Perlakuan Pajak Restoran pada Usaha Convenience Store di DKI Jakarta Devi Ayu Sattvika dan Achmad Lutfi Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI, Kampus UI Depok 16424 Ilmu Administrasi Fiskal, Program Sarjana Reguler dan Paralel Universitas Indonesia
[email protected] ,
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas tentang pengenaan Pajak Restoran oleh Pemerintah DKI Jakarta pada usaha convenience store. Penelitian ini bertujuan menganalisis kesesuaian perlakuan Pajak Restoran pada usaha convenience store jika ditinjau dari teori Pajak Restoran. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis data kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya inovasi pada bentuk usaha convenience store yang ada di DKI Jakarta menimbulkan kesan bahwa kegiatan penjualan makanan dan/atau minuman yang dilakukan pada usaha convenience store memiliki kesesuaian sebagai objek Pajak Restoran. Namun demikian, menilik dari karakteristik dasar usaha convenience store, penjualan makanan dan/atau minuman tersebut seharusnya menjadi objek Pertambahan Nilai. Abstract This study discusses the imposition of Restaurant Tax by the Government of DKI Jakarta on convenience store. The purpose of this study is to analyse the feasibility of the imposition of Restaurant Tax on convenience store, based on theory of Restaurant Tax. This research used quantitative approach with qualitative-descriptive data analysis. The result of this research concludes that the inovation on convenience store in DKI Jakarta rises impression as though the selling activity of food and beverages in convenience store is feasible as an object to Restaurant Tax. However, judging by the base characteristics of convenience store, the said selling activity of food and beverages should be the object to Value Added Tax. Key word: Local Tax, Restaurant Tax, Convenience Store
1. ENDAHULUAN Convenience Store, atau kerap dikenal dengan sebutan toko kelontong, merupakan salah satu bentuk usaha di bidang distribusi barang atau jasa. Bentuk usaha ini merupakan salah satu variasi bentuk kegiatan ritel. Kegiatan ritel sendiri adalah kegiatan penyaluran barang dan jasa kepada konsumen akhir dan merupakan mata rantai terakhir proses distribusi.[1] Konsep convenience store telah dikenal masyarakat internasional sejak tahun 1920an. Namun, fenomenanya baru menyentuh pasar Indonesia pada tahun 1980-an. Hingga sekarang, usaha convenience store menunjukkan perkembangan yang baik yang didukung dengan kondisi perekonomian di Indonesia yang kondusif. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya jumlah masyarakat Indonesia
dan meningkatnya pendapatan masyarakat yang P mendorong daya beli dan pola konsumsi yang meningkat pula. (Mandiri, 2012, hal. 3) Meningkatnya pola konsumsi masyarakat menuntut proses transfer barang dan jasa yang semakin cepat dan efisien, terutama untuk kebutuhan rumah tangga masyarakat. Penyediaan barang dan jasa kebutuhan masyarakat yang semula dilakukan melalui bentuk usaha distribusi konvensional, seperti pasar tradisional, dirasa kurang efisien menyamai tuntutan kebutuhan dari masyarakat. Ditambah lagi dengan adanya perubahan gaya hidup sebagai akibat peningkatan pendapatan, proses penyediaan kebutuhan masyarakat dituntut untuk melakukan penyesuaian. Fenomena ini yang ditangkap oleh pengusaha dengan memperkenalkan bentuk usaha convenience store. Usaha convenience store mencoba menawarkan konsep baru dalam usaha distribusi berupa tempat penjualan produk secara
Universitas Indonesia Perlakuan pajak..., Devi Ayu Sattvika, FISIP UI, 2013.
2 eceran sekaligus tempat hang-out atau kumpulkumpul yang nyaman dengan menggabungkan konsep usaha minimarket dengan sajian tambahan makanan/minuman siap saji a la restoran yang harganya terjangkau kalangan menengah perkotaan. (7-Eleven dan Lawson, www. economy.okezone.com, 2012) Beberapa brand Convenience store di Jakarta antara lain 7-Eleven, Lawson, Circle K, Family Mart, dan Point Indomaret. Konsepnya praktis dan minimalis dengan mengedepankan pelayanan yang cepat dan kenyamanan berbelanja serta fasilitas penunjang seperti kursi dan meja yang disediakan bagi pelanggan untuk berkumpul sambil menyantap produk yang dijual di tempat. Waktu operasional 24 jam serta letaknya yang berada pada titik-titik strategis juga menjadi nilai tambah bagi usaha convenience store untuk bersaing dengan bentuk usaha distribusi lainnya yang telah lebih dulu ada. (Bertumbuh, www.kabarindo.com, 2012) Dalam waktu singkat convenience store menjadi tren di kota besar seperti Jakarta, terutama di kalangan muda dan remaja. Sasaran usaha ini secara tidak langsung mengarah kepada kalangan masyarakat muda kota besar yang senang berkumpul dengan teman dan kerabat. Menanggapi respon yang positif dari masyarakat, pengusaha convenience store berlomba untuk mengembangkan usahanya. Hal ini tercermin pada bertambah banyaknya convenience store yang dibuka. Data AC Nielsen dalam Mandiri (2011 & 2012, hal. 3) menunjukkan tingkat rata-rata pertumbuhan per tahun convenience store mencapai 19,6% untuk periode 2004-2010. Rincian jumlah convenience store dari tahun 2004 dan 2008 hingga 2010 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Jumlah Convenience Store Tahun 2004, 2008-2010 Tahun Jumlah 2004 154 2008 267 2009 358 2010 450 Sumber: AC Nielsen, Ritel and Shopper Trends Asia Pacific 2010 (Mandiri, 2011 & 2012, hal. 3) Jumlah convenience store diperkirakan tumbuh sebesar 30% setiap tahunnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hal ini didukung pola hidup masyarakat yang kini cenderung mengutamakan kepraktisan dalam memenuhi kebutuhan konsumtif mereka. (Mandiri, 2012, hal. 3) Senada dengan hal tersebut, Direktur Servis Ritel The Nielsen Indonesia, Yongky Susilo, menyatakan pertumbuhan convenience store di Indonesia terbilang aktif. Hingga 2010, jumlah convenience store mencapai 450 gerai. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah dalam tiga tahun ke
