REKAYASA TEKNOLOGI SAMBUNG MIKRO DAN SETEK MIKRO PADA TANAMAN MANGGIS (Garcinia mangostana)
RD. SELVY HANDAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rekayasa Teknologi Sambung Mikro dan Setek Mikro Pada Tanaman Manggis (Garcinia mangostana) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Rd. Selvy Handayani NRP. A262070041
ABSTRACT
RD. SELVY HANDAYANI. Engineering Technology of Micrografting and Microcutting in Mangosteen (Garcinia mangostana). Supervised by ROEDHY POERWANTO, SOBIR, AGUS PURWITO, TRI MUJI ERMAYANTI. The purpose of this study was to assemble propagation technology in mangosteen plant using micrografting and microcutting. This study consisted of four experimental steps, 1) in vitro bud induction technology development from bud explants of mangosteen seedling shoot, 2) physiology and anatomy studies of micrografting in mangosteen, 3) in vitro medium manipulation on mangosteen microcutting; 4) optimization of microcutting acclimatization on mangosteen with sterile porous medium technique (MSP) / in vitro soil-less propagation (IVS). The results of experiment I showed that the best medium for shoot induction phase was MS + BA 4,0 + TDZ 0,2 mg/l, MS + BA 8,0 BA + TDZ 0,2 or MS + BA 4,0 mg /l. Medium multiplication could not obtain shoot multiplication, only addition of nodes and elongation of shoots. The best medium for shoot elongation was medium MS + BA 1 mg/l + KIN 1 mg/l. Experiment II showed that the rootstock derived from a single intact seed germination was better success than other treatments in almost all the observed variables, such as flush shoot that was better success than dormant shoot. There are several factors that determine the success of micrografting, which is width of meristem encounter between the rootstock and scion, the equal cell growth rate between rootstock and scion cells, as well as the similarity in size and structural congeniality between rootstock and scion. The results of anatomical tissue observation (4 months after micrografting) indicated that there was a good graft union on micrografting. Roostsock and scion xylem tissue were fused perfectly. Experiment III results showed that the concentration of 25% MS medium concentration on various substrates with or without the addition of IBA might cause 50-80% of microcutting rooted with the root length between 1,8 to 4,38 cm. Experiment IV results showed that microcutting carried out using MSP technique could grow roots, even at the microcutting that were untreated with root growth stimulating substances. Microcutting that planted using a MSP technique with IBA and Rootone-F treatments at varied concentrations could cause mangosteen microcutting 100% rooted with the root length from 3,44 to 6,88 cm.
Keywords : anatomy, IVS, microcutting, micrografting, physiology.
RINGKASAN RD. SELVY HANDAYANI. Rekayasa teknologi sambung mikro dan setek mikro pada tanaman manggis (Garcinia mangostana). Dibimbing oleh ROEDHY POERWANTO, SOBIR, AGUS PURWITO, TRI MUJI ERMAYANTI. Biji manggis memiliki sifat apomitik yaitu terbentuknya embrio tanpa proses penyatuan sel kelamin jantan dan betina. Organisme apomitik pada umumnya tidak memiliki variasi genetic, namun ternyata ditemukan adanya beberapa klon lokal yang merupakan sumber keragaman genetik tanaman manggis. Klon-klon lokal yang memiliki banyak keunggulan itu banyak tersebar di Indonesia. Oleh karenanya perbanyakan cepat klon-klon lokal tersebut melalui perbanyakan vegetatif yang sesuai mutlak diperlukan. Perbanyakan vegetatif tanaman manggis umumnya dilakukan dengan penyambungan (grafting), dengan menggunakan tunas plagiotrop sebagai batang atas. Kelemahan dari pemakaian tunas ini adalah bibit manggis hasil sambungan seringkali tumbuh kerdil dan pertumbuhan terhambat. Hasil sambungan manggis yang menggunakan batang atas tunas orthotrop tidak menunjukkan hambatan pertumbuhan, namun jumlah tunas orthorop pada manggis sangat terbatas dan sulit dijangkau karena tumbuh di bagian atas tanaman. Perbanyakan cepat batang atas tersebut dapat dilakukan dengan sistem perbanyakan in vitro. Oleh karena itu dilakukan serangkaian penelitian untuk mendapatkan metode perbanyakan bibit manggis secara in vitro, sambung mikro, setek mikro, serta media aklimatisasi steril (MSP)/In vitro Soilless Propagation (IVS). Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merakit teknologi perbanyakan tanaman manggis dengan cara sambung mikro dan setek mikro. Bagian I penelitian ini adalah pengembangan teknologi induksi tunas manggis in vitro dari eksplan mata tunas pucuk bibit manggis. Percobaan dilakukan untuk mengetahui metode perbanyakan in vitro untuk penyediaan bahan perbanyakan manggis. Hasil percobaan menunjukkan bahwa eksplan mata tunas pucuk dari bibit manggis 4 tahun dapat ditanam secara in vitro untuk membentuk tunas, dan selanjutnya dijadikan sebagai bagian tanaman yang dapat menjadi sumber perbanyakan tanaman. Media terbaik untuk tahap induksi tunas, adalah media MS + BA 4,0 + TDZ 0,2 mg/l, MS + BA 8,0 BA + TDZ 0,2 atau MS + BA 4,0 mg /l. Media multiplikasi belum dapat menghasilkan multiplikasi tunas, hanya penambahan buku dan pemanjangan tunas. Media terbaik untuk pemanjangan tunas adalah media MS + BA 1 mg/l + KIN 1 mg/l. Pada percobaan ini sudah didapatkan tunas in vitro, namun belum berhasil tumbuh akar. Tunas ini selanjutnya digunakan sebagai salah satu sumber batang atas pada percobaan sambung mikro. Tunas yang dihasilkan masih terlalu kecil dan ruas bagian bawah tunas masih terlalu pendek sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan untuk percobaan setek mikro. Bagian II adalah percobaan sambung mikro pada berbagai jenis batang bawah dan batang atas dengan berbagai stadia pertumbuhan dan umur tunas. Hasil percobaan menunjukkan bahwa sambung mikro yang dilakukan pada tunastunas muda sebagai sumber batang atas dan batang bawahnya memiliki laju pertumbuhan yang cepat. Tunas baru sudah tumbuh bahkan pada saat 2 minggu setelah sambung mikro. Pertumbuhan hasil sambung mikro sangat cepat, bahkan
pada batang atas yang menggunakan tunas yang sedang dalam stadia trubus, seringkali tidak ditemukan stagnasi pertumbuhan, karena beberapa hari setelah penyambungan sudah terlihat pertumbuhan trubus muda yang membesar menuju ke arah pertumbuhan daun baru. Tunas muda (in vitro maupun semai) memiliki kecepatan pertumbuhan yang tinggi karena pada tunas muda masih sangat banyak mengandung sel-sel meristematis. Hasil pengamatan anatomi pada daerah sambungan menunjukkan bahwa pembentukan kalus yang sangat aktif terjadi di kedua sisi, baik pada batang bawah maupun batang atas. Keseimbangan laju pertumbuhan sel batang bawah dan batang atas ini menyebabkan proses pertautan sambungan terjadi lebih cepat. Pada sambung mikro antara tunas-tunas muda, kalus tumbuh cepat sehingga luas pertautan permukaan meristem batang atas dan batang bawah menjadi lebih lebar. Pembentukan kalus yang cepat dapat menjadi jembatan penghubung antara batang bawah dan batang atas. Hal ini akan menjamin ketersediaan nutrisi bagi kelangsungan pertumbuhan sambungan yang juga menjadi faktor penentu keberhasilan sambungan. Pada pengamatan bentuk dan ukuran diameter batang dan jaringan pembuluh batang manggis terlihat ada kesesuaian bentuk dan ukuran batang bawah dan batang atas dari tunas-tunas muda. Hal ini akan sangat memudahkan terbentuknya penyatuan lingkaran jaringan pembuluh antara batang bawah dan batang atas, sehingga pertumbuhan selanjutnya lebih baik. Hasil sambung mikro dengan batang bawah dan batang atas berbeda usia atau pada hasil sambungan (grafting) di lapangan menunjukkan keberhasilan yang rendah, dan pertumbuhan hasil sambungan berlangsung lebih lambat. Hal ini disebabkan karena usia batang bawah dan terutama batang atas sudah lanjut. Batang bawah berumur 2 – 3 tahun, sedangkan batang atas bisa berumur puluhan tahun, sehingga jumlah jaringan meristem tidak sebanyak tunas muda. Bagian III adalah percobaan setek mikro secara in vitro dengan memanipulasi media tumbuh. Hasil Percobaan setek mikro secara in vitro dengan cara memanipulasi media tanam menunjukkan bahwa setek batang yang dilakukan secara in vitro pada perlakuan yang tepat dapat tumbuh akar. Akar tumbuh baik pada media MS yang diencerkan (MS 25%), dan pada media dengan konsentrasi agar-agar dikurangi atau menggunakan substrat vermikulit yang diberi larutan MS cair. Konsentrasi komposisi media MS 25% pada berbagai substrat yang diberi atau tanpa diberi IBA memberikan pengaruh yang sangat baik bagi persentase tumbuh akar dan panjang akar setek mikro manggis in vitro. Bagian IV adalah percobaan setek mikro yang dilakukan di pesemaian dengan teknik Media Steril Porous (MSP)/In vitro Soil-less Propagation (IVS). Pada setek mikro manggis yang dilakukan dengan memadukan teknik MSP di pesemaian menunjukkan setek mikro yang dilakukan dengan teknik MSP dapat tumbuh akar, bahkan pada setek mikro yang tidak diberi perlakuan zat perangsang pertumbuhan akar sekalipun. Sementara setek mikro dengan sistem konvensional gagal tumbuh. Demikian pula setek mikro teknik MSP dengan perlakuan IBA dan Rootone-F ternyata mampu menumbuhkan akar 100% di semua perlakuan, sedangkan perlakuan tanpa pemberian IBA dan Rootone F dapat tumbuh akar 70%. Hal ini mengindikasikan bahwa teknik MSP memberikan lingkungan tumbuh yang cocok bagi pertumbuhan akar, juga memenuhi persyaratan bagi tumbuhnya akar tanaman manggis. Secara umum setek mikro teknik MSP yang
diberi IBA 50 mg/l dan Rootone-F 3 g/L memberikan pertumbuhan setek mikro yang terbaik dibandingkan perlakuan lainnya. Akar yang dihasilkan dari setek mikro baik secara in vitro maupun dengan teknik MSP memiliki diameter yang lebih kecil daripada diameter akar hasil perkecambahan biji manggis konvensional di pesemaian. Akan tetapi hal ini tidak mempengaruhi efektifitas penyerapan hara. Kandungan N, P, K, dan gula total daun tanaman hasil setek mikro dan perkecambahan biji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Kata kunci : anatomi, fisiologi, sambung mikro, setek mikro, MSP.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
REKAYASA TEKNOLOGI SAMBUNG MIKRO DAN SETEK MIKRO PADA TANAMAN MANGGIS (Garcinia mangostana)
RD. SELVY HANDAYANI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi
Ujian Tertutup :
1. Dr. Ani Kurniawati, SP., M.Si. Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institute Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Ketty Suketi, M.Si. Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Ujian Terbuka :
1. Dr. Ir. Saptowo J. Pardal, M.Si. Peneliti Bioteknologi Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Badan Litbang Pertanian 2. Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, M.Si. Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Judul Disertasi
: Rekayasa Teknologi Sambung Mikro dan Setek Mikro pada Tanaman Manggis (Garcinia mangostana)
Nama Mahasiswa
: Rd. Selvy Handayani
NIM
: A262070041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, MSc Ketua
Dr.Ir. Agus Purwito, MSc.Agr Anggota
Prof. Dr. Ir. S o b i r, MS Anggota
Dr. Tri Muji Ermayanti Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir Munif Ghulamahdi, MS.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 27 Juli 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayat-Nya penelitian dan penulisan Disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dibiayai oleh Program Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) melalui Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika, LPPM-IPB, dan Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) tahun 2010. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terimakasih yang tulus kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, MSc., Prof. Dr. Ir. Sobir, MS, Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr., Dr. Tri Muji Ermayanti, selaku komisi pembimbing yang telah memberikan kepercayaan dan bimbingan selama penelitian sampai penyusunan Disertasi. 2. Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS selaku Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura dan seluruh dosen Program Studi Agronomi yang selalu memberikan dukungan. 3. Dr. Ani Kurniawati, SP., MSi. dan Dr. Ir. Ketty Suketi, MSi., selaku penguji luar komisi pada saat ujian tertutup yang telah banyak memberikan saran.
Kepada Dr. Ir.
Darda
Effendi, MS dan Dr. Ir.
Winarso Dr. Widodo, MS selaku penguji luar komisi pada saat ujian prakualifikasi lisan bersama Dr. Ir. Maya Melati, MSc. sebagai wakil Program Studi Agronomi dan Hortikultura. 4. Dr. Ir. Saptowo J. Pardal, MSi. dan Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MSi. selaku penguji luar komisi pada saat ujian sidang terbuka, serta Dr. Ir. Eny Widajati sebagai wakil Program Studi Agronomi dan Hortikultura. 5. Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh Aceh Utara, yang memberikan kesempatan untuk mengikuti program S3 di IPB. 6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, yang telah memberikan beasiswa BPPS. 7. Staf dosen, peneliti dan karyawan di Pusat Kajian Hortikultura Tropika LPPM-IPB Prof. Dr. Ir. Hj. Syafrida Manuwoto, MSc., Ir. Hj. Yayah K. Wagiono, MEc., Prof. Dr. Ir. Sriani Sutjiprihati, MS, (Alm.), Dr. Ir.
Rahmad Suhartanto MS, Dr. Ir. M. Firdaus, MSi., Dr. Eddy Santoso MS, Sulassih, SP., MSi., Endang Gunawan SP., MSi., Kusuma Darma SP. MSi., Heri Harti SP. MSi, Rena Destriani Amd., Rika Lesmawati Amd., Naekman Naiboho SP, Mar’ah SP, dan Ubaydillah SP., Bapak Sulaeman, Pipit, teh Imas, Rizal di Laboratorium PKHT-IPB, mas Joko Mulyono lab Mikroteknik IPB, mas Yudi lab Molekukuler IPB, dan mas Bambang di lab Analisis Tanaman dan Kormatografi IPB, serta Mbak Wido dan pak Ujang Hafid di Puslit Biologi LIPI-Cibinong, atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian berlangsung 8. Pak Ibram, mas Awang, pak Ade, bu Yuyun serta seluruh karyawan Kebun Percobaan Tajur atas segala bantuannya. 9. Teman-teman seperjuangan Departemen Agronomi dan Hortikultura mayor ITB, AGH, dan PBT angkatan tahun 2007, 2008, 2009. 10. Teman-teman FORSCA, IKAMAPA, serta ikhwan-akhwat HIMMPAS IPB atas dukungannya. 11. Ibunda Rd. Sumirat Puranegara,
Ayahanda Rd. Trisana Sumadipura
(Alm), teh Ance, teh Tia, Teh Dewi, Susi, K’Ndien (alm.), K’Lukman, Apa Fuad, dan Apep. 12. Ibu dan ayah mertua Cut Hendon dan Muhammad Yunus (alm.), K’Nu, Bang Din, K’Asmara, K’Ni, Bang Yan. 13. Suami tercinta Ismadi Yunus, SP., M.Si atas pengorbanan, ketulusan, kesabaran dan pengertian yang telah diberikan selama in dan ananda M. Dzaky Ramadhan (Alm) 14. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan selama pendidikan S3. Akhirnya, diiringi doa semoga seluruh kegiatan studi ini bernilai ibadah dihadapan Allah SWT, baik bagi penulis maupun semua pihak yang terlibat di dalamnya, semoga hasil-hasil penelitian ini dapat didayagunakan lebih lanjut bagi kemaslahatan masyarakat maupun bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 11 September 1968, adalah anak keempat dari lima bersaudara pasangan Rd. Trisana Sumadipura dan Rd. Sumirat Puranegara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Sudirman 1 Purwakrta pada tahun 1981, SMP Negeri 2 Purwakarta tahun 1984, dan SMA Negeri 1 Purwakarta tahun 1987. Penulis melanjutkan di Universitas Padjadjaran Bandung Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 1992. Tahun 1996 penulis diangkat sebagai dosen honorer di Fakultas Pertanian Universitas Garut, dan pada tahun 2001 penulis diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh Aceh Utara sampai saat ini.
Tahun 2000 penulis
melanjutkan pendidikan Master di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Agronomi dan lulus tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang doktor pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura (AGH) Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti program S3, penulis menyajikan karya ilmiah berjudul Pengaruh Berbagai Jenis Batang Bawah dan Batang Atas untuk Keberhasilan Mikrografting Manggis pada Seminar Nasional Perhimpunan Hortikultura Indonesia di Bali pada bulan November 2010. Pada Seminar Nasional Perhimpunan Hortikultura Indonesia di Bandung pada bulan Oktober 2011 penulis juga menyajikan karya ilmiah berjudul “Induksi Perakaran Tunas Manggis In vitro dengan Cara Manipulasi Media”.
Sebuah artikel akan
diterbitkan pada Jurnal Agronomi Indonesia Vol. XL, No. 3 Desember 2012, dengan judul “Pengaruh Batang Bawah dan Jenis Tunas pada Mikrografting Manggis (Garcinia mangostana L.) Secara In vitro”. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL …………………………………………………………. DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………….……………
xiii xv xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang ……………………………………………….……… Perumusan Masalah………………………………………….………. Tujuan Penelitian ……………………………………………………. Hipotesis …………………………………………………………….. Strategi Penelitian ……………………………………………………
1 4 7 7 7
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Manggis (Garcinia mangostana)…………………………… Kultur JaringanTanaman………………….…………………………… Kultur Jaringan Pada Manggis………………………………………… Sambung Mikro………………………………………………………... Hasil-hasil Penelitian Tentang Sambung mikro...................................... Setek mikro .................................................................................. Auksin dan Penghantaran Signal Auksin…………………………… Sitokinin dan Penghantaran Signal Sitokinin……………………….. BAHAN DAN METODE Pengembangan Teknologi Induksi Tunas Manggis In vitro dari Eksplan Tunas Manggis ……………………………………. Studi Fisiologi dan Anatomi Keberhasilan Sambung Mikro Tanaman Manggis……………………...………………………………….. Manipulasi Media pada Setek Mikro Manggis Secara In vitro.................... Optimalisasi Aklimatisasi Setek Mikro Manggis dengan Teknik Media Steril Porous (MSP).................................................. HASIL Pengembangan Teknologi Induksi Tunas Manggis In vitro dari Eksplan Tunas Manggis ……………………………………. Studi Fisiologi dan Anatomi Keberhasilan Sambung Mikro Tanaman Manggis……………………...………………………………….. Manipulasi Media pada Setek Mikro Manggis Secara In vitro.................... Optimalisasi Aklimatisasi Setek Mikro Manggis dengan Teknik Media Steril Porous (MSP).................................................
11 13 15 17 20 23 24 27
29 32 39 42
47 51 66 70
PEMBAHASAN
Pembentukan Tunas Adventif ………………….……………………….. Sambung Mikro ………………………………………………………… Setek mikro ……………………………………………………………… Masalah dan Pendekatan Masalah ………….…………………………… Aplikasi Praktis …………………………………………………………
77 81 85 93 104
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ………………………………..……………………………. Saran …………………………………..…………………………………
107 108
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….
109
LAMPIRAN……………………………………………………………………… 117
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Persentase pertumbuhan tunas dan jumlah buku tunas manggis ...
52
2
Pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro antara batang bawah tunas in vitro dengan batang atas tunas in vitro……
55
Pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro antara batang bawah tunas in vitro dengan batang atas tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun ……………………………
56
Pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro antara batang bawah tunas kecambah di pesemaian dengan batang atas tunas kecambah di pesemaian…………………………………………
57
Pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro antara batang bawah tunas kecambah di pesemaian dengan batang atas tunas in vitro……………………………………………………………
58
Rataan ukuran diameter (panjang dan lebar) batang dan jaringan pembuluh batang in vitro, semai, dan batang tunas bibit manggis yang ditanam secara in vitro………………………………
60
Rataan ukuran diameter (panjang dan lebar) batang dan jaringan pembuluh batang seedling, batang plagiotrop, dan batang in vitro……………………………………………………………
66
Pengaruh konsentrasi komposisi media MS, jenis substrat dan konsentrasi IBA terhadap pertumbuhan setek mikro 4 bulan setelah perlakuan………………………………………
68
Pengaruh konsentrasi komposisi media MS, jenis substrat, dan konsentrasi IBA terhadap diameter akar dan diameter jaringan pembuluh akar 4 bulan setelah perlakuan……………….
71
Diameter akar dan jaringan pembuluh, kandungan hara N, P, K, dan gula total daun dari tanaman hasil percobaan setek mikro dan kecambah biji di pesemaian pada 4 bulan setelah perlakuan……..
71
Pertumbuhan kecambah semai manggis pada berbagai media tanam 3 bulan setelah tanam………………………………
72
Pertumbuhan setek mikro teknik MSP dan konvensional 3 bulan setelah tanam……………………………………………………
73
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13 Pertumbuhan setek mikro teknik MSP yang diberi IBA dan Rootone-F 3 bulan setelah tanam………………………………
74
14 Diameter akar dan diameter jaringan pembuluh pada perlakuan IBA dan Rootone-F 4 bulan setelah perlakuan…………………
76
15 Diameter akar dan jaringan pembuluh, kandungan hara N, P, K, dan gula total daun dari tanaman hasil percobaan setek mikro MSP dan kecambah biji di pesemaian pada 4 bulan setelah perlakuan………………………………………………………..
77
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Alur kerja penelitian…….……………………………………….
9
2
Tipe sambung mikro batang atas C. ledgeriana dengan batang bawah C. succirubra (a) tipe V dan (b) tipe L…………..
22
Model regulasi penghantaran signal auksin-pengaturan ekspresi gen dengan menghilangkan faktor yang menghambat proses transkripsi (protein reseptor) dari gen target…………………………………………………….
25
Mekanisme persepsi terhadap signal sitokinin sebagai model pada system pensignalan dua komponen…………………
27
5
Eksplan tunas bibit manggis 4 tahun……………………………..
31
6
Pertumbuhan tunas manggis in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun ………………………………………………….
49
Persentase tumbuh tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun pada berbagai kombinasi zat pengatur tumbuh 8 minggu setelah inisiasi…………………………………………
50
Waktu tumbuh tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun pada berbagai kombinasi zat pengatur tumbuh 8 minggu setelah inisiasi…………………………………………
51
Pertambahan panjang tunas manggis yang dilakukan pada media MS dengan penambahan BA dan kinetin…………………
52
10 Hasil perbanyakan in vitro biji manggis yang memiliki tunas majemuk lebih dari 15 tunas………………………………
53
11 Hasil sambung mikro manggis.......................................................
55
12 Tanaman hasil sambung mikro 6 bulan setelah sambungan dan 15 bulan setelah sambungan…………………………….……
59
3
4
7
8
9
13
Penampang melintang bidang tautan sambungan pada mikrografting dan grafting di lapangan, 4 bulan setelah sambungan.........................................................................
61
14 Anatomi daerah sambungan sambung mikro pada umur 2 minggu (A), 10 minggu (B), dan 16 minggu (C) setelah sambung mikro................................................................................................
62
15 Proliferasi kalus pada percobaan sambung mikro............................
64
16 Penampang melintang bidang tautan sambungan pada sambung mikro dan grafting di lapangan, 4 bulan setelah sambungan.......................................................................................
65
17 Penampang melintang batang……………………………………..
67
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Prosedur penetapan N total dengan metode Kjeldahl……………
117
2
Metode penentuan fosfor dan kalium………………….………...
118
3
Prosedur pengamatan mikroskopis (Metode Parafin)……………
119
4
Cara penetapan gula total, gula pereduksi, dan sukrosa…………
122
5
Komposisi kimiawi sekam………………………………………
123
6
Pelaksanaan sambung mikro in vitro teknik sambung celah V tanpa pengikatan di daerah sambungan…………………………
124
Pelaksanaan sambung mikro di pesemaian teknik sambung celah V dengan dilakukan pengikatan di daerah sambungan dan diberi sungkup plastik………………………………………
125
7
Glossarium Adventif
:
Perkembangan organ seperti tunas, akar bunga, atau embrio yang berasal dari suatu titik tumbuh yang tidak lazim.
Aklimatisasi
:
Masa adaptasi planlet dari lingkungan fisik aseptik terkendali ke lingkungan tanah.
Apomiksis .
:
Reproduksi melalui bentuk seperti biji tetapi tanpa melalui penyerbukan
Cocopeat
:
media tanam yang dapat digunakan sebagai pengganti tanah, berasal dari sabut kelapa yang diambil seratnya (cocofiber), sehingga menghasilkan butiran-butiran halus
Eksplan .
:
Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan untuk inisiasi suatu kultur misalnya kultur in vitro
Floem
:
Pembuluh pada kulit kayu bagian dalam pada batang yang berguna untuk mendistribusikan protein dan karbohidrat, merupakan serangkaian sel yang membentuk pembuluh ayak, mempunyai sel dasar berupa sel tapis yang berdinding sel tipis.
In vitro
:
Di dalam tabung atau di dalam botol kultur dipelihara pada laboratorium
In vivo
:
Di dalam tanaman utuh yang tumbuh di rumah kaca atau di lapang.
Juvenil
:
Suatu periode tanaman sebelum fase generatif, ketika pembungaan tidak terjadi dan tanaman tidak dapat dirangsang untuk berbunga dengan ZPT atau perangsang pembungaan lainnya.
Kalus
:
sekumpulan sel amorphous (tidak berbentuk atau belum terdiferensiasi) yang terbentuk dari sel-sel yang membelah terus menerus
Media steril porous (MSP)/in vitro soil-less propagation (IVS)
:
Jenis media atau teknik perbanyakan tanaman dengan menggunakan media yang porous dan steril, dengan sistem aerasi yang lebih baik dibandingkan sistem perbanyakan konvensional serta menggunakan berbagai campuran media tanam.
Meristem
:
Jaringan tanaman yang terdiri dari sel-sel hidup dan berdinding tipis yang mampu membelah berulangulang sangat aktif
Planlet
:
Tanaman lengkap hasil regenerasi kultur in vitro
Sistem jaringan vaskuler
:
Sistem yang dibentuk oleh xilem dan floem diseluruh tumbuhan, yang berfungsi sebagai sistem transpor untuk air (xilem) dan nutrien (floem).
Zat pengatur tumbuh (ZPT)
:
Semua senyawa baik alami maupun sintetik yang dalam konsentrasi rendah dapat mengatur (merangsang atau menghambat) pertumbuhan dan perkembangan sel atau tanaman. Dapat dikatakan bahwa semua hormon adalah ZPT, tetapi tidak semua ZPT adalah hormon.
Tunas orthotrop
:
Tunas yang tumbuh secara vertikal pada batang utama tanaman manggis.
Tunas plagiotrop
:
Tunas yang tumbuh secara horizontal pada batang tanaman manggis.
Vermikulit
:
Media anorganik yang dihasilkan dari pemananasan kepingan-kepingan mika serta mengandung Potassium dan Helium, serta memiliki kemampuan kapasitas tukar kation yang tinggi terutama dalam keadaan padat dan pada saat basah.
Xilem
:
Jaringan pengangkut air dan hara yang terlarut dalam tanah, arah gerakannya dari akar menuju daun (akropetal).
PENDAHULUAN Latar Belakang
Manggis (Garcinia mangostana) memiliki peran penting dalam industri buah nusantara, karena memiliki rasa, aroma dan warna yang sangat digemari konsumen dalam maupun luar negeri. Permintaan pasar terhadap buah manggis memiliki prospek yang baik. Manggis merupakan salah satu buah yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di Indonesia. Volume ekspor manggis terus meningkat, dari 5.697 ton dengan nilai U$ 3,612 juta tahun 2006 menjadi 11,388 ton dengan nilai U$ 8,754 juta tahun 2010 (BPS 2012). Biji manggis bersifat apomitik, karena terbentuk tanpa proses fertilisasi, melainkan
melalui
perkembangan
jaringan
nuselus.
Sifat
apomiksis
mengakibatkan sifat genetik turunan identik dengan induknya (Fauza et al. 2003). Tumbuh-tumbuhan apomitik dianggap tidak memiliki variasi genetik, namun hasil penelitian Mansyah (2012) mengungkapkan adanya keragaman genetik pada manggis, beberapa diantaranya klon lokal unggul. Variasi genetik dijumpai pada tanaman induk dari berbagai lokasi maupun antar tanaman induk dan keturunannya. Untuk pohon induk yang mewakili populasi tanaman dari berbagai lokasi variasi genetiknya sebesar 56,6 % (Mansyah 2003). Perbanyakan vegetatif tanaman manggis umumnya dilakukan dengan penyambungan (grafting), karena manggis sulit berakar sehingga sukar/tidak dapat diperbanyak dengan cara setek, perundukan, pemisahan, atau dengan cangkok (Ashari 1995). Perbanyakan dengan grafting juga dapat mempercepat kematangan reproduktif tanaman dan produksi buah lebih awal. Batang bawah untuk perbanyakan grafting manggis adalah bibit semai berumur 2-3 tahun, sedangkan batang atasnya adalah cabang plagiotrop dari tanaman yang sudah berproduksi di lapangan. Cabang plagiotrop adalah cabang yang tumbuh secara horizontal pada tanaman manggis dewasa. Tunas plagiotrop digunakan sebagai batang atas karena jumlahnya banyak, dan
cabang-cabangnya
rendah
sehingga
mudah
diambil.
Permasalahan
penggunaan batang atas dari cabang plagiotrop adalah tanaman hasil grafting kerdil, tidak ada sentralistik pertumbuhan sehingga tanaman tumbuh ke samping,
2
pertumbuhannya terhambat, bahkan mengalami stagnasi pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena lingkaran jaringan pembuluh pada cabang plagiotrop mengalami disorientasi akibat pemelintiran batang sehingga kondisi ini mempersulit usaha untuk mendapatkan kontak kambium yang optimal antara batang bawah dan batang atas (Tirtawinata 2003). Beberapa tanaman manggis yang disambungkan dengan cabang orthotrop (cabang yang tumbuh
secara vertikal pada tanaman manggis dewasa),
menunjukkan pertumbuhan yang baik dan tidak kerdil (Tirtawinata 2003). Tantangan dari penggunaan cabang orthotrop sebagai batang atas adalah jumlahnya sangat terbatas dan tumbuh di bagian atas pohon sehingga sulit dijangkau. Usaha mendapatkan perbanyakan tunas dari cabang orthotrop secara massal dapat dilakukan dengan sistem perbanyakan in vitro. Perbanyakan in vitro selain dari biji dengan tujuan multiplikasi tunas manggis sudah banyak dilakukan, misalnya dari eksplan daun muda bibit dan pohon dewasa (Goh et al. 1990), atau daun muda dari kultur in vitro (Te-chato & Lim 2000). Percobaan mengenai pembentukan tunas melalui regenerasi tanaman secara in vitro melalui organogenesis langsung (dari daun muda) maupun organogenesis tidak langsung (dari daun muda melalui fase kalus), juga sudah berhasil dilakukan (Qosim 2006). Permasalahan yang dihadapi adalah belum tumbuh akar dari tunas-tunas manggis in vitro tersebut. Upaya pengakaran tunas manggis in vitro yang belum berakar tersebut dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Tunas manggis yang tidak dapat berakar tersebut
dapat
langsung
disambungkan
dengan
tunas
manggis
hasil
perkecambahan biji yang sudah berakar. Pengakaran tunas juga dapat dilakukan dengan menginduksi pertumbuhan tunas manggis melalui setek mikro. Oleh karena itu penelitian sambung mikro dan setek mikro pada tanaman manggis menjadi penting untuk dipelajari. Sambung mikro (micrografting) pada tanaman, berasal dari kata micro (kecil/kecil sekali) dan grafting (penyambungan), artinya penyambungan bagian tanaman pada keadaan masih sangat kecil/muda. Naz et al. (2007) menyatakan bahwa pada tanaman jeruk, sambung mikro sudah dapat dilakukan pada kecambah jeruk umur 2 minggu. Istilah yang lebih dikenal adalah penyambungan tunas in vitro
3
atau teknik sambung mikro in vitro yaitu teknik penyambungan potongan batang atas pada batang bawah dalam kultur jaringan (Toruan-Mathius et al. 2006). Percobaan mengenai berbagai teknik sambung mikro secara in vitro telah banyak dilakukan sebelumnya pada berbagai tanaman, misalnya pada alpukat (Raharjo & Litz 2003), pistacia (Onay et al. 2003), kina (Toruan-Mathius et al. 2006; ToruanMathius et al. 2007), protea (Wu et al. 2007), jeruk (Naz et al. 2007; Singh et al. 2008).
