REPOSISI PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN Muchjidin Rachmat
PENDAHULUAN Fakta menunjukkan bahwa peran dan intervensi Pemerintah masih tetap dibutuhkan meskipun dinegara maju dan penganut mekanisme pasar. Peran dan intervensi diperlukan dalam rangka peningkatan layanan publik melalui penerapan berbagai kebijakan terutama kebijakan makro dan mikro ekonomi dan kebijakan lainnya. Sebagai negara yang terus membangun, kegiatan pembangunan Indonesia juga memerlukan campur tangan pemerintah dalam mengarahkan kegiatan pembangunannya. Campur tangan pemerintah tersebut berkaitan dengan peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator. Sebagai regulator, pemerintah berperan mengatur pelaksanaan pembangunan melalui pembuatan aturan/regulasi, melaksanakan dan mengawasinya agar kegiatan pembangunan berjalan sesuai dengan semestinya. Pemerintah perlu menjaga dan mengarahkan agar sistem perekonomian Indonesia berjalan dengan baik dan benar sesuai yang diinginkan, dan untuk itu diperlukan pengaturan dari pemerintah. Pemerintah juga berperan sebagai fasilitator agar dalam kegiatan pembangunan berjalan mampu mendayagunakan seluruh potensi nasional. Fasilitasi pemerintah tersebut antara lain dalam bentuk intervensi melalui kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh pemerintah dalam kegiatan penyediaan barang dan layanan publik, dan kegiatan atau prakarsa strategis. Dalam perannya sebagai dinamisator, pemerintah berperan menciptakan kondisi dinamis agar seluruh masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam kegiatan pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat dan keberpihakan. Agar peran pemerintah dapat disusun sesuai dengan kebutuhan diperlukan adanya penyusunan perencanaan nasional. Penjabaran peran pemerintah tersebut juga harus sejalan dengan amanat UUD 1945 pasal 33 yang menyebutkan bahwa negara menguasai bumi serta kekayaan alam yang dikandung didalamnya, serta cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan bagi hajat hidup orang banyak. Dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan tersebut, amanat UUD 1945 juga berarti mengamanatkan kepada Pemerintah agar secara aktif dan langsung menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pentingnya peran pemerintah dalam menyusun perencanaan juga berkaitan dengan penyesuaian terhadap dinamika lingkungan strategis domestik dan global. Dinamika lingkungan global berkaitan dengan globalisasi yang menjadikan adanya persaingan antar negara. Dilingkungan domestik, dinamika pembangunan dihadapkan kepada reformasi pembangunan yang mengarah kepada otonomi daerah dan : transparansi, akuntabilitas, partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
189
lebih baik. Pada kondisi terjadinya dinamika lingkungan strategis global dan domestik tersebut, pembangunan pertanian dihadapkan kepada tantangan pemenuhan kebutuhan pangan dan energi, upaya pengentasan kemiskinan dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Adanya dinamika yang cepat di lingkungan tersebut menuntut adanya dinamika dalam kebijakan dan pelaksanaan pembangunan pertanian, dan untuk itu pula dibutuhkan perencanaan pembangunan yang responsip terhadap dinamika tersebut. Perencanaan merupakan bagian penting dari managemen pembangunan, sehingga perencanaan yang baik merupakan prasyarat keberhasilan pelaksanaan dan hasil pelaksanaan yang baik. Perencanaan merupakan usaha yang dengan sadar dilakukan pemerintah untuk pencapaian tujuan pembangunan melalui berbagai instrumen kebijaksanaan. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan dengan memperhatikan sumberdaya yang tersedia. Perencanaan juga dapat dikatakan sebagai teknik atau cara untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu yang telah ditetapkan. Perencanaan pembangunan dimaksudkan untuk menimbulkan dan kemudian menjamin berlangsungnya pembangunan secara kontinu (terus-menerus). Hal itu hanya dapat terjadi apabila di dalam usaha perencanaan tersebut, faktor-faktor strategis dari pembangunan telah benar-benar dikuasai. Selanjutnya dikatakan perencanaan pada asasnya berkisar pada dua hal, yaitu penentuan pilihan secara sadar mengenai tujuan kongkrit yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan; dan pilihan-pilihan di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai tujuan-tujuan tersebut. Todaro (1983) menyatakan bahwa perencanaan ekonomi bisa diartikan dengan suatu usaha pemerintah yang sungguh-sungguh untuk mengkoordinasikan semua keputusan ekonomi dalam jangka panjang dan untuk mempengaruhi secara langsung dan dalam beberapa hal bahkan mengendalikan tingkat dan pertumbuhan variabel ekonomi yang penting dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Selanjutnya Todaro juga mengemukakan proses perencanaan itu sendiri bisa diartikan sebagai suatu latihan bagi pemerintah, pertama untuk memilih tujuan-tujuan, kemudian menyusun berbagai target, dan akhirnya mengorganisir suatu kerangka kerja untuk diimplementasi, dikoordinasi dan memonitor rencana pembangunan tersebut. Selanjutnya Bintoro T. (1995) mengemukakan perencanaan pembangunan adalah suatu pengarahan penggunaan sumber-sumber pembangunan (dengan segala keterbatasannya) untuk mencapai tujuan keadaan sosial ekonomi yang lebih baik secara lebih effisien dan efektif. Rencana pembangunan juga merupakan hasil dari proses politik (public choise theory of planning) khususnya penjabaran visimisi kepala pemerintahan/daerah terpilih. Dalam perencanaan pembangunan, minimal ada aspek pokok yang perlu mendapat perhatian, yaitu, yaitu : (a) permasalahan-permasalahan pembangunan suatu negara atau masyarakat yang dikaitkan dengan sumber-sumber pembangunan yang dapat diusahakan, dalam hal ini sumber-sumber daya ekonomi dan sumbersumber daya lainnya, (b) tujuan serta sasaran rencana yang ingin dicapai, (c)
190
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
kebijakan dan cara untuk mencapai tujuan dan sasaran rencana dengan melihat penggunaan sumber-sumbernya dan pemilihan alternatif-alternatifnya yang terbaik,(d) penterjemahan dalam program-program atau kegiatan-kegiatan usaha (proyek) yang konkrit, dan (e) jangka waktu pencapaian tujuan. Makalah ini akan mereview dari sistem dan proses perencanaan pembangunan pertanian yang berjalan, melakukan analisis kritis terhadap sistem dan proses perencanaan pembangunan tersebut, dan selanjutnya memberikan saran alternatif penyempurnaan perencanaan kedepan dikaitkan dengan dinamika lingkungan strategis yang terjadi.
