mereka yang memiliki wewenang atau kekuasaan.
2. 4. Tulisan Bersifat Etnografis Mengenai Keberadaan Warga Tionghoa di Indonesia.
Deskripsi etnografis khususnya mengenai kehidupan ekonomi masyarakat Tionghoa di pelbagai daerah di Indonesia pada masa pemerintahan Belanda pernah dibuat oleh J.L.Vleming Jr. dengan judul: Kongsi & Spekulasi, Jaringan Kerja Bisnis Cina, yang disadur oleh Bob Widyahartono dengan penerbit Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1989. 17 Buku tersebut membicarakan kehidupan orang-orang Tionghoa sejak kehadiran bangsa Belanda di Indonesia. Baik yang berada di Jawa dan Madura, Sumatera dan Kepulauan sekitarnya, Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan Indonesia lainnya secara bervariasi. Suatu keunikan dalam buku tersebut adalah penjelasannya mengenai sistem bisnis orang-orang Tionghoa di setiap daerah. Namun penulis hanya
17
Judul aslinya dalam bahasa Belanda: Het Chineesche zakenleven in Nederlansch-Idie, diterbitkan oleh: Uit gave Volkslectuur, Batavia, 1926.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
50
menyajikan fakta-fakta saja tanpa melakukan analisa. Kendatipun lokasinya mencakup kepulauan di Indonesia, namun di dalamnya pada halaman 184-192, ada bagian yang khusus membicarakan orang-orang Tionghoa di daerah Medan atau pantai Timur Sumatera. Sebagaimana dikutip dibawah ini penulis mengatakan antara lain (Vleming, 1989): “Adanya perluasan perkebunan---baik perkebunan tembakau, karet, maupun teh---dan adanya pengeboran minyak di Langkat dalam tahun 1920-an telah menyebabkan datangnya ribuan orang Cina yang kemudian bermukim di pantai timur Sumatera untuk mencari penghidupan sebagai pedagang, tukang, dan sebagainya. Beberapa di antara mereka, yang ketika tiba di Deli dalam keadaan melarat, berhasil menjadi pedagang yang makmur.”
Tulisan lain, adalah hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Agustrisno mengenai sistem kepercayaan orang-orang Tionghoa Medan. Dalam kehidupan religius, masyarakat Tionghoa di Medan mengenal sinkretisme. Mereka menganut lebih dari satu kepercayaan (sinkretisme), seperti ajaran Konfusius, Budha, dan Tao, yang dikenal dengan istilah Tri Dharma, Sam Kauw atau San Chiao Wei Yi (ketiga agama adalah satu). Disamping itu mereka juga tetap mempercayai adanya berbagai makhluk supra-alami, kepercayaan yang semacam itu dikenal dengan kepercayaan shenisme. Kepercayaan shenisme sudah ada sejak dahulu dan merupakan warisan secara temurun dari generasi ke generasi. Kepercayaan ini tidak memiliki kitab-kitab dan “tidak banyak dibicarakan orang”. Merupakan kepercayaan yang dianggap masih begitu “rahasia” dan jarang diungkapkan atau dijelaskan oleh orang Tionghoa sendiri, apa lagi oleh orang luar namun tetap dianggap sebagai tradisi “Hsien”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
51
(bersifat abadi) di dalam kehidupan orang Tionghoa. Diantara makhluk gaib yang dianggap penting adalah makhluk gaib “tokoh bersifat lokal”. Makhluk gaib ini dianggap penting karena sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari. Diantara makhluk gaib tersebut adalah ‘Datuk’ dan ‘Pe’ Kong’. Orang Tionghoa di Medan, dapat membuat kombinasi sinkretisasi, selain mempercayai adanya “Pe’ Kong” mereka juga percaya pada “Datuk Kong”. Walaupun ”Datuk Kong” makhluk gaib yang mempunyai ciri kepribadian khas lokal yang dianggap Muslim, sedangkan “Pe’ Kong” mempunyai ciri kepribadian khas Konfusianis, namun keduanya dianggap dapat diharmonikan dalam suatu sistem kepercayaan shenisme, sehingga menjadi sistem kepercayaan yang khas dan unik (Agustrisno, 2005). Masih berkaitan dengan sistem kepercayaan masyarakat Tionghoa di Medan adalah tradisi perayaan upacara ‘Khong Tek’, yaitu suatu upacara yang diyakini oleh etnis Tionghoa. Menurut mereka kehidupan di dunia ini tidak pernah lepas dari keterikatannya kepada orang tua maupun leluhur. Mereka mencintai arwah orang tua, maupun leluhurnya dan harus menghormatinya, hal itu dilakukannya secara turun temurun hingga saat ini. Menghormati para orang tua atau leluhur dengan pengharapan agar orang tua dan leluhur tersebut tidak akan pernah meninggalkan dan berbuat murka kepada mereka yang masih hidup. Bagi etnis Tionghoa menghormati orang tua adalah menghormati jasa-jasa semasa hidupnya, mencintai orang tua adalah permulaan cinta terhadap leluhur (Sianipar, 1993).
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
52
Tulisan yang berkaitan tentang seni mengenai masyarakat Tionghoa Medan misalnya, adalah sebuah skripsi yang pernah dibuat oleh Imelda Ningsih dengan judul: BarongsayDan Masyarakat Cina di Kota Medan (2001). Menurut penulis, jenis aliran seni pertunjukan ‘barongsai’ di Medan mengikuti aliran dari utara, yang gerakannya selalu menonjolkan gerakan-gerakan ‘kung-fu’ dan akrobat, seperti memecahkan buah kelapa dengan hanya menggunakan kekuatan gigi saja. Bentuk dan warna ‘barongsai’
yang digunakan adalah jenis ‘barongsai’
yang disebut
‘Panglima Guanggong’. Ciri-cirinya berwajah merah, alis dan tanduknya berwarna hitam.
Bentuk
tubuhnya
dari
kain
segitiga
berwarna
merah.
Bentuk
‘barongsayPanglima Guanggong’ ini memiliki sifat keprajuritan dan kepahlawanan yang siap membantu teman di dalam kesusahan. Kelompok ‘barongsai’ ini mulai tumbuh subur setelah pasca reformasi. Di kota Medan ada 9 kelompok seni ‘barongsai’. Satu kelompok sudah dibentuk sejak tahun 1998, yakni kelompok ‘barongsai’ Sahassa Budha. Tiga diantaranya baru dibentuk pada tahun 2000, dan yang lainnya baru dibentuk tahun 2001.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
53
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
53
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3. 1. Jenis dan Desain Penelitian. Jenis penelitian ini bersifat eksploratif, dan pemaparannya dalam bentuk deskriptif kualitatif. Secara maksimal berupaya mendeskripsikan secara tepat mengenai pandangan teleologis atau orientasi kehidupan masyarakat Tionghoa di kota Medan. Pandangan teleologis tersebut secara tidak disadari telah memberikan kontribusi dan pengaruh terhadap perkembangan dan pembangunan masyarakat di kota Medan. Kajian semacam ini dilakukan dengan pendekatan etnosains, sebuah pendekatan yang mengasumsikan bahwa sistem berpikir masyarakat Tionghoa Medan: mengandung unsur-unsur sistematisasi yang tersusun menurut suatu sistem kategorisasi, diantaranya—yang paling dasar—adalah binary opposition atau penggolongan dalam dua bagian yang saling bertentangan tetapi dianggap saling berpasangan sebagaimana prinsip dasar filosofis yin-yang yang terkandung di dalam nilai-nilai budaya Tionghoa. Sebagai contoh: kanan-kiri, pria-wanita, panas-dingin, labil-stabil, keras-lunak, konseptual-operasional, tetap-berubah, baik-buruk, untungrugi, naik-turun, dan lain-lain sebagainya saling berkaitan dan pengaruhmempengaruhi serta prinsipil, tidak ada yang satu kalau tidak ada yang lainnya (Cooper, 1981:33-56; Suparlan, 1981:8-9; 1981a:5-6; Shri Ahimsa Putra, 1985). Hubungan antara pengalaman masa lampau baik kultur maupun struktur bagaimanapun telah membentuk pandangan teleologis hidup orang-orang Tionghoa
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
54
di Medan. Dalam hal ini peneliti berupaya memperoleh informasi mengenai pandangan teleologis warga masyarakat Tionghoa di kota Medan, yang sangat menentukan sekali bagi mereka dalam mengambil prinsip maupun mengambil keputusan dan sikap dalam hidupnya.
3. 2. Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian tidak difokuskan atau terkonsentrasi pada suatu daerah tertentu saja, baik secara administratif kecamatan ataupun kelurahan. Sebab, dalam melakukan wawancara terhadap warga Tionghoa, pada umumnya terdapat kesulitan, mereka biasanya tertutup untuk memberikan informasi. Peneliti belajar dari pengalaman orang lain, peneliti sebelumnya, yang juga pernah melakukan penelitian mengenai kehidupan orang-orang Tionghoa. 18 Pengalaman semacam itu sangatlah berharga untuk mengantisipasi dalam mengambil dan menentukan langkah-langkah penelitian, oleh karena itu tidaklah baik untuk diabaikan. Berdasarkan pertimbangan tersebutlah maka peneliti, dalam hal ini tidak membatasi lokasi penelitian secara khusus. Namun dalam melakukan wawancara, informan yang dipilih tetap ditujukan bagi para warga keturunan Tionghoa yang statusnya bertempat tinggal atau yang melakukan usahanya di kota Medan. Dengan kata lain peneliti menetapkan, asalkan dia (informan) adalah orang Tionghoa dan bertempat tinggal ataupun yang melakukan usahanya di kota Medan, informasinya bisa menjadi bahan kajian dalam 18
Lely Kristinawati Budhiyanto: “…etnis Tionghoa dalam menjalankan bisnisnya tertutup terhadap orang lain (hal.280)”. “Dalam proses penelitian …banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Utamanya adalah sulitnya memperoleh informan yang bersedia diwawancarai (hal.281).” (Budhiyanto, 2004).
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
55
penelitian ini. Yang menjadi pertimbangan oleh peneliti dari pernyataan informan adalah pengalamannya, kejujurannya, kesediaannya bercerita dan mau diwawancarai.
3. 3. Populasi dan Informan. Populasi penelitian adalah warga masyarakat keturunan etnis Tionghoa yang berada di kota Medan. Sebagai satuan kajian dalam penelitian ini adalah pandangan dari para informan. Pandangan mereka tersebut sangat berfungsi dan menentukan bagi sikap dan perilaku di dalam kegiatan usahanya untuk mencapai kemajuan. Sikap perilaku semacam itu, secara tidak disadari oleh informan erat kaitannya dengan tradisi budayanya, serta sejarah pengalaman status sosialnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Suatu pandangan atau suatu sikap yang sangat terpuji bagi orang Tionghoa agar mereka dapat hidup eksis di dalamnya. Informan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah: para pedagang dan mahasiswa. Kedua jenis informan ini dipilih dengan alasan: 1. Pedagang
adalah status pekerjaan atau okupasi yang cukup lama di
tekuni oleh warga masyarakat Tionghoa di Medan, sejak mereka tidak lagi menjadi buruh perkebunan ataupun pertambangan. Jenis okupasi ini juga, di tangan mereka cukup signifikan, terutama dalam mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi di kota Medan pada umumnya. Okupasi sebagai pedagang, juga tidak terlepas dari aspek kultural maupun aspek sturktural yang dimilikinya. Berkerja sebagai pedagang menjadi milik mereka, karena sebagai tradisi atau warisan dari generasi sebelumnya, atau mungkin juga disebabkan oleh hal-hal yang terjadi sebelumnya seperti peluang ataupun tekanan sosial yang mereka alami.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
56
2. Mahasiswa adalah status sosial yang dianggap mengandung prospek ke depan yang sangat erat sekali dengan pandangan teleologis mereka. Status sebagai mahasiswa merupakan investasi, dalam upaya mempersiapkan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang bakal ada dan terjadi di dalam kehidupan mendatang.
Berdasarkan kriteria tersebut di atas, ketika peneliti melakukan wawancara diperoleh 42 orang informan yang bersedia diwawancarai. Mereka terdiri dari pedagang sebanyak 28 orang informan, dan mahasiswa sebanyak 14 orang.
3. 4. Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian di lapangan diperkirakan membutuhkan waktu tiga bulan lamanya. Namun ketika penelitian ini dilakukan dalam wawancara dilapangan dugaan semula bahwa mereka biasanya tertutup untuk memberikan informasi ternyata benar adanya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan penelitian di lapangan, di saat melakukan wawancara terhadap sejumlah informan hampir menyita waktu lima bulan lamanya. Hal ini berkaitan, sebab kebanyakan para informan sulit untuk diajak berwawancara.
3. 5. Teknik Pengumpulan Data. Melakukan kajian kepustakaan, terutama untuk memperoleh informasi mengenai kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia pada umumnya yang pernah
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
57
ditulis oleh para ahli atau peneliti sebelumnya. Setelah memperoleh gambaran umum yang berhubungan dengan kehidupan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Baru langkah berikutnya peneliti berupaya melakukan pendekatan di lapangan, yaitu dengan melakukan wawancara terhadap informan pedagang dan mahasiswa warga masyarakat Tionghoa di Medan. Wawancara bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai pandangan teleologis sehubungan dengan keberadaan mereka di kota Medan. Bagaimana cara mereka memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bakal ada dan terjadi di kota Medan. Peluang seperti apa yang dianggap menguntungkan untuk prospek kehidupan di masa depan. Bagaimana pula cara mereka mempersiapkan dirinya untuk menghadapi
hal-hal tersebut. Selanjutnya dengan
melalui wawancara, diharapkan peneliti memperoleh sistem peristilahan (bahasa) yang mereka gunakan dalam pandangan teleologis dimaksud. Ini menjadi alat sangat penting untuk mengungkapkan sistem pemikiran (pengetahuan) beserta sistem kategorisasinya. Oleh karena itu metode yang paling tepat untuk mengetahui hal-hal tersebut adalah melakukan observasi-partisipasi dan wawancara mendalam (indept interview), serta melakukan proses trianggulasi, yaitu membandingkan informasi yang diperoleh dari satu informan dengan informan lainnya, dengan harapan dapat saling melengkapi. Sesuai dengan pendapat Spradley yang mengatakan bahwa, metode wawancara mendalam (indept interview) jenis ini berpijak pada prinsip bahwa peneliti melakukan learning from people (belajar pada masyarakat), dan bukannya study of people (mengkaji masyarakat) (Spradley, 1979:46; 1980:3). Peneliti di dalam
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
58
hal ini, melalui teknik observasi partisipasi, kebanyakan mengamati, mendengar, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terstimuli oleh pengamatan serta jawaban atau penjelasan yang diberikan informan. Informan dalam hal ini, bertindak sebagai ‘guru’ bagi peneliti. Konsekwensinya, peneliti tidak mungkin menyiapkan satu kuesioner, kecuali hanya semacam guide yang fungsinya adalah untuk memberi arah agar peneliti tidak kehilangan konteks pada waktu berwawancara. Kemampuan individual untuk melakukan wawancara disaat mengumpulkan informasi, sangat menentukan dalam penelitian jenis ini. Kecuali untuk membangun pertanyaan-pertanyaan,
peneliti
dalam
jenis
riset
ini
sekaligus
dapat
mengembangkan/membangun inferensi atau hipotesa kerja di lapangan. Artinya, pertanyaan diperkembangkan justeru untuk memverifikasikan inferensi dimaksud, sehingga pada saat pengumpulan data lapangan berakhir, selesai pulalah penelitian tersebut. Dengan kata lain peneliti sudah memiliki kesimpulan-kesimpulan tentang sistem kategorisasi yang dibuat oleh infroman sendiri dalam membuat pandangan teleologis-nya. Proses trianggulasi sengaja ditambahkan dalam penelitian ini untuk memverifikasikan simpul-simpul kecil (inferensi) yang sudah peneliti buat atas penjelasan informan yang satu dengan lainnya. Hal mana dengan cara ini peneliti menjadi lebih yakin tentang tema-tema apa yang sudah ditemukan itu benar-benar mendapat dukungan dan pembenaran dari para informan.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
59
3. 6. Metode Analisis / Analisis Data. Data dianalisis secara kualitatif dengan melakukan interpretatif terhadap informasi-informasi
yang
diperoleh.
Berdasarkan
kajian
literatur,
peneliti
memperoleh motivasi-motivasi para penulis literatur mengenai kehidupan orangorang Tionghoa di Indonesia yang secara tematis dapat dikategorikan menjadi tiga tipologi, yakni: (1) Warga Tionghoa Hubungannya Dengan Kebijaksanaan Pemerintah, (2) Keberadaan
Warga
Tionghoa
Hubungannya
dengan
Warga
Masyarakat Setempat atau dibandingkan dengan keberadaan Warga Masyarakat Setempat, dan (3) Etnografi Mengenai Keberadaan Warga Tionghoa di Indonesia.
Literatur yang termasuk ke dalam tipologi yang pertama, sering kali menjelaskan keadaan struktural yang pernah dialami oleh warga masyarakat Tionghoa di Indonesia. Sedangkan berbagai literatur pada tipologi yang kedua, kecuali memaparkan pengalaman struktural masyarakat Tionghoa di Indonesia yang dikomparasikan dengan kenyataan struktural yang dialami oleh penduduk setempat. Dalam komparasi tersebut sering kali adanya penilaian berupa superioritas dan inferioritas diantara kedua warga masyarakat. Penilaian-penilaian semacam itu terkadang berkorelasi pula dengan kenyataan kultural warga masyarakat Tionghoa di satu sisi, dengan kenyataan kultural kehidupan warga masyarakat setempat yang ada di Indonesia.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
60
Literatur
yang
tergolong
dalam
kategori ketiga, kebanyakan lebih
menonjolkan berupa paparan-paparan mengenai keunikan atau kenyataan superioritas kultural yang dimiliki warga masyarakat Tionghoa di Indonesia. Kenyataan-kenyataan tematis yang terdapat dalam kajian literatur tersebut kemudian dihubungkan dengan kenyataan yang ada di lapangan melalui wawancara terhadap informan. Hasil dari wawancara, yang sesuai dengan pemaknaan yang diberikan oleh para informan, dengan pendekatan ‘emik’ (Sturtevant, 1969). Ternyata ketika peneliti melakukan analisis terhadap pemaknaan tersebut, diperoleh hal-hal yang juga bersifat tematis. Para informan menjelaskan pandangannya secara teleologis. Pandangan teleologis tersebut ternyata dibentuk, dan didorong oleh suatu kekuatan yang tersembunyi dalam nilai-nilai budaya masyarakat Tionghoa sendiri, yang dikenal sebagai ‘Yin-Yang’. Nilai ‘Yin’ merupakan pengalaman struktural, Nilai ‘Yang’ merupakan pengalaman kultural. ‘Yin-Yang’ adalah suatu daya dorong terhadap perspektif hidupnya dimasa akan datang. Berdasarkan hasil wawancara ternyata terdapat hal-hal yang dikategorikan sebagai ‘Yin’, seperti kenyataan: aspek struktural yang selama ini mereka alami. Kemudian aspek struktural yang mengandung nilai ‘Yin’ itu sendiri, dapat dibedakan lagi menjadi pengalaman-pengalaman hidup yang dirasakan bersifat tekanan ataupun pengalaman-pengalaman hidup yang mereka rasakan sebagai peluang. Dengan kata lain orientasi hidup atau pandangan teleologis warga masyarakat Tionghoa, karena terdorong oleh tekanan maupun peluang yang didasarkan pada pengalaman struktural selama mereka berada di Indonesia.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
61
Sedangkan aspek kultural-nya dikategorikan sebagai 'Yang’. Aspek kultural yang mengandung nilai (sifat) ‘Yang’, mereka bedakan juga menjadi kultural yang bernilai ‘Yin’ dan kultural yang bernilai ‘Yang’. Kultural-Yin adalah hal-hal yang pada hekaketnya benilai irrasional atau supra-natural. Sedangkan nilai kulturalYang, adalah hal-hal yang pada hakekatnya adalah aspek kehidupan yang bernilai rasional atau logis-natural. Dengan kata lain orientasi hidup atau pandangan teleologis warga masyarakat Tionghoa, juga dapat terdorong oleh hal-hal yang bersifat rasional maupun hal-hal yang bersifat irrasional.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
62
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. Pengalaman Kultur/Budaya Warga Tionghoa Berbagai sumber banyak menyatakan bahwa masyarakat etnis Tionghoa memiliki kekhasan dan keunikan budaya. Mereka dapat mengkombinasikan berbagai ajran filosofis ataupun kepercayaan religi yang sekaligus berubah menjadi kemasan yang baru, sehingga menjadi suatu ajaran atau kepercayaan yang khas dan unik. Dalam kehidupan religius, masyarakat Tionghoa di Medan mengenal sinkretisme. Mereka menganut lebih dari satu kepercayaan (sinkretisme), seperti ajaran Konfusius, Budha, dan Tao, yang dikenal dengan istilah Tri Dharma, Sam Kauw atau San Chiao Wei Yi (ketiga agama adalah satu). 19 Ajaran Konfusius, Budhisme, dan Taoisme, banyak memberikan pengaruh pada perkembangan dasar berpikir, pandangan hidup dan filsafat orang-orang Tionghoa (Husodo, 1985:56). Disamping itu mereka tetap juga mempercayai adanya berbagai makhluk supra-alami, kepercayaan yang semacam itu dikenal dengan kepercayaan shenisme. 20 Kepercayaan shenisme sudah ada sejak dahulu dan merupakan warisan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Kepercayaan ini tidak memiliki kitab-kitab dan “tidak banyak dibicarakan orang”. 21 Merupakan kepercayaan yang dianggap 19
Hadiluwih, 1994: 207-208. Cheu Hock-Tong, 1982-83:203, Bloomfield, 1986:39, Gondomono, 1995:91. 21 Gondomono, 1995:92. 20
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
63
masih begitu “rahasia” dan jarang diungkapkan atau dijelaskan oleh orang Tionghoa sendiri, apalagi oleh orang luar (non-Tionghoa) dan dianggap sebagai tradisi “Hsien” (bersifat abadi) di dalam kehidupan orang Tionghoa. 22 Diantara makhluk gaib yang dianggap penting adalah makhluk gaib “tokoh bersifat lokal”. 23 Makhluk gaib ini dianggap penting karena sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka sehari-hari. 24 Bagi masyarakat Tionghoa di kota Medan maupun di semenanjung Malaysia makhluk tokoh lokal ini dikenal dengan sebutan “Datuk-Kong” karena identik dengan tokoh lokal setempat. 25 Di Jawa, lebih dikenal dengan sebutan “Mbah” atau “Kiayi”. 26 Sedangkan bagi masyarakat Tionghoa di Taiwan menyebutnya dengan “Bo-Gong” (untuk jenis yang laki-laki) dan yang perempuan dinamai “Bo Po”. Di Hongkong baik laki-laki maupun perempuan lebih di kenal dengan nama “Tu Di”.27 Orang Tionghoa di Medan, dapat membuat kombinasi sinkretisasi, selain mempercayai adanya “Pe’ Kong” mereka juga percaya pada “Datuk Kong”. Walaupun ”Datuk Kong” makhluk gaib yang mempunyai ciri kepribadian khas lokal yang dianggap Muslim, sedangkan “Pe’ Kong” mempunyai ciri kepribadian khas ketionghoaan atau Konfusianis, namun keduanya dianggap dapat diharmonikan dalam sistem kepercayaan shenisme, sehingga menjadi khas dan unik dalam sistem kepercayaan mereka.
