PEMACUAN PERTUMBUHAN BIBIT MANGGIS (Garcinia Garcinia mangostana) mangostana) DENGAN REKAYASA MEDIA TUMBUH
MUHAMMAD ALWI MUSTAHA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Pemacuan Pertumbuhan Bibit Manggis (Garcinia mangostana) dengan Rekayasa Media Tumbuh” adalah hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Juli 2012
Muhammad Alwi Mustaha NRP. A262070111
ABSTRACT MUHAMMAD ALWI MUSTAHA. Increasing the Growth of Mangosteen (Garcinia mangostana) Seedlings with Growing Media Optimation. Under supervision of ROEDHY POERWANTO, ANAS DINURROHMAN SUSILA, and JOKO PITONO. Mangosteen is slowly growth trees that caused by root system development. Mangosteen root system has limited number of lateral roots and easily disturbed by unfavorable medium environmental conditions such as poor aeration, water availability, and nutrient content. The objective of this study was to enhance the growth of mangosteen seedlings by modifying media properties. The experiment was conducted in the Plastic house at Centre for Tropical Fruit Studies (CETROFS) Bogor Agricultural University, Tajur from January 2009 until May 2011. The study consisted of five experiments. The first experiment conducted to study the morphological and physiological characteristics of mangosteen seedlings that cultivate in drought conditions. Experiment arranged in a completely randomized block design with three replications. The results shown that an increasing the level of drought stress was decreased canopy and root growth include plant height, leaf area, root length, shoot and root dry weight and also root volume. Increasing the level of drought stress also led to significantly increased proline content. The second experiment was conducted to obtain the porosity of the media from various sources. The result shown that the lowest porosity in media was 53.48% and the highest was 69.63%, thus this research obtained four porosity ranges e.i.: 51-55%, 56-60%, 61-65% and 66-70%. These criteria then applied as the basis of the experimental treatments for the third study. The third experiment was conducted to analyses the growth of mangosteen seedlings at different water availability and porosity of the media. The result shown that watering intervals 6 day + water retaining polymer (WRP) at 61-65% porosity media drive the availability of optimal water and air. It caused an optimal rate of photosynthesis, stomata conductivity and the highest water potential of leaf tissue. The fourth experiment was conducted to study the growth of mangosteen seedlings at different method of fertilizer application and porosity of the media. The result shown that fertilizer application by fertigation in 61-65% porosity media produced the highest growth of root length, root dry weight, shoot dry weight and total dry weight. Nutrient uptake of N in the leaf by fertigation applications was support shoot and root growth higher than the application of granular fertilizers and slow release fertilizer. The fifth experiment was conducted to study mangosteen plant growth in two types of pots containers in various media porosity. Results shown that the use of woven bamboo pots obtained shoot and root growth higher than the polybag. As the results from previous experiments, the porosity of 61-65% seems to consistently produce the highest shoot and root growth. Keywords: mangosteen, growing media, porosity, seedlings, watering, fertilization
RINGKASAN MUHAMMAD ALWI MUSTAHA. Pemacuan Pertumbuhan Bibit Manggis (Garcinia mangostana) dengan Rekayasa Media Tumbuh. Dibimbing oleh ROEDHY POERWANTO, ANAS DINURROHMAN SUSILA, dan JOKO PITONO. Manggis (Garcinia mangostana) merupakan salah satu buah segar yang digemari masyarakat Indonesia maupun di dunia dan saat ini menjadi andalan ekspor buah segar Indonesia. Permasalahannya adalah pertumbuhannya yang lambat sehingga diperlukan waktu relatif lama hingga bibit siap ditanam di lahan. Karakteristik pertumbuhan akar yang lambat dan jumlah akar lateral yang terbatas menyebabkan bibit manggis peka terhadap cekaman kekeringan dan pengaruhnya terlihat dari terhambatnya pertumbuhan dan perubahan morfologi tanaman serta aktivitas fisiologis. Pemacuan pertumbuhan sangat diperlukan sehingga masa pembibitan bisa lebih cepat (1-2 tahun). Penelitian ini bertujuan meningkatkan pertumbuhan bibit manggis dengan rekayasa media tumbuh dan telah dilaksanakan di Rumah Plastik Pusat Kajian Buah Tropika IPB Tajur dari bulan Januari 2009 hingga Mei 2011. Penelitian terdiri atas lima percobaan. Percobaan pertama bertujuan untuk mempelajari karakteristik morfologi dan fisiologi pertumbuhan bibit manggis pada kondisi cekaman kekeringan. Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Perlakuan simulasi cekaman kekeringan dengan lima konsentrasi PEG, yaitu: 0, 5, 10, 15 dan 20%. Hasil percobaan menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf cekaman kekeringan, maka semakin besar penurunan pertumbuhan tajuk dan akar. Cekaman kekeringan menurunkan komponen pertumbuhan tajuk yaitu: tinggi tanaman mengalami penurunan sebesar 10-26%, jumlah daun (9-21%), luas daun (10-25%), bobot kering tajuk (12-27%). Cekaman kekeringan juga menurunkan pertumbuhan akar yaitu: bobot kering akar (11-44%), panjang akar (3-41%) dan volume akar (1040%). Peningkatan taraf cekaman kekeringan juga menyebabkan peningkatan kandungan prolin secara nyata dan taraf cekaman tertinggi (20% PEG) menghasilkan kandungan prolin tertinggi yaitu 3.66 µmol/g berat basah. Hasil percobaan telah membuktikan bahwa cekaman kekeringan berpengaruh sangat nyata terhadap penurunan laju pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu pentingnya pengaturan ketersediaan air untuk menghindari dampak negatif dari cekaman kekeringan. Namun pemberian air juga harus mempertimbangkan aspek efisiensi penggunaan air dan hal ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik fisik media seperti porositas media. Beberapa pertimbangan tersebut mendasari pelaksanaan percobaan ketiga sebagai rangkaian dari tahapan penelitian ini. Percobaan kedua adalah penetapan porositas media berbagai sumber bahan media tumbuh. Percobaan dilaksanakan di Rumah Kaca dan Laboratorium Balai Penelitian Tanah Sindang Barang, dari bulan Desember 2008 hingga Maret 2009. Terdapat 20 komposisi media dari sumber media berupa tanah, pasir, arang sekam padi dan pupuk kandang kambing. Hasil percobaan menunjukkan porositas media terendah adalah 53.48% dan tertinggi adalah 69.63%, sehingga diperoleh empat kisaran porositas yaitu: 51-55%, 56-60%, 61-65% dan 66-70%, yang selanjutnya digunakan sebagai perlakuan pada percobaan ketiga, keempat dan kelima.
Percobaan ketiga bertujuan mempelajari pertumbuhan bibit manggis pada berbagai ketersediaan air dan porositas media. Percobaan disusun menggunakan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah porositas media, terdiri atas empat taraf: 51-55%, 56-60%, 6165%, dan 66-70%. Faktor kedua adalah interval penyiraman air dan aplikasi polimer penyimpan air (PPA) Alcosorb, terdiri atas 4 taraf: 2 hari + tanpa PPA, 4 hari + PPA, 6 hari + PPA dan 8 hari + PPA. Hasil percobaan menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara porositas media dengan interval penyiraman terhadap berbagai aktivitas fisiologis. Interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 61-65% mendorong ketersediaan air dan udara secara optimal sehingga menghasilkan laju fotosintesis, daya hantar stomata dan potensial air jaringan daun tertinggi yaitu masing-masing 7.89 µmol CO2/m2/detik; 0.07 µmol/m2/detik; dan -0.72 MPa sehingga meningkatkan pertumbuhan tajuk dan akar. Besarnya gradien potensial air antara jaringan akar dan daun pada porositas 61-65% dengan penyiraman 6 hari sekali + PPA, mendorong peningkatan serapan air sehingga menghasilkan pertumbuhan terbaik pada sebagian besar komponen pertumbuhan tajuk dan akar. Percobaan keempat bertujuan mempelajari pertumbuhan bibit manggis pada berbagai aplikasi pemupukan dan porositas media. Percobaan disusun menggunakan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah porositas media dan faktor kedua adalah aplikasi pemupukan, terdiri atas tiga cara: granular, fertigasi (fertigation) dan slow release. Hasil percobaan menunjukkan porositas media 61-65% dan pemupukan secara fertigasi memberikan pengaruh interaksi terhadap sebagian besar komponen pertumbuhan akar dan tajuk. Aplikasi pemupukan secara fertigasi pada porositas media 61-65% menghasilkan pertumbuhan tertinggi terhadap panjang akar (26.83 cm), bobot kering akar (10.07 g/tanaman), pertambahan tinggi tanaman (17.90 cm), pertambahan lebar kanopi (11.25 cm), pertambahan luas daun 717.60 cm2, bobot kering tajuk (18.33 g/tanaman) dan bobot kering total (28.40 g/tanaman). Serapan hara N dan K daun yang tinggi pada aplikasi pupuk secara fertigasi mendorong pertumbuhan tajuk dan akar yang lebih tinggi dibanding aplikasi pupuk granular dan pupuk slow release. Percobaan kelima bertujuan mempelajari pertumbuhan tanaman manggis pada dua jenis pot dan berbagai porositas media. Percobaan disusun menggunakan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah dua jenis pot yaitu: pot anyaman bambu dan polybag serta faktor kedua adalah porositas media. Hasil percobaan menunjukkan pot anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan bibit yang lebih tinggi dibanding polybag, yang terlihat pada peubah bobot kering (tajuk dan akar), panjang dan volume akar. Seperti hasil percobaan sebelumnya, nampak porositas 61-65% secara konsisten menghasilkan pertumbuhan tajuk dan akar yang tertinggi. Hasil transplanting ke lahan menunjukkan tanaman manggis yang saat pembibitan ditanam pada pot anyaman bambu ternyata juga menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding pada polybag yang nampak dari pertambahan tinggi tanaman (10.79 cm) dan pertambahan lebar kanopi (9.19 cm). Perkembangan morfologi akar yang baik saat pembibitan ternyata mampu menghasilkan pertumbuhan tanaman yang baik setelah ditanam di lahan.
Berdasarkan keseluruhan percobaan maka disimpulkan bahwa tanaman manggis terbukti peka terhadap cekaman kekeringan yang diindikasikan dari peningkatan kandungan prolin, perubahan morfologi tajuk dan akar serta penurunan aktivitas fisiologis sebagai respon peningkatan taraf cekaman kekeringan. Untuk menghindari tanaman dari cekaman kekeringan maka dibutuhkan ketersediaan air media yang cukup melalui pengaturan penyiraman dan nampaknya interval penyiraman air masih dapat dipertahankan sampai 6 hari, asalkan disertai aplikasi PPA. Komposisi media dari berbagai sumber ternyata memiliki porositas yang bervariasi dan dari semua percobaan diketahui bahwa porositas media 61-65% secara konsisten menghasilkan pertumbuhan tajuk dan akar yang terbaik. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa pertumbuhan bibit manggis dapat ditingkatkan melalui manajemen media antara lain penggunaan media dengan porositas 61-65%, aplikasi pemupukan secara fertigasi dan penggunaan pot yang beraerasi. Dari penelitian ini diperoleh beberapa komponen teknologi yang dapat disumbangkan untuk perbaikan paket teknologi pembibitan manggis, antara lain media pembibitan berbasis porositas, pengaturan pengairan, aplikasi pemupukan dan pengaturan aerasi melalui penggunaan pot beraerasi sehingga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan bibit manggis dan sekaligus meningkatkan ketersediaan bibit yang berkualitas guna mendukung pengembangan manggis nasional. Kata Kunci: manggis, media tumbuh, porositas, bibit, penyiraman, pemupukan
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMACUAN PERTUMBUHAN BIBIT MANGGIS (Garcinia mangostana) DENGAN REKAYASA MEDIA TUMBUH
MUHAMMAD ALWI MUSTAHA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Ujian Tertutup: Hari/Tanggal : Selasa, 12 Juni 2012 Penguji Luar Komisi: 1. Dr. Ir. Sudradjat, MS 2. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS Ujian Terbuka: Hari/Tanggal : Rabu, 18 Juli 2012 Penguji Luar Komisi: 1. Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, MSc 2. Dr. Ir. Muhammad Prama Yufdy, MSc
Judul Disertasi
: Pemacuan Pertumbuhan Bibit Manggis (Garcinia mangostana) dengan Rekayasa Media Tumbuh
Nama
: Muhammad Alwi Mustaha
NIM
: A262070111
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, MSc Ketua
Dr. Ir. Anas Dinurrohman Susila, MSi Anggota
Dr. Ir. Joko Pitono, MSc Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian:18 Juli 2012
Tanggal lulus:
PRAKATA Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniah-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul “Pemacuan Pertumbuhan Bibit Manggis (Garcinia mangostana) dengan Rekayasa Media Tumbuh” ini berisikan lima percobaan, yang dimulai sejak persiapan pada bulan Juli 2008 sampai selesai tahapan penelitian pada bulan Mei 2011. Kelima percobaan ini merupakan satu kesatuan penelitian yang dilakukan untuk menjawab permasalahan pertumbuhan bibit manggis yang diketahui lambat.
Oleh karena itu dilakukan perbaikan media
tumbuh berbasis porositas media yang selama ini belum digunakan dalam penyusunan media tumbuh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan
media tumbuh disertai pengelolaan lingkungan tumbuh spesifik seperti air, unsur hara dan aerasi dapat meningkatkan pertumbuhan bibit manggis.
Dengan
demikian hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan dalam perbaikan teknologi pembibitan yang berdampak positif dalam penyediaan bibit manggis berkualitas dan sekaligus menunjang program pengembangan manggis nasional. Dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaan studi, penulis banyak mendapat bantuan baik dari lembaga atau instansi tertentu maupun perorangan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Anas Dinurrohman Susila, MSi dan Dr. Ir. Joko Pitono, MSc selaku anggota Komisi Pembimbing atas segala perhatian dan bimbingannya selama penulis mempersiapkan penelitian sampai penulisan disertasi.
2.
Dr. Ir. Adiwirman, MS dan Dr. Ir. Winarso D. Widodo, MS selaku penguji luar komisi saat Ujian Kualifikasi Program Doktor yang telah memberikan saran-saran dan koreksi konstruktif.
3.
Dr. Ir. Sudradjat, MS dan Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS selaku penguji luar komisi saat ujian tertutup yang telah memberikan saran-saran dan koreksi konstruktif.
4.
Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, MSc dan Dr. Ir. Muhammad Prama Yufdy, MSc selaku penguji luar komisi saat ujian terbuka yang telah memberikan saransaran dan koreksi konstruktif.
5.
Kepala Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga/Sekretaris Badan Litbang Pertanian, Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara atas kesempatan tugas belajar dan beasiswa yang diberikan untuk mengikuti pendidikan doktor di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
6.
Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, yang telah mendanai sebagian penelitian disertasi ini melalui Program Riset Unggulan Strategi Nasional (RUSNAS) Pengembangan Buah-Buahan Unggulan Indonesia yang dikelola Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT), Institut Pertanian Bogor.
7.
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura, Dekan Fakultas Pertanian dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas segala pendidikan dan pelayanan administrasi.
8.
Direktur Utama PT. Antam TBK yang telah memberikan bantuan biaya penelitian disertasi.
9.
Direktur Utama Yayasan Toyota dan Astra, PT. Astra Motor yang telah memberikan bantuan penulisan disertasi.
10. Kepala Balai Penelitian Tanah dan staf Laboratorium Fisika dan Kimia Tanah serta Rumah Kaca Sindang Barang yang telah banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian. 11. Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat yang telah memberikan bantuan penggunaan laboratorium dan alat penelitian selama melaksanakan penelitian. 12. Ketua Dewan Redaksi Jurnal Hortikultura, Puslitbang Hortikultura dan staf yang telah banyak membantu dalam publikasi hasil penelitian. 13. Kepala dan staf Laboratorium Tanah dan Tanaman SEAMEO BIOTROF yang telah membantu selama penulis melaksanakan penelitian.
14. Kepala Kebun Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) Tajur dan staf yang banyak membantu selama melaksanakan penelitian. 15. Kepala Laboratorium Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) dan staf yang telah banyak membantu selama melaksanakan penelitian. 16. Kepada Prof. Dr. Gatot Kartono, MS, Prof. Dr. Subandi, MS, Dr. Sahardi MS, Dr. Didiek Harnowo, MS, Ir. Amiruddin Syam, MS, Ir. Nur Imah Sidik, MS, dan Ir. Lukman Hutagalung, MSc, yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis sebagai peneliti. 17. Kepada Prof. Dr. Ir. Akib Tuwo dan Dr. Ir. Sarawa Mamma, MS, yang telah memberikan rekomendasi bagi penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan doktor di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 18. Kepada Dr. Ir. Ai Dariah sebagai peneliti Fisika Tanah pada Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian dan Dr. Ir. Adiwirman atas masukan yang sangat berharga selama perencanaan dan pelaksanaan penelitian sehingga penelitian dapat berjalan lancar. 19. Kepada seluruh rekan kerja di BPTP Sulawesi Tenggara yang telah banyak membantu selama penulis melakukan tugas belajar. 20. Kepada Mas Joko, Mas Yudi, Mas Bambang dan Mas Agus atas bantuannya selama penulis menggunakan fasilitas laboratorium di lingkup Departemen Agronomi dan Hortikultura. 21. Kepada Setiawan, SP yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan pengamatan fisiologis tanaman di rumah kaca. 22. Kepada seluruh rekan satu bimbingan: Ismadi, Selvi Handayani, Martias, Desi Hernita, Pardedi, Lutfi Izhar, dan Odit Ferry K., atas bantuan dan kerjasamanya selama melakukan penelitian sampai penyelesaian studi. 23. Kepada seluruh rekan satu angkatan S3 yaitu: Hermanto, Budi Hartoyo, Arifah Rahayu, Karlin Agustina, Selvy Handayani, Ismadi, Kartika Ningtyas, Desi Hernita, Safrizal, Eko Setiawan dan Muhtar atas kerjasama yang sangat baik dan rasa kekeluargaan yang sangat tinggi selama melaksanakan studi di Program Studi Agronomi dan Hortikultura.
24. Kepada Keluarga Besar Forum Mahasiswa Pascasarjana (FORSCA) Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor atas kerjasamanya selama berlangsungnya studi di Program Studi Agronomi dan Hortikultura. 25. Kepada seluruh rekan petugas belajar Badan Litbang Pertanian atas kerjasamanya selama berlangsungnya studi di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 26. Kepada seluruh rekan mahasiswa Pascasarjana asal Sulawesi Selatan dan Sulawes Tenggara atas kerjasamanya selama berlangsungnya studi di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 27. Kepada Ayahanda Drs. H. Mustaha Hamang dan Ibunda Hj. Sintang, Bapak mertua Bahri, AMd dan Ibu mertua Harmina, isteri tercinta Sashariwati,SP, ananda tersayang Muhammad Shalman Fariz Zashwan Daeng Mattiro, kakak Ir. H. Muhammad Anwar Mustaha dan adik Ir. Muhammad Ramli Mustaha serta semua keluarga, saya sampaikan hormat dan ucapan terima kasih atas semua perhatian, pengertian, dukungan dan doa serta pengorbanan yang telah diberikan selama melaksanakan tugas belajar ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu selama studi dan pelaksanaan penelitian sampai penulisan disertasi. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat dalam pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dan bagi semua pihak yang membutuhkannya. Amin
Bogor, Juli 2012 Muhammad Alwi Mustaha
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan, pada tanggal 22 Juli 1968, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari Ayah Drs. H. Mustaha Hamang dan Ibu Hj. Sintang. Pendidikan Sarjana Pertanian ditempuh di Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Agronomi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan lulus pada tahun 1999.
Kesempatan untuk
melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura (AGH) Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan diperoleh melalui Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia. Penulis diterima bekerja sebagai peneliti pada Sub Balai Penelitian Hortikultura Jeneponto, Badan Litbang Pertanian pada tahun 1994-1996. Pada tahun 1996 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara, Badan Litbang Pertanian. Selain sebagai peneliti, penulis juga aktif membimbing skripsi pada Universitas Haluoleo. Selama mengikuti program Doktor, penulis menjadi pengurus Forum Wacana IPB periode 2008/2009 dan sebagai sekretaris pada Forum Wacana Departemen Agronomi dan Hortikultura (FORSCA) periode 2008/2009. Dalam kegiatan profesi, penulis menjadi anggota Perhimpunan Hortikultura Indonesia. Penulis juga menjadi asisten pada Mata Kuliah Hortikultura Lanjut pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, tahun 2009/2010 dan 2010/2011. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul: Pertumbuhan Bibit Manggis pada Berbagai Interval Penyiraman dan Porositas Media, pada Jurnal Hortikultura (terakreditasi) Volume 22, Nomor 1, tahun 2012. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR TABEL Halaman 1
Rekomendasi pemupukan manggis per tahun berdasarkan umur tanaman ..........................................................................................
31
Rekomendasi pemupukan berdasarkan kondisi status hara N,P, dan K daun ......................................................................................
32
Rata-rata lama periode trubus, periode dormansi dan siklus trubus pada berbagai konsentrasi PEG ………………………………….
43
Pengaruh konsentrasi PEG terhadap rata-rata tinggi tanaman, jumlah dan luas daun pada pada 11 BSP …………………………
44
Pertambahan diameter batang dan lebar kanopi pada berbagai konsentrasi PEG selama 1 tahun …………………………………
48
Pengaruh konsentrasi PEG terhadap bobot kering tajuk dan bobot kering total tanaman pada 11 BSP ……………....……………….
49
Pengaruh konsentrasi PEG terhadap bobot kering akar, panjang akar primer dan volume akar pada 11 BSP ……….
51
Pengaruh konsentrasi PEG terhadap rasio tajuk/akar pada 11 BSP ……………………………………………………………….
52
Pengaruh konsentrasi PEG terhadap kandungan prolin pada 11 BSP ……………………………………………………………….
53
Pengaruh konsentrasi PEG terhadap potensial air daun pada 11 BSP ………….……………………………………………………
55
Pengaruh konsentrasi PEG terhadap laju fotosintesis, laju transpirasi dan daya hantar stomata pada 11 BSP …….………….
57
Hubungan antara peubah pertumbuhan tanaman pada perlakuan cekaman kekeringan ……………………………………………...
59
13
Perlakuan komposisi media dari berbagai sumber media ……….
63
14
Karakteristik fisik dan kimia media tanah Inceptisols Cicadas ….
66
15
Nilai bobot jenis, bobot jenis partikel dan porositas berbagai komposisi media ……………………………………………….…
68
16
Kisaran porositas media dari berbagai komposisi media tumbuh ..
69
17
Rata-rata lama periode trubus, periode dormansi dan siklus trubus pada berbagai porositas media dan interval penyiraman ………..
82
Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun selama 1 tahun …………………………...….
85
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
18
xix
19 20 21 22
23 24
Pengaruh porositas media dan interval penyiraman air terhadap lebar kanopi dan diameter batang ……………………………….
87
Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap panjang akar primer pada 11 BSP ……..
92
Pengaruh porositas media dan interval penyiraman terhadap volume akar pada 11 BSP ………….……………………………..
93
Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap bobot kering akar, tajuk dan total pada 11 BSP ……....................................................................................
97
Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap rasio tajuk/akar pada 11 BSP ………….
98
Kandungan klorofil (a, b, total) dan rasio klorofil a/b pada berbagai porositas media dan interval penyiraman air pada 11 BSP ……………………………………………………………….
99
25
Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap kandungan prolin daun pada 11 BSP …. 101
26
Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap potensial air jaringan dan laju transpirasi pada 11 BSP …………………………………………. 103
27
Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap laju fotosintesis dan daya hantar stomata pada 11 BSP ……………………………………………………... 105
28
Hubungan antara peubah pertumbuhan tanaman pada berbagai porositas media …………………………………………………... 109
29
Rata-rata lama periode trubus, periode dormansi dan siklus trubus pada berbagai aplikasi pemupukan ……………………………… 118
30
Pengaruh porositas media dan aplikasi pemupukan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi dan luas daun ……….. 119
31
Pengaruh interaksi antara porositas media dan aplikasi pemupukan terhadap pertambahan tinggi tanaman, lebar kanopi dan luas daun selama 1 tahun …………………………...……… 121
32
Pengaruh interaksi antara porositas media dan aplikasi pemupukan terhadap bobot kering tajuk dan bobot kering total pada 11 BSP ……………………………………………………... 122
33
Pengaruh interaksi antara porositas media dan aplikasi pemupukan terhadap panjang akar primer dan bobot kering akar 11 BSP …………………………………………………………… 123
34
Pengaruh porositas media dan aplikasi pemupukan terhadap volume akar pada 11 BSP ……………………………...………... 123
xx
35
Pengaruh porositas media dan aplikasi pemupukan terhadap rasio tajuk/akar pada 11 BSP ………………………………………….. 125
36
Kadar N, P dan K daun pada berbagai porositas media dan aplikasi pemupukan pada 11 BSP …………………………..…… 126
37
Serapan hara N, P dan K daun pada berbagai porositas media dan aplikasi pemupukan pada 11 BSP …….…………………………. 127
38
Hubungan antara peubah pertumbuhan tanaman pada berbagai aplikasi pemupukan …………………………………………….. 129
39
Rata-rata lama periode trubus, periode dormansi dan siklus trubus pada dua jenis pot ………………………………………………... 137
40
Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi dan diameter batang ……… 139
41
Pengaruh interaksi antara jenis pot dan porositas media terhadap luas daun pada 5, 7, 9 BST ……………………………………… 140
42
Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap pertumbuhan luas daun pada 3 dan 11 BST …………………….. 140
43
Pengaruh jenis pot dan porositas media terhadap pertambahan (tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi, diameter batang dan luas daun) ………………………………………………………... 141
44
Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap bobot kering tajuk dan total tanaman ………………………………….. 142
45
Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap bobot kering akar, panjang akar primer dan volume akar ………..……. 144
46
Rasio tajuk/akar pada berbagai jenis pot dan porositas media pada 11 BSP ………………………………………………………….... 144
47
Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap pertumbuhan tinggi tanaman setelah ditanam di lahan …………. 146
48
Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap pertumbuhan jumlah daun setelah ditanam di lahan ……………. 146
49
Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap pertumbuhan lebar kanopi setelah ditanam di lahan ………..…… 147
xxi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Bagan alur pelaksanaan kegiatan penelitian ...................................
15
2
Karakter morfologi berbagai stadia pertumbuhan tunas tanaman manggis mulai dari trubus awal sampai dormansi ………………..
41
Hubungan peningkatan konsentrasi PEG dengan tinggi tanaman pada 11 BSP …………………………………………………….
45
Keragaan pertumbuhan bibit manggis pada berbagai konsentrasi PEG pada 11 BSP ………………………………………………
45
Hubungan antara potensial air daun (Ψ daun) dengan tinggi tanaman pada 11 BSP …………..………………………………...
47
Hubungan antara potensial air daun (Ψ daun) dengan jumlah daun pada 11 BSP ……….……………………………………………...
47
Hubungan konsentrasi PEG dengan bobot kering total pada 11 BSP ………………………………………………………………..
49
Keragaan akar bibit manggis umur 11 BSP pada berbagai konsentrasi PEG …………………………………………………..
51
Kerapatan stomata pada berbagai konsentrasi PEG pada11 BSP. Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman ………………………………………………………..….
58
Penurunan kadar air pada berbagai porositas media sampai 8 hari setelah penyiraman ………………………………………..……....
80
Pertambahan tinggi tanaman pada berbagai interval penyiraman selama 1 tahun. Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman …………………………………...
86
Pertambahan jumlah daun pada berbagai interval penyiraman selama 1 tahun. Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman ……………………………………………….
87
Pertumbuhan tinggi tanaman pada berbagai porosita media dan interval penyiraman (A0= 2 hari, A1= 4 hari + PPA, A2 = 6 hari + PPA dan A3 = 8 hari + PPA). Nilai pengamatan merupakan ratarata ± standard error dari 6 tanaman ………………………………
88
Pertumbuhan jumlah daun pada berbagai porosita media dan interval penyiraman (A0= 2 hari, A1= 4 hari + PPA, A2 = 6 hari + PPA dan A3 = 8 hari + PPA). Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman ………………………
89
3 4 5 6 7 8 9
10 11
12
13
14
xxiii
15
16 17
18
19
Pertumbuhan luas daun pada berbagai porositas media dan interval penyiraman (A0= 2 hari, A1= 4 hari + PPA, A2 = 6 hari + PPA dan A3 = 8 hari + PPA). Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman………………………....
90
Perakaran tanaman pada interval penyiraman 6 hari + PPA dengan berbagai porositas media …………………………………
92
Panjang akar tampak pada berbagai porositas media pada wadah rizotron selama 8 BST. Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman ……………………………...…….
94
Panjang akar tampak pada berbagai interval penyiraman air pada wadah rizotron selama 8 BST. Nilai pengamatan merupakan ratarata ± standard error dari 6 tanaman ……………………………..
95
Kerapatan stomata pada berbagai porositas media (a) dan interval penyiraman (b). Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman ……………………………………
106
20
Hubungan antara potensial air daun (Ψ daun) dengan bobot kering total tanaman dan bobot kering akar pada perlakuan porositas media ……………………………………………………………... 107
21
Hubungan antara potensial air daun (Ψ daun) dengan dan panjang akar primer (a), pertambahan tinggi tanaman (b) dan pertambahan luas daun (c) pada perlakuan porositas media …………...………..
108
Pertumbuhan tanaman pada perlakuan N,P, K granular pada porositas 51-55% (A), 56-60% (B), 61-65% (C) dan 66-70% (D) pada 11 BSP ……………………………………………………
120
Pertumbuhan tanaman pada porositas media 56-60% dan aplikasi pupuk granular (A), soil drench (B) dan slow release (C) 11 BSP
120
Keragaan pertumbuhan tanaman pada porositas media 61-65% (A) dan 51-55% (B) dengan aplikasi pupuk secara fertigasi pada 11 BSP……………………………………………………………..
120
Keragaan akar tanaman manggis pada berbagai aplikasi pemupukan dan porositas media …….……………………………
124
Pengaruh interaksi antara porositas media dengan aplikasi pemupukan terhadap kadar P daun ..……………………………
126
Kerapatan stomata pada berbagai porositas media (a) dan aplikasi pemupukan (b). Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman …………………...……………….
128
Keragaan pertumbuhan bibit manggis pada porositas media 6165% pada pot keranjang anyaman bambu (A) dan polybag (B) …
138
Keragaan pertumbuhan bibit manggis pada porositas media 5660% pada pot keranjang anyaman bambu (A) dan polybag (B) …
138
22
23 24
25 26 27
28 29 30
Keragaan akar tanaman manggis pada wadah keranjang anyaman bambu (A) dan polybag (B) pada berbagai porositas media .…….. xxiv
143
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Prosedur lengkap pengukuran potensial air (Kaufman 1968; Hamim 2007; Taiz & Zeiger 2012) …………………………...
175
2
Prosedur penentuan kandungan prolin daun (Bates et al. 1973)
176
3
Penetapan kandungan klorofil daun (Sims & Gamon 2002) …
177
4
Prosedur pengukuran kadar air pada berbagai porositas media
178
5
Penetapan kandungan N jaringan daun menggunakan metode Semi mikro-kjedahl …………………………………………...
179
Penetapan kandungan P dan K jaringan daun dengan metode Pengabuan .............................................................................
180
Rangkuman sidik ragam pertumbuhan tanaman pada berbagai simulasi cekaman kekeringan dengan aplikasi PEG ..............
182
Rangkuman sidik ragam (F-hit) pengaruh porositas media dan interval penyiraman terhadap pertumbuhan tanaman ...............
183
Rangkuman sidik ragam (F-hit) respon pertumbuhan bibit tanaman pada berbagai media tumbuh dan cara aplikasi pemupukan ……………………………………………………
186
Rangkuman sidik ragam (F-hit) respon pertumbuhan tanaman pada dua jenis pot dan berbagai porositas media di pembibitan rumah plastik …………………………………………………
188
Rangkuman sidik ragam (F-hit) respon pertumbuhan tanaman pada dua jenis pot dan berbagai porositas media setelah ditanam di lahan …………………………………………….
190
Rata-rata suhu udara dan kelembaban udara di dalam rumah plastik Kebun Percobaan Tajur dari bulan Juli 2009 sampai Desember 2010 ……………………………………………….
191
Intensitas radiasi cahaya di dalam rumah plastik dan lahan terbuka di Kebun Percobaan Tajur ……………………………
192
6 7 8 9
10
11
12
13
xxv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………...
xix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………...
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………...
xxv
DAFTAR ISTILAH ……………………………………………………….
xxvii
PENDAHULUAN ………………………………………………………... Latar Belakang ……………………………………………………….. Rumusan Masalah ……………………………………………………. Tujuan Penelitian …………………………………………………….. Manfaat Penelitian …………………………………………………… Kerangka Pemikiran …..……………………………………………… Hipotesis ………………………………………………………………
1 1 3 8 8 9 13
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………... Karakteristik Umum Tanaman Manggis …...………………………… Karakteristik Perakaran Tanaman Manggis ………………………….. Cekaman Kekeringan terhadap Pertumbuhan Tanaman ....................... Pemacuan Pertumbuhan melalui Perbaikan Lingkungan Tumbuh …...
17 17 18 20 23
KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN FISIOLOGI BIBIT MANGGIS PADA KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN ........................................ Pendahuluan …………..……………………………………………… Bahan dan Metode …………...………...…………………………….. Hasil dan Pembahasan ……….………………………………………. Simpulan …….………………………………………………………..
35 36 37 42 60
PENETAPAN POROSITAS MEDIA BERBAGAI SUMBER BAHAN MEDIA TUMBUH …………………………………………... Pendahuluan …………..……………………………………………… Bahan dan Metode…………...……………………………………….. Hasil dan Pembahasan ……….………………………………………. Simpulan …….………………………………………………………..
61 62 63 66 70
PENINGKATAN PERTUMBUHAN BIBIT MANGGIS MELALUI PENGATURAN POROSITAS MEDIA DAN KETERSEDIAAN AIR … Pendahuluan ………….……………………………………………… Bahan dan Metode ………...……………...…………………………. Hasil dan Pembahasan ……………..………………………………… Simpulan …….………………………………………………………..
71 72 74 78 110
xvii
PENINGKATAN PERTUMBUHAN BIBIT MANGGIS MELALUI PENGATURAN POROSITAS MEDIA DAN APLIKASI PEMUPUKAN …………………………………………………………… Pendahuluan ………….……………………………………………… Bahan dan Metode ………...…………...……………………………. Hasil dan Pembahasan ……………..………………………………… Simpulan …….………………………………………………………..
111 112 113 117 130
PENINGKATAN PERTUMBUHAN BIBIT MANGGIS PADA DUA JENIS POT DENGAN PENGATURAN POROSITAS MEDIA ……….. Pendahuluan ………….……………………………………………… Bahan dan Metode ………...…………………………………………. Hasil dan Pembahasan ……………..………………………………… Simpulan …….………………………………………………………..
131 132 133 136 147
PEMBAHASAN UMUM ………………………………………………...
149
SIMPULAN DAN SARAN ………….....…………...……………………. Simpulan ….………………………..……………………………..….. Saran ….…………..………………………………………..………….
163 163 164
DAFTAR PUSTAKA …………………...………………………………...
165
LAMPIRAN ………………………………………….…………………...
175
xviii
DAFTAR ISTILAH Absorpsi
= Proses penyerapan unsur hara dan larutan yang ada di dalam tanah masuk ke jaringan tanaman.
Aerasi
= Proses yang dapat menyebabkan udara di dalam tanah ditukar dengan udara dari atmosfir; pada tanah yang beraerasi baik biasanya susunan udara tanah hampir sama dengan atmosfir di atas permukaan tanah.
Aerobik
= Bersifat
memerlukan kehidupannya.
oksigen
bagi
Air gravitasi
= Air yang tidak dapat ditahan oleh tanah sehingga meresap ke bawah karena gaya gravitasi.
Air higroskopis
= Air yang diikat kuat oleh tanah sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman.
Air kapiler
= Air di dalam tanah dengan gaya kohesi (tarik menarik antar butir-butiran air) dan daya adhesi (antar air dan tanah) lebih kuat dari gravitasi.
Akar rambut
= Seperti tabung yang tidak bercabang, terbentuk di bagiang belakang daerah pemanjangan akar, permukaan luarnya berlendir dan berfungsi memperluas permukaan serapan akar
Anion
= Ion yang bermuatan listrik negatif.
Apomiksis
= Embrio yang tidak dihasilkan dari miosis dan penyerbukan, tetapi dari sel di dalam kantong embrio atau sekeliling nuselus dan berkembang membentuk biji dengan konstitusi genetik yang sama dengan induk betinanya.
ATP (adenosin tri phosphate)
= Senyawa di dalam sel tanaman yang berperan
Bobot isi (bulk density)
= Perbandingan antara berat tanah kering dengan
dalam menangkap energi dari cahaya matahari pada proses fotosintesis.
volume tanah termasuk volume pori-pori tanah
xxvii
Berat jenis partikel (particle density)
= Berat tanah kering per satuan volume partikel-
Bibit seedling
= Bibit atau tumbuhan hasil perbanyakan dari biji.
Daun terminal
= Sepasang daun (tunggal) atau satu pasang daun
partikel padat tanah (jadi tidak termasuk volume pori-pori tanah).
(tipe inflorescence) yang terletak pada bagian ujung pucuk (terminal). Daun sub terminal
= Daun yang terletak di bawah daun terminal.
Derajat kemasaman /pH (potential of Hydrogen)
= Kondisi yang menggambarkan jumlah ion
Dormansi tunas
= Berhentinya
Enzim
= Substansi yang dibentuk dalam sel hidup yang
hidrogen, yang ada pada larutan tanah. Semakin tinggi jumlah ion hidrogen semakin tinggi juga derajat kemasaman tanah. sementara pertumbuhan yang tampak (visibel) dari organ atau tanaman yang mengandung jaringan meristem. Pada saat itu aktivitas metabolismenya sangat rendah.
menyebabkan atau mempercepat terjadinya proses reaksi kimia. Enzim adalah katalisator untuk reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh makluk hidup. Hara
= Bio zat yang diperlukan tumbuhan untuk pertumbuhan, pembentukan jaringan, dan kegiatan hidup lainnya, diperoleh dari bahan mineral seperti nitrogen, fosfor, kalium dan lainnya.
Higroskopis
= Kemampuan suatu bahan untuk menyerap uap air dari udara. Pupuk yang bersifat hidroskopis akan cepat mencair jika ditempatkan di tempat yang terbuka.
Inter flush
= Periode diantara pertumbuhan tunas (flushing) atau biasa disebut sebagai periode dorman.
Juvenil
= Periode atau masa tanaman belum memasuki fase reproduktif. Biasanya juga disebut dengan tanaman belum menghasilkan (TBM).
Kapasitas tukar kation (KTK)
= Kemampuan koloid tanah untuk memegang dan
Kation
yang bermuatan positif seperti Ca2+, Mg2+, = Ion + + + + 3+
melepaskan kation. KTK diukur dengan satuan miliekuivalen/100 gram tanah.
K , Na , NH4 , H , Al
Kejenuhan basa
dan sebagainya.
= Perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan KTK (semua kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam komplek jerapan tanah dikali 100% Kejenuhan basa yang tinggi menunjukan ketersedian hara yang tinggi, artinya, tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian.
Klorofil
= Sel pembentuk warna hijau pada daun dan tempat terjadinya proses fotosintesis.
Korelasi
= Suatu teknik statistik yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel atau lebih yang sifatnya kuantitatif.
Koefisien korelasi
= Ukuran untuk mengukur hubungan kekuatan antara 2 variabel yang disimbolkan dengan huruf r. Nilai absolut dari r berada pada interval -1≤ r ≤1tanda – dan + menunjukan arah hubungan
Koloid tanah
= Bagian tanah yang sangat aktif dalam proses fisikokimia. Koloid berukuran sangat halus dengan diameter kurang dari 1 mikron dan umumnya bermuatan negatif.
Metabolisme
= Proses penyusunan dan perombakan protein, lemak, dan karbohidrat melalui fotosintesis dan respirasi
Miliekuivalen
= Adalah satuan kimia, contoh satu ekivalen setara dengan 1 g hidrogen, jadi 1 me H = 1 mg (berat atom H = 1, valensi 1); 1 me K= 39 mg (berat atom K= 39, valensi 1).
xxix
Plasmolisis
= Proses keluarnya cairan dari dalam sel akar, akibat perbedaan konsentrasi garam di dalam sel akar dan di dalam larutan tanah.
Pori-pori tanah/media
= Bagian yang tidak terisi oleh bahan padat tanah/media (terisi oleh udara dan air); terdiri atas pori makro dan pori mikro. Pori makro berisi udara atau air gravitasi dan pori mikro berisi udara atau air kapiler.
Pucuk
= Bagian ujung tajuk tanaman yang masih muda.
Ritme pertumbuhan
= Periode tumbuh yang dimulai dari terbentuknya daun (flush) dan diakhiri dengan berakhirnya periode dormansi.
Unsur hara esensial
= Apabila terjadi defisiensi hara tersebut maka tanaman tidak akan dapat melanjutkan siklus hidupnya. Fungsi hara tersebut tidak dapat digantikan oleh hara lain. Unsur tersebut harus secara langsung terlibat dalam proses metabolisme.
Siklus trubus
= Satu tahapan atau daur yang dmulai dari munculnya atau pecahnya tunas pertama sampai dengan pecah tunas berikutnya.
Trubus
= Stadia pertumbuhan tunas yang dimulai dari pecah (tunas awal) sampai dengan perkembangan tunas mencapai ukuran maksimum pada stadium trubus dewasa
Sink
= Organ-organ yang tidak mampu memenuhi fotosintat untuk kebutuhan sendiri, sehingga harus mengimpor dari organ yang berfungsi sebagai source.
Source
= Organ tanaman yang sudah mampu memenuhi fotosintat untuk kebutuhan sendiri atau mengekspor sebagian hasil fotosintesisnya untuk organ lain yang membutuhkan (sink), biasanya source tersebut adalah daun yang telah terbuka penuh.
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Manggis (Garcinia mangostana) merupakan salah satu buah segar yang digemari masyarakat Indonesia maupun dunia, karena mempunyai rasa dan aroma yang lezat serta memiliki perpaduan warna yang indah. Buah manggis merupakan andalan ekspor Indonesia ke beberapa negara seperti Hong Kong, Taiwan, RRC, Singapura, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Eropah (Deptan 2008).
Menurut
laporan BPS (2011), volume ekspor manggis sebesar 4 285 ton pada periode Januari sampai Pebruari tahun 2009 menjadi 8 225 ton pada periode yang sama pada tahun 2010 atau mengalami peningkatan sebesar 91%. Besarnya volume ekspor tersebut mencerminkan tingginya permintaan buah manggis, namun ternyata belum ditunjang produksi buah manggis nasional. Pada tahun 2000, produksi manggis Indonesia mencapai 26 400 ton dengan luas panen 5 192 ha dan meningkat menjadi 105 558 ton dengan luas panen 11 992 ha pada tahun 2009. Data tersebut menunjukkan adanya kenaikan produktivitas dari 50.85 ku/ha pada tahun 2000 menjadi 88.00 ku/ha pada tahun 2009 (Deptan 2012). Peningkatan produksi dari tahun 2000 sampai 2009 masih belum bisa memenuhi permintaan buah manggis, baik untuk pasar dalam maupun luar negeri sehingga memberikan peluang besar untuk pengembangan manggis nasional. Kendala utama pengembangan manggis adalah lambatnya pertumbuhan, baik saat pembibitan maupun setelah ditanam di lahan. Kondisi tersebut menyebabkan masa bibit siap tanam menjadi lebih lama (3-4 tahun) sehingga ketersediaan bibit tidak bisa segera dipenuhi dalam waktu yang singkat dan masa tanaman belum menghasilkan (TBM) menjadi lama yaitu 8-15 tahun (tanaman asal biji). Pertumbuhan tanaman manggis yang lambat berhubungan dengan karakteristik perakaran yang kurang berkembang dan jumlah akar yang terbatas serta tidak memiliki akar rambut (Wiebel et al. 1994; Poerwanto 2000; Cox 1988). Karakteristik akar yang demikian akan membatasi penyerapan air dan unsur hara sehingga mengurangi laju fotosíntesis dan pembelahan sel pada meristem pucuk. Hal ini sesuai yang dikemukakan Gardner et al. (1991) bahwa
2
kurang berkembangnya sistem perakaran dan tidak adanya akar rambut menyebabkan laju serapan air dan unsur hara menjadi berkurang.
Apabila
dihubungkan dengan fungsi air sebagai penyusun utama protoplasma, bahan baku dalam proses fotosintesis dan sebagai pelarut dalam sejumlah proses hidrolisis, maka terbatasnya serapan air akan menyebabkan terhambatnya berbagai aktivitas sel (Taiz & Zeiger 2012). Bahkan stres air yang ringan saja (sekitar -1 sampai -3 bar) sudah dapat menyebabkan pembelahan dan pembesaran sel menjadi terhambat bahkan berhenti sama sekali (Harjadi & Yahya 1988). Pertumbuhan tanaman yang lambat dan sulitnya penyediaan bibit bermutu menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi manggis nasional sehingga dibutuhkan upaya pemacuan pertumbuhan melalui teknologi pembibitan yang baik. Salah satu cara memacu pertumbuhan adalah pengelolaan lingkungan tumbuh yang disesuaikan dengan karakteristik tanaman.
Lingkungan tumbuh
yang penting diperhatikan antara lain media tumbuh, ketersediaan air dan unsur hara serta kecukupan aerasi. Peran penting media tumbuh terhadap pertumbuhan tanaman, antara lain dilaporkan Wiebel et al. (1992a), bahwa pertumbuhan bibit manggis pada media yang porous lebih baik dibanding media yang kurang porous. Istilah media porous atau kurang porous sering dikenal pada pembuatan media tumbuh, sesungguhnya merupakan nilai porositas media.
Porositas
merupakan salah satu sifat fisik tanah/media yang diartikan sebagai bagian tanah atau media yang tidak terisi bahan padat (terisi oleh air dan udara), terdiri atas pori makro dan pori mikro (Hardjowigeno 1987). Media yang banyak mengandung bahan organik memiliki porositas tinggi, begitu pula struktur remah mempunyai nilai porositas yang lebih tinggi dibanding struktur massive (Hillel 1997). Selama ini porositas media belum dijadikan pertimbangan pada pembuatan media, padahal porositas merupakan salah satu sifat fisik yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap aerasi. Peningkatan porositas akan meningkatkan aerasi sehingga mendorong peningkatan respirasi akar (Gardner et al. 1991). Melalui proses respirasi akar dihasilkan sejumlah energi yang antara lain digunakan mendukung pertumbuhan tanaman. Hal ini menegaskan pentingnya aerasi dalam hubungannya dengan O2, dimana kandungan
3
O2 dipengaruhi oleh kadar air, porositas media dan derajat pemadatan (Gruda & Schnitzler 2004; Dresboll & Kristensen 2011). Pada penelitian ini pemacuan pertumbuhan manggis dilakukan melalui rekayasa media tumbuh dengan pendekatan porositas media dan pengelolaan faktor lingkungan tumbuh seperti ketersediaan air dan unsur hara serta kecukupan aerasi. Pendekatan porositas menjadi alasan penting karena selama ini media pembibitan manggis hanya berupa media tanah atau campuran tanah dan sedikit pupuk kandang. Kondisi media seperti itu menyebabkan terjadinya pemadatan media yang kurang mendukung perkembangan akar. Selain itu pada media yang padat, kapasitas memegang air memang tinggi tetapi air tersebut tidak bisa tersedia bagi tanaman (Dresboll 2010). Bahkan pada kondisi media yang sangat padat (jumlah ruang pori-pori makro sangat sedikit), penyiraman yang intensif dapat menyebabkan terjadinya penggenangan dan memicu defisiensi O2. Sebaliknya pada media berporositas tinggi, walaupun baik ditinjau dari aspek kecukupan aerasi, namun kemampuannya dalam menyimpan air sangat rendah. Oleh karena itu perakitan media tumbuh tepat adalah penting, selain dapat meningkatkan ketersediaan air dan unsur hara juga memperbaiki aerasi media. Penyusunan media tumbuh dengan pendekatan porositas media disertai pengelolaan lingkungan tumbuh spefisik sesuai karakteristik tanaman diharapkan dapat menghasilkan bibit manggis yang berkualitas.
Rumusan Masalah Salah satu varietas unggul manggis yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian atas usulan dari pemerintah daerah Purwakarta bersama Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 adalah varietas Wanayasa. Permintaan terhadap bibit manggis tersebut cenderung meningkat sangat pesat dari beberapa daerah di Indonesia.
Besarnya permintaan bibit
manggis tersebut masih belum bisa dipenuhi akibat lambatnya pertumbuhan bibit. Sejauh ini untuk menghasilkan bibit manggis siap tanam diperlukan waktu sekitar 3-4 tahun. Lamanya waktu pembibitan tersebut menjadi salah satu faktor pembatas bagi pengembangan tanaman manggis nasional.
4
Beberapa
laporan
penelitian
menyebutkan
bahwa
lambatnya
pertumbuhan manggis antara lain disebabkan oleh (a) buruknya sistem perakaran, sehingga (b) penyerapan air dan hara lambat, (c) rendahnya laju fotosintesis, dan (d) rendahnya laju pembelahan sel pada meristem pucuk (Wibel et al. 1992a; Ramlan et al.
1992; Poerwanto 2000). Pada tanaman
manggis akar tumbuh dengan sangat lambat, rapuh, jumlah akar lateral terbatas dan tidak mempunyai akar rambut, mudah rusak dan terganggu oleh kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, sehingga luas permukaan kontak antara akar dan media tumbuh sempit yang menyebabkan serapan air dan hara terbatas (Cox 1988). Rendahnya serapan hara dan air ke dalam jaringan tanaman akan menurunkan aktivitas fisiologi tanaman dan menganggu ritme endogen secara keseluruhan di dalam tanaman (Hidayat 2002). Beberapa hasil penelitian yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan bibit manggis telah dilakukan melalui penggunaan zat pengatur tumbuh seperti pemberian Indole butyric acid (IBA) 50-150 ppm terhadap biji dan akar (saat transplanting dari pesemaian) mampu meningkatkan pertambahan panjang akar, diameter batang, bobot kering total, kandungan hara daun dan serapan hara (Poerwanto et al. 1995).
