21
4 EKSTRAKSI PROPOLIS Trigona spp ASAL PANDEGLANG MENGGUNAKAN PELARUT ETANOL 70% DAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO SERTA KARAKTERISASINYA
4.1 Pendahuluan Propolis adalah resin yang dikumpulkan oleh lebah dari berbagai tumbuhan, yang bercampur dengan saliva dan berbagai enzim sehingga menghasilkan resin baru yang berbeda. Propolis mempunyai aktivitas antibakteri, antikapang, antivirus dan aktivitas biologis lain seperti antiinflamasi, anestesi lokal, hepatoprotektor, antitumor, dan imunostimulan (Bankova dan Popova, 2007; Fearnley, 2005; Lotfy, 2006). Daya antimikroba propolis telah dipergunakan oleh bangsa Yunani dan Romawi sejak berabad-abad yang lalu. Sifat unik propolis menarik perhatian para peneliti sejak akhir tahun 1960-an. Selama 40 tahun terakhir, telah dipublikasikan mengenai komposisi kimia, aktivitas biologis, farmakologis propolis dan terapi penggunaannya (Khismatullina, 2005). Propolis pada umumnya diperoleh dengan cara mengekstrak sarang lebah yang berasal dari Apis sp. Selain Apis sp., ada salah satu jenis lebah yang dekat dengan manusia yaitu lebah madu Trigona sp. Lebah jenis ini diperkirakan menghasilkan jumlah propolis lebih banyak dibandingkan dengan Apis sp. dengan kandungan bahan aktif yang lebih baik. Penelitian yang dilakukan oleh Hasan et al. (2006) menunjukkan bahwa ekstrak etanol propolis Trigona sp yang berasal dari Pandeglang memiliki aktivitas antibakteri, baik untuk bakteri Gram positif (Staphilococcus aureus dan Bacillus subtilis), maupun bakteri Gram negatif (Escherichia coli). Data lain kandungan kimia stingless bees diungkap oleh Matienzo dan Lamorena (2004) serta Sawaya et al. (2009). Ekstraksi propolis secara umum dilakukan dengan menggunakan pelarut organik atau fluida superkritik. Penelitian yang dilakukan oleh Park dan Ikegaki (1998) memperoleh bahwa etanol 70% mampu mengekstrak flavonoid jenis pinokembrin dan sakuranetin. Penggunaan etanol 70% lebih baik dibandingkan dengan etanol absolut (95%) karena perolehan ekstrak flavonoid lebih banyak. Ekstraksi propolis menggunakan etanol 70% berturut-turut telah dilakukan oleh para peneliti untuk beragam asal propolis seperti Eropa (Sawaya et al., 2004, Bankova et al., 2002, Cunha et al., 2006), Brazil (Cunha et al. 2004; da Silva et al. 2011; da Silva et al. 2011a; Sawaya et al. 2009, Silva et al. 2008), Transilvania (Mihai et al. 2009) dan Libia (El-Rahman, 2010). Sedangkan ekstraksi propolis dari Taiwan yang dilakukan oleh Chen et al. (2008) tidak menyebutkan konsentrasi etanol yang digunakannya. Ekstraksi propolis, selain dengan teknik pelarutan tanpa modifikasi suhu maupun proses mekanik lain, juga dapat dilakukan dengan menambahkan modifikasi perlakuan ultrasonik atau pemanasan gelombang mikro (Trusheva et al. 2007), modifikasi tekanan maupun menggunakan teknik ekstraksi superkritis (Paviani et al. 2012). Untuk berbagai cara ekstraksi propolis telah dirangkum Sawaya et al. (2011). Maserasi merupakan proses sederhana dalam memisahkan komponen aktif dari bahan asalnya. Cara ini memerlukan waktu yang relatif lama dibandingkan dengan teknik ekstraksi lainnya, namun demikian teknik meserasi ini dapat dimodifikasi dengan menambahkan panas baik yang berasal dari
22
