REPUBLIK INDONESIA
FOREST INVESTMENT PROGRAM RENCANA INVESTASI KEHUTANAN INDONESIA
26 SEPTEMBER 2012
RINGKASAN EKSEKUTIF FOREST INVESTMENT PROGRAM (FIP) Ringkasan Rencana Investasi Negara 1. Negara/Wilayah
Indonesia
2. Permohonan Pendanaan
Hibah: $37.5 juta
Pinjaman: $32.5 juta
FIP (dalam USD): 3. Focal Point Nasional
FIP:
4. Lembaga Pelaksana
Nasional (Koordinasi Rencana Investasi):
5. MDB yang terlibat 6. Focal Point FIP MDB
dan Pemimpin Proyek/Gugus Tugas Program (TTL):
Dr. Hadi S. Pasaribu Staf Ahli Menteri Kementerian Kehutana, Indonesia
[email protected] Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Dalam Negeri Pemerintah Daerah ADB, World Bank, dan IFC Kantor Pusat - Focal Point FIP:
TTLs:
Dr. David McCauley - ADB Advisor and Head, Climate Change Program Coordination Unit
[email protected]
Dr. AnchaSrinivasan - ADB Principal Climate Change Specialist
[email protected]
Ms. Joyita Mukherjee - IFC
[email protected] Dr. Gerhard Dieterle - WB Advisor
[email protected]
2
Dr. Michael Brady - IFC Forest Program Manager
[email protected] Mr. Werner Kornexl - WB Senior Climate Change Specialist
[email protected]
7.
Deskripsi Rencana Investasi
Indonesia sedang merencanakan dan melaksanakan perubahan-perubahan signifikan sehubungan dengan upaya pengelolaan lahan berhutan, dan FIP memberikan peluang penting untuk mendukung proses ini. Rencana Aksi Nasional Penurunan GRK, Strategi Nasional REDD+, program Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan reformasi tenurial barubaru ini memperkenalkan program-program dengan jangkauan luas yang berpotensi mendorong perubahan menuju sektor kehutanan yang sejalan dengan pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan.Kemajuan perencanaan di tingkat nasional sekarang perlu diwujudkan menjadi aksi di lapangan; namun, sejumlah hambatan dalam pelaksanaan di tingkat lokal masih ada. Ini mencakup kurangnya kapasitas kelembagaan lokal dalam pengelolaan hutan, kurangnya kapasitas penataan ruang, iklim usaha yang tidak kondusif bagi kehutanan yang berkelanjutan dan investasi kehutanan masyarakat, dan lemahnya kapasitas dan kurangnya akses masyarakat ke sumber daya hutan. Tujuan pengembangan Rencana Investasi adalah untuk mengurangi hambatandalam pelaksanaan REDD+ di daerah dan meningkatkan kapasitas lokal dan provinsi untuk REDD+ dan pengelolaan hutan lestari (SFM).Pintu masuk utama Rencana Investasi untuk menanggulangi hambatandi daerah adalah sistem KPH nasional dan proses reformasi tenurial yang sedang berlangsung. Kegiatan-kegiatan akan berfokus pada tiga tema terpadu berikut ini:
Pengembangan kelembagaan untuk pengelolaan hutan dan sumber daya alam secara berkelanjutan
Investasi pada usaha kehutanan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat
Peningkatan kapasitas masyarakat dan pengembangan mata pencaharian.
Tema 1: Pengembangan Lembaga Pengelolaan Hutan dan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan 1.
2.
3.
Penguatan kelembagaan ditujukan kepada investasi yang difokuskan kepada masyarakat untuk meningkatkan kondisi pendukung tata guna lahan yang berkelanjutan dan pelaksanaan proyek REDD+. Kegiatan-kegiatan yang ada akan mendukung KPH dan lembaga-lembaga daerah yang lain dalam rangka memperbaiki kondisi lokal untuk pelaksanaan REDD+, terutama yang berkaitan dengan perencanaan partisipatif, penataan ruang serta sosialisasi kepada masyarakat dan pengembangan rencana pengelolaan dan bisnis terkait. Intervensi akan didasarkan pada kebutuhan pengembangan dan peningkatan kapasitas kelembagaan untuk memperbaiki proses perencanaan dalam rangka memenuhi kebutuhan di tingkat tapak yang spesifik dan kebutuhan masyarakat. Kegiatan intervensi akan bekerja sama dengan program-program lokal dan memanfaatkan kegiatan-kegiatan yang ada dan sedang berjalan serta terstruktur dalam proses masyarakat yang ada di tingkat lokal. Pelaksanaan program juga akan bekerja sama dengan lembaga-lembaga di provinsi dan nasional yang berhubungan dengan Strategi Nasional REDD+ dan mekanisme keuangan yang diusulkan serta program-program nasiona lainnyal. Bidang-bidang utama di mana FIP dapat mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan meliputi: Pemberian dukungan di tingkat pemerintah lokal untuk memadukan lembaga KPH ke dalam struktur pemerintah daerah dan nasional Peningkatan kapasitas kelembagaan KPH, termasuk pelatihan pegawai Mendukung partisipasi pemangku kepentingan dalam pengembangan kelembagaan 3
KPH Mendukung kegiatan pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh lembaga KPH, seperti: o Pengembangan rencana pengelolaan hutan o Rehabilitasi hutan dan lahan o Pemberdayaan masyarakat o Sosialisasi dan penyuluhan o Perencanaan dan pemetaan partisipatif di tingkat masyarakat dan KPH sasaran Memberikan dukungan analisis untuk percepatan pembentukan KPH Menetapkan mekanisme pengajuan dan penanganan komplain yang melibatkan pemerintah kabupaten, masyarakat lokal dan KPH Pengelolaan dan pertukaran pengetahuan antar kabupaten, provinsi dan negara di bidang pengelolaan hutan dan penataan ruang partisipatif Memberikan bantuan teknis dan dukungan analisis di tingkat nasional dan provinsi untuk mendukung pengembangan strategi daerah dan hubungan KPH dengan program nasional dan internasional serta peluang-peluang pendanaannya.
Tema 2: Usaha Kehutanan dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat 4.
usaha kehutanan yang beroperasi di lahan privat dan pemerintah (kelompok petani kecil, koperasi, usaha kecil dan menengah, pemegang izin usaha kehutanan, dan lainnya) seringkali terhambat oleh kemampuan bisnis yang lemah, akses ke pembiayaan yang terbatas dan kurangnya informasi mengenai keterkaitan nilai produk akhir dari sektor bersangkutan. Usaha sekala menengah dan besar yang mengelola konsesi hutan alam, hutan tanaman dan restorasi ekosistem yang mempunyai izin konsesi kawasan yang lebih luas, dihadapkan kepada berbagai tantangan seperti beban persyaratan perizinan, konflik tenurial lahan dan masyarakat, pembatasan sertifikasi kehutanan, integrasi dengan petani kecil dan masyarakat serta hubungan dengan rantai nilai produk akhir. Usaha yang bergerak di bidang sumber daya alam lain seperti agribisnis dan pertambangan juga mempunyai tanggung jawab pengurusan hutan. Investasi yang inovatif dan transformatif dibutuhkan untuk segala skala dan jenis badan usaha kehutanan, khususnya inisiatif-inisiatif yang mendorong mempromosikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan sehingga berfungsi menurunkan emisi dan melindungi stok karbon hutan.
5.
Usaha kehutanan yang mempunyai tmotivasi akan dipilih, baik dari daerah yang berhutan maupun tidak berhutan , serta yang mempunyai permintaan hasil hutan yang tinggi. Intervensi terkait usaha masyarakat yang tinggal disekitar hutan alam dimaksudkan untuk mengurangi degradasi dan emisi yang ditimbulkannya, sedangkan intervensi terkait dengan masyarakat yang berada di daerah tidak berhutan akan meningkatkan stok karbon melalui hutan tanaman. Intervensi meliputi kebutuhan untuk pengembangan model-model usaha kehutanan yang menguntungkan, antara lain:
Penguatan kapasitas organisasi dan usaha untuk kegiatan usaha;
Penerapan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari (SFM), termasuk sertifikasi independen;
Fasilitasi hubungan timbal balik dengan usaha lain yang terdapat dalam hubungan nilai kehutanan dan investasi strategis pada masyarakat oleh perusahaan-perusahaan besar di daerah pedesaan; 4
Pengembangkan berbagai sumber penghasilan dari hutan (seperti hasil kayu dan non-kayu, pembayaran dari jasa-jasa ekosistem seperti karbon dan air, dan wanatani/agroforestry);
Fasilitasi akses terhadap bentuk-bentuk dukungan pembiayaan, seperti hibah, pinjaman, kredit, perjanjian pembelian (offtake agreement), pembayaran di muka, dan jaminan; dan
Membentuk dana percontohan untuk mencoba atau memperluas skema insentif berbasis kinerja bagi sektor swasta dalam rangka mempraktekkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
6.
Intervensi hulu yang diharapkan meliputi: (i) b usaha pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan pembayaran jasa-jasa lingkungan (PES) di lahan hutan terdegradasi dan padang rumput; (ii) pengelolaan perkebunan di lahan hutan terdegradasi dan padang rumput; (iii) hutan produksi dan pengelolaan hutan yang lestari pada hutan alam; dan (iv) restorasi ekosistem dan pengelolaan hutan yang lestari. Intervensi juga akan melibatkan usaha hilir di sektor kehutanan dan sektor lainnya terdapat kaitan yang jelas dengan deforestasi dan degradasi hutan.
7.
Penggunaan pinjaman lunak dana FIP diarahkan untuk mendukung kerjasama dengan lembaga-lembaga jasa keuangan seperti bank lokal, lembaga kredit dan lead firms. Akses ke pembiayaan yang lebih baik juga akan membantu meningkatkan investasi pada usaha-usaha kecil kehutanan yang tersedia melalui program pemerintah dan investor swasta yang saat ini memandang investasi seperti ini masih berisiko tinggi dan tidak menguntungkan secara ekonomi.
Tema 3: Tata guna lahan masyarakat dan pengembangan mata pencaharian 8.
Tema 3 akan bersentuhan langsung dengan masyarakat lokal dan perwakilan masyarakat setempat untuk mendukung partisipasi masyarakat dalam SFM dan REDD+. Dukungan kepada masyarakat akan dilaksanakan melalui kerjasama yang erat dengan program-program yang dapat memberikan investasi untuk mata pencaharian yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti PNPM dan mekanisme hibah kecil lainnya.
9.
Ruang lingkup kegiatan yang dilakukan mencakup bidang-bidang berikut ini:
Perencanaan pembangunan desa yang difokuskan pada pemetaan dan perencanaan tata guna hutan partisipatif untuk pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan
Dukungan kepada lembaga-lembaga desa untuk melaksanakan pendataan secara partisipatif dan perencanaan tata guna hutan dan lahan
Pengembangan kapasitas agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan pengelolaan hutan berbasis KPH
Pengembangan sistem yang efisien dan transparan bagi masyarakat adat dan lokal untuk mengajukan hak pengelolaan hutan masyarakat.
Melakukan uji-coba sistem untuk pendaftaran perjanjian tenurial pengelolaan hutan berbasis masyarakat pada tingkat provinsi
Pengembangan mata pencaharian masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam
Percontohan yang dipusatkan kepada masyarakat untuk mengatasi penyebab 5
deforestasi dan degradasi hutan
Pembentukan dana untuk uji coba skema insentif berbasis kinerja di bidang REDD+ berdasarkan kerjasama di tingkat masyarakat adat dan desa untuk mencegah kebakaran hutan dan semak belukar serta membantu regenerasi hutan secara alami
Penyediaan dana yang transparan dan akuntabel untuk mendukung biaya talangan dan transaksi masyarakat adat dan lokal guna mendukung terbentuknya proyek-proyek REDD+.
10. Program akan mendukung upaya perencanaan tata guna lahan di tingkat masyarakat desa contoh , terutama yang ada di dalam dan di sekitar wilayah KPH prioritas. Rencana tata ruang atau tata guna lahan mikro akan diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan masyarakat sebagai rencana tata ruang, pembangunan dan mata pencaharian terpadu. 11. Dukungan juga akan diberikan untuk pengembangan mata pencaharian masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam, termasuk kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat di wilayah-wilayah prioritas yang menargetkan pengembangan mata pencaharian yang berkelanjutan, NTFP, pengelolaan hutan, perikanan dan kegiatankegiatan ekonomi lain yang berkelanjutan sesuai dengan rencana tata guna lahan. Investasi akan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, meningkatkan penghasilan yang berkelanjutan dan mengurangi tekanan ekonomi dan subsisten yang mendorong beberapa kegiatan saat ini. 12. Dukungan akan diberikan untuk berbagai proyek percontohan yang difokuskan kepada masyarakat untuk mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan, termasuk kegiatan ekonomi yang memanfaatkan lahan-lahan terdegradasi sebagai mata pencaharian masyarakat yang berkelanjutan. Di daerah-daerah tertentu akan dikembangkan Sistem Informasi tentang safeguard pada tingkat kabupaten dan pengaturan pembagian manfaat yang mendukung aspek gender. 13. Dana Hibah (block grants) digunakan untuk mendorong kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan REDD+ yang mendukung masyarakat agar memilih jalur pembangunan alternatif yang lebih ramah lingkungan serta menyediakan pendanaan untuk pengembangan mata pencaharian alternatif dan kegiatan yang menghasilkan untuk mencapai kondisi sosial ekonomi yang lebih baik. Mendukung Pekerjaan Analisis Lintas Bidang Rencana Investasi akan mendukung sejumlah komponen analisis dan bantuan teknis di tingkat nasional dan proyek. Komponen-komponen ini akan memberikan bimbingan dalam proses desain proyek dan/atau akan mendukung pengembangan kebijakan nasional. Apabila cocok, kerjasama akan diupayakan dengan FCPF dan program-program bilateral lain dari Norwegia, Jepang, Jerman, Amerika dan lain-lain. Isu berikut ini telah dianggap penting untuk dibahas:
Kebijakan yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat di sektor kehutanan. Bagaimana berbagai skema kehutanan masyarakat seperti HTR, HKM, Hutan Desa dan Hutan Adat dapat mendorong pemanfaatan hutan yang adil dan berkelanjutan?. Peluang apa saja yang dapat diciptakan oleh komitmen Pemerintah Indonesia barubaru ini mengenai reformasi tenurial selain kerangka perizinan yang ada saat ini? Pekerjaan analisis lebih lanjut dapat dilakukan untuk mendukung Kelompok Kerja 6
Perencanaan Makro Tenurial Hutan.
Proses perizinan konsesi hutan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal. Apa saja peluang untuk mengurangi dampak sosial dan lingkungan yang merugikan, meningkatkan keadilan, dukungan dan lingkungan yang kondusif untuk investasi kehutanan yang berkelanjutan dalam sistem perizinan konsesi saat ini (yang mencakup konsesi perkebunan kayu, konsesi pengelolaan hutan alam, dan Konsesi Restorasi Ekosistem)?
Dukungan untuk pengembangan kebijakan pengamanan (safeguards) nasional. Meskipun proyek-proyek FIP akan menerapkan kebijakan pengamanan dari masingmasing MDB, kami mengakui bahwa kebijakan pengamanan nasional untuk kegiatankegiatan yang berkaitan dengan REDD+ sedang dikembangkan sebagai bagian dari upaya kesiapan REDD+ nasional (PRISAI). FIP akan bekerja erat dengan lembaga Pemerintah yang relevan, CSO, program FCPF (Analisis Lingkungan dan Sosial Strategis), dan inisiatif-inisiatif lain yang dibiayai oleh donor, untuk mendukung setiap upaya yang dapat memperkuat pengamanan nasional serta pedoman dan kebijakan praktis untuk pelaksanaan proyek, misalnya FPIC. Hal ini dapat mencakup ujicoba pendekatan dan instrumen pengamanan di tingkat proyek maupun dokumentasi dan diseminasi pelajaran dari pelaksanaan proyek.
Hasil yang diharapkan dari Penerapan Rencana Investasi Dengan mendukung Indonesia dalam proses transformatif menuju tata kelola kehutanan yang baik dan kesiapan REDD+ di daerah, Rencana Investasi akan meningkatkan kemauan politik yang ada maupun pendanaan REDD+ yang dijanjikan dan yang baru dalam jumlah besar untuk mencapai pengurangan emisi GRK yang berkelanjutan dan manfaat tambahan. Dengan teratasinya rintangan tersebut terhadap pelaksanaan REDD+, Indonesia akan dapat mengakses pendanaan REDD+ dan perubahan iklim. Peningkatan tata kelola hutan lokal melalui sistem KPH diharapkan akan menghasilkan perbaikan yang signifikan terhadap iklim usaha yang kondusif, peningkatan peluang investasi SFM, PHBM dan REDD+. Hal ini akan meningkatkan pendanaan sektor swasta serta meningkatkan pendanaan yang dikelola oleh Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Kemenhut.Selain meningkatkan kemungkinan Indonesia memanfaatkan pendanaan berbasis hasil di masa mendatang, menangani penyebab utama deforestasi akan mengarah pada pengurangan GRK secara langsung di masa mendatang, serta manfaat sosial dan lingkungan yang signifikan. Tujuan langsung yang spesifik termasuk: Meningkatnya akses terhadap hutan serta manfaat REDD+ bagi komunitas yang ditargetkan
Meningkatnya kapasitas institusi daerah dalam bekerja dengan komunitas dan mendukung program-program REDD+ yang berkeadilan
KPH Model memiliki kapasitas untuk mengelola SFM dan kegiatan REDD+
Meningkatnya kondisi yang mendukung bagi usaha SFM, PHBM dan REDD
7
8.
Kerangka Capaian untuk Rencana Investasi FIP Indonesia Indikator
Baseline
Target
Tanggung Jawab Pelaporan
DAMPAK TRANSFORMASIONAL Capaian A: Berkurangnya/ terhindarnya emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan, dan meningkatnya cadangan karbon hutan INDIKATOR 1: Perubahan tutupan hutan alam (ha) dan penurunan emisi GRK (GtCO2e)
Sekitar 1juta ha terdeforestasi per tahun. Emisi dari hutan dan lahan gambut diperkirakan sebesar 1 GtCO2e per tahun.
Meningkatnya tata kelola hutan, termasuk perencanaan tata guna lahan, tenurial lahan, dan penegakan hukum dan berhasilnya pelaksanaan program nasional hutan dan REDD + yang memungkinkan Indonesia untuk memenuhi komitmen nasional dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 41% (dibandingkan dengan skenario business as usual) dengan dukungan internasional pada tahun 2020.
Focal point hutan / perubahan iklim
INDIKATOR 2: Perubahan hutan menurut tipe hutan (ha) yang terdegradasi dan penurunan penurnan emisi GRK (GtCO2e)
Focal point hutan/ perubahan iklim
INDIKATOR 3: Ton (juta) CO2 yang terserap melalui regenerasi alami, kegiatan reforestasi dan aforestasi dan konservasi relatif terhadap tingkat referensi hutan
Focal point hutan/perubahan iklim
HASIL PROGRAM FIP Hasil B1: Pengelolaan hutan dan kawasan hutan yang lestari untuk mengatasi pemicu deforestasi dan degradasi hutan INDIKATOR 1: Perubahan area terdeforestasi di dalam proyek/program dalam hektar (ha)
Baseline dari deforestasi dan degradasi hutan serta cadangan karbon di
8
Deforestasi dan degradasi pada area yang ditargetkan akan berkurang
Unit koordinasi FIP/ lembaga dan MDB
8.
Kerangka Capaian untuk Rencana Investasi FIP Indonesia Indikator
Baseline
INDIKATOR 2: Perubahan area hutan terdegradasi di dalam proyek/program dalam hektar (ha)
area yang ditargetkan akan diukur sebagai bagian dari persiapan proyek.
Target
Tanggung Jawab Pelaporan
setidaknya 25% dibawah baseline.
INDIKATOR 3: Pengurangan degradasi atau hilangnya kawan hutan INDIKATOR 4: Berkurangnya/ terhindarnya emisi GRK oleh intervensi FIP Hasil B2:Sebuah kerangka kelembagaan dan hukum / peraturan yang mendukung pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan melindungi hak-hak masyarakat lokal serta masyarakat adat INDIKATOR 1: Bukti bahwa hukum dan peraturan terkait hutandilaksanakan, dipantau dan ditegakkan dan pelanggaran terdeteksi, terlaporkan dan teradili
Pengkajian terhadap tata kelola hutan lokal akan dilakukan di wilayah yang ditargetkan sebagai bagian dari persiapan proyek.
Kegiatan ilegal komersial, termasuk pembalakan liar, pertambangan illegal, dan konversi hutan akan berkurang secara signifikan pada area proyek.
Unit koordinasi FIP /lembaga dengan bekerjasama dengan Departemen Perencanaan
INDIKATOR 2: Luas hutan denganhak tenurial yang jelas dan teritorial yang nondiskriminatif , termasuk pengakuan hak-hak tradisional
Pengkajian klaim lahan setempat akan dilakukan di wilayah yang ditargetkan sebagai bagian dari persiapan proyek.
Sebuah kerangka kerja akan terbentuk untuk mengidentifikasi dan mendaftarkan hak tenurial dan territorial masyarakat adat dan lokal
Unit koordinasi FIP /lembaga dan MDB
FIP diharapkan memobilisasi lebih dari US$ 150 juta untuk co-financing.
Unit koordinasi FIP /lembaga dan MDB
INDIKATOR 3: Volume keuangan publik dan swasta yang termobilisasi sebagai akibat langsung dari intervensi program
Hasil B3: Kapasitas masyarakat lokal dan masyarakat adat meningkat untuk mengakses informasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
INDIKATOR 1: Penduduk dalam komunitas hutan yang ditargetkan mendapatkan peningkatan manfaat keuanganmaupun nonkeuangandari sumber daya hutan meningkat (jumlah)
Tata guna lahan dan kegiatan mata pencaharian lokal akan dikaji sebagai bagian dari persiapan proyek.
9
Meningkatnya akses lokal terhadap kawasan berhutanserta partisipasi dalam PHBM akan meningkatkan
Unit koordinasi FIP /lembaga dan MDB
8.
Kerangka Capaian untuk Rencana Investasi FIP Indonesia Baseline
Indikator
INDIKATOR 2: Persentase masyarakat adat dan anggota masyarakat lokal / masyarakat hutan (perempuan dan laki-laki) dengan hak tenurial yang diakui secara hukum dan akses yang terjaminuntuk mendapatkan manfaat ekonomi dan / atau sarana dalam mempertahankan mata pencaharian tradisional
manfaat keuangan dan non-keuangan bagi masyarakat setempat termasuk perempuan.
INDIKATOR 3: Peningkatan akses terhadap informasi yang relevan (secara tepat waktu dan sesuai dengan budaya).
KPH akan memiliki sistem untuk berbagi informasi terkait hutan dengan masyarakat setempat.
9.
Tanggung Jawab Pelaporan
Target
Setidaknya terdapat 15% peningkatan dari jumlah masyarakat adat dan masyarakat lokal dengan akses yang terjamin untuk manfaat ekonomi.
Konsep Project and Program Dibawah Rencana Investasi:
Judul Konsep Proyek/Program
Investasi Khusus bagi Masyarakat untuk Penanggulangan Deforestasi dan Degradasi Hutan
MDB
ADB
TOTAL
Hibah
Pinjaman
Sektor Publik/ Sektor Swasta
17.5
17.5
-
Publik
Usulan Pendanaan FIP 1 (USD Juta)
1
Includes preparation grant and project/program amount.
10
Potensi Cofinancing ($ m)
Permohona n Dana Hibah Persiapan ($m)
6.0
0.5
Mendorong Pengelolaan Sumber Daya Alam berbasis Masyarakat yang Lestari dan Pengembangan Kelembagaan
WB
17.5
17.5
-
Publik
tbd
0.5
Memperkuat Usaha Sektor Kehutanan dalam Mitigasi Emisi Karbon
IFC
35.0
2.5
32.5
Swasta
99.0
0.3
70.0
37.5
32.5
105.0
1.3
TOTAL
10. Kerangka Waktu Persiapan Proyek Tahapan Persiapan
Langkah-langkah Misi persiapan Persiapan Dokumen Proyek
Tanggal Indikatif Desember 2012 Maret 2013
Evaluasi
Peninjauan Dokumen Multilateral Perbaikan Dokumen Proyek
Juni 2013 September 2013
Disetujui oleh FIP SC
Mengajukan permohonan untuk persetujuan proyek
November 2013
Disetujui oleh Dewan MDB
Pengajuan kepada Dewan MDB Penandatanganan Kesepakatan Hibah oleh Pemerintah Indonesia
Januari 2014 Maret 2014
11. Hubungan dengan FCPF dan UN-REDD Dengan mendukung pelaksanaan Strategi Nasional REDD+ Indonesia, Rencana Investasi berkaitan erat dengan Strategi REDD+ Indonesia dan melengkapi program-program lain yang didukung oleh donor, termasuk FCPF dan UNREDD. Hubungan dan kesempatan untuk belajar dari FCPF, UNREDD, dan proses dan program REDD+ yang lain akan dijajaki selama berlangsungnya desain proyek. Apabila cocok, pemilihan lokasi akan memprioritaskan daerah-daerah di mana FCPF dan program-program REDD+ yang dibiayai oleh donor lain dapat bersinergi dengan FIP. Pilihan pembelajaran dan kerjasama lintas program akan dijajaki di tingkat proyek maupun kebijakan.
12. Mitra lainnya yang terlibat dalam desain dan pelaksanaan Rencana Investasi Selain perwakilan dari berbagai kementerian dan pemerintah provinsi, desain rencana investasi dikonsultasikan dengan stakeholder lain yang mewakili beberapa masyarakat sipil, akademisi, termasuk lembaga penelitian, sektor swasta dan mitra pembangunan dalam. Mereka akan terus terlibat dalam pelaksanaan proyek-proyek yang diidentifikasi dalam 11
rencana investasi. Selama disain proyek dan pelaksanaan, kerjasasama akan dijajaki bersama lembagalembaga penelitian internasional yang berkedudukan di Indonesia dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang berpengalaman dalam melakukan kerjasama dengan masyarakat dan pemerintah daerah di bidang penegakan hukum dan tata kelola (FLEG), reformasi tenurial lahan, pengembangan lahan terdegradasi, dan perancangan skema berbasis insentif. Mitramitra lain akan diidentifikasikan selama perancangan proyek. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan (PNPM-Perdesaan) adalah calon mitra untuk pendanaan di tingkat desa. Calon mitra swasta meliputi: usaha kehutanan (misalnya: kelompok petani kecil, koperasi, perusahaan lokal berskala kecil, dan perusahaan yang lebih besar, dll.), pengusaha manufaktur, investor, program-program kredit pemerintah dan bank-bank domestik.
14.
Konsultasi dengan Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal
Perencanaan misi FIP dan penyusunan Rencana Investasi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan bantuan tiga Bank Pembangunan Multilateral (MDB) berjalan melalui proses yang melibatkan multi-pihak, dan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga yang terkait termasuk Dewan Kehutanan Nasional-DKN. Berbagai diskusi diselenggarakan dalam tahap awal Rencana Investasi ini untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan yang paling utama, mendapatkan perspektif mereka mengenai penyebab deforestasi dan degradasi hutan, langkah-langkah yang diambil, masalah yang dihadapi dan harapan/ekspektasi mereka. Serangkaian pertemuan diselenggarakan oleh DKN di beberapa provinsi di Jawa, Sumatra dan Kalimantan.Mengingat keberagaman pemangku kepentingan dan penyebaran geografis kegiatan, pertemuan tambahan dan tempat untuk mendapatkan masukan dan tanggapan disediakan, untuk membangun konsensus di antara para pemangku kepentingan. Keterlibatan para pemangku kepentingan akan terus berlanjut selama tahap mendesain proyek-proyek tertentu, sesuai dengan kebijakan perlindungan dan prosedur yang sudah dianut oleh masing-masing Bank Pembangunan Multilateral (MDB) untuk persiapan proyek. Para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat dan masyarakat lokal akan terlibat selama fase awal setiap proyek.
12
Daftar Isi RINGKASAN EKSEKUTIF.....................................................................................................2 Daftar Gambar.....................................................................................................................15 Daftar Tabel.........................................................................................................................15 1
HUTAN, PENDUDUK DAN PEREKONOMIAN INDONESIA ........................................17 1.1 Pentingnya kawasan hutan Indonesia secara ekonomi...........................................17 1.2 Status dan kecenderungan berkaitan dengan sumber daya hutan dan lahan hutan .........................................................................................................................18 1.3 Sumber emisi GRK dari hutan atau lanskap hutan dan proyeksi kecenderungannya ...................................................................................................19 1.4 Penyebab utama deforestasi dan degradasi............................................................21
2
PELUANG PENGURANGAN GAS RUMAH KACA ......................................................24 2.1 Gambaran Peluang Strategis ................................................................................24 2.2 Bidang Investasi Strategis.....................................................................................25 2.2.1 Bidang Investasi 1: REDD+ dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) ................................................................................................ 25 2.2.2 Bidang Investasi 2: Reformasi Hak Tenurial Lahan dan Hutan ....................... 25 2.2.3 Bidang Investasi 3: Penegakan Hukum Kehutanan dan Pembalakan Liar.... 26 2.2.4 Bidang Investasi 4: Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan REDD+........... 26 2.2.5 Bidang Investasi 5: Pengembangan Lahan Terdegradasi dan Pendekatan REDD+................................................................................................ 27 2.2.6 Bidang Investasi 6: Konsesi Restorasi Ekosistem ............................................. 27 2.2.7 Bidang Investasi 7: Kesiapan dan Insentif REDD Berbasis Pasar .................. 28 2.2.8 Bidang Investasi 8: Percontohan REDD+ di Daerah ......................................... 28
3
KEBIJAKAN YANG MENDUKUNG DAN LINGKUNGAN PERATURANNYA ..............29 3.1 Kerangka Fiskal dan Peraturan serta aturan turunannya yang mendukung REDD+......................................................................................................................29 3.2 Rencana Aksi Nasional Indonesia PenurunanEmisi GRK dan Strategi REDD+ Nasional.......................................................................................................31 3.3 Program-program REDD+ lain yang sedang berjalan .............................................31 3.4 Program-program di Indonesia lainnya yang menangani penyebab utama deforestasi ................................................................................................................33 3.5 Pengaturan tata kelola pemerintahan REDD+.........................................................34 3.6 Kesenjangan peraturan yang ada dan tantangan tata kelola ..................................35
4
MANFAAT TAMBAHAN YANG DIHARAPKAN DARI INVESTASI FIP........................39
5
KOLABORASI ANTAR MDB DAN DENGAN MITRA LAINNYA ..................................40 5.1 Kegiatan ADB, Bank Dunia dan IFC di Indonesia yang berkaitan dengan FIP.............................................................................................................................40 5.2 Program REDD+ dari Organisasi Internasional dan Bilateral Lainnya ....................41 5.3 Kolaborasi antar MDB dan Mitra ..............................................................................44 13
6
RENCANA INVESTASI FIP INDONESIA......................................................................46 6.1 Tujuan dan Tema Utama Rencana Investasi...........................................................46 6.2 Respons terhadap masukan pemangku kepentingan..............................................46 6.3 Pemungkinan Pelaksanaan Program-Program REDD+ Indonesia dan Kehutanan melalui Dukungan Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Hutan Lokal..........................................................................................................................47 6.4 Pemungkinan Pelaksanaan Program-Program REDD+ dan Kehutanan Indonesiamelalui Dukungan dalam Proses Reformasi Tenurial Lahan ..................49 6.5 Mendukung Bidang-Bidang Utama Rencana Aksi Nasional dan Strategi REDD+ Nasional.......................................................................................................50 6.6 Tema Rencana Investasi..........................................................................................51 6.6.1 Tema 1: Pengembangan Kelembaga Pengelolaan Hutan dan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan ............................................................................. 51 6.6.2 Tema 2: Usaha Kehutanan dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat ............................................................................................................... 53 6.6.3 Tema 3: Tata guna lahan masyarakat dan pengembangan mata pencaharian.............................................................................................................. 54 6.6.4 Gambaran Umum Proyek dan Kaitannya dengan Tema Rencana Investasi .................................................................................................................... 55 6.7 Kegiatan Pendukung lintas bidang yang bersifat analisis........................................55 6.8 Daerah Sasaran........................................................................................................56 6.9 Efektivitas Biaya dan Keberlanjutan.........................................................................56 6.10 Pengaturan Pelaksanaan .........................................................................................57
7
POTENSI PELAKSANAAN DENGAN PENILAIAN RESIKO........................................59
8
RENCANA DAN INSTRUMEN PENDANAAN ..............................................................62
9
KERANGKA CAPAIAN UNTUK RENCANA INVESTASI .............................................63
Lampiran 1: Usulan Program dalam Proses .....................................................................67 A1.1 Proyek 1: Investasi Khusus bagi Masyarakat untuk Penanggulangan Deforestasi dan Degradasi Hutan (CFI-ADD+)........................................................67 A1.2 Proyek 2: Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Berkelanjutan dan Pengembangan Kelembagaan .............................80 A1.3 Proyek 3: Memperkuat Usaha Sektor Kehutanan dalam Mitigasi Emisi Karbon.......................................................................................................................93 Lampiran 2: Rencana Pelibatan Pemangku Kepentingan..............................................112 Lampiran 3: Mekanisme Hibah Khusus untuk Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal dalam Konteks Program Investasi Kehutanan .....................................118 Lampiran 4: Dokumen Kebijakan Kunci REDD+ Indonesia: Proposal Penyususnan Kesiapan, Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dan Strategi Nasional REDD+ ........................121 Lampiran 5: Komentar dari Peer Review ........................................................................122 Lampiran 6: Komentar dan Tanggapan Pemangku Kepentingan .................................138
14
Daftar Gambar Gambar 1: Kecenderungan Deforestasi tahun 1990 sampai 2006 ............................................18 Gambar 2: Sumber emisi karena alih guna lahan......................................................................20 Gambar 3: Profil Emisi Sektoral BAU untuk tahun 2000, 2005 dan 2020 (dalam juta tCO2e)....21 Gambar 4: Hal-hal yang Dianggap Sebagai Sumber Deforestasi dan Degradasi Hutan............22 Gambar 5: Kerangka Rencana Investasi FIP dan Kesesuaiannya dengan Program Nasional ..52 Gambar 6: Struktur Organisasi Pelaksanaan Rencana Investasi FIP........................................58
Daftar Tabel Tabel 1: Perkiraan tingkat deforestasi dan emisi GRK dalam periode yang berbeda dari berbagai sumber .......................................................................................................................20 Tabel 2: Penyebab Terencana dan Tidak Terencana Hilangnya Hutan dan Degradasi.............21 Tabel 3: Ringkasan Rencana Pendanaan .................................................................................62 Tabel 4: Kerangka Capaian untuk Rencana Investasi FIP Indonesia ........................................64 Tabel 5: Ringkasan Usulan Program Dalam Proses ................................................................67
15
16
1 HUTAN, PENDUDUK DAN PEREKONOMIAN INDONESIA 1.1 Pentingnya kawasan hutan Indonesia secara ekonomi 1.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia yang terdiri dari beragam suku bangsa dan budaya. Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang berpenghasilan menengah dengan jumlah penduduksekitar 231 juta jiwa,tersebar di 17.000 pulau, dengan luas 190 juta hektar daratan, termasuk perairan air tawar. Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo, yang kaya akan keanekaragaman hayati. Hutan Indonesia penting bukan hanya bagi pembangunan ekonomi nasional dan sumber penghidupan warga setempat, melainkan juga bagi berfungsinya sistem lingkungan hidup global.
2.
Kegiatan dan industri berbasis kehutanan merupakan lapangan pekerjaan penting di Indonesia. Selain menyediakan lapangan pekerjaan di sektor kehutanan industri (yang mencakup penebangan kayu, pengolahan kayu, pulp dan kertas, serta pembuatan furniture), jutaan orang bekerja di sistem wanatani (agroforestry) berskala kecil sesuai dengan fungsi hutan. Sistem wanatani ini mencakup tanaman perkebunan seperti kopi dan karet, serta kayu dan hasil hutan non-kayu.
3.
Indonesia adalah penghasil kayu bulat industri terbesar di antara negara-negara berhutan tropis, dengan jumlah produksi 34,2 juta m3 pada tahun 2009. Produksi masyarakat dan industri kehutanan masing-masing diperkirakan memberikan kontribusi sebanyak 3-4% dari PDB. Kontribusi dari sektor usahaindustri kayuserta pengolahan kayu/bubur kayu dan kertas masing-masing sekitar 1,1% dan 2,6% pada tahun 2003-2004. Perkiraan ini tidak termasuk penggunaan sendiri dan penghasilan informal dari mata pencaharian berbasis kehutanan di pedesaan, keuntungan dari kegiatan pembalakan liar dan nilai jasa lingkungan.
4.
Hutan Indonesia merupakan tempat bagi sebagian besar ragam budaya. Penduduk Indonesia terdiri dari sekitar 300 suku bangsa asli dengan 742 bahasa dan dialek yang berbeda, dan mewakili hampir 11% dari semua bahasa yang masih digunakan di dunia. Banyak dari kebudayaan tersebut mempunyai keterkaitan langsung yang sudah berlangsung lama dalam berbagai aspek (multi-faceted) dengan ekosistem alam (yang mencakup budaya, sosial, politik dan spiritual). Terdapat sekitar 25.000 desa di dalam dan di sekitar batasan hutan secara nasional. Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan merupakan salah satu kelompok sangat miskin terbesar di Indonesia. Sekitar 50-60 juta jiwa tinggal di kawasan hutan negara.
5.
Selain penghasil emisi GRK yang besar (sekitar 2,1 gigaton ekuivalen karbon dioksida [GtCO2e] pada tahun 2005), Indonesia juga terkena dampak perubahan iklim. Dengan kepadatan penduduk dan jumlah keaneka-ragaman hayati yang tinggi serta garis pantai sepanjang 80.000 kilometer, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Besarnya ketergantungan penduduk pada sektor pertanian seperti yang disebutkan di atas semakin memperbesar risiko sosial ekonomi yang dihadapi Indonesia akibat perubahan iklim.
17
1.2 Status dan kecenderungan berkaitan dengan sumber daya hutan dan lahan hutan 6.
Indonesia diperkirakan memiliki 94 juta hektar hutan alam dan hutan tanaman, yang mencapai sekitar 52% dari luas seluruh daratannya. Hutan Indonesia merupakan habitat bagi 17% spesies burung, 16% reptil dan amfibi, 12% mamalia dan 10% tanaman di dunia.
7.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada tahun 2010 memperkirakan bahwa luas tutupan hutan Indonesia berkurang sekitar 24,1 juta hektar antara tahun 1990 dan 2010 (dari 118,5 juta ha pada tahun 1990 menjadi 94,4 juta ha pada tahun 2010). Sekitar 77% dari kawasan tersebut merupakan hutan tropis primer dengan keanekaragaman hayati dan kepadatan karbon terbesar. Strategi Nasional REDD+ Indonesia menyebutkan bahwa luas rata-rata tutupan hutan yang hilang mencapai 1,87 juta hektar dari tahun 1990 sampai 1996. Angka ini terus meningkat selama tahun 2000-2003 dan kemudian turun selama tahun 2003-2006 menjadi 1,17 juta hektar per tahun (Gambar 1). Angka ini mengalami penurunan lagi menjadi 0,8 juta hektar per tahun pada 2007-2009. Patut diperhatikan bahwa luas kawasan yang mengalami kebakaran hutan dan lahan lebih kecil selama terjadinya fenomena La Nina baru-baru ini, sejalan dengan penurunan laju hilangnya tutupan hutan.
Gambar 1: Kecenderungan Deforestasi tahun 1990 sampai 2006
Sumber: Kementerian Kehutanan 2010, disebutkan dalam GOI 2011
8.
Terjadi kecenderungan berkurangnya penebangan dan pengolahan hutan alam Indonesia secara komersial selama dua dekade terakhir. Sebagai contoh, meskipun mengalami peningkatan pada tahun 1980-an, produksi kayu gergajian dan kayu lapis turun secara signifikan pada tahun 1990-2005. Hal ini disebebkan oleh penebangan yang berlebihan dan degradasi yang mengurangi ketersediaan kayu bulat komersial berdiameter besar sehingga sebagian sektor kehutanan Indonesia mulai beralih memproduksi bubur kayu. Produksi bubur kayu dari yang semula hanya 0,5 juta ton pada tahun 1989, melonjak hingga lebih dari sepuluh kali lipat pada tahun 2005. Akibatnya, produksi bubur kayu mencapai sepertiga dari total produksi kayu di Indonesia pada tahun tersebut. 18
9.
Indonesia juga memiliki lahan gambut yang sangat luas. Pada mulanya, luas lahan gambut tropis, yang berhutan maupun tidak berhutan, diperkirakan mencapai sekitar 20 juta ha. Pada tahun 1987 sampai 2000, lahan gambut seluas 3 juta hektar telah dibuka dan dikonversi atau dimusnahkan sehingga hanya tersisa sekitar 17 juta ha. Sembilan juta ha diantaranya berada di Sumatra dan Kalimantan, sedangkan sekitar delapan juta sisanya berada di Papua dan Papua Barat. Dari 17 ha luas lahan gambut pada tahun 2000, diperkirakan 10,5 juta ha berhutan: 3,56 juta ha di Kalimantan, 3.71 juta ha di Papua, 3.16 juta ha di Sumatra, dan sebagian kecil di pulau Bangka. Namun, antara tahun 2000 dan 2005, sekitar 1,04 juta ha hutan rawa gambut terdeforestasi, sebagian besar untuk perkebunan kelapa sawit. Hampir 78% hilangnya hutan rawa gambut pada periode ini terjadi di Sumatra. Dari kawasan hutan gambut yang ditebang, sekitar 75% dikeringkan dan 24% (246.000 ha) diperkirakan dibakar dan dikeringkan, sehingga terjadi pelepasan karbon yang maksimal ke udara (IFCA).
1.3 Sumber emisi GRK dari hutan atau lanskap hutan dan proyeksi kecenderungannya 10.
Dalam beberapa dokumen Pemerintah Indonesia, termasuk Strategi Nasional REDD+ disebutkan bahwa Tata Guna Lahan, Alih Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF) serta lahan gambut adalah penyumbang terbesar emisi GRK di Indonesia. Dari total emisi nasional sebesar 1,4 GtCO2e pada tahun 2000, sebanyak 0,8 GtCO2e (atau 60%) berasal dari sektor LULUCF (KLH 2010, sebagaimana dikutip dalam Pemerintah Indonesia 2011). Rencana Aksi Nasional untuk mengurangi emisi GRK (juga disebut RAN-GRK dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Presiden no. 61/2011 pada bulan September 2011) memproyeksikan bahwa total emisi GRK per tahun pada tahun 2020 akan mencapai 3,0 GtCO2e, dimana 1,6 GtCO2e (53%) berasal dari LULUCF dan lahan gambut. Berdasarkan proyeksi terbaru Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), total emisi akan mencapai 3,3 GtCO2e pada tahun 2030, tetapi kontribusi dari LULUCF dan lahan gambut diperkirakan akan tetap pada kisaran 1,6 GtCO2e (48%).
11.
Dalam Strategi Nasional REDD+ tercantum perkiraan jumlah emisi di atas tanah yang telah terjadi dan berasal dari deforestasi selama periode 2000-2005 diperkirakan mencapai 0,8 sampai 1,0 GtCO2e/tahun. Jika emisi dari kebakaran dan pengeringan lahan gambut dimasukkan, maka perkiraan tersebut meningkat menjadi 1,7 sampai 2,0 GtCO2e/tahun dengan rata-rata 1,9 GtCO2e/tahun. Emisi ini dihasilkan dari deforestasi dan pengurangan biomassa di atas tanah serta dari oksidasi zat organik di bawah tanah berkaitan dengan degradasi lahan gambut. Oksidasi adalah hasil dari pengeringan dan kebakaran gambut. Tabel 1 memperlihatkan berbagai perkiraan jumlah emisi GRK dari hutan dan lahan gambut dalam periode yang berbeda.
19
Tabel 1: Perkiraan tingkat deforestasi dan emisi GRK dalam periode yang berbeda dari berbagai sumber
Sumber: Pemerintah Indonesia 2011
12.
Berdasarkan skenario BAU yang disajikan dalam Strategi Nasional REDD+, emisi GRK tahunan Indonesia diproyeksikan akan meningkat dari 2,1 GtCO2e pada tahun 2005 menjadi 3,0 GtCO2e pada 2020 (Gambar 3). Meskipun emisi dari sektor kehutanan (tidak termasuk hutan gambut) diperkirakan akan menurun dari 0,3 GtCO2e pada tahun 2005 menjadi 0,1 GtCO2e pada 2020, emisi dari lahan gambut diproyeksikan akan meningkat dari 0,8 GtCO2e pada tahun 2005 menjadi sekitar 1,4 GtCO2e pada tahun 2020 – hampir mencapai setengah dari total emisi Indonesia. Sektor kehutanan, lahan gambut dan pertanian diperkirakan akan terus menjadi kontributor utama emisi GRK sampai tahun 2020 walaupun proporsinya terhadap total emisi akan menurun menjadi sekitar 50%, dengan peningkatan emisi terbesar yang diprediksikan akan terjadi di sektor energi, industri dan transportasi.
Gambar 2: Sumber emisi karena alih guna lahan
Sumber: Kementerian Kehutanan 2008 (IFCA)
20
Gambar 3: Profil Emisi Sektoral BAU untuk tahun 2000, 2005 dan 2020 (dalam juta tCO2e)
Sumber: GOI 2011
1.4 Penyebab utama deforestasi dan degradasi 13.
Pemerintah Indonesia membagi deforestasi menjadi deforestasi terencana dan tidak terencana. Hilangnya hutan dari kawasan hutan negara untuk kepentingan pembangunan non-kehutanan dianggap sebagai “deforestasi terencana”. Deforestasi terencana ini bisa disebabkan oleh konversi hutan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), konversi untuk keperluan lain seperti perkebunan maupun pertambangan. Pada kawasan hutan negara, pembukaan hutan yang tidak terencana dan degradasi dipicu oleh: (i) pembalakan liar dan pengelolaan hutan secara tidak berkelanjutan; (ii) kebakaran hutan; (iii) konversi hutan alam menjadi hutan tanaman industri atau kelapa sawit dan pertambangan; dan (iv) penegakan peraturan perundang-undangan pengelolaan hutan yang lemah. Kegiatan yang terencana dan tidak terencana yang memicu pembukaan hutan dan deforestasi dirinci dalam Tabel 2 di bawah ini. Kerangka kerja tersebut sejalan dengan sektor LULUCF dalam program UNFCCC dan konversi antar golongan tata guna lahan (GPG 2003, GL-AFOLU 2006).
Tabel 2: Penyebab Terencana dan Tidak Terencana Hilangnya Hutan dan Degradasi Sumber Emisi GRK
Penyebab 1. Pemekaran wilayah administratif/pemerintahan daerah untuk kepentingan infrastruktur dan keperluan lain 2. Konversi hutan yang disetujui secara sah (berdasarkan pada RTRW)
Deforestasi dan Hilangnya Hutan
Direncanakan
3. Konversi hutan pada lahan yang dialokasikan untuk kepentingan lain (APL) 4. Konversi hutan untuk konsesi pertambangan (misalnya: batubara, tembaga, emas, perak, nikel, timah) 5. Konversi hutan untuk perkebunan (misalnya: kelapa sawit, beras, karet, kopi, kakao)
Tidak Direncanakan
1. Konversi hutan yang tidak terencana untuk area perkebunan (misalnya kelapa sawit, padi, karet, kopi, cokelat) 2. Perambahan hutan untuk mendapatkan kayu, kayu bakar, pertanian
21
dan pertambangan skala kecil 3. Kebakaran hutan yang tidak terkendali 4.Klaim lahan yang mengakibatkan konversi area hutan
Direncanakan Degradasi Hutan
1. Persetujuan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) 2. Persetujuan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) 1. Penebangan kayu di luar tebangan tahunan yang diijinkan
Tidak Direncanakan
2. Pembalakan liar 3. Kebakaran hutan kecil karena faktor alami 4. Kebakaran hutan kecil untuk pembukaan lahan oleh manusia
Diolah dari : Strategi REDD+ Nasional Indonesia 2011
14.
Proses konsultasi publik yang diadakan oleh Bappenas di tujuh daerah di Indonesia telah mengidentifikasikan beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab deforestasi dan degradasi, termasuk: perencanaan tata ruang yang tidak efektif dan tenurial yang lemah; pengelolaan hutan yang tidak efektif; dan tata kelola pemerintahan dan penegakan hukum yang tidak memadai (Gambar 4). Ketiga masalah ini dibahas lebih lanjut di bawah ini.
Gambar 4: Hal-hal yang Dianggap Sebagai Sumber Deforestasi dan Degradasi Hutan
Sumber: Konsultasi Regional BAPPENAS, 2010, dikutip dari Strategi Nasional REDD+
22
15.
Penataan ruang yang tidak efektif dan tenurial yang lemah. Pengembangan Rencana Tata Ruang Wilayah telah terhambat oleh kurangnya data dan informasi yang akurat serta kurangnya rencana pembangunan sektoral yang terkoordinasi dan berkelanjutan. Penataan ruang juga terhambat oleh ketidakjelasan status kepemilikan lahan, kurangnya penetapan batas kawasan hutan negara, kurangnya pengakuan hak adat dan masyarakat setempat atas lahan, dan kurangnya kepemilikan di tingkat daerah. Hal ini berujung pada sengketa berbagai pihak yang menuntut hak atas lahan menyebabkan kurangnya investasi jangka panjang yang berkaitan dengan tata guna lahan yang berkelanjutan.
16.
Pengelolaan Hutan yang Tidak Efektif. Praktek pengelolaan hutan yang tepatdanmemuaskan tidak dapat dilaksanakan dengan efektif karena lemahnya kapasitas kelembagaan di tingkat daerah. Sebagai contoh, Unit Pelaksana Teknis (UPT) pemerintah yang bertugas untuk kawasan konservasi kekurangan dana dan staf. Pemerintah daerah yang bertugas untuk mengelola Hutan Lindung tidak melaksanakan peranannya dengan baik. Selain itu, struktur desentralisasi dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat kabupaten dan provinsi masih belum selesai disusun dan dikembangkan (untuk pembahasan lebih jauh tentang KPH, lihat Bagian 2.5 Bab 2 di bawah ini). Sementara itu, tanggung jawab pengelolaan Hutan Produksi sebagian besar berada di tangan pemegang konsesi yang bekerja dengan pengawasan yang minim dari pemerintah.
17.
Tata kelola pemerintahan dan penegakan hukum yang tidak memadai. Kurangnya koordinasi antar lembaga yang menerbitkan ijin penggunaan lahan menyebabkan terjadinyatumpang-tindih pengakuan/klaim atas kepemilikan lahan maupun konflik penggunaan lahan hutan yang sering terjadi dengan masyarakat setempat yang telah tersingkir dari proses perijinan. Hal ini seringkali menimbulkan iklim usaha yang tidak kondusif di sektor kehutanan.
18.
Terjadinya tumpang tindih klaim atas kepemilikan lahan sebagian dapat disebabkan oleh ketidakjelasan kerangka hukum yang mendasarinya, terutama implikasi yang saling bertentangan antara UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Kemudian, peraturan-peraturan sektoral yang berbeda, misalnya tentang kehutanan, hutan tanaman dan pertambangan, kurang diselaraskan. Selain itu, peraturan dan tata cara pelaksanaan di berbagai tingkat pemerintahan yang berbeda tidak diselaraskan atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia atau kesetaraan yang telah disepakati. Kurangnya pertimbangan dari masyarakat setempat dan masyarakat yang bergantung pada hutan serta kelompok-kelompok marginal dalam proses perencanaan semakin merusak tata kelola pemerintahan. Karena tidak lengkapnya kerangka hukum dan lemahnya penegakan hukum maka hanya sedikit pelanggaran hukum di bidang kehutanan yang berhasil dituntut dan pelaku utama justru dapat menghindari hukuman.
19.
Lemahnya tata kelola, termasuk rencana tata ruang yang kurang efektif, lemahnya penegakan hukum dan lemahnya kerangka tenurial, menyebabkan pembalakan liar dan perluasan lahan yang tidak terkontrol dalam kompetisi penggunaan lahan di area lahan berhutan, hal ini berujung pada dampak negatif lingkungan dan sosial yang signifikan. Penyebab langsung utama dari deforestasi datang dari sektor pertambangan dan kelapa sawit.Perkebunan kelapa sawit, secara khusus diprediksiakan melakukan perluasan yang berlanjut secara cepat, yang akan menjadi perhatian karena dampaknya pada masyarakat lokal dan hutan.
23
2 PELUANG PENGURANGAN GAS RUMAH KACA 20.
Bagian ini mengidentifikasi peluang-peluang utama untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan maupun konservasi dan peningkatan stok karbon hutan. Intervensi yang dibahas mencakup berbagai kegiatan potensial di sektor publik dan swasta untuk menyediakan kemungkinan pilihan investasi bagi FIP, donor, Pemerintah Indonesia dan sektor swasta. Pilihan-pilihan yang disampaikan merupakan bagian dari proses evaluasi program FIP yang mengarah kepada pengembangan kegiatan Rencana Investasi yang diuraikan dalam Bab 6 dan Lampiran 1. Rincian pilihan yang dibahas dalam bagian ini disajikan dalam Lampiran X.
2.1 Gambaran Peluang Strategis 21.
Dokumen-dokumen perencanaan REDD+ Indonesia, khususnya Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi GRK (RAN GRK) dan Strategi Nasional REDD+ menyiapkansuatu kerangka yang berguna dan cocok untuk mengidentifikasi peluang-peluang strategis dalam mengurangi gas rumah kaca. RAN GRK mencakup enam strategi yang berkaitan dengan kehutanan, sebagai berikut: 1. Mengurangi tingkat deforestasi dan degradasi hutan untuk mengurangi emisi GRK; 2. Meningkatkan hutan tanaman (aforestasi, reforestasi, wanatani/agroforestry) untuk meningkatkan penyerapan GRK; 3. Meningkatkan keamanan lahan hutan dari kebakaran dan pembalakan liar, dan meningkatkan Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan; 4. Memperbaiki pengelolaan air dan blok-blok pendistribusian air serta menstabilkan permukaan air di daerah rawa; 5. Mengoptimalkan sumber daya lahan dan air tanpa deforestasi; 6. Menerapkan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian yang dapat mengurangi emisi GRK dan mengoptimalkan penyerapan karbon.
