RESIDU IMIDACLOPRID PADA TAPAK BANGUNAN GEDUNG YANG MENDAPAT PERLAKUAN PENGENDALIAN RAYAP DI PROVINSI DKI JAKARTA
HUSNUL KHOTIMAH
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Residu Imidacloprid pada Tapak Bangunan Gedung yang Mendapat Perlakuan Pengendalian Rayap di Provinsi DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Husnul Khotimah NIM E24110079
ABSTRAK HUSNUL KHOTIMAH. Residu Imidacloprid pada Tapak Bangunan Gedung yang Mendapat Perlakuan Pengendalian Rayap di Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh DODI NANDIKA. Imidacloprid adalah salah satu termitisida yang saat ini banyak digunakan dalam perlakuan pengendalian rayap terhadap tanah di Indonesia. Namun, sampai saat ini belum ada standar kadar residu termitisida pada tanah yang telah mendapat perlakuan pengendalian rayap. Penelitian bertujuan untuk menentukan kadar residu imidacloprid yang dilakukan pada tapak bangunan gedung di tiga lokasi yaitu Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan. Contoh tanah diambil dari kedalaman 0-10 cm (Horizon A) satu minggu dan satu bulan setelah aplikasi, kemudian dianalisis menggunakan Gas Chromatography (Varian 450). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar residu imidacloprid di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan satu minggu setelah aplikasi masing-masing mencapai 4.068±0.882 ppm, 7.209±3.894 ppm, dan 15.137±6.160 ppm. Sementara itu, residu imidacloprid satu bulan setelah aplikasi di tiga lokasi masing-masing menurun menjadi 1.227±0.900 ppm, 4.390±1.977 ppm, dan 9.341±5.270 ppm. Selama periode satu minggu sampai satu bulan setelah aplikasi, degradasi imidacloprid terendah terjadi di Jakarta Selatan (38.29%), disusul di Jakarta Utara (39.11%), dan di Jakarta Timur (69.85%). Kata kunci: imidacloprid, pengendalian rayap, perlakuan tanah, residu, termitisida
ABSTRACT HUSNUL KHOTIMAH. Imidacloprid Residue In Building Sites After Termite Control Application in Jakarta Province. Supervised by DODI NANDIKA. Imidacloprid is one of termiticide that is currently widely used in termite control practices in Indonesia. However, until now there is no standard residue of the compound in the treated building site. The study was conducted to determine imidacloprid residue in treated soil under simulated building floor at three locations East Jakarta, North Jakarta, and South Jakarta. Soil samples were collected from 0-10 cm depth (Horizon A) one week and one month after termiticide application. The soil samples then analyzed using Gas Chromatography (Varian 450). The results showed that imidacloprid residue in East Jakarta, North Jakarta, and South Jakarta one week after aplication was reached 4.068±0.882 ppm, 7.209±3.894 ppm, and 15.137±6.160 ppm respectively. Meanwhile, the levels of residue one month after application in these three locations decrease to be 1.227±0.900 ppm, 4.390±1.977 ppm, and 9.341±5.270 ppm respectively. During a period of one week to one month after application, the lowest imidacloprid degradation was detected in South Jakarta (38.29%), followed by North Jakarta (39.11%), and in East Jakarta (69.85%). Keywords: imidacloprid, residue, soil treatment, termite control, termiticide
RESIDU IMIDACLOPRID PADA TAPAK BANGUNAN GEDUNG YANG MENDAPAT PERLAKUAN PENGENDALIAN RAYAP DI PROVINSI DKI JAKARTA
HUSNUL KHOTIMAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2015 ini ialah residu termitisida, dengan judul Residu Imidacloprid pada Tapak Bangunan Gedung yang Mendapat Perlakuan Pengendalian Rayap di Provinsi DKI Jakarta. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Dodi Nandika, MS selaku pembimbing dan Bapak Irsan Alipraja, MS yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Asep Nugraha Ardiwinata dan staf dari Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Kementerian Pertanian yang telah membantu operasional Gas Chromatography, serta Bapak Satimo, Direktur Utama PT. Larosa yang telah membantu proses aplikasi di lapangan. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah (almarhum), ibu, kakak, seluruh keluarga, sahabat, dan teman-teman atas segala doa, perhatian, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015 Husnul Khotimah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
METODE
3
Bahan
3
Alat
3
Prosedur Penelitian
4
HASIL DAN PEMBAHASAN SIMPULAN DAN SARAN
8 13
Simpulan
13
Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
13
LAMPIRAN
16
RIWAYAT HIDUP
29
DAFTAR TABEL 1 Karakteristik fisik dan kimia tanah di tiga lokasi percobaan 2 Suhu udara rata-rata dan curah hujan bulanan di tiga lokasi percobaan
9 11
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Penampang melintang (a) dan penampang vertikal (b) satuan percobaan Satuan percobaan yang telah mendapat injeksi termitisida Larutan ekstrak imidacloprid yang telah siap dianalisis kadar residunya Kadar residu imidacloprid di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan satu minggu dan satu bulan setelah aplikasi
4 5 6 8
DAFTAR LAMPIRAN 1 Sebaran lokasi pemasangan satuan percobaan di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan 2 Kromatogram residu imidacloprid pada tanah satu minggu setelah aplikasi termitisida 3 Kromatogram residu imidacloprid pada tanah satu bulan setelah aplikasi termitisida 4 Uji beda kadar residu imidacloprid pada tanah satu minggu setelah aplikasi termitisida 5 Uji beda kadar residu imidacloprid pada tanah satu bulan setelah aplikasi termitisida 6 Uji beda kadar residu imidacloprid pada tanah satu minggu dan satu bulan setelah aplikasi termitisida
16 17 20 23 25 27
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Rayap merupakan serangga kecil pemakan kayu dan hidup berkoloni yang keberadaannya sangat penting di alam karena dapat menghancurkan kayu dan mengembalikan nutrien tanah. Rayap akan menjadi masalah hanya ketika menyerang rumah dan bangunan kita (Su et al. 2007). Sebanyak 2700 spesies rayap yang diketahui di dunia, 80 spesies di antaranya telah diketahui sebagai hama (Lee dan Chung 2003) dan rayap tanah berjumlah sebanyak 38 spesies, dengan genus Coptotermes yang terdiri dari sejumlah besar spesies Macrotermes, Reticulitermes, dan Odontotermes (Rust dan Su 2012). Rayap tanah, Coptotermes spp., adalah hama yang sangat penting dalam menyebabkan kerugian secara ekonomis di negara-negara Asia (tropis dan subtropis) (Kuswanto et al. 2015) dan dapat menyebabkan masalah di bidang pertanian, kehutanan, dan perumahan (Qasim et al. 2013). Koloni rayap tanah dapat menyebabkan kerugian sebanyak ratusan juta atau bahkan milyaran dolar setiap tahunnya (Kuswanto et al. 2015). Jenis serangga ini diketahui telah menyebabkan banyak kerusakan dan kerugian ekonomis yang sangat besar di berbagai negara terutama Indonesia. Kerugian secara global yang disebabkan oleh rayap diperkirakan sebesar US$ 22 milyar sampai US$ 40 milyar di seluruh dunia (Su 2002; Rust dan Su 2012) dan di Asia tenggara sendiri diperkirakan sekitar US$ 400 juta per tahun (Lee 2007). Rakhmawati (1995) menyatakan bahwa kerugian ekonomis akibat serangan rayap pada bangunan perumahan di Indonesia pada tahun 2005 diperkirakan mencapai Rp 1.67 triliyun. Lee (2002) dalam Qasim et al. (2013) juga melaporkan bahwa 50% pendapatan industri pengendali hama di Malaysia berasal dari pengendalian rayap tanah, yaitu sebesar US$ 8-10 juta. Lebih lanjut, Rust dan Su (2012) melaporkan bahwa rayap tanah menyebabkan kerugian ekonomis yang diperkirakan sebesar 32 milyar dolar pada tahun 2012 di seluruh dunia untuk pengendalian dan perbaikan akibat serangan rayap. Rayap tanah menyerang sebesar 90% dari total kerugian ekonomis dan sekitar 70% berasal dari kerusakan bangunan. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Nandika dan Tambunan (1987) yang mengemukakan bahwa dari sekian banyak jenis rayap, ternyata yang paling banyak menimbulkan kerusakan adalah golongan rayap tanah (subterranean termites), yaitu anggota dari famili Rhinotermitidae serta sebagian anggota famili Termitidae. Rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren memiliki daya jelajah yang luas dengan wilayah jelajah 480 m2, jarak jelajah maksimum 51 m, dan ukuran populasi 1 685 295±149 105 ekor (Nandika dan Rismayadi 1999). Selain itu, Kalshoven (1981) juga menyatakan bahwa Coptotermes termasuk jenis rayap yang dapat menyesuaikan diri dengan cepat terhadap keadaan yang berbeda dengan habitat sebelumnya. Nandika et al. (2003) juga menegaskan bahwa kondisi iklim dan tanah termasuk banyaknya ragam jenis tumbuhan di Indonesia sangat mendukung kehidupan rayap. Oleh karena itu, lebih dari 80% daratan Indonesia merupakan habitat yang baik bagi kehidupan berbagai jenis serangga ini. Sejumlah pengendalian rayap digunakan untuk mencegah serangan rayap pada bangunan baik secara fisik, kimia, dan biologi. Secara umum metode
2 pengendalian rayap yang dapat diterapkan selama bertahun-tahun adalah menggunakan pestisida kimiawi (Kuswanto et al. 2015). Salah satu metode pengendalian rayap tanah pada bangunan gedung yang saat ini banyak dilakukan di Indonesia adalah perlakuan tanah (soil treatment). Nandika dan Tambunan (1987) mendefinisikan perlakuan tanah adalah proses peracunan tanah di sekitar pondasi bangunan gedung dengan menggunakan termitisida untuk melindungi bangunan tersebut dari serangan rayap tanah. Dengan cara ini, maka suatu penghalang kimiawi (chemical barrier) akan terbentuk di sekeliling pondasi bangunan yang akan menghalangi naiknya rayap ke dalam bangunan. Metode ini dapat diterapkan pada tapak bangunan yang akan dibangun (perlakuan tanah pra konstruksi) maupun pada bangunan gedung yang telah berdiri (perlakuan tanah pasca konstruksi). Secara teknis, aplikasi perlakuan tanah pra konstruksi mengacu pada SNI-03-2404-2000, sedangkan perlakuan tanah pasca konstruksi mengacu pada SNI-03-2405-2000. Senyawa termitisida yang saat ini banyak digunakan dalam perlakuan pengendalian rayap terhadap tanah maupun bangunan struktural di Indonesia adalah yang berbahan aktif imidacloprid. Imidacloprid adalah insektisida sistemik yang paling banyak digunakan di dunia (Bonmatin et al. 2003), memiliki persistensi yang sedang (Broznic et al. 2011), bersifat non-repellent dan bereaksi lambat (Potter dan Hillery 2003), memiliki kemampuan “transfer effect” (Hafiz dan Ahmad 2006), dan nilai efikasi yang tinggi untuk membunuh serangga, namun relatif cukup aman dengan toksisitas yang rendah terhadap mamalia (Mullins 1993). Tomlin (2006) dalam NPIC (2010) menyebutkan bahwa imidacloprid termasuk dalam golongan kimia neonicotinoids atau chloronicotinyl nitroguanidine menurut International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) bernama 1-(6-chloro-3-pyridylmethyl)-N-nitroimidazolidin-2ylideneamine yang memiliki bobot molekul sebesar 255.7 g mol-1, dan memiliki LD50 oral sebesar 450 mg kg-1 dan dermal >5.000 mg kg-1. Kelompok senyawa neonicotinoids memiliki insektisiditas yang tinggi dan toksisitas yang rendah terhadap lingkungan (Maienfisch et al. 2001). Sasaran kinerja imidacloprid adalah sebagai inhibitor kompetitif pada reseptor nikotinik asetilkolin yang berada pada sistem saraf pusat serangga (Wang et al. 2008). Menurut US EPA (1998) imidacloprid digolongkan ke dalam kelas toksik pertisida golongan II dan III (pada skala I-IV, kelas I adalah yang paling toksik). Walaupun senyawa tersebut banyak digunakan di Indonesia, namun sampai saat ini belum ada standar kadar residu termitisida pada tanah yang telah mendapat perlakuan pengendalian rayap. Akibatnya tidak ada tolok ukur bagi masyarakat dalam penilaian kualitas pekerjaan pengendalian rayap. Selain itu, dengan tidak adanya standar tersebut maka kurang mendukung pengembangan teknologi terhadap perlakuan tanah di Indonesia.
Perumusan Masalah Imidacloprid merupakan salah satu bahan aktif yang saat ini paling banyak digunakan dalam perlakuan pengendalian rayap di Indonesia. Akan tetapi, pengukuran kualitas kinerja soil treatment dengan bahan aktif tersebut belum pernah dilaporkan secara ilmiah, terutama menyangkut kadar residu dalam tanah
3 setelah dilakukan aplikasi. Padahal hal tersebut menjadi sangat penting untuk dapat melindungi konsumen dan memberikan masukan kepada pihak aplikator atau perusahaan pengendalian rayap untuk meningkatkan kinerjanya. Dengan demikian, belum terdapat tolok ukur yang baik bagi masyarakat untuk mengetahui kadar residu tersebut, sehingga masyarakat yang telah melakukan pengendalian rayap dengan perlakuan terhadap tanah belum terjamin. Di samping itu, sangat disadari bahwa kadar residu senyawa tersebut dalam tanah sangat bergantung pada banyak faktor, seperti kandungan C-organik dan tekstur tanah, serta suhu udara dan curah hujan juga turut berpengaruh dalam proses degradasi termitisida.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kadar residu imidacloprid dalam tanah pada tapak bangunan gedung yang telah mendapat perlakuan pengendalian rayap soil treatment satu minggu dan satu bulan setelah aplikasi.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam rancangan standar residu dan pengembangan teknik pengendalian kualitas hasil pekerjaan perlakuan tanah dengan termitisida berbahan aktif imidacloprid.