22
Bloomfield, 1986:43. Onghokham, 1995: 145. 24 Bloomfield, 1986:36. 25 Agustrisno, 1995; Tan Chee-Beng, 1981; Cheu Hock-Tong, 1982-83: 36. 26 Nio Joe-Lan, 1961: 70; Salmon & Denys Lombard, 1985: 76. 27 Bloomfield, 1986:37-38. 23
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
64
Sinkretisasi
diartikan
sebagai
upaya
untuk
mengolah,
menyatukan,
mengkombinasikan dan menyelaraskan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan atau berlawanan. Sehingga terbentuklah suatu sistem prinsip yang baru, yang berbeda dengan sistem-sistem prinsip sebelumnya. Akibatnya timbul dan jadilah suatu kerangka penafsiran baru yang lebih komprehensif khas dan unik. Hal ini terjadi pada fenomena kepercayaan mereka, dan berkaitan erat sekali dengan ajaran-ajaran atau pemikiran-pemikiran yang bersifat filsafati. Manifestasinya dapat diketahui melalui bahasa maupun perilaku (gerak tubuh) kehidupan sehari-hari penganutnya. Proses sinkretisasi berjalan secara perlahan tetapi pasti, dan pada umumnya tidak diketahui atau disadari lagi oleh pelakunya. Sebab, proses ini lebih banyak dilakukan oleh mereka yang belum tergolong sebagai pemikir atau tokoh dalam masyarakat tersebut. 28 Kasus seni meng-sinkretisasi-kan semacam itu adalah upaya ekspresi yang dilandasi oleh latar belakang nilai filosofis kulturalnya, yakni kerangka berpikir filosofis yin-yang. Sebab nilai-nilai filosofis yin-yang, memiliki daya kemampuan untuk melakukan perubahan, dengan pola dinamika-akumulasi semacam sinkretisme. Kombinasi semacam itu bertujuan dalam rangka menuju suatu “keseimbangan” dan “harmoni”, terhadap dua nilai atau lebih yang saling berbeda dan bertentangan, baik di luar maupun di dalam diri manusia. Menurut J.C. Cooper nilai yin maupun nilai yang dalam filosofis yin-yang dapat berkembang lagi menjadi nilai yin-minor dan
28
Islam Jawa dan Jawa Islam, SinkretisasiAgama Jawa, makalah oleh Heddy Shri Ahimsa Putra, Balai Kajian Nilai Tradisional, Yogyakarta, 9 Nov.1995.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
65
nilai yang-mayor bagaikan deret ukur berkelipatan dua. 29 Atau yin-yang keadaan berpermutasi menjadi “citra”. 30
dalam
Pada hakekatnya, pembauran agama,
filsafat, etika, tata susila, adat-istiadat bagi mereka adalah untuk dapat mampu mengantisipasi setiap perubahan zaman (Zhong, 1996: 13). Nilai filosofis yang terdapat di dalam budaya Tionghoa mengajarkan manusia agar menyatukan dirinya dengan realitas, dari sana manusia berusaha merefleksikan inti dirinya dan inti realitasnya. Penguasaan diri adalah usaha untuk penemuan diri, hal ini dapat memberikan keselamatan, mengatasi derita dan duka. Penawarannya tidak disajikan secara memaksa, tetapi disajikan dengan cara kemasan seluruh kebebasan manusia agar terjalin keseimbangan dan harmoni
(wu-wei) dengan
segala sesuatu. Dalam hal ini, yang terpenting adalah mengarah pada keseimbangan dan harmoni mengikuti irama perubahan yang ada, bukan menentangnya (Cooper, 1981:41). Ajaran-ajaran filosofis ataupun tradisi adalah gumpalan pengalaman hidup yang pernah dirasakan oleh orang-orang tua generasi sebelumnya, hal tersebut dapat terlahir kembali, dan berkembang dalam proses perjuangan yang timbul dihadapan kehidupan masa kini sebagai realitas benda-benda, dunia, masyarakat, dan diri. Pengalaman tersebut disimbolisasikan atau dikonkretisasikan menjadi gambaran peristiwa, menjadi hukum-hukum yang abstrak lagi umum. Harmoni dan keseimbangan adalah merupakan tujuan, sebuah cita-cita hidup yang terdapat dalam
29 30
J.C. Cooper, 1981:33-56. Murata, 1996:29.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
66
gumpalan pengalaman kehidupan itu sendiri. Sudah menjadi suatu hukum yang bersifat abstrak. Secara tidak disadari, akibat proses enkulturasi, sosialisasi, dan terinternalisasi manjadi suatu ajaran, dan hal tersebut tersembunyi di dalam budaya, lebih khusus pada sistem pengetahuan orang-orang Tionghoa di Medan. Filsafat Yin-Yang merupakan salah satu mazhab filsafat Cina yang telah berusia selama berabad-abad. Aliran Yin-Yang (Yin-Yang chia), berasalah dari kehidupan budaya Cina kuno. Namun hingga saat ini, belum diketahui dengan pasti siapa pelopornya dan sejak kapan diperkenal (Lasiyo, 1992:64; 1993:36). Menurut berbagai ahli, asal mulanya dikembangkan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan penting dalam istana pada zaman dahulu di negeri Cina, yaitu di zaman Dinasti Zhou di antara tahun 1000-250 sebelum Masehi (Tan Xiaochum, 1996:xiii; Cooper, 1981:7). Orang-orang yang berkedudukan penting di istana ini adalah para ahli ilmu gaib atau dikenal sebagai fang-shih (Fung Yu-Lan, 1953:8; 1990:171), juga para ahli nujum dan ilmu perbintangan (Lasiyo, 1993:36). Di istana tugas mereka adalah pemberi nasehat kepada sang raja ketika masa perang, atau untuk menentukan hari perkawinan dan pelangsungan takhta (Tan Xiaochum, 1996:xiii). Ajaran filsafa YinYang banyak termuat di dalam kitab tentang perubahan atau I Ching (Cooper, 1981:56). Sebagai contoh isi kitab I Ching yang diungkapkan kembali oleh Tan Xiaochum (1996), adalah sebagai berikut: “Yin dan Yang bukan sekedar keadaan yang berlawanan tetapi dapat saling melengkapi dalam alam…Ini disebut persatuan dari yang berlawanan (hlm.27). Jika sesuatu dijaga dalam ikatan yang sesuai dan keseimbangan Yin dan Yang dipelihara, maka mereka akan
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
67
bertahan. Jika Yin dan Yang seimbang, ini disebut ‘jalan tengah’ (hlm.33). Hanya bila seseorang berada di tengah ia dapat bergerak dengan bebas ke arah manapun (hl.40)”. Fung Yu-Lan dalam bukunya The Spirit of Chinese Philosophy juga menyatakan hal yang sama (1967:121): “Hakekat Yin ialah melengkapi Yang, persis seperti isteri melengkapi suami…Tak ada ciptaan tanpa kedua prinsip itu, selalu ada Yin dan Yang di dalam.” Filsafat Yin-Yang mengandung landasan teleologis metafisika yang demikian kokohnya, sehingga sangat berpengaruh dan mewarnai etos budaya Cina Klasik, bahkan terhadap pemikiran orang-orang besar seperti Konfusius maupun Lao tze (pencetus ajaran Tao) (Lasiyo, 1992:64; 1993:36; Tan Xiaochum, 1995:18-22). Lao tze dengan ajaran Taoismenya telah mengambil alih dan mengaplikasikan filsafat Yin-Yang dengan begitu kental ke dalam ajaranya sehingga menjadi suatu kepercayaan yang melebihi ajaran teologis keagamaan (Cooper, 1981:13-14). Filsafat Yin-Yang tidak hanya mewarnai etos budaya Cina klasik saja, tetapi juga dapat dirasakan dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di saat kini. Sebagai contoh misalnya To Thi Anh, dengan berlandaskan filasafat Yin-Yang telah berhasil membangun sebuah kreativitas intelektualnya, dengan melakukan sintesis antara nilai budaya Timur
dengan nilai budaya Barat
dalam artian yang bersifat simbolis
(1984:87). Konsepsi teleologis metafisika yang terdapat di dalam ajaran filsafat Yin-Yang ternyata demikian besar pengaruhnya terhadap kehidupan budaya masyarakat
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
68
Tionghoa. Sebagaimana dinyatakan oleh Lee T.Oei dalam Pergulatan Mencari Jati Diri (1995: 98) sebagai berikut: “Keselarasan antara Yin dan Yang adalah keselarasan suara dan gerak isyarat dalam musik serta tari-tarian. Akibat mengikuti ‘Tengah Sempurna’ adalah untuk menguasai tempokehidupan individu dan masyarakat. Tritunggal suara yang terdiri dari individu, masyarakat dan kosmos, merupakan dasar sebuah melodi yang bentuknya adalah irama sempurna dari awal hingga akhir (yin-yang). Dengan persamaan hidup senada seorang chun-tzu adalah produk terakhir pengorganisasian kehidupan seseorang di sekitar skala ‘Tengah Sempurna’…”
Demikian besarnya konsepsi teleologis metafisika di dalam filsafat Yin-Yang, sehingga sama dengan, yang menurut istilah Fowler, disebut dengan faith, yaitu suatu kepercayaan eksistensial. Di mana pribadi secara aktif mengambil posisi dan sikap untuk memberikan arti bagi hidupnya yang berat ini sesuai dengan gambarannya mengenai kenyataan. Hal ini dimungkinkan karena manusia adalah makhluk pencipta arti (meaning maker) yang memikul tugas berat mengolah sejumlah masalah eksistensial (disaat dia ‘berada-dalam-relasi-dengan-sesuatu’) yang mengganggunya, dan menjadikannya suatu susunan dunia hidup yang berarti (Fowler, 1995: 20-25). Apa yang berarti dalam hidup ini ? Menurut budaya Tionghoa yang intinya merupakan filsafat Yin-Yang, sudah barang tentu yang dituju dan dicari adalah berada dalam keadaan keseimbangan dan harmoni (wu-wei). Dengan kata lain, manusia senantiasa mengarah kepada keadaan dan kondisi yang bersifat bahagia. Sebagaimana dikatakan Widyahartono (1996:78-79):
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
69
“Yin dan Yang adalah berlawanan, tetapi mereka justru saling mengisi (complementary) dan merupakan kombinasi yang paling mendukung (beneficial combination), serta harus dipelihara dalam keseimbangan dan harmoni. Filsafat Yin-Yang merupakan landasan penting bagi praktek pengobatan, seni masak, teori perang (matial art), praktek Hong Shui, dan panduan kegiatan bisnis”.
Menurut T.Hani Handoko (1996:51-62) paling tidak terdapat tiga hal atau nilai sebagai penentu perilaku bisnis orang-orang Tionghoa: “Paling tidak ada tiga nilai yang sering disebut sebagai penentu perilaku bisnis golongan Tionghoa: yaitu hopeng, feng shui atau hong shui, dan hokie. Ketiganya merupakan nilai, kepercayaan, dan (mungkin) juga mitos yang dipakai untuk menjalankan bisnis. Ketiga inilah yang biasanya mewarnai keberanian berspekulasi dalam menjalankan bisnis.”
Konsepsi yang dalam filasafat yin-yang, dalam hal ini dapat di asosiasikan sebagai: surga, semua yang positif, pria, cahaya, api, keras, sisi kanan, hidup, bergerak, termasuk juga hal-hal yang dianggap bersifat
rasional. Sedangkan
konsepsi yin dapat diasosikan dengan arti sebaliknya, sebagai lawannya dari konsepsi yang. Oleh karena itu dapat diartikan sebagai “bumi” (earth), semua yang negatif, wanita, kegelapan, air, lunak, dingin, sisi kiri, kemandegan (deadly and still), termasuk juga hal-hal yang bersifat irrasional. Secara operasionalnya ketika masyarakat Tionghoa melakukan upaya bisnisnya dapat dibedakan menjadi dua cara. Dengan cara yang bersifat rasional (yang) ataupun dengan cara irrasional (yin). Kedua cara tersebut adalah hal yang lazim di dalam budaya mereka. Adakalanya, mereka mengkombinasikan kedua cara
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
70
tersebut dalam rangka melakukan usaha bisnisnya dengan tujuan agar cepat memperoleh keberhasilan. Perilaku bisnis yang bersifat rasional dalam hal ini dimengerti sebagai perilaku yang sesuai dengan realitas atau hal-hal yang natural. Sedangkan perilaku bisnis yang bersifat irrasional adalah perilaku dengan menggunakan upaya yang bersifat irrasional atau supra-natural tetapi mengarah kepada tujuan yang rasional. Bagi orang-orang Tionghoa dalam berbisnis dapat melakukannya dengan cara yang rasional atau yang irrasional, ataupun dengan melakukan kombinasi dari kedua cara tersebut sekaligus.
4. 1. 1. Perilaku Rasional Perilaku berbisnis harus yang rasional sebagai mana dikatakan oleh Robert: “Counter HP merupakan peluang bisnis yang cerah di masa kini dan akan datang. Sebab sekarang ini, HP sudah banyak digunakan oleh banyak orang, dari berbagai lapisan masyarakat. Karena pada saat ini, kan kota Medan sudah menjadi kota metropolitan, dan harus ikut globalisasi. Teknologi Informasi merupakan kebutuhan masyarakat Medan saat ini dan dimasa akan datang. Seperti di Plaza Milenium, pada hari Sabtu dan Minggu banyak pengunjung berdatangan untuk urusan HP, seperti membeli, tukar tambah, menjual, maupun reperasi HP. Melakukan bisnis semacam itu adalah peluang keuntungan.”
Sama dengan yang diungkapkan oleh Budiman: “Usaha yang baik untuk akan datang ya dibidang teknologi, baik auto mobil, maupun komputer. Sebab masyarakat sekarang memiliki daya pikir yang jauh lebih maju, dan harus pandai mengikuti perkembangan teknologi. Sekarang semua pekerjaan, melakukan segala sesuatu tidak dengan sistem manual lagi. Semua dilakukan dengan sistem komputer. Lewat komputer yang disambung ke internet, secara instant kita bisa mencari data-
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
71
data atau informasi. Ditambah lagi sekarang sudah perdagangan bebas, jadi kita harus mengerti dan paham tentang teknologi.”
Go To Yhen: “Masa depan baiknya usaha barang-barang atau alat-alat teknologi. Karena sekarang teknologi lagi sangat merebak sekali. Dan alat-alat teknologi dapat dikatakan sangat susah ditemui ditambah harga yang mahal. Jadi apabila usaha ini digeluti dari sekarang mungkin akan sangat sukses. Karena kan makin zaman teknologi makin hebat. Walupun saya kurang tau soal teknologi. Tapi kan saya punya keluarga dan kawan yang dapat membantu. Yang pasti apabila saya sudah kenal dan dekat dengan mereka. Baru saya akan mengajak mereka.”
Sedangkan Tang Asiu Ling mengungkapkan: “…saya rasa usaha di bidang kesehatan. Seperti: apotik, pijat refleksi, atau aroma terapi untuk menghilangkan stress/suntuk seseorang. Karena kehidupan sekarang menuntut kecepatan, keahlian. Sehingga banyak yang terlupakan seperti kesehatan. Seperti kesehatan tadi lupa makan, karena menuntut kecepatan waktu tadi, banyak orang-orang yang mengkonsumsi makanan siap saji untuk itulah saya rasa usaha itu bakal sukses. Subyek yang biasanya melupakan tentang kesehatan itu di daerah perkotaan.”
Lauw Na berpendapat: “Menurut saya usaha butik yang bakal mengambil peran di masa yang akan datang. Karena Medan inikan, dapat dikatakan kota metropolitan yang kesemuanya menjunjung tinggi penampilan. Yang mana butik itu adalah sejenis toko baju tapi tidak semuanya baju bisa dijual di toko tsb. Hanya baju-baju yang unik, langka dan harganya lumayan mahal, dan dapat juga dikatakan baju-baju itu berasal dari luar negeri….supaya usaha ini sukses adalah dengan memberikan pelayaan yang ramah dan memberikan potongan harga. Apabila pada saat mendekati hari-
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
72
hari besar. Untuk usaha ini dapat dibuka di pusat perbelanjaan atau mol dengan membuat suasana butik yang menarik. Untuk usaha ini yang saya butuhkan hanya orang-orang yang pandai mempadani/mencocokan baju satu dengan lainnya. Yang pasti kita hanya cukup menjalin hubungan yang baik antara kita dan pebisnis baju lainnya, karena dengan begitu, kebutuhan butik saya akan terpenuhi, karena sayakan jualan buka memproduksi. Atau kita bisa membuat bentuk usaha butik yang patungan, atau bagi dua, kalu istilah Cinanya mungkin hu’i , tapi saya tidak tahu apa artinya dalam bahasa Indonesia. Karena hal itu dapat meringankan.”
Pandangan semacam itu terdapat dalam I Ching, Kitab Perubahan (Book of Change) dinyatakan, semua energi dalam kosmos (alam semesta) adalah bergerak secara siklikal, tidak ada satu pun yang abadi, yang abadi hanyalah perubahannya itu sendiri. Manusia adalah bagian dari alam kosmos, oleh karena itu manusia senantiasa harus
menyesuaikan
dirinya
dengan
gerak
alam
kosmos
tersebut
untuk
keseimbangan. Manusia harus dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Kesuksesan adalah hasil upaya manusia sendiri yang secara terus menerus mau belajar untuk memperbarui diri agar sikapnya baru selamanya. Sesuai dengan ungkapan Yusuf (A Long): “Sudah setahun akau buka counter HP, hasilnya tetap lancar, tidak ada hambatan apapun. Sebelum saya buka counter HP saya bertani. Bertani hasilnya kurang memuaskan untuk kehidupan keluarga. Jadi aku coba jual HP di Melinium Plaza ini, ternyata lebih memiliki prospek ke depan.” “Pengetahuan yang sangat bermanfaat di masa datang adalah bidang teknologi komputerlah, ini kan era globalisasi, dunia komputer sangat dibutuhkan. Kita harus dapat mengoperasikan, mengikuti dan mengerti kemajuan dunia komputer supaya tidak ketinggalan.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
73
Begitu pula yang diungkapkan oleh Liong:
“Menurut saya sangat sulit dibayangkan. Semuanya itu tergantung keuletan kita, kerja keras, dan harus berusaha terus. Masing-masing orang punya jalan masing-masing dan punya bakat yang ada. Jadi terserah pada orangnya kemampuannya untuk menggali dan mengembangkan bakat tersebut. Semua usaha itu sangat memungkinkan dimasa mendatang jadi tergantung kita semua yang menjalankannya.”
Budiman juga berpendirian demikian, bahwa: “Usaha yang baik untuk akan datang ya dibidang teknologi, baik auto mobil, maupun komputer. Sebab masyarakat sekarang memiliki daya pikir yang jauh lebih maju, dan harus pandai mengikuti perkembangan teknologi. Sekarang semua pekerjaan, melakukan segala sesuatu tidak dengan sistem manual lagi. Semua dilakukan dengan sistem komputer. Lewat komputer yang disambung ke internet, secara instant kita bisa mencara datadata atau informasi. Ditambah lagi sekarang sudah perdagangan bebas, jadi kita harus mengerti dan paham tentang teknologi.”
Yenti mengungkapannya sebagai berikut: “Kalau kami orang Tionghoa, pertama kali dulu sejarahnya merantau selalu berpegang teguh pada nilai-nilai budaya seperti kemandirian, kerja keras, dan kesabaran dalam segala hal adalah prioritas. Sebagai orang tua dari dulunya membimbing anak-anaknya supaya bisa berusaha misalnya bila anak-anaknhya dari kecil ikut berusaha dengan orang tuanya, maka dari kecil akan dididik dibimbing supaya bisa memiliki jiwa usaha dan bagaimana caranya dikelola supaya meningkat terus usaha itu.”
Dengan kata lain manusia harus dapat mengarahkan dirinya kepada keseimbangan dan harmoni terhadap gerak alam kosmos. Untuk menjadi seorang
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
74
insan Sun Tzu (gentlement) atau manusia yang berbudi mulia yaitu cita-cita yang senantiasa terus berupaya tekun dan telaten. Perilaku bisnis orang-orang Tionghoa sebagian besar ditentukan oleh sikap tersebut (Zhong, 1996:.3-14). Ajaran I Ching adakalanya juga direduksi menjadi Feng Shui atau Hong Shui, suatu konsepsi teori geomacy yang rumit mengenai keberadaan sebuah tempat sesuai dengan waktu dan suasana berdasarkan hukum keseimbangan dan harmoni antara yin dan yang. Feng Shui merupakan sebuah rasionalitas berdasarkan astrologi Cina kuno yang dapat dikaitkan dengan keseimbangan dan harmoni hubungan antara manusia dengan alam kosmos. Feng Shui adalah cara untuk menangkap energi alam kosmos yang disebut Ch’I . Ch’I itu sendiri adalah sumber ketenangan dan kemakmuran, kekayaan yang berlimpah, serta kehormatan dan kesehatan yang baik. Ch’I ini dapat diciptakan dan dikumpulkan oleh seorang ahli feng shui (Handoko, 1996:55; Skinner, 1986; Lip:1984; Too, 1993). Tempat
berkumpulnya
Ch’I,
bila
dibangun
rumah
tempat
tinggal,
penghuninya akan mendapat keberuntungan selama beberapa generasi. Bila di jadikan tempat bisnis, usahanya akan maju dan berkembang pesat. Penemu feng shui adalah Yang Yun Sang, dan telah dipraktekkan di Cina kuno sejak zaman dinasti Tang di abad ke-4 sebelum Masehi. Orang Tionghoa percaya bahwa feng shui mampu menjelaskan bahwa kemakmuran, perusahaan yang dapat berkembang pesat, kekayaan mudah diperoleh; sebaliknya nasib buruk, keruntuhan dan kebangkrutan juga dapat menimpa kesemuanya berkaitan dengan hal feng shui ini.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
75
“Sekarang, semakin banyak usahawan di Hong Kong, Taiwan, dan Singapura berkonsultasi kepada ahli feng shui sebelum mereka membangun kantor, bangunan, took, dan pabrik. Banyak di antara mereka yang percaya bahwa feng shui mempengaruhi usaha mereka, baik meningkatkan maupun menghancurkan keuntungan bisnis mereka. Mereka menjalani feng shui untuk menghindari kehancuran bisnis mereka, melancarkan jalannya perusahaan, dan menjaga kemakmuran dan kesuksesan diri mereka sendiri. Memang, banyak usahawan yang berusaha keras memabangun temapat kerja dan bisnis mereka menurut atauan feng shui” (Too, 1993:93). Hukum tradisi matematis Cina kuno ini sangat berpengaruh pada praktek dagang orang Tionghoa di Indonesia (Handoko, 1996: 56): “Contoh yang paling jelas adalah adanya anggapan beberapa pengusaha Tionghoa bahwa belahan Jakarta sebelah Barat dianggap membawa keberuntungan dalam bidang dagang real estate. Praktek-praktek hong shui seperti ini sesungguhnya dalam sistem cultural mampu membuat perhituangan yang sangat hati-hati dalam dagang. Setiap ramalan, yang tentu saja boleh dianggap tidak rasional, sesungguhnya tidak pernah berakibat apa-apa terhadap dagang. Hanya saja, ramalan itu penting untuk menambah kewaspadaan dalam menjalankan dagang.”
Menurut Lillian Too (1993) feng shui dalam hal bisnis sangat erat kaitannya dengan tata letak bangunan sebagai tempat berbisnis, diantaranya seperti hubungannya dengan bangunan yang sudah ada di sekitarnya, bentuk dan struktur bangunan, corak dan dan bentuk lansekap, papan nama, logo, dan angka, desain interior seperti ruang kerja dan perabatan yang terdapat di dalamnya. Keseluruhan hal tersebut harus baik sehingga dapat menciptakan, mengalirnya, dan menggerakkan
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
76
Ch’I yang baik. Tempat berbisnis yang mengandung keseimbangan ‘yin-yang’ yang harmonis adalah sebagai berikut: ☯ Daerah atau pojok yang cahayanya suram menyebabkan Ch’I diam dan lelah; keadaan ini membawa kesialan dalam bisnis. Pencahayaan dan pandangan yang baik di dalam ruang kerja adalah aspek feng shui yang penting yang harus di perhatiakan. ☯ Daerah lembab yang menimbulkan kebusukan menciptakan Ch’I yang gana. Keadaan ini meciptakan banyak masalah dan krisis. ☯ Daerah yang terkena pantulan cahaya matahari sore merupakan tempat berkumpulnya Ch’I yang merusak, sehinggg membawa ketidaksenangan dan nasib buruk. Bila terlalu menyilaukan, manajemen harus memamsang penangkalnya, seperti kaca antisilau, tirai, atau menggantung kristal di jendela. ☯ Kantor dan tempat usaha yang tidak hidup membawa kediaman (mandeg). Kantor yang terlalu tenang dan dingin menyatakan aliran yang buruk. Oleh karena itu masukkan unsure kehidupan, seperti musik, computer, mesin tik, atau ikan hidup yang berenang di dalam aquarium. Kantor atau toko yang terlalu tenang menyebabkan Ch’I diam dan ini buruk untuk bisnis. ☯ Ventilasi ruangan harus baik, karena udara segar akan membawa kebaikan dalam penciptaan Ch’I.Ruangan lembab karena AC teus menerus memutar udara yang tidak segar lagi berpengaruh buruk bagi bisnis. ☯ Obyek perusahaan yang berharga (misalnya lemari yang berisi surat pialang saham, hadiah pandai emas, ruang besi bank, atau manajer atau bos perusahaan) harus mendapatkan daerah dengan Ch’I yang bagus, yakni daerah yang tidak terlalu dekat dengan pintu depan. ☯ Tanaman yang ada di kantor, toko, atau tempat usaha lainnya harus dipelihara dengan hati-hati dan tidak boleh gugur, mati, atau layu. Bila hal ini terjadi, itu menunjukan bahwa Ch’I telah besi dan mati. Demikian pula dengan ikan yang dipelihara di kantor. Ikan-ikan ini harus sehat dan airnya harus bersih. Bila ikan mulai mati satu per satu, itu pertanda bhwa segalanya ber jaln buruk.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
77
☯ Banguan kantor tidak boleh bau, karena adanya udara berbau busuk menciptakan getaran buruk. Oleh karena itu, toilet harus selalu ditempatkan jauh dari ruang kantor umum, sehingga baunya tidak memasuki kantor. Makanan sisa yang dibawa ke kantor harus dibungkus dengan hati-hati sebelum dibuang, dan manajer kantor harus membuat tempat sampah dan sistem pembuangan limbah yang efisien. ☯ Jalur lalu lintas ruang kerja harus lancer dan mudah. Rintangan karena penempatan meja yang tidak tepat atau penumpukan kotak dan kertas tidak balik bagi aliran Ch’I. Hal ini menyebabkan keributan kecil di ruang kerja. ☯ Akhirnya, suara bising ditempat usaha, yang berasal dari musik, suara mesin pabrik yangada disekitarnya, atau yang lebih buruk lagi, pertengkaran antara staf, menciptakan Feng Shui yang buruk. Polusi suara sering membawa suhu tinggi, kurang produktivitas, dan ketidakselarasan antarstaf.
Bagi masyarakat Tionghoa di Medan juga adakalanya dalam berbisnis juga mempercayai feng shui atau hong shui semacam itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Rina: “…ada, seperti contohnya jika kita baru mau bangun rumah atau usaha hal yang penting adalah melakukan peramalan atau apalah namanya dari orang pandai hong shui, supaya rumah itu datangkan hoki yang bagus.” Begitu pula ungkapan Lim Carolus: “Usaha itu tentu saja ada hubungannya dengan peramalan budaya Tionghoa, karena sudah merupakan suatu tradisi, dimana letak lokasi yang bagus adalah mengarah pada letak Timur dimana matahari itu terbit, karena hal itu akan menambah rezeki dari usaha kita. Dimana letak sinar matahari akan memercik ke usaha kita.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
78
Sen-sen, berpendapat bahwa: “Memilih atau membuat sebuah rumah harus sesuai dengan Feng Sui, misalnya, apabila rumah itu tepat berada di depan gang, atau jalan masuk pemukiman, atau terdapat tinga listerik di depan rumah, akan menghalangi rezeki yang masuk, maka kaca polos itu merupakan merupakan penangkalnya di letakan di depan pintu rumah, sehingga rezeki dapat masuk kembali ke rumah.” Apabila letak bangunan rumah atau tempat berbisnis tidak sesuai menurut feng shui atau hong shui hal tersebut dapat disiasati sebagai mana kata Airin: “Feng Shui, merupakan lambang yang sering diletakan di atas pintu masuk rumah. Jenis Feng Shui ini dapat menangkal agar rezeki tidak lari kepada orang yang letak rumahnya berada persis di depan rumah kita. Feng Shui ini juga dapat memberi keselamatan, memberi kenyamanan bagi penghuni rumah, dan dapat memberikan rezeki yang melimpah dalam usaha yang dibuat. Jenis Feng Shui ini berbentuk lempengan logam yang bersegi delapan, pada sisi kanan dan kirinya diapit dengan kertas putih yang disebut dengan jugo hupo, yang juga memiliki fungsi sebagai penjaga dan pelindung rumah. Di bawah Feng Shui dan jugo hupo, diletakan jenis Hong Shui, yang terbuat dari kertas kuning. Hong Shui ini dianggap dapat menjaga dan melindungi bangunan rumah beserta isinya, bahkan dapat melindungi mereka dikala mereka berada di luar rumah.” Sedangkan prinsip pelaksanaannya untuk usaha berbisnis, banyak pengusaha keturunan Tionghoa yang mendasarkan praktek bisnisnya pada 16 prisip berbisnis (Sixteen Principles of Good Business by Tao Chu Kung, abad 15 SM). Dalam prinsip-prinsp ini terdapat dua bagian. Yang pertama menunjukkan hal-hal positif, bagian kedua merupakan petuah (warning) mengenai hal-hal yang negatif dalam
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
79
berbisnis. Gaya positif dan negatif ini dapat disejajarkan dengan filsafat Yin-Yang. Ke-enam belas Prinsip Bisnis yang baik
tersebut adalah sebagai berikut
(Widyahartono, 1996:79-80; Joesoef, 1996:44-45): ☯ Rajin dan tekun berusaha. Kemalasan berakibat petaka ☯ Hemat dalam pengeluaran. Pemborosan menggeroti modal. ☯ Ramah pada setiap orang. Ketidaksabaran mendatangkan kerugian. ☯ Jangan menyia-nyiakan kesempatan. Penundaan menghilangklan peluang. ☯ Lugas dalam transaksi. Keraguan membawa pertikaian. ☯ Berhati-hati dalam memberi kredit. Kemurahan hati yang berlebihan memboroskan
modal. ☯ Periksa semua account dengan cermat. Kelalaian menghambat rejeki. ☯ Bedakan yang baik dari yang jahat. Ketidakpedulian melumpuhkan usaha. ☯ Kendalikan sediaan dengan sistematis. Kecerobahan menciptakan kekacauan. ☯ Adil dan tidak pilih kasih terhadap karyawan. Prasangka menimbulkan kemalasan. ☯ Periksa dengan cermat semua nota pengeluaran dan
masukan. Kealpaan berakibat mahal. ☯ Periksa dagangan sebelum diterima. Kesembarangan mendatangkan kemalangan.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
80
☯ Kaji dengan teliti setiap perjanjian. Ingkar menghancurkan kepercayaan. ☯ Bijaksana dan jujur dalam usaha. Manajemen yang buruk
membuka
peluang
korupsi. ☯ Tunjukkan rasa tanggung jawab. Sikap tak bertanggung
jawab mengundang
kesulitan. ☯ Bersikap tenang dan penuh percaya diri. Sikap nekat menghambat perkembangan.
4. 1. 2. Perilaku Irrasional Disamping menggunakan hal-hal yang bersifat rasional, tidak jarang pula diantara pelaku bisnis keturunan Tionghoa ini menggunakan cara-cara yang bersifat irrasional. Dalam hal ini mereka memanfaatkan jasa hopeng maupun dengan menggunakan hokie.