SISTEM DAN PROSES PERENCANAAN NASIONAL Perekonomian yang maju dianggap sebagai tolak ukur untuk kemajuan suatu bangsa/negara. Perekonomian yang maju dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Sejalan dengan itu, semenjak negara Republik Indonesia berdiri, kegiatan pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama pembangunan. Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan, dilakukan penyusunan perencanaan pembangunan sebagai petunjuk arah bagi pelaksanaan pembangunan. Pada masa Orde Lama, strategi pembangunan nasional didasarkan atas pendekatan perencanaan pembangunan yang lebih menekankan pada usaha pembangunan politik, hal ini sesuai dengan situasi saat itu yaitu masa perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan nasional sehingga terjadi kendala dalam pelaksanaan pembangunan sebagaimana mestinya. Upaya untuk membangun secara terencana dilakukan, dimulai dengan disusunnya perencanaan beberapa sektor ekonomi pada tahun 1947, yang diberi nama Plan Produksi Tiga Tahun RI, yaitu perencanaan bidang-bidang pertanian, peternakan, perindustrian dan kehutanan, untuk tahun 1948, 1949, dan 1950. Selanjutnya pada tahun 1952 dimulai usaha-usaha perencanaan yang lebih bersifat menyeluruh, dengan fokus kepada tetap sektor publik, dan akhirnya pada tahun 1956-1960 telah berhasil disusun suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun. Pada periode 1959-1967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional yaitu: (1) TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, (2) TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan (3) Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. Atas dasar ketiga ketetapan tersebut disusun Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yang meliputi jangka waktu 8 tahun inl terbagi atas rencana tahapan 3 dan 5 tahun. Masa orde baru berjalan pada periode tahun 1968-1998. Pada periode tersebut pembangunan nasional telah didasarkan kepada ketetapan Garis-Garis Besar
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
191
Haluan Negara (GBHN) yang disusun dan ditetapkan oleh MPR. GBHN sebagai pola umum Pembangunan Nasional Indonesia berdasarkan pendekatan perencanaan pembangunan bangsa. Pelaksanaannya dilaksanakan secara bertahap melalui Repelitarepelita sebagai perencanaan pembangunan jangka menengah. Dalam pola umum pembangunan nasional juga telah pula disusun cara pelaksanaannya secara lebih operasional yaitu melalui sistem perencanaan tahunan dan mekanisme APBN. Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) disusun dan dimulai pelaksanaannya sejak 1 April 1969, diikuti dengan Repelita selanjutnya. Program stabilisasi dan rehabilitasi ekoromi pembagunan sejak Orde Baru berpangkal pada pendekatan nasional dalam kerangka: (1) Jangka panjang, melalui mendekatan pembangunan bangsa yang berdasarkan pada pendekatan pembangunan secara utuh dan terpadu (unified dan integratif) antara berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan (2) Jangka menengah: pendekatan pembangunan ekonomi dan sosial dengan lebih bertitik berat pada pembangunan sektor pertanian dan pengembangan sektor sosial serta kelembagaan menuju kesejahteraan dan keadilan sosial. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, dan disusun oleh lembaga perencanaan pusat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Proses penyusunan rencana pembangunan yang dilakukan cenderung kepada proses teknokratik, yaitu teknokrat yang dinilai profesional menyusun rencana pembangunan sesuai dengan keahliannya dengan berbekal pengetahuan yang dimiliki. Agregat dari kebutuhan masyarakat dianalisis oleh profesional dan menghasilkan perspektif akademis pembangunan (proses teknokratik dalam perencanaan). Proses perencanaan dilakukan melalui mekanisme planning. Lembaga/departemen/daerah menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan fungsinya. Proses dan ini dilaksanakan dengan tujuan antara lain menyelaraskan program-program untuk menjamin adanya sinergi/konvergensi dari semua kegiatan pemerintah dan masyarakat. Penyelarasan rencana-rencana lembaga pemerintah dilaksanakan melalui musywarah perencanaan yang dilaksanakan baik di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota. Dalam sistem perencanaan nasional, pertemuan antara perencanaan yang bersifat dan diwadahi dalam musyawarah perencanaan. Dimana perencanaan makro yang dirancang pemerintah pusat disempurnakan dengan memperhatikan masukan dari semua dan selanjutnya digunakan sebagai pedoman bagi daerah-daerah dan lembaga-lembaga pemerintah menyusun rencana kerja. Dalam mekanisme ini, pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya rendah. Dalam pelaksanaan strategi pembangunan tersebut telah banyak dicapai kemajuan-kemajuan yang berarti, namun dernikian juga masih kelihatan bahwa banyak tujuan yang mendasar masih jauh dari terwujud. Bahkan
192
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
mungkin ada arah pelaksanaan yang beium sesuai dengan yang dikehendaki dengan amanat UUD. Pada era Reformasi, instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan dinamika politik. Periode 1998-2000 merupakan periode perubahan dramatis dalam perencanaan pembangunan Indonesia. Dapat dikatakan dalam periode tersebut tidak ada dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat dijadikan pegangan dalam pembangunan bangsa, bahkan pada saat itu terjadi wacana pembubaran lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional, karena diasumsikan lembaga tersebut tidak efisien dan efektif lagi dalam konteks reformasi. UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Telah terjadi perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu: (1) penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN (UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3) diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 dan UU Nomor 33/2004). Proses perencanaan mengarah kepada proses politik, dimana program pembangunan ditawarkan sejak masa kampanye pemilu/pemilukada oleh calon presiden/kepala daerah. Apabila program yang ditawarkan sesuai dengan keinginan mayoritas masyarakat banyak maka calon dapat terpilih. Dengan demikian pelaksanaan kegiatan pembangunan dilakukan sesuai kontrak politik sesuai dengan janji rencana pada saat kampanye, sehinggga dalam proses perencanaan pendekatan politis lebih menonjol. Haluan Negara Tahun 1999-2004 berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, dimana pada haluan negara tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN, dan kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas menjadi acuan bagi penyusunan rencana pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap tahunnya sebagai bagian Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada). Upaya mengembalikan dan memperkuat peran perencanaan dilakukan pemerintah (Bappenas) melalui penyusunan UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional. Dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya. Lahirnya UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, setidaknya dapat memberikan kejelasan hukum dan arah tindak dalam
