Republik Indonesia
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
November 2013
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Prakata
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia
P
embangunan nasional Indonesia selalu mengupayakan konsep pembangunan yang berkelanjutan, dimana kebutuhan generasi sekarang dapat terpenuhi dengan tidak mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka. Dalam hal ini, Indonesia harus menyeimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidup dalam pembangunannya. Sejak KTT Bumi tahun 1992, Indonesia telah mengupayakan pelaksanaan pembangunan yang menyentuh beberapa pilar pembangunan.
Dalam pilar lingkungan hidup, Indonesia secara sukarela telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dalam upaya mitigasi pemanasan global dan perubahan iklim. Indonesia telah merumuskan beberapa peraturan dan mendirikan institusi terkait serta memberlakukan beberapa dokumen kebijakan untuk melaksanakan aksi mitigasi perubahan iklim. Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) yang diperkenalkan dalam Bali Action Plan diharapkan dapat menjadi wahana utama untuk aksi-aksi mitigasi di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah membuat sebuah kerangka kerja kebijakan nasional dan kerangka aksi perubahan iklim. Untuk mempercepat dan mempromosikan upaya tersebut secara nasional, pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Presiden No. 61 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)
ii
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
pada 20 September 2011. RAN-GRK merupakan langkah awal dalam penyusunan dan pelaksanaan NAMAs. Melalui buku ini, upaya untuk menginventarisasi dan mendokumentasikan data terkini dalam kerangka kerja NAMAs Indonesia telah dilakukan. Buku ini juga memberikan gambaran tentang kebijakan perubahan iklim di Indonesia serta langkah yang diambil oleh Indonesia dalam kerangka NAMAs tersebut. Kerangka kerja ini meliputi: kerangka kebijakan Indonesia untuk mitigasi dan NAMAs; kelembagaan NAMAs, elemen utama pelaksanaan NAMAs; data terkini perkembangan NAMAs; dan langkah berikutnya yang akan diambil untuk dapat meningkatkan, memperkuat dan melanjutkan NAMAs yang telah diupayakan saat ini. Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan penghargaan saya kepada tim yang telah bekerja keras untuk dapat menyelesaikan buku ini. Terlepas dari terbatasnya ruang dan waktu yang dimiliki oleh tim ini, buku ini telah dapat menggambarkan berbagai capaian utama dalam upaya kami untuk mengembangkan NAMAs. Saya berharap publikasi ini dapat membantu kita semua untuk mengerti akan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pengembangan NAMAs selanjutnya di Indonesia.
Armida S. Alisjahbana Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
iii
Daftar Istilah
iv
APBD
:
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
APBN
:
Anggaran Pendapatan Belanja Negara
BAU
:
Business As Usual
Bappenas
:
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
CCNCT
:
Climate Change National Coordination Team/Tim Koordinasi Penanganan Perubahan Iklim
ESDM
:
Energi dan Sumber Daya Mineral
GRK
:
Gas Rumah Kaca
ICCSR
:
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap
ICCTF
:
Indonesia Climate Change Trust Fund
IPCC
:
Intergovernmental Panel on Climate Change
MRV
:
Measurement, Reporting, Verification
NAMAs
:
Nationally Appropriate Mitigation Actions
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
PP
:
Peraturan Pemerintah
Perpres
:
Peraturan Presiden
RAN-GRK
:
Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
RAD-GRK
:
Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
REDD+
:
Reducing Emissions from Deforestations and Forest Degradation
RKP
:
Rencana Kerja Pemerintah
RKPD
:
Rencana Kerja Pemerintah Daerah
RPJP Nasional
:
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
RPJP Daerah
:
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
RPJMN
:
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
TPA
:
Tempat Pemrosesan Akhir
UNFCCC
:
United Nations Framework Convention on Climate Change
v
Daftar Isi Prakata Daftar Istilah Daftar Isi 1. Pembukaan 2. Perkembangan Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia 3. Kerangka Kebijakan Mitigasi Nasional dan NAMAs 4. Kelembagaan NAMAs 5. Elemen Utama Pelaksanaan NAMAs 5.1. Kriteria Nasional NAMA 5.2. Prosedur Pengajuan NAMAs 5.3. Pendanaan NAMA 6. Data Terkini Perkembangan NAMAs 7. Langkah Selanjutnya Lampiran Lampiran 1. Data terkini Perkembangan NAMA Lampiran 2. (Tautan ke Gambar 10. Tabel ringkasan perkembangan NAMAs terkini)
Daftar Gambar Gambar 1. Konsep NAMAs Gambar 2. Perkembangan kebijakan perubahan iklim di Indonesia Gambar 3. NAMAs unilateral, supported, dan credited Gambar 4. RAN-GRK sebagai NAMA Indonesia Gambar 5. CCNCT dan hubungannya dengan lembaga pembiayaan dan KLH Gambar 6. Tiga kelompok sektor utama pelaksanaan RAN-GRK Gambar 7. Prosedur Pengajuan NAMAs (unilateral dan supported) Gambar 8. Skema NAMAs untuk mendapatkan bantuan international Gambar 9. Tabel ringkasan perkembangan NAMAs terkini23
ii iv vi 2 4 8 12 16 16 19 21 26 29 30 30 37
2 4 10 11 13 14 20 24 27
Daftar Boks Boks 1. RAN-GRK di sektor berbasis lahan
vi
9
Boks 2. Penyusunan skenario baseline BAU dan emisi
18
Boks 3. Usulan untuk skema baru NAMAs untuk mendapatkan bantuan internasional
23
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Pembukaan
01
N
ationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)1 diharapkan dapat menjadi wahana utama untuk aksi-aksi mitigasi di negara berkembang. NAMAs diyakini menyediakan kesempatan baru bagi negara berkembang untuk dapat mengambil tindakan atas emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mereka yang besar dan terus meningkat dengan sangat cepat, serta pada saat yang bersamaan juga dapat mengelola kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi, sosial dan pembangunannya. NAMAs meliputi inisiasi atau pelaksanaan aktivitas mitigasi sektoral yang sedang berjalan atau telah direncanakan, seperti pelaksanaan energi terbarukan (RE) dan efisiensi energi (EE), pengelolaan hutan yang berkelanjutan, perbaikan sistem transportasi, dan mendorong aktivitas-aktivitas tersebut untuk bisa mendapatkan bantuan nasional dan internasional, sehingga pelaksanaannya dapat difasilitasi pada tataran yang lebih tinggi. Gambar 1. Konsep NAMAs NAMAs Unilateral dan NAMAs Supported NAMAs Unilateral/ Domestik
Baseline BAU untuk Multi Sektoral (total agregat)
-26%
Emisi GRK
Trend lampau dan situasi Emisi GRK saat ini
NAMAs berbasis pasar
Jalur Emisi GRK mendatang
T0
1
2
RAN/ RAD-GRK
-15%
T1
Tn
2020
NAMAs Supported Internasional
Tahun
Sejak diperkenalkan dalam Bali Action Plan, NAMA telah digolongkan berdasarkan sumber-sumber dananya berdasarkan pembicaraan dan pengajuan ke UNFCCC (contoh. Pengajuan oleh EU, 2009) NAMAs kemudian digolongkan menjadi (i) yang didanai oleh sumber daya sendiri dan internasional untuk mencapai tingkat deviasi yang telah disepakati dari praktik business-as-usual (BAU), namun tidak dapat digunakan oleh negara maju sebagai offset, dan (ii) yang didanai oleh mekanisme pasar dan non-pasar serta dapat digunakan sebagai offset oleh negara maju.
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Pada saat pertemuan G-20 di Pittsburgh dan UNFCCC COP ke-15 di Copenhagen pada tahun 2009, Presiden Republik Indonesia telah berkomitmen untuk memenuhi target pengurangan emisi GRK dari Business As Usual (BAU) sebesar 26% pada tahun 2020. Pengurangan emisi GRK juga dapat ditekan hingga mencapai 41% dengan adanya bantuan internasional. Komitmen ini disampaikan ke UNFCCC sebagai NAMAs Indonesia pada bulan Januari 2010. Hal ini selaras dengan upaya Indonesia yang berkesinambungan untuk mencapai target konvensi perubahan iklim (Climate Change Convention) dan berkontribusi dalam upaya mitigasi global berdasarkan asas dan ketentuan konvensi yang berlaku. Lebih lanjut, pemerintah Indonesia telah membuat kerangka kerja dan aksi kebijakan nasional untuk perubahan iklim. Untuk memajukan dan mendorong upaya tersebut secara nasional, pemerintah Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah No. 61 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) pada tanggal 20 September 2011. RAN-GRK merupakan langkah awal dalam penyusunan dan pelaksanaan NAMAs di Indonesia. Namun, masih terdapat beberapa pertanyaan tentang NAMAs Indonesia yang perlu untuk dijelaskan. Beberapa elemen utama untuk menyusun kerangka kerja NAMA yang efektif dalam level internasional dan nasional masih membutuhkan beberapa penjelasan lebih lanjut, seperti perbedaan antara NAMAs dan RAN-GRK, kelembagaan, kriteria NAMA, cara pendanaan atau MRV (pengukuran, pelaporan dan verifikasi) dan stardardisasi untuk beragam jenis NAMA yang berbeda. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, dokumen ini kemudian disusun untuk memberikan informasi terkini tentang kerangka NAMAs Indonesia2. Dokumen ini akan menjabarkan beberapa informasi penting mengenai kerangka kerja NAMAs Indonesia yang saat ini masih dalam penyusunan. Dokumen ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: 1) Pembukaan; 2) Perkembangan kebijakan perubahan iklim di Indonesia sebagai latar belakang NAMA; 3) Kerangka kebijakan mitigasi nasional dan NAMAs; 4) Kelembagaan NAMAs; 5) Elemen utama pelaksanaan NAMA; 6) Data terkini perkembangan NAMA; 7) Langkah selanjutnya. 2
Lihat definisi dan cakupan NAMA pada Bab 3
3
Perkembangan Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia
02
S
ejak tahun 2007, perkembangan perubahan iklim di Indonesia mencapai momentum yang signifikan ketika Indonesia menjadi tuan rumah Conference of Parties (COP) UNFCCC yang ke 13 di Bali. Indonesia kemudian mendirikan lembaga dan memberlakukan beberapa dokumen kebijakan dan peraturan terkait dengan perubahan iklim. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dibentuk pada tahun 2008 dan bertugas sebagai focal point isu-isu perubahan iklim dalam forum internasional. Berikutnya, pemerintah Indonesia mengarusutamakan aktivitas perubahan iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014 dan membentuk sebuah lembaga dana perwalian nasional/trust fund (ICCTF3) untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim. Pada akhir 2009, Indonesia mengumumkan komitmen sukarelanya untuk aksi mitigasi yang diikuti dengan penetapan Peraturan Presiden No. 61/2011 tentang RAN-GRK4. Gambar 2.
Perkembangan kebijakan perubahan iklim di Indonesia
Tuan Rumah COP13 Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim diterbitkan
Peraturan Presiden No.71/2011 tentang inventarisasi GRK Nasional
Presiden mengumumkan Indonesia Climate target penurunan GRK Change Sectoral sebesar 26%/41% pada Roadmap (ICCSR) Pertemuan G20
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI ) dibentuk
Komisi REDD RPJM 2009-2014 memasukkan perubahan Iklim
Penandatanganan LoI untuk REDD+ antara Norway-Indonesia
Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dibentuk
Peraturan Presiden No.61/2011 tentang RAN-GRK National Communication (SNC) Indonesia yang kedua
Rencana Aksi Daerah Penuranan Gas Rumah Kaca (RAD -GRK) Persiapan mekanismeMER untuk RAN/ RAD-GRK 2020
2007
4
2008
2009
2010
2011
2012
2013
3
Untuk informasi lebih lanjut tentang ICCTF dan proyek yang didanai melalui pembiayaan perubahan iklim, harap mengunjungi www.icctf.or.id
4
RAN-GRK adalah rencana aksi yang dibuat untuk kurun waktu 10 tahun dari 2010-2020 yang menerangkan bagaimana rencana Indonesia untuk mencapai target 26% dibawah BAU melalui upaya domestik dan penurunan 41% melalui bantuan internasional.
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Sebagai tindak lanjut dari komitmen di atas, RAN-GRK disusun dan dilengkapi dengan kerangka kebijakan untuk periode 2010-2020 yang ditujukan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, dan pemangku kepentingan lain untuk melakukan aksi yang terkait langsung maupun tidak langsung. Kerangka kebijakan tersebut merujuk kepada visi dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 20052025 dan periode kedua dari prioritas yang tercakup dalam RPJMN 2010 – 20145. Visi dan prioritas tersebut kemudian diterjemahkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai payung kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Indonesia juga telah secara aktif berpartisipasi dalam negosiasi dan pengembangan REDD+ sejak tahun 2007. Beberapa inisitatif REDD+ telah diluncurkan dan diikuti dengan beberapa perubahan kebijakan dan peraturan nasional untuk mendukung REDD+. Sebagai tindak lanjut Bali Action Plan, Indonesia telah mendapatkan akses untuk menerima bantuan dana multilateral dan bilateral dalam mendukung fase kesiapan REDD+6. Indonesia juga telah menandatangani perjanjian dengan pemerintah Norwegia untuk mananggulangi emisi yang dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan. Sebagai tindak lanjutnya, Indonesia kemudian merumuskan strategi dan rencana aksi nasional untuk REDD+7. Perkembangan kerangka aksi mitigasi Indonesia saat ini telah mengalami kemajuan karena hampir seluruh provinsi telah membuat Rencana Aksi Daerah untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK)8. Tidak hanya dalam hal perencanaan semata, pada tahun 2012 sistem monitoring, evaluasi dan pelaporan (MER) untuk aksi-aksi mitigasi
5
Ditetapkan dalam visi keenam RPJP untuk Indonesia yang lebih menarik dan berkelanjutan; dan pada prioritas kesembilan dari RPJM kedua mengenai pengelolaan lingkungan hidup dan bencana.