4. 1. 2. a. Hopeng Hopeng diartikan sebagai menjaga hubungan yang baik terhadap relasi atau koneksi bisnis. Bagi orang Tionghoa bisnis tidaklah semata-mata hal yang seluruhnya bersifat rasional. Dalam dunia bisnis hubungan dengan relasi atau koneksi sangatlah penting. Hal itu bisa saja terjadi dalam interaksi di luar bisnis itu sendiri. Membangun relasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan berperan dalam dunia bisnis pada umumnya.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
81
“Membangun koneksi dari lini paling bawah dan sederahana hingga paling atas yang terkadang rumit, seakan sudah menjadi ‘keahlian’…dan hal ini sepertinya menjadi kunci utama dalam dunia bisnis mereka,…sangat sulit berdagang …bila tidak ada koneksi…..Sebaliknya semua akan lancar bila ada koneksi.” (Ongkowijoyo, 1995:115). Demikian pula menurut informan Sudi (Wei Shio Bei): “Saya mengembangkan usaha dangan cara memperkuat dan memperluas jaringan saya untuk mencari modal, dan biasanya saya bergabung dalam suatu jaringan adalah kerabat dekat atau bisa orang yang bis dipercaya, baik orang pribumi atau kalangan birokrat. Kalau kita mau maju dalam usaha kita kita harus banyak bergaul agar dapat mengembangkan bisnis kita dan memperoleh modal untuk membuka usaha, kalau sudah ada modal dan pergaulan yang luas maka usaha apapun bisa kita lakukan. Kita harus giat dalam dalam bekerja dan berusaha juga dapat modal dalam mengembangkan bisnis dan harus tekun serta sabar saat merintis bisnis. Misalnya saya dulunya sebelum menjalankan usaha terlebih dahulu belajar dan bekerja dengan orang pribumi, kemudian setelah merasa mampu mencoba usaha sendiri.” Begitu juga ungkapan Yenti: “Jadi dalam budaya Tionghoa, nanti ada hari-hari baik kita harus kumpul dalam satu keluarga terutama hari imlek. Kalau ada kesalahan berma’afan, kalau ada masalah dirembukakan bersama, kalau dia lagi gak ada modal jadi disanalah salain membantu dalam satu keluarga.”
Pengusaha
keturunan
Tionghoa
tidak
tergesa-gesa
untuk
memulai
pembicaraan atau perundingan dalam hal bisnis. Mereka lebih dahulu ingin saling mengenal sebelum mengadakan hubungan bisnis, dengan berupaya melakukan hubungan secara pribadi. Terutama hubungan-hubungan yang bersifat persahabatan yang saling menguntungkan satu sama lain. Berdasarkan pengertian tersebut,
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
82
wajarlah dalam bisnis orang Tionghoa pada umumnya, dalam melibatkan usahanya lebih mengutamakan keluarga atau teman-teman dekatnya dari pada orang lain yang sama sekali baru dikenalnya. Sebab keluarga maupun teman dekat tidak mungkin lagi diragukan kesetiaannya. Kesetiaan pada keluarga dan teman dekat begitu tinggi dan ini diturunkan terus-menerus. 31 Orang Tionghoa selalu mengingat setiap bantuan yang pernah mereka berikan ataupun yang mereka terima, sehingga pendekatan yang biasa mereka lakukan atas dasar pendekatan hutang budi.( Suhanda, 1996:84-92). Dalam pengamatan Vleming (1989:84), juga mengakui hal tersebut: “Selama berabad-abad bangsa Cina mempunyai pandangan bahwa individu adalah sebagian dari keluarga, kelauarga bagian dari clan, dan clan bagian dari bangsa. Karena itu, dapat dimengerti mengapa dalam berdagang pengusaha Cina selalu bermitra dengan anggota keluarga dan sahabatnya”.
Hopeng dapat juga diartikan sebagai modal sosial. Kerjasama sukarela yang berintikan saling adanya kepercayaan (trust), toleransi, solidaritas, dan nilai-nilai kebersamaan. Dengan modal sosial hubungan sosial antara individu di dalam kelompok dapat saling membantu dan bekerjasama. 32 Modal sosial yang paling berarti bagi orang-orang Tionghoa dalam hal ini adalah anggota keluarganya sendiri, kemudian meluas kepada kaum kerabat (clan), teman dekat, atau bangsa. Belakangan ini fungsi hopeng juga memasukkan kalangan 31
Solidaritas yang paling kuat hanya dapat dibangun atas dasar guanxi (hubngan kekerabatan dekat), orang semarga, atau sesama golongan keturunan Cina. Mereka percara bahwa shin yung (hungan saling percaya) atau solidaritas menurut mereka hanya dapat dibangun di antara golongan keturnan Cina (Mazali, dalam Prisma, 24 Agustus 1994: 68-69). 32 Badaruddin, 2005: 23-59.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
83
“kenalan”, asalkan dapat memudahkan proses urusan berbisnis bagi mereka. Sebagai contoh misalnya, para pejabat yang memiliki kekuasaan politk dalam birokrasi. Menurut
T.Hani
Handoko
(1996:51-62),
keberhasilan
pengusaha-pengusaha
Tionghoa seperti: Mohammad Bob Hasan, Liem Sioe Liong, Ciputra, Eka Tjipta Wijaya, Prajogo Pangestu memiliki Hopeng semacam itu. “…mudah dipahami bahwa karakter dagang menuntut sikap ‘bijak’ (prudent) dan kecermatan. Mencari dan menjalin hopeng adalah cerminan dari sikap kehati-hatian. Hopeng adalah salah satu cara untuk mengurangi resiko dagang yang sering kali bersifat sangat spekulatif. Bisa juga diartikan bahwa hopeng merupakan usaha untuk mengurangi rintangan-rintangan dagang.” (Handoko, 1996:55). “Hopeng dipakai untuk meningkatkan kekuatan tawar-menawar terhadap pemasok dan pembeli, dan mengurangi ancaman…hopeng dipakai untuk menjamin relasi agar perusahaan terlindung dari peraturan-peraturan yang sangat merugikan.” (Handoko, 1996:60).
Dengan adanya nilai hopeng inilah diduga ada kaitannya dengan timbulnya persekutuan-persekutuan dagang
orang-orang Tionghoa yang disebut ‘kong-si’,
Guanxi atau Quanxi. Kong-si dapat diartikan sebagai ikatan-ikatan antar manusia yang bersifat pribadi, khas, dan non ideologis, tetapi yang didasarkan pada kesamaan identifikasi, seperti: kekerabatan, kesamaan daerah asal-usul (qingqi), tahun kelahiran, asal satu pendidikan atau alumni (tongxue), sahabat ketika di perguruan tinggi (tongshi), kesamaan minat (tonghao), budaya, bahasa yang sama, dan lain sebagainya. Berdasarkan itulah mereka saling berhubungan dan membuat suatu jaringan bisnis yang bersifat khas, berdasarkan keyakinan dan saling percaya
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
84
(Budhiyanto, 2004, 279-302). Namun, latar belakang terbentuknya kong-si tidaklah identik dengan kekeluargaan (familialism) dan paternalism, melainkan lebih menitik beratkan pada adanya aturan tidak tertulis (unwritten codes) yang melindungi perilaku opotunistik anggotanya (Warta Ekonomi, No.13, 2007: 25). Kong-si merupakan salah satu kunci sukses bisnis etnik Tionghoa di negerinya maupun di perantauan. Kong-si tidak hanya memberi pelindungan anggotanya dalam berbisnis, teapi juga memberikan ruang bagi hubungan pribadi antar
pelaku bisnis yang dikombinasikan dengan karakter pribadi (trait) dan
kesetiaan (loyalty). Juga dapat membentuk pertukaran sosial berdasarkan sentiment primordial dan emosi budaya yang ditandai dengan saling percaya (trust). Ketika orang berhutang, pembayarannya tidak semata-mata tepat waktu saja dan sesuai perhitungan, tetapi terkandung pula ikatan sosial di luar rasio ekonomi. Di dalamnya mengandung unsure non-ekonomi, seperti: motivasi politik, kekuasaan, status, dan sebagainya. Oleh karena itu jika seandainya seseorang telah berbuat kesalahan, dengan mudah citra negatif akan tersebar dan habislah masa depan bisnisnya (Warta Ekonomi, No.13, 2007: 25). Dari konsepsi hopeng maupun kong-si (atau hui) inilah timbul istilah ‘cukong’, yang berasal dari kata ‘tsu-kung’, adalah orang yang tertua di dalam perkong-si-an tersebut dan biasanya adalah kakek atau tsu-kung mereka sendiri dalam ikatan kekeluargaan. Oleh karena itu orang yang berkedudukan sebagai ‘tsu-kung’ adalah orang yang memiliki pengaruh besar seperti ‘boss’, dan umumnya sangat
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
85
dihormati oleh seluruh keluarganya. Dengan perubahan dan perkembangan masa kini istilah tsu-kung berubah juga menjadi ‘cukong’(Handoko, 1996:54).
4. 1. 2. b. Hokie Pengertian ini masih ada kaitannya dengan feng shui (hong shui). Kalau feng shui (hong shui) merupakan peta strategi peruntungan dan nasib. Konsepsi hokie lebih mengarah pada pengertian upaya atau sikap dalam menentukan strategi menyiasati nasib agar selalu memperoleh nasib yang baik. Kalau dengan feng shui seseorang bersikap pasif atau fatalistik. Dengan hokie, seseorang lebih bersikap aktif untuk mendapat keberuntungannya. Namun dalam hal ini, keberuntungan pada hokie tidaklah hanya dipahami dengan kepemilikan banyak uang, tetapi memiliki makna yang lebih luas lagi. Termasuk keberuntungan terhadap hal-hal lain dalam kehidupan ini dapat dilakukan. Untuk menentukan sikap ini biasanya mereka melakukan konsultasi dengan para ahli feng shui. Kalau di daerah Singkawang, Kalimantan Barat, para ahli feng shui disebut ‘lauya’. 33 Di Medan, dikenal sebagai ‘tang ki’. 34 Baik lauya maupun tang ki biasanya bertugas di klenteng-klenteng. Mereka berfungsi sebagai juru kunci atau penjaga kelenteng dan sekaligus dapat menjadi mediator yang menghubungkan antara dunia gaib dan dunia nyata, antara manusia dengan makhluk supra alami. 33
Majalah Tempo, 24 mei 1986: 45. Agustrisno, 1985 Skripsi; atau Agustrisno dalam: Etnovisi, Medan, LPM-ANTROP, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Vol.I.No.1.,Juni 2005. ‘Tang’ artinya kesurupan, dan ‘ki’ artinya badan. Seorang tang-ki berfungsi sebagai mediator yang badannya dapat dimasuki oleh makhluk supra alami.
34
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
86
Sebagaimana yang diungkapan oleh Go To Yhen: “Kalau usaha mau sukses, kita harus melakukan permalan terlebih dahulu. Terserah percaya atau tidak, hal itu hanya untuk menambah kewaspadaan dalam menjalankan usaha kita. Baik itu hasilnya cerah atau tidak. Dan saya rasa banyak pengusaha atau pebisnis mencari tau tempat atau wilayah yang sesuai dengan kesuksesan dalam berdagang atau bisnis.”
Demikian pula ungkapan Yenti: Hio itu berupa sesembahan kepada arwah keluarga untuk bermohon kepada Tuhan di lapangkan rezeki, diberi kesehatan. Dan berguna untuk usaha. Seperti kalau kita bermohon kepada Tuhan. Jadi kalau orang Tionghoa tanggal 1 dan tanggal 15 maka disanalah kami harus ke vihara untuk bermohon pada arwah. Kemudian ada sedikit ramalan kita yang berkaitan dengan shio. Juga digunakan dalam meramal usaha. Shio ini dilambangkan dalam jenis-jenis binatang atau hewan yang bisa diartikan kepribadian dan kelamatan hidup seseorang dalam menjalani hidupnya. Shio ini selain meramal suatu usaha juga meramal tentang perjodohan dalam keluarga, kesehatan, dan nasib seseorang yang semuanya berkaitan, dan ini sering digunakan dengan mencocokkan shionya terutama anak-anak muda dalam menentukan perjodohan mereka. Dalam shionya jadi biasanya yang meramalkan ini adalah seorang suhu (peramal). Suhu ini biasanya orang yang pandai dan tidak sembarangan danbenar-benar mengerti dengan hal ini. Jadi kita mengetahui semuanya itu nanti apabila kita mendatangi suku tersebut dengan maksud yang baik. Dari sanalah kita bisa mendapatkan informasi sebenarnya apa yang kita inginkan. Suhu ini biasanya seperti tabib juga bisa menyembuhkan, namun dia masih seperti berpikiran seperti manusia biasa.”
Melalui suhu, lauya atau tang ki inilah biasanya mereka meminta petunjuk hokie. Adakalanya jenis hokie selain petunjuk-petunjuk juga berupa benda-benda (jimat) yang berbentuk kertas merang yang bertuliskan aksara Cina. Untuk dagang disebut patka, sedangkan untuk penangkal segala penyakit disebut phu. Di
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
87
Kalimantan Barat toko-toko Tionghoa rata-rata memasang patkwa ini di atas pintu rumahnya (Tempo, 1986:48). Hasil penelitian sebelumnya, yang juga pernah dilakukan penulis, diantara warga masyarakat Tionghoa Medan ada yang menggunakan hal-hal yang bersifat supra-natural. Misalnya mereka meminta bantuan kepada makhluk, yang mereka namai “Datuk” untuk keberhasilan usahanya (Agustrisno, 1985: 108): “kita piara Datuk…, dulu orang tua kasih tau sama kita, Datuk kita sembahyangi, supaya jaga ternak, tidak kena penyakit, kita punya tanaman sayur, bias subur, karena kasih Datuk jaga.” (Mak A Liong). “Datuk orang Islam, Datuk orang Indonesia. Pe’ Kong orang Budha. Datuk mau dihormati. Tidak makan babi, tidak mau kotor. Sama Datuk bias minta murah rezeki, minta selamat, minta keuntungan, minta lancar dagang. Karena Datuk kasih rezeki, jadi harus dihormati, rumah harus bersih, dijaga. Kalau kita senang, jadi kita harus ingat sama Datuk. Kita pesta, makan besar, Datuk pun harus ikut pesta juga.” (Suwandi). “Waktu saya belum dapat kerja, kalau sembahyang sama Datuk, minta supaya mendapat toke yang baik. Minta supaya orangorang kasihan sama kita.” (A Guan). “Macam dia, majikan, mempunyai dua puluh orang karyawannya. Sebelum datang karyawan itu, sudah sedia Datuk, untuk keselamatan.” (Cheng Lai). “…yang setiap hari Kamis banyak orang sembahyang Datuk itu, itu dibilang Datuk Darah Putih, ya. Yang tempatnya di Soekamoelia…aaa…itu. Kenapa banyak orang semua ke sana, Itu dia minta. Orang-orang dagang, minta sama dia keselamatan. Akhirnya maju…Kan bias maju, nampakkan. Setiap hari Kamis dia pegi ke situ. Jadi ramai.” (A Thu). “Aku kan kerja situ, pabrik sepatu, asal sebulan sekali, sembahyang kambing, potong kambing. Terus nanti ada orang yang kemasukan.” (A Heng).
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
88
4. 2. Pengalaman Struktural Warga Tionghoa Dalam Hidup Bermasyarakat
Bila ditinjau dari latar belakang sejarah keberadaan mereka, sebagaimana yang tertulis dalam berbagai literatur, ada dua hal pengalaman yang melatar belakangi kehidupan orang-orang Tionghoa di Indonesia termasuk yang ada di kota Medan . Di satu sisi berupa pengalaman yang bersifat peluang yang berfungsi sebagai faktor penarik bagi kehidupan orang-orang Tionghoa, dan di sisi lain berupa pengalaman yang bersifat penekan yang berfungsi juga sebagai faktor pendorong bagi kehidupan orang-orang Tionghoa. Kedua pengalaman tersebut dapat ditinjau dari konteks posisi keberadaan mereka dalam kehidupan bermasyarakat berdasarkan perjalanan sejarahnya secara temporal. Dalam hal ini dimulai sejak awal kedatangan orang-orang Tionghoa ke daerah Sumatera Timur oleh pemerintah kolonial Belanda untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan.
4. 2. 1. Pengalaman Peluang Kebijaksanaan politik kolonial Belanda pada awalnya memberikan peluang bagi migran Tionghoa, diantaranya mengenai kebijaksanaan yang dikeluarkan dalam tahun 1854, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan status sivil terhadap orang asing termasuk orang-orang Tionghoa pada waktu itu. Orang-orang Tionghoa diposisikan sebagai warga kelas dua, orang Eropa berada pada lapisan kelas yang pertama, sedangkan penduduk pribumi waktu itu diposisikan sebagai kelas ketiga, lapisan yang terbawah. Bagi mereka yang menduduki lapisan kedua dalam ketentuan
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
89
hukum dagang maupun hukum perdata disamakan pula dengan orang kulit putih (Eropa) yang menduduki lapisan teratas. Penyamaan ini bertujuan agar para pedagang Eropa memiliki kepastian hukum dalam mengadakan jual beli berskala besar dengan para pedagang yang umumnya dikuasai oleh orang-orang Tionghoa. Dalam pelaksanaannya pedagang Tionghoa diberi fasilitas khusus sebagai pengumpul pajak, dapat memonopoli penggadaian garam, dan perdagangan candu atas nama pemerintah kolonial Belanda. (Mackie, 1976:12) Fasilitas dan dana yang diberikan pemerintah kolonial Belanda bagi orangorang Tionghoa pedagang pada waktu itu membuka peluang bagi mereka untuk memperluas jaringan perdagangannya hingga ke Cina seperti: peminjaman uang, pembelian bahan-bahan pokok untuk pemasaran eksport. Kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh perintah Belanda kepada mereka dengan tujuan agar pihak pemerintah kolonial dapat memperoleh tenaga kerja buruh yang akan dipekerjakan di perkebunan-perkebunan. 35
Para
pedagang
Tionghoa
ini
dijadikan
sebagai
perantaranya. Sebagai kompensasi tentu saja mereka mendapatkan kemudahan fasilitas guna kelancaran peranan bisnisnya, seperti tandil (kepala atau kordinator kuli-kuli Tionghoa) untuk membuka kedai-kedai dengan tujuan dapat melayani para pekerja perkebunan. Dengan pengarahan dan anjuran pihak Belanda, semua karyawan diwajibkan untuk berbelanja dan berhutang di kedai tandil ini. Walaupun dengan harga yang cukup tinggi. Secara tidak langsung pihak Belanda telah memberikan
35
Termasuk gerakan Pao An Tui, suatu organisasi Cina yang dipersenjatai oleh Belanda (Husodo, 1985: 59)
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
90
peluang dalam kegiatan bisnis orang Tionghoa untuk perkembangan selanjutnya (Djohan, 1981:92-98). Pada tahun 1908 Pemerintah kolonial Belanda mulai mengizinkan berdirinya sekolah modern bergaya Eropa dengan berbahasa pengantaranya bahasa Belanda, yakni Holland Chineeshe School untuk sekolah
orang-orang Tionghoa. Pihak
pemerintah Belanda memberikan dukungan dengan mendatangkan tenaga pengajar dari Singapura untuk mengajar bahasa dan kebudayaan Tionghoa. Di kota Medan sekolah semacam itu dibuka pada akhir abad ke-19. Setelah tamat dari sekolah tersebut beberapa warga Tionghoa boleh melanjutkan studinya ke perguruan tinggi di Belanda untuk alih profesi menjadi dokter atau ahli hukum (Susanto, 1996:21). Pada hal waktu itu, pihak pemerintah Belanda belum ada menyediakan sekolah bagi anakanak pribumi sendiri (Bangun, 1976:84-86). Nilai-nilai moral feodalisme yang terdapat pada orang-orang Melayu pribumi pada masa lalu, seperti bujukan untuk menyenangkan hati pemimpin atau raja, berupa pemberian
upeti
maupun
sumbangan-sumbangan
lainnya,
sehingga
dapat
melemahkan aktivitas kerja untuk kepentingan pribadi penduduk pribumi sendiri. Mereka bekerja keras semata-mata hanya demi kesenangan pemimpin (raja), akibatnya mereka kurang dinamis untuk berusaha dan menggunakannya membentuk modal demi kepentingan masa depannya. Pemikiran yang menyatakan bahwa, asalkan pemimpin (raja) senang, membuat sikap mental untuk berjiwa hemat menjadi pupus. Hal ini menjadi kesempatan pula sebagai peluang para migran Tionghoa yang datang ke daerah ini.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
91
“Sikap mental yang kurang giat untuk perjuangan masa depan penduduk pribumi (orang Melayu), merupakan salah satu kelemahan mereka dalam bersaing, sehingga sesudah kedatangan orang-orang Cina ke daerah Sumatera Timur merupakan kesempatan yang baik untuk menyaingi penduduk setempat. Kerja rutin yang dilakukan orang Melayu sebagai bakti untuk mendapat balas kasih raja, adalah merupakan akibat dari kepercayaan mereka yang mana sudah dijelmakan pula ke dalam bentuk hukum adat yang mereka anuti. Menurut kepercayaannya, bahwa tanah dan kekayaan alamnya adalah milik raja. Dengan terpusatnya hak milik tanah pada raja merupakan jalan mempermudah bagi orang-orang asing mendapatkannya, karena hak milik tanah hanya berada pada turunan raja.” (Djohan, 1981: 61). Selain itu, anggapan para warga pribumi (orang-orang Melayu) di daerah ini bahwa, orang yang dapat dan pantas menjadi pedagang adalah golongan kaum bangsawan atau golongan aristokrat. 36 Namun sebaliknya, para kaum bangsawan sendiri banyak mencurahkan perahatiannya di bidang birokrasi pemerintahan , sehingga tidak berminat untuk bergerak di bidang bisnis perdagangan. Dirinya merasakan hadiah maupun upeti dari rakyat sudah mencukupi kebutuhan hidupnya. Kesempatan
ini
digunakan
orang-orang
Tionghoa
sebagai
peluang
untuk
mengembangkan aktivitas bisnis di daerah ini. Menurut pendekatan yang bersifat sosiologis, orang-orang Tionghoa bisa berkembang melakukan kegiatan berbisnis di daerah tertentu, disebabkan di daerah tersebut memang memiliki peluang. Di daerah tersebut masyarakat pribuminya tidak
36
Sebagaimana pendapat Onghokham, pada umumnya di masa lalu Perdagangan adalah monopoli Raja, lihat Prisma, Agustus, 1983: 3-19.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
92
ada atau kurang mampu untuk mengolah sumber daya alamnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Mely G.Tan: “…orang-orang Tionghoa kurang berperan dalam perdagangan di daerah seperti Minangkabau, Batak dan Aceh (selain di ibukotanya), yang penduduk pribuminya sendiri terkenal giat dalam usaha-usha perdagangan. Gejala ini sudah diamati sejak zaman kolonial” (Tan, 1996: 52-56) Peluang dalam dunia bisnis tidak hanya dialami oleh orang-orang Tionghoa di masa pemerintahan kolonial Belanda saja, bahkan dalam kehidupan di masa pemerintahan Orde Lama mereka juga memperoleh peluang-peluang tidan hanya peluang untuk bisnis tetapi juga peluang untuk berpolitik dalam pemerinthan. Di masa pemerintahan Orde Lama, dalam Kabinet 100 menteri, terdapat tiga orang keturunan Tionghoa yang menjabat sebagai menteri--- Mr.Oei Tjoe Tat, H.Mohamad Hasan alias Tan Kiem Liong, dan Ir.David Cheng. Presiden Soekarno sendiri menyatakan warga keturunan Tionghoa itu sebagai: “suku peranakan Tionghoa” yang sama kedudukannya seperti semua orang, persis seperti kita sekarang menyebutnya sebagai: “suku Sunda”, “suku Jawa”, “suku Batak”, “suku Minang”, “suku Ambon” (Tempo, 16-22 Agustus 2004: 17-33). Di masa pemerintahan Orde Baru, dalam rangka berupaya mengadakan rencana pembangunan nasional dengan fokus dasarnya adalah kehidupan ekonomi telah melakukan deregulasi dan debirokratisasi. Karena minyak dan gas bumi sebagai lokomotifnya tidak bisa diandalkan lagi maka diperlukan lokomotif pengganti. Pemerintah membutuhkan peran swasta yang kuat, sementara kaum pribumi belum
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
93
dapat menyusun barisan bisnis yang andal.
Pada hal pemerintah memberikan
pelbagai fasilitas dan peluang di bidang finansial terhadap swasta baik pribumi maupun non-pribumi keturunan Tionghoa. Ternyata dalam hal ini merupakan peluang bagi pihak kalangan pengusaha swasta, terutama warga etnik Tionghoa. Sehingga para pebisnis dikalangan Tionghoa meningkat bagai deret ukur jumlahnya. Sedangkan, para pebisnis dikalangan kaum pribumi hanya tumbuh bagaikan deret hitung jumlahnya (Greif, 1994: xxix). Kekuatan ekonomi non-pribumi Tionghoa jauh di atas kemampuan kaum pribumi. Terjadilah kesenjangan yang makin lebar dalam kehidupan pribumi dan non-pribumi Tionghoa (Suryohadiprojo, 1991:7-14). “…Kesempatan berusaha dibuka lebar-lebar dan berbagai kemudahan diberikan pemerintah kepada para pengusaha etnis Tionghoa. Jika kita telusuri sejarah konglomerat di Indonesia, maka boleh dikatakan bahwa hampir semuanya mulai berkembang pada awal Orde Baru. Kalaupun mereka sudah memulainya sebelum itu, kebijaksanaan ekonomi pada Orde Baru memberikan ‘boost’ bagi perkembangannya” (Tan, 1996:54).
Kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, sebetulnya kebijaksanaan yang dilakukaan oleh presiden Suharto dan pajabat-pejabat sipil ABRI terhadap orang Cina, karena presiden Suharto dan penguasa Orde Baru telah menggunakan orangorang Cina sebagai bankir dan pelaksana perusahaan-perusahaan mereka. Dalam posisi tersebut orang-orang Cina telah memperoleh berbagai keistimewaan dan fasilitas yang telah menyebabkan mereka ini secara mencolok menjadi konglomerat bersamaan dengan posisi informal yang mereka punyai dalam pemerintahan Orde
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
94
Baru. Mereka itu adalah individu-individu dan bukannya kategori atau golongan. Tetapi bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, yang mereka lihat bukanlah kemunculan individu-individu konglomerat Tionghoa pada tingkat pusat atau nasional dan pada tingkat lokal atau pemerintahan di daerah-daerah dalam struktur Orde Baru, tetapi kemunculan orang Tionghoa sebagai sebuah golongan askriptif menjadi konglomerat sebagai hasil kong kali kong dengan para pejabat Orde Baru (Nuranto 1999).