22.
Keenam strategi ini dilengkapi dengan lima pilar Strategi Nasional REDD+, yaitu sebagai berikut:
Pilar 1: Lembaga dan Proses Lembaga REDD+ Instrumen Pendanaan Lembaga MRV Pilar 2: Kerangka Peraturan Perundang-undangan Meninjau hak-hak atas lahan dan mempercepat penataan ruang Memperbaiki penegakan hukum dan mencegah korupsi Melaksanakan moratorium selama 2 tahun atas penerbitan izin baru pemanfaatan hutan dan lahan gambut Memperbaiki data dan sistem penerbitan izin Memperbaiki insentif sektor swasta Pilar 3: Program Strategis Konservasi dan rehabilitasi o Menetapkan fungsi kawasan lindung o Mengendalikan konversi hutan dan lahan gambut o Memulihkan hutan dan merehabilitasi lahan gambut Pertanian, kehutanan dan pertambangan yang berkelanjutan o Meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan o Mengelola hutan secara berkelanjutan 24
o Mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan dan lahan gambut Pengelolaan lanskap yang berkelanjutan o Promosi industri hilir yang bernilai tambah o Perluasan mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan o Pengelolaan lanskap multi-fungsi. Pilar 4: Perubahan Paradigma Kerja dan Budaya o Penguatan tata guna lahan dan hutan o Pemberdayaan perekonomian lokal dengan menggunakan prinsip keberlanjutan o Kampanye Nasional “Selamatkan Hutan Indonesia” Pilar 5: Keterlibatan Pemangku Kepentingan o Memfasilitasi interaksi dengan dan antara pemangku kepentingan o Mengembangkan standar pengamanan sosial dan lingkungan o Memastikan pembagian manfaat yang adil.
2.2 Bidang Investasi Strategis 23.
Untuk melaksanakan strategi dan program yang dituangkan dalam RAN GRK dan Strategi Nasional REDD+, kegiatan di lapangan harus selaras dengan program-program tersebut yang dapat menghilangkan hambatan pelaksanaan di tingkat daerah. Proses FIP mengidentifikasi daftar pilihan mengenai delapan peluang investasi yang akan mendukung kerangka REDD+ Indonesia. Kedelapan peluang tersebut sebagaimana diuraikan di bawah ini.
2.2.1 Bidang Investasi 1: REDD+ dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) 24. Fasilitasi PHBM akan meningkatkan kesempatan masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam REDD+. Meskipun Indonesia telah membuat kemajuan dalam pengembangan kerangka hukum yang memungkinkan masyarakat lokal lebih banyak berpartisipasi dalam pengelolaan hutan, namun masih ada tantangan yang harus dihadapi. 25. PHBM menghadapi berbagai tantangan berkaitan dengan bentuk, pelaksanaan dan masalah sosial. Di banyak kelompok masyarakat, terdapathambatan berkaitan dengan biaya maupun non-ekonomi dalam pengadopsian skema REDD+. Pendekatan PHBM memerlukan upaya yang besar untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar mata pencaharian tradisional masyarakat dapat mempunyai daya saing yang tinggi di pasar global dan modern, termasuk pasar karbon global. Investasi PHBM dapat diarahkan ke beberapa bidang, termasuk pengembangan kapasitas masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan kehutanan berkelanjutan di kawasan hutan negara ataupun lahan swasta, penguatan kelembagaan pemerintah pusat maupun daerah di provinsi-provinsi utama untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam mempromosikan praktek pengelolaan hutan di masyarakat, dan bantuan untuk mengatasi masalah tenurial dan hak-hak atas lahan di kawasan hutan kemasyarakatan bersangkutan. Selain itu, pendanaan dapat diarahkan untuk menanggulangi rintangan yang dihadapi oleh sumber-sumber pendanaan Pemerintah Indonesia yang ada bagi hutan kemasyarakatan (terutama dana yang dikelola oleh Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan). 2.2.2 Bidang Investasi 2: Reformasi Hak Tenurial Lahan dan Hutan 26. Strategi Nasional REDD+ menyatakan bahwa ketidakpastian hak tenurial lahan telah menyebabkan tidak efektifnya penataan ruang serta tidak berkelanjutannya dan terkoordinasinya tata guna lahan dengan pembangunan. 27.
Reformasi dan penegasan hak tenurial lahan dapat membantu dalam pengembangan program yang efektif dan berkelanjutan sebagai pilihan mata pencaharian yang aman 25
bagi hutan, dan dapat membantu membangun dukungan untuk REDD+ di masyarakat setempat dan masyarakat adat. Kepastian dalam pengaturan hak tenurial lahan dapat meningkatkan investasi REDD+ karena biaya negosiasi lahan dan kemungkinan klaim dan konflik perebutan lahan berkurang, sehingga turut meningkatkan upaya pengentasan kemiskinan, produksi kayu dan jasa-jasa lingkungan. Penetapan hak-hak yang jelas dan transparan atas kepemilikan dan penggunaan lahan hutan yang dapat langsung ditentukan melalui proses hukum juga dapat mengurangi praktek-praktek seperti pembalakan liar dan penguasaan hutan secara tidak sah – termasuk pengembangan pertambangan dan kelapa sawit, maupun deforestasi berskala kecil. 2.2.3 Bidang Investasi 3: Penegakan Hukum Kehutanan dan Pembalakan Liar 28. Penegakan peraturan yang efektif tentang penebangan hutan sangat penting untuk mencapai target REDD+ di Indonesia. Pembalakan liar terjadi di semua fungsihutan, termasuk hutan produksi, taman nasional dan hutan lindung. Selain itu, pembalakan liar sering mengakibatkan degradasi hutan dan membuat hutan lebih rentan terhadap kebakaran yang menghancurkan. Jadi, dengan berkurangnya kegiatan ini, dampak GRK dapat melebihi kemampuan pohon yang dikonservasi dalam menyerap karbon. 29.
Peningkatan kapasitas di bidang penegakan hukum diperlukan untuk menanggulangi kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan. Praktek penegakan hukum saat ini masih belum bisa menangkap pelaku intelektual dan/atau pelaku kelas kakap yang telah menyalahgunakan kekuasaan. Untuk mengurangi masalah ini maka Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada tahun 2009. Untuk menjamin kredibilitas sistem maka SVLK dilakukan oleh auditor pihak ketiga yang independen dan dimonitor melalui mekanisme pemantauan independen LSM. Dengan dukungan dari donor, Pemerintah Indonesia sedang menyelenggarakan pelatihan bagi auditor, melakukan sertifikasi terhadap lembaga audit dan meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan. Selain itu, Kementerian Kehutanan juga sedang mempersiapkan aplikasi yang relevan untuk Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang disahkan pada tahun 2008.
30.
Penegakan undang-undang yang berkaitan dengan transaksi keuangan juga memainkan peranan penting dalam menanggulangi pembalakan liar. Investasi dapat berfokus pada pelacakan pemicu keuangan (financial drivers) dan fasilitator pembalakan liar, dan dapat memanfaatkan undang-undang anti pencucian uang dan pajak untuk secara cermat memeriksa arus keuangan dan catatan perpajakan dari mereka yang aktif dalam kegiatan kehutanan. Intervensi dapat mendukung kerjasama internasional dengan Badan-Badan Intelijen Keuangan untuk melacak arus keuangan yang menjadi modal di luar negeri. Audit keuangan sektoral dapat dijalankan untuk memeriksa secara lengkap arus keuangan dan status pajak perusahaan-perusahaan besar dan konglomerat yang aktif di sektor kehutanan. Sehubungan dengan itu, uji tuntas dan kebijakan kelangsungan lembaga-lembaga keuangan yang melakukan investasi pada kegiatan-kegiatan yang berdampak pada hutan dapat diperkuat.
2.2.4 Bidang Investasi 4: Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan REDD+ 31. Tujuan dari dibentuknya Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah untuk memperbaiki dan mendesentralisasikan sebagian urusan pengelolaan hutan, meningkatkan pertanggungjawaban atas hasil hutan, meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan lokal, dan berpotensi meningkatkan transparansi. Perbaikan tata kelola kehutanan yang dapat dihasilkan oleh sistem KPH yang telah dirancang dengan baik sangat penting bagi keberhasilan REDD+ di Indonesia. Seperti yang tercantum dalam Strategi Nasional REDD+, pengembangan KPH akan turut menyelesaikan masalah tata ruang dan 26
pemanfaatannya yang berkaitan dengan peningkatan kerangka peraturan perundangundangan; hal ini juga akan mendorong tercapainya tujuan dari Pengelolaan Landskap yang Berkelanjutan. 32.
Dengan menempatkan tenaga profesional di bidang kehutanan di tingkat lokal dan lapangan, lembaga KPH dapat memfasilitasi penegakan hukum yang lebih baik, meningkatkan sosialisasi ke masyarakat lokal dan pendekatan yang lebih terstruktur dan terlokalisasi untuk menangani sengketa lahan dan meningkatkan akses masyarakat lokal terhadap hutan. Secara langsung, lembaga KPH akan menjadi pendukung yang tepat dalam kegiatan REDD+, dan dapat melaksanakan proyek REDD+ serta mengawasi mekanisme distribusi manfaat lokal. Pelembagaan pengelolaan kehutanan di lapangan juga akan meningkatkan frekuensi respons saat keadaan darurat. Selain itu, sebagai unit kawasan khusus, KPH cocok melaksanakan fungsi MRV di daerah.
2.2.5 Bidang Investasi 5: Pengembangan Lahan Terdegradasi dan Pendekatan REDD+ 33. Mengalihkan perkebunan dari kawasan hutan alam ke lahan-lahan terdegradasi sangat berpotensi mengurangi deforestasi dan emisi GRK. Meningkatnya permintaan global untuk pulp dan kertas, karet dan minyak sawit, dan meningkatnya permintaan domestik di Indonesia untuk tanaman pangan diperkirakan akan menyebabkan konversi 21-28 juta hektar hutan pada tahun 2030 di bawah kondisi BAU. Sebagai skenario alternatif, sebagian besar perluasan lahan pertanian dilakukan di lahan yang tidak berhutan atau lahan yang sangat terdegradasi. RAN GRK dan Strategi Nasional REDD+ menunjukkan bahwa saat ini terdapat sekitar 13 juta ha lahan tanpa tutupan hutan di kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung dan Konservasi Hutan. Jika kawasan tersebut ditukar dengan lahan berhutan yang saat ini ditetapkan sebagai non-hutan (APL) atau Hutan Produksi Konversi maka hampir setengah kebutuhan lahan pertanian yang telah diprediksi akan dapat dipenuhi dari lahan non-hutan. 2.2.6 Bidang Investasi 6: Konsesi Restorasi Ekosistem 34. Sistem konsesi penebangan kayu Indonesia telah menyebabkan sebagian besar kawasan Hutan Produksi terdegradasi secara komersial, tetapi seringkali meninggalkan jasa-jasa lingkungan yang bernilai dan potensi untuk pembaharuan produksi kayu di masa depan. Pada tahun 2007, diterbitkanperaturan pemerintah yang membuka peluang pengalokasian kawasan Hutan Produksi menjadi daerah Konsesi Restorasi Ekosistem (ERC). Izin Restorasi Ekosistem dapat digunakan untuk mengelola kawasan hutan produksi dengan berbagai manfaat, termasuk karbon, air, NTFP dan jasa-jasa lingkungan lainnya, tanpa penebangan pohon, sehingga ekosistem dapat pulih dan kembali produktif dalam kurun waktu 20+ tahun. Seperti yang disebutkan dalam Progam Strategis 3 Strategi Nasional REDD+, Konsesi Restorasi Ekosistem (ERC) mempunyai potensi bagus sebagai proyek REDD+ di Indonesia. Diperkirakan lebih dari 6,5 juta hektar lahan siap di rehabiliasi. 35. Namun, ERC menghadapi sejumlah tantangan yang perlu diselesaikan. Tantangan yang dihadapi antara lain proses perizinan yang mahal dan rumit serta kerangka kerja yang buruk untuk pengakuan hak-hak yang ada atas lahan. Masalah yang disebutkan terakhir dapat menimbulkan dampak sosial yang buruk apabila ERC dibentuk tanpa pengamanan sosial yang memadai. ERC juga harus benar-benar diarahkan kepada upaya restorasi/perbaikan ekosistem hutan produksi yang terdegradasi. ERC harus dihindarkan dari upaya untuk penguasaan lahan hutan (land banking) dengan mengatasanamakan konservasi.
27
2.2.7 Bidang Investasi 7: Kesiapan dan Insentif REDD Berbasis Pasar 36. Pasar karbon menawarkan peluang penting untuk memanfaatkan insentif keuangan guna menyesuaikan kembali praktek-praktek pengelolaan lahan dan hutan. Saat ini, satusatunya pendekatan berbasis pasar untuk REDD+ adalah pasar sukarela, dengan kredit pengurangan emisi berbasis proyek. Kerangka pasar yang lain adalah REDD+ nasional berdasarkan ketentuan UNFCCC yang akan datang. Sebuah skema kredit akan dikembangkan dengan menggunakan dasar nasional atau tingkat emisi acuan (REL) deforestasi dan degradasi hutan; setiap penurunan yang bisa diverifikasi di bawah tingkat ini (terutama berdasarkan emisi historis) akan menghasilkan kredit karbon yang diberikan kepada pemerintah pusat. Pengkreditan yang didasarkan pada entitas daerah (misalnya pemerintah, proyek sektor swasta atau masyarakat) dengan dasar/baseline daerah mungkin dapat digunakan bersama sistem nasional REDD+. Pilihan lainnya adalah sistem nasional dengan pembayaran berbasis kinerja dari sumber dana internasional yang bukan pasar karbon (misalnya Kemitraan REDD+ Norwegia-Indonesia). Meskipun adanya janji ini, sejumlah tantangan masih harus dihadapi dalam pengembangan dan pemanfaatan REDD+ berbasis pasar yang efektif. 2.2.8 Bidang Investasi 8: Percontohan REDD+ di Daerah 37. Pengembangan REDD+ daerah di provinsi-provinsi percontohan atau KPH sudah diakui secara luas sebagai salah satu pilar penting dari REDD+ di Indonesia. RAN GRK, Strategi Nasional REDD+, Proposal Persiapan Kesiapan (R-PP) Indonesia yang diajukan dalam program Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) Bank Dunia serta programprogram bilateral termasuk Kemitraan REDD+ Norwegia-Indonesia, IAFCP yang dibiayai oleh Australia dan program UN-REDD semuanya mencantumkan pengembangan dan pelaksanaan REDD+ daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan. 38.
Ujicoba dan pengembangan sistem dan pendekatan REDD+ di tingkat daerah di provinsiprovinsi terpilih yang ditargetkan dalam RAN GRK dan Strategi Nasional REDD+ dapat membantu mencapai beberapa tujuan penting, antara lain: (i) menetapkan ketentuan, peraturan, kode praktek, panduan dan instrumen-instrumen terkait yang jelas dan tepat untuk melaksanakan dan mendukung pengelolaan hutan yang didesentralisasikan; (ii) mempertegas pembagian tanggung jawab antara Kementerian Kehutanan dengan pemerintah daerah untuk mendukung pengelolaan hutan yang didesentralisaikan; (iii) mempromosikan partisipasi masyarakat lokal, membentuk jaringan masyarakat sipil dan mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik; (iv) mereformasi dan memperkuat lembaga-lembaga kehutanan di semua tingkatan dan memperbaiki hubungan antar-sektor untuk mewujudkan pengelolaan hutan didesentralisasikan secara lestari di tingkat KPH; dan (v) merasionalisasi sistem pendapatan di sektor kehutanan.
28
3 KEBIJAKAN YANG MENDUKUNG DAN LINGKUNGAN PERATURANNYA 3.1 Kerangka Fiskal dan Peraturan serta aturan turunannya yang mendukung REDD+ 39.
Kerangka hukum untuk mengelola lahan hutan negara dan status sumber daya hutan adalah UUD 45 Pasal 33, yang menetapkan dasar kewenangan negara atas lahan dan sumber daya alam; serta UU Kehutanan (UU No. 41/1999), yang menetapkan prinsip dasar dan tujuan dari administrasi kehutanan negara.
40.
Prinsip dasar dan tujuan yang ada dalam kerangka hukum ini mendukung REDD+ dan sejalan dengan tujuan FIP, yang mencakup: (i) Perencanaan – hak swasta, pemerintah dan masyarakat; (ii) Pengelolaan – untuk mengatur keterlibatan swasta dan pemerintah; (iii) Penelitian dan pengembangan, pendidikan, dan penyuluhan kehutanan – dimana publik menjadi obyek atau target pelayanan; dan (iv) Pemantauan – terutama menjadi kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Dalam UU No. 41, pengelolaan hutan didukung oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Peranan Pemerintah dan Swasta juga diatur dalam pengelolaan kawasan hutan. BUMN, BUMS, koperasi dan masyarakat memainkan peranan dalam pemanfaatan hutan dan bisnis kehutanan.
41.
Berkaitan dengan peranan masyarakat, beberapa pasal tertentu dalam UU No. 41 memastikan adanya ruang yang cukup bagi masyarakat lokal maupun adat. Pasal-pasal berikut ini di antaranyayang perlu dikutip: (i) Pemerintah Indonesia wajib mendorong partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan kehutanan yang efektif dan efisien dan melaksanakan partisipasi tersebut melalui bantuan darisuatu forum pemangku kepentingan (untuk itu, Dewan Kehutanan Nasional telah terbentuk); (ii) masyarakat adat, selama masih ada dan diakui, berhak untuk: mengumpulkan hasil hutan guna memenuhi keperluan sehari-hari, melakukan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat (yang tidak bertentangan dengan undang-undang nasional), dan diberdayakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka; (iii) masyarakat dapat memanfaatkan hutan dan hasil hutan, serta diberitahu tentang rencana alokasi hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; (iv) masyarakat berhak menerima kompensasi atas kehilangan akses kedalam hutankarena ditetapkannya sebagai kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan (v) masyarakat wajib untuk ikut serta dalam memelihara dan menjaga wilayah hutan dari gangguan dan kerusakan dan bisa meminta bantuan dan bimbingan dalam melakukan kegiatan ini, bahkan dari pihak ketiga.2
42.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan tahun 2006 – 20253 menetapkan visi pembangunan sektor kehutanan: kehutanan sebagai pilar pembangunan yang berkelanjutan pada tahun 2025’. Salah satu tujuan dari rencana 20 tahun ini adalah memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan peran aktif masyarakat dalam medukung pengelolaan hutan yang adil dan bertanggung jawab.
43.
Di luar sektor kehutanan, undang-undang dan ketetapan lain yang mempengaruhi perencanaan tata ruang dan tata guna lahan serta tata kelola sumber daya hutan dan sumber daya alam lainnya antara lain mencakup:
2
Kemenkeu. 2009. Indonesia Forestry Outlook Study: Working Paper No. APFSOS II/2009/13. FAO-Regional Office for Asia and the Pacific. 3 Kementerian Kehutanan. 2006. Rencana Pembangunan Kehutanan Jangka Panjang Indonesia 2006 – 2025.
29
Ketetapan MPR tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (No. IX/2001), yang berisi prinsip-prinsip dan pendekatan yang dapat mengurangi konflikantar undang-undang maupun antar pengguna sumber daya alam;
Undang-Undang Pokok Agraria (No. 5/1960), yang mempengaruhi pengelolaan lahan dan proses penetapan hak atas lahan;
Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional (NLPF), yang dirumuskan oleh Pemerintah pada tahun 2004 dan 2005 untuk meninjau dan memperbaharui kebijakan pertanahan, menyempurnakan peraturan perundang-undangan pertanahan yang ada (termasuk Undang-Undang Pokok Agraria), menyelesaikan masalah pertanahan yang semakin bertambah dan melaksanakan Ketetapan MPR Nomor IX/2001;
Undang-undang desentralisasi 4 yang memberi peran dan tanggung jawab atas pengelolaan dan pendapatan dari kawasan hutandari pemerintah pusat, ke provinsi dan kabupaten/kota;
Undang-undang Sumber Daya Air (No. 7/2004), yang mengintegrasikan tanggung jawab lintas kementerian (dengan tanggung jawab utama pada Kementerian Pekerjaan Umum) untuk memperbaiki pengelolaan dan alokasi sumber daya air di tingkat nasional.
44.
Pada tahun-tahun belakangan ini, REDD+ telah menjadi fokus kebijakan pembangunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Balitbang Kehutanan) memulai hal ini pada tahun 2007 dengan membentuk Aliansi Iklim Hutan Indonesia (IFCA)untuk merumuskan sebuah pendekatan nasional dalam rangka menanggapi adanyaperubahan kesempatan yang muncul dari hasil negosiasi internasional mengenai aksi dan pembiayaan iklim. Dalam pertemuan G-20 di Pittsburgh pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia membuat komitmen untuk mengurangi emisi sebesar 26% pada tahun 2020 dari tingkat business-as-usual dan sebesar 41% dengan bantuan internasional.
45.
Lembaga-lembaga penting Pemerintah Indonesia, dibawah koordinasiUKP4, terus mengawasi pelaksanaan Instruksi Presiden No. 10/2011 dan mengembangkan rencana pembentukan Lembaga REDD+ Nasional. Rencana ini juga mencakuppembentukan sebuah lembaga nasional untuk melakukankegiatan pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV) REDD+ dan hasil-hasilnya. Lembaga-lembaga pentingyang terwakili dalam Satuan Tugas (Satgas) REDD+ Nasional mencakup Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Sekretariat Negara, Badan Pertanahan Nasional, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi.
46.
Kegiatan demonstrasi yang tersebar di berbagai daerah telah memberikan hasil yang bermanfaat, termasuk: (i) pengembangan metodologi pencegahan deforestasi pada lahan gambut; (ii) pengalaman penggunaan pendekatan REDD+ di tingkat kabupaten; dan (iii) masukan untuk pengembangan dan pengujian lapangan dari sistem perhitungan karbon hutan nasional.
4
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diubah dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Administrasi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
30
3.2 Rencana Aksi Nasional Indonesia PenurunanEmisi GRK dan Strategi REDD+ Nasional 47.
Sejak pertemuan UNFCCC COP 13 di Bali pada tahun 2007, Indonesia telah memprioritaskan perencanaan dan aksi perubahan iklim terlebih dengan adanya pernyataan Presiden yang menyampaikan komitmen untuk mengurangi emisi GRK secara nasional paling sedikit 26 persen pada tahun 2020. Strategi nasional dan rencana aksi mengakui bahwa perubahan tata guna lahan dan kegiatan-kegiatan kehutanan merupakan sumber utama emisi di Indonesia. Pemerintah Indonesia mulai mengembangkan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), sebagai wadah untuk mengurangi emisi sesuai dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK sebanyak 26%/41% yang diterbitkan dalam bentuk surat peraturan presiden bulan September 2011 (Perpres No. 61/2011).
48.
Pada tanggal 28 Oktober 2011, Bappenas meluncurkan RAN GRK yang diatur dalam Keputusan Presiden, yaitu “dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca sesuai dengan target nasional”. Dalam rencana ini enam sector menjadi target, yaitu: pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, pengelolaan limbah dan kegiatan-kegiatan pendukung lainnya. Rencana ini mengidentifikasi target penurunan emisi untuk setiap sektor, kegiatan dan tujuan dari setiap sektor serta kementerian yang bertanggung jawab atas setiap kegiatan.
49.
REDD+ merupakan komponen penting RAN GRK dan enam strategi yang relevan diidentifikasi: (i) mengurangi deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi GRK; (ii) memperluas kawasan hutan tanaman untuk meningkatkan penyerapan GRK; (iii) meningkatkan perlindungan hutan dari kebakaran dan pembalakan liar, dan memperbaiki Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan; (iv) memperbaiki pengelolaan air dan daerah aliran sungai serta menstabilkan permukaan air di kawasan gambut; (v) mengoptimalkan sumber daya lahan dan air; dan (vi) menerapkan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian dengan emisi yang rendah dan penyerapan CO2yang optimal. RAN GRK dilaksanakan oleh lembaga-lembaga setingkat Kementerian. Sedangkan di tingkat daerah, RAN GRK dilaksanakan oleh pemerintah provinsi.
50.
Strategi Nasional REDD+ sebagaimana diterbitkan pada bulan Juni 2012 merupakan bagian dari RAN GRK. Strategi ini telah dikembangkan melalui proses konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan dan menekankan pentingnya penyelesaian akar pemicu deforestasi dengan tetap meningkatkan kesejahteraan dan keamanan masyarakat yang bergantung pada hutan serta meningkatkan perlindungan keanekaragaman hayati. Strategi ini menandaskan upaya untuk mereformasi tata kelola kehutanan dan penataan ruang yang berkaitan dengan hutan dan lahan gambut. Strategi ini menyatakan bahwa REDD+ memerlukan rencana tata ruang yang jelas dan sistem tenurial lahan yang pasti agar hak dan tanggung jawab atas lahan berhutan dapat ditetapkan secara jelas. Hal ini juga akan meningkatkan keamanan dan kesempatan kerja yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal.5
3.3 Program-program REDD+ lain yang sedang berjalan 51.
Pada bulan Mei 2010, Indonesia menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan Norwegia untuk melaksanakan suatu inisiatif berbasis kinerja dalam rangka mempercepat aksi REDD+. Inisiatif REDD+ ini menawarkan dana hingga US $1 milyar kepada Indonesia dalam jangka waktu 7-8 tahun untuk mencapai keberhasilan mengurangi deforestasi dan
5
Referensi untuk dokumen kebijakan utama REDD+ Indonesia diberikan dalam Lampiran 4.
31
degradasi hutan. Kemitraan ini menetapkan suatu program aksi berjenjang dengan fokus awal pada pembentukan strategi nasional, lembaga pengelola, lembaga Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV), provinsi percontohan untuk REDD+ dan instrumen pembiayaan. Untuk menangani pengelolaan dan pelaksanaan inisiatif ini maka pada bulan Oktober 2010 Presiden Republik Indonesia membentuk sebuah Satuan Tugas REDD+ tingkat tinggi yang dipimpin oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang melibatkan para pejabat tinggi dari kementerian dan lembaga terkait (Kementerian Keuangan, Bappenas, Kementerian Kehutanan, Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Negara dan Dewan Nasional Perubahan Iklim/DNPI) . 52.
Inisiatif penting lainnya adalah Kemitraan Karbon Hutan Indonesia-Australia (IAFCP). Upaya ini mencakup dukungan oleh pemerintah Australia untuk membantu Indonesia dalam pengembangan MRV melalui Sistem Perhitungan Karbon Nasional Indonesia dan Sistem Informasi Sumber Daya Hutan. IAFCP juga mendukung aksi-aksi demonstrasi REDD+ berskala besar di Kalimantan Tengah. Selain itu, terdapat program-program yang didanai oleh Pemerintah Jerman, Jepang, Inggris, Korea dan Amerika Serikat sebagai bagian dari komitmen pendanaan REDD+ “yang dimulai secara cepat (fast-start)” oleh negara-negara maju. Mekanisme multilateral Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) dan Program REDD Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-REDD) juga aktif di Indonesia.
53.
Selain Strategi Nasional REDD+ dan inisiatif REDD+ lainnya di tingkat nasional, sejumlah kegiatan REDD+ di daerah juga sedang berlangsung. Sebagian besar dari kegiatan ini berskala kecil pada tingkat proyek; yang lainnya berskala lebih besar dan akan mengujicoba strategi REDD di tingkat provinsi atau kabupaten. Beberapa proyek demonstrasi telah muncul sejalan dengan kegiatan kesiapan REDD+. Sampai bulan Januari 2012, tercatat telah ada 45 proyek demonstrasi REDD+; sembilan di antaranya dianggap sebagai proyek percontohan resmi atau kegiatan demonstrasi, yang didukung terutama oleh donor melalui bilateral dan mitra-mitra lain. Kegiatan-kegiatan Demonstrasi resmi ini mencakup:
Kemitraan Karbon Hutan Indonesia-Australia (IAFCP) yang didukung oleh Pemerintah Australia, dengan kegiatan demonstrasi REDD di Kalimanatan Tengah. Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan (KFCP) bertujuan mendemonstrasikan pendekatan yang efektif dalam melaksanakan REDD dengan penekanan pada lahan gambut. Kemitraan ini mencakup kesiapan dan pengembangan MRV; Bank Dunia menyediakan pembayaran berbasis kinerja kepada penerima manfaat.
Proyek Percontohan REDD Merang (MRPP) di Sumatra Selatan yang didukung oleh GIZ (telah selesai): strategi dan struktur pengelolaan hutan gambut dan skema pengelolaan kebakaran yang lebih baik.
Proyek FORCLIME yang didukung oleh KfW dan GIZ: membiayai kegiatan Demonstrasi REDD di tiga kabupaten di Kalimantan; penetapan tingkat emisi acuan dan dukungan kepada masing-masingKPH.
Proyek The Nature Conservancy (TNC) di Berau, Kalimantan Timur: pengembangan tingkat acuan di seluruh kabupaten dan pelaksanaan kegiatan (perbaikan pengelolaan hutan, restorasi hutan, pertukaran lahan kebun kelapa sawit melalui perencanaan tata guna lahan) yang menghasilkan penurunan emisi.
Proyek UN-REDD di Sulawesi Tengah yang didukung oleh badan-badan PBB, yaitu UNEP, UNDP dan FAO: Kapasitas perencanaan tata ruang sosial ekonomi yang mencantumkan REDD; memberdayakan pemangku kepentingan lokal untuk 32
mendapatkan manfaat dari kegiatan REDD; pengembangan rencana REDD kabupaten yang disetujui secaramelalui lintas pemangku kepentingan.
54.
Provinsi Kalimantan Tengah, dipilih sebagai provinsi percontohan REDD+ di bawah LoI Norwegia.
Proyek Korea International Cooperation Agency (KOICA) di Nusa Tenggara Barat, melalui kerjasama dengan Pemerintah Korea Selatan.
Proyek International Tropical Timber Organization (ITTO) di Jawa Timur: berfokus pada REDD dan meningkatkan cadangan karbon melalui perluasan partisipasi masyarakat di bidang konservasi dan pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri.
Ada inisiatif lainnya yang digolongkan sebagai “inisiatif sukarela”. Sebagian besar di antaranya sedang dipersiapkan, baik oleh lembaga swadaya masyarakat internasional maupun lokal (LSM), dan beberapa diantaranya telah diusulkan oleh perusahaan swasta dan bank-bank investasi internasional.
3.4 Program-program di Indonesia lainnya yang menangani penyebab utama deforestasi 55.
Seperti yang tercantum dalam Strategi Nasional REDD+, banyak akarpenyebab deforestasi berasal dari luar sektor kehutanan dan kawasan hutan negara, dan berkaitan dengan tata kelola lahan, kapasitas kelembagaan dan kerangka peraturan. Beberapa program dan inisiatif, dari dalam maupun luar sektor kehutanan, menangani akar permasalahan tanpa secara khusus diberikan label sebagai proyek REDD+. Beberapa kegiatan yang lebih penting ini di masa lalu maupun sedang berlangsung di antaranya adalah inisiatif anti-korupsi, komitmen terbaru untuk mereformasi tenurial lahan, kebijakan keterbukaan informasi dan reformasi tata kelola kehutanan.
56.
Inisiatif Anti-Korupsi. Padatahun-tahun belakangan ini, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan sejumlah reformasi penting yang ditujukan untuk memerangi korupsi di semua tingkatan. Untuk melaksanakan UU 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi maka dibentuk dua lembaga, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kedua lembaga ini menyidik, menuntut dan mengadili kasus-kasus korupsi tingkat tinggi secara independen dari proses penegakan hukum dan peradilan yang normal, dan telah berhasil menuntut banyak kasus korupsi yang berhubungan dengan kehutanan yang melibatkan pejabat di semua tingkatan.
57.
Komitmen baru-baru ini tentang tenurial. Dalam sebuah konferensi tentang tenurial hutan di Lombok pada bulan Juli 2011, Pemerintah Indonesia menyatakan komitmentnya untuk memprioritaskan kebutuhan masyarakat kehutanan, “mengakui, menghormati dan melindungi hak Adat”, dan menyelesaikan masalah kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah dalam menangani kebijakan tenurialhutan. Dalam acara ini, Pemerintah Indonesia secara resmi meluncurkan proses yang transparan dan partisipatif untuk meminta masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat. Sebagai tindak lanjut, kelompok masyarakat sipil Indonesia telah mengajukan tiga bidang untuk direformasi, yakni: (i) Perbaikan kebijakan dan percepatan proses penguatan kawasan hutan; (ii) Penyelesaian konflik kehutanan; (iii) Perluasan wilayah pengelolaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya.
58.
Sebuah Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2011 (MK45) tentang definisi Kawasan Hutan (Negara) memberikan kesempatan untuk mempercepat reformasi tenurial hutan. Definisi sebelumnya tentang Kawasan Hutan Negara mencakup kawasan yang telah 33
“ditunjuk dan/atau ditetapkan”, sedangkan definisi baru hanya mencakup kawasan yang telah ditetapkan (gazetted). Meskipun tidak mungkin mempengaruhi keputusan sebelumnya tentang alokasi lahan, putusan Mahkamah ini membuka ruang yang signifikan untuk perundingan penggunaan lahan antara Kemenhut, pemerintah kabupaten dan masyarakat lokal sehubungan dengan areaKawasan Hutan Negara yang masih belum ditetapkan. Sampai dengan tahun 2011 baru hanya 14,24 juta ha yang telah sepenuhnya ditetapkan6. 59.
Sebagai bagian dari upaya untuk menyelesaikan persoalan tenurial, Kemenhut telah meluncurkan sebuah program untuk mempercepat penetapan (gazettal) Kawasan Hutan Negara, dengan waktu penyelesaian ambisius, yaitu tahun 2014. Kemenhut juga memperioritaskan tersedianya mekanisme penyelesaian terhadap banyaknya desa-desa yang terdapat di dalam kawasan hutan. Untuk mendukung proses penetapan, penataan ruang dan penyelesaian masalah tenurial, Kemenhut baru-baru ini telah menambah tugas dan fungsi Direktorat pada Ditjen Planologi dan membentuk Kelompok Kerja untuk Persiapan Rencana Pemangkuan Hutan Makro, yang melibatkan perwakilan dari Organisasi Masyarakat Sipil /CSO (SK.199/Menhut II/2012 Bulan Mei 2012).
60.
Akses ke Informasi. Pada tahun 2008, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UndangUndangKeterbukaan Informasi Publik No. 14/2008, yang berlaku pada tahun 2010. Undang-undang tersebut mengharuskan lembaga-lembaga publik untuk menyediakan dan mempublikasikan informasi publik sesuai dengan kewenangannya. Kementerian Kehutanan mendukung UU tersebut pada tahun 2011 dengan mengeluarkan sebuah peraturan pelaksanaan.
61.
Kesatuan Pengelolaan Hutan. Program Kesatuan Pengelolaan Hutan Indonesia atau KPH adalah lembaga penting lain yang baru dibentuk untuk memperbaiki pengelolaan hutan Indonesia dan pelaksanaan kerangka REDD+. KPH merupakan desentralisasi kelembagaan di bidang pengelolaan dan perencanaan hutan pada tingkat lapangan, yang disesuaikan dengan kondisi lokal tetapi berkaitan dengan Strategi Nasional REDD+. Idealnya, KPH bertanggung jawab untuk mengembangkan, melaksanakan dan/atau mengawasi tata kelola dan pengelolaan hutan di tingkat lapangan; termasuk persiapan rencana partisipatif, menegakkan peraturan kehutanan seperti pengendalian kebakaran hutan dan praktek illegal lainnya, dan bernegosiasi dengan masyarakat lokal mengenai masalah-masalah yang timbul seperti hak guna lahan dan akses ke kawasan hutan. Struktur lembaga KPH ditempatkan di bawah wewenang pemerintah daerah sehingga meningkatkan pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan lokal.
62.
Verifikasi legalitas kayu. Pada bulan Mei 2011, Pemerintah Indonesia menandatangani Perjanjian Kemitraan Sukarela (VPA) dengan Uni Eropa untuk memastikan bahwa hanya kayu yang ditebang secara legal yang akan diimpor ke Uni Eropa dari Indonesia. Sebagai bagian dari inisiatif ini, Kementerian Kehutanan telah meluncurkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang akan membantu penegakan hukum dan mengurangi kegiatan pembalakan liar.
3.5 Pengaturan tata kelola pemerintahan REDD+ 63.
Sejak tahun 2008, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa keputusan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan dan pengelolaan REDD+ di Indonesia. Pengembangan kebijakan-kebijakan ini merupakan komponen penting dari komitmen Indonesia untuk menanggulangi perubahan iklim. Pelaksanaan dan efektifitas kebijakan
6
Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Kementerian Kehutanan 2011.
34
akan mempunyai dampak signifikan terhadap keberhasilan rencana REDD+ nasional. Keputusan-keputusan tersebutantara lain adalah:
64.
Peraturan Presiden Nomor 61/2011, tentang RAN GRK;
Instruksi Presiden Nomor 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru bagi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut serta Penyempurnaan Tata Kelola Hutan dan Gambut;
Keputusan Presiden Nomor 19/2010 yang menetapkan Satuan Tugas (Satgas) Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ (awalnya sampai Juni 2011, kemudian diperpanjang sampai Desember 2012) dibawah pimpinan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan anggotanya terdiri dari perwakilan tujuh lembaga pemerintah;suatu lembaga baru yang penting untuk pengelolaan program REDD+ nasional;
Pembentukan Kelompok Kerja Perubahan Iklim di Kementerian Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 64/Menhut--‐II/2010;
PeraturanMenteri Kehutanan No. P.36/Menhut--‐II/2009 tentang Tata Cara Perijinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung;
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut--‐II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD);
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut‐II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan;
Publikasi Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia: Readiness Strategy, 2009-2012 (REDDI);
Peta Jalan Pengarus-utamaan masalah Perubahan Iklim dalam Rencana Pembangunan Nasional; Perubahan Iklim di Sektor Kehutanan;
Kementerian Keuangan bersama Kementerian Kehutanan secara teratur mengeluarkan keputusan tentang Dana Alokasi Khusus di bidang kehutanan unuk mendukung program-program yang berkaitan dengan perubahan iklim.
Pada tahun 2010, Pemerintah Indonesia membentukSatuanTugasREDD+ untuk mengkoordinasikan strategi nasional REDD+. Pada tahun pertama (2010-2011), Satuan Tugas menyusun peta yang mengidentifikasi kawasan hutan yang akan termasuk dalam moratorium izin baru penebangan kayu di hutan primer dan lahan gambut selama dua tahun. Satuan Tugas juga memilih Kalimantan Tengah sebagai provinsi percontohan pertama dalam Perjanjian Kemitraan Indonesia-Norwegia. Sampai bulan Desember 2012, Satuan TugasREDD+ akan bekerja dengan dan mempersiapkan Lembaga REDD+ nasional untuk memantau dan melaksanakan moratorium dua tahun tersebut, menetapkan instrumen pendanaan untuk REDD+ dan mengembangkan kriteria untuk memilih provinsi percontohan REDD+ kedua.
3.6 Kesenjangan peraturan yang ada dan tantangan tata kelola 65.
Strategi Nasional REDD+ mencantumkan sejumlah kebutuhan yang berkaitan dengan tata kelola penataan ruang dan tata guna lahan:
35
Peraturan yang menetapkan Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN, dengan Surat Keputusan Presiden No. 4/2009) perlu direvisi untuk memperkuat kewenangan dan kapasitas BKPRN;
Sengketa antara peraturan sektoral yang perlu diselesaikan;
Target penurunan emisi dan upaya perencanaan serta definisi terkait perlu diselaraskan agar mempunyai target yang realistis dan hasil yang terukur;
Undang-undang yang berkaitan dengan perizinan perlu dilaksanakan dan praktekpraktek ilegal harus diproses secara hukum. Undang-undang utama yang terkait adalah Undang-Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang No. 31/1999 tentang Korupsi, Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan;
Untuk memperkuat pengelolaan kawasan hutan dan gambut maka program yang berkaitan dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) perlu dipercepat dan masalah-masalah peraturan yang berkaitan dengan proses perizinan perlu diselesaikan.
66.
Penataan Ruang dan Tata Guna Lahan. Upaya sedang dilakukan untuk menyelaraskan perencanaan tata guna hutan dan penataan ruang provinsi. Proses Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah upaya untuk menanggulangi konflik antar lembaga sehubungan dengan penggunaan lahan yang berada dibawah wewenang Kementerian Kehutanan dan merupakan dasar untuk peta dan rencana. Akan tetapi, karena pemerintah daerah seringkali menentang batas-batas kawasan hutan yang dikembangkan melalui proses TGHK makadiupayakan untuk mencapai kompromi berdasarkan proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP).
67.
Tenurial. Kurang jelasnya pengaturan tenurial masih menjadi hambatan yang besar bagi pemanfaatan hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Strategi Nasional REDD+ memandang hal-hal berikut ini sebagai tugas prioritas dalam menyelesaikan permasalahan tenurial:
68.
Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) perlu diinstruksikan untuk melaksanakan inventarisasi terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal. Hal ini hendaknya mencakup adat kebiasaan setempat, klaim wilayah, kegiatan pemanfaatan sumber daya alam, dan sebagainya. Dengan demikian,hal ini akan mendukung pemetaan partisipatif untuk mencatat klaim-klaim ataslahan setempat;
BPN perlu didukung untuk memfasilitasi penyelesaian konfliktenurial. Hal ini hendaknya didasarkan pada berbagai peraturan yang ada sehubungan dengan penyelesaian konflik, seperti UU No. 30/1999 tentang Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Peraturan Pemerintah No. 54/2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1/2001 tentang Mediasi Pengadilan;
Prinsip-prinsipPersetujuan Atas dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA / FPIC)perlu diterapkan dalam proses perijinan untuk mengalokasikan sumber daya alam, dan peraturan tentang perijinan perlu direvisi untuk mengakomodasi FPIC.
Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut. Masalah rendahnya kinerja pengelolaan hutan dan tata kelola pemerintahan telah berkontribusi terhadap degradasi hutan dan emisi 36
GRK. KPH dianggap sebagai salah satu pendekatan untuk meningkatkan dan mendesentralisasikan pengelolaan dan tata kelola guna mencapai berbagai manfaat pada areal yang spesifik dan tertentu dengan kewenangan yang lebih jelas dan keterlibatan pemangku kepentingan yang lebih banyak, sehingga dapat meningkatkan transparansi. Pemerintah Indonesia telah merencanakan dan menganggarkan pembentukan KPH yang melayani kawasan hutan yang luas, tetapi pelaksanaannya dapat ditingkatkan dan dipercepat dengan menggunakan lebih banyak sumber daya, terutama apabila penetapan batas dan demarkasi Kawasan Hutan Tetap (Permanent Forest Estate/PFE) telah disetujui. Kebanyakan KPH sedang dibentuk di kawasan hutan produksi, namun padakawasan perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan hutan konservasi juga dibentuk. Pada saat yang sama, KPH dapat menjalankan beberapa fungsi REDD+ yang relevan dalam pelaksanaan program REDD+ daerahagar dapat berhasil di lapangan, termasuk pengurangan, jika bukan penghapusan, kegiatan deforestasi dan degradasi hutan yang tidak terencana dengan tetap melindungi hak-hak lokal dan adat serta memaksimalkan manfaat sosial dan lingkungan. 69.
70.
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa kegiatan pengawasan lahan di kawasan hutan negara dimandatkan kepada Kementerian Kehutanan, tetapi sejauh ini belum ada peraturan tentang pengelolaan lahan diluar kawasan hutan negara (Areal Penggunaan Lain atau APL). Mengingat adanya kebutuhan pendekatan berbasis ekosistem untuk pengelolaan lahan gambut yang efektif, Strategi Nasional REDD+ mengusulkan pembentukan sebuah lembaga tunggal untuk mengemban tugas ini. Langkah-langkah berikut inidapat ditempuh untuk tujuan tersebut:
Meninjau dan menyelaraskan kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan untuk meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi dan untuk mempercepat pengembangan sistem KPH di kawasan Hutan Produksi, Hutan Konservasi, dan Hutan Lindung.
Pengembangan dan pelaksanaan skema pengelolaan hutan yangsudah direvisi oleh Kementerian Kehutanan. Pengembangan skema pengelolaan ini hendaknya melalui proses partisipatif yang didukung oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN).
Sistem perijinan yang transparan, akuntabel dan terintegrasi perlu dikembangkan sebagai bagian dari sistem pengelolaan hutan yang lebih baik.
Semua peraturan dan kebijakan tentang pengelolaan lahan gambut perlu ditinjau kembali dan sebuah lembaga pengelola lahan gambut perlu ditetapkan.
Tata cara dan peraturan untuk mengintegrasikan lahan dengan potensi REDD+ ke dalam kawasan hutan negara perlu dikembangkan.
Peraturan dan proses administrasi perlu disederhanakan dan diperjelas untuk meningkatkan iklim investasi, terutama untuk mengembangkan usaha kehutanan berbasis masyarakat.
Pemantauan Hutan dan Penegakan Hukum. Ada lingkungan yang kondusif untuk meningkatkan kerangka kebijakan dan peraturan perundang-undanganguna melaksanakan pemantauan hutan dan penegakan hukum, seperti yang telah ditunjukkan melalui keberhasilan pelaksanaan SVLK. Hal ini berguna untuk mendorong kegiatankegiatan berikut ini:
Meningkatkan peranan pihak ketiga dalam evaluasi kinerja pemegang izin dan memberikan insentif atas sertifikasi legalitas;
37
Penegakan peraturan perundang-undangan kehutanan yang lebih ketat dan konsisten. Hal ini akan dilakukan bersamaan dengan tinjauan terhadap kebijakan dan peraturan yang ada;
Kajian ulang kebijakan dan peraturan untuk mempercepat pelaksanaan operasi KPH;
Pembangunan kapasitas instansi penegak hukum.
71.
Desentralisasi. Proses desentralisasi di Indonesia telah menimbulkan beberapa tantangan terhadap pengelolaan kehutanan dan tata kelola yang efektif. Sebagai contoh, pendapatan dari pungutan atas penebangan pohon dan Dana Reboisasi sekarang didistribusikan kembali kepada pemerintah kabupaten dan provinsi sehingga mendorong daerah melakukan penebangan hutan yang sebesar-besarnya, yang bukan merupakan praktek pengelolaan terbaik. Pengelolaan kawasan lintas batas (misalnya koridor satwa dan daerah aliran sungai) masih terjadikesenjangan dalam kerangka desentralisasi.Sering terjadi diskoneksi antara lembaga lokal, masyarakat, perencanaan tata guna lahan lokal dan proses perizinan tata guna lahan di tingkat nasional dan daerah. Hal ini seringkali menyebabkan terjadinya tumpang tindih perizinan, perizinan atas kawasan yang tidak tepat dan konflik antar masyakarat lokal.
72.
Namun segi positifnya, proses desentralisasi telah menciptakan kesempatan penting untuk perbaikan tata kelola di tingkat lokal, walaupun ada kekhawatiran terhadapmasalah lingkungan hidup. Banyak pihak setuju bahwa pemerintah daerah perlu meningkatkan kapasitas mereka untuk bekerja samadengan publik, mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan mereka, dan melaksanakan proses konsultasi publik, sertameningkatkan kapasitas teknis dan kelembagaan untuk mengelola dan melindungi hutan. Proses ini akan menjadi lebih cepat saat KPH dibentuk. Kerangka KPH dapat mendukung pengelolaan bersama dengan masyarakat lokal dan inisiatif pemerintah daerah untuk memperbaiki pengelolaan daerah aliran sungai pada hutan lindung. Demikian pula, beban prosedur perijinan khususnya untuk mendapatkan legalitas Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (CBFM) dapat dibuat lebih sederhana dan efisien oleh masing-masing KPH.
73.
Kerangka KPH sebagai manifestasi dari desentralisasi kehutanan juga menciptakan peluang dan permintaan untuk resolusi akses lahan dan isu-isu hak-baik dari pemegang hak formal (konsesi swasta) dan merupakan masukan untuk menciptakan akses yang lebih aman bagi masyarakat. Klaim yang bersinggungan dan tanggung jawab pemerintah yang kurang jelas telah menimbulkan perdebatan yang meluas mengenai akseske kawasan hutan danhaktata guna lahan. Terdapat kesempatan untuk membangun institusiyang lebih efektif dan transparan untuk mendukung negosias iseperti ini dalam proses rasionalisasi kawasan hutan. Dukungan FIP untuk kegiatan seperti reformasi tenurial lahan, hutan kemasyarakatan, pembangunan KPH dan pembangunan subnasional REDD + dapat berkontribusi pada proses yang sedang berjalan menuju sistem desentralisasi yang mendukung konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan mata pencaharian masyarakat lokal dan masyarakat adat yang tinggal di dalam kawasan hutan.
38
4 MANFAAT TAMBAHAN YANG DIHARAPKAN DARI INVESTASI FIP 74.
Kegiatan dan investasi untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia dapat menghasilkan manfaat tambahan (co-benefits) yang penting. Manfaat tambahan tersebut terutama mencakup peningkatan ekonomi lokal, peningkatan pendapatan rumah tangga, dan pengentasan kemiskinan pada masyarakat yang kehidupannya bergantung pada hutan. Manfaatlain dapat mencakup peningkatan pendapatan negara dari kegiatan kehutanan, promosi kesetaraan gender, penyelenggaraan jasa-jasa ekosistem seperti kualitas air yang lebih baik dan perlindungan keanekaragaman hayati.
75.
Dalam konteks REDD+, harus diakui bahwa bagi pemangku kepentingan yang berasal dari masyarakat lokal dan adat, manfaat sosial dan ekonomi dianggap sebagai manfaat utama –manfaat sosial dan ekonomi ini jauh lebih besar daripada sekadar manfaat tambahan kegiatan mitigasi perubahan iklim dan perlindungan hutan. Oleh sebab itu, perubahan transformasional harus diupayakan bukan hanya untuk pengelolaan lahan dan hutan yang berkelanjutan, melainkan juga untuk peningkatan kesejahteraan individu, masyarakat dan komunitas yang hidupnya bergantung pada hutan secara efektif dan berkelanjutan.
76.
Alat utama untuk meningkatkan kesiapan REDD+ maupun pelaksanaan REDD+ di Indonesia mencakup penguatan kelembagaan, perencanaan tata guna lahan, pengembangan masyarakat dan penguatan badan usaha di bidang kehutanan. Investasi FIP di bidang-bidang ini seharusnya menghasilkan sejumlah manfaat ekonomi, sosial dan budaya, yang meliputi manfaat-manfaat berikut ini:
77.
Pengakuan hak-hak yang sah atas lahansecara lebih baik dan berkurangnya klaim memperebutkan lahan dan konflik yang berkaitan dengan lahan;
Peningkatan investasi di kawasan yang terdegradasi, meningkatkan kontribusi terhadap pengurangan kemiskinan, produksi kayu, dan jasa lingkungan;
Pembagian manfaat hutan yang lebih transparan dan adil, termasuk pembagian manfaat REDD+;
Perbaikan iklim investasi, yang memberikan kestabilan usaha lebih besar dan dasar yang lebih kuat untuk pertumbuhan di masa depan;
Partisipasi lokal yang lebih efektif dalam proses perencanaan pemerintah dan kapasitas negosiasidan partisipasi lokal yang lebih kuat dalam platform pemerintahan;
Kontribusi untuk ekonomi lokal dengan menyediakan mata pencaharian bagi orangorang yang hidup di sekitar kawasan hutan; dan
Peningkatan akses terhadap hasil hutan non-kayu dan manfaat hutan lainnya.
Perlindungan hutan di Indonesia juga melestarikan keberadaan jasa-jasa ekosistem yang penting. Hal ini termasuk perlindungan daerah aliran sungai serta kualitas sistem pengairan, kesuburan tanah, pengendalian banjir dan erosi, pengendalian hama, pengurangan kebakaran hutan, serta pelestarian habitat satwa dan perikanan. Kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa di hutan-hutan Indonesia menjamin bahwa upaya-upaya REDD+ akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi upaya-upaya nasional maupun global untuk melindungi keanekaragaman hayati.
39
5
KOLABORASI ANTAR MDB DAN DENGAN MITRA LAINNYA
5.1 Kegiatan ADB, Bank Dunia dan IFC di Indonesia yang berkaitan dengan FIP 78.
Ketiga Bank Pembangunan Multilateral (MDBs) yang mendukung Pemerintah Indonesia dalam perancangan program dan pelaksanaan Rencana Investasi ini telah lama menjalin kerjasama yang penting di Indonesia. Intervensi FIP akan melengkapi dan mengembangkan kerjasama dengan program MDB laindi sektor kehutanan dan tata guna lahan. Beberapa bentuk kerjasama penting diuraikan dibawah ini.
79.
ADB. ADB memainkan perananyang sangat strategis di bidang kehutanan dan tata guna lahan berkaitan dengan kegiatan perubahan iklim di Indonesia. Perubahan iklim adalah spesialisasi inti dalam strategi ADB 2020 dan sangat penting bagi Program ADB di Indonesia. Dalam Strategi Kemitraan ADB-Indonesia untuk tahun 2011-2015, ADB akan membantu Pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim sesuaidengan prioritas operasional ADB. Dukungan ini mencakup reformasi kebijakan, pengembangan kapasitas dan transfer praktek yang baik melalui proyek-proyek inovatif yang mempromosikan energi terbarukan dan konservasi energi, memperkuat pengelolaan sumber daya air, memperbaiki kualitas lingkungan hidup,mengelola sumber daya laut dan pantai dengan lebih baik serta mendorong penggunaan sumber daya lahan dan hutan yang berkelanjutan.
80.