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
193
proses perumusan perencanaan pembangunan nasional. RPJP, RPJM, RKP secara model dan mekanisme perumusannya identik dengan program jangka panjang, Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada masa Orde Baru. Dalam kondisi demikian terjadi penggabungan penyusunan perencanaan antara proses teknokratik dan proses politik. Undang-Undang tentang sistem perencanaan pembangunan nasional menetapkan adanya dokumen-dokumen perencanaan yaitu: (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima) tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan Nasional. Sedangkan RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP Nasional. Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) atau rencana lima tahunan terdiri atas rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) dan rencana pembangunan jangka menengah daerah atau RPJMD (UU No 17/2007). Rencana pembangunan jangka menengah sering disebut sebagai agenda pembangunan karena menyatu dengan agenda Pemerintah yang berkuasa. Agenda pembangunan lima tahunan memuat program-program, kebijakan, dan pengaturan yang diperlukan yang masing-masing dilengkapi dengan ukuran hasil yang akan dicapai. Selain itu, secara sektoral terdapat pula Rencana Strategis atau Renstra di masing-masing kementerian/departemen atau lembaga pemerintahan nondepartemen serta renstra pemerintahan daerah yang merupakan gambaran RPJM berdasarkan sektor atau bidang pembangunan yang ditangani. RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Penjabaran dari UU N0 17/2007 dituangkan dalam produk turunannya seperti PP No 20/ 2004 DAN pp 21 /2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian; PP No 39/2006 tentang Tatacara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan; PP No 40 / 2006 tentang Tatacara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional; PP No 38/ 2007 tentang pembagian urusan pemerintah antar pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota; PP No 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; Dan Perpres No 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014
194
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Sedangkan RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Selanjutnya Renstra Kementerian dan Lembaga memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun dengan berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif. Sedangkan Renstra Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah serta berpedoman kepada RPJM Daerah dan bersifat indikatif. Rencana pembangunan tahunan disebut sebagai Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga, lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Sedangkan RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. RKP dan RKPD tersebut merupakan acuan dalam penyusunan anggaran sebagaimana diamanatkan dalam UU 17/ 2003. Seiring dengan penerapan UU No 22 Tahun 1999 dan diperbaharui dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (otonomi daerah) maka peran daerah menjadi sangat penting artinya bagi upaya meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Berdasarkan UU No 22/1999 tersebut, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa otonomi daerah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, termasuk bagaimana suatu daerah melakukan perencanaan pembangunan di daerahnya masing-masing. Dalam penyelenggaraan pembangunan daerah, perencananaan bukan saja sangat diperlukan, melainkan juga sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Pentingnya daerah menyusun perencanaan juga diatur dalam pasal 1 angka 1 UU 24 tahun 2004. Dikatakan bahwa perencanaan suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
195
Sejalan dengan semangat otonomi daerah tersebut, maka pola penyusunan perencanaan pembangunan dilakukan melalui pola perencanaan pembangunan partisipatif. Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah ( ). Pemikiran perencanaan partisipatif diawali dari kesadaran bahwa kinerja sebuah prakarsa pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh semua pihak yang terkait dengan prakarsa tersebut. Sejak dikenalkannya model perencanaan partisipatif, istilah menjadi sangat meluas dan akhirnya dianggap sebagai idiom model ini. Perencanaan partisipatif berangkat dari keyakinan bahwa keberhasilan program-program pembangunan ditentukan oleh komitmen semua , dan komitmen ini didapat dari sejauh mana mereka terlibat dalam proses perencanaan program tersebut. Sistem perencanaan partisipatip juga dinilai sebagai wahana pembelajaran demokrasi yang sangat baik bagi masyarakat melalui terbangunnya forum-forum musyawarah yang melibatkan semua unsur warga masyarakat mulai dari level RT (Rukun Tetangga), RW (Rukun Warga), Kelurahan, Kecamatan, sampai Kota. Dengan proses perencanaan partisipatif diharapkan akan tumbuh rasa ikut memiliki ( ) bagi stakeholders terhadap kinerja pembangunan, yang kemudian diharapkan meningkatkan efektivitas sekaligus efisiensi pelaksanaan kegiatan. Selanjutnya perencanaan tersebut juga diharapkan tetap dapat menampung sasaransasaran perencanaan yang bersifat makro yang ditetapkan oleh Pusat, sehingga sistem perencanaan yang serasi antara dan dapat diwujudkan. Dalam sistem perencanaan pembangunan nasional, perencanaan partisipatif diwujudkan melalui musyawarah perencanaan. Dalam musyawarah ini, sebuah rancangan rencana dibahas dan dikembangkan bersama semua pelaku pembangunan ( ). Pelaku pembangunan berasal dari semua aparat penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), masyarakat, dunia usaha, kelompok profesional, organisasi-organisasi non-pemerintah, dan lain-lain. Pada kondisi ini, maka sistem perencanaan merupakan perpaduan antara proses teknokratik, politis dan partisipatif.
PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN Pada masa orde lama, kebijakan pembangunan pertanian diprioritaskan kepada peningkatan produksi pertanian dalam rangka pencapaian kecukupan pangan dan ekspor. Perhatian terhadap pencapaian kecukupan pangan pada era orde lama ini terungkap dari pidato presiden Sukarno dalam acara peletakan batu pertama Gedung fakultas Pertanian UI di Bogor tahun 1952. Presiden Sukarno mengemukakan bahwa masalah pangan atau makanan benar benar merupakan masalah mendesak, sedemikian mendesaknya sehingga beliau menggunakan istilah “antara hidup dan
196
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
mati”. Meskipun saat itu belum mengalami kerawanan pangan yang berarti, namun kondisi pangan yang masih impor membayangi ketakutan akan kecukupan dan kerawanan pangan mendatang terutama berkaitan dengan jumlah penduduk yang terus meningkat. Untuk itu sejak awal presiden sukarno telah mengingatkan pentingnya peningkatan produksi dan pencapaian swasembada pangan. Era Orde Lama juga bersamaan dengan era revolusi hijau di bidang pertanian. Implementasi Revolusi Hijau dituangkan dalam program-program intensifikasi seperti program Kasimo pada tahun 1952, Padi Sentra tahun 1959, dan program penyuluhan massal 1963 (Mears dan Moeljono 1986; Suryana dan Swastika 1997). Tekat pemerintah untuk swasembada tercermin pula dari didirikannya Badan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah (BPMT) tahun 1958 dan pencanangan program Padi Sentra tahun 1959. Sejalan dengan itu, untuk menggerakkan partisipasi petani dibentuk KOGM (Komando Operasi Gerakan Makmur-Inpres I/1959) yang dipimpin Presiden di tingkat Pusat dan Kepala Daerah di daerah. Pada era Orde Lama tersebut secara jelas telah ada kebijakan politik dan diikuti oleh program-program terstruktur dalam rangka mencapai swasembada pangan, terutama beras, dan rancangan pembangunan pertanian diarahkan kepada tujuan peningkatan produksi dan pencapaian swasembada pangan melalui perluasan area tanam dan intensifikasi /peningkatan produktivitas. Pada era orde baru, perencanaan pembangunan nasional termasuk pembangunan pertanian terprogram dengan baik sejalan dengan disusunnya Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan dituangkan dalam pembangunan lima tahunan (Pelita). Dalam GBHN, pembangunan nasional diarahkan kepada trimatra pembangunan (stabilitas, pertumbuhan ekonomi, pemerataan). Dalam Pelita I (1 april 1969 – 30 maret 1974) urutan prioritas pembangunan adalah stabilitas, pertumbuhan ekonomi, pemerataan. Dalam periode ini sektor pertanian menjadi prioritas utama pembangunan nasional dengan fokus kepada pencapaian swasembada pangan terutama beras. Dalam implementasinya pelaksanaan pembangunan pertanian juga dilakukan melalui pendekatan trimatra pembangunan pertanian, yaitu wilayah terpadu, komoditi terpadu, usahatani terpadu. Keinginan dan tekat swasembada yang diwariskan pada masa orde Lama, dilanjutkan oleh pemerintah pada era Orde Baru secara lebih serius dan terencana. Penerapan revolusi hijau secara lebih komprehensif dilakukan dengan diluncurkannya program Bimas (1968-1970), dan kemudian disempurnakan menjadi program Bimas yang Disempurnakan (1971-1977), dan menjadi program Intensifikasi Khusus (Insus) pada tahun 1979, dan selanjutnya menjadi program Supra Insus pada tahun 1987 (Suryana dan Swastika 1997). Peristiwa penting dari pelaksanaan program ini adalah dibentuknya Badan Pengendali Bimas melalui Keppres No 95 tahun 1969, yang bertanggung jawab penuh terhadap program Bimas. Implementasi dari revolusi hijau dituangkan dalam bentuk program intensifikasi melalui yang merupakan lima langkah perbaikan teknologi, yaitu pengolahan tanah, pemakaian bibit unggul, pemupukan, pengairan dan
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
197
pemberantasan hama penyakit, yang dalam perjalanannya diperluas menjadi dengan memasukkan unsur perbaikan pasca panen dan manajemen usahatani. Kegiatan produksi melalui Panca Usaha/Sapta Usaha juga diikuti oleh kebijakan pendukung lain, yaitu: (a) penetapan harga dasar dan harga atap beras, (b) pemberian subsidi sarana produksi (irigasi, bibit, pupuk dan obat), (c) pemberian bantuan kredit dan subsidi bunga kredit, (d) kebijakan pengadaan dan penyangga pangan domestik, dan (e) pengurangan kehilangan hasil pertanian. Program ini telah memberi hasil dengan peningkatan produksi padi rata-rata 4,34%/tahun dan dicapainya swasembada beras Indonesia pada tahun 1984. Namun, swasembada beras hanya bertahan satu tahun karena pada tahun berikutnya peningkatan produksi belum bisa mengimbangi kebutuhan konsumsi, sehingga impor terjadi lagi. Dalam rangka pencapaian swasembada pangan, disamping program intensifikasi juga secara simultan dilakukan program-program ekstensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi. Intensifikasi yaitu upaya peningkatan produksi pertanian dengan menerapkan formula pancausaha tani (pengolahan tanah, pemilihan bibit unggul, pemupukan, irigasi, dan pemberantasan hama). Ekstensifikasi pertanian adalah upaya peningkatan produksi pertanian dengan memperluas lahan pertanian. Diversifikasi pertanian adalah upaya peningkatan produksi pertanian dengan cara penganekaragaman tanaman, misalnya dengan sistem tumpang sari di antara lahan sawah ditanami kacang panjang, jagung, dan sebagainya. Rehabilitasi pertanian adalah upaya