4. 2. 2. Pengalaman Penekan Peraturan yang dibuat oleh Pemerintahan kolonial Belanda, yang dikeluarkan dalam tahun 1870 adalah undang-undang agraria yang telah membatasi orang-orang Tionghoa untuk memperoleh hak milik tanah secara leluasa. Bagi orang-orang Tionghoa yang ingin memiliki rumah atau tanah sering kali dihalangi dengan bermacam-macam kesukaran administratif. Untuk menyewa tanah harus ada uang jaminan maupun harta yang digaransikan kepada penguasa setempat. Orang Tionghoa dilarang melakukan kegiatan di bidang pertanian, walaupun ada tanah yang telah mereka beli (Greif, 1994:4). Kebanyakan orang-orang Tionghoa terpaksa tinggal di rumah-rumah sewaan dan ada juga diantaranya mendiami rumah hak guna pakai di kota-kota. Sedangkan tanahnya adalah miliki penguasa setempat. Dengan adanya pembatasan tersebut, disatu pihak menguntungkan penduduk pribumi setempat, sedangkan dilain pihak menjadi faktor pendorong pula bagi orang-orang Tionghoa yang telah habis masa
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
95
kontraknya di perkebunan, untuk melakukan kegiatan berbisnis di kota-kota (Djohan, 1981: 99-101). Akibatnya, timbulah kantong-kantong pemukiman orang-orang Tionghoa yang bersifat eksklusif pecinan di perkotaan. Di kota Medan misalnya, dikenal dengan daerah Kanton. Di zaman pemerintahan Orde Lama pada tahun 1956 melalui kebijaksanaan Benteng atau ‘sistem Banteng’, 37 adalah upaya untuk mempribumikan sistem ekonomi yang dipelopori oleh Mr.Assaat (mantan pemimpin Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP dan Menteri Dalam Negeri) di masa kabinet Natsir, berusaha untuk menciptakan suatu kelas wiraswasta pribumi yang berbentuk suatu organisasi yang dinamakan Kongres Ekonomi Nasional Seluruh Indonesia (KENSI), jelas merupakan peraturan yang menekan bagi orang-orang Tionghoa dalam melakukan aktivitas berbisnis (Greif, 1994: 13; Muhaimin, 1991: 136-141). Gerakan tersebut dikenal juga sebagai gerakan “Assaatisme”. Namun dalam kenyataannya yang dilakukan oleh gerakan Assaat, malah justeru menimbulkan dampak bentuk peluang bisnis yang lebih dikenal dengan istilah ”Ali-Baba”. Ali adalah pengusaha pribumi yang berhak mendapat lisensi dan kredit impor namun tidak memiliki pengalaman manajemen usaha, sehingga hanya berfungsi sebagai tameng
untuk
menyembunyikan Baba, pengusaha Tionghoa. Sedangkan Baba adalah pengusaha Tionghoa yang melaksanakan praktek jalannya usaha tersebut di lapangan. 38 Dalam parkateknya ternyata menimbulkan kolusi dengan para pejabat pemerintah sendiri
37 38
Greif, 1994: 13 Supriatma, 1996: 64—91; Greif, 1994: 13.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
96
pada waktu itu, sehingga menumbuhkan kembangkan dengan subur sistem bisnis “Ali-Baba”. Setelah terjadi peralihan pemerintahan, dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, penekanan-penekanan terhadap warga Tionghoa bukannya berakhir tetapi terus saja berlanjut bahkan semakin keras dirasakan. Tekanan-tekanan dimaksud menyangkut peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah Orde Baru mengenai status keberadaan warga keturunan Tionghoa di Indonesia, diantaranya seperti (Jahja, 1991:39-41): I. Inti Resolusi MPRS 1966 tentang Pembinaan Kesatuan Bangsa, Bab I Pasal 4: “Merealisasikan dengan konsekuen larangan perangkapan kewarganegaraan dan mempercepat proses integrasi melalui asimilasi warganegara keturunan asing, dengan menghapuskan segala hambatanhambatan yang mengakibatkan yang tidak harmonis dengan warganegara asli.” II. Inti Instruksi Presiden no.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa, yang menginstruksikan: “…Tanpa mengurangi jaminan keleluasan memeluk agama dan menunaikan ibadatnya, tata-cara ibadat Cina yang memiliki aspek affinitas cultural yang berpusat pada negeri leuluhurnya pelaksanaan harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan.” “Perayaan-perayaan pesta agama dan adapt istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.” III. Inti Keppres 240/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok yang menyangkut WNI keturunan Asing, terutama pada Bab III Pasal 3: “Pembinaan warga Negara keturunan asing dijalankan dengan melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
97
IV. Ketetapan MPR yang tertuang di dalam: GBHN TAP/MPR No.IV/1978 Bab IV/D tentang Pembauran: “Usaha-usaha pembauran bangsa perlu ditingkatkan di segala bidang kehidupan dalam rangka memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa.” GBHN TAP/MPR No.II/1983 Bab IV/D tentang Pembauran: “Usaha-usaha pembauran bangsa perlu lebih ditingkatkan di segala bidang kehdiupan bai di bidang ekonomi maupun soisal dan budaya, dalam rangka usaha memperkokoh persatuan dan kesatuan serta memantapkan ketahanan nasional.” GBHN TAP/MPR No.IV/1988 Bab IV/D tentang Pembauran: “Usaha-usaha pembauran bangsa perlu dilnjutkan di segala bidang kehidupan, baik di bidang ekonomi maupun sosial dan budaya, dalam rangka usaha memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta memantapkan ketahanan nasional.”
Priode Orde Baru merupakan masa yang menjadikan sifat “Cina’ (kecinaan) menjadi semakin tidak memiliki peluang di dalam masyarakat. Pada masa itu terjadi pelarangan terhadap setiap perwujudan dan ungkapan kecinaan (Chineseness). Hal ini merupakan politik cultural exorcism, mulai dari huruf Cina sampai ke pelarangan pementasan Sampek Eng Tay, Opera Tionghoa, arak-arakan barongsay, upacaraupacara penguburan yang mewah dan sebagainya. Bahkan tidak satu pun dalam cabinet Orde Baru yang beranggotakan seorang keturunan Tionghoa. Kebijaksanaan pemerintah mengenai pembauran lebih diutamakan, yang menjadikan masyarakat warga keturunan Tionghoa di Indonesia semakin terpojok di bidang kehidupan sosial budayanya. Namun di sisi lain penekanan tersebut merupakan daya dorong pula bagi
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
98
warga masyarakat Tionghoa di Indonesia di kehidupan ekonomi. Kebijaksanaan Orde Baru justeru menjadikan orang-orang Tionghoa economical animal (Onghokham, 1990:18-30). Kondisi kehidupan sosial-budaya yang dirasakan menekan bagi orang-orang keturunan Tionghoa itu, justeru mendorong mereka untuk bergiat di bidang perekonomian. Dengan tujuan agar mereka dapat diperhitungkan dan disamakan sebagaimana layaknya warga masyarakat Indonesia lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Djoenaedi Joesoef, salah seorang taipan yang telah berhasil di Indonesia (1996: 25): “Semangat untuk hidup tinggi, oleh sebab itu kerja keras untuk menjaga kelangsungan atau meningkatkan usahanya. Mungkin faktor perantauan itulah yang mendorong dan mendasari kerja keras agar survival, dan bukan ditentukan oleh budaya Cina, seperti yang dikatakan orang, bahwa itulah yang menjadi faktor utama…Karena merasa sebagai perantau itulah maka tumbuh semangat hidup tinggi, dan mau kerja keras. Saya rasa itulah yang menjadi salah satu kunci keberhasilannya.”
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dibuat pemerintahan Orde Baru ternyata membawa konsekuensi-konsekuensi yang demikian jauh dirasakan hingga saat ini, terutama di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara telah memberi dampak timbulnya ideologi kesukubangsaan di kalangan warga masyarakat pribumi lainnya. Secara kebudayaan dan bahasa lisan dan tertulis, kebudayaan dan ungkapanungkapannya, nilai-nilai budaya, dan keyakinan keagamaan yang menjadi atribut bagi ciri-ciri ketinghoaan mereka, juga berbeda dari sukubangsa-sukubangsa 'pribumi'
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
99
lainnya. Dengan mudah mereka dilihat sebagai orang 'asing' dan diperlakukan sebagai 'asing' dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang penekanannya pada pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi orang Tionghoa sebagai orang asing walupun orang Tionghoa tersebut berstatus sebagai WNI (Suparlan, http://www.scripps.ohiou.edu/news). Tekanan semacam ini diduga juga menjadi faktor pendorong bagi mereka agar mereka dapat diperlakukan sebagai sebuah sukubangsa, atau orang Tionghoa di Indonesia dilihat sebagai bagian dari sukubangsa-sukubangsa setempat. Karena mereka itu telah berhasil membawa martabat bangsa dan negara Indonesia di mata dunia internasional dalam kancah persaingan global. Pendapat
tersebut
sesuai
dengan
pengakuan
Budiman
sebagaimana
dikatakannya: “Pada zaman Suharto, orang Tionghoa tidak diperbolehkan untuk bekerja menjadi PNS, ikut meliter. Peristiwa-peristiwa seperti itu sangat menekan orang-orang Tionghoa. Mau jadi orang pintar kalau nggak bisa jadi PNS, ataupun meliter ya mau tidak mau sebagai pedagang. Mau bertani tidak punya lahan.”
Airin mengatakan: “Kalau mengurus KTP harus dengan bayar mahal, kalau tidak selalu mengalami kesulitan.” Sedangkan Muliadi mengatakan pengalamannya:
“Dalam pembuatan KTP, syaratnya harus memiliki akte kelahiran. Namun, sangat sukar mengurus akte kelahiran, karena harus membayar sebanyak Rp.700.000,-. Untuk mengurus KTP saja harus nyamar, harus nyamar sebagai orang yang beragama Islam, jika tidak sangat sulit dan akan memakan banyak biaya jadinya.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
100
Begitu pula pendapat Sen-sen: “Membuat KTP sering kali sulit.” Menurut Xiau Xian Chi: “Susah mengurus KTP, tanda bukti nikah dan juga akte kalahiran anak.” Pengalaman Akan lain lagi, dikatakan: “…ketika rezim Soeharto, pada tahun 1998, warga Tionghoa merasa terpingirkan dan tidak bebas dalam melakukan kegiatan keagamaan, apalagi di saat terjadi kerusuhan pada waktu itu, warga Tionghoa sering kali menjadi sasaran amukan massa seperti penjarahan dan penghancuran tempat usaha yang kebetulan, saya sendiri mengalami hal tersebut. Sampai sekarang pun hal iut masih dapat saya rasakan. Warga Tionghoa sebagai tempat pengalihan sasaran disebabkan pemerintah yang tidak mampu menanggulangi masalah ekonomi, keadaan ekonomi carut marut, sehingga terjadi kecemburuan sosial kepada warga Tionghoa, bahkan terjadi kesenjangan antara agama dan ras.” Menurut Sri: “ada beberapa gangguan yang tidak mengenakan dari pemudapemuda setempat yang tergabung dalam salah satu organisasi kepemudaan di daerah ini, mereka sering kali meminta uang sebagai alasan untuk keamanan daerah di sini. Bagi warga Tionghoa hal itu sudah dianggap wajar, tetapi tetap saja hal itu dapat mengganggu keserasian antara umat beragama khususnya, karena mereka meminta dengan perilaku yang dapat dikatakan kurang mengenakan seperti memaksa dan mengemis.”
Rony juga mengatakan: “Dahulu di masa Orde Baru, ada yang mengancam dalam bentuk penindasan, penipuan, dan kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang freeman.”
Xiau Xian Chi mengatakan: “ Pada masa pemerintahan Soeharto, masyarakat pribumi memecahkan kaca rumah, jika di depan rumah tidak ada tertuliskan kata: ‘pribumi’. Ketika terjadi kerusuhan, kami mensiasatinya dengan menggunakan ulos Batak dan berdiri di
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
101
depan pintu biar kelihatan oleh para perusuh dan agar mereka menyangka bahwa, kami adalah orang pribumi juga. Namun mereka tetap memaksa untuk masuk kerumah, di dalam rumah mereka membongkar seluruh isi rumah, mengambilnya, ada yang membuangnya, dan ada juga yang membakar patungpatung Dewa dan Dewi kami.”
Pengalaman Chen-chen menyatakan: “Pada zaman Soeharto, setiap ada acara seperti: kematian, pernikahan, ataupun acara-acara keagamaan, para preman selalu datang meminta uang.”
Asui mengatakan: “Sering kali dari pihak kepolisian mencari-cari kesalahan terhadap kegiatan kami yang dilakukan sehari-hari. Biasanya terjadi negoisasi, dan berujung keluarnya materi atau duit.”
4. 3. Pandangan Teleologis Warga Tionghoa Medan Pengalaman kultural, baik yang bersifat rasional maupun yang irrasional, bersamaan dengan pengalaman struktural, yang bersifat peluang maupun penekan, ternyata telah membentuk pandangan-pandangan teleologis atau futurologis bagi masyarakat Tionghoa di Medan. Mereka aktif mengambil posisi dan sikap untuk memberikan arti bagi hidupnya sesuai dengan gambarannya mengenai kenyataan yang terjadi di kota Medan. Hal ini dimungkinkan karena mereka adalah makhluk yang berbudaya, dapat memberikan arti (meaning maker) mengolah sejumlah masalah eksistensial, disaat dia ‘berada-dalam-relasi-dengan-sesuatu’ yang yang dihadapinya, agar menjadikannya suatu susunan dunia hidup yang berarti bagi mereka. Sesuai menurut pandangan
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
102
kulturalnya, yang terdapat di dalam kitab I-Ching, semua energi dalam kosmos (alam semesta) adalah bergerak secara siklikal, tidak ada satu pun yang abadi, yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri. Manusia adalah bagian dari alam kosmos, oleh karena itu manusia senantiasa harus menyesuaikan dirinya dengan gerak alam kosmos tersebut untuk keseimbangan. Keseimbangan itu sendiri, itulah yang dimaksudkan
dengan
kesuksesan
atau
kebahagiaan.
Manusia
harus
dapat
mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Caranya, manusia secara terus menerus mau belajar untuk memperbarui diri agar sikapnya baru selamanya. Kota Medan menurut pendapat warga masyarakat Tionghoa juga seperti itu, kehidupan yang ada, dan bakal terjadi di kota Medan adalah perubahan yang demikian cepat. Ini sangat dimungkinkan, disebabkan oleh semakin maju dan berkembangnya dunia teknologi, terutama pengaruh teknologi informasi, seperti hand-phone dan komputerisasi di semua bidang kehidupan. Kota Medan sudah menjadi kota metropolitan, dan harus mengikuti era globalisasi. Teknologi Informasi merupakan kebutuhan masyarakat Medan saat ini dan dimasa akan datang. Supaya tidak ketinggalan di era globalisasi, dunia komputer sangat dibutuhkan. Oleh karena itu untuk menjadi warga masyarakat Medan, dituntut harus memiliki daya pikir yang jauh lebih maju, dan pandai mengikuti perkembangan teknologi. Sekarang semua pekerjaan, melakukan segala sesuatunya tidak lagi dengan sistem manual. Semua dilakukan dengan sistem komputer. Lewat komputer yang disambung ke internet, secara instant bisa mencari data-data atau informasi, jadi setiap orang dituntut tidak
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
103
hanya harus mengerti, tetapi juga paham tentang teknologi dan mengikutinya, dapat mengoperasikannya, supaya tidak ketinggalan. “…Karena pada saat ini kan, kota Medan sudah menjadi kota metropolitan, dan harus ikut globalisasi. Teknologi Informasi merupakan kebutuhan masyarakat Medan saat ini dan dimasa akan datang.” (Robert). “Pengetahuan yang sangat bermanfaat di masa datang adalah bidang teknologi komputerlah, ini kan era globalisasi, dunia komputer sangat dibutuhkan. Kita harus dapat mengoperasikan, mengikuti dan mengerti kemajuan dunia komputer supaya tidak ketinggalan.” (Yusuf alias A Long).
“…Sebab masyarakat sekarang memiliki daya pikir yang jauh lebih maju, dan harus pandai mengikuti perkembangan teknologi. Sekarang semua pekerjaan, melakukan segala sesuatu tidak dengan sistem manual lagi. Semua dilakukan dengan sistem komputer. Lewat komputer yang disambung ke internet, secara instant kita bisa mencari data-data atau informasi. Ditambah lagi sekarang sudah perdagangan bebas, jadi kita harus mengerti dan paham tentang teknologi.” (Budiman)
Ditambah lagi sekarang ini disebabkan oleh era globalisasi sitem perdagangan sudah menjadi bebas, yang mengakibatkan di berbagai tempat telah berdiri tempattempat perbelanjaan seperti mol ataupun super-market. Seperti dikatakan oleh Alan How: “Usaha pusat perbelanjaan seperti: mol atau supermarket, tapi hal ini bagi orang yang punya modal yang besar. Karena orang sering membutuhkan sesuatu, yang mana dapat menghemat waktu dari pada harus belanja ke pasar tradisional yang jorok/bau kan lebih bagus belanja di supermarket yang bersih dan dapat dijangkau dimanapun. Lokasinya yang tepat adalah di wilayah yang jauh dari pasar tradisional dan di wilayah yang jarang pertokoan seperti supermarket tadi. Walaupun sekarang orang sudah banyak membuka usaha itu tapi mereka tidak tahu akan kebutuhan konsumen yang sebenarnya.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
104
Informan Lauw Na berpendapat: “Menurut saya usaha butik yang bakal mengambil peran di masa yang akan datang. Karena Medan inikan dapat dikatakan kota metropolitan yang kesemuanya menjunjung tinggi penampilan. Yang mana butik itu adalah sejenis toko baju tapi tidak semuanya baju bisa dijual di toko tsb. Hanya baju-baju yang unik, langka dan harganya lumayan mahal, dan dapat juga dikatakan baju-baju itu berasal dari luar negeri.”
Perkembangan teknologi dan era globalisasi telah menjadikan kehidupan sekarang menuntut kecepatan, keahlian, sehingga banyak yang terlupakan, menurut Amin (Kho): “Usaha yang bakal hebat/sukses dimasa yang akan datang adalah usaha daur ulang. Karena sekarang sumber daya berkurang. Hal ini karena adanya pengerusakan terhadap alam dan adanya pengambilan SDA tanpa memperbaharui kembali. Usaha ini dapat dimulai dari sekarang. Siapa-siapa saja bisa yang penting mengetahui tentang hal tersebut, ada modal dan tempat.”
Karena perkembangan teknologi dan globalisasi demikian pesatnya menjadikan dinamika kehidupan di kota Medan menuntut kecepatan waktu, sehingga banyak orang-orang yang melalaikan kesehatannya, seperti mengkonsumsi makanan siap saji. Sebagai mana dikatakan oleh Tang Asiuling: “Karena kehidupan sekarang menuntut kecepatan, keahlian, sehingga banyak yang terlupakan, seperti kesehatan, seperti lupa makan, karena menuntut kecepatan waktu tadi, banyak orang-orang mengkonsumsi makanan siap saji.” Orang-orang stress juga akan bertambah jumlahnya di kota Medan, sebagaimana pendapat Liona Anisa Leo: “…usaha dalam bidang bisnis (ekonomi), karena situasi bisnis merupakan usaha yang paling mendunia di negara-negara maju
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
105
maupun sedang berkembang. Untuk menjadi seorang pebisnis yang handal harus memiliki berbagai keahlian dan modal yang kuat. Persaingan dalam dunia bisnis itu sudah biasa. Pengalaman kegagalan dalam berlomba untuk bisnis terkadang dialami.”
Dewi Natalia Rusli: “Karena orang tionghoa biasanya berprofesi sebagai pebisnis, ada kemungkinan dalam bisnis itu mereka ada mengalami bangkrut. Oleh karena itu tidak jarang akan mengalami stress.”
Keadaan stress juga dapat dimungkinkan karena masih adanya perlakuan tekanan-tekanan terhadap mereka. Sebagaimana yang dinyatakan oleh pengalaman berbagai informan, Fifi Yudinato: “Seringkali banyak pungutan liar terhadap pengusaha etnis Tionghoa.” Demikian pula yang dikatakan Sen-sen: “ Membuat KTP sering kali merasa sulit.” Juga pernyataan Airin: “Kalau mengurus KTP harus dengan bayar mahal, kalau tidak, akan selalu mengalami kesulitan.” Chen-chen menyatakan:“Pada zaman Soeharto, setiap ada acara seperti: kematian, pernikahan, ataupun acara-acara keagamaan, para pereman selalu datang meminta uang.” Juga pendapat Rony: “Dahulu di masa Orde Baru, ada yang mengancam dalam bentuk penindasan, penipuan, dan kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang freeman. Pengalaman Sri juga demikian: “ada beberapa gangguan yang tidak mengenakan dari pemudapemuda setempat yang tergabung dalam salah satu organisasi kepemudaan di daerah ini, mereka sering kali meminta uang sebagai alasan untuk keamanan daerah di sini. Bagi warga Tionghoa hal itu sudah dianggap wajar, tetapi tetap saja hal itu dapat mengganggu keserasian antara umat beragama
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
106
khususnya, karena mereka meminta dengan perilaku yang dapat dikatakan kurang mengenakan seperti memaksa
Berbeda dengan pengalaman Asui, selain adanya berbagai penekanan tetapi juga diraskan adanya peluang, seperti yang ia nyatakan: “Sering kali dari pihak kepolisian mencari-cari kesalahan terhadap kegiatan kami yang dilakukan sehari-hari. Biasanya terjadi negoisasi, dan berujung keluarnya materi atau duit.” “ Namun warga masyarakat Tionghoa sudah dapat mengikuti Pemilu.” Demikian pula menurut pengalaman Xiau Xian Chi: “Susah mengurus: KTP, Tanda bukti nikah. Akte kalahiran anak.” “Namun pemerintah sering kali memberikan kemudahankemudahan kepada kami untuk melakukan usaha dalam perdagangan.”
Bidang usaha yang kiranya dianggap dapat mempunyai peluang keberhasilan atau keuntungan yang cukup besar atau memungkinkan dimasa akan datang adalah usaha-usaha yang bergerak dibidang produksi teknologi. Terutama bidang teknologi informasi ataupun teknologi transportasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Go To Yhen: “Masa depan baiknya usaha barang-barang /alat-alat teknologi. Karena sekarang teknologi lagi sangat merebak sekali. Dan alat-alat teknologi dapat dikatakan sangat susah ditemui ditambah harga yang mahal. Jadi apabila usaha ini digeluti dari sekarang mungkin akan sangat sukses. Karena kan makin zaman teknologi makin hebat. Walupun saya kurang tau soal teknologi.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
107
Lim Shui ‘Ing berpendapat: “Usaha speda motor (dealer) menurut saya sangat memungkinkan dimasa yang akan datang, karena sekarang kita harus berlomba penampilan kecepatan dalam pekerjaan. Seperti: ke sekolah, kuliah, dll., harus cepat. Jadi jika kita memiliki sepeda motor kita dapat dengan mudah pergi ke tujuan yang kita inginkan dengan tepat waktu. Karena itu dealer sepeda motor pasti mempunyai harapan yang cerah di masa akan datang.” Budiman menyatakan: “Usaha yang baik untuk akan datang ya dibidang teknologi, baik auto mobil, maupun komputer. Sebab masyarakat sekarang memiliki daya pikir yang jauh lebih maju, dan harus pandai mengikuti perkembangan teknologi. Sekarang semua pekerjaan, melakukan segala sesuatu tidak dengan sistem manual lagi. Semua dilakukan dengan sistem komputer. Lewat komputer yang disambung ke internet, secara instant kita bisa mencari datadata atau informasi. Ditambah lagi sekarang sudah perdagangan bebas, jadi kita harus mengerti dan paham tentang teknologi.” Athien : “…menurut saya kedepan nanti industri komputerlah yang akan berkembang, karena zaman sekarang semakin canggih semuanya dalam bidang apapun saya lihat saat ini membutuhkan komputer. Jadi otomatis industri komputerlah yang memungkinkan….Kita lihat di daerah-daerah juga sekarang serba canggih dengan perhitungan menggunakan komputer, supermarker-supermarket, sekolah-sekolah, kantorkantor dan lainnya. Di daerah juga menggunakan alat yang sama, semua lapisan masyarakat membutuhkan perangkat canggih ini.”
Ada pula informan yang berpikir, dengan banyaknya produk-produk yang diproses oleh teknologi tersebut, membuat orang terlupa akan limbahnya.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
108
Sebenarnya hal ini juga dapat memberikan peluang usaha bagi setiap orang sebagaimana menurut pandangan Amin (Kho): “Usaha yang bakal hebat/sukses dimasa yang akan datang adalah usaha daur ulang. Karena sekarang sumber daya berkurang. Hal ini karena adanya pengerusakan terhadap alam dan adanya pengambilan SDA tanpa memperbaharui kembali. Usaha ini dapat dimulai dari sekarang. Siapa-siapa saja bisa yang penting mengetahui tentang hal tersebut, ada modal dan tempat.”
Sehubungan dengan berkembangnya teknologi tersebut juga, menyebabkan kehidupan semua orang di kota Medan, dituntut agar dapat menyesuaikan dirinya dengan kecepatan teknologi dimaksud. Hal itu menjadi faktor pendorong pula terhadap warga masyarakat Medan, untuk bersaing dan berlomba meraih kesuksesannya. Akibatnya, tidak jarang pula membuat semua orang tidak sempat lagi membuat persiapan atau memasak sendiri makanan di rumahnya. Selain itu juga, dapat pula membuat orang lalai menjaga kondisi kesehatannya. Hal-hal semacam itu memberikan peluang usaha untuk bergerak dibidang makanan siap saji atau usahausha pelayanan kesehatan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Lim Carolus: “Usaha yang menurut saya bakal sukses adalah usaha restoran dan ini dapat dimulai pada tahun 2008, dimana letak lokasi yang tepat di tengah-tengah kota. Dalam usaha ini orang yang mempengaruhi akan sukses tidaknya usaha saya adalah keluarga serta rekan/partner untuk membangun jaringan usaha sehingga dapat berkembang pesat. Alasan saya memilih usaha restoran sebagai usaha yang bakal sukses dimasa yang akan datang adalah karena pada umumnya semua orang membutuhkan akan makanan tinggal siap saji, dan saya yang meraciknya supaya tambah dinikmati lagi. Caranya tau bagaimana saya mengawalinya yaitu berawal dari restoran kecil dengan hidangan yang lebih sederhana, kemudian
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
109
saya dan rekan akan mempromosikannya supaya lebih banyak peminat dan lebih banyak buka cabang dengan harga yang lebih miring.”
Ibu Rina juga berpendapat demikian:
“Usaha sejenis makanan restoran, yang mana usaha tersebut bergaya sederhana tapi dengan menu makanan seperti restoran besar. Letaknya di pinggir jalanan, juga tidak apa-apa. Asalkan pengunjungnya banyak. Kalau restoran warga yang perekonomiannya menengah ke bawah bakal tidak mau datang kalau besar. Tapi kalau usaha makanan penggiran, saya rasa bakal sukses karena siapa saja bisa datang, dengan harga terjangkau. Karena sekarang kehidupan lagi sangat susah, apa salahnya kita menyediakan hidangan yang berselera sesuai dengan keuangan. Yang pastinya untuk memulai usaha ini agar tetap eksis. Kemudian saya harus tahu menu-menu yang lagi disukai oleh konsumen.”
Tang Bace “Menurut saya adalah usaha yang berada dibidang memproduksi makanan siap saji, khususnya bagi mereka yang hidup di perkotaan. Dengan catatan kita menciptakan makanan tersebut berkualitas tinggi, menuntut tinggi kesehatan dan jauh dari zat kimia dan juga harga terjangkau. Hal ini saya rasa akan sangat laku. Karena banyak dipasaran makanan siap saji, yang tidak menurut akan kesehatan untuk tubuh dan harganya pun banyak yang sangat mahal. Kalau usaha ini bisa dimulai kapan saja, tapi lebih baik dari dulu sudah dilakukan supaya masyarakat sudah bisa mengenal barang kita dan kualitasnya.”
Sedangkan Tang Asiuling mengatakan: “Yang bakal memungkinkan, saya rasa usaha dibidang kesehatan, seperti apotik, pijat refleksi, atau aroma terapi untuk menghilangkan stress/suntuk seseorang. Karena kehidupan sekarang menuntut kecepatan, keahlian, sehingga banyak yang terlupakan, seperti kesehatan, seperti lupa makan, karena menuntut kecepatan waktu tadi, banyak orang-orang
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
110
mengkonsumsi makanan siap saji. Untuk itulah saya rasa usaha itu bakal sukses.”
Dewi Natalia Rusli “…usaha dibidang konseling, terutama di tempat-tempat yang pendudukannya mayoritas keturunan tionghoa. Karena orang tionghoa biasanya berprofesi sebagai pebisnis, ada kemungkinan dalam bisnis itu mereka ada mengalami bangkrut. Oleh karena itu tidak jarang mengalami stress. Untuk itulah konseling berguna sekali memberikan pengarahan pada orang-orang yang stress. Usaha konseling masih belum menonjol pada saat ini, pada hal itu sangat penting, disaat ini dan dimasa akan datang di kota Medan ini, banyak orang yang frustasi dan belum tahu bagaimana mencari solusinya. Agar menjadi seorang yang paham konseling tersebut, ya …mengikuti kuliah di Psikologi.”