Ruang Lingkup Penelitian Kegiatan utama penelitian ini adalah analisis residu imidacloprid pada contoh tanah yang diambil di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan satu minggu dan satu bulan setelah aplikasi. Di samping itu, dilakukan pula analisis karakteristik kimia dan fisik tanah, serta pengambilan data suhu udara dan curah hujan di tiga lokasi.
METODE Bahan Bahan yang diigunakan dalam penelitian ini adalah termitisida berbahan aktif imidacloprid, air destilata, contoh tanah, larutan standar imidacloprid, aseton, MgSO4 anhidrat, dan NaCl.
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satuan percobaan tapak bangunan (mortel), injektor termitisida, ring sample, Gas Chromatography (Varian 450) dengan kolom kapiler VF 1701 pesticide (30 m 0.32 mm 0.25
4 m) untuk menganalisis senyawa imidacloprid, aluminium foil, plastik resealable, mortar, saringan 50 mesh, timbangan, oven, tabung reaksi, corong, kertas saring, shaker, dan pipet.
Prosedur Penelitian Pembangunan Satuan Percobaan Tapak bangunan gedung disimulasikan dengan menggunakan satuan percobaan berdasarkan standar konstruksi beton K 150 berupa lantai mortel yang terbuat dari campuran semen, pasir, dan kerikil dengan perbandingan 1:3:5 dan berbentuk kubus berukuran 52 (p) x 52 (l) x 6 (t) cm seperti pada Gambar 1. Pada bagian tengah lantai mortel tersebut dibuat lubang vertikal yang dimasukkan pipa PVC berdiameter 10 cm. Tiga satuan percobaan diletakkan pada permukaan tanah di masing-masing lokasi penelitian. 52 cm Lantai mortel Pipa PVC (Ø10 cm) 52 cm
Lubang injeksi termitisida
(a)
Lubang injeksi Pipa PVC Lantai mortel Permukaan tanah
3 cm 6 cm
3 cm
. . .. . .. . . . . . . .. . . . .. . . .
.. . . . .. . . .
.. ... . . . . .. . .. . ... . . . . . . . . . .. . .. . .. . . . . . . . .. . . . (b)
Gambar 1
Penampang melintang (a) dan penampang vertikal (b) satuan percobaan
5 Pembuatan Larutan Termitisida Termitisida berbahan aktif imidacloprid berformulasi 200 SL diemulsikan dalam air destilata dengan konsentrasi formulasi 0.25% (2.5 ml L-1 air) setara dengan 0.05% bahan aktif. Aplikasi Termitisida Larutan termitisida diinjeksikan ke dalam lubang aplikasi pada tiga satuan percobaan di setiap lokasi dengan dosis aplikasi berdasarkan SNI-03-2405-2000 dan dosis rekomendasi label kemasan yaitu 2 liter/lubang. Aplikasi termitisida dilakukan dengan alat injektor dengan spesifikasi tekanan injeksi sebesar 10-30 psi, jumlah lubang pada nozzle empat lubang, dan kapasitas tangki sebanyak 10 L. Setelah penginjeksian selesai, seluruh lubang aplikasi ditutup dengan penutup pipa PVC (Gambar 2).
Gambar 2 Satuan percobaan yang telah mendapat injeksi termitisida Pengambilan Contoh Tanah a. Contoh tanah untuk analisis karakteristik tanah Contoh tanah sebelum mendapat aplikasi termitisida diambil dari tiga lokasi masing-masing sebanyak ±500 g untuk dianalisis karakteristik kimia tanahnya, sedangkan untuk menganalisis karakteristik fisik tanah dilakukan dengan menggunakan ring sample berdiameter 8.2 cm pada kedalaman 0-10 cm. b. Contoh tanah untuk analisis residu termitisida Satu minggu dan satu bulan setelah aplikasi termitisida pada satuan percobaan dari masing-masing lubang aplikasi diambil sebanyak ±50 g contoh tanah pada kedalaman 0-10 cm (Horizon A) dari permukaan tanah. Contoh
6 tanah dari masing-masing lubang aplikasi dibungkus rapat dengan menggunakan aluminium foil, kemudian dimasukan ke dalam plastik resealable secara terpisah. Contoh tanah tersebut kemudian dibawa ke Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Kementerian Pertanian, untuk dianalisis. Recovery Test dan Ekstraksi Termitisida Sebelum dilakukan ekstraksi contoh tanah, terlebih dahulu dilakukan recovery test yang bertujuan untuk menjamin kesesuaian metode yang akan digunakan dalam proses ekstraksi contoh tanah.1 Metode yang dilakukan adalah metode QuEChERS (Quick, Easy, Cheap, Effective, Rugged, and Safe) yang disesuaikan dengan kondisi alat di Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Kementerian Pertanian, yaitu dengan mengekstrak sebanyak 10 g contoh tanah yang telah homogen dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berukuran 100 ml. Selanjutnya, sebanyak 20 ml aseton ditambahkan dan campuran dikocok dengan menggunakan shaker selama 1 menit. Sebanyak 4 g magnesium sulfat (MgSO4) anhidrat dan 1 g sodium klorida (NaCl) ditambahkan dan campuran dikocok kembali selama 2 menit. Kemudian, campuran diamkan sekitar 15 menit agar mengendap. Setelah mengendap, supernatan dipindahkan dengan pipet dan disaring menggunakan kertas saring yang mengandung MgSO4 anhidrat sebanyak 1 g. Setelah itu, ekstrak siap untuk dianalisis menggunakan Gas Chromatography (GC) seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 Larutan ekstrak imidacloprid yang telah siap dianalisis kadar residunya Analisis Residu Imidacloprid Sebanyak 2 l larutan ekstrak diinjeksikan kedalam Gas Chromatography (GC) varian 450 dengan gas pembawa nitrogen (N2) yang memiliki kecepatan alir 28 ml/menit dan menggunakan kolom kapiler VF 1701 pesticide (30 m 0.32 mm 1
Persentase contoh tanah di tiga lokasi pada recovery test adalah (102.3±22.5)% menunjukkan bahwa metode yang digunakan telah sesuai
7 0.25 m) serta dilengkapi dengan Electron Capture Detector (ECD). Suhu oven, injektor, dan detektor masing-masing sebesar 150 ºC, 250 ºC, dan 300 ºC. Saat kondisi tersebut, kromatogram yang memuat waktu retensi (TR) dan area dari senyawa imidacloprid akan diketahui dan direkam oleh komputer. Analisis Karakteristik Tanah Contoh tanah dari ketiga lokasi dibawa ke Laboratorium Kesuburan Tanah dan Laboratorium Konservasi Tanah dan Air, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB, untuk dianalisis karakteristik fisik dan kimia tanahnya yang meliputi pH, kandungan C-organik, kadar air, dan tekstur. Pengambilan Data Suhu Udara dan Curah Hujan Data suhu udara dan curah hujan pada bulan April hingga Mei 2015 di tiga lokasi diperoleh dari Stasiun Klimatologi Pondok Betung-Tangerang, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, dan Stasiun Meteorologi Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Analisis Data Hasil analisis residu termitisida menggunakan alat Gas Chromatography (GC) adalah berupa kromatogram yang memuat waktu retensi dan area senyawa imidacloprid. Perhitungan kadar residu pestisida (R) yang dinyatakan dalam ppm dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
keterangan: R Sx Ss Cs Ev W
= Residu pestisida (ppm) = Area contoh = Area standar = Konsentrasi standar (ppm) = Volume ekstrak (ml) = Berat sampel yang diekstraksi (gram)
Uji beda statistik kadar residu pada contoh tanah di tiga lokasi menggunakan software XLSTAT Microsoft Excel 2010.