Demikian pula pemberian 0.075-0.150 ppm
triankontanol mampu meningkatkan luas daun, tinggi bibit, diameter batang, panjang akar, bobot kering total dan serapan hara pada bibit umur 7 bulan (Hidayat et al. 1999). Penggunaan zat pengatur tumbuh dipandang masih sulit diaplikasikan karena dibutuhkan ketelitian yang tinggi dalam penentuan dosis dan cara aplikasi sehingga diperlukan keahlian khusus untuk menerapkannya. Selain itu beberapa jenis zat pengatur tumbuh, harganya masih relatif mahal.
Oleh karena itu
diperlukan cara lain untuk memacu pertumbuhan bibit manggis, diantaranya melalui perbaikan media tumbuh. Peran media tumbuh dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman telah dilaporkan Wiebel et al. (1992a), bahwa media yang porous berupa campuran peat moss + pine bark + pasir (1:1:1 v/v) menghasilkan pertumbuhan bibit yang lebih baik dibandingkan media yang kurang porous berupa campuran peat moss + thunder peat + pasir (1:1:1 v/v). Muzayyinatin (2006) juga melaporkan bibit umur 4 bulan yang ditanam pada media berupa
5
campuran kompos daun bambu + tanah + pupuk kandang (3:2:1 v/v) menghasilkan volume akar yang lebih besar dibanding media yang berupa campuran pasir + tanah + pupuk kandang (3:2:1 v/v). Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa media porous menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik, tetapi dari laporan tersebut dan sejumlah laporan yang ada belum diketahui nilai porositas media sesungguhnya sebagai ukuran porous atau tidaknya media.
Oleh karena itu, porositas media sangat penting dalam
membantu perencanaan media tumbuh yang tepat dari berbagai sumber bahan media. Karakteristik pertumbuhan akar yang lambat dan jumlah akar lateral yang terbatas menyebabkan bibit manggis peka terhadap cekaman kekeringan dan pengaruhnya terlihat dari terhambatnya pertumbuhan dan perubahan morfologi tanaman serta aktivitas fisiologis. Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan karena dapat menghambat aktivitas fotosintesis dan translokasi fotosintat (Savin & Nicolas 1996).
Menurut Levitt (1980); Bray
(1997), cekaman kekeringan yang biasa disebut drought stress pada tanaman dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu: (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran dan (2) permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air, walaupun kandungan air tanah dalam kondisi cukup tersedia. Saat pertumbuhan tunas, aktivitas metabolisme meningkat dan kebutuhan air secara langsung menjadi faktor pembatas sehingga saat pertumbuhan tunas dibutuhkan ketersediaan air yang lebih tinggi dibandingkan stadia dorman. Dengan demikian saat aktif tumbuh, tanaman manggis sangat peka terhadap cekaman kekeringan. Gejala yang jelas ditunjukkan apabila tanaman manggis mengalami cekaman kekeringan berat adalah terhambatnya pertumbuhan, seperti ukuran daun menjadi lebih kecil dan warna daun pada saat trubus awal menjadi kekuning-kuningan serta siklus trubus berikutnya menjadi lebih panjang (Wiebel et al. 1994). Cekaman kekeringan yang dialami tanaman pada setiap periode pertumbuhan dan perkembangan dapat menurunkan hasil meskipun besarnya penurunan tergantung fase pertumbuhan pada saat terjadi dan lamanya cekaman (Harjadi & Yahya 1988).
Pada fase pertumbuhan vegetatif, ketersediaan air
6
berpengaruh terhadap beberapa aspek fisiologi dan morfologi antara lain menurunkan laju fotosintesis dan luas daun. Apabila tanaman mengalami cekaman kekeringan maka potensial air daun menurun dan pembentukan klorofil juga terganggu (Alberte et al. 1977).
Kramer (1983) menjelaskan bahwa
pengaruh cekaman kekeringan pada pertumbuhan vegetatif antara lain berupa berkurangnya
luas
daun,
terhambatnya
pembentukan
tunas
baru
dan
meningkatnya nisbah akar/tajuk. Bray (1997) menyatakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan tergantung jumlah air yang hilang, lamanya cekaman, genotipe, umur dan fase perkembangan tanaman. Media tumbuh yang porous memiliki pori-pori makro yang lebih banyak dibanding pori mikro sehingga kemampuan menyimpan air menjadi sangat rendah. Ketersediaan air yang rendah akibat kemampuan menyimpan air yang rendah pada porositas tinggi dapat menyebabkan terjadinya cekaman kekeringan. Oleh karena itu untuk meningkatkan ketersediaan air pada porositas media yang tinggi maka harus diikuti penyiraman intensif dan apabila hal ini diterapkan pada skala pembibitan yang besar berarti dibutuhkan biaya, waktu dan tenaga kerja yang banyak. Pertumbuhan bibit manggis juga diketahui peka terhadap kekurangan dan kelebihan unsur hara sehingga dibutuhkan aplikasi pemupukan yang tepat. Namun masalahnya sampai saat ini masih terbatas rekomendasi pemupukan yang benar-benar dapat diaplikasikan secara tepat sesuai kondisi tanaman. Saat ini anjuran pemupukan manggis yang tertuang dalam standar prosedur operasional (SPO) tanaman manggis umumnya masih bersumber dari kebiasaan petani (Direktur
Tanaman
Buah
2004).
Acuan
pemupukan
tersebut
belum
mempertimbangkan ketersediaan hara tanah dan tanaman serta kondisi media tumbuh. Pemupukan yang tidak sesuai kebutuhan tanaman dapat menyebabkan tanaman tidak mendapatkan unsur hara yang cukup, sebaliknya justeru dapat menimbulkan keracunan. Pemupukan yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan hara, pemborosan biaya dan bahkan bisa meracuni tanaman. Hal ini sesuai laporan Poerwanto et al. (1995), bahwa pemupukan NPK Prill 15:15:15 yang bersifat cepat tersedia pada bibit sambung tanaman manggis ternyata
7
hasilnya kurang memuaskan, bahkan pemupukan dengan dosis 10 g dalam 3 l media justeru menyebabkan tanaman mengalami keracunan.
Oleh karena itu
pentingnya dikaji penggunaan pupuk yang cepat tersedia dan pupuk lepas terkendali serta cara aplikasi pada berbagai porositas media. Selama ini telah dikenal beberapa aplikasi pemupukan diantaranya aplikasi pupuk butiran (granular) yang telah banyak digunakan dan dianggap mudah diaplikasikan serta harganya relatif murah. Aplikasi pemupukan dapat pula dengan cara dilarutkan dalam air lalu disiram ke media tumbuh atau yang dikenal sebagai fertigasi (fertigation). Cara ini dapat mempercepat penyerapan hara tetapi dibutuhkan waktu yang lebih banyak karena umumnya frekuensi aplikasinya lebih tinggi. Untuk mengurangi frekuensi penyiraman maka dapat digunakan pupuk lepas terkendali (slow release) dengan interval pemupukan yang lebih panjang (4-6 bulan) tetapi ketersediaan hara lebih lambat dan harga pupuknya juga lebih mahal. Lambatnya ketersediaan hara dari pupuk slow release karena sifat kelarutannya yang lambat akibat adanya lapisan khusus dari bahan resin yang sifatnya permeabel (awet) pada setiap butirannya. Akibatnya unsur hara yang terkandung dalam butiran pupuk tersebut dilepaskan secara perlahan-lahan sehingga unsur hara menjadi lambat tersedia bagi tanaman. Ketiga cara aplikasi pemupukan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga perlu dikaji bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan bibit manggis. Berdasarkan uraian sebelumnya diketahui bahwa perakaran tanaman manggis peka terhadap tata udara (aerasi) yang kurang baik, utamanya pada medium tumbuh yang terbatas seperti di pot.
Aerasi akan mempengaruhi
penyerapan air dalam hubungannya dengan kandungan O2 dan CO2, dimana semakin tinggi kandungan O2 maka semakin tinggi permeabilitas dinding sel akar sehingga laju serapan air meningkat dan sebaliknya apabila kandungan CO2 yang tinggi, maka permeabilitas dinding sel akar semakin rendah sehingga laju serapan air juga terhambat.
Oleh karena itu pentingnya pengaturan aerasi yang
disesuaikan dengan karakteristik perakaran. Pada penelitian ini dilakukan pula perbaikan pertumbuhan tanaman melalui pengaturan porositas media yang dipadukan dengan penggunaan pot beraerasi. Pot yang digunakan adalah dari keranjang anyaman bambu yang memiliki banyak pori-pori pada semua sisi pot
8
sehingga sirkulasi udara menjadi lebih baik. Namun belum diketahui bagaimana pengaruhnya terhadap tanaman apabila dipadukan dengan porositas media. Beberapa informasi di atas menunjukkan peran penting lingkungan tumbuh terhadap pertumbuhan bibit manggis. Namun masih terbatas informasi yang menjelaskan bagaimana mekanisme perubahan morfologi dan fisiologi akibat perubahan lingkungan tumbuh. Informasi ini menjadi dasar pertimbangan dalam pengelolaan lingkungan tumbuh spesifik sehingga kedepannya bisa dirancang teknologi pembibitan yang mampu menghasilkan bibit yang berkualitas dengan pertumbuhan yang optimal.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan bibit manggis melalui perbaikan komponen teknologi pembibitan manggis dengan rekayasa media tumbuh yang berbasis porositas media dan dikombinasikan dengan lingkungan tumbuh spesifik. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1. Mempelajari karakteristik morfologi dan fisiologi pertumbuhan bibit manggis pada kondisi cekaman kekeringan. 2. Mendapatkan nilai porositas media dari berbagai sumber atau bahan media yang akan digunakan dalam penyusunan media tumbuh yang sesuai karakteristik perakaran tanaman manggis. 3. Mempelajari faktor-faktor lingkungan tumbuh spesifik seperti ketersediaan air, unsur hara dan kecukupan aerasi dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan pertumbuhan bibit manggis.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat menjelaskan mekanisme fisiologi antara pertumbuhan akar dan tajuk pada berbagai porositas media dengan dukungan lingkungan tumbuh spesifik seperti ketersediaan air, unsur hara dan kecukupan aerasi.
Mekanisme
fisiologi tersebut selanjutnya
digunakan sebagai acuan dalam penentuan cara pemacuan pertumbuhan bibit manggis yang dikenal pertumbuhannya lambat.
9
Sebagai dasar kajian mekanisme morfologi dan fisiologi yang menjelaskan pertumbuhan tajuk dan akar maka diperlukan data penelitian yang meliputi: 1. Periode pertumbuhan tunas dan periode dormansi pada berbagai porositas media, ketersediaan air dan unsur hara serta kecukupan hara. 2. Pertumbuhan tajuk (tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, lebar kanopi, luas daun, bobot kering tajuk dan bobot kering total) dan pertumbuhan akar (panjang akar primer, panjang akar tampak, volume akar, bobot kering akar) serta keseimbangan pertumbuhan tajuk dan akar melalui pengamatan rasio tajuk/akar. 3. Perubahan potensial air jaringan, laju fotosintesis, laju transpirasi dan daya hantar stomata. 4. Perubahan kandungan asam amino prolin sebagai indikator terjadinya cekaman kekeringan. 5. Perubahan kandungan hara N,P dan K daun serta serapan hara 6. Pengamatan kerapatan stomata 7. Perubahan kandungan klorofil daun (klorofil a, klorofil b, klorofil total dan rasio klorofil a/b).
Berdasarkan
pemahaman
mengenai
porositas
media maka dapat
direkomendasikan beberapa sumber media yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pemilihan dan penyusunan media tumbuh berdasarkan ketersediaan sumberdaya setempat serta sesuai dengan karakteristik perakaran tanaman. Pemilihan media tumbuh yang tepat disertai perbaikan teknik budidaya dan pengelolaan lingkungan tumbuh spesifik diharapkan dapat dihasilkan bibit yang berkualitas untuk mendukung pengembangan manggis nasional.
Kerangka Pemikiran Pertumbuhan tanaman manggis
yang lambat antara lain disebabkan
kondisi perakaran yang tidak mendukung untuk percepatan pertumbuhan. Beberapa strategi dapat dilakukan dalam memacu pertumbuhan bibit manggis antara lain melalui perbaikan lingkungan tumbuh. Oleh karena itu rangkaian penelitian ini diawali dengan pemahaman lingkungan tumbuh spesifik, seperti
10
media tumbuh, ketersediaan air dan unsur hara serta kecukupan aerasi sehingga kedepannya dapat dirancang teknologi pembibitan yang sesuai karakteristik tanaman dan sekaligus dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Media tumbuh berfungsi sebagai tempat tumbuh sementara sebelum dipindahkan ke lapang dan memiliki peran penting dalam menghasilkan bibit yang berkualitas.
Selama ini pertimbangan utama yang digunakan dalam
pembuatan atau pemilihan media tumbuh adalah ketersediaan bahan. Melalui penelitian ini ditambahkan aspek porositas media sebagai dasar penyusunan atau pemilihan media tumbuh. Porositas media yang sesuai karakteristik tanaman diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Hal ini disebabkan
peningkatan porositas media dapat memperbaiki aerasi sehingga proporsi udara seperti O2 di dalam media meningkat sehingga berdampak pada peningkatan laju respirasi akar. Masalahnya terdapat hubungan yang berlawanan antara kecukupan udara dengan ketersediaan air. Pada porositas tinggi umumnya didominasi pori-pori makro dan ruang-ruang pori tersebut banyak ditempati oleh O2 sehingga aerasi meningkat. Namun porositas media yang tinggi memiliki keterbatasan dalam menyimpan air sehingga rentang mengalami cekaman kekeringan apabila tidak diimbangi dengan penyiraman intensif. Kondisi sebaliknya pada porositas media yang rendah, karena fraksi media didominasi oleh pori-pori mikro, maka kemampuannya menyimpan air cukup tinggi, namun karena ruang pori-pori makro relatif sedikit sehingga pertukaran udara terhambat dan kandungan O2 menjadi rendah dan akibatnya respirasi akar terhambat. Berdasarkan dua kondisi tersebut maka dibutuhkan pengaturan porositas media yang selain dapat meningkatkan ketersediaan air, juga mampu meningkatkan kecukupan aerasi, utamanya pada tanaman yang memiliki kendala perakaran seperti tanaman manggis. Karakteritik perakaran tanaman manggis yang memiliki jumlah akar lateral terbatas dan tidak mempunyai akar rambut serta pertumbuhannya lambat, menyebabkan bibit manggis peka terhadap cekaman kekeringan utamanya saat kandungan air media rendah. Saat terjadi cekaman kekeringan maka potensial air daun menjadi sangat rendah sehingga respon pertama yang nampak adalah
11
terhambatnya laju pembesaran sel dan akibatnya pertumbuhan tanaman juga terhambat (Salisbury & Ross 1995).
Pada kondisi cekaman ringan dapat
menyebabkan stomata tertutup sehingga laju difusi CO2 dan O2 juga terhambat, akibatnya kandungan O2 dan laju serapan air juga menurun sehingga menurunkan laju fotosintesis.
Oleh karena itu penting diketahui batas kritis cekaman
kekeringan yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam penanganan bibit manggis. Untuk mempelajari bagaimana pengaruh cekaman kekeringan terhadap tanaman, maka dilakukan simulasi cekaman kekeringan. Dari beberapa laporan diketahui bahwa polietilena glikol (PEG) telah banyak digunakan sebagai bahan simulasi antara lain pada tanaman kedelai (Husni et al. 2006), cabai (Yusniwati 2007), kelapa sawit (Palupi & Dedywiryanto 2008), Phaseolus mungo (Garg 2010), tembakau (Riduan et al. 2010) dan Trifolium repens L (Wang 2010).
Hasil
simulasi ini diharapkan menjadi acuan dalam pengaturan ketersediaan air media sehingga tanaman bisa terhindar dari cekaman kekeringan. Penyiraman merupakan komponen penting dalam penanganan bibit manggis. Selama ini penyiraman air dilakukan secara sering (1-2 hari sekali) tanpa mempertimbangkan aspek porositas media. Padahal terdapat perbedaan ketersediaan air pada porositas media yang berbeda. Pada porositas yang rendah, kemampuan menyimpan air tinggi sehingga tidak perlu dilakukan penyiraman sering.
Berbeda halnya dengan porositas tinggi yang harus diikuti penyiraman
yang intensif karena memiliki keterbatasan dalam menyimpan air. Penyiraman yang intensif
sering menjadi kendala pada pembibitan yang skalanya besar,
karena dibutuhkan biaya, waktu dan alokasi tenaga kerja yang tinggi.
Oleh
karena itu dibutuhkan bahan yang dapat meningkatkan ketersediaan air sehingga tidak perlu penyiraman yang intensif. Beberapa laporan penelitian menunjukan beberapa jenis polimer penyimpan air (PPA) dapat digunakan dalam meningkatkan ketersediaan air, baik saat pembibitan maupun setelah penanaman di lahan (Viero et al. 2002; Rowe et al. 2005; Thomas 2008). Menurut Andry et al. (2009), polimer sintetik hidrofilik (karboksimetil selulosa dan isopropil akrilamida) dapat mengembang saat menyerap air dalam jumlah besar sehingga dapat meningkatkan ketersediaan air. Ketersediaan air yang cukup dan serapan yang efektif oleh akar akan meningkatkan pasokan air ke jaringan tanaman
12
sehingga meningkatkan sejumlah aktivitas metabolisme tanaman. Namun masih perlu dikaji kemampuan PPA dalam mempertahankan ketersediaan air pada berbagai porositas media. Rekomendasi pemupukan manggis yang ada selama ini masih sangat umum, sehingga sulit diaplikasikan secara tepat, contohnya belum ada rekomendasi pemupukan pada pembibitan sesuai kondisi media tumbuh. Melalui penelitian ini diharapkan diketahuinya jenis dan cara pemupukan yang sesuai kondisi media tumbuh. Aplikasi pemupukan bisa dengan pupuk yang mudah larut seperti pupuk anorganik NPK atau pupuk yang kelarutannya lambat atau yang biasa dikenal sebagai pupuk lepas terkendali (slow release).
Beberapa jenis
pupuk slow release telah banyak digunakan pembibitan pada tanaman tahunan karena dengan interval aplikasi yang panjang (4-6 bulan), unsur hara dapat disediakan secara kontinyu. Jenis pupuk ini memiliki kelebihan antara lain mampu mengontrol jumlah hara yang larut dalam air tanah atau media. Hasil penelitian Wiebel et al. (1992a) menunjukkan bahwa aplikasi pupuk lepas terkendali Osmocote plus mampu meningkatkan pertumbuhan bibit manggis. Namun umumnya pupuk slow release memiliki kelarutan yang lambat karena adanya lapisan dari bahan resin yang melindungi permukaan butiran pupuk sehingga unsur hara menjadi lambat tersedia bagi tanaman. Aplikasi pemupukan juga bisa cara menaburkan pupuk di sekitar tanaman dengan menggunakan pupuk butiran (granular). Jenis pupuk dan cara aplikasi ini dianggap cukup praktis dan mudah dilakukan karena interval pemupukannya juga lebih lama (2 bulan) tetapi dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat tersedia. Aplikasi pemupukan juga dapat dilakukan dengan penyiraman ke media tumbuh atau yang dikenal dengan istilah fertigasi (fertigation). Metode ini cukup efektif dalam penyediaan unsur hara karena diberikan secara intensif namun dibutuhkan biaya dan alokasi tenaga kerja yang banyak. Metode aplikasi pupuk secara fertigasi dianggap sangat baik, utamanya bagi unsur hara yang diserap tanaman melalui aliran massa seperti nitrogen (N). Menurut Donahue (1977) aliran massa merupakan meknisme penyerapan unsur hara N paling utama yaitu sekitar 98.8%, sedangkan unsur hara fosfor (P) dan kalium (K) lebih banyak diserap secara difusi yaitu 90.9% dan 77.7%. Ketiga cara aplikasi pemupukan
13
tersebut diduga memberikan respon yang berbeda pada porositas yang berbeda, sehingga perlu dikaji lebih jauh bagaimana pengaruhnya terhadap tanaman. Kecukupan aerasi dan ketersediaan air menjadi dua hal yang sangat mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman. Oleh karena itu dibutuhkan jenis pot dan porositas media yang ideal yang dapat menyatukan peran faktor aerasi dan ketersediaan air. Penelitian ini dilakukan sebagai terobosan untuk meningkatkan kecukupan aerasi melalui penggunaan pot beraerasi dan pengaturan porositas media. Selama ini wadah atau pot yang umum digunakan pada pembibitan manggis adalah polybag dengan ukuran yang beragam. Polybag memiliki aerasi yang rendah sehingga sirkulasi udara terbatas utamanya apabila menggunakan media yang porositasnya rendah. Sebagai alternatif yang ditawarkan pada penelitian ini adalah penggunaan pot beraerasi tinggi dari keranjang anyaman bambu.
Penggunaan pot beraerasi seperti keranjang anyaman bambu dapat
menyebabkan terpangkasnya akar (root prunning) yang menembus sisi pot sehingga menstimulir munculnya akar-akar muda yang aktif dalam menyerap air dan unsur hara. Root prunning sangat efektif dalam meremajakan akar tanaman sehingga senantiasa diperoleh akar yang produktif (Walston 2012). Selain itu, juga dapat mengurangi persaingan antar akar dan tajuk dalam memanfaatkan fotosintat. Dengan demikian penggunaan pot beraerasi dari keranjang anyaman bambu diharapkan dapat meningkatkan aerasi di sekitar tanaman dan sekaligus mendorong pertumbuhan tanaman. Rekayasa media tumbuh dengan pertimbangan porositas media disertai pengelolaan dan perbaikan lingkungan tumbuh spesifik (air, unsur hara dan aerasi) yang sesuai karakteristik tanaman diharapkan diperoleh bibit manggis yang berkualitas dan siap ditanam di lahan dengan performan pertumbuhan yang baik. Bagan alur kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 1. Hipotesis 1.
Terdapat perbedaan morfologi dan fisiologi pertumbuhan pada bibit manggis yang mendapat cekaman kekeringan sehingga diperlukan pengaturan ketersediaan air yang tepat pada pembibitan manggis.
14
2.
Terdapat variasi nilai porositas dari berbagai sumber bahan media sehingga memungkinkan diperoleh komposisi media ideal dengan pertimbangan porositas media.
3.
Terdapat interaksi antara porositas media dengan lingkungan tumbuh spesifik (seperti ketersediaan air dan unsur hara serta kecukupan aerasi) dan berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan bibit manggis.
15
Masa pembibitan lama & ketersediaan bibit lambat
Masalah: PERTUMBUHAN BIBIT MANGGIS LAMBAT
Perakaran yang tumbuh lambat, kurang berkembang & peka terhadap kondisi lingkungan tumbuh yg tidak sesuai
Perobaan 1: Karakteristik morfologi & fisiologi akar & tajuk pada berbagai cekaman kekeringan
Lingkungan tumbuh spesifik (peka terhadap keterbatasan air, unsur hara & aerasi yang kurang sesuai)
Karakeristik morfologi & fisiologi tanaman Informasi dasar untuk pengaturan ketersedian air pada manajemen media tumbuh
MANAJEMEN MEDIA TUMBUH pendekatan porositas media
Percobaan 2: penetapan porositas media: Informasi porositas media dari berbagai sumber media tumbuh sebagai dasar penyusunan media tumbuh:
Percobaan 3: Porositas media & Interval penyiraman
Percobaan 4: Porositas media & pemupukan
Percobaan 5: jenis pot & porositas media
Karakteristik morfologi & fisiologi Ketersediaan air, cara aplikasi pupuk yang efisien & kecukupan aerasi pada berbagai porositas berbeda
Perbaikan teknologi pembibitan
Peningkatan pertumbuhan bibit manggis
Gambar 1 Bagan alur pelaksanaan kegiatan penelitian
17
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Umum Tanaman Manggis Manggis (Garcinia mangostana L.) tergolong dalam famili Guttiferae, yang berasal dari Asia Tenggara, khususnya Thailand, Malaysia dan Indonesia (Nakasone & Paull 1999). Tanaman manggis dewasa merupakan pohon besar dengan tinggi dapat mencapai 10-25 m, daun lebar dan rimbun. Bentuk tajuk bervariasi dari bulat silindris hingga kerucut dengan penyebaran simetris ke semua arah. Lebar tajuk dapat mencapai 12 m dan semakin mengecil ke arah puncak pohon. Diameter batang pohon dewasa dapat mencapai 60 cm dengan percabangan ke semua arah. Daunnya tunggal dan berpasangan di sisi ranting. Bentuk daun bulat panjang dengan ukuran panjang 13-26 cm dan lebar 6-12 cm. Helai daunnya kaku dan tebal. Daun muda yang baru tumbuh berwarna cokelat kemerahan, kemudian berubah menjadi cokelat kehijauan, hijau muda, lalu hijau tua sesuai umur tanaman (Tirtawinata et al. 2000). Bunga manggis terletak di ujung ranting, memiliki tangkai bunga yang pendek dan tebal, daun kelopak empat helai tersusun dalam dua pasang dan daun mahkota empat helai. Kedua pasang kelopak memiliki panjang 2 cm, berwarna hijau kekuningan, berlekuk dan tumpul, sedangkan mahkotanya berwarna hijau kekuningan dengan bagian di sekelilingnya berwarna kemerahan, tebal, dan berdaging. Bunga muncul secara menyendiri atau berpasangan pada bagian ujung ranting di luar kanopi (Nakasone & Paull 1999). Proses pembentukan dan perkembangan buah manggis berkisar antara 100-160 hari dari awal pembungaan hingga pematangan buah. Buah berdiameter 4-8 cm, berbentuk bulat, berwarna kekuningan hingga berwarna ungu kehitaman pada saat masak dan beratnya berkisar 30-180 g. Daging buah (aril) terdiri atas 57 segmen berwarna putih, rasanya manis dan hanya mengandung 1-2 biji. Tanaman manggis dapat tumbuh baik pada ketinggian 460-610 m di atas permukaan laut. Verheij (1992) menyatakan di daerah tropis tanaman manggis masih dapat tumbuh pada ketinggian tempat lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut dan semakin tinggi tempat maka pertumbuhannya semakin lambat serta semakin lama awal pembungaannya.
Tanaman ini tumbuh baik pada
18
struktur tanah remah dengan drainase baik dan tekstur tanah lempung berpasir serta dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Untuk pertumbuhan yang optimum dibutuhkan kondisi tanah yang subur dan air tanah yang dangkal (kedalaman 2-3 meter dari permukaan tanah). Derajat kemasaman tanah yang sesuai berkisar antara 5-7 tetapi tanaman manggis diketahui cukup toleran terhadap reaksi tanah yang masam. Tanaman manggis membutuhkan curah hujan merata dengan 10 bulan basah dalam setahun dengan curah hujan antara 1 500 - 2 500 mm/tahun dan untuk dapat terjadi pembungaan dibutuhkan curah hujan lebih dari 100 mm/bulan. Pada masa awal pertumbuhannya dibutuhkan naungan dan menjelang dewasa justeru dibutuhkan sinar matahari penuh untuk mempercepat masa awal produksinya (Tirtawinata et al. 2000). Untuk pertumbuhan optimal dibutuhkan suhu udara berkisar 25-35 oC dan kelembaban udara sekitar 80% (Nakasone & Paull 1999; Verheij 1992). Karakteristik Perakaran Tanaman Manggis Organ yang pertama terbentuk pada kebanyakan tanaman adalah akar. Akar tumbuh langsung dari benih (radikel) berkembang menjadi akar primer atau disebut akar tunggang (tap root) pada tanaman dikotil. lanjut
dari
akar
meristem apikalnya.
primer
sangat
dipengaruhi
Pertumbuhan oleh
aktivitas
lebih dari
Pembelahan sel berlansung sangat aktif pada bagian
meristem akar ini. Bagian meristem akar ini dilindungi oleh tudung akar (root cap). Peranan tudung akar penting sekali dalam proses pemanjangan akar pada saat akar melakukan penetrasi ke dalam tanah. Tudung akar juga menghasilkan sejenis bubur polisakarida yang disebut musigel (mucigel) yang berfungsi sebagai pelumas untuk mempermudah penetrasi akar ke dalam tanah (Lakitan 1995). Tanaman manggis biasa diperbanyak dengan menggunakan biji dan waktu yang dibutuhkan untuk perkecambahannya berkisar 10 sampai 45 hari. Perkecambahan dimulai dengan pembengkakan pada benih. Akar pertama muncul dari satu bagian pembengkakan (ujung), sedangkan tunas akan tumbuh dari bagian pembengkakan yang lain.
Selanjutnya sistem perakaran
19
berkembang dari bagian dasar tunas dan sistem perakaran yang pertama terbentuk berhenti berfungsi (Verheij 1992). Satu bulan setelah biji berkecambah, sistem perakaran tanaman manggis masih sangat jarang. Bijinya tetap melekat pada pangkal tunas sampai umur 11 bulan, baik tunas maupun biji yang masih melekat tersebut masing-masing masih
memperlihatkan
perakarannya.
Saat
umur
2
sampai
4
bulan
terjadi peningkatan akar sekunder, sedangkan pertumbuhan akar tersier dimulai pada umur 3 bulan. Akar sekunder maupun tersier tebal, dengan permukaan halus dan tidak berakar rambut pada semua stadia tumbuh (Rukayah & Zabedah 1992). Pertumbuhan tanaman manggis yang lambat berkaitan erat dengan sistem perakarannya.
Tanaman manggis mempunyai akar tunggang yang panjang
dan kuat, tetapi percabangan akarnya sangat sedikit, juga tidak memiliki akar rambut.
Uniknya di antara seluruh spesies Garcinia, hanya Garcinia
mangostana saja yang mempunyai perakaran lemah, sedangkan jenis lainnya memiliki perakaran kuat dan lebat.
Hasil pemeriksaan sitologi terhadap tanaman
manggis memperlihatkan bahwa tanaman ini mempunyai kromosom poliploid 2n=96 yang sifatnya sangat lemah, laju pembelahan selnya rendah demikian pula pembesaran selnya lambat, sedangkan spesies Garcinia lainnya yaitu Garcinia
Hombroniana dan Garcinia Malaccencis masing-masing memiliki
jumlah kromosom, yaitu 2n=48 dan 2n=46 (Verheij 1992). Menurut Cox (1988) bahwa
tanaman
manggis
dengan
tinggi
sekitar
3.8
m
dan
lebar
tajuk 2.5 m mempunyai sebaran akar terbanyak pada kedalaman 5-30 cm dan akar terpanjang tidak lebih dari 1 m dari pangkal batang. Begitupula Gonzales & Anoos (1952) mengatakan bahwa pada setiap tanaman manggis yang tingginya lebih dari 1 m, rata-rata mempunyai 5.6 akar primer yang lurus dan panjang, tetapi hanya 1 atau 2 dari akar primer tersebut yang dapat berkembang baik. Hidayat (2002) juga melaporkan juga bahwa, semakin tua tanaman manggis persentase akar tersier (diameter < 2 mm = feeder root) semakin
rendah.
Sebaliknya
persentase akar primer dan akar sekunder semakin tinggi dengan semakin tuanya umur tanaman manggis.
Akar tersier merupakan akar penyerap air dan
hara mineral, sedangkan akar primer dan akar sekunder berperan sebagai organ
20
penyangga batang dan penyimpan cadangan karbohidrat.
Rendahnya persentase
akar tersier pada tanaman manggis menyebabkan serapan air dan hara rendah sehingga menyebabkan lambatnya pertumbuhan tanaman manggis dan juga peka terhadap kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti terjadinya cekaman kekeringan. Cekaman Kekeringan terhadap Pertumbuhan Tanaman Perakaran tanaman manggis memiliki jumlah akar lateral terbatas dan tidak mempunyai akar rambut serta pertumbuhannya lambat menyebabkan bibit manggis peka terhadap cekaman kekeringan utamanya saat kandungan air media rendah. Saat terjadi cekaman kekeringan maka potensial air daun menjadi sangat rendah sehingga respon pertama yang nampak adalah terhambatnya laju pembesaran sel sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat (Salisbury & Ross 1995). Pada kondisi cekaman ringan dapat menyebabkan stomata tertutup sehingga laju difusi CO2 dan O2 juga terhambat akibatnya kandungan O2 dan laju serapan air juga menurun sehingga menurunkan laju fotosintesis. Cekaman atau stres air dapat berupa kekurangan atau kelebihan air di sekitar lingkungan tumbuh tanaman.
Pada umumnya kekurangan air terjadi
karena defisit air atau kekeringan sehingga disebut juga stres defisit air disingkat stres air atau cekaman kekeringan (Harjadi & Yahya 1988). Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan karena dapat menghambat aktivitas fotosintesis dan translokasi fotosintat (Savin & Nicolas 1996). Menurut Levitt (1980); Bray (1997), cekaman kekeringan yang biasa disebut drought stress dapat terjadi karena dua hal yaitu: (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran dan, (2) permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air walaupun air tanah dalam kondisi cukup tersedia. Menurut Sopandie (2006), berdasarkan kemampuan genetik maka diketahui terdapat empat mekanisme adaptasi tanaman menghadapi cekaman kekeringan yaitu: drought escape, dehydration avoidance, dehydration tolerance dan drought recovery. (1). drought escape yaitu mekanisme melepaskan diri dari cekaman kekeringan dengan cara menyelesaikan siklus hidupnya sebelum adanya kekeringan yang cukup besar. Mekanisme ini ditunjukkan dengan perkembangan
21
sistem pembungaan yang cepat. (2). dehydration avoidance yaitu mekanisme toleransi dengan potensial air jaringan yang tinggi meskipun pada kondisi kurang air, melalui perbaikan serapan air, penyimpanan dalam sel tanaman dan mengurangi kehilangan air. (3). dehydration tolerance yaitu mekanisme toleransi dengan potensial air jaringan yang rendah.
Mekanisme ini merupakan
kemampuan tanaman menjaga tekanan turgor sel dengan menurunkan potensial airnya melalui akumulasi solut seperti gula dan asam amino. (4). drought recovery merupakan mekanisme penyembuhan dimana proses metabolisme dapat berjalan normal kembali setelah mengalami cekaman kekeringan. Mekanisme ini penting apabila cekaman kekeringan terjadi pada awal perkembangan tanaman. Terdapat dua cara tanaman menghindar ketika terjadi cekaman kekeringan yaitu dengan memperluas sistem perakaran dan pertumbuhan memanjang ke dalam tanah (Tare & Peet 1983, diacu dalam Susilawati 2003). Pada kondisi kekeringan, tanaman yang memiliki perakaran dalam nampak lebih toleran dibandingkan yang perakarannya dangkal. Hal ini berhubungan dengan respon tanaman untuk mencari air lebih jauh ke dalam lapisan tanah apabila air pada permukaan tidak mencukupi (Kasper et al. 1984, diacu dalam Susilawati 2003). Menurut Jones et al. (1992), mekanisme ketahanan tanaman terhadap kekeringan adalah: (1). penghindaran terhadap defisit air yang meliputi: (a). melepaskan diri dari cekaman dengan memperpendek siklus pertumbuhan dan memperpanjang periode dormansi; (b).
konservasi air pada tanaman melalui
ukuran daun yang kecil, penutupan stomata, kultivar tanaman yang resisten dan penyerapan radiasi matahari yang terbatas; (c).
penyerapan air yang efektif,
dengan bentuk morfologi akar yang memanjang, dalam dan tebal. (2). toleran terhadap defisit air, yaitu dengan cara: (a).
memelihara tekanan turgor; (b).
mengaktifkan larutan-larutan pelindung untuk aktivitas berbagai enzim yang toleran kekeringan, dan (3). mekanisme efisiensi yaitu penggunaan air yang tersedia secara efisien dan memaksimalkan indeks panen. Beberapa tanaman dapat mempertahankan tekanan turgor yang tinggi juga pada potensial air yang agak rendah dengan cara meningkatkan potensial osmotik yaitu melalui akumulasi zat terlarut dalam sel. Proses ini disebut penyesuaian osmotik (osmotic adjusment). Adanya penyesuaian osmotik berarti pula menjaga
22
integritas dan proses fisiologi sitoplasma.
Penyesuaian osmotik berpotensi
menjaga proses fotosintesis dan pertumbuhan tanaman (Riduan et al. 2007). Penyesuaian osmotik terjadi pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan secara perlahan dan juga pada cekaman medium. Namun tidak semua tanaman mengembangkan penyesuaian osmotik sebagai respon terhadap cekaman kekeringan. Penyesuaian osmotik dipengaruhi oleh laju perkembangan tanaman, tingkat cekaman, kondisi lingkungan dan perbedaan genotipe tanaman. Disamping itu penyesuaian osmotik melalui perubahan potensial osmotik dipengaruhi oleh akumulasi senyawa terlarut, ukuran sel, volume senyawa terlarut dan ketebalan dinding sel. Menurut Levitt (1980) penurunan potensial osmotik disebabkan oleh dua hal yaitu: akibat menurunnya akumulasi kadar air pada sel karena terjadi kehilangan air dan karena adanya tambahan akumulasi senyawa terlarut sehingga lebih menurunkan potensial osmotik. Senyawa organik terlarut yang terlibat pada penyesuaian osmotik bervariasi antara lain asam organik, asam amino dan senyawa terlarut kompatibel. Senyawa prolin merupakan senyawa yang memegang peran penting dalam mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan (Kim & Janick 1991). Prolin merupakan salah senyawa osmotik yang disintesis dan diakumulasi pada jaringan tanaman yang mengalami cekaman kekeringan terutama pada jaringan daun (Yang & Kao 1999). Salah satu usaha untuk mendapatkan homogenitas perlakuan cekaman kekeringan pada media tumbuh adalah dengan penggunaan larutan polietilena glikol (PEG). Hal ini karena PEG merupakan senyawa yang larut sempurna dalam air, yang menyebabkan penurunan potensial air secara homogen. Penurunan potensial air ini tergantung pada konsentrasi dan berat molekul (BM) PEG terlarut. Total massa atau sub unit (-CH2-O-CH2-) dalam rantai polimer PEG merupakan faktor penting yang mengontrol besarnya penurunan potensial air (Steuter et al. 1981). Penurunan potensial air tersebut diakibatkan oleh kekuatan matriks sub unit etilen oksida pada polimer PEG. Molekul H2O akan tertarik ke atom oksigen pada sub unit etilen oksida melalui ikatan hidrogen. Sifat tersebut menyebabkan potensial air dalam media yang mengandung PEG dapat digunakan untuk meniru besarnya potensial air tanah (Michel & Kaufmann 1973).
23
Pemacuan Pertumbuhan melalui Perbaikan Lingkungan Tumbuh Hasil-hasil penelitian pemacuan pertumbuhan Tanaman manggis mempunyai masa juvenil yang lama, dimana tanaman asal biji baru mulai berbuah pada umur 10-15 tahun. Menurut Yaacob & Tindall (1995), masa juvenil tanaman ini berakhir apabila telah menghasilkan 16 pasang tunas lateral dan melalui penerapan teknik budidaya yang tepat maka lamanya periode juvenil dapat dikurangi menjadi 8-10 tahun. Pola pertumbuhan yang lambat pada tanaman manggis antara lain karena sistem perakaran yang buruk. Kondisi ini menyebabkan terhambatnya serapan air sehingga laju fotosintesis dan laju pembelahan sel pada meristem pucuk menjadi rendah serta masa dormansi tunas menjadi lama (Poerwanto 2000; Wiebel et al. 1994). Karakteristik lainnya adalah pertumbuhan akar juga lambat dan tidak mempunyai akar rambut serta mudah rusak pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan (Yaacob & Tindall 1995; Hidayat 2002). Setelah biji manggis disemai selama satu bulan, nampak sistem perakarannya masih sangat kurang sehingga pertumbuhan kecambah masih sangat tergantung pada suplai makanan dari biji. Akar tersier mulai tampak pada umur 3 bulan tapi jumlahnya tetap sampai umur 6 bulan. Akar tersier mengalami pertambahan dalam jumlah besar pada umur 6-14 bulan, diikuti pertumbuhan tajuk yang cepat (Rukayah & Zabedah 1992). Penyediaan bibit bermutu dalam jumlah banyak dengan waktu pembibitan yang singkat merupakan faktor penting dalam mendukung pengembangan tanaman manggis. Kendala yang dihadapi dalam penyediaan bibit adalah lambatnya pertumbuhan sehingga kebutuhan bibit untuk penanaman baru tidak dapat dipenuhi dalam waktu singkat. Pertumbuhan tanaman yang lambat dipengaruhi oleh panjangnya siklus trubus, dimana siklus trubus yang panjang disebabkan masa dormansi yang lama. Semakin tua umur tanaman asal biji maka semakin lambat pertumbuhan. Hal tersebut berhubungan dengan kurang berkembangnya sistem perakaran yang ditunjukkan dengan semakin rendahnya rasio bobot tajuk/akar akibat bertambahnya umur tanaman.
Frekuensi trubus
sangat dipengaruhi oleh umur tanaman, bibit yang belum bercabang mengalami 5-
24
6 kali trubus per tahun, tetapi setelah bercabang ternyata hanya 3-4 kali trubus per tahun (Wiebel et al. 1993; Hidayat 2002). Oleh karena itu dibutuhkan teknologi untuk memacu pertumbuhan. Pemacuan pertumbuhan bibit manggis melalui penggunaan zat pengatur tumbuh telah banyak dilakukan. Poerwanto et al. (1995) melaporkan pemberian 50-150 ppm indole butyric acid (IBA) pada biji dan akar (saat transplanting dari pesemaian) dapat meningkatkan pertambahan panjang akar, diameter batang, bobot kering total, kandungan hara daun dan serapan hara. Demikian pula pemberian 0.075-0.150 ppm triakontanol dapat meningkatkan luas daun, tinggi bibit, jumlah ruas, diameter batang, panjang akar, bobot kering tanaman dan serapan hara pada bibit umur 7 bulan (Hidayat et al. 1999), tetapi konsentrasi 0.110 ppm triakontanol cenderung menurunkan pertumbuhan bibit umur satu tahun. Tinggi bibit semai dapat dipacu dengan perendaman 100-200 ppm GA3 pada biji sebelum disemai (Rais et al. 1996), sedangkan aplikasi 3 ppm sitokinin dapat meningkatkan pertumbuhan bibit umur satu tahun dengan meningkatkan frekuensi pecah tunas dari 2.0 menjadi 2.7 selama 7 bulan (Poerwanto et al. 1995). Walaupun aplikasi zat pengatur tumbuh telah memperlihatkan efek positif dalam memacu pertumbuhan tanaman, namun metode aplikasinya belum bisa diterapkan secara luas karena dibutuhkan ketelitian yang tinggi dalam penentuan dosis, cara aplikasi dan waktu aplikasi sehingga diperlukan keahlian khusus untuk dapat diterapkan. Selain itu beberapa jenis zat pengatur tumbuh memiliki harga yang relatif mahal. Oleh karena itu diperlukan strategi lain untuk memacu pertumbuhan bibit manggis, diantaranya melalui perbaikan lingkungan tumbuh spesifik seperti pengaturan ketersediaan air dan unsur hara, perbaikan media tumbuh dan pengaturan aerasi yang sesuai kebutuhan tanaman. Pengaturan ketersediaan air untuk meningkatkan pertumbuhan Air dapat melarutkan lebih banyak jenis bahan kimia dibandingkan dengan zat cair lainnya karena memiliki konstanta dielektrik yang paling tinggi. Konstanta dielektrik merupakan ukuran dari kemampuan untuk menetralisir daya tarik menarik antara molekul atau atom yang bermuatan listrik berbeda. Hal ini
25
menunjukkan air sebagai pelarut yang baik untuk ion-ion bermuatan positif maupun negatif. Unsur hara mineral merupakan ion yang bermuatan positif seperti K+, Ca2+, NH4+ ataupun bermuatan negatif seperti NO3-, SO32-, HPO42- yang terlarut di dalam air. Ion-ion tersebut dapat berasal dari bahan mineral tanah sebagai hasil dekomposisi bahan organik ataupun dari pupuk yang diberikan. Air berperan penting dalam melarutkan ion-ion tersebut dari sumbernya sehingga bisa diserap oleh tanaman dan masuk ke jaringan tanaman. Air menjadi penggerak bagi ion untuk berdifusi atau bergerak melalui aliran massa sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Hal inilah yang menyebabkan apabila terjadi kekurangan air maka seringkali juga diikuti dengan terjadinya kekurangan hara karena kelarutan hara di dalam tanah menjadi sangat rendah (Hamim 2007; Taiz & Zeiger 2012). Air juga berfungsi sebagai medium reaksi maupun bahan pada berbagai aktivitas metabolisme. Oleh karena itu apabila terjadi kekurangan air maka aktivitas metabolisme menjadi terganggu sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman, contohnya pada hidrolisis pati diperlukan air untuk pemecahan pati menjadi glukosa. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tinggi rendahnya potensial air tanaman. Pada tanaman manggis umur 8 tahun, potensial air daun pada saat trubus maupun dorman lebih rendah, apabila dibandingkan dengan umur 2 dan 4 tahun. Rendahnya potensial air daun pada umur 8 tahun disebabkan karena jarak ujung akar dengan pucuk lebih panjang. Untuk menjamin pasokan air dari akar ke pucuk maka daun harus mempertahankan potensial air yang lebih rendah dibanding akar. Semakin kecil ketersediaan air tanah dan semakin jauh jarak pucuk dengan akar maka gradien potensial air antara daun dan akar menjadi semakin rendah (Fitter & Hay 1991) dan rendahnya potensial air daun dapat menyebabkan penurunan laju fotosintesis. Potensial air daun pada saat trubus lebih rendah dibandingkan saat dorman. Hal ini disebabkan meningkatnya berbagai aktivitas metabolisme pada saat trubus seperti respirasi, laju fotosintesis dan hidrolisis pati menjadi gula pereduksi. Peningkatan aktivitas metabolisme tersebut diikuti oleh peningkatan kebutuhan air maupun unsur hara sehingga meningkatkan gradien potensial air
26
antar daun dan akar (Gardner et al. 1991). Kebutuhan fotosintat yang meningkat pada saat trubus mendorong peningkatan laju fotosintesis. Peningkatan laju fotosintesis menyebabkan kebutuhan air dan CO2 sebagai bahan baku proses fotosintesis juga meningkat. Tingginya kebutuhan air dan CO2 direspon dengan peningkatan laju transpirasi dan daya hantar stomata. Hal ini sesuai Fitter & Hay (1991); Gardner et al. (1991), peningkatan aktivitas fotosintesis diikuti dengan meningkatnya laju transpirasi, karena pada saat bersamaan dengan transpirasi, terjadi pengikatan CO2 yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis. Transpirasi adalah proses hilangnya air dari tumbuhan melalui permukaan daun atau bagian lain dari tumbuhan. Umumnya transpirasi terjadi melalui daun, walaupun juga bisa terjadi melalui kutikula yang dikenal dengan istilah transpirasi kutikular. Transpirasi kutikular kemungkinan terjadi saat stomata tertutup, sementara cahaya matahari dan suhu udara di sekitar tanaman cukup tinggi. Transpirasi merupakan cara tanaman untuk menghilangkan energi (panas laten) sehingga suhunya tetap terjaga pada suhu fisiologis (Lakitan 2007). Air yang hilang melalui transpirasi dari daun bisa mencapai lebih dari 90% dari total air yang diserap tanaman, artinya sebagian besar air yang diserap dibuang kembali melalui proses transpirasi. Walaupun demikian jika dilihat dari produksi bahan kering yang dihasilkan, ada tanaman yang relatif efisien dalam penggunaan air dibandingkan dengan jenis lainnya.
Semakin besar air yang
diuapkan (diperlukan) untuk produksi satu satuan (gram) bahan kering maka semakin tidak efisien (Gardner et al. 1991; Taiz & Zeiger 2012). Transpirasi memiliki arti penting dalam menjaga turgiditas sel tanaman agar tetap dalam kondisi optimal dan juga menjaga stabilitas suhu tanaman. Transpirasi juga dapat mempercepat laju pengangkutan unsur hara melalui pembuluh xylem. Ion-ion mineral yang ada di dalam larutan tanah akan ikut bergerak bersama-sama dengan kolom-kolom air sehingga hara tersebut secara aliran masa akan mendekati akar sehingga mudah diserap oleh akar. Larutan hara yang telah berada dalam jaringan xylem akan bergerak ke batang dan daun mengikuti aliran transpirasi (Lakitan 2007). Darmawan & Baharsyah (2010), mengemukakan bahwa transpirasi mempengaruhi mekanisme membuka dan menutupnya stomata.
Pada waktu
27
matahari terbit, stomata mulai terbuka, pada saat itu gradien tekanan uap kecil sehingga transpirasi juga kecil.
Apabila hari makin siang, maka suhu juga
meningkat, maka gradien tekanan uap juga meningkat yang menyebabkan transpirasi mengalami peningkatan. Sekitar pukul 12.00, sel-sel di sekitar stomata mulai kekurangan air karena besarnya transpirasi. Air dari sel juga mengalir ke daerah sekitarnya sehingga stomata tertutup dan transpirasi juga mengalami penurunan. Pada saat stomata tertutup, turgor dalam sel juga meningkat lagi, akibatnya air yang naik dari akar akan masuk kembali ke sel jaga.
Hal ini
menyebabkan terbukanya kembali stomata dan transpirasi juga meningkat sekitar pukul 14.00, setelah itu stomata tertutup kembali sampai pagi hari. Menurut Lakitan (2007); Taiz & Zeiger (2012), stomata akan membuka jika tekanan turgor kedua sel jaga meningkat. Peningkatan tekanan turgor sel penjaga disebabkan oleh masuknya air ke dalam sel penjaga tersebut. Pergerakan air dari satu sel ke sel lainnya akan selalu dari sel yang mempunyai potensial air lebih tinggi ke sel dengan potensial air lebih rendah (Salisbury & Ross 1995). Tinggi rendahnya potensial air sel akan tergantung pada jumlah bahan yang terlarut di dalam cairan sel, semakin banyak bahan terlarut maka potensial osmotik sel akan semakin rendah. Apabila tekanan turgor sel tersebut tetap, maka potensial air sel juga mengalami penurunan. Untuk memacu agar air masuk ke sel jaga maka bahan yang terlarut tersebut harus ditingkatkan.