6
Program UNREDD Indonesia berakhir pada tahun 2012, tapi program Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) yang dikelola oleh World Bank masih berlangsung.
7
Lebih lanjut, 11 propinsi terpilih sedang memfinalisasikan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) untuk REDD+. Kementerian terkait juga merumuskan inisiatif serupa untuk sektor lain seperti Inisiatif Energi Bersih (REFF-BURN) untuk sektor energi dan “REWaste” untuk sektor limbah.
8
Sekitar 32 dari 33 propinsi telah mengajukan RAD-GRK ke Bappenas (untuk informasi lebih lanjut tentang RAD-GRK, kunjungi: www.sekretariat-rangrk.org)
5
juga telah dibuat melalui kolaborasi dengan pemerintah daerah dan kementerian terkait. Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (SIGN) yang dikoordinasi oleh KLH dibentuk pada tahun 2011. Sistem ini merupakan pilar fundamental dalam penerapan MRV di Indonesia. Sistem ini dapat memberikan hasil evaluasi yang dapat dipertanggungjawabkan untuk membuat laporan dua tahunan (biennial update reporting/BUR) dan national communication ke UNFCCC. Pelaksanaan RAN/RAD-GRK diharapkan dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip dan prioritas pembangungan nasional, kelayakan dan potensi mitigasi, serta dukungan finansial. Lebih lanjut, RAN-GRK dapat pula dikatakan sebagai langkah awal dalam pengembangan dan pelaksanaan NAMAs. NAMAs akan mendukung pelaksanaan RAN-GRK kedepan dengan adanya bantuan dana unilateral (untuk mendukung target pengurangan emisi sebesar 26%) dan bantuan dana internasional (untuk mengurangi emisi hingga 41%)
03
Kerangka Kebijakan Mitigasi Nasional dan NAMAs
B
erdasarkan definisinya, NAMA adalah upaya secara sukarela untuk mitigasi emisi GRK. Pelaksanaan NAMA dapat didukung oleh negara pelaksana atau negara maju. Dukungan tersebut diharapkan dapat mencakup hal pembiayaan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas9. Dengan kerangka politik NAMAs yang terus berkembang, NAMAs akan menjadi bagian penting dari rezim kebijakan iklim internasional. NAMAs masuk ke dalam agenda kebijakan iklim melalui Bali Action Plan tahun 2007, ketika Conference of Parties di UNFCCC setuju untuk menggunakannya sebagai upaya mitigasi dalam skala yang lebih besar. Saat ini, banyak negara telah mengajukan proposal NAMA ke UNFCCC dan beberapa negara sedang mempersiapkan konsep NAMA yang lebih detail di berbagai sektor seperti tranportasi, energi, limbah, industri, bangunan, kehutanan dan pertanian. Dalam konteks REDD+, upaya yang telah dilakukan merupakan bagian integral dari RAN/ RAD-GRK dan pengurangan emisi yang telah dicapai melalui pelaksanaan REDD+ harus dihitung ke dalam target nasional -26/-41%. Walaupun cakupan aktivitas sektoral antara REDD+ dan NAMAs berbasis lahan hampir sama, namun REDD+ mungkin harus memiliki prosedur, rencana dan strategi tersendiri (contoh: Badan REDD+, dana untuk REDD+ Indonesia, institusi untuk MRV). Adapun NAMA berbasis lahan dilaksanakan berdasarkan RAN/RAD GRK dan mengikuti prosedur terkait (lihat Boks 1).
9
8
Karena saat ini tidak ada definisi yang disetujui secara internasional untuk NAMA, aktivitas NAMA oleh karenanya tidak dibatasi sepanjang aktivitas tersebut sejalan dengan rencana pembangunan nasional, dan berkontribusi terhadap mitigasi emisi GRK yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (MRV) (UNFCCC, 2007). Potensi pengukuran NAMA kemudian menjadi bervariasi dan dapat digabung dengan ragam aktivitas dari berbagai sektor, kebijakan, strategi, program dan/atau proyek lainnya.
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Boks 1.
RAN-GRK di sektor berbasis lahan
RAN-GRK mencatat sekitar 50 aksi mitigasi utama; 19 dari aksi ini tercatat didalam daftar sektor berbasis lahan, dengan jumlah penurunan emisi sebesar 672 m tCO2 atau 87.6% dari total targetnya. Sebagai tambahan, RAN-GRK juga mencatat beberapa aksi (seperti riset, perbaikan basis data untuk inventarisasi kehutanan, dan penetapan regulasi baru) untuk mendukung pelaksanaan aktivitas utama di sektor tersebut. Kementerian terkait dan pemerintah daerah juga telah mengalokasikan anggarannya untuk melakukan beberapa aktivitas dibawah RAN/ RAD-GRK untuk tahun 2010-2014, dan menyatakan akan mengalokasikan sekitar 1.6 milyar USD (IDR 15.9 trilyun) untuk mendanai aksi-aksi tersebut, terkecuali pemeliharaan jaringan jalan dan irigasi (Kemenkeu, 2012). Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan Strategi Nasional untuk REDD+ dan Rencana Aksi Nasional untuk REDD+. Sebelas provinsi sedang dalam proses finalisasi dokumen SRAP, termasuk Reference Level (RL) tingkat provinsi. Beberapa provinsi menggunakan baseline BAU dalam RAD-GRK sebagai RL, sementara yang lain menggunakan dasar baseline dari beragam sumber dan asumsi yang berbeda sebagai proyeksi. Namun, untuk menghindari pengukuran ganda, pendekatannya akan diselaraskan. Untuk menentukan inisiatif REDD+, pemerintah Indonesia juga telah membentuk Badan REDD+ (Perpres No. 62/2013)*. Sebagai tambahan, moratorium yang telah berakhir pada bulan Mei 2013 diperpanjang hingga tahun 2015 (Instruksi Presiden No. 6/2013). Satgas REDD+ telah dibentuk untuk memonitor pelaksanaannya dan didukung oleh Kementerian terkait yang telah membangun sistem geo-database**. Daftar panjang dari aksi mitigasi berbasis lahan yang diajukan oleh Kementerian dan pemerintah propinsi (RAN/RAD-GRK) dilihat sebagai potensi untuk NAMAs. Aksi-aksi ini akan diprioritaskan dan diajukan sebagai NAMAs ke UNFCCC. Beberapa aksi telah dianggarkan dari APBD/APBN. Aksi-aksi ini kemudian akan diajukan sebagai NAMAs seeking recognition, dan akan dicatat dibawah NAMAs unilateral yang masuk kedalam target sukarela 26%. Beberapa aksi lain akan diajukan sebagai NAMAs supported (atau dimasukan dalam tambahan 15% target sukarela Indonesia) *) Badan REDD+ bertindak untuk memfasilitasi kementerian/institusi terkait untuk melaksanakan aktivitas REDD+ dan memastikan bahwa aktivitas REDD+ menerima bantuan keuangan yang semestinya. Badan REDD+ bertanggung jawab untuk melaporkan langsung kepada Presiden. Untuk mendukung tugas Badan ini, moratorium untuk menangguhkan izin baru bagi pembalakan dan perubahan fungsi hutan diberlakuan selama dua tahun dimulai sejak tahun 2011 (Instruksi Presiden No.10/2011).
9
**) Sistem geo-database mengumpulkan semua informasi tentang sertifikat tanah dan izin penggunaan tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, seperti Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah. Sistem geo-database memperbaiki sistem monitoring hutan saat ini yang dikelola Kementerian Kehutanan yang menggabungkan remote sensing dan pengukuran on-ground pada sistem National Forest Inventory (NFI).
UNFCCC mengakui dua kategori NAMAs – yang dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber domestik (unilateral NAMAs) dan yang memerlukan bantuan internasional (supported NAMAs). Kategori ketiga yang disebut “ credited NAMAs atau NAMAs berbasis pasar” masih belum diakui secara resmi oleh UNFCCC, tapi secara umum dimengerti sebagai NAMAs yang menghasilkan offset GRK, dan dapat diperdagangkan di pasar karbon internasional. Bagan dibawah ini menggambarkan perbedaan antara NAMAs unilateral (target sampai dengan -26%), NAMAs dengan bantuan internasional/supported NAMAs (target antara -26 sampai -41%) dan NAMAs berbasis pasar/ credited (melebihi target -41%) berdasarkan pengumuman Presiden untuk target penurunan emisi GRK10 (lihat gambar 1). Gambar 3.
NAMAs unilateral, supported, dan credited ICA
Pengakuan UNFCCC
BUR
Offset
Target National
Pembelian oleh negara lain
Strategi Nasional dan Rencana Aksi (RPJMN, RANGRK)
Pasar Karbon (contoh. JCMCDM)
-41 to -100% Credited -26 to -41% Supported
Berbasis lahan
Energi (Industri, transportasi)
Limbah
REDD + 0 to -26% Unilateral
10 Pada penerapannya saat ini, hampir seluruh NAMAs menggunakan model pendanaan hybrid, dengan menggunakan pendanaan dasar (APBN dan dana terkait) dan dana dari sumber internasional sehingga pelaksanaannya dapat ditingkatkan ke tataran yang lebih tinggi.
10
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Lebih spesifik tentang NAMAs unilateral dan NAMAs supported, keduanya dibuat untuk mendukung upaya Indonesia dalam merencanakan pembangunan yang berkelanjutan. NAMAs Indonesia memiliki visi jangka panjang yang tidak hanya mengakomodasi kepentingan saat ini namun lebih spesifik pada pembangunan jangka panjang dengan emisi karbon yang rendah. Pembentukan NAMAs akan mendukung upaya lebih lanjut Indonesia untuk melaksanakan mitigasi GRK melalui berbagai macam sumber, seperti misalnya meningkatkan transfer serta pemakaian teknologi berkarbon rendah, meningkatkan kapasitas yang dibutuhkan, juga pembuatan sistem pengukuran, pelaporan dan verifikasi yang tepat untuk aksiaksi mitigasi. Sebagai tindak lanjut, pemerintah Indonesia juga menyelaraskan konsep NAMA dengan kebijakan, program dan aksi mitigasi nasional yang disebut sebagai RANGRK. RAN-GRK juga mencakup penguatan untuk pelaksanaan, penangkalan hambatan, peningkatan kapasitas dan perbaikan mekanisme keuangan. (Lihat penjelasan lebih lanjut di Bab 2: Perkembangan Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia). Ketika kebijakan telah berlaku, pelaksanaan aksi dan program mitigasi harus merujuk ke skenario BAU sehingga pengurangan emisi GRK nasional dapat tercapai seperti yang telah ditargetkan. Gambar 4.
RAN-GRK sebagai NAMA Indonesia Pengembangan NAMAs Indonesia
Operasionalisasi
RAN-GRK (sebagai NAMA Indonesia)
Naskah Konsep NAMA sebagai “formula”
Baseline Skenario Mitigasi Penilaian atas biaya dan manfaat tambahan Pemilihan Aksi-aksi Pengembangan kebijakan dan pengukurannya Penetapan indikator MRV
NAMA yang diakui secara internasional
Di tiap sektor dan tiap propinsi
NAMAs Indonesia dikembangkan dari RAN/RAD-GRK untuk mendapatkan pengakuan dari pihak international, beberapa NAMAs yang terpilih dari RAN/RAD-GRK akan diajukan ke UNFCCC.
Kerangka Kebijakan Mitigasi Nasional dan NAMAs 11
04
Kelembagaan NAMAs
B
appenas telah mengeluarkan Keputusan No. 38/M.PPN/HK/03/2012 tentang pembentukan Tim Koordinasi Penanganan Perubahan Iklim (CCNCT)11. Mandat CCNCT ini adalah untuk 1) mengoptimalkan pelaksanaan Perpres RAN-GRK; 2) mengkoordinasi aksi-aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; dan 3) meningkatkan effisiensi dan efektifitas dari pencapaian target RAN-GRK. Untuk membantu operasional harian CCNCT, maka dibentuklah Sekretariat CCNCT (juga dikenal sebagai sekretariat RAN-GRK). Sekretariat CCNCT terdiri dari dua unit: Help-desk dan think tank pengembangan NAMA yang disebut NC4ND (National Center for NAMA Development). Help-desk ini membantu penyusunan dan peninjauan rencana mitigasi dan adaptasi nasional dan sub-nasional (RAN/RAD-GRK and RAN/RAD-API), dan memberikan bantuan teknis untuk monitoring, evaluasi dan pelaporan (MER)12. Laporan MER untuk mitigasi GRK harus diverifikasi dan dikoordinasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Think-tank itu sendiri bertanggungjawab untuk mendukung pengembangan NAMAs dan program/proyek adaptasi.
11 CCNCT terdiri atas dua tim, Steering Team dan Kelompok Kerja untuk 1) pertanian; 2) Kehutanan dan Lahan Gambut; 3) Energi, transportasi, dan industri; 4) Pengelolaan Limbah ; 5) Dukungan dan lintas-sektoral; 6) adaptasi perubahan iklim 12 Lihat hasil dan pedoman MER RAN/RAD-GRK di: www.sekretariat-rangrk.org
12
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Gambar 5.
