Telangkai Bahasa dan Sastra, April 2014, 29-39 Copyright ©2014, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1978-8266
Tahun ke-8, No 1
RELASI GRAMATIKAL BAHASA BATAK TOBA: ANCANGAN TIPOLOGI
Beslina Afriani Siagian Universitas HKBP Nommensen
[email protected] Abstract This paper criticizes about grammatical relation in Batak Toba language. The problem will be discussed is word order, case marking, and semantic role in Batak Toba language. Therefore, the purpose of the paper is to determine the relation of grammatical in Batak Toba language, and it is observed from word order, case marking, and semantic role. Data collection is take from written language, namely myth “Si Boru Deang Parujar”. This myth is representative data for subject study because this myth is story about origin of human being in a Batak Toba‟s etnic belief, and this myth take from “Pustaha Tumbaga Holing” in 1964. The result of discussion to point out that the word order in Batak Toba language have form P-S-O. This point supported by the kind of diathesis in Batak Toba Language is active diathesis, passive diathesis, and reflexive diathesis. In order that, the product of discussion point out that grammatical relation and semantic role in Batak Toba Language is S = A / P and S = P / A. The meaning of this point is Batak Toba language make the same relation with S is A and S is P. The form of grammatical relation and semantic role prove that Batak Toba language have the pattern case marking is nominative-accusative and ergative absolutive.
PENDAHULUAN Kajian linguistik mikro dan makro telah dan terus berkembang dengan dasar filosofis dan teoretis yang memungkinkan para peneliti dan ahli bahasa dapat membedah ―apa itu bahasa‖. Salah satu kajian itu telah melahirkan kajian baru yang disebut tipologi linguistik, yakni muncul pada tahun 1980-an. Kajian tersebut adalah kajian yang mengelompokkan bahasa berdasarkan tipe tertentu yang berkaitan dengan kesemestaan dan kekhasan tatabahasa secara lintas bahasa. Hal itu merupakan hal yang menarik dan menantang untuk ditelaah. Pada bidang linguistik mikro, kajian tipologi linguistik terhadap bahasa-bahasa nusantara masih memerlukan pencermatan dan kesungguhan karena banyak sekali sifatperilaku gramatikal bahasa-bahasa daerah tersebut yang belum terungkap. Kekhasan dan kerumitan tatabahasa bahasa-bahasa nusantara tidak hanya menjadi tantangan bagi para peneliti dan ahli bahasa untuk mengungkapkannya, tetapi juga menjadi ―tantangan‖ tersendiri untuk konsep dan teori ketatabahasaan yang ada. Terkumpulnya beragam data dari berbagai jenis bahasa dan adanya ―tantangan‖ baru terhadap teori linguistik yang ada merupakan ―tanda baik‖ bagi perkembangan linguistik secara umum.
Besliana Afriani Siagian
Pendeskripsian gramatika lahiriah suatu bahasa secara cermat untuk memperoleh gambaran ―seperti apa bahasa x itu‘ menjadi dasar dan tujuan pengkajian linguistik tipologi, khususnya tipologi gramatikal. Pengkajian tipologi gramatikal terhadap bahasa (atau bahasa-bahasa) dapat dilakukan pada tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Bahasa Batak Toba yang termasuk dalam rumpun bahasa Melayu secara gramatikal adalah khas, yaitu mempunyai sistem tata bahasa sendiri dan arti kata sendiri. Bahasa ini memiliki banyak penutur. Beberapa ahli linguistik telah mengadakan pengkajian terhadap bahasa ini, namun belum ada pengkajian terhadap relasi gramatikal dalam bahasa tersebut. Penelitian dan pembahasan tentang tipologi sintaksis bahasa Batak Toba secara khusus belum menjadi perhatian para peneliti dan pengamat bahasa Batak Toba dengan kerangka kerja sesuai dengan tipologi linguistik. Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan dicoba memaparkan jenis bahasa Batak Toba ditinjau dari tipologi sintaksis. Berdasarkan pemaparan di atas, maka jurnal ini akan mencoba menelaah sifatperilaku gramatikal bahasa Batak Toba berdasarkan kerangka teori tipologi linguistik yang diutamakan pada tataran sintaksis, meskipun untuk beberapa hal akan turut menyentuh tataran morfologi. Maka secara khusus, masalah yang dikaji adalah tipe tataurutan kata, kalimat, dan peran semantis yang mengisi slot fungsi sintaksis dalam bahasa Batak Toba? Setakat dengan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk membahas, memahami, dan menjelaskan tata urutan kata, sintaksis dan juga peran semantis bahasa Batak Toba melalui kajian relasi gramatikal dan peran semantik. Secara teoretis, penelitian ini akan memperkaya khazanah linguistik, terutama di bidang tipologi bahasa dan sintaksis. Hasil penelitian ini dapat saja dijadikan bahan perbandingan dan tempat pijakan untuk penelitian lanjutan, baik mengenai relasi gramatikal, maupun mengenai bahasa Batak Toba yang terkait dengan itu. Penelitian ini telah merekam, dan mencatat, serta mengumpulkan informasi dan data bahasa tulis yang berkaitan dengan relasi gramatikal dan bahasa Batak Toba. KAJIAN PUSTAKA Pengertian Dasar dan Arah Kajian Tipologi Linguistik Model kajian lintas bahasa yang berupaya untuk mengelompokkan dan membuat generalisasi sifat-prilaku gramatikal bahasa-bahasa manusia di dunia telah sedang menjadi arah baru penelitian pendeskripsian bahasa sejak awal tahun 1980-an. Kajian linguistik seperti itu memberikan sumbangan pemikiran dasar terhadap tipologi linguistik (linguistic typology) yang bertujuan untuk mengelompokkan bahasa-bahasa ke dalam tipologi tertentu. Tipologi itu sendiri adalah klasifikasi ranah (classification of domain), yang pengertiannya bersinonim dengan istilah taksonomi. Istilah teknis yang dikenal dalam linguistik merujuk ke pengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan ciri khas tatakata dan tatakalimatnya. Selain itu, bahasa-bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan batasan-batasan ciri khas strukturalnya. Kajian tipologi linguistik berusaha menetapkan pengelompokkan secara luas berdasarkan sejumlah fitur gramatikal yang saling berhubungan. Pentipologian bahasa diperlukan untuk pembuatan asumsi-asumsi tentang kesemestaan bahasa (lihat Comrie, 1989) Dasar dan arah kajian tipologi linguistik juga berasal dari pemikiran adanya perbedaan dalam kesemestaan dan kesemestaan dalam perbedaan-perbedaan secara lintas bahasa. Dasar pemikiran seperti ini berkembang sedemikian rupa sehingga membangun kerangka kerja teoretis dan praktis sebagai upaya pengelompokkan bahasa (-bahasa)
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
melalui perbandingan lintas bahasa. Song (2001:2), misalnya, mengemukakan pendapat menarik yang didasarkan pada pemikiran tersebut. Menurutnya, terlepas dari adanya perbedaan-perbedaan di antara bahasa-bahasa di muka bumi ini, mesti ada sifat-perilaku tertentu yang menjadi milik bersama antar bahasa-bahasa tersebut yang merupakan ciri umum sebagai bahasa manusia. Oleh karena itu, ada sebagian ahli bahasa yang bersentuhan langsung dengan penyelidikan kesatuan tersebut dengan mempelajari beragam variasi struktural yang begitu banyak secara lintas bahasa. Ahli inilah yang dikenal sebagai ahli tipologi linguistik (typologist). Penemuan mereka tentang variasi lintas bahasa itu dirujuk sebagai tipologi linguistik (tipologi). Tipologi, dalam pengertian umumnya, adalah pengelompokan bahasa-bahasa atau komponen-komponen bahasa berdasarkan ciri-ciri formal (bentuk lahiriah) yang dimiliki bersama. Tipologi bertujuan untuk menentukan pola-pola lintas-bahasa dan hubungan di antara pola-pola