JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
1
PENGGUNAAN PRETREATMENT BASA PADA PROSES DEGRADASI ENZIMATIK AMPAS TEBU UNTUK PRODUKSI ETANOL Azizah Ayu Kartika , Hikmatush Shiyami Mariana, Prof. Dr. Ir. Arief Widjaja, M.Eng., dan Ir. Mulyanto, M.T. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Keputih Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia Email:
[email protected] Abstrak— Etanol dapat dihasilkan melalui proses fermentasi glukosa dan xilosa, yang merupakan hasil hidrolisa enzimatik selulosa dan hemiselulosa. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh jenis strain pada proses fermentasi hidrolisat enzimatik bagasse tebu menjadi etanol. Bagasse tebu melalui dua tahap pretreatment, yaitu pretreatment mekanik dan kimiawi. Pada tahap pretreatment mekanik, bagasse tebu digiling dan diayak untuk mendapatkan ukuran 100-120 mesh, kemudian dilanjutkan dengan pretreatment kimiawi dengan NaOH 1% (w/v), pada suhu 80oC selama 16 jam. Bagasse tebu yang digunakan mengandung 57,79% selulosa, 23,97% hemiselulosa dan 15,38% lignin. Kemudian, selulosa dan hemiselulosa pada bagasse tebu dihidrolisa secara enzimatik pada suhu 600C, pH 3 selama 48 jam dengan enzim selulase, enzim xilanase dan campuran keduanya. Hidrolisis menghasilkan yield gula reduksi sebesar 0.48 g gula reduksi/g ampas tebu, 0.33 g gula reduksi / g ampas tebu dengan menggunakan enzim xilanase, 0.28 g gula reduksi / g ampas tebu dengan menggunakan enzim selulase. Hasil fermentasi hidrolisat ampas tebu dengan Saccharomyces cerevisiae menghasilkan yield sebesar 0,446 g etanol/g gula reduksi, dengan Pichia stipitis menghasilkan yield sebesar 0,444 g etanol/g gula reduksi, serta campuran Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis menghasilkan yield sebesar 0,447 g etanol/g gula reduksi. Kata kunci:
Etanol, Bagasse Tebu, Hidrolisa, Fermentasi
NaOH,
I. PENDAHULUAN eningkatan permintaan energi yang semakin melonjak berbanding terbalik dengan jumlah cadangan minyak bumi yang diperkirakan akan habis dalam dua decade mendatang. Oleh karena itu, diperlukan alternative sumber energi yang dapat diperbaharui. Salah satu sumber energi alternatif adalah bioetanol.. Bioetanol adalah etanol berbahan dasar biomassa terbarukan yang merupakan bahan bakar bersih karena pembakarannya tidak menyebabkan tambahan emisi karbon dioksida di atmosfir. Penggunaan etanol yang dicampur dengan bahan bakar untuk mobil secara signifikan dapat mengurangi konsumsi minyak bumi dan emisi gas rumah kaca [1]. Ampas tebu merupakan hasil samping proses pembuatan gula tebu (sugarcane) yang mengandung residu berupa serat, minimal 50% seratnya diperlukan sebagai bahan bakar boiler, sedangkan 50% sisanya hanya ditimbun sebagai buangan yang memiliki nilai ekonomi rendah. Komposisi ampas tebu terdiri dari 50% selulosa, 25% hemiselulosa, 25% lignin [2]. Selulosa adalah homopolimer yang tersusun dari subunit D-glukosa yang ditautkan satu
P
sama lain dengan ikatan β-(1→4)-glikosida,]. Selulosa berfungsi untuk memberikan perlindungan, bentuk, dan penyangga terhadap sel, dan jaringan. Hemiselulosa merupakan gabungan dari polimer-polimer pada selulosa dengan rantai relatif lebih pendek dan bercabang, yang terdiri dari monomer xylosa, arabinosa, glukosa, manosa dan galaktosa, dengan struktur amorf [3]. Hemiselulosa berfungsi mendukung dalam dinding-dinding sel dan sebagai perekat. Dengan derajat polimerisasi hanya 200, maka hemiselulosa akan terdegradasi lebih dahulu daripada selulosa [4]. Lignin merupakan polimer aromatik yang berasosiasi dengan polisakarida pada dinding sel sekunder tanaman. Dibandingkan dengan selulosa atau hemiselulosa, pemecahan lignin terjadi sangat lambat oleh jamur dan bakteri [5]. Penggunaan pretreatment basa dapat menurunkan lignin secara signifikan, dapat berjalan pada temperature rendah, menurunkan kadar ligin lebih tinggi dibandingkan hemiselulosa, tidak menghasilkan produk samping dan ramah lingkungan [6]. Larutan NaOH dapat menyebabkan peningkatan luas permukaan, penurunan derajat polimerisasi, penurunan kristalinitas, pemisahan ikatan struktural antara lignin dan karbohidrat, dan merusak struktur lignin dalam ampas tebu [1]. Dari penelitian ini diharapkan adanya pengembangan teknologi produksi etanol dengan memanfaatkan selulosa dan hemiselulosa melalui degradasi enzimatik menjadi glukosa dan xilosa oleh enzim selulase dan xilanase. Selanjutnya glukosa dan xilosa difermentasi menjadi etanol dengan bantuan Pichia stipitis dan Saccharomyces cerevisiae