depan menjadi sekitar 750 gerai pada tahun 2013. (Bertumbuh, www.kabarindo.com, 2012) Perkembangan gerai-gerai convenience store yang pesat menjadi ladang emas bagi para pengusaha pengelola convenience store. Para pengelola gerai-gerai convenience store meraup omzet tinggi yang mencapai ratusan milyar rupiah. (7-Eleven, www.berita-bisnis.com, 2012) Sebagai salah satu contoh, berdasarkan laporan keuangan PT Modern Internasional, induk perusahaan pengelola gerai Convenience Store 7-Eleven di Indonesia, pada semester pertama 2012 yang dirilis Selasa, 9 April 2012, Convenience Store 7-Eleven membukukan penjualan sebesar 204,95 Milyar (Gabung Konsep, www.halojepang.com, 2012) Namun, convenience store tidak terlepas dari isu-isu, salah satunya mengenai perizinan usaha. Seperti disinggung sebelumnya, bentuk usaha convenience store terbilang berbeda dan unik dibandingkan dengan usaha-usaha lain di bidang distribusi. Usaha convenience store menggabungkan dua konsep usaha yang berbeda, yaitu usaha penjualan makanan dan minuman yang identik dengan usaha restoran dan menggabungkannya dengan usaha ritel berbentuk minimarket. Produk yang dijual berupa makanan dan minuman siap saji ala restoran seperti hot dog (sejenis roti isi) dan kopi, namun di samping itu juga terdapat makanan ringan kemasan, koran, dan/atau alat kebutuhan rumah tangga lainnya seperti sampo dan sabun, khas produk ritel minimarket. Keunikan bentuk usaha convenience store ini ternyata menarik perhatian pemerintah, salah satunya dari Kementerian Perdagangan. Hal ini dikarenakan penggabungan dua bentuk usaha menjadi convenience store dirasa tidak sejalan dengan perizinan usahanya, dimana masing-masing convenience store memiliki izin yang belum seragam. Salah satu berizin toko modern, sementara yang lain izinnya restoran. Dilema terkait perizinan usaha yang disebabkan bentuk usaha yang unik pada usaha convenience store semakin memicu pertanyaan yang timbul dari sisi perpajakan. Ditinjau dari segi perpajakannya, kedua konsep usaha convenience store juga memiliki perbedaan yang signifikan. Sisi usaha restoran jika ditinjau dari segi perpajakannya, erat kaitannya dengan salah satu sektor Pajak Daerah, yakni Pajak Restoran. Sedangkan sisi usaha ritel minimarket, ditinjau dari segi perpajakannya, berkaitan dengan salah satu sektor Pajak Pusat, yakni Pajak Pertambahan Nilai. Perlakuan secara nyata di lapangan menanggapi potensi penerimaan atas kegiatan usaha convenience store di daerah DKI Jakarta adalah dengan dikenakannya Pajak Restoran atas kegiatan penjualan makanan/minuman siap saji pada usaha convenience store. Pajak Restoran dikenakan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Universitas Indonesia
Perlakuan pajak..., Devi Ayu Sattvika, FISIP UI, 2013.
3 Restoran. Pengenaan ini salah satunya dipicu alasan bahwa salah satu convenience store tersebut memiliki izin usaha sebagai rumah makan/kafetaria. Namun demikian, Penulis berpendapat bahwa perlakuan ini masih harus dipertanyakan, apakah secara umum pengenaan Pajak Restoran ini sesuai dengan teori yang ada terutama dikaitkan dengan bentuk usahanya sebagai convenience store. Hal inilah yang kemudian dirasa menarik oleh Penulis untuk diangkat dan dikaji dalam Penelitian ini. Pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan dengan pertanyaan: “Bagaimana kesesuaian perlakuan Pajak Restoran pada usaha convenience store di DKI Jakarta ditinjau dari teori Pajak Restoran?”
2. ANDASAN TEORI 2. 1. AJAK DAERAH Pajak daerah merupakan perwujudan desentralisasi fiskal atau otonomi daerah dalam menghimpun dana, yakni sebagai salah satu sumber pendapatan bagi daerah, di samping dana yang didapatkan dari transfer dana pemerintah pusat. Pajak daerah itu sendiri didefinisikan sebagai pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah pada masyarakat yang berada dalam yurisdiksinya, tanpa adanya kompensasi langsung. Sementara menurut Mardiasmo, sebagaimana dikutip oleh Ismail (2011, hal. 33), pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan pajak yang disahkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan rumah tangga daerah tersebut.[2] Lutfi (2006, hal. 3) mendefinisikan Pajak Daerah sebagai pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang mendiami wilayah yurisdiksinya, tanpa langsung memperoleh kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah yang memungut pajak daerah yang dibayarkannya. Pajak daerah ini diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan disetujui oleh lembaga perwakilan rakyat serta dipungut oleh lembaga yang berada di dalam struktur pemerintah daerah yang bersangkutan. Secara umum, poin-poin yang terdapat dalam definisi pajak daerah kurang lebih sama dengan poin-poin yang membentuk definisi pajak secara umum, hanya berbeda letak kewenangan pemungutan saja. Pajak secara umum dipungut oleh Pemerintah Pusat dan disebut sebagai Pajak Pusat, sedangkan Pajak Daerah dipungut oleh Pemerintah Daerah.[3] Sidik (2002) menyebutkan prinsip pajak daerah sebagaimana yang berlaku pada sistem perpajakan di dunia, antara lain (1) prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis,
artinya dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat; (2) adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak; (3) administrasi yang fleksibel, artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak; (4) secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak; (5) Nondistorsi terhadap perekonomian, maksudnya implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu L pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh (deadP weight loss).[4] Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, Sidik (2002) menyimpulkan bahwa pajak daerah harus memiliki ciri-ciri, antara lain (1) pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya; (2) relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam; dan (3) tax base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).[4] 2. 2. RESTORAN & PAJAK RESTORAN Menurut Marsum (1994, hal. 7), restoran adalah suatu tempat atau bangunan yang diorganisasi secara komersial, yang menyelenggarakan pelayanan dengan baik kepada semua tamunya baik berupa makanan maupun minum. Tujuan operasi restoran adalah untuk mencari untung sebagaimana tercantum dalam definisi Vanco Christian dari School Hotel Adminitration di Cornell University, yang dikutip oleh Marsum. Selain bertujuan bisnis atau mencari untung, membuat puas para tamu pun merupakan tujuan operasi restoran yang utama.[5] Sementara itu, Sugiarto dan Sulartiningrum menggambarkan restoran sebagai suatu tempat menyantap makanan dan minuman yang dilengkapi susunan meja dan pelayanan dari para pramusaji yang menghidangkan makanan/minuman yang dimasak dari dapur.[6] Dari definisi di atas, usaha restoran dapat dikarakteristikkan berdasarkan tiga hal, yakni adanya fasilitas untuk menyantap makanan, yaitu adanya tempat contohnya berupa meja dan kursi, adanya pelayanan dalam menyediakan makanan/minuman, serta adanya proses pengolahan makanan/minuman itu sendiri melalui proses memasak di dapur. Menurut Luandberg, sebagaimana dikutip oleh Mukhtar (2004), dapur Universitas Indonesia
Perlakuan pajak..., Devi Ayu Sattvika, FISIP UI, 2013.