ADB telah terlibat dalam inisiatif REDD+ Pemerintah Indonesia dengan menyediakan bimbingan teknis di bidang pengelolaan dana dan penyusunan kerangka kerja operasional di Indonesia. Konsultasi dengan Pemerintah Indonesia di bidang REDD+ telah berlangsung sejak tahun 2009. Melalui dana perubahan iklimnya, ADB telah mendukung ujicoba intervensi REDD+ di beberapa negara termasuk Indonesia. Saat ini, ADB memberikan dukungan untuk inisiatif Heart of Borneo (HoB). ADB juga telah memobilisasi pendanaan tambahan dari Global Environmental Facility(GEF) danJapan Fund for Poverty Reduction. Proyek HoB akan mendukung pengelolaan taman nasional yang sudah ada dan akan diusulkan seluas 2,3 juta hektar melalui mekanisme pembayaran jasa-jasa lingkungan yang dikelola oleh masyarakat, operasi penegakan hukum yang lebih baik, dan penggunaan sumber daya dan mata pencaharian yang berkelanjutan berdasarkan sistem pengelolaan adat setempat. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan status ekonomi masyarakat adatdengan tetap mencegah hilangnyahutan dan meningkatkan penyerapan karbon. Dalam mendukung Rencana Investasi, ADB akan menyampaikan semua pembelajaran dan pengalaman yang diperoleh dari inisiatif HoB.
81.
ADB, melalui kerjasama dengan GEF, juga sedang mendukung penggabungan pengelolaan hutan berkelanjutan dengan perencanaan pengelolaan sumber daya air yang terpadu. Upaya konservasi hutan berbasis masyarakat juga didorong. Melalui inisiatif seperti COREMAP, berbagai upaya untuk melindungi dan melestarikan hutan bakau juga sedang dilakukan. ADB juga memberikan bantuan yang besar di bidang konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan melalui berbagai proyek, termasuk: (i) rehabilitasi dan pengelolaan hutan bakau di provinsi-provinsi di Sulawesi dan Aceh, (ii) pengawasanpelaksanaan pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari oleh sektor swasta, (iii) konservasi hutan tropis di daerah Flores dan Siberut di Sumatera Barat, dan Sulawesi Tengah.
40
82.
Bank Dunia. Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) Bank Dunia adalah sebuah kemitraan global yang berfokus pada REDD+. “Dana kesiapan”(readiness fund) membantu negara-negara pemilik hutan untuk mengembangkan sistem dan kebijakan REDD+, membantu meletakkan dasar untuk pembayaran dan insentif keuangan REDD+ yang akan datang. Di Indonesia, Kementerian Kehutanan sedang mengimplementasikan Hibah Kesiapan FCPF REDD yang telah ditandatangani pada bulan Juni 2011 untuk serangkaian kegiatan, termasuk kegiatan analisa, pengelolaan proses kesiapan, perkiraan tingkat emisi acuan, dan MRV. FCPF juga telah menyediakan hibah bagi LSM Indonesia, Telapak, untuk melaksanakan studi yang berjudul “Masyarakat Adat dan Perubahan Iklim di Indonesia”. Proyek ini berfokus pada masalah masyarakat adat (IP) dan mengembangkan basis data IP dengan informasi tentang sejarah, rencana tata ruang, potensi konflik, batas-batas, sumber daya alam dan lingkungan kelembagaan.
83.
The Indonesia Forest and Climate Trust Fund (IFCTF), yang bermitra dengan AusAid KFCP, bertujuan untuk merancang mekanisme pembagian manfaat dan mencairkan dana hibah kepada masyarakat peserta di lahan gambut eks-Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar yang menjadi target Kemitraan Karbon Hutan Indonesia-Australia (IAFCP) dan Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan/KFCP (lihat dibawah untuk informasi lebih lanjut tentang IAFCP). Hibah berbasis masyarakat yang didasarkan pada pendekatan partisipatif akan mendukung kegiatan mata pencaharian dan restorasi pada lahan gambut yang terdegradasi. Proyek ini juga akan mengujicoba alat-alatkajian lingkungan dan sosial dalam rangka pelaksanaan REDD+. Bank Dunia bekerja sama dengan AusAID, Kementerian Kehutanan, Bappenas, serta pejabat pemerintah daerah danpara pemangku kepentingan sehubungan dengan IFCTF.
84.
The Program on Forests (PROFOR) adalah suatu dana perwalian yang dikelola oleh Bank Dunia untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam menguji instrumen pembiayaan guna menciptakan insentif yang tepat bagi pelestarian hutan di tingkat lokal, kabupaten dan provinsi.
85.
IFC.Program Kehutanan Lestari IFC di Indonesia mendukung: penciptaan usaha kehutanan yang menguntungkan pada lahan-lahan terdegradasi di Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan iklim usaha yang baik di tingkat daerah, serta memperkuat usaha pengelolaan hutan oleh industri, petani kecildan masyarakat. Saat ini,program IFC bekerjasama dengan klien-klien swasta di sektor hutan tanaman dan hutan alam.
86.
IFC juga mempunyai beberapa program di sektor agribisnis, energi, dan bahan galian, yang seringkali melibatkan klien dan inisiatif yang berlokasi di daerahpinggiran hutan. Subsektor yang berkaitan erat dengan bidang kehutanan antara lain mencakup kelapa sawit, kopi, minyak dan gas bumi, pertambangan, energi biomassa dan rantai nilai atau produksi hilir terkait.
5.2 Program REDD+ dari Organisasi Internasional dan Bilateral Lainnya 87.
Pemerintah Norwegia merupakan salah satu donor internasional yang lebih menonjol di bidang REDD+ di Indonesia. Pada bulan Mei 2010, Indonesia menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan Norwegia untuk menjalankan inisiatif berbasis kinerja di bidang REDD+. Kemitraan REDD+ Norwegia-Indonesia ini menawarkan danahingga US$ 1 miliar kepada Pemerintah Indonesiaatas keberhasilan mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Kemitraan telah membentuk suatu program aksi berjenjang, dengan fokus awal pada pembentukan strategi nasional, lembaga pengelola, lembagaPengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (MRV), propinsi percontohan REDD+, dan instrumenpendanaan. Pada fase pertama (2010-2012), dana telah mulai digunakan untuk 41
mengembangkan Strategi REDD+ Nasional Indonesia dan menetapkan kebijakankebijakan pendukung awal. Fase kedua akan berfokus pada mempersiapkan Indonesia untuk memberikan kontribusi dalam pengurangan emisi yang terverifikasi dan melaksanakan proyek percontohan diseluruh propinsi Kalimantan Tengah. Pada fase akhir yang dimulai tahun 2014, mekanisme kontribusi pengurangan emisi akan dilaksanakan secara nasional. Pendanaan akan didistribusikan dalam jangka waktu 7-8 tahun, dan sebagian besar dana ditujukan untuk pengurangan emisi yang terverifikasi. Pengelolaan dan pelaksanaan inisiatif ini akan dilakukan oleh Satuan Tugas (Satgas) REDD+ yang diketuai oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). 88.
Australia mempunyai salah satu inisiatif bilateral REDD+ terlama(dan masih berjalan) di Indonesia yaitu: Kemitraan Karbon Hutan Indonesia-Australia (IAFCP). Upaya ini termasuk dukungan Pemerintah Australia untuk membantu Indonesia dalam mengembangkan MRV melalui Sistem Perhitungan Karbon Nasional (National Forest Accounting System) dan Sistem Informasi Sumber Daya Hutan (Forest Resource Information System). IAFCP juga mendukung kegiatan demonstrasi REDD+ berskala besar di provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan dari Kemitraan Iklim dan Hutan Kalimantan (Kalimantan Forests and Climate Partnership/KFCP) adalah untuk menunjukkan pendekatan yang efektif dalam mengurangi emisi yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan, dengan penekanan pada lahan gambut. Pada periode awal, proyek ini akan mencegah deforestasi pada 50.000 hektar hutan rawa gambut dan merehabilitasi 50.000 hektar lahan gambut yang terdegradasi untuk menciptakan daerah penyangga di sekitar hutan dan mengurangi degradasi lebih lanjut. Permasalahan yang akan ditangani mencakup pengembangan mata pencaharian alternatif dan skema pembayaran insentif untuk masyarakat lokal.
89.
Inisiatif Kolaborasi PBBdalam Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (UN-REDD Programme) memberikan bantuan kepada negara-negara berkembang dalam mempersiapkan dan melaksanakan strategi nasional REDD+. Di Indonesia, UN-REDD bekerja sama dengan Bappenas dalam menjalankan serangkaian konsultasi pemangku kepentingan nasional dan regional sebagai bagian dari pengembangan Strategi Nasional REDD+. Pada bulan Oktober 2010, program UN-REDD telah memilih Sulawesi Tengah sebagaip rovinsi percontohan untuk mempersiapkan dan menguji strategi untuk implementasi REDD+.
90.
Amerika Serikat adalah donor baru yang penting di bidang perubahan iklim dan REDD+ di Indonesia. The US Agency for International Development (USAID) membiayai proyek Dukungan Kehutanan dan Iklim Indonesia (IFACS) untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam melestarikan hutan, satwa liar dan jasa-jasa ekosistem. Proyek yang berjangka waktu empat tahun ini bekerja sama dengan instansi pemerintah pusat dan daerah, LSM, masyarakat lokal, dan sektor swasta di lokasi sasarandi tiga pulau. Proyek diharapkan akan menghasilkan manfaat antara lain: 50% penurunan tingkat degradasi hutan dan hilangnya hutan seluas 6 juta hektar; perbaikan pengelolaan hutan seluas 3,5 juta hektar; pengurangan emisi GRK sebanyak 50%, peningkatan anggaran sebesar 20% untuk pengelolaan hutan, peningkatan transparansi, dan akses terhadap informasi dalam rangka memperkuat kapasitas pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta; serta strategi pembangunan rendah emisi yang diujicoba di delapankabupaten. Tujuan ini akan dicapai melalui kegiatan tata kelola lahan dan hutan, peningkatan pengelolaan dan konservasi hutan, serta keterlibatan sektor swasta dan pengembangan pasar. IFACS akan mendukung tujuan beberapa inisiatif terkait yang penting di Indonesia, termasuk
42
Kemitraan REDD+ Norwegia-Indonesia, Strategi Nasional REDD+, dan pengembangan Strategi Pembangunan Rendah Emisi (LEDS). 91.
Pada bulan Maret 2010, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Kementerian Kehutanan memulai suatu proyek yang berjangka waktu 5 tahun di bidang Pembangunan Kapasitas untuk Restorasi Ekosistem di Kawasan Konservasi. Proyek ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas pemangku kepentingan bersangkutan di bidang restorasi ekosistem. Daerahsasaran proyek adalah ekosistem yang terdegradasi di lima taman nasional di Sumatera Selatan, Jawa Barat, Pulau Sumba, Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Proyek ini dilaksanakan dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi yang telah dikembangkan untuk kegiatan-kegiatan lain maupun pengetahuan adat dan tradisional. Proyek ini akanmencakup pengembangan kerangka kelembagaan untuk restorasi lahan-lahan terdegradasi di kawasan konservasi serta persiapan dan pelaksanaan kegiatan restorasi di lokasi proyek.7
92.
The German Agency for International Cooperation (GIZ) memberikan dukungan kepada Kementerian Kehutanan dengan menyediakan bantuan teknis dalam pembentukan 3 KPH yang berlokasi di Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Berau dan Malinau (Kalimantan Timur). GIZ juga memberikan dukungan kepada Kementerian Kehutanan dalam mengembangkan strategi untuk memulai program KPH, mengembangkan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk pengelolaan KPH, dan memberikan masukan untuk pengembangan peraturan yang terkait.
93.
Pada bulan April 2011, Inggris meluncurkan UK Climate Change Unit (UKCCU) Indonesia yang mengintegrasikan sumber daya dari UK DFID dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya ke dalam sebuah program tunggal. Tujuan dari UKCCU Indonesia adalah membantu Indonesia dalam mencapai tujuan nasionalnya, termasuk mengurangi emisi GRK sebesar 41% pada 2020, mengurangi deforestasi dan degradasi, serta beralih ke perekonomian rendah karbon yang mencapai pertumbuhan sebesar 7%. Pekerjaan UKCCU Indonesia di bidang kehutanan dan REDD+ akan memanfaatkan Program Kehutanan Lintas Pemangku Kepentingan (MFP) DFID yang sudah adasebelumnya di Indonesia, yaitu upaya berbasis kebutuhan pemangku kepentingan yang bertujuan untuk mengendalikan pembalakan liar dan mendorongusaha kehutanan secara lestari melalui: penerapan peraturan perundang-undangan yang baru tentang hak tenurial hutan; dukungan bagi usaha kecil dan menengah di bidang kehutanan; penciptaan insentif termasuk yang diberikan melalui VPA; mengatasi kegagalan tata kelola pemerintahan melalui tindakan-tindakan seperti peraturan perundang-undangan untuk menanggulangi pembalakan liar; dan mendorong perencanaan pembangunan yang terintegrasi dan akses yang lebih baikterhadap informasi.
94.
Korea International Cooperation Agency (KOICA) melaluikerjasama dengan Korea Forest Service (KFS), FORDA (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan), dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat sedang melaksanakan kegiatan penanaman pohon bersama masyarakat di Lombok. Sejak tahun 2009, KOICA telah melaksanakan kegiatan AR CDM di Lombok Timur dan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi di Lombok Tengah.
7
Lihathttp://203.179.38.26/project/english/indonesia/008/outline/index.html.
43
5.3 Kolaborasi antar MDB dan Mitra 95.
Rencana Investasi FIP dirancang utuk dilaksanakan setelah adanya proses konsultasiyang meminta masukan dari perwakilan berbagai lembaga pemerintah utama, lembaga donor sebagaimana dijelaskan di atas, CSO dan sektor swasta. Masukan lebih lanjut juga diminta melalui proses tinjauan publik online. Lampiran 2 menjelaskan proses keterlibatan pemangku kepentingan secara lebih terinci.
96.
Proses persiapan telah dikoordinasikan oleh Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF). Hibah FCPF memberikan dukungan kesiapan di tingkat nasional dan daerahdan akan mendedikasikan sumber daya di bidang-bidang intervensi FIP dalam rangka mendukungpekerjaan analisis (terutama kajian terhadap penyebab deforestasi secara historis di tingkat kabupaten), studi-studi di bidang sosial ekonomi, peningkatan kapasitas dan implementasi Petak Contoh Permanen (PSP), kegiatan pemantauan dan penetapan Tingkat Emisi Acuan.
97.
Meskipun hibah UN-REDD akan berakhir pada tahun 2012 sebelum dimulainya kegiatan yang dibiayai oleh FIP, pelaksanaan proyek FIP akan memanfaatkan pembelajaran dan hasil analisis yang dicapai oleh UN-REDD. UN-REDD bekerja sama secara erat dengan FCPF dalam mengevaluasi kegiatan pembagian manfaat. UN-REDD juga telah melaksanakan kegiatan kesiapan di Sulawesi Tengahyang menunjukkan hasil yang menarik, terutama dalam penerapan prinsip-prinsip FPIC dan pengembangan kapasitas di tingkat provinsi.
98.
Ketiga MDB (ADB, Bank Dunia dan IFC) akan bekerja sama dalam mendukung Pemerintah Indonesiadi bidang-bidangsinkronisasi kebijakan, melalui lokakarya bersama dan dialog kebijakan. Program FIP Indonesia akanmendorongdukungan dari inisiatifinsiatif lain, termasuk organisasi multilateral, bilateral, swasta, dan non-pemerintah. Upaya untuk mensinergikan kegiatan ketiga MDB akan dilanjutkan selama persiapan dan pelaksanaan proyek.
99.
Bidang-bidang kerjasaama akan dijajaki bersama lembaga-lembaga penelitian internasional yang berkedudukan di Indonesia untuk mendorong pengalaman yang luas dari lembaga-lembaga ini dalam melacak permasalahan di sektor kehutanan.Organisasiorganisasi masyarakat sipil yang berpengalamandalam melakukan kerjasama dengan masyarakat dan pemerintah daerahdi bidang penegakan hukum dan tata kelola (FLEG), reformasi tenurial lahan, pengembangan lahan terdegradasi,dan perancangan skema berbasis insentif akan menjadi calon mitra dalam memberikan bantuan teknis. Calon mitra nasional di tingkat masyarakat meliputi organisasi-organisasipenerima hibah kecil.Mitra-mitra lain akan diidentifikasi selama perancangan proyek.
100. Untuk kegiatan di Kalimantan Barat, proyek ini akanmemanfaatkan kemitraan yang sudah berjalan dalam mendukung rencana aksi Pemerintah Indonesia berdasarkan kerangka strategis Heart of Borneo (HoB). 101. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan (PNPM-Perdesaan) adalah calon mitra untuk pendanaan di tingkat desa. PNPM-Perdesaan adalah sebuah program pembangunan berbasis masyarakat yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). PNPM-Pedesaan dan juga PNPM-Green akan memberikan dana hibah kepada proyekproyek CDD berbasis desa untuk mendanai kegiatan pembangunan yang produktif, yang diidentifikasi dan diprioritaskan oleh wakil-wakil desa melalui pendekatan partisipatif inklusif gender.
44
102. Calon mitra swasta meliputi: usaha kehutanan masyarakat (misalnya: koperasi, perusahaan lokal berskala kecil, dll.), pengusaha manufaktur, investor, program-program kredit dan dana bergulir pemerintah, dan bank-bank domestik; Badan Usaha Kehutanan Milik Negara; mitra sektor swasta yang akan memberikan jaminan pembelian oleh pasar dan bantuan teknis. Program Indonesia Sustainable Forestry IFC dan grup Global Forestry & Wood Products akan memberikan bantuan teknis di bidang struktur pendanaan, pengelolaan hutan tanaman industri dan perkebunan, pemantauan CO2, perencanaan keuangan, kehutanan masyarakat, dan tema-tema lain.
45
6 RENCANA INVESTASI FIP INDONESIA 6.1 Tujuan dan Tema Utama Rencana Investasi 103. Indonesia sedang merencanakan dan melaksanakan perubahan-perubahan signifikan sehubungan dengan cara pengelolaan lahan berhutan, dan FIP memberikan peluang penting untuk mendukung proses ini. Rencana Aksi Nasional Penurunan GRK, Strategi Nasional REDD+, program Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan reformasi tenurial baru-baru ini memperkenalkan program-program dengan jangkauan luas yang berpotensi mendorong perubahan menuju sektor kehutanan yang sejalan dengan pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Kemajuan perencanaan di tingkat nasional sekarang perlu diwujudkan menjadi aksi di lapangan; namun, sejumlah hambatan dalam pelaksanaan di tingkat lokal masih terjadi. Ini mencakup kurangnya kapasitas kelembagaan lokal dalam pengelolaan hutan, kurangnya kapasitas penataan ruang, iklim usaha yang tidak kondusif bagi kehutanan yang berkelanjutan dan investasi kehutanan masyarakat, serta lemahnya kapasitas dan buruknya akses masyarakat ke sumber daya hutan. 104. Tujuan pengembangan Rencana Investasi adalah untuk mengurangi hambatan dalam pelaksanaan REDD+ di daerah dan meningkatkan kemampuan lokal REDD+ dan SFM. Pintu masuk utama Rencana Investasi untuk menanggulangi hambatan di daerah adalah sistem KPH nasional dan proses reformasi tenurial yang sedang berlangsung. Kegiatankegiatan akan berfokus pada tiga tema terpadu berikut ini: 1. Pengembangan kelembagaan untuk pengelolaan hutan dan sumber daya alam secara berkelanjutan 2. Investasi pada badan usaha kehutanan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat 3. Peningkatan kapasitas masyarakat dan pengembangan mata pencaharian. 105. Pendekatan Rencana Investasi telah dikembangkan berdasarkan masukan dari pemangku kepentingan dan potensi untuk mencapai perubahan transformatif dengan meningkatkan REDD+ Indonesia, tenurial dan program-program kehutanan. Banyak gagasan awal yang disampaikan dalam Bab dua diambil dari kerangka Rencana Investasi ini.
6.2 Respons terhadap masukan pemangku kepentingan 106. Pengembangan Rencana Investasi dilakukan melalui sejumlah pertemuan dengan pemangku kepentingan dan kajian terhadap draft awal Rencana Investasi oleh pemangku kepentingan. Pembahasan secara ekstensif diadakan dalam kurun waktu tahun 20102012 oleh misi gabungan yang terdiri dari Pemerintah Indonesia dan MDBs, dengan pihak swasta, CSO dan LSM yang hadir pada lokakarya nasional, diskusi secara tersendiri dan konsultasi yang diselenggarakan oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Salah satu hasil penting dari utama pembahasan tersebut adalah perlunya Rencana Investasi mendukung Strategi Nasional REDD+ yang merupakan hasil dari proses konsultasi yang jauh lebih cermat. Selain itu, umpan balik dari pemangku kepentingan terpusat pada perlunya mempertimbangkan tiga unsur: (i) penguatan kelembagaan tingkat nasional, reformasi tata kelola dan kebijakan untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan, termasuk peningkatan kapasitas, manajemen pengetahuan dan koordinasi strategis Rencana Investasi; (ii) investasi sektor publik di lapangan (misalnya menyelesaikan permasalahan tenurial lahan (land tenure), pengelolaan hutan berbasis masyarakat, dan lain-lain); serta (iii) peningkatan investasi sektor swasta. 46
107. Dalam Misi Gabungan Kedua, Bappenas menekankan pentingnya memprioritaskan sistem KPH sebagai pintu masuk (entry point) bagi intervensi lainnya. Bappenas juga menyatakan bahwa dukungan yang difokuskan kepada KPH melalui FIP untuk membantu meningkatkan kapasitas lokal, memastikan pemantauan daerah-daerah terpencil dan tanpa pengawasan (open access), serta meningkatkan pengelolaan kawasan hutan di tingkat daerah. Ketua Satuan Tugas REDD+ juga menekankan pentingnya sistem KPH. Perwakilan dari CSO juga sangat mendukung gagasan agar KPH menjadi pusat intervensi, dengan menyatakan bahwa KPH turut berperan dalam mendorong tata kelola yangbaik dan dalam memfasilitasi penyelesaian sengketa. Dari hasil Misi Gabungan Kedua, jugaditemukan bahwa rendahnya kapasitas dan sumber daya pejabat berwenang di daerah menyebabkan inefisiensi proses penataan ruang. 108. Lampiran 7menyajikan ikhtisar yang terinci mengenai proses konsultasi FIP dan daftar komprehensif komentar pemangku kepentingan.
6.3 Pemungkinan Pelaksanaan Program-Program REDD+ Indonesia dan Kehutanan melalui Dukungan Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Hutan Lokal 109. Salah satu kelemahan utama dalam kerangka tata kelola hutan Indonesia adalah kurangnya kapasitas pemerintah daerah untuk mengelola kawasan hutan. Kapasitas pemerintah untuk merencanakan, memantau dan mengelola kegiatan di bidang kehutanan sangat penting dalam mewujudkan pengembangan kebijakan tingkat nasional ke tingkat lokal dan dalam mencapai hasil-hasil positif bagi hutan dan masyarakat lokal. Hal ini khususnya berlaku bagi REDD+ dengan ketentuan teknis lainnya seperti MRV dan distribusi manfaat. 110. Sebelum era reformasi, administrasi kawasan hutan Indonesia berada di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) di pusat. Kemenhut fokus pada perizinan kawasan hutan, dan sebagian besar menyerahkan tanggung jawab pengelolaan hutan kepada pemegang konsesi pihak swasta. Pendekatan tata kelola ini telah menyebabkan pengurasan hutan Indonesia secara komersial dan, juga terjadinya areal open access yang pada kawasan-kawasan yang tidak dialokasikan kepada pemegang izin. Sebagai bagian dari proses desentralisasi yang umum, dinas kehutanan ditempatkan di bawah yurisdiksi pemerintah kabupaten dan provinsi. Dinas Kehutanan diutamakan melaksanakan tugas-tugas administrasi tetapi mereka kurang mempunyai mandat dan kapasitas untuk melakukan pengelolaan sumber daya dan penegakan hukum yang efektif. Selain itu, meskipun Pemerintah Indonesia sedang mencapai kemajuan yang signifikan dalam memantau pemegang izin dan dalam menegakkan peraturan di bidang konsesi kehutanan, namun saat ini lebih dari separuh luas kawasan Hutan Produksi, atau 49 juta ha, tidak dialokasikan kepada pemegang izin. 111. Kurangnya kapasitas pengelolaan hutan publik di tingkat lokal mengurangi potensi kawasan hutan Indonesia untuk menghasilkan dampak yang baik di bidang lingkungan, sosial dan ekonomi. Kapasitas pengelolaan yang buruk menyebabkan konflik berkepanjangan antara pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik, kurangnya pemanfaatan sumber daya alam, terbatasnya akses ke lahan bagi masyarakat lokal, serta deforestasi dan degradasi. Salah satu masalah yang penting bagi masyarakat maupun usaha sektor swasta adalah kurangnya kemampuan pemerintah untuk mengelola prosedur perizinan yang patut dan memperjelas hak guna lahan di kawasan hutan yang 47
tidak dibebani hak. Selain itu, meskipun pendanaan dalam jumlah yang signifikan untuk pelaksanaan program-program kehutanan masyarakat telah tersedia di tingkat pusat,namun kurangnya akurasi data tata guna lahan di tingkat lokal, kurangnya kapasitas kelembagaan untuk mendukung masyarakat di bidang perencanaan dan perizinan usaha maupun hambatan peraturan dan administrasi yang dihadapi oleh masyarakatmenyebabkan reaisasi pendanaan sangat kecil. 112. Apabila kapasitas pemerintah untuk merencanakan dan mengelola tata guna lahan di hutan publik masih terus belum mampu maka hal itu dapat menjadi hambatan yang signifikan terhadap pelaksanaan Strategi Nasional REDD+ di daerah. Agar kebijakan nasional dapat diterapkan di lapangan maka dibutuhkan kemampuan kelembagaan untuk mengintegrasikan masyarakat lokal ke dalam rencana tata guna hutan dan lahan, meningkatkan akses ke sumber daya lahan dan meningkatkan iklim usaha yang kondusif bagi investasi yang berkelanjutan di bidang kehutanan dan tata guna lahan. Pendanaan REDD+ di masa mendatang membutuhkan kemampuan kelembagaan untuk mengkoordinasikan proyek-proyek REDD+, memberikan akses kepada masyarakat lokal dan mengawasi mekanisme distribusi manfaat pada tingkat lokal. 113. Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) bertujuan untuk memperbaiki pengelolaan hutan melalui desentralisasi, meningkatkan akuntabilitas atas dampak di bidang kehutanan, memperbaiki keterlibatan pemangku kepentingan lokal dan meningkatkan potensi transparansi. Program KPH membagi Hutan Negara menjadi unitunit wilayah tersendiri yang akan dikelola oleh kelembagaan lokal secara khusus dengan staf yang profesional di bidang kehutanan. Sistem KPH nasional berhubungan erat dengan kerangka hukum kehutanan dan rencana pembangunan kehutanan8. 114. Meskipun izin konsesi kehutanan masih akan diberlakukan oleh Kementerian Kehutanan, akan tetapi KPH tetap bertanggung jawab dalam pengembangan rencana pengelolaan, mengawasi pemegang izin dan memantau kegiatan penggunaan lahan. Khusus pada kawasan hutan yang belum dibebani hak maka KPH dapat mengusulkan untuk memperoleh izin pengelolaan hutan dan atau izin pemanfaatan hasil hutanYang penting adalahKPH akan menjadi bagian dari struktur kelembagaan pemerintah daerah sehingga memperkuat tata kelola hutan yang didesentralisasikan. Dengan menempatkan profesionalisme di bidang kehutanan pada tingkat lokal dan lapangan maka KPH dapat memfasilitasi penegakan hukum dengan lebih aik, peningkatan sosialisasi kepada masyarakat lokal, dan pendekatan yang lebih terstruktur dan terlokalisasi untuk menyelesaikan konflik lahan dan meningkatkan akses penduduk lokal ke kawasan hutan. 115. Kemajuan dalam penetapkan wilayah KPH telah berlangsung dengan cepat, tetapi pengembangan lembaga yang akan mengelola wilayah KPH sangat melambat. Pada akhir tahun 2011, Pemerintah Indonesia telah menentukan lebih dari 56 juta ha Lahan Hutan Negara di 25 provinsi ke dalam 530 wilayah KPH. Menurut Rencana Strategis Kemenhut, sedikitnya 120 lembaga KPH akan beroperasi pada tahun 2014. Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan anggaran yang mendukung pengembangan 8
Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 TentangKehutanan. Pasal 17. Konsep KPH selanjutnya didefinisikan melalui Peraturan Pemerintah tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (PP 6/2007) dan perubahannya (PP 3/2008); kedua peraturan perundang-undangan ini mengharuskan pembentukan KPH. Pada tahun 2010, Kementerian Kehutanan mengundangkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (No. 61 Tahun 2010) yang mengizinkan Bupati untuk membentuk dan mengawasi KPH.
48
kelembagaan KPH, termasuk pelatihan staf, pengembangan fasilitas dan pengembangan rencana pengelolaan hutan. Pada tahun 2012, anggaran ini dinaikkan dari yang direncanakan sebesar Rp 15,7 miliar (USD 1,7 juta) menjadi Rp 103,7 miliar (USD 11,5 juta). Sejauh ini, Pemerintah Indonesia telah mulai dilakukan di 60 KPH, sebagian besar di antaranya sedang dalam tahap pengembangan kelembagaan. 116. Program KPH memberikan peluang strategis untuk FIP. Sebagian besar lembaga KPH masih dalam tahap belum beroperasi dan ada kesempatan untuk mendukung pengembangan model kelembagaan yang sesuai dengan standar internasional di bidang tata kelola hutan yang baik termasuk REDD+. Bidang investasi strategis mencakup Spenguatan kapasitas KPH untuk bekerja dengan masyarakat lokal, dengan mengembangkan keterampilan KPH di bidang perencanaan usaha untuk mendukung SFM dan CBFM. Secara khusus, FIP dapat menghubungkan dengan pendanaan perubahan iklim dan REDD+ di tingkat nasional, dan dapat mendukung pertukaran gagasan antar KPH dan antar negara. 117. Selain mendukung proses transformasi melalui sistem KPH, ada alasan lain yang kuat untuk menggunakan KPH sebagai pintu masuk Rencana Investasi.mMlalui sistem KPH dapat memperbaiki kesinambungan program, memastikan pendekatan yang terprogram dan memberikan skala kegiatan yang sesuai. Lembaga KPH menjadi bagian dari pemerintah daerah, dan program-program yang dilaksanakan melalui KPH akan memastikan keterlibatan pemerintah daerah dan peningkatan rasa kepemilikan daerah. Dengan mendukung lembaga KPH pada tahap awal, maka FIP dapat memberikan masukan penting mengenai bentuk kelembagaan dan rencana pengelolaan hutan, yang akan menentukan kegiatan kehutanan setelah berakhirnya FIP.
6.4 Pemungkinan Pelaksanaan Program-Program REDD+ dan Kehutanan Indonesiamelalui Dukungan dalam Proses Reformasi Tenurial Lahan 118. Strategi Nasional REDD+ menjadikan tenurial lahan sebagai masalah utama yang harus diselesaikan, dan perkembangan kebijakan terakhir menjadi pintu masuk yang penting bagi investasi FIP untuk mendukung kemajuan di bidang ini. 119. Strategi Nasional REDD+ menyatakan bahwa ketidakpastian tenurial lahan telah menyebabkan masalah penataan ruang yang tidak efektif dan tata guna lahan serta pembangunan yang tidak berkelanjutan dan tidak terkoordinasi. Reformasi dan klarifikasi tenurial lahan dapat membantu pengembangan program yang efektif dan berkelanjutan untuk mata pencaharian alternatif yang aman bagi hutan dan dapat membantu membangun dukungan bagi REDD+ dari masyarakat lokal dan adat. Kepastian pngaturan tenurial lahan dapat meningkatkan investasi di bidang REDD+ karena biaya negosiasi atas lahan dan kemungkinan klaim perebutan lahan dan konflik berkurang sehingga meningkatkan kontribusi untuk pengurangan kemiskinan, produksi kayu dan jasa-jasa lingkungan. 120. Dalam konferensi internasional tentang tenurial hutan, tata pemerintahan, dan usaha kehutanan di Lombok pada bulan Juli 2011, Pemerintah Indonesia menyatakan komitmennya untuk memprioritaskan kepentingan masyarakat lokal “mengakui, menghormati dan melindungi hak Adat”, dan menyelesaikan masalah kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah dalam menangani kebijakan tenurialhutan. Dalam acara ini, Pemerintah Indonesia secara resmi mencanangkan proses yang transparan dan partisipatif untuk meminta masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk 49
masyarakat adat. Sebagai tindak lanjut, kelompok masyarakat sipil Indonesia telah mengajukan tiga aspek/bidang untuk dilakukan reformasi, yakni: (i) Perbaikan kebijakan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan; (ii) Penyelesaian konflik tenurial hutan (iii) Perluasan wilayah kelola masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tradisional dan masyarakat lokal lainnya. 121. Keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2011 (MK45) tentang definisi Kawasan Hutan Negara memungkinkan percepatan reformasi tenurial hutan yang signifikan, eskipun definisi sebelumnya tentang Lahan Hutan Negara mencakup kawasan yang telah “ditunjuk dan/atau ditetapkan”, definisi baru hanya mencakup kawasan yang telah ditetapkan. Walaupun keputusan ini tidak mungkin mempengaruhi keputusan sebelumnya tentang alokasi lahan, namun putusan Mahkamah ini membuka ruang yang signifikan untuk perundingan penggunaan lahan antara Kemenhut, pemerintah kabupaten dan masyarakat lokal dikaitkan dengan kawasan Lahan Hutan Negara yang masih belum ditetapkan. Data terbaru menunjukkan bahwa kurang dari 15 juta ha lahan hutan negara telah sepenuhnya ditetapkan. 122. Sebagai bagian dari upaya untuk menyelesaikan persoalan tenurial, Kemenhut telah mencanangkan program untuk mempercepat penetapan (pengukuhan) Lahan Hutan Negara, dengan waktu penyelesaian yang ambisius tahun 2014. Untuk mendukung proses penetapan, penataan ruang dan penyelesaian masalah tenurial, Kemenhut barubaru ini telah menerbitkan surat keputusan tentang pembentukan Kelompok Kerja untuk Persiapan Rencana Makro Tenurial Hutan sesuai dengan SK.199/Menhut II/2012 Bulan Mei 2012. Kelompok Kerja tersebut mempunyai tugas sebagai berikut: Mengembangkan rencana makro untuk tenurial hutan; Mengadakan pertemuan dan konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan dalam rangka mengembangkan rencana makro untuk tenurial hutan; Mengidentifikasi dan memetakan konflik-konflik tenurial hutan; Mengkaji penanggulangan konfliktenurial hutan; dan Merumuskan penyelesaian alternatif atas konflik tenurial hutan. 123. Investasi FIP akan mendukung hasil-hasil positif dari proses reformasi tenurial yang sedang berlangsung. Pemerintah Indonesia telah membuka jalan untuk pengembangan kerangka tenurial yang kondusif bagi perlindungan hutan dan lahan gambut dengan tetap mempromosikan bentuk-bentuk mata pencaharian dan investasi yang berkelanjutan. Hasil seperti ini membutuhkan pengukuhan dan proses penataan ruang yang melibatkan partisipasi penuh dan efektif masyarakat lokal maupun proses kerjasama yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional dan kabupaten. Investasi yang spesifik dapat berbentuk: dukungan proses penyelesaian konflik di daerah, peningkatan kapasitas masyarakat lokal untuk melakukan pemetaan partisipatif serta dukungan analisis dan teknis kepada lembaga lokal yang terlibat dalam perencanaan ruang dan pengukuhan.
6.5 Mendukung Bidang-Bidang Utama Rencana Aksi Nasional dan Strategi REDD+ Nasional 124. Ketiga tema Rencana Investasi secara langsung mendukung bidang-bidang utama kebijakan REDD+ Indonesia. Secara langsung, tema-tema tersebut mendukung: Reformasi kebijakan dan peraturan, sebagai pilar kedua Strategi Nasional REDD+. Secara khusus, dengan mendukung pengembangan kapasitas lokal, Rencana 50
Investasi akan memberikan kontribusi untuk reformasi di bidang perencanaan tata guna lahan, pengelolaan hutan dan lahan gambut, serta pemantauan dan penegakan hukum di bidang kehutanan. Pengelolaan lanskap yang berkelanjutan, sebagai salah satu program strategis dalam Strategi Nasional REDD+. Tema 1 akan memberikan kontribusi untuk peningkatan kapasitas lokal di bidang pengelolaan kawasan yang berkelanjutan, dan Tema 2 akan mendorong suatu proses sehingga bernilai tambah. Perluasan mata pencaharian yang berkelanjutan didukung oleh tema dua dan tiga. Ketiga tema tersebut bertujuan memberikan kontribusi untuk perbaikan pengelolaan kawasan multi-fungsi. Keikutsertaan dan keterlibatan pemangku kepentingan, sebagai salah satu pilar Strategi Nasional REDD+. Kebijakan kehutanan di Indonesia semakin mengarah kepada penyertaan dan pelibatan pemangku kepentingan lebih baik, yang merupakan tujuan Strategi Nasional REDD+. Investasi dan proyek-proyek yang dilaksanakan oleh FIP akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan di tingkat masyarakat, kabupaten, provinsi dan nasional pada semua tahapan perancangan dan pelaksanaan. Perhatian khusus akan diberikan kepada masyarakat adat dan masyarakat lokal serta penyelesaian isu gender dan pemanfaatan pengetahuan dan teknik lokal, bilamana cocok. Proyek-proyek akan dikembangkan dan dilaksanakan sesuai dengan standar pengamanan sosial dan lingkungan MDB dan nasional. Hasil penting adalah meningkatnya pengelolaan sumber daya hutan di tingkat lokal,, lintas sektoral dan lintas daerah. Indikatornya mencakup terbentuknya koordinasi yang lebih kuat antara kelompok-kelompok pemangku kepentingan utama (kementerian, masyarakat lokal, sektor swasta, mitra pembangunan, lembaga akademis dan CSO) untuk pengelolaan sumber daya hutan.
6.6 Tema Rencana Investasi 6.6.1 Tema 1: Pengembangan Kelembaga Pengelolaan Hutan dan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan 125. Penguatan kelembagaan ditujukan kepada investasi yang difokuskan kepada masyarakat untuk meningkatkan kondisi pendukung tata guna lahan yang berkelanjutan dan pelaksanaan proyek REDD+. Kegiatan-kegiatan yang ada akan mendukung KPH dan lembaga-lembaga daerah yang lain dalam rangka memperbaiki kondisi lokal untuk pelaksanaan REDD+, terutama yang berkaitan dengan perencanaan partisipatif, penataan ruang serta sosialisasi kepada masyarakat dan pengembangan rencana pengelolaan dan bisnis terkait. 126. Intervensi akan didasarkan pada kebutuhan pengembangan dan peningkatan kapasitas kelembagaan untuk memperbaiki proses perencanaan dalam rangka memenuhi kebutuhan di tingkat tapak yang spesifik dan kebutuhan masyarakat. Kegiatan intervensi akan bekerja sama dengan program-program lokal dan memanfaatkan kegiatan-kegiatan yang ada dan sedang berjalan serta terstruktur dalam proses masyarakat yang ada di tingkat lokal. Pelaksanaan program juga akan bekerja sama dengan lembaga-lembaga di provinsi dan nasional yang berhubungan dengan Strategi Nasional REDD+ dan mekanisme keuangan yang diusulkan serta program-program nasiona lainnyal.
51
Gambar 5:: Kerangka Rencana Investasi FIP dan Kesesuaiannya dengan Program Nasional
127. Bidang-bidang bidang utama di mana FIP dapat mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan meliputi: Pemberian dukungan di tingkat pemerintah lokal untuk memadukan lembaga KPH ke dalam struktur pemerintah daerah dan nasional Peningkatan kapasitas kelembagaan KPH, termasuk pelatihan pegawai Mendukung partisipasi pemangku kepentingan dalam pengembangan kelembagaan KPH Mendukung kegiatan pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh lembaga KPH, seperti: o Pengembangan re rencana pengelolaan hutan o Rehabilitasi hutan dan lahan o Pemberdayaan masyarakat o Sosialisasi dan penyuluhan o Perencanaan dan pemetaan partisipatif di tingkat masyarakat dan KPH sasaran Memberikan dukungan analisis untuk percepatan pembentukan KPH Menetapkan mekanisme anisme pengajuan dan penanganan komplain yang melibatkan pemerintah kabupaten, masyarakat lokal dan KPH Pengelolaan dan pertukaran pengetahuan antar kabupaten, provinsi dan negara di bidang pengelolaan hutan dan penataan ruang partisipatif 52
Memberikan bantuan teknis dan dukungan analisis di tingkat nasional dan provinsi untuk mendukung pengembangan strategi daerah dan hubungan KPH dengan program nasional dan internasional serta peluang-peluang pendanaannya.
6.6.2 Tema 2: Usaha Kehutanan dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat 128. Usaha kehutanan yang beroperasi di lahan privat dan pemerintah (kelompok petani kecil, koperasi, usaha kecil dan menengah, pemegang izin usaha kehutanan, dan lainnya) seringkali terhambat oleh kemampuan bisnis yang lemah, akses ke pembiayaan yang terbatas dan kurangnya informasi mengenai keterkaitan nilai produk akhir dari sektor bersangkutan. Usaha sekala menengah dan besar yang mengelola konsesi hutan alam, hutan tanaman dan restorasi ekosistem yang mempunyai izin konsesi kawasan yang lebih luas,dihadapkan kepada berbagai tantangan seperti beban persyaratan perizinan, konflik tenurial lahan dan masyarakat, pembatasan sertifikasi kehutanan, integrasi dengan petani kecil dan masyarakat serta hubungan dengan rantai nilai produk akhir. Usaha yang bergerak di bidang sumber daya alam lain seperti agribisnis dan pertambangan juga mempunyai tanggung jawab pengurusan hutan. Investasi yang inovatif dan transformatif dibutuhkan untuk segala skala dan jenis badan usaha kehutanan, khususnya inisiatifinisiatif yang mendorong mempromosikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan sehingga berfungsi menurunkan emisi dan melindungi stok karbon hutan. 129. Usaha kehutanan yang mempunyai tmotivasi akan dipilih, baik dari daerah yang berhutan maupun tidak berhutan , serta yang mempunyai permintaan hasil hutan yang tinggi. Intervensi terkait usaha masyarakat yang tinggal disekitar hutan alam dimaksudkan untuk mengurangi degradasi dan emisi yang ditimbulkannya, sedangkan intervensi terkait dengan masyarakat yang berada di daerah tidak berhutan akan meningkatkan stok karbon melalui hutan tanaman. Intervensi meliputi kebutuhan untuk pengembangan model-model usaha kehutanan yang menguntungkan, antara lain: Penguatan kapasitas organisasi dan usaha untuk kegiatan usaha; Penerapan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari (SFM), termasuk sertifikasi independen; Fasilitasi hubungan timbal balik dengan usaha lain yang terdapat dalam hubungan nilai kehutanan dan investasi strategis pada masyarakat oleh perusahaanperusahaan besar di daerah pedesaan; Pengembangkan berbagai sumber penghasilan dari hutan (seperti hasil kayu dan non-kayu, pembayaran dari jasa-jasa ekosistem seperti karbon dan air, dan wanatani/agroforestry); Fasilitasi akses terhadap bentuk-bentukdukungan pembiayaan, seperti hibah, pinjaman, kredit, perjanjian pembelian (offtake agreement), pembayaran di muka, dan jaminan; dan
Membentuk dana percontohan untuk mencoba atau memperluas skema insentif berbasis kinerja bagi sektor swasta dalam rangka mempraktekkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
130. Intervensi hulu yang diharapkan meliputi: (i) b usaha pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan pembayaran jasa-jasa lingkungan (PES) di lahan hutan terdegradasi dan padang rumput; (ii) pengelolaan perkebunan di lahan hutan terdegradasi dan padang rumput; (iii) hutan produksi dan pengelolaan hutan yang lestari pada hutan alam; dan (iv) restorasi ekosistem dan pengelolaan hutan yang lestari. Intervensi juga akan melibatkan
53
usaha hilir di sektor kehutanan dan sektor lainnyaterdapat kaitan yang jelas dengan d deforestasi dan degradasi hutan. 131. Penggunaan pinjaman lunak dana FIP diarahkan untuk mendukung kerjasama dengan lembaga-lembaga jasa keuangan seperti bank lokal, lembaga kredit dan lead firms. Akses ke pembiayaan yang lebih baik juga akan membantu meningkatkan investasi pada usahausaha kecil kehutanan yang tersedia melalui program pemerintah dan investor swasta yang saat ini memandang investasi seperti ini masih berisiko tinggi dan tidak menguntungkan secara ekonomi. 6.6.3 Tema 3: Tata guna lahan masyarakat dan pengembangan mata pencaharian 132. Tema 3 akan bersentuhan langsung dengan masyarakat lokal dan perwakilan masyarakat setempat untuk mendukung partisipasi masyarakat dalam SFM dan REDD+. Dukungan kepada masyarakat akan dilaksanakan melalui kerjasama yang erat dengan programprogram yang dapat memberikan investasi untuk mata pencaharian yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti PNPM dan mekanisme hibah kecil lainnya. 133. Ruang lingkup kegiatan yang dilakukan mencakup bidang-bidang berikut ini: Perencanaan pembangunan desa yang difokuskan pada pemetaan dan perencanaan tata guna hutan partisipatif untuk pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan Dukungan kepada lembaga-lembaga desa untuk melaksanakan pendataan secara partisipatif dan perencanaan tata guna hutan dan lahan Pengembangan kapasitas agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan pengelolaan hutan berbasis KPH Pengembangan sistem yang efisien dan transparan bagi masyarakat adat dan lokal untuk mengajukan hak pengelolaan hutan masyarakat. Melakukan uji-coba sistem untuk pendaftaran perjanjian tenurialpengelolaan hutan berbasis masyarakat pada tingkat provinsi Pengembangan mata pencaharian masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam Percontohan yang dipusatkan kepada masyarakat untuk mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan Pembentukan dana untuk uji coba skema insentif berbasis kinerja di bidang REDD+ berdasarkan kerjasama di tingkat masyarakat adat dan desa untuk mencegah kebakaran hutan dan semak belukar serta membantu regenerasi hutan secara alami Penyediaan dana yang transparan dan akuntabel untuk mendukung biaya talangan dan transaksi masyarakat adat dan lokal guna mendukung terbentuknya proyekproyek REDD+. 134. Program akan mendukung upaya perencanaan tata guna lahan di tingkat masyarakat desa contoh, terutama yang ada di dalam dan di sekitar wilayah KPH prioritas. Rencana tata ruang atau tata guna lahan mikro akan diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan masyarakat sebagai rencana tata ruang s, pembangunan dan mata pencaharian terpadu. 135. Dukungan juga akan diberikan untuk pengembangan mata pencaharian masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam, termasuk kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat di wilayah-wilayah prioritas yang menargetkan pengembangan mata pencaharian yang berkelanjutan, NTFP, pengelolaan hutan, perikanan dan kegiatankegiatan ekonomi lain yang berkelanjutan sesuai dengan rencana tata guna lahan. 54
Investasi akan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, meningkatkan penghasilan yang berkelanjutan dan mengurangi tekanan ekonomi dan subsisten yang mendorong beberapa kegiatan saat ini. 136. Dukungan akan diberikan untuk berbagai proyek percontohan yang difokuskan kepada masyarakat untuk mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan, termasuk kegiatan ekonomi yang memanfaatkan lahan-lahan terdegradasi sebagai mata pencaharian masyarakat yang berkelanjutan. Di daerah-daerah tertentu akan dikembangkan Sistem Informasi tentang safeguard pada tingkat kabupaten dan pengaturan pembagian manfaat yang mendukung aspek gender. 137. Dana Hibah (block grants) digunakan untuk mendorong kegiatan-kegiatanyang berkaitan dengan REDD+ yang mendukung masyarakat agar memilih jalur pembangunan alternatif yang lebih ramah lingkungan serta menyediakan pendanaan untuk pengembangan mata pencaharian alternatif dan kegiatan yang menghasilkan untuk mencapai kondisi sosial ekonomi yang lebih baik. 6.6.4 Gambaran Umum Proyek dan Kaitannya dengan Tema Rencana Investasi 138. Rencana Investasi akan didukung oleh tiga usulan proyek. Gambaran masing-masing usulan disajikan pada Lampiran 1. Nama Proyek
Tema Rencana Didukung
Investasi untuk masyarakat dalam mengatasi deforestasi dan degradasi hutan
1. Pengembangan Kelembagaan 2. Usaha Kehutanan dan PHBM 3. Pengembangan Kapasitas masyarakat
Pengelolaan Sumber Daya Alam berkelanjuta Berbasis Masyarakat dan Pengembangan Kelembagaan
1. Pengembangan kelembagaan
Penguatan Usaha Kehutanan Menurunkan Emisi Karbon
2. Badan Usaha Kehutanan dan PHBM
untuk
Investasi
3. Pengembangan masyarakat
yang
Kapasitas
6.7 Kegiatan Pendukung lintas bidang yang bersifat analisis 139. Rencana Investasi akan mendukung sejumlah komponen analisis dan bantuan teknis di tingkat nasional dan proyek. Komponen-komponen ini akan digunakan sebagai masukan dalam proses desain proyek dan/atau akan mendukung pengembangan kebijakan nasional. Apabila dimungkinkan kerjasama akan diarahkan dengan FCPF dan programprogram lain. brBerikut ini adalah hal-hal yang dianggap penting untuk dianalisa: Kebijakan yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat di sektor kehutanan. Bagaimana berbagai skema hutan kemasyarakatan seperti HTR, HKM, Hutan Desa dan Hutan Adat dapat mendorong pemanfaatan hutan yang adil dan berkelanjutan. Peluang apa saja yang dapat diciptakan oleh komitmen Pemerintah Indonesia barubaru ini mengenai reformasi tenurial selain kerangka perizinan yang ada saat ini. Pekerjaan analisis lebih lanjut dapat dilakukan untuk mendukung Kelompok Kerja Perencanaan Makro Tenurial Hutan. Proses perizinan konsesi hutan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal.Apa saja peluang untuk memperbaiki dan/atau memitigasi dampak sosial dan lingkungan, meningkatkan keadilan, dukungan dan lingkungan yang kondusif untuk investasi 55
kehutanan yang berkelanjutan dalam sistem perizinan konsesi saat ini (yang mencakup konsesi pengelolaan hutan tanaman, k hutan alam, dan Konsesi Restorasi Ekosistem). Dukungan untuk pengembangan kebijakan pengaman (safeguards) nasional. Meskipun proyek-proyek FIP akan menerapkan kebijakan pengaman dari MDB namun diakui disadari bahwa kebijakan pengaman nasional untuk kegiatan-kegiatan REDD+ sedang dikembangkan sebagai bagian dari upaya kesiapan REDD+ nasional (PRISAI). FIP akan bekerja erat dengan lembaga Pemerintah yang terkait r, CSO, program FCPF (Analisis Lingkungan dan Sosial Strategis), dan inisiatif-inisiatif lain melalui kerjasama internasional yang mendukung setiap upaya memperkuat pengaman nasional serta pedoman dan kebijakan praktis untuk pelaksanaan proyek, misalnya FPIC. Hal ini dapat mencakup ujicoba pendekatan dan instrumenpengaman di tingkat proyek maupun dokumentasi dan diseminasi pembelajaran dari pengalaman pelaksanaan proyek.