tersebut. Dengan demikian, metodologi dan hasil-hasil penelitian tipologis, pada dasarnya, bersesuaian dengan teori tatabahasa apa saja. Ada tiga proposisi penting yang terkemas dalam pengertian tipologi, yakni: (a) tipologi memanfaatkan perbandingan lintas-bahasa; (b) tipologi mengelompokkan bahasa-bahasa atau aspek bahasa-bahasa tersebut; dan (c) tipologi mencermati fitur-fitur lahiriah (formal) bahasabahasa. Comrie (1989) menyatakan bahwa tujuan tipologi linguistik adalah untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan sifat-perilaku struktural bahasa-bahasa tersebut. Tujuan pokoknya adalah untuk menjawab pertanyaan: seperti apakah bahasa x itu? Menurutnya, ada dua asumsi pokok tipologi linguistik, yaitu: (a) semua bahasa dapat dibandingkan berdasarkan strukturnya; dan (b) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada. Bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok (tipologi), seperti bahasa bertipologi akusatif, bertipologi ergatif, bertipologi aktif, dan sebagainya. Song (2001:4) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kerjanya, ada empat tahap analisis tipologis tersebut. Tahap pertama adalah penentuan fenomena yang akan dikaji. Dalam hal ini diperlukan pembatasan dan kejelasan gejala variasi struktural bahasa yang akan dikaji. Langkah ini amat penting karena begitu rumitnya pertautan antar unsur-unsur bahasa, baik dalam bahasa itu sendiri maupun antar bahasa. Tahap kedua adalah pengelompokan tipologis fenomena yang sedang diteliti. Tahap ini memerlukan pencermatan dan penelaahan data secara sungguh-sungguh disertai pemahaman teori yang memadai. Tahap ketiga adalah perumusan generalisasi terhadap pengelompokkan tersebut. Tahap ini memerlukan kepekaan dan kejelian linguistik untuk dapat merumuskan simpulan-simpulan teoretis yang bersesuaian dengan keadaan dan watak data. Tahap terakhir adalah penjelasan atas tiap generalisasi atau rumusan teoretis yang dibuat. Tahap ini menjadi ukuran dan penentu akan kebermaknaan temuan yang diperoleh. Dengan menggunakan teori tipologi linguistik dan cara kerja yang bersifat deskriptif-alamiah, para ahli berupaya melakukan pengelompokan bahasa-bahasa (pentipologian) yang melahirkan tipologi bahasa. Dengan demikian, istilah bahasa akusatif, bahasa ergatif, bahasa aktif, dan yang lainnya merupakan sebutan tipologis untuk bahasa-bahasa yang kurang lebih (secara gramatikal) mempunyai persamaan (lihat Comrie, 1989). Pentipologian bahasa-bahasa berdasarkan sifat-prilaku gramatikalnya itu, oleh sebagian ahli, disebut sebagai tipologi gramatikal. Penyebutan ini dilakukan untuk membedakannya dari sebutan tipologi fungsional yang mendasarkan pentipologian bahasa-bahasa atas dasar fungsi-fungsi pragmatis atau fungsi-fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, dalam perkembangannya, tipologi linguistik dan pentipologian bahasa-bahasa dapat dibedakan menjadi tipologi gramatikal dan tipologi fungsional (Jufrizal, 2004). Pentipologian bahasa-bahasa, terutama pada tataran sintaksis, berkaitan dengan sistem aliansi gramatikal (grammatical alliance). Pengertian dasar dari
Besliana Afriani Siagian
aliansi gramatikal itu adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau antar klausa dalam satu bahasa secara tipologis; apakah persekutuan itu S = A, ≠ P, atau S = P, ≠ A, atau Sa = A, Sp = P atau sistem yang lainnya (lihat Jufrizal, 2004). Dixon (1994) mengemukakan bahwa sistem aliansi gramatikal yang menjadi titik perhatian untuk menentukan tipologi gramatikal yang mungkin untuk bahasa-bahasa di dunia dapat dibagi tiga, yaitu sistem akusatif, sistem ergatif, dan sistem S-terpilah (bahasa aktif). Tiga sistem aliansi gramatikal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini. Akusatif