Sehubungan dengan perkembangan keadaan hidup di kota Medan seperti itu sebagaimana yang dinyatakan tadi diatas, maka persiapan-persiapan yang dilakukan untuk menghadapi hal tersebut harus dapat menguasai pengetahuan mengenai teknologi, terutama dibidang informasi. Selain itu, juga sangat penting, harus lebih mendalami pengetahuan mengenai bisnis, manajemen, menguasai teknologi komputer, menguasai berbagai informasi, termasuk juga harus dapat menguasai berbagai bahasa asing. Terutama penguasaan bahasa Inggeris dan bahasa Mandarin. Penguasaan kedua bahasa tersebut diutamakan, sebab kedua bahasa tersebut banyak digunakan kebanyakan dikalangan para pebisnis di dunia ini. Oleh karena itu, penguasaan kedua bahasa asing tersebut memungkinkan sekali, untuk pengembangan usaha bisnis dikemudian hari.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
111
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
112
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
111
BAB V PENUTUP
5. 1
Kesimpulan Istilah pembangunan adalah terminologi atau wacana yang dibuat oleh
pemerintah, maupun warga masyarakat yang non-Tionghoa pada umumnya. Sedangkan bagi warga masyarakat Tionghoa sendiri adanya pembangunan, maupun tidak adanya pembangunan di kota Medan, bukanlah urusan bagi mereka. Oleh karena itu, respons kultural maupun struktural yang berwujud sikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi bagi masyarakat Tionghoa bukanlah diartikan sebagai upaya mereka, untuk menanggapi hadir atau tidaknya pembangunan dimaksud. Namun respons kultural dan struktural dalam konteks ini, lebih dipahami sebagai cita-cita hidup yang ingin dicapai atau direalisasikannya sebagai warga masyarakat di mana pun dia berada. Cita-cita hidup mereka adalah, apabila dapat tercapainya suatu keseimbangan atau harmoni, antara aspek Yin dan aspek Yang. Itulah kebahagiaan (wu-wei). Keseimbangan atau harmoni antara Yin dan Yang inilah kehidupan yang ingin dicapai. Untuk meraih cita-cita tersebut, haruslah dengan semangat perjuangan yang berwujud sikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
112
Jelaslah bahwa bagi warga masyarakat Tionghoa, hidup ini terlepas dari adatidaknya pembangunan, yang penting hidup adalah sebuah proses perjuangan agar tercapainya suatu cita-cita keseimbangan atau harmoni antara aspek Yin dan aspek Yang. Keseimbangan atau harmoni antara Yin dan Yang inilah kehidupan yang bersifat bahagia (wu-wei). Dunia kehidupan senantiasa bersifat dinamis, tidak pernah diam ataupun statis. Oleh sebab itu, manusia senantiasa harus mau dan mampu mengikuti gerak irama dinamika kehidupan dunia ini, sehingga dapat mengalami keseimbangan dan harmoni kembali. Setiap perubahan zaman harus dapat diantisipasi dengan berusaha merefleksikan inti diri dan inti realitasnya, sehingga dapat memberikan keselamatan, serta mengatasi derita dan duka. Termasuk juga keberadaan mereka sebagai warga pendatang, harus terus diperjuangkan sehingga dapat diterima sebagai bagian dari struktur sosial warga masyarakat Medan pada umumnya. Agar dirinya, tidak lagi diposisikan sebagai tamu tetapi dapat diakui sebagai kerabat sendiri oleh warga masyarakat Medan lainnya. Mereka harus aktif mengambil posisi dan sikap untuk memberikan arti bagi hidupnya dimanapun dia berada, sesuai dengan gambarannya mengenai kenyataan, yaitu: harus senantiasa mengarah kepada keadaan dan kondisi yang bersifat dinamis untuk tujuan harmoni atau bahagia. Hal ini dimungkinkan, karena mereka juga adalah manusia, sebagai makhluk pencipta arti (meaning maker) yang memikul tugas berat mengolah sejumlah masalah eksistensial (disaat mereka ‘berada-dalam-relasi-
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
113
dengan-sesuatu’) yang mengganggunya, dan berupaya agar suatu susunan dunia hidup ini menjadi berarti. Kehidupan yang bahagia, yang terbebas dari segala rintangan, senantiasa harus terus diperjuangkan dengan sikap hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi tanpa ada hentinya dimana pun mereka berada. Cita-cita untuk hidup bahagia, terbebas dari segala rintangan, kiranya telah ditumbuh-kembangkan sedemikian rupa dalam waktu yang cukup lama, yaitu oleh pengalaman hidup kultural dan strukturalnya. Sesuai dengan pengalaman kultural dan strukturalnya dinyatakan bahwa, hidup di kota Medan tidak luput oleh suasana yang penuh dengan dinamika. Proses dinamika itu sendiri geraknya melaju semakin lebih cepat, hal ini disebabkan oleh kemajuan perkembangan teknologi dan pengaruh era globalisasi, terutama di bidang informasi, transportasi dan factory yang menyebab semua orang dituntut untuk berlomba kecepatan dan memiliki keahlian. Guna memudahkan perlombaan semacam itu, agar dirinya tidak ketinggalan, terpaksa setiap orang harus menguasai teknologi komputer disamping teknologi transportasi. Karena dituntut oleh kecepatan, sehingga banyak orang yang tidak sempat lagi mengolah makanan untuk keluarganya, bahkan tidak sedikit yang mengabaikan kesehatan dirinya. Orang yang mengalami stress juga akan meningkat jumlahnya. Dengan teknologi factory, produksi kebutuhan barangbarang semakin cepat dan berlipat ganda, keadaan semacam itu dapat pula meningkatnya jumlah barang bekas atau limbah.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
114
5. 2 Saran Jika konsep pembangunan dapat diartikan sebagai upaya pertumbuhan, pemerataan, keseimbangan dan otonomi nasional yang berkelanjutan dalam kualitas hidup. Bukankah hal itu, sebuah cita-cita, yang mengandung pandangan teleologis juga. Bahkan, semua teori yang dibuat dalam rangka pembicaraan mengenai pembangunan tidaklah luput dari wacana kebudayaan yang bersifat teleologis, karena mengandung prediksi-prediksi yang bersifat futurologis. Oleh sebab itu, mengakaji masalah pembangunan dari persepektif teleologis yang dimiliki suatu warga masyarakat adalah sebuah alternatif. Dalam hal ini penulis mencoba mengungkap pandangan teleologis warga masyarakat Tionghoa di Medan berdasarkan pengalaman kultural dan strukturalnya. Sebagaimana nasehat orang-orang tua sebelumnya yang menyatakan, “tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina sekalipun.” Pengalaman kajian antropo-filosofis semacam itu mungkin dapat berguna untuk melihat kelompok-kelompok warga masyarakat yang lainnya di Indonesia, atau di kota Medan khususnya. Sebab, warga masyarakat di Indonesia adalah majemuk, dalam rangka mengkaji dengan pendekatan yang menggunakan model semacam itu sungguh memiliki banyak peluang. Sebagai contoh misalnya, dalam kebudayaan Jawa ada mengenal pandangan teleologis dengan istilah: “gemah ripah, loh jinawi”. Sedangkan orang Jawa yang bermigrasi menjadi buruh perkebunan di Sumatera Timur, pernah memiliki pandangan teleologis yang berbunyi: “mangan ora mangan, angger kumpul”. Dalam kebudayaan Batak juga ada pandangan teleologis yang dikenal dengan sebutan: “hamoraon, hasangapon, hagabeon”, warga masyarakat
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
115
Melayu juga memiliki pandangan teleologis yang bunyinya: “Tak Melayu hilang di bumi”. Pandangan-pandangan teleologis semacam itulah sebenarnya yang diduga telah menjadi pendorong sikap perjuangannya dalam hidup ini. Berakar dari manakah pandangan teleologis tersebut terbentuk sedemikian rupa, hal tersebut dapat diduga, juga ada tersirat didalamnya, berkorelasi dengan pengalaman kultural dan struktural masing-masing warga masyarakatnya.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
116
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Agustrisno, Kepercayaan Orang Tionghoa Terhadap “Datuk”: Studi Kasus di Desa Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor, Kotamadya Medan, Skripsi Jurusan Antropologi Fakultas Sastra USU tidak diterbitkan, Medan, 1985. Agustrisno, Serba Dua yang Saling Melengkapi: Sistem Kepercayaan Masyarakat Cina Medan terhadap ‘Datuk’ dan ‘Pekong’ dalam: Etnovisi, Medan, LPM-ANTROP, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Vol.I.No.1.,Juni 2005. Alisjahbana, S. Takdir, Pembimbing Ke Filsafat, Jakarta: Dian Rakyat,1981. Benedict, Ruth, The Chrysanthemum and the Sword: Patterns of Japanese Culture, Boston Houghton Mifflin Co.,1946. Benedict, Ruth, Patterns of Culture, England: Routledge & Kegan Paul Ltd, Eighteenth printing, May 1960. Bloomfield, Frena. Dibalik Sukses Bisnis Orang-orang Cina, diterjemahkan oleh Tim Sang Saka Gotra, Jakarta,1986. Breman, Jan, Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial pada Awal Abad Ke-20, Terjemahan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,1997. Budhiyanto, Lely Kristinawati, DinamikaBisnis Emas Kalangan Pengusaha Tionghoa di Semarang, dalam: Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, vol. XVI, No.3, Salatiga: Prog. Pascasarjana UKSW, Desember 2004 Bungin, H.M. Burhan, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana, 2007 Chalida, Penanggulangan Masalah Cina di Kotamadya Medan dan daerah Sekitarnya, Suatu tinjauan historis tentang masalah yang dihadapi dalam menanggulangi dominasi Cina terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, Skripsi: Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP Medan, 1975. Cheu Hock-Tong, Tanggapan Keagamaan serta Implikasinya dalam Hidup Sosial: Suatu Kajian Komuniti Cina Ampang, Selangor, dalam: Jurnal Antropologi dan Sosiologi.,vol.10&11, hal.90-118, Universitas Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor, Malaysia.,1982.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
117
Cooper, J.C., Yin & Yang, The Taoist Harmony of Opposites, Wellingborough, Northamptonshire, NN82 RQ, England: The Aquarian Press,1981. Danandjaja, James, Antropologi Psikologi, Teori, Metode Perkembangannya, Jakarta: Rajawali Press,1988.
dan
Sejarah
Djohan, Azhar, Imigran Cina Di Sumatera Timur, Pada Pertengahan Abad ke 19 Sampai Perempatan Awal Abad ke 20 (Suatu Studi Perkembangan Ekonomi Mereka dan Pengaruhnya Bagi Orang Melayu), Yogyakarta: Fakultas Sastra dan Kebudayaan Unversitas Gadjah Mada, 1981. Freud, Sigmund, Memperkenalkan Psikoanalisa, terjemahan K.Bertens, Jakarta: Gramedia,1987. Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya,1981. Gondomono, Membanting Tulang Menyembah Arwah, Kehidupan Kekotaan Masyarakat Cina, Jakarta: Pustaka Firdaus,1995. Greif, Stuart W., “WNI”, Problematik Orang Indonesia Asal Cina, Pustaka Utama Grafiti,1994. Hadiluwih, Subanindyo, Studi tentang Masalah Tionghoa di Indonesia (Studi Kasus di Medan), Medan: Dhian Doddy, 1994. Husodo, Siswono Yudo, Warga Baru (Kasus Cina Di Indonesia), Lembaga Penerbitan Yayasan Padamu Negeri, Jakarta, 1985. Imelda Ningsih: BarongsayDan Masyarakat Cina di Kota Medan, Medan: Skripsi Jurusan Antropologi, FISIP USU, 2001. Jahja H.Junus, Masalah Tionghoa di Indonesia, dalam: Kapok Jadi Nonpri: Warga Tionghoa Mencari Keadilan, editor: alfian Hamzah, Bandung: Zaman, 1998, (hlm.82-92). Jasin, Haida dan Alan W.Smith, Distribusi dari pada Pengusaha Pribumi dan NonPribumi di kotamadya Medan, dalam: Eki, vol.XXVI,No.2,hal.165-173, June 1978. Kilby, Peter, Berburu Binatang Heffalump, (Ringkasan dan terj. oleh Meutia F.Swasono), dalam: Berita Antropologi, Th.VII, No.23, September 1975: 6-21.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
118
Kluckhohn, Florence dan Strodbeck (ed.), Variations in Value Orientation, Elnisod, New York, Row, peterson and Company, 1961. Koentjaraningrat, Kebudayaan Gramedia,1984.
Mentalitas
dan
Pembangunan,
Koentjaraningrat, Teori-teori Antropologi Psikologi, No.10,Th.XII, Januari 1984a.,hal.115.
dalam:
Koentjaraningrat (peny.), Masalah-masalah Pembangunan: Antropologi Terapan Jakarta: LP3ES, 1982.
Jakarta:
Media
Bunga
IKA,
Rampai
Lubis, Suwardi,. Integrasi Sosial Dari Komunikasi Antar Budaya Di Kalangan Etnik Batak Toba Dan Ettnik Cina Di Kotamadya Medan, Propinsi Sumateraq Utara, uraian ringkasnya merupakan tulisan artikel yang telah dimuat dalam: Wawasan, Jurnal Ilmu-ilmu, halaman 61-80; diterbitkan atas kerjasamaYayasan Bina Mitra Wawasan dengan FISIP-USU Medan, Vol.8 No.1, 2001. Marzali, Amri, Kesenjangan Sosial-Ekonomi Antargolongan Etnik: Kasus cina Pribumi di Indonesia, dalam: Prisma, No.12, Thn.XXIII, 12 Desember 1994, (hlm. 57-71). Mattulada, Mentalitas dan Ciri-ciri Kepribadian Bangsa Indonesia, dalam: Lontara, No.1,hal5-18, Ujung Pandang: Universitas Hasanudin, 1980. Menno, S & Mustamin Alwi, Antropologi Perkotaan, Jakarta: Rajawali Press, 1992. Musashi, Miyamoto, Rahasia Musashi, Sukses Bisnis Jepang, Jakarta: Sang Saka Gotra,1984. Nas, P.J.M, Kota Di Dunia Ketigha, Jakarta: Bhratara, 1979. Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selajang Pandang, Djakarta: Keng Po, 1961. O’Malley, William Joseph, Indonesia di Masa Malaise: Suatu Studi terhadap Sumatera Timur dan Yogyakarta di Tahun 1930-an, dalam: Prisma, No.8, Tahun XII, agustus,1983. (hlm. 31-49). Pasifikus, Ahok, Kembali Pengusaha Tionghoa di Banda Aceh, PLPIIS, Darussalam Banda Aceh,1976.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
119
Passchier, Cor, Medan: Urban Development by planters and enterpreneurs, 18701940, dalam: Issue in Urban Development Case Studies from Indonesia, ed.by Peter J.M.Nas, The Nederland: Research School CNWS Leiden University,1995., hal.45-64. Pelly, Usman dan Darmono, Pandangan tentang Makna Hidup dan Tradisi Masyarakat: Studi Kasus Sumatera Utara, (makalah seminar Orientasi Sosial-Budaya ke-3), Banjarmasin: LIPI dan Institut Agama Islam Antasari,1983. Pelly, Usman, Asimilasi dikalangan pelajar terdapat di kota Medan. 1986.
pada tingkat SMP dan SMA yang
Pelly, Usman, Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: LP3ES, 1994. Queeny Chang: Memories of Nonya, Singapura: Eastern Universities Press ASD.BHD, 1981. Said, Mohammad, Koeli Kontrak Tempo Doeloe, Medan: Harian Waspada,1990. Setiono, Benny G., Etnis Tionghoa Adalah Bagian Integral Bangsa Indonesia bag. 1/3 (Disampaikan pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI Jakarta pada tanggal 27 April 2002, bertempat di Hotel MercureRekso,Jakarta.)2002 Shri Ahimsa Putra, Eddy, Etnosains dan Etnometodologi, dalam majalah: Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, jilid XII.No.2., Agustus 1985, hal.103-133. Sinar, The Coming of Chinese Immigrants to East Sumatera in the 19th Century, dalam: Berita Antropologi, Th.XI,No.37, Jakarta: April-Jui 1980,hal.2941. Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Seni Budaya Melayu (Satgas MABMI), Medan,1994. Sirojuzilam, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Kota Medan, 2004. Sirojuzilam, Beberapa Aspek Pembangunan Regional, ISEI Bandung, 2005. Sianipar, ‘Khong Tek’, Medan: Skripsi Jurusan Antropologi FISIP USU, 1993.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
120
Skinner, G.William, “Change and Persistence in Chinese Culture Overseas, a Comparasion of Thailand and Java”, dalam: Journal of South Seas Society, 16, 1960. Soetriyono, Eddy, Kisah Sukses Liem Sioe Liong, Jakarta: Indomedia, 1989. Spradley, James P., The Ethnographic Interview, New York: Rinehart and Winston,1979. Spradley , James P., Participant Observation, New York: Rinehart and Winston,1980. Sturtevant, William C., Studies In Ethnoscience, dalam: Theory in Anthroplogy A Sourcebook, by Robert A. Manners & David Kaplan, Chicago: Aldine Publishing Company,1969. Sudiarja, A., Ajaran Konfusianisme dalam Perspektif Keagamaan Tionghoa, dalam: Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, Yogyakarta: Lembaga Realino,1996: hal.1-14. Suparlan,Parsudi, Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama: Agama sebagai sasaran Penelitian Antropologi, makalah disampaikan pada kuliah bagi para peserta Pusat Latihan Penelitian Agama, Dep.Agama R.I.; di IAIN Jakarta, Ciputat 14 September 1981. Suparlan, Parsudi, Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, dalam media elektronik: http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps2.htm Suryadinata, Leo, Political Thingking of Indonesian Chinese: 1900-1977, Singapore: Singapore University Press, 1979,. Suryadinata, Leo, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia (diterjemahkan oleh Dede Oetomo dari judul aslinya: The Culture of the Chinese Minority in Indonesia), Jakarta: Gramedia, 1988. Suseno, Franz-Magnis, Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.,Jakarta: Gramedia,1993. Tan, Melly G. (editor), Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Gramedia 1979.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
121
To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat, konflik atau harmoni ?, Jakarta: Gramedia, 1984. Tarigan Sentosa dkk , Integrasi Masyarakat Etnik Cina di Kotamadya Medan (Studi Kasus di Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Barat), Medan: Laporan Lembaga Penelitian USU, 1992. van Baal, J., Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), Jilid 2, Jakarta: Gramedia, 1988. Vleming Jr, Kongsi & Spekulasi Jaringan Kerja Bisnis Cina, disadur dari: Het Chineesche Zakenleven in Nederlandsch Indie (1926), oleh Bob Widyahartono, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989, cetakan kedua. Wahid, Abdul dkk, Kiat Bang Dillah Membangun Medan, Medan: Madina Centre, 2005. Wahyudi, Imam, Peran Confucianisme Dalam Keberhasilan Bisnis Orang-orang Cina Di Indonesia (laporan penelitian), Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM:1993. Weber, Max., The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism, Terj. T.Parsons, New York: Charles Scribner’s Sons, 1958. Zhong, Wastu Pragantha, Etika Bisnis Cina Ditinjau Dari Sudut Agama Dan Filsafat Kofucius, dalam: Etika Bisnis Cina Suatu Kajian Terhadap Perekonomian Di Indonesia, Jakarta: Pusat Pengkajian Cina (PPC) Universitas Nasional dengan Gramedia,1996: hal.3-14. Bergerak, Media Informasi dan Komunikasi LSM/LPSM se-Sumut, Edisi 24/1994, Medan: WIM, 1994 (hlm. 4).
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Pedoman Wawancara:
Waktu Wawancara (hari/tanggal dan jam) : Nama Informan Usia / Jenis Kelamin Status Pekerjaan Alamat
:______________________ :______________________ :______________________ :______________________
1. Pandangan Informan mengenai masa depan: a. Usaha apa kira-kira yang memungkinkan di masa akan datang ? Probing dengan 5 W + 1 H b. Apakah itu ada petunjuknya dalam peramalan budaya Tionghoa ? Probing dengan 5 W + 1 H 2. Keberadaan usaha saat ini: a. Bagaimana keadaan usaha saat ini ? Probing dengan 5 W + 1 H b. Apa saja yang menjadi peluang atau penghambatnya ? Probing dengan 5 W + 1 H 3. Pendidikan: a. Sekolah/pendidikan dibidang apa kira-kira, yang pengetahuannya dapat bermanfaat di masa akan datang ? Probing dengan 5 W + 1 H b. Apa sekolah/pendidikan anak Informan sekarang ? Probing dengan 5 W + 1 H
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
+
A Liong, 38 th, lk, Pengusaha depot isi ulang Jl. Madong Lubis kalau kita mau maju, dalam usaha, kita harus banyak bergaul agar dapat mengembangkan bisnis kita dan pergaulan yangluas, maka usaha apapun bisa kita lakukan. Juga jangan lupa giat dalam bekerja dan berusaha, itu semua modal dalam mengembangkan bisnis dan harus tekun serta sabar saat merintis bisinis. Saya mnejalan kan usaha air isi ulang, baru saja mencoba usaha ini, baru sekitar tiga bulan berjalan.usaha ini berawal dari ketertarikan saya saat membeli air minum kemasan. Pada saat itu, saya berpikir bahwa usaha depot air minum isi ulang bisa menguntungkan, karena rata-rata banyak pengusaha depot air isi ulang yang sukses. Dan kebanyakan pengusahanya adalah orang pribumi. Saya ingin mencoba bersaing dengan taget pelanggannya adalah warga tionghoa. Sebab di sekitar sini banyak warga tionghoanya. Awal mulanya saya mendapat modal dari pinjaman yang diberikan oleh kerabat dekat saya, dan kemudian mencoba menguji keberuntungan membuka depot air isi ulang di rumah saya sendiri. Ternyata berhasil.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Kamis, 14-06-2007/20.10 Agun, lk, 33 th, KK, hanya dua orang dalam keluarga Pedagang Klontong Grosir Jl.Karya Bersama Gang I No.33B , Kampung Anggrung Medan Polonia. a. Umumnya orang Tionghoa suka berdagang dan usaha itu dapat dimulai apabila semua bahan-bahan, pokok-pokok dengan harga yang standard dan tempat yang cocok adalah tempat yang banyak penduduknya. Cara saya untuk memulai usaha itu dengan memulai dari usaha yang kecil, grosir yang menengah, kemudian apabila berkembang menjadi grosir besar, saya akan memberikan pelayan yang bagus. b. Usaha itu ada petunjukanya dalam peramalan budaya Tionghoa, karena hal itu merupakan tradisi turun temurun. c. Usaha sekarang lagi lesu. Karena harga lagi tak stabil dan bahan pokok naik. Hal ini terjadi sejak lengsernya Suharto. d. Kalau penghambatnya adalah banyaknya barang-barang yang ditimbun kemudian barang-barang pokok itu banyak dijual diluar negeri. Dari pada di jual di dalam negeri sendiri. Cara saya keluar dari hambatan ini adalah dengan tetap bertahan dan dengan mengikuti harga pasar. e. Saya rasa pendidikan ekonomi yang paling bermanfaat, karena negara ini semua berasal dari ekonomi atau dapat dikatakan baik jeleknya, sejahtera tidaknya suatu negara berasal dari ekonomi. Dn maulai sekarang kita dapat mempelajari pendidikan ekonomi supaya kehidupan mekin bagus dan menimba ilmu ini, para pengajar sangat mempengaruhi atau sangat berperan.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Airin (40 tahun) Wirausaha bengkel sepeda motor. “Kalau mengurus KTP harus dengan bayar mahal, kalau tidak, akan selalu mengalami kesulitan.” “Feng Sui, merupakan lambang yang sering diletakan di atas pintu masuk rumah. Jenis Feng Sui ini dapat menangkal agar rezeki tidak lari kepada orang yang letak rumahnya berada persis di depan rumah kita. Feng Sui ini juga dapat memberi keselamatan, memberi kenyamanan bagi penghuni rumah, dan dapat memberikan rezeki yang melimpah dalam usaha yang dibuat.” Jenis Feng Sui ini berbentuk lempengan logam yang bersegi delapan, pada sisi kanan dan kirinya diapit dengan kertas putih yang disebut dengan jugo hupo, yang juga memiliki fungsi sebagai penjaga dan pelindung rumah. Di bawah Feng Sui dan jugo hupo, diletakan jenis Hong Sui, yang terbuat dari kertas kuning. Hong Sui ini dianggap dapat menjaga dan melindungi bangunan rumah beserta isinya, bahkan dapat melindungi mereka dikala mereka berada di luar rumah.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Akan (63 tahun) pengurus Vihara Gunung Timur, Jl. Cik Ditiro Medan, yang katanya: “ketika rezim Soeharto, pada tahun 1998, warga Tionghoa merasa terpingirkan dan tidak bebas dalam melakukan kegiatan keagamaan, apalagi di saat terjadi kerusuhan pada waktu itu, warga Tionghoa sering kali menjadi sasaran amukan massa seperti penjarahan dan penghancuran tempat usaha yang kebetulan, saya sendiri mengalami hal tersebut. Sampai sekarang pun hal itu masih dapat saya rasakan. Warga Tionghoa sebagai tempat pengalihan sasaran disebabkan pemerintah yang tidak mampu menanggulangi masalah ekonomi, keadaan ekonomi carut marut, sehingga terjadi kecemburuan sosial kepada warga Tionghoa, bahkan terjadi kesenjangan antara agama dan ras.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Selasa, 12-06-2007/11.28 Alan How, lk, 29, 3 anggota keluarga Mahasiswa Jl. Sun Yat Shen No.30/66 Medan a. Usaha pusat perbelanjaan seperti: mol atau supermarket, tapi hal ini bagi orang yang punya modal yang besar. Karena orang sering membutuhkan sesuatu, yang mana dapat menghemat waktu dari pada harus belanja ke pasar tradisional yang jorok/bau kan lebih bagus belanja di supermarket yang bersih dan dapat dijangkau dimanapun. Lokasinya yang tepat adalah di wilayah yang jauh dari pasar tradisional dan di wilayah yang jarang pertokoan seperti supermarket tadi. Walaupun sekarang orang sudah banyak membuka usaha itu tapi mereka tidak tahu akan kebutuhan konsumen yang sebenarnya. b. Tapi yang pasti dimanapun itu orang Tionghoa pasti mengajak keluarganya dalam usaha itu. Baik sebagai karyawan, manager, atau lainnya. Tapi terkadang seseorang kawan yang sudah dipercaya juga biasanya terlibat dalam bisnis. Alasanya kenapa orang Tionghoa suka mengajak keluarga dalam bisnis, ya… karena dapat memenuhi kepentingan serta kebutuhan ekonomi keluarga kita, sehingga keuntungan yang kita raih tidak jauh dari kita. c. Keadaan usaha sekarang sangat lagi sulit. Beda pada saat zaman pak Harto. Lihat saja semua barang serba mahal, walupun banyak orang yang kaya tapi lebih banyak lagi orang miskin. Walaupun banyak dari dulu sampai sekarang para pedagang, atau pengusaha kelas berat menjalin hubungan kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan, seperti para pejabat dan polisi. Karena kalau tidak seperti itu, bisnis/usaha mereka tidak akan licin/berjalan lancar. d. Paling-paling peluangnya adalah: apabila keuangan warga membaik, sehingga dapat memenuhi selera pasar dan barang-barang kembali normal harganya. Kalau kita sebagai pengusaha saya hambatannya adalah kayak mana dapat memenuhi harga yang memberikan keuntungan yang sangat banyak, dan bagaimana memenuhi kebutuhan warga terhadap barang, sehinggga tidak terjadi barang yang langka, karena warga akan susah. e. Saya rasa pendidikan managemen baik untuk masa depan, karena dalam usaha bisnis dituntut adanya pengetahuan tersebut secara professional, kalau tidak percaya lihat saja, banyak sekarang setiap universitas pasti ada ilmu managemen ddan semakin banyak juga orang bergelar MM.