6.8 Daerah Sasaran 140. Kemenhut telah mengidentifikasi sejumlah KPH sebagai calon lokasi untuk pelaksanaan kegiatan FIP. Penelitian lebih lanjut akan menentukan tingkat kesesuaian KPH untuk pelaksanaan kkegiatan dan identifikasi peluang-peluang persiapan proyek yang spesifik lokasi dalam KPH dan dalam kawasan penyangga. Kriteria spesifik untuk memilih KPH antara lain meliputi, tetapi tidak terbatas pada: (i) rasa kepemilikan KPH di tingkat nasional dan regional; (ii) kapasitas dan keinginan untuk bekerja sama dengan masyarakat sipil di bidang perencanaan tata guna lahan dan pengembangan mata pencaharian yang berkelanjutan; dan (iii) sejalan dengan tujuan REDD+, termasuk potensi pengembangan proyek REDD+ dan kerjasama dengan program-program mitra. 141. Perusahaan- yang bergerak di bidang kehutanan dan mempunyai tmotivasi akan dipilih dari daerah-daerah berhutan maupun yang tidak berhutan dan yang permintaan hasil hutannya tinggi. Intervensi akan diprioritaskan menurut potensi dan replikasi pengurangan emisi karbon hutan melalui kegiatan mitigasi berbasis usaha, kemampuan usaha untuk memenuhi persyaratan uji tuntas, motivasi untuk memperluas dan memperkuat kapasitas organisasi dan usaha, dan peluang untuk mendapatkan berbagai sumber pendapatan dari hasil hutan dan jasa. 142.Daerah-daerah yang berpotensi untuk mendapatkan intervensi FIP adalah: Sumatra: Aceh, Jambi, Riau, Sumatra Selatan Kalimantan: Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan Jawa: Jawa Tengah,DI Yogyakarta, Jawa Timur Sulawesi: Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara Papua Barat, dan Maluku
6.9 Efektivitas Biaya dan Keberlanjutan 143. Dengan mendukung Indonesia dalam proses perubahan menuju tata kelola kehutanan yang baik dan kesiapan REDD+ di daerah, Rencana Investasi akan meningkatkan komitmen politik yang ada maupun pendanaan REDD+ yang telah dan akan disepakati dalam jumlah besar untuk mencapai pengurangan emisi GRK yang berkelanjutan dan manfaat lainnya. Dengan mengatasi hambatan pelaksanaan REDD+, Indonesia akan dapat mengakses pendanaan REDD+ danperubahan iklim. Peningkatan tata kelola hutan pada tingkat lokal melalui sistem KPH diharapkan akan menghasilkan perbaikan yang 56
signifikan terhadap iklim usaha yang kondusif, peningkatan peluang investasi SFM, PHBM dan REDD+. Hal ini akan meningkatkan pendanaan sektor swasta serta meningkatkan pendanaan yang dikelola oleh Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Kemenhut (di atas USD 300 juta). 144. Selain meningkatkan peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan kemudahan pendanaan berbasis hasil di masa mendatang, maka penyelesaian akar penyebab deforestasi akan menghasilkan penurunan emisi GRK secara langsung di masa mendatang serta manfaat tambahan yang signifikan terhadap segi sosial dan lingkungan. Saat ini belum ada pendekatan standar untuk mengukur manfaat pengurangan GRK, terutama dari intervensi yang menangani masalah-masalah mendasar atau yang tidak bersifat spesifik wilayah. Sebagian besar investasi FIP yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah-masalah mendasar; namun, ketika Rencana Investasi memperkirakan investasi langsung di tingkat proyek, estimasi awal memperlihatkan bahwa rasio biaya-manfaat menguntungkan. Secara spesifik, investasi hibah (proyek 1 dan2 pada lampiran 1) diperkirakan membutuhkan biaya sebesar US$0.7-1.0 per ton CO2. Sementara program sektor swasta IFC (Lampiran 1.) diperkirakan akan menurunkan CO2 dengan biaya sebesar USD1,3-1.6 per ton (apabila pembiayaan bersama/co-financing dikecualikan). Perhitungan biayamanfaat tambahan yang lebih tepat akan dilakukan sebagai bagian dari persiapan proyek setelah data dasar dan peluang-peluang di tingkat proyek tersedia
6.10 Pengaturan Pelaksanaan 145. Komite Pengarah beranggotakan yang berasal dari lembaga-lembaga terkait, termasuk Kementerian Kehutanan, Kantor Presiden/Lembaga REDD+, Kementerian Keuangan, BAPPENAS dan Dewan Nasional Perubahan Iklim, dan perwakilan ddari pemangku kepentingan lain di luar Pemerintah termasuk LSM, CSO dan swasta. Anggota Komite Pengarah setingkat eselon 1. MDBs akan diberikan status sebagai observer. Rapat Komite Pengarah diadakan setiap 6 bulan untuk mengevaluasi kegiatan dan kemajuan. Rapat koordinasi teknis diselenggarakan oleh Kemenhut dan dan akan diadakan 2-4 kali per tahun. 146. Kementerian Kehutanan adalah executing agency dan akan melakukan koordinasi dan bimbingan teknis program. Kementerian Keuangan akan memberikan persetujuan atas dana hibah FIP. Kementerian- lainnya seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perekonomian, Pemerintah Daerah, Badan dan lembaga-lembaga atau organisasiorganisasi dapat berperan dalam kegiatan, implementasi, terutama dalam hal penyaluran pendanaan ke tingkat desa dan menyediakan bantuan teknis (melalui mekanisme PNPM, atau yang semacamnya. Potensi peranan lembaga-lembaga tersebut dalam pelaksanaan proyek perlu dibahas selama proses persiapan proyek. Semua pendanaan harus memenuhi ketentuan Pemerintah Indonesia dan manajemen keuangan MDB. 147. Pemerintah Daerah akan menjadi pelaksana proyek yang penting, terutama untuk kegiatan KPH dan tata ruang. Pendanaan melalui hibah untuk pemerintah daerah, setidaknya sebagian, akan dilaksanakan melalui sebuah lembaga pemerintah pusat. Apabila diperlukan maka akan dilakukan penjajagan mekanisme pendanaan langsung kepada pemerintah daerah. 148. Untuk investasi di tingkat masyarakat, Bank Dunia dan ADB bersama komite pengarah dan executing agency akan memilih mitra pelaksana yang berpengalaman melaksanakan proyek-proyek dan program-program berbasis masyarakat, termasuk LSM dan organisasi57
organisasi hibah kecil. Program juga akan menjajaki mekanisme seperti PNPM untuk bantuan langsung ke tingkat proyek. 149. Pembiayaan konsesional akan disalurkan melalui IFC, koo koordinasi rdinasi dengan komite pengarahdan atau executing agency dan ditujukan hanya kepada sektor swasta. IFC akan bekerja langsung dengan calon mitra untuk proyek, yang mencakup: usaha kehutanan, usaha manufaktur, investor, program kredit pemerintah dan dana bergulir, berg bank-bank bank (domestik), dan mitra mitra-mitra mitra sektor swasta untuk memberikan jaminan pembelian oleh pasar dan bantuan teknis. Pembiayaan dapat disalurkan langsung kepada perusahaan-perusahaan perusahaan besar sedangkan pendanaan kepada perusahaan mikro, kecil dan menengah ngah (MSME) umumnya akan disalurkan melalui lembaga lembaga-lembaga lembaga keuangan seperti bank-bank bank domestik. Perjanjian pembiayaan akan dilakukan antara IFC dan mitra sektor swasta, dan Pemerintah Indonesia tidak akan memikul tanggung jawab atau kewajiban untuk pengembalian balian pinjaman. Gambar 6:: Struktur Organisasi Pelaksanaan Rencana Investasi FIP
58
7 POTENSI PELAKSANAAN DENGAN PENILAIAN RESIKO Kapasitas Lembaga Pelaksana 150. Proyek FIP akan memilih mitra pelaksana berdasarkan kapasitas mereka untuk bekerja antar sektor, pengalaman bekerja melalui jalan musyawarah dengan masyarakat, dan berhasil melaksanakan kegiatan proyek. Melalui tahapan perencanaan dan analisis dalam Rencana Investasi, diharapkan dapat mengidentifikasi kekurangan tertentu dari beberapa mitra dan lembaga pelaksana. Sebagai contoh, lembaga pemerintah pelaksana mungkin memiliki sedikit pengalaman dalam mengelola dana hibah asing yang menggunakan system on-budget-on-treasury. Untuk meminimalkan resiko tersebut, dan resiko lainnya, untuk penggunaan dana hibah direncanakan akan dilakukan perbaikan prosedur, metode, dan protokol yang sesuai dengan persyaratan dan prosedur Pemerintah Indonesia dan MDB. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Kementerian Keuangan menyetujui semua kegiatan pembiayaan bilateral dan multilateral. 151. Kementerian Kehutanan akan menjadi lembaga utama pelaksana serta akan memberikan pedoman dan arahan terhadap program FIP. Kementerian Kehutanan telah beberapa kali menerima dana hibah dari berbagai donor internasional. Kementerian Kehutanan memiliki pengalaman penting yang diperoleh dari pelaksanaan proyek dengan system on-budgeton-treasury pada program FCPF serta proyek GIZ-FORCLIME. Direktorat Pengelolaan Wilayah dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan (Directorate for Management and Preparation of Forest Use Areas),dibawah Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, bertanggungjawab untuk mendukung pembentukan KPH dan akan menjadi mitra pentingdalam kegiatan proyek FIP. 152. Kementerian Dalam Negeri (The Ministry of Home Affairs - MoHA) merupakan calon mitra yang penting untuk kegiatan pelaksanaan pembiayaan hibah pembangunan yang berbasis masyarakat. Direktorat Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa merupakan lembaga Unit Pelaksana Proyek (Project Implementing Unit - PIU) PNPM Hijau dan memiliki mandate untuk memfasilitasi kegiatan pengelolaan sumberdaya alam di pedesaan yang lebih efektif serta pemanfaatan teknologi tepat guna untuk pembangunan. Direktorat SDATTG bertugas untuk meningkatkan pelestarian dan rehabilitasi lingkungan hidup, serta pemanfaatan lahan masyarakat dan daerah pesisir yang efektif. Selain itu, Dir. SDATTG memiliki pengalaman penting (dan infrastruktur operasional) dalam mengelola pendanaan donor untuk pembangunan berbasis masyarakat. 153. Organisasi masyarakat sipil (CSO) yang memiliki pengalaman melakukan kegiatan kerjasama dengan masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam penegakan hokum dan tata kelola hutan (Forest Law Enforcement and Governance - FLEG), reformasi tenuria lahan dan hutan, dan pengembangan lahan-lahan terdegradasi, akan menjadi mitra yang penting untuk memberikan bantuan teknis. Mitra penting lainnya untuk kegiatan analisis, mencakup lembaga-lembaga penelitian serta NGO yang memiliki program terkait dengan tenurial, tata ruang, dan kebijakan kehutanan. Mitra khusus akan didentifikasi selama tahap persiapan proyek. 154. Proyek sector swasta akan dirancang agar memungkinkan IFC untuk memanfaatkan keahlian, hubungan relasi, dan instrument pembiayaan. Program Sustainable Forestry dari IFC Indonesia dan Global Forestry and Wood Products group memiliki pengalaman penting dalam penyediaan pendampingan teknis mengenai struktur pembiayaan, 59
pengelolaan hutan tanaman, pemantauan CO2, perencanaan keuangan, hutan kemasyarakatan, dan tema-tema lainnya. 155. Kegiatan perencanaan tata ruang dan penggunaan lahan akan banyak memerlukan koordinasi antar lembaga antar sektor serta antar tingkat pemerintahan. Untuk dapat bekerja dengan masyarakat dan beberapa lembaga lokal yang sudah ada, proyek FIP akan memperkuat kapasitas koordinasi di tingkat lokal. Dukungan koordinasi antar lembaga juga akan memperkuat kapasitas bagi kegiatan tata ruang dan pengembangan masyarakat. Penilaian Resiko 156. Kesiapan REDD+ memberikan perubahan penting terhadap kerangka kelembagaan yang ada dan menyentuh isu-isu sensitif, seperti hak-hak tenurial lahan, distribusi pendapatan di tingkat pemerintah, serta tanggung jawab dan kapasitas kelembagaan. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan terkait REDD+ di tingkat tapak akan memerlukan system tata kelola hutan yang kuat. Termasuk antara lain, hak dan tanggung jawab lembaga yang jelas, penegakan hukum yang efektif, proses tenurial lahan yang jelas, dan tingkat korupsi yang rendah. Regulasi di sector kehutanan sering kali bertentangan atau berselisihpaham, terutama yang terkait dengan hak penggunaan lahan dan definisi penggunaan lahan. Demikian juga dengan proses desentralisasi di Indonesia yang masih berlangsung dan kelembagaan di tingkat propinsi sampai ketingkat tapak masih belum disiapkan sepenuhnya untuk mengarahkan pembahasan tentang REDD+. 157. Tanpa adanya tata kelola dan koordinasi yang kuat dari program Kesiapan REDD+, termasuk harmonisasi dukungan dari donor, akan ada kemungkinan terjadinya aktivitas yang saling tumpang tindih dan tidak terkoordinasi, sehingga dapat menjadi penghambat untuk mencapai kesiapan REDD+. Sementara kerangka institusional REDD+ masih dalam proses, Strategi Nasional REDD+ dapat dipergunakan sebagai penghubung multisektor yang kuat untuk koordinasi dan kepemimpinan. 158. Resiko terkait mengenai hubungan kegiatan REDD+ sub-nasional dengan Strategi Nasional REDD+ dan program. Agar dapat berjalan efektif dalam jangka panjang di Indonesia, program REDD+ sub-nasional perlu mengadopsi standar yang seragam bagi pengembangan REL dan MRV, berdasarkan standar nasional, serta perlu melakukan koordinasi dan pada akhirnya mengintegrasikannya dengan program nasional. Pengakuan secara luas yang ada di Indonesia tentang perlunya integrasi tersebut, dan lembaga-lembaga baru seperti KPH akan memainkan peranan kunci. Namun demikian, pencapaian tersebut tetap akan menjadi tantangan utama di negara yang sangat beragam, dimana sejumlah MRV dan standar REL telah digunakan dalam berbagai proyek REDD+ dan standar MRV nasional masih dalam pengembangan. 159. Masyarakat lokal dapat menerima manfaat yang cukup besar dari kegiatan REDD+, hanya jika dilaksanakan dengan cara yang menghormati hak-hak tradisional, mendistribusikan manfaat secara adil, serta menyediakan ruang bagi adanya partisipasi masyarakat, konsultasi, dan bantuan hukum. Untuk mencapai hasil yang positif tersebut, inisiatif REDD+ di Indonesia perlu masyarakat yang memahami dan berdaya, serta organisasi masyarakat adat dengan bekal berbagai keahlian, pengalaman;akses dan aktif untuk terlibat dalam dialog kebijakan, kegiatan pengelolaan hutan dan lahan gambut, peluang usaha, dan transaksi keuangan. Konsultasi yang efektif dan keterlibatan secara aktif merupakan prasyarat untuk mencapai kerangka pengelolaan REDD+ yang berkeadilan. Isu tenurial lahan sangat kompleks dan tidak akan dapat diselesaikan hanya melalui program yang diusulkan saja. 60
160. Selain itu, terdapat juga resiko yang terkait dengan potensi manfaat ekonomi dari program REDD+ dan beberapa harapan yang terkait dengan program tersebut. Hal ini menjadi penting, dimana investasi untuk mata pencaharian alternative dan model bisnis yang inovatif akan dapat memberikan perbaikan yang nyata dan berkelanjutan pada pendapatan lokal dan lapangan kerja, di samping fungsinya untuk melindungi hutan. Kegagalan dalam hal tersebut bisa menyebabkan hilangnya kredibilitas dan dukungan untuk kegiatan REDD+ dari masyarakat lokal, masyarakat adat, para pelaku sector swasta, dan calon investor. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6% pertahun perlu diseimbangkan dengan tujuan dari pelayanan ekosistem dari sector kehutanan dan ketahanan pangan. Memberikan harapa ntinggi bagi kegiatan REDD+ tanpa adanya komitmen internasional yang besar serta tersedianya pasar karbon juga menjadi resiko. 161. Berbagai isu terkait dengan kapasitas kelembagaan juga menimbulkan resiko bagi pelaksanaan proyek. Misalnya, proyek-proyek yang didukung oleh Bank Dunia dan ADB akan terlibat dan mendukung unit-unit KPH lokal, namun juga diakui bahwa program KPH masih dalam tahap awal dengan kondisi masing-masing unit yang memiliki tahap perkembangan yang berbeda. Pertanyaan tentang rancangan dan pengelolaan unit-unit KPH masih perlu dikaji. 162. Kekhawatiran utama yang disampaikan oleh beberapa CSO selama penyusunan Rencana Investasi terkait dengan pemilihan mitra sector swasta. Selain kondisi finansial, uji tuntas (due diligence) proses hokum dan kredit, uji tuntas integritas merupakan komponen penting dari upaya keseluruhan uji tuntas IFC untuk setiap keterlibatannya dengan pihak-pihak luar. Prosedur uji tuntas integritas (IDD) merupakan kerangka untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan berbagai potensi resiko yang terkait kegiatan yang dilakukan secara tidak patut dan ilegal, yang meliputi aspek lingkungan; sosial; tata kelola dan permasalahan kejahatan keuangan, seperti mempekerjakan anak dibawah umur, korupsi, penipuan, dan pencucianuang. Selanjutnya, FIP tidak akan memberikan pendanaan kepada perusahaan yang terlibat dalam kegiatan konversi habitat alami, termasuk hutan. Pedoman IFC juga membatasi investasi di kegiatan operasional di hutan bagi perusahaan yang memiliki, atau sedang dalam proses untuk mendapatkan, sertifikasi pengelolaan hutan dari lembaga sertifikasi internasional independen yang terakreditasi.9
9
http://www1.ifc.org/wps/wcm/connect/bff0a28049a790d6b835faa8c6a8312a/PS6_English_2012.pdf?MOD=AJPE RES
61
8 RENCANA DAN INSTRUMEN PENDANAAN 163. Jumlah pendanaan FIP yang dialokasikan untuk Rencana Investasi FIP adalah sebesar US$ 70 juta, dimana US$ 37.5 juta merupakan dana hibah dan US$ 32.5 juta adalah berupa pinjaman. Dana hibah akan dialokasikan untuk tiga proyek sebagai berikut: US$ 17.5 juta akan dialokasikan ke masing-masing proyek yang disponsori oleh Bank Dunia dan ADB, dan US$ 2.5 juta akan dialokasikan untuk proyek yang disponsori oleh IFC. Porsi pinjaman dari pendanaan FIP akan dialokasikan untuk proyek yang disponsori oleh IFC, untuk pencairan lebih lanjut sebagai pembiayaan yang bersifat lunak. 164. Rencana Investasi ini diharapkan dapat menghasilkan lebih dari US$ 100 juta dalam bentuk co-financing dari Pemerintah Indonesia, donor, MDB, dan sektor swasta. IFC akan menghabiskan sekitar US$ 50 juta dari dana sendiri untuk co-finance pekerjaan konsultasidan investasi. Co-funding sektor swasta untuk proyek yang disponsori IFC diperkirakan sekitar US$ 50 juta. Proyek-proyek yang terkait erat dengan program pemerintah yang sedang berlangsung yang memiliki dana jangka panjang dan dukungan dari berbagai daerah. Pembangunan KPH didukung oleh anggaran Pemerintah Indonesia yang cukup besar (lebih dari US$ 10 juta per tahun), dan mendapatkan dukungan dari sejumlah donor, termasuk GIZ. Perencanaan tata ruang, tata guna lahan, dan pengembangan masyarakat merupakan bagian integral dari kesiapan REDD+dan potensial donor termasuk Norwegia, Australia, Amerika Serikat, Jepang dan lain-lain. 165. Proyek yang disponsori oleh ADB akan dibangun berdasarkan kemitraan yang sedang berjalan antara ADB dan World Wide Fund for Nature-Indonesia dalam mendukung rencana aksi Pemerintah Indonesia di bawah kerangka strategis Heart of Borneo, dengan bantuan finansial dari ADB Climate Change Fund (CCF), ADB Regional Cooperation and Integration Fund (RCIF), the Global Environment Facility’s (GEF) Sustainable Forest Management (SFM) program, the Japan Fund for Poverty Reduction (JFPR) dan mitra pembangunan lainnya, termasuk namun tidak terbatas pada, Jerman, Amerika Serikat, Norwegia dan Jepang.Diskusi awal telah dilakukan dengan mitra pembangunan yang bekerja di Kalimantan, seperti dengan Norway International Forest and Climate Initiative, program yang didanai oleh pemerintah Jerman seperti Forests and Climate Change Program (GIZ-FORCLIME), proyekUSAID Indonesian Forest and Climate Support Project (USAID IFACS), proyek yang didanai oleh pemerintah Amerika seperti Green Prosperity Project dibawah Millennium Challenge Corporation, dan Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership. Tabel 3: Ringkasan Rencana Pendanaan Sponsor Proyek
Pinjaman FIP
Hibah FIP (Juta $)
Co-financing
Total
(Juta $)
(Juta $) 1. ADB
17.5
6.0
2. WB
17.5
Tbd 99
3. IFC
32.5
2.5
Total
32.5
37.5
62
23.5
134 157.5+
9 KERANGKA CAPAIAN UNTUK RENCANA INVESTASI Gambar 1: Model Logis FIP Indonesia Global- CIF Hasil Akhir (15-20 thn) Dampak transformatif Indonesia (10-15 thn)
Meningkatnya pembangunan rendah karbon yang lenting terhadap iklim Tujuan Inti: Berkurang/terhindarkannya emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan, dan meningkatnya stok karbon hutan
Pengelolaan lestari hutan dan lanskap hutan untuk mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan.
Hasil Replikasi Katalitis FIP Indonesia (5-10 thn)
Tujuan dan Hasil dan Keluaran Pokok Proyek FIP Indonesia (1-5 thn)
• • • • •
Kegiatan FIP Indonesia (1-5 thn)
Tujuan Tambahan:: Menurunnya kemiskinan Menurunnya kehilangan keanekaragaman hayati Meningkatnya kelentingan ekosistem hutan
Kerangka kelembagaan dan peraturan yang mendukung pengelolaan lestari hutan dan melindungi hak-hak masyarakat lokal dan adat
Masyarakat lokal dan adat menjadi mampu melindungi hak dan mengelola secara lestari dan mendapatkan manfaat dari hutan
Berkurangnya hambatan implementasi REDD+ sub-nasional dan meningkatnya kemampuan terkait REDD+ di tingkat propinsi dan kabupaten Emisi sebesar >50 MtCO2e terhindarkan atau terserap melalui perlindungan hutan alam maupun restorasi/reboisasi kawasan yang rusak Masyarakat yang menjadi sasaran meningkat aksesnya pada manfaat finansial dan non-finansial dari sumberdaya hutan Lembaga-lembaga lokal memiliki kemampuan yang meningkat untuk bekerja dengan masyarakat dan untuk mendukung program-program REDD+ yang adil dan mendukung gender. KPH Model mempunyai kapasitas untuk mengelola kegiatan-kegiatan REDD+ dan SFM Membaiknya lingkungan pemungkin bisnis untuk SFM, CBFM dan REDD+ yang diakibatkan oleh perubahan transformatif pada kelembagaan, kebijakan, teknologi dan perilaku para pemangku kepentingan.
Penguatan Kelembagaan untuk Pengelolaan Lestari Hutan dan Sumberdaya Hutan
Usaha Kehutanan dan PHBM
Tata guna lahan masyarakat dan pengembangan mata pencaharian
, dan
Masukan FIP
Sumberdaya baru dan tambahan sebesar hampir $70 juta dalam bentuk hibah dan pinjaman lunak yang melengkapi aliran dana kerjasama luar negeri yang sudah adadan co-financing lain melalui kemitraan dengan inisiatif-inisiatif kerjasama bilateral dan multilateral yang ada di Indonesia.
63
Tabel 4: Kerangka Capaian untuk Rencana Investasi FIP Indonesia Indikator
Baseline
Target
Tanggung Jawab Pelaporan
DAMPAK TRANSFORMASIONAL Capaian A: Berkurangnya/ terhindarnya emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan, dan meningkatnya cadangan karbon hutan Focal point INDIKATOR 1: Perubahan tutupan Sekitar 1juta ha Meningkatnya tata hutan / hutan alam (ha) dan penurunan terdeforestasi per kelola hutan, termasuk perubahan emisi GRK (GtCO2e) tahun. Emisi dari hutan perencanaan tataguna iklim dan lahan gambut lahan, tenurial lahan, diperkirakan sebesar 1 dan penegakan hukum GtCO2e per tahun. dan berhasilnya pelaksanaan program nasional hutan dan REDD + yang memungkinkan Indonesia untuk memenuhi komitmen nasional dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2020. INDIKATOR 2: Perubahan hutan menurut tipe hutan (ha) yang terdegradasi dan penurunan penurunan emisi GRK (GtCO2e) INDIKATOR 3: Ton (juta) CO2 yang terserap melalui regenerasi alami, kegiatan reforestasi dan aforestasi dan konservasi relative terhadap tingkat referensi hutan
Focal point hutan/ perubahan iklim Focal point hutan/ perubahan iklim HASIL PROGRAM FIP
Hasil B1: Pengelolaan hutan dan lanskap hutan yang lestari untuk mengatasi pemicu deforestasi dan degradasi hutan INDIKATOR 1: Perubahan area terdeforestasi di dalam proyek/program dalam hektar (ha) INDIKATOR 2: Perubahan area hutan terdegradasi di dalam proyek/program dalam hektar(ha) INDIKATOR 3: Pengurangan degradasi atau hilangnya hutan yang belum dimanfaatkan INDIKATOR 4: Berkurangnya/ terhindarnya emisi GRK oleh intervensi FIP
Baseline dari deforestasi dan degradasi hutan serta cadangan karbon di area yang ditargetkan akan diukur sebagai bagian dari persiapan proyek.
64
Deforestasi dan degradasi pada area yang ditargetkan akan berkurang setidaknya 25% dibawah baseline.
Unit koordinasi FIP/ lembaga dan MDB
Indikator
Baseline
Target
Tanggung Jawab Pelaporan Hasil B2:Sebuah kerangka kelembagaan dan hukum / peraturan yang mendukung pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan melindungi hak-hak masyarakat lokal serta masyarakat adat INDIKATOR 1: Bukti bahwa hokum dan peraturan terkait hutan dilaksanakan, dipantau dan ditegakkan dan pelanggaran terdeteksi, terlaporkan dan teradili
Pengkajian terhadap tata kelola hutan lokal akan dilakukan di wilayah yang ditargetkan sebagai bagian dari persiapan proyek.
Kegiatan ilegal komersial, termasuk pembalakan liar, pertambangan illegal, dan konversi hutan akan berkurang secara signifikan.
INDIKATOR 2: Luas hutan dengan hak tenurial yang jelas dan territorial yang non-diskriminatif , termasuk pengakuan hak-hak tradisional
Pengkajian klaim lahan setempat akan dilakukan di wilayah yang ditargetkan sebagai bagian dari persiapan proyek.
Sebuah kerangka kerja akan terbentuk untuk mengidentifikasi dan mendaftarkan hak tenurial dan territorial masyarakat adat dan lokal
Unit koordinasi FIP /lembaga dengan bekerjasam adengan Departeme n Perencanaa n Unit koordinasi FIP /lembaga dan MDB
FIP akan memobilisasi lebih dariUS$ 150 juta untuk co-financing.
Unit koordinasi FIP /lembaga dan MDB Hasil B3: Kapasitas masyarakat lokal dan masyarakat adat meningkat untuk mengakses informasi dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan INDIKATOR 3: Volume keuangan publik dan swasta yang termobilisasi sebagai akibat langsung dari intervensi program
INDIKATOR 1: Penduduk dalam komunitas hutan yang ditargetkan mendapatkan peningkatan manfaat keuangan maupun non-keuangan dari sumber daya hutan meningkat (jumlah)
Tata guna lahan dan kegiatan mata pencaharian lokal akan dikaji sebagai bagian dari persiapan proyek.
INDIKATOR 2: Persentase masyarakat adat dan anggota masyarakat lokal / masyarakat hutan (perempuan dan laki-laki) dengan hak tenurial yang diakui secara hukum dan akses yang terjamin untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan / atau sarana dalam mempertahankan mata pencaharian tradisional
65
Meningkatnya akses lokal terhadap kawasan berhutan serta partisipasi dalam PHBM akan meningkatkan manfaat moneter dan non-moneter bagi masyarakat setempat.
Unit koordinasi FIP /lembaga dan MDB
Indikator
Baseline
INDIKATOR 3: Peningkatan akses terhadap informasi yang relevan (secara tepat waktu dan sesuai dengan nilai budaya).
Target KPH akan memiliki sistem untuk berbagi informasi terkait hutan dengan masyarakat setempat.
66
Tanggung Jawab Pelaporan Unit koordinasi FIP /lembaga dan MDB
Lampiran 1: Usulan Program dalam Proses Tabel 5: Ringkasan Usulan Program Dalam Proses Ringkasan Usulan Program Dalam Proses Usulan PendanaanFIP
Komponen Proyek
(USD Juta)
Pemanfaatan dana yang dialokasi dan diusulkan
Potensi pengurangan emisi karbon (selama 5 thn)
(USD Juta) 1. Investasi Khusus bagi Masyarakat untuk Penanggulangan Deforestasi dan Degradasi Hutan
17,5*
6,0
18-22 MtCO2
2. Mendorong Pengelolaan Sumber Daya Alam berbasis Masyarakat yang Lestari dan Pengembangan Kelembagaan
17,5*
(tbd) 0,0
17-25MtCO2
3. Memperkuat Usaha Sektor Kehutanan dalam Mitigasi Emisi Karbon
35,0**
99,0
20-25MtCO2
Total
70,0
105,0
45-72 MtCO2e
*Hibah; ** $2,5J Hibah ditambah $32,5M dana konsesional;
A1.1 Proyek 1: Investasi Khusus bagi Masyarakat untuk Penanggulangan Deforestasi dan Degradasi Hutan (CFI-ADD+) A1.1.1 Mitra Proyek dan Pemangku Kepentingan Lembaga yang Bekerjasama
Peran Utama
Mitra MDB
Asian Development Bank
Pendanaan bersama
Terkonfirmasi: ADB, GEF/SFM, Pemerintah Jepang.
Pemerintah
Pendanaan hibah FIP
Masih didiskusikan: Pemerintah Jerman (KfW/GIZ), Pemerintah AS (USAID, Departemen Dalam Negeri, Millennium Challenge Corporation), lainnya masih menunggu konfirmasi.
Pembiayaan bersama teknis dan berupa barang/jasa lainnya
Kementerian Kehutanan
Lembaga Pelaksana
Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Republik Indonesia , Kementerian
Kebijakan dan Pengarah
67
Keuangan,Bappenas
Pemangku Kepentingan Langsung
Kementerian Koordinator Bidang Perkonomian dan Kementerian Keuangan
Koordinasi
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat
Pelaksanaan di tingkat provinsi
2 Pemerintah Kabupaten di Kalimantan Barat (diusulkan Sintang dan Melawi)
Pelaksanaan di tingkat kabupaten
Lembaga masyarakat lokal, termasuk lembaga adat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Mitra dalam kegiatan dan penerima manfaat skema insentif Unit pelaksana di lokasi percontohan
Unit Pelaksana Teknis Pemerintah setempat (UPT)
Mitra kegiatan dan peserta pelatihan
Sektor swasta
Masukan bagi kegiatan dan peserta skema insentif
A1.1.2 Perumusan Masalah 1. Rencana Aksi Nasional Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (RAN-GRK) dan Strategi REDD+ Nasional bertujuan untuk mencapai target nasional yang ambisius dalam rangka mengurangi emisi GRK dengan mengatasi penyebab deforestasi dan meningkatkan cadangan karbon hutan. Kedua dokumen ini menekankan pengembangan rencana aksi tingkat sub-nasional di provinsi-provinsi yang diprioritaskan. 2. Sembilan dari 33 provinsi di Indonesia, bertanggungjawab atas emisi karbon hutan sebesar 85% yang berasal dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan. . Hutan Produksi merupakan kontributor emisi karbon terbesar (73%) antara tahun 2000 dan 2005. Hampir setengah dari hutan tanaman (30 juta hektar) tidak memiliki ijin atau konsensi, yang membuat kawasan tersebutrentan terhadap eksploitasi ilegal dan perambahanserta konflik ataspenggunaan lahan dan klaim kepemilikan lahan. Kinerja yang buruk terkait isu lingkungan-sosial pada kawasan konsesi hutan produksi semakin memperparah terjadinya perambahandan pembalakan ilegal, yang membuat Kementerian Kehutanan membatalkan 163 izin konsesi dan menghentikanizin operasional pada konsesi lainnya sejak tahun 2002. Disamping itu, proses perencanaan tata ruang dan tata bataslahan yang kurang melibatkan masyarakat setempat ikut memberikan andil permasalahan. Selain itu, kemungkinan untuk terjadinya deforestasi dan degradasi hutan cenderung lebih tinggi jika kawasan hutan produksi berbatasandengan hutan konservasi yang bernilaitinggi. 3. Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah yang masih memiliki hutandengan tutupan yang tinggi dan merupakan kontributor emisi karbon terbesar ke-lima di Indonesia. Karena alasan tersebut, provinsi ini terpilih oleh Pemerintah Indonesia sebagai salah satu provinsi sasaran10 untuk program REDD+. Penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan di provinsi ini adalah: (i) pembukaan hutan untuk tujuan komersial; (ii) alih guna 10
Kesembilan provinsi prioritas untuk program REDD+ adalah: 3 di Kalimantan (Barat , Tengah dan Timur), 2 di Papua (Papua dan Papua Barat), 4 di Sumatera (Aceh, Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan),
68
lahan hutan menjadi lahan pertanian; (iii) pertambangan (terutama batubara dan emas); dan (iv) kebakaran yang tidak dapat dikendalikan. Informasi mengenai ini terangkumdari proses kegiatan pengembangan mufakat yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Analisis ini kemudian divalidasi lebih lanjut selama kegiatan Joint MissionFIP Pertama pada bulan Juli 2011, melaluiproses konsultasi dengan para pemangku kepentingan dan kunjungan ke lokasi di Kalimantan Barat. 4. Kalimantan Barat kehilangan lebih dari 136.000 hektar hutan antara tahun 2000 dan2005, namun dengan adanya perbaikan penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan, laju kehilangan area hutan tersebut menurun – antara tahun 2003 sampai 2006, menjadi sebesar 24.000 hektar. Berbagai upaya di tingkat provinsi untuk mengurangi deforestasi diperkuat melalui partisipasi aktif daripemerintah Kalimantan Barat dan lembaga-lembaga pemerintah nasional Indonesia dalam inisiatif Heart of Borneo (HoB), sebuah deklarasi trilateral antara Indonesia-Malaysia-Brunei Darussalam untuk bekerjasama dalam mengurangi risiko terhadap hutan alam bernilai tinggi dan masyarakat yang sangat bergantung pada hutan, terutama dari perdagangan hasil-hasil hutan secara ilegal. 5. Diantara 3 provinsi di Kalimantan yang masuk dalam Heart of Borneo (HoB),11 Kalimantan Barat memiliki persentasejumlah penduduk terbesar (9%)yang berada di bawah garis kemiskinan nasional. Selain itu,ketersediaan jasa pelayanan sosialmasih sangat terbatas. Berdasarkan beberapa indikator UN Millennium Development Goals, terdapat sekitar 22% anak Indonesia dibawah usia lima tahun memiliki kekurangan berat badan, sekitar 46% masyarakat tidak mendapatkan akses sumber air minum yang bersih, serta 60% masyarakat tidak memiliki fasilitas sanitasi yang baik. Juga dilaporkan, sekitar 30% masyarakat usia produktif di Kalimantan Barat tidak memiliki pekerjaan (Bappenas 2010). A1.1.3 Strategi Investasi Yang Diusulkan 6. Proyek FIP yang didukung oleh Asian Development Bank (ADB) akan fokus pada REDD+ yang berkontribusi pada pembangunan dan pelaksanaan RAD GRK Kalimantan Barat sebagai bagian dari RAN GRK dan Strategi Nasional REDD+. Pendekatan manajemen tingkat tapak akan dikembangkan menggunakan model KPH,dengan ekosistem merupakan faktor penentu utama. Dengan pendekatan ini, FIP dapat memprioritaskan investasi REDD+ pada masyarakatdi dua kabupaten yang memiliki hutan alamdengan nilai konservasi tinggi dan sedang mengalami tekanan deforestasi dan degradasi hutan. Kegiatan percontohan pada tingkat KPH direncanakan akandimulai di Kabupaten Sintangdan potensi pengembangan ke Kabupaten Melawi, denganberdasarkan pengalaman yang sudah ada dari tempat lain (termasuk Kabupaten Kapuas Hulu). Selain dari potensi mitigasi perubahan iklimdan menjagajasa lingkungan lainnya, kriteria pemilihanlokasi dan kegiatanpemantauan,juga akan menggunakan kriteria peningkatan potensi di bidang ekonomi dan sosial, yang bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan keluarga miskin dan memaksimalkanmanfaat tambahan sosio-kultural dan mata pencaharian. 7. Keterlibatan masyarakat setempat termasuk adat atau hak sosial tradisional)di tingkatdesa, kabupaten, provinsi dan nasional akan digunakan untuk memfasilitasi jaringan kerja dan pertukaran pengalaman. Intervensi di semua tingkat ini akan melibatkan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan, penyediaan insentif, dan pengawasan, yang sejalan dengan tiga strategi pengembangan dan pelaksanaan REDD+ di Kalimantan Barat, yaitu: (i) mengurangi deforestasi melalui perbaikan yang berkelanjutanterhadap lembaga dan kebijakan yangdikeluarkan pemerintah daerah; (ii) memberikan insentif bagi kegiatan pengelolaan hutan yang lebih baik serta menghilangkan 11
Provinsi lainnya adalah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur
69
insentif bagi kegiatan yang memacu deforestasi di tingkat KPH; dan (iii) pemantauankegiatan pembayaran/insentif REDD+ melalui dukungan pada mekanisme yang melibatkan para pemangku kepentingan pada berbagai tingkatan yang transparan, akuntabel,dan bebas dari pengaruh politik. 8. Investasi FIP dengan menggunakan dana hibah akan mengurangi ancaman bagi hutan di provinsi dan memperbaikikegiatan manajemen kehutanan dengan prioritas pada: 1. Pengembangan Kelembagaan o Menilai dan memetakan informasi dasar status tata batas dan pengelolaan KPH yang terletak dekat kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi. o Membuat mekanisme pengaduan (grievance and redress mechanism) dengan melibatkan pemerintah kabupaten, termasuk KPH. o Percontohan Sistem Informasi Safeguards di tingkat kabupaten yang sejalan dengan panduan UNFCCC, dan dibangun berdasarkan inisiatif awal tentangbagaimana safeguards REDD+ didefinisikan, dilaksanakan, dan diukur, seperti yang telah dilakukandalam Proyek GIZ-FORCLIME dan Program UN-REDD. o Pelatihan bagi pejabat di tingkat provinsi, kabupaten dan KPH mengenai: (i) proses mediasi konflik penggunaan lahan; (ii) koordinasi antar-sektor untuk mencegah, mendeteksi dan menekan kegiatan yang menjadi penyebabkehilangan hutan; (iii) pendekatan koordinasi horisontal dan vertikal dalam pengelolaan lanskap dan jasa lingkungan; (iv) pelaksanaan free, prior, and informed consent (FPIC); (v) pelaksanaan REDD+ tingkat sub-nasional; dan (vi) mengembangkan aturan bagi hasil yang mempertimbangkan gender dan kesesuaian budaya. o Dalam kerangka kerja KPH akan dibentuk bantuan dana bergulir yang transparan, akuntable, dan berkelanjutan sebagai percontohan skema pemberian insentif berdasarkan kinerja,untuk: (i) mendorong kerjasama tingkat masyarakat desa dan adat untuk mencegah kebakaran hutan dan padang rumput yang tidak terkendaliserta melakukan peningkatan modal sosial, finansial, dan modal usaha bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, serta meningkatkan rasa memiliki dan keterlibatan di tingkat desa (misal,skema insentif bonus desa tanpa kebakaran); (ii) membantu regenerasi alamidi sepanjang batas hutan; dan (iii) menerapkan kegiatan manajemen lahan dan mata pencaharian yang berkelanjutan. o Meningkatkan kualitas dari data spasial ilmiah, bio-fisik dan sosial yang digunakan untuk perencanaan tata guna lahan dan tata ruang oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan perencanaan tata guna hutan oleh KPH, bekerjasama dengan mitra pembangunan lainnya. 2. Pengelolan Hutan Lestari (PHL) dan Pengelolan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) o Mengidentifikasi potensi pemanfaatanarea akses terbuka yang belum dibebani izin (open access)di kawasan hutan produksiuntuk dikembangkan menjadi pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community-basedforest management- CBFM) sebagai bentuk kegiatan dari pengaturan tenurial masyarakat (Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat) dalam wilayah kerja KPH. o Pengembangan kegiatan percontohan CBFM yang terpercaya dan efisien di dalam KPH oleh Pemerintah Kabupaten berdasarkan kesepakatan tenurial pengelolaan hutan olehmasyarakat dengan mengambil pelajaran dari pengalaman di tingkat kabupaten. o Membuat prototipe pembiayaan yang transparan dan akuntabel sebagai percontohan atau meningkatkan skema pemberian insentif berdasarkan kinerja (misalnya, Penghargaan Investasi Ramah Lingkungan- Green Investment Award) bagi sektor 70
swasta (perusahaan konsesi hutan dan asosiasi industri) untuk melaksanakan kegiatanpengelolaan hutan yang berkelanjutan, mengurangi limbah kayu dari penebangan dan pengolahan, melakukan investasi pada kegiatan sertifikasi (misal, SVLK), dan melakukan pemindahan lokasi penebangan dan kegiatan operasional hutan tanamanke lahan-lahan yang terdegradasi. o Membangun suatusistem yang transparan dan efisien untuk masyarakat adat dan penduduk hutan lainnya agar menerapkan kesepakatan pengelolaan hutan masyarakat dalam KPH dan area open access di kawasan hutan produksi berdasarkan penilaian dan pemetaan tingkat provinsi. 3. Pengembangan kapasitas masyarakat dan dukungan mata pencaharian o Mengumpulkan dan mengintegrasikan kebiasaan, masyarakat asli dan pengetahuansetempat lainnya tentang hutan dan pengelolaan tata guna lahan ke dalam rencana tata ruang kabupaten dan KPH, bekerjasama dengan masyarakat setempat dan organisasi masyarakat sipil. o Membuat dana yang transparan dan akuntabel untuk mendukung biaya transaksi dan biaya awal pelaksanaan bagi masyarakat adat dan lokal yang ingin mengembangkanproyek REDD+ untuk pasar karbon sukarela, berkoordinasi dengan Mekanisme Hibah Dedikasi FIP (Dedicated Grant Mechanism) untuk Masyarakat Adat dan Setempat. o Mendanai pelayanan penyuluhan oleh kabupaten dan KPH bagi masyarakat lsetempat—dengan melibatkan perempuan dan anak muda—terkait dengan mediasi konflik tata guna lahan, pengelolaan lahan yang berkelanjutan, agroforestri, memahami skema pembayaran jasa lingkungan, distrubusi manfaat dan tema terkait lainnya. 4. Melakukan harmonisasi kebijakan nasional dan sub-nasional mengenai peningkatan cadangan karbon o Meninjau mekanisme fiskal antara tingkat nasional dan sub-nasional untuk mengidentifikasi hambatan dan disinsentif dalam menangani penyebab deforestasi dan degradasi hutan. o Merintis skema insentif yang transparan dan akuntabel yang mendorong penyelarasan transfer fiskal tingkat sub-nasional yang ada saat ini dengan tujuan REDD+, danmenghasilkan manfaat sosial dan lingkungan, bekerjasama dengan Bank Dunia. o Mengatur atau mendukung platform untuk kerjasama teknologi, penyebaran informasi, dan koordinasi kebijakan melalui tukar pengetahuan dan jejaring antara KPH, kabupaten, provinsi dan negara. 5. Keluaran/Output. Melalui investasi FIP ini, maka proyek akan menghasilkan (i) Strategi REDD+ Provinsi yang lebih baik dan ditegakkan penerapannya; (ii) Proyek percontohan REDD+ yang berfokus pada masyarakat pada setidaknya di dua kabupaten/KPH di Kalimantan Barat; dan (iii) menyelaraskan kebijakan nasional dan sub-nasional mengenai peningkatan cadangan karbon. Dengan mengurangi tekanan terhadap hutan dan mendorong pengelolaan lahan dan hutan yang berkelanjutan dan berkeadilan, proyek ini pada akhirnya akan menurunkanemisi GRK, dengan potensi manfaat tambahan dalam bentuk pengurangan kemiskinan, meningkatnya kualitas hidup masyarakat adat dan setempat, perlindungan hak masyarakat adat dan peningkatan keanekaragaman hayati dan jasaekosistem lainnya. A1.1.4 Usulan Dampak Transformatif dan Manfaat Bersama 6. Potensi Pengurangan GRK. Potensi penghematan emisi karbon dengan melaksanakan intervensi-intervensi tersebut diperkirakan sebesar antara 17.7-22.1 Mt CO2 selama lima 71
tahun 12 ,. Kontribusi dari proyek dukungan ADB dalam perencanaan dan pelaksanaan Strategi REDD+ Provinsi akan membantu provinsi tersebut dalam mengurangi tekanan terhadap hutan mereka, terutama karena cadangan karbon terbesar ada di dalam hutan produksi (852,8 Gt CO2e), hutan lindung (417,6 Gt CO2e), dan hutan konservasi (253.6 Gt CO2e). Kalimantan Barat telah menyusun targetuntuk berkontribusi sebesar 32 MtCO2e dari target nasional pengurangan GRK sebesar 26% di bawah tingkat business-as-usual pada tahun 2020. Dengan membantu provinsi ini dalam melindungi hutan mereka, proyek ini akan juga akan berkontribusi pada pencapaian tujuan perubahan iklim Indonesia di tingkat nasional. 7. Usulan intervensi ini dikembangkan dari gagasan awal FIP (lihat Bab 2) yang penting bagi Kalimantan (reformasi hutan dan tenurial lahan, menangani pembalakan liar dan perdagangan terkait, mendukung KPH, pembangunan lahan-lahan yang terdegradasi, kehutanan masyarakat, insentif REDD+ berbasis pasar, dan pengembangan REDD+ subnasional) melalui tindakan-tindakan merubah perilaku, kebijakan dan teknologi. Klarifikasi masalah tenurial merupakan prioritas investasi penting karena identifikasi dari para penggunalahan yang mempunyai kontrol yang lebih jelas terhadap lahan, merupakan hal yang perlu dimiliki agar dapat membuat skema REDD+ yang efektif dan dapat diandalkan. Terlebih lagi, klarifikasi tenurial akan mengurangi wilayah terbuka, diperkirakan sekitar 80% dari kawasan hutan produksiyang masihberhutan di Kalimantan Barat. Jika proses ini digabungkandengan memberikan fokus terhadap pelibatan budaya adat tradisional dan masyarakatlokal lainnya, maka manfaat bersama ini dapat dioptimalkan, baik padalahan yang masih berhutan maupun yang sudah terdegradasi. 8. Pendekatan “pemagaran secara sosial” bagiperlindungan hutan. Proyek ini akan menjadikanmasyarakat lokal yang berada di dalam dan disekitar hutan yang diperuntukkan untuk produksi dan perlindungan sebagai sasaran. Pengakuan formal atashak-hak dan tanggungjawab masyarakat untuk mengakses dan menggunakan sumber daya hutan, termasuk karbon hutan, dapat membantu dalam mengembangkan “pemagaran sosial’ yang dapat melindungi hutan melalui aturan-aturan dan peraturan yang disepakati oleh masyarakat, dan memastikan bahwa yang lain juga mematuhi aturan tersebut. Proyek ini akan berinvestasi dalam proses pengembangan kepercayaan dan pembelajaran antara masyarakat dan pemerintah lokal melalui pelaksanaan cara-cara komunikasi yang baru, proses interaksi dan pembelajaran untuk dapat memulai perubahan persepsi dan perilaku. 9. Pendekatan lanskap untuk menangani kebocoran dan peningkatan kualitas ekosistem. Hutan produksi akan diprioritaskan karena potensi pengurangan emisi yang cukup tinggi dibandingkan dengan skenario business-as-usual. Meskipun menghadapi risiko deforestasi yang lebih kecil, hutan lindung juga ditargetkan untuk menghindari kebocoran dari tindakan yang dilakukan di hutan produksi, dan sekaligus menghasilkan manfaattambahan (co-benefit) dari jasaekosistem, termasuk perlindungan keanekaragaman hayati dan pemeliharaan fungsi batas air. Kabupaten Sintang dan Melawi di Kalimantan Barat memiliki sebanyak 47 desa dan kampung yang memiliki hutan dataran rendah dan kebanyakan bertanah mineral. Dari 1.1 juta hektar hutan di Sintang dan Melawi pada tahun 2010, 45% dialokasikan untuk produksi, 53% untuk perlindungan. Sisanya adalah lahanpribadi (2%) (ArealPenggunaan Lain, APL). Hutan-hutan di dua kabupaten ini menahan 100 juta ton karbon yang jika dibebaskan akan mengeluarkan sekitar 366 Mt CO2e ke atmosfir. Intervensi REDD+ di kabupaten-kabupaten ini dapat membantu membuat koridor keanekaragaman hayati antara Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dan Taman Nasional Betung Kerihun, sehingga akan meghasilkan manfaat keanekaragaman hayati. 12
Dihitung berdasarkan tingkat deforestasi historis, dengan asumsi 200 tC/ha hutan primer dan 160 tC/ha untuk hutan non primer. Selain emisi diatas tanah, emisi tahunan dari degrasi gambut diperkirakan sebesar 34 tC/ha.
72
Mendukung KPH di Sintang akan dapat membantu memelihara ekosistem di wilayah sungai Melawi. 10. Memperkuat lembaga lokal. Melalui kerjasama dengan masyarakat lokal dan lembaga lokal yang ada(bukan mengembangkan lembaga baru), proyek ini akan memperkuat kapasitaskoordinasi lokal, memperkuat kohesi sosial diantara para peserta, dan meningkatkan upaya untuk “menjembatani” modal sosial melalui perluasan jejaring lembaga lokal melampaui masyarakatnya(misalnya jejaring petani pemerintah daerah, LSM, kelompok perempuan, dll). Ini akan mendorong partisipasi lokal yang lebih efektif dalam proses perencanaan pemerintah dan memperkuat kemampuan untuk bernegosiasi dan pengaruh lokal dalam platform tata kelola. Pertemuan dan lokakarya dengan para pejabat pemerintah daerah dan pemimpin desa akan menjadi penting dalam mengendalikan kegiatan ilegal di hutan. Pemantauan dan pelaporan LSM mengenai konflik lahan kepada para pejabat pemerintah juga dapat membuat kegiatan kehutanan menjadi lebih transparan. 11. Meningkatkan (scaling up) potensi. Potensi yang signifikan untuk meningkatkan (scale up)intervensi melalui tukar pengalaman dan manajemen pengetahuan ada di masyarakat lokal yang berada dihutan dataran rendah pada tanah mineral kering, hutan produksi sepanjang zona penyanggahutan konservasi dan hutan lindung, dan kabupaten dan provinsi lain yang sedang menghadapi masalah yang terkait dengan isu-isu lintas batas. Kalimantan Barat memiliki populasi sebesar 4.25 juta orang yang tersebar di area 14 juta hektar. Lebih dari 40% populasinya adalah keturunan suku Dayak dengan akses infrastruktur dan pelayanan dasar yang sangat terbatas. Analisis rinci mengenai kenyataan “di lapangan” terutama mengenai para masyarakat asli dan kelompok sosial lain di 513 desa di dalam dan sekitar area hutan di Kalimantan Barat, akan membantu dalam menginformasikan mengenai mekanisme pembagian manfaat dan alur dana REDD+ di Indonesia, negara-negara HoB dan diluar itu. Pengalaman Kabupaten Kapuas Hulu dalam upayanyayang dikenal sebagai “kabupaten konservasi” akan disebarkan ke kabupaten lain di Kalimantan Barat untuk scale up kegiatan-kegiatan yang lebih baik dan bekerjasama untuk pengelolaan hutan berkelanjutan dan sumber daya alam lainnya. Dengan pendanaan bersama dari ADB dan dukungan tambahan dari mitra pembangunan lain, intervensi proyek ini memiliki potensi untuk direplikasi di tempat lain (sampai dengan lima KPH lainnya) dan pada akhirnya ini akan berkontribusi pada kinerja program HoB. 12. Indikator. Hasil dari proyek ini akan dinilai berdasarkan: (i) perubahan jumlah luas hutan dalam hektar yang mengalami deforestasi di wilayah proyek; (ii) perubahan dalam indikator untuk UN Millennium Development Goals dan Human Development Index untuk desa, kabupaten dan provinsi yang menerima bantuan; dan (iii) bukti bahwa undang-undang dan kebijakandi wilayah proyek dilaksanakan, dipantau, ditegakkan dan diselaraskan dengan undang-undang lain. Sebuah upaya penentuanbaseline akan dilakukan selama masa persiapan proyek. A1.1.5 Kesiapan Pelaksanaan 13. Di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan untuk dapat memfasilitasi dokumentasi tertulis tentang aturan dan peraturan adat dan desa untuk pengelolaan sumber daya alam yang seringkali masih berbentuk tradisi lisan. Sistem yang efisien dan secara efektif terintegrasikan ke dalam perencanaan tata ruang dan tata guna lahan oleh pemerintah sangat diperlukan. Pemerintah juga mulai menunjukkan ketertarikannya 13 sementara
13
Pusat Standarisasi dan Lingkungan Hidup Kementerian Kehutanan, bersama dengan GIZ-FORCLIME, melakukan sebuah lokakarya pada Maret 2011 untuk memulai serangkaian proses pemangku kepentingan untuk
73
pengalaman masyarakat bertambah dibantu oleh organisasi masyarakat sipil dan mitra pembangunan lain dalam menerapkan free, prior and informed concent (FPIC) 14. Beberapa inisiatif yang sedang berjalan untuk merintis peraturan di tingkat kabupaten untuk secara formal mengakui hak guna lahan adat di hutan-hutan yang dikelola oleh masyarakat di wilayah KPH (misalnya KPH Sintang). Provinsi dan kabupaten yang terlibat dalam inisiatif HoB ini mendapatkan pengalamannya dalam melakukan koordinasi dalam hal perencanaan dan kegiatan strategis melalui dibentuknya kelompok kerja HoB yang terdiri dari berbagai kementerian di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten. 15. Sebuah model Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) telah dibentuk untuk daerah aliran sungai Merakai di Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat (SK 791/Menhut-II/2009; Peraturan Bupati Sintang 62/2010), yang mencakup 56,893 hektar. Sekitar 82% dari area tersebut saat inidialokasikan untuk hutan produksi. Institusi tingkat kabupaten ini menghadapi permasalahan yang mendesak dalam menyelesaikan tanggungjawab pengelolaan hutan seluas 20.000 hektar pada area open access(35% dari total wilayah ini berada di KPHP Sintang). 16. Terdapat banyak kesempatan di Kalimantan Barat untuk bekerjasama dan saling melengkapi dalam kegiatanREDD+ dengan para mitra pembangunan lainnya. Misalnya Proyek GIZ-FORCLIME memberikan bantuan kepada Kalimantan Barat dan Timur dalam berbagai aspek REDD+ termasuk pengembangan Sistem Informasi Kehutanan berbasis web dengan menggunakan piranti lunak Open Source, mengembangkan kapasitas KPH, dan restorasi dan rehabilitasi hutan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dan Koridor Leboyan antara Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum. AS juga telah memulai program Borneo Debt for Nature Swap dimana Kapuas Hulu menjadi salah satu kabupaten sasaran mereka dan baru-baru ini meluncurkan Kerjasama Tantangan Milenium (Millenium Challenge Corporation) sebesar $600 Juta dengan satu komponen mendukung masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya alam. A1.1.6 Potensi Mitra Nasional dan Internasional 17. Proyek ini akan dibangun di atas kemitraan yang telah ada antara ADB dan World Wide Fund for Nature–Indonesia dalam mendukung rencana aksi Pemerintah Indonesia dalam kerangka strategis Heart of Borneo (HoB), dengan bantuan finansial dari ADB Climate Change Fund (CCF), ADB Regional Cooperation and Integration Fund (RCIF), the Global Environment Facility’s (GEF) Sustainable Forest Management (SFM) program, the Japan Fund for Poverty Reduction (JFPR) dan mitra pembangunan lainnya termasuk Jerman, AS, Norwegia dan Jepang. 18. Diskusi awal telah dilakukan dengan para mitra pembangunan yang juga bekerja di Kalimantan misalnya Norway International Forest and Climate Initiative, German government-funded Forestsand Climate Change Program (GIZ-FORCLIME), USAID Indonesian Forest and Climate Support Project (USAID IFACS), dan Green Prosperity Project under the Millennium Challenge Corporation yang didanai oleh AS, dan IndonesiaAustralia Forest Carbon Partnership. 19. Upaya-upaya untuk menyelaraskan kegiatan-kegiatan dengan Bank Dunia dan International Finance Corporation akan dilanjutkan selamamasa persiapan dan pelaksanaan proyek. Kerjasama dengan FCPP, GEF/SFM dan UN-REDD di tingkat internasional akan diperluas hingga tingkat nasional. menerjemahkan Keputusan UNFCCC COP 16 tentang penjagaan untuk pelaksanaan REDD+ ke dalam konteks Indonesia.