Sambung mikro juga dilakukan di pesemaian
misalnya
pada tanaman
arabidopsis (Turnbull et al. 2002), pistacia (Onay et al. 2003), jeruk (Naz et al. 2007), dan kaktus (Moghadam et al. 2012). Setek mikro adalah suatu teknik pembiakan mikro, dengan menggunakan batang tanaman dengan ukuran mini. Pada tanaman kentang proses setek dapat dilakukan bahkan pada tanaman yang baru memiliki 1-3 node (Jasminarni 2007). Pada teknik ini dapat diambil langsung bagian tanaman (tunas) untuk ditanam pada media, supaya tumbuh akar dan selanjutnya dapat tumbuh menjadi individu baru. Teknik setek mikro dapat dilakukan dalam keadaan aseptik melalui kultur jaringan, maupun saat pembibitan di pesemaian. Penelitian mengenai setek mikro sudah banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman. Beberapa contoh penelitian setek mikro, misalnya pada tanaman apel (De Klerk 2002), kentang (Jasimarni 2007), cherry (Lamrioui et al. 2009), zaitun (Haq et al. 2009), maupun karet (Harris et al. 2010). Pada tanaman manggis teknik perbanyakan tanaman melalui setek (batang, daun, tunas, akar) belum pernah dilakukan, karena manggis merupakan tanaman yang sulit untuk berakar. Setek mikro yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan setek batang pada tunas manggis hasil perbanyakan in vitro. Tunas manggis dipotong sepanjang 3 cm dan ditanam pada media yang dapat menginduksi perakaran. Penanaman setek mikro hasil perkecambahan biji dilakukan secara in vitro dengan memanipulasi media tumbuh, maupun di pesemaian dengan teknik Media Steril Porous. Berbagai konsentrasi zat pengatur tumbuh, tingkat kekentalan media, jenis substrat, komposisi media ataupun perlakuan lainnya dapat digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar pada setek mikro tunas manggis.
4
Pengakaran
setek
mikro
yang
dilakukan
di
pesemaian
dengan
menggunakan teknik Media Steril Porous (MSP) atau dikenal juga dengan istilah In Vitro Soi-less Propagation (IVS), dapat menyebabkan tunas mikro dapat berakar dan siap untuk tumbuh di lapangan. MSP adalah teknik perbanyakan tanaman dengan menggunakan media yang porous dan steril, dengan sistem aerasi yang lebih baik dibandingkan dengan sistem perbanyakan konvensional yang menggunakan berbagai campuran media tanam.
Penelitian di Australia
menunjukkan bahwa teknik ini telah dapat meningkatkan perakaran setek mikro tanaman Chamelaucium sebesar 42-82% (Newell 2006). Akan tetapi penelitian MSP sendiri masih sangat sedikit publikasinya, dan belum ada metode yang baku, sehingga perlu dilakukan penelitian agar diperoleh perlakuan yang sesuai untuk proses pengakaran manggis.
Perumusan Masalah Perbanyakan tanaman manggis mengalami banyak kendala, diantaranya pertumbuhan tanaman yang lambat karena sistem perakaran yang buruk. Kendala lainnya adalah perbanyakan tanaman manggis secara vegetatif konvensional masih belum berhasil dengan baik karena tanaman yang diperbanyak secara vegetatif mempunyai ukuran bervariasi, lemah, tumbuh sangat lambat (Normah et al. 1995; Cruz 2001). Pertumbuhan tanaman manggis hasil grafting dengan menggunakan batang atas tunas orthotrop diketahui memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi, tidak mengalami hambatan pertumbuhan atau stagnasi.
Pertumbuhan bibit hasil
sambungan dengan tunas orthotrop ini selanjutnya menjadi lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman manggis hasil grafting dengan tunas plagiotrop. Perbanyakan tanaman manggis dengan teknik grafting menggunakan batang atas tunas orthotrop memiliki tantangan yaitu terbatasnya ketersediaan cabang orthotrop. Pertumbuhan tunas baru pada tanaman dewasa yang dapat menghasilkan cabang orthotrop juga sangat lambat, hanya 1-2 kali dalam setahun (Hidayat 2002). Perbanyakan tanaman manggis juga tidak dapat dilakukan dengan okulasi karena mata tunas tanaman manggis tersembunyi diantara dua tangkai daun yang menjadi ciri khas
5
species Garcinia. Satu-satunya cara mendapatkan tunas orthotrop secara massal adalah dengan teknik kultur jaringan (perbanyakan in vitro) Perbanyakan tunas manggis in vitro dari eksplan tunas manggis di pesemaian atau di lapangan belum pernah dilakukan, karena sulitnya proses sterilisasi. Oleh karena itu salah satu tahap penelitian ini adalah mendapatkan bahan perbanyakan tunas in vitro dari eksplan tunas manggis umur 4 tahun di pesemaian. Pada berbagai penelitian sudah dapat dihasilkan tunas manggis in vitro yang berasal biji maupun daun (daun muda atau dewasa). Kesulitan yang dihadapi adalah tunas in vitro dari eksplan daun tidak dapat tumbuh akar, sehingga harus dicari cara mengakarkan tunas-tunas in vitro tersebut.
Cara
pengakaran tunas in vitro pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara. Yang pertama, tunas in vitro yang gagal tumbuh akar dapat disambungkan dengan tunas batang bawah yang sudah berakar (sambung mikro). Cara kedua adalah mengakarkan tunas in vitro secara langsung dengan cara memanipulasi media tumbuh secara in vitro, maupun perlakuan di pesemaian (setek mikro). Setek mikro yang dilakukan di pesemain akan dicoba diakarkan dengan menggunakan teknik Media Steril Porous (MSP) / In Vitro Soil-less Propagation (IVS). Melalui teknik kultur jaringan, akan dapat disediakan bahan tanaman batang bawah maupun batang atas secara massal, tidak dipengaruhi musim, seragam dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Sambung mikro diharapkan dapat menjadi solusi bagi tunas
manggis yang
gagal berakar, dengan cara
menyambungkannya dengan tunas manggis yang sudah berakar.
Penyediaan
batang bawah juga dapat dipersingkat waktunya dibandingkan penyiapan batang bawah untuk sambungan di lapangan. Pada tanaman jeruk, tunas untuk batang bawah pada teknik sambung mikro in vitro dan pesemaian sudah dapat dilakukan penyambungan sejak 2 minggu setelah biji berkecambah (Naz et al. 2007). Bagian tanaman yang dapat dijadikan sumber perbanyakan tidak hanya terbatas pada biji, melainkan bisa dari organ-organ lainnya, misalnya batang, mata tunas, dan daun. Hal ini sangat menguntungkan karena penyediaan bahan tanaman tidak terbatas pada musim berbuah, serta dapat menjawab persoalan kebutuhan bahan tanaman untuk perbanyakan.
6
Teknik sambung mikro in vitro juga dapat dilakukan di pesemaian dengan kondisi tanaman yang sama seperti pada sambung mikro in vitro. Teknik sambung mikro akan memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan grafting di lapangan. Hal ini karena batang usia muda memiliki jaringan meristem yang lebih banyak,
sehinga
proses
penyembuhan
luka
akibat
sayatan
pada
saat
penyambungan lebih cepat pulih (Tirtawinata 2003). Oleh karena itu diharapkan pertumbuhan selanjutnya akan lebih baik. Pada penelitian ini juga dilakukan teknik perbanyakan setek mikro. Perbanyakan dengan cara setek sudah sangat dikenal dan dilakukan sejak lama. Perbanyakan dengan setek lebih ekonomis, lebih mudah, tidak memerlukan keterampilan khusus dan cepat dibandingkan dengan cara perbanyakan vegetatif buatan lainnya. Selama ini tanaman manggis tidak diperbanyak dengan setek karena tanaman manggis tidak dapat berakar.
Oleh karenanya informasi
mengenai setek pada tanaman manggis belum pernah ada. Dengan pemberian berbagai zat pengatur tumbuh dan substrat yang dapat menginduksi pertumbuhan akar dan tunas diharapkan dapat menjawab permasalah tersebut. Tahap aklimatisasi merupakan tahap yang sangat penting pada sistem perbanyakan kultur jaringan.
Pada tahap ini tanaman hasil kultur jaringan
diharapkan dapat beradaptasi dengan lingkungan tumbuh yang sebenarnya, sehingga dapat tumbuh berkembang di lapangan. Percobaan sambung mikro dan setek mikro harus didukung dengan pertumbuhan akar yang baik agar menjamin kelangsungan pertumbuhan tanaman selanjutnya. Penelitian tentang Media Steril Porous (MSP) atau In Vitro Soi-less Propagation (IVS) pada setek mikro in vitro dan ex vitro beberapa tanaman Australia menunjukkan bahwa sistem ini dapat meningkatkan pertumbuhan akar (Newell 2006). Oleh karena itu pada penelitian ini juga dilakukan percobaan setek mikro dengan menggunakan teknik MSP yang diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan tanaman yang dapat tumbuh menjadi tanaman baru di lapangan.
7
Tujuan Penelitian Secara umum
penelitian ini
bertujuan
untuk
merakit
teknologi
perbanyakan tanaman manggis dengan cara sambung mikro dan setek mikro. Secara khusus penelitian ini bertujuan: a. Mendapatkan metode perbanyakan in vitro untuk penyediaan bahan perbanyakan manggis b. Mendapatkan pemahaman tentang aspek fisiologi dan anatomi serta metode perbanyakan tanaman manggis dengan teknik sambung mikro. c. Menginduksi perakaran setek mikro dengan cara manipulasi media kultur jaringan. d. Menginduksi perakaran setek mikro manggis dengan cara media steril porous (MSP)/ In vitro Soil Propagation (IVS).
Hipotesis a. Pemberian benzyl adenin, thidiazuron dan kinetin menyebabkan eksplan mata tunas pucuk bibit manggis dapat menghasilkan tunas in vitro. b. Perbedaan area pertemuan meristem pada daerah sambungan akan berpengaruh terhadap keberhasilan
penyatuan sambungan batang bawah
dengan batang atas. c. Penurunan konsentrasi komposisi media dan penurunan kepadatan substrat dapat menumbuhkan akar setek mikro manggis yang dilakukan secara in vitro. e. Teknik Media steril porous (MSP)/In Vitro Soil-less (IVS) dapat meningkatkan keberhasilan tanaman hasil setek mikro yang dapat tumbuh di lapangan. Strategi Penelitian Disertasi ini disusun berdasarkan empat topik penelitian. Topik penelitian pertama adalah “Pengembangan Teknologi Induksi Tunas Manggis In Vitro dari Eksplan Mata Tunas Pucuk Bibit Manggis” yang terdiri atas tiga tahap percobaan, yaitu 1) Induksi Tunas, 2) Tahap Multiplikasi Tunas, Dan 3) Tahap Pemanjangan Tunas. Hasil percobaan ini akan digunakan sebagai salah satu sumber batang atas pada penelitian kedua.
8
Topik penelitian kedua adalah “Studi Fisiologi dan Anatomi Sambung Mikro Pada Tanaman Manggis”. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan, yaitu: 1) percobaan Sambung Mikro Secara In vitro dan 2) Sambung Mikro di Pesemaian. Masing masing percobaan terdiri atas tiga sub percobaan berdasarkan sumber batang atasnya, yaitu dari sesama tunas muda (in vitro atau semai), eksplan tunas dari mata tunas tanaman manggis dewasa yang telah berproduksi di lapangan, dan tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun. Topik penelitian ketiga adalah “Manipulasi Media Pada Setek Mikro Manggis Secara In Vitro”, dan topik penelitian keempat adalah “Optimalisasi Aklimatisasi Setek Mikro Manggis Dengan Cara Media Steril Porous (MSP)”.
Bagan alur kerja penelitian yang menunjukkan keterkaitan antar
penelitian disajikan pada Gambar 1.
9
Sumber Perbanyakan Vegetatif
Percobaan I. Pengembangan Teknologi Induksi Tunas Manggis In Vitro dari Eksplan Mata Tunas Bibit Manggis
Percobaan II. Studi Fisiologi dan Anatomi Keberhasilan Sambung Mikro Tanaman Manggis
Pengakaran
Percobaan III. Manipulasi Media pada Setek Mikro Manggis Secara In Vitro
Percobaan IV. Optimalisasi Aklimatisasi Setek Mikro Manggis dengan Cara Media Steril Porous (MSP)
Pemahaman Dasar Mengenai Teknologi Perbanyakan Tanaman Manggis dengan Cara Sambung Mikro dan Setek Mikro
Gambar 1. Alur Kerja Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Manggis (Garcinia mangostana) Buah manggis (Garcinia mangostana) selain digemari karena rasanya, juga sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh karena diketahui mengandung xanthone sebagai antioksidan, antiproliferasi, antiinflamasi dan antimikrobial. Kulit buah manggis (pericarp) mengandung senyawa xanthone dan derifatnya yaitu 3-isomangoestein, alpha mangostin, gamma-mangostin, garcinone A, garcinone B, C, D dan garcinone E, maclurin, mangostenol (Iswari dan Sudaryono 2007). Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa kandungan xanthone dan derivatnya efektif melawan kanker payudara, juga sebagai obat penyakit jantung. Khasiat garcinone E (devirat xanthone) ini jauh lebih efektif untuk menghambat kanker bila dibandingkan dengan obat kanker seperti flaraucil, cisplatin, vincristin, metohotrexete, dan mitoxiantrone. Kulit buah manggis bermanfaat sebagai obat karena mengandung xanthone yang sangat tinggi yaitu mencapai 123,97 mg/100ml,
juga mengandung vitamin dan mineral lainnya seperti :
vitamin B1 (mg) 20,66, vitamin B2 (mg)1.79, vitamin B6 (mg) 0,948, dan vitamin C (mg) 17,92 (Iswari dan Sudaryono 2007). Manggis merupakan salah satu tanaman buah yang berasal dari Indonesia, kelezatan daging buah manggis juga disukai konsemen luar negeri. Permintaan pasar, terutama pasar luar negeri terhadap buah manggis selalu meningkat, dari 5,697 ton dengan nilai U$ 3,612 juta tahun 2006 menjadi 11,388 ton dengan nilai U$ 8,754 juta tahun 2010 (BPS 2012). Permintaan pasar ekspor yang semakin meningkat masih belum dapat dipenuhi sesuai kebutuhan, baik secara kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya. Salah satu penyebabnya karena manggis di Indonesia belum banyak dibudidayakan dalam skala perkebunan.
Pada umumnya tanaman manggis
dibudidayakan di pekarangan. Petani Indonesia enggan menanam manggis karena dari masa tanam sampai dapat berproduksi memerlukan waktu antara 8 – 10 tahun. Manggis yang diperdagangkan di dalam negeri maupun ekspor berasal dari hutan manggis atau kebun campuran (Poerwanto 2000). Faktor penting dalam
12
usaha pengembangan dan perbaikan produktivitas buah manggis adalah bibit bermutu dalam jumlah banyak dan tersedia dalam waktu singkat serta dengan harga yang terjangkau. Masalah lambatnya pertumbuhan tanaman manggis telah banyak diidentifikasi. Ada beberapa penyebabnya, yaitu sistem perakaran yang lemah (perakaran manggis hanya terdiri dari satu akar tunggang dengan beberapa akar lateral tanpa bulu akar) (Cox, 1976). Tanaman manggis asal biji umumnya baru mulai berbuah setelah 10-15 tahun, tergantung pada pemeliharaan selama dipembibitannya. Di Malaysia, tanaman asal biji sudah mulai berbuah sektar lima tahun setelah tanam di lapangan (Hashim & Mamat 1991), di Cairns dan Darwin (Australia) pohon manggis berbuah pada umur 6-7 tahun (Wieble et al. 1992). Manggis (Garcinia mangostana) termasuk ke dalam famili Guttiferae merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara khususnya Thailand, Malaysia dan Indonesia (Nakasone & Paull 1999). Tanaman manggis menyebar ke timur sampai ke Papua Nugini dan Kepulauan Mindanau (Filipina), dan ke utara melalui Semenanjung Malaysia menyebar terus ke Thailand bagian selatan, Myanmar, Vietnam, dan Kamboja. Tanaman ini dijumpai tumbuh liar pada kisaran jenis tanah dan lokasi yang cukup luas. Richard (1990) menjelaskan bahwa bunga manggis bersifat uniseksual dioecious (berumah dua), akan tetapi hanya bunga betina yang dapat dijumpai, sedangkan bunga jantan tidak berkembang sempurna (rudimenter), yaitu tumbuh kecil kemudian mengering dan tidak dapat berfungsi. Bunga betina terdapat pada pucuk ranting muda dengan diameter 5 – 6 cm, pedikelnya pendek, tebal dan panjangnya 1,8 – 2,0 cm terletak pada dasar bunga. Bunga memiliki empat sepal dan empat petal dengan tangkai bunga pendek dan tebal berwarna merah kekuning-kuningan. Bunganya tidak tahan lama, membuka pada sore hari dan petalnya segera jatuh setelah itu. Biji manggis merupakan biji apomitikk yang terbentuk dari sel-sel nuselus (Almeyda dan Martin 1976). Embrio manggis dilihat dari proses penyerbukan dan pembuahannya tergolong pada embrio adventif.
Hal ini disebabkan karena
embrio terbentuk dari sel nuselus, yaitu bagian selain kandung lembaga.
13
Perbaikan sifat tanaman manggis diarahkan untuk mendapatkan sifat pertumbuhan cepat, masa juvenil pendek, produktivitas tinggi, kualitas buah yang baik dan tahan terhadap hama dan penyakit. Rekombinasi genetik dengan teknik hibridisasi tidak dapat dilakukan karena benang sari tidak dapat berkembang (rudimenter) dan serbuk sari bersifat hampa (Richards 1990; Poerwanto 2000). . Kultur Jaringan Teknik kultur jaringan menurut Katuuk (1989) adalah sebagai teknik mikropropagasi atau in vitro propagation atau juga perbanyakan klon yang istilahistilah itu mempunyai arti yang sama yaitu teknik perbanyakan tanaman dengan menggunakan potongan kecil jaringan atau sel yang dipelihara dalam suatu media dan dikerjakan seluruhnya dalam kondisi aseptik. Untuk menjadi tanaman lengkap, pada teknik kultur jaringan dikenal ada beberapa metode regenerasi tanaman, yaitu organogenesis langsung (direct organogenenesis), organogenesis tidak lansung (indirect organogenesis) dan embryogenesis somatic (somatic embryogenesis). Media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar basal/basic medium dan media tambahan. Komposisi media dasar mengandung hara esensial baik makro maupun mikro, sumber energi dan vitamin yang jumlah dan macamnya tergantung dari penemunya. Komposisi media perlakuan merupakan komposisi media tambahan yang dapat berupa vitamin, senyawa organik komplek atau zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh khususnya auksin dan sitokinin adalah suatu zat organik utama yang mengendalikan proses morfogenesis pada teknik kultur jaringan. Kepekaan jaringan terhadap zat yang ditambahkan pada media perlakuan khususnya zat pengatur tumbuh ditentukan oleh konsentrasi zat pengatur tumbuh yang sudah terdapat di dalam jaringan tersebut (Starling et al. 1986). Semakin rendah kadar zat endogen, semakin besar zat eksogen yang harus ditambahkan. Kesukaran yang dihadapi dalam induksi organogenesis ada hubungannya dengan kepekaan yang berbeda pada setiap bagian jaringan suatu spesies maupun antar spesies terhadap zat pengatur tumbuh eksogen yang diberikan. Masukan lain yang berupa vitamin seperti thiamin yang merupakan vitamin B1 ke dalam media perlakuan juga berperan dalam pembelahan sel (George dan Sherington, 1984).
14
Media kultur jaringan tanaman selain menyediakan unsur hara makro dan hara mikro juga diberi karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon. Gunawan (1988) mengemukakan bahwa pada umumnya media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar dan media perlakuan. Resep media dasar adalah resep kombinasi zat yang mengandung hara esensial (makro dan mikro), sumber energi dan vitamin. Media kultur jaringan dapat berupa media padat dan media cair. Bentuk media cair mempunyai keuntungan bahwa kontak eksplan dengan media adalah maksimum, hanya aerasi perlu diperbaiki dengan pengocokan media dan pemakaian botol kultur yang bentuknya dapat mempertinggi aerasi sebagai tempat media kultur. Pengaruh lain dari media bentuk cair adalah peningkatan unsur hara dan zat pengatur tumbuh dalam metabolisme zat - zat yang beracun akan berdifusi lebih efektif. Media dalam bentuk padat didapatkan dengan menambahkan bahan pemadat/bahan pengental, misalnya agar-agar, phytagel dan gelatin. Arrilaga et al. (1992) menyatakan bahwa terjadi beda nyata pada perlakuan kekentalan media (antara media padat dan media cair) dan komposisinya, khususnya formulasi garam atau unsur hara. Interaksi dari rata-rata jumlah tunas yang terbentuk pada setiap eksplan baik asal apikal maupun nodal. Dalam perkembangan komposisi media perlakuan, vitamin juga sering ditambahkan untuk membentuk komposisi media perlakuan berbagai macam vitamin. Jenis vitamin yang sering digunakan dalam kultur jaringajn adalah thiamin (vitamin B1). Thiamin merupakan vitamin yang esential dalam keberhasilan suatu kultur jaringan tanaman. Menurut George dan
Sherington
(1984)
kemungkinan
peranan
thiamin
adalah
melalui
keikutsertaannya dalam lintasan-lintasan asam D-galakturonat yang menghasilkan vitamin C dan pektin. Juga dilaporkan ada kemungkinan peranannya dalam inkorporasinya fosfoinasitida dan fosfatidil inositol yang berperan dalam pembelahan sel selama eksplan melakukan pertumbuhan dalam kultur jaringan. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dikendalikan oleh substansi kimia yang konsentrasinya sangat rendah, yang disebut substansi pertumbuhan tanaman, hormon tumbuhan, fitohormon atau zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh endogen (yang diproduksi di bagian tanaman) diartikan sebagai hormon tanaman atau fitohormon. George dan Sherington (1984) mengatakan bahwa
15
untuk proses morfogenesis akar dan tunas biasanya dibutuhkan suatu imbangan taraf auksin dan sitokinin dalam media. Dalam perkembangan teknik kultur jaringan dengan adanya zat pengatur tumbuh perlu dicari konsentrasi dan imbangan atau interaksi antara dua jenis zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media perlakuan dan yang diproduksi oleh sel/ jaringan secara endogen dapatmenentukan perkembangan dari suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen mengubah level/taraf zat pengatur tumbuh endogen sel. Level/taraf zat pengatur tumbuh ini kemudian merupakan faktor pemicu atau penggerak untuk proses – proses yang tumbuh dan morfogenesisnya.
Kultur Jaringan pada Manggis Perbanyakan manggis dengan cara in vitro dilakukan terutama untuk tujuan menyediakan bibit manggis secara massal, seragam, dan sepanjang tahun. Hal yang sangat penting dalam proses kultur jaringan manggis adalah multiplikasi tunas, sehingga tujuan memperoleh bahan tanaman secara massal dapat terpenuhi. Perbanyakan in vitro tujuan multiplikasi tunas manggis sudah banyak dilakukan, dapat dari perkecambahan biji, ataupun eksplan daun. Perbanyakan in vitro untuk mendapatkan tunas adventif yang paling mudah dan paling banyak dilakukan adalah dari segmen kotiledon yang ditanam pada media MS.
Goh et al. (1988), melakukan penanam segmen kotiledon
manggis pada media MS dilengkapi dengan BAP konsentrasi 5,0 mg/L. Rostika et al. (2005) menyatakan bahwa media MS ditambah BA 5,0 mg/L dapat menginduksi tunas hingga 100% dengan jumlah tunas per biji 2,7 tunas. Demikian halnya yang dilakukan Qosim (2006), biji manggis yang ditanam pada media MS dengan penambahan BAP sebanyak 22,2
M dapat mengiduksi
pertumbuhan tunas terbaik dengan rata-rata jumlah tunas per biji 1,7 tunas. Keberhasilan pembentukan tunas dari biji sangat tinggi, terutama karena pada manggis kemungkinan sel-sel embriogenik terdapat di sepanjang permukaan biji (Yaccob & Tindall 1995), sehingga biji bersifat poliembrioni. Pembentukan tunas secara in vitro dapat pula dilakukan dari segmen daun dengan cara oganogenesi langsung maupun tidak langsung. Organogenesis
16
langsung adalah proses pembentukan tunas adventif langsung dari eksplan. Organogenesis tidak langsung adalah proses pembetukan tunas adventif melalui pembentukan kalus terlebih dahulu. Tunas adventif atau embrio somatik dapat dibentuk dari kalus jika konserntrasi zat pengatur tumbuh khususnya auksin rendah. Kalus dapat diperoleh dari berbagai spesies tanaman, akan tetapi tidak semua kalus dari spesies tanaman dapat diregenerasikan menjadi planlet tergantung dari sifat totipotensinya (Yeoman 1986). Perbanyakan tunas in vitro dari eksplan daun sudah pernah dilakukan. Goh et al. (1990) telah melakukan multiplikasi tunas dari eksplan daun muda bibit dan pohon dewasa. Te-chato dan Lim (2000) juga menggunakan eksplan daun muda untuk mendapatkan tunas adventif. Qosim (2006) telah berhasil mendapatkan tunas adventif dari eksplan daun melalui organogenesis langsung dan tidak langsung. Perlakuan organogenesis langsung adalah perbedaan konsentrasi BAP, yaitu 0,0; 11,1 ; 22,2 ; 33,3 ; 44,4 M. Penanaman dilakukan pada media MS dengan penambahan 3% gula pasir, 0,8% agar, dan 1,39 M PVP. Pada pembentukan tunas melalui organogenesis tidak langsung dilakukan dalam dua tahap percobaan. Tahap pertama adalah pembentukan kalus nodular dengan perlakuan konsentasi BAP 2,2 M, dan konsentrasi TDZ 1,14
M, 2,27
M, dan 4,54
M.
M dan 4,4 Penanaman
dilakukan pada media MS padat yang dilengkapi dengan 3% gula pasir, 1,39 M PVP, 0,8% agar murni. Tahap kedua adalah pembentukan tunas dari kalus nodular dengan kombinasi perlakuan 2,2
M BAP dan 2,27
M TDZ diregenerasikan
menjadi planlet dengan menanam kalus nodular pada medium WPM ditambahkan 1,39 M PVP, 0,8% agar murni, 3% gula pasir. Hasil penelitian yang dilakukan Qosim (2006) menunjukkan bahwa pembentukan tunas adventif manggis in vitro dapat dilakukan melalui tiga tipe regenerasi, yaitu: perkecambahan biji, organogenesis langsung dan tidak langsung. Media optimal pembentukan tunas pada perkecambahan biji dan organogenesis langsung adalah media MS dengan konsentrasi 22,2
M BAP.
Pada organogenesis tidak langsung, medium optimal induksi kalus nodular adalah MS dengan perlakuan kombinasi konsentrasi 2,2 M BAP dan 2,27
M TDZ,
sedangkan media optimum regenerasi tanaman pada media WPM dengan
17
konsentrasi BAP 2,2
M. Pembentukan tunas asal biji pertumbuhannya relatif
cepat dan menghasilkan banyak tunas dibandingkan ke dua tipe regenerasi lainnya. Tipe regenerasi organogenesis langsung dan tidak langsung waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan tunas relatif.
Tunas adventif yang dihasilkan
melalui organogenesis tidak langsung sangat banyak. Perpanjangan tunas pada manggis in vitro sangat lambat dan belum berhasil dilakukukan induksi perakaran. Sambung Mikro Berbagai usaha memperbanyak bibit manggis telah dicoba dengan harapan dapat memperpendek masa juvenilnya.
Penelitian untuk mempercepat
pertumbuhan manggis telah dilakukan dengan pemupukan, pemberian zat pengatur tumbuh, atau modifikasi media tumbuh, tetapi hasilnya belum memuaskan. Perlakuan pemacuan pertumbuhan hanya mempercepat pertumbuhan 10-20%. Percobaan setek dan mencangkok mengalami kegagalan karena sulit menumbuhkan akarnya. Okulasi mata tempel juga sulit dilakukan karena mata tunasnya tersembunyi diantara dua tangkai daun yang berhadapan dan merupakan karakter khas species Garcinia (Tirtawinata 2003). Adapun cara yang memberi harapan adalah penyambungan (grafting) dengan menggunakan semai sebagai batang bawah (calon perakaran) dan entris sebagai batang atasnya (calon tajuk). Tirtawinata (2003) menyatakan bahwa, sambung pucuk merupakan metode yang paling sering digunakan pada penyambungan manggis dengan tingkat keberhasilan hingga 95%. Semai manggis yang telah berumur 18-36 bulan digunakan sebagai batang bawah dan disambung dengan entris dari pohon dewasa yang telah berbuah. Walaupun tingkat keberhasilan penyambungan tinggi, pertumbuhan selanjutnya dari batang atas sangat lambat. Pertambahan ruas dan daun (trubus) hanya terjadi 1-2 kali dalam setahun, bahkan seringkali terjadi stagnasi. Penyebab sebenarnya dari stagnasi pertumbuhan ini hingga sekarang belum diketahui, hanya diduga ada hubungannya dengan sistem perakaran manggis yang lemah dan ditambah dengan pertautan sambungan yang tidak sempurna. Lamanya waktu yang diperlukan untuk mendapatkan batang bawah siap sambung (18-36 bulan) dan pertumbuhan selanjutnya yang lambat menjadi kendala utama sistem penyambungan ini. Oleh karena itu cara penyambungan
18
yang dilakukan pada tanaman manggis in vitro (sambung mikro) diharapkan dapat menjadi alternatif perbanyakan tanaman melalui sambungan, yang menjanjikan tingkat keberhasilan dan pertumbuhan selanjutnya yang tinggi. Sambung mikro yang dilakukan secara in vitro adalah salah satu cara perbanyakan vegetatif
penyambungan tanaman yang dilakukan pada kondisi
aseptik dengan menggunakan teknik kultur in vitro (Toruan-Mathius 2007). Hal ini dilakukan untuk mempersatukan kedua batang atas dan batang bawah yang biasanya memiliki sifat unggul yang berbeda. Keunggulan sistem sambung mikro dibandingkan grafting biasa terutama adalah pada waktu yang diperlukan untuk mendapatkan tanaman batang bawah siap sambung yang jauh lebih singkat, yaitu hanya 3 bulan saja. Setelah tanaman disambungkan dan menghasilkan trubus baru (sekitar 2-3 bulan berikutnya), maka tanaman in vitro hasil sambung mikro tersebut sudah dapat diaklimatisasi (Lukman 1998). Selain itu dalam kondisi mikro, perbedaan anatomi antara batang atas dan batang bawah tersebut kemungkinan belum terjadi. Batang muda yang digunakan sebagai batang bawah maupun batang atas memiliki jaringan meristem yang lebih banyak dibandingkan batang dewasa, sehingga proses penyembuhan luka akibat sayatan saat penyambungan lebih cepat pulih (Tirtawinata 2003). Oleh karenanya diperkirakan keberhasilan sambungan yang menghasilkan bibit terpacu menjadi lebih besar, sehingga jaminan pertumbuhan di lapangan menjadi lebih baik. Estrada et al. (2002) menyatakan bahwa dengan teknik sambung mikro dapat meremajakan tanaman, meregenerasi tanaman, menghasilkan tanaman yang bebas penyakit dan mempersingkat waktu dalam penyediaan bibit untuk dapat dipindah ke lapang. Mekanisme terjadinya pertautan pada sambung mikro sama dengan yang terjadi secara in vivo yaitu terjadinya kontak kambium antara batang atas dan batang bawah dengan tepat. Daya gabung (kompatibilitas) antara batang atas dan batang bawah merupakan hal yang penting, karena kompatibilitas mempengaruhi kelangsungan hidup tanaman hasil sambungan dan kemampuannya berproduksi. Pada saat tanaman dapat disambungkan, maka hubungan source dan sink bergantung pada genotipe batang bawah dan batang atas. Pada penyambungan yang kompatibel, maka kedua bagian yang disambungkan akan berhasil membentuk suatu kesatuan
19
dan dapat berkembang menjadi suatu kesatuan yang utuh. Sebaliknya dapat pula terjadi inkompatibilitas yang dapat disebabkan oleh respon fisiologi antara kedua bagian yang disambungkan. Oleh karenaanya faktor penentu keberhasilan sambung mikro adalah kesesuaian batang atas dan bawah, proteksi selama masa penyembuhan penyatuan luka, dan pemulihan hasil sambungan (Obeidy dan Smith 1991). Menurut Hartman et al. (2002), pada penyambungan yang kompatibel terjadi lignifikasi dinding sel yang dapat menyatukan sel-sel yang berdekatan di luar daerah penyatuan sambungan.
Sebaliknya dinding sel daerah penyatuan
sambungan pada gabungan yang inkompatibel tidak menghasilkan lignin dan hanya dihubungkan oleh serat selulosa. Sobhana et al. (2001) menyatakan bahwa interaksi batang bawah dengan batang atas yang baik dapat mempercepat laju pertumbuhan planlet. Pada kombinasi batang bawah dan batang atas yang kompatibel menyebabkan proses metabolisme planlet dapat berlangsung dengan baik. Sebaliknya pada kombinasi yang tidak kompatibel proses metabolism planlet menjadi terganggu dan mengakibatkan pertumbuhan planlet terhambat. Tirtawinata (2003) menyatakan bahwa posisi kambium batang bawah dengan batang atas sangat menentukan untuk perkembangan tanaman selanjutnya. Kontak kambium yang tidak tepat atau partial dapat mengakibatkan pertautan jaringan pembuluh antara batang bawah dengan batang atas tidak sempurna. Selanjutnya berakibat pada translokasi senyawa-senyawa penting untuk metabolisme pertumbuhan tanaman dari batang bawah ke batang atas atau translokasi hasil fotosintesis dari batang atas ke batang bawah tidak dapat berlangsung secara lancar. Dengan demikian semua aspek dalam penyambungan baik fisik, mekanis maupun fisiologis perlu diusahakan dalam kondisi seoptimal mungkin sehingga keberhasilan lebih terjamin.