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Kamis, 14-06-2007/14.41 Alizha (Lo Aho), Lk, 45 th, jumlah anggota keluarga 5 orang Penanggung-jawab Vihara Jl. Karya Bersama Gang I No 41 Kampung Anggrung Medan a. Usaha yang bakal sukses dimasa yang akan datang adalah suku cadang atau penjualan sparepart kenderaan, karena dapat memperbaiki kenderaan yang rusak, apalagi sekarang kedaraan sudah sangat banyak sekali jadi kita bisa ambil keuntungan dari sana. Usaha ini saya rasa dapat dimulai saat turunnya Susilo, presiden kita itu. Mungkin sekitar tahun 2008 karena sekarang semua barang sangat mahal. Mungkin kalau ditanya, siapa-siapa saja orang yang mempengaruhi akan susksesnya usaha saya adalah keluarga. Karena selalin mereka membantu saya mereka juga akan memberikan dukungan kepada saya nantinya. Kalau lokasi yang bagus ya…di tengah kota. Kalau ditanya bagaimana sistemnya saya kurang tahu. b. Semua usaha pasti ada petunjuknya dalam peramalan budaya Tionghoa. Karena itu rapat terdapat dalam budaya orang Tionghoa yang harus digunakan sebelum melakukan usaha. Ya…saya bilang tadi, waktu yang tepat sebelum ramalan ini digunakan adalah pada saat sebelum membuka usaha. Yang pasti orang-orang yang mengerti tentang hal itu sebenarnya saya tahu . Cuma saya tak tahu penggunaan istilah dalam Tionghoa bila dimasukkan dalam isitilah Indonesianya.kalau dalam usaha letak lokasi yang bagus adalah yang berada atau yang sesuai dengan tangsai nampak, tapi saya tidak tahu kalau diindonesiakan artinya apa…cara penggunaannya saya kurang mengerti, tapi saya hanya tahu teorinya/istilahnya saja. c. Keadaan usaha saat ini susah/sulit. Sekarang pasaran sedang dingin. Saya rasa kalau ditanya apa yang terjadi, mungkin daya beli orang-orang itu lemah karena barang-barang pun mahal. Usaha saat ini sulit, dimulai pada saat sekarang ini. Orang-orang mempengaruhi sulitnya usaha sekarang adalah yang pasti pemerintah yang telah menaikan harga barang dan para spekulan yang menimbun barang. d. Yang menjadi penghambatnya adalah modal yang kurang, disebabkan kredit macet. Cara mengatasi agar keluar dari hambatan ini adalah mengurangi karyawan untuk mengeluarkan pengeluaran. e. Pendidikan yang bagus adalah ekonomi karena pendidikan ekonomi meruapakan pengetahuan yang penting dimasa yang akan datang. Tempat yang bagus adalah nomensen karena tenmpat itu sangat disiplin. f. Pendidikan anak saya sekarang SMP di Nurul Hasanah, karena uang sekolahnya lebih murah dan lebih dekat dari rumah. Sekolah di sana bagus karena sistem belajarnya lebih kepada unsure-unsur agama Islam dan lebih disiplin.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Sabtu, 16-06-2007/11.45 WIB Go To Yhen, Lk, 60 th. Bekerja dengan keluarga Jl.Sutrisno Medan a. Masa depan baiknya usaha barang-barang /alat-alat teknologi. Karena sekarang teknologi lagi sangat merebak sekali. Dan alat-alat teknologi dapat dikatakan sangat susah ditemui ditambah harga yang mahal. Jadi apabila usaha ini digeluti dari sekarang mungkin akan sangat sukses. Karena kan makin zaman teknologi makin hebat. Walupun saya kurang tau soal teknologi. Tapi kan saya punya keluarga dan kawan yang dapat membantu. Yang pasti apabila saya sudah kenal dan dekat dengan mereka. Baru saya akan mengajak mereka. b. Kalau usaha mau sukses, kita harus melakukan permalan terlebih dahulu. Terserah percaya atau tidak, hal itu hanya untuk menambah kewaspadaan dalam menjalankan usaha kita. Baik itu hasilnya cerah atau tidak. Dan saya rasa banyak pengusaha/pebisnis mencari tau tempat atau wilayah yang sesuai dengan kesuksesan dalam berdagang/bisnis. c. Keadaan usaha ini dapat dikatakan bagus dan buruk juga. Tergantung dari bagaimana ia mengaturnya, memenuhi selera pasar dll. d. Kalau nanti saya bilang buruk, ternyata banyak juga usaha orang yang laris dan sukses. Itukan tergantung dari peruntungan dan nasib baik seseorang. Kalau lagi nasib baik pasti jualannya bagus tapi kalau tidak ya sebaliknya. e. Dalam usaha ini yang menjadi peluang apabila keuntungan telah kita raih dan kita bisa berdagang tanpa mengalami kerugian. Kalau penghambatnya sangat banyak. f. Semua pendidikan itu bagus, tapi pendidikan ekonomi sangat bagus, karena kita bicara bisnis/dagang pasti tidak akan terlepas dari ekonomi. Mana bisa orang yang tidak tahu tentang ekonomi berbicara bisnis. Nantinya bisa ditipu orang.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Kamis, 14-06-2007/11.54 WIB Amin (Kho), lk, 37 th, KK, jlh 4 anggota keluarga Penjual alat-alat jok mobil Jl. Rahmadsyah No.182 Medan a. Usaha yang bakal hebat/sukses dimasa yang akan datang adalah usaha daur ulang. Karena sekarang sumber daya berkurang. Hal ini karena adanya pengerusakan terhadap alam dan adanya pengambilan SDA tanpa memperbaharui kembali. Usaha ini dapat dimulai dari sekarang. Siapa-siapa saja bisa yang penting mengetahui tentang hal tersebut, ada modal dan tempat. b. Keadaan usaha saat ini susah. Dimulai sekitar 2 tahun yang lalu. Keadaan usaha yang susah ini disebabkan banyak sekali kutipan liar, keuntungan penjual makin tipis dan pembeli berkurang. Bagaimana cara saya mengatasinya ya…jalankan saja apa adanya. Dalam usaha ini yang menjadi penghambat adalah pembli sepi atau minat pembeli kurang. c. Saya rasa semua pendidikan/pengetahuan itu bagus tidak terkecuali apapun. Karena kalu misalnya semua mengambil pengetahuan ekonomi, maka sipa yang bakal menjadi teknisi dan ilmu kesehatan. d. Pendidikan anak saya yang paling besar play group, tapi saya gak tau dimana, karena itu urusan orang rumah. Sedangkan saya sibuk kerja.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Asiong, lk, 42 th, wiraswasta Jl. KomL.Yos Sudarso No.9C. Benda berupa kaca yang memiliki tulisan tionghoa berguna untuk mengusir makhluk halus. Juga dapat mendatangkan rezeki. Diletakan menurut posisi rumah, boleh tidak menurut feng-shui. Tekanan-tekanan yang dirasakan, apabila menjelang hari-hari besar sering para preman meminta pungutan dengan alasan untuk kepentingan hari besar. Sedangkan dari pemerintah sering mengutip pajak yang terkadang melebihi aturan.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Asui, lk, 28 tahun Pegawai Swasta Jl.Kol Yos Sudarso, Lingk. IA No. 9E Benda yang berupa kertas merah dan kuning yang bertulis huruf tionghoa, ini ditujukan untuk menghalangi roh jahat yang ingin datang mengganggu dan masuk ke dalam rumah. Dapat berfungsi sebagai penjaga rumah dari makhluk halus. Biasanya didapat dari penjaga klenteng. Benda ini dalam peletakannya boleh tidak menurut feng-shui. “Sering kali dari pihak kepolisian mencari-cari kesalahan terhadap kegiatan kami yang dilakukan sehari-hari. Biasanya terjadi negoisasi, dan berujung keluarnya materi atau duit.” “Warga masyarakat Tionghoa dapat mengikuti Pemilu.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Athien, 40 th, lk, pedagang grosir Jl. Veteran sambu No.278 Medan +
+
usaha apa kira-kira yang memungkinkan dimasa akan datang? sebenarnya itu semua tergantung pada masing-masing orang misalnya keahliannya, kemauannya, dan bakat yang dimilikinya. Yang menentukan kesuksesan seseorang itu kalau seperti dagang kita ini adalah persaingan harga makanya keramah-tamahan itu pada pelanggan sangat penting. Kita ini pengusaha kecil apa yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan perekonomian kita jadi apa adanya saja. Namun menurut saya kedepan nanti industri komputerlah yang akan berkembang, karena zaman sekarang semakin canggih semuanya dalam bidang apapun saya lihat saat ini membutuhkan komputer. Jadi otomatis industri komputerlah yang memungkinkan. Tentang kapan waktunya itu, kita tidak bisa pastikan namun memprediksi melihat perkembangan saat ini. Apalagi kalau kita tidak mengikuti perkembangan maka ketinggalan. Tetapi itu semua tergantung kepada bakat seseorang. Kalau nanti semua beralih usaha seperti itu siapa lagi yang akan terjun ke dunia usaha lain? Jadi itu semua saling membutuhkan satu sama lain, namun diantara usaha itu pasti ada yang cepat berkembang melihat kondisi perekonomian dan kebutuhan masyarakat saat ini apalagi di dunia informasi. Kalau usaha ini dikembangkan mungkin bagi setiap daerah, kita lihat di daerah-daerah juga sekarang serba canggih dengan perhitungan menggunakan komputer, supermarker-supermarket, sekolah-sekolah, kantor-kantor dan lainnya. Di daerah juga menggunakan alat yang sama, semua lapisan masyarakat membutuhkan perangkat canggih ini. apakah itu ada petunjuknya dalam peramalan budaya Tionghoa? kalau soal kita awam sekali dengan ini. Karena kita tidak bisa memprediksi seperti itu karena yang bisa seperti ini adalah yang memiliki indera keenam. Mereka yang punya indera keenam adalah bisa kita anggap mereka yang bisa berhubungan dengan yang ghaib. Kalau saya sama sekali tidak pernah meramal seperti itu. Kalau dihubungkan dengan pendapat saya mengenai industri komputer tadi tidak ada sama sekali. Itu adalah kenyataan yang saya lihat saat ini. Permalan ini sebetulnya ada sebagian orang yang sekedar iseng dan bukan hanya sekedar percaya jadi banyak yang berusaha mencari informasi kesana. Tetapi kalau saya sendiri tak pernah kesana karena saya yakin kepada Tuhan. Untuk segala kebutuhan kita, kesehatan, kelancaran usaha, nasib seseorang kita harus bermohon kepada Tuhan. Kemudian prinsip saya juga kalau kita meramal, maka otomatis kita tidak punya inisiatif untuk usaha jadi sifatnya malas, timbul, sehingga
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
+
+
lebih bagus kita berusaha sendiri. Jadi itu ada memang tetapi itu tergantung orangnya yang memiliki berbagai macam prinsip dalam hidupnya. Saya beragama budha, kalau untuk ajaran agama budha kita diharuskan untuk memuja roh leluhur kita. Leluhur tidak bisa dilupakan. Pemujan ini dilakukan setiap hari, pagi dan malam, dengan memakai dupa atau hio dibakar, kalau siang nggak. Kecuali bila ada acara tertentu seperti tanggal kelahiran leluhur maupun tanggal kematian leluhur jadi disiang hari pada waktu itu pemujaan dilakukan. Tujuannya sebagai ucapan terimakasih kita kepada orang tua untuk berbakti kepada orang tua. Kalau saat-saat imlek sama saja seperti hari-hari biasa dengan menggunakan dupa tadi hanya sja kita sekalian membawa makanan ke makam leluhur sebagai belanja bagi arwahnya di alam kubur. Inilah kepercayaan bagi kami sebagai etnis tionghoa yang sudah menjadi tradisi dari dulu. Selain itu sudah menjadi kesepakatan dalam aturan-aturan wihara bagi agama budha. bagaimana keadaan usaha saat ini? usaha saya sekarang seperti ini Cuma jualan dagang boleh dikatakan grosir yang diperoleh dari distributor. Usaha ini saya kelola sendiri bersama dengan isteri. Selain itu saudara-saudara juga turut membantu saya dalam menjalankan usaha ini terutama bila ada kendala. Usha ini saya rintis memang sendiri sudah hampir 2 tahun samapai sekarang, tanpa diwariskan turun-temurun oleh ayah saya. Melainkan usaha kami berdua dengan isteri. Usha ini ada hubungan dengan distributor yang ada di Medan ini. Dengan menawarkan berbagai macam produk yang datang setiap sekali seminggu mereka (distributor) mendatangi saya dalam memasarkan produk mereka yang ada. Saya tertarik menjalankan usaha ini untuk membiayai hidup selama ini. Saya tertarik menjalankan usaha ini pertama sekali adalah modal sendiri terutama dalam menyediakan kios, kemudian modal yang didapat dari distributor-distributor yang ada, apalagi kita sudah kenal sehingga bisa diberikan kelonggarn dalam usaha. Kenal disini kebetulan yang menjadi distributornya adalah orang tionghoa juga. Tidak ada hubungan saudara sebetulnya tetapi karena dulu satu sekolah dan keturunan asal-usul nenek moyangnya maka kamipun dekat. Jadi bisa membantu pertama kali memberikan modal kepada kami, sehingga samapi sekarang usaha ini berjalan dengan baik. apa saja yang menjadi peluang atau penghambatnya? sudah pasti ada. Kekurangan modal dan juga saya lihat akhir-akhir ini usaha ini agak surut kurang lebih setengah tahun ini. Sekarang ini kita tidak bisa mengantisipasi masalah ini, tetapi kita harus berusaha ramah kepada pelanggan. Dalam hambatan modal misalnya, kalau barangbarang yang didrop oleh distributor tidak alaku dengan jangka waktu
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
+
+
yang ditetapkan terutama kalau lagi sepi. Pada saat jatuh tempo pengambilan barang kita harus dibayar. Mereka distributor tidak tahumenahu tentang laku tidaknya barangnya. Jangka waktu yang ditetapkan oleh distributor juga tergantung produknya sesuai dengan tingkat konsumen pelanggan selama ini. Jadi cara saya mengatasinya, bila terjadi seperti ini kita kurangi pengambilan barang. Bila selama ini 10 karton kita ambil, jadi harus dikurangi, jangan sampai kita rugi dan kepercayaan dengan distributor menjadi terganggu. sekolah/pendidikan dibidang apa kira-kira yang pengetahuannya dapat bermanfaat dimasa akan datang? sebenarnya segala bidang pendidikan saat ini bermanfaat baik sekarang maupun yang akan datang. Namun dengan kondisi sekarang yang canggih kita tidak bisa ketinggalan dengan dunia informasi seperti komputer. Karena pada masa sekarang segala sesuatunya harus dilakukan dengan komputer. Jadi menurut saya komputerlah kedepan ini yang sangat memiliki manfaat sangat besar. Kalau untuk anak-anak nantinya harapan saya, mereka lebih bagus dari orang tuanya. Mereka lebih mandiri dengan berusaha mencari modal sendiri. Kita tidak bisa mengarahkan anak-anak untuk ikut dengan orang tuanya, mengingat mereka tidak boleh dipaksakan sesuai dengan bakat yang mereka miliki. Hanya saja saat ini belum bisa saya simpulkan kedepan, kemana anak ini nantinya, jadi dijalani aja dulu. Jadi kedepan itu tergantung dengan kemamuan kita berusah, kemudia bakat yang dimiliki yang mendukung dalam pendidikan yang didapatkan, sehingga tergantung pada masing-masing orang atau individu. Namun untuk kedepan sekolah-sekolah itu semua haruslah mengutamakan keterampilan seperti komputer, penguasaan bahasa bagi anak didik, sehingga bisa bersaing kedepan dengan orang lain. Jadi itu semua tergantung pada kita. apa sekolah/pendidikan anak anda sekarang? anak saya ada 3 (tiga) orang yang besar kelas 2 SMA, yang menengah kelas 3 SMP, dan yang bungsu kelas 3 SD. Semua mereka sekolah di perguruan Sutomo. Saya memiliki keinginan menyekolahkan mereka disana karena saya dulu alumni disana. Apalagi dekat dari rumah jadi nggak susah lagi mencari sekolah lain. Selama ini juga dari pengalaman saya sekolah ini tidak ada masalah-masalah apa-apa jadi boleh dikatakan bagus. Juga sekarang dari anak-anak tidak ada keluahan sama sekalai dalam belajar malah anak-anak dididik untuk mempunyai keterampilan jadi sangat baguslah. Dari yang saya amati sekolah ini memiliki kurikulum ekstrakurikuler seperti les tambahan, misal les bahasa inggeris, mandarin. Praktikum, fasilitas laboratorium yang memadai, fasilitas komputer, yang boleh dikatakan sangat bagus. Namun bagi orang tua tidak dikenakan biaya lagi untuk
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
ekstrakurikuler. Jadi saya dapat menyimpulkannya pendidikannya bagus. Les yang mereka ikuti tergantung kelasnya ada yang masuk rutin ada yang nggak. Selain itu juga keistimewaan yang saya lihat bukan hanya etnis tionghoa yang sekolah disana tetapi orang kita pribumi juga sekolah disana, malah tidak dibedakan. Malah dulu unga SPP sekolah ini sangat murah sewaktu saya sekolah dulu. Jadi saya ambil kesimpulan memang bagauslah.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Budiman. 34 th, lk Pedagang kosmetik di Lt2 No.8 Plaza Milenium Cara menarik pengunjung adalah dengan bersikap ramah dan menegur pengunjung yang melintas depan stand kosmetik. Juga bersikap jujur, ulet, giat agar sukses dalam usaha. Dulu di tahun 1990-an saat saya masih SMP, selain sekolah juga berusaha mencari uang dengan membuat suatu prakarya dari bambu, kemudian dijual. Pada saat itu usaha saya sukses. Peluang usaha di masa akan datang. Usaha yang baik untuk akan datang ya dibidang teknologi, baik auto mobil, maupun komputer. Sebab masyarakat sekarang memiliki daya pikir yang jauh lebih maju, dan harus pandai mengikuti perkembangan teknologi. Sekarang semua pekerjaan, melakukan segala sesuatu tidak dengan sistem manual lagi. Semua dilakukan dengan sistem komputer. Lewat komputer yang disambung ke internet, secara instant kita bisa mencari data-data atau informasi. Ditambah lagi sekarang sudah perdagangan bebas, jadi kita harus mengerti dan paham tentang teknologi. Hambatan yang pernah dirasakan. Dulu pada zaman Soeharto, kita orang Tionghoa tidak dibolehkan untuk bekerja menjadi pegawai negeri, ikut meliter.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
+
+
+
+
Chandra, 57 th, lk, usaha bengkel mobil dan sepeda motor Jl. Majapahit, Medan usaha apa kira-kira yang memungkinkan di masa akan datang? kalau menurut saya yang paling penting itu adalah masalah keamanan bangsa kita ini. Bagaimana kestabilan negara di bidang keamanan, politik, dan ekonomi, sebaiknya pemerintah memperhatikan keamanan negara lebih dahulu. Bila negara sudah aman maka usaha akan berkembang dengan baik. Semua usaha itu memiliki potensi dikembangkan. Cuma kembali kepada pemerintah saat ini, itulah semua kembali kepada kesadaran bangsa. Kalau kita terus korupsi bagaimana kita bisa hidup? Jadi kembali kepada pemerintah bagaimana pemerintah yang jujur dan bersih tidak serakah. apakah itu ada petunjuknya dalam peramalan budaya tionghoa? kalau peramalan saya kurang tahu. Selama ini saya merantau juga dengan usaha kerja keras, ulet, semua pekerjaan saya lakukan dengan upaya bisa mencukupi kebutuhan hidup selama ini, asalkan ada keamanan pada suatu negara maka semua usaha itu akan berkembang itu. Susah sekarang meramalkannya. Kembali kepada kondisi bangsa kita saat ini. Cuma yang penting kerja keras dan keuletan kunci dari semua. bagaimana keadaan usaha saat ini? usaha saya saat ini hanya seperti ini, buka bengkel mobil dan sepeda motor. Kalau melihat sekarang ini masyarakat kurang daya belinya, boleh dikatakan sepi. Masyarakat tidak ada uang, kalaupun ada uang ditempat-tempat yang besar bukan seperti ini. Saya sudah menjalankan usaha ini 5 tahun. Modalnya ada dari bank, pribadi dan keluarga juga ikut membantu motivasi saya menjalankan usaha ini sebagai usaha untuk mencari makan, yah…tentu saja harus berusaha. Sebelumnya usia 16 tahun saya telah berusaha kecil-kecilan. Dulu kita berdagang kecil-kecilan di kaki lima, dipajak, seperti di petisah, glugur, dengan macam-macam bentuk usaha seperti: jualan ayam, makanan pokok, pakaian jadi, tetapi usaha itu tetap begitu-begitu saja tidak ada kelihatan kemajuannya. Makanya saya beralih mencoba membuka usaha lain seperti saat ini, sampai sekarang masih tetap berusaha seperti ini. Karena saya lihat mobil semakin banyak, sepeda motor juga, tentu sangat berpotensi membuka suatu usaha dibidang otomotif seperti bengkel ini. apa yang menjadi peluang atau hambatannya? sekarang masalah utama, pemerintah yang belum mengutamakan keamanan. Sehingga investor-investor dari luar takut menanam modalnya di negara kita. Kita lihat seperti di Thailand, India, Malaysia, keamanan itu tetap ada sehingga bagi investor akan lebih
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
+
+
+
mudah untuk menanamkan modalnya di sana. Orang itu tidak takut menanamkan modal karena ada keamanan. Negara di sana. Kondisi kita saat ini terbalik, ada pemerintah tetapi keamanan tidak ada gimana orang luar bisa masuk untuk menanam modalnya. Jadi sia-sia untuk berkembang. Dengan kaeadaan seperti ini, karena tidak adanya investor maka daya beli masyarakatpun menipis, akibat tidak ada uang yang datang. Jadi yang lebih utama, bagaimana pemerintah menetapkan keamanan sebagai kunci utama untuk menjamin lancarnya perekonomian kita saat ini. sekolah/pendidikan dibidang apa kira-kira, yang pengetahuannya dapat bermanfaat dimasa akan datang? kalau menurut saya bidang pertanian saat ini yang akan mendatangkan manfaat yang besar nanti, apabila kita kembangkan. Tapi sebelumnya kembali kepada pemerintah dengan faktor keamanan tadi, bagaimana investor bisa menanamkan modalnya dengan tidak ada tekanan sehingga keamanan tetap terjaga. Kita lihat negara kita mengimport beras, pada hal kita negara agraris. Bagaimana cermin kita sebagai bangsa yang demikian kalau ternyata kita harus mengimport beras. Saat ini anggapan saya pertanian lebih cocok kedepan karena lahan kita luas, jadi memungkinkan untuk diolah, tapi semuanya itu kembali kepada pemerintah bagaimna pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengolah lahannya dengan baik selain investor tadi. apakah di wilayah kota seperti Medan, juga harus membuka pertanian? bukan begitu maksud saya, dengan padatnya penduduk diperkotaan, hidup dengan persaingan dan berlomba-lomba itulah justeru orang melupakan wilayah diluar perkotaan, yang dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian. apakah sekolah/pendidikan anak anda sekarang? terakhir pendidikannya SMP. Sekarang dia di Taiwan kerja disana. Tamat SMP langsung kesana. Saya tidak bisa menyekolahkan dia lagi, karena tidak ada biaya, jadi saya suruh untuk berusaha sendiri dan mencari kerja. Apalagi disana uapahnya lebih tinggi dari sisni, sehingga lumayanlah dalam menghidupi kehidupannya. Sama itu seperti tenaga kerja yang banyak ke Malaysia, mereka cari kerja disana untuk hidupnya, karena upah yang tinggi disana, disebabkan nilai tukar di negara-negara tetangga kita lebih tinggi. Kalau saya lihat pendidikan itu memang penting, teapi kalau untuk menjadi seorang pengusaha besar seperti manajer, kalau untuk tenaga kerja yang lebih penting adalah pengalaman kerja dan keterampilan yang lebih utama. Makanya anak saya juga saya anjurkan untuk berusaha kerja di Taiwan.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Chen-chen (36 tahun) Ibu Rumah Tangga Jl. Pertempuran No.12 A “Pada zaman Soeharto, setiap ada acara seperti: kematian, pernikahan, ataupun acaraacara keagamaan, para pereman selalu datang meminta uang.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Darwin Jamin, 22 th, lk, mhs, Jl.Cemara Hijau. Kmis, 21 Juni 2007, 14.25 WIB: usaha apa kira-kira yang memungkinkan di masa yang akan datang? + menurut pendapat saya, untuk saat ini saya belum memikirkan bentuk usaha apa yang akan saya tekuni dimasa yang akan datang. mengapa anda belum memikirkannya saat ini? + karena saat ini saya masih kuliah, selain itu saya juga mengelola usaha sendiri di salah satu mol di kota medan, untuk saat ini saya lebih berfokus dahulu terhadap usaha yang sedang saya jalankan. apa yang memotivasi anda untuk usaha sambil kuliah? + ya….., mungkin keadaan ekonomi yang semakin meningkat dimana kebutuhan yang harus dipenuhi semakin meningkat pula. Karena itu saya membuka usaha kecil-kecilan yang tidak mengeluarkan modal terlalu besar, tetapi selalu ada pemasukan di dalam buku keuangan saya. dari keuntungan yang anda peroleh untuk apa anda gunakan uang tersebut? + untuk menambah modal usaha, membantu orang tua, dan menggunakannya untuk membiayai uang kuliah sendiri. dimana tempatnya anda membuka usaha saat ini? + berlokasi di paladium, tepatnya berada di lantai 4. mengapa mengambil lokasi untuk membuka usaha di tempat tersebut? + karena sebelumnya saya sudah terlanjur menyewa tempat di lokasi itu, dari pada tidak dimanfaatkan saya berinisiatif untuk menggunakannya. apa bentuk usaha yang sedang anda jalankan saat ini? + berdagang mainan/pernak-pernik hand phone. mengapa anda tertarik untuk berjualan mainan HP, dari pada membuka usaha yang lain? + karena menurut pandangan saya, utnuk membuka usaha mainan hp tidak terlalu membutuhkan modal yang sangat besar, selain itu di lokasi ini sangat ramai pengunjungnya. Dengan harga yang bervariasi, murah dan terjangkau, serta model mainan hp yang menarik maka banyak pengunjung yang tertarik untuk membelinya. bagaimana cara anda mengelola usaha anda saat ini? + ya…, itu rahasia menejemen saya, tergantung kita pandai-pandai mengelolanya dan mengembangkan usaha saja. Bisa dibilang jangan pernah takut untuk memulai sebuah usaha, masalahy untung-rugi nomor sekian. apakah itu ada petunjuknya dalam peramlan budaya tionghoa? + kalau masalah peramalan tidak ada, saya hanya melakukan sembahyang saja, mohon kepada yang kuasa untuk dilancarkan usahanya, diberi keamanan dan keselamatan. bagaimana keadaan usaha saat ini? + namanya orang berdagang…ya, kadang untung kadang rugi. Tapi untuk saat ini keadaan usaha saya baik-baik saja.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
+ +
+
+ +
+ +
apa saja yang menjadi peluang atau penghambatnya? yang menjadi peluang, karena banyak sekali masyarakat yang berminat untuk membeli assesoris hp saat ini. pelanggan anda kebanyakan berasal dari golongan mana saja? ya…, kebanyakan berasal dari golongan anak remaja/anak sekolah, ada juga orang dewasa. Mereka menyukai bentuk assesoris yang unik dan lucu-lucu. Yang menjadi penghambat dibidang usaha ini ya…, banyaknya pengusaha lain yang membuka usaha serupa. Jadi ya…, maslahnya Cuma di persaingan aja, dengan pedagang yang lainnya. bagaimana cara anda mengatasi persaingan dalam berdagang? ya…., saya menawarkan barang-barang dagangan yang lebih menarik di bandingkan toko-toko lain, selain itu saya menawarkan harga-harga yang dapat terjangkau dan tidak terlalu mahal dengan kualitas barang yang baik. sekolah/pendidikan dibidang apa kira-kira, yang pengetahuannya dapat bermanfaat di masa yang akan datang? kalau untuk saat ini saya sedang menekuni ilmu komputer, dan menejemen. Saat ini saya kuliah di universitas swasta. mengapa anda memilih pendidikan di bidang komputer dan menejemen? sesuai dengan perkembangan teknologi komputer, merupakan ilmu pengetahuan yang berkembang dengan pesat, maka dari itu saya ingin lebih memperdalam pengetahuan saya di bidang ilmu komputer. Sedangkan alasan saya menekuni ilmu dibidang menejemen karena saya ingin lebih mengetahui bagaimana cara mengelola modal dengan baik, serta bagaimana sebuah usaha dapat terus berkembang dengan baik. Alasan tersebut yang memutuskan saya untuk menekuni ilmu di bidang tersebut. dimana anda menuntur ilmu saat ini? kalau komputer, saya memilih universitas mikroskil, kalau menejemen saya memilih universitas harapan. apa alasan anda memilih universtias-universitas tersebut? kalau di mikroskil setahu saya bagus dan murah. Sedangkan di harapan saya dapat berkuliah di waktu malam hari dan kualitasnya juga bagus.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Debby Isabella, 18 th, pr, mhs. Psikologi USU Jl. Mojopahit No.11 H Medan +
+
+
+
usaha apa kira-kira yang memungkinkan di masa akan datang? bisnis makanan, karena sepertinya keuntungan sangat besar jika diusahakan di kota Medan. Karena perkembangan kehidupan penduduk di kota semakin sibuk sehingga tidak sempat untuk memasak sendiri di rumah. untuk membuka usaha tersebut di daerah yang strategis, biasanya mencari fengshui, bagaimana letak tempat usaha yang strategis. Ada yang mempercayainya bisa mendapat keuntungan. saat ini usaha keluarga adalah membuat makanan udang tambak, tetapi tidak lagi mendatangkan keuntungan, usaha lagi sepi, pengusaha tambak udang sudah semakin berkurang, dan banyak persaingan. sekolah yang bermanfaat dimasa akan datang adalah sekolah bisnis
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
-
Dewi Natalia Rusli, 18 th., pr. Mhs Psikologi USU Jl. Perbatasan No.63 L.Pakam Yang memungkinkan dimasa akan datang?