74
20. Beberapa bidang kerjasama akan dijajaki dengan lembaga penelitian yang berada di Indonesia, misalnya Center for International Forestry Research (CIFOR) dan World Agroforestry Center (ICRAF) untuk dapat memperluas pengalaman mereka dalam mengikuti perkembanganisu-isu di sektor kehutanan. 21. Organisasi masyarakat sipilyang memiliki pengalaman dalam bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah lokal dalam - tata kelola dan penegakan hukum di bidang kehutanan (FLEG), reformasi hutan dan tenurial lahan, pengembangan lahan yang terdegradasi, dan merancang skema berbasis insentif, - akan menjadi mitra penting dalam memberikan bantuan teknis. A1.1.7 Latar Belakang Pendanaan FIP Kriteria FIP
Alasan
Potensi mitigasi perubahan iklim
Aplikasi dari berbagai strategi REDD+ akan bertujuan untuk menyelamatkan antara 17.7-22.1 MtCO2, yang merupakan 25-25 % pengurangan emisi dari 89 Mt CO2 di kedua kabupaten yang diperkirakanberdasarkan business-as-usual selama lima tahun. Estimasi ini mencakup emisi diatas tanah dan emisi dari degradasi lahan gambut. Intervensi proyek ini akan membantu Kalimantan Barat untuk mencapai targetnya mengurangi 32 Mt CO2e agar dapat berkontribusi pada target pengurangan emisi GRK sebesar 26% dibawah tingkat business-as-usual pada tahun 2020.
Potensi untuk Melakukan Peningkatan (scale-up) Berskala Besar
Dengan paket investasi sebesar maksimal $17.5 juta pada tingkat masyarakat, kabupaten, dan provinsi serta bantuan teknis di tingkat nasional, proyek ini dapat mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, disamping itu dapat mengidentifikasi peluang-peluanguntuk melakukan restorasi hutan di KPH-KPH di Kalimantan Barat. Proyek ini akan menjadi katalis untuk perencanaan yang komprehensif dan menyediakan insentif bagi aksi-aksi multi-sektor dalam melindungi dan secara berkelanjutan mengelola lebih dari 1.1 juta hektar hutan di kawasan hutanproduksi dan hutan lindung. Dengan tambahan bantuan dari mitra pembangunan lain, daerahdaerah ini memiliki potensi untuk menambah dan memperluas target kabupaten hingga 5 kabupaten lain dalam program HoB.
Penghematan Biaya
Investasi sebesar $ 17.5 Juta akan menghasilkanbiaya per ton antara $ 0.80-1.00. Proyek ini dirancang untuk dibangun dari dan memperkuat upaya-upaya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi lain yang secara bersama-sama berupaya mencapai hasil REDD+ dalam inisiatif HoB dan di Indonesia. Melalui pendekatan pembelajaran terbuka, program ini dapat meningkatkan pendanaan dari program yang lain sehingga dapat memastikan pelaksanaan inisiatif up-scaling dengan mempertimbangkan efektivitas biaya (cost effectiveness)
Potensi Pelaksanaan
Proyek ini memiliki potensi pelaksanaan yang tinggi karena: -Adanya Strategi REDD + di tingkat nasional dan provinsi; -Sistem tata kelola multi-sektoral telah ada di HoB; -Unit pelaksana tingkat nasional dan kabupaten telah bekerjasama dalam persiapan REDD+ .
Integrasi Pembangunan Berkelanjutan (Manfaat Tambahan)
Seperti yang sudah dijelaskan, proyek ini akan memberikan manfaat lingkungan (misalnya pengurangan emisi karbon dan peningkatan cadangan karbon, konservasi keanekaragaman hayati dan adanya jasalingkungan yang keberlanjutan [misalnya air]) serta manfaat sosial bagi Indonesia secara umum dan provinsi-provinsi di Kalimantan khususnya (misalnya melalui peluang-peluang mata pencaharian, seperti ekowisata, yang tersedia bagi suku Dayak). Menjadi katalis pertumbuhan lingkungan jangka panjang yang akan memberikan manfaat-bersama yang terukur.
75
Kerangka Pengamanan/ Safeguard
Mekanisme safeguards sosial dan lingkungan yang biasanya diaplikasikan oleh ADB dan Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari Strategi Nasional REDD+ nya, akan ditinjau saat pelaksanaan proyek ini. Di atas itu semua, proyek ini juga termasuk investasi-investasi untuk mengembangkan sistem informasi safeguards tingkat kabupaten yang akan menyatukan para penyedia informasi termasuk masyarakat adat dan penghuni hutan, berdasarkan kegiatanawal yang dilakukan oleh lembaga setempat dan mitra pembangunan.
A1.1.8 Kegiatan Pengaman(Safeguard) 22. Proyek ini berupaya melakukan Pengaman tidak hanya untuk memastikan bahwa investasi FIP “tidak akan merugikan” tapi juga untuk memaksimalkan potensi dari manfaat sosiokultural dan lingkungan dari aksi-aksi REDD+, yang sejalan dengan fokus ADB pada pertumbuhan berkelanjutan yang ramah lingkungan dan integrasi regional. Kebijakan ADB mengenai Kegiatan Pengaman tahun 2009 (ADB Safeguard Policy Statement 2009) yang akan diaplikasikan pada proyek ini, menetapkan tujuan, prinsip, dan proses penyampaian kebijakan serta cakupan dan pemicu untuk tiga bidang utama: (i) pengamanan bagimasyarakat asli; (ii) pengaman bagi lingkungan; dan (iii) pengaman pemindahan pemukiman. Di atas itu semua, proyek ini juga mencakup investasi-investasi untuk mengembangkan sistem informasi safeguards tingkat kabupaten yang akan menyatukan para penyedia informasi bersama-sama, termasuk masyarakat adat dan penduduk hutan, berdasarkan pekerjaan yang dilakukan terdahulu oleh lembaga-lembaga setempat dan mitra pembanguna
A1.1.9 Rencana Pembiayaan Komponen
1. Pengembangan dan Pelaksanaan Strategi REDD+ Provinsi
2. Bantuan ke Kabupaten untuk REDD+ percontohan yang berfokus pada masyarakat
Sumber
Jenis
FIP (Juta $)
Pendanaan Bersama
Total
6.0
…
9.5
FIP
Hibah
ADB-RCIF
Bantuan Teknis
0.75
ADB-CCF
Bantuan Teknis
0.75
GEF
Bantuan Teknis
2.00
GIZ (tbd)
tbd
Pemerintah
tbd
FIP
Hibah
8.0
ADB-CCF
Bantuan Teknis
0.50
Jepang
Bantuan Teknis
1.00
Pemerintah 3. Menyelaraskan Kebijakan Nasional
FIP
9.5
tbd Hibah
3.5
76
4.5
dengan ‘Karbon Rendah/Tujuan PembangunanHijau (green growth)
Jepang
Bantuan Teknis
1.00
Norwegia
Bantuan Teknis
tbd
Australia
Bantuan Teknis
tbd
Pemerintah
tbd
Total
17.5
6.00
23.5
A1.1.10 Tata Waktu Persiapan Proyek Tahapan
Tanggal Indikatif
Langkah-langkah Misi persiapan
Persiapan
December2012 March2013
Persiapan Dokumen Proyek
June2013
Peninjauan Dokumen Multilateral
Evaluasi
Perbaikan Dokumen Proyek
September2013
Disetujuioleh FIP SC
Mengajukanpermohonan untuk persetujuan proyek
November2013
Disetujui oleh Dewan ADB
Pengajuankepada Dewan ADB
January2014
Penandatanganan Kesepakatan Hibah oleh Pemerintah Indonesia
March2014
23. Proposal proyek akan disiapkan setelah adanya persetujuan dari FIP Sub-Komite atasRencana Investasi bagi Indonesia. Prosedur ADB mensyaratkan proyek baru agar melalui peninjauan dan persetujuan proyek secara internal, yang melibatkan pengawasaninvestasi dan advisory. ADB akan menyerahkan proposal proyek sesegera mungkin setelah Rencana Investasi Indonesia ini disetujui. A1.1.11 Permohonan untuk Hibah Persiapan Proyek 24. Hibah Persiapan Proyek FIP diminta untuk mencakup semua kegiatan persiapan proyek sebagai berikut: FOREST INVESTMENT PROGRAM (PROGRAM INVESTASI HUTAN) PERMOHONAN HIBAH PERSIAPAN PROYEK 1. Negara/Wilayah
1. CIF Project ID#:
Indonesia
77
(Wali akan memberikan nomor ID)
2. Judul Proyek:
8.1 Investasi Khusus Bagi Masyarakat untuk Penanggulangan Deforestasi dan Degradasi Hutan [Community-Focused Investments to Address Deforestation and Forest Degradation (CFI-ADD+)]
3. Permohonan Pendanaan FIP Tentatif (dalam juta USD 14 total) untuk Proyek pada saat Penyerahan Rencana Investasi (concept stage):
Hibah : $17,5 Juta
Pinjaman:
4. Hibah Persiapan yang Diminta (dalam USD):
$0,5 m
MDB: ADB
5. Focal Point FIP Nasional:
Dr. Hadi S. Pasaribu Penasehat Senior, Kementerian Kehutanan, Indonesia
[email protected]
6. Lembaga Pelaksana Nasional (project/program):
Kementerian Kehutanan
7. Focal Point FIP MDB dan Pemimpin Proyek/Gugus Tugas Program (TTL):
Kantor Pusat – Focal Point FIP:
Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan
David McCauley/Javed Mir Penasehat dan Kepala, Unit Koordinasi Program Perubahan Iklim
TTL
Ancha Srinivasan Spesialis Kepala Perubahan Iklim
[email protected]
[email protected];
[email protected] 8. Gambaran kegiatan yang tercakup dalam hibah persiapan ini: Identifikasi wilayah yang akan mendapatkan bantuan langsung Identifikasi pemerintah dan masyarakat yang akan terlibat Pengumpulan data baseline Pemetaan/identifikasi organisasi lain yang saat inibekerja di wilayah-wilayah tertentu Pengembangan rencana pelaksanaan, modalitas, kerangka waktu dan kerangka pemantauan Penilaian akan permintaan pasar, pengaturan kemitraan yang layak Inisiatif pelibatan Pemangku Kepentingan dan Focus Group Discussion (FGD) untuk memvalidasi data, informasi dan rencana aksi 9. Keluaran: -
Hasil
Waktu
14
Termasuk permohonan hibah persiapan.
78
(a) Pengumpulan data baseline/identifikasi pemangku kepentingan
Desember2012 (mulai)
(b) Lokakarya Validasi
April2013 dan Juli 2013
(c) Penyelesaian studi ruang linkup
September2013
10. Anggaran (indicative): Belanja
15
Jumlah (USD) – perkiraan
Konsultan
250.000
Peralatan Lokakarya/seminar
65.000
Perjalanan/transportasi
100.000
Lain (biaya admin/operasional)
40.000
Biaya Tak Terduga (maksimal 10%)
45.000
Total Biaya
500.000
Kontribusi Lain
Pemerintah (dalam bentuk barang/jasa)
MDB (dalam bentuk barang/jasa)
Sektor Swasta
Lainnya (silakandijelaskan)
50.000
11. Tata Waktu (tentative): Penyerahan permohonan hibah persiapan proyek: November2012 Identifikasi firma/konsultan dan dimulainya studi: Februari2013 Penyelesaian Studi: September2013 Penyerahan Proposal Proyek/Program untuk Disetujui oleh FIP Sub-Komite: November2013 16 Tanggal persetujuan Manajemen MDB : Januari2014 17 12. Mitra lain yang terlibat dalam rancangan dan pelaksanaan proyek : Kementerian Kehutanan, IBRD/IFC, konsultan internasional dan lokal, direktorat lain dari Kementerian Keuangan, Kementerian Koperasi, Kementerian Perindustrian, firma swasta yang beroperasi dalam sektor kehutanan di Indonesia, organisasi masyarakat sipil, pemerintah daerah.
15
Kategori pengeluaran ini bisa disesuaikan selama persiapan proyek sesuai dengan kebutuhan yang muncul. Dalam beberapa kasus kegiatan tidak memerlukan persetujuan dewan direksi MDB 17 Mitra lokal, nasional dan internasional lainnya diharapkan untuk terlibat dalam perancangan dan pelaksanaan proyek. 16
79
13. Jika ada, penjelasan mengapa hibah MDB dikeluarkan: ADB akan melaksanakan hibah persiapan ini dengan bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan. Pelaksanaan ini penting untuk mempercepat perekrutan dan manajemen pelayanan konsultasi yang efisien. Hibah persiapan sebesar US$ 0.5 juta akan digunakan untuk mengembangkan proposal dan merinci rencana pelaksanaan untuk seluruh proyek. Kegiatan ini akan melibatkan peran dan keterlibatan dari berbagai badan yang berbeda dan lembaga. ADB akan melaksanakan hibah persiapan ini dengan menggunakan proses dan prosedur pengadaan ADB. Pelaksanaan oleh ADB juga sesuai dengan prosedur TA ADB. 14. Pengaturan Pelaksanaan (termasuk pengadaan barang dan jasa): Bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, ADB akan melakukan pengadaan jasa konsultan dan barang dari kantor pusatnya di Manila dan dukungan dari Indonesia Resident Mission.
A1.2 Proyek 2: Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Berkelanjutan dan Pengembangan Kelembagaan A1.2.1 Para Mitra Proyek dan Pemangku Kepentingan Pemangku Kepentingan
Peranan Utama
MDB
Bank Dunia
Pendanaan hibah FIP (US $18 juta)
Dana pendamping yang Potensial
IAFCP
Dana pendamping untuk kegiatan rencana tata ruang dan kegiatan masyarakat
FCPF
Dana pendamping untuk dialog kebijakan dan pengumpulan data baseline
Satuan Tugas/Lembaga REDD+ Nasional
Kebijakan dan pengarahan
Kementerian Kehutanan
Reformasi kebijakan REDD+, pengarahan dan internalisasi FIP ke dalam unit KPH
Badan Pertanahan Nasional
Kebijakan mengenai rencana tata ruang di tingkat desa
Kementerian Dalam Negeri
Panduan dan fasilitasi lembaga KPH, pelibatan pemerintah provinsi dan kabupaten, serta pemberdayaan ekonomi desa
BAPPENAS
Kebijakan dan pengarahan
Lembaga Pemerintah Nasional
80
Pemangku Kepentingan
Lembaga Pemerintah Daerah
Pemangku Kepentingan Langsung
Peranan Utama
Kementerian Pertanian
Kerjasama di tingkat desa dalam hal tata ruang dan peningkatan ekonomi lokal
BAPPEDA
Kerjasama dalam rencana tata ruang
Pemerintah Provinsi
Mitra dan Penerima Manfaat dari kegiatan pengembangan kapasitas
Penduduk Desa dan Masyarakat adat
Penerima manfaat dari perencanaan di tingkat masyarakat dan kegiatan ekonomi di dalam KPH dan zona penyangga
Desa dan lembaga masyarakat lokal lainnya, termasuk lembaga adat
Mitra dalam kegiatan termasuk kegiatan berbasis KPH, dan penerima manfaat dari skema insentif
Lembaga KPH terpilih
Pengelolaan proyek di tingkat tapak, mitra dan penerima manfaat dari kegiatan pengembangan kapasitas
A1.2.2 Perumusan Masalah 25. Rencana Tata ruang, tenurial dan REDD. Luasan kawasanhutan milik negara di Indonesia sebesar 134 juta hektar, mencakup hampir seluruh areahutan yang ada di negara ini, namun analisis terbaru menunjukkan bahwa kurang dari 5% hutan di provinsi-provinsi utama REDD+ di Indonesia yang telah dikukuhkan (BPK 2010). Konflik lahan merupakan hambatan dalam melakukan investasi yang berbasislahan, termasuk kegiatan-kegiatan terkait REDD+. Banyak pemangku kepentingan termasuk sektor swasta, mengangap bahwa kurang terjaminnya hak kepemilikan lahan merupakan penghalang terbesar dalam investasi. Lagipula kegiatan agroforestri tidak diakui sebagai kegiatan penggunaan lahan yang memenuhi fungsi hutan memiliki konsekuensi terhadap status hukum dan kepemilikan lahan untuk petani kecil. Selain itu, alokasi lahan yang tumpang tindih untuk kegiatan penambangan, hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit, dan masyarakat lokal menjadi hal yang umum terjadi di Indonesia. 26. Program KPH merupakan kerangka untuk perbaikan rencana tata ruang yang berbasis hutan dan tata kelola hutan, namun masih menghadapi berbagai tantangan terkait dengan hak guna lahan. Menurut GIZ (2011), daerah-daerah KPH menghadapi berbagai jenis konflik terkait dengan hak guna lahan di daerah mereka, termasuk: (1) Konflik hak guna lahan yang utama biasanya ditunjukkan dengan kuatnya hak yang dimiliki oleh masyarakat (2) sementara konflik hak guna lahan yang kecil biasanya ditunjukkan dengan penguasahan lahan yang memiliki hak kepemilikan lemah dan seringkali diakibatkan oleh kemiskinan, (3) isu-isu terkait akses terhadap sumber daya hutan,dalam hal ini penggunaan lahan tanpa adanya klaimuntuk menguasailahan, namun bukti historis yang dapat 81
dipertanggungjawabkan menunjukkan sebaliknya, dan 4) isu-isu terkait dengan kegiatan ilegal, dalam hal ini menguasailahan atau penggunaan sumber daya tanpa adanya hak yang kuat atau bukti historis yang dapat dipertanggungjawabkan. 27. Ada peluanguntuk mengembangkan kapasitas lembaga-lembaga KPH untukpelibatan masyarakat dan perencanaan tata gunalahan. Dengan menugaskan praktisi di bidang kehutanan yang telah mendapatkanpelatihan yang dibutuhkan di tingkat lokal dan lapangan, lembaga-lembaga KPH dapat memfasilitasi dan melakukan rencana tata ruang dan tata guna lahan yang lebih baik, rencana pembangunan hutan jangka panjang dan meningkatnya perekonomian lokal dalam bentuk mata pencaharianyang berkelanjutan. KPH dapat memainkan peran penting dalam memantau dan menegakkan rencana tata guna lahan, meningkatkan penjangkauan ke para pemangku kepentingan lokal dan memberikan pendekatan partisipatif yang disesuaikan dengan kondisi lokal dalam menangani proses perencanaan tata guna lahan. Hal ini dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan KPH dan manfaatnya serta meningkatkan nilai strategis dari hutan. 28. Banyak peluangpenting dalam upaya meningkatkan kapasitas masyarakat untuk rencana tata ruang dan partisipasi dalam REDD+ sebagai bagian dari skema pengelolaan hutan lestari (PHL) dalam KPH.. Masyarakat mendapatkan manfaat besar dari REDD+ namun hanya jika dilaksanakan dengan menghargai hak tradisional, pembagian manfaat secara adil, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat, untuk berpartisipasi, konsultasi dan akses terhadap sumberdaya. Untuk mencapai hasil positif ini, proses rencana tata ruang di tingkat masyarakat juga akan membutuhkan masyarakat dan organisasi masyarakat adat yang memiliki informasi dan kapasitas, yang dibekali dengan keterampilan, pengalaman, akses dan bersedia terlibat dalam dialog kebijakan yang efektif, kegiatan pengelolaan hutan dan lahan gambut, kesempatan berinvestasi dan transaksi keuangan. 29. Rencana tata guna lahan masyarakat dalam kerangka KPH dan di zona penyangga harus lebih fokus pada kegiatan matapencaharian. Aspek pengelolaan sumber daya alam jarang diperkenalkan dalam rencana pembangunan daerah dan contoh positif dari bidang ini perlu ditingkatkan, disosialisasikan dan diarusutamakan. Kesempatan penting untuk mengarusutamakan proses perencanaan berkelanjutan yang berbasis masyarakat, akan berada dalam kerangka PNPM - program nasional untuk pemberdayaan masyarakat, yang memberikan mekanisme yang soild dan efisien untuk proyek-proyek yang didorong oleh masyarakat di seluruh Indonesia dan memberikan landasan partisipatif yang efektif dengan mekanisme untuk perencanaan, administrasi dan pelaporan di tingkat lokal. Menjembatani antara landasan berbasis masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik serta peningkatan penghidupan akan menjadikan perubahan yang transformatif pada tata guna lahan yang pada akhirnya akan mendukungiklim yang memungkinkan bagi REDD+. 30. Melakukan investasi pada lembaga dan masyarakat untuk perencanaan yang lebih baik dan mata pencaharian berkelanjutan yang mengarahpada pengurangan emisi GRK akan menciptakan kondisi pemungkin untuk intervensi pada tingkatproyek. Pengembangan mata pencaharian dianggap sebagai unsur penting untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang dengan mengurangitekanan ekonomi terhadap eksploitasi berlebihan terhadap hutan dan lahan gambut. Selain itu jugadengan mengatasi salah satu penyebab utama dari deforestasi, rencanatata ruang yang lebih baik di tingkat masyarakat akan berkontribusi terhadap kerangka pengamanan yang lebih baik pada hutan dan lahan gambut yang masih memiliki nilai tinggi. Pengalaman pertama dengan proyek REDD+ dikawasanhutan yang menunjukkan kurangnya definisi hak lahan yang jelas dan proses alokasi lahan yang tidak jelas dapat menghambat keberhasilan dari pelaksanaan proyek. 82
Tata kelola lahan yang baik dapat secara signifikan mengurangi risiko proyek dan harus mengarahpada peningkatan investasi dalam REDD+ serta PHL.
A1.2.3 Usulan Strategi Investasi 31. Proyek yang didukung oleh Bank Dunia mengusulkan program multi-tahap yang memprioritaskan investasi REDD+ yang berfokus pada masyarakat agar dapat meningkatkan kondisi pemungkin untuk pengunaan lahan yang berkelanjutan dan pelaksanaan proyek REDD+. Hal ini dapat dicapai melalui a) kegiatan khusus yang bertujuan untuk memperkuat KPH dan lembaga lain dalam kapasitasnya untuk melakukan rencana tata ruang, pengembangan rencana bisnis dan pelibatan masyarakat; dan b) kegiatan yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam melaksanakan REDD+, perencanaan tata guna lahan yang tepat serta pengembangan mata pencaharian yang tepat. Untuk dapat memaksimalkan potensi pengurangan emisi GRK, programprogram akan disasar pada wilayah yang memiliki potensi mitigasi emisi karbon yang tinggi termasuk hutan dan lahan gambut. 32. Kementerian Kehutanan telah mengidentifikasi sejumlah KPH modelsebagai mitra potensial dalam pelibatan FIP, dimana enam18 diantaranya terletak dalam provinsi prioritas REDD+ (Tabel 1). Investigasi lebih lanjut akan menentukan tingkat kesesuaian dari KPH-KPH tersebut untuk terlibat dalam kegiatan dan mengidentifikasi peluanguntuk persiapan proyek yang khusus untuk lahan itu dalam area KPH dan zona penyangga. Kriteria khusus untuk memilih mitra KPH adalah: 1) kepemilikan KPH di tingkat nasional dan regional; 2) kemampuan dan keinginan untuk terlibat dengan masyarakat dalam perencanaantata guna lahan dan pengembangan mata pencaharian yang berkelanjutan; dan 3) kesesuaian strategis dengan tujuan REDD+ termasuk potensi untuk pengembangan proyek REDD+.
Kegiatan Proyek 33. Intervensi akan disusunberdasakan pengembangan kapasitaskelembagaan dan kebutuhan pengembangan untuk meningkatkan proses perencanaan dan untuk memenuhi permintaan masyarakat dan mata pencaharian. Intervensi ini akan bekerjasama dengan program setempat dan mengembangkan kegiatan yang ada serta struktur dan proses masyarakat yang ada di tingkat lokal. Program ini juga akan bekerjasama dengan lembaga provinsi dan nasional untuk mengaitkannya dengan Strategi Nasional REDD+ dan mekanisme finansial yang diusulkan dan denganprogram nasional misalnya PNPM. 34. Kegiatan potensial berikut juga dapat dilaksanakan—tergantung pada kebutuhan dan kepemilikan lokal: A. Dukungan untuk Pengembangan Kapasitas KPH REDD+ Kegiatan dalam komponen ini akan mendukung unit KPH dalam meningkatkan kondisi lokal untuk pelaksanaan REDD+, terutama dalam kaitannya dengan tata guna lahan dan pengembangan rencana usaha terkait. Bergantung pada lokasinya, kegiatan khusus dapat berupa: Melatih KPH untuk mendukung dan memantau rencana tata guna lahan masyarakat Mendukung integrasi peluang REDD+ ke dalam rencana pengelolaan hutan dan rencana bisnis. 18
Note that a seventh KPH is located in West Kalimantan (KPH Sintang). However, as this falls within the ADB program area, it is for now excluded from the potential list of KPH for the WB program.
83
Mengembangkan kapasitas KPH untuk melibatkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (HKm, HTR, HD, Hutan Rakyat, HR) sebagai mitra dalam mencapai PHL Mengembangkan kapasitas KPH dalam memfasilitasi dan melakukan perencanaantata guna lahan berbasis masyarakat dan mata pencaharian yang berkelanjutan serta rencana pengembangan hutan jangka panjang. Mendukung strategi pelibatan KPH dengan para pemangku kepentingan daerah Mendukung pengembangan pendekatan partisipatif yang disesuaikan dengan kondisi setempat dalam menanganiproses perencanaan tata guna lahan dan manajemen konflik. Kegiatan pengembangan kapasitas dan perencanaan lainnya akan diidentifikasi berdasarkan permintaan setempat. B. Dukungan untuk Masyarakat dalamKesiapan dan Pelaksanaan REDD+ Komponen ini akan dilaksanakan bekerjasama dengan program yang akan dapat memberikan investasi yang penting dalam hal penghidupan bagi masyarakat misalnya PNPM dan mekanisme pendanaan mikro lainnya serta KPH. Komponen ini dibagi menjadi tiga sub-komponen, yaitu: i. Rencana Tata Guna Lahan tingkat Masyarakat Sub-komponen ini akan mendukung rencana tata guna lahan di tingkat masyarakat pada kelompok masyarakat tertentu, terutama di dalam dan sekitar areaKPH prioritas. Rencana tata ruang mikro atau tata guna lahan akan diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan masyarakat sebagai rencana tata ruang, pembangunan dan mata pencaharianyang terintegrasi. Kegiatan-kegiatan dalam sub-komponen ini adalah: Mengembangkan recana tata guna lahan di tingkat masyarakat melalui proses yang partisipatif dan terintegrasi ke dalam rencana pembangunan masyarakat; Membantu masyarakat mengembangkan indikator berbasis kinerja dengan tujuan membuat dasar untuk pembayaran REDD+ yang berbasis kinerja. Kegiatan ini akan dikembangkan bekerjasama dengan PNPM dan program REDD+ donor lain yang berfokus pada investasi dan hibah mengenai mata pencaharianmasyarakat (AusAid, Norway LoI, KfW, dll.). Menguji dan memulai pembayaran berbasis kinerja berdasarkan indikator yang telah disusunmengenai kegiatan-kegiatan mata pencaharian dan pengelolaan sumber daya alamyang sejalan dengan rencana tata guna lahan ii. Dukungan terhadap pengembangan mata pencaharianmasyarakat dan pengelolaan sumber daya alam Sub-komponen ini akan mendukung kegiatan pengembangan mata pencaharian yang dilaksanakan oleh masyarakat di daerah prioritas yang menyasar pengembangan mata pencaharian berkelanjutan, hasil hutan bukan kayu, pengelolaan hutan, perikanan dan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan lainnya yang sejalan dengan rencana tata guna lahan. Investasi ini akan secara langsung memberikan manfaat bagi keberadaan masyarakat, meningkatkan pendapatan dan ramah lingkungan, dan mengurangi tekanan ekonomi dan subsistensi yang akan mendorong kegiatan yang ada saat ini. Kegiatan-kegiatan yang ada di wilayah KPH akan dapat dikoordinasikan dengan unit84
unit KPH dan rencana pengelolaan hutan mereka. Masyarakat di daerah perbatasan zona penyangga juga sedapat mungkin akan diintegrasikan. Masyarakat akan memilih kegiatan mata pencaharianyang sesuai dengan keseluruhan tujuan REDD+ dan dalam komponen lingkungan, sosial, dan kendala hukum. iii. Mengembangkan pengaturan kelembagaan dan teknis untuk REDD+ Sub-komponen ini akan memberikan dukungan terhadap pengembangankelembagaan dan pengaturan teknis yang diperlukan untuk mekanisme pendanaan REDD+ yang sejalan dengan panduan nasional dan internasional guna menjamin keberlanjutan jangka panjang, terkait dengan area prioritas. Rancangan mekanisme pembayaran REDD masih dalam tahap pengembangan di tingkat internasional sebagai bagian dari proses UNFCCC. Di Indonesia, upaya dan pengaturan kelembagaan di tingkat nasional dan lokal juga masih dalam pengembangan dan dalam masa transisi. Kapasitas, kesiapan, pengaturan lembaga dan pembayaran masih dalam proses pengembangan terutama di tingkat lokal. Komponen ini nantinya akan berkembangsetelah panduan yang lebih jelas berkembang dari proses REDD+ di tingkat nasional dan internasional dan akan melibatkan beberapa kegiatan potensial berikut ini:
Pengembangan baseline (REL), sertakemampuan melakukan pengukurandan pelaporan; Pengembangan kelembagaan KPH dan lembaga lain di tingkat kabupaten untuk pelaksanaan dan pengelolaan REDD+; Mendukung lembaga masyarakat untuk mewakili mereka sendiri dalam KPH dan dalam perdebatanmengenai REDD+;di tingkat nasional maupun kabupaten Mendukung pengembangan proyek-proyek yang dapat mendatangkan keuntungan finansial dengan mendanai studi baseline misalnya penilaian terhadap kelembagaan, rancangan pengaturan kelembagaan, studi baseline, studi sosioekonomi, proses konsultasi, penilaian finansial, identifikasi dan pemetaan masalah dan konflik, dll.
A1.2.4 Dampak dan Manfaat TambahanYang Diusulkan 35. Peningkatan rencana tata ruang, peningkatan kapasitas kelembagaan lokal dan hak guna lahan yang lebih jelas adalah beberapa dampak yang bersifat transformasional, termasuk:
Pengurangan kegiatan ilegal misalnya pembalakan liar dan penggunaan lahan hutan untuk fungsi lain—termasuk pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Kontribusi terhadap pengakuan akan hak sah ataslahan termasuk tuntutan atas tanah warisan, meningkatnya kapasitas rencanatata guna lahan dan pada akhirnya peningkatan hak guna lahan dan kejelasan serta pengakuan atas tuntutan dan aspirasi pengembangan masyarakat, meningkatnya investasi pada kegiatankegiatan mata pencaharianmasyarakat, meningkatkan kontribusi mereka terhadap pengurangan kemiskinan, pengelolaan sumber daya hutan, dan jasa lingkungan dengan menggunakan dan mempengaruhi instrumen pendanaan masyarakat skala besar yang sudah ada, misalnya, namun tidak hanya terbatas, PNPM. Iklim investasi yang lebih baik untuk REDD+ sebagai lembaga lokal tingkat kabupaten dan KPH, meningkatkan kemampuan manajemen dan kemampuan mereka dalam melibatkan diri dengan kepentingan masyarakat. 85
Potensi untuk distribusi manfaat yang lebih transparan dan setara, termasuk manfaat REDD+ melalui kerjasama dengan program pendanaan besar, mekanisme pendanaan pengurangan kemiskinan dan peningkatan kapasitas manajemen di tingkat lokal. Meningkatkan iklim investasi dengan memberikan stabilitas bisnis dan dasar yang lebih kuat untuk pertumbuhan di masa depan.
36. Dengan fokus pada provinsi-provinsi yang mengalami deforestasi yang cepat dan lahan gambut dengan pemerintah daerah yang sudah terberdayakan, maka daerah memiliki potensi yang baik untuk peningkatan kualitas dalam hal kebijakan, pelaksanaan, pengelolaan dan tata kelola pada bidang-bidang yang akan paling utama dalam mengurangi emisi GRK di Indonesia.
A1.2.5 Kesiapan Pelaksanaan 37. Adanyapeningkatan kesadaran dari Pemerintah Indonesia akan perlunya menangani masalah hak atas lahan dalam konteks REDD+. Organisasi masyarakat sipil Indonesia telah lama terlibat dalam advokasi juga pemetaan masyarakat dan pejangkauan pemangku kepentingan, bergerak pada isu hak guna lahan untuk masyarakat lokal. Pada konferensi mengenai hak guna lahan hutan di Lombok pada Juli 2011, Pemerintah indonesia mengumumkan niatnya untuk memprioritaskan kebutuhan masyarakat hutan untuk “mengakui, menghargai dan melindungi hak-hak Adat” dan menangani masalah lemahnya koordinasi di seluruh lembaga pemerintahan dalam menangani kebijakan hak guna hutan. Pada acara tersebut, Pemerintah Indonesia meluncurkan proses yang transparan dan partisipatif yang akan berupaya mencari masukan dari berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat adat. Adanya perhatian seperti inibersamadengan temuan dari tinjauan sektor kehutanan KPK terakhir memberikan kesempatan baru untuk terlibat dalam isu lahan. 38. Selain dari ketidakpastian terkait dengan rancangan, program KPH masih dalam proses pengembangannya di Indonesia dan memberikan banyak sekali pintu masuk untuk investasi dalam mendukung rencana tata ruang yang lebih baik. Sistem KPH yang berlaku di seluruh Indonesia secara tegas termaktub dalam kerangka hukum kehutanan dan rencana pembangunan kehutanan. UU No.41/1999 mengenai Kehutanan meminta agar pengembangan dan pembuatan sistem pengelolaan hutan dibuat berdasarkan fungsi hutan. Konsep KPH lebih lanjut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah mengenai Pengaturan dan Persiapan Hutan untuk Rencana Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Hutan (PP6/2007) dan perubahannya (PP3/2008) yang membutuhkan dibentuknya KPH. Kementerian Dalam Negeri mengesahkan sebuah peraturan di akhir 2010 yang memberikan kesempatan bagi Bupati untuk membentuk dan mengawasi KPH. Dasar hukum untuk sistem KPH yang berlaku secara nasional dilengkapi oleh pentingnya KPH dalam Rencana Strategis Kementerian Kehutanan, yang terbaru adalah Renstra 2010-2014, yang meminta adanya penyelarasan dari semua wilayah KPH dan dibentuknya 120 lembaga KPH operasional yang mencakup 20% dari KPH yang sudah diselaraskan pada tahun 2014. Kementerian Kehutanan telah mengidentifikasi 13 KPH Model yang dianggap cukup maju sehingga akan mendapatkan manfaat dari kerjasama denganprogram FIP (Table 1,diatas).
86
A1.2.6 Mitra Potensial Nasional dan internasional 39. Bila memungkinkan, inisiatif ini akan dikoordinasikan dengan inisiatif FIP dari sektor swasta yang dipimpin oleh IFC dan inisiatif sektor publik yang akan dipimpin oleh ADB serta organisasi donor dan multilateral lainnya. 40. Mitra nasional potensial di tingkat lokal termasuk organisasi pemberi hibah skala kecil. Organisasi-organisasi ini saat ini terlibat dalam memberikan hibah-hibah skala kecil pada masyarakat di beberapa daerah tertentu yang memiliki relevansi langsung dengan REDD+ dan pemberdayaan masyarakat secara umum. Kemitraan dan yayasan masyarakat di beberapa daerah mendukung proses konsultasi pemangku kepentingan di beberapa kabupaten terpilih. Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) juga akan menjadi salah satu mitra pelaksana potensial. 41. AusAID dan GIZ merupakan mitra yang tepat untuk bekerjasama dalamunit KPH. Saat ini GIZ memberikan bantuan teknis untuk pembentukan tiga KPH yang terletak di Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Berau (Kalimantan Timur) dan Malinau (Kalimantan Timur). GIZ juga mendukung Kementerian Kehutanan dalam mengembangkan strategi untuk melaksanakan program KPH, mengembangkan kapasitas SDM yang dibutuhkan untuk pengelolaan KPH dan memberikan saran dalam perumusan peraturan-peraturan terkait. AusAID mendukung program masyarakat dan pengembangan kelembagaan di beberapa daerah sebelumnya. 42. Mitra utama dalam kegiatan studi analisis termasuk CIFOR dan ICRAF. ICRAF telah mendukung Kelompok Kerja Tenure dalam mengembangkan perangkat/sarana untuk kegiatan penilaian tenurial dan manajemen konflik. 43. Program Nasional Pemerintah Indonesia untuk Pemberdayaan Masyarakat Desar (PNPMDesa) yang merupakan program pembangunan berbasis masyarakat dari Kementerian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pembangunan Masyrakat Desa (PMD). PNPM-Desa dan PNPM-Hijau mencairkan hibah kepada kecamatan di daerah pedesaan untuk mendanai kegiatan pembangunan produktif yang diidentifikasi dan diprioritaskan oleh para perwakilan desa melalui pendekatan partisipatif denganmempertimbangkangender (gender-inclusive). 44. Mitra lain yang akan diidentifikasi berdasarkan lokasi terpilih dari program ini. Di Kalimantan Tengah AusAID (melalui KFCP) akan memiliki posisi strategis dalam memberikan dukungan untuk rencana tata ruang. Di Kalimantan Timur, TNC terlibat dalam memberikan saran pada pembentukan KPH di Berau sebagai bagian dari Program Karbon Hutan Berau. Di Jambi, FCPF akan terlibat dalam pengembangan kebijakan dan kegiatan persiapan REDD+ lainnya namun organisasi lain seperti WWF juga memainkan peran penting.
A1.2.7 Latar Belakang Pendanaan FIP Kriteria FIP
Alasan
Potensi Mitigasi Perubahan Iklim
Total emisi dari hilangnya hutan dan degradasi lahan gambut di enam kabupaten yang potensial diperkirakan sebesar 381 juta ton CO2e selama periode tujuh tahun dari 2013 hingga 2019. Diharapkan, program ini akan aktif setidaknya pada sekitar 4 kabupaten dan akan memberikanpengurangan emisi antara 10 -15 persen di daerah tersebut..Pengurangan emisi total diharapkan antara 16.9-25.4 juta tC.
87
Kriteria FIP
Alasan
Potensi untuk Peningkatan (scale-up)
Kegiatan ini menunjukkan komitmen awal yang sangat penting dalam kegiatan rencana tata ruang di tingkat desa yang dapat diperluas hingga ke areahutan primer. Selain itu, Program KPH Kementerian Kehutanan diluncurkan di seluruh Indonesia dan pelajaran dalam mengintegrasikan lembaga KPH dalam rencana tata ruang akan diterapkan secara luas. Rencana tata ruang yang lebih baik akan memberikaniklim bisnis lebih baik untuk proyek-proyek REDD+ dan akan mengarahpada berkurangnya emisi GRK melalui investasi REDD+ yang meningkat serta pada PHL
EfektivitasBiaya
Dengan asumsi nilai dari Emisi CO2e dapat dihindari sebesar US$5 per ton, potensi mitigasi GRK yang diharapkan proyek akan bernilai US$ 48.7 juta. Dengan investasi FIP sebesar US$ 18 juta, rasio biaya manfaat diharapkan sebesar 2.71. Biaya CO2e per ton adalah US$ 1.85.
Potensi Implementasi
Walaupunpolitik ekonomi hak guna lahan dan buruknya kerangka kelembagaan dan hukum menimbulkanpermasalahan, pengakuan yang semakin bertambah atas perlunya rencana tata ruang yang lebih baik telah menciptakan momen penting untuk reformasi, seperti yang terlihat pada Komitmen Lombok baru-baru ini. Program KPH yang ambisius memberikan kesempatan penting untuk mempercepat reformasi di sektor kehutanan dan penguatan kelembagaan lokal.
Integrasi ke dalam Pembangunan Berkelanjutan (manfaat yang dibagi bersama)
Rencana tata ruang yang lebih baik dan semakin jelasnya hak guna lahan akan memberikan beberapa dampak perubahan termasuk yang ada di bawah ini:
Pengurangan praktek ilegal misalnya pembalakan liar dan penggunaan lahan hutan untuk fungsi lain—termasuk pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Kontribusi terhadap pengakuan akan hak sah terhadap lahan termasuk tuntutan atas tanah warisan. Meningkatnya investasi di lahan yang terdegradasi, meningkatkan kontribusinya terhadap pengurangan kemiskinan, produksi kayu dan jasa lingkungan. Iklim investasi yang lebih baik untuk REDD+ karena biaya untuk negosiasi atas lahan dan kemungkinan adanya persaingan klaim atas lahanmenurun. Manfaathutan yang lebih transparan dan merata termasuk manfaatdari REDD+. Meningkatnya iklim investasi akan memberikan stabilitas dalamberbisnis dan memberikandasar yang lebih kuat untuk pertumbuhan di masa yang akan datang
88
Kriteria FIP Kerangka Pengamanan (Safeguard)
Alasan Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam program ini harus sejalan dengan kebijakan pengamanan Bank Dunia terkait dengan pengelolaan linkungan dan dampak sosial. Program ini akan mengembangkan alat pengamanan yang dikembangkan melalui Hibah Kesiapan FCPF REDD+. Terutama Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan Sosial FCPF akan diaplikasikan pada intervensi apapun yang khusus untuk lahan tersebut. Tujuan utama dari program ini adalah untuk mendorong partisipasi yang efektif dalam rencana tata ruang. Konsultasi akan dilakukan sejalan dengan kebijakan Bank Dunia mengenai masyarakat adatdan peraturan yang berlaku dimana undang-undang nasional mungkin akan membuat standard yang lebih tinggi.
A1.2.8 Kegiatan Pengamanan (Safeguards) 45. Kegiatan yang dilakukan dalam program ini harus sejalan dengan kebijakan pengamanan Bank Dunia terkait dengan pengelolaan lingkungan dan dampak sosial. Disadari bahwa skema REDD+ yang dirancang dengan buruk dapat mengakibatkan distribusi keuntungan yang tidak adildan tidak efisien dan ini terkait dengan risiko sosial dan lingkungan yang sangat signifikan. Misalnya, pemangku kepentingan khawatir bahwa jika isu tata kelola yang penting tidak ditangani dengan baik, REDD+ tidak akan mencapai tujuannya dan akan lebih melakukan marjinalisasi terhadap masyarakat sekitar hutan atau habitat alami yang ada akan digantikan oleh perkebunan. 46. Tujuan utama dari proyek ini adalah untuk mendorong partisipasi yang efektifdari pemangku kepentingan dalam rencana tata ruang. Untuk memenuhi tujuan itu, konsultasi akan dilakukan sejalan dengan kebijakan Bank Dunia mengenai masyarakat adat dan undangundang yang berlaku dimana undang undang nasional mungkin memiliki standard yang lebih tinggi. Konsultasi yang dilakukan akan bersifat inklusif dengan pengantar bahasa setempat sesuai kebutuhan dan akan memberikan cukup waktu bagi masyarakat untuk memberikan tanggapannya. 47. Proyek ini akan mengembangkan alat pengamanan yang dikembangkan melalui Hibah Kesiapan REDD+ FCPF. Dalam antisipasinya terhadap risiko sosial dan lingkungan yang mungkin akan berdampak pada investasi di masa depan, FCPF mengembangkan Kerangka Pengelolaan Sosial dan Lingkungan (Environmental and Social Management Framework, ESMF). ESMF akan menyusun prinsip, aturan, panduan dan prosedur untuk menilai dampak dan risiko sosial dan lingkungan, dan terdiri dari tindakan untuk mengurangi, mitigasi dan/atau lingkungan serta dampak sosial yang berbahaya dan meningkatkan dampak positifserta kesempatan dari proyek ini. ESMF ini akan menjadi kerangka untuk menangani isu-isu pengamanan dalam proyek REDD+ yang didanai oleh Bank Dunia. A1.2.9 Rencana Pendanaan Komponen Pendanaan Bank Dunia
Hibah FIP Bank Dunia (Juta USD)
1. Bantuan untuk pengembangan kapasitas
2.75
89
Pendanaan Bersama (tbc)
KPH,donor lain
kelembagaan
(kemungkinan GIZ, AusAID)
2. Dukungan terhadap masyarakat untuk Kesiapan dan Pelaksanaan REDD+
14.75
Norwegia LoI, PNPM, FCPF (tbd)
A1.2.10 TataWaktu Persiapan Proyek Tahapan
Langkah-langkah
Tanggal yang Diidentifikasi
Persiapan
Misi Persiapan
Desember 2012
Persiapan Dokumen Proyek
March2013
Tinjauan multilateral terhadap dokumen yang ada
Juni2013
Evaluasi
September 2013
Perbaikan dokumen proyek Persetujuan oleh FIP SC
Mengajukanpermohonan untuk persetujuan proyek
November2013
Persetujuan oleh Manajemen WB
Pengajuan kepada Manajemen WB
January 2014
March 2014 Penandatanganan kesepakatan hibah oleh Pemerintah Indonesia
A1.2.11 Permohonan Hibah Persiapan proyek 48. Hibah Persiapan Proyek FIP diminta untuk mencakup semua kegiatan persiapan proyek sebagai berikut: PROGRAM INVESTASI KEHUTANAN PERMOHONAN HIBAH PERSIAPAN PROYEK 1. Negara/Wilayah:
Indonesia
2. Judul Proyek
Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat yang Berkelanjutan dan Pengembangan Kelembagaan
3. Permohonan Pendanaan FIP Tentatif (dalam juta USD total) untuk Proyek19 pada saat Penyerahan Rencana Investasi (concept stage): 4. Hibah Persiapan yang Diminta (dalam USD):
Hibah : $17,5 Juta
#ID Proyek CIF:
$0,5 m
(Wali akan memberikan nomor ID)
MDB: World Bank
19
Termasuk permohonan hibah persiapan.
90
5. Focal Point FIP Nasional:
Dr. Hadi S. Pasaribu Staf Ahli Menteri Kementerian Kehutanan, Indonesia
[email protected]
6. Lembaga Pelaksana Nasional (project/program):
Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan
7. Focal Point FIP MDB dan Pemimpin Proyek/Gugus Tugas Program (TTL):
Kantor Pusat - Focal Point FIP:
TTL:
Dr. Gerhard Dieterle
Mr.Werner Kornexl
Penasehat
Senior Climate Change Specialist
[email protected]
[email protected] 8. Gambaran kegiatan yang termasuk dalam hibah persiapan: Identifikasi wilayah KPH prioritas untuk kerjasama dan dukugan Identifikasi masyarakat sasaran Pengumpulan data baseline: data socio-ekonomi, data lingkungan, data kepemilikan lahan, inventori kegiatan mata pencaharian Pemetaan/identifikasi pemangku kepentingan dan lembaga-lembaga yang relevan Pengembangan rencana pelaksanaan, modalitas, kerangka waktu dan kerangka pemantauan Focus Group Discussion (FGD) dan inisiatif pelibatan pemangku kepentingan untuk memvalidasi data, informasi dan rencana aksi 9. Keluaran: Hasil
Waktu
(a) Pengumpulan data baseline/identifikasi pemangku kepentingan
November2012 (mulai)
(b) Lokakarya Validasi
Februari2013
(c) Penyelesaian studi ruang lingkup
March2013
10.
Anggaran (Indikatif):
Belanja
20
Jumlah (USD) Estimasi
Konsultan
260.000
Lokakarya/Seminar
65.000
20
Kategori pengeluaran ini bisa disesuaikan selama persiapan proyek sesuai dengan kebutuhan yang muncul.
91
Perjalanan/transportasi
100.000
Lainnya (Biaya admin/operasional)
30.000
Tak Terduga (maksimal 10%)
45.000
Total Biaya
500.000
Kontribusi lain: Pemerintah (berupa barang/jasa)
100.000
MDB
100.000
Sektor Swasta Lainnya (silakandijelaskan) 11. Kerangka Waktu (sementara): Penyerahan permohonan hibah persiapan proyek: November2012 Identifikasi firma/konsultan dan dimulainya studi: Februari2013 Penyelesaian Studi: September2013 Penyerahan Proposal Proyek/Program untuk Disetujui oleh Sub-Komite FIP: November2013 21
Tanggal persetujuan Manajemen MDB : Janauari2014 12. Mitra Lain yang terlibat dalam rancangan dan pelaksanaan Proyek:
22
Kementerian Kehutanan, IFC/ADB, konsultan internasional dan lokal, direktorat lain dari Kementerian Keuangan, Kementerian Koperasi, Kementerian Perindustrian, organisasi masyarakat sipil, pemerintah daerah. 13. Jika ada, penjelasan mengapa hibah MDB dikeluarkan: Hibah persiapan sebesar US$ 0.5 juta akan digunakan untuk mengembangkan proposal dan merinci rencana pelaksanaan untuk seluruh proyekDukungan terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat yang Berkelanjutan dan Pengembangan Kelembagaan. Hasil dari kerja ini adalah identifikasi dari mitra pemerintah yang tepat untuk pelaksanaan dan eksekusi program 14. Pengaturan Pelaksanaan (termasuk pengadaan barang dan jasa). Hibah persiapan proyek ini harus dilakukan oleh WB bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Dalam negeri. Pelaksanaannya juga harus melibatkan LSM, IFC dan ADB dimanapun dimungkinkan, masyarakatdan organisasi masyarakat, lembaga pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya. Sejalan dengan Panduan Program FIP untuk MDB, pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam hibah ini akan mengikuti panduan pengadaan Bank Dunia
21
Dalam beberapa kasus kegiatan tidak memerlukan persetujuan dewan direksi MDB Mitra lokal, nasional dan internasional lainnya diharapkan untuk terlibat dalam perancangan dan pelaksanaan proyek.