Peningkatan serapan air dan kecukupan aerasi Kebutuhan air pada tanaman diperoleh melalui penyerapan oleh akar. Proses masuknya air ke jaringan tanaman adalah air diserap oleh akar tanaman dimana akar ini dihubungkan dengan suatu penghubung yang disebut sistem vascular. Kemudian air dialirkan ke seluruh bagian tanaman melalui protoplasma dan dinding sel, lalu masuk ke jaringan xylem sampai ke daun. Air yang sampai di daun, sebagian digunakan untuk sintensis senyawa organik seperti karbohidrat, lemak, protein dan bahan organik lainnya, dan sebagian lainnya meninggalkan daun dan kembali ke batang melalui pembuluh floem. Penyebab masuknya air ke dalam tanaman adalah potensial tanah dan tegangan daun.
Potensial tanah atau media terjadi karena adanya perbedaan
28
potensial air yang disebabkan perbedaan konsentrasi air tanah atau media dengan jaringan akar (Taiz & Zeiger 2012). Menurut Salisbury & Ross (1995), potensial tanah terdiri dari dua komponen yaitu potensial matrik dan potensial osmotik. Kedua potensial ini dipengaruhi oleh kelembaban tanah, dimana kelembaban tanah terjadi karena adanya kegiatan akar tanaman, yaitu adanya penyerapan pasif dan penyerapan aktif.
Menurut Darmawan & Baharsyah (2010), penyerapan
pasif adalah penyerapan air sebagai akibat adanya gradien potensial air dari sel-sel akar, sedangkan penyerapan aktif adalah penyerapan air yang melibatkan energi yang dihasilkan dari proses respirasi. Menurut Jumin (2002); Darmawan & Baharsyah (2010), penyerapan air oleh akar tanaman sangat dipengaruhi oleh: (a). ketersediaan air. Pada kondisi kapasitas lapang, air mudah diserap oleh akar dan makin mendekati titik layu permanen maka semakin sulit penyerapan air karena dibutuhkan potensial air dari akar yang sangat tinggi. (b). suhu tanah. Semakin rendah suhu tanah, maka makin lambat penyerapan air karena permeabilitas dinding sel makin rendah (dinding sel makin sukar ditembus) dan viskositas air makin tinggi (air makin kental). (3). kondisi aerasi.
Aerasi merupakan faktor sangat mempengaruhi
penyerapan air dalam hubungannya dengan kadar oksigen
(O2) dan karbon
dioksida (CO2). Semakin tinggi kadar CO2 makin rendah permeabilitas dinding sel akar dan semakin tinggi kadar O2 maka semakin tinggi permeabilitas.
Pada
tanah yang tergenang, daun akan mengalami gejala layu karena kekurangan air. Aerasi merupakan salah satu faktor yang menentukan penyerapan air oleh tanaman. Pada umumnya tanaman akan layu ketika aerasi tanah hampir jenuh oleh bahan padat atau cair yang pekat seperti nitrogen. Hal yang sama terjadi apabila aerasi tanah hanya ditempati oleh satu jenis udara saja, misalnya ruang pori hanya diisi oleh CO2. Aerasi menjadi penting karena mempengaruhi laju respirasi akar. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada kondisi aerasi baik, maka ketersediaan O2 juga meningkat. Peningkatan kandungan O2 akan meningkatkan laju respirasi akar, karena pada penguraian makro molekul seperti karbohidrat sebagai substrat dari proses respirasi membutuhkan pasokan O2 yang cukup (pada respirasi aerobik). Menurut Taiz & Zeiger (2012), respirasi adalah penguraian makromolekul seperti karbohidrat yang mengakibatkan pembentukan ATP,
29
kemudian ATP diubah menjadi ADP dan menghasilkan energi. Proses respirasi terjadi di dalam sitoplasma atau tepatnya pada mitokondria. Menurut Darmawan & Baharsyah (2010), bahwa energi yang diperoleh dari respirasi pada mitokondria dilepaskan ke dalam sitoplasma. Perbaikan media tumbuh dengan pendekatan porositas media Sebagaimana
diuraikan
sebelumnya
bahwa
aerasi
mempengaruhi
ketersediaan oksigen pada media. Oleh karena itu pentingnya rekayasa media tumbuh yang bertujuan meningkatkan aerasi melalui pendekatan porositas media dan penggunaan pot media yang porous. Porositas tanah atau media merupakan salah satu variabel sifat fisik yang penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan tanaman. Porositas atau ruang pori total merupakan bagian yang tidak terisi oleh bahan padat tanah atau media tetapi terisi oleh udara dan air. Porositas terdiri atas pori-pori kasar (pori makro) dan pori-pori halus (pori mikro). Pori makro berisi udara atau air gravitasi (air yang mudah hilang karena gaya gravitasi), sedang pori-pori halus berisi air kapiler atau udara. Tanah dengan tekstur berpasir mempunyai pori makro lebih banyak dari tanah liat. Tanah yang banyak memiliki pori makro sulit menahan air sehingga tanaman mudah mengalami kekeringan (Hardjowigeno 1987; Haridjaja 1980). Porositas juga dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur dan tekstur tanah. Porositas tinggi apabila mengandung bahan organik yang tinggi. Begitupula struktur remah memiliki porositas yang lebih tinggi dibanding struktur massive.
Media yang bertekstur pasir lebih banyak memiliki pori makro
dibanding pori mikro sehingga air dan udara lebih mudah bergerak tetapi kemampuan menahan airnya rendah. Sebaliknya media yang bertekstur halus, karena ruang pori mikro lebih besar dibandingkan pori makro, maka kemampuan menahan air besar tetapi air dan udara relatif lebih sulit bergerak (Hardjowigeno 1987; Hillel 1997). Menurut Baver (1959), air yang bergerak melalui ruang pori makro karena adanya gaya gravitasi, sedangkan yang melalui ruang pori mikro karena adanya gaya kapiler. Porositas dapat dihitung dengan menggunakan peubah bobot isi dan bobot jenis partikel (Baver 1959). Menurut ukurannya, porositas dapat dibagi atas dua,
30
yaitu ruang pori kapiler yang dapat menghambat perkembangan air menjadi pergerakan kapiler, dan ruang pori non kapiler yang dapat memberi kesempatan pergerakan udara dan perkolasi secara cepat sehingga sering disebut pori drainase (Haridjaja 1980; Sitorus et al. 1981). Untuk dapat tumbuh dengan baik, maka setiap tanaman membutuhkan media tumbuh yang sesuai dengan karakteristik tanaman. Pada umumnya, media yang baik adalah steril dan tidak mudah lapuk, karena media tanam berfungsi sebagai penopang tanaman dan meneruskan larutan atau air yang berlebihan atau yang tak diperlukan tanaman. Pemacuan pertumbuhan bibit manggis dapat dilakukan dengan merekayasa media tanam. Hal ini sangat penting mengingat karakteristik tanaman manggis yang memiliki pertumbuhan awal yang lambat. Menurut Wiebel et al. (1992a), bibit manggis yang ditanam pada media porous berupa campuran peat moss + kompos pinus + pasir (1:1:1) yang disertai pupuk lepas terkendali Osmocote Plus dan kelat besi, menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan media yang kurang porous. Selanjutnya menurut Poerwanto et al. (1995), perbaikan media tanam dengan menggunakan organic soil treatment (OST) sebanyak 5-15 g dalam 3 kg media tanah dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman manggis. Sebenarnya masih banyak lagi komposisi media lainnya yang dapat digunakan sebagai media untuk bibit manggis. Namun perlu dipertimbangkan aspek biaya dan kemudahan sehingga dapat diterapkan oleh petani. Media pasir sebagai media tanam termasuk jenis yang tidak mahal, namum kendalanya sangat berat, dimana memiliki berat sekitar 1,6 ton/m3. Pasir kasar berfungsi sebagai media tumbuh permanen (Harjadi 1989). Pasir kuarsa yang berukuran 0.5-0.2 mm juga dapat digunakan sebagai media tanam. Pasir ini dapat menimbulkan kondisi porous dan aerasi yang baik. Pasir yang terlalu halus dapat menyebabkan sementasi apabila dicampur dengan media tanah sehingga menyebabkan pengerasan atau pemadatan (Ashari 1995). Pemberian pasir sebagai salah satu fraksi tanah sampai batas-batas tertentu dapat menciptakan lingkungan fisik akar yang baik, tetapi tidak mempengaruhi kandungan sifat kimia tanah (Opeke 1982). Penggunaan pot sangat penting karena berkaitan dengan aerasi dan drainase. Pot yang yang memiliki aerasi dan drainase yang baik akan memberikan
31
lingkungan tumbuh yang baik untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini terutama untuk bibit tanaman yang tidak menyukai kondisi yang terlalu lembab ataupun sangat kering, seperti bibit manggis. Selama ini wadah atau pot yang umum digunakan pada pembibitan manggis adalah polybag dengan ukuran yang beragam. Polybag memiliki aerasi yang rendah sehingga sirkulasi udara agak terbatas, utamanya apabila menggunakan media yang porositasnya rendah. Sebagai alternatif yang ditawarkan pada penelitian ini adalah penggunaan pot beraerasi tinggi sehingga diharapkan dapat diperoleh kondisi aerasi yang cukup untuk mendorong pertumbuhan bibit manggis. Pengaturan ketersediaan hara melalui aplikasi pemupukan Informasi mengenai pemupukan pada tanaman manggis masih sangat terbatas sehingga rekomendasi yang ada disusun berdasarkan pengalaman dan praktek tradisional (Yaacob & Tindall 1995). Rekomendasi pemupukan pada yang disajikan pada Tabel 1, dikeluarkan oleh Direktorat Tanaman Buah yang bekerjasama dengan Balai Penelitian Buah, Institut Pertanian Bogor, dan beberapa instansi yang terkait.
Yaacob & Tindall (1995) merangkum beberapa hasil
penelitian dan kebiasaan petani di Malaysia dan Thailand menjadi suatu rekomendasi pupuk majemuk pada manggis, yaitu perbandingan N, P2O5 dan K2O, bervariasi diantaranya 15:15:10; 10:10:9; 10:10:14; dan 9:24:24, dimana perbandingan yang terakhir umumnya digunakan pada tanaman menjelang periode pemasakan buah. Tabel 1 Rekomendasi pemupukan manggis per tahun berdasarkan umur tanaman Umur tanaman masa juvenil: 1-2 tahun > 2-4 tahun > 4-6 tahun masa produktif: > 6-8 tahun > 8-10 tahun > 10 tahun
Pupuk anorganik (g/pohon) Urea SP-36 KCl
Pupuk Kandang (kg)
50 100 200
25 50 100
25 50 100
20 20 40
400 800 1000
800 1500 2500
800 1500 1500
40 80 80
Berdasarkan informasi tersebut, diketahui bahwa pemupukan tanaman manggis masih sangat beragam dan belum ada standar yang akurat sebagai
32
pedoman pelaksanaannya. Padahal menurut Olsen et al. (1982), terdapat tiga filosofi dalam menentukan rekomendasi pemupukan, yaitu: (a). berdasarkan nisbah kejenuhan kation. Konsep ini hanya terbatas pada tiga unsur, yaitu Ca, Mg dan K; (b). mempertahankan hara tanah. Konsep ini juga sulit diterapkan pada tanah yang subur dan daerah mudah mengalami proses pencucian; (c). berdasarkan tingkat kecukupan hara. Konsep ini menggunakan pendekatan hasil analisis tanah dengan hasil tanaman. Pemberian pupuk berdasarkan kebutuhan tanaman, di luar yang dapat disediakan oleh tanah. Dari ketiga konsep, maka yang ketiga dipandang cukup rasional untuk digunakan mengingat hanya diperlukan cara untuk menjaga agar unsur hara tanah berada di atas tingkatan cukup. Pendekatan ini adalah pemberian pupuk hanya dilakukan sebagai bentuk tambahan hara ke dalam tanah, apabila tanah tidak mampu menyediakannya bagi tanaman untuk tumbuh dan berproduksi secara maksimum. Beberapa penelitian pemupukan tanaman manggis telah dilakukan tetapi hasilnya belum memuaskan. Poerwanto (1995) melaporkan bahwa pupuk NPK 15-15-15 dosis 5 g /3 l media yang diaplikasikan setiap 2 bulan sekali, tidak meningkatkan pertumbuhan bibit sambungan manggis, bahkan dosis 10 g justeru menimbulkan keracunan. Padahal pemupukan NPK 15-15-15 dengan dosis 2.78 – 3.06 g/media, sudah lazim digunakan pada tanaman mangga dan durian dan terbukti meningkatkan pertumbuhan tanaman. Liperdi (2007), melaporkan anjuran pemupukan pada bibit manggis mengacu pada kondisi status hara daun adalah 266 ppm N, 84 ppm P dan 103 ppm K per tanaman (Tabel 2). Tabel 2 Rekomendasi pemupukan berdasarkan status hara N,P, dan K daun Unsur
N P K
Hasil analisis jaringan daun (%) pada berbagai kondisi status hara daun Sangat Rendah Sedang Sangat Rendah tinggi < 0.72 0.72-0.94 0.94-1.18 >1.18 < 0.05 0.05-0.10 0.10-0.19 >0.19 <0.50 0.50-0.67 0.67-1.26 >1.26
Rekomendasi pupuk (ppm/tanaman)
266 84 103
Selain pupuk yang mudah larut, maka dikenal juga pupuk lepas terkendali (slow release). Jenius pupuk ini memiliki kelarutan yang lambat karena adanya lapisan khusus dari bahan resin yang sifatnya permeabel (awet) pada setiap
33
butirannya sehingga unsur hara yang terdapat dalam butiran pupuk tersebut dilepaskan secara lambat menyebabkan unsur hara lambat tersedia. Hasil penelitian Wiebel et al. (1992a) menunjukkan aplikasi pupuk lepas kendali Osmocote plus mampu meningkatkan pertumbuhan bibit manggis. Namun hal ini masih perlu dikaji lagi dengan membandingkan pupuk yang cepat tersedia. Selain jenis pupuk, maka cara pemupukan juga menjadi faktor yang menentukan keberhasil pemupukan. Pertimbangan cara penempatan pupuk antara lain: (a) agar mudah diambil oleh akar tanaman, (b) agar tidak merusak biji atau akar tanaman, (c) ketersediaan tenaga kerja. Menurut Hardjowigeno (1987), cara pemupukan antara lain: (a) disebar (broadcast), yaitu pupuk disebar merata di permukaan tanam, (b) di samping tanaman (sideband), yaitu pupuk diletakkan di salah satu sisi atau kedua sisi tanaman, (c) dalam larikan (in the row), (d) pemupukan lewat daun (foliar application), yaitu pupuk dilarutkan dalam air kemudian disemprotkan ke daun, dan (e) pemupukan lewat air irigasi (fertigation), cara ini terutama untuk unsur N atau pupuk lain yang mudah larut.
35
KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN FISIOLOGI BIBIT MANGGIS PADA KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN The Morphological and Physiological Characteristics of Mangosteen Seedlings under Drought Stress Abstrak Tanaman manggis memiliki sistem perakaran yang kurang berkembang dan jumlah akar yang terbatas sehingga mudah terganggu oleh kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti cekaman kekeringan. Untuk mengetahui sejauhmana pengaruh cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan bibit manggis maka penting dilakukan simulasi cekaman kekeringan. Kegiatan ini merupakan penelitian dasar yang bertujuan mempelajari morfologi dan fisiologi pertumbuhan bibit manggis pada kondisi cekaman kekeringan. Percobaan telah dilaksanakan di Rumah Plastik Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) Institut Pertanian Bogor, Tajur, dari bulan Januari 2009 sampai Agustus 2010. Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dengan lima taraf konsentrasi PEG, yaitu: 0 (kontrol), 5; 10, 15, dan 20%. Hasil percobaan menunjukkan bahwa peningkatan taraf cekaman kekeringan menurunkan potensial air daun, laju transpirasi, laju fotosintesis dan daya hantar stomata secara nyata. Penurunan aktivitas fisiologis tersebut menyebabkan penurunan pertumbuhan tajuk dan akar yaitu: tinggi tanaman (10-26%), jumlah daun (9-21%), luas daun (10-25%), bobot kering tajuk (12-27%), bobot kering akar (11-44%), panjang akar (3-41%) dan volume akar (10-40%). Peningkatan taraf cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan kandungan prolin secara nyata dan nampak pada taraf cekaman tertinggi menghasilkan kandungan prolin yang tertinggi 3.66 µmol/g berat basah, sedangkan pada kondisi tanpa cekaman kekeringan hanya 1.71 µmol/g berat basah. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan pertimbangan dalam pengaturan ketersediaan air sehingga menghindari terjadinya cekaman kekeringan pada bibit manggis. Kata kunci: manggis, bibit, polietilena glikol, cekaman kekeringan Abstract Mangosteen has a less developed root system and has a limited number of root developments, hence it easily disturbed by unfavorable environmental conditions such as drought stress. To find out the influence of drought on the growth of mangosteen seedlings, is important to do a simulation in drought stress. This activity is a basic research that aimed to find morphology and physiology of growth of mangosteen seedlings to drought stress conditions. Experiments have been conducted in the Plastic house at Centre for Tropical Fruit Studies (CETROFS) Bogor Agricultural University, Tajur, from January 2009 until August 2010. Experiment arranged in a completely randomized block design with five degree of PEG concentration, e.i. 0 (control), 5, 10, 15, and 20%. Results shown that increasing level of drought was lowered leaf water potential, transpiration rate, photosynthetic rate and stomata conductance significantly. Decrease in physiological activity was caused a decrease in canopy and root growth, such as: plant height (10-26%), number of leaves (9-21%), leaf area (10-
36
25%), shoot dry weight (12-27%), root dry weight (11-44%), root length (3-41%) and root volume (10-40%). Increasing the level of drought stress caused significantly enhance proline content. The highest level of stress will produces the highest proline content as 3.66 µmol / g fresh weight. Whereas without drought conditions proline content only 1.71 mol / g fresh weight. The results of this study was expected a material to consider water availability as avoidance an occurrence of drought stress on the seedlings of mangosteen. Keywords: mangosteen, seedlings, polyethylene glycol, drought stress
Pendahuluan Latar Belakang Pertumbuhan yang lambat pada bibit manggis menyebabkan masa pembibitan menjadi lama sehingga kebutuhan bibit untuk mendukung pengembangan tanaman manggis tidak dapat dipenuhi dalam waktu singkat. Selama ini untuk menghasilkan bibit yang siap tanam dibutuhkan waktu 3-4 tahun.
Pertumbuhan yang lambat tersebut berkaitan dengan sifat perakaran
tanaman manggis yang memiliki sistem perakaran yang kurang berkembang dan jumlah akar yang terbatas. Selain itu juga tidak mempunyai akar rambut sehingga penyerapan air dan unsur hara menjadi terbatas (Yaacob & Tindall 1995; Poerwanto et al. 1995). Keterbatasan tanaman menyerap air menyebabkan jumlah air yang masuk ke jaringan tanaman menjadi rendah sehingga laju pembelahan sel pada meristem pucuk juga rendah. Hal ini karena air merupakan komponen utama penyusun sel, sehingga perubahan status air seperti cekaman kekeringan akan mempengaruhi sejumlah aktivitas metabolisme. Cekaman kekeringan atau yang biasa dikenal sebagai drought stress dapat terjadi karena dua hal yaitu: (a) kekurangan air di daerah perakaran dan (b) permintaan air yang yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air, walaupun ketersediaan air tanah/media dalam kondisi cukup (Levitt 1980; Bray 1997).
Saat tanaman
mengalami cekaman kekeringan, maka potensial air daun menurun dan respon fisiologis yang pertama dipengaruhi adalah pembesaran sel, sedangkan apabila status cekamannya hanya ringan, maka hanya menyebabkan stomata menutup (Salisbury & Ross 1995).
37 Cekaman kekeringan menghambat aktivitas fotosintesis dan translokasi fotosintat, karena selain berfungsi sebagai bahan baku dalam proses fotosintesis, air juga berperan aktif dalam translokasi hasil fotosintesis. Namun belum ada nilai tertentu dari potensial air daun (ukuran stres air secara kuantitatif) yang menyebabkan penutupan stomata, karena nilai batas potensial air daun sangat beragam berdasarkan letak daun dalam tajuk, umur tanaman dan kondisi tempat tumbuh (di lahan atau kondisi lingkungan terkontrol) (Harjadi & Yahya 1988). Berdasarkan karakteristik perakaran tanaman manggis yang telah diuraikan sebelumnya, maka diduga tanaman manggis peka terhadap kondisi cekaman kekeringan. Namun informasi yang menjelaskan secara detail pengaruh cekaman kekeringan terhadap morfologi dan fisiolologi tanaman manggis masih sangat terbatas. Untuk mempelajari pengaruh cekaman kekeringan maka penting dilakukan simulasi cekaman dengan menggunakan polietilena glikol (PEG). PEG telah digunakan pula dalam simulasi cekaman kekeringan beberapa tanaman antara lain pada kedelai (Husni et al. 2006), Phaseolus mungo (Garg 2010), tembakau (Riduan et al. 2010) dan Trifolium repens L (Wang 2010). Penelitian simulasi cekaman kekeringan dengan polietilena glikol (PEG). ini merupakan penelitian dasar yang bertujuan untuk mempelajari karakteristik morfologi dan fisiologi pertumbuhan bibit manggis pada kondisi cekaman kekeringan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan pengaturan ketersediaan air dalam pembibitan tanaman manggis.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilaksanakan di Rumah Plastik Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) Tajur, Bogor. Analisis kandungan asam amino prolin dilaksanakan di Laboratorium Analisis Tanaman dan Kromatografi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor.
Pengamatan stomata dilaksanakan di
Laboratorium Mikro Teknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Agustus 2010.
Penelitian berlangsung mulai bulan Januari 2009 hingga
38
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan antara lain bibit manggis Wanayasa asal biji umur 1 tahun, PEG 6000, pupuk NPK Growmore (20-20-20), pestisida (mankozeb dan deltametrin), media cocopeat dan arang sekam padi. Alat-alat yang digunakan antara lain LI-COR 6400, pressure chamber, light meter tipe LI-250A, mikroskop binokuler, jangka sorong digital 0-150 mm, pot plastik hitam (diameter 25 cm dan tinggi 27 cm), gelas ukur 500 ml, papan paku (pin board) ukuran 50 cm x 50 cm, cool box, handsprayer, timbangan analitik, kantong sampel dan label. Metode Penelitian Penelitian ini disusun dalam rancangan acak lengkap dan diulang sebanyak tiga kali.
Simulasi cekaman kekeringan menggunakan perlakuan PEG, yang
terdiri atas 5 taraf yaitu: 0 (kontrol), 5 (setara -0.03 MPa), 10 (setara -0.19 MPa), 15 PEG (setara -0.41 MPa) dan 20% PEG (setara -0.67 MPa) w/v (Mexal et al. 1975). Model linier yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Yij = + i + ij (Gomez & Gomez 1984) i = 1, …,a ; j = 1, …,b Yij
=
i ij
= = =
nilai pengamatan dari tanaman ke-j yang memperoleh perlakuan cekaman kekeringan dengan aplikasi PEG ke-i nilai tengah populasi pengaruh aditif dari perlakuan cekaman kekeringan dengan aplikasi PEG ke-i pengaruh galat percobaan pada tanaman ke-j yang memperoleh perlakuan cekaman kekeringan dengan aplikasi PEG ke-i
Media tumbuh dari arang sekam padi dan cocopeat terlebih dahulu disterilisasi dengan cara dipanaskan di dalam drum selama 8 jam yang bertujuan untuk mencegah adanya patogen tular tanah yang ikut dalam media. Setelah sterilisasi media maka dilanjutkan pencampuran media cocopeat dan arang sekam padi (1:1 v/v), lalu dimasukkan ke dalam pot plastik hitam dengan volume 9 l. Penyiapan
bibit
tanaman
dimulai
dengan
memilih
bibit
yang
pertumbuhannya relatif seragam (berdasarkan tinggi tanaman dan jumlah daun). Sebelum penanaman maka media tumbuh asal bibit tersebut dibuang sehingga tidak ikut pada media tumbuh yang baru. Penanaman pada pot dengan media tumbuh berupa campuran cocopeat dan arang sekam padi.
39 Simulasi cekaman kekeringan umumnya dilakukan dengan menggunakan senyawa PEG yang merupakan polimer dari etilena oksida. Kelebihan PEG adalah mengontrol penurunan potensial air secara homogen dengan kekuatan matriks sub unit etilen oksida pada polimernya dan besarnya penurunan potensial air tergantung konsentrasi dan berat molekulnya, sehingga potensial air media dapat diatur menyerupai potensial air tanah (Michel & Kaufmann 1973; Steuter 1981).
Selain itu PEG tidak diserap tanaman dan tidak bersifat toksik bagi
tanaman (Mexal et al. 1975). Simulasi cekaman kekeringan dilakukan dengan penyiraman larutan PEG mulai dilakukan 2 bulan setelah penanaman di pot. Penyiraman PEG sebanyak 250 ml dilakukan setiap 2 hari sekali. Jumlah PEG yang dilarutkan disesuaikan perlakuan, misalnya untuk membuat konsentrasi 5%, dilarutkan 50 g kristal PEG dengan aquades sampai mencapai volume satu liter. Begitupula pada konsentrasi 10, 15 dan 20%, masing-masing sebanyak 100, 150 dan 200 g kristal PEG dilarutkan dalam satu liter air aquades. Pemeliharaan
tanaman
meliputi
pemupukan
dan
pengendalian
hama/penyakit. Pemupukan dengan NPK Growmore (20-20-20) dengan dosis 2 g/l air yang diaplikasikan setiap minggu.
Pengendalian penyakit dilakukan
dengan penyemprotan fungisida berbahan aktif mankozeb dan pengendalian hama dengan insektisida berbahan aktif deltametrin. Peubah yang diamati pada percobaan ini adalah sebagai berikut: 1.
Pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi, diameter batang dan luas daun dilakukan setiap bulan. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai buku teratas. Jumlah daun dihitung berdasarkan semua daun yang terbentuk.
Tunas muda sudah dikategorikan sebagai daun yang
termasuk dapat dihitung apabila tunas tersebut sudah membuka dan membentuk daun. Lebar kanopi diukur lebar tajuk pada 2 arah secara tegak lurus lalu dihitung nilai rataannya. Diameter batang diukur pada pangkal batang sekitar 3 cm dari permukaan media.
Luas daun dihitung dengan
mengukur panjang dan lebar seluruh daun, lalu hasil pengukuran dimasukkan ke dalam persamaan: Y=10.09X1 + 3.07X2 - 51.87 dan R2 = 0.98, dimana Y = luas daun (cm2), X1 = lebar daun (cm) dan X2 = panjang daun (cm).
40
2.
Bobot kering tanaman diperoleh melalui penimbangan bobot kering (akar, batang dan daun) pada akhir penelitian. Berangkasan tanaman dikeringkan di dalam oven pada suhu 80 oC selama 24 jam.
3.
Pengamatan panjang akar primer dilakukan pada papan paku (pin board) ukuran 50 cm x 50 cm. Panjang akar primer diukur mulai dari pangkal akar yang menempel pada batang hingga ujung akar primer.
4.
Volume akar diukur dengan metode Archimedes. Caranya adalah akar dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air, dimana air yang tumpah akibat tekanan akar, diukur sebagai volume akar.
5.
Pengukuran laju fotosintesis, transpirasi dan daya hantar stomata dilakukan bersamaan pada akhir penelitian menggunakan daun dewasa yaitu daun sub terminal dengan alat LI-COR 6400.
6.
Pengukuran potensial air jaringan daun menggunakan metode ruang tekan (pressure chamber) (Kaufman 1968; Hamim 2007; Taiz & Zeiger 2012). Potensial jaringan batang dan daun dilakukan pada siang hari (sekitar pukul 10.00-12.00), pada saat suhu udara harian tertinggi dan kelembaban udara terendah. Pada saat tersebut tanaman dalam keadaan potensial air hariannya terendah sedangkan
pengukuran potensial air jaringan akar dilakukan pada
pagi hari sekitar jam 06.00. Prosedur lengkap pengukuran potensial air jaringan disajikan pada Lampiran 1. 7.
Kandungan asam amino prolin daun dianalisis menggunakan metode yang dikembangkan Bates et al. (1973). Prosedur analisis kandungan prolin daun disajikan pada Lampiran 2.
8.
Pengamatan stomata menggunakan mikroskop binokuler Bieco.
Caranya
adalah permukaan atas dan bawah daun dikuteks, lalu dibiarkan selama 5 menit. Bekas kuteks ditempel dengan lakbam bening, lalu dicabut kemudian ditempel pada preparat dan diamati pada mikroskop, mulai pembesaran kecil sampai besar. Kerapatan stomata dihitung dengan membagi jumlah stomata dengan luas bidang pandang (Lestari 2006). 9.
Pengamatan terhadap pertumbuhan tunas dilakukan pada tunas yang tumbuh pada pucuk apikal. Contoh tunas yang terpilih diberi tanda untuk diamati pertumbuhannya. Pertumbuhan tunas dibedakan menjadi 4 stadia (trubus
41 awal, trubus penuh, trubus dewasa dan dormansi) dengan kriteria perubahan warna daun mengacu pada Rai (2004), seperti pada Gambar 2. Keempat kriteria perubahan warna daun adalah: (1) trubus awal, yaitu periode dari saat pangkal pasangan daun terminal pada ujung ranting mulai pecah kemudian muncul tunas dengan calon daun yang belum membuka sampai pasangan daun tersebut sudah membuka dengan warna kemerah-merahan sampai kuning kemerahan, (2) trubus penuh, yaitu periode mulai dari daun pada tunas semula berwarna kemerah-merahan sampai kuning kemerahan berubah menjadi hijau muda, tetapi tulang daun masih berwarna hijau kemerahan, (3) trubus dewasa, yaitu periode mulai dari daun yang semula berwarna hijau muda berubah menjadi hijau tua, termasuk tulang daunnya (warna kemerahan dari tulang daun hilang), dan (4) dormansi, yaitu periode mulai dari daun berwarna hijau tua berubah menjadi hijau tua kebiru-biruan, diakhiri dengan munculnya trubus baru dari tangkai daun tersebut.
Trubus awal (TA)
Trubus dewasa (TD)
Trubus penuh (TP)
Dormansi (D)
Gambar 2 Karakter morfologi berbagai stadia pertumbuhan tunas tanaman manggis mulai dari trubus awal sampai dormansi 10. Pengamatan iklim mikro yang diamati meliputi suhu dan kelembaban serta intensitas radiasi cahaya.
Suhu udara dan kelembaban udara diukur
menggunakan termometer digital sedangkan intensitas radiasi cahaya menggunakan light meter tipe LI-250A. Hasil pengamatan suhu udara dan
42
kelembaban udara disajikan pada Lampiran 12, sedangkan intensitas radiasi cahaya pada Lampiran 13. Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam dan apabila perlakuan berpengaruh nyata berdasarkan uji F, maka dilakukan uji lanjutan dengan membandingkan nilai rataan antar perlakuan dengan uji jarak berganda Duncan.
Hasil dan Pembahasan Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Perlakuan cekaman kekeringan berpengaruh terhadap perkembangan trubus (trubus awal, trubus penuh dan trubus dewasa), periode trubus, siklus trubus dan periode dormansi. Perlakuan cekaman kekeringan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tajuk yaitu: tinggi tanaman (7-11 BSP), jumlah daun (3-11 BSP), luas daun 11 BSP, pertambahan (tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi, diameter batang dan luas daun), bobot kering tajuk dan bobot kering total tanaman. Perlakuan cekaman kekeringan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan akar yaitu: bobot kering akar, panjang akar primer dan volume akar. Perlakuan aktivitas fisiologi seperti laju fotosintesis, daya hantar stomata, laju transpirasi, potensial air daun dan kandungan prolin daun. Rangkuman sidik ragam hasil penelitian disajikan pada Lampiran 7.
Komponen Pertumbuhan Tanaman Siklus trubus Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan perkembangan trubus dan masa dormansi akibat perlakuan cekaman kekeringan seperti yang ditampilkan pada Tabel 3. Tanaman yang mendapat cekaman kekeringan memiliki siklus trubus antara 109-135 hari, yang nyata lebih lama dibandingkan kondisi tanpa cekaman kekeringan, yaitu 97 hari. Lamanya siklus trubus dipengaruhi oleh panjangnya periode trubus atau periode pertumbuhan aktif dan juga lamanya periode dormansi. Hasil penelitian ini sejalan dengan laporan Hidayat (2002) bahwa terjadi hambatan pertumbuhan dan siklus trubus berikutnya menjadi lebih
43 lama apabila mendapat cekaman kekeringan. Lamanya siklus trubus berkaitan dengan ketersediaan fotosintat sebagai hasil dari proses fotosintesis, dimana terjadinya cekaman kekeringan menyebabkan terbatasnya jumlah air yang sampai ke jaringan daun, sehingga menurunkan laju fotosintesis (seperti pada Tabel 11). Selain rendahnya fotosintat yang terbentuk, maka translokasi fotosintat juga terhambat akibat adanya cekaman kekeringan, karena air berperan penting dalam mengalirkan
fotosintat
ke
berbagai
jaringan
tanaman
termasuk
untuk
pembentukan tunas baru. Oleh karena alokasi fotosintat terbatas ke bagian pucuk akibat adanya cekaman, maka tanaman meningkatkan masa dormansi menjadi lebih lama dan setelah fotosintat sudah tersedia cukup, maka tanaman segera membentuk tunas yang baru dan tanaman mengakhiri masa dormansinya. Tanaman memiliki mekanisme pertahanan sendiri sebagai mekanisme untuk mengurangi dampak negatif dari adanya cekaman kekeringan. Menurut Jones et al. (1992) tanaman melakukan penghindaran terhadap cekaman kekeringan dengan cara: (a) memperpanjang periode dorman dan memperpendek siklus pertumbuhan, (b) konservasi air pada tanaman yang diwujudkan dalam bentuk ukuran daun yang lebih kecil, penutupan stomata dan penyerapan yang efektif diwujudkan dalam bentuk morfologi akar yang memanjang dan tebal. Pada penelitian ini nampak bahwa tanaman yang mengalami cekaman kekeringan memiliki masa dormansi yang lebih lama (rata-rata di atas 65 hari) dibanding tanpa cekaman (62 hari) dan hal ini dianggap sebagai salah bentuk strategi tanaman dalam menghindari cekaman kekeringan. Tabel 3 Rata-rata lama periode trubus, periode dormansi dan siklus trubus pada berbagai konsentrasi PEG Konsentrasi PEG (%)
0 5 10 15 20
Stadia/periode pertumbuhan tunas Trubus Trubus Trubus Periode Periode Siklus awal penuh dewasa dormansi trubus* trubus** ....................................... (hari) ................................................ 10.50e 10.50e 12.67d 62.33e 33.67e 96.00e 13.33d 13.17d 16.17c 67.00d 42.67d 109.67d 15.17c 15.16c 20.33b 70.00c 50.67c 120.67c 17.00b 16.67b 22.83a 73.17b 56.50b 129.67b 18.33a 18.00a 23.83a 75.50a 60.17a 135.67a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% *Periode trubus = trubus awal + trubus penuh + trubus dewasa *Siklus trubus = periode trubus + periode dormansi
44
Pertumbuhan tajuk Perlakuan cekaman kekeringan menurunkan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun secara nyata pada 11 BSP seperti ditampilkan pada Tabel 4. Pada tanpa cekaman kekeringan, rata-rata tinggi tanaman adalah 33.45 cm, sedangkan pada perlakuan cekaman kekeringan (5-20% PEG) dihasilkan tinggi tanaman senilai 30.25; 28.50; 29.65 dan 24.82 cm atau terjadi penurunan tinggi tanaman sebesar 10-26% dan penurunannya semakin meningkat sesuai peningkatan taraf cekaman.
Data pada Tabel 4 ternyata lebih dipertegas lagi oleh persamaan
regresi pada Gambar 3, yang menunjukkan adanya hubungan linear negatif antara tingkat cekaman kekeringan dengan peubah tinggi tanaman. Persamaan regresi antara taraf cekaman dengan rataan tinggi tanaman adalah: Y = 31.77 + 0.36X; R2 = 0.77**. Perlakuan cekaman kekeringan juga menurunkan jumlah daun dan luas daun secara nyata yaitu masing-masing 9-21% dan 10-25% dibanding tanpa cekaman seperti nampak pada Tabel 4 dan Gambar 4. Penurunan pertumbuhan tajuk pada penelitian ini sejalan dengan laporan Efendi (2008), cekaman kekeringan menyebabkan penurunan pertumbuhan tajuk tanaman jagung dan penurunan pertumbuhan sejak cekaman ringan (5% PEG) dan penurunan pertumbuhan tertinggi pada cekaman berat (20% PEG). Laporan yang sama dikemukakan Banziger et al. (2000), bahwa cekaman kekeringan pada tanaman jagung menyebabkan penurunan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun serta menyebabkan penutupan stomata dan penggulungan daun akibat rendahnya turgiditas sel daun pada potensial air daun senilai -1.5 MPa. Tabel 4 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap rata-rata tinggi tanaman, jumlah dan luas daun pada pada 11 BSP Konsentrasi PEG (%) 0 5 10 15 20
Tinggi tanaman (cm) 33.45 a 30.25 ab 28.50 ab 29.65 ab 24.82 b
Jumlah daun (helai) 16.50 a 15.00 b 14.83 b 13.67 c 13.00 c
Luas daun (cm2) 1507.10 a 1356.40 ab 1335.50 ab 1290.30 ab 1129.60 b
Penurunan (%)* Tinggi Jumlah Luas tanaman daun daun 10 9 10 15 9 11 11 15 14 26 21 25
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% *Persentase penurunan dibandingkan terhadap kontrol (0% PEG)
45
40 Rataan tinggi tanaman (cm)
35 30 25 Y = -0.36X + 31.76 R² = 0.77**
20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
Konsentrasi PEG (%)
Gambar 3 Hubungan peningkatan konsentrasi PEG dengan tinggi tanaman pada 11 BSP
0%
10%
5%
15%
20%
Gambar 4 Keragaan pertumbuhan bibit manggis pada berbagai konsentrasi PEG pada 11 BSP
46
Hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf cekaman kekeringan maka semakin besar penurunan pertumbuhan dan penurunan terbesar nampak pada taraf cekaman tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman manggis sangat terhambat akibat mengalami cekaman kekeringan yang ditunjukkan dari penurunan pertumbuhan dibandingkan tanaman yang tidak mengalami cekaman. Data ini sejalan dengan peubah potensial air daun pada Tabel 10 dan ini dibuktikan melalui uji korelasi Pearson pada Tabel 12, bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata dan positif antara semua komponen pertumbuhan tajuk dengan potensial air daun. Hubungan yang sifatnya negatif antara potensial air daun dengan pertumbuhan tajuk pada Gambar 5 dan 6, mempertegas hubungan tersebut, yaitu apabila potensial air daun mengalami penurunan sampai -1.1 MPa, akan menyebabkan penurunan tinggi tanaman dan jumlah daun secara linier. Hal ini sesuai yang dikemukakan Harjadi & Yahya (1988), bahwa dengan cekaman kekeringan yang ringan saja (sekitar -0.1 sampai -0.3 MPa) sudah dapat menyebabkan pembelahan dan pembesaran sel menjadi terhambat bahkan bisa berhenti sama sekali. Berkurangnya potensial air daun menyebabkan menurunnya aktivitas fotosintesis, karena beberapa hal yaitu: (a) penutupan stomata secara aktif yang mengurangi suplai CO2, (b) dehidrasi kutikula, dinding epidermis, dan membran sel yang mengurangi permeabilitasnya terhadap CO2, (c) bertambahnya tahanan sel mesofil daun terhadap pertukaran gas, dan (d) menurunnya efisiensi sistem fotosintesis. Hal ini berhubungan dengan proses biokimia, aktivitas enzim dalam sitoplasma, dimana fotosintesis merupakan proses hidrolisis yang memerlukan air.
Tinggi tanaman (cm)
47
36 34 32 30 28 26 24 22 20
Y = -8.86x + 35.05 R² = 0.71**
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Ψ daun (-MPa)
Jumlah daun (helai)
Gambar 5 Hubungan antara potensial air daun (Ψ pada 11 BSP
daun)
dengan tinggi tanaman
18 17
Y = -3.92X + 17.28 R² = 0.80**
16 15 14 13 12 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Ψ daun (-MPa)
Gambar 6 Hubungan antara potensial air daun (Ψ daun) dengan jumlah daun pada 11 BSP Perlakuan cekaman kekeringan menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap pertambahan diameter batang dan lebar kanopi dibandingkan tanpa cekaman seperti ditampilkan pada Tabel 5. Pertambahan diameter batang dan lebar kanopi semakin menurun sejalan dengan peningkatan taraf cekaman dan terlihat jelas bahwa pada taraf cekaman tertinggi (20% PEG), menyebabkan pertambahan diameter batang dan lebar kanopi yang paling rendah. Cekaman kekeringan menyebabkan semakin terbatasnya air yang masuk ke jaringan tanaman
sehingga
menghambat
aktivitas
pembelahan,
pembesaran
dan
pemanjangan sel dan hal ini nampak dari penurunan pertambahan diameter batang dan lebar kanopi.
48
Tabel 5 Pertambahan diameter batang dan lebar kanopi pada berbagai konsentrasi PEG selama 1 tahun Konsentrasi PEG (%) 0 5 10 15 20
Pertambahan Diameter batang (mm) Lebar kanopi (cm) 3.71 a 19.79 a 1.88 b 16.81 b 1.69 b 14.91 bc 14.17 bc 1.68 b 1.65 b 12.93 c
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Pada Tabel 6 terlihat bahwa perlakuan cekaman kekeringan menyebabkan penurunan bobot kering tajuk dan bobot kering total secara nyata. Bobot kering tajuk dan bobot kering total pada kondisi tanpa cekaman kekeringan adalah 18.95 dan 24.02 g/tanaman, sedangkan apabila diberi perlakuan cekaman kekeringan (520% PEG), maka bobot kering tajuk dan total mengalami penurunan menjadi 16.70-13.79 g/tanaman (bobot kering tajuk) dan 21.21-16.63 g/tanaman (bobot kering total) atau mengalami penurunan 12-27% (bobot kering tajuk) dan 12-31% (bobot kering total). Penurunan bobot kering tanaman akibat adanya cekaman kekeringan disebabkan oleh 2 hal yaitu: terbatasnya fotosintat yang terbentuk dan terhambatnya alokasi fotosintat ke berbagai organ tanaman (Salisbury & Ross 1995.
Kedua hal tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan air yang masuk ke
jaringan tanaman, semakin terhambat air masuk ke jaringan tanaman akibat adanya cekaman maka semakin terhambat pembentukan dan translokasi fotosintat. Hal ini sejalan dengan laporan Gieger & Thomas (2002); Wu et al. (2007), bahwa cekaman kekeringan menyebabkan penurunan biomassa tanaman karena terhambatnya translokasi fotosintat ke berbagai organ tanaman, termasuk untuk pengisian bahan kering tanaman. Trend persentase penurunan biomassa tanaman akibat perlakuan cekaman kekeringan pada Gambar 7, menunjukkan pola yang sama dengan pola pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun.
Peningkatan taraf
cekaman menyebabkan penurunan bobot kering total secara linier negatif dengan persamaan regresi: Y = -0.35X + 23.55; R2 = 0.58**.
49 Tabel 6 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap bobot kering tajuk dan bobot kering total tanaman pada 11 BSP Konsentrasi Bobot kering tajuk PEG (g) (%) 0 5 10 15 20
18.95 a 16.70 ab 15.87 ab 14.86 ab 13.79 b
Bobot kering total (g) 24.02 a 21.21 ab 19.93 ab 18.34 b 16.63 b
Penurunan (%) Bobot kering tajuk 12 16 22 27
Bobot kering total 12 17 24 31
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% Persentase penurunan dibandingkan terhadap kontrol (0% PEG)
Bobot kering total (g)
30 Y = -0.35X + 23.55 R² = 0.58**
25 20 15 10 0
5
10
15
20
Konsentrasi PEG (%)
Gambar 7 Hubungan konsentrasi PEG dengan bobot kering total pada 11 BSP Pertumbuhan akar Untuk menggambarkan pertumbuhan akar maka dilakukan pengamatan bobot kering akar, panjang akar primer dan volume akar pada Tabel 7. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perlakuan cekaman kekeringan berbeda nyata dengan tanpa cekaman terhadap bobot kering akar, panjang akar primer dan volume akar. Hal ini ditunjukkan dari bobot kering akar pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan adalah 5.06 g/tanaman, sedangkan pada perlakuan cekaman kekeringan (5-20% PEG) adalah masing-masing 4.51; 4.06; 3.48 dan 2.84 g/tanaman atau terjadi penurunan bobot kering akar sebesar 11-44%. Demikian pula terhadap peubah panjang akar primer pada Tabel 7 dan Gambar 8, juga menunjukkan penurunan pertumbuhan seperti pada bobot kering
50
akar.
Namun terdapat perbedaan, dimana pada peubah panjang akar, pada
cekaman ringan belum nampak perbedaan dengan kontrol, tetapi setelah taraf cekaman ditingkatkan menjadi 15 dan 20% PEG, baru berbeda nyata dengan kontrol, artinya saat cekaman masih ringan, maka belum menunjukkan perbedaan dengan tanpa cekaman, tetapi setelah taraf cekaman ditingkatkan >15% PEG, mengakibatkan penurunan panjang akar primer yang nyata dibanding kontrol. Hasil pengamatan terhadap volume akar pada Tabel 7, juga menunjukkan adanya penurunan pertumbuhan akibat perlakuan cekaman kekeringan, hanya polanya agak berbeda dengan bobot kering akar dan panjang akar primer. Pada perlakuan 5-15% PEG, volume akar nampak tidak berbeda nyata dengan kontrol. Namun setelah ditingkatkan menjadi 20% PEG, maka nampak perbedaan yang nyata dengan kontrol. Dengan demikian pengaruh cekaman kekeringan terhadap volume akar, baru nampak pada kondisi cekaman berat (20% PEG), yang ditunjukkan dari penurunan volume akar 40% dibandingkan tanpa cekaman. Penurunan pertumbuhan akar (bobot kering akar, panjang akar primer dan volume akar) akibat cekaman kekeringan didukung oleh kondisi morfologi tanaman manggis, yang memiliki sistem perakaran yang kurang berkembang dan tidak mempunyai akar rambut serta mudah terganggu oleh faktor lingkungan yang tidak menguntungkan seperti adanya cekaman kekeringan (Wiebel et al. 1994; Poerwanto et al. 1995; Cox 1988), menyebabkan tanaman manggis peka terhadap cekaman kekeringan. Dengan kondisi morfologi akar seperti diuraikan tersebut ditambah adanya hambatan ketersediaan air pada media yang terbatas (media pot) mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan akar seperti yang nampak pada Tabel 7 dan Gambar 8. Hal ini berbeda halnya apabila kondisi cekaman kekeringan pada media yang lebih luas seperti di lahan, dimana tanaman bisa melakukan adaptasi morfologi dengan memperpanjang akar untuk memperoleh air pada lapisan tanah yang lebih dalam. Hal ini sesuai Sammons et al. (1980), tanaman dengan panjang akar yang dalam dan perluasan akar yang besar mampu meningkatkan absorbsi air dan relatif lebih toleran terhadap cekaman kekeringan. Menurut Harjadi & Yahya (1988), kondisi perakaran juga mempengaruhi pemulihan fotosintesis akibat adanya cekaman kekeringan. Apabila akar rambut
51 rusak dan titik tumbuh akar terhambat pertumbuhannya maka penyerapan air akan sangat berkurang dan bisa kembali normal setelah diberikan irigasi. Tabel 7 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap bobot kering akar, panjang akar primer dan volume akar pada 11 BSP Konsentrasi Bobot kering PEG akar (g) (%) 0 5 10 15 20
5.06 a 4.51 ab 4.06 ab 3.48 bc 2.84 c
Panjang akar primer (cm)
Volume akar (ml)
27.00 a 26.17 a 24.83 a 20.50 ab 16.00 b
10.00 a 9.00 a 9.00 a 8.67 a 6.00 b
Penurunan (%) Bobot kering akar 11 20 31 44
Panjang Volume akar akar primer 3 10 8 10 24 13 41 40
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% Persentase penurunan dibandingkan terhadap kontrol (0% PEG)
0%
10%
5%
15%
20%
Gambar 8 Keragaan akar bibit manggis umur 11 BSP pada berbagai konsentrasi PEG
52
Untuk menggambarkan keseimbangan pertumbuhan tajuk dan akar dapat dilihat dari rasio tajuk/akar (Tabel 8). Nampak bahwa sampai 11 BSP, tidak terdapat perbedaan nyata antara berbagai perlakuan cekaman kekeringan. Hal ini disebabkan kedua peubah tersebut (bobot kering tajuk maupun bobot kering akar), sama-sama mengalami penurunan akibat perlakuan cekaman kekeringan, seperti yang terlihat pada Tabel 6 dan 7. Hasil penelitian ini sejalan dengan laporan Hidayat (2002), bahwa pada tanaman manggis muda umur 2 tahun, menunjukkan perbedaan yang tidak nyata terhadap rasio tajuk/akar, tetapi setelah umur > 2 tahun, baru terlihat perbedaan yang nyata, karena saat itu alokasi pembagian fotosintat lebih banyak dialokasikan ke pertumbuhan tajuk (batang, cabang dan daun), akibatnya pertumbuhan tajuk menjadi lebih dominan dibanding pertumbuhan akar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi cekaman kekeringan pertumbuhan tajuk lebih terhambat dibanding pertumbuhan akar (Wu & Cosgrove 2000; Hamdy 2002). Laporan Efendi (2008) menunjukkan bahwa konsentrasi 20% (setara -0.67 MPa), pertumbuhan tunas kecambah jagung sangat terhambat bahkan terhenti namun pertumbuhan akar masih dapat berlangsung. Tabel 8 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap rasio tajuk/akar pada 11 BSP Konsentrasi PEG (%)
Rasio tajuk/akar
0 5 10 15 20
3.82 3.71 4.05 4.38 4.90
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Komponen Fisiologis Tanaman Kandungan prolin Pada beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik cekaman, maka umumnya kandungan asam amino prolin dijadikan sebagai indikator untuk menilai status tanaman apakah mengalami cekaman atau tidak. Pada penelitian ini nampak bahwa perlakuan cekaman kekeringan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kandungan prolin daun. Tanaman yang tanpa mengalami cekaman
53 kekeringan (kontrol), mempunyai kandungan prolin sebesar 1.71 µmol/g berat basah, sedangkan pada perlakuan cekaman kekeringan (5- 20% PEG), adalah 2.41-3.66 µmol/g berat basah atau terjadi peningkatan sebesar 41-114% (Tabel 9). Peningkatan kandungan prolin daun pada tanaman yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan dibanding tanpa cekaman menunjukkan tanaman manggis mengalami cekaman kekeringan. Beberapa laporan menunjukkan bahwa akumulasi prolin merupakan respon tanaman akibat adanya cekaman kekeringan. Hasil penelitian ini sejalan dengan laporan Efendy (2008), bahwa tanaman jagung varietas Anoman yang mengalami cekaman kekeringan dengan PEG selama 30 hari menunjukkan peningkatan kandungan prolin daun, di mana peningkatan taraf cekaman juga menyebabkan peningkatan kandungan prolin, yaitu 33.13 µmol/g berat basah (0% PEG), 48.64 µmol/g berat basah (10% PEG) dan 66.81 µmol/g berat basah (15% PEG). Begitupula laporan Wijana (2001); Panggaribuan (2001), menunjukkan kandungan prolin meningkat pada tanaman kelapa sawit yang mengalami cekaman kekeringan dan peningkatan prolin menunjukkan adanya toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Prolin merupakan salah senyawa osmotik yang disintesis dan diakumulasi pada berbagai jaringan tanaman terutama pada bagian daun dan merupakan salah satu bentuk mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dengan cara dehydration tolerance yaitu mekanisme toleransi pada potensial air jaringan yang rendah. Mekanisme ini merupakan kemampuan tanaman menjaga tekanan turgor sel dengan menurunkan potensial airnya melalui akumulasi solut seperti asam amino prolin (Soepandi 2006). Tabel 9 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap kandungan prolin pada 11 BSP Konsentrasi PEG (%) 0 5 10 15 20
Kandungan prolin (µmol/g berat basah) 1.71 c 2.41 bc 2.46 bc 2.63 b 3.66 a
Peningkatan (%) 41 44 54 114
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% Persentase peningkatan dibandingkan terhadap kontrol (0% PEG)
54
Hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 12, menunjukkan hubungan antara kandungan prolin daun dengan peubah pertumbuhan tajuk dan akar, di mana kandungan prolin daun menunjukkan hubungan yang sangat nyata dan negatif dengan peubah bobot kering (akar dan total tanaman), pertumbuhan tinggi tanaman dan luas daun serta potensial air daun. Kandungan prolin juga berhubungan nyata dan negatif dengan panjang akar dan volume akar. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan taraf cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan kandungan prolin daun sebagai strategi toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan pada potensial air jaringan yang rendah. Dalam kondisi cekaman sedang sampai berat, konsentrasi asam amino prolin meningkat lebih tinggi dibanding asam amino lainnya. Dalam hal ini prolin tampaknya membantu toleransi terhadap cekaman kekeringan, bertindak sebagai sumber cadangan nitrogen atau sebagai molekul zat terlarut yang mengurangi potensial osmotik sitoplasma. Pada tingkat cekaman sangat berat (potensial air lebih besar dari -1.5 MPa), maka respirasi, asmilasi CO2, translokasi fotosintat dan transpor xylem berkurang secara cepat sampai ke tingkat yang lebih rendah, sedangkan aktivitas enzim hidrolisis meningkat (Gardner et al. 1991).
Potensial air daun Perlakuan cekaman kekeringan menunjukkan perbedaan yang nyata dengan tanpa cekaman terhadap potensial air daun (Tabel 10). Pada perlakuan tanpa cekaman (0% PEG), diperoleh nilai potensial air daun sebesar -0.27 MPa, sedangkan pada perlakuan cekaman kekeringan (5-20% PEG) menyebabkan penurunan potensial air daun antara -0.48 sampai -1.04 MPa atau mengalami penurunan sebesar 78-281%. Hal tersebut menggambarkan bahwa peningkatan taraf cekaman, menyebabkan penurunan potensial air daun. Penurunan potensial air daun dapat disebabkan rendahnya ketersediaan air media atau rendahnya serapan air sehingga semakin terbatas air yang masuk ke jaringan tanaman. Pada penelitian ini terhambatnya air yang masuk ke jaringan tanaman karena semakin tingginya taraf cekaman (peningkatan konsentrasi PEG). Semakin tinggi konsentrasi PEG maka semakin banyak zat terlarut sehingga konsentrasi air media semakin rendah dibanding konsentrasi air jaringan akar dan semakin sulit air
55 masuk ke jaringan tanaman. Dengan demikian supaya air dapat mengalir sampai ke jaringan daun maka potensial air jaringan harus diturunkan.
Rendahnya
potensial air daun menyebabkan jumlah air yang masuk ke sel jaga juga menjadi semakin terbatas akibatnya sel menjadi kemps, turgiditas sel terganggu dan stomata menutup.
Penutupan stomata merupakan cara untuk mengurangi
kehilangan air yang akibat transpirasi. Namun karena CO2 juga masuk ke jaringan tanaman melewati stomata maka penutupan stomata menyebabkan terhambatnya difusi CO2 dan penurunan daya hantar stomata (Salisbury & Ross 1995). Pada penelitian ini, respon yang jelas terlihat akibat penurunan potensial air daun adalah terhambatnya pertumbuhan tajuk seperti ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6. Tabel 10 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap potensial air daun pada 11 BSP Konsentrasi PEG (%) 0 5 10 15 20
Potensial air daun (MPa) -0.27 a -0.48 b -0.64 c -0.99 d -1.04 d
Penurunan (%) 78 136 263 281
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% Persentase penurunan dibandingkan terhadap kontrol (0% PEG)
Sebagai perbandingan pada hasil penelitian Hidayat (2002), menunjukkan adanya perbedaan potensial air daun tanaman manggis umur 2 tahun pada dua kondisi status air yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Potensial air daun terendah pada musim kemarau yaitu pada stadia trubus cepat sampai trubus dewasa sebesar -9.83 sampai -10.08 bar, dan tertinggi pada fase dorman -6.57 bar, sedangkan pada musim penghujan, terendah pada stadia trubus dewasa (-5.03 bar), dan tertinggi pada stadia trubus awal (-3.77 bar) dan stadia dorman (-3.90 bar).
Hal ini menunjukkan bahwa potensial air jaringan pada kondisi tanaman
aktif tumbuh lebih rendah dibandingkan saat dorman. Saat pertumbuhan tunas, aktivitas metabolisme meningkat dan kebutuhan air secara langsung menjadi faktor pembatas, sehingga pada saat pertumbuhan tunas dibutuhkan ketersediaan air yang lebih tinggi dibandingkan stadia dorman. Dengan demikian saat aktif tumbuh, maka tanaman manggis sangat peka terhadap kekurangan air. Gejala yang jelas ditunjukkan apabila tanaman manggis mengalami cekaman kekeringan
56
yang adalah terjadinya terhambatnya pertumbuhan tajuk dan akar. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan hambatan pertumbuhan tajuk (menurunnya pertambahan luas daun, jumlah daun dan biomassa tajuk) dan hambatan pertumbuhan akar (menurunnya volume, panjang akar dan biomassa akar). Perubahan laju fotosintesis, transpirasi dan daya hantar stomata Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara perlakuan cekaman kekeringan dan tanpa cekaman terhadap laju fotosintesis, transpirasi dan daya hantar stomata seperti pada Tabel 11. Laju fotosintesis pada tanpa cekaman kekeringan adalah 4.22 µmol CO2/m2/detik, sedangkan pada perlakuan cekaman kekeringan (5-20% PEG) adalah 3.26-2.11 µmol CO2/m2/detik atau mengalami penurunan sebesar 23-50% dibandingkan kontrol. Penurunan laju fotosintesis akibat meningkatnya cekaman disebabkan menurunnya absorbsi air dari media sehingga semakin terbatas jumlah air yang masuk ke jaringan tanaman. Terbatasnya serapan air akan direspon oleh jaringan daun dengan cara penutupan stomata sebagai strategi untuk mengurangi kehilangan air. Penutupan stomata menyebabkan menurunnya laju difusi CO2 yang masuk ke daun melalui stomata akibatnya daya hantar stomata menurun seperti terlihat pada Tabel 11. Daya hantar stomata pada perlakuan cekaman kekeringan adalah 0.036-0.029 µmol CO2/m2/detik sedangkan pada tanpa cekaman adalah 0.039 atau terjadi penurunan sebesar 8-26% akibat adanya cekaman. Oleh karena stomata menutup akibat rendahnya potensial air daun, maka laju transpirasi juga mengalami penurunan. Laju transpirasi pada perlakuan cekaman kekeringan (520% PEG) adalah 105.07-45.32 µmol H2O/m2/detik sedangkan tanpa cekaman adalah 128.07 µmol H2O/m2/detik atau terjadi penurunan sebesar 18-65%. Penurunan daya hantar stomata sejalan dengan laju transpirasi, karena cekaman kekeringan menyebabkan penutupan stomata sehingga jumlah CO2 yang dihantarkan masuk ke daun melalui stomata dan jumlah air yang diuapkan melalui stomata sama-sama mengalami penurunan. Kombinasi dari rendahnya pasokan air dari media dan terbatasnya CO2 yang masuk ke daun menyebabkan rendahnya laju fotosintesis. Hasil penelitian ini sejalan dengan laporan Nepomuceno et al. (1998), bahwa tanaman kapas varietas Siokra yang mengalami cekaman
57 kekeringan dengan aplikasi PEG 6000, memiliki laju fotosintesis 7.61 µmol CO2/m2/detik, daya hantar stomata 0.36 µmol CO2/m2/detik dan laju transpirasi 4.77 µmol H2O/m2/detik, yang nampal lebih rendah dibanding tanpa cekaman, yaitu: 8.01 µmol CO2/m2/detik (laju fotosintesis), 0.42 µmol CO2/m2/detik (daya hantar stomata) dan 5.51 µmol H2O/m2/detik (laju transpirasi). Saat tanaman mengalami cekaman kekeringan, maka stomata sebagai pintu masuknya CO2 ke dalam jaringan daun akan tertutup sebagai respon terhadap rendahnya ketersediaan air media dan juga sebagai mekanisme untuk mengurangi kehilangan air akibat penguapan. Akibat tertutupnya stomata maka laju difusi CO2 melalui stomata juga mengalami penurunan yang nampak pada penurunan daya hantar stomata. Hal ini didukung laporan Ramlan et al. (1992), bahwa tanaman manggis yang digenangi selama 72 jam (konsentrasi CO2 sangat rendah), menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan daya hantar stomata, sehingga dapat disimpulkan peningkatan daya hantar stomata mencerminkan peningkatan kandungan CO2 di daun. Tabel 11 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap laju fotosintesis, laju transpirasi dan daya hantar stomata pada 11 BSP Konsentrasi Laju PEG fotosintesis (%) (FS) µmol CO2/m2/detik 0 4.22 a 5 3.26 b 10 2.56 c 15 2.37 cd 20 2.11 d
Laju Daya hantar stomata transpirasi (DHS) (T) µmol µmol/m2/ 2 H2O/m /detik CO2detik 128.07 a 0.039 a 105.15 b 0.036 ab 78.81 c 0.030 c 49.51 d 0.032 bc 45.32 d 0.029 c
Penurunan (%) FS T DHS
23 39 44 50
18 38 61 65
8 23 18 26
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% Persentase penurunan dibandingkan terhadap kontrol (0% PEG)
Kerapatan stomata Hasil pengamatan kerapatan stomata pada Gambar 9, menunjukkan adanya variasi jumlah stomata pada permukaan atas dan bawah daun. Kerapatan stomata pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan adalah 71.34 buah/mm (bawah daun) dan 5.10 buah/mm (atas daun), sedangkan pada perlakuan cekaman kekeringan, kerapatan stomata tertinggi pada 20% PEG yaitu 137.58 buah/mm (bawah daun)
58
dan 10.19 buah/mm (atas daun). Data kerapatan stomata menunjukkan pola yang berbeda dengan pertumbuhan tajuk dan akar, dimana pada taraf cekaman berat (20% PEG) menghasilkan kerapatan stomata tertinggi, namun tidak terdapat perbedaan yang besar antara perlakuan cekaman karena jumlah stomata banyak dikendalikan oleh faktor genetik (Banziger et al. 2000), tetapi menurut Gardner et al. (1991), selain faktor genetik, maka faktor lingkungan juga mempengaruhi jumlah dan ukuran stomata. Pada pertumbuhan tajuk dan akar, cekaman kekeringan tertinggi justeru mengakibatkan penurunan pertumbuhan yang tertinggi. Begitupula terhadap laju fotosintesis, laju transpirasi dan daya hantar stomata, penurunan tertinggi pada perlakuan 20% PEG. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan kerapatan stomata tinggi, seharusnya meningkatkan laju transpirasi karena jumlah air yang hilang akibat transpirasi akan meningkat. Tetapi karena adanya cekaman (aplikasi PEG), maka larutan menjadi semakin pekat yang menyebabkan terhalangnya air masuk ke jaringan tanaman, akibatnya kandungan air jaringan menjadi semakin rendah sehingga jumlah air yang masuk ke sel jaga juga menurun, akibatnya stomata menutup.
Penutupan stomata menyebabkan kemampuan stomata dalam
mendifusikan CO2 (daya hantar stomata menurun), akibatnya laju fotosintesis menurun. Dengan demikian dapat diketahui bahwa taraf cekaman yang berat
Kerapatan stomata (buah/mm)
(20% PEG) akan menurunkan pertumbuhan tajuk dan akar secara nyata. 160
137.66
140
122.05
120
107.72 96.60
100 71.89
80 60 40 20
5.83
0.75
10.73
10.40
5.45
0 0
5 10 Konsentrasi PEG (%)
atas
15
20
bawah
Gambar 9 Kerapatan stomata pada berbagai konsentrasi PEG pada11 BSP. Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman
Tabel 12 Hubungan antara peubah pertumbuhan tanaman pada perlakuan cekaman kekeringan Peubah
BKA
BTjk
BKTot
PA
VA
BKA 1.00 BKTjk 0.67** 1.00 BKTot 0.82** 0.98** 1.00 PA 0.66** 0.44tn 0.54* 1.00 VA 0.43tn 0.38tn 0.42tn 0.77** 1.00 TT11 0.80** 0.60* 0.71** 0.58* 0.67** JD11 0.62* 0.64** 0.68** 0.38tn 0.49tn LD11 0.57* 0.65* 0.67** 0.30tn 0.47tn PD 0.74** 0.68** 0.75** 0.73** 0.67** -0.68** -0.63* -0.60* PR -0.79** -0.58* FS 0.76** 0.67** 0.75** 0.56* 0.57* T 0.80** 0.68** 0.77** 0.73** 0.61* DHS 0.68** 0.57* 0.65** 0.62* 0.48tn DB11 0.49tn 0.29tn 0.37tn 0.39tn 0.50tn LK11 0.74** 0.51tn 0.62* 0.36tn 0.38tn **=berkorelasi nyata pada taraf 1% uji korelasi Pearson * =berkorelasi nyata pada taraf 5% uji korelasi Pearson tn=berkorelasi tidak nyata BKA BKTot VA JD11 PD FS DHS LK11
59
= Bobot kering akar = Bobot kering total tanaman = Volume akar = Jumlah daun pada 11 BSP = Potensial air daun = Laju fotosintesis = Daya hantar stomata = Lebar kanopi pada 11 BSP
TT11
JD11
LD11
PD
PR
FS
T
DHS
DB11
1.00 0.72** 0.70** 0.84** -0.82** 0.90** 0.85** 0.67** 0.64* 0.72**
1.00 0.81** 0.74** -0.51tn 0.79** 0.75** 0.62* 0.55* 0.60*
1.00 0.65** -0.66** 0.67** 0.62* 0.52* 0.58* 0.60*
1.00 -0.73** 0.91** 0.97** 0.71** 0.49tn 0.67**
1.00 -0.80** -0.76** -0.68** -0.57* -0.74**
1.00 0.94* 0.81** 0.59* 0.76**
1.00 0.79** 0.56* 0.68**
1.00 0.45tn 0.42tn
1.00 0.56*
BKTjk PA T11 LD11 PR T DB11
= Bobot kering tajuk = panjang akar primer = Tinggi tanaman pada 11 BSP = Luas daun pada 11 BSP = Kandungan prolin = Laju transpirasi = Diameter batang pada 11 BSP
60
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Peningkatan taraf cekaman kekeringan menurunkan beberapa aktivitas fisiologi (potensial air daun, laju transpirasi, laju fotosintesis dan daya hantar stomata) secara nyata sehingga menyebabkan terjadinya perubahan morfologis yang nampak dari penurunan pertumbuhan akar (volume akar, panjang akar dan bobot kering akar) dan penurunan pertumbuhan tajuk (tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, lebar kanopi, luas daun, bobot kering tajuk dan bobot kering total tanaman). 2. Peningkatan taraf cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan kandungan prolin secara nyata dan nampak pada taraf cekaman tertinggi menghasilkan kandungan prolin yang tertinggi 3.66 µmol/g berat basah, sedangkan pada kondisi tanpa cekaman kekeringan hanya 1.71 µmol/g berat basah. 3. Cekaman kekeringan menurunkan pertumbuhan tajuk yang nampak dari penurunan tinggi tanaman (10-26%), jumlah daun (9-21%), luas daun (1025%), bobot kering tajuk (12-27%). Cekaman kekeringan juga menurunkan pertumbuhan akar yang terlihat dari penurunan bobot kering akar (11-44%), panjang akar (3-41%) dan volume akar (10-40%).
61
PENETAPAN POROSITAS MEDIA BERBAGAI SUMBER BAHAN MEDIA TUMBUH The Determination of Media Porosity from Several Sources of Growing Media Abstrak Porositas merupakan salah satu sifat fisik yang penting dalam mendesain komposisi media. Porositas sangat ditentukan oleh tekstur, struktur serta bentuk dari partikel tanah atau media. Percobaan dilaksanakan di Rumah Kaca dan Laboratorium Balai Penelitian Tanah Sindang Barang, yang berlangsung mulai Desember 2008 sampai Maret 2009. Pada percobaan ini disusun 20 komposisi media yang bertujuan mendapatkan nilai porositas yang beragam. Sumber media berasal dari limbah pertanian dan peternakan seperti arang sekam padi dan pupuk kandang kambing, selain itu digunakan pula media tanah dan pasir. Hasil penetapan porositas total menunjukkan bahwa nilai porositas media bervariasi antara 53-70%, dengan nilai porositas terendah adalah 53.48% (media tanah) dan porositas tertinggi adalah 69.63% berupa campuran media tanah dengan pupuk kandang kambing (2:1). Hasil penetapan porositas media ini dikelompokkan menjadi empat kisaran porositas yaitu: 51-55%, 56-60%, 61-65% dan 66-70%. Hasil penetapan porositas media selanjutnya digunakan sebagai perlakuan pada percobaan air, pemupukan dan jenis pot sebagai rangkaian dari penelitian ini. Kata kunci: media tumbuh, porositas, bobot jenis, bobot jenis partikel Abstract Porosity is one of the physical properties that are important in designing the composition of media. Porosity was determined by the texture, structure and shape of particles of soil or media. Experiments have been conducted in the Green house of Soil Research Institute in Sindang Barang, from December 2008 until March 2009. This experiment was conducted in 20 media composition that aimed to get the various porosity values. Media sources derived from agricultural waste and livestock such as: rice husk charcoal and goat manure. Media was also used soil and sand. Determination of total porosity was shown a variation between 53-70%, the lowest porosity value was 53.48% (soil only) and highest porosity was 69.63% that made from soil media mix with goat manure (2:1). The results on porosity determination of the media are grouped into four ranges, e.i.: 51-55, 56-60, 61-65 and 66-70%. The determination of media porosity then will be used as the experimental treatments of water, fertilizing, and type of pot as a research series. Keywords: growing media, porosity, bulk density, particle density
62
Pendahuluan Latar Belakang Selama ini dalam pembuatan media tumbuh sering dibuat komposisi media tumbuh dengan perbandingan bobot ataupun volume yang bervariasi, seperti campuran tanah + pupuk kandang (2:1), campuran tanah + arang sekam + pupuk kandang (1:1:1), campuran tanah + pasir (3:1), dan masih banyak lagi komposisi yang sering digunakan. Perbandingan berbagai komposisi media tersebut pada dasarnya dilakukan untuk memperoleh media yang porous yang sehingga memberikan kondisi yang optimal untuk pertumbuhan akar.
Pada
dasarnya kondisi porous ataupun massive berkaitan dengan nilai porositas media. Masalahnya sampai saat ini belum diketahui nilai porositas berbagai jenis media, padahal informasi tersebut sangat penting dalam mendesain media tumbuh yang sesuai karakteristik tanaman. Porositas merupakan salah satu sifat fisik yang penting dipertimbangkan dalam pembuatan media tumbuh. Porositas atau ruang pori total merupakan bagian tanah atau media yang ditempati oleh udara atau air (Hardjowigeno 1987). Porositas tergantung pada tekstur, struktur serta bentuk dari partikel tanah atau media (Hillel 1997).
Porositas mempengaruhi kondisi aerasi media, dimana
peningkatan porositas media meningkatkan aerasi sehingga meningkatkan kandungan pula oksigen dan laju respirasi akar. Beberapa
hasil
penelitian
menunjukkan
porositas
mempengaruhi
pertumbuhan tanaman, antara lain Wiebel et al. (1992a) melaporkan pertumbuhan bibit manggis pada media yang porous lebih baik dibanding kurang porous. Begitupula Caballero et al. (2009), bahwa media tumbuh dengan porositas 78% (dari kompos limbah anggur) dan porositas 82% (dari kompos gambut sphagnum dan limbah jamur) menghasilkan bobot kering tanaman yang lebih tinggi dibanding porositas 95% (dari media sabuk kelapa) dan porositas 93% (media gambut) pada tanaman Gerbera jamesonii di dalam pot. Berdasarkan informasi tersebut, dilakukan percobaan penetapan porositas yang bertujuan untuk mendapatkan nilai porositas berbagai sumber media. Hasil percobaan ini sangat bermanfaat dalam mendesain media tumbuh yang sesuai karakteristik tanaman.
63
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilaksanakan di Rumah Kaca Balai Penelitian Tanah Sindang Barang, Bogor. Analisis kimia dan fisika tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor. Percobaan dilaksanakan mulai bulan Desember 2008 hingga Maret 2009. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan antara lain media tanah Inceptisol Cicadas, pasir, arang sekam padi dan pupuk kandang kambing, polybag 35 cm x 35 cm, mikro ring, ember, timbangan analitik dan kertas label. Metode Penelitian Sumber bahan media adalah arang sekam padi, pupuk kandang kambing, pasir dan tanah Inceptisol Cicadas. Pada percobaan ini disusun 20 komposisi media yang bertujuan mendapatkan nilai porositas yang beragam seperti yang disajikan pada Tabel 13. Setiap perlakuan diulang sebanyak dua kali sehingga diperoleh 40 unit percobaan. Tabel 13 Perlakuan komposisi media dari berbagai sumber media No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Komposisi media Tanah Tanah + arang sekam (1:1) Tanah + arang sekam (1:2) Tanah + arang sekam (1:3) Tanah + arang sekam (3:1) Tanah + arang sekam (2:1) Tanah + arang sekam + pasir (1:1:1) Tanah + arang sekam + pasir (1:1:2) Tanah + arang sekam + pasir (1:1:3) Tanah + arang sekam + pasir (1:3:1) Tanah + arang sekam + pasir (1:2:1) Tanah + arang sekam + pasir (2:1:1) Tanah + arang sekam + pasir(3:1:1) Tanah + pupuk kandang + pasir (1:1:1)
Perbandingan (v/v) 1:1 1:2 1:3 3:1 2:1 1:1:1 1:1:2 1:1:3 1:3:1 1:2:1 2:1:1 3:1:1 1:1:1
64
Tabel 13 Lanjutan … No. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Komposisi media Tanah + pupuk kandang + pasir (1:1:2) Tanah + pupuk kandang + pasir (1:1:3) Tanah + pupuk kandang + pasir (1:2:1) Tanah + pupuk kandang + pasir (2:1:1) Tanah + pupuk kandang (2:1) Tanah + pupuk kandang (3:1)
Perbandingan (v/v) 1:1:2 1:1:3 1:2:1 2:1:1 2:1 3:1
Kegiatan percobaan diawali dengan pembuatan media tumbuh dengan perbandingan volume. Berikutnya dilakukan penjenuhkan dengan memasukkan polybag yang berisi media ke dalam ember plastik yang berisi air.
Proses
penjenuhan dilakukan sampai media jenuh air (kurang lebih 10 menit) pada sore hari (sekitar pukul 17.00) dengan tujuan untuk mengurangi kehilangan air akibat evaporasi. Selanjutnya dilakuan penimbangan media setiap hari sampai hari ke8. Tahapan kegiatan ini diulang sampai tiga kali dan pada akhir percobaan dilakukan pengambilan sampel untuk mengetahui nilai porositas total atau ruang pori total (RPT) dari masing-masing komposisi media. Penetapan porositas total menggunakan data bobot isi dan bobot jenis partikel (Richards et al. 2009). Penetapan nilai bobot jenis partikel menggunakan metode botol piknometer (Agus & Marwanto 2006) dengan prosedur sebagai berikut: Botol piknometer dicuci dengan sabun dan dibilas dengan air suling. Lalu dikeringkan dengan cara membilas dengan aseton. Botol piknometer yg sudah kering ditimbang untuk mengetahui beratnya. Lalu botol piknometer dengan etil alkokol sampai penuh. Dinding luar dikeringkan dengan tissu, lalu ditimbang kembali (M1 ) Catat suhu etil alkohol Berdasarkan Tabel konversi berat jenis etil alkohol dan berat jenis air (aquadest) pada berbagai suhu, maka ditentukan berat jenis etil alkohol (ρf) Separuh alkohol dituangkan dari piknometer ke dalam gelas piala Lalu dimasukkan 10 g contoh tanah kering oven yang telah diayak dengan mesh 2 mm (M2 ) Gelembung udara yang terdapat dalam piknometer dikeluarkan. Lalu botol piknometer diisi penuh dengan etil alkohol sehingga botol dan pipa kapiler
65
terisi penuh. Dinding piknometer dikeringkan kembali dengan kertas tissu lalu ditimbang kembali (M3). Bobot jenis partikel dihitung dengan formula: ρf . M3 BJP = -------------------M1 + M2 – M3 Keterangan: BJP ρf M1 M2 M3
= = = = =
bobot jenis partikel (g/cm3) berat jenis etil alkohol (g/cm3) berat piknometer + etil alkohol (g) berat contoh (g) berat piknometer + etil alkohol + contoh (g)
Penetapan bobot isi menggunakan metode ring (Agus et al. 2006), dengan prosedur sebagai berikut: Tutup ring dibuka dan diambil contoh media utuh di polybag menggunakan mikro ring. Contoh media ditimbang bersama ring (X) Lalu ditimbang pula ring contoh kosong (Y) Selanjutnya dihitung kadar air contoh (Z) dan volume contoh (V) Bobot isi dihitung dengan formula sebagai berikut:
100 (X-Y) / (100 + Z) BI = ----------------------------V Keterangan: BI X Y V Z
= = = = = =
bobot isi (g/cm3) berat sampel + ring (g) berat ring sample (g) volume sample (m3) kadar air {(BB – BK) / BK} x 100 %
66
Dengan demikian porositas total atau ruang pori total dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: BI RPT = (1- ------------ ) x 100% BJP Keterangan: RPT = BI = BJP =
ruang pori total (%) bobot jenis (g/cm3) bobot jenis partikel (g/cm3)
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Fisik dan Kimia Media Tumbuh Pada Tabel 14 terlihat bahwa tanah Inceptisols Cicadas memiliki tektur liat dan bersifat masam serta memiliki kandungan C-organik dan N-total termasuk rendah. Kadar P terekstrak HCl 25% dan Bray-1 termasuk sangat rendah, kadar K terekstrak HCl 25% termasuk sedang. Kapasitas tukar kation (KTK) senilai 14.10 me/100 g termasuk kategori rendah dan kejenuhan basa dibawah 50% yang berarti masuk kategori rendah. Kejenuhan basa yang rendah disebabkan curah hujan yang tinggi sehingga basa-basa tercuci dan kation masam menjadi lebih banyak. Kondisi awal media tanah seperti ini memungkinkan untuk dilakukan rekayasa media melalui pencampuran bahan-bahan yang sifatnya porous karena media tanah ini awalnya bertekstur liat (banyak mengandung pori mikro) sehingga hasil dari pencampuran berbagai bahan ini diharapkan diperoleh komposisi media yang memiliki perbandingan pori makro dan mikro yang seimbang. Tabel 14 Karakteristik fisik dan kimia media tanah Inceptisols Cicadas No. Peubah 1.
2.
Tekstur (%): Pasir Debu Liat pH: H2O KCl
Hasil analisis
Harkat
70 23 70
Liat
5.54 4.42
Agak masam
67
Tabel 14 Lanjutan … No. Peubah 3.
4.
5. 6.
7. 8.
Hasil analisis
Harkat
1.27 0.11 12
Rendah Rendah Sedang Sangat rendah
Bahan organik (%): C N Rasio C/N P2O5 (ppm) pengekstrak HCl 25% P2O5 (ppm) pengekstrak Bray 1 K2O (ppm) pengekstrak HCl 25% Basa-basa dapat tukar (me/100 g): K Ca Mg Na Total Kapasitas Tukar Kation (me/100 g) Kejenuhan basa (%)
5.62 8.00
Sangat rendah
37.00
Sedang
0.04 2.82 1.12 0.22 4.21
Sangat rendah Rendah Sedang Rendah
14.10 30
Rendah Rendah
Keterangan: dianalisis di Balai Penelitian Tanah (2009)
Porositas Total Berbagai Jenis Media Tumbuh Porositas total dihitung menggunakan peubah bobot jenis dan bobot jenis partikel. Pada percobaan ini menggunakan bahan tambahan dari arang sekam padi, pasir dan pupuk kandang kambing yang memiliki permukaan yang kasar sehingga apabila dicampur dengan media tanah akan meningkatkan porositas total.
Hasil penetapan porositas media pada Tabel 15, menunjukkan adanya
variasi nilai porositas total yang berkisar antara 53-70%.
Porositas media
terendah adalah 53.48% (dari sumber media tanah) dan porositas media tertinggi adalah 69.63% [dari campuran media tanah dengan pupuk kandang kambing (2:1)].
68
Tabel 15 Nilai bobot jenis, bobot jenis partikel dan porositas berbagai komposisi media No. Komposisi media 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Tanah Tanah + arang sekam (1:1) Tanah + arang sekam (1:2) Tanah + arang sekam (1:3) Tanah + arang sekam (3:1) Tanah + arang sekam (2:1) Tanah + arang sekam + pasir (1:1:1) Tanah + arang sekam + pasir (1:1:2) Tanah + arang sekam + pasir (1:1:3) Tanah + arang sekam + pasir (1:3:1) Tanah + arang sekam + pasir (1:2:1) Tanah + arang sekam + pasir (2:1:1) Tanah + arang sekam + pasir (3:1:1) Tanah + pupuk kandang + pasir (1:1:1) Tanah + pupuk kandang + pasir (1:1:2) Tanah + pupuk kandang + pasir (1:1:3) Tanah + pupuk kandang + pasir (1:2:1) Tanah + pukan + pasir (2:1:1) Tanah + pupuk kandang (2:1) Tanah + pupuk kandang (3:1)
Bobot jenis (g/cm3) 1.23 0.90 0.63 0.59 0.92 0.92
Bobot jenis partikel (g/cm3) 2.64 2.20 1.75 1.48 2.34 2.41
Porositas total (%) 53.48 59.29 63.89 60.02 60.65 61.81
1.06
2.36
54.90
1.17
2.52
53.63
1.05
2.26
53.57
0.71
1.78
59.96
0.92
2.14
57.01
1.00
2.33
57.20
1.08
2.33
53.70
0.87
1.92
54.62
0.91
2.02
54.97
0.77
2.38
67.53
1.06
2.39
55.39
0.99
2.13
53.57
0.77
2.55
69.63
0.67
2.06
67.58
Keterangan: Dianalisis di Balai Penelitian Tanah (2009)
Penambahan bahan media yang memiliki permukaan kasar dapat menyebabkan struktur media tumbuh menjadi remah sehingga baik untuk pertumbuhan akar. Hal ini sejalan hasil penelitian Caron et al. (2005) bahwa penambahan
fragmen yang
berukuran besar seperti butiran perlite
nyata
69
meningkatkan porositas media dan meningkatkan difusi gas. Demikian pula Verhagen (2004), mengemukakan bahwa penggunaan media berupa campuran tanah dan sekam sangat efektif dalam meningkatkan kapasitas menyimpan air. Berdasarkan hasil penetapan berbagai nilai porositas media maka dipilih diperoleh empat kisaran porositas media yaitu: 51-55%, 56-60%, 61-65% dan 6670% (Tabel 16). Kisaran porositas media tersebut selanjutnya digunakan sebagai perlakuan pada percobaan air, pupuk dan jenis pot. Hasil penetapan porositas media dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam memilih dan mendesain media tumbuh yang sesuai karakteristik tanaman, khususnya kondisi perakaran tanaman. Tabel 16 Kisaran porositas media dari berbagai komposisi media tumbuh Kisaran porositas (%) 51-55
Sumber media (v/v)
56-60
Tanah + arang sekam (1:1) Tanah + arang sekam (1:3) Tanah + arang sekam (3:1) Tanah+ arang sekam+pasir (1:3:1) Tanah+ arang sekam+pasir (1:2:1) Tanah+ arang sekam+pasir (2:1:1)
61-65
Tanah + arang sekam (1:2) Tanah + arang sekam (2:1)
66-70
Tanah + pupuk kandang kambing + pasir (1:1:3) Tanah + pupuk kandang kambing (2:1) Tanah + pupuk kandang kambing (3:1)
Tanah Tanah + arang sekam + pasir (1:1:1) Tanah + arang sekam + pasir (1:1:2) Tanah + arang sekam + pasir (1:1:3) Tanah + arang sekam + pasir (3:1:1) Tanah + pupuk kandang kambing + pasir (1:1:1) Tanah + pupuk kandang kambing + pasir (1:1:2) Tanah + pupuk kandang kambing + pasir (1:2:1) Tanah + pupuk kandang kambing + pasir (2:1:1)
70
Simpulan 1.
Hasil penetapan porositas media menunjukkan adanya variasi nilai porositas antara 53-70% dan dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan media tumbuh dalam pembibitan tanaman. Porositas terendah adalah 53.48% (dari sumber media tanah) dan porositas tertinggi adalah 69.63% [dari campuran media tanah dengan pupuk kandang kambing (2:1)].
2.
Diperoleh empat kisaran porositas yaitu 51-55%, 56-60%, 61-65% dan 6670%, yang selanjutnya digunakan sebagai perlakuan pada percobaan air, pupuk dan pot yang merupakan rangkaian dari penelitian ini.
71
PENINGKATAN PERTUMBUHAN BIBIT MANGGIS MELALUI PENGATURAN POROSITAS MEDIA DAN KETERSEDIAAN AIR Increasing the Growth of Mangosteen Seedlings by Media Porosity Arrangements and Water Availability Abstrak Tanaman manggis memiliki karakteristik pertumbuhan yang lambat antara lain disebabkan sistem perakaran yang buruk dan terbatasnya akar lateral serta mudah terganggu oleh aerasi yang kurang baik dan kekeringan ataupun kelebihan air. Oleh karena itu dilakukan rekayasa media tumbuh melalui pendekatan porositas untuk mendapatkan keseimbangan antara aerasi dan ketersediaan air sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman. Percobaan telah dilaksanakan di Rumah Plastik Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) Institut Pertanian Bogor, Tajur, yang berlangsung dari bulan Januari 2009 sampai Agustus 2010. Percobaan disusun menggunakan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah porositas media, terdiri atas 4 taraf yaitu: 51-55, 56-60, 61-65 dan 66-70% dan faktor kedua adalah interval penyiraman, terdiri atas 4 taraf yaitu: 2, 4, 6 dan 8 hari. Hasil percobaan menunjukkan terdapat pengaruh interaksi antara porositas media dengan interval penyiraman terhadap aktivitas fisiologis. Penyiraman 6 hari sekali + polimer penyimpan air (PPA) pada porositas media 61-65% mampu meningkatkan ketersediaan air dan udara secara optimal sehingga menghasilkan laju fotosintesis, daya hantar stomata dan potensial air jaringan daun yang tertinggi yaitu masingmasing 7.89 µmol CO2/m2/detik; 0.07 µmol/m2/detik; dan -0.72 MPa. Besarnya gradien potensial air antara jaringan akar dan daun, pada porositas 61-65% dengan penyiraman 6 hari sekali + PPA mendorong peningkatan serapan air sehingga menghasilkan respon pertumbuhan yang terbaik pada sebagian besar peubah pertumbuhan tajuk dan akar. Kata kunci: manggis, porositas, media tumbuh, penyiraman
Abstract Mangosteen has slow growth that caused by root system development. Mangosteen root system has limited number of lateral roots and disturbed by poor aeration and drought or excess water. Therefore, it needs to select growing medium by porosity approach to strike a balance between aeration and water availability to increase plant growth. The experiments was conducted in Plastic house at Centre for Tropical Fruit Studies (CETROFS) Bogor Agricultural University, Tajur, from January 2009 to August 2010. The experiments used a factorial experiment in completely randomized design with three replications. The first factor was media porosity that consists of four values, e.i.: 51-55, 56-60, 61-65 and 66-70%. The second factor was watering interval, consisting of four values, e.i: 2, 4, 6 and 8 days. Results shown there was an interaction effect between media porosity with watering interval trough physiological activity. Watering every 6 days and water retaining polymer (WRP) in media porosity of 61-65% to increase the availability of water and air, optimized rate of
72
photosynthesis, stomata conductance and water potential of leaf tissue were 7.89 mol CO2/m2/sec; 0.07 μmol/m2/sec; and -0.72 MPa, respectively. The amount of water potential gradient between root and leaf tissues in the porosity of 61-65% with watering every 6 day + PPA encourage greater uptake of water to produce the best growth response in shoot and root growth variables. Keywords: mangosteen, porosity, growing media, watering
Pendahuluan Latar Belakang Media tumbuh merupakan salah satu lingkungan fisik yang berkaitan dengan sistem perakaran. Dari beberapa laporan diketahui bahwa media tumbuh berpengaruh langsung terhadap performan perakaran melalui perannya dalam penyediaan air dan unsur hara serta kecukupan aerasi. Oleh karena itu perbaikan media tumbuh dengan mengoptimalkan ketersediaan air dan tata aerasi diharapkan dapat memperbaiki sistem perakaran tanaman manggis. Selama ini media tumbuh pada tanaman manggis hanya berupa tanah atau campuran tanah dengan sedikit pupuk kandang. Kondisi tersebut mendorong terjadinya pemadatan yang menyebabkan berkurangnya proporsi pori-pori makro (Dresboll 2010), sehingga kandungan oksigen menurun, akibatnya laju respirasi akar terhambat.
Media seperti itu menyebabkan perakaran tanaman menjadi
semakin sulit berkembang. Oleh karena itu penting dilakukan perbaikan media tumbuh sehingga selain mampu meningkatkan ketersediaan air juga meningkatkan aerasi media. Peranan positif media tumbuh telah dilaporkan oleh Wiebel et al. (1992a), bahwa pertumbuhan bibit manggis pada media porous yang berupa campuran peat moss + pine bark + pasir (1:1:1 v/v) nampak lebih tinggi dibanding media kurang porous yang berupa campuran peat moss + thunder peat + pasir (1:1:1 v/v). Namun informasi yang diperoleh baru sebatas media porous atau kurang porous dan belum diketahui nilai porositas media yang sebenarnya. Adanya informasi nilai porositas media akan sangat membantu dalam menyusun komposisi media dari berbagai sumber media yang sesuai karakteristik tanaman. Ketersediaan air dan kecukupan aerasi menjadi aspek penting dalam penyusunan media tumbuh apabila menggunakan pendekatan porositas media. Pada porositas rendah, umumnya fraksi media didominasi oleh pori-pori mikro
73
sehingga kandungan udara utamanya oksigen juga rendah akibatnya respirasi akar terhambat.
Pada porositas rendah biasanya kemampuan media dalam
menyimpan air cukup tinggi, namun karena kuatnya media memegang air mengakibatkan air tersebut menjadi tidak bisa tersedia bagi tanaman. Bahkan pada porositas yang sangat rendah, akibat penyiraman intensif dapat menyebabkan penggenangan pada permukaan atas media sehingga terjadi defisiensi oksigen.
Kondisi sebaliknya pada media dengan porositas tinggi,
dimana fraksi media didominasi pori-pori makro sehingga aerasi berlangsung baik yang memungkinkan berlangsungnya difusi O2 dan CO2 secara optimal. Namun kelemahan pada porositas tinggi adaah kemampuan media menyimpan air rendah sehingga harus disertai penyiraman yang intensif.
Terbatasnya kemampuan
memegang air pada porositas tinggi atau sangat tinggi dapat berakibat pada penurunan serapan air dari media ke jaringan tanaman. Ketersediaan air dan kecukupan aerasi berhubungan dengan aspek fisiologis yang penting yaitu fotosintesis dan respirasi. Kondisi aerasi yang baik akan meningkatkan kandungan oksigen pada zona perakaran sehingga proses respirasi berlangsung optimal yang akhirnya dihasilkan energi, sebagai contoh pada perombakan senyawa karbohidrat dihasilkan sejumlah energi (Taiz & Zeiger 2012) dan energi tersebut digunakan endukung berbagai aktivitas fisiologis. Kecukupan
aerasi
juga
mempengaruhi
penyerapan
air
melalui
hubungannya dengan kadar CO2 dan O2 dalam media. Semakin tinggi kadar CO2 maka semakin rendah permeabilitas dinding sel akar, sebaliknya semakin tinggi kadar O2 maka semakin tinggi permeabilitas dinding sel akar. Hal ini dibuktikan pada tanah atau media yang dijenuhi air mengakibatkan daun menjadi layu karena kekurangan oksigen (kadar O2 mendekati nol) akibatnya permeabilitas dinding sel (membran sitoplasma) menjadi sangat rendah (Darmawan & Baharsjah 2010). Berdasarkan informasi tersebut maka dilakukan penelitian untuk mempelajari karakteristik morfologi dan fisiologi pertumbuhan bibit manggis pada berbagai ketersediaan air dan porositas media. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan media tumbuh sesuai karakteristik tanaman sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan bibit manggis.
74
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilaksanakan di Rumah Plastik Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) Institut Pertanian Bogor, Tajur. Pengamatan stomata dilaksanakan di Laboratorium Mikro Teknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Analisis kandungan prolin dilaksanakan di Laboratorium Analisis Tanaman dan Kromatografi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari 2009 hingga Agustus 2010. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan antara lain bibit manggis asal biji umur 1 tahun, polimer penyimpan air (PPA) Alcosorb, pupuk NPK Growmore (20-2020), pestisida (mankozeb dan deltametrin), media (tanah, pasir, arang sekam padi dan pupuk kandang kambing). Alat-alat yang digunakan antara lain LI-COR 6400, pressure chamber, light meter tipe LI-250A, mikroskop binokuler, jangka sorong digital 0-150 mm, curvimeter, polybag ukuran 35 cm x 35 cm, kotak kaca (rizotron) ukuran 30 cm x 30 cm x 27 cm, gelas ukur 500 ml, papan paku (pin board) ukuran 50 cm x 50 cm, cool box dan timbangan analitik. Metode Penelitian Penelitian disusun menggunakan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah porositas media (nilai porositas media diperoleh dari hasil percobaan penetapan porositas), terdiri 4 atas taraf yaitu: 51-55, 56-60, 61-65 dan 66-70%.
Faktor kedua adalah interval
penyiraman air terdiri atas 4 taraf yaitu: 2, 4, 6 dan 8 hari. Volume penyiraman untuk perlakuan 2,4,6 dan 8 hari masing-masing 300, 600, 900 dan 1200 ml. Pada media tumbuh ditambahkan dengan polimer penyimpan air (PPA) Alcosorb sebanyak 5 g per polybag (untuk perlakuan penyiraman 4,6 dan 8 hari), sedangkan untuk perlakuan penyiraman 2 hari tidak menggunakan PPA.
75
Model linier yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Yijk = + αi + j + (α)ij + ijk ; (Gomez & Gomez 1984) i = 1, …,a ; j = 1, …,b ; k = 1, … c Keterangan: Yij
=
αi j (α)ij
= = = =
ijk
=
nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor porositas media dan taraf ke- j dari faktor interval penyiraman air) nilai tengah populasi (rataan yang sesungguhnya) pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor porositas media pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor interval penyiraman air pengaruh interaksi taraf ke-i faktor porositas media dan taraf ke-j faktor interval penyiraman air pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij.
Pada penelitian ini digunakan polybag ukuran 35 cm x 35 cm dengan volume media 8 liter dan kotak kaca (rizotron) dengan volume 13 liter. Penanaman tanaman pada kotak kaca dilakukan untuk mengamati panjang akar tampak. Media yang digunakan terlebih dahulu disterilisasi dengan cara dipanaskan di dalam drum selama 8 jam. Selanjutnya dilakukan pengisian media sesuai perlakuan ke dalam polybag dan kotak kaca dengan menggunakan perbandingan volume. Perlakuan porositas media 51-55% menggunakan sumber media tanah, porositas media 56-60% menggunakan media berupa campuran tanah + arang sekam + pasir (2:1:1), porositas media 61-65% menggunakan media berupa campuran tanah + arang sekam (2:1) dan porositas media 66-70% menggunakan media berupa campuran tanah + pupuk kandang (3:1). Untuk meningkatkan kemampuan media menyimpan air, maka media ditambahkan dengan 5 g PPA per polybag dan 10 g per kotak kaca (kecuali pada media yang mendapat perlakuan penyiraman 2 hari tidak ditambahkan PPA). Penambahan PPA Alcosorb bertujuan meningkatkan kemampuan media dalam menyimpan air sehingga dapat mengurangi interval penyiraman. Bahan PPA ini dapat menyimpan air dalam jumlah banyak saat dilakukan penyiraman, lalu dikeluarkan secara perlahan-lahan ke media tumbuh saat kandungan air media mulai berkurang. Beberapa jenis polimer diketahui efektif mengatasi masalah ketersediaan air, saat pembibitan maupun saat penanaman di lahan (Rowe et al. 2005; Thomas 2008; Andry et al. 2009).
76
Penyiapan bibit diawali dengan memilih bibit yang pertumbuhannya relatif seragam. Media asal bibit dibuang sehingga tidak ikut pada media yang baru, lalu akarnya dicuci secara hati-hati, kemudian ditanam pada media baru sesuai perlakuan. Media yang digunakan pada kotak kaca sama dengan media yang digunakan pada polybag. Untuk penanaman pada kotak kaca, setelah selesai penanaman maka kedua sisi kotak kaca ditutup dengan plastik hitam supaya menghindari pengaruh langsung cahaya matahari terhadap pertumbuhan akar. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan, pemupukan dan pengendalian hama/penyakit. Penyiangan dilakukan secara manual dengan cara mencabut gulma yang tumbuh. Pemupukan dengan pupuk NPK Growmore (20-20-20), dosis 2 g/l air yang diaplikasikan setiap minggu. Untuk pengendalian penyakit dilakukan dengan penyemprotan fungisida berbahan aktif mankozeb dan pengendalian hama dengan dengan penyemprotan insektisida berbahan aktif deltametrin. Peubah yang diamati pada percobaan ini adalah sebagai berikut: 1.
Pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi, diameter batang dan luas daun dilakukan setiap bulan. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai buku teratas. Jumlah daun dihitung berdasarkan semua daun yang terbentuk.
Tunas muda sudah dikategorikan sebagai daun yang
termasuk dapat dihitung apabila tunas tersebut sudah membuka dan membentuk daun. Lebar kanopi diukur lebar tajuk pada 2 arah secara tegak lurus lalu dihitung nilai rataannya. Diameter batang diukur pada pangkal batang sekitar 3 cm dari permukaan media. Luas daun dihitung dengan mengukur panjang dan lebar seluruh daun, lalu hasil pengukuran dimasukkan ke persamaan: Y=10.09X1 + 3.07X2 - 51.87 dan R2 = 0.98, di mana Y = luas daun (cm2), X1 = lebar daun (cm) dan X2 = panjang daun (cm). 2.
Bobot kering tanaman diperoleh melalui penimbangan bobot kering (akar, batang dan daun) pada akhir penelitian. Berangkasan tanaman dikeringkan di dalam oven pada suhu 80 oC selama 24 jam.
3.
Panjang akar primer diukur pada pin board yang berukuran 50 cm x 50 cm. Panjang akar primer diukur mulai dari pangkal akar yang menempel pada batang hingga ujung akar primer.
77
4.
Volume akar diukur dengan Metode Archimedes.
Caranya adalah akar
dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air, dimana air yang tumpah akibat tekanan akar diukur sebagai volume akar. 5.
Laju fotosintesis dan daya hantar stomata diukur secara bersamaan dengan menggunakan alat LI-COR 6400.
Daun yang dijadikan sebagai sampel
pengamatan adalah daun dewasa pada posisi sub terminal. 6.
Potensial air jaringan tanaman diukur menggunakan Metode Ruang Tekan (Kaufman 1968; Hamim 2007; Taiz & Zeiger 2012).
Potensial jaringan
batang dan daun dilakukan pada siang hari (sekitar pukul 10.00-12.00), pada saat suhu udara harian tertinggi dan kelembaban udara terendah. Pengukuran potensial air jaringan akar dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 06.00. Prosedur pengukuran potensial air jaringan disajikan pada Lampiran 1. 7.
Kandungan prolin daun dianalisis menggunakan metode yang dikembangkan Bates et al. (1973).
Prosedur analisis kandungan prolin disajikan pada
Lampiran 2. 8.
Kandungan klorofil dianalisis menggunakan metode yang dikembangkan Sims & Gamon (2002), yang menggunakan contoh daun yang berasal dari daun sub terminal. Prosedur analisis kandungan klorofil disajikan pada Lampiran 3.
9.
Kadar air media dihitung dengan Metode Gravimetrik (Abdurachman et al. 2006). Pengukuran dilakukan pada saat kapasitas lapang, hari ke-2, 4, 6 dan 8 hari setelah kapasitas lapang. Prosedur pengukuran kadar air disajikan pada Lampiran 4.
10. Pengamatan stomata dilakukan menggunakan mikroskop binokuler Bieco. Caranya adalah permukaan atas dan bawah daun dikuteks, lalu dibiarkan selama 5 menit. Bekas kuteks ditempel dengan lakbam bening, lalu dicabut kemudian ditempel pada preparat dan diamati pada mikroskop, mulai pembesaran kecil sampai besar. Kerapatan stomata dihitung dengan membagi jumlah stomata dengan luas bidang pandang (Lestari 2006). 11. Pengamatan terhadap pertumbuhan tunas dilakukan pada tunas yang tumbuh pada pucuk apikal. Contoh tunas yang terpilih diberi tanda untuk diamati pertumbuhannya. Pertumbuhan tunas dibedakan menjadi 4 stadia (trubus
78
awal, trubus penuh, trubus dewasa dan dormansi) dengan kriteria perubahan warna daun mengacu pada Rai (2004), seperti pada Gambar 2. 12. Laju transpirasi, dihitung dengan mengukur banyaknya air yang menguap dari daun per satuan luas daun per satuan waktu, menggunakan metode gravimetrik, dengan menggunakan data penimbangan bobot polybag, luas daun pada pukul 10.00 dan 12.00.
Laju transpirasi dihitung dengan
persamaan: T = (W0 - W1)/[(t1-t0) x LD], di mana LD adalah luas daun, W0 = berat pot dan tanaman saat awal, W1 = berat pot dan tanaman saat akhir, t1 dan t0 adalah waktu pengamatan awal dan akhir. 13. Panjang akar tampak diamati selama 8 bulan setelah tanam (BST). Akar tanaman diamati pada sisi kotak kaca (rizotron) dengan cara menggambar pola pertumbuhan akar baru setiap dua minggu dengan memblat pada plastik transparan, dengan warna yang berbeda setiap pengamatan. Pola yang sudah diblat pada plastik transparan, lalu diukur panjangnya dengan curvimeter.
Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam, apabila perlakuan berpengaruh nyata berdasarkan uji F, maka dilakukan uji lanjutan untuk membandingkan nilai rataan antar perlakuan dengan menggunakan uji jarak berganda Duncan.
Hasil dan Pembahasan Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, diperoleh hasil seperti pada rangkuman hasil sidik ragam pada Lampiran 8. Faktor porositas media berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah daun (5-11 BSP), lebar kanopi, diameter batang (1-6 BSP), luas daun, bobot kering (akar, tajuk, dan total tanaman), panjang akar primer, kandungan klorofil (a,b dan total), kandungan prolin, potensial jaringan air (akar, batang dan daun), laju fotosintesis, laju transpirasi, daya hantar stomata, perkembangan trubus (awal, penuh, dan dewasa), periode trubus dan dormansi serta siklus trubus.
79
Faktor interval penyiraman air berpengaruh terhadap tinggi tanaman (3-11 BSP), lebar kanopi (1-2 BSP), jumlah daun, diameter batang (1-5 BSP), luas daun, bobot kering (akar, tajuk dan total), panjang akar primer, volume akar, potensial air (akar, batang dan daun), laju fotosintesis, laju transpirasi, daya hantar stomata, perkembangan trubus (awal, penuh, dan dewasa), periode trubus dan dormansi serta siklus trubus. Faktor porositas media dan interval penyiraman air memberikan pengaruh interaksi terhadap tinggi tanaman (3-11 BSP), jumlah daun (3-11 BSP), luas daun, bobot kering (akar, tajuk, dan total), panjang akar primer, rasio tajuk/akar, kandungan prolin daun, potensial air (akar, batang dan daun), laju fotosintesis, laju transpirasi, daya hantar stomata, trubus awal, trubus penuh dan siklus trubus. Perubahan Status Air Media Untuk mengetahui status air media pada berbagai interval penyiraman maka dilakukan pengamatan kadar air pada empat porositas media yang disajikan pada Gambar 10. Pada porositas media 51-55%, kadar air saat kapasitas lapang adalah 53.42%, lalu kadar air hari ke- 2, 4, 6 dan 8 hari adalah 46.59%, 38.32%, 24.61% dan 21.93%. Porositas media 56-60% memiliki kadar air saat kapasitas lapang adalah 50.89%, lalu kadar air pada hari ke- 2, 4 ,6 dan 8 hari adalah 34.06%, 33.70%, 27.07% dan 22.25%. Porositas media 61-65%, memiliki kadar air saat kapasitas lapang adalah 58.96%, lalu kadar air pada hari ke- 2, 4, 6 dan 8 hari adalah 54.88%, 46.05%, 33.84% dan 30.02%.
Porositas media 66-70%
memiliki kadar air saat kapasitas lapang adalah 56.44%, lalu kadar air pada hari ke- 2, 4, 6 dan 8 hari adalah 48.01%, 45.20%, 26.98% dan 19.59%. Berdasarkan data pengukuran kadar air media tersebut, maka nampak bahwa porositas media 61-65%, memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan porositas lainnya, baik saat kapasitas lapang maupun pada semua waktu pengamatan. Nampak pula adanya penurunan kadar air media sampai hari ke-8, namun penurunan paling kecil diperoleh pada porositas media 61-65%. penggunaan
PPA
pada
porositas
media
Hal ini menunjukkan bahwa 61-65%
sangat
baik
dalam
mempertahankan kandungan air media sehingga mendukung peningkatan pertumbuhan tajuk dan akar.
80
Kadar air (%)
60
45
30 51-55 61-65
56-60 66-70
15 0
2
Hari ke-
4
6
8
Gambar 10 Penurunan kadar air pada berbagai porositas media sampai 8 hari setelah penyiraman
Komponen Pertumbuhan Tanaman Perkembangan trubus Hasil pengamatan menunjukkan terdapat perbedaan lamanya periode trubus, periode dormansi dan siklus trubus pada perlakuan porositas media dan interval penyiraman (Tabel 17). Bibit manggis yang ditanam pada media dengan porositas 51-55% memiliki siklus trubus yang paling panjang yaitu 113 hari. Panjangnya siklus trubus pada porositas 51-55% disebabkan panjangnya periode trubus atau periode pertumbuhan aktif dan periode dormansi.
Berdasarkan
beberapa laporan diketahui bahwa lama periode dormansi turut mempengaruhi lambatnya pertumbuhan tanaman manggis. Berdasarkan hasil penelitian Hidayat (2005), bahwa semakin tua umur tanaman maka semakin panjang periode dormansi dan terbukti saat umur 2 tahun, periode dormansinya hanya sekitar 38 hari, tetapi setelah umur 4 tahun, meningkat menjadi dua kali lipat yaitu 84 hari, dan setelah umur 4 tahun, menjadi lebih lama yaitu 132 hari. Menurut Lang (1994); Wiebel (1992b), dormansi mata tunas disebabkan rendahnya translokasi beberapa senyawa penting ke tajuk seperti unsur hara mineral dan zat pengatur tumbuh yang memacu pertumbuhan seperti sitokinin dan giberelin.
81
Bibit manggis yang ditanam pada porositas 61-65% mempunyai siklus trubus yang paling pendek yaitu 103 hari. Dari hasil penelitian lain diketahui bahwa siklus trubus pada bibit manggis asal biji umur 2 tahun adalah sekitar 100 hari (Rai 2004) dan 99 hari (Hidayat 2002), yang berarti lamanya waktu yang dibutuhkan menyelesaikan siklus trubus sampai pembentukan trubus berikutnya ternyata hampir sama dengan hasil penelitian ini (pada porositas media 61-65%). Peningkatan porositas menjadi 66-70% menghasilkan siklus trubus yang lebih panjang dibanding porositas 61-65%, artinya kondisi aerasi yang optimal untuk pertumbuhan trubus tercapai pada kisaran porositas media 61-65%.
Hal ini
membuktikan bahwa perbaikan aerasi media melalui peningkatan porositas sampai 61-65% secara nyata memberikan kondisi yang optimum untuk pertumbuhan tunas sehingga tanaman dapat menyelesaikan siklus trubus dalam waktu yang relatif pendek dibanding pada media dengan kondisi aerasi yang buruk seperti pada porositas 51-55% ataupun pada porositas yang sangat tinggi (66-70%). Dengan demikian apabila dihubungkan dengan peubah pertumbuhan akar, nampak bahwa peningkatan porositas sampai 61-65%, juga mampu meningkatkan biomassa akar, volume akar dan panjang akar primer, sehingga memungkinkan air bisa diserap dan ditranslokasikan secara optimal ke jaringan daun (diukur dari nilai potensial air daun), yang akhirnya berdampak terhadap peningkatan aktivitas fisiologis seperti laju fotosintesis, daya hantar stomata dan transpirasi. Peningkatan ketersediaan air media dengan cara pengaturan interval penyiraman menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tunas. Penyiraman yang intensif melalui penyiraman 2 hari sekali, ternyata tidak berpengaruh positif terhadap pertumbuhan trubus bahkan cenderung mendorong siklus trubus menjadi lebih panjang (sekitar 112 hari).
Hal ini menunjukan
penyiraman yang terlalu sering menyebabkan kelembaban tanah yang tinggi yang bisa menurunkan kandungan oksigen sehingga membatasi fungsi akar dan sekaligus menurunkan pertumbuhan dan perkembangan akar. Terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan akar akan mengurangi laju serapan air dan unsur hara sehingga mempengaruhi aktivitas pembelahan sel pada meristem pucuk (Gardner et al. 1991).
82
Tabel 17 Rata-rata lama periode trubus, periode dormansi dan siklus trubus pada berbagai porositas media dan interval penyiraman Perlakuan
Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70 Interval penyiraman (hari): 2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
Trubus awal
Stadia/periode pertumbuhan tunas (hari) Trubus Trubus Periode Periode penuh dewasa dormansi trubus*
Siklus trubus**
14.17a 13.58b 13.17c 14.04
13.33a 12.92b 11.96c 13.21a
19.08a 17.38c 16.42d 18.17b
67.08a 63.88b 61.67c 64.21b
46.58a 43.88c 41.54d 45.42b
113.67a 107.75c 103.21d 109.63b
14.25a 13.67c 13.08d 13.96b
13.54a 13.08b 11.75c 13.04b
18.96a 17.83b 16.13c 18.13b
65.96a 64.50b 62.54c 63.83b
46.75a 44.58b 40.96c 45.13b
112.71a 109.08b 103.50c 108.96b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% * Periode trubus = trubus awal + trubus penuh + trubus dewasa **Siklus trubus = periode trubus + periode dormansi
Perlakuan penyiraman interval 6 hari + PPA nampak menghasilkan siklus trubus yang paling pendek dibandingkan perlakuan lainnya.
Hal ini disebabkan
penyiraman 6 hari + PPA mampu memberikan ketersediaan air sesuai karakteristik perakaran tanaman karena adanya dukungan polimer penyimpan air (PPA) yang ditambahkan ke dalam media tumbuh. Penyiraman dengan interval 6 hari + PPA sangat baik karena air yang diberikan dapat dimanfakan secara bertahap oleh akar dan selain itu media juga menjadi tidak terlalu lembab akibat rentang waktu penyiraman yang cukup panjang (6 hari sekali). Hal ini sesuai yang dikemukakan Lakitan (2002) bahwa penyerapan air oleh akar antara lain dipengaruhi oleh ketersediaan air, sistem perakaran dan sirkulasi udara serta konsentrasi larutan dalam tanah/media.
Menurut Erez (2000), di daerah tropis,
trubus biasanya terjadi pada musim hujan dan dormansi pada musim kemarau. Namun pada musim kemarau, bisa terjadi trubus jika kandungan air cukup tersedia atau dengan cara mencegah dormansi dengan cara pengaturan lengas tanah/media melalui pengeringan diikuti pengairan, perompesan dan aplikasi senyawa pemecah dormansi seperti giberelin dan sitokinin.
83
Pengaturan ketersediaan air dengan cara penyiraman setiap 6 hari sekali + PPA juga meningkatkan aktivitas fisiologi (potensial air jaringan, laju fotosintesis, daya hantar stomata dan transpirasi) yang kemudian meningkatkan aktivitas fotosintesis dan translokasi fotosintat. Alokasi fotosintat yang cukup ke jaringan tajuk akan menstimulir pembelahan pada meristem pucuk sehingga memecah dormansi dan merangsang terbentuknya tunas baru. Menurut Weaver (1972), pertumbuhan pucuk diawali oleh pembelahan sel-sel meristem pada titik tumbuh, dimana semakin cepat proses pembelahan sel terjadi maka semakin cepat pula pertumbuhan sehingga semakin cepat terbentuk trubus. Pertumbuhan tajuk Pertumbuhan tajuk diukur dari pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, lebar kanopi dan luas daun serta biomassa. Pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun disajikan pada Gambar 13, 14 dan 15. Terdapat pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman terhadap pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun (Tabel 18). Pada semua tingkatan porositas nampak bahwa penyiraman 6 hari + PPA menghasilkan pengaruh terbaik terhadap pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun, kecuali terhadap pertambahan luas pada porositas 56-60%, dimana yang tertinggi pada penyiraman 8 hari sekali + PPA. Pada porositas 5155%, interval penyiraman 6 hari + PPA menghasilkan pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan interval penyiraman lainnya. Pada porositas 56-60%, interval penyiraman 6 hari + PPA berbeda nyata dengan penyiraman 2 hari dan 4 hari + PPA terhadap pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun serta dengan penyiraman 2 dan 8 hari terhadap luas daun. Pada porositas 61-65%, interval penyiraman 6 hari + PPA berbeda nyata dengan semua interval penyiraman terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun, kecuali terhadap pertambahan luas daun yang hanya berbeda nyata dengan penyiraman 2 hari. Pada porositas 66-70%, interval penyiraman 6 + PPA hari juga berbeda nyata dengan penyiraman 2 hari dan 8 hari + PPA terhadap pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun. Pada porositas media 61-65%, interval penyiraman 6 hari + PPA menghasilkan pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun yang tertinggi dan
84
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Porositas 66-70% menghasilkan pertambahan luas daun yang tertinggi tetapi tidak berbeda nyata dengan porositas 61-65%, artinya porositas 61-65% juga masih memberikan pengaruh terbaik dan nyata terhadap pertambahan luas daun. Pertumbuhan yang terbaik pada porositas 61-65% dengan interval penyiraman 6 hari + PPA didukung pula oleh hasil pengamatan kadar air media pada Gambar 10.
Hal ini menunjukkan bahwa
interval
porositas
penyiraman
6
hari
+
PPA
pada
61-65%
mampu
mempertahankan ketersediaan air yang lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Hal ini sejalan pula dengan hasil pengamatan potensial air jaringan pada Tabel 26, dimana interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 61-65% ternyata menghasilkan gradien potensial air jaringan daun (ψdaun) dan potensial jaringan akar (ψakar) yang tertinggi yaitu 0.58 MPa. Menurut Taiz & Zeiger (2012), gradien potensial air merupakan tenaga pendorong pergerakan air dari satu tempat ke tempat lainnya, dimana air bergerak dari potensial air tinggi ke rendah. Dengan demikian maka air akan mudah mengalir dan bergerak secara vertikal dari akar sampai ke daun melalui pembuluh xylem. Mengalirnya air secara optimal sampai ke jaringan daun akan mendorong berbagai aktivitas metabolisme tanaman yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Pada Tabel 18 nampak adanya hambatan pertumbuhan tajuk pada porositas 51-55%.
Hal ini diduga tanaman mengalami cekaman kekeringan
utamanya pada interval penyiraman 8 hari + PPA dan hal ini didukung oleh hasil analisis kandungan prolin daun pada Tabel 25, dimana pada perlakuan tersebut terlihat kandungan prolin yang tertinggi yaitu 4.66 µmol/g berat basah. Berdasarkan beberapa laporan diketahui tingginya kandungan asam amino prolin merupakan indikator tanaman mengalami cekaman kekeringan (Husni 2006, Riduan 2010). Pada kondisi cekaman kekeringan pertumbuhan tajuk tanaman lebih terhambat dibanding pertumbuhan akar (Wu & Cosgrove 2000). Hal ini sesuai hasil penelitian Sharp et al. (2004), bahwa pertumbuhan tunas sudah sangat terhambat, bahkan tidak dapat terbentuk koleoptil, saat potensial air mencapai -0.5 MPa, sedangkan pertumbuhan akar jagung masih dapat berlangsung, walaupun potensial air mencapai -1.5 MPa.
85
Tabel 18 Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun selama 1 tahun
Tinggi tanaman (cm) 9.38 e 9.78 e 12.12 cde 10.67 de
Pertambahan Jumlah daun (helai) 4.00 e 4.50 de 5.33 bcde 4.17 e
Luas daun (cm2) 314.55 d 397.11 cd 403.89 cd 331.96 d
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
9.60 e 9.76 e 13.24 cd 13.95 bc
4.67 de 4.83 de 6.67 bc 4.67 de
325.17d 432.04 bcd 572.79 ab 582.24 a
61-65
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
9.45 e 13.90 bc 19.27 a 14.08 bc
4.67 de 6.00 bcd 9.33 a 4.67 de
317.27 d 559.90 ab 610.00 a 519.90 abc
66-70
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
10.02 e 13.67 bcd 16.36 b 13.21 cd
4.67 de 6.67 bc 7.00 b 5.00 cde
347.10 d 542.86 abc 610.11 a 410.12 cd
Porositas media (%) 51-55
Interval penyiraman (hari) 2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
56-60
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Pengaruh interval penyiraman terhadap pertambahan tinggi tanaman, dan jumlah daun menunjukkan adanya kesamaan, yaitu peningkatan interval penyiraman sampai 6 hari secara nyata meningkatkan pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun. Namun mulai terjadi penurunan pertambahan tinggi dan jumlah daun apabila interval penyiraman ditingkatkan lagi menjadi 8 hari sekali seperti yang nampak pada Gambar 11 dan 12.
Pola tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan PPA dalam mempertahankan ketersediaan air media adalah maksimal sampai 6 hari dan ini terlihat dari meningkatnya pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun sampai interval penyiraman 6 hari.
Namun
peningkatan interval menjadi 8 hari sekali menyebabkan PPA tidak lagi mampu menyediakan air yang cukup, bahkan menimbulkan terjadinya stres air yang ditandai dari penurunan pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun.
86
Hal ini sesuai yang dikemukakan Kramer (1983), cekaman kekeringan pada fase vegetatif menyebabkan penurunan luas daun dan terhambatnya pertumbuhan tunas baru. Alberte et al. (1977) juga mengemukakan bahwa stres air yang terjadi pada fase vegetatif menyebabkan penurunan luas daun, laju fotosintesis dan potensial air daun serta terhambatnya pembentukan klorofil. Faktor tunggal porositas media memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan lebar kanopi dan diameter batang seperti nampak pada Tabel 19. Porositas media 56-60% menghasilkan pertumbuhan lebar kanopi yang terbaik dibanding perlakuan lainnya. Pertambahan lebar kanopi pada perlakuan porositas 56-60% adalah sebesar 11.53 cm dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Porositas media 61-65% menghasilkan pertumbuhan diameter batang yang tertinggi dan pertambahan diameter batang pada perlakuan tersebut adalah 3.49 mm dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Faktor tunggal interval penyiraman tidak memberikan pengaruh nyata terhadap lebar kanopi tetapi hanya mempengaruhi pertumbuhan diameter batang pada 3 BSP dan terhadap pertambahan diameter batang. Perlakuan penyiraman air 6 hari sekali + PPA menghasilkan pertumbuhan diameter yang tertinggi atau terdapat peningkatan pertumbuhan diameter batang sebesar 3.28 mm, lalu diikuti penyiraman 8 hari + PPA (2.91 mm), penyiraman 4 hari + PPA (2.89 mm) dan
Pertambahan tinggi tanaman (cm)
penyiraman 2 hari tanpa aplikasi PPA (2.72 mm). 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
a b
b
c
2
4 6 Interval penyiraman (hari)
8
Gambar 11 Pertambahan tinggi tanaman pada berbagai interval penyiraman selama 1 tahun. Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman
Pertambahan jumlah daun (helai)
87
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
a b
c
c
2
4
6
8
Interval penyiraman (hari)
Gambar 12 Pertambahan jumlah daun pada berbagai interval penyiraman selama 1 tahun. Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman Tabel 19 Pengaruh porositas media dan interval penyiraman air terhadap lebar kanopi dan diameter batang Perlakuan Porositas media (%) 51-55 56-60 61-65 66-70 Interval penyiraman 2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA Porositas media (%) 51-55 56-60 61-65 66-70 Interval penyiraman 2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
Bulan setelah pengamatan (BSP) Pertambahan (0-11 BSP) 3 5 7 9 11 ……………….. Rataan lebar kanopi (cm) ………………. 29.19b 30.47b 28.89b 33.92a
31.31b 32.98b 31.30b 37.52a
34.04b 35.15b 33.30b 40.15a
35.86b 37.25b 35.62b 41.65a
37.53b 38.96b 37.51b 43.61a
10.26b 11.53b 11.11b 14.83a
29.57 30.67 30.20 32.03
31.95 33.69 33.50 33.97
34.15 35.95 36.05 36.49
36.00 38.14 38.12 38.11
37.47 39.77 40.29 40.08
10.82 13.16 13.27 10.48
……………….. Rataan diameter batang (mm) …………… 5.14a 5.75a 6.19 6.41 6.58 2.35c 4.41c 5.19b 6.04 6.38 6.90 3.17ab 4.41d 4.96c 5.94 6.52 7.01 3.49a 4.75b 5.59a 6.18 6.49 6.77 2.80b
4.36c 4.51bc 4.65b 4.93a
5.01b 5.40a 5.46a 5.61a
6.15 5.99 6.08 6.12
6.47 6.30 6.55 6.48
6.66 6.68 6.99 6.92
2.72b 2.89ab 3.28a 2.91ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
88 Porositas 51-55%
Porositas 56-60% 35 Tinggi tanaman (cm)
Tinggi tanaman (cm)
30
25
20
15
30 25 20 15
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0
1
2
Bulan setelah perlakuan (BSP)
3
5
6
7
8
9
10
11
Bulan setelah perlakuan (BSP)
Porositas 66-70%
Porositas 61-65% 35 Tinggi tnaman (cm)
35 Tinggi tanaman (cm)
4
30 25 20
30 25 20 15
15
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Bulan setelah perlakuan (BSP)
9
10
11
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11
Bulan setelah perlakuan (BSP) A0
A1
A2
A3
Gambar 13 Pertumbuhan tinggi tanaman pada berbagai porosita media dan interval penyiraman (A0= 2 hari, A1= 4 hari + PPA, A2 = 6 hari + PPA dan A3 = 8 hari + PPA). Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman 88
89
Porositas 51-55%
Porositas 56-60% 17 Jumlah daun (helai)
Jumlah daun (helai)
16 14 12 10
14 11 8
8 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0
11
1
2
Bulan setelah perlakuan (BSP)
Jumlah daun (helai)
Jumlah daun (helai)
17 14 11 8 3
4
5
6
6
7
8
9
10
11
9
10
11
17 14 11 8 0
2
5
Porositas 66-70%
20
1
4
Bulan setelah perlakuan (BSP)
Porositas 61-65%
0
3
7
8
Bulan setelah perlakuan (BSP)
9
10
1
2
11
3
4
5
6
7
8
Bulan setelah perlakuan (BSP) A0
A1
A2
A3
Gambar 14 Pertumbuhan jumlah daun pada berbagai porosita media dan interval penyiraman (A0= 2 hari, A1= 4 hari + PPA, A2 = 6 hari + PPA dan A3 = 8 hari + PPA). Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman
90
1300 1100 900 700 0
1
2
3
4
5
6
Porositas 56-60%
1700 Luas daun (cm2)
Luas daun (cm2)
Porositas 51-55%
7
8
9
10
1500 1300 1100 900 700
11
0
1
2
Bulan setelah perlakuan (BSP)
1300 1100 900
3
4
5
6
7
8
Bulan setelah perlakuan (BSP)
6
7
8
9
10 11
1300 1100 900 700 0
700 2
5
Porositas 66-70%
1500 Luas daun (cm2)
Luas daun (cm2)
Porositas 61-65%
1
4
Bulan setelah perlakuan (BSP)
1500
0
3
9
10
11
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Bulan setelah perlakuan (BSP) A0
A1
A2
A3
Gambar 15 Pertumbuhan luas daun pada berbagai porositas media dan interval penyiraman (A0= 2 hari, A1= 4 hari + PPA, A2 = 6 hari + PPA dan A3 = 8 hari + PPA). Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman
90
91
Pertumbuhan akar Pertumbuhan akar diukur meliputi panjang akar primer dan volume akar serta panjang akar tampak pada penanaman di kotak kaca.
Pada Tabel 20,
nampak adanya pengaruh interaksi antara porositas media dengan interval penyiraman terhadap panjang akar primer. Interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 51-55%, 61-65% dan 66-70% menghasilkan panjang akar primer tertinggi. Interval penyiraman 8 hari + PPA pada porositas media 56-60%, menghasilkan panjang akar tertinggi, tetapi tidak berbeda nyata dengan interval penyiraman 6 hari + PPA. Nampak bahwa pada hampir semua tingkatan porositas media, interval penyiraman 6 hari + PPA menghasilkan panjang akar primer tertinggi. Hal ini menunjukkan penyiraman 6 hari + PPA pada media tumbuh yang porous mendorong pemanjangan akar tanaman. Hal ini juga terlihat pada Gambar 16, dimana pada porositas 61-65% mempunyai akar lateral lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa media yang porous mendorong perkembangan akar lebih baik. Hasil pengamatan tersebut sejalan dengan peubah pertumbuhan tajuk yang juga menunjukkan bahwa interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 61-65% mampu menghasilkan pertumbuhan tertinggi. Hal ini karena pada media tersebut PPA menjamin ketersediaan air dan udara yang cukup sehingga aktivitas fisiologis seperti fotosintesis dan respirasi berlangsung optimal. Hal ini sesuai yang dikemukakan Dresboll & Kristensen (2011), bahwa akar dapat tumbuh dan berkembang secara baik pada media porous karena distribusi air dan O2 berlangsung optimal. Demikian pula menurut Gruda & Schnitzler (2004), bahwa ketersediaan O2 di dalam media tumbuh sangat esensial untuk respirasi dan pertumbuhan akar. Keberadaan O2 di dalam media tumbuh dipengaruhi oleh kadar air media dan sifat fisik media seperti distribusi ukuran pori, jaringan arsitektur pori dan tingkat pemadatan media. Hasil penelitian Rofik & Murniati (2008), juga menunjukkan bahwa penggunaan media porous dari media arang sekam menghasilkan respon pertumbuhan panjang akar tertinggi pada benih aren dibandingkan media lainnya karena banyaknya ruang pori yang memungkinkan akar dapat tumbuh dan berkembang secara baik.
92
Tabel 20 Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap panjang akar primer pada 11 BSP Porositas media (%) 51-55
Interval penyiraman air (hari) 2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
Panjang akar primer (cm) 13.00 h 14.67 h 25.38 cde 23.93 defg
56-60
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
14.33 h 22.17 efg 21.82 efg 25.17 cdef
61-65
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
22.20 efg 20.82 g 37.19 a 26.07 cd
66-70
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
12.33 h 21.65 fg 29.48 b 28.15b c
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
66-70% 61-65%
51-55% 56-60%
Gambar 16 Perakaran tanaman pada interval penyiraman 6 hari + PPA dengan berbagai porositas media
93
Tabel 21 menunjukkan tidak terdapat pengaruh interaksi antara perlakuan porositas media dengan interval penyiraman terhadap volume akar.
Namun
interval penyiraman setiap 6 hari + PPA berbeda nyata dengan interval penyiraman 2 hari dan menghasilkan volume akar yang tertinggi dibanding perlakuan penyiraman lainnya. Hal ini disebabkan dengan interval penyiraman 6 hari + PPA menciptakan medium tumbuh yang baik (terdapat keseimbangan fraksi udara dan air) sehingga aerasi dan drainase yang memungkinkan akar dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal. Sejalan dengan Palupi & Dedywiryanto (2008) bahwa semakin besar volume akar bibit kelapa sawit maka semakin banyak akar kuarter dan menurut Turner &
Gilbanks (1974), akar
kuarter berfungsi menyerap unsur hara dan air sehingga dengan volume akar yang besar meningkatkan serapan air dan unsur hara. Tabel 21 Pengaruh porositas media dan interval penyiraman terhadap volume akar pada 11 BSP Perlakuan
Volume akar (ml)
Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70 Interval penyiraman air (hari) 2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
7.92 9.08 9.42 9.17 7.25 b 8.58 ab 10.42 a 9.33 ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Panjang akar tampak pada wadah kotak kaca disajikan pada Gambar 17 dan 18. Porositas media 61-65% menghasilkan panjang akar tampak tertinggi, disusul porositas 56-60%, 66-70%, dan 51-55% (Gambar 17).
Hal ini
menunjukkan bahwa media yang porous memberikan medium yang kondusif bagi pertumbuhan akar dan nampak jelas apabila dibandingkan dengan porositas 5155% yang menghasilkan pertumbuhan akar yang lebih rendah. Panjang akar tampak pada berbagai interval penyiraman disajikan pada Gambar 18, menunjukkan interval penyiraman 6 hari + PPA menghasilkan panjang akar tampak tertinggi. Hal ini diduga dengan interval penyiraman 6 hari
94
+ PPA mampu mempertahankan kandungan air media sehingga menjamin ketersediaan air. Namun pada interval penyiraman 8 hari + PPA, PPA tidak mampu lagi mempertahankan kandungan air media sehingga ketersediaan air tanaman mengalami penurunan.
Penurunan kandungan air tanah akan
menurunkan potensial air jaringan karena rendahnya pasokan air yang masuk ke jaringan tanaman, termasuk pasokan air ke dalam sel jaga juga menurun yang merangsang stomata menutup. Penutupan stomata akan menurunkan kandungan CO2 dan serapan air juga menurun akibat menurunnya laju transpirasi. Hal ini berdampak menurunnya laju pertumbuhan tanaman termasuk pemanjangan akar. Pertumbuhan akar yang lambat pada interval penyiraman 8 hari + PPA hampir sama dengan interval penyiraman 2 hari. Hanya kondisinya berbeda, dimana pada penyiraman 8 hari sekali terjadinya cekaman kekeringan tetapi pada penyiraman 2 hari justeru terjadi hambatan pertumbuhan karena kandungan air media terlalu tinggi sehingga akar menjadi jenuh air.
Media yang jenuh air
menyebabkan difusi CO2 dan O2 terhambat sehingga respirasi menurun yang akhirnya berdampak pada terhambatnya pertumbuhan akar. 40.00 35.88
Panjang akar tampak (cm)
35.00
31.19
30.00 25.00 20.00 15.00
16.44 11.94
10.00 5.00 0.00 51-55
56-60
61-65
66-70
po ro s itas m e dia
Gambar 17 Panjang akar tampak pada berbagai porositas media pada wadah rizotron selama 8 BST. Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman
95
40.00
36.98
Panjang akar tampak (cm)
35.00 30.00
27.88
25.00 19.20
20.00 15.00
11.80
10.00 5.00 0.00 2
4
6
8
Interval penyiraman
Gambar 18 Panjang akar tampak pada berbagai interval penyiraman air pada wadah rizotron selama 8 BST. Nilai pengamatan merupakan ratarata ± standard error dari 6 tanaman Bobot biomassa Tanaman yang mampu mengkonversi energi sinar matahari dan mengakumulasikannya dengan cepat akan memiliki bobot biomassa tinggi sehingga peubah ini sering digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan tanaman (Sitompul & Guritno 1995).
Pada Tabel 22 terlihat bahwa porositas
media dan interval penyiraman memberikan pengaruh interaksi terhadap bobot kering akar, tajuk dan total. Perlakuan interval penyiraman 6 hari + PPA mampu menghasilkan bobot kering akar tertinggi pada semua tingkatan porositas media kecuali pada porositas 55-60%, dimana bobot kering akar tertinggi pada perlakuan interval penyiraman 8 hari + PPA, sedangkan bobot kering akar terendah diperoleh pada porositas media 51-55% dengan penyiraman 2 hari sekali yaitu 2.77 g/tanaman. Hal ini sejalan dengan peubah bobot kering tajuk yang juga rendah pada perlakuan yang sama. Hal ini disebabkan penyiraman yang intensif
pada media yang porositasnya
rendah menyebabkan terjadinya penggenangan pada permukaan atas media sampai lapisan tertentu yang dapat dijangkau oleh air sehingga terjadi defisensi O2
96
akibatnya fungsi akar menjadi tidak optimal (Morard & Silvestre 1996, Herrera et al. 2008). Interval penyiraman 6 hari + PPA menghasilkan bobot kering tajuk dan bobot kering total yang tertinggi pada porositas media 51-55%, 61-65% dan 6670%. Namun apabila dibandingkan dengan semua tingkatan porositas nampak bahwa penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 66-70% menghasilkan bobot kering tajuk dan total tertinggi yaitu masing-masing 28.84 g dan 36.16 g per tanaman. Apabila penyiraman ditingkatkan lagi menjadi 8 hari pada porositas yang sama, maka bobot kering (tajuk dan total) akan mengalami penurunan masing-masing 17.19 g dan 23.35 g per tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa bobot kering tajuk dan total meningkat sejalan dengan peningkatan porositas media, sedangkan pada perlakuan interval penyiraman, bobot kering tajuk dan total hanya meningkat sampai penyiraman 6 hari dan setelah itu mulai menurun. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan porositas menyebabkan peningkatan aerasi sehingga menciptakan medium yang baik untuk pertumbuhan bobot kering. Hal ini berbeda dengan faktor penyiraman, dimana peningkatan bobot kering (tajuk dan total) maksimal sampai penyiraman 6 hari karena ketersediaan air yang cukup hanya mampu dipertahankan oleh PPA sampai batas 6 hari. Peningkatan interval penyiraman menjadi 8 hari menyebabkan PPA tidak mampu lagi mempertahankan ketersediaan air yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas 66-70% menghasilkan bobot kering (tajuk dan total) yang terbaik diduga berkaitan dengan kondisi aerasi yang semakin baik dan ketersediaan air. Pada kondisi aerasi yang baik maka kandungan O2
meningkat dan hal ini menyebabkan laju respirasi akar turut
meningkat (Bartholomeus et al. 2008).
Respirasi merupakan proses oksidasi
bahan organik yang terjadi di dalam sel, berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Melalui proses respirasi aerobik diperlukan oksigen dan dihasilkan sejumlah energi yang selanjutnya digunakan untuk mendukung berbagai aktivitas metabolisme (Taiz & Zeiger 2012). Dalam hal ini ketersediaan air media dipengaruhi oleh adanya PPA yang membantu meningkatkan kapasitas menyimpan air pada media porous sehingga
97
penyiraman bisa dipertahankan sampai penyiraman 6 hari berikutnya. Hal ini sesuai laporan Fernandez et al. (2001) bahwa aplikasi polimer sintetik Guilspare dapat meningkatkan kapasitas menyimpan air (water holding capacity) dan mengurangi kehilangan air yang terjadi melalui evaporasi.
Demikian pula
menurut Caballero et al. (2009), bahwa media tumbuh dari kompos limbah anggur dan kompos (gambut sphagnum dan limbah jamur) dengan porositas masingmasing 78% dan 82%, menghasilkan bobot kering tanaman yang lebih tinggi dibanding media sabuk kelapa dan media gambut yang porositasnya masingmasing 95% dan 93% pada tanaman Gerbera jamesonii di dalam pot. Tabel 22 Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap bobot kering akar, tajuk dan total pada 11 BSP Porositas media (%) 51-55
Interval penyiraman (hari) 2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
Akar (g) 2.77 i 4.83 fgh 5.28 efgh 4.04 ghi
Bobot kering Tajuk (g) 10.73 i 13.22 fghi 18.67 def 13.38 fghi
Total (g) 13.50 i 18.05 fghi 23.95 def 17.43 ghi
56-60
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
3.92 hi 6.22 bcdef 6.63 abcde 7.94 a
11.80 hi 12.39 ghi 20.76 cde 26.43 ab
15.72 hi 18.62 fghi 27.39 cde 34.37 ab
61-65
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
5.44 defg 6.33 bcdef 7.27 abc 6.99 abcd
15.27 efghi 21.67 bcd 25.33 abc 22.10 bcd
20.72 fgh 28.00 cde 32.60 abc 29.09 bcd
66-70
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
5.79 bcdef 5.73 cdef 7.32 ab 6.16 bcdef
16.04 efghi 18.00 defg 28.84 a 17.19 defgh
21.82 efgh 23.73 def 36.16 a 23.35 defg
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
98
Perbandingan pertumbuhan tajuk dan akar Untuk mempelajari pola pembagian asimilat maka dilakukan pengamatan rasio tajuk/akar. Pada Tabel 23 terlihat adanya pengaruh interaksi antara porositas media dengan interval penyiraman terhadap rasio tajuk/akar pada 11 BSP. Penyiraman 2 hari pada porositas media 51-55% menghasilkan rasio tajuk/akar tertinggi. Hal ini diduga rendahnya nilai bobot kering akar (seperti nampak pada Tabel 22) menyebabkan tingginya rasio tajuk/akar. Rendahnya pertumbuhan akar pada perlakuan tersebut telah uraikan pada pembahasan sebelumnya, dimana pada porositas yang rendah, pertumbuhan akar menjadi terhambat karena terhambatnya respirasi akar sebagai akibat kurangnya kandungan oksigen pada ruang porositas yang rendah. Tabel 23 Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap rasio tajuk/akar pada 11 BSP Porositas media (%) 51-55
Interval penyiraman (hari) 2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
Rasio tajuk/akar
56-60
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
3.07 abcd 1.98 d 3.13 abc 3.40 abc
61-65
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
2.87 bcd 3.45 abc 3.49 abc 3.16 abc
66-70
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
2.76 cd 3.26 abc 3.97 ab 2.75 cd
4.12 a 2.79 cd 3.56 abc 3.26 abc
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
99
Komponen Fisiologis Tanaman Kandungan klorofil Tabel 24 menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara porositas media dengan interval penyiraman terhadap kandungan klorofil. Namun faktor tungal porositas media berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil, dimana porositas 61-65% menghasilkan kandungan klorofil a, b dan total tertinggi yaitu masing-masing 7.26; 3.07 dan 10.33 µmol/100 cm2. Hasil pengamatan klorofil sejalan dengan pengamatan pertumbuhan tajuk dan akar serta pengamatan potensial air jaringan, laju fotosintesis, daya hantar stomata dan transpirasi yang menunjukkan bahwa kondisi aerasi yang baik pada porositas 61-65% menghasilkan pengaruh yang tertinggi. Sedangkan terhadap peubah rasio klorofil a/b, perlakuan porositas 56-60% menghasilkan nilai tertinggi dan berbeda nyata dengan porositas 51-55%.
Dalam hubungannya dengan ketersediaan air,
walaupun terlihat tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan penyiraman namun ketersediaan air yang rendah dapat merusak perangkat kloroplas. Hal ini sesuai yang dikemukakan Levitt (1980) bahwa cekaman kekeringan akan merangsang tanaman menghasilkan oksigen reaktif yang dapat merusak perangkat kloroplas dan membran sehingga daun cepat mengalami klorosis dan senescense. Tabel 24 Kandungan klorofil (a, b, total) dan rasio klorofil a/b pada berbagai porositas media dan interval penyiraman air pada 11 BSP Perlakuan Porositas media (%) 51-55 56-60 61-65 66-70 Interval penyiraman air (hari) 2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
Klorofil a
Klorofil b
Klorofil total
Rasio klorofil a/b
.......................... µmol/100 cm2 …………..… 4.29 b 6.45 a 7.26 a 3.54 b
1.92 b 2.69 a 3.07 a 1.47 b
6.22 b 9.13 a 10.33 a 5.01 b
2.22 b 2.42 a 2.37 a 2.39 a
6.06 5.05 4.99 5.43
2.53 2.15 2.13 2.34
8.59 7.20 7.13 7.77
2.39 2.33 2.32 2.34
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
100
Kandungan prolin daun Pada Tabel 25 terlihat adanya pengaruh interaksi antara porositas media dengan interval penyiraman terhadap kandungan prolin daun pada 11 BSP. Hasil pengamatan menunjukkan adanya perbedaan kandungan prolin daun pada porositas 51-55% dengan interval penyiraman 8 hari + PPA dan porositas 61-65% dengan penyiraman 6 hari + PPA, yang masing-masing senilai 4.66 dan 2.49 µmol/g berat basah.
Kandungan prolin yang tinggi ini memberikan indikasi
terjadinya cekaman kekeringan pada media dengan porositas rendah (51-55%) disertai interval penyiraman yang relatif lama (8 hari sekali).
Hal ini
membuktikan bahwa interval pemberian air yang lama menyebabkan terjadinya defisit air pada media tumbuh. Hal ini sejalan dengan hasil pengukuran kadar air media pada Gambar 10, yang menunjukkan bahwa media dengan porositas 5155%, setelah hari ke-8 dari penyiraman ternyata mengalami penurunan kadar air yang sangat rendah yaitu 21.93%. Rendahnya kadar air media dan tingginya kandungan prolin daun memberikan indikasi terjadinya defisit air sehingga menurunkan serapan air dari media.
Akibatnya pasokan air ke jaringan atas
tanaman juga mengalami penurunan sehingga menurunkan sejumlah aktivitas metabolisme tanaman. Peningkatan kandungan prolin daun merupakan bentuk penyesuaian osmotik dalam usaha mempertahankan tekanan turgor tetap tinggi pada kondisi potensial osmotik yang rendah (Ober & Sharp
2003; Slama et al. 2006).
Penurunan potensial osmotik antara lain disebabkan adanya akumulasi senyawa terlarut antara lain, asam amino prolin, dimana semakin banyak bahan terlarut maka potensial osmotik semakin rendah, jika tekanan turgor tetap, maka secara keseluruhan potensial air sel akan menurun pula. Adanya penyesuaian osmotik berarti juga menjaga integritas dan aktivitas fisiologi sitoplasma serta proses fotosintesis (Riduan et al. 2007). Sebagai perbandingan bibit kelapa sawit yang mengalami cekaman kekeringan ternyata memiliki kandungan prolin berkisar antara 2.78-2.86 µmol/g (Palupi & Dedywiryanto 2008).
Walaupun secara
abosolut nilai kandungan prolin bervariasi, namun peningkatan kandungan prolin, telah banyak dijadikan sebagai indikator penyesuaian osmotik pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan. Menurut Yang & Kao (1999); Kim & Janick
101
(1991), prolin merupakan salah senyawa osmotik yang disintesis dan diakumulasi pada jaringan tanaman yang mengalami cekaman kekeringan terutama pada jaringan daun. Tabel 25 Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap kandungan prolin daun pada 11 BSP Porositas media (%) 51-55
Interval penyiraman air (hari) 2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
56-60
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
3.70 bc 2.92 cde 4.32 ab 2.67 cde
61-65
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
2.86 cde 2.40 de 2.49 de 2.48 de
66-70
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
2.81 cde 3.06 cd 2.61 de 2.44 de
Kandungan prolin (µmol/g berat basah) 1.89 e 2.75 cde 3.28 cd 4.66 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Potensial air jaringan dan laju transpirasi Pada Tabel 26 terlihat adanya pengaruh interaksi antara porositas media dengan interval penyiraman terhadap potensial air jaringan. Interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 61-65% menghasilkan potensial air jaringan akar (ψakar) dan potensial air jaringan daun (ψdaun) masing-masing -0.14 dan -0.72 MPa. Penyiraman 2 hari pada porositas media 51-55% menghasilkan -0.83 MPa (ψakar) dan -1.01 MPa (ψdaun). Dengan demikian gradien (ψakar) dan (ψdaun) pada porositas 61-65% yang disertai penyiraman 6 hari + PPA adalah 0.58 MPa, sedangkan pada porositas 51-55% yang disertai penyiraman 2 hari hanya 0.18 MPa.
102
Interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas 61-65% menyebabkan pergerakan air dari akar sampai ke jaringan daun berlangsung lebih baik dibanding pada porositas 51-55% dengan penyiraman 2 hari sekali. Hal ini dapat diukur dari nilai gradien potensial air jaringan pada porositas 61-65% dengan penyiraman 6 hari yang nampak lebih tinggi dibandingkan interval penyiraman 2 hari pada porositas media 51-55%. Sebagaimana diketahui bahwa air bergerak dari potensial air tinggi ke yang lebih rendah dan semakin besar gradien potensial air tersebut maka semakin mudah air mengalir. Hal ini menunjukkan penyiraman 6 hari sekali pada porositas media 61-65% menghasilkan ketersediaan air yang cukup tinggi karena adanya dukungan PPA sehingga media dapat menyediakan air secara bertahap sampai penyiraman berikutnya. Sebagaimana diketahui bahwa penyerapan air dapat terjadi secara pasif dan aktif, dimana penyerapan secara pasif terjadi karena adanya perbedaan potensial air. Terjadinya transpirasi pada bagian atas tanaman menyebabkan terjadinya perbedaan potensial air antara selsel mesofil pada daun dengan dengan sel-sel pada akar, apabila potensial air dari sel-sel akar lebih besar dari potensial air larutan tanah atau media, maka air dari media akan meresap masuk ke dalam sel-sel akar. Dengan demikian penyerapan air secara pasif merupakan proses osmotik.
Menurut Taiz & Zeiger (2012),
pergerakan air secara vertikal di dalam pembuluh xylem karena adanya perbedaan potensial air sebagai tenaga pendorong, adanya tenaga hidrasi dinding pembuluh xylem yang mampu mempertahankan molekul air terhadap gaya gravitasi dan adanya gaya kohesi antara molekul air yang menjaga keutuhan kolom pada pembuluh xylem. Sebaliknya pada porositas media 51-55% dengan penyiraman 2 hari menghasilkan gradien potensial air yang sangat kecil (0.177 MPa) akibatnya air sulit bergerak sehingga tanaman mengalami defisit air. Defisit air dapat menghambat pertumbuhan sel (penggandaan dan pembesaran sel) akibatnya pertumbuhan akar dan tajuk menjadi terhambat. Laju transpirasi merupakan salah satu proses kehilangan air melalui stomata dan kutikula. Proses ini penting karena menyebabkan pergerakan air yang diserap oleh akar melalui pembuluh xylem yang selanjutnya digunakan sebagai bahan baku dalam proses fotosintesis. Kehilangan air melalui transpirasi ini juga sebagai syarat penyerapan CO2 dan pelepasan O2 melalui stomata
103
(Salisbury & Ross 1992).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh interaksi antara porositas media dengan interval penyiraman terhadap laju transpirasi (Tabel 26). Interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 66-70% menghasilkan laju transpirasi tertinggi, sedangkan terendah pada porositas 51-55% dengan interval penyiraman 2 hari. Hal ini dapat dijelaskan karena tingginya kerapatan stomata pada perlakuan tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 19a dan 19b sehingga mendorong laju kehilangan air melalui transpirasi.
Hal ini sesuai yang dikemukakan Hamin (2007), bahwa
kerapatan dan pembukaan stomata menentukan besarnya laju transpirasi.
Pada
saat stomata membuka maka laju serapan air meningkat untuk mengimbangi peningkatan laju transpirasi. Terbukanya stomata akan mendorong difusi CO2 masuk ke jaringan tanaman dan pelepasan O2. Tabel 26 Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap potensial air jaringan dan laju transpirasi pada 11 BSP Porositas media (%)
Interval penyiraman air (hari)
51-55
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
-0.83 g -0.73 f -0.57 e -0.56 e
-0.91 f -0.84 e -0.67 d -0.66 d
-1.01 g -0.96 f -0.86 e -0.84 de
Laju transpirasi (kg/m2/detik/ MPa)* 3.67 c 6.67 c 7.33 c 7.67 bc
56-60
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
-0.52 de -0.51 de -0.49 cd -0.47 cd
-0.58 c -0.59 c -0.54 c -0.54 c
-0.82 cde -0.76 ab -0.81 bcd -0.81 cde
6.00 c 8.00 bc 6.00 c 5.33 c
61-65
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
-0.42 c -0.25 b -0.14 a -0.19 ab
-0.54 c -0.38 b -0.30 a -0.31 a
-0.81 bcde -0.79 bcd -0.72 a -0.73 a
7.00 c 7.67 bc 9.00 bc 13.00 ab
66-70
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
-0.47 cd -0.46 cd -0.44 c -0.47 cd
-0.58 c -0.58 c -0.57 c -0.58 c
-0.80 bcd -0.81 bcde -0.78 bc -0.80 bcd
6.00 c 5.33 c 15.33 a 7.33 c
akar (MPa)
Potensial air batang (MPa)
daun (MPa)
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% *) angka-angka dalam Laju transpirasi dikalikan dengan 10-5
104
Namun selain penyerapan air secara pasif, juga bisa melalui penyerapan aktif, yaitu penyerapan air yang melibatkan energi yang diperoleh melalui proses respirasi. Oleh karena itu pada porositas optimal maka aerasi berlangsung baik. Menurut Darmawan & Baharsjah (2010), media dianggap memiliki aerasi yang baik apabila tersedia ruang yang cukup untuk terjadinya pertukaran gas yang cepat dalam mempertahankan konsentrasinya pada tingkat tertentu.
Makin cepat
respirasi akar, maka semakin cepat pula penggunaan O2 dan sekaligus pelepasan CO2 serta semakin besar pula kebutuhan untuk pertukaran gas. Pada tanah yang beraerasi buruk biasanya kandungan O2 dapat medekati nol. Walaupun keadaan ini bersifat sementara tetapi berbahaya bagi tanaman apabila berlanjut karena selsel akar tidak dapat melakukan respirasi sehingga akar tidak dapat menyerap air secara aktif akibatnya tanaman menjadi layu bahkan bisa menyebabkan kematian. Laju fotosintesis dan daya hantar stomata Pada Tabel 27, terlihat adanya pengaruh interaksi antara porositas media dengan interval penyiraman terhadap laju fotosintesis dan daya hantar stomata. Interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 61-65% menghasilkan laju laju fotosintesis dan daya hantar stomata tertinggi yaitu masing-masing 7.89 µmol CO2/m2/detik dan 0.07 µmol CO2/m2/detik, sedangkan interval penyiraman 2 hari pada porositas media 51-55% dengan menghasilkan nilai yang rendah. Hal ini dapat dijelaskan dengan menghubungkan laju fotosintesis dan daya hantar stomata dengan peubah potensial air daun (Tabel 26), dimana terdapat kesamaan respon pada perlakuan yang sama. Hal ini berarti tingginya laju fotosintesis dan daya hantar stomata antara lain disebabkan meningkatnya laju potensial air daun. Hal ini sejalan yang dikemukakan Ryugo (1988); Salisbury & Ross (1992) bahwa potensial air jaringan merupakan salah satu faktor yang membatasi aktivitas fotosintesis, selain ketersediaan CO2, cahaya, umur tanaman dan genetik Pada kondisi status air daun tinggi maka tekanan turgor sel dapat dipertahankan sehingga menjamin proses pembelahan dan pembesaran sel tetap berlangsung (Lakitan 1995). Demikian pula hubungannya dengan daya hantar stomata, potensial air daun yang tinggi mendorong pasokan air ke dalam sel jaga
105
berlangsung
secara
optimal
sehingga
mempertahankan
turgiditas
sel,
meningkatkan transpirasi dan laju fotosintesis. Tabel 27 Pengaruh interaksi antara porositas media dan interval penyiraman air terhadap laju fotosintesis dan daya hantar stomata pada 11 BSP Porositas media (%) 51-55
Interval penyiraman (hari) 2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
56-60
Laju fotosintesis (µmol CO2/m2/detik) 3.33 fg 4.27 cde 4.35 cd 3.08 g
Daya hantar stomata (µmol/m2/detik) 0.02 g 0.02 fg 0.03 efg 0.03 fg
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
4.19 cde 4.77 cd 5.98 b 4.37 cde
0.04 cdef 0.05 bc 0.05 b 0.04 bcd
61-65
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
4.53 cd 6.65 b 7.89 a 4.13 def
0.05 bc 0.05 bc 0.07 a 0.04 bcde
66-70
2 4 + PPA 6 + PPA 8 + PPA
3.91 defg 3.95 def 5.05 c 3.46 efg
0.03 defg 0.04 bc 0.04 bcd 0.02 g
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pafa taraf kepercayaan 95%
Kerapatan stomata Hasil pengamatan stomata pada Gambar 19a dan 19b menunjukkan adanya variasi kerapatan stomata pada berbagai perlakuan porositas media dan interval penyiraman. Pada perlakuan porositas media nampak bahwa kisaran kerapatan stomata adalah 68-116 buah/mm dan kerapatan stomata tertinggi pada porositas 61-65% yaitu 115.92 buah/mm. Pada perlakuan interval penyiraman, nampak bahwa kerapatan stomata berkisar antara 84-105 buah/mm dan perlakuan penyiraman 6 hari menghasilkan kerapatan stomata tertinggi yaitu 103.18 buah/mm.
Kerapatan stomata (buah/mm)
106
(a) 140 120 100 80 60 40 20 0
115.92 91.72
95.54 68.79 21.66
19.11 12.74
51-55
56-60
61-65
15.29
66-70
Kerapatan stomata (buah/mm)
Porositas media (%)
120
(b)
100
103.18
99.36
85.35
84.08
80 60 40 20
25.48
17.83
14.01
11.47
0 2
4
6
8
Interval penyiraman (hari)
atas
bawah
Gambar 19 Kerapatan stomata pada berbagai porositas media (a) dan interval penyiraman (b). Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman Hubungan Potensial Jaringan Daun dengan Pertumbuhan Tanaman Potensial air jaringan daun pada berbagai porositas media menunjukkan hubungan yang
sangat nyata dan berkorelasi positif dengan semua peubah
pertumbuhan tanaman (Tabel 28). Penurunan potensial air daun dari -0.75 MPa menjadi -0.95 MPa menurunkan bobot kering akar dan
bobot kering total
tanaman secara nyata (Gambar 20). Persamaan regresi linier antara potensial air daun dengan bobot kering akar adalah : Y = -15.22X + 18.28; R² = 0.91** dan
107
persamaan regresi antara potensial air daun dengan bobot kering total tanaman adalah Y = -41.42X + 52.24; R² = 0.75**. 25 Y = -41.42X + 52.24 R² = 0.75**
Bobot kering (g)
20 15 10
Y = -15.22X + 18.28 R² = 0.91**
5 0 0.70
0.75
0.80
0.85
0.90
0.95
Ψ daun (-MPa) Bobot kering total
Bobot kering akar
Linear (Bobot kering total)
Linear (Bobot kering akar)
Gambar 20 Hubungan antara potensial air daun (Ψ daun) dengan bobot kering total tanaman dan bobot kering akar pada perlakuan porositas media Hasil analisis korelasi sederhana Pearson pada Tabel 28 menunjukkan adanya korelasi positif antara potensial air daun dengan panjang akar pada perlakuan porositas media. Penurunan potensial air daun dari -0.75 menjadi -0.95 MPa menyebabkan penurunan panjang akar dan pertambahan tinggi tanaman secara nyata (Gambar 21a dan 21b). Hubungan antara potensial air daun dengan panjang akar dan tinggi tanaman menunjukkan pola yang linier. Persamaan regresi antara potensial air daun dengan panjang akar adalah: Y = -40.50X + 55.64; R² = 0.65**. Persamaan regresi linier antara potensial air daun dengan pertambahan tinggi tanaman adalah Y = 20.74X + 29.43; R² = 0.53**. Hubungan potensial air jaringan daun dengan pertambahan luas daun pada berbagai porositas media menunjukkan pola linier yaitu: Y = -919.3X + 1209; R² = 0.86** (Gambar 21c).
Penurunan potensial air daun dari -0.75 menjadi -0.95
MPa ternyata sangat jelas menurunkan pertambahan luas daun.
Hal ini
menunjukkan bahwa pada semua tingkatan porositas media, akibat potensial air jaringan daun menurun maka pertambahan luas daun juga mengalami penurunan.
108
29
(a)
Panjang akar (cm)
27 25 Y = -40.50X + 55.64 R² = 0.65**
23 21 19 17 15
Peratambahan tinggi tanaman (cm)
0.70
0.80
0.85
0.90
0.95
16
1.00
(b)
15 14 13
Y = -20.74X + 29.43 R² = 0.53**
12 11 10 9 8 0.70
Pertambahan luas daun (cm2)
0.75
0.75
0.80
0.85
0.90
0.95
1.00
550 500
(c)
450 400 350 Y = -919.3X + 1209. R² = 0.86**
300 250 200 0.70
0.75
0.80
0.85
0.90
0.95
1.00
Ψ daun (-MPa)
Gambar 21 Hubungan antara potensial air daun (Ψ daun) dengan dan panjang akar primer (a), pertambahan tinggi tanaman (b) dan pertambahan luas daun (c) pada perlakuan porositas media
Tabel 28 Hubungan antara peubah pertumbuhan tanaman pada berbagai porositas media Peubah
BKA
BTjk
BKTot
PA
PTT
PJD
PLD
PD
PR
VA
FS
T
DS
BKA BKTjk BKTot PA PTT PJD PLD PD PR VA FS TR DS
1.00 0.89** 0.94** 0.71** 0.65* 0.79** 0.95** 0.95** -0.28tn 0.58* 0.70* 0.65* 0.73**
1.00 0.99** 0.80** 0.81** 0.84** 0.86** 0.88** -0.57tn 0.51tn 0.67* 0.70* 0.72**
1.00 0.79** 0.79** 0.84** 0.90** 0.91** -0.51tn 0.54tn 0.69* 0.70** 0.74**
1.00 0.74** 0.87** 0.68* 0.81** -0.58* 0.46tn 0.80** 0.73** 0.74**
1.00 0.69* 0.74** 0.72** -0.51tn 0.46tn 0.55tn 0.59* 0.68*
1.00 0.67* 0.81** -0.61* 0.46tn 0.65* 0.71** 0.69*
1.00 0.92** -0.17tn 0.64* 0.67* 0.59* 0.74**
1.00 -0.29tn 0.49tn 0.78** 0.61* 0.83**
1.00 -0.32tn -0.34tn -0.63tn -0.36tn
1.00 0.39tn 0.39tn 0.45tn
1.00 0.46tn 0.89**
1.00 0.40tn
1.00
**=berkorelasi nyata pada taraf 1% uji korelasi Pearson * =berkorelasi nyata pada taraf 5% uji korelasi Pearson tn=berkorelasi tidak nyata BKA BKTot PTT PLD PR FS DS
= Bobot kering akar = Bobot kering total tanaman = Pertambahan tinggi tanaman = Pertambahan luas daun = Kandungan prolin = Laju fotosintesis = Daya hantar stomata
BKTjk PA PJD PD VA T
= Bobot kering tajuk = Panjang akar primer = Pertambahan jumlah daun = Potensial air daun = Volume akar = Laju transpirasi
109
111
110
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Terdapat pengaruh interaksi antara porositas media dengan interval penyiraman terhadap berbagai aktivitas fisiologis. Interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 61-65% mendorong ketersediaan air dan udara yang optimal sehingga menghasilkan laju fotosintesis, daya hantar stomata dan potensial air daun tertinggi
yaitu masing-masing 7.89 µmol
CO2/m2/detik; 0.07 µmol/m2/detik; dan -0.72 MPa yang berdampak pada meningkatnya pertumbuhan tajuk dan akar. 2. Besarnya perbedaan gradien potensial air antara jaringan akar dan daun, pada porositas 61-65% dengan penyiraman 6 hari sekali + PPA, mendorong peningkatan serapan air sehingga menghasilkan pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun tertinggi, yaitu masing-masing 19.27 cm; 9 helai dan 610.00 cm2. 3.
Kondisi aerasi yang buruk pada porositas yang rendah yaitu 51-55% disertai ketersediaan air yang rendah akibat interval penyiraman yang lama (8 hari sekali), memberikan kondisi pertumbuhan tajuk dan akar yang kurang baik, bahkan menyebabkan gejala cekaman kekeringan yang nampak dari tingginya kandungan prolin daun yaitu 4.66 µmol/g berat basah.
4. Penurunan potensial air daun dari -0.75 MPa menjadi -0.95 MPa menurunkan bobot kering akar, bobot kering total tanaman, panjang akar, tinggi tanaman dan luas daun secara nyata.
111
PENINGKATAN PERTUMBUHAN BIBIT MANGGIS MELALUI PENGATURAN POROSITAS MEDIA DAN APLIKASI PEMUPUKAN Increasing the Growth of Mangosteen Seedlings by Media Porosity Arrangements and Fertilizer Application Abstrak Perakaran yang terbatas dan kurang berkembang menyebabkan tanaman manggis peka terhadap kondisi hara yang terbatas. Hara yang terbatas disertai adanya hambatan pada media tumbuh akan mempengaruhi serapan hara. Oleh karena itu pentingnya aplikasi pupuk yang sesuai kondisi media tumbuh. Percobaan telah dilaksanakan di Rumah Plastik Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) Institut Pertanian Bogor, Tajur yang berlangsung dari bulan Januari 2009 hingga Agustus 2010. Percobaan disusun menggunakan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah porositas media dan faktor kedua adalah aplikasi pemupukan. Hasil percobaan menunjukkan porositas media 61-65% dan pemupukan secara fertigasi memberikan pengaruh interaksi terhadap sebagian besar peubah pertumbuhan akar dan tajuk. Aplikasi pemupukan secara fertigasi pada porositas media 61-65% menghasilkan pertumbuhan tertinggi pada panjang akar (26.83 cm), bobot kering akar (10.07 g/tanaman), pertambahan tinggi tanaman (17.90 cm), pertambahan lebar kanopi (11.25 cm), pertambahan luas daun 717.60 cm2, bobot kering tajuk (18.33 g/tanaman) dan bobot kering total (28.40 g/tanaman). Serapan hara N dan K daun yang tinggi pada pemupukan secara fertigasi mendorong pertumbuhan tajuk dan akar yang lebih tinggi dibanding aplikasi pupuk granular dan slow release. Kata kunci: manggis, porositas media, pemupukan Abstract Limited and less root development caused mangosteen were sensitive to nutrient limited conditions. Limited nutrients with the existence of growth barriers would affect nutrient uptake. Hence, it was importance to select appropriate fertilizer application conditions with growing media. The experiments was conducted in the Plastic house at Centre for Tropical Fruit Studies (CETROFS) Bogor Agricultural University, Tajur, from January 2009 until August 2010. The experiments used a factorial experiment in completely randomized design with three replications. The first factor was media porosity and the second factor was fertilizer application. Results showed media porosity of 61-65% and fertigation fertilizing were influenced to the most of interaction of root and shoot growth variables. Fertilizer application by fertigation at 61-65% media porosity produced the highest growth in root length (26.83 cm), root dry weight (10.07 g / plant), additional of plant height (17.90 cm), additional of canopy width (11.25 cm), additional of leaf area (717.60 cm2), canopy dry weight (18.33 g/plant) and total dry weight (28.40 g/plant). N and K nutrient uptake in leaves the highest by fertigation fertilizing affect shoot and root growth that higher than an application of granular fertilizers and slow release. Keywords: mangosteen, media porosity, fertilization
112
Pendahuluan Latar Belakang Pemupukan sangat penting dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman manggis. Namun sampai saat ini masih terbatas rekomendasi pemupukan yang dapat diaplikasikan secara tepat sesuai kondisi tanaman, baik pada fase pembibitan maupun setelah tanaman di lapangan. Acuan pemupukan yang ada saat ini masih bersifat umum dan kebanyakan masih bersumber dari kebiasaan petani sehingga belum mempertimbangkan ketersediaan hara tanah dan tanaman serta kondisi media tumbuh. Acuan pemupukan tanaman manggis yang terdapat di dalam Standar Prosedur Operasional (SPO) Tanaman Manggis, umumnya masih bersumber dari kebiasaan petani, seperti SPO tanaman manggis Kabupaten Purworejo (Direktur Tanaman Buah 2004), SPO tanaman manggis Kabupaten Subang dan Kabupaten Sukabumi (Direktorat Budidaya Tanaman Buah 2009). Padahal untuk dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman maka harus disertai dengan pemberian hara yang sesuai kebutuhan tanaman.
Aplikasi
pemupukan yang tidak tepat dapat menyebabkan tanaman mengalami kekurangan ataupun
kelebihan
hara.
Pemupukan
yang
keseimbangan hara juga bisa meracuni tanaman.
berlebih
selain
mengganggu
Hal ini sesuai Poerwanto et al.
(1995), bahwa pemupukan NPK Prill 15:15:15 yang bersifat cepat tersedia pada bibit sambung memberikan respon pertumbuhan yang kurang memuaskan, bahkan dengan dosis 10 g/ 3 l media justeru menimbulkan keracunan pada tanaman manggis. Oleh karena itu pentingnya dikaji penggunaan pupuk yang cepat tersedia dan pupuk lepas terkendali serta cara aplikasi pada berbagai porositas media terhadap pertumbuhan tanaman. Menurut Leiwakabessy et al. (2003), struktur tanah mempengaruhi bobot isi (bulk density) dan porositas. Semakin padat atau kompak tanah maka semakin tinggi nilai bobot isi dan juga semakin sedikit jumlah ruang pori atau semakin kecil nilai porositas. Kondisi demikian akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan akar sehingga mengurangi laju serapan hara. Pada porositas yang tinggi rentang terjadi kekurangan air karena kemampuan media menyimpan air sangat rendah. Kekurangan air akan menghambat laju serapan hara dan juga mengurangi tingkat efisiensi pemupukan. Begitupula dalam hubungannya dengan proses pengangkutan
113
hara, baik secara difusi, aliran massa maupun cara intersepsi akar akan terhambat apabila kandungan air tanah atau media rendah. Oleh karena itu pentingnya aplikasi pemupukan yang sesuai karakteristik tanah/media dan tanaman. Beberapa cara aplikasi pemupukan yang telah dikenal secara umum antara lain aplikasi pemupukan dengan pupuk butiran butiran (granular) yang dibenamkan ke dalam media. Apalikasi juga dapat dilakukan dengan cara dilarutkan terlebih dahulu sebelum disiram ke media tumbuh atau yang biasa dikenal sebagai fertigasi (fertigation).
Metode ini dapat mempercepat
penyerapan hara tetapi dibutuhkan waktu yang lebih banyak karena frekuensi penyiraman biasanya lebih tinggi.
Aplikasi pemupukan juga dapat dilakukan
dengan menggunakan pupuk lepas terkendali (slow release) yang interval pemupukannya lebih panjang namun kelarutannya lambat.
Pupuk slow release
memiliki kelarutan yang lambat karena adanya lapisan khusus dari bahan resin yang sifatnya permeabel (awet) pada setiap butirannya sehingga unsur hara yang terkandung dalam pupuk tersebut dilepaskan secara perlahan-lahan akibatnya unsur hara juga lambat tersedia bagi tanaman. Ketiga aplikasi pemupukan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga perlu dikaji bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan bibit manggis. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh aplikasi pemupukan yang terbaik pada berbagai porositas media sehingga dapat meningkatkan serapan hara dan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi acuan dalam pengaturan ketersediaan hara pada pembibitan manggis.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan telah dilaksanakan di Rumah Plastik Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) Institut Pertanian Bogor, Tajur. Analisis kandungan hara tanah dan daun dilaksanakan di Laboratorium Tanah Balai Penelitian Tanah Bogor dan Laboratorium Tanah dan Tanaman SEAMEO BIOTROF. Penelitian berlangsung dari bulan Januari 2009 hingga Agustus 2010.
114
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan antara lain bibit manggis umur 1 tahun, media (tanah, arang sekam padi, pupuk kandang kambing dan pasir), pestisida (mankozeb dan deltametrin), pupuk urea, SP-18 dan KCl, dan pupuk NPK Dekastar 18-9-10. Alat-alat yang digunakan antara lain Light meter tipe LI-250A, mikroskop Binokuler, jangka sorong digital 0-150 mm, polybag hitam 35 cm x 35 cm, gelas ukur 500 ml, papan paku (pin board) 50 cm x 50 cm, cool box, timbangan analitik, hand sprayer, kertas label, meteran dan alat tulis menulis.
Metode Penelitian Penelitian disusun menggunakan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah porositas media, terdiri 4 taraf: 51-55, 56-60, 61-65 dan 66-70%. Faktor kedua adalah aplikasi pemupukan, yang terdiri atas 3 cara, yaitu: aplikasi pupuk butiran (granular), aplikasi pupuk melalui penyiraman ke media tumbuh atau yang biasa dikenal sebagai fertigasi (fertigation) dan aplikasi pupuk lepas terkendali (slow release). Model linier yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Yijk = + αi + j + (α)ij + ijk ; (Gomez & Gomez 1984) i = 1, …,a ; j = 1, …,b ; k = 1, … c
Yijk
=
αi j (α)ij
= = = =
ijk
=
nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor porositas media dan taraf ke- j dari faktor pemupukan) nilai tengah populasi (rataan yang sesungguhnya) pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor porositas media pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor pemupukan pengaruh interaksi taraf ke-i faktor porositas media dan taraf ke-j faktor pemupukan pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij
Media yang digunakan terlebih dahulu disterilisasi dengan cara dipanaskan dalam drum selama 8 jam yang bertujuan mencegah serangan patogen tular tanah yang dapat menghambat pertumbuhan bibit.
Pengisian media tumbuh sesuai
perlakuan dengan volume media sebanyak 8 liter (perbandingan volume). Setelah media siap maka dilakukan perendamaan media sampai jenuh air lalu dibiarkan
115
sampai mencapai kapasitas lapang.
Penyiapan bahan tanaman diawali dengan
pemilihan bibit yang pertumbuhannya relatif seragam. Media tumbuh awal dari bibit dibuang lalu akarnya dicuci secara hati-hati lalu bibit ditanam pada media baru sesuai perlakuan. Perlakuan aplikasi pupuk granular mengacu pada SPO Manggis dengan dosis 3.7 g N; 1.5 g P2O5 dan 2.1 g K2O per aplikasi setiap 2 bulan. Perlakuan fertigasi diaplikasikan dengan cara pupuk N, P dan K dilarutkan dalam air lalu disiramkan ke dalam media tumbuh dengan konsentrasi 0.46 g N; 0.19 g P2O5, dan 0.26 g K2O per liter air per minggu. Teknologi pemupukan secara fertigasi mengacu pada hasil penelitan Liferdi (2007).
Perlakuan pupuk slow release
menggunakan pupuk Dekastar yang diaplikasikan dengan cara dibenamkan di sekeliling tanaman setiap 4 bulan dengan dosis 31.25 g/aplikasi. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan, dan pengendalian hama/penyakit. Penyiraman dilakukan dengan memperhatikan kelembaban tanah. Untuk pengendalian penyakit menggunakan fungisida berbahan aktif mankozeb 80% dan pengendalian hama menggunakan insektisida berbahan aktif deltametrin. Peubah yang diamati pada percobaan ini adalah sebagai berikut: 1.
Pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi, diameter batang dan luas daun dilakukan setiap bulan. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai buku teratas. Jumlah daun dihitung berdasarkan semua daun yang terbentuk. Tunas muda sudah dikategorikan sebagai daun yang termasuk dapat dihitung apabila tunas tersebut sudah membuka dan membentuk daun. Lebar kanopi diukur lebar tajuk pada 2 arah secara tegak lurus lalu dihitung nilai rataannya. Diameter batang diukur pada pangkal batang sekitar 3 cm dari permukaan media.
Luas daun dihitung dengan mengukur panjang dan lebar
seluruh daun, lalu hasil pengukuran dimasukkan ke dalam persamaan: Y=10.09X1 + 3.07X2 - 51.87 dan R2 = 0.98, di mana Y = luas daun (cm2), X1 = lebar daun (cm) dan X2 = panjang daun (cm). 2.
Bobot kering tanaman diperoleh melalui penimbangan bobot kering (akar, batang dan daun) pada akhir penelitian. Berangkasan tanaman dikeringkan di dalam oven pada suhu 80 oC selama 24 jam.
116
3.
Pengamatan panjang akar primer dilakukan pada papan paku (pin board) ukuran 50 cm x 50 cm. Panjang akar primer diukur mulai dari pangkal akar yang menempel pada batang hingga ujung akar primer.
4.
Volume akar diukur dengan Metode Archimedes.
Caranya adalah akar
dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air, dimana air yang tumpah akibat tekanan akar diukur sebagai volume akar. 5.
Kadar N daun dianalisis menggunakan Metode Semi Mikro-Kjedahl, sedangkan kadar P dan K daun ditentukan dengan menggunakan Metode Pengabuan. Prosedur analisis kandungan N, P dan K daun ditampilkan pada Lampiran 5 dan 6. Serapan hara N, P dan K daun dihitung dengan mengalikan kandungan hara jaringan daun dengan bobot kering daun.
6.
Pengamatan stomata dilakukan pada mikroskop binokuler Bieco.
Caranya
adalah permukaan atas dan bawah daun dikuteks lalu dibiarkan selama 5 menit. Bekas kuteks ditempel dengan lakbam bening dicabut kemudian ditempel pada preparat dan diamati pada mikroskop dari pembesaran kecil sampai besar. Kerapatan stomata dihitung dengan membagi jumlah stomata dengan luas bidang pandang (Lestari 2006). 7.
Pengamatan terhadap pertumbuhan tunas dilakukan pada tunas yang tumbuh pada pucuk apikal. Contoh tunas yang terpilih diberi tanda untuk diamati pertumbuhannya. Pertumbuhan tunas dibedakan menjadi empat stadia yaitu: trubus awal, trubus penuh, trubus dewasa dan dormansi dengan kriteria perubahan warna daun mengacu pada Rai (2004), seperti disajikan pada Gambar 2.
Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam dan apabila perlakuan berpengaruh nyata berdasarkan uji F, maka dilakukan uji lanjutan untuk membandingkan nilai rataan antar perlakuan dengan menggunakan uji jarak berganda Duncan.
117
Hasil dan Pembahasan Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, diperoleh hasil seperti disajikan pada Lampiran 9. Faktor porositas media berpengaruh terhadap tinggi tanaman (5-11 BSP), pertambahan tinggi tanaman, lebar kanopi (3-11 BSP), luas daun (3-11 BSP), pertambahan luas daun, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering total tanaman, rasio tajuk/akar dan kadar N daun. Faktor aplikasi pemupukan berpengaruh terhadap tinggi tanaman (5-11 BSP), pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun, pertambahan jumlah daun, lebar kanopi (3-11 BSP), pertambahan lebar kanopi, luas daun (8 dan 11 BSP), bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering total tanaman, volume akar, rasio tajuk/akar, kadar P daun, serapan hara N, P dan K daun. Faktor porositas media dengan cara aplikasi pemupukan memberikan pengaruh interaksi terhadap pertambahan tinggi tanaman, lebar kanopi (1-5 dan 8 BSP), pertambahan lebar kanopi, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering total tanaman, panjang akar dan kadar P daun. Komponen Pertumbuhan Tanaman Perkembangan trubus Hasil pengamatan menunjukkan terdapat perbedaan lamanya periode trubus, periode dormansi dan siklus trubus pada berbagai perlakuan pemupukan (Tabel 29). Pertumbuhan trubus menunjukkan perbedaan pada berbagai aplikasi pemupukan, dimana perlakuan pemupukan secara fertigasi menghasilkan siklus trubus yang paling pendek (102 hari), diikuti perlakuan pupuk slow release (109 hari) dan perlakuan pupuk granular (112 hari). Pendeknya siklus trubus pada perlakuan pupuk fertigasi berkaitan dengan periode trubus atau periode pertumbuhan aktif dan periode dormansi yang juga pendek dibanding perlakuan pupuk slow release ataupun pupuk granular. Siklus trubus yang pendek menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dan ini sejalan dengan hasil pengamatan pertumbuhan tajuk dan akar yang secara konsisten memperlihatkan respon tertinggi pada perlakuan pupuk fertigasi dibanding pupuk slow release maupun pupuk granular.
118
Tabel 29 Rata-rata lama periode trubus, periode dormansi dan siklus trubus pada berbagai aplikasi pemupukan Aplikasi pemupukan
granular fertigasi slow release
Stadia/periode pertumbuhan tunas Trubus Trubus Trubus Periode Periode Siklus awal penuh dewasa dormansi tunas* trubus** ....................................... (hari) ............................................... 15.75a 13.58a 17.21a 65.50a 46.54a 112.04a 13.96b 11.75b 14.58c 61.25c 40.29b 101.54c 15.67a 13.88a 16.25b 63.50b 45.79a 109.29b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% * Periode trubus = trubus awal + trubus penuh + trubus dewasa **Siklus trubus = periode trubus + periode dormansi
Pertumbuhan tajuk Pada Tabel 30 dan 31, terlihat bahwa porositas media 61-65% menghasilkan pertumbuhan tajuk yang tertinggi terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi dan luas daun dan pertambahan (tinggi tanaman, lebar kanopi dan luas daun). Keragaan pertumbuhan tajuk pada berbagai aplikasi pemupukan disajikan pada Gambar 22, 23 dan 24. Kondisi aerasi yang baik pada porositas media 61-65% akan meningkatkan laju respirasi akar akibat meningkatnya ketersediaan oksigen pada media yang porous. Menurut Jumim (2002), ketersediaan oksigen meningkat sejalan dengan semakin remahnya tanah dan meningkatnya porositas. Peningkatan kandungan oksigen akan mendorong peningkatan respirasi akar karena proses respirasi memerlukan oksigen utamanya respirasi aerobik.
Output dari respirasi adalah
dihasilkannya energi yang antara lain digunakan untuk berbagai aktivitas metabolisme seperti pembelahan dan pembesaran sel (Salisbury & Ross 1995; Taiz & Zeiger 2012). Energi hasil respirasi juga digunakan tanaman dalam penyerapan air dan unsur hara.
Oleh karena itu pada kondisi aerasi yang baik biasanya
ketersediaan air dan unsur hara juga meningkat karena didukung oleh kemampuan akar dalam proses penyerapan unsur hara dan air.
119
Tabel 30
Pengaruh porositas media dan aplikasi pemupukan terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi dan luas daun
Perlakuan
Bulan setelah perlakuan (BSP) 3 5 7 9 11 …………………………. Tinggi tanaman (cm) ……………………….. Porositas media (%): 51-55 19.99 22.02b 24.05b 27.91b 30.28b 56-60 20.26 22.88ab 26.39a 29.77a 32.44a 61-65 20.13 23.38a 26.80a 30.15a 32.79a 66-70 20.34 22.99ab 25.99a 29.13ab 31.97a Aplikasi pemupukan: granular 19.91 22.23b 24.62c 27.62c 30.15c fertigasi 20.41 23.40a 26.97a 31.07a 33.49a slow release 20.23 22.83ab 25.84b 29.02b 31.97b …………………………… Jumlah daun (helai) …………………………. Porositas media (%): 51-55 9.00 10.44 11.11 11.72 12.72 56-60 9.67 11.33 11.89 12.67 13.33 61-65 9.17 10.78 11.44 12.33 13.00 66-70 9.06 10.72 11.56 12.22 12.89 Aplikasi pemupukan: granular 8.92b 10.50b 11.08b 11.71b 12.38b fertigasi 9.83a 11.54a 12.33a 13.25a 14.17a slow release 8.92b 10.42b 11.08b 11.75b 12.42b ………………………….. Lebar kanopi (cm) …………………………. Porositas media (%): 51-55 26.19bc 27.99b 29.63bc 31.79b 33.33b 56-60 27.29a 29.12a 31.75a 33.74a 34.95a 61-65 26.67ab 28.69ab 30.49b 32.28b 35.00a 66-70 25.66c 26.92c 29.06c 31.65b 33.63b Aplikasi pemupukan: granular 26.17b 27.69b 29.259b 31.15b 32.50c fertigasi 27.093a 29.02a 31.6733a 33.84a 35.72a slow release 26.11b 27.84b 29.7600b 32.11b 34.47b ………………………….. Luas daun (cm2) ………………………….. Porositas media: 760.25 b 842.15 c 926.43 c 1020.37 c 1122.80 c 51-55 56-60 816.68 b 970.30 b 1111.66 b 1223.47 b 1290.67 ab 61-65 916.12 c 1074.11 a 1212.14 a 1320.95 a 1368.29 a 66-70 813.91 919.49 b 1059.41 b 1165.95 b 1218.45 b Aplikasi pemupukan: granular 826.83 941.59 1037.88 1152.80 1207.92b fertigasi 852.89 977.06 1118.87 1213.33 1297.74a slow release 800.50 935.90 1075.48 1181.94 1244.50ab Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%.
120
A
B
C
D
Gambar 22 Pertumbuhan tanaman pada perlakuan N,P, K granular pada porositas 51-55% (A), 56-60% (B), 61-65% (C) dan 66-70% (D) pada 11 BSP
B
A
C
Gambar 23 Pertumbuhan tanaman pada porositas media 56-60% dan aplikasi pupuk granular (A), fertigasi (B) dan slow release (C) 11 BSP
A
B
Gambar 24 Keragaan pertumbuhan tanaman pada porositas media 61-65% (A) dan 51-55% (B) dengan aplikasi pupuk secara fertigasi pada 11 BSP
121
Tabel 31 Pengaruh interaksi antara porositas media dan aplikasi pemupukan terhadap pertambahan tinggi tanaman, lebar kanopi dan luas daun selama 1 tahun Porositas media (%) 51-55
Aplikasi Pemupukan granular fertigasi slow release
Tinggi Tanaman (cm) 10.35 d 14.28 bc 14.39 bc
Pertambahan Lebar kanopi (cm) 7.99 cde 8.96 bcd 9.75 abcd
Luas daun (cm2) 350.82 c 529.88 abc 516.95 bc
56-60
granular fertigasi slow release
13.53 c 17.98 a 15.43 bc
5.67 e 12.78 a 12.00 ab
546.08 ab 669.66 ab 587.98 ab
61-65
granular fertigasi slow release
14.73 bc 17.90 a 14.75 bc
10.21 abcd 11.25 ab 9.99 abcd
656.51 ab 717.60 a 646.71 ab
66-70
granular fertigasi slow release
15.24 bc 16.59 ab 15.25 bc
7.29 de 10.63 abc 9.89 abcd
587.08 ab 530.35 abc 636.42 ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Pada Tabel 32 terlihat bahwa aplikasi pemupukan secara fertigasi pada porositas media 61-65%, menghasilkan bobot kering tajuk dan bobot kering total yang tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali dengan porositas media 55-60% yang disertai aplikasi fertigasi. Bobot kering tajuk dan bobot kering total pada porositas media 61-65% dengan aplikasi fertigasi adalah masing-masing 18.33 g dan 28.40 g per tanaman, sedangkan perlakuan porositas media 51-55% dengan aplikasi pupuk granular menghasilkan bobot kering tajuk dan bobot kering total yang terendah yaitu 9.74 g dan 12.93 g per tanaman. Hal ini memberikan indikasi bahwa aplikasi pemupukan dengan metode fertigasi sesuai diterapkan pada porositas media 56-60% dan 61-65%.
122
Tabel 32 Pengaruh interaksi antara porositas media dan aplikasi pemupukan terhadap bobot kering tajuk dan bobot kering total pada 11 BSP Porositas media (%) 51-55
Aplikasi Pemupukan granular fertigasi slow release
Bobot kering tajuk (g/tanaman) 9.74 d 12.34 bcd 10.89 bcd
Bobot kering total (g/tanaman) 12.93 f 16.81 cd 15.88 de
56-60
granular fertigasi slow release
11.52 bcd 19.50 a 13.02 bc
15.94 de 27.47 a 18.74 bc
61-65
granular fertigasi slow release
12.15 bcd 18.33 a 13.31 b
16.91 cd 28.40 a 19.83 b
66-70
granular fertigasi slow release
10.44 cd 13.37 b 9.87 d
14.49 def 18.81 bc 13.96 ef
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Pertumbuhan akar Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan akar pada Tabel 33 dan Gambar 25 menunjukkan adanya pengaruh interaksi antara porositas media dengan interval penyiraman. Aplikasi pupuk secara fertigasi pada porositas media 61-65% menghasilkan panjang akar dan bobot kering tertinggi yaitu masing-masing 26.83 cm dan 10.07 g. Hasil pengamatan terhadap volume akar pada Tabel 34 juga menunjukkan bahwa aplikasi pupuk secara fertigasi memberikan respon tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi pupuk secara fertigasi mendorong pertumbuhan akar dan penyerapan hara. Hal ini diduga porositas media 61-65% memiliki kondisi aerasi yang baik sehingga dengan meningkatnya respirasi maka dapat dihasilkan sejumlah energi yang antara lain digunakan untuk mendukung penyerapan hara secara aktif (Darmawan & Baharsjah 2012). Berbeda halnya dengan aplikasi pupuk granular yang nampaknya dibutuhkan waktu yang lebih lama agar unsur hara bisa tersedia karena harus larut terlebih dengan media baru dapat tersedia bagi tanaman. Demikian pula halnya aplikasi pupuk slow release yang memang memiliki karakteristik kelarutan yang
123
lebih lambat sehingga memungkinkan unsur hara juga lambat tersedia akibatnya respon pupuk slow release akan lebih lambat dibanding pupuk yang cepat tersedia. Tabel 33 Pengaruh interaksi antara porositas media dan aplikasi pemupukan terhadap panjang akar primer dan bobot kering akar 11 BSP Porositas media (%) 51-55
Aplikasi Pemupukan granular fertigasi slow release
Panjang akar primer (cm) 18.39 bc 24.45 ab 19.17 bc
Bobot kering akar (g/tanaman) 3.19 h 4.47 fg 4.98 ef
56-60
granular fertigasi slow release
20.55 bc 21.67 abc 20.33 bc
4.43 fg 7.97 b 5.72 d
61-65
granular fertigasi slow release
23.67 ab 26.83 a 18.67 bc
4.76 efg 10.07 a 6.52 c
66-70
granular fertigasi slow release
22.33 abc 16.17 c 23.67 ab
4.05 g 5.45 ed 4.09 g
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Tabel 34 Pengaruh porositas media dan aplikasi pemupukan terhadap volume akar pada 11 BSP Perlakuan Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70 Aplikasi pemupukan: granular fertigasi slow release
Volume akar (ml)
10.22 11.56 10.11 9.56 7.42 b 12.83 a 10.83 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
124
51-55% granular
fertigasi
slow release
56-60%
granular
fertigasi
slow release
61-65% granular
fertigasi
slow release
66-70% granular
fertigasi
slow release
Gambar 25 Keragaan akar tanaman manggis pada berbagai aplikasi pemupukan dan porositas media
125
Perbandingan pertumbuhan tajuk dan akar Untuk melihat perimbangan pertumbuhan tajuk dan akar maka dilakukan perhitungan rasio tajuk/akar.
Pada Tabel 35 nampak bahwa perlakuan porositas
media dan aplikasi pemupukan berpengaruh nyata terhadap rasio tajuk/akar. Perlakuan porositas media 61-65% menghasilkan rasio tajuk/akar terendah yang menunjukkan dengan kondisi aerasi yang baik maka akan merangsang pertumbuhan akar sehingga nampak lebih tinggi dibanding pertumbuhan tajuk. Perlakuan aplikasi pupuk granular menghasilkan rasio tajuk/akar yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan aplikasi pupuk secara fertigasi dan aplikasi pupuk slow release.
Tingginya rasio tajuk/akar pada perlakuan pupuk granular
banyak disebabkan karena rendahnya nilai bobot kering akar seperti yang disajikan pada Tabel 33 sehingga menghasilkan rasio tajuk/akar yang tinggi. Tabel 35 Pengaruh porositas media dan aplikasi pemupukan terhadap rasio tajuk/akar pada 11 BSP Perlakuan Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70 Aplikasi pemupukan: granular fertigasi slow release
Rasio tajuk/akar 2.68 a 2.46 a 2.14 b 2.49 a 2.71 a 2.38 b 2.24 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Kandungan Hara Jaringan dan Serapan Hara Hasil analisis kandungan hara N, P dan K daun pada Tabel 36 menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara porositas media dengan aplikasi pemupukan, kecuali terhadap kadar P daun.
Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa aplikasi pupuk slow release menghasilkan kadar hara P daun tertinggi yaitu 0.17% dan berbeda nyata dengan perlakuan fertigasi (0.14%) tetapi tidak berbeda nyata dengan aplikasi pupuk granular (0.16%).
Demikian pula aplikasi pupuk
slow release pada porositas media 51-55% menghasilkan kadar P daun yang
126
tertinggi seperti nampak pada Gambar 26.
Hal ini menunjukkkan dengan
karakteristik pupuk slow release yang lambat tersedia maka unsur hara yang terkandung dalam pupuk tersebut juga lambat digunakan oleh tanaman, akibatnya kandungan hara P total pada akhir penelitian nampak lebih tinggi dibanding aplikasi pupuk granular maupun fertigasi. Tabel 36 Kadar N, P dan K daun pada berbagai porositas media dan aplikasi pemupukan pada 11 BSP Perlakuan
Kadar hara (%)
Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70 Aplikasi pemupukan: granular fertigasi slow release
N
P
K
1.66a 1.72a 0.70b 0.15c
0.16 0.17 0.14 0.15
2.83 2.98 3.38 3.33
1.01 1.08 1.08
0.16ab 0.14b 0.17a
3.16 3.19 3.04
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%.
Kadar P daun (%)
0.30 ab
0.25
a
0.20 0.15
cd cd
abc
abc cd bcd
cd cd
d
cd
0.10 0.05 0.00 51-55
56-60
61-65
66-70
Porositas media (%) granular
fertigasi
slow release
Gambar 26 Pengaruh interaksi antara porositas media dengan aplikasi pemupukan terhadap kadar P daun Hasil analisis terhadap serapan hara daun pada Tabel 37 menunjukkan tidak terdapat pengaruh nyata antara faktor porositas media dengan aplikasi pemupukan terhadap serapan hara N, P dan K. Namun faktor tunggal pemupukan menunjukkan bahwa aplikasi pupuk fertigasi menghasilkan serapan hara N dan K yang tertinggi
127
dibanding aplikasi pupuk granular dan pupuk slow release, sedangkan aplikasi pupuk slow release menghasilkan serapan P yang tertinggi tetapi tidak berbeda nyata dengan aplikasi pupuk fertigasi. Tabel 37 Serapan hara N, P dan K daun pada berbagai porositas media dan aplikasi pemupukan pada 11 BSP Perlakuan Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70 Aplikasi pemupukan: Granular Fertigasi slow release
Serapan hara daun (g/tanaman) N
P
K
10.19 14.86 13.80 10.87
1.02 1.28 1.06 0.89
17.51 22.41 24.89 19.49
10.04 b 15.13 a 12.12 ab
0.81 b 1.17 a 1.21 a
16.29 b 26.61 a 20.31 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Tingginya serapan hara N dan K daun pada perlakuan pupuk secara fertigasi karena pupuk N, P dan K dilarutkan terlebih dahulu baru disiram ke media sehingga unsur hara menjadi lebih cepat tersedia bagi tanaman. Dengan melarutkan pupuk dalam air lalu disiramkan ke media tumbuh akan memudahkan unsur hara tersebut diserap oleh akar tanaman melalui cara aliran massa. Aliran massa adalah gerakan unsur hara di dalam tanah menuju permukaan akar tanaman bersama-sama gerakan massa air. Gerakan massa air di dalam tanah menuju ke permukaan akar tanaman berlangsung secara terus menerus karena air selalu diserap oleh akar dan menguap melalui proses transpirasi (Hardjowigeno 1995). Tingginya serapan hara N dan K daun pada aplikasi pupuk secara fertigasi memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman.
Hasil uji korelasi
Pearson pada Tabel 38 menunjukkan bahwa serapan hara N daun berhubungan sangat nyata dan positif dengan bobot kering tajuk, bobot kering total tanaman, pertambahan tinggi tanaman dan volume akar. Serapan hara P daun berkorelasi sangat nyata dan positif dengan volume akar, sedangkan serapan hara K daun berkorelasi nyata dengan bobot kering tajuk, bobot kering total dan pertambahan jumlah daun serta berkorelasi sangat nyata dengan volume akar dan pertambahan
128
tinggi tanaman. Dengan demikian serapan hara N dan K daun yang tinggi pada aplikasi pupuk secara fertigasi secara nyata menyebabkan pertumbuhan pertumbuhan tajuk dan akar yang tertinggi. Begitupula serapan hara P yang tinggi pada aplikasi pupuk slow release secara nyata mendorong pertumbuhan akar, khususnya volume akar yang tertinggi. Hal ini didukung oleh tingginya kandungan hara P daun pada aplikasi pupuk slow release. Kerapatan Stomata Berdasarkan hasil pengamatan kerapatan stomata pada Gambar 27, menunjukkan adanya variasi jumlah stomata pada berbagai perlakuan. Perlakuan porositas media menghasilkan kerapatan stomata antara 71-12 buah/mm dan porositas media 61-65% menghasilkan kerapatan stomata tertinggi yaitu 128.24 buah/mm. Perlakuan aplikasi pemupukan menghasilkan kerapatan stomata antara 78-108 buah/mm dan aplikasi pupuk secara fertigasi menghasilkan kerapatan stomata tertinggi yaitu 107.01 buah/mm. 140
128.24
(a)
(b)
107.01
103.18
Kerapatan stomata (buah/mm)
108.70
120 Kerapatan stomata (buah/mm)
120 100
100 80
71.34
77.28
60 40 20
7.65
5.15
7.08
3.62
78.98 80 60 40 20 5.27
4.51
granular
fertigasi
7.85
0
0 51-55 atas
56-60
61-65
66-70
slow release
bawah
Gambar 27 Kerapatan stomata pada berbagai porositas media (a) dan aplikasi pemupukan (b). Nilai pengamatan merupakan rata-rata ± standard error dari 6 tanaman
131
Tabel 38 Hubungan antara peubah pertumbuhan tanaman pada berbagai aplikasi pemupukan Peubah
BKA
BTjk
BKTot
PA
VA
BKA 1.00 BKTjk 0.53tn 1.00 BKTot 0.67* 0.98** 1.00 PA 0.33tn -0.09** -0.01tn 1.00 VA 0.69* 0.83** 0.87** -0.02tn 1.00 0.64tn 0.58tn 0.65tn 0.15tn 0.75* PTT PJD 0.76* 0.52tn 0.61tn 0.52tn 0.59tn PLD 0.76* 0.40tn 0.51tn 0.003tn 0.48tn KN 0.21tn 0.17tn 0.19tn 0.29tn 0.54tn KP 0.57tn -0.65* -0.69* -0.29tn -0.44tn KK -0.06tn -0.29tn -0.27tn 0.20tn -0.30tn SN 0.52tn 0.83** 0.83** 0.24tn 0.82** SP 0.36tn 0.60tn 0.60tn -0.19tn 0.80** 0.76* 0.79* 0.10tn 0.81** SK 0.59tn **=berkorelasi nyata pada taraf 1% uji korelasi Pearson * =berkorelasi nyata pada taraf 5% uji korelasi Pearson tn=berkorelasi tidak nyata BKA BKTot VA PJD KN KK SP
= Bobot kering akar = Bobot kering total tanaman = Volume akar = Pertambahan jumlah daun = Kadar hara N daun = Kadar hara K daun = Serapan hara P daun
PTT
PJD
PLD
KN
KP
KK
SN
SP
1.00 0.71** 0.67* 0.27tn -0.36tn 0.39tn 0.71* 0.61tn 0.95**
1.00 0.39tn 0.15tn -0.67* 0.14tn 0.59tn 0.26tn 0.71*
1.00 -0.06tn -0.30tn 0.30tn 0.32tn 0.32tn 0.58tn
1.00 -0.09tn -0.34tn 0.47tn 0.39tn 0.21tn
1.00 0.09tn -0.57tn 0.12tn -0.42tn
1.00 -0.06tn -0.23tn 0.24tn
1.00 0.60tn 0.81**
1.00 0.71*
BKTjk PA PTT PLD KP SN SK
= Bobot kering tajuk = Panjang akar primer = Pertambahan tinggi tanaman = Pertambahan luas daun = Kadar hara P daun = Serapan hara N daun = Serapan hara K daun
129
130
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Porositas media 61-65% dan aplikasi pupuk secara fertigasi memberikan pengaruh interaksi terhadap sebagian pertumbuhan akar dan tajuk. Porositas 61-65% dengan pemupukan secara fertigasi menghasilkan pertumbuhan panjang akar tertinggi (26.83 cm), bobot kering akar (10.07 g/tanaman), pertambahan tinggi tanaman (17.90 cm), pertambahan lebar kanopi (11.25 cm), pertambahan luas daun 717.60 cm2, bobot kering tajuk (18.33 g/tanaman) dan bobot kering total (28.40 g/tanaman). 2. Porositas media 61-65% menghasilkan pertumbuhan tajuk (tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, diameter batang, lebar kanopi, bobot kering tajuk) dan pertumbuhan akar (panjang dan volume akar serta bobot kering akar) yang terbaik. 3. Serapan hara N dan K daun yang tinggi pada aplikasi pupuk secara fertigasi yaitu masing-masing 15.13 dan 26.61 g/tanaman mendorong peningkatan pertumbuhan tajuk dan akar yang terbaik dibanding aplikasi pupuk granular atau pupuk slow release.
131
PENINGKATAN PERTUMBUHAN BIBIT MANGGIS PADA DUA JENIS POT DENGAN PENGATURAN POROSITAS MEDIA Increasing the Growth of Mangosteen Seedlings in Two Types of Pots by Media Porosity Arrangements Abstrak Perbaikan lingkungan tumbuh melalui pengaturan porositas media dan penggunaan pot beraerasi diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Percobaan ini telah dilakukan dengan tujuan mempelajari pertumbuhan tanaman manggis pada dua jenis pot dengan berbagai porositas media. Percobaan telah dilaksanakan di Rumah Plastik dan di lahan Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB, Tajur, yang berlangsung dari bulan Januari 2009 hingga April 2011. Percobaan disusun menggunakan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap dan diulang tiga kali. Faktor pertama adalah jenis pot dan faktor kedua adalah porositas media. Hasil percobaan menunjukkan penggunaan wadah pembibitan dari keranjang anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan akar dan tajuk yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding polybag. Tanaman pada wadah keranjang anyaman bambu menghasilkan bobot kering akar (4.46 g), panjang akar (25.95 cm), volume akar (7.79 ml), bobot kering total (22.56 g) dan bobot kering tajuk (18.10 g) nampak lebih tinggi dibanding pada polybag. Pertumbuhan yang baik saat pembibitan juga memberikan pengaruh setelah tanaman dipindahkan ke lahan, dimana tanaman yang asalnya dari wadah keranjang anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan tajuk yang lebih tinggi dibanding dari polybag, yang terlihat dari pertambahan tinggi tanaman (10.79 cm) dan pertambahan lebar kanopi (9.19 cm). Kata kunci: manggis, porositas media, pot, aerasi Abstract Improvements of the growing environmental by media porosity setting and the use of aeration pot was expected to increase plant growth. This experiment was conducted to study mangosteen plant growth in two types of pots containers in various media porosity. The experiments was conducted in the Plastic house and Experimental Farm at Centre for Tropical Fruit Studies (CETROFS) Bogor Agricultural University, Tajur, from January 2009 until April 2011. Experiments were using a factorial experiment with completely randomized design and repeated three times. The first factor was pot type and the second factor was media porosity. Results shown that the use of woven bamboo pots obtained shoot and root growth higher than the polybag. Plants in woven bamboo pot produced root dry weight (4.46 g), root length (25.95 cm), root volume (7.79 ml), total dry weight (22.56 g) and shoot dry weight (18.10 g) higher than in the polybag. Better seedlings growth also influence further crop development when transplanting into bare land, where the crop from bamboo baskets pot generate higher canopy growth than from polybag, as seen from the additional of plant height (10.79 cm) and additional of canopy width (9.19 cm). Keywords: mangosteen, media porosity, pots, aeration
132
Pendahuluan Latar Belakang Umumnya
penyusunan
media
tumbuh
belum
mempertimbangkan
kesesuaian media dengan karakteristik perakaran. Penyusunan media tumbuh lebih banyak berdasarkan faktor kemudahan mendapatkan sumber media dan kepraktisan dalam pembuatan media tumbuh. Pembuatan media tumbuh yang sesuai karakteristik perakaran dan lingkungan tumbuh akan memberikan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman. Media tumbuh pada bibit manggis umumnya berupa campuran tanah dan sedikit pupuk kandang. Komposisi media tersebut kurang mendukung bagi pertumbuhan akar, ditambah lagi dengan karakteristik morfologi tanaman manggis yang memang memiliki perakaran yang terbatas. Dari beberapa laporan diketahui bahwa media yang porous dapat mendorong pertumbuhan akar sehingga meningkatkan serapan air dan unsur hara. Menurut Wiebel et al. (1992a) bahwa pertumbuhan bibit manggis pada media porous nampak lebih baik dibandingkan media kurang porous. Penilaian porous atau kurang porous pada media tumbuh sebenarnya merupakan nilai dari persen porositas. Menurut Hardjowigeno (1987), porositas atau ruang pori total merupakan bagian tanah atau media yang ditempati oleh fraksi air dan udara. Selanjutnya menurut Hillel (1997) bahwa porositas dipengaruhi oleh tekstur dan struktur serta bentuk dari partikel tanah atau media. Porositas media mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap aerasi, dimana pada kondisi aerasi yang baik ketersediaan oksigen juga meningkat sehingga meningkatkan respirasi akar (Gardner et al. 1991). Penggunaan pot beraerasi tinggi dipandang memiliki pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan bibit manggis karena mempunyai sirkulasi udara yang baik. Selama ini pada pembibitan manggis digunakan polybag yang ternyata memiliki aerasi yang kurang baik utamanya apabila menggunakan media tumbuh yang agak massive. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan terobosan baru dalam memperbaiki aerasi melalui penggunaan pot beraerasi tinggi dari keranjang anyaman bambu dan dibandingkan dengan polybag.
Perbaikan
lingkungan
tumbuh khususnya perbaikan aerasi melalui pengaturan porositas dan penggunaan pot beraerasi tinggi diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan bibit manggis.
133
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan telah dilaksanakan di Rumah Plastik dan di lahan Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) Institut Pertanian Bogor, Tajur dan berlangsung dari bulan Januari 2009 hingga Mei 2011.
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan antara lain bibit manggis umur 1 tahun, media (tanah, arang sekam padi, pupuk kandang kambing dan pasir), pestisida (mankozeb dan deltametrin), pupuk urea, SP-18 dan KCl, pupuk NPK Growmore (20-20-20).
Alat-alat yang digunakan antara lain Light meter tipe LI-250A,
jangka sorong digital 0-150 mm, polybag ukuran 35 cm x 35 cm, pot keranjang ayaman bambu (tinggi 25 cm dan diameter 25 cm), gelas ukur 500 ml, papan paku (pin board) 50 cm x 50 cm, paranet 65%, timbangan analitik, hand sprayer, jangka sorong digital 0-150 mm, kertas sampel dan meteran. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap dan diulang tiga kali. Faktor pertama adalah jenis pot, yang terdiri atas pot anyaman bambu dan polybag. Faktor kedua adalah porositas media, terdiri 4 taraf: 51-55%, 56-60%, 61-65% dan 66-70%. Model linier yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Yijk = + αi + j + (α)ij + ijk ; (Gomez & Gomez 1984) i = 1, …,a, j = 1, …,b, k = 1, … c Keterangan: Yijk = αi j (α)ij ijk
= = = = =
nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor jenis pot dan taraf ke- j dari faktor porositas media) nilai tengah populasi (rataan yang sesungguhnya) pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor jenis pot pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor porositas media pengaruh interaksi taraf ke-i faktor jenis pot dan taraf ke-j faktor porositas media pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij
134
Sterilisasi media dilakukan dengan cara dipanaskan di dalam drum selama 8 jam untuk mencegah serangan patogen tular tanah pada bibit. Pengisian media menggunakan perbandingan masing-masing sebanyak 8 l ke dalam polybag dan pot dari keranjang anyaman bambu. Penanaman diawali dengan memilih bibit yang pertumbuhannya relatif seragam. Pemindahan bibit dilakukan dengan membuang media tumbuh asal dan akar tanaman dicuci secara hati-hati lalu bibit ditanam pada media yang baru sesuai perlakuan. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, penyiangan, pemupukan dan pengendalian hama/penyakit. Penyiraman dilakukan dengan memperhatikan kelembaban tanah. Penyiangan dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang tumbuh di sekitar tanaman. Aplikasi pemupukan dengann pupuk NPK Growmore sebanyak 2 g/l air dan diaplikasikan setiap minggu. Pengendalian penyakit menggunakan fungisida berbahan aktif mankozeb dan pengendalian hama menggunakan insektisida berbahan aktif deltametrin. Setelah selesai penelitian di rumah kaca maka tanaman di pindahkan ke lahan. Penanaman diawali dengan pembuatan lubang tanaman dengan ukuran 75 cm x 75 cm x 75 cm. Penanaman dilakukan dengan menyertakan media pembibitan ke lubang tanaman. Untuk melindungi tanaman dari sinar matahari langsung maka dipasang paranet 65% pada setiap tanaman. Umumnya paranet akan dilepas saat tanaman berumur kurang lebih 2 tahun setelah tanaman di lahan. Pemeliharaan meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian hama/penyakit. Penyiraman dilakukan pagi dan sore hari apabila tidak ada hujan. Pemupukan dilakukan dosis 20 kg pupuk kandang dan 50 g Urea, 50 g SP-18 dan 25 g KCl per pohon. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida yang sama saat pembibitan. Peubah yang diamati pada percobaan ini adalah sebagai berikut: 1.
Pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi, diameter batang dan luas daun dilakukan setiap bulan. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai buku teratas. Jumlah daun dihitung berdasarkan semua daun yang terbentuk.
Tunas muda sudah dikategorikan sebagai daun yang
termasuk dapat dihitung apabila tunas tersebut sudah membuka dan membentuk daun. Lebar kanopi diukur lebar tajuk pada 2 arah secara tegak
135
lurus lalu dihitung nilai rataannya. Diameter batang diukur pada pangkal batang sekitar 3 cm dari permukaan media.
Luas daun dihitung dengan
persamaan: Y=10.09X1 + 3.07X2 - 51.87 dan R2 = 0.98, di mana Y = luas daun (cm2), X1 = lebar daun (cm) dan X2 = panjang daun (cm). 2.
Bobot kering tanaman diperoleh melalui penimbangan bobot kering (akar, batang dan daun) pada akhir penelitian. Berangkasan tanaman dikeringkan di dalam oven pada suhu 80 oC selama 24 jam.
3.
Pengamatan panjang akar primer dilakukan pada papan paku (pin board) ukuran 50 cm x 50 cm. Panjang akar primer diukur mulai dari pangkal akar yang menempel pada batang hingga ujung akar primer.
4.
Volume akar diukur dengan metode Archimedes.
Caranya adalah akar
dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air, di mana air yang tumpah akibat tekanan akar, diukur sebagai volume akar. 5.
Pengamatan terhadap pertumbuhan tunas dilakukan pada tunas yang tumbuh pada pucuk apikal. Contoh tunas yang terpilih diberi tanda untuk diamati pertumbuhannya. Pertumbuhan tunas dibedakan menjadi 4 stadia (trubus awal, trubus penuh, trubus dewasa dan dormansi) dengan kriteria perubahan warna daun mengacu pada Rai (2004), seperti pada Gambar 2.
6.
Pengamatan pertumbuhan tanaman setelah bibit ditanam di lahan, meliputi tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar kanopi. Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap bulan selama 5 bulan setelah tanam (BST).
Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam dan apabila perlakuan berpengaruh nyata berdasarkan uji F, maka dilakukan uji lanjutan untuk membandingkan nilai rataan antar perlakuan dengan menggunakan uji jarak berganda Duncan.
136
Hasil dan Pembahasan Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Hasil analisis sidik ragam dari hasil pengamatan saat saat pembibitan di rumah plastik disajikan pada Lampiran 10. Faktor jenis pot berpengaruh terhadap tinggi tanaman (7,9 dan 11 BST), diameter batang (5 dan 9 BST), luas daun (5-11 BST), bobot kering akar, bobot kering tajuk bobot kering total, panjang akar primer dan volume akar . Faktor porositas media berpengaruh terhadap tinggi tanaman (5-11 BST) dan pertambahan tinggi tanaman; lebar kanopi 11 BST dan pertambahan lebar kanopi; luas daun (5, 7 dan 11 BST) dan pertambahan luas daun, bobot kering akar, bobot kering tajuk, bobot kering total, panjang akar primer dan volume akar. Faktor jenis pot dan porositas media memberikan pengaruh interaksi terhadap luas daun (5,7 dan 9 BST). Hasil sidik ragam dari hasil pengamatan saat penanaman di lahan disajikan pada Lampiran 11. Tanaman yang saat pembibitan menggunakan wadah dari pot anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan tajuk yang lebih tinggi dibanding tanaman yang awalnya ditanam di dalam polybag. Komponen Pertumbuhan Tanaman Saat Pembibitan Perkembangan trubus Pada Tabel 39, terlihat jenis pot memberikan pengaruh nyata terhadap semua peubah stadia pertumbuhan tunas. Nampak adanya perbedaan yang nyata terhadap periode trubus antara perlakuan pot anyaman bambu (40.83 hari) dengan polybag (44.21 hari). Hal tersebut mengakibatkan siklus trubus yang pendek pada penanaman di dalam pot anyaman bambu yaitu 99.29 hari dibandingkan polybag yang memiliki siklus trubus lebih panjang (di atas 100 hari). Perbedaan yang nyata pada pertumbuhan trubus memberikan indikasi bahwa penggunaan pot yang beraerasi tinggi akan mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi dan hal ini sejalan dengan hasil pengamatan pertumbuhan tajuk pada Tabel 40 sampai 44 dan pertumbuhan akar pada Tabel 45.
137
Tabel 39 Rata-rata lama periode trubus, periode dormansi dan siklus trubus pada dua jenis pot Perlakuan
Jenis pot: Pot anyaman bambu Polybag Keterangan:
Stadia/periode pertumbuhan tunas Trubus Trubus Trubus Periode Periode Siklus awal penuh dewasa dormansi trubus* trubus** ....................................... (hari) ................................................ 13.04b 10.75b 17.04b 58.46b 40.83b 99.29b 14.25a
12.50a
17.88a
59.54a
44.21a
103.75a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% * Periode trubus = trubus awal + trubus penuh + trubus dewasa **Siklus trubus = periode trubus + periode dormansi
Pertumbuhan tajuk Penggunaan pot yang beraerasi tinggi dari keranjang anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan tajuk (tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang dan lebar kanopi serta luas daun), pertambahan (tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi, diameter batang dan luas daun), bobot kering tajuk dan total tanaman lebih tinggi dibandingkan penanaman di polybag seperti yang disajikan pada Gambar 28 dan 29 serta Tabel 40 sampai 44. Pada Tabel 40 nampak bahwa perlakuan pot keranjang anyaman bambu berbeda nyata dengan polybag terhadap tinggi tanaman mulai 7 BST dan diameter batang mulai 5 BST, sedangkan terhadap jumlah daun dan lebar kanopi menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada awal penanaman belum terlihat perbedaan yang nyata antara penanaman pada wadah keranjang anyaman bambu dengan penanaman di polybag terhadap pertumbuhan tajuk, kecuali terhadap peubah luas daun pada Tabel 41 dan 42 yang sudah memperlihatkan perbedaan yang nyata sejak awal penanaman. Tanaman pada wadah keranjang bambu memiliki luas daun sebesar 1501.02 cm2 yang nyata dan lebih tinggi dibanding tanaman pada polybag yang memiliki luas daun sebesar 1327.63 cm2 pada 11 BST. Perbedaan yang sangat besar tersebut menunjukkan bahwa tanaman pada wadah keranjang bambu memiliki pertumbuhan yang lebih baik karena didukung oleh kondisi wadah yang memiliki aerasi yang lebih baik dibanding polybag.
138
Pada Tabel 40 sampai 44 nampak bahwa porositas media 61-65% menghasilkan tinggi tanaman dan luas daun, pertambahan (tinggi tanaman, lebar kanopi dan luas daun) yang nyata dan lebih baik dibanding porositas media lainnya. Demikian pula terhadap jumlah daun dan lebar kanopi juga memberikan pengaruh terbaik tetapi tidak berbeda nyata dengan porositas media 56-60%. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kisaran porositas media 56-60% dan 6165% menghasilkan pertumbuhan tajuk yang lebih baik dibandingkan porositas media lainnya.
A
B
Gambar 28 Keragaan pertumbuhan bibit manggis pada porositas media 61-65% pada pot keranjang anyaman bambu (A) dan polybag (B)
A
B
Gambar 29 Keragaan pertumbuhan bibit manggis pada porositas media 56-60% pada pot keranjang anyaman bambu (A) dan polybag (B)
139
Tabel 40
Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi dan diameter batang
Perlakuan
Bulan setelah tanam (BST) 3 5 7 9 11 …………………………. Tinggi tanaman (cm) ……………………….. Jenis pot: Pot anyaman bambu 22.96 25.58 28.28a 31.39a 34.45a Polybag 21.89 24.54 27.19b 30.17b 32.73b Porositas media (%): 51-55 21.86 23.89b 26.00c 27.83c 30.95c 56-60 22.55 25.09ab 27.60b 30.49b 34.09b 61-65 22.96 26.93a 30.08a 33.95a 35.96a 66-70 22.33 24.33b 27.27bc 30.87b 33.35b …………………………… Jumlah daun (helai) …………………………. Jenis pot: Pot anyaman bambu 8.88 10.96 12.54 14.04 14.96 Polybag 8.83 10.92 12.17 13.75 14.58 Porositas media (%): 51-55 8.75 10.58 11.58 13.25 14.25 56-60 9.00 11.83 13.50 14.83 15.33 61-65 8.83 10.83 12.67 14.17 15.00 66-70 8.83 10.50 11.67 13.33 14.50 ………………………….. Lebar kanopi (cm) …………………………. Jenis pot: Pot anyaman bambu 28.79 31.26 34.05 36.56 39.92 Polybag 27.54 30.39 32.56 35.80 38.36 Porositas media (%): 27.63 29.64 31.50 33.69 36.25b 51-55 56-60 28.58 32.26 34.28 36.88 39.89a 61-65 28.15 30.93 34.06 37.21 40.68a 66-70 28.31 30.47 33.36 36.94 39.73a …………………………………. Diameter batang (mm) …………………….. Jenis pot: Pot anyaman bambu 4.02 4.78a 5.33 6.23a 6.49 Polybag 3.96 4.49b 5.29 5.88b 6.37 Porositas media (%): 51-55 4.00 4.54 5.13 5.89 6.27 4.11 4.79 5.45 6.14 6.51 56-60 61-65 3.92 4.61 5.31 6.14 6.57 66-70 3.91 4.59 5.37 6.05 6.38
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Pada Tabel 41, terlihat bahwa porositas media 56-60% dan 61-65% pada pot anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan luas daun yang tinggi dibandingkan porositas media lainnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
140
penggunaan pot dari anyaman bambu yang memiliki aerasi yang baik apabila dipadukan dengan porositas media 56-60% dan 61-65% akan memberikan lingkungan tumbuh yang optimal bagi pertumbuhan tajuk. Tabel 41 Pengaruh interaksi antara jenis pot dan porositas media terhadap luas daun pada 5, 7, 9 BST Jenis pot Pot anyaman bambu
Porositas media (%) 51-55 56-60 61-65 66-70
Polybag
51-55 56-60 61-65 66-70
Luas daun (cm2) pada BST 5 7 9 1134.27 bc 1226.40 bc 1300.21 cd 1275.44 a 1387.09 a 1487.21 ab 1287.03 a 1394.12 a 1495.48 a 1141.19 bc 1245.66 bc 1360.33 bc 1096.10 cd 1020.39 d 1220.49 ab 1175.01 abc
1200.15 bc 1143.35 c 1287.53 ab 1260.12 bc
1285.11 cd 1200.13 d 1320.17 cd 1295.86 cd
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%%
Tabel 42 Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap pertumbuhan luas daun pada 3 dan 11 BST Luas daun (cm2) pada BST 3 11
Perlakuan Jenis pot: Pot anyaman bambu Polybag
1112.19 a 932.19 b
1501.02 a 1327.63 b
Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70
972.56 1040.34 1093.01 982.85
1357.68 b 1406.48 b 1509.24 a 1383.90 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Pada Tabel 43 nampak bahwa sampai 11 BST, belum terdapat perbedaan yang nyata antara penanaman pada wadah keranjang bambu dengan polybag terhadap pertambahan tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi, diameter batang dan luas daun.
Namun perlakuan porositas media memberikan perbedaan yang
nyata terhadap peubah pertambahan (tinggi tanaman, lebar kanopi dan luas daun),
141
dimana porositas media 61-65% menghasilkan nilai yang tertinggi, sedangkan porositas media 51-55% menghasilkan pertambahan terendah. Pada Tabel 44 terlihat bahwa pot keranjang anyaman bambu menghasilkan bobot kering tajuk dan bobot kering total yang nyata dan lebih tinggi dibanding polybag.
Tanaman pada pot keranjang anyaman bambu menghasilkan bobot
kering tajuk dan bobot kering total yaitu masing-masing 18.10 g dan 22.56 g, sedangkan tanaman pada wadah polybag memiliki bobot kering tajuk 14.47 g dan bobot kering total 18.06 g.
Hal ini sejalan dengan peubah tinggi tanaman dan
luas daun, yaitu tanaman pada pot keranjang anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan tajuk lebih baik dibandingkan pada polybag.
Porositas media
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap bobot kering tajuk dan bobot kering total, dimana porositas media 61-65% menghasilkan bobot kering tajuk 19.85 g dan bobot kering total 24.86 g yang lebih tinggi dibandingkan porositas media lainnya. Tabel 43 Pengaruh jenis pot dan porositas media terhadap pertambahan (tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi, diameter batang dan luas daun)
Perlakuan
Jenis pot: Pot anyaman bambu Polybag Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70
Tinggi tanaman (cm)
Pertambahan Jumlah Lebar Diameter daun kanopi batang (helai) (cm) (mm)
Luas daun (cm2)
14.74 13.49
6.75 6.50
14.32 13.33
3.23 3.19
662.53 584.51
11.03c 14.56ab 16.60a 14.26 ab
6.17 7.00 7.00 6.33
11.21b 14.34ab 15.66a 14.09ab
2.97 3.30 3.33 3.26
559.38b 583.84b 729.65a 621.22ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
142
Tabel 44 Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap bobot kering tajuk dan total tanaman Perlakuan Jenis pot: Pot anyaman bambu Polybag Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70
Bobot kering tajuk (g)
Bobot kering total (g)
18.10 a 14.47 b
22.56 a 18.06 b
12.89 b 17.18 ab 19.85 a 15.21 b
16.078 c 21.55 ab 24.76 a 18.852 bc
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Pertumbuhan akar Pada Gambar 30 dan Tabel 45 terlihat bahwa penggunaan pot dari keranjang anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan akar yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan polybag. Tanaman pada pot keranjang anyaman bambu menghasilkan bobot kering akar 4.46 g, panjang akar 25.95 cm dan volume akar 7.79 ml, sedangkan tanaman pada polybag memiliki bobot kering akar 3.59 g, panjang akar 21.87 cm dan volume akar 5.88 ml. Porositas media menghasilkan pertumbuhan akar yang berbeda nyata seperti nampak pada Tabel 45, dimana porositas media 61-65% menghasilkan pertumbuhan akar yang nyata dengan perlakuan lainnya. Porositas media 61-65% menghasilkan bobot kering akar 4.90 g, panjang akar primer 27.89 cm, volume akar 9.08 ml yang tertinggi dibanding perlakuan lainnya, sedangkan pada porositas media 51-55% menghasilkan pertumbuhan yang paling rendah, yaitu bobot kering akar 3.19 g, panjang akar 20.05 cm dan volume akar 5.00 ml. Hasil pengamatan tersebut memberikan indikasi bahwa pada porositas media 61-65% terdapat perimbangan komposisi pori makro dan pori mikro yang memungkinkan terdapat keseimbangan fraksi udara dan air pada media tumbuh. Kondisi tersebut memungkinkan tanaman dapat memanfaatkan air dan udara secara optimal sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang secara baik. Sebagaimana diketahui bahwa respirasi akar khususnya respirasi aerobik memerlukan oksigen, dimana tanpa ketersediaan oksigen maka oksidasi terminal
143
tidak akan berlangsung akibatnya seluruh proses respirasi akan berhenti dan bahan-bahan beracun tertimbun sehingga dapat berakibat buruk bagi tanaman. B
A Porositas media 51-55%
Porositas media 56-60%
B
A
Porositas media 61-65%
A
A
B
Porositas media 66-70%
B
Gambar 30 Keragaan akar tanaman manggis pada wadah keranjang anyaman bambu (A) dan polybag (B) pada berbagai porositas media
144
Tabel 45 Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap bobot kering akar, panjang akar primer dan volume akar Perlakuan
Bobot kering akar (g)
Panjang akar primer (cm)
Volume akar (ml)
4.46 a 3.59 b
25.95 a 21.87 b
7.79 a 5.88 b
3.19 c 4.37 ab 4.90 a 3.64 bc
20.05 c 23.19 bc 27.89 a 24.50 b
5.00 c 7.08 b 9.08 a 6.17 bc
Jenis pot: Pot anyaman bambu Polybag Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
Dengan demikian dapat diketahui bahwa terdapat kesamaan pola pertumbuhan akar dan tajuk, dimana baik pada pertumbuhan tajuk maupun akar, pertumbuhan tertinggi pada perlakuan pot keranjang anyaman bambu dan porositas media 56-60% dan 61-65%, sedangkan pertumbuhan terendah pada penanaman di polybag dan perlakuan porositas 51-55% dan 66-70%. Hal ini berarti untuk mendorong pertumbuhan tajuk maka dilakukan penanaman pada pot yang beraerasi tinggi disertai penggunaan media tumbuh dengan porositas sedang. Perbandingan pertumbuhan tajuk dan akar Untuk melihat keseimbangan pertumbuhan tajuk dan akar, maka dilakukan pengamatan terhadap rasio tajuk/akar. Pada Tabel 46, nampak bahwa perlakuan jenis pot dan porositas media tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasio tajuk/akar pada 11 BSP. Tabel 46 Rasio tajuk/akar pada dua jenis pot dan porositas media pada 11 BSP Perlakuan Rasio tajuk/akar Jenis pot: Pot anyaman bambu 4.10 a Polybag 4.08 a Porositas media (%): 51-55 4.01 a 56-60 4.08 a 61-65 4.15 a 4.13 a 66-70 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95%
145
Komponen Pertumbuhan Tanaman di Lahan Untuk melihat pengaruh perlakuan saat pembibitan terhadap pertumbuhan tanaman maka tanaman dilakukan penanaman di lahan. Setelah bibit ditanam di lahan menunjukkan adanya perbedaan pertumbuhan antara tanaman yang berasal dari pot keranjang anyaman bambu dengan dari polybag. Pada Tabel 47,48 dan 49, terlihat bahwa sejak 1 sampai 5 BST, menunjukkan bahwa tanaman manggis yang awalnya ditanam pada pot keranjang anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar kanopi yang lebih baik dibandingkan bibit yang awalnya ditanam di dalam polybag. Pertambahan tinggi tanaman selama 5 BST masing-masing 10.79 cm (asal pot anyaman bambu) dan 9.93 cm (asal polybag). Pertambahan lebar kanopi masing-masing 9.19 cm (asal pot anyaman bambu) dan 7.31 cm (asal polybag). Pertumbuhan yang lebih baik pada tanaman yang awalnya ditanam pada pot keranjang anyaman bambu diduga karena pengaruh pertumbuhan akar lebih baik saat pembibitan. Faktor porositas media saat pembibitan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman manggis, jumlah daun dan lebar kanopi saat ditanam di lahan. Nampak bahwa tanaman yang saat pembibitan ditanam porositas media 56-60% dan 61-65% menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik saat ditanam di lahan. Hal ini diduga porositas sedang sampai tinggi memberikan kondisi ideal bagi perkembangan akar saat pembibitan sehingga saat tanaman dipindahkan ke lahan maka dapat segera beradaptasi dengan lingkungan tumbuh sehingga menghasilkan performan pertumbuhan yang lebih baik.
146
Tabel 47 Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap pertumbuhan tinggi tanaman setelah ditanam di lahan Perlakuan 1 Jenis pot: Pot anyaman bambu Polybag Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70
Tinggi tanaman (cm) pada BST 2 3 4
5
Pertambahan
35.62a
37.95a
39.57a
41.51a
46.41a
10.79
33.76b
36.39b
38.33b
40.33b
43.68b
9.93
31.53c 35.43b 37.15a 34.63b
33.80c 39.16a 39.12a 36.60b
35.57c 41.30a 40.57a 38.34b
37.65d 43.83a 42.14b 40.06c
41.14c 47.22a 47.64a 44.19b
9.61b 11.78a 10.49ab 9.56b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% BST = bulan setelah tanam
Tabel 48 Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap pertumbuhan jumlah daun setelah ditanam di lahan Perlakuan 1 Jenis pot: Pot anyaman bambu Polybag Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70
Jumlah daun (helai) pada BST 2 3 4
5
Pertambahan
23.17a
24.17
25.58a
26.92a
27.67a
4.50
22.33b
23.08
24.75b
25.50b
26.58b
4.25
21.17b 23.33a 23.67a 22.83a
22.00b 24.33a 24.33a 23.83a
23.33b 26.17a 25.83a 25.33a
24.33b 27.17a 26.83a 26.50a
24.83b 28.17a 28.00a 27.50a
3.67b 4.83a 4.33ab 4.67ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% BST = bulan setelah tanam
147
Tabel 49 Pengaruh perlakuan jenis pot dan porositas media terhadap pertumbuhan lebar kanopi setelah ditanam di lahan Perlakuan 1 Jenis pot: Pot anyaman bambu Polybag Porositas media (%): 51-55 56-60 61-65 66-70
Lebar kanopi (cm) pada BST 2 3 4
5
Pertambahan
41.97
44.08a
45.78a
48.26a
51.17a
9.19a
40.31
42.11b
43.32b
45.75b
47.62b
7.31b
37.94b 41.62a 43.88a 41.12a
40.46b 41.83b 44.73a 46.46a 44.49a 45.96a 42.72ab 43.95ab
44.43b 49.47a 48.59a 45.54b
45.24c 51.98a 51.57a 48.78b
7.29b 10.36a 7.69b 7.67b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf kepercayaan 95% BST = bulan setelah tanam
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pot pembibitan dari keranjang anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan akar dan tajuk yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding polybag karena memiliki sirkulasi udara yang lebih baik. Pot keranjang anyaman bambu menghasilkan bobot kering akar (4.46 g), panjang akar (25.95 cm), volume akar (7.79 ml), bobot kering total (22.56 g), bobot kering tajuk (18.10 g) yang lebih tinggi dibanding polybag. 2. Porositas media 61-65% dan 56-60% menghasilkan pertumbuhan tajuk dan akar yang lebih tinggi dibanding porositas 51-55% dan 66-70% baik saat pembibitan maupun setelah penanaman di lahan. 3. Pertumbuhan yang baik saat pembibitan berpengaruh setelah tanaman dipindahkan ke lahan, dimana tanaman yang asalnya dari pot keranjang anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan tajuk lebih tinggi dibanding dari polybag yang nampak dari pertambahan tinggi tanaman (10.79 cm) dan pertambahan lebar kanopi (9.19 cm).
149
PEMBAHASAN UMUM Manggis merupakan salah komoditi hortikultura yang memiliki prospek cerah karena permintaan buah ini sangat tinggi, baik permintaan pasar dalam negeri maupun luar negeri. tanaman,
mulai
Hal ini menjadi alasan pentingnya pengelolaan
pembibitan
sampai
produksi
untuk
meningkatkan
produktivitasnya. Kendala utama pengembangan manggis adalah lambatnya pertumbuhan, baik saat pembibitan maupun setelah ditanam di lahan. Kondisi tersebut menyebabkan masa bibit siap tanam menjadi lebih lama (3-4 tahun) sehingga kebutuhan bibit tidak bisa segera dipenuhi dalam waktu yang singkat dan masa tanaman belum menghasilkan (TBM) menjadi lama yaitu 8-15 tahun (tanaman asal biji). Pertumbuhan yang lambat antara lain disebabkan: (a) buruknya sistem perakaran, sehingga (b) penyerapan air dan hara lambat, (c) rendahnya laju fotosintesis, dan (d) rendahnya laju pembelahan sel pada meristem pucuk (Wibel et al. 1992a; Ramlan et al.
1992; Poerwanto 2000). Akar tanaman
manggis tumbuh sangat lambat, rapuh, jumlah akar lateral terbatas dan tidak mempunyai akar rambut, mudah rusak sehingga luas permukaan kontak antara akar sengan media tumbuh relatif sempit yang mengakibatkan serapan air dan hara menjadi terbatas (Cox 1988). Karakteristik pertumbuhan akar yang lambat dan kurang berkembang serta jumlah akar lateral terbatas menyebabkan bibit manggis peka terhadap kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan seperti cekaman kekeringan. Oleh karena itu pengaturan ketersediaan air sangat diperlukan sehingga bisa menghindari dampak negatif akibat cekaman kekeringan. Namun pemberian air harus disesuaikan dengan kebutuhan tanaman agar diperoleh efisiensi penggunaan air. Dengan demikian pemahaman karakteristik fisik sangat dibutuhkan utamanya yang berhubungan dengan kemampuan media menyimpan air. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dilakukan penelitian yang difokuskan pada upaya pemacuan pertumbuhan manggis melalui perbaikan media tumbuh yang berbasis porositas dan pengelolaan faktor lingkungan tumbuh seperti air, unsur hara dan udara. Selama ini aspek porositas media belum digunakan dasar sebagai pertimbangan dalam perakitan media tumbuh, karena belum tersedia
150 informasi yang akurat mengenai porositas media sehingga penyusunan komposisi media masih berdasarkan kebiasaan yang berawal dari proses mencoba-coba. Padahal perbedaaan porositas media tumbuh akan mempengaruhi kapasitas menyimpan air, sehingga pada porositas media yang berbeda akan diperlukan interval penyiraman yang berbeda dalam upaya memenuhi kebutuhan tanaman. Selama ini media pembibitan manggis hanya berupa media tanah atau campuran tanah dan sedikit pupuk kandang. Apabila komposisi media tersebut menggunakan tanah dengan tekstur yang dominan liat maka dapat menyebabkan pemadatan yang berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan akar. Media yang tergolong padat atau massive biasanya memiliki porositas yang rendah sehingga memiliki kapasitas menyimpan air yang tinggi tetapi sebagian besar air tersebut justeru tidak bisa dimanfaatkan secara optimal bagi tanaman (Dresboll 2010).
Bahkan pada kondisi media yang sangat padat atau porositas
media sangat rendah (jumlah ruang pori-pori makro sangat sedikit) dengan penyiraman yang intensif justeru bisa berakibat terjadinya penggenangan dan memicu terjadinya defisiensi O2. Sebaliknya pada media berporositas tinggi memiliki kelebihan dari aspek kecukupan aerasi sehingga difusi O2 dan CO2 berlangsung optimal dan kandungan O2 di zona perakaran juga meningkat sehingga mendorong aktivitas respirasi. Ketersediaan O2 menjadi syarat mutlak berlangsungnya proses respirasi aerobik utamanya
pada
tahap
oksidasi
terminal.
Peningkatan
respirasi
akan
memungkinkan tersediaanya sejumlah energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan tanaman.
Namun media dengan porositas yang tinggi justeru
memiliki keterbatasan dalam menyimpan air. Oleh karena itu pentingnya strategi penyusunan media tumbuh yang tepat sehingga diperoleh media yang baik dalam menyediakan air dan unsur hara dan juga mampu menciptakan kondisi aerasi yang optimal untuk pertumbuhan tanaman. Untuk mengatasi keterbatasan media dalam menyimpan air maka digunakan polimer penyimpan air (PPA). PPA memiliki fungsi mengikat air yang kuat saat dilakukan penyiraman dan apabila kandungan air media mulai berkurang maka air yang diikat tersebut akan dilepaskan secara perlahan-lahan ke media tumbuh. Mekanisme kerja PPA inilah yang memungkinkan tanaman bisa
151 terhindar dari cekaman kekeringan, utamanya pada media berporositas tinggi. Aplikasi PPA juga dapat mengurangi kehilangan air lewat rembesan air gravitasi sehingga mengurangi penyiraman yang intensif yang selama ini diterapkan pada media berporositas tinggi. Untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman maka dilakukan pemberian hara sesuai kebutuhan tanaman. Dengan karakteristik perakaran bibit manggis yang terbatas maka diperlukan cara pemberian hara yang mampu meningkatkan laju serapan hara. Selama ini dikenal adanya jenis pupuk yang cepat tersedia dan ada pula yang lambat tersedia (slow release). Oleh karena itu dilakukan pula percobaan untuk mempelajari perbedaan aplikasi pupuk yang cepat tersedia dibandingkan dengan yang lambat tersedia terhadap pertumbuhan bibit manggis. Selain itu dibandingkan pula cara aplikasi antara yang dibenamkan ke media tumbuh dengan aplikasi lewat air penyiraman atau biasa dikenal sebagai aplikasi pupuk secara fertigasi. Aplikasi secara fertigasi telah banyak diterapkan produksi tanaman sayuran dan tanaman hias, namun cara ini belum banyak diterapkan pada pembibitan buah-buahan termasuk manggis. Selain itu pada paket teknologi pembibitan manggis belum tersedia panduan mengenai aplikasi pemupukan pada berbagai porositas media. Pemahaman mengenai porositas media akan sangat bermanfaat dalam merancang model aplikasi pemupukan yang tepat sehingga meningkatkan serapan hara dan mendorong pertumbuhan tanaman. Pengaturan aerasi yang baik di sekitar lingkungan tumbuh akan meningkatkan laju difusi O2 dan CO2 sehingga meningkatkan ketersediaan udara utamanya O2. Pengaturan aerasi dilakukan dengan penggunaan pot berpori dari keranjang anyaman bambu yang merupakan terobosan baru dalam perbaikan aerasi. Penggunaan pot yang memiliki banyak pori pada semua sisinya akan meningkatkan ketersediaan O2 sehingga memacu pertumbuhan akar.
Dengan
kondisi aerasi yang baik maka pertumbuhan akar meningkat, bahkan akar bisa tumbuh menembus pori-pori pot yang memungkinkan terpotongnya akar (root prunning). Dampak positif dari root prunning adalah terjadinya peremajaan akar sehingga senantiasa tumbuh akar-akar muda yang aktif dalam menyerap air dan unsur hara. Selama ini dalam pembibitan umumnya digunakan plastik polybag yang diketahui memiliki aerasi yang terbatas karena ruang yang memungkinkan
152 sirkulasi udara hanya terdapat pada permukaan atas polybag dan sejumlah lubang dengan jumlah yang terbatas pada sisi polybag. Oleh karena itu melalui penelitian ini diharapkan diperoleh pemahaman yang menjelaskan perbedaan pertumbuhan bibit akibat penggunaan pot dengan karakteristik aerasi yang berbeda. Dengan demikian penelitian ini secara umum bertujuan meningkatkan pertumbuhan bibit manggis melalui perbaikan komponen teknologi pembibitan manggis dengan cara rekayasa media tumbuh berbasis porositas media dan dikombinasikan dengan lingkungan tumbuh spesifik (air, unsur hara dan udara) yang sesuai karakteristik tanaman.
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan
sumbangan positif dalam perbaikan teknologi pembibitan manggis sehingga mampu dihasilkan bibit yang berkualitas dan siap tanam dalam waktu yang relatif lebih singkat (sekitar 2 tahun) atau lebih cepat dibanding waktu penyiapan bibit yang dilakukan selama ini (3-4 tahun).
Cekaman kekeringan terhadap komponen pertumbuhan dan fisiologis Hasil percobaan menunjukkan terjadinya hambatan pertumbuhan pada semua peubah pertumbuhan tajuk dan akar tanaman apabila tanaman mengalami cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan juga menyebabkan siklus trubus menjadi lebih panjang sebagai akibat peningkatan masa dormansi. Aktivitas fotosintensis juga mengalami penurunan sehingga alokasi fotosintat ke semua bagian tanaman termasuk ke meristem tajuk juga berkurang. Akibatnya pembelahan dan pembesaran sel terhambat dan dampaknya secara visual adalah terhambatnya pembentukan tunas baru yang diukur dari panjangnya periode trubus. Hal ini sesuai Kramer (1983) bahwa cekaman kekeringan berpengaruh pada pertumbuhan vegetatif terutama pertumbuhan tunas baru, luas daun dan nisbah akar/tajuk. Indikator yang banyak digunakan untuk mengetahui terjadinya cekaman kekeringan adalah peningkatan kandungan prolin. Pada penelitian ini diketahui bahwa tanaman yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan memiliki kandungan prolin antara 2.41-3.66 µmol/g berat basah atau mengalami peningkatan 41-114% dibanding tanpa cekaman. Sintesis dan akumulasi kandungan prolin merupakan salah satu mekanisme tanaman dalam menghadapi
153 cekaman kekeringan, dimana prolin merupakan salah satu senyawa organik yang berfungsi sebagai osmotic adjustment. Pada penelitian ini belum diketahui batas kritis dari cekaman kekeringan terhadap laju pertumbuhan tanaman, namun data pertumbuhan menunjukkan bahwa dengan cekaman yang rendah (konsentrasi 5% PEG) sudah mampu menurunkan pertumbuhan tanaman secara linier. Cekaman kekeringan secara konsisten menurunkan pertumbuhan tajuk dan akar secara nyata, dimana semakin tinggi taraf cekaman maka semakin besar penurunan pertumbuhan. Penurunan pertumbuhan akar dan tajuk sebagai akibat perlakuan cekaman kekeringan, ternyata menunjukkan pola yang sejalan dengan potensial air daun. Hubungan antara potensial air daun dengan pertumbuhan tajuk disajikan pada Gambar 5 dan 6, yang menunjukkan penurunan potensial air daun menyebabkan pula penurunan pertumbuhan tajuk secara linier. Hal ini karena cekaman kekeringan menyebabkan berkurangnya pasokan air ke jaringan daun khususnya ke sel jaga sehingga sel menjadi kempis yang kemudian merangsang penutupan stomata. Penutupan stomata menyebabkan terhambatnya difusi CO2 akibatnya laju fotosintesis dan daya hantar stomata mengalami penurunan, begitupula terhadap laju transpirasi (Tabel 11), karena sebagian besar keluarnya air dari jaringan tanaman juga melalui stomata. Kondisi demikian mengakibatkan terhambatnya sejumlah aktivitas fisiologis seperti pembesaran dan pembelahan sel dan responnya terlihat dari penurunan pertumbuhan tajuk dan akar. Hasil penelitan ini membuktikan bahwa bibit manggis mengalami perubahan morfologi dan fisiologi akibat terjadinya cekaman kekeringan. Dengan demikian diperlukan manajemen pengelolaan air yang tepat dalam pembibitan manggis supaya tanaman bisa terhindar dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh cekaman kekeringan.
Dari data pertumbuhan tajuk dan akar menunjukkan
bahwa dengan cekaman yang ringan (5% PEG) sudah mampu menurunkan laju pertumbuhan tanaman sejak awal pembibitan.
Oleh karena itu pengaturan
ketersediaan air sangat diperlukan dengan menyesuaikan kondisi fisik media. Dengan demikian pemahaman perubahan morfologi dan fisiologi tanaman akibat terjadinya cekaman kekeringan harus ditunjang pula oleh pemahaman karakteristik fisik seperti porositas media tumbuh.
154 Penyusunan media tumbuh dengan pendekatan porositas Media tumbuh merupakan salah satu faktor penting dalam industri pembibitan, walaupun sifatnya hanya sementara sampai bibit siap dipindahkan ke lapang, namun sangat mempengaruhi performan pertumbuhan bibit. Bibit yang berkualitas antara lain dihasilkan dari kondisi media yang baik pula. Salah satu indikator media tumbuh dikatakan baik apabila mampu memberikan ruang dan lingkungan tumbuh (air, unsur hara dan udara) yang optimal bagi pertumbuhan tanaman, khususnya untuk pertumbuhan akar. Media yang porous mampu menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan akar sehingga bisa mengoptimalkan fungsi akar sebagai organ penyerap air dan unsur hara, selain sebagai penopang tubuh tanaman. Oleh karena itu dalam penyusunan media tumbuh selayaknya mempertimbangkan karakteristik fisik media. Selama ini media tumbuh untuk pembibitan berupa campuran berbagai sumber media tumbuh dengan perbandingan bobot ataupun volume yang bervariasi, contohnya campuran tanah + pupuk kandang (2:1), campuran tanah + arang sekam + pupuk kandang (1:1:1), campuran tanah + pasir (3:1), dan masih banyak lagi komposisi media yang sering digunakan. Perbandingan campuran media tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh kondisi yang optimal bagi pertumbuhan akar.
Pada dasarnya karakteristik porous ataupun massive
suatu media merupakan suatu nilai yang dikenal dengan istilah porositas media. Masalahnya sampai saat ini belum tersedia informasi yang akurat mengenai nilai porositas dari berbagai jenis media, padahal informasi tersebut sangat dibutuhkan sebagai pertimbangan dalam mendesain media tumbuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari simulasi 20 komposisi media tumbuh, ternyata terdapat variasi porositas media antara 53-70%. Adanya variasi tersebut sangat bermanfaat dalam merakit media tumbuh yang sesuai karakteristik tanaman. Porositas terendah diperoleh pada media tanah dengan nilai porositas sebesar 53.48%, sedangkan campuran media tanah dengan pupuk kandang kambing (2:1) memiliki porositas tertinggi yaitu 69.63%. Berdasarkan variasi nilai porositas pada Tabel 15, maka dipilih empat nilai porositas yang telah digunakan sebagai perlakuan pada percobaan air, pupuk dan jenis pot yang merupakan rangkaian dari penelitian ini.
Keempat kisaran porositas tersebut
155 adalah: 51-55, 56-60, 61-65 dan 66-70. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa keempat kisaran porositas tersebut menghasilkan respon yang berbeda terhadap sebagian besar pertumbuhan tajuk maupun akar. Oleh karena itu dari hasil penelitian ini diperoleh empat kategori porositas media yaitu: porositas media ≤ di bawah 51-55% (rendah), 56-60% (sedang), 61-65% (tinggi) dan ≥ 6670% (sangat tinggi) yang selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan dan penyusunan media pembibitan. Ketersediaan Air dan Porositas Media terhadap Komponen Pertumbuhan dan Aktivitas Fisiologis Peningkatan ketersediaan air dan pengaturan aerasi menunjukkan bahwa interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 61-65% secara nyata meningkatkan
pertumbuhan
tajuk
dan
akar
serta
mendorong
tanaman
menyelesaikan siklus trubusnya lebih cepat. Hal ini dapat dijelaskan melalui pengukuran kadar air dan status air jaringan. Hasil pengukuran kadar air yang ditampilkan pada Gambar 10 menunjukkan bahwa media dengan porositas 6165% miliki kemampuan menyimpan air yang lebih tinggi dibanding porositas lainnya, yang nampak dari kadar air yang lebih tinggi saat kapasitas lapang sampai hari ke-8 setelah kapasitas lapang. Nampak pula adanya penurunan kadar air media sampai hari ke-8, dimana penurunan yang paling kecil diperoleh pada porositas media 61-65%. Data ini menunjukkan bahwa penggunaan PPA pada porositas media 61-65% sangat efektif dalam mempertahankan kandungan air media sehingga berdampak positif terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman. Demikian pula terhadap status air jaringan, dimana perlakuan interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 61-65% menghasilkan potensial air daun dan gradien potensial air jaringan (akar dan daun) yang tinggi. Sebagaimana diketahui air bergerak dari potensial air tinggi ke potensial rendah dan semakin besar gradien potensial air, maka semakin mudah air mengalir. Hal ini memberikan indikasi bahwa penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 61-65% mampu mempertahankan ketersediaan air media, sehingga air dapat diserap akar, lalu dialirkan atau diangkut secara vertikal ke bagian atas tanaman dan menjadi bahan baku dalam proses fotosintesis.
156 Pengaruh porositas media dan interval penyiraman terhadap aktivitas fisiologis dapat dilihat dari pengamatan laju fotosintesis, daya hantar stomata, laju transpirasi dan potensial air jaringan. Interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 61-65% menghasilkan laju laju fotosintesis dan daya hantar stomata yang tertinggi. Apabila dihubungkan antara laju fotosintesis dan daya hantar stomata dengan peubah potensial air daun menunjukkan adanya pola yang respon yang sama pada porositas 61-65% dengan penyiraman 6 hari sekali + PPA. Dengan demikian tingginya laju fotosintesis dan daya hantar stomata antara lain disebabkan meningkatnya potensial air daun. Menurut Ryugo (1988); Salisbury & Ross (1995) bahwa status air merupakan salah satu faktor yang membatasi aktivitas fotosintesis, selain ketersediaan CO2, cahaya, umur tanaman dan genetik. Tingginya daya hantar stomata disebabkan kebutuhan CO2 yang meningkat karena peningkatan aktivitas fisiologis. Peningkatan laju fotosintesis dan daya hantar stomata mendorong pertumbuhan tajuk dan akar lebih baik pada porositas media 61-65% dengan interval penyiraman 6 hari.
Peran Aerasi terhadap Ketersediaan Hara dan Pertumbuhan Tanaman Hubungan antara porositas media dengan ketersediaan hara adalah melalui peran oksigen dalam meningkatkan respirasi akar. Kadar oksigen diketahui cukup tinggi pada media yang porous karena oksigen menempati ruang-ruang pori makro pada media tumbuh. Kandungan oksigen yang tinggi akan meningkatkan respirasi akar yang outputnya berupa energi, yang antara lain digunakan untuk untuk pengangkutan unsur hara ke jaringan akar melalui mekanisme penyerapan aktif. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa apabila akar kekurangan O2 dan karbohidrat maka penyerapan unsur hara juga terhambat karena menurunnya laju respirasi. Hasil percobaan pada tanaman gandum menunjukkan penyerapan hara meningkat apabila respirasi akar meningkat dan ini terjadi apabila tersedia karbohidrat dan O2 sebagai komponen utama dalam respirasi (Darmawan & Baharsjah 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan metode aplikasi pemupukan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kadar hara jaringan daun dan serapan hara daun.
Nampak bahwa aplikasi pupuk slow release
157 menghasilkan kadar hara P daun yang tertinggi dan berbeda nyata dengan aplikasi pupuk secara fertigasi tetapi tidak berbeda nyata dengan pupuk granular. Hal ini disebabkan sifat pupuk slow release yang lambat tersedia sehingga unsur hara yang terkandung dalam pupuk tersebut juga lambat digunakan oleh tanaman, akibatnya kandungan hara P pada akhir penelitian nampak lebih tinggi dibanding aplikasi pupuk granular maupun fertigasi.
Hal ini didukung hasil pengamatan
tajuk dan akar yang menunjukkan aplikasi pupuk slow release justeru menghasilkan pertumbuhan tajuk dan akar yang lebih rendah dibanding aplikasi pupuk secara fertigasi pada media dengan porositas 61-65%. Hasil penelitian juga bahwa menunjukkan faktor tunggal pemupukan menunjukkan pengaruh nyata terhadap serapan hara N dan K daun, dimana perlakuan pupuk secara fertigasi menghasilkan serapan hara N dan K yang tertinggi. Tingginya serapan hara N dan K pada perlakuan pupuk secara fertigasi karena dengan metode penyiraman ke media tumbuh menyebabkan unsur hara menjadi lebih cepat larut dan tersedia bagi tanaman. Serapan N dan K yang tinggi terbukti memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Hasil uji korelasi Pearson pada Tabel 38, menunjukkan bahwa serapan hara N dan K berhubungan sangat nyata dan positif dengan peubah pertumbuhan tajuk dan akar. Demikian pula apabila dihubungkan dengan pertumbuhan tajuk dan akar, ternyata aplikasi pupuk dengan metode fertigasi mendorong peningkatan serapan hara N dan K daun sehingga berdampak pada peningkatan pertumbuhan tajuk dan akar. Perbaikan aerasi melalui perpaduan antara pot yang beraerasi tinggi disertai pengaturan porositas media memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan pertumbuhan bibit manggis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman di dalam pot yang beraerasi tinggi (pot dari keranjang anyaman bambu) secara konsisten memperlihatkan pertumbuhan tajuk dan akar yang lebih tinggi dibanding pada polybag. Pot yang beraerasi tinggi memberikan respon yang terbaik apabila dipadukan dengan porositas media sedang. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan media dengan porositas 56-60 dan 61-65% di dalam pot anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan yang terbaik. Hal ini disebabkan perpaduan antara pot yang beraerasi dengan porositas sedang sampai tinggi mampu menghasilkan lingkungan tumbuh yang optimal bagi pertumbuhan
158 tanaman. Dengan demikian untuk menghasilkan pertumbuhan bibit yang baik, maka sebaiknya digunakan pot yang berpori disertai media tumbuh dengan porositas sedang sampai tinggi. Setelah bibit ditanam di lahan menunjukkan adanya perbedaan pertumbuhan antara tanaman yang berasal dari pot anyaman bambu dengan tanaman dari polybag, dimana tanaman yang berasal dari pot anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan tanaman dari polybag sampai 5 BST. Demikian pula porositas media 56-60 dan 61-65% mampu menghasilkan pertumbuhan optimal saat pembibitan. Diduga penanaman pada pot anyaman bambu dan penggunaan media dengan porositas sedang sampai tinggi mampu menciptakan kondisi aerasi dan ketersediaan air yang baik sehingga mendorong pertumbuhan saat pembibitan, sehingga saat dipindahkan ke lahan maka tanaman bisa beradaptasi cepat dengan lingkungan tumbuh yang baru. Hal ini memberikan gambaran adanya hubungan antara kondisi saat pembibitan dengan kondisi tanaman setelah dipindahkan ke lahan.
Hasil penelitian ini
memberikan informasi mengenai arti penting pengelolaan tanaman yang baik saat pembibitan sehingga dihasilkan bibit yang berkualitas dan menunjukkan performan pertumbuhan yang baik saat ditanam di lahan.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian menunjukkan pentingnya manajemen media dalam memacu pertumbuhan bibit manggis, sekaligus mendukung penyediaan bibit yang berkualitas. Beberapa komponen teknologi dari hasil penelitian ini dapat diacu dalam perbaikan teknologi pembibitan manggis, seperti pembuatan media tumbuh berbasis porositas, pengaturan pemberian air, aplikasi pemupukan dan pengaturan aerasi yang terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan bibit manggis. Melalui serangkaian penelitian yang telah dilakukan dapat dibuat suatu rancangan komponen teknologi untuk melengkapi paket teknologi pembibitan manggis yang telah ada sebagai berikut: a. Penyusunan media tumbuh berdasarkan porositas media Untuk pembuatan media tumbuh selayaknya dipertimbangkan kesesuaian karakteristik perakaran. Oleh karena perakaran tanaman sangat berkaitan dengan
159 medium tumbuh maka pendekatan porositas media menjadi pilihan yang tepat dalam mendesain media tumbuh. Pada Tabel 16 disajikan beberapa alternatif komposisi media yang disusun berdasarkan porositas media. Berdasarkan hasil penelitian ini direkomendasikan penggunaan bahan media dari limbah pertanian/peternakan seperti arang sekam padi dan pupuk kandang yang relatif murah dan mudah didapatkan serta merupakan bahan yang tidak mencemari lingkungan. Penggunaan arang sekam padi sangat baik digunakan sebagai media tumbuh dengan pertimbangan memiliki permukaan yang kasar sehingga dapat meningkatkan porositas media.
Namun kelemahan dari arang sekam adalah
memiliki kemampuan yang rendah dalam menyimpan air.
Sebaliknya sumber
media dari pupuk kandang memiliki kelebihan dalam menyimpan air, selain fungsinya dalam memperbaiki sifat fisik tanah/media.
Struktur media yang
semula padat dengan penambahan pupuk kandang berubah menjadi remah, sebaliknya apabila media awalnya berpasir akan berubah menjadi lebih kompak dengan adanya penambahan pupuk kandang. Selama ini belum tersedia informasi nilai porositas media sehingga dalam pembuatan media tumbuh hanya berdasarkan kebiasaan dari proses mencoba-coba dan pertimbangan ketersediaan bahan media tumbuh. Adanya informasi
nilai
porositas media akan sangat bermanfaat dalam mendesain media tumbuh yang sesuai karakteristik perakaran tanaman, sebagai contoh jenis tanaman yang memiliki perakaran terbatas dan lambat mungkin menghendaki media yang porositasnya sedang sampai tinggi sehingga terdapat banyak ruang-ruang pori yang bisa dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Sebaliknya bagi tanaman yang tidak memiliki masalah perakaran mungkin cukup dengan media yang porositasnya sedang.
b. Pengairan Untuk menghindari tanaman manggis dari cekaman kekeringan maka perlu dilakukan penyiraman yang sesuai kebutuhan tanaman. Dalam skala pembibitan yang besar maka penyiraman membutuhkan biaya yang mahal dan alokasi tenaga kerja yang banyak. Oleh karena itu direkomendasikan penggunaan bahan polimer penyimpan air (PPA) yang dapat mengurangi penyiraman inensif
160 dan sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan air.
Penambahan PPA
Alcosorb sebanyak 5 g ke dalam volume media 8 l ternyata mampu menekan interval penyiraman sampai 6 hari sekali.
Dari beberapa laporan penelitian
diketahui bahwa polimer penyimpan air cukup efektif digunakan dalam mengatasi masalah ketersediaan air, baik saat pembibitan maupun setelah penanaman di lahan (Viero et al. 2002; Rowe et al. 2005; Thomas 2008). Menurut Andry et al. (2009), polimer sintetik hidrofilik (karboksimetil selulosa dan isopropil akrilamida) dapat mengembang saat menyerap air dalam jumlah besar sehingga dapat meningkatkan ketersediaan air pada media. Penggunaan bahan polimer ini menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan ketersediaan air.
Selain
penggunaan bahan polimer sintetik maka penggunaan bahan organik juga dapat meningkatkan kemampuan media dalam menyimpan air dan sekaligus mempermudah akar dalam menyerap air dan unsur hara. Namun penggunaan bahan organik sebagai sumber media tumbuh dapat mengacu pada komposisi media dari hasil penelitian ini. Saat ini dan dimasa yang akan datang, teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air akan semakin dibutuhkan mengingat semakin meningkatnya kebutuhan air baik untuk kegiatan pertanian maupun di luar pertanian.
c. Pemupukan Untuk pemupukan bibit manggis maka di rekomendasikan pemupukan lewat penyiraman ke media atau yang lazim dikenal dengan istilah fertigasi dengan konsentrasi 0.46 g N; 0.19 g P2O5; dan 0.26 g K2O per liter air per minggu pada media dengan volume 8 l dan porositas media 61-65%. Metode pemberian unsur hara dengan penyiraman ke media telah banyak digunakan pada produksi tanaman hortikultura sayuran dan tanaman hias.
Dalam penerapan
aplikasi pemupukan secara fertigasi pada industri pembibitan maka perlu didesain wadah sebagai tempat penampungan sumber hara dan cara mengalirkan larutan hara sampai ke pot pembibitan. Kapasitas wadah dalam memuat larutan hara harus disesuaikan dengan jumlah bibit.
Dari wadah tersebut larutan hara
kemudian dialirkan melalui selang atau pipa yang masuk ke pot pembibitan sehingga unsur hara bisa dimanfaatkan secara optimal sesuai fase pertumbuhan
161 bibit. Rancangan pemberian hara seperti ini menyerupai model fertigasi pada aplikasi pemupukan tanaman sayuran dan tanaman hias di rumah kaca. Namun apabila cara fertigasi tidak dapat digunakan karena belum tersedianya fasilitas sarana pendukung untuk penerapan model pemupukan ini, maka alternatifnya adalah aplikasi pupuk slow release. Model aplikasi ini mampu menghemat biaya, tenaga kerja dan waktu karena interval pemupukan yang cukup panjang (sekitar 3-4 bulan) dengan dosis sesuai kandungan unsur dari jenis pupuk yang digunakan. Di pasaran terdapat beberapa jenis pupuk slow release dengan komposisi unsur hara makro yang bervariasi dan khusus untuk pembibitan karena masih dalam fase pertumbuhan vegetatif maka dianjurkan menggunakan jenis pupuk dengan kandungan N yang tinggi dibanding unsur makro lainnya.
d. Penggunaan pot beraerasi Selama ini dalam pembibitan umumnya menggunakan polybag karena praktis dan murah. Namun polybag memiliki aerasi yang rendah sehingga apabila digunakan porositas media yang rendah maka pertumbuhan akar terhambat. Melalui penelitian ini dilakukan terobosan penggunaan pot beraerasi dari keranjang anyaman bambu (tinggi 25 cm dan diameter 25 cm) yang ternyata menghasilkan pertumbuhan bibit yang lebih tinggi dibanding polybag, baik saat pembibitan maupun setelah ditanaman di lahan. Penggunaan pot dari keranjang anyaman bambu mampu merangsang pertumbuhan akar bahkan dengan pertumbuhan yang pesat maka akar mampu menembus pori-pori pot. Akar yang menembus pori-pori pot akan terpotong/terpangkas (root pruning) sehingga menstimulir munculnya akar-akar baru yang aktif dalam menyerap air dan unsur hara.
Penggunaan pot dari keranjang anyaman bambu juga sekaligus ikut
membantu mengurangi limbah plastik dari yang semakin meningkat. Namun dalam penerapannya perlu didesain dengan ukuran yang lebih kecil sehingga mudah saat dipindahkan dari pembibitan ke lahan penanaman. Beberapa komponen teknologi tersebut diharapkan dapat melengkapi paket teknologi pembibitan manggis sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan bibit manggis dan sekaligus meningkatkan ketersediaan bibit yang berkualitas serta mendukung pengembangan manggis nasional. Dalam jangka panjang hasil
162 penelitian yang berbasis pada pemanfaatan sumberdaya lokal berupa penggunaan media tumbuh dari limbah pertanian dan teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya air serta penggunaan pot pembibitan dari bahan selain plastik diharapkan memberikan kontribusi positif dalam penyelamatan lingkungan pertanian dari ancaman kelangkaan sumberdaya air dan bahaya peningkatan limbah plastik. Khusus mengenai sumber daya air, akhir-akhir ini masalah ketersediaan air semakin bertambah parah karena adanya perubahan iklim, kerusakan lingkungan khususnya hutan dan penggunaan air yang tidak efisien serta pengambilan air dalam tanah yang melebihi kapasitas. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan memberikan dukungan terhadap program green agriculture sebagai usaha pertanian yang dibutuhkan dalam memelihara kualitas lingkungan. Menurut Sumarno (2012), green agriculture dapat didifinisikan sebagai “usaha
pertanian
maju
dengan
penerapan teknologi secara terkendali sesuai dengan ketentuan protokol yang telah ditetapkan, sehingga diperoleh produktivitas optimal, mutu produk tinggi, mutu lingkungan terpelihara, dan pendapatan ekonomi usaha tani optimal”. Konsep
dasar
Green
Agriculture adalah
“Eco farming with modern
techniques and modern management by modern farmers for modern societies and modern world consumers” (Wang 2009).
163
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Cekaman kekeringan pada bibit manggis terbukti menurunkan potensial air daun, laju transpirasi, laju fotosintesis, daya hantar stomata sehingga menyebabkan penurunan pertumbuhan tajuk yang nampak dari penurunan tinggi tanaman (10-26%), jumlah daun (9-21%), luas daun (10-25%), bobot kering tajuk (12-27%). Cekaman kekeringan juga menurunkan pertumbuhan akar yang terlihat dari penurunan bobot kering akar (11-44%), panjang akar (341%) dan volume akar (10-40%). 2. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh empat kisaran porositas media yaitu 5155% (kategori rendah), 56-60% (kategori sedang), 61-65% (kategori tinggi), dan 66-70% (kategori sangat tinggi).
Keempat kisaran porositas tersebut
memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan tajuk dan akar. 3. Interval penyiraman 6 hari + PPA pada porositas media 61-65% meningkatkan ketersediaan air dan udara sehingga menghasilkan laju fotosintesis, daya hantar stomata dan potensial air jaringan daun yang tertinggi yaitu masing-masing 7.89 µmol CO2/m2/detik; 0.07 µmol/m2/detik; dan -0.72 MPa. 4. Aplikasi pemupukan dengan metode fertigasi pada porositas media 61-65% menghasilkan serapan N dan K daun yang tertinggi sehingga merangsang pertumbuhan akar dan tajuk tertinggi antara lain terhadap panjang akar (26.83 cm), bobot kering akar (10.07 g/tanaman), bobot kering tajuk (18.33 g/tanaman) dan bobot kering total (28.40 g/tanaman). 5. Wadah pembibitan dari keranjang anyaman bambu menghasilkan pertumbuhan akar dan tajuk yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding polybag. Wadah dari keranjang anyaman bambu menghasilkan bobot kering akar (4.46 g), panjang akar (25.95 cm), volume akar (7.79 ml), bobot kering total (22.56 g), bobot kering tajuk (18.10 g) yang lebih tinggi dibanding polybag. 6. Pertumbuhan bibit manggis dapat ditingkatkan melalui manajemen media yang tepat meliputi penanaman pada pot beraerasi tinggi seperti keranjang anyaman bambu, media tumbuh dengan porositas 61-65%, aplikasi PPA sehingga interval waktu pemberian air bisa lebih panjang (6 hari sekali) dan aplikasi pemupukan secara fertigasi.
164 Saran 1. Untuk memacu pertumbuhan bibit manggis sehingga masa pembibitan menjadi lebih singkat, maka sebaiknya bibit ditanam pada pot beraerasi tinggi, penggunaan media tumbuh dengan porositas 61-65%, aplikasi PPA yang memungkinkan interval waktu penyiraman bisa lebih panjang dan aplikasi pemupukan secara fertigasi sehingga unsur hara bisa lebih cepat tersedia bagi tanaman. 2. Beberapa komponen teknologi yang merupakan hasil dari penelitian ini dapat diacu untuk melengkapi paket teknologi pembibitan manggis seperti penggunaan media tumbuh berbasis porositas media, penggunaan pot beraerasi, penyiraman, penggunaan bahan polimer penyimpan air dan cara aplikasi pemupukan. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini sebagian didanai oleh Program Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Pengembangan Buah-Buahan Unggulan Indonesia, Badan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia, dana CSR PT. Antam TBK. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktur Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika-IPB dan Kementerian Negara Riset dan Teknologi atas bantuan dananya. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur Utama PT. Antam Tbk.
165
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman A, Haryati U, Juarsah I. 2006. Penetapan kadar air tanah dengan metode gravimetrik. Di dalam: Kurnia U, Agus F, Adimihardja A & Dariah A, editor. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 127-138. Agus F, Marwanto S. 2006. Penetapan berat jenis partikel. Di dalam: Kurnia U, Agus F, Adimihardja A & Dariah A, editor. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 35-41. Agus F, Yustika RD, Haryati U. 2006. Penetapan berat volume tanah. Di dalam: Kurnia U, Agus F, Adimihardja A & Dariah A, editor. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 25-34. Alberte RS, Thornber JP, Fiscus EL. 1977. Water stress effect on the content and organization of chlorophyl and bundle sheath chloroplast of maize. Plant Physiology 59:351-352. Andry H, Yamamoto T, Irie T, Moritani S, Inoue M, Fujiyama H. 2009. Water retention, hydraulic conductivity of hydrophilic polymers in sandy soil as affected by temperature and water quality. Journal of Hydrology 373:177-183. Ashari S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Jakarta: Universitas Indonesia Pr. Banziger MO, Edmeades GO, Beck D, Bellon M. 2000. Breeding for Drought and Nitrogen Stress Tolerance in Maize from Theory to Practice. Mexico: CYMMYT. Bartholomeus RP, Witte JPM, Van Bodegom PM, Van Dam JC, Aerts R. 2008. Critical soil conditions for oxygen stress to plant roots: substituting the feddes-function by a process-based model. Journal of Hydrology 360: 147-165. Bates LS, Waldren RP, Teare ID. 1973. Rapid determination of free proline for water stress studies. Plant and Soil Journal 39:205-207. Baver LD. 1959. Soil Physics. New York: John Wiley and Sons, Inc. Biro Pusat Statistik. 2011. Statistik ekspor menurut komoditi tahun 2011. http://www.bps.go.id [diakses 30 Juni 2012].
166 Bray EA. 1997. Plant responses to water deficit. Plant Science 2(2): 48-54. Caballero R, Pajuelo P, Ordovas J, Carmona E, Delgado A. 2009. Evaluation and correction of nutrient availability to Gerbera jamesonii H. Bolus in various compost-based growing media. Scientia Horticulturae 122:244250. Caron J, Riviere LM, Guillemain G. 2005. Gas diffusion and air-filled porosity: effect of some oversize fragments in growing media. Canadian Journal Soil Science 85:57-65. Cox JEK. 1988. Garcinia mangostana - mangosteen. In: Gadner RJ & Chaudori SA, editors. The Propagation of Tropical Fruit Trees. England: FAO and CAB. 361-375. Darmawan J, Baharsyah JS. 2010. Dasar-Dasar Fisiologi Tanaman. Jakarta: SITC Pr. Deptan. 2012. Luas panen, produktivitas dan produksi Komoditas pertanianhortikultura Indonesia. http://www.aplikasideptan.go.id/bdsp [diakses 30 Juni 2012]. Deptan. 2008. Komoditas pertanian-hortikultura http://www.deptan.go.id [diakses 5 Juli 2008].
Indonesia.
Direktorat Tanaman Buah. 2004. Standar Prosedur Operasional (SPO) Manggis Kabupaten Purworejo. Jakarta: Direktorat Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian. Direktorat Budidaya Tanaman Buah. 2009. Standard Operating Procedure Manggis Kabupaten Subang. Jakarta: Direktorat Budidaya Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian. Direktorat Budidaya Tanaman Buah. 2009. Standard Operating Procedure Manggis Kabupaten Sukabumi. Jakarta: Direktorat Budidaya Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian. Donahue RL, Miller RW, Shickluna JC. 1977. Soils. An Introduction to Soils and Plants Growth. Fourth edition. New Jersey: Pretince Hall Inc. Dresboll DB. 2010. Effect of growing media composition, compaction and periods of anoxia on the quality and keeping quality of potted roses (Rosa sp.). Scientia Horticulturae 126:56-63. Dresboll DB, Kristensen KT. 2011. Spatial and temporal oxygen distribution measured with oxygen microsensors in growing media with different levels of compaction. Scientia Horticulturae 128:68-75.
167 Efendi R. 2008. Metode dan karakter seleksi genotipe jagung toleran cekaman kekeringan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Erez A. 2000. Bud dormancy, phenomenon, problems and solution in the tropics and sub tropics. In: Temperate Fruit Crops in Warm Climates. London: Kluwer Academic Publisher. 17-48. Fernandez JE, Moreno F, Murillo JM, Cuevas MY, Kohler F. 2001. Evaluating the effectiveness of a hydrophobic polymer for conserving water and reducing weed infection in a sandy loam soil. Agricultural Water Management 51:29-51. Fitter
AH, Hay RKM. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tumbuhan. H. Susilo, penerjemah; Jakarta: Universitas Indonesia Pr. Terjemahan dari: Physiology of Crop Plants. Garg G. 2010. Response in germination and seedling growth in Phseolus mungo under salt and drought stress. Journal of Enviromental Biology 31:261264. Gieger T, Thomas FM. 2002. Effect of defoliation and drought stress on biomass partitioning and water relations of Quercus robur and Quercus petrae. Basic Appl. Ecology 3:171-181. Gomez KA, Gomez AA. 1984. Prosedur Satistika untuk Penelitian Pertanian. E.Sjamsudin & J.S. Baharsyah, penerjemah; Jakarta: Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research. Gonzales LG, Anoos QA. 1952. The growth behaviour of mangosteen and its graft-affinity with somes relative. Phil.Agr.1:1-11. Gruda N, Schnitzler WH. 2004. Suitability of wood fiber substrate for production of vegetable transplants. I. Physical properties of wood fiber substrates. Scientia Horticulturae 100:309-322. Hamdy M. 2002. Employment of maize immature embryo culture for improving drought tolerance. In Proceeding of The 3rd Scientific Conference of Agriculture Sciences, Fac. of Agriculture Assiut University, Assiut, Egypt, 20-22 October 2022. Hamim. 2007. Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Universitas Terbuka Pr. Hardjowigeno S. 1987. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
168 Haridjaja O. 1980. Pengantar Fisika Tanah. Bogor: Institut Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Harjadi SS. 1989. Dasar-Dasar Hortikultura. Bogor: Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Harjadi SS, Yahya S. 1988. Fisiologi Stres Lingkungan. Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Bogor: PAU
Herrera F, Castillo JE, Chica AF, Bellido LL. 2008. Use of municipal solid waste compost (MSWC) as a growing medium in the nursery production of tomato plants. Bioresources Technology 99:287-296. Hidayat R. 2002. Kajian ritme pertumbuhan tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) dan faktor-faktor yang mempengaruhi. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hidayat R, Poerwanto R, Yahya S, Winata LW. 1999. Studi aplikasi IBA dan Triakontanol terhadap pertumbuhan bibit semai manggis dan fukugi. Comm. Ag. 4(2):74-79. Hidayat R, Surkati A, Poerwanto R, Darusman LK, Purwoko BS. 2005. Kajian periode dormansi dan ritme pertumbuhan tunas dan akar tanaman manggis. Agronomi Bulletin 33(2):16-22. Hillel D. 1997. Pengantar Sifat Fisika Tanah. R.H.Susanto & R.H.Purnomo, Penerjemah; Indralaya, Sumatera Selatan: Mitra Gama Media. Terjemahan dari: Introduction to Soil Physics. Husni A, Kosmiatin, Mariska I. 2006. Peningkatan toleransi kedelai Sindoro terhadap cekaman kekeringan melalui seleksi in Vitro. Bulletin Agronomi 34(1):25-31. Jones HG. 1992. Plants and microclimate. A Quantitive Approach to Enviromental Plant Physiology. Second Edition. Cambridge University Pr. Jumim HB. 2002. Agroekologi Suatu Pendekatan Fisiologis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Kaufman M.R. 1968. Evaluation of the pressure chamber method for measurement of water stress in citrus. Proc.Amer. Soc.Hort. 93:186-190. Kim YH, Janick J. 1991. Absisic acid and prolin improve dissication tolerance and increase fatty acid content of cerely somatic embryos. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 24: 83-89. Kramer PJ. 1983. Water Relations of Plants. Academic Press. Inc.
169 Lakitan B. 2007. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Lang GA. 1994. Dormancy the missing link: Moleculer studies and integration of regulatory plant and enviromental interaction. Horticultura Science 29:1255-1263. Leiwakabessy FM, Wahjudin UM, Suwarno. 2003. Kesuburan Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Lestari EG. 2006. Hubungan antara kerapatan stomata dengan ketahanan kekeringan pada somaklon padi Gajahmungkur, Towoti dan IR-64. Biodiversitas 7(1):44-48. Levitt J. 1980. Respon of Plants to Enviromental Stress. 2nd Edition (Vol.2). New York: Academic Press, Inc. Liferdi. 2007. Diagnosis status hara menggunakan analisis daun untuk menyusun rekomendasi pemupukan pada tanaman manggis (Garcinia mangostana L). [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marschner H. 1995. Mineral nutrition of Higher Plants. London: Academic Pr. Limited.
Second edition.
Mexal J, Fisher JT, Osteryoung J, Patrick CP. 1975. Oxygen availability in polyethylene glycol solutions and its implication in plant water relations. Plant Physiology 55:20-24. Michel BE, Kauffmann MR. 1973. The Osmotic Potential of Poly-ethilene glycol 6000. Plant Physiology 57:914-916. Morard P, Silvestre J. 1996. Plant injury due to oxygen deficiency in the root environment of soilless culture: a review. Plant and Soil 184:243-254. Muzayyinatin. 2006. Pengaruh media dan jumlah benih dalam wadah persemaian terhadap pertumbuhan manggis (Garcinia mangostana L.). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nakasone HY, Paull RE. 1999. Tropical Fruits. Crop Production Science in Horticulture. 359-369. Nepomuceno AL, Oosterhuis DM, Stewart JM. 1998. Physiological responses of cotton leaves and roots to water deficit induced by polyethylene glycol. Enviromental and Experimental Botany 40:29-41. Ober ES, Sharp RE. 2003. Electrophysiologi responses of maize roots to low water potential: relationship to growth and ABA accumulation. Journal Experimental Botani 54:813-824.
170 Olsen RA, Frank KD, Grabouski PH. 1982. Soil testing philosophies, consequences of varying recommendations. Madison, Wisconsin: Craps and Soils Magazine. Opeke. 1982. Tropical Tree Crops. New York: John Wiley and Sons. Palupi ER, Dedywiryanto Y. 2008. Kajian karakter toleransi cekaman kekeringan pada empat genotipe bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq). Bulletin Agronomi 36(1):24-32. Panggaribuan Y. 2001. Studi karakter morfologi tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di pembibitan terhadap cekaman kekeringan. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Poerwanto R. 2000. Budidaya Buah-buahan: Teknologi Budidaya komoditas Unggulan, Pengendalian Mutu Produksi Buah Mangga, Markisa, Salak, Pisang dan Jeruk. Bogor: Pusat Kajian Buah-buahan Tropika, Institut Pertanian Bogor. Poerwanto R, Hidayat R, Diana E, Zahara R. 1995. Usaha mempercepat pertumbuhan batang bawah manggis. Prosiding Simposium Hortikultura Nasional. 105-112. Rai IN. 2004. Fisiologi pertumbuhan dan pembungaan tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) asal biji dan sambungan. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rais M, Mansyah E, Lukitariati S, Anwarudin MJ. 1996. Peningkatan efisiensi teknologi usahatani manggis. Balai Penelitian Buah, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Ramlan MF, Mahmud TMM, Hasan BM, Karim MZ. 1992. Studies on photosynthesis on young mangosteen plants grown under several growth conditions. Acta Horticultura 321:482-489. Richards YE, Hansen J, Dogde LL. 2009. Growth of rose roots and shoots is higly sensitive to anaerobic or hypoxic regions of container of substrates. Scientia Horticulturae 119:286-291. Riduan A, Aswidinnoor H, Sudarsono, Santoso D, Endrizal. 2010. Toleransi tembakau transgenic yang mengekspresikan gen P5CS terhadap stress kekeringan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 13(2):107-118. Riduan A, Santoso D, Utomo SD, Sudarsono. 2007. Hubungan antara ekspresi gen P5CS dengan pertumbuhan dan hasil biomasa tembakau transgenik dalam kondisi non stress. Agrotropika 12:1-9.
171 Rofik A, Murniati E. 2008. Pengaruh perlakuan deoperkulasi benih dan media perkecambahan untuk meningkatkan viabilitas benih aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr). Agronomi Bulletin 36(1):33-40. Rowe EC, Williamson JC, Jones DL, Holliman P, Healey JR. 2005. Initial tree establishment on blocky quarry waste ameliorated with hydrogel or slate processing fines. Journal Environmental Quality 34:994-1003. Rukayah A, Zabedah M. 1992. Studies on early growth of mangosteen (Garcinia mangostana L.). Acta Horticultura 292:93-100. Ryugo K. 1988. Fruit Culture. Its Science and Art. New York: John Wiley and Sons. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. D.R. Lukman & Sumaryono, penerjemah; Bandung: ITB Press. Terjemahan dari: Plant Physiology, 4th edition. Sammons DJ, Peters DB, Hymowitz T. 1980. Screening soybeans for tolerance to moisture stress. Field Crops Research 3:321-335. Savin R, Nicolas ME. 1996. Effect of short periods of drought and high temperature on grain growth and starch accumulation of two malting barley cultivas. Australia Journal Plant Physiology 23:201-210. Sharp RE, Silk WK, Hsiao TC. 1988. Growth of the maize primary root at low water potentials. I. Spatial distribution of expansive growth. Plant Physiology 87:50-57. Sims DA, Gamon JA. 2002. Relatioship between leaf pigment content and spectral reflectance across a wide range of species, leaf structures and development stages. Remote sensing of environment 81:337-354. Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr. Sitorus SR, Haridjaja O dan Brata KR. 1981. Penuntun Praktikum Fisika Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Slama I, Messedi D, Ghnaya T, Savoure A, Abdelly C. 2006. Effects of water deficit on growth and proline metabolism in Sesuvium portulacastrum. Enviromental and Experimental Botany 56:231-238. Sopandie D. 2006. Perspektif fisiologi dalam pengembangan tanaman pangan di lahan marjinal. Disampaikan pada Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman, 16 September 2006. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
172 Steuter
AA. 1981. Water potential of aquoeus polyethilene glycol. Physiology 67:64-67.
Plant
Sumarno. 2012. Green agriculture dan green food sebagai strategi branding dalam usaha pertanian. www.pse.litbang.deptan.go.id [diakses 14 juni 2012]. Susilawati PN. 2003. Respon 16 kultivar kavang tanah unggul nasional (Arachis hypogea L.) terhadap kondisi stres kekeringan akibat perlakuan penyiraman PEG 6000 dan evaluasi daya regenerasi embrio somatiknya secara in vitro. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Taiz L, Zeiger E. 2012. Plant Physiologi Online. Fifth edition. Sinauer Associates. http://www.5e.plantphys.net/4e.php [diakses: 19 Pebruari 2012]. Thomas DS. 2008. Hydrogel applied to the root plug of subtropical eucalypt seedlings halves transplant death following planting. Forest Ecology and Management 255:305-1314. Tirtawinata MR, Wijaya E, Tuherkih. 2000. Pembibitan dan Pembudidayaan Manggis. Jakarta: Penebar Swadaya. Turner PD, Gilbanks RA. 1974. Oil Palm Cultivation and Management. Kuala Lumpur: The Incorporated Society of Planters. Verhagen JBGM. 2004. Effectiveness of clay in peat based growing media. Acta Horticultura 644:115-122. Verhejj EWM. 1992. Garcinia mangostana L. In: EWM.Verhejj, editor. Plant resources of South Asia, edible fruit and nuts. Wageningen: Bogor a Selection. PUDOC. Viero PWM, Chiswell KEA, Theron JM. 2002. The effect of a soil-amended hydrogel on the establishment of a Eucalyptus grandis clone on a sandy clay loam soil in Zululand during winter. South African Forest Journal 193:65-75. Wang C.Q. 2010. Exogenous calcium alters activities of antioxidant enzymes in Trifolium repens L. leaves under PEG-induced water deficit. Journal Plant Nutrition 33:1874-1885. Wang Y, 2009. Role of the Green Food in Promoting Modern Farming in China. International Symposium on Asia-Pacific Sustainable Agriculture and Modern Farming, Green Agriculture, Yantai, China, 23-26 Oct 2009.
173 Walston B. 2012. Root prunning. [Diakses 22 Juli 2012]
http: //www.evergreengardenworks.com.
Weaver RJ. 1972. Plant Growth Subtances in Agriculture. San Fransisco: WH Freeman and Company. 594p Wiebel J, Chacko EK, Downton WJS, Loveys BS, Ludders P. 1994. Carbohydrate levels and assimilate translocation in mangosteen (Garcinia mangostana L.). Gartenbauwissenschaf 60(2):90-94. Wiebel J, Chacko EK, Downton WJS. 1992a. Mangosteen (Garcinia mangostana L.) A potential crop for fruit tropical northern Australia. Acta Horticultura. 321:132-137. Wiebel J, Downton WJS, Chacko EK. 1992b. Influence of applied plant growth regulators on bud dormancy and growth of mangosteen (Garcinia mangostana L.). Scientia Horticulturae 52:27-35. Wiebel J, Eamus D, Chacko EK, Downton WJS,. 1993. Gas exchange characteristic of mangosteen (Garcinia mangostana L.) leaves. Trees Physiology 13:55-69. Wijana G. 2001. Analisis fisiologi, biokimia dan molekuler sifat toleran tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap cekaman kekeringan. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wu F, Bao W, Li F, Wu N. 2007. Effect of drought stress and N supply on the growth, biomass partitioning and water-use efficiency of Sophora davidii seedlings. Environmental and Experimental Botany 63:248-255. Wu Y, Cosgrove DJ. 2000. Adaptation of root to low water potentials by changes in cell wall extensibility and cell wall proteins. Journal Experimental Botany (51):1543-1553. Yaacob O, Tindall HD. 1995. Mangosteen cultivation. FAO Plant production and protection Paper No.128. Brusells: FAO Plant Production and Protection Division of the United Nations, Belgium. Yusniwati. 2008. Galur cabai transgenic tahan kekeringan dengan gen P5CS penyandi enzim kunci biosintesis prolina: regenerasi dan karakteristik regeneran. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
193
LAMPIRAN
175
Lampiran 1 Prosedur lengkap pengukuran potensial air (Kaufman 1968; Hamim 2007; Taiz & Zeiger 2012)
Sampel
: daun sub terminal
Alat
: Pressure chamber
Cara kerja:
Kosongkan tekanan gas pada tabung kecil di alat pengukur yang akan diisi sampel daun yang akan diukur potensial airnya.
Buka tabung kecil dan siapkan kertas seal dengan lubang sesuai dengan besarnya ukuran diameter tangkai daun sampel.
Potong sampel daun sub-terminal (usahakan daun tidak sobek dan utuh) dengan tangkai daunnya.
Potong tangkai daun sampai dengan ukuran 1-2 cm dan jepit dengan seal karet sesuai ukuran diameter tangkai daunnya.
Masukkan dalam tabung kecil dan tutup rapat\
Hidupkan alat pengukur dan kalibrasikan alat pada nilai 0, kemudian gas CO2 dari tabung besar dialirkan > 20 bar.
Catat nilai potensial air daunnya pada saat pertama kali tangkai daun mengeluarkan gelembung udara dengan bantuan kaca pembesar.
Ulangi perhitungan tersebut tiga kali
Setelah selesai pembacaan nilai potensial airnya, kemudian buang gas yang masih tersisa di tabung kecil.
Alat pengukur dimatikan dan tabung kecil dibukan dan dibersihkan
176
Lampiran 2 Prosedur penentuan kandungan prolin daun (Bates et al. 1973) Cara kerja:
Asam ninhidrin disiapkan sebagai pereaksi dengan melarutkan 1g ninhidrin dalam 30 ml asam asetat glacial.
Larutan didinginkan dan disimpan selama 24 jam hingga siap digunkan.
Sampel daun tanaman sekitar 0.5 g digerus dalam mortar porselin, dohomogenisasi dengan 10 ml asam sulfosalsik 3%, kemudian didentrifuge dengan kecepatan 6000 rpm selama 5 menit dan diambil supernatannya.
Supernatan ditera sebanyak 10 ml dan 2 ml cairan sampel diambil dan reaksikan dengan 2 ml asam ninhidrin dan 2 ml asam asetat glacial dalam tabung reaksi. Selanjutnya dipanaskan selama 1 jam pada suhu 100 oC. Selanjutnya didinginkan dalam air es selama 5 menit.
Campuran tersebut diekstrak dengan 4 ml toluene dan dihomogenisasi dengan test tube stirrer yang terbentuk selama 15-20 detik hingga terbentuk kromofor berwarna merah. Kromofor yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm dengan spektrofotometer.
Untuk menentukan konsentrasi kandungan prolin digunakan larutan standar yang diekstraksi dengan cara yang sama seperti yang dilakukan pada sampel jaringan.
Konsentrasi prolin ditentukan dari standard dan dihitung berdasarkan bobot segar.
Perhitungan: µg prolin/ml x ml toluen Kandungan prolin = ( ----------------------------------- ) g sampel Keterangan: Satuan kandungan prolin adalah µmol/g bobot segar sampel
177
Lampiran 3 Penetapan kandungan klorofil daun (Sims & Gamon 2002) Prosedur kerja: Disiapkan contoh daun per perlakuan dengan bobot sekitar 0.5 g Contoh tersebut dimasukkan ke dalam mortar. Ditambahkan asetris (aseton) kurang lebih 2 ml dengan pipet tetes 1 ml, digerus 1 ml lagi, lalu dihomogenkan. Lalu dimasukkan ke microtube 2 ml (contoh diberi label perlakuan). Disentrifuge 14.000 rpm selama 10 menit. Selanjutnya dipipet 1 ml supernatan lalu ditambahan sebanyak 3 ml asetris ke dalam tabung reaksi (langsung ditutup). Spektrofotometer pada panjang gelombang (λ) 663, 647, 537 dan 470 nm.
Perhitungan: Chlorofil a = 0,01373* λ663 -0,000897* λ537 – 0,003046* λ647 Chlorofil b = 0,02405* λ647 – 0,004305* λ537 – 0,005507* λ663
178
Lampiran 4 Prosedur pengukuran kadar air pada berbagai porositas media Untuk mengetahui kadar air pada berbagai porositas media dengan menggunakan metode gravimetrik (Abdurachman et al. 2006). Porositas media terdiri 4 taraf yaitu: 51-55%, 56-60%, 61-65% dan 66-70%. Pertama-tama dilakukan pengisian media sebanyak 8 l sesuai perlakuan, yaitu: porositas 51-55% (media berupa tanah), 56-60% (media berupa campuran tanah, arang sekam padi dan pasir perbandingan 2:1:1), 61-65% (media berupa campuran media tanah dan arang sekam padi perbandingan 2:1), dan 66-70% (media berupa campuran media tanah dan pupuk kandang kambing perbandingan 3:1). Pada hari pertama dilakukan penjenuhkan media dengan air, lalu dibiarkan sampai mencapai kondisi kapasitas lapang. Selanjutnya secara berurutan dilakukan pengukuran kadar air pada hari ke-2, 4, 6 dan 8 hari pada berbagai porositas media. Kadar air diukur dengan menggunakan metode oven dengan prosedur sebagai berikut:
Dilakukan penimbangan botol sampel dan diberi label perlakuan.
Diambil sampel media sebanyak 30 g dari masing-masing perlakuan lalu dimasukkan ke dalam botol.
Lalu ditimbang bobot basah sampel termasuk botolnya.
Kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 oC selama 24 jam.
Setelah 24 jam, sampel didinginkan di dalam desikator.
Selanjutnya ditimbang kembali sampel tersebut untuk mengetahui bobot kering.
Kadar air (KA) dihitung dengan formula: KA = {(BB – BK) / BK} x 100 % Keterangan: BB BK
= =
Bobot basah contoh (g) Bobot kering contoh (g)
179
Lampiran 5 Penetapan kandungan N jaringan daun menggunakan metode Semi mikro-kjedahl Prosedur kerja: Ditimbang 5 g contoh daun, lalu dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml. Kemudian ditambahkan 10 ml H2SO4 pekat ke labu, lalu digoyangkan secara perlahan-lahan. Ditambahkan katalis selenium mixture 0.1 g dan dijaga agar campuran contoh tidak memercik ke dinding labu. Lalu dipanaskan labu pada alat destruksi nitrogen dan suhu diatur pada posisi 2000C selama kurang lebih 10 menit. Kemudian diatur kembali pengatur panas pada posisi 3400C sampai dekstruksi sempurna. Selanjutnya didinginkan lalu ditambahkan air sebanyak kira-kira 50 ml, digoyangkan sebentar, lalu dipindahkan isi labu secara kuantitatif ke dalam labu ukur 100 ml dan larutan dikocok pada labu ukur hingga homogen. dipipet 10 ml tepat larutan pekat ke dalam labu distilasi, lalu ditambahkan beberapa tetes indikator PP dan 20 ml NaOH 30% sampai larutan menjadi basa. Dilakukan destilasi dan distilat ditampung dalam erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 1% dan 5 tetes indikator Conway sampai isinya menjadi ± 100 ml Kemudian dititrasi distilat dengan HCl 0.02 N yang telah dibakukan sampai terjadi perubahan warna dari hijau ke merah muda lalu dilakukan penetapan blanko. Kadar N dihitung dengan formula sebagai berikut: Kadar nitrogen (%) = HCl (ml) x N HCl x 14 x 100 x Fp x Fk Bobot contoh (mg) Keterangan : ml HCl = (contoh-blanko) Fk = Faktor koreksi kadar air Fp = Faktor pengenceran
180
Lampiran 6 Penetapan kandungan P dan K jaringan daun dengan metode Pengabuan Prosedur kerja: Ditimbang dengan teliti 0.50-1.0 g contoh daun yang telah dihaluskan (fraksi 0.5) mm ke dalam piala gelas 100 ml. Kemudian ditambahkan 5 ml HNO3 dan 0.5 ml HClO4, digoyangkan sehingga contoh terendam pereaksi dan dibiarkan semalam. Selanjutnya dipanaskan di atas hot plate/blok pemanas dimulai dengan suhu 1000C, setelah uap kuning telah habis suhu dinaikkan hingga 2000C. Destruksi diakhiri bila sudah keluar uap putih dan cairan dalam labu tersisa sekitar 0.5 ml, kemudian didinginkan dan diencerkan dengan aquades dan volume ditetapkan menjadi 50 ml. Kemudian dikocok hingga homogen, selanjutnya dibiarkan semalam atau disaring dengan kertas saring W-41 agar didapat ekstrak jernih. Pengukuran K: Pengukuran Kalium (K) dari ekstrak menggunakan flamefotometer atau SSA dengan deret standar K sebagai pembanding, dicatat emisi baik standar maupun contoh. Pengenceran dilakukan apabila nilai emisi contoh diatas nilai emisi standar K tertinggi. Pengukuran P: Dipipet 1 ml ekstrak ke dalam tabung kimia volume 20 ml, begitupun masing-masing deret standar P. Kemudian ditambahkan masing-masing 9 ml pereaksi pembangkit warna ke dalam setiap contoh dan deret standar, selanjutnya di kocok vortex mixer sampai homogen. Dibiarkan selama 30 menit, lalu diukur dengan spektrophotometer pada panjang gelombang 693 nm dan dicatat nilai absorbsinya. Lalu dilakukan pengenceran (sebelum penambahan pereaksi warna) bila nilai absorbance contoh diatas nilai absorbance standar P tertinggi.
181
Kadar P dan K jaringan dihitung dengan formula sebagai berikut: Kadar K (%) = ppm kurva x ml ekstrak 1.000 ml -1 x mg contoh-1 x fp x fk x 100 Kadar K (mg/100g) = ppm kurva x ml ekstrak 1.000 ml -1 x g contoh-1 x fp x fk x 100 Kadar P (%) = ppm kurva x ml ekstrak 1.000 ml-1 x mg contoh-1 x fp x 31/95 x fk x 100 Kadar P (mg/100g) = ppm kurva x ml ekstrak 1.000 ml-1 x g contoh-1 x fp x 31/95 x fk x 100 Keterangan: ppm kurva
=
Fp Fk 100 31 95
= = = = =
Kadar contoh yang didapat dari kurva regresi hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikurangi blanko. faktor pengenceran faktor koreksi kadar air faktor konversi ke % bobot atom P bobot molekul PO4
182
Lampiran 7
Rangkuman sidik ragam pertumbuhan tanaman pada berbagai simulasi cekaman kekeringan dengan aplikasi PEG
Hasil sidik ragam Peubah Tinggi tanaman 1 sampai 6 BSP tn Tinggi tanaman 7 BSP * Tinggi tanaman 8-11 BSP dan pertambahan tinggi tanaman ** Jumlah daun 1,2 BSP tn Jumlah daun 3,4,5, 7,8,11 BSP dan pertambahan jumlah daun ** Jumlah daun 6,9,10 BSP * Lebar kanopi 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 tn Pertambahan lebar kanopi ** Diameter batang 3,4,5,6,7,8,9,10,11 tn Diameter batang 1,2 BSP dan pertambahan diameter batang ** Luas daun 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 tn Luas daun 11 * Pertambahan luas daun ** Bobot kering akar * Bobot kering tajuk * Bobot kering total * Panjang akar dan volume akar * Rasio tajuk/akar tn Kandungan prolin ** Laju transpirasi , laju fotosintesis, daya hantar stomata ** Potensial air daun ** Perkembangan trubus: Trubus awal ** Trubus penuh ** Trubus dewasa ** Periode dormansi ** Periode trubus ** Siklus trubus ** Keterangan: ** = nyata pada taraf uji 1%; * = nyata pada taraf uji 5%; tn = tidak berbeda nyata
183
Lampiran 8
Rangkuman sidik ragam (F-hit) pengaruh porositas media dan interval penyiraman terhadap pertumbuhan tanaman
Peubah Tinggi tanaman (BSP): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan tinggi tanaman Jumlah daun (BSP): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan jumlah daun Lebar kanopi (BSP): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan lebar kanopi
Porositas media
Interval penyiraman air
Interaksi
tn ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** **
tn tn ** ** ** ** ** ** ** ** ** **
tn tn ** ** ** ** ** ** ** ** ** *
tn tn tn tn * ** ** ** ** ** ** **
tn ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** **
tn tn * ** ** ** ** ** ** ** ** *
tn ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** *
* * tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
184
Lampiran 8 Lanjutan... Peubah Diameter batang (BSP): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan diameter batang Luas daun (BSP): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan luas daun Bobot kering akar 11 BSP Bobot kering tajuk 11 BSP Bobot kering total 11 BSP Panjang akar 11 BSP Volume akar 11 BSP Rasio tajuk/akar 11 BSP Kandungan klorofil 11 BSP: A B Total Rasio klorofil a/b Kandungan prolin 11 BSP
Porositas media
Interval penyiraman air
Interaksi
** ** ** ** ** ** tn tn tn tn tn **
** ** ** ** ** tn tn tn tn tn tn *
** ** ** * ** * tn tn tn tn tn tn
** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** tn tn
** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** * tn
** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** tn * ** ** ** tn *
** ** ** * **
tn tn tn tn tn
tn tn tn tn **
185
Lampiran 8 Lanjutan... Peubah
Porositas media
Potensial air jaringan (11 BSP): Akar ** Batang ** Daun ** Hidraulik konduktivitas daun 11 BSP ** Laju transpirasi 11 BSP * Laju fotosintesis 11 BSP ** Daya hantar stomata ** Perkembangan trubus: Trubus awal ** Trubus penuh ** Trubus dewasa ** Periode dormansi ** Periode trubus ** Siklus trubus ** Keterangan: ** = berpengaruh nyata pada taraf 1% * = berpengaruh nyata pada taraf 5% tn = berpengaruh tidak nyata
Interval penyiraman air
Interaksi
** ** ** tn * ** **
** ** ** ** * ** *
** ** ** ** ** **
** ** tn tn tn *
186
Lampiran 9 Rangkuman sidik ragam (F-hit) respon pertumbuhan bibit tanaman pada berbagai media tumbuh dan cara aplikasi pemupukan Peubah Tinggi tanaman (BSP): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan Jumlah daun (BSP): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan Lebar kanopi (BSP): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan
Porositas Aplikasi media pemupukan
Interaksi
tn tn tn tn * ** ** ** ** * ** **
tn tn tn tn * ** ** ** ** ** ** **
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn *
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
* ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** **
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
tn tn ** ** ** ** ** ** ** * * tn
tn tn ** * ** ** ** ** ** ** ** **
* * ** * * tn tn tn * tn tn *
187
Lampiran 9 Lanjutan... Peubah
Porositas Aplikasi media pemupukan
Interaksi
Luas daun (BSP): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan Bobot kering akar 11 BSP Bobot kering tajuk 11 BSP Bobot kering total 11 BSP Panjang akar 11 BSP Volume akar 11 BSP Rasio tajuk/akar 11 BSP Kadar N daun Kadar P daun Kadar K daun Serapan hara N daun Serapan hara P daun Serapan hara K daun Perkembangan trubus: Trubus awal dan trubus penuh Trubus dewasa dan periode dormansi Periode trubus dan siklus trubus
tn tn ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** tn tn ** ** tn tn tn tn tn
tn tn tn tn tn tn tn * tn tn * tn ** ** ** tn ** ** tn ** tn * * *
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn ** * ** ** tn tn tn ** tn tn tn tn
** ** **
** ** **
** tn **
188
Lampiran 10 Rangkuman sidik ragam (F-hit) respon pertumbuhan tanaman pada dua jenis pot dan berbagai porositas media di pembibitan rumah plastik Peubah Tinggi tanaman (BST): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan Jumlah daun (BST): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan Lebar kanopi (BST): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan
Jenis pot tn tn tn tn tn tn * * ** * * ** tn
Porositas media tn tn tn tn tn * ** ** ** ** ** ** **
Interaksi
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
tn tn tn tn tn * * * tn tn tn tn
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
tn tn tn tn tn tn tn tn * * * *
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
189
Lampiran 10 Lanjutan... Peubah Diameter batang (BST): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan Luas daun (BST): 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pertambahan Bobot kering akar 11 BST Bobot kering tajuk 11 BST Bobot kering total 11 BST Panjang akar primer 11 BST Volume akar 11 BST Rasio tajuk/akar 11 BST Perkembangan trubus: Trubus awal Trubus penuh Trubus dewasa Periode dormansi Periode trubus Siklus trubus BST = bulan setelah ditanam di pembibitan
Jenis pot
Porositas media
Interaksi
* * tn tn ** tn tn tn ** * tn tn
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
tn tn ** ** * tn tn tn tn tn tn tn
* ** ** ** ** * ** ** ** ** ** tn * * * ** ** tn
tn tn tn * ** * * tn tn * * tn ** * * ** ** tn
tn tn tn * ** ** * tn * tn tn tn tn tn tn tn tn tn
** ** * ** ** **
** ** ** ** ** **
tn tn tn ** tn tn
190
Lampiran 11 Rangkuman sidik ragam (F-hit) respon pertumbuhan tanaman pada dua jenis pot dan berbagai porositas media setelah ditanam di lahan Peubah Tinggi tanaman (BST): 1 2 3 4 5 Pertambahan tinggi tanaman Jumlah daun (BST): 1 2 3 4 5 Pertambahan jumlah daun Lebar kanopi (BST): 1 2 3 4 5 Pertambahan lebar kanopi BST = bulan setelah di tanamn di lapang
Jenis pot
Porositas media
Interaksi
** * * ** ** tn
** ** ** ** ** tn
tn tn tn tn tn tn
* tn ** ** ** tn
** * ** ** ** tn
tn tn tn tn tn tn
tn * * ** ** **
** ** ** ** ** **
tn tn tn tn tn **
191
Lampiran 12 Rata-rata suhu udara dan kelembaban udara di dalam rumah plastik Kebun Percobaan Tajur dari bulan Juli 2009 sampai Desember 2010 Bulan & Tahun Tahun 2009 Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Tahun 2010 Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Suhu udara (oC) Maksimum Minimun Ratarata
Kelembaban (%) Maksimum Minimun Ratarata
37.5 37.5 37.8 37.9 37.1 37.0
24.3 24.3 24.5 25.4 25.1 23.5
28.0 28.1 29.7 29.2 29.9 29.6
84 84 84 84 84 89
33 33 37 37 37 37
63 62 59 62 67 70
36.0 36.6 37.0 37.3 37.5 37.5 37.5 37.5 37.5 37.7 37.8 37.8
23.2 22.8 22.8 22.8 22.8 22.6 21.7 21.4 21.4 21.4 21.4 21.4
27.3 29.1 29.1 29.4 28.7 27.3 27.2 28.0 28.5 29.1 29.3 27.7
90 92 92 92 92 92 92 93 93 93 93 93
39 40 38 35 33 33 33 33 33 31 30 30
78 73 70 67 74 79 77 75 71 67 69 71
192
Lampiran 13 Intensitas radiasi cahaya di dalam rumah plastik dan lahan terbuka di Kebun Percobaan Tajur Waktu Pengamatan Juli 2010: 09.00 11.00 13.00 15.00 Oktober 2010: 09.00 11.00 13.00 15.00
Intensitas radiasi cahaya (µmol/detik/m2) Rumah plastik Lahan terbuka
Keterangan: *) Tidak diukur karena hujan
3.58 4.58 3.08 1.50
131.78 117.25 122.35 26.68
1.61 2.72 0.25 *
52.24 79.51 8.77 *