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar residu imidacloprid satu minggu setelah aplikasi di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan masingmasing mencapai 4.068±0.882 ppm, 7.209±3.894 ppm, dan 15.137±6.160 ppm, sedangkan satu bulan setelah aplikasi menurun menjadi 1.227±0.900 ppm, 4.390±1.977 ppm, dan 9.341±5.270 ppm (Gambar 4). Berdasarkan hasil uji beda statistik yang dilakukan, kadar residu imidacloprid di tiga lokasi tersebut pada satu minggu setelah aplikasi antara Jakarta Timur dengan Jakarta Utara dan Jakarta Utara dengan Jakarta Selatan tidak berbeda nyata (P>0.05), sedangkan antara Jakarta Timur dengan Jakarta Selatan berbeda nyata (P<0.05) (Lampiran 4). Sementara itu, kadar residu satu bulan setelah aplikasi di antara ketiga lokasi tidak berbeda nyata (Lampiran 5). 16
Satu minggu setelah aplikasi Satu bulan setelah aplikasi
14
Kadar residu (ppm)
12 10 8 6 4 2 0 Jakarta Timur
Jakarta Utara
Jakarta Selatan
Gambar 4 Kadar residu imidacloprid di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan satu minggu dan satu bulan setelah aplikasi Berdasarkan Gambar 4 di atas dapat dilihat bahwa kadar residu imidacloprid di tiga lokasi menurun secara signifikan selama satu bulan penelitian. Persentase penurunan dari satu minggu ke satu bulan setelah aplikasi yang terendah terjadi di Jakarta Selatan yaitu sebesar 38.29%, disusul di Jakarta Utara sebesar 39.11%, dan di Jakarta Timur sebesar 69.85%. Hasil uji beda statistik penurunan kadar residu dari satu minggu ke satu bulan menunjukkan bahwa di Jakarta Timur berbeda nyata (p<0.05), sedangkan di Jakarta Utara dan Jakarta Selatan tidak berbeda nyata (p>0.05) (Lampiran 6). Degradasi termitisida yang terjadi tentu dipengaruhi oleh banyak faktor yang mengakibatkan kadar residu imidacloprid di tiga lokasi berbeda-beda. Kamble (2006) menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi efikasi dan persistensi termitisida di tanah adalah karakteristik tanah dan karakteristik termitisida. Adapun hasil analisis karakteristik tanah di tiga lokasi disajikan pada Tabel 1.
9 Tabel 1 Karakteristik fisik dan kimia tanah di tiga lokasi percobaan Tekstur Jenis C-organik Kadar Pasir Debu Liat Lokasi pH tanah (%) air (%) (%) (%) (%) Jakarta Aluvial 7.10 0.71 22.60 30.05 47.35 33.16 Timur cokelat Jakarta Marine 7.10 3.19 57.48 24.78 17.74 45.62 Utara kelabu Jakarta Aluvial 7.40 1.20 15.75 9.40 74.85 32.12 Selatan merah Berdasarkan Peta Sumberdaya Tanah Tingkat Tinjau Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta Skala 1:250.000 [Kementan] Tahun 2012, melaporkan bahwa jenis tanah di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan pada kecamatan tempat penelitian masing-masing adalah Aluvial, Marine, dan Aluvial. Grup aluvial merupakan hasil dari proses pelapukan, erosi, dan transportasi yang terdiri dari endapan pasir, debu, liat, dan bahan organik pada daerah rawa atau depresi, sedangkan grup marine merupakan hasil dari proses pengendapan yang terdiri dari endapan liat–lumpur, dan endapan kasar yaitu pasir serta dipengaruhi oleh aktivitas air laut. Sementara itu, untuk keterangan warna dari jenis tanah tersebut diperoleh dari hasil analisis di Laboratorium Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Menurut Hardjowigeno (2007) penyebab perbedaan warna permukaan tanah umumnya dipengaruhi oleh perbedaan kandungan bahan organik, semakin tinggi kandungan bahan organik maka warna tanah akan semakin gelap. Berdasarkan Tabel 1, Jakarta Utara merupakan lokasi yang mengandung bahan organik tinggi, sehingga warna tanahnya lebih gelap dibandingkan dengan kedua lokasi lainnya. Akan tetapi, ia juga menerangkan bahwa hubungan warna tanah dengan kandungan bahan organik di daerah tropika sering tidak sejalan dengan di daerah beriklim sedang (Amerika, Eropa). Tanah-tanah merah di Indonesia banyak yang mempunyai kandungan bahan organik lebih dari satu persen, sama dengan kandungan bahan organik tanah hitam di daerah beriklim sedang. Kamble (2006) menyatakan bahwa kandungan liat dan bahan organik merupakan karakteristik paling penting yang mempengaruhi mekanisme serapan termitisida karena secara umum suatu termitisida tidak akan berpindah dengan mudah dalam tanah dengan kandungan liat yang tinggi. Hardjowigeno (2007) menjelaskan bahwa tanah terdiri dari butir-butir tanah dengan berbagai ukuran, yaitu liat <2 µ, debu 2 µ - 50 µ, dan pasir 50 µ - 2 mm. Jakarta Selatan merupakan lokasi yang memiliki kadar residu imidacloprid tertinggi baik pada satu minggu maupun satu bulan setelah aplikasi dan mengalami laju degradasi terendah dari satu minggu ke satu bulan. Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa Jakarta Selatan memiliki kandungan liat tertinggi, namun kandungan pasir dan kadar air tanahnya rendah dibandingkan dengan kedua lokasi lainnya. Hardjowigeno (2007) lebih lanjut juga menjelaskan bahwa tanah-tanah yang bertekstur liat karena lebih halus maka setiap satuan berat (misalnya gram) mempunyai luas permukaan yang lebih besar, sehingga kemampuan manahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Selain itu, tanah bertekstur halus juga lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar.