peningkatan produksi pertanian dengan cara pemulihan kemampuan daya produktivitas sumber daya pertanian yang sudah kritis. Untuk pencapaian tujuan peningkatan produksi/swasembada tersebut, perencanaan pembangunan dominan bersifat dop down, baik dalam kegiatan maupun dalam alokasi anggarannya. Target target produksi disusun di pusat dan daerah masing masing menjabarkannya dalam target dan kegiatan wilayah masing masing. Memasuki Pelita II sampai pelita V yaitu pada periode 1 april 1974 – 30 maret 1994, fokus prioritas trimatra pembangunan berubah dengan urutan prioritas pertumbuhan ekonomi, disusul stabilitas dan pemerataan. Pada periode ini dengan asumsi sektor pertanian telah tumbuh kuat, maka prioritas pembangunan nasional berubah ke sektor industri disusul pertanian, dalam arti sektor pertanian mendukung pengembagan industri pertanian. Pelaksanaan peningkatan produksi melalui program Bimas masih berlanjut, namun dengan proses perencanaan yang memasukkan partisipasi daerah melalui mekanismae perencanaan ! Pelaksanaan Pelita VI ( 1 april 1994 – 30 maret 1999) tidak berakhir dengan tuntas akibat kejadian politik reformasi pada tahun 1998. Pada pelaksanaan pelita VI tersebut pembangunan pertanian merupakan kelanjutan dari pelita sebelumnya. Kegiatan pelita VI identik dengan Pelita V. Pada era reformasi yang dimulai tahun 1998 juga diikuti oleh pelaksanaan otonomi daerah. Kondisi ini membawa perubahan pembangunan nasional dalam
198
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
perencanaan dan pelaksanaannya. Pada awal era reformasi, tidak ada dokumen perencanaan. Sejalan dengan itu perencanaan pembangunan pertanian juga ditekankan kepada perencanaan tahunan hasil kesepakatan dengan DPR. Fokus program pembangunan pertanian berganti setiap periode menteri pertanian sesuai dengan visinya. Dalam tahun 1998-1999, program peningkatan produksi pangan dituangkan dalam " # meliputi : (a) Gema Palagung (Gerakan mandiri menuju swasembada Padi, Kedele dan Jagung), (b) Gema Hortina (Hortikultura tropika Nusantara), (c) Gema proteina (Protein Hewani). (Solahudin, 1998). Pada tahun 1999-2000, program pembangunan pertanian beralih kepada pengembangan Corporate Farming (CF) (Departemen Pertanian, 1999). Dalam tahun 2001-2004 program pembangunan pertanian diarahkan kepada pembangunan sistem dan usaha agribisnis (Departemen Pertanian, 2001), dan selanjutnya pada periode tahun 2004-2009 visi pembangunan pertanian diarahkan kepa kepedulian terhadap kesejahtreaan petani melalui penyelenggaraan birokrasi yang bersih dalam pembangunan pertanian (Departemen Pertanian, 2007). Pada periode tahun 20102014 visi pembanguan pertanian diarahkan kepada pembangunan pertanian industrial unggul berbasis sumberdaya lokal (Kementerian Pertanian, 2010). Mekanisme perencanaan pembangunan pertanian diatur dalam Kementan no 363/1996 mekanisme perencanaan pertanian diperbaharui Kementan no 146/2003. Kepmentan tersebut mengatur mekanisme perencanaan pembangunan dari bawah mulai dari tingkat kabupaten, provinsi sampai pusat. Kepmentan tersebut mengatur pula tugas, peran dan fungsi masing masing instansi pertanian pada setiap jenjang pemerintahan dari kabupaten sampai pusat. Di tingkat kabupaten dan propinsi dibentuk forum untuk membahas kegiatan kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan pada tahun kedepan melalui Rapat Kordinasi Pembangunn Pertanian (Rakorbangtan) Kabupaten/Kota dan Rapat Kordinasi Pembangunn Pertanian (Rakorbangtan) Propinsi. Dalam kedua forum tersebut dibahas dan disepakati secara lintas sub-sektor dan lintas sektor kegiatan kegiatan pembangunan yang akan pda tahun anggaran kedepan. Namun demikinan dalam kenyataannya forum tersebut cenderung menjadi forum pengarahan dan rencana kegiatan disusun atas dasar arahan tersebut. Salah satu faktor dari kurang berfungsinya forum tersebut adalah kemampuan sumberdaya manusia perencanaan di daerak kabupaten/kota dan propnsi akibatnya penyusunan rencana kegiatan bersifat seadanya dan belum merupakan kegiatan untuk memecahkan permasalahan pokok pembangunan pertanian wilayah. Mekanisme perencanaan disektor pertanian dilakukan melalui proses berikut: (a) Pemerintah pusat menetapkan kebijakan nasional pembangunan pertanian sebagai acuan makro terhadap implementasi kegiatan di daerah. Hal ini terkait erat dengan tata ruang pengembangan ekonomi, sumberdaya alam pertanian (termasuk kawasan agribisnis unggulan, potensi komoditas unggulan/strategis secara nasional), daya saing, pemberdayaan wilayah tertinggal, pengentasan kemiskinan, pembangunan sarana dan prasarana. (b)
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
199
Pemerintah provinsi menjabarkan kebijakan pusat melalui penilaian dan koordinasi terhadap pengembangan wilayah berbasis komoditas di wilayahnya, dengan melibatkan dan memberdayakan Kabupaten/Kota secara menyeluruh dan terintegrasi dalam pengembangan aspek di hulu sampai hilir, dan unsur penunjangnya.(c) Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun perencanaan program dan anggaran kinerja pembangunan pertanian di wilayahnya yang mengacu pada kebijakan nasional dan kapasitas sumberdaya wilayah. Untuk mendukung hal tersebut pemerintah Kabupaten/Kota terlebih dahulu melakukan identifikasi terhadap: besaran, kualitas dan karakteristik sumberdaya alam, SDM, modal, teknologi, sosial dan budaya (Departemen Pertanian 2010).