22
92
A1.3 Proyek 3: Memperkuat Usaha Sektor Kehutanan dalam Mitigasi Emisi Karbon 49. Rencana Investasi Kehutanan Indonesia telah mengidentifikasi beberapa bidang dimana penggunaan intervensi yang didanai oleh FIP dapat memberikan dampak perubahan terhadap jejak karbon (carbon footprint) di negara ini. Lampiran 1.1 dan 1.2 membahas mengenai proyek yang akan dipimpin oleh ADB dan WB atas nama Pemerintah Indonesia, untuk meningkatkan pengelolaan hutan dan mengurangitekanan terhadap ekosistem hutan melalui intervensi sektor publik. Lampiran untuk sektor swasta ini menggambarkanperan IFC dalam meningkatkan keterampilan, hubungan dan pendanaannya melalui intervensi langsung untuk memperkuat kapasitasproduksi dan keterampilan usaha dari perusahaan kehutanan skala kecil, menengah dan besar, dengan memperhatikan keterlibatanmasyarakat dan pengusaha kehutanan plasma. Inisiatif usaha kehutanan ini akan melengkapi inisiatif lain di sektor publik dan menjadi upaya bersama dalam merubah pengelolaan hutan Indonesia secara berkelanjutan. IFC akan bekerjasama dengan para mitranya untuk mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan yang akan menghasilkan pengurangan emisi danperlindungancadangan karbon hutan. A1.3.1 Mitra dan Pemangku Kepentingan Proyek 50. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia akan menjadi lembaga pemerintahan utama dimana International Finance Corporation (IFC) menjadi pemimpin untuk inisiatif investasi dan bantuan teknis untuk perusahaan sektor swasta di sektor kehutanan dan sektor lainnya dimana berpengaruh terhadap hutan. Mitra lain termasuk:
93
MDB, lembaga pemerintahan, dan pemangku kepentingan langsung MDB dan pendanaan bersama
IFC sebagai MDB IFC Bank swasta, lembaga simpan pinjam, dan lembaga finansial
Lembaga pemerintah
Peranan Penting Mengelola pinjaman lunak dan pendanaan hibah FIP dan memberikan Bantuan teknis Pendanaan bersama Pendanaan bersama
Donor bilateral
Hibah bantuan teknis
Kementerian Kehutanan
Kebijakan dan pengarahan
Badan REDD+ Nasional
Kebijakan dan pengarahan
MCSME, Kementerian Keuangan, Koordinasi tingkat Nasional CMEA Eksekusi tingkat Provinsi dan Kabupaten PFO, KPH Pemangku Kepentingan Langsung
Perusahaan kehutanan
Investor, pemegang konsesi, pengolahan, pabrik manufaktur, pembeli
Kontraktor Koperasi
Kelompok petani kecil LSM
Operasional,, penyedia jasa teknik dan bisnis Keanggotaan berdasarkan n areal penanaman dan melakukan operasi pasar Pelaku penanaman usaha skala kecil, partisipan Penguatan kapasitas bisnis skala kecil
A1.3.2 Perumusan Masalah 51. Meningkatnya permintaan kayu dan hilangnya area hutan: Terdapat sekitar 35 juta hektar hutan yang terdegradasi dan lahan-lahan terbuka di seluruh Indonesia termasuk yang dimiliki oleh pemerintah maupun perorangan. Lahan-lahan ini dengan insentif yang benar dan bantuan teknis, tidak hanya dapat menyediakan volume kayu untuk memenuhipermintaan lokal dan ekspor tetapi juga dapat memitigasi perubahan iklim dengan tambahan penyerapan karbon dari atmosfir. Penilaian pasar yang dilakukan pada tahun 2005 memperkirakan produksi kayu tahunan Indonesia sekitar 16 juta m3, yang memberikan nilai ekspor hingga US $5,4 miliar atau sekitar 6,3% dari nilai ekspor keseluruhan (Biro Pusat Statistik, 2006). Total produksi kayu tahun 2009 sebesar 34,3 juta m3, dimana 11,5 juta m3 diantaranya dihasilkan dari hutan alam (HPH dan IPK), dan 19,0 juta m3 dari hutan tanaman industri (HTI dan Perum Perhutani), dengan 3,8 juta m3 dari perijinan sah lainnya (Kementerian Kehutanan, 2010). Tekanan deforestasi tetap ada karena semakin meningkatnya persaingan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan lain misalnya perkebunan, pertambangan, dll. Tukar guling lahan (land swaps) dan meningkatnya produktitifas dipandang sebagai cara untuk memanfaatkanlahan yang terdegradasi dan mengurangi deforestasi. 52. Permintaan produk kayu tinggi di Indonesia: Permintaan produk kayu semakin meningkat dari 33,2 juta m3 pada tahun 2008 menjadi sebesar 34,6 juta m3 pada 2009. Saat ini cadangan kayu dari hutan alam menurun karena permintaan produk hutan meningkat seiring dengan meningkatnya populasi penduduk dan pendapatan per kapita negara. Sebagai akibatnya, ada kesenjangan yang meningkat antara produksi kayu legal dengan 94
permintaan, yang kemudian dipenuhi oleh kayu dari pembalakan liar yang pada akhirnya justru memperparah kondisi degradasi hutan. Selain dari tingginya permintaan, juga meningkatnya permintaan kayu dari sektor hilir kehutanan yang memerlukan kayu dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan, baik hutan alam maupun hutan tanaman. 53. Rendahnya nilai dan daya bersaing sektor kehutanan: Aspek lain dari masalah ini adalah karena kegiatan kehutanan berkelanjutan biasanya kurang menguntungkan dibandingkan kegiatan lainnya, seperti perkebunan dan pertambangan, sehingga para pemilik usaha kehutanan tidak melihat keuntungan ekonomi untuk mempertahankan kondisi hutan mereka. Tujuan intervensi sektor swasta dalam FIP adalah untuk mendukung inisiatifbisniskehutanan berkelanjutan, baik pada hutan alam maupun hutan tanaman agar lebih efisien, hemat, dan produktif. Sektor swasta memerlukan dukungan untuk dapat mengadopsi solusi pengelolan hutan berkelanjutan, agarinvestasi di sektor kehutananberjalan. Berdasarkan pengalaman global IFC dengansector kehutanan dan produk kayu, terlihat bahwa perusahaan seringkali gagal mendapatkan keuntungan yang jelas dari kegiatan kehutanan berkelanjutan. Hal ini seringkali disebabkan olehkurangnya akses terhadap teknik-teknik praktisdan hematbiaya, kurangnya pengalaman manajemen, kurangnya kemampuan analisis keuangan yang mempertimbangkan pengurangan nilai risiko atau membedakan antara investasi dan pembelanjaan, serta ketidakmampuan untuk dapat mengakses ketidakmampuan mendapat akses pendanaan komersial yang berorientasi padakebutuhan sektor kehutanan. 54. Meluasnya degradasi dan lahan yang kurang dimanaatkan: Lahan-lahandalam kawasan hutan di daerah pedalaman terus mengalami degradasi, seringkali karena adanya kegiatan perladangan berpindah oleh pendatang yang memiliki penghidupan rendah dan sumber daya terbatas. Sebagian besar dari lahan ini tidak memiliki hak kepemilikan dan administratif yang jelas. Akibatnya investasi yang ada biasanya sangat minim dan penggunaan teknik-teknik pengolahan yang merusak, seperti penggunaan api, akan dengan cepat mengurangi kemampuan lahan untuk mendukung tanaman pertanian. Di daerah lainnyasudah memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam teknikagroforestri untuk menghasilkan kayu dan pangan yang dibutuhkan, dan seringkali mendukung pengembangan pengusaha plasma dan perusahaan yang dimiliki masyarakat. Penggunaan lahan yang lebih baik jelas memungkinkanuntuk dilakukan dan dapat diperkuat dengan mendorong pengembangan perusahaan di bidang agroforestri. 55. Pendapatan yang tidak stabil dan hambatan pasar: Di Indonesia, program konsesi skala besar (HPH, HTI, HRE) telah dibangun dan dalam pengembangannya diarahkan untuk melaksanakanpengelolaan kehutanan berkelanjutan, baik pada lahan yang berhutan maupun kawasan hutan terdegradasi. Tanpa adanya keuntungan dari pendapatan pada tahap awal pengelolaan konsesi, banyak perusahaan yang memiliki keinginan kuat untuk menggunakan bantuan keuangan guna mempercepat pengembalian modal dari proyek pengelolaan kehutanan, danhal ini memberikan kesempatan bagi bank untuk mempercepat kegiatan pemberian pinjaman. Namun demikian, baik perusahaan maupun perantara di bidang keuangan masih terlihat enggan untuk masuk dan mengembangkan proyek kehutanan berkelanjutan. Hambatan-hambatan pasar lainnya yang dihadapi oleh perusahaan swasta termasuk, diantaranya: a. b.
Banyaknya peluanginvestasi yang lebih memberikan keuntungan finansial (dan lebih berisiko rendah)di sektor pertanian, pertambangan, dan sektor lainnya; Hambatan awal untuk masuk, misalnya ketidakmampuan mengakses pendanaan, pertentangan persespsi organisasional terhadap investasi modal untuk pengurangan biaya (dibandingkan dengan perluasan produksi), dan persepsi peningkatan 95
c. d. e.
risikodengan adanya pinjaman komersial, yang membatasi ketersediaan pembiayaan proyek diluar skema pinjaman untuk perusahaan yang biasa. Kurangnya pengalaman dalam mengelola proyek yang menguntungkan; Kurangnya informasi teknis (misalnya kurangnya pemahaman teknik-teknik: seperti RIL, metode inventarisasi yang lebih baik, serta analisis keuangan yang baik); dan Tingginya biaya awal untuk pengelolaan hutan, termasuk biaya transaksi dan ketidakpastian, terkait denganmenjadi pelakupertama kali masuk ke dalam sektor tersebut, dimana masih kurangnya pengalaman dan kapasitas para pengembang, kontraktor, pembuat kebijakan, dan pemberi pinjaman, masih sangat minim, serta memiliki risiko teknologi dan penyelesaian yang lebih besar, terutama karena hak kepemilikan yang tidak jelas.
56. Perlunya kapasitasusaha UKM yang lebih kuat: Meskipun pemerintah telah menunjukkan minat yang besar dalam mendukung dan memperluas konsesi hutan masyarakat dan perusahaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (CFME), pemerintah masih belum dapatmembantu secara efektif masyarakat dan perusahaan kecil dalam menciptakan dan mempertahankan perusahaan hutan tanaman skala kecil—seperti terlihat dengan banyaknyalahan-lahan terbuka yang masih tersisa. Pada tingkat masyarakat, Indonesia telah membuat program untuk hutan swasta (HR) dan publik (HTR, HK, HD), dimana termasuk sumber daya lahan yang secara resmi dialokasikan untuk hutan tanaman. Di Jawa sendiri, terdapat lahan-lahan pribadi terdegradasi hingga 900.000 hektar yang memiliki potensi untuk perluasan kegiatan HR. Sementara di Aceh, pemerintah telah mengalokasikan area seluas661.150 hektar untuk pengembangan HTR. 57. Permasalahan utamaadalah kurangnya pengalaman masyarakatuntuk melakukan kegiatan usahadan khususnya disektor kehutanan, hambatan lain termasuk kurangnya modal dan skema pembiayaan yang sesuai untuk hutan tanaman skala kecil, kapasitasteknis untuk mengelola proyek reforestasi secaraefektif, keterampilan penjualan dan informasi mengenai pembeli, perusahaan manufaktur dan pelakulain dalam rantai produksisektor hilir. Meskipun demikian tujuan intervensi kegiatan usaha adalah untuk membantu CFME dan lainnya untuk meningkatkan tata kelola internal dan kemampuan bisnis dasar. Apabila sebuah organisasi sudah dapat berjalan dengan tingkat efisiensi paling kecil, maka organisasi tersebut dapat dengan efektif mencaripendanaan, meningkatkan operasional teknis serta menyasar klien dan mitra baru. 58. Partisipasi yang rendah sektor keuangan: beragamnya peluangproyek kehutanan membutuhkan mekanisme tertentu untuk melakukan menyatukan pasar. Sektor keuangan, bank swasta khususnya, dapat membantu memberikan pintu masukyang sama yang efisien bagi perusahaan dan industri kehutanan untuk mencari solusi finansial,dimana semua itu tentu memerlukan biaya. Namun terdapat kesenjangan dalam penyampaian solusi keuangan berbasis pasar. Bank swasta dan FI lainnya tidak terlalu memiliki pengalaman menangani proyek perusahaan kehutanan baik pada lahan-lahan non-hutanmilik perorangan maupun publik di seluruh Indonesia. FI secara umum memiliki kapasitasrendah untuk melakukan analisis atau mengevaluasi proyek kehutanan, sementara para pengembang proyek kehutanan dan penyedia peralatan belum banyak bermitra dengan FI. CFME jumlahnya relatif sedikit dan tidak terlalu dipahami oleh pengusaha besar kehutanan atau oleh FI.
96
A1.3.3 Usulan Strategi Investasi 59. IFC mendukung proyek perusahaan kehutanan dengan tujuan untuk memperkuat kapasitasproduksiserta keterampilan bisnis dari perusahaan kehutanan dan perusahaan di sektor lain, dengan meningkatkan investasi pada sektor swasta (Tabel A1.3.1). Investasi yang inovatif dan transformatif diperlukan untuk semua jenis perusahaan, terutama yang inisiatifnya mengangkat potensi mereka mengurangi emisi karbon hutan (Tabel A1.3.2). 60. Memprioritaskan Intervensi: perusahaan kehutanan yang memiliki motivasidan perusahaan lain yang terkait akan dipilih dari wilayah berhutan ataupun sudah terdeforestasi di Indonesia,serta dimana produk hasil hutan dan jasa-jasa lingkungan masih sangat dibutuhkan. Intervensi dengan perusahaan yang memanfaatkanhutan alam diupayakan untuk mengurangi degradasi dan emisi-emisi terkait, sedangkan di daerah yang sudah terdegradasi akanmeningkatkan cadangan karbon melalui pengembangan hutantanaman. Intervensi yang dilakukan akan diprioritaskan sesuai dengan kriteria di bawah ini: 1. Potensi untuk pengurangan emisi karbon hutan melalui kegiatan mitigasi berbasisbisnis ; 2. Potensi untuk mereplikasi dan perluasan kegiatan; 3. Kelayakan bisnis dan hubungan dengan perusahaan lain di hulu maupun hilir dalam rantai industri kehutanan; 4. Kemampuan untuk memenuhi persyaratan yang sesuai dan patuh pada kerangka pengamanan sosial dan lingkungan MDB, termasuk prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan (dalam hal ini inventarisasi hutan yang dapat diandalkan, perhitungan volume yang tepat berdasarkan tingkatan pembalakan yang berkelanjutan, reduced impact logging (RIL), etc.); 5. Kegiatan yang berkontribusi terhadap pengembangan KPH; 6. Kemampuan dan motivasi untuk memperluas dan memperkuat kapasitasbisnis dan organisasi, termasuk akses untuk bantuan modalitas finansial misalnya hibah, pinjaman, kredit, perjanjian, pembayaran dimuka dan jaminan; 7. Kesempatan untuk mengembangkanbeberapa jenis pendapatan dari berbagai sumber kehutanan (misalnya produk kayu dan non-kayu, pembayaran dari jasa-jasa lingkungan misalnya karbon dan air, agroforestri).
97
Tabel A1.3.1: Kerangka kerja dan tinjauan potensi inisiatif FIP sektor swasta selama 5 tahun proyek. Inisiatif termasuk usaha sektor kehutanan di hulu (1-4) dan perusahaan di hilir termasuk sektor terkait lainnya (5-7). No
Jenis Inisiatif
Status lahan*
Tutupan Lahan Awal
Lokasi Potensial
Target Luasan (ha)
Badan sektor swasta
Kegiatan Utama
Hubungan investasi hilir
Pendanaan eksternal yang diperlukan (FIP, lainnya)
Sektor Kehutanan: 1
Kehutanan masyarakat, hutan plasma, agroforestry, pembayaran jasa lingkungan (PES)
HTR, HR
Hutan terdegradasi, padang rumput
Aceh, Jawa, Sulawesi, Kalimantan Barat
20.000 ha (dengan dampak potensial untuk perluasan area (scale up)20.000 ha di wilayah yang berbatasan dengan area konsesi lainnya yang belum dikembangkan)
Petani perorangan, community forest management enterprises (CFME); FIs; manufaktur di rantai industri, perusahaan yang membayar PES
Membuat kebun bibit dan perkebunan; mengembangkan program PES; mendukung proyek kehutanan masyarakat lainnya; memperkuat organisasi usaha masyarakat; mengembangkan program kredit; membuat hubungan pada usaha di rantai industri; sertifikasi
Sawmills, produk kayu, energi dan co-generation
Hibah, kredit mikro atau pinjaman pemerintah (BLU), pembiayaan konsesional, pembiayaan komersial untuk hilir, potensiTA donor , dll.
2
Pengelolaan hutan tanaman
HTI
Hutan terdegradasi, padang rumput
Kalimantan Barat dan Timur, Sulawesi, Sumatera
100.000 ha (dengan dampak potensial untuk perluasan area (scale up) 20.000 ha di wilayah konsesi lainnya)
Perusahaan besar, kontraktor UKM masyarakat, FI, off takers, kemitraan publikswasta
Membuat kebun bibit dan perkebunan; keterlibatan strategis masyarakat; sertifikasi; akses pembiayaan; agroforestri; perencanaan pemanfaatan lahan
Pabrik pengolahan kayu(chips, pellet, kayu bulat, produk kayu, pulp dan kertas), energi dan cogeneration
Pembiayaan konsesionaldan komersial, ekuitas, layanan advisory (co-share),
3
Produksi kayu melalui pengelolaan hutanberkelanj utan
HPH
Hutan utuh, beberapa dengan kegiatan pemanenan
Papua Barat, Sulawesi, Kalimantan Timur dan
200.000 ha (dgn dampak potensial untuk perluasan area (scale up)500.000 ha
Perusahaan besar, pedagang, FI
Meningkatkan PHL; sertifikasi; SLVK; akses ke pembiayaan; penebangan berdampak rendah (reduced impact logging, RIL);
Pabrik pengolahan kayu(kayu bulat, kayu lapis, perabotan), energi limbah
Pembiayaan konsesionaldan komersial, ekuitas, layanan advisory (co-share)
98
4
Restorasi ekosistem melalui perlindungan ketat dan/atau pengelolaan hutan berkelanjutan
ERC
No
Jenis Inisiatif
Status lahan*
peningkatan corporate governance
dan co-gen.
Perusahaan besar dan medium, kontraktor, FI
Meningkatkan PHL; sertifikasi; perlindungan; pembiayaan penghasilan karbon; membuat hubungan ke pasar karbon; kemitraan masyarakat; perijinan
Investasi offset karbon, dana, surat berharga, dana perwalian, TIMO
Badan sektor swasta
Kegiatan Utama
aktif
Barat
di wilayah konsesi lainnya)
Hutan terdegradasi dan hutan utuh
Kalimantan Barat dan Tengah
100.000 ha (dgn dampak potensial untuk perluasan area (scale up)200.000 ha di wilayah konsesi lainnya)
Lokasi Potensial
Target Luasan
Papua, Sulawesi, Kalimantan
permintaan minimal20.000 ha (dengan dampak potensial untuk perluasan area (scale up)200.000 ha di wilayah konsesi lainnya)
Usaha hulu kecil, medium dan besar
Sawmills,produk kayu, energi dan cogeneration, pabrik pengolahan kayu(chips, pellets, kayu bulat, produk kayu, pulp dan kertas), investor pasar karbon, dll.
na
Pembiayaan konsesionaldan komersial, ekuitas
50.000 ha (dengan dampak potensial untuk perluasan area (scale up)50.000 ha di wilayah lainnya)
Kelapa sawit dan perkebunan lainnya, penggergajian plasma, pemasok, FI dan pembeli
tukar gulinglahan, peningkatan produktifitas, pendirian usaha plasma dan pabrik pengolahan kayu
Pabrik pengolahan kayu, pemasok, produser produk akhir
Pembiayaan konsesionaldan komersial, ekuitas, layanan advisory (co-share)
Tutupan Lahan Awal
(ha)
Hubungan investasi hilir
Pembiayaan konsesionaldan komersial, ekuitas, layanan advisory (co-share)
Pendanaan eksternal yang diperlukan (FIP, lainnya)
Sektor terkait lainnya 5
6
Inisiatif hilir yang menciptakan permintaan untuk produk dan layanan hutan yang dikelola secara berkelanjutan (No. 1-4)
na
Pengurangan deforestasi di sektor pertanian
APL
Na
Jawa Sumatra
HPK
Hutan utuh, lahan terdegradasi
Kalimantan Sulawesi Sumatra
99
7
Pengurangan deforestasi di sektor lainnya
HPH, HTI, ERC, APL
Hutan utuh, lahan terdegradasi
Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Papua, Jawa
25.000 ha (dengan dampak potensial untuk perluasan area (scale up)25.000 ha di wilayah lainnya)
Ekstraktif (tambang, gas & minyak bumi) pariwisata, FI
tukar gulinglahan, reklamasi, kompensasi, perlindungan konservasi, dll
Tambang, pengolahan kayu, pemasok, penyulingan, hotel, transportasi
* HR-hutan rakyat, HTR-hutan tanaman rakyat, HPH-hak pengusahaan hutan, HTI-hutan tanaman industri , ERC-ecosystem restoration concessions. APL = Alokasi Penggunaan Lain, HPK = Hutan Produksi yang dapat dikonversi
100
Pembiayaan konsesionaldan komersial, ekuitas, layanan advisory (co-share)
Tabel A1.3.2: Potensi penyerapan karbon dari inisiatif dalam proyek usaha kehutanan No
Jenis Inisiatif
Status Lahan*
Tutupan lahan awal (BaU)
Lokasi Potensial
Skenario Inisiatif
Wilayah Potensial (hektar)
Pengurangan emisi net kumulatif pada 2020, tahun ketujuh 7 (Mt CO2e)
Emisi kumulatif dari BaU pada 2020, tahun ke 7 (Mt CO2e)
1
Pengelolaan hutan tanaman
HTI
Hutan terdegradasi, padang rumput
Kalimantan Barat & Timur, Sulawesi, Sumatra
Areaditanami per tahun 20.000 ha/thn, baseline padang rumput : 13,8 t C/ha
100.000
15,2
2
Hutan Produksi, pengelolaan hutan lestari (PHL)
HPH
Hutan alam, beberapa dengan kegiatan penebangan yang masih aktif
Papua Barat, Sulawesi, Kalimantan Timur dan Barat
Pengurangan emisi CO2e dengan RIL 106,3 t CO2e/ha, penebangan tahunan 5.000 ha (rotasi 35 thn)
200.000
3,8
3
Restorasi ekosistem, PHL
ERC
Hutan terdegradasi dan hutan alam
Kalimantan Barat dan Tengah
Tidak ada penanaman pengayaan, pengurangan laju deforestasi sampai dengan 60%
100.000
1,7^
3,3
4
Hutan rakyat dan hutan plasma, PES,
HTR, HR
Hutan terdegradasi, padang rumput
Aceh, Jawa Tengah, Sulawesi, Kalimantan Barat
Areaditanami per tahun 2.000 ha/thn; Total peningkatan CO2termasuk tanah -1 33,9 ton CO2e yr ; potensi manfaattambahan untuk mengurangi perladangan berpindah
20.000
1,8
0,7
5,1
17,3 (CNV) 13,5 (RIL)
* jenis konsesi. HR-hutan rakyat, HTR-hutan tanaman rakyat, HPH-hak produksi hutan, HTI-hutan tanaman industri, ERC-ecosystem restoration concessions, ^ perhitungan didasarkan pada asumsi penurunan tahunan 10% pada laju degradasi hutan di Kalimantan
101
A1.3.4 Usulan Dampak Perubahan dan Manfaat Tambahan 61. Rangkaian inisiatif: Beberapa intervensi telah diusulkan untuk memenuhi kebutuhan entitas sektor swasta yang berbeda. Seperti halnya rencana investasi FIP lainnya, proposal untuk intervensi sektor swasta di Indonesia akan tetap fleksibel untuk menanggapi dinamika kondisi pasar dan peluangpasar hulu dan hilir yang belum terindetifikasi. 62. Intervensi IFC denganpendanaanFIP akan terfokus pada pengembangan instrumen finansial yang spesifik dan penguatan kapasitas, bagi perusahaan kehutanan kecil maupun besar untuk pengelolaan biaya,penerapan prinsip akuntansiyang kuat, mempersiapkan laporan finansial yang valid, membuatproyeksifinancial yang terpercaya, dan berhasil mengkatalisasi pendanaan kedalam proyek kehutanan berkelanjutan. Beberapa intervensi akan menyediakan insentif finansial langsung atau memberikan insentif resiko produk kepada para pelaku pasar untuk mendorong mereka menerapkan pendekatan baru dan menetapkan standar serta tolok ukur baru untuk kegiatan pengelolaan kehutanan berkelanjutan. Bekerja sama dengan perusahaan yang berpengaruh terhadappasar, intervensi yang dilakukan akan memberikan dampak yang besar dengan memperoleh potensi pengurangan jumlah emisi yang tinggi dari sektor industri, dan tahapan selanjutnya dengan mendorongkompetisi dan kebutuhan bagi pemain pasar lainnya untuk dapat berpartisipasi. Intervensi lainnya dapatmelibatkan para pengusaha yang lebih kecil secara tidak langsung melalui program dengan lembaga keuangan (FI). 63. Peran perantara finansial yang lebih besar: peningkatan investasi dalam sektor kehutanan oleh lembaga keuangan (LK), menggunakan pendanaankonsesional FIP, akan membantu mendorong investasi tambahan dalam usaha kehutanan kecil dan menengah dari program bantuan sektor kehutanan dan investor sektor swasta yang sekarang melihat investasi ini tidak menguntungkan secara ekonomis dan beresiko tinggi. 64. IFC telah mengevaluasi potensi pasar usaha kehutanan dan menjajakipeluang-peluang untuk memfasilitasipendanaanmelalui sektor perbankan komersial Indonesia. Berdasarkan data interaksi terakhir, bank komersial memiliki ketertarikan untuk menjajakipenyediaan jasabagipasar yang berpotensi besar ini, apabila insentif finansial dan bantuan teknis yang tepat
telah
tersedia.
Bantuan
diperlukan
untuk
pengembangan
kapasitas
staf
LKdalammenganalisa tingkat kelayakan finansial dan profil resiko dari proyek pengelolaan kehutanan, menciptakan jaringan kerjasama kemitraan dengan pemasok teknologi yang tepat, serta meningkatkan koordinasi dengan para ahli industry kehutanan yang dapatmendukung nasabah baru. IFC bersama dengan FIP, akan menyediakan berbagai instrumen pendanaan guna mentransformasi perilaku bank dan membangun portfolio bank 102
komersial mengenai pinjaman usaha kehutanan. Bank-bank komersial di Indonesia, terutama bank swasta, dipastikan mampu untuk memperluas pinjaman mereka ke sektorsektor baru. Akan tetapi, bank biasanya konservatif dan menghindari resiko tinggi, dan personel bank biasanya tidak mempunyai kemampuan dalam analisa teknis kehutanan. Untuk inisiatif yang melibatkan usaha kehutanan yang lebih besar, perusahaan ekuitas swasta, organisasi pengelolaan investasi kayu (TIMO) dan investor alternatif juga ditargetkan. 65. Bantuan Teknis: Selain proyek pendanaan, FIP diharapkan dapat mempercepat proses perubahanpasar dengan dukungan bantuan teknis serta jasa konsultasi untukmengatasi hambatan-hambatan yang telah disebutkan sebelumnya serta untuk mendorong perubahan dari praktek bisnis standar menjadi bisnis pengelolaan kehutanan berkelanjutan.
Satu
contoh dapat berupa inisiatif kolaboratif FIP yang mensyaratkan: a. b. c. d.
Bekerja dengan asosiasi-asosiasi industri dan pemain pasar lain untuk meningkatkan pemahaman atas peluangpengembangan kehutanan berkelanjutan; Mendorong penggunaan ahli/profesional lokal dalam layanan kehutanan berkelanjutan; Membangun keahlian pengelolaan usaha; dan Meningkatkan keahlian teknis FI untuk menyalurkan pembiayaan pada proyek kehutanan. Hal ini mengharuskan adanya kerja dengan dengan bank komersial Indonesia, asosiasi industri, CFME, dan perusahaan kehutanan swasta sekaligus donor dan organisasi bilateral, yang dapat mendorong kesadaran pasar serta untuk menciptakan dampak nyata.
66. Koordinasi dengan proyek lain: Apabila memungkinkan, inisiatif sektor swasta akan dikoordinasikan dengan inisiatif FIP sektor publik yang dipimpin oleh MDB lainnya ataupun oleh donor dan organisasi multilateral, untuk menjamin bahwa hambatanyang diidentifikasi diatas ditangani secara bersama-sama dengan cara yang paling hemat biaya dan efektif. IFC
memiliki
pengalaman
dalam
keberhasilanpelaksanaan
proyek
serupa
pada
perekonomian pasar yang baru berkembang. 67. Setiap inisiatif dalam proposal sektor swasta akan memberikan rincian hambatanyang akan diatasi dengan dana FIP, dan memperkirakan dampak pengurangan emisi GRK (Tabel A1.3.2). Proposal akan memberikan jawaban seputar pertanyaan tentang additionality (mendukung pembiayaan terendah, dengan sebagian besar produser yang berkualifikasi dengan kondisi organisasi dan rekam jejak terbaik), dengan mendukung pembeli terbaik atau dengan mendukung pengembang dan penyandang dana yang memenuhi kriteria kredit khusus dan transparent yang ditentukan oleh IFC sesuai dengan panduan FIP Climate Investment Fund (CIF).
103
68. Manfaat taambahan dari penguatan usaha kehutanan dan usaha lainnya yang terkait, diharapkan akan memberikan kontribusi ke perekonomian lokal dengan menyediakan alternatif mata pencaharian bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan, berkurangnya kebutuhan kayu dari hutan alam yang terdekat (misalnya diperoleh melalui agroforestri), dan meningkatkan akses terhadap hasil hutan bukan kayu. A1.3.5 Kesiapan Pelaksanaan 69. Selama Joint Mission FIP, IFC telah berdialog dengan beberapa pengusaha kehutanan dan FI mengenai peluanginvestasi kehutanan dalam FIP. Paling tidak dua inisiatif kehutanan telah diantisipasi siap menerima pendanaan mulai 2012-2013. Tabel A.1.3.1 memberikan gambaran kerangka kerja tentang jenis inisiatif yang akan dikembangkan dan wilayah hutan yang mungkin akan dimasukkan sesuai dengan tipe konsesi dan kondisi hutan. Hal ini juga termasuk inisiatif di sektor terkait lainnya dimana ada keterkaitan yangkuat antara pengurangan deforestasi dan peluang penurunan emisi GRK. 70. Intervensi FIP melalui LK lokal dan program kredit pemerintah akan mendorong ekspansi HR dan HTR sampai dengan 20.000 ha dan memberikan model yang menguntungkan untuk usaha kehutanan skala kecil lainnya, perusahaan utama dan LKuntuk dikembangkan di lokasi lain. Pendekatan hubungan juga akan dilakukan dengan perusahaan kehutanan yang lebih besar yang sudah secara langsung berinvestasi dan mengambil resiko dalam pendekatan yang baru dan inovatif untuk mendorong ekspansi hutan alam dan hutan tanaman yang dikelola secara berkelanjutan sampai dengan 500.000 ha (Tabel A 1.3.1). IFC, bersama dengan FIP, akan menyediakan bantuanteknis dan pendanaankonsesional untuk memperkuat kapasitas usaha masyarakat dan usaha kehutanan yang lebih besar, sekaligus panduan untuk penggunaan mekanisme finansial yang tepat untuk mengurangi resiko ke tingkat yang bisa diterima.
Beberapa lembaga lokal telah menyatakan
ketertarikannya untuk ikut serta dalam kegiatan program.
IFC, dalam menjalankan
usahanya secara normal, melakukan proses Uji kelayakan (due diligence) yang ketat dalam pemilihan mitra.
A1.3.6 Mitra Nasional dan Internasional Potensial 71. Mitra potensial untuk proyek ini termasuk: usaha kehutanan masyarakat (contohnya koperasi, perusahaan kecil lokal, dll); industry pengolahandan manufaktur, investor, program kredit dan dana bergulirpemerintah, dan bank domestik yang akan menjadi sarana utama untuk pendanaan; usaha kehutanan milik negara, mitra sektor swasta untuk 104
memberikan jaminan keuntungan pasar dan bantuan teknis (Tabel A 1.3.1).
Program
Sustainable Forestry IFC Indonesia dan kelompok Global Forestry and Wood Productsakan memberikan bantuan teknis dalam struktur pendanaan, pengelolaan industri kehutanan dan hutan tanaman, pelacakan emisi CO2, perencanaan finansial, kehutanan masyarakat, dan kegiatan lainnya. Selain itu, kemungkinan ada peluanguntuk bekerjasama dengan beberapa proyek kehutanan masyarakat yang didukung oleh donor bilateral dan multilateral, yang akan melengkapi proyek melalui pendekatan hubungan sektor swasta. 72. Mitra pendukung serta mitra koordinasi sektor publik tercantumdi bagian A1.3.1. Beberapa mitra internasional penting termasuk CIFOR, ICRAF dan ACIAR, dimana masing-masing memiliki pengalaman dan keahlian dalam pengembangan usaha kehutanan skala kecil dan menengah.
A1.3.7 Latar Belakang untuk pendanaan FIP 73. Proyek yang diusulkan disesuaikan dengan Peta Kerja Kementerian Kehutanan 2006-2025 untuk meningkatkan pasokan kayu yang berkelanjutan dari hutan tanaman, termasuk konsesi hutan masyarakat dan produksi pada lahan perorangan. Hal ini juga diselaraskan dengan Strategi Nasional REDD+ Indonesia, yang mengakui peran sektor swasta dalam pengelolaan hutan alam yangberkelanjutan dan dalam penanaman kembali lahan-lahan terdegradasi. Proyek ini juga selaras dengan kriteria investasi FIP sebagai berikut:
105
Kriteria FIP
Justifikasi
Potensi mitigasi perubahan iklim
Pendirian inisiatif usaha kehutanan pada 420.000 ha lahan terdegradasi dan berhutan akan menghasikan perkiraan pengurangan emisi antara 20-25 Mt CO2e selama periode 5 tahun; tambahan pengurangan emisi diharapkan diperoleh dari pencegahan deforestasi melalui alternatif mata pencaharian
Potensi untuk perluasan Potensi untuk replikasi dan ekspansi sampai dengan 1 juta ha di wilayah yang (scale up) yang lebih tercakup dalam inisiatif dan lebih lagi di lokasi lain dimana jenis konsesi yang sama besar(lihat Tabel A1.3.1) terjadi. Efektivitas pembiayaan
Biaya CO2 per ton antara $ 1.3-1.5 untuk investasi FIP sebesar $ 32.5 juta
Potensi pelaksanaan
Penguatanusaha kehutanan mendukung tujuan Indonesia dalamupaya REDD+; akan menggunakan pengaturan kelembagaan dan pelaksanaan yang sudah diuji di dalam Kementerian Kehutanan; dan melibatkan masyarakat sebagai peserta dalam pengelolaan lahan dan pengambilan keputusan.
Integrasi pembangunan berkelanjutan(manfaat bersama)
Konservasi keanekaragaman hayati dan mempertahankan jasaekosistem di area hutan yang dapat terdegradasi atau dibuka untuk pertanian; deforestasi yang dapat dihindari meningkatkan kemampuanadaptif dari ekosistem hutan dan masyarakat hutan terhadap dampak perubahan iklim; berkontribusi terhadap pengenmbanganmata pencaharian dan terhadap pembangunan manusia di masyarakat pedesaan.
Safeguards
Pembangunan hutan tanaman masyarakat dan industri akan dikembangkanpada lahan yang sudah terdegradasi dan sulit untuk kembali secara alami; mencegah konversi hutan lebih jauh untuk lahan pertanian; komitmen untuk mendapatkan standar internasional sertifikasi kehutanan akan diharuskan; selain itufree prior and informed consent (FPIC) dari masyarakat adat yang akan terkena dampakdi lokasi inisiatif.
74. Pembiayaan FIP akan diperlukan untuk menutup kesenjangan dalam pendanaandan untuk memberikan pinjaman lunak yang akan menutup biaya
tambahan pada awal proyek
dengan menyediakan tingkat pengembalian yang cukup untuk proyek pionir yang setara dengan resiko yang akan ditanggung oleh proyek. Walaupun ada keinginan untuk masuk ke dalam pasar, pengembang swasta dan LKakan enggan, dimana perkembangannyaakan lamban tanpa adanya dukungan pinjaman lunak.
Dana FIP juga dibutuhkan untuk
mengatasi resiko pasar yang dilihat oleh LKserta rentang waktu pengembalian yang panjang, biasanya disertakan pada proyek hutan tanaman. 75. Lokasi-lokasiinisiatif proyek akan dipilih berdasarkan faktor berikut: kondisi lahan terdegradasi; peluangpengembangan kehutanan pada lahan perorangan dan publik; area sekitar hutan yang mengalami degradasi; dan kehadiran CFME dan perusahaan yang lebih 106
besar. Peluanguntuk inisiatif telah diidentifikasikan sementara di beberapa lokasi di seluruh Indonesia (Tabel A1.3.1). Lokasi yang memungkinkan adalah provinsi Aceh, dimana terdapat lahan publik yang luas untuk pengembangan HTR yang berbatasan langsung dengan hutan alam. Wilayah lahan perorangan yang terdegradasi secara ekstensif terjadi di Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur, dimana sekarang mulai berkembang hutan tanaman kayu dan industry pengolahandi hilir. Penjajakan potensi inisiatif dilaksanakan di wilayah lain di Sumatera, Kalimantan, Papua dan Sulawesi, dengan melibatkan perusahaan utama yang terlibat dalam pengembangan inovatifhutan alam dan hutan tanaman. Pemilihan inisiatif akan berdasarkan ketersediaan ijin konsesi, mitra usaha swasta yang termotivasi
dan
cocok,
perusahaan
utamadan
pasar
produk
kehutanan
yang
menguntungkan. A1.3.8 Pelaksanaan Pengamanan 76. Standard Kinerja IFC akan digunakan sebagai kebijakan pengamananyang diterapkan pada inisiatif dalam proyek. PengamananMDB lainnya akan diterapkan berdasarkan keterlibatan mereka dalam inisiatif proyek sektor swasta. Standar yang baru saja diperbaharui ini termasuk: Penilaian dan Pengelolaan Resiko dan Dampak Sosial dan Lingkungan Hidup; Kondisi Pekerja dan Pekerjaan; Efisiensi Sumber Daya dan Pencegahan Polusi; Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Masyarakat; Akuisisi Lahan dan pemindahan Pemukiman Non-sukarela; Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pengelolaan Sumber Daya Alam lestari; Masyarakat Adat; dan Warisan Budaya. A1.3.9 Rencana Pembiayaan 77. IFC akan mengusulkan sebuah rencana pembiayaanyang memasukkan biaya perusahaan untuk digunakan oleh usaha lokal dan LK (yang akan diidentifikasi saat periode persiapan proyek) dalam bentuk pinjaman, kredit, perjanjian off take, pembayaran dimuka dan jaminan. Pembiyaanini akan didukung oleh pendanaan hibah untuk layanan jasa konsultasi klien dan pembangunan kapasitas, serta penilaian kelayakan.
Rencana pembiayaan
indikatif dipaparkanpada tabel dibawah. 78. Karena adanya tantangan dalam investasi di sektor kehutanan yang berkelanjutan di Indonesia, IFC akanmenerapkanpendekatan konservatif dan bertahap dalam pengunaan pendanaankonsesional pembiayaan
bersama
FIP
yang
sektor
dikombinasikan
swasta
lainnya.
dengan Pada
dana
IFC,
persiapan
sertaasumsi
proposal
IFC
memutuskanmemberikan komitmen investasi tahap pertama untukklien sebesar USD 10 107
juta dari dana konsesional FIP, ditambah dengan dana IFC dan pembiayaan bersama sektor swasta lain. Tahapberikutnya akan mencapai komitmen dengan klien dengansisa dana konsesional sebesar USD 22,5 juta, dengan harapan adanya tambahan dana perimbangan
dari
IFC
dan
pembiayaan
bersama.
Pendekatan
bertahap
ini
mencerminkanketidakpastian dalam mendapatkan inisiatif sektor swasta sampai klien tertentu diidentifikasi selama periode persiapan proposal. Sumber Dana
Juta USD
Hibah FIP untuk jasaadvisory
2,5
Pembiayaan konsesional FIP untuk investasi
32,5
Pembiayaan bersama IFC untuk advisory dan investasi
49*
Pendanaan bersama dari sektor swasta lainnya
50*
Pemerintah RI
0
Total
134
Sumber: estimasi IFC *Jumlah tambahan berdasarkan dana konsesional FIP tahap awal sebesar USD 10 juta.
A1.3.10 Tabel Waktu Persiapan Proyek Tahapan Persiapan
Tingkat Kegiatan Misi persiapan
Desember2012
Persiapan dokumen proyek Evaluasi
Tanggal Indikatif
Tinjauan dokumen multilateral Penyempurnaan dokumen proyek
Persetujuan oleh SC IFC
Mengajukanpermohonan untuk persetujuan proyek
Persetujuan oleh Manajemen IFC
Pengajuan kepada Manajemen IFC Penandatanganan persetujuan hibah dengan Pemerintah RI Persetujuan dengan perusahaan kehutanan
108
Februari2013 March2013 April2013 April2013 May2013 Juni 2013 dan seterusnya
79. Proposal proyek akan dipersiapkan setelahdiperoleh persetujuan dari sub-komite FIP atasRencana Investasi untuk Indonesia. Prosedur IFC mengharuskan proyek baru untuk menjalani tinjauan konsep dan persetujuan internal, dimana melibatkan pengawasan investasi dan advisory. IFC akan memasukkan proposal proyek secepat mungkin setelah rencana investasi Indonesia mendapat pengesahan. A1.3.11 Permohonan Hibah Persiapan Proyek 80. Hibah Persiapan Proyek FIP telah diminta untuk membiayai semua kegiatan persiapan sebagai berikut: PROGRAM INVESTASI KEHUTANAN Permohonan Hibah Persiapan Program/Proyek 1. Negara/Wilayah:
Indonesia
2. CIF ID#:
3. Nama Proyek:
Proyek Usaha Sektor Kehutanan
4. Permohonan Pendanaan FIP tentatif (dalam juta USD total) 23 untuk Proyek saat pengajuan Rencana Investasi (tahap konsep): 5. Permohonan Hibah Persiapan (dalam USD): 6. Focal Point Nasional Proyek:
Hibah: $2,5 juta
Project
(Trustee akan menentukan ID)
Pinjaman: $32,5 juta (pendanaankonsesional)
$0,3 juta
MDB: IFC
Dr. Hadi S. Pasaribu Staf Ahli Menteri, Kementerian Kehutanan, Indonesia
[email protected]
7. Badan Pelaksana Nasional (Proyek/Program)
Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial
8. Focal Point FIP MDB dan Pemimpin Proyek/Program (TTL):
Kantor Pusat - Focal Point FIP: Ms. Joyita Mukherjee
[email protected]
23
Termasuk permintaan hibah persiapan.
109
Dr. Michael Brady Manajer Program Kehutanan
[email protected]
9. -
Gambaran kegiatan yang dicakup oleh hibah persiapan: Identifikasi provinsi / wilayah untuk didukung langsung; Identifikasi mitra sektor swasta, pemerintah dan masyarkat yang mungkin akan terlibat; Pengumpulan data baseline mengenai informasi petani, mata pencaharian, kepemilikan lahan, praktek kehutanan, jenis pohon yang tumbuh, tingkat hasil hutan, praktek PHL, perencanaan usaha dan pemasaran, dll.; Pemetaan/identifikasi organisasi lain yang saat ini bekerja di wilayahyang ditentukan; Pengembangan rencana pelaksanaan, modalitas, kerangka waktu dan kerangka kerja monitoring; Penilaian permintaan pasar, pengaturan kemitraan yang memungkinkan; Focus Group Discussion (FGD) dan inisiatif keterlibatan pemangku kepentingan untuk memvalidasi data, informasi dan rencana aksi;
10. Keluaran: Hasil
Jangka Waktu
(a) Pengumpulan data baseline / indentifikasi pemangku kepentingan
Desember2012 (mulai)
(b) Lokakarya validasi
Februari2013
(c) Penyelesaian studi ruang linkup
Maret2013
11. Anggaran (indikatif): Pengeluaran
24
Jumlah (USD) – perkiraan
Konsultan
160.000
Peralatan Lokakarya/seminar
65.000
Perjalanan/transportasi
40.000
Lainnya (biaya administrasi/operasional)
19.000
Biaya tidak terduga (max. 10%)
16.000
Total Biaya
300.000
Kontribusi lain:
Pemerintah barang/jasa) MDB
(dalam
Sektor Swasta
Lainnya (silakandijelaskan)
bentuk 100.000
24
Kategori pengeluaran mungkin dapat disesuaikan saat persipan proyek sesuai dengan kebutuhan yang muncul.
110
12. Kerangka Waktu (tentatif): Pengajuanpermohonan hibah persiapan proyek: November2012 Identifikasi perusahaan/konsultan dan pelaksanaan studi: November2012 Penyelesaian studi: Maret2013 Pengajuanproposal progam/proyek untuk persetujuan Sub-KomiteFIP: Maret2013 25 Tanggal persetujuan dari manajemen MDB yang diharapkan : Maret2013 26
13. Mitra lain yang terlibat dalam perancangan dan pelaksanaan proyek : Kementerian Kehutanan, IBRD/ADB, konsultan internasional dan lokal, departemen pemerintah lain dari Kementerian Keuangan, Kementerian Koperasi, Kementerian Perindustrian, perusahaan swasta yang beroperasi dalam sektor kehutanan di Indonesia, organisasi masyarakat madani, pemerintah lokal. 14. Bila memungkinkan, jelaskan mengapa hibah ini dijalankan oleh MDB: Hibah persiapan sejumlah US$ 0.3 juta ini akan digunakan untuk mnyususn proposal dan rencana pelaksanaan terinci untuk keseluruhan proyek dalam Penguatan Pengusahaan Kehutanan. Pada saat hal ini mengelaborasi peran dan keterlibatan potensial dari berbagai badan dan lembaga, terdpat kebutuhanuntuk memasukanpandangan sektor swasta bersama dengan peran dan keterlibatan sektor pemerintah. Dalam hal ini, IFC mempunyai keuntungan komparatif yang unik untuk melibatkan sektor swasta ke dalam proses karena fokus eksklusifnya dalam pengembangan sektor swasta dan pengalamannya bekerja dengan sektor swasta secara global, sertadengan jejaring publik/swasta yang terbangun di Indonesia. IFC juga telah terlibat dalam proyek yang sama di sektor agribisnis, dan telah bekerja di sektor manufaktur dan permebelan di masa lampau. Melalui Indonesian Forestry Executives Roundtable yang disponsori oleh IFC, secara khusus, sebuah jejaring besar sudah dibentuk yang dapat memobiliasi baik sektor publik maupun swasta dalam mengerjakan proyek ini. Dengan faktor-faktor tadi, IFC akan melaksanakan hibah persiapan ini. 15. Pengaturan Pelaksanaan (termasuk pengadaan barang dan jasa): Hibah persiapan proyek ini akan dilaksanakan oleh IFC bekerja sama erat dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Keuangan dan departemen terkait dari Kementerian Koperasi dan UKM sesuai keperluan. Pelaksanaan juga diharapkan untuk melibatkan LSM yang relevan, IBRD dan ADB bilamana memungkinkan, masyarakat dan organisasi masyarakat, badan pemerintah lokal, perusahaan sektor swasta yang tertarik, dan pemangku kepentingan relevan lainnya sesuai kebutuhan. Sesuai denganFIP Programming Guidance for MDBspengadaan barang dan jasa untuk proyek ini akan mengikuti panduan pengadaan IFC.
25
Dalam beberapa kasus kegiatan tidak memerlukan persetujuan dewan direksi MDB Mitra lokal, nasional internasional diharapkan untuk terlibat dalam perancangan dan pelaksanaan proyek.
26
111
Lampiran 2: Rencana Pelibatan Pemangku Kepentingan 9. Keterlibatan para pemangku kepentingan utama adalah strategis dan penting untuk menjawab kompleksitas dan berbagai permasalahan terkait REDD+, termasuk memberi ruang bagi para pemangku kepentingan untuk mengembangkan, mempertahankan dan mensinergikan pendekatan mereka dalam menangani berbagai isu secara efektif. FIP di Indonesia, seperti halnya di Negara percontohan lainnya, memprioritaskan keterlibatan pemangku kepentingan secara efektif baik dalam perancangan dan pelaksanaannya. Keterwakilan, dialog, keterbukaan terhadap pandangan yang berbeda, serta pemahaman yang sama diperlukan dalam proses ini. 10. Perlu ditekankan bahwa proses konsultasi dengan para pemangku kepentingan terbagi ke dalam beberapa fase. Pertama, pengembangan rencana investasi melalui serangkaian forum konsultasi guna memahami sudut pandang nasional dan lokal, sekaligus perhatian khusus dan prioritas tiap-tiap sektor. Kedua, penyelenggaraan konsultasi tentang proyek yang sedang dikembangkan secara spesifik oleh tiga Bank Pembangunan Multilateral (MDBs). Proses Perancangan dengan Pemangku Kepentingan 11. Perancangan dari Rencana Investasi KehutananIndonesia dimulai pada tahun 2010 setelah Pemerintah RI dipilih sebagai salah satu Negara percontohan FIP. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) adalah focal point Pemerintah RI secara keseluruhan untuk Dana Investasi Iklim. Kemenkeu menunjuk Kementerian Kehutanan cq. Sekretariat Jenderal sebagai lembaga focal point untuk FIP. 12. Perencanaan misi dan pengembangan rencana investasi FIP dilakukan oleh Kemenhut, Kemenkeu, Bappenas, Kementerian Koordinasi bidang Perekonomian (KemenkoPerek) dengan dukungan dari para MDB, dan juga para pemangku kepentingan lainnya. Proses perencanaan ini juga dikordinasikan dengan lembaga relevan lainnya, termasuk Satgas REDD+, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). 13. Dewan Kehutanan Nasional (DKN) dipilih sebagai wadah utama untuk memfasilitasi dialog antar berbaga ipemangku kepentingan. Dewan ini dibentuk pada Kongres Kehutanan Indonesia Keempat, tahun 2006, danterdiri dari lima kamar: (i) kamar masyarakat; (ii) kamar bisnis; (iii) kamar pemerintah; (iv) kamar LSM; dan (v) kamar akademisi. 14. Konsultasi dilakukan pada tahap awal Rencana Investasi Kehutanan untuk mengidentifikasi pemangku kepentingan kunci; mendapatkan masukan tentang penyebab deforestasi dan degradasi hutan; memahami langkah-langkah yang sedang dijalankan, masalah yang dihadapi, dan harapan pelbagai pihak. Sebelum Joint Mission I dilakukan pada Juli 2011, beberapa kegiatan telah dilakukan, diantaranya: Penilaian/tinjauan tentang para pemangku kepentingan yang relevan di Indonesia dan perannya dalam REDD+. Hasil tinjauan dimasukkan dalam Lampiran 4 dari Catatan Pertemuan (Aide Memoire) Joint Mission I; Survey awal (dalam Bahasa Indonesia) dilakukan untuk mendapatkan pandangan dari pemangku kepentingan, dengan pertanyaan sebagai berikut: o Menurut anda, apa tiga penyebab utama terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia? 112
Terkait dengan setiap penyebab, menurut anda intervensi masa lampau apa (kebijakan, lembaga, insentif, keterlibatan sektor swasta, dll) yang telah sukses menahan laju deforestasi dan degradasi dan meningkatkan penyerapan karbon di Indonesia? o Terkait dengan setiap penyebab, menurut anda intervensi atau inovasi baru apa yang perlu didukung oleh Program Investasi Kehutanan? Beberapa pertemuan dilakukan oleh DKN pada bulan Juni dan Juli 2011, dengan: o Pemangku kepentingan di Semarang, Jawa Tengah, minggu pertama bulan Juni 2011 o Masyarakat sipil dan pemerintah daerah di Pontianak, Kalimantan Barat – akhir bulan Juni 2011 o Pimpinan LSM di Jambi – minggu pertama bulan Juli 2011 o Pimpinan LSM di Jawa Tengah dan Yogyakarta – minggu pertama bulan Juli 2011 Sesi informasi tentang FIP: o Sosialisasi FIP ke sektor swasta – minggu pertama bulan Juni 2011 o Diunggah ke situs web DKN – pertengahan Juni 2011 o Diunggahnya penjelasan tentang FIP di berbagai mailing list – pertengahan Juni 2011 o Pertemuan Koordinasi Kesatuan Pengelolaan Hutan – minggu ketiga bulan Juni 2011 o Diseminasi Terms of Reference (TOR) untuk kunjungan lapangan – 6 Juli 2011 o Konferensi Internasional Tenurial di Lombok – 12 Juli 2011 Pengumuman pada publik atas TOR Joint Mission yang tersedia pada situs CIF pada pertengahan Juni 2011. o
15. Joint Mission pertama antara Pemerintah RI dan MDB dilakukan tanggal 13 – 22 Juli 201127. Diskusi dilakukan dengan berbagai kelompok pemangku kepentingan – pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta dan mitra pembangunan – untuk mendapatkan masukan tentang bagaimana rancangan FIP dapat berperan dalam membantu Indonesia menangani penyebab deforestasi dan degradasi hutan: Tanggal
Acara
Lokasi
20 Juli 2011, 13:30-16:30 19 Juli 2011, 9:00-12:00
Pertemuan dengan Kementerian dan Badan Pemerintahan Pertemuan dengan Masyarakat Madani
19 Juli 2011, 13:30-16:30
Pertemuan dengan Sektor Swasta
Kantor Kementerian Kehutanan Kantor Kementerian Kehutanan Kantor Kementerian Kehutanan Kantor Bank Dunia Hotel Santika
20 Juli 2011, 9:00-12:00 21 Juli 2011, 9:00-13:00
Pertemuan dengan Mitra Pembangunan Pertemuan Nasional dengan seluruh Pemangku Kepentingan * diluar peserta dari MDB 27
Jumlah Peserta* 25
Referensi JM1 Aide Memoire, Lampiran 6.1
33
JM1 Aide Memoire, Lampiran 6.3
28
JM1 Aide Memoire, Lampiran 6.2
33
JM1 Aide Memoire, Lampiran 6.4 JM1 Aide Memoire, Lampiran 6.5
49
Pemerintah RI dan MDB, 2011.Aide Memoire: Indonesia First Joint Mission for the Forest Investment Program, 1322 July 2011, Jakarta. http://www.climateinvestmentfunds.org/cifnet/?q=country-program-info/indonesias-fipprogramming
113
16. Kunjungan lapangan ke beberapa provinsi terpilih –Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jambi, dan Kalimantan Barat – dilakukan pada tanggal 14 – 17 Juli 2011, dimana konsultasi dilakukan dengan kelompok-kelompok pemangku kepentingan utama. Provinsi-provinsi ini dipilih karena mengalami deforestasi dan berpeluang mendapatkan manfaat dari REDD+ dan perancangan FIP. Kendati demikian, kunjungan ke propinsipropinsi ini tidak menjamin bahwa akan terjadi investasi FIP di propinsi-propinsi tersebut. 17. Hasil diskusi Joint Mission I kemudian menghasilkan sejumlah opsi pengurangan gas rumah kaca (GRK) yang dapat dipertimbangkan dalam perancangan Rencana Investasi Kehutanan Indonesia.Informasi lebih lengkap sehubungan dengan Rencana Investasi dimasukkan dalam Bab 6 dari dokumen ini. 18. Memperhatikan keberagaman kegiatan para pemangku kepentingan dan penyebaran geografis, Misi ini menyadari akan perlunya pertemuan dan lokasi tambahan untuk mendapatkan umpan balik, guna membangun kesepakatan diantara para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, wakil sektor swasta, komunitas masyarakat hutan termasuk perempuan, organisasi masyarakat sipil, mitra pembangunan nasional dan internasional. Diantara berlangsungnya Joint Mission I dan II, pertemuan FIP tambahan telah dilakukan dengan cara yang berbeda, tetapi keterlibatan utama difasilitasi oleh Dewan Kehutanan Nasional (DKN) pada berbagai acara, termasuk: Penyampaian/sosialisasi informasi FIP pada Forum DKN untuk Perubahan Iklim dan REDD+ pada Kongres Kehutanan Indonesia (KKI) Kelima, di Manggala Wanabakti, Jakarta, 21-24 November 2011; Konsultasi FIP pada Forum DKN untuk REDD+: Rencana Investasi Kehutanan, di Mega Anggrek Hotel and Convention Center, Jakarta, 8-9 Desember 2011. 19. DKN menyelenggarakan sosialisasi informasi dan konsultasi untuk FIP atas nama Kementerian Kehutanan dan ketiga MDB. Selama berlangsungnya acara, anggota DKN dari lima kamar – masyarakat, bisnis, pemerintah, LSM, dan akademisi – menerima informasi tentang FIP, dan selama konsultasi, memberikan masukan terhadap penyusunan Rencana Investasi Kehutanan untuk dana FIP di Indonesia. 20. Joint Mission kedua dari Pemerintah RI dan MDB dilakukan pada tanggal12-16 Desember 2011 untuk mendapatkan umpan balik dari ide awal pengurangan GRK. Proses yang sama dengan Joint Mission I telah dilakukan, dimana pertemuan khusus dilakukan untuk setiap kelompok pemangku kepentingan (pemerintah, LSM, sektor swasta dan mitra pembangunan) dan berujung pada sebuah pertemuan nasional dengan semua pemangku kepentingan utama. Tanggal
Acara
Lokasi
12 Des 2011, 9:00-12:00 12 Des 2011, 13:30-16:30
Pertemuan dengan Kementerian dan Badan Pemerintahan Pertemuan dengan Sektor Swasta
13 Des 2011, 9:00-12:00
Pertemuan dengan Masyarakat Madani
13 Des 2011,
Pertemuan dengan Mitra
Kantor Kementerian Kehutanan Kantor Kementerian Kehutanan Kantor Kementerian Kehutanan Kantor
114
Jumlah Peserta* 18
Referensi JM2 Aide Memoire, Lampiran 2.1
16
JM2 Aide Memoire, Lampiran 2.2
11
JM2 Aide Memoire, Lampiran 2.3
11
JM2 Aide Memoire,
14:00-16:00 14 Juli 2011, 9:00-13:00
Pembangunan
Pertemuan Nasional dengan semua Pemangku Kepentingan * jumlah peserta diluar dari peserta MDB
Kementerian Kehutanan Santika Hotel
Lampiran 2.4 50
JM2 Aide Memoire, Lampiran 2.5
21. Selama Joint Mission II, peserta diinformasikan tentang alamat e-mail khusus (
[email protected]) yang dibuat untuk para pemangku kepentingan yang masih ingin member umpan balik diluar sesi tatap muka. Semua komentar dan masukkan diterima melalui alamat e-mail Google sampai dengan Maret 2012, dan digabungkan bersama tanggapan dari tim FIP dalam lampiran 6 dokumen ini. 22. Penyerahan rancangan rencana investasi FIP di bulan Maret 2012 diundur karena beberapa pemangku kepentingan merasa keberatan karena: (a) website Kementrian Kehutanan tidak menampilkan dokumen yang bersangkutan dalam Bahasa Indonesia; (b) kurun waktu dua minggu yang dialokasikan untuk kajian public dinilai tidak memadai untuk memberikan masukan yang substansial; (c) praktik-praktik terbaik dalam konsultasi public tidak digunakan semasa perancangan dokumen dan pada saat acara-acara konsultatif yang dipimpin oleh DKN; dan (d) dokumen ini tidak mendukung implementasi strategi REDD+ nasional yang pada saat itu masih dikembangkan. 23. Sebagai akibat dari penundaan ini, pemerintah Indonesia meminta DKN untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan lebih lanjut untuk mendapatkan masukan tambahan untuk rencana investasi FIP. Komisi 4 DKN bidang Lingkungan dan Perubahan Iklims etuju untuk memfasilitasi proses ini dan melibatkan dewan kamar-kamarnya (chambers). Sebagai tindak lanjut serangkaian pertemuan informal, DKN mengembangkan konsep acara konsultasi FIP yang sudah diterima oleh pihak pemerintah. Komisi 4 DKN memfasilitasi dua focus group discussion (FGD) di Jakarta, yang pertama pada tanggal 10 Agustus 2012, dan yang kedua pada tanggal 14 September 2012. Diskusi tanggal 10 Agustus terbatas hanya pada perwakilan DKN dan perwakilan organisasi-organisasi yang menandatangani surat penundaan tertanggal 16 Maret 2012. Diskusi tanggal 14 September melibatkan Pemerintah dan perwakilan MDB untuk menerima masukan dan komentar, dan juga untuk menjawab pertanyaan dari para peserta.