gelombang suara maupun gelombang mikro. Dikatakan bahwa teknik ektraksi dengan Soxhlet (Soxhlet Extractor) dapat dilakukan sehingga lamanya ekstraksi lebih sedikit dengan rendemen yang meningkat. Alternatif pelarut lain untuk maserasi adalah dengan air murni atau minyak nabati, namun rendemen yang dihasilkan relatif sedikit dan rendah dalam kadar flavonoidnya. Ekstraksi superkritis merupakan suatu teknik yang menggunakan karbon dioksida (CO2) sebagai pelarut, namun tetap saja menggunakan etanol pada salah satu tahapnya agar komponen bioaktif terekstrak dengan sempurna. Menurut Trusheva et al. (2007) maserasi dengan modifikasi pemanasan gelombang mikro merupakan cara yang terbaik untuk mengekstrak propolis. Model pengujian yang dapat dilakukan terhadap suatu bahan untuk mengetahui kemampuan sebagai antikanker adalah dengan menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Menurut de Castro et al. (2011), Saccharomyces cerevisiae merupakan sel eukariot yang mempunyai sifat dan mekanisme kerja yang sama dengan hewan tingkat tinggi sehingga dapat dijadikan model pengujian aktivitas antikanker suatu bahan. Dengan menggunakan yeast ini dapat dilihat proses apoptosis akibat pemberian propolis terhadap cytochrome c yang terdapat pada sistem metabolisme sel eukariot tingkat tinggi. Pola kerja menjadikan S.cerevisiae sebagai model juga ditunjukkan pada adanya aktivitas ATP-ase yang berhubungan dengan gen Pdr5p yang merupakan pola yang setara dengan daya kerja bahan sebagai antikanker (Lotti et al. 2011). Gen lainnya yang dapat dijadikan contoh dalam kerja bahan sebagai antikanker adalah gen Sin3 atau Sin3A (Ayer et al. 1995). Gen Sin3 atau Sin3A ini berhubungan dengan aktivitas penekanan transkripsi yang juga dapat diukur pada aktivitas histone deacetylase. Penghambatan aktivitas histone deacetylase ini dapat dijadikan pula sebagai parameter uji antikanker baik in-vitro maupun in-vivo (Huang et al. 2012). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji proses ekstraksi propolis dalam rangka perbaikan proses ekstraksi melalui kajian pengaruh nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah dalam maserasi dengan modifikasi pemanasan gelombang mikro terhadap kemampuan propolis dalam menginduksi apoptosis sel S.cerevisiae dan mengkaji karakteristik serta kemampuannya sebagai bahan antikanker payudara.
4.2 Bahan dan Metode 4.2.1 Bahan dan Alat Bahan-bahan biologis digunakan adalah sarang lebah Trigona spp terpilih yang berasal dari Pandeglang, Banten, model sel uji kanker (S.cerevisiae), AlCl3, sel kanker Michigan Cancer Foundation-7 (MCF-7). Medium dan bahan kimia yang digunakan adalah medium Roswell Park Memorial Institute (RPMI) 1640, 7,12-dimethyl-benz(a)anthracene (DMBA), etanol 70%, Fetal Bovine Serum (FBS), pereaksi 3-(4,5-dimethylthiazol-2yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT), dan 1,1-diphenyl-2-picril hydrazil (DPPH). Alat-alat yang digunakan ialah pemanas gelombang mikro (Kriss Microwave Oven dengan frekuensi 2450 MHz, daya 800 Watt), laminar air flow cabinet, inkubator, Fourier transform
23
infrared spectroscopy (FTIR) (Shimadzu IR-Prestige 21), dan evaporator vakum. Secara lengkap bahan-bahan yang digunakan disajikan pada Subbab 2.2. 4.2.2 Metode 4.2.2.1 Ekstraksi Propolis Ekstraksi dilakukan dengan maserasi dengan pelarut etanol 70% terhadap sarang lebah dengan nisbah tertentu pada modifikasi pemanasan gelombang mikro seperti yang terdapat pada Subbab 2.3.1.1. Batasan dan taraf dua peubah yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 4.1. Jumlah sarang lebah yang digunakan sebanyak 1 g. Diagram alir proses ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 4.1. Tabel 4.1 Batasan dan taraf dari dua peubah Peubah (X)