CCNCT dan hubungannya dengan lembaga pembiayaan dan KLH Sekretariat CCNCT
Kementerian Lingkungan Hidup Verifikasi emisi dan mitigasi GRK
HELP DESK RAN-GRK & RAN-API MER (PEP)
NC4ND Sebagai think tank untuk pengembangan NAMA **
Penilaian dilakukan berdasarkan prioritas nasional*
Serangkaian proyek yang siap didanai dan diusulkan
Lembaga pembiayaan terkait perubahan iklim (ICCF, FREDDI, SMI, PIP, IIGF)
Keterangan: * Selain untuk memverifikasi serangkaian proyek yang diusulkan, lembaga keuangan terkait perubahan iklim juga dapat menyediakan dukungan operasional (seperti. biaya operasional) kepada sekretariat CCNCT. **Nama dari NC4ND dapat berubah ketika memasukan fungsi pengembangan progam/proyek terkait adaptasi
Help-Desk memberikan bantuan teknis dalam menyusun dan mengkaji rencana mitigasi (RAN/RAD-GRK) dan rencana adaptasi (RAN/RAD-API) kepada perwakilan dari Kementerian terkait yang tergabung dalam Komite Nasional (CCNCT), serta perwakilan dari lembaga pemerintah sub-nasional yang tergabung dalam Komite Lokal. Peninjauan rencana tersebut dilakukan secara berkala berdasarkan masukan dari evaluasi rutin yang menjadi bagian dari fungsi MER dan verifikasi. Sementara itu, NC4ND memiliki dua tugas: pertama, memberikan bantuan teknis kepada pengembang NAMA dalam menyusun proposal; kedua, melakukan inisiatif lintas sektoral dan berkonsultasi dengan Kementerian terkait untuk penyusunan NAMAs yang lebih spesifik. Diluar tugas penyusunan proposal tersebut, NC4ND juga mempromosikan NAMAs secara aktif kepada pemangku kepentingan utama yaitu sektor publik, swasta dan masyarakat. Lembaga keuangan yang terkait perubahan iklim menilai proyek dan proposal yang diajukan kepada Sekretariat CCNCT dan pengembang lain berdasarkan prioritas nasional serta kriteria dan standar (misal. RAN/RAD-GRK, RAN-API, dll) yang telah disetujui oleh donor/investor. Lembaga keuangan yang terkait perubahan iklim tersebut menawarkan
13
beragam jenis pendanaan yang termasuk didalamnya pendanaan non-returnable (Misal. hibah, pertanggungan resiko, subsidi, pendanaan berbasis kinerja). Selain itu, NC4ND dapat memfasilitasi kemitraan dengan lembaga keuangan komersial seperti bank, skema dana bergulir, perusahaan investasi, wealth management atau lembaga dana pensiun untuk mendapatkan pendanaan dari pihak swasta. RAN-GRK selanjutnya dikategorikan dan disusun menjadi tiga kelompok sektor utama yang membagi pembuat kebijakan yang relevan dari berbagai kementerian terkait. Kelompok-kelompok kerja tersebut diharapkan dapat berkoordinasi untuk melanjutkan rancangan dan pelaksanaan NAMAs yang spesifik di sektor terkait, yaitu 1) NAMAs berbasis lahan; 2) NAMAs energi yang terintegrasi; 3) NAMAs limbah yang terintegrasi; seperti dijelaskan di Gambar 6. Gambar 6.
Tiga kelompok sektor utama pelaksanaan RAN-GRK
Tiga Kelompok Sektor Utama Pelaksanaan RAN-GRK Sektor Berbasis Lahan Sektor Energi Terintegrasi Sektor Limbah Kehutanan Kelompok Kerja Energi, Industri, dan Pengelolaan Pertanian dan Lahan dibawah CCNCT Transportasi Limbah Gambut Institusi
Bappenas Kementerian Keuangan Kementerian Lingkungan Hidup
Kementerian Sektoral
Koordinasi RAN/RAD-GRK (NAMAs) Insentif/disinsentif anggaran dan fiskal QA/QC inventarisasi GRK dan koordinasi MRV emisi GRK yang berasal dari mitigasi, national communication dan/atau Biennial Update Report (BUR)
Kementerian Pertanian
Kemen terian Kementerian Energi, Kehutanan Sumber Daya Mineral
NAMAs berbasis lahan
Badan REDD+
DNPI
14
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Kemen Kemen terian terian Perhu Industri bungan
NAMAs energi terintegrasi
QA/QC untuk data dan hasil Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan (PEP) Focal Point ke UNFCCC
Kementerian Pekerjaan Umum
- NAMAs limbah terintegrasi
05
Elemen Utama Pelaksanaan NAMAs
5.1. Kriteria Nasional NAMA
P
emerintah Indonesia saat ini sedang mempersiapkan NAMAs di berbagai sektor. Untuk memastikan bahwa NAMAs memiliki kontribusi yang efektif dalam memenuhi target mitigasi Indonesia dan prioritas pembangunan nasional lainnya, kriteria dasar berikut dianggap penting: NAMAs harus disusun berdasarkan kerangka kebijakan mitigasi nasional (RPJPN, RPJMN, ICCSR, RAN/RAD-GRK) dan dihubungkan dengan prioritas pembangunan nasional termasuk target mitigasi nasional. Jika NAMAs yang diusulkan tidak terdaftar dalam dokumen RAN/RAD-GRK, pihak yang mengajukan proposal harus melaporkan ke seluruh lembaga terkait (Kementerian sektoral/terkait dan/atau pemerintah daerah) untuk mendapatkan persetujuan. NAMAs harus sesuai dengan mekanisme pemantauan, evaluasi dan pelaporan pemerintah untuk aksi-aksi dan kebijakan RAN/RAD-GRK. Prosedur pelaporannya akan dijelaskan lebih lanjut dalam pedoman-pedoman RAN/RAD-GRK13. NAMAs harus konsisten dengan tujuan pembangunan nasional dan dapat melengkapi kebijakan dan program sektoral yang ada. Untuk mendukung hal tersebut, usaha untuk meningkatkan kapasitas harus dilakukan berdasarkan inisiatif yang telah ada, dan kesempatan untuk pendanaan internasional harus dapat juga mendorong kapasitas pendanaan nasional yang lebih efektif. NAMAs harus dapat menunjukkan manfaat pembangunan termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan lingkungan hidup14. Pemerintah Indonesia juga berupaya untuk meningkatkan program-program pembangunan nasional. Sebagai bagian dari upaya ini, pengurangan emisi dapat dilihat sebagai manfaat tambahan dari pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, RAN/RAD-GRK juga memainkan peran penting dalam mempromosikan pembangunan rendah karbon (low carbon development).
13 Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi www.sekretariat-rangrk.org untuk mengunduh dokumen-dokumen yang dimaksud. 14 Manfaat pembangunan dalam aspek ekonomi termasuk penghematan biaya energi, intensitas energi PDB, keragaman energi pengurangan konsumsi bahan bakar, dll. Dalam aspek sosial politik termasuk: kurangnya penyakit menular, meningkatnya kenyamanan, waktu dan jarak perjalanan. Dalam aspek lingkungan hidup: kualitas tanah, kualitas udara, kurangnya kebisingan, penurunan emisi GRK, dll
16
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
NAMAs harus dapat berkontribusi terhadap perubahan dasar kebijakan nasional dan sektoral dalam mencapai pembangunan yang rendah emisi/ramah lingkungan, juga menjaga koordinasi kelembagaan dan menciptakan kolaborasi baru. NAMAs harus dapat menjelaskan kemungkinan keberhasilannya dan memprediksi dampak jangka panjang, dengan menunjukan potensi yang besar untuk berkembang dan replikasi. NAMA harus dapat memperkirakan potensi langsung dan tidak langsung dari mitigasi GRK dan efektifitas biayanya (cost-effectiveness). Selain itu cara pengurangan emisi dari skenario BAU nasional harus dibuat secara transparan. NAMA juga harus dapat meningkatkan kapasitas untuk mengurangi emisi GRK di masa depan. Bagi Indonesia, konsep BAU merupakan bagian penting untuk mencapai tujuan dalam menangani isu perubahan iklimnya, karena target pengurangan emisi yang telah diumumkan sebesar 26 atau 41% didasarkan atas skenario BAU (Keputusan Presiden No. 61/2011). Skenario BAU sangat tergantung dari prakiraan emisi GRK yang berasal dari pertumbuhan ekonomi mendatang dan perkembangan teknologi. Penyusunan Baseline harus disepakati sebagai langkah awal bagi pelaksanaan RAN-GRK dan NAMAs, baik dalam hal status, pengembangan kebijakan dan programnya, serta emisi GRK terkait. Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat Boks 215.
15 Model dan Metode yang diterapkan dalam Proyeksi Ekstrapolasi Linear (extrapolation linear projection) Energi adalah model yang digunakan dalam sektor energi. Kementerian ESDM akan memimpin proses modeling dan pelatihan LEAP bagi pemerintah di tingkat provinsi. Kementerian Perhubungan dan Industri akan membantu proses ini dengan cara memberikan data yang lebih detail kepada Kementerian ESDM sehingga LEAP dapat dijalankan. Lebih lanjut, Kementerian Perhubungan dan Industri mungkin akan membuat model tersendiri untuk setiap sub-sektor. Tujuannya adalah untuk menggunakan IPCC tier 2 untuk data dan algoritma di sektor energi. Model dan metode yang diterapkan dalam kegiatan sektor berbasis lahan digunakan untuk memperkirakan kemungkinan penggunaan lahan/perubahan muka lahan, dan emisi mendatang berdasarkan sejarah dan/atau perencanaan mendatang. Model yang digunakan adalah “Markov Chain Transition Matrix”, yang menghitung distribusi tutupan lahan dengan membandingkannya dalam dua waktu berbeda (distribusi pada waktu ke-2, berdasarkan pada distribusi penggunaan lahan/perubahan muka lahan awal di waktu ke1, dengan menggunakan matriks peralihan/transition matrix). Data matriks peralihan diperoleh dari peta muka lahan yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan dan diperbarui dengan data lahan gambut dari Kementerian Pertanian, berdasarkan 23 klasifikasi lahan.34 Target perhitungan untuk baseline berbasis lahan adalah dengan pedekatan tier-3. Model dan metode yang diterapkan dalam limbah adalah ekstrapolasi sederhana menggunakan excel. Model ini sederhana dan mudah untuk dihitung sehingga dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Tier1). Untuk informasi lebih lanjut bisa dilihat: www.sekretariatran-grk.org
17
Boks 2.
Penyusunan skenario baseline BAU dan emisi
Tiga tahap skenario emisi termasuk: 1) skenario BAU: ketiadaan kebijakan mitigasi terkait sebelum penetapan RAN-GRK (misal. Penggunaan batu bara yang tidak efisien untuk pembangkit tenaga listik di sektor pembangkit energi; 2) skenario base-case: daftar aksi mitigasi yang dimuat dalam RAN/RAD-GRK, yang dimaksudkan untuk menggabungkan semua aksi-aksi mitigasi sektoral terkait seperti program energi terbarukan, pengelolaan kehutanan dan lahan gambut yang berkelanjutan; 3) skenario best-case: aksi-aksi mitigasi yang dilakukan atas nama NAMAs berdasarkan RAN/RAD-GRK dan bertujuan untuk mencapai pengurangan -41% emisi. Indonesia mempelajari semua kebijakan yang relevan, dengan kebijakan perubahan iklim, pertanian atau pembangunan pedesaan, untuk menentukan apakah mereka akan dimasukkan kedalam skenario baseline. Dengan mempertimbangkan sistem politik desentralisasi Indonesia, secara umum disepakati bahwa pendekatan yang lebih baik untuk menentukan baseline adalah dengan menggabungkan pendekatan bottom-up dan top-down, yang diharapkan dapat mencakup kebijakan-kebijakan di tingkat nasional dan daerah. Dengan menggunakan pendekatan bottom-up berarti pengumpulan dan kompilasi data dilakukan pada tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Baseline nasional pertama dihitung menggunakan pendekatan top-down. Pendekatan ini dianggap lebih bijaksana dan dapat memberikan gambaran umum tentang besarnya emisi Indonesia, namun akurasinya dianggap masih kurang. Oleh karena itu, penghitungan yang telah diperbarui akan menggabungkan dua pendekatan tersebut untuk memberikan perkiraan yang lebih baik. 700000000 600000000 500000000 400000000 300000000 200000000 100000000 0
2010 2011 2012 2013 2014 NAD Sumbar Babel Bengkulu DIY DKI Jakarta Bali Kalteng Sulut Kalsel Gorontalo Maluku Malut
2015 2016 2017 2018 2019 2020 Kepri Riau Jambi Sumsel Banten Jabar Jatim Jateng NTB NTT Kalbar Kaltim Sulteng Sultra Sulsel Sulbar Papua Papua Barat
BAU baseline untuk sektor perhubungan di 33 propinsi di Indonesia (Bappenas, 2012), dalam CO2e ton
Di Indonesia, persiapan skenario baseline dilihat sebagai proses yang dinamis dan mekanismenya sedang dibuat untuk memungkinkan pemutakhiran data secara rutin (setidaknya setiap 5 tahun sesuai dengan RPJMN). Baik RAN-GRK dan RAD-GRK menggunakan tahun 2010 sebagai tahun awal untuk memulai aksi mitigasi. Hanya aksi mitigasi dari tahun 2010 dan seterusnya yang akan dimasukan dalam penghitungan (untuk informasi lebih lanjut tentang BAU, kunjungi www.secretariat-rangrk.org).