10 Sementara itu, Jakarta Utara memiliki kadar residu hampir setengah dari Jakarta Selatan pada satu minggu dan tingkat degradasi dari satu minggu ke satu bulan setelah aplikasi yang juga rendah. Jakarta Utara memiliki kandungan bahan organik dan pasir tinggi yang berarti porositas tanahnya juga tinggi. Hal ini didukung oleh pernyataan Munawar (2011) yang menyatakan bahwa porositas tanah akan tinggi jika bahan organik tinggi, karena peningkatan bahan organik secara tidak langsung dapat meningkatkan porositas tanah melalui peningkatan aktivitas fauna tanah. Munawar (2011) mendefinisikan bahan organik tanah adalah seluruh senyawa karbon di dalam tanah yang berasal dari sisa tanaman dan hewan yang telah mati (sekitar 85% dari total bahan organik) yang sebagian besar berasal dari tanaman, bagian-bagian tanaman yang masih hidup (10%) yang sebagian besar berupa akar tanaman, dan organisme tanah termasuk jasad renik dan hewan tanah yang jumlahnya beberapa persen. Selain itu, Hardjowigeno (2007) juga menyatakan bahwa kemampuan tanah menahan air dipengaruhi antara lain oleh tekstur tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar (pasir) mempunyai daya menahan air lebih kecil daripada tanah bertekstur halus (liat). Hardjowigeno (2007) lebih lanjut menjelaskan bahwa bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah dalam jumlah yang tidak besar hanya sekitar 3-5%, tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah besar sekali, seperti sebagai sumber unsur hara, menambah kemampuan tanah untuk menahan air, dan sebagai sumber energi bagi mikroorganisme. Tanah pasir mempunyai pori-pori kasar lebih banyak daripada tanah liat dan tanah dengan pori-pori kasar sulit untuk menahan air. Wiltz (2012) menambahkan bahwa partikel pasir memberikan luas permukaan yang kurang untuk penyerapan termitisida dan membuat pestisida lebih mungkin untuk menjauh dari titik aplikasi. Shahgoli dan Ahangar (2014) juga melaporkan bahwa ketika kandungan C-organik tanah lebih dari 1%, maka akan meningkatkan aktivitas mikroba dalam mendegradasi termitisida. Selain kandungan C-organik, pasir, dan liat yang berpengaruh besar terhadap proses degradasi termitisida dalam tanah, terdapat juga karakteristik tanah lainnya yang dapat mempengaruhi proses tersebut. Gold et al. (1996) menyebutkan bahwa selain kandungan liat pada tanah, pH tanah juga berperan besar dalam mempengaruhi persistensi termitisida di dalam tanah. Hardjowigeno (2007) juga menyatakan bahwa reaksi tanah akan menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH yang umumnya berkisar antar 3.0-9.0.akan tetapi, pada penelitian ini nilai pH tanah di tiga lokasi relatif homogen dan masih tergolong netral, sehingga nilai pH tidak berpengaruh besar terhadap perbedaan kadar residu imidacloprid di tiga lokasi penelitian. Namun demikian, Kamble (2006) menyatakan bahwa pada umumnya termitisida yang banyak digunakan saat ini akan lebih tahan lama pada pH tanah yang asam dibandingkan dengan pH tanah yang basa. Kamble juga menekankan bahwa degradasi kimiawi merupakan proses terpenting yang mempengaruhi termitisida di tanah yang meliputi proses hidrolisis, oksidasi, dan reduksi. Hidrolisis adalah proses kimiawi ketika termitisida bereaksi dengan air yang mengakibatkan molekul air terpecah menjadi senyawa yang kurang beracun. Secara umum, kadar air yang cukup dalam tanah dapat menginisiasi reaksi tersebut. Sementara itu, oksidasi adalah reaksi kimia yang terjadi melalui atom oksigen yang ditambahkan pada molekul termitisida. Jika terjadi proses oksidasi yang berlebihan pada molekul, maka akan berpengaruh pada proses degradasi secara kimiawi dan
11 mikroorganisme lebih lanjut. Reduksi akan terjadi jika kadar hidrogen suatu termitisida meningkat atau kadar oksigennya menurun. Proses-proses tersebut secara langsung akan mempengaruhi half-life termitisida di tanah. Rouchaud et al. (1994) dalam NPIC (2010) melaporkan bahwa half-life imidacloprid di tanah berkisar antara 40 sampai lebih dari 124 hari. Namun demikian, Hardjowigeno (2007) menegaskan bahwa tanah merupakan suatu sistem yang terbuka, artinya sewaktu-waktu tanah itu dapat menerima tambahan bahan dari luar atau kehilangan bahan-bahan yang telah dimilikinya; jadi tanah mempunyai input dan output. Jenis-jenis input antara lain adalah hasil pelapukan bahan induk, endapan baru, air hujan/pengairan, sisa-sisa tanaman, energi (sinar matahari), dan sebagainya, sedangkan jenis-jenis output antara lain adalah erosi tanah, penguapan air, penyerapan unsur hara oleh tanaman, pencucian (leaching), pancaran panas/emisi, dan sebagainya. Adapun data suhu udara dan curah hujan di tiga lokasi diperoleh dari Stasiun Klimatologi Pondok Betung-Tangerang [BMKG] dan Stasiun Meteorologi Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur (Tabel 2). Tabel 2 Suhu udara rata-rata dan curah hujan bulanan di tiga lokasi percobaan Suhu udara rata-rata Curah hujan (ºC) (mm) Lokasi April Mei April Mei Jakarta Timur 27.5 27.8 204.2 62.5 Jakarta Utara 28.6 29.4 96.7 75 Jakarta Selatan 27.5 28.3 160.7 129.9 Jakarta Timur memiliki kadar residu satu minggu setelah aplikasi terendah (Gambar 4) dan curah hujan yang tergolong menengah (Tabel 2) menurut Normal Curah Hujan Provinsi Banten dan DKI Jakarta-BMKG (Periode 1981-2010). Hardjowigeno (2007) menyatakan bahwa suhu dan curah hujan sangat berpengaruh terhadap intensitas reaksi kimia dan fisika di dalam tanah. Adanya curah hujan dan suhu tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat, sehingga proses pelapukan dan pencucian juga berjalan dengan cepat. Selain reaksi kimia yang terjadi, dengan kandungan air yang terdapat dalam tanah juga akan mempengaruhi tingkat pergerakan partikel termitisida dalam tanah. Sementara itu, untuk suhu udara di tiga lokasi sama halnya dengan nilai pH pada Tabel 1 yang relatif homogen. Oleh karena itu, suhu udara tidak berpengaruh besar terhadap perbedaan kadar residu imidacloprid di tiga lokasi penelitian. Namun demikian, Kamble (2006) melaporkan bahwa kondisi hangat atau lembab akan memberikan kontribusi dalam meningkatkan desorpsi dan kehilangan saat penguapan yang lebih tinggi. Hardjowigeno (2007) juga menambahkan bahwa setiap kenaikan suhu 10 ºC, maka kecepatan reaksi menjadi dua kali lipat. Imidacloprid merupakan senyawa yang memiliki volatilitas yang rendah (Vilchez et al. 1996) dengan vapor pressure 1.0 x 10-7 mmHg, sehingga potensi untuk terurai di udara rendah karena tidak dapat dengan mudah teradsorpsi oleh partikel. Imidacloprid juga memiliki kemampuan untuk tercuci dengan mudah karena memiliki water solubility yang tinggi dan kemampuan yang rendah untuk melekat pada partikel-partikel tanah (Chemical Watch Factsheet [tahun tidak diketahui]). Menurut Kamble (2006), distribusi vertikal dan horizontal termitisida tergantung pada interaksi yang terjadi dengan partikel tanah melalui proses yang