4 (kitchen) adalah suatu tempat makanan dan minuman diolah serta disiapkan sesuai dengan pesanan tamu, baik di restoran maupun yang dijual dalam kamar hotel. Di dapur terdapat proses produksi atau pengolahan makanan dan minuman dari bahan yang belum jadi, dipersiapkan sesuai dengan metode yang ditetapkan untuk dapat disajikan dan dijual kepada tamu, dimana dapur dilengkapi peralatan yang mendukung proses pengolahan makanan dan minuman. Dapur memiliki bagian-bagian yang dibagi menjadi empat, yaitu convention kitchen untuk skala proses memasak yang relatif kecil, combined preparation & finishing kitchen untuk skala proses memasak menengah dimana dipisahkan antara bagian yang mempersiapkan dengan bagian yang mengolah makanan, separated preparation & finishing kitchen untuk proses memasak dengan skala besar dan variasi makanan yang sangat beragam, serta convenience food kitchen khusus untuk membuat makanan jadi.[7] Dengan mengkaitkan teori mengenai Pajak Daerah dengan konsep restoran, maka dapat dirumuskan bahwa Pajak Restoran, sebagai salah satu jenis Pajak Daerah, merupakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang mendiami wilayah yurisdiksinya, tanpa langsung memperoleh kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah yang memungut pajak daerah yang dibayarkannya atas kegiatan yang dilakukan terkait dengan keberadaan restoran, dalam hal ini, mengacu pada konsep restoran, adalah pelayanan dalam memberikan makan dan minum yang dipungut bayaran karena tujuan restoran adalah mencari untung. Kegiatan ini dianggap sebagai bentuk konsumsi oleh konsumen terhadap pelayanan dalam mendapatkan makanan dan minuman di restoran. Ditinjau dari jenis pajaknya, Pajak Restoran memiliki karakteristik sebagai bentuk pajak penjualan. Bird (2009, hal. 1) menjelaskan bahwa pajak penjualan adalah bentuk implementasi dari pengenaan pajak atas dasar konsumsi domestik.[8] Dalam perkembangannya pengkategorian Pajak Restoran dilakukan dengan memasukkan Pajak Restoran sebagai salah satu jenis pajak yang dikenakan atas dasar konsumsi. Pada intinya Pajak Restoran memiliki karakteristik pajak atas konsumsi yang dikenakan dalam bentuk pajak penjualan (sales tax), dimana dikenakan pada konsumen akhir atas suatu jasa pelayanan di restoran. Menurut golongannya, Pajak Restoran termasuk dalam jenis pajak tidak langsung karena pengusaha restoran dapat mengalihkan beban pajaknya (tax burden) kepada konsumen yang menikmati layanan restoran (forward shifting) sehingga jumlah pembayaran yang harus dibayar oleh konsumen ditambah dengan Pajak Restoran yang dibebankan kepadanya.[9]
McLure sebagaimana diadaptasi oleh Duncan (2010, hal. 716) menyebutkan pajak atas konsumsi yang dianggap ‘well-designed’ adalah yang memenuhi kriteria berikut: (1) dikenakan atas hampir semua barang dan jasa yang dibeli untuk penggunaan/konsumsi individual; (2) mengecualikan penjualan untuk keperluan bisnis; (3) Penjualan yang dikenakan pajak adalah yang berdasarkan tujuan (destination basis), sehingga ekspor dari satu daerah ke daerah yang lain akan dikecualikan dan suatu item akan dikenakan pajak berdasarkan tarif yang berlaku di daerah dimana item tersebut dikonsumsi; dan (4) administrasi dalam pemungutan pajak sederhana dan tidak memberatkan.[10] 2. 3. CONVENIENCE STORE Convenience store atau toko kelontong merupakan salah satu bentuk usaha distribusi skala kecil. Kotler dan Keller (2007) mendefinisikan convenience store sebagai toko yang relatif kecil, terletak di depan pemukiman, memiliki jam operasional lama dan buka tujuh hari dalam seminggu, dan menjual produk dengan perputaran cepat namun harga cenderung mahal.[11] Pride dkk (1988, hal. 394) melihat convenience store sebagai “...is a small food store that sells a limited variety of products but remains open well beyond the normal business hours”, yaitu sebuah toko berorientasi makanan dengan skala kecil yang menjual jenis produk secara terbatas, namun dengan jam buka/operasional di luar jam operasional yang normal. Pride dkk juga menyebutkan bahwa barang-barang yang terbatas (limited stock) yang dijual pada convenience store dan harga barang yang mahal pada convenience store merupakan konsekuensi yang disebabkan toko harus buka lebih lama dari jadwal yang normal.[12] Tidak jauh beda dengan Pride, Berman (2001, hal. 154-156) mendefinisikan convenience store sebagai “...is usually a food-oriented retailer that is well-located, is open long hours, and carries a moderate number of items.” Convenience store dapat dikatakan sebagai pengecer yang mencakup skala kecil (lebih kecil daripada pasar Menurut Berman, ciri-ciri tradisional).[12] convenience store, sama seperti yang disebutkan oleh Pride, adalah menjual barang dengan harga yang relatif lebih mahal. Berman menambahkan bahwa daya tarik convenience store terletak pada kemudahan dalam berbelanja dan jam operasional toko yang panjang.[13] Berman (2001) menjelaskan bahwa produk yang dijual di convenience store umumnya berupa susu, telur, dan roti. Dalam perkembangannya convenience store juga menjual makanan siap saji seperti sandwiches, produk rokok, makanan ringan, soft drinks, koran dan majalah, bir dan anggur, video sewaan, tiket lotre, dan jasa pencucian mobil. Di luar negeri, produk convenience store termasuk pula penjualan bahan bakar, walaupun di Indonesia, Universitas Indonesia
Perlakuan pajak..., Devi Ayu Sattvika, FISIP UI, 2013.
5 hal ini dimaksudkan lokasi convenience store yang, sebagaimana kita lihat, banyak berada di lokasi pom bensin. Fenomena menarik terjadi pada usaha restoran dan juga usaha-usaha convenience store. Dalam bukunya, Kotler dan Keller (2007) menjelaskan adanya perubahan kegunaan dari tokotoko ritel, yang semula hanya melayani pembelian barang atau jasa kepada konsumen, kini mencakup pula menyediakan fasilitas yang menunjang kenyamanan dan menunjang kebutuhan masyarakat untuk bersosialisasi. Hal ini disebabkan adanya perubahan gaya hidup masyarakat. Sekarang ini makin banyaknya kecenderungan orang hidup sendirian dan banyaknya orang yang merasakan kejenuhan bekerja sehingga mereka membutuhkan suatu wadah untuk bersosialisasi. Toko-toko pengecer kemudian manawarkan bukan hanya barang dagangannya melainkan juga kenyamanan, relaksasi, dan wadah bersosialisasi untuk masyarakat. 2. 4. OPERASIONALISASI KONSEP
Konsep
Variabel Kesesuaian Perlakuan Pajak Restoran pada usaha Pajak Restoran Convenience Store berdasarkan Teori Pajak Restoran Sumber: Diolah oleh Penulis
3.