+ usaha dibidang konseling, terutama di tempat-tempat yang pendudukannya mayoritas keturunan tionghoa. Karena orang tionghoa biasanya berprofesi sebagai pebisnis, ada kemungkinan dalam bisnis itu mereka ada mengalami bangkrut. Oleh karena itu tidak jarang mengalami stress. Untuk itulah konseling berguna sekali memberikan pengarahan pada orang-orang yang stress. Usaha konseling masih belum menonjol pada saat ini, pada hal itu sangat penting, disaat ini dan dimasa akan datang di kota medan ini, banyak orang yang frustasi dan belum tahu bagaimana mencari solusinya. Agar menjadi seorang yang paham konseling tersebut, ya …mengikuti kuliah di Psikologi.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Fifi Yudinato, 18 th, pr, Mhs. Psikologi USU Jl. Bilal Ujung Gg. Krisna No.A3 Medan +
menurut saya adalah berwiraswata yang memungkinkan di masa akan datang, usaha penjualan-penjualan barang ataupun terjun dalam dunia bisnis, atau perkantoran agen-agen penjualan barang. Hal ini biasanya ada petunjuknya dalam ramalan budaya tionghoaseperti fengshui. Seperti melihat tata letak rumah, keadaan rumah dan ventilasi. Tetapi itu tergantung pada kita untuk mempercayainya. Orang tua saya menjual sembako dan elektronik. Seringkali banyak pungutan liar terhadap pengusaha etnis tionghoa. Pengetahuan yang bermanfaat dimasa akan datang harus menguasai bahasa asing dan pengetahuan pengetahuan tentang bisnis. Bisnis dan pengusaan bahasa asing dapat memungkinkan kita untuk pengembangkan dunia usaha di masa akan datang.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Friendly, 25 th, lk., mhs teknik elektro USU. Jl. Multatuli No.91 Medan Kamis, 31 Mei 2007, 19.18 WIB: - Pandangan mengenai masa depan? + usaha barang elektronik merupakan usaha yang kira-kira memungkinkan di masa mendatang. Karena sekarang ini perkembangan barang-barang elektronik lah yang paling pesat dan mengalami banyak peningkatan. Oleh karena itulah usaha tersebut bagusnya didirikan di daerah perkotaan, karena kota Medan adalah tempat yang ramai orangnya. Cara membuka usaha barang elektronik pada bulan-bulan pertama diberikan harga miring dalam arti sebagai promosi harga. Seterusnya adalah dengan meningkatkan kualitas pelayanan antar jemput terhadap pelanggannya. - usaha saat ini? + saya sekarang bekerja sebagai honorer di Puskom USU, sebagai programmer. Saya bekerja di Puskom USU berdasarkan rekomendasi dari seorang dosen pembimbing saya. Saya angkatan tahun 2001 di Teknik Elektro-USU. Saya bekerja di Puskom-USU karena pekerjaan lain yang posisinya lebih baik belum saya dapatkan. Jadi saya kuliah sambil bekerja. - sekolah / pendidikan yang bermanfaat dimasa akan datang? + bidang ekonomi, karena ilmu ekonomi pada hakekatnya dapat dikembangkan secara nalar. Kita bisa mengetahui hukum-hukum ekonomi yang nantinya dapat dikembangkan menjadi hukum-hukum ekonomi yang baru yang dapat dimanfaatkan dalam berdagang. Tempat untuk belajar ekonomi yang bagus adalah di UI Jakarta, akreditasi fakultas ekonomi UI adalah paling bagus. Saya mengambil jurusan teknik elektro USU karena saya dari dulu suka merakit komponen-komponen elektro, mana tahu saya mampu menghasilkan suatu penemuan baru….Itulah pikiran saya dulu.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Jum’at, 15-06-2007/14.39 WIB Ibu Rina, Pr, 53 th, ibu rumah tangga Jl. Sutrisno No.168 Medan a. Usaha sejenis makanan restoran, tapi bukan restoran yang mana usaha tersebut bergaya sederhana tapi dengan menu makanan seperti restoran besar. Letaknya di pinggir jalanan, juga tidak apa-apa. Asalkan pengunjungnya banyak. Kalau restoran warga yang perekonomiannya menengah ke bawah bakal tidak mau datang kalau besar. Tapi kalau usaha makanan penggiran, saya rasa bakal sukses karena siapa saja bisa datang, dengan harga terjangkau. Karena sekarang kehidupan lagi sangat susah, apa salahnya kita menyediakan hidangan yang berselera sesuai dengan keuangan. Yang pastinya untuk memulai usaha ini agar tetap eksis. Saya harus punya modal yang besar atau lebih. Karena kalau terjadi kerugian saya dapat tetap berjualan. Kemudian saya harus tahu menu-menu yang lagi disukai oleh konsumen. Harga juga bisa disesuaikan dan pelayan harus bagus. Dalam usaha ini saya akan mempekerjakan orang terdekat saya. Karena dimanapun kalau adik tidak percaya orang Tionghoa paling suka bisnis sama keluarga. Karena kalau kita sukses keluarga juga kenakan. Biasanya kepala keluarga yang akan menjadi boss-nya, karena kepala keluarga atau istilah Cinanya Tsu-Kung, sangat dihormati dan disegani. b. Saya rasa ada, seperti contohnya jika kita baru mau bangun rumah atau usaha hal yang penting adalah melakukan peramalan atau apalah namanya dari orang pandai hong shui, supaya rumah itu datangkan hoki yang bagus. c. Usaha sekarang lagi krisis, susah, karena semua barang lagi mahal tidak ada yang murah, apapun sulit di tambah banyak sekali orang tidak kerja. Dari dulu sampai sekarang selalu banyak penganguran hanya parahnya sekarang waktu presiden kita inilah: mulai dari BBM, minyak goreng dan semuanyalah. d. Saya rasa pendidikan ilmu ekonomi sangat berguna, sampai kapanpun anak saya saja ambil managemen keuangan. Lagian orang Tionghoa ini otaknya hanya dagang saja, sampai-sampai isterinya mau di jual asalkan dapat memeprmudah usahanya. e. Pendidikan anak saya di SMU Hang Kesturi, karenakan orang kayak kita sekolahnya paling di swasta. Jarang dapat negeri. Lagian disana bagus kok. Persaingannya sangat bagus.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
a.
b.
c.
d. e.
Jum,at, 15-06-2007/12.27 WIB Lauw Na, pr, 21 th. Anak dari 4 bersaudara Mahasiswa 2003 HKBP Nomensen Jl.Sun Yat Sen No.101 Medan Menurut saya usaha butik yang bakal mengambil peran di masa yang akan datang. Karena Medan inikan dapat dikatakan kota metropolitan yang kesemuanya menjunjung tinggi penampilan. Yang mana butik itu adalah sejenis toko baju tapi tidak semuanya baju bisa dijual di toko tsb. Hanya baju-baju yang unik, langka dan harganya lumayan mahal, dan dapat juga dikatakan baju-baju itu berasal dari luar negeri. Usaha ini hanya dapat dimulai pada saat perekonomian membaik, karena bagaimana orang bisa membeli baju saya tersebut kalau keuangannya susah. Untuk usaha ini dapat dibuka di pusat perbelanjaan/mol dengan membuat suasana butik yang menarik. Kemudian jika ini sukses dapat membuka cabangnya di tempat yang lain. Untuk usaha ini yang saya butuhkan hanya orang-orang yang pandai mempadani/mencocokan baju satu dengan lainnya. Sehingga baju yang kelihatan kuno dapat kembali menjadi keren. Cara saya supaya usaha ini sukses adalah dengan memberikan pelayaan yang ramah dan memberikan potongan harga. Apabila pada saat mendekati hari-hari besar. Saya kurang mengerti apakah ada atau tidak petunjuknya dalam peramalan budaya Tionghoa. Yang pasti kita hanya cukup menjalin hubungan yang baik antara kita dan pebisnis baju lainnya, karena dengan begitu, kebutuhan butik saya akan terpenuhi, karena sayakan jualan buka memproduksi. Atau kita bisa membuat bentuk usaha butik yang patungan, atau bagi dua, kalu istilah Cinanya mungkin hu’i , tapi saya tidak tahu apa artinya dalam bahasa Indonesia. Karena hal itu dapat meringankan. Sekarang usaha dimanapun lagi susah, karena apa-apa sekarang mahal, barang pokok naik semua. Kami aja harus menghemat pengeluaran. Kalau uang saku yang diberikan tetap, makanya saya harus pandai-pandai, mana yang lebih di didahulukan mana yang tidak. Kalau saya rasa naiknya barang baru-baru ini ajalah. Makanya para pedagang/orang yang berjualan, ya sabar-sabar saja. Mau gimana lagi dan sekarang pekerjaan juga susah. Peluangnya paling tidak jika semua barang stabil dan para pedagang dapat meraih keuntungan yang selayaknya. Pendidikan tentang ekonomi, karena dengan ekonomi kita jadi tahu tentang untung rugi dan semua-semuanya tentang uang. Dan dapat terlepas dari kerugian. Itupun bagi mereka yang memang betul mengerti. Sekarang orang kan banyak belajar tentang ilmu itu. Dimana-mana di universitas manapun pasti ilmu ekonomi yang paling banyak peminatnya. Karena masyarakat sudah tahu dan mengerti tentang pentingnya ilmu itu. Belajar tentang ekonomi dimana ajapun bagus, yang penting sarana dan prasarananya memungkinkan.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Lilis, 22 th, pr, mhs. Jl. Bintang/FL Tobing Wawancara, Kamis, 21 Juni 2007, 13.25 Wib: Menurut saya untuk saat ini masih belum terpikirkan, sebab saat ini belum ada bayangan di benak saya, karena pada saat ini hanya terfokus kepada pendidikan saya dulu, dan karena saya masih kuliah. - apakah di hari kedepan anda ada rencana untuk membuka sebuah usaha ? + ya pasti ada, tapi saya belum tau mau berusaha di bidang apa. - jika untuk membuka suatu usaha menurut budaya Tionghoa, ada ramalan atau petunjuk menurut fengshui? + setahu saya tidak ada peramalan menurut fengshui dalam budaya Tionghoa, kalau pun ada, adanya Cuma ritual keagamaan yang dilakukan setiap harinya, dimana bertujuan untuk menjaga keamanan saja. - ritual keagamaan yang seperti apa ? + hanya sembayang biasa dimana di panjatkan doa-doa, untuk dimudahkan dan diberikan keamanan dalam menjalankan usaha. - apakah orang tua atau keluarga anda memiliki sebuah sebuah usaha? + ada dibidang toko mas. - mengapa orang tua anda membuka usaha toko mas, mengapa tidak memilih usaha dibidang yang lainnya? + karena usaha ini meruapakan usaha warisan yang diturunkan dari orang tuanya terdahulu, jadi orang tua saya hanya meneruskan usaha keluarga yang sudah ada sejak lama. - dimana usaha keluarga anda berlokasi? + di daerah pangkalan susu. - apakah di hari kedepannya ini anda akan meneruskan usaha keluarga ini? + saya tidak tahu bagaimana kedepannya, akan tetapi saya berkeinginan bila saya sudah tamat kuliah, saya ingin bekerja di sebuah perusahaan, atau menjadi pegawai kantoran di Medan. - mengapa di Medan, kog tidak ditempat lain? + karena Medan, menurut saya untuk ke depannya memiliki peluang yang cerah dalam dunia bisnis, terutama dibidang bisnis elektonik informasi. - bagaimana keadaan usaha keluarga anda saat ini? + lancar-lancar saja. - apa saja yang menjadi peluang dalam usaha ini? + usaha toko mas ini lumayan menguntungkan. - mengapa anda berpendapat seperti itu? + karena setiap saat harga mas pasti akan mengalami kenaikan, terkadang mengalami penurunan, akan tetapi lebih sering mengalami kenaikan harga. Selain itu usaha ini sudah memiliki langganan tetap. - dari etnis mana saja langganan yang berbelanja di toko mas tersebut? + dari berbagai etnis, baik orang pribumi maupun etnis cina. Dan kebanyakan yang sudah menjadi langganan di toko mas kami rata-rata etnis cina.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
- apa yang menjadi penghambat dalam usaha ini? + ya, namanya juga pedagang, paling hambatannya Cuma saingan dengan penjual lainnya, tapi hal tersebut bukan merupakan halangan dalam menjalankan suatu usaha. - sekolah/pendidikan dibidang apa kira-kira, yang pengetahuannya dapat bermanfaat dimasa yang akan datang? + kalau saya lebih tertarik menekuni dalam bidang sistem informasi. karena dalam ilmu komunikasi, kemungkinan keterampilan untuk bekerja di kemudian hari, sudah mencakup secara keseluruhan. - mengapa anda berpendapat seperti itu? + karena ilmu sistem infromasi mengajarkan berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, seperti program komputer, sistem menejemen. - anda statusnya mahasiswa, kuliah dimana sekarang? + di universitas mikroskil, daerh thamrin plaza. - apa alasan anda memilih universitas miroskil, mengapa anda tidak meilih universitas yang lain? + karena saya memang pingin kuliah di bidang komputer, selain itu universitasnya bagus.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Kamis, 14-0602007/16.09 WIB Lim Carolus, lk, 65 th. Kepala keluarga, jumlah keluarga 4 orang Pedagang Grosir Jl. Karya Bersama no. 18, Kampung Anggrung, Medan. a. Usaha yang menurut saya bakal sukses adalah usaha restoran dan ini dapat dimulai pada tahun 2008. dimana letak lokasi yang tepat di tengah-tengah kota. Dalam usaha ini orang yang mempengaruhi akan sukses tidaknya usaha saya adalah keluarga serta rekan/partner untuk membangun jaringan usaha sehingga dapat berkembang pesat. Alasan saya memilih usaha restoran sebagai usaha yang bakal sukses dimasa yang akan datang adalah karena pada umumnya semua orang membutuhkan akan makanan tinggal siap saji, dan saya yang meraciknya supaya tambah dinikmati lagi. Caranya tau bagaimana saya mengawalinya yaitu berawal dari restoran kecil dengan hidangan yang lebih sederhana, kemudian saya dan rekan akan mempromosikannya supaya lebih banyak peminat dan lebih banyak bukan cabang dengan harga yang lebih miring. b. Usaha itu tentu saja ada hubungannya dengan peramalan budaya Tionghoa, karena sudah merupakan suatu tradisi, dimana letak lokasi yang bagus adalah mengarah pada letak Timur dimana matahari itu terbit, karena hal itu akan menambah rezeki dari usaha kita. Dimana letak sinar matahari akan memercik ke usaha kita. c. Keadaan usaha lumayan bagus atau dapat dibilang sedang-sedang saja. Karena usaha apapun sekarang peminatnya banyak tak terkecuali apapun. Asalkan dia mengikuti selera pasar. Usaha ini mulai lumayan pada saat SBY naik, naik tapi tidak pada waktu Suharto. Usaha sekarang ini tidak terlepas dari dukungan pemerintah. Seperti memberikan kemudahan dalam membuka usaha. d. Yang menjadi penghambatnya adalah susahnya modal dan bahan-bahan yang diperlukan. Karena sekarang semua barang sangat-sangat mahal. Hal ini dimulai pada saat terjadinya krisis moneter sekitar tahun 1999. cara saya mengatasi hambatan ini adalah mungkin saya minta pertolongan dengan yang lain. e. Pendidikan ekonomi yang paling bagus menurut saya, karena pengetahuan/pendidikan di bidang ekonomi sangat bermanfaat sampai kapanpun juga, dan pendidikan ekonomi dapat merubah orang yang miskin menjadi kaya. Pendidikan tentang ekonomi yang bagus adalah di USU karena uang kuliahnya sangat murah. Anak saya juga ada di sini…dalam pendidikan ekonomi ini saya rasa para dosen juga sangat mempengaruhi akan bagus tidaknya pendidikan ekonomi tersebut. f. Pendidikan/sekolah anak saya salah satunya ya….di USU tadi soalnya yang kuliahnya murah dan kata anak saya sistem belajarnya lumayan bagus. Anak saya stambuk 2003 jurusan D3 Akuntansi.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Jum’at, 15-06-2007/08.12 WIB Lim Shui ‘Ing, pr, 43 th, sebagai isteri jumlah anggota keluarga 4 orang karyawan Jl. Gatot Subroto no 28 Medan a. Usaha speda motor (dealer) menurut saya sangat memungkinkan dimasa yang akan datang, karena sekarang kita harus berlomba penampilan kecepatan dalam pekerjaan. Seperti: ke sekolah, kuliah, dll., harus cepat. Jadi jika kita memiliki sepeda motor kita dapat dengan mudah pergi ke tujuan yang kita inginkan dengan tepat waktu. Karena itu dealer sepeda motor pasti mempunyai harapan yang cerah di masa akan datang. Seharusnya sudah dari dulu kita buka usaha ini. Supaya usaha tersebut lebih berpengalaman dan lebih ahli dibidangnya, serta customer kita pun dapat mempercayai kita dalam memenuhi kebutuhannya dalam hal sepeda motor. Yang pasti di daerah pertokoan yang berlokasi di daerah perkantoran karena umumnya pekerja tersebut membutuhkan sepeda motor. Dalam usaha ini, kepala usaha yang bertanggung jawab atas maju tidaknya usaha tersebut, kemudian bendahara yang dapat mengkontrol keuangan dengan baik. Dan tentunya para karyawan yang membantu kelangsungan usaha itu. Kalau usaha supaya sukses, menurut saya dengan cara memberikan uang muka yang kecil atau tanpa uang muka dan bisa juga memasukkan hal mengenai kredit itu kepada instansi pemerintah. Hal itu pasti ada petunjuknya dalam peramalan budaya Tionghoa. Kalau tanya sama saya, mana saya tahu, lihat saja saya tinggal di daerah orang Islam yang tanpa memakai hal itu. b. Keadaan usaha sekarang lemah. Karena semua barang melonjak tinggi dan pembeli kurang secara otomatis. Hal ini dimulai pada saat BBM naik kemudian disusul dengan barang lainnya. Letak kesusahannya pada keungan yang sangat merosot. Orang yang berperan akan lemahnya usaha ini adalah para pejabat yang mengeluarkan keputusan tanpa melihat keadaan, kemudian para spekulan yang menimbun barang-barang sehingga menjadi langka di pasaran, cara saya mengatasinya yaitu dengan teap bertahan. Kemudian jika saya kurang modal, saya akan pinjam uang sama keluarga atau rekan. Yang mnejadi peluang saya apabila pembeli ramai dan keuntungan ada ditangan saya. Karena dengan begitu modal akan balik. Saya juga tidak tahu kapan harga akan stabil, itukan tergantung dari kebijakan dari orang-orang di atas. c. Saya rasa pendidikan multimedia/ilmu teknologi, karena sekarang semua sudah serba canggih dan sudah pakai teknologi. Jika kita buta tentang hal itu maka kita akan rugi besar dengan banyak ketinggalan berita/informasi dan seharusnya anakanak ini sekarang harus sudah mempelajarinya karena itu sangat penting. Dimanapun, kapanpun. Anak saya sudah kerja semua tidak ada yang sekolah.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Liona Anisa Leo, 19 th, pr, mhs. Psikologi USU Jl. Yos Sudarso Gg. Bahadur No 34C Medan Jum’at, 16 Nov. 2007, pkl: 08.00 WIB: +
usaha dalam bidang bisnis (ekonomi), karena situasi bisnis merupakan usaha yang paling mendunia di negara-negara maju maupun sedang berkembang. Untuk menjadi seorang pebisnis yang handal harus memiliki berbagai keahlian dan modal yang kuat. Persaingan dalam dunia bisnis itu sudah biasa. Pengalaman kegagalan dalam berlomba untuk bisnis terkadang dialami. Seperti di Amerika jika gagal dalam dunia bisnis mereka bukan berkonsultasi pada kerabat atau keluarga, tetapi mendtangi seorang psikolog. Jadi bisnis dan psikologi sangat erat kaitannya.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Liong, 38 th, lk, pengusaha perabot rumah tangga Jl. Sutomo No.235 Medan. +
+
+
usaha apa kira-kira yang memungkinkan di masa akan datang? sangat sulit dibayangkan. Semuanya itu tergantung keuletan kita, kerja keras, dan harus berusaha terus. Masing-masing orang punya jalan masing-masing, dan punya bakat yang ada. Jadi terserah pada orangnya, kemampuannya untuk menggali dan mengembangkan bakat tersebut. Semua usaha itu sangat memungkinkan dimasa mendatang jadi tergantugn kita semua yang menjalankannya. apakah itu ada petunjuknya dalam peramalan budaya Tionghoa? saya sendiri tidak tahu betul dengan ramalan-ramalan itu yang saya tahu memang ada sebagian orang yang percaya dan mencari tahu sesuatu melalui peramalan. Saya sendiri tidak pernah melakukan itu, karena saya menggantungkan diri pada Tuhan dengan baca al-kitab, ke gereja, dan berdoa saja. Itu udah cukup. Disamping itu juga kami harus menghormati leluhur kami dengan membuat sesebahan setiap hari untuk melapangkan jalan bagi mereka dan bagi kami juga. Tetapi kalau untuk meramalkan masa depan saya kira saya belum pernah seperti itu. Hanya mungkin beberapa orang yang melakukan itu. bagaimana keadaan usaha saat ini? usaha saat ini hanya satu ini, menjual perabot rumah tangga. Sudah 5 tahun sejak saya pindah dari Kisaran, saya mengembangkan bisnis di Medan ini. Sebelumnya di Kisaran saya juga membuka usaha seperti ini dan itu adalah usaha orang tua selama ini yang saya jalankan. Saya berkeinginan pindah dari Kisaran karena ingin mengembangkan usaha ini, kebetulan orang tua menyetujuinya, dan memberikan modal kepada saya. Apalagi disana bisnis ini sudah dijalankan oleh saudara saya, adik laki-laki, setelah ayah meninggal dunia. Jadi kira-kira kami berdua dengan adik ada hubungan juga dalam mengembangkan bisnis ini. Karena usaha disana adalah usaha keluarga, maka saya berusaha mencari modal untuk membuka di daerah lain, di Medan ini, sehingga adik saya juga ikut makmur dalam menafkahi hidupnya. Kalau usaha yang di Kisaran sudah lama sekali didirikan, sejak bapak kami masih berusia muda dulu dan sampai sekarang tetap baik. Tentang usaha yang ada disini sekarang semua barang-barang didatangkan dari pembuatnya langsung. Seperti kursi, meja tulis, meja komputer, tempat tidur, ini ada pembuatnya, di Medan ini, jadi kami join memasarkannya. Selain itu juga sebagian barang ini langsung dari saudara saya laki-laki di Kisaran yang mengusahakannyadengan sistem bagi modal menyediakan barang-barang ini. Kiat-kiat yang ada dalam menjalankan usaha ini selama ini hanya kerja keras. Kemudian,
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
+
+
karena ada dukungan dari saudara-saudara lain juga menjadi faktor pendukung. Saya tertarik menjalankan usaha ini karena saya melihat kebutuhan pasar saat ini dalam hal perabot sangat banyak jadi saya tertuju kepada itu. apa saja yang menjadi peluang atau penghambatnya? sudah pasti ada. Yang paling menghambat kegiatan usaha ini adalah modal juga. Saat ini ongkos transportasi pengangkutan barang-barang ini agak sulit. Sulitnya itu seperti, faktor keamanan barang diperjalanan selama ini. Kemudian biaya pengangkutan dan jarak tempuh yang agak lama. Selain barang ini didatangkan dari Kisaran juga derah lain seperti Sibolga yang menghasilkan kayu jenis meranti yang pengangkutannya kadang-kadang lama. Seterusnya yang menjadi penghambat adalah belakangan setengah tahun ini agak merosot pembeli. Mungkin karena persaingan selama ini semakin banyak, dan karena ekonomi kita yang merosot saat ini. Jadi usaha yang saya lakukan dalam mengatasi ini saya hanya bisa nerima apa adanya. Tetapi dengan dukungan saudara kami, berusaha kedepan menyediakan pengangkutan sendiri, kemudian berusaha mendatangkan bahan-bahan yang mutunya bagus dengan menekan harga yang bisa bersaing dengan usaha lain seperti ini. Sekarang serba sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup saja masyarakat kerepotan, apalagi dengan menediakan ini. Tetapi ini juga adalah kebutuhan masyarakat, jadi dengan upaya menaikkan harganya sesuai dengan kondisi dagang saat ini. sekolah/pendidikan dibidang apa kira-kira yang pengetahuannya dapat bermanfaat dimasa akan datang? semua bidang pendidikan itu penting. Dan memang saat ini banyak yang sekolah tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk hidupnya, akibatnya menjadi pengangguran. Karena mereka tidak dibekali keterampilan yang memadai sesuai dengan bakat yang mereka miliki. Mereka tidak bisa berusaha, juga karena tidak ada modal. Namun yang bisa dilakukanhanya membuka usaha kecil-kecilan seperti kios, sebagai jalan terakhir mereka. Itu karena disebabkan persaingan saat ini dalam menguasai keterampilan. Apalagi sekarang katanya globalisasi jadi penguasaan bahasa Inggeris dan Mandarin penting. Selain itu komputer juga hal yang penting. Jadi menurut saya semuanya bagus bidang pendidikan itu. Asalkan keterampilannya diajarkan pada setiap jurusan atau bidang pendidikan pada anakanak didik. Dengan penguasaan bahasa asing dan komputer dan keahlian spesialisasi jurusannya maka mudah-mudahan lapangan kerja tidak sulit baginya. Dan moga-moga juga dia bisa berusaha sendiri dengan kreatif membuka usaha sendiri sesuai bakat dan minatnya untuk hidupnya.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
+