115
Akses Publik terhadap informasi dan konsultasi melalui Internet 24.
25.
26.
27.
Rencana Investasi Kehutanan Indonesia akan tersedia untuk konsultasi umum di situs web berikut ini: Climate Investment Funds - http://www.climateinvestmentfunds.org/cifnet/?q=countryprogram-info/indonesias-fip-programming Dewan Kehutanan Nasional-DKN - www.dkn.or.id Kementerian Kehutanan - www.dephut.go.id Alamat e-mail khusus,
[email protected], akan terus digunakan sebagai jalur online bagi publik untuk memberikan masukan kepada Rencana Investasi Kehutanan. Alamat e-mail ini dikelola oleh Pusat Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan. Semua kontribusi terhadap Rencana Investasi Kehutanan Indonesia telah disistematiskan dan dipertimbangkan oleh tim. Ketika tidak memungkinkan bagi tim menanggapi semua kontribusi secara satu per satu, situs web dan alamat e-mail diatas akan digunakan untuk memberikan informasi tentang kemajuan proses FIP, menjawab masalah yang muncul, memberikan klarifikasi, dan menerima masukan dan saran. Semua masukan yang diperoleh selama sesi FGD tambahan yang dilakukan oleh DKN pada tanggal 10 Agustus dan 14 September 2012 – dan respon tim FIP – dimasukkan dalam Lampiran 6 dari dokumen ini. Komentar termasuk catatan dan risalah (minutes) rapat disiapkan oleh DKN, serta komentar tertulis dari perorangan dan organisasi. 116
28.
29.
30.
Semua komentar yang diterima antara tanggal24 September sampai 28 Oktober akan dimasukkan dalam matriks komentar tambahan yang dipersiapkan dan disebarkan kepada sub-komite FIP, dan ditampilkan di website Kementrian Kehutanan dan CIF pada tanggal 10 November (setelah pertemuan sub-komite FIP pada tanggal 5 November). Semua komentar yang diterima antara tanggal 29 Oktober sampai 30 November (termasuk dari anggota sub-komite) akandimasukkan dalam matriks komentar final yang akan dipersiapkan dan ditampilkan di website Kemenhut dan CIF pada tanggal 10 Desember. Menindaklanjuti pertemuan Sub-Komite pada tanggal 5 November, dokumen utama akan di revisi jika dipandang perlu. Apabila tidak, hanya dokumen tambahan yang membahas beragam masalah yang akan dipersiapkan. Apabila sub-komite memberikan catatan bahwa komentar-komentar tersebut hanya akan ditampilkan dalam rancangan proyek dan implementasi maka IP tidak perlu direvisi dan tidak ada dokumen tambahan yang perlu disiapkan. Namun, semua komentar yang diterima akan dipertimbangkan semasa perancangan proyek dan implementasi.
Pertemuan dengan Pemangku Kepentingan 31. 32.
Selain konsultasi umum secaraonline, diskusi tentang Rencana Investasi akan dilakukan dengan aktor kuncipada pertemuan khusus, sesuai dengan permintaanpada saat ini. Keterlibatan pemangku kepentingan akan berlanjut selama tahapan rancangan proyek tertentu, sesuai dengan prosedur masing-masing MDB. Pemangku kepentingan pada tingkat tapak akan dilibatkan selama masa insepsi masing-masing proyek, termasuk dalam penyempurnaan indikator tingkat proyek untuk kerangka kerja hasil.
117
Lampiran 3: Mekanisme Hibah Khusus untuk Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal dalam Konteks Program Investasi Kehutanan 33.
Lampiran ini berisika ninformasi tentang bagaimana pendanaan dari Dedicated Grant Mechanism for Indigenous Peoples and Local Communities (DGM) dapat memberikan kontribusi tambahan terhadap Rencana Investasi Indonesia.
Masyarakat Adat dan Masyarakat Tradisional di Indonesia: 34.
Konteks Strategis: Mengurangi kemiskinan adalah prioritas utama dalam rencana pembangunan Indonesia. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014, Pemerintah Indonesia bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dari 14,1% pada tahun 2009 menjadi 8-10% pada tahun 2014. Hal ini akan dicapai melalui peningkatan distribusi penghasilan, melalui perlindungan sosial yang berbasis pada keluarga, melalui pemberdayaan masyarakat dan melalui perluasan peluang ekonomi bagi rakyat miskin.
35.
Sekitar seperempat (50-60 juta orang) dari jumlah penduduk Indonesia kebanyakantinggal di pedesaan dalam wilayah yang disebut sebagai “hutan negara” dengan kondisi pad aumumnya lebih miskin dari pada rata-rata secara nasional. Kawasan ini juga merupakan rumah bagi kebanyakan masyarakat adat Indonesia, dimana kebanyakan kehidupannya tergantung dari hutan, dan miskin atau rentan terhadap kemiskinan. Pengentasan kemiskinan masih menjadi tantangan di kawasan hutan. Masyarakat yang tinggal dalam kawasan ini kebanyakan tidak mempunyai hak formal terhadap lahan dan hal ini berujung pada konflik terbuka atas pemanfaatan lahan dengan perusahaan yang memanfaatkan hasil hutan dan perkebunan serta iklim investasi yang buruk. Sementara hutan memberikan sumber daya penting bagi masyarakat lokal, ketida jelasan hak pemanfaatan, birokrasi, akses yang buruk terhadap pasar dan kurangnya kapasitas kelembagaan, seringkali menghambat pemanfaatan ekonomis sumber daya hutan secara penuh. Masyarakat yang bergantung pada hutan secara langsung terkena dampak kebijakan pengembangan hutan, dan kurangnya pemberdayaan masyarakat akan menyebabkan masyarakat local tidak dilibatkan dalam proses kebijakan. Masyarakat yang bergantung pada hutan sebagian besar tidak dilibatkan dari proses kebijakan kehutanan yang berdampak terhadap hidup mereka dan kurang diberi kesempatan untuk menjadi pelaku pembangunan strategis untuk masyarakat adat karena kurangnya kapasitas dan pemberdayaan.
36.
Negara mengakui keberadaan masyarakat adat di Indonesia sesuai yang tercantum dalam peraturan perundangan berikut ini;
Undang-undang Dasar 1945 (dengan amendemennya) mengakui hak kolektif dari masyarakat adat di Indonesia dan meminta Negara untuk melindungi dan memenuhi hak konstitusional ini; UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (kemudian dirubah dengan UU No. 32 tahun 2004) memberikan pengakuan terhadap otonomi desa MasyarakatA dat; UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara eksplisit menyatakan hak dari Masyarakat Adat, termasuk hak ulayat atas tanah sebagai Hak Asasi Manusia; UU Pengelolaan Pantaid an UU Pengelolaan Lingkungan Hidup mengakui hak masyarakat adat terhadap wilayah pantai dan laut serta pengetahuan adat dalam pengelolaan lingkungan hidup juga diakui. 118
37.
Masyarakat adat dapat didefinisikan sebagai kelompok berdasarkan asal-usul keturunan, bertempat tinggal pada lokasi geografis tertentu, memiliki nilai dan system sosialb udaya khusus, penguasaan atas lahan dan sumber daya alam, dan mengelola dengan menggunakan hokum dan lembaga adat. AMAN memperkirakan jumlah masyarakat adat di Indonesia sekitar 50-80 juta. Dari jumlah ini terdapat 1.163 komunitas adat di Indonesia merupakan anggota AMAN.
Peran Potensial Mekanisme Hibah Khusus / Dedicated Grant Mechanism (DGM) di Indonesia 38.
DGM dirancang untuk mendukung investasi yang disusun melalui proyek FIP yang didukung oleh IFC, ADB dan Bank Dunia. Beberapa kegiatan diarahkan baik pada pengelolaan hutank emasyarakatan atau proses perencanaan tata guna lahan, dihubungkan dengan perbaikan mata pencaharian dimana ada potensi tumpang tindih kegiatan tematik antara kegiatan FIP dan DGM.
39.
Fokus kawasan pada sebagian besar intervensi proyek masih harus diidentifikasi dan akan ditentukan selama fase persiapan proyek yang didukung oleh masing-masing MDB dan dipimpin Pemerintah Indonesia. Pelaksanaan DGM harus didukung dengan prinsip penentuan kebijakan sendiri (self-determination), dimana masyarakat adat akan menyampaikan kegiatan prioritas mereka sesuai dengan konteks, tujuandan prinsip yang diatur dalam DGM.
40.
Penyaluran sumber daya, jenis, dan cakupan intervensi proyek masih belum dibicarakan. Kelompok Masyarakat adat dan masyarakat local masih perlu mendefinisikan prinsipprinsip keterlibatan dan system keterwakilan yang akan mengatur mekanisme keterlibatan. Saat ini Dialog masih sedang berjalan dan Pemerintah RI serta masingmasing MDB diharapkan dapat meningkatkan keterlibatannya selama pengembangan proyek.
41.
Bidang tematik potensial dimana kegiatan dapat didanai antara lain (tetapi tidak terbatas) pada: (a) Kegiatan mata pencaharian dan ketahanan yang terkait REDD+ dan peningkatan keahlian untuk pengelolaan usaha; (b) perencanaan tata guna lahan partisipatif melalui pemetaan dan pengelompokan, identifikasi pemanfaatan lahan dan rancangan pengelolaan lahan; (c) pemetaan dan keahlian teknis untuk REDD+; dan (d) peningkatan pengelolaan dan pengawasan hutan oleh masyarakat.
Persiapan Mekanisme Hibah Khusus (DGM) di Indonesia 42.
Kementerian Kehutanan, sebagai nasional focal point FIP secara resmi telah meminta Dewan Kehutanan Nasional (DKN) untuk memfasilitasi dalam perancangan mekanisme dan pengorganisasian kegiatan, terkait dengan pembentukan DGM FIP Indonesia, mengikuti panduan yang telah disusun dalam Dokumen Rancangan DGM. Kemenhut mengadakan rapat pada tanggal 13 Juli 2012 dengan mengundang wakil dari DKN, AMAN, World Bank dan ADB untuk mengklarifikasi status terkini persiapan DGM untuk FIP Indonesia.
43.
Pada rapat tanggal 13 Juli 2012, Kemehut dan AMAN meminta DKN menggunakan mekanisme pertemuan multipihak untuk memfasilitasi nominasi 2 wakil dari Indonesia yang akan diusulkan untuk menjadi anggota National Steering Committee DGM. DKN menyanggupi usul tersebut dengan catatan dokumen penting di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk dipelajari oleh anggota DKN dan juga semua anggota semua komisi dibawah DKN.
119
44.
AMAN mengklarifikasi rencana Indonesia untuk mencalonkan 2 wakil pada Komite Pengarah Global DGM. Mereka menjelaskan bahwa dana DGM belum disalurkan dan tidak akan dikelola oleh AMAN; persetujuan akhir rancangan DGM masih menunggu hasil pertemuan tingkat global. AMAN mendukung peran DKN sebagi forum pertemuan yang tepat bagi berbagai pemangku kepentingan untuk memimpin pembentukan Komite Pengarah Nasional DGM.
45.
Kemenhut menyampaikan akan mengupayakan pendanaan dari CIF Admin unit untuk penyelenggaraan pertemuan tingkat nasional dalam rangka persiapan DGM, menanggapi komentar AMAN bahwa Admin unit membiayai perjalanan, logistic dana komodasi para peserta proses tingkat global.
46.
AMAN melihat pentingnya DKN untuk menyebarluaskan informasi tentang DGM kepada kamar-kamar dan anggotanya serta meminta agar semua proyek yang diajukan kepada DGM disaring untuk menentukan apakah terkait khusus dengan masyarakat adat dan masyarakat lokal, khususnya terkait dengan proyek-proyek FIP.
47.
AMAN mengusulkan agar World Bank ditunjuk sebagai national trustee untuk dana DGM Indonesia mempertimbangkan keterlibatan dengan World Bank dan juga diskusi antara masyarakat adat dan komunitas lokal di tingkat global dan regional. Wakil World Bank mengatakan bahwa World Bank menerima dan mendukung keputusan tentang hal tersebut, namun meminta dokumen secara formal.
48.
DKN sedang mempersiapkan fasilitasi diskusi dengan bantuan bantuan seandainya dibutuhkan, terkait persiapan Komite Nasional DGM. Kegiatan persiapan akan meliputi sosialisasi dan konsultasi untuk pelibatan kelompok masyarakat adat. Diskusi akan mempertimbangkan syarat bahwa 50 % wakil komite nasional berasal dari masyarakat adan dan masyarakat lokal.
49.
Keputusan tersebut didukung oleh AMAN, yang telah mewakili Indonesia dalam proses perancangan di tingkat global, dan akan terlibat dalam pembentukan struktur manajemen di tingka tnasional. DKN telah menyutujui untuk memfasilitasi diskusi untuk mencalonkan perwakilan dalam Lembaga Eksekutif Global (Global Executive Agency) dan Komite Pengarah Global (Global National Committee), serta memfasilitasi diskusi untuk menunjuk lembaga perantara nasional dan menunjuk salah satu MDB untuk berperan sebagai lembaga pelaksana nasional. Pada saat Rencana Investasi ini dipublikasikan, pelaksanaan diskusi-diskusi tersebut sedang dalam proses persiapan.
120
Lampiran 4: Dokumen Kebijakan Kunci REDD+ Indonesia: Proposal Penyususnan Kesiapan, Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) dan Strategi Nasional REDD+
50.
Indonesia telah menyelesaikan Proposal Penyusunan Kesiapan/Readiness Preparation Proposal (R-PP) pada bulan Mei 2009. R-PP menyarankan sebuah strategi awal REDD+ berdasarkan pada (i) pelaksanaan strategi untuk konservasi dan pengelolaan yang efektif di Wilayah Lindung dan Hutan Produksi; (ii) strategi industri kehutanan dan kertas agar pasokan bahan baku mereka dari sumber yang dikelola secara lestari di lahan terdegradasi; (iii) strategi untuk mengalihkan ekspansi perkebunan kelapa sawit kelahan non-hutan berdasarkan pada rencana tata ruang yang telah direvisi (iv) restorasi lahan gambut; dan (v) peningkatan kapasitas kelompok masyarakat, termasuk masyarakat adat adat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan, melalui kegiatan REDD+. Teks lengkap RPP tersedia di: http://www.forestcarbonpartnership.org/fcp/ID
51.
Pada bulan Mei 2010, Indonesia menanda-tangani LoI dengan Norwegia (LoI Norwegia) untuk melakukan terobosan inisiatif berbasis kinerja dalam mempercepat kegiatan REDD+. Inisiatif REDD+ ini membuat program aksi bertahap, pertama fokus pada penyusunan strategi nasional, s badan pengelola, sbadan untuk monitoring, pelaporan dan verifikasi, provinsi percontohan/pilot dan s instrument pembiayaan. Untuk mencapai target emisi 2020 dan untuk mematuhi batas waktu yang ditentukan dalam LoI Norwegia, Indonesia telah mengembangkan s Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK). Peraturan President (No. 71/2011) tentang pembaharuan rutin dari inventarisasi GRK sebagai dasar untuk memonitor pengurangan emisi juga telah dikeluarkan. Teks lengkap dalam bahasa Indonesia dari RAN-GRK tersedia di http://www.bappenas.go.id/node/0/3390/images-ran-grk/.
52.
Strategi Nasional REDD+ adalah bagian dari RAN GRK. Strategi yang sedang dikembangkan ini melalui sebuah proses konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan dan menekankan pada penanganan deforestasi dan pada saat yang sama memperbaiki mata pencaharian dan keamanan masyarakat yang bergantung pada hutan, serta meningkatkan perlindungan terhadap keaneka-ragaman hayati. Strategi ini tersedia di: http://ukp.go.id/informasi-publik/doc_download/12-draft-final-strategi-nasional-redd.
53.
Pada tahun 2010, Pemerintah Indonesia membentuk Satuan Tugas REDD+ untuk mengkoordinasikan strategi nasional REDD+. Dalam tahun pertama, Satuan Tugas ini membuat sebuah peta yang mengidentifikasikan wilayah hutan untuk dimasukkan dalam pelaksanaan moratorium pemberian izin baru pada hutan primer dan lahan gambut selama dua tahun yang disetujui bersama dengan pemerintah Norwegia. Peta ini tersedia di: http://appgis.dephut.go.id/appgis/petamoratorium.html.
121
Lampiran 5: Komentar dari Peer Review Reviewer 1: Dodik Ridho Nurrochmat (disampaikan pada tanggal 13 April 2012) Bagian I: Kriteria Umum 1.
Memenuhi prinsip, tujuan dan kriteria program bersangkutan sebagaimana ditetapkan dalam dokumen desain dan modalitas pemrograman. Secara umum, saya mendapati bahwa dokumen FIP telah memenuhi prinsip, tujuan dan kriteria dari program bersangkutan. Saya hanya ingin memberikan komentar singkat atas posisi REDD+ dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (SFM) dalam dokumen FIP. Menurut pandangan saya, meskipun SFM merupakan pilihan yang penting dalam mengurangi emisi dari deforestasi dan deforestasi+ (REDD+), hal itu tidak berarti bahwa SFM merupakan bagian dari REDD+. Sebaliknya, REDD+ (sebagai skema) harus ditempatkan sebagai salah satu skema pendukung SFM (dan kemudian, dalam konteks yang lebih luas, pembangunan yang berkelanjutan).
2.
Mempertimbangkan kapasitas negara untuk melaksanakan rencana. Dokumen FIP telah secara komprehensif melaporkan kapasitas negara untuk melaksanakan rencana. Namun, saya menyarankan agar FIP dimulai dengan mengidentifikasi kerangka infrastruktur tata kelola hutan dan hak pemangkuannya. Hal ini sangat penting karena kerangka infrastruktur yang tidak tepat untuk tata kelola hutan (dan hak pemangkuan) merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Kelemahan infrastruktur tata kelola hutan seperti kebijakan dan undang-undang, hak pemangkuan, struktur organisasi dan sikap apatis adalah di antara masalah-masalah di tingkat makro yang mengancam keberlanjutan sumber daya hutan. Untuk mengkaji kerangka dan mekanisme infrastruktur SFM, maka perlu dilakukan evaluasi konten dan hirarki, ambiguitas dan kesenjangan pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan di Indonesia.
3.
Telah dikembangkan berdasarkan kebijakan teknis yang tepat. Pada umumnya, dokumen FIP telah membahas beberapa faktor yang berkaitan dengan kajian teknis. Namun, akan jauh lebih baik jika dokumen FIP memberikan penjelasan tentang konsep dasar yang digunakan untuk penilaian teknis tentang REDD+. Penilaian teknis harus mengklasifikasikan kelompok kegiatan, yaitu: 1) kegiatan yang berkaitan dengan penilaian hutan secara ekonomi, 2) kegiatan yang berkaitan dengan mekanisme perdagangan (karbon), dan 3) kegiatan yang berkaitan dengan transaksi.
4.
Menetapkan prioritas investasi, konsultasi dan keterlibatan pemangku kepentingan, cakupan yang memadai dan diseminasi pelajaran yang dipetik, serta pemantauan dan evaluasi dan keterkaitan dengan kerangka hasil. Dokumen FIP telah menguraikan prioritas investasi maupun konsultasi dan keterlibatan pemangku kepentingan, cakupan yang memadai dan diseminasi pelajaran yang dipetik, pemantauan dan evaluasi serta keterkaitan dengan kerangka hasil. Namun, dokumen ini tidak menyatakan secara jelas langkah-langkah setiap prioritas. “Tata waktu”, bahkan secara umum, dibutuhkan untuk membimbing tahapan kegiatan dalam program tertentu. Prioritas yang paling mendesak dalam situasi saat ini adalah untuk memastikan status hukum hutan. Pada bulan Februari 2012, Mahkamah Konstitusi telah menerima uji materi terhadap “definisi kawasan hutan” 122
(pasal 1 butir 3) dari Undang-Undang Kehutanan 41/1999. Pengadilan memutuskan bahwa status kawasan hutan mengikat secara hukum jika kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan. Setelah uji materi, status hukum kawasan hutan menjadi tidak jelas, tidak pasti dan multi-tafsir karena status 130,68 juta hektar kawasan hutan di Indonesia saat ini (RKTN 2011) sebagian besar ditunjuk oleh Kementerian Kehutanan (85%) dan sisanya hanya 15% yang telah ditetapkan secara resmi sebagai kawasan hutan. Situasi ini terjadi karena sangat lambatnya kemajuan pengaturan batas kawasan hutan dan sangat sulitnya proses definisi penataan ruang wilayah (RTRW) karena egoisme sektoral dan regional yang kuat. Oleh karena itu, FIP harus mendukung setiap inisiatif kebijakan, program atau kegiatan untuk memperkuat status hukum kawasan hutan. Hal ini sangat penting sebelum melaksanakan program-program kehutanan (REDD+, dan sebagainya) karena tanpa status hukum hutan yang jelas dan kuat maka kelangsungan program-program itu menjadi tidak pasti. 5.
Membahas secara memadai masalah-masalah sosial dan lingkungan, termasuk gender. Dokumen FIP telah menguraikan banyak aspek permasalahan sosial dan lingkungan. Tetapi dokumen FIP perlu lebih terfokus pada masalah-masalah sosial, lingkungan dan gender yang dibahas. Menurut saya, isu gender kurang diakomodasi dalam dokumen FIP saat ini.
6.
Mendukung investasi atau pendanaan baru sebagai tambahan bagi investasi MDB yang sedang berlangsung/direncanakan. Daftar investasi MDB yang sedang berlangsung maupun yang direncanakan untuk REDD+ di Indonesia telah diuraikan secara komprehensif dalam dokumen FIP. Namun, bagaimana dan cara mana untuk mendukung investasi baru atau pendanaan tambahan untuk REDD+ belum dinyatakan secara jelas. Dokumen FIP perlu mendefinisikan arus kegiatan dalam suatu paket rencana investasi yaitu mekanisme pembayaran, distribusi dana dan alokasi anggaran.
7.
Mempertimbangkan pengaturan kelembagaan dan koordinasi. Dokumen FIP telah menyebutkan sejumlah lembaga yang berkaitan dengan hutan dan pengaturan hak pemangkuan (tenure). Rencana investasi harus menandaskan pengaturan kelembagaan yang sangat penting yang berkaitan dengan kebijakan desentralisasi dan pengembangan Unit Pengelolaan Hutan (FMU). Konteks FMU dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999 adalah deconsentrasi sedangkan undang-undang desentralisasi menempatkan pengelolaan hutan sebagai wewenang yang dialihkan kepada daerah. Masalah menjadi rumit ketika realita politik yang mendukung desentralisasi bertentangan dengan format historis FMU, yang sangat mendukung dekonsentrasi. Mengingat bahwa pengembangan FMU juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek historis maka lembaga FMU harus merupakan kompromi antara dekonsentrasi dan desentralisasi. Karena situasi itu maka sangat penting bagi FIP untuk mendukung studi, pertemuan konsultasi publik, dan pemberdayaan peraturan yang menawarkan pilihan berbagai model kelembagaan FMU yang bersifat spesifik lokal.
8.
Mendorong pengentasan kemiskinan. Dokumen FIP telah memberikan banyak contoh program yang mendorong pengentasan kemiskinan seperti hutan tanaman rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa dan Hutan Rakyat. FIP secara komprehensif menguraikan program-program hutan rakyat yang telah dan sedang berlangsung tetapi kurang sejalan dengan perencanaan kehutanan tingkat nasional (RKTN 2011-2030). Dengan mengacu kepada RKTN, alokasi hutan untuk petani kecil (rakyat) sangat rendah yaitu hanya 6,97 juta hektar dari 130,68 juta hektar kawasan hutan Indonesia (5,33%). 123
Oleh karena itu, sangat sulit untuk mendorong pengentasan kemiskinan secara signifikan melalui skema kehutanan rakyat saat ini. Maka akan sangat berguna jika FIP mendefinisikan lebih banyak pilihan program hutan rakyat, selain skema-skema yang ada sekarang. 9.
Mempertimbangkan efektivitas biaya investasi. Efektivitas biaya investasi harus mempertimbangkan bukan hanya manfaat langsung dan sampingan melainkan juga potensi dampak FIP. Manfaat langsung dan sampingan serta risiko-risiko telah dijelaskan dalam dokumen FIP. Namun, potensi dampak negatif REDD+, misalnya, terhadap beberapa indikator pembangunan yang penting, misalnya hubungan ekonomi serta dampak pengganda (output, outcome dan lapangan kerja) tidak dibahas secara eksplisit dalam dokumen FIP.
Bagian II: Pemenuhan kriteria investasi FIP 10. Potensi mitigasi perubahan Iklim: Rencana investasi perlu memberikan estimasi simpanan langsung GRK. Data dan estimasi simpanan langsung GRK telah dinyatakan dalam dokumen FIP. Namun, saya berpendapat bahwa sebenarnya sangat sulit untuk membuat estimasi simpanan langsung GRK dalam rencana investasi tertentu karena belum ada metodologi atau pendekatan yang diterima secara ilmiah dalam situasi hutan dan konteks sosial yang berbeda. 11. Potensi skala demonstrasi: Rencana investasi perlu mendukung program-program percontohan yang dapat direplikasikan untuk mendemonstrasikan cara meningkatkan sumber daya dan kegiatan pemerintah, swasta dan pihak lain dalam rangka mencapai perubahan transformasional. Investasi FIP hendaknya berisi prioritas sebagaimana yang diberikan dalam strategi atau rencana aksi nasional REDD+ (atau yang serupa). Dokumen FIP telah memberikan beberapa contoh program percontohan yang dapat direplikasi maupun rencana investasi. Namun, karena FIP tidak menjelaskan secara eksplisit “transfer hak” yang digunakan untuk setiap program investasi (misalnya mengikuti konsep PES, LR atau PDR), maka menurut saya, program akan sulit direplikasikan dengan efektif. 12. Efektivitas biaya: Rencana investasi perlu meningkatkan sumber daya keuangan tambahan, termasuk dari sektor swasta bila memungkinkan. Rencana investasi perlu mengkatalisasi model-model REDD+ yang menguntungkan secara ekonomi dan mandiri tanpa perlu terus disubsidi dan mendorong koordinaasi di antara lembagalembaga relevan di tingkat negara sehubungan dengan pelaksanaan dan pembiayaan investasi yang diusulkan. Rencana investasi akan dapat meningkatkan sumber daya keuangan jika dapat mendefinisikan posisi setiap program dalam siklus investasi (pembayaran, distribusi atau alokasi) dan dengan kuat mempertimbangkan spesifik lokal (ekologi, ekonomi dan sosial). Meskipun demikian, efektivitas biaya tidak akan tercapai. 13. Manfaat tambahan:Rencana investasi perlu mempertimbangkan potensi untuk memberikan kontribusi untuk kesejahteraan dan pembangunan penduduk yang bergantung pada hutan, termasuk masyarakat adat dan masyarakat lokal, dan melestarikan keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem serta meningkatkan kapasitas adaptasi ekosistem hutan dan masyarakat yang bergantung pada hutan dengan dampak dari perubahan iklim. Beberapa program, seperti rehabilitasi hutan dan lahan, HTR, HKm, Hutan Rakyat, Konsesi Restorasi Ekosistem (ERC), Pembalakan 124
Ramah Lingkungan (RIL), dan sebagainya, dapat menciptakan manfaat tambahan sosial dan lingkungan. Beberapa program lain, seperti moratorium penebangan dan penundaan pengembangan perkebunan, selain manfaat sampingan yang menjanjikan, juga menimbulkan banyak risiko yang potensial. Karena sektor pertanian (yang mencakup perkebunan) dan sektor kehutanan mempunyai hubungan ke depan yang tertinggi dan dampak pengganda yang tinggi dari segi output, pendapatan dan lapangan kerja dibandingkan dengan 21 sektor ekonomi lain maka setiap kebijakan yang mengganggu atau mengurangi produksi pertanian atau kehutanan harus diputuskan secara hati-hati karena keputusan ini akan mempunyai “efek domino” kepada sektor-sektor perekonomian yang lain. Program lain seperti sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) harus dievaluasi karena program ini akan menyebabkan “ekonomi biaya tinggi” dan juga akan melemahkan motivasi petani kecil (smallholders) untuk menanam pohon sebagai komoditas yang berharga. SVLK harus diintegrasikan dengan prosedur lain yang berlaku untuk izin usaha kayu, misalnya SKSKB atau SKAU. 14. Membuktikan bagaimana rencana investasi menimbulkan dampak transformatif. Rencana investasi akan menimbulkan dampak transformatif jika mempertimbangkan manfaat dan risiko secara komprehensif. Biasanya, investasi skema rendah karbon bukan hanya mempertimbangkan manfaat langsung melainkan juga masalah kebocoran sebagai risiko potensial. Maka hal itu belum cukup. Risiko ekonomi rendah karbon bukan hanya kebocoran melainkan juga hilangnya hubungan maupun dampak pengganda (output, outcome dan lapangan kerja) dalam rantai nilai hasil hutan. Untuk menghindari risiko-risiko itu maka mekanisme pembayaran, distribusi dana dan alokasi anggaran dari skema rendah karbon tertentu dapat dirumuskan dan dikendalikan secara cermat. 15. Potensi Pelaksanaan: Rencana investasi hendaknya mempunyai potensi yang besar untuk berhasil dalam pelaksanaan. Dokumen FIP tidakmenyebutkan indikator-indikator yang terukur untuk memeriksa apakah rencana investasi mempunyai potensi yang besar untuk berhasil dalam pelaksanaan. Rencana investasi akan berhasil dilaksanakan jika mempertimbangkan tiga faktor penting, yaitu memperhatikan karekteristik setempat, mendefinisikan “hak transfer” secara jelas dan membuat rencana untuk seluruh tahap siklus investasi (mekanisme pembayaran, distribusi dana dan alokasi anggaran). 16. Hutan alam: Rencana investasi perlu mengamankan hutan alam dan tidak mendukung konversi, deforestasi atau degradasi hutan, antara lain berupa penebangan berskala industri, konnversi hutan alam menjadi perkebunan atau konversi pertanian berskala besar. Ada banyak contoh program yang diharapkan akan menjadi pengaman hutan alam yang disebutkan dalam dokumen FIP. Namun, beberapa masalah tampaknya disederhanakan. Penyerapan karbon (sink) dan pelepasan karbon (sumber) dalam vegetasi klimaks seperti hutan alam yang belum terganggu biasanya relatif seimbang (net balance). Jadi, hutan alam memainkan peranan penting dalam menyimpan karbon tetapi sebenarnya hutan alam bukan penyerap karbon yang baik. Menanam pohon muda di hutan tanaman dan/atau perkebunan (karet, kopi, sawit, kakao, dan sebagainya) merupakan cara yang lebih baik untuk penyerapan karbon daripada hutan alam. Hal ini tidak berarti perkebunan lebih baik daripada hutan alam. Meskipun bukan merupakan penyerap karbon yang baik, hutan alam adalah bentuk terbaik dari ekosistem yang memberikan pelayanan lingkungan yang optimum, misalnya fungsi hidrologi, keanekaragaman hayati, penyerapan dan penyimpanan karbon, dan sebagainya. Sayangnya, daerah yang memiliki hutan alam yang belum terganggu dalam ukuran yang luas seperti hutan lindung atau hutan konservasi biasanya menerima manfaat ekonomi 125
langsung yang lebih sedikit dari skema pertukaran karbon kkarena arena biasanya tidak ada tambahan stok karbon di hutan alam yang belum terganggu. Konversi “kawasan hutan” menjadi perkebunan tidak selalu melepaskan karbon. Sebaliknya, hal ini dapat meningkatkan stok karbon jika kondisi nyata “kawasan hutan” sebelum konversi konv tidak ditutupi oleh hutan lagi (imperata imperata atau lahan gundul). Bagian III: Rekomendasi 17. Skema REDD+ harus diposisikan sebagai bagian dari SFM. Oleh karena itu, pelaksanaan REDD+ harus paralel dengan ketiga pilar SFM, yaitu menguntungkan secara ekologis, dapat diterima secara sosial dan layak secara ekonomi. Penyusunan kerangka SFM untuk REDD+ juga harus transparan, akuntabel dan mempromosikan peraturan hukum. Kerangka infrastruktur SFM harus memastikan bahwa prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan n pada konsensus yang luas di masyarakat dan bahwa suara dari kelompok masyarakat termiskin dan paling rentan didengar dalam pengambilan keputusan atas pengalokasian sumber daya hutan. 18. Untuk mentransformasi (potensi) nilai ekonomi dari fungsi ekologis hutan maka skema mekanisme perdagangan hijau ((green trading)) dibutuhkan. Ada tiga skema penting dari mekanisme perdagangan hijau yaitu Pembayaran Jasa Lingkungan (PES), Pembelian Hak Pembangunan (PDR) dan Peraturan Pertanggungjawaban (LR). Di tingkat operasional, operasio skema-skema skema tersebut dapat dilaksanakan melalui berbagai mekanisme seperti Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD, termasuk REDD+) dan sebagainya. Namun, mekanisme tersebut tidak menjamin suatu transaksi. Transaksi dapat direalisasikan dengan perjanjian kerjasama antara pihak masing masing-masing masing atau dengan penegakan peraturan. Akan lebih mudah dimengerti dan praktis apabila dasar penilaian teknis yang tepat terhadap FIP disusun dengan mengacu kepada kerangka konseptual berikut ini (Gambar 1): Catatan: Untuk mentransformasi potensi jasa lingkungan hutan yang dapat diperdagangkan menjadi manfaat aktual maka ada tiga langkah yang perlu dilakukan, yaitu: 1) Penilaian hutan secara ekonomi. ekonomi Hasil dari langkah ini adalah (potensi) nilai ekonomi hutan. 2) Mekanisme perdagangan. perdagangan Mekanisme perdagangan adalah langkah yang sangat penting untuk menawarkan nilai hutan yang digunakan maupun tidak digunakan kepada pasar. pasar 3) Transaksi.Nilai Nilai ekonomi tidak akan
Gambar 1. Tahapan transformasi ekonomi jasa lingkungan hutan
19. Disarankan untuk mendefinisikan tiga kelompok kegiatan dalam seluruh siklus skema investasi, yaitu: a. Mekanisme pembayaran (PES/Pembayaran Jasa Lingkungan; LR/Peraturan Pertanggungjawaban; dan PDR/Pembelian Hak Pembangunan) 126
b. Distribusi dana (distribusi secara vertikal – pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan masyarakat; distribusi horizontal – distribusi sektoral, bagi hasil di antara para pihak yang terlibat) c. Alokasi anggaran (Penggunaan dana/alokasi anggaran) 20. Untuk menarik lebih banyak investasi dan pendanaan tambahan mengenai REDD+ maka semua kemungkinan pilihan jasa yang dapat diperdagangkan untuk karbon hutan di Indonesia harus ditransformasikan menjadi peta spasial terpadu (Gambar 2). Catatan: Ada tiga kategori skema karbon di kawasan hutan berdasarkan “hak transfer” jasa yang dapat diperdagangkan dalam peta spasial hipotesis (misalnya Provinsi Kalimantan Barat): 1) Kawasan penyimpanan karbon (warna merah) 2) Kawasan penyerapan karbon (warna biru) 3) Pencegahan emisi karbon (warna merah muda)
Penilaian Sejawat II: Doris Capistrano (disampaikan pada tanggal 26 April 2012) Bagian I: Kriteria Umum 21. Memenuhi prinsip, tujuan dan kriteria program bersangkutan sebagaimana ditetapkan dalam dokumen desain dan modalitas pemrograman.Rencana Investasi Indonesia pada umumnya telah memenuhi prinsip, tujuan dan kriteria FIP. Dokumen ini merupakan kerangka strategis untuk investasi prioritas di bidang REDD+ dan menyajikan analisis latar belakang, dasar pemikiran dan segi-segi utama dari tiga proyek terpilih: Proyek 1 – Investasi yang Difokuskan kepada Masyarakat untuk Mengatasi Deforestasi dan Degradasi Hutan; Proyek 2 – Mempromosikan Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut secara Berkelanjutan melalui Peningkatan Kapasitas di bidang Penataan Ruang di Tingkat Daerah dan Masyarakat; dan Proyek 3 – Memperkuat Perusahaan Kehutanan untuk Memitigasi Emisi Karbon. 22. Mempertimbangkan kapasitas negara untuk melaksanakan rencana.Rencana secara luas membahas kapasitas negara untuk melaksanakan Proyek-proyek yang teridentifikasi dan melakukan penilaian umum terhadap lembaga-lembaga utama yang vital bagi keberhasilan pelaksanaan. Namun, pertimbangan yang terperinci tentang kapasitas, kekuatan dan kelemahan mitra dan lembaga-lembaga pelaksana di setiap Proyek ditunda sampai tahap berikutnya dalam Desain Proyek.
127
23. Telah dikembangkan berdasarkan kebijakan teknis yang tepat. Rencana didasarkan pada penilaian teknis yang kuat dengan menggunakan data dan informasi yang terbaru. Rencana menggunakan data, analisis latar belakang dan temuan-temuan dari banyak hasil kajian, penelitian dan pengalaman di bidang REDD yang telah selesai maupun masih berlangsung dari lebih 40 proyek REDD+ di Indonesia. Pemicu utama dan akar penyebab deforestasi dan degradasi hutan serta pilihan-pilihan respons yang menjanjikan dikaji secara luas. Namun, kajian teknis yang lebih terperinci dan spesifik proyek perlu dilakukan dalam tahap-tahap berikutnya. Misalnya, kelayakan teknis, keberlanjutan ekonomi dan daya saing perkebunan yang dibentuk di lahan-lahan terdegradasi harus dikaji secara cermat, khususnya jika masyarakat lokal diharapkan untuk menginvestasikan waktu dan sumber daya mereka dalam kegiatan ini. 24. Mendemonstrasikan bagaimana Rencana Investasi akan menghasilkan dampak perubahan. Proyek-proyek secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama menempuh jalan yang masuk akal menuju perubahan kelembagaan dengan bersama-sama memperkuat investasi serta intervensi regional dan sektoral. Penekanan pada klarifikasi dan penguatan hak-hak atas hutan dan pemangkuan lahan khususnya transformatif and berpotensi mendorong investasi yang lebih besar terhadap pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan distribusi manfaat yang dihasilkan secara lebih adil. Intervensi yang akan dilakukanbertujuan untuk menyelesaikan masalah-maslah mendasar di bidang kelembagaan dan tata kelola serta kesenjangan kapasitas dan informasi penting pada taraf yang bervariasi. Hal ini dapat mengubah “aturan main” dan mempengaruhi keputusan serta aksi REDD di masa mendatang yang berpotensi menimbulkan efek domino di luar bidang Proyek FIP. 25. Menetapkan prioritas investasi, konsultasi dan keterlibatan pemangku kepentingan, cakupan yang memadai dan diseminasi pelajaran yang dipetik, serta pemantauan dan evaluasi dan keterkaitan dengan kerangka hasil.Dokumen Rencana secara tegas menjelaskan kriteria yang digunakan untuk memprioritaskan investasi. Dokumen tersebut secara eksplisit membahas bagaimana investasi yang direncanakan akan berkaitan dengan prioritas dan program Pemerintah Indonesia sebagaimana tercermin dalam Strategi Nasional REDD+. Dokumen tersebut mencantumkan ketentuan pemantauan dan evaluasi serta menetapkan indikator-indikator untuk menilai kemajuan terhadap hasil yang diinginkan. 26. Rencana dikembangkan melalui proses konsultasi dan perencanaan sesuai dengan kebutuhan nasional (coutry-driven) yang dimulai pada tahun 2010. Berbagai kelompok pemangku kepentingan termasuk organisasi masyarakat sipil, masyarakat lokal dan masyarakat adat telah terlibat dalam proses tersebut. Namun, dokumen Rencana masih belum menjelaskan sejauh mana perbedaan perspektif sosial masyarakat mengenai REDD+ telah direpresentasikan dalam proses tersebut. Sebuah lampiran yang mencantumkan jenis dan kategori dan perspektif pemangku kepentingan yang direpresentasikan dalam proses konsultasi dapat turut memperjelas. 27. Rencana Investasi memanfaatkan pelajaran dan gagasan dari proyek dan proses konsultasi REDD yang lain dan masukan pemangku kepentingan mengenai isu-isu penting, termasuk isu-isu kritis seperti hak pemangkuan hutan dan pembagian pemilikan tanah (land reform). Mengingat kompleksitas permasalahan yang perlu diselesaikan oleh REDD+ dan tantangan untuk memastikan komunikasi yang efektif dan tantanganbatas waktu yang relatif terbatas untuk konsultasi FIP maka tidak mengherankan jika beberapa pemangku 128
kepentingan menganggap proses konsultasi FIP masih belum memadai. Pemangku kepentingan yang kekurangan informasi dan kapasitas untuk terlibat dalam kegiatan karena faktor bahasa dan rintangan lain membutuhkan lebih banyak waktu dan kesempatan untuk mendapatkan masukan yang berharga dibandingkan dengan proses yang sudah berjalan sejauh ini. 28. Membahas secara memadai masalah-masalah sosial dan lingkungan, termasuk gender.Dokumen Rencana mencantumkan analisis isu dan tantangan utama di bidang sosial dan lingkungan yang dihadapi oleh REDD+ dan mengidentifikasi tindakan-tindakan yang dibutuhkan serta risiko-risiko yang terlibat. Ada komitmen yang tegas untuk mengadopsi kebijakan pengamanan (safeguards) dalam pelaksanaan Proyek dengan mencantumkan kebijakan pengamanan di bidang sosial dan lingkungan dari mitra MDB masing-masing dan dengan melakukan investasi pada kapasitas untuk mengembangkan kebijakan pengamanan yang lebih spesifik-isu dan –konteks. Misalnya, dalam Pengamanan (Safeguards) ADB bagi masyarakat adat pada Proyek 1, lingkungan dan pemindahan pemukiman wajib akan diterapkan dan investasi akan dilakukan agar sistem informasi mengenai kebijakan pengamanan di tingkat kabupaten dapat dikembangkan. Meskipun isu-isu sosial dan lingkungan dipertimbangkan, hanya sedikit, kalaupun ada, pertimbangan dari dimensi gender dalam strategi investasi dan di setiap Proyek prioritas. 29. Mendukung investasi atau pendanaan baru sebagai tambahan bagi investasi MDB yang sedang berlangsung/direncanakan.Rencana dirancang untuk mendukung investasi tambahan yang dapat memberikan nilai tambah dan meningkatkan sumber daya dariinvestasi MDB, Pemerintah Indonesia dan mitra-mitra pembangunan lain yang sedang berlangsung/direncanakan. 30. Mempertimbangkan pengaturan kelembagaan dan koordinasi.Rencana mempertimbangkan pengaturan kelembagaan dan mekanisme koordinasi yang ada saat ini sehubungan dengan REDD, termasuk kelemahan dan kesenjangan. Sebagian besar investasi yang direncanakan akan menyelesaikan kelemahan-kelemahan pengaturan kelembagaan dan mekanisme koordinasi yang teridentifikasi. 31. Mendorong pengentasan kemiskinan.Rencana berupaya mempromosikan pengentasan kemiskinan melalui investasi insentif kehutanan masyarakat dan wanatani (agroforestry) untuk produksi masyarakat lokal melalui potongan pajak, perizinan dan sertifikasi, serta tindakan-tindakan yang mendukung, termasuk tata kelola yang lebih baik, reformasi hak pemangkuan lahan, peningkatan akses ke sumber daya hutan dan penerapan teknologi, pelatihan dan produksi. Namun, meskipun pengentasan kemiskinan menjadi salah satu tujuan, fokus utama Rencana adalam mengurangi emisi dan meningkatkan stok karbon. Kehutanan Masyarakat yang dapat menjadi sarana untuk mengentaskan kemiskinan hanya mempunyai wilayah cakupan yang relatif kecil. Dalam Proyek 1 yang akan dilaksanakan di dua kabupaten di Kalimantan Barat, hanya 20.000 hektar dan mungkin 20.000 hektar lagi yang ditargetkan untuk menjadi kehutanan masyarakat. Skala investasi pengentasan kemiskinan secara langsung dan peningkatan mata pencaharian tidak terlalu besar dibandingkan dengan total anggaran Rencana. Sebagian besar investasi yang ditujukan untuk pengentasan kemiskinan dan mata pencaharian masyarakat diharapkan dapat ditingkatkan dari program dan mitra lain, termasuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). 32. Mempertimbangkan efektivitas biaya investasi.Rencana Investasi merupakan contoh yang baik untuk efektivitas biaya dalam investasi-investasi yang diusulkannya untuk 129
memenuhi berbagai tujuan dan mendatangkan hasil dari beberapa sisi secara sekaligus. Namun, Rencana tidak mencantumkan analisis efektivitas biaya secara eksplisit. Analisis seperti ini membutuhkan uraian yang lebih terperinci mengenai rencana intervensi, asumsi dan pilihan-pilihan alternatif. Bagian II: Kriteria Spesifik 33. Potensi mitigasi perubahan Iklim: Rencana investasi membahas peluang-peluang strategis untuk REDD+ melalui sejumlah intervensi pemerintah dan swasta serta potensi keuntungan dan tantangan yang berkaitan dengan setiap intervensi. Data historis tentang emisi GRK berdasarkan sumber disampaikan sebagai titik awal untuk mengidentifikasi bidang-bidang yang menjanjikan bagi investasi dalam reformasi kelembagaan, peraturan, administrasi dan pasar dan dalam konservasi hutan serta rehabilitasi ekosistem. Beberapa estimasi diberikan untuk penyimpanan GRK langsung dari Konsesi Restorasi Ekosistem dan dari pembentukan inisiatif usaha kehutanan di lahan yang terdegradasi dan lahan hutan yang utuh. Untuk menghitung penyimpanan GRK langsung dari intervensi lain, dibutuhkan nperincian yang lebih baik, yang masih harus ditetapkan dalam Rencana. 34. Potensi skala demonstrasi: Rencana investasi mencakup percontohan di daerah sebagai komponen integral dari Strategi REDD+ Indonesia dan proyek-proyek REDD bilateral dan multilateral. Rencana mengusulkan untuk memanfaatkan pengalaman dari Kalimantan Tengah, provinsi percontohan pertama di Indonesia di mana intervensi REDD+ mulai dilaksanakan. Pemerintah Indonesia berencana untuk mendukung dua atau tiga provinsi percontohan lain dan menggunakan sumber daya FIP untuk mengujicoba sistem dan pendekatan REDD+ di provinsi percontohan tambahan dan lokasi demonstrasi. Manfaat pembelajaran dan peningkatan kapasitas serta potensi replikasi dan perluasan pendekatan percontohan dan demonstrasi ini bisa jadi signifikan. 35. Efektivitas biaya: Rencana investasididasarkan pada kesesuaian dengan proyek yang sedang berlangsung dan direncanakan dan pada kontribusi keuangan dan bentuk lain dari sumber pemerintah dan swasta. Kontribusi yang diharapkan bersumber dari luar FIP ditetapkan untuk setiap Proyek dalam Bab 8 (Rencana dan Instrumen Pembiayaan) dokumen Rencana Investasi. Dalam Proyek 3, kontribusi yang berasal dari Bank-Bank Umum dan sumber-sumber lain diharapkan akan mencapai sekitar 67% dari total biaya (US$150 dari US$224). Bentuk investasi yang diusulkan berpotensi dapat mendorong terbentuknya model-model REDD+ yang menguntungkan. Namun, agar potensi ini dapat ditingkatkan menjadi operasi yang mandiri tanpa dukungan subsidi, perhatian yang cermat perlu diberikan kepada desain dan pelaksanaan proyek, dan sistem insentif yang tepat serta kerangka kelembagaan dan peraturan perlu diberlakukan. 36. Manfaat tambahan:Secara keseluruhan Rencana Investasi dirancang untuk menghasilkan sejumlah manfaat tambahan, termasuk mata pencaharian dan manfaat pembangunan manusia, keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem serta peningkatan kemampuan beradaptasi. Namun, setiap komponen Rencana akan menghasilan berbagai kombinasi dan tingkat manfaat sampingan. Dalam beberapa kasus, kemungkinan terdapat pertukaran antara manfaat-manfaat sampingan, terutama antara mata pencaharian dengan keanekaragaman hanyati dan jasa ekosistem. Desain proyek hendaknya bertujuan untuk meminimalkan pertukaran tersebut dan memperjelas di mana pertukaran itu terjadi. Peluang lebih lanjut untuk meningkatkan dan mengoptimalkan manfaat mata pencaharian perlu dijajaki karena tanpa hubungan yang kuat dengan mata pencaharian lokal dan 130
penciptaan penghasilan maka manfaat sampingan lain kecil kemungkinannya akan terwujud. 37. Potensi Pelaksanaan: Rencana Investasi mempunyai potensi yang cukup besar untuk berhasil. Komponen-komponen tertentu dari Rencana Investasi akan dikembangkan berdasarkan model-model yang telah terbukti berhasil. Pilihan strategis bidang investasi, lokasi percontohan, KPH dan mitra-mitra pelaksana yang menjadi model dengan rekam jejak dimaksudkan untuk memperkuat dasar keberhasilan bahkan dalam komponenkomponen yang lebih bersifat eksperimental dan inovatif. Namun, terdapat risiko dan ancaman yang besar terhadap keberhasilan pelaksanaan di semua tingkatan mulai dari lokasi proyek sampai tingkat nasional. Beberapa faktor risiko utama dikemukakan dalam dokumen Rencana. Risiko utama di tingkat nasional tercantum dalam Bab 7 (Potensi Pelaksanaan dengan Penilaian Risiko) beserta tindakan untuk memitigasinya. Perhatian yang cermat terhadap konten substantif, desain proses dan mekanisme koreksi yang berlangsung selama Desain Proyek yang terperinci dan tahap-tahap pelaksanaan dapat membantu mengurangi risiko di semua tingkatan dan memperbesar peluang keberhasilan. 38. Hutan alam: Sesuai dengan Strategi Nasional REDD+ Indonesia, investasi FIP akan mendukung pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan proyek-proyek percontohan REDD+ di daerah. Proyek-proyek percontohan dapat mencakup kegiatan wanatani, aksi demonstrasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian, atau aksi-aksi untuk membentuk institusi-institusi dalam rangka mempromosikan, membimbing dan/atau mengkoordinasikan pemanfaatan hutan secara berkelanjutan. Sebenarnya, intensifikasi produksi perkebunan, misalnya minyak sawit, di dalam dan di sekitar hutan alam berpotensi dapat mendorong konversi hutan. Namun, tanpa perincian lebih lanjut, dalam dokumen Rencana Investasi, masih belum jelas apakah dan sejauh mana proyek-proyek yang didanai oleh investasi FIP tersebutakan menyebabkan konversi atau degradasi hutan alam. Ketaatan pada proses pemantauan yang disepakati, dan kebijakan pengamanan serta standar di bidang lingkungan dapat mengurangi peluang terjadinya hal-hal tersebut. Bagian III: Rekomendasi 39. Meningkatkan investasi di kehutanan masyarakat, kehutanan rakyat dan usaha berskala kecil. Ada kesempatan untuk memperluas dukungan kepada kehutanan masyarakat, kehutanan rakyat dan usaha berskala kecil di setiap Proyek FIP. Dengan melakukannya, potensi akan bertambah untuk memperbaiki mata pencaharian, memperkuat dukungan lokal bagi intervensi proyek dan meningkatkan peluang keberhasilan. Proyek 3, khususnya, dapat menciptakan kesempatan investasi baru dan menawarkan bentuk-bentuk dukungan yang inovatif bagi usaha dengan segala ukuran. Namun, insentif keuangan untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan berdasarkan Proyek ini tampaknya ditargetkan kepada usaha besar dan pemimpin pasar (market leader) untuk memenuhi “sisi penawaran” pembiayaan model-model usaha yang berkelanjutan. Investasi untuk memenuhi “sisi permintaan” pembiayaan hutan perlu ditingkatkan. Prioritas yang lebih tinggi hendaknya diberikan kepada investasi yang dapat mendorong atau menciptakan permintaan pembiayaan yang efektif dari masyarakat, petani kecil serta usaha kecil dan menengah. Hal ini dapat mencakup investasi yang memungkinkan usaha kecil dan menengah meningkatkan skala mereka dan pangsa pasar mereka melalui federasi, asosiasi dan model-model organisasi lainnya. Pengembangan instrumen keuangan untuk melindungi kehutanan masyarakat dan rakyat dari risiko dan yang bertujuan mengurangi biaya untuk masuk pasar bagi perusahaan baru dan berskala kecil juga perlu mendapatkan dukungan yang lebih besar.