Ergatif
aktif
S
S
S
A
P
P
P
A
A
Sistem Aliansi Gramatikal dan Tipologi Bahasa Pentipologian bahasa pada tataran sintaksis (tipologi sintaksis) berkaitan erat dengan penentuan relasi-relasi gramatikal dan sistem pengelompokan peran sintaktissemantis S, A, dan P klausa bahasa yang bersangkutan. Secara umum relasi-relasi gramatikal adalah hubungan-hubungan antara argumen-argumen dengan predikat pada tataran struktur yang bebas (lepas) dari pengaruh-pengaruh semantis dan pragmatis. Bagi ahli linguistik deskriptif adalah penting untuk mengetahui bahwa relasi-relasi gramatikal mempunyai fungsi-fungsi semesta (universal) dalam komunikasi, sementara pada saat bersamaan berupaya membatasinya dalam pengertian sifat-perilaku formal yang khas pada bahasa tertentu. Sifat-perilaku gramatikal yang paling banyak secara langsung menentukan ralasi-relasi gramatikal tersebut adalah: (i) pemarkah kasus; (ii) pemarkah referensi pelibat (participant) pada verba; dan (iii) tataurutan konstituen. Istilah-istilah umum yang digunakan untuk merujuk ke relasi-relasi gramatikal adalah subjek (S), objek langsung (OL), objek tak langsung (OTL), ergatif (ERG), dan absolutif (ABS), serta oblik (OBL) yang merujuk ke nominal yang lemah relasi gramatikalnya terhadap predikat. Sistem pengelompokan peran-peran sintaktis-semantis S, A, dan P, yang juga sering disebut sistem aliansi gramatikal, penting diketahui untuk menetapkan tipologi suatu bahasa pada tataran gramatikal (terutama pada tataran sintaksis). Sejumlah bahasa dapat memperlakukan S dan A dengan cara yang sama, dan perlakuan yang berbeda diberikan pada P (S = A, ≠ P). Contoh klausa bahasa Inggris berikut memperlihatkan kenyataan ini melalui kasus bentuk pronomina orang ketiga tunggal laki-laki, baik untuk S maupun A. Sementara itu, bentuk yang berbeda him digunakan untuk P. (a) He left S (b) He hit him A P Sebuah bahasa yang mempunyai sistem aliansi gramatikal akusatif dikatakan sebagai bahasa bertipologi akusatif; S (satu-satunya argumen pada klausa intransitif) diperlakukan sama secara gramatikal dengan argumen A (gen) klausa transitif, dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P (pasien) klausa transitif. Bahasa dengan sistem aliansi ergatif dikatakan sebagai bahasa bertipologi ergatif; S diperlakukan sama dengan P, dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada A. Sebuah bahasa dikatakan
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
sebagai bahasa aktif apabila sistem aliansi gramatikalnya menunjukkan bahwa sekelompok S berprilaku sama dengan A (Sa) dan sekelompok S yang berprilaku sama dengan P (Sp) dalam satu bahasa. Perlakuan yang sama (atau berbeda) dalam hal ini dapat terjadi pada tataran morfologi dan/atau sintaksis. Perlu diingat bahwa tidak semua bahasa bertipologi ergatif secara morfologis, misalnya, adalah juga ergatif secara sintaktis, dan begitu pula pada tipologi yang lainnya. Payne (dalam Jufrizal, 2008) berdasarkan kemungkinan logis sistem pengelompokan S, A, dan P bahasa-bahasa di dunia, menyebutkan ada lima kemungkinan yang ada, yaitu: (i) S = A, ≠ P; (ii) S =P, ≠ A; (iii) S ≠ A, ≠ P; (iv) A = P, ≠ S; dan (v) S = A, = P. Sistem pengelompokan seperti (i) dan (ii) dimiliki oleh banyak bahasa, sistem seperti (iii) dan (v) sangat jarang adanya, dan sistem seperti (iv) tidak ada ditemukan (lihat juga Dixon, 1994). Selain itu, pada banyak bahasa yang mempunyai lebih dari satu sistem aliansi gramatikal dikenal dengan sebutan sistem S-terpilah dan sistem S-alir. Sistem terpilah ini berkaitan dengan sifat-perilaku gramatikal dan sifat-perilaku semantis verba yang menjadi poros utama klausa, baik intransitif maupun transitif (lihat juga Dixon, 1994).