PARADOKS KEBIJAKAN, PROGRAM DAN ANGGARAN PEMBANGUNAN Perencanaan pembangunan berkaitan dengan kemampuan untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan pembangunan dikaitkan dengan sumber-sumber pembangunan yang dapat diusahakan, tujuan serta sasaran rencana yang ingin dicapai, kebijakan dan cara untuk mencapai tujuan dan sasaran, pemilihan alternatif-alternatifnya yang terbaik, dan penterjemahan dalam program-program atau kegiatan-kegiatan usaha yang konkrit. Konsep dasar perencanaan adalah rasionalitas, ialah cara berpikir ilmiah dalam menyelesaikan problem dengan cara sistematis dan menyediakan berbagai alternatif solusi guna memperoleh tujuan yang diinginkan. Perencanaan berkaitan dengan pengambilan keputusan sehingga kualitas hasil perencanaan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, informasi berupa data yang dikumpulkan oleh perencana. Pada bagian lain dalam perencanaan pembangunan juga merupakan dokumen politik, sehingga penuh dengan kepentingan politik. Beberapa kelemahan perencanaan pembangunan yang selama ini adalah antara lain: (a) seringkali merupakan dokumen politik mengenai cita-cita pembangunan yang dikehendaki atau yang diinginkan dan bukan seharusnya, (b) kurangnya hubungan dan koordinasi antara penyusun rencana dengan pelaksana rencana dan pelaksananya, (c) adanya kepentingan pihak tertentu yang menyebabkan dalam pemilihan alternatif seringkali menguntungkan bagi suatu pihak dan merugikan bagi pihak lainnya, (d) kurang digunakannya dukungan data statistik, hasil penelitian dan informasi yang mendukung untuk satu perencanan, (d) kurang dihunakannya teknik-teknik perencanaan, (e) kapasitas pengetahuan dari SDM perencana, (f) kurang disadarinya bahwa perencanaan merupakan suatu proses yang yang kompleks, dan (g) kendala administrasi pemerintahan yang menghambat terbangunnya proses perencanaan pembangunan yang baik.
200
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Dari pelaksanaan pembangunan pertanian selama ini dinilai terdapat paradok antara kebijakan, program dan pelaksanaan dalam alokasi anggaran, yaitu: Pertama, Kesesuaian Kebijakan Dengan Permasalahan dan Tujuan Pembangunan Seringkali kebijakan yang dibangun tidak sepenuhnya mengatasi permasalahan dan tujuan pembangunan. Terdapat indikasi bahwa ada indikasi pembangunan sekarang berputar putar dan bahkan tidak bernuansa pembangunan jangka panjang. Sebagai contoh kebijakan MPEI yang merangsang terjadinya konversi lahan pertanian di pulaujawa, kebijakan pemberian usaha perkebunan seperti sawit kepada swasta, kebijakan yang kurang memperhatikan terhadap aspek kesenjangan sehingga petani makin sempit dan miskin, sementara kelompok elit semakin besar, kebijakan perdagangan yang mematikan berkembangnya usaha domestik dan lainnya. Kedua, Kesesuaian Program Dengan Kebijakan yang Digariskan Program yang dirancang merupakan penjabaran dari kebijakan yang ditetapkan. Program yang dirancang harus realistik dan tidak ada campur tangan pihak luar terutama kepentingan politik birokrasi. Adanya perbedaan kepentingan sehingga sulit membangun perencanaan yang seharusnya. Mekanisme perencanaan program pembangunan yang diterapkan selama ini merupakan perpaduan antara kebijakan dari atas ( ) dan perencanaan dari bawah ( ), namun dalam pelaksanaannya peran kebijakan dari atas lebih kuat dibanding unsur dari bawah keatas. Hal ini terjadi karena dalam banyak hal penetapan keputusan termasuk fasilitasi anggaran berada ditingkat pusat. Pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/ diawal membangun sebuah bangsa mungkin dinilai baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi. Ketiga, Kesesuaian Alokasi Anggaran dengan Program yang Disusun Alokasi anggaran ditujukan sebagai bentuk fasilitasi agar program disusun sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan dapat berjalan. Dengan demikian selayaknya terdapat kesesuaian antara alokasi anggaran dengan program. Alokasi anggaran pembangunan merupakan bentuk fasilitasi pemerintah antara lain intervensi melalui kegiatan-kegiatan yang dibiayai oleh pemerintah dalam kegiatan penyediaan barang dan layanan publik, dan kegiatan atau prakarsa strategis. Namun demikian masuknya faktor kepentingan politik menyebabkan seringkali adanya penyimpangan dalam alokasi anggaran. Munculnya dana aspirasi bagi kalangan legislatif adalah penerapan politik $ % di Amerika. Istilah mengacu pada pengeluaran yang diusahakan oleh politisi atau anggota parlemen untuk konstituennya sebagai imbalan atas dukungan politik, baik dalam bentuk kampanye atau suara pada pemilihan umum. Tujuannya agar mereka dapat terpilih kembali dalam pemilu berikutnya. Praktik menjadi sesuatu yang mengandung konotasi negatif terkait dengan perilaku politisi yang menggunakan uang negara untuk kepentingan
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
201
politiknya dan tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya tak hanya jadi pemancing suara, tapi juga jadi ajang korupsi yang melibatkan kolaborasi legislatif-eksekutif. Keempat, Kesesuaian Implementasi Penggunaan Anggaran Dilapangan Permasalahan implementasi anggaran berkaitan dengan ketepatan kelompok sasaran, waktu datangnya anggaran, besar anggaran dan bentuknya. Seringkali ketidak tepatan kelompok sasaran yang diberi fasilitasi anggaran berkaitan dengan kepentingan kelompok tententu yang memaksakan untuk memperoleh fasilitasi anggaran. Hal ini marak sejalan dengan berkembangnya fenomena dana aspirasi ( ). Pada bagian lain kekakuan sistem anggaran pembangunan seringkali tidak sejalan dengan kebutuhan fasilitasi usaha pertanian yang bersifat musiman.