Teori Pajak Restoran yang digunakan dalam operasionalisasi konsep ini diangkat dan dirangkum dari berbagai teori yang menyatakan bahwa pajak restoran merupakan suatu jenis pajak daerah yang dikenakan atas dasar konsumsi berupa pelayanan di restoran, dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah tanpa ada kompensasi langsung bagi wajib pajak. Restoran itu sendiri merupakan suatu bentuk usaha yang menyelenggarakan pelayanan berupa penyediaan makanan dan minuman yang didukung fasilitas tempat menyantap dengan tujuan komersil atau mencari keuntungan serta memberikan kepuasan bagi tamunya. Restoran biasanya memiliki menu tertulis dan makanan dan minuman disajikan oleh pramusaji setelah melalui proses pengolahan (memasak) oleh koki di dapur. Dari teori tersebut, Penulis akan meneliti bagaimana kesesuaian pengenaan Pajak Restoran sesuai teori Pajak Restoran atas penjualan makanan/minuman siap saji pada usaha convenience store.
Tabel 2. Operasionalisasi Konsep Kategori Indikator • Pajak dikenakan atas konsumsi berupa pelayanan di restoran yang dibebankan pada konsumen akhir yang makan/minum di restoran • Sesuai • Restoran menyediakan fasilitas tempat menyantap makanan dan/atau minuman • Tidak • Restoran melakukan penyediaan makanan dan/atau Sesuai minuman • Restoran melakukan pengolahan (proses memasak) makanan dan/atau minuman
METODE PENELITIAN
Teknik Pengumpulan Data. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan, khususnya dalam penelitian ini adalah pihak pengelola usaha convenience store, pihak pemerintah selaku perumus kebijakan perpajakan, dan eksekutor kebijakan serta ahli-ahli lainnya dalam bidang perpajakan, khususnya Pajak Daerah, baik dari sisi akademisi maupun praktisi. Sementara itu, datadata sekunder yang digunakan mencakup artikelartikel dari media massa, studi kepustakaan dari buku dan penelitian-penelitian sejenis yang dilakukan sebelumnya serta data-data korelatif lainnya. Teknik Analisis Data. Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat kualitatif
karena data yang diambil dalam penelitian merupakan jenis data kualitatif berupa kata, kalimat-kalimat, maupun ungkapan narasi yang didapat dari hasil wawancara mendalam. Langkahlangkah dalam melakukan analisis data kualitatif adalah mengumpulkan dan menyiapkan data yang akan dianalisis, membaca ulang seluruh data hasil wawancara, melakukan proses coding, menggunakan coding untuk menjabarkan informasi, merangkai narasi penjabaran data, dan melakukan interpretasi data.[14] Narasumber. Berkaitan dengan data primer yang digunakan dalam penelitian, Penulis melakukan wawancara mendalam kepada beberapa narasumber. Narasumber dipilih berdasarkan keterkaitan narasumber dengan fokus penelitian, yakni masalah perlakuan Pajak Restoran pada usaha convenience store, di antaranya adalah pihak pemerintah, terdiri dari Kepala Bidang Promosi dan Akomodasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Kepala Seksi Bidang Penyuluhan Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak Jakarta Barat I dan Kepala Seksi Penyelesaian Sengketa Pajak Suku Dinas Universitas Indonesia
Perlakuan pajak..., Devi Ayu Sattvika, FISIP UI, 2013.
6 Pelayanan Pajak Jakarta Selatan I; pihak akademisi dan praktisi perpajakan, terdiri dari Akademisi Machfud Sidik, Tjip Ismail, dan Hasan Rahmani, serta Praktisi, Edi Sumantri.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fenomena convenience store menjadi sangat populer karena bentuk usahanya yang unik. Bentuk usaha convenience store sendiri pada dasarnya memiliki format dan inti kegiatan yang tidak berbeda jauh dengan pasar tradisional tersebut, yaitu sebagai distributor barang langsung kepada konsumen akhir untuk tujuan konsumsi. Namun, convenience store mengemas kegiatan penjualan barang dengan lebih apik dan modern. Di samping itu, convenience store juga menawarkan segi kepraktisan dalam berbelanja. Biasanya lokasi convenience store berada pada tempat-tempat yang memang mudah diakses dan dijangkau masyarakat kapan pun mereka ingin berbelanja. Model toko yang kecil menjadikan convenience store sebagai tempat berbelanja yang cenderung membidik konsumen yang membutuhkan barang secara cepat dan sifatnya segera, dimana konsumen dapat langsung memilih barang yang dibutuhkan, membayar, dan mengkonsumsinya. Produk yang dijual di convenience store mayoritas sama dengan yang dijual pada usaha distribusi kategori ritel yang lainnya, seperti minimarket atau pasar tradisional, namun cenderung mengarah pada makanan atau minuman. Yang membedakan dengan minimarket adalah variasi produk yang dijual. Convenience store hanya menawarkan varian barang yang terbatas dan harga sedikit lebih mahal. Harga yang mahal ini, sebagaimana disebutkan oleh Pride dkk. (1988, hal. 394), merupakan konsekuensi dari jam operasional toko yang lebih lama. Convenience store meraup kepopuleran dalam waktu singkat di Jakarta. Dalam perkembangannya, convenience store - convenience store baru yang muncul di Jakarta menawarkan tidak hanya kesempatan berbelanja yang fleksibel. Ide tersebut telah menjadi sesuatu yang biasa di masyarakat. Inovasi baru muncul dimana convenience store kini juga membidik potensi pasar masyarakat Indonesia yang senang hang out atau berkumpul bersama untuk bersosialisasi. Di Jakarta, orang-orang banyak mencari wadah dan tempat untuk bersosialisasi satu sama lain setelah terlepas dari kepenatan dan kejenuhan rutinitas sehari-hari, seperti bekerja dan bersekolah. Convenience store secara cerdas merespon dengan menawarkan fasilitas-fasilitas penunjang hal tersebut untuk menarik minat para pengunjung, seperti fasilitas tempat duduk (meja dan kursi) dengan jumlah banyak sebagai tempat untuk kumpul-kumpul, fasilitas koneksi internet gratis, dan lain sebagainya. Dengan demikian pengunjung datang ke