METODOLOGI PENELITIAN Data dan sumber data Data utama penelitian ini ialah kalimat. Data-data kalimat yang digunakan dalam kajian ini diperoleh dari sumber data mitos Batak Toba yakni ―Si Boru Deang Parujar‖. Mitos tersebut dijadikan bahan kajian karena merupakan bukti tertulis dari bahasa Batak Toba dan juga untuk menghindarkan perekayasaan terhadap penyesuaian data yang diinginkan. Metode yang digunakan adalah metode pustaka dengan mengembangkan teknik catat. PEMBAHASAN Bahasa Batak Toba dikenal sebagai bahasa yang unik sekaligus kompleks. Salah satu contoh keunikan bahasa Batak Toba yakni banyak kata yang tidak memiliki padanan atau sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Secara gramatikal bahasa Batak Toba sangat khas, karena mempunyai sistem tata-bahasa tersendiri. Ada kalanya penggunaan bahasa ini lebih sederhana daripada bahasa Indonesia, tetapi terkadang bisa lebih rumit atau kompleks. Dalam hal ini, temuan penelitian yang berhasil dikumpulkan adalah sebagai berikut. a) Tataurutan kata dalam bahasa Batak Toba berpola P-S. Hal itu ditunjukkan oleh klausa dasar bahasa Batak Toba yang berdiatesis aktif dan konstruksi turunannya yang berdiatesis pasif. Selain itu, bahasa dengan pivot S/A dan konstruksi klausa dasar berdiatesis aktif (pasangannya adalah diatesis pasif) adalah ciri-ciri utama bahasa akusatif secara lintas-bahasa. b) Relasi gramatikal dan peran semantis bahasa Batak Toba adalah S = A / P dan S = P / A. Hal ini berarti bahwa bahasa Batak Toba memperlakukan S adalah A dan S adalah P. Pola relasi gramatikal dan peran semantis yang seperti ini membuktikan bahwa bahasa Batak Toba secara sintaktis bertipologi nominatifakusatif dan ergatif-absolutif.
Besliana Afriani Siagian
Tataurutan Kata Bahasa Batak Toba Menurut Song (2001), urutan kata adalah penempatan kata dalam deretan tertentu menurut norma suatu bahasa baik dalam tingkat klausa dan kalimat, maupun dalam tingkat frasa. Menurutnya, ada enam kemungkinan pola yang muncul dalam urutan itu, yakni S-P-O, S-O-P, P-S-O, P-O-S, O-S-P, dan O-P-S. Bahasa Indonesia memiliki tataurutan berpola P-S-O. Namun hal itu tidak sama dengan urutan yang ada pada bahasa Batak Toba. Hal itu akan dipaparkan dalam penjelasan berikut ini. Kata kerja merupakan kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas. Dalam tataran fungsi, verba cenderung berdiri sebagai predikat. Menurut Sinaga (2002), kata kerja adong secara standar berada di depan kalimat pada bahasa Batak Toba seperti contoh di bawah ini. Adong ma sada jabu. Adalah (terdapatlah) sebuah rumah. Adong do guru na bisuk. Adalah guru yang bijaksana. Adong do sada hauma di rura Adalah sebidang sawah di lembah yang
ni
bagas on. dalam itu.