II. METODOLOGI PENELITIAN A. Tahap Pretreatment Ampas Tebu Pretreatment ampas tebu terdiri dari dua macam pretreatment yaitu pretreatment mekanik dan kemudian dilanjutkan dengan pretreatment kimiawi. Ampas tebu yang diperoleh dari penggilingan es tebu dikeringkan dibawah sinar matahari kurang lebih selama 12 jam hingga kering, kemudian ampas tebu tersebut digiling dan diayak dengan ayakan 100-120 mesh. 50 gram ampas tebu dengan ukuran 100-120 mesh ditambahkan dengan 1000 mL NaOH 1% (w/v). Larutan dipanaskan pada suhu 80oC selama 16 jam dan diaduk menggunakan stirrer. Kemudian larutan dipisahkan dengan penyaringan menggunakan kertas saring pada vacumm jet pump, dan dibilas dengan aquadest hingga pH nya netral. Padatan ampas tebu yang telah disaring kemudian di oven selama 2 jam. Padatan yang telah di oven kemudian dianalisa kadar selulosa, hemiselulosa, dan ligninnya dengan menggunakan metode chesson.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
2
B. Penyiapan Enzim Enzim yang digunakan pada percobaan ini adalah enzim selulase dan xilanase. Satu gram enzim yang telah diketahui aktifitasnya dilarutkan dalam 100 mL buffer sitrat 0,1 M dengan pH 5,5. C. Hidrolisis Ampas Tebu Sebanyak 5 gram ampas tebu ukuran 100-120 mesh yang telah dipretreatment ditambahkan dengan enzim sesuai variabel sebanyak 93 unit per 5 gram ampas tebu. Setelah itu, larutan enzim dan ampas tebu ditambahkan dengan larutan buffer sitrat 0.1 M pH 3 sampai volume larutan mencapai 150 mL. Hidrolisis dilakukan pada suhu 60oC selama 48 jam. Proses hidrolisis disertai dengan pengadukan menggunakan stirrer. Kadar gula diukur dengan metode DNS. Sampel diambil setiap enam jam sekali, kemudian ditaruh di microtube dan dicentrifuge. Sebanyak 0.2 mL supernatan dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian supernatant ditambahkan dengan 1.8 mL aquadest dan 3 mL DNS. Kemudian absorbansi larutan diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. Kadar gula juga diukur dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). D. Fermentasi Ampas Tebu Fermentasi dilakukan dengan volume hidrolisat sebesar 100 mL pada suhu 35 oC dan digunakan tiga variabel mikroba yaitu, saccharomyces cerevisiae, pichia stipitis serta campuran saccharomyces cerevisiae dan pichia stipitis. Proses fermentasi terbagi menjadi dua tahapan, yaitu pembuatan starter dan proses fermentasi. Pada proses pembuatan starter, 100 mL hidrolisat yang akan difermentasikan ditambahkan dengan nutrisi berupa yeast ekstrak 0.425 gram, MgSO4.7H2O 0.085 gram, (NH4)2SO4 0.425 gram, dan KH2PO4 1.0625 gram. Sebanyak 10 mL hidrolisat yang telah ditambahkan nutrisi diambil dan disterilisasikan ke dalam autoclave. Setelah itu didiamkan hingga suhu kamar dan diinokulasikan dengan mikroba sesuai variabel. Proses pembuatan starter dilakukan di dalam incubator shaker pada suhu 35 oC. Pada proses fermentasi, sebanyak 10 mL larutan starter ditambahkan ke dalam 90 mL sisa larutan yang akan difermentasikan. Larutan diinkubasi pada incubator shaker suhu 35 oC dan 100 rpm selama dua hari. Sampel dianalisa dengan menggunakan Gas Kromatografi untuk analisa kadar etanol. Kadar gula reduksi dianalisa dengan metode DNS dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pretreatment A.1 Metode chesson Pretreatment diperlukan untuk merusak struktur lignoselulosa pada ampas tebu yang bersifat kokoh dengan mendegradasi lignin, karena dapat menghalangi kinerja enzim dalam mendegradasi selulosa [7]. Kadar selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada ampas tebu setelah dipretreatment dan sebelum dipretreatment yang diuji dengan metode chesson ditunjukkan oleh grafik di bawah ini.