18
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
5.2. Prosedur Pengajuan NAMAs NAMAs unilateral dan supported akan diintegrasikan kedalam laporan pembangunan nasional dan provinsi. Sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah, seluruh proposal NAMA untuk program/proyek/aktivitas apapun akan diajukan ke Bappenas oleh Kementerian/Kepala Instansi Pemerintah atau oleh pihak swasta dan asosiasi masyarakat/organisasi. Bantuan luar negeri/hibah16 yang diterima akan dikelola sesuai dengan peraturan dan mekanisme pemerintah Indonesia dalam pengelolaan keuangan publik. Merujuk kepada Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2011, proposal untuk pengajuan NAMAs supported membutuhkan 1) Dokumen Studi Kelayakan Kegiatan (DSKK) yang menerangkan kelayakan dari kegiatan yang diusulkan tersebut secara teknis, ekonomi, keuangan dan sosial/lingkungan; 2) Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang memberikan informasi tentang kegiatan yang diusulkan tersebut; 3) Daftar Isian Pengusulan Kegiatan (DIPK)17; dan 4) surat pengantar yang diperlukan (lihat Gambar 3). Sebaliknya, syarat untuk pengajuan NAMA unilateral harus melampirkan surat dukungan (endorsement) dari Kementerian dan/atau gubernur terkait. Ketika proposal NAMA telah diserahkan kepada Bappenas, proposal tersebut harus dikaji dan melewati proses persetujuan dalam pertemuan para pemangku kepentingan (multistakeholder) yang disebut dengan Steering Committee of Climate Change National Coordination Team (SC-CCNCT) yang melibatkan Bappenas, Kementerian teknis terkait, Kementerian Lingkungan Hidup, DNPI dan Sekretariat RAN-GRK (Sekretariat CCNCT). Prosedur pengajuan untuk NAMAs unilateral dan supported dijelaskan dalam bagan berikut.
16 Mekanisme bantuan/hibah asing diterangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 10/2011 sebagai: “[…] penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari Pemberi Hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri” 17 Informasi yang dibutuhkan oleh setiap dokumen diterangkan dalam Petunjuk Pengusulan Kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri 2010-2014 (Pemerintah Indonesia, 2010). Lihat: www. bappenas.go.id.
Elemen Utama Pelaksanaan NAMAs 19
Gambar 7.
Prosedur Pengajuan NAMAs (unilateral dan supported) PROPONENT Kegiatan
Dikelola/didukung oleh Kementerian/Institusi Pemerintah NAMA Supported: 1. Surat dari Kementerian menerangkan kegiatan RAN-GRK/yang dikategorikan sebagai NAMA 2. DSKK 3. KAK 4. DIPK NAMA Unilateral: 1. Surat dari Kementerian menerangkan kegiatan RAN-GRK/yang dikategorikan
Sebagian/keseluruhan dikelola/ didukung oleh pemerintah lokal NAMA Supported: 1. Surat dari Kementerian menerangkan kegiatan RAD-GRK/yang dikategorikan sebagai NAMA 2. DSKK 3. KAK 4. DIPK NAMA Unilateral: 1. Surat dari Kementerian menerangkan kegiatan RAD-GRK/yang dikategorikan
Menteri/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Sekretariat CCNCT
Focal point ke UNFCCC (Dewan Nasional Perubahan Iklim/DNPI) proposal NAMAs
Sektor swasta/asosiasi kemasyarakatan/organisasi NAMA Unilateral/ supported : Surat dukungan dari Kementerian terkait dan/ atau pemerintah daerah menerangkan kegiatan RAN/RAD-GRK yang dikategorikan sebagai NAMA
Proses review dan persetujuan pada pertemuan multipemangku kepentingan (SCCCNCT)
KLH Komite Nasional MRV BUR/Natcom
UNFCCC SC-CCNCT = Steering Committee of Climate Change National Coordination Team; DSKK = Dokumen Studi Kelayakan Kegiatan; KAK = Kerangka Acuan Kerja; DIPK = Daftar Isian Pengusulan Kegiatan
DNPI sebagai ‘‘focal point’’ ke UNFCCC akan memfasilitasi kajian lebih lanjut dan proses validasi sebelum proposal NAMA tersebut dikirimkan ke Sekretariat UNFCCC. Proses tersebut dimaksudkan agar semua informasi yang disampaikan dapat divalidasi dan sesuai dengan template Registry NAMA UNFCCC. DNPI sebagai focal point kemudian akan mengirimkan proposal kepada Registry UNFCCC. Berbagai masukan yang diterima dari donor yang tertarik akan dimasukan langsung ke dalam proponent NAMA dan diketahui oleh DNPI. Pengembangan lanjutan dari proyek tersebut akan didata dalam sistem registry nasional, termasuk monitoring dan evaluasi dari pelaksanaannya. Pada tingkat nasional, kemajuan pelaksanaannya yang termasuk penurunan emisi GRK akan dimasukkan ke dalam sistem inventarisasi GRK nasional
20
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
dan mekanisme pelaporan yang ada, seperti National Communications berikutnya dan Biennial Update Reports (BUR). Mengingat NAMAs tidak hanya terbatas pada kegiatan publik (unilateral dan supported) tapi termasuk juga kegiatan dalam pasar karbon (credited) 18, mekanisme kelembagaan yang menyeluruh, terintegrasi dan kokoh sedang dipersiapkan untuk mendorong pengajuan NAMA19.
5.3. Pendanaan NAMA 5.3.1. Mekanisme Pendanaan NAMA Indonesia diperkirakan masih membutuhkan lebih dari dua kali lipat dana iklim publik yang tersedia saat ini untuk dapat mencapai target mitigasi nasional pada kurun waktu 2010-2020 (Kemenkeu 2012). Menurut Kementerian Keuangan, untuk dapat mencapai target mitigasi dibidang kehutanan, gambut, energi dan transportasi, Indonesia membutuhkan dana sekitar 10-14 milyar USD per tahun – dimana setengahnya harus diambil dari sumber dana publik. Indonesia diperkirakan juga masih membutuhkan tambahan dana publik sebesar 2,3–5,3 milyar USD per tahun dari pemerintah Indonesia dan donor asing untuk dapat memenuhi targetnya. Sementara ini hanya 1,6 milyar USD dana publik domestik dan sekitar 0,6 milyar USD dana publik asing yang telah dijamin tersedia. NAMAs dapat dibiayai oleh beberapa jenis pendanaan. Jenisnya dapat berupa pendanaan tunggal atau kombinasi dari hibah, pinjaman dan pembiayaan domestik. Pembiayaan untuk NAMAs harus dapat menutupi tidak hanya investasi bagi kegiatan yang secara langsung dapat mengurangi emisi GRK, namun juga mendukung dan memungkinkan kegiatan lain seperti transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. Donor dan investor asing dapat membiayai NAMAs dengan menyalurkan dananya kepada atau dengan menginvestasikannya di lembaga keuangan yang berkaitan dengan perubahan iklim. Menurut Undang-Undang Perbendaharaan Negara, pinjaman kepada pemerintah (sovereign-loans) harus dilakukan melalui Kementerian Keuangan. Untuk dana dalam bentuk hibah, pinjaman kepada pemerintah atau bentuk investasi lain (misalnya ekuitas) dapat dilakukan melalui lembaga keuangan yang berkaitan dengan perubahan iklim. Untuk investasi iklim secara umum dan khususnya untuk dana hibah, donor dan investor dapat menyalurkannya melalui Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF). ICCTF
18
Lihat Gambar 1
19
Elemen utama dari mekanisme ini termasuk Sekretariat, daftar tenaga ahli dan komite persetujuan (Approval Committee) yang mewakili para pemangku kepentingan kunci yang tertarik dengan pengembangan NAMAs
Elemen Utama Pelaksanaan NAMAs 21
merupakan dana perwalian (trust fund) yang dikelola secara nasional dan didirikan oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan agar dana yang didapat dari berbagai sumber seperti donor internasional dan sektor swasta dapat disatukan dan dikoordinasikan sehingga dapat mendukung kebijakan perubahan iklim Indonesia (RAN-GRK dan RANAPI) sesuai dengan rencana pembangunan nasional. Saat ini, ICCTF membantu beberapa Kementerian sektoral/teknis dalam pembuatan proposal NAMA, seperti Inisiatif Lampu Jalan Pintar (Smart Street Lighting Initiative/SSLI) dan NAMAs untuk energi terbarukan. Dana untuk REDD+ Indonesia sedang dalam perumusan oleh Badan REDD+ yang baru saja terbentuk dan bertugas untuk mengelola dana dan investasi yang berkaitan dengan REDD+. Pilihan lainnya adalah dengan menggunakan dana untuk pengembangan pembangunan infrastruktur di Indonesia, yang didalamnya termasuk investasi untuk energi terbarukan dan efisiensi energi, seperti Pembiayaan Infrastruktur Indonesia (PT SMI), Pusat Investasi Pemerintah (PIP), dan Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF). Dari pandangan proponent NAMA, proposal dapat diajukan melalui berbagai jalur. Untuk mendukung kegiatan pada tahap program (seperti pembentukan institusi, kebijakan dan fasilitas pendukung lain) dan pada fase pembangunan proyek ( konsep proyek, studi kelayakan, dll), pendekatan dapat dilakukan pada Kementerian terkait yang mengelola NAMA sektoral, atau pemerintah daerah yang menerima dana untuk penanganan perubahan iklim dari Kemenkeu atau lembaga pembiayaan lain. Untuk mendukung tahap pelaksanaan, proposal dapat diajukan kepada lembaga yang terkait dengan perubahan iklim. NC4ND dibentuk untuk membantu proses perumusan proposal NAMA dan bantuannya dapat diminta jika diperlukan.
5.3.2. Investasi Iklim terkait yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia Pada tahun 2012, pemerintah menganggarkan 1,59 milyar USD untuk pelaksanaan RANGRK. Didalamnya termasuk pengeluaran rutin pemerintah di pusat dan daerah (1,07 milyar USD) yang dicadangkan terutama untuk pengelolaan hutan dan lahan gambut yang berkelanjutan, pembiayaan investasi yang berkaitan dengan dana kehutanan, alokasi untuk investasi pemerintah dalam energi terbarukan (0,4 milyar USD), serta subsidi pajak untuk panas bumi (geothermal) dan biofuel (0,12 milyar USD) (Kemenkeu 2012). Pengeluaran rutin pemerintah dilakukan oleh Kementerian terkait di pusat dan
22
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
pemerintah sub-nasional di propinsi dan kabupaten/kota. Berbagai kegiatan NAMAs yang dilakukan mencakup penciptaan lingkungan yang mendukung (enabling environment), pengembangan dan pelaksanaan proyek.
5.3.3. Pembiayaan Swasta Indonesia memiliki potensi besar untuk mendapatkan sumber daya dari sektor swasta. Rata-rata loan to deposit ratio (LDR) bank komersial di Indonesia selama periode 20062012 adalah sebesar 73%. Hingga bulan Juni 2013, dana pihak ketiga yang tersedia untuk dipinjamkan oleh bank-bank komersial adalah sebanyak 42,8 Milyar USD (Bank Indonesia 2013). Sementara itu pada tahun 2012, survey yang dilakukan oleh Ernst & Young, investor ekuitas swasta global, dan bankir investasi ekuitas swasta yang berbasis di Asia Pasifik memilih Indonesia sebagai 5 negara teratas untuk tujuan investasi. Dari tahun 2011 hingga September 2012, Ernst & Young melaporkan 13 transaksi investasi bernilai hampir sebesar 900 juta USD. Angka tersebut menunjukan potensi yang sangat besar untuk pembiayaan swasta di dalam negeri, akan tapi masih sangat sulit untuk menilai berapa jumlah yang dapat digunakan untuk investasi yang ramah lingkungan. Namun demikian, angka tersebut juga memperlihatkan potensi komersial dari proyek iklim di Indonesia untuk mendapatkan kesempatan pembiayaan swasta, baik domestik maupuan global. Sebagai kesimpulan, pembiayaan NAMAs khususnya akan membutuhkan paket pembiayaan yang komprehensif, terdiri dari sumber dan mekanisme publik, investasi dan pembiayaan sektor swasta, serta pembiayaan internasional melalui NAMAs supported. Direkomendasikan juga untuk memasukkan lampiran (annex) seperti rencana perkiraan keuangan dan anggaran dalam proposal NAMA yang diajukan. Selain dari itu, NC4ND dibentuk sebagai unit yang membantu penyusunan dokumen yang diperlukan, juga sebagai matchmaker dengan lembaga, sumber dan mekanisme keuangan terkait. Boks 3.
Usulan untuk skema baru NAMAs untuk mendapatkan bantuan internasional
Pada tingkat internasional, mekanisme pendanaan yang efektif dan efisien untuk kegiatan penurunan emisi dibawah skema NAMA masih belum tersedia. Situasi ini memacu negara berkembang untuk ikut serta secara lebih efektif dalam upaya mitigasi global seperti disetujui pada UNFCCC (Bali Action Plan dan pertemuan lanjutan pasca COP). Pembayaran berbasis kinerja merupakan sebuah konsep penyediaan insentif bagi pengembang dan pelaksana NAMA dengan memberikan harga premium untuk penurunan emisi GRK sebagai hasil dari kegiatan NAMA.