Batasan dan Taraf -α
-1
0
+1
+α
Waktu pemanasan gelombang mikro, menit
5.86
10
20
30
34,12
Nisbah pelarut etanol 70%sarang lebah
7,92
10
15
20
22,07
Rancangan percobaan menggunakan metode Response Surface (RSM) untuk menentukan batasan dan taraf dari dua peubah bebas (waktu pemanasan dengan gelombang mikro dan nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah). Analisis statistika dilakukan dengan menggunakan bantuan Design Expert 7.0.0 (free k
trial). Model matematika yang digunakan sebagai berikut : Y=0+ iXi + i 1
k
2 i
iiX + ijXiXj + ij, dengan i 1
Y : respon (jumlah persentase sel petite
i j
dan rendemen), 0 : tetapan, i, ii, ij : koefisien dari peubah bebas (X), X adalah peubah bebas dengan tanpa sandi (waktu = X1 taraf 10, 20 dan 30 menit; nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah = X2 taraf 10, 15 dan 20), dan adalah galat. Penentuan kondisi terbaik dari penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Response Surface dengan dua peubah. Parameter yang digunakan untuk menentukan kondisi terbaik adalah jumlah persentase sel petite yang merupakan respon kemampuan propolis dalam menginduksi apoptosis terhadap sel S. cerevisiae dari setiap satuan percobaan dan rendemen hasil ekstraksi. 4.2.2.1 Karakterisasi propolis Karakterisasi propolis dilakukan terhadap hasil ekstraksi propolis terbaik meliputi pengukuran kadar total flavonoid, pengujian aktivitas antioksidan, identifikasi gugus fungsional, identifikasi kandungan senyawa propolis, uji induksi apoptosis S. cerevisiae, dan uji efikasi in-vitro terhadap sel kanker payudara.
24
Pelarut, etanol 70%
Sarang Lebah
Ekstraksi
Suhu 27oC, 18 jam + Pemanasan Gelombang Mikro
Ekstrak
Penyaringan
Filtrat
Padatan
Pelarut
Pengeringan
Ekstrak Propolis Kering
Gambar 4.1 Diagram alir ekstraksi propolis dengan pelarutan dan pemanasan gelombang mikro 4.2.2.2.1 Pengukuran kadar total flavonoid. Kandungan total flavonoid ditentukan dengan metode Chang et al. (2002) dengan modifikasi. Pengujian dilakukan menggunakan AlCl3 yang diukur dengan metoda pewarnaan. Tatacara pengukuran kadar total flavonoid disajikan pada Subbab 2.3.1.2.2 4.2.2.2.2 Pengujian Aktivitas Antioksidan. Aktivitas antioksidan propolis diuji dengan metoda Cottica et al. (2011) yang dimodifikasi untuk melihat penghambatan oksidasi radikal bebas DPPH. Pengujian aktivitas antioksidan secara lengkap disajikan pada Subbab 2.3.1.2.3 4.2.2.2.3 Identifikasi Gugus Fungsional. Identifikasi gugus fungsional dari nanopropolis dilakukan menggunakan spektrofotometer FTIR dengan jarak
25
serapan inframerah dari 4000 cm-1 hingga 400 cm-1. Tatacara uji identifikasi gugus fungsional disajikan pada Subbab 2.3.2.4. 4.2.2.2.4 Identifikasi Kandungan Senyawa Propolis. Identifikasi senyawa yang terkandung dalam propolis dilakukan menggunakan HPLC Shimadzu dengan jarak waktu serapan hingga 90 menit. Tatacara uji identifikasi kandungan bahan kimia propolis disajikan pada Subbab 2.3.2.5. 4.2.2.2.5 Uji Induksi Apoptosis S. cerevisiae. Pengujian induksi apoptosis terhadap S. cerevisiae dilakukan sesuai dengan metoda Laun et al. (2001) yang dimodifikasi. Tatacara pengujian induksi apoptosis disajikan pada Subbab 2.3.1.2.4. 4.2.2.2.6 Uji Efikasi in-vitro terhadap Sel Kanker Payudara. Uji ini dilakukan dengan metoda MTT-assay. Pengujian antisitotoksik disajikan pada Subbab 2.3.2.7.