Gambar 1. Kadar selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada ampas tebu setelah pretreatment Kadar lignin setelah pretreatment lebih kecil dibandingakan dengan sebelum pretreatment, hal ini menunjukkan sebagian lignin terlarut saat proses pretreatment. Hasil ini sesuai dengan tujuan dari pretreatment, yaitu untuk menurunkan kadar lignin yang terkandung dalam ampas tebu sehingga dapat mempermudah akses enzim terhadap selulosa dan hemiselulosa terselama proses hidrolisis. A.2 X-ray Difraction (XRD) XRD adalah metode yang paling mudah dan paling banyak digunakan untuk mengukur indeks kristalinitas (CrI). Indeks kristalinitas kemudian digunakan untuk mengukur kristalinitas selulosa. Dua jenis puncak difraksi, (101) dan (002) diamati pada 2θ = 22o dan 16o yang sesuai dengan kristalin selulosa tipe I [8]. Indeks kristalinitas ditentukan sebagai bagian dari bahan kristal yang terkandung di dalam sampel. Indeks kristalinitas dapat ditunjukkan dengan persamaan di bawah ini. CrI = Dimana I002 adalah intensitas pada puncak tertinggi, dan Iam adalah intensitas minimum [8].
Gambar 2. Grafik Analisa X-Ray Difraction ampas tebu setelah dan sebelum pretreatment. Dari persamaan di atas diketahui CrI dari sampel sebesar 55% untuk ampas tebu pretreatment dan 47% untuk ampas tebu tanpa pretreatment. Berdasarkan literature, CrI selulosa pada ampas tebu tanpa pretreatment antara 45.3 - 47.5% [9]. CrI hasil percobaan sesuai dengan range pada literature yaitu sebesar 47%. Setelah pretreatment CrI meningkat, hal ini disebabkan karena sebagian lignin dan hemiselulosa terlarut saat proses pretreatment sehingga selulosa yang terdeteksi meningkat dibandingkan dengan selulosa yang terdeteksi pada ampas tebu tanpa pretreatment [10].
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B. Hasil Hidrolisis Hidrolisis dilakukan dengan menggunakan tiga variable, yaitu menggunakan enzim selulase, enzim xilanase, dan campuran keduanya.
Gambar 3. Konsentrasi Gula Reduksi Yang Dihasilkan Selama Hidrolisis Ampas Tebu Setelah Pretreatment
Gambar 4. Konsentrasi Gula Reduksi Yang Dihasilkan Selama Hidrolisis Ampas Tebu Tanpa Pretreatment Dari kedua gambar tersebut, terlihat bahwa grafik cenderung mengalami peningkatan hingga jam ke 48. Hal ini sesuai dengan data pada literatur [11]. Dalam penelitian ini, memang ada beberapa point yang mengalami sedikit penurunan, hal ini dapat dikarenakan pada saat pengambilan sampel, gula reduksi yang dihasilkan terikat kembali bersama substrat. Namun, secara keseluruhan konsentrasi gula reduksi mengalami kenaikan, yang menunjukkan bahwa enzim mampu menghidrolisis substrat yang ada. Dari ketiga variabel hidrolisis yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa hasil hidrolisis terbaik, dengan parameter konsentrasi gula reduksi, adalah hidrolisis dengan menggunakan campuran enzim selulase dan xilanase. Konsentrasi gula reduksi yang lebih tinggi dihasilkan dari hidrolisis ampas tebu setelah pretreatment. Hal ini dikarenakan tanpa pretreatment, gula reduksi yang dihasilkan tidak dapat maksimal dimana masih terdapat kadar lignin yang menghalangi kinerja enzim untuk mendegradasi selulosa menjadi glukosa. Hasil analisa menggunakan metode DNS tidak dapat membedakan jenis gula reduksi. Untuk dapat menganalisa gula reduksi yang lebih spesifik dilakukan analisa menggunakan High Perfomance Liquid Chromatography (HPLC). Tabel 1. Konsentrasi Gula Reduksi Hasil Hidrolisis Ampas Tebu Setelah Pretreatment Menggunakan Analisa HPLC Variabel Konsentrasi gula reduksi (g/L) Jumlah
Enzim Selulase+ Xilanase Enzim Xilanase Enzim Selulase
3
Glukosa
Xilosa
Galaktosa
(g/L)
3.1489