Pada tanaman hasil sambung
mikro terjadi penyatuan antara dua sistem kehidupan yaitu sistem kehidupan batang bawah dan batang atas sehingga terjadi penyatuan, suatu proses alami yang kompleks. Sambung mikro merupakan suatu teknik yang dapat mengkombinasikan keuntungan antara multiplikasi yang cepat dengan perbaikan sifat yang berasal
20
dari penyambungan dengan batang bawah yang superior (Gebhardt dan Goldbach Teknik sambung mikro juga diharapkan dapat mengatasi masalah yang
1988).
dialami apabila eksplan tidak berakar. Oleh karenanya teknik ini merupakan alternatif teknik produksi yang dapat dilakukan apabila tunas mikro sulit untuk berakar. Hasil-Hasil Penelitian tentang Sambung Mikro Pada tanaman alpukat telah dilakukan proses sambung mikro terutama pada tanaman alpokat hasil transformasi gen (Raharjo & Litz 2003). Hal ini dilakukan karena meskipun perkembangan embrio somatik alpukat normal, namun umumnya kehilangan sifat bipolarnya, yaitu umumnya tidak memiliki tunas apikal. Perkecambahan tunas umumnya menjadi nekrotik sehingga laju perkecambahan menjadi sangat rendah. Pada penelitian ini telah dilakukan kultur embrio alpukat yang telah ditransformasi dengan beberapa konstruksi gen, yang kemudian digunakan sebagai batang atas.
Langkah selanjutnya adalah
menyambungkan batang atas tersebut dengan kecambah alpokat in vitro yang telah berumur 3-4 minggu. Teknik sambung mikro yang digunakan adalah sambung pucuk dengan sayatan berbentuk V pada bagian bawah batang atas, yang kemudian diselipkan pada potongan batang bawah. Keberhasilan teknik ini mencapai 70%. Percobaan sambung mikro
pada tanaman cherry (Prunus avium L.)
dilakukan oleh Amiri (2006). Perkembangan teknik sambung mikro in vitro pada tanaman cherry penting dilakukan terutama untuk meremajakan jaringan dewasa dan juga untuk perbanyakan tanaman yang bebas penyakit. Pada percobaan ini digunakan batang bawah dari hasil perkecambahan in vitro biji cherry, sedangkan batang atas adalah dari kultur tunas meristem cherry berasal dari tanaman cherry umur 4 tahun. Setelah kultur tunas meristem berumur 5-6 minggu baru digunakan sebagai sumber batang atas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan sambung mikro ditentukan oleh metode dan ukuran tunasnya.
Persentase
keberhasilan tertinggi (65%) adalah pada sambung tunas pucuk dengan ukuran tunas batang atas lebih dari 6 mm dengan menggunakan metode sayatan huruf V. Pada percobaan sambung mikro Pistacia vera L. cv. ÒSiirtÓ (Onay et al. 2002), digunakan empat kelompok umur tanaman dewasa sebagai batang atas, dan
21
eksplan hasil perkecambahan biji (10-14 hari) sebagai batang bawahnya. Tanaman disambungkan secara in vitro dengan metode sayatan huruf V, lalu diikat dengan menggunakan pita parafilm.
Tanaman hasil sambung mikro
tersebut ternyata dapat tumbuh dengan baik bahkan ketika dipindahkan ke media tanah. Pada
tanaman
jeruk,
teknik
sambung
mikro
digunakan
untuk
pengembangan tanaman jeruk bebas virus (Naz et al. 2007). Digunakan biji jeruk Rough Lemon yang dikecambahkan secara in vitro sebagai batang bawah, dan tunas yang diambil dari 2 kultivar jeruk sebagai batang atas. Tunas pucuk yang telah memiliki minimal 3 primordia daun, dipotong sepanjang 1-2 mm, lalu disambungkan dengan batang bawah dengan berbagai macam teknik sambung mikro. Hasil percobaan menunjukkan bahwa keberhasilan sambung mikro 34,7% pada tanaman dengan teknik sambung mikro metode sayatan huruf T terbalik. Sambung mikro pada tanaman protea menggunakan planlet dari perkecambahan biji sebagai batang bawah (Wu et al. 2007). Bagian biji yang dikecambahkan adalah bagian embrionya, yang ditanam tegak lurus pada media, dilakukan secara in vitro. Segmen tanaman berasal dari tanaman umur 1 tahun yang ditanam di greenhouse digunakan sebagai batang atas. Tunas tanpa daun yang memiliki 1-2 mata tunas dipotong, disterilisasi lalu ditanam di growth chamber selama 30 hari. Setelah itu tunas aksilarnya dipotong dan digunakan sebagai batang atas. Dilakukan penyambungan dengan metode sayatan huruf V. Hasil percobaan yang terbaik adalah dengan menempatkan tunas batang atas mikro tersebut secara langsung di atas potongan batang bawah tanpa adanya pre treatment (pencelupan eksplan pada larutan antioksidan, atau pemberian media pada di sekitar area sambungan). Sambung mikro juga telah dilakukan pada tanaman jeruk bali (Hamaraie et al. 2003). Menggunakan biji jeruk asam yang dikultur secara in vitro sebagai batang bawah, dan tunas pucuk jeruk bali sebagai batang atas. Biji jeruk asam dikecambahkan secara in vitro, lalu setelah 2 minggu dipotong bagian akar dan kotiledonnya.
Tunas jeruk bali berasal dari trubus baru, apikal meristemnya
dipotong 0,1-0,2 mm disisipkan pada batang bawah dengan berbagai macam teknik sambung mikro. Hasil terbaik pada percobaan ini adalah dengan
22
menempatkan mata tunas pada batang bawah dengan teknik sayatan bentuk huruf T terbalik. Toruan-Mathius et al. (2006), melakukan percobaan sambung mikro pada tanaman kina Cinchona succirubra dengan C. ledgeriana. Tujuan penelitian ini adalah menetapkan tipe sambung mikro, medium terbaik untuk planlet hasil sambung mikro, dan perbanyakan tanaman kina dengan sambung mikro. Bahan tanaman yang digunakan sebagai batang atas adalah planlet Cinchona ledgeriana klon QRC, sedang sebagai batang bawah digunakan planlet C. succirubra, berumur empat bulan. Teknik sambung mikro yang digunakan adalah bentuk sambung tipe V dan L (Gambar 2).
Gambar 2. Tipe sambung mikro batang atas C. ledgeriana dengan batang bawah C. succirubra (a) tipe V dan (b) tipe L. Sumber: Toruan-Mathius (2006) Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tipe V merupakan cara sambung mikro yang terbaik. Media MS dengan penambahan 3 mg/L IBA adalah media terbaik untuk pertumbuhan dan perakaran planlet hasil sambung mikro. Aklimatisasi planlet dilakukan dengan medium tumbuh arang sekam : top soil (1 : 1) yang disterilkan. Tahapan aklimatisasi adalah preaklimatisasi dalam ruang kultur suhu 25 - 27 oC dengan pencahayaan 12 jam per hari dan diikuti dengan aklimatisasi di rumah plastik bernaungan 70% paranet. Dengan metode aklimatisasi ini 90% dari bibit mampu bertahan hidup. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik sambung mikro dapat digunakan untuk perbanyakan klonal tanaman kina.
23
Setek Mikro Pembentukan akar adventif dari perbanyakan tunas mikro adalah fase wajib dalam regenerasi tanaman dan menentukan efektivitas dari setiap tanaman Dalam sistem perbanyakan in vitro (Haq et al. 2009). Pada tanaman dikotil, akar adventif juga dapat beregenerasi dari batang (Visser et al. 1996). Pembentukan akar merupakan faktor awal yang sangat penting selama selama pertumbuhan tanaman. Apabila setek telah dapat membentuk akar, maka kemampuan untuk tumbuh dan membentuk tunas akan lebih tinggi. Keadaan persediaan makanan yang ada di dalam bahan setek mempunyai peranan penting terhadap pembentukan akar dan tunas setek. Bahan makanan yang terkandung di dalam bahan setek digunakan sebagai sumber energi sebelum setek hidup menjadi bibit. Pemilihan bahan setek didasarkan pada perimbangan keadaan karbohidrat dan senyawa nitrogen dalam setek (Hartman et al. 2002). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan akar adalah kondisi bagian tanaman sebagai bahan setek, lingkungan serta media tumbuhnya (Wuryaningsih & Andyantoro 1998).
Setek batang sebagai material sangat
menguntungkan, sebab batang mempunyai
persediaan makanan yang cukup
terhadap tunas-tunas batang dan akar (Rochiman dan Hariadi, 1973), dan juga dapat dihasilkan dalam jumlah besar. Akan tetapi metode setek bukannya tanpa kendala, karena cara perbanyakan dengan metode setek akan kurang menguntungkan jika bertemu dengan kondisi tanaman yang sukar berakar, akar yang baru terbentuk tidak tahan stress lingkungan dan adanya sifat plagiotrop tanaman yang masih bertahan (Widiarsih et al. 2008). Oleh karenanya untuk memperbesar keberhasilan setek harus diberi perangsang pertumbuhan akar (zat pengatur tumbuh), juga lingkungan yang mendukung kelangsungan pertumbuhan tanaman. Teknik setek mikro dapat dilakukan dalam keadaan aseptik melalui kultur jaringan, maupun saat pembibitan di pesemaian. Penelitian mengenai setek mikro sudah banyak dilakukan pada berbagai jenis tanaman. Beberapa contoh penelitian setek mikro, misalnya pada tanaman apel (De Klerk 2002), kentang (Jasimarni 2007), cherry (Lamrioui et al. 2009), zaitun (Haq et al. 2009), maupun karet (Harris et al. 2010).
24
Pada tanaman kentang setek mikro sudah dapat dilakukan pada tanaman yang sangat muda. Pengakaran tanaman kentang bahkan dapat dilakukan pada potongan kecambah yang baru 1 sampai 3 nodus.
Nodus kentang tersebut
kemudian juga dilakukan setek mikro dan ditanam pada styrofoam yang sudah dilubangi, diberi pupuk NPK mutiara dan pupuk mikro.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semua bahan tanamn setek kentang dapat tumbuh akar. De Klerk melakukan setek mikro pada tanaman apel, mawar, dan gerbera. Penelitian tersebut membuktikan bahwa auksin sangat mempengaruhi pengakaran setek mikro. Pelukaan dan pemilihan jenis auksin yang tepat sangat penting untuk pengakaran in vitro. Hal penting lainnya adalah hubungan antara perakaran dan setek mikro selama aklimatisasi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan tanaman setek mikro berakar yang tumbuh baik selama aklimatisasi dapat dihasilkan dengan cara menghilangkan etilen atau dengan pemberian senyawa pelindung. Setek mikro juga dapat dilakukan untuk tujuan peremajaan. Peremajaan tanaman dengan setek mikro banyak dilakukan pada tanaman kehutanan, misalnya jati (Sukmajaya dan Mariska 2003), Eucalyptus (Adinugraha et al. 2007), karet (Harris et al. 2010).
Auksin dan Penghantaran Signal Auksin Auksin merupakan salah satu contoh hormon tumbuh-tumbuhan yang secara luas mengatur proses perkembangan, memediasi regulasi transkripsi melalui degradari protein. Mekanisme molekular auksin baru dapat dimengerti secara terpisah sementara dasar molekuler bagi perkembangan khususnya respon auksin masih belum jelas. Studi biokimia dan biokimia-genetika akhir ini telah memperluas penelitian untuk pengaturan signal auksin. Respon auksin membutuhkan degradasi inhibitor Aux/IAA, yang menyebabkan dibebaskannya interaksi faktor transkripsi ARF yang kemudian dapat meregulasi gen target (Tan et al. 2007). Signal molekul auksin pada tanaman berimplikasi pada embriogenesis, pola akar dan tunas, pertumbuhan, percabangan dan organogenesis, juga respon pertumbuhan secara langsung. Pembentukan inisiasi akar terbukti tergantung pada
25
tersedianya auksin di dalam tanaman ditambah pemacu auksin (Rooting Cofactors) yang secara bersama-sama mengatur sintesis RNA untuk membentuk primordia akar (Hartmann et al. 2002). Harison (2006), menjelaskan bagaimana mekanisme penghantaran sinyal sehingga tanaman dapat memberikan respon terhadap adanya atau tidak adanya senyawa auksin.
Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai mekanisme fisiologis
respon tanaman terhadap signal tertentu, yang dapat dibedakan menjadi tiga proses utama yaitu: 1. Penerimaan signal (signal perception): merupakan kemampuan untuk mengenali dan menerima signal. Hal ini dapat berupa secara fisik terjadi pengikatan (binding) dari signal ke reseptor proteinnya atau terjadi perubahan konformasi protein dalam sitoplasma sebagai respon terhadap signal perubahan lingkungan.
Signal perubahan lingkungan antara lain berupa
cahaya atau perubahan orientasi terhadap gravitasi. Jika signal tertentu adalah faktor yang mengaktifkan proses penghantaran signal maka signal tersebut disebut sebagai penghantar signal primer (primary messenger). 2. Penghantaran signal (signal transduction): satu rangkaian proses biokimiawi yang terinduksi setelah sel menerima signal.
Proses penghantaran signal
melibatkan induksi berbagai senyawa seluler yang terlarut dalam sitoplasma, secondary messenger yang berfungsi melakukan amplifikasi signal yang diterima sehingga akhirnya secara langusng berpengaruh terhadap fungsi seluler 3. Respon (response): respon terhadap signal dimanifestasikan sebagai perubahan dalam fungsi seluler sebagai akibat adanya pengubahan fungsi protein, induksi proses degradasi protein, atau perubahan ekspresi gen. Respon yang spesifik dikarakterisasi berdasarkan ketersediaan target (enzim, protein, kanal ion, dan gen) dari tahapan penghantaran signal dalam suatu tipe sel tertentu. Dengan demikian berbagai tipe sel yang berbeda masing-masing akan dapat memberikan respon tertentu yang unik terhadap signal yang sama. Selanjutnya dijelaskan bahwa penghantaran signal hormon tanaman auksin, merupakan contoh regulasi melalui degradasi protein oleh proteosom (Gambar 3).
Auksin menstimulasi ekspresi gen dengan secara langsung
26
mentargetkan faktor transkripsi tertentu untuk didegradasi. Dengan demikan gen yang diregulasi oleh auksin ekspresinya tertekan dalam kondisi konsentrasi auksin rendah dan terinduksi pada saat auksin ada dalam konsentrasi yang lebih tinggi. 1. No signal present
2. Signal present
Gambar 3. Model regulasi penghantaran signal auksin-pengaturan ekspresi gen dengan menghilangkan faktor yang menghambat proses transkripsi (protein reseptor) dari gen target. Sumber: Harrison 2006. Dari model penghantaran signal auksin tersebut dapat dijelaskan : a. Pada kondisi tidak ada auksin (tidak ada signal): Ekspresi gen target primer dihambat sebagai akibat adanya interaksi dari kompleks heterodimer antara AUX/IAA dan auksin resppose factor (ARF) dengan cis-acting element yang berada di promoter gen target primer (indirect negative regulation). b. Pada kondisi ada auksin (ada signal): auksin akan masuk ke dalam sel lewat auxin carrier yang ada di permukaan membrane plasma sel. Di dalam sel, auksin akan binding dengan AUX/IAA. Interaksi antara auksin dengan AUX/IAA akan menyebabkan protein AUX/IAA ditargetkan untuk proses degradasi protein oleh proteosom. Karena terbebas dari AUX/IAA, faktor transkripsi TF akan binding dengan ARF pada cisacting element yang berada di promoter gen target primer. Kompleks TFARF pada cis-acting element akan menginduksi terjadinya transkripsi gen target primer (auxin response gene), sehingga munculah respon dari adanya signal auksin tersebut misalnya dengan terbentuknya primordia akar tanaman.
27
Sitokinin dan Penghantaran Signal Sitokinin Sitokinin adalah senyawa yang mempunyai aktivitas biologi sama dengan trans-zeatin. Berbagai aktivitas biologi sitokinin adalah menginduksi pembelahan sel (sitokinesis), mendorong pembentukan mata tunas, menunda senesen daun, mendorong pembesaran daun dan kotiledon, dominansi apical, perkembangan kloroplas, produksi antosianin, perkembangan bunga, mobilisasi hara, pemecahan dormansi, perkecambahan biji, perkembangan metabolism autotrof (Taiz & Zeiger 2002 ). Meristem apikal akar adalah bagian tanaman utama yang dapat mensintesis sitokinin. Sitokinin dihasilkan di akar dan dtranslokasikan ke bagian tunas (shoot) melalui jaringan xilem. Akan tetapi akar bukanlah satu-satunya bagian tanaman tempat sintesis sitokinin. Bagian tanaman lainnya adalah embrio, daun muda, benih muda, dan mungkinsaja berbagai jaringan tanaman lainnya. Sitokinin juga dapat disintesis oleh jaringan crown-gall dan juga dapat disintesis melalui asosiasi tanaman- bakteri, serangga, nematoda (Taiz & Zeiger 2002). Harison (2006), menjelaskan bagaimana mekanisme penghantaran sinyal sehingga tanaman dapat memberikan respon terhadap adanya atau tidak adanya senyawa sitokinin. Mayoritas grup reseptor pada tumbuhan sama dengan sistem pensignalan dua komponen yang terdapat dalam lintasan respon terhadap lingkungan pada bakteri. Dalam system pensignalan dua komponen prokariot, signal menginisiasi autofosforilasi residu histidin di dalam domain kinase sitoplasmik (komponen pertama) dari reseptor yang terdapat pada membran. Sebuah relay protein mentransfer fosfat ke domain penerima (receiver) pada sebuah protein yang diberi nama regulator respon (komponen ke dua). Pada tumbuhan, elemen pengikat signal, domain histidin kinase dan domain penerima (receiver) sering ditemukan dalam bentuk single protein.
Pengikatan terhadap
signal terjadi pada ujung N ekstra seluler atau di dalam area trans membran. Ujung C adalah situs tempat terjadinya fosforilasi oleh protein kinase, biasanya pada residu histidin atau serin/threonin. Daerah ujung N, yang merupakan tempat pengikatan signal, bervariasi, sementara domain kinase sitoplasmik sangat terkonservasi dengan sebuah residu histidin yang terkonservasi. Contoh sistem dua komponen dengan menggunakan sitokinin sebagai model adalah sebagai
28
berikut. Sitokinin berikatan dengan domain ekstraseluler dari reseptor, memfasilitasi terjadinya dimerisasi.
Reseptor yang terdimerisasi melakukan
autofosforilasi pada residu histidin di dalam domain kinase sitoplasmik. Fosfat kemudian ditransfer dari residu histidin ke residu aspartat pada domain penerima dekat ujung C dari reseptor sitokinin. Fosfat yang terdapat pada domain penerima (receiver) kemudian diteruskan ke regulator respon oleh protein histidin fosfotransfer, menginisiasi sebuah signal transduksi cascade di dalam sel. Gambaran skema persepsi signal sitokinin pada sistem sinyal dua komponen dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Mekanisme persepsi terhadap signal sitokinin sebagai model pada system pensignalan dua komponen. Sumber: Harrison 2006 1) Sitokinin (CK) berikatan dengan domain ekstraseluler dari reseptor, memfasilitasi dimerisasi pada dua reseptor. 2) Dimerisasi menginisiasi autofosforilasi pada residu histidin (H) di dalam domain kinase sitoplasmik dari reseptor. 3) Fosfat ditransfer ke aspartat (D) di dalam domain penerima dekat ujung C pada protein reseptor. 4) Fosfat ditranfer ke relay protein, melibatkan sebuah protein histidin fosfotransfer (HP). 5) HP kemudian mentransfer fosfat ke regulator respon (RR) yang menginisiasi transduksi cascade di dalam sel.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT), laboratorium Mikroteknik, laboratorium analisis tanaman dan kromatografi Institut Pertanian Bogor, serta laboratorium Morfologi, Anatomi, dan Sitologi Tumbuhan, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong Bogor.
Adapun waktu penelitian dimulai
Januari 2009 – Mei 2012. Penelitian terdiri atas empat bagian percobaan besar yaitu : 1. Pengembangan teknologi induksi tunas manggis in vitro dari eksplan mata tunas pucuk bibit manggis 2. Studi fisiologi
dan anatomi keberhasilan sambung mikro tanaman
manggis 3. Manipulasi media pada setek mikro manggis secara in vitro 4. Optimalisasi aklimatisasi setek mikro manggis dengan teknik media steril porous
Pengembangan Teknologi Induksi Tunas Manggis In Vitro Dari Eksplan Tunas Pucuk Bibit Manggis Bahan Bahan yang digunakan sebagai sumber eksplan adalah tunas manggis dari bibit manggis umur 3 - 4 tahun, yang didapatkan dari kebun percobaan Pusat Kajian Hortikultura Tropika Pasir Kuda Bogor. Media Murashige & Skoog (MS) (murashige & Skoog 1962), pure agar, zat pengatur tumbuh benzyl adenin (BA), thidiazuron (TDZ), dan Kinetin (KIN). Sterilisasi eksplan menggunakan deterjen, bayclin, alkohol 70 dan 96%, mercuri khlorid, fungisida dan bakterisida. Metode Penelitian Percobaan ini terdiri dari tiga sub percobaan yaitu induksi tunas, multiplikasi tunas, dan pemanjangan tunas. Pada tahap induksi tunas mengunakan rancangan lingkungan Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal dengan 10 ulangan. Media yang digunakan adalah media MS, dengan perlakuan yaitu : 1) Tanpa penambahan ZPT (MS0), 2) BA 4,0 mg/l (B4), 3) BA 8,0 mg/l (B8), 4)
30
TDZ 0,2 mg/l (T0,2), 5) BA 4,0 mg/l+TDZ 0,2 mg/l (B4T0,2), dan 6) BA 8,0 mg/l+TDZ 0,2 mg/l (B8T0,2). Pada percobaan ini setiap eksplan mewakili satu ulangan, sehingga didapatkan 60 satuan percobaan. Tahap multiplikasi tunas mengunakan rancangan lingkungan Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal dengan 10 ulangan. Media yang digunakan adalah media MS, dengan perlakuan yaitu: 1) Tanpa penambahan ZPT (MS0), 2) BA 2,00 mg/l (B2), 3) BA 4,00 mg/l (B4), 4) BA 2,00 mg/l+TDZ 0.05 mg/l (B2T0,05), dan 5) BA 4,00 mg/l+TDZ 0,05 mg/l (B4T0,05) Pada percobaan ini terdapat 5 perlakuan 10 ulangan, setiap eksplan mewakili satu ulangan, sehingga didapatkan 50 satuan percobaan. Tahap pemanjangan tunas mengunakan rancangan lingkungan Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal dengan 10 ulangan. Media yang digunakan adalah media MS, dengan perlakuan yaitu: 1) BA 1 mg/l + Kinetin (KIN) 0 mg/l (B1), 2) BA 1 mg/l + KIN 1 mg/l (B1K1), dan 3) BA 1 mg/l + KIN 2 mg/l (B1K2). Pada percobaan ini terdapat 3 perlakuan 10 ulangan, setiap eksplan mewakili satu ulangan, sehingga didapatkan 30 satuan percobaan. Pelaksanaan Induksi Tunas Pengambilan tunas dilakukan pada saat tanaman sedang dorman (Gambar 5). Tunas manggis dipotong daun dan tangkainya dengan menyisakan tangkai daun sepanjang 1,5 cm. Eksplan dicuci lalu direndam deterjen encer selama 15 menit, lalu dicuci dan dibilas aquades mengalir. Eksplan dibawa ke laminar, lalu direndam dalam larutan bakterisida dan fungsida masing-masing 8 g/l selama 20 menit, dibilas aquades steril sampai bersih, lalu direndam alkohol 70% selama 15 menit dan dibilas aquades steril sebanyak tiga kali. Eksplan kemudian direndam dalam larutan mercuri khlorid 0,1% selama 20 menit, dibilas aquades steril tiga kali, lalu ditiriskan di atas kertas saring steril.
31
Gambar 5. Eksplan tunas bibit manggis 4 tahun. Media dasar yang digunakan adalah media dasar Murashige dan Skoog (Murashige & Skoog 1962), terdiri atas Garam makro, garam mikro, vitamin grup B dan myo inositol. Sebagai pemadat digunakan Pure Agar sebanyak 6,5 g/l. Sebagai sumber energi digunakan sukrosa konsentrasi 3%.
pH media diatur
menjadi 5,8 dengan menambahkan larutan HCl atau NaOH. Penambahan zat pengatur tumbuh dilakukan sesuai perlakuan percobaan.
Media perlakuan
disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. Tunas yang sudah steril ditanam dalam media perlakuan dan diletakkan di dalam rak kultur dengan penyinaran selama 16 jam dalam sehari dengan suhu 25 – 27 oC.
Multiplikasi Tunas Pada percobaan ini dilakukan penurunan konsentrasi BA ditambah thidiazuron (TDZ) dengan tujuan multiplikasi tunas. Tunas yang dihasilkan dari percobaan induksi tunas, selanjutnya disubkultur ke media untuk induksi multiplikasi tunas sesuai perlakuan. Sebagai pemadat digunakan Pure Agar sebanyak 6,5 g/l, sumber energi digunakan sukrosa konsentrasi 3%. Media diatur sehingga pH menjadi 5,8 dengan menambahkan larutan HCl atau NaOH. Media perlakuan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. Tunas steril hasil percobaan Induksi tunas ditanam dalam media perlakuan dan diletakkan di dalam rak kultur dengan penyinaran selama 16 jam dalam sehari dengan suhu 25 – 27 oC.
32
Pemanjangan Tunas Pertumbuhan tunas manggis ke arah tinggi pada umumnya sangat lambat sehingga perlu dipindah ke media untuk pemanjangan tunas yaitu kombinasi BA dengan Kinetin (KIN). Media dasar yang digunakan adalah media dasar Murashige dan Skoog terdiri atas Garam makro, garam mikro, vitamin grup B dan myo inositol. Sebagai pemadat digunakan Pure Agar sebanyak 6,5 g/l. Sebagai sumber energi digunakan sukrosa sebanyak 3%.
Media diatur sehingga pH
menjadi 5,8 dengan menambahkan larutan HCl atau NaOH. Penambahan zat pengatur tumbuh dilakukan sesuai perlakuan percobaan.
Media perlakuan
disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. Tunas yang sudah steril ditanam dalam media perlakuan dan diletakkan di dalam rak kultur dengan penyinaran selama 16 jam dalam sehari.
Pengamatan 1. Persentase membentuk tunas (%), yaitu jumlah eksplan membentuk tunas baru per jumlah eksplan yang ditanam. Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai dua bulan. 2. Waktu pembentukan tunas (hari setelah perlakuan/HSP), adalah waktu yang diperlukan untuk membentuk tunas baru. Pengamatan dilakukan setiap minggu sampai 2 bulan. 3. Pertambahan panjang tunas (mm), selisih antara panjang tunas saat ditanam pada media pemanjangan tunas dan saat akhir pengamatan 3 bulan setelah dipindah ke media pemanjangan.
Studi Fisiologi dan Anatomi Keberhasilan Sambung Mikro Tanaman Manggis Bahan Biji manggis yang berasal dari Purwakarta dan sekitarnya, tunas manggis dari tanaman dewasa, tunas in vitro dari eksplan tunas manggis umur 4 tahun. Bahan sterilisasi yang digunakan adalah Bayclin, alkohol 70 dan 96%, fungisida dan bakterisida, deterjen. Media MS, dan zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah BA.
33
Metode Penelitian Penelitian
terdiri atas dua percobaan besar yaitu 1) Sambung mikro
manggis secara in vitro, dan 2) Sambung mikro manggis di pesemaian (masingmasing terdiri atas tiga sub percobaan). Penyambungan manggis konvensional antara bibit manggis 2 tahun sebagai batang bawah dengan tunas manggis dari tanaman yang sudah berproduksi sebagai batang atas dilakukan juga sebagai pembanding,.
Sambung Mikro Secara In Vitro Percobaan sambung mikro secara in vitro disusun menggunakan percobaan faktorial Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 10 ulangan untuk setiap perlakuan. Ada dua faktor yang digunakan, faktor pertama adalah sumber batang bawah, yaitu : 1) batang bawah adalah tunas yang berasal dari perkecambahan biji dibelah empat, dan 2) batang bawah adalah tunas berasal dari perkecambahan biji utuh tanpa dibelah. Faktor kedua adalah fase pertumbuhan tunas untuk batang atas, yaitu 1) tunas manggis yang masih dorman (tunas dorman) dan 2) tunas manggis yang sedang tumbuh trubus baru 2-4 mm (tunas trubus). Terdapat empat kombinasi perlakuan, 10 ulangan, dan setiap tanaman sambung mikro mewakili satu ulangan, sehingga didapatkan 40 satuan percobaan. Percobaan sambung mikro secara in vitro menggunakan tunas batang bawah yang didapat dari perbanyakan in vitro. Batang atasnya menggunakan 3 jenis tunas, yaitu tunas yang didapat dari perbanyakan in vitro, mata tunas tanaman manggis dewasa, dan tunas in vitro dari eksplan bibit manggis 4 tahun, sehingga ada tiga sub percobaan. Ketiga sub percobaan itu yaitu: 1) sambung mikro antara sesama tunas manggis in vitro (batang atas dan batang bawahnya adalah tunas in vitro), 2) sambung mikro antara tunas in vitro sebagai batang bawah dengan mata tunas tanaman dewasa dari lapangan sebagai batang atas, dan 3) sambung mikro antara tunas in vitro sebagai batang bawah dengan tunas in vitro dari eksplan bibit manggis 4 tahun (tunas dari percobaan pengembangan teknologi induksi tunas manggis in vitro dari eksplan tunas manggis).
34
Sambung Mikro di Pesemaian Percobaan sambung mikro di pesemaian disusun menggunakan percobaan faktorial Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 10 ulangan untuk setiap perlakuan. Ada dua faktor yang digunakan, faktor pertama adalah sumber batang bawah, yaitu : 1) batang bawah adalah tunas yang berasal dari perkecambahan biji dibelah empat, dan 2) batang bawah adalah tunas berasal dari perkecambahan biji utuh tanpa dibelah. Faktor kedua adalah fase pertumbuhan tunas untuk batang atas, yaitu 1) tunas manggis yang masih dorman (tunas dorman) dan 2) tunas manggis yang sedang tumbuh trubus baru 2-4 mm (tunas trubus). Terdapat empat kombinasi perlakuan, 10 ulangan, dan setiap tanaman sambung mikro mewakili satu ulangan, sehingga didapatkan 40 satuan percobaan. Batang bawah untuk percobaan sambung mikro di pesemaian didapat dari tunas hasil perkecambahan di pesemaian. Batang atasnya menggunakan 3 jenis tunas, yaitu tunas dari perbanyakan biji di pesemaian, tunas dari perbanyakan biji in vitro, dan tunas in vitro dari eksplan bibit manggis 4 tahun, sehingga ada tiga sub percobaan. Ketiga sub percobaan itu yaitu : 1) sambung mikro antara sesama tunas manggis di pesemaian (batang atas dan batang bawahnya adalah tunas manggis di pesemaian), 2) sambung mikro antara tunas manggis dari perkecambahan di pesemaian sebagai batang bawah dengan tunas hasil perbanyakan in vitro sebagai batang atas, dan 3) sambung mikro antara tunas in vitro sebagai batang bawah dengan batang atasnya adalah tunas in vitro dari eksplan bibit manggis 4 tahun (tunas dari percobaan pengembangan teknologi induksi tunas manggis in vitro dari eksplan tunas manggis).
Pelaksanaan Sambung Mikro Secara In vitro Bahan yang digunakan adalah biji manggis yang berasal dari Purwakarta dan sekitarnya. Biji dibersihkan, kemudian dipilih yang besar dan beratnya hampir seragam (≥ 1 g). Batang bawah dan batang atas didapatkan dari hasil perbanyakan manggis secara in vitro. Biji manggis segar dilepaskan dari selaput berserat tempat menempelnya daging buah. Biji kemudian dicuci dengan air deterjen encer selama 10 menit, lalu masuk ke laminar air flow cabinet. Biji
35
selanjutnya direndam dalam larutan fungisida dan bakterisida (masing-masing 8 g/l) selama 30 menit sambil dikocok. Biji dibilas dengan aquades steril, lalu direndam dalam larutan alkohol 70% selama tiga menit dan dibilas dengan aquades steril. Biji Selanjutnya direndam dalam larutan Bayclin 30%, 20%, dan 10% masing-masing selama 10, 15, dan 20 menit lalu dibilas dengan air steril. Biji yang sudah steril lalu ditiriskan di atas kertas saring steril. Biji yang telah steril (biji utuh atau dibelah empat) kemudian segera ditanam pada media yang sudah disiapkan. Penanaman untuk memperoleh tunas batang atas dilakukan empat minggu lebih awal dari penanaman untuk tunas batang bawah. Media yang digunakan adalah media Murahige & Skoog (MS) (Murashige & Skoog 1962), yang diberi zat pengatur tumbuh Benzyl Adenin (BA) 5 mg/l dan sukrosa 3%. Pemadatan media dilakukan dengan penambahan agar 6,5 g/l dengan pH media 5,8. Pada biji manggis yang dibelah, penanaman dilakukan dengan bagian luka menempel pada media. Untuk setiap botol kultur ditanam empat eksplan (untuk biji belah empat), atau dua eksplan (untuk biji utuh). Botol-botol berisi biji yang akan menghasilkan tunas sumber batang bawah maupun batang atas ini lalu ditumbuhkan dalam ruang kultur bersuhu 25-27oC dengan penyinaran 16 jam terang 8 jam gelap. Percobaan sambung mikro secara in vitro menggunakan tiga jenis tunas batang atas yaitu tunas in vitro, mata tunas manggis dari tanaman dewasa, dan tunas manggis in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun. Penyiapan batang atas yang diambil dari tunas in vitro dilakukan sama seperti penyiapan batang bawahnya. Batang atas tunas manggis in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun didapatkan dari hasil percobaan bagian 1 (percobaan pengembangan teknologi induksi tunas manggis in vitro dari eksplan tunas manggis). Penyiapan batang atas dari mata tunas tanaman
dewasa dimulai dari
pengambilan mata tunas dari tanaman manggis dewasa yang telah berproduksi di lapangan. Pengambilan tunas dilakukan pada saat tanaman sedang mengalami masa dormansi maupun trubus (sesuai perlakuan).