Data di atas menunjukkan bahwa kata kerja dalam bahasa Batak Toba sudah mendahului nomina dan kategori kata yang lain. Namun hal ini tentu belum representatif. Perlu penjelasan dan pemerian data yang lebih akurat dalam membuktikan hal itu. Berkaitan dengan hal itu, dikenal sebuah istilah dalam linguistik yang disebut ‗diatesis‘. Diatesis merupakan kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dan perbuatan yang dinyatakan oleh verba dalam klausa. Tumanggor (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk diatesis aktif dalam bahasa Batak Toba, yakni maN-, maN-hon, maN-i, masi-, masi-hon, masi-i, pa-hon, mampar-hon, dan mangha-hon. Selain itu, diatesis pasif juga ditemukan dalam bahasa Batak Toba dengan bentuk di-, tar-, dan ni. Penjelasan mengenai diatesis aktif dan pasif juga akan menyinggung diatesis medial, yakni diatesis yang menunjukkan makna refleksif atau resiprokal. Dalam bahasa Batak Toba, diatesis tersebut diwakili oleh afiks mang-, mar-, man- atau alomorf lain yang dikenai adanya kegiatan resiprokal. Berkenaan dengan hal itu, verba tanfa afiks (verba zero) juga merupakan bagian dari diatesis medial dalam bahasa Batak Toba, seperti laho, ro, jongjong, morot, sahat, dan dungo. Sejumlah diatesis tersebut akan mengawali klausa dalam bahasa Batak Toba yang membuat tataurutan kata dalam bahasa Batak Toba berpola P-S-O seperi contoh yang disadur dari mitos ―Si Boru Deang Parujar‖ berikut ini. a) Dung i Setelah itu
mulak ma Sileangleang Mandi patolhashon
tona i.
pulanglah Sileangleang Mandi menyampaikan pesan itu P
S
Ket. Ø (S)
P
O
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014
Konstruksi di atas merupakan kontruksi kalimat majemuk bertingkat yang memiliki pola P-S-Ket., dan Ket. tersebut memperluas fungsi sintaksisnya dengan klausa berpola S(Ø)P-O. Namun, kalimat di atas terlihat tidak lengkap sebab tidak adanya konjungtor yang memisahkan antara klausa induk dengan klausa bawahan. Maka, kontruksi sebenarnya dari kalimat di atas adalah sebagai berikut. Dung i, mulak ma Sileangleang Mandi laho patolhashon tona i. Setelah itu, pulanglah Sileangleang Mandi agar menyampaikan pesan itu. Selain penjelasan di atas, hal itu juga dapat dibuktikan dengan pemahaman bahwa verba ‗mulak‘ dan ‗laho‘ merupakan verba zero tanpa afiks yang berfungsi sebagai predikat dalam tataran fungsi gramatikal. Dari data di atas dapat ditemukan ada dua predikat dalam satu kalimat, yakni verba ‗mulak‘ dan ‗patolhashon‘ pada kalimat (1) dan verba ‗laho‘ dan verba ‗pasahathon‘. Kedua verba tersebut dapat menjadi pewatas dalam membentuk kalimat tersebut ke dalam dua klausa seperti contoh berikut ini. 1.a. Dung i mulak ma Sileangleang Mandi asa patolhashon tona i. Setelah itu pulanglah Sileangleang Mandi agar Ø menyampaikan pesan itu. P
S
konj.
induk klausa
P
O anak klausa
Kalimat tersebut terdiri atas dua klausa yang berfungsi P-S pada anak klausa, sedangkan pada induk klausa berfungsi S-P-O dengan pelesapan subyek yang ditandai dengan Ø. Pemaparan di atas hanya ingin membuktikan bahwa tataurutan kata pada kalimat di atas pada anak klausa berpola P-S. Berdasarkan data pertama di atas, dapat dilihat bahwa tataurutan kata dalam bahasa Batak Toba berpola P-S. b) Jadi laho ma Sileangleang mandi pasahothon tona i. Jadi pergilah Sileangleang Mandi menyampaikan pesan itu. P
S
Ket. Ø(S)
P
O
Konstruksi di atas sama dengan konstruksi pada contoh sebelumnya. Klausa bawahan terbentuk dari keterangan yang memperluas diri menjadi pola S (Ø) – P – O. Kedua klausa seharusnya dibatasi oleh konjungtor subordinatif seperti contoh di atas. Dengan demikian, tataurutan kata dalam contoh kedua juga berpola P-S. c) Jala dibahen Si Boru Deang Parujar ma songon i. Dan dibuat Si Boru Deang Parujarlah seperti itu. P
S
O
Besliana Afriani Siagian
d) Dung i ditona ibana ma Setelah itu disuruh dialah P
Sileangleang Mandi. Sileangleang Mandi.