4.3 Hasil dan Pembahasan 4.3.1 Ekstraksi Propolis Hasil ekstraksi dari berbagai perlakuan disajikan pada Tabel 4.2 yang meliputi hasil ekstrak propolis (rendemen) dan kemampuan induksi apoptosis (% sel petite). Hasil yang diperoleh beragam sesuai perlakuan, mulai dari 0.17 hingga 17.48 % (b/b). Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa perolehan ekstrak berhubungan dengan jumlah etanol 70 % yang digunakan, makin banyak etanol yang digunakan makin besar rendemen yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh banyak rongga dalam pelarut yang tersedia dan diisi oleh komponen bahan kimia asal sarang lebah yang dapat dikeluarkan selama ekstraksi. Penggunaan etanol 70% sebagai pelarut memungkinkan terjadinya pelarutan bahan aktif larut etanol maupun yang larut dalam air secara bersamaan. Sehingga flavonoid akan terlarut lebih banyak etanol 70% dibandingkan dengan konsentrasi etanol lainnya (Kim et al. 2007: Muli dan Maingi 2007), propolis yang dihasilkan mempunyai aktivitas antioksidan tertinggi (Park dan Ikegaki 1998; Bankova et al. 2002; Cunha et al. 2006). Berdasarkan analisis RSM, model persamaan yang diperoleh dari hasil ekstraksi propolis adalah Y=7.95-0.78X1+5.93X2+0.82X12+0.50X22+1.42X1X26.61X12X2-2.53 X1X22, dengan R2 = 0.98. Dari persamaan tersebut diperkirakan hasil terbaik sebesar 10.19% dicapai pada kondisi pemanasan gelombang mikro selama 27 menit dan nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah sebesar 20. Analisis sidik ragam model persamaan matematika pengaruh pemanasan gelombang mikro dan nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah terhadap rendemen hasil ekstraksi propolis disajikan pada Lampiran 3. Hasil verifikasi ekstraksi diperoleh ekstrak propolis sebanyak 12.67%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cunha et al. (2004) dengan pelarut yang sama sekitar 6.41 sampai dengan 16.24 % (b/b). Penggunaan teknik maserasi selama 18 jam yang diikuti perlakuan pemanasan gelombang mikro belum
26
memberikan hasil yang memuaskan karena teknik maserasi selama 7 hari diperoleh hasil sebesar 24.66% (Hasan et al. 2011), sedangkan Naama et al. (2011) menghasilkan ekstrak sebanyak 25.67% pada waktu maserasi yang sama. Kecilnya nilai rendemen yang diperoleh dibandingkan dengan hasil pada setiap satuan percobaan kemungkinan adanya komponen yang menguap. Seperti halnya pada satuan percobaan dengan waktu pemanasan yang lama mengakibatkan rendemen yang lebih kecil dibandingkan dengan waktu pamanasan yang relatif singkat. Tabel 4.2 Hasil ekstrak propolis (%, b/b) dan hasil pengujian induksi apoptosis (jumlah sel petite, %) Satuan percobaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Hasil Verifikasi
Waktu pemanasan, menit 10 10 5.86 34.14 30 30 20 20 20 20 20 20 20 27
Nisbah pelarut Rata-rata hasil etanol 70%ekstraksi, % sarang lebah (b/b) 10 15.15 20 10.92 15 10,25 15 8.04 20 7.13 10 5.68 7.93 0.15 22.07 16.88 15 7.55 15 8.56 15 8.12 15 6.83 15 8.71 20
12.67
Rata-rata Jumlah sel petite (%) 68.97 65.97 66.78 81.63 84.90 74.66 67.62 65.00 78.73 74.31 62.39 78.38 68.48 70.32