36
Proses sambung mikro dilakukan dengan cara sambung celah V. Tunas manggis in vitro yang paling baik digunakan sebagai batang bawah adalah yang sudah berumur 4 – 7 minggu setelah biji berkecambah, tinggi tanaman lebih dari 3 cm, dan setidaknya sudah memiliki sepasang daun. Tunas manggis in vitro yang dapat digunakan sebagai batang atas adalah tunas yang sedang dalam keadaan dorman atau trubus (sesuai perlakuan). Bagian tajuk batang bawah dipangkas horizontal lalu dibuat celah vertikal sedalam 0,3-0,5 cm untuk tempat menjepit tunas batang atas. Sementara itu dibuat irisan bentuk baji (huruf V) sepanjang 0,3-0,5 cm pada bagian basal batang atas.
Bagian ini lalu ditancapkan pada celah batang bawah tanpa dilakukan
pengikatan pada daerah sambungan. Setelah penyambungan, tunas ditumbuhkan dalam ruang kultur bersuhu 25-27oC dengan penyinaran 16 jam terang 8 jam gelap. Media tanam yang digunakan untuk pemeliharaan hasil sambung mikro adalah media MS padat ditambah BA 2 mg/l. Proses sterilisasi eksplan mata tunas dari lapangan dilakukan berdasarkan percobaan pendahuluan. Tunas yang terpilih dicuci lalu direndam deterjen encer selama 15 menit, lalu dicuci dan dibilas air mengalir. Eksplan dibawa ke laminar, lalu direndam dalam larutan bakterisida dan fungsida masing-masing 8 g/l selama 20 menit. Dibilas air steril, lalu direndam alkohol 70% selama 15 menit. Dibilas air steril sebanyak tiga kali lalu direndam dalam larutan mercuri khlorid 0,1 % selama 20 menit, dibilas air steril tiga kali, lalu ditiriskan. Tunas yang sudah steril kemudian diambil mata tunasnya untuk segera disambungkan ke batang bawah sesuai perlakuan. Bagian mata tunas lalu ditancapkan pada celah batang bawah tanpa dilakukan pengikatan pada daerah sambungan. Setelah penyambungan, tunas ditumbuhkan dalam ruang kultur bersuhu 25-27oC dengan penyinaran 16 jam terang 8 jam gelap. Media tanam yang digunakan untuk pemeliharaan hasil sambung mikro adalah media MS padat ditambah BA 2 mg/l.
Sambung Mikro di Pesemaian Batang bawah untuk percobaan sambung mikro di pesemaian diperoleh dari hasil perbanyakan biji manggis di pesemaian.
Penyiapan tunas sebagai
batang bawah dilakukan dengan melakukan penyemaian biji manggis utuh dan
37
dibelah 4 pada bak pesemaian. Biji yang digunakan adalah biji buah manggis asal Purwakarta. Biji manggis dibersihkan, kemudian dipilih yang besar dan beratnya hampir seragam (≥ 1 g). Benih manggis disemai di kotak persemaian dengan media tanam arang sekam : tanah kebun (2 : 1). Percobaan sambung mikro di pesemaian menggunakan tiga jenis tunas batang atas yaitu tunas kecambah di pesemaian, tunas in vitro, dan tunas manggis in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun. Penyiapan batang atas yang diambil dari tunas kecambah di pesemaian dilakukan sama seperti penyiapan batang bawahnya.
Batang atas tunas manggis in vitro didapatkan dari hasil
perbanyakan in vitro. Penyiapannya sama seperti pada penyiapan batang bawah sambung mikro in vitro.
Penyiapan tunas in vitro dari eksplan tunas
bibit
manggis 4 tahun didapatkan dari hasil percobaan bagian 1 (percobaan pengembangan teknologi induksi tunas manggis in vitro dari eksplan tunas manggis). Pelaksanaan Sambung Mikro di Pesemaian Proses sambung mikro dilakukan dengan cara sambung celah V. Tunas manggis dari perkecambahan di pesemaian yang paling baik digunakan adalah yang sedang dalam pertumbuhan awal, berumur
4 – 7 minggu setelah biji
berkecambah, tinggi tanaman lebih dari 3 cm, dan setidaknya sudah memiliki sepasang daun. Bagian tajuk batang bawah dipangkas horizontal lalu dibuat celah vertikal sedalam 0,3-0,5 cm untuk tempat menjepit tunas batang atas. Sementara itu dibuat irisan bentuk baji (huruf V) sepanjang 0,3-0,5 cm pada bagian basal batang atas.
Bagian ini lalu ditancapkan pada celah batang bawah lalu dilakukan
pengikatan dengan plastik elastis di daerah sambungan. Setelah tahap sambung mikro, tunas ditumbuhkan pada media di pesemaian, lalu diberi sungkup plastik dan diletakkan di tempat yang teduh.
Percobaan Pembanding Grafting di Lapangan Percobaan
grafting
konvenional
di
lapangan
dilakukan
sebagai
perbandingan dengan sistem perbanyakan sambung mikro. Batang bawah adalah bibit manggis muda umur 2 tahun, yang memiliki penampilan baik, sehat dan
38
berbatang lurus. Batang atas yang akan digunakan untuk penyambungan diambil dari cabang plagiotrop tanaman manggis dewasa yang sudah berproduksi. Cabang plagiotrop yaitu cabang yang tumbuh secara horizontal pada tanaman manggis dewasa. Entris untuk batang atas sepanjang 10-20 cm dipotong langsung dari pohon induknya. Batang bawah yang dipersiapkan mempunyai diameter batang yang sama atau sedikit lebih besar dari batang atasnya. Bagian tajuk batang bawah dipangkas horizontal lalu dibuat celah vertikal sedalam 2 cm untuk tempat menjepit entris. Sementara itu dibuat irisan bentuk baji (huruf V) pada bagian basal batang atas. Bagian ini lalu ditancapkan pada celah batang bawah, diikat dengan tali plastik yang lentur, dan disungkup dengan plastik. Pengamatan 1. Persentase keberhasilan (%).
Yaitu jumlah tanaman manggis hasil
sambung mikro yang dapat menghasilkan trubus baru. Diamati dari mulai awal perlakuan sampai akhir pengamatan. 2. Waktu pembentukan tunas (Hari setelah perlakuan). Adalah waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan trubus baru. 3. Panjang tunas (cm). Diukur dari batas sambungan sampai titik tumbuh terakhir. 4. Jumlah pasangan daun hasil sambung mikro (buah). Dihitung jumlah pasangan daun baru yang dihasilkan setelah dilakukan sambung mikro. 5. Anatomi jaringan daerah sambungan. Dilakukan pengamatan mikroskopis komparatif
jaringan
bidang
sambungan
pada
4
bulan
setelah
penyambungan. Pengambilan sampel dilakukan pada hasil sambung mikro dan grafting di lapangan. 6. Diameter batang (cm). Pengukuran diameter batang dilakukan dengan menggunakan mikroskop pada 4 bulan setelah tanam. Pengamatan diameter batang diukur pada batang in vitro, batang manggis seedling dan cabang plagiotrop. Pengambilan sampel batang dari manggis seedling dan cabang plagiotrop dilakukan di tiga posisi, yaitu 1) ¾ ruas cabang pertama; 2) ruas kedua ; 3) 1¼ ruas cabang pertama. Pengambilan sampel irisan batang in vitro dilakukan pada dua bagian batang, yaitu : 1) di atas 2,5 cm sampai mendekati tunas daun (yang biasa digunakan sebagai batang atas
39
sambung mikro), 2) 2-2,5 cm dari pangkal batang (yang biasa digunakan untuk batang bawah sambung mikro). 7. Jaringan pembuluh batang (cm). Pengukuran jaringan pembuluh batang dilakukan dengan menggunakan mikroskop pada 4 bulan setelah tanam. Pengamatan diameter pembuluh batang diukur pada batang in vitro, batang manggis seedling dan cabang plagiotrop. Pengambilan sampel untuk pengamatan jaringan pembuluh batang dilakukan sama seperti nomor 6. Pengambilan sampel untuk pengamatan anatomi jaringan bidang sambungan sambung mikro in vitro dilakukan pada 4 bulan sesudah penyambungan lalu dilakukan pengawetan dengan metode Parafin (Lampiran 1) dan metode pengirisan segar. Adapun pengambilan sampel untuk anatomi jaringan bidang sambungan pada sambung mikro di pesemaian dan grafting di lapangan juga dilakukan pada 4 bulan sesudah penyambungan, kemudian dilakukan metode pengirisan segar. Sampel yang akan diiris dibekukan di atas microtome, lalu dilakukan pengirisan dengan ketebalan 20-25 µm. Pengamatan anatomi jaringan dilakukan di bawah mikroskop Olympus BX51 menggunakan kamera digital mikroskop tipe DP25, software DP2-BSW, dengan pembesaran 4x/0,16.
Manipulasi Media pada Setek Mikro Manggis Secara In Vitro Bahan Bahan tanaman yang digunakan adalah setek mikro dari perkecambahan manggis in vitro. Media MS, Pure Agar, vermikulit diameter 2-4 mm, Bayclin, alkohol 70 dan 96%, fungisida dan bakterisida, deterjen. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah indole butiric acid (IBA). Metode Penelitian Percobaan disusun menggunakan percobaan faktorial Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 15 ulangan untuk setiap perlakuan. Ada tiga faktor yang digunakan yaitu, 1) Konsentrasi komposisi media dasar MS (100%, 50%, 25%), 2) jenis substrat (agar 7 g/l, agar 4 g/l, vermikulit (dengan media cair), 3) konsentrasi IBA (indole butiric acid) (0 dan 5 mg/l).
40
Pelaksanaan Penyiapan Tunas Mikro Tunas mikro yang digunakan pada penelitian ini didapatkan dari hasil perbanyakan in vitro. Bahan yang digunakan adalah biji manggis yang berasal dari Purwakarta dan sekitarnya. Biji dibersihkan arilnya, kemudian dipilih yang besar dan beratnya hampir seragam (≥ 1 g). Biji manggis segar dilepaskan dari selaput berserat tempat menempelnya daging buah. Biji kemudian dicuci dengan air deterjen encer selama 10 menit, lalu masuk ke laminar air flow cabinet. Biji selanjutnya direndam dalam larutan fungisida dan bakterisida (masing-masing 8 g /l selama 30 menit sambil dikocok. Biji dibilas dengan aquades steril, lalu direndam dalam larutan alkohol 70% selama tiga menit dan dibilas dengan aquades steril. Biji Selanjutnya direndam dalam larutan bayclin 30%, 20%, dan 10% masing-masing selama 10, 15, dan 20 menit lalu dibilas dengan air steril. Biji yang sudah steril lalu ditiriskan di atas kertas saring steril. Biji yang telah steril lalu dibelah empat dan
segera ditanam pada media yang sudah disiapkan.
Penanaman untuk memperoleh tunas mikro dilakukan pada media MS
yang
diberi zat pengatur tumbuh Benzyl Adenin (BA) 5 mg/l dan sukrosa 3%. Pemadatan media dilakukan dengan penambahan agar 6,5 g/l dengan pH media 5,8. Pada biji manggis yang dibelah, penanaman dilakukan dengan bagian luka menempel pada media. Untuk setiap botol kultur ditanam empat eksplan. Botolbotol berisi potongan biji yang akan menghasilkan tunas mikro ini lalu ditumbuhkan dalam ruang kultur bersuhu 25-27oC dengan penyinaran 16 jam terang 8 jam gelap. Setek Mikro Tunas manggis dari perbanyakan in vitro dipilih yang telah berumur 4 sampai 8 minggu, berukuran tinggi lebih dari 3 cm dan sudah mempunyai sepasang daun. Tunas manggis mikro yang belum berakar kemudian dipotong sampai batas 2 cm dari pangkal batang. Tunas lalu ditanam pada media yang sudah disiapkan dengan tambahan lain sesuai perlakuan. Tunas disimpan pada ruang kultur bersuhu
25-27oC tanpa penyinaran selama 2 minggu.
Setelah
41
mengalami masa gelap selama 2 minggu, botol-botol berisi tunas mikro tersebut kemudian dipindahkan pada ruang inkubasi dengan penyinaran 16 jam terang 8 jam gelap. Tunas manggis dikulturkan selama 3 bulan, setelah itu dilakukan aklimatisasi terhadap semua tunas yang berhasil tumbuh akar.
Aklimatisasi
dilakukan dengan cara merendam tunas manggis yang telah berakar tersebut pada larutan fungisida dan bakterisida, masing masing dengan konsentrasi 2 g/l selama 30 menit. Lalu ditanam pada media tanam steril yang telah disiapkan. Untuk mendapatkan media steril didapat dengan melakukan sterilisasi media tanam dalam autoclave 121oC dengan tekanan 1 atm selama 30 menit. Setelah ditanam pada media steril, lalu disimpan di dalam ruangan agar, planlet dapat beradaptasi, kemudian dipindahkan ke rumah kaca. Setelah sebulan dilakukan aklimatisasi maka tanaman diambil untuk dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel untuk analisis jaringan akar.
Pengamatan 1.
Pertambahan tinggi tanaman (cm), adalah selisih antara tinggi tanaman dari pengamatan pertama dan terakhir, diukur mulai dari pangkal batang sampai ujung titik tumbuh dilakukan di akhir percobaan 4 bulan setelah setek mikro.
2.
Pertambahan Jumlah daun, adalah selisih jumlah pasangan daun pengamatan pertama dan terakhir. Jumlah pasangan daun yang dihitung adalah daun yang telah membuka sempurna, berwarna hijau atau masih merah, dilakukan pada akhir pengamatan 4 bulan setelah setek mikro.
3.
Persentase tumbuh akar (%). Dihitung di akhir pengamatan 4 bulan setelah setek mikro, dengan cara menghitung berapa tanaman yang dapat tumbuh akar dalam satu perlakuan
4.
Jumlah akar primer. Perhitungan jumlah akar primer dilakukan pada akhir pengamatan 4 bulan setelah setek mikro, dengan cara menghitung jumlah akar yang tumbuh/ keluar dari batang
5.
Panjang akar primer. Pengukuran panjang akar primer dilakukan pada akhir pengamatan 4 bulan setelah setek mikro. Akar primer diukur dari pangkal batang sampai ujung akar
42
6.
Diameter akar dan jaringan pembuluh akar (mm). Diukur dengan menggunakan mikroskop, dilakukan di akhir waktu percobaan 4 bulan setelah setek mikro. Pengamatan diameter akar dan diameter jaringan pembuluh akar dilakukan dengan cara melakukan irisan melintang pada pangkal akar tunas manggis hasil perlakuan.
7.
Analisis Konsentrasi N, P, K, dan gula total daun. Analisis konsentrasi N, P, dan K daun dilakukan pada akhir masa percobaan 4 bulan setelah setek mikro, dengan mengambil sampel daun baru yang tumbuh setelah dilakukan perlakuan setek mikro. Analisis unsur N, P, K, dan gula total daun juga dilakukan pada daun bibit manggis umur 4 bulan di pesemaian sebagai pembanding. Proses analisis diawali dengan membersihkan daun dengan menggunakan tisu, dan dikeringkan dengan oven pada suhu 70 ºC selam 2x24 jam. Daun kemudian diblender dan diayak dengan ayakan 0,5 mm. Daun-daun tersebut dianalisis konsentrasi hara N, P, K, dan gula total daun. Penentuan N total dilakukan dengan mempergunakan metode Semi-mikro Kjeldahl (Lampiran 1). Penentuan kadar unsur P dan K menggunakan metode pengabuan kering. Konsentrasi P diukur dengan Spectrophotometer UV-VIS dan K diukur dengan Flamephotometer (Lampiran 2). Analisis kimia dilaksanakan berdasarkan prosedur yang dikeluarkan oleh Yosida et al. (1972). Pengambilan sampel akar dilakukan pada 4 bulan setelah perlakuan,
dengan metode pengirisan segar. Pengamatan dan pengukuran dilakukan di bawah mikroskop Olympus BX51 menggunakan kamera digital mikroskop tipe DP25, software DP2-BSW, dengan pembesaran 4x/0,16.
Optimalisasi Aklimatisasi Setek Mikro Manggis dengan Teknik Media Steril Porous (MSP) Bahan Bahan tanaman yang digunakan adalah setek mikro dari perkecambahan manggis in vitro. Media tanam berupa tanah kebun, arang sekam, dan cocopeat. Rootone-F, IBA, fungisida, insektisida, polibag paralon diameter 7 cm.
diameter 7 cm, wadah pot
43
Metode Penelitian Pada percobaan optimalisasi aklimatisasi setek mikro manggis dengan teknik media steril porous (MSP) ini dilakukan tiga sub percobaan. Ketiga sub percobaan itu adalah pengaruh media tanam pada pertumbuhan kecambah manggis, perbandingan pertumbuhan setek mikro manggis secara MSP dan konvensional, dan setek mikro manggis menggunakan teknik media steril porous (MSP). Percobaan pengaruh media tanam pada pertumbuhan kecambah manggis menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal, 6 ulangan. Ada empat jenis media yang digunakan sebagai perlakuan yaitu 1) tanah : arang sekam 1 : 1 (konvensional), 2) cocopeat, 3) arang sekam, dan 4) cocopeat : arang sekam 1:1.
Setiap tanaman mewakili satu ulangan, sehingga didapatkan 24 satuan
percobaan. Percobaan perbandingan pertumbuhan setek mikro manggis secara MSP dan konvensional menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal, 6 ulangan. Ada perlakuan yang dicobakan yaitu 1) setek mikro pada sistem konvensional, dan 2) setek mikro pada sistem MSP.
Setiap tanaman
mewakili satu ulangan, sehingga didapatkan 18 satuan percobaan. Percobaan setek mikro manggis menggunakan teknik media steril porous (MSP) disusun dalam percobaan faktorial menggunakan Rancangan Acak Kelompok dua faktor 10 ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi IBA (0, 25, dan 50 mg/l), faktor kedua adalah konsentrasi Rootone-F (0, 3, 5 g/l). Ada 9 kombinasi perlakuan, setiap tanaman mewakili satu ulangan, sehingga didapatkan 90 satuan percobaan. Pelaksanaan Pengaruh Media Tanam pada Pertumbuhan Kecambah Manggis Biji manggis dipilih yang berukuran seragam (1 g) dibersihkan dan direndam dalam larutan fungisida dan insektisida masing-masing 2g/l selama 30 menit. Benih kemudian ditanam pada media yang telah disiapkan sesuai perlakuan. Benih manggis ditanam pada polibag diameter 7 cm yang telah diberi lubang di bagian dasarnya. Tanaman di simpan di tempat teduh, tidak terkena
44
sinar matahari langsung. Untuk pemeliharaan dilakukan pemberian larutan hara setiap 1 minggu. Perbandingan Pertumbuhan Setek Mikro Teknik MSP Konvensional
dan
Percobaan perbandingan pertumbuhan setek mikro teknik MSP dan konvensional dilakukan untuk membandingkan pertumbuhan setek mikro manggis yang ditanam secara konvensional dan menggunakan sistem MSP. Planlet manggis yang berumur 4-8 minggu dipotong sampai 3 cm dari pangkal batang direndam dalam larutan fungisida 2 g/l selama 30 menit dan di tanam pada media yang telah disiapkan. Media tanah:arang sekam (1:1) dalam polibag plastik hitam digunakan pada sistem konvensional. Pada pada sistem MSP digunakan media terbaik dari hasil percobaan 1 yaitu cocopeat:arang sekam (1:1) pada wadah pot pipa paralon. Media tanam dan wadah untuk percobaan MSP disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 1 atm selama 30 menit. Setek mikro yang ditanam pada kedua sistem ini tidak diberi larutan perangsang pertumbuhan akar. Setek mikro diletakkan di tempat teduh, tidak terkena cahaya matahari langsung. Untuk pemeliharaan setek mikro diberi larutan hara setiap 1 minggu. Perlakuan IBA dan Rootone-F pada Setek Mikro Manggis Menggunakan Teknik MSP Pada percobaan ini tunas mikro yang digunakan didapatkan dari hasil perbanyakan in vitro. Bahan yang digunakan adalah biji manggis yang berasal dari Purwakarta dan sekitarnya.
Media tanam yang digunakan adalah media
terbaik hasil percobaan 1 yaitu cocopeat:arang sekam (1:1).
Wadah yang
digunakan untuk media tanam, tempat tunas mikro tumbuh dibuat dari pipa paralon diameter 7 cm yang telah diberi lubang di bagian dasar dan pinggirnya. Media tanam dan wadah untuk percobaan MSP disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 1 atm selama 30 menit. Tunas manggis dari perbanyakan in vitro dipilih yang telah berumur 4 sampai 8 minggu setelah biji berkecambah, berukuran tinggi lebih dari 3 cm dan sudah mempunyai sepasang daun. Tunas manggis mikro kemudian dipotong
45
sampai batas 3cm dari pangkal batang. Tunas yang sudah dipotong tersebut kemudian di rendam dalam larutan fungisida dan bakterisida, masing masing dengan konsentrasi 2 g/l selama 30 menit. Tunas kemudian direndam kembali dalam larutan IBA dan Rootone-F (sesuai perlakuan) selama 2 menit, lalu ditanam pada media tanam steril yang telah disiapkan. Setek mikro diletakkan di tempat teduh, tidak terkena cahaya matahari langsung. Untuk pemeliharaan setek mikro diberi larutan hara setiap 1 minggu. Pengamatan 1. Pertambahan tinggi tanaman, adalah selisih antara tinggi tanaman dari pengamatan pertama dan terakhir, diukur mulai dari permukaan tanah sampai titik tumbuh dilakukan pada 4 bulan setelah setek mikro. 2. Pertambahan Jumlah daun, adalah selisih jumlah pasangan daun pengamatan pertama dan terakhir. Jumlah pasangan daun yang dihitung adalah daun yang telah membuka sempurna, berwarna hijau atau masih merah, dilakukan pada akhir pengamatan 4 bulan setelah setek mikro. 3. Persentase tumbuh akar. Dihitung di akhir pengamatan 4 bulan setelah setek mikro, dengan cara menghitung berapa tanaman yang dapat tumbuh akar dalam satu perlakuan 4. Jumlah akar primer. Perhitungan jumlah akar primer dilakukan pada akhir pengamatan 4 bulan setelah setek mikro, dengan cara menghitung jumlah akar yang tumbuh/ keluar dari batang 5. Panjang akar primer. Pengukuran panjang akar primer dilakukan pada akhir pengamatan 4 bulan setelah setek mikro. Akar primer diukur dari pangkal batang sampai ujung akar. 6. Diameter akar dan jaringan pembuluh akar (mm). Diukur dengan menggunakan mikroskop, dilakukan di akhir waktu percobaan 4 bulan setelah setek mikro. Pengamatan diameter akar dan diameter jaringan pembuluh akar juga dilakukan dengan cara melakukan irisan melintang pada pangkal akar tunas manggis hasil perlakuan. 7. Analisis Konsentrasi N, P, K, dan gula total daun. Analisis konsentrasi N, P, dan K daun dilakukan pada akhir masa percobaan 4 bulan setelah setek mikro, dengan mengambil sampel daun baru yang tumbuh setelah
46
dilakukan perlakuan setek mikro.
Analisis unsur N, P, dan K juga
dilakukan pada daun kecambah manggis di pesemaian sebagai pembanding. Proses analisis diawali dengan membersihkan daun dengan menggunakan tisu, dan dikeringkan dengan oven pada suhu 70 ºC selam 2x24 jam. Daun kemudian diblender dan diayak dengan ayakan 0,5 mm. Daun-daun tersebut dianalisis konsentrasi hara N, P, K, dan gula total daun. Penentuan N total dilakukan dengan mempergunakan metode Semimikro Kjeldahl (Lampiran 1). Penentuan kadar unsur P dan K menggunakan metode pengabuan kering. Konsentrasi P diukur dengan Spectrophotometer UV-VIS dan K diukur dengan Flamephotometer (Lampiran 2). Analisis kimia dilaksanakan berdasarkan prosedur yang dikeluarkan oleh Yosida et al. (1972). Pengambilan sampel akar dilakukan pada 4 bulan setelah perlakuan, dengan metode pengirisan segar. Pengamatan dan pengukuran dilakukan di bawah mikroskop Olympus BX51 menggunakan kamera digital mikroskop tipe DP25, software DP2-BSW, dengan pembesaran 4x/0,16.
Analisis Data Data yang diperoleh dari setiap percobaan dianalisis dengan menggunakan uji F. Bila hasil yang diperoleh berbeda nyata pada taraf 5%, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).
47
HASIL Pengembangan Teknologi Induksi Tunas Manggis In Vitro dari Eksplan Mata Tunas Pucuk Bibit Manggis
Induksi Tunas Tunas manggis in vitro dari eksplan mata tunas bibit tanaman manggis umur 4 tahun mulai tumbuh tunas daun baru mulai hari ke-13.
Mata tunas
tanaman manggis tersembunyi di antara dua tangkai daun yang berhadapan (Gambar 6A ), yang merupakan karakter khas spesies Garcinia. Pertumbuhan tunas calon daun baru dimulai dari terbentuknya kalus di sekitar daerah tangkai daun yang menyebabkan tangkai daun membuka, kemudian luruh. Terbuka dan luruhnya tangkai daun menyebabkan mata tunas manggis yang semula tersembunyi tumbuh (Gambar 6B) membentuk daun baru (Gambar 6C dan D).
Mata tunas
A
B
C
D
1 cm
Gambar 6. Pertumbuhan tunas manggis in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun. Tumbuh kalus warna putih di sekitar tangkai daun (A); tangkai daun luruh sehingga mata tunas manggis mulai terlihat (B); Muncul trubus baru (C); Tumbuh daun baru (D). Tunas yang muncul berwarna hijau atau merah keunguan.
Tunas yang
muncul selanjutnya tumbuh membentuk sepasang daun baru. Pasangan daun baru tumbuh berpasangan saling berhadapan tumbuh sampai ukuran maksimal dilanjutkan lagi dengan tumbuhnya daun baru yang muncul di antara kedua tangkai daun.
48
Hasil percobaan induksi tunas menunjukkan bahwa eksplan tunas membentuk tunas calon daun baru dalam waktu yang beragam. Pada media MS0 juga terbentuk tunas, hanya saja persentase terbentuknya tunas baru sangat kecil. Media MS + BA 4,0 + TDZ 0,2 mg/l secara rataan dapat menginduksi terbentuknya tunas in vitro paling baik, namun tidak berbeda nyata dengan media MS+ BA 4,0 mg/l dan media MS+BA 8,0+TDZ 0,2 mg/l (Gambar 7). Persentase Tumbuh Tunas (%)
120.0 100.0 a 100.0 80.0 ab
80.0 ab
80.0 60.0
50.0 bc
40.0
30.0 c 20.0 c
20.0 0.0 MS0
B4 B8 T0.2 B4T0.2 B8T0.2 Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh Pada Media
Gambar 7. Persentase tumbuh tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun pada berbagai kombinasi zat pengatur tumbuh 8 minggu setelah inisiasi Ket. MS0=media MS tanpa ZPT; B4= MS+BA 4 mg/l; B8=MS+ BA 8 mg/l; T0,2=MS+ TDZ 0,2 mg/l;B4T0,2=MS+ BA 4+TDZ 0,2 mg/l; B8T0,2=MS+ BA 8+ TDZ 0,2 mg/l
Dari Gambar 7 terlihat bahwa pada MS tanpa diberi tambahan zat pengatur tumbuh juga dapat menginduksi tunas in vitro. Persentase tumbuh tunas yang dihasilkan pada media MS0 paling rendah demikian pula media MS+BA 8 mg/l dan media MS+TDZ 0,2 mg/l hanya mampu menginduksi tunas sebesar 30 dan 50% . Saat munculnya tunas baru terjadi pada waktu yang beragam. Waktu tercepat secara rataan terlihat pada media MS+BA 4,0+TDZ 0,2 mg/l, meskipun secara statistik nilai ini tidak berbeda nyata dari perlakuan media MS+BA 4,0 mg/l (15,9 hari), MS+BA 8,0 mg/l (17,7 hari), dan MS+BA 8,0+TDZ 0,2 mg/l (15,5 hari) (Gambar 8).
Waktu Tumbuh Tunas (HST)
49
40.0
36.0 a
35.0 30.0 22.4 b
25.0 20.0
15.9 c
15.0
17.7 bc
14.9 c
15.5 c
10.0 5.0 0.0 MS0 B4 B8 T0.2 B4T0.2 B8T0.2 Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh Pada Media
Gambar 8. Waktu tumbuh tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun pada berbagai kombinasi zat pengatur tumbuh 8 minggu setelah inisiasi Ket, MS0=media MS tanpa ZPT; B4= MS+BA 4 mg/l; B8=MS+ BA 8 mg/l; T0,2=MS+ TDZ 0,2 mg/l;B4T0,2=MS+ BA 4+TDZ 0,2 mg/l; B8T0,2=MS+ BA 8+ TDZ 0,2 mg/l
Multiplikasi Tunas Tunas yanag dihasilkan dari percobaan induksi tunas dipindahkan pada media baru untuk meningkatkan daya multiplikasi tunasnya. Media untuk induksi multiplikasi tunas dilakukan dengan menurunkan konsentrasi BA menjadi setengahnya ditambah thidiazuron dengan konsentrasi lebih rendah. Tunas baru mulai terlihat pada 2 minggu setelah dipindahkan ke media perlakuan. Perlakuan zat pengatur tumbuh yang diberikan pada media untuk multiplikasi tunas menunjukkan bahwa tunas baru yang dihasilkan menunjukkan pertambahan tinggi (buku tunas), tetapi dari perlakuan ini belum berhasil didapatkan multiplikasi tunas. Media MS yang diberi BA 4,00 mg/l + TDZ 0,05 mg/l persentase pertambahan buku tunasnya sebesar 100%, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali dengan media MS tanpa diberi zat pengatur tumbuh (Tabel 1). Hal tersebut terlihat pula pada jumlah buku tunas yang terbentuk pada media MS + BA 4,00 mg/l + TDZ 0,05 mg/l, memiliki rataan yang lebih tinggi (2,7), namun tidak berbeda nyata dengan media MS+BA 4,00 mg/l (2,3). Pada media MS tanpa diberi tambahan zat pengatur tumbuh, tidak terbentuk tunas baru.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian zat pengatur
50
tumbuh sangat berpenyaruh terhadap pembentukan dan tunas in vitro dari eksplan mata tunas manggis. Tabel 1. Persentase pertumbuhan tunas dan jumlah buku tunas manggis
Konsentrasi ZPT
Pertumbuhan tunas
Jumlah buku
------ mg/l-----Tanpa ZPT BA 2,00 BA 4,00 BA 2,00 +TDZ 0,05 BA 4,00+TDZ 0,05
-------------%---------- -----buah----0,0 c 1,0 b 70,0 ab 1,5 b 70,0 ab 2,3 ab 60,0 b 1,5 b 100,0 a 2,7 a
Keterangan. Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak bebeda nyata pada Uji DMRT taraf 0,05
Pemanjangan Tunas Pertumbuhan tunas manggis umumnya sangat lambat sehingga perlu dipindah ke media untuk pemanjangan tunas. Pemberian zat pengatur tumbuh dapat meningkatkan panjang tunas pada induksi tunas in vitro dari eksplan tunas manggis. Media MS tanpa zat pengatur tumbuh tidak dapat menumbuhkan tunas baru, sehingga tidak terjadi pemanjangan tunas. Media MS + BA 1 mg/l + Kinetin 1 mg/l dapat mendorong pertambahan panjang tunas yang lebih baik
Pertambahan Panjang Tunas (mm)
dibandingkan perlakuan lainnya (3,1 mm) (Gambar 9). 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
3.1 a
1.7 b 0.5 c 0.0 c MS0 B1 B1K1 B1K2 Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh Pada Media
Gambar 9. Pertambahan panjang tunas manggis yang dilakukan pada media MS dengan penambahan BA dan kinetin Ket. MS0=media MS tanpa ZPT; B1= MS+BA 1 mg/l; B1K1=MS+ BA 1 + Kin 1 mg/l; B1K2=MS+ BA 1 + Kin 2 mg/l
51
Studi Fisiologi dan Anatomi Keberhasilan Sambung Mikro Tanaman Manggis
Pertumbuhan Sambung Mikro Tahap
penyambungan
dilakukan
pada
semua
tanaman
hasil
perkecambahan biji manggis. Waktu penyambungan terbaik dilakukan sekitar 4-7 minggu setelah benih manggis berkecambah. Sebelum dilakukan proses sambung mikro, diadakan seleksi terhadap tunas-tunas yang dihasilkan pada tahap perbanyakan tunas.