S
O
Verba ‗dibahen‘ dan ‗disuru‘ merupakan verba dalam diatesis pasif karena diawali dengan prefiks di-, juga berfungsi sebagai predikat dalam tataran fungsi gramatikal. Jenis verba dengan diatesis pasif ini mendominasi teks mitos ―Si Boru Deang Parujar‖. Oleh karena itu, data ketiga dan keempat juga menunjukkan bahwa tataurutan kata dalam bahasa Batak Toba berpola P-S-O. e) Marsidalian ma Si Boru Deang Parujar tu oroan na i. Beralasanlah Si Boru Deang Parujar kepada tunangannya itu. P
S
O
Verba ‗marsidalian‘ merupakan diatesis aktif karena diawali dengan prefiks mar- yang merupakan alomorf dari maN-. Tataurutan kata pada kalimat kelima juga menunjukkan bahwa bahasa Batak Toba membentuk pola P-S-O. Selain itu, bentuk lain yang tidak terdapat pada teks mitos ―Si Boru Deang Parujar‖ yang dapat mendukung data di atas adalah sebagai berikut. a) Marsak ibana di na laho anakna i. Gelisah dia ketika pergi anaknya. P
S
Konj.
P
S
b) Mararta na godang do ibana. Berharta banyak dia. P
S
c) Marende ibana di jolo ni na torop. Bernyanyi dia di hadapan orang banyak. P
S
Ket.
d) Marsiboanon do nasida Membawa makanannya mereka P
S
e) Ndang marnaloja Tidak kunjung lelah P f)
Mansai balga Besar sekali P
tu jabunta. ke rumah kita. Ket.
ibana. dia. S luhutan ni emena. kumpulan padi sabitnya. S
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, Januari 2014
g) Mansai timbo Sangat tinggi P
jabu nasida. rumah mereka S
Berdasarkan pemaparan yang didukung dengan data di atas, dapat disimpulkan bahwa bahwa klausa dasar bahasa Batak Toba berdiatesis aktif dan konstruksi turunannya berdiatesis pasif. Tataurutan kata dalam bahasa Batak Toba berpola P-S. Selain itu, bahasa dengan pivot S/A dan konstruksi klausa dasar berdiatesis aktif (pasangannya adalah diatesis pasif) adalah ciri-ciri utama bahasa akusatif secara lintas-bahasa. Namun, untuk membuktikan hal itu, perlu adanya pengujian tipologi linguistik yang lebih mendalam lagi. Tipologi Sintaksis Bahasa Batak Toba Menurut Jufrizal (2008: 11) pengujian tipologi sintaksis untuk sampai pada simpulan mengenai tipe sebuah bahasa dilakukan dengan mencermati konstruksi sintaktis (verbal) bahasa Batak Toba, yakni konstruksi dengan verba tak terbatas, konstruksi pemerlengkap jusif, konstruksi koordinatif, konstruksi subordinatif, dan pembentukkan kalimat tanya. Pengujian tipologis tersebut juga dilakukan melalui uji pivot dan kajian diatesis bahasa Batak Toba. Kajian diatesis seperti di atas sudah membuktikan bahwa klausa dasar bahasa Batak Toba berdiatesis aktif dan konstruksi turunannya berdiatesis pasif. Di bawah ini akan disajikan data mengenai struktur gramatikal bahasa Batak Toba yang terdapat dalam teks mitos ―Si Boru Deang Parujar‖.
Tipe Akusatif 1) Marsidalian ma Si Boru Deang Parujar tu oroanna Si Raja Odapodap, Beralasanlah Si Boru Deang Parujar kepada tunangannga Si Raja Odapodap, A P Klausa transitif hatina manjua. hatinya mengelak. S Klausa intransitif S = A / P merupakan tipe akusatif 2) Songon i ma sidalianna, hatina manjua tu oroanna. Seperti itulah alasannya, hatinya mengelak kepada tunangannya. S
A
klausa intransitif S = A / P merupakan tipe akusatif
P klausa transitif
Besliana Afriani Siagian
3) Alai ndang olo be Si Boru Deang Parujar Tetapi tidak mau lagi Si Boru Deang Parujar S klausa intransitif
ala karena konj.