convenience store bukan hanya untuk melakukan kegiatan belanja mereka saja, tapi juga untuk mencari kesenangan dengan berkumpul bersama teman dan kerabat. Hal ini senada dengan pendapat Kotler dan Keller (2007) yang menjelaskan adanya perubahan kegunaan dari toko-toko ritel, tidak lagi hanya sebagai lokasi berbelanja, melainkan juga wadah untuk bersosialisasi. Di sisi lain, selain menyediakan fasilitasfasilitas penunjang bagi para pengunjung, convenience store di Jakarta juga berlomba untuk menawarkan varian produk yang lebih beragam, unik, dan inovatif. Kini mereka tidak hanya menjual produk makanan/minuman ringan kemasan dan kebutuhan sehari-hari khas minimarket, seperti alat tulis, alat keperluan rumah tangga, mie instan, dan sebagainya, melainkan juga menjual varian makanan dan minuman siap saji seperti hot dog, onigiri (nasi kepal a la Jepang), dan kopi atau minuman soda racikan. Jika diperhatikan lebih jauh, produk-produk yang dijual ini mirip dengan produk makanan dan minuman siap saji yang dijual pada usaha restoran atau rumah makan. Penjualan produk-produk ini, ditambah dengan fasilitas penunjang yang baik, kemudian meningkatkan popularitas convenience store sebagai tujuan berbelanja. Terlepas dari popularitasnya, pada akhir tahun 2012 muncul pemberitaan dan isu mengenai convenience store yang cukup ramai dibicarakan terkait dengan masalah perizinan usaha. Isu yang diberitakan kala itu terkait dengan perizinan usaha convenience store yang dianggap tidak sesuai dengan kegiatan usahanya. Seperti yang diketahui, bentuk usaha convenience store adalah bentuk usaha atau bisnis model baru yang bisa dikatakan cukup unik. Usaha ini merupakan perpaduan inovatif antara usaha distribusi eceran dengan tambahan varian produk berupa makanan dan minuman siap saji a la restoran. Karena selama ini belum pernah ada bentuk usaha dengan kriteria seperti convenience store di Indonesia, oleh sebab itu, belum ada ketentuan atau peraturan yang mengatur secara khusus mengenai bentuk usaha tersebut, termasuk dalam hal perizinan usaha. Hal ini menyebabkan terjadinya kerancuan dalam menetapkan izin usaha untuk convenience store. Terdapat ketidaksamaan izin usaha antara convenience store yang satu dengan yang lainnya. Ada yang berizin toko modern dan ada yang memiliki izin sebagai restoran. Pemberian izin usaha convenience store sebagai usaha restoran bukan seratus persen disebabkan karakteristik kegiatan usahanya, melainkan karena 7-Eleven tidak memenuhi kriteria pengajuan izin usaha Toko Modern. Di satu sisi Pemerintah seharusnya memberikan izin sebagaimana kriteria usaha dan sesuai peraturan hukum yang berlaku, namun di lain pihak Pemerintah Daerah DKI Jakarta, sebagai pemberi kepastian hukum, terikat hubungan timbal balik dengan investor. Maka akhirnya Pemerintah Universitas Indonesia
Perlakuan pajak..., Devi Ayu Sattvika, FISIP UI, 2013.
7 DKI Jakarta dapat dikatakan secara darurat mengeluarkan izin restoran melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk convenience store 7-Eleven. Hingga saat ini, belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang bentuk usaha convenience store, khususnya dalam bidang perizinan usaha. Masalah perizinan ini masih menjadi area abu-abu yang menunggu untuk diselesaikan. Pemerintah sendiri juga belum bisa secara tegas menetapkan bagaimana perlakuan yang ideal terhadap masalah perizinan usaha convenience store. Hal ini kemungkinan disebabkan uniknya bentuk usaha convenience store di DKI Jakarta yang merupakan perpaduan dua bentuk usaha yaitu usaha ritel khas minimarket dan usaha restoran sehingga menyebabkan pemerintah masih belum bisa menentukan persepsi yang pas untuk kategori usaha convenience store. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan sebuah kajian mengenai perizinan convenience store untuk mengetahui bagaimana perlakuan yang ideal dalam memberikan izin usaha pada usaha convenience store. Penetapan perizinan bagi bentuk usaha convenience store ini menjadi semakin penting karena secara tidak langsung mempengaruhi hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha convenience store, salah satunya yang meliputi pemenuhan kewajiban perpajakan usaha convenience store. Adanya pemberian izin restoran pada salah satu merek usaha convenience store menimbulkan efek yang cukup signifikan bagi Pemerintah DKI Jakarta. Dengan adanya izin restoran, Pemerintah DKI Jakarta mempunyai celah untuk kemudian mengenakan Pajak Restoran pada usaha convenience store. Apalagi jika dilihat bahwa skala kegiatan usaha convenience store terhitung besar sehingga menjadikan usaha ini sebuah potensi ladang emas bagi sektor perpajakan. Untuk kegiatan pokok usaha convenience store berupa penjualan produk, baik barang maupun makanan/minuman, saat ini dikenakan dua jenis pajak, yakni Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Restoran. Pajak Restoran atas penjualan makanan/minuman pada usaha convenience store di DKI Jakarta dikenakan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran. Berdasarkan ketentuan mengenai Pajak Restoran tersebut, Pemerintah DKI Jakarta memutuskan bahwa kegiatan usaha convenience store masuk ke dalam kategori restoran yang diatur dalam peraturan ini. Dari teori mengenai restoran yang diungkapkan Sugiarto dan Sulartiningrum (1996, hal. 77), restoran memiliki beberapa kriteria spesifik yang dapat dibagi menjadi tiga indikator utama, yakni adanya pelayanan dalam hal penyediaan makanan dan/atau minuman, adanya fasilitas tempat menyantap makanan dan/atau minuman, serta adanya proses pengolahan (proses memasak)
makanan/minuman. Dari segi peraturan pajak, indikator ini ditambah dengan kriteria terpenuhinya ketentuan mengenai batas peredaran usaha. 1) Adanya Pelayanan dalam Penyediaan Makanan dan/atau Minuman Mayoritas produk yang dijual pada usaha restoran adalah makanan dan/atau minuman. Dari hasil observasi lapangan Penulis melihat bahwa memang convenience store yang ada di DKI Jakarta menyediakan produk makanan dan/atau minuman. Masing-masing merek convenience store memiliki menu andalan mereka masing-masing. Contoh produk makanan yang dijual pada convenience store di DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Produk makanan yang dijual pada convenience store di DKI Jakarta Sumber: Hasil Observasi Lapangan (13-14 Juli 2013) Berdasarkan jenis produk yang dijual sebagaimana terlihat pada gambar di atas, convenience store dikenakan Pajak Restoran karena produk yang dijual sesuai dengan definisi restoran yang ada pada Perda Nomor 11 Tahun 2011 Pasal 1 angka 10, yakni terdiri dari makanan dan/atau minuman. 2) Adanya Fasilitas untuk Menyantap Makanan dan/atau Minuman Bentuk fasilitas bagi konsumen tersebut dapat berupa tersedianya ruang khusus bagi konsumen yang dilengkapi susunan meja dan kursi. Suripno, selaku Kepala Seksi Bidang Penyuluhan Dinas Pendapatan Daerah DKI Jakarta, menekankan bahwa adanya fasilitas tempat untuk menyantap makanan dan/atau minuman ini yang kemudian membedakan usaha restoran dengan usaha minimarket. Usaha minimarket mungkin saja menjual makanan dan/atau minuman, namun tanpa adanya fasilitas yang disediakan bagi konsumen untuk menyantap produk tersebut di tempat. 3) Adanya Proses Pengolahan (Proses Memasak) Makanan/Minuman Convenience store yang mengusung konsep modern dan cepat dalam melayani konsumen Universitas Indonesia
Perlakuan pajak..., Devi Ayu Sattvika, FISIP UI, 2013.