Elemen Utama Pelaksanaan NAMAs 23
Gambar 8. Skema NAMAs untuk mendapatkan bantuan international Pembiayaan iklim jangka panjang internasional
Penentuan Baseline
Emisi berkurang: penerbitan VNERs
Skenario NAMAs
MRV
Perjanjian pembiayaan dimuka untuk kesiapan
Pelaksanaan NAMA
Mekanisme NAMAs
Pembiayaan Iklim Domestik APBN/APBD
Keuangan
Infrastruktur
Teknologi dan know how
Motivasi dan kesadaran pemangku kepentingan Sosial
NAMA disusun berdasarkan RAN-GRK untuk mendukung pencapaian target mitigasi nasional (-26 / - 41 % hingga 2020). Pencapaian penurunan tersebut tidak akan dihitung sebagai offset sehingga tidak bisa dibeli di pasar karbon oleh negara lain yang berusaha untuk mencapai target mitigasi domestiknya – seperti halnya CDM dan mekanisme pasar karbon lainnya. Sumber pembiayaan untuk pembayaran berbasis kinerja (PBP) diharapkan dapat menjadi andalan pembiayaan jangka panjang oleh negara-negara industrialis (UNFCCC, 2009-2012) yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan kepada negara-negara berkembang dalam upaya mereka untuk mengurangi emisi dan berkontribusi terhadap target pokok UNFCCC. Indonesia akan merancang program NAMA, seperti dicontohkan oleh program ‘limbah menjadi energi’ yang bertujuan untuk mengurangi gas metana. Pemerintah mendukung pengembangan ‘limbah menjadi listrik’ dengan menyediakan dana investasi untuk pembangunan pembangkit listrik dan meningkatkan grid connection. Sektor swasta berinvestasi pada teknologi ‘limbah menjadi energi’ dan menghasilkan listrik bagi energi dari sisi permintaan. Pada tahapan program, elemen yang berbeda dalam ‘limbah menjadi listrik’ dihubungkan dan difasilitasi oleh mekanisme NAMA tertentu (termasuk lembaga keuangan untuk memfasilitasi pra-pembiayaan dan investasi) dibawah koordinasi lembaga pemerintah (KemenESDM dan Bappenas). Berkaitan dengan skenario BAU, penurunan emisi GRK melalui NAMA dapat dihitung menggunakan metode yang telah disepakati dan sistem MRV. Unit tersebut dapat disebut sebagai Voluntary NAMA Emission Reduction (VNER) yang disusun atas proxy terkait, tergantung dari penilaian kebutuhan (need assessment) dan negosiasi antara negara donor dan Indonesia. Gambar diatas menerangkan konsep NAMA yang didukung secara internasional dengan menggunakan pendekatan pembayaran berbasis kinerja, dari hasil penurunan emisi NAMA secara sukarela oleh Indonesia atau Indonesia Voluntary NAMA Emission Reduction (I-VNER).
24
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
06
Data Terkini Perkembangan NAMAs
Proposal-proposal NAMA yang saat ini sedang disusun (dan telah diajukan sebagian) pada sektor-sektor yang berbeda dengan dukungan dari lembaga pembangunan dan ahli kebijakan perubahan iklim termasuk didalamnya: 1) NAMAs energi terintegrasi; 2) NAMAs limbah terintegrasi; dan 3) NAMAs berbasis lahan. NAMA energi terintegrasi telah dikembangkan untuk dapat mencakup aksi-aksi mitigasi pada proses produksi energi dan efisiensi energi di sektor transportasi, industri dan komersial. Beberapa proposal NAMA di sektor energi telah disusun mencakup sisi produksi (untuk memaksimalkan penggunaan energi) dan sisi konsumsi (efisiensi energi yang diterapkan pada sektor transportasi, industri dan komersial). Saat ini ada dua proposal NAMA yang sedang dalam penyusunan dan dua proposal yang telah diajukan untuk mendapatkan pendanaan internasional, yaitu RENAMA dan SSLI20. Untuk sektor transportasi, satu proposal SUTRI telah diajukan ke UNFCCC; dan kelanjutan dari proposal SUTRI juga telah diajukan untuk mendapatkan pendanaan internasional21. Dalam sektor industri, dua proposal masih dalam penyusunan seperti juga dalam sektor berbasis lahan. Disektor limbah, proposal V-NAMAs telah diajukan untuk mendapatkan pendanaan internasional22. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam tabel ringkasan perkembangan NAMAs terkini dibawah ini.
20 Pengembangan konsep NAMA SSLI dan RE NAMA dibantu oleh GIZ PAKLIM yang didanai oleh German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development, lihat intisari proyek di lampiran 2 21 Ibid 22 Pengembangan konsep V-NAMA dibantu oleh proyek V-NAMA regional yang didanai oleh German Federal Ministry for Environment, Nature Conservation and Nuclear Safety, ibid
26
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Gambar 9.
Tabel ringkasan perkembangan NAMAs terkini
Sektor Energi
NAMA RENAMA – Biomass
Transportasi
RE-NAMAs: hydro Smart Street Lighting Initiative (SSLI) NAMA Bio-fuel NAMAs SUTRI
Industri
Limbah
NAMA transportasi Jabodetabek NAMAs transportasi udara Industri Semen NAMA Industri Jabodetabek V-NAMAs
Perkembangan Terkini ** (lihat intisari proyek di lampiran 2 bagian 2.1.1) *** ** (lihat intisari proyek di lampiran 2 bagian 2.1.2) *** * dan ** (lihat intisari proyek di lampiran 2 format 2.2) ***
Lembaga ESDM
*** *** ***
Kemenhub Kemenperin UKP4
** (lihat intisari proyek di lampiran 2 format 2.3) ***
Bappenas, KemenPU
Berbasis Lahan NAMAs kayu menjadi energi Rehabilitasi dan reklamasi *** paska pertambangan untuk perkebunan kecil
ESDM ESDM ESDM Kemenhub, Bappenas UKP4
Kemenhut, ICCTF Pemerintah Provinsi Kaltim
*) telah diajukan ke UNFCCC **) telah diajukan untuk pendanaan internasional ***) Proposal dalam penyusunan
27
Proyek NAMA dalam sektor limbah Indonesia telah disusun dan diharapkan dapat membuka potensi besar penurunan GRK yang sementara ini difokuskan dalam sektor limbah padat. Berkaca pada REDD+ untuk NAMAs berbasis lahan, pemerintah Indonesia saat ini telah menyusun strategi nasional untuk penurunan emisi melalui NAMAs limbah terintegrasi (REF-WS) dan NAMAs energi terintegrasi (REFF-BURN). Sekitar 19 aksi RAN-GRK telah terdaftar dalam sektor berbasis lahan, dengan jumlah penurunan emisi sebesar 672-juta ton CO2 atau 87.6% dari total target nasional. Beberapa aksi telah mendapatkan anggaran yang bersumber dari APBD/APBN. Aksi-aksi ini diharapkan dapat diajukan sebagai NAMAs untuk mendapatkan pengakuan (seeking recognition), dan masuk dalam NAMAs unilateral yang termasuk dalam target sukarela sebesar 26%. Beberapa aksi lainnya akan diajukan sebagai NAMAs supported (atau masuk kedalam target sukarela tambahan sebesar 15%). Namun, uraian lebih lanjut tentang prosedur dan format dokumen proyek masih dibutuhkan untuk inisiatif NAMAs maupun REDD+.
28
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
07
Langkah Selanjutnya
Dokumen kerangka kerja NAMAs Indonesia ini dibuat untuk memberikan gambaran dari perkembangan aksi mitigasi GRK di Indonesia. Lebih lanjut, dokumen ini diharapkan juga dapat menjadi pedoman untuk: 1. Menjamin keberlanjutan rencana kebijakan dalam isu perubahan iklim; 2. Memperkuat kapasitas kelembagaan untuk pengembangan NAMA; 3. Mengadopsi aksi mitigasi GRK ke dalam kebijakan pembangunan nasional dan subnasional untuk mencapai target mitigasi nasional; 4. Memperkuat posisi Indonesia dalam agenda perubahan iklim internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa langkah harus diambil sebagai aksi tindak lanjut, termasuk: Mempersiapkan prasyarat penting dalam pengembangan NAMA di berbagai sektor; Memperkuat sistem dan mekanisme perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan kontrol bagi pengembangan NAMA untuk memastikan keberlanjutannya. Meningkatkan upaya promosi dan pemasaran tentang ide mengenai NAMAs di sektor-sektor lain yang berbeda; Memperbaiki keahlian negosiasi untuk meningkatkan kepercayaan donor agar mendukung pengembangan NAMA di Indonesia; Memperkuat kapasitas lembaga dan kualitas sumber daya manusia dalam pengembangan NAMA.
29
Lampiran Lampiran 1. Data terkini Perkembangan NAMA 1. NAMAs Energi Terintegrasi Dalam menanggapi negosiasi perubahan iklim pada tingkat internasional, NAMA energi terintegrasi disusun yang di dalamnya mencakup aksi-aksi mitigasi yang berasal dari produksi energi dan efisiensi energi di sektor transportasi, industri dan komersial. Bercermin pada REDD+ pada NAMAs berbasis lahan, pemerintah Indonesia saat ini sedang menyusun strategi nasional untuk mengurangi emisi dari pembakaran bahan bakar fossil (REFF-Burn+) di sektor energi yang terintegrasi. Beberapa proposal NAMAs telah disiapkan di sektor energi terintegrasi, yang berkaitan dengan sisi produksi (memaksimalkan penggunaan energi terbarukan) dan dari sisi konsumsi (efisiensi penggunaan energi di sektor transportasi, industri dan komersial). Satu proposal yang berkaitan dengan sektor transportasi telah diajukan ke UNFCCC.
1.1. NAMA Energi Terbarukan NAMA Energi Terbarukan (RE-NAMA) berusaha mengatasi hambatan melalui peningkatan kapasitas bank (lembaga pembiayaan) dan pengembang proyek. Sebuah contoh model pembiayaan akan dibangun menggunakan NAMAs supported untuk menarik proyekproyek energi terbarukan berkualitas tinggi yang memiliki biaya mitigasi khusus yang rendah namun memiliki potensi besar untuk berkembang. Proyek energi terbarukan berkualitas tinggi akan menerima subsidi tambahan sebesar 10% dan akan menggunakan prosedur MRV dan benchmarking yang ketat. Pembiayaan proyek akan disediakan oleh BUMN untuk pembangunan infrastruktur (PT SMI) yang akan dibantu oleh unit pendukung teknis dalam menyeleksi dan melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap proyek-proyek energi terbarukan. Kapasitas dari pelaksana proyek, bank dan lembaga pemerintah akan diperkuat. Kemenkeu akan memberikan arahan tentang instrumen fiskal yang dapat mendukung perubahan transformasional dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. RE-NAMA akan membantu Indonesia dalam mencapai target penurunan emisinya seperti ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 61/2011 tentang RAN-GRK, yaitu pembangunan 1225 MW pembangkit tenaga listrik terbarukan yang dapat mengurangi lebih dari 4,2 juta ton CO2 pada tahun 2020. Selain dari itu, RE-NAMA memberikan beberapa manfaat lain seperti: (a) meningkatkan ketahanan energi, (b) menurunkan subsidi energi, (c) meningkatkan jumlah pemasangan listrik, (d) mengurangi polusi udara, dan (e) dekarbonasi sektor energi.
30
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
1.2. RE NAMA Skala Kecil NAMA ini mendukung pengadaan listrik energi terbarukan pada skala kecil dan menengah (≤10 MWe). Secara khusus, NAMA ini difokuskan pada fasilitas energi milik swasta yang terkoneksi dalam sebuah jaringan sehingga listrik yang dihasilkan dapat dijual kembali kepada pihak lokal yang berwenang yang disebut dengan Penghasil Listrik Mandiri (independent power producers/IPPs). Pendekatan top-down untuk mendukung sektor ini dan melengkapi RE-NAMA di atas tentunya diperlukan, mengingat model proyek/pembiayaan tersebut berlaku sebagai katalis terhadap sektor ini. IPPs memiliki prospek yang menjanjikan mengingat adanya lingkungan yang mendukung bagi pengembang proyek pada saat ini, seperti feed-in tariff (FiT) dan perjanjian jangka panjang pembelian energi (power purchase agreements/PPAs). Namun, demikian masih terdapat kendala antara lain: i) kapasitas untuk membangun dan melakukan penilaian dokumentasi kelayakan dan perancangan saat ini masih rendah; ii) sektor perbankan daerah masih enggan mengambil resiko untuk pengembangan teknologi baru seperti proyek energi terbarukan, dan (iii) syarat-syarat yang diajukan oleh Bank kepada IPPs seringkali terlalu tinggi. Dibawah RE NAMA skala kecil ini, lingkungan investasi yang mendukung untuk IPPs akan dibentuk melalui gabungan antara bantuan teknis dan komponen finansial, yang akan dilakukan pada fase awal I23. Pada fase II, mekanisme pembiayaan publik sedang disusun dengan kolaborasi antara ESDM dan Kemenkeu berdasarkan tiga opsi rancangan awal yang terdiri atas fasilitas pinjaman, ketentuan ekuitas (untuk memperpanjang masa pinjam), atau jaminan kredit parsial kepada bank. Opsi-opsi ini dipilih untuk sebisa mungkin dilaksanakan pada struktur dan program kelembagaan yang ada. RE NAMA skala kecil yang mendapat dukungan ini menargetkan kapasitas sebesar 1,800 MW dan bermaksud meningkatkan target dari aksi RAN-GRK yang sejalan dengan rencana pembangunan sampai tahun 2020 dan penurunan target GRK sebesar 41%24. Peningkatan investasi sektor swasta pada energi terbarukan dapat memberikan manfaat bagi Indonesia melalui peningkatan ketahanan energi, pemenuhan energi untuk pertumbuhan (ekonomi), pengurangan subsidi, penciptaan lapangan pekerjaan, dan pengurangan polusi udara. Total dampak mitigasi yang dihasilkan diperkirakan sebesar 6.5 juta ton CO2 e/yr pada tahun 2020.