sekolah/pendidikan apa anak anda sekarang? anak saya sekarang sekolah baru 1 orang di SD di perguruan Sutomo. Yang bungsu masih umur 4 tahun jadi belum sekolah. Dan rencananya nanti mau masuk tk tahun depan. Saya tertarik memasukkan anak kesana karena selama ini sekolah Sutomo sudah lama dikenal, walaupun saya dulunya bertempat tinggal di Kisaran dan sekolah disana. Tetapi saya mengenal betul dulunya sekolah Sutomo ini. Sekolah ini menurut saya memang bagus disamping fasilitas yang lengkap juga ekstrakurikulernya, berikut juga karena seagama dengan kita. Disamping itu juga yang utama sekolah ini disiplinnya kuta diajarkan tata krama yang baik.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Muliadi (Tai Sun Khai) (46 tahun) Wirausaha penjual Mie goreng. “Dalam pembuatan KTP, syaratnya harus memiliki akte kelahiran. Namun, sangat sukar mengurus akte kelahiran, karena harus membayar sebanyak Rp.700.000,-. Untuk mengurus KTP saja harus nyamar, harus nyamar sebagai orang yang beragama Islam, jika tidak sangat sulit dan akan memakan banyak biaya jadinya.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Robert, 16 th, lk, Jl. Sunggal No 27 B, Komplek Suka Permai Bagaimana pandangan anda untuk usaha dimasa depan ? Menurut saya usaha yang kira-kira memungkinkan di masa mendatang adalah membuka counter HP. Usaha tersebut dikatakan sangat bagus, mengingat sekarang ini HP sudah banyak digunakan oleh banyak orang. (Orang tua Robert bekerja sebagai wiraswasta, tetapi dia sendiri tidak tahu usaha apa yang ditekuni orang tuanya). Saya punya dua orang saudara laki-laki. Saya anak yang paling kecil. Saudara saya yang pertama setelah tamat SMA, langsung mencari kerja di Taiwan, dan sampai saat ini masih menetap di sana. Saudara saya yang nomor 2, setelah dia tamat SMA, memilih melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi. Selain dia kuliah, dia bekerja juga di took arloji di jalan Surabaya, Medan. Saya sendiri sebagai anak terakhir, saat ini masih sekolah kelas 10 SMA Swasta di perguruan Sultan Iskandar Muda, di Sunggal. Kalau tamat sekolah saya berniat membuka counter HP di Plaza Milenium, seperti abang sepupu saya yang sekarang ini tempat saya bekerja, selepas pulang dari sekolah saya bekerja disini (Plaza Milenium). Saya sekolah sambil bekerja di tempat saudara sepupu yang membuka counter HP di Plaza Milenium. Pulang dari sekolah saya bantu abang sepupu yang punya counter HP. Pengalaman kerja membantu abang sepupu di counter HP ini menjadi modal saya untuk menimba pengetahuan dan mengumpulkan uang dari gaji yang saya terima. Counter HP merupakan peluang bisnis yang cerah di masa kini dan akan datang. Sebab sekarang ini, HP sudah banyak digunakan oleh banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Karena pada saat ini kan, kota Medan sudah menjadi kota metropolitan, dan harus ikut globalisasi. Teknologi Informasi merupakan kebutuhan masyarakat Medan saat ini dan dimasa akan datang. Seandainya saya tamat sekolah saya ingin membuka counter HP sendiri di Plaza Milenium ini. Karena menurut saya pengunjung di Plaza Milenium sangat banyak, terutama pada hari Sabtu dan Minggu. Pendidikan apa yang ingin dilanjutkan oleh Robert ? Seandainya saya tamat sekolah, kuliah yang ingin saya ambil adalah psikologi. Studi psikologi di masa mendatang saya kira sangat bermanfaat. Karena saya lihat di jalan-jalan semakin banyak orang-orang yang terganggu jiwanya.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Selain psikologi saya juga senang pelajaran di bidang IPS terutama pelajaran ekonomi. Karena ilmu Ekonomi sangat bermanfaat untuk keahlian di bidang bisnis.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Rony (32 tahun), penjaga Vihara: “Dahulu di masa Orde Baru, ada yang mengancam dalam bentuk penindasan, penipuan, dan kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang freeman.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Sen-sen, lk, 26 tahun, Wiraswasta Jl.Kol.Yos sudarso Lingk.IA No.9A “Kaca polos punya arti, alat yang bisa menolak bala, mengusir penghalang rezeki, atau dapat juga menolak guna-guna (pelet) dari orang lain. Juga mampu untuk menolak bala” “Memilih atau membuat sebuah rumah harus sesuai dengan Feng Sui, misalnya, apabila rumah itu tepat berada di depan gang, atau jalan masuk pemukiman, atau terdapat tinga listerik di depan rumah, akan menghalangi rezeki yang masuk, maka kaca polos itu merupakan merupakan penangkalnya di letakan di depan pintu rumah, sehingga rezeki dapat masuk kembali ke rumah.” “ Membuat KTP sering kali merasa sulit.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Sesa, 22th, pr, mahasiswa Jl. Wahidin. Kamis, 21 Juni 2007, 15.45 WIB: usaha pa kira-kira yang memungkinkan dimasa yang akan datang? + saya belum tahu. apakah anda punya rencana lain untuk masa yang akan datang? + ya…, ada…. seperti apa? + saya berkeinginan setelah lulus kuliah nanti, saya menjadi pegawai di sebuah perusahaan. mengapa anda memilih bekerja sebagai pegawai perusahaan daripada membuka suatu usaha? + tujuan utama saya berkuliah untuk memperoleh ilmu sesuai dengan bidang yang saya tekuni, selain itu tujuan lainnya untuk menggunakan ilmu yang diperoleh di bidang perkantoran. Kalau maslah usaha mungkin kalau ada modalnya saya tertarik untuk mencoba…, tetapi tujuan utama saya bekerja terlebih dahulu. sekolah atau pendidikan apa kira-kira, yang pengetahuannya dapat bermanfaat dimasa akan datang? + kalau menurut saya pendidikan dibidang ilmu sistem informatika. apa yang mendasari anda untuk memilih pendidikan dibidang tersebut? + karena informatika adalah ilmu yang mencakup banyak hal, seperti belajar manajemen, ekonomi, komputer, bahasa. siapa yang mendorong anda untuk menekuni jurusan ini? + tidak ada yang memaksa saya untuk memilih jurusan ini, ini atas kemauan saya sendiri. Dimana kelak ilmu yang saya peroleh dapat bermanfaat. Karena sekarang zaman globalisasi, semua orang mengejar informasi. Siapa yang menguasai informasi, dialah menguasai kehidupan ini. apa pendidikan anda sekarang? + sedang kuliah di mikroskil, ambil jurusan sistem informasi. mengapa anda memilih kuliah di mikroskil, sedangkan saat ini sudah banyak fakultas yang berkompeten di Medan? + di mikroskil ini lokasinya dekat dengan rumah saya, jadi saya bisa lebih menghemat uang transportasi, selain itu, fasilitas yang ditawarkan cukup baik di situ.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Sudi (Wei Shi Bie), 88th, lk, Pengusaha batako, mantan veteran Jl. Madong Lubis, Medan +
+
Siapa yang giat berusaha tentu dia akan berhasil. Kalaupun tidak berhasil semua itu karena nasib. saya mengembangkan usaha dangan cara memperkuat dan memperluas jaringan saya untuk mencari modal, dan biasanya saya bergabung dalam suatu jaringan adalah kerabat dekat atau bisa orang yang bis dipercaya, baik orang pribumi atau kalangan birokrat. Kalau kita mau maju dalam usaha kita kita harus banyak bergaul agar dapat mengembangkan bisnis kita dan memperoleh modal untuk membuka usaha, kalau sudah ada modal dan pergaulan yang luas maka usaha apapun bisa kita lakukan. Kita harus giat dalam dalam bekerja dan berusaha juga dapat modal dalam mengembangkan bisnis dan harus tekun serta sabar saat merintis bisnis. Misalnya saya dulunya sebelum menjalankan usaha terlebih dahulu belajar dan bekerja dengan orang pribumi, kemudian setelah merasa mampu mencoba usaha sendiri. membuat batako saya lakukan sejak tahun 1954, dan usaha ini saya rintis setelah kemerdekaan. Keahlian ini saya peroleh dari seorang pengusaha pribumi, tempat saya bekerja dulu. Pada waktu itu kebanyakan orang tionghoa masih berada dibawah orang pribumi kondisinya. Mau tidak mau harus bekerja pada pengusaha pribumi.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Tang Asiuling, pr, 45 th, Jl. Gatot Subroto Gg. Bandung No.104 Medan. Pedagang. Yang bakal memungkinkan, saya rasa usaha dibidang kesehatan, seperti apotik, pijat refleksi, atau aroma terapi untuk menghilangkan stress/suntuk seseorang. Karena kehidupan sekarang menuntut kecepatan, keahlian, sehingga banyak yang terlupakan, seperti kesehatan, seperti lupa makan, karena menuntut kecepatan waktu tadi, banyak orang-orang mengkonsumsi makanan siap saji. Untuk itulah saya rasa usaha itu bakal sukses. Usaha ini dapat dimulai dari kapan saja tapi saya rasa dari dulu juga lebih baik. Hal ini disebabkan, kita akan mempunyai langganan yang tetap. Usaha kita sudah dipercaya orang dan banyak lagi lah, keuntungan lainnya, kalau kita buka usaha ini, saya rasa dimanapun dibuka tidak masalah asalkan daerah tersebut memang membutuhkan layanan itu. Sebut sajalah di derah perkotaan, karena merekalah subyek yang biasanya melupakan tentang kesehatan.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Sabtu, 16-06-2007/13.19 Tang Bace, lk, 41 th. KK, anggota keluarga 4 orang Jl.Sutomo Medan a. Menurut saya adalah usaha yang berada dibidang memproduksi makanan siap saji, khususnya bagi mereka yang hidup di perkotaan. Dengan catatan kita menciptakan makanan tersebut berkualitas tinggi, menuntut tinggi kesehatan dan jauh dari zat kimia dan juga harga terjangkau. Hal ini saya rasa akan sangat laku. Karena banyak dipasaran makanan siap saji, yang tidak menurut akan kesehatan untuk tubuh dan harganya pun banyak yang sangat mahal. Kalau usaha ini bisa dimulai kapan saja, tapi lebih baik dari dulu sudah dilakukan supaya masyarakat sudah bisa mengenal barang kita dan kualitasnya. Dalam usaha ini saya akan mempekerjakan keluarga saya dulu, seperti keponakan, sepupu dll. Jika usaha sudah membesar baru saya mempekerjakan orang lain sebagai karyawan. Dengan catatan tetap ada kela keluarga saya di lingkungan karyawan sebagai pengawasnya.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
+
+
Trisa Novia, 18 th, pr, mhs. Psikologi USU Jl. Warni 25 A Medan usaha yang memungkinakan dimasa akan datang adalah bisnis, karena menurut saya usaha bisnis tampaknya semakin lama semakin “meledak” (red: cerah). Untuk mewujudkan usaha bisnis ini memang dibutuhkan informasi. Maka kita perlu mencari informasi. Bisnis dan informasi erat kaitannya. Jika bisnis ingin maju, harus banyak memperoleh informasi. Berbagai informasi dapat dicari lewat buku-buku, pengalaman orang lain, dari vihara, mencoba meramal sebelum bertindak.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Vivilia, Pr, 18 th, Mhs Psikologi USU, Jl. Bukit Barisan II, Komp. Krakatau Mas No. 14 C Medan +
+
+
Usaha apa yang memungkinkan dimasa akan datang ? Usaha yang bergerak dibidang informasi, sebab semua orang tertarik dalam bidang informasi, seperti di Perguruan Tinggi maupun di bukubuku. Bidang informasi ini bisa banyak menghasilkan uang. Banyak orang yang berusaha mencari informasi, seperti membaca, bergaul, ataupun smart. apakah itu ada petunjuknya dalam budaya tionghoa? ada dalam budaya tionghoa, bukan hanya masyarakat tionghoa saja yang membutuhkan informasi, tetapi masyarakat lain dengan budaya tertentu juga membutuhkan informasi. sekolah/pendidikan seperti apa yang pengetahuannya bermanfaat untuk masa akan datang? pengetahuan tentang finansial dan planner (perencanaan keuangan). Pengetahuan semacam ini sangat bermanfaat untuk kehidupan di kota Medan.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Xiau Xian Chi (30 tahun) Ibu Rumah Tangga Simpang Kantor No.10 “ Pada masa pemerintahan Soeharto, masyarakat pribumi memecahkan kaca rumah, jika di depan rumah tidak ada tertuliskan kata: ‘pribumi’. Ketika terjadi kerusuhan, kami mensiasatinya dengan menggunakan ulos Batak dan berdiri di depan pintu biar kelihatan oleh para perusuh dan agar mereka menyangka bahwa, kami adalah orang pribumi juga. Namun mereka tetap memaksa untuk masuk kerumah, di dalam rumah mereka membongkar seluruh isi rumah, mengambilnya, ada yang membuangnya, dan ada juga yang membakar patung-patung Dewa dan Dewi kami.” “Susah mengurus: b KTP, b Tanda bukti nikah. b Akte kalahiran anak.” “Namun pemerintah sering kali memberikan kemudahan-kemudahan kepada kami untuk melakukan usaha dalam perdagangan.”
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Yenti, 42 thn, pr, Jl.Aksara Baru No.268/269 Medan Usaha apa kira-kira yang memungkinkan di masa akan datang: Menurut saya sulit diramalkan saat ini melihat kondisi kita saat ini. Mungkin 2 atau 3 tahun ke depan kita bias melihat situasinya gimana. Kalau udah mantap bangsa kita maka mudah-mudahan semua usaha akan berjalan dengan baik. Kalau nggak nanti susahlah sekarang ini, nggak bias dibayangkan. Sekarang ini saja sudah susah, belum tau nanti gimana ke depan. Jadi kami hanya berusaha seperti ini saja dengan modal seadanya. Bukan hanya disini saja yang terasa sepi, tapi dimana-mana bias merasakan ini. Lain lagi biaya anak-anak nanti, yang sekolah sepertinya orang tua pada susah banting tulang mencari nafkah. Saya begitu sedih melihat kondisi bangsa kita ini, selain musibah dimana-mana seperti gempa di Aceh, Nias, Yogyakarta, dan lain-lain semuanya itu membuat usaha kita lemah jadi perekonomian kita lemah. Kalau kami orang Tionghoa pertama kali dulu sejarahnya merantau selalu berpegang teguh pada nilai-nilai budaya seperti kemandirian, kerja keras, dan kesabaran dalam segala hal adalah prioritas. Nenek moyang dari Tiongkok dulu datang ke Indonesia dulu sudah berkeluarga di sana. Kemudian menikah disini lagi. Kemudian punya keturunan dan membuka usaha disini. Sampailah pada generasi saat ini. Jadi untuk meramalkan usaha kedepan yang lebih dominant dan banyak mendatangkan hasil saya rasa sulit diramalkan untuk saat ini, hanya saja kita harus berusaha semaksimal mungkin. Kalau seperti saya paling hanya bisa berusaha seperti ini saja (jual mie pansit) dan kalau bisa nanti buka usaha ditempat lain di luar kompleks ini bila disepakati keluarga. Karena mengingat anak masih kecil dan susah untuk berbuat yang lain, jadi harus kerjasama dengan bapak sebagai pengelola usaha ini. Dalam budaya Tionghoa apakah ada petunjuknya ? Dalam berusaha memang ada, tapi kita nggak yakin penuh. Sebagai orangtua dari dulunya membimbing anak-anaknya su[paya bias berusaha, misalnya: bila anak-anaknya dari kecil ikut berusaha dengan orangtuanya, maka dari kevcil akan dididik dibimbing supaya bias memiliki jiwa usaha dan bagaimana caranya mengelola, supaya meningkat terus usaha itu. Ada sebagain yang pakai petunjuk seperti ramalan, tapi ada juga sebagian yang tidak. Apa lagi yang namanya orang Tionghoa. Bagi orang Tionghoa yang sudah masuk agama Kristen, budaya seperti ini dihilangkan. Kalau orang Tionghoa yang Katholik masih ada yang percaya dengan kebiasaan-kebiasaan atau kepercayaan seperti itu, karena masih ada toleransi dari uskup, petinggi Khatolik, masih bias melakukan sesembahan dengan menggunakan hio
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
khusus untuk menghormati leluhur, jadi dibolehkan karena tidak bias dihilangkan. Kecuali pergi ke vihara, agama Khatolik tidak membenarkan, karena sudah menduakan agama. Agama Kristen seperti GBI (Gereja Bethani Indonesia), cepat berkembang karena sehari-hari harus mendalami al-kitab. Sedangkan kalau Khatolik, hanya sebagai kewajiban saja, kapan ada waktu baru membaca al-kitab. Jadi dalam budaya Tionghoa, kalau nanti ada hari-hari baik, kita harus berkumpul sama keluarga, terutama pada hari Imlek. Kalau kesalahan saling berma’afan, kalau ada masalah, dirembukkan bersama. Kalau dia (salah satu diantara anggota keluarga anggota keluarga), lagi nggak ada modal, jadi disanalah saling membantu dalam satu keluarga. Hio itu berupa sesembahan kepada arwah keluarga (yang sudah meninggal), untuk bermohon kepada Tuhan, agar dilapangakan rezeki, diberikan kesehatan, dan berguna untuk usaha. Seperti kalau kita bermohon kepada Tuhan. Jadi kalau orang Tionghoa pada tanggal 1 dan tanggal 15, maka disanalah kami harus ke vihara untuk bermohon kepada arwah. Kemudian ada sedikit ramalan yang berkaitan dengan shio. Juga digunakan dalam meramal usaha. Shio ini dilambangkan dalam jenis-jenis binatang atau hewan yang bias diartikan sesuai dengan kepribadian dan keselamatan hidup seseorang dalam menjalani hiudpnya. Shio ini selain dapat menentukan suatu usaha juga dapat menentukan tentang perjodohan dalam berkeluarga, kesehatan, dan nasib seseorang yang semuanya berkaitan, dan ini sering digunakan dengan mencocokkan shionya, terutama anak-anak muda dalam menentukan perjodohan mereka. Dalam kaitannya dengan usaha juga sesuai dengan tanggal kelahiran kita yang sesuai dengan shionya, jadi biasanya yang meramalkan ini adalah seorang suhu (juru peramal). Suhu ini biasanya adalah orang yang pandai dan tidak sembarangan dan benar-benar mengerti dengan hal ini. Jadi kita mengetahui semuanya itu. Nanti apabila kita mendatangi suhu tersebut dengan maksud yang baik. Dari sanalah kita bias mendapatkan informasi sebenarnya, apa yang kita inginkan. Suhu ini biasanya seperti tabib, biasanya juga bias menyembuhkan namun dia masih seperti bercirikan seperti manusia biasa. Bagaimana keberadaan usaha yang sedang dilakukan saat ini ? Usaha saya sekarang ini, saya sama bapak (suami) Cuma jualan mie pansit ini aja. Bapak membantu ibu dalam mengelola usaha ini. Dulu saya tertarik dengan usaha ini karena saya pelajari dari orang tua saya dulu di Jakarta. Kemudian saya merantau kemari dan membuka usaha ini sudah setahun kami pindah dari Jakarta. Kemudian juga sebetulnya bapak pengen masuk STM (Sekolah Teknik Mesin), tetapi karena orang tuanya meninggal jadi bapak berusaha sendiri dan membuka usaha seperti ini juga waktu di Jakarta, tetapi
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
dengan menjadi anak buah atau karyawan disana. Kemudian merantau kemari dengan saya dan kami berdua membuka usaha seperti ini lagi. Kalau bisa anak kita jangan ikutlah nanti, cukuplah orang tuanya saja yang berusaha seperti ini. Kalau bias nanti anak kita kerja yang lain dengan modal kecil-kecilan, bisa kerja, walaupun nanti kita nggak ada. Tapi itu terserah dialah yang mau berusaha sendiri. Saat ini keharusan untuk beriwirausaha nggak dipaksakan lagi pada anakanak, terserah kemampuannya aja nanti. Entah dia cuma bisanya menjahit baju, atau apa terserah kemampuan dialah. Apalagi anak kita cewek, kebanyakan sulit, jadi paling-paling nanti ikut suamilah. Paling kalau nanti sicewek punya modal banyak, yang jalankan usahanya adalah suaminya, hanya saja sekarang kami berusaha membeklai dia Ilmu sebagai peninggalan kami baginya. Dulu modal usaha kami ini adalah modal sendiri. Kami tidak memakai karyawan, hanya kami berdua yang mengelolanya. Tetapi kami memiliki pembantu di rumah yang nyuci kain (pakaian), ngurus rumah dan anak-anak selama ini. Kalau untuk usaha kami yang jalankan berdua. Kami cukup berusaha di rumah ini saja karena rumah ini berbentuk ruko (rumah took) jadi di bawah ini kami bias buka usaha dan tidak ada keinginan untuk mencari tempat lain untuk berusaha. Karena sudah biasa dari dulu disini dan yang menjadi langganan kita adalah orang-orang Tionghoa yang ada di kompleks kita ini, mayoritas orang Tionghoa. Hasilnya lumayan menghidupi keluarga dan anak-anak selain bantuan dari pihak mertua juga yang sering memberikan bantuan bila ada masalah keluarga, semuanya bisa diatasi dengan baik. Apa yang menjadi penghalang usaha saat ini ? Ada. Sekarang ini orang sepi dan bahan-bahan pokok semakin naik. Kalau jualan kita juga dinaikan harganya, nanti langganan pada lari. Apa lagi dagangan kita ini, berada dalam kompleks perumahan, jadi agak sulit dijangkau orang. Jadi kita pandai ajalah, entah bagaimana caranya. Salah satu caranya dengan mengurangi takaran pembuatannya agar lebih irit dan untung. Selain itu, usaha yang dilakukan dengan membuat iklan yang bagus. Lumayan bias menambah hasil yang cukup memuaskan. Dari dulu harga yang kami buat tidak jauh beda dengan yang sekarang kalau dulu semangkok harganya Rp.4.000,-, sekarang cukup Rp.5.000,- aja kami naikkan, karena persaingan harga dengan di tempat yang lain sampai Rp.6.000,- s/d Rp.7.000,- per mangkok. Kalau kita tidak usah dinaikkan, tapi dengan sedikit dikurangi bahannya, namun mutunya tetap sama.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Dimana-mana saat ini sangat susah. Mengingat harga-harga yang relative mahal saat ini. Kalau dulu kita belanja dengan uang Rp.100.000,- sudah cukup untuk senang-senang di rumah, tetapi saat ini tidak ada artinya sama sekali. Semua serba naik jadi kami tidak tahu harus bagaimana mengatasi hal ini. Kami hanya menerima keadaan seperti ini dengan berusaha lebih baik. Pendidikan atau sekolah di bidang apa kira-kira yang bermanfaat dimasa akan datang ? Menurut saya mungkin pendidikan komputer akan lebih bermanfaat. Karena mengingat kondisi kita saat ini saja sudah serba canggih. Apalagi dengan teknologi yang serba computer pada saat ini. Mungkin menurut saya sangat cocok kedepan dan bermanfaat untuk diketahui anak-anak sekarang ini. Disamping dunia kerja juga, juga usaha, membutuhkan computer saat ini. Kalau anak saya nanti terserah dia mau milih apa, kami tidak memaksakannya harus ikut orang tuanya dan menentukan pilihannya sendiri.mau sekolah apa. Karena anak-anak tidak bias dipaksakan orang tuanya demi masa depannya nanti. Apakah dia mau milih akuntansi, atau yang lainnya. Tapi saya lihat dia hobby main internet dengan kakak-kakak sepupunya. Nggak tahu apa nanti dia memiliki bakat dibidang ini ? namun kami selalu berusaha membimbing dia lebih baik. Selain pengetahuan dari sekolah, kami juga berusaha memberikan dia ilmu yang lain dan juga memperdalamnya dengan memasukkan dia ke les bahasa Inggeris dan Hokkian agar lebih mahir. Untuk saat ini, karena dia masih kelas 4 SD, jadi kami belum jelas kemana bakatnya yang dimilikinya nanti.Tapi terserah dia pula nanti mamu yang mana dipilihnya. Jadi kami menekankan kemandirian bagi dirinya. Bagaimana suapaya dia bias berusaha sendiri dengan modal ilmu yang ada tadi, yang sesuai dengan bakatnya. Jadi kami hanya mengarahkan apa yang menjadi kemauannya. Sekolah/pendidikan apa anak informan sekarang ? Anak saya hanya satu orang, perempuan, kelas 4 SD. Kami sekolahkan supaya memiliki ilmu siap untuk bekerja dan bisa memimpin keluarganya dan memiliki modal untuk usaha. Jadi kalau mereka nggak sekolah, jadi nggak ada arti dalam hidupnya. Taulah anak sekarang anak-anak sekarang, kadang orang tuanya mampu anak-anaknya nggak mau sekolah, atau entah dimana mau dibuat. Sebaliknya, orang tuanya nggak mampu membiayai anakanaknya ingin sekolah. Bagaimanapun semua orang tua berusaha mencari duit untuk anak-anaknya. Maka banyak yang nggak tahu bahwa mereka disekolahkann untuk hdiup mereka. Bagi kami untuk anak-anak nggak ada dikasih harta, selain ilmu bagi mereka. Anak saya sekolah di SD Budi Murni kelas 4, dulu waktu TK anak saya di Methodist, alasannya pendidikannya bagus, diajari kesopanan. Tapi karena sekolah Methodist, sekolahnya siang
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
pada waktu kelas 3, kami nggak mau. Kami mau sekolahnya pagi aja, karena pikirannya fresh, kebetulan sekolah di sekolah Budi Murni itu seagama pula dengan kita, dan juga pendidikannya sama seperti di Methodist, mengutamakan kedisiplinan dan kesopanan dalam bertingkah laku. Jadi kami puas menyekolahkan dia disana. Bedakan dengan sekolah-sekolah lain saat ini yang boleh dibilang asal ada saja. Makanya kami tertarik menyekolahkan dia kesana. Memang sekarang Budi Murni agak kurang peminatnya. Sekarang ini perguruan Sutomo lebih bagus, karena disana selain ada pelajaran bahasa Inggeris, bahasa Hokkian, yang juga menjadi bahasa dalam sehari-hari di sekolah. Tapi sekolah di Budi Murni pun nggak masalah, sekarang pendidikannya sama dengan di Sutomo. Dulu anak saya sudah didaftar ke Sutomo, tapi karena dia minder dengan kawan-kawannya yang lain yang lancar berbahasa Hokkian, jadi kami kasihan. Ke SD Budi Murnilah akhirnya. Sekarang prestasinya lumayan bagus, bias mengikuti pelajarannya dengan baik.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Yusuf (A Long), 26 th, lk Usahawan counter HP di Plaza Milenium Pd. Brarang No.12 B, Binjai Kota
Sudah setahun aku buka counter HP, hasilnya tetap lancar, tidak ada hambatan apapun. Sebelum saya buka counter HP saya bertani. Bertani hasilnya kurang memuaskan untuk kehidupan keluarga. Jadi aku coba jual HP di Milenium Plaza ini, ternyata lebih memiliki prospek ke depan. Pendidikan yang berguna untuk kehidupan dimasa datang ? Pengetahuan yang sangat bermanfaat di masa datang adalah bidang teknologi komputerlah, ini kan era globalisasi, dunia komputer sangat dibutuhkan. Kita harus dapat mengoperasikan, mengikuti dan mengerti kemajuan dunia komputer supaya tidak ketinggalan.
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.
Kamis, 14-06-2007/16.31 Ziko, lk, 19 th, 4 orang anggota keluarga Mahasiswa Jl.. Starban, Gang Bengkok No 45 Medan a. Usaha yang bakal memungkinkan di masa yang akan datang adalah melakukan ivestasi uang. Karena akan lebih mudah memperoleh uang kembali dengan jumlah yang lebih banyak. Untuk melakukan usaha investasi ini dapat dilakukan dari sekarang dengan jumlah modal yang memungkinkan. Tempat melakukan investasi yang aman yaitu di perbankan melalui deposito. Mungkin orangorangnya cukup saya sendiri yang melakukannya yaitu dengan membeli suratsurat berharga seperti tanah. Dalam hal ini tidak ada petunjuknya dalam budaya Tionghoa. b. Keadaan usaha saat ini cukup lumayan bagus karena perekonomian sudah mulai baik. c. Hambatan usaha adalah adanya kekurangan modal. Peluangnya kita dapat pinjam modal bank. d. Sekolah/pendidikan yang bermanfaat adalah pendidikan mengenai bisnis, karena pendidikan itu dapat memperbaiki perekonomian sekarang
Agustrisno : Respons Kultural dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan di Kota Medan. USU e-Repository © 2008.