Kriteria tunas yang digunakan adalah berukuran normal
(tidak roset), diameter batang tidak terlalu kecil 1,5-2,0 mm (jumlah tunas majemuk terbanyak yang masih dapat digunakan untuk proses sambung mikro adalah 3 tunas), tinggi minimal 3 cm, dan sudah memiliki daun minimal 1 pasang. Pada masa perkecambahan manggis terkadang ditemukan tunas majemuk yang roset (kerdil) akibat dari daya multiplikasi yang baik. Tunas jenis ini tidak dapat digunakan untuk penyambungan, karena diameter batang yang terlalu kecil sehingga mudah rusak dan sulit dilakukan penyambungan (Gambar 10).
1 cm
Gambar 10. Hasil perbanyakan in vitro biji manggis yang memiliki tunas majemuk lebih dari 15 tunas Pertumbuhan sambung mikro mulai terlihat pada minggu pertama setelah dilakukan penyambungan. Hasil penyambungan yang tidak baik menghasilkan perubahan warna pada batang atas, dari hijau menjadi coklat.
Hal ini
menunjukkan ketahanan kesegaran batang atas yang mulai menurun, akibat tidak ada suplai hara dari batang bawah ke batang atas.
52
Selama pertumbuhannya sering terbentuk tunas aksilar berasal dari batang bawah, terutama pada hasil sambung mikro yang tidak berhasil.
Pemotongan
pucuk batang bawah pada tahap penyambungan, mengakibatkan hilangnya dominansi apikal sehingga mendorong terbentuknya tunas aksilar. Tunas aksilar ini juga seringkali terlihat tumbuh pada hasil sambung mikro yang berhasil (terutama pada batang bawah berasal dari perkecambahan biji dibelah 4), sehingga pada tanaman tersebut tumbuh tunas hasil sambung mikro maupun tunas aksilar (Gambar 11).
Daerah sambungan Tunas aksilar Daerah sambungan 1 cm
A
B
Gambar 11. Hasil sambung mikro manggis. Tunas aksilar yang tumbuh pada hasil sambung mikro yang berhasil (A); sambung mikro manggis yang berhasil tumbuh tunas tanpa adanya tunas aksilar (B)
Sambung Mikro In Vitro Pada percobaan menggunakan tunas-tunas muda, yaitu batang bawah berasal dari tunas in vitro dengan batang atas juga dari tunas in vitro, interaksi antara jenis batang bawah dan jenis tunas batang atas tidak menunjukkan pengaruh yang nyata.
Akan tetapi secara tunggal, kedua faktor tersebut
berpengaruh nyata pada beberapa peubah yang diamati. Faktor batang bawah secara statistik perpengaruh nyata
pada semua peubah yang diamati kecuali
jumlah pasangan daun. Adapun faktor jenis tunas berpengaruh nyata terhadap
53
persentase keberhasilan sambung mikro, yaitu tunas trubus memilki persentase keberhasilan sambung mikro dan panjang tunas yang lebih besar dibandingkan tunas dorman (Tabel 2).
Tabel 2. Pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro antara batang bawah tunas in vitro dengan batang atas tunas in vitro Perlakuan
Persentase Waktu keberhasilan pecah tunas -----%--------hari---
Panjang tunas ---cm---
Jumlah pasangan daun
Batang bawah : Biji dibelah 4 Biji utuh
52,50 b 82,82 a
55,88 a 29,36 b
1,27 b 2,19 a
1,61 2,36
Batang atas : Tunas dorman Tunas trubus
70,00 b 79,01 a
38,33 33,56
1,15 b 1,60 a
2,00 2,05
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Anova taraf 0,05.
Tabel 2 menunjukkan bahwa batang bawah yaitu tunas manggis in vitro yang berasal dari perkecambahan biji utuh memiliki pertumbuhan hasil sambung mikro yang lebih baik dibandingkan dengan batang bawah berasal dari perkecambahan biji dibelah 4. Pengaruhnya terlihat dari persentase keberhasilan sambung mikro yang lebih besar, waktu pecah tunas yang lebih cepat, dan panjang tunas. Batang atas dari tunas manggis in vitro yang sedang trubus berpengaruh nyata dibandingkan dengan tunas dorman. Persentase keberhasilan batang atas yang sedang trubus lebih besar, dan tunas yang dihasilkan dari sambung mikro lebih panjang dibandingkan tunas dorman. Hasil percobaan sambung mikro antara tunas manggis in vitro sebagai batang bawah dengan mata tunas manggis dari tanaman dewasa di lapangan tidak berhasil. Dari semua perlakuan menunjukkan bahwa tidak ada satupun tanaman yang berhasil hidup.
Mata tunas batang atas segera mengering atau tumbuh
jamur, sehingga tidak berhasil tumbuh dan mati. Pada percobaan sambung mikro antara tunas in vitro sebagai batang bawah dengan tunas manggis in vitro dari eksplan tunas manggis 4 tahun, memberikan tingkat keberhasilan sangat rendah. Tanaman hasil sambung mikro yang berhasil hidup dan dapat tumbuh trubus adalah tanaman hasil sambung mikro dengan
54
batang bawah berasal dari perbanyakan biji manggis utuh. Pertambahan panjang tunas hasil sambung mikro hampir tidak ada karena trubus hanya menghasilkan daun yang sangat kecil tanpa diikuti pemanjangan tunas (Tabel 3). Tabel 3 memperlihatkan bahwa keberhasilan sambung mikro pada percobaan antara tunas in vitro sebagai batang bawah dengan tunas in vitro dari eksplan tunas manggis 4 tahun sebagai batang atas ini sangat rendah. Sambung mikro hanya berhasil menumbuhkan tunas baru hanya pada biji utuh, sedangkan pada batang bawah dari perkecambahan biji dibelah empat tidak ada satupun yang berhasil tumbuh. Demikian halnya pada batang atas dari tunas yang sedang dorman ataupun trubus, tingkat keberhasilannya sangat rendah dengan waktu tumbuh tunas yang lama. Tabel 3. Pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro antara batang bawah tunas in vitro dengan batang atas tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun
Perlakuan Batang Bawah: Biji belah 4 Biji Utuh Batang Atas: Dorman Trubus
Persetase Waktu keberhasilan pecah tunas
Panjang tunas
Jumlah pasangan daun
-----%------
---hari----
----cm---
0,00 20,00
66,85
0,00
1,00
30,00 10,00
63,67 70,00
0,00 0,00
1,00 1,00
------ buah ------
Sambung Mikro di Pesemaian Pada percobaan menggunakan tunas-tunas muda di pesemaian, yaitu batang bawah berasal dari tunas kecambah di pesemaian dengan batang atas juga dari tunas kecambah di pesemaian, tidak terdapat interaksi antara jenis batang bawah dan jenis tunas batang atas. Akan tetapi secara tunggal, kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap beberapa peubah yang diamati.
Faktor
batang bawah berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati kecuali jumlah pasangan daun. Adapun faktor jenis tunas berpengaruh nyata terhadap persentase keberhasilan sambung mikro, yaitu tunas trubus memiliki persentase keberhasilan sambung mikro dan panjang tunas yang lebih besar dibandingkan
55
tunas dorman (Tabel 4). Pertumbuhan hasil pertumbuhan sambung mikro antara tunas-tunas muda di pesemaian sama seperti hasil sambung mikro antara tunastunas muda secara in vitro.
Tabel 4. Pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro antara batang bawah tunas kecambah di pesemaian dengan batang atas tunas kecambah di pesemaian Perlakuan
Batang bawah : Biji dibelah 4 Biji utuh Batang atas : Tunas dorman Tunas trubus
Persentase Waktu keberhasilan pecah tunas
Panjang tunas
Jumlah pasangan daun
-----%------
---cm---
------ buah ------
---hari---
78,95 86,89
31,40 a 26,08 b
1,97 b 3,47 a
2,00 b 2,46 a
82,84 83,00
26,92 b 30,56 a
1,99 b 3,90 a
2,00 b 2,43 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Anova taraf 0,05.
Tabel 4 menunjukkan bahwa batang bawah yaitu tunas manggis di pesemaian yang berasal dari perkecambahan biji utuh memiliki pertumbuhan hasil sambung mikro yang lebih baik. Pengaruhnya terlihat dari persentase waktu pecah tunas yang lebih cepat, panjang tunas, dan jumlah pasangan daun. Batang atas dari tunas manggis in vitro yang sedang trubus berpengaruh nyata dibandingkan dengan tunas dorman yaitu terhadap panjang tunasdan jumlah pasangan daun, namun waktu pecah tunas lebih lambat
dibandingkan tunas
trubus. Hasil sambung mikro antara tunas kecambah di pesemaian dengan tunas manggis in vitro, menunjukkan pertumbuhan yang sangat lambat. Persentase keberhasilan rendah, waktu pecah tunas dan perkembangan pertumbuhan daun berlangsung sangat lama (Tabel 5). Setelah menunjukkan pertumbuhan yang lambat, tanaman hasil sambung mikro pada percobaan ini juga tidak lagi menunjukkan adanya pertumbuhan selanjutnya.
Meskipun bagian-bagian
tanaman tatap hijau segar, sampai lebih dari 4 bulan setelah sambung mikro, tidak lagi menunjukkan pertumbuhan trubus baru berikutnya.
56
Hasil sambung mikro antara tunas kecambah di pesemaian dengan tunas manggis in vitro, menunjukkan pertumbuhan yang sangat lambat. Persentase keberhasilan rendah, waktu pecah tunas dan perkembangan pertumbuhan daun berlangsung sangat lama (Tabel 5). Tanaman hasil sambung mikro pada percobaan ini juga tidak lagi menunjukkan adanya pertumbuhan selanjutnya. Meskipun bagian-bagian tanaman tatap hijau segar, sampai lebih dari 4 bulan setelah sambung mikro, tidak lagi menunjukkan pertumbuhan trubus baru berikutnya. Tabel 5. Pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro antara batang bawah tunas kecambah di pesemaian dengan batang atas tunas in vitro Perlakuan
Batang bawah : Biji dibelah 4 berakar Biji utuh berakar Batang atas : Tunas dorman Tunas trubus
Persentase Waktu keberhasilan pecah tunas
Panjang tunas
-----%------
---cm---
---hari---
Jumlah pasangan daun
33,33 38,46
78,50 64,35
0,19 0,20
1,00 1,00
43,50 44,77
63,37 b 67,33 a
0,18 0,21
1,00 1,00
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Anova taraf 0,05.
Sambung mikro antara tunas kecambah pesemaian dengan tunas in vitro yang berasal dari tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun, tidak berhasil. Tidak ada satupun tanaman yang berhasil tumbuh. Tunas batang atas akan segera layu, kering dan mati, yang menandakan tidak terjadinya kontak sambungan yang baik antara batang atas dan batang bawah.
Hasil Sambung Mikro Setelah 15 Bulan Tanaman manggis hasil sambung mikro antara tunas-tunas muda in vitro maupun di pesemaian
sampai saat ini tumbuh dengan baik.
Pertumbuhan
pasangan daun baru terjadi sama seperti pada tanaman manggis hasil perkecambahan biji konvensional di pesemaian. Tanaman manggis hasil sambung mikro pada 6 bulan setelah sambungan dapat menghasilkan jumlah pasangan daun baru sebanyak 2-3 pasang, artinya muncul trubus baru sebanyak 2-3 kali.
57
Pengamatan selanjutnya sampai 15 bulan setelah sambungan tanaman hasil sambung mikro dapat tumbuh trubus baru sebanyak 6 kali (Gambar 12). Jumlah trubus baru yang dihasilkan tanaman sambung mikro ini ternyata sama seperti pada tanaman manggis hasil perkecambahan biji konvensional.
12 cm
16 cm
Gambar 12. Tanaman hasil sambung mikro 6 bulan setelah sambungan (kiri) dan 15 bulan setelah sambungan (kanan).
Diameter Batang dan Anatomi Jaringan Hasil pengamatan ukuran diameter batang manggis (in vitro, semai, dan tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun), menunjukkan ada perbedaan ukuran antara ketiga jenis batang manggis tersebut (Tabel 6). Hal tersebut terlihat pada ukuran diameter, yang meliputi longitudinal dan transversal diameter batang, juga longitudinal dan transversal jaringan pembuluh batang. Tabel 6 menunjukkan bahwa tunas in vitro dan semai memiliki diameter batang dan jaringan pembuluh batang bagian bawah dan atas yang relatif sama. Hal ini memudahkan bertemunya lingkaran jaringan pembuluh batang bawah dan batang atas pada saat keduanya disambungkan. Tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun memiliki diameter batang yang lebih besar, sehingga ketika disambungkan sebagai batang atas, mempersulit bertemunya lingkaran jaringan pembuluh batang bawah dan batang atas.
58
Tabel 6. Rataan ukuran diameter (panjang dan lebar) batang dan jaringan pembuluh batang in vitro, semai, dan batang tunas bibit manggis yang ditanam secara in vitro
Jenis batang
in vitro semai
Diameter batang
Posisi sampel
Longtudinal
bulan
Transversal
Longtudinal
Transversal
bawah
-------------------------- mm ------------------------2,08 1,89 1,12 1,00
atas
1,97
1,98
1,03
1,04
bawah
2,51
2,28
1,11
0,81
atas
2,03
1,79
1,12
1,01
4,27
3,77
2,27
2,00
Tunas in vitro dari eksplan tunas manggis
Empat
Diameter jaringan pembuluh
setelah
sambung
mikro,
hasil
analisis
jaringan
memperlihatkan terjadinya kontak sambungan yang baik antara batang bawah dan batang atas, baik pada hasil sambung mikro in vitro maupun hasil sambung mikro di pesemaian. Akan tetapi pada sambung mikro yang gagal menghasilkan trubus baru, terlihat adanya ketidaksesuaian hasil sambungan jaringan xilem batang bawah dan batang atas (Gambar 13). Analisis jaringan sambung mikro yang berhasil menunjukkan pertautan sambungan di keempat sisi daerah sambungan yang terbentuk dengan mulus, tidak terlihat adanya jaringan nekrotik atau rongga-rongga yang dapat menghalangi bertemunya jaringan lingkaran pembuluh batang bawah dan batang atas. Xilem batang bawah dan batang atas menyatu dengan baik.
Pada hasil
sambungan yang gagal terlihat bahwa adanya ketidaksesuaian letak jaringan pembuluh batang bawah dan batang atas. Xilem batang bawah dan batang atas tidak dapat bertemu, bahkan terlihat rongga-rongga di daerah sekitar sambungan sehingga menghalangi kontak jaringan pembuluh batang bawah dan batang atas (Gambar 13).
59
A B Gambar 13. Penampang melintang bidang tautan sambungan pada sambung mikro dan grafting di lapangan, 4 bulan setelah sambungan. Pada sambung mikro yang berhasil (A); Sambung mikro yang gagal (B) Ket. BA= batang atas; BB=batang bawah; X=xilem; XG= xilem gabungan;K=korteks; R=rongga; E=empulur
Pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro pada percobaan dengan menggunakan tunas-tunas muda terjadi sangat cepat. Trubus baru sudah mulai tumbuh bahkan pada saat 2 minggu setelah sambung mikro.
Hasil analisis
anatomi batang bidang sambungan pada umur 2, 10 dan 16 minggu setelah sambung mikro dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14 menunjukkan bahwa pada saat umur sambungan 2 minggu, sudah terbentuk kalus di salah satu sisi daerah sambungan, sehingga memungkinkan adanya tautan bidang sambungan batang bawah dan batang atas. Terbentuknya tautan antara batang bawah dan batang atas itu semkin jelas terlihat pada umur sambungan 10 dan 16 minggu.
60 60
A B C Gambar 14. Anatomi daerah sambungan sambung mikro antara tunas-tunas usia muda, pada umur 2 minggu (A), setelah 10 minggu (B), dan setelah 16 minggu (C). Ket. PS= penyatuan sel batang bawah dan batang atas; X= xilem; F=floem; XG= xilem gabungan; E=empulur; K=korteks; BB=batang bawah; BA= Batang atas C= kalus
61
Pada percobaan sambung mikro antara batang bawah tunas in vitro dengan batang atas tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun, pertumbuhannya sangat lambat. Tingkat keberhasilan sambung mikro rendah dengan waktu tumbuhnya trubus baru sangat lambat, setelah mucul trubus baru maka tanaman hasil sambung mikro belum muncul trubus baru lagi sampai 4 bulan setelah sambung mikro.
Hasil analisis jaringan batang bidang
sambungannya memperlihatkan bahwa pada batang bawah tampak lebih aktif menghasilkan kalus dibandingkan batang atasnya. Batang bawah yang berasal dari tunas in vitro yang berusia muda pertumbuhan kalusnya aktif, sedangkan batang atasnya adalah tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun pertumbuhan kalusnya lambat (Gambar 15). Gambar 15 memperlihatkan proliferasi kalus dari batang bawah dan batang atas yang menggunakan tunas-tunas muda. Apabila sambung mikro menggunakan batang atas maupun batang bawah tunas muda (in vitro maupun semai), proliferasi kalus terjadi aktif baik pada batang bawah maupun batang atas. Hal ini mempercepat terjadinya kontak batang bawah dan batang atas sehingga pertumbuhan hasil sambung mikro selanjutnya menjadi lebih baik.
62
A
B
C
D
Gambar 15. Proliferasi kalus pada percobaan sambung mikro. Pada percobaan menggunakan batang atas tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun (A dan B); Percobaan menggunakan batang bawah dan batang atas tunas muda (in vitro dan semai) (C dan D). Tanda panah menunjukkan arah proliferasi kalus. Ket. BA=batang atas;BB= batang bawah; K=kalus
Perbandingan analisis jaringan bidang sambungan antara tunas yang memiliki sesama usia muda dan tunas-tunas yang berbeda usia juga terlihat pada hasil sambung mikro dan hasil grafting di lapangan.
Sambung mikro
menggunakan tunas muda seusia sebagai batang atas dan batang bawahnya, sedangkan grafting menggunakan batang bawah bibit umur 3 tahun dan batang atas tunas dewasa yang sudah berproduksi di lapangan.
Dari hasil analisis
jaringan batang bidang sambungan (4 bulan setelah sambungan), pada sambung
63
mikro dan grafting di lapangan terlihat bahwa terjadi kontak sambungan yang baik antara batang bawah dan batang atas. Pada Gambar 16 menunjukkan penampang melintang bidang tautan batang atas dan batang bawah sambung mikro, terlihat bahwa sambungan batang atas dan batang bawah sudah menyatu sempurna. Bekas sambungan antara batang bawah dan batang atas pada saat 4 bulan setelah sambungan sudah hampir tidak terlihat lagi. Jaringan xilem antara batang atas dan batang bawah sudah menyatu sempurna menghasilkan xilem gabungan.
Pada hasil grafting di lapangan
meskipun sudah terjadi pertautan batang atas dan batang bawah yang baik, sehingga dapat tumbuh trubus baru, hasil pertautan tersebut belum sepenuhnya sempurna, terlihat dengan masih adanya jaringan nekrotik diantara daerah sambungan.
Sambung mikro yang berhasil
Grafting di lapangan yang berhasil
Gambar 16. Penampang melintang bidang tautan sambungan pada sambung mikro dan grafting di lapangan, 4 bulan setelah sambungan. Ket. BA= batang atas; BB=batang bawah; X=xilem; XG= xilem gabungan; N= Nekrotik
64
Hasil pengamatan anatomi pada tiga posisi ruas batang semai manggis (Gambar 17),
terlihat terdapat dua bentuk lingkaran batang dan
jaringan
pembuluh pada batang bawah dan batang atas, yaitu berbentuk bulat dan oval, dengan ukuran diameter batang dan jaringan pembuluh yang berbeda
(Tabel 7).
Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan tunas batang atas dan posisi pemotongan tunas batang bawah sangat mempengaruhi keberhasilan grafting dan seterusnya dapat mempengaruhi kesesuaian (matching) lingkaran jaringan pembuluh gabungan. Apabila lingkaran jaringan pembuluh batang atas dan batang bawah kurang sesuai maka mengakibatkan pertumbuhan selanjutnya menjadi lambat, karena proses penggabungan sel-sel kedua batang terhambat, bahkan selanjutnya dapat mengakibatkan kegagalan proses grafting.
Tabel 7. Rataan ukuran diameter (longitudinal dan transversal) batang dan jaringan pembuluh batang semai, batang plagiotrop, dan batang in vitro Diameter batang Jenis batang
Batang semai
Cabang plagiotrop
Posisi
Transversal
Diameter jaringan pembuluh Longtudinal
----------------------- mm -----------------7.39 4.70
Transversal
1
8.61
2
8.65
7.23
4.66
3.31
3
8.59
5.06
4.71
2.25
1
7.01
6.67
3.84
2.53
2
7.05 7.45
6.70 7.00
4.20 3.69
2.98 2.68
2.08
1.89
1.12
1.00
3 Batang in vitro bawah Batang in vitro atas
Longtudinal
1.97
1.98
1.03
Dari hasil pengamatan anatomi batang manggis in vitro,
3.43
1.04
lingkaran
jaringan pembuluh pada batang bawah dan batang atas tunas in vitro berbentuk bulat (Gambar 18) dengan ukuran yang relatif sama (Tabel 7). Ukuran yang sama ini memudahkan penyatuan lingkaran jaringan pembuluh pada batang bawah dan batang atas, sehingga pertumbuhan selanjutknya bisa lebih baik.
65
1
1 1
2
2 3
2 3
A
B
C
Gambar 17. Penampang melintang batang manggis. Batang semai manggis pada tiga posisi sampel (A); cabang plagiotrop pada tiga posisi sampel (B); batang manggis in vitro (C). Ket. E=Empulur; X=Xilem; F=Floem; K=Korteks; Ep=Epidermis
65
66
Manipulasi Media pada Setek Mikro Manggis Secara In Vitro Konsentrasi komposisi media MS, jenis substrat, dan konsentrasi IBA berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman, persentase tumbuh akar, dan panjang akar.
Konsentrasi komposisi hara makro media MS 25% pada
berbagai substrat dan konsentrasi IBA, juga berpengaruh terhadap pertumbuhan akar. Pertumbuhan akar pada media MS 100 dan 50% terlihat paling sedikit pertumbuhannya, terutama ketika diberi jenis substrat yang lebih padat yaitu agar 7 dan 4 g/l tanpa diberi IBA (Tabel 8). Tabel 8. Pengaruh konsentrasi komposisi media MS, jenis substrat dan konsentrasi IBA terhadap pertumbuhan setek mikro 4 bulan setelah perlakuan Knsntrasi komposisi media MS
Jenis substrat
---%-----
Konse n trasi IBA
Pertambah n pasangan daun
Tinggi tanaman
Tmbuh akar
Panjang akar
--mg/l-
--- helai ----
---- cm ------
----%---
--cm--
MS 100%
Agar 7 g/l
0
1,34
0,03
h
MS 100%
Agar 7 g/l
5
1,29
1,59
MS 100%
Agar 4 g/l
0
1,29
MS 100%
Agar 4 g/l
5
MS 100%
Vermikulit
0
MS 100%
Vermikulit
MS 50%
Jmlh akar
0,00 c
0,00
e
0,00
b-d
20,00 bc
1,09
c-e
0,29
0,00
h
20,00 bc
0,33
de
0,14
1,10
1,82
bc
20,00 bc
0,08
e
0,20
1,20
0,00
h
20,00 bc
0,60
de
1,00
5
1,13
1,75
bc
40,00 a-c
3,31
a-c
1,00
Agar 7 g/l
0
1,00
0,24
gh
0,00 c
0,00
e
0,00
MS 50%
Agar 7 g/l
5
1,00
0,66
e-h
10,00 c
0,08
e
0,00
MS 50%
Agar 4 g/l
0
0,86
0,33
f-h
50,00 ab
1,03
c-e
0,57
MS 50%
Agar 4 g/l
5
0,70
0,42
f-h
20,00 bc
2,27
a-e
0,50
MS 50%
Vermikulit
0
1,40
0,74
e-h
70,00 a
1,06
c-e
0,80
MS 50%
Vermikulit
5
1,20
1,06
c-f
50,00 ab
1,98
a-e
1,00
MS 25%
Agar 7 g/l
0
1,89
1,29
b-e
50,00 ab
3,88
ab
0,89
MS 25%
Agar 7 g/l
5
1,13
1,96
ab
60,00 ab
1,80
b-e
0,50
MS 25%
Agar 4 g/l
0
1,70
1,10
c-f
60,00 ab
2,77
a-d
0,71
MS 25%
Agar 4 g/l
5
1,13
1,75
bc
80,00 a
1,94
a-e
0,38
MS 25% Vermikulit 0 1,60 0,90 d-g 70,00 a 4,38 a MS 25% Vermikulit 5 1,75 2,01 a 60,00 ab 3,94 ab Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan taraf 5%.
1,00 1,00
Dari Tabel 8 terlihat bahwa media MS 100% dan 50% kurang mampu menumbuhkan akar. Setek tunas mikro manggis yang ditumbuhkan pada media MS 100% dan 50% dengan berbagai substrat dan konsentrasi IBA memberikan
67
pertumbuhan akar yang lebih rendah dibandingkan media MS 25% pada berbagai substrat dan konsentrasi IBA. Respon tersebut terlihat juga pada peubah panjang akar. Substrat vermikulit memberikan pertumbuhan akar yang terbaik pada media MS 25% dan IBA 5 mg/l maupun tanpa IBA. Pengaruh vermikulit pada media MS 50% berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan akar , namun vermikulti pada media MS 100% dengan tambahan IBA maupun tidak diberi IBA menyebabkan pertumbuhan akar menjadi menurun. Pengamatan penampilan akar secara visual yang tumbuh pada percobaan ini, sulit dilakukan ketia setek mikro masih di dalam botol kultur. Akar tanaman seringkali tidak terlihat terutama pada setek mikro yang ditanam di media agar. Akar setek mikro yang tumbuh pada media vermikulit tidak dapat diamati dari luar botol, karena media ini memberikan lingkungan tumbuh yang mirip dengan media tanam di lapangan (Gambar 18).
Oleh karena itu pengamatan akar
dilakukan pada akhir pengamatan yaitu pada umur 4 bulan setelah setek mikro.
Media M1
Media M2
Media M3
vermikulit
Gambar 18. Penampilan setek mikro manggis pada berbagai media dan substrat
Penampilan
akar
yang
tumbuh
pada
masing-masing
perlakuan
menunjukkan bahwa akar tumbuh lebih baik dan lebih panjang pada perlakuan konsentrasi komposisi media MS 25% (M3) dan jenis substrat vermikulit (S3) (Gambar 19). Konsentrasi komposisi media MS 100% pada berbagai substrat dan
68
perlakuan IBA kurang dapat menumbuhkan akar. Akar tidak tumbuh dengan baik pada media MS 100%, tetapi pertumbuhan akar menjadi lebih baik ketika konsentrasi
MS dikurangi. Demikian pula pada substrat vermikulit, tanaman
dapat tumbuh akar dengan baik pada jenis substrat ini (Gambar 20).
M1S1I0
M1S1I5
M1S2I0
M1S2I5
M1S3I0
M1S3I5
M2S1I0
M2S1I5
M2S2I0
M2S2I5
M2S3I0
M2S3I5
M3 S3 I0
M3S1I0
M3S1I5
M3S2I0
M3 S3 I5
M3S2I5
1 cm
Gambar 19. Penampilan akar pada percobaan induksi perakaran setek mikro tunas manggis in vitro dengan cara manipulasi media. Ket. M1= MS100%; M2= MS50%; M3= MS25%; S1=agar 7 g/l; S2=agar 4 g/l; S3= vermikulit; I0= IBA 0 mg/l; I5= IBA 5 mg/l
Usaha pengakaran yang dilakukan pada percobaan ini memberikan hasil yang positif, meskipun tidak semua kombinasi perlakuan dapat menumbuhkan akar. Respon yang sama terlihat dari hasil pengukuran diameter akar. Pengaruh komposisi media MS, jenis substrat dan konsentrasi IBA hanya nyata secara tunggal. Konsentrasi komposisi media MS 25% memiliki rataan diameter akar lebih besar dibandingkan MS 50% dan 100%.
Demikian halnya substrat
vermikulit berdiameter akar lebih besar dibandingkan dua perlakuan lainnya. Rataan diameter akar terbesar terdapat pada perlakuan media dengan konsentrasi hara MS 25% (Tabel 9).
69
Tabel 9. Pengaruh konsentrasi komposisi media MS, jenis substrat, dan konsentrasi IBA terhadap diameter akar dan diameter jaringan pembuluh akar 4 bulan setelah perlakuan Diameter akar Diameter jaringan pembuluh Longitudinal Transversal Longitudinal Transversal ---------------------------------mm-----------------------------
Perlakuan
Konsentrasi komposisi media MS 100%
1,48 c
1,31 c
0,56 b
0,51 b
MS 50%
1,80 b
1,61 b
0,53 b
0,48 b
MS 25% Jenis substrat
2,03 a
1,75 a
0,65 a
0,56 a
Agar 7 g/l
1,65 c
1,47 b
0,53 b
0,48 b
Agar 4 g/l
1,79 b
1,59 a
0,59 a
0,52 ab
Vermikulit Konsentrasi IBA
1,86 a
1,62 a
6,64 a
0,55 a
0 mg/l
1,76
1,55
0,57
0,51
5 mg/l 1,78 1,58 0,59 0,52 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 0,05.
Hasil pengukuran diameter akar menunjukkan bahwa diameter akar dari manipulasi media lebih kecil dibandingkan diameter akar kecambah biji di pesemaian. Kecilnya diameter akar dapat mempengaruhi proses penyerapan air dan hara dari dalam tanah.
Oleh karenanya dilakukan juga pengukuran
kandungan hara N, P, K dan gula total daun tanaman setek mikro dan semai biji di pesemaian (Tabel 10). Tabel 10. Diameter akar dan jaringan pembuluh, kandungan hara N, P, K, dan Gula total daun dari tanaman hasil percobaan setek mikro dan kecambah biji di pesemaian pada 4 bulan setelah perlakuan Perlakuan
Diameter akar
Diameter jaringan pembuluh
Longitu Trans Longitu Trans dinal versal dinal versal ----------------------mm---------------------Setek mikro (manipulasi media) Semai Biji
1,77 b 2,27 a
1,75 b 2,04 a
0,65 b 1,12 a
0,56 0,91
N
K
Gula
-----------%----------
mg/g
1,66 1,72
P
0,49 0,58
1,68 1,77
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Anova taraf 0,05.
54,11 54,07
70
Dari Tabel 10 terlihat bahwa pada percobaan setek mikro ini menghasilkan rataan diameter akar yang lebih kecil dibandingkan rataan diameter akar pada kecambah semai biji. Hal tersebut ternyata tidak berpengaruh pada serapan hara N, P, K, maupun gula total daun setek mikro, Nilai hara daun hasil setek mikro ternyata tidak berbeda nyata dibandingkan daun semai biji di pesemaian. Optimalisasi Aklimatisasi Setek Mikro Manggis dengan Teknik Media Steril Porous (MSP)
Pengaruh Media Tanam pada Pertumbuhan Kecambah Manggis Hasil percobaan pengaruh media tanam pada pertumbuhan kecambah manggis menunjukkan bahwa media terbaik untuk panjang akar perkecambahan biji manggis adalah arang sekam + cocopeat (1:1). Pertumbuhan terkecil akar adalah pada semai biji utuh yang ditanam pada perlakuan media arang sekam+tanah, namun secara statistik tidak berbeda dengan perlakuan lainnya kecuali media arang sekam+cocopeat 1:1 (Tabel 11). Tabel 11. Pertumbuhan kecambah semai manggis pada berbagai media tanam 3 bulan setelah tanam
Media Arang sekam+tanah Cocopeat Arang sekam Arang sekam+cocopeat
Jumlah pasangan daun 2,30 2,20 2,00 2,30
Tinggi tanama n ---cm--6,20 b 9,20 a 6,20 b 7,50 ab
Tumbuh akar ---%--100 100 100 100
Panjang akar ---cm--3,7 c 6,1 b 4,2 b 8,5 a
Jumlah akar -buah1,00 1,00 1,70 1,00
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 0,05.
Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah pasangan daun dan jumlah akar semai biji manggis pada berbagai media tanam tidak berbeda nyata.
Tinggi
tanaman kecambah manggis tertinggi terdapat pada media cocopeat dan pada media arang sekam+cocopeat 1:1.
71
Perbandingan Pertumbuhan Setek Mikro Manggis Teknik MSP dan Konvensional Percobaan ini membandingkan pertumbuhan setek mikro menggunakan teknik MSP dan konvensional tanpa diberi perangsang pertumbuhan akar. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa setek mikro yang ditanam secara konvensional tidak berhasil tumbuh akar, sehingga gagal tumbuh. Beberapa setek mikro yang ditanam secara konvensional bertahan selama 3 bulan setelah perlakuan, namun tidak dapat tumbuh
akar. Dengan metode MSP, meskipun tanpa diberi zat
perangsang pertumbuhan akar, 70% setek mikro dapat tumbuh akar (Tabel 12).
Tabel 12. Pertumbuhan setek mikro teknik MSP dan konvensional 3 bulan setelah tanam
Setek Mikro Metode konvensional Metode MSP
Jumlah daun -helai0,17 b 0,67 a
Tinggi tanaman ---cm---0,00 b 0,73 a
Tumbuh akar ---%--0,00 b 70,00 a
Panjang akar ---cm--2,14
Jumlah akar - buah1,00
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Anova taraf 0,05.
Dari Tabel 12 terlihat bahwa setek akar yang ditanam dengan teknik MSP dapat tumbuh akar sedangkan metode konvensional gagal menumbuhkan akar. Setek mikro pada teknik MSP dapat tumbuh akar, namun jumlah akar primer yang terbentuk pada percobaan ini hanya 1.