Demikian pula dengan waktu pemanasan gelombang mikro, makin lama waktu pemanasan makin banyak partikel yang bertumbukan antara pelarut dan sarang lebah sehingga menghasilkan rendemen yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan waktu pemanasan yang sebentar. Pemanasan gelombang mikro dapat menyebabkan dinding sel hancur sehingga bahan aktif yang ada dapat terekstrak keluar dari sarang lebah dapat berdifusi kedalam pelarut (Dean 1998). Makin lama waktu pemanasan tidak menjadikan rendemen makin tinggi. Hal ini disebabkan oleh jumlah bahan yang dapat diekstrak dari sarang lebah oleh pelarut saat waktu pemanasan yang makin bertambah menyebabkan jumlah bahan terekstrak bertambah banyak sampai batas maksimal. Kemungkinan lain adalah adanya komponen bahan yang mudah menguap yang hilang dengan bertambahnya waktu pemanasan. Dalam penelitian Trusheva et al. (2007) menemukan bahwa jumlah total fenolik (24.4%) yang dihasilkan dari pemanasan yang lebih lama mempunyai jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah total fenolik (40.4%) dari hasil lama waktu pemanasan yang lebih singkat. Menurut Junior et al. (2008) terdapat 23 senyawa yang mudah menguap pada propolis Brasil, sedangkan propolis asal Yunani mengandung 24 komponen yang mudah menguap
27
(Melliou et al. (2007). Demikian pula pada penelitian Segueni et al. (2010) dan Haile et al. (2012) menyatakan bahwa terdapat banyak komponen yang mudah menguap yang terkandung dalam propolis, terutama yang menimbulkan aroma yang menonjol. Dengan demikian pengaruh waktu pemanasan berakibat pada hilangnya sejumlah bahan aktif yang mudah menguap dalam propolis sehingga menimbulkan perbedaan dalam rendemen hasil ekstraksinya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Trusheva et al. (2007) menemukan bahwa maserasi dengan modifikasi pemanasan gelombang mikro pada raw propolis dengan waktu 20 detik menghasilkan rendemen 75% sedangkan pada pemanasan selama 30 detik menghasilkan rendemen 66% pada dengan nisbah pelarut-sarang lebah yang sama yaitu 10. Kemampuan induksi apoptosis sel S.cerevisiae ditunjukkan dengan persentase jumlah sel yang mengalami pengecilan ukuran (jumlah sel petite, %). Pada Tabel 4.2 nampak bahwa makin lama waktu pemanasan gelombang mikro dan makin besarnya nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah maka besar pula perolehan propolis hasil ekstraksi dalam menginduksi apoptosis sel S.cerevisiae. Hal ini disebabkan jumlah bahan aktif yang terekstrak lebih banyak sehingga berpengaruh terhadap jumlah sel yang mengalami petite. Persentase jumlah sel yang mengalami apoptosis terbanyak (84.90%) nampak pada satuan percobaan waktu pemanasan gelombang mikro 30 menit dengan nisbah pelarut etanol 70%sarang lebah sebesar 20. Pada kondisi ini diperkirakan banyak bahan aktif yang terekstrak dan belum mengalami penguapan, sehingga kemampuannya dalam mengapoptosis sel S.cerevisiae terbanyak. Berdasarkan analisis RSM model persamaan yang menunjukkan kemampuan induksi apoptosis sel S.cerevisiae adalah Y=72.46+5.25X10.93X2+1.72X12-2.23X22+3.31X1X2+2.74X12X2+0.90X1X22, dengan R2 = 0.64. Artinya bahwa 36% yang lainnya merupakan bukan peubah yang mempengaruhi terjadinya apoptosis. Hasil analisis