8 melakukan proses memasak dengan semodern mungkin. Artinya proses memasak yang dilakukan bersifat praktis, singkat, dan tidak memakan tempat serta tidak merepotkan karena convenience store sebagai restoran dikategorikan ke dalam tipe restoran siap-saji (fast food restaurant). Sebagaimana sebutannya, restoran siap-saji menuntut makanan/minuman tersedia dengan cepat. Proses memasak makanan siap-saji ini hanya membutuhkan keahlian yang minimal dari juru masak, bahkan dapat dikatakan proses memasaknya dapat dilakukan oleh siapa saja dengan mudah.[15] Mayoritas proses memasak pada usaha convenience store, seperti pada 7-Eleven dan Lawson, melibatkan metode menggoreng dan/atau grilling. Proses memasak ini dilakukan pada dapur kecil yang disebut juga convenience food kitchen. Dapur ini merupakan jenis dapur kering atau biasa disebut pantry dan terletak di bagian belakang konter convenience store. Dapur ini hanya dikhususkan untuk membuat makanan jadi atau dengan kata lain makanan yang tidak memerlukan proses memasak yang terdiri dari berbagai tahap dan memakan waktu lama. Proses pengolahan yang ada kebanyakan hanya berupa proses menggoreng bahan setengah jadi menjadi makanan matang atau proses grilling. Sementara itu, beberapa convenience store, seperti Circle K dan Indomaret Point, hanya menyediakan microwave oven yang digunakan sebagai alat pemanas makanan jadi yang telah dikemas dan distok sebelumnya. Dalam kegiatannya, tidak terdapat proses memasak seperti menggoreng dan sebagainya. Berdasarkan kriteria restoran yang telah dijelaskan pada butir 1 sampai 3 di atas dan dilihat dari hasil observasi lapangan terhadap usaha convenience store yang ada di DKI Jakarta, sekilas dapat dikatakan bahwa pelayanan yang ada pada usaha convenience store di DKI Jakarta dapat dikategorikan sebagai objek Restoran sebagaimana diatur dalam Perda DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran. Hal ini terjadi karena fenomena convenience store yang ada di Indonesia ternyata tidak sepenuhnya sama dengan konsep convenience store yang berlaku umum. Beberapa contoh convenience store yang ada di Indonesia, khususnya di Jakarta, ternyata telah mengalami proses inovasi dari ide awal convenience store itu sendiri. Inovasi yang dilakukan pada convenience store ini, yang kemudian menggiring konsep convenience store semakin mendekati bentuk usaha restoran, menurut Kotler dan Keller (2007) merupakan bagian dari perubahan yang terjadi pada kegunaan toko-toko ritel. Perubahan ini dipicu adanya perubahan pada gaya hidup masyarakat yang menginginkan tempat penjualan barang dan/atau jasa konsumsi sekaligus wadah untuk bersosialisasi sehingga pengelola convenience store mencoba meresponnya dengan memberikan
fasilitas yang menunjang kenyamanan dan menunjang kebutuhan masyarakat untuk bersosialisasi. Terlepas dari adanya kesan bahwa usaha convenience store di DKI Jakarta semakin mendekati konsep usaha restoran, perlu ditekankan bahwa adanya kesan tersebut tidak semerta-merta dapat dijadikan alasan untuk mengenakan Pajak Restoran atas usaha convenience store. Hal ini disebabkan jika kita melihat dan mengamati dengan lebih seksama pada usaha convenience store, kesan yang ditimbulkan dari inovasi usaha yang seolah mengubah bentuk usaha convenience store menjadi semakin mendekati konsep restoran tidak menghilangkan karakteristik dasar dari usaha convenience store itu sendiri, yakni sebagai distributor eceran barang-barang yang tidak hanya terbatas pada makanan dan/atau minuman sebagaimana halnya restoran. Muncul adanya ketidaksesuaian pada pengenaan Pajak Restoran atas convenience store dalam kaitannya dengan karakteristik usaha convenience store itu sendiri. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, usaha convenience store yang ada di DKI Jakarta mengusung konsep minimarket dengan tambahan konsep restoran sekaligus. Kedua konsep ini memiliki karakteristik usaha yang berbeda, termasuk dari jenis produk atau barang yang dijual. Produk yang termasuk dalam produk restoran sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1, antara lain sandwich, nasi kuning, hotdog, berbagai macam paket nasi dan lauk dan lain sebagainya. Sementara itu, selain menyajikan produk-produk khas restoran, convenience store juga menyajikan produk ritel layaknya minimarket sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Contoh produk ritel yang dijual pada convenience store di DKI Jakarta Sumber: Hasil Observasi Lapangan (13-14 Juli 2013) Dari hasil observasi lapangan, Penulis melihat bahwa mayoritas dari display produk yang ada pada usaha convenience store di DKI Jakarta didominasi produk khas ritel yang merupakan barang kena Pajak Pertambahan Nilai. Pada dasarnya, atas aktivitas penjualan pada kedua konsep ini masing-masing merupakan objek dari Universitas Indonesia
Perlakuan pajak..., Devi Ayu Sattvika, FISIP UI, 2013.