Perlakuan IBA dan Rootone F pada Setek Mikro Manggis Menggunakan Teknik MSP Perlakuan konsentrasi IBA dan Rootone F (auksin) berpengaruh nyata pada pertumbuhan setek mikro pada metode MSP. Setek mikro yang diberi IBA 50 mg/l dan Rootone F 3 g/l menunjukkan pengaruh terbaik, meskipun pada beberapa peubah, secara statistik
tidak berbeda dengan beberapa perlakuan
lainnya. Pengaruh nayata terlihat pada peubah panjang akar, pertambahan tinggi tanaman dan pertambahan pasangan daun (Tabel 13).
72
Tabel 13. Pertumbuhan setek mikro teknik MSP yang diberi IBA dan Rootone-F 3 bulan setelah tanam Konsentrasi IBA
Knsentrasi Rootone-F
--mg/l--
-----g/l----
Pertambahan pasangan daun
Pertmbahn tinggi tanaman
----cm----
Tumbuh akar
Panjang akar
Jumlah akar
---%---
----cm---
- buah-
0
0
0,75 b
0,93 c
70
2,14 d
1,00
0
3
1,78 a
1,46 a-c
100
5,53 a-c
1,17
0
5
1,00 ab
1,58 a-c
100
4,88 a-c
1,33
25
0
1,56 ab
1,82 ab
100
3,53 cd
1,33
25
3
1,22 ab
1,91 a
100
3,44 cd
1,00
25
5
1,45 ab
1,84 ab
100
4,03 bd
1,17
50
0
1,56 ab
1,12 bc
100
3,59 cd
1,17
50
3
1,00 ab
1,61 a-c
100
6,88 a
1,00
50 5 1,67 a 1,11 c 100 6,12 ab 1,17 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 0,05.
Dari Tabel 13, terlihat bahwa hasil percobaan metode MSP menunjukkan bahwa semua perlakuan setek mikro (baik dengan atau tanpa perlakuan auksin) yang ditanam dengan metode MSP berhasil tumbuh akar. Pertambahan pasangan daun pada semua perlakuan tidak berbeda nyata kecuali pada perlakuan tanpa diberi IBA dan Rootone-F. Pertambahan tinggi tananam juga tidak berbeda nyata. Pertambahan tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan IBA 25 mg/l + Rootone-F 3g/l, yang hanya berbeda nayat dengan perlakuan tanpa IBA dan Rootone-F, IBA 50 mg/l tanpa Rootone-F, dan IBA 50 mg/l + Rootone-F 5 g/l. Persentase tumbuh akar dan jumlah akar tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Setek mikro yang memiliki akar terpanjang adalah perlakuan IBA 50 mg/l+Rootone-F 3g/l, IBA 50 mg/l+Rootone-F 5g/l, Rootone-F 3g/l tanpa IBA, dan Rootone-F 5g/l tanpa IBA. Penampilan
akar
yang
tumbuh
pada
masing-masing
perlakuan
menunjukkan bahwa akar tumbuh lebih baik dan lebih panjang pada perlakuan konsentrasi IBA 50 mg/l + Rootone-F 3 g/l (Gambar 20). Akar setek mikro manggis tumbuh lurus berupa akar tunggang, dan umumnya hanya satu akar.
73
I0R0
I0R3
I0R5
I25R0
I25R3
I25R5
I50R0
I50R3
2 cm
I50R5
Gambar 20. Penampilan akar pada percobaan setek mikro tunas manggis dengan metode media steril porous 4 bulan setelah setek mikro Ket. I0= IBA 0 mg/l; I3= IBA 3 mg/l; I5= IBA 5 mg/l; R0= Rootone F 0 g/l; ; R3= Rootone F 3 g/l; ; R5= Rootone F 5 g/l
Hasil pengukuran diameter akar menunjukkan tidak terdapat interaksi antara kedua kombinasi perlakuan. Pengaruh perlakuan konsentrasi IBA tunggal menunjukkan bahwa akar setek mikro manggis yang diberi perlakuan IBA 50 mg/l memiliki diameter terbesar dibandingkan konsentrasi lainnya. Sedangkan perlakuan Rootone-F 5 g/l memberikan ukuran diameter akar dan jaringan pembuluh akar lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 14).
74
Tabel 14. Diameter akar dan diameter jaringan pembuluh pada perlakuan IBA dan Rootone-F 4 bulan setelah perlakuan
Perlakuan
Diameter akar Longitudinal
Transversal
Diameter jaringan pembuluh Longitudinal
Transversal
---------------------------------mm----------------------------Konsentrasi IBA (mg/l) 0 25 50
1,68 c 1,80 b 2,31 a
1,85 a 1,65 b 1,58 b
0,66 b 0,70 b 0,95 a
0,63 b 0,60 b 0,76 a
1,57 c 1,68 b 1,89 a
0,72 b 0,75 b 0,89 a
0,67 0,64 0,59
Konsentrasi Rootone –F (g/l) 0 3 5
1,83 c 1,94 b 2,11 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 0,05.
Ddiameter akar pada percobaan setek mikro manggis pada sistem MSP lebih kecil dibandingkan akar normal tanaman manggis yang berasal dari semai biji utuh. Akan tetapi hal ini tidak mempengaruhi penyerapan hara dari tanaman hasil setek mikro. Nilai N, P, K dan gula total pada daun hasil setek mikro tidak berbeda nyata dengan tanaman kontrol (berasal dari biji di pesemaian) (Tabel 15).
75
Tabel 15. Diameter akar dan jaringan pembuluh, kandungan hara N, P, K, dan Gula total daun dari tanaman hasil percobaan setek mikro MSP dan kecambah biji di pesemaian pada 4 bulan setelah perlakuan Diameter akar Perlakuan
Longi tudinal
Trans versal
Diameter jaringan pembuluh Longitu Trans dinal versal
---------------------mm------------------------
Setek mikro Semai Biji
1,93 b 2,27 a
1,69 b 2,04 a
0,77 b 1,12 a
0,64 b 0,91 a
N
P
K
Gula
-----------%-----------
mg/g
1,61 1,72
49,97 54,07
0,50 0,58
1,63 1,68
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut Anova taraf 0,05.
PEMBAHASAN
Induksi Tunas In Vitro dari Eksplan Mata Tunas Pucuk Bibit Manggis Pembentukan tunas adventif manggis in vitro selain dari perkecambahan biji dapat
dilakukan melalui organogenesis langsung (pembentukan tunas
langsung dari eksplan daun) dan tidak langsung (pembentukan tunas melalui kalus nodular). Pada penelitian ini dilakukan pengembangan teknologi induksi tunas manggis in vitro dari eksplan mata tunas pucuk bibit manggis, yaitu usaha perbanyakan tunas manggis in vitro yang diambil dari eksplan mata tunas pucuk bibit manggis umur 4 tahun. Tunas in vitro yang didapat dari eksplan mata tunas pucuk bibit manggis umur 4 tahun ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber bahan perbanyakan tanaman manggis.
Sumber bahan perbanyakan ini dapat
digunakan langsung sebagai sumber tunas in vitro maupun sebagai batang atas pada percobaan sambung mikro. Keberhasilan percobaan ini akan dapat memperkaya keberagaman sumber perbanyakan tanaman manggis. Pada percobaan induksi tunas manggis in vitro dari eksplan mata tunas pucuk bibit manggis 4 tahun terlihat bahwa pada media MS tanpa diberi tambahan zat pengatur tumbuh ternyata juga dapat menginduksi tunas in vitro (Gambar 7). Persentase tumbuh tunas yang dihasilkan pada media MS 0 paling rendah yaitu 20% demikian pula media MS+BA 8 mg/l dan media MS+TDZ 0,2 mg/l hanya mampu menginduksi tunas sebesar 30 dan 50%. Media MS + BA 4 + TDZ 0,2 mg/l secara rataan ternyata dapat menginduksi terbentuknya tunas in vitro paling baik (100%), demikian pula dengan media MS+ BA 4 mg/l (80%) dan media MS+BA 8+TDZ 0,2 mg/l (80%). Saat munculnya tunas baru terjadi pada waktu yang beragam. Waktu tercepat secara rataan terlihat pada media MS+BA 4,0+TDZ 0,2 mg/l (14,9 hari), meskipun secara statistik nilai ini tidak berbeda nyata dari perlakuan media MS+BA 4,0 mg/l (15,9 hari), MS+BA 8,0 mg/l (17,7 hari), dan MS+BA 8,0+TDZ 0,2 mg/l (15,5 hari) (Gambar 8). Perlakuan zat pengatur tumbuh yang diberikan pada media untuk multiplikasi tunas menunjukkan bahwa tunas baru yang dihasilkan menunjukkan pertumbuhan ke atas (buku tunas), sehingga dari perlakuan ini belum berhasil
78
didapatkan multiplikasi tunas (Tabel 1). Semua perlakuan kecuali MS0 (tanpa diberi zat pengatur tumbuh) menunjukkan pertambahan buku tunas. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang berbagai konsentrasi dan jenis zat pengatur tumbuh agar dapat dihasilkan multiplikasi tunas. Multiplikasi tunas pada penelitian ini dapat dihasilkan melalui dua cara. Yang pertama adalah mendapatkan jumlah tunas yang lebih banyak (lebih dari satu) untuk setiap eksplan. Cara multiplikasi tunas ini belum berhasil dilakukan karena tunas in vitro yang dihasilkan menunjukkan pertambahan tunas ke atas (pertambahan buku) sehingga satu eksplan hanya dapat menghasilkan satu tunas in
vitro
yang
memiliki
beberapa
buku
tunas.
Yang
kedua
adalah
memisahkan/memotong masing-masing buku tunas agar dapat tumbuh beberapa tunas in vitro baru. Cara multiplikasi tunas inipun belum dapat dilakukan karena buku yang dihasilkan kecil dan memiliki ruas yang sempit sehingga tidak memungkinkan dilakukan pemotongan untuk memisahkan buku tunas tersebut. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman in vitro diregulasi oleh interaksi eksplan dan medium, serta keseimbangan zat pengatur tumbuh yang digunakan (George 1993). Beberapa spesies tanaman, tunas adventif dapat diinduksi dengan konsentrasi sitokinin yang tinggi dibandingkan auksin (Phillips et al. 1995). Tunas baru yang dihasilkan menunjukkan pertumbuhan ke atas. Hal ini mengindikasikan bahwa masih kuatnya sifat dominansi apikal manggis.
pada tunas
Kuatnya dominansi apikal ini menguntungkan, karena dengan
munculnya tunas baru (pasangan daun baru), akan diikuti dengan pemanjangan tunas. Hal ini sangat dibutuhkan bila tunas digunakan sebagai batang atas pada sambung mikro, karena pada tahap penyambungan dibutuhkan ruang yang cukup untuk membuat sayatan. Pemberian zat pengatur tumbuh ternyata dapat meningkatkan panjang tunas pada induksi tunas in vitro dari eksplan tunas manggis. Dari Gambar 9 terlihat bahwa media tanpa zat pengatur tumbuh tidak dapat menumbuhkan tunas baru, sehingga panjang tunasnya tidak bertambah. Sedangkan tunas yang diberi perlakuan BA 1 mg/l + Kinetin 1 mg/l ternyata memiliki pertambahan panjang tunas yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya.
79
Pada tahap pemanjangan tunas, pemberian zat pengatur tumbuh sitokinin tidak boleh dalam konsentrasi terlalu tinggi. Konsentrasi sitokinin yang terlalu tinggi menyebabkan tunas yang terbentuk lebih banyak (roset) akibat tanaman kehilangan sifat dominansi apikal. Penggunaan BAP supraoptimal (>10 mg/l) menyebabkan pembentukan dan perpanjangan tunas menjadi terhambat (Goh et al. 1988). Hal ini akan menyulitkan pada saat tunas akan disambungkan, karena daerah irisan pada sistem sambung celah V saat sambung mikro menjadi lebih sempit, sehingga mengurangi luas daerah pertemuan antara batang bawah dan batang atas. Dari ketiga tahap pertumbuhan tunas tersebut, terlihat bahwa pemberian zat pengatur tumbuh sitokinin sangat berperan dalam induksi dan pemanjangan tunas. Fungsi sitokinin adalah merangsang pembentukan dan perbanyakan tunas aksilar. Menurut Wetherell (1982) peran sitokinin dalam kultur in vitro mempunyai dua peran penting yaitu merangsang pembelahan sel serta pembentukan dan perbanyakan tunas aksilar dan tunas adventif, tetapi kadar sitokinin yang optimum dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan akar. Sitokinin alami yang biasa digunakan adalah zeatin (4-hydroksi-3-methyl-trans-2butenylaminopurine) dan 2-iP (N6-(2-isopentenyl adenine). Sitokinin buatan meliputi BAP/BA (6-benzylaminopurine/ benzyladenine) dan kinetin (6furfurylaminopurine ) (George dan Sherrington 1984 ). Sitokinin dari golongan Benzyladenine (BA)/Benzyl amino Purin (BAP) termasuk dalam kelompok sitokinin purin yang berperan penting dalam pembentukan tunas seperti pada kacang tanah (Victor et al. 1999). Peranan BAP eksogen sangat penting dalam memacu sitokinesis, karena BAP memacu pembelahan sel dan produksi sel lebih cepat dengan cara mempercepat peralihan dari tahap G2 ke mitosis (Salisbury & Ross 1992), meningkatkan laju sintesis protein, mempersingkat waktu tahap S (sintesis) dalam siklus sel sehingga merangsang pertumbuhan dan diferensiasi jaringan atau organ (George 1993). Benzyl adenine dan kinetin merupakan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin, maka proses pembentukan dan perbanyakan tunas dapat berjalan. Kinetin adalah kelompok sitokinin yang berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. (Sriyanti dan Wijayani 1994).
80
Thidiazuron adalah phenylurea sintetik yang dapat berperan sebagai sitokinin aktif untuk induksi tunas pada kultur jaringan tanaman (Murthy & Saxena 1998), juga dapat menginduksi regenerasi tunas pada berbagai tanaman obat
(Bhagwat et al. 1996; Thomas 2003). Beberapa penelitian menyatakan
bahwa TDZ dapat menginduksi regenerasi tunas lebih baik daripada jenis sitokinin lainnya (Thomas 2003). Akan tetapi TDZ memiliki efektivitas yang tinggi pada kisaran konsentrasi yang rendah (Thomas & Katterman 1986). Pengaruh TDZ pada induksi morfogenesis kemungkinan tergantung pada level hormon endogen (Hutchinson and Saxena 1996). Pengaruh sitokinin endogen yang diperoleh dari media diduga akan semakin meningkatkan sitokinin endogen. Kandungan sitokinin endogen semakin meningkat dengan adanya penambahan sitokinin eksogen. Mercier et al. (2003) menyatakan bahwa penambahan 2,0 mg/l BA dan 1,0 mg/l NAA pada media dasar
MS
meningkatkan
kandungan
sitokinin
endogen
terutama
N-
6(2isopentenyl)adenine (iP) yang diduga sebagai pendorong pertumbuhan tunas. Tunas in vitro yang dihasilkan pada percobaan ini dapat digunakan langsung sebagai sumber bahan perbanyakan tanaman, ataupun sebagai batang atas sambung mikro.
Ukuran panjang ruas terbawah diameter tunas in vitro
adalah hal yang harus dipertimbangkan bila tunas in vitro tersebut akan digunakan sebagai batang atas. Panjang ruas terbawah tunas in vitro minimal 3 mm, untuk memberikan ruang yang cukup pada saat pembuatan sayatan baji (huruf V). Diameter tunas yang disarankan adalah 2,0-2,5 mm atau minimal tidak terlalu jauh berbeda dengan ukuran diameter batang bawahnya, agar tingkat keberhasilan sambung mikro lebih besar. Dari hasil percobaan perbanyakan tunas in vitro dari eksplan mata tunas pucuk
bibit
manggis
4 tahun dan percobaan-percobaan organogenesis
langsung/tidak langsung pada tanaman manggis, sudah dapat dihasilkan tunas adventif. Permasalahan yang timbul adalah belum tumbuhnya akar dari tunastunas in vitro tersebut. Oleh karena itu dilakukan upaya pengakaran tunas agar tunas in vitro yang dihasilkan dapat mendukung usaha pengembangan perbanyakan tanaman manggis. Upaya pengakaran dapat dilakukan melaui dua cara.
Pertama
adalah
mengakarkan
tunas
in
vitro
dengan
cara
81
menyambungkannnya dengan tunas manggis yang sudah berakar, yang dikenal sebagai teknik sambung mikro. Alternatif kedua adalah dengan cara mengakarkan tunas manggis in vitro tersebut secara langsung melalui manipulasi media secara in vitro dan dengan cara teknik media steril porous (MSP) di pesemaian. Tunas yang dihasilkan dari percobaan perbanyakan tunas in vitro dari eksplan mata tunas pucuk bibit manggis 4 tahun masih terlalu kecil dan dengan panjang ruas terbawah hanya sekitan 3 mm. Oleh karena itu tunas yang dihasilkan hanya dapat digunakan sebagai salah satu sumber batang atas untuk percobaan sambung mikro, namun tidak dapat digunakan sebagai bahan tanaman untuk percobaan setek mikro. Sumber bahan tanaman yang digunakan pada percobaan sambung mikro dan setek mikro sebagian besar didapatkan dari hasil perkecambahan biji manggis secara in vitro. Sambung Mikro Sambung mikro pada tanaman manggis yang dilakukan pada penelitian ini sudah ada yang berhasil tumbuh dengan baik. Dari 6 percobaan yang dilakukan pada berbagai batang bawah dan batang atas secara in vitro maupun dilakukan di pesemaian ternyata sambung mikro yang memberikan hasil yang baik adalah sambung mikro antara tunas-tunas muda hasil perkecambahan biji (in vitro maupun kecambah manggis di pesemaian) (Tabel 2 dan 4). Sambung mikro yang dilakukan antara tunas yang masih muda hasil perkecambahan biji dengan tunas batang atas yang sudah berumur lebih tua (tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun), tidak berhasil tumbuh dengan baik, tingkat keberhasilan dan pertumbuhannya sangat rendah (Tabel 3). Demikian juga Pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro antara batang bawah tunas kecambah di pesemaian dengan batang atas tunas in vitro memiliki tingkat keberhasilan dan pertumbuhan yang rendah (Tabel 5). Pada sambung mikro dengan menggunakan batang atas yang jauh lebih dewasa (mata tunas dewasa yang langsung disambung dengan batang bawah tunas in vitro) gagal tumbuh. Pada percobaan menggunakan tunas-tunas muda hasil perkecambahan biji in vitro, yaitu batang bawah berasal dari tunas in vitro dengan batang atas juga dari tunas in vitro, interaksi antara jenis batang bawah dan jenis tunas batang atas
82
tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Kedua faktor tersebut secara tunggal memberikan pengaruh pada beberapa peubah yang diamati. Faktor batang bawah secara statistik memberikan pengaruh pada semua peubah yang diamati kecuali jumlah pasangan daun. Adapun faktor jenis tunas memberikan pengaruh pada persentase keberhasilan sambung mikro dan panjang tunas, yaitu tunas trubus memiliki persentase keberhasilan sambung mikro dan panjang tunas yang lebih besar daripada tunas dorman (Tabel 2). Respon yang sama terlihat pada percobaan menggunakan tunas-tunas muda hasil perkecambahan biji di pesemaian, yaitu batang bawah berasal dari tunas kecambah di pesemaian dengan batang atas juga dari tunas kecambah di pesemaian. Faktor batang bawah secara statistik memberikan pengaruh pada semua peubah yang diamati kecuali jumlah pasangan daun. Adapun faktor jenis tunas memberikan pengaruh hanya pada persentase keberhasilan sambung mikro, yaitu tunas trubus memilki persentase keberhasilan sambung mikro dan panjang tunas yang lebih besar daripada tunas dorman (Tabel 4). Perlakuan biji manggis utuh (tanpa dibelah) memiliki pertumbuhan hasil sambung mikro yang lebih baik daripada biji dibelah 4 di hampir semua peubah yang diamati. Hal ini disebabkan karena kuatnya dominansi apikal pada biji utuh. Hidayat (2002), menyatakan bahwa pada kecambah dan manggis muda berasal dari biji utuh, akan tumbuh tanpa cabang karena kuatnya dominansi apikal pada ujung tunas. Tanaman manggis muda baru akan mulai bercabang pada umur 2 tahun. Pada proses sambung mikro yang berhasil, ketika batang bawah asal perkecambahan biji utuh disambungkan, biji manggis tetap berbatang tunggal, tidak ada tunas baru dari bagian biji yang muncul kemudian. Kecenderungan berbatang tunggal ini menyebabkan energi pertumbuhan dialihkan pada apeks, sehingga walaupun disambungkan, pertumbuhan batang atas tetap vigor. Oleh karenanya diperkirakan semua unsur hara yang diserap tanaman akan lebih tertuju pada pertumbuhan hasil sambung mikro. Pada biji dibelah empat kemungkinan dominansi apikalnya telah hilang, terutama karena adanya pelukaan akibat pemotongan biji. Pemotongan biji juga menyebabkan terjadi kontak antara permukaan biji dan media yang mengandung hara dan zat pengatur tumbuh tanaman. Romeida (2007) menyatakan bahwa biji
83
dibelah memiliki jumlah tunas yang tinggi. Biji manggis yang dibelah dengan posisi telungkup dan bagian luka menghadap media menyebabkan terjadi kontak langsung antara media dengan biji manggis yang dilukai. Terbukti dari hasil sambung mikro biji dibelah empat, meskipun sambung mikronya berhasil dengan baik yang ditandai dengan munculnya trubus baru, namun dari bagian dasar biji seringkali juga tumbuh tunas baru. Hal ini menyebabkan energi pertumbuhan tidak sepenuhnya dapat ditujukan untuk pertumbuhan hasil sambung mikro. Tunas trubus memberikan hasil pertumbuhan sambung mikro yang lebih baik daripada tunas dorman. Pengaruhnya terlihat terutama pada hasil sambung mikro menggunakan tunas muda sebagai batang bawah maupun batang atasnya (Tabel 2 dan 4). Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan unsur hara yang terdapat pada tanaman yang sedang dalam fase trubus dan dorman. Rai (2004), menyatakan bahwa bibit manggis muda umur 2 tahun pada fase trubus memiliki kandungan hara N dan P daun yang nyata lebih tinggi daripada fase dorman. Pada fase trubus kandungan N dan P daun adalah 2,75 dan 0,21 %, sedangkan pada fase dorman kandungan N dan P nya adalah 1,13 dan 0,08 %. Hasil analisis jaringan memperlihatkan terjadinya kontak sambungan yang baik antara batang bawah dan batang atas, baik pada hasil sambung mikro in vitro maupun hasil sambung mikro di pesemaian, 4 bulan setelah sambung mikro. Akan tetapi pada sambung mikro yang gagal, terlihat adanya ketidaksesuaian hasil sambungan jaringan xilem batang bawah dan batang atas (Gambar 13). Analisis jaringan sambung mikro tanaman manggis yang berhasil, menunjukkan pertautan sambungan di keempat sisi daerah sambungan yang terbentuk dengan mulus, tidak terlihat adanya jaringan nekrotik atau ronggarongga yang dapat menghalangi bertemunya jaringan lingkaran pembuluh batang bawah dan batang atas. Xilem batang bawah dan batang atas menyatu dengan baik.
Pada hasil sambungan yang gagal terlihat bahwa adanya ketidaksesuaian
letak jaringan pembuluh batang bawah dan batang atas. xilem batang bawah dan batang atas tidak dapat bertemu, bahkan terlihat rongga-rongga di daerah sekitar sambungan sehingga menghalangi kontak jaringan pembuluh batang bawah dan batang atas.
84
Pina dan Errea (2008), menyatakan bahwa pada daerah sambungan yang gagal, akan terjadi transkripsi PAL (Fenilalanin amonia liase) lebih tinggi. PAL adalah enzim kunci dalam sintesis fenolik, yaitu senyawa yang memainkan peran penting dalam pembentukan daerah sambungan, yang ditandai dengan adanya efek akumulasi dalam menanggapi inkompatibilas. Akumulasi PAL yang diikuti dengan terbentuknya senyawa fenolik mengakibatkan terhambatnya suplai hara dari batang bawah ke batang atas, sehingga menyebabkan tunas batang atas kering dan mati. Pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro pada percobaan dengan menggunakan tunas-tunas muda terjadi sangat cepat. Trubus baru sudah tumbuh bahkan pada saat 2 minggu setelah sambung mikro. Hasil analisis anatomi batang bidang sambungan pada umur 2, 10 dan 16 minggu setelah sambung mikro dapat dilihat pada Gambar 14. Pada saat umur sambungan 2 minggu, sudah terbentuk kalus di salah satu sisi daerah sambungan, sehingga memungkinkan adanya tautan bidang sambungan batang bawah dan batang atas. Terbentuknya tautan antara batang bawah dan batang atas itu semakin jelas terlihat pada umur sambungan 10 dan 16 minggu. Tirtawinata (2003) menyatakan, bahwa pembentukan kalus pada semai muda umur 3 bulan, proses penyembuhan luka berlangsung cepat. Kalus cepat sekali terbentuk dan mengisi ruang kosong yang ditinggalkan bekas irisan, sehingga pada pengamatan 15 hari setelah perlakuan hampir tidak nampak lagi bekas luka irisan semula. Pada semai yang lebih tua (12, 24 dan 36 bulan) pembentukan kalus bercampur dengan sel-sel mati yang menimbulkan daerah nekrotik di sepanjang jaringan yang terluka dan juga rongga yang menganga. Pada percobaan sambung mikro antara batang bawah tunas in vitro hasil perkecambahan biji dengan batang atas tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun, pertumbuhannya sangat lambat. Tingkat keberhasilan sambung mikro rendah dengan waktu tumbuhnya trubus baru sangat lambat, setelah mucul trubus baru maka tanaman hasil sambung mikro belum menumbuhkan trubus baru lagi sampai 4 bulan setelah sambung mikro. Pada percobaan yang menggunakan batang atas mata tunas tanaman manggis dewasa di lapangan, mengalami hambatan pertumbuhan, bahkan gagal tumbuh. Hal ini diduga karena adanya
85
perbedaan kecepatan pertumbuhan sel antara sel-sel batang atas dan batang bawahnya. Batang bawah yang berasal dari tunas muda (in vitro maupun semai) memiliki laju pertumbuhan sel yang lebih tinggi daripada batang atas, karena pada tunas muda masih sangat banyak mengandung sel-sel meristematis.
Hal ini
terlihat pada saat terjadinya proliferasi kalus. Pada percobaan sambung mikro antara tunas in vitro sebagai batang bawah dengan tunas in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun sebagai batang atas, kalus tampak lebih aktif terbentuk dari batang bawah dibandingkan batang atasnya. Pada percobaan yang menggunakan batang atas maupun batang bawah tunas muda, proliferasi kalus aktif terjadi baik pada batang bawah maupun batang atas (Gambar 15). Hal tersebut sangat menentukan pertumbuhan dan keberhasilan sambung mikro. Salah satu fungsi penting proliferasi kalus pada daerah sambungan adalah menghasilkan sel sel yang belum terdiferensiasi sebagai jembatan penghubung antara batang bawah dan batang atas, yang nantinya dapat berdiferensiasi menjadi jaringan pembuluh (Moore & Walker 1981). Terputusnya hubungan pada daerah sambungan, dapat menghambat translokasi asimilat dari batang atas ke batang bawah, yang mengakibatkan konsentrasi karbohidrat yang lebih tinggi di bagian atas daerah sambungan (Kawaguchi et al. 2008). Terbatasnya pasokan asimilat ke batang bawah selanjutnya dapat mengakibatkan berkurangnya sistem perakaran. Hal ini akan mengurangi konsentrasi karbohidrat di batang bawah (Tiedermann 1989). Pembentukan kalus yang rendah atau terhambatnya pembentukan kalus antara batang bawah dan batang atas dapat menyebabkan defoliasi, pengurangan pertumbuhan batang atas dan rendahnya kelangsungan hidup tanaman hasil sambungan. Hubungan permukaan batang bawah batang atas dapat menentukan translokasi air dan hara, mempengaruhi sifat fisiologis lainnya. (Oda et al. 2005; Johkan et al. 2009). Ballesta et al. (2010) menyatakan bahwa hubungan batang bawah dan batang atas merupakan dasar untuk pertumbuhan, serapan serta transportasi air dan nutrisi yang optimal. Kekurangan dalam mineral nutrisi dan air dapat menyebabkan pertumbuhan batang atas tertekan dan konsentrasi karbohidrat rendah dalam akar sehingga
pertumbuhan akar akan menurun, dan akan
berpengaruh juga terhadap serapan air dan hara. Hal ini akan mengurangi
86
ketersediaan karbohidrat sebagai sumber energi untuk penyerapan aktif ion. Dengan kata lain, terjadi gangguan fisiologis yang disebabkan oleh diskontinuitas pembuluh gabungan
di daerah sambungan yang
dapat menyebabkan
penghambatan pertumbuhan karena komunikasi terbatas antara batang bawah dan batang atas. Oleh karena itu pada saat pertautan sambungan terjadi hubungan timbal balik antara batang bawah dan batang atas yang sangat mempengaruhi ketersediaan nutrisi bagi kelangsungan pertumbuhan sambungan. Laju pertumbuhan sel yang kemudian akan membentuk kalus pada batang bawah maupun batang atas yang tinggi dapat terjadi apabila tanaman masih banyak memiliki jaringan meristem. Kesamaan laju pertumbuhan sel pada batang bawah maupun batang atas yang kemudian akan membentuk kalus, menjadi penentu utama keberhasilan sambungan. Hal ini ternyata dapat dibuktikan pula pada percobaan pembanding antara sambung mikro dan sambungan konvensional di lapangan (grafting). Perbandingan analisis jaringan bidang sambungan antara tunas yang memiliki usia muda dan tunas-tunas yang berbeda usia juga terlihat pada hasil sambung mikro dan hasil grafting di lapangan. perbandingan yang dilakukan adalah antara sambung mikro menggunakan tunas muda sebagai batang atas dan batang bawahnya dengan grafting yang menggunakan batang bawah bibit umur 3 tahun dan batang atas tunas dewasa yang sudah berproduksi di lapangan. Hasil analisis jaringan batang bidang sambungan (4 bulan setelah sambungan), pada sambung mikro dan grafting di lapangan terlihat bahwa terjadi kontak sambungan yang baik antara batang bawah dan batang atas. Bekas sambungan antara batang bawah dan batang atas pada saat 4 bulan setelah sambungan sudah hampir tidak terlihat lagi. Jaringan xilem antara batang atas dan batang bawah sudah menyatu sempurna menghasilkan xilem gabungan.
Pada hasil grafting di lapangan
meskipun sudah terjadi pertautan batang atas dan batang bawah yang baik, sehingga dapat tumbuh trubus baru, namun hasil pertautan tersebut belum sepenuhnya sempurna, terlihat dengan masih adanya jaringan nekrotik diantara daerah sambungan (Gambar 16). Hasil percobaan pembanding antara sambung mikro dan grafting, juga menunjukkan bahwa sambung mikro memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik.
87
Pada 4 bulan setelah penyambungan, sambung mikro menghasilkan daun baru 1,61 sampai 2,36 pasang (Tabel 2) dan 2,00 sampai 2,46 (Tabel 4), atau rata-rata 2 - 3 kali mengalami trubus baru. Pada hasil grafting di lapangan selama empat bulan pertama setelah dilakukan penyambungan, hanya menghasilkan 1 pasang daun atau sama dengan 1 kali trubus baru (Sofiandi 2006). Salah satu sebab terjadinya stagnasi pertumbuhan bibit hasil grafting adalah karena batang bawah dan terutama batang atas sudah berumur lanjut, daya regenerasi selnya berkurang sehingga jumlah trubusnyapun berkurang akibat periode dormansi yang lebih panjang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hidayat (2005), yang menyatakan bahwa periode dormansi terpendek terdapat pada tanaman manggis berumur 2 tahun (belum bercabang) (38 hari). Setelah manggis membentuk cabang, periode dorman menjadi dua kali lebih panjang (75 hari), bahkan pada tanaman manggis berumur 8 tahun, periode dorman tiga kali lebih panjang (132 hari). Dengan demikian semakin tua tanaman, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan periode dorman semakin panjang. Panjangnya periode dorman tersebut berpengaruh terhadap lamanya menyelesaikan satu periode pertumbuhan tunas (dari trubus awal satu ke trubus awal berikutnya). Ukuran diameter batang dan jaringan pembuluh juga bisa menjadi indikator keberhasilan sambungan pada tanaman manggis.
Hasil pengamatan
ukuran diameter batang manggis (in vitro, semai, dan batang in vitro dari eksplan tunas bibit manggis 4 tahun), terlihat ada perbedaan ukuran antara ketiga jenis batang manggis tersebut (Tabel 6). Ukuran diameter batang in vitro (bagian bawah dan atas) maupun batang semai (bagian bawah dan atas) memiliki ukuran yang hampir sama, atau ukuran batang atas yang sedikit lebih kecil daripada batang bawah.
Hal ini akan sangat memudahkan terbentuknya penyatuan
lingkaran jaringan pembuluh antara batang bawah dan batang atas, sehingga pertumbuhan selanjutnya bisa lebih baik. Pada tunas in vitro yang berasal dari tunas bibit manggis 4 tahun (yang digunakan sebagai batang atas) memiliki diameter batang yang lebih besar. Ukuran diameter batang atas yang lebih besar daripada batang bawahnya akan mengurangi tingkat keberhasilan penyambungan. Ukuran batang atas sebaiknya sama atau sedikit lebih kecil daripada batang bawahnya (Tirtawinata 2003; Sofiandi 2006).