1.3. NAMA transportasi perkotaan berkelanjutan Program NAMA Transportasi Perkotaan Berkelanjutan Indonesia (Sustainable Urban
23 Fase I termasuk: 1) pendirian Clearing House for IPPs, unit bantuan teknis yang menyediakan pedoman/ template untuk bank dan pengembang, memberikan pelatihan, menghubungkan pemangku kepentingan dengan tenaga ahli, memelihara database kontraktor dan data sumber daya energi terbarukan, dan menawarkan sedikit hibah untuk persiapan studi kelayakan dan 2) Pembangunan mekanisme kompensasi jaringan (grid compensation mechanism), mengingat IPPs di daerah terpencil seringkali gagal untuk menjual listriknya karena sering terjadi pemadaman jaringan (grid). Mekanisme kompensasi parsial berdasarkan standar minimum dapat meningkatkan pendapatan dari proyek ini. 24 Target tercermin pada salah satu contoh proyek di Kalimantan Timur.
Lampiran
31
Transport Program Indonesia/SUTRI NAMA) bertujuan untuk merubah sistem transportasi perkotaan di Indonesia melalui gabungan antara kegiatan untuk meningkatan kapasitas dan investasi. Diharapkan NAMA SUTRI akan mengurangi emisi sebesar 5 juta ton CO2 dan memberikan manfaat terukur lainnya seperti berkurangnya kemacetan, dan polusi udara. Pada tingkat nasional, program kerangka kerja nasional terdiri atas Dana Transportasi Perkotaan Berkelanjutan (Sustainable Urban Transport Fund /SUTF) yang bertujuan untuk memberikan dana pendamping bagi kebijakan daerah dan tindakan lain yang diperlukan, serta Unit Pendukung Teknis (Technical Support Unit/TSU) yang memberikan pelatihan kepada pemerintah daerah, pemberian konsultasi oleh tenaga ahli dan dana pendamping untuk studi kelayakan. Pelaksanaan program kerangka kerja nasional akan membantu mengatasi serangkaian hambatan struktural. Pada tingkat daerah atau propinsi, paket kebijakannya meliputi campuran tindakan antara ‘push’ dan ‘pull’ yang didalamnya termasuk penyediaan transportasi umum yang berkualitas tinggi, transportasi nirmesin (non-motorised transport/NMT) seperti berjalan kaki dan bersepeda, pengelolaan permintaan transportasi (Transport Demand Management/TDM) seperti pengelolaan parkir dan lalu lintas, perencanaan tata ruang, penggunaan bahan bakar alternatif dan efisiensi kendaraan. Fase awal pelaksanaannya difokuskan pada pengurusan TDM dan mempromosikan NMT. Kota percontohan dalam fase uji coba adalah Medan, Batam dan Manado. Pengalaman tersebut dapat meningkatkan kapasitas kota untuk mengadopsi program transportasi perkotaan berkelanjutan pada rencana induk transportasi mereka, menyesuaikan program kebijakan dan investasi, juga meningkatkan kapasitas mereka dalam proses penganggaran dan pengembangan aplikasi untuk pendanaan berbasis hibah yang ditawarkan oleh berbagai dana transportasi di tingkat nasional. Hal tersebut akan membuka jalan bagi pelaksanaan NAMA SUTRI yang lebih luas dengan adanya tambahan dana domestik dan internasional untuk merangsang perubahan transformasional dalam transportasi perkotaan di kota-kota di Indonesia. Kriteria NAMAs di Sektor Transportasi 1. NAMAs harus disusun berdasarkan kebijakan perubahan iklim dan transportasi yang ada di Indonesia saat ini, termasuk rencana aksi perubahan iklim dan kerangka kerja nasional untuk transportasi perkotaan. 2. NAMAs harus mengupayakan terciptanya sistem transportasi yang berkelanjutan. 3. NAMAs yang diajukan harus dikoordinasikan dengan pemerintah daerah, dan harus dapat menyediakan sistem transportasi yang lebih baik dan efisien pada tingkat lokal berdasarkan kebutuhan transportasi daerah. 4. NAMAs harus mendorong kolaborasi antara sektor swasta dan BUMN, dan dapat memperkuat koordinasi dan kerjasama dengan kementerian dan instansi pemerintah terkait. 5. NAMAs harus dapat meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam pengumpulan data dan kualitas data transportasi, juga membangun sistem data terpercaya yang sangat penting dalam mengevaluasi potensi penurunan emisi dari NAMAs di sektor transportasi.
32
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
1.4. Inisiatif Penerangan Jalan Pintar (Smart Street Lighting Initiative/SSLI) (NAMA Efisiensi Energi) NAMA SSLI bertujuan untuk mengurangi emisi GRK dengan meningkatkan efisiensi energi pada sistem penerangan jalan di area perkotaan dan pedesaan di Indonesia, termasuk didalamnya penggantian penerangan jalan konvensional dengan teknologi yang lebih efisien. Hampir seluruh kota secara parsial masih dibebankan pembayaran listrik berbasis lump-sum (tidak terukur) untuk penerangan jalan. Dengan adanya dukungan dari NAMA SSLI, upaya untuk memasok listrik di seluruh kota di Indonesia dapat dipercepat dan diselaraskan prosesnya dengan upaya penggantian dan instalasi penerangan jalan baru yang lebih efisien seperti penggunaan lampu LED (light-emitting diode). NAMA SSLI akan dimulai pelaksanaannya di tahun 2014 di maksimum empat kota berukuran kecil dan sedang, sebelum diperluas pelaksanaannya di delapan kota tambahan pada tahun 2016 dan diharapkan mencapai 22 kota pada tahun 2020. NAMA SSLI akan membantu kota-kota tersebut untuk mendapatkan dana pendamping ketika harus berinvestasi pada teknologi yang lebih efisien. Selain upaya mencapai target penurusan emisi GRK, NAMA SSLI mendukung beberapa prioritas pembangunan Indonesia lainnya seperti keamanan pasokan energi (dengan mengurangi permintaan) dan keselamatan publik (melalui peningkatan penerangan umum). Pada tahun 2011, sekitar 3068 GWh atau 2,3 juta ton CO2 dihasilkan dari konsumsi energi untuk penerangan jalan umum. Hingga 40% dari penurunan emisi CO2 dapat dicapai dengan teknologi dan pengelolaan penerangan yang lebih efisien. Berdasarkan perhitungan awal, NAMA SSLI ditargetkan untuk mengurangi emisi sebesar 400.000 tCO2e hingga tahun 2020. Mengingat umur rata-rata penerangan jalan dengan menggunakan teknologi LED sekitar 10 tahun, maka NAMA SSLI dapat mencapai penurunan emisi hingga sekitar 1.400.000 tCO2e pada tahun 2024. ICCTF akan mengelola dana NAMA internasional dan melaksanakannya di beberapa kota terpilih, memperkuat kapasitas kota-kota tersebut, dan mengatasi hambatan yang ada sehingga pelaksanaanya dapat diperluas melalui pembiayaan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) di Kemenkeu. Lebih lanjut, model Perusahaan Pelayanan Energi (Energy Service Company/ESCO) juga akan diperkenalkan. Sebagai konsekuensinya, bantuan NAMA akan diintegrasikan dengan pembiayaan domestik dalam bentuk pinjaman berbunga rendah sehingga memungkinkan untuk dijalankan di seluruh pelosok kota dan dampaknya juga dapat ditularkan ke kota-kota lainnya.
2. NAMAs Limbah Terintegrasi Sektor limbah berkontribusi sebesar 9-11% dari total emisi GRK Indonesia. Walaupun angka ini masih sangat kecil dibandingkan dengan sektor lain seperti kehutanan dan pertanian, namun sektor limbah tetap penting karena menjadi sumber emisi GRK yang terus meningkat. Berdasarkan dokumen kebijakan perubahan iklim Indonesia, sektor limbah menjadi salah satu bidang prioritas untuk penurunan emisi GRK.
Lampiran
33
Dengan memfokuskan pada sektor sampah perkotaan, proyek NAMA limbah Indonesia dimaksudkan untuk membuka potensi penurunan GRK di sektor limbah padat yang sangat besar. Proyek tersebut juga bertujuan untuk memperkuat sistem nasional dengan membantu mengatasi berbagai hambatan yang ada seperti kurangnya insentif keuangan; kurangnya insentif politik/manfaat lain; kurangnya integrasi; kelemahan kelembagaan; kurangnya penggunaan teknik tepat guna dalam pengelolaan limbah; kurangnya kapasitas sumber daya manusia; dan ketersediaan data dan informasi yang sangat minim. Pendekatan yang inovatif dengan mengintegrasikan secara vertikal tiga tingkat pemerintahan (nasional, propinsi dan kabupaten/kota) akan digunakan dalam proyek ini sehingga peran dan tanggung jawab masing-masih pemerintah dapat diselaraskan. Proyek tersebut juga memulai tahap baru dengan membangun model bisnis yang dapat meningkatkan peran sektor swasta dalam pengelolaan limbah. Dalam jangka panjang, hasil dari proyek tersebut harus menjadi dasar bagi reformasi beremisi rendah di sektor limbah. Ruang lingkup proyek ini mencakup beberapa kelompok dan ketentuan yang akan dilaksanakan di enam lokasi proyek terpilih, seperti investasi untuk infrastruktur di tempat pembuangan akhir sampah (teknologi mitigasi GRK, seperti sistem penangkapan dan penyimpanan gas di TPA); fasilitas 3R (Reduce, Reuse and Recycle), fasilitas pengolahan limbah menjadi energi; peningkatan kapasitas; pembangunan komunitas; peningkatan kesadaran masyarakat dan penguatan kelembagaan. Perkiraan dampak mitigasi GRK langsung dari kegiatan yang telah direncanakan dalam proyek yang diusulkan tersebut adalah sebesar 1,722 juta ton CO2e selama periode 20162020. Penurunan emisi GRK ini diharapkan tercapai dari kegiatan utama di enam lokasi (Kendari, Malang, Pekalongan, Jambi, Jombang dan Sidoarjo). Selain dari itu, proyek yang diusulkan untuk mendapatkan dukungan NAMA ini diharapkan dapat memicu dampak mitigasi tidak langsung seperti penghematan penggunaan bahan bakar fosil yang akan digantikan oleh limbah; penghematan bahan baku mentah yang digantikan oleh bahan baku sekunder (limbah daur ulang), penurunan emisi GRK di sektor pertanian melalui penggantian sebagian pupuk kimia dengan kompos; penurunan emisi dari lindi (leachate) dengan mengoptimalkan teknologi pengolahan limbah pada TPA baru yang lebih bersih; pengelolaan limbah yang lebih baik guna menurunkan emisi GRK yang selama ini berasal dari praktik pengolahan yang tidak tepat seperti pembakaran terbuka; mengembangkan teknik penguraian dan pengomposan terkontrol untuk menghindari emisi metana yang tidak diinginkan; dan peningkatan kesadaran dan perilaku konsumen yang lebih baik untuk mengurangi limbah. Bercermin pada REDD+ di NAMAs berbasis lahan, pemerintah Indonesia saat ini juga sedang mengembangkan strategi nasional untuk mengurangi emisi dari sektor limbah terintegrasi (REF-WS). Kriteria NAMAs di Sektor Limbah 1. NAMAs harus disusun berdasarkan kebijakan perubahan iklim dan limbah yang ada pada saat ini di Indonesia;
34
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
2. NAMAs harus sejalan dengan program pemerintah daerah; 3. NAMAs harus dikomunikasikan dengan baik dan disetujui oleh Kementerian dan pemerintah daerah untuk mengembangkan sistem pengelolaan limbah yang tepat guna dan berkelanjutan di tingkat lokal; 4. NAMAs harus meningkatkan kapasitas sumber daya manusia pada pemerintah daerah dan/atau masyarakat lokal; 5. NAMAs harus dapat menunjukkan manfaat tambahan di tingkat lokal; 6. NAMAs harus dapat meningkatkan ketersediaan data dan informasi.