9 jenis pajak yang berbeda. Penjualan barang-barang kena pajak sebagaimana terdapat pada minimarket dikenai Pajak Pertambahan Nilai, sementara itu penjualan makanan dan/atau minuman sebagaimana pada usaha restoran dikenai Pajak Restoran. Penentuan dasar pengenaan pajak dari masingmasing jenis pajak didasarkan pada omzet penjualan masing-masing kategori barang. Peredaran usaha yang berasal dari penjualan barang-barang kena pajak seperti pada minimarket merupakan dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Sedangkan peredaran usaha yang berasal dari penjualan makanan dan/atau minuman merupakan dasar pengenaan Pajak Restoran. Dengan melihat bahwa produk ritel lebih banyak dijual, maka dapat disimpulkan bahwa peredaran usaha convenience store dari sisi penjualan produk ritel akan lebih besar daripada penjualan produk restoran berupa makanan dan/atau minuman. Produk makanan dan/atau minuman yang dijual pada usaha convenience store hanya merupakan produk tambahan yang dijual sebagai bagian dari inovasi usaha convenience store. Dengan demikian, seharusnya atas penjualan makanan dan/atau minuman tersebut bisa saja tidak dikenakan Pajak Restoran. Kesimpulan ini dipertimbangkan melihat kecilnya potensi penerimaan yang dipungut pemerintah daerah dari usaha convenience store dibandingkan dengan biaya pemungutan atau cost of collection yang harus dikeluarkan dalam melakukan pemungutan Pajak Restoran. Selain itu, berkenaan dengan dualisme kegiatan usaha, atas penjualan produk ritel minimarket yang ada pada usaha convenience store dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai. Bila kemudian aktivitas penjualan produk makanan dan/atau minuman khas restoran pada usaha convenience store dikenai Pajak Restoran maka akan terdapat dua perlakuan atas kegiatan pada satu usaha yang sama. Pemenuhan kewajiban kedua jenis pemajakan tersebut menuntut adanya akurasi dalam melakukan penghitungan masing-masing jenis pajak, terutama dalam hal pemisahan dasar pengenaan masingmasing pajak. Pengelola convenience store harus dapat memilah dasar pengenaan untuk masingmasing jenis pajak sehingga tidak terjadi pemajakan ganda atas satu objek yang sama atau munculnya potential loss. Untuk mencapai hal tersebut, pengelola convenience store membutuhkan suatu sistem pembukuan yang dapat meregister penjualan produk di convenience store dan memisahkannya menjadi dua golongan berbeda, yaitu kelompok penjualan yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai dan kelompok penjualan yang dikenai Pajak Restoran. Keharusan ini dapat menimbulkan cost of taxation yang besar bagi Wajib Pajak. Padahal seharusnya suatu pengenaan pajak yang ideal
adalah yang menimbulkan cost of taxation yang sekecil mungkin agar Wajib Pajak terdorong untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Perlu diingat bahwa salah satu prinsip pengenaan pajak sendiri adalah adanya prinsip non-distortion. Pajak seharusnya tidak mendistorsi pilihan-pilihan yang ada pada ranah swasta, atau dapat dikatakan bersifat netral.[16] Jika Wajib Pajak sudah merasa terbebani, besar kemungkinan Wajib Pajak akan mengurangi aktivitas atau kegiatan usahanya untuk menghindari kewajiban yang harus dilakukan. Efek ini sangat tidak dianjurkan untuk terjadi. Seharusnya untuk dapat merespon berbagai paradigma modern kegiatan usaha yang tentunya membawa potensi pajak masing-masing, diperlukan sebuah kajian yang mendalam atas sektor yang bersangkutan. Hal ini diperlukan agar fenomena yang ada dapat ditangkap dengan lebih tepat dan efektif melalui peraturan yang lebih kompatibel dengan perkembangan kondisi yang ada, seperti contohnya pada kegiatan usaha convenience store ini. Yang dibutuhkan dalam kasus ini adalah adanya penyesuaian persepsi otoritas perpajakan dengan kondisi usaha secara nyata. Penyesuaian perlu dilakukan sehingga keputusan dalam menerapkan atau tidak menerapkan pajak menjadi lebih lebih tepat dan berdasar serta kompatibel dalam mengcapture jenis usaha convenience store dengan lebih nyata. Dengan demikian, potensi pajak yang ada pada jenis usaha ini dapat dijabarkan dengan lebih cermat dan pengenaannya tidak menimbulkan kerancuan. Dengan menyesuaikan kewajiban perpajakan convenience store menjadi hanya satu jenis pajak saja, hal ini akan mempermudah perngadministrasian pajaknya. Biaya administrasi pajak yang rendah diharapkan tidak menimbulkan beban atau cost of taxation yang besar kepada Wajib Pajak serta cost of collection yang tinggi bagi pemerintah sebagai pemungut pajak. Dengan demikian, akan meminimalisasi kemungkinan distorsi usaha akibat pengenaan pajak. Selain itu, jika pengenaan pajak atas usaha convenience store dapat dialihkan menjadi satu jenis pajak saja maka proses pengawasannya akan lebih mudah dan maksimal. Ketidaksesuaian pengenaan Pajak Restoran atas usaha convenience store juga dapat dilihat dari sisi isu perizinan usaha convenience store. Pemerintah selayaknya mengkaji pula permasalahan perizinan convenience store ini, baik yang mencakup tidak adanya izin usaha maupun timbulnya inkonsistensi pemberian izin usaha bagi convenience store yang satu dengan yang lain. Pemerintah dapat mengupayakan koordinasi antara instansi-instansi terkait, dalam hal ini instansi pajak dan bidang perizinan, untuk saling menginformasikan perihal keberadaan suatu usaha. Misalnya ketika pihak fiskus pajak menetapkan wajib Pajak Restoran atas salah satu usaha Universitas Indonesia
Perlakuan pajak..., Devi Ayu Sattvika, FISIP UI, 2013.
10 convenience store yang belum memiliki izin restoran, hal tersebut dapat diinformasikan kepada bidang yang menangani perizinan untuk ditindak lanjuti. Demikian pula sebaliknya, jika bidang perizinan memproses izin salah satu usaha convenience store, informasi mengenai pelaku usaha yang bersangkutan dapat diteruskan ke instansi perpajakan untuk dianalisis apakah usaha tersebut memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai objek Pajak Restoran. Tentunya pemerintah harus lebih dulu memastikan bahwa ketentuan hukum mengenai perizinan dan perpajakan telah firm sehingga eksekusi dapat berjalan lebih optimal karena telah memiliki dasar hukum yang kuat.
5.