88
Hasil pengamatan anatomi sambungan grafting di lapangan menunjukkan posisi kesesuaian (matching) lingkaran jaringan pembuluh gabungan (joint vascular bundle) menjadi indikator keberhasilan sambungan. Hasil pengamatan anatomi yang diambil pada tiga posisi ruas batang manggis di lapangan (Gambar 17), terlihat ada dua bentuk lingkaran jaringan pembuluh pada batang bawah dan batang atas, yaitu berbentuk bulat dan oval, dengan ukuran diameter batang dan jaringan pembuluh yang berbeda (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa posisi pengambilan tunas batang atas dan posisi pemotongan tunas batang bawah sangat mempengaruhi keberhasilan grafting dan seterusnya dapat mempengaruhi kesesuaian (matching) lingkaran jaringan pembuluh gabungan. Apabila lingkaran jaringan pembuluh batang atas dan batang bawah kurang sesuai maka mengakibatkan pertumbuhan selanjutnya menjadi lambat, karena proses penggabungan sel-sel kedua batang terhambat, bahkan selanjutnya dapat mengakibatkan kegagalan proses grafting. Dari hasil pengamatan anatomi batang manggis in vitro, terlihat hanya ada satu bentuk lingkaran jaringan pembuluh pada batang bawah dan batang atas tunas in vitro, yaitu bulat (Gambar 17) dengan ukuran yang relatif sama (Tabel 7). Hal ini akan sangat memudahkan terbentuknya penyatuan lingkaran jaringan pembuluh pada batang bawah dan batang atas, sehingga pertumbuhan selanjutknya bisa lebih baik. Prawoto (1987) menyatakan bahwa pengamatan anatomi pertautan sambungan sangat erat kaitannya dengan masalah keserasian struktural antara batang atas dan batang bawah. Peristiwa pertama terbentuknya kombinasi yang serasi, adalah sel-sel meristematik dari kedua bagian tanaman saling melekat erat dan terbentuk hubungan langsung yang teratur pada jaringan kedua bagian tanaman. Pertautan yang lebih sempurna antara batang bawah dan batang atas tersebut mengakibatkan terjadinya keseimbangan antara karbohidrat dan nitrogen yang ada di bagian atas sambungan dengan karbohidrat dan nitrogen yang ada pada bagian bawah sambungan. Sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan sempurna (Sofiandi 2006). Estrada-Luna et al. (2002) menyatakan bahwa mekanisme terjadinya pertautan pada sambung mikro in vitro sama dengan yang terjadi secara in vivo
89
yaitu terjadinya kontak kambium antara batang atas dan batang bawah dengan tepat. Bentuk dan ukuran lingkaran jaringan pembuluh yang sama pada batang bawah dan batang atas tunas
muda (in vitro maupun semai), memudahkan
terjadinya kontak kambium dan seterusnya pertumbuhan tanamannya akan berlangsung dengan baik.
Setek Mikro Pembentukan akar dari perbanyakan tunas mikro adalah fase penting dalam perbanyakan tanaman dan menentukan efektivitas dari setiap tanaman (Haq et al. 2009). Tanaman manggis dikenal sebagai tanaman yang sangat miskin sistem perakaran, bahkan ketika dilakukan perbanyakan tanaman vegetatif konvensional, sehingga induksi pengakaran diperlukan terutama pada percobaan in vitro. Percobaan
untuk
memperbaiki
sistem
perakaran
guna
memacu
pertumbuhan bibit manggis telah dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan perendaman biji manggis sebelum semai GA3 (Rais et al. 1996), IBA dan triakontanol (Hidayat et al. 1999), dan pemanfaatan beberapa jenis cendawan mikoriza arbuskula (Muas et al. 2002; Lucia 2005), bahkan insersi bakteri Agrobacterium
rhizogenes (Lizawati 2007) juga pernah dilakukan namun
hasilnya belum memuaskan. Dengan demikian diperlukan usaha untuk meningkatkan perkembangan akar pada tanaman manggis Pembentukan akar dari setek telah dikenal sejak zaman dahulu dan digunakan untuk perbanyakan vegetatif tanaman.
Setek merupakan cara
perbanyakan tanaman secara vegetatif buatan dengan menggunakan sebagian batang, akar, atau daun tanaman untuk ditumbuhkan menjadi tanaman baru (Widiarsih et al 2008). Sistem perbanyakan dengan setek juga dapat dilakukan dalam keadaan aseptik ( setek mikro). Keberhasilan perbanyakan dengan cara setek ditandai oleh terjadinya regenerasi akar dan pucuk pada bahan setek sehingga menjadi tanaman baru yang true to name dan true to type. Regenerasi akar dan pucuk dipengaruhi oleh faktor intern yaitu tanaman itu sendiri dan faktor ekstern atau lingkungan. Salah satu
90
faktor intern yang mempengaruhi regenerasi akar dan pucuk adalah fitohormon yang berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh (Widiarsih et al. 2008). Setek mikro manggis yang dilakuan pada penelitian berusaha diakarkan dalam dua cara, yaitu secara in vitro (dengan cara manipulasi media) dan di pesemaian (dengan menggunakan teknik media steril porous/MSP).
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa akar dapat tumbuh dari setek mikro manggis secara in vitro melalui manipulasi media, maupun di pesemaian dengan menggunakan teknik MSP.
Manipulasi Media pada Setek Mikro Manggis Secara In Vitro Hasil percobaan menipulasi media untuk mengakarkan setek mikro manggis hasil perkecambahan biji, menunjukkan bahwa tidak semua media dapat berhasil menumbuhkan akar. Setek mikro yang ditanam pada media MS 100% yang diberi agar 7 g/l tanpa IBA dan media MS 50% yang diberi agar 7 g/l tanpa IBA tidak dapat tumbuh akar. Dari Tabel 8 terlihat bahwa media MS 100% dan 50% kurang mampu menumbuhkan akar.
Setek tunas mikro manggis yang
ditumbuhkan pada media MS 100% dan 50% yang diberi berbagai substrat dan konsentrasi IBA memberikan pertumbuhan akar yang lebih rendah dibandingkan media MS 25% pada berbagai substrat dan konsentrasi IBA. Respon tersebut terlihat juga pada peubah panjang akar. Substrat vermikulit memberikan pertumbuhan akar yang terbaik ketika diberi media MS 25% dan IBA 5 mg/l maupun tanpa IBA. Pengaruh substrat vermikulit terhadap pertumbuhan akar masih terlihat baik ketika diberi MS 50%, namun ketika vermikulti pada media MS 100% tanpa IBA maupun diberi tambahan IBA pertumbuhan akar menjadi menurun. Media MS mengandung garam mineral dalam konsentrasi yang tinggi. Pada beberapa percobaan, garam MS dipakai pada setengah konsentrasi (BenJaacov & Dax 1981). Penggunaan garam MS menjadi setengah atau bahkan sampai seperempat konsentrasi dilakukan terutama untuk tahap perakaran (Skirvin et al. 1981).
Hal ini akan menyebabkan konsentrasi
menguntungkan bagi perakaran.
N media yang
91
Hasil percobaan Roostika (2005) menunjukkan bahwa media dasar MS tidak mampu menginduksi perakaran manggis, namun pengencerannya (¼ MS) mampu menginduksi perakaran terutama jika dikombinasikan dengan IBA 5 mg/l, sehingga dapat menyebabkan tingkat perakaran sebesar 75%. Tingginya kadar nitrogen dalam media MS konsentrasi penuh (100%) mungkin menyebabkan terhambatnya induksi perakaran pada kultur manggis karena pertumbuhan didominasi oleh tunas. Ketika media dasarnya diencerkan maka konsentrasi N media menguntungkan bagi perakaran, sehingga induksi perakaran menjadi lebih terpacu. Kondisi fisik media yang menunjukkan pengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman pada kultur jaringan adalah kepadatan media, yaitu apakah medianya berbentuk padat atau cair, atau diantaranya. Pada dasarnya, komposisi kimia media pada media padat maupun cair adalah sama, hanya pada media padat ditambahkan agar-agar sebagai bahan pemadat. Pemakaian agar-agar memiliki keuntungan yaitu bahwa media akan membeku pada temperatur kurang dari 45oC dan mencair pada temperatur 100oC, sehingga dalam kisaran temperatur ruang kultur yang digunakan, agar-agar akan berada dalam keadaan membeku yang stabil. Keuntungan lainnya bahwa agaragar tidak dicerna oleh enzim tanaman dan tidak bereaksi dengan senyawasenyawa penyusun media (George Sherrington 1984; Gunawan 1988). Pada media padat, konsentrasi agar yang biasa digunakan berkisar antara 0,6–0,8 %. Bila konsentrasi agar lebih tinggi maka media akan menjadi keras, keadaan ini tidak memungkinkan lagi terjadinya serapan nutrisi oleh jaringan (George & Sherrington 1984). Juga zat penghambat dari eksplan tetap berkumpul di sekitar eksplan (Gunawan 1988). Pada tanaman manggis, pertumbuhan akar sangat dipengaruhi media tumbuhnya.
Akar tanaman manggis menghendaki
media yang porous sehingga mudah ditembus akar. Media agar 7 g/l sepertinya terlalu padat untuk dapat ditembus akar, sehingga setek mikro yang ditanam pada media dengan penambahan agar 7g/l pada media MS berbagai konsentrasi dan penambahan IBA tidak mampu menumbuhkan akar atau pertumbuhan akarnya lebih rendah dari perlakuan lainnya.
92
Perlakuan substrat vermikulit ternyata dapat mendorong pertumbuhan akar. Dari Tabel 8 terlihat bahwa vermikulit merupakan substrat yang memberikan pengaruh terbaik dibandingkan perlakuan lainnya. Vermikulit adalah media anorganik steril yang dihasilkan dari pemananasan kepingan-kepingan mika serta mengandung Potassium dan Helium. Berdasarkan sifatnya, vermikulit merupakan media tanam yang memiliki kemampuan kapasitas tukar kation yang tinggi, terutama dalam keadaan padat dan pada saat basah. Vermikulit dapat menurunkan berat jenis, dan meningkatkan daya serap air jika digunakan sebagai campuran media tanaman. Jika digunakan sebagai campuran media tanam. vermikulit dapat menurunkan berat jenis dan meningkatkan daya absorpsi air sehingga bisa dengan mudah diserap oleh akar tanaman (Adense 2010). Vermikulit mengandung beberapa unsur yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya, yaitu K, Ca, Mg, Fe, Al dan Si. Vermikulit termasuk phyllosilik atau grup silikat dari mineral-mineral dan merangsang pertumbuhan maksimum akar dalam waktu yang singkat (mindat.org 2010). Pada percobaan ini vermikulit ditambahkan media MS cair sehingga terjadi penambahan beberapa unsur hara makro dan mikro yang terkandung dalam media tersebut. Keadaan inilah yang menyebabkan pertumbuhan setek mikro manggis pada media yang disuplemen dengan vermikulit menjadi lebih baik dan dapat menginduksi pertumbuhan akar. Selain pengenceran media dan jenis substrat, penambahan IBA dalam media diharapkan mampu memacu induksi akar. Hasil penelitian Goh et al. (1988) juga memberikan hasil yang serupa di mana penggunaan media MS dengan kandungan IBA 5 mg/l dapat menginduksi perakaran manggis mulai umur dua minggu dengan pernsentase perakaran yang sangat rendah yaitu sebesar 7%. Diantara berbagai auksin, IBA yang paling umum digunakan untuk merangsang perakaran setek mikro karena toksisitas yang lemah dan tingginya tingkat stabilitas (Hartmann et al. 2002). Harison (2006), menjelaskan bagaimana mekanisme penghantaran sinyal sehingga tanaman dapat memberikan respon terhadap adanya atau tidak adanya senyawa auksin.
Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai mekanisme fisiologis
respon tanaman terhadap signal tertentu, yang dapat dibedakan menjadi tiga
93
proses utama yaitu 1) Penerimaan signal (signal perception): merupakan kemampuan untuk mengenali dan menerima signal 2) Penghantaran signal (signal transduction): satu rangkaian proses biokimiawi yang terinduksi setelah sel menerima
signal,
dan
3)
Respon
(response):
respon
terhadap
signal
dimanifestasikan sebagai perubahan dalam fungsi seluler sebagai akibat adanya pengubahan fungsi protein, induksi proses degradasi protein, atau perubahan ekspresi gen. Secara visual akar manggis yang dihasilkan dari kultur in vitro merupakan akar tunggal tanpa percabangan dan tanpa rambut-rambut akar pada planlet yang masih di botol dan yang sudah siap diaklimatisasi, hasil yang serupa diperoleh Goh et al. (1990). Sistem perakaran tersebut mirip dengan sistem perakaran bibit hasil perkecambahan biji. Hal ini menunjukkan bahwa kultur/tanaman manggis mempunyai sistem perakaran yang kurang berkembang dengan baik sehingga penyerapan nutrisi menjadi agak terhambat. Dengan demikian, pertumbuhannya juga menjadi lambat Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan akar dalam kultur in vitro, diantaranya: faktor genetik, media tumbuh, faktor lingkungan, dan zat pengatur tumbuh. Menurut Wattimena (1992) zat pengatur tumbuh (ZPT) di dalam tanaman mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada setiap tingkat pertumbuhan dan perkembangan. Di dalam tanaman terdapat fitohormon yang mendorong pertumbuhan dan perkembangan, serta fitohormon yang menghambat. ZPT akan bekerja secara aditif (sinergis) dengan fitohormon (pendorong) atau antagonis dengan fitohormon yang menghambat. Resultan dari interaksi ini akan tampil dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Optimalisasi Aklimatisasi Setek Mikro Manggis dengan Teknik Media Steril Porous Percobaan setek miro manggis hasil perkecambahan biji menggunakan media steril porous menunjukkan hasil yang baik. Akar manggis dapat tumbuh pada media MSP bahkan ketika setek mikro tidak diberi zat perangsang tumbuh akar sekalipun. Media yang paling baik untuk pertumbuhan perkecambahan biji
94
manggis adalah media cocopeat+arang sekam 1:1, sehingga media ini digunakan untuk teknik MSP. Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan setek mikro menunjukkan bahwa setek mikro hasil perkecambahan biji yang ditanam secara konvensional tidak dapat berhasil tumbuh akar, sehingga setek mikro gagal tumbuh. Adapun setek mikro hasil perkecambahan biji yang dilakukan dengan metode MSP, meskipun tanpa diberi zat perangsang pertumbuhan akar, namun setek mikro 70%, dengan pertambahan tinggi tanaman 0,73 cm. Setek mikro pada teknik MSP juga dapat menumbuhkan akar dengan panjang rata-rata 2,14 cm (Tabel 12). Perlakuan konsentrasi IBA dan Rootone F memberikan pengaruh pada pertumbuhan setek mikro metode MSP. Secara keseluruhan setek mikro yang diberi IBA 50 mg/l dan Rootone F 3 g/l menunjukkan pengaruh yang terbaik, meskipun pada beberapa peubah, secara statistik tidak berbeda dengan beberapa perlakuan lainnya. Pengaruhnya terlihat pada peubah panjang akar, pertambahan tinggi tanaman dan pertambahan pasangan daun (Tabel 13). Hasil percobaan metode MSP menunjukkan bahwa semua perlakuan setek mikro yang ditanam dengan metode MSP berhasil tumbuh akar. Akar tumbuh tidak hanya pada setek mikro yang diberi perangsang pertumbuhan akar saja, namun akar juga berhasil tumbuh pada setek mikro yang tidak diberi IBA dan Rootone F. Akar tanaman manggis menghendaki media yang porous agar mudah ditembus akar. Media campuran antara cocopeat dan arang sekam memberikan hasil pertumbuhan yang paling baik untuk pertumbuhan akar tanaman manggis. Hal ini terlihat dari hasil penelitian pada kecambah manggis biji utuh, serta perbandingan pertumbuhan setek mikro yang ditanam secara konvensional dan MSP tanpa diberi perangsang pertumbuhan akar. Setek mikro yang ditanam secara MSP berhasil menumbuhkan akar sedangkan setek mikro yang ditanam secara konvensional tidak dapat tumbuh akar. Cocopeat adalah media tanam yang dapat digunakan sebagai pengganti tanah, berasal dari sabut kelapa yang diambil seratnya (cocofiber), sehingga menghasilkan butiran-butiran halus. Sebagai media tanam, cocopeat memiliki banyak kelebihan (Khatimah et a.l 2006.; OIV 2012), yaitu:
95
1. Merupakan bahan alami dan dapat diolah kembali sehingga aman terhadap lingkungan 2. Lebih higienis. Tidak mengandung organisme yang dapat merusak tanaman, karena dalam prosesnya telah mengalami sterilisasi oleh air 3. Memiliki pori-pori yang besar yang dapat menyimpan air dalam jumlah banyak sehingga tidak memerlukan intensitas penyiraman yang tinggi 4. Memiliki rongga udara yang tidak terlalu padat sehingga membuat sirkulasi udara yang sangat baik untuk perakaran tanaman. 5. Dapat meminimalisir pengaruh panas dan defisiensi air terhadap tanaman 6. Kadar garam rendah 7. Menggemburkan tanah dengan pH netral dan ramah lingkungan Dari kelebihan-kelebihan tersebut, cocopeat dapat dijadikan sebagai media yang baik karena memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi media tanam agar tanaman dapat tumbuh subur. Cocopeat disebutkan memiliki pH 5,8-7,0 dan kemampuan menyimpan air 73%. Pada kondisi itu tanaman optimal menyerap unsur hara, karena derajat keasaman ideal yang diperlukan tanaman adalah 5,5-6,5 (OIV 2012). Arang sekam juga dapat digunakan untuk media pertumbuhan tanaman. Arang sekam merupakan limbah pertanian dapat berbentuk bahan buangan tidak dimanfaatkan dan bahan sisa dari panen padi.
Sekam dikategorikan sebagai
biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak, dan energi. Ditinjau dari komposisi kimiawinya, sekam mengandung beberapa unsur penting seperti protein, lemak, karbohidrat kasar, karbon, oksigen dan hidrogen (Lampiran 4). Dengan komposisi kandungan kimia seperti itu, sekam merupakan media yang baik utk pertumbuhan tanaman. Media ini bersifat porous, ringan dan tidak mudah lapuk. Akan tetapi penggunaan media ini seringkali harus dikombinasikan dengan media lain karena kurang dapat menyimpan air. Campuran media cocopeat dan arang sekam pada teknik MSP ternyata memberikan pengaruh yang baik pada pertumbuhan tanaman setek mikro dari planlet manggis. Pertumbuhan tinggi tanaman dan pertambahan jumlah daun, serta pertumbuhan akar yang baik menjadikan media ini dapat dijadikan media
96
pertumbuhan yang akan digunakan untuk percobaan setek mikro dengan menggunakan teknik MSP. Media yang paling sesuai untuk aklimatisasi planlet manggis adalah campuran media yang memiliki unsur kemampuan menahan air, aerasi yang baik, dan suplai hara yang memadai bagi pertumbuhan dan perkembangan planlet. Faktor
lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman. Faktor lingkungan tempat tumbuh yang sangat berpengaruh adalah cahaya, suhu, kelembaban, serta unsur hara yang terkandung di dalam tanah (media). Peranan penting suhu terhadap pertumbuhan tanaman yakni pada suhu yang tinggi dapat meningkatkan respirasi, namun sebaliknya dapat menurunkan fotosintesa. Kelembaban udara pun menentukan pertumbuhan stek sebelum stek tersebut dapat berakar. Bila kelembaban rendah stek akan mati, karena umumnya stek miskin dalam kandungan air sehingga stek akan mengalami kekeringan sebelum membentuk akar (Rochiman & Harjadi 1973). Menurut Yasman & Smits (1988), kelembaban udara diusahakan mendekati 100 % selama perakaran berlangsung. Rata-rata kelembaban udara pada saat penelitian berkisar antara 6486 %, suhu 24,3-29,1 oC dan intensitas cahaya siang hari adalah 10.078 lux. Widiarsih et al. (2008) menyatakan, faktor lingkungan tumbuh setek yang cocok sangat berpengaruh pada terjadinya regenerasi akar dan pucuk. Lingkungan tumbuh atau media pengakaran seharusnya kondusif untuk regenerasi akar yaitu cukup lembab, evapotranspirasi rendah, drainase dan aerasi baik, suhu tidak terlalu dingin atau panas, tidak terkena cahaya penuh (200-100 W/m2) dan bebas dari hama atau penyakit. Tanaman setek lebih baik ditumbuhkan pada suhu 12°C hingga 27°C. Durasi dan intensitas cahaya yang dibutuhkan tanaman sumber tergantung pada
jenis
tanaman,
sehingga
tanaman
sumber
seharusnya
ditumbuhkan pada kondisi cahaya yang tepat Naungan dan media tanam mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi. Intensitas naungan berpengaruh positif terhadap keberhasilan tanaman untuk bertahan hidup. Semakin teduh tempat setek mikro diletakkan, maka kemungkinan planlet bertahan hidup semakin besar (Siagian 2009). Hasil percobaan metode MSP menunjukkan bahwa semua perlakuan setek mikro hasil perkecambahan biji yang ditanam dengan metode MSP berhasil
97
tumbuh akar. Akar tumbuh tidak hanya pada setek mikro yang diberi perangsang pertumbuhan akar saja, namun akar juga berhasil tumbuh pada setek mikro yang tidak diberi IBA dan Rootone F. Penampilan akar yang tumbuh pada masingmasing perlakuan menunjukkan bahwa akar tumbuh lebih baik dan lebih panjang pada perlakuan konsentrasi IBA 50 mg/l+Rootone-F 3g/l, IBA 50 mg/l+RootoneF 5g/l, Rootone-F 3g/l tanpa IBA, dan Rootone-F 5g/l tanpa IBA . Pemberian IBA sebagai salah satu jenis auksin sintetis, terbukti dapat meningkatkan perakaran, tetapi dibutuhkan konsentrasi yang tepat dalam penggunaannya, agar diperoleh perakaran optimal. Hal ini disebabkan karena pada konsentrasi rendah, IBA akan mendorong pemanjangan akar dan pembentukan akar (Heddy, 1989). Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Danoesastro (1964), bahwa keefektifan zat tumbuh eksogen hanya terjadi pada konsentrasi tertentu. Pada konsentrasi terlalu tinggi dapat merusak, sedangkan pada konsentrasi yang terlalu rendah tidak efektif. Mekanisme pembentukan akar yaitu : Auksin akan memperlambat timbulnya senyawa-senyawa dalam dinding sel yang berhubungan dengan pembentukan kalsium pektat, sehingga menyebabkan dinding sel menjadi lebih elastis (Hastuti 2002). Akibatnya sitoplasma lebih leluasa untuk mendesak dinding sel ke arah luar dan memperluas volume sel. Selain itu, auksin menyebabkan terjadinya pertukaran antara ion H+ dengan ion K+. Ion K+ akan masuk ke dalam sitoplasma dan memacu penyerapan air ke dalam sitoplasma tersebut untuk mempertahankan tekanan turgor dalam sel, sehingga sel mengalami pembentangan. Setelah mengalami pembentangan maka dinding sel akan menjadi kaku kembali karena terjadi kegiatan metabolik berupa penyerapan ion Ca+ dari luar sel, yang akan menyempurnakan susunan kalsium pektat dalam dinding sel. Dalam hal ini, IBA pada konsentrasi tersebut mampu mengoptimalkan perakaran, sehingga penyerapan nutrien dapat dilakukan secara optimal. Nutrien yang diserap tersebut selanjutnya akan digunakan untuk mendukung pertumbuhan tanaman, sebelum cadangan makanan yang dimiliki habis. Setek batang nilam terdapat auksin endogen, tetapi konsentrasi auksin endogen yang terdapat dalam tanaman tersebut tidak mampu untuk mempercepat pertumbuhan akar, sehingga pengambilan nutrien menjadi rendah. Pengambilan nutrien yang rendah
98
menyebabkan kurangnya nutrien yang masuk untuk menggantikan cadangan yang telah habis, sehingga tanaman tersebut akan mati. Rootone-F sebagai salah satu hormon tumbuh akar yang banyak dipergunakan akhir-akhir ini, dijumpai dalam bentuk tepung putih dan berguna untuk mempercepat dan memperbanyak keluarnya akar-akar baru, karena mengandung bahan aktif dari hasil formulasi beberapa hormon tumbuh akar yaitu IBA, IAA, dan NAA (Dephut 1988). Penggunaan Rootone-F sebagai hasil kombinasi dari ketiga jenis hormon tumbuh di atas lebih efektif merangsang perakaran dari pada penggunaan hanya satu jenis hormon secara tunggal pada konsentrasi sama. Pemberian Rootone-F merangsang proses morfologis yaitu pembentukan kuncup lateral dan pertumbuhan akar baru pada jaringan kalus yang terbentuk pada setek. Jaringan kalus yang terbentuk pada setek sebagai akibat respons tumbuhan terhadap pemberian Rootone-F berfungsi untuk memacu proses diferensiasi sel pada jaringan merismatik, dimana jaringan merismatik pada batang mengandung meristem difus yang memiliki jumlah sel sedikit dan aktivitas selnya rendah sehingga dibutuhkan hormon eksternal (Rootone-F) untuk pertumbuhannya. Rootone-F yang diberikan pada setek akan bekerja secara bersama-sama dengan hormon alami yang akan diproduksi pada tanaman untuk mempercepat pembentukan kalus. Semakin cepatnya kalus terbentuk pada bagian potongan dasar stek tanaman, akan lebih cepat terbentuk akar kerena akar akan berdiferensiasi dari kalus. Pemberian Rootone-F juga menyebabkan munculnya akar liar di daerah ruas batang bagian bawah (Salisbury & Ross, 1995). Pada tanaman dikotil, akar adventif juga dapat beregenerasi dari batang. Sel-sel pendiri sering terletak di antara jaringan pembuluh. Selama proses perkembangan tanaman, kambium sekunder berasal dari sel-sel ini yang menunjukkan bahwa mereka belum sepenuhnya berdiferensiasi. Pembentukan akar adventif dari stek telah dikenal sejak zaman dahulu dan digunakan untuk perbanyakan vegetatif tanaman. Hartmann et al. (2002) menjelaskan bagaimana pelukaan pada tahap setek dapat menginduksi terbentuknya akar. Sel-sel hidup di sekitar permukaan daerah
99
yang luka akan merespon pelukaan akibat pemotongan batang pada saat setek. Respon pelukaan adalah: 1. Sel-sel terluar dari daerah pelukaan akan mati dan membentuk lapisan jaringan nekrotik.
Jaringan nekrotik ini diperlukan untuk melindungi
daerah luka dari serangan pathogen. 2. Sel-sel hidup di sekitarnya akan membelah dalam beberapa hari setelah pelukaan, sel-sel parenkim akan membentuk kalus 3. Sel-sel di sekitar jaringan pembuluh floem akan membelah dan mulai membentuk akar adventif. Tahap selanjutnya yang terjadi adalah pembentukan akar adventif : 1. Proses dediferensiasi selular 2. Proses Inisiasi (permulaan pertumbuhan) sekelompok sel-sel meristematik (disebut inisiasi akar) 3. Perkembangan selanjutnya dari insisiasi akar mejadi primordia akar 4. Pertumbuhan dan munculnya primordia akar dari bagian batang yang mengalami pelukaan akibat pemotongan pada saat setek.
Masalah dan Pendekatan Masalah Pengembangan budidaya tanaman manggis menghadapi berbagai kendala, diantaranya adalah lambatnya pertumbuhan, sehingga umur tanaman sebelum menghasilkan sangat lama (Poerwanto 2000).
Penyebab hal ini diantaranya
karena sistem perakaran yang buruk dimana akar sedikit, tidak ada bulu akar, jumlah akar lateral sangat sedikit (Verheij & Coronel 1992). Adanya sumber keragaman genetik manggis di berbagai daerah Indonesia memberikan harapan bagi pengembangan tanaman manggis. Akan tetapi tanaman manggis di sentra produksi tidak tumbuh berkelompok secara monokultur tetapi bercampur dengan pohon-pohon lain dan umumnya sudah tua umurnya. Peremajaan belum banyak dilakukan karena lambatnya pertumbuhan dan lamanya tanaman mulai berbuah. Selain itu biji manggis bersifat rekalsitran dan hanya tersedia pada musim tertentu ketika musim berbuah (1-2 kali setahun), masingmasing buah hanya menghasilkan 1-2 biji yang berukuran besar dan yang layak untuk dijadikan benih.
100
Perbanyakan tanaman manggis dengan grafting diharapkan dapat memecahkan masalah lamanya menunggu masa berbuah pertama, yang disebabkan panjangnya fase juvenile pada tanaman manggis.
Grafting pada
tanaman manggis menggunakan batang bawah bibit tanaman manggis umur 2-3 tahun hasil dari perkecambahan biji. Batang atas yang digunakan adalah tunas plagiotrop dari tanaman manggis dewasa yang telah berproduksi di lapangan. Kelemahan grafting dengan menggunakan tunas plagiotrop adalah tanaman manggis hasil grafting akan kerdil, tidak ada sentralistik pertumbuhan sehingga tanaman tumbuh ke samping, pertumbuhannya terhambat, bahkan mengalami stagnasi pertumbuhan. Grafting
dengan
menggunakan
batang
atas
cabang
orthrotrop
menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dari cabang plagiotrop, dan tidak mengalami kendala pertumbuhan. Tantangan dari penggunaan cabang orthotrop sebagai batang atas adalah jumlahnya sangat terbatas dan tumbuh di bagian atas pohon sehingga sulit dijangkau. Usaha mendapatkan perbanyakan tunas dari cabang orthotrop secara massal dapat dilakukan dengan sistem perbanyakan in vitro. Keterbatasan jumlah tanaman dan jumlah tunas orthotrop manggis, serta sulitnya tumbuh akar pada tanaman manggis, menyebabkan perbanyakan melalui penyambungan konvensional di lapangan menjadi sulit dilaksanakan. Tanaman manggis juga tidak diperbanyak dengan cara cangkok dan setek karena sulitnya tumbuh akar. Perbanyakan vegetatif manggis dengan okulasi juga tidak mungkin dilakukan karena mata tunas manggis tersembunyi diantara kedua tangkai daun. Oleh karenanya harus dilakukan perbanyakan massal tunas manggis orthotrop agar mendukung upaya perbanyakan tanaman manggis. Perbanyakan tanaman manggis secara in vitro diharapkan dapat menjadi solusi dari permasalahan keterbatasan tunas orthotrop tersebut. Perbanyakan tanaman manggis secara in vitro seringkali menghadapi kendala perakaran.
Hal ini terjadi pada hasil perbanyakan tunas dari
organogenesis langsung maupun tidak langsung (dari eksplan daun), bahkan juga dapat terjadi pada tunas yang berasal dari eksplan potongan biji (Qosim 2006).
101
Upaya pengakaran tunas manggis yang sulit berakar pada penelitian ini dilakukan dengan dua pendekatan yaitu melalui sambung mikro dan setek mikro. Pada percobaan sambung mikro yang dilakukan secara in vitro maupun di pesemaian hasil perkecambahan biji menunjukkan keberhasilan hasil sambungan. Tunas in vitro yang tidak dapat berakar dapat disambungkan dengan tunas manggis hasil perkecambahan biji yang sudah berakar sebagai batang bawahnya baik secara in vitro maupun di pesemaian. Tingkat keberhasilan sambungan akan semakin besar bila sambung mikro dilakukan pada tunas-tunas muda, batang bawah adalah tunas muda (in vitro atau semai) hasil perkecambahan biji utuh dengan batang atas tunas muda (in vitro atau semai) hasil perkecambahan biji yang sedang dalam fase trubus. Sambung mikro manggis yang dilakukan pada tunas-tunas muda hasil perkecambahan biji (in vitro atau semai) sebagai batang bawah maupun batang atas, memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Sambung mikro in vitro memiliki tingkat keberhasilan tertinggi sebesar 82,82%, sedangkan sambung mikro di pesemaian memiliki tingkat keberhasilan tertinggi 86,89%.
Keberhasilan
sambung mikro juga terlihat pada pertumbuhan tanaman hasil sambungan, yang menunjukkan laju pertumbuhan yang baik. Pada empat bulan setelah sambungan, tanaman hasil sambung mikro in vitro dapat memiliki panjang tunas 2,29 cm dan jumlah pasangan daun baru 2,36, sedangkan tanaman hasil sambung mikro di pesemaian dapat menghasilkan panjang tunas 3,47 cm dengan jumlah pasangan daun baru 2,46 (Tabel 2 dan 4). Tanaman hasil sambung mikro ternyata memiliki laju pertumbuhan yang tidak berbeda dari tanaman manggis hasil pesemaian biji. Dari hasil pengamatan selama penelitian diketahui bahwa pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro tidak berbeda dari pertumbuhan bibit semai yang berasal dari perkecambahan biji di pesemaian. Dalam empat bulan setelah sambung mikro dilaksanakan, tanaman hasil sambung mikro dapat menghasilkan dua sampai tiga kali trubus baru, sama seperti pertumbuhan bibit semai hasil perkecambahan biji. Pada enam bulan setelah sambungan, tanaman sambung mikro mengalami 3 kali trubus baru dan pada saat 15 bulan setelah sambung mikro, tanaman dapat menghasilkan trubus baru sebanyak enam kali.