131
40. Memantau ketaatan kepada kebijakan pengamanan sosial dan lingkungan dan kemajuan dalam reformasi hak pemangkuan. Penerapan kebijakan pengamanan (safeguards) dan pelaksanaan reformasi hak pemangkuan lahan dapat menjadi instrumen yang paling kuat untuk mewujudkan transformasi di sektor kehutanan Indonesia. Ketaatan kepada kebijakan pengamanan dan kemajuan reformasi hak pemangkuan sebagai bagian dari intervensi FIP perlu dipantau. Mekanisme dan proses pemantauan dan penilaian hendaknya secara tegas didesain dan dicantumkan sebagai komponen dari sistem pemantauan dan evaluasi. 41. Mengarusutamakan koordinasi kelembagaan dalam inisiatif-inisiatif REDD+. Strategi Nasional REDD+ merencanakan pembentukan sebuah Lembaga REDD+ yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan berfungsi sebagai badan pengurus dan koordinator kegiatan REDD+ di Indonesia, termasuk proyek-proyek FIP. Pro dan kontra terhadap mekanisme koordinasi seperti ini perlu dipertimbangkan lebih jauh. Agar efektif maka badan koordinator harus berhubungan sejak awal dengan kementerian dan lembaga arus utama yang bertugas melaksanakan intervensi REDD+.
Komentar Peer Review dan Tanggapan
Dodik Ridho Nurrochmat Komentar 1. Skema REDD+ harus diposisikan sebagai bagian dari SFM. Oleh karena itu, pelaksanaan REDD+ harus paralel dengan ketiga pilar SFM, yaitu menguntungkan secara ekologis, dapat diterima secara sosial dan layak secara ekonomi. Penyusunan kerangka SFM untuk REDD+ juga harus transparan, akuntabel dan mempromosikan peraturan hukum. Kerangka infrastruktur SFM harus memastikan bahwa prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus yang luas di masyarakat dan bahwa suara dari kelompok masyarakat termiskin dan paling rentan didengar dalam pengambilan keputusan atas pengalokasian sumber daya hutan.
Tanggapan FIP Team 1. Setuju
2. Untuk mentransformasi (potensi) nilai ekonomi dari fungsi ekologis hutan maka skema mekanisme perdagangan hijau (green trading) dibutuhkan. Ada tiga skema penting dari mekanisme perdagangan hijau yaitu Pembayaran Jasa Lingkungan (PES), Pembelian Hak Pembangunan (PDR) dan Peraturan Pertanggungjawaban (LR). Di tingkat operasional, skema-skema tersebut dapat dilaksanakan melalui berbagai mekanisme seperti Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD, termasuk REDD+) dan sebagainya. Namun, mekanisme
2.-4. Tim FIP mempertimbangkan kerangka konseptual dan pendekatan kluster (cluster approach) pada kegiatan REDD+, dan peta terpadu dan setuju bahwa pendekatan tersebut berguna dalam pelaksanaan kegiatan REDD+. Berdasarkan proses yang dijabarkan dalam dokumen ini, Rencana Investasi harus fokus pada hambatan dalam pelaksanaan Strategi REDD+ Nasional di tingkat sub-nasional, serta reformasi tenurial dan pengelolaan hutan.
132
tersebut tidak menjamin suatu transaksi. Transaksi dapat direalisasikan dengan perjanjian kerjasama antara pihak masing-masing atau dengan penegakan peraturan. Akan lebih mudah dimengerti dan praktis apabila dasar penilaian teknis yang tepat terhadap FIP disusun dengan mengacu kepada kerangka konseptual berikut ini (Gambar 1
Penanggulangan faktor penyebab utama deforestasi akan mengarah pada penurunan gas rumah kaca dan akan mendukung kemajuan kesiapan Indonesia dalam kegiatan REDD+
42.
3.Disarankan untuk mendefinisikan tiga kelompok kegiatan dalam seluruh siklus skema investasi, yaitu: d. Mekanisme pembayaran (PES/Pembayaran Jasa Lingkungan; LR/Peraturan Pertanggungjawaban; dan PDR/Pembelian Hak Pembangunan) e. Distribusi dana (distribusi secara vertikal – pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan masyarakat; distribusi horizontal – distribusi sektoral, bagi hasil di antara para pihak yang terlibat) f. Alokasi anggaran (Penggunaan dana/alokasi anggaran) 4. Untuk menarik lebih banyak investasi dan pendanaan tambahan mengenai REDD+ maka semua kemungkinan pilihan jasa yang dapat diperdagangkan untuk karbon hutan di Indonesia harus ditransformasikan menjadi peta spasial terpadu (Gambar 2).
Doris Capistrano Comment Meningkatkan investasi di kehutanan masyarakat, kehutanan rakyat dan usaha berskala kecil. Ada kesempatan untuk memperluas dukungan kepada kehutanan masyarakat, kehutanan rakyat dan usaha berskala kecil di setiap Proyek FIP. Dengan melakukannya, potensi akan bertambah untuk memperbaiki mata pencaharian, memperkuat dukungan lokal bagi intervensi proyek dan meningkatkan peluang keberhasilan. Proyek 3, khususnya, dapat menciptakan kesempatan investasi baru dan menawarkan bentuk-bentuk dukungan yang inovatif bagi usaha dengan segala ukuran. Namun, insentif keuangan untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan berdasarkan Proyek ini tampaknya ditargetkan kepada usaha besar dan pemimpin pasar (market leader) untuk memenuhi “sisi penawaran” pembiayaan model-model usaha yang berkelanjutan. Investasi untuk memenuhi “sisi permintaan” pembiayaan hutan perlu ditingkatkan. Prioritas yang lebih tinggi hendaknya diberikan kepada investasi yang dapat mendorong atau menciptakan permintaan pembiayaan yang efektif dari masyarakat, petani kecil serta usaha kecil dan menengah. Hal ini dapat
133
FIP Team Response Setuju. Sebagian besar investasi dalam tema 1 dan 2 berhubungan dengan upaya menciptakan kondisi yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan hutan, misalnya integrasi ke dalam rencana pengelolaan hutan, upaya penjangkauan (outreach), pengembangan kapasitas, dan pengembangan mata pencaharian. Dalam jangka panjang kegiatankegiatan ini akan meningkatkan sisi “permintaan” dalam pendanaan kehutanan yang berkelanjutan. Peluang untuk mendukung pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) akan dijajaki selama pengembangan proyek.
mencakup investasi yang memungkinkan usaha kecil dan menengah meningkatkan skala mereka dan pangsa pasar mereka melalui federasi, asosiasi dan model-model organisasi lainnya. Pengembangan instrumen keuangan untuk melindungi kehutanan masyarakat dan rakyat dari risiko dan yang bertujuan mengurangi biaya untuk masuk pasar bagi perusahaan baru dan berskala kecil juga perlu mendapatkan dukungan yang lebih besar.
Memantau ketaatan kepada kebijakan pengamanan sosial dan lingkungan dan kemajuan dalam reformasi hak pemangkuan. Penerapan kebijakan pengamanan (safeguards) dan pelaksanaan reformasi hak pemangkuan lahan dapat menjadi instrumen yang paling kuat untuk mewujudkan transformasi di sektor kehutanan Indonesia. Ketaatan kepada kebijakan pengamanan dan kemajuan reformasi hak pemangkuan sebagai bagian dari intervensi FIP perlu dipantau. Mekanisme dan proses pemantauan dan penilaian hendaknya secara tegas didesain dan dicantumkan sebagai komponen dari sistem pemantauan dan evaluasi. Mengarusutamakan koordinasi kelembagaan dalam inisiatif-inisiatif REDD+. Strategi Nasional REDD+ merencanakan pembentukan sebuah Lembaga REDD+ yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan berfungsi sebagai badan pengurus dan koordinator kegiatan REDD+ di Indonesia, termasuk proyek-proyek FIP. Pro dan kontra terhadap mekanisme koordinasi seperti ini perlu dipertimbangkan lebih jauh. Agar efektif maka badan koordinator harus berhubungan sejak awal dengan kementerian dan lembaga arus utama yang bertugas melaksanakan intervensi REDD+.
Proyek akan mengikuti safeguards MDB, yang meliputi sistem pemantauan dan evaluasi. Program juga akan mendukung pengembangan safeguards nasional, seperti yang dipaparkan dalam bagian 6.7
Setuju. Namun hal ini ada diluar cakupan revisi tujuan pengembangan Rencana Investasi
Komentar Keseluruhan dari Kedua Reviewer dengan Tanggapan yang diberikan di Rapat Sub-Komite FIP, Mei 2012 Komentar
Tanggapan Tim FIP
Perlunya identifikasi kerangka infrastruktur tata kelola hutan dan tenurial, merekomendasikan kajian teknis tambahan tentang desain REDD+
134
Pandangan lebih jauh dari reviewer dapat dimengerti dan pandangan ini akan terefleksikan dalam rencana yang terkini.
Menyarankan persiapan dari lampiran yang merinci jenis dan kategori kelompok pemangku kepentingan dan perspektif yang diwakili
Lampiran 2 dimodifikasi untuk mencerminkan pandangan reviewer, lebih banyak waktu diberikan untuk konsultasi.
Perlu memperkuat hubungan dengan Strategi Nasional REDD +
Hubungan dengan Strategi REDD + telah diperkuat dan Rencana Investasi juga sepenuhnya selaras.
"Penyusunan Waktu" diperlukan untuk memandu tahapan kegiatan. Saling ketergantungan 8 ide dan urutannyasebagaimana masing-masing ide tersebut ditangani. Deskripsi proyek dapat ditingkatkan dengan indikasi urutan dan waktu dari inisiatif yang berkaitan dengan prioritas kebijakan.
Permasalahan yang teridentifikasi akan dibahas selama rancangan proyek dengan mencerminkan kondisi setempat.
Meskipun ada tapi hanya sedikit pertimbangan dimensi gender dalam IP, dan konsep proyek.
Beberapa proyek yang sudah mempertimbangkan dimensi gender, tetapi mereka akan diperkuat di semua proyek.
Penting untuk mendukung studi, pertemuan konsultasi publik serta memberdayakan peraturan yang menawarkan ruang pilihan untuk model kelembagaan berbagai KPH berdasarkan spesifikasi lokal.
Masukan stakeholder pada inisiatif KPH dalam FIP akan dibahas dalam proposal proyek.
Skala investasi yang langsung pada penanggulangan kemiskinan dan dukunganuntuk mata pencaharian relatif rendah dibandingkan dengan anggaran total Rencana Investasi. Menentukan lebih banyak pilihan dari program hutan petani kecil akan berguna, sebagai tambahan dari skema yang ada saat ini.
Ketiga komponen berfokus pada hutan kemasyarakatan, mata pencaharian dan manfaat bagi masyarakat pada umumnya.
Rencana Investasi tidak memasukkan analisis efektivitas biaya yang eksplisit
Kajian manfaat-biaya secara pasti sulit pada tahap ini dan analisis lebih lanjut akan dilakukan selama desain proyek.
Sangat sulit untuk memperkirakan penghematan gas rumah kaca secara langsung dalam Rencana Investasi, karena belum ada metodologi yang telah disetujui, ataupun pendekatan yang berlaku untuk semua konteks.
Pendekatan perhitungan GHG akan dibakukan antara proyek dan dirinci dalam proposal.
135
FIP tidak menjelaskan secara eksplisit "pengalihan hak" yang digunakan untuk masing-masing program (misalnya mengikuti konsep PES, LR, atau PDR).
Upaya akan dilakukan selama perancangan & pelaksanaan proyek dengan menempatkan sisteminsentif dan kerangka kelembagaan dan peraturan yang benar.
Efektivitas biaya: Menyadari potensi investasi FIP agarditingkatkan menjadi operasi mandiri yang berkelanjutan tanpa subsidi akan membutuhkan perhatian yang cermat.
Akan dibahas selama perancangan dan pelaksanaan proyek.
Manfaat tambahan: desain proyek harus bertujuan untuk meminimalkan trade-off, dan untuk mengklarifikasi bilamana terdapat trade-off. Peluang lebih lanjut harus dijajaki untuk meningkatkan dan mengoptimalkan manfaat mata pencaharian. Potensi pelaksanaan: Cermati kandungan substantif, desain proses dan mekanisme untuk penyesuaian selama perincian Desain Proyek dan fase Implementasi. Mempertimbangkan tiga faktor: menghormati kearifan lokal, mendefinisikan "hak transfer" dengan jelas, dan membuat rencana untuk semua tahap siklus investasi.
Memonitor kemajuan dengan reformasi tenurial dan kepatuhan terhadap safeguards
M & E akan menjadi komponen kunci dari FIP, Kemajuan akan dilaporkan secara berkala
Mengarus utamakan koordinasi lembagalintas inisiatif REDD +.
Setiap proyek akan menangani proses koordinasi di dalam proposal, menyadari bahwa harmonisasi koordinasi kelembagaan berada di luarkemampuan masing-masing proyek.
Skema REDD + harus diposisikan sebagai bagian dari pengelolaan hutan lestari (SFM). SFM memerlukan valuasi ekonomi hutan, mekanisme perdagangan dan transaksi.
Opsi-opsi yang disarankan akan dibahas dalam rancangan proyek, tetapi aturan perdagangan karbon hutan belumditetapkan.
136
Belum jelas apakah dan sejauh mana proyek-proyek yang didanai melalui FIP akan memberikan kontribusi terhadap konversi atau degradasi hutan alam.
Tak satu pun dari proyek akan mencakup kegiatan-kegiatan yang akan mendukung konversi atau degradasi hutan alam. Safeguards MDB akan dirinci dalam proposal.
Prioritas yang lebih tinggi harus diberikan kepada investasi untuk meningkatkan atau menciptakan permintaan yang efektif untuk keuangan dari masyarakat, petani dan pengusaha kecil dan menengah; Pengembangan instrumen keuangan untuk memastikan masyarakat dan kehutanan rakyat terhadap risiko, dan merupakan sarana untuk mengurangi biaya masuk pasar untuk memulai dan perusahaan kecil juga harus mendapat dukungan yang lebih besar.
Semua proyek FIP akan berinvestasi dalam inisiatif berbasis masyarakat dan UKM. Saran akan dijabarkan dalam rincian proposal proyek.
137
Lampiran 6: Komentar dan Tanggapan Pemangku Kepentingan Pemangku kepentingan menyampaikan banyak komentar tentang draft dokumen Rencana Investasi FIP sebelumnya. Komentar-komentar tersebut membantu menyempurnakan Rencana Investasi dan juga membantu mengidentifikasi bidang-bidang yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut.Matriks berikut ini menyampaikan daftar komentar pokokberikut tanggapan dari Tim FIP.Komentar digabungkan berdasarkan tema.Komentar yang diterima setelah tanggal 18 September akan dimasukkan dalam sebuah matriks terpisah. Komentar Pemangku Kepentingan
Tanggapan Tim FIP
1. KEBIJAKAN PENGAMAN (SAFEGUARDS) FIP juga harus secara jelas menyebutkan alur mekanisme untuk memastikan akuntabilitas sebuah proyek serta mekanisme komplain yang efektif dan dapat dengan mudah diakses oleh komunitas yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Tidak memasukkan faktor kekerasan terhadap warga sehingga tidak diantisipasisebagai resiko dan tidak ada upaya pencegahan. Pengabaian Hak Atas Informasi.Usulan FIP, belum menempatkan masyarakat, laki-laki dan perempuan, terkenadampak yang tinggal dan hidup disekitar wilayah proyek sebagai subjek proyek.Terlihat bahwa masyarakat, laki-laki dan perempuan, tidak ditempatkan sebagaiindividu yang penting mendapatkan informasi terhadap usulan dokumen FIP.Bahkan media yang digunakan tidak memperhatikan situasi masyarakat, laki-lakidan perempuan. (para 127, hal.45, dok versi Bahasa Indonesia) Banyak menyebut FPIC, Appendix 1. para 8 , FPIC harus diterapkan pada semua proses pemberian ijin SDA (stranas REDD+), apakah ini artinya akan mengadopsi consent? FPIC nya siapa? IFC consent , ADB broad community support, WB consultation Usulan: Memperkuat terbentuknya dan digunakannya Prisai yang mengakui FPIC sebagai safeguard nasional yang dapat digunakan untuk semua sektor dalam semua kegiatannya. FIP harus mendukung proses safeguards yang sedang berlangsung di tingkat nasional ini, termasuk FIP. Pengamannasional harus dipandang sebagai prakondisi untuk dapat menjalankan rencana investasi kehutanan. Rencana investasi ini baru
138
Proyek-proyek FIP akan menerapkan kebijakan pengaman (safeguards) dari MDB yang memberikan dukungan. Ini akan mempertimbangkan kebijakan pengaman nasional yang ada dan pengaturan kelembagaan yang disusun berdasarkan kebijakan pengaman nasional untuk REDD+. Pendekatan pengamanMDB mencakup desain mekanisme pengaduan, proses konsultasi yang efektif, mekanisme untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko sosial, dan mekanisme untuk memastikan keterbukaan informasi bagi semua pemangku kepentingan yang terkena dampak.
Pada tahap ini, kegiatan-kegiatan Rencana Investasi dirancang untuk mendukung Indonesia dalam mencapai kesiapan REDD+, yang mencakup pengembangan safeguards nasional. Meskipun proyek FIP menerapkan kebijakan pengaman (safeguards) MDB pendukung, diakui bahwa kebijakan pengaman nasional, termasuk sistem informasi pengaman untuk kegiatankegiatan yang berkaitan dengan REDD+ telah berlaku atau sedang dikembangkan sebagai bagian dari upaya kesiapan REDD+ secara nasional (misalnya PRISAI, SIS-REDD+). FIP akan bekerja erat dengan lembaga-lembaga Pemerintah yang relevan, CSOs, protokol DKN, program FCPF (Penilaian Strategis di bidang Lingkungan dan Sosial), dan inisiatif lain yang dibiayai oleh donor, untuk mendukung setiap upaya yang dapat memperkuat
dapat dijalankan setelah mengadopsi sistem pengamannasional, bukan berjalan sendiri atau mendahului proses tersebut. Pilot haruslah daerah yang sudah memiliki prakondisi memadai termasuk dalam hal tata kelola dan pembangunan mekanisme untuk mengamankan hak masyarakat adat dan lokal (safeguards). Draft dokumen usulan FIP Indonesia tidak memperlihatkan sebuah pendekatan berbasis hakhak masyarakat yang kehidupannya bergantung pada hutan, baik lakilaki maupun perempuan. Tidak ada jaminan penerapan hak-hak yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, antara lain Kovenan Sipil Politik, Ekosob maupun CEDAW.
pengamannasional serta pedoman dan kebijakan praktis untuk pelaksanaan proyek, misalnya FPIC dan proses konsultasi. Hal ini dapat mencakup ujicoba pendekatan dan instrumen pengamandi tingkat proyek maupun mendokumentasikan dan menyebarluaskan pembelajaran dari pelaksanaan proyek FIP.
Upaya Pemerintah Indonesia untuk melakukan reformasi hak pemangkuan lahan diakui dengan baik, termasuk pembentukan kelompok kerja tenurial hutan baru-baru ini, yang menggantikan kelompok kerja tenurial yang dibentuk tahun 2001. Upaya tersebut membuka kesempatan bagi rencana investasi untuk menggunakanpendekatan berbasis hak selama desain proyek.
2. PINJAMAN Private Sector loan from local bank, (kecil dan menengah/CBFM spt PNPM) para 47, bagaimana pengembaliannya? Kalau gagal, hilang kebunnya? Pengalaman project ADB TRCP (Jambi), sertifikat masih dipegang bank. Jaminan jangan surat tanah. Simpan Pinjam Perempuan (PNPM mandiri) terbelit hutang (East Java), belum terlihat strategi mengangkat the poor of the poor dalam komunitas
Pengaturan pembiayaan konsesional didasarkan atas perjanjian antara IFC dengan lembaga swasta di bawah bimbingan dari Komite Pengarah melalui Lembaga Penanggung Jawab. Pemerintah tidak akan bertanggung jawab atas pengembalian utang.
Apakah KPH bisa mendapat bantuan dana grant atau loan dari World Bank Perlu ada konsep yang jelas untuk menggali pendanaan yang tidak berasal dari hutang, dengan mengoptimalkan dana-dana yang telah ada. Harus ada justifikasi yang jelas dan transparan ke publik mengenai sumber dana dan alokasi pendanaan.
Melalui program infrastruktur keuangannya, IFC membantu meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan jasa keuangan bagi individu serta usaha mikro, kecil dan menengah. Prioritas IFC adalah membantu lembaga keuangan lokal untuk menyediakan jasa keuangan secara luas kepada individu-individu (seperti kredit, tabungan, pembayaran dan asuransi) dan mendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja dengan mendukung pinjaman berguliruntuk usaha kecil dan menengah.
Negara tidak boleh menjadi penjamin hutang swasta jika terjadi gagal bayar. Di sisi lain, harus ada jaminan perlindungan bagi komunitas yang ditargetkan menjadi penerima hutang. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut di komentar spesifik di bawah ini.
Lembaga KPH, sebagai bagian dari pemerintah akan didukung hanya denganpendanaan hibah.
Apabila proyek gagal dan petani mengalami kerugian, harus ada mekanisme yang melindungi petani dari lilitan hutang yang justru dapat menghilangkan hak pengelolaan atau akses mereka 3. KEMITRAAN DENGAN SEKTOR SWASTA CSO menyuarakan kekhawatiran mereka tentang komponen sektor swasta karena komponen ini juga berfokus pada operasi dan konsesi kehutanan
139
Diakui ada tantangan untuk mengidentifikasi mitra-mitra sektor swasta yang cocok bagi program FIP. Hal ini telah ditambahkan dalam
berskala besar. FIP harus memastikan adanya kriteria integritas dan track record calon pemegang izin restorasi ekosistem Harus dibangun skema bahwa Izin Restorasi Ekosistem harus memastikan tidak berkonflik dengan dengan penguasaan lainnya, terutama hak penguasaan komunitas Audit lengkap/penyingkapan rekam jejak (track record) mitra-mitra sektor swasta di bidang kehutanan kepada publik sebelum pengambilan keputusan untuk bermitra; Menghindari penggunaan perantara jasa keuangan yang tidak jelas – safeguards tentang penyingkapan/transparansi/lingkungan/sosial harus diberlakukan. Proyek-proyek tersebut dikemas sebagai pinjaman bank antara (intermediary) dan telah lolos dari perhatian publik meskipun terdapat safeguards. Proposal FIP, dengan rencana yang tidak terlalu kritis untuk mendukung perkebunan, konsesi penebangan, Konsesi Restorasi Ekosistem dan perantara jasa keuangan menimbulkan berbagai kekhawatiran, mengingat rekam jejak semua lembaga tersebut. Tidak ada dukungan bagi perluasan fisik perkebunan sawit – kenaikan hasil perkebunan hanya melalui tindakan pengelolaan/manajemen
bab tentang risiko dari rencana investasi (Bab 7). Selain uji tuntas/due diligence di bidang keuangan, hukum dan kredit, uji tuntas di bidang integritas juga menjadi komponen penting dari upaya uji tuntas umum IFC untuk kerjasama dengan pihak luar. Prosedur Uji Tuntas Integritas (IDD) merupakan suatu kerangka untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan potensi risiko yang berkaitan dengan kegiatan yang tidak etis dan ilegal, yang mencakup masalah-masalah lingkungan, sosial, tata kelola, dan kejahatan keuangan seperti buruh anak, korupsi, kecurangan dan pencucian uang. Selanjutnya, FIP tidak akan memberikan pembiayaan kepada perusahaan yang terlibat dalam konversi habitat alam, termasuk hutan. Pedoman IFC juga membatasi investasi untuk operasi kehutanan bagi perusahaan-perusahaan yang telah atau dalam proses mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan dari suatu lembaga sertifikasi independen yang diakreditasi secara internasional.
FIP tidak akan memberikan pembiayaan atau dukungan lain kepada perusahaan sawit.
Kami merekomendasikan agar, sebelum bertindak lebih jauh dengan dukungan ERC yang baru, FIP perlu menyelenggarakan suatu audit independen terhadap ERC pertama, termasuk dokumentasi independen yang saksama tentang sengketa lahan dan hutan, analisis sejauh mana pengamandi bidang sosial dan lingkungan telah dilaksanakan, dan analisis pelaksanaan ketentuan-ketentuan perjanjian ERC dengan Kementerian Kehutanan yang menetapkan bahwa dalam konsesi IUPHHK ER, ada lahan yang akan dihapuskan dari wilayah kerja (konsesi) Restorasi Ekosistem Hutan Alam IUPHHK jika terdapat lahan yang menjadi milik desa, ladang, sawah atau lahan yang telah ditempati dan diolah secara resmi oleh pihak ketiga.
FIP akan melakukananalisis terhadap proses perizinan dan dampak sosial dari perizinan konsesi hutan, termasuk RE. Rekomendasi dari analisis akan diintegrasikan ke dalam pelaksanaan proyek (pasal 6.7).
Apakah bisa dibantu pembuatan Business Plan karena kami sebagai UKM tidak bisa membuat Business Plan yang memenuhi standar FIP.
FIP bertujuan untuk mendukung partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Peluang-peluang spesifik dan calon mitra pelaksana akan diidentifikasi selama persiapan proyek.
140
4. ISU GENDER Pengakuan dan perlindungan kelompok marjinal, seperti perempuan, anak, kelompok lanjut usia, dan penyandang disabilitas perlu dengan spesifik disebutkan dalam dokumen rencana FIP dengan pendekatan tindakan-khusus-sementara (affirmative action) melalui identifikasi bentuk dan pola kerentanan kelompok marjinal tersebut (Gender differentiated analysis). Proses konsultasi hingga analisa dampak harus jelas disebutkan dan harus menggunakan metode yang juga sensitif pada masyarakat marjinal dan kelompok perempuan.
Semua kegiatan yang didanai melalui FIP akan mencakup dukungan proses konsultasi yang dirancang untuk menyediakan ruang bagi partisipasi masyarakat lokal, IP, penduduk miskin serta perempuan dan kelompokkelompok marjinal lain. Peluang-peluang spesifik dengan sasaran perempuan dapat diidentifikasi selama pengembanganproyek. Penilaian dampak lingkungan dan sosial merupakan bagian dari persiapan proyek yang akan mengidentifikasi dampak spesifik-gender dan langkah-langkah penanganannya.
Belum ada secara khusus menyebut keterlibatan perempuan Dalam dokumen FIP perlu ditegaskan adanya tahapan assment pada setiap komponen kegiatannya seperti aspek assesment Gender, Tenure dan Konflik, Kerentanan Sosial, Kerentanan Ekologis, tanpa menghilangkan fungsi Amdal yang harus dilakukan Menempatkan perempuan sebagai pemangku kepentingan, khususnya dalamsetiap proses pengambilan keputusan, dengan menggunakan pendekatan yanginklusif, sensitif dan responsif gender. Memuat kajian mengenai penyebab utama deforestasi dan kerusakan hutandalam perspektif gender Memenuhi persyaratan konsiderasi gender sesuai safeguards MDBs MDB mempunyai berbagai kebijakan dan prasyarat sehubungan dengan pertimbangan gender dalam kebijakan safeguards dan standar kinerja mereka. Namun, rencana investasi Indonesia dalam FIP belum memenuhi prasyarat minimum tersebut.
Pertimbangan gender akan dicantumkan selama tahap pengembangan proyek dan akan menjadi elemen penting dari penilaian dampak sosial. Pelajaran dari FIP akan diintegrasikan dengan program gender Pemerintah Indonesia yang sedang berlangsung.
5. PROSES DAN DOKUMEN FIP FIP perlu menyusun suatu daftar istilah yang menjelaskan makna atau definisi istilah-istilah pokok yang digunakannya. Misalnya, definisi IFC tentang Usaha “Kecil”, “Sedang”, dan “Besar”; definisi lahan terdegradasi. Ini termasuk apa yang disebut oleh IFC sebagai usaha mikro, selain koperasi, sebagai ganti dari apa yang disebut usaha ‘kecil’ dan ‘menengah’ dengan aset yang bernilai US$ 3 juta sampai US$
141
Sektor pasar usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) terdiri dari badan-badan usaha dengan berbagai ukuran, sebagaimana yang lazim didefinisikan menurut jumlah karyawan, modal kerja dan pendapatan tahunan. IFC mendefinisikan UMKM (Inggris: MSMEs) sebagai usaha dengan jumlah karyawan di bawah 300 orang, berdasarkan golongan berikut ini: Usaha Mikro (karyawan = sampai 10 orang; total aset = sampai $100 ribu; total penjualan tahunan
15 juta.
= sampai $100 ribu) Usaha Kecil (karyawan = antara 10-50 orang; total aset = $100 ribu-$3 juta; total penjualan tahunan = $100 ribu-$3 juta) Usaha Menengah (karyawan = 50-300; total aset = $3-$15 juta; total penjualan tahunan = $3-$15 juta) Kriteria alternatif untuk mendefinisikan sektor meliputi nilai penjualan tahunan, aset dan ukuran pinjaman atau investasi.
Dokumen dlm bahasa Indonesia, termasuk bahan konsultasi,berkualitas buruk. Berbeda arti antara bhs inggris dan bhs Indonesia, misal “land tenure security” menjadi “rasa kepemilikan”.
Dokumen yang direvisi sedang diterjemahkan dengan sangat hati-hati. Versi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris akan dipasang secara bersamaan. (Meskipun demikian, beberapa perbedaan penafsiran mungkin masih ada)
Harus ada penjelasan alasan pemilihan lokasi berdasarkan analisa kongkrit target pengurangan emisi ,pengakuan hak masyarakat ,dan penyelesaian status kawasan hutan.
Pemilihan final daerah sasaran akan diselesaikan sebagai bagian dari persiapan proyek. Sub-babtentang kriteria pemilihan daerah sasaran diperluas (sub-bab6.8). Konsultasi dengan pemangku kepentingan lokal akan menjadi bagian integral dari pengembanganproyek.
Basis lokasinya hanya diskusi dengan pemerintah (para 161), tolong tunjukkan dimana keterlibatan masyarakat sipil dalam penetapan lokasi ini.
Penilaian yang dilaksanakan pada saatpengembanganproyek akan mengidentifikasi kondisi awal(baselines) untuk aspek lingkungan dan sosial, termasuk peranan masyarakat saat ini maupun yang potensial dalam pengelolaan hutan dan status pengakuan hak masyarakat. Setelah baselines teridentifikasi maka indikator dan target spesifik proyek akan dikembangkan.
Waktu Konsultasi Publik yang terbatas. Pelibatan Masyarakat secara Penuh
Pengajuan ditunda dari April 2012 agar waktu untuk konsultasi dapat lebih banyak. Dewan Kehutanan Nasional (DKN) setuju untuk mengarahkan diskusi dan konsultasi yang lebih terfokus dan sepakat dengan CSO mengenai proses yang lebih memadai untuk memenuhi kebutuhan ini. DKN mengusulkan suatu proses yang sepenuhnya didukung oleh FIP (lihat rincial dalam lampiran 2).
Ditekankan bahwa ada kebutuhan untuk lebih menghubungkan pendanaan FIP dengan Strategi REDD+ dan FREDDI, dan direkomendasikan agar mengalokasikan pendanaan untuk penjabaran proyek-proyek bankable yang akan dibiayai oleh FREDDI.
Rencana Investasi FIP dan Strategi Nasional REDD+ berkaitan erat. Rencana Investasi akan mendukung pengembangan model KPH yang mengembangkan rencana pengelolaan hutan, termasuk proyek-proyek yangbankable. Peluang-peluang spesifik untuk proyek-proyek tersebut akan diidentifikasi selama pengembangan proyek. BerfungsinyaKPH akan memperlancar pelaksanaan program-program nasional di tingkat lokal, termasuk Strategi REDD+.
Untuk Hutan Rakyat dengan status KPH, apakah bisa KPH nya diikutkan dalam program REDD dan memiliki status KPH REDD sehingga kami bisa mengembangkan dan memanfaatkan jasa lingkungan lainnya (bisa menjual air,karbon dan
142
ekowisata)
Penilai Independen mengomentari kurangnya analisis yang hemat biaya dalam IP. Kami meminta agar IP menetapkan,secara kuantitatif atau kualitatif naratif, pemenuhan kriteria tersebut; analisis yang lebih terperinci dapat berlangsung di tingkat program/proyek. Hubungan FCPF dengan FIP FCPF-FIP-Carbon Funds , ternyata prosesnya secara nasional tidak patuh pada tahapan proses ini. FIP berlari dulu dari FCPF Nampaknya ditingkat lokasi terjadi hal yang sama;readines, invenstment, dan (carbon funds) lokasinya berbeda
Pertanggung Jawaban Project, Pemerintah (siapa) dan MDBs (ADB,W, IFC), usul tanggung jawab kegiatan oleh pemerintah, tanggung jawab loan oleh IFC, sehingga tidak ada bail out loan oleh pemerintah (uang rakyat) . Banyak anggota subkomite mengajukan permasalahan tentang bagaimana ketiga komponen ini berhubungan dan akan dikoordinasikan. Sejumlah pertanyaan diajukan tentang alasan pemilihan draft subproyek dan bagaimana subproyek dapat mendorong perubahan transformasi serta apa yang dimaksud dengan penggunaan dana secara strategis itu. Selain itu, bagaimana ketiga komponen ini akan berkoordinasi satu sama lain. Masukan dari masyarakat tidak jelas dalam dokumen FIP Tim FIP perlu membuat dokumen lampiran khusus yang membahas secara rinci mengenai proses, substansi masukan, dan status masukan yang disampaikan oleh berbagai pemangku kepentingan. Dalam dokumen ini, perlu diuraikan status masukan tersebut, mana yang diadopsi dan
143
Penjelasan tentang efektivitas biaya telah ditambahkan ke dalam Strategi Investaswi. Lihat bagian 6.8
Dengan mendukung pelaksanaan Strategi Nasional REDD+ Indonesia, Rencana Investasi berkaitan erat dengan Strategi REDD+ Indonesia dan melengkapi program-program kerjasama internasionallain , termasuk FCPF dan UNREDD. Hubungan dan kesempatan untuk belajar dari FCPF, UNREDD, dan proses dan program REDD+ yang lain akan dijajaki selama pengembanganproyek. Apabila cocok, pemilihan lokasi akan memprioritaskan daerahdaerah di mana FCPF dan program-program kerjasama internasional REDD+ lain dapat bersinergi dengan FIP. Pilihan pembelajaran dan kerjasama lintas program akan dijajaki di tingkat proyek maupun kebijakan, terutama dalam hal Kajian Strategis Lingkungan dan Sosial (SESA) Rencana Investasi telah didesain ulang untuk memberikan pendekatan yang lebih berpautan. Ketiga tema investasi diselaraskan melalui dukungan mereka untuk Strategi REDD+ Nasional. Koordinasi akan dilaksanakan melalui komite pengarah nasional dengan pengawasan dan koordinasi tambahan oleh Kementerian Kehutanan. Sebuah pasal mengenai pengaturan pelaksanaan telah ditambahkan (bagian 6.10). Bagian 6.10 juga menguraikan arus pendanaan pinjaman langsung kepada sektor swasta.
Sebuah matriks tentang komentar publik dan bagaiman komentar tersebut dicantumkan dalam rencana investasi diuraikan dalam Lampiran 6 dalam dokumen final. Lampiran 2 menguraikan proses keterlibatan pemangku kepentingan dalam desain Rencana Investasi.
mana yang tidak dan apa alasannya.
Berbentuk BantuanTeknis (Techical Assistance/ TA) dari ADB sebesar USD 225,000 untuk persiapanpenyusunan dokumen usulan FIP Indonesia. Namun demikian, penyusunandokumen ini tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan ADB dan MDBs lainnyadalam hal safeguards, keterbukaan informasi/komunikasi publik serta gender danpembangunan, dan financial intermediaries. Juga tidak mengaplikasi prinsip ‘do noharms’, bahkan tidak menganalisis potensi resiko dan dampak serta upayamitigasinya
Hibah persiapan FIP dan penyusunan rencana investasi telah sepenuhnya memenuhi prosedur yang ditetapkan oleh Dana Investasi Iklim (CIF). Patut diperhatikan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pernyataan Kebijakan Pengaman ADB (termasuk konsultasi yang signifikan) berlaku bagi semua proyek/program sovereign dan nonsovereign yang dibiayai oleh ADB dan/atau komponen-komponennya, tetapi tidak berlaku bagi TA itu sendiri. Namun demikian, semua MDB termasuk ADB akan mematuhi kebijakan pengaman masing-masing (termasuk konsultasi bermakna) selama desain, persiapan dan pelaksanaan proyek-proyek individu setelah rencana investasi ini disetujui.
6. STRATEGI DAN LINGKUP FIP Usulan FIP Indonesia dibuat berdasarkan dokumen Stranas REDD+ yang masihmempunyai permasalahan tersendiri karena tidak cukup akurat dalam mengadopsihasil-hasil konsultasi public di 7 regional.
Strategi Nasional REDD+ telah dikembangkan oleh Satuan Tugas dengan representasi tingkat tinggi dari kementerian-kementerian utama Indonesia dan dengan masukan dari berbagai pemangku kepentingan. Strategi Nasional mengidentifikasi sejumlah akar penyebab deforestasi dan memberikan kerangka yang berguna untuk program FIP secara keseluruhan. Penyebab deforestasi di tingkat lokal akan diidentifikasi selama pengembanganproyek.
Usulan FIP lebih menyediakan ‘jalur bebas hambatan untuk penetrasi sector swasta terutama pelnyebab utama deforestasi dan degradasi hutan. Pilihan kegiatan yang ditawarkan FIP tidak ditujukan untuk menghadapi ‘drivers’deforestasi dan degradasi hutan, melainkan lebih terfokus pada aspek peningkatan stok karbon dan peluangpeluang lainnya bagi sektor swasta untuk terlibat dalam carbon trading. Padahal menghadapi ‘drivers’ deforestasi dan potensi kelanjutannya harus diprioritaskan. Sektor kertas dan bubur kertas dan sawit misalnya, memiliki dampak besar terhadap hutan Indonesia, namun FIP tidak menunjukkan komitmen untuk menghadapi masalah ini.
Pembalakan liar disadari merupakan pemicu langsung yang penting bagi deforestasi dan degradasi. Yang menyebabkan pemicu ini adalah sejumlah masalah tata kelola yang banyak di antaranya akan diatasi oleh FIP. Pendekatan Rencana Investasi yang digunakan adalah meningkatkan tata kelola kehutanan di tingkat lokal. Ini dapat mengurangi tekanan pada hutan dari sejumlah ancaman, termasuk pembalakan liar dan konversi menjadi perkebunan sawit.
Tambahkan teks dalam FIP, mungkin dalam butir 2.4, seperti: 2.4 (hal 15, Versi Bahasa Inggris (EV)) “Penegakan Hukum Kehutanan dan Pembalakan Liar” perlu diubah menjadi “Penegakan Hukum dan Pembalakan Liar” untuk mencerminkan fakta bahwa selain Undang-Undang Kehutanan, undangundang lain termasuk Undang-Undang
144
Meskipun pendekatan ‘follow the money’ diakui manfaatnya, (teks yang relevan ditambahkan pada bagian akhir butir 2.2.3),pendekatan Rencana Investasi berfokus pada mengatasi rintangan di daerah dalam pelaksanaan kebijakan REDD+ Indonesia.
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan perpajakan, akan memainkan peranan penting dalam memerangi pembalakan liar. Selain itu, seluruh bagian ini perlu diperkaya dengan uraian pendekatan “follow the money” untuk mengatasi pembalakan liar, termasuk mengacu kepada UU 8, Th 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maupun undang-undang perpajakan. Teks perlu ditambahkan “memantau aspek-aspek keuangan dari penebangan kayu maupun memantau arus keuangan sektor kehutanan, termasuk melalui penggunaan tindakan pemberantasan pencucian uang dan pemeriksaan pendapatan pajak.” Standart SVLK yang lemah dan cenderung menjadi pencucian legalitas, ini ditambah dengan kerisauan atas prosese SVLK terhadap usaha skala besar yang dinali berkinerja buruk, atau berafiliasi pada praktek usaha illegal yang saat ini berjalan.
SVLK telah dikembangkan selama bertahuntahun dengan banyak masukan teknis dan tata kelola melalui proses lintas pemangku kepentingan. Hasil tinjauan literatur memperlihatkan bahwa banyak pihak mengakui bahwa proses SVLK telah memberikan kontribusi yang signifikan kepada sistem pengelolaan hutan yang lebih transparan. Banyak masukan teknis dan keuangan yang terus memperbaiki pelaksanaan program. Dokumen FIP memberikan latar belakang dan konteks tetapi bukan analisis yang mendalam mengenaisetiap program kehutanan di Indonesia.
‘Pemicu deforestasi’ (Bab 1) dalam dokumen FIP tidak secara akurat memuat fakta bahwa pelanggaran hak asasi manusia, praktek korupsi, termasuk pencucian uang, penghindaran pajak dan perdagangan kayu oleh dunia usaha dimungkinkan oleh adanya kebijakan dan tata kelola kehutanan yang tidak transparan dan akuntabel. Mengingat dampak yang signifikan dari sektor kertas-pulp dan sawit terhadap hutan Indonesia, FIP perlu mencantumkan analisis yang terperinci terhadap rencana-rencana saat ini untuk memperluas produksi kertas dan pulp (termasuk di Sumatra Selatan) dan produksi sawit, termasuk luas hektar tambahan yang direncanakan akan dimanfaatkan sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan praktek produksi yang ada saat ini. Definisi “lahan terdegradasi” harus dinyatakan secara jelas dan harus memastikan bahwa setiap lahan ‘terdegradasi’ benar-benar lahan belukar yang ‘gundul’, bukan lahan dengan tutupan hutan.Selain itu, harus ada penilaian dampak sosial untuk memastikan bahwa lahan-lahan tersebut saat ini belum dihuni, dikelola atau digunakan oleh
Dokumen FIP membahas bagaimana tata kelola yang baik penting untuk pengelolaan hutan yang baik. KPH hendaknya dapat mengatasi banyak dari kekurangan yang telah diketahui di tingkat lokal.
145
Strategi Nasional REDD+ mengakui pemicu deforestasi ini (berdasarkan kajiansebelumnya, tinjauan literatur, konsultasi dan pandangan ahli), dan dokumen FIP diselaraskan. Ancaman lingkungan dan sosial yang spesifik di daerah sasaran akan diidentifikasi sebagai bagian dari pengembanganproyek. Kebijakan pengaman (safeguards) akan dipicu selama proses penyaringan proyek yang spesifik. Dampak sosial dan lingkungan merupakan bagian penting dari proses standar selama pengembanganproyek dan akan menentukan instrumen-instrumen
masyarakat lokal.
pengamanyang akan digunakan. Konsensus masih harus dicapai mengenai definisi lahan dan hutan terdegradasi yang diterima secara ilmiah dan universal. IFC memanfaatkan pendekatan habitan dalam Standar Kinerja 6 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati serta Catatan Panduan terkait No. 6 (http://www1.ifc.org/wps/ wcm/connect/ bff0a2804 9a790d6b8 35faa8c6a8312a /PS6_English_2012.pdf?MOD =AJPERES). Habitat didefinisikan sebagai unit geografis daratan, air tawar atau laut atau udara yang mendukung kelompok organisme hidup serta interaksinya dengan lingkungan nonhayati. Untuk keperluan Standar Kinerja maka habitat dibagi menjadi yang dimodifikasi, alami dan kritis. Habitat yang dimodifikasi dan terdegradasi dapat dianggap serupa. Habitat yang dimodifikasi adalah daerah-daerah yang mungkin terdiri dari sebagian besar spesies tumbuhan dan/atau hewan pendatang dan/atau di mana kegiatan manusia telah banyak memodifikasi fungsi ekologis primer dan komposisi spesies di suatu daerah.
Lembaga Keuangan Internasional (seperti Bank Dunia, ADB, dan IFC) dalam hutang proyek maupun kebijakannya yang mendorong deforestasi harus juga diidentifikasi dan diakui sebagai salah satu drivers deforestasi. Sektor lain yang jelas terkait dan mendorong deforestasi (sawit dan pertambangan) juga harus diakui sebagai salah satu drivers deforestasi.
Dokumen FIP terutama menguraikan akar penyebab deforestasi; tetapi, mengingat pentingnya perluasan perkebunan sawit dan pertambangan sebagai proksi pemicu maka penjelasan terkait telah ditambahkan di bagian akhir butir 1.4. FIP telah dirancangdengan masukan dan tata kelola dari negara-negara donor dan penerima untuk dilaksanakan melalui MDB sebagai lembaga mitra. Tujuan sistem pengamanMDB adalah agar operasi tidak menimbulkan dampak negatif yang merugikan. Semua kegiatandisaring berdasarkan kriteria sosial dan lingkungan agar dapat mengidentifikasi risiko-risiko safeguards dan merancang tindakan dan strategi mitigasi yang tepat.
Regime Perijinan dalam Desentralisasi, yang merupakan hal yang sangat penting belum disentuh, harus dibahas
Pekerjaan analisis yang berkaitan dengan halhal ini akan didukung (butir 6.7). dengan mendukung sistem KPH, FIP akan dapat memberikan kontribusi untuk desentralisasi pengelolaan hutan.
FIP harus mendorong perubahan kebijakan kehutanan, termasuk secara terang-terangan mendorong perubahan UU Kehutanan agar mengakui hak masyarakat adat dan komunitas local secara penuh dan merevisi watak kriminalisasi di dalamnya. Dokumen ini harus merujuk TAP IX/MPR/2001 secara substantif
Akan dilakukan analisis yang mencakup dasar hukum hak dan partisipasi masyarakat (butir 6.7).
146
Kerangka Rencana Investasitelah direvisi secara spesifik untuk mencantumkan dukungan bagi reformasi hak tenurialyang sedang berlangsung, termasuk reformasi yang diadakan oleh
sebagai nyawa dalam mendorong review atas berbagai kebijakan sumber daya alam, termasuk Undang-Undang Kehutanan. 28
Menjadikan Keputusan MK Nomor 45/PUU-IX/20 sebagai rujukan hukum untuk menyelesaikan persoalan ketidakjelasan tata batas kawasan hutan.
Menjadikan program FIP di tingkat tapak sebagai salah satu upaya menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan dan mendukung kepastian tenurial baik bagi komunitas yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan, maupun bagi kepastian status kawasan hutan itu sendiri. FIP harus berkontribusi mendorong perubahan skema penyelesaian persoalan tenurial yang saat ini terhambat karena dijejali oleh kerumitan prosedur. FIP harus menjadi proyek yang mendorong pemangkasan prosedur pengakuan hak masyarakat, terutama mereka yang termarjinalkan. FIP perlu mengakui dinamika ekonomi-politik daerah yang mendorong deforestasi dan mencoba menjawabnya secara sistematis melalui upaya mendorong dan memberi insentif terhadap reformasi tata kelola di tingkat daerah, termasuk dalam hal kejelasan mengenai proses perizinan dan prasyaratnya serta memastikan perlindungan terhadap (potensi) munculnya korban atas salah urus perizinan.
Kelompok Kerja Penyusunan Rencana TenurialKehutanan Makro Kementerian Kehutanan (SK. 199/Menhut-II/2012 of May 2012). Rencana investasi berfokus pada peningkatan akses ke kawasan hutan bagi masyarakat lokal melalui integrasi dengan perencanaan kehutanan, peningkatan kapasitas dan dukungan bagi CBFM. Dukungan kepada KPH bertujuan untuk memperkuat kapasitas pengelolaan hutan lokal, termasuk integrasi masyarakat lokal dan respons terhadap reformasi hak pemangkuan. Tujuan Rencana Investasi yang telah direvisi adalah untuk mengurangi hambatandalam pelaksanaan REDD+ di daerah dan meningkatkan kapasitas lokal untuk REDD+ dan SFM. Investasi yang direncanakan bertujuan untuk meningkatkan tata kelola sektor kehutanan secara keseluruhan, yang mempunyai manfaat ganda selainmendorongkesiapan REDD+. Misalnya, banyak dari tema investasi 1 dan 2 menguraikan penetapan kondisi yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan hutan, seperti integrasi dengan perencanaan pengelolaan hutan, sosialisasi, peningkatan kapasitas dan pengembangan mata pencaharian. Dalam jangka panjang, kegiatan-kegiatan ini hendaknya meningkatkan sisi ‘permintaan’ terhadap pembiayaan hutan yang berkelanjutan. Peluang yang lebih langsung untuk mendukung CBFM akan dijajaki selama pengembangan proyek.
Konstruksi Hukum Atas Hak & Partisipasi Masyarakat. Menyebut TAP MPR, UUPA (para 89) sbg enabling policy, tidak menyebut contradiction of laws , contradiction of law and policy harus disebut Pemahaman Tenure dengan UUK 41/1999, mengabaikan penguasaan adat yg belum diakui negara, misal istilah recognition legitimate rigts to land (para 107 etc), valid claims of IP and local communities (para 96 etc). Perlu diakomodir model recognition lain dan valid claims selain pemahaman UUK 41/1999 Suficient Space for Communities (local and Ips) participation melalui konstruksi hak/ijin dalam UUK tidak cukup (suficient), lihat UUPA 28
Lihat http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidang_Putusan%20Perkara%20No.%2045.PUUIX.2011,%2078.PUU-VIII.2010,%20tgl.%2021%20Feb%202012.pdf
147
Reformasi Hukum, sedang terjadi, bagaimana fip mengakomodirnya reformasi hukum yang sedang dan akan terus terjadi misl (JR 45/2011, JR 34/2012, JR 35/2012) FIP perlu mengakui dinamika ekonomi-politik daerah yang mendorong deforestasi dan mencoba menjawabnya secara sistematis melalui upaya mendorong dan memberi insentif terhadap reformasi tata kelola di tingkat daerah, termasuk dalam hal kejelasan mengenai proses perizinan dan prasyaratnya serta memastikan perlindungan terhadap (potensi) munculnya korban atas salah urus perizinan. FIP harus mendorong proses lahirnya kesepakatan di tingkat nasional berkaitan dengan konsep “Investasi sektor Kehutanan” yang melindungi secara menyeluruh hak-hak komunitas yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, terutama dalam kaitannya dengan kemungkinan penciptaan pasar jenis baru yang melibatkan komunitas. FIP harus mengakui bahkan mengadopsi pengelolaan hutan yang ada didalam komunitas, tanpa terlebih dahulu secara gegabah memperkenalkan model pengelolaan hutan yang sama sekali baru kepada komunitas, yang bisa jadi berpotensi untuk meminggirkan mereka dari asset penting kehidupan mereka. FIP harus menyasar ke persoalan dasar CBFM, yakni rumitnya perizinan, rendahnya kapasitas, minimnya target dan inisiatifpemerintah daerah, dan jangkauannya yang belum mencakup komunitas yang hidup di kawasan konservasi. Dukungan pendanaan FIP terhadap CBFM hanya bisa diberikan apabila persoalan mendasar di atas sudah diatasi atau setidaknya berjalan paralel dengan dukungan pendanaan KorupsiUsulan FIP Indonesia telah melihat korupsi dinilai sebagai resiko, namun tidakdikembangkan upaya pencegahan korupsi dalam implementasi FIP. Terutamadalam bentuk penataan terhadap sistem perizinan dan kelembagaan kehutananyang membuka peluang terjadinya korupsi maupun peluang terjadinya manipulasipajak dan pencucian uang.
148
FIP harus mempunyai target yang jelas mengenai berapa jumlah komunitas yang penguasaannya akan diakui oleh hukum negara di bawah program FIP.
Indikator yang tepat telah dicantumkan dalam Kerangka Hasil pada Bab 9. Kondisi awal (baseline) dan target untuk indikator ini akandikembangkan sebagai bagian dari pengembangan proyek.
FIP perlu mendorong desain KPH yang lebih komprehensif, antara lain termasuk mengontrol perizinan dan merekomendasikan tindakan cepat untuk mengatasi tumpang tindih perizinan di tingkat tapak
Dukungan FIP pada KPH mencakup dukungan di bidang perencanaan pengelolaan hutan, pemetaan dan sosialisasi serta pengembangan masyarakat. Peningkatan kapasitas lokal di bidang-bidang ini penting untuk mengatasi permasalahan klaim pemilikan lahan yang tumpang tindih. Peningkatan kapasitas KPH di bidang-bidang ini juga meningkatkan kapasitas mereka untuk memainkan peranan yang lebih besar dalam proses perizinan. FIP juga akan melaksanakan analisis terhadap perizinan (butir 6.7).
FIP sebaiknya lebih menitikberatkan pada skema jenis lain yang tidak mengacu pada UU no.41 seperti Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Adat karena kedua skema ini lebih dekat dengan pengakomodasian hak rakyat dan mendukung pengelolaan hutan yang lebih lestari.
Pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan akses masyarakat lokal terhadap hutan akan diidentifikasi selama pengembangan proyek. Pekerjaan analisis telah ditambahkan (butir 6.7) yang akan mencakup potensi skema yang ada untuk mendukung akses yang lebih baik dan yang menganalisis kerangka hukum untuk partisipasi masyarakat.
149