12 disebut dengan adsorpsi dan desorpsi. Adsorpsi adalah ikatan yang terjadi antara termitisida dengan partikel-partikel tanah terutama dengan bahan organik dan lempung atau tanah liat, sedangkan desorpsi adalah pelepasan bahan kimia yang teradsorpsi dari partikel tanah. Chen et al. (2005) menyatakan bahwa tanah adalah media yang ideal untuk mendukung terjadinya reaksi degradasi dari termitisida, yaitu termasuk reaksi kimia, fotokimia, dan biologi. Kamble (2006) menyatakan bahwa daya larut termitisida di air merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusi dan mobilitas termitisida dalam tanah, senyawa yang mudah larut akan memiliki daya tarik menarik yang tinggi untuk mengadsorpsi partikel tanah. Tomlin (2006) dalam NPIC (2010) melaporkan bahwa daya larut imidacloprid dalam air adalah sebesar 0.61 g L-1 pada suhu 20 ºC. Perbedaan kadar residu di tiga lokasi selain karena reaksi yang terjadi dalam tanah serta karakteristik tanah dan imidacloprid sendiri, juga dapat dipengaruhi oleh metode yang digunakan pada proses ekstraksi contoh tanah. Metode QuEChERS (Quick, Easy, Cheap, Effective, Rugged, and Safe) yang digunakan pada penelitian ini disesuaikan dengan kondisi alat di Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Kementerian Pertanian. Pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah aseton, namun sebaiknya pelarut yang digunakan berupa asetonitril yang diketahui bersifat lebih baik daripada aseton. Menurut Harahap (2011) asetonitril merupakan pelarut terbaik yang memberikan presentasi pengendapan tertinggi. Meskipun dengan harga yang lebih tinggi dari aseton. Selain itu, metode pengocokan dan pengendapan untuk memisahkan larutan ekstrak sebaiknya menggunakan centrifuge agar volume akhir yang didapatkan homogen pada setiap ulangan contoh tanah yang diekstraksi. Broznic et al. (2011) manyatakan bahwa kehilangan pestisida secara signifikan juga dapat terjadi selama proses aplikasi yang dipengaruhi oleh sifat alami pestisida tersebut, formulasi, kondisi atmosfir, metode aplikasi, dan karakteristik aplikasi. Degradasi termitisida dapat terjadi melalui banyak cara dan proses yang mengakibatkan kadar residu suatu senyawa beragam di tiap lokasi. Topp et al. (1997) dalam Shahgholi (2014) menyatakan bahwa proses yang mempengaruhinya antara lain adalah fotodegradasi dan degradasi kimiawi atau biodegradasi. Namun demikian, Amellal et al. (2001) dan Jones Ananyeva (2001) dalam Shahgholi (2014) juga menegaskan bahwa terkadang suatu termitisida tidak akan terdegradasi meskipun memiliki kecenderungan untuk terdegradasi. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kondisi lingkungan dan faktor yang mempengaruhi aktivitas organisme pendegradasi, adanya nutrien penting yang mungkin saja lepas atau terlewati, kondisi lingkungan yang tidak cocok, maupun konsentrasi termitisida yang digunakan terlalu rendah atau terlalu tinggi.
13
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Residu imidacloprid pada tapak bangunan gedung di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan satu minggu setelah aplikasi masing-masing mencapai 4.068±0.882 ppm, 7.209±3.894 ppm, dan 15.137±6.160 ppm. Sementara itu, residu imidacloprid satu bulan setelah aplikasi di tiga lokasi tersebut masingmasing menurun menjadi 1.227±0.900 ppm, 4.390±1.977 ppm, dan 9.341±5.270 ppm. Selama periode satu minggu sampai satu bulan setelah aplikasi, degradasi imidacloprid terendah terjadi di Jakarta Selatan (38.29%), disusul di Jakarta Utara (39.11%), dan di Jakarta Timur (69.85%). Saran Perlu dilakukan penelitian kadar residu imidacloprid dan termitisida lainnya dengan periode waktu pengambilan contoh tanah yang lebih lama; termasuk contoh tanah yang diambil pada 0 hari setelah aplikasi termitisida. Selain itu, perlu dibuat standar kadar residu imidacloprid sebagai tolok ukur bagi masyarakat dalam penilaian kualitas pekerjaan pengendalian rayap dengan menggunakan termitisida berbahan aktif senyawa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Amellal N, Portal JM, Berthelin J. 2001. Effect of soil structure on the bioavailability of polycyclic aromatic hydrocarbons within aggregates of a contaminated soil. Applied Geochemistry. Di dalam: Shahgholi H. Factor controlling degradation of pesticides in the soil environment: a review. TI Journal. 3(8):273-278. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Normal Curah Hujan Provinsi Banten dan DKI Jakarta Periode 1981-2010 (ID) Bonmatin JM, Moineau I, Charvet R, Fleche C, Colin ME, Bengsch ER. 2003. A LC/APCI-MS/MS method for analysis of imidacloprid in soil, in plants, and in pollens. Anal. Chem. 75(9):2027-2033. Broznic D, Marinic J, Milin C. 2011. Behavior and fate of imidacloprid in croatian olive orchard soils under laboratory conditions. Pesticides in the Modern World-Risks and Benefits. Stoytcheva M, editor. [Internet]. [diunduh 2015 Sep 07] Tersedia pada: http://www.intechopen.com/books/pesticides-in-the-modern-world-risks-andbenefits/behavior-and-fate-ofimidacloprid-in-croatian-olive-orchard-soilsunder-laboratory-conditions Chemical Watch Factsheet. A beyond pesticides factsheet: imidacloprid (US) Chen W, Mulchandani A, Deshusses MA. 2005. Environmental biotechnology: Challenges and opportunities for chemical engineers. AICHE Journal. 51(3):690-695. ISSN 0001-1541.