gigi ni rohana tu oroanna i. ketidaksukaannya terhadap tunangannya. A P klausa transitif S = A / P merupakan tipe akusatif Data dalam teks mitos ―Si Boru Deang Parujar‖ menunjukkan bahwa beberapa kalimat menunjukkan konstruksi yang tergolong tipe akusatif. Meskipun pada dasarnya, sangat sulit menentukan hal itu sebab teks ini lebih didominasi ―umpasa‖ atau pantun daripada narasi atau dialog. Tipe Ergatif Suatu bahasa dikatakan bertipe ergatif apabila pasien (P) dari verba transitif diperlakukan sama dengan atau koreferensial dengan subyek (S) pada klausa intransitif dan berbeda dengan Agen (A) dari verba transitif. Bahasa ergatif memperlakukan P sama dengan S. Biasanya sama-sama tidak bermarkah. 1) Jadi marsak ma roha ni Si Boru Deang Parujar ala ni murukna. Jadi sedihlah hati Si Boru Deang Parujar karena marahnya. S P klausa intransitif konj. klausa intransitif S = P/ A adalah tipe ergatif 2) Alai dung pate roha ni Si Boru Deang Parujar na so olo be ibana mulak, Tetapi setelah bersikukuh hati Si Boru Deang Parujar dia tidak mau pulang, S klausa intransitif gabe dioloi Ompu Mulajadi Nabolon ma pangidoanna i. maka disetujui Ompu Mulajadi Nabolonlah permintaannya itu. A P klausa transitif
Peran Semantis Bahasa Batak Toba Bahasa Batak Toba memiliki perilaku gramatikal yakni S diperlakukan sama dengan A. Selain itu bahasa Batak Toba juga memiliki perilaku gramatikal yang memperlakukan S sama dengan P. Sejauh pembahasan yang dikemukakan di atas, maka dapatlah ditarik suatu simpulan bahwa relasi gramatikal dan peran semantis bahasa Batak Toba adalah S = A / P dan S = P / A. Hal ini berarti bahwa bahasa Batak Toba memperlakukan S adalah A
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, Januari 2014
dan S adalah P. Pola relasi gramatikal dan peran semantis yang seperti ini membuktikan bahwa bahasa Batak Toba secara sintaktis bertipologi nominatif-akusatif dan ergatifabsolutif.
KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Batak Toba memiliki tataurutan kata berpola P-S-O. Selain itu, bahasa Batak Toba juga termasuk dalam tipe akusatif dan ergatif ditinjau dari segi tipologi sintaksis dan peran semantis. Sejauh pembahasan yang dikemukakan di atas, maka dapatlah ditarik suatu simpulan bahwa relasi gramatikal dan peran semantis bahasa Batak Toba adalah S = A / P dan S = P / A. Hal ini berarti bahwa bahasa Batak Toba memperlakukan S adalah A dan S adalah P. Pola relasi gramatikal dan peran semantis yang seperti ini membuktikan bahwa bahasa Batak Toba secara sintaktis bertipologi nominatif-akusatif dan ergatif-absolutif.
DAFTAR PUSTAKA
Comrie, Bernard. 1989. Language Universals and Linguisitc Typology. Oxford: Basil Blackwell Publisher Limited. Dixon, R.W.M. 1994. Ergativity. Cambridge: Cambridge University Press. Jufrizal. 2004. ―Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau‖ (Disertasi Doktor belum terbit). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Jufrizal. 2005. ―Konstruksi Zero Klausa Bahasa Minangkabau: Pasif, Pentopikalan, atau Ergatif?‖ (makalah disajikan pada PLU-4 di Universitas Sumatera Utara; 13 – 14 September 2005). Medan: Universitas Sumatera Utara. Jufrizal. 2008. Fenomena Tipologi Gramatikal Bahasa Minangkabau. Linguistika, 15 (28): 1-18. Sinaga, A. B. 2002. Tata Bahasa Batak Toba. Medan: Bina Media. Song, Jae Jung. 2001. Linguistic Typology: Morphology and Syntax. Harlow, Essex: Pearson Education. Tumanggor, I. B. T. 2006. Diatesis Bahasa Batak Toba. Englonesian, 2 (1): 33-42.