2.1. NAMA Industri Semen NAMA Industri Semen saat ini sedang dalam tahap pengembangan sebagai tindak lanjut dari terbitnya kebijakan Menteri Perindustrian yang mendorong industri semen dalam pelaksanaan aksi-aksi mitigasi yang didasarkan pada Peraturan Menteri Perindustrian No. 12/M-IND/PER/1/2012 tentang ‘Roadmap Penurunan Emisi CO2 pada Industri Semen’. Peraturan tersebut menerangkan bahwa industri semen diharapkan dapat mengurangi emisi GRK mereka secara sukarela sebesar 2% pada tahun 2011-2015 dan diwajibkan untuk menambahkan sebesar 3% pada tahun 2016-2015. Target ini telah disepakati untuk diterapkan di setiap perusahaan dan akan diukur berdasarkan tingkat emisi yang mereka hasilkan pada tahun 2009. NAMA bertujuan untuk membantu perusahaan dalam mencapai target ini dan untuk menjalankan proses dan modifikasi teknologi, sebagai salah satu aksi yang tercantum dalam RAN-GRK. Pilihan mitigasi bagi industri meliputi semen campuran (blended cement), bahan bakar alternatif dan efisiensi energi yang memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi. Manfaat lain yang diharapkan dapat dicapai antara lain kontribusi terhadap pengelolaan limbah di Indonesia dan meningkatkan daya saing industri. Saat ini, Kementerian Perindustrian juga sedang mengembangkan instrumen yang dapat digunakan dalam pelaksanaan NAMA. Paket stimulus untuk membiayai investasi yang dilakukan oleh perusahaan saat ini sedang disiapkan dan akan menjadi bagian dari aksi pembiayaan domestik. Selain dari itu, draf pedoman teknis untuk monitoring dan pelaporan telah disiapkan dan disetujui oleh kementerian dan perusahaan industri. Didalam dokumen tersebut termasuk pedoman untuk menghitung emisi dan menyiapkan mekanisme MRV sektoral. Kriteria NAMAs di Sektor Industri 1. NAMAs harus disusun berdasarkan kebijakan perubahan iklim dan industri yang ada di Indonesia saat ini; 2. NAMAs harus menarik bagi sektor swasta dan BUMN; 3. NAMAs harus dikomunikasikan dengan baik dan disetujui oleh sektor swasta dan BUMN yang berpartisipasi; 4. NAMAs harus mendorong dan memicu investasi yang dilakukan oleh sektor swasta dan BUMN; 5. NAMAs harus mendorong sektor swasta dan BUMN untuk memonitor dan melaporkan data yang dapat dipercaya kepada kementerian dan pemerintah daerah; 6. NAMAs harus dapat meningkatkan kapasitas kelembagaan untuk membangun sistem data yang baik dan dapat melakukan jaminan kualitas data.
Lampiran
35
3. NAMAs Berbasis Lahan Mengurangi emisi dari sektor berbasis lahan merupakan fokus utama dari aksi mitigasi Indonesia hingga 2020. Aksi mitigasi pada sektor berbasis lahan dapat dioperasionalisasikan melalui mekanisme NAMA atau REDD+. Berdasarkan strategi REDD+ dan fase kesiapan saat ini, inisiatif REDD+ akan difokuskan pada perbaikan kondisi untuk mendukung pelaksanaan REDD+ mendatang. Kondisi yang mendukung ini termasuk: 1. Meningkatkan tata kelola kehutanan, seperti meningkatkan prosedur perizinan/ lisensi, sistem penguasaan lahan dan penguatan lembaga perencanaan tata ruang. 2. Meningkatkan pengelolaan basis data, seperti kebijakan data satu peta, monitoring dan inventarisasi hutan nasional. 3. Meningkatkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan melalui pembuatan peraturan. Untuk NAMAs berbasis lahan, tahap awal dari penyusunan proposal NAMA adalah dengan mengeksplorasi beberapa inisiatif yang dapat menunjukan aksi cepat dan tepat dalam mengurangi emisi dari sumber sektor berbasis lahan. Aksi-aksi ini kemudian harus dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat diteruskan pada tahap berikutnya. Saat ini beberapa inisiatif sedang dalam tahap eksplorasi untuk dikembangkan menjadi proposal NAMA yang konkret. Satu inisiatif dari pemerintah Kalimantan Timur adalah proyek NAMA yang difokuskan pada rehabilitasi dan reklamasi area bekas tambang dan akan dipergunakan sebagai perkebunan rakyat sehingga dapat meningkatkan mata pencaharian masyarakat lokal. Inisiatif ini juga sejalan dengan prioritas rencana aksi provinsi Kalimantan Timur, dan sub-sektor ini diprediksi dapat memberikan kontribusi penurunan emisi GRK yang signifikan berdasarkan skenario BAU. Status proyek saat ini masih berada dalam fase studi kelayakan. Studi kelayakan ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi tentang strategi dan aspek t eknis pelaksanaan serta mengusulkan kerangka kerja peraturan pada tingkat nasional dan daerah (propinsi dan kabupaten), sehingga memungkinkan untuk dilakukan reklamasi dan rehabilitasi paska tambang bagi pengembangan perkebunan rakyat. Beberapa proposal tentang hutan tanaman rakyat juga sedang dikembangkan terutama mengenai NAMAs pengolahan kayu menjadi energi. Namun, masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk dapat merancang kegiatan yang dapat diimplementasikan dan diajukan sebagai proposal NAMA. Untuk mendukung pelaksanaan NAMAs dan REDD+ di Indonesia, pemerintah Indonesia juga sedang mengembangkan konsep MRV untuk aksi mitigasi berbasis lahan yang dikaitkan dengan Sistem Monitoring Hutan Nasional.
36
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Lampiran 2. (Tautan ke Gambar 10. Tabel ringkasan perkembangan NAMAs terkini) Format 2.1. Intisari Proyek di Sektor Energi
2.1.1. Proposal telah diajukan untuk Pendanaan Internasional – RENAMA25 Project Proposal 1. Project Title
: Enabling Renewable Energy Investment in Indonesia through supported NAMAs (RENAMA)
2. Project Type
:
3. Executing Agency
: Ministry of National Development Planning/ Bappenas
4. Implementing Agency
: Ministry of Energy and Mineral Resources
5. Duration
:
6. Location
:
7.
4 years
Background: Indonesia has taken decisive steps to initiate a transformational change from a predominantly fossil fuel based economy towards a sustainable energy supply with Renewable Energy (RE). Goals for Greenhouse Gas (GHG) mitigation and RE have been set, action plans announced, ministerial regulations for feed in introduced and respective institutions set up. Although the potential for RE exceeds 100 GW there are hardly any projects implemented. Main reasons are: absence of a functioning finance mechanism, lack of financing institutions familiar with RE project finance, low capability of developers to propose bankable projects. These bottlenecks shall be overcome through capacity building of banks and project developers and a showcase financing model shall be established, using supported NAMAs to bring high quality RE projects with low specific mitigation cost and high potential for upscaling to the ground. Qualified RE projects shall receive incremental subsidies of 10% and will be subject to strict MRV and benchmarking procedures. Project finance will be provided by SMI, to be assisted by a technical support unit in screening and due diligence of RE-projects. Capacities of project developers, banks and government institutions will be strengthened. The Ministry of Finance will be advised on fiscal instruments to support the transformational change from subsidized fossil fuels to RE.
25 Pengembangan konsep RE NAMA didukung oleh GIZ PAKLIM dan program energy terbarukan GIZ (yang didanai oleh German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development/BMZ) dan bekerja sama dengan Kementerian ESDM
Lampiran
37
8.
Objectives To develop a NAMA in energy sector particularly in the power sector from the introduction of renewable energy, namely bioenergy, PV, hydropower as contribution of the energy sector to the emission reduction commitment of Indonesia stipulated under Presidential Regulation No. 61/2011 on the National Action Plan (NAP) for GHG Emissions Reduction (RAN-GRK).
9.
Scope of Projects a. To develop a NAMA proposal that meet MRV requirements for the energy sector particularly in the power sub sector from Renewable Energy. b. To prepare means of implementation for the NAMA proposal that consist of technical support component, financial cooperation component, and other component. c. To enhance capacity of related actors and institutions for the NAMAs development on the renewable energy sector.
10. Activities The Project will target primarily grid connected RE-projects. The grid emission factor varies widely depending on region. According to the latest update by the National Council on Climate Change (NCCC) it ranges from 0.33 to 0.96 t CO2/MWh with an average of 0.76. Assuming a load factor of 70% for hydro and bio-energy power plants, grid connected systems have an annual emission reduction potential of 4,600 t CO2/MW installed and an additional 9,300 t CO2/MW for projects involving methane capture. Because of its high cost-effectiveness, one focus of the project will be waste to energy from agro industry involving methane capture. Assuming investment cost of 1.5 Million Euro/MW installed for biogas plants and a total envisaged investment volume of 80 Million Euro, about 50 MW of biogas generated power could get grid connected, avoiding 695,000 tons of CO2 annually. Assuming 15 years lifetime for biogas plants and overall Project cost of 11.5 Million Euro, a ton of CO2 avoided would cost the Project about 1 Euro. Besides biogas, the proposals showcasing other RE technologies with reasonable cost-effectiveness but outstanding innovation and market potential shall be supported, it is realistic to adjust the direct mitigation potential of the Project to 500,000 t annually with average project costs of 1.5 Euro/t CO2 avoided. The activity in the financial component will mainly relate to the provision of financial support to complement the equity and the loan to be provided by project developers and the financial institution called PT.SMI. To be monitored: - The amount of financial support, equity of project developers and loan provided
38
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
by SMI to project developers; - The emission reduction in t CO2 per Euro invested. To be reported: - The amount of investment and financial support that has been provided to the project developers will be reported by the project committee and will be part of its activity report. This report will be submitted to related government agencies, such as Bappenas, Ministry of Energy and Mineral Resources, Ministry of Finance; To be verified: - Verification on the total financial support that is provided to project developers will be based on the financial audit of the project developers 11. Project Cost Estimated full cost of implementation is 11.5 Mio USD The cost consist of Technical Support Component, Financial Cooperation Component from NAMA facility funding, Fund provided by submitter, and Third party contribution.
Lampiran
39
2.1.2. Proposal telah diajukan untuk pendanaan internasional - Smart Street Lighting Initiative (SSLI) 26 Project Proposal 1. Project Title
: Smart Street Lighting Initiative (SSLI)
2. Project Type
: Financial and Technical Assistance
3. Executing Agency
: Ministry of National Development Planning/ Bappenas
4. Implementing Agency
: a. Ministry of Energy and Mineral Resources b. Provincial and local government
5. Duration
:
6. Location
: Cities in Indonesia
7.
6 years
Background: The Smart Street Lighting Initiative (SSLI) NAMA aims to increase the energy efficiency of street lighting by substituting conventional street lighting with more efficient technologies in Indonesian cities and urban areas. In doing so, the SSLI will result in reduced energy consumption and lower greenhouse gas (GHG) emissions. Most of the cities are still partially charged for the street lights’ electricity consumption on a lump-sum (unmetered) basis, the SSLI will therefore encourage further energy policy reform, the more rapid uptake of electricity metering and the modernisation of street lighting systems that meet road safety standards. The SSLI thus contributes to a more efficient and secure energy system and a safer society. The NAMA is in line with several provincial mitigation action plans (RAD-GRK) and contributes to the Indonesian emission reduction target (26/41% compared to BAU in 2020). So far no national standards for LED street lighting exist. Furthermore, most of the cities are still partially charged for the street lights’ electricity consumption on a lump-sum (unmetered) basis, hence no financial incentives exist to invest into more efficient technologies such as LED. The NAMA aims to start implementation during 2014 in up to four small and medium-sized cities, before expanding to implementation in further eight cities by 2016 and in 15 cities until 2020. The NAMA will support cities to overcome their incremental cost when investing into more efficient technologies. In the mid-term the NAMA aims at changing the pricing mechanism to enable cities to re-invest the gained savings. In addition to achieving GHG emissions reductions, the NAMA supports several other Indonesian development priorities including energy security of supply (by reducing demand) and public safety (through increased lighting amenity).
26 Pengembangan konsep SSLI didukung oleh GIZ PAKLIM (yang didanai oleh German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development/BMZ) dan bekerja sama dengan Kementerian ESDM
40
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
The ICCTF will administer international NAMA funds to demonstrate implementation in selected pioneer cities, to strengthen cities’ capacities and to overcome barriers in order to pave the way for broader implementation with financing through the Government Investment Facility (PIP). Furthermore, it will introduce the ESCO (Energy Service Company) model. In this way, the NAMA support is integrated with domestic financing in the form of low interest loans to enable city-wide implementation and leverage the impact of the NAMA support to other cities. 8.
Objective
The SSLI NAMA aims at reducing GHG emissions by 400.000 tCO2e to 2020 by improving levels of energy efficiency in the area of public street lighting in Indonesian urban areas. Up to 1.400.000 tCO2e can be expected in 2024. This emission target is based on only replacing the street light bulbs with LED, additional emission savings result from installation of metering systems and improvement of cabling and services. Updated calculations including savings resulting from installation of metering systems and improvement of cabling and services will be provided after the starting phase mid of 2016. 9.
Scope of Projects a. To develop a NAMA proposal that meet MRV requirements for the energy sector particularly in the energy efficiency sub sector from street lighting. b. To prepare means of implementation for the NAMA proposal (detailed NAMA implementation plan already existent). c. To enhance capacity of related actors and institutions for the NAMAs development on the energy efficiency sub sector.
10. Activities The SSLI NAMA promotes efficient street lighting technologies, dominantly LED. Besides the reduction of energy use and related emission reductions, it aims at introducing the latest street light technologies to the Indonesian market via trade fares, campaigns and technology partnership with internationally established street lighting technology providers and thereby contributes to technology transfer. Furthermore, the SSLI NAMA will incentivise the introduction of standards to ensure that quality products are utilised. It will also penetrate the market through a numbers of ESCOs and its related services. In this SSLI NAMA the private sector will be closely involved. The private sector companies providing efficient street lighting equipment will enter into supply agreements with provincial/municipal governments involved in the NAMA.