SIMPULAN DAN SARAN
5. 1. Simpulan. Dilihat dari segi teoritis, konsep usaha convenience store sekilas tampak memenuhi tiga kriteria yang menentukan bahwa usaha tersebut layak dikenakan Pajak Restoran, yakni adanya pelayanan dalam hal penyediaan makanan dan/atau minuman, adanya fasilitas tempat menyantap makanan dan/atau minuman, serta adanya proses pengolahan (proses memasak) makanan/minuman. Namun, jika diperhatikan lebih lanjut, kesan ini hanya muncul karena fenomena convenience store yang ada di Indonesia ternyata tidak sepenuhnya sama dengan konsep convenience store yang berlaku umum. Adanya kesan bahwa usaha convenience store di DKI Jakarta semakin mendekati konsep usaha restoran, perlu ditekankan bahwa adanya kesan tersebut tidak semerta-merta dapat dijadikan alasan untuk mengenakan Pajak Restoran atas usaha convenience store. Konsep restoran yang ditambahkan pada usaha convenience store tidak menghilangkan karakteristik dasar dari usaha convenience store itu sendiri, yakni sebagai distributor eceran seperti minimarket, apalagi jika dilihat bahwa mayoritas dari display produk yang ada pada usaha convenience store di DKI Jakarta sebenarnya masih didominasi produk khas ritel. Dengan demikian, seharusnya atas penjualan makanan dan/atau minuman yang ada pada usaha convenience store tersebut bisa saja tidak dikenakan Pajak Restoran. 5. 2. Saran Dari hasil analisis, Penulis memberikan rekomendasi antara lain penetapan aktivitas penjualan pada usaha convenience store dikenakan hanya satu jenis pajak saja, yaitu Pajak Pertambahan Nilai. Di sisi lain, pemerintah juga perlu menyamakan persepsi mengenai bentuk usaha conveniece store sehingga ke depannya tidak ada kerancuan mengenai kewajiban perpajakan yang dikenakan pada usaha convenience store dan dapat dipastikan bahwa ketentuan yang berlaku diimplementasikan secara seragam bagi semua convenience store yang ada agar sinkron antara
usaha convenience store yang satu dengan yang lain. Berkaitan dengan masalah perizinan usaha convenience store, pemerintah DKI Jakarta selayaknya mengkaji pula permasalahan perizinan convenience store ini, baik yang mencakup tidak adanya izin usaha maupun timbulnya inkonsistensi pemberian izin usaha bagi convenience store yang satu dengan yang lain. Pemerintah dapat mengupayakan koordinasi antara instansi-instansi terkait, dalam hal ini instansi pajak dan bidang perizinan, untuk saling menginformasikan perihal keberadaan suatu usaha. Tentunya pemerintah juga harus lebih dulu memastikan ketentuan hukum mengenai perizinan dan perpajakan sudah firm sehingga eksekusi dapat berjalan lebih optimal karena telah memiliki dasar hukum yang kuat.
DAFTAR ACUAN [1] [2]
[3]
[4]
[5] [6] [7]
[8]
[9]
[10]
Soliha, Euis. 2008. Analisis Industri Ritel di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. Vol. 15, No. 2. Hal 128-142. Ismail, Tjip. 2011. Paradigm Change of Local Tax. Journal of Administrative Science & Organization, Volume 18, Number 1, Page 33-42. Diakses pada http://journal.ui.ac.id/index.php/jbb/article/vi ewFile/972/895 pada 15 Maret 2013. Lutfi, Ahmad. 2006. Evolusi Penarikan Pajak Daerah di Indonesia: Suatu Tinjauan Peraturan Perundang-Undangan mengenai Pajak Daaerah di Indonesia. Departemen Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia Sidik, Machfud. 2002. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Diakses pada http://egov-rank.gunadarma.ac.id/keuangan pada 16 Maret 2013 Marsum, WA. 1994. Restoran dan Segala Permasalahannya. Yogyakarta: Andi Offset Sugiarto, Endar dan Sri Sulartiningrum. 1996. Pengantar Akomodasi dan Restorana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Mukhtar. 2004. Usaha Pengelolaan Dapur dalam Peningkatan Kualitas Makanan pada Hotel. Universitas Sumatera Utara, Fakultas Sastra Program Studi Pariwisata Bird, Richard M. 2009. Taxing Consumption. PREM Notes ; no. 136. Tax Policy. Washington D.C.: The Worldbank. Diakses pada http://documents.worldbank.org/curated/en/2 009/06/11361883/taxing-consumption pada 11 Maret 2013 OECD. 2007. Consumption Taxes: The Way of The Future?. Diakses pada http://www.oecd.org/tax/taxpolicy/39495382.pdf pada 11 Maret 2013. Duncan, Harley. 2010. Administrative Mechanisms to Aid in the Coordination of Universitas Indonesia
Perlakuan pajak..., Devi Ayu Sattvika, FISIP UI, 2013.
11
[11] [12]
[13]
[14]
[15] [16]
State and Local Ritel Sales Taxes with a Federal Value-Added Tax. Tax Law Review, 63(3), 713-770. Diakses pada http://search.proquest.com/docview/8586062 03?accountid=17242 pada 15 Maret 2013. Kotler, Phillip dan Kevin Lane Keller. 2007. Marketing Management. Edisi Bahasa Indonesia. PT Indeks. Pride, William M., Robert J. Hughes, dan Jack R. Kapoor. 1988. Business. Second Edition. United States of America: Houghton Mifflin Company. Berman, Barry dan Joel R. Evans. 2001. Ritel Management: A Strategic Approach. Eight Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Cresswell, John. W. 2002. Research Design: Qualitative, Quantitative, and mixed methods approaches. London : Sage Publication Inc. Hlm. 218-222 Cooper, Brian-Floody, Brian-McNeil Gina. 2005. Memulai dan Menjalankan Bisnis Restoran. Jakarta: Abdi Tandur Spahn, Paul Bernd. 1995. Local Taxation: Principles and Scope. In Jayanta Roy (ed.), Macroeconomic Management and Fiscal Decentralization, EDI Seminar Series, The World Bank, Washington D.C., 221-232.
Peraturan _____________. 2011. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran
Artikel 7-Eleven dan Lawson Sukses Merebut Hati Anak Muda. Rabu, 05 September 2012. Diakses pada http://economy.okezone.com/read/2012/09/1 4/320/689923/barang-ritel-akan-hilang-darilawson-seven-eleven pada Senin, 17 September 2012 7-Eleven Rajai Bisnis Convenience Store. Minggu, 29 Juli 2012. Diakses pada http://www.berita-bisnis.com/databisnis/1196--7-eleven-rajai-bisnisconvenience-store.html pada Senin, 17 September 2012 Bertumbuh hingga 750 Gerai. Diakses pada http://www.kabarindo.com/?act=single&no= 7101 pada Senin, 17 September 2012 Gabung Konsep Minimarket & Resto, 7-Eleven & Lawson Jadi Lokasi Favorit Anak Muda. Sabtu, 8 September 2012. Diakses pada http://www.halojepang.com/sorotan/5378minimarket Rabu, 26 September 2012 Industry Update. Volume 12, Juni 2011. Mandiri. Diakses pada http://www.bankmandiri.co.id pada 11 Februari 2013 _____________. Volume 17, Agustus 2012. Mandiri. Diakses pada http://www.bankmandiri.co.id pada 11 Februari 2013 Universitas Indonesia
Perlakuan pajak..., Devi Ayu Sattvika, FISIP UI, 2013.