14 Gold RE, Howell HN, Pawson BM, Wright MS, Lutz JC. 1996. Persistence and bioavailability of termiticides to subterranean termites (Isoptera: Rhinotermitidae) from five soil types in Texas. Sociobiology. 28:337-363. Hafiz AAM, Ahmad AH. 2006. Transfer effect of Premise 200SC containing imidacloprid on subterranean termites population (Coptotermes gestroi) (Isoptera: Rhinotermitidae). Di dalam: Robinson WH, Bajomi D, editor. 1st USM-Penang International Postgraduate Convention, 3rd Life Sciences Postgraduate Conference. Harahap Y. 2011. Preparasi sampel. Makalah seminar BA-BE. Departemen Farmasi FMIPA UI, Depok. Di dalam: Habibah T. optimasi pengendapan protein menggunakan metanol, etanol, asetonitril, dan aseton pada analisis irbesartan dalam plasma in vitro secara kromatografi cair kinerja tinggi fluoresensi. [Skripsi] Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Jones WJ, Ananyeva ND. 2001. Correlations between pesticide transformation rate and microbial respiration activity in soil of different ecosystems. BiolFertil Soils. 33:477-483. Di dalam: Shahgholi H. Factor controlling degradation of pesticides in the soil environment: a review. TI Journal. 3(8):273-278. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Van Der Laan PA, penerjemah. Jakarta (ID): PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. Kamble ST. 2006. Fate of Insecticides Used for Termite Control in Soil. Historical Materials from University of Nebraska-Lincoln Extension. [Kementan] Kementerian Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Peta Sumberdaya Tanah Tingkat Tinjau Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta Skala 1:250.000 Edisi Pertama (ID) Kuswanto E, Ahmad I, Dungani R. 2015. Threat of subterranean termites attack in the asian countries and their control: a review. Asian Journal of Applied Sciences. 8(4):227-239. Lee CY. 2002. Subterranean termite pests and their control in the urban environment in Malaysia. Journal Application Sociobiology. Di dalam: Qasim M, Ahmed S, Afzal M. 2013. Termite Management and Population Dynamics. 40(1):3-9. _______. 2007. Perspective in urban insect pest management in Malaysia. Vector control research unit, School of Biological Sciences, Universiti Sains Malaysia. Lee CY, Chung KM. 2003. Termites In Urban Pest Control: A Malaysian Perspective. Lee CY, Zairi J, Yap HH, Chong NL, editor. 2nd edition. Penang (MAL): Vector Control Research Unit, Universiti Sains Malaysia. Maienfisch P, Angst M, Brandl F, Fischer W, Hofer, D, Kayser H, Kobel W, Rindlisbacher A, Senn R, Steinemann A, Widmer H. 2001. Chemistry and biology of thiamethoxam: a second generation neonicotinoid. Pest Management Science. 57(10):906-913. ISSN 1526-498X. Mullins JW. 1993. Imidacloprid: a new nitroguanidine insecticide [abstrak]. Kansas City (US): National Agricultural Library. [Internet]. [diunduh 2015 Sep 07]. Tersedia pada: http://agris.fao.org/agris-search/search.do?f= 2012/OV/OV20120188900188 9.xml;US19940056309 Munawar A. 2011. Kesuburan Tanah Dan Nutrisi Tanaman. Bogor (ID): IPB Pr. Nandika D, Rismayadi Y. 1999. Penelaahan daya jelajah dan ukuran populasi koloni rayap tanah Schedorhinotermes javanicus Kemner (Isoptera:
15 Rhinotermitidae) serta Microtermes inspiratus Kemner (Isoptera: Termitidae). Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap: Biologi, dan Pengendaliannya. Surakarta (ID): Muhammadiyah University Pr. Nandika D, Tambunan B. 1987. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor (ID): IPB Pr. Potter MF, Hillery AE. 2003. Trench warfare. Pest Control Technology. 31(2):2832. Qasim M, Ahmed S, Afzal M. 2013. Termite Management And Population Dynamics. LAP LAMBERT. Germany: Academic Publishing. Saarbrucken. Rakhmawati D. 1995. Perkiraan kerugian serangan rayap di Indonesia. [Skripsi] Jurusan Teknologi Hasil Hutan IPB. Bogor. Rouchaud J, Gustin F, Wauters A. 1994. Soil Biodegradation and Leaf Transfer of Insecticide Imidacloprid Applied in Seed Dressing in Sugar Beet Crops. Bull. Environ Contam Toxicol. 53:344-350. Di dalam: National Pesticide Information Center. 2010. (US) Rust MK, Su NY. 2012. Managing social insects of urban importance. Annu. Rev. entomol., 57:355-375. Shahgoli H, Ahangar AG. 2014. Factor controlling degradation of pesticide in the soil environment: a review. Journal Agric Sci Development. 3(8):273-278. [Stamet] Stasiun Meteorologi Landasan Udara Halim Perdanakusuma (ID) Su NY. 2002. Novel technologies for subterranean termites control. Sociobiology. 40:95-102. Su NY, Cabrera BJ, Scheffrahn RH, Koehler PG. 2007. Termite Baits. [Internet]. [diunduh pada 2015 Sep 07]. Tersedia pada: http://edis.ifas.ufl.edu/MG363 Tomlin CDS. 2006. The Pesticide Manual, A World Compendium. 14th ed. England (UK): British Crop Protection Council. Di dalam: National Pesticide Information Center. 2010. (US) Topp E, Vallayes T, Soulgas G. 1997. Pesticides: microbial degradation and effects on microorganism. In: Modern soil microbiology p: 547-575. Di dalam: Shahgholi H. Factor controlling degradatio of pesticides in the soil environment: a review. TI Journal. 3(8):273-278. [US EPA] United State Environmental Protection Agency. 1998. Imidacloprid; Pesicide Tolerances. Federal Registrar Sept 18, 1998 Volume 63, Number 181. Vilchez JL, El-Khattabi R, Fernfindez J, Gonzfilez-Casado A, Navalon A. 1996. Determination of imidacloprid in water and soil samples by gas chromatography-mass spectrometry. Journal of Chromatography A. 746: 289294. Wang Y, Chen J, Zhu CY, Ma C, Huang Y, Shen J. 2008. Susceptibility to neonicotinoids and risk of resistance development in the brown planthopper, Nilaparvata lugens (Stål) (Homoptera: Delphacidae). Pest Manag Sci. 64(1): 1278–1284. doi: 10.1002/ps.1629. Wiltz BA. 2012. Factors affecting performance of soil termiticides, InsecticidesBasic and Other Applications. Soloneski S, editor. ISBN: 978-953-51-0007-2, InTech. [Internet]. [diunduh 2015 Juni 03]. Tersedia pada: http://www.intechopen.com/books/insecticides-basic-andotherapplications/factors-affecting-performance-ofsoil-termiticides
16 Lampiran 1
Sebaran lokasi pemasangan satuan percobaan di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan
17 Lampiran 2 Kromatogram residu imidacloprid pada tanah satu minggu setelah aplikasi termitisida a. Jakarta Timur a.1 Ulangan ke-1
a.2 Ulangan ke-2
a.3 Ulangan ke-3
b. Jakarta Utara b.1 Ulangan ke-1
18 b.2 Ulangan ke-2
b.3 Ulangan ke-3
c. Jakarta Selatan c.1 Ulangan ke-1
c.2 Ulangan ke-2
19 c.3 Ulangan ke-3
20 Lampiran 3 Kromatogram residu imidacloprid pada tanah satu bulan setelah aplikasi termitisida a. Jakarta Timur a.1 Ulangan ke-1