Lampiran
41
The SSLI NAMA foresees an investment roll-out that comprises of different financing sources for different phases of implementation. The technological support is used to provide funding for capital investment for the replacement with energy efficient street lights such as LED in the starting phase (2014-2015). This investment aims at triggering investments by local government into more energy efficient street lights through low interest loans from the government investment facility (PIP). During the transformation phase of the SSLI NAMA, the implementation of energy efficient street light systems shall be financed by involving Energy Service Companies (ESCO), commercial loans from the financial market and other forms of public financing (2016-2019). The capacity building support is to provide technical assistance in various areas of the SSLI NAMA: Establishment and operation of the SSLI NAMA Technical Support Unit within the Ministry of Energy and Mineral Resources with support from GIZ. SSLI NAMA TSU will support city administrations including its municipal public lighting agencies in preparing specific business plans for financing and implementation. Technical assistance for Municipal public lighting agencies on purchase, installation and maintenance of energy efficient (LED) street lighting. Technical assistance by the SSLI NAMA TSU for reform of street lighting tax policies / pricing regulations (Change of pricing mechanism currently applied to charge cities for their consumption). Development of training modules covering introduction of different lighting technologies, street lighting management systems, installation and maintenance, MRV Establishment of MRV data base / MRV implementation Development and testing of ESCO model - Enable cities to re-invest the gained savings more easily in cooperation with the private sector, including Energy Services Companies, or ESCOs. Technical Assistance to energy efficiency performance and safety standards for efficient lighting products (formulation of the EE standards as input for LED street light product performance standards). Awareness-raising on usage of energy-efficient street lighting technologies amongst relevant stakeholders 11. Project Cost The additionally required financial support for the SSLI NAMA divides into 11,5 million USD for technology investments (NAMA financing component) and 7,5 million USD for technical assistance (NAMA technical component).
42
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Format 2.2. Sektor Transportasi Proposal has been submitted to UNFCCC - Sustainable Urban Transport Initiative (SUTRI) 27
NAMA Seeking Support for Implementation A Overview A.1 Party
Republic of Indonesia
A.2 Title of Mitigation Action
Sustainable Urban Transport Initiative
A.3 Description of mitigation action
This Programme promotes sustainable urban transport in Indonesian Cities by implementing and monitoring measures in order to halt the increasing motorisation and reduce externalities of transportation. The pilot phase will start with the implementation of low‐carbon mobility plans in three cities (Medan, Menado, Batam) as well as supporting activites on national level that aim at upscaling the policies of the pilot phase to more Indonesian cities. The NAMA covers the following activities: At national level, development of a Policy Framework for Sustainable, Low‐carbon Urban Transport, comprising a regulatory framework, co‐financing of local measures, capacity building, practical guidelines for local planning, and overall MRV of the actions. At the local or provincial level, development, implementation and MRV of Comprehensive Urban Low‐carbon Mobility Plans. The sustainable transport policies covered include a tailor‐made mix of ‘push’ and ‘pull’ measures for each city, including high quality public transport, non‐motorised transport, parking management, traffic management, spatial planning, alternative
27 SUTRI NAMA concept development is supported by GIZ Transfer and GIZ SUTIP in cooperation with the Indonesia Ministry of Transportation
Lampiran
43
fuels and vehicle efficiency. The preparation of the NAMA is ongoing and further details will be added during the next months. A.4 Sector
A.5 Technology
A.6 Type of action
Energy supply
Transport and its Infrastructure
Residential and Commercial buildings Agriculture
Industry
Waste management
Other
Forestry
Bioenergy
Cleaner Fuels
Energy Efficiency
Geothermal energy
Hydropower
Solar energy
Wind energy
Ocean energy
Carbon Capture and Storage
Low till / No till
Land fill gas collection
Other transport policies andmeasure
National/ Sectoral goal Strategy National/Sectoral policy or program Project: Investment in machinery Project: Investment in infrastructure Other: Local Government Involvement
A.7 Greenhouse gases covered by the action CO2
CH4
N2O
HFCs
PFCs
SF6
Other B National Implementing Entity B.1.0 Name B.1.1 Address
B.1.2 Contact Person B.1.3 Phone B.1.4 Email
44
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Ministry of Transportation Indonesia (MoT) Staf Ahli Menteri Perhubungan, Jl Medan Merdeka Barat No. 8, Jakarta Pusat 10110, Indonesia Mr. Wendy Aritenang +62811997391 [email protected]
B.3.1 Contact Person B.3.2 Address
B.3.3 Phone B.3.4 Email B.4.1 Contact Person B.4.2 Address
B.4.3 Phone B.4.4 Email
Mr Harry Boediarto (alternative Contact Person 1) Kepala Pusat PPKJT Kementerian Perhubungan, Jl Medan Merdeka Barat No. 8, Jakarta Pusat 10110, Indonesia +6281382121938 [email protected] Mr Djoko Sasono (alternative Contact Person 2) Direktur BSTP, DitJen HubDar, Kementerian Perhubungan, Jl Medan Merdeka Barat No. 8, Jakarta Pusat 10110, Indonesia +628128348677 [email protected] , and, [email protected]
C. Expected timeframe for the implementation of the mitigation action C.1 Number of years for completion C.2 Expected start year of implementation
8 2013
D.1 Used Currency million USD E Cost E.1.1 Estimated full cost of implementation E.2 Estimated incremental cost of implementation
400 million USD to 800 million USD 0.00
F Support required for the implementation of the mitigation action F.1.1 Amount of financial support 300 F.1.2 Type of required financial support Grant
Guarantee
Loan (sovereign)
Equity
Loan (Private)
Carbon finance
Concessional loan
FDI
F.1.3 Comments on Financial Support The required amount of financial support is still an indicative figure, it can not be accurately determined at this state of the process. The design of the local mitigation plans is ongoing and more accurate financing figures will be available by mid 2013.
Lampiran
45
F.2.1 Amount of Technological Support
20.00
F.2.2 Comments on Technological Support Development of transport models for emission monitoring, promotion of efficient vehicles, alternative fuels such as CNG, LPG, biofuels or electric vehicles, intelligent transport systems, gas converters, catalytic converters. F.3.1 Amount of capacity building support F.3.2Type of required capacity building support
10.00 USD Individual level Institutional level Systemic level Other
F.3.3 Comments on Capacity Building Support Capacity building is required for sound transport planning and integration, for operation and management, for surveys and data management for MRV, and for the development of guidelines. Sharing best practices nationally and internationally is another component. To strengthen the capacity of technical staff and decision makers workshops and trainings are required. The preparation of the NAMA is supported by the International Climate Initiative (ICI) of the German Ministry for the Environment (BMU). It is envisaged to continue this technical cooperation with the Ministry of Transport and to support local governments in three pilot cities to support the implementation of local mitigation actions. Furthermore the NAMA can benefit from ongoing international support from various donors being active in Indonesian cities. G Estimated emission reductions G.1 Amount 5.00 G.2 Unit G.3 Additional information (e.g. if available, information on the methodological approach followed): This estimation is based on a top‐down calculation using national transport statistics and development prognosis (National Mitigation Action Plan). The implementation of a comprehensive package of policies has a mitigation potential up to 25%. The calculation is based on the assumption that 10% of the urban population benefit from the NAMA and 15% of the emissions will be reduced until 2020 compared to BAU. At the time of submission a study is undertaken to further elaborate emission scenarios for the pilot cities. The estimated costs apply to the pilot phase only. H.1 Other indicators of implementation Quality, capacity and accessibility of public
46
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
transport (e.g. ridership, travel speed, information, network coverage, level of service), quality of walking and cycling facilities (km of high quality bicycle lane, modal share, parking management, no of onstreet-of‐street parking spots, regulation, enforcement), emissions per vehicle and kilometer (to be completed) I.1 Other relevant information including benefits for local sustainable development The sustainable development benefits of this programme are substantial and include contribution to: Air quality: reduction in emissions of air pollutants will at least be comparable to the CO2 reduction, and can be significantly larger in case alternative fuels are used. Accessibility: the ‘avoid’ and ‘shift’ measures will significantly reduce congestion and improve accessibility, however for the longer term rebound effects should be taken into account. Therefore fuel price and parking strategies are required to counter such effects. Equity: high quality and affordable public transport and non‐motorised transport improve opportunities for poor people to access jobs (reduction in individual costs for transportation). Road safety: the policies proposed may reduce accidents, however this requires careful planning and monitoring, e.g. for safe walking and cycling facilities. City livability: the current transport infrastructure and its use have a substantial negative impact on quality of life due to fragmentation of neighbourhoods, noise and air pollution. The measures in this NAMA will significantly reduce such impacts and improve the living conditions for all city dwellers. J Relevant National Policies, strategies, plans and programmes and/or other mitigation action J.1 Relevant National Policies: National Development Plan, National Transport Master Plan (Land, Railways, Maritime, Aviation), RAN‐GRK (National Mitigation Actions), RAD‐ GRK (Local Government Mitigation Actions)
Lampiran
47
Format 2.3. Sektor Limbah Proposal telah diajukan untuk mendapatkan pendanaan internasional - Vertical Nationally Appropriate Mitigation Actions (V-NAMAs)29 Vertical NAMA Project 1. Project Title
: Vertical Nationally Appropriate Mitigation Actions (V-NAMAs)
2. Project Type
: Technical Assistance
3. Executing Agency
: Ministry of National Development Planning/ Bappenas
4. Implementing Agency
: a. b. c. d.
5. Duration
:
6. Location
: Jakarta
7.
Ministry of Public Works; Ministry of Environment; Ministry of Home Affairs Provincial and Local Government (in pilot locations).
September 2012-April 2015
Background:
Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) are voluntary country engagement proposals aimed at reducing or limiting Green House Gas (GHG) emissions. They are expected to be the main vehicle for mitigation action in developing countries under a future climate agreement. The governments of numerous developing countries have begun in recent years to define Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs). To plan and implement such actions, it is essential to combine horizontal integration (mainstreaming climate concerns in emission sectors) and vertical integration (mobilising potential at different policy levels: national, provincial and local). Therefore, it is important to actively involve subnational actors at province and municipal level, as these have key competences in a number of sectors such as waste management. Although the need to involve these actors is undisputed, there is as yet a lack of replicable experience with corresponding approaches embracing several levels of government and the suitable management, planning and monitoring instruments. Horizontal integration (mainstreaming climate concerns in emission sectors) is by now a recognised principle of climate policy in developing countries as elsewhere, whereas vertical integration (mobilising potential at different policy levels) is still nascent. Purely bottom-up approaches addressing individual municipalities can provide impetus, but tend to remain restricted to such measures that reside exclusively within the sphere of responsibility of local decision-makers. Top-down approaches, on the other hand, suffer
48
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
from the enforcement deficit at subnational level that can also be observed in other policy fields. In both cases the potential residing in a mobilisation of competences and resources that embraces all policy levels is wasted. In order to develop a practicable vertically integrated approach in NAMA development, GIZ has initiative to implement the V-NAMA Project in two countries, Indonesia (waste sector) and South Africa (building sector). The expected result of the V-NAMA work will be the production of practical guidelines containing a menu of options and a menu of tools for the design of V-NAMAs that meet MRV and financing requirements. In parallel, it will be ensured by convening expert workshops and dialogue events that the proposals elaborated by the project are discussed and disseminated internationally. 8.
Objectives
To develop a practicable approach for vertically integrated NAMAs (v-NAMAs) on urban solid waste management sector
9.
Scope of Projects a. To develop bankable V-NAMAs proposals that meet MRV requirements for the urban solid waste management sector; b. To prepare practical guidelines of vertically integrated NAMAs development; c. To enhance capacity of related actors and institutions for the vertically integrated NAMAs development on the urban solid waste management sector.
10. Activities 1. Discussion with partners in order to clarify the expectations upon the project (including roles and contributions of both sides), gain a shared understanding of the project approach (goals, type and extent of measures planned) and consolidate project ownership at national level; 2. Estimation of the potential and barriers to implementing v-NAMA approaches in the the waste sector to define the scope of action (subsector, region, cities, participants) – both in dialogue with the knowledge holders, national and sub national key stakeholders; 3. Selection of pilot project locations by considering the linkages with relevant activities and financing plan in the national solid waste management; 4. Organisation of planning workshops with the participating national and subnational actors in order to agree on the approach, to define appropriate activities and their sequence, and to clarify responsibilities. 5. Elaboration of the individual elements of vertically integrated NAMAs (baseline, business-as-usual scenario, mitigation options, abatement costs, co-benefits,
Lampiran
49
6. 7.
8.
9. 10. 11.
50
risk assessment, incentives, plan of action, MRV) in cooperation with national and international experts. Elaboration of implementation and financing approaches (financing sources and mechanisms, burden-sharing, etc.); Organisation of multi-stakeholders dialogue, seminar, training and workshop as capacity building measures in NAMAs development on urban solid waste sector for sub-national and national actors; Development of bankable NAMAs proposal in urban solid waste sector by implementing vertically integrated approach and other relevant documents to be submitted to policy makers; Documentation of the course and results of v-NAMAs development and compilation of the lessons learned; Preparation of practical guidelines in v-NAMAs development in the urban solid waste sector; Dissemination of project result and lesson learned in the international climate change discussion forum.
Kerangka Kerja Indonesia untuk Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs)
Penghargaan Pembuatan naskah ini dikoordinasikan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) khususnya dibawah Direktorat Lingkungan Hidup, Deputi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Serangkaian diskusi telah dilakukan yang melibatkan kelompok kerja dibawah Tim Koordinasi Perubahan Iklim (CCNCT) yang mewakili kementerian/lembaga terkait, dan para ahli yang telah membantu mempersiapkan naskah ini. Menjadi suatu kebanggaan bagi kami untuk dapat menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan naskah ini dari awal hingga selesai. Penyusunan naskah kerangka kerja NAMAs Indonesia ini didukung oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) melalui Policy Advice for Environment and Climate Change Program (PAKLIM) dan bekerja sama dengan Sustainable Urban Transport Improvement Project (SUTIP) serta TRANSfer Project, dimana kami juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan mereka terhadap penyusunan buku ini.
Bekerjasama dengan:
Untuk Informasi lebih lanjut, silahkan menghubung: E W
: [email protected] : www.sekretariat-rangrk.org