2.8592
0.6061
6.6142
0.6348
2.6138
0.4714
3.7200
1.8450
0.3341
0.4381
2.6173
Perbedaan konsentrasi gula reduksi dari kedua metode analisa tersebut, dapat dikarenakan hasil uji DNS menunjukkan konsentrasi gula reduksi total yang terdapat dalam larutan tanpa mengidentifikasi jenis gula reduksi yang terdapat di dalamnya. Sedangkan untuk analisa HPLC, hasilnya mampu mengidentifikasi jenis gula reduksi yang terdapat di dalam larutan, namun yang teridentifikasi adalah jenis tertentu berdasarkan peak yang dapat terdeteksi. Yield yang dihasilkan dalam penelitian ini relatif kecil; baik pada variabel hidrolisis menggunakan enzim selulase (0.2815 g gula/g ampas tebu), hidrolisis menggunakan enzim xilanase (0.3281 g gula/g ampas tebu), maupun hidrolisis menggunakan campuran enzim selulase dan xilanase (0.4834 g gula/g ampas tebu). Nilai yield yang kecil dapat dikarenakan kemungkinan adanya komponen lain selain selulosa dan hemiselulosa yang dapat menghambat jalannya hidrolisis. Dalam penelitian ini, hidrolisis dengan hasil terbaik diperoleh dari variabel enzim campuran, karena pada penggunaan enzim campuran terdapat kerja yang sinergis antara enzim selulase dan xilanase sehingga menghasilkan konsentrasi gula reduksi yang lebih besar [11] . Selanjutnya merupakan proses fermentasi gula reduksi menjadi etanol. Fermentasi dilakukan selama 48 jam dengan menggunakan variabel Saccharomyces cerevisiae, Pichia stipitis, serta campuran Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis. Fermentasi dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap pembuatan starter pada suhu 35oC selama 48 jam dan tahap fermentasi pada suhu 35oC selama 48 jam. Konsentrasi etanol dan gula reduksi berbanding terbalik. Konsentrasi etanol pada masing-masing variabel semakin meningkat seiring lamanya proses fermentasi, sedangkan konsentrasi gula reduksi semakin menurun..
Gambar 5. Grafik konsentrasi etanol dan gula reduksi dari hasil fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
4
campuran enzim selulase dan enzim xilanase sebesar 0,4834 g/ g ampas tebu , yield etanol terbaik dihasilkan dari proses fermentasi dengan campuran S.cerevisiae dan P.stipitis sebesar sebesar 0.4993 g etanol/ g gula reduksi. Yield etanol yang di hasilkan relatif kecil dikarenakan kadar glukosa dan xilosa yang rendah UCAPAN TERIMA KASIH
Gambar 6. Grafik konsentrasi etanol dan gula reduksi dari hasil fermentasi menggunakan Pichia stipitis
kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua serta saudara-saudara kami, atas doa, bimbingan, perhatian, dan kasih sayang yang selalu tercurah selama ini. Bapak Ir. Mulyanto, M.T. selaku dosen pembimbing. Bapak Prof. Dr. Ir. Tri Widjaja, M.Eng. selaku Ketua Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Bapak Prof. Dr. Ir. Arief Widjaja, M.Eng. selaku Kepala Laboratorium Teknologi Biokimia. Bapak dan Ibu Dosen pengajar serta seluruh karyawan Jurusan Teknik Kimia. Teman-teman di Laboratorium Teknologi Biokimia Teknik Kimia, serta teman-teman K-49 atas bantuan, saran kritik, dan dukungannya. DAFTAR PUSTAKA [1]
Gambar 7. Grafik konsentrasi etanol dan gula reduksi dari hasil fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis
Konsentrasi etanol yang semakin meningkat dan berbanding terbalik dengan konsentrasi gula reduksi tersebut sesuai dengan literatur, dimana semakin banyak substrat atau gula yang terkonsumsi, semakin banyak etanol yang dihasilkan. Semakin banyak substrat yang terkonsumsi, mengindikasikan semakin sedikitnya sisa gula yang terdapat pada akhir fermentasi. Saccharomyces cerevisiae mempunyai kemampuan menguraikan glukosa menjadi etanol daripada menguraikan xilosa menjadi etanol. Xilosa akan lebih efektif diuraikan menjadi etanol jika strain Saccharomyces cerevisiae telah direkombinasi. Secara alami, Saccharomyces cerevisiae sulit menguraikan xilosa menjadi etanol karena kurangnya produksi enzim xilosa reductase . Sedangkan Pichia stipitis mempunyai kemampuan menguraikan glukosa dan xilosa menjadi etanol, khususnya xilosa karena memproduksi cukup enzim xilosa reductase sehingga mampu mengonversi xilosa menjadi etanol. Akan tetapi, dalam memfermentasi glukosa, Saccharomyces cerevisiae akan menghasilkan yield etanol yang lebih besar daripada Pichia stipitis . Pada penelitian ini konsentrasi etanol terbesar diperoleh dari fermentasi menggunakan campuran Saccharomyces cerevisiae dengan Pichia stipitis, yang menghasilkan 2.8026 g/l etanol, dengan yield DNS 0.4993 g etanol/g gula reduksi dan yield HPLC 0.27 g etanol/g gula reduksi. Fermentasi menggunakan campuran Saccharomyces cerevisiae dan Pichia stipitis dapat mengoptimalkan proses penguraian glukosa dan xilosa sehingga menghasilkan etanol yang lebih banyak [12]-[13]. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan hasil analisa yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa yield gula reduksi terbaik dihasilkan dari proses hidrolisis dengan
Sun, Ye and Cheng, Jiayang (2002), “Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol Production: a Review”, USA: North Carolina State University, Bioresource Technology 83, pp 1. [2] Hermiati, Euis dkk. 2010.”Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu Untuk Produksi Bioetanol”.Bogor: LIPI. [3] Bailey, J.E., D.F. Ollis. 1986, “Biochemical Engineering Fundamentals”, 2nd Ed., McGraw-Hill International Edition, Singapore [4] Widjaja, Arief. 2009. “Aplikasi Bioteknologi pada Industri Pulp dan Kertas”. Surabaya: itspress [5] Schlegel Hans G. 1994. Mikrobiologi Umum. Penterjemah Tedjo Baskoro. Edisi keenam. Yogyakarta: Gajah Mada University Press [6] Rocha, George Jackson de Moraes, dkk, 2011, “Dilute mixed-acid pretreatment of sugarcane bagasse for ethanol production”, Biomass and Bioenergy 35 (2011) 663-670 [7] Wang, Ziyu dkk, 2010, “Sodium hydroxide pretreatment and enzymatic hydrolysis of coastral Bermuda grass”, Biological System Engineering: paper and publication. Paper 143 [8] Cao, Shuo dan Aita, Giovanna M, 2013, “Enzymatic hydrolysis and ethanol yields of combined surfactant and dilute ammonia treated sugarcane bagasse”, Bioresource Technology 131 (2013) 367-364. [9] Bian, Jing et al, 2013, “Effect of [Emim]Ac pretreatment on the stuctire and enzymatic hydrolysis of sugarcane bagasse cellulose”, Carbohydrate Polymers (2013) [10] Zhao, Xuebing et al, 2010, “Delignification of sugarcane bagasse with alkali and peracetic acid and characterization of the pulp”, Bioresources 5(3). 1565-1580 [11] Zhang, Junhua et al, 2011, “Comparison of the synergistic action of two thermostable xylanases from GH families and 11 with thermostable celluloses in lignocelluloses hydrolysys”, Bioresource Technology 102 (2011) 9090-9095 [12] Yadav, K. Srilekha et al, 2011, “Bioethanol fermentation of concentrated rice straw hydrolisate using co-culture of Saccharomyces cerevisiae and Pichia stipitis”, Bioresource Technology 102 (2011) 6473-6478. [13] Chandel, Anuj K et al, 2011, “Bioconversion of Saccharum spontaneum (wild sugarcane) hemicellulosic hydrolysate into ethanol by mono and co-cultures of Pichia stipitis NCIM3498 and thermotolerant Saccharomyces cerevisiae-VS3”, New Biotechnology Vol. 28 Numb. 6 Okctober 2011.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
5
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
6