Jumlah trubus itu hampir sama seperti pada
102
perkecambahan biji. Hidayat (2005) menyatakan bahwa dalam dua tahun pertama setelah benih disemai, bibit manggis dapat mengalami trubus sampai lima kali. Dengan pemeliharaan yang baik, diyakini bahwa tanaman hasil sambung mikro akan tumbuh baik di lapangan. Pada penelitian ini, sambung mikro tidak ditujukan untuk mempersingkat masa juvenil, karena tunas batang bawah dan batang atas yang digunakan keduanya masih berusia muda. Alasan digunakannya tunas-tunas muda adalah untuk mengakarkan tunas manggis yang mengalami kegagalan pertumbuhan akar, meningkatkan keberhasilan sambungan, dan mengurangi stagnasi di lapangan. Penyambungan pada batang tanaman yang masih muda juga memudahkan pengamatan anatomi, karena sambung mikro bisa dilakukan dalam waktu yang lebih singkat daripada grafting konvensional. Keberhasilan sambung mikro juga diperlukan untuk mendukung pengembangan budidaya tanaman dan hasil induksi mutasi yang mengalami kegagalan pertumbuhan akar. Upaya pengakaran tunas manggis juga dapat berhasil dilakukan dengan cara setek mikro. Tanaman manggis yang selama ini tidak pernah diperbanyak dengan cara setek karena sulitnya tumbuh akar, ternyata dengan cara setek mikro, tunas manggis dapat berakar. Pada penelitian ini setek mikro dilakukan secara in vitro melalui manipulasi media tanam dan di pesemaian dengan cara teknik media steril porous (MSP). Setek mikro yang dilakukan pada batang tanaman manggis hasil perkecambahan biji secara in vitro dengan memanipulasi media tumbuh ternyata dapat menyebabkan tunas mikro 80% berakar dengan panjang akar terpanjang 4,38 cm.
Setek mikro di pesemaian dengan teknik MSP ternyata dapat
menyebabkan tunas mikro berakar bahkan pada perlakuan tanpa diberi zat perangsang pertumbuhan akar sekalipun. Tunas mikro yang ditanam dengan teknik MSP yang diberi IBA dan Rootone-F pada berbagai konsentrasi dapat menyebabkan tunas mikro 100% berakar dengan panjang akar terpanjang 6,88 cm (Tabel 8 dan 13). Laju pertumbuhan tanaman hasil setek mikro pada batang hasil perkecambahan biji ternyata tidak sebaik tanaman hasil sambung mikro. Pada empat bulan setelah dilakukan setek mikro in vitro menghasilkan jumlah pasangan
103
daun baru maksimal hanya 1,75, sedangkan
tunas mikro teknik MSP
menghasilkan jumlah pasangan daun baru maksimal hanya 1,78 saja. Pengamatan sampai dua bulan kemudian (6 bulan setelah setek mikro) belum menunjukkan adanya penambahan pertumbuhan daun. Hal ini menunjukkan bahwa sampai 6 bulan setelah setek mikro, tanaman hanya mengalami 1 sampai 2 kali trubus, padahal pada tanaman hasil sambung mikro dan semai biji konvensional dapat mengalami 2 sampai 3 kali trubus. Penyebab lambatnya pertumbuhan tanaman setek mikro dibandingkan tanaman hasil sambung mikro adalah karena tanaman membutuhkan energi yang besar untuk tumbuh akar. Pada tanaman hasil sambung mikro tidak membutuhkan energi terlalu besar untuk menumbuhkan akar, karena tunas yang dipilih sebagai batang bawah adalah tunas manggis yang memang sudah berakar.
Aplikasi Praktis Penelitian sambung mikro dan setek mikro ini merupakan penelitian dasar yang akan sangat bermanfaat bagi pengembangan budidaya tanaman manggis. Hasil penelitian ini juga akan sangat bermanfaat bagi penelitian mengenai peningkatan keanekaragaman genetik melalui pemuliaan inkonvensional, yang seringkali tidak dapat tumbuh menjadi tanaman dewasa karena kegagalan pertumbuhan akar. Percobaan sambung mikro dan setek mikro pada penelitian ini dilakukan secara in vitro maupun di pesemaian. Hasil penelitian menunjukkan keduanya memberikan hasil yang baik, bahkan setek mikro yang dilakukan di pesemaian dengan menggunakan teknik MSP dapat menyebabkan setek mikro tanaman manggis berakar. Perbanyakan tanaman secara in vitro membutuhkan ketelitian, keterampilan, dan lingkungan yang steril untuk mencegah kontaminasi dan memperbesar tingkat keberhasilan. Oleh karenanya sambung mikro dan setek mikro yang dilakukan secara in vitro di laboratorium memiliki resiko kegagalan yang lebih tinggi dibandingkan yang dilakukan di pesemaian. Secara umum penelitian sambung mikro dan setek mikro tanaman manggis ini dapat dilakukan kembali oleh siapapun, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan untuk memilih aplikasi teknologi perbanyakan mana
104
yang akan diambil.
Tingkat kesulitan, resiko kontaminasi, keterampilan,
kesabaran, biaya alat dan bahan, serta tujuan dilakukan teknik perbanyakan adalah hal-hal penting yang harus dipertimbangkan. Perbanyakan dengan cara setek mikro di pesemaian dengan menggunakan teknik MSP adalah cara perbanyakan yang paling mudah dilakukan, tidak membutuhkan tingkat keterampilan yang tinggi, resiko kegagalan lebih kecil, dan tidak membutuhkan alat dan bahan yang mahal dibandingkan setek mikro in vitro atau sambung mikro in vitro dan sambung mikro di pesemaian. Kelemahan dari sistem perbanyakan setek mikro adalah laju pertumbuhan tanaman hasil setek mikro masih lebih lambat bila dibandingkan tanaman hasil sambung mikro ataupun tanaman hasil perkecambahan biji konvensional. Setek mikro in vitro maupun teknik MSP juga memerlukan tunas dengan panjang minimal 3 cm dengan jumlah daun minimal 1 pasang, agar setek mikro dapat tumbuh akar dan berkembang menjadi tanaman utuh. Sambung mikro antara tunas-tunas muda memiliki tingkat keberhasilan serta laju pertumbuhan yang tinggi.
Teknik ini membutuhkan keterampilan
melakukan sambungan batang bawah dan batang atas, serta alat dan bahan yang mahal untuk sambung mikro in vitro. Teknik sambung mikro in vitro memiliki resiko kontaminasi di laboratorium, oleh karenanya sambung mikro di pesemaian lebih praktis dilakukan. Pemilihan teknik perbanyakan tanaman juga tergantung dari tujuan penggunaannya. Teknik perbanyakan tanaman untuk mendukung pengembangan budidaya manggis
hasil
pemuliaan tanaman non konvensional mutlak
membutuhkan teknik in vitro.
Teknik sambung mikro in vitro juga hanya
membutuhkan mata tunas serta ruas tunas terbawah yang panjangnya minimal 3-5 mm untuk membuat sayatan baji. Oleh karena itu untuk mendukung pengembangan tanaman hasil pemuliaan non konvensional lebih tepat dilakukan perbanyakan tanaman dengan sistem sambung mikro in vitro. Tujuan akhir dari setiap penelitian pertanian adalah aplikasinya di lapangan. Bagaimana agar hasil penelitian yang sangat bermanfaat itu dapat diaplikasikan, dan dapat dilakukan kembali oleh siapapun, tidak hanya terbatas pada para peneliti dan mahasiswa saja. Tingginya tingkat keberhasilan dan
105
pertumbuhan tanaman hasil penelitian ini menjadikan dasar penggunaan teknik sambung mikro dan setek mikro untuk mendukung perbanyakan tanaman manggis, untuk hasil pemuliaan tanaman konvensional maupun non konvensional.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pengakaran tunas manggis dapat dilakukan dengan teknik sambung mikro dan setek mikro. 2. Media terbaik untuk menginduksi pertumbuhan tunas in vitro dari eksplan tunas manggis, adalah media MS yang mengandung Benzyl adenin 4,0 + Thidiazuron 0,2 mg/l, Benzyl adenin 8,0 + Thidiazuron 0,2 mg/l atau Benzyl adenin 4,0 mg/l. Media multiplikasi tunas belum dapat menghasilkan multiplikasi tunas. Media pemanjangan tunas terbaik adalah media MS+ Benzyl adenin 1 mg/l + Kinetin 1 mg/l. 3. Faktor penentu keberhasilan sambung mikro adalah luas pertemuan meristem antara batang bawah dan batang atas, kecepatan pertumbuhan sel yang seimbang antara sel-sel batang bawah dan batang atas, dan kesamaan ukuran serta keserasian struktural antara batang bawah dan batang atas. Tunas batang bawah berasal dari perkecambahan biji utuh secara tunggal menunjukkan keberhasilan dan pertumbuhan tanaman hasil sambung mikro yang lebih baik dibandingkan tunas dari perkecambahan biji dibelah empat, demikian halnya tunas trubus memiliki keberhasilan dan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan tunas dorman. Hasil pengamatan anatomi jaringan (4 bulan setelah sambung mikro), menunjukkan adanya penyatuan lingkaran jaringan pembuluh pada batang bawah dan batang atas yang sangat baik. Jaringan xilem antara batang atas dan batang bawah sudah menyatu sempurna. 4. Konsentrasi komposisi media MS 25% pada berbagai substrat dengan atau tanpa penambahan IBA menyebabkan tunas mikro tumbuh akar sebesar 5080% dengan panjang akar 1,80- 4,38 cm. 5. Teknik Media Steril Porous (MSP) / In Vitro Soil-less Propagation (IVS) dapat menyebabkan tunas mikro berakar bahkan pada perlakuan tanpa diberi zat perangsang pertumbuhan akar. Setek mikro teknik MSP yang diberi IBA 50 mg/l dan Rootone-F 3 g/ menghasilkan pertumbuhan akar hingga 100% dengan panjang akar 6,88 cm.
108
Saran
1. Dilakukan penelitian lanjutan untuk meningkatkan keberhasilan dan menghasilkan multiplikasi tunas dari eksplan mata tunas pucuk bibit manggis. 2. Penelitian sambung mikro dan setek mikro selanjutnya dilakukan dengan menggunakan tunas hasil multiplilkasi tunas dari eksplan mata tunas pucuk bibit manggis. 3. Perlu kajian faktor-faktor keberhasilan setek mikro dan aplikasi metode MSP untuk produksi bibit skala besar.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Buah-buahan di Indonesia 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id subyek=55& notab =3. [15 Februari 2012]. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1988. Pedoman Penggunaan Hormon Tumbuh Akar pada Pembibitan Beberapa Tanaman Kehutanan. Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. [OIV] Organic Indonesian Vanila. 2008. Tentang Sabut Kelapa. http://organic indonesianvanilla.blogspot.com/2008/09/tentang-sabut-kelapa.html [27-62012] Adense. 2010. Media tanam. http://feqrastafara.blogspot.com/2010/01/mediatanam.html . [ 14-11-2011]. Almeyda N, Martin FW. 1976. Cultivation of neglected tropical fruit with promise, Part 1. : The Mangosteen in : Agricultural Research Service, USDA. Amiri EA. 2006. In vitro techniques to study the shoot-tip grafting of Prunus avium L. (cherry) var. Seeyahe Mashad. Journal of Food, Agriculture & Environment 4 (1): 151-154. Arrilaga I, Lerma V, Segura J. 1992. Micropropagation of juvenile and adult flowering ash. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 117 (4) : 663-667. Ashari S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Ballesta MCM, López CA, Muries B, Cadenas CM, Carvajal M. 2010. Physiological aspects of rootstock–scion interactions. Sci. Hort. 127 (2010) 112–118. Ben-Jaacov J. Dax E. 1981. In vitro propagation of Gravillea rosmarinifolia. HortScience. 16: 309-310. Bhagwat B, Vieria LGE, Erickson LR. 1996. Stimulation of in vitro benzyladenine and gibberellic acid. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 46: 1-7. Cox JEK. 1976. Garcinia mangostana – mangosteen. p. 361-375. in Gardner RJ and Choudori SA (eds). The Propagation of Tropical Fruit Trees. FAO and CAB. England.
110
Cruz FSD. 2001. Status report on genetic resources of mangosteen (Garacinia mangostana L.) in Southeast Asia. IPGRI. India Danoesastro H. 1964. Zat Pengatur Tumbuh dalam Pertanian. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. De Klerk GJ. 2002. Rooting of microcuttings: theory and practice. In vitro cell. Dev. Biol.—Plant 38:415–422. Estrada-Luna A, Lopez-Peralpa C, Cardenas-Soriano E. 2002. In vitro micrografting and the histology of graft union formation of selected species of prikly pear cactus (Opuntia spp.). Sci.Hort. 92:317-327. Fauza H, Murdaningsih, Karmana H, Rostini N, dan Mariska I. 2003. Variabilitas genetik manggis hasil iradiasi Sinar gamma melalui analisis RAPD. Zuriat, vol. 14, no.2. Gebhardt K, Goldback H. 1988. Establishment, graft union characteristics and growth of Prunus micrografts. Physiol. Plant. 72 : 153-159. George EF, Sherington PD, 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetics Ltd. Eversley Basingstoke, Hants. England. George EF. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture. 2nd Edition. Exegetics Limited. England. Goh HKI, Rao AN, Loh CS. 1988. In vitro planlet formation in mangosteen (Garcinia mangostana L.). Annual of Botany 62 : 87-93. Goh HKL, Rao AN, Loh CS. 1990. Direct shoot bud formation from leaf explants of seedlings and mature mangosteen (Garcinia mangostana L.) trees. Plant Sci. 68:113-121. Gunawan , L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Lab. Kultur jaringan PAU . BIOTEK. Bogor P. 304. Hamaraie MA, Elamin OM, Ali M. 2003. Propagation of Grapefruit by Shoot Tip. Micrografting.http://www.arcsudan.sd/proceedings/38thmeeting/ fulltext% 20pdf %2038/Grapefruit.pdf . [08-02-2009]. Adinugraha HA, Pudjiono S, Yudsitiro D. 2007. Pertumbuhan stek pucuk dari tunas hasil pemangkasan semai eucalyptus pellita f. muell di persemaian. J. Pemuliaan Tanaman Hutan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. 1 (1); 1-6.
111
Haq IU, Touqeer A, Ishfaq AH, Nadeem AA. 2009. Influence of microcutting sizes and iba concentrations on in vitro rooting of olive cv. ‘dolce agogia’. Pak. J. Bot., 41(3): 1213-1222. Haris N, Sumaryono, Siswanto, Sumamardji, Carron MP. 2010. Microcutting of hevea rubber genotype 78 and 91. www.ibriec.org. [10 April 2012). Harrison M. 2006. Plant Hormones and Signal Transduction, in Dashek WV, Harrison M (eds). Plant Cell Biology. http://books.google.co.id/books?id= zhbt ZbWTEt8C&pg=PA451&lpg=PA451&dq=harrison+plant+hormones &source [30 Maret 2010]. Hartmann HT, Kester DE, Davies Jr.FT, Geneve RL. 2002. Plant Propagation: Principle and Practices. 7th edition, Prentice-Hall. New Jersey. Hashim O, Mamat S. 1991. Kesan giberelin terhadap pertumbuhan tampang manggis pada peringkat juvenile. Prosiding symposium buah-buahan kebangsaan, Malaysaia. Hl. 392-395. Hastuti ED. 2002. Fitohormon. Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan. Jurusan Biologi Fakultas MIPA UNDIP. Semarang Heddy S. 1989. Hormon Tumbuhan. CV Rajawali. Jakarta. Hidayat R, Poerwanto R, Yahya S, Gunawan LW. 1999. Studi aplikasi IBA dan Triakontanol terhadap pertumbuhan bibit semai manggis dan fukugi. Comm. Ag.: 74-79. Hidayat R. 2002. Kajian ritme pertumbuhan tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) dan faktor-faktor yang mempengaruhi. [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. 163 hal. Hidayat R, Surkati A, Poerwanto R, Darusman LK, Purwoko BS. 2005. Kajian periode dormansi dan ritme pertumbuhan tunas dan akar tanaman manggis (Garcinia mangostana L.). Bul. Agron. 33 (2) 16 – 22. Hutchinson MJ, Saxena PX. 1996. Acetylsalicylic acid enhances and ynchronizes thidiazuron-induced somatic embryogenesis in geranium (Pelargonium × hortorum Bailey) tissue culture. Plant Cell Rep. 15: 512-515. Iswari K, Sudaryono T. 2007. 4 JenisOlahanManggis, Si Ratu Buah Dunia dari Sumbar. http://www.litbang. deptan.go.id/artikel/one/172/pdf/4% 20Jenis% 20 Olahan20Manggis,%20Si %20Ratu%20Buah%20Dunia %20dari%20Sumbar.pdf [6 Desember 2009]. Jasminarni. 2007. Pengaruh jumlah nodus terhadap pengakaran stek-mikro kentang (Solanum tuberosum L. ). Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 2 : 6972.
112
Johkan M, Mitukuri K, Yamasaki S, Mori G, Oda M, 2009. Causes of defolation and low survival rate of grafted sweet pepper plants. Sci. Hortic. 119, 103– 107. Katuuk JRP. 1989. Teknik kultur jaringan dalam mikropropagasi tanaman. Depdikbud. Dirjen Dikti PPLPTK. Jakarta. P. 188. Kawaguchi M, Taji A, Backhouse D, Oda M. 2008. Anatomy and physiology of graft incompatibility in solanaceous plants. J. Hortic. Sci. Biotechnol. 83,581-588. Khotimah H, Rahmawati R, Yulia R, Juwita M. 2008. Pengembangan usaha produksi cocopeat sebagai alternative medium tanam dalam skala usaha kecil. Laporan akhir Program Kreativitas Mahasiswa. Institut Pertanian Bogor. Lamrioui AM, Louerguioui A, Abousalim A. 2009. Effect of the Medium Culture on the Micro Cutting of Material Resulting from Adult Cuttings of Wild Cherry Trees (Prunus Avium L.) and of in vitro Germination. European Journal of Scientific Research 25 (2): 345-352. Lizawati. 2007. Peningkatan perakaran bibit manggis (Garcinia mangostana L.) Melalui inokulasi Agrobacterium rhizogenes. [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. 143 hal. Lucia Y. 2005. Cendawan mikoriza arbuskula di bawah tegakan tanaman manggis dan peranannya dalam pertumbuhan bibi manggis (Garcina mangostana L.). [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. 60 hal. Lukman R. 1998. Sambung mikro inter spesifik manggis (Garcinia mangostana L.) pada mudu (Garcinia dulcis R.K) [thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. 56 hal. Mansyah E, Baihaki A, Setiamihardja R, Darsa JS, Sobir. 2003. Analisis Variabilitas Genetik Manggis di Jawa dan Sumatera Barat Menggunakan Teknik RAPD. Zuriat (14): 35–43. Mansyah E. 2012. Struktur genetik manggis (Garcinia mangostana L.) berbasis marka morfologi dan molekuler. [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Marcier H, Souza BM, Kraus J, Hamasaki RM, Sotta B. 2003. Endogenous auxin and cytokinin contents associated with shoot formation in leaves of pineapple cultured in vitro. Braz. J. Physiol. 15: 107- 112.
113
mindat.org. 2010. Vermiculite. http://www.mindat.org/min-4170.html [20 April 2012]. Moghadam ARL, Ardebili ZO, Rezaie L. 2012. Effect of indole butyric acid on micrografting of cactus. African Journal of Biotechnology 11 (24): 64846493. Moore R, Walker DB. 1981. Studies of vetative compatibility-incompatibility in higher palants. I. A structural study of compatible autograft in Sedum telephoides (Crassulaceae). Amer J Bot 68(6):820-830. Muas IM, Jawal A, Herizal Y. 2002. Pengaruh inokulasi cendawan Mikoriza arbuskula terhadap perumbuhan bibit manggis. J. Hort. 12(3):165-17. Murthy SJM, Saxena PK. 1998. Thidiazuron: a potential regulator of in vitro plant morphogenesis. In vitro Cell. Dev. Biol. - Plant 34: 267- 275. Nakasone HY, Paul RE. 1998. Tropical fruit. In Crop Production Science in Horticulture Series. Cab. International. London. Naz AA, Jaskani MJ, Abbas H, Qasim M. 2007. In vitro studies on micrografting technique in two cultivars of citrus to produce virus free plants. Pak. J. Bot., 39(5)a: 1773-1778, 2007. Newell CJ. 2006. In vitro soil –less (IVS) rooting medium. [Ph.D thesis]. Murdoch University. Australia. Normah MN, Noor-Azza AB, Aliudin. 1995. Factors affecting in vitro proliferation and ex vitro establishment of mangosteen.Plant Cell Tiss Org.Cul. 43(3):291-294. Obeidy AA dan Smith MAL. 1991. A versatile new tactic for fruit tree micrografting. American Society for Horticultural Science Oct/Dec 1991: 91-95. https://netfiles.uiuc.edu/imagemal/www/Publications/journals/91.pdf. [7 Februari 2009]. Oda M, Maruyama M, Mori G. 2005. Water transfer at graft union of tomato plants grafted onto Solanum rootstocks. J. Jpn. Soc. Hortic. Sci. 74, 458– 463. Onay A, Pirinc V, Adiyaman F, Isikalan C, Tilkat E, Basaran D. 2003. In vivo and in vitro micrografting of Pistachio, Pistacia vera L.cv.”Siirt”. Turk J. Biol., 27:95-100. Phillips GC, Hubstenberger JF, Hansen EE. 1995. Plant regeneration by organogenensis from callus and cell suspension culture. In: Plant Cell, Tissue and Organ Culture Fundamental Methods. Springer. London.
114
Pina A, Errea P. 2008. Differential induction of phenylalanine ammonia-lyase gene expression in response to in vitro callus unions of Prunus spp. J. of Plant Physiol. 165 (2008) 705—714. Poerwanto R. 2000. Teknologi Budidaya Manggis. Prosiding Pemantapan Teknologi Spesifik Lokasi Wilayah Barat Melalui Temu Pakar. 15-16 November. Bogor. Prawoto AA. 1987. Kajian okulasi pada tanaman kakao (Theobrama cacao) III. Anatomi pertautan batang bawah dan batang atas. Pelita perkebunan 3(1):23-30. Qosim WA. 2006. Studi iradiasi sinar gamma pada Kultur kalus nodular manggis untuk meningkatkan keragaman genetik dan morfologi regeneran. [disertasi]. Bogor: institut pertanian bogor, program pascasarjana. 168 hal. Raharjo S dan Litz RE. 2003. Rescue of genetically transformed avocado by micrografting. Proceedings V World Avocado Congress (Actas V Congreso Mundial del Aguacate) 2003. pp. 119-122. Rai IN. 2004. Fisiologi pertumbuhan dan pembungaan tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) asal biji dan sambungan. [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana. 163 hal. Rais M, Mansyah E, Lukitariati S, Anwaruddin MJ. 1996. Peningkatan efisiensi teknologi usahatani manggis. Pusat Penelitian Buah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 40 p. Richard AJ. 1990. Studies in Garcinia Dioecious Tropical Forest Trees: The Phenology, pollination biology and fertilization of Garcinia hombroniana L. Botanical J. The Linnean Soc. 103: 301-308. Rochiman dan Harjadi. 1973. Pembiakan Vegetatif Departemen Agromoni Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Romeida A. 2007. Respon berbagai tipe eksplan biji manggis (Garcinia mangostana L.) pada beberapa konsentrasi benzyl amino purin (BAP) terhadap pembentukan dan regenerasi polyembrioninya secara in vitro. Jurnal Akta Agrosia. 10 (2): 162-166. Roostika I, Sunarlim N, Mariska I. 2005. Mikropropagasi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.). Jurnal AgroBiogen 1(1): 20-25. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Penerbit ITB Bandung.
115
Siagian N. 2009. Teknik perbanyakan batang bawah klonal tanaman karet menggunakan stek mikro. Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet. Singh B, Sharma S, Rani G, Hallan V, Zaidi AA, Virk GS, Nagpal A. 2008. In vitro micrografting for production of Indian citrus ringspot virus (ICRSV)free plants of kinnow mandarin (Citrus nobilis Lour x C. deliciosa Tenora). Plant Biotech. Rep. 2:137-143. Skirvin RM, Chu MC, Gomez E. 1981. In vitro propagation of heat-treated red raspberry clones. HortScience 16:308-309. Sobhana P, Gopalakrishan J, Jacob J, Sethuraj MR. 2001. Physiological and biochemical aspects of stock-scion interaction in Hevea brasiliensis. Indian J. Nat. Rub. Res., 14(2), 131-136. Sofiandi. 2006. Perbaikan teknik grafting manggis(Garcinia mangostana L.) [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. 77 hal. Sriyanti DP, Wijayani A. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yayasan Kansius. Yogyakarta. Starling RJ, Newburry HJ, Callow JA. 1986. Putative Auxin Receptors in Tobacco Callus. University of Birmingham. UK. Sukmajaya D, Mariska I. 2003. Perbanyakan Bibit Jati Melalui Kultus Jaringan. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. 3rd Edition. Sinauer Assoc. Inc. Publ. massacushetts. 690p. Tan X, Zheng C, Zheng N. 2007. Unique auxin regulation mechanism discovered. AlsNews Vol. 279 August 29. http://www.als.lbl.gov/als/ science /sci_archive/149auxin.html [22 Desember 2009]. Te-chato, Lim M. 2000. Improvement of mangosteen micropropagation through meristematic nodular callus formation from in vitro derived leaf explants. Scientia Horticulture 86 (2000): 291 – 298. Thomas TD. 2003. Thidiazuron induced multiple shoot induction and plant regeneration from cotyledonay explants of mulberry. Biol. Plant. 46: 529533. Tiedemann R. 1989. Graft union development and symplastic phloem contact in the heterograft Cucumis sativus on Curcubita ficifolia. J. Plant Physiol. 134, 427–440.
116
Tirtawinata MR. 2003. Kajian anatomi dan fisiologi sambungan bibit manggis dengan beberapa kerabat Clusiaceae [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. 171 hal. Toruan-Mathius N, Lukman, Purwito A. 2006. Teknik sambung mikro in vitro kina Cinchona succirubra dengan C. ledgeriana. Menara Perkebunan, 74(2), 63-75. Toruan-Mathius N, Lukman, Purwito A. 2007. Kompatibilitas sambung mikro Cinchona ledgeriana dengan C. succirubra berdasarkan anatomi dan elektroforesis SDSPAGE protein daerah pertautan. Menara Perkebunan, 75(2), 56-69. Turnbull CGN. Booker JP. Leyser HMO. 2002. Micrografting techniques for testing long-distance signalling in Arabidopsis. The Plant Journal 32, 255– 262. Verheij EWM, Coronel RE. 1992. Garcinia mangostana L. Verheij Prosea. Plant Resources of Sout-East Asia 2. Edible fruits and Nut. Prosea. Bogor. Indonesia. Victor JMR, Murch SJ, KrishnaRaj S, Saxena PK. 1999. Somatic embryogenesis and organogenesis in peanut: The role of thidiazuron and N6benzylaminopurine in the induction of plant morphogenesis. Plant Growth regulation 28: 9-15. Wattimena GA. 1992. Bioteknologi Tanaman. Pusat Antar Universitas. lnstitut Pertanian Bogor. Bogor. Wetherell DF. 1982. Pengantar propagasi tanaman secara in vitro (diterjemahkan oleh Koensoemardiyah). Avery Publishing Group Inue. Wayne New yersey, p 110. Widiarsih S, Minarsih, Dzurrahmah, Wirawan B, Suwarno WB. 2008. Perbanyakan tanaman secara vegetatif buatan. http://willy.situshijau.co.id. [27 Mei 2012]. Wieble J, Chacko EK, Downtown WJS. 1992. Mangosteen (Garcinia mangostana L.) – A potential crop for tropical northern Australia. Acta Hort. 321: 132-137. Wu HC, du Toit ES, Reindhardt CF. 2007. Micrografting of Protea cynaroides. Plant Cell Tiss Organ Cult. 89:23–28. Yaacob O, Tindall H.D. 1995. Mangosteen cultivation: FAO: p. 1–100. Yasman I, Smits WTM. 1988. Metode Pembuatan Stek Dipterocarpaceae. Asosiasi Panel Kayu Indonesia. 38p.
117
Yeoman MM. 1986. Plant Cell Culture Technology. Botanical monographs Vol 23. Blackwell Scientific Publication London.
119
Lampiran 1. Prosedur penetapan N total dengan metode Kjeldahl
500 gram tanah atau 0,2 gram bahan tanaman Labu kjedahl 25 ml
+ 1,9 g campuran Se, Cu SO, dan NaSO4 + 5 ml H2SO4 + 5 tetes paraffin cair
Pemanasan ± 200oC dalam ruang asam hingga diperoleh cairan berwarna teran (hijau-biru) selama 15 menit
Pindahkan ke dalam labu destilasi sambil dibilas air 100-150 ml, goyangkan sebentar kemudian + 5 ml NaOH 50%
Destilasi tepung dalam Erlenmeyer 125 ml yang telah berisi capmuran 10 ml H3BO3 4% dan 5 tetes indicator Conway. distilasi berlangsung hingga kira-kira mencapai 100 ml.
Hasil distilasi dititrasi dengan HCl 0,0474 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau ke merah muda
Perhitungan: Isi HCl (contoh – blanko) x N HCl x 14 x 100 Kadar N% = bobot sampel (mg)
120
Lampiran 2. Metode penentuan fosfor dan kalium dalam jaringan tanaman
1 g contoh diabukan pada suhu 500 o C selama 2 jam, dinginkan
1kemudian ml contoh+ 5 tetes HCL (37%) 3X diatas hot plate (70 C) + 10 ml HCl 1 N aduk & saring
hasil saringan pipet I ml tera labu ukur 50 ml
Kalium
1 ml contoh encerkan jadi 10 ml
Flame fotometer
Fosfor
1 ml contoh encerkan jadi 5 ml + 5 ml PB + 5 tetes PC
Spektrofotometer λ 660 nm
121
Lampiran 3. Prosedur Pengamatan Mikroskopis (Metode Parafin) Cara kerja: 1. Fiksasi Organ tumbuhan berupa batang manggis yang akan diamati dipotong dan dimasukkan ke dalam larutan fixative (larutan Formalin Aldehid Alkohol) dan diletakkan dalam Vaccum selama 24 jam. 2. Dehidrasi Dari larutan etanol 70% sampai dengan larutan 95% sampel dalam Vaccum masing-masing dilakukan selama 3 jam. Etanol 70%
Etanol 95%
Etanol absolut
Etanol : xylol = 3 : 1
Etanol : xylol = 1 : 1
Etanol : xylol = 1 : 3
xylol I
xylol II
122
3. Infiltrasi Pada tahap ini, material yang telah direndam salam xylol diberi serbuk parafin secara perlahan-lahan sampai jenuh. Selanjutnya material dimasukkan dalam inkubator (±60 oC) untuk infiltasi selanjutnya. Masing-masing tahap di bawah ini minimal 3 jam Buang larutan xylol : parafin ¼ bagian dan ganti dengan parafin ¼ bagian
Buang larutan xylol : parafin ½ bagian dan ganti dengan parafin ½ bagian
Buang larutan xylol : parafin ¾ bagian dan ganti dengan parafin ¾ bagian
Buang larutan xylol : parafin 1 bagian dan ganti dengan parafin 1 bagian Note : parafin yang baik memiliki titik leleh (56-58%) oC 4. Embedding Material dimasukkan ke dalam parafin cair dan dibiarkan hingga membeku. Note: peletakkan material sesuai dengan jenis irisan yang akan diamati. 5. Pengirisan Pengirisan menggunakan mikrotom Leica RM2125RT dengan ketebalan 20 mikron. Sebelum dilakukan pengirisan, terlebih dahulu object glass diolesi dengan haupt adhesieve atau glycerin. Selanjutnya preparat yang telah diiris diletakkan pada object glass, ditetesi sedikit air dan diletakkan di atas hot plate suhu 40oC selama 24 jam.
123
6. Pewarnaan Xylol I (3 menit)
Etanol 95% (3 menit)
Xylol II (3 menit)
Etanol absolut (3 menit)
Etanol : xylol = 1 : 3 (3 menit)
Fast green 2%
Etanol : xylol = 1 : 1 (3 menit)
Etanol absolut
Etanol : xylol = 3 : 1 (3 menit)
Etanol absolut
Etanol absolut (3 menit)
Etanol : Xylol = 3 : 1 (3 menit)
Etanol 95% (3 menit)
Etanol : Xylol = 1 : 1 (3 menit)
Etanol 70% (3 menit)
Etanol : Xylol = 1 : 3 (3 menit)
Safranin 1% (1-24 jam)
Xylol I (3 menit)
Etanol 70% (3 menit)
Xylol II (3 menit)
Etanol 70% (3 menit)
7. Selanjutnya preparat ditutup dengan cover glass dengan menggunakan entelan atau canada balsm (media perekat) dan keringkan.
124
125
Lampiran 5. Komposisi kimiawi sekam Komponen Kadar air Protein kasar Lemak Serat kasar Abu Karbohidrat kasar Karbon (zat arang) Oksigen Silika (SiO2)
Kandungan (%) 9,02 3,03 1,18 35,68 17,71 33,71 1,33 33,64 16,98
Sumber : http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/wr254033.pdf
126
Lampiran 6. Pelaksanaan sambung mikro in vitro teknik sambung celah V tanpa pengikatan di daerah sambungan
127
Lampiran 7. Pelaksanaan sambung mikro di pesemaian teknik sambung celah V dengan dilakukan pengikatan di daerah sambungan dan diberi sungkup plastik