REPOSISI PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN Reposisi perencanaan pembangunan pertanian diperlukan agar dihasilkan kebijakan dan program pembangunan pertanian yang sesuai, serta sebagai acuan dalam fasilitasi anggaran dan implementasinya yang sesuai dengan kebijakan dan program yang digariskan. Dalam kaitan itu maka reposisi sistem perencanaan pembangunan pertanian maka terlebih dahulu diawali dengan reposisi kebijakan pembangunan pertanian. Sesuai dengan popok-pokok program presiden terpilih, salah satu fokus pembangunan dalam 5 tahun kedepan (2015-2019) adalah pencapaian kedaulatan pangan. Untuk itu diperlukan reposisi perencanaan pembangunan sesuai dengan fokus program yang telah digariskan. Berdasarkan UU no 18/2012 tentang Pangan, Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Penciptaan kedaulatan pangan berkaitan dengan peningkatan kemampuan pendayagunaan segala sumberdaya pertanian yang ada dalam rangka penumbuhan produksi pangan agar terbangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Upaya peningkatan produksi dalam rangka pencapaian kedulatan pangan dihadapkan kepada permasalahan kemerosotan dukungan sumber daya bagi produksi pertanian seperti lahan, air, SDM berkualitas, teknologi, kelembagaan dan lainnya, untuk itu dukungan ketersediaan sumber daya ini harus dikembalikan agar pelaksanaan pembangunan pertanian selanjutnya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Peningkatan produksi pertanian dilakukan melalui perluasan lahan usaha dan atu peningkatan produktivitas. Untuk itu upaya untuk mengembalikan dan memperkuat lahan ketersediaan air bagi usaha pertanian dan memperkuat peningkatan produktivitas harus menjadi langkah awal. Diperlukan kebijakan terpadu
202
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
pada banyak aspek dan dilaksanakan secara konsisten yang mencakup: (a) perlindungan lahan sawah produktif, (b) penataan pemilikan lahan, (c) perluasan lahan pertanian/sawah, (d) penyediaan infrastruktur, (e) rehabilitasi lahan dan irigasi, (f) peningkatan nilai ekonomi usahatani, (g) pengendalian laju penduduk dan distribusinya, (h) sistem insentif dan (i) penegakan hukum. Pembangunan pertanian kedepan juga dihadapkan kepada tantangan tuntutan konsumen akan produk bermutu, persaingan pasar dan penerapan berbagai perlindungan bagi produksi domestik antara lain melalui mekanisme yang perlndungan non tarif. Untuk itu kegiatan peningkatan produksi juga harus dapat menghasilkan produksi berkualitas. Untuk itu program sertifikasi dan jaminan mutu produk harus menjadi bagian tidak terpisahkan dengan peningkatan produksi. Memperhatikan kinerja pembangunan pertanian yang telah kita alami dalam beberapa dasawarsa terakhir dan memperhatikan perkembangan global yang dihadapi Indonesia pembangunan pertanian dimasa yang akan datang, maka pembangunan pertanian mendatang tidak dapat hanya mengandalkan pada kebijakan dan program pembangunan yang telah pernah dilakukan. Pendekatan pembangunan pertanian selama ini lebih kepada pendekatan komoditi dengan penekanan komoditi tertentu (padi, jagung, kedele, gula dan daging sapi). Dengan adanya fokus tersebut maka pengembangan komoditi lain relatif terabaikan, dan konsumen cenderung dipaksakan untuk mengkonsumsi komoditi tersebut. Dengan didasarkan kepada potensi keragaman sumberdaya spesifik lokasi yang dimiliki maka pembangunan pertanian kedepan harus dirubah dari pengembangan berbasis komoditi menjadi pendekatan pembangunan wilayah dengan mengutamakan keunggulan potensi wilayah. Melalui pendekatan wilayah maka program pembangunan tidak lagi berbasiskan pembangunan momokultur komoditi tetapi polikultur komoditi pertanian. Dengan pendekatan kedaulatan pangan maka ukuran kecukupan pangan terutama karbohidrat tidak lagi berdasarkan kecukupan makan beras, namun kecukupan giz makanan dari sumber setempat. Untuk itu tidak ada lagi pemaksaan penetapan target produksi suatu komoditi tertentu berdasarkan target nasional/wilayah. Kebijakan yang memaksakan untuk menargetkan swasembada beras dan komoditas pangan lain melalui penerapan teknologi revolusi hijau pada kondisi lahan yang masin menyusut dinilai merupakan salah satu penyebab keterpurukan pertanian (Baharsyah, dkk. 2014). Pembangunan pertanian kedepan juga dihadapkan kepada tuntutan pembangunan yang menganut kaidah keberlanjutan atau membangun pertanian kedepan/tidak merusak. Pertanian berkelanjutan adalah usaha pertanian yang menggabungkan secara integral antara usaha produksi dengan tindakan pelestarian lingkungan, sumber daya alam pertanian secara berkelanjutan. Dalam pola ini kegiatan pemanfaatan sumberdaya lahan unk kegiatan produksi secara produktif dibarengi oleh tindakan-tindakan pelestarian SDLP dan penyehatan tanah dan sumberdaya air. Pada kondisi demikian maka fisolofi pembangunan pertanian selayaknya tidak hanya dilihat dari aspek fisik, tetapi juga masalah etika, kultural, sosial dan kekayaan bukan fisik ( ) pada umumnya, seperti etika pembangunan, etika
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
203