a.2 Ulangan ke-2
a.3 Ulangan ke-3
b. Jakarta Utara b.1 Ulangan ke-1
21 b.2 Ulangan ke-2
b.3 Ulangan ke-3
c. Jakarta Selatan c.1 Ulangan ke-1
c.2 Ulangan ke-2
22 c.3 Ulangan ke-3
23 Lampiran 4 Uji beda kadar residu imidacloprid pada tanah satu minggu setelah aplikasi termitisida a. Jakarta Timur-Jakarta Utara
Observations 3 3
Obs. with missing data 0 0
Obs. without missing data Minimum Maximum 3 3.060 4.699 3 2.858 10.367
Mean 4.068 7.209
Std. deviation 0.882 3.894
t-test for two independent samples / Two-tailed test: 95% confidence interval on the difference between the means: ] -9.542 , 3.259 [ Difference t (Observed value) |t| (Critical value) DF p-value (Two-tailed) alpha
-3.141 -1.363 2.776 4 0.245 0.05
b. Jakarta Utara-Jakarta Selatan
Observations 3 3
Obs. with missing data 0 0
Obs. without missing data Minimum Maximum 3 2.858 10.367 3 11.027 22.219
t-test for two independent samples / Two-tailed test: 95% confidence interval on the difference between the means: ] -19.609 , 3.754 [ Difference t (Observed value) |t| (Critical value) DF p-value (Two-tailed) Alpha
-7.928 -1.884 2.776 4 0.133 0.05
Std. Mean deviation 7.209 3.894 15.137 6.160
24 c. Jakarta Timur-Jakarta Selatan
Observations 3 3
Obs. with missing data 0 0
Obs. without missing data Minimum Maximum 3 3.060 4.699 3 11.027 22.219
t-test for two independent samples / Two-tailed test: 95% confidence interval on the difference between the means: ] -21.043 , -1.094 [ Difference t (Observed value) |t| (Critical value) DF p-value (Two-tailed) alpha
-11.069 -3.081 2.776 4 0.037 0.05
Mean 4.068 15.137
Std. deviation 0.882 6.160
25 Lampiran 5 Uji beda kadar residu imidacloprid pada tanah satu bulan setelah aplikasi termitisida a. Jakarta Timur-Jakarta Utara Observations 3 3
Obs. with missing data 0 0
Obs. without Minimum Maximum missing data 3 0.686 2.266 3 2.492 6.437
Mean 1.227 4.390
Std. deviation 0.900 1.977
t-test for two independent samples / Two-tailed test: 95% confidence interval on the difference between the means: ] -6.645 , 0.319 [ Difference t (Observed value) |t| (Critical value) DF p-value (Two-tailed) alpha
-3.163 -2.522 2.776 4 0.065 0.05
b. Jakarta Utara-Jakarta Selatan Observations 3 3
Obs. with missing data 0 0
Obs. without Minimum Maximum missing data 3 2.492 6.437 3 5.072 15.231
t-test for two independent samples / Two-tailed test: 95% confidence interval on the difference between the means: ] -13.973 , 4.071 [ Difference t (Observed value) |t| (Critical value) DF p-value (Two-tailed) Alpha
-4.951 -1.524 2.776 4 0.202 0.05
Mean 4.390 9.341
Std. deviation 1.977 5.270
26 c. Jakarta Timur-Jakarta Selatan Observations 3 3
Obs. with missing data 0 0
Obs. without Minimum Maximum missing data 3 0.686 2.266 3 5.072 15.231
t-test for two independent samples / Two-tailed test: 95% confidence interval on the difference between the means: ] -16.684 , 0.456 [ Difference t (Observed value) |t| (Critical value) DF p-value (Two-tailed) alpha
-8.114 -2.629 2.776 4 0.058 0.05
Mean 1.227 9.341
Std. deviation 0.900 5.270
27 Lampiran 6 Uji beda kadar residu imidacloprid pada tanah satu minggu dan satu bulan setelah aplikasi termitisida a. Jakarta Timur Observations 3 3
Obs. with missing data 0 0
Obs. without Minimum Maximum missing data 3 3.060 4.699 3 0.686 2.266
Mean 4.068 1.227
Std. deviation 0.882 0.900
t-test for two independent samples / Two-tailed test: 95% confidence interval on the difference between the means: ] 0.821, 4.862 [ Difference t (Observed value) |t| (Critical value) DF p-value (Two-tailed) alpha
2.842 3.904 2.776 4 0.017 0.05
b. Jakarta Utara Observations 3 3
Obs. with missing data 0 0
Obs. without Minimum Maximum missing data 3 2.858 10.367 3 2.492 6.437
t-test for two independent samples / Two-tailed test: 95% confidence interval on the difference between the means: ] -4.180 , 9.820 [ Difference t (Observed value) |t| (Critical value) DF p-value (Two-tailed) alpha
2.820 1.118 2.776 4 0.326 0.05
Mean 7.209 4.390
Std. deviation 3.894 1.977
28 c. Jakarta Selatan Observations 3 3
Obs. with missing data 0 0
Obs. without Minimum Maximum missing data 3 11.027 22.219 3 5.072 15.231
t-test for two independent samples / Two-tailed test: 95% confidence interval on the difference between the means: ] -7.198 , 18.790 [ Difference t (Observed value) |t| (Critical value) DF p-value (Two-tailed) Alpha
5.796 1.238 2.776 4 0.283 0.05
Mean 15.137 9.341
Std. deviation 6.160 5.270
29
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 06 September 1992 yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Marsim dan Saripah. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1998-2004 di SDN Sukamulya 1, kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Daarul Falahiyyah (Serang-Banten) tahun 2004. Namun, di pesantren tersebut penulis hanya bertahan selama tiga bulan, selanjutnya penulis pindah sekolah ke MTsN Sukamulya (Balaraja) dan lulus pada tahun 2007. Setelah itu, penulis diterima di SMAN Balaraja 1 (sekarang menjadi SMAN 1 Kabupaten Tangerang) dan lulus pada tahun 2010. Setelah sempat menunda masa kuliah selama satu tahun, akhirnya pada tahun 2011 penulis diterima di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan-Institut Pertanian Bogor melalui jalur tulis SNMPTN. Tahun kedua kuliah (2012) penulis aktif berorganisasi di BEM Fakultas Kehutanan IPB selaku anggota Divisi Kesekretariatan dan pada tahun 2012-2014 di Himpunan Profesi Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) selaku bendahara umum dan anggota kelompok minat Teknologi Peningkatan Mutu Kayu. Selama berorganisasi di HIMASILTAN, penulis juga pernah menjadi ketua Divisi Humas acara Himasiltan Care tahun 2013, The 4th FORTEX, dan The 5th FORTEX. Selain itu, penulis juga mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Sawal-Pangandaran pada tahun 2013, Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Gunung Walat-Sukabumi tahun 2014, serta Praktik Kerja Lapang (PKL) di KBM Industri Kayu Brumbung, Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah tahun 2015. Selepas melakukan PKL, selanjutnya untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan penulis melakukan penelitian yang berjudul Residu Imidacloprid pada Tapak Bangunan Gedung yang Mendapat Perlakuan Pengendalian Rayap di Provinsi DKI Jakarta di bawah bimbingan Prof Dr Ir Dodi Nandika, MS. Selain aktif di kegiatan kampus, penulis juga pernah mengikuti acara Jambore Sahabat Anak XVII tahun 2013 sebagai volunteer kakak asuh, dan Lomba Mulung Sampah Ciliwung ke-7 tahun 2015 sebagai volunteer koordinator lomba untuk Kelurahan Kedung Halang-Bogor.