sidik ragam pengaruh pemanasan gelombang mikro dan nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah terhadap kemampuan propolis hasil ekstraksi dalam menginduksi apoptosis sel S. cerevisiae (%) disajikan pada Lampiran 4. Dari persamaan tersebut diperkirakan induksi apoptosis menghasilkan sel petite sebanyak 78.13% dicapai pada kondisi waktu pemanasan 27 menit dan nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah sebesar 20. Hasil verifikasi kondisi terbaik menunjukkan bahwa kemampuan induksi apoptosis propolis adalah sebanyak 70.32% sel mengalami petite. Menurut Anonim (2007), penentuan kondisi terbaik dapat dilihat dari nilai desirability yang mencapai maksimum. Nilai kondisi terbaik ditunjukkan dengan nilai desirability yang mendekati satu dari selang 0 hingga 1. Berdasarkan analisis data, menunjukkan pengaruh pemanasan gelombang mikro dan nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah terhadap nilai desirability pada kondisi terbaik. Pada penelitian ini diperoleh nilai desirability sebesar 0.65% dengan waktu pemanasan gelombang mikro selama 27 menit dan nisbah pelarut etanol 70%sarang lebah sebesar 20. 4.3.2 Karakteristik Ekstrak Propolis Flavonoid merupakan senyawa fenol yang terdapat dalam propolis dan kadarnya berhubungan dengan warna sarang lebah. Propolis yang berwarna lebih gelap mengandung flavonoid lebih banyak, sehingga hasilnya yang lebih banyak
28
dibandingkan dengan propolis berwarna lebih muda (Woo 2004). Flavonoid ini merupakan bahan aktif pada propolis. Propolis ini larut sempurna dalam propilen glikol dan etanol 70% tapi tidak larut dalam air. Pengukuran kadar total flavonoid propolis diperoleh sebesar 30.62 µg ml-1 atau sebanyak 15.31% (b/b). Hasil penelitian ini masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Trusheva et al. (2007) yang menghasilkan total flavonoid sebanyak 69%. Hal ini ini menunjukkan bahwa perbedaan asal propolis berakibat pada perbedaan kandungan flavonoidnya (Bankova 2007). Menurut Chen et al. (2008), kadar flavonoid ini akan berbeda dipengaruhi oleh lokasi dan musim saat pengambilan raw propolis. Lebah madu akan mengambil getah tanaman di sekitar lokasi sarang lebah kemudian dicampur dengan air liurnya dan disimpan dalam sarang lebah. Hal ini membuktikan bahwa getah tanaman yang berasal dari satu tanaman dengan tanaman lainnya dan dari lokasi ke lokasi lainnya menghasilkan warna sarang lebah yang berbeda dengan kadar flavonoid yang berbeda pula. Namun, dalam penelitian ini, hasil yang diperoleh masih lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chang et al. (2002) yang membandingkan propolis asal Brazil (10.38%) dan Taiwan (20.60–24.91%) serta penelitian yang dilakukan oleh Wang et al. (2000) dan Yaghoubi et al. (2007) terhadap propolis Brazil dengan kadar total flavonoid 7.3%. Hasil penelusuran gugus fungsional propolis diperoleh adanya gugus fungsional -OH pada panjang gelombang 3267.41 cm-1 yang sangat jelas (Gambar 4.1). Dengan adanya gugus –OH yang sangat jelas tersebut menunjukkan bahwa propolis mengandung senyawa fenol terutama flavonoid. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wu et al. (2008) menggunakan propolis asal Cina dan Brazil menemukan bentuk kromatogram yang mirip antara keduanya terutama pada gugus –OH. Pada gugus lainnya pun menunjukkan persamaan antara propolis asal Cina dan Brazil karena tanaman di sekitar sarang lebah yang sama, sedangkan perbedaan puncak lain dalam kromarogram FTIR disebabkan perbedaan lokasi asal propolis. Pada penelitian yang dilakukan ini terdapat puncak lain sebagai penunjuk gugus fungsional lain seperti -CH (2931.80 cm-1), –H (2376.30, 2345.44 dan 2322.29 cm-1), dan C=C, C=O atau C=N (1724.36, 1658.78 dan 1600.92 cm-1) juga nampak pada hasil FTIR propolis tersebut. Adanya senyawa mudah menguap dalam propolis Trigona spp ini terlihat pada Gambar 4.1 dengan puncak yang muncul pada serapan yang lebih panjang (1600 hingga 400 cm-1). Hasil analisis HPLC untuk penelusuran kandungan kimia propolis secara kualitatif menunjukkan bahwa propolis asal Pandeglang, Indonesia mengandung komponen asam organik (terdiri atas asam firulat, asam kumarat, asam salisilat, asam protokatekuat dan asam kafeat) sebanyak 32.85% dan flavonoid (terdiri atas tektokrisin, pinokembrin, galangin, pinobanskin, kuersetin, fisetin, krisin dan epigenin) sebanyak 25.29% (Tabel 4.3). Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa kandungan terbesar adalah asam firulat (29.80%), techtochrysin (14.15%) dan pinokembrin (7.73%). Komponen asam firulat ini merupakan asam yang larut dalam etanol, tapi sedikit larut dalam air, demikian juga dengan komponen asam kumarat dan asam kafeat. Sedangkan jenis flavonoid mempunyai kelarutan dalam air yang baik bila mengandung komponen glikosida seperti tektokrisin dan pinokembrin (Markham 1982). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Szliszka et al. (2011) dan Chang et al. (2008) bahwa propolis hasil ekstraksi dengan etanol banyak mengandung asam fenolat dan flavonoid. Kandungan
29
asam organik dalam propolis menurut hasil penelitian Szliszka et al. (2011) terdiri dari asam sinamat, asam kumarat, asam kafeat, dan asam fenetil kafeat, selanjutnya komponen flavonoid dalam propolis adalah krisin, apigenin, akasetin, galangin, kaemferol, kaemferil dan kuersetin. Komponen asam organik dan flavonoid yang terekstrak dengan etanol 70% lebih banyak jumlahnya dengan menambahkan perlakuan pemanasan gelombang mikro sehingga kesempatan asam organik maupun flavonoid keluar dari sarang lebah dan terlarut dalam pelarut menjadi lebih besar.
Gambar 4.2
Tampilan kromatogram FTIR propolis pada rentang 4000-400 cm-1
Komponen flavonoid seperti tektokrisin dan asam organik seperti asam firulat merupakan senyawa aktif yang dapat bersifat antioksidan, yang ditunjukkan oleh adanya kemampuan mereduksi radikal bebas DPPH. Keberadaan suatu antioksidan merupakan hal yang penting dalam formulasi obat. Makin kecil nilai IC50 makin besar kemampuannya sebagai bahan antioksidan. Hasil pengukuran antioksidan propolis dengan metoda DPPH diperoleh IC50 sebesar 75.68 µg ml-1. Penelitian yang dilakukan oleh Cottica et al. (2011) mendapatkan nilai reduksi radikal bebas dari propolis Brazil berkisar antara 47 hingga 160 µg ml-1. Perbedaan hasil IC50 yang diperoleh