religius, etika bisnis, etika keberlanjutan dan mengutamakan kepemimpinan petani ( & ). Etika religius keberlanjutan dalam pembangunan pertanian berkelanjutan dicirikan oleh keserasian antara kegunaan (), keindahan (), dan cinta kasih (% harus menjadi acuan penyusunan rancangan dan pelaksanaan pembangunan sat ini dan kedepan. Perlu dibangun etika bersalah bagi pelaku pembangunan yang bersifat merusak. Pembangunan pertanian harus bersifat integratif dengan sektor lain dan sejalan dengan otonomi daerah sehingga pembangunan kewilayahan harus ditonjolkan. Program pusat harus selalu disesuaikan dengan orientasi pembangunan pertanian di daerah. Otonomi daerah yang sudah dilaksanakan di lapangan dapat menjadi faktor penentu keberhasilan pembangunan pertanian di daerah, tanpa adanya keserasian antara pemerintah pusat dan daerah, maka program dan kegiatan pembangunan pertanian berpotensi tidak mencapai tujuan atau pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan. Perubahan dalam pendekatan ini tentunya akan merubah penentuan program program pembangunan dan fasilitasi anggaran. Penyusunan program dan fasilitasi anggaran harus lebih didasarkan kepada usulan kebutuhan dari masing masing wilayah petani /kelompok tani. Pada kondisi demikian maka proses perencanaan partisipatif harus lebih diutamakan dibandingksan proses teknokratik dan politik. Sistem perencanaan program pembangunan harus tidak lagi dimulai dari penentuan target yang kemudian dibagi habis kepada setiap wilayah, tetapi rancangan program pembangunan harus merupakan rangkuman dari usulan kebutuhan fasilitasi yang diminta dari petani wilayah. Sejak awal disadari bahwa pembangunan nasional, utamanya pembangunan pertanian indonesia dicirikan oleh pola pengusahaan pertanian yang dilakukan dominan oleh skala kecil dengan keterbatasan disegala aspek. Selama ini kondisi usaha kecil tertinggal apalagi dihadapkan kepada persaingan dengan kekuatan ekonomi besar dari luar. Untuk itu diperlukan upaya khusus untuk pengembangan usaha skala kecil tersebut melalui pemberdayan peningkatan kemampuannya (Kartasasmita, 1996). Pemberdayaan masyarakat tersebut perlu diarahkan untuk membangun masyarakat belajar ( ) merupakan tahapan awal penting dalam reposisi sistem perencanaan pembangunan pertanian. Pemberdayaan masyarakat diarahkan kepada peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk membangun diri dan lingkungannya secara mandiri. Peran pemerintah dalam hal ini adalah: (a) memfasilitasi, dinamisasi dan regulasi agar tercipta suasana/iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi/daya yang dimiliki masyarakat, baik potensi sumber daya maupun potensi sistem nilai tradisional/kearifan lokal yang telah membudaya dalam menata kehidupan masyarakat; (b) fasilitasi untuk lebih mendinamiskan masyarakat dalam bentuk penyediaan infrastruktur/prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (pendidikan, kesehatan), akses terhadap teknologi, pembiayaan, pasar dan lainnya, dan (c) perlindungan masyarakat dari persaingan yang tidak seimbang.
204
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Untuk menuju kearah itu maka reformasi mental terutama di birokasi harus dilakukan. Reformasi birokrasi perlu dilakukan menuju perubahan dari peran birokrasi dari yang sifatnya mengatur ( ) menjadi memfasilitasi () agar pelaku pembangunan dapat membangun diringa sendiri.
PENUTUP Dinamika lingkungan strategis pembangunan terus bergerak semakin cepat dan kompleks sehingga kegiatan pembangunan pertanian juga terus bergerak menjadi semakin kompleks dan dinamis. Sejalan dengan itu seluruh proses pembangunan pertanian mulai dari perencanaan dituntut pula ikut berproses secara dinamis. Proses pembangunan saat ini dan kedepan dituntut lebih mengarah kepada kegiatan pembangunan yang lebih memberdayakan masyarakat menuju masyarakat belajar ( ) yaitu peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk membangun diri dan lingkungannya secara mandiri. Dalam kaitan itu pentingnya lebih ditegaskan akan peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator agar kemampuan membangun diri masyarakat tersebut berjalan secara dinamis. Reposisi perencanaan perlu dilakukan agar proses tersebut berjalan lebih cepat.
DAFTAR PUSTAKA Baharsyah, S.; F. Kasryno dan E. Pasandaran. 2014. Reposisi Politik Pertanian Meretas Arah Baru Pembangunan Pertanian. Yayasan Pertanian Mandiri. Bintoro T. 1995. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Gunung Agung. Departemen Pertanian. 2001. Program Pembangunan Pertanian 2001-2004. Jakarta. Departemen Pertanian. 2007. Rencana Strategis Departemen Pertanian 2005-2009. Jakarta. Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Tantangan Dan Agenda Pembangunan Nasional Dalam Pjpt II Dan Repelita VII. Makalah Disampaikan Pada Silaknas V Icmi, Jakarta 4 Desember 1996. Kementerian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014. Jakarta. Kementerian Pertanian. 2012. Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013 – 2045. Jakarta. Mears, L.A. dan S. Moeljono. 1986. Kebijaksanaan pangan. hlm. 29-77. Dalam Booth dan McCawley (Eds.).Ekonomi Orde Baru. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta. Todaro, M. P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Penerbit Erlangga.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
205
Soekarno. 1952. Soal Hidup atau Mati. Pidato Presiden RI Pertama pada peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian UI di Bogor. 27 April 1952. Solahuddin, Soleh. 1999. Pembangunan pertanian Era Otonomi Daerah. Departemen Pertanian. Suryana dan Swastika 1997. Kinerja dan prospek ketahanan pangan pokok. hlm. 176212. Dalam 30 Tahun Peran Bulog dalam Ketahanan Pangan. Bulog, Jakarta Undang Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang Undang No 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004. Undang Undang No 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. Undang Undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah Undang Undang No 33 tahun 2004 tentang. Perimbangan Keuanga Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. PP No 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah. pp Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang direvisi menjadi Peraturan Pemerintah No 90 tahun 2010. Peraturan Pemerintah No 39 tahun 2006 tentang Tatacara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Peraturan Pemerintah No 40 tahun 2006 tentang Tatacara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional. Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah antar pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Peraturan Pemerintah No 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Peraturan Presiden No 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.
206
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian