REKAYASA PROSES HIDROLISIS AMPAS TAPIOKA MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO UNTUK PRODUKSI ETANOL
EUIS HERMIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rekayasa Proses Hidrolisis Ampas Tapioka Menggunakan Pemanasan Gelombang Mikro untuk Produksi Etanol adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Juli 2012
Euis Hermiati NIM F361080102
ABSTRACT EUIS HERMIATI. Process engineering of cassava pulp hydrolysis using microwave heating for ethanol production. Under direction of DJUMALI MANGUNWIDJAJA, TITI C. SUNARTI, ONO SUPARNO, and BAMBANG PRASETYA Cassava pulp is a potential source of carbohydrates. In this work, characteristics of the cassava pulp were analyzed and validity of microwave irradiation for hydrolysis of carbohydrates, especially starch present in the cassava pulp, was estimated as a non-enzymatic saccharification technique. The hydrolysis was performed in water and acid medium. In addition, the role of activated carbon in the microwave-assisted hydrolysis was also evaluated. An optimization of the hydrolysis was conducted using Central Composite Design (CCD) and was analyzed using Response Surface Methodology (RSM). Fermentation of cassava pulp hydrolysates produced from microwave-assisted acid hydrolysis was performed to those added with activated carbon (25% w/w) and those without activated carbon by Saccharomyces cerevisiae. There were two types of activated carbon, which have different adsorption properties, used in this experiment. Results of the cassava pulp characterization shows that the starch granules in the cassava pulp were trapped in biomass matrices, so that the starch was harder to hydrolyze than the free starch, such as that in tapioca flour. Microwave-assisted hydrolysis of cassava pulp can be completed in less than 15 minutes in water medium, and less than 10 minutes in acid medium. The addition of activated carbon improved hydrolysis of cassava pulp starch in water medium with suppression of formation of the secondary decomposed materials. The highest glucose yield obtained from cassava pulp was 46% of dry matter or 52% of theoretical, which was about 60% higher than the one without the addition of activated carbon. On the contrary, the addition of activated carbon decreased the glucose yield when the hydrolysis was performed in acid medium (0.5% H2SO4). The glucose yield could reach 80.8% of dry matter or 91.5% of theoretical yield when no activated carbon was added in the acid medium. The estimated optimum condition for cassava pulp hydrolysis under microwave irradiation was using 0.88% sulfuric acid with 9 minutes of heating time, which resulted in 85% of theoretical glucose yield and 140 g/L glucose concentration. At the end of the fermentation the ethanol yield and concentration obtained in the samples treated with activated carbon (0.41-0.43 g ethanol / g glucose consumed; 34-35 g/L) were lower than that not treated with activated carbon or those treated with activated carbon which was added after hydrolysis (0.48 g ethanol / glucose consumed; 3839 g/L). However, the fermentation was completed very much faster in the hydrolysates treated with the activated carbon which has a high adsorption capacity than in that not treated with activated carbon or those treated with activated carbon of low adsorption capacity. Therefore, ethanol productivities (0.44-0.55 g/L/h) of the former were higher than the latter (0.28-0.34 g/L/h). Keywords: Cassava pulp, microwave-assisted hydrolysis, activated carbon, sulfuric acid, glucose, fermentation, ethanol
RINGKASAN EUIS HERMIATI. Rekayasa proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro untuk produksi etanol. Dibimbing oleh DJUMALI MANGUNWIDJAJA, TITI C. SUNARTI, ONO SUPARNO dan BAMBANG PRASETYA Ampas tapioka adalah limbah padat industri tapioka yang banyak mengandung karbohidrat (± 95%), khususnya pati, sehingga merupakan salah satu bahan yang potensial sebagai sumber glukosa. Oleh karena itu, proses hidrolisis pati ampas tapioka menjadi glukosa merupakan tahapan utama yang perlu mendapat perhatian. Hidrolisis pati dapat dilakukan menggunakan cara hidrotermal, menggunakan larutan asam, enzim ataupun kombinasi ketiganya. Setiap metode yang digunakan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pemanasan gelombang mikro adalah salah satu alternatif metode yang dapat digunakan untuk hidrolisis pati. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro, dan pemanfaatan hasil hidrolisis untuk produksi etanol. Secara khusus penelitian bertujuan untuk mempelajari peranan faktor-faktor yang terlibat dalam proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro, mendapatkan kondisi optimum proses hidrolisis dan mempelajari pengaruh penambahan karbon aktif terhadap kinerja fermentasi hidrolisat ampas tapioka menjadi etanol. Penelitian diawali dengan karakterisasi ampas tapioka, dan dilanjutkan dengan hidrolisis ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro. Hidrolisis dilakukan dalam medium air maupun asam, baik dengan maupun tanpa penambahan karbon aktif. Optimasi hidrolisis dilakukan menggunakan Central Composite Design (CCD) dan dianalisis dengan Response Surface Methodology (RSM) dengan bantuan piranti lunak Minitab® Release 16. Selanjutnya, dilakukan percobaan fermentasi terhadap hidrolisat yang diperoleh dari proses hidrolisis pada kondisi optimum. Granula pati di dalam ampas tapioka masih terikat pada matriks serat biomassa, sehingga proses hidrolisisnya lebih sulit dibandingkan dengan proses hidrolisis pati dalam tapioka yang granulanya sudah dalam keadaan bebas. Selain pati, ampas tapioka juga mengandung senyawa karbohidrat lain, yaitu selulosa dan hemiselulosa, yang terdiri dari arabinan, rhamnan, galaktan, xilan, dan mannan. Pola spektrum difraksi sinar X pati ampas tapioka mirip dengan pola spektrum pati tapioka, yaitu mendekati pola spektrum pati tipe A. Pada proses hirolisis pati ampas tapioka dalam medium air menggunakan iradiasi gelombang mikro maltooligomer mulai terdeteksi pada suhu 220 °C. Karbohidrat lain yang terkandung dalam ampas tapioka juga terlarut secara bertahap. Senyawa arabinan adalah yang paling mudah larut, diikuti oleh rhamnan, mannan, galaktan dan xilan. Adapun selulosa merupakan komponen yang paling tahan dan tetap berada dalam residu ampas tapioka setelah pemanasan pada suhu 240 °C. Rendemen glukosa tertinggi yang diperoleh masih rendah, yaitu 28,59% dari berat bahan kering atau 32,41% dari teoritis. Rendemen glukosa dapat ditingkatkan secara signifikan dengan penambahan karbon aktif ke dalam suspensi ampas tapioka dalam air sebelum pemanasan
viii
gelombang mikro. Penambahan karbon aktif (1,0 g/g) menghasilkan rendemen glukosa lebih tinggi (45-46% dari teoritis) dengan suhu hidrolisis yang lebih rendah (220 °C selama 5 menit) dibandingkan yang diperoleh dari hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif (32,41% dari teoritis pada 230 °C selama 5 menit). Warna hidrolisat yang dihasilkan lebih terang yang menandakan lebih rendahnya kadar senyawa hasil dekomposisi sekunder karbohidrat. Rendemen glukosa tertinggi (52,27% dari teoritis) dari ampas tapioka diperoleh setelah hidrolisis dengan penambahan karbon aktif (1,0 g/g) pada suhu 210 °C selama 15 menit. Dengan menggunakan asam sulfat 0,5% dan hidrolisis selama 10 menit pada tingkat iradiasi 550 W dapat diperoleh rendemen glukosa tertinggi (80,80% dari berat bahan kering atau 91,52% dari teoritis). Jika karbon aktif ditambahkan pada proses hidrolisis, maka rendemen yang diperoleh menjadi lebih rendah. Peningkatan konsentrasi substrat meningkatkan konsentrasi glukosa dalam hidrolisat, namun menurunkan rendemen glukosa. Konsentrasi substrat 15% menghasilkan perolehan glukosa per g pati tertinggi, namun perolehan tersebut tidak berbeda nyata dengan penggunaan konsentrasi substrat 20%. Penelitian selanjutnya dilakukan pada konsentrasi substrat 20%. Hasil analisis ragam pada proses optimasi menggunakan RSM menunjukkan bahwa model regresi kuadratik yang diperoleh bersifat nyata dan layak untuk digunakan. Kondisi optimum hidrolisis adalah pada tingkat konsentrasi asam sulfat 0,88% dan lama pemanasan 9 menit dengan hasil rendemen glukosa 85% dari teoritis dan konsentrasi glukosa 140 g/L. Validasi model pada beberapa titik pengamatan menunjukkan bahwa model dapat digunakan untuk memprediksi rendemen glukosa pada proses hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro. Pada proses fermentasi dipelajari pengaruh penggunaan dua jenis karbon aktif dengan sifat adsorpsi berbeda terhadap kinerja fermentasi hidrolisat ampas tapioka yang dihasilkan pada kondisi optimum. Karbon aktif (25% b/b) ditambahkan ke dalam suspensi ampas tapioka sebelum hidrolisis menggunakan pemanasan gelombang mikro atau ke dalam hidrolisat sebelum fermentasi. Fermentasi hidrolisat menggunakan Saccharomyces cerevisiae LIPI MC 0070 (10% v/v) dilakukan pada suhu kamar dengan kecepatan 150 rpm selama 120 jam. Di akhir fermentasi hasil dan konsentrasi etanol yang diperoleh dari proses dengan penambahan karbon aktif saat hidrolisis (0,41-0,43 g etanol / g glukosa; 34-35 g/L) lebih rendah dari proses tanpa penambahan karbon aktif maupun dengan penambahan karbon aktif setelah hidrolisis (0,48 g etanol / g glukosa; 38-39 g/L). Fermentasi berlangsung jauh lebih cepat pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif yang mempunyai daya adsorpsi yang tinggi dibandingkan dengan pada hidrolisat tanpa karbon aktif atau dengan penambahan karbon aktif yang memiliki daya adsorpsi yang rendah. Produktivitas etanol yang dihasilkan pun (0,44-0,55 g/L/jam) lebih tinggi pada perlakuan tersebut dibandingkan dengan pada perlakuan lainnya (0,28-0,34 g/L/jam). Hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro dengan penambahan karbon aktif dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif metode hidrolisis ampas tapioka menjadi glukosa yang selanjutnya akan digunakan untuk produksi etanol, dengan hasil yang setara atau lebih baik dari metode lain yang telah diteliti. Kata kunci: ampas tapioka, hidrolisis, gelombang mikro, karbon aktif, asam sulfat, glukosa, fermentasi etanol.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
REKAYASA PROSES HIDROLISIS AMPAS TAPIOKA MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO UNTUK PRODUKSI ETANOL
EUIS HERMIATI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.St. Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Koesnandar, M.Eng. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc.Agr.
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan HidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi yang berjudul Rekayasa Proses Hidrolisis Ampas Tapioka Menggunakan Pemanasan Gelombang Mikro untuk Produksi Etanol. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si, Dr. Ono Suparno, S.TP, MT dan Prof. Dr. Ir. Bambang Prasetya, M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan dan dorongan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ketua dan Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian (TIP), Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah banyak membantu dalam kelancaran studi S3 di IPB. Ungkapan yang sama penulis sampaikan kepada Pengelola Program Karyasiswa Kementerian Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk menempuh jenjang pendidikan S3 di Sekolah Pascasarjana IPB, kepada Kepala UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial – LIPI yang telah membantu dan memberikan kemudahan untuk melakukan penelitian, serta kepada keluarga besar UPT BPP Biomaterial – LIPI atas segala dorongan semangat dan bantuannya selama penulis mengikuti progarm S3. Penulis sangat menghargai bantuan, saran dan arahan dari Prof. Jun-ichi Azuma dan Dr. Shuntaro Tsubaki dari Kyoto University selama penulis melakukan penelitian di Kyoto University, Jepang. Penulis juga berterimakasih atas semua saran dan masukan dari Dr. Ir. Liesbetini Hartoto MS dan Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.St. sebagai penguji luar komisi serta dari Dr. Ir. Machfud, MS dan Dr. Ir. Sugiyono M.App.Sc., masing-masing selaku Ketua Program Studi TIP dan Pimpinan Sidang pada ujian tertutup. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Koesnandar M.Eng. dan Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc.Agr. yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka serta kepada teman-teman mahasiswa S3 TIP IPB angkatan 2008 atas kerjasama dan dorongan semangat yang diberikan. Terimakasih yang tak terhingga kepada keluarga, terutama ibunda (alm), suami dan anak-anak, atas doa, pengertian, kesabaran, pengorbanan dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama menempuh program S3. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Bogor,
Juli 2012
Euis Hermiati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1960 sebagai anak sulung dari enam bersaudara dari pasangan Suherman (Alm) dan Anisah (Alm). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Jakarta. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1986 penulis memperoleh beasiswa Overseas Fellowship Program dari Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia untuk melanjutkan studi pada program studi Food Science, Graduate School, Rutgers University, New Brunswick, New Jersey, AS dan menamatkannya pada tahun 1989. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana IPB dengan beasiswa dari Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia diperoleh pada tahun 2008. Penulis memulai karir sebagai staf peneliti pada Lembaga Fisika Nasional (sekarang Pusat Penelitian Fisika) – LIPI di Bandung pada tahun 1984. Setelah itu, pada tahun 1989 penulis mendapat tugas pada Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna – LIPI di Subang dan pada tahun 1990-1992 pada Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanologi (sekarang Balai Konservasi Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi) – LIPI di Ambon. Pada tahun 1997-2002 penulis bertugas di Pusat Penelitian dan Pengembangan Fisika Terapan (sekarang Pusat Penelitian Fisika) – LIPI di Serpong. Sejak tahun 2002 sampai saat ini penulis menjadi staf peneliti pada UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial – LIPI di Cibinong, Bogor. Selagi menempuh pendidikan S3 penulis memperoleh JSPS Invitation Fellowship dari JSPS (Japan Society for the Promotion of Science) dan beasiswa pemagangan dari Kementerian Riset dan Teknologi, keduanya digunakan untuk melakukan penelitian di Laboratory of Forest Biochemistry, Graduate School of Agriculture, Kyoto University, Jepang, masing-masing pada bulan April – Juni 2010 dan Oktober – November 2010. Selama menempuh pendidikan S3 penulis mengikuti beberapa seminar dan simposium, antara lain National Conference on Biomass Utilization for Alternative Energy and Chemicals, The 1st International Symposium for Sustainable Humanosphere, Innovation in Polymer Science and Technology 2011, International Symposium on Sustainable Use of Tropical Rainforest with the Intensive Forest Management and Advanced Utilization of Forest Resources dan The 2nd Korea-Indonesia Workshop and International Symposium on Bioenergy from Biomass. Beberapa karya ilmiah yang merupakan bagian dari program S3 penulis juga telah dan akan diterbitkan pada jurnal ilmiah nasional maupun internasional, sebagai berikut. 1. Hermiati E, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B. 2010. Pemanfaatan bahan lignoselulosa ampas tebu untuk produksi bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121-130.
xviii
2. Hermiati E, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B. 2010. Application of microwave heating in biomass hydrolysis and pretreatment for ethanol production. Annales Bogorienses 14(1): 1-9. 3. Hermiati E, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B. 2012. Potential utilization of cassava pulp for ethanol production in Indonesia. Scientific Research and Essays 7(2): 100-106. 4. Hermiati E, Azuma J, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B. 2011. Hydrolysis of carbohydrates in cassava pulp and tapioca flour under microwave irradiation. Indo J Chem 11: 238-245. 5. Hermiati E, Azuma J, Tsubaki S, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B. 2012. Improvement of microwave-assisted hydrolysis of cassava pulp and tapioca flour by addition of activated carbon. Carbohydr Polym 87: 939-942. 6. Hermiati E, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B. 2012. Microwave-assisted acid hydrolysis of starch polymer in cassava pulp in the presence of activated carbon. Procedia Chem (diterima untuk publikasi). 7. Hermiati E, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B, Risanto L. 2012. Optimization of acid hydrolysis of cassava pulp under microwave irradiation for ethanol production. (dalam proses publikasi).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
xxi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xxv
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN ...................................................................
1
1.1.
Latar Belakang .............................................................
1
1.2.
Perumusan Masalah ......................................................
7
1.3.
Tujuan Penelitian ..........................................................
9
1.4.
Ruang Lingkup .............................................................
9
1.5.
Kerangka Pemikiran .....................................................
10
HIDROLISIS AMPAS TAPIOKA DALAM MEDIUM AIR MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO Abstrak .....................................................................................
13
2.1.
Pendahuluan .................................................................
14
2.2.
Bahan dan Metode .......................................................
17
2.3.
Hasil dan Pembahasan .................................................
19
2.4.
Simpulan dan Saran .....................................................
33
PENINGKATAN HIDROLISIS AMPAS TAPIOKA MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO DENGAN PENAMBAHAN KARBON AKTIF .....................
35
Abstrak .....................................................................................
35
3.1.
Pendahuluan .................................................................
36
3.2.
Bahan dan Metode .......................................................
36
3.3.
Hasil dan Pembahasan .................................................
38
3.4.
Simpulan dan Saran .....................................................
50
PENINGKATAN HIDROLISIS AMPAS TAPIOKA PADA PEMANASAN GELOMBANG MIKRO DENGAN PENGGUNAAN MEDIUM ASAM .......................................
51
Abstrak .....................................................................................
51
4.1.
Pendahuluan .................................................................
52
4.2.
Bahan dan Metode .......................................................
54
4.3.
Hasil dan Pembahasan .................................................
56
4.4.
Simpulan dan Saran ......................................................
71
13
xx
Halaman BAB V
FERMENTASI ETANOL TERHADAP HASIL HIDROLISIS ASAM AMPAS TAPIOKA MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO DAN KARBON AKTIF DENGAN Saccharomyces cerevisiae .................................................................................
73
Abstrak .....................................................................................
73
5.1.
Pendahuluan .................................................................
74
5.2.
Bahan dan Metode .......................................................
76
5.3.
Hasil dan Pembahasan .................................................
79
5.4.
Simpulan dan Saran .....................................................
90
PEMBAHASAN UMUM .......................................................
93
6.1.
Karakteristik ampas tapioka ........................................
93
6.2.
Peranan pemanasan gelombang mikro pada hidrolisis ampas tapioka dalam medium air ................................
94
Peranan pemanasan gelombang mikro pada hidrolisis ampas tapioka dalam medium asam ............................
95
Peranan karbon aktif pada hidrolisis dan kinerja fermentasi ....................................................................
96
Potensi penggunaan pemanasan gelombang mikro untuk proses hidrolisis ampas tapioka .........................
100
SIMPULAN DAN SARAN ....................................................
103
7.1.
SIMPULAN ................................................................
103
7.2.
SARAN .......................................................................
104
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
105
LAMPIRAN ................................................................................................
113
BAB VI
6.3. 6.4 6.5. BAB VII
DAFTAR TABEL Halaman 1.1
Estimasi potensi etanol yang dapat dihasilkan dari ampas tapioka ..
3
2.1
Komposisi kimia ampas tapioka dan tapioka ..................................
21
2.2
Komposisi relatif gula netral dalam ampas tapioka .........................
21
2.3
Kristalinitas ampas tapioka dan tapioka ...........................................
23
2.4
Hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisis ampas tapioka dan tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro .......................
28
Komposisi relatif gula netral dalam ampas tapioka dan residu ampas tapioka setelah pemanasan gelombang mikro .......................
33
3.1
Karakteristik karbon aktif ………………………………………….
39
3.2
Pengaruh suhu pemanasan dan jenis karbon aktif terhadap nilai pH dan pembentukan senyawa berwarna coklat dalam hidrolisat ampas tapioka ...................................................................................
45
Pengaruh lama pemanasan dan jumlah karbon aktif terhadap fraksi terlarut, hasil glukosa, nilai pH, dan pembentukan senyawa berwarna coklat pada hidrolisat ampas tapioka setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 210 °C ................................................
49
4.1
Karakteristik karbon aktif ………………………………………….
57
4.2
Nilai pH hidrolisat ampas tapioka setelah hidrolisis dalam medium asam sulfat 0,5% menggunakan pemanasan gelombang mikro .......
61
Nilai absorbansi pada 490 nm hidrolisat ampas tapioka setelah hidrolisis dalam medium H2SO4 0,5% menggunakan iradiasi gelombang mikro ..............................................................................
62
Kadar HMF (mg/100 g) dalam hidrolisat ampas tapioka setelah hidrolisis dalam medium H2SO4 0,5% menggunakan iradiasi gelombang mikro ..............................................................................
62
Pengaruh lama pemanasan terhadap hidrolisat ampas tapioka setelah iradiasi gelombang mikro pada tingkat daya 550 W dengan H2SO4 0,5% ......................................................................................
64
Pengaruh konsentrasi H2SO4 terhadap hidrolisat ampas tapioka setelah iradiasi gelombang mikro pada tingkat daya 550 W selama 10 menit ............................................................................................
64
Pengaruh konsentrasi substrat suspensi ampas tapioka terhadap perolehan glukosa dari hidrolisis dalam medium asam sulfat 0,5% menggunakan pemanasan gelombang mikro ....................................
66
Rancangan CCD dengan nilai respon percobaan dan nilai dugaan hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan iradasi gelombang mikro ...........................................
68
2.5
3.3
4.3
4.4
4.5
4.6
4.7
4.8
xxii
Halaman 4.9
Analisis ragam model regresi derajat dua hasil glukosa ………....
69
4.10
Nilai percobaan dan nilai dugaan hasil glukosa pada berbagai kondisi hidrolisis untuk validasi model .........................................
70
Perubahan kadar gula total, gula pereduksi dan derajat polimerisasi gula dalam hidrolisat ampas tapioka selama fermentasi dengan S. cerevisiae .....................................................
83
Produksi etanol dari hidrolisat ampas tapioka selama fermentasi dengan S. cerevisiae .......................................................................
86
Hasil etanol yang diperoleh dari proses fermentasi hidrolisat ampas tapioka dengan S. cerevisiae ..............................................
87
Konsumsi energi pada proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro .................................
102
5.1
5.2 5.3 6.1
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1
Kerangka pemikiran penelitian .............................................................
11
2.1
Citra SEM ampas tapioka dan tapioka ..................................................
22
2.2
Difraktogram sinar X ampas tapioka dan tapioka ................................. 23
2.3
Pengaruh suhu pemanasan gelombang mikro terhadap kelarutan dan kadar gula total hidrolisat ampas tapioka (pemanasan pendahuluan 4 menit, pemanasan pada suhu yang diinginkan 5 menit) ......................
25
Pengaruh lama pemanasan pendahuluan terhadap kelarutan dan kadar gula total hidrolisat ampas tapioka (suhu 230 °C, 5 menit) ..................
25
Kromatogram HPLC hasil degradasi pati dalam ampas tapioka dan tapioka setelah pemanasan gelombang mikro pada berbagai suhu .......
26
Pengaruh suhu pemanasan gelombang mikro terhadap pH hidrolisat ampas tapioka dan tapioka (pemanasan pendahuluan 4 menit, pemanasan pada suhu yang diinginkan 5 menit) .................................
29
2.4 2.5 2.6
2.7
Pengaruh lama pemanasan pendahuluan terhadap pH hidrolisat ampas tapioka dan tapioka (suhu 230 °C, 5 menit) .......................................... 30
2.8
Hidrolisat ampas tapioka dan tapioka setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 140-240 °C selama 5 menit .......................................
31
Pengaruh suhu pemanasan gelombang mikro terhadap nilai absorbansi pada 490 nm dan kadar HMF pada hidrolisat ampas tapioka dan tapioka (pemanasan pendahuluan 4 menit, pemanasan pada suhu yang diinginkan 5 menit) .....................................................
32
2.9
2.10 Citra SEM residu ampas tapioka setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 140-230 °C .......................................................................... 34 3.1 3.2
Fraksi terlarut dalam hidrolisat ampas tapioka dan hasil glukosa setelah iradiasi gelombang mikro selama 5 menit ................................
41
Kromatogram HPLC dari senyawa glukosa dan maltooligomer dalam hidrolisat ampas tapioka dengan perlakuan karbon aktif granul (KAG) dan karbon aktif tepung (KAT) ...............................................
42
3.3
Kromatogram HPLC dari senyawa glukosa dan maltooligomer dalam hidrolisat dan rendemen glukosa dari tapioka setelah hidrolisis selama 5 menit menggunakan iradiasi gelombang mikro tanpa dan dengan penambahan karbon aktif granul (KAG) .............................................. 43
3.4
Hidrolisat ampas tapioka dari pemanasan gelombang mikro (180-230 °C) selama 5 menit dalam medium air dengan penambahan karbon aktif granul dan karbon aktif tepung .........................................
3.5
45
Citra SEM residu ampas tapioka setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 190, 210 dan 230 °C selama 5 menit dengan penambahan karbon aktif granul (KAG) .................................................................... 46
xxiv
Halaman 3.6
Kromatogram HPLC dari senyawa glukosa dan maltooligomer yang terdapat dalam hidrolisat ampas tapioka setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 210 °C dengan variasi lama pemanasan dan setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 210 °C selama 12 menit dengan variasi rasio karbon aktif (KA) / ampas tapioka (AT) 47
3.7
Citra SEM residu ampas tapioka setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 210 °C selama 5 dan 18 menit dengan penambahan karbon aktif granul (KAG) . .............................................................................. 48
4.1
Kadar total padatan terlarut hidrolisat ampas tapioka setelah hidrolisis dalam medium H2SO4 0,5% menggunakan pemanasan gelombang mikro ..................................................................................................... 58
4.2
Hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisis ampas tapioka dalam medium H2SO4 0,5% menggunakan iradiasi gelombang mikro pada tingkat daya iradsiasi 330 W dan 550 W ......................................
59
4.3
Citra SEM residu ampas tapioka setelah iradiasi gelombang mikro pada tingkat daya 550 W dengan asam sulfat 0,5% .............................. 65
4.4
Citra SEM residu ampas tapioka setelah iradiasi gelombang mikro pada tingkat daya 550 W selama 10 menit dengan variasi konsentrasi asam sulfat ……………………………………………………….…...
65
Plot kontur dan plot permukaan pengaruh konsentrasi asam dan lama pemanasan terhadap hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro ............
70
Diagram alir proses persiapan hidrolisat ampas tapioka sampai fermentasi ..............................................................................................
77
4.5
5.1 5.2
Pengaruh jumlah karbon aktif terhadap hasil glukosa dan kadar HMF hidrolisat ampas tapioka ........................................................................ 80
5.3
Perubahan pH hidrolisat selama fermentasi ..........................................
81
5.4
Perubahan kadar total padatan terlarut dalam hidrolisat selama fermentasi .............................................................................................
82
Perubahan kadar glukosa dalam hidrolisat selama fermentasi ............
84
5.5
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Prosedur analisis komponen kimia bahan (analisis proksimat, kadar serat kasar, pati dan amilosa) ..............................................................
115
Prosedur analisis arang aktif (pH, daya serap terhadap senyawa I2, daya serap terhadap biru metilena dan luas permukaan) ....................
127
3
Prosedur analisis komponen kimia hasil hidrolisis ampas tapioka .....
129
4
Perhitungan produksi dan hasil etanol dari proses fermentasi ............................................................................................
132
2
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman yang penting di dunia. Tanaman ini merupakan salah satu sumber bahan pangan yang banyak dikonsumsi di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Produksi ubikayu Indonesia pada tahun 2010 mencapai 23,9 juta ton, menempati urutan ketiga setelah Nigeria dengan produksi 37,5 juta ton dan Brazilia dengan produksi 24,4 juta ton (FAO 2012). Urutan ke empat dan ke lima produsen ubikayu pada tahun 2010 ditempati oleh Thailand dengan produksi 22,0 juta ton dan Republik Demokratik Kongo dengan produksi 11,5 juta ton (FAO 2012). Ubikayu dikonsumsi setelah diolah menjadi beberapa bahan makanan tradisional, gaplek ataupun tapioka. Ketersediaan ubikayu sebagai bahan pangan belakangan ini dikhawatirkan terancam karena gencarnya upaya substitusi bahan bakar minyak dengan bioetanol menggunakan bahan dasar ubikayu; padahal ubikayu adalah komoditas yang sangat berperanan dalam mencukupi kebutuhan pangan masyarakat di Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Dengan demikian,
kebijakan mengolah bahan pangan untuk bahan bakar tampaknya perlu ditinjau kembali, karena masih banyak bahan lain yang bukan merupakan bahan pangan yang dapat dimanfaatkan sebagai penghasil bioetanol. Di antara bahan tersebut adalah ampas tapioka atau yang biasa kita kenal dengan sebutan onggok yang merupakan salah satu limbah padat industri tapioka disamping kulit ubikayu. Kandungan utama ampas tapioka adalah karbohidrat, yaitu pati dan serat atau selulosa. Dengan demikian, bahan ini sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai salah satu bahan penghasil bioetanol. Di Indonesia ampas tapioka pada umumnya dimanfaatkan untuk campuran produk saus tomat, untuk pakan ternak dan untuk produksi biogas. Akan tetapi, data kuantitatif untuk hal ini belum dapat diperoleh. Penanganan ampas tapioka yang kurang higienis mengakibatkan ampas tapioka kadang ditumbuhi kapang, sehingga kurang baik jika digunakan sebagai bahan pangan. Kadar protein ampas tapioka juga rendah, sehingga diperlukan bahan lain dengan kadar protein tinggi
2
jika ampas tapioka akan digunakan sebagai pakan ternak. Pada produksi biogas ampas tapioka juga perlu dicampur dengan bahan lain yang mempunyai kadar nitrogen lebih tinggi agar diperoleh nilai rasio C/N yang memungkinkan proses digesti anaerobik oleh bakteri untuk menghasilkan gas metana dapat berjalan dengan baik. Pengolahan 250-300 ton umbi ubikayu menghasilkan sekitar 1,16 ton kulit dan 280 ton ampas tapioka dengan kadar air sekitar 85% (Pandey et al. 2000). Hasil analisis terhadap ampas tapioka yang diperoleh dari beberapa tempat di Brazilia dan diambil pada waktu yang berbeda-beda menunjukkan kadar air 5,0211,20 g/100 g bahan kering, protein 0,32-1,61, lipid 0,53-1,06, serat 14,88-50,55, abu 0,66-1,50 dan karbohidrat 40,50-63,85g/100 g bahan kering (Pandey et al. 2000). Dilihat dari komposisi kimianya, ampas tapioka lebih mudah untuk dikonversi menjadi bioetanol, karena tidak lagi memerlukan proses pretreatment (perlakuan
pendahuluan)
seperti
yang
harus
dilakukan
pada
bahan
berlignoselulosa, dan karbohidrat yang ada dapat dengan mudah dirombak oleh mikroorganisme, dengan proses kimiawi maupun hidrotermal. Data Badan Pusat Statistik (2009) melaporkan bahwa produksi tapioka pada tahun 2009 adalah 675.266.703 kg, menurun cukup drastis dari produksi tahun 2007 sebesar 1.195.617.247 kg (BPS 2007) maupun produksi tahun 2008 sebesar 1.181.706.784 kg (BPS 2008). Penyebab terjadinya penurunan produksi bukan disebabkan oleh menurunnya produksi ubikayu di Indonesia, karena produksi ubikayu meningkat dari 20 juta ton pada tahun 2007 menjadi 21,6 juta ton pada tahun 2008 dan 21, 8 juta ton pada tahun 2009 (FAO 2012). Penurunan produksi tapioka diduga karena terjadinya pergeseran penggunaan ubikayu untuk keperluan lain, misalnya untuk produksi bioetanol. Berdasarkan data produksi tapioka, dapat diestimasi jumlah ubikayu yang digunakan serta ampas tapioka yang dihasilkan sebagaimana disajikan pada Tabel 1.1. Estimasi yang sama dapat dilakukan terhadap jumlah ampas tapioka yang dihasilkan dari industri tapioka skala kecil (produksi tapioka 1 ton per hari) maupun skala besar (produksi tapioka 20 ton per hari). Setelah itu, dapat dihitung potensi etanol yang dapat dihasilkan (Tabel 1.1). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa industri kecil dan besar tapioka, masing-masing berpotensi menghasilkan
3
0,44 kL dan 8,7 kL etanol per hari. Adapun potensi total etanol yang dapat dihasilkan dari ampas tapioka di seluruh Indonesia adalah 295.000 kL per tahun. Saat ini kebutuhan akan premium adalah 24 juta kL per tahun, sedangkan pertamax 800 ribu kL per tahun. Dengan target substitusi etanol sebesar 5%, maka dibutuhkan etanol sekitar 1,24 juta kL per tahun. Dengan demikian, potensi produksi bioetanol dari ampas tapioka sebesar 295.000 kL per tahun dapat membantu memenuhi kebutuhan akan bioetanol untuk substitusi bensin di Indonesia sebesar sekitar 23%.
Selain itu, dengan dimanfaatkannya ampas
tapioka sebagai bahan penghasil bioetanol, maka pencemaran limbah padat tapioka yang sangat mengganggu lingkungan di sekitar pabrik tapioka dapat diatasi, dan ketersediaan ubikayu sebagai bahan baku tapioka dan bahan pangan dapat tetap terjaga. Tabel 1.1 Estimasi potensi etanol yang dapat dihasilkan dari ampas tapioka Skala Industri Tapioka Industri Kecil (per hari) Industri Besar (per hari) Total Indonesia (per tahun)
Produksi Tapioka (kg)
Ubikayu yang Digunakan a) (kg)
Produksi Ampas Tapioka a) (kg)
Produksi Etanol Teoritis b) (L)
1.000
4.348
870
437
20.000
86.957
17.391
8.735
675.266.703 2.935.942.187
587.188.437 294.911.486
a)
Faktor konversi dari umbi ubikayu menjadi tapioka dan ampas tapioka masingmasing diasumsikan 0,23 dan 0,20 b) Asumsi kadar pati 70%; konversi pati ke glukosa 1,11; konversi glukosa ke etanol 0,51; kerapatan etanol 0,789 Cukup banyak penelitian yang dilakukan untuk memanfaatkan ampas tapioka, antara lain sebagai bahan penghasil senyawa aromatis (Pandey et al. 2000), penghasil asam organik seperti asam sitrat (Prado et al. 2005), fumarat (Carta et al. 1999), glutamat (Jyothi et al. 2005), dan laktat (John et al. 2006), sebagai penghasil gula pereduksi (Woiciechowski et al. 2002), penghasil xanthan gum (Woiciechowski et al. 2004), dan penghasil etanol (Jaleel et al. 1988; Srikanta et al. 1987; Kongkiattikajorn dan Yoonan 2004; Yoonan et al. 2004;
4
Srinorakutara et al. 2004, 2006; Yamaji et al. 2006, 2007; Rattanachomsri et al. 2009, dan Kosugi et al. 2009; Thongchul et al. 2010; Djuma’ali et al. 2011; Apiwatanapiwat et al. 2011). Ampas tapioka juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan beberapa produk lain, misalnya untuk pakan ternak (Pandey et al. 2000; Supriyati 2003; Ali 2006), sebagai substrat untuk pertumbuhan mikroba (Pandey et al. 2000; Ray 2004; Swain dan Ray 2007), untuk bahan komposit (Matsui et al. 2003, 2004), dan untuk adsorben (Tomanee 2008). Mengingat kandungan utama ampas tapioka adalah pati, maka potensi pati dalam bahan ini yang perlu dioptimalkan. Agar pati dalam ampas tapioka dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan berbagai macam produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi, maka proses hidrolisis pati menjadi glukosa merupakan tahapan utama yang perlu mendapat perhatian.
Hidrolisis pati dapat dilakukan
menggunakan cara hidrotermal, menggunakan larutan asam, enzim ataupun kombinasi ketiganya. Setiap metode yang digunakan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Proses hidrotermal atau asam biasanya berlangsung dalam waktu singkat, namun berpotensi menghasilkan senyawa inhibitor seperti hidroksi metil furfural (HMF) yang dapat menghambat pada proses fermentasi. Proses enzimatis lebih ramah lingkungan, tidak berpotensi menghasilkan senyawa inhibitor, namun prosesnya berlangsung lebih lama dan seringkali lebih mahal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemanasan dengan gelombang mikro dapat membantu proses likuifikasi dan/atau hidrolisis pati (Khan et al. 1979; Yu et al.1996; Kunlan et al. 2001; Nikolic et al. 2008; Tsubaki et al. 2009; Tsubaki dan Azuma 2011; Matsumoto et al. 2008, 2011) serta proses hidrolisis selulosa (Cullingford et al. 1993; Robinson 2010). Pemanasan menggunakan gelombang mikro dapat dilakukan dalam medium air ataupun asam, biasanya asam kuat encer seperti HCl atau H2SO4. Hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan hidrolisis menggunakan pemanasan konvensional. Proses gelatinisasi, likuifikasi dan sakarifikasi pati dapat diselesaikan dalam waktu 10 menit (Tsubaki dan Azuma 2011), atau dalam waktu 5 menit jika dilakukan dalam medium asam (Yu et al. 1996). Proses ini jauh lebih cepat dibandingkan
dengan
proses
hidrolisis
pati
menggunakan
pemanasan
konvensional dalam medium air (180 C) dengan waktu 1 jam (Lorenz dan
5
Johnson 1972) ataupun dalam medium asam (HCl 0,45-0,5 M) dengan waktu sekitar 1 jam (Yu et al. 1996; Warrand dan Janssen 2007). Gelombang mikro adalah salah satu jenis gelombang elektromagnetik yang mempunyai panjang gelombang sekitar 1 m hingga 1 mm, menghasilkan frekuensi antara 0,3 GHz untuk panjang gelombang 1 m hingga 300 GHz untuk panjang gelombang 1 mm (Lidstrom et al. 2001; Jones et al. 2002). Selang ini terletak di antara panjang gelombang sinar infra merah dan gelombang radio. Gelombang mikro digunakan pada radar, komunikasi gelombang mikro, TV UHF dan oven gelombang mikro.
Untuk menghindari adanya gangguan atau
interferensi, maka untuk keperluan pemanasan seperti pada oven gelombang mikro untuk keperluan domestik maupun industri diatur, yaitu menggunakan panjang gelombang 12,2 cm atau frekuensi 2,45 GHz. Gelombang elektromagnetik membawa sejumlah energi yang dapat dipindahkan secara radiasi atau tanpa medium perantara. Sebagai gelombang elektromagnetik gelombang mikro membawa medan listrik dan medan magnet. Gaya listrik yang diakibatkan medan listrik gelombang mikro akan memutar molekul-molekul yang bersifat dipolar atau mempunyai dua kutub, positif dan negatif, seperti air.
Ketika berputar, molekul-molekul tersebut dapat saling
bertubrukan, sehingga dihasilkan panas. Gelombang mikro juga dapat membuat molekul yang mengandung ion positif dan negatif bergerak secara dilatasi dan pergerakan ini mengakibatkan terjadinya gesekan antar molekul sehingga menimbulkan panas. Panas yang dihasilkan karena tubrukan atau gesekan antar molekul inilah yang akan meningkatkan suhu bahan yang dikenai gelombang mikro dalam sebuah oven gelombang mikro (microwave oven). Oleh karena itu pemanasan dengan gelombang mikro dinamakan juga pemanasan dielektrik. Sistem pemanasan gelombang mikro terdiri dari sebuah sumber listrik DC yang menyediakan tenaga listrik untuk menghasilkan energi gelombang mikro, sebuah magnetron yang mengubah tenaga listrik menjadi energi gelombang mikro, sebuah alat aplikator yang menyampaikan energi gelombang mikro ke obyek, serta berbagai panel kontrol listrik, instrumentasi dan otomatisasi sistem (CMF 1993). Magnetron menghasilkan tenaga gelombang mikro sampai 60 kW pada 9150 MHz dan sampai 6 kW pada 2450 MHz. Aplikator mengarahkan energi
6
gelombang mikro ke bahan. multimode
cavity
yang
Aplikator yang paling umum adalah sebuah
terdiri
dari
kotak
yang
menyediakan
medan
elektromagnetik yang seragam. Energi gelombang mikro langsung dipindahkan ke molekul-molekul yang ada di dalam bahan. Molekul-molekul ini menjadi terstimulasi dan berputar jutaan kali per detik sebagai responnya terhadap medan elektromagnetik. Perputaran molekul ini secara cepat menghasilkan panas di dalam bahan. Pemanasan yang terjadi pada sistem gelombang mikro berkaitan dengan sifat dielektrik bahan.
Sifat dielektrik bahan biasanya digambarkan dengan
konstanta dielektrik dan loss factor dielektriknya (Motwani et al. 2007). Konstanta dielektrik (ε′) menggambarkan kemampuan bahan untuk menyimpan energi dan mempolarisasikannya ketika berada dalam medan listrik, sedangkan loss factor dielektrik (ε′′) berhubungan dengan hilangnya energi medan dielektrik dalam bahan yang dikeluarkan dalam bentuk panas. Perbandingan antara loss factor dielektrik dan konstanta dielektrik adalah nilai loss tangent dielektrik (tan δ), yang menggambarkan kemampuan bahan untuk menyerap energi gelombang mikro dan mengubahnya menjadi panas. Semakin tinggi nilai tan δ suatu bahan, maka semakin besar kemampuan bahan tersebut dalam mengubah energi gelombang mikro menjadi energi panas (Gabriel et al. 1998; Menendez et al. 2010). Upaya meningkatkan hasil hidrolisis pati menggunakan pemanasan gelombang mikro telah dilakukan, antara lain dengan menambahkan garam anorganik yang mengandung ion Cl¯ atau SO42¯, dimana garam dengan ion Cl¯ memberikan hasil yang lebih baik (Kunlan et al. 2001) dan dengan menambahkan karbon aktif (Matsumoto et al. 2008, 2011).
Penambahan bahan-bahan tadi
diduga berkaitan dengan sifat bahan yang ditambahkan yang berpotensi dapat meningkatkan
proses
gelombang mikro.
terbentuknya
panas
selama
iradiasi
menggunakan
Adanya kation dan anion dalam air dapat meningkatkan
polaritas larutan, sehingga akan terjadi pergerakan molekul yang lebih hebat, dan lebih cepat dihasilkan panas. Akan tetapi, sejauh ini belum diteliti pengaruh penambahan ion-ion anorganik tadi terhadap proses lanjutan, seperti fermentasi. Karbon pada umumnya merupakan absorben gelombang mikro yang baik.
7
Karbon aktif dengan nilai tan δ (0,57-0,80) yang lebih tinggi dari nilai tan δ air (0,12) memungkinkan terjadinya peningkatan proses pengubahan energi gelombang mikro menjadi energi panas dalam air (Menendez et al. 2010). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karbon dapat berfungsi sebagai absorben gelombang mikro dan katalis pada beberapa proses atau reaksi menggunakan pemanasan gelombang mikro, antara lain pada degradasi senyawa polutan NOx, SO2, metana, dan congo red, serta pada proses pirolisis (Zhang et al. 2007; Menendez et al. 2010).
Keberadaan karbon aktif juga dilaporkan
berpengaruh positif pada proses fermentasi glukosa menjadi etanol menggunakan Saccharomyces cerevisiae (Ikegamai et al. 2000). Namun demikian, penggunaan karbon aktif dalam hidrolisis pati menggunakan pemanasan gelombang mikro baru dilaporkan oleh Matsumoto et al. (2008, 2011), dan itu pun baru digunakan untuk hidrolisis pati jagung murni dalam medium air. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pengaruh pemanasan oleh gelombang mikro terhadap pati ternyata berbeda dengan pengaruh pemanasan konduksi biasa (Yu et al. 1996; Palav dan Seetharaman 2006, 2007; Luo et al. 2006). Hidrolisis pati menggunakan iradiasi gelombang mikro dalam medium asam pada suhu 95 °C dapat menguraikan struktur β pada pati teretrogradasi, sehingga membuat pati menjadi terlarut dan selanjutnya dapat dihidrolisis, sedangkan pada proses termohidrolisis biasa dalam medium asam pada suhu 100 °C pati teretrogradasi tidak dapat dihidrolisis (Yu et al. 1996). Dengan demikian, keunggulan utama dari proses hidrolisis pati menggunakan iradiasi gelombang mikro adalah proses yang berlangsung cepat dan dapat terurainya struktur β pada pati teretrogradasi yang memungkinkan diperolehnya rendemen glukosa yang lebih tinggi.
1.2. Perumusan Masalah Pemanasan gelombang mikro merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk gelatinisasi, likuifikasi dan/atau sakarifikasi pati dengan waktu proses yang singkat. Sebagian penelitian tersebut dilakukan menggunakan bahan dasar berupa pati murni yang sudah diekstrak dari bahan asalnya, sebagian lagi menggunakan pati yang masih terikat dalam matriks biomassa. Namun, penelitian
8
hidrolisis pati untuk menghasilkan glukosa yang dilakukan dengan pemanasan gelombang mikro semuanya menggunakan pati murni sebagai bahan dasarnya. Penelitian terhadap pati yang masih terikat dalam matriks biomassa, seperti pati dalam ampas tapioka, belum banyak dilaporkan. Penelitian hidrolisis pati menggunakan pemanasan gelombang mikro yang dilaporkan sejauh ini juga hanya sampai dengan proses hidrolisis untuk memperoleh glukosa atau gula pereduksi, belum dilanjutkan dengan proses lanjutan, misalnya fermentasi glukosa atau gula pereduksi menjadi etanol. Proses lanjutan ini penting untuk diteliti agar dapat diketahui apakah hidrolisat yang dihasilkan dapat difermentasi dengan mudah atau tidak. Sejauh ini belum didapat laporan penggunaan karbon aktif pada proses hidrolisis pati yang masih terikat dalam biomassa menggunakan pemanasan gelombang mikro, baik dalam medium air maupun asam. Penelitian penggunaan karbon aktif pada hidrolisis pati yang dilakukan Matsumoto et al. (2008, 2011) menggunakan bahan pati murni dan dalam medium air. Dengan demikian, belum diketahui dengan jelas bagaimana peranan karbon aktif pada hidrolisis bahan yang bukan merupakan pati murni menggunakan pemanasan gelombang mikro pada medium air maupun asam. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan sifat karbon aktif yang merupakan bahan adsorber yang baik terhadap berbagai kotoran dan polutan dalam air. Di satu sisi, penggunaan karbon aktif dalam proses hidrolisis pati menggunakan pemanasan gelombang mikro diharapkan dapat mengadsorpsi beberapa senyawa yang terbentuk selama proses hidrolisis yang bersifat sebagai inhibitor pada proses lanjutan, misalnya fermentasi glukosa menjadi etanol. Di sisi lain, karbon aktif dapat pula mengadsorpsi maltooligomer (Moon dan Cho 1997; Yoo et al. 2005; Matsumoto et al. 2008, 2010) ataupun glukosa (Ikegamai et al. 2000). Oleh karena itu, pada penelitian ini dipelajari proses hidrolisis karbohidrat, khususnya pati yang terdapat dalam biomassa ampas tapioka, menggunakan pemanasan gelombang mikro dalam medium air dan asam serta tanpa dan dengan penambahan karbon aktif. Dengan mempelajari peranan atau pengaruh faktor-faktor yang terlibat dalam proses hidrolisis pati dalam biomassa ampas tapioka, yaitu suhu atau derajat iradiasi, waktu pemanasan, perbandingan padatan/cairan, dan ada tidaknya
9
pengaruh karbon aktif terhadap rendemen glukosa dan konsentrasi glukosa yang dihasilkan, dapat dilakukan optimasi proses hidrolisis untuk menghasilkan glukosa yang selanjutnya akan difermentasi menjadi etanol. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi alternatif pemanfaatan hasil samping industri tapioka, mengurangi pencemaran lingkungan di sekitar pabrik serta mengurangi penggunaan bahan pangan sebagai bahan baku energi. Integrasi industri bioetanol dari ampas tapioka dengan industri tapioka diharapkan dapat mengurangi biaya produksi etanol, karena bahan baku sudah langsung dipasok oleh industri tapioka. Dengan demikian, harga etanol yang dihasilkan dapat lebih bersaing.
1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan perlakuan pemanasan gelombang mikro, dan pemanfaatan hasil hidrolisis untuk produksi etanol. Secara khusus penelitian bertujuan untuk mempelajari peranan faktor-faktor yang terlibat dalam proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro, meliputi suhu atau derajat iradiasi, waktu pemanasan, konsentrasi asam, perbandingan padatan/cairan atau konsentrasi substrat dan ada tidaknya karbon aktif. Kondisi optimum hidrolisis ampas tapioka dengan pemanasan gelombang mikro adalah salah satu tujuan lain yang ingin diperoleh. Selain itu, dipelajari pula pengaruh adanya karbon aktif yang ditambahkan pada proses hidrolisis maupun sebelum fermentasi terhadap hasil fermentasi hidrolisat ampas tapioka menjadi etanol.
1.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini mencakup tiga aspek, yaitu: 1. Hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro dalam medium air atau medium asam sulfat. 2. Fermentasi hidrolisat ampas tapioka yang diperoleh dari proses hidrolisis menggunakan pemanasan gelombang mikro pada kondisi optimum menjadi etanol. 3. Pengaruh penambahan karbon aktif terhadap efisiensi hidrolisis ampas tapioka maupun efisiensi fermentasi etanol pada hidrolisat yang dihasilkan.
10
1.5. Kerangka Pemikiran Penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi optimum proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro, dimana glukosa yang dihasilkan akan digunakan untuk menghasilkan etanol. Oleh karena itu, pada penelitian ini mula-mula dilakukan karakterisasi ampas tapioka, agar diketahui sifat fisiko-kimia ampas tapioka, terutama kadar patinya. Selanjutnya, dilakukan hidrolisis ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro. Proses hidrolisis dilakukan dalam medium air maupun asam, baik dengan maupun tanpa penambahan karbon aktif. Dari tahap ini diperoleh informasi proses mana yang menghasilkan hasil glukosa yang tertinggi yang kemudian dijadikan dasar untuk melakukan optimasi proses hidrolisis. Selanjutnya, dilakukan percobaan fermentasi terhadap hidrolisat yang diperoleh dari proses hidrolisis pada kondisi optimum. Pada proses fermentasi dipelajari pengaruh penambahan karbon aktif sebagai upaya mengurangi senyawa inhibitor, yang ditambahkan pada suspensi ampas tapioka sebelum proses hidrolisis menggunakan pemanasan gelombang mikro maupun pada hidrolisat sebelum proses fermentasi, terhadap etanol yang diperoleh. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1.
11
BAHAN
LATAR BELAKANG
MASALAH
PEMECAHAN MASALAH
TUJUAN & HASIL YANG DIHARAPKAN
Ampas Tapioka - Hasil samping industri - Kaya akan karbohidrat
- Pencemaran lingkungan - Terbatasnya persedian BBM asal fosil
Pemanfaatan ampas tapioka untuk etanol
- Karakteristik bahan - Etanol
HIDROLISIS
Metode umum hidrolisis - Asam - Enzimatis
Proses asam: - Tidak ramah lingkungan - Senyawa inhibitor --------------------Proses enzimatis: - Mahal - Lama
Rekayasa proses hidrolisis - Pemanasan gelombang mikro - Medium air/ katalis asam - Karbon aktif
- Disain proses hidrolisis - Kondisi optimum hidrolisis - Karakteristik produk ( fermentable Sugar)
Gambar 1.1 Kerangka pemikiran penelitian.
FERMENTASI
Hidrolisat ampas tapioka dapat difermentasi menjadi etanol
Senyawa inhibitor
Adsorpsi senyawa inhibitor dengan karbon aktif
Diasin proses fermentasi etanol
12
BAB II HIDROLISIS AMPAS TAPIOKA DALAM MEDIUM AIR MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO Hydrolysis of cassava pulp in water medium under microwave heating Abstrak Ampas tapioka merupakan salah satu bahan baku untuk menghasilkan glukosa yang potensial. Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi dan hidrolisis ampas tapioka dalam medium air menggunakan iradiasi gelombang mikro sebagai salah satu teknik sakarifikasi non enzimatis. Karakterisasi dilakukan terhadap kandungan kimia ampas tapioka, sifat morfologi pati dan pola spektrum pati dalam ampas tapioka. Suspensi ampas tapioka dalam air (1g/20 mL) dipanaskan menggunakan iradiasi gelombang mikro pada suhu 140-240 °C selama 5 menit setelah sebelumnya dilakukan pemanasan pendahuluan selama 4 menit. Sebagai pembanding, hal yang sama dilakukan terhadap tapioka. Kelarutan komponen dalam ampas tapioka meningkat seiring meningkatnya suhu dan mencapai maksimum (92,54%) pada suhu 220 °C. Senyawa maltooligomer dari proses degradasi pati mulai terdeteksi pada suhu 220 °C. Karbohidrat lain, seperti senyawa gula penyusun hemiselulosa, yang terkandung dalam ampas tapioka juga terlarut secara bertahap. Senyawa arabinan adalah yang paling mudah larut, diikuti oleh rhamnan, mannan, galaktan dan xilan. Selulosa merupakan komponen yang paling tahan dan tetap berada dalam residu ampas tapioka setelah pemanasan pada suhu 240 °C. Nilai pH menurun seiring dengan meningkatnya suhu, sedangkan intensitas warna coklat dan kadar hidroksi metil furfural (HMF) sebaliknya. Hasil glukosa tertinggi yang diperoleh dari ampas tapioka mencapai 28,59% dari berat bahan kering atau 32,41% basis pati, yaitu pada pemanasan gelombang mikro dengan suhu 230 °C selama 5 menit. Variasi lama pemanasan pendahuluan pada suhu 230 °C tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil glukosa dari ampas tapioka. Kata kunci: ampas tapioka, gelombang mikro, hidrolisis, karbohidrat, glukosa Abstract Cassava pulp is a potential source of carbohydrates. In this work, characteristics of cassava pulp were analyzed and validity of microwave irradiation for hydrolysis of carbohydrates, especially starch, present in cassava pulp was estimated as a non-enzymatic saccharification technique. Suspension of cassava pulp in distilled water (1g/20 mL) was subjected to microwave irradiation at temperatures of 140-240 °C with pre-heating time of 4 minutes and heating time of 5 minutes. For a comparison, the same procedures were applied for tapioca flour. Solubilization of the cassava pulp increased with increasing temperature of microwave heating treatment and reached maximum (92.54%) at 220 °C. Production of malto-oligomers from starch in the cassava pulp was clearly observed at 220 °C. Other carbohydrates, such as sugars of the hemicellulose component contained in the cassava pulp, were also solubilized
14
gradually with arabinan was the most soluble, followed by rhamnan, mannan, galactan and xylan. Cellulose was found to be the most resistant component in the cassava pulp. It remained in the residue even after heat tretament at 240 °C. The pH value of the hydrolysates decreased as the temperature increased, whereas the intensity of the brown compounds and the hydroxymethyl furfural (HMF) content were vice versa. The highest glucose yield from the cassava pulp (28.59 of dry matter or 32,41% of starch-based theoretical yield) was obtained after microwave heating at 230 °C for 5 minutes. Variation of pre-heating time at 230 °C did not give significant effects on glucose yield from the cassava pulp. Keywords: cassava pulp, microwave, hydrolysis, carbohydrate, glucose 2.1. Pendahuluan Hidrolisis pati pada umumnya dilakukan secara enzimatis atau dengan menggunakan asam. Metode lain yang dapat digunakan adalah menggunakan proses termal seperti hidrotermal dan pemanasan gelombang mikro. Penelitian hidrolisis asam terhadap pati yang terkandung dalam ampas tapioka telah dilaporkan oleh Ahmed et al.(1983), Srikanta et al. (1987), Woiciechowski et al. (2002), Yoonan et al. (2004) dan Thongchul et al. (2010), sedangkan proses enzimatis dilaporkan oleh Jaleel et al. (1988), Woiciechowski et al. (2002), Chotineeranat et al. (2004), Kongkiattikajorn dan Yoonan (2004), Srinorakutara et al. (2004, 2006), Rattanachomsri et al. (2009) dan Thongchul et al. (2010). Asam yang digunakan pada umumnya adalah asam klorida dan asam sulfat, walaupun ada juga yang mencoba menggunakan asam fosfat atau asam asetat. Suhu dan waktu hidrolisis bervariasi, masing-masing 100-135 °C dan 5-90 menit. Konsentrasi asam bervariasi dari 0,01 sampai 5 Molar atau Normal. Hasil glukosa maksimum yang diperoleh pada umumnya sekitar 60-70% (berdasarkan berat bahan kering), walaupun dapat mencapai lebih dari 1 g per g bahan kering ketika digunakan konsentrasi asam yang tinggi, misalnya 1,25 N H2SO4 selama 60 menit, 1,5 N H2SO4 selama 30 menit atau 1,5-2 N H3PO4 selama 60 menit seperti yang dilaporkan oleh Thongchul et al. (2010). Pada hidrolisis enzimatis, enzim yang dipakai pada umumnya adalah α-amilase dan glukoamilase dengan kisaran hasil gula pereduksi 50-76,63% setelah hidrolisis selama 24-25 jam (Woiciechowski et al. 2002; Kongkiattikajorn dan Yoonan 2004; Kunhi et al. 1981). Beberapa peneliti menambahkan enzim lain selain kedua enzim tersebut, misalnya selulase dengan hasil glukosa 0,33 g per g bahan kering setelah hidrolisis selama 48 jam
15
(Thongchul et al. 2010), selulase dan pektinase dengan hasil konsentrasi gula pereduksi 6,2% setelah hidrolisis selama 25 jam (Srinorakutara et al. 2006), atau selulase, pektinase dan xilanase dengan hasil 391 mg glukosa per g bahan kering atau 571 mg gula pereduksi per g bahan kering setelah hidrolisis selama 30 jam (Rattanachomsri et al. 2009). Peneliti lain melaporkan hasil penelitian hidrolisis ampas tapioka menggunakan proses hidrotermal (Yamaji et al. 2006, 2007) atau kombinasi proses hidrotermal dan enzimatis (Kosugi et al. 2009; Nair et al. 2011; Djuma’ali et al. 2011). Rendemen glukosa yang diperoleh dapat mencapai 7075% dari berat bahan kering atau nilai dextrose equivalent mencapai 94%. Salah satu masalah yang dihadapi pada proses menggunakan asam adalah terbentuknya senyawa berwarna coklat, seperti furfural dan hidroksi metil furfural (HMF) yang merupakan hasil degradasi lanjut karbohidrat dalam bahan, walaupun hal ini biasanya dapat diatasi dengan menggunakan bahan pengadsorpsi seperti bentonit dan kaolin (Ahmed et al. 1983). Hidrolisis enzimatis menghasilkan produk yang bebas dari senyawa berwarna coklat, namun dianggap kurang ekonomis dibandingkan dengan proses asam karena memerlukan waktu yang lebih lama dan biaya proses yang lebih tinggi (Woiciechowski et al. 2002). Hidrolisis enzimatis yang digabungkan dengan ultra-filtrasi yang dikembangkan oleh Chotineeranat et al. (2004) dapat menghasilkan proses enzimatis yang lebih ekonomis, karena sistem ini dapat meningkatkan kecepatan produksi gula pereduksi sampai 20% lebih tinggi daripada proses tanpa ultra-filtrasi. Iradiasi atau pemanasan menggunakan gelombang mikro banyak digunakan pada sintesis senyawa organik dan anorganik karena reaksinya dapat berlangsung secara cepat dengan perolehan dan kualitas produk yang baik. Sudah banyak laporan mengenai penggunaan pemanasan gelombang mikro untuk proses degradasi pati dari berbagai jenis sumber pati, misalnya gandum, beras, kentang, dan jagung, baik dalam medium air maupun larutan asam. Sebagian besar penelitian menggunakan oven gelombang mikro dengan frekuensi 2.450 MHz. Konsentrasi pati yang digunakan berkisar dari 1 sampai dengan 50%, namun kebanyakan digunakan konsentrasi 10% (Yu et al. 1996; Kunlan et al. 2001). Penelitian menggunakan konsentrasi pati yang rendah (1-8%) dilakukan oleh Palav dan Seetharaman (2006), sedangkan pada konsentrasi yang tinggi dilakukan
16
oleh Khan et al. (1979) (10 - 30%), Palav dan Seetharaman (2007) (33 - 50%), serta Nicolic et al. (2008) (33%). Beberapa penelitian melaporkan penggunaan parameter suhu yang digunakan dalam proses, misalnya dalam Yu et al. (1996), Matsumoto et al. (2008, 2011), dan Tsubaki et al. (2009), sedangkan sebagian besar lainnya hanya melaporkan penggunaan tingkat, derajat atau persentase power ataupun besaran daya (watt) yang digunakan (Kunlan et al. 2001; Pinkrova et al. 2003; Palav dan Seetharaman 2007; Nicolic et al. 2008). Menurut Tsubaki et al. (2009), gelatinisasi pati kentang dengan konsentrasi pati 25% (b/b) mulai terjadi pada suhu 120 °C. Selanjutnya, dinyatakan bahwa terjadi peningkatan proses terlarutnya pati di atas suhu tersebut, dan hampir semua jenis pati sudah dapat terlarut pada suhu 200-220 °C yang disertai dengan terbentuknya warna akibat dekomposisi sekunder dari bahan yang dipanaskan. Waktu terlama yang umum digunakan pada proses degradasi atau hidrolisis pati adalah 10 menit. Sebagian besar proses dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 10 menit. Proses degradasi atau hidrolisis pati menggunakan iradiasi gelombang mikro dapat dilakukan dalam medium air maupun larutan asam seperti asam sulfat atau asam klorida. Hidrolisis pati dapat dipercepat dengan penambahan garam-garam anorganik yang mengandung ion-ion Cl¯ atau SO42¯, dengan ion Cl¯ memberikan hasil yang lebih baik daripada ion sulfat (Kunlan et al. 2001). Dibandingkan dengan menggunakan pemanasan konvensional, proses hidrolisis tersebut berlangsung 100 kali lebih cepat. Sakarifikasi beberapa jenis pati juga meningkat dengan adanya penambahan karbon aktif (Matsumoto et al. 2008, 2011). Sejauh pengetahuan penulis, semua penelitian hidrolisis dan sakarifikasi dengan iradiasi gelombang mikro menggunakan pati murni sebagai substrat. Penggunaan pati yang masih terikat kuat dalam matriks biomassa sebagai substrat pada proses menggunakan iradiasi gelombang mikro belum dilaporkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dipelajari pengaruh iradiasi gelombang mikro terhadap hidrolisis karbohidrat, khususnya pati, yang terdapat di dalam ampas tapioka, yang merupakan representasi pati yang terikat dalam matriks biomassa.
Sebagai
perbandingan, dilakukan pula hidrolisis tapioka yang merupakan representasi pati yang sudah terekstraksi dari matriks biomassa.
17
2.2. Bahan dan Metode 2.2.1. Bahan Ampas tapioka diperoleh dari industri rumah tangga tapioka di Kabupaten Bogor. Bahan dikeringkan pada suhu 60 °C selama 30 jam, kemudian dihaluskan dan diayak sampai semua bahan lolos ayakan berukuran 20 mesh. Tepung ampas tapioka kering dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik dengan kapasitas sekitar 500 g tepung. Tapioka dibeli dari salah satu toko swalayan di Jakarta. Bahan-bahan ini disimpan di dalam kontainer plastik dan ditutup rapat. Bahanbahan kimia yang digunakan adalah bahan dengan spesisfikasi untuk analisis.
2.2.2. Analisis bahan baku Analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar) bahan baku ampas tapioka dan tapioka dilakukan sebagai berikut.
Kadar air ditentukan
menggunakan alat uji kadar air (moisture tester) MA 35 (Sartorius Mechatronics, Sartorius AG, Goettingen, Jerman) pada suhu 105 °C.
Kadar abu ditentukan
dengan cara memanaskan bahan pada 600 °C selama 3 jam.
Kadar lemak
ditentukan dengan cara ekstraksi Soxhlet dan kadar protein dengan metode Kjeldahl. Kadar serat kasar ditentukan dengan mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2891-1992 butir 11. Kadar pati dan amilosa bahan masingmasing ditentukan menggunakan Total Starch Kit (Megazyme Ltd., Ireland) yang mengacu pada standar AOAC Official Method 996.11 dan Amylose/Amylopectin Kit (Megazyme Ltd., Ireland). Lampiran 1.
Prosedur analisis yang rinci disajikan pada
Komposisi relatif karbohidrat dalam ampas tapioka ditentukan
dengan melakukan analisis terhadap komposisi relatif gula netral yang terdapat dalam kedua bahan tersebut. Bahan (3% b/v) dihidrolisis menggunakan asam sulfat 72% pada suhu 120 °C selama 1 jam.
Hasil hidrolisis dianalisis
menggunakan High-Performance Anion Exchange Chromatography (HPAEC) pada sistem Dionex DX-500 (Sunnyvale, CA, AS) dengan detektor (ED-40) dan 1.0 mM NaOH sebagai fase bergerak. Sifat morfologi ampas tapioka dan tapioka dianalisis menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) tipe VE-8800 Low Voltage (Keyence, Co., Osaka, Jepang). Pola spektrum difraksi sinar X dan kristalinitas bahan dianalisis
18
menggunakan Difraktometer sinar X tipe Ultima IV (Rigaku Company, Tokyo, Jepang). Pengukuran dilakukan pada selang 2 4-32° pada 40 kV, 20 mA dan kecepatan 2° per menit.
2.2.3. Hidrolisis pati menggunakan iradiasi gelombang mikro Oven gelombang mikro yang digunakan pada penelitian ini adalah oven gelombang mikro MycroSYNTH Lab Station (2.450 MHz) (Milestone Inc., Shelton, CT, AS). Oven gelombang mikro ini merupakan oven multi mode yang dilengkapi dengan termometer termokopel untuk memonitor suhu dan waktu pemanasan ril di dalam reaktor. Suhu dan waktu pemanasn dikontrol dengan cara melakukan input kondisi proses melalui PID algorithm pada unit PC (easyWAVE 3 software, Milestone, Inc., Shelton, CT, AS). Suspensi bahan dalam air (1g/20 mL) dimasukkan ke dalam tabung Teflon® berkapasitas 100 mL dan diaduk menggunakan pengaduk magnetik agar diperoleh suspensi yang homogen. Campuran kemudian dihidrolisis pada suhu 140-240 °C dengan lama pemanasan pendahuluan (waktu yang digunakan untuk menaikkan suhu dari suhu ruang ke suhu yang diinginkan) 4 menit dan lama pemanasan pada suhu yang diinginkan 5 menit.
Setelah iradiasi gelombang mikro, campuran dalam tabung segera
didinginkan dengan merendamnya dalam bak berisi es.
Selanjutnya, iradiasi
gelombang mikro dilakukan pada suhu 230 °C untuk ampas tapioka dan 240 °C untuk tepung tapioka, masing-masing dengan lama pemanasan pendahuluan 2-6 menit dan lama pemanasan 5 menit.
2.2.4. Penentuan persentase dan analisis fraksi terlarut Hidrolisat ampas tapioka disentrifugasi pada suhu 10 °C, 5.000 g selama 15 menit. Residu dipisahkan dari supernatan, dicuci tiga kali dengan air suling 30 mL dan disentrifugasi pada suhu 10 °C, 5.000 g selama 15 menit setelah setiap pencucian. Residu kemudian dikeringkan menggunakan pengering beku. Persentase bahan terlarut dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut. Fraksi terlarut (%) = (Berat bahan awal – berat residu) x 100 / (Berat bahan awal). Kadar gula total ditentukan menggunakan metode fenol asam sulfat (Wrolstad et al. 2005), seperti tersaji pada Lampiran 3.
Selanjutnya, dilakukan analisis
19
terhadap distribusi maltooligosakarida dari fraksi terlarut menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dengan kolom MCI CK04SS ukuran 7,5 x 200 mm, detektor refraktif indeks Shodex SE-51, pompa Jasco PU980, pemanas kolom Jasco CO-965, dan degasser Jasco DG 980-50. Pelarut yang digunakan adalah air dengan kecepatan elusi 0,3 mL/menit. dilakukan menggunakan Jasco Chrom NAV data station.
Perhitungan
Kadar glukosa
ditentukan menggunakan Glucose CII test kit (Wako Junyaku, Co., Osaka), dengan rincian prosedur seperti pada Lampiran 3. Rendemen glukosa dihitung berdasarkan berat bahan kering, yang dinyatakan sebagai % dari berat bahan kering dan berdasarkan pati dalam bahan (starch-based theoretical yield), yang dinyatakan sebagai % dari teoritis. Nilai pH hidrolisat diukur menggunakan pH meter, dan pembentukan warna coklat ditentukan dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang 490 nm sebagaimana dalam Warrand dan Janssen (2007) serta Whistler dan Daniel (1985) dan dengan menganalisis kadar hidroksi metil furfural (HMF) mengikuti metode SNI 01-3545-2004 yang mengacu pada AOAC (980.23-1999) (BSN 2004). Rincian prosedur analisis disajikan pada Lampiran 3.
2.2.5. Analisis residu ampas tapioka Residu ampas tapioka dianalisis komposisi gula netralnya menggunakan HPAEC sebagaimana dijelaskan pada Bab 2.2.2. setelah dilakukan hidrolisis bahan (3% b/v) menggunakan asam sulfat 72% pada suhu 120 °C selama 1 jam. Residu ampas tapioka dianalisis pula morfologi permukaannya menggunakan Low Voltage Scanning Electron Microscope (LV SEM) (Keyence VE-8800).
2.3. Hasil dan Pembahasan 2.3.1. Komposisi ampas tapioka Analisis proksimat ampas tapioka (Tabel 2.1) menunjukkan bahwa kandungan utama ampas tapioka adalah karbohidrat. Ampas tapioka mengandung abu dan lemak dalam jumlah yang sangat kecil, masing-masing kurang dari 0,5%, dan mengandung protein kasar 4,79% dari berat bahan kering. Hasil analisis ini hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Sriroth et al. (2000) yang menyatakan bahwa kadar karbohidrat ampas tapioka adalah sekitar 95%. Kadar pati ampas
20
tapioka (79,45%) yang digunakan pada penelitian ini jauh lebih tinggi dan kadar serat kasarnya (4,84%) jauh lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Sriroth et al. (2000), Srinorakutara et al. (2006), dan Kunhi et al. (1981), yaitu masing-masing 60-70%, dan 10-27%. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan sumber ampas tapioka. Ampas tapioka untuk penelitian ini berasal dari industri rumah tangga tapioka di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dimana ubikayu dikupas sebelum diparut untuk selanjutnya diproses menggunakan peralatan yang sangat sederhana, sedangkan yang digunakan oleh peneliti lain berasal dari industri besar. Pada industri besar ubikayu tidak dikupas terlebih dahulu melainkan langsung diparut atau dihancurkan untuk proses lebih lanjut menggunakan peralatan yang lebih baik yang memungkinkan proses ekstraksi pati yang lebih efisien. Dengan demikian, kadar pati yang tersisa dalam ampas tapioka dari industri rumah tangga di Bogor akan lebih besar, sedangkan kadar seratnya menjadi lebih kecil karena proses ekstraksi pati yang kurang efisien dan dikupasnya kulit ubikayu sebelum pengolahan. Hasil analisis kadar pati dan serat kasar terhadap contoh ampas tapioka yang berasal dari industri rumah tangga di Bogor dan industri kecil serta industri besar tapioka di Propinsi Lampung (Tabel 2.1) menguatkan alasan ini. Selain itu, hasil survei Siregar (2006) pada beberapa industri tapioka di Propinsi Lampung juga menunjukkan adanya perbedaan rendemen tapioka yang diperoleh dari industri kecil (22%) dan industri besar tapioka (25%). Pati dalam ampas tapioka mengandung amilosa sebesar 21,36%. Kadar amilosa ini hampir sama dengan kadar amilosa dalam tapioka (20,47%). Kadar amilosa ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Zobel (1988), dan lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Atichokudomchai et al. (2000) dan Wickramasinghe et al. (2009), namun masih dalam selang kadar amilosa (16-24%) ubikayu (Mbougueng et al. 2008). Senyawa karbohidrat lain yang terkandung dalam ampas tapioka adalah hemiselulosa yang mengandung galaktan, xilan, arabinan, dan mannan serta selulosa yang mengandung glukan. Jenis karbohidrat yang sama dilaporkan oleh Kosugi et al. (2009).
Adapun komposisi relatif
monosakarida atau gula netral hasil hidrolisis karbohidrat yang terkandung dalam ampas tapioka dapat dilihat pada Tabel 2.2.
21
Tabel 2.1 Komposisi kimia ampas tapioka dan tapioka Komponen
Basis basah Basis kering Basis basah Basis kering Basis basah Basis kering Basis basah Basis kering
1 11,48 0,33 0,37 4,30 4,79 0,15 0,17 83,74 94,67
Ampas Tapioka 2 3 4 7,74 7,02 12,77 0,72 0,68 0,80 0,78 0,73 0,90 2,23 2,56 2,15 2,40 2,74 2,42 1,12 0,55 0,74 1,21 0,59 0,83 88,19 89,19 83,55 95,61 95,94 95,85
5 10,56 1,31 1,45 2,46 2,72 1,53 1,69 84,14 94,14
10,75 0,10 0,11 0,00 0,00 1,07 1,19 88,08 98,70
Basis basah Basis kering Pati (%) Basis basah Basis kering Amilosa (% dari pati)
4,34 4,84 71,27 79,45 21,36
3,01 3,24 68,43 73,73 -
10,44 11,54 54,96 60,76 -
0,12 0,13 86,74 96,06 20,07
Air (%) Abu (%) Protein kasar (%) Lemak kasar (%) Karbohidrat (%) (by difference) Serat kasar (%)
4,74 5,07 68,35 73,15 -
9,02 10,17 59,67 67,29 -
Tapioka
1 = bahan penelitian, asal industri rumah tangga, Bogor (lolos 20 mesh) 2 dan 3 = asal industri rumah tangga, Bogor 4 = asal industri kecil, Lampung 5 = asal industri besar, Lampung
Tabel 2.2 Komposisi relatif gula netral dalam ampas tapioka Komponen Arabinosa Rhamnosa Galaktosa Glukosa Xilosa Mannosa
Persentase relatif (%) 0,49 ± 0,11 0,72 ± 0,13 2,86 ± 0,39 94,04 ± 0,08 2,07 ± 0,99 0,05 ± 0,01
2.3.2. Sifat morfologis dan fisis ampas tapioka Hasil analisis sifat morfologis ampas tapioka menunjukkan bahwa granula pati dalam ampas tapioka (ukuran 10-16 m ) terikat pada matriks serat biomassa ampas tapioka (Gambar 2.1a).
Hal ini berbeda dengan granula pati tapioka
(ukuran 10 - 23 m) yang sudah bebas dari matriks bahan asalnya (Gambar 2.1b). Karena masih terikat dalam matriks biomassa, dan posisinya masih terkurung oleh matriks serat biomassa, maka diduga proses degradasi pati yang terdapat dalam ampas tapioka akan lebih sulit dibandingkan dengan degradasi pati dalam tapioka. Proses penggilingan yang dilakukan untuk memperkecil ukuran partikel akan meningkatkan luas permukaan partikel dan memotong sebagian matriks serat yang
22
membungkus granula pati dalam ampas tapioka, sehingga diharapkan dapat memberi akses yang lebih besar terhadap granula pati yang akan dihidrolisis.
(a)
(b)
Gambar 2.1 Citra SEM ampas tapioka (a) dan tapioka (b). Difraktogram sinar X pada ampas tapioka dan tapioka (Gambar 2.2) menunjukkan bahwa kedua bahan mempunyai puncak yang kuat/tinggi pada nilai 2 sebesar 16°, 17°, 18°, dan 23°. Tipe spektrum ini mendekati spektrum pati tipe A seperti halnya pati jagung.
Spektrum ini juga hampir sama dengan
spektrum pati tapioka yang mempunyai puncak yang kuat pada 15°, 17°, 18° dan 23° seperti yang dilaporkan oleh Atichokudomchai et al. (2001). Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa pati tapioka mempunyai dua tipe spektrum sinar X, yaitu A dan C (Sair 1967) atau spektrum tipe C (Zobel 1988), namun pola C berubah ke A setelah perlakuan panas dalam keadaan lembab (Sair 1967; Zobel 1988). Semula diduga proses pengeringan yang dilakukan dalam proses produksi tapioka menyebabkan berubahnya tipe spektrum tapioka maupun ampas tapioka dari C ke A. Namun, hasil analisis spektrum kedua bahan yang dikeringkan dengan menggunakan pengering beku masih tetap menunjukkan pola spektrum yang sama, yaitu mendekati pola spektrum pati tipe A. Ampas tapioka mengandung pati dan serat, dimana masing-masing mempunyai sifat kristalinitas. Hasil analisis difraksi sinar X menunjukkan bahwa kristalinitas ampas tapioka yang digunakan pada penelitian ini (lolos ayakan 20 mesh) adalah 15,57%.
Nilai kristalinitas ini jauh lebih rendah dari nilai
kristalinitas ampas tapioka yang tidak mengalami penggilingan, yaitu 42,61% (Tabel 2.3). Hal ini menandakan bahwa penggilingan yang dilakukan terhadap
23
ampas tapioka menurunkan kristalinitasnya, terutama kristalinitas serat yang ada di dalam ampas tapioka. Penggilingan terhadap pati yang diekstrak dari ubikayu menjadi tapioka yang berbentuk tepung halus ternyata tidak terlalu banyak menurunkan kristalinitasnya (Tabel 2.3). Dari hasil analisis di atas diduga komponen serat lebih berperanan dalam menentukan kristalinitas ampas tapioka sebelum mengalami penggilingan, sedangkan setelah mengalami penggilingan komponen pati diduga lebih berpenanan terhadap kristalinitas ampas tapioka. Pada hidrolisis dengan menggunakan pemanasan gelombang mikro kristalinitas ampas tapioka diduga akan mengalami penurunan karena terhidrolisisnya komponen pati dalam ampas tapioka.
Gambar 2.2 Difraktogram sinar X ampas tapioka dan tapioka. Tabel 2.3 Kristalinitas ampas tapioka dan tapioka Bahan Ampas tapioka Tapioka
Kondisi Sebelum digiling Sesudah digiling Sebelum digiling Sesudah digiling
Kristalinitas (%) 42,61 15,57 20,93 17,89
2.3.3. Pengaruh iradiasi gelombang mikro terhadap karbohidrat dalam ampas tapioka 2.3.3.1. Kelarutan Pengamatan secara visual terhadap suspensi ampas tapioka sebelum pemanasan gelombang mikro menunjukkan bahwa hampir semua komponen
24
ampas tapioka tidak larut dalam air. Setelah perlakua menggunakan pemanasan gelombang mikro beberapa komponen sedikit demi sedikit mulai terlarut. Kelarutan ampas tapioka meningkat seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan gelombang mikro dan mencapai maksimum (± 92%) pada suhu 210220 °C, kemudian sedikit menurun pada suhu di atas 220 °C (Gambar 2.3). Pati dalam ampas tapioka lebih sulit larut dibandingkan dengan pati tapioka yang seluruhnya sudah larut mulai suhu 140 °C, suhu terendah yang digunakan pada penelitian ini.
Meningkatnya kelarutan senyawa karbohidrat dalam ampas
tapioka
meningkatnya
karena
suhu
pemanasan
ditandai
juga
dengan
meningkatnya kadar gula total dalam fraksi terlarut hidrolisat ampas tapioka. Kadar gula total mencapai sekitar 78% dan meningkat secara bertahap sampai suhu 210 °C (Gambar 2.3). Terjadi sedikit penurunan kadar gula total pada suhu 200 °C, namun dilihat dari nilai simpangan baku data pada suhu 190, 200 dan 210 °C, maka kadar gula total pada suhu 200 °C tidak berbeda dengan pada suhu 190 dan 200 °C. Di atas 210 °C kadar gula total menurun karena terjadinya degradasi sekunder pada karbohidrat yang telah mengalami depolimerisasi menjadi molekul-molekul dengan berat molekul lebih rendah, seperti furfural, hidroksi metil furfural, asam asetat, dan lain-lain.
Hal ini juga terlihat dari
menurunnya nilai pH dan meningkatnya nilai absorbansi pada 490 nm serta kadar HMF secara drastis pada hidrolisat setelah mendapat perlakuan pemanasan pada suhu di atas 210 °C. (Gambar 2.6 dan 2.9). Perbedaan lama pemanasan pendahuluan pada suhu 230 °C tidak berpengaruh terhadap kelarutan komponen kimia dalam ampas tapioka (Gambar 2.4).
Hal ini menandakan bahwa suhu lebih berpengaruh terhadap kelarutan
senyawa kimia, terutama karbohidrat dalam ampas tapioka, dibandingkan dengan lama pemanasan pendahuluan. Peningkatan waktu pemanasan pendahuluan pada suhu tinggi menurunkan kadar gula total (Gambar 2.4).
Hal ini disebabkan
semakin banyaknya gula yang terdegradasi menjadi senyawa dengan berat molekul lebih rendah seiring meningkatnya lama pemanasan pendahuluan.
25
100 90
Persentase (%)
80 70 60 50 40 30 20 Fraksi terlarut
10
Gula Total
0 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240
Suhu (o C)
Gambar 2.3 Pengaruh suhu pemanasan gelombang mikro terhadap kelarutan dan gula total hidrolisat ampas tapioka (pemanasan pendahuluan 4 menit, pemanasan pada suhu yang diinginkan 5 menit). Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3). 100 90
Persentase (%)
80 70 60 50 40 30 20 Fraksi terlarut
10
Gula Total
0 1
2
3
4
5
6
Pemanasan pendahuluan (menit)
Gambar 2.4 Pengaruh lama pemanasan pendahuluan terhadap kelarutan dan kadar gula total hidrolisat ampas tapioka (suhu 230 °C, 5 menit). Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB (n=3). 2.3.3.2. Produk hidrolisis Hasil analisis terhadap distribusi maltooligomer pada hidrolisat ampas tapioka dan tapioka, masing-masing setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 160-240 °C dan 180-240 °C disajikan pada Gambar 2.5a dan 2.5b. Analisis tidak dapat dilakukan terhadap hidrolisat ampas tapioka dengan perlakuan pemanasan pada suhu 140 °C dan terhadap hidrolisat tapioka dengan perlakuan pemanasan pada suhu 140 dan 160 °C karena hidrolisat masih berupa cairan yang sangat kental, sehingga tidak memungkinkan untuk dianalisis. Maltooligomer dalam hidrolisat ampas tapioka dan tapioka mulai terlihat ketika hidrolisis
26
dilakukan pada suhu 210 °C. Terbentuknya maltooligomer dan glukosa dalam jumlah yang besar dalam hidrolisat ampas tapioka dan tapioka semakin terlihat dengan jelas setelah hidrolisis pada suhu 220 dan 230 °C, yang menandakan semakin banyaknya pati yang terhidrolisis menjadi maltooligosakarida dan glukosa. Pada suhu 240 °C hampir semua senyawa dengan berat molekul besar dalam hidrolisat tapioka terkonversi menjadi glukosa, sedangkan dalam hidrolisat ampas tapioka masih ada senyawa dengan berat molekul besar yang tidak terhidrolisis, yang diduga merupakan komponen selulosa.
Gambar 2.5 Kromatogram HPLC hasil degradasi pati dalam ampas tapioka (a) dan tapioka (b) setelah pemanasan gelombang mikro selama 5 menit pada berbagai suhu. Puncak nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 menunjukkan glukosa dan maltooligomer dengan derajat polimerisasi (DP) 2-7. Seperti diketahui, pati tersusun dari rantai glukosa dengan ikatan α-(1,4) yang lurus dan bercabang melalui ikatan α-(1,6), sedangkan selulosa tersusun dari rantai glukosa dengan ikatan β-(1,4). Rantai glukosa dengan struktur β-(1,4) yang lurus ini memungkinkannya berada berdekatan satu sama lain, sehingga akan terbentuk ikatan hidrogen di dalam maupun di antara rantai-rantai tersebut (Dhepe dan Fukuoka 2007). Hal ini membuat selulosa mempunyai struktur yang lebih kaku, lebih stabil dan lebih sulit untuk didegradasi. Menurut Whistler dan Daniel (1985), konstanta kecepatan reaksi orde pertama hidrolisis (0,1 M HCl, 80 °C)
27
ikatan α-(1,4) pada maltosa, α-(1,6) pada isomaltosa, dan β-(1,4) pada selobiosa, masing-masing 1,55 x 105, 0,40 x 105, dan 0,66 x 105. Hal ini juga mencerminkan bahwa ikatan α-(1,4) glikosidik jauh lebih mudah untuk dihidrolisis oleh asam, dibandingkan dengan ikatan α-(1,6) atau ikatan β-(1,4) glikosisdik. Oleh karena itu, diperlukan energi yang lebih besar atau suhu yang lebih tinggi untuk mendegradasi komponen selulosa dalam ampas tapioka dibandingkan dengan yang diperlukan untuk mendegradasi komponen pati. Hasil glukosa yang diperoleh dari hasil hidrolisis ampas tapioka meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hidrolisis dan mencapai maksimum (28,59% dari bahan kering atau 32,41% basis pati) pada suhu 230 °C, selanjutnya menurun pada suhu 240 °C (Tabel 2.4). Hal ini berbeda dengan hasil glukosa dari tapioka yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan mencapai maksimum (58,76% dari bahan kering atau 55,11% basis pati) pada suhu 240 °C. Hasil glukosa yang lebih rendah dari ampas tapioka kemungkinan disebabkan oleh keberadaan granula pati pada ampas tapioka yang masih terikat atau terperangkap dalam matriks non pati pada biomassa ampas tapioka yang menyulitkan terjadinya hidrolisis pati. Dengan berat bahan yang sama, jumlah pati yang terdapat dalam ampas tapioka juga lebih rendah daripada yang terdapat dalam tapioka. Selain itu, glukosa yang terbentuk pada hidrolisat ampas tapioka berpeluang lebih besar dan lebih cepat terdegradasi melalui reaksi Maillard karena di dalam ampas tapioka terkandung gugus amino dari protein. Dengan demikian, pada suhu 240 °C hasil glukosa dari ampas tapioka sudah mengalami penurunan, sedangkan dari tapioka masih terus meningkat. Hasil glukosa dari ampas tapioka sedikit meningkat dengan meningkatnya waktu pemanasan pendahuluan pada suhu 230 °C, sedangkan hasil glukosa dari tapioka sedikit menurun.
Hasil
glukosa maksimum yang diperoleh baik dari ampas tapioka maupun tapioka yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil glukosa dari hidrolisis tepung gandum (23,9% / pati) menggunakan irradiasi gelombang mikro pada suhu 191198 °C selama 20 menit (Khan et al. 1979). Hasil glukosa yang diperoleh pada penelitian ini masih lebih rendah daripada yang dihasilkan oleh metode lain, misalnya hidrolisis asam (36,40-41,34%) (Yoonan et al. 2004), hidrolisis enzimatis ( 70%) (Rattanachomsri et al. 2009), atau kombinasi hidrotermal dan
28
enzimatis ( 75%) (Kosugi et al. 2009).
Hanya saja, proses-proses tersebut
memakan waktu lebih lama, 90 menit untuk hidrolisis asam dan 48-72 jam untuk hidrolisis enzimatis, sedangkan proses menggunakan gelombang mikro memakan waktu hanya beberapa menit saja. Tabel 2.4 Hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisis ampas tapioka dan tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro Perlakuan
Hasil Glukosa (% bahan kering) Ampas Tapioka Tapioka
Hasil Glukosa (% basis pati) Ampas Tapioka Tapioka
Suhu (°C)a 210 0,93 ± 0,19 1,49 ± 0,71 1,06 ± 0,21 1,40 ± 0,66 220 3,84 ± 0,50 8,89 ± 3,41 4,35 ± 0,56 8,34 ± 3,19 230 28,59 ± 1,92 37,39 ± 4,43 32,41 ± 2,17 35,07 ± 4,16 240 22,43 ± 0,71 58,76 ± 2,68 25,44 ± 0,81 55,11 ± 2,51 Pemanasan Pendahuluan (menit)b 2 23,76 ± 0,67 69,27 ± 4,17 26,95 ± 0,76 64,97 ± 3,91 3 24,50 ± 1,89 69,39 ± 2,58 27,78 ± 2,14 65,08 ± 2,42 4 25,35 ± 3,96 63,75 ± 7,65 28,74 ± 4,49 59,78 ± 7,17 5 26,76 ± 4,74 64,31 ± 1,78 30,35 ± 5,37 60,32 ± 1,67 6 27,41 ± 3,43 58,91 ± 0,75 31,08 ± 3,88 55,25 ± 0,71 Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3) a Pemanasan pendahuluan 4 menit dan pemanasan pada suhu yang diinginkan 5 menit b Suhu 230 °C untuk ampas tapioka dan 240 °C untuk tapioka dan pemanasan 5 menit
2.3.3.3. Nilai pH Nilai pH awal suspensi ampas tapioka dan tapioka masing-masing adalah 4,29 dan 5,10. Perbedaan nilai pH kedua suspensi diduga disebabkan perbedaan proses yang dialami oleh keduanya. Pada proses produksi tapioka pencucian terhadap pati tapioka berlangsung lebih baik, karena air dalam suspensi pati jumlahnya sangat banyak (sekitar 1:10), sedangkan ampas tapioka tidak mengalami pencucian yang baik, sehingga kemungkinan masih mengandung senyawa-senyawa yang bersifat asam atau yang mudah terdegradasi oleh mikrob dan menghasilkan asam yang mengakibatkan nilai pH yang lebih rendah. Setelah hidrolisis menggunakan pemanasan gelombang mikro pH hidrolisat ampas tapioka dan tapioka mengalami penurunan seiring meningkatnya suhu pemanasan.
Nilai pH keduanya mencapai angka yang hampir sama setelah
perlakuan pemanasan pada suhu 210 °C (Gambar 2.6). Penurunan nilai pH
29
hidrolisat kemungkinan karena terbentuknya beberapa senyawa asam organik sebagai hasil degradasi karbohidrat dalam ampas tapioka maupun dalam tapioka. Penurunan pH hidrolisat juga terjadi pada hidrolisat tepung terigu setelah perlakuan dengan iradiasi gelombang mikro (Khan et al. 1979). Pada proses hidrolisis pati dari tepung gandum dalam medium air pada wadah tertutup menggunakan suhu dan tekanan tinggi Lorenz dan Johnson (1972) mengamati terjadinya penurunan pH dan mengidentifikasi terbentuknya beberapa senyawa asam dengan jumlah rantai karbon 1 sampai dengan 6, seperti asam formiat, asetat, butirat, isobutirat, valerat, isovalerat, kaproat dan isokaproat. Mereka menduga asam-asam ini terbentuk akibat proses oksidasi senyawa aldehida, sedangkan Harmsen et al. (2010) menyatakan bahwa asam asetat berasal dari gugus asetil pada hemiselulosa. Perbedaan waktu pemanasan pendahuluan pada suhu tinggi tidak mengakibatkan perbedaan pada nilai pH hidrolisat (Gambar 2.7), akan tetapi pH hidrolisat ampas tapioka relatif lebih tinggi daripada pH hidrolisat tepung tapioka yang mengindikasikan lebih sulitnya proses degradasi pati dalam ampas tapioka.
7
Hidrolisat Am pas Tapioka Hidrolisat Tapioka
6
pH
5 4 3 2 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240
Suhu (o C)
Gambar 2.6 Pengaruh suhu pemanasan gelombang mikro terhadap pH hidrolisat ampas tapioka dan tapioka (pemanasan pendahuluan 4 menit, pemanasan pada suhu yang diinginkan 5 menit). Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3).
30
3,5 Hidrolisat Am pas Tapioka
pH
Hidrolisat Tapioka
3,0
2,5 1
2
3
4
5
6
Pemanasan pendahuluan (menit)
Gambar 2.7 Pengaruh lama pemanasan pendahuluan terhadap pH hidrolisat ampas tapioka dan tapioka (suhu 230 °C, 5 menit). Nilai pada titiktitik data merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3). 2.3.3.4. Senyawa berwarna coklat Hidrolisis menggunakan pemanasan gelombang mikro yang dilakukan pada suhu yang cukup tinggi sangat memungkinkan untuk terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis. Hal ini terbukti dari terbentuknya hidrolisat yang berwarna gelap pada perlakuan suhu yang tinggi, yaitu mulai suhu 180 °C pada hidrolisat ampas tapioka dan mulai suhu 210 °C dan pada hidrolisat tapioka (Gambar 2.8). Pembentukan senyawa berwarna coklat dan HMF meningkat seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya nilai absorbansi pada panjang gelombang 490 nm dan kadar HMF (Gambar 2.9). Panjang gelombang 490 nm merupakan panjang gelombang untuk warna jingga yang merupakan salah satu panjang gelombang yang biasa digunakan untuk reaksi Maillard (Whistler dan Daniel 1985). Peningkatan nilai absorbansi pada 490 nm pada hidrolisat pati akibat peningkatan suhu pemanasan gelombang mikro juga dilaporkan oleh Warrand dan Janssen (2007). Kadar HMF dalam hidrolisat ampas tapioka dan tapioka mencapai sekitar 220 mg/100 g setelah hidrolisis pada suhu 240 °C, dapat mempengaruhi pertumbuhan mikrob pada proses fermentasi. Nilai absorbansi pada 490 nm dan kadar HMF hidrolisat ampas tapioka lebih tinggi daripada hidrolisat tapioka. Hal ini karena di dalam hidrolisat tapioka senyawa berwarna coklat dan HMF kemungkinan hanya berasal dari hasil degradasi glukosa menjadi HMF, sedangkan di dalam hidrolisat ampas tapioka
31
senyawa berwarna coklat dan HMF selain berasal dari hasil degradasi glukosa menjadi HMF, juga dapat berasal dari reaksi pencoklatan (Maillard) antara gugus amino yang berasal dari protein dalam ampas tapioka (Tabel 2.1) dan glukosa yang terbentuk. Selain itu, senyawa hemiselulosa, terutama yang mempunyai gula dengan 5 atom karbon seperti arabinosa dan xilosa, di dalam ampas tapioka setelah terdepolimerisasi menjadi monosakarida juga dapat terdegradasi lebih lanjut menjadi senyawa furfural yang berwarna coklat, sehingga ikut berkontribusi terhadap dihasilkannya warna hidrolisat ampas tapioka yang lebih gelap.
140
160
180
190
140
160
180
190
200
200
210
210
220
220
230
230
240
240
Gambar 2.8 Hidrolisat ampas tapioka (atas) dan tapioka (bawah) setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 140-240 °C selama 5 menit. HMF dan furfural sendiri merupakan produk antara pada reaksi Maillard dan mempunyai nilai absorbansi yang tinggi pada panjang gelombang ultra violet (UV). Nilai absorbansi yang sangat tinggi pada panjang gelombang 490 nm menandakan bahwa reaksi Maillard sudah sampai pada tahap akhir yaitu terbentuknya senyawa melanoidin. Terbentuknya senyawa dengan berat molekul rendah seperti furfural dan HMF dapat menghambat proses lanjutan terhadap hidrolisat, misalnya proses fermentasi.
Oleh karena itu, hidrolisat ini
kemungkinan memerlukan perlakuan untuk menghilangkan atau mengurangi inhibitor yang ada, misalnya dengan cara menambahkan bentonit atau kaolin (Ahmed et al.1983).
350
1,8
300
1,6 1,4
250
1,2
200
1,0
150
0,8 0,6
100
0,4 50
0,2
0
Absorbansi pada 490 nm
HMF (mg/100 g)
32
0,0 180
190
200
210
220
230
240
o
Suhu ( C) HMF Ampas Tapioka
HMF Tapioka
Abs 490 nm Ampas Tapioka
Abs 490 nm Tapioka
Gambar 2.9 Pengaruh suhu pemanasan gelombang mikro terhadap nilai absorbansi pada 490 nm dan kadar HMF pada hidrolisat ampas tapioka dan tapioka (pemanasan pendahuluan 4 menit, pemanasan pada suhu yang diinginkan 5 menit). Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3). 2.3.3.5. Residu ampas tapioka Ampas tapioka mengandung beberapa jenis polisakarida seperti pati, selulosa dan hemiselulosa (arabinan, rhamnan, galaktan, xilan dan mannan). Pada pemanasan gelombang mikro, sebagian karbohidrat tersebut larut, sehingga komposisi relatif senyawa yang tertinggal pada residu berubah (Tabel 2.5). Tabel tersebut memperlihatkan bahwa senyawa yang masih bertahan berada dalam residu sampai dengan suhu pemanasan tertinggi (240 °C) adalah senyawa glukan, yang diduga kuat merupakan selulosa. Senyawa glukan yang berasal dari pati telah seluruhnya terdegradasi seperti yang ditunjukkan pada profil maltooligomer hidrolisat ampas tapioka (Gambar 2.5). Setelah selulosa, senyawa karbohidrat lain yang cukup resisten adalah galaktan dan xilan. Baik suhu maupun lama pemanasan pendahuluan mempengaruhi kelarutan karbohidrat dalam ampas tapioka. Menghilangnya dan menurunnya gula netral dalam residu ampas tapioka secara bertahap akibat peningkatan suhu maupun lama pemanasan pendahuluan mengindikasikan terjadinya dekomposisi senyawa karbohidrat tersebut menjadi senyawa dengan berat molekul lebih rendah yang kemudian larut dalam air. Hasil analisis menggunakan SEM terhadap residu ampas tapioka (Gambar 2.10) menunjukkan bahwa pemanasan gelombang mikro mengakibatkan
33
terjadinya degradasi matriks biomassa ampas tapioka. Pada suhu 140-190 °C matriks residu ampas tapioka masih didominasi oleh bentuk matriks yang kompak. Pada suhu 200 °C, mulai terlihat bagian kerangka matriks yang berupa bundel serat yang tersusun dengan teratur. Hal ini menandakan sebagian komponen amorf pada matriks ampas tapioka sudah semakin banyak yang terdegradasi dan terlarut dalam hidrolisat. Dengan semakin meningkatnya suhu, bagian matriks yang berupa bundel serat semakin jelas terlihat. Bundel serat pada matriks ampas tapioka masih terlihat tetap utuh sampai setelah pemanasan pada suhu 240 °C, diduga merupakan bundel serat selulosa yang tidak terdegradasi pada pemanasan gelombang mikro. Tabel 2.5 Komposisi relatif gula netral dalam ampas tapioka dan residu ampas tapioka setelah pemanasan gelombang mikro Perlakuan Ampas tapioka Suhu (°C)a 140 160 180 190 200 210 220 230 240 Pemanasan Pendahuluan (menit)b 2 3 4 5 6
Arabinosa
Rhamnosa
Galaktosa
Glukosa
Xilosa
Mannosa
0,49 ± 0,11
0,72 ± 0,13
2,86 ± 0,39
94,04 ± 0,08
2,07 ± 0,99
0,05 ± 0,01
0,66 ± 0,23 0,86 ± 0,07 -
2,73 ± 0,30 1,39 ± 0,06 0,78 ± 0,02 0,12 ± 0,04 sangat kecil -
11,42 ± 0,40 8,49 ± 0,54 2,50 ± 0,22 2,34 ± 0,02 2,10 ± 0,09 2,25 ± 0,15 1,57 ± 0,28 2,06 ± 0,42 -
76,29 ± 1,24 76,49 ± 1,58 79,14 ± 2,94 82,39 ± 1,68 85,21 ± 3,68 88,02 ± 1,10 90,56 ± 0,94 96,23 ± 0,15 100,0 ± 0,00
7,71 ± 1,68 11,23 ± 0,89 15,58 ± 3,30 13,36 ± 2,95 11,34 ± 2,05 8,23 ± 1,46 7,16 ± 0,76 1,72 ± 0,28 -
1,20 ± 0,57 1,20 ± 0,57 2,00 ± 0,59 1,80 ± 1,27 0,86 ± 1,10 1,52 ± 0,50 0,72 ± 0,10 -
-
sangat kecil -
0,77 ± 0,28 0,71 ± 0,1 sangat kecil -
96,89 ± 0,26 97,40 ± 0,38 97,75 ± 0,39 97,63 ± 0,09 98,10 ± 0,81
2,19 ± 0,14 1,80 ± 0,54 2,00 ± 0,37 2,23 ± 0,03 1,75 ± 0,88
0,17 ± 0,16 0,09 ± 0,06 0,19 ± 0,12 0,16 ± 0,12 0,16 ± 0,08
Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3) a Pemanasan pendahuluan 4 menit dan pemanasan pada suhu yang diinginkan 5 menit b Suhu 230 °C dan pemanasan 5 menit
2.4. Simpulan dan Saran Ampas tapioka merupakan bahan yang potensial sebagai sumber glukosa. Keberadaan granula pati dalam ampas tapioka yang masih terperangkap dalam
34
matriks serat biomassa menjadikannya lebih sulit dihidrolisis dibandingkan pati yang ada dalam tapioka dimana granulanya sudah bebas dari ikatan matriks serat. Hasil glukosa tertinggi yang diperoleh dari proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro adalah 28,59% dari berat bahan kering atau 32,41% dari hasil teoritis dengan basis pati. Hasil sebesar itu diperoleh setelah pemanasan pada suhu 230 °C selama 5 menit. Iradiasi atau pemanasan gelombang mikro merupakan salah satu metode yang menjanjikan untuk digunakan dalam proses hidrolisis ampas tapioka, karena berlangsung cepat. Namun demikian, masih perlu dilakukan studi lebih lanjut agar diperoleh hasil glukosa yang lebih tinggi tanpa disertai dengan terbentuknya warna coklat yang berlebihan yang dapat menghambat proses lebih lanjut terhadap glukosa yang terbentuk. 140 oC
160 oC
180 oC
190 oC
200 oC
210 oC
230 oC
240 oC
220 oC
Gambar 2.10 Citra SEM residu ampas tapioka setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 140-230 °C.
BAB III PENINGKATAN HIDROLISIS AMPAS TAPIOKA PADA PEMANASAN GELOMBANG MIKRO DENGAN PENAMBAHAN KARBON AKTIF Improvement of microwave-assisted hydrolysis of cassava pulp by addition of activated carbon Abstrak Ampas tapioka adalah salah satu bahan yang kaya akan karbohidrat, terutama pati, yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa, dan selanjutnya diubah menjadi etanol atau bahan kimia lain. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dua jenis karbon aktif terhadap proses hidrolisis ampas tapioka dalam medium air menggunakan pemanasan gelombang mikro. Selain itu, diteliti pula pengaruh suhu pemanasan (180-230 °C), lama pemanasan (5-18 menit pada 210 °C) dan jumlah karbon aktif (rasio 0,5-2,0:1:20, karbon aktif : padatan : larutan). Penambahan karbon aktif (1,0 g/g) pada hidrolisis menggunakan gelombang mikro meningkatkan hasil glukosa hingga mencapai 45-46% (basis pati) pada suhu yang lebih rendah (220 °C selama 5 menit) dibandingkan dengan hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif (32.41% basis pati pada 230 °C selama 5 menit), dengan warna hidrolisat yang lebih terang yang menandakan berkurangnya keberadaan senyawa hasil dekomposisi sekunder karbohidrat dalam hidrolisat. Rendemen glukosa tertinggi yang diperoleh dari ampas tapioka adalah 52,27% (basis pati), yaitu setelah pemanasan pada suhu 210 °C selama 15 menit. Kata kunci: gelombang mikro, hidrolisis, ampas tapioka, karbon aktif, glukosa Abstract Cassava pulp is rich in carbohydrates, especially starch, which can be hydrolyzed to glucose, and further converted to ethanol or other chemicals. This research was to study the effects of two types of activated carbons on the hydrolysis of cassava pulp using microwave heating in water. In addition, the effects of heating temperature (180-230 °C), duration of heating (5-18 minutes at 210 °C) and amount of activated carbon at 0.5-2.0:1:20 of activated carbon : solid : liquid ratio were also evaluated. The presence of activated carbon (1.0 g/g) in microwave-assisted hydrolysis gave much improved glucose yields (45-46% of starch-based theoretical) at lower heating temperature (220 °C for 5 minutes) with suppressed formation of secondary decomposed compounds than those without addition of activated carbon (32.41% of starch-based theoretical at 230 °C for 5 minutes). The highest glucose yield from cassava pulp (52.27% of starch-based theoretical) was obtained after heating at 210 °C for 15 minutes. Keywords: microwave-assisted hydrolysis, cassava pulp, activated carbon, glucose
36
3.1. Pendahuluan Ampas tapioka yang merupakan limbah industri tapioka mengandung 6268% pati dan 13-27% serat (Kunhi et al. 1981; Sriroth et al. 2000). Karena pati merupakan komponen utama dalam ampas tapioka, maka tahapan konversi penting difokuskan pada proses hidrolisis pati menjadi glukosa, yang selanjutnya dapat dikonversi menjadi berbagai jenis bahan kimia yang bermanfaat, termasuk etanol. Hidrolisis pati ampas tapioka telah diteliti dengan berbagai metode, yaitu hidrolisis asam (Ahmed et al. 1983; Srikanta et al. 1987; Thongchul et al. 2010), hidrolisis
enzimatis
(Jaleel
et
al.
1988;
Chotineeranat
et
al.
2004;
Kongkiattikajorn dan Yoonan 2004; Rattanachomsri et al. 2009), dan kombinasi proses hidrotermal dan enzimatis (Kosugi et al. 2009; Nair et al. 2011). Hidrolisis menggunakan pemanasan gelombang mikro telah terbukti merupakan metode yang cepat dan mudah dalam membantu proses konversi biomassa untuk menghasilkan bahan-bahan kimia yang bermanfaat (Tsubaki et al. 2008; Yoshida et al. 2010). Penambahan karbon aktif mampu meningkatkan reaksi menggunakan pemanasan gelombang mikro dengan pembentukan hot spot di permukaan karbon aktif (Zhang et al. 2007). Proses sakarifikasi pati jagung dapat meningkat dan berlangsung pada suhu yang lebih rendah apabila karbon aktif ditambahkan pada pemanasan menggunakan gelombang mikro. (Matsumoto et al. 2011).
Selain itu, karbon aktif juga dapat berfungsi sebagai bahan
pengadsorpsi produk degradasi sekunder senyawa karbohidrat seperti furfural dan hidroksi metil furfural (HMF) yang dapat menghambat proses fermentasi glukosa menjadi etanol. Pada penelitian ini dipelajari penggunaan dua jenis karbon aktif pada hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro agar dapat dibangun aplikasi praktis metode ini dalam transformasi biomassa.
3.2. Bahan dan Metode 3.2.1. Bahan Ampas tapioka yang digunakan sama dengan yang digunakan pada penelitian sebelumnya pada Bab II. Karbon aktif 1 (Y-8/20 AW, sebelumnya Y-
37
10S AW) berbentuk granul diperoleh dari Ajinomoto Fine-Techno Co., Inc., Jepang, selanjutnya disebut KAG. Karbon aktif 2 (Kode 07912-05) berbentuk tepung diperoleh dari Nacalai Tesque Inc., Jepang, selanjutnya disebut KAT. Pelarut dan bahan kimia lain yang digunakan adalah kualitas untuk analisis.
3.2.2. Karakterisasi karbon aktif Kedua jenis karbon aktif diestimasi ukurannya menggunakan ayakan yang diketahui ukuran lubangnya. Daya serap karbon aktif terhadap senyawa I2 dan senyawa biru metilena ditentukan menurut SNI 06-4253-1996 (BSN 1996). Luas permukaan karbon aktif dihitung berdasarkan daya serap karbon aktif terhadap biru metilena. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 2.
3.2.3. Hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro Suspensi bahan dalam air (1g/20 mL) dimasukkan ke dalam tabung Teflon® berkapasitas 100 mL dan diaduk menggunakan pengaduk magnetik agar diperoleh suspensi yang homogen.
Karbon aktif (1g) ditambahkan ke dalam contoh,
kemudian campuran dihidrolisis di dalam oven gelombang mikro MycroSYNTH Lab Station (2450 MHz) (Milestone Inc., Shelton, CT, USA) pada suhu 180230 °C dengan lama pemanasan pendahuluan 4 menit dan lama pemanasan pada suhu yang diinginkan 5 menit, yang merupakan perlakuan terbaik dari hasil penelitian sebelumnya.
Setelah iradiasi gelombang mikro, campuran dalam
tabung segera didinginkan dengan merendamnya dalam bak berisi es. Pada tahap ini dipilih karbon aktif yang digunakan pada percobaan selanjutnya. Berdasarkan jumlah fraksi terlarut, rendemen glukosa yang diperoleh dan dengan mempertimbangkan segi kepraktisan dalam proses (KAG lebih mudah ditangani daripada KAT), maka penelitian selanjutnya dilakukan menggunakan KAG pada tingkat konsentrasi substrat 5%, suhu 210 °C dengan waktu pemanasan yang bervariasi (5-18 menit) dan pada tingkat konsentrasi substrat 5%, suhu 210 °C selama 12 menit dengan jumlah karbon aktif 0,5; 1,0; 1,5 dan 2,0 g per g ampas tapioka.
38
3.2.4. Penentuan tingkat hidrolisis ampas tapioka Tingkat hidrolisis ampas tapioka diestimasi dengan melakukan penentuan persentase dan analisis fraksi terlarut pada hidrolisat. Hidrolisat ampas tapioka disentrifugasi pada suhu 10 °C, 5.000 g selama 15 menit. Residu dipisahkan dari supernatan, dicuci tiga kali dengan air suling 30 mL dan disentrifugasi pada suhu 10 °C, 5.000 g selama 15 menit setelah setiap pencucian. Residu kemudian dikeringkan
menggunakan
pengering
beku,
dan
diamati
morfologinya
menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) Zeiss Evo50-05-87. Persentase fraksi terlarut dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut. Fraksi Terlarut (%) = Wm – (Wr + Wac) x 100 / Wm dengan Wm = bobot bahan awal; Wr = bobot residu; Wac = bobot karbon aktif. Selanjutnya,
dilakukan
analisis
terhadap
distribusi
maltooligomer
menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dengan kolom MCI CK04SS ukuran 7,5 x 200 mm, detektor refraktif indeks Shodex SE-51, pompa Jasco PU-980, pemanas kolom Jasco CO-965, dan degasser Jasco DG 98050. Pelarut yang digunakan adalah air dengan kecepatan elusi 0,3 mL/menit. Perhitungan
dilakukan
menggunakan Jasco
Chrom NAV
data
station.
Pengukuran kadar glukosa, pH, absorbansi pada 490 nm dan kadar HMF dilakukan seperti pada Bab 2.2.4. Prosedur analisis yang rinci disajikan pada Lampiran 3.
3.3. Hasil dan Pembahasan 3.3.1. Karakteristik karbon aktif Karbon aktif 1 yang berbentuk granul (KAG) berukuran 10-20 mesh, sedangkan karbon aktif 2 yang berbentuk tepung (KAT) berukuran lebih kecil, yaitu 30-60 mesh (Tabel 3.1). KAG mempunyai nilai pH lebih tinggi atau sifat keasaman yang lebih rendah daripada KAT, sehingga KAT berpotensi mempunyai daya hidrolisis yang lebih kuat daripada KAG. Pada Tabel 3.1 juga dapat dilihat bahwa sifat adsorpsi KAG lebih rendah daripada KAT yang diperlihatkan dengan nilai daya serap terhadap larutan I2 dan biru metilena yang lebih rendah pada KAG.
Sifat adsorpsi karbon aktif dapat dilihat dari daya
serapnya terhadap larutan I2 dan larutan biru metilena. Daya serap terhadap
39
larutan I2 (BM 126,90) menggambarkan daya serap karbon aktif terhadap senyawa dengan bobot molekul rendah, sedangkan daya serap terhadap larutan biru metilena (BM 319,86) menggambarkan daya serap karbon aktif terhadap senyawa dengan bobot molekul lebih tinggi. Luas permukaan karbon aktif ditentukan berdasarkan daya serapnya terhadap larutan biru metilena. Walaupun perbedaan daya serap kedua karbon aktif terhadap larutan I2 dan biru metilena tidak terlalu besar, namun hal ini tetap berpotensi mempengaruhi hasil hidrolisis ampas tapioka yang berupa senyawa oligosakarida, monosakarida dan hasil degradasinya yang mempunyai bobot molekul yang bervariasi. Tabel 3.1 Karakteristik karbon aktif
Karakteristik Bentuk Ukuran pH Sifat adsorpsi - Daya serap I2 (mg/g) - Daya serap biru metilena (mg/g) - Luas permukaan (m2/g)
Karbon Aktif KAG KAT Granul Tepung 10-20 mesh 30-60 mesh 6,01 5,04 1213,15 264,53 981,72
1222,48 295,44 1096,44
3.3.2. Pengaruh suhu dan jenis karbon aktif terhadap hidrolisat ampas tapioka Proses pelarutan komponen kimia dalam ampas tapioka berbeda pada hidrolisat yang diberi dua macam karbon aktif yang berbeda. Fraksi terlarut dalam hidrolisat dengan perlakuan pemanasan gelombang mikro (180-230 °C selama 5 menit) dan KAG menurun dengan semakin meningkatnya suhu hidrolisis, sedangkan dalam hidrolisat dengan KAT meningkat dengan meningkatnya suhu hidrolisis (Gambar 3.1a). Pada suhu 180-210 °C fraksi terlarut di dalam hidrolisat dengan perlakuan KAT lebih rendah dari fraksi terlarut di dalam hidrolisat dengan perlakuan KAG. Hal ini diduga karena sifat adsorpsi KAT yang lebih baik dari KAG seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.1, sehingga kemungkinan lebih banyak hasil hidrolisis berupa maltooligomer yang teradsorpsi di permukaan KAT. Diduga maltooligomer yang teradsorpsi adalah maltooligomer dengan derajat polimerisasi yang tinggi. Semakin tinggi suhu hidrolisis maka semakin banyak
40
maltooligomer yang terbentuk. Ketika lebih banyak maltooligomer terbentuk, barulah maltooligomer tersebut tidak teradsorpsi dan berada di dalam hidrolisat, kemudian terdeteksi sebagai fraksi terlarut di dalam hidrolisat. Pada KAG proses adsorpsi tersebut baru terjadi setelah pemanasan pada suhu 200-210 °C, yaitu saat sudah banyak terbentuk maltooligomer dengan derajat polimerisasi yang lebih rendah. Hal ini ditandai dengan persentase fraksi terlarut di dalam hidrolisat yang menurun pada pemanasan 200-210 °C.
Ada kemungkinan KAG tidak
mengadsorpsi maltooligomer dengan derajat polimerisasi tinggi seperti halnya KAT. Menurut Matsumoto et al. (2008), arang aktif tepung yang digunakan pada hidrolisis pati jagung (1 g/20 mL, 200 °C, 10 menit) dapat mengadsorpsi maltooligosakarida,
mulai
dari
maltosa
sampai
dengan
maltononaosa.
Teradsorpsinya maltooligomer dan glukosa di permukaan kedua karbon aktif di atas pada hidrolisis pati jagung menggunakan iradiasi gelombang mikro juga telah dilaporkan oleh Matsumoto et al. (2011), terbukti dengan didapatinya maltosa dan glukosa setelah dilakukan desorpsi karbon aktif menggunakan etanol 50%. Walaupun fraksi terlarut yang terbentuk selama hidrolisis pada suhu 180-230 °C tidak dilaporkan, namun hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kecepatan sakarifikasi pada hidrolisat dengan penambahan KAG (karbon aktif C) pada suhu 180 dan 190 °C lebih tinggi dari kecepatan sakarifikasi pada hidrolisat dengan KAT (karbon aktif D). Fenomena fraksi terlarut pada hidrolisat yang diberi karbon aktif ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya (Bab 2.3.3.1) menggunakan cara yang sama namun tanpa penambahan karbon aktif yang memperlihatkan bahwa fraksi terlarut ampas tapioka dalam hidrolisat relatif konstan setelah perlakuan iradiasi gelombang mikro pada suhu 180-230 °C. Hal ini turut menguatkan dugaan terjadinya adsorpsi maltooligomer di permukaan karbon aktif. Berbeda dengan fraksi terlarut dalam hidrolisat, hasil glukosa yang diperoleh (Gambar 3.1b) dan profil elusi maltooligomer (Gambar 3.2) dari proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan kedua jenis karbon aktif ternyata mempunyai kemiripan satu sama lain. Perubahan profil elusi hidrolisat ampas tapioka dari suhu 200 °C sampai dengan 210 °C (Gambar 3.2a dan 3.2b) disertai pula dengan proses degradasi komponen berbobot molekul tinggi menjadi oligomer berbobot
41
molekul rendah, termasuk glukosa. Oleh karena itu, mulai suhu 200 °C sudah terlihat adanya glukosa dalam jumlah yang cukup banyak.
Hasil glukosa
mencapai maksimum (52,27% basis pati) dengan konsentrasi 20 g/L dicapai setelah dilakukan pemanasan gelombang mikro pada suhu 220 °C.
Tanpa
penambahan karbon aktif, glukosa dalam jumlah yang cukup banyak baru terlihat pada suhu 220 °C dan mencapai maksimum (32,41% dari teoritis) pada suhu 230 °C (Bab 2.3.3.2). (a)
(b)
100
50 Air tanpa KA Air + KAG Air + KAT
90 40
Hasil Glukosa (%)
Fraksi Terlarut (%)
80 70 60 50 40 30 20
Air tanpa KA Air + KAG Air + KAT
10
30
20
10
0
0
170
180
190
200
210
Suhu (o C)
220
230
170
180
190
200
210
220
230
Suhu (o C)
Gambar 3.1 Fraksi terlarut dalam hidrolisat ampas tapioka (a) dan hasil glukosa (b) setelah iradiasi gelombang mikro selama 5 menit. Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3). Kurva persentase fraksi terlarut dan hasil glukosa pada Gambar 3.1 menunjukkan bahwa persentase fraksi terlarut lebih tinggi daripada hasil glukosa. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam fraksi terlarut, selain glukosa terdapat juga hasil hidrolisis yang masih dalam bentuk maltooligomer, gula penyusun hemiselulosa seperti xilosa, galaktosa, mannosa, rhamnosa dan arabinosa, serta senyawa-senyawa dengan bobot molekul lebih rendah yang berasal dari hasil degradasi glukosa dan gula-gula penyusun hemiselulosa tadi. Pengaruh karbon aktif dalam meningkatkan hidrolisis ternyata jauh lebih besar pada tapioka, dimana pati yang terdapat di dalamnya sudah dalam keadaan bebas, tidak terikat dalam matriks serat biomassa. Dalam hidrolisat tapioka yang diperoleh dari perlakuan dengan penambahan karbon aktif, maltooligomer mulai terlihat pada suhu 180 °C (Gambar 3.3a) dan hasil glukosa mencapai maksimum
42
(72% basis pati) setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 200 °C selama 5 menit (Gambar 3.3b). Hasil ini sebanding dengan hasil hidrolisis pati jagung menggunakan pemanasan gelombang mikro dan karbon aktif yang sama dimana dicapai kecepatan sakarifikasi maksimum 67,3% setelah hidrolisis selama 12 menit pada suhu 190 °C (Matsumoto et al. 2011). (a)
(b)
Gambar 3.2 Kromatogram HPLC dari senyawa glukosa dan maltooligomer dalam hidrolisat ampas tapioka dengan perlakuan karbon aktif granul (KAG) (a) dan karbon aktif tepung (KAT) (b). Puncak nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 menunjukkan glukosa dan maltooligomer dengan derajat polimerisasi (DP) 2-7. Pengaruh positif karbon aktif terhadap reaksi hidrolisis menggunakan pemanasan gelombang mikro diduga karena adanya hot spot pada permukaan karbon aktif yang tidak rata (Zhang et al. 2007). Permukaan karbon aktif yang tidak rata ini pada beberapa bagian tertentu mengalami pemanasan yang hebat dibandingkan bagian lain di sekelilingnya, sehingga menghasilkan hot spot yang dapat mempercepat reaksi, termasuk proses hidrolisis. Menurut Zhang et al. (2007), suhu hot spot ini dapat mencapai 1200 °C. Namun demikian, dugaan atau asumsi ini perlu diteliti lebih lanjut.
43
(a)
(b)
80
Air tanpa KA
Air + KAG
Hasil Glukosa (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 170 180 190 200 210 220 230 240
Suhu (o C)
Gambar 3.3 Kromatogram HPLC dari senyawa glukosa dan maltooligomer dalam hidrolisat (a) dan hasil glukosa (b) dari tapioka setelah hidrolisis selama 5 menit menggunakan iradiasi gelombang mikro tanpa dan dengan penambahan karbon aktif granul (KAG). Puncak nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 pada (a) menunjukkan glukosa dan maltooligomer dengan derajat polimerisasi (DP) 2-7. Nilai pH hidrolisat ampas tapioka dengan perlakuan penambahan karbon aktif juga dipengaruhi oleh suhu sebagaimana halnya pada hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif (Bab 2.3.3.3). Pada Tabel 3.2 dapat dilihat bahwa pH hidrolisat dengan penambahan KAG maupun KAT menurun seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan gelombang mikro.
Terbentuknya beberapa
senyawa asam organik sebagai hasil degradasi sekunder senyawa karbohidrat diduga merupakan penyebab terjadinya penurunan pH pada hidrolisat. Penurunan nilai pH hidrolisat tepung terigu yang diperoleh dari proses hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro juga dilaporkan oleh Khan et al. (1979). Pada proses hidrolisis pati tepung gandum menggunakan proses hidrotermal dalam medium air dengan wadah yang tertutup rapat Lorenz dan Johnson (1972) mengamati terjadinya penurunan pH dan mengidentifikasi terbentuknya beberapa senyawa asam dengan jumlah rantai karbon 1 sampai dengan 6, seperti asam formiat, asetat, butirat, isobutirat, valerat, isovalerat, kaproat dan isokaproat. Mereka menduga asam-asam ini terbentuk akibat proses oksidasi senyawa aldehida. Thongchul et al. (2010) melaporkan terbentuknya asam asetat pada
44
hidrolisat ampas tapioka setelah melalui proses hidrolisis menggunakan asam klorida (1-2 N). Menurut Harmsen et al. (2010), asam asetat diturunkan dari gugus asetil hemiselulosa. Penambahan karbon aktif sangat berpengaruh terhadap penampilan atau warna hidrolisat ampas tapioka (Gambar 3.4). Nilai absorbansi pada 490 nm maupun kadar HMF hidrolisat dengan perlakuan karbon aktif lebih rendah dibandingkan pada hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif (Tabel 3.2). Karbon aktif sudah lama dikenal dapat menyerap zat warna maupun berbagai polutan bahan kimia. Karbon aktif yang digunakan pada hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro ini juga menyerap senyawa HMF dan senyawa berwarna gelap lainnya yang terbentuk selama hidrolisis. Oleh karena itu, penambahan karbon aktif pada proses hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro memberikan pengaruh positif tambahan dengan menghasilkan hidrolisat dengan warna yang lebih terang.
Karena senyawa berwarna coklat yang biasanya merupakan
senyawa furfural dan HMF merupakan inhibitor pada proses fermentasi, maka penambahan karbon aktif pada proses hidrolisis juga bermanfaat bagi proses lanjutan, misalnya fermentasi glukosa menjadi etanol. Hidrolisat yang diperoleh dari perlakuan dengan penambahan KAG berwarna lebih gelap dibandingkan dengan yang diperoleh dari perlakuan dengan penambahan KAT (Tabel 3.2). Hal ini diduga berhubungan dengan luas permukaan dan sifat adsorpsi kedua jenis karbon aktif, yaitu KAG mempunyai luas permukaan yang lebih kecil dan kapasitas adsorpsi yang sedikit lebih rendah daripada KAT (Tabel 3.1). Namun demikian, hasil glukosa yang diperoleh dari perlakuan dengan kedua jenis karbon aktif hampir sama dan jumlah fraksi terlarut pada hidrolisat dengan penambahan KAG lebih tinggi daripada hidrolisat dengan penambahan KAT. Disamping itu, KAG lebih mudah ditangani selama proses berlangsung, sehingga lebih memudahkan dalam proses. Atas dasar jumlah fraksi terlarut, hasil glukosa dan kemudahan dalam proses, maka pada penelitian selanjutnya digunakan KAG.
45
180
190
200
210
220
230
180
190
200
210
220
230
Gambar 3.4 Hidrolisat ampas tapioka dari pemanasan gelombang mikro (180230 °C) selama 5 menit dalam medium air dengan penambahan karbon aktif granul (kiri) dan karbon aktif tepung (kanan). Tabel 3.2 Pengaruh suhu pemanasan dan jenis karbon aktif terhadap nilai pH dan pembentukan senyawa berwarna coklat dalam hidrolisat ampas tapioka Suhu (°C) 180 190 200 210 220 230
Karbon Aktif Granul (KAG) Absorbansi pH pada 490 nm HMF (mg/g) 3,84 ± 0,17 0,102 ± 0,013 tt 3,67 ± 0,05 0,147 ± 0,028 tt 3,57 ± 0,02 0,196 ± 0,025 0,72 ± 0,43 3,35 ± 0,04 0,247 ± 0,006 5,87 ± 0,83 3,13 ± 0,06 0,376 ± 0,028 20,58 ± 0,10 2,89 ± 0,04 0,759 ± 0,069 56,60 ± 4,53
Karbon Aktif Tepung (KAT) Absorbansi pH pada 490 nm HMF (mg/g) 3,97 ± 0,23 tt tt 3,92 ± 0,22 tt tt 3,87 ± 0,25 tt 0,13 ± 0,02 3,58 ± 0,11 0,001 ± 0,000 1,73 ± 0,15 3,26 ± 0,06 0,008 ± 0,000 9,83 ± 0,18 3,07 ± 0,09 0,029 ± 0,006 22,44 ± 1,41
Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3), kecuali untuk HMF ± SB (n=2) tt = tidak terdeteksi (nilai absorbansi 0 pada pengukuran HMF atau larutan keruh dan tidak jernih pada pengukuran absorbansi pada 490 nm)
3.3.3. Pengaruh suhu terhadap residu ampas tapioka Analisis
terhadap
morfologi
residu
ampas
tapioka
(Gambar
3.5)
menunjukkan bahwa matriks biomassa ampas tapioka belum banyak berubah setelah iradiasi gelombang mikro pada suhu 190 °C. Degradasi matriks biomassa baru terlihat pada contoh dengan perlakuan pemanasan pada suhu 210 °C. Hal ini menandakan sebagian komponen amorf pada matriks ampas tapioka sudah terdegradasi dan terlarut dalam hidrolisat. Bentuk bundel serat, yang diduga merupakan bundel serat selulosa masih terlihat utuh sampai dengan pemanasan pada suhu 230 °C. Hal ini mengindikasikan bahwa selulosa mengandung gugus kristalin yang menjadikannya tahan terhadap pemanasan gelombang mikro pada suhu tersebut. Hasil analisis ini mirip dengan hasil analisis terhadap morfologi residu ampas tapioka dari proses hidrolisis tanpa penambahan karbon aktif pada Bab 2.3.3.5 yang memperlihatkan bagian matriks yang berupa bundel serat
46
semakin jelas terlihat dengan semakin meningkatnya suhu dan terdapatnya bundel serat yang masih utuh sampai dengan pemanasan pada suhu 240 °C. Komponen selulosa tampaknya masih tahan terhadap degradasi akibat pemanasan gelombang mikro dalam medium air sampai dengan suhu 230-240 °C. 190 oC
210 oC
230 oC
Gambar 3.5 Citra SEM residu ampas tapioka setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 190, 210 dan 230 °C selama 5 menit dengan penambahan karbon aktif granul (KAG). 3.3.4. Pengaruh lama pemanasan terhadap hidrolisat dan residu ampas tapioka Untuk meningkatkan hasil glukosa dari ampas tapioka, maka penelitian dilanjutkan pada suhu 210 °C dengan variasi lama pemanasan (5-18 menit) menggunakan karbon aktif granul (KAG). Persentase fraksi terlarut hanya sedikit mengalami perubahan atau penurunan dengan semakin lamanya waktu pemanasan pada suhu 210 °C (Tabel 3.3).
Maltooligomer
masih terbentuk sampai
pemanasan selama 12 menit, setelah itu tidak tampak lagi adanya maltooligomer dalam hidrolisat ampas tapioka (Gambar 3.6a).
Hal ini bertepatan dengan
meningkatnya hasil glukosa menjadi 44,48% dari bahan kering atau 50,85% (basis pati) pada pemanasan selama 12 menit dan mencapai maksimum (46,09% dari bahan kering atau 52,27% basis pati) setelah pemanasan selama 15 menit (Tabel 3.3). Hasil yang diperoleh ini lebih tinggi dari hasil hidrolisis asam ampas tapioka (36,40-41,34%) (Yoonan et al. 2004), namun masih lebih rendah dari hasil hidrolisis enzimatis ( 70%) (Rattanachomsri et al. 2009) ataupun kombinasi proses hidrotermal dan enzimatis ( 75%) (Kosugi et al. 2009; Nair et al. 2011). Namun demikian, hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro ini lebih sederhana dan cepat dibadingkan proses hidrolisis asam maupun enzimatis. Peningkatan lama pemanasan sampai 18 menit menurunkan hasil glukosa, yang
47
mengindikasikan bahwa glukosa yang terbentuk mulai terdekompisisi menjadi senyawa dengan bobot molekul lebih rendah, seperti HMF dan asam. Menurunnya nilai pH hidrolisat serta meningkatnya nilai absorbansi pada 490 nm dan kadar HMF dengan semakin lamanya pemanasan pada 210 °C (Tabel 3.3) menguatkan alasan tersebut.
Gambar 3.6 Kromatogram HPLC dari senyawa glukosa dan maltooligomer yang terdapat dalam hidrolisat ampas tapioka setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 210 °C dengan variasi lama pemanasan (a) dan setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 210 °C selama 12 menit dengan variasi rasio karbon aktif (KA) / ampas tapioka (AT) (b). Puncak nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 menunjukkan glukosa dan maltooligomer dengan derajat polimerisasi (DP) 2-7. Pengaruh lama pemanasan pada 210 °C terhadap morfologi ampas tapioka dapat dilihat pada citra SEM residu ampas tapioka (Gambar 3.7).
Pada
pemanasan selama 5 menit serat selulosa masih tampak utuh, sedangkan pada pemanasan selama 18 menit struktur serat selulosa sudah tampak mengalami kerusakan.
Waktu pemanasan yang berlangsung cukup lama mulai dapat
mendegradasi struktur kristalin selulosa.
Dengan terdegradasinya selulosa
dimungkinkan untuk mendapatkan tambahan glukosa dari proses hidrolisis selulosa, tetapi penambahan glukosa ini tidak terlalu berarti karena pada
48
pemanasan yang berlangsung dengan waktu yang lebih lama sebagian glukosa yang berasal dari proses hidrolisis pati terdegradasi menjadi senyawa dengan berat molekul lebih rendah. 5 menit
18 menit
Gambar 3.7 Citra SEM residu ampas tapioka setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 210 °C selama 5 dan 18 menit dengan penambahan karbon aktif granul (KAG).
3.3.5. Pengaruh jumlah karbon aktif terhadap hidrolisat ampas tapioka Jumlah karbon aktif yang ditambahkan untuk proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro berpengaruh terhadap hidrolisat yang dihasilkan. Pada Tabel 3.3 dapat dilihat bahwa semakin banyak karbon aktif yang ditambahkan atau semakin besar rasio karbon aktif / ampas tapioka, semakin kecil persentase fraksi terlarut.
Hal ini disebabkan
meningkatnya luas permukaan karbon aktif yang memungkinkan terjadinya peningkatan proses adsorpsi, termasuk adsorpsi maltooligomer pada permukaan karbon aktif seperti yang dikemukakan oleh Matsumoto et al. (2011). Gambar 3.6b menunjukkan bahwa di akhir hidrolisis pada suhu 210 °C selama 12 menit di dalam hidrolisat dengan rasio karbon aktif / ampas tapioka 0,5/1 (b/b) terdapat lebih banyak maltooligomer dibandingkan dengan hidrolisat dengan karbon aktif 1,0 g/g ampas tapioka. Bahkan, pada hidrolisat dengan rasio karbon aktif / ampas tapioka 1,5/1 dan 2/1 (b/b) tidak terlihat lagi ada maltooligomer dalam hidrolisat ampas tapioka. Hasil glukosa yang diperoleh hampir sama pada rasio karbon aktif /ampas tapioka 0,5/1 sampai dengan 1,5/1 (b/b), setelah itu terjadi penurunan drastis hasil glukosa ketika digunakan karbon aktif sebanyak 2 g per g ampas tapioka. Hal ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa sejumlah senyawa maltooligomer yang teradsorpsi
di
permukaan
karbon
aktif
tidak
turut
terhidrolisis
Tabel 3.3 Pengaruh lama pemanasan dan jumlah karbon aktif terhadap fraksi terlarut, hasil glukosa, nilai pH, dan pembentukan senyawa berwarna coklat pada hidrolisat ampas tapioka setelah pemanasan gelombang mikro pada suhu 210 °C _______________________________________________________________________________________________________________ Hasil Glukosa pH Absorbansi HMF (mg/100 g) ___________________________________ pada 490 nm (% basis bahan kering) (% basis pati) _____________________________________________________________________________________________________________________________________ Lama pemanasan (menit)a 5 79,70 ± 0,62 17,28 ± 4,23 19,60 ± 4,79 3,35 ± 0,04 0,247 ± 0,006 5,87 ± 0,83 8 74,21 ± 1,24 37,65 ± 1,65 42,69 ± 1,87 3,18 ± 0,03 0,291 ± 0,016 11,32 ± 1,59 10 75,07 ± 0,48 42,30 ± 0,24 47,97 ± 0,27 3,12 ± 0,02 0,374 ± 0,022 19,15 ± 1,22 12 73,23 ± 0,74 44,84 ± 1,17 50,85 ± 1,32 3,07 ± 0,02 0,421 ± 0,014 24,96 ± 2,76 15 76,46 ± 2,51 46,09 ± 0,78 52,27 ± 0,88 3,02 ± 0,02 0,510 ± 0,018 46,25 ± 2,13 18 75,68 ± 2,28 43,35 ± 1,87 49,15 ± 2,11 2,93 ± 0,02 0,645 ± 0,053 63,08 ± 0,71 Rasio karbon aktif / ampas tapiokab 0,5/1 83,81 ± 0,67 44,38 ± 1,67 50,32 ± 1,90 3,19 ± 0,04 0,783 ± 0,048 55,35 ± 0,07 1,0/1 73,23 ± 0,74 44,84 ± 1,17 50,85 ± 1,32 3,07 ± 0,02 0,421 ± 0,014 24,96 ± 2,76 1,5/1 70,18 ± 0,79 44,85 ± 0,64 50,86 ± 0,72 2,86 ± 0,01 0,264 ± 0,006 11,61 ± 0,88 2,0/1 65,54 ± 0,23 27,45 ± 3,50 31,12 ± 3,97 2,75 ± 0,02 0,135 ± 0,016 5,11 ± 0,44 _____________________________________________________________________________________________________________________________________ Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3), kecuali untuk HMF ± SB (n=2) a Hidrolisis dilakukan pada suhu 210 °C dengan karbon aktif 1,0 g / g ampas tapioka b Hidrolisis dilakukan pada suhu 210 °C selama 12 menit Perlakuan
Fraksi Terlarut (%)
50
menjadi glukosa, sedangkan maltooligomer yang berada bebas, seperti dalam hidrolisat dengan penambahan karbon aktif 0,5 g per g ampas tapioka, terhidrolisis menjadi glukosa.
Glukosa selanjutnya terdegradasi menjadi HMF
atau asam, sehingga warna menjadi lebih gelap pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif yang lebih sedikit. Nilai pH dan absorbansi pada 490 nm (Tabel 3.3) memperkuat hal ini.
3.4. Simpulan dan Saran Penambahan
karbon
aktif
pada
proses
hidrolisis
ampas
tapioka
menggunakan pemanasan gelombang mikro dapat memperbaiki hasil hidrolisis yang ditunjukkan dengan diperolehnya warna hidrolisat yang lebih terang. Hasil glukosa yang diperoleh juga meningkat, yaitu mencapai 51-52% (basis pati), atau mengalami peningkatan sekitar 60% dibandingkan dengan hidrolisis tanpa penambahan karbon aktif. Disamping itu, hasil yang lebih tinggi tersebut dapat dicapai pada suhu pemanasan yang lebih rendah (210 °C), walau dengan waktu pemanasan yang lebih lama, yaitu 12-15 menit.
Penggunaan metode ini
memungkinkan dilakukannya proses yang bersifat simultan pada hidrolisis bahan berpati seperti ampas tapioka, yaitu untuk mengurangi inhibitor fermentasi di dalam hidrolisat dan untuk meningkatkan hasil glukosa. Untuk memperoleh hidrolisat dengan hasil glukosa yang lebih tinggi lagi serta warna hidrolisat yang terang perlu dilakukan optimasi antara sifat penyerapan gelombang mikro pada karbon aktif dan sifat adsorpsi karbon aktif terhadap maltooligomer, senyawa HMF dan inhibitor lain, atau dilakukan hidrolisis dalam medium asam.
BAB IV PENINGKATAN HIDROLISIS AMPAS TAPIOKA PADA PEMANASAN GELOMBANG MIKRO DENGAN PENGGUNAAN MEDIUM ASAM Improvement of cassava pulp hydrolysis under microwave heating by using acid medium Abstrak Iradiasi gelombang mikro merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk hidrolisis pati. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro agar diperoleh glukosa dengan hasil dan konsentrasi yang tinggi serta dapat difermentasi menjadi etanol. Pada tahap awal dipelajari pengaruh dua jenis karbon aktif terhadap hidrolisis ampas tapioka dalam medium asam sulfat 0,5%, pada konsentrasi substrat 5%, dan dua tingkat iradiasi (330 dan 550 W), masingmasing dengan waktu pemanasan 5, 7,5 dan 10 menit. Setelah itu, percobaan dilanjutkan pada konsentrasi asam sulfat 0,1-0,8% dengan lama pemanasan 10 menit. Hidrolisis selanjutnya dilakukan pada konsentrasi substrat 5-25% dalam medium asam sulfat 0,5% selama 10 menit. Optimasi hidrolisis dilakukan menggunakan analisis permukaan respon atau Response Surface Methodology (RSM) pada konsentrasi substrat 20% dengan dua peubah bebas, yaitu konsentrasi asam dan lama pemanasan, dan satu respon, yaitu hasil glukosa. Penambahan karbon aktif dengan luas permukaan atau daya adsorpsi tinggi ke dalam suspensi ampas tapioka menghasilkan hidrolisat dengan hasil glukosa yang lebih rendah daripada hidrolisat yang tidak diberi karbon aktif atau yang diberi karbon aktif dengan luas permukaan atau daya adsorpsi rendah. Hal ini terjadi baik pada perlakuan dengan tingkat iradiasi 330 W maupun 550 W. Akan tetapi, karbon aktif dengan daya adsorpsi tinggi dapat menekan terbentuknya produk dekomposisi sekunder karbohidrat. Hasil glukosa tertinggi (91,52% basis pati) diperoleh dari perlakuan menggunakan asam sulfat 0,5% selama 10 menit pada tingkat iradiasi 550 W, tanpa penambahan karbon aktif. Peningkatan konsentrasi substrat meningkatkan konsentrasi glukosa dalam hidrolisat, namun menurunkan hasil glukosa. Pada konsentrasi substrat 15% didapat perolehan glukosa per g pati tertinggi, namun perolehan tersebut tidak berbeda nyata dengan penggunaan konsentrasi substrat 20%. Nilai p yang dihasilkan dari analisis ragam pada proses optimasi menggunakan RSM menunjukkan bahwa model regresi kuadratik yang diperoleh bersifat nyata dan layak untuk digunakan. Kondisi optimum hidrolisis adalah pada tingkat konsentrasi asam sulfat 0,88% dan lama pemanasan 9 menit dengan hasil dan konsentrasi glukosa masing-masing 85% (basis pati) dan 140 g/L. Validasi model pada beberapa titik pengamatan menunjukkan bahwa model dapat digunakan untuk memprediksi hasil glukosa pada proses hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro. Kata kunci: optimasi, ampas tapioka, hidrolisis asam, iradiasi gelombang mikro, hasil glukosa.
52
Abstract Microwave irradiation is an alternative method for starch hydrolysis, and the addition of activated carbon has been reported could increase glucose yield at lower temperature in water medium. The aim of this research was to improve the hydrolysis of cassava pulp under microwave irradiation by using acid medium, so that a high fermentable glucose yield and concentration in the hydrolysates could be obtained. First, the effects of two types of activated carbon on the acid hydrolysis of cassava pulp under microwave irradiation were studied. The experiment was conducted at substrate concentration of 5%, two microwave power levels (330 W and 550 W), each with heating duration of 5, 7.5, and 10 min in 0.5% sulfuric acid medium. After that, the experiments were conducted at different sulfuric acid concentrations (0.1-0.8%) with duration of heating of 10 minutes. The hydrolysis was subsequently performed at different substrate concentrations, ranging from 5-25%, using 0.5% sulfuric acid and heating duration of 10 minutes. Optimization of the hydrolysis procedures was performed using the response surface methodology (RSM) at 20% substrate concentration with two independent variables, the acid concentration and heating duration, and one response variable, the glucose yield. The addition of activated carbon with superior adsorption capacity in cassava pulp suspension resulted in lower glucose yield than the one without the addition of activated carbon at both power levels. However, activated carbon with higher adsorption capacity was superior to the other one in suppressing the formation of colored secondary degradation materials. The highest glucose yield (91.52%) was obtained in the hydrolysate from the treatment at microwave power 550 W for 10 minutes without the addition of activated carbon. The increase of substrate concentration could increase glucose concentration, but decrease the glucose yield. The use of 15% substrate concentration resulted in the highest glucose recovery; however, the recovery was not significantly different from that resulted from the use of 20% substrate concentration. The p-values resulted from the analysis of varians of the optimization process using RSM suggested that the second order regression model obtained was significant and fit well. The estimated optimum conditions for cassava pulp hydrolysis under microwave irradiation were using 0.88% sulfuric acid with 9 minutes heating time, which resulted in an 85% glucose yield and 140 g/L glucose concentration. Validation under different hydrolysis conditions confirmed that the model was suitable. Keywords: optimization, cassava pulp, acid hydrolysis, microwave irradiation, glucose yield 4.1. Pendahuluan Ampas tapioka sebagai hasil samping industri tapioka mengandung pati dalam jumlah yang cukup signifikan (60-80%). Oleh karena itu, proses hidrolisis pati dalam ampas tapioka merupakan salah satu tahapan penting agar bahan tersebut dapat dimanfaatkan lebih jauh, misalnya untuk menghasilkan beberapa senyawa kimia seperti etanol, asam laktat, asam glutamat dan asam sitrat. Pada
53
penelitian sebelumnya (Bab II dan Bab III) telah dilakukan hidrolisis ampas tapioka dalam medium air tanpa ataupun dengan penambahan karbon aktif dengan hasil glukosa tertinggi yang diperoleh masing-masing 32 dan 52% (basis pati). Hasil ini masih lebih rendah dari hasil hidrolisis enzimatis yang dilaporkan oleh Rattanachomsri et al. (2009), Kosugi et al. (2009), dan Nair et al. (2011). Selain itu, penelitian yang dilakukan sebelumnya juga masih menggunakan konsentrasi substrat yang rendah (5%), sehingga konsentrasi glukosa di dalam hidrolisat juga rendah, yaitu sekitar 20 g/L. Padahal, proses lanjutan seperti fermentasi glukosa menjadi etanol, memerlukan konsentrasi glukosa yang cukup tinggi. Menurut Kunhi et al. (1981), untuk mendapatkan proses fermentasi glukosa menjadi etanol yang efisien diperlukan konsentrasi gula 15%, dan penggunaan konsentrasi gula yang lebih tinggi akan menurunkan hasil etanol dan efisiensi fermentasi. Beberapa penelitian hidrolisis ampas tapioka pada konsentrasi substrat yang tinggi (sampai dengan 30%) menggunakan proses hidrolisis asam dengan pemanasan konvensional dan hidrolisis enzimatis telah dilakukan (Srikanta et al. 1987; Jaleel et al. 1988; Kosugi et al. 2009). Peningkatan konsentrasi substrat ini dapat meningkatkan konsentrasi gula ataupun glukosa dalam hidrolisat, namun menurunkan hasil gula atau glukosa.
Penggunaan iradiasi gelombang mikro
dalam proses hidrolisis bahan berpati sangat potensial untuk dikembangkan karena bersifat sederhana, mudah dan cepat. Pada penelitian sebelumnya (Bab III) telah diketahui pula bahwa penambahan karbon aktif pada proses hidrolisis ampas tapioka dalam medium air menggunakan pemanasan gelombang mikro dapat meningkatkan hasil glukosa. Sejauh ini belum diperoleh laporan penelitian hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro, terlebih pada konsentrasi substrat yang tinggi, serta pengaruh penambahan karbon aktif pada proses hidrolisis tersebut.
Disamping itu, belum diketahui kondisi
optimum proses agar dihasilkan glukosa dengan hasil dan konsentrasi yang tinggi. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan hidrolisis menggunakan pemanasan gelombang mikro dalam medium asam sulfat encer, baik dengan ataupun tanpa penambahan karbon aktif, agar diperoleh hasil glukosa yang lebih tinggi serta dilanjutkan dengan optimasi proses hidrolisis agar diperoleh kondisi optimum proses dengan hasil dan konsentrasi glukosa yang lebih tinggi.
54
4.2. Bahan dan Metode 4.2.1. Bahan Ampas tapioka yang digunakan pada penelitian ini sama dengan yang digunakan pada penelitian sebelumnya (Bab II dan III).
Karbon aktif yang
digunakan, dua jenis, dipilih yang berbentuk granul agar lebih mudah ditangani, dan keduanya mempunyai luas permukaan yang sangat berbeda. Karbon aktif 1 (KA1) diperoleh dari dari Ajinomoto Fine-Techno Co., Inc., Jepang, sedangkan karbon aktif 2 (KA2) diperoleh dari Bratachem, Bogor. Asam sulfat dan reagen lain yang digunakan mempunyai kualitas untuk analisis.
4.2.2. Karakterisasi karbon aktif Kedua jenis karbon aktif diestimasi ukurannya menggunakan ayakan yang diketahui ukuran lubangnya. Daya serap karbon aktif terhadap senyawa I2 dan senyawa biru metilena ditentukan menurut SNI 06-4253-1996 (BSN 1996). Luas permukaan karbon aktif dihitung berdasarkan daya serap karbon aktif terhadap biru metilena. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2.
4.2.3. Hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro Suspensi bahan dalam asam sulfat (1g/20 mL) disiapkan di dalam tabung Teflon® berkapasitas 100 mL dan diaduk menggunakan pengaduk magnetik agar diperoleh suspensi yang homogen. Karbon aktif (1g) ditambahkan ke dalam contoh dengan perlakuan penambahan karbon aktif. Tabung Teflon® dan isinya diletakkan pada dudukannya yang berbentuk silinder dengan kapasitas 6 tabung. Campuran kemudian dihidrolisis di dalam oven gelombang mikro SHARP R360J(S) yang mempunyai frekuensi 2.450 MHz, daya output 1.100 W. Iradiasi dilakukan pada tingkat daya 30% dan 50% atau setara dengan 330 W dan 550 W selama 5, 7,5 dan 10 menit. Setelah iradiasi gelombang mikro, campuran dalam tabung segera didinginkan dengan merendamnya dalam bak berisi es.
4.2.4. Analisis fraksi terlarut dan residu hidrolisat ampas tapioka Kadar padatan terlarut dalam fraksi terlarut hidrolisat ampas tapioka ditentukan menggunakan ATAGO Hand Refractometer N-20. Kadar glukosa, pH,
55
absorbansi pada panjang gelombang 490 nm serta kadar hidroksi metil furfural (HMF) ditentukan menggunakan metode seperti yang dijelaskan pada Bab 2.2.4. Hasil glukosa dihitung berdasarkan kadar pati dalam bahan (starch-based theoretical yield). Prosedur analisis yang rinci disajikan pada Lampiran 3. Sejumlah kecil residu ampas tapioka diambil dari dalam hidrolisat, kemudian dicuci dengan air suling tiga kali, dikeringkan menggunakan pengering beku, lalu diamati morfologinya menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) Zeiss Evo50-05-87.
4.2.5. Optimasi hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro 4.2.5.1. Percobaan tunggal pada konsentrasi substrat rendah Beberapa percobaan tunggal pada konsentrasi substrat rendah (5% b/v) dilakukan untuk mempelajari pengaruh lama pemanasan dan konsentrasi asam sulfat terhadap hasil hidrolisis, serta untuk menentukan selang lama pemanasan dan konsentrasi asam yang akan digunakan sebagai faktor atau peubah bebas dalam proses optimasi menggunakan Central Composite Design (CCD). Mulamula hidrolisis dilakukan dengan konsentrasi asam sulfat 0,5% selama 5, 7,5, 10 dan 12,5 menit. Selanjutnya, percobaan dilakukan dengan konsentrasi asam sulfat 0,1-0,8% selama 10 menit. Setelah itu, percobaan dilakukan pada konsentrasi substrat 5, 10, 15, 20 dan 25% (b/v) dengan asam sulfat 0,5% selama 10 menit. Semua percobaan dilakukan pada tingkat daya 550 W.
4.2.5.2. Optimasi hidrolisis dengan CCD dan RSM Optimasi dilakukan pada konsentrasi substrat 20% terhadap dua faktor, yaitu konsentrasi asam sulfat dan lama pemanasan. Hasil glukosa digunakan sebagai peubah respon. Optimasi dilakukan menggunakan Rotatable CCD (Cochran dan Cox 1992) dengan nilai α 1,414. Jumlah titik percobaan 13, terdiri dari 22 titik faktorial, 4 titik bintang dan 5 titik pusat, masing-masing dengan 2 ulangan. Model polinomial kuadratik dibangun pada data menggunakan persamaan regresi sebagai berikut. Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b11X12 + b22X22 + b12X1X2
56
dengan Y adalah peubah respon (hasil glukosa / % basis pati), X1 (konsentrasi asam / %) dan X2 (lama pemanasan / menit) adalah peubah bebas, b0 koefisien intersep, b1, b2, b12, b11, dan b22 adalah koefisien regresi. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Response Surface Methodology (RSM) dengan bantuan piranti lunak Minitab® Release 16.
Kesesuaian model dianalisis berdasarkan
analisis ragam. Validasi model dievaluasi dengan melakukan percobaan pada enam titik yang berbeda, termasuk pada kondisi optimum.
4.3. Hasil dan Pembahasan 4.3.1. Karakteristik karbon aktif Karakteristik kedua jenis karbon aktif yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 4.1. Bentuk fisik kedua karbon aktif, hampir sama, yaitu granul, namun ukuran partikel karbon aktif 1 (KA1) relatif lebih seragam dibandingkan karbon aktif 2 (KA2).
Oleh karena itu, untuk keseragaman,
dilakukan pemilahan dan pemilihan KA2, sehingga diperoleh karbon aktif dengan ukuran 10-20 mesh.
Nilai pH KA1 lebih rendah dari KA2, sehingga KA1
berpotensi mempunyai daya hidrolisis lebih kuat daripada KA2. Daya adsorpsi KA1 terhadap senyawa I2 yang mewakili senyawa berukuran kecil atau berbobot molekul rendah, hanya sedikit lebih tinggi
daripada KA2, namun daya
adsorpsinya terhadap senyawa biru metilena yang mewakili senyawa berukuran atau berbobot molekul besar, sangat berbeda dengan KA2. Demikian juga luas permukaannya, KA1 jauh lebih besar daripada KA2. Dengan demikian, sifat adsorpsi KA1 lebih baik daripada KA2. Perbedaan yang besar ini diduga dapat mempengaruhi hasil hidrolisis, karena pada penelitian sebelumnya (Bab III) perbedaan daya serap terhadap senyawa I2 dan biru metilena yang sedikit saja ternyata memberikan pengaruh yang berbeda terhadap karakteristik hidrolisat ampas tapioka. Perbedaan besar akibat pengaruh karakteristik KA1 dan KA2 kemungkinan akan terjadi pada daya adsorpsi terhadap senyawa dengan bobot molekul yang hampir sama dengan bobot molekul biru metilena (319,86), misalnya senyawa maltosa yang mempunyai bobot molekul 342.
57
Tabel 4.1 Karakteristik karbon aktif Karakteristik Bentuk Ukuran pH Sifat adsorpsi - Daya serap I2 (mg/g) - Daya serap biru metilena (mg/g) - Luas permukaan (m2/g)
*)
Karbon Aktif 1 2 Granul Granul 10-20 mesh 10-20 mesh*) 6,01 6,91 1213,15 264,53 981,72
1075,41 18,11 67,21
setelah penyeragaman
4.3.2. Pengaruh tingkat daya iradiasi gelombang mikro dan karbon aktif terhadap hidrolisat ampas tapioka 4.3.2.1. Kadar total padatan terlarut hidrolisat ampas tapioka Kadar total padatan terlarut di dalam hidrolisat ampas tapioka meningkat seiring meningkatnya lama pemanasan (Gambar 4.1), kecuali pada hidrolisat yang dihasilkan dari hidrolisis pada tingkat daya iradiasi 550 W dengan penambahan KA1. Pemanasan yang lebih lama meningkatkan kelarutan komponen kimia, terutama pati dan hemiselulosa, di dalam ampas tapioka, sehingga kadar total padatan terlarutnya meningkat. Kekecualian yang terjadi pada hidrolisat dengan perlakuan seperti disebutkan di atas, yaitu kadar total padatan terlarut sedikit menurun dengan semakin lamanya waktu pemanasan, disebabkan terjadinya adsorpsi sebagian maltooligomer dengan derajat polimerisasi rendah yang terbentuk pada proses hidrolisis di permukaan KA1 yang mempunyai daya adsorpsi yang lebih tinggi daripada KA2. Pada tingkat daya iradiasi gelombang mikro yang lebih rendah (330 W) diduga baru dihasilkan fraksi terlarut dengan derajat polimerisasi yang tinggi dan hanya sedikit dihasilkan fraksi terlarut berupa maltooligomer dengan derajat polimerisasi rendah.
Molekul dengan derajat
polimerisasi yang tinggi diduga tidak teradsorpsi oleh KA1 maupun KA2, sehingga total padatan terlarut pada tiap tingkat lama pemanasan yang sama di dalam semua hidrolisat relatif sama. Pada tingkat daya iradiasi 550 W sudah lebih banyak terbentuk maltooligomer.
Maltooligomer ini diduga teradsorpsi di
permukaan KA1 yang mempunyai luas permukaan atau daya adsorpsi tinggi, namun tidak teradsorpsi di permukaan KA2, sehingga kadar total padatan terlarut
58
di dalam hidrolisat dengan perlakuan KA2 relatif sama dengan yang diperoleh dari perlakuan tanpa karbon aktif.
Fenomena adsorpsi maltooligomer di
permukaan karbon aktif juga terjadi pada penelitian sebelumnya (Bab III) serta telah dilaporkan oleh Moon et al. (1997), Yoo et al. (2005) dan Matsumoto et al. (2008, 2011).
o
Total padatan terlarut ( Brix)
5 menit
7,5 menit
10 menit
6 5 4 3 2 1 0
Tanpa KA
KA1
Tingkat daya 330 W
KA2
Tanpa KA
KA1
KA2
Tingkat daya 550 W
Gambar 4.1 Kadar total padatan terlarut di dalam hidrolisat ampas tapioka setelah hidrolisis dalam medium H2SO4 0,5% menggunakan pemanasan gelombang mikro. Nilai pada titik-titik data merupakan nilai ratarata ± SB / Simpangan Baku (n=3). 4.3.2.2. Hasil glukosa Hasil hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro pada dua tingkat daya iradiasi (Gambar 4.2) menunjukkan bahwa pada tingkat daya iradiasi 330 W dan lama pemanasan 5 dan 7,5 menit hasil glukosa yang diperoleh sangat rendah. Hasil glukosa baru terlihat meningkat setelah pemanasan selama 10 menit, terutama pada hidrolisat dengan penambahan KA2. Pada tingkat daya iradisai yang lebih tinggi (550 W) dan lama pemanasan 5 menit hasil glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis dengan penambahan KA2 lebih tinggi daripada yang diperoleh dari proses tanpa penambahan karbon aktif maupun dengan penambahan KA1. Akan tetapi, pada pemanasan yang lebih lama, hasil glukosa dari proses hidrolisis tanpa penambahan karbon aktif melampaui hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisis dengan penambahan karbon aktif, dan mencapai maksimum (80,80% dari berat bahan kering atau 91,52% basis pati) pada pemanasan selama 10 menit. Hasil glukosa yang rendah di dalam hidrolisat
59
yang diperoleh dari proses hidrolisis dengan penambahan karbon aktif diduga karena terjadinya adsorpsi maltooligomer pada permukaan karbon aktif, terutama pada permukaan KA1 yang mempunyai daya adsorpsi yang lebih tinggi daripada KA2. Maltooligomer yang teradsorpsi tersebut terhindar dari proses hidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa. Fenomena ini telah dijelaskan sebelumnya pada Bab III. Selain itu, glukosa yang terbentuk pada proses hidrolisis pun dapat teradsorpsi di permukaan karbon aktif.
Pada proses analisis glukosa yang
terdeteksi hanyalah glukosa yang dalam keadaan bebas, tidak teradsorpsi pada permukaan karbon aktif. Oleh karena itu, kadar glukosa yang berada bebas dalam hidrolisat menjadi lebih rendah, dan hasil glukosa pun menjadi lebih rendah dari yang seharusnya. (a)
(b)
100
100 90
80 Tanpa KA
70
KA1
KA2
60 50 40 30
Hasil glukosa (%)
Hasil glukosa (%)
90
80 70 60 50 40 30
20
20
10
10
0
0
5
7,5
Lama pemanasan (menit)
10
Tanpa KA
5
KA1
7,5
KA2
10
Lama pemanasan (menit)
Gambar 4.2 Hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisis ampas tapioka dalam medium H2SO4 0,5% menggunakan iradiasi gelombang mikro pada tingkat daya iradiasi 330 W (a) dan 550 W (b). Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=2). Hasil glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis dalam medium asam sulfat ini (91,52% basis pati) jauh lebih tinggi daripada yang diperoleh dari proses hidrolisis dalam medium air, baik tanpa maupun dengan penambahan karbon aktif, yaitu masing-masing 32,41 dan 52,27% (basis pati) (Bab II dan III). Ikatan glikosidik, termasuk yang terdapat pada polisakarida seperti pati, bersifat lebih stabil di dalam medium netral ataupun alkalis. Di dalam medium asam ikatan glikosidik lebih mudah terputus karena di dalam medium tersebut lebih banyak mengandung ion hidrogen yang diperlukan untuk reaksi pemutusan ikatan glikosidik. Hasil glukosa tertinggi yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi
60
daripada yang diperoleh dari proses hidrolisis asam (36.40-41.34% dari bahan kering) (Yoonan et al. 2004), hidrolisis enzimatis (70% dari bahan kering) (Rattanachomsri et al. 2009), atau kombinasi hidrotermal dan enzimatis (75% dari bahan kering) (Kosugi et al. 2009; Nair et al. 2011), namun lebih rendah dari hasil yang diperoleh Thongchul et al. (2010) melalui proses hidrolisis asam (klorida, sulfat dan fosfat) dan pemanasan konvensional pada suhu 121 °C, 15 psig dengan konsentrasi asam yang jauh lebih tinggi (1-1,75 N) dan waktu pemanasan yang lebih lama (15-60 menit). Jadi, hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro terbukti merupakan metode hidrolisis alternatif yang potensial untuk dikembangkan.
4.3.2.3. Nilai pH Hasil pengukuran pH hidrolisat menunjukkan tidak adanya kecenderungan tertentu pada pH hidrolisat akibat perlakuan pemanasan gelombang mikro pada tingkat daya iradiasi, penambahan karbon aktif maupun lama pemanasan yang bebeda. Nilai pH awal suspensi ampas tapioka dalam asam sulfat 0,5% adalah 1,88 dan pH hidrolisat berkisar 1,67 sampai dengan 1,93 (Tabel 4.2), tidak jauh berbeda dengan pH awal suspensi tapioka. Fenomena ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya (Bab II dan Bab III), yaitu nilai pH menurun selama berlangsungnya proses hidrolisis ampas tapioka yang diduga disebabkan terbentuknya asam organik selama proses hidrolisis.
Walaupun tidak ada
kecenderungan tertentu dalam perubahan pH, pada proses hidrolisis dalam medium asam dapat terbentuk asam-asam organik, seperti asam asetat (Thongchul et al. 2011) atau senyawa-senyawa yang bersifat asam. Karena senyawa-senyawa tersebut sifatnya lebih lemah dari asam sulfat, maka keberadaannya di dalam hidrolisat tidak mengakibatkan terjadinya perubahan pH yang berarti.
4.3.2.4. Senyawa berwarna coklat Senyawa furfural dan HMF yang membuat warna hidrolisat menjadi coklat biasanya merupakan inhibitor pada proses fermentasi, sehingga keberadaannya dalam hidrolisat penting untuk diestimasi jumlahnya. Pada tingkat daya iradiasi 330 W secara visual tidak terlihat adanya senyawa berwarna coklat dalam
61
hidrolisat. Hal ini ditunjukkan dengan nilai absorbansi pada 490 nm yang sangat rendah (Tabel 4.3) serta tidak terdeteksinya senyawa HMF (Tabel 4.4). Bahkan, nilai absorbansi pada 490 nm pada beberapa hidrolisat tidak dapat diestimasi atau diukur karena larutan yang terbentuk keruh atau tidak jernih, kemungkinan karena hidrolisis pati baru menghasilkan produk depolimerisasi dengan ukuran molekul cukup besar seperti maltodekstrin. Pada tingkat daya iradiasi yang lebih tinggi (550 W) terbentuknya senyawa berwarna coklat dapat terlihat jelas pada hidrolisat yang berasal dari perlakuan tanpa penambahan karbon aktif dan yang berasal dari perlakuan penambahan KA2, keduanya dengan lama pemanasan 10 menit. Kadar HMF kedua hidrolisat tersebut hampir sama (Tabel 4.4), sehingga dapat disimpulkan bahwa KA2 bukan merupakan bahan pengadsorpsi HMF yang baik. Hal ini sesuai dengan daya serapnya terhadap biru metilena dan luas permukaannya yang sangat rendah (Tabel 4.1). Tabel 4.2 Nilai pH hidrolisat ampas tapioka setelah hidrolisis dalam medium asam sulfat 0,5% menggunakan pemanasan gelombang mikro Daya (W) 330 550
Waktu (menit) 5 7,5 10 5 7,5 10
Tanpa Karbon Aktif 1,79 ± 0,06 1,86 ± 0,03 1,86 ± 0,02 1,93 ± 0,03 1,67 ± 0,03 1,82 ± 0,01
Dengan Karbon Aktif 1 1,75 ± 0,02 1,67 ± 0,04 1,75 ± 0,04 1,73 ± 0,03 1,77 ± 0,02 1,84 ± 0,02
Dengan Karbon Aktif 2 1,70 ± 0,01 1,64 ± 0,03 1,67 ± 0,04 1,87 ± 0,01 1,85 ± 0,01 1,84 ± 0,01
Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3)
Reaksi pencoklatan yang terjadi di dalam hidrolisat asam pada penelitian ini tidak sehebat yang terjadi di dalam hidrolisat dengan medium air pada penelitian sebelumnya (Bab II dan Bab III) yang ditandai dengan nilai absorbansi pada 490 nm dan kadar HMF yang lebih rendah di dalam hidrolisat asam. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yu et al. (1996) yang melakukan hidrolisis pati murni dalam medium HCl 0,5 M (10% b/v) menggunakan iradiasi gelombang mikro pada suhu 95 °C selama 5 menit, dengan hasil seluruh pati terhidrolisis sempurna tanpa produk samping yang berwarna. Menurut Whistler dan Daniel (1985), reaksi pencoklatan non enzimatis, baik reaksi karamelisasi maupun reaksi Maillard berlangsung lebih cepat pada pH yang lebih tinggi. Di dalam larutan
62
yang bersifat asam gugus amino, yang dalam penelitian ini berasal dari protein ampas tapioka, terprotonasi, sehingga tahap awal reaksi Maillard berupa pembentukan glikosilamina menjadi terhambat.
Oleh karena itu, reaksi
selanjutnya yang dapat menghasilkan senyawa berwarna coklat seperti HMF atau lebih lanjut senyawa melanoidin juga menjadi terhambat. Tabel 4.3 Nilai absorbansi pada 490 nm hidrolisat ampas tapioka setelah hidrolisis dalam medium H2SO4 0,5% menggunakan iradiasi gelombang mikro Daya (W) 330
550
Waktu (menit) 5 7,5 10 5 7,5 10
Tanpa Karbon Aktif Keruh 0,084 ± 0,008 0,106 ± 0,006 0,065 ± 0,008 0,051 ± 0,005 0,210 ± 0,122
Dengan Karbon Aktif 1 Keruh Keruh Keruh Keruh 0,011 ± 0,001 0,017 ± 0,001
Dengan Karbon Aktif 2 Keruh Keruh Keruh Keruh 0,031 ± 0,008 0,205 ± 0,049
Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3)
Tabel 4.4 Kadar HMF (mg/100 g) dalam hidrolisat ampas tapioka setelah hidrolisis dalam medium H2SO4 0,5% menggunakan iradiasi gelombang mikro Daya (W) 330 550
Waktu (menit) 5 7,5 10 5 7,5 10
Tanpa Karbon Aktif tt tt tt tt 2,10 ± 1,13 23,52 ± 5,51
Dengan Karbon Aktif 1 tt tt tt tt tt tt
Dengan Karbon Aktif 2 tt tt tt tt tt 27,35 ± 1,40
Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3) tt = tidak terdeteksi
4.3.3. Percobaan tunggal pada konsentrasi substrat rendah 4.3.3.1. Pengaruh lama pemanasan dan konsentrasi asam terhadap hidrolisat ampas tapioka Hasil glukosa dari ampas tapioka meningkat dengan meningkatnya lama pemanasan dan mencapai maksimum (80,80% dari berat bahan kering atau 91.52% basis pati) pada pemanasan selama 10 menit, setelah itu menurun ketika
63
pemanasan diperpanjang sampai 12,5 menit. Sementara itu, senyawa berwarna coklat yang terbentuk di dalam hidrolisat ampas tapioka juga meningkat dengan meningkatnya waktu pemanasan, sebagaimana terlihat dari peningkatan nilai absorbansi pada 490 nm dan peningkatan kadar HMF dalam hidrolisat (Tabel 4.5). Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak gula yang terdegradasi menjadi senyawa berwarna coklat seperti diperpanjang.
furfural dan HMF ketika pemanasan
Pada hidrolisis ampas tapioka menggunakan asam dengan
pemanasan konvensional terjadi penurunan hasil glukosa jika waktu reaksi terlalu lama, terutama jika konsentrasi asam lebih besar dari 1 N (Thongchul et al. 2010). Sementara itu, Yu et al. (1996) serta Warrand dan Janssen (2007) mengamati terjadinya peningkatan absorbansi, masing-masing pada panjang gelombang 395500 nm dan 400-500 nm seiring dengan meningkatnya waktu pemanasan pada hidrolisis pati
dan amilosa menggunakan pemanasan konvensional.
Waktu
hidrolisis yang singkat pada pemanasan gelombang mikro sebetulnya dapat mencegah terbentuknya senyawa berwarna coklat pada proses hidrolisis pati, seperti yang dilaporkan oleh Yu et al. (1996) serta Warrand dan Janssen (2007) yang membandingkan proses hidrolisis pati dalam larutan asam menggunakan pemanasan konvensional dan pemanasan gelombang mikro. Pada penelitian ini pemanasan gelombang mikro dengan tingkat daya 550 W selama 10 menit masih menghasilkan hidrolisat dengan hasil glukosa yang tinggi dan warna yang terang, namun jika pemanasan dilanjutkan, maka seperti pada pemanasan konvensional, hasil glukosa menurun karena glukosa dan gula sederhana lain yang terbentuk dapat terdegradasi menjadi senyawa dengan bobot molekul lebih rendah seperti HMF dan furfural yang berwarna coklat. Hasil glukosa dari ampas tapioka meningkat dari 66% menjadi 91% ketika konsentrasi asam sulfat dinaikkan dari 0,1 menjadi 0,5%.
Akan tetapi,
peningkatan konsentrasi asam lebih lanjut sampai dengan 0,8% ternyata tidak lagi meningkatkan hasil glukosa. Nilai rata-rata hasil glukosa dengan simpangan baku masing-masing yang diperoleh dari perlakuan menggunakan konsentrasi asam 0,5%, 0,6% dan 0,8% berbeda tidak nyata, sedangkan senyawa berwarna coklat mengalami peningkatan sampai konsentrasi asam sulfat 0,6%, namun kemudian menurun ketika digunakan asam sulfat 0,8% (Tabel 4.6). Hal ini menunjukkan
64
bahwa walaupun tidak lagi meningkatkan hasil glukosa, penggunaan konsentrasi asam yang lebih tinggi dapat mengurangi pembentukan senyawa berwarna coklat dalam hidrolisat ampas tapioka. Terhambatnya pembentukan senyawa berwarna coklat di dalam medium yang bersifat asam, seperti dijelaskan pada Bab 4.3.2.4, adalah karena di dalam medium yang bersifat asam gugus amino yang berasal dari protein terprotonasi, sehingga tahap awal reaksi Maillard berupa pembentukan senyawa glikosilamina terhambat.
Semakin rendah pH atau semakin tinggi
derajat keasaman medium, maka semakin kuat pula penghambatan reaksi pembentukan glikosilamina.
Walaupun penggunaan asam sulfat dengan
konsentrasi yang lebih tinggi dapat menghambat reaksi pencoklatan, namun penggunaan asam sulfat dengan konsentrasi yang lebih tinggi memerlukan jumlah basa yang lebih banyak pada proses netralisasi, sehingga biaya proses akan menjadi lebih tinggi pula. Table 4.5 Pengaruh lama pemanasan terhadap hidrolisat ampas tapioka setelah iradiasi gelombang mikro pada tingkat daya 550 W dengan H2SO4 0,5% Lama Pemanasan (menit) 5 7,5 10 12,5
Hasil Glukosa (%) 4,7 ± 0,40 75,78 ± 6,55 91,52 ± 1,33 80,06 ± 4,37
Absorbansi pada 490 nm 0,065 ± 0,008 0,051 ± 0,005 0,210 ± 0,122 0,547 ± 0,091
HMF (mg/100 g) ta 2,1 ± 1,13 23,52 ± 5,51 50,13 ± 1,33
Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3) ta = tidak dianalisis karena jumlah glukosa masih sangat sedikit
Tabel 4.6 Pengaruh konsentrasi H2SO4 terhadap hidrolisat ampas tapioka setelah iradiasi gelombang mikro pada tingkat daya 550 W selama 10 menit Konsentrasi Asam Sulfat (%) 0,1 0,3 0,5 0,6 0,8
Hasil Glukosa (%) 66,43 ± 7,35 78,82 ± 2,66 91,52 ± 1,33 87,61 ± 4,77 91,37 ± 0,29
Absorbansi pada 490 nm 0,127 ± 0,014 0,126 ± 0,019 0,210 ± 0,122 0,182 ± 0,044 0,120 ± 0,018
HMF (mg/100 g) 8,61 ± 5,73 13,71 ± 5,36 23,52 ± 5,51 25,10 ± 5,36 10,06 ± 4,41
Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3)
65
Biomassa ampas tapioka mengalami proses degradasi bertahap selama pemanasan gelombang mikro. Hal ini dapat dilihat dari citra SEM morfologi residu ampas tapioka setelah iradiasi gelombang mikro (Gambar 4.3). Matriks biomassa terlihat masih utuh setelah iradiasi gelombang mikro pada tingkat daya 550 selama 5 menit. Pada residu yang mengalami iradiasi selama 7,5 menit sudah mulai terlihat sedikit degradasi, kemungkinan pada bagian amorf. Setelah iradiasi selama 10 menit proses degradasinya sudah lebih jelas, ditandai dengan terlihatnya bundel serat yang diduga merupakan bundel serat selulosa yang mempunyai sifat kristalin. Dari hasil penelitian pada Bab I telah ditunjukkan bahwa serat selulosa merupakan komponen ampas tapioka yang paling tahan terhadap proses degradasi, sedangkan komponen hemiselulosa lebih mudah larut dan terdegradasi pada pemanasan gelombang mikro dalam medium air. Fenomena yang hampir sama juga didapati pada citra SEM residu ampas tapioka yang diberi perlakuan konsentrasi asam sulfat yang berbeda (Gambar 4.4), yaitu tingkat degradasi ampas tapioka meningkat dengan meningkatnya konsentrasi asam dari 0,1 sampai dengan 0,6%. 5 menit
7,5 menit
10 menit
Gambar 4.3 Citra SEM residu ampas tapioka setelah iradiasi gelombang mikro pada tingkat daya 550 W dengan asam sulfat 0,5%.
0,1%
0,3%
0,6%
Gambar 4.4 Citra SEM residu ampas tapioka setelah iradiasi gelombang mikro pada tingkat daya 550 W selama 10 menit dengan variasi konsentrasi asam sulfat.
66
4.3.3.2. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap hirolisat ampas tapioka Peningkatan konsentrasi substrat suspensi ampas tapioka dilakukan untuk meningkatkan konsentrasi glukosa di dalam hidrolisat.
Hasil percobaan
menunjukkan konsentrasi glukosa memang meningkat, namun hasil glukosa yang diperoleh menurun seiring meningkatnya konsentrasi substrat (Tabel 4.7). Hal serupa terjadi pada proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan kombinasi hidrotermal dan enzimatis (Kosugi et al. 2009). Perolehan glukosa tertinggi pada percobaan yang dilakukan (73,4 g/L per g pati) didapat apabila digunakan konsentrasi substrat 15%.
Hasil uji statistika menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan tidak nyata perolehan glukosa antara penggunaan konsentrasi substrat 15% dan 20% (66,8 g/L per g pati), dan ada perbedaan nyata perolehan glukosa antara penggunaan konsentrasi substrat 15% dan 25% (63,7 g/L per g pati). Selain itu, intensitas senyawa berwarna coklat pada hidrolisat yang berasal dari suspensi dengan konsentrasi substrat 20% lebih rendah daripada yang berasal dari konsentrasi substrat 15%.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka proses
selanjutnya, yaitu optimasi proses hidrolisis menggunakan CCD, dilakukan pada konsentrasi substrat 20% dengan harapan konsentrasi glukosa yang diperoleh sudah cukup tinggi, yaitu mendekati 15%, dan hasil glukosa nya pun masih cukup tinggi. Tabel 4.7 Pengaruh konsentrasi substrat suspensi ampas tapioka terhadap perolehan glukosa dari hidrolisis dalam medium asam sulfat 0,5% menggunakan pemanasan gelombang mikro Konsentrasi Substrat (%) 5 10 15 20 25 a
Hasil Glukosa (%) 91,52 A 83,17 B 77,20 C 63,78 D 55,69 E
Konsentrasi Glukosa (g/L) 37,5 E 68,3 D 95,1 C 104,7 B 114,3 A
Perolehan Glukosa a (g/L per g pati) 34,3 D 56,8 C 73,4 A 66,8 AB 63,7 BC
Absorbansi pada 490 nm 0,210 B 0,346 AB 0,500 AB 0,432 AB 0,601 A
HMF (mg/100 g) 23,52 D 65,73 C 125,33 A 92,19 BC 101,96 AB
Perolehan glukosa [dalam g/L per g pati] adalah hasil glukosa (% basis pati) dikalikan dengan konsentrasi glukosa [dalam g/L]. Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata dari dua ulangan, kecuali data absorbansi pada 490 nm yang merupakan nilai rata-rata dari tiga ulangan. Nilai rata-rata yang ada dalam satu kolom yang tidak ditandai huruf yang sama berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%.
67
4.3.4. Optimasi hidrolisis ampas tapioka pada konsentrasi substrat tinggi Berdasarkan hasil percobaan tunggal dan untuk lebih menyederhanakan proses, maka proses optimasi hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro dilakukan pada konsentrasi substrat tetap, yaitu 20%. Ada dua peubah bebas yang dioptimasi menggunakan rancangan CCD, yaitu konsentrasi asam (X1) and lama pemanasan (X2). Selang kedua peubah bebas ditentukan berdasarkan hasil percobaan tunggal pada konsentrasi substrat rendah, yang menunjukkan bahwa hasil glukosa yang cukup tinggi sudah dapat diperoleh pada selang konsentrasi asam sulfat 0,3-0,8% dan lama pemanasan 7,5-12,5 menit. Rancangan percobaan menggunakan CCD dengan selang konsentrasi asam 0,320,88% dan lama pemanasan 7,18-12,82 menit disajikan pada Tabel 4.8.
4.3.4.1. Pendugaan dan kelayakan model Hasil percobaan menggunakan CCD yang dianalisis dengan RSM menunjukkan bahwa model yang paling sesuai adalah model polinomial kuadratik. Nilai koefisien regresi dan model dugaan hasil glukosa dapat digambarkan dengan persamaan berikut ini. Y = 78,601 + 2,9374 X1 – 1,0901 X2 + 0,0986 X12 – 6,4577 X22 – 4,2375 X1X2 . Hasil analisis ragam (Tabel 4.9) menunjukkan bahwa model dugaan bersifat layak dengan nilai p yang nyata (0,000). Konsentrasi asam (nilai p = 0,000) berpengaruh nyata secara linear terhadap model, sedangkan lama pemanasan (nilai p = 0,055) berpengaruh tidak nyata secara linear terhadap model pada tingkat kepercayaan 95%. Lama pemanasan berpengaruh nyata secara kuadratis pada tingkat kepercayaan 95% (nilai p = 0,000), sedangkan konsentrasi asam tidak (nilai p = 0,865).
Interaksi konsentrasi asam dan lama pemanasan
berpengaruh nyata terhadap hasil glukosa pada tingkat kepercayaan 95% (nilai p = 0,000). Nilai p pada lack of fit (0,104) bersifat tidak nyata, yang menandakan bahwa model dugaan layak untuk digunakan. Disamping itu, nilai koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi (0,8835) turut mendukung bahwa model kuadratik yang diperoleh layak untuk digunakan.
Oleh karena itu, model atau
persamaan di atas cukup dapat mewakili atau mengekspresikan nilai pengamatan dari proses hidrólisis asam ampas tapioka.
Pada Tabel 4.8 dapat dilihat
68
perbandingan nilai hasil glukosa yang diperoleh menggunakan pendugaan model dan yang diperoleh dari hasil percobaan. Perbedaan kedua nilai tersebut pada tiap titik percobaan tidak melebihi 5%. Hal ini juga turut mendukung bahwa model dugaan mempunyai tingkat pendugaan yang baik terhadap nilai percobaan. Tabel 4.8 Rancangan CCD dengan nilai respon percobaan dan nilai dugaan hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisis ampas tapioka dalam medium asam sulfat menggunakan iradasi gelombang mikro Satuan Percobaan
Taraf Peubah dengan Kode
X1 X2 1 1 1 2 1 1 3 1 -1 4 1 -1 5 -1 1 6 -1 1 7 -1 -1 8 -1 -1 9 1,41 0 10 1,41 0 11 -1,41 0 12 -1,41 0 13 0 1,41 14 0 1,41 15 0 -1,41 16 0 -1,41 17 0 0 18 0 0 19 0 0 20 0 0 21 0 0 22 0 0 23 0 0 24 0 0 25 0 0 26 0 0 x1: Konsentrasi asam (%) x2: Lama pemanasan (menit)
Taraf Peubah tanpa Kode x1 0,8 0,8 0,8 0,8 0,4 0,4 0,4 0,4 0,88 0,88 0,32 0,32 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6
x2 12 12 8 8 12 12 8 8 10 10 10 10 12,82 12,82 7,18 7,18 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Hasil Glukosa (%) Percobaan Dugaan (Y1) (Y2) 73,28 69,85 70,87 69,85 82,55 80,51 79,33 80,51 71,78 72,45 74,49 72,45 64,77 66,16 65,33 66,16 82,33 82,95 80,28 82,95 74,39 74,64 75,96 74,64 62,50 64,14 62,14 64,14 68,54 67,23 67,33 67,23 80,40 78,60 82,14 78,60 79,31 78,60 81,19 78,60 74,97 78,60 77,72 78,60 79,79 78,60 77,03 78,60 77,30 78,60 76,16 78,60
% Perbedaan 4,68 1,44 2,47 -1,49 -0,93 2,74 -2,15 -1,27 -0,75 -3,33 -0,34 1,74 -2,62 -3,22 1,91 0,15 2,24 4,31 0,90 3,19 -4,84 -1,13 1,49 -2,04 -1,68 -3,20
69
Table 4.9 Analisis ragam model regresi derajat dua hasil glukosa Sumber Regresi
DB
JK
5
893,444
KT
Nilai F
Nilai p
178,689
38,930
0,000
Linear 2 157,065 78,533 Konsentrasi asam 1 138,052 138,052 Lama pemanasan 1 19,013 19,013 Kuadratis 2 592,727 296,364 Konst. asam.*Konst. asam 1 0,135 0,135 Lama pemanasan*Lama pemanasan 1 580,198 580,198 Interaksi 1 143,651 143,651 Konst. asam*Lama pemanasan 1 143,651 143,651 Galat 20 91,800 4,590 Lack-of-Fit 3 27,292 9,097 Galat murni 17 64,507 3,795 Total 25 985,244 DB = Derajat Bebas; JK = Jumlah Kuadrat; KT = Kuadrat Tengah
8,633 36,377 4,142 64,567 0,029 126,405 31,297 31,297
0,000 0,000 0,055 0,000 0,865 0,000 0,000 0,000
2,397
0,104
4.3.4.2. Analisis Permukaan Respon Plot kontur dan plot permukaan respon (Gambar 4.5) yang memperlihatkan pengaruh dua peubah bebas, yaitu konsentrasi asam dan lama pemanasan, terhadap hasil glukosa menunjukkan bahwa konsentrasi asam mempunyai pengaruh linear terhadap respon pada selang konsentrasi asam yang digunakan dalam penelitian ini, sedangkan lama pemanasan mempunyai pengaruh kuadratis terhadap respon.
Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi konsentrasi
asam, maka semakin tinggi pula hasil glukosa. Di sisi lain, hasil glukosa akan meningkat jika hidrolisis dilakukan sampai waktu pemanasan tertentu kemudian akan menurun pada pemanasan yang lebih lama. Hasil glukosa meningkat sampai lama pemanasan sekitar 10 menit pada konsentrasi asam yang lebih rendah atau sampai lama pemanasan sekitar 9 menit pada konsentrasi asam yang lebih tinggi, kemudian menurun secara bertahap jika lama pemanasan diperpanjang. Kondisi optimum hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro ditentukan berdasarkan nilai target hasil glukosa (85% basis pati) pada selang konsentrasi asam dan selang lama pemanasan yang digunakan dalam percobaan. Berdasarkan hal ini diperoleh kondisi optimum hidrolisis, yaitu pada konsentrasi asam 0,88% (1,41 pada nilai yang menggunakan kode) dan lama pemanasan 9 menit (-0,55 pada nilai yang menggunakan kode) dengan nilai dugaan hasil glukosa sebesar 84,89% (basis pati).
Dengan hasil ini diperoleh konsentrasi
70
glukosa 140 g/L. Validasi model (Tabel 4.10) pada titik optimum dan 5 titik percobaan lainnya menunjukkan bahwa perbedaan antara nilai dugaan dan nilai percobaan yang diperoleh lebih kecil dari 5%. Dengan demikian, model dapat digunakan untuk menduga hasil glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro.
Gambar 4.5 Plot kontur (a) dan plot permukaan (b) pengaruh konsentrasi asam dan lama pemanasan terhadap hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro. Tabel 4.10 Nilai percobaan dan nilai dugaan hasil glukosa pada berbagai kondisi hidrolisis untuk validasi model No.
Taraf Peubah dengan Kode
X1 X2 1 1,41 -0,5 2 -1 -1,25 3 1 0,5 4 -0,5 0,5 5 0,75 1,41 6 -0,5 1,41 x1 : Konsentrasi asam (%) x2: Lama pemanasan (menit)
Taraf Peubah tanpa Kode x1 0,88 0,4 0,8 0,5 0,75 0,5
x2 9 7,5 11 11 12,82 12,82
Hasil Glukosa (% ) Percobaan 87,60 59,56 76,81 79,59 64,70 67,13
Dugaan 84,86 61,74 77,36 76,06 62,00 65,77
% Perbedaan 2,74 -3,53 -0,71 4,64 4,35 2,07
Berdasarkan data validasi pada kondisi optimum hidrolisis, hasil glukosa (87,60 % basis pati atau 77% dari berat bahan kering) dan konsentrasi glukosa (140 g/L) yang diperoleh dari hidrolisis dalam medium asam sulfat menggunakan iradiasi gelombang mikro ini lebih tinggi daripada yang diperoleh melalui
71
hidrolisis menggunakan kombinasi proses hidrotermal dan enzimatis (55% dari berat bahan kering; 105,8-116 g/L) pada konsentrasi substrat yang sama (20%) yang memakan waktu proses yang lebih lama, yaitu 120 jam (Kosugi et al. 2009). Konsentrasi glukosa yang diperoleh juga lebih tinggi daripada yang diperoleh melalui hidrolisis menggunakan asam sulfat 4% dengan pemanasan konvensional (121 °C, 25 menit) pada konsentrasi substrat yang sama (20%) yang menghasilkan konsentrasi gula pereduksi sekitar 90 g/L (Srikanta et al. 1987).
4.4. Simpulan dan Saran Sifat adsorpsi karbon aktif yang digunakan pada hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro mempengaruhi hasil glukosa dan intensitas senyawa berwarna coklat dalam hidrolisat ampas tapioka. Penambahan karbon aktif dengan daya adsorpsi atau luas permukaan yang lebih rendah ke dalam suspensi ampas tapioka hanya sedikit menurunkan hasil glukosa dan tidak menurunkan kadar HMF dalam hidrolisat. Penambahan karbon aktif dengan daya adsorpsi yang lebih tinggi menurunkan hasil glukosa dan intensitas senyawa berwarna coklat, termasuk HMF, di dalam hirolisat ampas tapioka. Hasil studi optimasi hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro menunjukkan bahwa konsentrasi asam, lama pemanasan dan interaksi antara konsentrasi asam dan lama pemanasan berpengaruh nyata terhadap hasil glukosa pada tingkat kepercayaan 95%. Kondisi optimum proses hidrólisis ampas tapioka dalam medium asam sulfat menggunakan iradiasi gelombang mikro adalah dengan konsentrasi asam sulfat 0,88% dan lama pemanasan 9 menit.
Pada kondisi ini dapat diperoleh hasil glukosa 84,89%
dengan konsentrasi glukosa 140 g/L. Hasil optimasi ini membuktikan bahwa model dugaan terhadap hasil glukosa yang diperoleh layak digunakan. Hasil proses optimasi ini juga membuktikan bahwa metode hidrolisis asam menggunakan iradiasi gelombang mikro merupakan salah satu metode hidrolisis yang mempunyai prospek untuk diaplikasikan dan dikembangkan lebih lanjut pada biomassa yang mengandung pati, termasuk ampas tapioka. Namun demikian, perlu diteliti lebih lanjut apakah hidrolisat yang diperoleh dapat difermentasi oleh mikroorganisme, karena glukosa yang diperoleh biasanya hanya merupakan
72
produk antara dan akan diproses lebih lanjut menjadi produk lain, seperti asam laktat, asam glutamat, atau etanol yang pada proses konversinya digunakan mikroorganisme.
BAB V FERMENTASI ETANOL TERHADAP HASIL HIDROLISIS ASAM AMPAS TAPIOKA MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO DAN KARBON AKTIF DENGAN Saccharomyces cerevisiae Ethanol fermentation of microwave-assisted acid hydrolysate of cassava pulp by Saccharomyces cerevisiae in the presence of activated carbon Abstrak Hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro dapat memberikan hasil glukosa dan konsentrasi glukosa yang tinggi dalam waktu kurang dari 10 menit. Penggunaan karbon aktif telah terbukti dapat meningkatkan hasil glukosa pada proses dalam medium air, namun tidak demikian halnya dalam medium asam. Pada penelitian ini dipelajari fermentasi hidrolisat asam ampas tapioka yang berasal dari proses hidrolisis menggunakan pemanasan gelombang mikro, baik tanpa maupun dengan penambahan karbon aktif. Hasil fermentasi juga dibandingkan dengan yang diperoleh dari proses tanpa penambahan karbon aktif, namun dilakukan adsorpsi inhibitor dengan karbon aktif sebelum fermentasi. Hidrolisis dilakukan dalam medium asam sulfat 0,88% dengan konsentrasi substrat 20%, tingkat iradiasi 550 W selama 9 menit. Jumlah karbon aktif (dua jenis) yang ditambahkan baik ke dalam suspensi ampas tapioka maupun ke dalam hidrolisat ampas tapioka adalah 25% dari berat ampas tapioka. Fermentasi hidrolisat menggunakan Saccharomyces cerevisiae LIPI MC 0070 (10% v/v) dilakukan pada gyratory shaker pada suhu kamar dengan kecepatan 150 rpm selama 120 jam. Pengukuran pH, kadar gula total, gula pereduksi, glukosa dan etanol dilakukan setiap 24 jam. Di akhir fermentasi hasil dan konsentrasi etanol yang diperoleh dari proses dengan penambahan karbon aktif pada saat hidrolisis (0,41-0,43 g etanol / g glukosa yang dikonsumsi; 34-35 g/L) lebih rendah daripada yang diperoleh dari proses tanpa penambahan karbon aktif maupun dengan penambahan karbon aktif setelah hidrolisis (0,48 g etanol / g glukosa yang dikonsumsi; 38-39 g/L). Akan tetapi, fermentasi berlangsung jauh lebih cepat pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif yang mempunyai luas permukaan atau daya adsorpsi yang tinggi dibandingkan dengan pada hidrolisat tanpa karbon aktif atau dengan karbon aktif yang memiliki luas permukaan atau daya adsorpsi yang rendah. Oleh karena itu, produktivitas etanol (0,44-0,55 g/L/jam) yang dihasilkan dari perlakuan penambahan karbon aktif dengan luas permukaan atau daya adsorpsi yang tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas etanol dari perlakuan lain (0,28-0,34 g/L/jam). Kata kunci: fermentasi etanol, hidrolisat asam, ampas tapioka, pemanasan gelombang mikro, karbon aktif.
74
Abstract Microwave-assisted acid hydolysis of cassava pulp can produce hydrolysates with high yield and high concentration of glucose in less than 10 minutes. The use of activated carbon has been proved could increase the glucose yield from microwave-assisted hydrolysis of cassava pulp in water medium, but not in acid medium. In this work fermentation of cassava pulp hydrolysates produced from the microwave-assisted acid hydrolysis was performed, either of those added with acitivated carbon, or those without activated carbon. The results of the fermentation were also compared with those resulted from the hydrolysates treated with activated carbon for inhibitors adsorption before the fermentation. The hydrolysis was conducted in 0,88% sulfuric acid at 20% substrate concentration, 550 W microwave power level for 9 minutes. The amount of activated carbon added was 25% of the cassava pulp weight. The fermentation was performed in a gyratory shaker (150 rpm) at room temperature with Saccharomyces cerevisiae LIPI MC 0070 for 120 hours. The samples were taken every 24 hours for analysis of pH, total sugar, reducing sugar, glucose and ethanol. At the end of the fermentation ethanol yield and concentration obtained in the samples treated with activated carbon (0.41-0.43 g ethanol / g glucose consumed; 34-35 g/L) were lower than those without activated carbon or those with activated carbon added after the hydrolysis (0.48 g ethanol / g glucose consumed; 38-39 g/L). However, the fermentation was completed very much faster in the hydrolysates containing the activated carbon which has larger surface area or higher adsorption capacity than in those without activated carbon or with the activated carbon of low surface area or low adsorption capacity. Therefore, the ethanol productivity (0.44-0.55 g/L/h) of the former was higher than the latter (0.28-0.34 g/L/h). Keywords: ethanol fermentation, acid hydrolysates, cassava pulp, microwave heating, activated carbon. 5.1. Pendahuluan Proses hidrolisis asam ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro dapat menghasilkan hidrolisat dengan perolehan dan konsentrasi glukosa, masing-masing 87% (basis pati) atau 77% (basis berat bahan kering) dan 140 g/L. Salah satu kelemahan proses hidrolisis asam, baik pada bahan berpati maupun bahan berlignoselulosa, adalah terbentuknya senyawa inhibitor proses fermentasi, seperti senyawa furfural dan hidroksi metil furfural (HMF) yang merupakan hasil degradasi sekunder senyawa karbohidrat dalam bahan (Larsson et al. 1999; Palmqvist dan Hahn-Hagerdal 2000).
Kedua senyawa tersebut menghambat
pertumbuhan sel khamir S. cerevisiae, sehingga memperlambat terbentuknya etanol (Boyer et al. 1992a, 1992b). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan karbon aktif pada proses hidrolisis ampas tapioka dalam
75
medium air menggunakan pemanasan gelombang mikro dapat meningkatkan hasil glukosa dari ampas tapioka, sedangkan jika karbon aktif tersebut ditambahkan pada proses hidrolisis dalam medium asam, maka hasil yang diperoleh malah lebih rendah dibandingkan jika tidak diberi karbon aktif.
Namun demikian,
karbon aktif telah banyak digunakan untuk proses detoksifikasi hidrolisat asam yang akan difermentasi menjadi etanol karena karbon aktif dapat mengadsorpsi beberapa senyawa inhibitor seperti furfural dan HMF, sehingga proses fermentasi dapat berlangsung lebih cepat (Mussatto dan Roberto 2004; Ge et al. 2011). Selain itu, keberadaan karbon aktif dalam proses fermentasi ternyata juga dapat mempercepat proses fermentasi larutan glukosa yang diduga disebabkan terjadinya adsorpsi etanol di permukaan karbon aktif dan terhambatnya pelarutan karbon dioksida dalam medium fermentasi (Ikegamai et al. 2000).
Seperti
diketahui, dalam suatu sistem reaksi, kecepatan reaksi akan bertambah jika produk segera diubah menjadi produk lain atau dipindahkan dari sistem tersebut. Dengan teradsorpsinya sebagian etanol di permukaan karbon aktif, maka konsumsi glukosa pada proses fermentasi berlangsung lebih cepat. Menurut Jones et al. (1982), fermentasi oleh khamir terhambat oleh adanya karbon dioksida dalam medium fermentasi, sehingga dengan terhambatnya pelarutan karbon dioksida dalam medium fermentasi, maka proses fermentasi akan berlangsung lebih cepat. Sejauh ini belum diperoleh laporan yang berkaitan dengan penggunaan karbon aktif pada proses hidrolisis asam menggunakan pemanasan gelombang mikro dan pengaruhnya terhadap proses fermentasi hidrolisat yang dihasilkan. Disamping itu, belum diketahui pula bagaimana pengaruh sifat adsorpsi karbon aktif terhadap hasil fermentasi hidrolisat yang dihasilkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dipelajari pengaruh penambahan dua jenis karbon aktif yang mempunyai sifat adsorpsi yang sangat berbeda pada proses dimaksud terhadap hasil fermentasi hidrolisat ampas tapioka. Untuk mempelajari peran karbon aktif yang ditambahkan ke dalam suspensi ampas tapioka sebelum hidrolisis dan ke dalam hidrolisat sebelum fermentasi, maka pada kedua proses ditambahkan jenis dan jumlah karbon aktif yang sama, kemudian hasil proses fermentasi hidrolisat tersebut dibandingkan satu sama lain.
76
5.2. Bahan dan Metode 5.2.1. Bahan Ampas tapioka dan dua jenis karbon aktif (KA1 dan KA2) yang digunakan pada penelitian ini sama dengan yang digunakan pada penelitian sebelumnya (Bab IV). Asam sulfat dan reagen lain yang digunakan mempunyai kualitas untuk analisis. Biakan Saccharomyces cerevisiae LIPI MC 0070 diperoleh dari Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Cibinong, Bogor.
5.2.2. Hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro Suspensi bahan dalam asam sulfat 0,88% (4g/20 mL atau 20% b/v) disiapkan di dalam tabung Teflon® berkapasitas 100 mL dan diaduk menggunakan pengaduk magnetik agar diperoleh suspensi yang homogen. Karbon aktif (0,4-2 g atau 10-50% b/b) ditambahkan ke dalam contoh dengan perlakuan penambahan karbon aktif.
Tabung Teflon® dan isinya diletakkan pada dudukannya yang
berbentuk silinder dengan kapasitas 6 tabung. Campuran kemudian dihidrolisis di dalam oven gelombang mikro SHARP R-360J(S) yang mempunyai frekuensi 2.450 MHz, daya output 1.100 W. Iradiasi dilakukan pada tingkat daya 50% atau setara dengan 550 W selama 9 menit.
Setelah iradiasi gelombang mikro,
campuran dalam tabung segera didinginkan dengan merendamnya dalam bak berisi es.
5.2.3. Analisis fraksi terlarut hidrolisat ampas tapioka Kadar padatan terlarut dalam fraksi terlarut hidrolisat ampas tapioka ditentukan menggunakan ATAGO Hand Refractometer N-20. Kadar glukosa, pH, absorbansi pada 490 nm dan kadar hidroksi metil furfural (HMF) ditentukan seperti pada Bab II, Bab III dan Bab IV, dengan metode seperti pada Lampiran 3.
5.2.4. Persiapan hidrolisat ampas tapioka untuk fermentasi Hidrolisat yang disiapkan terdiri dari hidrolisat yang diperoleh tanpa penambahan karbon aktif dan dengan penambahan karbon aktif (1 g atau 25% dari berat ampas tapioka) pada proses hidrolisis. Hidrolisat dinetralkan dengan larutan ammonium hidroksida (NH4OH) 5% sampai pH mencapai 5,0-5,5. Hidrolisat
77
yang sudah dinetralkan dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi 50 mL. Menjelang fermentasi sebagian hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif yang telah dinetralkan diberi perlakuan karbon aktif dengan jenis dan jumlah yang sama dengan yang ditambahkan pada proses hidrolisis, yang bertujuan untuk mengadsorpsi senyawa-senyawa inhibitor fermentasi. Proses adsorpsi inhibitor dilakukan di dalam waterbath shaker pada suhu 50 °C selama 30 menit. Dengan demikian, ada lima hidrolisat yang disiapkan untuk fermentasi, yaitu hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif (H0), hidrolisat dengan penambahan karbon aktif 1 dan karbon aktif 2 pada saat hidrolisis (H1A dan H2A), serta hidrolisat dengan penambahan karbon aktif 1 dan karbon aktif 2 setelah hidrolisis (H1B dan H2B). Diagram alir proses persiapan hidrolisat ampas tapioka disajikan pada Gambar 5.1.
Ampas Tapioka
Hidrolisis Asam
Karbon Aktif (KA1, KA2)
H0
Adsorpsi Inhibitor
Hidrolisis Asam dan Adsorpsi Inhibitor
H1A, H2A H1B, H2B
Fermentasi
Fermentasi
Fermentasi
Etanol
Etanol
Etanol
Gambar 5.1 Diagram alir proses persiapan hidrolisat ampas tapioka sampai fermentasi. Volume hidrolisat ditepatkan sampai 25 mL dengan air suling, lalu ditambahkan lagi 2 mL air suling. Sebagai referensi disiapkan larutan glukosa di dalam tabung sentrifugasi 50 mL dengan konsentrasi yang hampir sama dengan konsentrasi glukosa di dalam hidrolisat ampas tapioka.
Sebagian larutan glukosa diberi
78
karbon aktif (1 g) seperti pada hidrolisat ampas tapioka yang penambahannya dilakukan sebelum fermentasi. Selain itu, disiapkan pula larutan blanko substrat yang berisi air suling sebagai pengganti hidrolisat ampas tapioka atau glukosa.
5.2.5. Persiapan inokulum S.cerevisiae Biakan S. cerevisiae diinokulasikan pada medium agar miring PDA (Potato Dextrose Agar), kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 5-7 hari. Sebanyak 5 mL medium YPG (pH 5) dengan komposisi yeast extract 10 g/L, pepton 20 g/L dan glukosa 50 g/L yang telah disterilisasi dimasukkan ke dalam medium agar miring yang telah ditumbuhi S. cerevisiae. Setelah itu, S. cerevisiae dirontokkan dan diinokulasikan ke dalam 25 mL medium YPG, kemudian diinkubasi di dalam waterbath shaker pada suhu 30 °C selama 24 jam. Densitas optikal (OD) inokulum yang diperoleh diukur pada panjang gelombang 600 nm, sedangkan penghitungan jumlah sel (direct microscopic count) dilakukan menggunakan haemocytometer. Pada penelitian ini diperoleh nilai OD 0,548 dan jumlah sel 1,3 x 108. Inokulum yang diperoleh siap untuk diinokulasikan ke dalam medium fermentasi, yaitu hidrolisat ampas tapioka dan larutan glukosa.
5.2.6. Fermentasi hidrolisat ampas tapioka dengan S. cerevisiae Semua hidrolisat dan larutan glukosa yang telah disiapkan disterilisasi pada suhu 121 °C selama 15 menit, lalu didinginkan. Setelah itu, ke dalamnya ditambahkan 3 mL inokulum S. cerevisiae, sehingga total volume hidrolisat, larutan glukosa maupun blanko substrat adalah 30 mL. Fermentasi dilakukan pada gyratory shaker dengan kecepatan 150 rpm dan suhu ruang. Pengambilan contoh dilakukan setelah fermentasi berlangsung selama 24, 48, 72, 96 dan 120 jam.
Hidrolisat H1A dan H1B diamati sampai jam ke 96 karena dari hasil
penelitian pendahuluan glukosa di dalam kedua hidrolisat ini sudah habis setelah inkubasi selama 72 jam. Hasil fermentasi disentrifugasi pada kecepatan 8.000 rpm, 5 °C selama 20 menit, lalu supernatan yang diperoleh dipisahkan dari residunya. Selanjutnya, terhadap supernatan yang diperoleh dari hasil fermentasi dilakukan pengukuran pH menggunakan pH meter dan kadar total padatan terlarut menggunakan ATAGO Hand Refractometer N-20, serta penentuan kadar glukosa
79
menggunakan Glucose CII test kit (Wako Junyaku, Co., Osaka), gula total (metode fenol asam sulfat) dan gula pereduksi (metode Somogyi-Nelson). Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 3.
Kadar etanol di dalam
supernatan dianalisis menggunakan gas kromatografi (Shimadzu 14B) dengan kolom Carbowax 20M dan detektor FID (Flame Ionization Detector).
Suhu
kolom 80 °C (isotermal) dan tekanan udara, hidrogen dan nitrogen masing-masing 50, 70 dan 150 kPa. Sebagai larutan standar eksternal digunakan etanol. Kadar etanol dinyatakan dalam % (v/v). Selanjutnya, dihitung produksi etanol (g/L), produktivitas etanol (g/L/jam), dan hasil etanol (g etanol / g glukosa awal; g etanol / g glukosa yang dikonsumsi; % berdasarkan bahan kering ampas tapioka). Perhitungan untuk memperoleh nilai-nilai tersebut disajikan pada Lampiran 4. 5.3. Hasil dan Pembahasan 5.3.1. Pengaruh jumlah karbon aktif pada proses hidrolisis terhadap hasil glukosa dan kadar HMF hidrolisat ampas tapioka Dari penelitian sebelumnya (Bab III dan Bab IV) telah diketahui bahwa penambahan karbon aktif pada proses hidrolisis asam menggunakan iradiasi gelombang mikro di satu sisi menguntungkan dengan terhambatnya pembentukan senyawa berwarna coklat yang biasanya bersifat inhibitor pada proses fermentasi, namun di sisi lain kurang menguntungkan karena hasil glukosa yang diperoleh menjadi berkurang.
Oleh karena itu, pada percobaan ini dilakukan variasi
penambahan karbon aktif yang berkisar 10-50% dari berat ampas tapioka agar dapat diestimasi jumlah atau persentase karbon aktif yang ditambahkan untuk menghasilkan hidrolisat dengan kadar HMF yang cukup rendah (< 20 mg/100 g) dan hasil glukosa yang masih cukup tinggi, sekitar 80% (basis pati). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan karbon aktif, baik KA1 maupun KA2, sebesar 10% sudah terjadi penurunan kadar HMF yang tinggi, yaitu dari sekitar 70% menjadi sekitar 35%, atau turun sekitar 50% (Gambar 5.2). Dengan penambahan karbon aktif 10 dan 15% kadar HMF pada hidrolisat dengan KA1 sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pada hidrolisat dengan KA2. Namun, pada penambahan karbon aktif 20, 25 dan 50%, kadar HMF pada hidrolisat dengan KA1 jauh lebih rendah dibandingkan pada hidrolisat dengan
80
KA2 (Gambar 5.2). Hal ini diduga berkaitan dengan sifat adsorpsi karbon aktif, yaitu daya adsorpsi KA1 lebih tinggi daripada KA2 (Tabel 4.1). 90 80
100
70 60
80
50 40
60 40
30 20
20
HMF (mg / 100 g)
Hasil glukosa (%)
120
10 0
0 0
10
15
20
25
50
Karbon aktif (%) Rendemen KA1
Rendemen KA2
HMF KA1
HMF KA2
Gambar 5.2 Pengaruh jumlah karbon aktif (KA) terhadap hasil glukosa dan kadar HMF hidrolisat ampas tapioka. Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=2). Penambahan karbon aktif juga mengakibatkan hasil glukosa mengalami sedikit penurunan, yaitu dari sekitar 87% menjadi 79% atau turun sekitar 10-15% pada semua tingkat penambahan karbon aktif (Gambar 5.2). Hal ini disebabkan terjadinya adsorpsi maltooligomer di permukaan karbon aktif sehingga maltooligomer tersebut tidak terdegradasi lebih lanjut menjadi glukosa (Moon et al. 1997, Yoo et al. 2005, Matsumoto et al. 2008, 2011). Fenomena adsorpsi maltooligomer pada karbon aktif telah dijelaskan pada Bab III dan IV. Disamping itu, sebagian glukosa yang terbentuk dapat pula teradsorpsi pada permukaan karbon aktif seperti yang terlihat pada hasil percobaan menggunakan larutan glukosa (Gambar 5.4 dan 5.5).
5.3.2. Pengaruh karbon aktif terhadap proses fermentasi 5.3.2.1. Nilai pH hidrolisat ampas tapioka Nilai pH pada hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif (H0) mengalami penurunan secara nyata setelah 72 jam fermentasi, sedangkan pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif 1 (H1A dan H1B) penurunan nilai pH yang nyata sudah terlihat setelah 48 jam fermentasi dan pada hidrolisat dengan
81
penambahan karbon aktif 2 (H2A dan H2B) penurunan nilai pH sudah terlihat setelah fermentasi 24 jam (Gambar 5.3). Hal ini dapat dijadikan indikasi awal bahwa aktivitas S. cerevisiae dalam melakukan konversi glukosa menjadi etanol pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif lebih cepat dibandingkan pada hidrolisat tanpa karbon aktif. Seperti diketahui, pada proses konversi glukosa menjadi etanol mula-mula terjadi proses glikolisis, yaitu pemecahan glukosa menjadi asam piruvat. Selanjutnya, asam piruvat dioksidasi menjadi asetaldehida dan pada proses ini dihasilkan CO2. Setelah itu, asetaldehida dioksidasi menjadi etanol. Asam piruvat yang terbentuk serta CO2 yang terlarut di dalam hidrolisat mengakibatkan terjadinya penurunan pH selama fermentasi. 7 6
pH
5 4 3 2 1 0 H0 0 jam
H1A 24 jam
H1B
H2A 48 jam
H2B 72 jam
G0 96 jam
G1
G2 120 jam
Gambar 5.3 Perubahan pH hidrolisat selama fermentasi. H0 = hidrolisat tanpa KA; H1A dan H1B = hidrolisat dengan KA1, masing-masing ditambahkan saat dan sesudah hidrolisis; H2A dan H2B = hidrolisat dengan KA2, masing-masing ditambahkan saat dan sesudah hidrolisis; G0, G1 dan G2 = larutan glukosa tanpa KA, dengan KA1 dan KA2. Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3), kecuali pada G0, G1 dan G2 merupakan nilai 1 ulangan. Penurunan pH juga terjadi pada larutan kontrol glukosa, baik tanpa maupun dengan penambahan karbon aktif. Nilai pH awal yang lebih tinggi pada larutan glukosa dengan penambahan karbon aktif kemungkinan disebabkan oleh teradsorpsinya sebagian larutan ammonium sulfat yang ditambahkan ke dalam larutan sebagai sumber tambahan nitrogen bagi pertumbuhan S. cerevisiae. Namun demikian, selama fermentasi berlangsung diduga ammonium sulfat yang teradsorpsi tersebut tetap dapat dimanfaatkan oleh khamir, sehingga pH larutan
82
glukosa relatif sama sampai fermentasi berlangsung selama 48 jam. Setelah itu, pH larutan dengan penambahan karbon aktif menurun secara bertahap sampai fermentasi selama 120 jam.
5.3.2.2. Kadar gula hidrolisat ampas tapioka Pada proses netralisasi hidrolisat dilakukan penambahan NH4OH 5% yang mengakibatkan terjadinya pengenceran terhadap hidrolisat. Misalnya, konsentrasi glukosa pada hidrolisat awal tanpa perlakuan karbon aktif adalah sekitar 140 g/L, sedangkan setelah melalui proses netralisasi dan penyeragaman volume untuk proses fermentasi, konsentrasi glukosa pada hidrolisat menjadi sekitar 85 g/L. Hal ini dapat mengakibatkan konsentrasi etanol yang lebih rendah di dalam broth
o
Total padatan terlarut ( Brix)
hasil fermentasi. 12 10 8 6 4 2 0 H0 0 jam
H1A 24 jam
H1B
H2A 48 jam
H2B 72 jam
G0 96 jam
G1
G2 120 jam
Gambar 5.4 Perubahan kadar total padatan terlarut dalam hidrolisat selama fermentasi. H0 = hidrolisat tanpa KA; H1A dan H1B = hidrolisat dengan KA1, masing-masing ditambahkan saat dan sesudah hidrolisis; H2A dan H2B = hidrolisat dengan KA2, masing-masing ditambahkan saat dan sesudah hidrolisis; G0, G1 dan G2 = larutan glukosa tanpa KA, dengan KA1 dan KA2. Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3), kecuali pada G0, G1 dan G2 merupakan nilai 1 ulangan. Hasil analisis kadar gula selama fermentasi hidrolisat ampas tapioka yang ditunjukkan dengan kadar total padatan terlarut (Gambar 5.4), kadar gula total dan gula pereduksi (Tabel 5.1) serta kadar glukosa (Gambar 5.5) memperkuat hasil pengukuran pH yang mengindikasikan adanya perbedaan aktivitas S. cerevisiae dalam melakukan konversi glukosa menjadi etanol pada lima macam hidrolisat
83
yang diteliti. Kadar total padatan terlarut, gula total, gula pereduksi maupun glukosa menunjukkan bahwa proses fermentasi berlangsung lebih cepat pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif, khususnya karbon aktif 1 (H1A dan H1B). Pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif 1 glukosa yang ada hampir seluruhnya sudah dikonsumsi oleh khamir saat fermentasi berlangsung selama 72 jam, sedangkan pada hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif baru dikonsumsi habis saat fermentasi berlangsung selama 120 jam. Pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif 2 (H2A dan H2B) di awal fermentasi sampai dengan 48 jam penurunan kadar total padatan terlarut, gula total, gula pereduksi maupun glukosa hampir sama dengan pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif 1 (H1A dan H1B), namun setelah itu proses konsumsi gula berjalan lambat dan menjadi sama dengan pada hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif (H0). Tabel 5.1 Perubahan kadar gula total, gula pereduksi dan derajat polimerisasi gula dalam hidrolisat ampas tapioka selama fermentasi dengan S. cerevisiae Gula dalam Hidrolisat 0 Gula Total (g/100 mL)a H0 10,01 ± 0,36 H1A 9,20 ± 0,27 H1B 9,44 ± 0,11 H2A 8,92 ± 0,24 H2B 10,20 ± 1,16
9,33 ± 0,34 8,42 ± 0,89 7,97 ± 0,49 7,92 ± 0,50 9,58 ± 0,32
9,49 ± 1,23 6,48 ± 0,92 6,23 ± 0,81 7,25 ± 0,27 7,50 ± 0,25
Gula Pereduksi (g/100 mL)a H0 8,68 ± 0,54 H1A 8,48 ± 0,38 H1B 8,82 ± 0,45 H2A 7,86 ± 0,24 H2B 8,06 ± 0,29
9,27 ± 0,64 8,04 ± 0,45 7,97 ± 0,36 7,24 ± 0,21 7,74 ± 0,27
1,01 1,05 1,00 1,09 1,24
Estimasi Derajat Polimerisasi Gula H0 1,15 H1A 1,09 H1B 1,07 H2A 1,13 H2B 1,26
24
Inkubasi (jam) 48 72
96
120
4,61 ± 0,46 1,44 ± 0,32 1,53 ± 0,09 5,33 ± 1,14 5,45 ± 1,04
2,11 ± 0,70 1,54 ± 0,16 1,70 ± 0,12 3,89 ± 0,25 3,86 ± 0,42
1,86 ± 0,28
7,98 ± 0,36 5,66 ± 1,11 5,85 ± 0,75 6,16 ± 0,33 6,03 ± 0,30
5,26 ± 1,60 0,93 ± 0,10 0,88 ± 0,05 4,16 ± 1,18 4,12 ± 0,89
2,64 ± 1,32 0,78 ± 0,06 0,84 ± 0,02 2,79 ± 0,19 2,54 ± 0,52
1,19 1,16 1,06 1,18 1,25
0,94 1,54 1,74 1,30 1,33
0,96 1,98 2,03 1,40 1,54
2,36 ± 0,67 2,15 ± 0,27
0,89 ± 0,14
1,23 ± 0,60 0,95 ± 0,10
a Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3) H0 = Hidrolisat tanpa KA H1A dan H1B = Hidrolisat dengan KA1, masing-masing ditambahkan saat dan sesudah hidrolisis H2A dan H2B = Hidrolisat dengan KA2, masing-masing ditambahkan saat dan sesudah hidrolisis
2,12
2,03 2,27
84
Estimasi derajat polimerisasi (DP) gula dalam hidrolisat ampas tapioka berdasarkan kadar gula total dan gula pereduksi (Tabel 5.1) menunjukkan bahwa pada awal fermentasi hidrolisat didominasi oleh glukosa (DP mendekati 1), dan pada akhir fermentasi DP menjadi sekitar 2. Hal ini mengindikasikan bahwa S. cerevisiae hanya mengkonversi glukosa, dan di dalam hidrolisat diduga masih terdapat maltosa yang tidak terkonversi oleh khamir tersebut. Konsentrasi glukosa (g/L)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 H0
H1A
H1B
H2A
H2B
G0
G1
G2
Hidrolisat ampas tapioka dan larutan glukosa 0 jam
24 jam
48 jam
72 jam
96 jam
120 jam
Gambar 5.5 Perubahan kadar glukosa dalam hidrolisat selama fermentasi. H0 = hidrolisat tanpa KA; H1A dan H1B = hidrolisat dengan KA1, masing-masing ditambahkan saat dan sesudah hidrolisis; H2A dan H2B = hidrolisat dengan KA2, masing-masing ditambahkan saat dan sesudah hidrolisis; G0, G1 dan G2 = larutan glukosa tanpa KA, dengan KA1 dan KA2. Nilai pada titik-titik data merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3), kecuali pada G0, G1 dan G2 merupakan nilai 1 ulangan. Konsumsi glukosa pada larutan glukosa oleh khamir selama fermentasi ternyata tidak secepat yang terjadi pada hidrolisat ampas tapioka (Gambar 5.5). Hal ini tidak sesuai dengan dugaan semula yang memperkirakan proses konversi glukosa menjadi etanol akan berlangsung lebih mudah pada larutan glukosa karena di dalam larutan tersebut tidak terdapat senyawa inhibitor fermentasi. Anomali ini diduga karena di dalam hidrolisat ampas tapioka, selain ammonium sulfat yang dihasilkan pada proses netralisasi, tersedia nutrien lain, misalnya protein yang terlarut atau terurai menjadi asam amino dan beberapa mineral yang menyokong pertumbuhan khamir, sedangkan di dalam larutan glukosa nutrien tambahannya hanya ammonium sulfat. Protein dalam ampas tapioka yang terlarut
85
atau terurai di dalam hidrolisat menjadi sumber nitrogen organik ekstra bagi mikroorganisme (Thongchul et al. 2010). Dari hasil percobaan menggunakan larutan glukosa ini juga ditunjukkan bahwa sebagian glukosa teradsorpsi pada karbon aktif, yang terlihat dari kadar total padatan terlarut dan kadar glukosa yang lebih rendah pada larutan awal glukosa yang diberi karbon aktif (G1 dan G2) dibandingkan dengan yang tidak diberi karbon aktif (G0) (Gambar 5.4 dan 5.5).
5.3.2.3. Produksi etanol dari hidrolisat ampas tapioka Sesuai dengan proses konsumsi gula, produksi etanol pada hidrolisat ampas tapioka dengan penambahan karbon aktif 1 (H1A dan H1B) lebih cepat dibandingkan dengan pada hidrolisat tanpa karbon aktif (H0) (Tabel 5.2). Produksi etanol pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif 1 mulai terdeteksi saat fermentasi 48 jam dan mencapai maksimum setelah fermentasi selama 72 jam, sedangkan pada hidrolisat tanpa karbon aktif etanol baru terdeteksi saat fermentasi 72 jam dan mencapai maksimum setelah fermentasi selama 120 jam. Agak berbeda halnya dengan pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif 2 (H2A dan H2B) yang menunjukkan bahwa etanol sudah mulai terdeteksi saat fermentasi berlangsung 24 jam, namun produksinya lambat dan kadar etanol maksimum baru tercapai setelah fermentasi selama 120 jam. Fenomena lain yang menarik untuk diamati adalah kadar etanol maksimum yang diperoleh dari hidrolisat ampas tapioka dengan penambahan KA1 atau KA2 pada proses hidrolisis (H1A dan H2A) lebih rendah dibandingkan dengan yang diperoleh dari hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif (H0) maupun dengan penambahan karbon aktif saat adsorpsi inhibitor (H1B dan H2B). Pada hidrolisat H1B dan H2B sebagian glukosa yang teradsorpsi di permukaan karbon aktif kemungkinan masih dapat difermentasi oleh khamir, sehingga etanol yang dihasilkan pun menjadi hampir sama dengan etanol yang dihasilkan dari hidrolisat tanpa penambahan karbon aktif. Di sisi lain, pada hidrolisat H1A dan H2A sebagian maltooligomer yang teradsorpsi di permukaan karbon aktif tidak terkonversi menjadi glukosa, sehingga glukosa yang tersedia untuk proses fermentasi menjadi lebih rendah daripada dalam H0.
Maltooligomer yang
86
teradsorpsi di permukaan karbon aktif tidak dapat terkonversi menjadi etanol oleh khamir, sehingga perolehan etanol dari H1A dan H2A menjadi lebih rendah. Tabel 5.2 Produksi etanol dari hidrolisat ampas tapioka selama fermentasi dengan S. cerevisiae Produksi Etanol 24 Produksi etanol (% v/v) H0 tt H1A tt H1B tt H2A 0,62 ± 0,11 H2B 0,78 ± 0,15 G0 0,45 G1 0,26 G2 0,46
tt 1,28 ± 0,44 1,66 ± 0,09 1,42 ± 0,22 1,45 ± 0,14 0,74 0,83 0,83
Produksi etanol (g/L) H0 tt H1A tt H1B tt H2A 4,92 ± 0,87 H2B 6,18 ± 1,21 G0 3,55 G1 2,05 G2 3,63
48
Inkubasi (jam) 72
96
120
1,81 ± 0,23 4,06 ± 0,41 5,02 ± 0,13 2,41 ± 0,52 2,70 ± 0,51 1,20 0,86 1,20
4,19 ± 0,67 4,49 ± 0,13 4,95 ± 0,03 3,27 ± 0,24 3,63 ± 0,41 1,35 1,28 1,99
4,84 ± 0,40
tt 10,10 ± 3,47 13,06 ± 0,73 11,23 ± 1,76 11,41 ± 1,13 5,84 6,55 6,55
14,31 ± 1,80 32,01 ± 3,25 39,58 ± 1,00 19,01 ± 4,07 21,30 ± 4,03 9,47 6,79 9,47
33,09 ± 5,26 35,40 ± 1,02 39,06 ± 0,27 25,77 ± 1,91 28,61 ± 3,25 10,65 10,10 15,70
Produktivitas etanol (g/L/jam) H0 tt tt H1A tt 0,21 ± 0,07 H1B tt 0,27 ± 0,02 H2A 0,20 ± 0,04 0,23 ± 0,04 H2B 0,26 ± 0,05 0,24 ± 0,02 G0 0,15 0,02 G1 0,09 0,03 G2 0,15 0,03
0,20 ± 0,03 0,44 ± 0,05 0,55 ± 0,01 0,26 ± 0,06 0,30 ± 0,06 0,13 0,09 0,13
0,34 ± 0,05 0,37 ± 0,01 0,41 ± 0,00 0,27 ± 0,02 0,30 ± 0,03 0,11 0,11 0,16
4,28 ± 0,34 4,99 ± 0,05 2,07 2,44 2,32
38,21 ± 3,19
33,80 ± 2,72 39,40 ± 0,40 16,33 19,25 18,30
0,32 ± 0,03
0,28 ± 0,02 0,33 ± 0,00 0,14 0,16 0,15
Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3), kecuali pada G0, G1 dan G2 merupakan nilai 1 ulangan tt = tidak terdeteksi H0 = Hidrolisat tanpa KA H1A dan H1B = Hidrolisat dengan KA1, masing-masing ditambahkan saat dan sesudah hidrolisis H2A dan H2B = Hidrolisat dengan KA2, masing-masing ditambahkan saat dan sesudah hidrolisis G0, G1 dan G2 = Larutan glukosa tanpa KA, dengan KA1 dan KA2
Terjadinya fermentasi terhadap glukosa yang teradsorpsi pada permukaan karbon aktif juga dilaporkan oleh Ikegamai et al. (2000). Namun demikian, dugaan fenomena ini perlu dikaji lebih mendalam dengan memperhatikan aspek-
87
aspek lain yang terjadi pada sistem fermentasi heterogen ini, antara lain kecepatan difusi komponen dalam hidrolisat pada karbon aktif. Jika kecepatan difusi jauh lebih kecil dibandingkan dengan kecepatan fermentasi, maka dugaan di atas dapat diterima.
Tabel 5.3 Hasil etanol yang diperoleh dari proses fermentasi hidrolisat ampas tapioka dengan S. cerevisiae Hasil Etanol 24 48 Hasil etanol (g etanol / g glukosa awal) H0 0 0 H1A 0 0,14 ± 0,05 H1B 0 0,11 ± 0,01 H2A 0,07 ± 0,01 0,16 ± 0,03 H2B 0,08 ± 0,01 0,14 ± 0,01 G0 0,04 0,07 G1 0,03 0,08 G2 0,05 0,08
Inkubasi (jam) 72
96
120
0,17 ± 0,02 0,43 ± 0,04 0,48 ± 0,01 0,28 ± 0,06 0,26 ± 0,05 0,12 0,08 0,12
0,40 ± 0,06 0,47 ± 0,01 0,47 ± 0,00 0,38 ± 0,03 0,35 ± 0,04 0,13 0,13 0,20
0,46 ± 0,04
Hasil etanol (g etanol / g glukosa yang dikonsumsi) H0 0 0 0,34 ± 0,09 H1A 0 0,25 ± 0,06 0,39 ± 0,04 H1B 0 0,35 ± 0,02 0,48 ± 0,01 H2A 0,23 ± 0,07 0,31 ± 0,03 0,33 ± 0,08 H2B 0,43 ± 0,09 0,33 ± 0,03 0,46 ± 0,09 G0 0,18 0,32 0,48 G1 0,06 0,24 0,15 G2 0,11 0,23 0,22
0,48 ± 0,12 0,43 ± 0,01 0,48 ± 0,00 0,40 ± 0,05 0,43 ± 0,01 0,36 0,19 0,33
Hasil etanol (%) berdasarkan berat ampas tapioka kering H0 0 0 11,55 ± 1,46 H1A 0 8,16 ± 2,80 25,85 ± 2,62 H1B 0 10,54 ± 0,59 31,96 ± 0,81 H2A 3,97 ± 0,70 9,07 ± 1,43 15,35 ± 3,29 H2B 4,99 ± 0,98 9,22 ± 0,91 17,20 ± 3,26
26,72 ± 4,24 28,59 ± 0,82 31,54 ± 0,22 20,81 ± 1,54 23,11 ± 2,62
0,50 ± 0,04 0,48 ± 0,00 0,20 0,24 0,23
0,47 ± 0,04
0,41 ± 0,03 0,48 ± 0,00 0,46 0,33 0,36
30,86 ± 2,57
27,29 ± 2,20 31,81 ± 0,33
Angka yang disajikan merupakan nilai rata-rata ± SB / Simpangan Baku (n=3), kecuali pada G0, G1 dan G2 merupakan nilai 1 ulangan H0 = Hidrolisat tanpa KA H1A dan H1B = Hidrolisat dengan KA1, masing-masing ditambahkan saat dan sesudah hidrolisis H2A dan H2B = Hidrolisat dengan KA2, masing-masing ditambahkan saat dan sesudah hidrolisis G0, G1 dan G2 = Larutan glukosa tanpa KA, dengan KA1 dan KA2
Jika dilihat produktivitas etanolnya, H1A dapat mencapai produktivitas etanol yang tinggi (0,44 g/L/jam), jauh lebih tinggi dari produktivitas H0 (0,34 g/L/jam) walaupun di bawah produktivitas H1B (0,55 g/L/jam). Produktivitas
88
etanol hidrolisat dengan penambahan KA2, baik yang penambahannya dilakukan pada saat ataupun sesudah hidrolisis ternyata hampir sama dengan pada hidrolisat tanpa karbon aktif (H0). Hal ini diduga karena daya adsorpsi KA2 yang lebih rendah terhadap senyawa inhibitor seperti HMF, sehingga kadar senyawa inhibitor, termasuk kadar HMF, awal pada H2A ataupun H2B kemungkinan masih menyebabkan terhambatnya aktivitas S. cerevisiae. Hasil etanol tertinggi yang diperoleh pada penelitian ini adalah 31-32% dari berat ampas tapioka kering, yaitu pada hidrolisat H0, H1B dan H2B. Hasil etanol yang diperoleh dari hidrolisat H1A dan H2A hanya mencapai 27-29% dari berat ampas tapioka kering. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa pada H0 dan H2B hasil setinggi itu diperoleh dengan proses fermentasi selama 120 jam, sedangkan pada H1B diperoleh dengan fermentasi selama 72 jam. Hampir sama halnya dengan pada H0 dan H2B, hasil etanol tertinggi H2A diperoleh setelah fermentasi selama 120 jam, sedangkan pada H1A setelah fermentasi selama 96 jam.
Dengan
demikian, penambahan KA1 ke dalam hidrolisat ampas tapioka untuk proses adsorpsi inhibitor sebelum fermentasi lebih efektif untuk meningkatkan produktivitas dan hasil etanol dibandingkan dengan penambahan bahan tersebut pada proses hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro, karena maltooligomer yang teradsorpsi pada permukaan karbon aktif tidak dapat terhidrolisis menjadi glukosa. Penambahan KA2 tidak berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas maupun hasil etanol, karena produksi atau hasil maksimum baru diperoleh setelah fermentasi selama 120 jam, sama dengan yang diperoleh dari hidrolisat tanpa karbon aktif (H0). Jadi, keberadaan karbon aktif dalam substrat fermentasi tidak selamanya berpengaruh positif terhadap produktivitas maupun hasil etanol. Jika substrat fermentasi merupakan larutan glukosa, maka keberadaan karbon aktif, baik karbon aktif dengan daya adsorpsi yang tinggi (KA1), maupun yang rendah (KA2), memang dapat meningkatkan produksi dan produktivitas etanol (Tabel 5.2). Hal ini senada dengan hasil penelitian Ikegamai et al. (2000). Akan tetapi, jika substrat fermentasi berupa hidrolisat yang bersifat lebih kompleks, ternyata hanya karbon aktif dengan daya adsorpsi yang tinggi (KA1) yang memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas etanol.
89
Tercapainya produksi etanol maksimum pada penelitian ini (39,58 g/L dalam waktu 72 jam) lebih lambat dibandingkan dengan produksi etanol pada hidrolisat dari proses enzimatis dengan produksi etanol maksimum (3,62% b/v) tercapai hanya dalam waktu 24 jam (Srinorakutara et al. 2006) atau 30,31-34,68 g/L dalam waktu 30 jam (Thongchul et al. 2010), namun sebanding dengan hasil penelitian Kosugi et al. (2009) yang menggunakan kombinasi proses hidrotermal dan enzimatis, dengan produksi etanol maksimum (32,9 g/L) yang dicapai setelah 120 jam.
Hasil hidrolisis enzimatis tidak mengandung senyawa inhibitor
fermentasi, sehingga proses fermentasi dapat berjalan dengan lebih cepat. Proses fermentasi yang berjalan lebih lambat pada penelitian ini diduga karena masih terdapatnya senyawa-senyawa inhibitor fermentasi, seperti asam asetat, furfural, dan HMF, di dalam hidrolisat asam ampas tapioka. Menurut Harmsen et al. (2010), asam asetat yang berasal dari gugus asetil hemiselulosa pada pH rendah di dalam medium fermentasi berada dalam bentuk tidak terdisosiasi, larut dalam lemak dan terdifusi ke dalam sel mikroorganisme. Di dalam sel asam asetat terdisosiasi yang mengakibatkan menurunnya pH sel sehingga menghambat aktivitas sel. Furfural dan HMF dapat menghambat pertumbuhan sel khamir S. cerevisiae, sehingga memperlambat terbentuknya etanol (Boyer et al. 1992a, 1992b), namun tidak mempengaruhi rendemen etanol yang dihasilkan (Klinke et al. 2004).
Hal ini terbukti pada penelitian ini, yaitu hidrolisat tanpa proses
adsorpsi inhibitor (H0) mempunyai produktivitas etanol yang lebih rendah namun memberikan hasil etanol yang sama dengan hidrolisat yang menjalani proses adsorpsi inhibitor. Adanya beberapa senyawa inhibitor di dalam hidrolisat dapat mengakibatkan terjadinya sinergi dalam proses penghambatan pertumbuhan atau aktivitas mikroorganisme, sehingga pengaruhnya menjadi lebih besar (Klinke et al. 2004). Konsentrasi etanol di dalam hidrolisat dapat ditingkatkan antara lain dengan cara meningkatkan konsentrasi substrat, baik substrat ampas tapioka untuk hidrolisis maupun substrat hidrolisat ampas tapioka untuk fermentasi, namun hal ini dapat menurunkan efisiensi fermentasi atau hasil etanol yang diperoleh, seperti yang dilaporkan oleh Kunhi et al. (1981) dan Kosugi et al. (2009). Hasil etanol (g etanol / g glukosa) dari ampas tapioka yang dihasilkan dari penelitian ini (0,46-
90
0,50 g etanol / g glukosa awal) sebanding dengan yang dihasilkan oleh Thongchul et al. (2010) melalui proses hidrolisis enzimatis dan fermentasi dengan Rhizopus oryzae (0,52-0,59 g etanol / g glukosa), namun lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Kosugi et al. (2009) melalui proses hidrolisis hidrotermal dan enzimatis serta fermentasi dengan S. cerevisiae (0,31 g etanol / g glukosa) maupun proses hidrotermal dan S. cerevisiae yang direkayasa mempunyai aktivitas glukoamilase (0,30 g etanol / g glukosa). Adapun rendemen etanol berdasarkan berat ampas tapioka kering (27-32%) lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Kunhi et al. (1981) melalui hidrolisis enzimatis dan fermentasi dengan S. cerevisiae, yaitu sebesar 27,050%.
5.4. Simpulan dan Saran Sifat adsorpsi karbon aktif yang digunakan pada proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro dan pada proses adsorpsi inhibitor sebelum fermentasi berpengaruh terhadap produktivitas etanol oleh khamir S. cerevisiae. Penambahan karbon aktif dengan daya adsorpsi yang tinggi atau luas permukaan yang besar pada proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro dapat meningkatkan produktivitas etanol oleh khamir S. verevisiae hingga mencapai 0,44 g/L/jam, sedangkan karbon aktif dengan daya adsorpsi yang rendah atau luas permukaan yang kecil tidak. Jika karbon aktif dengan daya adsorpsi yang tinggi tersebut ditambahkan setelah hidrolisis, maka produktivitas dan rendemen etanol yang diperoleh semakin meningkat, menjadi 0,55 g/L/jam. Tanpa penambahan karbon aktif produktivitas etanol dari hidrolisat ampas tapioka hanya 0,34 g/L/jam. Teradsorpsinya sebagian maltooligomer di permukaan karbon aktif pada saat hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro merupakan penyebab lebih rendahnya produktivitas dan hasil etanol dibandingkan yang didapat jika karbon aktif ditambahkan setelah hidrolisis. Agar dapat diperoleh konsentrasi etanol yang lebih tinggi di dalam hidrolisat, penetralan hidrolisat asam sebaiknya menggunakan NH4OH pekat (28%), sehingga tidak terlalu banyak terjadi pengenceran hidrolisat. Disamping itu, perlu diteliti lebih lanjut karakteristik karbon aktif, agar diperoleh karbon aktif yang
91
sesuai untuk digunakan pada proses hidrolisis asam menggunakan iradiasi gelombang mikro, yaitu karbon aktif yang dapat meningkatkan kecepatan proses hidrolisis, tidak mengadsorpsi maltooligomer, namun efektif mengadsorpsi senyawa inhibitor seperti furfural dan HMF. Dalam hal ini, selain luas permukaan, maka peranan sifat dielektrik, sifat termal dan ukuran pori-pori karbon aktif perlu dikaji lebih dalam.
Kajian yang lebih mendalam juga diperlukan untuk
membuktikan atau mengetahui bagaimana glukosa yang teradsorpsi di permukaan karbon aktif dapat difermentasi oleh S. cerevisiae.
92
BAB VI PEMBAHASAN UMUM 6.1. Karakteristik ampas tapioka Ampas tapioka merupakan bahan baku yang potensial untuk memperoleh glukosa, karena mengandung pati dalam jumlah yang signifikan (60-80% dari berat bahan kering).
Kadar pati yang terkandung di dalam ampas tapioka
bervariasi bergantung pada tingkat efisiensi proses ekstraksi (rasping effect) pada industri tapioka.
Ampas tapioka yang diperoleh dari industri rumah tangga
cenderung mengandung pati dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diperoleh dari industri besar (Tabel 2.1), karena pada industri rumah tangga, ubikayu yang digunakan dikupas terlebih dahulu kulitnya (bagian luar dan dalam), sedangkan pada industri besar tidak dilakukan hal tersebut. Selain itu, peralatan yang digunakan untuk proses ekstraksi pati pada industri rumah tangga juga sangat sederhana, sehingga proses ekstraksi pati tidak seefisien pada industri besar. Akibatnya, rendemen pati yang diperoleh lebih rendah dari yang diperoleh pada industri besar dan pati yang tersisa pada ampas tapioka menjadi lebih banyak. Granula pati di dalam ampas tapioka masih terikat dalam matriks serat biomassa, sehingga proses hidrolisisnya lebih sulit dibandingkan dengan proses hidrolisis pati dalam tapioka yang granulanya sudah dalam keadaan bebas (Gambar 2.1). Selain pati, ampas tapioka juga mengandung senyawa karbohidrat lain, yaitu selulosa dan hemiselulosa, yang mengandung gugus arabinan, rhamnan, galaktan, xilan, dan mannan (Tabel 2.2).
Komponen hemiselulosa turut
terhidrolisis saat dilakukan hidrolisis pati menjadi glukosa menggunakan pemanasan gelombang mikro menjadi arabinosa, rhamnosa, galaktosa, xilosa dan mannosa. Selanjutnya, pada suhu pemanasan yang lebih tinggi gula sederhana dari hemiselulosa ini terdegradasi menjadi senyawa furfural dan hidroksi metil furfural (HMF) yang berwarna coklat. Oleh karena itu, pada tingkat pemanasan yang sama, hidrolisat ampas tapioka mempunyai warna yang lebih gelap dibandingkan dengan hidrolisat tapioka (Gambar 2.8) karena dalam tapioka tidak terkandung hemiselulosa, sehingga senyawa berwarna coklat pada hidrolisat tapioka hanya berasal dari proses degradasi lebih lanjut glukosa yang berasal dari pati.
94
Walaupun dalam ampas tapioka terdapat komponen pati dan serat, pola spektrum difraksi sinar X ampas tapioka serupa dengan pola spektrum difraksi sinar X pati tapioka, yaitu mendekati pola spektrum pati tipe A dengan puncak serapan yang tinggi pada 2θ sebesar 16°, 17°, 18° dan 23° (Gambar 2.2). Pola spektrum ini tidak dipengaruhi oleh pemanasan yang dialami bahan saat pengeringan, karena pola yang sama diperoleh dari kedua bahan yang dikeringkan dengan menggunakan pengering beku. Pola spektrum difraksi sinar X komponen serat kasar dari ampas tapioka mempunyai puncak serapan yang tinggi pada 2θ sebesar 16° dan 23°, menyerupai spektrum difraksi sinar X contoh selulosa mikrokristalin.
6.2.Peranan pemanasan gelombang mikro pada hidrolisis ampas tapioka dalam medium air Seperti halnya pada pemanasan konvensional, suhu berpengaruh nyata terhadap hasil hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro dalam medium air, yaitu terhadap kelarutan pati, pH, kadar gula total, hasil glukosa dan warna hidrolisat (Gambar 2.3, 2.6, 2.8 dan 2.9; Tabel 2.4).
Dengan semakin
meningkatnya suhu, kelarutan pati, kadar gula total dan hasil glukosa meningkat sampai titik tertentu, kemudian mengalami penurunan.
Adapun pH menurun
seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan dan warna larutan menjadi semakin gelap dengan semakin tingginya suhu. Hal ini merupakan sesuatu yang logis karena dengan semakin meningkatnya suhu maka semakin besar pula energi yang tersedia untuk hidrolisis pati dalam ampas tapioka. Pada titik tertentu energi yang tersedia menjadi terlalu besar sehingga proses degradasi lebih lanjut gula menjadi senyawa dengan bobot molekul lebih rendah berlangsung.
Walaupun hasil
glukosa yang diperoleh dari proses iradiasi gelombang mikro dalam medium air ini masih rendah (28,59% dari berat bahan kering atau 32,41% basis pati), metode ini cukup menjanjikan, karena berlangsung dalam waktu singkat, yaitu 5 menit ditambah 4 menit pemanasan pendahuluan. Dalam jangka waktu tersebut panas yang terbentuk di dalam medium air pada sistem pemanasan gelombang mikro sudah mampu untuk melarutkan pati dan menghidrolisisnya menjadi senyawa dengan derajat polimerisasi lebih rendah dan glukosa, bahkan kemudian dapat
95
mendegradasi monomer gula yang terbentuk menjadi senyawa dengan bobot molekul lebih rendah lagi seperti asam astetat yang mengakibatkan penurunan pH atau furfural dan hidroksi metil furfural (HMF) yang mengakibatkan warna hidrolisat menjadi gelap. Agak berbeda dengan suhu, perbedaan lama pemanasan pendahuluan pada suhu hidrolisis yang tinggi (230 °C) tidak terlalu berpengaruh terhadap kelarutan pati dalam ampas tapioka maupun pH hidrolisat (Gambar 2.4, 2.7). Akan tetapi, terjadi penurunan kadar gula total dan sedikit peningkatan hasil glukosa dengan semakin lamanya pemanasan pendahuluan (Gambar 2.4; Tabel 2.4). Oleh karena itu, dapat dikatakan suhu lebih berperan dalam proses hidrolisis ini.
6.3.Peranan pemanasan gelombang mikro pada hidrolisis ampas tapioka dalam medium asam Seperti halnya suhu, tingkat daya iradiasi juga berpengaruh terhadap hasil hidrolisis ampas tapioka. Pada proses hidrolisis dalam medium asam sulfat encer 0,5% terlihat bahwa kadar total padatan terlarut dan hasil glukosa yang diperoleh lebih tinggi pada proses menggunakan tingkat daya 550 W dibandingkan tingkat daya 330 W (Gambar 4.1, 4.2). Peningkatan waktu pemanasan dan konsentrasi asam juga meningkatkan kadar total padatan terlarut dan hasil glukosa sampai titik tertentu, setelah itu tidak lagi terjadi peningkatan atau bahkan menurun. Peningkatan kadar total padatan terlarut dan hasil glukosa diiringi juga dengan peningkatan terbentuknya senyawa berwarna coklat di dalam hidrolisat, yang ditandai dengan semakin tingginya nilai absorbansi pada panjang gelombang 490 nm dan semakin tingginya kadar HMF (Tabel 4.3, 4.4). Berbeda dengan dalam medium air, hasil glukosa yang diperoleh dari proses hidrolisis dalam medium asam jauh lebih tinggi.
Dengan konsentrasi substrat yang sama (5%) dapat
diperoleh rendemen glukosa 80,80% dari bahan kering atau 91,52% basis pati setelah pemanasan pada tingkat daya 550 W selama 10 menit (Gambar 4.2). Hasil glukosa yang diperoleh ini lebih rendah dari yang dilaporkan dalam Thongschul et al. (2010) yang melakukan hidrolisis ampas tapioka menggunakan asam khlorida, asam sulfat dan asam fosfat, namun dengan konsentrasi asam yang jauh lebih tinggi (0,75-2 N; 1 N HCl, H2SO4 dan H3PO4 masing-masing setara dengan 3,1;
96
2,7 dan 1,9% asam tersebut) dan waktu hidrolisis yang lebih lama (15-60 menit). Hasil glukosa yang diperoleh pada penelitian ini setara atau lebih tinggi dari yang diperoleh peneliti lain menggunakan metode enzimatis (70-75% dari berat bahan kering), seperti yang dilaporkan oleh Rattanachmosri et al. (2009), Kosugi et al. (2009) dan Nair et al. (2011). Untuk memperoleh konsentrasi glukosa yang tinggi di dalam hidrolisat, maka dilakukan peningkatan konsentrasi substrat.
Upaya ini terbukti dapat
meningkatkan konsentrasi glukosa dalam substrat, namun menurunkan hasil glukosa (Tabel 4.7). Efisiensi produksi glukosa atau perolehan glukosa tertinggi didapat pada konsentrasi substrat 15%, tetapi perolehan ini tidak berbeda nyata dengan jika digunakan konsentrasi susbtrat 20%. Oleh karena itu, optimasi proses dilakukan pada konsentrasi substrat 20%. Hasil optimasi menunjukkan bahwa kondisi optimum hidrolisis ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro adalah dengan menggunakan konsentrasi asam sulfat 0,88% dan pemanasan 9 menit (Gambar 4.5). Berdasarkan model persamaan matematis yang diperoleh pada kondisi ini, diestimasi akan didapat hasil glukosa 84,89% (basis pati). Hasil validasi pada kondisi optimum diperoleh hasil glukosa 87,60% (basis pati) dengan konsentrasi glukosa 140 g/L (Tabel 4.10). Hasil dan konsentrasi glukosa yang diperoleh pada kondisi optimum ini lebih tinggi dari yang diperoleh melalui hidrolisis menggunakan kombinasi proses hidrotermal dan enzimatis (55% dari berat bahan kering; 105,8-116 g/L) pada konsentrasi substrat yang sama (20%) yang memakan waktu proses yang lebih lama, yaitu 120 jam (Kosugi et al. 2009). Konsentrasi glukosa yang diperoleh juga lebih tinggi dari yang diperoleh melalui hidrolisis menggunakan asam sulfat 4% dengan pemanasan konvensional (121 °C, 25 menit) pada konsentrasi substrat yang sama (20%) yang menghasilkan konsentrasi gula pereduksi sekitar 90 g/L (Srikanta et al. 1987).
6.4. Peranan karbon aktif pada hidrolisis dan kinerja fermentasi Penggunaan karbon aktif terbukti dapat meningkatkan hasil glukosa pada proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro dalam medium air (Gambar 3.1).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Matsumoto et al. (2011) yang melakukan hidrolisis pati jagung menggunakan
97
pemanasan gelombang mikro dengan penambahan karbon aktif. Karbon aktif merupakan bahan yang mempunyai sifat menyerap (mengabsorpsi) energi gelombang mikro dan kemudian mengubahnya menjadi energi panas. Sifat ini digambarkan dengan nilai dielectric loss tangent (tan δ), yaitu semakin tinggi nilai tan δ suatu bahan, maka semakin besar kemampuan bahan tersebut menyerap energi gelombang mikro dan mengubahnya menjadi panas (Gabriel et al. 1998; Menendez et al. 2010). Dielectric loss tangent terdiri dari dua parameter, yaitu konstanta dielektrik (dielectric constant) dan dielectric loss factor. Konstanta dielektrik (ε′) menggambarkan berapa banyak energi yang diserap dan berapa banyak yang dipantulkan, sedangkan dielectric loss factor (ε′′) menggambarkan dissipasi energi listrik dalam bentuk panas pada bahan. Dielectric loss tangent diperoleh dari ε′′/ε′. Menurut Menendez et al. 2010, pada 2,45 GHz dan 298 K air suling mempunyai nilai tan δ sebesar 0,12, sedangkan karbon aktif sebesar 0,57-0,80. Walaupun nilai tan δ karbon aktif yang digunakan pada penelitian ini tidak dianalisis, kemungkinan besar nilainya lebih besar daripada tan δ air suling. Hal ini diduga merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya peningkatan hidrolisis ampas tapioka dalam medium air. Selain itu, keberadaan karbon aktif juga diduga mengakibatkan terbentuknya mikroplasma (hot spot) pada titik-titik tertentu di permukaan karbon aktif yang menghasilkan suhu yang sangat tinggi, sehingga dapat mempercepat reaksi (Zhang et al. 2007). Akan tetapi, fenomena hot spot ini tidak hanya terjadi pada permukaan karbon aktif, namun juga di lokasi lain. Pada lokasi-lokasi ini terjadi peningkatan suhu yang sangat tinggi yang disebabkan oleh tidak seragamnya pemanasan yang terjadi karena adanya ketergantungan sifat elektromagnetik dan sifat termal bahan terhadap suhu yang sifatnya tidak linear (Jones et al. 2002). Penggunaan karbon aktif pada hidrolisis dalam medium air juga berdampak positif dengan dihasilkannya hidrolisat dengan warna yang lebih terang (Gambar 3.4; Tabel 3.2), karena karbon aktif mengadsorpsi senyawa berwarna coklat, seperti furfural dan HMF, yang merupakan hasil degradasi sekunder karbohidrat. Semakin banyak karbon aktif yang ditambahkan, maka semakin rendah HMF dalam hidrolisat (Tabel 3.3).
Namun demikian, jika karbon aktif yang
ditambahkan semakin banyak, pada titik tertentu terjadi penurunan hasil glukosa,
98
yang diduga disebabkan oleh teradsorpsinya sebagian maltooligomer di permukaan karbon aktif, sehingga maltooligomer tersebut tidak terhidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa. Pada hidrolisis dalam medium asam sulfat, penambahan karbon aktif (1050% dari berat ampas tapioka), baik yang mempunyai luas permukaan atau daya adsorpsi tinggi maupun rendah, menurunkan hasil glukosa (sekitar 10-15%) (Gambar 5.2). Ada beberapa kemungkinan yang mengakibatkan hal ini. Pertama, nilai dielectric loss tangent (tan δ) asam sulfat kemungkinan lebih tinggi daripada tan δ karbon aktif, walaupun sejauh ini belum diperoleh literatur yang melaporkan nilai tan δ asam sulfat. Dugaan ini berdasarkan nilai tan δ asam asetat dan asam formiat, masing-masing 0,174 dan 0,722 (Gabriel et al. 1998), yang merupakan asam organik dan bersifat sebagai asam lemah. Kedua adalah karena adanya ion hidrogen pada asam sulfat yang dapat mempercepat terjadinya pemutusan ikatan glikosidik pada rantai molekul penyusun pati. Oleh karena itu, tanpa karbon aktif pun proses hidrolisis dalam medium asam sudah dapat berjalan dengan hasil glukosa yang tinggi.
Adapun karbon aktif yang berada di dalam hidrolisat
mengadsorpsi beberapa produk hidrolisis seperti maltooligomer, glukosa ataupun senyawa-senyawa hasil degradasi gula sederhana seperti HMF dan furfural, sehingga hasil glukosa yang diperoleh dari hidrolisat yang diberi perlakuan karbon aktif lebih rendah daripada tanpa karbon aktif. Karbon aktif dengan sifat adsorpsi yang sangat berbeda memberikan perbedaan dalam penurunan kadar HMF. Karbon aktif dengan luas permukaan atau daya adsoprsi yang tinggi dapat menurunkan kadar HMF lebih tinggi daripada karbon aktif dengan luas permukaan atau daya adsorpsi yang rendah. Untuk mempelajari lebih jauh peran karbon aktif terhadap kinerja fermentasi, maka proses fermentasi dilakukan pada hidrolisat tanpa karbon aktif, hidrolisat dengan karbon aktif ditambahkan pada proses hidrolisis dan hidrolisat dengan karbon aktif ditambahkan sebelum fermentasi. Sifat adsorpsi karbon aktif dan keberadaan karbon aktif dalam hidrolisat ternyata berpengaruh terhadap kinerja fermentasi pada hidrolisat.
Karbon aktif dengan luas permukaan atau daya
adsorpsi tinggi dapat meningkatkan produktivitas etanol dalam hidrolisat (0,440,55 g/L/jam), sedangkan karbon aktif dengan luas permukaan atau daya adsorpsi
99
yang rendah tidak (0,28-0,33 g/L/jam) (Tabel 5.2). Hasil penelitian penambahan karbon aktif ke dalam hidrolisat ampas tapioka sebelum fermentasi menyokong hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ikegamai et al. (2000) sehubungan dengan dugaan bahwa glukosa yang teradsorpsi di permukaan karbon aktif masih tetap dapat difermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae, sehingga walaupun konsentrasi glukosa menurun setelah penambahan kabon aktif, hasil etanol yang diperoleh tetap tinggi (32% dari berat ampas tapioka kering) (Tabel 5.3). Terjadinya fermentasi glukosa yang teradsorpsi di permukaan karbon aktif diduga berkaitan dengan proses kesetimbangan molekul glukosa di dalam larutan. Pada proses adsorpsi terjadi keseimbangan antara molekul yang diadsorpsi dan molekul dalam larutan. Ketika sebagian molekul glukosa dikonsumsi oleh khamir, maka untuk menjaga kesetimbangan terjadi desorpsi molekul glukosa dari permukaan karbon aktif ke dalam larutan, sehingga semua glukosa yang terbentuk pada proses hidrolisis tetap dapat difermentasi oleh khamir. Namun demikian, hal ini perlu dikaji lebih jauh dengan memperhatikan aspek-aspek lain yang terjadi pada sistem fermentasi heterogen ini, misalnya kecepatan difusi komponenkomponen yang ada di dalam hidrolisat pada permukaan karbon aktif. Pada hidrolisat dengan karbon aktif yang ditambahkan ke dalam suspensi ampas tapioka sebelum hidrolisis, walaupun produktivitas etanolnya tinggi (0,44 g/L/jam), hasil etanol yang diperoleh (29% dari berat ampas tapioka kering) lebih rendah dari hidrolisat tanpa karbon aktif (31% dari berat ampas tapioka kering) (Tabel 5.2, 5.3). Hal ini memperkuat dugaan bahwa pada hidrolisat ini ada sebagian maltooligomer yang teradsorpsi di permukaan karbon aktif dan maltooligomer tersebut tidak terhidrolisis lebih lanjut menjadi glukosa, sehingga tidak dapat dikonversi menjadi etanol oleh S. cerevisiae. Hasil etanol (g etanol / g glukosa awal) dari ampas tapioka yang dihasilkan dari penelitian ini (0,46-0,50 g etanol / g glukosa awal) sedikit lebih rendah daripada yang didapatkan Thongchul et al. (2010) melalui proses hidrolisis enzimatis dan fermentasi dengan Rhizopus oryzae (0,52-0,59 g etanol / g glukosa), namun hasil yang diperoleh Thongchul et al. (2010) ini perlu diklarifikasi karena nilainya lebih besar dari 0,511, yaitu nilai tertinggi yang mungkin diperoleh dari hasil konversi glukosa menjadi etanol. Dalam hal ini perlu diteliti apakah R.
100
oryzae dapat mengkonversi gula sederhana dari hemiselulosa, seperti xilosa, menjadi etanol, sehingga hasil etanol yang diperoleh lebih besar dari 0,511 g etanol / g glukosa. Hasil etanol yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari yang diperoleh Kosugi et al. (2009) melalui proses hidrolisis hidrotermal dan enzimatis serta fermentasi dengan S. cerevisiae (0,31 g etanol / g glukosa) maupun proses hidrotermal dan S. cerevisiae yang direkayasa mempunyai aktivitas glukoamilase (0,30 g etanol / g glukosa).
Adapun hasil etanol
berdasarkan berat ampas tapioka kering (27-32%) lebih tinggi daripada yang diperoleh Kunhi et al. (1981) melalui hidrolisis enzimatis dan fermentasi dengan S. cerevisiae, yaitu 27,050%. Dengan demikian, hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro dengan penambahan karbon aktif dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif metode hidrolisis ampas tapioka menjadi glukosa yang selanjutnya akan digunakan untuk produksi etanol, dengan hasil yang setara atau lebih baik dari metode lain yang telah diteliti.
6.5. Potensi penggunaan pemanasan gelombang mikro untuk proses hidrolisis ampas tapioka Salah satu alasan utama penggunaan pemanasan gelombang mikro pada proses kimia, termasuk hidrolisis bahan berpati seperti ampas tapioka adalah karena prosesnya yang berlangsung cepat, jauh lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan pemanasan konvensional.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan
mekanisme pemanasan pada kedua metode. Proses pemanasan gelombang mikro dapat berlangsung dengan cepat karena energi dari gelombang elektromagnetik dapat menembus langsung ke dalam bahan yang dipanaskan, sedangkan pada pemanasan konvensional energi panas dari suatu sumber panas harus dipindahkan melalui proses konduksi atau konvenksi sebelum sampai pada bahan yang dipanaskan. Selain pengaruh akibat pemanasan, beberapa peneliti juga menduga bahwa penggunaan gelombang mikro mempunyai pengaruh yang bersifat non termal, misalnya terjadinya mutarotasi α-D-glukosa di dalam campuran etanol air setelah perlakuan pemanasan gelombang mikro (Pagnota et al. 1993) atau terhidrolisisnya pati yang teretrogradasi oleh pemanasan gelombang mikro yang sebelumnya tidak dapat terhidrolisis pada pemanasan konvensional (Yu et al.
101
1996).
Akan tetapi, sekelompok peneliti lain berpendapat bahwa tidak ada
pengaruh non termal pada pemanasan gelombang mikro, misalnya Shazman et al. (2007) yang dari serangkaian hasil penelitiannya terhadap reaksi Maillard, denaturasi protein, mutagenesis bakteri, mutarotasi glukosa dan kelarutan NaCl tidak dapat mendukung pernyataan bahwa ada pengaruh non termal dari gelombang mikro.
Sampai saat ini ada tidaknya pengaruh non termal pada
pemanasan gelombang mikro masih tetap menjadi bahan perdebatan. Walaupun unggul dalam kecepatan pemanasan, penggunaan gelombang mikro sering dianggap membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan pemanasan konvensional. Oleh karena itu, energi yang digunakan pada pemanasan gelombang mikro perlu dihitung dengan cermat. bukanlah suatu hal yang mudah.
Perhitungan ini
Akan tetapi beberapa laporan memberikan
beberapa contoh sederhana untuk menghitung konsumsi energi yang digunakan, misalnya dalam Devine dan Leadbeater (2011), yaitu dengan menghitung jumlah energi yang digunakan (diukur menggunakan watt meter) per jumlah produk yang dihasilkan (dalam mol atau mmol). Mengacu pada cara tersebut, maka dicoba dilakukan penghitungan konsumsi energi pada proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro. Karena dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran energi yang digunakan, maka jumlah energi yang digunakan dihitung berdasarkan tingkat daya iradiasi dan lama pemanasan. Hasil perhitungan sederhana tersebut (Tabel 6.1) menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah bahan (dalam hal ini ampas tapioka), maka semakin rendah konsumsi energi per g atau per mol glukosa yang terbentuk.
Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Devine dan Leadbeater (2011) terhadap tiga macam reaksi kimia, yaitu sintesis 1,4-dihidropiridin, coupling 4-bromoanisole dengan asam fenil boronat, dan preparasi N-fenil piperidin dari anilin dan 1,5-dibromopentana. Oleh karena itu, peningkatan skala produksi pada proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro diduga dapat menurunkan konsumsi energi per satuan produk glukosa yang dihasilkan.
Sayang sekali hasil
perhitungan pada Tabel 6.1 tidak dapat dibandingkan dengan hasil menggunakan metode pemanasan konvensional, karena tidak dilakukan penelitian hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan konvensional.
Namun demikian,
102
percobaan sederhana yang dilakukan oleh Devine dan Leadbeater (2011), yaitu dengan melakukan pengukuran energi yang dibutuhkan pada proses pemanasan 1 L air dari suhu kamar ke suhu 100 °C menggunakan heating mantle dan pemanasan gelombang mikro, menunjukkan bahwa jumlah energi yang digunakan masing-masing adalah 187 dan 190 W jam, sedangkan efisiensi pemanasan secara keseluruhan masing-masing adalah 46% dan 44%.
Dengan kata lain, kedua
metode pemanasan setara dalam hal konsumsi energinya.
Oleh karena itu,
pemanasan gelombang mikro tetap potensial untuk digunakan pada proses-proses kimia, termasuk proses hidrolisis ampas tapioka atau bahan berpati lainnya menjadi glukosa, karena dengan metode ini proses dapat berlangsung lebih cepat. Tabel 6.1 Konsumsi energi pada proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro
a)
Konsentrasi substrat
Energi
Glukosa
Glukosa (mol) 0,025 0,046 0,063 0,070 0,076
Konsumsi energi (W jam/ g glukosa) 20,37 11,21 8,05 7,30 6,69
Konsumsi energi (W jam/ mol glukosa) 3666,80 1992,83 1455,08 1309,57 1206,18
(% b/v) 5 10 15 20 25
(W jam) 91,67 91,67 91,67 91,67 91,67
(g) 4,50 8,18 11,39 12,55 13,70
20a)
82,50
17,16
0,095
4,81
868,42
Percobaan pada kondidi optimum. Asumsi: energi yang digunakan sesuai tingkat daya output oven gelombang mikro yang digunakan (550 W), dikalikan dengan lama pemanasan, yaitu 10/60 jam pada konsentrasi substrat 5-25% dan 9/60 jam pada kondisi optimum.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Ampas tapioka merupakan salah satu bahan yang potensial sebagai bahan baku etanol karena kandungan karbohidrat yang tinggi, terutama pati. Proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan iradiasi gelombang mikro dalam medium air belum dapat memberikan hasil glukosa yang diharapkan, sedangkan dalam medium asam dapat diperoleh hasil dan konsentrasi glukosa yang tinggi untuk fermentasi etanol. Hasil glukosa tertinggi yang diperoleh pada proses hidrolisis dalam medium air masih rendah, yaitu 28,59% dari berat bahan kering atau 32,41% basis pati. Hasil glukosa dapat ditingkatkan secara signifikan dengan penambahan karbon aktif ke dalam suspensi ampas tapioka dalam air sebelum pemanasan gelombang mikro, sehingga diperoleh hasil glukosa tertinggi sebesar 51-52% (basis pati). Penggunaan larutan asam sulfat 0,5% pada hidrolisis ampas tapioka dengan gelombang mikro dapat meningkatkan hasil glukosa sampai 91,52%. Pada hidrolisis dalam medium asam dengan konsentrasi substrat 20% kondisi optimum hidrolisis adalah pada konsentrasi asam sulfat 0,88% dan lama pemanasan 9 menit dengan estimasi hasil glukosa 84,89% dan konsentrasi glukosa 140 g/L. Penambahan karbon aktif dengan daya adsorpsi yang tinggi pada saat atau sesudah hidrolisis dapat meningkatkan produktivitas etanol karena teradsorpsinya senyawa inhibitor fermentasi seperti HMF di permukaan karbon aktif. Karbon aktif juga dapat mengadsorpsi maltooligomer dan glukosa yang terdapat di dalam hidrolisat, namun diduga glukosa yang teradsorpsi dapat tetap difermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae setelah terjadi desorpsi glukosa ke dalam hidrolisat. Penambahan karbon aktif pada hidrolisat sebelum fermentasi memberikan produktivitas etanol dan hasil etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan saat hidrolisis. Walau demikian, proses ini harus dilakukan pada tahap tersendiri, sedangkan jika karbon aktif ditambahkan sebelum hidrolisis tidak diperlukan lagi tahap khusus untuk proses adsorpsi senyawa inhibitor fermentasi. Di akhir fermentasi hasil dan konsentrasi etanol yang dihasilkan dari proses dengan penambahan karbon aktif saat hidrolisis masing-masing adalah 27-28%
104
dari ampas tapioka kering dan 34-35 g/L, sedangkan dari proses tanpa penambahan karbon aktif maupun dengan penambahan karbon aktif setelah hidrolisis masing-masing adalah 31-32% dari ampas tapioka kering dan 38-39 g/L. Akan tetapi, fermentasi berlangsung jauh lebih cepat pada hidrolisat dengan penambahan karbon aktif yang mempunyai daya adsorpsi atau luas permukaan yang tinggi dibandingkan dengan pada hidrolisat tanpa karbon aktif atau dengan karbon aktif yang memiliki daya adsorpsi atau luas permukaan yang rendah. Oleh karena itu, produktivitas etanol (0,44-0,55 g/L/jam) yang dihasilkan pun lebih tinggi pada perlakuan tersebut dibandingkan dengan perlakuan lain (0,28-0,34 g/L/jam). Hidrolisis menggunakan pemanasan gelombang mikro dan penambahan karbon aktif dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif metode hidrolisis ampas tapioka menjadi glukosa yang selanjutnya digunakan untuk produksi etanol, dengan hasil yang setara atau lebih baik dari metode lain yang telah diteliti.
7.2. Saran Mengingat masih terbatasnya informasi sehubungan peranan karbon aktif dalam proses hidrolisis menggunakan iradiasi gelombang mikro, masih perlu dikaji lebih jauh karakteristik karbon aktif, terutama sifat dielektrik dan sifat termalnya agar diperoleh karbon aktif yang sesuai untuk digunakan pada proses hidrolisis asam menggunakan iradiasi gelombang mikro, yaitu karbon aktif yang dapat membantu proses hidrolisis, tidak mengadsorpsi maltooligomer, namun efektif mengadsorpsi senyawa inhibitor seperti furfural dan HMF. Dalam hal ini, selain luas permukaan, maka peranan sifat dielektrik, sifat termal dan ukuran poripori karbon aktif perlu dikaji lebih dalam. Karena energi merupakan salah satu faktor yang penting dalam pemilihan metode proses, maka diperlukan analisis energi yang cermat terhadap proses hidrolisis ampas tapioka menggunakan pemanasan gelombang mikro, baik pada skala laboratorium maupun skala yang lebih besar. Hasil analisis tersebut juga harus dibandingkan dengan hasil menggunakan proses pemanasan konvensional, agar dapat diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh terhadap kedua metode hidrolisis tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Ahmed SY, Ghildyal NP, Kunhi AAM, Lonsane BK. 1983. Confectioner’s syrup from tapioca processing waste. Starch/Stärke 35: 430-432. Ali U. 2006. Pengaruh penggunaan onggok dan isi rumen sapi dalam pakan komplit terhadap penampilan kambing peranakan Etawah. Majalah Ilmiah Peternakan 9: 69-72. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Arlington, Virginia: Association of Official Analytical Chemists, Inc. Apiwatanapiwat W et al. 2011. Direct ethanol production from cassava pulp using a surface-engineered yeast strain co-displaying two amylases, twocellulases, and β-glucosidase. Appl Microbiol Biotechnol 90: 377-384. Atichokudomchai N, Shobsngob S, Chinachoti P, Varavinit S. 2000. Morphological properties of acid-modified tapioca starch. Starch/Stärke 52: 283-289. Atichokudomchai N, Shobsngob S, Chinachoti P, Varavinit S. 2001. A study of some physicochemical properties of high-crystalline tapioca starch. Starch/Stärke 53: 577-581. Boyer LJ, Vega JL, Klasson KT, Clausen EC, Gaddy JL. 1992a. The effects of furfural on ethanol production by Saccharomyces cerevisiae in batch culture. Biomass Bioener 3(1): 41-48. Boyer LJ, Vega JL, Basu R, Clause EC, Gaddy JL. 1992b. The effects of furfural on ethanol production by Saccharomyces cerevisiae in a cross-linked immobilized cell reactor. Biomass Bioener 3(2): 71-76. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Produksi Industri Besar dan Sedang 2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, hlm 18-19. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Produksi Industri Besar dan Sedang 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, hlm 19-20. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Produksi Industri Besar dan Sedang 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, hlm 21-22. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1996. SNI 06-4253-1996 Arang aktif untuk air minum. 3 hlm. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI 01-3545-2004 Madu. 13 hlm.
106
Carta FS, Soccol CR, Ramos LP, Fontana JD. 1999. Production of fumaric acid by fermentation of enzymatic hydrolysates derived from cassava bagasse. Bioresour Technol 68: 23-28. Chotineeranat S, Pradistsuwana C, Siritheerasas P, Tantratian S. 2004. Reducing sugar production from cassava pulp using enzymes and ultra-filtration I: Enzymatic hydrolation. J Sci Res Chula Univ 29(2): 119-128. [CMF] Center for Materials Fabrication. 1993. Industrial Microwave heating applications. Techcommentary 4(3): 3-6. Cochran WG, Cox GM. 1992. Experimental Designs. New York: John Wiley & Sons, Inc. Cullingford HS, George CE, Lightsey GR. 1993. Apparatus and method for cellulose processing using microwave pretreatment. US Patent No. 5,196,069. Devine WG, Leadbeater NE. 2011. Probing the energy efficiency of microwave heating and continuous-flow conventional heating as tools for organic chemistry. ARKIVOC (v): 127-143. Dhepe PL, Fukuoka A. 2007. Cracking of cellulose over supported metal catalysts. Catalysts Surveys from Asia 11(4): 186-191. Djuma’ali, Soewarno N, Sumarno, Primarini D, Sumaryono W. 2011. Cassava pulp as a biofuel feedstock of an enzymatic hydrolysis process. Makara Teknologi 15(2): 183-192. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2012. FAOSTAT faostat.fao.org/site/567/default.aspx#ancor [8 Juni 2012].
2012.
Gabriel C, Gabriel S, Grant EH, Halstead BSJ, Mingos PM. 1998. Dielectric parameters relevant to microwave dielectric heating. Chem Soc Rev 27: 213223. Ge JP et al. 2011. Comparison of different detoxification methods for corn cob hemicellulose hydrolysate to improve ethanol production by Candida shehatae ACCC 20335. African J Microbiol Res 5(10): 1163-1168. Harmsen PFH, Huijgen WJJ, Lopez LMB, Bakker RRC. 2010. Literature Review of Physical and Chemical Pretreatment Processes for Lignocellulosic Biomass. Energy Research Center of the Netherlands. http: www.ecn.nl/ docs/library/report/2010/e10013.pdf [1 Mei 2012]. Ikegamai T, Yanagishita H, Kitamoto D, Haraya K. 2000. Accelerated ethanol fermentation by Saccharomyces cerevisiae with addition of activated carbon. Biotechnol Lett 22: 1661-1665.
107
Jaleel SA, Srikanta S, Ghildyal, NP, Lonsane BK. 1988. Simultaneous solid phase fermentation and saccharification of cassava fibrous residue for production of ethanol. Starch/Stärke 40(2): 55-58. John RP, Nampoothiri KM, Pandey A. 2006. Simultaneous saccharification and fermentation of cassava bagasse for L-(+)- lactic acid production using Lactobacilli. Appl Biochem Biotechnol 134: 263-272. Jones DA, Lelyveld TP, Mavrovidis SD, Kingman SW, Miles NJ. 2002. Microwave heating applications in environmental engineering – a review. Resour Conserv Recycl 34: 75-90. Jones RP, Greenfield PF. 1982. Effect of carbon dioxide on yeast growth and fermentation. Enz Microbiol Technol 4: 210-223. Jyothi AN, Sasikiran K, Nambisan B, Balagopalan C. 2005. Optimisation of glutamic acid production from cassava starch factory residues using Brevibacterium divaricatum. Process Biochem 40(11): 3576-3579. Khan AR, Johnson JA, Robinson RJ. 1979. Degradation of starch polymers by microwave energy. Cereal Chem 56(4): 303-304. Klinke HB, Thomsen AB, Ahring BK. 2004. Inhibition of ethanol-producing yeast and bacteria by degradation products produced during pre-treatment of biomass. Appl Microbiol Biotechnol 66: 10-26. Kongkiattikajorn J, Yoonan K. 2004. A study of optimal conditions for reducing sugars production from cassava peels by diluted acid and enzymes. Kasetsart J (Nat Sci) 38: 29-35. Kosugi A et al. 2009. Production of ethanol from cassava pulp via fermentation with a surface engineered yeast strain displaying glucoamylase. Renew Ener 34: 1354-1358. Kunhi AAM, Ghildyal NP, Lonsane BK, Ahmed SY, Natarajan CP. 1981. Studies on production of alcohol from saccharified waste residue from cassava starch processing industries. Starch/Stärke 33(8): 275-279. Kunlan L, Lixin X, Jun L, Jun, P, Guaying C, Zuwei X. 2001. Salt-assisted hydrolysis of starch to D-glucose under microwave irradiation. Carbohydr Res 331: 9-12. Larsson et al. 1999. The generation of fermentation inhibitors during dilute acid hydrolysis of softwood. Enzyme Microb Technol 24: 151-159. Lidstrom P, Tierney J, Wathey B, Westman J. 2001. Microwave assisted organic synthesis – a review. Tetrahedr 57: 9225-9283.
108
Lorenz K, Johnson JA. 1972. Starch hydrolysis under high temperatures and pressures. Cereal Chem 49: 616-628. Luo Z, He X, Fu X, Luo F, Gao Q. 2006. Effect of microwave radiation on the physicochemical properties of normal maize, waxy maize and amylose V starches. Starch/Stärke 58: 468-474. Matsui KN, Larotonda FDS, Pires ATN, Lautindo JB. 2003. Moisture isotherms of cassava bagasse composites impregnated with starch acetate solutions. Alim NutrAraraquara 14(2): 137-140. Matsui KN, Larotonda FDS, Paes SS, Luiz DB, Pires ATN, Lautindo JB. 2004. Cassava bagasse - kraft paper composites: analysis of influence of impregnation with starch actetae on tensile strength and water absorption properties. Carbohydr Polym 55: 237-243. Matsumoto A, Tsubaki S, Sakamoto M, Azuma J. 2008. Oligosaccharides adsorbed on activated charcoal powder escaped from hydrolysis by microwave heating in water. Proceedings of Global Congress on Microwave Energy Applications. August 4-8 2008, Otsu, Japan 785-788. Matsumoto A, Tsubaki S, Sakamoto M, Azuma J. 2011. A novel saccharification method of starch using microwave irradiation with addition of activated carbon. Bioresour Technol 102: 3985- 3988. Mbougueng PD, Tenin D, Scher D, Tchiegang C. 2008. Physicochemical and functional properties of some cultivars of Irish potato and cassava starches. J Food Technol 6(3): 139-146. Menendez JA, Arenillas A, Fidalgo B, Fernandez Y, Zubizarreta L, Calvo EG, Bermudez JM. 2010. Microwave heating processes involving carbon materials. Fuel Processing Technol 91: 1-8. Moon IS, Cho G. 1997. Production of maltooligosaccharides from starch and separation of maltopentaose by adsorption of them on activated carbon (I). Biotechnol Bioprocess Eng 2: 19-22. Motwani T, Seetharaman K, Anantheswaran RC. 2007. Dielectric properties of starch slurries as influenced by starch concentration and gelatinization. Carbohyd Polym 67: 73-79. Mussatto SI, Roberto IC. 2004. Alternatives for detoxification of diluted-acid lignocellulosic hydrolysates for use in fermentative processes: a review. Bioresour Technol 93: 1-10.
109
Nair MPD, Padmaja G, Moorthy SN. 2011. Biodegradation of cassava starch factory residue using a combination of cellulases, xylanases and hemicellulases. Biomass Bioener 35: 1211-1218. Nikolic S, Mojovic L, Rakin M, Pejin D, Savic D. 2008. A microwave-assisted liquefaction as a pretreatment for bioethanol production by the simultaneous saccharification and fermentation of corn meal. Chem Ind Chem Eng Quart 14(4): 231-234. Pagnotta M, Pooley CLF, Gurland B, Choi M. 1993. Microwave activation of the mutarotation of α-D-glucose: An example of an interinsic microwave effect. Phys Org Chem 6:407-411. Palav T, Seetharaman K. 2006. Mechanism of starch gelatinization and polymer leaching during microwave heating. Carbohydr Polym 65: 364-370. Palav T, Seetharaman K. 2007. Impact of microwave heating on the physicochemical properties of a starch-water model system. Carbohydr Polym 67: 596-604. Palmqvist E, Hahn-Hagerdal B. 2000. Fermentation of lignocellulosic hydrolysates II: inhibitors and mechanism of inhibition. Bioresour Technol 74: 25-33. Pandey A, Soccol CR, Nigam P, Soccol VT, Vandenberghe LPS, Mohan R. 2000. Biotechnological potential of agro-industrial residues: cassava bagasse. Bioresour Technol 74: 81-87. Pinkrova J, Hubackova B, Kadlec P, Prihoda J, Bubnik Z. 2003. Changes of starch during microwave treatment of rice. Czech J Food Sci 21: 176-184. Prado FC, Vandenberghe LPS, Soccol CR. 2005. Relation between citric acid production by solid-state fermentation from cassava bagasse and respiration of Aspergillus niger LPB 21 in Semi-Pilot Scale. Brazilian Arch Biol Technol 48: 29-36. Rattanachomsri U, Tanapongpipat S, Eurwilaichitr L, Champreda V. 2009. Simultaneous non-thermal saccharification of cassavapulp by multi-enzyme activity and ethanol fermentation by Candida tropicalis. J Biosci Bioeng 107(5): 488-493. Ray RC. 2004. Extracellular amylase(s) production by fungi Botryodiplodia theobromae and Rhizopus oryzae grown on cassava starch residue. J Environ Biol. 25(4): 489-495. Robinson JM. 2010. Method of digesting cellulose to glucose using salts and microwave (muwave) energy. US Patent No: US2010/0044210 A1.
110
Sair L. 1967. Heat-moisture treatment of starch. Cereal Chem 44: 8-26. Shazman A, Mizzrahi S, Cogan U, Shimoni E. 2007. Examining for possible nonthermal effects during heating in a microwave oven. Food Chem 103: 444453. Siregar M. 2006. Effects of small-scale tapioca processing unit development on employment and income generation in Lampung, Indonesia. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Mono27-6.pdf [4 Mei 2010]. Srikanta S, Jaleel SA, Ghildyal NP, Lonsane BK, Karanth NG. 1987. Novel technique for saccharification of cassava fibrous waste for alcohol production. Starch/Stärke 39: 234-237. Srinorakutara T, Suesat C, Pitiyont B, Kitpreechavanit W, Cattithammanit S. 2004. Utilization of waste from cassava starch plant for ethanol production. The joint International Conference on “Sustainable Energy and Environment (SEE)”, Hua Hin, Thailand. Srinorakutara T, Kaewvimol L, Saengow L. 2006. Approach of cassava waste pretreatments for fuel ethanol production in Thailand. J Sci Res Chula Univ 31(1): 77-84. Sriroth K, Chollakup R, Chotineeranat S, Piyachomkwan K, Oates CG 2000. Processing of cassava waste for improved biomass utilization. Bioresour Technol 71: 63-69. Supriyati K. 2003. Onggok terfermentasi dan pemanfaatannya dalam ransum ayam ras pedaging. JITV 8(3): 146-150. Swain MR, Ray RC. 2007. Alpha-amylase production by Bacillus subtilis CM3 in solid state fermentation using cassava fibrous residue. J Basic Microbiol 47: 417-425. Thongchul N, Navankasattusas S, Yang ST. 2010. Production of lactic acid and ethanol by Rhizopus oryzae integrated with cassava pulp hydrolysis. Bioprocess Biosyst Eng 33:407-416. Tomanee, P. 2008. Cassava-based adsorbent for removing water from ethanol vapor. Paper presented at The 2008 AIChE Annual Meeting, Philadelphia, PA, November 15-21, 2008. http://www..nt.ntnu.no/users/skoge/prost/ proceedings/aiche-2008/data/papers/p 139061.pdf. [18 Agustus 2009]. Tsubaki S, Iida H, Sakamoto M, Azuma J. 2008. Microwave heating of tea residue yields polysaccharides, polyphenols, and plant biopolyester. J Agric Food Chem 56: 11293-11299.
111
Tsubaki S, Sakamoto M, Azuma J. 2009. Application of microwave heating for utilization of agricultural biomass. Res Adv Agric Food Chem 1: 1-12. Tsubaki S, Azuma J. 2011. Application of microwave technology for utilization of recalcitrant biomass. Di dalam : Grundas S, editor. Advances in Induction and Microwave Heating of Mineral and Organic Materials. 30: 697-722. www.intechopen.com. [7 Maret 2011]. Warrand J, Janssen HG. 2007. Controlled production of oligosaccharides from amylose by acid-hydrolysis under microwave treatment: Comparison with conventional heating. Carbohydr Polym 69: 353-362. Whistler RL, Daniel JR. 1985. Carbohydrates. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker. hlm 69-137. Wickramasinghe HAM, Takigawa S, Matsuura-Endo C, Yamauchi H, Noda T. 2009. Comparative analysis of starch properties of different root and tuber crops of Sri Lanka. Food Chem 112: 98-103. Woiciechowski AL, Nitsche S, Pandey A, Soccol CR. 2002. Acid and enzymatic hydrolysis to recover reducing sugars form cassava bagasse: an economic study. Brazilian Arch Biol Technol 45(3): 393-400. Woiciechowski AL, Soccol CR, Rocha SN, Pandey A. 2004. Xanthan gum production from cassava bagasse hydrolysate with Xanthomonas campestris using altenative sources of nitrogen. Appl Biochem Biotechnol 118(1-3): 305-312. Wrolstad RE et al. 2005, Handbook of Food Analytical Chemistry: Water, Proteins, Enzymes, Lipids, and Carbohydrates. Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons. Yamaji K, Matsumura Y, Ishitani H, Yamada K, Wyman CE, Tolan JS. 2006. Production of low-cost bioethanol to be a rival to fossil fuel. www.nedo.go.jp/itd/teian/ann-mtg/fy18/project_grant/pdf/h/h-03y_e.pdf [16 Mei 2008]. Yamaji K, Yamamoto H, Nagatomi Y. 2007. Evaluation of ethanol production from cassava pulp in Thailand with a biomass collection and utilization model. Paper presented at COE Symposium on Advanced Electronics for Future Generations, The 21st Century COE in Electrical Engineering and Electronics for Active and Creative World, The University of Tokyo, Tokyo 15 January 2007. Yoo JW, Kim TY, Cho SY, Rho SG. 2005. Adsorption and desorption characteristics of maltooligosaccharide for the surface treated activated carbons. Adsorption 11: 719-723.
112
Yoonan K, Kongkiattikajorn J, Rattanakanokchai K. 2004. Ethanol production from acid hydrolysates of cassava pulps using fermentation by Saccharomyces cerevisiae. www.lib.ku.ac.th/KUCONF/KC4305049.pdf [16 Mei 2008]. Yoshida T, Tsubaki S, Teramoto Y, Azuma J. 2010. Optimization of microwaveassisted extraction of carbohydrates from industrial waste of corn starch production using response surface methodology. Bioresour Technol 101: 7820-7826. Yu HM, Chen ST, Suree P, Nuansri R, Wang KT. 1996. Effect of microwave irradiation on acid-catalyzed hydrolysis of starch. J Org Chem 26: 96089609. Zhang Z et al. 2007. Investigation on the rapid degradation of congo red catalyzed by activated carbon powder under microwave irradiation. J Hazard Mater 147: 325-333. Zobel HF. 1988. Starch crystal transformation and their industrial importance. Starch/Stärke 40: 1-7.
LAMPIRAN
114
115
Lampiran 1 Prosedur analisis komponen kimia bahan (analisis proksimat, kadar serat kasar, pati dan amilosa) Analisis proksimat a. Kadar air (AOAC 2005) Penetapan kadar air dilakukan menggunakan oven pada suhu 105 °C sampai diperoleh bobot yang tetap. Botol timbang dan tutupnya dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C selama 60 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 20 menit dan ditimbang. Sebanyak 2 g contoh dimasukkan ke dalam botol timbang yang sudah diketahui bobotnya. Botol timbang dan isinya dipanaskan dalam keadaan terbuka dalam oven pada suhu 105 °C selama 2 jam. Setelah itu botol timbang ditutup dan dikeluarkan dari oven, lalu didinginkan dalam desikator selama 20 menit dan ditimbang. Pemanasan dalam oven selama 60 menit, pendinginan dalam desikator selama 20 menit diulangi sampai tercapai bobot tetap.
Kadar air contoh dihitung sebagai
berikut. Kadar air (%) = (m1-m2)/m x 100 m1 = bobot botol timbang dan contoh sebelum dipanaskan (g) m2 = bobot botol timbang dan contoh setelah dipanaskan (g) m = bobot contoh (g) b. Kadar abu (AOAC 2005) Penetapan kadar abu dilakukan menggunakan tanur pada suhu 550 °C sampai diperoleh bobot yang tetap.
Cawan porselen yang sebelumnya
dipanaskan dipijarkan dengan api kecil selama 60 menit, didinginkan dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang dengan teliti. Pemanasan diulangi sampai tercapai bobot tetap. Sebanyak 2 g bahan ditimbang dalam cawan porselen dan diarangkan di atas penangas listrik sampai berwarna putih kelabu selama 5-8 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Bahan dalam cawan porselen dipanaskan lagi dalam tanur dengan suhu 550 °C selama 60 menit, didinginkan dalam desikator selama 60 menit, ditimbang sampai bobot tetap dan kadar abu dihitung sebagai berikut. Kadar abu (%) = (m3-m1)/(m2-m1) x 100 m1 = bobot cawan porselen kosong (g) m2 = bobot cawan + bahan sebelum diabukan (g) m3 = bobot cawan + bahan setelah diabukan (g)
116
c. Kadar lemak (AOAC 2005) Penetapan kadar lemak dilakukan menggunakan alat Soxhlet. Sebanyak 5 g contoh bahan ditimbang dan dimasukkan ke dalam thimble atau selongsong yang terbuat dari kertas saring yang sudah diketahui bobotnya. Selongsong dimasukkan ke dalam alat Soxhlet, disatukan dengan labu lemak dan ditambahkan pelarut petroleum ether sebanyak 250 mL. Alat Soxhlet dan labu lemak dihubungkan dengan labu pendingin. Ekstraksi dilakukan selama 3 jam di atas pemanas listrik. Setelah ekstraksi bahan dalam selongsong dikeringkan dalam oven 105 °C selama 30 menit, diangkat, didinginkan dalam desikator selama 20 menit, ditimbang sampai bobot tetap. Kadar lemak dalam bahan dihitung sebagai berikut. Kadar lemak (%) = (m2-m3)/(m2-m1) x 100 m1 = bobot selongsong kertas saring kosong (g) m2 = bobot selongsong + bahan sebelum ekstraksi (g) m3 = bobot selongsong + bahan setelah ekstraksi (g) d. Kadar protein (AOAC 2005) Analisis kadar protein dilakukan menggunakan cara Kjeldahl. Sebanyak 1 g contoh bahan ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu destruksi Kjeldahl, ditambahkan 1 g campuran selen (4,00 g serbuk selen + 3,00 g CuSO4 + 100 g Na2SO4) dan 25 mL H2SO4 pekat. Bahan dipanaskan dalam ruang asam, mula-mula dengan api kecil sambil digoyang-goyangkan, kemudian api diperbesar hingga cairan dalam labu Kjeldahl menjadi hijau jernih yang menandakan semua zat organik telah dioksidasi. Setelah dingin dilakukan pengenceran dengan air suling dan ditepatkan volumenya di dalam labu ukur 100 mL. Sebanyak 10 mL larutan dipipet ke dalam alat distilasi yang telah diisi batu didih, ditambah dengan 15 mL NaOH 30% dan beberapa tetes indikator fenol ftalein (PP). Sebagai penampung dipakai gelas piala yang telah berisi 30 mL HCl 0,5 N yang ditambahkan indikator BCG-MM. Penyulingan dilakukan hingga 2/3 cairan dalam labu telah tersuling. Piala penampung diangkat terlebih dahulu sebelum api dimatikan, setelah api dimatikan alat dibilas dan disatukan ke dalam penampung. Kelebihan HCl dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N. Kadar protein dihitung sebagai berikut.
117
fp(vb – v1) x N NaOH x Bst N x 6,25 Kadar protein (%) =
x 100
bobot awal bahan (mg) fp = faktor pengenceran (100/10) vb = volume titer NaOH untuk larutan blanko (mL) v1 = volume titer NaOH untuk larutan contoh (mL) N NaOH = normalitas NaOH sebenarnya (N) Bst N = berat setara unsur nitrogen (14) 6,25 = faktor perkalian untuk protein e. Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut. Kadar karbohidrat (%) = 100% - (Kadar air (%) + Kadar abu (%) + Kadar protein (%) + Kadar lemak (%))
Analisis kadar serat kasar (AOAC 2005) Penetapan kadar serat dilakukan menggunakan metode gravimetri sebagai berikut.
Sebanyak 2 g contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu
erlenmeyer 500 mL, lalu ditambahkan 50 mL larutan H2SO4 1,25%. Larutan dididihkan selama 30 menit dengan menggunakan pendingin tegak.
Dalam
keadaan panas larutan disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring. Endapan yang terdapat pada kertas saring dicuci dengan air panas sampai bebas asam. Endapan dipindahkan lagi ke dalam erlenmeyer 500 mL dan ditambahkan 50 mL larutan NaOH 3,25%.
Larutan dididihkan selama 30 menit dengan
menggunakan pendingin tegak. Dalam keadaan panas larutan disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat pada kertas saring dicuci berturut-turut dengan air panas dan etanol 96%. Kertas saring beserta isinya diangkat dan dimasukkan ke dalam botol timbang yang telah diketahui bobotnya, lalu dikeringkan pada suhu 105 °C, didinginkan dan ditimbang.
Pengeringan dan penimbangan
dilakukan sampai dicapai bobot tetap. Kadar serat dalam contoh dihitung sebagai berikut. Kadar serat (%) = (k1-k2)/m x 100 k1 = bobot kertas saring dan serat (g) k2 = bobot kertas saring (g) m = bobot contoh (g)
118
Analisis kadar pati (Metode Luff Schoorl) (AOAC 2005) Sebanyak 5 g contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 mL, lalu ditambahkan 250 mL HCl 3% dan dididihkan selama 60 menit dengan pendingin tegak. Larutan didinginkan dan dinetralkan dengan NaOH 4 N sampai pH 7. Setelah netral, larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 500 mL dan ditambahkan air sampai tanda tera. Larutan kemudian disaring. Sebanyak 10 mL filtrat dipipet dan ditambahkan 25 mL larutan Luff Schoorl, 15 mL air dan beberapa batu didih. Larutan dalam erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan selama 10 menit tepat dari mulai mendidih. Setelah itu larutan didinginkan dan ditambahkan 15 mL KI 20% dan 25 mL H2SO4 25%. Larutan dititrasi dengan Na tiosulfat 0,1 N sampai warna menjadi kuning lalu diberi larutan kanji 0,5% dan titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang. Penetapan blanko dilakukan dengan memipet 25 mL larutan Luff Schoorl dan 25 mL air dan dilakukan pengerjaan seperti di atas.
Kadar pati dalam contoh
dihitung sebagai berikut. Kadar pati (%) = (v1-v2) x m / 0,1000 = D mL v1 = volume titran blanko (mL) v2 = volume titran contoh (mL) m = bobot contoh (g) Hasil D dibandingkan dengan daftar Luff Schoorl
Analisis kadar pati menggunakan Megazyme Total Starch Kit Di dalam kit terdapat 6 botol yang berisi bahan yang akan digunakan untuk analisis. Botol 1 Enzim α-amilase (10 mL, 3.000 U/mL dalam reagen Ceralpha pH 6,5 dan 40 °C atau 1.600 U/mL pada reagen Ceralpha pH 5,0 dan 40 °C). Stabil untuk jangka waktu 4 tahun pada suhu 4 °C. Botol 2 Amiloglukosidase (10 mL, 3.300 U/mL pada pati terlarut (atau 200 U/mL pada p-nitrofenil β-maltosida pH 4,5 dan 40 °C). Stabil untuk jangka waktu 4 tahun pada suhu 4 °C.
119
Botol 3 GOPOD Reagent Buffer. Buffer kalium fosfat (0,26 M, pH 7,4), asam phidroksi benzoat (0,22 M) dan Na azida (0,4% b/v). Stabil untuk jangka waktu 4 tahun pada suhu 4 °C. Botol 4 GOPOD Reagent Enzymes. Glukosa oksidase (>12.000 U), peroksidase (>650 U) dan 4-aminoantipirina (80 mg), dalam bentuk tepung kering beku. Stabil untuk jangka waktu 4 tahun pada suhu -20 °C. Botol 5 Larutan stándar D-glukosa (5 mL, 1,0 mg/mL) dalam asam benzoat 0,2% (b/v). Stabil untuk jangka waktu >4 tahun pada suhu kamar. Botol 6 Kontrol pati jagung terstandar. Kadar pati (96%) tertera pada label. Stabil untuk jangka waktu >4 tahun pada suhu kamar. Preparasi larutan dan suspensi reagen: Larutan 1 Sebanyak 1,0 mL isi botol 1 diencerkan menjadi 30 mL dengan reagen 1 (100 mM buffer Na asetat, pH 5; tidak terdapat di dalam kit). Enzim yang telah diencerkan disimpan di dalam freezer di antara saat-saat penggunaan. Enzim sebaiknya dipindahkan ke dalam beberapa botol polipropilena dan disimpan pada suhu -20 °C serta dijaga agar tetap dingin saat digunakan. Stabil untuk jangka waktu >3 tahun pada suhu -20 °C. Larutan 2 Isi botol 2 digunakan sebagaimana yang tersedia. Larutan 3 Isi botol 3 (GOPOD Reagent Buffer) diencerkan dengan air suling sampai 1 L. Larutan 4 Isi botol 4 dilarutkan dalam 20 mL larutan 3, lalu secara kuantitatif dipindahkan ke dalam botol yang berisi sisa larutan 3. Botol ditutup dengan aluminum foil untuk melindungi reagen di dalamnya dari sinar. Larutan ini merupakan reagen untuk menentukan glukosa (GOPOD Reagent).
Stabil
120
untuk jangka waktu sampai dengan 3 bulan pada suhu 2-5 °C atau >12 bulan pada suhu -20 °C. Larutan 5 dan 6 Isi botol 5 dan 6 digunakan sebagaimana yang tersedia. Stabil untuk jangka waktu >5 tahun pada suhu kamar. Reagen yang harus disiapkan sendiri (tidak terdapat di dalam kit): MOPS Buffer (50 mM, pH 7) ditambah CaCl2 (5 mM) dan Na azida (0,02% b/v) Sebanyak 11,55 g MOPS dilarutkan di dalam 900 mL air suling dan pH diatur hingga mencapai 7 dengan menambahkan HCl 1 M (10% v/v) (diperlukan kira-kira 17 mL). Ke dalamnya ditambahkan 0,74 g CaCl2.2H2O dan 0,2 g Na azida sampai larut. Volume larutan dibuat menjadi 1 L dengan menambahkan air suling. Stabil untuk jangka waktu 6 bulan pada suhu 4 °C. Buffer Na asetat (200 mM, pH 4,5) dan Na azida (0,02% b/v) Sebanyak 11,6 mL asam asetat glasial (1,05 g/mL) ditambahkan ke dalam 900 mL air suling, lalu pH diatur menjadi 4,5 dengan menambahkan larutan NaOH 1 M (4 g/100 mL) (diperlukan kira-kira 60 mL). Setelah itu, ditambahkan Na azida sebanyak 0,2 g sampai larut. Volume larutan dibuat menjadi 1 L dengan menambahkan air suling. Stabil untuk jangka waktu 6 bulan pada suhu 4 °C. Pengukuran kadar pati: Bahan yang mengandung pati dihaluskan sampai dapat melewati ayakan 0,5 mm (32 mesh). Bahan tersebut (sekitar 100 mg, diukur dengan tepat) dimasukkan ke dalam tabung reaksi gelas (16 x 120 mm).
Tabung diketuk-ketuk untuk
meyakinkan agar semua bahan terkumpul di dasar tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0,2 mL etanol 80% untuk membasahi bahan dan membantu proses dispersi. Isi tabung diaduk dengan menggunakan vortex mixer. Selanjutnya, segera ditambahkan 3 mL α-amilase (isi botol 1 yang diencerkan 1:30 dalam reagen 4; 50 mM MOPS buffer, pH 7) dan tabung diinkubasi dalam waterbath yang berisi air mendidih selama 6 menit (tabung diaduk kuat setelah pemanasan 2, 4 dan 6 menit).
Jika digunakan tabung polipropilena, pemanasan dilakukan
sampai 12 menit dengan pengadukan setelah pemanasan selama 4, 8 dan 12 menit.
121
Setelah itu, tabung reaksi dipindahkan ke dalam waterbath dengan suhu 50 °C, lalu ditambahkan buffer Na asetat (4 mL, 200 mM, pH 4,5), dilanjutkan dengan amiloglukosidase (0,1 mL, 20 U). Isi tabung diaduk menggunakan vortex mixer dan diinkubasi pada suhu 50 °C selama 30 menit. Seluruh isi tabung reaksi dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labut takar 100 mL, volume ditepatkan dengan menambahkan air suling, lalu dicampur dengan baik. Larutan kemudian disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 10 menit. Analisis dilakukan terhadap filtrat yang jernih. Sebanyak 0,1 mL filtrat dimasukkan ke dasar tabung reaksi (16 x 100 mm), kemudian ditambahkan 3,0 mL GOPOD Reagent ke dalam larutan (termasuk kontrol D-glukosa dan reagen blanko), lalu diinkubasi pada suhu 50 °C selama 20 menit. Kontrol D-glukosa berisi 0,1 mL larutan D-glukosa standar (1 mg/mL) dan 3,0 mL GOPOD Reagent. Larutan blanko terdiri dari 0,1 mL air dan 3 mL GOPOD.
Absorbansi tiap contoh dan larutan kontrol glukosa dibaca pada
panjang gelombang 510 nm. Persentase pati dalam contoh uji dihitung dengan persamaan sebagai berikut. Pati (%) = ∆A x F x FV/0,1 x 1/1000 x 100/W x 162/180 = ∆A x F/W x FV x 0,9 ∆A = absorbansi terhadap reagen blanko F = 100 (μg D-glukosa) / absorbansi untuk 100 μg glukosa FV = volume akhir 0,1 = volume contoh yang diuji 1/1000 = konversi dari μg ke mg 100/W = faktor untuk menyatakan ”pati” dalam persentase dari berat tepung W = berat contoh (dalam mg) 162/180 = penyesuaian dari D-glukosa bebas ke anhidro D-glukosa 100 Pati (%) b/b (basis berat kering) = Pati (% b/b) x 100 – Kadar air (% b/b)
122
Analisis kadar amilosa menggunakan Megazyme Amylose/Amylopectin Test Kit Di dalam kit terdapat 6 botol yang berisi bahan yang akan digunakan untuk analisis. Botol 1 Con A kering beku (200 mg). Stabil untuk jangka waktu >5 tahun pada suhu -20 °C. Botol 2 Amiloglukosidase (200 U pada p-nitrofenil β-maltosida) dan α-amilase (500 U pada reagen Ceralpha, pH 5,0 dan 40 °C), 2 mL. Stabil untuk jangka waktu >5 tahun pada suhu 4 °C. Botol 3 GOPOD Reagent Buffer. Buffer kalium fosfat (1 M, pH 7,4), asam p-hidroksi benzoat (0,22 M) dan Na azida (0,02% b/b). Stabil untuk jangka waktu > 3 tahun pada suhu 4 °C. Botol 4 GOPOD Reagent Enzymes.
Glukosa oksidase (>12.000 U), peroksidase
(>650 U) dan 4-aminoantipirina (80 mg), dalam bentuk tepung kering beku, stabil untuk jangka waktu > 5 tahun pada suhu -20 °C. Botol 5 Larutan stándar D-glukosa (5 mL, 1,0 mg/mL) dalam asam benzoat 0,2% (b/v). Stabil untuk jangka waktu >5 tahun pada suhu kamar. Botol 6 Contoh pati (dengan kadar amilosa tertentu). Stabil untuk jangka waktu >5 tahun pada suhu kamar. Preparasi larutan dan suspensi reagen: Larutan 1 Sebanyak 1,0 mL isi botol 1 diencerkan dalam 50 mL pelarut Con A (Buffer 3). Enzim yang telah diencerkan disimpan di dalam freezer di antara saat-saat penggunaan.
Enzim sebaiknya dipindahkan ke dalam beberapa botol
polipropilena dan simpan pada suhu -20 °C serta dijaga agar tetap dingin saat digunakan. Stabil untuk jangka waktu >2 tahun pada suhu -20 °C.
123
Larutan 2 Isi botol 2 dilarutkan di dalam 20 mL buffer Na asetat (100 mM, pH 4,5). Larutan dibagi ke dalam beberapa tabung polipropilena dan tabung disimpan pada suhu -20 °C di antara saat-saat penggunaan serta dijaga agar tetap dingin saat digunakan. Stabil untuk jangka waktu >2 tahun pada suhu -20 °C. Larutan 3 Isi botol 3 (GOPOD Reagent Buffer) diencerkan dengan air suling sampai 1 L. Larutan 4 Isi botol 4 dilarutkan dalam 20 mL larutan 3, lalu secara kuantitatif dipindahkan ke dalam botol yang berisi sisa larutan 3. Botol ditutup dengan aluminum foil untuk melindungi reagen di dalamnya dari sinar. Larutan ini merupakan reagen untuk menentukan glukosa (GOPOD Reagent).
Stabil
untuk jangka waktu sampai dengan 3 bulan pada suhu 2-5 °C atau >12 bulan pada suhu -20 °C. Larutan 5 dan 6 Isi botol 5 dan 6 digunakan sebagaimana yang tersedia. Stabil untuk jangka waktu >5 tahun pada suhu kamar. Reagen yang harus disiapkan sendiri (tidak terdapat di dalam kit): Buffer Na asetat (100 mM, pH 4,5) Sebanyak 5,9 mL asam asetat glasial (1,05 g/mL) ditambahkan ke dalam 900 mL air suling, lalu pH diatur menjadi 4,5 dengan menambahkan larutan NaOH 1 M (4 g/100 mL) (diperlukan kira-kira 30 mL). Setelah itu, ditambahkan Na azida sebanyak 0,2 g sampai larut. Volume larutan dibuat menjadi 1 L dengan menambahkan air suling. Stabil untuk jangka waktu 6 bulan pada suhu 4 °C. Pelarut Con A pekat (Buffer Na asetat 600 mM, pH 6,4) Sebanyak 49,2 g Na asetat anhidrat, 175,5 g NaCl, 0,5 g CaCl2.2H2O, 0,7 g MgCl2.6H2O dan 0,7 g MnCl2.4H2O dilarutkan di dalam 900 mL air suling. pH diatur menjadi 6,4 dengan menambahkan asam asetat glasial setetes demi setetes, lalu volume larutan ditepatkan menjadi 1 L dengan air suling. Stabil untuk jangka waktu 2 minggu pada suhu 4 °C.
124
Pelarut Con A untuk keperluan kerja Sebanyak 30 mL pelarut Con A pekat diencerkan menjadi 100 mL dengan menggunakan air suling. Digunakan hanya untuk 1 hari kerja Dimetil sulfoksida (DMSO) kualitas analitik. Stabil untuk jangka waktu pemakaian 5 tahun pada suhu kamar. Prosedur Analisis A. Pretreatment pati Contoh pati (20-25 mg) ditimbang dengan teliti (sampai ketelitian 0,1 mg) di dalam tabung reaksi 10 mL yang berpenutup ulir.
Setelah itu,
ditambahkan 1 mL DMSO dan diaduk perlahan pada vortex mixer. Tabung ditutup, lalu tabung dan isinya dipanaskan dalam air mendidih selama sekitar 1 menit sampai contoh benar-benar terdispersi. Perlu dipastikan tidak ada gumpalan gel dari pati.
Selanjutnya,
isi tabung diaduk dengan kuat
(kecepatan tinggi) menggunakan vortex mixer, dan tabung dipanaskan dalam waterbath yang berisi air mendidih selama 15 menit yang diselingi dengan beberapa kali pengadukan. Setelah itu, tabung disimpan pada suhu kamar selama sekitar 5 menit dan ke dalamnya ditambahkan 2 mL etanol 95% (v/v) sambil diaduk terus dengan vortex mixer, kemudian ditambahkan lagi 4 mL etanol, ditutup dan tabung dibalikkan untuk mengaduknya dengan baik. Pada tahap ini akan terbentuk endapan pati. Tabung dibiarkan selama 15 menit atau jika diperlukan selama 1 malam.
Selanjutnya, tabung disentrifugasi pada
2.000 g selama 5 menit, lalu supernatan dipisahkan dari endapan, dan tabung serta isinya dikeringkan dengan kertas tisu selama 10 menit untuk menghilangkan etanol. Pelet yang terbentuk digunakan untuk tahapan analisis selanjutnya. Sebanyak 2 mL DMSO ditambahkan ke dalam pelet pati, diaduk perlahan dengan vortex mixer. Tabung dipanaskan dalam waterbath dengan air mendidih selama 15 menit dan sesekali diaduk. terbentuknya gumpalan-gumpalan pada contoh.
Perlu dihindari
Segera setelah tabung
dipindahkan dari waterbath, ke dalam tabung ditambahkan 4 mL pelarut Con A (Buffer 3), lalu diaduk rata dan dipindahkan ka dalam labu takar 25 mL secara kuantitatif. Volume larutan diencerkan dengan pelarut Con A (larutan
125
ini selanjutnya dinamakan Larutan A). Jika diperlukan, larutan ini disaring dengan kertas Whatman No. 1. B. Presipitasi Con A terhadap amilopektin dan penentuan kadar amilosa Sebanyak 1 mL Larutan A dipindahkan ke dalam 2 tabung sentrifugasi berkapasitas 2 mL, kemudian ditambahkan 0,50 mL larutan Con A (botol 1), dan tabung ditutup dan diaduk perlahan serta dibalik-balik.
Setelah itu,
tabung dibiarkan selama 1 jam pada suhu kamar untuk selanjutnya disentrifugasi pada 14.000 g selama 10 menit pada suhu kamar. Sebanyak 1 mL supernatan dipindahkan ke dalam tabung sentrifugasi 15 mL, kemudian ditambahkan 3 mL buffer Na asetat (100 mM, pH 4,5), sehingga pH menjadi sekitar 5. Campuran diaduk rata dan ditutup agak longgar (menggunakan kelereng), lalu dipanaskan di dalam waterbath yang berisi air mendidih selama 5 menit untuk denaturasi Con A.
Tabung selanjutnya ditempatkan pada
waterbath dengan suhu 40 °C, kemudian ditambahkan 0,1 mL campuran enzim amiloglukosidase/α-amilase (larutan 2) dan diinkubasi pada suhu 40 °C selama 30 menit. Tabung kemudian disentrifugasi pada 2.000 g selama 5 menit. Ke dalam 1,0 mL supernatan ditambahkan 4 mL GOPOD Reagent (Reagent B), lalu dilakukan inkubasi pada suhu 40 °C selama 20 menit. Pada waktu yang sama dilakukan inkubasi yang sama terhadap reagen blanko dan kontrol D-glukosa. Masing-masing larutan contoh dan larutan kontrol glukosa diukur absorbansinya pada panjang gelombang 510 nm dengan pembanding larutan blanko. C. Penentuan total pati Sebanyak 0,5 mL larutan A dicampur dengan 4 mL buffer Na asetat (100 mM, pH 4,5), kemudian ditambahkan 0,1 mL larutan amiloglukosidase/αamilase dan campuran diinkubasi pada suhu 40 °C selama 10 menit. Kemudian, sebanyak 1,0 mL larutan ini dipindahkan ke dalam tabung reaksi gelas, ditambahkan 4 mL GOPOD Reagent (larutan 4) dan diaduk rata. Campuran diinkubasi pada suhu 40 °C selama 20 menit. Inkubasi harus
126
dilakukan bersamaan dengan inkubasi larutan contoh dan larutan standar yang diperoleh pada butir B di atas. Perhitungan kadar amilosa Amilosa (%) (b/b) Absorbansi (Supernatan Con A) =
6,15 x
Absorbansi (Larutan Total Pati)
100 x
9,2
1
Absorbansi (Supernatan Con A) =
x 66,8 Absorbansi (Larutan Total Pati)
angka 6,15 dan 9,2 adalah faktor pengenceran, masing-masing untuk ekstrak Con A dan total pati.
127
Lampiran 2 Prosedur analisis arang aktif (pH, daya serap terhadap I2, daya serap terhadap biru metilena dan luas permukaan) Pengukuran pH arang aktif (SNI 06-4253-1996) Sebanyak 1 g contoh dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 mL, kemudian ditambahkan 100 mL air (pH 7) dan didiamkan selama 5 menit. Suspensi arang aktif disaring menggunakan kertas saring Whatman No. 2, dan filtratnya diukur pH nya
Penetapan daya serap terhadap senyawa I2 (SNI 06-4253-1996) Sebanyak 1 g contoh arang aktif dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer bertutup, kemudian ditambahkan 50 mL larutan I2 0,1 N dan dikocok selama 15 menit pada suhu kamar, selanjutnya larutan langsung disaring. Larutan hasil saringan tersebut dipipet sebanyak 10 mL dan dititer dengan larutan Na tiosulfat 0,1 N sampai didapatkan larutan berwarna kuning, lalu ditambahkan larutan kanji 1% sebagai indikator. Larutan dititer kembali sampai warna biru dari larutan hilang. Daya serap I2 (mg/g) =
{w-(mL x N Na2S2O3)} x 126,93 x fp bobot contoh (g)
Penetapan daya serap terhadap biru metilena dan luas permukaan (SNI 064253-1996) Contoh arang aktif sebanyak 0,15 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, kemudian ditambahkan 50 mL larutan biru metilena 1.200 ppm. Campuran dikocok dan dibiarkan selama 70 menit, kemudian disaring dan diukur serapannya pada panjang gelombang 660 nm dengan spektrofotometer UV-Vis. {(1200 ppm x 0,05) – {(C x 0,05) x fp} Daya serap biru metilena (mg/g) = bobot contoh (g) C= konsentrasi biru metilena yang tersisa
128
Luas permukaan arang aktif dihitung sebagai berikut: Xm.N.A S= BM biru metilena S = luas permukaan arang aktif (m2/g) Xm = banyaknya biru metilena yang teradsorpsi oleh arang aktif N = bilangan Avogadro A = luas penampang biru metilena BM = bobot molekul biru metilena
129
Lampiran 3 Prosedur analisis komponen kimia hasil hidrolisis ampas tapioka Analisis kadar gula total (Metode Fenol Asam Sulfat, Wrolstad et al. 2005) Larutan glukosa (5 – 50 L) disiapkan menggunakan 1 mg/mL larutan standar glukosa, untuk membuat kurva kalibrasi. Larutan standar glukosa dan larutan contoh (dengan kisaran jumlah glukosa 5 – 50 L) dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0,5 mL larutan fenol 5% dan segera dilanjutkan dengan penambahan 2,5 mL asam sulfat pekat (96%) secara cepat. Absorbansi
larutan
standar
dan
larutan
contoh
diukur
menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm.
Analisis kadar gula pereduksi (Metode Somogyi-Nelson, Wrolstad et al. 2005) Kadar gula pereduksi dilakukan menggunakan metode Somogyi-Nelson. Pereaksi yang disiapkan dan cara kerjanya sebagai berikut. Pereaksi 1. Pereaksi tembaga sulfat Sebanyak 28 g Na2HPO4 anhidrat dan 4 g Na-K-tartrat dilarutkan dalam 700 mL air, ditambahkan 100 mL NaOH 1 N sambil diaduk, kemudian ditambahkan 80 mL CuSO4 10% (b/v) dan 180 g Na2SO4 anhidrat, lalu larutan ditepatkan menjadi 1 L. Larutan dibiarkan selama satu malam, kemudian supernatan jernih didekantasi atau disaring. 2. Pereaksi arsenomolibdat Sebanyak 25 g amonium molibdat dilarutkan dalam 450 mL air, ditambahkan 21 mL H2SO4 pekat, dan dicampur merata. Lalu, ditambahkan 3 g Na2HAsO4.7H2O yang sudah dilarutkan dalam 25 mL air. Larutan diaduk dan diinkubasi pada 37 °C selama 24-48 jam. Perekasi ini disimpan dalam botol coklat dan di dalam lemari. 3. Larutan glukosa standar Larutan stok glukosa standar 1% (b/v) dalam asam benzoat jenuh diencerkan sehingga diperoleh larutan glukosa standar dengan konsentrasi masing-masing 50, 100, 150, dan 300 mg/L.
130
Cara Kerja: Sebanyak 2 mL larutan sampel jernih yang bebas impuritas dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 2 mL pereaksi tembaga sulfat. Tabung reaksi ditutup dan ditempatkan dalam penangas air 100 °C selama 10 menit, kemudian didinginkan selama 5 menit dalam air mengalir. Setelah itu, ditambahkan 1 mL pereaksi arsenomolibdat dan dicampur merata. Isi tabung reaksi diencerkan sampai volume tertentu antara 10-25 mL, tergantung kepekatan warna larutan. Absorbansi larutan diukur pada 520 nm. Blanko dibuat sama seperti di atas kecuali sampel diganti dengan air. Kurva standar dari larutan glukosa standar 50, 100, 150, dan 300 mg/L dibuat dengan cara yang sama seperti penetapan sampel. Catatan: 1) Warna yang terbentuk stabil 2) Pemanasan dan pendinginan untuk seluruh sampel/standar dilakukan secara bersamaan dan seragam
Analisis kadar glukosa Analisis kadar glukosa dilakukan menggunakan Glucose CII test kit. Larutan standar glukosa disiapkan dengan jumlah glukosa 10, 20, 40, 60, 80 dan 100 g/20 L. Sebanyak 20 L larutan standar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi 10 mL, kemudian ditambahkan 3 mL pereaksi, dikocok dengan vortex shaker dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 5 menit. Setelah suhu
larutan
mencapai
suhu
ruang,
dilakukan
pengukuran
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 505 nm. Rendemen glukosa (% dari bahan kering) Berat glukosa dalam hidrolisat (g) =
x 100 Berat bahan (g) – (Kadar air x Berat bahan) (g)
Rendemen glukosa (% dari teoritis berdasarkan pati dalam bahan) Berat glukosa dalam hidrolisat (g) =
x 100 Berat pati dalam bahan (g) x 1,11
1,11 = Faktor konversi dari pati ke glukosa
absorbansi
131
Analisis kadar hidroksimetilfurfural (HMF) (SNI 01-3545-2004, BSN 2004) Sebanyak 5 g bahan ditimbang dalam gelas piala kecil, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL dan dibilas dengan air sampai volume larutan 25 mL. Ke dalamnya ditambahkan 0,50 mL larutan Carrez I (15 g kalium feroksianida K4Fe (CN)6.3H2O, dilarutkan dengan air dan diencerkan sampai volume 100 mL), dikocok dan ditambahkan 0,50 mL larutan Carrez II, lalu dikocok kembali dan diencerkan dengan air sampai dengan tanda tera. Untuk menghilangkan busa pada permukaan ditambahkan 1 tetes alkohol. Larutan disaring melalui kertas saring, dan 10 mL filtrat hasil saringan pertama dibuang. Sebanyak 5 mL filtrat dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi 18 x 150 ml, lalu ditambahkan 5 mL air ke dalam tabung contoh dan 5 mL larutan Na bisulfit 0,20% (0,20 g NaHSO3 dilarutkan dengan air dan diencerkan sampai 100 mL) ke dalam tabung lainnya sebagai pembanding. Larutan dikocok sampai tercampur sempurna dan ditetapkan absorbansinya dengan larutan pembanding sebagai referensi pada panjang gelombang 284 nm dan 336 nm. Bila absorbansi lebih dari 1, maka larutan contoh diencerkan, demikian juga larutan pembanding dengan cara yang sama dengan menggunakan larutan NaHSO3 0,1%.
Nilai absorbansi yang
diperoleh dikalikan dengan faktor pengenceran sebelum perhitungan. Kadar HMF dihitung sebagai berikut. (A284 – A336) x 14,97 x 5 HMF (mg/100 g bahan) = Bobot Contoh (g)
132
Lampiran 4 Perhitungan produksi dan hasil etanol dari proses fermentasi Produksi etanol (g/L) = Kadar etanol (% v/v) x 1000/100 x 0,789 1000/100 = konversi dari 100 mL ke 1 L 0,789 = densitas etanol (g/cm3) Produksi etanol (g/L) Produktivitas etanol (g/L/jam) = Waktu fermentasi (jam) V/1000 x Produksi etanol (g/L) Hasil etanol (g etanol/ g glukosa awal) = W (g) V = volume hidrolisat (mL) W = berat glukosa awal dalam hidrolisat
V/1000 x Produksi etanol (g/L) Hasil etanol (g etanol / g glukosa dikonsumsi) = W-W1 (g) V = volume hidrolisat (mL) W = berat glukosa awal dalam hidrolisat (g) W1 = berat glukosa dalam hidrolisat setelah fermentasi selama selang waktu tertentu (g) Hasil etanol (% dari bahan kering) V/1000 x Produksi etanol (g/L) =
x 100 Berat bahan (g) – (Kadar air x Berat bahan) (g)
V = volume hidrolisat (mL)