Cottica et al. (2011) disebabkan oleh perbedaan tatacara ekstraksi dan pelarut yang digunakan bukan karena perbedaan lokasi maupun waktu pemanenen. Sedangkan nilai IC50 yang sangat kecil diperoleh dari kandungan mudah menguap dari India sekitar 0.32 µg ml-1 (Naik dan Vaidya 2011). Pengujian kemampuan propolis dalam menghambat pertumbuhan sel eukariot atau induksi apoptosis dilakukan menggunakan sel model S. cerevisiae. Pada konsentrasi 50 µg ml-1 kemampuan menginduksi apoptosis sel S. cerevisiae sebesar 70.32 % atau IC50 sebesar 6.02 µg ml-1. Hasil menunjukkan lebih besar dibandingkan dengan Lotti et al. (2011) dari contoh yang diujikan terdapat propolis asal Brazil yang mempunyai IC50 sekitar 50-100 µg ml-1. Penelitian yang dilakukan oleh de Castro dan Higashi (1999) sampai konsentrasi propolis 100 µg ml-1 belum menemukan penghambatan. Hal ini menunjukkan bahwa propolis asal
30
Pandeglang cukup tinggi kemapuannya dalam mengapoptosis sel S.cerevisiae. Pola induksi apoptosis terhadap S. cerevisiae adalah dengan menghambat pembentukan enzim pembawa gen Pdr5p (Lotti et al. 2011). Pada penelitian Lotti et al. (2011) menemukan bahwa pembentukan enzim pembawa gen Pdr5p tersebut berhubungan dengan kemampuan memproduksi ATP-ase yang kemudian mengakibatkan pola perubahan apoptosis dalam sel S.cerevisiae. Tabel 4.3 Komponen kimia propolis asal Pandeglang Komponen Asam Organik : 1 Asam Firulat
2 Asam Kumarat 3 Asam Salisilat 4 Asam Protokatekuat
Struktur Kimia
1
Jumlah (%) 32.85 29.80
2
3
2.33 0.54
4
5 Asam Kafeat
0.12 0.06
5 Flavonoid : 1 Tektokrisin
2 Pinokembrin
25.29 14.15
1
2
3 Galangin
4 Pinobanskin
1.77
3
4
5 Kuersetin
6 Fisetin
0.98 0.37
5
6
7 Krisin
8 Epigenin
7.73
0.19 0.08
7
8
0.02
Pengujian aktivitas propolis dalam mematikan sel kanker payudara secara in-vitro dilakukan terhadap sel kanker MCF-7 memperoleh nilai IC50 sebesar 233 µg ml-1 (Lampiran 5). Hasil penelitian Syamsuddin et al. (2011) menemukan
31
bahwa nilai IC50 ekstrak etilasetat propolis asal Grinsing, Jawa Tengah lebih aktif dibandingkan dengan ekstrak butanol yaitu 200 µg ml-1 dibanding dengan 47.45 µg ml-1. Makin kecil nilai IC50 makin aktif propolis sebagai agen antiproliferasi sel kanker. Walaupun demikian, dengan sifat-sifat yang lainnya kemampuan antiproliferasi propolis asal Pandeglang akan berubah apabila diubah menjadi bentuk partikel nano. 4.4 Kesimpulan dan Saran 4.4.1 Kesimpulan Kondisi pemanasan gelombang mikro dan nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah yang terbaik terhadap nilai rendemen dan jumlah persentase apoptosis sel S. cerevisiae adalah selama 30 menit dengan nisbah sebesar 20. Nilai rendemen pada kondisi terbaik adalah sebanyak 12.67% dengan kemampuan induksi apoptosis terhadap sel S. cerevisiae petite sebesar 70.32%. Propolis Trigona spp. asal Pandeglang, Banten Indonesia mempunyai aktivitas antioksidan (IC50) sebesar 75.34 µg ml-1, mematikan 50% sel kanker MCF-7 pada konsentrasi 233 µg ml-1, dengan nilai IC50 induksi apoptosis sel S. cerevisiae sebesar 6.015 µg ml-1.
4.4.2 Saran Perlu dilakukan karakteristik propolis setiap satuan percobaan yang dilakukan untuk melihat karakter lebih lengkap.